168
6
6.1
KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE
Pendahuluan Kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara
Angke secara
berkelanjutan diperlukan mengingat kedudukan Jakarta sebagai pintu gerbang internasional bagi Indonesia, serta merupakan ekosistem mangrove yang memiliki fungsi dan manfaat penting bagi penyangga kehidupan wilayah pesisir, serta nilai keberadaan ekosistem mangrove yang dibutuhkan bagi masyarakat sekitarnya. Kawasan mangrove Muara Angke yang masih tersisa saat ini sekitar 478 ha yang terdiri atas kawasan hutan atau tanah negara (hutan lindung, hutan wisata, arboretum atau kebun benih, lahan dengan tujuan istimewa, transmisi PLN, dan suaka margasatwa) seluas 327,7 ha dan lahan tambak milik masyarakat 93,0 ha, dan lahan tambak penelitian KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) 57,3 ha. Kawasan hutan lindung (44,76 ha) dan Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI) yang terdiri atas: (1) Kebun pembibitan 10,51 ha, (2) Lahan transmisi PLN 23,07 ha, (3) Cengkareng Drain 28,93 ha, dan (4) Jalan tol dan jalur hijau 95,50 ha di bawah pengelolaan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. Sedangkan kawasan Hutan Wisata Kamal (99,82 ha) dan Suaka Margasatwa Muara Angke (25,02 ha) di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta. Khusus pengelolaan Hutan Wisata Kamal, sejak tahun 1994 telah diberikan ijin pemanfaatan wisata alam kepada PT. Murindra Karya Lestari dan sampai sekarang masih terus berjalan. Kondisi kawasan mangrove Muara Angke terus mengalami tekanan, baik yang berasal dari darat (pencemaran, perusakan, dan perambahan) dan dari laut (abrasi dan pencemaran). Indikasi peningkatan tekanan terhadap ekosistem mangrove Muara Angke adalah meningkatnya kandungan logam berat, detergen, banjir akibat air pasang (rob), salinitas air yang mendekati air tawar pada beberapa lokasi, dan penurunan keanekaragaman hayati. Kondisi
sosial
ekonomi
masyarakat
di
wilayah
pesisir
juga
memprihatinkan, dikarenakan lahan untuk bermukim dan bekerja terbatas. Pertumbuhan penduduk meningkat dan telah mencapai tingkat kepadatan
169
penduduk yang tinggi (8.451 jiwa/km2). Sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke adalah pendatang yang bermukim secara berkelompok dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah, terkecuali yang bermukim pada perumahan elit (Pantai Indah Kapuk). Pada umumnya penduduk bekerja sebagai buruh, pedagang informal, jasa angkutan, dan pegawai rendahan. Tingginya tingkat perputaran uang dan aktivitas ekonomi serta luasnya skala pelayanan aktivitas ekonomi ternyata belum mampu meningkatkan tingkat sosial ekonomi masyarakat setempat sehingga pada akhirnya dapat berpengaruh pada kondisi sosial masyarakat. Di lain pihak, kawasan mangrove Muara Angke semakin menarik bagi pertumbuhan pemukiman modern, bisnis, tempat wisata alam dan rekreasi, sehingga berlangsung usaha-usaha reklamasi pantai yang apabila tidak dilaksanakan dengan hati-hati, dapat mengancam keberlanjutan ekosistem mangrove. Sebagai upaya untuk mendapatkan solusi optimal terhadap dampak yang ditimbulkan maka perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep tersebut perlu diterapkan dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, agar pelaksanaan program pengelolaan pada masa mendatang dapat terjamin keberlanjutannya. Dalam kerangka pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke-Jakarta yang berkelanjutan, maka kriteria-kriteria keberlanjutan perlu diperhatikan yaitu kawasan yang berkelanjutan seharusnya tidak menggunakan sumberdaya lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk melakukan subtitusi, tidak menghasilkan polusi lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk menetralisir secara alami, terjadi peningkatan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi kesenjangan dan potensi konflik, serta melibatkan patisipasi semua stakeholder. Penelitian ini dilakukan analisis untuk menilai keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Untuk keperluan tersebut dilakukan analisis terhadap kawasan mangrove Muara Angke dengan menggunakan model multi dimensional scalling (MDS). Dalam model multi dimensional scalling dimaksud, penilaian dilakukan terhadap outcome dari pelaksanaana kebijakan dan bukan
170
output pelaksanaan kebijakan (Fauzi dan Anna 2005). Sehingga untuk mengevaluasi outcome dari kinerja kebijakan memerlukan waktu sedikitnya 5 tahun khususnya yang terkait dengan aspek lingkungan hidup dan sosial. Nilai indeks keberlanjutan pada penelitian ni diperoleh dari penilaian terhadap semua atribut yang tercakup dalam lima dimensi (ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi).
6.2
Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Muara Angke Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholders dan pakar disepakati 51
atribut yang tersebar dalam lima dimensi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Penilaian status keberlanjutan didasarkan pada ke-51 atribut tersebut melalui data dan pendapat stakeholder.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum berkelanjutan. Dari lima dimensi yang dianalisis untuk menentukan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta, menunjukkan bahwa semua dimensi atau lima dimensi tergolong tidak berkelanjutan (skor < 75) yakni dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan dimensi teknologi. Dimensi ekologi dengan 11 atribut memiliki skor 45,5 tergolong tidak berkelanjutan. Teridentifikasi adanya beberapa kondisi sebagai berikut: (1). Tingkat pencemaran air yang semakin meningkat atau menurunya kualitas air pada kawasan mangrove dan perairan sekitarnya. Kandungan logam berat (Hg, Pb, dan Cr) pada badan air Sungai Angke, Cengkareng Drain, Sungai Tanjungan, dan Sungai Kamal telah melebihi baku mutu kualitas air. Kondisi logam berat yang melebihi baku mutu kualitas air bukan merupakan faktor yang mematikan bagi pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove, namun dalam jangka panjang akan membahayakan bagi kehidupan biota air dan manusia yang mengkonsumsinya (2). Pencemaran limbah padat (sampah rumah tangga dan industri) yang dibuang melalui Sungai Angke, Cengkareng Drain, dan Sungai Kamal telah menimbulkan sedimentasi (tumpukan sampah) yang dapat mengganggu pertumbuhan komunitas mangrove melalui penutupan akar nafas oleh sampah plastik dan sampah rumah tangga lainnya. Di samping itu penumpukan
