PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA SECARA BERKELANJUTAN
INDAR PARAWANSA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Desember 2007
Indar Parawansa 99522008
ABSTRAK Indar Parawansa. 2007. Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan. Dibimbing oleh: Hadi S Alikodra, M Sri Saeni, Dedi Soedharma, dan Dudung Darusman. Hutan mangrove di Teluk Jakarta memerlukan kebijakan pengelolaan yang terpadu guna menjaga fungsi mangrove yang sangat vital bagi ekosistem wilayah pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui kondisi fisik dan kualitas ekosistem hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini; mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta; dan menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan partisipatif dengan melibatkan stakeholder kunci dalam perumusan alternatif kebijakan dan strategi implementasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi berdasarkan hasil pengujian: Hasil uji vegetasi diketahui bahwa luasan hutan mangrove telah mengalami penyusutan dan spesiesnya mengalami pengurangan jenis. Hasil pengujian kualitas air diketahui bahwa parameter BOD, COD, amonia, dan logam berat (kadmiun dan timbal) telah melampaui baku mutu kualitas air. Kondisi fisik lahan mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman, dan industri; (2) Kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta bervariasi berdasarkan kategori stakeholder yakni kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui peningkatan pendapatan masyarakat, pendidikan dan kesehatan masyarakat, dan peningkatan investasi, sedangkan kelestarian ekosistem dilakukan melalui rehabilitasi kawasan secara partisipatif; dan (3) prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan berdasarkan aspirasi stakeholder secara berturut-turut adalah pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi, dan pengelolaan terpadu. Ketiga kebijakan ini dilaksanakan secara terpadu dan konsisten dengan berbagai langkah-langkah strategis yang telah disepakati oleh semua stakeholder. Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan kondisi saat ini dirumuskan empat program utama yaitu rehabilitasi mangrove, penanganan sampah dan limbah, perbaikan kualitas perairan, dan pencegahan abrasi dan sedimentasi.
Kata-kata kunci:
kebijakan, pengelolaan, mangrove, berkelanjutan, Teluk Jakarta.
ABSTRACT Indar Parawansa. 2007. The Regime Development Policy of Sustainable Mangrove Forest Management in Teluk Jakarta. Supervised by: Hadi S Alikodra, M Sri Saeni, Dedi Soedharma, and Dudung Darusman. Mangrove forest in Teluk Jakarta needs a comprehensive development policy in order to preserve its important functions for the coastal area ecosystem. The purposes of this research are to: identify the stakeholder need in managing mangrove in Teluk Jakarta; arrange the policy and strategy of sustainable mangrove management. This research uses a participative approach by involving the stakeholder key in formulating the policy alternative and its implementation strategy. The result of this research shows: (1) mangrove condition in Teluk Jakarta is damaged based on analysis result. The result of vegetation analysis shows that mangrove area and the variety of its species is decreasing. The result of water quality analysis show that the parameter of BOD, COD, Ammonia and metal (Cd and Pb) exceeded the water quality standard. The condition of land physic is damaged due to the land function shifting to fish pond, settlement and industry. (2) The felt needs of stakeholders to manage the mangrove are varied due to the condition of their level of welfare, ecosystem sustainability and economic growth. The level of welfare and economic growth can be developed throught income generating activity, education and health program. While the ecosystem sustainability can be enhanced throught participatory rehabilitation program. (3) The priority of mangrove sustainable management based on the stakeholders aspirations are people empowerment, technology application, and integrated management. Based on those priorities, there are four programs to be implemented: rehabilitation, pollution and waste management, water quality improvement, and abrassion and sedimentation prevention.
Keywords:
policy, management, mangrove, sustainable, Teluk Jakarta.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA SECARA BERKELANJUTAN
Oleh:
Indar Parawansa 99522008
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi
: Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan
Nama Mahasiswa
: Indar Parawansa
Nomor Pokok
: 99522008
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Anggota
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Anggota
Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Dr. Ir. Etty Riani, MS Tanggal ujian: 19 September 2007
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada tanggal 26 Juli 1960. Penulis adalah putra pertama dari empat bersaudara keluarga H.D Parawansa. Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri 3 Makassar lulus pada tahun 1972, melanjutkan ke SMP Negeri 6 Makassar dan lulus tahun 1975, selanjutnya masuk ke SMA Negeri I Makassar lulus tahun 1980. Penulis sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana Jurusan Kependudukan pada Universitas Gajah Mada dan lulus tahun 1995. Pada tahun 1999 penulis masuk Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Pada tahun 1987 – 1999 mengabdi sebagai staf di Bappeda Takalar Sulawesi Selatan, pada tahun 1999 – sekarang menjadi staf pada Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri. Penulis menikah dengan Khofifah Indar Parawansa dan dikarunia empat putra yaitu Ima, Baso, Aco dan Ali.
Bogor, Desember 2007
Indar Parawansa
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Robbul Alamin karena atas berkat dan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul: Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan. Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan, Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, M.S., Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman M.Sc. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan petunjuk, saran, arahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS, Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS, Selaku ketua program dan PLH Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan serta kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro MSc, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan izin belajar dan kuliah sehingga selesainya program doktor ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dirjen Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, Bapak Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Ditjen Bina Pembangunan Daerah yang memberi sangat perhatian, teman-teman di Subdit Penataan Wilayah Pengembangan Khusus, Sahabat Dr. Suaedi, MSi, Dr. BJ Protondo, MSi, Dr. Royadi, SH, MM, Dr. Syafiudin H Muhammad Saleh, MSi, Dr. Ir. H. Gatot Irianto,DEA dan Keluarga, Sawiyo, Ahied dan Dany juga Dr. Ir. H Hertomo Heroe, MM, BAPPEDA dan Kepala Dinas serta Camat dan Kepala Desa/Lurah dari Muara Angke Penjaringan Jakarta Utara, Muara Gembong-Bekasi dan Teluk Naga, Tangerang, Banten. Terimakasih pula pada guruku sekaligus orangtua angkatku Bapak Prof. Dr. Ida Bagoes Mantra, Guruku yang menganggapku seperti anaknya sendiri Ibunda Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, MS, Kakanda Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri. Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih pula kepada ayahanda H. Djalaluddin Parawansa, Ibunda Mien Bakri (almarhumah) serta Pamanda Prof. Dr. H. Paturungi Parawansa dan mama Inna yang telah mendidik saya sejak kecil sampai menjadi sekarang ini, inilah wujud doamu kepada penulis yang dikabulkan Allah Robbull Alamin. Kepada istri penulis Hj. Khofifah Indar Parawansa, yang turut mendorong dalam pelaksanaan kuliah, penyusunan proposal, penelitian sampai penulisan disertasi. Juga kepada anak-anakku tercinta: Ima, Baso, Aco dan Ali, adik-adikku Sila, Tayang, Ke’nang diucapkan banyak terima kasih telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan disertasi ini. Kami menyadari bahwa disertasi ini masih kurang sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya dan semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor,
Desember 2007
Indar Parawansa
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv I.
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 1.5 Kerangka Pikir ................................................................................... 1.6 Novelty...............................................................................................
1 1 4 6 6 7 11
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2.1 Hutan Mangrove ................................................................................ 2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan ..................... 2.3 Pengelolaan Hutan Mangrove ........................................................... 2.4 Pemanfaatan Hutan Mangrove.......................................................... 2.5 Kebijakan Publik ...............................................................................
12 12 23 34 36 39
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 3.2 Tahapan Penelitian ............................................................................ 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ........................................................... 3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 3.5 Metode Analisis Data ........................................................................
44 44 45 46 47 48
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................... 4.1 Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta ......................... 4.2 Kondisi Hutan Mangrove di Teluk Jakarta ........................................ 4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ................................................. 4.4 Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove ................................... 4.5 Persepsi dan Keinginan Masyarakat ................................................. 4.6 Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta ................
55 55 57 70 73 79 86
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 111 5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 111 5.2 Saran ................................................................................................. 112 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 113 LAMPIRAN ..................................................................................................... 118
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jenis, kerapatan dan potensi mangrove di Indonesia ........................... Jenis data yang dikumpulkan ................................................................ Jumlah responden berdasarkan usia .................................................... Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan .............................. Jumlah responden berdasarkan pekerjaan ........................................... Metode pengukuran kualitas air ............................................................ Skala perbandingan berpasangan ......................................................... Perubahan luas peruntukan lahan di Muara Angke .............................. Perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian ............................ Spesies mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian ........................ Kualitas air di Teluk Jakarta .................................................................. Luas wilayah dan kepadatan penduduk di Teluk Jakarta tahun 2004 ... PDRB Jakarta Utara, Bekasi, dan Tangerang tahun 2004 atas dasar harga konstan tahun 2000 ..................................................................... Permasalahan lingkungan hutan mangrove di Teluk Jakarta ................ Permasalahan sosial ekonomi hutan mangrove di Teluk Jakarta ......... Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan mangrove di Teluk Jakarta .................................................................... Pelaksanaan peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di sekitar Teluk Jakarta ......................................................................................... Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Angke ......................................................................................... Keinginan stakeholder terhadap pengembangan kawasan hutan mangrove di Muara Angke .................................................................... Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove Muara Gembong .................................................................................... Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Gembong .................................................................................... Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga ......................................................................... Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga .............................................................................
15 47 47 47 48 51 53 56 58 66 66 70 73 74 75 76 78 80 81 82 83 85 86
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kerangka berpikir penelitian .................................................................. Peta lokasi penelitian ............................................................................. Tahapan penelitian ................................................................................ Luas hutan mangrove di Muara Angke .................................................. Luas hutan mangrove di Muara Gembong ............................................ Luas hutan mangrove di Teluk Naga ..................................................... Tingkat kerapatan vegetasi di Teluk Jakarta ......................................... Permasalahan dan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta .................................................................................... Hasil AHP penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta ................................................................................................... Hasil Analisis AHP .................................................................................
10 44 45 61 62 63 64 90 92 93
xii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Halaman Perubahan susunan jenis tumbuhan mangrove di Teluk Jakarta tahun 1988, 1994, 2000 ................................................................................... 119 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 1997 ............................... 120 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 2002 ............................... 121 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 2006 ............................... 122 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 1997 .......................... 123 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 2002 .......................... 124 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 2006 .......................... 125 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 1997 .................................. 126 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 2002 .................................. 127 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 2006 .................................. 128 Peta tutupan lahan bervegetasi di Teluk Jakarta tahun 2001................ 129 Peta tutupan lahan bervegetasi di Teluk Jakarta tahun 2006................ 130 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Muara Angke ....... 131 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Muara Gembong.. 132 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Teluk Naga .......... 134 Hasil analisis AHP pengelolaan Teluk Jakarta ...................................... 135 Foto kondisi mangrove di lokasi penelitian ........................................... 137
xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan laut yang memiliki potensi sumberdaya alam tinggi. Salah satu sumberdaya wilayah pesisir adalah hutan mangrove. Hutan mangrove memiliki nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang tinggi. Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat ikan, udang, kerang dan jenis biota lainnya untuk memijah dan daerah asuhan bagi jenis-jenis udang (Fauzi, 1999). Hutan mangrove juga berfungsi menjaga stabilitas garis pantai, melindungi pantai dan tebing sungai, memfilter dan meremidiasi limbah, serta untuk menahan banjir dan gelombang. Secara ekonomis fungsi hutan mangrove merupakan sumber energi, daerah pengembangan perikanan dan pertanian, penghasil bahan bangunan, bahan tekstil, dan produk bernilai ekonomi lainnya. Di samping itu hutan mangrove juga memiliki manfaat sosial seperti tempat berinteraksi sosial dan jasa-jasa wisata. Dari berbagai manfaat tersebut, nilai manfaat hutan mangrove secara langsung hanya 3,56% sedangkan nilai manfaat tidak langsung mencapai 96,44%
(Suhaeri,
2005).
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
apabila
hanya
memperhatikan manfaat langsung, maka hutan mangrove akan cenderung dikonversi untuk pemanfaatan lainnya. Fakta menunjukkan bahwa kerusakan mangrove ada dimana-mana, bahkan intensitas kerusakan dan luasannya cenderung meningkat secara siginifikan (Bratasida, 2002; Imanuddin dan Mardiastuti, 2002; Santoso, 2002). Penyebab kerusakan mangrove sangat beragam menurut ruang dan waktu. Secara umum kerusakan mangrove diakibatkan oleh tiga faktor yaitu: (1) faktor internal seperti alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, industri dan adanya pencemaran limbah, pestisida dan logam berat, (2) faktor eksternal seperti kerusakan DAS hulu yang menyebabkan tingginya sedimentasi dan akumulasi zat pencemar, dan (3) faktor lain yang belum diidentifikasi (Waryono dan Yulianto, 2002; Bratasida, 2002; Kusmana, 2002). Kegiatan
konversi
lahan
mangrove
menjadi
tambak,
kawasan
permukiman, dan perindustrian telah menyebabkan degradasi hutan mangrove baik secara fisik maupun habitat. Penurunan luas hutan mangrove di sepanjang
2 Pantai Utara Jawa berkaitan dengan belum adanya kejelasan tata ruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir, pembuangan limbah industri dan rumah tangga, dan sedimentasi akibat pengolahan lahan yang kurang baik. Penyebab yang terbesar adalah konversi kawasan hutan mangrove untuk usaha tambak, permukiman, dan kawasan industri secara tak terkendali (Dahuri et al., 2001). Akibatnya kualitas perairan pesisir merosot tajam, karena intrusi dan abrasi air laut yang tidak dapat dikendalikan. Dampak ekonomisnya terlihat dari menurunnya persediaan air tawar, hancurnya usaha pertambakan di daerah pesisir, pencemaran logam berat dan bahan beracun berbahaya serta menurunnya jenis, jumlah dan kualitas flora dan fauna di ekosistem pesisir. Hutan mangrove di Teluk Jakarta seluas 9.749 ha. Areal hutan mangrove di Teluk Jakarta terbentang mulai dari pantai Tangerang hingga Bekasi. Kawasan ini meliputi tiga wilayah administratif, yaitu Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi, Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang, dan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. Saat ini hutan mangrove di Teluk Jakarta terus mengalami kerusakan. Konversi hutan mangrove menjadi tambak telah membawa dampak penurunan luas hutan mangrove. UNEP dan LPP-Mangrove (2004) menyebutkan bahwa kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta rusak berat dan sebagian telah berubah fungsi menjadi permukiman dan budidaya. Apabila konversi hutan mangrove menjadi tambak tidak dihentikan dan kegiatan eksploitasi hutan mangrove tidak diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi, maka dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan bahkan pemusnahan hutan mangrove yang akan merugikan dan mengancam kehidupan masyarakat pesisir. Teluk Jakarta telah tercemar oleh logam berat (khususnya merkuri) dan pestisida (rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT yang keduanya melebihi ambang batas yaitu 0,5 ppb). Keadaan menjadi lebih buruk karena pembuangan minyak dari kapal dan perahu kecil. Ikan dan invertebrata yang hidup di daerah tercemar selanjutnya mengancam populasi burung air melalui sistem rantai makanan. Bahkan dapat membahayakan kesehatan masyarakat bagi mengkonsumsi ikan yang tercemar. Permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir Teluk Jakarta semakin berkembang dan kompleks seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Terjadi peningkatan pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan mangrove.
3 Peningkatan pemanfaatan lahan di hutan mangrove akan merusak ekosistem mangrove. Rusaknya hutan mangrove di wilayah Teluk Jakarta disebabkan beberapa hal yakni meningkatnya konversi lahan untuk permukiman, sarana dan prasarana dan
kegiatan
lainnya
sejalan
dengan
meningkatnya
jumlah
penduduk.
Peningkatan pembangunan dan permukiman akan menimbulkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, yang pada kenyataannya belum memperhitungkan kerugian yang berdampak sosial ekonomi dan ekologis. Demikian juga dengan pembangunan wilayah pesisir sekitar kawasan hutan mangrove, pemanfaatan untuk usaha tambak yang dilakukan secara tidak bijaksana. Hal ini merupakan kekeliruan dalam menilai fungsi hutan mangrove. Untuk jangka pendek, manfaat ekonomi yang diperoleh dari lahan untuk industri relatif tinggi dibanding sebagai lahan mangrove. Namun demikian, untuk jangka panjang, terjadi penurunan nilai lahan industri yang semakin menurun, sedangkan nilai lahan hutan mangrove relatif stabil untuk jangka panjang. Dengan demikian, pertimbangan jangka panjang dalam pembangunan akan menjadi faktor penting dalam pelestarian hutan mangrove. Tekanan penduduk dan tingginya permintaan lahan untuk permukiman dan industri menyebabkan kerusakan mangrove tidak dapat dielakkan. Kepentingan kepentingan
ekonomi
dan
lingkungan.
sosial Upaya
lebih
dominan
pemanfaatan
dibandingkan
dengan
mangrove
dengan
mengkombinasikan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial faktanya masih merupakan konsep yang belum banyak diimplementasikan (Wartaputra, 1990). Eksploitasi menyebabkan
terhadap
masalah
sumberdaya
lingkungan
alam
(Sumarwoto,
yang
berlebihan
2001;
Alikodra,
akan 2002).
Munculnya masalah lingkungan secara langsung atau tidak langsung akan berakibat pada menurunnya kualitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya akan memperlemah upaya pembangunan itu sendiri (Keraf, 2002). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah sebagai penggerak utama pembangunan, diharapkan mampu melihat secara cermat segala potensi yang ada di wilayahnya serta merencanakan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Selama ini, yang menjadi pokok perhatian dari pembangunan adalah peningkatan ekonomi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kondisi ekologis dan sosial budaya. Akibatnya terjadi degradasi lingkungan berupa
4 penurunan kualitas tanah, air, dan udara. Di samping itu, juga menimbulkan konflik sosial karena kesenjangan pendapatan. Mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk fungsi ekologisnya dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat pesisir, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan untuk menjamin kelestarian hutan mangrove. Berdasarkan
hal
tersebut
penelitian
tentang
pengembangan
kebijakan
pembangunan daerah dalam penyelamatan hutan mangrove yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah Kebijakan pembangunan wilayah pesisir terpadu telah dicanangkan oleh pemerintah. Berbagai strategi dan program dirumuskan untuk mencapai pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan seperti pemberdayaan masyarakat pesisir, pengelolaan kawasan mangrove secara terpadu, pembentukan daerah perlindungan laut, rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak hingga bantuan langsung kepada masyarakat pesisir. Berbagai regulasi dalam pengelolaan wilayah pesisir termasuk pengelolaan hutan mangrove juga telah dirumuskan. Namun demikian, laju kerusakan hutan mangrove masih relatif tinggi Secara umum kawasan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi baik fisik maupun habitat. Secara spesifik kondisi mangrove di Teluk Jakarta dapat dideskripsikan menurut tiga kawasan, yaitu: Muara Gembong, Muara Angke, dan Teluk Naga. Hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong semakin berkurang dikarenakan lahan mangrove diubah menjadi lahan tambak yang berakibat pada terjadinya abrasi, intrusi air laut menurunkan kualitas air dan tanah untuk tambak yang ditandai rendahnya produktivitas tambak serta adanya ketidakteraturan dalam hal penataan permukiman masyarakat yang dibangun di sepanjang pesisir pantai sederhana. Kawasan mangrove di Muara Angke sebagian besar dikonversi menjadi permukiman dan kawasan perniagaan. Populasi mangrove di lokasi ini sudah sangat menipis. Masalah tersebut diperparah oleh dampak aktivitas pasar ikan yang membuang limbah tangkapan laut berupa kulit kerang di atas kawasan mangrove. Pertumbuhan anakan mangrove serta biota perairan di sekitarnya menjadi terhambat bahkan rusak karena timbunan kulit kerang yang menumpuk tebal di atas permukaan tanah. Hanyutnya sampah anorganik dari hulu sungai yang masuk ke muara menambah tingkat pencemaran polusi di sekitar perairan
5 mangrove.
Tingginya
kandungan
bahan
pencemar
yang
hanyut
telah
mempercepat kerusakan mangrove di kawasan Muara Angke. Kawasan mangrove di Teluk Naga sudah berada pada kondisi yang memperihatinkan. Kawasan mangrove sudah berubah 70% menjadi lahan tambak. Tindakan konversi ke lahan tambak telah dilakukan sangat tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang. Kandungan pirit yang tinggi dan jarangnya populasi mangrove di sekitar tambak menjadikan produktivitas tambak menjadi sangat rendah. Persaingan prioritas penggunaan lahan antara tambak dan kawasan pariwisata menjadikan populasi mangrove semakin tergeser (DLH Kabupaten Tangerang, 2004). Berkurangnya ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga karena usaha tambak yang dikembangkan di wilayah itu seluas 4.740,79 ha sebagian besar memanfaatkan lahan hutan mangrove di sekitar pesisir yang mengakibatkan abrasi yang tidak terbendung dan intrusi air laut yang menghancurkan sebagian besar usaha petani. Kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir Tangerang ini dikarenakan kurangnya pengawasan dan kebutuhan masyarakat yang meningkat dalam pemanfaatan kayu dari hutan (DPK Kabupaten Tangerang, 2003). Faktor lain yang signifikan mempengaruhi hilangnya hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah pengembangan kawasan untuk kegiatan usaha. Konsepsi pembangunan Jakarta sebagai water front city akan berdampak pada hilangnya ekosistem mangrove. Pemda DKI Jakarta melalui Badan Reklamasi Pantai (BRP) merencanakan reklamasi pantai utara (pantura) seluas 2.700 ha sepanjang 32 km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi. Pemerintah Provinsi DKI menargetkan akan membuka daratan baru untuk keperluan industri, perkantoran, pusat bisnis, sarana transportasi, dan permukiman. Reklamasi pantai di daerah rawa-rawa sepanjang wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya fungsi pemijahan, sehingga memperbesar aliran permukaan. Reklamasi yang tidak terkontrol juga akan menghilangkan dan mengubah fungsi ekologis. Isu lingkungan lain yang berkaitan dengan rusaknya hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah peningkatan muka air laut akibat pemanasan global dan penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan telah menyebabkan intrusi air laut ke wilayah daratan semakin tinggi. Hal ini akan berdampak terhadap kerusakan ekologi dan bangunan fisik di sekitar Teluk Jakarta.
