7
TINJAUAN PUSTAKA Suaka Margasatwa Muara Angke Kawasan konservasi dapat berupa suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan hutan lindung. IUCN (1994) mendefinisikan kawasan yang dilindungi sebagai suatu areal daratan dan atau lautan yang secara khusus dimaksudkan untuk melindungi dan memelihara keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam lainnya, serta kebudayaan setempat. Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan satu-satunya ekosistem mangrove yang tersisa di pantai Jakarta. Kawasan seluas 170,60 ha ini terletak pada koordinat 06º06’-06º10’ LS dan 106º43’-106º48’ BT terdiri atas S.M Muara Angke, Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk. Pada tahun 1998 status kawasan dirubah dari Cagar Alam menjadi Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 097/Kpts-II/1998. Kawasan ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kali Angke dan perkampungan nelayan Muara Angke di Timur, perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Selatan, dan Hutan Lindung Angke-Kapuk, yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta di sebelah Barat (PPLH, 2000). Jenis vegetasi mangrove yang mendominasi adalah bakau (Rhizophora apiculata dan R.mucronata), api-api (Avicennia spp.), pidada (Sonneratia caseolaris), buta-buta (Exoecaria agallocha), dan gulma Acrostichum aureum (Karminarsih, 2007). Jenis fauna penghuni SMMA meliputi 63 jenis burung hutan dan 28 jenis burung air, dimana 17 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi. Jenis reptil yang sering dijumpai adalah Biawak (Varanus salvator). Jenis primata yang masih banyak ditemukan adalah Monyet kera (Macaca fascicularis). Namun data tentang jenis ikan yang mendiami perairan mangrove belum tercatat dengan baik. TNUK merupakan salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia yang berperan penting dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam hayati dan keseimbangan ekosistem dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. Jenis vegetasi mangrove yang mendominasi di TNUK adalah Aegiceras corniculatum, Bruguiera parvifolia, dan Rhizophora apiculata. Namun pada tanah yang hitam atau sedikit berlumpur dijumpai Lumnitzera racemosa. Pada area yang
8
jarang tergenangi, dapat ditemukan Heritiera litoralis dan Acanthus ilicifolius yang cukup banyak Di kawasan ini ditemukan berbagai jenis fauna yang unik dan endemik, misalnya Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), Harimau Tutul (Panthera pardus), Anjing Ajag (Cuon alpinus javanicus), Kucing Kuwuk (Prionailurus bengalensis), Owa Jawa (Hylobates moloch), Lutung Surili (Presbytis comata), Lutung Budeng (Trachypithecus auratus), dan Kima Raksasa (Tridacna gigas). Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi yang meliputi 35 jenis mamalia, 5 jenis primata, 59 jenis reptil, 22 jenis amfibia, 240 jenis burung, 33 jenis terumbu karang dan 142 jenis ikan. Bila dibandingkan dengan kekayaan spesies vertebrata yang terdapat di Jawa, maka kekayaan vertebrata TNUK, diwakili mamalia 26,32%, burung 66,3%, dan reptil 34,10% (Suyanto et al., 2008). Selanjutnya tekanan lingkungan yang terjadi di SMMA sudah sangat mengkhawatirkan, sehingga penelitian mengenai biodiversitas ikan perlu segera dilakukan. Data yang diperoleh nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman dan kelimpahan jenis ikan ditentukan oleh karakteristik habitat dan faktor lingkungan perairan. Secara ekologis, keanekaragaman jenis ikan yang tinggi menunjukkan keseimbangan ekosistem yang lebih baik. Selain itu mempunyai elastisitas yang baik terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, yang terkadang secara tiba-tiba berubah, misalnya serangan penyakit, predator dan lain sebagainya, begitu pula sebaliknya. Ludwig dan Reynolds (1988) berpendapat bahwa keanekaragaman jenis suatu komunitas ditentukan oleh jumlah atau kekayaan jenis dan nilai kemerataaan jenis. Pada beberapa perairan mangrove yang masih terjaga dengan cukup baik memiliki keanekaragaman ikan yang relatif tinggi, misalnya di perairan mangrove Teluk Tudor Kenya diperoleh 83 jenis ikan dan 115 jenis ikan di Teluk Dongzhaigang China (Sesakumar et al. 1992; Wang et al, 2009). Sebaliknya di perairan Tongke-Tongke Sulawesi Selatan hanya dapat diperoleh 27 jenis (Pirzan
