1 KONSEPSI MANAJEMEN PEMULIHAN KERUSAKAN MANGROVE DI DKI JAKARTA *) Oleh: Tarsoen Waryono **)
Abstraks Kawasan mangrove selain memiliki nilai secara ekonomis, juga memiliki potensi secara ekologis. Walau demikian, kawasan mangrove sangat rentan terhadap degradasi habitat dan jenis, apabila kurang bijaksana dalam penyelamatan, pelestarian dan pengelolaannya. Kerentanan tersebut cenderung disebabkan oleh berubahnya kelas genang, dan atau polusi baik limbah padat (sampah) maupun limbah kimia yang umumnya bersumber dari wilayah daratan. Untuk itulah pentingnya pemulihan kerusakan mangrove, agar optimalnya peranan fungsi sebagai jalur penyangga wilayah pantai, maupun tercwujudnya upaya-upaya peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan.
Pendahuluan Komunitas mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan yang khas dan unik, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil. Selain memiliki spesifik tipe habitat (lumpur berpasir), juga membentuk zona-zona habitat yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Pengaruh pasang surut berdasarkan kelas genang, secara berangsur-angsur membentuk region-region komunitas yang berbeda, mulai dari pantai hingga ke daratan. Kawasan mangrove merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial, selain memiliki nilai ekologis, juga nilai ekonomis yang tinggi. Secara ekologis berpotensi sebagai perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pantai dari ancaman sedimentasi, abrasi, dan intrusi air laut. Secara ekologis selain merupakan sumber pakan bagi kehidupan biota laut, juga tempat pemijahan dari berbagai jenis biota laut yang hidup di perairan laut bebas. Bagi masyarakat pantai, kawasan mangrove merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, terutama produk kerang dan ketam (kepiting), di sisi lain kawasan mangrove kini juga telah dimanfaatkan jasa-jasanya sebagai wahana rekreasi dan wisata alam. Tekanan berat terhadap kawasan mangrove di DKI Jakarta, lebih cenderung disebabkan karena perambahan, dan alihfungsi kawasan terutama untuk kepentingan tambak ikan. Akibat yang ditimbulkan, terganggunya peranan fungsi komunitas dan kawasan mangrove, karena terputusnya mata rantai makanan bagi biota kehidupan seperti burung, reptil dan berbagai kehidupan lainnya. Di DKI Jakarta terdegradasinya kawasan mangrove, disebabkan oleh tumbuh berkembangnya pusat-pusat kegiatan aktivitas manusia. *). Seminar Perencanaan Pemulihan Mangrove. Yayasan Mangrove Indonesia, Jakarta 12 Desember 2006. **). Staf Pengajar Departemen Geografi FMIPA UI.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
2 Aspek kegiatan tersebut, antara lain meliputi: (a) pengembangan permukimam, seperti kawasan Pantai Indah kapuk, (b) pembangunan fasilitas rekreasi, dan (c) pemanfaatan lahan pasang surut untuk kepentingan budidaya pertambakan. Kerusakan tatanan komunitas mangrove di bagian hilir sungai, erat kaitannya dengan kondisi fisik wilayah di bagian tengah dan hulunya. Berbagai bentuk masukan bahan padatan sedimen (erosi), bahan cemaran baik yang bersumber dari industri maupun rumah tangga, merupakan salah satu faktor penyebab pendangkalan pantai dan kerusakan ekosistem mangrove. Dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa potensi kawasan mangrove di Teluk Jakarta, keadaannya telah terganggu dan diduga tidak mampu lagi mendukung keseimbangan lingkungan, dan sumber pendapatan para nelayan di sekitarnya. Laporan Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta (2006), menginformasikan bahwa komunitas mangrove yang berfungsi sebagai penyangga sempadan pantai sudah tidak lagi efektif peranan fungsinya, karena ketebalannya terbatas, dengan kondisi kerapatan jarang (120 pohon/ha), padahal kerapatan pada kawasan mangrove