6 Karakteristik wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh arus air merupakan faktor yang sulit untuk dikendalikan. Pencemaran air oleh limbah rumah tangga dan industri yang dilakukan di sekitar Muara Angke akan menyebabkan kerusakan lingkungan di seluruh wilayah pesisir Teluk Jakarta. Demikian pula dengan kegiatan industri di Teluk Naga akan berdampak terhadap kualitas perairan di seluruh wilayah Teluk Jakarta. Karakterisitik
tersebut
berbeda
dengan
dimensi
sosial
budaya
masyarakat. Kawasan pesisir Muara Gembong dan Teluk Naga dihuni oleh sebagian besar nelayan, sedangkan masyarakat Muara Angke sangat bervariasi. Dengan demikian, penyebab kerusakan hutan mangrove di ketiga lokasi ini berbeda-beda. Hutan mangrove di Muara Gembong dirambah untuk keperluan tambak dan kebutuhan kayu untuk rumah tangga, di Teluk Naga untuk keperluan tambak dan industri, sedangkan di Muara Angke untuk keperluan lahan permukiman dan perniagaan. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) kondisi hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini, (2) kebutuhan stakeholder dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove, (3) kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kondisi fisik dan kualitas ekosistem hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini; 2. Mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta di masa mendatang; 3. Menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta secara berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Memperoleh data dan informasi tentang kondisi hutan mangrove dan kualitas eksosistem mangrove di Teluk Jakarta sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan pemanfaatan hutan mangrove di masa mendatang;
7 2. Sebagai bahan masukan bagi penentu kebijakan dalam proses pelibatan masyarakat
dalam
mengembangkan
partisipasi
masyarakat
untuk
pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan; 3. Memberikan
sumbangan
untuk
memperkaya
ilmu
kajian
lingkungan
khususnya pengembangan strategi dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan.
1.5 Kerangka Pikir Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut. Hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan fungsi sosial sebagai lahan interaksi bagi masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi sesaat. Konflik kepentingan antara sektor seperti Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pekerjaan Umum maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan degradasi kuantitas (kerapatan dan luas) maupun kualitas (komposisi dan proporsi) mangrove semakin dipercepat. Ancaman kerusakan bagi mangrove sebagian besar berasal dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung melalui: alih fungsi, reklamasi, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi dan secara tidak langsung melalui fenomena alam seperti penyakit, hama, dan meningkatnya muka air laut. Salah satu indikator hancurnya mangrove akibat alih fungsi mangrove untuk tambak, industri dan permukiman tanpa mengindahkan kaidah konservasi lingkungan (Wartaputra, 1990; Kusmana, 2002). Perubahan hutan mangrove menjadi tambak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama jika terjadi pembukaan berlebihan yang menyebabkan oksidasi pirit dan intrusi serta
8 abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan sangat sulit direhabilitasi (Naamin, 2002; Soedharma et al., 1990). Dalam kasus mangrove di Teluk Jakarta sebagai suatu ekosistem yang meliputi tiga wilayah administrasi provinsi (DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten), berpotensi menimbulkan konflik pengelolaan dan pemanfaatan antar wilayah akibat perbedaan cara pandang. Kondisi ini diperburuk dengan adanya konversi mangrove untuk tujuan ekonomi, sehingga mendorong kerusakan mangrove semakin parah. Faktor lain yang mendorong rusaknya hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah rendahnya capacity building yang meliputi sumberdaya manusia, institusi dan mekanisme aturan. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya koordinasi di tingkat perencana, pengambil kebijakan dan pelaksana lapang, sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan antara apa yang diinginkan (demand side) dan apa yang dimiliki dari hutan mangrove (supply side) (Alikodra, 2002). Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang berlebihan untuk perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya, serta adanya pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Perbedaan persepsi dari cara pandang antara peran mangrove terhadap lingkungan dan alih fungsi menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan, seperti kasus Teluk Jakarta. Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat dibandingkan sektor lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit dikendalikan. Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Persepsi masyarakat terhadap mangrove juga merupakan salah satu yang mendorong kerusakan ekosistem mangrove. Salah satu bentuknya adalah pengembangan tambak ekstensif yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Supriharyono
(2000)
menyatakan
kerusakan
hutan
mangrove
terutama
disebabkan oleh banyaknya konversi hutan mangrove yang dijadikan tambak. Sedangkan Budhisantoso (1998) menyebutkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan pengembangan kawasan pesisir, adalah
9 menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan pesisir tidak terbatas pada pembinaan kelestarian alam, melainkan juga upaya pemberdayaan penduduk secara perseorangan maupun kolektif. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan karena perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus terjadi. Dalam pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat lokal dilibatkan dalam proses pembangunan. Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia antara lain adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial ekonomi masyarakat, sistem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan kelembagaan (Machfuddin dan Nasendi, 1997). Kebijakan mengenai konversi lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir. Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan, mengakibatkan kualitas dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami ancaman dari berbagai pemangku kepentingan. Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan demikian, kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan hutan mangrove perlu dipertimbangkan sehingga terjadi sinergi dalam pemanfaatan secara lestari. Perbedaan kepentingan antara stakeholder terhadap pemanfaatan hutan mangrove, seperti antara kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan, transmigrasi, perhubungan, pariwisata dan perindustrian, menimbulkan tekanan yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Selain itu terjadinya degradasi hutan mangrove juga disebabkan pencurian dan penebangan yang tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Agar permasalahan pengelolaan mangrove dapat direpresentasikan, maka
perlu
pemahaman
mengenai
faktor-faktor
penentu
keberhasilan
10 pengelolaan mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan peraturan
perundangan
yang
ada,
sehingga
konsep
perencanaan
dan
pemanfaatan mangrove dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Teluk Jakarta, maka diperlukan pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang ada saat ini di tiga wilayah, evaluasi kebijakan pemanfaatan mangrove di Teluk Jakarta, dan analisis kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di masa mendatang. Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Teluk Jakarta. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung upaya ini perlu dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan hasil keputusan ini merupakan rekomendasi untuk kebijakan pembangunan wilayah pesisir terpadu. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
11 1.6 Novelty Sumbangan pemikiran baru dari penelitian ini ialah memberikan informasi dan pendekatan baru dalam menyusun kebijakan dan strategi pembangunan daerah dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan aspirasi pemangku kepentingan yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi sumberdaya yang ada dan fungsi ekosistem mangrove, sehingga pemanfaatan hutan mangrove dapat berkelanjutan khususnya di era otonomi daerah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Walaupun keberadaan hutan ini tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan mangrove tumbuh dengan baik di daerah tropik pada daerah-daerah pesisir yang terlindung, seperti delta dan estuaria. Lingkup hutan mangrove mempunyai cakupan yang luas, meliputi: (1) satu atau lebih jenis pohon dan semak atau rumput yang hanya tumbuh di habitat mangrove, (2) jenis tumbuhan yang hidup berasosiasi dengan satu atau lebih jenis pohon dan semak atau rumput, tetapi daerah tumbuhnya tidak terbatas di habitat mangrove, dan (3) biota yang hidup di habitat mangrove, yaitu satwa darat dan laut, lumut, jamur, alga, bakteri dan lain-lain, baik yang hidupnya bersifat sementara atau tetap.
2.1.1 Struktur dan komposisi vegetasi Hutan mangrove yang tumbuh baik di pantai berlumpur yang terlindung estuaria, maupun di teluk umumnya memiliki batang lurus dan tingginya dapat mencapai 35-45 m. Di pantai berpasir atau terumbu karang, mangrove tumbuh kerdil, rendah dan batangnya seringkali bengkok. Daun-daun berbagai jenis tumbuhan dalam hutan mangrove biasanya mempunyai tekstur yang serupa. Sistem perakarannya khas dan merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang anaerobik. Sonneratia dan Avicennia mempunyai akar horisontal dilengkapi dengan pneumatofora berbentuk pasak yang muncul ke permukaan tanah, Bruguiera dan Xylocarpus mempunyai akar horisontal dengan pneumatofora berbentuk kerucut atau penebalan akar di bagian atas, sedangkan ceriops
tidak mempunyai perakaran khusus tetapi akar-akarnya terbuka dan
bagian bawah batangnya berlentisel yang cukup besar. Komposisi mangrove berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, tergantung dari keadaan fisiografis pantai dan dinamika pasang surut, sehingga di satu tempat terdapat jalur mangrove yang lebih lebar daripada di tempat lainnya. Di sepanjang pantai yang lurus dan tidak berombak, jalur mangrove
13 kebanyakan agak sempit yaitu sekitar 25-50 m. Di delta-delta dimana banyak arus, lumut ditemukan pada kebanyakan pohon mangrove seperti R. apiculata dan R. mucronata. Lumut yang terdapat di hutang mangrove meliputi 5 jenis lumut daun dan 21 jenis lumut hati yang sifatnya mirip lumut daun. Hutan mangrove dijumpai zonasi yang dibentuk oleh keadaan topografi, frekuensi pasang surut, lamanya penggenangan, komposisi dan stabilitas sedimen tempat tumbuh dan tipe tanah, salinitas air dan atau tanah, dinamika penyebaran propagule, dan dinamika proses pemakanan biji mangrove oleh organisme yang berasosiasi dengan mangrove. Pada keadaan tertentu dapat dijumpai hanya satu zone. Pembagian zonasi mangrove didasarkan antara lain pada: frekuensi penggenangan oleh pasang surut air, tingkat salinitas dengan memperhatikan frekuensi penggenangan air, dan berdasarkan nama genus pohon yang dominan. Jenis-jenis pohon mangrove cenderung untuk tumbuh dalam kelompokkelompok, zone-zone atau jalur-jalur sejajar pantai. Di pantai yang landai dengan kemiringan membawa lumpur dan pasir, hutan mangrove merupakan jalur yang lebih lebar. Ada tiga faktor utama yang menentukan tumbuh dan penyebaran jenis-jenis mangrove adalah: (1) kondisi dan tipe tanah: keras atau lembek, berpasir atau berlumpur, (2) salinitas: variasi rata-rata harian maupun tahunan; frekuensi, kedalaman dan lamanya penggenangan, dan (3) ketahanan jenis-jenis mangrove terhadap arus dan ombak. Ketergantungan terhadap jenis tanah ditunjukkan oleh genus Rhizophora. Sebagai contoh, R. mucronata berlumpur dalam R. apiculata
merupakan ciri umum untuk tanah yang berlumpur dangkal, sedangkan R. stylosa erat
hubungannya dengan pantai yang berpasir atau berkarang yang sudah memiliki lapisan lumpur atau pasar. Terhadap kadar garam (salinitas), ketergantungan ditunjukkan apabila hubungan antara muara sungai ataupun danau dengan laut bebas mendadak terputus, sehingga salinitas menurun karena kurangnya pengaruh pasang surut, maka jenis Rhizophora spp., akan mati dan permudaannya diganti oleh jenis yang dapat bertoleransi terhadap salinitas tanah yang kurang peka terhadap kadar garam, seperti Lumnitzera sp., Xylocarpus granatum. Meskipun komposisinya berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya, dapat disebutkan bahwa anggota komunitas tumbuhan mangrove di Indonesia paling sedikit 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
14 Disamping tumbuhan tinggi, juga ditemukan berbagai ganggang dan lumut (lumut daun dan lumut hati). Beberapa dari ganggang telah beradaptasi untuk kehidupan dalam kondisi air payau dan jenis-jenis ini dapat melimpah ringan, khususnya pada hutan yang paling dekat dengan laut, didominasi oleh Avicennia yang seringkali tumbuh berasosiasi dengan Sonneratia jika kondisi lumpurnya kaya akan bahan organik. Pada zone ini, Avicennia marina umumnya tumbuh pada lumpur yang kokoh, sedangkan pada lumpur yang lebih lunak tumbuh A. alba. Di belakang zone-zone ini Bruguiera cylindrica dapat membentuk tegakan-tegakan hampir murni pada tanah lempung yang kokoh yang biasanya sewaktu-waktu dicapai air pasang. Lebih ke arah darat B. cylindrica bercamur dengan R. apiculata, R. mucronata, B. parviflora dan X. granatum. Zone batas antara hutan mangrove dan hutan pedalaman ditandai oleh adanya Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, X. Moluccensis, Intsia bijuga, Ficus retusa, Pandanus sp., Calamus sp., dan Oncosperma tigillaria. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa liar seperti primata, reptil dan burung. Hutan mangrove merupakan salah satu komponen ekosistem estuaria yang sangat penting bagi kehidupan burung-burung air termasuk pula burung-burung yang melakukan migrasi. Disamping sebagai tempat berlindung dan mencari makan, hutan mangrove juga mempunyai peran yang sangat penting bagi burung-burung air yang tidak melakukan migrasi, yaitu sebagai tempat berkembang biak (kawin dan bersarang). Kemunduran potensi (luas, penyebaran dan degradasi) hutan mangrove menyebabkan semakin terancamnya kelestarian berbagai jenis burung air. Hasil penelitian Alikodra et al. (1990) di hutan mangrove muara Cimanuk (Jawa Barat) dan di Segara Anakan (Jawa Tengah) berturut-turut terdapat 23 jenis dan 16 jenis burung wader, 12 jenis diantaranya termasuk jenis burung yang melakukan migrasi. Di pantai Sulawesi, Whitten (1987) melaporkan adanya 34 jenis burung pantai yang tergolong dalam burung migrasi. Jenis primata yang seringkali dijumpai di hutan mangrove di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis), sedangkan di hutan mangrove di Pulau Kalimantan, selain kera ekor panjang juga terdapat bekantan (Nasalis larvatus) sebagai primata yang endemik dan langka. Di beberapa kawasan konservasi, seperti di hutan mangrove Angke Kapuk, Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Ujung Kulon terdapat Lutung (Presbytis cristata) merupakan jenis primata yang sering dijumpai. Hutan mangrove dihuni
15 pula oleh berbagai jenis reptil seperti biawak (Varanus salvator), kadal (Mabouya fasciata) dan berbagai jenis ular (Boiga dendrophila). Hewan terbesar yang hidup di rawa-rawa hutan mangrove adalah buaya muara (Crocodilus porosus). Mengenai potensi kayu, Rambe et al., (1983) melaporkan bahwa berdasarkan hasil cruising di 6 provinsi (Aceh, Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Irian Jaya) pada pohon-pohon berdiameter 10 cm ke atas. Secara detail disajikan data seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis, kerapatan dan potensi mangrove di Indonesia Jenis
Kerapatan (individu/ha)
Avicennia spp. Sonneratia spp. Rhizophora spp. Bruguiera spp.
(6 - 45) (2 - 23) (37 - 185) (7 - 125)
Potensi
(m3/ha)
11 . 60 7 . 58 40 . 72 3 . 61
(1 - 17) (1 - 12) (19 - 90) (3 - 29)
Sumber: Sukarjo (1999) Data Potensi hutan mangrove terbesar yang pernah disurvei (135,5 m3/ha) terdapat di Kalimantan Selatan. Sedangkan kerapatan pohon yang cukup tinggi terdapat di hutan mangrove di Aceh, Riau, Kalimantan Barat (estuaria Sungai Kapuas), Kalimantan Timur (estuaria Sungai Sesayap), Jawa Tengah (Segara Anakan), Bali (Benua), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni dan Cendrawasih), potensi rata-ratanya lebih dari 40 m3/ha (Sukarjo, 1999).
2.1.2
Ekosistem hutan mangrove Hutan mangrove merupakan hutan yang dipengaruhi pasang-surut air laut
(Chapman, 1977). Tipe hutan ini disamping mempunyai fungsi ekonomis melalui hasil berupa kayu dan hasil hutan ikutannya juga mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting sebagai interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Dengan demikian di dalam ekosistem mangrove paling sedikit terdapat lima unsur ekosistem yang saling kait-mengkait yaitu flora, fauna, perairan, daratan dan manusia (penduduk lokal) yang hidup bergantung pada ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem yang unik, karena di dalam ekosistem mangrove terdapat dua tipe karakteristik ekosistem yaitu karakteristik ekosistem lautan dan daratan. Kondisi semacam ini mengakibatkan jenis-jenis biota yang hidup di habitat mangrove terdiri atas biota darat dan biota
16 laut. Penelitian membuktikan bahwa biota yang mendominasi ekosistem mangrove adalah biota laut. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, penelitianpenelitian mengenai biota di habitat mangrove masih sangat terbatas dan jauh tertinggal
dibandingkan
dengan
penelitian-penelitian
mengenai
vegetasi
mangrove. Oleh karena itu, informasi mengenai biota mangrove yang disajikan belum
mencerminkan
kekayaan
biota
di
ekosistem
mangrove
yang
sesungguhnya. Walaupun demikian informasi mengenai biota mangrove seyogyanya dapat digunakan sebagai salah satu parameter yang harus dipertimbangkan di dalam program pengelolaan hutan mangrove secara berkesinambungan. Ekosistem mangrove menyediakan lima tipe habitat bagi fauna, yakni: (1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga, (2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk), (3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang, (4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak, dan (5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang (Chapman, 1977). Peranan penting dan ekosistem mangrove dalam menunjang kehidupan biota laut sudah diyakini secara luas. Tetapi, sebenarnya habitat utama dan ekosistem mengrove yang penting dan langsung menunjang kehidupan biota laut adalah saluran-saluran air yang merupakan bagian integral dan ekosistem mangrove tersebut. Dalam hal ini nampaknya vegetasi mangrove lebih berperan sebagai penyedia nutrisi melalui serasahnya bagi produktivitas primer saluransaluran air tersebut. Kartodiharjo (2000) dalam Hamilton dan Snedaker (1984), melaporkan bahwa kelimpahan individu dan keragaman jenis biota laut tertinggi berada pada estuaria dengan kedalaman 0,3 sampai 1,5 m. Kondisi estuaria dengan kedalaman tersebut cenderung akan semakin banyak dijumpai di lokasi-lokasi ekosistem mangrove yang berjarak semakin jauh dari pantai. Di Indonesia saat ini terinventarisir sekitar 157 jenis tumbuhan mangrove baik yang khas maupun tidak khas habitat mangrove. Jenis-jenis tumbuhan mangrove tersebut terdiri atas 52 jenis pohon, 21 jenis semak, 13 jenis liana (tumbuhan pemanjat), 6 jenis palma, 1 jenis pandan, 14 jenis rumput, 8 jenis herba, 3 jenis parasit, 36 jenis epifit dan 3 jenis tema pada lampiran 2.1.
17 Sedangkan penyebaran jenis-jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama di Indonesia dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan data pada lampiran 1 tersebut jumlah jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama tersebut adalah 27 jenis di Jawa dan Bali, 30 jenis di Sumatera, 11 jenis di Kalimantan, 20 jenis di Sulawesi, 28 jenis di Maluku, dan 21 jenis di Irian Jaya (Sukarjo, 1999). Berdasarkan jenis-jenis pohon yang dominan, komunitas mangrove di Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada sekitar lima konsosiasi yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia, yaitu konsosiasi Avicennia, konsosiasi Rhizophora, konsosiasi Sonneratia, konsosiasi Bruguiera, dan konsosiasi Nypa. Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di Indonesia, asosiasi antara Bruguiera spp. dengan Rhizophora spp. sering ditemukan terutama di zone terdalam. Segi keanekaragaman jenis, zone transisi (peralihan antara hutan mangrove dengan hutan rawa) merupakan zone dengan jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak khas habitat mangrove. Secara umum, sesuai dengan kondisi habitat lokal, tipe komunitas (berdasarkan jenis pohon dominan) mangrove di Indonesia berbeda dan suatu tempat ke tempat lain dengan variasi ketebalan dan beberapa puluh meter sampai beberapa kilometer dan garis pantai. Berdasarkan data jenis-jenis tumbuhan mangrove yang sudah dilaporkan saat ini oleh beberapa peneliti di berbagai daerah di pulau-pulau utama di Indonesia, secara umum dapat dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian tersebut cukup mewakili keanekaragaman jenis mangrove di Indonesia. Walaupun demikian, eksplorasi jenis tumbuhan mangrove di berbagai daerah seyogyanya harus terus dilakukan untuk mendapatkan data jenis tumbuhan mangrove selengkap-lengkapnya. Penelitian mengenai fauna hutan mangrove di Indonesia masih terbatas baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saat ini, beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus dengan hutan bakau mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung Karawang, Segara Anakan, Delta Cimanuk, Pulau Burung, Pulau Rambut), Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), Ambon, Sumatera (Lampung, Sumatera Selatan), dan Kalimantan. Secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna terestris dan fauna laut (Macnae, 1968) - Fauna terestris, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain.