171
sampah di sepanjang pantai, lantai hutan dan pinggir sungai dapat menghambat terjadinya regenerasi komunitas mangrove (3). Pemanfaatan sumberdaya mangrove yang tidak bertanggung jawab sampai sekarang masih terjadi, yakni: penebangan kayu, pembuangan cangkang kerang hijau pada kawasan mangrove, pemanfaatan sebagian lahan untuk parkir perahu, perbaikan kapal juga menjadi indikasi bahwa tekanan terhadap keberadaan ekosistem mangrove semakin meningkat (4). Rencana reklamasi Teluk Jakarta untuk kawasan perkantoran atau bisnis juga dinilai merupakan ancaman bagi keberlanjutan kawasan mangrove Muara Angke. Demikian rencana pembangunan Jalan Rel Kereta Api dari stasiun Manggarai-Bandara Soekarno Hatta dapat memberikan pengaruh ekologi terhadap kondisi ekosistem mangrove (5). Dampak pemanasan global (Global Warming) telah dirasakan dengan semakin meningkatnya intensitas kejadian banjir air pasang (rob) dan semakin tingginya genangan pada beberapa lokasi, serta interusi air laut yang semakin menuju daerah hulu. Dimensi ekonomi dengan 12 atribut memiliki skor 58,0 tergolong tidak berkelanjutan. Hal ini diindikasikan masih kurangnya anggaran pemerintah, belum dimanfaatkan potensi dana CSR secara optimal, serta aksesibilitas menuju kawasan mangrove masih baik. Dibangunnya kawasan Pantai Indah Kapuk beserta fasilitas pendukungnya (lapangan golf, Fresh Market, restoran, rumah sakit, dan perkantoran) telah mendorong masyarakat sekitar dan pendatang untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja dan memanfaatkan peluang berusaha yang tersedia. Namun demikian keberadaan kawasan mangrove belum dijadikan aset yang dapat memberikan nilai tambah dalam pembangunan perumahan Pantai Indah Kapuk dan lebih diposisikan sebagai faktor penghambat atau kelemahan (gangguan satwaliar, adanya binatang buas, dan tempat yang kotor dan bau). Dimensi sosial dengan 10 atribut memiliki skor 55,1 tergolong tidak berkelanjutan. Hal ini dikarenakan masih rendahnya partisipasi pengelolaan masyarakat, kesadaran masyarakat masih kurang dan potensi perhatian peneliti belum dimanfaatkan. Walaupun jumlah petani kerang hijau sangat banyak, namun
172
kesadaran memahami manfaat dan fungsi mangrove dalam mendukung budidaya kerang hijau masih kurang. Demikian pula tingkat pendidikan masyarakat setempat mayoritas SLTP dan SLTA, frekuensi pertemuan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan kawasan mangrove masih rendah, dan dukungan serta kesadaran masyarakat meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove masih kurang. Masyarakat sekitar (Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Kapuk Muara) pada umumnya berpatisipasi dalam kegiatan penanaman dan pertemuan kalau terdapat dana transportasi atau upah. Budaya kota metropolitan telah mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat untuk selalu mengukur segala aktivitas dengan materi atau harus ada imbalan. Hal ini menjadi faktor penghambat dalam meningkatkan kapasitas pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan. Dimensi kelembagaan dengan 9 atribut memiliki skor 41,8 tergolong tidak berkelanjutan dan merupakan dimensi dengan skor paling rendah. Hal ini dikarenakan kondisi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih sendirisendiri atau belum sinergis di antara para pihak yang terkait dengan pengelolaan kawaan mangrove. Pada kawasan mangrove 478 ha terdapat 7 (tujuh) pihak yang terkait langsung dalam pengelolaan, yaitu: (1) Dinas Kelautan dan Pertanian, (2) Balai Konservasi Sumberdaya Alam, (3) PT. Murindra Karya Lestari, (4) Litbang Kementrian Kelautan dan Perikanan, (5) Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, (6) PT. Kapuk Naga Indah dan Group, dan (7) masyarakat pemilik lahan tambak. Masing-masing pihak memiliki rencana pengelolaan sendiri (Rencana Pengelolaan Hutan Lindung, LDTI, Suaka Margasatwa, dan Hutan Wisata) serta lahan Tambak Penelitian Kementrian Kelautan dan Perikanan. Posisi PT. Kapuk Naga Indah dan Group cukup penting dalam mewujudkan pengelolaan mangrove berkelanjutan karena memiliki tanggung jawab dalam revitalisasi Hutan Lindung dan dapat berperan dalam menunjang aksesibilitas kawasan, pengawasan, dan monitoring kawasan mangrove Muara Angke. Sedangkan otoritas pengelolaan lahan tambak milik masyarakat berada pada pemiliknya masing-masing dan tidak ada kaitan dengan pengelolaan kawasana mangrove di sekitarnya. Beberapa upaya untuk menyatukan rencana pengelolaan dan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum menunjukkan hasil,
173
sehingga hal ini yang menyebabkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum optimal. Beberapa faktor penyebab belum terwujudnya kesatuan pengelolaan tersebut adalah ego sektor masing-masing pihak, ketakutan kehilangan peran (bagi instansi pemerintah), meningkatnya beban biaya pengelolaan (bagi swasta), dan ketidakmandirian dalam mengelola lahan miliknya, serta menurunya hasil yang diperoleh. Dengan kata lain belum adanya kelembagaan pengelolaan yang menyatukan kawasan mangrove Muara Angke (478 ha) atau koordinasi pengelolaan yang masih lemah, sinergi program di antara pemangku kepentingan yang masih minim, serta belum menyatunya visi dan strategi pengelolaan mangrove di antara para pihak, telah mendorong tidak berkelanjutannya dimensi kelembagaan dalam pengelolaan mangrove Muara Angke. Dimensi teknologi dengan sembilan atribut memiliki skore 56,6 tergolong tidak berkelanjutan. Teridentifikasi belum memadainya penggunaan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya mangrove, belum memadainya teknologi penanggulangan abrasi, dan sedimentasi (pengurangan sampah dan pencemaran air). Walaupun teknologi rehabilitasi mangrove telah tersedia (teknik penanaman dengan sistem guludan pada genangan dalam, penanaman dengan sistem menggantung pada lumpur yang dalam, dan penanaman dengan bibit dan buah), namun teknologi ini belum mampu mengurangi ancaman yang dapat menekan faktor-faktor dan intensitas ancaman terhadap ekosistem mangrove Muara Angke. Demikian pula teknologi penanggulangan abrasi pantai sudah tersedia, namun belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini dikarenakan belum adanya keterpaduan program di antara pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku pengelolaan kawaan mangrove Muara Angke. Dalam hal status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke disajikan pada Gambar 26.