normal tercatat 900-1.400 pohon/ha. Selain kerapatan, juga diinformasikan kondisi habitatnya. Kedalaman lumpur berpasir sebagai salah satu unsur habitat, cenderung semakin dangkal yaitu 8-10 cm, padahal pada tahun 1980-an kedalam lumpur berpasir rata-rata tercatat antara 15-35 cm. BPLHD Provinsi DKI Jakarta (2006) juga menginformasikan hasil penelusuran terhadap komunitas mangrove yang terdegradasi secara biologis. Kematian total terhadap komunitas mangrove di Teluk Jakarta kini menjadi ancaman berat. Secara berangsur-angsur komunitas mangrove mulai dari tingkat anakan (seedling), sapihan (sapling), tingkat tiang (pole), telah mengalami kematian dan kini yang masih bertahan masuk kedalam tingkat pohon. Lebih jauh dikemukakan bahwa cemaran sampah plastik merupakan faktor utama penyebabnya, karena gangguan terhadap aderasi udara pada sistem perakarannya. Yayasan Mangrove (2005), juga melaporkan hasil-hasil evaluasi kawasankawasan mangrove di P. Jawa dan Lampung. Terdegradasinya kawasan mangrove di Pantura (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah) berpengaruh langsung terhadap potensi terumbu karang di sekitarnya. Hal serupa juga terjadi di Teluk Provinsi Lampung, bahwa degradasi kawasan mangrove menyebabkan kematian terhadap jenis terumbu karang tertentu, serta menyebabkan menurunnya pendapatan masyarakat nelayan. Mencermati uraian hasil kajian di atas, dapat disarikan bahwa aspek permasalahan yang erat kaitannya dengan kawasan mangrove di DKI Jakarta, cenderung disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (a). Kawasan mangrove sebagai jalur penyangga wilayah pantai daratan, peranan fungsi ekosistemnya telah terganggu, dan memberikan kecenderungan semakin terancamnya sumberdaya alam hayati baik kehidupan flora maupun fauna. (b). Terdegradasi dan bahkan cenderung semakin rusak kawasan mangrove di DKI Jakarta, lebih cenderung disebabkan oleh alih fungsi pemanfaatan lahan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial. (c). Terganggunya ekosistem mangrove di Teluk Jakarta, menyebabkan semakin terbatasnya perikanan tangkap dan semakin meluasnya gangguan terhadap terumbu karang. (d). Upaya pemulihan habitat dan komunitas mangrove di wilayah DKI Jakarta, walaupun Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
3 telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, akan tetapi tingkat kerusakan yang terjadi tampaknya lebih cepat dibandingkan dengan upaya pemulihannya, sehingga memerlukan upaya pemulihan lebih intensif. Atas dasar itulah perlunya upaya pelestarian mangrove atas dasar pulih-kembalinya ekosistem semirip mungkin dengan kondisi sebelum terjadi kerusakan. Hal tersebut dimaksudkan agar pengendalian terhadap ancaman terdegradasinya kawasan mangrove sebagai jalur penyangga wilayah pantai dapat dikendalikan, termasuk upaya-upaya peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar dapat dilakukan secara terprogram, terpadu berkelanjutan.
Potensi dan Ancaman Kawasan Mangrove A. Potensi Luas dan Peranan Fungsi Potensi kawasan mangrove di wilayah DKI Jakarta pada tahun 1939 tercatat 1.210 ha (Backer, 1952), saat sekarang tercatat tinggal 310,50 ha (Distanhut, 2000). Dari potensi luasan tersebut, 168 ha diantaranya berada di pantai Jakarta, meliputi: (a) kawasan Hutan Lindung (44,0 ha), Suaka Alam (25,0 ha), dan hutan wisata mangrove (99,0 ha). Kawasan mangrove selain berfungsi sebagai tanggul pantai, pencegah semakin meluasnya abrasi laut, juga merupakan habitat pemijahan biota perairan laut. Peranan lain yang lebih menonjol terhadap jasa kawasan mangrove adalah dimanfaatkannya sebagai wahana rekreasi alam hutan wisata payau. Vegetasi asli mangrove tumbuh dan berkembang secara alamiah dan merupakan peralihan atara ekosistem perairan (laut) dan daratan (pulau). Selain sebagai pemijahan biota perairan laut, juga merupakan daya dukung habitat sumber pakan kehidupan satwa penghuninya. Atas dasar itulah, mempertahankan, mengendalikan serta upaya pengembangan kawasan mangrove di DKI Jakarta” urgensinya menjadi strategis dalam pengelolaan dimasa mendatang. Pada ekosistem alamiah, tegakan mangrove membentuk zonasi sesuai dengan habitatnya (lumpur berpasir), salinitas dan fluktuasi pasang surut air laut. Pada masing-masing zonasi dicirikan oleh tumbuh jenis tertentu, yang umumnya mulai dari pantai hingga kedaratan, dengan urutan jenis Avecennia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp, Candelia sp dan Xylocarpus sp. Karakteristik mangrove yang menarik, merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan dan atau habitatnya. Tanah mangrove bersifat anaerobik bila dalam keadaan terendam, oleh karena itu beberapa jenis mangrove mempunyai sistem perakaran udara yang spesifik. Akar tunjang (stilt roots) dijumpai pada genus Rhizopora, akar napas (pneumatophores) pada genus Avicennia dan sonneratia, sedangkan genus Bruguiera memiliki sistem perkaran lutut (knee roots), berbeda halnya dengan genus Xylocarpus, memiliki akan papan (plank roots). Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
4 Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan, mempunyai peranan fungsi multiguna, baik fungsi fisik, biologis, ekologis maupun ekonomis. Peranan fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan penyusupan air laut (intrusi) ke wilayah daratan, serta mampu menahan sampah yang bersumber dari daratan, yang dikendalikan melalui sistem perakarannya. Peranan fungsi lain, sebagai pelindung sempadan pantai, guna menahan gelombang, memperlambat arus pasang surut, menahan serta menjebak besaran laju sedimentasi dari wilayah atasnya. Jasa fungsi biologis mangrove merupakan sumber unsur hara bagi kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota biota darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Jasa mangrove lainnya, mampu menghasilkan jumlah oksigen lebih besar dibanding dengan tetumbuhan darat. Peranan fungsi ekologis kawasan mangrove yang merupakan tempat pemijahan, asuhan dan mencari makan bagi kehidupan berbagai jenis biota perairan laut; di sisi lain kawasan mangrove juga merupakan wahana sangtuari berbagai jenis satwa liar, seperti unggas (burung), reptil dan mamalia terbang. Manfaat ekonomis mangrove, juga cukup memegang peranan penting bagi masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti ikan, ketam, kerang dan udang, serta buah beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Manfaat lainnya merupakan sumber pendapatan masyarakat melalui budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat dalam industri penyamak kulit, industri batik, patal dan pewarna jaring, serta sebagai wahana wisata alam mangrove, penelitian dan pendidikan. Selain peranan fungsi fisik, biologis, ekologis dan ekonomis, ekosistem mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah baik secara hewani maupun hayati. Secara hewani selain sebagai tempat dan habitat kehidupan berbagai jenis biota perairan laut, juga merupakan wahana sangtuari satwa liar seperti burung, mamalia terbang dan beberapa jenis lainnya. Mencermati atas karakteristik ekosistem dan peranan fungsinya, nam-paknya degradasi (kerusakan) kawasan mangrove akan menyebabkan berbagai fenomena baik terhadap kehidupan biota perairan, maupun terhadap sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya. Demikian halnya dengan pembangunan dan pengembangan kawasan ”tambak” yang kurang terkontrol, akan menyebabkan terdegradasinya habitat maupun vegetasinya yang secara langsung maupun tidak langsung peranan fungsi menjadi terganggu.