18 Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca
umumnya
didominasi
oleh
Gastropoda,
sedangkan
golongan
Crustaceae didominasi oleh Brachyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove. Alikodra et al. (1990) melaporkan adanya 45 jenis ikan dan 37 jenis famili di Segara Anakan Cilacap dengan jenis-jenis ikan dominan seperti belanak (Mugil sp.), boyor (Sillago sp.), tombol (Johnius sp.), susur-wedi (Trachiphalus sp.), lidah (Cynoglossus sp.), lea (Setipine sp.), dan petek (Leiognathus sp.) Soerianegara et al.,. (1985) melaporkan adanya sekitar 41 jenis ikan dari 26 famili, 4 jenis udang dari 3 famili, dan 3 jenis kerang di Muara Sungai Saleh, Sumatera Selatan. Alikodra (1999) melaporkan adanya sekitar 30 jenis burung di hutan mangrove Segara Anakan - Jawa Tengah dan 28 jenis burung di hutan mangrove Muara Cimanuk - Jawa Barat. Selain itu, di hutan mangrove juga ditemukan jenis kera ekor panjang (Macaca sp.) seperti di Riau, bekantan (Nasalis
larvatus)
yang
endemik
di
hutan
mangrove
di
Kalimantan
(Soemodihardjo et al., 1993), mamalia, reptilia dan lain-lain. Fauna yang berada di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan fauna laut (Macnae, 1968) bahwa umumnya fauna darat hanya menggunakan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan dan perlindungan. Di Indonesia dikenal hanya satu jenis fauna darat yang seluruh siklus hidupnya bergantung pada habitat mangrove, yaitu bekantan (Nasalis larvatus) yang penyebarannya terbatas di Kalimantan. Beberapa jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove adalah Phalacrocorax carbo, P. melanogaster, P. niger, Anhinga anhinga, Egretta spp., dan Halcyon chioris. Jenis-jenis fauna ampibi yang sering ditemukan di mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis. Jenis-jenis reptilia yang sering dijumpai adalah Crocodilus porosus, Varanus salvator, Trimeresurus wagleri, T. purpureomaculatus, Boiga dendrophila, Fordonia leucobalia, Bitia hydroides, dan Cerberus rhynchops. Beberapa jenis mamalia yang dijumpai di mangrove adalah Nasalis larvatus, Presbytis cristatus, Cercopithecus mitis, Macaca irus, Sus scrofa, Tragulus sp., Pteropsus spp., Fells viverrima, dan Herpestes spp. Banyak jenis serangga yang menghuni habitat mangrove, yang umumnya didominasi oleh
19 nyamuk. Jenis serangga lain adalah semut (Aedes pembaensis, Anopheles spp., Culicoides spp.). Fauna laut merupakan elemen utama dan fauna ekosistem mangrove. Fauna laut di mengrove terdiri atas dua komponen, yaitu infauna yang hidup di lobang-lobang di dalam tanah, dan epifauna yang bersifat mengembara di permukaan tanah. Fauna umumnya didominasi oleh Crustacece. Selain itu, komunitas infauna mangrove terdiri atas beberapa jenis Bivalvia dan satu genus ikan. Sedangkan komunitas epifauna mangrove didominasi moluska (dalam hal ini Gastropoda) dan beberapa jenis kepiting. Fauna laut di ekosistem mangrove memperlihatkan dua pola penyebaran, yaitu fauna yang menyebar secara vertikal dan fauna yang menyebar secara horizontal. Fauna yang menyebar secara vertikal (hidup di batang, cabang dan ranting, dan daun pohon) yakni berbagai jenis Moluska, terutama keongkeongan, seperti Littorina scrabra, L. melanostona, L. undulata, Cerithidea spp., Nerita birmanica, Chthalmus withersii, Murex adustus, Balanus amphitrite, Crassostraea cucullata, Nannosesarma minuta, dan Clibanarius longitarsus. Fauna yang menyebar secara horizontal (hidup di atas atau di dalam substratum) yang menempati berbagai tipe habitat sebagai berikut: (a) mintakan pedalaman (Birgus latro, Cardisoma carnifex, Thalassina anomala, Sesarma spp, Uca lactea, U. bellator), (b) hutan Bruguiera dan Semak Ceriop (Sarmatium spp., Helice spp., Ilyograpsus spp., Sesarma spp., Metopograpsus frontalis, M. thukuhar, M. messor, Cleistostoma spp., Tylodiplax spp., Ilyoplax spp., Thalassina anomala, Macrophthalmus depressus, Paracleistostoma depressum, Utica spp., Telescopium telescopium, Uca spp., Cerithidea spp.), (c) hutan Rhizophora
(Metopograpsus
latifrons,
Alpheid
prawa,
Macrophthalmus
spp.,Telescopium telescopium), dan (d) mintakat pinggir pantai dan saluran (Scartelaos viridis, Macrophthalmus Iatreillei, Boleophthalmus boddaerti, Uca dussumieri,
Periophthalmus
chrysospilos,
Tachypleus
gigas,
Cerberus
rhynchops, Syncera brevicula, Telescopium telescopium, Epixanthus dentatus, Eurycarcinus integrifrons, Heteropanope eucratoides).
2.1.3
Peranan mangrove bagi biota laut Gambaran umum peranan suatu habitat mangrove bagi biota laut dapat
dilihat dari suatu model jaringan pangan (food web). Pada dasarnya sumbangsih mangrove terhadap kehidupan biota laut adalah melalui guguran serasah
20 vegetasi (termasuk kotoran/sisa tubuh fauna yang mati) ke lantai hutan. Serasah ini akan terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri menjadi detritus, yang mana detritus tersebut merupakan makanan utama bagi konsumer primer. Selanjutnya konsumen primer ini akan menunjang kehidupan biota tingkat konsumer sekunder dengan top-konsumer di suatu habitat mengrove. Produktivitas primer habitat mangrove akan diperkaya oleh komunitas alga di lumpur di lumpur dan akar, komunitas lamun, komunitas fitoplankton dan laut, dan limbah organik terlarut (dissolved-organic compound) dari laut dan daratan. Kesemua fenomena ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove. Tingginya produktivitas primer hutan mangrove salah satunya dapat dilihat dan produktivitas serasah hutan tersebut yang umumnya beberapa kali lipat produktivitas serasah tipe hutan daratan, yakni sekitar 5,7 sampai 25,7 ton/ha per tahun (Kusmana, 1993). Kondisi habitat mangrove seperti ini mengakibatkan ekosistem mangrove berperan sebagai feeding, spawning dan nursery ground bagi berbagai jenis biota laut (khususnya ikan dan udang) untuk menghabiskan sebagian bahkan seluruh siklus hidupnya. Kusmana (2000), menyatakan bahwa seperti sudah diketahui secara umum bahwa ekosistem mangrove merupakan interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem laut. Oleh karena itu, habitat-habitat lain yang berinteraksi dengan habitat mangrove berasal dan ekosistem daratan dan lautan. Hutan mangrove akan berkembang baik di muara-muara sungai, karena di muara tersebut arus airnya cukup tenang yang mengakibatkan sedimentasi sering terjadi. Proses sedimentasi ini memberikan, peluang pada jenis-jenis pohon mangrove pionir untuk menginvasi lahan tersebut, misal jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.). Apabila sedimentasi ini tidak terkendali, maka akan terjadi pergantian komunitas mangrove dengan jenis-jenis pohon yang bertoleransi terhadap salinitas yang kecil (Bruguiera spp., Xylocarpus sp.) yang selanjutnya secara bertahap akan terjadi pergantian tipe hutan dari hutan mangrove menjadi hutan daratan. Dalam kaitannya dengan lingkungan perairan payau sebagai bagian integral dan ekosistem hutan mangrove, air sungai yang banyak mengandung lumpur (penetrasi cahaya ke dalam air berkurang) akan mengakibatkan produktivitas primer perairan tersebut berkurang. Sejalan dengan proses sedimentasi
yang
terus-menerus
terjadi
yang
mengakibatkan
terjadinya
21 pergantian secara bertahap dari tipe hutan mangrove ke hutan daratan, maka lingkungan perairan payau beserta biota lautnya secara bertahap akan lenyap. Estuaria merupakan suatu habitat akuatik yang tinggi produktivitas primernya. Tipe habitat ini umumnya berasosiasi dengan habitat mangrove. Nampaknya tipe habitat estuaria ini memberikan kondisi tempat hidup yang baik untuk banyak jenis pohon mangrove dan biota laut yang berasosiasi dengan habitat mangrove. Seagrass menunjang produktivitas mangrove melalui dua cara, yaitu: (1) memperkecil arus air laut dan daya dorong ombak, dan (2) menambah serasah sebagai input energi ke habitat mangrove. Fenomena semacam ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove. Hutan mangrove yang lebat umumnya dijumpai di pantai-pantai yang terlindung dari hempasan ombak yang kuat. Dalam hal ini, secara fisik terumbu karang akan menahan hempasan ombak sehingga perairan di belakang karang tersebut akan berarus tenang yang mana kondisi seperti ini akan memberikan peluang yang baik untuk tumbuhnya pohon-pohon mangrove dan biota laut yang berasosiasi dengan habitat mangrove tersebut. Secara simultan keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem lainnya akan menyebabkan terbentuknya tiga macam tipe ekosistem yang saling berinteraksi dengan habitat mangrove
yaitu
benthic ecosystem,
pelagic
ecosystem,
dan
supratidal
ecosystem. Manfaat mangrove dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek ekologis, aspek ekonomis dan pemenuhan sebagai pangan. Manfaat ekologis mangrove adalah: (a) sebagai bahan organik dan hara bagi ekosistem akuatik yang bersangkutan, (b) sebagai daerah pembiakan bagi berbagai binatang terutama ikan dan udang, (c) merupakan lingkungan yang sangat heterogen secara fisik memberikan berbagai macam relung, tempat perlindungan, daerah khusus yang digunakan oleh spesies lainnya, (d) memberikan perlindungan pantai (mencegah erosi) selama banjir bandang dan badai, (e) sebagai penangkap sedimen menyebabkan pertambahan tanah (akresi), (f) menyaring bahan-bahan pencemar dan hara yang dapat masuk wilayah pantai atau perairan (menjadi suatu masalah jika ketidaksediaan hara dan bahan pencemar berlebihan ada di perairan), dan (g) penyangga penting bagi hutan rawa yang tidak toleran dengan air asin (Rawana et al., 2001). Manfaat ekonomis yang dapat diperoleh dari hutan mangrove diantaranya dapat diambil dari tumbuhan mangrove, tumbuhan bukan mangrove dan dari
22 hewan yang hidup disekitar hutan mangrove. Beberapa manfaat dari hutan mangrove antara lain adalah sebagai: bahan bakar, konstruksi, produksi kertas, alat rumah tangga, obat-obatan tradisional, pupuk hijau, pakan ternak, peternakan lebah. Pada hutan mangrove selain tumbuhan mangrove, tumbuhan lain yang berada di hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi adalah rumput got-got dan nipah. Manfaat ekonomi dari hewan yang hidup di sekitar hutan mangrove di antaranya: sirip ikan sebagai bahan makanan dan pupuk, krustase sebagai bahan makanan, lebah penghasil madu dan lilin, unggas sebagai bahan makanan dan kerajinan bulu unggas yang bernilai estetika atau keindahan. Mangrove mempunyai peran yang sangat strategis baik dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Beberapa fungsi utama mangrove yaitu: (1) filter air asin (menghasilkan air payau, mengendalikan intrusi air laut, melindungi abrasi pantai), (2) media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna (biologi dan mikrobiologi), dan (3) ekotourisme. Sebagian besar tanaman mempunyai toleransi yang rendah terhadap garam, tetapi dalam mangrove mengalami setidaknya dua kali sehari pasang naik air asin. Bahkan ada spesies yang tahan sampai kadar garam 90%. Akar dapat melakukan fitrasi untuk dapat beradaptasi dari fluktuasi kadar garam. Tanaman mangrove dapat tumbuh ideal apabila airnya terdiri atas 50% air tawar dan 50% air laut. Mangrove dapat menyerap air asin dan CO2 untuk keperluan fotosintesisnya. Selain menurunkan kadar garam dan menghasilkan air bersih, mangrove juga turut menyerap gas rumah kaca yang saat ini dituding sebagai salah satu penyebab pemanasan global (Ball et al., 1997). Indikasi penyerapan air garam terlihat dari konsentrasi lapisan garam pada permukaan daun. Menyimpan air asin daun yang tebal, rambut yang berfungsi mengurangi transpirasi. Bahkan ada beberapa spesies yang dapat menyimpan air di jaringan internalnya. Media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna in-situ (biologi dan mikrobiologi). Siklus flora dan fauna (biologi dan mikrobiologi). Mangrove merupakan sumber makanan bakteri yang berperan dalam proses dekomposisi sisa tanaman dan hewan. Interaksi komponen tersebut menjadikan mangrove sebagai habitat pantai yang sangat penting.
23 Ekoturisme merupakan salah satu sumber pendapatan negara dari sektor non-migas yang tidak terkena dampak resesi. Pengembangan sumberdaya mangrove dengan segala komponen flora dan fauna yang ada dapat dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan wisata. Di negara-negara maju ekotourisme kawasan mangrove dapat sejajar dengan tujuan wisata lainnya, karena di kawasan tersebut dapat dikembangkan berbagai hal menyangkut ikan, pengembangan reptil dan sebagainya.
2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan 2.2.1 Konsepsi pengelolaan sumberdaya alam Sumberdaya alam merupakan modal dasar dalam suatu pembangunan yang harus dikelola secara arif dan bijaksana agar dapat memberikan manfaat bagi
kelangsungan
hidup
manusia
dan
makhluk
hidup
lainnya,
maka
penggunaan dan pemanfaatannya harus dilakukan secara lestari, serasi, seimbang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan sehingga menjamin generasi yang akan datang. Sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi. Selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta sebagai aset bangsa yang penting. Untuk itu, ketersediaan dan kesinambungan
dari
sumberdaya
alam
menjadi
sangat
krusial
bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi dan sangat tergantung kepada kinerja pengelola yaitu masyarakat dan pemerintah. Manajemen berarti mengerjakan sesuatu, namun tidak dalam pengertian manajemen jika kita menyiapkan suatu bidang lahan dan meninggalkanya begitu saja. Berbeda dengan melindungi suatu kawasan pada keadaan alam dalam pengelolaan dalam kawasan perlindungan alam adalah suatu tindakan manajemen. Jika manajemen tersebut aktif, maka tahap pertama adalah menetapkan suatu keputusan (Alikodra, 1999). Hukum dasar manusia dan alam adalah bahwa manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas sedangkan kemampuan sumberdaya alam ada batasnya bahkan dapat mengalami kelangkaan. Untuk itu harus melakukan pilihan yang cermat. Pilihan ini harus memperhatikan apa yang diinginkan dan apa yang dibutuhkan, dan kepentingan dimensi lain yaitu perlindungan,
24 pelestarian dan pemeliharaan sumberdaya alam yang kita memiliki (Alikodra, 1999). Ekologi, ekonomi dan sosial merupakan ukuran yang dapat dipergunakan dalam
pengelolaan
sumberdaya
alam
yang
sesuai,
yaitu
dengan
mengembangkan pertanyaan (1) apakah layak secara ekologi (2) apakah layak secara ekonomi (3) apakah layak secara sosial dan politik.
2.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam Kartodihardjo et al., (2000) mengatakan kelembagaan (institusi) baik formal maupun non-formal merupakan salah satu penentu dalam kinerja pembangunan. Perbedaan kelembagaan (institusi) dengan organisasi perlu ada pemahaman
yang
jeias
dan
pasti.
Aturan-aturan
dalam
kelembagaan
dipergunakan untuk menata aturan main dan pemain-pemain atau organisasiorganisasi yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk memenangkan permainan itu. Schmid (1987) mendefinisikan institusi adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang telah mereka lakukan. Koentjaraningrat (1964) menyatakan bahwa kelembagaan atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat
kepada
aktivitas-aktivitas
untuk
memenuhi
kelompok-kelompok
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan dapat juga diartikan sebagai tatacara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan
antar
manusia
yang
berkelompok
pada
suatu
kelompok
kemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut kelembagaan merupakan suatu jaringan dari proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pelakunya sesuai dengan kepentingan individu dan kelompoknya. Sanim (1999) menyebutkan bahwa pada dasarnya kelembagaan mempunyai beberapa fungsi, antara lain: (1) Memberikan pedoman kepada anggota-anggota masyarakat tentang bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah di dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan, (2) Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan, dan (3) Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial
25 artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotaanggotanya. Peranan ketiga komponen tersebut saling berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaannya dalam memberikan layanan, hak dan kewajiban terhadap pemanfaatan dan penggunaan suatu sumberdaya. Berkenaan dengan gambaran tersebut, dalam suatu sistem kelembagaan harus mengandung perangkat aturan dari kelembagaan dan operasionalisasi kegiatan dari kelembagaan yang bersangkutan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain sistem kelembagaan harus mengandung aturan-aturan atau norma-norma dalam masyarakat dan sistem. GilIin (1987) dalam bukunya General Feature of Social Institution suatu kelembagaan harus bercirikan lima hal, yakni: (1) suatu institusi merupakan suatu organisasi dan pada pola-pola pemikiran dan kelakuan yang terwujud melalui aktivitas-aktivitasnya, (2) memiliki tingkat kekekalan tertentu, (3) mempunyai tujuan tertentu, (4) adanya alat untuk mencapai tujuan, dan (5) mempunyai karakteristik tertentu. Suatu kelembagaan, dicirikan oleh tiga komponen utama, yang menurut Schmidt (1987) dalam Pakpahan (1990) adalah: a. Batas kewenangan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaan seperti yang diharapkan, ditentukan oleh empat hal, yaitu perasaan para peserta sebagai suatu masyarakat, homogenitas, eksternalitas dan skala ekonomi. Israel (1990) menegaskan bahwa batas kewenangan berperan untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat berkelanjutan sumberdaya tersebut dan pembagian manfaat bersih yang diperoleh masingmasing pihak. b. Hak kepemilikan. Hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya tertentu yang diatur oleh peraturan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak atau hak penguasaan, apabila tanpa pengesahan dan masyarakat sekitarnya. lmplikasinya adalah (1) hak seorang adalah kewajiban orang dan (2) hak yang tercermin oleh kepemilikan adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. Bahwa property
26 right yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap lahan, hasil produksi dan lain-lain. c. Aturan perwakilan. Mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah perwakilan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Terdapat tiga komponen utama dalam kelembagaan, yakni; (1) organisasi atau wadah dan suatu kelembagaan, (2) fungsi dan kelembagaan dalam masyarakat, dan (3) aturan main yang ditetapkan itu sendiri (Sanim, 1999). Berkaitan dengan hal tersebut, organisasi dalam suatu sistem kelembagaan mempunyai fungsi pokok sebagai berikut, yakni (1) operative institution dan (2) regulative institution. Sebagai operative institution, suatu sistem kelembagaan harus menghimpun berbagai pola atau tata cara dan perangkat aturan dalam mengelola aktivitas masyarakat yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan. Sedangkan sebagai regulative institution, suatu sistem kelembagaan bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan setiap aktivitas anggota masyarakat yang menjadi bagian mutlak dan lembaga itu sendiri melalui sistem pengawasan dan kontrol. Dalam pengelolaan dalam sumberdaya kelembagaan berperan dalam penetapan dan pengaturan berbagai peraturan yang melembaga yang menetapkan berbagai tingkat pengawasan terhadap penggunaan sumberdaya atau barang dan jasa kepada para pengambil keputusan yang berbeda, baik individu maupun kelampok. Jadi hak-hak milik mengacu kepada hak-hak yang diberikan kepada pemilik sumberdaya dan pembatasan dalam penggunaan sumberdaya (Sanim, 1999). Efektivitas kelembagaan dalam menggambarkan struktur hak-hak milik yang dapat mengalokasikan sumberdaya yang efisien tergantung pada pemenuhan syarat-syarat pendefinisian hak-hak kepemilikan, yakni (1) universal, (2) eksklusif, (3) dapat dipindahtangankan dan terjamin pelaksanaannya. Dengan perkataan lain kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya terkait erat dengan hak-hak kepemilikan. Di sisi lain peranan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam, diupayakan untuk (1) membangun kerangka umum pemanfaatan sumberdaya alam agar sistem dan prosedur pendayagunaan sumberdaya alam lebih etis, (2) mengarahkan dan mengatur pelaku pengguna sumberdaya alam sesuai dengan
27 segala sesuatu yang telah dikukuhkan dalam kerangka umum pemanfaatan sumberdaya alam (3) mengubah perilaku, kebijakan (pengaturan alokasi sumberdaya
alam
dan
perlindungan
sumberdaya
alam)
dan
teknologi
pemanfaatan sumberdaya alam (4) menginternalisasikan biaya oportunitas ke dalam nilai (harga) sumberdaya alam, dan (5) menjamin kepentingan untuk menunjang sistem keamanan pemanfaatan sumberdaya alam. Peranan kelembagaan Iainnya dalam upaya penetapan manfaat dan biaya dan pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan dimensinya, yakni (1) dimensi temporal; yang berkaitan dengan manfaat yang bentambah segera atau manfaat bertambah setelah kurun waktu yang sama, (2) dimensi spasial; manfaat bertambah pada okasi tertentu atau manfaat bertambah sedikit (remotely), (3) kemampuan untuk diraba (tangibility); manfaat yang cukup jelas atau manfaat yang relatif untuk didefinisikan, dan (4) distribusi; manfaat bertambah pada orang-orang yang menanggung biaya pengelolaan atau manfaat bertambah pada orang lain. Pengelolaan sumberdaya alam harus memperhatikan; (1) Keutuhan fungsi
ekosistem,
yaitu
keterkaitan
keanekaragaman,
keselarasan,
dan
keberlanjutan dan ekosistem, (2) Memperhatikan dampak pembangunan terhadap Iingkungan dengan menerapkan sistem analisis mengenai dampak Iingkungan, sehingga dampak negatif dapat dikendalikan dan dampak positif dapat dikembangkan, (3) Kepentingan generasi masa depan bahkan diusahakan tercapainya
transgenerational
equity,
sehingga
kualitas
dan
kuantitas
sumberdaya alam dijaga keutuhannya untuk generasi akan datang (4) Wawasan jangka
panjang,
karena
perubahan
lingkungan
berlangsung
penciutan
sumberdaya alam tidak masuk pasar. Perhitungan penciutan ini dilakukan secara eksplisit. Komponen lingkungan yang tidak dapat dipasarkan seperti nilai sumberdaya hayati yang utuh di hutan, bebas polusi, bebas kebisingan, dan halhal lain yang meningkatkan kualitas lingkungan, sehingga proses ekonomi secara integral memperhitungkan kualitas lingkungan. Di dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak mudah untuk menentukan lembaga-lembaga mana yang seharusnya terlibat dan bagaimana susunan kelembagaannya. Kejelian dalam menentukan hal tersebut sangat esensial dalam mengevaluasi kelembagaan lokal. Ada beberapa hal yang perlu dikaji, yakni (1) pembatasan sumberdaya dan penggunaannya, (2) distribusi biaya dan
28 manfaatnya, (3) karakteristik sumberdaya, (4) karakteristik penggunaannya dan (5) pertimbangan pemilikan bersama. Eksistensi
kelembagaan
dalam
kaitannya
dengan
pengelolaan
sumberdaya alam meliputi: (1) pentingnya peranan dan fungsi kelembagaan dalam
pengelolaan
sumberdaya,
(2)
munculnya
kegagalan
pasar,
(3)
kelembagaan mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda yang semuanya memiliki tugas yang jelas batasannya yang bersifat kompleks, formal, dan permanen, (4) kelembagaan mempunyal kekuasaan yang sah untuk membuat keputusan yang final dan mengikat, dan (5) kelembagaan mempunyai kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik.
