ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE BERKELANJUTAN DI MUARA ANGKE DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
Nyoto Santoso
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembibmbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Januari 2012
Nyoto Santoso E.061050081
ABSTRACT Nyoto Santoso. Policy Guidance and Strategy for Sustainable Mangrove Management in Muara Angke DKI Jakarta. Guided by: Cecep Kusmana, Dedi Soedharma, and Rinekso Soekmadi. Mangrove area in Muara Angke DKI Jakarta is about 477.7 ha, having values and potencies for lives supporting around. Objectives of this study: 1) to identify biophysical environment condition of mangrove, 2) to study social condition of the community around mangrove area, 3) to analyze economical values of mangrove area in Muara Angke, 4) to analyze sustainability status of mangrove area management, 5) to establish the guide of policy and strategy of sustainable management of mangrove area in Muara Angke. Methods of data analysis were description, quantitative (TEV), sustainability (MDS), and A’WOT analysis. Results showed: 1) land cover vegetation in mangrove area was increasing with rehabilitation activity, 2) diversity of plants (mangrove associated) increased, 3) variation of fauna (bird, mammals, reptile, and fish) decreased, 4) estimation of economical value in the area was about Rp. 100.009.463.994,-/year, 5) the condition of mangrove management in Muara Angke DKI Jakarta was not sustainable yet, 6) Leveraging sustainable factors needed to be encouraged were reducing beach abration, water contamination, increasing participation management, application of mangrove rehabilitation technology, rob technology, keeping and improving Local Government commitment, integrated programs, in building and application of laws in mangrove management, provide regulation and law enforcement in mangrove management area, 7) goals of sustainable mangrove management based on priorities were (1) Empowering of institution, (2) Improving of community (stakeholders) participation in mangrove management, (3) Improving of mangrove conservation, and (4) Utilizing of technology on mangrove management. Keywords : mangrove, economic valuation , management strategy, sustainable.
RINGKASAN Perubahan kebijakan, degradasi lingkungan, dan dinamika sosial ekonomi masyarakat telah mendorong terjadinya penurunan fungsi kawasan mangrove Muara Angke. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan kajian terhadap komponen lingkungan pembentuk hutan mangrove, komponen pengelolaan kawasan, upaya-upaya rehabilitasi dan optimasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove melalui penelitian “Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke DKI Jakarta”. Berdasarkan kondisi tersebut, maka rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana kondisi lingkungan ekosistem mangrove di Muara Angke, 2) Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke, 3) Sejauhmana status keberlanjutan pengelolaan mangrove di Muara Angke, 4) Bagaimana arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke pada masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan di Muara Angke DKI Jakarta. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka diperlukan pengetahuan dan merupakan tujuan antara dari penelitian ini, yaitu: 1) Mengidentifikasi kondisi biofisik ekosistem mangrove Muara Angke, 2) Mengkaji kondisi sosial masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke, 3) Menganalisis nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke, 4) Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, 5) Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan. Pengumpulan data dilakukan dengan mengunakan 3 metode, yaitu: 1) Metode survei lapang untuk mengumpulkan data biofisik, sosial ekonomi masyarakat, nilai ekonomi total kawasan mangrove, 2) Metode Wawancara digunakan untuk memperoleh data persepsi masyarakat terhadap kawasan mangrove (keberadaan, manfaat), peranserta dan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove, dan upaya perbaikan lingkungan, serta penilaian masyarakat tentang status keberlanjutan kawasan mangrove Muara Angke, 3) Studi literatur dilakukan untuk mengkaji kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah, serta langkah-langkah pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang telah dan akan dilakukan. Teknik pengambilan data lapang (biofisik lingkungan mangrove, nilai ekonomi mangrove) dilakukan dengan purposive sampling dengan responden sebanyak 130 orang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan: (1) Analisis deskriptif terhadap biofisik kawasan, kondisi sosial ekonomi masyarakat (peranserta dan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove, penilaian masyarakat terhadap keberadaan kawasan mangrove dan upaya perbaikan lingkungan, serta kebutuhan stakeholders), kebijakan dan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, serta kegiatan pengelolaan yang telah dan akan dilakukan pada masa mendatang; (2) TEV (Total Economic Valuation) dilakukan untuk pendugaan nilai ekonomi total beradasarkan data primer dan hasil kajian data sekunder; (3) Analisis status
keberlanjutan (MDS) dilakukan untuk mengetahui status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke; (4) Analisis A’WOT dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor dan prioritas arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan Muara Angke. Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan Hutan Lindung sebagian besar bukan jenis mangrove sejati. Jumlah jenis meningkat dari 11 spesies (1995) menjadi 20 spesies (2011), didominasi oleh bakau (R.apiculata) dan api-api (A.marina). Keanekaragaman jenis tumbuhan yang terdapat pada kawasan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) sebagian besar bukan jenis mangrove sejati. Jumlah jenis meningkat dari 18 spesies (tahun1972) menjadi 33 spesies (2011), yang didominasi pidada (S.caseolaris), dan nipah (Nypa fruticans). Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan SMMA telah mengalami perubahan, terutama salinitas air relatif rendah (air tawar), yang dikarenakan air pasang dan air surut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya dan pengaruh Sungai Angke lebih dominan dibandingkan dengan air laut. Keanekaragaman jenis satwaliar 95 jenis burung, 4 jenis reptilia dan 4 jenis mamalia. Jenis-jenis burung masih banyak dijumpai burung air, seperti belibis, ruak-ruak/kareo, kuntul dan pecuk (LPP Mangrove, 2002) dan menjadi 67 jenis burung, 4 mamalia dan 4 reptilia (tahun 211). Kelimpahan populasi burung air tersebut mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kehadiran jenis burung tersebut lebih banyak dijumpai pada kawasan SMMA dibanding kawasan lainnya, serta selain menggunakan kawasan SMMA sebagai feeding ground, juga sekaligus sebagai tempat berkembangbiak dan mengasuh anak. Pada mulanya daratan Pantai Kapuk selalu berkembang ke arah laut dengan laju sekitar 1 m per tahun yang dipacu oleh adanya hutan mangrove yang lebat karena perakarannya dapat mengurangi terjadinya erosi dan memacu sedimentasi. Pada tahun 1980, tepi Barat muara Sungai Angke dibangun break water sepanjang 200 m dengan maksud menjaga kedalaman perairan muara, namun akibatnya adalah terjadi abrasi dengan laju sekitar 25 m per tahun antara 1980-1983. Pada periode yang sama, kondisi pantai di sekitar Kelurahan Kamal mengalami erosi berat dengan laju sekitar 19 m per tahun. Hal ini disebabkan aliran arus sepanjang pantai membawa sedimen tersebut ke arah Timur dan mengendapkannya di sebelah barat jetti tersebut. Buruknya sanitasi di daerah hulu mengakibatkan perairan sungai di daerah tapak yang terletak di sekitar muara sungai menjadi septik, berwarna hitam dan berbau. Akibat rendahnya kecepatan aliran di daerah hilir, kecepatan reoksigenasi menjadi sangat lambat, sehingga kemampuan self purification sungai tersebut sangat lemah. Situasi yang lebih buruk, rendahnya kecepatan air sungai di bagian hilir menyebabkan proses biodegrasi terjadi pada perjalanan menuju ke muara, yang mengkonversi zat organik yang terlarut menjadi koloid sehingga mempercepat laju sedimentasi. Secara administratif, kawasan mangrove Muara Angke termasuk wilayah Kelurahan Kamal Muara, Kapuk Muara, dan Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara Propinsi DKI Jakarta. Mayoritas pendidikan adalah lulusan SD dan SLTP. Lapangan pekerjaan karyawan/buruh di kedua wilayah cukup besar dibandingkan dengan mata pencaharian lainnya.
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan mangrove Muara Angke (Hutan Lindung) mayoritas memahami (> 50 %), dan semua responden berpendapat kondisi kawasan mangrove (hutan lindung) perlu diperbaiki (>60 %). Kemauan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pengamanan hutan lindung yang cukup besar, sebanyak 100% respoden yang berasal dari masyarakat nelayan, 90% masyarakat petambak, 50% masyarakat Non-PIK dan 55% masyarakat PIK masing-masing manyatakan bersedia turut serta dan berpartisipasi utnuk mengamankan dan melestarikan hutan lindung. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, diketahui bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut pernah mengalami kerugian akibat gangguan lingkungan. Persentase terbesar masyarakat yang pernah mengalami gangguan lingkungan adalah masyarakat yang tinggal di Kelurahan Tegal Alur, Pluit dan Kapuk Muara dengan persentase di atas 90%. Gangguan lingkungan yang paling banyak atau sering dialami oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah banjir (rob), sedangkan jenis gangguan lingkungan yang paling sedikit dirasakan oleh masyarakat adalah abrasi. Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat 40% responden yang mengalami kerugian akibat abrasi, dengan frekuensi antara 1-3 kali dan lebih dari 6 kali. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa 89% responden dalam 10 tahun terakhir pernah mengalami gangguan lingkungan berupa intrusi air laut, dengan persentase terbesar lebih dari enam kali. Beberapa pihak yang menjadi mitra dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah: Lembaga Swadaya Masyarakat, Swasta (PT. Kapuk Naga Indah, PT. Mandara Permai, PT. Murindra Karya Lestari), Perguruan Tinggi. Tingginya minat dan kepedulian para pihak dalam meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum mampu mewujudkan pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan. Kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan antara lain: (1) Penguatan batas kawasan, (2) Pembangunan sarana prasarana, (3) Penanaman dan pemeliharaan, (4) Penanganan sampah, (5) Pengelolaan pengunjung, (6) Penegakan hukum, (7) Penelitian, dan (8) Sosialisasi dan koordinsi. Upaya melegalkan kelembagaan pengelolaan yang melibatkan parapihak (kolaboratif) sudah pernah dilakukan, namun karena pergantian pimpinan atau staf yang bertanggung jawab menyebabkan perubahan komitmen tersebut, dan pada akhirnya koordinasi dan sinkronisasi program pengelolaan tidak terwujud. Berdasarkan seluruh penjumlahan terhadap nilai dari seluruh manfaat yang terdapat pada kawasan mangrove Muara Angke (478 ha) diperoleh estimasi nilai manfaat total sebesar Rp. 100.009.463.994,-/tahun, yang sebagian besar merupakan nilai manfaat tidak langsung (80,03 %). Penilaian status keberlanjutan didasarkan pada ke-51 atribut tersebut melalui data dan pendapat stakeholder menunjukkan bahwa kawasan mangrove Muara Angke belum berkelanjutan. Dari lima dimensi yang dianalisis untuk menentukan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara AngkeJakarta, tidak terdapat lima dimensi yang tergolong berkelanjutan (skor > 75). Hasil kajian kepustakaan dan diskusi dengan stakeholder, dirumuskan arahan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal yang
mempengaruhinya. Arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan dalam penelitian ini merumuskan empat kebijakan pengelolaan, yaitu: (1) Penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove, (2) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove, (3) Konservasi mangrove, dan (4) Teknologi pengelolaan kawasan mangrove. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa kebijakan konversi kawasan mangrove Muara Angke merupakan pilihan kebijakan pemerintah saat itu yang didasarkan atas upaya peningkatan pengelolaan kondisi kawasan mangrove Muara Angke, namun dalam praktek kebijakan ini masih lebih banyak didasarkan atas kepentingan ekonomi. Kondisi pengelolaan kawaan mangrove Muara Angke DKI Jakarta belum berkelanjutan, yang ditunjukkan dengan nilai skor dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi (< 75). Faktor pengungkit yang perlu dorong adalah: dimensi ekologi (abrasi pantai, pencemaran lingkungan, fungsi konservasi menurun, dan sedimentasi), dimensi ekonomi (anggaran pemerintah untuk pengelolaan mangrove, dukungan dana CSR, dan aksesibilitas kawasan mangrove), dimensi sosial (partisipasi pengelolaan masyarakat, kesadaran masyarakat, dan perhatian peneliti), dimensi kelembagaan (komitmen pemerintah daerah, keterpaduan program, dan legalitas kawasan), dan dimensi teknologi (teknologi rehabilitasi mangrove, teknologi penanggulangan pencemaran, teknologi pencegahan, dan penanggulangan abrasi atau banjir atau rob).
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE BERKELANJUTAN DI MUARA ANGKE DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
Oleh: Nyoto Santoso E.061050081
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. 2.
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS Dr. Ir. Istomo, MS
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. 2.
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Dr. Ir. Harry Santoso
Judul Disertasi
Nama NIM Program Studi
: Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota Jakarta : Nyoto Santoso : E. 061050081 : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Anggota
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi IPK IPB
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir. Naresworo Nugroho, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 27 Januari 2012
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan petunjuk, saran dan arahan, dan bimbingannya, baik secara moral mupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan disertasi ini. Terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Prof. Dr. Ir. Marimin, MS. selaku Sekretaris Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan ijin belajar dan kuliah sehingga selesainya program doktor, kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. selaku Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah memberikan motivasi hingga terselesaikannya program doktor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Pimpinan dan Staf BKSDA DKI Jakarta, Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, PT. Murindra Karya Lestari, PT. Kapuk Naga Indah dan PT. Mandara Permai, Camat dan Staf Kecamatan Penjaringan, Kelurahan Muara Angke, Kelurahan Kapuk Muara, Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Penjaringan, Kelurahan Tegal Alur, dan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Penulis secara khusus mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua yang telah mendidik sejak kecil sampai sekarang. Kepada istri penulis (Drh. Hj. Ria Puryanti Yahya, M.Si) yang turut mendorong dalam pelaksanaan kuliah, penyusunan proposal, penelitian sampai penulisan disertasi. Juga kepada anakanakku tercinta (Hamam Kusumagani, S.Ked dan Rizky Praba Nugraha) diucapkan banyak terima kasih telah memberikan motivasi dalam penyelesaian disertasi ini. Saya menyadari bahwa disertasi ini masih kurang sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya dan semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor, Januari 2012 Nyoto Santoso
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Banyuwangi pada tanggal 15 Maret 1962. Penulis adalah putra ketiga dari keluarga Bapak Bagini dan Ibu Tumini, pekerjaan tani. Sejak masuk Sekolah Menengah Pertama, penulis diasuh oleh Bapak Soekardi Budiono, pekerjaan pegawai Perum Perhutani dan bersamanya mulai mengenal pengelolaan hutan, termasuk pengelolaan hutan mangrove. Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Sumber Beras II Banyuwangi dan lulus tahun 1973, melanjutkan ke SMP Negeri Benculuk Banyuwangi lulus tahun 1976, selanjutnya masuk ke SMA Negeri Genteng Banyuwangi lulus tahun 1980. Penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1985 dan melanjutkan ke Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 1992. Pada tahun 2005 penulis masuk Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2012. Sejak tahun 1985 sampai dengan sekarang mengabdi sebagai staf pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Beberapa tugas di lingkungan Fakultas Kehutanan IPB adalah Staf Pembantu Dekan III Fakultas Kehutanan IPB, Sekretaris Praktek Umum Kehutanan, anggota Komisi Pendidikan, anggota Komisi Kerjasama, Ketua Komisi Olahraga Fahutan IPB. Sejak tahun 1995 menjabat sebagai Sekretaris Tim Pengelola Fasilitas Olahraga IPB dan tahun 1999 sampai dengan sekarang sebagai Manajer Operasional Unit Pengelola Teknis Olahraga dan Seni IPB, dan tahun 1999 sampai sekarang sebagai Direktur Sekolah Sepakbola IPB. Di samping itu penulis juga aktif pada Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (Yayasan Mangrove Indonesia) sejak tahun 1995-2008 sebagai Direktur Eksekutif, serta antara tahun 2005-2008 sebagai Sekretaris Kelompok Kerja Mangrove Nasional. Sebagai anggota Dewan Pakar pada Yayasan Pembangunan Perkebunan Strategis dan Berkelanjutan (2010sekarang) dan Kelompok Kerja Mangrove Nasional (2008-sekarang), Ketua Badan Pengawas Jaringan Pelestari Nilai Konservasi Tinggi Indonesia (2010sekarang). Penulis menikah dengan Drh. Hj. Ria Puryanti Yahya, M.Si dan dikaruniai dua putra yaitu Hamam Kusumagani, S.Ked dan Rizky Praba Nugraha. Demikian riwayat hidup penulis untuk menambah informasi latar belakang dan pengalaman kerja selama ini.
Bogor, Januari 2012 Nyoto Santoso
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................... DAFTAR TABEL ......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xi xvi xx xxii
1
PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 1.5 Kerangka Pikir ............................................................................... 1.6. Novelty ...........................................................................................
1 1 3 4 5 5 9
2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove ......................................................... 2.1.1 Luas dan Sebaran Mangrove di Dunia ................................. 2.1.2 Luas dan Sebaran Hutan Mangrove di Indonesia ................. 2.2 Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove .................................... 2.2.1 Zonasi Hutan Mangrove ....................................................... 2.2.2 Habitat .................................................................................. 2.2.3 Klasifikasi Tempat Tumbh ................................................... 2.2.4 Klasifikasi Komunitas Hutan Mangrove .............................. 2.2.5 Sistem Perakaran Hutan Mangrove ...................................... 2.2.6 Kenekaragaman Hayati Ekosistem Hutan Mangrove ........... 2.2.7 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ................................... 2.3 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat .................. 2.4 Analisis Kebijakan .........................................................................
10 10 10 12 13 13 14 16 17 23 24 25 29 33
3
METODE PENELITIAN .................................................................... 3.1 Lokasi dan Waktu ......................................................................... 3.2 Ruang Lingkup, Tahapan Penelitian dan Variable yang Diamati 3.2.1 Ruang Lingkup Penelitian .................................................... 3.2.2 Tahapan Penelitian ............................................................... 3.2.3 Jenis Data yang Dikumpilkan ............................................... 3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ....................................... 3.3.1 Studi Literatur ....................................................................... 3.3.2 Metode Wawancara .............................................................. 3.3.3 Metode Survei....................................................................... 3.4 Analisis Data ................................................................................. 3.4.1 Analisis Deskriptif ................................................................ 3.4.2 TEV (Total Economic Valuation)......................................... 3.4.3 Analisis Status Keberlanjutan (MDS) .................................. 3.4.4 Analisis A’WOT (Integrasi SWOT dan AHP) .....................
38 38 38 38 39 40 41 41 42 43 48 48 49 50 52
4
5
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... 4.1 Sejarah Kawasan Mangrove Muara Angke Jakarata .................... 4.2 Kondisi Fisik.................................................................................. 4.2.1 Letak dan Batas Geografis .................................................... 4.2.2 Geologi dan Tanah................................................................ 4.2.3 Hidro-Oceanografi ................................................................ 4.2.4 Hidrologi ............................................................................... 4.2.5 Iklim...................................................................................... 4.3 Komponen Biologi ....................................................................... 4.3.1 Penutupan Vegetasi .............................................................. 4.3.2 Keanekaragaman Jenis Flora ................................................ 4.3.3 Keanekaragaman Jenis Satwaliar ......................................... 4.3.4 Biota Air ............................................................................... 4.4 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya .......................................... 4.4.1 Penduduk .............................................................................. 4.4.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Kawasan Mangrove Muara Angke ...................................................... 4.4.3 Interaksi Masyarakat dengan Hutan Mangrove .................... 4.4.4 Persepsi Responden Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Mangrove Muara Angke ...................... 4.5 Kegiatan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang Telah Dilakukan ........................................................................... 4.5.1 Kebijakan .............................................................................. 4.5.2 Kelembagaan ........................................................................ 4.5.3 Kegiatan Pengelolaan ........................................................... VALUASI NILAI EKONOMI TOTAL KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE ............................................................................... 5.1 Pendahuluan .................................................................................. 5.2 Profil Responden ........................................................................... 5.2.1 Responden CVM (Contingent Valuation Method) ............... 5.2.2 Responden TCM (Travel Cost Method) ............................... 5.2.3 Profil Wisata Mangrove DKI Jakarta ................................... 5.2.4 Ekowisata Tol Soedyatmo .................................................... 5.2.5 Suaka Margasatwa Muara Angke ......................................... 5.3 Analisis Nilai Ekonomi Total ........................................................ 5.3.1 Direct Use Value (Nilai Manfaat Langsung) ........................ 5.3.2 Indirect Use Value (Nilai Manfaat Tidak Langsung) ........... 5.3.3 Nilai Pilihan Hutan Mangrove Muara Angke Jakarta .......... 5.3.4 Manfaat Pewarisan Hutan Mangrove Muara Angke ........... 5.3.5 Estimasi Nilai Ekonomi Manfaat Keberadaan Hutan Mangrove Muara Angke ...................................................... 5.4 Pembahasan Nilai Ekonomi Total Kawasan Mangrove Muara Angke............................................................................................. 5.5 Kesimpulan ....................................................................................
55 55 60 60 60 68 72 76 77 77 82 88 96 103 105 113 122 123 127 127 128 129
141 141 143 143 145 145 150 152 153 154 158 164 165 166 166 167
6
7
8
KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE ................................................................................ 6.1 Pendahuluan .................................................................................. 6.2 Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Muara Angke .......... 6.3 Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pengelolaan Mangrove Muara Angke............................................................................................. 6.3.1 Dimensi Ekologi ................................................................... 6.3.2 Dimensi Ekonomi ................................................................. 6.3.3 Dimensi Sosial ...................................................................... 6.3.4 Dimensi Kelembagaan .......................................................... 6.3.5 Dimensi Teknologi ............................................................... 6.4 Kesimpulan .................................................................................... ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE ................................... 7.1 Pendahuluan .................................................................................. 7.2 Kebutuhan Stakeholder.................................................................. 7.3 Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke ................................................................................. 7.3.1 Definisi Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Kawasan Lindung ................................................................................ 7.3.2 Status Pemanfaatan dan Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke....................................... 7.3.3 Prioritas Kebijakan ............................................................... 7.3.4 Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke ..... 7.4 Kesimpulan ....................................................................................
168 168 170 178 178 182 184 188 192 196 198 198 199 201 201 202 209 216 219
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 8.1 Kesimpulan ................................................................................... 8.2 Saran ..............................................................................................
220 220 223
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... LAMPIRAN ...........................................................................................
224 232
DAFTAR TABEL Halaman 1
Luas hutan mangrove pada beberapa wilayah negara di dunia .......
12
2
Luas mangrove Indonesia menurut Kementrian Kehutanan dan Bakosurtanal (2006-2010) ...............................................................
13
3
Pembentukan struktur komunitas mangrove Australia ...................
18
4
Tahap penelitian, jenis data, dan sumber data .................................
41
5
Karakteristik spektral citra Landsat 7 ETM+ ..................................
44
6
Hasil analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah Cagar Alam Muara Angke ...................................................................................
67
Besarnya nisbah C/N, Ph, dan tekstur tanah hutan mangrove di sebelah barat dan timur Muara Angke ............................................
68
Besarnya kandungan unsur hara, kapasitas tukar kation (KTK), dan logam berat tanah hutan mangrove di sebelah barat dan timur Muara Angke ...................................................................................
68
Debit air sungai pada beberapa lokasi penelitian di kawasan mangrove Muara Angke DKI Jakarta .............................................
73
Hasil analisis kualitas air pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (Santoso, N 2002) ....................................
74
11
Data curah hujan bulanan stasiun Cengkareng ...............................
76
12
Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989 .................................................................................................
77
13
Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001 ....
79
14
Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006 .....
81
15
Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda ............................................................................................
83
Daftar jenis tumbuhan di Hutan Lindung Muara Angke pada periode waktu yang berbeda ...........................................................
85
Daftar jenis tumbuhan di Hutan Wisata Kamal pada periode waktu yang berbeda .........................................................................
86
Daftar jenis tumbuhan di Kawasan Ekowisata Muara Angke pada tahun 2011 .......................................................................................
87
Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode 1984 - 2000.........................................................................
89
Daftar jenis satwaliar di Hutan Lindung Muara Angke pada periode 1995-2000...........................................................................
91
7 8
9 10
16 17 18 19 20
21
Daftar jenis satwaliar di Hutan Wisata Kamal pada tahun 1996 .....
93
22
Daftar total jenis satwaliar di kawasan mangrove Muara Angke tahun 2011 .......................................................................................
94
23
Kandungan fitoplakton di SMMA tahun 1996 ...............................
97
24
Hasil analisis phytoplankton di SMMA tahun 2000 .......................
98
25
Jenis-jenis ikan di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke tahun 2000 .......................................................................................
99
Hasil analisis biota air (kelimpahan zooplankton, ind/l) pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke .................
100
Hasil analisis biota air (kelimpahan phytoplankton, ind/l) pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke..........
101
Hasil analisis biota air (kelimpahan benthos, ind/m 2) pada berbagai plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke ..............................................................................................
102
Kondisi penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Pluit ................................................................................
106
Jumlah penduduk menurut kelas umur dan jenis kelamin di Keluruhan Kamal Muara .................................................................
108
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Kamal Muara .................................................................
108
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Kapuk Muara .................................................................
110
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di kelurahan penjaringan .....................................................................
111
Rata-rata tingkat pendapatan penduduk di Kelurahan Penjaringan, Muara Kamal, dan Pluit ..................................................................
112
Rata-rata tingkat pendapatan penduduk di Kelurahan Kapuk Muara dan Tegal Alur .....................................................................
112
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan lindung menurut persentase penilaian responden .........................................
114
Persepsi masyarakat terhadap manfaat kawasan lindung menurut persentase penilaian responden .......................................................
117
Persepsi masyarakat pelestarian kawasan lindung menurut persentase penilaian responden .......................................................
119
Persentase masyarakat yang pernah mengalami gangguan lingkungan di kawasan Muara Angke, Jakarta................................
124
Jenis gangguan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar Muara Angke, Jakarta .................................................................................
124
26 27 28
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
41
Frekuensi abrasi yang dialami responden selama 10 tahun terakhir ............................................................................................
125
Frekuensi kerusakan yang dialami responden selama 10 tahun terakhir ............................................................................................
125
Frekuensi intrusi air laut yang dialami responden dalam 10 tahun terakhir ............................................................................................
126
44
Kerugian akibat intrusi air laut dalam 10 tahun terakhir .................
126
45
Frekuensi banjir rob dalam 10 tahun terakhir .................................
127
46
Kerugian akibat banjir dalam 10 tahun terakhir ..............................
127
47
Fasilitas dan sarana prasarana penunjang wisata mangrove DKI Jakarta..............................................................................................
148
Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penahan abrasi ....................................................................
159
Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penahan intrusi ...................................................................
160
Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penyerap karbon .................................................................
161
Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penjerap limbah ..................................................................
162
Estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai penyedia unsur hara ............................................................
163
Estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai tempat pemijahan ...............................................................
164
Estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai penghasil oksigen ...............................................................
164
55
Nilai ekonomi manfaat pilihan hutan mangrove Muara Angke ......
165
56
Estimasi nilai ekonomi manfaat pewarisan hutan mangrove Muara Angke ..............................................................................................
165
57
Estimasi nilai total hutan mangrove Muara Angke (478 ha)...........
167
58
Hasil analisis MDS beberapa parameter statistik keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ...............................
176
Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan dan masing-masing dimensi pengelolan kawasan mangrove Muara Angke ..............................................................................................
178
Luas perubahan garis pantai kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai tahun 2010.................................................
179
Faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan untuk setiap dimensi ............................................................................................
195
42 43
48 49 50 51 52 53 54
59
60 61
62 63
64 65 66 67 68 69
Stakeholder yang terkait dengan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ...................................................................................
200
Klasifikasi Hutan Konservasi dan Hutan Lindung menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 ............
203
Matriks prioritas komponen SWOT kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ...................................................
210
Matriks prioritas faktor strentghs kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ..................................................................
210
Matriks prioritas faktor weaknesses kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ...................................................
211
Matriks prioritas faktor opportunities kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ...................................................
211
Matriks prioritas faktor threats kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ..................................................................
212
Bobot dan prioritas kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan ............................................................
215
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pikir penelitian .....................................................................
9
2
Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993) ......
27
3
Tahapan penelitian ...............................................................................
40
4
Karakteristik reflektansi spektral pada masing-masing tutupan lahan .
44
5
Tipologi barang dan jasa sistem sumberdaya dan lingkungan: Total Economic Value (Pagiola et al. 2004) .................................................
48
6
Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS ...........................
51
7
Lokasi kawasan hutan Muara Angke DKI Jakarta (Sumber: Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta 2011) ..........................................
60
Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989 ......................................................................................................
79
Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001 ......................................................................................................
81
Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006 ......................................................................................................
83
11
Berbagai bentuk dimensi breakwater ...................................................
133
12
Penanaman mangrove dengan sistem guludan .....................................
134
13
Kondisi pertumbuhan tanaman mangrove dengan metode guludan ....
134
14
Penanaman mangrove dengan bibit langsung ......................................
135
15
Kondisi sarana prasarana pengelolaan tahun 2000 dan tahun 2011 .....
136
16
Sarana dan prasarana di Hutan Lindung Angke Kapuk .......................
136
17
Sarana dan prasarana di Ekowisata Mangrove .....................................
137
18
Persentase tingkat pendidikan responden .............................................
144
19
Pekerjaan responden .............................................................................
145
20
Tingkat pendidikan responden TWA Angke Kapuk ............................
147
21
Persepsi responden terhadap lokasi wisata TWA Angke Kapuk .........
149
22
Tingkat pendidikan responden TCM di Ekowisata Tol Soedyatmo ....
151
23
Persepsi responden terhadap lokasi wisata Ekowisata Tol Soedyatmo. ........................................................................................... 151
24
Tingkat pendidikan responden TCM Suaka Margasatwa Muara Angke ................................................................................................... 152
8 9 10
25
Persepsi responden terhadap lokasi wisata Suaka Margasatwa Muara Angke ........................................................................................ 153
26
Status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta................................................................................................... 174
27
Perubahan garis pantai pada kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai tahun 2010 ............................................................. 180
28
Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke .................................... 181
29
Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke .................................... 184
30
Atribut sosial yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke .................................... 187
31
Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke .................................... 191
32
Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke .................................... 192
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1
Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Hutan Lindung Muara Angke tahun 2002 ................................................................................ 233
2
Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke pada tahun 2002 ........................................................................ 235
3
Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Kebun Bibit Muara Angke pada tahun 2002 ................................................................................... 239
4
Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Hutan Wisata Muara Angke pada tahun 2002 ........................................................................ 240
5
Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Hutan Lindung Muara Angke pada tahun 2011 ........................................................................ 245
6
Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke pada tahun 2011 ........................................................................ 248
7
Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Arboretum Muara Angke pada tahun 2011 ................................................................................... 249
8
Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Taman Wisata Alam Muara Angke pada tahun 2011 ............................................................ 250
9
Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di kawasan Ekowisata Muara Angke pada tahun 2011 ........................................................................ 251
10
Identifikasi nilai ekonomi sumberdaya alam kawasan mangrove Muara Angke per lokasi ....................................................................... 252
11
Total nilai ekonomi sumberdaya alam kawasan mangrove Muara Angke per lokasi................................................................................... 253
12
Nilai ekonomi cacing dengan metode penilaian pasar aktual ..............
13
Nilai ekonomi ikan dan kepiting tangkap dengan metode penilaian pasar aktual ........................................................................................... 255
14
Nilai ekonomi memancing dengan metode penilaian dengan biaya perjalanan (TCM) ................................................................................. 257
15
Nilai ekonomi wisata dengan metode penilaian dengan biaya perjalanan (TCM) ................................................................................. 258
16
Nilai penahan abrasi dengan metode penilaian replacement cost atau biaya pengganti .................................................................................... 259
17
Nilai penahan intrusi air laut atau pelindung supplai air tawar (barrier antara akuifer dan laut) ............................................................ 260
18
Nilai penyerapan karbon dengan metode penilaian benefit transfer ....
19
Nilai penjerap limbah atau polutan dengan pendekatan penilaian change in productivity approach.......................................................... 262
254
261
20
Nilai penyedia unsur hara atau nutrisi dengan pendekatan metode biaya pengganti (replacement cost)...................................................... 264
21
Nilai ekonomi mangrove sebagai daerah pemijahan (spawning) dan asuhan (nursery) dengan pendekatan metode biaya pengganti (replacement cost) ................................................................................ 265
22
Nilai manfaat penghasil oksigen dengan metode pendekatan substitution cost .................................................................................... 266
23
Nilai pilihan dengan menggunakan metode benefit transfer................
267
24
Nilai manfaat keberadaan .....................................................................
268
25
Nilai pewarisan (bequest value) ...........................................................
269
26
Budidaya tambak ..................................................................................
270
27
Hasil analisis A’WOT terhadap faktor-Faktor internal dan eksternal pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke .................................... 273
28
Kuesioner penentuan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta........................................................... 276
29
Kuesioner nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke Jakarta................................................................................................... 294
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu
atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Nybakken (1982) mendeskripsikan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Bakosurtanal (2009) menyebutkan bahwa luas kawasan mangrove di Indonesia yang bervegetasi adalah sekitar 3.244.018,46 ha. Akan tetapi luas hutan mangrove tersebut telah banyak mengalami penurunan kualitas dan kuantitas yang dikarenakan kegiatan konversi (tambak, pemukiman, persawahan), penebangan kayu yang tidak bertanggung jawab (kayu bakar, pembuatan arang). Kecenderungan konversi hutan mangrove menjadi bentk penggunaan lahan lain semakin meningkat, yang didasari semata-mata kepentingan ekonomi dan kurang memperhatikan keberlanjutan kepentingan ekologi dan sosial. Luas hutan mangrove di wilayah Kamal dan Angke (Muara Angke) DKI Jakarta pada tahun 1990 sekitar 1.144 ha, namun karena kebijakan pemerintah sebagian besar kawasan mangrove dikonversi menjadi kawasan pemukiman. Pada saat ini kawasan mangrove Muara Angke tinggal tersisa 327,7 ha dengan status sebagai kawasan Hijau Lindung dan seluas 150 ha sebagai areal budidaya tambak. Selain mengalami penurunan kuantitas, kawasan mangrove Muara Angke juga terus mengalami tekanan berupa pencemaran limbah rumah tangga, limbah industri, penebangan liar, dan sampah padat. Tujuan ditetapkannya kawasan ini sebagai kawasan Hijau Lindung (hutan lindung, suaka margasatwa, hutan wisata, kebun bibit, dan jalur hijau) adalah untuk perlindungan kehidupan keanekaragaman jenis satwaliar (burung-burung air, mamalia, reptilia, dan biota perairan) beserta ekosistemnya, yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat pendidikan, penelitian, dan wisata alam. Akan tetapi kondisi lingkungan dan hutannya telah rusak akibat kegiatan pembangunan di
2 DKI Jakarta yang menimbulkan dampak negatif langsung dan tidak langsung terhadap keberlanjutan manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove. Kawasan mangrove Muara Angke merupakan kawasan ekosistem mangrove yang paling dekat dengan pusat pemukiman dan Ibukota Negara Republik Indonesia, memiliki aksesibilitas baik, masih mencerminkan ekosistem mangrove yaitu: air payau, terpengaruh pasang surut, keanekaragaman jenis burung cukup tinggi (burung air, burung dari daratan, burung endemik pesisir), terdapat populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang merupakan sisa-sisa populasi monyet asli Jakarta. Upaya pengelolaan terhadap kawasan hutan mangrove Muara Angke masih terbatas (dana, sumberdaya manusia, sarana prasarana, ketersediaan informasi), sehingga tidak mampu meningkatkan kualitas lingkungan hutan mangrove dan meningkatkan keberlanjutan fungsi dan manfaat kawasan. Bahkan timbul kesan dan persepsi masyarakat bahwa kawasan konservasi tersebut tidak terurus, sehingga kondisinya semakin menurun. Perubahan kebijakan pemerintah (pusat
dan daerah) turut
pula
mempengaruhi kondisi hutan mangrove di Muara Angke. Sejak perubahan tata ruang DKI Jakarta, dimana diterbitkannya ijin pembangunan perumahan dan rekreasi Pantai Indah Kapuk oleh Pemda DKI Jakarta, serta dikonversinya hutan mangrove (tukar kawasan hutan dari hutan mangrove menjadi hutan darat) seluas lebih kurang 831,63 ha menjadi kawasan pemukiman dan rekreasi, terjadilah perubahan bentang alam secara besar-besaran, sehingga hal tersebut ikut pula mempengaruhi kualitas lingkungan hutan mangrove di Muara Angke. Rencana reklamasi pantura DKI Jakarta diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap kelestarian fungsi ekosistem hutan mangrove di Muara Angke dan sekitarnya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan kajian terhadap komponen lingkungan pembentuk hutan mangrove, komponen pengelolaan dan kebijakan, upaya-upaya rehabilitasi dan optimasi manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove dalam rangka memformulasikan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke untuk mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove tersebutdi wilayah DKI Jakarta.
3 1.2
Rumusan Masalah Kondisi hutan mangrove Muara Angke saat ini telah mengalami
kerusakan, yang disebabkan oleh perubahan lingkungan di sekitarnya dan tekanan langsung dan tidak langsung terhadap keberadaan hutan mangrove itu sendiri. Kondisi pengelolaan (prasarana dan sarana, sumberdaya manusia, dana, data, dan informasi) juga sangat lemah. Hal ini mendorong persepsi masyarakat terhadap upaya pelestarian hutan mangrove yang rendah. Faktor-faktor yang mendorong kerusakan hutan mangrove berasal dari aktivitas manusia atau pembangunan di darat (industri, restoran atau hotel, pemukiman, dan pertanian) yang memberikan kontribusi tekanan berupa pencemaran (limbah cair), sedimentasi, dan kerusakan (sampah), serta aktivitas manusia di perairan laut (perhubungan, perikanan atau nelayan) yang memberikan dampak negatif (pencemaran minyak, abrasi) terhadap pantai. Faktor lain yang mendorong kerusakan hutan mangrove berasal dari aktivitas manusia pada hutan mangrove itu sendiri, berupa: budidaya tambak dan penebangan kayu bakau. Aktivitas semua pihak pada ketiga tempat tersebut (daratan atau hulu, hutan mangrove, dan perairan laut) telah menimbulkan dampak negatif terhadap keberadaan dan keberlanjutan fungsi hutan mangrove Muara Angke. Kebijakan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta ikut serta memberi peluang terhadap terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove Muara Angke, yaitu: konversi hutan mangrove (831,63 ha) menjadi wilayah pemukiman Pantai Indah Kapuk dan rencana reklamasi pantai. Lemahnya fungsi pengawasan terhadap kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan pencemaran (industri, restoran, dan perhotelan) juga ikut serta semakin meningkatnya intensitas pencemaran lingkungan, termasuk menurunnya kualitas lingkungan hutan mangrove Muara Angke. Di samping itu, status kawasan mangrove Muara Angke (hutan lindung, taman wisata alam, suaka margasatwa, lahan dengan tujuan istimewa dan arboretum, tambak) yang dikelola oleh Dinas Kelautan dan Pertanian, BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam), PT. Murindra Karya Lestari, Badan Riset Kementrian Kelautan dan Perikanan telah mendorong tidak harmonisnya pengelolaan kawasan mangrove 477,7 ha. Lemahnya koordinasi dan tidak
4 berjalanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi pengelolaan telah menyebabkan pengelolaan kawasan mangrove dilakukan secara parsial dan tidak terpadu. Pengembangan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke di DKI Jakarta sangat penting untuk mendukung sarana pendidikan lingkungan, penelitian, dan wisata alam bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya, serta sebagai ruang terbuka hijau dan meningkatkan kualitas kawasan lindung. Terbatasnya ruang untuk melakukan kegiatan di alam terbuka telah mendorong upaya pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kegiatan wisata alam (pemancingan, rekreasi, penelitian, dan pendidikan lingkungan). Berdasarkan kondisi dan permasalahan serta pengembangan pengelolaan kawasan lindung DKI Jakarta, maka pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta berkelanjutan perlu kajian yang meliputi: a.
Bagaimana kondisi lingkungan ekosistem mangrove di Muara Angke?
b.
Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke?
c.
Sejauhmana status keberlanjutan pengelolaan mangrove di Muara Angke?
d.
Bagaimana arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke pada masa mendatang?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
a. Mengidentifikasi kondisi lingkungan (biofisik) ekosistem mangrove Muara Angke b. Mengkaji kondisi sosial masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke c. Menganalisis nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke d. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke e. Merumuskan arah kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan.
5 1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rumusan yang berguna
dalam upaya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta berkelanjutan, yang meliputi: a. Bagi iptek adalah memperkaya khasanah pengetahuan dan gagasan di bidang pengelolaan mangrove secara berkelanjutan b. Bagi pengambil keputusan adalah tersedianya arahan kebijakan dan strategi pengelolaan mangrove berkelanjutan yang dapat diaplikasikan di Muara Angke Jakarta c. Bagi praktisi adalah tersedianya arahan dan strategi untuk praktek pengelolaan mangrove yang berkanjutan di Muara Angke.
1.5
Kerangka Pikir Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan angin dan tsunami, penyerap limbah, dan pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan fungsi sosial sebagai lahan interaksi bagi masyarakat. Kebijakan pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) yang mengkonversi kawasan mangrove seluas 831,63 ha telah menyebabkan penurunan nilai dan fungsi kawasan mangrove. Di samping itu kebijakan penetapan status kawasan mangrove (hutan lindung, taman wisata alam, suaka margasatwa, arboretum, lahan dengan tujuan istimewa, tambak) telah mendorong pengelolaan kawasan berjalan secara parsial dan tidak terpadu. Kondisi ini didorong oleh rendahnya kesadaran masyarakat dan rendahnya komitmen pemerintah dan pemerintah Propinsi DKI Jakarta, telah mendorong semakin rusaknya ekosistem mangrove Muara Angke. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi. Konflik kepentingan antar sektor seperti: Kementrian
6 Kehutanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Pekerjaan Umum maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan degradasi kuantitas (kerapatan dan luas) maupun kualitas (komposisi jenis dan proporsi) mangrove di Muara Angke semakin dipercepat. Ancaman kerusakan bagi kawasan mangrove sebagian besar berasal dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung melalui: alih fungsi atau konversi, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi. Secara tidak langsung melalui fenomena alam seperti: meningkatnya muka air laut, banjir (rob). Banyak kawasan mangrove hancur akibat alih fungsi mangrove untuk tambak, industri, dan permukiman tanpa mengindahkan kaidah konservasi lingkungan (Wartaputra 1990; Kusmana 2002). Perubahan hutan mangrove menjadi tambak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama jika terjadi pembukaan berlebihan yang menyebabkan oksidasi pirit dan intrusi serta abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan sangat sulit direhabilitasi (Naamin 2002; Soedharma et al. 1990). Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang berlebihan untuk perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya, serta adanya pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Perbedaan persepsi dari cara pandang antara peran mangrove terhadap lingkungan dan alih fungsi menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan, seperti kasus Muara Angke. Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat dibandingkan sektor lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit dikendalikan. Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
7 Persepsi masyarakat terhadap mangrove juga merupakan salah satu yang mendorong kerusakan ekosistem mangrove. Salah satu bentuknya adalah pengembangan tambak ekstensif yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Supriharyono (2000) menyatakan kerusakan hutan mangrove terutama disebabkan oleh banyaknya konversi hutan mangrove yang dijadikan tambak. Budhisantoso (1998) menyebutkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan pengembangan kawasan pesisir adalah menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan pesisir tidak terbatas pada pembinaan kelestarian alam, melainkan juga upaya pemberdayaan penduduk secara perseorangan maupun kolektif. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan karena perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus terjadi. Dalam pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat lokal dilibatkan dalam proses pengelolaan kawasan mangrove. Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia, antara lain adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial ekonomi masyarakat, sisitem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan kelembagaan (Machfuddin dan Nasendi 1997). Kebijakan mengenai konversi lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir. Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan, mengakibatkan kualitas, dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami ancaman dari berbagai pemangku kepentingan. Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan demikian, kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan hutan mangrove perlu dipertimbangkan sehingga terjadi sinergi dalam pemanfaatan secara lestari.
8 Perbedaan kepentingan antar stakeholder terhadap pemanfaatan hutan mangrove, seperti antara sektor kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan, transmigrasi, perhubungan, pariwisata, dan sektor perindustrian, menimbulkan tekanan yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Terjadinya degradasi hutan mangrove juga disebabkan oleh pencurian dan penebangan yang tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Agar permasalahan pengelolaan mangrove dapat direpresentasikan, maka perlu pemahaman mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan pengelolaan mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan peraturan perundangan yang ada, sehingga konsep perencanaan dan pemanfaatan mangrove dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Muara Angke, maka diperlukan pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang ada saat ini, evaluasi kebijakan pemanfaatan mangrove di Muara Angke, dan analisis kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di masa mendatang. Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam penyusunan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Muara Angke. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung upaya ini perlu dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan hasil keputusan ini merupakan rekomendasi untuk kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke - Jakarta yang berkelanjutan. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
9 Kebijakan pembangunan wilayah pesisir
Kebijakan pengelolaan mangrove
Kondisi biofisik ekosistem mangrove
Kondisi sosial ekonomi masyarakat
Perubahan luas lahan mangrove
Nilai ekonomi mangorve
Pola pemanfaatan oleh stakeholder
Faktor-faktor penentu keberlanjutan pengelolaan mangrove
Kepentingan masyarakat dan pengusaha
Arahanpengelolaan kebijakan Strategi dan Strategi mangrove pengelolaan berkelanjutan mangrove berkelanjutan
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian. 1.6
Novelty Kebaruan dari penelitian ini adalah pendekatan baru dalam merumuskan
‘Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke DKI Jakarta berdasarkan kajian Aspek Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi Masyarakat’.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ekosistem Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu
atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8 % (Departemen Kehutanan 1994). Nybakken (1982) mendeskripsikan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove dicirikan oleh: tumbuhan dari 9 genus (Avicennia, Snaeda, Laguncularia, Lumnitzera, Conocarpus, Aegiceras, Aegialitis, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan Sonneratia), memiliki akar napas (pneumatofor), adanya zonasi (Avicennia, Sonnetaria, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan Nypa), tumbuh pada substrat tanah berlumpur atau berpasir dan variasinya, salinitas bervariasi. Berdasarkan Haan (1935) dan Watson (1935) dalam Departemen Kehutanan (1994) menyebutkan bahwa tempat tumbuh hutan mangrove adalah: tempat yang memiliki salinitas (0 % dengan sedikit dipengaruhi pasang surut sampai salinitas 1030 % dengan digenangi 1-2 kali/hari), dan tempat yang digenangi (kadang-kadang digenangi oleh air pasang tertinggi sampai tempat digenangi air pasang dengan genangan 56-62 kali/bulan).
2.1.1
Luas dan Sebaran Mangrove di Dunia Berdasarkan Spalding et.al. (1997), ekosistem mangrove di dunia tersebar di
antara 30o LU dan 30o LS, dengan beberapa keanehan terdapat di sebelah utara Bermuda (32o20’ LU) dan Jepang (31o22’ LU) dan di Australia Selatan (38o45’ LS), New Zealand (38o03’ LS), serta di pantai timur Afrika Selatan (32o59’ LS).
11 Terdapat dua pusat (poros) utama keanekaragaman dari komunitas mangrove di dunia, yakni: komunitas Group Barat dan komunitas Group Timur (Tomlinson 1986 dan Spalding et.al 1997). Komunitas mangrove Group Timur tersebar sekitar Indo-Pacific yang di bagian timur dibatasi oleh komunitas mangrove di Pasific Barat dan Tengah, dan di bagian Barat dibatasi oleh komunitas mangrove pada bagian ujung Afrika Selatan. Komunitas mangrove Group Barat meliputi komunitas mangrove di pantai Afrika, Amerika sampai lautan Atlantik, laut Karibia, dan Gulf Mexico, dan juga bagian barat pantai Pasific dan Amerika. Dua Group (wilayah sebaran) tersebut memiliki komposisi floristik yang berbeda, serta komposisi jenis flora di Wilayah Timur memiliki jumlah jenis lima kali dari keanekaragaman jenis di Wilayah Barat. Pola distribusi mangrove di dunia merupakan hasil dari proses panjang dari faktor sejarah dan waktu pembentukannya. Kemungkinan pola distribusi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: dibatasi oleh letak lintang, temperatur rendah, temperatur permukaan air laut dan temperatur udara, dan terutama temperatur ekstrim. Curah hujan juga dapat mempengaruhi cukup kuat distribusi mangrove, terutama diakibatkan oleh menurunnya salinitas, sedangkan lingkungan mangrove memerlukan salinitas yang relatif lebih tinggi. Meskipun demikian mangrove mampu beradaptasi pada lingkungan payau sampai lingkungan perairan laut dengan salinitas tinggi, dan kadang-kadang salinitas lebih tinggi pada daerah pasang surut terutama di negara dengan iklim sangat kering (arid), pertumbuhan terbatas. Pada daerah dengan curah hujan rendah, jumlah spesies mangrove yang dapat hidup sangat terbatas. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi mangrove antara lain: tanah, pasang surut, geomorphologi, ketersediaan mineral, aerasi tanah, angin, arus laut, dan gelombang. Berdasarkan Spalding et.al. (1997), luas ekosistem mangrove di dunia sekitar 18.107.700 ha. Negara-negara di wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan memiliki luas hutan mangrove yang terluas di dunia dibandingkan dengan wilayah negaranegara di tempat lain. Sedangkan negara di dunia yang memiliki ekosistem hutan mangrove terluas adalah Indonesia (4.542.100 ha atau 25 % dari luas hutan mangrove
12 di dunia) disusul oleh negara Brazil (1.340.000 ha). Luas hutan mangrove pada beberapa wilayah negara di dunia seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas hutan mangrove pada beberapa wilayah negara di dunia No.
Wilayah
1
Asia Tenggara dan Asia Selatan Australia Amerika Afrika Barat Afrika Timur dan Afrika/Timur Tengah
2 3 4 5
Total Luas
Luas Mangrove (Km2) (1997)1 75.173 (41,5 %)
Luas Mangrove (Km2) (I983)2 51.766 (30,7%)
Luas Mangrove (Km2) (1993)3 76.226 (38,3 %)
18.789 (10,4 %) 49.096 (27,1 %) 27.995 (15,5 %) 10.024 (5,5 %)
16.980 (10,0 %) 67.446 (40,0 %) 27.110 (16,0 %) 5.508 (3,3 %)
15.145 (7,6 %) 51.286 (25,8 %) 49.500 (24,9 %) 6.661 (3,4 %)
181.077 Km2 (18.107.700 Ha)
168.810 Km2 (16.881.000 Ha)
198.818 Km2 (19.881.800 Ha)
Keterangan: 1. Spalding M, Blasco F, Field C (1997) 2. ITTO (1983). 3. Fisher and Spalding (1993).
2.1.2
Luas dan Sebaran Hutan Mangrove di Indonesia Menurut Kementrian Kehutanan (2006), luas hutan mangrove Indonesia
7.804.444,80 ha dan hasil interpretasi tahun 2010 seluas 3.685.241,16 ha. Sedangkan menurut Bakosurtanal (2009), luas hutan mangrove Indonesia sekitar 3.244.018,46 ha. Perbedaan hasil pengukuran ini dikarenakan metode yang dipergunakan berbeda. Hasil pengukuran Bakosurtanal didasarkan atas perhitungan luas lahan mangrove yang bervegetasi, sedangkan hasil pengukuran Kementrian Kehutanan (2006) didasarkan atas lahan bervegetasi dan land system yang termasuk mangrove. Secara rinci, luas kawasan mangrove di Indonesia disajikan pada Tabel 2.
13 Tabel 2 Luas mangrove Indonesia menurut Kementrian Kehutanan dan Bakosurtanal (2006-2010) No
Provinsi
BPDAS
422.703,00 364.581,15 261.285,33 178.417,55 52.566,88 61.534,00 1.693.112,11
Luas Rekap RTK RHL MSP tahun 2010 3 60.726,82 22.352,80 37.966,41 64.821,80 5.736,26 8.073,33 596.697,46
Luas Hasil Pemetaan BAKOSURTANAL 2009 4 22.950,321 50.369,793 206.292,642 54.681,915 12.528,323 3.002,689 149.707,431
273.692,82 46.034,28 866.149,00 116.824,00 30.497,71 342.600,12 883.379,00
31.701,37 1.904,90 4.403,95 135.181,50 64.663,23 127.864,00 1.121.925,27
64.567,396 2.321,870 10.533,676 56.552,064 68.132,451 149.344,189 364.254,989
BPHM II
5.593.376,95
2.284.019,11
1.215.239,749
Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Barat Jawa Tengah Jogyakarta Jawa Timur
1.180,48 259,93 13.883,20 0,00 50.690,00 0,00 66.466,30 5.817,40 199.946,60 2.215,50 18.356,88 40.640,85 32.384,49 32.934,62 29.621,56 3.000,00 2.772,30 26.206,00 74.348,82 128.035,00 43.887,00 430.604,00 1.007.817,00 2.211.067,93 7.804.444,88
1 1 2 3 4 5 6 7
2 NAD Sumatera Utara Riau Kep. Riau Jambi Sumatera Barat Sumatera Selatan
3 Krueng Aceh Asahan Barumun Indragiri Rokan Kep. Riau Batanghari Agam Kuantan Musi
8 9 10 11 12 13 14
Bangka-Belitung Bengkulu Lampung Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Kalimantan Timur
Baturusa Cerucuk Ketahun Way Seputih-Sekampung Barito Kahayan Kapuas Mahakam Berau
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Citarum Ciliwung Citarum Ciliwung Citarum Ciliwung Cimanuk-Citanduy Pemali Jratun SOP Solo Brantas Sampean Madura Bali Unda Anyar NTB Dodokan Moyosari NTT Benain Noelmina Sulawesi Utara Tondano Gorontalo Bone Bolango Sulawesi Tengah Palu - Poso Sulawesi Barat Lariang Mamasa Sulawesi Selatan Saddang Jeneberang Walanae Sulawesi Tenggara Sampara Maluku Waehapu Batu Merah Maluku Utara Ake Malamo Papua Barat Remu Rasinki Papua Memberamo BPHM I TOTAL
Luas pada Tahun 2006 3
2.2
Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove
2.2.1
Zonasi Hutan Mangrove
22.407,39 8.127,33 40.366,13 88,32 69.886,30 54.360,14 7.348,06 454,90 13.931,00 10.800,00 12.063,00 26.475,64 88.030,16 1.507,00 58.551,95 13.082,00 46.706,10 92.648,33 46.259,41 431.257,90 356.871,00 1.401.222,05 3.685.241,16
2.936,188 500,675 7.932,953 4.857,939 0,000 18.253,871
1.925,046 11.921,179 20.678,450 12.445,712 12.315,465 43.746,508 3.182,201 12.821,497 62.506,924 139.090,920 39.659,729 475.734,835 1.158.268,619 2.028.778,711 3.244.018,460
Jenis-jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona-zona atau jalurjalur. Berdasarkan hal tersebut, hutan mangrove dapat dibagi ke dalam beberapa mintakat (zona), yaitu Sonneratia, Avicennia (yang menjorok ke laut), Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan asosiasi Nypa. Pembagian zona tersebut mulai dari bagian yang paling kuat mengalami pengaruh angin dan ombak, yakni zona terdepan yang
14 digenangi air berkadar garam tinggi dan ditumbuhi pohon pioner (misalnya Sonneratia sp.) dan di tanah lebih padat tumbuh Avicennia sp.. Makin dekat ke darat makin tinggi letak tanah dan dengan melalui beberapa zona peralihan akhirnya sampailah pada bentuk klimaks. Pada endapan lumpur yang kokoh lebih umum terdapat Avicennia marina, sedang pada lumpur yang lebih lunak diduduki Avicennia alba (Van Steenis 1958). Pada belakang zona-zona ini terdapat Bruguiera cylindrica tercampur dengan Rhizophora apiculata, R. mucronata, B. parviflora, dan Xylocarpus granatum (yang puncak tajuknya dapat mencapai 35-40 meter). Zonasi tersebut akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, bergantung dari keadaan tempatnya. Misalnya di Cagar Alam Pulau Rambut diketahui terdiri dari tiga zona dari laut ke darat yaitu, zona Rhizophora mucronata, R. Stylosa, dan zona Scyhiphora. Adapun di Cilacap terdapat 3 zona, yaitu zona Avicennia atau Sonneratia, zona Rhizophora dan zona Bruguiera (LPP Mangrove 1998).
2.2.2
Habitat Hutan mangrove telah menarik perhatian berbagai ahli biologi sejak abad 19,
terutama karena kekhasannya, yaitu kehadiran berbagai macam bentuk akar, seperti akar napas, akar tunjang, dan akar lutut. Schimper (1898) menganggap hutan mangrove ini sebagai vegetasi xerofil yang secara fisiologi habitatnya kering karena kadar garam yang tinggi dalam air rawa (Steenis 1958). Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya pergoyangan beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu, dan salinitas. Karena itu hanya jenis-jenis tumbuhan dan binatang yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor fisik itu dapat bertahan dan berkembang di hutan mangrove. Kenyataan ini menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil saja, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing jenis umumnya besar.
15 Meskipun habitat hutan mangrove bersifat khusus, setiap jenis biota laut di dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan masing-masing mempunyai relung khusus (Steenis 1958). Hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan bahkan zonasi, sehingga komposisi jenis berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Steenis (1958) mengemukakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan adanya ''Ecological Preference" berbagai jenis adalah kombinasi faktor-faktor berikut ini: 1). Tipe tanah: keras atau lembek, kandungan pasir dan liat dalam berbagai perbandingan 2). Salinitas: variasi harian dan nilai rata-rata pertahun secara kasar sebanding dengan frekuensi, kedalaman, dan jangka waktu genangan 3). Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak 4). Kombinasi perkecambahan dan pertumbuhan semai dalam hubungannya dengan amplitudo ekologi jenis-jenis terhadap tiga faktor di atas. Steenis (1958), dan ditegaskan pula oleh Soerianegara (1971) dan Kartawinata & Waluyo (1977), bahwa faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi di hutan mangrove adalah sifat-sifat tanah (mineralogi dan fisik) dan bukan hanya faktor salinitas. Pengaruh faktor ini jelas pada penyebaran Rhizophora (R. mucronata tumbuh pada lumpur yang dalam dan lembek, R. stylosa pada pantai pasir atau terumbu karang, R. apiculata pada keadaan transisi). Mengenai pengaruh salinitas, Steenis (1958) mengatakan bahwa faktor ini bukan faktor utama, dan berhubungan erat dengan faktor pasang surut. Meskipun demikian pengaruh nyatanya dapat terlihat pula, misalnya bila salinitas berkurang karena estuaria dan goba yang tertutup, hutan Rhizophora mati dan diganti oleh jenis yang tumbuh di tempat yang kurang asin, seperti Lumnitzera. Hal yang sama tentang Bruguiera cylindrica dilaporkan oleh Watson (1928) di Malaya. Pengaruh kecepatan arus dapat terlihat sepanjang sungai yang mengalami pasang surut setiap hari. Pada tepian yang dipengaruhi oleh aliran yang deras, misalnya pada belokan, biasanya tumbuh jenis-jenis yang mempunyai sistem
16 perakaran yang tahan terhadap keadaan demikian, seperti Nypa fruticans yang berakar serabut.
2.2.3
Klasifikasi Tempat Tumbuh Pengaruh pasang surut terhadap penyebaran jenis-jenis mangrove Indonesia
belum diteliti dengan terperinci. Di semenanjung Malaya hal ini telah dikerjakan oleh Watson (1928) dalam Steenis (1958) yang menghasilkan suatu klasifikasi genangan air pasang berdasarkan sifat-sifat pasang di suatu tempat. Diperkirakan klasifikasi ini berlaku juga untuk kawasan Indonesia. Watson (1928) mengemukakan adanya korelasi antara jenis-jenis dengan tinggi pasang dan lamanya tempat digenangi air. Dikenal lima kelas genangan, yaitu: 1). Kelas 1
: Tempat digenangi oleh air pasang (all high tides), genangan per
bulan 56 kali sampai 62 kali. Di tempat seperti ini jarang suatu jenis dapat hidup, kecuali Rhizophora mucronata yang tumbuh di tepi sungai 2). Kelas 2
: Tempat digenangi oleh air pasang agak besar (medium high tides). Di
tempat ini tumbuh jenis-jenis Avicennia dan Sonneratia. Berbatasan dengan sungai R. mucronata merajai 3). Kelas 3
: Tempat digenangi oleh pasang rata-rata (normal high tides). Tempat
ini mencakup sebagian besar hutan mangrove
yang ditumbuhi
oleh
R. mucronata, R. apiculata, Ceriop tagal, dan Bruguiera parviflora 4). Kelas 4
: Tempat digenangi oleh pasang perbani (spring tides). Di sini
Rhizophora diganti oleh Bruguiera. Pada lumpur yang keras Bruguiera cylindrica membentuk tegakan murni dan di tempat dengan drainase lebih tumbuh B. parviflora kadang-kadang dengan B. sexangula 5). Kelas 5
: Tempat kadang-kadang digenangi oleh pasang tertinggi (exeptional
or equinoctical tides). Di sini B. gymnorrhiza berkembang dengan baik, sering bersama-sama dengan pakis dan bersama-sama R.apiculata. Ke arah darat sering ditumbuhi tegakan nibung (Oncosperma filamentosa).
17 Klasifikasi tempat tumbuh hutan bakau berdasarkan salinitas dan genangan air pasang surut (Haan 1935) dalam Steenis (1958): 1). Kelas 1
: Salinitas 10-30%, tanah digenangi 1-2 kali sehari atau sekurang-
kurangnya 20 hari per bulan, jenis Avicennia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah yang lebih keras, membentuk zona luar 2). Kelas 2
: Salinitas 10-30%, tanah digenangi 10-19 hari per bulan, Bruguiera
gymnorrhiza tumbuh baik dengan tegakan membentuk zona tengah 3). Kelas 3
: Salinitas 10-30 %, tanah digenangi 9 hari atau kurang sebulan, jenis-
jenis Xylocarpus dan Heritiera berkembang disini dan membentuk zona ke 3 4). Kelas 4
: Salinitas 10-30%, tanah digenangi hanya beberapa hari saja dalam
setahun, Rhizophora dan Lumnitzera berkembang baik 5). Kelas 5
: Salinitas 0%, tanah sedikit dipengaruhi pasang surut
6). Kelas 6
: Salinitas 0%, tanah dipengaruhi oleh perubahan permukaan air hanya
pada musim basah.
2.2.4
Klasifikasi Komunitas Hutan Mangrove Terdapat tiga skema klasifikasi yang menampakan beberapa nilai umum pada
komunitas mangrove, dua pada skala sedang sampai lokal dan satu pada skala sedang sampai regional. 1.
Klasifikasi Menggunakan Tanda-Tanda Struktural Menurut Specht (1970) dalam Lugo dan Snedaker (1974), mengembangkan
suatu klasifikasi struktural dari komunitas tumbuhan mangrove dengan menggunakan bahan-bahan untuk merefleksikan sejumlah jaringan fotosintesis (berkontribusi untuk input energi) dan biomassa dari jaringan tumbuhan yang mengalami respirasi (mencakup output energi). Bahan-bahan yang digunakan adalah (1) tinggi dan bentuk kehidupan dari strata yang paling tinggi (yang meliputi perkiraan biomassa) dan (2) “Foliage Projective Cover” (FPC) dari strata yang paling tinggi. FPC adalah proporsi jaringan fotosintesis secara vertikal di atas tanah. Idealnya diukur menggunakan beberapa crosswire device untuk menjelaskan ada atau tidaknya stratifikasi tajuk vertikal sejumlah besar diseleksi secara acak pada ujung-ujung komunitas.
18 Penggunaan dua bahan ini, dapat digunakan untuk identifikasi pembentukan struktur. Pembentukan ini selanjutnya bisa dibatasi meliputi nama genus atau spesies yang dominan (seperti Avicennia woodland). Penggunaan klasifikasi ini pada kisaran pembentukan struktur mangrove dapat dilihat pada Tabel 3. Pada umumnya di sini adalah komunitas-komunitas tertutup. Jarang pohon-pohon yang tingginya melebihi 30 meter. Kanopi terbuka berhubungan dengan tingginya salinitas tempat, sering atau hampir mendekati sumber air yang tinggi levelnya (high-water spring level), dimana curah hujan atau run-off rendah atau keadaan sedang. Kanopi terbuka bisa juga karena adanya air tergenang yang merupakan suatu bentuk lingkungan dan beberapa contoh yang lain, pada komunitas yang pendek (dwarf) strukturnya tidak bisa dijelaskan dengan cepat.
Tabel 3 Pembentukan struktur komunitas mangrove Australia Bentuk hidup dan tinggi dari strata paling tinggi Pohon1)
Foliage Projective Cover of Tallest Stratum Rapat Kerapatan sedang 70-100% 30-70% 30 m Hutan tertutup tinggi -
Pohon
10-30 m hutan tertutup
Pohon
5-10 Hutan tertutup rendah
Hutan terbuka rendah
Tanah hutan rendah
Belukar2)
Belukar tertutup
Belukar terbuka
Tanah belukar tinggi
-
Jarang 10-30% -
Sumber : Lugo dan Snedaker (1974) Keterangan : 1) Suatu pohon dibatasi sebagai tumbuhan kayu, tinggi lebih dari 5 m dengan suatu batang tunggal 2) Semak dibatasi sebagai suatu tumbuhan kayu, tingginya kurang dari 8 m biasanya banyak tumbuhan lain pada bagian dasarnya.
Asumsi yang dibuat pada klasifikasi ini yaitu komunitas adalah sempurna (mature) yaitu mempunyai kemampuan penuh untuk merefleksikan pengaruh dari keseimbangan air, pemupukan tanah, suhu, dan cahaya. Dalam istilah pengetahuan biogeografi ekologi komunitas tumbuhan mangrove, penggunaan klasifikasi ini adalah ekstrim. Parameter terseleksi (FPC dan tinggi) dihubungkan dengan pertumbuhan komunitas dan akibatnya memungkinkan beberapa interpretasi fungsional dari variasi struktur untuk dibuat. Suatu penfasiran komunitas tumbuhan
19 mangrove akan memberitahukan kunci tentang lingkungan dan medekati beberapa prediksi secara langsung tentang perubahan komunitas yang mengikuti manipulasi lingkungan. 2.
Klasifikasi Penggunaan Tanda-Tanda Fisiografi dan Struktural Lugo dan Snedaker (1974), memperkirakan bahwa komunitas mangrove
menunjukan suatu bentuk kisaran yang luas, suatu bentuk yang sering digunakan untuk klasifikasi adalah didasarkan pada proses-proses dan hidrologi (geomorphic and hydrological). Enam tipe komunitas mempunyai serangkaian karakteristik variable lingkungan seperti: tipe tanah dan kedalaman, kisaran salinitas tanah, dan kecepatan pengaliran pasang. Selanjutnya setiap tipe komunitas mempunyai kisaran karakteristik produksi utama, pelapukan serasah dan pengiriman karbon selama recycling nutrien pada kecepatan yang berbeda pada komponen-komponen komunitas. Tipe-tipe tersebut adalah: a. Overwash mangrove forest: hutan mangrove ini terdapat pada pulau kecil dan proyeksi kecil terbentuk dari massa tanah yang banyak pada teluk yang dangkal dan estuarin. Posisinya lurus dihalangi oleh aliran pasang, dan tipe hutan ini sering tergenang (overwashed) oleh pasang dan banyak bahan-bahan organik yang tercuci b. Fringe mangrove forest (hutan mangrove rumbai): hutan ini berbentuk rumbai tipis dilindungi oleh garis pantai dan pulau, paling baik berkembang sepanjang garis pantai yang elevasinya lebih tinggi dari pasang rata-rata. Kecepatan datang dan surutnya pasang adalah rendah, sistem akar tunjang berkembang dengan baik semua menjerat namun sedikit bahan organiknya yang terurai c. Riverine mangrove forest: hutan ini mempunyai tinggi lebih 20 meter, hutan ini terjadi karena pasang (floodplain) sepanjang aliran sungai dan teluk. Hutan ini biasanya dipengaruhi oleh pasang harian dan sering terdapat di depan hutan rumbai-rumbai menempati slope pada sisi teluk
20 d. Basin mangrove forest: hutan ini terdapat pada daerah pedalaman selama saluran drainase terdepresi oleh aliran permukaan tanah ke arah pantai e. Hummock forest: hutan ini sama dengan tipe basin, perbedaannya hutan ini terbentuk pada tanah dengan elevasi ringan (kira-kira 5-10 cm) pada area sekitarnya, sering terdapat deposit peat f. Scrub or dwarf forest: di Florida tipe komunitas ini adalah terbatas pada flat coastal southern Florida dan Keys. Individu tanaman jarang mencapai tinggi 1,5 meter, kecuali tumbuhan yang tumbuh pada mangrove peat dan pada umumnya pohon (shrubs) berumur 4 tahun atau lebih. Nutrien terbatas walaupun tinggi kandungan substrat yang mengandung kapur (calcareous) juga bisa berperan pada siklus.