Kedudukan Kawasan Mangrove Dalam RTRW 2010 DKI Jakarta Seperti tersirat dalam Perda No. 6 DKI Jakarta tahun 1999, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), bahwa RTH lindung yang dimaksud dalam perda tersebut, lebih cenderung didominansi oleh penutupan vegetasi mangrove, keberadaan tersebut, tampaknya mendudukan kawasan mangrove menjadi strategis untuk dipertahankan kelestariannya. Pengaturan tata ruang wilayah (RTRW 2010) DKI Jakarta, pada hakekatnya merupakan strategi dalam struktur pemanfaatan ruang secara optimal yang mencakup: (a) visi dan misi pembangunan Provinsi DKI Jakarta, (b) mengaplikasikan bentuk struktur dan pola Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
5 pemanfaatan ruang baik pada tingkat propinsi maupun wilayah kota, (c) sebagai sumber arahan dan acuan dalam hal pemanfaatan, pengelolaan, pengembangan serta pengendalian nya berdasarkan batas-batas wilayah baik daratan, lautan maupun udara. Melalui daya dan upaya untuk melestarikan, meningkatkan dan mengembangkan kawasan mangrove sebagai bagian dari RTH lindung, pada hakekatnya merupakan langkah awal upaya peningkatan kualitas RTH Lindung dalam RTRW 2010 yang berperanan fungsi sebagai penyangga dan penopang mintakat kenyamanan kota Jakarta. Hal serupa juga terhadap upaya pelestarian terumbu karang, hal tersebut dilakukan dan menjadi strategis karena erat kaitannya dengan pendapatan masyarakat nelayan, maupun aspek pelestarian perikanan laut dan biota lainnya. B. Ancaman Kerusakan Mangrove Degradasi Kawasan Mangrove Perambahan dan perombakan kawasan mangrove oleh masyarakat sebagai wahana tambak, merupakan salah satu faktor penyebab hilangnya kawasan mangrove. Salah satu bukti yang cukup menonjol hasil inventarisasi kawasan mangrove di sekitar Cagar Budaya Pitung Jakarta Utara pada tahun 1998 tercatat 8,5 ha, dengan kondisi kawasan yang masih relatif baik ditinjau dari habitat dan kehadiran jenisnya. Namun demikian hasil evaluasi tahun 2000, kawasan seluas tersebut, telah berubah total menjadi hamparan pertambakan. Memcermati uraian di atas serta rendahnya pengetahuan masyarakat awam terhadap makna konservasi sumberdaya mangrove; maka kondisi dan keberadaan kawasan mangrove secara alamiah di DKI Jakarta dihadapkan pada tiga tantangan strategis yaitu: (a). Pengelolaan secara profesional untuk tujuan pelestarian, penyelamatan (pengamanan), dan pemanfaatan secara terbatas berdasarkan peranan fungsinya. (b). Meningkatkan kualitas baik terhadap habitat dan jenis, untuk mempertahankan keberadaan sebagai akibat terdegradasinya kawasan, baik karena ulah aktivitas manusia yang tidak bertanggung-jawab, maupun secara alami (abrasi), sedimentasi dan pencemaran limbah padat (sampah). (c). Pengembangan kawasan-kawasan berhabitat mangrove, untuk dijadikan kawasan hijau hutan kota berbasis mangrove. Mencermati atas semakin menurunnya kawasan konservasi mangrove di wilayah DKI Jakarta, serta munculnya kiprah koordinasi pemulihan yang diprakarsai oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, tampaknya merupakan langkah awal yang cukup startegis dalam arti penyelamatan dan pelestariannya. Hal ini mengingat bahwa tujuan yang hendak dicapai, berupaya untuk memulihkan melalui penyelamatan dan melestarian kawasan mangrove. Adapun dasar pertimbangan perlunya inventarisasi antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: (1). Pembinaan dan penanganan kawasan pelestarian alam, di wilayah DKI Jakarta, kini sebagian telah menjadi tanggung jawab Pemda DKI Jakarta.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
6 (2). Kawasan mangrove di DKI Jakarta, merupakan bagian dari RTH lindung DKI Jakarta, yang perlu dipertahankan karena peranan fungsinya sebagai koridor hijau pengendali lingkungan fisik kritis perkotaan, dan habitat serta sangtuari kehidupan satwa liar. (3). Dimanfaatkannya kawasan-kawasan pelestarian alam, sebagai hutan wisata dengan kombinasi sebagai wahana rekreasi dan laboratorium alam, tampaknya kini dinantikan oleh masyarakat luas.