2.2.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Beberapa pengelola lingkungan merasa tertantang dengan pendekatan partisipatif, karena menyadari bahwa merupakan tugas merekalah untuk merumuskan persoalan dan mengembangkan penyelesaiannya. Saat ini di negara-negara demokratik dengan masalah yang sedemikian kompleks lebih banyak pengelola memandang positif pendekatan partisipatif ini (Mitchell et al., 1997). Bryan and Louse (1982), partisipasi di bidang pembangunan mencakup keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan untuk memberi
konstribusi
dalam
pembangunan
dan
kesediaan
untuk
turut
bertanggung jawab. Mubyarto (1984) menyebutkan bahwa partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuannya tanpa mengorbankan diri sendiri. Partisipasi oleh beberapa ahli dikaitkan dengan upaya dalam mendukung program pemerintah. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan dan bagaimana keterlibatan dalam pelaksanaan program dan keputusan dalam konstribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi-organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dan program pembangunan, atau keterlibatan dalam evaluasi program. Secara umum keempat macam ketertibatan ini mengarah kepada partisipasi dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Pentingnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan Iingkungan pesisir. Menurut Cohen dan Uphoff (1977) setidaknya memiliki tiga alasan utama, yaitu: (1) Sebagai Iangkah awal mempersiapkan masyarakat
29 untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan Iingkungan yang dilaksanakan, (2) Sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat, dan (3) Masyarakat mempunyai hak untuk urun rembug dalam menentukan program-program pengelolaan Iingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka. Partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila memenuhi tiga faktor utama pendukungnya, yaitu: 1. Faktor kemampuan peran serta bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut persepsi dan emosi yang melekat pada diri manusia. Faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti dan tidak mudah dikomunikasikan, namun selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Objek pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan keberadaan, manfaat, hasil dan upaya yang menarik minat seseorang untuk berpartisipasi. Subjek akan berpartisipasi karena memiliki persepsi positif terhadap kegiatan tersebut, yaitu memperoleh hasil atau keuntungan bagi dirinya. Persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang melihat lingkungan sekitar, mendengar suara, merasakan atau mencium sesuatu. Dengan kata lain, persepsi adalah apa yang dialami langsung oleh seseorang (Bell, 1978). Persepsi berhubungan dengan ketergantungan seseorang kepada berapa jauh impresi suatu objek membuat arti. 2. Faktor tingkat kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan tergantung pada banyak faktor yang sating berinteraksi, terutama faktor pendidikan,
baik
pendidikan
formal
maupun
informal,
keterampilan,
pengalaman dan ketersediaan permodalan. Tingkat pendidikan akan tercermin pada tingkat pengetahuan, sikap mental dan keterampilan. Kemampuan permodalan akan tercermin pada tingkat pendapatan rumah tangga dan bantuan dana yang bisa diperoleh, sedangkan pengalaman akan dicerminkan oleh lamanya seseorang berkecimpung dalam kegiatan-kegitan pengelolaan lingkungan yang telah berlangsung. Faktor kemampuan menunjukkan lapisan keberadaan masyarakat. 3. Faktor kesempatan masyarakat dalam proses pengelolaan lingkungan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi, terutama faktor
30 ketersediaan
sarana
berlangsungnya
dan
proses
prasarana
pengelolaan
fisik
yang
lingkungan,
diperlukan kelembagaan
untuk yang
mengatur interaksi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan, birokrasi yang mengatur dan menyediakan kemudahan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, serta faktor sosial budaya masyarakat. Pengertian partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan masyarakat adalah keterlibatan masyarakat secara aktif baik moril maupun materil dalam program pembangunan untuk mencapai tujuan bersama yang di dalamnya menyangkut kepentingan individu. Partisipasi merupakan masukan daam proses pembangunan dan sekaligus juga sebagai keluaran atau sasaran dan pelaksanaan pembangunan. Dalam kenyataannya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula bersifat horizontal. Terdapat delapan tingkatan partisipasi masyarakat, yaitu: manipulasi, terapi,
menyampaikan
informasi,
konsultasi,
peredaman,
kemitraan,
pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Tipe partisipasi manipulasi dan terapi dikategorikan sebagai non partisipasi. Tipe partisipasi menyampaikan informasi, konsultasi dan peredaman dikategorikan sebagai tingkat partisipasi tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapat jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Jika partisipasi dibatasi pada tingkat ini, maka kecil kemungkinan ada perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Tipe partisipasi kemitraan, pendelegasian kekuasaan, pengawasan masyarakat dikategorikan sebagai tingkat partisipasi otoritas masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan kemitraan
dan
memiliki
kemampuan
tawar-menawar
dengan
pengambil
keputusan. Bahkan Iebih jauh masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan dan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu objek kebijakan tertentu. Partisipasi daIam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat mengemukakan pendapat dan aspirasinya dalam menilai suatu rencana kegiatan. Masyarakat juga diberi kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil. Partisipasi
31 dalam pelaksanaan pembangunan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah disepakati bersama. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan, baik pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di masyarakat dan ikut menikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan. Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Tahapan partipasi masyarakat dalam pembangunan diharapkan dapat terlibat pada semua tahapan program, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemanfaatan hasil kegiatan pembangunan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jika masyarakat sejak awal dilibatkan secara penuh dalam suatu kegiatan, maka dengan sendirinya akan timbul rasa memiliki dan tanggung jawab moral terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan. Visi yang mendasari model strategi pemberdayaan masyarakat adalah segenap upaya pembangunan yang diselenggarakan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Komponenkomponen yang masih tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan keseluruhan potensinya atau dengan kata lain memberdayakannya. Canter (1977), Comick (1979) dan Coulet (1989), Wengert (1979) dalam Santoso (1993) merinci peran serta masyarakat sebagai berikut : 1) Peran serta masyarakat sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik untuk diiaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman
bahwa
terkorbankan
oleh
masyarakat suatu
proyek
yang
potensial
pembangunan
dikorbankan memiliki
hak
atau untuk
dikonsultasi. 2) Peran serta masyarakat sebagai strategi. Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu pemahaman bahwa apabila masyarakat merasa memiliki akses terhadap proses pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat pada tiap tingkatan
32 pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas. 3) Peran serta masyarakat sebagai alat komunikasi. Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dan masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif. 4) Peran serta masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa. Dalam konteks ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha Pencapaian konsensus dan pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan. 5) Peran serta masyarakat sebagai terapi. Menurut persepsi ini, peran serta masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk mengobati masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan, tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan sebagai komponen penting dalam masyarakat. 6) Pemberian wewenang kepada masyarakat. Disamping dikehendak terjadinya perubahan sikap dan perilaku dan institusi pemerintah seperti telah dipaparkan diatas secara teoritik kepada pihak masyarakat perlu terus diberdayakan
kesadarannya
serta
didorong
tanggung
jawab
dan
kemandiriannya. Secara konseptual Iangkah pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan melalui suatu strategi pemberian wewenang demokrasi partisipatif. Osborn (1996) menyebut langkah trersebut sebagai perwujudan model great society. Pertimbangan perwujudan model great society ini menjadi penting karena didasarkan kepada beberapa alasan pertimbangan sebagai berikut: (1) komunitas masyarakat memiliki komitmen lebih besar terhadap anggotanya ketimbang sistem birokrasi; (2) komunitas masyarakat Iebih memahami masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi pelayanan; (3) birokrasi akan lebih memfokuskan memberikan pelayanan, sedangkan masyarakat akan lebih pada memecahkan masalahnya; (4) birokrasi sebaiknya menawarkan pelayanan, sedangkan masyarakat lebih menawarkan kepedulian; (5) komunitas lebih
33 fleksibel dan kreatif dalam menangani masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi pelayanan; (6) biaya yang dibutuhkan oleh komunitas lebih murah daripada biaya yang dibutuhkan oleh pelayanan birokrasi; (7) standar perilaku komunitas Iebih efektif daripada pelayanan birokrasi; dan (8) komunitas masyarakat dapat Iebih memfokuskan pada kapasitas dan sistem pelayanan Iebih pada kekurangan. Perpaduan antar stakeholders dalam mengembangkan potensi daerah serta sektor-sektor kegiatan usaha strategis maupun dalam menanggulangi permasalahan serta persoalan Iingkungan yang ada di daerah dapat diwujudkan melalui kerjasama antar ketiganya secara sinergis. Secara kualitatif, tolok ukur keberhasilan kerjasama secara sinergis tadi adalah terciptanya suatu kondisi segi harmonis berupa kemakmuran bagi wilayah dan kesejahteraan bagi masyarakat serta keuntungan bagi pengusaha. Tingkat pelibatan masyarakat yang diharapkan dan dimungkinkan harus ditentukan. Pengelola tradisional biasanya enggan untuk melewati tingkat pelibatan masyarakat, dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis dan membuang-buang waktu. Pengelola pada dasarnya mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pendekatan partisipasi masyarakat berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, dan Iembaga-lembaga masyarakat mempunyai tugas berdasarkan hukum yang tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebaliknya, masyarakat semakin meningkat
kesadarannya
dengan
mengharapkan
partisipasi
yang
Iebih
bermanfaat, yang dalam keyakinan mereka termasuk pula pelimpahan sebagian kekuasaan. Pelimpahan atau alokasi kembali kekuasaan itu menimbulkan isu tentang apakah kelompok yang diberikan kepercayaan dan kekuasaan dapat dipercaya. Pengembangan mangrove
memerlukan
partisipasi suatu
masyarakat pendekatan
dalam yang
pengelolaan
fleksibel,
sabar
hutan dan
membutuhkan waktu. Membangun pemahaman dan keyakinan masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan mangrove sangat memakan waktu dan dapat memperlambat pengukuran kemajuan pekerjaan dalam rehabilitasi mangrove. Namun hal tersebut sebanding dengan perolehan hasil dalam jangka panjang karena dapat membangun rasa kepemilikan dan komitmen masyarakat yang kuat yang merupakan jaminan kelangsungan rehabilitasi mangrove. Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam menyusun proses perencanaan dan pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Dengan pola pendekatan pengelolaan berbasiskan
34 masyarakat, diharapkan setiap rumusan perencanaan muncul dan aspirasi masyarakat. Pola pendekatan ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: (1) program perencanaan partisipasi pembangunan masyarakat desa (P3MD), dan (2) pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal). PRA secara harfiah diartikan sebagai cara untuk memahami keadaan atau kondisi desa dengan melibatkan partisipasi masyarakat. PRA secara luas diartikan sebagai pendekatan dan tekhnik-tekhnik pelibatan masyarakat dalam proses-proses pemikiran yang berlangsung selama kegiatan perencanaan dan pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi program pembangunan masyarakat, sehingga dengan PRA dimaksudkan untuk memungkinkan masyarakat setempat melaksanakan analisis tentang mereka sendiri dan sering juga untuk merencanakan dan mengambil tindakan.
2.3 Pengelolaan Hutan Mangrove Pengelolaan sumber daya alam adalah upaya manusia dalam mengubah sumber
daya
alam
agar
diperoleh
manfaat
yang
maksimal
dengan
mengusahakan kontinuitas produksi (Soerianegara, 1987). Dahuri (2001) menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove, adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan. Kelestarian produktivtas mempunyai dua arti, yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan hasil panen. Pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan filosofi konservasi. Hal ini sebagai Iangkah awal adalah mencegah semakin rusaknya ekosistem hutan mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan tetap
mempertahankan
cadangan
yang
cukup
untuk
melindungi
keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya (Saenger et al., 1983). Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikoordinasi secara resmi di dalam rencana tata ruang daerah tersebut dan merupakan rencana tata ruang kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada dan aspirasi masyarakat perlu dinilai dan didengar melalui komunikasi Iangsung dan dipertimbangkan
35 dalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian dan kerjasama dengan masyarakat setempat, maka rencana pengelolaan tersebut tidak akan berfungsi dengan baik (Alikodra, 1999). Pengelolaan hutan mangrove harus memperhatikan keterkaitan dengan ekosistem di sekitarnya sehingga tidak berorientasi dalam lingkup kecil. Saenger, et al., (1983) mengatakan bahwa pengelolaan hutan mangrove harus mencakup wilayah yang Iebih luas dari ekosistem tersebut, sehingga secara ideal merupakan pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan. Aspek sosial ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dan pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal tempat sumberdaya alam berada. Pengelolaan hutan mangrove tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun membuka akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara Iangsung maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Aspek sosial ekonomi diwujudkan dalam bentuk pengelolaan multiguna (Ahson, 1993). Pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara seimbang, sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka pendek Dahuri, et al., (2001). Pengelolaan multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam sehingga membuka pilihan yang Iebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove. Pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif dari pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan pelestarian mangrove dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan Iebih dirasakan manfaatnya apabila Iebih berpihak pada institusi yang paling rentan terhadap sumberdaya mangrove, yakni masyarakat. Masyarakat harus diberikan porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan mangrove. Dengan demikian persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove perlu diarahkan kepada cara pandang pentingnya sumberdaya ini.
36 2.4 Pemanfaatan Hutan Mangrove Pemanfaatan
hutan
mangrove
bergantung
sepenuhnya
pada
perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove (Dahuri, 2001). Kawasan hutan menurut fungsinya dibagi menjadi beberapa peruntukkan, yaitu hutan produksi, hutan lindung, hutan wisata dan hutan suaka alam (Alikodra, 1999). Kegiatan penataan hutan ini berdasarkan pedoman
pada
Surat
Keputusan
Direktur
Jenderal
Kehutanan
No.
60/Kpts/DJ/I/1978 dengan memperhatikan usulan dan pertimbangan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Selain tipe-tipe hutan di atas, hutan mangrove di Indonesia juga ada yang tumbuh di kawasan non kehutanan yaitu rakyat. Hutan mangrove yang terletak di hutan produksi digunakan untuk menghasilkan keperluan masyarakat pada umumnya dan untuk kepentingan pembangunan industri serta ekspor. Hasil hutan mangrove di hutan produksi dapat berupa kayu bahan bangunan, kayu bakar, arang dan kulit kayu yang mengandung zat penyamak atua tanin. Di Indonesia, hutan mangrove ini dapat dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan sifat pengelolaannya, yaitu IUPHHK, IUPHHT, dan Perum Perhutani. Pengelolaan oleh IUPHHK dan IUPHHT biasanya diterapkan pada hutan mangrove yang terletak di luar Pulau Jawa yang masuk dalam areal konsesi pemegang IUPHHK dan IUPHHT. Sedangkan di Pulau Jawa, pengelolaan hutan mangrove diserahkan pada Perum Perhutani. Sistem silvikultural yang digunakan dalam pengelolaan hutan ini adalah sistem pohon induk (seed trees method). Sistem ini berdasarkan pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 yang mengatur cara penebangan dan pemeliharaan hutan mangrove sebagai suatu keterpaduan pekerjaan. Hutan mangrove yang boleh ditebang harus terletak mulai dari jarak 50 m dari tepi hutan yang menghadap ke arah pantai dan 10 m dari tepi hutan yang menghadap ke tepi sungai, alur air dan jalan raya. Penebangan dilakukan dengan meninggalkan 40 batang pohon induk tiap ha setelah itu areal ditutup terhadap penebangan. Pohon yang ditebang berdiameter minimal 10 cm pada ketinggian 20 cm di atas pangkal akar tunjang atau banir. Pada umur 15-20 tahun setelah penebangan dilakukan penjarangan, kemudian ditutup kembali terhadap penebangan sampai hutan tersebut berumur 30 tahun.
37 Pembangunan
hutan
tanaman
industri
hutan
mangrove
dapat
dilaksanakan di lahan non produktif, namun masih layak atau cocok untuk ditanami dengan jenis pohon mangrove dan terletak tidak jauh dari tepi sungai yang masih digenangi oleh air laut saat pasang. Kegiatan dalam IUPHHK dan IUPHHT
ini
meliputi
persiapan
lahan,
pengadaan
bibit,
penanaman,
pemeliharaan dan pemanenan. Luas hutan mangrove di Pulau Jawa adalah 70.502 ha yang tersebar di Unit I Jawa Tengah sebesar 16.513 ha, Unit II Jawa Timur sebesar 20.994 ha dan Unit III Jawa Barat seluas 32.995 ha (Perhutani, 1996). Pola pengelolaan hutan mangrove di ketiga unit tersebut berbeda-beda tergantung pada kondisi setempat. Hutan mangrove di Unit I dan II sedikit terpengaruh oleh pasang surut, sedangkan di Unit III Jawa Barat umumnya dipengaruhi oleh pasang surut. Sehingga pengelolaan hutan mangrove di Unit III dilakukan dengan model empang parit (sylvofishery). Model empang parit ini pada intinya melibatkan masyarakat secara langsung berperan serta dalam pembangunan hutan, dimana 20% dari luas lahan digunakan untuk tambak dan sisanya (80%) ditanami dengan vegetasi mangrove. Perbandingan luas antara tegakan mangrove dengan empang adalah 4:1. Penanaman dilakukan dengan jarak 5 x 2 meter. Jenis-jenis vegetasi yang ditanam adalah Sonneratia sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp., Ceriops sp., Avicenia sp., dan Xylocarpus sp. Dalam sistem ini, para petani dikelompokkan dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang terdiri atas 16-25 KK tiap KTH. Tiap KK diberi lahan garapan seluas + 5 ha dan pada tahap awal Perum Perhutani memberi bantuan gratis berupa pupuk 450 kg/ha dan kredit tanpa bunga berupa benih ikan sesuai dengan kebutuhan. Biaya pengolahan tanah sepenuhnya tanggungan petani, sedangkan biaya penanaman vegetasi mangrove ditanggung oleh Perum Perhutani. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah (Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990). Hutan mangrove yang terletak dalam kawasan lindung adalah hutan yang mangrove yang tumbuh di sempadan pantai, sempadan sungai dan kawasan pantai berhutan bakau.
38 Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Kriteria sempadan sungai adalah sekurangkurangnya 100 meter di kanan kiri sungai besar dan 50 meter di kanan kiri anak sungai yang berada di luar permukiman. Untuk sungai di kawasan permukiman berupa jalan inspeksi selebar 10-15 meter. Kriteria kawasan pantai perhutani bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Di dalam kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. Kegiatan budidaya yang sudah ada harus mematuhi
ketentuan-ketentuan
Analisis
Mengenai
Dampak
Lingkungan.
Kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung maka harus dicegah perkembangannya dan fungsi kawasan dikembalikan secara bertahap. Kegiatan yang diperbolehkan di kawasan ini adalah penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam. Hutan suaka alam adalah hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk melindungi alam hayati dan manfaat-manfaat lainnya (UU No. 5 tahun 1967). Hutan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Sedangkan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya
pengawetan
keanekaragaman
tumbuhan
dan
satwa
beserta
ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam cagar alam adalah untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Fungsi penunjang budidaya dapat dilaksanakan dalam bentuk penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam cagar alam untuk keperluan pemuliaan jenis dan penangkaran. Sedangkan kegiatan boleh yang dilakukan di suaka margasatwa hampir sama dengan cagar alam dengan tambahan diperbolehkannya kegiatan wisata secara terbatas yaitu kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam di suaka margasatwa dengan persyaratan tertentu.