3. Klasifikasi Menggunakan Geomorfologi Lingkungan a. Tanah alluvial (Alluvial Plains) Lingkungan ini ditandai oleh pantai yang kisaran pasangnya rendah dan pelepasan air tawar dan sedimen timah cepat, deposisi dari pasir, lumpur dan liat akan membentuk delta. Pembentukan delta ini ke arah laut melebihi slope garis pantai yang datar (flat offshore slopes) disusun oleh sedimen fine-grained. Delta terdiri dari distribusi bermacam anak sungai membentuk panjang (elongate), finger-like protusions, menghasilkan suatu highly crenulate coastline dengan terjadinya pendangkalan pelabuhan dan lagoons (danau sepanjang pantai) dibatasi oleh distribusi. Daerah distribusi aktif lebih banyak pada daerah yang tinggi pelepasan air tawarnya (freshwater discharge), umumnya tumbuhan yang toleran terhadap garam tidak didapatkan. Sekitar area ini distribusi juga ada hubungannya dengan keadaan lingkungan seperti penghanyutan lumpur dari garis pantai, penumpukan (reworking) pasir dan kerang oleh pengaruh ombak, keberadaan tanaman dan regenerasi, suatu fenomena terutama striking on chenier plains. Selanjutnya bagian endapan alluvial bisa menjadi suatu habitat dimana mangrove bisa tumbuh atau ditanam (dipelihara). Tanah (plains) merupakan pokok
21 untuk mengukur kecepatan pengendapan dan perubahan pelepasan air tawar dan deposit, yang ditandai oleh keanekaragaman fisik-kimia yang tinggi dan perubahan habitat yang cepat.
b. Barrier and lagoons Lingkungan ini ditandai oleh lebih banyaknya ombak dibanding tempat yang lainnya dan jumlah air yang dilepaskan dari sungai relatif rendah. Offshore barrier ilands, barrier spits, dan bay barriers adalah tipe lingkungan ini. Terbentuk delta kecil yang berbentuk jari di air tanpa adanya tekanan dari kekuatan laut. Pengaruh perubahan pasang bisa terjadi pada sistem barrier. Tumbuh-tumbuhan toleransi garam terdapat di sekitar pinggir danau (lagoons) pada habitat yang bervariasi.
c. Composite Alluvial Plains and Barriers Keberadaan lingkungan ini merupakan kombinasi antara energi ombak yang tinggi dengan pelepasan (aliran) air yang tinggi. Pasir dibawa ke laut oleh sungai dan didistribusikan dengan cepat oleh ombak sepanjang garis pantai untuk membentuk tumpukan pasir secara ekstensif. Tumbuh-tumbuhan yang toleran garam seperti mangrove terkonsentrasi di sepanjang tempat ini dan pada area dekat muara sungai dan perbatasan lagoons. Dimana kisaran pasang surut adalah besar dan iklim kering seperti keadaan delta Burdekin, habitat saling menyebar pada area interdistributary yang mana periode tergenang oleh pasang musim semi yang tinggi.
d. Drowned Bedrock Coasts Lingkungan ini bisa dijelaskan sebagai suatu lembah yang dibanjiri sungai. Kedalaman deposit adalah terbatas oleh suatu sistem lembah batuan (bedrock) yang dibanjiri oleh air laut (sea level). Deposit sungai cukup untuk masuk ke dalam suatu sistem estuaria terbuka. Pada bagian awal lembah terdapat delta sungai yang relatif kecil yang dapat dimodifikasi oleh ombak (Bunt dan Wolanski 1980 dalam Kusmana 2001). Pada muara lembah yang dibanjiri dibatasi oleh laut terbuka pasang bisa
22 menyebabkan terjadi delta, yang dibentuk oleh lumpur laut dan tumpukan pasir (sand reworked) ke arah darat selama pemunculan air laut.
e. Coral Coast Dua penampilan yang terdapat pada lingkungan ini: mangrove bisa tumbuh pada sedimen terrestrial yang terakumulasi di belakang fringing reefs, atau bisa terdapat pada sedimen coral (sand) pada platform reefs. Menurut Ongkosongo, Soemodihardjo, Abdullah (1986) dalam Mulia (1999), berdasarkan proses terbentuknya hutan mangrove dan lokasi keberadaan hutan mangrove dapat dibedakan menjadi beberapa tipe-tipe hutan mangrove sebagai berikut: e.1
Tipe Delta Terbentuk di muara-muara sungai besar, sedimen yang terbawa aliran sungai
dengan cepat mengendap membentuk delta, umumnya dengan morfologi bercabangcabang. Delta semacam ini ditemukan di Sumatera (Delta Sungai Musi, Delta Tembilahan, dan Delta Sungai Siak), Kalimantan (Delta Mahakam, Delta Tarakan, dan Delta Batu Ampar-Sungai Kapuas), dan Irian Jaya (Delta Bintuni).
e.2
Dataran Lumpur Dapat terletak di pinggiran pantai, umumnya dilatarbelakangi gunung dengan
sungai-sungai yang mengalir. Arus pasang surut yang relatif tinggi tersebut menyebarluaskan sedimen dari sungai menjadi daratan. Endapan lumpur yang luas setinggi permukaan air di waktu pasang tinggi dan apabila erosi cukup tinggi dari daerah aliran sungai tersebut, maka dapat mengakibatkan terancamnya keadaan hutan mangrove, karena dataran lumpur menjadi daratan.
e.3
Dataran Pulau Berbentuk sebuah pulau kecil yang pada waktu surut rendah muncul di atas
permukaan air. Substrat biasanya terdiri dari sedimen atas darat atau endapan karbonat laut, misalnya paparan lumpur di pulau-pulau kecil Kepulauan Seribu.
23 e.4
Dataran Pantai Habitat ini merupakann jalur sempit memanjang pantai. Substrat terdiri dari
pasir, pasir berlumpur atau batu-batuan. Komunitas ini seperti biasanya disebut hutan mangrove pinggiran (fringing mangrove). Pantai timur Lampung, dan pantai timur Sumatera Selatan serta pantai utara Jawa merupakan daratan pantai dengan substrat pembentuk lumpur dan pasir.
2.2.5
Sistem Perakaran Tumbuhan Mangrove Berdasarkan Artsornkae (1995), tumbuhan yang membentuk komunitas
mangrove dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: kelompok tumbuhan yang memiliki perakaran napas dan kelompok tumbuhan yang tidak memiliki perakaran napas (aerial roots). 1.
Perakaran Napas (Aerial Roots) Sistem perakaran napas merupakan ciri khas sebagian besar tumbuhan
mangrove, sebagai mekanisme adaptasi kondisi ekosistem pasang surut. Pada saat pasang naik, akar napas ini akan tenggelam oleh air payau/laut, dan pada saat air surut akar napas ini akan terlihat sebagai sistem perakaran yang menjalankan fungsi menopang batang, mensuplai kebutuhan air/makanan dan sebagian kebutuhan oksigen. Beberapa bentuk perakaran napas sebagai berikut: a. Akar Tunjang (Akar Jangkar) Perakaran tumbuhan mangrove yang memiliki bentuk akar tunjang nampak seperti jangkar yang menancap ke dalam tanah/lumpur, menunjang atau menopang batang/tajuk pohon, serta menjalankan fungsi fisiologis bagi proses fotosintesis dan respirasi. Jenis tumbuhan mangrove yang memeliki perakaran ini adalah genus Rhizophora.
b. Akar Tegak (Pneumatophores) Perakaran
tegak
merupakan
sistem
perakaran
tumbuhan
ke
arah
samping/horisontal dan pada setiap bagian akar akan ditunjukkan oleh keluarnya bagian akar yang keluar tegak lurus kepermukaan tanah/lumpur. Jenis tumbuhan yang
24 memiliki perakaran ini adalah: genus Avicennia dan Sonneratia. Akar tegak dari genus Avicennia memiliki tinggi kurang dari 3 cm, sedangkan akar tegak dari genus Sonneratia memiliki tinggi sampai 3 meter. Pada kedua perakaran genus Avicennia dan Sonneratia mengandung klorofil pada bagian permukaan akar.
c. Akar Lutut Sistem perakaran ini merupakan akar yang tumbuh dari pangkal batang secara horisontal dan pada bagian tertentu secara periodik tumbuh bagian akar menuju permukaan tanah, namun ujung dari permukaan akar yang muncul ke permukaan tanah/lumpur tidak meruncing, melainkan tumpul. Oleh karena itu disebut akar lutut/menyerupai bentuk lutut manusia. Jenis tumbuhan mangrove yang memiliki akar lutut adalah: genus Bruguiera, Xylocarpus molucensis, Xylocarpus mekongensis, dan genus Lumnitzera, genus Ceriops dan Campthostemon menyerupai tipe akar ini.
d. Akar Papan Sistem perakaran ini merupakan akar horisontal dan sepanjang perakaran tidak terdapat bagian akar yang meuncul ke permukaan tanah/lumpur. Biasanya jenis tumbuhan yang memiliki perakaran ini berada pada tempat yang jarang terkena pasang naik air laut/payau. Jenis tumbuhan yang memiliki perakaran ini antara lain: Xylocarpus granatum, dan genus Heritiera.
2.
Mangrove Tanpa Perakaran Napas Jenis tumbuhan mangrove yang tidak memiliki perakaran napas (aerial roots)
antara lain: genus Aegiceras, Aegialitis, Excoecaria, Kandelia, Osbornea, Scyphiphora, dan Nypa.
2.2.6
Kenekaragaman Hayati Ekosistem Hutan Mangrove
1.
Flora Diperkirakan kurang lebih terdapat 70 spesies mangrove khas (komponen
mayor dan minor), 40 spesies di antaranya tumbuh di Asia Tenggara, kira-kira 15
25 spesies tumbuh di Afrika dan 10 spesies di Amerika (JICA 1999). Soemodihardjo (1993) menegaskan bahwa mangrove di Indonesia terdiri atas 15 famili, 18 genus, 41 spesies, dan 116 spesies yang berasosiasi. Berdasarkan Kusmana (1993) di Indonesia saat ini paling sedikit terdapat sekitar 101 jenis tumbuhan mangrove baik yang khas maupun tidak khas habitat mangrove, yang terdiri atas: 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba dan rumput, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit.
2.
Fauna Alikodra et al. (1990) melaporkan bahwa di hutan mangrove muara Cimanuk
dan Segara Anakan berturut-turut terdapat 23 jenis dan 16 jenis burung Wader, 12 jenis di antaranya termasuk jenis burung yang melakukan migrasi. Di samping itu beberapa jenis primata terdapat di hutan mangrove antara lain: bekantan (Nasalis larvatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis sp.). Juga dijumpai jenis reptilia, seperti: biawak (Varanus salvator), kadal, beberapa jenis ular dan buaya muara (Crocodylus porosus). Kartawinata et Al. (1979) dalam Kusmana (1993) melaporkan bahwa di Indonesia paling sedikit terdapat 90 jenis fauna laut di habitat mangrove yang terdiri atas Gastropoda (50 spesies), Bivalvia (6 spesies), dan Crustacea (34 spesies).
2.2.7
Konsep Pembangunan Berkelanjutan Menurut World Commision on Environment and Development (WCED,
1987).
Pembangunan
berkelanjutan
atau
sustainable
development
adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Greend dan Szabalcs (1994) menyatakan bahwa kebutuhan masa mendatang tergantung pada tata cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi, dan proteksi
lingkungan
secara
harmonis.
Pembangunan
berkelanjutan
telah
menempatkan kebijakan pelestarian lingkungan hidup menjadi satu kebutuhan dalam pembangunan ekonomi. Dengan kata lain kebijakan pelestarian lingkungan hidup adalah salah satu variabel tetap dalam proses pembangunan ekonomi suatu bangsa.
26 Prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya sederhana, tidak kompleks dan mudah dicerna. Hal ini didasarkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi ada batasnya dan perekonomian yang mengandalkan hasil ekstraksi sumberdaya alam tidak bertahan lama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berarti jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya tidak diperhitungkan (Arief, 2001). Keberlanjutan merupakan prasarat ideal, dimana masyarakat hidup untuk menikmati kebutuhan mereka yang ramah lingkungan dan berkeadilan sosial, bukan kompromi dari kemampuan manusia untuk melakukan hal yang sama di masa kini dan akan datang. Dalam prakteknya keberlanjutan lebih pada proses penerimaan, pengimplementasian, dan pengembangan kebijakan strategi, institusi dan teknologi yang sesuai untuk memajukan masyarakat menuju kondisi yang ideal (WCED, 1987). Untuk mencapai keberlanjutan, keterpaduan lingkungan dan keadilan sosial harus direalisasikam dan ditegakkan secara simultan. Sumberdaya alam seharusnya dikelola secara berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Dengan demikian telah disepakati
secara
global
bahwa
pengelolaan
sumberdaya
alam
harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan itu maka upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak, melainkan merupakan batas yang fleksibel yang tergantung pada kondisi teknologi dan Sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemapuan biosfir untuk memnerima dampak kegiatan manusia. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak.
27 Munasinghe (1993) telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (Environmentally sustainable development triangle) seperti pada Gambar 2. Pertumbuhan pendapatan Efisiensi produksi Stabilitas suplai bahan baku EKONOMI
Assesmen lingkungan Valuasi lingkungan Internalisasi
Kesempatan kerja Distribusi pendapatan Solusi konflik
Penanggulangan kemiskinan Pemerataan, kelestarian EKOLOGI
Nilai-nilai/budaya partisipasi Partisipasi Konsultasi
SOSIAL
Gambar 2 Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993).
Berdasarkan kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya dinyatakan berkelanjutan (Serageldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Menurut Munasinghe (1993) pendekatan ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia dengan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi pembangunan kapital dalam
keterbatasan dan kendala
sumberdaaya
serta
keterbatasan teknologi. Peningkatan output pembangunan ekonomi dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian aset ekologi dan sosial sepanjang waktu dan
28 memberikan jaminan kepada asset ekologi dan sosial sepanjang waktu dan memberikan jaminan kepada kebutuhan dasar manusia serta memberikan perlindungan kepada golongan. Serageldin (1996) menyatakan bahwa berkelanjutan secara ekologi artinya bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk pertimbangan bahwa perubahan lingkungan akan terjadi di masa yang akan datang dan dipengaruhi oleh segala aktivitas manusia. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembagunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dan efisiensi kapital yang merupakan tujuan ekonomi pembangunan harus pula disertai dengan peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat dan berbagai usaha yang dilakukan untuk tujuan pemerataan pembangunan. Tujuan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan mempunyai hubungan dengan tujuan lingkungan. Keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan tidak akan tercapai bila tidak didukung oleh kondisi lingkungan hidup yang mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan efisiensi penggunaan sumberdaya dan kelestarian alam akan menyebabkan degradasi alam yang tidak dapat pulih kembali, sehingga diperlukan berbagai upaya penanganannya seperti: efisiensi penggunaan sumberdaya alam dan memberikan evaluasi lingkungan dengan menginternalisasikan dan mengevaluasi dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Sedangkan dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, pembangunan yang dilaksanakan disamping menekankan pada usaha konservasi dan
29 perlindungan sumberdaya juga harus memperhatikan masyarakat yang bergantung pada sumberdaya tersebut. Apresiasi terhadap hak-hak kepemilikan masyarakat terhadap sumberdaya harus mendapat perhatian. Pengukuhan hak kepemilikan bagi masyarakat sekitar sumberdaya merupakan hal yang sangat penting dan akan merupakan intensif bagi masyarakat lokal untuk melakukan konservasi dan pelestarian lingkungan. Dalam hubungan dengan tujuan sosial dan ekologi, maka strategi yang ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi.
2.3
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Secara umum di Indonesia pengelolaan sumberdaya alam masih berbasis
pemerintah. Pada rezim ini pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan, sedangkan kelompok-kelompok masyarakat pengguna (user groups) hanya menerima informasi tentang produkproduk kebijakan dari pemerintah. Pengelolaan berbasis pemerintah ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain: (1) aturan-aturan yang dibuat kurang terinternalisasi dalam masyarakat sehingga sulit ditegakkan; (2) biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan sangat besar sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum. Berdasarkan Hanna (1995) dalam Satria et.al (2002), dalam pendekatan sentralistis, biaya yang dibutuhkan untuk rancangan program rendah, namun tinggi dalam pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam pengelolaan berbasis pemerintah adalah pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Carter (1996) dalam Satria (2002) mendefinisikan pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dengan pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan berada di tangan kelembagaan lokal di daerah tersebut. Biaya pelaksanaan dan pengawasan dalam pengelolaan berbasis masyarakat jauh lebih rendah daripada pengelolaan berbasis pemerintah. Hal ini disebabkan pengambilan keputusan dan inisiatif dilakukan pada tingkat lokal sehingga semakin menyentuh aspirasi masyarakat. Pengakuan
30 masyarakat terhadap aturan dan kebijakan yang dibuat semakin tinggi sehingga akan lebih mudah ditegakkan. Model pengelolaan berbasis masyarakat akan memberikan insentif bagi masyarakat untuk mandiri dalam wadah kelembagaan lokal. Pengawasan terhadap pelaksanaan lokal pun lebih efektif karena dilakukan oleh masyarakat secara lembaga, tidak individual. Selain itu dengan organisasi lokal yang mandiri, jalur komunikasi dan koordinasi antara masyarakat dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya akan efektif. Setidaknya diperlukan sebelas kunci agar pengelolaan SDA berbasis masyarakat, mencapai hasil sesuai yang diharapkan (Ostrom 1990, Pomeroy 1994 dan Saad 2003), yaitu: batas-batas wilayah secara fisik harus jelas; keanggotaan didefinisikan secara jelas; kohesi kelompok; organisasi yang ada tidak asing bagi masyarakat; fisibilitas ekonomi; partisipasi anggota komunitas tinggi; aturan pengelolaan dijalankan secara efektif; secara yuridis organisasi masyarakat diakui; kerjasama dan kepemimpinan; desentralisasi dan pendelegasian wewenang; koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. Namun, melihat kondisi objektif masyarakat saat ini penerapan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat secara murni belum dapat diterapkan. Pengelolaan berbasis masyarakat sangat mengutamakan prakarsa masyarakat yang menuntut kemampuan manajerial dan kedewasaan masyarakat secara merata dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang diserahkan kepada kelembagaan masyarakat. Kemampuan manajerial tersebut adalah kemampuan masyarakat lokal untuk mengatur dirinya sendiri dan komunitasnya. Di samping itu pengelolaan berbasis masyarakat membutuhkan lembaga lokal yang cenderung mengalami penurunan fungsi bahkan tidak dimiliki oleh sebagian daerah. Sementara pembentukan lembaga-lembaga baru akan membutuhkan biaya sosial yang cukup besar mulai dari pembentukannya, sosialisasi, dan hingga penerimaannya. Untuk mengakomodasi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pemerintah dan berbasis masyarakat, maka pendekatan jalan tengahnya adalah model pengelolaan sumberdaya alam co-manajemen yang memadukan unsur
31 pemerintah dengan kelompok pengguna (Sen dan Nielsen dalam Satria et.al 2002). Co-manajemen menghindari peran yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam sehingga pembiasan terhadap aspirasi salah satu pihak dapat dikurangi. Pengelolaan sumberdaya alam dengan pendekatan co-manajemen bertujuan untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam dengan menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dalam setiap proses pengelolaan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan. Dalam co-manajemen, pembagian wewenang antara pemerintah dan kelompok pengguna dapat terjadi dalam berbagai pola, tergantung pada kemampuan dan kesiapan sumberdaya manusia dan institusi lokal yang ada. Hasil penelitian Pomeroy & William (1994) dalam Satria et.al (2002) menyatakan bahwa proses comanajemen dapat terjadi dalam bentuk: 1) lembaga pemerintah secara formal mengakui aturan-aturan yang secara informal sudah diimplementasikan oleh masyarakat, 2) otoritas pelaksanaan suatu peraturan formal diserahkan dari pemerintah kepada masyarakat. Keuntungan yang dapat diperoleh dari pengelolaan co-manajemen adalah dapat mengurangi biaya transaksi. Biaya transaksi secara umum mencakup: (1) biaya informasi, (2) biaya pengambilan keputusan, dan (3) biaya operasional (Kuperan et.al 1999 dalam Satria et.al 2002). Selain itu dalam jangka panjang pelaksanaan comanajemen akan memberikan perubahan ke arah yang lebih baik yaitu: (1) meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan, (2) meningkatkan kemampuan masyarakat sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan secara terpadu, (3) meningkatkan pendapatan masyarakat dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang berkelanjutan (PKSPL 2001). Co-manajemen merupakan alternatif pilihan yang mengkombinasikan antara sistem manajemen yang top-down dan bottom-up, dengan kata lain co-manajemen menggabungkan antara pengelolaan sentralistis yang dilakukan oleh pemerintah (Government-based
management)
dengan
pengelolaan
berbasis
masyarakat
(Community-based management). Hirarki tertinggi dari tatanan kegiatannya pun
32 berada diantara kedua model utama ini yaitu pada tataran hubungan kerjasama (cooperation) selanjutnya consultative dan advisory. Berdasarkan hirarki tatanan kegiatannya, co-manajemen dibagi menjadi beberapa tipe yaitu: tipe instructive, consultative, cooperative, advisory, dan informatif (PKSPL 2001). Masing masing tipe memberikan proporsi yang berbedabeda bagi pemerintah dan kelompok masyarakat pengguna untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Pertama, dalam tipe instructive, peran lebih banyak diberikan kepada pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan dan perencanaan, sedangkan masyarakat lebih banyak menerima informasi dari hasil pemerintah. Beda dengan pengelolaan berbasis pemerintah adalah informasi dasar yang dibutuhkan dalam proses perencanaan ini diperoleh melalui sebuah proses dialogis yang masyarakat menyampaikan aspirasinya. Selanjutnya pemerintah mengolah informasi tersebut untuk menghasilkan sebuah produk kebijakan dan perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, tipe consultative. Tipe ini tidak jauh berbeda dengan tipe sebelumnya, pembuatan keputusan dan perencanaan tetap dilakukan oleh pemerintah. Namun dalam tipe consultative ini yaitu proses dialogis dengan masyarakat dalam bentuk musyawarah dilakukan secara lebih intensif. Ketiga, tipe cooperative. Dalam hirarki tatanan kerjanya tipe ini merupakan tipe ideal, dimana peran pemerintah dan masyarakat seimbang dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan. Dengan kata lain, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Keempat, tipe advisory. Peran masyarakat lebih besar daripada pemerintah, namun partisipasi pemerintah dalam pembuatan keputusan dan perencanaan masih aktif. Peran yang dilakukan pemerintah adalah memberikan saran dan nasihat kepada masyarakat dalam mengambil sebuah keputusan, namun untuk memutuskan diserahkan kepada masyarakat. Kelima, tipe informatif. Tipe ini lebih mengarah pada pengelolaan berbasis masyarakat.
Kewenangan
dalam
pengambilan
keputusan
dan
perencanaan
33 pengelolaan diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah hanya diinformasikan tentang keputusan yang telah dibuat. Selanjutnya dalam pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum pun sepenuhnya dilakukan masyarakat. Kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak hanya sebatas pada pembuatan keputusan dan perencanaan, namun lebih lanjut kerjasama ini terjadi dalam pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum serta evaluasi. Melalui co-manajemen, proses pengawasan dan penegakan hukum akan semakin efektif dan efisien karena dilakukan pada tataran lokal dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Co-manajemen dengan orientasi ke atas dan ke bawahnya yang lebih seimbang dan egaliter, secara implisit menunjukkan pengakuan terhadap karakterkarakter lokal dalam mempengaruhi pola pemanfaatan sumberdaya alam. Pertimbangan terhadap karakter dan kebutuhan lokal sangat penting dalam melakukan perencanaan pengelolaan sumberdaya, karena akan mengefektifkan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Selain itu prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam akan lebih dipahami dan diakui bila dibicarakan pada tingkatan lokal (Cartwight 1996 dalam Satria 2002). Berdasarkan karakter dan kebutuhan serta kemampuan masing-masing daerah, maka tipe co-managemen, untuk masing-masing daerah pun cenderung berbeda-beda. Keberhasilan co-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya alam sangat tergantung pada kemauan pemerintah untuk mendesentralisasikan tanggung jawab dan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Dukungan pemerintah dalam proses co-manajemen adalah misalnya kebijakan pemerintah yang mendukung co-manajemen, mendukung masyarakat untuk mengelola dan melakukan restrukturisasi peran pelaku pengelolaan sumberdaya alam.
2.4
Analisis Kebijakan Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan
keputusan. Islamy (1997) mendefinisikan bahwa: “Suatu keputusan adalah suatu
34 pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai sesuatu hal”. Selanjutnya disebutkan pula bahwa salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta buktibukti yang sulit disimpulkan. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu. Model kebijakan (policy model) adalah sajian yang disederhanakan mengenai aspekaspek terpilih dari situasi problematis yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti, dan model perspektif. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn 1998). Tujuan analisis kebijakan adalah menganalisis dan mencari alternatif kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi penentu kebijakan (Suharto, 2005).
Ruang lingkup dan metode-metode analisis sebagian
bersifat deskriptis dan informasi yang nyata (faktual) mengenai sebab dan akibat kebijakan sangat penting untuk memahami masalah-masalah kebijakan. Disebutkan juga bahwa analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi karena masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teori semacam ini seringkali gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil kebijakan mengendalikan dan memanipulasi proses-proses kebijakan. Tetapi analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah dan juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan meliputi baik evaluasi maupun anjuran kebijakan. Analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan
35 dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tetapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau isue yang medahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai. Ada 3 (tiga) pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu: (1) pendekatan empiris, (2) pendekatan evaluative, dan (3) pendekatan normatif. 1. Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik. Pertanyaan pokoknya adalah mengenai fakta yaitu apakah sesuatu itu ada? 2. Pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah berapa nilai dari sesuatu? 3. Pendekatan normatif adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang harus dilakukan? (Dunn, 1998) Sebagai proses penelitian analisis kebijakan menggunakan prosedur analisis umum yang biasa dipakai untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan, yaitu: deskripsi, prediksi, evaluasi, dan rekomendasi. Dari segi waktu dalam hubungannya dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi digunakan sebelum tindakan diambil, sedangkan deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi. Dari sekian model yang dikenal dalam perumusan kebijakan tidak ada satu pun model yang dianggap baik, karena masing-masing model memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Persoalan kebijakan tidak terletak pada menggunakan atau membuang model tapi terletak pada pemilihan di antara beberapa alternatif. Dalam kaitannya dengan analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya mangrove maka model kebijakan yang paling mendekati adalah model prosedural. Model prosedural ini menggunakan serangkaian prosedur sederhana untuk
36 menunjukan dinamika hubungan antara variabel-variabel yang dipercaya memberi ciri pada masalah kebijakan. Prediksi dan pemecahan optimal dicapai melalui simulasi dan penelusuran kendala satuan-satuan hubungan yang mungkin. Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya yang strategis dalam mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis untuk menyederhanakan sistem dalam analisis kebijakan digunakan simulasi model. Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan yaitu: (1) pengembangan kebijakan alternatif, yaitu suatu proses berpikir kreatif untuk menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan, baik dengan cara merubah model maupun tanpa merubah model; dan (2) analisis kebijakan alternatif, suatu upaya untuk menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dengan mempertimbangkan perubahan sistem serta perubahan lingkungan. Analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab pertanyaan: (1) apa hakekat permasalahan, (2) kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya, (3) seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah, (4) alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang dapat diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut membuahkan informasi tentang: masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: (1) perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan; (2) peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu, (3) rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah; (4) pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan, dan (5) evaluasi
37 menyediakan informasi mengenai nilai atau keguanaan dari konsekuensi pemecahan masalah. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan prespektif. Sebagai disiplin ilmu terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argument-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolak ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Jennings (2003) menggunakan analisis stakeholder dan pemetaan sosial dalam pengelolaan wilayah pesisir di Australia.
Penelitian Jennings difokuskan pada
konflik yang cenderung meningkat diantara stakeholder dengan menggunakan framework dan kontribusi analisis stakeholder dan pemetaan sosial untuk mengelola dan mereduksi konflik.
Analisis stakeholder dan pemetaan sosial adalah alat
partisipatif yang digunakan sebagai dokumen dan umpan balik nilai, interest, sikap, dan aspirasi stakeholder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis stakeholder memberikan dasar bagi resolusi dan pencegahan konflik.
3 METODE PENELITIAN 3.1
Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke yang
termasuk Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk, dan Keluarahan Muara Angke, wilayah Kecamatan Penjaringan, Kota Madya Jakarta Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Wilayah kajian juga meliputi Sub DAS Sungai Angke, Sub DAS Sungai Cengkareng, dan Sub DAS Sungai Kamal. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Juni 2011. Data sekunder yang dihimpun dari berbagai pihak di antaranya: laporan penelitian (Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Universitas Indonesia, dan LPP Mangrove), instansi terkait (PT. Mandara Permai, PT. Murindra Karya Lestari, Dinas Pertanian dan Kelautan Perikanan, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jakarta atau BKSDA, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah atau BPLHD, dan Badan Pengelola Reklamasi Pantura atau BP Pantura), pemerintah daerah (Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk, Kelurahan Muara Angke, Kecamatan Penjaringan-Kodya Jakarta Utara, dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta) dan pemerintah pusat (Ditjen RLPS dan Ditjen PHKA Kementrian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementrian Kelautan dan Perikanan).
3.2
Ruang Lingkup, Tahapan Penelitian dan Variabel yang Diamati
3.2.1
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi serangkaian kegiatan sebagai berikut:
a. Mengkaji kondisi biofisik kawasan mangrove Muara Angke yang meliputi: kondisi geologi dan tanah, hidrologi, iklim, kualitas air, flora dan fauna, dan biota air b. Survei kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat sekitarnya, harapan dan keinginan, potensi permintaan pemanfaatan mangrove, persepsi masyarakat dan swasta terhadap pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, dan kebijakan
39 pengelolaan pemerintah (pemerintah daerah kota atau propinsi, pemerintah pusat) tentang penyelamatan hutan mangrove Muara Angke c. Valuasi ekonomi sumberdaya mangrove yang dimanfaatkan masyarakat (wisata terbatas, pendidikan, penelitian, budidaya tambak, tegakan hutan, biota air, fauna darat, dan jasa lingkungan) d. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke DKI Jakarta e. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan .
3.2.2 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian dimulai dengan inventarisasi yang bertujuan untuk mengetahui aspek biofisik kawasan mangrove Muara Angke (kondisi fisik kimia dan biologi kawasan), aspek sosial ekonomi dan budaya (penduduk, pendidikan, mata pencaharian, dan persepsi masyarakat terhadap kondisi kawasan mangrove Muara Angke), serta kondisi pengelolaan saat ini (potensi kawasan, kegiatan yang telah dilakukan, rencana program pengelolaan setiap sektor atau instansi serta kondisi, dan rencana pengembangan infrastruktur). Kajian kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove Muara Angke dan valuasi ekonomi sumberdaya mangrove Muara Angke dilakukan untuk mengetahui kondisi terkini masyarakat (penduduk, pendidikan, mata pencaharian, pendapatan, harapan dan keinginan, dan interaksi dengan kawasan mangrove) serta nilai sumberdaya kawasan mangrove. Status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dimaksudkan untuk mengetahui status terkini dan faktor pengungkit yang perlu didorong untuk mewujudkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan. Sintesis bertujuan untuk merumuskan “Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang Berkelanjutan” yang didukung semua pihak, paling optimal bagi pengembangan kawasan mangrove Muara Angke DKI Jakarta. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 3.
40 Tahap-2 Kondisi Biofisik
Tahap-1
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi Umum kawasan mangrove Kondisi kelembagaan Deskriptif
Tahap-3 Status Keberlanjutan Pengelolaan MDS
ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN
Deskriptif A’WOT Kebutuhan Masyarakat dalam Pemanfaatan Kawasan Mangrove Analisis Kebutuhan
Gambar 3 Tahapan penelitian.
3.2.3
Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas: data ekologi, data sosial dan
ekonomi, dan data kebijakan pemerintah (DKI Jakarta dan sektor-sektor pembangunan terkait). Data ekologi hutan mangrove meliputi: komponen lingkungan fisik, kimia, dan biologi (air, tanah, pasang surut, kedalaman, debit aliran, sampah padat, dan vegetasi, satwaliar, dan biota air). Data sosial meliputi kependudukan, pendidikan, agama, suku, dan adat istiadat. Data ekonomi meliputi data-data yang terkait dengan kegiatan pembangunan, yaitu perhubungan, kehutanan, perikanan, perindustrian, pariwisata, dan pemukiman, dsb. Sedangkan data kebijakan pemerintah yang ditelaah adalah beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tata ruang, pengelolaan kawasan mangrove, wilayah pesisir, lingkungan, dan kawasan
41 konservasi. Selain itu juga dikumpulkan peta-peta tematik yang telah diterbitkan oleh berbagai unit kerja di wilayah DKI Jakarta.
Tabel 4 Tahap penelitian, jenis data, dan sumber data No
Tahap
Jenis Data
Sumber Data
1
Mengkaji kondisi dan potensi kawasan mangrove Muara Angke
Geologi dan tanah, fisiografi, hidrologi, peruntukan wilayah, sistem tata air, ekosistem dan keanekaragaman hayati (flora, fauna), potensi kawasan mangrove, kebijakan dan sarana prasarana pengelolaan
Observasi, kuesioner, dan dokumentasi dari instansi terkait
2
Mengkaji kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat
Kependudukan, matapencaharian, pendidikan, persepsi masyarakat terhadap kawasan mangrove, harapan dan keinginan, interaksi masyarakat dengan kawasan mangrove, peranserta dan kelembagaan.
Monografi desa, kecamatan dan Kota Jakarta Utara, wawancara dengan responden, pengamatan lapang
3
Melakukan valuasi nilai ekonomi total kawasan Muara Angke
Nilai ekonomi kawasan (mangrove, perikanan, permukiman, pariwisata, jasa)
4
Mengkaji status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke
Ekologi, Ekonomi, Sosial, Kelembagaan
5
Mengidentifikasi kebutuhan stakeholder Kebutuhan stakeholder dalam yang terkait dengan pemanfaatan pemanfaatan dan pelestarian kawasan mangrove Muara Angke
Wawancara mendalam kepada stakeholder
6
Menyusun skenario pengelolaan dan merumuskan strategi implementasinya
Diskusi dengan stakeholder
Preferensi stakeholder dalam kaitan dengan kebijakan pengelolaan mangrove
3.3
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
3.3.1
Studi Literatur
Wawancara dengan kuesioner kepada masyarakat , observasi Observasi dan dokumentasi, serta pendapat stakeholder
Studi literatur dilakukan untuk mengkaji kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah, serta langkah-langkah pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang telah dan akan dilakukan, serta terhadap hasil-hasil penelitian biofisik, sosial ekonomi, yang pernah dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke. Laporan kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah (Dinas Pertanian, Peternakan, Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta, dan BPLHD DKI Jakarta) serta
42 hasil penelitian yang dilakukan perguruan tinggi (Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, dsb).
3.3.2
Metode Wawancara Metode Wawancara digunakan untuk memperoleh data persepsi masyarakat
terhadap kawasan mangrove (keberadaan dan manfaat), peranserta, kesadaran masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove, dan upaya perbaikan lingkungan, serta penilaian masyarakat tentang status keberlanjutan kawasan mangrove Muara Angke. Wawancara juga dilakukan untuk mengetahui nilai ekonomi sumberdaya mangrove. Pengumpulan data sosial dan ekonomi dilakukan dengan cara survei. Berdasarkan Singarimbun dan Effendi (1989), penelitian survei adalah penelitian yang mengambil contoh dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Pemilihan responden sebagai unit penelitian dilakukan dengan metode penarikan contoh secara acak sederhana. Contoh yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama. Responden adalah kepala keluarga atau penghuni dewasa dalam suatu rumah tangga, yang berumur di atas 20 tahun, dengan asumsi bahwa yang bersangkutan dapat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuisioner. Data sosial ekonomi tidak seluruhnya berupa data kuantitatif, sehingga data yang bersifat kualitatif akan diolah secara deskriptif. Data wisatawan dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data. Pemilihan responden sebagai unit penelitian dilakukan dengan metode penarikan contoh secara acak sederhana dengan memilih wisatawan yang berumur di atas 20 tahun atau sudah berkeluarga. Pengumpulan data kelembagaan dilakukan sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan yang ada. Sedangkan untuk mengetahui tugas dan fungsi masing-masing instansi, dilakukan wawancara dengan instansi terkait, baik struktural maupun keproyekan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Harapan dan keinginan masyarakat tentang kelembagaan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke
43 dilakukan pengumpulan datanya dengan menggunakan kuisioner melalui teknik wawancara terhadap responden terpilih (LSM, Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, dan Dinas Teknis terkait). Wawancara dengan responden untuk mengetahui Nilai Ekonomi Sumberdaya Mangrove dilakukan dengan alat bantu kuisioner (Lampiran 2). Demikian pula dengan wawancara terhadap stakeholder (masyarakat, swasta, pakar, dan pemerintah) untuk mengetahui status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke digunakan kuisioner (Lampiran 3). Jumlah responden keseluruhan sebanyak 130 orang, dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 102 orang (78 %), sedangkan perempuan 28 orang (22 %). Responden merupakan kepala keluarga dalam rumah tangga masyarakat yang tersebar di Kelurahan Penjaringan, Tegal Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta Utara. Khusus responden untuk wisatawan telah diwawancarai sebanyak 40 orang yang terdiri atas 35 orang wisatawan nusantara (winus) dan 5 orang wisatawan mancanegara (wisman).
3.3.3
Metode Survei Metode survei lapang untuk mengumpulkan data biofisik, sosial ekonomi
masyarakat, dan nilai ekonomi total kawasan mangrove digunakan beberapa teknik pengumpulan data primer sebagai berikut: 1.
Indek Tutupan Vegetasi Citra yang digunakan dalam kajian ini adalah citra Landsat 7 ETM+ tahun
1989 (mewakili kondisi sebelum dilakukan konversi kawasan mangrove Muara Angke) dan tahun 2006 (mewakili kondisi tutupan lahan setelah dilakukan konversi kawasan mangrove dan kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke). Setiap objek di permukaan bumi memiliki karakteristik reflektansi berbeda pada panjang gelombang tertentu, sehingga karakter unik ini yang dapat membedakan satu objek dengan objek lain. Secara umum, karakteristik reflektansi spektral pada suatu tutupan lahan disajikan pada Gambar 4. Adapun karakteristik spektral yang dimiliki Landsat 7 ETM+ disajikan pada Tabel 5.
44 Tabel 5 Karakteristik spektral citra Landsat 7 ETM+ Nomor Band 1 2 3 4 5 6 7 8
Panjang Gelombang (µm) 0,45 – 0,515 0,525 – 0,605 0,63 – 0,69 0,75 – 0,90 1,55 – 1,75 10,4 – 12,5 2,09 – 2,35 0,52 – 0,9
Vegetasi
Band Biru Hijau Merah Infra merah dekat Infra merah sedang (1) Infra merah termal Infra merah sedang (2) Pankromatik
Tanah Kosong (kering)
Air (jernih)
Panjang gelombang (µm)
Gambar 4 Karakteristik reflektansi spektral pada masing-masing tutupan lahan. Registrasi merupakan kegiatan penyamaan posisi antara satu citra dengan citra lainnya pada satu lokasi yang sama. Proses ini dilakukan agar posisi piksel suatu citra bisa dibandingkan. Dalam analisis citra multi waktu, terutama yang berkaitan dengan perubahan tutupan lahan, registrasi merupakan tahapan pra pengolahan citra yang vital karena menentukan hasil analisis piksel yang bersangkutan. Kemampuan spektral yang dimiliki suatu citra dapat digunakan untuk memperoleh informasi lain yang tidak dapat diperoleh secara langsung melalui visualisasi citra. Salah satu hasil pemanfaatan spektral yang sering digunakan adalah indeks vegetasi. Pada beberapa indeks vegetasi yang dapat diturunkan dari hasil operasi bandband yang terkandung dalam suatu citra. Normalized Difference Vegetation Index
45 (NDVI) merupakan salah satu indeks vegetasi yang umum digunakan, terutama untuk mengetahui kandungan biomassa suatu lokasi. NDVI menggunakan band infra merah dekat dan band merah. Adapun rumus yang digunakan adalah:
NDVI
NIR RED NIR RED
(1)
Dimana,
NIR
: Nilai digital pada band infra merah dekat
RED : Nilai digital pada band merah Nilai NDVI yang dihasilkan berkisar antara -1 hingga +1. Vegetasi lebat diwakili oleh nilai-nilai yang mendekati 1, badan air memiliki nilai mendekati -1, sedangkan NDVI untuk tanah kosong cenderung mendekati nol. Klasifikasi indeks tutupan vegetasi ditentukan berdasarkan rentang nilai NDVI hasil perhitungan. Jumlah klasifikasi kerapatan mengacu pada buku Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Pembagian klasifikasinya adalah sebagai berikut: a) Kerapatan tajuk lebat (0,43 ≤ NDVI ≤ 1,00) b) Kerapatan tajuk sedang (0,33 ≤ NDVI ≤ 0,42) c) Kerapatan tajuk jarang (-1,00 ≤ NDVI ≤ 0,32) 2.
Keanekaragaman Jenis dan Dominasi Jenis Tumbuhan Hutan mangrove di lokasi penelitian dibedakan menjadi 5 lokasi, yaitu:
Suaka Margasatwa Muara Angke, Hutan Lindung, Hutan Wisata, Kebun Bibit, dan Lahan dengan Tujuan Istimewa. Kelima lokasi atau daerah tersebut memiliki tingkat kerusakan dan penutupan vegetasi yang berbeda-beda. Pada jalur-jalur yang telah dibentuk, dibuat petak ukur bertingkat berbentuk bujur sangkar yang dibuat secara berselang seling. Masing-masing berukuran 10 m x 10 m (tingkat pohon), 5 m x 5 m (tingkat pancang), dan 1 m x 1 m (tingkat anakan)
46 (Kusmana 1995). Bersamaan dengan pengukuran dilakukan pencatatan pada tally sheet yang meliputi jenis dan jumlah individu masing-masing jenis. Stadium pertumbuhan vegetasi mangrove, dibedakan dengan menggunakan kriteria (Kusmana 1995), yaitu: a.
Anakan : Permudaan mulai kecambah sampai anakan setinggi 1,50 m
b.
Pancang : Permudaan dengan tinggi > 1,50 m sampai pohon muda berdiameter kurang dari 10 cm Pohon : Berdiameter 10 cm atau lebih.
c.
Data yang diperoleh di lapangan digunakan untuk menghitung kerapatan, frekuensi (penyebaran jenis), dominasi (penguasaan jenis), dan indeks nilai penting (peran jenis). Persamaan-persamaan yang digunakan untuk pengolahan data vegetasi mangrove adalah sebagai berikut:
2.
a.
Kerapatan (batang/ha)
=
Jumlah individu suatu jenis Luas seluruh petak
b.
Kerapatan relatif (KR)
=
Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis
c.
Frekuensi Jenis
=
Jumlah petak terisi suatu jeins Jumlah seluruh petak
d.
Frekuensi Relatif (FR)
=
Frekuensi suatu jenis Frekuensi seluruh jenis
e.
Dominasi Jenis
=
Luas bidang dasar suatu jenis Luas seluruh petak
f.
Dominasi Relatif (DR)
=
Dominasi suatu jenis x 100% Dominasi seluruh Jenis
g.
Indeks Nilai Penting (INP)
=
KR+FR+DR
x 100%
Satwaliar Data primer yang berkaitan dengan satwaliar diperoleh dengan penjelajahan
atau reconnaisance, yang dilakukan di seluruh hutan mangrove Muara Angke (hutan lindung, suaka margasatwa, hutan wisata, kebun bibit, dan LDTI), baik mengenai
47 kondisi habitat secara umum maupun jenis satwaliar terutama yang dilindungi. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi umum kawasan Muara Angke sebagai habitat satwaliar. Setelah ditemukan jenis satwaliar, dilakukan pengamatan intensif di tiap tipe vegetasi atau lokasi (habitat) yang ada. Khusus untuk data burung, pengumpulan data dilakukan dengan metode terkonsentrasi (Consentration Count Method) dan metode perjalanan untuk menyusun daftar jenis pada lokasi pengamatan (Alikodra 1990).
3.
Valuasi Ekonomi Dalam studi ini, pendekatan yang digunakan dalam penilaian adalah Nilai
Ekonomi Total (Total Economic Value) yang meliputi (Lihat Gambar 5): a) Nilai penggunaan langsung adalah barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove yang digunakan langsung oleh manusia. Nilai penggunaan langsung yang dihitung dalam studi ini meliputi: kayu komersial, arang, tiang pancang, kayu bakar, nipah, obat-obatan, kerang, untuk konstruksi dan tanaman obatobatan b) Nilai penggunaan tidak langsung adalah nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari sumberdaya alam dan lingkungan mangrove secara tidak langsung, seperti manfaat ekologis dari hutan mangrove sebagai penahan abrasi, penahan intrusi, dan penyerapan karbon c) Nilai pilihan diturunkan dari pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang d) Nilai bukan penggunaan merupakan nilai keuntungan yang dapat dinikmati manusia sehubungan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan mangrove. Manusia dapat memberikan nilai pada sumberdaya hutan dengan tanpa maksud untuk memanfaatkannya pada masa yang akan datang, yaitu mereka memberikan nilai secara murni pada sumberdaya hutan, dengan harapan keberadaan sumberdaya hutan tersebut dapat dipertahankan terus-menerus.
48 Banyak pihak ingin memberi uang, waktu, atau pun barang untuk membantu melindungi jenis ekosistem yang langka dan akan terancam punah.
Total Economic Value (TEV)
Non- use value
Use value
Direc use value: Consumptive Non- consumtive
Gambar 5
Indirect use value
Option Value
Existence value
Tipologi barang dan jasa sistem sumberdaya dan lingkungan: Total Economic Value (Pagiola et Al. 2004).
3.4
Analisis Data
3.4.1
Analisis Deskriptif Analisis Deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi dan status terkini
biofisik kawasan mangrove (penutupan lahan berdasarkan Citra Landsat TM tahun liputan 1989, 2001, dan tahun 2006, keanekaragaman jenis, struktur dan komposisi jenis, keanekaragaman jenis fauna, biota air dan plankton, kondisi hidrologi atau hidrooseanografi, kualitas air, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar). Analisis dieskriptif juga dilakukan terhadap peranserta dan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove, penilaian masyarakat terhadap keberadaan kawasan mangrove dan upaya perbaikan lingkungan, serta kebutuhan stakeholders). Analisis deskriptif juga dilakukan terhadap kebijakan dan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, serta kegiatan pengelolaan yang telah dan akan dilakukan pada masa mendatang.
49 3.4.2 TEV (Total Economic Valuation) Pendugaan nilai ekonomi total dilakukan beradasarkan hasil kajian data lapang, data sekunder, dan hasil wawancara dengan responden. Analisis kuantitatif nilai ekonomi kawasan mangrove Muara Angke menggunakan dua tahap, seperti yang dilakukan Ruitenbeek (1992), yaitu (1) Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi kawasan dan (2) Mengkuantifikasikan manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Metode penelitian yang digunakan untuk valuasi ekonomi hutan mangrove adalah metode biaya pengganti (replacement cost method/RCM) dan valuasi kontingensi (contingensi valuation method/CVM) dengan pendekatan kesediaan pemanfaat hutan mangrove untuk membayar jasa lingkungan (willingness to pay/WTP) dan kesediaan masyarakat yang terkena dampak untuk menerima pembayaran jasa lingkungan (willingness to accept/WTA) agar tetap menjaga keberadaan hutan mangrove. Alasan pemilihan metode RCM dan CVM adalah untuk menilai jasa lingkungan multifungsi hutan mangrove, khususnya sebagai pelindung pantai, tempat ikan bertelur, dan berkembangbiak. Asumsi dasarnya yaitu sebagai informasi dan manfaat mengenai jasa lingkungan hutan dimengerti oleh responden, harga penawaran mencerminkan preferensi individu responden mengenai perubahan kualitas lingkungan atas penyediaan jasa lingkungan. Valuasi nilai ekonomi total kawasan Muara Angke mencakup mangrove, perikanan, permukiman, pariwisata, dan jasa. Pengambilan data dilakukan secara langsung melalui kuesioner kepada masyarakat, pemerintah, pengusaha, dan lembaga swadaya masyarakat. Adapun perhitungan valuasi ekonomi terhadap multifungsi hutan mangrove dilakukan dengan pendekatan perhitungan hutan mangrove sebagai fungsi eknomoni, nursery ground, dan pelindung abrasi. Kemauan masyarakat untuk membayar (WTP) jasa lingkungan hutan mangrove dianalisis secara deskriptif, análisis korelasi, dan regresi berganda. Kemauan masyarakat sekitar hutan untuk menerima (WTA) pembayaran jasa lingkungan hutan mangrove dianalisis secara deskriptif.
50 3.4.3 Analisis Status Keberlanjutan (MDS) Perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan berkelanjutan memerlukan data dan informasi tentang kinerja pembangunan kawasan yang ada saat ini. Kinerja pembangunan tersebut ditunjukkan dalam bentuk nilai indeks keberlanjutan. Analisis keberlanjutan pembangunan kawasan Muara Angke dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan penentuan atribut sistem pengembangan kawasan berkelanjutan yang mencakup lima dimensi (dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi). Tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, analisis ordinasi yang berbasis metode “multidimensional scaling” (MDS), penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengembangan kawasan existing condition yang dikaji baik secara umum maupun pada setiap dimensi (Fauzi dan Anna 2002). Secara lengkap tahapan analisis keberlanjutan kawasan disajikan pada Gambar 6. Data yang dikumpulkan dalam kaitan dengan penentuan status keberlanjutan pembangunan kawasan Muara Angke adalah biogeofisik, fisiografi, hidrologi, ekosistem pesisir, potensi sumberdaya alam, dinamika penduduk, sistem tata air, tenaga kerja, penggunaan lahan, sarana dan prasarana wilayah, dan kelembagaan. Teknik pengumpulan data adalah observasi, kuesioner MDS, dan dokumentasi dari instansi terkait. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, hasil perhitungan ataupun data sekunder yang tersedia maka setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pembangunan yang bersangkutan. Skor ini menunjukkan nilai yang “buruk” di satu ujung dan nilai “baik” di ujung yang lain (Alder et al. 2000). Nilai “buruk” mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi sistem pengembangan kawasan berkelanjutan. Sebaliknya, nilai “baik” mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Di antara dua ekstrim nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut diseragamkan yakni tiga peringkat dengan skor 0, 1, dan 2.
51 MULAI
Penentuan Atribut (meliputi berbagai kategori)
Kondisi Kawasan Saat Ini
Skoring Kawasan (mengkonstruksi angka referensi untuk good, bad, dan anchor) Multidimensional Scaling Ordination (untuk setiap atribut)
Simulasi Monte Carlo (Analisis ketidakpastian)
Leveraging Factor (Analisis anomali)
Analisis Keberlanjutan
Gambar 6 Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS. Pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan nilai terkecil ke nilai terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan bukan berdasarkan urutan nilai dari yang terburuk ke nilai yang terbaik. Dalam penentuan nilai skor baik atau buruk pada metode analisis keberlanjutan ini berkaitan dengan persepsi sehingga suatu atribut harus dilihat terlebih dahulu dari persepsi apa. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan software Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). Teknik Rapfish adalah suatu metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan pengelolaan mangrove berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Dalam analisis Rapfish setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang dikaji dalam bentuk skala 0 sampai 100 %. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 75 % maka pengembangan tersebut berkelanjutan (sustainable) dan sebaliknya jika kurang dari 75 % maka sistem tersebut belum berkelanjutan (unsustainable).
52 Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root mean square” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau skala sustainabilitas (Alder et al. 2000). Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai indeks keberlanjutan pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan di lokasi studi.
3.4.4
Analisis A’WOT (Integrasi SWOT dan AHP) Dalam penentuan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
dilakukan dengan metode partisipatif dengan menggunakan analisis A’WOT, yakni integrasi antara Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan analisis SWOT (strengths, weaknesess, opportunities, dan treaths). Penggunaan A’WOT dimasudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi pengelolaan terbaik dengan cara: 1) Mengamati secara sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik 2) Membandingkan secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif 3) Memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan 4) Membuat strategi pemanfaatan secara optimal, dengan cara memilih atau menentukan prioritas kegiatan. Penetapan prioritas kebijakan (strategi pengelolaan) dalam A’WOT dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktorfaktor yang tidak terukur (intangible) ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Untuk menyusun faktor-faktor strategis digunakan matriks SWOT yang dapat menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi, dapat
53 disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis. Hasil analisis SWOT dilanjutkan dengan AHP, AHP akan membantu meningkatkan analisis SWOT dalam mengkolaborasikan hasil keputusan situasional sehingga keputusan strategi alternatif dapat diprioritaskan. Tahap terpenting dari AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu tingkat hirarki (Saaty 1993). Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga diperlukan paket komputer khusus mengenai AHP. Pengolahan data berbasis komputer menggunakan software Expert Choice 2000. Expert Choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi decision-making yakni Analytic Hierarchy Process (AHP). Kelebihan perangkat lunak ini antara lain dapat: (1) memudahkan identifikasi tujuan, (2) memudahkan identifikasi full range solusi-solusi alternatif, (3) evaluasi kunci trade-off di antara tujuan dan alternatif, dan (4) memungkinkan membuat keputusan yang dipahami sepenuhnya dan didukung oleh seluruh stakeholder. Langkah-langkah dalan analisis data dengan AHP adalah: 1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah 2) Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah 3) Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya, perbandingan berdasarkan judgment dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1-9 berdasarkan skala Saaty 4) Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh stakeholder yang berkompeten berdasarkan hasil analisis stakeholder
54 5) Menghitung akar ciri, vektor ciri, dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Indeks Konsistensi (CI) menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan. Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.
55
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Sejarah Kawasan Mangrove Muara Angke Jakarta Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan
mangrove (bakau) Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta yang termasuk wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Pada tahun 1977, Menteri Pertanian dengan Keputusan Nomor 16/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977 menetapkan kembali peruntukan kawasan hutan Angke Kapuk sebagai: a.
Hutan Lindung, 5 km sepanjang pantai dengan lebar 100 m
b.
Cagar Alam Muara Angke
c.
Hutan Wisata
d.
Kebun Pembibitan Kehutanan
e.
Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI). Pembangunan Kawasan Angke-Kapuk digagas oleh Pemerintah DKI,
Jakarta sesuai arahan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI 1965-1985, bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Keinginan ini mendapat tanggapan dari kelompok usaha PT. Metropolitan Kencana, sebagaimana tertuang dalam surat perusahaan tersebut kepada Direktur Jenderal Kehutanan, selaku pihak yang memiliki kewenangan legal-formal atas kawasan itu, No. 652/MK/V/81 tertanggal 22 Mei 1981. Menanggapi surat di atas, Direktur Jenderal Kehutanan dalam suratnya No. 2755/DJ/I/1981 tertanggal 27 Juli 1981 memberikan penjelasan tentang status pengelolaan kawasan dimaksud dan kemungkinan bagi PT. Metropolitan Kencana untuk berpartisipasi dalam pengembangannya. Beberapa butir penting isi surat dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk seluas 1.144 ha berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta (berdasarkan Piagam Kerjasama antara Pemda DKI Jakarta dengan Departemen Pertanian cq Direktorat Jenderal Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni 1977, dan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah). Tujuan kerjasama dimaksud adalah
56
untuk mengelola, memanfaatkan, dan membina kawasan hutan seluas 1.144 ha yang terletak di kelurahan Kapuk Muara, dan Kamal Muara. 2) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161/Kpts/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur, Angke Kapuk, dan Cagar Alam Muara Angke, sebagai berikut: a) b) c) d) e)
Sebagai hutan lindung, 5 km sepanjang pantai selebar 100 meter Sebagai Cagar Alam Muara Angke Sebagai Hutan Wisata Sebagai Kebun Pembibitan Sebagai “lapangan dengan tujuan istimewa (LDTI)”. Selanjutnya, disebutkan pula dalam Piagam Kerjasama itu bahwa Pemda
DKI Jakarta dapat bekerjasama dengan pihak lain, dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan tanah kawasan hutan tersebut di atas. Pada surat No. 842/A/K/BKD/78 tanggal 25 Mei 1978, Gubernur DKI Jakarta mengajukan permohonan kepada Presiden RI melalui Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (PAN), agar tanah bekas kawasan hutan Angke Kapuk secara formil dihapuskan sebagai kawasan hutan dan menyerahkan hak pengelolaannya kepada Pemda DKI Jakarta, dengan alasan: a) Pada kenyataannya, kawasan hutan di wilayah Angke Kapuk tidak lagi berfungsi (sebagai hutan) b) Peruntukannya tidak sesuai dengan RUTR DKI Jakarta (1965-1985) c) Kesulitan pemerintah dalam penyediaan tanah untuk pembangunan rumah murah. Menanggapi surat di atas, Menteri Negara PAN memprakarsai pertemuan yang dihadiri oleh para Pejabat Pemda DKI, Sekretaris Menteri Negara PAN dan Direktorat Jenderal Kehutanan, dengan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: a.
Penyelesaian masalah hutan Angke Kapuk berpegang pada Program Kerjasama antara Departemen Pertanian c.q Direktorat Jenderal Kehutanan dengan Pemda DKI Jakarta tanggal 24 Juni 1977. Untuk merealisir Program Kerjasama tersebut, akan: 1) Segera disusun Feasibilitas Study (FS) oleh Pemda DKI Jakarta/Perumnas 2) Diadakan pembicaraan kembali antara Departemen Pertanian, Pemda DKI Jakarta dan Perumnas, setelah ada FS, untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya
57
3) Membalas surat Dirjen Kehutanan No.2755/DJ/I/1981, Pemrakarsa dengan surat No.929/MK/VII/81 tanggal 28 Juli 1981 menyampaikan antara lain tidak perlu dirubahnya 25 ha Cagar Alam, 100 ha Hutan Wisata dan 50 ha Perumahan Nelayan.
Sedangkan sisa lahan (dari 1.150 ha), akan
dimanfaatkan untuk berbagai fungsi perkotaan (hunian, komersial, prasarana/sarana, dll) 4) Menanggapi
usulan
No.26/DJ/I/1982
di
tanggal
atas, 5
Dirjen
Januari
Kehutanan
1982
pada
menyampaikan
suratnya bahwa,
Pemrakarsa dinilai mampu melaksanakan proyek Pengembangan Kawasan Hutan Angke Kapuk dan diminta dapat bekerjasama dengan Pemda DKI Jakarta 5) Melalui suratnya No.352/MK/III/82 tanggal 17 Maret 1982, Pemrakarsa mengajukan kerjasama dengan Pemda DKI. Selanjutnya wakil Gubernur Bidang I, atas nama Gubernur DKI, melalui surat No.04280/VI/1982 tanggal 19 Juni 1982 menyampaikan persetujuan kerjasama dengan Pemrakarsa 6) Menindaklanjuti berbagai kesepakatan atau persetujuan prinsip yang telah dicapai, kemudian disusun atau ditandatangani: a. Perjanjian tukar-menukar sebagian tanah kawasan Hutan Angke-Kapuk di Wilayah DKI Jakarta, antara Menteri Kehutanan RI dengan Direktur/Komisaris PT. Mandara Permai (subsider PT. Metropolitan Kencana Group), ditandatangani di Jakarta tanggal 14 Juni 1984. Isi perjanjian ini antara lain: pengaturan perbandingan luas dan lokasi lahan pengganti (DKI Jakarta atau di Bogor, Tanggerang, dan Bekasi yang disetujui oleh Pihak Menteri Kehutanan RI) b. Perjanjian kerjasama pembangunan pengembangan tanah Kawasan Hutan Angke-Kapuk di DKI Jakarta. Isi dari perjanjian tersebut antara lain: c. Peruntukan lahan: 50% dari luas kawasan hutan (581,24 ha) dapat dikembangkan d. Kewajiban pihak PT. Mandara Permai untuk membayar biaya penyediaan prasarana (sebagai presentase dari luas yang akan
58
dikembangkan 831,63 ha) yang menghubungkan kawasan dengan areal luarnya, sementara biaya pembangunan prasarana di dalam tapak, seluruhnya menjadi beban dan tanggung jawab pihak PT. Mandara Permai e. Berita acara serah terima penyerahan biaya prasarana sebagaimana diatur dalam butir 2 f. Berita acara serah terima tukar/menukar sebagian tanah kawasan Angke-Kapuk dan tanah penggantinya, dalam berita acara ini antara lain disebutkan: 1. Dua bidang tanah (luas seluruhnya 39 ha), terletak di Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur, Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara 2. Tiga bidang tanah (luas 75 ha) terletak di Kampung Sawah dan Cipinang, Desa Rumpin, Kecamatan Rumping, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 3. Satu bidang tanah (luas 350 ha), terletak di Kecamatan Nagrek, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat 4. Sepuluh bidang tanah (luas 1.190 ha), terletak di Kecamatan Sukanagara dan Campaka, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. 7) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 097/Kpts-II/88 tanggal 29 Februari 1988 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Angke-Kapuk seluas 831,63 ha di DKI Jakarta 8) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 463/Kpts-II/88 tanggal 24 September 1988 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Angke-Kapuk seluas yang dipergunakan untuk perkampungan nelayan dan pendaratan ikan di Delta Muara Angke seluas 56 ha dan penunjukan areal tambak perikanan aset Pemda DKI Jakarta seluas 52 ha sebagai Kawasan Hutan. Selanjutnya kedua areal di atas akan dimanfaatkan dan dikembangkan oleh PT. Mandara Permai. Berkaitan dengan adanya pembangunan permukiman di kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan kawasan hutan yang tetap dikuasai oleh Pemerintah, yaitu seluas 322,6 ha terdiri dari:
59
a. b. c. d. e. f. g.
Hutan Lindung Cagar Alam Muara Angke Hutan Wisata Kebun Pembibitan Kehutanan Cengkareng Drain Jalur Transmisi PLN Jalan Tol dan Jalur Hijau
: : : : : : :
49,25 ha 21,45 ha 91,45 ha 10,47 ha 29,05 ha 29,90 ha 91,37 ha
Hasil pengukuran dan penataan batas ulang tersebut kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/1988 tanggal 29 Pebruari 1988 yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas 335,50 ha terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g.
Hutan Lindung Cagar Alam Muara Angke Hutan Wisata Kebun Pembibitan Kehutanan Cengkareng Drain Jalur Transmisi PLN Jalan Tol dan Jalur Hijau
: 50,80 ha : 25,00 ha : 101,60 ha : 10,47 ha : 28,36 ha : 25,90 ha : 91,37 ha
Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Sehubungan dengan itu, Menteri Kehutanan menetapkan kembali peruntukan dan fungsi kelompok Hutan Angke Kapuk sebagai: a. b. c. d.
Hutan Lindung : 44,76 ha Hutan Wisata : 99,82 ha Cagar Alam Muara Angke : 25,02 ha Hutan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI): 1) Kebun Pembibitan : 10,51 ha 2) Transmisi PLN : 23,07 ha 3) Cengkareng Drain : 28,93 ha 4) Jalan tol dan Jalur Hijau : 95,50 ha Cagar Alam Muara Angke dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097/KptsII/98, dengan luas areal 25,02 ha. Batas kawasan hutan mangrove Muara Angke adalah di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur dengan Sungai Angke (S. Angke) dan Perkampungan Nelayan Muara Angke, sebelah
60
Selatan dengan areal pertambakan dan Sungai Kamal, dan di sebelah Barat dengan Jalan Tol Prof.Sedyatmo dan kawasan Industri Tegal Alur.
4.2
Kondisi Fisik
4.2.1
Letak dan Batas Geografis Kawasan Muara Angke terletak di pantai utara Pulau Jawa dan secara
geografis kawasan ini terletak di antara 6o 05` - 6o 10` Lintang Selatan serta antara 106o 43` -106o 48` Bujur Timur. Berdasarkan administrasi pemerintahan terletak di dalam dua kelurahan, yaitu Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Kapuk Muara. Di bagian utara dibatasi Laut Jawa, bagian selatan berbatasan dengan PT. Mandara Permai, bagian Timur berbatasan dengan Sungai Angke dan perkampungan dan bagian Barat berbatasan dengan Sungai Kamal (Gambar 7).
Gambar 7 Lokasi kawasan hutan Muara Angke DKI Jakarta (Sumber: Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta 2011). 4.2.2
Geologi dan Tanah
Van Bemmelen (1949) dalam Suwijanto (1977) membagi daerah Jawa Barat menjadi lima jalur fisiografi. Jalur dataran pantai Jakarta yang terbentang
61
dari Serang sampai Cirebon mencapai lebar sekitar 50 km, ditempati oleh endapan-endapan alluvium, sungai, pantai, dan aliran lahar dari gunung api di daerah tanah burit. Sebelah selatan ditempati oleh jalur perbukitan dari jalur Bogor, terdiri dari lapisan-lapisan batuan sedimen tersier yang terlipat. Penyebaran dapat diikuti mulai dari sekitar Jasinga, ke arah timur mulai daerah Purwakarta, Majalengka sampai sekitar Bumiayu. Penyebaran jalur Bogor ditunjukkan pula oleh arah jurus struktur perlipatan yang berbentuk antiklinorium dan batuan yang ditempatinya. Daerah utara Jawa Barat merupakan cekungan sedimentasi pada akhir Masa Mesozoikum yang dibatasi oleh punggung Geantiklin di sebelah selatan dan paparan yang mantap di sebelah utara. Bentuk cekungan tidak merata, terdiri dari punggungan di antaranya yang disebabkan oleh permukaan daratan pratersier yang dikontrol struktur sesar. Menurut Suwijanto (1977), Berdasarkan bentuk, ekspresi topografi serta batuan penyusun, dataran Jakarta-Bogor dapat digolongkan menjadi satuan morfologi, antara lain: a. Dataran Pantai Berdasarkan panyebaran pematang pantai di sekitar Jakarta, garis pantai tua semula terdapat disekitar 5-10 km dari garis pantai sekarang yang ditunjukkan oleh deret pematang pantai yang melalui Pegadungan, Cengkareng, Kali Angke di sebelah Barat dan Kemayoran, Warung Jengkol, Cakung sampai Ujung Menteng di sebelah timur. Bila dilihat penyebarannya umumnya dapat dilihat bahwa endapan pematang pantai sebagian besar terdapat di sebelah timur daratan delta (Verstappen 1953 dalam Suwijanto 1977). Daerah Jakarta dibatasi oleh dua sungai besar, yaitu Cisadane di sebelah Barat dan Citarum di sebelah Timur. Kedua sungai tersebut sangat aktif dalam mengangkut sedimen dalam alirannya dan mengendapkannya dalam bentuk delta. Perkembangan kedua delta menyebabkan bentuk cekung dari teluk Jakarta (Suwijanto 1977).
62
b. Kipas Gunung Api Bogor Dataran antara Bogor, Tanggerang, dan Cikarang merupakan daerah berbentuk kipas dengan Bogor sebagai puncaknya. Daerah ini merupakan tumpukan rempah-rempah gunung api berupa debu gunung api, tufa, komlongmerat, dan breksi yang sebagian besar sudah mengalami pelapukan yang kuat (Suwijanto 1977). Garis lurus yang menghubungkan antara Bogor-Jakarta kurang lebih merupakan poros dari kipas gunung api dengan kimiringan kurang dari 1 o dengan ketinggian 450 meter di atas muka laut. Di bagian selatan, kipas gunung api Bogor berawal dari hulu lembah Cisadane antara Gunung Salak dan Pangrango, menyebar ke utara melalui celah perbukitan tersier jalur Bogor antara Citeurep dan leuwiliang. Daerah tinggi dari jalur Bogor muncul sebagai pulau-pulau dalam dataran ini seperti yang ditunjukkan oleh Gunung Paok, Gunung Bubut, Gunung Tapos dan sebagainya.
c. Daerah perbukitan bergelombang Daerah perbukitan dari Jalur Bogor memisahkan dataran pantai dengan jajaran gunung api. Dari utara relief meninggi secara berangsur karena bagian utara dari jalur Bogor umumnya terdiri dari batuan lunak. Arah memanjang dari perbukitan umumnya searah dengan arah jurus struktur perlapisan dari batuan keras dengan lembah di antaranya seperti terlihat di sekitar Citeureup dan Purwakarta. Arah ini sesuai dengan arah jurus struktur perlipatan dari jalur Bogor yang berarah barat-timur. Di sekitar daerah Banten di sebelah barat, jurus struktur membelok ke arah utara-selatan. Sungai-sungai yang mengalir pada daerah ini umumnya berawal dari komplek gunung api di bagian selatan, mengalir sepanjang daerah cekungan antar gunung api ke utara. Sampai di daerah jalur Bogor arah alirannya seringkali dikontrol oleh struktur dengan membuat kelokan tajam. Bahan rombakan dari daerah yang dilalui diangkut dalam alirannya dan dari sungai-sungai inilah dataran pantai Utara Jawa terbentuk.
d. Kelompok Gunung Api Muda Secara Geologis, Jakarta berkedudukan pada wilayah dataran kipas alluvial, dataran sungai, dataran banjir, dataran wara, dan dataran pantai.
63
Kedudukan Jakarta juga dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi wilayah yang lebih luas yang meliputi Gunung Pangrango, Gunung Gede, dan Gunung Salak di wilayah Bogor. Batuan yang membentuk wilayah atas dan Jakarta terdiri dari batuan hasil kegiatan vulkanik tersier yang bersifat agak keras dan permeabel sehingga kurang permeabel serta endapan berbagai dataran alluvial Jakarta yang terdiri batuan yang tidak terkonsolidasi sampai terkonsilidasi yang dapat bersifat cair, plastis sampai kenyal agak keras. Batuan yang terkonsolidasi dan keras meliputi batuan gamping, batu pasir, batu lempung yang berumur tersier yang merupakan batuan dasar yang dalam. Secara umum morfologi daerah gunung api muda dicirikan oleh bentuk kerucut dengan alasnya yang membalut. Sungai yang mengalir pada badan gunung api menyebar membentuk pola aliran radial yang khas. Relief bervariasi tergantung derajat erosi yang berlangsung yang menunjukan umur relatif dari pembentukannya (Suwijanto 1977). Urutan stratigrafi daerah Jawa Barat bagian utara disusun berdasarkan singkapan batuan pada jalur Bogor yang berumur antara Miosen sampai Resen. Batuan terdiri dari sedimen klastik seperti konglomerat, batu pasir, lempung, napal, pada beberapa tempat berupa batu gamping terumbu. Pada akhir Neogen aktivitas vulkanis berlangsung intensif dengan diendapkannya material tersebut hampir sepanjang jalur ini yang berlangsung sampai sekarang (Suwijanto 1977), yang terdiri atas: (a) Endapan Neogen. Batuan sedimen tersier tertua di daerah Jawa Utara hanya diketahui dari sumur pemboran oleh Pertamina di daerah Jatibarang yang ditemukan sebagai batuan perangkap minyak bumi yang selanjutnya disebut sebagai formasi Jatibarang. Batuan penyusun terdiri dari tufa, andesit porfir, basalt, dan lempung merah dari endapan vulkanis yang mengisi bagian-bagian rendah dari permukaan daratan Pratersier (Suwijanto 1977). (b) Endapan Kwarter. Stratigrafi Kwarter di Indonesia paling tidak diketahui secara pasti. Batas dengan Neogen pada umumnya didasarkan pada fosil vertebrata yang ditemukan di dalam batuan yang pada umumnya sangat jarang.
64
Secara umum tatanan stratigrafi daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya berkaitan dengan cekungan sedimen tersier di Jawa Barat yang terdiri dari 3 (tiga) mandala sedimentasi, yaitu Mandala Paparan Benua, Mandala Sedimentasi Cekungan Bogor, dan Mandala Sedimentasi Banten. Mandala Paparan Benua dicirikan oleh endapan paparan, berupa batu pasir kuarsa, batu gamping, dan batu lempung yang terendapkan di laut dangkal. Mandala Sedimentasi Cekungan Bogor dicirikan oleh endapan aliran gravitasi yang terdiri dari komponen batuan andesitan hingga basalan, tufa, dan batu gamping. Mandala ini meliputi Zona Bandung, Bogor, dan Pegunungan Selatan. Mandala Sedimentasi Banten, pada Miosen Awal endapan sedimennya menyerupai endapan Cekungan Bogor, sedangkan pada Akhir Tersier menyerupai endapan Benua. Pembentukan Teluk Jakarta sangat dipengaruhi oleh pengaruh proses terbentuknya endapan delta dan interdelta secara bersama-sama. Bentuk teluk Jakarta yang unik di sebabkan oleh perbedaaan kecepatan proses pengendapan bahan-bahan endapan yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di teluk Jakarta. Sungai Cisadane yang terletak di bagian Barat dan Sungai Citarum yang terletak di bagian Timur. Keduanya mengendapkan bahan-bahan yang jauh lebih banyak dari pada sungai-sungai yang mengalir di bagian tengah dataran itu sendiri, sehingga kecepatan perubahan garis pantai berkembang tidak selaras, dan teluk Jakarta seolah-olah berbentuk busur. Berdasarkan peta geologi lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu, geologi wilayah pantai dan lepas pantai perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya tersusun oleh (Tim Teluk Jakarta 1996): (a)
Aluvium yang terdiri dari lempung, pasir, kerikil dan bongkahan. Endapan tersebut merupakan endapan pantai sekarang, endapan sungai, dan rawa
(b)
Endapan pematang pantai terdiri dari pasir halus hingga kasar, warna kelabu tua, dan terpilah bagus. Berdasarkan kenampakan morfologi dan batuan penyusunnya, diduga satuan ini terbentuk karena endapan angin yang membentuk onggokan pasir (sand dune).