174
Ekonomi
Teknologi
100.0 80.0 60.0 40.0 56.6 20.0 45.5
Ekologi
58.0
Sosial 55.1 41.8
Kelembagaan
Gambar 26 Status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta. Berdasarkan analisis dari lima dimensi yang menentukan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, teridentifikasi bahwa ketidakberlanjutan pengelolaan lebih banyak dipengaruhi oleh lemahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan di antara sektor (lembaga) yang diserahi tanggung jawab pengelolaan, yaitu: Dinas Pertanian dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta, BPLHD (Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah) DKI Jakarta, dan Litbang Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Di
samping itu juga disebabkan oleh tingginya tekanan lingkungan yang berupa: abrasi dan sedimentasi, pencemaran limbah cair dan limbah padat (sampah), banjir pasang (rob), dan interusi air laut. Hal ini didukung oleh skor dimensi kelembagaan (41,8) dan dimensi ekologi (45,5) yang paling rendah di antara dimensi sosial, ekonomi, dan teknologi. Konversi kawasan hutan mangrove Muara Angke (831,63 ha) didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 097/Kpts-II/88 tanggal 9 Februari 1988 tentang Pelepasan Kawasan hutan Angke Kapuk seluas 831,63 ha di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang
175
ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Kebijakan konversi kawasan hutan yang prosesnya dimulai sejak tahun 1977 telah melibatkan Presiden, Gubernur, Menteri Penertiban Aparatur Negara, Dirjen Kehutanan atau Menteri Kehutanan, dan Swasta (PT. Mandara Permai). Pembangunan Kawasan Kapuk Angke digagas oleh Pemerintah DKI, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985 bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke Kapuk yang terbengkalai untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Perjanjian kerjasama pembangunan pengembangan tanah Kawasan Hutan Angke-Kapuk di DKI Jakarta, yang isinya antara lain: a.
Peruntukan lahan 50 % dari luas kawasan hutan (581,24 ha) dapat dikembangkan
b.
Kewajiban pihak PT. Mandara Permai untuk membayar biaya penyediaan prasarana (sebagai presentase dari luas yang akan dikembangkan 831,63 ha) yang menghubungkan kawasan dengan areal luarnya, sementara biaya pembangunan prasarana di dalam tapak seluruhnya menjadi beban dan tanggung jawab pihak PT. Mandara Permai (PT. Metropolitan Kencana Group). Di samping itu PT. Mandara Permai berkewajiban mengganti kawasan hutan (831,63 ha), dan telah dilakukan tukar menukar lahan seluas 1.654 ha yang terletak di Kepulauan Seribu (39 ha), Kec. Rumpin-Kab. Bogor (75 ha), Kec.Nagrek-Kab. Sukabumi (350 ha) dan di Kecamatan Sukanagara dan Campaka-Kab.Cianjur seluas 1.190 ha. Pasca konversi kawasan hutan mangrove Muara Angke yang menyisakan
327,7 ha kawasan hutan dan 150,3 ha lahan tambak, belum mampu merubah kondisi lingkungan hutan mangrove. Hal ini dapat dilihat dari kondisi hutan mangrove Muara Angke periode 1995-1998, yang ditunjukkan masih banyaknya lahan tambak dan kondisi hutan yang kurang terawat. Perubahan Undang-undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menjadi UndangUndang N.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mendorong peran pemerintah daerah dalam mengelola
176
kawasan hutan. Demikian pula kebijakan di Kehutanan (Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Kawasan Hutan) telah mendorong upaya pengelolaan hutan lebih intensif. Namun demikian terkait dengan kawasan hutan konservasi, kewenangan pengelolaan masih dipegang Pusat atau dikelola oleh Unit Pusat yang ada di daerah, seperti BKSDA. Oleh karena itu kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih berjalan masing-masing (Dinas Pertanian dan Kelautan, dan BKSDA
DKI
Jakarta),
dan
hal
inilah
yang
mempengaruhi
status
ketidakberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove. Parameter statistik digunakan untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke adalah nilai stress dan koefisien determinasi (r2). Kedua parameter ini untuk setiap dimensi berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut, sehingga dapat mencerminkan dimensi yang dikaji mendekati kondisi sebenarnya. Nilai stress dan r2 hasil analisis MDS disajikan pada Tabel 58.
Tabel 58
Hasil analisis MDS beberapa parameter statistik keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
Nilai Statistik Stress r
2
Jumlah Interaksi
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Kelembagaan
Teknologi
0,13
0,13
0,13
0,13
0,13
0,95
0,95
0,95
0,95
0,95
2
2
2
2
2
Berdasarkan Tabel 58, setiap dimensi maupun multidimensi memiliki nilai stress yang lebih kecil dari 0,25. Nilai tersebut menyatakan bahwa nilai stress pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai. Karena semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (r 2), kualitas hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1). Dengan demikian kedua parameter (nilai stress dan r2) menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke sudah cukup baik dalam menerangkan kelima dimensi
177
pengelolaan yang dianalisis (ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi). Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total maupun masingmasing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis yang berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis (EPA 1997). Mekanisme untuk mendapatkan solusi tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Analisis
Monte
Carlo
sangat
membantu
dalam
analisis
indeks
keberlanjutan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masing-masing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukan data atau ada data yang hilang, dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total (multi dimensi) maupun nilai indeks masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 59, dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke pada selang kepercayaan 95 % memberikan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis MDS. Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: (1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil, (2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, (3) proses analisis yang dilakukan secara berulangulang stabil, dan (4) kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari.
178
Tabel 59 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan dan masingmasing dimensi pengelolan kawasan mangrove Muara Angke Status Indeks
Hasil MDS
Hasil Monte Carlo
Perbedaan
Dimensi Ekologi
45,46
45,37
0,09
Dimensi Ekonomi
57,97
57,79
0,18
Dimensi Sosial
55,07
55,23
-0,16
Dimensi Kelembagaan
41,79
41,67
0,12
Dimensi Teknologi
56,62
56,52
0,10
Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada Tabel 59 menunjukkan bahwa analisis menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa metode yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara sistemik, cepat, objektif, dan terkuantifikasi keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove di suatu wilayah.
6.3
Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pengelolaan Mangrove Muara Angke
6.3.1
Dimensi Ekologi Pengelolaan dimensi ekologi kawasan mangrove Muara Angke perlu
dilakukan dengan memperhatikan atribut yang menjadi faktor pengungkit, guna efisiensi, dan efektivitas pengelolaan. Terdapat 11 (sebelas) atribut yang menentukan keberlanjutan dimensi ekologi kawasan mangrove Muara Angke dan empat di antaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (root mean square) dengan nilai di atas nilai tengah (>1,5). Atribut ekologi yang merupakan faktor pengungkit adalah abrasi pantai, pencemaran air, fungsi konservasi menurun, dan sedimentasi disajikan pada Gambar 28. Kondisi kawasan pesisir DKI Jakarta atau Kota Jakarta Utara dengan jumlah dan kepadatan penduduk tinggi (6.748 jiwa/km 2 - 23.529 jiwa/km2), keterbatasan lahan, dan laju pembangunan yang tinggi menyebabkan menurunnya daya dukung dan kualitas lingkungan. Sebagaimana pada kawasan mangrove Muara Angke, kualitas lingkungan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
179
Pada tahun 1936-1980 belum terjadi abrasi pantai, namun terjadi akresi pantai atau penambahan garis pantai 1 m/tahun. Namun sejak dibangunya jetti di sisi Barat Sungai Angke tahun 1980 telah mendorong terjadinya abrasi pantai 19 25 m/tahun. Berdasarkan survei lapang, responden yang mengalami gangguan abrasi adalah masyarakat nelayan di Kelurahan Kamal Muara (60 %), Penjaringan (36 %), Kapuk Muara (27 %), dan Kelurahan Pluit (25 %). Sedangkan gangguan berupa banjir pasang (rob) hampir > 90 % seluruh responden di lima kelurahan (Penjaringan, Tegal Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk Muara) mengalaminya, serta gangguan berupa interusi air laut yang tertinggi (100 % responden) terjadi di Kelurahan Penjaringan dan Kamal Muara. Berdasarkan kajian perubahan garis pantai terhadap Cita Satelit TM dan Foto Udara kawasan manrove Muara Angke, sejak tahun 1984 sampai 2010 telah terjadi abrasi pantai yang telah menyebabkan mundurnya garis pantai atau hilangnya lahan pantai seluas 59,09 ha. Lokasi abrasi pantai sebagian besar terjadi di sebelah barat muara Sungai Angke dan Cengkareng Drain, dan yang paling parah berada disekitar Kamal Muara. Kejadian akresi atau sedimentasi (penambahan daratan) terjadi pada beberapa lokasi, khususnya di di bagian barat muara Sungai Angke dan muara Cengkareng Drain yang telah menambah lahan daratan seluas 42,85 ha. Namun demikian fenomena abrasi dan akresi ini telah mengurangi lahan pantai (defisit) seluas 16,14 ha. Perubahan garis pantai kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai 2010 seperti pada Tabel 60 dan Gambar 27.