39 Hutan ini berfungsi sebagai hutan yang dapat memenuhi kepentingan rekreasi dan kebudayaan. Dalam fungsi ini terdapat unsur komersial, sehingga dalam pengelolaannya termasuk kegiatan bidang pengusahaan. Prinsipnya adalah mencari manfaat yang sebesar-besarnya, keserbagunaan manfaat secara lestari baik spiritual dan material tanpa mengganggu kelestarian hutannya. Selain hutan produksi, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata, hutan mangrove juga tumbuh di kawasan budidaya non kehutanan. Kawasan ini dapat berupa hutan produksi yang dikonversi atau areal dengan tujuan penggunaan lain. Hutan mangrove di kawasan ini biasanya dijadikan sebagai daerah
permukiman,
industri,
areal
persawahan
pasang
surut,
areal
pertambakan dan sebagainya. Pola pengelolaan di kawasan ini cenderung merusak dan menurunkan fungsi serta luas hutan mangrove, termasuk meniadakan jalur hijau mangrove. Hal ini disesuaikan dengan kepentingan dan tujuan pemilik hutan mangrove tersebut. Bagi petani tambak yang memelihara ikan dan udang secara intensif, keberadaan hutan mangrove sangat mengganggu karena dijadikan sebagai tempat persembunyian hama dan penyakit. Sehingga mereka menebang habis vegetasi mangrove di tambaknya. Selain itu, adanya perbedaan persepsi dan konflik kepentingan mengenai status serta pemanfaatan hutan mangrove diantara berbagai sektor pemerintahan mengakibatkan pengelolaan yang serampangan, tidak terpadu dan tidak memperhatikan kelestarian hasil.
2.5 Kebijakan Publik Secara umum istilah kebijakan dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson, 1999). Kebijakan publik didefinisikan oleh Eyestone (1971) sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungan. Dunn (1999) memberikan pengertian kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Santoso
(1993)
dengan
mengkomparasi
berbagai
definisi
yang
dikemukakan para ahli menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan
40 mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu 1) para ahli yang berpendapat bahwa kebijakan publik adalah semua tindakan pemerintah disebut kebijakan publik, 2) para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang terkelompok dalam pandangan kategori kedua terbagi pula kedalam dua kubu pendapat, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Sedangkan kubu lainnya menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Penjelasan lebih lanjut dan pandangan kelompok pertama para ahli tersebut adalah melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan yaitu perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian, dengan kata lain bahwa kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dan para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Padangan dan kelompok kedua menyatakan kebijakan publik terdiri dan keputusan dan tindakan artinya kebijakan publik sebagai suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan. Dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semua harus diperhitungkan yaitu: (1) Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat, dengan demikian mereka atau individu-individu yang diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebijakan harus dibatasi. Ada juga dampak yang diinginkan (intended consequences) dan ada dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences); (2) Kebijakan yang mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan, atau juga dinamakan dampak yang melimpah (externalities or spillover effects), (3) Kebijakan yang mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan-keadaan dimasa yang akan datang, dengan kata lain kebijakan yang berdampak berdasarkan dimensi waktu yakni masa sekarang dan masa yang akan datang; (4) Kebijakan yang mempunyai dampak dalam bentuk biaya langsung dan biaya tidak Iangsung, artinya ada biaya yang langsung dikeluarkan oleh program tersebut dan ada biaya tidak Iangsung dikeluarkan oleh pihak lain, apakah oleh pemerintah, swasta atau masyarakat; dan (5) Kebijakan yang mempunyai dampak terhadap biaya-biaya yang tidak bisa dihitung, tetapi dapat dirasakan oleh semua pihak.
41 Analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab pertanyaan: (1) apa hakekat permasalahan, (2) kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya, (3) seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah, (4) alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang dapat diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut membuahkan informasi tentang: masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: (1) perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan; (2) peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu; (3) rekomendasi (preskripsi) menyediakan informsi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah; (4) pemantauan (deskripsi) menghasilkan
informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari
diterapkannya alternatif kebijakan; dan (5) evaluasi menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan tersebut, dapat digunakan satu atau lebih dari tiga pendekatan analisis, yaitu: 1) Pendekatan empiris: ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari kebijakan publik. Pertanyaan utama bersifat faktual dan macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif.
42 2) Pendekatan valuatif: ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa kebijakan. Pertanyaan berkenaan dengan nilai (berapa nilainya) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat valuatif. 3) Pendekatan normatif: ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah publik, dan informasi yang dihasilkan bersifat preskriptif. Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan akibat dari tindakan pemerintah. Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu : (1) analisis prospektif, (2) analisis retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis prospektif dan retrospektif. Kebijakan pembangunan kehutanan yang diterapkan selama lebih dari 30 tahun ternyata belum mampu mewujudkan keberpihakan kepada rakyat karena masih beriorentasi sentralistik. Oleh karena itu, dalam era reformasi saat ini rakyat menginginkan terjadinya perubahan dalam pembangunan kehutanan (Alikodra, 2000). Perubahan kebijakan yang diperlukan diharapkan mampu memenuhi harapan: (1) menghilangkan dan mencegah terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme di lingkungan institusi kehutanan, (2) menerapkan asas-asas profesionalisme dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, (3) memberikan manfaat yang maksimal dan berkelanjutan bagi rakyat serta mengembangkan peran serta rakyat dalam segala aspek pembangunan kehutanan, dan (4) menjaga dan menjamin terwujudnya kelestarian sumber daya hutan. Berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, menurut LPPMangrove (2001) bahwa berbagai kegiatan kehutanan yang berlaku selama ini dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar atau dekat hutan.
43 Bahkan dengan berkembangnya IUPHHK, IUPHHT sebagian besar dari mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut secara otomatis menjadi berkurang. Akibatnya masyarakat dimaksud, menjadi kurang peduli terhadap pengamanan hutan. Artinya, aspek lingkungan dan keamanan hutan menjadi terganggu, dan selanjutnya aspek sosialnya juga sulit dipertahankan keabsahannya.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Teluk Jakarta yang meliputi tiga lokasi penelitian yaitu: Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, dan Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Muara Angke secara geografis terletak pada 06o 06’ 03’’– 06o 06’ 17’’LS dan 106o 44’ 43’’ – 106o 45’ 45’’ BT. Muara Gembong terletak diantara 060 00' 20" - 06° 03' 37" LS dan 106° 59' 30” - 107° 00' 43" BT. Teluk Naga secara geografis terletak diantara 106° 42’ 08” - 106° 42’ 58” BT dan 06° 01’ 53” - 06° 02’ 44” LS. Desadesa di tiga lokasi tersebut dapat mewakili lokasi penelitian dengan karakteristik utama memiliki hutan mangrove. Peta lokasi penelitian seperti tertera pada
1 0 6 ° 5 6 '5 0 "
1 0 6 ° 5 1 '4 0 "
1 0 6 ° 4 6 ' 3 0 "
1 0 6 ° 4 1 '2 0 "
Gambar 2.
PETA LOKASI PENELITIAN TELUK JAKARTA U
2
0
2
4
6 Km
5 ° 5 8 '0 0 "
5 ° 5 8 '0 0 "
KETER ANGAN : Batas Administr as i : : Batas Pr ov ins i : Batas Kabupaten : Batas Kecamat an Tanjun g nuhun PA NTAI SE DERHA NA 1. 33 Gaga 2.00 teng ah 2. 96 Muar age mbong
: Batas Des a Tr ansportasi :
#
#
: J alan Tol
#
#
R TIM UR #
2. 04
PA NTA I 2.2 7 MEK AR
3. 16
#
TANJUNGAN 1.00
1.83 #
#
# #
#
: J alan Layang
0.7 3
#
#
MUARA
: J alan Lain
PA NTAI HA RAP AN JA YA
#
2.00
#
O
: J alan Lokal
#
3.6 3 3. 63
#
#
#
LAUT JAWA
#
#
#
#
: J alan U tama
2. 00 #
UA RA 2. 00
: J alan S etapak
PULA U UNT UNG JA W A
2.00
# #
2.00
Landuse :
#
1.00 SUNGA I TA HANG 2.00 1.00 W ALUMP ANG 2.00 S AMB I 1.75 1.30 3 KOSA MB I BA RAT 4. 36 4.59 2. 00 2.00 4.26 2.04 B ON BE S AR KOS A MBI T IMUR MULYA DA DAP LE BA K 3.73
6 ° 3 '1 0 "
6 ° 3 '1 0 "
T AP ANG #
Tanah ba ru
#
#
2. 00 #
H UTAN R AW A
Po n
H UTAN BAK AU
#
#
#
Se mbilangan
#
#
#
HU
P ADANG RU MPUT
#
#
#
#
#
P ASIR/B UKIT PAS IR LAUT
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
K EBUN
#
#
#
#
#
#
#
#
#
2.00
#
#
#
#
#
#
BE NDUNGA N
LYA
#
1.06 2.0 0
KA MA L #
#
34
#
1.28
#
1.1 9
#
8. 37 1.47
1.55
#
2.25 1.2 1
#
0.90
2.39
#
#
#
#
#
1.14
PA NTA I MAK MUR
#
K ALI P E RA NCIS
#
#
KA MA LMUARA
#
#
#
#
#
R AWA
#
2.1 1
#
MUARAB A HARI 0. 75 2. 77 1. 60 1.62 1.70 2.13PLUITMUT IARA 1.70 1.63 LI NGK UNGAN3 0.6 9 1. 28 2.11 POLM AS ANGK E MUARAB A RU RU 4.80 0.86 0.74 1.6 7 1. 82 TE GALA LUR PLUIT KA LIDE RE S 1.15 1.81 W ADUK PLUIT CIT RA 5 KA MA LMUARA CIKA RA NG TA NJUNGPRIOK 1.8 4 1.25 ME NCENG 2. 85 ANCOL TIM UR 2.70 1.37 4.00 K AP UKMUA RA 0.50 29 RA W AB OKOR KA YU B ES AR W ARA KA S 0.76 2.5 3 1.3 7 P LUITMURNI Kuru s 1.72 4.71 3. 61 SAP0.63 A TANCOL 0.52 ANCOLP ADE MANGA N Su ngaibego g PA HLAW AN S E TIA KAP LINGP TB 0.0 1 0.70 Wa rakas P lumpa ng 2. 70 0. 92 1.66 1.46 0.83 TA MANKE NCANA TTG. 249A 1. 33 0. 84 Saran gbang o KOA NG PLUIT 2. 68 KA LI A NGK E A NCOL T ANJUNGP RIOK S ungaiB ambu Su ngaibambu 0.90 KA LI P LUI T 1.64 Tipar 2.65 NDAH KAP UK 1. 00K ALI ANCOL 0. 84 1.6 0 KEL. PA PA NGGO 2. 91 Rengas BULA KSE RE KA PUK MA S 3.00 P ADE MANGA N Ka ndang Ra wama la ng Malaka Dua RA W ALE LE KAP UK KA P UKMUARA KA LI S UNTER 1 3.67 JE MBA TA NDUA 2.85 Po mahanbu la k BA MB ULA RANGAN 2.7 0 KA LI S UNT ER 2 P ODOMORO 4.7 1 1.51 0.38 KE CAMA TA N CI LINCI NG 0. 80 P INTUKE CIL KA LI B ANJIRK ANA L 2.3 5 1 . 60 K AP UK 1.87 4.57 0.19 RUM UDI A NEK AE LOK 2.08 ANGK E K OTA MA DY A JA K ARTA UT A RA Malaka Sa tu 2. 66 1.0 0 BULA K HUT ANJAT I 0.1 3 PE RMATA KE BONKE LA PA MANGGGADUA SE LA TAN Pulong andang 5. 99 0.79 KECA MA TAN DUT A MAS Vila g ading Suka pura KE LURAHA N ROROTA N CE NGK A RE NG CE NGK A RE NGINDA H KA LI GROGOL 1. 08 0.37 SUNTE RJA YA 1.5 9 B EB ELA N 3.0 8 1.71 2.51 6.36 0.34 1. 34 M BA N PA KU WA N K RUK UT 1.46 KE B ONKOS ONG KA MP UNGDURI TTG. 273 P ES ING Rawaindah 1.09 2. 63 1.00 SUNT ERMAS 1.24 Ma laka hajibandan 0.3 6 3.39 KA LIDERE S KEC.K EL AP AGA DING RA W A BUAY A JE LA MBA R KARA NGANYA R 1.89 KA RTINI 1.06 SE RDA NG 2.87 K ECA MAT A N GROGOL Kanda ngsapi 4.03 JAK ART A B ARA T DAE RA H K HUS US TTG. 2 71 MAP HAR 2.76 TA RUNA JAY A 2. 74 1. 50 KE LURAHA N K E LAP A GA DING BA RAT 2.8 9 2.8 2 SE MA NA N DURIPOLO KEL .PE GANGS AA N DUA 2.2 0 1. 27 Kelapa gading 1.86 BOJONGINDA H KALI ANGK E 2.35 GEM POL 1. 28 Kodam ar 5.59 HARMONI 2.56 2.24 3. 63 K AM PUNGBA RU SE RDANG K ELURA HA N KE LA PA GADING TI MUR GA GA GRE ENV ILLA CI LIW UNG 3 2. 72 2. 41 MA LA NG BOJONGRA Y A Kepu CID E NG 2. 23 4.0 3 3.20 CIPONDOH GA LUR GAM BIR SE NE N TOMANG DK I JA K ARTA DURIK EP A 2.53 Tanah ap it GAM BIR JATI PULO K AM PUNGG UNUNG PONDOKCAB E 3.69 4.03 4.21 4.59 GALU R CI DE NG KALI GROGOL KA YUA W ET 5.67 3. 16 6. 05 Kaliaban ggatet K RES EK KE DOYA S ELA TA N KW ITA NG 4. 42 KAL I KRUK UT 1 P URIK E MBA NG KEM BA NGAN Peju angpra tama LA JI KE MA NGGIS AN KEB ONSI RI H CIKI NI DURIKE PA 8. 61 S LIP I 6.50 KEM BA NG PA SE B AN ME RUYA UT ARA PA LM ERAH 3.22 #
#
P ERMU KIMAN
Sasa k
#
#
1.90
#
Ceg er
#
#
#
5.78
#
1. 05 1.1 0 1.05 #
#
S AWAH
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
E MPAN G
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
6 ° 8 '2 0 "
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
1 0 6 ° 4 6 ' 3 0 "
1 0 6 ° 4 1 '2 0 "
#
#
#
#
#
#
#
#
1 0 6 ° 5 1 '4 0 "
#
#
1 0 6 ° 5 6 '5 0 "
#
Pet a Rupabumi BAKOSUR TAN AL Skala 1 : 25.000
#
#
#
#
#
#
Sumber Dat a :
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
Titik Tinggi
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
3.00 #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
Sungai
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
TAMAN
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
TEGALAN /LADANG
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
S EMAK BELUKAR
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
6 ° 8 '2 0 "
#
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan yaitu: (1) Teluk Jakarta dapat menjadi potret pengelolaan kawasan mangrove di Indonesia, (2) Teluk Jakarta terdiri atas tiga wilayah administrasi yang memiliki orientasi
45 yang berbeda dalam pemanfaatan kawasan di sekitar hutan mangrove, dan (3) kondisi kawasan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi fisik dan habitat yang masih terus berlangsung. Penelitian awal dilakukan mulai bulan November sampai dengan Desember 2005, sedangkan pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan pada Januari 2006 sampai dengan Januari 2007.
3.2 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan yaitu: (1) menganalisis kondisi ekosistem mangrove di Teluk Jakarta pada tiga lokasi yakni Muara Gembong, Teluk Naga, dan Muara Angke, (2) mereview kebijakan dan permasalahannya serta menganalisis kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove, dan (3) menyusun prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta dan strategi implementasinya. Secara visual tahapan penelitian disajikan pada Gambar 3.
7DKDS . RQGLVL( NRVLVW HP 0 DQJURYH7HO XN- DNDUW D $QDOLVLVYHJHW DVL VSDVLDO $QDOLVLVNXDO LW DVDLU
7DKDS
7DKDS . HELM DNDQ3HQJHO RO DDQ +XW DQ0 DQJURYHGDQ 3HUP DVDO DKDQQ\ D
3ULRULW DV . HELM DNDQ 3HQJHO RO DDQ
$ QDOLVLVNHELM DNDQ
$+3
6W UDW HJL ,PSO HP HQW DVLGDQ 5 HNRP HQGDVL )*'
. HEXW XKDQ 6W DNHKRO GHU GDO DP 3HQJHO RO DDQ+ XW DQ 0 DQJURYH $ QDOLVLVNHEXW XKDQ
Gambar 3. Tahapan penelitian
Analisis spasial vegetasi mangrove di wilayah Teluk Jakarta dilakukan untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove saat ini dan perubahannya dengan menggunakan sistem informasi geografis. Hasil analisis ini memberikan
46 gambaran kondisi magrove berupa kerapatan dan perubahan tutupan lahan di setiap wilayah. Analisis kualitas air dilakukan secara langsung di lokasi penelitian. Hasil analisis ini memberikan gambaran kondisi perairan di Teluk Jakarta dari aspek fisika dan kimia. Parameter kualitas air yang digunakan adalah kualitas air baku untuk perairan. Analisis kebijakan pengelolaan hutan mangrove di wilayah Teluk Jakarta mencakup kebijakan yang telah dirumuskan selama ini. Hasil analisis ini berupa deskripsi kebijakan dan permasalahan implementasinya pada tiga wilayah administrasi yaitu Muara Angke, Muara Gembong, dan Teluk Naga. Selanjutnya dilakukan
analisis
kebutuhan
masyarakat
dan
stakeholder
kunci
dalam
pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta. Kebutuhan masyarakat dan stakeholder dikategorikan berdasarkan tiga wilayah administrasi. Hasil analisis tersebut selanjutnya digunakan sebagai masukan dalam perumusan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan partisipatif dengan
melibatkan
semua
stakeholder.
Perumusan
alternatif
kebijakan
didasarkan pada permasalahan yang ditemukan dan kebutuhan masyarakat dan stakeholder. Alternatif kebijakan tersebut disusun dalam bentuk prioritas kebijakan menggunakan analytical hierarchy process (AHP) secara partisipatif. Strategi implementasi kebijakan dirumuskan oleh semua stakeholder untuk setiap alternatif kebijakan. Teknik yang digunakan adalah focus group discussion (FGD) melibatkan pakar dan stakeholder di tiga wilayah yaitu Muara Gembong, Muara Angke, dan Teluk Naga. Hasil FGD merupakan kesepakatan bersama semua stakeholder dan pakar sehingga strategi yang dirumuskan lebih mudah diimplementasikan.
3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Primer diambil secara langsung di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Metode wawancara dan pengamatan langsung di lapangan digunakan untuk memperoleh data dan informasi yang lebih rinci tentang kondisi parameter yang dikaji,
sedangkan
dokumentasi
ditekankan
untuk
memperoleh
informasi
pendukung yang dapat memberikan gambaran secara umum. Data yang diperlukan secara rinci sebagaimana tertera pada Tabel 2.
47 Tabel 2. Jenis data yang dikumpulkan No
Jenis Data
Sumber Data
Keterangan
1. Penggunaan lahan, peta RTR BPN, Bappeda: Kab. Bekasi, Kab. Bekasi, Kab. Tangerang, Kab. Tangerang, dan Kota dan Kota Jakarta Utara Jakarta Utara
Data sekunder
2. Data keadaan penduduk, (sosial dan ekonomi)
BPS, wawancara, dan kuesioner Data primer dan sekunder
3. Kualitas air (fisika dan kimia)
Pengukuran langsung dan analisis laboratorium
Data primer
4. Vegetasi mangrove
Citra landsat TM tahun 1997, 2002, 2006, pengukuran langsung, dan studi pustaka
Data primer
5. Kebutuhan stakeholder dan pendapat pakar
Wawancara, kuesioner, dan diskusi
Data primer
3.4 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa metode, yakni:
studi literatur, wawancara dan
pengamatan lapangan. Teknik
pengumpulan
data
primer
dilakukan
dengan
pengamatan
langsung di lapangan dan melalui cluster random sampling. Responden dibagi ke dalam cluster kecamatan yakni Muara Gembong, Penjaringan, dan Teluk Naga. Komposisi responden penelitian ini berdasarkan kategori usia, pendidikan, dan pekerjaan disajikan pada Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5. Tabel 3. Jumlah responden berdasarkan usia Kecamatan
Usia Responden
Total
20 – 30 tahun
31 – 49 tahun
> 49 tahun
Muara Gembong
46
34
20
100
Penjaringan
20
74
6
100
Teluk Naga
30
40
30
100
Tabel 4. Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan Kecamatan
Pendidikan Responden
Total
SD
SMP
SMA
Muara Gembong
44
40
16
100
Penjaringan
22
50
28
100
Teluk Naga
28
38
34
100
48 Tabel 5. Jumlah responden berdasarkan pekerjaan Kecamatan
Pekerjaan Responden
Total
Buruh
Petani
Nelayan
Pengusaha
Pegawai
Muara Gembong Penjaringan
26 40
22 34
38 8
2 10
12 8
100 100
Teluk Naga
68
14
12
2
4
100
Metode wawancara digunakan untuk memperoleh data yang belum tercatat dalam literatur serta untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Metode wawancara yang akan dilakukan terdiri atas wawancara bebas dan tidak terstruktur serta wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner. Wawancara ini akan dilakukan terhadap masyarakat, tokoh masyarakat, pengurus lembaga, aparat pemerintahan desa, pejabat pemerintah daerah dan instansi terkait, serta para pakar di bidang hutan mangrove. Metode ini dilakukan guna mengetahui persepsi dan harapan masyarakat dengan adanya upaya penyelamatan hutan mangrove. Studi literatur dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan informasi pendukung yang sangat diperlukan dalam penelitian ini, yang terkait dengan pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam menyelamatkan hutan mangrove. Data dan informasi meliputi: kondisi dan karakteristik sumberdaya alam, kondisi dan karakteristik lokasi. Kondisi sosial ekonomi dan lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan hutan mangrove. Sumber data dan informasi ini berupa jurnal, laporan-laporan, karya ilmiah, proseding dan berbagai sumber pustaka lainnya. Pengamatan merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan melalui pencatatan, pengukuran dan pengamatan terhadap kejadian atau faktorfaktor yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian. Pengamatan dan analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui kondisi dan jumlah hutan mangrove, dan pengamatan untuk kualitas air dilakukan baik secara insitu maupun eksitu.