65
Kawasan Muara angke terletak di pesisir utara Pulau Jawa yang termasuk dataran pantai yang penyebarannya umumya dapat dilihat pada endapan pematang pantai yang sebagian besar terdapat di sebelah timur dataran delta. PT. Mandara Permai (1994), pada umumnya bagian Utara dataran rendah DKI Jakarta merupakan rawa hutan mangrove (bakau). Bahkan sampai tahun 1956, baru sebagian kecil wilayah ini dibuka sebagai pertambakan. Setahap demi setahap, bagian Selatan dataran ini berubah menjadi rawa dengan tumbuhan yang hidup pada perairan yang berair lebih tawar. Kemudian sungai-sungai bagian Selatan berevolusi menjadi dataran rendah yang lebih tinggi karena memperoleh tambahan sedimen. Semakin ke Barat Daya, ketinggian dataran pantai semakin tinggi. Di bagian Selatan, tinggi pematang pantai ini dapat mencapai 5 meter, semakin ke Barat Laut tingginya hanya mencapai 2 meter. Elevasi daerah Jakarta pada umumnya dan daerah Kapuk serta dataran pantai pada khususnya, kurang dari 5 meter. Khusus untuk daerah Kapuk, selain terdapat saluran-saluran untuk pengairan pertambakan terutama dari arah laut, sungai-sungai yang ada dari arah Timur ke Barat meliputi Angke, Cengkareng Drain, Kamal, dan Dadap. Di Barat Daya Kamal terdapat bekas pulau karang yang sekarang telah berada pada sekitar 500 m dari garis pantai dan tertutup sedimen setelah melalui proses penyambungan dengan dataran pantai (tombol) terlebih dulu. Pada tepi pantai yang masih ditutupi mangrove, bagian depan (fore shore) pantai berupa rataan (mud flat) dengan lebar sekitar 100 m, bagian atasnya berupa lumpur lunak dengan tebal mencapai 1 meter. Di bagian belakang (back shore) rawa mangrove terdapat tanggul-tanggul untuk pertambakan.
e.
Perubahan Garis Pantai Pada mulanya daratan pantai Kapuk selalu berkembang ke arah laut
dengan laju sekitar 1 meter per tahun yang dipacu oleh adanya hutan mangrove yang lebat karena perakarannya dapat mengurangi terjadinya erosi dan memacu sedimentasi. Lebatnya mangrove juga lebih memungkinkan tersebarnya tunas baru. Sejak tahun 1980, perubahan garis pantai mulai berbalik arah dengan kecenderungan abrasi pantai. Pada tahun 1980, tepi Barat muara Sungai Angke
66
dibangun break water sepanjang 200 m dengan maksud menjaga kedalaman perairan muara, namun akibatnya adalah terjadi abrasi dengan laju sekitar 25 m per tahun antara tahun 1980-1983. Pada periode yang sama, kondisi pantai di sekitar Kelurahan Kamal Muara mengalami erosi berat dengan laju sekitar 19 m per tahun. Hal ini disebabkan aliran arus sepanjang pantai membawa sedimen tersebut ke arah Timur dan mengendapkannya di sebelah barat jetti tersebut. Pilar batas wilayah DKI Jakarta-Jawa Barat nomor 381 yang pada tahun 1979 masih terletak sekitar 40 m dari garis pantai, pada tahun 1983 telah jatuh terendam air pada jarak 2 m dari garis pantai. Dewasa ini, pilar tersebut terletak sekitar 100 m dari garis pantai (PT. Mandara Permai 1994).
f.
Pemanfaatan Lahan Pada tahun 1910 an, dataran Kapuk masih berupa rawa mangrove dan
sebagian kecil yang dibuka untuk tambak. Sekitar tahun 1963 wilayah tersebut dibuka secara besar-besaran untuk pertambakan dan pada tahun 1987, sebagian besar rawa ini telah berubah menjadi area pertambakan. Mangrove hanya tersisa di Cagar Alam Angke seluas 15 ha dan di tepi Utara yang berbatasan dengan laut. Sejak awal tahun 1982 sebagian tambak yang ada di Timur Sungai Angke mulai diurug untuk perumahan nelayan dan perumahan teratur sebagai perluasan kegiatan Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BPPPL) Pluit. Sebagian mangrove yang ada di Utara delta angke mulai ditebang dan di bagian Timurnya pada tahun 1981 telah digunakan untuk pelabuhan ikan Muara Angke. Hutan mangrove yang ada dewasa ini merupakan jalur di sepanjang pantai dari sekitar Muara Sungai Angke sampai dengan sebelah Timur sungai Kamal. Sekitar satu dekade yang lalu, di tepi Timur sungai Kamal tersebut terdapat jalur tipis mangrove, namun dewasa ini daerah sekitar sungai Kamal tererosi berat sehingga selain tambak dan mangrove tererosi, sebagian rumah penduduk desa Kamal yang terletak di tepi pantai hancur tererosi. Pada tahun 1982 bagian tengah daerah pertambakan kapuk dipotong untuk dibangun saluran (Cengkareng Drain). Pemotongan tersebut juga mengenai jalur mangrove yang ada di tepi pantai Utara tersebut. Pada tahun 1981 juga telah
67
dibuat kanal tempat pendaratan (pelabuhan) batu dan pasir di Desa Dadap untuk keperluan pengembangan pelabuhan udara Soekarno-Hatta dan jalan tol Prof. Sediatmo. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa sifat fisik tanah di kawasan hutan mangrove Muara Angke mengandung 39,5 %, liat 31,5 %, dan pasir 29 %.
Tabel 6 Hasil analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah Cagar Alam Muara Angke No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komponen Kimia Kalium Natrium Calsium Magnesium Carbon Organik Nitrogen Organik Besi Timbal Tembaga
Simbol K Na Ca Mg C N Fe Pb Cu
Satuan 0,40 me/100 gr 0,34 me/100 gr 5,36 me/100 gr 1,09 me/100 gr 2,1 % 0,19 % 60,15 ppm 4,04 ppm 8,01 ppm
Katagori Sedang Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah -
Sumber : Laporan Akhir Proyek Pembinaan Cagar Alam dan Hutan Lidung 1996
g.
Hutan Lindung Muara Angke Terletak pada permukaan tanah yang relatif datar, elevasi permukaan tanah
di bagian selatan lebih tinggi kemudian menurun dengan kemiringan yang rendah ke arah utara sampai ke tepi pantai. Secara keseluruhan kawasan ini merupakan daratan empang dengan sungai-sungai kecil yang bermuara di Teluk Jakarta. Pada umumnya bagian utara dataran rendah ini merupakan hutan mangrove. Keadaan tanah di kawasan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Bagian utara sampai dengan Pantai Jawa, terdiri dari alluvial kelabu tua dan gley humus rendah. Batuan induk tanah ini berupa endapan tanah liat daratan pantai 2. Makin rendah ke selatan terdiri dari regosol coklat
yang terbentuk dari
endapan vulkanik, daerah ini merupakan tanah lempung berpasir dengan topografi datar 3. Bagian tenggara terdiri dari alluvial kelabu tua. Tanah hutan lindung mangrove di sebelah barat Muara Angke mempunyai persentase kandungan debu, pasir, dan bahan organik yang lebih besar
68
dibandingkan dengan hutan mangrove di sebelah timur Muara Angke dimana tanah tersebut mempunyai kandungan unsur hara (K, Ca, Mg), logam berat (Pb, Cu) dan kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih kecil. Tingkat tekstur, nisbah C/N, pH, KTK, dan kandungan unsur hara dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7
Besarnya nisbah C/N, Ph, dan tekstur tanah hutan mangrove di sebelah barat dan timur Muara Angke Tekstur
pH
C
N
C/N
Habitat Debu
Liat
Pasir
H2O
KCl
L1H1 40,50 30,40 29,55 5,54 4,95 2,23 L2H1 39,00 32,95 28,05 5,70 5,24 2,39 Sumber : Laporan Akhir Proyek Pembinaan Cagar Alam dan Hutan Lidung 1996 Keterangan : L1H1 : Habitat Hutan Mangrove di Sebelah Barat Muara Angke L2H1 : Habitat hutan Mangrove di Sebelah Timur Muara Angke
(%) 0,20 0,17
11,15 14,16
Keadaan tekstur tanah areal Muara Angke masih didominasi oleh fraksi debu, hal ini dikarenakan kondisi areal di sekitar lokasi merupakan areal kosong yang sedang dibuka untuk perumahan. Bila dilihat dari kondisi pH maka areal tersebut tanahnya tergolong masam. Hal ini disebabkan karena kawasan perairan tersebut dimanfaatkan untuk pembuangan limbah industri dan limbah rumah tangga. Kondisi ini menyebabkan sedikitnya jenis-jenis tumbuhan yang dapat tumbuh di lokasi tersebut.
Tabel 8
Besarnya kandungan unsur hara, kapasitas tukar kation (KTK), dan logam berat tanah hutan mangrove di sebelah barat dan timur Muara Angke
Kandungan Unsur Hara Logam Berat (ppm) KTK Habitat (me/100 gr) (me/100 gr) K Na Ca Mg Fe Hg Pb Cu L1H1 0,40 2,93 5,37 1,13 65,05 1,11 5,17 10,32 17,86 L2H2 0,41 0,45 5,58 1,28 56,22 0,62 15,24 19,65 19,65 Sumber : Laporan Akhir Proyek Pembinaan Cagar Alam dan Hutan Lidung 1996
4.2.3
Hidro-Oceanografi
a.
Kondisi Pantai
EC mhos/cm 2,16 2,03
Pantai kapuk dibatasi oleh Muara Angke di sebelah Timur dan Tajung Pasir di sebelah Barat. Di muka pantai pada jarak kira-kira 4 mil terdapat gugusan Pulau Bidadari dan Pantai Kapuk terdapat Karang Bangau. Karang ini terletak
69
pada jarak 2 mil dari pantai, selalu terbenam dan mempunyai kedalaman 3 di bawah permukaan laut. Air laut jernih terdapat pada jarak > 1.500 dari pantai. Bila dibandingkan dengan dengan tempat-tempat lain di daerah Teluk Jakarta, daerah Pantai Kapuk relatif lebih tenang baik pada musim muson timur, maupun muson barat. Pantai Kapuk yang terletak di belakang Tanjung Pasir menempati posisi yang menguntungkan, karena akan terlindungi oleh Tanjung Pasir pada musim muson barat.
b.
Gelombang dan Arus Laut
b.1.
Gelombang Berdasarkan laporan yang disusun ole PT. Survindo (1986) tentang
karakteristik arus dan gelombang laut di daerah Kapuk disajikan sebagai berikut: (1). Gelombang yang penting dari arah Barat Laut selama bulan Januari sampai Maret. Pada periode ini tinggi gelombang maksimum dapat mencapai 1,5 m. Pada bulan Mei sampai September tidak ada gelombang penting untuk diamati (PT. Mandara Permai 1994) (2). Arah gelombang di daerah Kapuk lebih kurang tegak lurus terhadap garis pantai. Hal ini disebabkan gelombang yang datang dari arah Barat Laut mengalami defraksi di sekitar Tanjung Pasir dan Muara Coba. Gelombang dari arah Timur sedikit mengalami defraksi, sehingga datang dari garis pantai dengan arah yang hampir tegak lurus (3). Ketinggian gelombang diperkirakan sekitar 1 meter dengan periode waktu 5 detik.
Hal ini berkaitan dengan erat dengan arah dan kecepatan angin.
Apabila kecepatan angin kurang, tinggi gelombang semakin rendah dan periode gelombang semakin panjang. Perubahan arah angin atau munculnya angin kuat lain dari arah yang berlawanan akan membangkitkan gelombang lain dari arah yang berlawanan sehingga terjadi interferensi yang saling menguatkan. Selain angin, tinggi rendahnya gelombang laut ditentukan juga oleh beberapa faktor, antara lain: jarak terhadap pantai, kelandaian tebing pantai, vegetasi pantai.
70
Jarak terhadap pantai mempengaruhi terjadinya interfrensi dengan gelombang yang berlawanan. Pada kondisi angin normal (searah), periode gelombang relatif panjang dan konstan sehingga pada daerah yang lebih tengah relatif lebih aman untuk pelayaran. Pada daerah pantai yang kaya akan hutan rawa, gelombang yang datang akan diserap oleh hutan rawa tersebut, sedangkan pada
pantai-pantai
terbuka,
terjadi
pemantulan
gelombang
yang
akan
menimbulkan interferensi saling menguatkan. Kelandaian akan menentukan magnitudo gelombang pantul. Dinding pantai yang terjal dan keras akan membangkitkan gelombang pantul yang kuat. Pada pantai yang landai, meskipun tidak terjadi penyerapan energi, namun gelombang pantul lebih tersebar merata pada bidang yang lebih luas, sehingga efek interferensi saling menguatkan relatif lebih kecil. Berdasarkan kategori yang dibuat pada lokasi studi (Daerah Kapuk), di sebelah Barat merupakan pantai yang terbuka untuk pertambahan (Pantai Kamal dengan kondisi terbuka), daerah tengan merupakan hutan bakau, relatif tipis dan tidak begitu panjang, sebelah Timur terdapat jetti yang dapat dianggap sebagai dinding terjal dengan efek peredaman pada gelombang pantul kecil. Situasi tersebut dapat digambarkan secara garis besar sebagai pantai yang mengalami intervensi manusia, sehingga rona awal pada dasarnya telah mengalami perubahan dari kondisi alamiahnya. b.2.
Arus Laut Arus Laut di Laut Jawa sebagian besar dipengaruhi oleh gerakan angin.
Arus akan mengalir dari arah timur selama musim muson Barat (DesemberFebruari) dan dari arah Barat selama musim muson Timur (Juni-Agustus). Arus ini bisa mencapai kecepatan 0,25-0,50 m/det. Kecepatan arus rata-rata harian adalah 0,10-0,13 m/det, dari arah Barat selama musim muson timur. b.3.
Pasang Surut Pengaruh pasang surut air laut merupakan aspek yang sangat penting
dalam pengkajian bentang alam pesisir pantai. Sifat pasang surut untuk daerah Perairan Kapuk dan Pulau Bidadari adalah Harian Tunggal. Artinya dalam 24 jam terjadi satu kali pasang surut.
71
Berdasarkan hasil pengukuran Dinas Hidrologi Angkatan Laut RI (1978) dapat diketahui tenggang pada saat pasang surut terendah 0,25 m. Berdasarkan pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh Perum Pelabuhan Tanjung Priok adalah:
Air pasang tertinggi (HHWS) Air pasang rata-rata (MHW) Air rata-rata (MSL) Air surut rata-rata (MLW) Air surut terendah (LLWS)
1.80 m + PP 1.40 m + PP 0.95 m + PP 0.56 m + PP 0.23 m + PP
Pengkajian variabilitas pasang surut air laut ini ditujukan untuk analisis tentang mekanisme pengikisan pantai dan operasional sisten drainase yag lebih dikhususkan pada analisis kecepatan aliran dan transport sedimen pada Sungai Angke Bawah-Banjir Kanal dan Cengkareng Drain yang berfungsi sebagai Floodway. b.4.
Bathymetri Data bathymetri kondisi perairan di sekitar Muara Angke sebagai berikut :
Dasar laut mempunyai kemiringan 0,38 %
Kontur dengan interval 0,5 m sejajar dengan garis pantai
Potensi sedimen transport lumpur Sungai Angke dan Cengkareng Drain cukup luas sekitar 3 km dari pantai
Potensi sebaran lumpur Sungai Angke Bawah - banjir Kanal lebih besar dari Cengkareng Drain (PT. Pantai Indah kapuk, 1994)
b.5.
Erosi, Abrasi, dan Sedimentasi Secara alami proses erosi, abrasi, dan sedimentasi merupakan faktor yang
sangat berperan dalam mengubah bentuk garis pantai, yang bergantung pada jenis dan jumlah sedimen air sungai. Kontiyunitas penyebarannya dipengaruhi oleh energi dinamik arus, gelombang, dan pasang surut air laut. Faktor alamiah dominan pengubahan bentang alam pesisir dipengaruhi oleh dinamika interaksi antara penbentukan delta dan pendangkalan interdelta tinggi gelombang, dan arus laut yang akan menimbulkan suksesi komponen lokal. Pembentukan delta akibat transport sediment sungai akan berakibat lanjut
72
terjadinya perubahan arus laut dan berpotensi menimbulkan arus yang menimbulkan abrasi pada bagian pantai lain di sekitarnya. b.6.
Hubungan antara Pola Refraksi Gelombang dengan Penyebaran Sedimen Fenomena refraksi gelombang terjadi pada gelombang yang datang ke
pantai sekitar daerah tapak akibat adanya Kepulauan seribu yang berfungsi sebagai Barrier. Refraksi terjadi karena pada gelombang yang mempunyai periode T = 5 detik dihitung pada gelombang yang datang dari arah Barat Laut. Dari pola refraksi dapat diperhitungkan penyebaran sedimen yang berlangsung selama terjadinya muson barat adalah sebagai berikut :
Pada titik lokasi Muara Kamal : 8.10+4 m3/tahun Pada titik lokasi sebelah Timur Muara Cengkareng Drain : 13.10 +4 m3/tahun
4.2.4
Hidrologi
a.
Sungai-Sungai yang Mengalir di Daerah Tapak Hidrogeologi yang bersangkutan dengan daerah tapak, dipengaruhi oleh
sungai-sungai utama yang melintasi lebih dari separuh wilayah DKI Jakarta, yaitu sungai Ciliwung, Angke, Pesangrahan, Krukut, Grogol, Sekretaris, Sepak, dan Mampang. Luas daerah aliran sungai yang mengalir di daerah tapak, jika digabung mempunyai luas total sekitar 1100 km2 atau 2 kali luas DKI Jakarta yang dibatasi oleh DAS Ciliwung di sebelah Timur dan DAS Angke di sebelah Barat. Fungsi dari sungai-sungai tersebut pada skala makro adalah :
Sebagai pengendali banjir DKI Jakarta
Sebagai saluran pembuangan air limbah dan sampah, meskipun tidak seorang pun merekomendasikannya. Sistem aliran sungai Angke dan Cengkareng Drain merupakan sistem
aliran yang menggunakan beban limbah limpasan air yang besar, dimana aliranaliran sungai besar, yaitu kali Mookervart, Sungai Sepak, Sungai Pesanggrahan, Sungai Sekretaris, Sungai Angke, Sungai Grogol, dan Sungai Ciliwung berkumpul. Sungai-sungai tersebut berpotensi menimbulkan banjir rutin,
73
mengingat daerah aliran masing-masing sarat dengan pemukiman sehingga mempunyai koefisien run-off yang besar. b.
Perwilayahan Sistem Aliran Sungai Dari konteks drainase dan pengendalian banjir Jakarta, serta pengendalian
kualitas air sungai masing-masing, sungai-sungai yang mengalir di daerah tapak termasuk dari daerah pengembangan barat yang meliputi:
Sistem aliran Sungai Angke: Kali Sepak, Pesanggrahan, Mookervart, Sekretaris, dll, Kali Jelambar, Cengkareng Drain, dan Kali Grogol Sistem aliran Sungai Ciliwung: Kalibaru Barat, Kalibata, Cideng, Krukut, dan Mampang Sistem Aliran Kali Muara Karang : Kali Duri dan Kali Grogol.
c.
Debit Normal, Debit Penggelontoran, dan Debit Minimum Sungai
Pengkajian tentang debit rata-rata dan debit pengglontoran (flushing) dan debit minimum sungai bermanfaat untuk analisis tentang seberapa besar difusi atau pengenceran sungai yang bersangkutan dalam fungsinya sebagai badan air penerima buangan, beban-beban parameter-parameter pencemar yang boleh dibuang dari daerah tapak (BOD5, COD, dan SS) serta efek pencampuran yang ditimbulkan dalam kaitannya dengan perubahan kadar oksigen perubahan BOD 5 dan COD yang sangat vital bagi kehidupan perairan. Debit minimum dan rata-rata Banjir Kanal sebelum pertemuan dengan S. Angke adalah 10,2 m3/det, 17 m3/det, dan 25 m3/det. Hasil pengukuran Santoso (2002), debit Sungai Angke 37 – 38,5 m3/detik, debit Cengkareng Drain 110,44 m3/detik dan debit Sungai Kamal 11,22 m3/detik. Tabel 9 Debit air sungai pada beberapa lokasi penelitian di kawasan mangrove Muara Angke DKI Jakarta Posisi
T ratarata (detik)
V (m/det)
5,60 1,50
35,75
0,34
110,25
37,01
1,50
5,10 1,00
29,67
0,40
95,25
38,52
5,00
0,80
1,50 1,00
42,50
0,12
6,00
0,71
18,00
66,00
4,00
5,00 3,00
36,67
0,49
225,00
110,44
11,00
17,00
0,50
1,25 0,20
13,33
0,83
13,60
11,22
Jarak Lebar (m) (m)
D1
D2
S. Angke (Pagi) 06o06’54,8” 106o46’10,9”
12,00
30,00
2,00
S. Angke (Siang)
12,00
30,00
5,00
Nama Sungai
S. Pandan
S
E
06o06’54,8” 106o46’10,9” *
*
S. Cengkareng Drain
06o06’45,9” 106o45’06,0”
S. Kamal
06o05’34,5” 106o43’26,2”
D3
Keterangan : D1&D3 = Pinggir; D2 = Tengah; * = Belum Dilakukan Pengukuran Sumber : Santoso,N (2002)
A Debit (m2) (m3/det)
74
d.
Kualitas Air Kualitas air sungai terkait dengan tingkat pelayanan sanitasi di daerah
tangkapan air dan morfologi sungai-sungai yang bersangkutan. Perbedaan topografi yang tajam antara daerah hulu deangan hilir akan berpengaruh pada laju erosi di daerah hulu serta laju sedimentasi di daerah hilir. Buruknya sanitasi di daerah hulu mengakibatkan perairan sungai di daerah tapak yang terletak di sekitar muara sungai menjadi septik, berwarna hitam, dan berbau. Akibat rendahnya kecepatan aliran di daerah hilir. Kecepatan reoksigenasi menjadi sangat lambat sehingga kemampuan self purification sungai tersebut sangat lemah. Situasi yang lebih buruk, rendahnya kecepatan air sugai di bagian hilir menyebabkan proses biodegrasi terjadi pada perjalanan menuju ke muara yang mengkonversi zat organik yang terlarut menjadi koloid sehingga mempercepat laju sedimentasi. Kualitas air pada setiap lokasi pengamatan (Hutan Lindung, Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, Kebun Benih/Arboretum, dan kanan kiri jalan Tol) dipengaruhi oleh kualitas air sungai yang terdapat di kawasan mangrove Muara Angke. Kondisi kualitas air masing-masing lokasi pengamatan dan kualitas air pada pengukuran Santoso, N (2002) (Tabel 10).
Tabel 10 Hasil analisis kualitas air pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (Santoso, N 2002) STASIUN PENGAMATAN No
PARAMETER
SATUAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
28
30
32
33
31
32
I
FISIKA
1
Suhu
oC
27
27,6
28,1
2
Warna
Pt.Co.
6,8
6,8
6,65
7
7,2
5,3
9,55
18,8
6,1
3
Kecerahan
Cm
55
50
50
30
40
35
50
5
30
4
Kekeruhan
NTU
12
6
8
5
25
9
7
55
7
5
Padatan tersuspensi
mg/l
32
14
12
18
38
76
14
172
66
6
Bau
Visual
alami
alami
alami
alami
alami
alami
alami
alami
alami
7
Lapisan Minyak
Visual
alami
nihil
alami
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
8
Benda terapung
Visual
sampah
sampah
sampah
nihil
nihil
nihil
sampah
nihil
II
KIMIA
1
pH
-
6,63
6,66
6,76
6,63
6,85
8,59
8,82
7,2
7,8
2
Salinitas
o/oo
0
0
0
0
0
10
0
0
25
mg/l
0,3
0,65
0,45
1,1
1,4
7,3
7,2
0,8
4,5
mg/l
1,75
3
2,5
2,5
2
1,8
1,4
7
2,6
3 4
Oksigen terlarut (DO) BOD5
tanaman air
75
STASIUN PENGAMATAN No
5
PARAMETER
SATUAN
COD Ammonia Total
6
(NH3+NH4)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
mg/l
8,94
19,31
68,18
35,6
47,45
49,18
149,63
287,41
20,9
mg/l
0,114
0,226
0,104
0,118
0,146
0,121
0,128
0,136
0,033
0,068
0,06
0,031
0,053
0,021
0,026
0,023
7
Nitrat (NO3-N)
mg/l
0,131
0,045
8
Nitrit (NO2-N)
mg/l
0,276
0,022
0,07
0,007
0,009
0,041
0,005
0,01
0,015
9
Sulfida (H2S)
mg/l
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
10
Sianida (CN)
mg/l
0,027
0,021
0,035
0,031
0,029
0,033
0,025
0,021
0,015
11
Minyak bumi
mg/l
0,2
0,25
<0,01
0,35
0,4
0,2
0,45
0,85
<0,01
12
Phenol
mg/l
Khromheksavalen
13
(Cr6+)
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
mg/l
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,00 1 <0,00 1
0,025
<0,001
<0,00 1 <0,00 1
14
Seng (Zn)
mg/l
0,044
0,033
0,22
0,083
0,028
0,083
0,036
0,111
0,022
15
Timah hitam (Pb)
mg/l
0,093
0,067
0,073
0,08
0,12
0,107
0,053
0,133
0,067
16
Kadmium (Cd)
mg/l
0,064
0,046
0,079
0,057
0,046
0,054
0,061
0,068
0,043
17
Perak (Ag)
mg/l
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
18
Raksa (Hg)
mg/lx10-3
0,05
0,05
0,35
0,15
0,2
0,15
0,15
0,35
0,2
19
Arsen (As)
mg/lx10-3
0,03
0,02
0,04
0,086
0,092
0,071
0,066
0,097
0,087
20
Nikel (Ni)
mg/l
0,083
0,036
0,033
0,083
0,044
0,033
0,047
0,111
21
Selenium (Se)
mg/l
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
22
Tembaga (Cu)
mg/l
0,441
0,382
0,441
0,265
0,23
0,529
<0,00 1
<0,00 1 0,471
<0,001
<0,001 0,588
Keterangan : 1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu); 5=Cengkareng Drain (Jembatan); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 9=Hutan Wisata (Kolam Tambak)
e.
Air Tanah Secara umum dataran Jakarta terbentuk endapan yang terjadi dari
penumpukan bahan-bahan vulkanik, tufa, kerikil, pasir, lumpur, dan lempung tertumpuk di sepanjang pantai. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 250 - 300 mm dengan ketebalan dua aquifer sebagai berikut:
Aquifer bebas
Aquifer tertekan : ketebalan 20 - 40 m
: ketebalan umumnya < 20 m
Daerah Kapuk, aquifer bebas ini merupakan aquifer pantai terdiri dari lempung lunak dengan ketebalan 10 m. Aliran tanah adalah dari Selatan ke Utara.
<0,00 1
0,044 <0,00 1 0,353
76
4.2.5 Iklim Berdasarkandata curah hujan stasiun Cengkareng yang merupakan hasil pengamatan selama 30 tahun, curah hujan tahunan sekitar stasiun pengamatan Cengkareng adalah 1,731 mm dengan curah hujan bulanan seperti disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Data curah hujan bulanan stasiun Cengkareng No Bulan 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 Nopember 12 Desember Sumber: BPS Jakarta Utara (2007)
Curah Hujan 294 mm 277 mm 173 mm 137 mm 127 mm 86 mm 58 mm 68 mm 69 mm 101 mm 121 mm 220 mm
Berdasarkan pencatatan di Tanjung Priok dan Kemayoran, curah hujan di sekitarnya adalah 200 mm/bulan. Curah hujan di Tanjung Priok tahun 1986 adalah 2050 mm. Dalam setahun terdapat 1 atau 2 bulan lebih rendah dari 60 mm. Hal tersebut biasa terjadi pada bulan Juli dan Agustus, sehingga dalam klasifikasi Koppen termasuk daerah dengan iklim Am, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yang dapat mencapai lebih dari 600 mm/bulan. Dalam tahun tersebut terdapat 141 hari hujan berkisar dari 7 hari/bulan sampai 25 hari/bulan. Curah hujan berkisar dari 53,6 mm (Mei) sampai dengan 61,3 mm (Januari). Terdapat beberapa hal penting yang dapat dikemukakan pada data curah hujan bulanan, yaitu:
Angka curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari (294 mm), terlihat pola datangnya hujan yang cukup jelas, yaitu sejak Oktober sampai Januari, sedangkan bulan-bulan berikutnya semakin berkurang
Angka curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli (58 mm), sedangkan pada bulan-bulan berikutnya meningkat hingga Oktober
77
Pola curah hujan berkaitan dengan pergeseran garis Intertrophic Convergence Zone (Pias Korvengensi Intertropis) yang bergerak dari Utara ke Selatan (dari Laut Jawa ke Samudra Hindia) melalui Pulau Jawa pada bulan Desember sampai Februari
Walupun wilayah kajian ini merupakan wilayah yang curah hujannya paling rendah, tetapi merupakan wilayah akumulasi limpasan hujan daerah selatan yang curah hujannya cukup tinggi. Suhu harian terendah adalah 21oC - 24oC dan suhu harian tertinggi 29oC -
33,5oC dengan rata-rata 26oC - 28oC. Kelembaban nisbi udara 76 % sampai 86 %.
4.3
Komponen Biologi
4.3.1
Penutupan Vegetasi Berdasarkan penutupan vegetasi (1989-2006), kondisi kawasan mangrove
Muara Angke mengalami peningkatan, yang ditunjukkan oleh luas areal mangrove dengan kelas penutupan lebat meningkat. Hal ini menunjukkan kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke menunjukkan indikasi keberhasilan (Tabel 12, Tabel 13, dan Tabel 14).
Tabel 12 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989 No
Lokasi
1
Cengakreng Drain
2
Hutan Lindung
3
Kawasan SMMA
4
Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI)
5
Pantai Indah Kapuk
6
Sungai Kamal
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah
Luas(Ha) 1,73 0,13 1,86 17,41 15,80 3,43 36,64 3,70 2,55 21,08 27,33 40,81 10,17 29,18 80,16 34,68 8,03 31,59 74,31 1,39 0,06 1,46
78
Tabel 12 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989 (lanjutan) Lokasi
No 7
Sungai PIK
8
Sungai Tanjung
9
Tambak KKP
10
Tambak Masyarakat
11
Tol Soediyatmo
12
TWA
13
Arboretum
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah
Luas(Ha)
Jumlah
0,42 0,86 0,16 1,43 1,92 0,14 0,00 2,06 0,61 0,08 0,69 39,68 8,54 0,40 48,62 28,01 6,67 1,19 35,88 10,46 0,41 10,86 0,30 0,30
Jumlah Total
321,61
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2006 (2011)
79
Sumber: Data primer hasil analisis citra satelit TM 1989 (2011)
Gambar 8 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989.
Tabel 13 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001 No
Lokasi
1
Cengakreng Drain
2
Hutan Lindung
3
Kawasan SMMA
4
Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI)
5
Pantai Indah Kapuk
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah
Luas (Ha) 1,76 4,53 0,83 7,12 24,37 11,05 20,28 55,70 8,00 1,95 16,90 26,84 44,42 24,16 2,84 71,42 84,88 99,87 10,70 195,45
80
Tabel 13 No
Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001 (lanjutan) Lokasi
6
Sungai Kamal
7
Sungai Pantai Indah Kapuk
8
Sungai Tanjung
9
Tambak KKP
10
Tambak Masyarakat
11
Tol Soediyatmo
12
TWA
13
Arboretum
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Jumlah Total
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2006 (2011)
Luas (Ha) 0,19 0,77 0,96 0,06 0,76 0,83 0,23 0,23 2,11 0,78 0,17 3,06 0,81 0,91 1,72 1,94 13,53 15,47 4,64 9,42 14,05 4,97 2,65 7,62 400,49
81
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2001 (2011)
Gambar 9 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001.
Tabel 14 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006 No
Lokasi
1
Cengakreng Drain
2
Hutan Lindung
3
Kawasan SMMA
4
Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI)
5
Pantai Indah Kapuk
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah
Luas (Ha) 0,85 0,22 0,02 1,09 10,09 34,21 15,15 59,45 1,56 6,72 19,78 28,06 26,68 22,70 2,12 51,50 91,26 27,86 1,29 120,41
82
Tabel 14 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006 (lanjutan) No
Lokasi
6
Sungai Kamal
7
Sungai Pantai Indah Kapuk
8
Sungai Tanjung
9
Tambak KKP
10
Tbk Masyarakat
11
Tol Soediyatmo
12
TWA
13
Arboretum
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Jumlah Total
Luas (Ha) 0,25 0,00 0,25 0,06 0,00 0,06 0,00 1,50 1,06 2,56 0,36 0,09 0,45 5,48 0,41 0,02 5,90 1,95 0,18 2,13 0,88 0,36 1,23 273,10
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2006 (2011)
4.3.2
Keanekaragaman Jenis Flora Keanekaragaman jenis tumbuhan yang terdapat pada kawasan mangrove
Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) 68 jenis yang sebagian besar merupakan bukan jenis mangrove sejati. Jumlah jenis yang dijumpai tahun 2011 sebanyak 29 jenis. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan SMMA telah mengalami perubahan, terutama salinitas air relatif rendah (air tawar). Hal ini dikarenakan air pasang dan air surut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya dan pengaruh Sungai Angke lebih dominan dibandingkan dengan air laut (Tabel 15).
83
Sumber : Data primer hasil pengukuran citra satelit TM
Gambar 10 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006. Tabel 15 Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda No.
Nama Lokal
Nama latin
1972 1985 1988 1994 1997 1998 2000 2002 2011
Akar
X
2 Akasia
Acacia auriculiformis
3 Api-api
Avicennia alba
X
4 Api-api
Avicennia marina
X
5 Api-api
Avicennia officinalis
X
6 Bakau
Rhizophora sp
7 Bakau merah
Rhizophora mucronata
X
8 Bakau putih
Rhizophora apiculata
X
9 Beringin
Ficus benjamina
10 Bidara
Sonneratia alba
11 Biji kambing
Parsonsia javanica
12 Bluntas
Pluchea indica
13 Bungur
Lagerstomia speciosa
14 Buta-buta
Excoecaria agallocha
X
15 Cakar ayam
Tacca palmata
X
16 Ceker wulung
Tacca palmata
17 Cemara laut
Casuarina equisetifolia
18 Dodot
X
X
X X
X
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
X X
X
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
84
Tabel 15 Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama latin
1972 1985 1988 1994 1997 1998 2000 2002 2011
19 Duri Busyetan
Mimosa pudica
20 Enceng gondok
Eichornia crassipes
21 Enceng hutan
Eichornia speciosa
22 Ficus
Ficus sp.
23 Gelagah
Saccharum spontaneum
24 Gendola
Baselia rubra
25 Jangkar
Bruguiera sp
26 Jeruju
Achantus illicifolius
27 Johar
Cassia siamea
X
28 Kamboja
Plumeria acuminata
X
30 Kedondong hutan
Spondias pinnata
X
31 Kelapa
Cocos nucifera
32 Kendal
Cordia obliqua
X
X X
X
X
X
X
X
X X
X X X
X
X
X
X
X
X
X
X X
33 Keremek
X Terminalia catappa
X
X
35 Kiapung
X
X
X
36 Kihujan
Samanea saman
37 Kitower
Derris heterophylla
X
X
X
38 Koang
Ficus indica
X
X
X
39 Kolang-kaling
Vitis trifolia
X
X
X
40 Kolonjono 41 Kuda-kuda
X
X
29 Kangkungan
34 Ketapang
X
X Dolichandrone spathaceae
X X
X
42 Loak
X
43 Lunting
X
X
44 Nenasian
Breynia sp
45 Nipah
Nypa fruticans
46 Nyamplung
Calophyllum inophyllum
47 Pacaran
Hyptage sp
48 Paku-pakuan
Asplenium apicarum
49 Piai
Acrostichum aureum
50 Pidada
Sonneratia caseolaris
51 Pohon cere
Viburnum lutescens
52 Prumpung
Andropogon nardus
53 Remis
Acacia longifolia
54 Rotan
Calamus sp
X
55 Rumbai
Sonneratia sp
X
56 Rumput gajah
Sacharum sp
X
57 Rumput teki
Cyperus sp
X
X
58 Rumput wangi
Imperata cylindrica
59 Seronian
Widelia biflora
60 Tancang
Bruguiera gymnorrhiza
X
X
61 Tania
Xanthosoma saqittifolium
X
62 Toro
Colocasia anticuorus
X
63 Tulang ayam
Premma sp
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X X
X
X
X
X
X
X X X X
X X
X
X
X
X X
X
X
X
X X
X
X
X
85
Tabel 15 Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda (lanjutan) No. Nama Lokal
Nama latin
64 Warakas
Acrostichum aureum
65 Waru laut
Hibiscus tilliaceus
66
1972 1985 1988 1994 1997 1998 2000 2002 2011 X
X
X
X
X
X
X
X
Cerbera odollan
X
X
67
Glochidion sp
X
68
Sagittaria lancifolia
X
Total
X
18
9
19
26
X
8
7
26
24
29
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutana DKI Jakarta (1995-1998), LPP Mangrove (2000), Santoso, N (2002), Data Primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan Hutan Lindung 33 jenis dan pada tahun 2011 dijumpai 20 jenis, yang sebagian besar bukan jenis mangrove sejati. Hal ini dikarenakan kondisi mangrove pada Hutan Lindung bukan merupakan hamparan mangrove yang kompak, melainkan bekas-bekas tambak yang juga ditumbuhi jenis tumbuhan bukan mangrove atau jenis ikutan (mangrove associate). Tabel 16 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Lindung Muara Angke pada periode waktu yang berbeda No.
Nama Lokal
Nama Latin
1
Akasia
Acacia auriculiformis
2
Api-api
Avicennia marina
3
Api-api *
Avicennia alba
4
Asam-asam
5
Bakau
Rhizophora sp
6
Bakau merah
Rhizophora mucronata
7
Bakau putih
Rhizophora apiculata
8
Beluntas
Pluchea indica
Bidara
Sonneratia alba
10
Buta-buta
Excoecaria agallocha
11
Duri Busyetan
Mimosa pudica
12
Flamboyan
Delonix regia
13
Jeruju
Achantus illicifolius
14
Jeunjing
Paraserianthes falcataria
15
Kangkung laut
X
X
16
Keremek putih
X
X
17
Kerinyuh laut
X
18
Ketapang
Terminalia catappa
19
Ki Tower
Derris trifoliata
20
Lamtoro gung
21
Mahoni
Swietenia macrophylla
22
Nyamplung
Calophyllum inophyllum
23
Pace
Thespesia populnea
24
Petai
Parkia speciosa
25
Piai
Acrostichum aureum
X
X
26
Pidada
Soneratia caseolaris
X
X
9
1995
1996
2000
X
X
X
X
X
2000*
2000**
2002
X X
X
X
2011 X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X X
X
X
X
X X
X
X
X
X X
X
X
X
X
X
X
X X
X
X
X X
X X
X X
X
X X
X X
X
X X
86
Tabel 16 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Lindung Muara Angke pada periode waktu yang berbeda (lanjutan) No.
Nama Lokal
27
Rumput teki
Nama Latin
1995
1996
2000
2000*
2000**
2002
2011
X
28
Semak
X
29
Seronian
Widelia biflora
X
30
Waru laut
Hibiscus tilliaceus
X
31
Xtba
X X
X
32
Xtbb
X
33
Xtbc
X
X
Total
X X
11
X
X
X
6
X
16
6
11
18
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutana DKI Jakarta (1995-1998), LPP Mangrove (2000), Santoso, N (2002), Data Primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan pada kawasan Hutan Wisata Kamal 34 jenis (7 jenis mangrove sejati dan 27 jenis mangrove ikutan atau assosiasi mangrove), dan bukan mangrove, serta pada tahun 2011 dijumpai 17 jenis. Dijumpainya jenis-jenis tumbuhan bukan mangrove (akasia, trembesi, dsb) merupakan bukti bahwa kondisi mangrove pada kawasan hutan wisata telah banyak mengalami gangguan atau tidak normal. Hal ini dikarenakan pengelolaan kawasan hutan wisata pada masa lalu dilakukan masyarakat untuk budidaya perikanan (tambak ikan).
Tabel 17 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Wisata Kamal pada periode waktu yang berbeda No.
Nama Lokal
Nama ilmiah
1
Akar
2
Akasia
Acacia auriculiformis
3
Angsana
Pterocarpus indicus
4
Api-api
Avicennia marina
5
Bakau
Rhizophora sp.
6
Tancang
Bruguiera gymnorrhiza
7
Bakau merah
Rhizophora mucronata
8
Bakau pulau
9
Bakau putih
1994
1996
1996*
1997
2000
2002
2011
X X
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
X
X
X
Rhizophora stylosa
X
X
Rhizophora apiculata
X
X
X
X
X
X
10 Beluntas
Pluchea indica
11 Bidara
Sonneratia alba
12 Buta-buat
Excoecaria agallocha
13 Dadap laut
Erythrina micropteryx
X
14 Flamboyan
Delonix regia
X
15 Gelagah
Saccharum spontaneum
X
16 Gradelan
Derris heterophylla
17 Kedondong laut
Polysia frutocosa
X
X
X X X
X
X X
X X
20
87
Tabel 17 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Wisata Kamal pada periode waktu yang berbeda (lanjutan) No. Nama Lokal
Nama ilmiah
1994
1996
1996*
1997
2000
18 Keji beling 19 Kihujan
Samanea saman
20 Kirinyuh laut
Eupatorium palescens
X
21 Kitower
Derris trifoliata
X
X
X
2002
2011
X
X
X
X
X
X
X
22 Kremek
X
X
23 Kremek putih
X
X
X
X
24 Krokot
Sesuvium portulacastrum
25 Mahoni
Swietenia macrophlylla
26 Mindi
Melia azedarach
27 Nenasian
Breynia sp
28 Pace
Thespesia populnea
29 Putri malu
Mimosa sp
30 Seruni
Widelia biflora
31 Warakas
Acrostichum aureum
X
33 Waru laut
Hibiscus tiliaceus
X
X
X
X X X X X X
X
X
X X
X
34 XtbA
X Total
Sumber :
5
17
6
4
6
16
17
Dinas Pertanian dan Kehutana DKI Jakarta (1995-1998), LPP Mangrove (2000), Santoso N (2002), Data Primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan pada Blok/Kawasan Ekowisata (dekat jalan Tol Sedyatmo) ada 25 jenis yang didominasi oleh api-api (Avicennia marina) dan bakau (Rhizophora apiculata). Jenis bakau banyak ditanam oleh berbagai pihak dengan jarak 1x1 meter mampu tumbuh dengan baik. Daftar jenis tumbuhan pada Blok Ekowisata seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Daftar jenis tumbuhan di Kawasan Ekowisata Muara Angke pada tahun 2011 No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1
Akasia
Acacia auriculiformis
2
Api-Api
Avicennia marina
3
Asam Kranji
Dialium indum
4
Bakau Merah
Rhizophora mucronata
5
Bakau Putih
Rhizophora apiculata
6
Bintaro
Cerbera manghas
7
Bungur
Lagerstroemia speciosa
8
Ciplukan
Physalis angulata
9
Dungun
Heritiera littoralis
10
Kangkung Air
Ipomoea aquatica
11
Kelapa
Cocos nucifera
12
Kersen
Muntingia calabura
88
Tabel 18 Daftar jenis tumbuhan di Kawasan Ekowisata Muara Angke pada tahun 2011 (lanjutan) No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
13
Ketapang
Terminalia catappa
14
Kluwih
Artocarpus camansi
15
Lamtoro
Leucaena leucocephala
16
Mangga
Mangifera indica
17
Nangka
Artocarpus heterophyllus
18
Nipah
Nypa fruticans
19
Nyiri
Xylocarpus granatum
20
Pepaya
Carica papaya
21
Pidada
Sonneratia caseolaris
22
Pisang
Musa paradisiaca
23
Rumput Teki
Cyperus rotundus
24
Singkong
Manihot esculenta
25
Tancang
Bruguiera gymnorrhiza
Sumber : Data primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan pada areal Arboretum (Kebun Benih) terdapat 3 jenis, yaitu api-api (Avicennia marina), bakau merah (Rhizophora apiculata), dan bakau putih (Rhizophora mucronata). Jenis api-api mendominasi seluruh penutupan vegetasi dan terus beregenerasi secara alami dengan sebaran bijinya. Struktur dan komposisi jenis vegetasi pada masing-masing lokasi pengamatan (SMMA, Hutan Lindung, Arboretum, Hutan Wisata Kamal, dan Blok Ekowisata) pada tahun 2002 (Lampiran 1 sampai Lampiran 4) dan hasil pengamatan 2011 (Lampiran 5 sampai Lampiran 9).
4.3.3
Keanekaragaman Jenis Satwaliar Keanekaragaman jenis satwaliar pada kawasan Suaka Margasatwa Muara
Angke (SMMA) pada tahun 1984-2002 sekitar 95 jenis burung, 4 jenis reptilia, dan 5 jenis mamalia. Namun jenis mamalia lutung (Prebytis cristata) saat ini telah tidak dijumpai lagi di SMMA. Jenis-jenis burung air (pemakan biota air), seperti belibis, ruak-ruak/kareo, kuntu,l dan pecuk. Beberapa jenis burung air tersebut, selain menggunakan kawasan SMMA sebagai feeding ground, juga sekaligus sebagai tempat berkembang biak dan mengasuh anak.
89
Tabel 19 Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode 1984 - 2000 No.
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1984
1988
1996
1997
2000
Burung 1
Acridotheres javanicus
X
2
Acrocephalus arundinaceaus
X
3
Acrocephalus sp.
X
4
Jalak ungu
Kerakbesi
5
Acrocephalus stentoreus
X
Actitis hypoleucos
X
6
Cipoh
Aegithina tiphia
X
7
Raja udang biru
Alcedo caerulescens
X
Alcedo euryzona
X X
8 9
Meninting
Alcedo meninting
10
Kareo
Amaurornis phoenicurus
11
Itik kelabu
Anas gibberifrons
X
12
Pecuk ular
Anhinga melanogaster
X
13
Kipasan
Anthreptes malacensis
14
Kapinis rumah
Apus Affinis
15
Cangak abu
Ardea cinerea
X
Ardea sumatrana
X
16
X X
X
X
X X
X
X
18
Cangak merah
Ardera purpurea
X
19
Kekep
Artamus leucorhynchos
20
Kuntul kerbau
Bulbucus ibis
21
Kokokan laut
Butorides striatus
X
24
Bubut jawa
Centropus nigrorofus
25
Bubut besar
Centropus sinensis
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
X X
X X X X
26 27
Chlidonias hybrida
X
28
Collacolia sp.
X X
X
29
Walet
Collocalia esculenta
30
Walet sarang putih
Collocalia fuchipaga
31
Burung Walik
Colugha sp.
32
Kucica
Copsychus saularis
X
X
33
Saeran gila
Crypsirina temia
X
X
34
Sikatan bakau
Cyornis rufigastra
35
Belibis
Dendracygna sp.
36
Belibis kembang
Dendrocygna arcuata
X
37
Burung cabe jawa
Dicaeum trochileum
X
Dupetor flavicollis
X
X
X
Kuntul besar
Egretta alba
40
Kuntul kecil
Egretta garzetta
X
41
Kuntul perak
Egretta intermedia
X
42
Alap-alap tikus
Elanus caeruleus Eudynamys scolopacea
X
X
X
X
X
X X
39
43
X
X
X
Charadrius alexandrinus
38
X
X
Calindris subminuta Centropus bengalensis
X
X
Ardeola speciosa
Bubut alang-alang
X
X
Blekok sawah
23
X
X
17
22
X
X
X
X X
X
X
X
X
X X
X
Keterangan
90
Tabel 19 Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode 1984 – 2000 (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1984
1988
1996
1997
2000
Burung 44
Mandar batu
Gallinula chloropus
45
Perkutut
Geopelia striata
X
X
46
Remetuk
Gerygone sulphurea
X
X
47
Cekakak
Halcyon chloris
X
Halcyon sancta
X
48 49
Jinjiing batu
50
X
X
X
X
Hemipus hirundinaceus
X
Hirundo rustica
X
51
Kapinis
Hirundo tahitica
X
52
Bangau
Ibis cinereus
X
53
Kekondangan
Ixobrycus cinnamomeus
X
X
54
Bambangan kuning
Ixobrycus sinensis
X
X
55
Kapasan
Lalage nigra
56
Bentet
Lanius schach
57
X
Leptotilos javanicus
X
X
X
X
X X
X
X
Blekok
Limnodromus semipalmatus
59
Bondol jawa
Lonchura leucogastroides
60
Bondol peking
Lonchura punctulata
61
Bluwok
Myctery cinerea
62
Burung madu bakau
Nectarinia calcostetha
63
Burung madu sriganti Nectarinia jugularis
X
X
64
Kowak malam
Nycticorax nycticorax
X
X
65
Cinenen kelabu
Orthotomus ruficeps
X
66
Cinenen jawa
Orthotomus sepium
X
67
Cinenen
Orthotomussutorius
X
Padda oryzivora
X
58
68 69
Gelatik batu
Parus major
70
Burung gereja erasia
Passer montanus
71
Pecuk hitam
Phalacrocorax niger Phalacrocorax pygmaeus
72 73
X X X
X X
X
X X X X
X
X
X X X
X
X
X
X
Pecuk
Phalacrocorax sp.
74
Pecuk
Phalacrocorax sulcirostris
75
Caladi terasi
Picoides macei
76
Caladi itik
Picoides moluccensis
77
Mandar
Porphyrio porphyrio
78
Tikusan Alis Putih
Porzana cinerea
79
Prenjak ciblek
Prinia familiaris
80
Prenjak coklat
Prinia polychrora
X
X
81
Betet
Psittacula alexandri
X
X
X
82
Cerucuk
Pycnonotus goianvier
X
X
X
83
Kutilang
Pynonotus aurigaster
X
X
84
Jogjog
Pynonotus spp.
85
Kipasan belang
Rhidipura javanica
X
X
X
X X X
X
X X
X
X X
X
X
X
X X
X
X
Keterangan
91
Tabel 19 Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode 1984 – 2000 (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1984
1988
1996
1997
2000
Keterangan
Burung 86
Tekukur
87
Sterptopelia chinensis
X
X
Streptopelia bitorquota
X
88
Jalak suren
Sturnus contra
X
89
Jalak putih
Sturnus melanopterus
X
90
Pelatuk besi
Thresciornis melanocephalus
X
91
Gesngek
Todirhampus chloris
92
Cekakak suci
Todirhampus sanctus
93
Punai
Treron vernans
94
Kacamata laut
Zosterops chloris
X
95
Kacamata biasa
Zosterops palpebrosus
X
Total
X
X X X
51
X
11
48
X
19
52
0
0
0
0
Reptil 1
Buaya muara
Crocodilus porosus
2
Ular kadut belang
Homalopsis buccata
3
Biawak
Varanus salvator
4
Ular bangke laut
X X X
X
X X
Total
2
1
3
X
X
Mamalia 1
Kucing mangrove
Felis viverrina
X
2
Tenggarangan
Herpentes javanicus
X
3
Anjing air
Lutrogale perspicillata
X
4
Monyet ekor panjang
Macaca fascicularis
X
5
Lutung
Presbytis cristata Total
X 4
2
1
Sumber : Kusmana (1984), Fahutan IPB (1996), LPP mangrove (2000)
Keanekaragaman jenis satwaliar di Hutan Lindung mangrove pada tahun 1995-2000 sekitar 48 jenis, terdiri atas 40 jenis burung dan 8 reptilia (Tabel 20). Tabel 20 Daftar jenis satwaliar di Hutan Lindung Muara Angke pada periode 1995-2000 No.
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1995
2000
Burung 1
Cipoh
Aegithina tiphia
2
Dara laut kumis
Ahlidoniaas hybridus
3
Raja udang kecil
Alceda atthis
4
Raja udang biru
Alcedo caerulescens
X
5
Itik benjut
Anas gibberifrons
X
6
Belibis
Anas gibberriforms
X
7
Pecuk ular asia
Anhinga melanogaster
X
X X X
X
Keterangan
92
Tabel 20 Daftar jenis satwaliar di Hutan Lindung Muara Angke pada periode 1995-2000 (lanjutan) No. Nama Lokal
Nama Ilmiah
1995
2000
Burung 8
Kapinis rumah
Apus affinis
9
Cangak abu
X
Ardea cinerea
X
X
10 Blekok sawah
Ardeola speciosa
X
X
11 Cangak merah
Ardera purpurea
12 Kuntul kerbau
Bubulcus ibis
13 Kokokan laut
Butorides striatus
X
14 Kedidi
Calidris subminuta
X
15 Cerek
Charadrius spp.
X
16 Walet linci
Collocalia linchi
X
17 Burung Cabe Jawa
Dicaeum trohileum
X
18 Kuntul besar
Egretta alba
19 Kuntul kecil
Egretta garzetta
20 Mandar batu
Gallinula chloropus
21
Gerigone sulphurea
22 Remetuk laut
Gerygone sulphurea
23 Raja udang
Halcyon chloris
24 Layang-layang batu
Hirundo tahitica
25 Bondol peking
Lonchura punctulata
26 Bluwok
Mycteria cinerea
27 Burung madu sriganti
Nectarinia jugularis
28 Kowak maling
Nycticorax nycticorax
29 Burung gereja
Passer montanus
30 Pecuk pada hitam
Phalacrocorax sulcirostris
31 Pecuk
Phalacrocorax spp.
32 Ibis rokoroko
Plegadis falcinellus
X
33 Prenjak jawa
Prinia familiaris
X
34 Prenjak
Prinia flaviventris
X
35 Kutilang
Pycnonotus aurigaaster
36 Kipasan belang
Rhipidura javanica
37 Tekukur
Streptopelia chinensis
X
38 Kakak tua sungai
Todirhamphus cechloris
X
39 Trinil pantai
Tringa hypoleucos
X
40 Kacamata biasa
Zosteros palpebrosus
X
Total
X X
X X
X X
X X X X X X X X X X X
X X
13
X
32
Reptil 1
Biawak
Varanus salvator
X
2
Ular sanca
Python reticulatus
X
3
Ular kobra
Naja sputatrix
X
4
Ular welang
Bungarus fasciatus
X
5
Ular kadut
Homalopsis buccata
X
6
Ular cincin
Dipsadomorphis dendrophilus
X
7
Ular daun
Dryopsis sp
X
8
Kura-kura
X Total
0
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan (1995) dan LPP Mangrove (2000)
8
Keterangan
93
Keanekaragaman jenis satwaliar pada kawasan Hutan Wisata Kamal pada tahun 1996 tercatat 67 jenis, terdiri atas 58 jenis burung, 7 jenis reptilia, dan 2 jenis mamalia (Tabel 21). Tabel 21 Daftar jenis satwaliar di Hutan Wisata Kamal pada tahun 1996 No. Burung 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Nama Lokal Anyam-anyaman Bentet Blekek Blekok Bluwok Bondol Bondol jawa Branjangan Burung cabe Burung cikalang kecil Burung madu Caladi ulam Cangak abu Cangak merah Cekakak Cerek kalung patah Cinenen biasa Cipoh Dara Laut jambul besar Elang bondol Gelatik batu Itik kelabu Jalak hitam Jalak putih Kakatua jambul kuning Kareo Kedidi jari panjang Kekep Kepodang Kipasan Kirik-kirik laut Kokokan laut Kowak maling Kucica Kuntul besar Kuntul perak kecil Kuntul sedang Kutilang Kutilang hutan Layang-layang biasa Mata merah Murai batu Pecuk hitam Pecuk padi Pecuk ular Pelatuk besi Perkutut Prenjak
Nama Ilmiah Coturnix sp. Lanius schach Limnodromus semipalmatus Ardeola speciosa Mycferia cinerea Lonchura punctulata Lonchura leucogastroides Mirafra javanica Dicaeum trochileum Fregata ariel Nectarinia jugularis Picoides macei Ardea cinerea Ardera purpurea Halcyon chloris Charaderus alexandrinus Orthotomus sutorius Aegithia tiphia Sterna bergii Haliastus indus Parus major Anas gibberifrons Acridotheres javanicus Sturmus melanopterus Cacatua sulphurea Amaurornis phoenicurus Caldris subminuta Artamus leuchorhynchos Oriolus chinensis Rhipidura javanica Merops superciliosus Buteroides striatus Nycticorax nycticorax Copsychus saularis Egretta alba Egretta garzetta Egretta intermedia Pycnonotus aurigaster Pycnonotus goiaiver Hirundo tahitica Porzana fusca Copsicus saularis Phalacrocorax sulcirostris Phalacrocorax niger Anhinga melanogaster Thresciornis melanochep Geopelia striata Prinia flaviventris
1996
1996*
X
X X X
X X X X X X X X
X X X X
X X X X X X X
X
X X
X X X X X X X X X X X X
X X X
X X X X X
X X X X X X X X
X X
X
Keterangan
94
Tabel 21 Daftar jenis satwaliar di Hutan Wisata Kamal pada tahun 1996 (lanjutan) No. Burung 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1996
Prenjak coklat Prenjak sayap sayap garis Raja udanag biru Raja udang Remetuk Srigunting Srigunting hitam Tekukur Trinil pantai Walet sapi
Prinia polychroa Prinia familiaris Alcedo caerulescens Pelargopsis capensis Gerygone sulphurea Dicrurus aenea Dicrurus macrocercus Streptopelia biforquota Actitis hypoleucos Collocalia esculenta
Biawak Blodok Kadal Katak sawah Kodok Ular kobra Ular sawah
X X X
23
47
X X X X X
X
Varanus salvator Priopthalmus vulgaris Mabouya multifasciata Rana cancrivora Bufo bipurcatus Naja-naja sputetrix Phyton reticulatus
Monyet ekor panjang Tikus
X X X X
X
X X
Total Mamalia 1 2
Keterangan
X X X
Total Reptil 1 2 3 4 5 6 7
1996*
6
2
Macaca fascicularis Rattus sp.
X X
Total
0
2
Sumber : Fahutan IPB (1996)
Pengamatan
yang
dilakukan
tahun
2011,
menunjukkah
bahwa
keanekragaman jenis satwaliar pada kawasan mangrove Muara Angke 68 jenis yang terdiri atas mamalia (4 jenis), burung (61 jenis), dan reptilia (3 jenis). Jenis endemik mangrove, yaitu bubut jawa (Centropus nigrorufus) masih dijumpai pada kawasan mangrove Muara Angke (SMMA dan Hutan Lindung). Jumlah jenis satwaliar (mamalia, burung, dan reptilia) pada masing-masing lokasi seperti pada Tabel 22.
Tabel 22 Daftar total jenis satwaliar di kawasan mangrove Muara Angke tahun 2011 Lokasi No A. 1 2 3 4
Nama Indonesia Mamalia Kera ekor-panjang Bajing kelapa Tikus belukar Berang-berang air
Nama ilmiah
Macaca fascicularis Calosciurus nottatus Rattus tiomanicus sabae Lutra lutra
Famili
Cercopithecidae Sciuridae Muridae Mustelidae
1
2
10 2 1 1
3
3
4
1
1
5
6
95
Tabel 22 Daftar total jenis satwaliar di kawasan mangrove Muara Angke tahun 2011 (lanjutan) No Nama Indonesia
Nama ilmiah
Famili
B. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Orthotomus ruficeps Copsychus saularis Hirundo tahitica Centropus bengalensis Cacomantis sonneratii Meiglyptes tristis Haliaestur indus Amaurornis phoenichurus Streptopelia chinensis Prinia flaviventris Caprimulgus affinis Treron vernans Dendrocygna arcuata Gerygone sulphurea Anthreptes malacensis Pycnonotus aurigaster Orthotomus seriuceus Porzana pusilla Ixobrychus cinamomeus Picoides moluccensis Tringa stagnatilis Melacocincla sepiarium Rhipidura javanica Ardea purpurea Prinia familiaris Acridotheres javanicus Passer montanus Aegithina tiphia Colocallia maxima Dicaeum trochileum Lonchura leucogastroides Halcyon chloris Egretta garzeta Acrocephalus orientalis Artamus leucorynchus Alcedo caerulescens Alcedo meninting Anhinga melanogaster Apus affinis Ardea cinerea Ardeola speciosa Butorides striatus Collocalia fuchiphaga Egretta intermedia Hemipus hirundinaceus Lalage nigra Lonchura punctulata Nectarinia jugularis Nycticorax nycticorax Orthotomus sepium Parus major Pycnonotus goiavier Zosterops palpebrosus Anas gibberifrons
Silviidae Turdidae Hirundinidae Cuculidae Cuculidae Picidae Acciptridae Rallidae Columbidae Silviidae Caprimulgidae Columbidae Anatidae Silviidae Nectarinidae Pycnonotidae Silviidae Rallidae Rallidae Picidae Scolopacidae Timaliidae Rhipiduridae Ardeidae Silviidae Sturnidae Ploceidaee Chloropseidae Apodidae Dicaeidae Ploceidaee Alcedinidae Ardeidae Silviidae Artamidae Alcedinidae Alcedinidae Anhingidae Apodidae Ardeidae Ardeidae Ardeidae Apodidae Ardeidae Campephagidae Campephagidae Ploceidaee Nectarinidae Ardeidae Silviidae Paridae Pycnonotidae Zosteropidae Anatidae
Burung Cinenen kelabu Kucica kampung Layang-layang batu Bubut alang-alang Wiwik lurik Caladi batu Elang bondol Kareo padi Tekukur biasa Prenjak rawa Cabak kota Punai gading Belibis kembang Remetuk laut Burung madu kelapa Cucak kutilang Cinenen merah Tikusan kerdil Bambangan merah Caladi tilik Trinil rawa Pelanduk semak Kipasan belang Cangak merah Prenjak jawa Kerak kerbau Burung-gereja erasia Cipoh kacat Walet sarang-hitam Cabe jawa Bondol jawa Cekakak sungai Kuntul kecil Kerakbasi besar Kekep babi Raja-udang biru Raja-udang meninting Pecuk-ular Asia Kapinis rumah Cangak abu Blekok sawah Kokokan laut Walet sarang-putih Kuntul perak Jingjing batu Kapasan kemiri Bondol peking Burung-madu Sriganti Kowak-malam kelabu Cinenen jawa Gelatik-batu Kelabu Merbah cerukcuk Kacamata biasa Itik benjut
1
2
1 1 1 1 1
1
Lokasi 4
5
3
1
3
1 1 1 2 2 1 1 8 1 1
5
2 2
1 1 1 3
3 1
1
1
6
2 1 1 2 3 1 1 2 1 5 3 2 6 2 4 1 3 2 3 1 1 5 3 1 6 7 2 2 2 1 3 1 3 2 2 3 4
2 1
2 1
2 1 1
1 3 1
2
2
6 1
2 3 1 2 1 3
1 3 2 1 2 1
1 2 1
1 1 4
2 1 34
1
1
1
4
25
1 1
4 25 15
1 2 1
1
2
5 4 3
45
2 1
9 2 2
9
3 2
96
Tabel 22 Daftar total jenis satwaliar di kawasan mangrove Muara Angke tahun 2011 (lanjutan) No Nama Indonesia
Nama ilmiah
Famili
55 56 57 58 59 60 61 C. 1 2 3
Phalacrocorax sulcirostris Tringa hypoleucos Orthotomus sutorius Pandion haliaetus Egretta alba Ixobrychus eurhythmus Centropus nigrorufus
Phalacrocoridae Scolopacidae Silviidae Pandionidae Ardeidae Ardeidae
Eutropis multifasciata Varanus salvator Homalopsis buccata
Scincidae Varanidae Colubridae
Pecuk-padi Hitam Trinil pantai Cinenen pisang Elang tiram Kuntul besar Bambangan coklat Bubut Jawa Reptilia Kadal kebun Biawak Ular kadut
1
2
Jumlah jenis Keterangan lokasi: 1 Suaka Margasatwa Muara Angke 2 Hutan Lindung Muara Angke 3 Hutan Wisata Kamal 4 Hutan Lindung dan Kawasan Reklamasi 5 Kawasan/Blok Ekowisata Muara Angke 6 Arboretum Muara Angke
Lokasi 4
3
1
5 50 6
6 5
2 1 1
1
Jumlah perjumpaan (individu)
2 2 2
1 1
15 1
1
1 1 1
1 1
1 1
1 1
1
1
134
69
25
47
237
21
58
36
18
24
20
6
Sumber : Data Primer (2011)
4.3.4
Biota Air Sesuai dengan hasil pengukuran kualitas air, bahwa kondisi perairan
Sungai di kawasan Muara Angke yang telah tercemar berat memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan biota perairan. Hasil kajian KP2L Pemda DKI (1998) melaporkan bahwa berbagai biota perairan baik mikroba, plankton, benthos, maupun ikan sungai di Muara Angke telah menunjukkan indikasi tercemar berat. Jenis benthos tidak dijumpai selama periode pemantauan 1996/1997, sementara jenis ikan yang dijumpai hanya ikan sapu-sapu. Adapun hasil dari pengukuran atau pengambilan contoh biota selama pengamatan dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Plankton Plankton adalah jasad-jasad renik mikro, baik yang bersifat nabati
(fitoplankton) maupun hewani (zooplankton) yang hidup melayang di dalam perairan. Hewan plankton merupakan jenjang tropik dasar dalam jaring-jaring makanan (food web) di perairan. Keberadaan plankton (jenis dan populasinya) sangat dipengaruhi oleh kondisi kualitas medium hidupnya di air. Perairan yang
97
subur dengan kandungan zat-zat hara yang cukup akan mendukung keberadaan plankton sebaliknya, perairan yang tercemar menurunkan keanekaragaman jenis dan kepadatan populasinya. Dari hasil pengukuran Tim Fahutan IPB (1996) tercatat ada 24 anggota dari Fillum Baccillariophyta, Clorophyta, dan Cynophyta. Selengkapnya jumlah fitoplankton terlihat dalam Tabel 23. Tabel 23 Kandungan fitoplakton di SMMA tahun 1996 Station Individu Fillum Baccillariophyta Amphora Amphypora Bacteriastrum Chetoceros Closterium Coscinodiscus Fragillaria Lauderia Nitzschia Rhizosolenia Synedra Stephanopyxis Pleurosigma Leptocylindrus Fillum Cyanophyta Coelosphaerium Gleotricha Trichodesmium Fillum Chlorophyta Coerella Dispor Scedesmus Spirulina Uronema Zygnemopsis Schederirta Jumlah Taxa Total Individu Index Diversitas (H) H Maksimum Equibiliti (E) Dominasi (D) Saprobitas (X) Sumber : Fahutan IPB (1996)
I
II
III
332,79 107,5 53,79 484,19 53,79 107,5 53,79 53,79 1075,98 107,5 -
107,5 53,79 376,59 53,79 53,79 53,79 107,5 591,79 53,79 -
379,59 107,5 161,397 161,379 161,379 53,79
107,5 53,79 -
53,79 268,99 53,79
161,379 591,78 -
322,79 53,79 53,79 123,79 16 3281,58 2,24 3,99 0,56 1,53 0,615
268,99 53,79 53,79 215,19 322,79 18 2797,23 2,502 4,166 0,6 0,99 0,882
645,58 53,79 215,19 914,58 107,5 14 3765,678 2,251 3,807 0,59 0,968 1,153
98
Hasil pengukuran Tim Rencana Pengelolaan (2000) di areal SMMA telah memperlihatkan kecenderungan tingkat keanekaragaman dan populasi yang rendah. Tabel 24 Hasil analisis phytoplankton di SMMA tahun 2000 Stasiun Organisme Myxophyceae Phormidium sp. Spirulina sp. Euglenophyceae Phacus sp. Euglena sp. Chlorophyceae Scenedesmus sp. Pediastrum sp. Actinastrum sp. Crucigenia sp. Platydorina sp. Volvox sp. Bacillariophyceae Nitzschia sp. Melosira sp. Surirella sp. Skeletonema sp. Chaetoceros sp. Rhizosolenia sp. Biddulphia sp. Gyrosigma sp. Achnanthes sp. Tabellaria sp. Cymbella sp. Dynophyceae Peridinium sp. Jumlah Taksa Jumlah Individu Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi
I
II
III
IV
118 47
141 47
283 47
235 0
59 23
12 83
12 24
12 0
212 12 12 35 0 12
47 83 0 0 0 12
0 12 0 0 12 0
0 0 0 0 0 0
47 118 0 0 0 0 0 0 0 0 0
71 12 12 0 0 0 0 0 0 0 0
47 0 0 129 17 24 0 0 0 0 0
43.471 47 0 0 5.434 1.358 36 12 12 17.660 184.754
0 11.0 695 2,01 0,84 0,17
0 10.0 520 1,72 0,86 0,16
0 10.0 661 1,83 0,79 0,24
12 12.0 253.043 0,83 0,33 0,56
Sumber : LPP mangrove (2000).
b.
Benthos Benthos adalah jasad hewani maupun nabati yang hidup di dasar perairan.
Keberadaan benthos terutama makrozoobenthos sangat dipengaruhi oleh kondisi kualitas sedimen dasar. Dari hasil pengamatan Tim Fahutan IPB (1996) nilai
99
indeks keanekaragaman dapat digambarkan bahwa jumlah benthos di hutan mangrove termasuk sedang, dengan tingkat kesamaan penyebaran yang merata yang didominasi oleh Fillum Nematelmintes. Potensi makrozoobenthos perairan sangat rendah. Sementara dominasi Melaniodes sp. pada beberapa lokasi mengindikasikan tingkat pencemaran yang berat. Sedangkan dilihat dari perhitungan indeks keanekaragaman yang berkisar antara 0 - 0,92 menunjukkan tingkat perairan yang tercemar berat (Indeks Keanekaragaman <1,0).
Di samping itu keberadaan cacing Oligochaeta juga
merupakan indikasi kondisi perairan yang telah tercemar sangat berat (Wilhn 1975), di samping jenis Destropoda Melaniodes sp. (Nurifdinayah 1993). c.