9
et al, 2001). Hal tersebut dikarenakan telah terjadi kerusakan yang cukup serius akibat pembukaan kawasan hutan mangrove (Munisa et al., 2003). Jenis Ikan di Perairan Mangrove Ikan merupakan kelompok dari organisme bertulang belakang (vertebrata) paling besar. Menurut Nelson (2006) terdapat 28.400 jenis ikan yang terdiri atas 62 bangsa, 515 suku dan 4494 marga. Sebagian besar 58% hidup di laut, 41% di air tawar dan 1% hidup diantara kedua habitat tersebut, atau mempergunakan habitat ini diantara siklus hidupnya (Cohen, 1970). Jumlah jenis ikan penetap yang hidup dan berkembang di kawasan tersebut memang lebih sedikit. Hanya jenis ikan yang memiliki kemampuan adaptasi terhadap salinitas cukup tinggi yang mampu berkembang. Dengan demikian komunitas ikan di perairan mangrove hanya didominasi oleh beberapa jenis saja, meskipun jumlah ikan yang tertangkap relatif banyak dan umumnya berukuran juvenile. Hal ini dapat dilihat di perairan mangrove Selangor Malaysia dimana dari 21. 670 individu yang tertangkap, hanya terdapat 119 jenis, dan 70% diantaranya didominansi oleh 6 jenis ikan (Gunarto, 2004). Jenis-jenis ikan penghuni mangrove umumnya mempunyai karakter morfologi yang unik, seperti ikan belodok yaitu Periophthalmodon sp. dan Boleophthalmus sp., serta ikan sumpit Toxotes jaculatrix, yang memiliki kemampuan menyumpit mangsanya di atas permukaan air menjadi sifat khas tersendiri. Ikan Belodok Periophthalmodon schlosseri (Pallas, 1770) Ikan belodok atau gelodok merupakan jenis ikan penetap yang berasosiasi dengan baik di dalam ekosistem mangrove. Jenis ini termasuk dalam bangsa Perciformes, suku Gobiidae dan marga Periophtalmodon. P.schlosseri merupakan salah satu jenis Gobiidae yang berukuran besar (Giant Mudskipper) dengan panjang maksimum mencapai 27 cm (Kottelat et al, 1993). Tubuh berbentuk bulat panjang menyerupai torpedo, dengan kedua mata menonjol di atas kepala seperti kodok. Bagian dorsal dan lateral tubuh berwarna cokat keabu-abuan, sedangkan bagian ventral berwarna keputih-putihan, dihiasi dengan garis lateral hitam pada setiap sisi memanjang dari mata ke pangkal ekor
10
(meskipun pada beberapa spesimen garis hitam mungkin kurang jelas). Sirip ekor berwarna coklat gelap sampai abu-abu. Jumlah duri sirip punggung pertama adalah 6-9, dan satu pada sirip punggung kedua dengan 11-12 jari-jari lunak. Jarijari dada 15-17. Sirip dubur mempunyai 1 duri dengan 11-13 jari-jari lunak. Kedua sirip perut bersatu dan membentuk suatu cakram. Sirip dada berfungsi seperti kaki, dapat dipergunakan untuk berlari dan memanjat (Gambar 2). Marga ini ditandai dengan adanya dua baris gigi pada rahang atas, pada baris kedua gigi di rahang atas gigi jumlahnya sedikit dan lebih kecil. Larson dan Lim (2005) menambahkan bahwa gigi baris terluar membesar dan melengkung.
(Gambar 2. Periophthalmodon schlosseri, foto oleh: Wahyudewantoro, 2012)
Belodok dapat bertahan lama hidup di luar air/ daratan, karena mampu bernafas melalui kulit dan memiliki lapisan selaput lendir di mulut dan kerongkongannya, yang hanya bisa terlaksana dalam keadaan lembab. Belodok berasosiasi sangat erat dengan ekosistem mangrove. Ikan ini seringkali terlihat berkelompok di antara akar nafas Sonneratia alba dan memanfaatkannya sebagai tempat perlindungan bila dalam keadaan terancam. Makanannya berupa ketam, udang, ikan, cumi-cumi, kerang, bahkan semut dan lalat. Ikan belodok memiliki nilai komersial tinggi di beberapa negara Asia (Cina, Korea dan Vietnam) antara lain ikan konsumsi obat di Tiongkok dan Jepang, dan sudah mulai dibudidayakan (Mukhtar et al, 2012). Serinding Ambassis gymnocephalus (Lacepede, 1802) Serinding juga termasuk ikan penghuni mangrove, termasuk dalam bangsa Perciformes, suku Chandidae dan marga Ambassis (Gambar 3). Tubuh berwarna kuning keperakan dan ada yang tembus pandang/ transparan, kecil, dengan mata
11
besar dan mulut tipis. Sirip punggung pertama dengan 7 duri, sedangkan sirip punggung kedua 1 duri dan 9 jari-jari lunak. Sirip dubur mempunyai 3 duri dan 910 jari-jari lunak. Sisik pada gurat sisi berjumlah 27-29 (Weber and Beaufort, 1929 dalam Kottelat et al., 1993).