Tabel 60 Luas perubahan garis pantai kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai tahun 2010 No
Perubahan Garis Pantai (Ha)
Garis Pantai
Abrasi (Ha)
Akresi/Sedimentasi (Ha)
1
Tahun 1984-1989
26,00
-
2
Tahun 1989-1994
8,50
4,80
3
Tahun 1994-2001
13,70
18,21
4
Tahun 2001-2006
1,58
11,46
5
Tahun 2006-2010
9,31
8,38
Jumlah 59,09 Sumber : Data primer hasil analisis foto udara dan Citra Satelit (1984-2010)
42,85
180
Gambar 27 Perubahan garis pantai pada kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai tahun 2010. Terdapat 4 (empat) sungai yang mengalir menuju kawasan mangrove Muara Angke, yaitu: Sungai Angke (Kali Adem), Cengkareng Drain, Kali Tanjungan, dan Sungai Kamal. Sungai-sungai tersebut membawa bahan pencemar berupa limbah cair (limbah rumah tangga, industri, restoran, hotel, dan pabrik) dan limbah padat (mayoritas sampah rumah tangga) menuju kawasan Muara Angke. Produksi sampah Kota jakarta (tahun 2007) mencapai 6.000 ton/hari. Produsen sampah terbesar adalah rumah tangga (58 %), industri (15 %), jalan dan taman (15 %), PD Pasar Jaya (7,5 %), dan pasar temporer (5,5 %). Persentase sampah organik (65,05 %) dan sampah non organik (plastik, sterofom, dan besi) 34,95 % (Aquan H 1997). Pada tahun 2009, jumlah sampah DKI Jakarta 26.945 m3/hari dan diprediksi meningkat 5 % per tahun. Kondisi pengelolaan sampah masih belum optimal, dikarenakan penerapan 3R di sumber atau lokasi penghasil sampah belum optimal. Masih bercampurnya sampah dengan limbah B3 rumah tangga, tingkat pengangkutan yang baru mencapai 91,51 % dan kurangnya fasilitas pengolahan sampah Jakarta.
181
Hasil pemantauan KP2L Pemda DKI (1998) yang hanya menemukan ikan sapu-sapu (Hypotamus sp.) pada perairan Sungai Angke, serta hasil analisis air dengan kadar oksigen nol, BOD 442,25 - 499,57 ppm dan COD 666,68 - 761,92 ppm. Sedangkan baku mutu air golongan B, C, dan D mensyaratkan kadar O 2 > 3 ppm, BOD < 20 ppm, dan COD < 30 ppm. Di samping itu kandungan logam berat dalam tanah di kawasan SMMA (Pb 0,053 ppm; Cu 1,848 ppm; dan Hg 0,034 ppm), kawasan Hutan lindung (Pb 0,053 ppm; Cu 3,140 ppm; dan Hg 0,063 ppm), dan pada kawasan Hutan Wisata (Pb 0,053 ppm; Cu 3,61 ppm; dan Hg 0,018 ppm).
Leverage of Attributes: Ekologi Potensi karbon Sedimentasi pantai Fungsi konservasi
Sanitasi lingkungan
Attribute
Pemanfaatan air tanah Pemanfaatan kawasan wisata Pemanfaatan lahan tambak Pencemaran perairan
Abrasi pantai Penjerap dan pengurai polutan Tekanan lahan mangrove 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 28
4
Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
Pemeliharaan sungai dan drainase kota masih belum optimal, sehingga masih ditemukan kawasan rawan banjir dan genangan air, terutama saat air pasang (banjir atau rob). Akibat penumpukan sampah rumah tangga di bagian muara sungai dan sungai, telah mengurangi daya tampung sungai dalam pengaliran air. Di samping itu masalah pengendalian banjir berkaitan dengan penyediaan sarana prasarana (polder, drainase, dan sebagainya).
182
6.3.2 Dimensi Ekonomi Dimensi ekonomi memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena < 75,0. Dengan demikian pengelolaan dimensi ekonomi kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat 12 atribut dimensi ekonomi yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat 3 atribut yang merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 3,0), yaitu anggaran pemerintah untuk pengelolaan mangrove, dukungan dana CSR dan aksesibilitas kawasan. Secara visual disajikan pada Gambar 29. Kebutuhan anggaran pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke bersumber dari APBN (Pemerintah Pusat dan Kementrian Kehutanan) dan APBD (Pemda Propinsi DKI Jakarta). Kondisi saat ini belum tercapai kecukupan anggaran untuk kegiatan pengelolaan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan kondisi sarana prasarana pengelolaan, sumberdaya manusia, pelayanan pengelolaan, pemeliharaan kawasan, dan koordinasi pengelolaan masih belum optimal dan masih perlu banyak anggaran untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat Jakarta tentang fasilitas pendukung pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Ketimpangan antara kondisi pengelolaan saat ini dengan tuntutan konsumen (masyarakat DKI Jakarta) tentang performa “Kawasan Ekowisata Mangrove Muara Angke” atau Kawasan Hijau Lindung Mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam masih tinggi. Oleh karena itu anggaran APBN dan ABPD yang ada saat ini perlu ditingkatkan lagi, termasuk peranserta pihak swasta dalam mendukung pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan. Dukungan dana CSR (Corporate Social Responsibility) di wilayah Propinsi DKI jakarta cukup tinggi.
Sejak tahun 1999, kegiatan rehabilitasi
mangrove banyak bersumber dari dana CSR (Standard Chartered Bank, City Bank, Bank Mandiri, Pertamina, PT. Aneka Tambang, PT. PLN, PT. Kapuk Naga Indah, dan sebagainya). Sampai saat ini dukungan masih terus mengalir, namun karena tidak adanya perencanaan terpadu terhadap pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, maka potensi dana CSR tersebut belum terserap semua.