Ikan Di dalam ekosistem perairan, ikan termasuk kelompok nekton, yaitu
hewan perairan yang mampu bergerak leluasa dengan kemampuan alat geraknya. Sebagai hewan air, sebagian besar jenis ikan bernafas dengan insang dan mengandalkan oksigen terlarut di perairan. Sedangkan sebagian jenis lainnya mampu mengambil oksigen dari udara sehingga lebih adaptif hidup di perairan yang beroksigen rendah akibat pencemaran organik. Hasil penangkapan ikan di kawasan SMMA ternyata hanya mendapatkan beberapa jenis saja (Tabel 25). Tabel 25 Jenis-jenis ikan di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke tahun 2000 Lokasi No
Jenis Ikan
Nama Ilmiah
1 2 3
Gabus Sepat Jawa Sepat Rawa
Ophiocephalus striatus Trichogaster trichopteris Trichogaster pectoralis
1 -
2 -
3 -
4 x x
5 v x x
6 v v x
4 5 6
Batok Gapi Keting
Anabas testudineus Lebistes reticulatus Ketengus sp.
-
-
x
-
x x -
x x -
7 8
Kiper Pepetek
Scatophagus argus Leiognathus sp.
-
-
x x
-
-
-
9.
Julung-julung
-
-
x
-
x
x
10.
Kepala timah
-
-
x
-
x
x
11.
Nila
-
-
-
x
x
x
Sumber : LPP Mangrove (2000) Keterangan : Lokasi 1,2,3 Lokasi 4,5,6
: Sungai Angke dari hulu ke muara : Genangan/parit/rawa di dalam Suaka Margasatwa Muara Angke
100
Dari Tabel 25 dapat dijadikan petunjuk bahwa kondisi perairan Sungai Angke di lokasi 1 dan 2 sudah tercemar berat dengan tidak dijumpainya jenisjenis ikan selama penelitian lapangan. Data yang sama juga dilaporkan oleh KP2L Pemda DKI (1998) yang hanya menemukan ikan sapu-sapu (Hypotamus sp.). Kondisi tercemar ini juga ditunjukkan dari hasil analisis air dengan kadar oksigen nol, BOD 442,25 - 499,57 ppm dan COD 666,68 - 761,92 ppm. Baku mutu air golongan B, C, dan D mensyaratkan kadar O2 > 3 ppm, BOD < 20 ppm, dan COD < 30 ppm. Adapun perairan di dalam areal SMMA, baik di bawah tegakan mangrove (st 4), di parit keliling (st 5), dan rawa (st 6) masih dijumpai beberapa jenis ikan. Namun demikian karena pengaruh airnya lebih dominan berasal dari luapan pasang air S. Angke, maka kondisinya juga telah tercemar berat dan salinitasnya rendah. Jenis-jenis ikan yang dijumpai hanyalah jenis-jenis ikan tawar yang toleran terhadap kondisi oksigen rendah, yaitu sepat, gabus, dan betok. Dari keseluruhan jenis-jenis ikan yang teridentifikasi selama pengamatan maupun data sekunder menunjukkan bahwa perairan S. Angke maupun rawa-rawa di dalam kawasan suaka margasatwa telah tercemar berat. Tabel 26 Hasil analisis biota air (kelimpahan zooplankton, ind/l) pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke STASIUN PENGAMATAN ORGANISME COPEPODA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Nauplius
3
0
3
0
36
3
45
0
9
Cyclops sp.
3
0
0
0
9
0
225
0
0
Monostylla sp.
3
0
0
3
0
0
0
0
0
Philodina sp.
6
0
0
0
0
0
0
0
0
Filinia sp.
3
3
3
0
6
0
0
0
0
Brachionus sp.
3
3
3
0
18
3
0
0
0
Lepadella sp.
0
3
0
0
0
0
0
0
0
Squatinella sp.
0
0
3
0
0
0
45
0
0
Rotatoria sp.
0
0
3
0
21
0
0
0
0
Polyarthra sp.
0
0
3
0
3
0
0
0
0
Anuraeopsis sp.
0
0
3
0
0
0
0
0
0
Keratella sp.
0
0
0
0
3
3
0
0
0
Notolca sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
3
Lecane sp.
0
0
0
0
0
0
45
0
0
ROTIPERA
101
Tabel 26 Hasil analisis biota air (kelimpahan zooplankton, ind/l) pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (lanjutan) STASIUN PENGAMATAN ORGANISME
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Favella sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
3
Codonella sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
3
Paramecium sp.
0
0
0
0
0
3
0
0
0
Arcella sp.
3
3
0
0
0
0
0
0
0
Euplotes sp.
0
0
0
0
0
3
0
0
0
Moina sp.
0
0
0
0
3
0
0
0
0
Jumlah Taksa
7
4
7
1
8
5
4
0
4
Jumlah Individu
24
12
21
3
99
15
360
0
18
Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi
1,9
1,38
1,94
0
1,77
1,61
1,07
0
1,24
0,98
1,38
1,94
-
0,85
1,61
0,77
0
0,9
0,15
1
1
1
0,27
1
0,43
0
0,33
PROTOZOA
CLADOCESA
Sumber : Santoso, N (2002) Keterangan : 1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu); 5=Cengkareng Drain (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 9=Hutan Wisata (Kolam Tambak)
Tabel 27 Hasil analisis biota air (kelimpahan phytoplankton, ind/l) pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke STASIUN PENGAMATAN ORGANISME MYXOPHYCEAE Oscillatoria sp. Spirulina sp. Agmeletum sp. Trichodesmium sp. Phormidium sp. EUGLENOPHYCEAE Euglena sp. Phacus sp. CHLOROPHYCEAE Pediastrum sp. Staurastrum sp. Actinoastrum sp. Selenastrum sp. Closterium sp. Scenedesmus sp. Eudorina sp. Ankistrodesmus sp. Pandorina sp. CYANOPHYCEAE Mycrosistis sp.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 392 0 0 436
0 2.246 448 0 1.909
0 842 0 0 1.008
171 342 0 342 855
0 1.116 0 372 1.860
0 0 0 67 0
3374 1.687 0 0 21.934
0 0 0 84 0
0 0 0 0 0
22 196
0 561
0 0
342 0
0 744
0 268
0 0
0 0
0 0
66 88 0 176 0 456 0 0 0
336 112 0 448 0 12.132 112 0 0
0 0 252 0 0 0 0 0 0
171 0 1.016 0 171 684 0 77.695 0
248 228 2.604 0 0 1.488 0 0 0
134 0 0 0 67 536 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 1.687
84 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
44
112
0
171
124
67
0
0
0
102
Tabel 27 Hasil analisis biota air (kelimpahan phytoplankton, ind/l) pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (lanjutan) ORGANISME BACILLARIOPHYCEAE Eunotia sp. Gomphonema sp. Navicula sp. Nitzschia sp. Melosira sp. Surirella sp. Cymbella sp. Coscinodiscus sp. Diatoma sp. Gyrosigma sp. Rhizosolenia sp. Skeletonema sp. Chaetoceros sp. Stephanopyxis sp. Amphiprora sp. Asterionella sp. DINOPHYCEAE Peridinium sp. Jumlah Taksa Jumlah Individu Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi Sumber : Santoso, N (2002)
STASIUN PENGAMATAN 4 5 6 7
1
2
3
261 22 44 109 44 22 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0
336 0 224 789 336 0 112 224 673 0 0 0 0 0 0
674 0 0 84 0 0 0 84 0 0 504 421 0 0 0 0
342 171 2.052 513 0 0 0 0 342 0 0 171 0 171 0 0
498 0 0 124 3.596 0 0 0 0 0 0 2.232 498 124 0 0
0 0 67 134 335 67 0 0 0 67 0 191 0 0 0 0
0 16 2400 2,31 0,83 0,12
0 17 21110 1,74 0,61 0,35
0 8 3869 1,83 0,88 0,17
0 18 15722 1,95 0,67 0,27
0 15 15856 2,26 0,84 0,14
0 12 2000 2,19 0,9 0,14
8
9
0 0 5.061 3.374 0 1.687 1.687 0 0 5.061 0 0 0 0 1.687 0
0 0 84 252 0 0 0 0 0 84 0 0 0 0 0 0
0 0 268 6.636 0 0 0 0 0 469 204 79.652 3.318 0 67 804
0 10 47239 1,8 0,78 0,25
0 5 588 1,41 0,91 0,25
335 9 91753 0,55 0,25 0,76
Keterangan : 1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu); 5=Cengkareng Drain (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 9=Hutan Wisata (Kolam Tambak)
Tabel 28 Hasil analisis biota air (kelimpahan benthos, ind/m2) pada berbagai plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke STASIUN PENGAMATAN ORGANISME GASTROPODA Melanoides sp. Bellamya sp. Pomacea sp. PELECYPODA Modiolus sp. Perna sp. CRUSTACEAE Section of Caridea sp. Jumlah Taksa Jumlah Individu Indeks Keragaman Indeks Keseragaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 0 0
0 0 0
0 0 0
100 0 34
0 34 234
100 0 0
800 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0
0 0
0 1.112
0 0
0 0
100 0
600 1.167
0 0
0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 1 1.112 0 -
0 2 134 0,82 0,82
0 2 268 0,55 0,55
0 2 200 1 1
0 3 2.567 1,53 0,97
0 0 0 0 0
34 1 34 0 -
103
Tabel 28 Hasil analisis biota air (kelimpahan benthos, ind/m 2) pada berbagai plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (lanjutan) STASIUN PENGAMATAN ORGANISME
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Indeks Dominansi Sumber : Santoso, N (2002)
0
0
1
0,62
0,78
0,5
0,36
0
1
Keterangan : 1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu); 5=Cengkareng Drain (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 9=Hutan Wisata (Kolam Tambak)
4.4
Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Aksesibilitas terhadap kawasan konservasi yang berada di DKI Jakarta ini
sangat tinggi, maka peranan sosial ekonomi masyarakat sekitar menjadi sangat penting dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ini sangat mempengaruhi upaya konservasi sumberdaya alam hayati di kawasan tersebut, terutama berupa tekanan-tekanan terhadap keberadaan dan integritas sumberdaya alam (Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB 1997). Menurut data Monografi dan Laporan Tahunan Kelurahan 2010, Kelurahan Kamal Muara dengan luas wilayah 1.053 ha mempunyai jumlah penduduk sebanyak 8.960 jiwa dengan kepadatan 9,0 jiwa/ha dengan laju pertumbuhan penduduk 0,4 %. Kelurahan Kapuk Muara dengan luas wilayah 1005,5 ha mempunyai jumlah penduduk sebesar 23.522 jiwa dengan kepadatan 23 jiwa/ha dan laju pertumbuhan 10,9 %. Kedua
wilayah
tersebut
mempunyai
perbedaan
komposisi
mata
pencaharian (basis ekonomi) yang mencolok. Kelurahan Kapuk Muara mayoritas bermatapencaharian sebagai buruh atau karyawan swasta yaitu sebesar 15.339 jiwa atau hampir 2/3 dari jumlah penduduk di kelurahan ini. Selanjutnya, kelurahan Kamal Muara mata pencaharian terbesar adalah nelayan atau tani sebanyak 3.165 jiwa. Jumlah penduduk dengan matapencaharian tani atau nelayan Kapuk Muara hanya sebanyak 33 jiwa. Lapangan pekerjaan karyawan atau buruh di kedua wilayah cukup besar dibandingkan dengan mata pencaharian lainnya (Laporam Hasil Pembinaan dan Kegiatan Pemerintah Kelurahan 2010). Komposisi penganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menunjukan sebagian besar beragama Islam. Kelurahan Kamal Muara dan
104
Kapuk Muara Penjaringan mempunyai persentase pemeluk agama Islam berturutturut adalah 56 % dan 75 %. Kegiatan masyarakat yang berhubungan langsung dengan hutan lindung adalah: sebagai nelayan, pencari bibit mangrove, penyedia bibit dan penanaman mangrove, pencari ikan (mancing dan menjala), berekreasi dengan memancing, dan pemulung plastik (Laporan Hasil Pembinaan dan Kegiatan Pemerintah Kelurahan 2010). Sebagai nelayan yang mencari ikan di laut, sebagian kecil nelayan menambatkan perahu dan bertempat tinggal sementara di hutan lindung dengan membuat gubuk. Pencari ikan mencari ikan dengan memancing dan menjala atau memasang bubu di hutan lindung, sungai atau tambak di belakang hutan mangrove, sedangkan pada hari-hari libur masyarakat sekitar areal hutan lindung dengan menggunakan sepeda atau sepeda motor berekreasi sambil memancing. Kegiatan masyarakat yang berdampak langsung terhadap hutan lindung di jalur Ekowisata mangrove Tol Soediyatmo adalah pemanfaatan lahan sebagai kolam pemancingan di antara guludan-guludan mangrove. Pemanfaatan jenis ini tidak terlalu mengkawatirkan akan kelestarian mangrove. Sebaliknya, adanya intensitas peningkatan penanaman mangrove dengan metode guludan oleh pemerintah, swasta, akademisi, dan lainnya secara tidak langsung menggeser keberadaan mereka di sekitar lokasi kawasna lindung mangrove Jakarta. Kepemilikan pengguna lahan di Kelurahan Kapuk Muara adalah sebagai berikut: 23,2 % (pertanian); 5,0 % (industri); 53,8 % (pemukiman); 3,1 % (perkantoran); 0,6 % (perdagangan); lain-lain sebesar 14,3 %. Di Kamal Muara kepemilikan penggunaan lahan adalah sebagai berikut: 52,0 % (pertanian); 43,87 % (perkantoran, pemukiman, dan perdagangan); lain-lain sebesar 4,13 %. Khusus di areal hutan lindung, areal yang ada saat ini berupa:
Areal hutan yang dipadati tegakan pohon atau hutan, terutama di sekitar Cengkareng Drain dan sekitar break water PT. Mandara Permai
Areal tambak, yaitu areal hutan lindung yang berupa parit atau kolam untuk tambak ikan dan digarap oleh masyarakat
Tanggul-tanggul batas tambak, tanggul timbunan sampah dan tanggul pencegah abrasi.
105
Berdasarkan fungsi, areal hutan lindung dikembangkan untuk: (1) perlindungan, (2) konservasi, dan (3) rekreasi alam, sedangkan berdasarkan areal kunjungan akan dikembangkan ruang dengan orientasi terhadap: (1) penerimaan, (2) transisi, dan (3) ekologis. Luas areal hutan lindung yang semula hanya 44,67 ha setelah dikembangkan atau diperluas diperkirakan akan menjadi 81,7 ha (Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Fakultas Kehutanan IPB 2000).
4.4.1
Penduduk Secara administratif hutan mangrove Muara Angke termasuk wilayah
Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Kamal Muara, namun Kelurahan Penjaringan, Kelurahan Tegal Alur dan Kelurahan Pluit juga berinteraksi dengan kawasan mangrove Muara Angke. Laporan Sensus Penduduk Jakarta Utara (2010) luas wilayah Kodya jakarta Utara 146,66 km2, dengan jumlah penduduk tahun 2010 sebanyak 1.645.312 jiwa (300.970 KK) dengan rincian jumlah laki-laki 824.159 jiwa (50 %) dan jumlah perempuan 821.153 jiwa (50 %). Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Koja sebesar 23.529 jiwa per km2 sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Penjaringan sebesar 6.748 jiwa per km2. Jumlah penduduk per kecamatan tertinggi di Kecamatan Tanjung Priok sebesar 22,80 % (375.131 jiwa) dan kecamatan Penjaringan sebesar 18,6 2% (300.434 jiwa). Tingginya tingkat kepadatan penduduk di Kodya Jakarta Utara ini dikarenakan tingkat urbanisasi yang tinggi. Dalam laporan sensus penduduk Jakarta Utara (2010) luas wilayah Kecamatan Penjaringan 35,49 km2, dengan jumlah penduduk 306.351 jiwa (152.584 jiwa laki-laki dan 153.767 jiwa perempuan), kepadatan penduduk 6.748 jiwa/km2. Penduduk yang berdekatan dengan hutan mangrove Muara Angke adalah penduduk yang tinggal di Kelurahan Pluit. Di samping itu beberapa anggota masyarakat luar juga ikut memberikan pengaruh terhadap keberadaan hutan mangrove, seperti Kelurahan Tegal Alur, Kelurahan Kamal Muara, dan Kelurahan Teluk Gong.
106
a.
Kelurahan Pluit Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1251 Tahun
1986 tanggal 26 Juli 1986 tentang Pemecahan, Penyatuan, Penetapan Batas, Perubahan Nama Kelurahan di DKI Jakarta, salah satunya adalah Kelurahan Pluit yang merupakan pecahan dari 2 (dua) Kelurahan yaitu Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Pejagalan. Kelurahan Pluit mulai aktif menyelenggarakan tugas pemerintahan dan kemasyarakatan serta pembinaan ketertiban wilayah pada tanggal 1 Nopember 1986. Masyarakat yang terkait erat dengan SMMA adalah masyarakat yang tinggal di RW.01 dan RW.11 Kelurahan Pluit. Penduduk di Kelurahan Pluit (46.760 jiwa) yang terdiri atas: laki-laki (24.338 jiwa) dan perempuan (22.422 jiwa), dengan jumlah kepala keluarga 16.294 KK. Jumlah penduduk usia produktif (15 - 45 tahun) merupakan jumlah terbanyak yaitu 20.896 jiwa (44,69 %). Penduduk di Kelurahan Pluit mempunyai tingkat pendidikan yang merata mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Sedangkan mata pencaharian masyarakat di Kelurahan Pluit beranekragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Pluit masih dekat pusat kota Jakarta. Tabel 29 No.
Kondisi penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Pluit Jenis Pendidikan/ Mata pencaharian
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki 24.338
Perempuan 22.422
46.760
Jumlah Kepala Keluarga
13.573
2.721
16.294
1 2 3 4 5 6
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi/P.T.
764 2.614 5.597 7.249 3.272
918 3.432 4.919 5.738 1.934
1.682 6.046 10.516 12.987 5.206
1 2 3 4 5
Pekerjaan Tani Karyawan Swasta/Negeri/ABRI Pedagang Nelayan Buruh tani
0 8.123 6.951 2.689 0
0 5.713 3.994 0 0
0 13.836 10.945 2.689 0
Jumlah Penduduk
107
Tabel 29 No. 6 7 8 9 10
Kondisi penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Pluit (lanjutan)
Jenis Mata pencaharian
Pendidikan/
Pensiun Pertukangan Penganguran Fakir miskin Lain-lain
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
554 23 607 354 906
231 347 250 2.813
Jumlah 785 23 954 604 3719
Sumber : Monografi Kelurahan Pluit (2010)
b.
Kelurahan Kamal Muara Kelurahan Kamal Muara merupakan salah satu kelurahan yang ada di
Kecamatan penjaringan yang memiliki aktivitas dengan sektor perikanan dan kelautan. Masyarakat kelurahan ini juga banyak berinteraksi baik secara langsung dan tidak langsung dengan kawasan mangrove. Banyak penduduk kelurahan ini yang bermatapencaharian sebagai nelayan atau tani. Kecamatan ini memiliki luas wilayah seluas 1.053 ha terdiri dari 6 (enam) RW dan 44 RT dengan jumlah penduduk 8.960 jiwa dan 2.291 KK. Penggunaan lahan di Kelurahan Kamal Muara untuk kebutuhan perumahan hanya seluas 185,70 ha. Kebutuhan penggunaan lahan yang terbesar malahan di luar untuk perumahan dan industri seluas 670 ha. Penduduk di Kelurahan Kamal Muara sebagian besar didominasi oleh WNI yaitu sebanyak 8.955 jiwa (99,99 %) dan WNA Asing hanya sebanyak 5 jiwa (0,06 %). Jumlah penduduk 2.286 jiwa yang terdiri atas laki-laki (1.952 jiwa) dan perempuan 334 jiwa. Jumlah penduduk yang produktif di Kelurahan Kamal Muara (15-45 tahun) merupakan jumlah terbanyak yaitu 4.384 jiwa (48,93 %).
108
Tabel 30 Jumlah penduduk menurut kelas umur dan jenis kelamin di Keluruhan Kamal Muara No.
Umur
WNI
(Tahun) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 –24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 70 –74 75 - keatas Jumlah
WNA
Lakilaki 319 480 405 320 413 434 382 431 329 324 331 215 155 78 56 36
Perempuan
Jumlah
337 379 338 355 368 358 347 328 315 331 250 173 127 69 54 44
728 859 744 675 782 792 729 759 644 655 581 388 282 147 110 80
4.782
4.173
8.955
Keterangan
Lakilaki 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
Perempuan
Jumlah
(Jumlah)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
728 859 744 676 783 793 729 759 644 655 581 389 282 147 110 81
4
1
5
8.960
Sumber : Monografi Kelurahan Kamal Muara, 2010
Penduduk di Kelurahan Kamal Muara memiliki mata pencaharian beraneka ragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Kamal Muara masih dekat pusat Kota Jakarta. Untuk lebih ringkasnya dapat disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 No.
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Kamal Muara Mata pencaharian
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 4.786 4.174 1.952 334
Jumlah Penduduk Jumlah kepala Keluarga Pekerjaan 1 Tani 2 Karyawan Swasta/Negeri/ABRI 3 Pedagang 4 Nelayan 5 Buruh 6 Pensiun 7 Wirausaha 8 Lain-lain Sumber : Monografi Kelurahan Kamal Muara (2010)
c.
Jumlah 8.960 2.286 0 2.251 904 814 1.771 386 460 2.351
Kelurahan Kapuk Muara Kelurahan Kapuk Muara merupakan salah satu kelurahan yang dibentuk
berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor: DI-a/1/1/1974 tanggal
109
8 Januari 1974 tentang pemecahan wilayah administratif kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat dipecah mejadi dua wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Kapuk Muara dan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. Kemudian berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor: 1251 tahun 1986 tanggal 29 Juli 1986 tentang pemecahan, penyatuan, penetapan batas, perubahan nama dan penetapan luas wilayah kelurahan, sebagian wilayah keluarahan Kapuk Muara dari kali Cengkareng Drain ke arah barat menjadi wilayah kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta Utara. Masyarakat kelurahan ini memiliki interaksi baik secara langsung dan tidak langsung dengan kawasan mangrove. Banyak penduduk kelurahan ini yang bermatapencaharian sebagai nelayan atau tani. Kecamatan ini memiliki luas wilayah seluas 1.055 ha terdiri dari 6 (enam) RW dan 44 RT dengan jumlah penduduk 8.960 jiwa dan 2.291 KK. Penggunaan lahan di Kelurahan Kapuk Muara untuk kebutuhan perumahan hanya seluas 483 ha. Kebutuhan penggunaan lahan yang terbesar di sektor industri seluas 495,4 ha. Berdasarkan data Monografi Kelurahan Kapuk Muara 2010 jumlah penduduk di Kelurahan Kapuk Muara sebanyak 23.522 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 10.753 jiwa. Warga kelurahan ini didominasi oleh WNI yaitu sebanyak 23.508 jiwa (99,94 %) dan WNA hanya sebanyak 14 jiwa (0,06 %). Jumlah penduduk yang produktif di Kelurahan Kapuk Muara (15-45 tahun) merupakan jumlah terbanyak yaitu 11.718 jiwa (49,82 %). Penduduk di Kelurahan Kapuk Muara memiliki mata pencaharian beraneka ragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Kamal Muara masih dekat pusat kota Jakarta. Untuk lebih ringkasnya dapat disajikan pada Tabel 32.
110
Tabel 32 No.
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Kapuk Muara Jenis Pendidikan/ Mata pencaharian
Jenis Kelamin Laki-laki 12.066
Jumlah Penduduk
Perempuan 11.442
Jumlah 23.522
Jumlah kepala Keluarga
10.753
1 2 3 4
Pendidikan SD SLTP SLTA SLTA
3.418 3.025 1.593 242
5 6 7 8
Akademisi S1 S2 S3
293 31 17
1
Pekerjaan Tani
2 3 4 5 6 7 8
Karyawan Swasta ABRI Pedagang Nelayan Buruh Pensiunan Swasta lainnya
8.213 17 752 21 7.126 64 1.969
PNS Lain-lain
83 2.014
9 10
12
Sumber : Monografi Kelurahan Kapuk Muara (2010)
d.
Kelurahan Penjaringan Masyarakat kelurahan ini memiliki interaksi baik secara langsung dan
tidak langsung dengan kawasan mangrove. Mayoritas penduduk kelurahan ini bermatapencaharian pedagang,
buruh karyawan pabrik, dan pegawai negeri.
Hanya sebagian kecil yang bermatapencaharian sebagai nelayan/tani. Kecamatan ini memiliki luas wilayah seluas 1.489,5 ha. Berdasarkan data Monografi Kelurahan Penjaringan 2010 jumlah penduduk di Kelurahan Penjaringan sebanyak 76.345 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 16.753 jiwa.Warga kelurahan ini didominasi oleh WNI yaitu sebanyak 76.208 jiwa (99,98%) dan WNA Asing hanya sebanyak 137 jiwa (0,2%). Jumlah penduduk yang produktif di Kelurahan Penjaringan (15-45 tahun) merupakan jumlah terbanyak yaitu 35.788 jiwa (46,9%).
111
Penduduk di Kelurahan Penjaringan memiliki mata pencaharian beraneka ragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Penjaringan merupakan Kota Kecamatan Penjaringan dan memiliki jarak relatif dekat dengan pusat kota Jakarta. Untuk lebih ringkasnya dapat disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33
No.
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di kelurahan penjaringan Jenis Pendidikan/ Mata pencaharian
Jumlah Penduduk Jumlah kepala Keluarga 01. Pendidikan 02. SD 03. SLTP SLTA 04. SLTA 05. Akademisi 06. S1 07. S2 S3 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10.
Jenis Kelamin Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) 39.005 37.340
Pekerjaan Tani Karyawan Swasta ABRI Pedagang Nelayan Buruh Pensiunan Swasta lainnya PNS Lain-lain
Jumlah (jiwa) 76.345 16.753 14.418 35.025 24.593 968 1.293 31 17
124 24.324 57 24.495 85 23.765 275 1.969 237 1.014
Sumber : Monografi Kelurahan Penjaringan (2010)
Dari struktur matapencaharian responden di setiap kelurahan sampel sebagaimana disajikan pada Tabel 34, tingkat pendapatan rata-rata di kelurahan yang menjadi sampel penelitian relatif beragam. Hanya responden di Kelurahan Penjaringan pendapatan terendah adalah karyawan swasta, sedangkan di kelurahan Muara Kamal pekerja Freelance, Pluit pedagang, Kapuk Muara pensiunan/iburumahtangga dan Tegal Alur pekerja karyawan swasta. Dengan demikian tipikal pendapatan responden berdasarkan matapencaharian dalam penelitian ini cenderung beragam sesuai dengan kondisi lokalistik kelurahan yang ada. Jika dibandingkan untuk semua jenis matapencaharian di keluarahan sampel jenis pekerjaan Pensiunan/Ibu rumah tangga memiliki tingkat pendapatan
112
terendah yaitu sebesar Rp. 1.950.000 per bulan. Tingkat pendapatan tertinggi untuk jenis matapencaharian/pekerjaan nelayan/tani yaitu sebesar Rp. 3,231,144 per bulan. Tingginya pendapatan nelayan ini disebabkan responden memiliki pekerjaan sampingan, sehingga sumber pendapatan responden tidak hanya bersumber dari satu sumber saja. nelayan/tani memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan dan biasanya juga menjalankan usaha dagang sembako dan lainnya. Berdasarkan sebaran pendapatan untuk semua kelurahan sampel, rata-rata tingkat pendapatan tertinggi adalah kelurahan pluit yaitu sebesat Rp. 3.274.350 per
bulan
dengan
tingkat
pendapatan
tertinggi
dari
matapencaharian
petani/nelayan. Sedangkan rata-rata tingkat pendapatan terendah adalah kelurahan Tegal Alur yaitu sebesar Rp. 1.995.833 per bulan. Tabel 34
No
Rata-rata tingkat pendapatan penduduk di Kelurahan Penjaringan, Muara Kamal, dan Pluit Jenis Mata Pencaharian Responden
Penjaringan
Muara Kamal
Pluit
1
Petani/nelayan
n 2
Pendapatan 2.500.000
n 9
Pendapatan 2.688.888
n 11
Pendapatan 4.504.545
2 3
PNS Pedagang
3 6
2.833.333 2.167.677
1 3
3.000.000 3.100.000
0 8
0 1.900.000
4
Karyawan Swasta
2
2.000.000
10
2.033.333
13
3.692.857
5 6
Freelance Pensiunan
4 0
3.975.00 0
4 6
1.233.333 1.900.000
0 1
0 3.000.000
Rata-rata
1
2.695.000
33
2.325.925
34
3.274.350
Keterangan : n = Jumlah responden (orang) Sumber : data primer
Tabel 35 Rata-rata tingkat pendapatan penduduk di Kelurahan Kapuk Muara dan Tegal Alur No
Jenis Matapencaharian Responden
Kapuk Muara Pendapatan 0
1
Petani/nelayan
2
PNS
3
3.166.666
1
2.500.000
3
Pedagang
4
1.787.500
8
1.950.000
4
Karyawan swasta
17
2.044.117
3
1.633.333
5
Freelance
0
0
0
0
6
Pensiunan
7
1.000.000
4
1.900.000
31
1.999.571
16
1.995.833
Rata-rata Keterangan : n = Jumlah responden (orang) Sumber : data primer
n 0
Tegal Alur Pendapatan 0
n 0
113
4.4.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Kawasan Mangrove Muara Angke Secara umum masyarakat di sekitar Hutan Lindung Angke Kapuk dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu masyarakat nelayan, masyarakat petambak, masyarakat gedungan di luar Perumahan Pantai Indah Kapuk (NonPIK), dan masyarkat perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK). Berdasarkan letak pemukiman dan ketergantungan terhadap ekosistem hutan lindung tersebut, maka masyarakat nelayan dan petambak merupakan komunitas yang paling intensif berinteraksi dengan kawasan hutan lindung dibanding dengan masyarkat kategori lainnya. Dalam kajian ini untuk mengetahui karakteristik dan persepsi keempat kategori masyarakat tersebut dilakukan wawancara dengan beberapa responden yang mewakili setiap kategori. Adapun hal-hal yang dikaji meliputi antara lain: Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan lindung Manfaat hutan lindung Upaya peletarian ekosistem hutan lindung. Secara rinci, hasil kajian terahadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaaan Hutan Lindung Keberadaan dan kelestarian ekosistem Hutan Lindung Angke Kapuk
sangat ditentukan oleh intensitas gangguan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, maka persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan lindung perlu dikaji secara seksama untuk memperoleh gambaran mengenai pandangan dan pemahaman masyarakat terhadap keberadaan dan kelestarian hutan lindung beserta ekosistem yang ada di dalamnya. Sehubungan dengan hal tesebut, dalam kajian ini diajukan beberap pertanyaan kepada responden dari setiap kategori sebagai berikut: 1.
Apakah masyarakat memahami fungsi hutan lindung dan ekosistem mangrove yang ada di dalamnya?
2.
Bagaimana persepsi masyarakat tentang kondisi vegetasi di hutan lindung pada masa lalu (10–20 tahun yang lalu) dibanding dengan kondisi saat ini?
114
Bagaimana persepsi masyarakat tentang tingkat kerusakan hutan lindung saat
3.
ini? 4.
Apakah hutan lindung perlu dipertahankan atau tidak? Hasil penghimpunan
data (wawancara) dan penilaiannya terhadap
jawaban setiap kategori responden dapat direkapitulisasi dan disajikan secara tabulasi seperti terlihat dalam Tabel 36.
Tabel 36 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan lindung menurut persentase penilaian responden No 1
2
3
4
Persepsi Masyarakat
Nelayan (%)
Pemahaman masyarakat terhadap hutan lindung a. Sangat memahami 18,2 b. Memahami 45,5 c. Tidk memahami 36,4
Kategori Masyarakat Petambak Non-PIK (%) (%) 20,0 50,0 30,0
12,5 75,0 12,5
PIK (%) 0,0 56,6 44,4
Kondisi vegetasi di hutan lindung pada masa lalu (10 – 20 tahun yang lalu) a. Sangat lebat 27,3 30,0 50,0 b. Cukup lebat 18,2 10,0 12,5 c. Lebih baik dari sekarang 36,4 10,0 0,0 d. Sama seperti sekarang 9,1 10,0 0,0 e. Tidak tahu 9,1 40,0 3,0
0,0 44,4 33,3 0,0 22,2
Tingkat kerusakan hutan lindung a. Tidak rusak b. rusak c. Rusak sekali d. Tidak tahu
27,3 45,5 27,3 0,0
Perlu tidaknya hutan mangrove dipertahankan a. sangat perlu 27,3 b. Perlu 72,7 c. Tidak tahu 0,0
20,0 60,0 0,0 20,0
25,0 50,0 0,0 25,0
0,0 77,8 11,1 11,1
20,0 80,0 0,0
37,5 62,5 0,0
66,7 11,1 22,2
Sumber : Santoso, N (2002)
Berdasarkan Tabel 36, terlihat bahwa dari segi pemahaman terhadap fungsi hutan lindung, maka mayoritas masyarakat keempat kategori telah memahaminya. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya persentase jumlah responden yang menyatakan memahami dan sangat memahami fungsi hutan lindung, yaitu 63,7 % untuk masyarakat kategori nelayan; 70,0 % untuk masyarakat petambak; 87,5 % untuk masyarakat Non-PIK dan 55,6 % untuk masyarakat PIK. Terlihat pula bahwa persepsi masyarakat Non-PIK (yang kurang intensif berinteraksi
115
dengan ekosistem hutan lindung) relatif lebih baik dibanding dengan persepsi masyarakat nelayan dan masyarakat petambak, yang keduanya merupakan masyarakat yang paling intensif memanfaatkan potensi hutan lindung. Hal ini mungkin karena kategori masyarakat Non-PIK memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi (mayoritas berpendidikan SLTP dan SLTA) dibanding dengan masyarakat nelayan dan petambak, yang mayorita berpendidikan SD, sehingga memiliki pemahaman yang cukup baik tentang pentingnya hutan lindung. Selain itu, kehidupan masyarakat Non-PIK tidak terlalu bergantung akan sumberdaya hutan lindung dengan letak pemukiman yang relatif agak jauh dibanding masyarakat nelayan dan petambak. Ada pun masyarakat PIK, cukup wajar apabila mereka kurang memahami akan pentingnya fungsi hutan lindung mengingat sangat kurangnya mereka dengan ekosistem hutan lindung di samping letak perumahan mereka yang cukup jauh dengan kawasan hutan lindung. Berkaitan dengan kondisi hutan lindung, umumnya masyarakat di keempat kategori tersebut memiliki pemahaman yang cukup baik dalam arti mereka menyadari telah terjadi perubahan ekosistem pada masa lalu dengan masa sekarang. Secara umum, masyarakat menyatakan bahwa kondisi hutan lindung pada masa lalu (10 - 20 tahun yang lalu) yang lebih baik dari kondisi sekarang. Hal ini ditunjukkan dengan persentase responden yang menyatakan kondisi hutan lindung pada masa lalu sangat lebat, cukup lebat, dan lebih baik daripada sekarang, yaitu 81,9 % pada masyarakat nelayan; 50 % pada masyarakat petambak; 62,5 % pada masyarakat Non-PIK; dan 77,7% pada masyarakat PIK. Dari keempat kategori masyarakat tersebut terlihat suatu konsistensi penilaian, sehingga dapat disimpulkan bahwa umumnya mereka memahami dan menyadari perubahan yang terjadi pada kondisi hutan lindung yang pada masa lalu memiliki kondisi yang sangat baik. Melihat kondisi hutan lindung ini, maka sebanyak, 72,8 % responden dalam kategori masyarakat nelayan menyatakan rusak dan rusak sekali. Begitu pun dengan masyarakat petambak (60 %), Non-PIK (50 %), dan PIK (88,9 %) menyatakan kondisi hutan lindung saat ini telah rusak. Untuk itu, upaya mempertahankan keberadaan dan kelestarian hutan lindung menurut persepsi masyarakat perlu dilakukan. Hal ini terlihat dari besarnya persentase responden
116
yang memandang perlu dan sangat perlu dalam upaya pelestarian hutan lindung, yaitu seluruh responden (100 %) pada kategori masyarakat nelayan, petambak, dan Non-PIK dan 77,8 % responden dalam masyarakat PIK. Ada pun alasan mereka antara lain karena hutan mangrove memiliki kemampuan dapat:
Menjaga keseimbangan alam
Menambah estitika pantai
Mencegah abrasi pantai
Mempertahankan keanekaragman flora dan fauna
Menjaga keseimbangan udara dan lingkungan Jadi berdasarkan atas persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan
lindung tersebut dapat disimpulkan bahwa pada umumnya masyarakat pada keempat kategori di atas telah memahami dan menyadari akan arti pentingnya hutan lindung tersebut. Selain itu adanya persepsi yang positif dari masyarakat tersebut merupakan modal utama yang perlu dikembangkan untuk perberdayaan masyarakat dalam program pelestarian hutn lindung.
b.
Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Hutan Lindung Sebagai salah satu sumberdaya alam, ekosistem Hutan Lindung Angke
Kapuk dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kelangsungan hidup masyarakat setempat. Sesuai dengan peruntukannya sebagai kawasan lindung, maka sebenarnya pemanfatan sumberdaya hutan lindung sangat dibatasi, akan tetapi pada kenyataannya, ternyata di kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk terdapat kecenderungan pemanfaatan yang melebihi batas, seperti pembukaan tambak dan perumahan. Guna mengetahui persepsi masyarakat manfaat Hutan Lindung Angke Kapuk, dilakukan wawancara dengan masyarakat mengenai:
Intensitas interaksi masyarakat dengan ekosistem mangrove
Pemanfaatan hutan lindung sebagai tempat rekreasi
Persepsi masyarakat terhadap kegiatan pertambakan
117
Tabel 37
No 1
2
3
Persepsi masyarakat terhadap manfaat kawasan lindung menurut persentase penilaian responden
Kategori Masyarakat Nelayan Petambak Non-PIK (%) (%) (%) Intensitas interaksi masyarkat dengan hutan lindung a. Sering 0,0 60,0 0,0 27,3 20,0 25,0 b. Pernah 72,7 20,0 75,0 c. Belum pernah Pemanfaatan hutan mangrove sebagai tempat rekreasi keluarga a. Sangat setuju 9,1 10,0 0,0 b. Setuju 81,1 90,0 100,0 c. Tidak tahu 9,1 0,0 0,0 Perbandingan manfaat keberadaan tambak dengan hutan mangrove a.Lebih besar manfaat tambak 45,5 60,0 0,0 daripada mangrove b.Lebih besar manfaat huatn 54,5 30,0 87,5 mangrove daripada tambak c.Tidak tahu 0,0 10,0 12,5 Persepsi Masyarakat
PIK (%) 0,0 33,3 66,7 22,2 55,6 22,2 0,0 44,4 22,2
Sumber : Santoso, N (2002)
Dari Tabel 37 terlihat bahwa sebagai komunitas masyarakat yang relatif dekat dengan kawasan lindung umumnya masyarakat pernah berinteraksi dengan hutan lindung. Interaksi paling intensif terlihat pada masyarakat petambak (80,0 %) karena secara langsung mereka mengkonversi sebagian kawasan hutan lindung menjadi areal pertambakan. Sedangkan pada masyarakat nelayan, NonPIK, dan PIK umumnya merasa belum pernah berinteraksi secara intensif dengan hutan lindung. Dalam hal ini ketidakkonsistenan terlihat pada masyarakat nelayan, dimana mereka mengaku belum pernah berinteraksi (72,2 %) padahal pada kenyataanya mereka sangat tergantung pula pada potensi perairan di sekitar hutan lindung tersebut. Selain pemanfaatan dalam bentuk pengambilan potensi sumberdaya alam, alternatif pemanfaatan aspek estitika untuk kegiatan rekreasi ternyata mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat. Hal ini terlihat dari besarnya persentase responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju, yaitu 90,9 % menurut pendapat nelayan; 100,0 % menurut pendapat masyarakat petambak dan NonPIK; serta 77,8 % menurut pendapat masyarakat PIK. Adapun alasan persetujuan mereka antara lain:
Mampu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar
Sarana pendidikan linkungan bagi anak
118
Menambah estitika
Sarana beristirahat bernuansa alami Untuk itu, masyarakat mengharapkan pihak pengelola hutan lindung untuk
membangun sarana rekreasi seperti: pemancingan, wisata pantai, taman burung, arboretum alam dll, yang dilengkapi dengan sarana penunjang antara lain seperti: masjid, jalan, tempat berteduh, transportasi, rumah peristirahatan, dan kantin. Namun
mengingat
statusnya
sebagai
hutan
lindung,
maka
hendaknya
pembangunan sarana alternatif rekreasi tersebut jangan sampai merubah fungsi dan kondisi hutan lindung tersebut. Berkaitan dengan adanya pemanfaatan sebagian kawasan lindung menjadi areal pertambakan, terlihat adanya pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dari data di atas, terlihat bahwa masyarakat nelayan (54,5 %); masyarakat Non-PIK (87,6 %); dan masyarakat PIK (44,4 %) memiliki persepsi yang sama bahwa hutan mangrove memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada tambak. Sedangkan menurut persepsi masyarakat petambak sendiri, walaupun sebagai besar (60 %) mereka berpendapat bahwa tambak memberikan manfaat yang lebih besar daripada hutan mangrove, tetapi sebagian masyarakat masih memiliki pandangan yang cukup baik bahwa dari segi kelestarian sumberdaya alam sudah barang tentu hutan mangrove memberikan manfaat yang lebih besar daripada tambak. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa umumnya masyarakat sekitar hutan lindung telah memahami dan merasakan manfaat keberadaan hutan lindung yang lebih baik secara langsung ataupun tidak. Akan tetapi, perlu diberikan pemahaman yang mendalam tentang perimbangan besarnya manfaaat ekonomis dan ekologis dari ekosistem hutan lindung tersebut. Hal ini mengingat akan desakan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, sehingga terdapat kecenderungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat.
c.
Persepsi Masyarakat Mengenai Upaya Pelestarian Upaya pelestarian hutan lindung mutlak perlu dilakukan untuk
kelangsungan kelestarian di masa mendatang. Sebagai kawasan lindung yang
119
dikelilingi oleh komunitas masyarakat, kelestarian Hutan Lindung Angke Kapuk sangat ditentukan oleh peran aktif masyarakat sekitar. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap upaya pelestarian hutan lindung, maka dalam kajian ini dilakukan wawancara dengan masyarakat sekitar. Hasil wawancara dapat direkapitulasi dengn menggunakan Tabel 38 berikut.
Tabel 38 Persepsi masyarakat pelestarian kawasan lindung menurut persentase penilaian responden No 1
2
3
4
5
Persepsi Masyarakat
Nelayan (%)
Kategori Masyarakat Petambak Non-PIK (%) (%)
PIK (%)
Kemampuan untuk mengamankan keberadaan hutan lindung a. Bersedia 100,0 90,0 b. Tidak bersedia 0,0 10,0 c. Tidak tahu 0,0 0,0
50,0 0,0 50,0
55,6 0,0 33,3
Kemamuan untuk memasyarakatkan pentingnya hutan lindung a. Bersedia 81,8 90,0 b. Tidak bersedia 18,2 10,0 c. Tidak tahu 0,0 0,0
62,5 0,0 37,5
66,7 0,0 22,2
Pemahaman mengenai akibat rusaknya hutan lindung a. Tahu 63,4 40,0 b. Tidak tahu 27,3 60,0
62,5 37,5
33,3 55,6
Persepsi terhadap keberadaan Perumahan Indah Kapuk (PIK) a. Baik 18,2 20,0 b. Tidak baik 27,3 0,0 c. Tidak tahu 54,5 80,0
87,5 0,0 12,5
55,6 0,0 22,2
Persepsi terhadap keberadaan tambak a. Baik 45,5 b. Tidak baik 9,1 c. Tidak tahu 36,4
50,0 25,0 25,0
44,4 11,1 22,2
100,0 0,0 0,0
Sumber : Santoso, N (2002)
Dari data di atas, umumnya kemauan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pengamanan hutan lindung yang cukup besar. Sebanyak 100 % responden yang berasal dari masyarakat nelayan, 90 % masyarakat petambak, 50 % masyarakat Non-PIK, dan 55 % masyarakat PIK masing-masing menyatakan bersedia turut serta dan berpartisipasi utnuk mengamankan dan melestarikan kawasan lindung. Hasil positif lainnya dari persepsi masyarakat tersebut adalah munculnya kemauan yang baik untuk memasyarakatkan pentingnya hutan lindung. Terlihat dari data di atas, bahwa persentase jumlah responden yang
120
menyatakan bersedia turut memasyarakatkan pentingnya hutan lindung cukup besar yaitu berkisar antara 62,5 % hingga 90 % pada masing-masing kategori masyarakat. Akan tetapi masyarakat nelayan dan petambak relatif lebih baik motivasinya dibanding masyarakat Non-PIK dan PIK. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat nelayan dan petambak relatif intensif dalam menggunakan sumberdaya hutan lindung, sehingga merasa bertanggung jawab pula atas kelestariannya.
e.
Penilaian Masyarakat Terhadap SMMA Masyarakat di sekitar SMMA adalah masyarakat yang heterogen yang
terdiri dari beberapa suku dan agama. Menurut kedudukan dan aktivitasnya, masyarakat sekitar SMMA terdiri atas: (1) masyarakat bantaran sungai, (2) masyarakat di kampung nelayan, (3) masyarakat umum, dan (4) masyarakat perumahan. Masyarakat di bantaran S. Angke terdiri atas masyarakat dari daerah Indramayu, Brebes, Demak, Surabaya, Kulon, dan Tangerang. Menurut informasi dari aparat kelurahan kawasan tersebut adalah pemukiman liar karena merupakan kawasan bantaran sungai. Khusus di dekat Muara S. Angke terdapat usaha peengolahan kerang hijau yang sudah berjalan sejak tahun 1993. Pengusahaan kerang hijau ini di satu sisi merupakan sumber penghasilan masyarakat, namun di lain pihak ikut memberikan sumbangan yang besar dalam penyempitan S. Angke melalui pembuangan cangkang kerang hijau di sepanjang pinggiran badan sungai. Permasalahan ini apabila tidak ditangani secara serius akan dapat mengakibatkan penyempitan terus-menerus pada S. Angke dan pada akhirnya dapat mendorong terjadinya banjir. Masyarakat di kampung nelayan merupakan komponen masyarakat yang bermatapencaharian utama sebagai nelayan. Pembangunan Kampung Nelayan ini sekitar tahun 1977-1979. Sedangkan status lahannya adalah pinjam pakai. Pembangunan perumahan di Kampung Nelayan sudah berlangsung 3 kali dan masyarakat terus mempertanyakan status lahan dan status kepemilikan. Penduduk di Kampung Nelayan sama dengan penduduk di bantaran sungai, mempunyai tingkat heterogenitas yang tinggi. Kegiatan pengasinan dilakukan oleh kelompok
121
masyarakat yang berasal dari Indramayu, kegiatan nelayan didominasi oleh Pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan kegiatan berdagang dilakukan oleh penduduk dari Jawa, Makassar, dan Tangerang. Kelompok masyarakat di perumahan dapat dijelaskan bahwa bentuk kegiatannya adalah sebagai pemerhati satwaliar (monyet ekor panjang dan burung), sifatnya untuk rekreasi dan santai. Di samping itu kawasan SMMA juga dijadikan oleh kelompok-kelompok masyarakat sebagai tempat melepas burung dan kura-kura yang tujuannya di samping konservasi juga ibadah (kepercayaan Agama Budha). Untuk lebih mengetahui pandangan, persepsi dan keinginan masyarakat terhadap SMMA dapat dijelaskan sebagai berikut:
e.1.
Mengerti Tentang SMMA Responden di bantaran S. Angke dan kampung nelayan 80,6 %
mengetahui bahwa kawasan tersebut merupakan tanah Kehutanan dan 19,4 % sudah mengetahui status kawasan
sebagai kawasan konservasi (Suaka
Margasatwa Muara Angke). Hal lainnya menyebutkan bahwa masyarakat menyayangkan kawasan tersebut tidak dikelola sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan anggapan kawasan tersebut kurang bermanfaat. Wawancara secara mendalam dengan masyarakat menyatakan mereka setuju apabila kawasan SM Muara Angke dikelola dan diperbaiki kembali kondisinya, alasannya karena kawasan tersebut kalau terus dibiarkan kondisinya malah lebih rusak.
e.2.
Merasakan Manfaat dan Fungsi SMMA Berdasarkan
pemahamannya
terhadap
SMMA
masyarakat
belum
merasakan manfaat langsung dari SMMA, hanya ada beberapa aktivitas masyarakat yang memanfaatkan untuk mengambil sayur-sayuran (kangkung) dan buah nipah dipergunakan untuk bahan pangan. Respon dari masyarakat apabila SMMA dikembangkan pengelolaanya untuk kegiatan pendidikan lingkungan atau wisata terbatas 92,3 % menyatakan setuju dengan alasannya bervariasi yaitu 61,8 % akan berusaha menjadi pedagang makanan, 15,3 % mau menjadi pemandu, dan lainnya mau turut sebagai pekerja keamanan dan pekerja kebersihan.
122
e.3.
Penilaian Terhadap Kondisi SMMA Saat ini dan Sebelumnya Penilaian masyarakat terhadap kondisi SMMA saat ini jika dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya dijelaskan bahwasanya terjadinya penurunan kualitas habitat dan vegetasi termasuk satwaliar dan ikan. Untuk vegetasi dijelaskan bahwa masih banyak terdapat jenis pohon bakau di SMMA juga jenis ikan di perairan sekitar.
e.4.
Kesadaran Terhadap Pelestarian dan Perlindungan Hutan Mangrove Kepedulian
dan
kesadaran
masyarakat
terhadap
pelestarian
dan
perlindungan SMMA sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dari wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat bahwa kawasan tersebut harus tetap dipertahankan unsur perlindungan dan pelestariaannya. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah karena dapat mengurangi banjir dan merupakan tempat hidup satwaliar.
e.5.
Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan SMMA Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi serta pengamatan di lapangan
juga dengan penyebaran kuisioner terhadap anggota masyarakat di kampung nelayan dan di bantaran sungai menyebutkan bahwa kawasan SMMA tidak memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat tetapi mempunyai fungsi untuk melindungi satwaliar. Hal ini disebabkan kurangnya penyuluhan dan sosialisasi terhadap masyarakat tentang status dan fungsi kawasan. Masih adanya anggapan bahwa SMMA dan Hutan Lindung Angke Kapuk sebagai daerah angker telah mengurangi interaksi masyarakat dengan kawasan SMMA. Beberapa tokoh masyarakat yang diwawancarai dan diskusi menjelaskan bahwasanya masyarakat mengharapkan dapat berperan serta dalam pengelolaan kawasan SMMA. Peran serta ini wujudnya dalam peningkatan pendapatan dan kesempatan berusaha merupakan faktor utama.
4.4.3
Interaksi Masyarakat dengan Hutan Mangrove Interaksi yang paling besar datang dari masyarakat nelayan yaitu dengan
menggunakan S. Angke sebagai tempat tinggal dan tempat melabuhkan kapal. Hal ini dikarenakan kondisi dari S. Angke yang menjorok ke dalam yang
123
menyebabkan keadaan kapal tidak akan rusak oleh angin dan air pasang. Selain itu juga letaknya yang berdekatan dengan pusat perdagangan ikan terbesar seJawa Barat yaitu TPI Muara Angke, sehingga memudahkan para nelayan untuk memasarkan ikan hasil tangkapan. Interaksi kedua adalah dari masyarakat petambak yang mengubah hutan bakau menjadi areal tambak, dan kebanyakan mereka membuka lahan ini tanpa ijin dari pemerintah setempat. Tapi rata-rata para pengusaha tambak ini kurang menyadari bahwa dengan semakin sedikitnya lokasi hutan bakau, maka hasil tambak mereka akan semakin menurun. Tapi alternatif yang ditawarkan dari rencana pengelolaan SMMA untuk dijadikan tempat wisata alam cukup menarik minat masyarakat petambak dan mereka banyak yang mengatakan setuju. Anggota masyarakat yang bukan masyarakat nelayan dan petambak mereka cenderung memiliki tingkat pendidikan cukup tinggi yakni: SMU, dan pandangan yang dikemukakan mengenai SMMA cukup baik. Selain itu mereka sangat setuju jika hutan Muara Angke ini diperbaiki sehingga kondisinya baik kembali seperti semula, mereka juga ingin ada suatu penyuluhan mengenai kawasan hutan, karena pengetahuan mereka mengenai SMMA sangat minim, mereka hanya tahu kalau SMMA ini merupakan suatu kawasan yang tidak boleh diganggu gugat, tapi apa maksud dan tujuan dari tidak boleh diganggu gugatnya kawasan tersebut disebabkan oleh apa dasarnya, mereka tidak tahu. Oleh karena itu mereka setuju saja jika ada penyuluhan mengenai SMMA ini, dengan mengetahui maksud dan tujuannya maka masyarakat akan lebih mengerti mengenai kawasan SMMA. Kebanyakan masyarakat sangat menyetujui apabila kawasan SMMA ini dimanfaatkan untuk kawasan rekreasi, karena mereka merasa dapat terlibat langsung, dari responden yang di tanya sekitar 44 % menyatakan ingin terlibat langsung sebagai penjual makanan, sedangkan 22 % ingin terlibat sebagai penjaga hutan dan petugas kebersihan.
4.4.4
Persepsi Responden Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Mangrove Muara Angke Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Kelurahan Penjaringan,
Tegar Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk yang merupakan kelurahan-kelurahan
124
yang ada di sekitar hutan mangrove Muara Angke, diketahui bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut pernah mengalami kerugian akibat gangguan lingkungan. Persentase terbesar masyarakat yang pernah mengalami gangguan lingkungan adalah masyarakat yang tinggal di Kelurahan Tegal Alur, Pluit, dan Kapuk Muara dengan persentase di atas 90 %. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 39. Tabel 39 Persentase masyarakat yang pernah mengalami gangguan lingkungan di kawasan Muara Angke, Jakarta No 1 2 3 4 5
Kelurahan Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara Rata-rata
Kerugian Akibat Gangguan Lingkungan Ya (%) Tidak (%) 69 31 94 6 80 20 91 9 90 10 86 14
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa gangguan lingkungan yang paling banyak atau sering dialami oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah banjir atau rob, sedangkan jenis gangguan lingkungan yang paling sedikit dirasakan oleh masyarakat adalah abrasi. Tingginya gangguan banjir atau rob yang dirasakan oleh masyarakat menunjukan bahwa gangguan banjir memiliki cakupan wilayah yang lebih luas, sedangkan abrasi hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal dekat atau di sekitar pantai. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 40. Tabel 40 Jenis gangguan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar Muara Angke, Jakarta No 1 2 3 4 5
Kelurahan Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara
Jenis Gangguan Lingkungan yang Dialami Abrasi (%) Banjir/rob (%) Intrusi Air Laut (%) 36 100 100 90 69 60 100 100 25 100 82 27 100 93
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat 40 % responden yang mengalami kerugian akibat abrasi, dengan
125
frekuensi antara 1-3 kali dan lebih dari 6 kali. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 41.
Tabel 41 Frekuensi abrasi yang dialami responden selama 10 tahun terakhir No 1 2 3 4 5
Frekuensi Terkena Abrasi dalam 10 tahun terakhir (%) 0 kali 1-3 kali 4-6 kali >6 kali 64 18 9 9 100 0 0 0 40 5 20 35 32 41 12 15 83 7 0 10
Kelurahan Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara Rata-rata
60%
17%
8%
14%
Secara umum responden di lima kelurahan berpendapat bahwa dalam 10 tahun terakhir kerusakan akibat abrasi cenderung tetap (54 %), sedangkan 39 % responden berpendapat bahwa kerusakan akibat abrasi memburuk dan semakin buruk. Responden yang berpendapat bahwa dalam 10 tahun terakhir kerusakan akibat abrasi cenderung membaik atau berkurang hanya 7 %. Hal ini mengindikasikan belum terdapat program yang efektif untuk mengurangi atau mencegah bahaya abrasi .
Tabel 42 Frekuensi kerusakan yang dialami responden selama 10 tahun terakhir No 1 2 3 4 5
Kerusakan Akibat Abrasi 10 Tahun Terakhir
Kelurahan Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara
Semakin Buruk 0 6 5 18 30
Memburuk 27 19 40 29 10
Sama Saja 55 69 55 41 60
Membaik 18 6 0 12 0
Semakin Baik 0 0 0 0 0
15
24
54
7
0
Total
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa 89 % responden dalam 10 tahun terakhir pernah mengalami gangguan lingkungan berupa intrusi air laut, dengan persentase terbesar lebih dari enam kali. Hal ini menunjukan bahwa intrusi air laut merupakan gangguan lingkungan yang lebih banyak dirasakan dibandingkan dengan abrasi. Selain itu, intrusi air laut juga memiliki cakupan wilayah yang lebih luas jika dibandingkan dengan abrasi. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 43.
126
Tabel 43
No 1 2 3 4 5
Frekuensi intrusi air laut yang dialami responden dalam 10 tahun terakhir Kelurahan
Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara
Frekuensi Terkena Intrusi Air Laut dalam 10 Tahun Terakhir (%) 0 kali 1-3 kali 4-6 kali >6 kali 0 20 20 60 31 6 6 56 0 0 0 100 18 24 26 32 7 13 7 73
Total
11
13
12
63
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa mayoritas responden berpendapat bahwa kerugian akibat intrusi air laut dalam 10 tahun terakhir cenderung memburuk atau semakin buruk. Sedangkan responden yang berpendapat bahwa kerugian akibat intrusi air dalam 10 tahun terakhir cenderung tetap sebanyak 23 % dan yang berpendapat membaik hanya 9 %. Data tersebut juga mengindikasikan gangguan lingkungan berupa intrusi air laut belum ditangani dengan baik, sehingga masih terus berlangsung dengan dampak negatif yang terus bertambah. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44 Kerugian akibat intrusi air laut dalam 10 tahun terakhir No 1 2 3 4 5
Kerugian Akibat Intrusi Air Laut 10 Terakhir
Kelurahan Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara Total
Semakin Buruk 30 13 40 15 63
Memburuk 30 44 56 29 17
Sama Saja 30 19 4 47 10
Membaik 10 25 0 9 10
Semakin Baik 0 0 0 0 0
34
34
23
9
0
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir 98 % responden pernah mengalami banjir atau rob, dengan frekuensi paling banyak lebih dari 6 kali (58 %). Dengan demikian banjir di wilayah penelitian cukup sering terjadi, dan wilayah yang paling sering terkena banjir adalah Kelurahan Kamal Muara, dimana 100 responden yang berasal dari kelurahan tersebut terkena banjir lebih dari 6 kali dalam 10 tahun terakhir. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 45.
127
Tabel 45 Frekuensi banjir rob dalam 10 tahun terakhir No
Kelurahan
1 2 3 4 5
Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara
Frekuensi Terkena Banjir dalam 10 Tahun Terakhir (%) 0 kali 1-3 kali 4-6 kali >6 kali 6 12 24 59 6 63 6 25 0 0 0 100 0 35 18 47 0 53 4 43
Total
2
31
9
58
Mayoritas responden (55 %) berpendapat bahwa kerugian akibat banjir akan semakin buruk atau memburuk, 22 % sama saja dan 21 % akan membaik (kerugian akan berkurang). Responden terbanyak yang berpendapat bahwa kerugian akibat banjir sama saja berasal dari Kelurahan Pluit dan Tegar Alur, sedangkan responden yang berpendapat bahwa kerugian akibat banjir akan berkurang (membaik) mayoritas berasal dari Kelurahan Tegal Alur dan Kapuk Muara. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 46.
Tabel 46 Kerugian akibat banjir dalam 10 tahun terakhir No 1 2 3 4 5
Kerugian Akibat Banir dalam 10 Tahun Terakhir
Kelurahan
Semakin Buruk
Memburuk
Sama Saja
Membaik
Semakin Baik
Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara
24 6 39 26 23
52 6 48 21 17
24 31 10 38 10
0 44 3 12 50
0 13 0 3 0
Total
26
29
22
21
2
4.5
Kegiatan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang Telah Dilakukan
4.5.1
Kebijakan Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan
mangrove (bakau) Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Pada tahun 1977, Menteri Pertanian dengan Keputusan Nomor 16/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977 menetapkan kembali peruntukan kawasan Angke Kapuk sebagai: Hutan
128
Lindung (5 km sepanjang pantai dengan lebar 100 m), Cagar Alam Muara Angke, Hutan Wisata, Kebun Pembibitan Kehutanan, dan Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI). Pembangunan Kawasan Kapuk Angke digagas oleh Pemerintah DKI, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985, bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Sehubungan dengan itu, Menteri Kehutanan menetapkan kembali peruntukan dan fungsi kelompok Hutan Angke Kapuk sebagai: Hutan Lindung (44,76 ha), Hutan Wisata (99,82 ha), Cagar Alam Muara Angke (25,02 ha), Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI) yang meliputi Kebun Pembibitan (10,51 ha), Transmisi PLN (23,07 ha), Cengkareng Drain (28,93 ha), Jalan tol dan Jalur Hijau (95,50 ha). Cagar Alam Muara Angke dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097/Kpts-II/98, dengan luas areal 25,02 ha, agar kondisinya dapat diperbaiki. Kebijakan Pemda DKI Jakarta kedepan yang berkaitan dengan keberadaan kawasan mangrove Muara Angke adalah: (1) Reklamasi Teluk Jakarta, (2) Pembangunan Rel Kerata Api Manggarai - Bandara Soekarno Hatta, diperkirakan mengurangi luas kawasan mangrove (LDTI) sekitar 16 ha. Khusus kebijakan reklamasi Teluk Jakarta, Pemda DKI berkomitmen untuk tetap mempertahankan kawasan mangrove dengan membangun kanal lateral (lebar 200 meter) dan revitalisasi hutan lindung (sebelum dilakukan reklamasi).
4.5.2 Kelembagaan Berdasarkan status, kawasan mangrove Muara Angke (478 ha) dikelola oleh tiga pihak, yaitu: (1) Balai Konservasi Sumberdaya Alam pada kawasan Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam, (2) Dinas Kelautan dan Perikanan pada kawasan Hutan Lindung dan LDTI, dan (3) PT. Murindra Karya Lestari sebagai operator pengelola Taman Wisata Alam. Di samping itu masih terdapat
129
lahan 150,3 ha yang dikelola Kementrian Kelautan dan Perikanan (50 ha), dan tambak masyarakat (100,3 ha). Tingginya permasalahan lingkungan dan kondisi kawasan mangrove Muara Angke, belum mampu diatasi dengan kondisi pengelolaan saat ini yang cenderung kurang sinergis, kurang koordinasi dan belum terintegrasinya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Beberapa pihak yang menjadi mitra dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah:
Lembaga
Swadaya
Masyarakat,
Swasta
(Pantai
Indah
Kapuk,
Mediterania), dan Perguruan Tinggi. Tingginya minat dan kepedulian para pihak dalam meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum mampu mewujudkan pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan.
4.5.3 Kegiatan Pengelolaan Kegiatan pengelolaan sebelum tahun 1997 masih bersifat rutin (pengawasan, penanaman, dan pemasangan batas), namun masih belum efektif. Setelah tahun 1998 (Era Reformasi), secara perlahan kegiatan pengelolaan mulai menunjukkan peningkatan (penertiban pal batas, penanaman, sarana prasarana pengelolaan, dan kolaborasi pengelolaan). Pencanangan kegiatan rehabilitasi mangrove dimulai 6 November 1999 (Hari Cinta Satwa dan Puspa) yang dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Walikota Jakarta Utara. Sejalan dengan kondisi tanaman yang mampu tumbuh baik dan dinilai berhasil, maka Pemda DKI mendorong pihak-pihak Swasta utk membantu rehabilitasi mangrove Muara Angke. Demikian pula Departemen Kehutanan mengalokasikan anggaran untuk program pengelolaan mangrove Muara Angke. Partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan swasta dalam rehabilitasi mangrove terus berlanjut sampai sekarang. Kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan antara lain: (1) Penguatan batas kawasan, (2) Pembangunan sarana prasarana, (3) Penanaman dan pemeliharaan, (4) Penanganan sampah, (5) Pengelolaan pengunjung, (6) Penegakan hukum, (7) Penelitian, dan (8) Sosialisasi dan Koordinasi. Upaya melegalkan kelembagaan pengelolaan yang melibatkan para pihak (kolaboratif) sudah pernah dilakukan, namun karena pergantian pimpinan atau staf
130
yang bertanggung jawab menyebabkan perubahan komitmen tersebut, dan pada akhirnya koordinasi dan sinkronisasi program pengelolaan yang semula sudah hampir terwujud menjadi mentah lagi. Dengan melihat kondisi mangrove di DKI Jakarta yang saat ini terdegradasi, maka pemulihan ekosistem mangrove merupakan suatu kegiatan yang cukup penting dilakukan secara terus menerus dan kontinyu. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi lindung, konservasi, dan sosial ekonomi ekosistem mangrove. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi DKI dalam hal ini melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan telah melakukan beberapa usaha-usaha ini di antaranya: a.
Rehabilitasi Mangrove Dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove di kawasan hutan mangrove hal
mendasar yang perlu diperhatikan dalam survei pendahuluan ini adalah kesesuaian lahan untuk rehabilitasi, seperti: jenis substrat, pasang surut, elevasi, salinitas, musim, gelombang, ketersediaan buah, ketersediaan tenaga kerja, jenis tanaman di sekitar lokasi, dan sejarah tanaman di sekitar lokasi sasaran. Pelaksanaan dilakukan penyusunan aspek-aspek perencanaan berupa aspek: (1) Aspek ekologis dan fisik lahan, (2) Aspek sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat sekitar yang akan direhabilitasi, (3) Aspek finansial dari kegiatan yang akan dilaksanakan, (4) Aspek teknis (terutama teknis silvikultur) untuk melakukan
kegiatan
rehabilitasi
yang
direncanakan,
dan
(5)
Aspek
ketenagakerjaan yang akan digunakan. Tujuan rehabilitasi di DKI Jakarta lebih banyak pada fungsi lindung dan konservasi. Sedangkan fungsi produksi tidak terdapat di DKI Jakarta. Pada beberapa lokasi fungsi konservasi dan lindung yang seharusnya lebih banyak menonjol, tetapi pada kenyataannya di lapangan kawasan banyak berubah menjadi pertambakan liar. Dalam pelaksanaan rehabilitasi, tata hubungan kerja antara berbagai stakeholder menjadi penting. Tata hubungan kerja ini termasuk hubungan vertikal maupun horizontal. Dengan koordinasi yang baik diharapkan terjadinya keterpaduan program dan tidak terjadi tumpang tindih kegiatan.
131
Secara umum ada 2 (dua) jenis bahan tanaman di dalam kegiatan penanaman mangrove, yakni : (1) propagul dan (2) berupa anakan yang berasal dari persemaian ataupun dari alam. a.1.
Penanaman dengan Menggunakan Propagul Penanaman dengan menggunakan bahan tanaman berupa propagul secara
umum dilakukan pada jenis-jenis Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa yang mempunyai propagul yang cukup panjang. Propagul yang panjang relatif lebih tahan terhadap genangan air pasang surut dan penggenangan air laut. Penanaman dengan menggunakan propagul disarankan untuk penanaman untuk waktu yang cepat dan lokasi luas, alasan penggunaan propagul antara lain:
Merupakan cara yang paling mudah, murah dan efektif
Sifat buah vivivar (berkecambah di pohon)
Propagul yang ditanam mempunyai kemampuan menghasilkan tunas tambahan apabila hipokotil bagian atas rusak dan pembentukan akar cepat
Di habitat yang cocok, keberhasilannya lebih dari 90 % dan tegakan biasanya tumbuh dengan baik dan seragam.
a.2.
Penanaman dengan Menggunakan Bibit Persemaian Penanaman dengan menggunakan anakan dari persemaian merupakan cara
yang efektif dalam mengatasi masalah predasi oleh kepiting, gangguan gulma maupun pada substrat yang keras, berpasir atau lumpur yang terlalu dalam. Anakan tanaman yang telah berkayu tahan terhadap serangan kepiting maupun kera. Sistem pucuk dan perakaran yang terbentuk tahan terhadap terjangan air pasang dan dapat berkompetisi dengan gulma. Kriteria
ini
mencakup
kegiatan
penyulaman,
pemeliharaan
dan
monitoring. Dengan waktu dan frekuensi yang cukup akan memberikan gambaran yang jelas di lapangan permasalahan dan kendala yang dihadapi. Dengan demikian akan memudahkan pelaksana untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam menyelamatkan hasil penanaman. Pemeliharaan dilakukan untuk meminimalkan faktor-faktor perusak yang dapat menyebabkan kegagalan penanaman jenis pohon mangrove di antaranya adalah: kepiting, kera/monyet, biawak, arus air laut, tumbuhan gulma, hama
132
serangga, dan erosi pantai. Faktor-faktor tersebut dimonitor secara teratur dengan memperhatikan intensitas kerusakan dan dilakukan penanggulangan terhadap kerusakan yang terjadi. Terdapat perbedaan kondisi habitat pada lokasi yang dievaluasi sehingga memerlukan pendekatan teknologi rehabilitasi yang berbeda pada setiap lokasi. Untuk keberhasilan rehabilitasi mangrove pelaksana harus memaksimalkan program perencanaan, pelaksanaan dan monitoring kegiatan secara baik dan terpadu. Beberapa kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di Kawasan hutan mangrove di antaranya adalah: i.
Penanaman dengan Sea Defence di Hutan Lindung (Revitalisasi Hutan Lindung) Pembangunan breakwater permanen yang dibangun di lepas pantai dimaksudkan untuk menahan hempasan gelombang laut dan menahan tumpukan urugan tanah sebagai media tumbuhnya mangrove di belakang bangunan breakwater tersebut. Dalam hal ini persyaratan utama breakwater yang akan dibangun adalah selain dapat secara efektif menahan hempasan gelombang laut dan media tanah, juga harus dapat menjamin masuk pasang surut air laut ke areal penanaman mangrove di belakangnya, sehingga keberadaan breakwater tersebut tetap menjamin sirkulasi air laut untuk pertumbuhan mangrove secara optimal. Adapun breakwater yang dibangun di kiri kanan saluran air atau sungai dimaksudkan untuk menahan tumpukan urugan tanah atau media tumbuh mangrove sekaligus sebagai penguat pematang saluran air/sungai. Berdasarkan hal tersebut di atas, breakwater yang akan dibangun adalah breakwater model Rubber Mould. Pada dasarnya breakwater model tersebut terdiri atas tumpukan batu mulai dari ukuran besar di bagian atas kecil di bagian dalamnya. Dimensi breakwater ini ditentukan berdasarkan pertimbangan kecepatan arus, kemiringan pantai, dan daya dukung tanah dasar laut.
133
Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2009
Gambar 11 Berbagai bentuk dimensi breakwater. ii.
Penanaman Mangrove dengan Sistem Guludan Penanaman dengan teknis guludan dilakukan pada lokasi bekas tambak
yang terdapat di hutan kawasan Angke Kapuk karena mempunyai kedalaman 1,5 meter sampai 3 meter sehingga tidak memungkinkan ditanam dengan sistem langsung.
134
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan DKI jakarta, 2009
Gambar 12 Penanaman mangrove dengan sistem guludan.