Konsepsi Dasar Manajemen Pemulihan Kawasan Mangrove A. Kosep Dasar Pemulihan Mengacu terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, bahwa pengertian konservasi pada hakekatnya merupakan upaya untuk mengelola sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dalam pada itu, tindakan konservasi yang dilakukan mencakup tiga kegiatan yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pengawetan keragaman jenis baik flora maupun fauna termasuk ekosistemnya, dan (3) pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara optimal dan berkelanjutan. Dalam pada itu, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity), merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian sumberdaya alam hayati, dimana kawasan jalur penyangga wilayah pantai, termasuk di dalamnya. Hal ini mengingat ada tiga komponen konservasi yang harus ditangani yaitu (1) degradasi kawasan penyangga, (2) tatanan kehidupan sosial masyarakat, dan (3) keikutsertaan masyarakat dalam hal pemanfaatan sumberdaya secara optimal berkelanjutan. Keanekaragaman hayati (ragam hayati) di DKI Jakarta, merupakan sumberdaya vital, sebagai penyangga dan penyeimbang lingkungan hidup wilayah perkotaan yang diperankan oleh tabiat ekosistemnya. Pengaruh aktivitas manusia sejak dekade abad XVII telah berlangsung, namun demikian pada abad terakhir ini pengaruh tersebut meningkat secara dramatis. Berkurang dan berubahnya kawasan mangrove di jalur penyangga sempadan pantai bukan saja akibat pengaruh alam, akan tetapi lebih nyata akibat desakan alih fungsi kawasan. Sebagai akibat hilangnya jenis-jenis satwa liar karena daya dukung habitatnya yang tidak memadai lagi. Demikian halnya dengan semakin berkurang dan berubahnya kawasankawasan hijau penyangga sempadan sungai, hingga menyebabkan kurang nyamannya mintakat kehidupan masyarakat di sekitarnya. Secara umum ada tiga alasan mendasar mengapa konservasi ragam hayati perlu dilakukan: (1). Ragam hayati, pada dasarnya sebagai bagian dari prinsip hidup hakiki, Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa setiap jenis kehidupan liar (flora dan fauna), mempunyai hak untuk hidup. Hal ini mengingat bahwa dalam Piagam PBB tentang alam,
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
7 menegaskan bahwa setiap bentuk kehidupan wajib dihormati tanpa memperdulikan nilainya bagi manusia. (2). Ragam hayati, pada dasarnya sebagai bagian dari daya hidup manusia. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa ragam hayati membantu planet bumi untuk tetap hidup, karena memainkan peranan penting dalam hal sistem penunjang kehidupan, mulai dari mempertahankan keseimbangan materi kimiawi (melalui siklus biogeokimia), dan mempertahankan kondisi iklim, daerah aliran sungai (DAS) serta berfungsi untuk memperbarui tanah dan komponennya. (3). Ragam hayati menghasilkan manfaat ekonomi. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa ragam hayati merupakan sumber dari seluruh kekayaan sumberdaya biologis yang memiliki nilai ekonomis. Dari ragam hayati manusia memperoleh makanan, kesehatan karena mampu menyediakan oksigen (02) bebas, serta memiliki nilai budaya yang spesifik bagi kepentingan hidup manusia. Dari tiga uraian alasan di atas, memberikan gambaran bahwa keragaman hayati merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep pengembangan pemulihan kawasan (hutan) mangrove yang dinilai telah terdegradasi.
B. Manajemen Pemulihan Kawasan Mangrove Mencermati uraian pentingnya konservasi sumberdaya alam hayati, dengan demikian konsep pengembangan pemulihan kawasan mangrove dalam bidang konservasi dapat dilakukan melalui: (1) penanganan dan pengendalian lingkungan fisik dari berbagai bentuk faktor penyebabnya, (2) pemulihan secara ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupan nya, (3) mengharmoniskan perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui, mengerti, memahami hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab untuk mempertahankan, melestarikannya, serta (4) meningkatkan akutabilitas kinerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihak-pihak terkait lainnya. Adapun langkah-langkah kongkrit yang dilakukan untuk tujuan pengen-dalian lingkungan