183
Aksesibilitas kawasan mangrove Muara Angke masih perlu ditingkatkan, terutama terhadap kinerja pengelola kawasan pemukinan Pantai Indah Kapuk (PIK). Posisi kawasan mangrove Muara Angke berada di pinggiran kawasan pemukinan PIK, dan untuk menuju ke lokasi harus melalui jalan perumahan PIK. Oleh karena itu kerjasama pengelolaan dalam upaya meningkatkan aksesibilitas kawasan mangrove perlu dilakukan melalui sarana koordinasi kelembagaan pengelolaan terpadu. Hasil penelitian terhadap nilai manfaat langsung sumberdaya mangrove Muara Angke hanya 19,1 % atau Rp. 19.103.256.000,-/tahun yang termasuk rendah dibandingkan dengan nilai manfaat tidak langsung sebesar 80,03 % atau Rp. 80.033.690.876,-/tahun. Nilai manfaat langsung sumberdaya mangrove di Batu Ampar, Kalimantan Barat sebesar 47,13 % atau Rp. 45.065.299.450,-/tahun dan nilai manfaat tidak langsung sebesar 39,40 % atau Rp. 37.670.116.800,/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa nilai manfaat langsung kawasan mangrove Muara Angke perlu ditingkatkan, agar masyarakat sekitarnya merasakan dan mendukung upaya pengelolaannya. Status kawasan mangrove sebagai Hutan Lindung, Hutan Konservasi (Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Wisata) tidak ada larangan untuk dikembangkan nilai manfaatnya terutama untuk kegiatan wisata alam. Bahkan kerjasama dengan pihak ketiga (swasta) dalam pemanfaatan kawasan mangrove (hutan lindung dan hutan konservasi) telah diberikan payung hukum dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2007 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan Hutan, dan Kawasan Hutan. Pada saat ini kegiatan pemanfaatan Hutan Wisata yang dilakukan Pihak PT. Murindra Karya Lestari untuk kegiatan pariwisata alam (ekowisata) belum optimal, dikarenakan belum seluruhnya fasilitas pendukung dan sarana prasarana disiapkan. Sedangkan pada kawasan hutan lindung dan hutan Suaka Margasatwa Muara Angke masih belum dilakukan secara profesional (sarana prasarana, fasilitas pendukung, sumberdaya manusia, kelembagaan, administrasi pelayaanan, dsb), dan hal ini yang menyebabkan rendahnya jumlah sektor informal dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove masih rendah.
184
Leverage of Attributes: Ekonomi Manfaat langsung mangrove Rerata penghasilan terhadap UMR Aksesibilitas kawasan mangrove Jumlah penduduk miskin Attribute
Penyerapan tenaga kerja Daya beli masyarakat Manfaat tidak langsung Anggaran pemerintah untuk… Persentase pendapatan … Jumlah pengunjung wisata alam
Dukungan dana CSR Jumlah sektor informal 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 29
6.3.3
Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
Dimensi Sosial Indek keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena < 75,0.
Dengan demikian pengelolaan dimensi sosial kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat 10 atribut dimensi sosial yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat tiga atribut yang merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 3,0), yaitu partisipasi pengelolaan, keadaran masyarakat dan perhatian peneliti. Secara visual disajikan pada Gambar 30. Secara administratif kawasan mangrove Muara Angke terletak pada wilayah Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk Muara, dan Kelurahan Pluit.
185
Jumlah penduduk Kamal Muara 8.960 jiwa dengan kepadatan 8 jiwa/ha, mata pencaharian terbesar adalah nelayan atau tani 3.165 jiwa dan buruh 1.771 jiwa. Penduduk
Kelurahan
Pluit
(46.760
jiwa),
sebagian
besar
bermatapencaharian sebagai karyawan atau PNS atau ABRI (13.836 jiwa), pedagang (10.945 jiwa), dan nelayan (2.689 jiwa). Tingkat pendidikan sebagian besar tamat SLTP (10.516 jiwa) dan SLTA (12.987 jiwa) dan lulusan akademi atau perguruan tinggi (5.206 jiwa). Kelurahan Kapuk Muara mempunyai jumlah penduduk 23.522 jiwa dengan kepadatan 23 jiwa/ha, mayoritas (75 %) bermatapencaharian sebagai buruh atau karyawan swasta 15.339 jiwa dan tani atau nelayan hanya 33 jiwa. Kegiatan masyarakat yang berhubungan langsung dengan hutan lindung adalah sebagai nelayan, pencari bibit mangrove, penyedia bibit dan penanaman mangrove, pencari ikan (mancing dan menjala), berekreasi dengan memancing, dan pemulung plastik. Partisipasi masyarakat sekitar dalam kegiatan pengelolaan mangrove pada umumnya bermotif ekonomi, seperti pengumpulan buah mangrove (propagule), pembibitan dan kegiatan penanaman. Partisipasi yang sifatnya sukarela hampir tidak ada, dikarenakan pola hidup dan tuntutan hidup masyarakat di sekitar kawasan mangrove untuk dapat melangsungkan kehidupanya harus memiliki uang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan peningkatan peranserta masyarakat yang pernah dilakukan LPP Mangrove sejak tahun 1996, dengan membina Karang Taruna Kelurahan Kamal Muara dapat berjalan selama ada pendampingan. Namun setelah selesai kegiatan pendampingan, peranserta aktif dalam pengelolaan mangrove tidak berlanjut. Pemberdayaan ekonomi dengan memberikan modal usaha budidaya kerang hijau dapat berjalan, karena memberikan keuntungan ekonomi. Sejak tahun 1996 sampai tahun 2009 telah banyak dilakukan kegiatan peningkatan peranserta masyarakat, yaitu: (1) Penyuluhan dan pelatihan rehabilitasi mangrove, (2) Pelatihan interpreter pendidikan lingkungan di kalangan Guru SLTP, pemuda atau LSM, dan Pramuka Sakawana Bhakti, (3) Pendidikan lingkungan tingkat Sekolah Dasar, SLTP, dan SLTA, (4) Kegiatan penanaman dan pemeliharaan mangrove, (5) Kegiatan pembuatan pembibitan, dan
186
(6) Pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sumber pendanaan berasal dari APBN, APBD, dan swasta dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility). Kegiatan penanaman yang melibatkan stakeholder (pelajar, mahasiswa, perguruan tinggi, dan swasta) antara tahun 2007 sampai tahun 2010 tidak kurang telah dilakukan 30 kegiatan penanaman dengan dana sepenuhnya dari stakeholder tersebut. Dengan kata lain minat stakeholder, terutama pihak swasta untuk meningkatkan kualitas lingkungan kawasan mangrove Muara Angke sangat tinggi. Hanya saja kondisi tersebut belum didukung dengan kesiapan dalam Rencana Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang terpadu (Hutan Lindung, Hutan Wisata, Suaka Margasatwa, LDTI, lahan tambak KKP, dan lahan tambak milik masyarakat). Potensi peranserta stakeholder (swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat) yang tinggi tersebut akan lebih efektif dan efisien dalam mewujudkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan, apabila