Pertumbuhan Tanaman dengan Metode GULUDAN adalah 90 – 95 % Metode ini digunakan untuk pelaksanaan RHL pada bekas areal tambak liar yang tidak dapat dilakukan dengan Metode Konvensional / Tanam Langsung
Hak Paten Milik : Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS / Fahutan IPB
Gambar 13 Kondisi pertumbuhan tanaman mangrove dengan metode guludan.
135
iii.
Penanaman dengan Bibit Langsung
Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2009
Gambar 14 Penanaman mangrove dengan bibit langsung. b.
Pembuatan Sarana Prasarana Pendukung di Kawasan Mangrove Jakarta
b.1.
Hutan Lindung Angke kapuk Beberapa prasarana dan sarana pengelolaan telah dibangun oleh Dinas
Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, seperti: jalan, pagar, perangkap sampah/penahan gelombang dari bambu, shelter dan pos jaga (Gambar 14)
136
TAHUN 2000
TAHUN 2011
Gambar 15 Kondisi sarana prasarana pengelolaan tahun 2000 dan tahun 2011.
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan DKI jakarta, 2009
Gambar 16 Sarana dan prasarana di Hutan Lindung Angke Kapuk.
137
b.2.
Jalan Tol Sedyatmo ( Telah di bangun Ekowisata Mangrove) Beberapa prasarana dan sarana pengelolaan telah dibangun Dinas Kelautan
dan Pertanian DKI Jakarta, seperti : pintu gerbang, shelter, jalan, toilet, papan informasi (Gambas 17).
b.3.
Pengembangan Program Pendidikan Lingkungan dan Ekowisata Kegiatan pendidikan lingkungan dan ekowisata telah dilakukan dengan
melibatkan banyak pihak, seperti: a. Pelatihan pemandu (interpreter) juga telah dilakukan terhadap guru SD, guru SLTP, pemuda, dan LSM b. Penyusunan buku panduan, leaflet dan booklet tentang lokasi dan lingkungan c. Dsb.
Shelter
Gerbang
Pusat Informasi
Board Walk
Gambar 17 Sarana dan prasarana di Ekowisata Mangrove.
138
b.4.
Pengawasan, Penegakan Hukum, dan Kegiatan Lainnya
(a). Kegiatan pengawasan telah dilakukan dengan menugaskan polisi hutan dan staf lapangan dengan maksud melakukan pengawasan batas kawasan dan mempertahankan kondisi hutan mangrove dan isinya, ampai saat ini sudah dibangun 7 pos pengamanan. (b). Pemagaran batas kawasan hutan mangrove (Hutan Lindung) dengan memakan biaya Rp. 7.000.000.00,- dan sosialisasi kepada stakeholder tentang batas-batas kawasan hutan mangrove (c). Pembangunan kawasan ekowisata mangrove dekat jalan Tol Soedyatmo (d). Peningkatan sumberdaya manusia (pengelola) dengan kegiatan studi banding dan pelatihan pelaksana konservasi (e). Melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar dan stakeholder dalam rangka peningkatan peranserta parapihak dalam pengelolaan mangrove.
c.
Pelebaran jalan Tol Soedyatmo, Rel Kereta Api, dan Green Wall Pemerintah Indonesia
memahami
bahwa
strategi
untuk memacu
pertumbuhan ekonomi adalah dengan cara memprioritaskan pembangunan infrastruktur berupa jalan tol antar kota khususnya di Propinsi DKI Jakarta yang berorientasi ekspor dan akses dunia. Untuk menunjang strategi tersebut, sektor perhubungan mendapatkan perhatian utama dalam penyediaan sarana dan prasarana sehingga kegiatan transportasi semakin efisien. Jalan tol Soedyatmo atau biasa dengan jalan tol Cengkareng merupakan jalan arteri jalur utama menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi sehingga sering terjadi kemacetan, meningkatnya angka kecelakaan, dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, pemerintah DKI Jakarta telah menambah jalur Tol Cengkareng menuju Bandara Udara Soekarno Hatta, serta akan menambah jalur Kereta Api dari Stasiun Manggarai menuju Bandara Udara Soekarno Hatta. Pembangunan tambahan jalan dan Rel Kereta Api telah dan akan mengurangi luas hutan mangrove. Sejalan dengan keinginan Gubernur DKI Bapak Fauzi Bowo yang menginginkan green wall di sepanjang kanan kiri jalan tol Soedyatmo. Oleh karena itu untuk tetap mempertahankan keberadaan hutan mangrove dan
139
meningkatkan keindahan, serta membangun opini pembangunan yang peduli lingkungan, maka perlu disusun Rencana Detail Engineering Design (DED) rehabilitasi mangrove. Rencana DED rehabilitasi dan pengelolaan mangrove di tol Soedyatmo ini sepanjang lebih kurang 5 km pada kanan kiri jalan di mulai dari KM 21- KM 26 yang menjadi kewajiban Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta. Kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan karena dari KM 26 sampai bandara Soekarno Hatta sudah mempunyai rencana DED yang dikerjakan oleh Dinas Pertamanan Propinsi DKI Jakarta. Konsep rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang akan dituangkan dalam Dokumen DED adalah tetap mempertahankan hutan mangrove dan menciptakan pemandangan hutan mangrove yang hijau, menarik dan melestarikan keanekaragaman hayati, serta mendorong terciptanya persepsi positif masyarakat bahwa Pemerintah DKI Jakarta peduli lingkungan dan pelestarian mangrove.
d.
Rencana Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta Sesuai dengan Peta Rencana Tata Ruang Propinsi DKI Jakarta, kawasan
mangrove Angke Kapuk termasuk kawasan Hijau Lindung, yang di dalamnya terdapat: (1). Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (25,02 ha) (2). Kawasan Hutan Lindung Mangrove (44,64 ha akan direvitalisasi menjadi 63,68 ha) (3). Kawasan Taman Wisata Alam Mangrove Kamal (99,82 ha) (4). LDTI a. Kebun Bibit/Arboretum (10,51 ha) b. Transmisi PLN (23,07 ha) c. Jalan Tol dan Jalur Hijau (95,50 ha) sebelum dikurangi untuk penggunaan jalan tol, dan pelebaran jalan tol Sedyatmo) d. Riparian Cengkareng Drain (28,93 ha). Rencana pemerintah daerah menjadikan kawasan Hijau Lindung ini sebagai obyek wisata, konservasi mangrove dan keanekaragaman jenis burung, daerah resapan air dan paru-paru kota tersebut perlu mendapat dukungan banyak
140
pihak. Oleh karena itu sudah seharusnya Pemerintah DKI Jakarta beserta stakeholder yang turut peduli secepatnya merancang ke arah itu. Hal ini perlu dilakukan agar manfaat dan fungsi mangrove kawasan Angke Kapuk tidak mengalami penurunan.
5
5.1
VALUASI NILAI EKONOMI TOTAL KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE
Pendahuluan Kawasan pesisir Muara Angke memiliki nilai strategis sebagai kawasan
lindung, kawasan permukiman, perkantoran dan wisata di wilayah Jakarta Utara khususnya dan umumnya wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kebutuhan ruang dan lahan, serta aktivitas pembangunan yang terus meningkat di wilayah DKI Jakarta mendorong semakin meningkatnya tekanan dan permasalahan bagi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Meningkatnya pencemaran dan perusakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta yang disebabkan faktor alam dan faktor manusia, telah mempengaruhi manfaat dan fungsi kawasan mangrove Muara Angke. Ekosistem
mangrove
merupakan
sumberdaya
alam
yang
dapat
diperbaharui, memiliki fungsi fisik, ekologi dan sosial ekonomis yang cukup tinggi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Secara fisik, keberadaan ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai penahan abrasi dan penjerap sedimen dan penahan angin. Fungsi ekologi yang menonjol dari ekosistem mangrove adalah sebagai habitat keanekaragaman hayati (burung, mamalia, reptilia, amphibia dan biota air, serta jenis-jenis tumbuhan), menciptakan iklim mikro, memelihara dan memperbaiki kualitas air (mereduksi keberadaan polutan atau zat pencemar lainnya, mencegah intrusi air laut), tempat mencari makan (feeding
ground),
tempat
memijah
(spawning
ground),
dan
tempat
berkembangbiak (nursery ground) bagi jenis biota air. Sedangkan secara sosial ekonomi, ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber bahan makanan, tempat mencari ikan dan biota air lainya, serta memiliki nilai penting bagi hasil hutan non kayu (obat-obatan), dan wisata alam (pendidikan, penelitian dan wisata). Keberadaan kawasan mangrove Muara Angke (478 ha) di wilayah pesisir Pantai
Utara
Jakarta,
semakin
penting
bagi
pendukung
keberlanjutan
pembangunan DKI Jakarta. Namun demikian kondisi tersebut tidak banyak disadari oleh parapihak (stakeholders), dikarenakan belum tersedianya data informasi kuantitatif tentang nilai-nilai (manfaat dan fungsi) kawasan mangrove Muara Angke. Oleh karena itu penilaian terhadap nilai ekonomi total (Total
142 Economic Value) kawasan mangrove Muara Angke dapat dipergunakan sebagai masukan bagi pemangku kepentingan dalam mewujudkan pengelolaan mangrove Muara Angke berkelanjutan. Pengertian nilai atau value, khususnya yang menyangkut barang jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, bisa berbeda, tergantung sudut pandang ilmu yang digunakan. Dari sisi ekologi, nilai dari hutan mangrove bisa berarti pentingnya hutan mangrove sebagai tempat reproduksi spesies ikan tertentu atau untuk fungsi ekologis lainnya. Dari sisi teknik, nilai hutan mangrove bisa berarti sebagai pencegah abrasi dan banjir. Perbedaaan konsep nilai tersebut dapat menyulitkan pemahaman mengenai pentingnya suatu ekosistem. Oleh karena itu diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut (Fauzi 2004). Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem memiliki multi manfaat yang sangat berguna
bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Manfaat hutan
mangrove dikawasan Muara Angke bisa di kelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu direct use value (manfaat langsung), inderect use value (manfaat tidak langsung, option value (nilai manfaat pilihan) dan bequest value (nilai manfaat pewarisan). Kawasan hutan mangrove Muara Angke Jakarta merupakan kawasan hutan mangrove yang pengelolaannya berada di bawah Kementrian Kehutanan dalam hal ini adalah Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta dan Dinas Kehutanan dan Pertanian DKI Jakarta. Areal Suaka Margasatwa Muara Angke dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk berada dibawah pengelolaan Kementrian Kehutanan, sedangkan yang masuk kedalam pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta adalah Kawasan Hutan Lindung, Areal Pembibitan, kawasan Jalur Hijau dan jalan tol. Disamping kawasan hutan mangrove, terdapat areal tambak (150,30 ha) yang terdiri atas tambak BRKP-KKP (Balai Riset Kelautan dan PerikananKementrian Kelautan dan Perikanan) (57,30 ha) dan tambak masyarakat (93,00 ha). Kawasan tambak ini masih aktif dikelola untuk budidaya ikan bandeng (Chanos chanos) dan hasil ikutan udang alam (Penaeus sp) dan ikan mujair.
143 5.2
Profil Responden
5.2.1
Responden CVM (Contingent Valuation Method) Dalam pendekatan CVM yang dilakukan untuk melakukan estimasi
penilaian barang lingkungan non market khususnya di kawasan mangrove DKI Jakarta dengan melibatkan responden sebanyak 130 orang. Responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 102 orang atau sebanyak 78%, sedangkan perempuan sebanyak 28 orang (12%). Responden merupakan kepala keluarga dalam rumah tangga masyarakat yang tersebar Kelurahan Penjaringan, Tegal Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Kriteria responden yang digunakan adalah responden yang menjadi warga di Kecamatan Penjaringan khususnya warga di keluruhan tersebut di atas. Responden merupakan kepala rumah tangga dalam sebuah rumah tangga yang tidak terbatas pada jenis kelamin lak-laki. Rumah tempat tinggal responden mulai dari responden dengan jarak rumah dengan terdekat dengan pantai Teluk Jakarta hingga warga masyarakat dengan jarak yang relatif jauh dari pantai teluk Jakarta. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana kesediaan untuk membayar (Willingness To Pay) dan WTA (Willingness To Accept) warga masyarakat atas keberadaan fungsi jasa ekosistem mangrove Jakarta dimana memiliki nilai tidak hanya tangible tetapi juga intangible seperti penjerap dan penyerap polutan, mengurangi laju abrasi pantai, mengurangi dampak rob/gelombang pasang dan mengurangi intrusi air laut. Tingkat pendidikan responden bervariasi dari mulai SD hingga perguruan tinggi. Dari hasil penelitian responden dalam penelitian ini memiliki tingkat pendidikan
SD/MI
sebanyak
32,25%,
SLTP/MTs
sebanyak
35,27%,
SMA/SMK/MA sebanyak 47,36%, diploma sebanyak 6,4%, dan perguruan tinggi sebanyak 1,1% serta responden yang tidak sekolah sebanyak 9,7%. Pendidikan tingkat menengah mendominasi latar belakang pendidikan responden. Dengan demikian responden merupakan individu yang cukup logis, relevan, dan rasional untuk dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini. Umur rata-rata responden adalah 38 tahun. Usia tersebut merupakan usai matang dan produktif untuk memberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan dari peneliti. Dengan demikian bias jawaban yang kemungkinan disebabkan oleh umur bisa dikurangi.
144
Gambar 18 Persentase tingkat pendidikan responden.
Pekerjaan responden menunjukkan jenis pekerjaan yang beragam. Dari hasil penelitian ini latar belakang pekerjaan responden paling banyk berprofesi sebagai pedagang/wirausaha sebanyak 42% dari jumlah responden. Kemudian disusul pekerjaan petani/nelayan/kuli bangunan sebanyak 17% dengan dominansi pekerjaan di sektor perikanan sebagai nelayan dengan pekerjaan sambilan sebagai kuli bangunan. Responden yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sebanyak 15%, karyawan swasta sebanyak 16%, pegawai negeri sipil sebanyak 6%, dan 4% freelance. Pekerjaan responden akan memberikan pengaruh pada besaran dari nilai WTA dan WTP seseorang. Berdasarkan latar belakang responden dalam penelitian ini menunjukkan keberagaman latar belakang responden memang dengan profesi sebagai pedagang/wirausaha mendominasi dari latar belakang pekerjaan responden.
145
Gambar 19 Pekerjaan responden.
5.2.2
Responden TCM (Travel Cost Method) Responden TCM merupakan responden pengunjung wisata mangrove DKI
Jakarta di Teluk Jakarta. Respoden ini merupakan pengunjung di wisata mangrove TWA Angke Kapuk, Suaka Margasatwa Muara Angke dan Ekowisata Tol Sudyatmo. Jumlah responden sebanyak 90 orang dengan jumlah responden untuk setiap wisata mangrove DKI Jakarta sebanyak 30 orang. Rata-rata umur responden adalah 34 tahun. Usia tersebut merupkan usia sangat produktif dan matang sehingga responden sangat memahami setiap pertanyaan dan memberikan jawaban secara rasional. Secara umum pengunjung berasal dari Jabotabek dengan persentase pengunjung berasal dari Jakarta sebanyak 67% berasal dari Jakarta (Dominan Jakarta Utara), kemudian disusul Tangerang dan Bogor berturut-turut sebanyak 11% dan 10% dan Bekasi dan Depok berturut-turut masing-masing sebanyak 8% dan 4%.
5.2.3
Profil Wisata Mangrove DKI Jakarta Keberadaan mangrove di teluk Jakarta telah menjadi salah satu tujuan
wisata Jakarta khususnya Jakarta Utara. Mangrove mampu memberikan atraksi
146 alam yang menarik bagi masyarakat sehingga banyak masyarakat yang ingin mengunjungi dan menyaksikannya. Pemanfaatan kawasan hutan mangrove Teluk Jakarta sebagai kawasan wisata yang terbuka untuk umum terletak di TWA Angke Kapuk, Suaka Margasatwa dan Kawasan Ekowisata Tol Sudyatmo. Keberadaan hutan lindung dan suaka margasatwa mangrove yang telah dikembangkan menjadi kawasan wisata alam belum Angke Kapuk cukup dikenal oleh masyarakat se-Jabodetabek. Kebanyakan masyarakat yang mengetahui keberadaan mangrove tersebut adalah masyarakat sekitar pesisir/pantai teluk Jakarta, pemerhati mangrove, pelajar sekolah, dan masyarakat dari kalangan akademisi. Dari hasil penelitian menunjukkan masyarakat Jakarta yang melakukan kunjungan wisata ke kawasan ini berasal dari Jakarta Utara. Hanya sebagian kecil berasal dari Jakarta Barat dan wilayah Jakarta lainnya. Namun kunjungan wisata yang berasal dari kota-kota sekitar Jakarta seperti Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok relatif banyak. Pengunjung dari Bogor kebanyakan kalangan akademisi atau mahasiswa yang melakukan field trip, penelitian dan pengamatan mangrove, sedangkan pengunjung lainnya adalah kalangan pelajar dan orang yang ingin melakukan kegiatan refreshing dan berwisata mangrove. Taman Wisata Alam Angka Kapuk merupakan salah satu kawasan mangrove dengan status kawasan milik Kementrian Kehutanan yang telah dimanfaatkan sebagai salah satu kawasan untuk tujuan wisata. Saat ini kawasan ini pengelolaannya diberikan kepada PT. Murindra Karya Lestari melalui mekanisme ijin pinjam pakai kawasan untuk pengembangan dan pemanfaatan wisata alam mangrove. Kawasan TWA Angke Kapuk telah menjadi salah satu kawasan pengembangan ekowisata mangrove yang sangat menarik dan profesional. Pengelolaan kawasan oleh pihak swasta menjadikan kawasan ini salah satu tujuan wisata di Jakarta khususnya Kotamadya Jakarta Utara.
147
Gambar 20 Tingkat pendidikan responden TWA Angke Kapuk.
Responden dalam TCM ini memiliki umur rata-rata 32 tahun. Asal pengunjung kebanyakan dari Jakarta. Tingkat pendidikan responden pengunjung wisata TWA Angke Kapuk terbanyak dengan latar belakang pendidikan sarjana. Dari gambar 20 menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan responden cukup representatif dan menunjukkan dominansi pada responden dengan tigkat pendidikan yang cukup baik. Hal ini akan menghasilkan data yang disebabkan oleh bias pendidikan akan tereduksi. PT Murindra Karya Lestari telah menginvestasikan banyak uang untuk menyulap dan merekonstruksi ulang menjadi kawasan wisata yang sangat memadai dan dilengkapi berbagai sarana dan prasarana penunjang kegiatan wisata. Kawasan ini menyediakan fasilitas tidak hanya obyek pemandangan alam saja tetapi dilengkapi fasilitas seperti camping ground, auditorium, villa, wisata air (dayung, kayak dan perahu karet). Wisata ini juga dilengkapi dengan fasilitas masjid, mushola, arena bermain bagi anak-anak, dan fasilitas ruang outbond serta kantin.
148 Tabel 47 Fasilitas dan sarana prasarana penunjang wisata mangrove DKI Jakarta Fasilitas Tempat ibadah
Tempat Parkir
Toilet Arena bermain anakanak
TWA Angke Kapuk ada (masjid dan mushola) ada sangat memadai untuk parkir dalam jumlah yang banyak ada. Dalam jumlah yang relatif banyak ada. cukup memadai dan menarik
Suaka Margasatwa Muara Angke
Ekowisata Tol Soedyatmo
Hutan Lindung
Tidak ada
tidak ada
Tidak ada
Tidak ada. Berhadapan langsung dengan jalan raya
ada sangat memadai untuk parkir dalam jumlah yang banyak
Tidak ada
ada. Cuma 1 bangunan saja
ada. Cuma ada 1 bangunan saja
tidak ada
tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Kawasan untuk bersantai dan istirahat
ada
Outbond
tidak ada. Namun diberikan izin dan terdapat lokasi untuk outbond dengan luasan yang relatif besar
Tidak ada
tidak ada. Namun diberikan izin dan terdapat lokasi untuk outbond dalam luasan yang terbatas
Gapura/Pintu Gerbang
Ada
Ada
Ada
Papan Petunjuk informasi
Ada
Ada
Ada
Penginapan
ada. Sangat memadai dan sangat bagus dsalam bentuk villa dan cottage
Tidak ada
Tidak ada
Camping ground
ada. Dalam bentuk bangunan permanen
Tidak ada
Kantin/restoran
Ada
Tidak ada
Jembatan pengamatan
Wisata/olahraga air (kayak, perahu) Wisata pemancingan
Harga Tiket
Wisata pendidikan
ada. Skaligus sebagai jalan menuju camping ground yang di bagian di atas air ada. Berbagai jenis perahu dan kayak tidak ada Tertinggi (Rp. 10.000 dengan komposisi Rp. 8000 PT Murindra dan Rp. 2000 untuk BKSDA) Ada
ada. Tidak dalam bentuk permanen dan pengelola juga tidak menyediakan penyewaan tenda Tidak ada, tetapi terdapat pedagang kaki lima
Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
ada tapi dalam kondisi rusak
ada dalam kondisi yang sangat baik
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
Tidak ada
sedang (Rp. 3500)
Murah (Rp. 500)
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
149 Fasilitas
TWA Angke Kapuk
Suaka Margasatwa Muara Angke
Ekowisata Tol Soedyatmo
Hutan Lindung
(Penanaman mangrove, pengamatan burung dan satwa) Sumber: data primer
Kawasan TWA Angke Kapuk yang telah dikembangkan dan dikelola oleh PT. Murindra Karya Lestari juga dilengkapi dengan jalur wisata pengamatan burung, jalur pengamatan mangrove, dan mangrove jungle tracking. Dengan demikian fasilitas dan layanan jasa pariwisata yang disajikan oleh PT. Murindra Karya Lestari untuk pengembangan dan pemanfaatan lestari TWA Angke Kapuk melalui pariwisata sangat lengkap dan memadai. Wajar bilamana harga tiket relatif lebih mahal dibandingkan dengan kawasan wisata mangrove di teluk Jakarta lainnya (Suaka Margasatwa dan Ekowisata Tol Sedyatmo). Lokasi TWA Angke Kapuk yang sangat dekat dengan hunian mewah Pantai Indah Kapuk mendorong tingginya kunjungan wisata ke lokasi ini. Kawasan ini banyak dijadikan sebagai tujuan dan lokasi olahraga bagi masyarakat TWA Angke Kapuk. Hal ini bisa dilihat dari persepsi responden terhadap keberadaan TWA Angke Kapuk (Gambar 21).
Gambar 21 Persepsi responden terhadap lokasi wisata TWA Angke Kapuk.
Dari persepsi responden menunjukkan cukup baik dimana sejumlah 19 responden menyatakan persepsi mengenai lokasi wisata TWA Angke Kapuk menarik dan sebanyak 5 responden menyatakan persepsi sangat menarik. Hal ini wajar dan sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa fasilitas, desain, dan atraksi
150 alam yang ditawarkan oleh TWA Angke menarik untuk dikunjungi dan dilihat lagi. Hal ini didukung oleh pernyataaan responden dalam penelitian ini menunjukkan ketertarikannya untuk mengunjungi lagi pada kesempatan waktu yang lain.
5.2.4
Ekowisata Tol Soedyatmo Responden di lokasi wisata ini sebayak 30 orang. Pengunjung lokasi
wisata ini yang menjadi responden kebanyakan berasal Jabodetabek dengan pengunjung dominan berasal dari Jakarta. Umur rata-rata responden adalah 37 tahun. Umur tersebut merupakan usia produktif dan matang dalam berpikir dan bertindak sehingga dimungkinkan responden akan memberikan jawaban yang cukup rasional dan obyektif. Ekowisata Mangrove Tol Soedyatmo merupakan salah satu kawasan mangrove yang dikembangkan sebagai salah satu obyek tujuan wisata di beberapa ruas jalan tol Soedyatmo. Kawasan ini dikelola oleh Dinas Pertanian, Kehutanan, dan DKI Jakarta. Kawasan ini menawarkan atraksi alam berupa vegetasi mangrove dengan berbagai jenis. Kawasan ini memiliki kondisi yang cukup baik. Salah satu lokasi yang menarik di kawasan wisata ini adalah jembatan pengamatan mangrove yang mengitari mangrove di sekitar kawasan ini yang bersebelahan dengan tol Soedyatmo. Di kawasan ini vegetasi mangrove tumbuh dengan sangat baik dengan teknik Guludan yang ditanam di atas air tergenang atau bekas tambak. Sebagian lagi vegetasi mangrove tumbuh dengan baik di sepanjang jalur pejalan kaki di dalam kawasan ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas dan pengelola Ekowisata Tol Soedyatmo bahwa para pengunjung Ekowisata Tol Soedyatmo kebanyakan dengan tujuan untuk memancing ikan di sekitar guludan-guludan dan mangrove. Hampir sedikit sekali wisatawan yang benar-benar melakukan kunjungan dalam rangka menikmati sajian wisata alam mangrove. Namun dalam penelitian ini latar belakang responden berasal dari kalangan akademisi yang melakukan kunjungan lapangan ke mangrove, sehingga tingkat pendidikan responden dalam penelitian dengan menggunakan metode TCM kebanyakan dengan latar belakang tingkat pendidikan sarjana (Gambar 22).
151
Gambar 22 Tingkat pendidikan responden TCM di Ekowisata Tol Soedyatmo.
Fasilitas dan sarana prasarana penunjang wisata ini kurang memadai dan tidak lengkap seperti TWA Angke Kapuk. Fasilitas dan sarana prasarana di lokasi ekowisata ini hanya sebatas jembatan pengamatan, WC/toilet dengan jumlah terbatas dan tidak memiliki kantin. Penjaja makanan dan minuman hanya ditawarkan oleh pedagang kaki lima. Lokasi wisata ini juga menyediakan tempat untuk dijadikan arena outbond dan camping ground, meskipun tidak menyediakan fasilitas outbond dan camping.
Gambar 23 Persepsi responden terhadap lokasi wisata Ekowisata Tol Soedyatmo.
Persepsi responden terhadap lokasi wisata ini sangat baik. Hal ini dicerminkan dari hasil wawancara dengan respoden sebanyak 14 orang menyatakan persepsi kawasan wisata ini menarik dan 11 responden menyatakan sangat menarik (Gambar 23). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh murahnya
152 harga tiket masuk ke kawasan ini hanya sebesar Rp. 500, tetapi mendapatkan sajian atraksi alam yang cukup menarik. Selain itu, fasilitas juga cukup tersedia dengan baik. Meskipun sangat berbeda jauh dengan fasilitas sarana prasarana yang disediakan pengelola TWA Angke Kapuk.
5.2.5
Suaka Margasatwa Muara Angke Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan salah satu kawasan lindung
dibawah pengelolaan BKSDA DKI Jakarta. Kawasan ini tidak banyak pengunjung yang datang karena kondisi dan fasilitas penunjang kegiatan pariwisata sangat terbatas. Kawasan ini juga dalam kondisi yang sangat buruk dimana membutuhkan rekonstruksi dan rehabilitasi bangunan. Lokasi kawasan ini yang berhadapan langsung dengan jalan raya menjadikan kawasan ini kurang diminati oleh pengunjung. Kawasan ini juga tidak memiliki lokasi parkir kendaraan bermotor bagi pengunjungnya sehingga mampu mempengaruhi persepsi dan motivasi masyarakat untuk mengunjunginya. Selain itu, kawasan suaka margasatwa Angke Kapuk yang bersebelahan dengan sungai Angke juga tercium bau tidak sedap. Polusi udara di sekitar kawasan ini juga mempengaruhi masyarakat untuk datang mengunjunginya.
Gambar 24 Tingkat pendidikan responden TCM Suaka Margasatwa Muara Angke.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas dan pengelola Suaka Margasatwa Muara Angke bahwa pengunjung dalam 3 tahun terakhir semakin menurun jumlahnya. Hal ini disebabkan oleh semakin rendahnya kualitas wisata
153 Suaka Margasatwa Muara Angke. Minimnya dana pemeliharaan dan pengelolaan menjadikan kawasan ini kondisinya semakin memburuk. Banyak bangunan yang sudah rusak dan rapuh. Pada beberapa titik juga membahayakan para pengunjung untuk menikmati lokasi wisata ini. Apalagi ditambah kondisi lingkungan sekitar. Hal yang sangat menganggu kenyamanan pegunjung lokasi ini adalah polusi udara yang ditandai dengan bau tidak sedap dari Sungai Kali Angke. Sungai Angke yang berwarna hitam dan ditutupi oleh sampah pada permukaannya mengurangi nilai estetika dari lokasi ini. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi persepsi pengunjung terhadap lokasi ini.
Gambar 25
Persepsi responden terhadap lokasi wisata Suaka Margasatwa Muara Angke.
Hasil wawancara dengan petugas dan pengelola kawasan wisata ini juga sesuai dengan hasil wawancara dengan responden dalam penelitian ini yang tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Gambar 24. Responden di kawasan wisata ini memberikan penilaian yang relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dengan jawaban persepsi responden yang menyatakan lokasi wisata ini hanya “biasa saja”, sebaliknya responden tidak ada satupun yang menyatakan ketertarikannya terhadap lokasi wisata ini (Gambar 25).
5.3
Analisis Nilai Ekonomi Total Nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke, merupakan jumlah
dari keseluruhan nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tidak langsung. Dan nilai non-penggunaan. Nilai penggunaan langsung meliputi nilai pemanfaatan
154 ikan, cacing, wisata alam, obat-obatan. Nilai penggunaan tidak langsung adalah nilai pemijahan, nilai penahan abrasi, penahan interusi, serta nilai penyerapan karbon. Sedangkan nilai non penggunaan adalah nilai keberadaan.
5.3.1
Direct Use Value (Nilai Manfaat Langsung) Nilai ekonomi langsung/direct use value adalah sumberdaya mangrove
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan ekonomi, misalnya untuk memenuhi kebutuhan ikan masyarakat, kayu bakar, pangan, obat-obatan dan pendapatan berupa uang. Lokasi survei untuk mengetahui estimasi nilai manfaat langsung dari kawasan hutan mangrove Muara angke adalah: Hutan Lindung Angke, Suaka Margasatwa, Tol Sedyatmo, Taman Wisata Alam, Arboretum, Transmisi PLN dan Cengkareng Drain dengan luas total 327,7 ha. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa manfaat langsung yang dihasilkan dari kawasan hutan mangrove Muara Angke saat ini adalah pemanfaatan cacing, ikan dan kepiting, memancing, wisata serta pendidikan dan penelitian, serta tambak bandeng dengan hasil ikutan udang alam. Estimasi nilai total pemanfaatan langsung di kawasan hutan mangrove Muara Angke adalah Rp. 19.103.256.000. Rincian untuk masing-masing bentuk pemanfaatan disajikan pada penjelasan dibawah ini.
a.
Pemanfaatan Cacing Pemanfaatan cacing di kawasan hutan mangrove Muara Angke hanya
ditemukan pada lokasi Hutan Lindung Angke. Metode yang dipergunakan untuk menghitung estimasi nilai ekonomi pemanfaatan kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai tempat mengambil cacing adalah metode penghitungan nilai pasar aktual. Jenis cacing yang dimanfaatkan adalah cacing laut yang akan dimanfaatkan sebagai umpan memancing. Jumlah pencari cacing yang diwawancara adalah 6 orang, dengan hasil tangkapan 1,75 gelas/orang/hari setara dengan 70 cup/orang/hari, dengan frekuensi penangkapan cacing setiap hari. Harga untuk satu cup cacing adalah Rp. 2000, yang dijual
kepada para
pemancing. Dengan mengalikan jumlah cacing yang diambil selama satu tahun
155 dengan harga cacing maka diketahui estimasi nilai ekonomi dari pemanfaatan cacing di kawasan hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp. 306.600.000/tahun atau Rp. 6.849.866/ha/tahun. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada lampiran 3.
b.
Pemanfaatan Ikan dan Kepiting Sama halnya dengan pemanfaatan cacing, pemanfaatan ikan dan kepiting
di kawasan hutan mangrove Muara Angke hanya terdapat di lokasi sekitar Hutan Lindung Angke. Metode yang dipergunakan untuk menghitung estimasi nilai ekonomi pemanfaatan kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai tempat pemanfaatan ikan dan kepiting adalah metode penghitungan nilai pasar aktual. Jumlah nelayan yang diwawancara sebanyak 4 orang dengan hasil tangkapan ikan rata-rata sebanyak 1,5 kg/hari dengan frekuensi penangkapan ikan setiap hari. Jumlah pencari kepiting yang diwawancarai sebanyak 2 orang dengan hasil tangkapan rata-rata 6 ekor (1,2 kg)/orang per hari dengan frekuensi penangkapan setiap hari. Harga jual ikan adalah Rp.20.000/hari sedangkan harga kepiting adalah Rp.35.000/kg. Dengan mengalikan jumlah ikan dan kepiting yang diperoleh selama satu tahun, maka dapat diketahui estimasi nilai ekonomi pemanfaatan ikan dan kepiting dari kawasan hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp. 74.460.000/tahun atau Rp.1.663.539/ha/tahun. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 4.
c.
Pemanfaatan Untuk Memancing Pemanfaatan kawasan hutan mangrove Muara Angke untuk tempat
memancing ikan hanya ditemui di lokasi Tol Sedyatmo. Metode yang dipergunakan untuk menghitung estimasi nilai ekonomi pemanfaatan kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai tempat memancing adalah Travel Cost Method (Biaya Perjalanan). Kegiatan memancing dilakukan di kolam-kolam yang ada di areal Tol Sedyatmo yang dikelola oleh masyarakat. Jumlah kolam tersebut adalah 10 unit, dengan jumlah rata-rata pemancing 3 orang pada hari biasa, sedangkan jumlah pemancing pada hari libur berjumlah 6 orang. Harga tiket ratarata untuk mesuk ke pemancingan tersebut adalah Rp. 10.000. Mayoritas
156 pemancing berasal dari sekitar Kecamatan Penjaringan, dengan moda transportasi yang digunakan sepeda motor. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh para pemancing adalah Rp.18.000/satu kali memancing. Estimasi nilai ekonomi di duga dengan cara mengalikan jumlah pemancing dalam satu tahun
dengan
pengeluaran/biaya yang dikeluarkan oleh pemancing. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp. 393.120.00 per tahun atau Rp.4.116.440/ha/tahun. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 5.
d.
Pemanfaatan untuk Wisata Kawasan hutan mangrove Muara Angke yang dimanfaatkan untuk wisata
berlokasi di Tol Sedyatmo dan Taman wisata Alam (TWA). Metode yang dipergunakan untuk menduga estimasi nilai ekonomi manfaat kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai tempat wisata adalah Travel Cost Method (TCM). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pengelola, jumlah pengunjung objek wisata Tol Sedyatmo adalah 12.000 orang pertahun, sedangkan jumlah pengunjung objek wisata TWA adalah 16.517 per tahun. Mayoritas pengunjung ke dua objek wisata tersebut berasal dari Jabotabek. Rata-rata jumlah pengeluaran pengunjung TWA adalah Rp. 97.222/orang/hari, sedangkan rata-rata pengeluaran
pengunjung
objek
wisata
Tol
Sedyatmo
adalah
Rp.
124.433/orang/hari. Pengeluaran-pengeluaran tersebut dipergunakan untuk biaya tiket, transportasi, makan minum, pendamping, dokumentasi dan biaya menggunakan atraksi khusus (khusus TWA). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa
estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke yang
berlokasi
di
di
TWA
adalah
Rp.1.605.848.181/
tahun
atau
Rp.
16.087.439/ha/tahun. Sedangkan untuk objek wisata Tol Sedyatmo adalah Rp. 1.493.200.000 atau Rp. 15.635.602 /ha/tahun. Dengan demikian estimasi nilai ekonomi total kawasan hutan mangrove Muara Angke dari pemanfaatan wisata adalah Rp. 3.099.048.181/tahun, atau Rp. 31.723.041/ha/th. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat Lampiran 6.
157 e.
Pendidikan dan Penelitian Kawasan hutan mangrove Muara Angke yang dimanfaatkan untuk
pendidikian dan penelitian berlokasi di Suaka Margasatwa (SM) Muara Angke. Metode yang dipergunakan untuk menduga estimasi nilai ekonomi manfaat kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai tempat pendidikan dan penelitian adalah Travel Cost Method (TCM). Jumlah pengunjung SM Muara Angke pada tahun 2011 adalah 2.735 orang. Dari jumlah pengunjung tersebut, 99% berasal dari Jabotabek, sedangkan sisanya berasal dari Jawa Tengah. Biaya untuk tiket masuk adalah Rp. 3000 per orang/kunjungan, biaya makan dan minum rata-rata Rp. 15.000 dan biaya transportasi yang diperlukan rata-rata Rp. 15.000 untuk pengunjung dari Jakarta, Rp. 20.000 untuk pengunjung dari Tangerang, Rp. 25.000 untuk pengunjung dari Bekasi/Depok, Rp. 35.000 untuki pengunjung dari Bogor dan Rp. 400.000 untuk pengunjung yang berasal dari Jawa Tengah. Berdasarkan data tersebut diperoleh estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke dari pemanfaatan pendidikan dan penelitian sebesar Rp. 120.891.250/tahun atau 4.831.785/ha/tahun.
f.
Pemanfaatan untuk Tambak Disamping kawasan hutan mangrove Muara Angke (327,7 ha) juga
terdapat kawasan tambak yang dimanfaatkan sebagai areal budidaya ikan bandeng dengan hasil ikutan udang alam. Luas tambak yang di kelola oleh BRKP DKP adalah 57,3 ha dengan jumlah pemilik/pengelola sebanyak 20 orang, sedangkan luas tambak yang dikelola masyarakat (tambak rakyat) berjumlah 93 ha dengan jumlah pemilik/pengelola sebanyak 45 orang. Metode untuk menghitung estimasi nilai ekonomi hutan mangrove Muara angke untuk pemanfaatan tambak adalah metode pasar aktual. Dengan demikian, estimasi nilai ekonomi dihitung dengan cara mengalikan keuntungan bersih dari budidaya tambak/ha dengan luasan kawasan hutan mangrove Muara Angke yang dijadikan sebagai lahan tambak. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan tersebut adalah periode panen sebanyak 3 kali per tahun, produksi rata-rata bandeng pertahun 458,4 ton untuk tambak DKP dan 744 ton/tahun untuk tambak milik rakyat. Produksi rata-rata udang alam dari tambak DKP adalah 111,45 ton/tahun, sedangkan dari tambak
158 rakyat sebanyak 180,89 ton. Harga rata-rata bandeng adalah Rp. 15.000/kg dan harga rata-rata udang adalah Rp. 50.000/kg. Biaya investasi Rp. 114.666.667/ha dan biaya operasional Rp. 71.920.000/ha/tahun. Berdasarkan asumsi tersebut diperoleh estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai tempat
tambak
sebesar
Rp.
5.541.196.500
untuk
tambak
DKP
dan
Rp. 8.993.565.000 untuk tambak milik rakyat. Dengan demikian estimasi nilai total dari hutan mangrove Muara Angke dari pemanfaatan sebagai lokasi tambak adalah Rp. 14.534.761.500.
5.3.2
Indirect Use Value (Nilai Manfaat Tidak Langsung) Manfaat tidak langsung dari hutan mangrove adalah manfaat yang tidak
secara langsung dapat memberikan manfaat dalam bentuk uang atau pemenuhan kebutuhan manusia. Manfaat tidak langsung dari hutan mangrove Muara Angke yang diukur atau di nilai manfaat ekonominya adalah: manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi, penahan intrusi air laut, penyerap karbondioksida, penjerap (filter) limbah, penyedia unsur hara, spawning dan nursery ground, juga manfaat hutan mangrove sebagai penghasil oksigen. Berdasarkan hasil perhitungan estimasi nilai ekonomi manfaat tidak langsung untuk manfaatmanfaat diatas diperoleh nilai sebesar Rp. 79.732.453.719 per tahun. Rekapitulasi estimasi nilai ekonomi untuk masing-masing manfaat tidak langsung yang dihasilkan oleh hutan mangrove Muara Angke disajikan pada Tabel 48-56. Berikut ini adalah penjelasan tentang estimasi nilai ekonomi dari manfaat tidak langsung kawasan hutan mangrove Muara Angke secara terperinci.
a.
Estimasi Nilai Ekonomi Kawasan Mangrove Muara Angke Sebagai Penahan Abrasi Kawasan hutan mangrove Muara Angke yang mempunyai nilai manfaat
sebagai penahan abrasi berada di lokasi Hutan Lindung Angke, Suaka Margasatwa, TWA dan Cengkareng Drain. Metode yang dipergunakan untuk menduga nilai ekonomi dari manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi adalah replacement cost (biaya pengganti) berupa biaya pembangunan beton/tembok penahan gelombang yang setara dengan fungsi mangrove sebagai penahan abrasi. Berdasarkan standar biaya pembuatan tembok pemecah
159 gelombang yang bersumber dari Sub Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Utara tahun 2011, biaya pembuatan tembok penahan gelombang adalah Rp. 1.460.000/ meter, biaya pemeliharaan Rp. 1 Milyar/km dan biaya operasional Rp. 500. Juta/tahun. Berdasarkan hasil pengukuran, panjang garis pantai/sungai yang ditumbuhi mangrove di hutan lindung adalah sepanjang 5 km, di TWA sepanjang 2 km, di Suaka Margasatwa sepanjang 1 km dan di Cengkareng Drain sepanjang 3 km. Dengan demikian, total nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke setara dengan biaya pembangunan, biaya pemeliharaan dan biaya operasional tembok pemecah gelombang sepanjang 11 km. Asumsi umur pakai tembok penahan gelombang yang digunakan adalah 20 tahun. Dengan perhitungan tersebut diperoleh estimasi nilai ekonomi hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp. 4.959.000.000/ tahun. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 48. Sedangkan perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 7. Tabel 48 Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penahan abrasi Komponen Luas (ha) Nilai Ekonomi Rp/th Rp/ha/th
b.
Hutan Lindung 44,76
Suaka Margasatwa 25,02
1.845.000.000 73.800.000
769.000.000 38.450.000
99,82
Cengkareng Drain 28,39
1.038.000.000 25.950.000
1.307.000.000 48.407.407
TWA
Total
4.959.000.000 186.607.407
Estimasi Nilai Ekonomi Kawasan Mangrove Muara Angke Sebagai Penahan Intrusi Air Laut Salah satu fungsi dari hutan mangrove adalah menekan laju intrusi air laut,
sehingga kerusakan hutan mangrove merupakan salah satu penyebab masuknya air laut ke dalam akuifer sehingga air tawar menjadi payau atau asin. Hal ini berdampak pada menurunnya konsumsi air tanah, dan kebutuhan air masyarakat di subsitusi dengan cara membeli air dari penjual air keliling. Berdasarkan data neraca air Jakarta tahun 2005, sumber air utama masyarakat adalah air tanah (46%) dan sisanya berasal dari PDAM. Kebutuhan rata-rata air bersih di wilayah Jakarta adalah 150 liter/orang/hari. Untuk menghitung estimasi nilai ekonomi hutan mangrove Muara Angke dalam mencegah/mengurangi intrusi air laut digunakan metode perubahan konsumsi air masyarakat. Dengan kata lain, berapa
160 biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membeli air, akibat dari intrusi air laut yang terjadi. Perhitungan nilai ekonomi manfaat hutan mangrove sebagai penahan intrusi air laut mencakup wilayah yang terpengaruh, yaitu Kecamatan Penjaringan, Cengkareng dan Kalideres. Berdasarkan data BPS tahun 2010, jumlah penduduk di ketiga wilayah tersebut adalah 655.476 jiwa terdiri dari 184.738 Kepala Keluarga (KK). Asumsi yang digunakan dalam perhitungan adalah: Skenario penurunan konsumsi air tanah memakai dua asumsi, yaitu penurunan sebesar 5% (rendah) dan tinggi (15%), harga air Rp.1000/derigen (20 liter), dan kemampuan mangrove dalam mengurangi intrusi air laut sama (tanpa memperhitungkan kerapatan). Berdasarkan asumsi tersebut diperoleh estimasi nilai ekonomi total manfaat kawasan hutan mangrove sebagai pencegah intrusi air laut sebesar Rp. 61.905.643.208/tahun atau Rp. 188.909.500/ha/th. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 49. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 8.
Tabel 49 Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penahan intrusi
23,7
Cengkareng draine 28,39
8.455.589.228 4.726.515.694 18.040.857.267 18.856.946.308 1.985.438.847 4.477.155.154 188.909.500 188.909.500 188.909.500 188.909.500 188.909.500 188.909.500
5.363.140.710 188.909.500
Komponen Hutan lindung Luas (ha) Nilai Ekonomi Rp/th Rp/ha/th Total Rp/th Total Rp/ha/th
c.
44,76
Suaka Margasatwa 25,02
Tol Sedyatmo 95,5
TWA
Arboretum
99,82
10,51
PLN
61.905.643.208 188.909.500
Estimasi Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke Sebagai Penyerap Karbon Estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke di hitung
dengan menggunakan metode transfer benefit. Asumsi yang digunakan adalah potensi mangrove di lokasi-lokasi kawasan hutan mangrove
Muara Angke
sebesar 20% dari potensi karbon di hutan mangrove Batu Ampar Kalimantan Tengah, kecuali di lokasi TWA hanya 5% dari potensi karbon hutan mangrove di Batu Ampar. Potensi karbon di hutan mangrove Batu Ampar adalah 82,3 ton/ha,
161 asumsi potenisi harga karbon ditingkat Internasional sebesar US$ 15 ton, nilai tukar Rp. 9400/1US$. Daur pengelolaan dihitung selama 20 tahun. Estimasi nilai ekonomi penyerapan karbon dihitung dengan cara mengalikan potensi serapan karbon per tahun dengan harga karbon. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh estimasi nilai ekonomi hutan mangrove Muara Angke dalam menyerap karbon sebesar Rp. 29.339.723/tahun atau Rp. 727.000/ha/tahun. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 50. Perhitungan secara terpeerinci bisa dilihat pada Lampiran 9.
Tabel 50 Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penyerap karbon Komponen Luas (ha) Nilai Ekonomi Rp/th Rp/ha/th
d.
Hutan lindung 44,76
5.194.085 116.043
Suaka Margasatwa 25,02
Tol Sedyatmo 95,5
TWA 99,82
Arboretum PLN 10,51
23,7
2.903.396 11.082.107 2.895.853 1.219.612 2.750.219 116.043 116.043 29.011 116.043 116.043
Cengkareng Total draine 28,39 327,7
3.294.461 116.043
29.339.732 727.000
Estimasi Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke Sebagai Penjerap Limbah Hutan mangrove yang terjaga dengan baik memiliki kemampuan yang
tinggi dalam menjerap atau sebagai filter polutan atau limbah yang berasal dari berbagai aktivitas industri/manusia. Rusaknya hutan mangrove akan berdampak pada menurunnya peran tersebut, sehingga akan menyebabkan peningkatan akumulasi limbah/zat pencemar di laut yang menyebabkan menurunnya kualitas perairan. Menurunnya kualitas perairan akan berdampak negatif terhadap kelangsungan budidaya perairan, salah satunya budidaya kerang hijau. Beberapa kajian ilmiah menyebutkan bahwa kerang hijau di Perairan Jakarta telah tercemar oleh logam berat, sehingga produktivitasnya berkurang dan bahkan berbahaya untuk dikonsumsi. Berdasarkan fakta tersebut, maka estimasi nilai manfaat ekonomi mangrove sebagai penjerap karbon akan dihitung dengan menggunakan pendekatan perubahan produktivitas kerang hijau di Perairan Jakarta. Pengepul kerang hijau tersebar di daerah Angke, Cilincing, Kalibaru dan Dadap. Jumlah produksi kerang hijau dihitung berdasarkan jumlah kerang yang dikumpulkan
162 oleh para pengepul, dengan asumsi bahwa kerang tersebut berasal dari baganbagan yang ada disekitar kawasan hutan mangrove Muara Angke. Jumlah pengepul nyang diwawancarai sebanyak 30 orang, dengan produksi 155 kg/hari untuk pengepul kecil dan 1,2 ton/hari untuk pengepul besar. Biaya untuk memproduksi berupa biaya perebusan, pengupasan, kayu, es dan tawas sebesar Rp. 4.167/kg, sedangkan harga jual Rp.15.000/kg. Dengan adanya limbah diasumsikan bahwa produksi kerang hijau berkurang 85% dan terjadi selama 2 kali per bulan. Estimasi nilai ekonomi mangrove sebagai penjerap limbah diperoleh dengan cara mengalikan penurunan produksikerang hijau akibat limbah dengan harga jual kerang hijau setelah dikurangi dengan biaya produksi. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh estimasi nilai ekonomi hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp. 3.798.873.064 per tahun. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 51. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 10.
Tabel 51 Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penjerap limbah Komponen
Hutan lindung 44,76
Luas (ha) Nilai Ekonomi Rp/th 518.881.777 Rp/ha/th 11.592.533
e.
Suaka Margasatwa 25,02
290.045.176 11.592.533
Tol Sedyatmo 95,5
TWA 99,82
1.107.086.902 1.157.166.644 11.592.533 11.592.533
23,7
Cengkareng draine 28,39
121.837.522 274.743.032 11.592.533 11.592.533
329.112.012 11.592.533
Arboretum 10,51
PLN
Estimasi Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke Sebagai Penyedia Unsur Hara Salah satu fungsi dari hutan mangrove adalah menyediakan unsur hara
(nutrisi) yang berguna bagi stabilitas siklus makanan di perairan sekitarnya. Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove sebagai penyedia unsur hara dilakukan dengan pendekatan biaya pengganti. Biaya pengganti yang digunakan adalah biaya pengganti untuk membeli pupuk yang setara dengan unsur Nitrogen dan Phospor yang terkandung di dalam mangrove. Hasil kajian Soekarjo (1995) menyebutkan bahwa guguran serasah di kawasan mangrove Muara Angke sebesar 13,08 ton/ha/th, yang setara dengan nilai Phospor 2 kg/ha/tahun dan Nitrogen 148 kg/ha/tahun. Nilai manfaat ekonomi penyedia unsur hara dihitung dalam bentuk
Total 327,7
3.798.873.064
163 urea dan pupuk Sp-36. Faktor konversi yang unsur Nitrogen menjadi Pupuk Urea sebesar 2,221714, sedangkan faktor konversi Phospor menjadi Pupuk SP-36 sebesar 2,776949. Harga non subsidi Pupuk Urea diasumsikan Rp. 4.000/kg sedangkan harga Pupuk SP-36 diasumsikan Rp. 3.750/kg. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh estimasi nilai ekonomi hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp. 491.710.245 per tahun. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 52. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 11.
Tabel 52 Estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai penyedia unsur hara Komponen Hutan Suaka lindung Margasatwa Luas (ha) 44,76 25,02 Nilai Ekonomi Rp/th 67.161.888 37.542.235 Rp/ha/th
f.
Tol Sedyatmo 95,5
TWA 99,82
Arboretu m 10,51
PLN 23,7
143.296.700 149.778.812 15.770.139 35.561.589
Cengkareng draine 28,39
42.598.883
Estimasi Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke Sebagai Tempat Pemijahan dan Asuhan Estimasi nilai ekonomi mangrove sebagai daerah pemijahan dan asuhan
menggunakan metode atau pendekatan biaya pengganti, yaitu dihitung berdasarkan nilai pembuatan dan pemeliharaan budidaya perikanan tambak. Asumsi-asumsi yang digunakan adalah bahwa tambak seluas 1 hektar memiliki fungsi pemijahan dan asuhan biota laut yang setara nilainya dengan 1 hektar lahan hutan mangrove. Biaya pembuatan dan pemeliharaan tambak sebesar Rp. 31,4 juta mencakup biaya perbaikan tambak, pembangunan pintu air, pembuatan rumah jaga dan biaya peralatan budidaya. Pembuatan 1 hektar tambak di hutan mangrove akan menghasilkan 287 kg ikan atau udang, namun hilangnya 1 hektar mangrove menyebabkan kerugian 480 kg ikan atau udang/tahun. Berdasarkan asumsi yang dibangun tersebut, diperoleh estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai tempat pemijahan dan asuhan sebesar Rp. 12.276.761.822/tahun. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 53. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 12.
Total 327,7
491.710.245
164 Tabel 53 Komponen
Estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai tempat pemijahan
Hutan lindung 44,76
Luas (ha) Nilai Ekonomi Rp/th 1.676.862.439 Rp/ha/th 37.463.415
g.
Suaka Margasatwa 25,02
Tol Sedyatmo 95,5
TWA
Arboretum
99,82
10,51
937.334.659 3.577.756.289 3.739.598.348 37.463.416 37.463.417 37.463.418
393.740.530 37.463.419
PLN 23,7
Cengkareng draine 28,39
Total 327,7
887.883.045 1.063.586.512 12.276.761.822 37.463.420 37.463.421
Estimasi Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke Sebagai Penghasil Oksigen Metode yang dipergunakan untuk menghitung nilai ekonomi mangrove
sebagai penghasil oksigen adalah metode transfer benefit Estimasi nilai ekonomi mangrove sebagai penghasil oksigen didekati dengan potensi oksigen yang diproduksi mangrove melalui proses fotosintesis. Pendugaan potensi oksigen didekati melalui persamaan kimia fotosintesis, berdasarkan pada potensi kandungan karbon mangrove. Harga Oksigen didekati dengan harga oksigen untuk membantu pernafasan pasien yang sakit yaitu sebesar Rp. 85.000/m 3. Potensi mangrove dalam menghasilkan Oksigen adalah 0,499 m 3/ha/tahun. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, diperoleh estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp. 10.723.977/tahun. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 54. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 13.
Tabel 54 Estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai penghasil oksigen Komponen Luas (ha) Nilai Ekonomi Rp/th Rp/ha/th
5.3.3
Hutan lindung 44,76
Suaka Margasatwa 25,02
1.898.495 42.415
1.061.223 42.415
Tol Sedyatmo 95,5
TWA 99,82
4.050.633 1.058.466 42.415 10.604
Arboretum 10,51
PLN 23,7
445.782 1.005.236 42.415 42.415
Cengkareng draine 28,39
Total 327,7
1.204.162 10.723.997 42.415
Nilai Pilihan Hutan Mangrove Muara Angke Jakarta Manfaat pilihan hutan mangrove Muara Angke di dekati dengan
menggunakan manfaat nilai keanekaragaman hayati (biodiversity). Asumsi yang digunakan adalah hasil kajian Ruitenbeek (1992) yang menyebutkan bahwa nilai biodiversitas hutan mangrove adalah US$ 1.500/km 2 atau sekitar US$ 15/ha.
165 Dengan asumsi kurs dolar yang digunakan adalah Rp.9400/1 US$, diperoleh estimasi nilai manfaat pilihan dari hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp. 46.205.700 per tahun.
Data selengkapnya disajikan pada Tabel 55.
Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 14.
Tabel 55 Nilai ekonomi manfaat pilihan hutan mangrove Muara Angke Komponen Luas (ha) Nilai Ekonomi Rp/th Rp/ha/th
5.3.4
Hutan Suaka lindung Margasatwa 44,76 25,02
6.311.160 141.000
Tol Sedyatmo 95,5
TWA
Arboretum
PLN
99,82
10,51
23,7
3.527.820 13.465.500 14.074.620 141.000 141.000 141.000
1.481.910 141.000
3.341.700 141.000
Cengkareng draine 28,39
Total 327,7
4.002.990 46.205.700 141.000
Manfaat Pewarisan Hutan Mangrove Muara Angke Nilai pewarisan adalah nilai yang didasarkan pada suatu keinginan
individu atau masyarakat untuk mewariskan kewasan konservasi kepada generasi yang akan datang. Bagi kawasan hutan mangrove Muara Angke nilai warisan adalah korbanan yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini untuk menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove Muara Angke agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi yang akan datang. Nilai pewarisan dari suatu kawasan hutan, dapat diestimasi dari jumlah bibit bakau yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian Suryono (2006), jumlah bibit yang dapat dihasilkan dari hutan mangrove Muara Angke pada lokasi hutan lindung seluas 44,76 ha adalah 10.000 bibit per tahun. Dengan asumsi bahwa jumlah bibit yang dihasilkan di semua lokasi sama dengan jumlah bibit yang dihasilkan oleh hutan lindung, dan harga bibit mangrove dengan kisaran ± Rp.3.500/ batang, maka diperoleh estimasi nilai ekonomi manfaat pewarisan kawasan hutan mangrove Muara Angke sebesar Rp. 35.000.000 per tahun. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 56. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 15. Tabel 56 Estimasi nilai ekonomi manfaat pewarisan hutan mangrove Muara Angke Komponen Hutan Suaka Tol TWA lindung Margasatwa Sedyatmo Luas (ha) 44,76 25,02 95,5 99,82 Nilai Ekonomi Rp/th 4.780.592 2.672.261 10.199.878 10.661.276 Rp/ha/th 106.805 106.805 106.805 106.805
Arboretum
PLN
10,51
23,7
Cengkareng draine 28,39
1.122.521 106.805
2.531.279 106.805
3.032.194 106.805
Total 327,7
35.000.000
166 5.3.5
Estimasi Nilai Ekonomi Manfaat Keberadaan Hutan Mangrove Muara Angke Nilai keberadaan adalah nilai yang bukan dihasilkan dari institusi pasar
dan tidak ada kaitannya dengan fungsi perlindungan asset produktif atau proses produksi secara langsung maupun tidak langsung. Nilai keberadaan kawasan hutan mangrove Muara Angke adalah nilai yang diberikan masyarakat baik itu penduduk setempat maupun pengunjung terhadap kawasan tersebut atas manfaat spiritual, estetika dan kultural. Estimasi nilai keberadaan dari hutan mangrove Muara Angke di dasarkan pada penelitian Suryono (2006), dimana berdaarkan penelitian tersebut, didapatkan hasil estimasi nilai ekonomi dari keberadaan hutan mangrove
Muara
Angke
sebesar
Rp.
791.311.418,20/tahun
atau
4.393.489/ha/tahun. Perhitungan secara terperinci bisa dilihat pada Lampiran 16.
5.4
Pembahasan Nilai Ekonomi Total Kawasan Mangrove Muara Angke Nilai manfaat total hutan mangrove Muara Angke adalah merupakan
penjumlahan nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, nilai pilihan, nilai pewarisan dan nilai keberadaaan. Perhitungan jumlah nilai manfaat total didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Antara nilai-nilai tersebut tidak terdapat saling tumpang tindih (duplikasi penilaian) 2. Masing-masing nilai bersifat non rivalry terhadap nilai lain sehingga penilaian terhadap suatu nilai tidak mempengaruhi (menambah atau mengurangi nilai yang lain 3. Terhadap sebagian kawasan atau seluruh kawasan tersebut tidak dilakukan konversi yang menyebabkan perubahan secra signifikan. Berdasarkan seluruh penjumlahan terhadap nilai dari seluruh manfaat yang terdapat pada hutan mangrove Muara Angke diperoleh estimasi nilai manfaat total sebesar Rp 100.009.463.994 data selengkapnya disajikan pada Tabel 55. Memperhatikan nilai manfaat total kawasan mangrove Muara Angke, terlihat bahwa nilai manfaat tidak langsung (80,03 %) jauh lebih besar dibandingkan nilai manfaat langsung (19,20 %). Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Santoso,N (2008) di kawasan hutan mangrove Batu Ampar Kalimantan Barat yang menunjukkan bahwa nilai manfaat langsung (47 %) dan
167 nilai manfaat tidak langsung (39 %) dari nilai ekonomi total kawasan mangrove, maka terlihat bahwa nilai ekonomi kawasan mangrove Muara Angke mendominasi dari komponen nilai ekonomi total. Hal ini terjadi karena kondisi hutan mangrove Batu Ampar masih memiliki potensi kayu yang cukup tinggi dan masyarakat sekitar membutuhkan nilai manfaat langsung tersebut (kayu, ikan). Sedangkan kondisi hutan mangrove Muara Angke DKI Jakarta telah mengalami degradasi, potensi kayu rendah dan tidak dapat dimanfaatkan, serta kondisi lingkungan dan masyarakat lebih memerlukan manfaat tidak langsung dari keberadaan kawasan mangrove Muara Angke.
Tabel 57 Estimasi nilai total hutan mangrove Muara Angke (478 ha) No
Nilai Rp/ha/th 58.294.953 244.228.535 141.000 106.805 2.414.743 305.186.036
Manfaat
1 2 3 4 5 6
Manfaat langsung Manfaat tidak langsung Nilai pilihan Manfaat pewarisan Manfaat keberadaan Total
5.5
Persentase
Rp/tahun 19.103.256.000 80.033.690.876 46.205.700 35.000.000 791.311.418,2 100.009.463.994
19,10 80,03 0,05 0,03 0,79 100
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke adalah sebesar Rp. 100.009.463.994,-. Nilai ini diperoleh dari nilai manfaat langsung pemanfaatan ikan, cacing, wisata alam), nilai manfaat tidak langsung (penahan
abrasi,
penahan
interusi,
penghasil
oksigen,
pengurai
danpenjerap polutan, tempat mencari makan/memijah/daerah asuhan), nilai manfaat pilihan, nilai manfaat pewarisan dan nilai manfaat keberadaan. 2. Kebijakan
pemanfaatan
kawasan
mangrove
Muara
Angke
perlu
mempertimbangkan nilai ekonomi total kawasan mangrove. Dalam mewujudkan
pegelolaan
mangrove
Muara
Angke
Berkelanjutan,
pemerintah DKI Jakarta perlu tetap menetapkan status kawasan mangrove sebagai Kawasan Hijau Lindung.
168
6
6.1
KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE
Pendahuluan Kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara
Angke secara
berkelanjutan diperlukan mengingat kedudukan Jakarta sebagai pintu gerbang internasional bagi Indonesia, serta merupakan ekosistem mangrove yang memiliki fungsi dan manfaat penting bagi penyangga kehidupan wilayah pesisir, serta nilai keberadaan ekosistem mangrove yang dibutuhkan bagi masyarakat sekitarnya. Kawasan mangrove Muara Angke yang masih tersisa saat ini sekitar 478 ha yang terdiri atas kawasan hutan atau tanah negara (hutan lindung, hutan wisata, arboretum atau kebun benih, lahan dengan tujuan istimewa, transmisi PLN, dan suaka margasatwa) seluas 327,7 ha dan lahan tambak milik masyarakat 93,0 ha, dan lahan tambak penelitian KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) 57,3 ha. Kawasan hutan lindung (44,76 ha) dan Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI) yang terdiri atas: (1) Kebun pembibitan 10,51 ha, (2) Lahan transmisi PLN 23,07 ha, (3) Cengkareng Drain 28,93 ha, dan (4) Jalan tol dan jalur hijau 95,50 ha di bawah pengelolaan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. Sedangkan kawasan Hutan Wisata Kamal (99,82 ha) dan Suaka Margasatwa Muara Angke (25,02 ha) di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta. Khusus pengelolaan Hutan Wisata Kamal, sejak tahun 1994 telah diberikan ijin pemanfaatan wisata alam kepada PT. Murindra Karya Lestari dan sampai sekarang masih terus berjalan. Kondisi kawasan mangrove Muara Angke terus mengalami tekanan, baik yang berasal dari darat (pencemaran, perusakan, dan perambahan) dan dari laut (abrasi dan pencemaran). Indikasi peningkatan tekanan terhadap ekosistem mangrove Muara Angke adalah meningkatnya kandungan logam berat, detergen, banjir akibat air pasang (rob), salinitas air yang mendekati air tawar pada beberapa lokasi, dan penurunan keanekaragaman hayati. Kondisi
sosial
ekonomi
masyarakat
di
wilayah
pesisir
juga
memprihatinkan, dikarenakan lahan untuk bermukim dan bekerja terbatas. Pertumbuhan penduduk meningkat dan telah mencapai tingkat kepadatan
169
penduduk yang tinggi (8.451 jiwa/km2). Sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke adalah pendatang yang bermukim secara berkelompok dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah, terkecuali yang bermukim pada perumahan elit (Pantai Indah Kapuk). Pada umumnya penduduk bekerja sebagai buruh, pedagang informal, jasa angkutan, dan pegawai rendahan. Tingginya tingkat perputaran uang dan aktivitas ekonomi serta luasnya skala pelayanan aktivitas ekonomi ternyata belum mampu meningkatkan tingkat sosial ekonomi masyarakat setempat sehingga pada akhirnya dapat berpengaruh pada kondisi sosial masyarakat. Di lain pihak, kawasan mangrove Muara Angke semakin menarik bagi pertumbuhan pemukiman modern, bisnis, tempat wisata alam dan rekreasi, sehingga berlangsung usaha-usaha reklamasi pantai yang apabila tidak dilaksanakan dengan hati-hati, dapat mengancam keberlanjutan ekosistem mangrove. Sebagai upaya untuk mendapatkan solusi optimal terhadap dampak yang ditimbulkan maka perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep tersebut perlu diterapkan dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, agar pelaksanaan program pengelolaan pada masa mendatang dapat terjamin keberlanjutannya. Dalam kerangka pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke-Jakarta yang berkelanjutan, maka kriteria-kriteria keberlanjutan perlu diperhatikan yaitu kawasan yang berkelanjutan seharusnya tidak menggunakan sumberdaya lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk melakukan subtitusi, tidak menghasilkan polusi lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk menetralisir secara alami, terjadi peningkatan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi kesenjangan dan potensi konflik, serta melibatkan patisipasi semua stakeholder. Penelitian ini dilakukan analisis untuk menilai keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Untuk keperluan tersebut dilakukan analisis terhadap kawasan mangrove Muara Angke dengan menggunakan model multi dimensional scalling (MDS). Dalam model multi dimensional scalling dimaksud, penilaian dilakukan terhadap outcome dari pelaksanaana kebijakan dan bukan
170
output pelaksanaan kebijakan (Fauzi dan Anna 2005). Sehingga untuk mengevaluasi outcome dari kinerja kebijakan memerlukan waktu sedikitnya 5 tahun khususnya yang terkait dengan aspek lingkungan hidup dan sosial. Nilai indeks keberlanjutan pada penelitian ni diperoleh dari penilaian terhadap semua atribut yang tercakup dalam lima dimensi (ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi).
6.2
Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Muara Angke Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholders dan pakar disepakati 51
atribut yang tersebar dalam lima dimensi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Penilaian status keberlanjutan didasarkan pada ke-51 atribut tersebut melalui data dan pendapat stakeholder.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum berkelanjutan. Dari lima dimensi yang dianalisis untuk menentukan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta, menunjukkan bahwa semua dimensi atau lima dimensi tergolong tidak berkelanjutan (skor < 75) yakni dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan dimensi teknologi. Dimensi ekologi dengan 11 atribut memiliki skor 45,5 tergolong tidak berkelanjutan. Teridentifikasi adanya beberapa kondisi sebagai berikut: (1). Tingkat pencemaran air yang semakin meningkat atau menurunya kualitas air pada kawasan mangrove dan perairan sekitarnya. Kandungan logam berat (Hg, Pb, dan Cr) pada badan air Sungai Angke, Cengkareng Drain, Sungai Tanjungan, dan Sungai Kamal telah melebihi baku mutu kualitas air. Kondisi logam berat yang melebihi baku mutu kualitas air bukan merupakan faktor yang mematikan bagi pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove, namun dalam jangka panjang akan membahayakan bagi kehidupan biota air dan manusia yang mengkonsumsinya (2). Pencemaran limbah padat (sampah rumah tangga dan industri) yang dibuang melalui Sungai Angke, Cengkareng Drain, dan Sungai Kamal telah menimbulkan sedimentasi (tumpukan sampah) yang dapat mengganggu pertumbuhan komunitas mangrove melalui penutupan akar nafas oleh sampah plastik dan sampah rumah tangga lainnya. Di samping itu penumpukan
171
sampah di sepanjang pantai, lantai hutan dan pinggir sungai dapat menghambat terjadinya regenerasi komunitas mangrove (3). Pemanfaatan sumberdaya mangrove yang tidak bertanggung jawab sampai sekarang masih terjadi, yakni: penebangan kayu, pembuangan cangkang kerang hijau pada kawasan mangrove, pemanfaatan sebagian lahan untuk parkir perahu, perbaikan kapal juga menjadi indikasi bahwa tekanan terhadap keberadaan ekosistem mangrove semakin meningkat (4). Rencana reklamasi Teluk Jakarta untuk kawasan perkantoran atau bisnis juga dinilai merupakan ancaman bagi keberlanjutan kawasan mangrove Muara Angke. Demikian rencana pembangunan Jalan Rel Kereta Api dari stasiun Manggarai-Bandara Soekarno Hatta dapat memberikan pengaruh ekologi terhadap kondisi ekosistem mangrove (5). Dampak pemanasan global (Global Warming) telah dirasakan dengan semakin meningkatnya intensitas kejadian banjir air pasang (rob) dan semakin tingginya genangan pada beberapa lokasi, serta interusi air laut yang semakin menuju daerah hulu. Dimensi ekonomi dengan 12 atribut memiliki skor 58,0 tergolong tidak berkelanjutan. Hal ini diindikasikan masih kurangnya anggaran pemerintah, belum dimanfaatkan potensi dana CSR secara optimal, serta aksesibilitas menuju kawasan mangrove masih baik. Dibangunnya kawasan Pantai Indah Kapuk beserta fasilitas pendukungnya (lapangan golf, Fresh Market, restoran, rumah sakit, dan perkantoran) telah mendorong masyarakat sekitar dan pendatang untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja dan memanfaatkan peluang berusaha yang tersedia. Namun demikian keberadaan kawasan mangrove belum dijadikan aset yang dapat memberikan nilai tambah dalam pembangunan perumahan Pantai Indah Kapuk dan lebih diposisikan sebagai faktor penghambat atau kelemahan (gangguan satwaliar, adanya binatang buas, dan tempat yang kotor dan bau). Dimensi sosial dengan 10 atribut memiliki skor 55,1 tergolong tidak berkelanjutan. Hal ini dikarenakan masih rendahnya partisipasi pengelolaan masyarakat, kesadaran masyarakat masih kurang dan potensi perhatian peneliti belum dimanfaatkan. Walaupun jumlah petani kerang hijau sangat banyak, namun
172
kesadaran memahami manfaat dan fungsi mangrove dalam mendukung budidaya kerang hijau masih kurang. Demikian pula tingkat pendidikan masyarakat setempat mayoritas SLTP dan SLTA, frekuensi pertemuan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan kawasan mangrove masih rendah, dan dukungan serta kesadaran masyarakat meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove masih kurang. Masyarakat sekitar (Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Kapuk Muara) pada umumnya berpatisipasi dalam kegiatan penanaman dan pertemuan kalau terdapat dana transportasi atau upah. Budaya kota metropolitan telah mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat untuk selalu mengukur segala aktivitas dengan materi atau harus ada imbalan. Hal ini menjadi faktor penghambat dalam meningkatkan kapasitas pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan. Dimensi kelembagaan dengan 9 atribut memiliki skor 41,8 tergolong tidak berkelanjutan dan merupakan dimensi dengan skor paling rendah. Hal ini dikarenakan kondisi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih sendirisendiri atau belum sinergis di antara para pihak yang terkait dengan pengelolaan kawaan mangrove. Pada kawasan mangrove 478 ha terdapat 7 (tujuh) pihak yang terkait langsung dalam pengelolaan, yaitu: (1) Dinas Kelautan dan Pertanian, (2) Balai Konservasi Sumberdaya Alam, (3) PT. Murindra Karya Lestari, (4) Litbang Kementrian Kelautan dan Perikanan, (5) Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, (6) PT. Kapuk Naga Indah dan Group, dan (7) masyarakat pemilik lahan tambak. Masing-masing pihak memiliki rencana pengelolaan sendiri (Rencana Pengelolaan Hutan Lindung, LDTI, Suaka Margasatwa, dan Hutan Wisata) serta lahan Tambak Penelitian Kementrian Kelautan dan Perikanan. Posisi PT. Kapuk Naga Indah dan Group cukup penting dalam mewujudkan pengelolaan mangrove berkelanjutan karena memiliki tanggung jawab dalam revitalisasi Hutan Lindung dan dapat berperan dalam menunjang aksesibilitas kawasan, pengawasan, dan monitoring kawasan mangrove Muara Angke. Sedangkan otoritas pengelolaan lahan tambak milik masyarakat berada pada pemiliknya masing-masing dan tidak ada kaitan dengan pengelolaan kawasana mangrove di sekitarnya. Beberapa upaya untuk menyatukan rencana pengelolaan dan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum menunjukkan hasil,
173
sehingga hal ini yang menyebabkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum optimal. Beberapa faktor penyebab belum terwujudnya kesatuan pengelolaan tersebut adalah ego sektor masing-masing pihak, ketakutan kehilangan peran (bagi instansi pemerintah), meningkatnya beban biaya pengelolaan (bagi swasta), dan ketidakmandirian dalam mengelola lahan miliknya, serta menurunya hasil yang diperoleh. Dengan kata lain belum adanya kelembagaan pengelolaan yang menyatukan kawasan mangrove Muara Angke (478 ha) atau koordinasi pengelolaan yang masih lemah, sinergi program di antara pemangku kepentingan yang masih minim, serta belum menyatunya visi dan strategi pengelolaan mangrove di antara para pihak, telah mendorong tidak berkelanjutannya dimensi kelembagaan dalam pengelolaan mangrove Muara Angke. Dimensi teknologi dengan sembilan atribut memiliki skore 56,6 tergolong tidak berkelanjutan. Teridentifikasi belum memadainya penggunaan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya mangrove, belum memadainya teknologi penanggulangan abrasi, dan sedimentasi (pengurangan sampah dan pencemaran air). Walaupun teknologi rehabilitasi mangrove telah tersedia (teknik penanaman dengan sistem guludan pada genangan dalam, penanaman dengan sistem menggantung pada lumpur yang dalam, dan penanaman dengan bibit dan buah), namun teknologi ini belum mampu mengurangi ancaman yang dapat menekan faktor-faktor dan intensitas ancaman terhadap ekosistem mangrove Muara Angke. Demikian pula teknologi penanggulangan abrasi pantai sudah tersedia, namun belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini dikarenakan belum adanya keterpaduan program di antara pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku pengelolaan kawaan mangrove Muara Angke. Dalam hal status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke disajikan pada Gambar 26.