3.5 Metode Analisis Data Pada dasarnya penelitian ini bersifat eksploratif atau kajian evaluatif, untuk itu berdasarkan data yang telah diperoleh dianalisis dengan metode sebagai berikut:
49 1. Analisis spasial vegetasi mangrove Untuk analisis secara keseluruhan di ketiga lokasi penelitian digunakan sistem informasi geografis (SIG). Hal ini untuk memudahkan melihat perubahan tutupan lahan khususnya tutupan lahan vegetasi mangrove. Citra yang digunakan sebagai dasar analisis adalah citra satelit Landsat 7 ETM. SIG adalah suatu sistem analisis berbasis komputer yang mampu melakukan hubungan (relasi) antara data spasial (keruangan) dan data atribut (data base). Sistem Informasi Geografi memerlukan konfigurasi software dan hardware dengan performa yang tinggi. Hardware yang dibutuhkan antara lain komputer dengan basis Windows, Digitizer dan Ploter, sedangkan Software yang dibutuhkan antara lain PC ArcInfo dan ArcView. Dalam proses penyusunan SIG, diperlukan beberapa tahapan proses hingga dihasilkan SIG. Adapun tahapan tersebut adalah inventarisasi kawasan mangrove, penyusunan basis data dan penyusunan basis model. Delineasi
kawasan mangrove menggunakan citra penginderaan jauh
skala tinjau 1: 250.000 (Landsat). Tahap berikutnya adalah melakukan uji lapang (ground truth) terhadap hasil interpretasi. Hasil delineasi bentuk lahan setelah uji lapang, kemudian diplot pada peta Rupabumi Indonesia skala 1: 25.000, agar posisi koordinatnya
mengacu pada sistem koordinat sebenarnya (real world
coordinate). Basis data merupakan prasyarat
utama memanfaatkan SIG untuk
berbagai aplikasi, termasuk untuk penyusunan SIG kawasan mangrove. Pengertian basis data (database) adalah himpunan rekaman data (record) yang bersifat spesifik, dimana
pengaksesannya dikontrol oleh DBMS (database
management systems). Apabila basis data telah didefinisikan,
struktur record
data yang berkaitan dengan panjang item (item width), nama item (field) dan jenis data (integer, numerik, karakter) dijabarkan kedalam DBMS. Kemudian apabila key in data ke dalam basis data dilaksanakan, DBMS bertanggung jawab terhadap berbagai analisis untuk sorting data, penyajian, dan hubungan antar record data. Dalam menyusun basis data, himpunan data perlu dikelompokkan berdasarkan temanya. Agar dapat dihimpun secara terstruktur dan sistematis, maka karakteristik data perlu diklasifikasikan. Dalam klasifikasi data, karakteristik data yang disajikan dalam atribut dalam bentuk kode. Penyusunan dan penyajian kodifikasi karakteristik data
ke dalam atribut perlu dikomunikasikan dengan
50 pengguna agar penempatan kumpulan record datanya sesuai pada atribut yang diinginkanya. Basis data dasar yang diperlukan meliputi: garis pantai, jaringan jalan, jaringan sungai (hidrologi), nama-nama wilayah geografi (toponim), dan wilayah administrasi pemerintahan. Basis data tematik meliputi: kawasan mangrove, dan penutup lahan. Basis model (model base) merupakan model aplikasi SIG untuk mendukung pengambilan keputusan dari perencanaan spasial. Penyusunan basis model menggunakan fungsi-fungsi SIG, terutama mengenai transformasi dan integrasi data untuk menghasilkan informasi sintetik. Burrough (1983) menjelaskan
bahwa
SIG
mempunyai
fungsi
untuk
memanipulasi
dan
mengintegrasikan berbagai data tematik dengan teknik overlay. Metode overlay memudahkan analisis dalam memberikan kriteria berbagai indikator dari data tematik yang dihimpun dalam basis model (Birkin et al., 1996). Keseluruhan hasil analisis SIG akan disajikan dalam ArcView. ArcView dapat menampilkan hubungan antara data spasial dan data atribut secara bersamaan, sehingga memudahkan dalam analisis perencanaan ataupun analisis kebijakan. Untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi, dilakukan kalkulasi kerapatan vegetasi dengan metode normalized difference vegetation index (NDVI). Persamaan NDVI adalah:
NDVI =
Band 4 − Band 3 Band 4 + Band 3
Band 4 merujuk pada band dengan kisaran panjang gelombang infra merah dekat (near infra red), Band 3 merujuk pada band dengan kisaran panjang gelombang
merah.
Jika
citra
yang
dihasilkan
kurang
bagus
tingkat
kekontrasannya akibat cuaca, maka klasifikasi citra yang digunakan adalah dengan metode interpretrasi. Berdasarkan penghitungan NDVI tersebut diperoleh citra NDVI yang merefleksikan tutupan vegetasi di permukaan bumi. Untuk memperoleh informasi spasial tentang kelas penutupan vegetasi, selanjutnya dilakukan proses density slicing dengan mengikuti batas kelas yang digunakan dalam penilaian vegetasi tutupan lahan. Batas kelas dalam proses density slicing diperoleh dengan
51 mengalikan nilai NDVI dengan batas kelas yang digunakan untuk penilaian pada kondisi tutupan lahannya. Kerapatan vegetasi di suatu lokasi dapat dideteksi dengan tampilan degradasi warna putih pada citra NDVI. Semakin gelap warna hijau yang ditampilkan citra pada suatu lokasi menunjukkan bahwa intensitas vegetasi di lokasi tersebut semakin tinggi dan sebaliknya bila obyek diperlihatkan dengan degradasi warna hijau yang lebih terang. Untuk mendapatkan gambaran tentang obyek yang ada pada citra dengan keadaan di lapangan, dilakukan pengambilan sampel ke lokasi penelitian. Lokasi yang diambil sebagai sampel adalah lokasi yang memberikan kenampakan yang berbeda pada citra. Untuk menentukan koordinat di lokasi digunakan GPS.
2. Analisis kualitas air Pertumbuhan vegetasi mangrove sangat tergantung pada dinamika lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhannya. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove yang pada intinya mencakup genangan pasang surut, dan salinitas perairan serta faktor-faktor yang mempengaruhi kedua unsur ini seperti air tawar, iklim dan kaitannya dengan berbagai proses-proses geomorfologi dan geofisik. Pengambilan sampel dilakukan pada setiap titik pengamatan yang telah ditentukan. Parameter dan alat pengukuran disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Metode pengukuran kualitas air Parameter Fisika Kimia
Satuan
Alat Pengukuran
Suhu
Peubah
°C
Termometer
Salinitas
‰
Refraktometer
-
pH Meter Konduktometer
Oksigen terlarut
µmhos/cm mg/liter
BOD COD, CO2 bebas
mg/liter mg/liter
Reaksi Nessler Titrasi
Amonia
mg/liter
Spektrofometer
Hg, Cd, Pb
mg/liter
AAS
pH Daya hantar listrik
DO Meter
52 3. Analisis kebutuhan stakeholder Pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif merupakan strategi dalam paradigma pembangunan yang bertumpu pada masyarakat dan stakeholder. Strategi ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya material dan non-material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan. Participatory rural appraisal (PRA) dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kondisi sosial dan ekonomi pada kawasan hutan mangrove Teluk Jakarta. PRA dilakukan dengan melibatkan semua masyarakat pada tiga lokasi terpilih. Kegiatan PRA dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan penjaringan aspirasi. Informasi yang diperoleh berkaitan dengan, keterlibatan, kepentingan, pengetahuan, dan kebutuhan terhadap hutan mangrove.
4. Analisis kebijakan Dalam penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta dilakukan dengan analisis multikriteria yang dilakukan dengan partisipatif. Alat analisis yang digunakan adalah AHP. Penggunaan AHP dimasudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi terbaik dengan cara: (1) mengamati secara sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik; (2) membandingkan secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif; (3) memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan; dan (4) membuat strategi pengelolaan hutan mangrove secara optimal, dengan cara menentukan prioritas kegiatan. Penetapan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi masyarakat, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur (intangible) ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Tahap terpenting dari AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu tingkat hirarki (Saaty, 1993).
53 Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga diperlukan paket komputer khusus mengenai AHP. Pengolahan data berbasis komputer menggunakan perangkat lunak Expert Choice 2000. Expert Choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi pengambilan keputusan yakni AHP. Langkah-langkah dalam analisis data dengan AHP adalah: 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan fokus, dilanjutkan dengan tujuan, kriteria dan alternatif kebijakan pada tingkatan level paling bawah. 3. Membuat
matriks
perbandingan
berpasangan
yang
menggambarkan
pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 – 9 berdasarkan skala Saaty seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Skala perbandingan berpasangan Skala
Definisi
1
Kedua elemen sama pentingnya (equally importance) terhadap tujuan Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen lainnya (moderately importance) Elemen satu lebih penting dari pada elemen lainnya (strongly importance) Satu elemen jelas lebih mutlak penting dari pada elemen lainnya (very strongly importance) Satu elemen mutlak penting dari pada elemen lainnya (extremely importance) Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan (intermediate value) Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i
3 5 7 9 2, 4, 6 dan 8 Kebalikan
Sumber: Saaty (1993) 4. Melakukan
perbandingan
berpasangan.
Kegiatan
ini
dilakukan
oleh
stakeholder yang berkompeten berdasarkan hasil identifikasi stakeholder. 5. Menghitung akar ciri, vektor ciri, dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Indeks konsistensi (CI) menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang
54 konsisten
tidaknya
suatu
penilaian
perbandingan
berpasangan.
Nilai
pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.
5. Penyusunan strategi dan arahan program Arahan strategi dan program pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta disesuaikan dengan kondisi wilayah dan kebutuhan stakeholder di masa mendatang agar dihasilkan rumusan yang memberikan jaminan keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove. Kegiatan ini dilakukan melalui focus group discussion (FGD) di Jakarta dengan melibatkan semua stakeholder. FGD
dilakukan
untuk
menemukan
alternatif
penyelesaian
secara
partisipatif. Diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik.
Tujuan
FGD adalah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengelolaan hutan mangrove. Stakeholder yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta dikategorikan berdasarkan tingkat nasional, regional, dan lokal yaitu: 1. Nasional: Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, LPP Mangrove, pakar dan peneliti dari IPB dan LIPI. 2. Regional: Bappeda, BPLHD, DPRD, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan, Dinas Pariwisata (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Jakarta Utara). 3. Lokal: Camat, Koperasi nelayan, pengusaha hotel dan restoran, pengusaha perikanan tambak, pedagang sektor informal, nelayan, wisatawan, lembaga lokal, dan organisasi sosial.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta 1. Muara Angke Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta. Pada mulanya kelompok hutan ini seluas 1.114 ha, namun karena kegiatan pembangunan luasnya menurun menjadi 327,7 ha. Pembangunan kawasan Kapuk-Angke digagas oleh Pemerintah Daerah DKI
Jakarta,
sesuai
arahan
RUTR
DKI
1965-1985
bertujuan
untuk
mengembangkan areal tambak dan ”eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi kota lainnya. Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk seluas ±1.114 ha berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta (berdasarkan Piagam Kerjasama antara Pemda DKI dengan Departemen Pertanian cq Direkorat Jendral Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni 1977, dan didalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah). Tujuan kerjasama dimaksud adalah untuk mengelola, memanfaatkan dan membina kawasan hutan seluas ±1.114 ha yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara, Muara Kamal dan Muara Angke. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161/Kpts/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur, Angke Kapuk dan sekitarnya sebagai berikut: a) sebagai hutan lindung, 5 km sepanjang pantai selebar 100 meter; b) sebagai cagar alam Muara Angke; c) sebagai kebun pembibitan; dan d) sebagai ”lapangan dengan tujuan istimewa”. Kawasan delta Sungai Angke pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam dengan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda (GB) No 24 tanggal 18 Juni 1939 seluas 15,40 ha. Berkaitan dengan adanya kegiatan pembangunan permukiman di kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan kawasan hutan yang tetap dikuasai pemerintah yakni 322.6 ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/1998 tanggal 29 Februari 1988 yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas
56 335,50 ha. Kemudian berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Secara detil disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan luas peruntukan lahan di Kawasan Muara Angke (ha) Kawasan
Menhut (1984)
Menhut (1988)
Gub DKI (1989)
Hutan lindung
49,25
50,80
44,76
Cagar alam Muara Angke
21,45
25,00
25,02
Hutan wisata
91,45
101,60
99,85
Kebun pembibitan kehutanan
10,47
10,47
10,52
Cengkareng Drain
29,05
28,36
28,93
Jalur transmisi PLN
29,90
25,90
23,07
Jalur tol dan jalur hijau
91,37
91,37
95,50
322,60
335,50
327,70
Jumlah
2. Muara Gembong Sejarah pengelolaan mangrove di Muara Gembong Kabupaten Bekasi pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian setelah masa kemerdekaan Negara Republik Indonesia maka pengelolaan mangrovenya dilakukan oleh Jawatan Kehutanan Daerah Swatantra Tingkat I Jawa Barat. Perkembangan berikutnya pada tahun 1976, dengan terbentuknya Unit III Perum Perhutani maka pengelolaan mangrove di kawasan Muara Gembong dilakukan oleh Resort Pemangkuan Hutan Muara Gembong Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Ujung Karawang Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Sebagai
konsekuensi
daerah
penyangga
DKI
Jakarta,
aktivitas
pembangunan di DKI mengakibatkan permintaan lahan di Kabupaten Bekasi meningkat sehingga dari luasan mangrove 9.764,45 ha yang tersisa menjadi hutan hanya 330,24 ha (3,4%), sedangkan yang lainnya telah beralih fungsi menjadi pertambakan (68,85%), persawahan (22,30%) dan bentuk penggunaan lainnya (Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi, 2000). Kondisi penggunaan kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bekasi adalah: hutan sekitar 1.093,28 ha, sawah sekitar 1.225,95 ha, permukiman
57 sekitar 365,45 ha, empang sekitar 7.434,77 ha, kebun campuran sekitar 159,65 ha dan abrasi mencapai 202,05 ha (KPH Bogor, 2004). Kerusakan mangrove pada kawasan ini juga diprediksi terus meningkat, sejalan dengan diterbitkannya Perda Kabupaten Bekasi No. 5 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara. Dalam Perda ini, kawasan mangrove dapat dimanfaatkan bagi kawasan pelabuhan, industri, pariwisata dan perikanan dimana sektor-sektor tersebut telah dijadikan sektor andalan bagi penggerak perekonomian di Kabupaten Bekasi. Pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan oleh Perum Perhutani difokuskan kepada usaha persewaan lahan garapan, demikian halnya pelayanan publik yang dilakukan Pemda lebih memfokuskan kepada penerimaan pajak atas lahan garapan. Situasi ini yang mendorong pergerakan politik penggarap untuk tidak membayar kedua jenis pajak. Persoalan ketidaktaatan terhadap kontrak dan duplikasi pajak, telah menimbulkan konflik baik antara penggarap dan Perum Perhutani maupun konflik peran antara Pemda dengan Perum Perhutani. Kondisi ini mempengaruhi kerusakan hutan mangrove, sehingga pada periode tahun 1943 – 2002 kerusakan hutan mangrove mencapai 15.058,23 ha (Suhaeri, 2005). 3. Teluk Naga Sejak dikembangkan budidaya udang pada tahun 1986 dengan membuka tambak-tambak baru, pengelolaan lingkungan di Kecamatan Teluk Naga semakin tidak terarah. Seiring dengan pengembangan usaha tambak, penambangan pasir laut
yang
dimaksudkan
untuk
membangun
prasarana
tambak
ternyata
menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yang berakibat pada rusaknya lingkungan di kawasan hutan mangrove yang semula luasnya 1.192 ha, kini tidak ada lagi (Bappeda Kabupaten Tangerang, 2004).
4.2 Kondisi Hutan Mangrove Teluk Jakarta 1. Hasil analisis vegetasi Hutan mangrove di Teluk Jakarta saat ini dalam kondisi yang rusak dan luasnya makin berkurang. Hasil kajian pada tiga lokasi penelitian (Muara Angke, Muara Gembong, dan Teluk Naga) menggambarkan variasi jenis mangrove mulai berkurang setiap tahun. Di wilayah Teluk Naga tidak ditemukan ekosistem
58 hutan mangrove, karena lahan hutan mangrove telah dikonversi menjadi lahan tambak, aktifitas penambangan pasir laut, dan pariwisata. Hasil analisis sistem informasi geografis menunjukkan perubahan tutupan lahan mangrove pada tahun 1997, 2002, dan 2006 yang signifikan. Kawasan pesisir Teluk Jakarta selama 10 tahun telah mengalami perubahan tutupan lahan yang relatif tinggi. Laju perubahan luas hutan mangrove pada tiga wilayah berbeda-beda. Hasil analisis sistem informasi geografis tentang perubahan luas hutan mangrove disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian Lokasi
Luas hutan mangrove (ha)
Persentase perubahan (%)
1997
2002
2006
Muara Angke
122,04
102,37
117,60
3,63
Muara Gembong
174,49
121,27
108,19
37,99
44,37
12,62
6,25
85,91
236,26
232,04
42,52
Teluk Naga
Total 340,90 Sumber: Hasil analisis SIG (2007)
Hutan mangrove di lokasi penelitian mengalami perubahan luasan. Dalam waktu 10 tahun mencapai 42,52%. Perubahan luas hutan mangrove berbedabeda antar lokasi sesuai dengan karakteristik ekologis dan sosial masyarakat. Hutan mangrove di Muara Angke relatif tidak berubah selama 10 tahun. Hal ini karena adanya perhatian pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove. Penetapan status kawasan lindung Muara Angke mendorong pemerintah untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan mangrove. Lembaga swadaya masyarakat bersama masyarakat telah melakukan berbagai kegiatan rehabilitasi kawasan dan pendidikan lingkungan bagi masyarakat untuk menjaga hutan mangrove di Muara Angke. Fakor ini merupakan hal positif yang dapat dijadikan model pengelolaan kawasan mangrove. Hutan mangrove di Muara Gembong mengalami degradasi fisik. Alih fungsi lahan menjadi tambak dan kerusakan habitat akibat abrasi dan sedimentasi menyebabkan kerusakan mangrove terus berlanjut. Selain itu terjadi konflik pemanfaatan antara masyarakat dengan Perum Perhutani dan Pemda sehingga para pemangku kepentingan kurang bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan mangrove.