tersedia perencanaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang tepadu. Masyarakat sekitar, terutama kelompok nelayan telah menyadari bahwa dampak pemanasan global telah terjadi, seperti: meningkatnya abrasi pantai, gelombang pasang (rob), interusi air laut, dan tinggi gelombang yang mengganggu dalam penangkapan ikan. Oleh karena itu kesadaran masyarakat (terutama nelayan) tentang fungsi mangrove dalam mencegah abrasi pantai cukup tinggi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir 98 % responden pernah mengalami banjir (rob), dengan frekwensi paling banyak lebih dari enam kali (58 %). Dengan demikian banjir di wilayah penelitian cukup sering terjadi dan wilayah yang paling sering terkena banjir adalah Kelurahan Kamal Muara, dimana 100 responden yang berasal dari kelurahan tersebut terkena banjir lebih dari enam kali dalam 10 tahun terakhir. Sedangkan Kelurahan Kamal Muara, Penjaringan, Kapuk Muara, dan Pluit yang merasakan dampak gangguan abrasi pantai, serta semua wilayah Kelurahan mengalami banjir pasang (rob). Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa bentuk peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih sebatas tenaga kerja, belum bersedia mengalokasikan dana. Namun khusus masyarakat yang tinggal di Perumahan Pantai Indah Kapuk, bersedia mengalokasikan dana untuk membantu pengelolaan kawasan mangrove. Biasanya
187
kelompok masyarakat yang tergabung dalam Umat Budha Tsu Chi melakukan ritual secara rutin dalam bentuk melepaskan binatang di kawasan mangrove Muara Angke. Nilai sosial keberadaan mangrove Muara Angke cukup tinggi di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Hal ini didasarkan atas potensi permintaan kegiatan pendidikan lingkungan dan penelitian yang dapat dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa. Jumlah perguruan tinggi dan akademi di seluruh wilayah DKI Jakarta tidak kurang 174 buah, dengan jumlah mahasiswa 618.520 orang, jumlah SLTA 1.513 buah dengan jumlah siswa 657.628 pelajar, jumlah SLTP 1.044 buah dengan jumlah siswa 402.298 orang, jumlah SD 3.179 buah dengan jumlah siswa 834.753 orang. Jumlah mahasiswa dan pelajar tersebut merupakan potensi pasar potensial bagi kegiatan pendidikan lingkungan di wilayah DKI Jakarta.
Leverage of Attributes: Sosial Resistensi kebijakan Frekuensi pertemuan Perhatian peneliti Attribute
Dampak sosial Konflik sosial Partisipasi pengelolaan Kesadaran masyarakat Pendidikan masyarakat RT Pemanfaat sumberaya 0
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 30
Atribut sosial yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
188
Di samping itu perhatian peneliti perlu ditingkatkan, baik peneliti dari Perguruan Tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pelajar dan mahasiswa. Potensi perhatian peneliti di wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (JABOTABEK) cukup tinggi, namun sarana prasarana pendukung masih belum menunjang. Sebagai contoh: dalam pengurusan ijin penelitian, harus mengurus ke kantor BKSDA di Salemba atau Dinas Kelautan dan Pertanian. Apabila kantor pengelola berada di lokasi (Muara Angke), maka akan memudahkan dalam pelayanan. Demikian pula pengelolaan data dan informasi hasil-hasil penelitian yang sampai sekarang masih belum berjalan.
6.3.4 Dimensi Kelembagaan Indek keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena skor < 75,0. Dengan demikian pengelolaan dimensi kelembagaan kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat sembilan atribut dimensi kelembagaan yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat tiga atribut yang merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 3,0), yaitu komitmen pemerintah daerah, keterpaduan program, legalitas kawasan dan peraturan. Secara visual disajikan pada Gambar 31. Status kawasan mangrove Muara Angke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta sebagai Kawasan Hijau Lindung sejak tahun 1985 sampai sekarang. Di samping itu keberadaan kawasan mangrove Muara Angke masih tetap dipertahankan dalam rencana Reklamasi Pantai. Namun demikian komitmen pemerintah daerah tidak cukup hanya mempertahankan status dan keberadaan, namun sangat penting peranya apabila komitmen Pemda DKI Jakarta terus ditingkatkan khususnya dalam upaya meningkatlan kualitas lingkungan dan nilai manfaatnya. Komitmen Pemda DKI Jakarta yang perlu ditingkatkan antara lain: (1) Alokasi anggaran APBD, (2) Kebijakan penetapan kawasan mangrove dalam satu kesatuan pengelolaan terpadu atau membuat usulan perubahan status menjadi Taman Hutan Raya, (3) Kebijakan memasukkan kurikulum pendidikan
189
lingkungan dengan penetapan lokasi kegiatan berada di kawasan mangrove Muara Angke, (4) Mendorong peran swasta dalam peningkatan kualitas pengelolaan mangrove Muara Angke, (5) Membangun sarana prasarana pengelolaan yang memadai, (6) Meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga, dan (7) Melakukan penegakan hukum terhadap para pihak yang melanggar peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan. Keterpaduan program sampai saat ini belum terwujud, dikarenakan masing-masing pihak pengelola kawasan (Hutan Lindung, Hutan Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, LDTI, lahan tambak KKP dan lahan tambak milik masyarakat) memiliki program dan rencana kegiatan. Oleh karena itu perlu dilakukan sinergi dan integrasi visi dan misi, progam dan kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Pihak Dinas Pertanian dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta telah beberapa kali bermaksud menyatukan pengelolaan kawasan mangrove terpadu, namun beberapa seminar, lokakarya, dan diskusi yang telah dilakukan tidak ada tindak lanjut. Dalam acara Seminar yang diselenggarakan lembaga IWF (Indonesian Wildlife Fund) di Jakarta tanggal 19 Juli 2006 telah dirumuskan enam langkah menuju terwujudnya Pengelolaan Terpadu Kawasan Lindung Mangrove, yaitu: (1) Revitalisasi Kawasan Lindung Angke Kapuk, (2) Kesatuan Pengelolaan Kawasan Lindung berupa Taman Hutan Raya (THR) Husni Tamrin atau THR Ali Sadikin, (3) Sebagai Monumen Historik DKI, Pemda DKI Jakarta harus mengelola dengan sungguh dan pendanaan cukup menjadi kawasan lahan basah untuk pendidikan pariwisata terbatas, (4) Sebaiknya dibuatkan kelembagaan independen dengan pengawasan Pemda DKI, (5) Pengelolaan Kawasan Lindung Angke Kapuk dipadukan dengan kawasan lahan basah lainnya, seperti Suaka Margasatwa Pulau Rambut dan Cagar Alam Pulau Bokor, dan (6) Pemda DKI Jakarta segera mengatur tata letak dan koridor perairan pantai. Selanjutnya dalam pertemuan yang dimotori BKSDA DKI Jakarta (tahun 2008) diusulkan perlu Pengelolaan Sabuk Hijau secara terpadu. Legalitas kawasan mangrove Muara Angke perlu ditingkatkan untuk mndukung penguatan kelembagaan pengelolaan, termasuk legalitas masing-