174
Ekonomi
Teknologi
100.0 80.0 60.0 40.0 56.6 20.0 45.5
Ekologi
58.0
Sosial 55.1 41.8
Kelembagaan
Gambar 26 Status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta. Berdasarkan analisis dari lima dimensi yang menentukan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, teridentifikasi bahwa ketidakberlanjutan pengelolaan lebih banyak dipengaruhi oleh lemahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan di antara sektor (lembaga) yang diserahi tanggung jawab pengelolaan, yaitu: Dinas Pertanian dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta, BPLHD (Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah) DKI Jakarta, dan Litbang Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Di
samping itu juga disebabkan oleh tingginya tekanan lingkungan yang berupa: abrasi dan sedimentasi, pencemaran limbah cair dan limbah padat (sampah), banjir pasang (rob), dan interusi air laut. Hal ini didukung oleh skor dimensi kelembagaan (41,8) dan dimensi ekologi (45,5) yang paling rendah di antara dimensi sosial, ekonomi, dan teknologi. Konversi kawasan hutan mangrove Muara Angke (831,63 ha) didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 097/Kpts-II/88 tanggal 9 Februari 1988 tentang Pelepasan Kawasan hutan Angke Kapuk seluas 831,63 ha di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang
175
ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Kebijakan konversi kawasan hutan yang prosesnya dimulai sejak tahun 1977 telah melibatkan Presiden, Gubernur, Menteri Penertiban Aparatur Negara, Dirjen Kehutanan atau Menteri Kehutanan, dan Swasta (PT. Mandara Permai). Pembangunan Kawasan Kapuk Angke digagas oleh Pemerintah DKI, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985 bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke Kapuk yang terbengkalai untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Perjanjian kerjasama pembangunan pengembangan tanah Kawasan Hutan Angke-Kapuk di DKI Jakarta, yang isinya antara lain: a.
Peruntukan lahan 50 % dari luas kawasan hutan (581,24 ha) dapat dikembangkan
b.
Kewajiban pihak PT. Mandara Permai untuk membayar biaya penyediaan prasarana (sebagai presentase dari luas yang akan dikembangkan 831,63 ha) yang menghubungkan kawasan dengan areal luarnya, sementara biaya pembangunan prasarana di dalam tapak seluruhnya menjadi beban dan tanggung jawab pihak PT. Mandara Permai (PT. Metropolitan Kencana Group). Di samping itu PT. Mandara Permai berkewajiban mengganti kawasan hutan (831,63 ha), dan telah dilakukan tukar menukar lahan seluas 1.654 ha yang terletak di Kepulauan Seribu (39 ha), Kec. Rumpin-Kab. Bogor (75 ha), Kec.Nagrek-Kab. Sukabumi (350 ha) dan di Kecamatan Sukanagara dan Campaka-Kab.Cianjur seluas 1.190 ha. Pasca konversi kawasan hutan mangrove Muara Angke yang menyisakan
327,7 ha kawasan hutan dan 150,3 ha lahan tambak, belum mampu merubah kondisi lingkungan hutan mangrove. Hal ini dapat dilihat dari kondisi hutan mangrove Muara Angke periode 1995-1998, yang ditunjukkan masih banyaknya lahan tambak dan kondisi hutan yang kurang terawat. Perubahan Undang-undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menjadi UndangUndang N.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mendorong peran pemerintah daerah dalam mengelola
176
kawasan hutan. Demikian pula kebijakan di Kehutanan (Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Kawasan Hutan) telah mendorong upaya pengelolaan hutan lebih intensif. Namun demikian terkait dengan kawasan hutan konservasi, kewenangan pengelolaan masih dipegang Pusat atau dikelola oleh Unit Pusat yang ada di daerah, seperti BKSDA. Oleh karena itu kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih berjalan masing-masing (Dinas Pertanian dan Kelautan, dan BKSDA
DKI
Jakarta),
dan
hal
inilah
yang
mempengaruhi
status
ketidakberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove. Parameter statistik digunakan untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke adalah nilai stress dan koefisien determinasi (r2). Kedua parameter ini untuk setiap dimensi berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut, sehingga dapat mencerminkan dimensi yang dikaji mendekati kondisi sebenarnya. Nilai stress dan r2 hasil analisis MDS disajikan pada Tabel 58.
Tabel 58
Hasil analisis MDS beberapa parameter statistik keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
Nilai Statistik Stress r
2
Jumlah Interaksi
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Kelembagaan
Teknologi
0,13
0,13
0,13
0,13
0,13
0,95
0,95
0,95
0,95
0,95
2
2
2
2
2
Berdasarkan Tabel 58, setiap dimensi maupun multidimensi memiliki nilai stress yang lebih kecil dari 0,25. Nilai tersebut menyatakan bahwa nilai stress pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai. Karena semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (r 2), kualitas hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1). Dengan demikian kedua parameter (nilai stress dan r2) menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke sudah cukup baik dalam menerangkan kelima dimensi
177
pengelolaan yang dianalisis (ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi). Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total maupun masingmasing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis yang berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis (EPA 1997). Mekanisme untuk mendapatkan solusi tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Analisis
Monte
Carlo
sangat
membantu
dalam
analisis
indeks
keberlanjutan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masing-masing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukan data atau ada data yang hilang, dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total (multi dimensi) maupun nilai indeks masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 59, dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke pada selang kepercayaan 95 % memberikan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis MDS. Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: (1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil, (2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, (3) proses analisis yang dilakukan secara berulangulang stabil, dan (4) kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari.
178
Tabel 59 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan dan masingmasing dimensi pengelolan kawasan mangrove Muara Angke Status Indeks
Hasil MDS
Hasil Monte Carlo
Perbedaan
Dimensi Ekologi
45,46
45,37
0,09
Dimensi Ekonomi
57,97
57,79
0,18
Dimensi Sosial
55,07
55,23
-0,16
Dimensi Kelembagaan
41,79
41,67
0,12
Dimensi Teknologi
56,62
56,52
0,10
Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada Tabel 59 menunjukkan bahwa analisis menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa metode yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara sistemik, cepat, objektif, dan terkuantifikasi keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove di suatu wilayah.
6.3
Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pengelolaan Mangrove Muara Angke
6.3.1
Dimensi Ekologi Pengelolaan dimensi ekologi kawasan mangrove Muara Angke perlu
dilakukan dengan memperhatikan atribut yang menjadi faktor pengungkit, guna efisiensi, dan efektivitas pengelolaan. Terdapat 11 (sebelas) atribut yang menentukan keberlanjutan dimensi ekologi kawasan mangrove Muara Angke dan empat di antaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (root mean square) dengan nilai di atas nilai tengah (>1,5). Atribut ekologi yang merupakan faktor pengungkit adalah abrasi pantai, pencemaran air, fungsi konservasi menurun, dan sedimentasi disajikan pada Gambar 28. Kondisi kawasan pesisir DKI Jakarta atau Kota Jakarta Utara dengan jumlah dan kepadatan penduduk tinggi (6.748 jiwa/km 2 - 23.529 jiwa/km2), keterbatasan lahan, dan laju pembangunan yang tinggi menyebabkan menurunnya daya dukung dan kualitas lingkungan. Sebagaimana pada kawasan mangrove Muara Angke, kualitas lingkungan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
179
Pada tahun 1936-1980 belum terjadi abrasi pantai, namun terjadi akresi pantai atau penambahan garis pantai 1 m/tahun. Namun sejak dibangunya jetti di sisi Barat Sungai Angke tahun 1980 telah mendorong terjadinya abrasi pantai 19 25 m/tahun. Berdasarkan survei lapang, responden yang mengalami gangguan abrasi adalah masyarakat nelayan di Kelurahan Kamal Muara (60 %), Penjaringan (36 %), Kapuk Muara (27 %), dan Kelurahan Pluit (25 %). Sedangkan gangguan berupa banjir pasang (rob) hampir > 90 % seluruh responden di lima kelurahan (Penjaringan, Tegal Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk Muara) mengalaminya, serta gangguan berupa interusi air laut yang tertinggi (100 % responden) terjadi di Kelurahan Penjaringan dan Kamal Muara. Berdasarkan kajian perubahan garis pantai terhadap Cita Satelit TM dan Foto Udara kawasan manrove Muara Angke, sejak tahun 1984 sampai 2010 telah terjadi abrasi pantai yang telah menyebabkan mundurnya garis pantai atau hilangnya lahan pantai seluas 59,09 ha. Lokasi abrasi pantai sebagian besar terjadi di sebelah barat muara Sungai Angke dan Cengkareng Drain, dan yang paling parah berada disekitar Kamal Muara. Kejadian akresi atau sedimentasi (penambahan daratan) terjadi pada beberapa lokasi, khususnya di di bagian barat muara Sungai Angke dan muara Cengkareng Drain yang telah menambah lahan daratan seluas 42,85 ha. Namun demikian fenomena abrasi dan akresi ini telah mengurangi lahan pantai (defisit) seluas 16,14 ha. Perubahan garis pantai kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai 2010 seperti pada Tabel 60 dan Gambar 27.
Tabel 60 Luas perubahan garis pantai kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai tahun 2010 No
Perubahan Garis Pantai (Ha)
Garis Pantai
Abrasi (Ha)
Akresi/Sedimentasi (Ha)
1
Tahun 1984-1989
26,00
-
2
Tahun 1989-1994
8,50
4,80
3
Tahun 1994-2001
13,70
18,21
4
Tahun 2001-2006
1,58
11,46
5
Tahun 2006-2010
9,31
8,38
Jumlah 59,09 Sumber : Data primer hasil analisis foto udara dan Citra Satelit (1984-2010)
42,85
180
Gambar 27 Perubahan garis pantai pada kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai tahun 2010. Terdapat 4 (empat) sungai yang mengalir menuju kawasan mangrove Muara Angke, yaitu: Sungai Angke (Kali Adem), Cengkareng Drain, Kali Tanjungan, dan Sungai Kamal. Sungai-sungai tersebut membawa bahan pencemar berupa limbah cair (limbah rumah tangga, industri, restoran, hotel, dan pabrik) dan limbah padat (mayoritas sampah rumah tangga) menuju kawasan Muara Angke. Produksi sampah Kota jakarta (tahun 2007) mencapai 6.000 ton/hari. Produsen sampah terbesar adalah rumah tangga (58 %), industri (15 %), jalan dan taman (15 %), PD Pasar Jaya (7,5 %), dan pasar temporer (5,5 %). Persentase sampah organik (65,05 %) dan sampah non organik (plastik, sterofom, dan besi) 34,95 % (Aquan H 1997). Pada tahun 2009, jumlah sampah DKI Jakarta 26.945 m3/hari dan diprediksi meningkat 5 % per tahun. Kondisi pengelolaan sampah masih belum optimal, dikarenakan penerapan 3R di sumber atau lokasi penghasil sampah belum optimal. Masih bercampurnya sampah dengan limbah B3 rumah tangga, tingkat pengangkutan yang baru mencapai 91,51 % dan kurangnya fasilitas pengolahan sampah Jakarta.
181
Hasil pemantauan KP2L Pemda DKI (1998) yang hanya menemukan ikan sapu-sapu (Hypotamus sp.) pada perairan Sungai Angke, serta hasil analisis air dengan kadar oksigen nol, BOD 442,25 - 499,57 ppm dan COD 666,68 - 761,92 ppm. Sedangkan baku mutu air golongan B, C, dan D mensyaratkan kadar O 2 > 3 ppm, BOD < 20 ppm, dan COD < 30 ppm. Di samping itu kandungan logam berat dalam tanah di kawasan SMMA (Pb 0,053 ppm; Cu 1,848 ppm; dan Hg 0,034 ppm), kawasan Hutan lindung (Pb 0,053 ppm; Cu 3,140 ppm; dan Hg 0,063 ppm), dan pada kawasan Hutan Wisata (Pb 0,053 ppm; Cu 3,61 ppm; dan Hg 0,018 ppm).
Leverage of Attributes: Ekologi Potensi karbon Sedimentasi pantai Fungsi konservasi
Sanitasi lingkungan
Attribute
Pemanfaatan air tanah Pemanfaatan kawasan wisata Pemanfaatan lahan tambak Pencemaran perairan
Abrasi pantai Penjerap dan pengurai polutan Tekanan lahan mangrove 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 28
4
Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
Pemeliharaan sungai dan drainase kota masih belum optimal, sehingga masih ditemukan kawasan rawan banjir dan genangan air, terutama saat air pasang (banjir atau rob). Akibat penumpukan sampah rumah tangga di bagian muara sungai dan sungai, telah mengurangi daya tampung sungai dalam pengaliran air. Di samping itu masalah pengendalian banjir berkaitan dengan penyediaan sarana prasarana (polder, drainase, dan sebagainya).
182
6.3.2 Dimensi Ekonomi Dimensi ekonomi memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena < 75,0. Dengan demikian pengelolaan dimensi ekonomi kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat 12 atribut dimensi ekonomi yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat 3 atribut yang merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 3,0), yaitu anggaran pemerintah untuk pengelolaan mangrove, dukungan dana CSR dan aksesibilitas kawasan. Secara visual disajikan pada Gambar 29. Kebutuhan anggaran pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke bersumber dari APBN (Pemerintah Pusat dan Kementrian Kehutanan) dan APBD (Pemda Propinsi DKI Jakarta). Kondisi saat ini belum tercapai kecukupan anggaran untuk kegiatan pengelolaan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan kondisi sarana prasarana pengelolaan, sumberdaya manusia, pelayanan pengelolaan, pemeliharaan kawasan, dan koordinasi pengelolaan masih belum optimal dan masih perlu banyak anggaran untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat Jakarta tentang fasilitas pendukung pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Ketimpangan antara kondisi pengelolaan saat ini dengan tuntutan konsumen (masyarakat DKI Jakarta) tentang performa “Kawasan Ekowisata Mangrove Muara Angke” atau Kawasan Hijau Lindung Mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam masih tinggi. Oleh karena itu anggaran APBN dan ABPD yang ada saat ini perlu ditingkatkan lagi, termasuk peranserta pihak swasta dalam mendukung pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan. Dukungan dana CSR (Corporate Social Responsibility) di wilayah Propinsi DKI jakarta cukup tinggi.
Sejak tahun 1999, kegiatan rehabilitasi
mangrove banyak bersumber dari dana CSR (Standard Chartered Bank, City Bank, Bank Mandiri, Pertamina, PT. Aneka Tambang, PT. PLN, PT. Kapuk Naga Indah, dan sebagainya). Sampai saat ini dukungan masih terus mengalir, namun karena tidak adanya perencanaan terpadu terhadap pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, maka potensi dana CSR tersebut belum terserap semua.
183
Aksesibilitas kawasan mangrove Muara Angke masih perlu ditingkatkan, terutama terhadap kinerja pengelola kawasan pemukinan Pantai Indah Kapuk (PIK). Posisi kawasan mangrove Muara Angke berada di pinggiran kawasan pemukinan PIK, dan untuk menuju ke lokasi harus melalui jalan perumahan PIK. Oleh karena itu kerjasama pengelolaan dalam upaya meningkatkan aksesibilitas kawasan mangrove perlu dilakukan melalui sarana koordinasi kelembagaan pengelolaan terpadu. Hasil penelitian terhadap nilai manfaat langsung sumberdaya mangrove Muara Angke hanya 19,1 % atau Rp. 19.103.256.000,-/tahun yang termasuk rendah dibandingkan dengan nilai manfaat tidak langsung sebesar 80,03 % atau Rp. 80.033.690.876,-/tahun. Nilai manfaat langsung sumberdaya mangrove di Batu Ampar, Kalimantan Barat sebesar 47,13 % atau Rp. 45.065.299.450,-/tahun dan nilai manfaat tidak langsung sebesar 39,40 % atau Rp. 37.670.116.800,/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa nilai manfaat langsung kawasan mangrove Muara Angke perlu ditingkatkan, agar masyarakat sekitarnya merasakan dan mendukung upaya pengelolaannya. Status kawasan mangrove sebagai Hutan Lindung, Hutan Konservasi (Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Wisata) tidak ada larangan untuk dikembangkan nilai manfaatnya terutama untuk kegiatan wisata alam. Bahkan kerjasama dengan pihak ketiga (swasta) dalam pemanfaatan kawasan mangrove (hutan lindung dan hutan konservasi) telah diberikan payung hukum dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2007 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan Hutan, dan Kawasan Hutan. Pada saat ini kegiatan pemanfaatan Hutan Wisata yang dilakukan Pihak PT. Murindra Karya Lestari untuk kegiatan pariwisata alam (ekowisata) belum optimal, dikarenakan belum seluruhnya fasilitas pendukung dan sarana prasarana disiapkan. Sedangkan pada kawasan hutan lindung dan hutan Suaka Margasatwa Muara Angke masih belum dilakukan secara profesional (sarana prasarana, fasilitas pendukung, sumberdaya manusia, kelembagaan, administrasi pelayaanan, dsb), dan hal ini yang menyebabkan rendahnya jumlah sektor informal dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove masih rendah.
184
Leverage of Attributes: Ekonomi Manfaat langsung mangrove Rerata penghasilan terhadap UMR Aksesibilitas kawasan mangrove Jumlah penduduk miskin Attribute
Penyerapan tenaga kerja Daya beli masyarakat Manfaat tidak langsung Anggaran pemerintah untuk… Persentase pendapatan … Jumlah pengunjung wisata alam
Dukungan dana CSR Jumlah sektor informal 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 29
6.3.3
Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
Dimensi Sosial Indek keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena < 75,0.
Dengan demikian pengelolaan dimensi sosial kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat 10 atribut dimensi sosial yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat tiga atribut yang merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 3,0), yaitu partisipasi pengelolaan, keadaran masyarakat dan perhatian peneliti. Secara visual disajikan pada Gambar 30. Secara administratif kawasan mangrove Muara Angke terletak pada wilayah Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk Muara, dan Kelurahan Pluit.
185
Jumlah penduduk Kamal Muara 8.960 jiwa dengan kepadatan 8 jiwa/ha, mata pencaharian terbesar adalah nelayan atau tani 3.165 jiwa dan buruh 1.771 jiwa. Penduduk
Kelurahan
Pluit
(46.760
jiwa),
sebagian
besar
bermatapencaharian sebagai karyawan atau PNS atau ABRI (13.836 jiwa), pedagang (10.945 jiwa), dan nelayan (2.689 jiwa). Tingkat pendidikan sebagian besar tamat SLTP (10.516 jiwa) dan SLTA (12.987 jiwa) dan lulusan akademi atau perguruan tinggi (5.206 jiwa). Kelurahan Kapuk Muara mempunyai jumlah penduduk 23.522 jiwa dengan kepadatan 23 jiwa/ha, mayoritas (75 %) bermatapencaharian sebagai buruh atau karyawan swasta 15.339 jiwa dan tani atau nelayan hanya 33 jiwa. Kegiatan masyarakat yang berhubungan langsung dengan hutan lindung adalah sebagai nelayan, pencari bibit mangrove, penyedia bibit dan penanaman mangrove, pencari ikan (mancing dan menjala), berekreasi dengan memancing, dan pemulung plastik. Partisipasi masyarakat sekitar dalam kegiatan pengelolaan mangrove pada umumnya bermotif ekonomi, seperti pengumpulan buah mangrove (propagule), pembibitan dan kegiatan penanaman. Partisipasi yang sifatnya sukarela hampir tidak ada, dikarenakan pola hidup dan tuntutan hidup masyarakat di sekitar kawasan mangrove untuk dapat melangsungkan kehidupanya harus memiliki uang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan peningkatan peranserta masyarakat yang pernah dilakukan LPP Mangrove sejak tahun 1996, dengan membina Karang Taruna Kelurahan Kamal Muara dapat berjalan selama ada pendampingan. Namun setelah selesai kegiatan pendampingan, peranserta aktif dalam pengelolaan mangrove tidak berlanjut. Pemberdayaan ekonomi dengan memberikan modal usaha budidaya kerang hijau dapat berjalan, karena memberikan keuntungan ekonomi. Sejak tahun 1996 sampai tahun 2009 telah banyak dilakukan kegiatan peningkatan peranserta masyarakat, yaitu: (1) Penyuluhan dan pelatihan rehabilitasi mangrove, (2) Pelatihan interpreter pendidikan lingkungan di kalangan Guru SLTP, pemuda atau LSM, dan Pramuka Sakawana Bhakti, (3) Pendidikan lingkungan tingkat Sekolah Dasar, SLTP, dan SLTA, (4) Kegiatan penanaman dan pemeliharaan mangrove, (5) Kegiatan pembuatan pembibitan, dan
186
(6) Pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sumber pendanaan berasal dari APBN, APBD, dan swasta dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility). Kegiatan penanaman yang melibatkan stakeholder (pelajar, mahasiswa, perguruan tinggi, dan swasta) antara tahun 2007 sampai tahun 2010 tidak kurang telah dilakukan 30 kegiatan penanaman dengan dana sepenuhnya dari stakeholder tersebut. Dengan kata lain minat stakeholder, terutama pihak swasta untuk meningkatkan kualitas lingkungan kawasan mangrove Muara Angke sangat tinggi. Hanya saja kondisi tersebut belum didukung dengan kesiapan dalam Rencana Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang terpadu (Hutan Lindung, Hutan Wisata, Suaka Margasatwa, LDTI, lahan tambak KKP, dan lahan tambak milik masyarakat). Potensi peranserta stakeholder (swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat) yang tinggi tersebut akan lebih efektif dan efisien dalam mewujudkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan, apabila tersedia perencanaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang tepadu. Masyarakat sekitar, terutama kelompok nelayan telah menyadari bahwa dampak pemanasan global telah terjadi, seperti: meningkatnya abrasi pantai, gelombang pasang (rob), interusi air laut, dan tinggi gelombang yang mengganggu dalam penangkapan ikan. Oleh karena itu kesadaran masyarakat (terutama nelayan) tentang fungsi mangrove dalam mencegah abrasi pantai cukup tinggi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir 98 % responden pernah mengalami banjir (rob), dengan frekwensi paling banyak lebih dari enam kali (58 %). Dengan demikian banjir di wilayah penelitian cukup sering terjadi dan wilayah yang paling sering terkena banjir adalah Kelurahan Kamal Muara, dimana 100 responden yang berasal dari kelurahan tersebut terkena banjir lebih dari enam kali dalam 10 tahun terakhir. Sedangkan Kelurahan Kamal Muara, Penjaringan, Kapuk Muara, dan Pluit yang merasakan dampak gangguan abrasi pantai, serta semua wilayah Kelurahan mengalami banjir pasang (rob). Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa bentuk peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih sebatas tenaga kerja, belum bersedia mengalokasikan dana. Namun khusus masyarakat yang tinggal di Perumahan Pantai Indah Kapuk, bersedia mengalokasikan dana untuk membantu pengelolaan kawasan mangrove. Biasanya
187
kelompok masyarakat yang tergabung dalam Umat Budha Tsu Chi melakukan ritual secara rutin dalam bentuk melepaskan binatang di kawasan mangrove Muara Angke. Nilai sosial keberadaan mangrove Muara Angke cukup tinggi di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Hal ini didasarkan atas potensi permintaan kegiatan pendidikan lingkungan dan penelitian yang dapat dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa. Jumlah perguruan tinggi dan akademi di seluruh wilayah DKI Jakarta tidak kurang 174 buah, dengan jumlah mahasiswa 618.520 orang, jumlah SLTA 1.513 buah dengan jumlah siswa 657.628 pelajar, jumlah SLTP 1.044 buah dengan jumlah siswa 402.298 orang, jumlah SD 3.179 buah dengan jumlah siswa 834.753 orang. Jumlah mahasiswa dan pelajar tersebut merupakan potensi pasar potensial bagi kegiatan pendidikan lingkungan di wilayah DKI Jakarta.
Leverage of Attributes: Sosial Resistensi kebijakan Frekuensi pertemuan Perhatian peneliti Attribute
Dampak sosial Konflik sosial Partisipasi pengelolaan Kesadaran masyarakat Pendidikan masyarakat RT Pemanfaat sumberaya 0
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 30
Atribut sosial yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
188
Di samping itu perhatian peneliti perlu ditingkatkan, baik peneliti dari Perguruan Tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pelajar dan mahasiswa. Potensi perhatian peneliti di wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (JABOTABEK) cukup tinggi, namun sarana prasarana pendukung masih belum menunjang. Sebagai contoh: dalam pengurusan ijin penelitian, harus mengurus ke kantor BKSDA di Salemba atau Dinas Kelautan dan Pertanian. Apabila kantor pengelola berada di lokasi (Muara Angke), maka akan memudahkan dalam pelayanan. Demikian pula pengelolaan data dan informasi hasil-hasil penelitian yang sampai sekarang masih belum berjalan.
6.3.4 Dimensi Kelembagaan Indek keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena skor < 75,0. Dengan demikian pengelolaan dimensi kelembagaan kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat sembilan atribut dimensi kelembagaan yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat tiga atribut yang merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 3,0), yaitu komitmen pemerintah daerah, keterpaduan program, legalitas kawasan dan peraturan. Secara visual disajikan pada Gambar 31. Status kawasan mangrove Muara Angke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta sebagai Kawasan Hijau Lindung sejak tahun 1985 sampai sekarang. Di samping itu keberadaan kawasan mangrove Muara Angke masih tetap dipertahankan dalam rencana Reklamasi Pantai. Namun demikian komitmen pemerintah daerah tidak cukup hanya mempertahankan status dan keberadaan, namun sangat penting peranya apabila komitmen Pemda DKI Jakarta terus ditingkatkan khususnya dalam upaya meningkatlan kualitas lingkungan dan nilai manfaatnya. Komitmen Pemda DKI Jakarta yang perlu ditingkatkan antara lain: (1) Alokasi anggaran APBD, (2) Kebijakan penetapan kawasan mangrove dalam satu kesatuan pengelolaan terpadu atau membuat usulan perubahan status menjadi Taman Hutan Raya, (3) Kebijakan memasukkan kurikulum pendidikan
189
lingkungan dengan penetapan lokasi kegiatan berada di kawasan mangrove Muara Angke, (4) Mendorong peran swasta dalam peningkatan kualitas pengelolaan mangrove Muara Angke, (5) Membangun sarana prasarana pengelolaan yang memadai, (6) Meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga, dan (7) Melakukan penegakan hukum terhadap para pihak yang melanggar peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan. Keterpaduan program sampai saat ini belum terwujud, dikarenakan masing-masing pihak pengelola kawasan (Hutan Lindung, Hutan Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, LDTI, lahan tambak KKP dan lahan tambak milik masyarakat) memiliki program dan rencana kegiatan. Oleh karena itu perlu dilakukan sinergi dan integrasi visi dan misi, progam dan kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Pihak Dinas Pertanian dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta telah beberapa kali bermaksud menyatukan pengelolaan kawasan mangrove terpadu, namun beberapa seminar, lokakarya, dan diskusi yang telah dilakukan tidak ada tindak lanjut. Dalam acara Seminar yang diselenggarakan lembaga IWF (Indonesian Wildlife Fund) di Jakarta tanggal 19 Juli 2006 telah dirumuskan enam langkah menuju terwujudnya Pengelolaan Terpadu Kawasan Lindung Mangrove, yaitu: (1) Revitalisasi Kawasan Lindung Angke Kapuk, (2) Kesatuan Pengelolaan Kawasan Lindung berupa Taman Hutan Raya (THR) Husni Tamrin atau THR Ali Sadikin, (3) Sebagai Monumen Historik DKI, Pemda DKI Jakarta harus mengelola dengan sungguh dan pendanaan cukup menjadi kawasan lahan basah untuk pendidikan pariwisata terbatas, (4) Sebaiknya dibuatkan kelembagaan independen dengan pengawasan Pemda DKI, (5) Pengelolaan Kawasan Lindung Angke Kapuk dipadukan dengan kawasan lahan basah lainnya, seperti Suaka Margasatwa Pulau Rambut dan Cagar Alam Pulau Bokor, dan (6) Pemda DKI Jakarta segera mengatur tata letak dan koridor perairan pantai. Selanjutnya dalam pertemuan yang dimotori BKSDA DKI Jakarta (tahun 2008) diusulkan perlu Pengelolaan Sabuk Hijau secara terpadu. Legalitas kawasan mangrove Muara Angke perlu ditingkatkan untuk mndukung penguatan kelembagaan pengelolaan, termasuk legalitas masing-
190
masing kawasan (pal batas, papan nama, ketepatan titik koordinat), mengingat harga kahan di Jakarta sangat mahal dan untuk mencegah terjadinya perambahan. Peraturan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke masih lemah dan perlu ditingkatkan dengan dukungan Peraturan Daerah atau minimal Keputusan Gubernur. Hal ini untuk memperkuat komitmen Pemda DKI Jakarta dalam mengelola kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan dan memberi nilai ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah daerah (pendapatan asli daerah). Disamping itu beberapa peraturan pendukung perlu disiapkan di tingkat lapangan, agar parapihak yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan mangrove mendukung dan memudahkan bagi pengguna atau pengunjung. LPP Mangrove dan Fakultas Kehutanan IPB juga telah banyak memfasilitasi diskusi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke terutama sebagai Pendidikan Lingkungan. Beberapa lembaga Internasional (UNESCO, UNEP, JICA, OISCA, Wetland Internasional Indonesia Program, dan Flora Fauna International) juga mendukung terwujudnya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Beberapa kegiatan penanaman mangrove juga telah menghadirkan
beberapa
pihak
yang
cukup
penting peranannya
dalam
pengambilan keputusan pengelolaan, yaitu: Menteri Kehutanan (Bpk. MS. Kaban), Menteri Kelautan dan Perikanan (Bpk. Fredy Numberi), Menteri Lingkungan Hidup (Bpk. Sony Keraf), Gubernur DKI Jakarta (Bpk. Fauzi Bowo), Duta Besar Amerika Serikat, Duta Besar Inggris, dan sebagainya. PT. Kapuk Naga Indah juga menyiapkan Yayasan Sahabat Bakau yang diketuai Ibu. Uly Sigar Rusadi, dengan maksud untuk meningkatkan kualitas mangrove Muara Angke khususnya pada lahan pantau untuk revitalisasi hutan lindung. Sampai dengan tahun 2011 telah dilakukan beberapa upaya peningkatan kualitas pengelolaan mangrove Muara Angke, terutama kegiatan penanaman mangrove dan pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Namun demikian penguatan kelembagaan pengelolaan yang mampu mangkoordinasikan perencanaan, program, dan kegiatan terpadu belum terwujud. Masalah yang dihadapi adalah lemahnya konsistensi dan belum adanya kesatuan visi dan misi pengelolaan terpadu Kawasan Hijau Lindung Mangrove Muara Angke.
191
Pilihan dalam menetapkan status pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke adalah Taman Hutan Raya. Hal ini didasarkan atas kondisi saat ini, yaitu: (1) keberadaan Hutan Lindung, Hutan Konservasi (Suaka Margasatwa, Hutan Wisata), LDTI, lahan tambak KKP dan lahan tambak masyarakat, (2) tuntutan nilai manfaat sosial dan ekonomi sebagai lokasi obyek wisata alam, pendidikan dan penelitian, (3) tuntutan nilai manfaat ekologi sebagai pelestarian ekosistem mangrove dan jasa lingkungan, serta konservasi keanekaragaman hayati, dan (4) sebagai situs ekosistem asli Jakarta untuk warisan bagi generasi mendatang. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Di dalam taman hutan raya dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.
Leverage of Attributes: Kelembagaan Penegakan hukum
Lembaga masyarakat Attribute
Kemampuan aparat Keterpaduan program Komitmen pemda Sistem pengambilan keputusan Legalitas kawasan mangrove Peraturan pengelolaan 0
2
4
6
8
10
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 31 Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
192
6.3.5 Dimensi Teknologi Indek keberlanjutan yang tergolong belum berkelanjutan, karena < 75,0. Dengan demikian pengelolaan dimensi teknologi kawasan mangrove Muara Angke harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pengelolaan. Pada penelitian ini terdapat sembilan atribut dimensi teknologi yang menentukan keberlanjutan pengelolaan dan terdapat tiga atribut yang merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 3,0), yaitu teknologi rehabilitasi mangrove, penanggulangan pencemaran, dan teknologi pencegahan dan penanggulangan abrasi, banjir (rob). Secara visual disajikan pada Gambar 32.
Leverage of Attributes: Teknologi Teknologi Pencegahan… Teknologi Pencegahan banjir
Attribute
Teknologi Penanggulangan… Teknologi pemantauan… Teknologi rehabilitasi… Teknologi Pengelolaan SDAir Teknologi pengelolaan limbah Teknologi Penanggulangan… Teknologi budidaya perikanan 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 32
Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
Teknik rehabilitasi mangrove saat ini telah banyak dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke. Tujuan rehabilitasi di DKI Jakarta untuk meningkatkan fungsi lindung dan konservasi. Pada beberapa lokasi fungsi konservasi dan lindung yang seharusnya lebih banyak menonjol, tetapi pada kenyataannya di lapangan kawasan banyak berubah menjadi pertambakan liar. Dalam pelaksanaan
193
rehabilitasi, tata hubungan kerja antara berbagai stakeholder menjadi penting. Tata hubungan kerja ini termasuk hubungan vertikal maupun horizontal. Dengan koordinasi yang baik diharapkan terjadinya keterpaduan program dan tidak terjadi tumpang tindih kegiatan. Secara umum ada 2 (dua) jenis bahan tanaman di dalam kegiatan penanaman mangrove, yakni: (1) propagule dan (2) berupa bibit yang berasal dari persemaian ataupun dari alam. Pada kondisi habitat yang berbeda, memerlukan pendekatan teknologi rehabilitasi yang berbeda pada setiap lokasi. Beberapa kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke adalah: (1) Penanaman dengan sea defence di kawasan Hutan Lindung (revitalisasi hutan lindung), (2) Penanaman mangrove dengan sistem guludan (penanaman dengan teknis guludan dilakukan pada lokasi bekas tambak yang mempunyai kedalaman 1,5 m sampai 3 meter sehingga tidak memungkinkan ditanam dengan sistem langsung), (3) Penanaman dengan menggunakan bibit pohon, dan (4) Penanaman dengan menggunakan buah matang (propagule). Penanaman dengan jenis pidada (Sonneratia caseolaris) dilakukan pada kawasan SMMA, LDTI (kanan kiri jalan Tol Prof. Soedyatmo), dengan mengunakan bibit yang berasal dari Sagara Anakan Cilacap, Indramayu, dan Muara Gembong Bekasi. Ukuran bibit memiliki ketinggian > 80 cm, agar tidak tenggelam lumpur apabila ditanam. Di samping itu pada lahan dengan lumpur dalam, dilakukan penanaman dengan sistem menggantung (posisi bibit tanaman terikat pada ajir yang ditancapkan). Pertumbuhan tinggi tanaman pidada 18,5 cm/bulan - 42 cm/bulan. Pertumbuhan diameter batang 1,75 cm/bulan - 3,45 cm/bulan. Pertumbuhan akar tanaman pidada lebih baik (10-20 cm per 16 bulan) pada lingkungan berlumpur dalam (> 1 m) dibandingkan dengan pada lingkungan tanah keras. Persen tumbuh tanaman (jarak tanam 1 x 1 meter) 70 % (umur 6 bulan), 60 % (umur 1 tahun), dan 18 % (setelah umur 6 tahun). Jumlah biji buah pidada 723 biji/buah - 1768 biji/buah. Hama yang sering menyerang adalah penggerek batang dan hama ulat daun, sedangkan penyakit keriting daun sering terjadi pada kondisi kualitas air yang jelek. Penanaman dengan jenis bakau (Rhizophora apiculata, R. stylosa, dan R. mucronata) dilakukan di kawasan hutan lindung. Bibit berasal dari Kepulauan
194
Seribu, Tangerang, dan Indramayu. Kondisi pertumbuhan lebih lambat dibandingkan dengan jenis pidada. Di samping itu juga dilakukan penanaman dengan jenis tancang (Bruguiera gymnorrhiza) di kawasan SMMA dan Hutan Wisata Kamal, namun pertumbuhannya lambat. Jenis api-api (Avicennia marina) ditanam di lahan LDTI dan pada tanggul yang dibuat PT. Mandara Permai atau PT. Kapuk Naga Indah. Teknik rehabilitasi mangrove sudah cukup memadai dalam upaya meningkatkan kualitas mangrove Muara Angke. Namun demikian kegiatan rehabilitasi bukan hanya teknik menanam, tetapi yang lebih penting adalah memelihara tanaman sampai mampu tumbuh dewasa. Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa penanaman dengan jenis bakau (Rhizophora) di hutan lindung (lahan revitalisasi hutan lindung) kalah bersaing dengan jenis api-api (Avicennia marina) yang tumbuh secara alami dari biji yang dihasilkan pohon apiapi dewasa di sekitarnya. Di samping itu kegiatan pemeliharaan yang tidak dilakukan, telah menyebabkan kematian terhadap bibit pohon yang ditanam, seperti pernah terjadi di SMMA terhadap jenis tancang dan pidada yang kalah bersaing dengan tanaman gulma. Teknik penanggulangan pencemaran limbah cair masih sangat kurang dilakukan di dalam kawasan Muara Angke dan di wilayah bagian hulu Sungai Angke, Sungai Cengkareng Drain, Sungai Tanjungan, dan Sungai Kamal. Keluhan dari masyarakat nelayan dan petani kerang hijau Kelurahan kamal Muara adalah terjadinya pencemaran pada saat awal musim hujan tiba, karena limbah yang dibuang dari wilayah hulu Sungai Kamal. Banyak kerang hijau yang mati dan sulit juga untuk menangkap ikan. Hal ini sudah sejak lama terjadi, namun tindakan hukum terhadap sumber pencemar masih belum dilaksanakan. Demikian pula teknik penanggulangan pencemaran limbah padat (sampah rumah tangga) masih kurang, sehingga sampah rumah tangga terbawa aliran Sungai Angke, Sungai Cengkareng, dan Sungai Kamal telah mengganggu pertumbuhan tanaman mangrove. Teknik pengelolaan sampah pada lokasi sumber penghasil sampah rumah tangga perlu diberdayakan, agar tidak dibuang ke badan air sungai dan tidak mencemari lingkungan mangrove.
195
Apabila teknik pengendalian pencemaran limbah padat dan limbah cair dapat diterapkan di dalam kawasan mangrove Muara Angke dan wilayah hulu, maka kondisi lingkungan mangrove dapat terbebas dari bau busuk, tumpukan plastik dan kualitas air yang layak bagi hidupnya biota air dapat terwujud, dan pada akhirnya akan meningkatkan keanekaragaman hayati mangrove. Ancaman abrasi, banjir pasang (rob), dan interusi air laut semakin mengancam, akibat dampak pemanasan global. Masyarakat nelayan di Kelurahan Kamal Muara, Kapuk Muara, Penjaringan, Tegal Alur, dan Kelurahan Pluit juga semakin merasakan dampak pemansaan global ini dalam bentuk banjir pasang (rob) dan interusi air laut. Sedangkan abrasi pantai sangat dirasakan oleh nelayan Kelurahan Kamal Muara. Berdasarkan hasil analisis MDS dan pembahasannya diperoleh 16 faktor pengungkit kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan, seperti tersaji pada Tabel 61. Dalam proses pengelolaan, semua faktor tersebut harus diperhatikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas kegiatan. Secara operasional, faktor-faktor ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Namun demikian dalam proses implementasinya diperlukan pemilihan faktor yang berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan faktor lainnya yang paling tinggi, sehingga kegiatan pengelolaan kawasan mangrove dapat mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan oleh kawasan mangrove Muara Angke.
Tabel 61 Faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan untuk setiap dimensi No 1
Dimensi Ekologi
Faktor Pengungkit 1. Abrasi pantai 2. Pencemaran air 3. Fungsi konservasi menurun 4. Sedimentasi
2
Ekonomi
1. Anggaran pemerintah untuk pengelolaan mangrove 2. Dukungan dana CSR 3. Aksesibilitas kawasan mangrove
3
Sosial
1. Partisipasi pengelolaan masyarakat 2. Kesadaran masyarakat 3. Perhatian peneliti
196
Tabel 61
Faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan untuk setiap dimensi (lanjutan)
No
Dimensi
4
Kelembagaan
Faktor Pengungkit 1. Komitmen pemerintah daerah 2. Keterpaduan program 3. Legalitas kawasan mangrove
5
Teknologi
1. Teknologi rehabilitasi mangrove 2. Teknologi penanggulangan pencemaran 3. Teknologi pencegahan dan penanggulangan abrasi, banjir/rob
Faktor-faktor tersebut digunakan sebagai basis dalam perumusan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke secara berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan kegiatan pembangunan kawasan mangrove Muara Angke.
6.4
Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya
dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum berkelanjutan. Hal ini terlihat dari status keberlanjutan lima dimensi, tidak ada satu pun yang memiliki skor > 75, bahkan dimensi kelembagaan memiliki skor terendah (skor = 41,8)
2.
Faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dari masing-masing dimensi adalah: ekologi (abrasi pantai, pencemaran lingkungan, fungsi konservasi menurun, dan sedimentasi), ekonomi (anggaran pemerintah untuk pengelolaan mangrove, dukungan dana CSR, dan aksesibilitas kawasan mangrove), sosial (partisipasi pengelolaan masyarakat, kesadaran masyarakat, dan perhatian peneliti), kelembagaan (komitmen pemerintah daerah, keterpaduan program, dan legalitas kawasan), dan teknologi (teknologi rehabilitasi mangrove, teknologi penanggulangan pencemaran, teknologi pencegahan, dan penanggulangan abrasi atau banjir atau rob)
197
3.
Guna mencapai pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan, maka perlu mendorong peningkatan kinerja faktor-faktor pengungkit di masa mendatang.
198
7 ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE
7.1
Pendahuluan Perkembangan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke DKI Jakarta
dipengaruhi oleh perubahan kondisi yang terjadi di dalam sistem kawasan dan di luar sistem kawasan. Sejak terjadinya konversi kawasan mangrove (831,63 ha) menjadi kawasan hunian perumahan, kondisi di dalam sistem kawasan telah banyak mengalami perubahan. Demikian pula kondisi di luar sistem kawasan, telah terjadi peningkatan perubahan (pembangunan, peningkatan jumlah penduduk, limbah dari proses produksi, dan sebagainya) yang berpengaruh terhadap kondisi kawasan mangrove Muara Angke. Termasuk pula perubahan kepentingan dari parapihak terkait dengan keberadaan kawasan mangrove Muara Angke, serta perubahan kebijakan pemanfaatan ruang (rencana pembangunan jalan rel kereta api, pelebaran jalan tol Prof. Soedyatmo, dan sebagainya). Hal ini mengakibatkan dibutuhkannya suatu cara untuk membantu memahami proses terjadinya permasalahan dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, agar pengambil kebijakan mampu mengantisipasi terjadinya perubahan keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan serta adanya perubahan di luar sistem kawasan yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi perkembangan kawasan. Di era otonomi daerah dan desentralisasi, peran pemerintah daerah sangat penting dalam meningkatkan nilai manfaat dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam atau kawasan. Keberhasilan pembangunan kawasan mangrove Muara Angke ditentukan oleh kemampuan pengelolanya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki kawasan dalam mengatasi kekurangan dan memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya secara efektif dan efisien. Salah satu kunci keberhasilan pembangunan kawasan mangrove Muara Angke adalah efektivitas kebijakan yang digunakan sebagai dasar pembangunan, yang disusun dengan melibatkan berbagai pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha atau swasta, masyarakat lokal, dan lembaga swadaya
masyarakat
sehingga
kebijakan
yang
dihasilkan
benar-benar
199
mencerminkan kebutuhan semua pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Kompleksitas permasalahan, potensi kawasan, adanya kebijakan yang bersifat sektoral dan top down dan banyaknya pihak (stakeholders) yang terlibat dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke memerlukan penelitian tentang
bagaimana
merumuskan
arahan
kebijakan
pengelolaan
yang
berkelanjutan. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memahami keterkaitan antara faktor-faktor keberlanjutan pengelolaan, sistem pengelolaan kawasan dan arahan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan dan permasalahan secara optimal.
7.2
Kebutuhan Stakeholder Kajian penentuan arahan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara
Angke dalam meningkatkan nilai keberadaan dan manfaat dimulai dengan identifikasi faktor-faktor SWOT kemudian menganalisis kemungkinan kebijakan pengelolaan. Penentuan prioritas dari setiap faktor SWOT sampai dengan penentuan kebijakan pengelolaan, dilakukan oleh stakeholder yang terkait agar diperoleh hasil yang partisipatif, integratif, dan akomodatif. Berdasarkan hasil analisis stakeholders, maka stakeholders yang terkait dengan penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke tertera pada Tabel 62. Dari semua stakeholders yang telah diidentifikasi tersebut, belum semua dapat menyampaikan ketertarikannya mengenai kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dalam meningkatkan nilai keberadaan dan manfaat bagi masyarakat. Di samping itu, dari semua stakeholders yang diharapkan memberikan masukan dan keinginan mereka mengenai kebijakan pengelolaan, belum semuanya dapat terealisasi. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan kurangnya partisipasi stakeholder dalam hal ini antara lain: (1) sulitnya mengakomodasi kepentingan dari berbagai bidang, atau bagian dari masing-masing kelompok responden khususnya pada setiap dinas dan (2) sebagian responden belum dapat sepenuhnya mengkaitkan antara maksud dari kebijakan pengelolaan dengan program di bidangnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dilakukan pendekatan lain melalui
200
wawancara dengan pengambil kebijakan baik secara langsung maupun dengan kuesioner terbuka, di samping pengisian kuesioner A’WOT.
Tabel 62 Stakeholder yang terkait dengan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Tingkat Nasional dan Internasional
Regional: Propinsi DKI Jakarta
Stakeholder Kementrian Kehutanan Kementrian Lingkungan Hidup Kementrian kelautan dan Perikanan Lembaga donor Bappeda Dinas Kelautan dan Pertanian BPLHD Dinas Kebersihan Dinas Pekerjaan Umum BKSDA DPRD Peneliti BP Pantura PT. Murindra Karya Lestari
Regional: Kota Jakarta Utara
Lokal
PT. Kapuk Naga Indah dan Group Bappeda Suku Dinas Lingkungan Suku Dinas Pertanian, Perikanan dan peternakan Suku Dinas Pekerjaan Umum Suku Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Suku Dinas Kebersihan DPRD Camat Lurah Pedagang sektor informal Nelayan Wisatawan LSM lokal Kontak Tani Nelayan Masyarakat
Kepentingan Utama Pengembangan manajemen hutan dan kelestarian kawasan hutan (hutan lindung, hutan konservasi) Koordinasi nasional manajemen lingkungan dan konservasi Koordinasi pengelolaan wilayah pesisir dan pengembangan budidaya perikanan Konservasi dan advokasi publik Koordinasi Perencanaan pembangunan wilayah Pengembangan manajemen hutan, wilayah pesisir dan pertanian Pengembangan manajemen lingkungan Pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga dan pasar Pengelolaan sungai, sistem drainase dan aliranya Manajemen kawasan hutan konservasi, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya Legislasi, anggaran, pengawasan, pengemban aspirasi masyarakat Konservasi, pendidikan publik dan publikasi Koordinasi dan pengembangan reklamasi Teluk Jakarta Mengembangkan pengelolaan wisata alam, memperoleh keuntungan dan keberlanjutan usaha Mengembangkan pemukiman, memperoleh keuntungan dan keberlanjutan usaha Koordinasi pembangunan wilayah Pengembangan manajemen lingkungan dan konservasi Pengembangan manajemen pertanian, perikanan dan peternakan Pengembangan manajemen sungai dan sistem drainase Pengembangan manajemen pariwisata Pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga dan pasar Legislasi, anggaran, pengawasan, pengemban aspirasi masyarakat Koordinator Pemerintahan tingkat Kecamatan, PAD, kesejahteraan masyarakat, dan ketentraman Koordinator Pemerintahan tingkat Kelurahan Pendapatan Pendapatan dan kelestarian Keindahan alam dan keamanan Pemberdayaan masyarakat Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat Pemanfaatan sumberdaya alam disekitar lawasan mangrove
201
7.3
Kebijakan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke
7.3.1
Definisi Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Kawasan Lindung Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (Undang-Undang No.41 Tahun 1999). Sedangkan istilah hutan konservasi di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1990 disebut Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Di lain pihak terminologi yang dipergunakan untuk menyebut keberadaan hutan konservasi dan hutan lindung dalam tataruang adalah kawasan lindung. Definisi kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan (Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan lindung). Disamping itu kawasan lindung didefinisikan sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan (Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Memperhatikan definisi, kriteria, zonasi/blok pengelolaan dan kegiatan pemanfaatan yang boleh dilakukan dalam setiap kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, Pemerintah Republik Indonesia telah mengatur sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No.5 tahun 1990, Undang-Undang No.41 tahun 1999, Undang-Undang No.26 tahun 2007, Undang-Undang No.27 tahun 2007,
202
Peraturan Pemerintah No.06 tahun 2007, Peraturan Pemerintah No.28 tahun 2011 dan Keputusan Presiden No.32 tahun 1990 (Tabel 63).
7.3.2 Status Pemanfaatan dan Mangrove Muara Angke
Kelembagaan
Pengelolaan
Kawasan
Kawasan mangrove Muara Angke yang masih tersisa saat ini sekitar 478 ha yang terdiri atas kawasan hutan atau tanah negara (hutan lindung, hutan wisata, arboretum atau kebun benih, lahan dengan tujuan istimewa, transmisi PLN, dan suaka margasatwa) seluas 327,7 ha dan lahan tambak milik masyarakat 93,0 ha, dan lahan tambak penelitian KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) 57,3 ha. Ditinjau dari status kawasan, maka kawasan hutan mangrove Muara Angke telah berstatus cukup kuat (Hutan Lindung, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam). Lahan tambak KKP (tanah negara) yang peruntukannya untuk penelitian dan pengembangan, sedangkan lahan tambak masyarakat (93 ha) telah dibeli Pemda DKI seluas 32 ha sebagai pengganti kawasan LDTI yang dipakai untuk jalan rel kereta api Bandara Soekarno-Hatta. Dengan demikian keseluruhan tanah negara (kawasan hutan dan lahan tambak KKP) menjadi 401,0 ha, sedangkan lahan tambak milik masyarakat tinggal 61,0 ha. Memperhatikan kondisi potensi kawasan saat ini dan status kawasan mangrove Muara Angke, tidak memungkinkan dilakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu atau ekstraksi sumberdaya. Pada kawasan hutan lindung, suaka margasatwa dan taman wisata alam hanya memungkinkan dilakukan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan (wisata alam, pendidikan dan penelitian). Hal ini diperkuat oleh kondisi mangrove yang tidak mampu lagi menjalankan fungsinya dengan baik, karena tingginya tekanan lingkungan (pencemaran limbah cair, limbah padat/sampah, dan dinamika pembangunan yang kurang memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove).
203
Tabel 63 Klasifikasi Hutan Konservasi dan Hutan Lindung menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 Jenis Hutan
Kawasan
Sub Kawasan
Hutan Konservasi
Kawasan Suaka Alam (KSA)
Cagar Alam
Kriteria a. Memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem; b. Mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik masih asli dan belum terganggu; c. Terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaannya terancam punah; d. Memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya; e. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yangdapat menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; dan/atau f. Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
Zona
Pemanfaatan a. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; b. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; c. Penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan d. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
204
Tabel 63 Klasifikasi Hutan Konservasi dan Hutan Lindung menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 (lanjutan) Jenis Hutan
Kawasan
Sub Kawasan Suaka Margasatwa
Kriteria a. Merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau beberapa jenis satwa langka dan/atau hampir punah;
Zona a. Blok perlindungan; b. Blok pemanfaatan; dan c. Blok lainnya.
b. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi; c. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu; dan/atau
Pemanfaatan a. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; b. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; c. Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam terbatas; dan d. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya
d. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa
Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
Taman Nasional
a. Memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik; b. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; c. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan d. Merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.
a. b. c. d.
Zona inti; Zona rimba; Zona pemanfaatan; dan/atau Zona lain sesuai dengan keperluan.
a. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; b. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; c. Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam; d. Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; e. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya; f. Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat
205
Tabel 63 Klasifikasi Hutan Konservasi dan Hutan Lindung menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 (lanjutan) Jenis Hutan
Kawasan
Sub Kawasan Taman Hutan Raya
Kriteria a. Memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam;
Zona a. Blok perlindungan; b. Blok pemanfaatan; dan
b. Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan/atau satwa; dan
c. Blok lainnya.
c. Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, pada wilayah yang ekosistemnya masih utuh ataupun wilayah yang ekosistemnya sudah berubah.
Taman Wisata Alam
a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang alam, gejala alam serta formasi geologi yang unik; b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik alam untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; dan
a. Blok perlindungan; b. Blok pemanfaatan; dan c. Blok lainnya.
Pemanfaatan a. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi; c. Koleksi kekayaan keanekaragaman hayati; d. Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, danangin serta wisata alam; e. Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam rangka menunjang budidaya dalam bentuk penyediaan plasma nutfah; f. Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat; dan g. Pembinaan populasi melalui penangkaran dalam rangka pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang semi alami. a. Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam; b.Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; c. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; d.Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya;
206
Tabel 63 Klasifikasi Hutan Konservasi dan Hutan Lindung menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 (lanjutan) Jenis Hutan
Kawasan
Sub Kawasan
Taman Buru
Hutan Lindung
Kriteria c. Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
Zona
Pemanfaatan e.Pembinaan populasi dalam rangka penetasan telur dan/atau pembesaran anakan yang diambil dari alam; dan f. Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat
Blok Perlindungan
Pemanfaatan kawasan
Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Blok Pemanfaata (Buru, Breeding, Grazing) breeding
Berburu (Wisata Buru)
Blok Lainnya
Restoran, kantor, resort, dsb a. b. c. d. e. f. g. a. b. c. d.
Budidaya tanaman obat; Budidaya tanaman hias; Budidaya jamur; Budidaya lebah; Penangkaran satwa liar; Rehabilitasi satwa; atau Budidaya hijauan makanan ternak Pemanfaatan jasa aliran air; Pemanfaatan air; Wisata alam; Perlindungan keanekaragaman hayati; e. Penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau f. Penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
207
Tabel 63 Klasifikasi Hutan Konservasi dan Hutan Lindung menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 (lanjutan) Jenis Hutan
Kawasan
Sub Kawasan Pemungutan Hasil Hutan Non Kayu
Sumber :
Kriteria
Zona
Pemanfaatan a. b. c. d. e. f.
1. Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya 2. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 3. Peraturan Pemerintah No.06 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan 4. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Rotan; Madu; Getah; Buah; Jamur; atau Sarang burung walet.
208
Ditinjau
dari
potensi
permintaan
(demand)
kegiatan
pendidikan
lingkungan dan penelitian yang dapat dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa, keberadaan kawasan mangrove cukup potensial. Jumlah perguruan tinggi dan akademi di seluruh wilayah DKI Jakarta tidak kurang 174 buah, dengan jumlah mahasiswa 618.520 orang, jumlah SLTA 1.513 buah dengan jumlah siswa 657.628 pelajar, jumlah SLTP 1.044 buah dengan jumlah siswa 402.298 orang, jumlah SD 3.179 buah dengan jumlah siswa 834.753 orang. Jumlah mahasiswa dan pelajar tersebut merupakan potensi pasar potensial bagi kegiatan pendidikan lingkungan di wilayah DKI Jakarta. Di samping itu dengan kondisi prasarana dan sarana pengelolaan yang ada, kondisi kunjungan wisatawan ke kawasan mangrove Muara Angke (hutan lindung, suaka margasatwa, blok ekowisata dan taman wisata alam) sekitar 31.252 orang/tahun. Pada kawasan mangrove 478 ha terdapat 7 (tujuh) pihak yang terkait langsung dalam pengelolaan, yaitu: (1) Dinas Kelautan dan Pertanian, (2) Balai Konservasi Sumberdaya Alam, (3) PT. Murindra Karya Lestari, (4) Litbang Kementrian Kelautan dan Perikanan, (5) Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, (6) PT. Kapuk Naga Indah dan Group, dan (7) Masyarakat pemilik lahan tambak. Masing-masing pihak memiliki rencana pengelolaan sendiri (Rencana Pengelolaan Hutan Lindung, LDTI, Suaka Margasatwa, dan Hutan Wisata) serta lahan Tambak Penelitian Kementrian Kelautan dan Perikanan, serta tidak ada mekanisme KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergis) diantara pemangku kepentingan. Sehingga permasalahan yang dihadapi kawasan mangrove Muara Angke tidak teratasi dengan baik. Status hutan konservasi (Suaka Margasatwa dan taman Wisata Alam) merupakan tanggung jawab Pemerintah (Kementrian Kehutanan), sehingga BKSDA sebagai unit pusat di daerah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam, merasa tidak perlu melibatkan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta dalam menyusun program dan kegiatan.
Demikian pula instansi/sektor lain dalam melakukan
penyusunan program dan implementasinya. Ditinjau dari keberadaan kawasan mangrove dan bentang alam (lansekap), kondisi kawasan mangrove (478 ha) dengan status pengelolaan dan luasan yg
209
kecil dan tingkat gangguan yang tinggi, maka kurang efektif dalam menjalankan fungsinya apabila tidak ada satu kesatuan dalam pengelolaan. Memperhatikan Tabel 62, kondisi dan status kawasan mangrove Muara Angke, serta kegiatan pemanfaatan yang telah berjalan, maka status hutan konservasi yang lebih sesuai untuk pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke adalah Taman Hutan Raya. Hal ini juga didukung oleh kebijakan pengelolaan Taman Hutan Raya (Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011) yang menyebutkan bahwa : (1) Penyelenggaraan KSA dan KPA kecuali taman hutan raya dilakukan oleh Pemerintah (2) Untuk taman hutan raya, penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota (3) Penyelenggaraan KSA dan KPA oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh Menteri (4) Penyelenggaraan taman hutan raya oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh gubernur atau bupati/walikota Memperhatikan hal tersebut, maka apabila status pengelolaan seluruh kawasan mangrove Muara Angke menjadi Taman Hutan Raya, maka peran Pemerintah Provinsi akan semakin kuat dalam melakukan koordinasi pengelolaan dan implementasinya, termasuk dalam pengalokasian anggaran.
7.3.3
Prioritas Kebijakan Berdasarkan kajian kepustakaan dan kondisi riil objek penelitian, disusun
kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dalam rangka meningkatkan nilai keberadaan dan untuk peningkatan pendapatan masyarakat melalui kegiatan wisata alam dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhinya yang merupakan faktor-faktor komponen SWOT. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa komponen peluang (O) menempati urutan teratas dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove, kemudian diikuti oleh komponen kekuatan (S), kelemahan (W), dan
210
ancaman (T). Bobot dan prioritas masing-masing komponen dapat dilihat pada Tabel 64. Tabel 64 Matriks prioritas komponen SWOT kebijakan pengelolaam kawasan mangrove Muara Angke Faktor SWOT Peluang (Opportunities) Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weaknesess) Ancaman (Threats)
Bobot 0,565 0,262 0,118 0,055
Prioritas P1 P2 P3 P4
Tabel 64 menunjukkan bahwa faktor internal dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove untuk kegiatan wisata alam yang dominan adalah komponen kekuatan dan faktor eksternal yang dominan adalah komponen peluang. Besarnya faktor kekuatan dan peluang dibandingkan dengan kelemahan dan ancaman dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
merupakan
indikator
keberhasilan
kebijakan
pengelolaan
yang
berkelanjutan di masa mendatang. Selanjutnya, dari komponen strengths, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam adalah sebagai berikut: (1) Nilai keberadaan kawasan mangrove Muara Angke, (2) Legalitas kawasan mangrove Muara Angke, (3) Nilai ekonomi sumberdaya mangrove, dan (4) Aksesibilitas kawasan mangrove. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 65.
Tabel 65
Matriks prioritas faktor strentghs kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
Faktor Strentghs Nilai keberadaan kawasan mangrove Legalitas kawasan mangrove Nilai ekonomi mangrove Aksesibilitas kawasan mangrove
Bobot 0,565 0,262 0,118 0,055
Prioritas P1 P2 P3 P4
Berdasarkan peringkat faktor-faktor kekuatan tersebut, ternyata bahwa faktor nilai keberadaan kawasan mangrove merupakan faktor kekuatan yang utama dalam upaya peningkatan kegiatan wisata alam. Dengan demikian, faktor ini diharapkan dapat dimaksimalkan kinerjanya melalui berbagai strategi yang
211
akan dilaksanakan di masa mendatang. Di samping itu nilai historik ekosistem mangrove di wilayah Propinsi DKI Jakarta juga merupakan faktor penguat terhadap nilai keberadaan, karena merupakan ekosistem alam yang masih tersisa di Jakarta dan berada pada pintu gerbang Negara Republik Indonesia. Dari komponen kelemahan, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove untuk kegiatan wisata alam adalah sebagai berikut: (1) Koordinasi kelembagaan pengelolaan, (2) Kesadaran masyarakat, (3) Kerusakan habitat, dan (4) Komitmen Pemerintah Daerah. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 66.
Tabel 66 Matriks prioritas faktor weaknesses kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Faktor Weaknesses
Bobot
Prioritas
Koordinasi kelembagaan pengelolaan
0,565
P1
Kesadaran masyarakat sekitar kawasan mangrove
0,262
P2
Kerusakan habitat
0,118
P3
Komitmen pemerintah daerah
0,055
P4
Berdasarkan peringkat faktor-faktor kelemahan di atas, ternyata bahwa rendahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan merupakan faktor kelemahan yang mendasar dalam upaya peningkatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Untuk itu perumusan berbagai strategi yang akan dilaksanakan di masa mendatang perlu mempertimbangkan faktor ini agar strategi tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dari komponen opportunities, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove untuk wisata alam adalah sebagai berikut: (1) Permintaan kegiatan wisata alam, (2) Potensi dana CSR, (3) Perhatian peneliti dari perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 67. Tabel 67 Matriks prioritas faktor opportunities kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Faktor Opportunities Permintaan kegiatan wisata alam Potensi dana CSR untuk mendukung pengelolaan Perhatian peneliti (Perguruan tinggi dan LSM)
Bobot 0,637 0,258 0,105
Prioritas P1 P2 P3
212
Berdasarkan peringkat faktor-faktor peluang di atas, ternyata bahwa komitmen Pemda DKI Jakarta merupakan faktor peluang yang penting dalam upaya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan. Faktor tersebut didukung pula dengan tingginya permintaan kegiatan wisata alam, sehingga pencapaian keberlanjuutan pengelolaan sangat tergantung dari komitmen Pemda DKI Jakarta. Dengan demikian, kedua faktor tersebut diharapkan dapat diakomodasi ke dalam berbagai strategi kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Komponen SWOT yang paling rendah bobotnya adalah komponen threats (ancaman). Dari komponen threats, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke adalah sebagai berikut: (1) Abrasi, banjir pasang (rob), dan interusi air laut, (2) Tingginya tingkat pencemaran lingkungan, dan (3) Kebutuhan lahan. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 68.
Tabel 68
Matriks prioritas faktor threats kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
Faktor Threats Abrasi, banjir pasang (rob), dan interusi air laut Tingginya pencemaran lingkungan Kebutuhan lahan
Bobot 0,637 0,258 0,105
Prioritas P1 P2 P3
Berdasarkan peringkat faktor-faktor ancaman tersebut, ternyata bahwa abrasi, banjir pasang, dan interusi air laut merupakan faktor ancaman yang serius dalam upaya peningkatan pengelolaan untuk kegiatan wisata alam. Bobot faktor ini yang sangat tinggi (0,637) menunjukkan bahwa faktor ini diharapkan dapat diminimalkan dengan rumusan berbagai strategi yang akan dilaksanakan di masa mendatang. Secara umum, dari semua faktor SWOT yang telah diidentifikasi, faktor yang paling tinggi prioritasnya dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke melalui kegiatan wisata alam berturut-turut adalah: (1) tingginya abrasi, banjir pasang (rob), dan interusi air laut dengan bobot 0,637; (2) Permintaan kegiatan wisata alam dengan bobot 0,637; (3) Lemahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dengan bobot 0,565;
213
(4) Nilai Keberadaan kawasan mangrove Muara Angke dengan bobot 0,565; (5) Kesadaran masyarakat, legalitas kawasan dengan bobot 0,262. Tingginya abrasi pantai, banjir pasang (rob) dan interusi air laut merupakan ancaman yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Kelurahan Kamal Muara, Kapuk Muara, Penjaringan, dan Kelurahan Pluit merasakan dampak banjir pasang dan abrasi. Sedangkan bagi masyarakat Kelurahan Tegal Alur, dampak banjir pasang dan interusi air laut semakin sering dirasakan. Penanggulangan abrasi telah dilakukan dengan teknologi yang cukup baik oleh PT. Kapuk Naga Indah sebagai bagian dari komitmen untuk melakukan revitalisasi hutan lindung sebelum dilakukan reklamasi pantai. Teknik pembuatan breakwater (model Rubber Mould) cukup berhasil dalam mencegah terjadinya abrasi. Walaupun biaya pembangunan breakwater ini cukup mahal, namun efektif dalam mewujudkan revitalisasi hutan lindung. Di samping itu masih lemahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, merupakan faktor yang sangat penting dikelola agar keberlanjutan pengelolaan dapat terwujud. Pada saat ini kawasan mangrove Muara Angke seluas 478,0 ha dikelola oleh BKSDA (hutan wisata dan suaka margasatwa), Dinas Pertanian dan Kelautan (hutan lindung dan LDTI), BRKPKementrian Kelautan dan Perikanan (lahan tambak penelitian), dan dikelola oleh masyarakat pemilik tambak. Masing-masing pihak menyusun perencanaan pengelolaan
dan mengimplementasikan
sendiri,
sedangkan
permasalahan
pengelolaan kawasan tidak dapat dilaksanakan sendiri. Beberapa upaya telah ditempuh untuk menyatukan pengelolaan, namun sampai saat ini belum terwujud. Memperhatikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanakaragaman Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa Taman Hutan Raya merupakan status pengelolaan yang sesuai untuk seluruh kawasan mangrove Muara Angke. Hal ini didasarkan atas kondisi saat ini, yaitu: (1) keberadaan Hutan Lindung, Hutan Konservasi (Suaka Margasatwa, Hutan Wisata), LDTI, lahan tambak KKP, dan lahan tambak masyarakat, (2) tuntutan nilai manfaat sosial dan
214
ekonomi sebagai lokasi obyek wisata alam, pendidikan dan penelitian, (3) tuntutan nilai manfaat ekologi sebagai pelestarian ekosistem mangrove dan jasa lingkungan, serta konservasi keanekaragaman hayati, dan (4) sebagai situs ekosistem asli Jakarta untuk warisan bagi generasi mendatang. Menurut UndangUndang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan pariwisata dan rekreasi. Di dalam taman hutan raya dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Pengelolaan Taman Hutan Raya secara otomatis berada pada Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, sedangkan keberadaan hutan konservasi (Suaka Margasatwa dan Hutan Wisata) tidak berubah status dan pengelolaan tetap dibawah BKSDA dan secara operasional PT. Murindra Karya Lestari tetap dapat melakukan pengelolaan wisata alam. Namun perubahan status ini akan memudahkan dalam melakukan koordinasi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan. Demikian pula dalam menyusun perencanaan program, kegiatan, dan mobilisasi anggaran (ABPN, APBD, dan hibah atau donor). Dari semua faktor SWOT yang telah diidentifikasi, faktor internal yang diprioritaskan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke adalah penguatan koordinasi kelembagaan pengelolaan, nilai keberadaan kawasan mangrove, legalitas kawasan mangrove Muara Angke, peningkatan kesadaran masyarakat, nilai ekonomi sumberdaya mangrove, dan pengendalian kerusakan habitat. Sedangkan faktor eksternal yang diprioritaskan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam adalah pengendalian abrasi, banjir pasang (rob) dan interusi air lat, komitmen Pemda DKI Jakaarta, pengendalian pencemaran lingkungan, tingginya potensi permintaan kegiatan wisata alam, dan pengelolaan dana CSR.