59 Hutan mangrove di Teluk Naga mengalami perubahan yang sangat signifikan selama 10 tahun, yakni mencapai 85,91%. Luas kawasan mangrove yang tersisa adalah 6,25 ha. Perubahan luas hutan mangrove ini disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi tambak dan kawasan industri. Tidak jelasnya sistem pengelolaan dan penatagunaan lahan di kawasan pesisir mendorong pemanfaatan kawasan yang berlebih. Selain faktor pengelolaan, kerusakan ekosistem mangrove juga disebabkan oleh kegiatan penambangan pasir laut di sekitar pantai sehingga ekosistem mangrove menjadi terdegradasi. Secara visual kondisi tutupan lahan di Teluk Jakarta di sajikan pada Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar 6. Selain perubahan luas tutupan lahan, hutan mangrove Teluk Jakarta juga mengalami penurunan kualitas habitat berupa pengurangan kerapatan vegetasi (Gambar 7). Hal ini terlihat rendahnya persentase tutupan lahan yang masih tergolong hijau. Laju perubahan kerapatan vegetasi pada Teluk Jakarta semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya degradasi lingkungan mangrove. Hasil pengamatan vegetasi mangrove di Teluk Jakarta menunjukkan bahwa jenis mangrove yang tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah dan air. Selain itu juga dipengaruhi kebijakan penanaman mangrove oleh instansi pemerintah dan lembaga swadaya. Jenis vegetasi mangrove di Teluk Jakarta secara rinci disajikan berdasarkan tiga wilayah studi. Jenis mangrove di Muara Angke yang ditemukan adalah jenis api-api, bakau, dan pidada. Berdasarkan kawasan, jenis mangrove di Muara Angke adalah: (1) hutan lindung Angke-Kapuk didominasi oleh api-api dan bakau; (2) suaka margasatwa Muara Angke didominasi oleh pidada; (3) taman wisata alam ditanami dengan jenis bakau; dan (4) Lahan dengan tujuan istimewa (LDTI) mencakup: kebun pembibitan kehutanan yang didominasi oleh jenis api-api dan bakau, Cengkareng drain ditanami dengan jenis ketapang, jalur transmisi PLN didominasi jenis api-api, dan jalur hijau tol Sedyatmo didominasi oleh jenis apiapi, bakau, dan pidada. Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah jenis tumbuhan di Muara Angke semakin berkurang. Hal ini terlihat dari kondisi tahun sebelumnya, seperti terlihat dari hasil penelitian Kusmana (1983) yang menyatakan bahwa di Muara Angke terdapat 11 spesies dan penelitian Sukardjo (1981) yang menyatakan bahwa vegetasi mangrove yang terdapat di Muara Angke di dominasi oleh Avicennia
60 mariana, A. alba, A. officinalis, Rhizophora apicullata, R. mucronata, Bruguiera parviflora, Someratia alba, dan Excoecasia aglocha. Berkurangnya
spesies
mangrove
dari
tahun-tahun
sebelumnya
disebabkan oleh adanya perubahan lahan sekitar kawasan Muara Angke yang dialihkan menjadi pertokoan dan perindustrian, perumahan dan beberapa fungsi lainnya yang menyebabkan hilangnya daerah resapan air dan aliran air di muara sungai semakin melambat karena jalur yang ditempuh semakin panjang, sehingga laju sedimentasi di muara semakin meningkat. Jenis mangrove di Muara Gembong yang ditemukan adalah jenis api-api, bakau, dan pidada. Berdasarkan wilayah adminisitrasi, jenis mangrove yang dominan di setiap desa adalah: (1) Desa Pantai Sederhana didominasi oleh bakau dan terdapat pula tanaman sela yaitu jeruju dan piai; (2) Desa Pantai Mekar didominasi oleh bakau dan api-api; (3) Desa Pantai Harapan Jaya didominasi oleh pidada dan bakau; (4) Desa Bakti didominasi oleh didominasi oleh bakau; (5) Desa Pantai Bahagia didominasi oleh bakau; dan (6) Desa Jayasakti didominasi oleh bakau dan api-api. Kegiatan usaha pertambakan telah menyebabkan berkurangnya jenis mangrove. Selain itu faktor alam di beberapa lokasi berupa pantai terbuka menyebabkan anakan mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik di wilayah tersebut. Kondisi ini mendorong perlunya kegiatan rehabilitasi mangrove sehingga jenis mangrove yang ditemukan lebih homogen. Pada tahun 1998 telah dilakukan kegiatan rehabilitasi jalur hijau dengan luasan 5 ha. Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh LPP Mangrove (survey lapang pada Juli 2000), diketahui bahwa kondisi terakhir areal hasil penanaman pada kegiatan rehabilitasi pada tahun 1998 cukup baik (LPP Mangrove, 2000). Komposisi jenis pohon yang terdapat di areal jalur hijau hasil penanaman tahun 1998 terdiri dari jenis Avicennia sp. (permudaan alam), Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa dan Bruguiera gymnorrhiza (hasil penanaman). Jenis pohon yang mendominasi areal ini adalah jenis Avicennia sp. Hutan mangrove di Teluk Naga yang seluas 6,25 ha terletak di Desa Teluk Naga. Jenis mangrove yang ditemukan adalah bakau dan nipa. Saat ini berkembang usaha pembibitan bakau di beberapa lokasi. Hal ini karena masih sesuainya lahan untuk pembibitan bakau
61
Gambar 4. Luas hutan mangrove di Muara Angke
62
Gambar 5. Luas hutan mangrove di Muara Gembong
63
Gambar 6. Luas hutan mangrove di Teluk Naga
64
Kerapatan rendah Kerapatan sedang Kerapatan tinggi
Gambar 7. Tingkat kerapatan vegetasi di Teluk Jakarta
65 Hasil penelitian Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia (2002) menyatakan bahwa vegetasi hutan mangrove di Kabupaten Bekasi masih alami. Jenis-jenis vegetasi yang ada sebanyak 13 jenis, yaitu Avicenna alba, Avicenna officinalis, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Excocaria agallocha, Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum, Derris trifoliate, Chromolaena odorate, Cyperus maritime, Nypa fruticans, Sesuvum portulacastum dan Wedelia biflora. Komposisi jenis tumbuhan dan komponen utama penyusun kawasan hutan mangrove adalah api-api (Avicennia spp), bakau (Rhizophora mucronata) dan pidada (Sonneratia alba). Tumbuhan yang mendominasi adalah Avicenna officinalis dan Rhizophora mucronata. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa Avicenna officinalis memiliki kerapatan relatif (KR) sebesar 30,5% dengan frekuensi relatifnya (FR) sebesar 49,5%, sedangkan Rhizophora mucronata memiliki kerapatan relatif (KR) sebesar 44,2% dan frekuensi relatif (FR) 12,3% (PSK-UI, 2002). Berkurangnya meningkatnya
limbah
spesies rumah
mangrove tangga
ini
dan
diduga industri
sebagai yang
akibat
dari
mengakibatkan
menurunnya kualitas air yang akhirnya mengganggu pertumbuhan dan kehidupan berbagai spesies mangrove dan berbagai tingkatan pada setiap spesies mangrove. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar logam berat dan amonia yang melebihi standar baku mutu yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta (1995), yakni melebihi standar baku mutu lingkungan perairan. Vegetasi hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong berbeda berdasarkan tingkatan vegetasi. Vegetasi hutan mangrove pada tingkat semai didominasi oleh mangrove dari jenis piyae (Acrostichum aureum) dan jenis nipa (Nypa fructicans), dan bakau (Rhizophora mucronata). Vegetasi hutan mangrove tingkat pancang dijumpai didominasi oleh Rhizophora mucronata, Acrostichum auereum dan Acanthus Illicifolius. Vegetasi hutan mangrove tingkat pohon didominasi oleh Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Kondisi vegetasi mangrove tersebut menggambarkan bahwa hutan mangrove di Teluk Jakarta masih baik dan layak untuk dilestarikan. Masih terdapat variasi sejumlah spesies mangrove di lokasi penelitian. Namun jika pertumbuhan hutan mangrove yang ada tidak dijaga dengan baik, maka akan terjadi pengurangan kuantitas maupun kualitas hutan mangrove itu. Secara umum jenis vegetasi mangrove yang terdapat di Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 10.
66
Tabel 10. Spesies mangrove yang ditemukan di Muara Angke, Muara Gembong, Teluk Naga Muara Angke
Spesies Mangrove Jeruju putih (Acanthus ebracteatus) Jeruju hitam (Acanthus ilicifolius) Piai raya (Acrostichum aureum) Piai lasa (Acrostichum speciosum) Teruntun (Aegiceras corniculatum) Api-api (Avicennia alba) Api-api putih (Avicennia marina) Lenggadai (Bruguiera cylindrical) Tancang merah (Bruguiera gymnorrhiza) Buta-buta (Excoecaria agallocha) Nipah (Nypa fructicans) Bakau minyak (Rhizopora apiculata) Bakau merah (Rhizopora mucronata) Bakau (Rhizopora stylosa) Pidada (Sonneratia alba) Pidada (Sonneratia caseolaris)
Muara Gembong √
√ √ √ √ √ √
√
√
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
Teluk Naga
√ √ √ √
√
Sumber: LPP-Mangrove (2004)
2. Hasil analisis kualitas air Kajian mengenai kualitas air difokuskan pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove dan kualitas air untuk perairan umum dan perikanan. Parameter yang digunakan adalah paramater fisika dan kimia. Hasil analisis kualitas air disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Kualitas air di Teluk Jakarta Satuan
Muara Angke
Muara Gembong
Teluk Naga
Baku Mutu
Suhu
Parameter
°C
26,44 – 27,41
28,15 – 28,23
26,10 – 26,49
21,0 – 32,0
Salinitas
‰
26,34 – 26,67
24,73 – 26,00
24,43 – 26,56
0,0 – 35,0
-
7,39 – 7,83
6,78 – 7,70
7,06 – 7,23
6,5 – 8,5
μmhos/cm
1162 – 2300 0,43 – 0,85
79 – 1524
1000 – 3022
-
0,60 – 0,94
0,50 – 0,110
≤ 6,00
pH DHL CO2 bebas
mg/liter
DO
mg/liter
0,21 – 0,13
3,34 – 7,60
3,00 – 4,11
≤ 25,00
BOD
mg/liter
446,10 – 329,12
20,00 – 28,45
25,23 – 39,00
40 – 80
COD
mg/liter
45,22 – 789,0
93,00 – 193,00
56,67 – 180,00
-
Amonia
mg/liter
7,11 – 3,32
0,15 – 0,30
1,98 – 4,23
≤ 0,16
Merkuri
mg/liter
-
0,0004 – 0,0009
-
≤ 0,32
Kadmium
mg/liter
0,001
0,005 – 0,04
0,008 – 0,015
≤ 0,001
Timbal
mg/liter
0,021 – 0,034
0,02 – 0,09
0,07 – 1,00
≤ 0,03
Sumber: Hasil analisis (2005)
67 Stasiun pengamatan di Kecamatan Penjaringan, tepatnya di Desa Muara Angke terdapat di kawasan suaka marga satwa Muara Angke. Kawasan hutan mangrove yang masih tersisa di wilayah Muara Angke dan merupakan lahan basah (wet land) yang lebih dipengaruhi luapan Sungai Angke pada saat pasang surut air laut. Rata-rata suhu di Sungai Angke maupun lahan mangrove adalah 27,4oC pada saat pasang dan 26,4oC pada saat surut. Rata-rata salinitas air adalah 26,3‰ saat surut dan saat pasang mencapai 26,7‰. pH air saat surut adalah 7,4 dan saat pasang adalah 8,3 dengan rata-rata 7,8. Jika dibandingkan dengan baku mutu kualitas air sesuai PP No. 48 tahun 1990 parameter suhu, salinitas dan pH masih dalam batas yang ditolerir namun BOD, COD, amonia, dan logam berat telah melampaui ambang batas. Rendahnya kualitas air tersebut diduga menjadi penyebab langkanya kehidupan biota perairan di kawasan suaka marga satwa Muara Angke. Rusaknya hutan mangrove di kawasan Muara Angke ini juga menyebabkan langkanya air tawar di daratan, karena mengakibatkan terjadinya intrusi air laut ke daratan Penjaringan dan sekitarnya. Muara Gembong merupakan salah satu wilayah yang berada di Teluk Jakarta, yang merupakan daerah yang cukup terlindung dari hempasan ombak dan gelombang pantai Teluk Jakarta. Hal ini menyebabkan kawasan hutan mangrove yang berada di wilayah tersebut masih cukup baik, namun kerusakan terjadi karena perubahan fungsi dari kawasan hutan mangrove menjadi daerah pertambakan. Rendahnya salinitas air ini karena ke lokasi ini banyak masuk air tawar. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tingginya BOD dan COD yang telah melebihi batas ambang untuk air minum baku (lebih dari 6 mg/l). Demikian pula untuk perikanan laut yaitu >20 mg/l (SK Gubernur DKI Jakarta, 1995). Nilai BOD5 relatif tinggi yaitu di muara sungai Citarum yang disebabkan karena buangan rumah tangga dari pemukiman nelayan di perairan estuaria tersebut, serta adanya penimbunan bahan organik yang tidak terbawa arus pada saat pasang. Kadar amonia dan logam berat juga menyebabkan terjadinya hambatan pada pertumbuhan hutan mangrove. Tipe pasut di Kecamatan Muara Gembong sama dengan di Muara Angke yakni tipe pasut tunggal. Sifat fisik tanah pada hutan mangrove Muara Gembong secara umum adalah tipe liat berlempung, permiabilitas lambat, dan drainae
68 terhambat. Kondisi perairan terganggu akibat aktivitas manusia mengubah hutan mangrove menjadi tambak. Kecamatan Teluk Naga dulunya merupakan lokasi hutan mangrove, namun pada tahun 1986 dikembangkan menjadi daerah pertambakan seluas 4.740,8 ha. Akibat konversi lahan tersebut, selain mengakibatkan terjadinya abrasi juga mengakibatkan terjadinya intrusi air laut yang menghancurkan sebagian besar usaha petani. Namun kondisi wilayah yang ada masih memungkinkan untuk menyelamatkan hutan mangrove guna menghindari terjadinya abrasi pantai yang lebih luas. Suhu perairan di hutan mangrove Teluk Naga pada saat pasang yaitu o
26,5 C dan terendah 26,1oC. pH pada saat pasang 7,2 dan pada saat surut 7,1 dengan pH rata-rata 7,2. Parameter BOD, COD, amonia, sangat tinggi sehingga menimbulkan pencemaran perairan. Di lokasi penelitian juga terdapat logam berat kadmium dan timbal yang kadarnya sudah tinggi. Kandungan Cd di perairan berkisar 0,0009 – 0,104 mg/l dengan rata-rata 0,022 mg/l pada saat pasang dan saat surut berkisar 0,008 – 0,013 mg/l dengan rata-rata 0,010 mg/l. Nilai rata-rata ini telah melebihi baku mutu air untuk air minum (Saeni, 2004). Selain logam berat Cd, Logam berat timbal (Pb) juga telah melebihi baku mutu. Kandungan Pb berkisar 0,08 – 1,00 mg/l dengan rata-rata 0,49 mg/l pada saat pasang dan saat surut berkisar 0,07 – 1,00 mg/l dengan rata-rata 0,18 mg/l. Kadar logam berat Pb telah melewati ambang batas sehingga perairan tidak layak untuk air minum, kegiatan perikanan, pertanian, dan peternakan. Kondisi perairan Teluk Naga tersebut memerlukan perhatian terhadap masalah kualitas air guna penyelamatan hutan mangrove yang telah rusak. Terjadinya peningkatan kadar orto-fosfat di perairan disebabkan oleh meningkatnya buangan limbah industri dan rumah tangga, begitu pula halnya dengan parameter logam berat seperti kadmium dan timbal yang meningkat sebagai akibat adanya aktivitas kegiatan industri, gedung tinggi, jalan sempit, dan kemacetan lalu lintas (Saeni, 2004). Selain hal tersebut suhu perairan juga terindikasi meningkat sehingga bisa mengganggu proses fisiologis (metabolisme) tumbuhan mangrove. Pertumbuhan dan perkembangan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Kusmana (2005) menyatakan bahwa berdasarkan berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan penyebaran jenis mangrove sangat berkaitan
dengan
salinitas,
tipe
pasang
dan
frekuensi
penggenangan.
69 Supriharyono (2000) menyatakan bahwa walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia. Dinyatakan bahwa ada empat faktor utama yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove yaitu: frekuensi arus pasang, salinitas tanah, air tanah, dan suhu air. Berdasarkan nilai-nilai kisaran parameter lingkungan tersebut diketahui bahwa mangrove masih dapat tumbuh dengan baik. Dengan nilai kisaran suhu yang diperoleh memungkinkan semua jenis tumbuhan mangrove dapat tumbuh, sehingga memungkinkan untuk menjumpai jenis-jenis mangrove antara lain: Rhizophora racemosa,
apiculata, Xylocarpus ganatum, Sonneratia alba, Limnitzera Bruguera
rymnorhiza,
Rhizophora
stylosa,
dan
Rhizophora
mucronata. Walsh (1974) menyatakan bahwa suhu merupakan pembatas kehidupan mangrove, dengan suhu yang baik tidak kurang dari 20 0C sedangkan kisaran suhu musiman tidak melebihi 50C. Namun demikian suhu yang tinggi (400C), cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan tumbuhan mangrove. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan mangrove adalah salinitas. Kusmana (2000) menyatakan bahwa salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 - 30‰. Nilai salinitas memungkinkan tumbuhan mangrove dengan beberapa jenis dapat tumbuh dengan baik. Faktor lingkungan lain yang menjadi pembatas dalam pertumbuhan mangrove adalah kadar oksigen rendah. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai kisaran kadar oksigen terlarut (DO) yaitu 0,21 – 7,26 mg/l. Nilai tersebut tergolong ideal untuk kebutuhan pertumbuhan mangrove. Apabila kandungan oksigen terlarut rendah maka mangrove memiliki tingkat adaptasi dengan sistem perakaran khas yang dimiliki. Sistem perakaran mangrove dua tipe yakni: tipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora dan tipe tongkat yang mempunyai lentisel. Tingkat kandungan oksigen terlarut yang tinggi memungkinkan bagi tumbuhan mangrove untuk tumbuh dengan baik, dan apabila habitat mengalami kandungan oksigen terlarut yang rendah, maka sistem perakaran tersebut berfungsi untuk mengambil dan mengikat oksigen dari udara.
70 Hasil pengukuran pH diperoleh bahwa rata-rata nilai pH yaitu 6,7 – 7,8. Nilai tersebut merupakan pH netral. Kisaran pH tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove, hal tersebut disebabkan karena pH yang terukur merupakan pH netral dan masih mampu ditolerir atau masih dalam batas toleransi.
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial ekonomi masyarakat pada ketiga wilayah kajian berbedabeda, baik dari struktur perekonomian maupun karakteristik sosial budaya masyarakatnya. Wilayah kecamatan terluas adalah Kecamatan Muara Gembong tetapi memiliki kepadatan penduduk yang paling rendah. Persentase penduduk Kecamatan Muara Gembong juga relatif kecil (1,78%). Kecamatan Penjaringan merupakan wilayah yang terpadat dari tiga lokasi kajian. Kecamatan Teluk Naga relatif kecil dibanding luas wilayah Kabupaten Tangerang. Secara rinci masingmasing wilayah dideskripsikan pada Tabel 12. Tabel 12. Luas wilayah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Penjaringan, Muara Gembong, dan Teluk Naga tahun 2004 Luas wilayah Kecamatan Penjaringan Muara Gembong
Luas (km2)
% terhadap Kabupaten
Penduduk Jumlah (jiwa)
% terhadap Kabupaten
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
35,48
25,42
176.586
15,04
4.977
140,09
11,00
36.109
1,78
258
Teluk Naga 40,58 3,65 106.162 3,20 2.616 Sumber: BPS Jakarta Utara (2006); BPS Bekasi (2006); BPS Tangerang (2006) 1. Muara Angke Secara administratif kawasan hutan mangrove Muara Angke termasuk wilayah Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Luas wilayah Jakarta Utara 139,55 km2, dengan jumlah penduduk tahun 2005 sekitar 1.173.935 jiwa dengan rincian jumlah laki-laki 601.567 jiwa (51,43%) dan jumlah perempuan 572.368 jiwa (48,57%). Tingginya tingkat kepadatan penduduk di Jakarta Utara ini dikarenakan tingkat urbanisasi yang tinggi (Jakarta Utara Dalam Angka, 2005).
71 Luas wilayah Kecamatan Penjaringan 35,49 km2, dengan jumlah penduduk 176.586 jiwa (91.502 jiwa laki-laki dan 85.084 jiwa perempuan), kepadatan penduduk 4.976 jiwa/km2.
Penduduk yang tinggalnya berdekatan
dengan hutan mangrove Muara Angke adalah penduduk yang berada di Kelurahan Pluit, Kelurahan Angke dan Kelurahan Kamal Muara. Disamping itu beberapa anggota masyarakat juga ikut memberikan pengaruh terhadap keberadaan hutan mangrove Muara Angke, seperti Kelurahan Tegal Alur dan Kelurahan Teluk Gong. Penduduk di Kelurahan Pluit mempunyai tingkat pendidikan yang merata mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Mata pencaharian masyarakat di Kelurahan Pluit sebagian besar adalah karyawan (pegawai negeri dan swasta), pedagang, dan nelayan. Keberadaan perumahan Pantai Indah Kapuk dengan segenap sarana prasarananya (rumah sakit, lapangan golf, pertokoan dan lain-lain) telah memberikan dampak langsung terhadap pengembangan wilayah Kelurahan Pluit termasuk pengembangan wilayah Kecamatan Penjaringan.
Di samping itu
adanya Tempat Pelelangan Ikan di Muara Angke, pengolahan ikan asin dan kerang hijau, terminal dan restoran juga merupakan pusat-pusat kegiatan yang memberikan pengaruh besar terhadap kondisi pengembangan wilayah dan peningkatan pendapatan masyarakat. Di samping itu, terbukanya akses dari beberapa potensi obyek wisata di wilayah DKI Jakarta (Taman Impian Jaya Ancol, Mangga Dua, Glodok, Mega Mall Pluit, Anggrek Mall, Senayan Plaza, Bandara Sukarno Hatta) menuju wilayah Kelurahan Pluit dan SM Muara Angke, memberikan peluang besar untuk dapat mengembangkan kegiatan pendidikan lingkungan dan wisata terbatas, serta mengembangkan kegiatan ekonomi yang mendukung kegiatan wisata di Kelurahan Pluit dan Kecamatan Penjaringan. 2. Muara Gembong Kecamatan Muara Gembong berada di utara Kabupaten Bekasi yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa, memiliki luas wilayah 140,09 km2 dan merupakan kecamatan terbesar di Kabupaten Bekasi.