fisik, antara lain dengan melakukan kegiatan: (a) pembinaan dan peningkatan kualitas habitat, dan (b) peningkatan pemulihan kualitas kawasan hijau melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, dan atau perkayaan jenis tetumbuhan yang sesuai. Terhadap pemulihan habitat, dilakukan terhadap kawasan-kawasan terdegradasi atau terganggu fungsi ekosistemnya, untuk pengembalian peranan fungsi jasa bio-eko-hidrologis, dilakukan dengan cara: (a) rehabilitasi, dan atau (b) reklamasi habitat, sedangkan peningkatan kualitas kawasan hijau dilakukan dengan pengembangan jenis-jenis tetumbuhan yang erat keterkaitannya dengan sumber pakan hidupan liar, tempat bersarang atau sebagai bagian dari habitat dan lingkungan hidupnya. Mengharmoniskan perilaku lingkungan sosial dapat dilakukan dengan cara memberi kan penyuluhan, pelatihan dan atau menunjukkan contoh-contoh aktivitas yang berwawasan pelestarian lingkungan. Agar langkah kongkrit di atas dapat dilakukan secara serasi, selas serta sejalan berdasarkan kaidah-kaidah konservasi, akutabilitas kinerja petugas juga perlu dibekali dengan pengetahuan yang dinilai memadai. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
8 Uraian Penutup Keanekaragaman hayati mangrove, pada dasarnya merupakan bagian dari sumberdaya alam yang erat kaitannya dengan flora dan fauna, habitat kehidupan satwa liar, serta fungsi manfaatkan terhadap kehidupan manusia. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa keragaman hayati merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep pemulihan kawasan mangrove yang dinilai telah terdegradasi. Terdegradasinya kawasan mangrove memerlukan langkah-langkah kongkrit dalam pemulihannya. Hal yang perlu dilakukan adalah: (a) pembinaan dan peningkatan kualitas habitat, dan (b) peningkatan pemulihan kualitas kawasan hijau melalui kegiatan penanaman dan atau perkayaan jenis. Terhadap pemulihan habitat, dilakukan terhadap kawasan-kawasan terdegradasi atau terganggu fungsi ekosistemnya, untuk pengembalian peranan fungsi jasa bio-eko-hidrologis, dilakukan dengan cara: (a) rehabilitasi, dan atau (b) reklamasi habitat, sedangkan peningkatan kualitas kawasan hijau dilakukan dengan pengembangan jenis-jenis tetumbuhan yang erat keterkaitannya dengan sumber pakan hidupan liar, tempat bersarang atau sebagai bagian dari habitat dan lingkungan hidupnya.
Daftar Pustaka Anonymous, 1998. Pesona Alami Mangrove Pantai Timur Surabaya. Kelompok Pemerhati Lingkungan ECOTON Mahasiswa Biologi FMIPA UNAIR, Surabaya. Atmawidjaja, R. dan K. Romimohtarto, 1999. Keberadaan mangrove dan permasalahanpermasalahannya kasus Cagar Alam Muara Angke. Prosidings Seminar VI Ekosistem Mangrove : 99-108. Balen, S. v., 1988. The terrestrial mangrove birds of Java. Symposium on Mangrove Management : its ecological and economic considerations, Bogor. Ditjen Intag Departemen Kehutanan, 1993. Laporan pekerjaan analisa data hasil penafsiran citra Landsat MSS. Proyek Inventarisasi, Pengukuran dan Perpetaan Ekosistem. Jakarta. Harger, J.R.E., 1982. Major problems in the functional anlysis of mangroves in South East Asia. Paper presented at The Symposium On Mangrove Forest Ecosystem Productivity, April 20-22, 1982, Bogor. NOOR, Y.R. 1995. Mangrove Indonesia, pelabuhan bagi keanekaragaman hayati : evaluasi keberadaan saat ini. Prosidings Seminar Ekosistem Mangrove V : 299-309. Saenger, P., E.J. Hegerl, and J.D.S. Davie, 1983. Global status of mangrove ecosystems. IUCN. Commision on Ecology No. 3. Soedjarwo, 1979. Mengoptimalkan fungsi-fungsi hutan mangrove untuk menjaga kelestariannya demi kesejahteraan manusia. Prosiding Seminar Ekosistem Ekosistem Mangrove : 8-9.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
9 Supriatna, J. 1984. Jenis-jenis ular di hutan mangrove dan makanan ular tambak (Cerberus rynchops Schn). Prosiding Seminar II Ekosistem Ekosistem Mangrove : 172-174. Wahyono, A. 1999. Status kawasan pantai dan hutan mangrove. Duta Rimba Februari /224/XXIV : 814. Waryono., Tarsoen, 1973. Studi Permudaan Alam Bruguiera ginorrizha Lamk. Di Segara Anakan Cilacap. Publikasi Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Bandung.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008