215
Berdasarkan berbagai faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan acaman) dalam upaya peningkatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke melalui kegiatan wisata alam, dirumuskan beberapa arahan kebijakan pengelolaan untuk mencapai tujuan tersebut. Kebijakan ini diharapkan dapat memanfaatkan secara maksimal kekuatan dan peluang yang ada serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang mungkin timbul. Hasil kajian kepustakaan dan diskusi dengan stakeholder, dirumuskan arahan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhinya. Arahan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan dalam penelitian ini merumuskan empat kebijakan pengelolaan, yaitu: (1) Penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove, (2) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove, (3) Konservasi mangrove, dan (4) Teknologi pengelolaan kawasan mangrove. Bobot dan prioritas kebijakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 69.
Tabel 69 Bobot dan prioritas kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan KEBIJAKAN Penguatan Kelembagaan Pengelolaan mangrove Muara Angke Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolan Mangrove Konservasi Mangrove untuk Mempertahankan dan Meningkatkan Nilai Keberadaan dan Nilai Ekonomi Mangrove Penggunaan Teknologi Pengelolaan Kawasan Mangrove
Bobot 0,335 0,326
Prioritas P1 P2
0,226 0,113
P3 P4
Dari Tabel 69, ternyata bahwa kebijakan penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke merupakan alternatif kebijakan utama yang harus dikedepankan. Alternatif kebijakan kedua adalah peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove. Kebijakan konservasi mangrove dapat dijadikan alternatif kegiatan bagi peningkatan nilai keberadaan dan nilai ekonomi kawasan mangrove Muara Angke untuk mendukung potensi kegiatan wisata alam dan jasa laingkungan lainya. Penggunaan teknologi pengelolaan untuk mengendalikan pencemaran lingkungan, abrasi, banjir pasang (rob), dan interusi air laut merupakan kebijakan pendukung tewujudnya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan.
216
7.3.4
Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke Untuk menjalankan berbagai kebijakan berdasarkan prioritasnya, maka
diperlukan strategi yang saling mendukung guna efektivitas dan efisiensi kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Penentuan strategi pengelolaan didasarkan atas berbagai faktor yang telah diidentifikasi tersebut dan disesuaikan dengan kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat setempat.
1.
Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Mangrove Muara Angke Penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
akan efektif jika dilakukan juga perubahan status kawasan pengelolaan menjadi Taman Hutan Raya. Oleh karena itu untuk mewujudkan strategi penguatan kelembagaan pengelolaan perlu dilakukan beberapa langkah-langkah sebagai berikut: (1)
Penyusunan konsep rencana pengelolaan Taman Hutan Raya, yang di dalamnya terdapat blok perlindungan, blok pemanfaatan, blok lainnya , berikut dengan program dan kegiatan pengelolaan. Konsep pengelolaan Taman Hutan Raya dinilai mampu menyatukan kelembagaan pengelolaan, keterpaduan
program,
dan
kegiatan
pengelolaan,
serta
sinergitas
pengelolaan mangrove Muara Angke dengan pengelolaan pemukiman Pantai Indah Kapuk, termasuk antisipasi terhadap reklamasi pantai dan pengelolaan hutan konservasi yang berada di Kepulauan Seribu (Cagar Alam Pulau Bokor dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut), mengingat keberadaan jenis-jenis burung air menggunakan Pulau Rambut dan Muara Angke sebagai habitat pendukung kehidupannya (2)
Kelembagaan dan sarana pendukung pengelolaan insitu (di Muara Angke), agar mudah dan cepat dalam implentasi pengelolaan
(3)
Sosialisasi dan penggalangan dukungan dari para pihak (stakeholders) yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove Muara Angke dalam kelembagaan Taman Hutan Raya, nama Taman Hutan Raya
217
(4)
Menyiapkan usulan status pengelolaan Taman Hutan Raya kepada pengambil kebijakan di tingkat pemerintah daerah (Walikota Jakata Utara, Gubernur DKI Jakarta)
(5)
Membuat proposal usulan pengelolaan kawasan mangrove dalam kerangka kelembagaan Taman Hutan Raya untuk diajukan kepada Menteri Kehutanan
(6)
2.
Mempresentasikan di hadapan Menteri Kehutanan dan jajarannya.
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolan Mangrove Partisipasi masyarakat, baik masyarakat setempat, swasta, perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, peneliti dan pemerhati sangat penting untuk ditingkatkan guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan. Beberapa langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: (1)
Sosialisasi tujuan, program, dan kegiatan pengelolaan Taman Hutan Raya, berikut manfaat dan keuntungan pengelolaan, serta bentuk partisipasi yang dapat dilakukan masyarakat
(2)
Mengidentifikasi peran dan ketersediaan berpartisipasi para pihak dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
(3)
Merumuskan program dan kegiatan yang dapat dilakukan para pihak (masyarakat, swasta, pemerhati, peneliti, dan LSM) dalam rangka pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan
(4)
Melakukan dialog dengan DPRD Propinsi DKI Jakarta, lembaga internasional yang bergerak di bidang lingkungan dan pembangunan (UNEP, UNESCO, WWF, ITTO, JICA, OISCA, KOICA, ISME, dan sebagainya) untuk mendapatkan dukungan program dan kegiatan, serta peluang pendanaan pengelolaan
(5)
Merumuskan program dan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar
kawasan
mangrove
Muara
Angke
(penyuluhan,
pelatihan,
pendampingan, pemasaran, dan penguatan kelembagaan) (6)
Merumuskan program dan kegiatan wisata alam yang menyatukan obyek di dalam kawasan mangrove Muara Angke dengan obyek wisata di luar kawasan mangrove Muara Angke (pasar ikan Kamal Muara dan Kapuk Muara, obyek wisata kota tua, pasar Mangga Dua dan pasar Tanah Abang,
218
serta Taman Impian Jaya Ancol, dan sebagainya dalam satu kesatuan paket wisata alam yang disusun dengan pertimbangan alokasi atau ketersediaan waktu dan keragaman obyek (7)
Mengusulkan kelengkapan sarana pendukung pengelolaan kawasan Taman Hutan Raya, seperti: perkantoran, peralatan, lapangan parkir, pintu gerbang, batas kawasan, batas zonasi, papan nama dan papan himbauan, dan papan informasi.
3.
Konservasi Mangrove untuk Mempertahankan dan Meningkatkan Nilai Keberadaan dan Nilai Ekonomi Mangrove Konservasi mangrove dilakukan melalui peningkatan kualitas lingkungan,
dan komunitas vegetasi mangrove, serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kegiatan konservasi mangrove, meliputi: (1)
Menyusun rencana program dan kegiatan rehabilitasi mangrove (luas dan lokasi, jenis yang ditanam, penanaman dan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi, serta teknik rehabilitasi mangrove yang dipergunakan)
(2)
Melakukan identifikasi jenis yang sesuai untuk kegiatan rehabilitasi
(3)
Mengalokasikan kegiatan rehabilitasi bagi parapihak yang minat dan mendukung (swasta, lsm, pelajar dan mahasiswa, peneliti dan pemerhati, dan sebagainya)
(4)
Memperbaiki sistem drainase bagi aliran air laut menuju kawasan mangrove agar salinitas air dapat dipertahankan dalam kondisi payau (salinitas antara 1 - 18%)
(5)
Melakukan pengawasan dan pencegahan terjadinya perburuan satwaliar, penebangan pohon mangrove, dan penyerobotan lahan
(6)
Melakukan pengendalian populasi satwa yang berpotensi mengganggu masyarakat
(7)
Menyusun buku pengenal flora dan fauna mangrove Muara Angke, poster, booklet dan lealet
(8)
Melakukan advokasi dan publikasi keberadaan dan nilai manfaat mangrove Muara Angke
(9)
Melengkapi dan meningkatkan sarana prasarana pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
219
4.
Penggunaan Teknologi Pengelolaan Kawasan Mangrove Pengendalian dampak abrasi pantai, banjir pasang (rob), dan interusi air
laut perlu dilakukan dengan menerapkan teknologi dan sekaligus meningkatkan kualitas mangrove Muara Angke. Penerapan teknologi pengelolaan limbah cair dan limbah padat (sampah) perlu dikembangkan untuk mengurangi pencemaran lingkungan, baik di wilayah hulu dan hilir.
7.4
Kesimpulan Hasil penelitian ini telah merumuskan arahan kebijakan pengelolaan
kawasan mangrove Muara Angke untuk kegiatan wisata alam dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhinya. Arahan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan dalam penelitian ini merumuskan empat kebijakan pengelolaan, yaitu: (1) Penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove, (2) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove, (3) Konservasi mangrove, dan (4) Teknologi pengelolaan kawasan mangrove. Pilihan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke menjadi Taman Hutan Raya merupakan status kelembagaan yang sesuai dengan kondisi pengelolaan saat ini dan tuntutan untuk mengatasi permasalahan dan pengembangan pengelolaan di masa mendatang.
220
8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1
Kesimpulan Kondisi ekosistem mangrove Muara Angke tidak mampu menjalankan
fungsinya dengan baik, yang disebabkan oleh: tingkat pencemaran yang tinggi, kandungan logam berat > baku mutu kualitas air, penurunan kelimpahan individu burung, salinitas air pada beberapa lokasi 0 o/oo (air tawar) dan terjadinya abrasi pantai, dan banjir pasang (rob). Walaupun tutupan vegetasi (NDVI) meningkat, namun masih belum mampu meningkatkan fungsi ekologi kawasan mangrove Muara Angke. Partisipasi, dan kesadaran masyarakat sekitar (Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk, dan Kelurahan Kapuk Muara) masih rendah, serta kesadaran berpartisipasi masih berupa kesediaan bekerja bakti, serta belum ada kesadaran masyarakat lokal yang secara sukarela membantu pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Penilaian keberadaan masyarakat terhadap kawasan mangrove sebagai kawasan hutan lindung, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan sebagai tanah negara cukup tinggi, namun tidak diikuti dengan partisipasi pengelolaannya. Nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke DKI Jakarta (478 ha) sekitar Rp. 100.009.463.994,-/tahun yang terdiri atas nilai manfaat langsung
(Rp.
19.103.256.000,-/tahun),
manfaat
tidak
langsung
(Rp.
80.033.690.876,-/tahun), nilai pilihan (Rp. 46.205.700,-/tahun), nilai pewarisan (Rp. 35.000.000,-/tahun) dan nilai keberadaan (Rp. 791.311.418,2/tahun). Kondisi pengelolaan kawaan mangrove Muara Angke DKI Jakarta belum berkelanjutan, yang ditunjukkan dengan nilai skor dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan (< 75). Faktor-faktor pengungkit keberlanjutan yang perlu didorong adalah dimensi ekologi (abrasi pantai, pencemaran lingkungan, fungsi konservasi menurun, dan sedimentasi), dimensi ekonomi (anggaran pemerintah untuk pengelolaan mangrove, dukungan dana CSR, dan aksesibilitas kawasan mangrove), dimensi sosial (partisipasi pengelolaan masyarakat, kesadaran masyarakat, dan perhatian peneliti), dimensi kelembagaan (komitmen pemerintah daerah, keterpaduan
221
program, dan legalitas kawasan mangrove), dan dimensi teknologi (teknologi rehabilitasi
mangrove,
teknologi
penanggulangan
pencemaran,
teknologi
pencegahan, dan penanggulangan abrasi atau banjir atau rob). Arahan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan dalam penelitian ini merumuskan 4 kebijakan pengelolaan, yaitu: (1) Penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove, (2) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove, (3) Konservasi mangrove, dan (4) Teknologi pengelolaan lingkungan mangrove. Kelembagaan pengelolaan Taman Hutan Raya dinilai merupakan pilihan tepat dalam menjawab permasalahan pengelolaan dan tantangan pengembangan pada masa mendatang. Strategi kebijakan penguatan kelembagaan pengelolaan mangrove dapat dilakukan dengan cara: (1) Penyusunan konsep rencana pengelolaan Taman Hutan Raya berikut dengan program dan kegiatan pengelolaan, sinergitas pengelolaan mangrove Muara Angke dengan pengelolaan pemukiman Pantai Indah Kapuk, antisipasi terhadap reklamasi pantai dan pengelolaan hutan konservasi yang berada di Kepulauan Seribu (Cagar Alam Pulau Bokor dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, kelembagaan dan sarana pendukung pengelolaan insitu (di Muara Angke), agar mudah dan cepat dalam implentasi pengelolaan, (2) Sosialisasi dan penggalangan dukungan dari para pihak (stakeholders) yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove Muara Angke dalam kelembagaan Taman Hutan Raya, (3) Menyiapkan usulan status pengelolaan Taman Hutan Raya kepada pengambil kebijakan di tingkat pemerintah daerah (Walikota Jakata Utara, Gubernur DKI Jakarta), (4) Membuat proposal usulan pengelolaan kawasan mangrove dalam kerangka kelembagaan Taman Hutan Raya untuk diajukan kepada Menteri Kehutanan, (5) Mempresentasikan di hadapan Menteri Kehutanan dan jajarannya. Strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove dapat ditempuh dengan melakukan: (1) Sosialisasi tujuan, program, dan kegiatan pengelolaan Taman Hutan Raya, berikut manfaat dan keuntungan pengelolaan, serta bentuk partisipasi yang dapat dilakukan masyarakat, (2) Mengidentifikasi peran dan ketersediaan berpartisipasi para pihak dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, (3) Merumuskan program dan
222
kegiatan yang dapat dilakukan parapihak dalam rangka pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan, (4) Melakukan dialog dengan DPRD Propinsi DKI Jakarta, lembaga internasional yang bergerak di bidang lingkungan dan pembangunan (UNEP, UNESCO, WWF, ITTO, JICA, OISCA, KOICA, ISME, dan sebagainya) untuk mendapatkan dukungan program dan kegiatan, serta peluang pendanaan pengelolaan, (5) Merumuskan program dan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove Muara Angke, (6) Merumuskan program dan kegiatan wisata alam yang menyatukan obyek di dalam kawasan mangrove Muara Angke dengan obyek wisata di luar kawasan mangrove Muara Angke (pasar ikan Kamal Muara dan Kapuk Muara, obyek wisata kota tua, pasar Mangga Dua dan pasar Tanah Abang, serta Taman Impian Jaya Ancol, dan sebagainya) dalam satu kesatuan paket wisata alam yang disusun dengan pertimbangan alokasi atau ketersediaan waktu dan keragaman obyek, (7) Mengusulkan kelengkapan sarana pendukung pengelolaan kawasan Taman Hutan Raya, seperti: perkantoran, peralatan, lapangan parkir, pintu gerbang, batas kawasan, batas zonasi, papan nama dan papan himbauan, dan papan informasi. Strategi
konservasi
mangrove
untuk
mempertahankan
dan
meningkatkan nilai keberadaan dan nilai ekonomi mangrove dapat dilakukan dengan; (1) Menyusun rencana program dan kegiatan rehabilitasi mangrove (luas dan lokasi, jenis yang ditanam, penanaman dan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi, serta teknik rehabilitasi mangrove yang dipergunakan), (2) Melakukan identifikasi jenis yang sesuai untuk kegiatan rehabilitasi, (3) Mengalokasikan kegiatan rehabilitasi bagi parapihak yang minat dan mendukung, (4) Memperbaiki sistem drainase bagi aliran air laut menuju kawasan mangrove agar salinitas air dapat dipertahankan dalam kondisi payau (salinitas antara 1 - 18%), (5) Melakukan pengawasan dan pencegahan terjadinya perburuan satwaliar, penebangan pohon mangrove, dan penyerobotan lahan, (6) Melakukan pengendalian populasi satwa yang berpotensi mengganggu masyarakat, (7) Menyusun buku pengenal flora dan fauna mangrove Muara Angke, poster, booklet dan leaflet, (8) Melakukan advokasi dan publikasi keberadaan dan nilai manfaat mangrove Muara Angke, (9) Melengkapi dan meningkatkan sarana prasarana pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
223
Strategi penggunaan teknologi pengelolaan kawasan mangrove dapat dilakukan dengan: (1) Pengendalian dampak abrasi pantai, banjir pasang (rob), dan interusi air laut, (2)Menerapkan teknologi dan sekaligus meningkatkan kualitas mangrove Muara Angke., (3) Penerapan teknologi pengelolaan limbah cair dan limbah padat (sampah) perlu dikembangkan untuk mengurangi pencemaran lingkungan, baik di wilayah hulu dan hilir.
8.2
Saran Dalam upaya meningkatkan kapasitas kelembagaan, disarankan untuk
melakukan kajian kelayakan kelembagaan pengelolaan Taman Hutan Raya pada kawasan mangrove Muara Angke Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah daerah perlu menyusun progam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke terpadu dan berkelanjutan, agar potensi dana CSR dapat dioptimalkan, serta sebagai acuan bersama dalam meningkatkan kapasitas pengelolaan. Disamping itu perlu menyusun peraturan yang mewajibkan stakeholder pemanfaat mangrove (lembaga pendidikan) untuk memanfaatkan kawasan mangrove Muara Angke sebagai laboratorium alam, agar kegiatan ekowisata berkembang dan kawasan mangrove terkelola. Pemerintah Pusat (Kementrian Kehutanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Kementrian Dalam Negeri) perlu mengalokasikan program terkait dengan peningkatan partisipasi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.
224
DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. IUCN Wetlands Programme. Bangkok. Alder J, TJ Pitcher, D Preikshot, K Kaschner, and B Feriss. 2000. How good is good? A Rapid appraisal technique for evaluation of the sustainable status of fisheriesof the North Atlantic. In Pauly and Pitcher (eds). Methods for evaluation the impact of fisheries on the North Atlantic ecosystem. Fisheries Center Research Reports. Vol (8) No. 2. Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. Bogor. Barkosurtanal. 2009. Luas Kawasan Mangrove Indonesia. Barkosurtanal, Bogor Barton DN. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR_Report 14/94. Center for Studies of Environment and Resources. University of Bergen. Norway. Budhisantoso S. 1998. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: PT. Pustaka Grafita Kita. Bunt JS and Wolanski E. 1980. Hydraulics and Sediment Transport in a Creek Mangrove Swamp System. Brisbane: Australasian Conference on Hydraulics and Fluid Mechanics. [BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2010. Jakarta: DKI Jakarta Dalam Angka Tahun 2009. [BPS Jakarta Utara] Badan Pusat Statistik Jakarta Utara. 2007. Jakarta: Jakarta Utara dalam Angka Tahun 2006. Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta. 1999. Analisis Dampak Lingkungan Regional Reklamasih dan Revitalisasi Pantura Jakarta. Jakarta: LPPM IPB. [CSD] Commission on Sustainable Development. 2001. Indicators of Sustainable Development: Framework and Methodology. Commission on Sustainable Development. Background Paper No.3 Division for Suatainable Development. New York. de Groat Rudolf. 1992. Functions of Nature: Evaluation of Nature in Environmental Planning, Management, and Decision Making. Amsterdam: Walters – Noordh Office.
225
Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Jakarta: Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB. 1997. Laporan Akhir: Perencanaan Konservasi Sumberdaya Alam di Kawasan Pantai Utara DKI Jakarta. Dinas Kehutanan DKI Jakarta Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB. Diposaptono S dan Budiman. 2005. Tsunami. Bogor: PT. Sarana Komunikasi Utama. Direktorat Jenderal Perikanan. 1991. Statistik Perikanan Indonesia. Jakarta: Departemen Pertanian. Dunn WN. 1998. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Dunn, W.N. 1999. Public Policy An Introduction, Second Edition, University of Pittsburg, Prentice Hall inc, New Jersey. Dona ld J. Morr isey1, Andre w Swales2, Sa bine Dittmann 3, Mar k A. Morr ison4, Cat her ine E. Lovelock5 & Cat her ine M. Beard 6. 2010. 1National Institute of Water and Atmospheric Research Ltd.,P.O. Box 893, Nelson, New Zealand. FAO 1982. Management and utilization of Mangrove in Asia and the Pasific. FAO Environmental Paper. FAO, Rome Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumbredaya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Lautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fisher P and Spalding MD. 1993. Protected Areas with Mangrove Habitat. Cambridge: Draft Report World Conservation Centre UK. 60pp. Giesen W. 1991. Checklist of Indonesian Fresh Water Aquatic Herbs. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 27. Jakarta: Asian Wetland Bureau-Indonesia. Gunawan R. 2010. Gagalnya Sistem Kanal (Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa). Jakarta: Kompas Penerbit Buku. Haan JH De. 1935. De Tjilatjapsche vloedhossechen. Tectona 24:39 - 76.
226
Hanna S. 1999. Strengthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological Economics Vol. 31 : pp. 275-286. Islamy MI. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT. Bumi Aksara. [ITTO] International Tropical Timber Organization. 2000. Mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia: Kalkulasi Nilai Kayu. Seri 4 hasil Laporan Misi Teknis ITTO untuk Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan dan ITTO. JICA. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari (alih bahasa: editor Oki Hadiyati dan Ni Luh Kompyang Sri Marsheni). Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Japan International Cooperation Agency. Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta. 1998. Pemantauan Kualitas Air Tanah di DKI Jakarta Tahun 1997-1998. Jakarta: Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta. Kartawinata K and Waluyo. 1977. A Preliminary Study of The Mangrove Forest on P. Rambut. Jakarta. Mar. Res. Indon. 18:119-129. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Kusmana C. 1983. Analisa Vegetasi Hutan Mangrove di Muara Angke Jakarta [skripsi]. Bogor: Departemen Menejemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Kusmana C. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Tumbuhan. Pelatihan Tehnik Pengukuran dan Monitoring Biodiversity di Hutan Tropika Indonesia. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Kusmana C. dan Istomo. 1993. Arahan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove untuk Rekreasi. Makalah Seminar Nasional Manajemen Kawasan Pesisir untuk Ekoturisme. Bogor: Magister Manajemen IPB. (tidak dipublikasikan). Kusmana C. 2001. Respon Mangrove Terhadap Perubahan Iklim Global: Aspek Biologi dan Ekologi Mangrove. Bogor: Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Kusmana C. 2002. Pengelolaan Ekosistem Mangrove secara Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Bogor.
227
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). 2000. Rencana Pengelolaan Suaka Margasatwa Muara Angke. Bogor. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). 2008. Valuasi Ekonomi Kawasan Mangrove Batu Ampar, kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Bogor. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). 2004. Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove di Bengkalis. LPP Mangrove- Bogor. Lewis III, R.R. 2004. Ecological engineering for successful management and restoration of mangrove forests. Lewis Environmental Services, Inc., P.O. Box 5430, Salt Springs, FL 32134, USA Lugo A and SC Snedaker. 1974. The Ecology of Mangroves. Annual Review of Ecology and Systematics 5: 39-64. Mazda Y, Wolanski E, and Ridd PV. 2007. The Role of Physical Processes in Mangrove Environments: Manual for the preservation and utilization of mangrove ecosystems. Tokyo: Terrapub. Sponsored and supported by Keidanren Nature Conservation Fund, Action for Mangrove Reforestation, The International Sociery for Mangrove Ecosystems, Tohoku Ryokka Kankyohozen Co. Ltd., and Mikuniya Corporation. Naamin N. 2002. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. VIII No. 2. Nurifdinsyah J. 1993. Studi Kualitas Sungai Cikaranggelam Menggunakan Makrozoobentos sebagai Indikator Pencemaran Lingkungan Perairan [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Nybakken JW. 1992. Biologi laut, suatu pendekatan ekologis. Alih bahasa : H. M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo. Jakarta: PT. Gramedia. Pagiola, S.von Ritter, K. and J. Bishop. (2004). Assessing The Economic Value of Ecosystem Conservation. Environment Department Papers No 101. Washington, D.C: The World Bank. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 1996. Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010. Jakarta: Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Fakultas Kehutanan IPB. 2000. Laporan Akhir: Penyususnan Identifikasi Pemanfaatan Kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta-Fakultas Kehutanan IPB.
228
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan. 1998. Studi Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Menyusun Basis Data Potensi Kawasan Perairan Teluk Jakarta. Jakarta: Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan. Pomeroy RS and MJ Williams. 1994. Fisheries Co-management and Small-scale Fisheries: A Policy Brief. Manila: ICLARM. [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor. 2001. Kebijakan Pelestarian Ekosistem Mangrove sebagai Jalur Hijau Pantai (Green Belt) dalam Konteks Era Otonomi Daerah. Berkerjasama dengan Kantor Kementrian Negara Lingkungan Hidup. PT. Mandara Permai. 1994. Draft Laporan Akhir : Kajian Ulang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Pembaharuan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) Rencana Pengembangan Kawasan Rekreasi dan Perumahan Kapuk-Jakarta Utara. Jakarta: Riptikon. Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2007 tentang Pemanfaatan Kawasan hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan kawasan Suaka Alam dan kawasan pelestarian Alam. Primavera, J.H and Esteban, J.M.A. 2008. A review of mangrove rehabilitation in the Philippines: successes, failures and future prospects. Wetlands Ecol Manage (2008) 16:345–358. DOI 10.1007/s11273-008-9101-y. Ongkosongo et al. 1986. Pemikiran Awal Kriteria Penentuan Jalur Hijau Mangrove. Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Mangrove. Jakarta: MAB-LIPI. Ostrom Elinor. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. New York: Cambridge University Press. Ruitenberk JH. 1994, Modelling economy-ecology linkages in mangroves: Economic evidence for promoting conservation in Bintuni Bay, Indonesia. Ecological Economics 10:223-247. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin (Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalan Situasi Kompleks). Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Santoso N. 2002. Desain Pengelolaan Kawasan Lindung di Muara Angke DKI Jakarta. Draft Disertasi Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
229
Santoso N. 2011. Hutan dan Lingkungan, Solusi Krisis Masa Depan. Jakarta: PT. Pustaka Ababil. Satria Arif et al. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta: PT. Pustaka Cidesendo. Schimper AFW. 1898. Pfalnzengeographic auf Physiological Basis. Oxford University Press. Silvius M J, Djuharsa E, Taufik AW, Steeman APJM, and Berczy ET. 1987. The Indonesian Wetland Inventory: A Preliminary Compilation of Information on Wetlands of Indonesia. Singarimbun M dan S Effendi. LP3ES.
1989.
Metode Penelitian Survey.
Jakarta:
Soemodiharjo S. 1993. Proceedings of The Regional Seminar on Ecosystem Rehabilitation of Ecotone II. Jakarta: Indonesian National MAB Committee. Soerianegara I. 1971. Characteristics of Mangrove Soils of Java. Rimba Indonesia 15: 141 - 150. Spalding MD, Blasco and Field CD (Editors). 1997. World Mangrove Atlas. International Society For Mangrove Ecosystem. Okinawa Japan. Spalding M, Kainuwa M, and Collins L. 2010. World Atlas of Mangroves. Sponsored: ITTO, ISME, FAO, UNEP, WCMC, UNESCO and MAB, UNU-IWEH and TNC. London and Washington DC. Specht RL. 1970. Vegetation in the Australian Environment. GW Leeper Ed. Fourth Edition. Melbourne: CSIRO. Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Suryono T. 2006. Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Mangrove Angke Kapuk Jakarta Utara) [tesis]. Bogor: Pascasarjana IPB. Suwijanto. 1977. Geologi Dataran Jakarta dan Sekitarnya. Dalam : Teluk Jakarta : Sumberdaya, sifat-sifat oseanologis, serta permasalahannya (Eds.: Hutomo, M., K.Romimoharto dan Burhanuddin). Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI Jakarta. Tim Teluk Jakarta. 1996. Penyelidikan Geologi Wilayah Pantai dan Lepas Pantai Perairan Teluk Jakarta dan Sekitarnya. Departemen Pertambangan dan Energi Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral Pusat Pengembangan Geologi Kelautan Bandung.
230
Tomlinson PB. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge University Press. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Van Steenis CGGJ. 1958. Ecology (Introductory Part to the Monograph of Rizoporaceae by Ding Hou). Flora Malesiana 5:431-441. Wartapura Sutisna. 1991. Kebijaksanaan Pengelolaan Mangrove dari Sudut Konservasi. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Jakarta: LIPI. Watson JG. 1928. Mangrove Forest of the Malay Peninsula Malayan Forest Records 6; 1- 275. Watson J.G. 1928. Mangrove Forests of The Malay Peninsula. Malaysian Forest Records No. 6. Kulala Lumpur. Whitten T, RE Soeriatmadja dan SA Afiff. 1999. Ekologi at Jawa and Bali. Dalhouse University. Canadian International Development Agency. Wilhm JJ (1975). Biological Indicators of Pollutions, In Witton BA (Ed). River Ecology, Blockwell Scientific Pupl. Osney Mead. Oxford. pp. 375-402. [WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. United Nation World Commission on Environment and Development. Oxford University Press. London.
LAMPIRAN
233
Lampiran 1 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Hutan Lindung Muara Angke tahun 2002 Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur I Hari/Tanggal : 15 Januari 2002 Posisi : No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Lokal Api-api Keremek putih Kerinyuh laut Xtba Buta-buta Rumput teki Deris Piyai Kangkung laut Beluntas Xtbb Pace Waru laut Xtbc Total
Jumlah Ind. 116 80 28 34 9 30 5 6 8 5 4 3 1 1 330
K 36250.00 25000.00 8750.00 10625.00 2812.50 9375.00 1562.50 1875.00 2500.00 1562.50 1250.00 937.50 312.50 312.50 103125.00
KR 35.15 24.24 8.48 10.30 2.73 9.09 1.52 1.82 2.42 1.52 1.21 0.91 0.30 0.30 100.00
F 0.75 0.38 0.50 0.38 0.63 0.13 0.38 0.25 0.13 0.13 0.13 0.13 0.13 0.13 4.13
FR 18.18 9.09 12.12 9.09 15.15 3.03 9.09 6.06 3.03 3.03 3.03 3.03 3.03 3.03 100.00
INP 53.33 33.33 20.61 19.39 17.88 12.12 10.61 7.88 5.45 4.55 4.24 3.94 3.33 3.33 200.00
K 20000.00 13750.00 10000.00 43750.00
KR 45.71 31.43 22.86 100.00
F 1.00 1.00 1.00 3.00
FR 33.33 33.33 33.33 100.00
INP 79.05 64.76 56.19 200.00
K 2500.00 150.00 150.00 100.00 50.00
KR 81.97 4.92 4.92 3.28 1.64
F 0.88 0.25 0.13 0.13 0.13
FR 50.00 14.29 7.14 7.14 7.14
INP 131.97 19.20 12.06 10.42 8.78
Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur II Hari/Tanggal : 15 Januari 2002 Posisi : No. 1 2 3
Nama Lokal Bakau merah Bakau putih Piyai Total
Jumlah Ind. 16 11 8 35
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur I Hari/Tanggal : 15 Januari 2002 Posisi : No. 1 2 3 4 5
Nama Lokal Api-api Buta-buta Bakau putih Api-api * Bakau merah
Jumlah Ind. 50 3 3 2 1
234
No. 6 7
Nama Lokal Duribusetan Waru laut Total
Jumlah Ind. 1 1 61
K 50.00 50.00 3050.00
KR 1.64 1.64 100.00
F 0.13 0.13 1.75
FR 7.14 7.14 100.00
INP 8.78 8.78 200.00
K 2000.00 400.00 2400.00
KR 83.33 16.67 100.00
F 1.00 1.00 2.00
FR 50.00 50.00 100.00
INP 133.33 66.67 200.00
KR 93.33 3.33 3.33 100.00
F 11.67 0.42 0.42 12.50
FR 1166.67 41.67 41.67 1250.00
D
KR 85.71 14.29 100.00
F
FR 50.00 50.00 100.00
D
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur II Hari/Tanggal : 15 Januari 2002 Posisi : No.
Nama Lokal 1 Bakau putih 2 Bakau merah Total
Jumlah Ind. 10 2 12
Tingkat Pertumbuhan Pohon Jalur I Hari/Tanggal : 15 Januari 2002 Posisi : No. 1 2 3
Nama Lokal Api-api Api-api * Buta-buta Total
K 350.00 12.50 12.50 375.00
5.60 0.10 0.10 5.80
DR 96.62 1.69 1.69 100.00
INP 264.95 17.52 17.52 300.00
Volume 1.87 0.02 0.03 1.92
8.01 1.35 9.36
DR 85.58 14.42 100.00
INP 221.29 78.71 300.00
Volume 0.92 0.15 1.07
Tingkat Pertumbuhan Pohon Jalur II Hari/Tanggal : 15 Januari 2002 Posisi : No. 1 2
Nama Lokal Bakau putih Bakau merah Total
K 900.00 150.00 1050.00
1.00 1.00 2.00
235
Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke pada tahun 2002 Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur I Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Lokal Kolonjono Kremek X6 Pidada Kangkung panjang Gelagah X10 X1 X2 Total
Jumlah Ind. 66 39 50 12 26 16 32 5 2 248
K 41250 24375 31250 7500 16250 10000 20000 3125 1250 155000
KR 26.61 15.73 20.16 4.84 10.48 6.45 12.90 2.02 0.81 100
F 0.50 0.50 0.25 0.75 0.50 0.50 0.25 0.25 0.25 3.75
FR 13.33 13.33 6.67 20.00 13.33 13.33 6.67 6.67 6.67 100
INP 39.95 29.06 26.83 24.84 23.82 19.78 19.57 8.68 7.47 200
K 11666.67 12500.00 6666.67 5833.33 10833.33 1666.67 1666.67 50833.33
KR 22.95 24.59 13.11 11.48 21.31 3.28 3.28 100
F 0.67 0.33 0.67 0.67 0.33 0.33 0.33 3.33
FR INP 20.00 42.95 10.00 34.59 20.00 33.11 20.00 31.48 10.00 31.31 10.00 13.28 10.00 13.28 100 200.0001
K 95833.33 94166.67 12500.00 20833.33 5833.33 3333.33 2500.00
KR 40.35 39.65 5.26 8.77 2.46 1.40 1.05
F 1.00 1.00 1.00 0.33 0.33 0.33 0.33
FR 21.43 21.43 21.43 7.14 7.14 7.14 7.14
Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur II Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. 1 2 3 4 5 6 7
Nama Lokal Kangkung panjang X2 Bruguiera Enceng gondok X12 Gelagah X11 Total
Jumlah Ind. 14 15 8 7 13 2 2 61
Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur III Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. 1 2 3 4 5 6 7
Nama Lokal Kolonjono Kremek Bruguiera X12 X14 X13 Enceng gondok
Jumlah Ind. 115 113 15 25 7 4 3
INP 61.78 61.08 26.69 15.91 9.60 8.55 8.20
236
No. Nama Lokal 8 Kangkung panjang Total
Jumlah Ind. 3 285
K 2500.00 237500
KR 1.05 100
F 0.33 4.67
FR 7.14 100
INP 8.20 200
K 75500.00 125000.00 7500.00 5000.00 2000.00 2000.00 1500.00 1000.00 500.00 220000
KR 34.32 56.82 3.41 2.27 0.91 0.91 0.68 0.45 0.23 100
F 1.00 0.20 0.80 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 3.20
FR 31.25 6.25 25.00 6.25 6.25 6.25 6.25 6.25 6.25 100
INP 65.57 63.07 28.41 8.52 7.16 7.16 6.93 6.70 6.48 200
K 8125.00 5000.00 2500.00 625.00 16250
KR 50.00 30.77 15.38 3.85 100
F 0.75 0.50 0.50 0.25 2
FR 37.50 25.00 25.00 12.50 100
INP 87.50 55.77 40.38 16.35 200
K 1300.00 300.00 200.00 200.00 2000
KR 65 15 10 10 100
F 0.50 0.25 0.25 0.25 1.25
FR 40.00 20.00 20.00 20.00 100
INP 105.00 35.00 30.00 30.00 200
Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur IV Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Lokal Enceng gondok Keremek Piyai Rumput teki Akar Kolonjono Lunting Pidada Nyamplung Total
Jumlah Ind. 151 250 15 10 4 4 3 2 1 440
Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur V Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. 1 2 3 4
Nama Lokal Bakau merah Api-api Bakau putih Piyai Total
Jumlah Ind. 13 8 4 1 26
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur I Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No 1 2 3 4
Nama Lokal Pidada Ketapang Loak Tulang ayam Total
Jumlah Ind. 13 3 2 2 20
237
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur II Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. Nama Lokal 1 Pidada 2 Bruguiera Total
Jumlah Ind. 18 1 19
K 2400.00 133.33 2533.33
KR 94.74 5.26 100
F 1.00 0.33 1.33
FR 75.00 25.00 100
INP 169.74 30.26 200
K 533.33 533.33
KR 100.00 100
F 0.33 0.33
FR 100.00 100
INP 200.00 200
K 3520.00 800.00 960.00 80.00 5360
KR 65.67 14.93 17.91 1.49 100
F 0.60 0.60 0.40 0.20 1.80
FR 33.33 33.33 22.22 11.11 100
INP 99.00 48.26 40.13 12.60 200
K 1600.00 700.00 400.00 2700
KR 59.26 25.93 14.81 100
F 0.75 0.75 0.50 2
FR 37.50 37.50 25.00 100
INP 96.76 63.43 39.81 200
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur III Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. Nama Lokal 1 Pidada Total
Jumlah Ind. 4 4
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur IV Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. 1 2 3 4
Nama Lokal Nipah Pidada Nyamplung Bakau putih Total
Jumlah Ind. 44 10 12 1 67
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur V Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. Nama Lokal 1 Bakau merah 2 Api-api 3 Bakau putih Total
Jumlah Ind. 16 7 4 27
238
Tingkat Pertumbuhan Pohon Jalur I Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. Nama Lokal 1 Pidada 2 Ketapang 3 Bungur Total
K 225.00 125.00 25.00 375.00
KR 60.00 33.33 6.67 100.00
F 0.75 0.25 0.25 1.25
FR 60.00 20.00 20.00 100.00
D 7.49 2.63 0.87 10.99
DR 68.17 23.95 7.88 100.00
INP 188.17 77.29 34.54 300.00
Volume 2.13 0.40 0.14 2.66
KR 100.00 100.00
F 1.00 1.00
FR 100.00 100.00
D 4.29 4.29
DR 100.00 100.00
INP Volume 300.00 0.4638408 300.00 0.4638408
KR 88.89 11.11 100
F 0.67 0.33 1
FR 66.67 33.33 100
D 3.09 4.40 7.49
DR 41.24 58.76 100
INP 196.80 103.20 300
Volume 0.32 1.69 2.01
KR 100.00 100
F 0.80 0.80
FR 100.00 100
D 11.22 11.22
DR 100.00 100
INP 300.00 300
Volume 3.62 3.62
KR 66.67 19.05 9.52 4.76 100
F 0.50 0.50 0.50 0.50 2
FR 25.00 25.00 25.00 25.00 100
D 3.22 0.83 0.43 0.20 4.67
DR 68.84 17.68 9.28 4.20 100
INP 160.50 61.73 43.81 33.96 300
Volume 0.50 0.11 0.07 0.03 0.71
Tingkat Pertumbuhan Pohon Jalur II Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. Nama Lokal 1 Pidada Total
K 466.67 466.67
Tingkat Pertumbuhan Pohon Jalur III Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 Posisi : No. Nama Lokal 1 Ketapang 2 Pidada Total
K 266.67 33.33 300
Tingkat Pertumbuhan Pohon Jalur IV Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 No. Nama Lokal 1 Pidada Total
K 320.00 320
Tingkat Pertumbuhan Pohon Jalur V Hari/Tanggal : Selasa, 8 Januari 2002 No. 1 2 3 4
Nama Lokal Api-api Bakau putih Bakau merah Buta-buta Total
K 350.00 100.00 50.00 25.00 525
239
Lampiran 3 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Kebun Bibit Muara Angke pada tahun 2002 Tingkat Pertumbuhan Semai Hari : Senin, 14 Januari 2002 Posisi S : E: No 1 2
Nama Jenis Api-api Bakau Total
Jumlah Ind. 43.00 2.00 45
F 1.00 0.50 1.50
FR (%) 66.67 33.33 100
K (Ind./ha) 26875.00 1250.00 28125
KR (%) 95.56 4.44 100
INP (%) 162.22 37.78 200
FR (%) 100 100
K (Indv/ha) 3000 3000
KR (%) 100 100
INP (%) 200 200
Jumlah Ind. 21.00 21.00
F 1.00 1.00
FR (%) 100.00 100.00
K (Indv/ha) 525.00 525.00
Tingkat Pertumbuhan Pancang Hari : Senin, 14 Januari 2002 Posisi S : E: No 1
Nama Jenis Api-api Total
Jml Individu 30 30
F 1 1
Tingkat Pertumbuhan Pohon Hari : Senin, 14 Januari 2002 Posisi S : E: No. 1
Nama Jenis Api-api Total
V (M3) 0.84 0.84
3
M /ha 20.90 20.90
KR (%) 100.00 100.00
2
D (M /ha) 5.30 5.30
DR (%) 100.00 100.00
INP (%) 300.00 300.00
240
Lampiran 4 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Hutan Wisata Muara Angke pada tahun 2002 Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur I Hari : Selasa/15 Januari 2002 Lokasi : Jalur hijau samping tambak di Hutan Wisata, mulai depan H. Mas’an o Posisi S : 06 06’04,9” E : 106o43’44,5” No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Jenis Deris Bakau pulau Beluntas Bakau putih Bakau merah Api-api Keji beling Kremek putih Akar Kirinyuh laut XtbA Krokot Total
Jumlah Ind. 128 53 21 20 12 8 21 20 6 15 4 7 315
F 0.83 0.33 0.50 0.33 0.28 0.28 0.06 0.06 0.17 0.06 0.11 0.06 3.06
FR (%) K (Ind./ha) 27.27 17777.78 10.91 7361.11 16.36 2916.67 10.91 2777.78 9.09 1666.67 9.09 1111.11 1.82 2916.67 1.82 2777.78 5.45 833.33 1.82 2083.33 3.64 555.56 1.82 972.22 100 43750
KR (%) 40.63 16.83 6.67 6.35 3.81 2.54 6.67 6.35 1.90 4.76 1.27 2.22 100
INP (%) 67.91 27.73 23.03 17.26 12.90 11.63 8.48 8.17 7.36 6.58 4.91 4.04 200
Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur II Lokasi : Mulai dari vegetasi yang didominasi oleh api-api, sempadan pantai hutan wisata Posisi
S : 06o05’53,3” E : 106o43’59,3”
No. 1 2 3 4 5 6
Nama Jenis Deris Api-api Bakau putih Bakau pulau Kirinyuh laut Kremek Total
Jumlah Ind. 4 4 6 3 4 3 24
F 0.75 0.50 0.25 0.50 0.25 0.25 2.50
FR (%) K (Ind./ha) 30.00 2500.00 20.00 2500.00 10.00 3750.00 20.00 1875.00 10.00 2500.00 10.00 1875.00 100 15000
KR (%) 16.67 16.67 25.00 12.50 16.67 12.50 100
INP (%) 46.67 36.67 35.00 32.50 26.67 22.50 200
241
Lanjutan Lampiran 4 Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur III Lokasi : Vegetasi campuran api-api dan bakau, dari sempadan pantai ke arah darat di hutan wisata Posisi
S : 06005’56,7” E : 106o44’04,7”
No. 1 2 3
Nama Jenis Api-api Bakau putih Deris Total
Jumlah Ind. 51 17 10 78
F 1 1 0.5 2.5
FR (%) 40 40 20 100
K (Ind./ha) 31875.00 10625.00 6250.00 48750
KR (%) 65.38 21.79 12.82 100
INP (%) 105.38 61.79 32.82 200
Tingkat Pertumbuhan Semai Jalur IV Hari : Senin, 14 Januari 2002 Lokasi : Jalur hijau yang berdekatan dengan kebun bibit, berada di samping kiri jalan hutan wisata No. 1
Nama Jenis Api-api Total
Jumlah Ind. 40 40
F 1 1
FR (%) 100 100
K (Ind./ha) 25000 25000
KR (%) 100 100
INP (%) 200 200
KR (%) 40.16 45.63 12.97 0.63 0.63 100.00
INP (%) 82.47 72.55 36.05 4.47 4.47 200.00
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur I Hari : Selasa, 15 Januari 2002 Lokasi : Jalur hijau samping tambak di Hutan Wisata, mulai depan H.Mas’an o Posisi S : 06 06’04,9” E : 106o43’44,5” No. 1 2 3 4 5
Nama Jenis Bakau putih Bakau pulau Bakau merah Api-api Bakau laut Total
Jumlah Ind. 257 292 83 4 4 640
F 0.61 0.39 0.33 0.06 0.06 1.44
FR (%) K (Ind./ha) 42.31 5711.11 26.92 6488.89 23.08 1844.44 3.85 88.89 3.85 88.89 100.00 14222.22
242
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur II Lokasi : Mulai dari vegetasi yang didominasi oleh api-api, sempadan pantai hutan wisata o Posisi S : 06 05’53,3” E : 106o43’59,3” No. 1 2 3 4
Nama Jenis Bakau pulau Api-api Pace Bakau putih Total
Jumlah Ind. 29 2 3 3 37
F 1.00 0.50 0.25 0.25 2.00
FR (%) K (Ind./ha) 50.00 2900.00 25.00 200.00 12.50 300.00 12.50 300.00 100.00 3700.00
KR (%) 78.38 5.41 8.11 8.11 100.00
INP (%) 128.38 30.41 20.61 20.61 200.00
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur III Lokasi : Vegetasi campuran api-api dan bakau, dari sempadan pantai ke arah darat di hutan wisata 0 Posisi S : 06 05’56,7” E : 106o44’04,7” No. 1 2
Nama Jenis Api-api Bakau putih Total
Jumlah Ind. 11 5 16
F 0.75 0.75 1.5
FR (%) 50 50 100
K (Ind./ha) 1100 500 1600
KR (%) 68.75 31.25 100
INP (%) 118.75 81.25 200
Tingkat Pertumbuhan Pancang Jalur IV Hari : Senin, 14 Januari 2002 Lokasi : Jalur hijau yang berdekatan dengan kebun bibit, berada di samping kiri jalan hutan wisata No. 1 2
Nama Jenis Api-api Bakau Total
Jumlah Ind. 19 1 20
F 1.00 0.25 1.25
FR (%) K (Ind./ha) 80.00 1900.00 20.00 100.00 100.00 2000.00
KR (%) 95.00 5.00 100.00
INP (%) 175.00 25.00 200.00
243
Lanjutan Lampiran 4 Tingkat Pertumbuhan Pohon Jalur I Hari : Selasa, 15 Januari 2002 Lokasi : Jalur hijau samping tambak di Hutan Wisata, mulai depan H.Mas’an o Posisi S : 06 06’04,9” E : 106o43’44,5” No. 1 2
Nama Jenis Api-api Bakau putih Total
Volume 1.09 0.03 1.12
M3/ha 6.04 0.19 6.24
Jumlah Ind. 12.00 1.00 13.00
F 0.44 0.06 0.50
FR (%) 88.89 11.11 100.00
K (Ind./ha) 66.67 5.56 72.22
KR (%) 92.31 7.69 100.00
D (M2/ha) 1.39 0.04 1.43
DR (%) 96.96 3.04 100.00
INP (%) 278.16 21.84 300.00
K (Ind./ha) 550.00 150.00 50.00 750.00
KR (%) 73.33 20.00 6.67 100.00
D (M2/ha) 11.67 1.30 0.43 13.40
DR (%) 87.06 9.71 3.24 100.00
INP (%) 203.25 72.56 24.19 300.00
KR (%) 83.87 16.13 100.00
D (M2/ha) 15.60 2.49 18.09
DR (%) 86.22 13.78 100.00
INP (%) 227.23 72.77 300.00
Tingkat Pertumbuhan Pohon Jalur II Lokasi : Mulai dari vegetasi yang didominasi oleh api-api, sempadan pantai hutan wisata o Posisi S : 06 05’53,3” E : 106o43’59,3” No. 1 2 3
Nama Jenis Api-api Bakau putih Bakau pulau Total
Volume 2.34 0.20 0.06 2.61
M3/ha 58.55 5.11 1.58 65.23
Jumlah Ind. 22.00 6.00 2.00 30.00
F 0.75 0.75 0.25 1.75
FR (%) 42.86 42.86 14.29 100.00
Tingkat Pertumbuhan Pohon Jalur III Lokasi : Vegetasi campuran api-api dan bakau, dari sempadan pantai ke arah darat di hutan wisata 0 Posisi S : 06 05’56,7” E : 106o44’04,7” No. 1 2
Nama Jenis Api-api Bakau putih Total
Volume 3.13 0.49 3.62
M3/ha 78.29 12.19 90.48
Jumlah Ind. 52.00 10.00 62.00
F 1.00 0.75 1.75
FR (%) 57.14 42.86 100.00
K (Ind./ha) 1300.00 250.00 1550.00
244
Lanjutan Lampiran 4 Tingkat Pertumbuhan Jalur IV Hari : Senin, 14 Januari 2002 Lokasi : Jalur hijau yang berdekatan dengan kebun bibit, berada di samping kiri jalan hutan wisata No. 1
Nama Jenis Api-api Total
Volume 0.35 0.35
M3/ha 8.79 8.79
Jumlah Ind. 7.00 7.00
F 0.75 0.75
FR (%) 100.00 100.00
K (Ind./ha) 175.00 175.00
KR (%) 100.00 100.00
D (M2/ha) 1.93 1.93
DR (%) 100.00 100.00
INP (%) 300.00 300.00
245
Lampiran 5 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Hutan Lindung Muara Angke pada tahun 2011
Jalur I Hari/Tanggal: Rabu, 30-11-2011 Salinitas: Lokasi: Hutan Lindung Muara Angke Pos II Panjang Jalur: 20x10 meter
19 0/00
Tingkat Semai No 1 2
Jenis Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Total
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
6 17 23
300 850 1150
26.09 73.91 100
0.5 0.5 1
50.00 50.00 100
76.09 123.91 200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
20 30 19 69
1000 1500 950 3450
28.99 43.48 27.54 100
0.5 1 1 2.5
20.00 40.00 40.00 100
48.99 83.48 67.54 200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
Dominasi (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
6 3 16 1 26
300 150 800 50 1300
23.08 11.54 61.54 3.85 100
1 0.5 1 0.5 3
33.33 16.67 33.33 16.67 100
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
52 5 57
1733.33 166.67 1900
91.23 8.77 100
1 0.5 1.5
66.67 33.33 100
157.89 42.11 200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
Dominasi (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
10 11 5 26
333.33 366.67 166.67 866.67
38.46 42.31 19.23 100.00
1 1 0.67 2.67
37.50 37.50 25.00 100.00
0.00 0.00 0.00 0.00
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!
Tingkat Pancang No 1 2 3
Jenis Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Avicenia marina Total
Tingkat Pohon No 1 2 3 4
Jenis Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Avicenia marina Excoecaria agallocha Total
Jalur II Hari/Tanggal: Rabu, 30-11-2011 Lokasi: Hutan Lindung Muara Angke Pos II Panjang Jalur: 30x10 meter Tingkat Pancang No 1 2
Jenis Rhizophora mucronata Thespesia populnea Total
Tingkat Pohon No 1 2 3
Jenis Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Avicenia marina Total
246
Jalur III Hari/Tanggal: Rabu, 30-11-2011 Lokasi: Hutan Lindung Muara Angke Pos III (Reklamasi) Panjang Jalur: 20x10 meter Tingkat Semai No 1 2
Jenis Rhizophora apiculata Morinda citrifolia Total
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
1 2 3
50 100 150
33.33 66.67 100
0.5 0.5 1
50.00 50.00 100
83.33 116.67 200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
5 1 11 2 19
250 50 550 100 950
26.32 5.26 57.89 10.53 100
0.5 0.5 1 0.5 2.5
20.00 20.00 40.00 20.00 100
46.32 25.26 97.89 30.53 200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
Dominasi (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
2 23 25
100 1150 1250
8 92 100
0.5 1 1.5
33.33 66.67 100
0.00 0.00 0.00
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
6 1 2 9
300 50 100 450
66.67 11.11 22.22 100
1 0.5 0.5 2
50.00 25.00 25.00 100
116.67 36.11 47.22 200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
80 40 5 3 3 131
4000 2000 250 150 150 6550
61.07 30.53 3.82 2.29 2.29 100
1 0.5 0.5 0.5 0.5 3
33.33 16.67 16.67 16.67 16.67 100
94.40 47.20 20.48 18.96 18.96 200
Tingkat Pancang No 1 2 3 4
Jenis Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Avicenia marina Thespesia populnea Total
Tingkat Pohon No 1 2
Jenis Terminalia catappa Avicenia marina Total
Jalur IV Hari/Tanggal: Kamis, 1-12-2011 Lokasi: HL Muara Angke Pos V (Restorasi) Panjang Jalur: 20x10 meter Tingkat Semai No 1 2 3
Jenis Avicenia marina Thespesia populnea Acacia auriculiformis Total
Tingkat Pancang No 1 2 3 4 5
Jenis Avicenia marina Rhizophora apiculata Morinda citrifolia Acacia auriculiformis Bruguiera gymnorrhiza Total
247
Tingkat Pohon No 1 2
Jenis Avicenia marina Sonneratia caseolaris Total
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
Dominasi (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
1 1 2
50 50 100
50 50 100
0.5 0.5 1
50 50 100
0.00 0.00 0.00
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!
DR (%) #REF! #REF!
INP (%) #REF! #REF!
DR (%) #DIV/0! #DIV/0!
INP (%) #DIV/0! #DIV/0!
Jalur V Hari/Tanggal: Kamis, 1-12-2011 Salinitas: 6.5 0/00 Lokasi: Hutan Lindung Muara Angke Pos V (dekat sungai) Panjang Jalur: 10x10 meter Tingkat Semai No 1
Jenis Avicenia marina Total
Jumlah 28 28
Kerapatan (ind/ha) 2800 2800
KR (%) 100 100
Frekuensi 1 1
FR (%) 100 100
INP (%) 200 200
Jumlah 11 11
Kerapatan (ind/ha) 1100 1100
KR (%) 100 100
Frekuensi 1 1
FR (%) 100 100
INP (%) 200 200
Jumlah 15 15
Kerapatan (ind/ha) 1500 1500
KR (%) 100 100
Frekuensi 1 1
FR (%) 100 100
Dominasi (m2/ha) #REF! #REF!
Tingkat Pancang No 1
Jenis Avicenia marina Total
Tingkat Pohon No 1
Jenis Avicenia marina Total
Jalur VI Hari/Tanggal: Kamis, 1-12-2011 Lokasi: Hutan Lindung Muara Angke Pos V (dekat monumen) Panjang Jalur: 20x10 meter Tingkat Semai No 1
Jenis Avicenia marina Total
Jumlah 25 25
Kerapatan (ind/ha) 1250 1250
KR (%) 100 100
Frekuensi 0.5 0.5
FR (%) 100 100
INP (%) 200 200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
15 12 27
750 600 1350
55.56 44.44 100
1 0.5 1.5
66.67 33.33 100
122.22 77.78 200
Jumlah 24 24
Kerapatan (ind/ha) 1200 1200
KR (%) 100 100
Frekuensi 1 1
FR (%) 100 100
Dominasi (m2/ha) 0.00 0.00
Tingkat Pancang No 1 2
Jenis Avicenia marina Rhizophora mucronata Total
Tingkat Pohon No 1
Jenis Avicenia marina Total
248 Lampiran 6 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke pada tahun 2011
Jalur I Hari/Tanggal: Rabu, 30-11-2011 Koordinat: 93 23' 715" Lokasi: Suaka Margasatwa Muara Angke (Dekat Kantor SM) 06 95' 771" Panjang Jalur: 20x10 meter Salinitas: 0 0/00 Tingkat Semai No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
Rhizophora mucronata Nypa fruticans Sonneratia caseolaris Bruguiera gymnorrhiza Thespesia populnea Artocarpus altilis Terminalia catappa Ficus benjamina Acanthus ilicifolius
Jenis
21 1 2 1 2 1 2 1 20
1050 50 100 50 100 50 100 50 1000
41.18 1.96 3.92 1.96 3.92 1.96 3.92 1.96 39.22
0.5 0.5 1 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 1
9.09 9.09 18.18 9.09 9.09 9.09 9.09 9.09 18.18
50.27 11.05 22.10 11.05 13.01 11.05 13.01 11.05 57.40
Total
51
2550
100
5.5
100
200
Tingkat Pohon No 1
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
Dominasi (m2/ha)
DR (%)
Sonneratia caseolaris
Jenis
17
850
100
1
100
#REF!
#REF!
INP (%) #REF!
Total
17
850
100
1
100
#REF!
#REF!
#REF!
INP (%)
Jalur II Hari/Tanggal: Rabu, 30-11-2011 Lokasi: SM Muara Angke (Track Nipah) Panjang Jalur: 20x10 meter Nipah No 1
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
Nypa fruticans
Jenis
175
8750
100
1
100
200
Total
175
8750
100
1
100
200
Jalur III Hari/Tanggal: Rabu, 30-11-2011 Lokasi: SM Muara Angke (Hasil Penanaman) Panjang Jalur:20x10 meter Tingkat Pancang No 1 2
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
Sonneratia caseolaris Nypa fruticans
Jenis
80 14
4000 700
85.10638298 14.89361702
1 1
50 50
135.106383 64.89361702
Total
94
4700
100
2
100
200
Tingkat Pohon No 1
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
Dominasi (m2/ha)
DR (%)
Sonneratia caseolaris
Jenis
13
650
100
1
100
0.00
#DIV/0!
#DIV/0!
Total
13
650
100
1
100
0.00
#DIV/0!
#DIV/0!
249
Lampiran 7 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Arboretum Muara Angke pada tahun 2011
Hari/Tanggal: Kamis, 1-12-2011 Lokasi: Arboretum Muara Angke Panjang Jalur: 30x10 meter
Salinitas:
26 0/00
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
Avicenia marina Rhizophora mucronata
70 144
2333.33 4800.00
32.71 67.29
0.67 1
40 60
72.71 127.29
Total
214
7133.33
100
1.67
100
200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
34 2 36
1133.33 66.67 1200
94.44 5.56 100
0.33 0.33 0.67
50 50 100
144.44 55.56 200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
Dominasi (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
6 6
200 200
100 100
0.33 0.33
100 100
0.00 0.00
#DIV/0! #DIV/0!
#DIV/0! #DIV/0!
Tingkat Semai No 1 2
Jenis
Tingkat Pancang No 1 2
Jenis Avicenia marina Rhizophora mucronata Total
Tingkat Pohon No 1
Jenis Avicenia marina Total
250
Lampiran 8 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Taman Wisata Alam Muara Angke pada tahun 2011
Jalur I Hari/Tanggal: Kamis, 1-12-2011 Lokasi: Taman Wisata Alam Muara Angke Panjang Jalur: 30x10 meter
Salinitas:
28 0/00
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
86 74 20 180
2866.67 2466.67 666.67 6000
47.78 41.11 11.11 100
0.67 0.67 0.33 1.67
40.00 40.00 20.00 100
87.78 81.11 31.11 200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
3 69 30 1 1 1 105
100.00 2300.00 1000.00 33.33 33.33 33.33 3400
2.94 67.65 29.41 0.98 0.98 0.98 100
0.67 1.00 0.67 0.33 0.33 0.33 2.33
28.57 42.86 28.57 14.29 14.29 14.29 100
31.51 110.50 57.98 15.27 15.27 15.27 200
Jumlah 6 6
Kerapatan (ind/ha) 200 200
KR (%) 100 100
Frekuensi 0.33 0.33
FR (%) 100 100
Dominasi (m2/ha) 0.00 0.00
Tingkat Semai No 1 2 3
Jenis Rhizophora apiculata Avicenia marina Leucaena leucocephala Total
Tingkat Pancang No 1 2 3 4 5 6
Jenis Rhizophora apiculata Avicenia marina Rhizophora mucronata Morinda citrifolia Leucaena leucocephala Elaeis sp. Total
Tingkat Pohon No 1
Jenis Avicenia marina Total
Jalur II Hari/Tanggal: Kamis, 1-12-2011 Lokasi: Taman Wisata Alam Muara Angke (Blok Abrasi) Panjang Jalur: 30x10 meter
DR (%) #DIV/0! #DIV/0!
INP (%) #DIV/0! #DIV/0!
DR (%) #DIV/0! #DIV/0!
INP (%) #DIV/0! #DIV/0!
Salinitas: 28 0/00
Tingkat Semai No 1 2
Jenis Avicenia marina Rhizophora mucronata Total
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
18 19 37
600.00 633.33 1233.33
48.65 51.35 100
1.00 0.67 1.67
60.00 40.00 100
108.65 91.35 200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
50 1 51
1666.67 33.33 1700
98.04 1.96 100
1.00 0.33 1.33
75.00 25.00 100
173.04 26.96 200
Jumlah 59 59
Kerapatan (ind/ha) 1966.666667 1966.666667
KR (%) 100 100
Frekuensi 1.00 1.00
FR (%) 100 100
Dominasi (m2/ha) 0.00 0.00
Tingkat Pancang No 1 2
Jenis Avicenia marina Rhizophora mucronata Total
Tingkat Pohon No 1
Jenis Avicenia marina Total
251
Lampiran 9 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di kawasan Ekowisata Muara Angke pada tahun 2011
Jalur I Hari/Tanggal: Rabu, 30-11-2011 Lokasi: Ekowisata Muara Angke Panjang Jalur: 10x10 meter
Salinitas:
2.5 0/00
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
29 3
2900 300
90.63 9.38
1.00 1.00
50 50
140.625 59.375
32
3200
100
2.00
100
200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
7 1
700 100
87.50 12.50
1.00 1.00
50 50
137.5 62.5
8
800
100
2.00
100
200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
Dominasi (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
27 1
2700 100
96.43 3.57
1 1
50 50
0.00 0.00
#DIV/0! #DIV/0!
#DIV/0! #DIV/0!
28
2800
100
2
100
0.00
#DIV/0!
#DIV/0!
Tingkat Semai No 1 2
Jenis Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Total
Tingkat Pancang No 1 2
Jenis Avicenia marina Rhizophora mucronata Total
Tingkat Pohon No 1 2
Jenis Avicenia marina Acacia auriculiformis Total
Jalur II Hari/Tanggal: Rabu, 30-11-2011 Lokasi: Ekowisata ( Pinggir Tol Soedyatmo) Panjang Jalur: 20x10 meter
Salinitas: 2.5 0/00
Tingkat Semai No 1 2
Jenis Rhizophora apiculata Leucaena leucocephala Total
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
16 2
800 100
88.89 11.11
0.5 0.5
50 50
138.89 61.11
18
900
100
1
100
200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
INP (%)
129 4 1 1 45 16 2
6450 200 50 50 2250 800 100
65.15 2.02 0.51 0.51 22.73 8.08 1.01
1 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
25 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5
90.15 14.52 13.01 13.01 35.23 20.58 13.51
198
9900
100
4
100
200
Jumlah
Kerapatan (ind/ha)
KR (%)
Frekuensi
FR (%)
Dominasi (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
4 3 3 1
200 150 150 50
36.36 27.27 27.27 9.09
0.5 1 0.5 0.5
20 40 20 20
0.00 0.00 0.00 0.00
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!
11
550
100
2.5
100
0.00
#DIV/0!
#DIV/0!
Tingkat Pancang No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Rhizophora apiculata Cerbera manghas Acacia auriculiformis Mangifera indica Bruguiera gymnorrhiza Xylocarpus granatum Muntingia calabura Total
Tingkat Pohon No 1 2 3 4
Jenis Avicenia marina Sonneratia caseolaris Rhizophora mucronata Dialium indum Total
252
Lampiran 10 Identifikasi nilai ekonomi sumberdaya alam kawasan mangrove Muara Angke per lokasi Kawasan Mangrove Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
Arboretum
Transmisi
Cengkareng
Kebun
PLN
Drain
44.76
25.02
95.5
99.82
10.51
23.7
28.39
1. Cacing
ada
tidak ada
2. Ikan dan Kepiting Tangkap
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Pasar Aktual
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
3. Memancing
tidak ada
Pasar Aktual
tidak ada
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
4. Wisata
TCM
tidak ada
ada
ada
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
TCM
5. Pendidikan dan Penelitian
tidak ada
ada
ada
ada
n.d.
n.d.
n.d.