190
masing kawasan (pal batas, papan nama, ketepatan titik koordinat), mengingat harga kahan di Jakarta sangat mahal dan untuk mencegah terjadinya perambahan. Peraturan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih lemah dan perlu ditingkatkan dengan dukungan Peraturan Daerah atau minimal Keputusan Gubernur. Hal ini untuk memperkuat komitmen Pemda DKI Jakarta dalam mengelola kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan dan memberi nilai ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah daerah (pendapatan asli daerah). Disamping itu beberapa peraturan pendukung perlu disiapkan di tingkat lapangan, agar parapihak yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan mangrove mendukung dan memudahkan bagi pengguna atau pengunjung. LPP Mangrove dan Fakultas Kehutanan IPB juga telah banyak memfasilitasi diskusi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke terutama sebagai Pendidikan Lingkungan. Beberapa lembaga Internasional (UNESCO, UNEP, JICA, OISCA, Wetland Internasional Indonesia Program, dan Flora Fauna International) juga mendukung terwujudnya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Beberapa kegiatan penanaman mangrove juga telah menghadirkan
beberapa
pihak
yang
cukup
penting peranannya
dalam
pengambilan keputusan pengelolaan, yaitu: Menteri Kehutanan (Bpk. MS. Kaban), Menteri Kelautan dan Perikanan (Bpk. Fredy Numberi), Menteri Lingkungan Hidup (Bpk. Sony Keraf), Gubernur DKI Jakarta (Bpk. Fauzi Bowo), Duta Besar Amerika Serikat, Duta Besar Inggris, dan sebagainya. PT. Kapuk Naga Indah juga menyiapkan Yayasan Sahabat Bakau yang diketuai Ibu. Uly Sigar Rusadi, dengan maksud untuk meningkatkan kualitas mangrove Muara Angke khususnya pada lahan pantau untuk revitalisasi hutan lindung. Sampai dengan tahun 2011 telah dilakukan beberapa upaya peningkatan kualitas pengelolaan mangrove Muara Angke, terutama kegiatan penanaman mangrove dan pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Namun demikian penguatan kelembagaan pengelolaan yang mampu mangkoordinasikan perencanaan, program, dan kegiatan terpadu belum terwujud. Masalah yang dihadapi adalah lemahnya konsistensi dan belum adanya kesatuan visi dan misi pengelolaan terpadu Kawasan Hijau Lindung Mangrove Muara Angke.
191
Pilihan dalam menetapkan status pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke adalah Taman Hutan Raya. Hal ini didasarkan atas kondisi saat ini, yaitu: (1) keberadaan Hutan Lindung, Hutan Konservasi (Suaka Margasatwa, Hutan Wisata), LDTI, lahan tambak KKP dan lahan tambak masyarakat, (2) tuntutan nilai manfaat sosial dan ekonomi sebagai lokasi obyek wisata alam, pendidikan dan penelitian, (3) tuntutan nilai manfaat ekologi sebagai pelestarian ekosistem mangrove dan jasa lingkungan, serta konservasi keanekaragaman hayati, dan (4) sebagai situs ekosistem asli Jakarta untuk warisan bagi generasi mendatang. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Di dalam taman hutan raya dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.
Leverage of Attributes: Kelembagaan Penegakan hukum
Lembaga masyarakat Attribute
Kemampuan aparat Keterpaduan program Komitmen pemda Sistem pengambilan keputusan Legalitas kawasan mangrove Peraturan pengelolaan 0
2
4
6
8
10
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 31 Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
192
6.3.5 Dimensi Teknologi Indek keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena < 75,0. Dengan demikian pengelolaan dimensi teknologi kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat sembilan atribut dimensi teknologi yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat tiga atribut yang merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 3,0), yaitu teknologi rehabilitasi mangrove, penanggulangan pencemaran, dan teknologi pencegahan dan penanggulangan abrasi, banjir (rob). Secara visual disajikan pada Gambar 32.
Leverage of Attributes: Teknologi Teknologi Pencegahan… Teknologi Pencegahan banjir
Attribute
Teknologi Penanggulangan… Teknologi pemantauan… Teknologi rehabilitasi… Teknologi Pengelolaan SDAir Teknologi pengelolaan limbah Teknologi Penanggulangan… Teknologi budidaya perikanan 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 32
Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
Teknik rehabilitasi mangrove saat ini telah banyak dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke. Tujuan rehabilitasi di DKI Jakarta untuk meningkatkan fungsi lindung dan konservasi. Pada beberapa lokasi fungsi konservasi dan lindung yang seharusnya lebih banyak menonjol, tetapi pada kenyataannya di lapangan kawasan banyak berubah menjadi pertambakan liar. Dalam pelaksanaan
193
rehabilitasi, tata hubungan kerja antara berbagai stakeholder menjadi penting. Tata hubungan kerja ini termasuk hubungan vertikal maupun horizontal. Dengan koordinasi yang baik diharapkan terjadinya keterpaduan program dan tidak terjadi tumpang tindih kegiatan. Secara umum ada 2 (dua) jenis bahan tanaman di dalam kegiatan penanaman mangrove, yakni: (1) propagule dan (2) berupa bibit yang berasal dari persemaian ataupun dari alam. Pada kondisi habitat yang berbeda, memerlukan pendekatan teknologi rehabilitasi yang berbeda pada setiap lokasi. Beberapa kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke adalah: (1) Penanaman dengan sea defence di kawasan Hutan Lindung (revitalisasi hutan lindung), (2) Penanaman mangrove dengan sistem guludan (penanaman dengan teknis guludan dilakukan pada lokasi bekas tambak yang mempunyai kedalaman 1,5 m sampai 3 meter sehingga tidak memungkinkan ditanam dengan sistem langsung), (3) Penanaman dengan menggunakan bibit pohon, dan (4) Penanaman dengan menggunakan buah matang (propagule). Penanaman dengan jenis pidada (Sonneratia caseolaris) dilakukan pada kawasan SMMA, LDTI (kanan kiri jalan Tol Prof. Soedyatmo), dengan mengunakan bibit yang berasal dari Sagara Anakan Cilacap, Indramayu, dan Muara Gembong Bekasi. Ukuran bibit memiliki ketinggian > 80 cm, agar tidak tenggelam lumpur apabila ditanam. Di samping itu pada lahan dengan lumpur dalam, dilakukan penanaman dengan sistem menggantung (posisi bibit tanaman terikat pada ajir yang ditancapkan). Pertumbuhan tinggi tanaman pidada 18,5 cm/bulan - 42 cm/bulan. Pertumbuhan diameter batang 1,75 cm/bulan - 3,45 cm/bulan. Pertumbuhan akar tanaman pidada lebih baik (10-20 cm per 16 bulan) pada lingkungan berlumpur dalam (> 1 m) dibandingkan dengan pada lingkungan tanah keras. Persen tumbuh tanaman (jarak tanam 1 x 1 meter) 70 % (umur 6 bulan), 60 % (umur 1 tahun), dan 18 % (setelah umur 6 tahun). Jumlah biji buah pidada 723 biji/buah - 1768 biji/buah. Hama yang sering menyerang adalah penggerek batang dan hama ulat daun, sedangkan penyakit keriting daun sering terjadi pada kondisi kualitas air yang jelek. Penanaman dengan jenis bakau (Rhizophora apiculata, R. stylosa, dan R. mucronata) dilakukan di kawasan hutan lindung. Bibit berasal dari Kepulauan