(Gambar 3. Ambassis gymnocephalus, foto oleh Wahyudewantoro, 2012)
Serinding dapat dijumpai di perairan yang tidak terlalu dalam, umumnya di sekitar muara. Makanannya berupa krustasea, ikan yang berukuran lebih kecil, telur dan larva ikan di sekitar mangrove. A.gymnocephalus merupakan jenis pemakan zooplankton yang paling dominan di perairan mangrove (Sukardjo, 2004). Pemanfaatan ikan ini lebih banyak diasinkan dan dikeringkan (Kottelat et al., 1993). Belanak Liza subviridis (Valenciennes, 1836) Belanak merupakan salah satu ikan yang cukup dikenal di perairan mangrove. Jenis ini masuk ke dalam bangsa Mugiliformes, suku Mugilidae dan marga Liza (Gambar 4). Belanak mempunyai kepala gepeng, moncong tumpul, mulut kecil dan bibir berbentuk “V” apabila dilihat dari depan. Sisik-sisiknya besar dan terdapat 38-42 sisik di sepanjang sisi tubuhnya. Tubuhnya berwarna biru sampai hijau kecoklatan (Kottelat et al., 1993; Peristiwady, 2006).
12
(Gambar 4. Liza subviridis, foto oleh Wahyudewantoro, 2012)
Ikan ini dapat dijumpai di perairan mangrove di seluruh perairan tropis dan subtropis. Berenang secara berkelompok, walaupun terkadang terlihat soliter. Pada fase juvenil ikan bersifat omnivore, memakan zooplankton dan phytoplankton, namun setelah dewasa lebih bersifat herbivore, memakan diatom dan alga (McDonough, 2011). Sukardjo (2004) menyatakan L.subviridis adalah jenis yang sangat dominan di perairan mangrove. Interaksi Ikan dengan Ekosistem Mangrove Interaksi merupakan hubungan timbal balik antara habitat abiotik dengan biotik, begitupun sebaliknya. Interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yang disebut ekosistem. Hal tersebut dapat dilihat diantara jenis-jenis ikan yang masuk maupun yang memang menetap di perairan mangrove. Serasah mangrove (daun, ranting dan buah) yang jatuh ke air atau mati, akan dimanfaatkan oleh kepiting sesarmid, lalu akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroba. Pada akhirnya akan menjadi bahan makanan bagi bivalvia, gastropoda dan pemakan detritus lainnya yang menjadi makanan bagi juvenil ikan, udang dan kepiting (Sheridan dan Hays, 2003; Gunarto, 2004). Substrat di ekosistem mangrove merupakan tempat yang sangat disukai oleh biota yang hidup di dasar perairan atau bentos. Nagelkerken et al. (2000) telah membandingkan kepadatan ikan di tiga wilayah perairan (mangrove, lamun dan terumbu karang) di Bonaire Belanda, diperoleh 9 dari 14 juvenil ikan yang terkoleksi di daerah mangrove. Jenis ikan yang berinteraksi di perairan mangrove dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya dijalankan di daerah hutan mangrove seperti ikan belodok (Periophthalmodon sp. dan Boleopthalmus sp.). Kedua penetap
13
sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan hutan mangrove selama periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung menggerombol di sepanjang pantai yang berdekatan dengan hutan mangrove, seperti ikan belanak (Mugilidae), ikan kuweh (Carangidae), dan ikan kapasan, kontong (Gerreidae). Selanjutnya adalah kelompok pengunjung, yaitu ikan yang berkunjung ke hutan mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, contohnya ikan kekemek, gelama, krot (Scianidae), barakuda, alu-alu, tancak (Sphyraenidae), dan ikan-ikan dari suku Exocietidae serta Carangidae. Vance et al. (1996) dalam Sheridan dan Hays (2003) mencatat bahwa akar bakau dapat mencegah predator sehingga dapat meningkatkan kemampuan bertahan hidup dari ikan-ikan kecil. Selain