TCM
6. Bandeng 7.Benih Bandeng
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
Penangkapan/Budidaya bandeng di perairan dekat mangrove tidak ada Penangkapan/Budidaya benih bandeng di perairan dekat mangrove tidak ada
8.Kayu Bakar
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Pemungutan kayu bakar dari mangrove dilarang
9.Tambak
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Budidaya tambak di mangrove tidak ada dan dilarang
10. Kayu Bangunan 11. Madu
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada
Pemungutan kayu untuk bahan bangunan dilarang Pemungutan madu tidak ada
1. Penahan Abrasi / Erosi
ada
ada
tidak ada
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Replacement Cost / Biaya Pengganti
2. Penahan Intrusi Air laut
ada
ada
ada
ada
ada
ada
ada
Change in Consumption Approach
3. Penyerap Karbondioksida 4. Penjerap (Filter) Limbah (polutan)
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
Benefit Transfer Change in Productivity Approach
5. Penyedia Unsur Hara / Nutrisi
ada
ada
ada
ada
ada
ada
ada
Replacement Cost / Biaya Pengganti
6. Spawning dan Nursery Ground 7. Penghasil Oksigen
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
Replacement Cost / Biaya Pengganti Benefit Transfer
ada
ada
ada
ada
ada
ada
ada
Benefit Transfer
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
ada ada
Benefit Transfer atau CVM Benefit Transfer atau CVM
Luas (ha)
TWA
Keterangan Metode / Pendekatan Penilaian
Luas Total 327,70 ha
A. Direct Use Value
B. Indirect Use Value
C. Option Value Nilai Biodiversitas D. Non Use Value 1. Existence Value 2. Bequest Value TOTAL NILAI EKONOMI
253
Lampiran 11 Total nilai ekonomi sumberdaya alam kawasan mangrove Muara Angke per lokasi Lokasi Kawasan Mangrove Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
TWA
5
sungai
0
2 km
Luas (ha)
45
25
96
100
Panjang di Pantai/Sungai
5
0
2 km
0
0
Arboretum
Transmisi
Cengkareng
Kebun
PLN
Drain
0
3
24
28
328
0
3
8
0
0
0
306,600,000
Pasar Aktual Pasar Aktual TCM
11
A. Direct Use Value
Jumlah
Keterangan Metode / Pendekatan Penilaian
Luas Total 327,70 ha
0
1. Cacing
306,600,000
0
2. Ikan dan Kepiting Tangkap
74,460,000
0
0
0
0
0
0
74,460,000
3. Memancing
0
0
387,240,000
0
0
0
0
387,240,000
4. Wisata
0
168,600,000
1,493,200,000
2,138,394,500
0
0
0
3,800,194,500
5. Bandeng
0
0
0
0
0
0
0
0
Penangkapan/Budidaya bandeng di perairan dekat mangrove tidak ada
6.Benih Bandeng
0
0
0
0
0
0
0
0
Penangkapan/Budidaya benih bandeng di perairan dekat mangrove tidak ada
7.Kayu Bakar
0
0
0
0
0
0
0
0
Pemungutan kayu bakar dari mangrove dilarang
8.Tambak
0
0
0
0
0
0
0
0
Budidaya tambak di mangrove tidak ada dan dilarang
9. Kayu Bangunan
0
0
0
0
0
0
0
0
Pemungutan kayu untuk bahan bangunan dilarang
10. Madu
0
0
0
Pemungutan madu tidak ada
381,060,000
168,600,000
1,880,440,000
2,138,394,500
0
0
0
TCM
4,568,494,500
B. Indirect Use Value 1. Penahan Abrasi / Erosi
1,845,000,000
769,000,000
0
1,038,000,000
0
0
1,307,000,000
4,959,000,000
Replacement Cost / Biaya Pengganti
2. Penahan Intrusi Air laut
8,455,589,228
4,726,515,694
18,040,857,267
18,856,946,308
1,985,438,847
4,477,155,154
5,363,140,710
61,905,643,208
Change in Consumption Approach
5,194,085
2,903,396
11,082,107
2,895,853
1,219,612
2,750,219
3,294,461
29,339,732
4. Penjerap (Filter) Limbah (polutan)
558,812,961
312,365,958
1,192,284,132
1,246,217,822
131,213,678
295,886,219
354,439,230
4,091,220,000
5. Penyedia Unsur Hara / Nutrisi
67,161,872
37,542,226
143,296,665
149,778,776
15,770,136
35,561,581
42,598,873
491,710,128
Replacement Cost / Biaya Pengganti
6. Spawning dan Nursery Ground
1,676,862,439
937,334,659
3,577,756,289
0
393,740,530
887,883,045
1,063,586,512
8,537,163,474
Replacement Cost / Biaya Pengganti
3. Penyerap Karbondioksida
7. Penghasil Oksigen
2,679,089
1,497,561
5,716,109
5,974,681
629,071
1,418,553
1,699,271
19,614,335
12,611,299,673
6,787,159,494
22,970,992,568
21,299,813,440
2,528,011,873
5,700,654,771
8,135,759,056
80,033,690,876
6,311,160
3,527,820
13,465,500
14,074,620
1,481,910
3,341,700
4,002,990
46,205,700
108,083,915
60,416,880
230,607,996
241,039,688
25,378,953
57,229,419
68,554,566
791,311,418
4,780,592
2,672,261
10,199,878
10,661,276
1,122,521
2,531,279
3,032,194
35,000,000
13,111,535,341
7,022,376,455
25,105,705,943
23,703,983,524
2,555,995,257
5,763,757,169
8,211,348,806
85,474,702,494
Jumlah Nilai
Persen
Benefit Transfer Change in Productivity Approach
Benefit Transfer
C. Option Value Nilai Biodiversitas D. Non Use Value 1. Existence Value 2. Bequest Value TOTAL NILAI EKONOMI
REKAP NILAI EKONOMI Value A. Direct Use Value B. Indirect Use Value C. Option Value D. Non Use Value
4,568,494,500
5.39%
80,033,690,876
94.51%
46,205,700 35,000,000 84,683,391,076
0.05% 0.04% 100.00%
Benefit Transfer
255
Lampiran 13 Nilai ekonomi ikan dan kepiting tangkap dengan metode penilaian pasar aktual Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
TWA
44.76
25.02
95.5
99.82
74,460,000
0
0
1,663,539
0
0
Luas (ha)
Jumlah
Arboretum
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
10.51
23.7
28.39
0
0
0
0
0
0
0
0
Keterangan
327.7
A. Direct Use Value 2. Ikan dan Kepiting a. Rp/tahun b. Rp/ha/tahun
Metode:
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a). Lokasi pencari kepiting dan menjaring ikan dan berada hanya di dalam dan sekitar hutan lindung angke saja b). Jumlah nelayan menjaring ikan 4 orang, hasil tangkapan 1,5 kg/hari, frekuensi menjaring tiap hari c). Jumlah pencari kepiting 2 orang, hasil tangkapan 4-8 ekor/orang/hari (1,2 kg), frekuensi tiap hari d). Harga jual ikan Rp 20.000/kg, sedangkan harga kepiting Rp 35.000/kg e). Nilai ekonomi diperoleh dari jumlah hasil tangkapan ikan dan kepiting per tahun dikalikan harga jual
74,460,000
Pasar Aktual
256
Lanjutan Lampiran13 Perhitungan: 1. Ikan (termasuk udang) Jumlah nelayan menjaring ikan Frekuensi penangkapan Hasil tangkapan Jumlah hasil tangkapan Harga rata-rata ikan Nilai ekonomi ikan tangkap Nilai ekonomi ikan tangkap per ha 2. Kepiting Jumlah nelayan pencari kepiting Frekuensi penangkapan Hasil tangkapan Jumlah hasil tangkapan Harga rata-rata kepiting Nilai ekonomi kepiting
Nilai Ekonomi Ikan & Kepiting Nilai Ekonomi Ikan & Kepiting per ha
4 tiap hari 1.5 2,190 20,000 43,800,000 978,552
orang
2 tiap hari 6 1.2 876 35,000 30,660,000 684,987
orang
Kg/orang/hari Kg/tahun Rp/kg Rp/tahun Rp/ha/tahun
ekor/hari/orang kg/hari/orang Kg/tahun Rp/kg Rp/tahun Rp/ha/tahun
74,460,000 Rp/tahun 1,663,539 Rp/ha/tahun
257
Lampiran 14 Nilai ekonomi memancing dengan metode penilaian dengan biaya perjalanan (TCM) Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
TWA
44.76
25.02
95.5
99.82
a. Rp/tahun
0
0
387,240,000
b. Rp/ha/tahun
0
0
4,054,869
Luas (ha)
Arboretum
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
10.51
23.7
28.39
0
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
Keterangan
327.7
A. Direct Use Value 3. Memancing
Metode: TCM
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a). Lokasi memancing hanya ada di kawasan mangrove jalan Tol Sedyatmo. b). Jumlah kolam 10 buah yang dikelola oleh masyarakat c). Jumlah pemancing pada hari biasa 2-4 orang/kolam/hari, sedangkan pada hari libur 4-8 orang/kolam/hari d). Pemancing mayoritas berasal dari sekitar Kecamatan Penjaringan, dan transportasi mayoritas menggunakan motor e). Tarif memancing Rp 5.000-15.000/orang, biaya makan, minum dan rokok serta transportasi sebesar Rp 18.000/orang/kunjungan f). Nilai ekonomi diperoleh dari jumlah kunjungan pemancing per tahun dikalikan pengeluaran pulang pergi dan selama di lokasi pemancingan
Perhitungan: Jumlah pemancing : Hari Biasa Hari Libur (sabtu + minggu) Jumlah hari biasa Jumlah hari libur (sabtu + minggu) Jumlah kolam pemancingan Jumlah pemancing total per tahun Tarif rata-rata memancing Pengeluaran makan,minum,rokok,transportasi Biaya/pengeluaran pemancing: Tiket makan, minum, rokok & transportasi Nilai Ekonomi Mancing Nilai Ekonomi Mancing per ha
3 6 269 96 10 13,830 10,000 18,000 138,300,000 248,940,000 387,240,000 4,054,869
orang/kolam/hari orang/kolam/hari hari hari buah orang/tahun Rp/orang Rp/orang Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/ha/tahun
387,240,000
258
Lampiran 15 Nilai ekonomi wisata dengan metode penilaian dengan biaya perjalanan (TCM) Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
44.76
25.02
95.5
Luas (ha)
TWA
Arboretum
99.82
10.51
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
23.7
28.39
Jumlah
Keterangan
327.70
A. Direct Use Value
Metode
4. Wisata
TCM
a. Rp/tahun
tidak ada
168,600,000
1,493,200,000
-
tidak ada
tidak ada
tidak ada
b. Rp/ha/tahun
tidak ada
6,738,609
15,635,602
-
tidak ada
tidak ada
tidak ada
1,661,800,000
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a). Lokasi ekowisata ada di kawasan SM Angke, mangrove jalan Tol Sedyatmo dan TWA b). Jumlah pengunjung di SM. Muara Angke 2735 orang/tahun, mangrove Tol Sedyatmo 12.000 orang/tahun, dan TWA 16.517 orang/tahun c). Rata-rata pengeluaran pengunjung SM Angke selama dan pulang pergi. sebesar Rp 61.645/orang/hari c). Rata-rata pengeluaran pengunjung TWA selama dan pulang pergi, sebesar Rp 129.239 /orang/hari d). Rata-rata pengeluaran pengunjung wisata mangrove Jalan Tol Sedyatmo, sebesar Rp 124.433/orang/hari e). Pengeluaran oleh pengunjung terdiri atas: biaya tiket, transportasi, makan minum, pendamping, dokumentasi, dan biaya menggunakan atraksi wisata (khusus TWA). f). Nilai ekonomi diperoleh dari jumlah kunjungan per tahun dikalikan pengeluaran pulang pergi dan selama di lokasi wisata
Perhitungan: Lokasi Suaka Margasatwa Asal Pengunjung Jakarta Tangerang Bekasi/Depok Bogor Jateng/Jogja
Jumlah Pengunjung 1,427 160 101 1,033 14 2,735
Tiket 3,000 3,000 3,000 3,000 3,000
Biaya/Pengeluaran per orang Transportasi Makan/minum 20,000 20,000 20,000 20,000 30,000 20,000 50,000 20,000 400,000 20,000
Asumsi:Sekitar 10% dari jumlah keseluruhan pengunjung menggunakan jasa pendamping (biaya pendamping) Jumlah pengunjung dan harga tiket masuk berasal dari pengeloa Biaya transportasi, makan/minum dan transportasi merupakan asumsi
Pendamping 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000
Tiket masuk 4,281,000 480,000 303,000 3,099,000 42,000
Biaya/Pengeluaran per Tahun Transportasi Makan/minum Pendamping 28,540,000 28,540,000 7,135,000 3,200,000 3,200,000 800,000 3,030,000 2,020,000 505,000 51,650,000 20,660,000 5,165,000 5,600,000 280,000 70,000
Jumlah 68,496,000 7,680,000 5,858,000 80,574,000 5,992,000 168,600,000
259
Lanjutan Lampuran 15 Lokasi Tol Sedyatmo Jumlah Pengunjung
1,000 12,000
orang/bulan orang/tahun
Biaya/Pengeluaran pengunjung Terkecil 50,000 Terbesar 325,000 Rata-rata 124,433.33 Nilai Ekonomi (TCM) 1,493,200,000
Lokasi TWA A. DATA MENTAH Jumlah Pengunjung Dewasa Anak-anak Turis Asing Jumlah Total Jumlah Kendaraan Mobil Motor Rincian Tarif Masuk Tiket Dewasa Tiket Anak-anak Tiket Turis Asing Parkir Mobil Parkir Motor Rincian Tarif Masuk Fasilitas Sewa Pondok di Darat Sewa Pondok di Rawa Sewa Perahu Sewa Kano Sewa Kayak Fotografi Asal Pengunjung Jakarta Tangerang Bekasi Depok
informasi dari pengelola
Data Kuesioner (WTP) Data Kuesioner (WTP) Data Kuesioner (WTP)
14,864 orang/tahun 1,653 orang/tahun 29 orang/tahun 16,546 3,682 unit/tahun 2,170 unit/tahun 10,000 5,000 75,000 5,000 2,000
Rp/orang Rp/orang Rp/orang Rp/unit Rp/unit
300,000 450,000 175,000 50,000 50,000 500,000
60.0% 20.0% 13.3% 6.7%
Tidak cukupnyanya data Jumlah Pengunjung yang menggunakan masing2 fasilitas TWA, sehingga dibuat asumsi sebesar 5% dari seluruh fasilitas tersebut digunakan oleh pengunjung
-
Lampiran 16 Nilai penahan abrasi dengan metode penilaian replacement cost atau biaya pengganti Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
44.76
25.02
95.5
Luas (ha)
TWA
Arboretum
99.82
10.51
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
23.7
28.39
Jumlah 327.7
B. Indirect Use Value
Metode
1. Penahan Abrasi/Erosi a. Rp/tahun b. Rp/ha/tahun
Keterangan
Replacement 1,845,000,000
769,000,000
1,038,000,000
-
-
1,307,000,000
73,800,000
38,450,000
25,950,000
-
-
48,407,407
4,959,000,000
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a. Nilai manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi/erosi didekati dengan replacement cost atau biaya pengganti berupa biaya pembangunan beton/tembok yang setara dengan fungsi hutan mangrove sebagai penahan abrasi/erosi b. Standar biaya pembangunan beton/tembok bersumber dari Sub dinas PU Jakarta Utara c. Biaya pembangunan beton/tembok terdiri atas: biaya pembuatan (Rp 1,46 juta/meter), biaya pemeliharaan (Rp 1 milyar/km), biaya operasional (Rp 500 juta/tahun) d. Panjang garis pantai yang ditumbuhi mangrove (Jalur Hijau): Hutan lindung Angke 5 km, TWA 2 km, Cengkareng drain 3 km dan SM Angke 1 km e. Nilai ekonomi penahan abrasi/erosi per tahun diperoleh dari biaya pembangunan beton/tembok dibagi umur ekonomis (20 tahun)
PERHITUNGAN Satuan
HL
SM
TWA
CD
Biaya Pembuatan Bangunan Beton a. Biaya pembuatan (tebal 1 m, tinggi 3m)
Rp/m
b. Biaya pemeliharaan
Rp/km
c. Biaya operasional bangunan
Rp/tahun
Panjang garis pantai
m
Total biaya pembuatan
Rp
Luas Kawasan Pantai
ha
Umur Ekonomis
tahun
Nilai Ekonomi total
Rp
Nilai Ekonomi pertahun
Rp/tahun
Nilai Ekonomi rata-rata per hektar
Rp/ha/tahun
1,460,000
1,460,000
1,460,000
1,460,000
1,000,000,000
1,000,000,000
1,000,000,000
1,000,000,000
500,000,000
500,000,000
500,000,000
500,000,000
5,000
1,000
2,000
3,000
36,900,000,000
15,380,000,000
20,760,000,000
26,140,000,000
25
20
40
27
20
20
20
20
36,900,000,000
15,380,000,000
20,760,000,000
26,140,000,000
1,845,000,000
769,000,000
1,038,000,000
1,307,000,000
73,800,000
38,450,000
25,950,000
48,407,407
Cost
260
Lampiran 17 Nilai penahan intrusi air laut atau pelindung supplai air tawar (barrier antara akuifer dan laut) Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen Nilai Ekonomi
Hutan Lindung Angke
Suaka Margasatwa
Tol Sedyatmo
TWA
44.76
25.02
95.5
99.82
Luas (ha)
Arboretum
Transmisi PLN
Cengkareng Drain
Jumlah
10.51
23.7
28.39
327.7
Keterangan
B. Indirect Use Value
Change in
1. Penahan Intrusi a. Rp/tahun
Consumption Approach
8,455,589,228
4,726,515,694
18,040,857,267
18,856,946,308
1,985,438,847
4,477,155,154
5,363,140,710
61,905,643,208
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a. Mangrove berperan menghambat/menekan laju intrusi air laut ke daratan. Kerusakan mangrove merupakan salah satu faktor penyebab masuknya air asin kedalam akuifer, sehingga air tawar dalam tanah menjadi payau/asin. Hal ini berdampak pada konsumsi air tanah (tawar) yang menurun, dan dan berakibat pada masyarakat mengeluarkan biaya tambahan untuk memperoleh air bersih (membeli air derigen/gerobak). b. Kemampuan mangrove dalam menahan intrusi air laut disumsikan sama, tidak mempertimbangkan pengaruh faktor kerapatan tegakan c. Perhitungan nilai manfaat penahan intrusi hanya mencakup di daerah yang terpengaruh yaitu Kecamatan Penjaringan, Cengkareng dan Kalideres. d. Jumlah penduduk Tahun 2010 di Kecamatan Penjaringan, Cengkareng dan Kalideres 655.476 Orang (184.738 KK) e. Berdasarkan data neraca air Jakarta tahun 2005, penggunaan air tanah oleh masyarakat 46% sisanya dari PDAM, dan kebutuhan air bersih sebanyak 150 liter/orang/hari f. Akibat air tanah menjadi asin sebagai dampak intrusi air laut (mangrove rusak), penggunaan air tanah turun dan beralih membeli air secara gerobak / dirijen. g. Skenario penurunan konsumsi air tanah dibuat 2 skenario, yaitu skenario rendah 5%, dan skenario tinggi 15%. Harga beli air secara gerobak Rp 1.000/derigen. h. Nilai ekonomi dihitung dari jumlah penurunan penggunaan air tanah per tahun akibat intrusi setiap tahun dikalikan tingkat harga. PERHITUNGAN Kecamatan
Kepala Keluarga
Jumlah jiwa
Kec. Penjaringan
49,792
176,669
Kec Cengkareng
85,399
303,008
Kec. Kalideres Jumlah 3 Kecamatan
49,547 184,738
175,800 655,476
Jml pddk
655,476
konsumsi
150
orang liter/org/hari
Jml konsumsi air
35,887,329,396
liter/tahun
Jml konsumsi air tanah
16,508,171,522
liter/tahun
Terkena Intrusi, Asumsi: Jml konsumsi air tanah turun 5%
825,408,576
liter/tahun
1,650,817,152
liter/tahun
turun 5%
41,270,429
dirijen/thn
turun 10%
82,540,858
dirijen/thn
turun 10% konversi ke dirigen
Nilai Ekonomi Akibat konsumsi air tanah turun 5%
41,270,428,805
Rp/thn
Akibat konsumsi air tanah turun 10% Rata-rata
82,540,857,611 61,905,643,208
Rp/thn Rp/thn
261
Lampiran 18 Nilai penyerapan karbon dengan metode penilaian benefit transfer Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
TWA
44.76
25.02
95.5
99.82
Luas (ha)
Arboretum
10.51
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
23.7
28.39
Jumlah
Keterangan
327.7
B. Indirect Use Value 1. Penyerap Karbon a. Rp/tahun b. Rp/ha/tahun
Transfer 5,194,085
2,903,396
11,082,107
2,895,853
1,219,612
2,750,219
3,294,461
116,043
116,043
116,043
29,011
116,043
116,043
116,043
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a. Dengan pendekatan transfer benefit, potensi karbon di kawasan mangrove Angke diasumsikan sebesar 20% (kecuali di TWA sebesar 5 %) dari potensi karbon di mangrove Batu Ampar, Pontianak b. Potensi karbon di Batu Ampar sebesar 82,30 ton/ha, harga karbon di tingkat Internasional sebesar US$ 15/ton); Nilai tukar Rp 9.400/1 US$ c. Daur pengelolaan yang digunakan dalam perhitungan sebesar 20 tahun. d. Nilai penyerapan karbon dihitung dari jumlah potensi serapan karbon per tahun dikalikan harga karbon
PERHITUNGAN: Nilai penyerapan karbon = Potensi serapan karbon x harga karbon (harga karbon US$15/ton) Lokasi
Luas (ha)
Nilai
Potensi karbon (ton/ha/tahun)
(ton/tahun)
(Rp/tahun)
HL. Angke
44.76
0.823
36.84
SM. Angke
25.02
0.823
20.59
2,903,396
95.5
0.823
78.60
11,082,107
TWA
99.82
0.20575
20.54
2,895,853
Arboretum
10.51
0.823
8.65
1,219,612
23.7
0.823
19.51
2,750,219
28.39
0.823
23.36
3,294,461
Tol Sedyatmo
Transmisi PLN Cengkareng Drain Jumlah
327.70
208.08
5,194,085
29,339,732
29,339,732
Benefit
262
Lampiran 19 Nilai penjerap limbah atau polutan dengan pendekatan penilaian change in productivity approach Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
44.76
25.02
95.5
Luas (ha)
TWA 99.82
Arboretum 10.51
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
23.7
28.39
Jumlah
Keterangan
327.7
B. Indirect Use Value 1. Penjerap Limbah a. Rp/tahun b. Rp/ha/tahun
Change in 558,812,961
312,365,958
1,192,284,132
1,246,217,822
131,213,678
295,886,219
354,439,230
12,484,651
12,484,651
12,484,651
12,484,651
12,484,651
12,484,651
12,484,651
4,091,220,000
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a. Mangrove yang terjaga dengan baik memiliki kemampuan yang tinggi dalam menjerap / filter polutan atau limbah yang berasal dari daratan. b. Rusaknya mangrove akan berdampak pada menurunnya peran tersebut dan berakibat pada meningkatnya akumulasi limbah / zat pencemar di laut sehingga kualitas perairan menurun. c. Menurunnya kualitas perairan berpengaruh negatif pada kelangsungan budidaya perikanan, salah satunya kerang hijau. d. Beberapa hasil kajian ilmiah menyebutkan bahwa kerang hijau di perairan jakarta telah tercemar oleh logam berat dan produktivitasnya juga menurun e. Berkaitan dengna hal tersebut, maka nilai manfaat mangrove sebagai penjerap/filter limbah dapat dihitung dengan pendekatan perubahan produktivitas kerang hijau f. Hasil budidaya kerang hijau di perairan Jakarta ditampung dan diolah kembali oleh pengepul yang tersebar di daerah Angke, Cilincing, Kalibaru dan Dadap g. Jumlah produksi kerang hijau dihitung dari jumlah kerang pada pengepul di Angke, dengan asumsi bahwa kerang hijau pada pengepul di Angke berasal dari hasil panen dari bagan-bagan yang berlokasi dekat dengan perairan mangrove Angke h. Jumlah pengepul di Angke baik pengepul kecil maupun besar sebanyak 30 orang, produksi (dalam bentuk daging kerang) pada pengepul kecil 155 kg/hari, dan pengepul besar 1200 kg/hari i. Pada saat terkena limbah ,produksi turun 85% dan terjadi 2 kali per bulan. j. Biaya produksi sebesar Rp 3.333 /kg terdiri dari biaya merebus, mengupas, kayu, es dan tawas. Harga jual kerang Rp 15.000/kg k. Nilai ekonomi manfaat mangrove sebagai penjerap limbah dihitung dari jumlah volume produksi dan tingkat harga dikurangi biaya
Productivity Approach
263
Lanjutan Lampiran 19 PERHITUNGAN
Kondisi Produksi Kerang di tingkat Pengepul Jumlah Pengepul kerang hijau di Angke: 1. Pengepul Besar = 12 orang; 100-1500 ember/hari (150-2250 kg daging/org/hr) 2. Pengepul Kecil, = 18 orang; 50 - 200 ember/hari (60-250 kg daging/org/hr) 1 Ember kerang belum kupas = 5 kg kerang belum kupas 1 ember (5 kg) kerang belum dikupas = menghasilkan 1-2 kg daging kerang Harga beli di tingkat nelayan pengangkut = Rp 10.000 - 20.000/ember, tergantung isi besar / kecil Harga jual di tingkat pasar Angke = Rp 12.000 - 17.500/kg daging, tergantung jumlah barang Rantai pemasaran kerang hijau 1. Nelayan pemilik usaha budidaya kerang hijau, biasanya orang Bugis 2. Nelayan Pemborong (pemanen dan penangkut), biasanya orang Jawa dan punya perahu sistem borongan Rp 10.000/ember, atau menurut kesepakatan dengan peternak kerang 3. Pengepul 4. Penjual di Pasar Angke Rp per kg daging Biaya produksi di tingkat pengepul = Rp 5.000/ember, terdiri atas; 3,333 a. upah kupas = Rp 3.000/ember 2,000 b. upah rebus = Rp 600/ember 400 c. Kayu, es, & tawas = Rp 1.400/ember 933 Analisis Nilai mangrove dalam menyerap limbah Jumlah produksi kerang: Pengepul besar (tahun)
5,256,000 kg daging kerang
Pengepul kecil
1,018,350 kg daging kerang
(rata-rata
6,274,350
Jumlah penurunan produksi kerang karena limbah Jumlah penurunan produksi
350,676 kg daging kerang per tahun
Nilai penurunan (Rp/tahun)
5,260,140,000
Biaya Produksi (Rp/tahun)
1,168,920,000
Nilai Ekonomi (Rp/tahun)
4,091,220,000
264
Lampiran 20 Nilai penyedia unsur hara atau nutrisi dengan pendekatan metode biaya pengganti (replacement cost ) Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
44.76
25.02
95.5
Luas (ha)
TWA 99.82
Arboretum 10.51
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
23.7
28.39
Jumlah
Keterangan
327.7
B. Indirect Use Value 1. Penyedia Nutrisi a. Rp/tahun b. Rp/ha/tahun
Biaya 67,161,872
37,542,226
143,296,665
149,778,776
15,770,136
35,561,581
42,598,873
1,500,489
1,500,489
1,500,489
1,500,489
1,500,489
1,500,489
1,500,489
491,710,128
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a. Mangrove menyediakan unsur hara (nutrisi) yang berguna bagi stabilitas siklus makanan dalam perairan sekitarnya b. Nilai Manfaat penyedia hara dihitung dengan pendekatan Biaya pengganti yaitu kandungan unsur Nitrogen dan Phospor yang setara dengan nilai pupuk. c. Hasil kajian Soekarjo (1995) menyebutkan bahwa guguran serasah di kawasan mangrove Muara Angke sebesar 13,08 ton/ha/th, yang setara dengan Nilai Phospor 2 kg/ha/th dan Nitrogen 148 kg/ha/th d. Nilai manfaat ekonomi penyedia unsur hara dihitung dalam bentuk pupuk urea dan pupuk SP-36 e. Faktor konversi Nitrogen menjadi pupuk Urea sebesar 2,221714; sedangkan faktor konversi Phospor menjadi pupuk SP-36 sebesar 2,776949 f. Harga non subsidi pupuk Urea dan SP-36 masing-masing Rp4.000,-/kg dan Rp 3.750,-/kg PERHITUNGAN: Luas Mangrove
ha
Potensi Serasah
ton/ha/tahun
Kandungan N
kg/ha
Kandungan P
kg/ha
2
Konversi menjadi Pupuk Urea
kg/ha
328.81
Konversi menjadi Pupuk SP-36
kg/ha
5.55
Harga Pupuk Urea
Rp/kg
4,500
Harga Pupuk SP-36
Rp/kg
3,750
Penerimaan per hektar dari Pupuk Urea
Rp/ha
1,479,662
Penerimaan per hektar dari Pupuk SP-36
Rp/ha
Penerimaan per hektar dari Pupuk
Rp/ha/tahun
Penerimaan Total
Rp/tahun
327.70 13.08 148
20,827 1,500,489 491,710,128
Referensi: Sukardjo, S. 1995. Gugur Daun dan Unsur Hara di Hutan Mangrove Muara Angke-Kapuk, Jakarta. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994: 128-134. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
Pengganti
265
Lampiran 21 Nilai ekonomi mangrove sebagai daerah pemijahan (spawning ) dan asuhan (nursery ) dengan pendekatan metode biaya pengganti (replacement cost ) Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
44.76
25.02
95.5
1,676,862,439
937,334,659
3,577,756,289
3,739,598,348
393,740,530
887,883,045
1,063,586,512
37,463,415
37,463,416
37,463,417
37,463,418
37,463,419
37,463,420
37,463,421
Luas (ha)
TWA 99.82
Arboretum 10.51
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
23.7
28.39
Jumlah
Keterangan
327.7
B. Indirect Use Value 1. Daerah Pemijahan dan Asuhan a. Rp/tahun b. Rp/ha/tahun
Biaya
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a. Nilai ekonomi mangrove sebagai daerah pemijahan dan asuhan dilakukan dengan pendekatan biaya pengganti, yaitu dihitung berdasarkan nilai pembuatan dan pemeliharaan budidaya perikanan tambah. b. Asumsinya bahwa tambak seluas 1 hektar memiliki fungsi untuk pemijahan dan asuhan biota laut yang setara nilainya dengan 1 hektar lahan hutan mangrove. c. Biaya pembuatan dan pemeliharaan tambak sebesar Rp 22,4 juta, mencakup biaya perbaikan tambak, pembangunan pintu air, pembuatan rumah jaga, dan biaya peralatan budidaya. d. Pembuatan 1 hektar tambak di hutan mangrove akan menghasilkan 287 kg/tahun ikan/udang, namun hilangnya 1 hektar mangrove menyebabkan kerugian 480 kg/tahun ikan/udang (Turner, 1977). PERHITUNGAN: 1. Pembangunan Sarana Prasarana dan Peralatan 2. Biaya Perbaikan Tambak Jumlah Biaya Pembangunan Tambak (Ukuran Tambak : 1 ha; ukuran galian lebar 4 m dalam 2 m)
8,000,000 Rp/ha/tahun 14,400,000 Rp/ha/tahun 22,400,000 Rp/ha/tahun
Perhitungan nilai ekonomi hutan mangrove sebagai daerah pemijahan: Nilai Rata-rata per ha 37,463,415 Rp/ha/tahun Luas mangrove 327.7 ha Total Nilai 12,276,760,976 Rp/tahun
12,276,761,822
Pengganti
266
Lampiran 22 Nilai manfaat penghasil oksigen dengan metode pendekatan substitution cost Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
TWA
44.76
25.02
95.5
99.82
Luas (ha)
Arboretum
10.51
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
23.7
28.39
Jumlah
Keterangan
327.7
B. Indirect Use Value 1. Penghasil Oksigen a. Rp/tahun b. Rp/ha/tahun
2,679,089
1,497,561
5,716,109
5,974,681
629,071
1,418,553
1,699,271
59,855
59,855
59,855
59,855
59,855
59,855
59,855
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a. Estimasi nilai ekonomi mangrove sebagai penghasil oksigen didekati dengan potensi Oksigen yang diproduksi mangrove melalui fotosintesis b. Pendugaan potensi oksigen didekati melalui persamaan kimia fotosintesis, berdasarkan pada potensi kandungan Karbondioksida mangrove c. Harga Oksigen didekati dengan harga Oksigen untuk membantu bernafas bagi pasien di rumah sakit yaitu sebsar Rp 120.000/m3. d. Nilai ekonomi dihitung dari oksigen yang dihasikan dengan tingkat harga PERHITUNGAN: Luas Mangrove
ha
327.7
Massa Atom Relatif Senyawa CO2
44
Massa Atom Relatif Unsur O2
32
Potensi Berat Karbondioksida di Batu Ampar
ton/ha
82.3
Potensi Berat Karbondioksida di Angke
ton/ha
16.46
Potensi Volume Karbondioksida di Angke
m3/ha
13.72
Potensi Volume Oksigen (O2)
m3/ha
Potensi Total Oksigen
m3
Lama Pengelolaan hutan mangrove
tahun
Potensi Rata-rata Oksigen pertahun
m3/tahun
Harga Oksigen (O2)
Rp/m3
Nilai Penerimaan Kotor Total
Rp/tahun
Nilai Penerimaan Bersih per hektar
Rp/ha/tahun
9.98 3,269 20 163 120,000 19,614,335 59,952
19,614,335
Transfer Benefit
267
Lampiran 23 Nilai pilihan dengan menggunakan metode benefit transfer Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Soedyatmo
TWA
44.76
25.02
95.5
99.82
Luas (ha)
Arboretum
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
10.51
23.7
28.39
Jumlah
Keterangan
327.7
C. Option Value 1. Nilai Biodiversitas a. Rp/tahun b. Rp/ha/tahun
6,311,160
3,527,820
13,465,500
14,074,620
1,481,910
3,341,700
4,002,990
141,000
141,000
141,000
141,000
141,000
141,000
141,000
Keterangan: Perhitungan nilai ekonomi di atas menggunakan ketentuan sbb.: a. Manfaat pilihan pada kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai biodiversity. b. Nilai biodiversity dihitung menggunakan hasil kajian Ruitenbeek (1992) yang menghitung nilai biodiversity di Papua US$ 1.500/Km2 atau sekitar US$ 15/Ha. Nilai kurs dolar saat ini diasumsikan Rp.9.400,-. PERHITUNGAN: Luas Mangrove Nilai Pilihan
327.7 ha 141,000 Rp/ha/tahun
46,205,700
Transfer Benefit
268
Lampiran 24 Nilai manfaat keberadaan Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Sedyatmo
TWA
44.76
25.02
95.5
99.82
108,083,915
60,416,880
230,607,996
241,039,688
25,378,953
57,229,419
68,554,566
2,414,743
2,414,743
2,414,743
2,414,743
2,414,743
2,414,743
2,414,743
Luas (ha)
Arboretum
10.51
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
23.7
28.39
Jumlah
327.7
D. Non Use Value 5. Nilai Keberadaan a. Rp/tahun b. Rp/ha/tahun
Nilai Manfaat Keberadaaan Sumber: Pengolahan Data Kuesioner
791,311,418.20
Rp/tahun
791,311,418
Keterangan
269
Lampiran 25 Nilai pewarisan (bequest value ) Nilai Ekonomi per Lokasi Komponen
Hutan Lindung
Suaka
Tol
Nilai Ekonomi
Angke
Margasatwa
Sedyatmo
TWA
44.76
25.02
95.5
99.82
Luas (ha)
Arboretum
10.51
Transmisi
Cengkareng
PLN
Drain
Jumlah
23.7
28.39
327.7
35,000,000
D. Non Use Value 1. Nilai Warisan a. Rp/tahun b. Rp/ha/tahun
4,780,592
2,672,261
10,199,878
10,661,276
1,122,521
2,531,279
3,032,194
106,805
106,805
106,805
106,805
106,805
106,805
106,805
•Nilai pewarisan yang dihasilkan adalah Rp. 35.000.000 per tahun/Rp. 780.500 per ha/tahun. Asumsi: Jumlah bibit yang dapat dihasilkan adalah 10.000 bibit/tahun, harga bibit Rp. 3.500/batang. PERHITUNGAN: Jumlah produksi bibit (asumsi) Harga Nilai pewarisan
10,000 3,500 35,000,000 106,805
batang/tahun Rp/batang Rp/tahun Rp/ha/tahun
Keterangan
270
Lampiran 26 Budidaya tambak Ukuran Tambak : 50 x 150 m2 (0,75 ha); lebar 4 m kedalaman 2 m Luas Tambak BRKP DKP 57,3 ha (20 orang) Luas Tambak Rakyat 93 ha (45 orang) Uraian A
INVESTASI 1. Pembukaan lahan (Rp 50.000/m) 50 x 150 m2 (0,75 ha); lebar 4 m kedalaman 2 m 2. Perlengkapan dan Peralatan
Periode
Nilai (Rp/0,75 ha)
1 kali
80,000,000
5 tahun
Jumlah investasi B
C
BIAYA OPERASIONAL (4 bln/1xpanen) 1. Bibit bandeng (23 rb bibit) 2. Upah Tenaga Kerja Penjaga 3. Es dan upah Peng es 4. Pengeringan tambak (2 org, 1bln, @ Rp 60rb) 5. Biaya pemanenan (Rp 3 rb/kg) Jumlah Biaya Operasional
Nilai (Rp/ha)
4 bulan 4 bulan 4 bulan 4 bulan 4 bulan
106,666,667
6,000,000
8,000,000
86,000,000
114,666,667
3,680,000 6,000,000 200,000 3,600,000 6,000,000 19,480,000
4,906,667 6,000,000 266,667 4,800,000 8,000,000 23,973,333
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
12,000,000 30,000,000
16,000,000 40,000,000
48,000,000 120,000,000
42,000,000
56,000,000
168,000,000
PENERIMAAN 1. Udang Alam (4 kg/0,75 ha/hari), harga Rp 25 rb/kg) 2.Bandeng (8 ton/tahun, harga Rp 15000/kg) Jumlah Penerimaan
Nilai (Rp/ha/thn)
ALIRAN KAS (CASH FLOW) PENGELOLAAN TAMBAK TRADISIONAL (RP/HA) URAIAN 1 A
B
C
INVESTASI 1. Pembukaan lahan 2. Perlengkapan dan Peralatan
BIAYA OPERASIONAL 1. Bibit bandeng (23 rb bibit) 2. Upah Tenaga Kerja Penjaga 3. Es dan upah Peng es 4. Pengeringan tambak (2 org, 1bln, @ Rp 60rb) 5. Biaya pemanenan (Rp 3 rb/kg) Jumlah Biaya Operasional
2
3
4
TAHUN PROYEK 5
106,666,667 8,000,000
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
6
7
8
9
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
10
8,000,000
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
14,720,000 18,000,000 800,000 14,400,000 24,000,000 71,920,000
JUMLAH
186,586,667
71,920,000
71,920,000
71,920,000
71,920,000
79,920,000
71,920,000
71,920,000
71,920,000
71,920,000
PENERIMAAN
168,000,000
168,000,000
168,000,000
168,000,000
168,000,000
168,000,000
168,000,000
168,000,000
168,000,000
168,000,000
KEUNTUNGAN BERSIH
(18,586,667)
96,080,000
96,080,000
96,080,000
96,080,000
88,080,000
96,080,000
96,080,000
96,080,000
96,080,000
271
Lanjutan lampiran 26 PENERIMAAN Tahun
Nilai konstant
(t)
(1+I)^t
Tahun ke-t
Nilai Sekarang (PV) tahun ke-t
1
(Rp/ha/thn) 168,000,000
1.100
(tk diskonto 10%) (Rp/ha/thn) 152,727,273
2
168,000,000
1.210
138,842,975
3
168,000,000
1.331
126,220,887
4
168,000,000
1.464
114,746,261
5 6
168,000,000 168,000,000
1.611 1.772
104,314,782 94,831,620
7
168,000,000
1.949
86,210,564
8
168,000,000
2.144
78,373,240
9
168,000,000
2.358
71,248,400
168,000,000
2.594
10
Jumlah
64,771,273 1,032,287,274
BIAYA Tahun
Nilai konstant
(t)
Tahun ke-t
(1+I)^t
Nilai Sekarang
1
186,586,666.67
1.100
2
71,920,000.00
1.210
59,438,017
3
71,920,000.00
1.331
54,034,560
(PV) tahun ke(tk diskonto 10 %)
(Rp/ha/thn)
(Rp/ha/thn) 169,624,242
4
71,920,000.00
1.464
49,122,328
5
71,920,000.00
1.611
44,656,662
6
79,920,000.00
1.772
45,112,756
7
71,920,000.00
1.949
36,906,332
8
71,920,000.00
2.144
33,551,211
9 10
71,920,000.00 71,920,000.00
2.358 2.594
30,501,101 27,728,273
Jumlah
550,675,482
NET PRESENT VALUE (NPV) Komponen
Nilai Konstant Per ha per thn (Rp/ha)
Nilai Sekarang (PV) (10 tahun per ha, DR 10 %) (Rp/ha)
Penerimaan
168,000,000
Biaya Produksi (rata-rata)
84,186,667
1,032,287,274 550,675,482
Nilai Bersih Sekarang
83,813,333
481,611,792
272
Lanjutan lampiran 26 PERHITUNGAN NILAI EKONOMI TAMBAK Rincian Jumlah Luas Tambak Periode panen Produksi rata-rata bandeng per ha per tahun Jumlah Produksi bandeng per tahun Produksi rata-rata Udang Alam per ha per tahun Jumlah Produksi Udang Alam per tahun Harga Bandeng Harga Udang Alam Investasi Penerimaan dari Bandeng Penerimaan dari Udang Alam Jumlah Penerimaan Total Jumlah Biaya Produksi per ha Jumlah Biaya Produksi per tahun Nilai Ekonomi Tambak NPV (10 tahun, DR 10%) per ha NPV (10 tahun, DR 10%)
Satuan ha kali/tahun ton/ha/tahun ton/tahun ton/ha/tahun ton/tahun Rp/kg Rp/kg Rp/ha Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/ha/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/ha Rp
Tambak DKP 57.30 3 8 458.40 1.95 111.45 15,000 25,000 114,666,667 6,876,000,000 2,786,212,500 9,662,212,500 71,920,000 4,121,016,000.00 5,541,196,500.00 481,611,792 27,596,355,672
Tambak Rakyat 93.00 3 8 744.00 1.95 180.89 15,000 25,000 114,666,667 11,160,000,000 4,522,125,000 15,682,125,000 71,920,000 6,688,560,000.00 8,993,565,000.00 481,611,792 44,789,896,640
Jumlah 150.3 16 1,202.4 3.89 292.33 30,000 50,000 18,036,000,000 7,308,337,500 25,344,337,500 10,809,576,000 14,534,761,500
273
24/01/2012 8:15:10
Page 1 of 3
Lampiran 27 Hasil Analisis A’WOT Terhadap Faktor-Faktor Internal dan Eksternal Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke Model Name: Nyoto
Model Name: Nyoto Treeview
Goal: Pengelolaan Mangrove Muara Angke Kekuatan Nilai keberadaan Nilai ekonomi Aksesibilitas Legalitas kawasan Kelemahan Kerusakan habitat Koordinasi kelembagaan Kesadaran masyarakat Komitmen pemda Peluang Permintaan wisata Potensi CSR Perhatian peneliti Ancaman Abrasi dan Intrusi Kebutuhan lahan Pencemaran
Alternatives
Konservasi mangrove Penguatan kelembagaan Partisipasi masyarakat Teknologi pengelolaan
0,226 0,335 0,326 0,113
* Ideal mode
Suaedi
274
24/01/2012 8:15:10
Page 2 of 3
Data Grid
Alternative Konservasi mangrove Penguatan kelembagaan Partisipasi masyarakat Teknologi pengelolaan
Alternative Konservasi mangrove Penguatan kelembagaan Partisipasi masyarakat Teknologi pengelolaan
Alternative
Pairwise Kekuatan Nilai keberadaan (L: 0,565)
,593
,578
,593
1,000
1,000
,781
,343
,317
,343
1,000
,204
,155
,204
,217
Pairwise Pairwise Kelemahan Kelemahan Kerusakan habitat Koordinasi kelembagaan (L: 0,118) (L: 0,565) 1,000
,443
,331
1,000
,698
,666
,453
,259
Pairwise Pairwise Pairwise Kelemahan Kelemahan Peluang Kesadaran masyarakat Komitmen pemda Permintaan wisata (L: 0,262) (L: 0,055) (L: 0,637) ,400
,516
,471
,689
1,000
,973
1,000
,722
1,000
,294
,168
,256
pengelolaan
kelembagaan Partisipasi masyarakat Teknologi pengelolaan
Pairwise Kekuatan Legalitas kawasan (L: 0,262)
,519
kelembagaan Partisipasi masyarakat Teknologi
Konservasi mangrove Penguatan
Pairwise Kekuatan Aksesibilitas (L: 0,055)
1,000
Konservasi mangrove Penguatan
Alternative
Pairwise Kekuatan Nilai ekonomi (L: 0,118)
Pairwise Peluang Potensi CSR (L: 0,258)
Pairwise Pairwise Peluang Ancaman Perhatian peneliti Abrasi dan Intrusi (L: 0,105) (L: 0,637)
,345
,343
1,000
,896
,593
,593
1,000
1,000
,204
,457
,204
,343
Suaedi
275
24/01/2012 8:15:10
Alternative
Page 3 of 3 Pairwise Pairwise Ancaman Ancaman Kebutuhan lahan Pencemaran (L: 0,105) (L: 0,258)
Konservasi mangrove Penguatan kelembagaan Partisipasi masyarakat Teknologi pengelolaan
,419
1,000
,659
,508
1,000
,721
,223
,812
Priority Graphs
Priorities with respect to: Goal: Pengelolaan Mangrove Mu...
Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman Inconsistency = 0,04 with 0 missing judgments.
,262 ,118 ,565 ,055
Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Pengelolaan Mangrove Muara Angke
Overall Inconsistency = ,03 Konservasi mangrove Penguatan kelembagaan Partisipasi masyarakat Teknologi pengelolaan
,226 ,335 ,326 ,113
Suaedi
276
Lampiran 28 Kuesioner Penentuan Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke Jakarta
Kuesioner
PENENTUAN STATUS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE JAKARTA
Identitas Responden Nama
:
Pekerjaan / Instansi
:
Telp/HP
:
Tanggal Wawancara : Paraf
:
Oleh:
NYOTO SANTOSO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
277
No Kuesioner: ..........
Nama Responden
: …………………………………………………….
Alamat
: …………………………………………………….
No. HP
: …………………………………………………….
Pekerjaan
: …………………………………………………….
Tanggal pengisian
: …………………………………………………….
Dimohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr untuk mengisi kuesioner penelitian ini sebagai berikut; 1. Kuesioner penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menilai kondisi eksisting pembangunan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta secara umum. 2. Penilaian kondisi eksisiting pembangunan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta umum ini ditinjau dari 5 (lima) dimensi, yaitu: dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi teknologi, dan dimensi kelembagaan. 3. Bapak/Ibu/Sdr silahkan memilih satu pilihan dengan memberikan tanda lingkaran pada keterangan pilihan (kolom nilai) yang telah tersedia. 4. Data dan informasi tersebut akan saya pergunakan sebagai bahan untuk penulisan disertasi. 5. Data dan semua informasi yang diberikan akan saya jamin kerahasiaannya. 6. Atas kesediaan dan partisipasi Bapak/Ibu/Sdr saya ucapkan terima kasih.
278
1. Dimensi Ekologi No Atribut 1 Tekanan lahan mangrove
2
Sedimentasi pantai
3
Abrasi pantai
4
Pencemaran perairan
Definisi Data dan informasi Kecendrungan Luas lahan perubahan lahan mangrove yang mangrove yang dikonversi menjadi dikonversi untuk peruntukan kegiatan budidaya atau lainnya pembangunan Luas kawasan infrastruktur mangrove yang potensial mengalami alih fungsi Laju perubahan lahan mangrove Proses pengendapan Volume bahan material yang diangkut endapan di muara oleh media air sungai (sungai). Sedimentasi Perubahan mengakibatkan kedalaman air laut pendangkalan dan dan muara sungai terbentuknya delta Perubahan serta pencemaran komposisi zat perairan pada dasar perairan
Proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai dan faktor lainya (reklamasi, SLR). Perubahan keadaan di sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia di kawasan Pantura Jakarta yang menyebabkan kualitas perairan menjadi menurun
Luas lahan yang terabrasi Perubahan panjang garis pantai
Skor Penilaian Nilai (0) Tidak terjadi perubahan luas lahan mangrove (1) Perubahan luas lahan mangrove secara alami (2) Terjadi alih fungsi lahan mangrove tanpa memperhatikan fungsi lingkungan
(0) Sedimentasi tidak mengalami peningkatan yang signifikan (1) Sedimentasi mengalami peningkatan namun tidak signifikan mempengaruhi kondisi perairan (2) Sedimentasi telah mempengaruhi kondisi perairan berupa terbentuknya delta dan pendangkalan (0) Tidak terjadi abrasi pantai (1) Terjadi abrasi pantai namun tidak signifikan mempengaruhi garis pantai (2) Terjadi abrasi pantai dan telah mempengaruhi garis pantai
Perubahan kondisi (0) Kualitas air golongan I (1) Kualitas air golongan IIbeberapa III parameter kualitas (2) Melampaui baku mutu air Perubahan warna dan bau air Banyaknya biota air yang mati akibat penurunan kualitas air
279
1. Dimensi Ekologi No Atribut 5 Pemanfaatan lahan tambak
Definisi Luas lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya tambak
Data dan informasi Luas lahan yang sesuai untuk budidaya tambak Luas lahan budidaya yang telah dimanfaatkan Pemanfaatan lahan Luas lahan wisata untuk kawasan wisata yang digunakan dalam kaitan dengan Daya dukung kepedulian terhadap lahan kawasan lingkungan wisata Konservasi sumberdaya alam di kawasan wisata
6
Pemanfaatan kawasan untuk wisata
7
Pemanfaatan air tanah
Pemanfaatan air tanah oleh penduduk dan industri melalui penggunaan sumur dalam
8
Sanitasi lingkungan
Status kesehatan lingkungan kawasan Pantura Jakarta yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya
9
Fungsi konservasi mangrove
Adanya manajemen air, tanah, dan mineral di dalam kawasan mangrove Jakarta mencakup kegiatan survai, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan Adanya potensi kawasan mangrove sebagai penyimpan karbon dan penghasil
10 Potensi Karbon
Skor Penilaian (0) Sangat sesuai, (1) Sesuai, (2) Tidak sesuai
(0) Tidak memperhatikan aspek konservasi (1) Memperhatikan aspek konservasi namun dilakukan tanpa memperhatikan daya dukung lahan (2) Memperhatikan aspek konservasi dan daya dukung kawasan Jumlah penduduk (0) Rendah: <5% (1) Sedang: 5-10% yang menggunakan air (2) Tinggi: >10% tanah Jumlah industri yang menggunakan air tanah (0) Banyak sampah di Kebersihan lingkungan perumahan, kawasan drainase tidak bersih, perumahan dan sulit air bersih Kebersihan (1) Lingkungan perumahan saluran drainase dan drainase baik Ketersediaan air namun sulit air bersih bersih (2) Lingkungan perumahan dan drainase baik serta tersedia air bersih (0) Tidak ada konservasi, Luas lahan (1) Ada konservasi namun konservasi tidak dikelola dengan Lembaga yang baik menangani (2) Ada konservasi dan kawasan dikelola dengan baik konservasi Kegiatan pada kawasan konservasi
Data lahan yang bervegetasi mangrove dan non mangrove
(1) Rendah: potensi karbon < ton/ha (2) Sedang : potensi karbon antara .... ton/ha
Nilai
280
1. Dimensi Ekologi No
Atribut
Definisi oksigen yang dapat diperjualbelikan dalam perdagangan karbon 11 Penjerap dan Adanya fungsi yang pengurai polutan dijalankan oleh kawasan mangrove dalam menurunkan kadar polutan
Data dan informasi Potensi biomasa Potensi karbon Data kondisi kualitas air di kawasan mangrove Data luas dan jenis vegetasi mangrove Data penelitian bioremediasi mangrove
Skor Penilaian Nilai (3) Tinggi: potensi karbon > ton/ha (0) Rendah: Kualitas air semakin buruk, penutupan vegetasi menurun (1) Sedang: Kualitas air tidak berubah, penutupan vegetasi tetap (2) Tinggi: Kualitas air lebih baik, penutupan vegetasi meningkat
281
2. Dimensi Ekonomi No Atribut 1 Aksesibilitas Kawasan Mangrove
2
Manfaat Langsung Mangrove
3
Daya beli masyarakat
4
Jumlah Sektor Informal
Definisi Data dan informasi Skor Penilaian Nilai Tingkat aksesibilitas (0) Rendah : lokasi Kondisi prasarana kawasan mangrove termasuk sulit dan sarana Muara Angke untuk diakses dengan pengelolaan dilakukan pengelolaan sarana kawasan mangrove dan pemanfaatan transportasi yang untuk dapat diakses ada dan dengan sarana prasarana/sarana transportasi yg ada pengelolaan Kondisi prasarana kurang sekali dan sarana (1) Sedang: lokasi pengelolaan dapat diakses dan terhadap tuntutan prasarana/sarana untuk kelancaran pengeolaan belum kegiatan wisata alam memadai (2) Tinggi : lokasi mudah diakses dan prasarana/ sarana pengelolaan sudah baik Besarnya nilai manfaat Jumlah (0) Rendah (jumlah langsung bagi orang yan komodiiti/sumberday masyarakat memanfaatkan < a yg dimanfaatkan 10 % KK) masyarakat (1) Sedang (10 %- 30 % (2) > 30 % Daya beli (0) < 0,50 kali daya Indeks daya beli menunjukkan beli nasional masyarakat kemampuan (1) 0,50 – 1,5 kali kawasan Pantura masyarakat dengan daya beli nasional Jakarta sejumlah uang (2) > 1,5 kali daya beli Indeks daya beli membeli sesuatu nasional nasional produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Daya beli tergantung pada besarnya pendapatan dan tingkat harga. Jumlah sektor usaha Jumlah pelaku (0) Rendah: (usaha sektor Kesempatan usaha informal pertanian, perikanan, Kesempatan kerja dan jasa, dsb) yang berusaha berusaha dalam berkembang atas tidak sektor informal prakarsa masyarakat berkembang (1) Sedang: kesempatan
282
2. Dimensi Ekonomi No
5
6
7
8
Atribut
Rerata penghasilan terhadap UMR
Definisi
Rata-rata penghasilan masyarakat dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta Utara Jumlah penduduk Banyaknya penduduk miskin miskin berdasarkan kriteria BPS (jumlah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan)
Data dan informasi
Skor Penilaian usaka dan bekerja berkembang < 30 % (2) Tinggi: kesempatan usaka dan bekerja berkembang > 30 %
(0) Dibawah Rata-rata (1) Sama penghasilan (2) Lebih tinggi masyarakat per bulan UMR Jakarta Utara Jumlah penduduk miskin Garis kemiskinan
(0) < 0,5 kali penduduk miskin provinsi (1) 0,5 – 1,50 kali peduduk miskin provinsi (2) > 1,5 kali penduduk miskin provinsi Penyerapan Banyaknya angkatan Jumlah penduduk di (0) <10% penduduk tenaga kerja kerja (penduduk bekerja di atas 15 tahun berusia di atas 15 kawasan Jumlah penduduk tahun) yang terserap mangrove yang bekerja oleh lapangan kerja di Penduduk yang (1) 10-30% penduduk kawasan Pantura bekerja di bekerja di kawasan Jakarta kawasan Pantura Jakarta mangrove (2) > 30% penduduk bekerja di kawasan mangrove Anggaran Jumlah anggaran (0) Rendah (Jumlah Jumlah anggaran Pemerintah untuk pemerintah untuk anggaran untuk pemerintah dan mangrove pengelolaan mangrove kegiatan pemerintah daerah Muara Angke pengelolaan untuk pegelolaan kurang) mangrove Muara (1) Sedang (Jumlah Angke anggaran utk pengelolaan mangrove mencukupi, namun masih
Nilai
283
2. Dimensi Ekonomi No
Atribut
Definisi
Data dan informasi (2)
9
Manfaat Tidak Langsung
Nilai ekonomi manfaat Tuntutan manfaat tidak langsung tidak langsung mangrove Muara sangat tinggi Angke Persentase nilai manfaat tidak langsung dari TEV mangrove Muara Angke > 70 %
10 Persentase Pendapatan SDI
Pendapatan masyarakat dari kegiatan dan usaha yang memanfaatkan sumberdaya perikanan relatif terhadap total pendapatan masyarakat dari usaha lainnya 11 Potensi da jumla Potensi (demand) kunjungan kegiatan wisata alam wisatawan dan jumlah kunjungan wisata alam pada kawasan mangrove Muara Angke
12 Dukungan Dana
Dukungan dana CSR
(0) Rata-rata (1) Pendapatan (2) masyarakat Rata-rata pendapatan masyarakat dari usaha sumberdaya perikanan
Skor Penilaian kurang) Tinggi (jumlah anggaran untuk pengelolaan mangrove cukup dan melebihi dari kebutuhan) (0) Rendah (Nilai manfaat tidak langsung < 40 % dari TEV (1) Sedang (Nilai manfaat tidak langsung 40 – 60 % dari TEV) (2) Tinggi (Nilai manfaat tidak langsung > 60 %) < 50% 50-80% > 80%
Jumlah kunjungan (0) Rendah : jumlah wisatawan < wisata alam 10.000 org/thn kawasan mangrove dan potensi Potensi kwgiatan kegiatan wisata wisata alam rendah (1) Sedang : jumlah wisatawan 10.00020.000 org/thn dan potensi kegiatan wisata alam sedang (2) Tinggi : jumlah wisatawan > 20.000 org/thn dan potensi kegiatan wisatawan tinggi Dana CSR perusahaan (0) Rendah: Tidak
Nilai
284
2. Dimensi Ekonomi No
Atribut CSR
Definisi dari swasta untuk pengelolaan mangrove (rehabilitasi, sarana dan prasarana pengelolaan)
Data dan informasi (swasta dan BUMN) yang telah dialokasikan untuk kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
Skor Penilaian Nilai ada dukungan dana CSR untuk pengelolaan mangrove (1) Sedang: ada dukungan dana CSR untuk pengelolaan mangrove, namun jumlahnya sedikit (2) Tinggi: ada dukungan dana CSR untuk pengelolaan mangrove dan jumlahnya banyak
285
3. Dimensi Sosial No
Atribut
Definisi
1 RT pemanfaat Jumlah rumah tangga sumberdaya (RT) pekerja yang memanfaatkan sumberdaya pesisir sebagai lahan untuk mata pencaharian utama seperti nelayan, petambak, pengolah perikanan, buruh tani nelayan 2 Pengetahuan Pengetahuan terhadap masyarakat tentang lingkungan lingkungan kawasan pesisir baik biologi, fisik, kimia, dan pencemaran lingkungan 3 Tingkat Jumlah penduduk pendidikan f berdasarkan tingkat masyarakat pendidikan (SD, SMP, SMA, PT) masyarakat kawasan Pantura Jakarta dibandingkan dengan pendidikan masyarakat di Jakarta Utara 4 Partisipasi dalam Peran serta masyarakat pengelolaan dalam pengelolaan mangrove sumberdaya pesisir mulai dari pemberian data dan infiormasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan yang dilakukan secara terpadu dengan pemerintah 5 Konflik sosial Frekuensi konflik terkait pemanfaatan lahan dan lingkungan antar masyarakat baik dalam kawasan maupun dengan masyarakat di luar kawasan pantura Jakarta
Data dan informasi
Skor Penilaian
(0) <30% Jumlah RT Jumlah RT nelayan (1) 30 – 60% (2) > 60% dari total Jumlah RT RT petambak Jumlah RT pengolah perikanan Jumlah RT buruh tani nelayan Persepsi masyarakat tentang lingkungan yang baik
(0) Rendah (1) Cukup (2) Baik
Pendidikan penduduk Jakarta Utara (SD, SMP, SMA, PT) Pendidikan penduduk kawasan Pantura Jakarta (SD, SMP, SMA, PT) Keterlibatan masyarakat dalam pemberian data dan infiormasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan
(0) SD (1) SMP- SMA (2) PT
Banyaknya kerusuhan antar warga terkait kawasan Banyaknya kerusuhan dengan warga dari luar
(0) Tidak pernah (1) 1 kali setahun (2) ≥ 2 kali setahun
(0) rendah (1) sedang (2) tinggi
Nilai
286
3. Dimensi Sosial No Atribut 6 Dampak sosial thd masyarakat
Definisi Dampak sosial positif bagi kehidupan masyarakat sekitar
Data dan informasi Skor Penilaian Nilai Masyarakat sekitar (0) Rendah: masyarakat menyadari dan tidak merasakan merasakan fungsi dan tidak dan manfaat menyadari kawasan mangrove (1) Sedang : Muara Angke masyarakat merasakan, namun masih rendah (2) Tinggi: masyarakat sekitar merasakan manfaat kawasan mangrove dan menyadari sepenuhnya 7 Kesadaran Masyarakat sekitar Masyarakat sekitar (0) Rendah : masyarakat menyadari manfaat dan masyarakat berpartisipasi dalam fungsi kawasan sekitar yang kegiatan mangrove dan berpartisipasi < rehabilitasi, dan berpartisipasi dalam 20 % mengamankan pengelolaan kawasan mangrove (1) Sedang : masyarakat Masyarakat sekitar sekitar yang berpartisipasi dalam berpartisipasi 20 pendanaan dan – 50 % penyebarluasan (2) Tinggi : informasi manfaat masyarakat dan fungsi sekitar yang mangrove berpartisipasi > 50 % 8 Perhatian Peneliti Peneliti mangrove (0) Rendah: jumlah Jumlah kegiatan Mangrove (Perguruan Tinggi, penelitian sedikit penelitian pelajar, LSM) yang sekali (< 20 (kunjungan peneliti, melakukan kegiatan kali/thn praktek pengelolaan penelitian di kawasan (1) Sedang : jumlah dan kegiatan mangrove Muara Angke penelitian 20-40 penelitian) yang kali/thn telah dilakukan di kawasan mangrove (2) Tinggi : jumlah penelitian > 40 Muara Angke kali/thn 9 Frekuensi Masyarakat aktif (0) Rendah: Kehadiran pertemuan menyelenggarakan kehadiran masyarakat dalam masyarakat pertemuan atau ikut masyarakat setiap pertemuan dalam pertemuan untuk dalam pelestarian konservasi mangrove pertemuan mangrove tinggi
287
3. Dimensi Sosial No
Atribut
10 Resistensi terhadap kebijakan pemerintah
Definisi
Frekuensi demonstrasi dan protes oleh masyarakat terhadap kebijakan pemerintah terkait pembangunan kawasan pantura Jakarta
Data dan informasi (selalu hadir)
Skor Penilaian konservasi mangrove < 20 % (1) Sedang: kehadiran masyarakat 2050 % (2) Tinggi : kehadiran masyarakat : > 50 % (0) Tidak ada demo Banyaknya besar demonstrasi terhadap kebijakan (1) 1 kali setahun demo besar Banyaknya aksi (2) ≥ 2 kali setahun protes masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan
Nilai
288
4. Dimensi Kelembagaan No Atribut Definisi 1 Ketersediaan Tersedianya peraturan peraturan pengelolaan pengelolaan lingkungan kawasan pantura Jakarta yang disepakati oleh stakeholder dan menjadi dasar dalam pengelolaan lingkungan kawasan 2 Keterlibatan lembaga masyarakat
Partisipasi aktif masyarakat dan lembaga masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi pembangunan kawasan pantura Jakarta
3 Komitmen Komitmen pemda Pemda untuk untuk melakukan konservasi konservasi sumberdaya alam terkait pelestarian fungsi kawasan pesisir
4 Sistem pengambilan keputusan
Sistem pengambilan keputusan (SPK) dalam penentuan kebijakan
Data dan informasi Skor Penilaian Nilai (0) Tidak tersedia Adanya peraturan peraturan pengelolaan pengelolaan lingkungan lingkungan kawasan Tingkat pemahaman (1) Tersedia tapi tidak dipahami oleh dan pengetahuan masyarakat dan masyarakat dan pengusaha dan tidak pengusaha terhadap tersosialisasi dengan peraturan yang ada baik Adanya informasi dan (2) Ada peraturan dan petunjuk tentang tersosialisasi dengan pengelolaan baik dan dipahami oleh lingkungan di lokasi masyarakat dan terkait pengusaha (0) Masyarakat dan Keterlibatan lembaga masyarakat masyarakat dalam tidak terlibat dalam memberikan data pengawasan dan informasi evaluasi pembangunan (1) Masyarakat dan Keterlibatan lembaga masyarakat masyarakat dalam terlibat tetapi hanya proses pengawasan secara prosedural dan evaluasi (2) Masyarakat dan pembangunan lembaga masyarakat kawasan terlibat aktif dalam Keterlibatan lembaga meberikan informasi, masyarakat dalam proses, dan penentuan mekanisme mekanisme pengawasan dan pengawasan dan evaluasi serta tindak evaluasi lanjutnya Konsistensi rencana (0) Rendah: pemda tidak melakukan ketiga hal tata ruang, kebijakan tersebut konservasi, dengan (1) Sedang: hanya 1 atau 2 kebijakan hal yang dilakukan pemanfaatan ruang pemda kawasan Bantuan dan fasilitasi (2) Tinggi: pemda telah melakukan ketiga hal pelestarian kawasan tersebut konservasi Penegakan hukum pelestarian kawasan konservasi (0) Tidak terdapat SPK Penggunaan (1) Ada tetapi tidak database dalam berfungsi sesuai perumusan kebijakan dengan SPK yang Keterlibatan disepakati stakeholder dalam
289
4. Dimensi Kelembagaan No
Atribut
5 Kemampuan aparat pelaksana
6 Keterpaduan program pengelolaan
7 Legalitas Kawasan Mangrove
Definisi pembangunan kawasan pantura Jakarta
Data dan informasi pengambilan keputusan Penggunaan sistem pendukung keputusan (DSS) dalam pengambilan keputusan Kemampuan aparat Kesesuaian dengan pelaksana dalam pendidikan perencanaan, Pengalaman dan pelaksanaan, dan masa kerja dalam evaluasi bidang yang sesuai pembangunan Kemampuan menjalin komunikasi dengan pihak lain Keterpaduan Pelibatan sektor pembangunan terkait dalam proses kawasan Pantura perencanaan, Jakarta dengan pelaksanaan, dan sektor terkait di evaluasi kawasan Pantura Kerjasama Jakarta pembangunan kawasan dengan sektor terkait Sinkronisasi program pembangunan antar sektor terkait Status kawasan Tingkat status mangrove menurut pengelolaan kawasan Pemerintah Pusat mangrove menurut dan Pemda Pemerintah Pusat Provinsi DKI Konsistensi status Jakarta kawasan mangrove dalam RTRW Provinsi DKI Jakarta
8 Hubungan Koordinasi dan Pelibatan pemerintah pemerintah sinkronisasi antara pusat dalam pusat/ Daerah pemerintah Kota perencanaan dan pemerintah pembangunan pusat dalam Pelibatan pemerintah pelaksanaan pusat dalam evaluasi pembangunan di pembangunan kawasan pantura Kerjasama
Skor Penilaian (2) Ada dan berfungsi sesuai dengan SPK
(0) Rendah (1) Sedang (2) Tinggi
(0) Tidak terpadu, tidak melibatkan sektor lainnya (1) Kadang-kadang terpadu, yakni hanya pada beberapa tahap pembangunan melibatkan sektor lainnya (2) Terpadu, melibatkan sektor lainnya dalam semua tahapan pembangunan (0) Rendah : status kawasan mangrove belum jelas dan tidak ada konsistensi RTRW (1) Sedang : status kawasan mangrove sudah jelas dan ada konsistensi RTRW (2) Tinggi : status kawasan mangrove sudah jelas dan ada konsisten RTRW (0) Tidak melibatkan pemerintah pusat (1) Kadang-kadang melibatkan pemerintah pusat (2) Sering melibatkan pemerintah pusat
Nilai
290
4. Dimensi Kelembagaan No
Atribut
9 Penegakan hukum
Definisi Data dan informasi Skor Penilaian Nilai Jakarta operasional Tingkat penegakan Banyaknya kasus (0) Banyak kasus yang hukum yang tidak dapat diselesaikan yang terjadi dicapai di kawasan Banyaknya kasus dalam waktu yang Pantura Jakarta relatif lama yang diselesaikan (1) Hanya diselesaikan di sesuai dengan tingkat lokal prosedur hukum (2) Penegakan hukum Banyaknya kasus dilaksanakan dengan yang tidak dapat baik diselesaikan di tingkat lokal
291
5. Dimensi Teknologi No Atribut Definisi 1 Teknologi budidaya Tersedianya teknologi perikanan usaha budidaya perikanan mencakup konstruksi lahan budidaya, pembenihan, pemberian pakan, pengelolaan kualitas air, pengendalian hama dan penyakit, pemanenan 2 Teknologi Tersedianya teknologi Rehabilitasi dalam rehabilitasi Mangrove mangrove, dan manajemennya
3
4
Teknologi Teknologi pengelolaan pengelolaan limbah limbah padat dan cair baik dari limbah domestik maupun limbah industri dalam kawasan maupun dari luar kawasan Teknologi Teknologi pengelolaan pengelolaan sumberdaya air baku, sumberdaya air air sungai, air laut, dan air limbah di dalam kawasan Pantura Jakarta
5
Teknologi Teknologi pemantauan pemantauan kualitas lingkungan kualitas lingkungan perairan, daratan, dan udara baik yang tetap maupun yang bergerak
6
Teknologi
Teknologi untuk
Data dan informasi Skor Penilaian Nilai (0) Tidak ada, Teknologi konstruksi tambak (1) Teknologi sederhana (tidak Teknologi semua teknologi pembenihan diterapkan), Pemberian pakan (2) Semua teknologi Pengelolaan diterapkan kualitas air Pengendalian hama dan penyakit Informasi jenis dan musim berbuah Teknik dan desain kontruksi rehabilitasi Pengelolaan teknik dan disain kontruksi rehabilitasi Pengelolaan limbah padat Pengelolaan limbah cair Kelembagaan dan SDM pengelolaan limbah Pengelolaan air baku untuk air minum Pengelolaan daerah aliran sungai di hilir Pencegahan intrusi air laut Pengelolaan limbah cair Pemantauan kualitas udara Pemantauan kualitas air Pemantauan kualitas tanah Manajemen pemantauan Pembuatan
(0) Tidak ada, (1) Teknologi sederhana (tidak semua teknologi diterapkan), (2) Semua teknologi diterapkan
(0) Tidak ada, (1) Teknologi sederhana (tidak semua teknologi diterapkan), (2) Semua teknologi diterapkan (0) Tidak ada, (1) Teknologi sederhana (tidak semua teknologi diterapkan), (2) Semua teknologi diterapkan
(0) Tidak ada, (1) Teknologi sederhana (tidak semua teknologi diterapkan), (2) Semua teknologi diterapkan (0) Tidak ada
292
5. Dimensi Teknologi No
Atribut Penanggulangan abrasi
7
Teknologi Penanggulangan intrusi
8
Teknologi pencegahan banjir/rob
Definisi mencegah abrasi pantai, baik berupa teknik sipil (break water) maupun vegetatif (penanaman mangrove) atau gabungan keduanya
Data dan informasi Skor Penilaian Nilai bangunan (1) Teknologi pemecah ombak sederhana, atau (break water) dari sangat kurang batu dan kontruksi teknik pencegah beton abrasi (2) Semua teknik Bangunan dari pencegahan bambu untuk abrasi memecah ombak dilaksanakan dan pada sepanjang mengendalikan pantai yg sampah terancam abrasi Penanaman mangrove dan revitalisasi habitat mangrove Bangunan pemecah ombak (break water) dan penanaman mangrove Teknologi (0) Tidak ada Pembangunan untukmengurangi dan (1) Teknologi bendung/waduk di mencegah terjadinya sederhana, tepi pantai intrusi (masuknya air Pemeliharaan atau sangat laut menuju daratan kurang teknik ekosistem lahan melalui rembesan poripencegah basah (mangrove, pori tanah, sehingga intrusii rawa, dsb) di air tanah di daratan (2) Semua teknik sepanjang pesisir menjadi asin atau lebih Pengendalian/ pencegahan asin) intrusi pelarangan dilaksanakan pengambilan air pada tanah sepanjang pantai yg terancam intrusi Teknologi untuk (0) Tidak ada Pemeliharaan mencegah terjadinya (1) Teknologi saluran drainase, banjir/rob di wilayah sederhana, dan sungai pesisir atau sangat Pengendalian kurang teknik sampah rumah pencegah tangga/industri intrusi Pembangunan (2) Semua teknik tanggul penahan pencegahan banjir/rob abrasi Pemasangan dilaksanakan pompa air pada sepanjang
293
5. Dimensi Teknologi No
9
Atribut
Teknologi pencegahan sedimentasi
Definisi
Data dan informasi
Teknologi struktur dan Teknologi konstruksi bangunan konstruksi ramah dan keterpaduannya lingkungan dengan utilitas Teknologi bangunan, terkait konstruksi yang kondisi lahan pesisir sesuai kondisi pengaruhnya dalam lahan rancangan tampilan Tampilan dan dan estetika estetika bangunan bangunan.
Skor Penilaian Nilai pantai yg terancam intrusi (0) Tidak ada (1) Teknologi sederhana, atau sangat kurang teknik pencegah intrusii (2) Semua teknik pencegahan intrusi dilaksanakan pada sepanjang pantai yg terancam intrusi
294
Lampiran 29
Kuesioner nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke Jakarta
KUESIONER
ANALISIS NILAI EKONOMI TOTAL KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE JAKARTA
Oleh: NYOTO SANTOSO
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2010
295
IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama 2. Alamat
3. Pendidikan 4. Umur 5. Pekerjaan
Utama: Sampingan:
6. Pendapatan
Per minggu: Per bulan: Per tahun:
7. Tanggungan 8. Daerah asal 9. Domisili
Lama tinggal: Status rumah: Luas rumah: Jarak rumah ke pantai
10. Lahan
Luas lahan yg dimiliki: Luas lahan usaha:
11. Air
Sumber air minum: Sumber air MCK: Jumlah air yang digunakan per hari/minggu/bulan
12. Infromasi lainnya
296
1. Nilai Ekowisata Kawasan Mangrove a. Apakah ada wisatawan yang berkunjung ke kawasan muara angke? b. Berapa biaya perjalanannya? c. Berapa biaya transportasinya? d. Berapa biaya penginapannya? e. Berapa biaya konsumsinya? f.
Berapa harga tiket masuk kawasan?
g. Berapa biaya dokumentasinya. h. Berapa pengunjungnya per hari? i.
Berapa pengunjungnya per minggu?
j.
Berapa pengunjungnya per bulan?
2. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove a. Luas utuh lahan (hektar) b. Luas lahan tidak utuh (hektar) c. Unit rent kayu mangrove (Rp)
3. Nilai Ekologis Kawasan Mangrove
1. Penahan Intrusi Air Laut: a. Komponen yang dibiayai dalam mencegah intrusi air laut? Jenis Pengeluaran Pengadaan Perawatan Operasional
Rata-rata Biaya (Rp)
Masa Pakai
Rata-rata Biaya per tahun (Rp)
297
b. Pembiayaan air bersih oleh penduduk Jumlah KK pengguna air? Pemakaian air per hari? Harga air per kubik?
2. Pelindung abrasi a. Ketebalan hutan mangrove? b. Tinggi tembok pelindung abrasi? c. Biaya pembuatan tembok pelindung abrasi (Rp/m 2) d. Berapa nilai kerugian akibat abrasi?
3. Penghasil Karbon Dioksida a. Tingkat keragamanan mangrovenya? b. Tingkat kerapatan mangrovenya? c. Jumlah carbon dioksida (CO2) yang dihasilkan? d. Kemampuan menyimpan CO2? e. Harga per ton CO2?
4. Nursery Ground Berapa Biaya pembuatan tambak per hektar?
298
4. Nilai Keberadaan Kawasan Mangrove 1. Apakah perlu dipertahankan kawasan mangrove muara angke Jakarta? Jika ya, alasannya?
Berapa lama harus dipertahankan?
Jika tidak, alasannya?
2. Apakah bersedia membayar untuk mempertahankan keberadaan kawasan mangrove muara angke Jakarta? Jika ya, berapa rupiah per hektar? Alasannya?
Jika tidak, alasannya?
3. Apakah Saudara setuju bahwa bahwa hutan mangrove memiliki fungsi sebagai pelindung pantai ? Jika ya, alasannya?
Jika tidak, alasannya?
4. Apakah Saudara sependapat bahwa masyarakat sekitar hutan berhak atas pembayaran jasa lingkungan hutan Jika ya, alasannya?
Jika tidak, alasannya?
299
5. Apakah Saudara sependapat bahwa masyarakat pemanfaat hutan yang merasakan manfaat jasa lingkungan hutan mangrove dan oleh karena itu mereka seharusnya bersedia membayar jasa lingkungan tersebut bagi masyarakat sekitar hutan ?
Jika ya, alasannya?
Jika tidak, alasannya?
6. Apakah Saudara sependapat bahwa konversi hutan mangrove di wilayah pesisir seharusnya dilarang atau dikendalikan dan hutan mangrove dijadikan daerah konservasi ? Jika ya, alasannya?
Jika tidak, alasannya?
Terima kasih atas partisipasi Saudara!