194
Seribu, Tangerang, dan Indramayu. Kondisi pertumbuhan lebih lambat dibandingkan dengan jenis pidada. Di samping itu juga dilakukan penanaman dengan jenis tancang (Bruguiera gymnorrhiza) di kawasan SMMA dan Hutan Wisata Kamal, namun pertumbuhannya lambat. Jenis api-api (Avicennia marina) ditanam di lahan LDTI dan pada tanggul yang dibuat PT. Mandara Permai atau PT. Kapuk Naga Indah. Teknik rehabilitasi mangrove sudah cukup memadai dalam upaya meningkatkan kualitas mangrove Muara Angke. Namun demikian kegiatan rehabilitasi bukan hanya teknik menanam, tetapi yang lebih penting adalah memelihara tanaman sampai mampu tumbuh dewasa. Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa penanaman dengan jenis bakau (Rhizophora) di hutan lindung (lahan revitalisasi hutan lindung) kalah bersaing dengan jenis api-api (Avicennia marina) yang tumbuh secara alami dari biji yang dihasilkan pohon apiapi dewasa di sekitarnya. Di samping itu kegiatan pemeliharaan yang tidak dilakukan, telah menyebabkan kematian terhadap bibit pohon yang ditanam, seperti pernah terjadi di SMMA terhadap jenis tancang dan pidada yang kalah bersaing dengan tanaman gulma. Teknik penanggulangan pencemaran limbah cair masih sangat kurang dilakukan di dalam kawasan Muara Angke dan di wilayah bagian hulu Sungai Angke, Sungai Cengkareng Drain, Sungai Tanjungan, dan Sungai Kamal. Keluhan dari masyarakat nelayan dan petani kerang hijau Kelurahan kamal Muara adalah terjadinya pencemaran pada saat awal musim hujan tiba, karena limbah yang dibuang dari wilayah hulu Sungai Kamal. Banyak kerang hijau yang mati dan sulit juga untuk menangkap ikan. Hal ini sudah sejak lama terjadi, namun tindakan hukum terhadap sumber pencemar masih belum dilaksanakan. Demikian pula teknik penanggulangan pencemaran limbah padat (sampah rumah tangga) masih kurang, sehingga sampah rumah tangga terbawa aliran Sungai Angke, Sungai Cengkareng, dan Sungai Kamal telah mengganggu pertumbuhan tanaman mangrove. Teknik pengelolaan sampah pada lokasi sumber penghasil sampah rumah tangga perlu diberdayakan, agar tidak dibuang ke badan air sungai dan tidak mencemari lingkungan mangrove.
195
Apabila teknik pengendalian pencemaran limbah padat dan limbah cair dapat diterapkan di dalam kawasan mangrove Muara Angke dan wilayah hulu, maka kondisi lingkungan mangrove dapat terbebas dari bau busuk, tumpukan plastik dan kualitas air yang layak bagi hidupnya biota air dapat terwujud, dan pada akhirnya akan meningkatkan keanekaragaman hayati mangrove. Ancaman abrasi, banjir pasang (rob), dan interusi air laut semakin mengancam, akibat dampak pemanasan global. Masyarakat nelayan di Kelurahan Kamal Muara, Kapuk Muara, Penjaringan, Tegal Alur, dan Kelurahan Pluit juga semakin merasakan dampak pemansaan global ini dalam bentuk banjir pasang (rob) dan interusi air laut. Sedangkan abrasi pantai sangat dirasakan oleh nelayan Kelurahan Kamal Muara. Berdasarkan hasil analisis MDS dan pembahasannya diperoleh 16 faktor pengungkit kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan, seperti tersaji pada Tabel 61. Dalam proses pengelolaan, semua faktor tersebut harus diperhatikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas kegiatan. Secara operasional, faktor-faktor ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Namun demikian dalam proses implementasinya diperlukan pemilihan faktor yang berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan faktor lainnya yang paling tinggi, sehingga kegiatan pengelolaan kawasan mangrove dapat mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan oleh kawasan mangrove Muara Angke.
Tabel 61 Faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan untuk setiap dimensi No 1
Dimensi Ekologi
Faktor Pengungkit 1. Abrasi pantai 2. Pencemaran air 3. Fungsi konservasi menurun 4. Sedimentasi
2
Ekonomi
1. Anggaran pemerintah untuk pengelolaan mangrove 2. Dukungan dana CSR 3. Aksesibilitas kawasan mangrove
3
Sosial
1. Partisipasi pengelolaan masyarakat 2. Kesadaran masyarakat 3. Perhatian peneliti
196
Tabel 61
Faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan untuk setiap dimensi (lanjutan)
No
Dimensi
4
Kelembagaan
Faktor Pengungkit 1. Komitmen pemerintah daerah 2. Keterpaduan program 3. Legalitas kawasan mangrove
5
Teknologi
1. Teknologi rehabilitasi mangrove 2. Teknologi penanggulangan pencemaran 3. Teknologi pencegahan dan penanggulangan abrasi, banjir/rob
Faktor-faktor tersebut digunakan sebagai basis dalam perumusan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan kegiatan pembangunan kawasan mangrove Muara Angke.
6.4
Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya
dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum berkelanjutan. Hal ini terlihat dari status keberlanjutan lima dimensi, tidak ada satu pun yang memiliki skor > 75, bahkan dimensi kelembagaan memiliki skor terendah (skor = 41,8)
2.
Faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dari masing-masing dimensi adalah: ekologi (abrasi pantai, pencemaran lingkungan, fungsi konservasi menurun, dan sedimentasi), ekonomi (anggaran pemerintah untuk pengelolaan mangrove, dukungan dana CSR, dan aksesibilitas kawasan mangrove), sosial (partisipasi pengelolaan masyarakat, kesadaran masyarakat, dan perhatian peneliti), kelembagaan (komitmen pemerintah daerah, keterpaduan program, dan legalitas kawasan), dan teknologi (teknologi rehabilitasi mangrove, teknologi penanggulangan pencemaran, teknologi pencegahan, dan penanggulangan abrasi atau banjir atau rob)
197
3.
Guna mencapai pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan, maka perlu mendorong peningkatan kinerja faktor-faktor pengungkit di masa mendatang.