itu komunitas ikan memiliki ketergantungan terhadap ekosistem mangrove dalam penyediaan sumber makanan bagi fase larva dan juvenilnya (Tse et al., 2008). Juvenile dari marga Haemulon dan Lutjanus di perairan mangrove Caribia sangat tergantung dari keberadaan mangrove (Nagelkerken et al., 2000). Banyak jenis ikan laut yang masuk atau naik ke perairan tawar untuk bertelur tetapi pada masa larva dan post larva menggunakan daerah estuaria sebagai tempat asuhannya (Dando, 1984). Chong et al. (1990) melaporkan bahwa perairan mangrove merupakan tempat mencari makan pada waktu terjadi pasang tinggi bagi ikan-ikan ekonomis maupun non ekonomis. Ikan ekonomis yaitu suatu jenis ikan yang mempunyai kualitas daging yang bagus, baik dari segi tekstur, rasa, warna dan ketebalan daging tinggi, sehingga harga jualnya relatif tinggi. Beberapa jenis ikan ekonomis penting di perairan Cilacap adalah Anguilla bicolor, A.mauritiana, Chanoschanos, Lutjanus argentimaculatus, L.sanguineus, L.johni, Muraenesox talabon, Epinephelus tauvina dan Labotes surinamensis (Bhagawati et al., 2001). Pertumbuhan Pertumbuhan dalam perikanan adalah pertumbuhan ukuran baik panjang maupun berat dalam ukuran waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan suatu populasi adalah pertambahan jumlah individu. Setiap hewan mengalami pertumbuhan dalam panjang dan berat, hubungan diantara keduanya sangatlah penting (Effendie, 1997).
14
Hubungan Panjang dan Berat Untuk menghitung pertumbuhan diperlukan data panjang dan berat ikan Perbandingan antara panjang-berat dapat menunjukan perubahan yang terjadi pada bentuk morfologi atau kondisi dari hewan tersebut. Hubungan panjang-berat menggambarkan karakteristik struktur individu diantara populasi (Omar, 2005). Faktor Kondisi Faktor kondisi merupakan salah satu bagian yang penting dalam masalah pertumbuhan ikan. Faktor kondisi atau ponderal index diperuntukkan untuk melihat keadaan yang menyatakan kemontokan tubuh ikan, baik dilihat dari segi kapasitas fisik maupun segi survival dan reproduksinya (Effendie, 1997). Nilai ini dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, makanan, dan tingkat kematangan gonad Karakter Morfologi (Morfometrik dan Meristik) Karakter morfologi meliputi studi morfometrik dan meristik dari ikan. Dengan mempergunakan karakter morfologi dapat mengidentifikasi bagianbagian spesifik dari suatu jenis ikan yang memungkinkan untuk pengelolaan yang lebih baik dan menjamin pelestarian sumberdaya (Turan, 1999). Morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan, misalnya panjang total, panjang standar, dan panjang sirip-siripnya. Studi morfometrik menyediakan bukti ciri-ciri tersendiri dari stok ikan (Turan, 1999). Ukuran tubuh merupakan salah satu hal yang dapat digunakan sebagai ciri taksonomik dalam mengidentifikasi ikan. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan milimeter atau centimeter, ukuran yang dihasilkan disebut ukuran mutlak. Adapun meristik adalah ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tubuh dari ikan, misalnya jumlah sisik pada garis rusuk, jumlah jari-jari keras dan lunak pada sirip punggung, sirip perut, sirip dada dan batang ekor (Affandi, et al.,1992). Perbedaan ciri-ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tertentu pada tubuh ikan secara umum disebabkan oleh faktor lingkungan, atau faktor genetik yang relatif tidak seimbang. Walaupun umur ikan dari suatu jenis sama, namun ukuran
mutlaknya
dapat
berbeda.
Pengukuran
ciri
morfometrik
untuk
menstandarisasi dengan metode truss morfometrik, dimana metode ini dapat menggambarkan secara lebih tepat bentuk ikan dengan memilih titik-titik
15
homogulus tertentu di sepanjang tubuh, kemudian mengukur jarak antara titik-titik tersebut. Brojo (1999) menegaskan bahwa pengukuran dengan metode truss morfometrik dapat memberikan hasil dan informasi lebih terperinci dengan menggambarkan bentuk ikan dan memperkecil kesalahan dalam pengukuran. Ketika seluruh sampel ikan yang terkumpul mempunyai umur yang sama, itu tidak menjadi masalah, namun di alam umur dan ukuran tubuh ikan sangat beragam. Turan (1999) menyatakan seluruh karakter ikan yang telah diukur harus dikonversi dengan cara membagi nilai karakter dengan panjang standar. Fluktuasi Asimetri Fluktuasi asimetri merupakan konsep perbedaan yang bersifat bilateral antara karakter bagian sisi kiri dan kanan yang menyebar secara normal sebagai akibat dari ketidakmampuan individu untuk berkembang secara tepat dan normal (Van Valen, 1962). Menurut Utayopas (2001) fluktuasi asimetri adalah penyimpangan dari bentuk morfologi yang normal (simetris), yang dapat dengan cepat terdeteksi dimana dapat menyebabkan ketidaksehatan yang tersebar meluas atau perubahan di dalam struktur komunitas. Fluktuasi asimetri juga dipergunakan sebagai ukuran ketidaksamaan perkembangan, dapat pula dikatakan perbedaan acak antara karakter morfometrik pada setiap bidang simetri. Fluktuasi asimetri dianggap mencerminkan kemampuan organisme untuk mengatasi tekanan lingkungan, dan sebagai indikator dari kualitas jenis dalam studi seleksi alam, dan bioindikator untuk pemantauan lingkungan dan biologi konservasi (Tomkins dan Kotiaho, 2001). Peningkatan fluktuasi asimetri pada ikan dapat diamati melalui diameter mata, jumlah rigi pada tapis insang, jari-jari sirip dada (pectoral) dan jari-jari sirip perut (ventral). Perbedaan ciri-ciri tersebut yang berkaitan dengan jumlah bagian tertentu pada tubuh ikan dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti suhu air dan salinitas. Faktor lingkungan berperan besar terhadap perkembangan ikan, diduga dapat menyebabkan perubahan morfologi dan reproduksi, bahkan kemampuan adaptasinya.
16
Reproduksi Seluruh mahluk hidup untuk mempertahankan populasinya di alam harus melakukan suatu tahap yang dinamakan reproduksi atau seringkali disebut proses pemijahan. Reproduksi adalah suatu proses pertemuan atau penggabungan antara ikan jantan dan betina yang bertujuan untuk pembuahan telur oleh spermatozoa. Ikan jantan dan betina umumnya mengeluarkan spermatozoa ke dalam air di sekitar sel-sel telur. Beberapa aspek penting dalam mempelajari reproduksi adalah nisbah kelamin, tingkat/indeks kematangan gonad (TKG/IKG) dan fekunditas atau jumlah telur. Pertambahan bobot gonad akan diikuti oleh pertambahan bobot ikan. Bobot gonad akan mencapai keadaan maksimum pada saat ikan akan melakukan reproduksi, kemudian akan menurun drastis selama reproduksi sedang berlangsung sampai selesai (Effendie, 1997). Fekunditas adalah banyaknya telur yang terdapat di dalam ovarium sebelum terjadi proses reproduksi. Indeks hepatosomatik (HIS) Indeks hepatosomatik adalah perbandingan antara bobot hati dengan bobot tubuh ikan. Pada lingkungan yang ekstrim, umumnya ikan mempunyai ukuran hati yang kecil. Hati berfungsi sebagai cadangan energi. Faktor yang mempengaruhi nilai HSI adalah suhu, makanan, TKG, dan polusi setempat. El Sayed dan Moharram (2007) menyatakan bahwa akumulasi dan penyimpanan lemak dan protein di dalam hati terjadi sebelum pemijahan ikan. Fisika Kimia Air Dalam mempelajari fauna akuatik, khususnya ikan tidak terlepas dari kualitas air sebagai tempat hidupnya, serta melakukan berbagai interaksi antara keduanya. Air yang jernih bukan berarti habitat yang baik untuk ikan, karena kejernihan bukan satu-satunya persyaratan air yang berkualitas bagi ikan. Beberapa jenis ikan bahkan seringkali dijumpai hidup dan berkembang di dalam perairan yang relatif keruh. Secara umum beberapa faktor yang mempengaruhi fisika kimia air di suatu perairan mangrove yaitu suhu, pH, salinitas, kandungan oksigen terlarut, karbondioksida bebas, nitrit, nitrat, padatan tersuspensi total, arus, kedalaman dan kecerahan.