Jumlah penduduknya
mencapai 36.108 jiwa dengan kepadatan 258 jiwa /km2. Panjang pantai di Kecamatan Muara Gembong adalah 17 km. Hutan mangrove yang dimiliki saat ini luasnya 330,24 ha. Luas tambak yang ada di
72 kecamatan ini seluas 6.714,94. Sarana dan prasarana yang ada di kecamatan ini adalah satu buah Tempat Pelelangan Ikan. Kabupaten Bekasi yang merupakan penyangga DKI Jakarta mempunyai nilai lokasi strategis untuk rencana pembangunan di masa yang akan datang. Kegiatan ekonomi yang diselenggarakan di DKI Jakarta akan mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung 3. Teluk Naga Kecamatan Teluk Naga terletak di daerah pesisir Teluk Jakarta. Sebagian wilayahnya berada di pinggir pantai, sedangkan sebagian wilayah berupa dataran.
Jumlah penduduk di Kecamatan Teluk Naga adalah 113.696 jiwa,
dengan kepadatan adalah 2.399 jiwa per km2, dimana kepadatan tertinggi terdapat di Desa Kampung Melayu Barat dan kepadatan terendah di Desa Muara. Pendapatan per kapita penduduk adalah Rp4.585,07. Luas areal hutan di Kecamatan Teluk Naga adalah 620 ha dimana hutan milik negara seluas 10 ha, tanah adat 223 ha dan hutan milik Perum Perhutani 387 ha.
Luas pertambakan di kecamatan ini adalah 527 ha. Sarana dan
prasarana transportasi yang ada di kecamatan ini adalah jalan desa 36.907,86 m, jalan penghubung antar desa sepanjang 596 m. Dermaga kapal sebanyak 4 buah, yang mendukung kelancaran akses ke pulau-pulau yang terletak di Kepulauan Seribu (BPS Kabupaten Tangerang, 2005). Struktur perekonomian di wilayah sekitar Teluk Jakarta bervariasi pada setiap lokasi. Namun demikian, ketiga lokasi memiliki karakteristik yang sama yakni peran sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan relatif kecil. Sektor yang memberikan sumbangan terbesar adalah industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. Di Jakarta Utara, peran sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan hanya mencapai 0,16%. Demikian pula dengan sumbangan sektor ini terhadap
perekonomian
Kabupaten
Bekasi
yang
hanya
2,25%.
Laju
pertumbuhan sektor ini di ketiga wilayah semakin menurun. Hal ini merupakan ancaman terhadap kelestarian kawasan mangrove yang memiliki fungsi ekologis penting. Distribusi PDRB pada tiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13.
73 Tabel 13. PDRB Jakarta Utara, Bekasi, dan Tangerang tahun 2004 atas harga dasar konstan tahun 2000 Lapangan usaha Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan
Jakarta Utara Juta Rupiah
Bekasi
%
Juta Rupiah
Tangerang %
Juta Rupiah
%
86.096
0,16
841.132
2,25
1.470.664
9,76
Pertambangan dan penggalian
-
-
482.680
0,13
12.597
0,08
Industri pengolahan
24.802.860
47,10
30.023.618
80,33
805.809
1,53
681.015
1,82
946.300
0,06
Bangunan
4.578.281
8,69
406.365
1,09
285.067
1,89
Perdagangan, hotel, dan restoran
9.487.044
18,02
3.353.750
8,97
1.878.403 12,46
Pengangkutan dan komunikasi
5.886.604
11,18
520.089
1,39
1.084.697
7,20
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
3.105.511
5,90
350.431
0,94
381.079
2,53
Jasa-jasa
3.907.100
7,42
718.565
1,92
641.731
4,26
Listrik, gas, dan air bersih
Jumlah
52.659.305 100,00
37.377.649 100,00
8.370.263 55,54
15.070.780 100,00
Sumber: BPS Jakarta Utara (2006); BPS Bekasi (2006); BPS Tangerang (2006)
4.4 Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi yaitu Muara Angke Muara Gembong dan Teluk Naga dan berdasarkan hasil data sekunder yang relevan dengan topik penelitian, ditemukan beberapa permasalahan pokok yang dapat mengancam kelestarian hutan Mangrove. 1. Degradasi hutan mangrove Hutan mangrove di kawasan Muara Angke yang berstatus hutan lindung tahun 1995 seluas 50,80 ha dan tahun 1999 luasan menyusut menjadi 44,76 ha atau berkurang 6,04 ha selama 5 tahun atau 1,21 ha per tahun. Demikian juga hutan wisata Muara Kamal dari 101,60 ha berkurang 99,82 ha atau menyusut 1,78 ha atau 0,36 ha per tahun. Hutan mangrove cagar alam Muara Angke relatif tetap yaitu 25,25 ha. Di Muara Gembong luasan hutan mangrove dari 9.749,9 ha menjadi 3.320 ha berarti menyusut menjadi 6.429,90 ha. Rusaknya hutan mangrove berarti terganggunya penyediaan serasah dalam perairan yang sangat dibutuhkan untuk tumbuhnya mikroorganisme. Disamping itu terganggunya daerah pengasuhan (nursery ground), daerah
74 mencari pakan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spanning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya. Lokasi Muara Angke, Muara Gembong dan Teluk Naga yang memiliki hutan mangrove menjadi sangat rentan terhadap meningkatnya jumlah penduduk, terutama untuk pemukiman dan pemenuhan kebutuhan hidupnya misalnya untuk tambak. Akibatnya pantai terancam terjadi abrasi dan sedimentasi, bahkan pencemaran dari sampah rumah tangga dan domestik tidak dapat
dikendalikan.
Hal
ini
akan
mengganggu
kelestarian
lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi dapat dilacak, ditemukan permasalahan lingkungan hutan mangrove sebagaimana tertera pada Tabel 14. Tabel 14. Permasalahan lingkungan hutan mangrove di Teluk Jakarta Muara Angke
Muara Gembong
Teluk Naga
- Dikonversi menjadi permukiman. - Di sebelah timur ada pemukiman nelayan dan di selatan pantai indah kapuk, - Abrasi dan sedimentasi - Pencemaran dari sampah dan limbah industri.
- Luas hutan mangrove menyusut - Kawasan pantai yang berhadapan dengan ombak dan gelombang besar sehingga terjadi abrasi dan sedimentasi - Eksploitasi hutan mangrove untuk kepentingan ekonomi sesaat.
- Hutan mangrove telah rusak - Terjadi abrasi dan sedimentasi - Pencemaran air, akumulasi sampah dan limbah - Wilayah pesisir dari utara ke selatan tidak ada hutan mangrove - Kualitas air rendah, kotor, warna hitam dan bau - Penambangan pasir laut. - Pembangunan fasilitas wisata
Sumber: Hasil survey lapangan (2006) 2. Permasalahan sosial ekonomi Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove, yang menilai mangrove tidak memiliki nilai berharga, sehingga keberadaan pohon mangrove dibabat untuk kepentingan kayu bakar, bahan bangunan, bahan arang dan bahan kertas (pulp). Pada umumnya hutan mangrove seperti di Muara Gembong dan Teluk Naga digunakan usaha tambak, bahkan ada anggapan dengan semakin luas membabat mangrove, areal tambak menjadi luas dan produksinya meningkat. Hutan mangrove sangat rentan terhadap kegiatan manusia untuk tambak, persawahan dan pemukiman. Faktor sosial lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah aspek kepemilikan lahan. Di Muara Gembong, sebagian besar lahan budidaya telah menjadi milik pengusaha dari luar Muara Gembong untuk
75 dijadikan lahan budidaya perikanan. Tenaga kerja di usaha budidaya perikanan tersebut adalah masyarakat Muara Gembong yang belum memiliki lahan. Petani juga menggarap lahan hutan milik Perum Perhutani dengan sistem sewa lahan. Pendapatan petani masih relatif rendah. Keuntungan lebih banyak diperoleh pedagang dan pemilik lahan. Dukungan pendanaan untuk melestarikan hutan mangrove relatif kurang karena apresiasi penentu kebijakan terhadap pelestarian hutan mangove masih rendah. Pada umumnya pertimbangan pendanaan lebih diarahkan pada sektorsektor yang memberikan hasil ekonomi secara langsung. Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi ditemukan permasalahan sosial ekonomi masyarakat hutan mangrove secara rinci sebagaimana tertera pada Tabel 15. Tabel 15. Permasalahan sosial ekonomi hutan mangrove di Teluk Jakarta Muara Angke
Muara Gembong
- Tingginya permintaan sumber daya lahan untuk pemukiman. - Pembabatan mangrove untuk kayu bakar, konstruksi, dan pembuatan arang. - Partisipasi masyarakat rendah. - Belum memiliki data dan informasi mangrove yang lengkap - Keterbatasan wawasan terhadap manfaat dan fungsi hutan mangrove
- Tidak taatnya petambak terhadap kontrak dengan Perum Perhutani - Tingginya kebutuhan masyarakat untuk lahan tambak. - Kesenjangan ekonomi antara penduduk Jakarta dengan penduduk Muara Gembong.
Teluk Naga - Terjadi penggalian pasir laut untuk kepentingan ekonomi - Keinginan Pemda guna meningkatkan PAD sehingga mengkonversi hutan mangrove - Tekanan jumlah penduduk mengganggu lahan hutan mangrove
Sumber: Hasil survey lapangan (2006) 3
Konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan Pengelolaan hutan mangrove terdiri atas dua fungsi utama yaitu pertama
sebagai fungsi lindung yang diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi pengaturan tata air, pencegahan intrusi air laut, polusi, perlindungan terhadap angin, abrasi pantai dan mempertahankan habitat biota akuatik dan terrestrial. Kedua, pengelolaan hutan mangrove dengan fungsi pelestarian diselenggarakan
dengan
tujuan
untuk
menjaga
kemurnian,
keunikan
keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem hutan mangrove. Dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian hutan mangrove diupayakan dapat terintegrasi dengan kepentingan dan hak masyarakat sekitarnya.
76 Permasalahan utama dalam pengelolaan hutan mangrove yang berkaitan dengan upaya kelestarian fungsinya adalah perambahan hutan mangrove dalam bentuk perubahan status kawasan untuk keperluan perluasan tambak yang dilakukan secara besar-besaran oleh pihak swasta atau secara sporadis oleh masyarakat untuk keperluan permukiman, kawasan industri dan keperluan lain serta pengambilan kayu oleh masyarakat. Luas kawasan hutan mangrove di Muara Angke, kondisinya banyak mengalami tekanan berupa pencemaran dan perambahan. Selain itu belum ditemukan formula yang cukup memadai untuk menghentikan atau menghambat upaya perambahan yang dilakukan secara sistematis dan sporadis. Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir Teluk Jakarta mengalami konflik antar
stakeholder.
Konflik
pemanfaatan
terjadi
secara
horisontal
antar
masyarakat dan pengusaha, dan konflik vertikal antar pemerintah daerah. Konflik di Muara Gembong dan di Teluk Naga akibat belum memiliki status hutan yang jelas. Sosialisasi kebijakan bagi para petambak dan masyarakat kurang efektif sehingga tetap menimbulkan pola pemanfaatan yang berlebihan. Pantai Utara Jakarta yang terbentang sepanjang 32 km, akan direklamasi dengan mengambil lebar dari bibir pantai ke arah laut sejauh 1,5 km dan kedalaman maksimal 8 m. Artinya seluruh lahan reklamasi akan menghabiskan lahan seluas 2.500 ha. Rencananya, diatas lahan reklamasi itu, selain untuk pembangunan kegiatan industri, juga untuk fasilitas kegiatan pariwisata, perkantoran, pusat bisnis, sarana transportasi dan perumahan penduduk untuk 750. 000 jiwa. Kawasan ini meliputi Kabupaten Bekasi di timur hingga Kabupaten Tangerang di sebelah barat. Kawasan reklamasi tersebut diapit dua sungai besar yang berpotensi sebagai sumberdaya air, yakni sungai Citarum di timur dan sungai Cisadane di barat. Juga terdapat 13 sungai kecil lainnya yang bermuara ke teluk Jakarta. Untuk mereklamasinya dibutuhkan 335 juta meter kubik bahan urukan, termasuk pasir. Untuk pemenuhan deposit pasir laut ini, berdasarkan studi terdapat di Tanjung Burung, pulau Tidung, TanjungKait,TanjungPontang, pantai Cemara, pasir Putih, serta bekas pertambangan timah di pulau Bangka dan Belitung. Kawasan
reklamasi
tengah
diperuntukkan
sebagai
pusat
bisnis,
perkantoran, industri, pergudangan dan apartemen yang akan dimulai dari sekarang hingga 2010, dan untuk perumahan dan pariwisata, lahan reklamasi
77 yang disediakan adalah bagian barat dan timur, yang akan dibangun mulai 2005 sampai 2015. Pemda DKI Jakarta belum menilai biaya kerusakan ekosistem seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang, ikan dan ekosistem laut yang akan hilang dari kawasan ini. Hilangnya cagar alam Muara Angke yang selama ini berfungsi
ekologis
strategis
bagi
Jakarta.
Hilangnya
mata
pencarian
pembudidaya ikan yang memanfaatkan teluk Jakarta selama ini, tidak menjadi bahan pertimbangan. Sementara keahlian mayoritas di kawasan itu adalah budidaya dan menangkap ikan. Dalam peraturan daerah tentang RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) 1960 - 1985 maupun RUTR 1985 – 2005 tidak terdapat rencana reklamasi pantura. Landasan hukum reklamasi Pantura adalah Keppres No. 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantura. Dalam Peraturan Daerah No. 6 tahun 1999 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010 muncul ketentuan tentang reklamasi pantura. Alih fungsi lahan terjadi karena tidak tegasnya penegakan hukum mengenai ketaatan terhadap rencana tata ruang yang telah disusun. Alih fungsi lahan terjadi khususnya untuk hutan mangrove di Muara Angke untuk permukiman dan pedagangan, di Muara Gembong untuk kegiatan pertambakan, dan di Teluk Naga untuk kegiatan pertambakan dan industri. Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan mangrove di Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan mangrove di Teluk Jakarta Muara Angke - Konflik pemanfatan untuk permukiman dan kawasan lindung - Reklamasi kawasan Pantura Jakarta
Muara Gembong - Terjadi konflik pemanfaatan kepentingan lahan antar petambak dengan Perum Perhutani, dan Perum Perhutani dengan Pemda. - Belum ditetapkan status dan fungsi hutan mangrove
Teluk Naga - Dikonversi menjadi lahan tambak dan penambangan pasir laut - Terjadi penggalian pasir laut untuk kepentingan ekonomi
4. Permasalahan kelembagaan dan kebijakan Penentu dan pembuat kebijakan yang kurang mempertimbangkan nilai dan fungsi hutan mangrove merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerusakan mangrove di Teluk Jakarta. Salah satu indikasi dari hal tersebut
78 adalah pemanfaatan ruang yang tidak konsisten dengan RTRW. Disamping itu sosialisasi
kebijakan
dalam
pelestarian
hutan
mangrove
belum
diimplementasikan secara tepat sehingga masyarakat belum sepenuhnya mengetahui adanya kebijakan tersebut. Kelembagaan pemerintah di Muara Angke, Muara Gembong, dan Teluk Naga belum berperan secara tepat, untuk itu perlu ditingkatkan kapasitasnya. Sampai saat ini belum ada kelembagaan yang memiliki kewenangan dan tugas pokok dalam mengelola dan melestarikan hutan mangrove pada wilayah Teluk Jakarta secara terpadu. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih kegiatan di tingkat lapangan dan tidak jelasnya penanggung jawab jika terjadi permasalahan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan permasalahan kelembagaan hutan mangrove di Teluk Jakarta sebagai berikut: (1) Belum ada lembaga yang terpadu mengelola Teluk Jakarta; (2) Lembaga sosial ekonomi belum berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (3) Belum didukung data dan informasi tentang hutan mangrove; (4) Belum ada kebijakan mendorong pemanfaatan
lahan
secara
optimal
dan
berkelanjutan
dengan
tetap
memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove; (5) Adanya egoisme sektoral, tugas dan kewenangan dari masing-masing instansi terkait; (6) Peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik antar instansi, pengusaha, dan masyarakat belum optimal; dan (7) Rencana tata ruang wilayah pesisir yang disepakati oleh tiga wilayah administrasi di Teluk Jakarta belum ada. Peraturan berfungsi stakeholder
dalam
sebagai faktor yang
melakukan
pemanfaatan
mempengaruhi perilaku
hutan
mangrove.
Kinerja
pengelolaan hutan mangrove merupakan output dari peraturan. Terdapat 67 peraturan yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan pengelolaan hutan mangrove. Hirarki peraturan mulai dari UU hingga peraturan desa, yang berdasarkan pengaturannya terdiri atas: pengalokasian distribusi kewenangan pengelolaan hutan mangrove; pengaturan substansi penentuan kawasan hutan mangrove dan konversi mangrove; pengaturan pemanfaatan hutan mangrove; pengaturan rehabilitasi hutan mangrove; dan perlindungan serta pengamanan hutan mangrove. Secara garis besar pengaruh berbagai peraturan terhadap kinerja pengelolaan hutan mangrove disajikan pada Tabel 17.
79 Tabel 17. Pelaksanaan peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di sekitar Teluk Jakarta Peraturan PP Nomor 69 Tahun 1996
PP Nomor 70 Tahun 1996
PP Nomor 15 Tahun 1990 jo. No. 141/2000 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2000 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 09/Men/2001
Bidang isi Pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang Pelabuhan
Usaha perikanan Perijinan usaha perikanan
Intensifikasi budidaya udang pada rawa dan payau Keputusan Menteri Penentuan Keuangan No 174/KMK. klasifikasi dan 04/1993 besarnya nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan PBB Keputusan Gubernur Penguasaan, Jawa Barat No. 593/Kep peruntukkan dan 518/Huk/1988 penggunaan tanah timbul di Provinsi Jawa Barat
Pelaksanaan PERDA No. 5 tahun 2003 tidak melibatkan masyarakat sekitar hutan mangrove, Relokasi pelabuhan Tanjung Priok ke wilayah pantai utara Kab. Bekasi Diimplementasikan pada areal garapan dan penggarap memperoleh insentif Dalam tataruang mangrove dialokasikansebagai kawasan pelabuhan Mangrove dikategorikan sebagai tanah yang tidak terlalu produktif,nilai jualnya sdh sama dengan kelas terendah. Duplikasi pengaturan kawasan mangrove terutama yang tidak ada tanamannya karena dianggap sebagai tanah timbul
SK Dirut Perum Perhutani
Pengelolaan hutan Diterapkan pada bersama masyarakat kegiatan pengelolaan hutan mangrove
Perda Kabupaten No.44 Bekasi No5 2003. SK Kepala Unit III No. 2201/Kpts/III/1997 SKB Bupati Bekasi, dan KKPH Bogor No.5 /SPK/Ek/236.3/VIII19 85 dan No. 059.7/Bgr/Ill. PERDES Harapan Jaya, Panti Bahagia, Pantai Bakti, Pantai Mekar dan Pantai Sederhana
Tata ruang kawasan Mangrove tidak khususnya Pantura dijadikan sebagai kawasan lindung Petunjuk kerja GRPKH Kerjasama pelestarian mangrove Penolakan program pengelolaan hutan mangrove yang diinisiasi Perhutani
Sumber: Suhaeri (2005)
Dilaksanakannya sejak tahun 1999. Merehabilitasi 5.700 ha lahan kritis di kawasan hutan mangrove Penebangan mangrove pada lahan garapan dan penggarap tidak menanam mangrove pada lahan garapan
Kinerja Menimbulkan keraguan status hutan mangrove dan peluang bagi free rider untuk memperjualbelikan lahan garapan. Kawasan ini termasuk dalam daerah lingkungan kepentingan pelabuhan. Perubahan pola pemanfaatan dari tambak tumpangsari menjadi tambak intensif. Kuota pemanfaatan melewati 4 kali lebih besar dari 2.156,71 ha menjadi 8.431,55 ha. Mangrove dianggap bernilai apabila bermanfaat dalam jangka pendek
Tanah timbul yang berbatasan dengan lahan objek land reform. Terjadi dualisme lembaga hak pemilikan dan tidak bisa diekslusinya 530 penggarap illegal Hutan mangrove yang tersisa antara 330,24 – 1.195,28 ha, karena hak kepemilikan menimbulkan ketidakpastian Penggarap tidak taat aturan main kontrak Hasil reboisasi 21,68 ha/tahun dengan laju pemanfaatan mangrove 255,44 ha/tahun. Hutan yang tersisa 386,21 ha. Tanaman mangrove hanya disisakan pada pematang tambak berkisar antara 5 – 10 pohon/lahan garapan
80 Permasalahan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta yaitu: (a) adanya interaksi yang tinggi dari masyarakat karena kebutuhan akan lahan menyebabkan alih fungsi lahan hutan menjadi tambak, sawah, pemukiman, dan kebun; (b) lebih dominannya pertimbangan ekonomi sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan; (c) kurangnya dukungan Pemda dalam hal penegakan hukum; (d) belum samanya persepsi tentang eksistensi hutan mangrove, baik status maupun fungsi; dan (e) rendahnya tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan mangrove.
4.5 Persepsi dan Keinginan Masyarakat Aspirasi para pihak (pemerintah, pengusaha, LSM, dan masyarakat) perlu dikumpulkan dan dikaji secara bersama-sama melalui. Mekanisme penyaringan aspirasi perlu dipandu fasilitator atau tenaga ahli yang menguasai permasalahan tentang pengembangan kebijakan dan kapasitas kebijakan secara tepat yang dapat menyelamatkan hutan mangrove serta prinsip-prinsip pengusahaan yang mampu mendorong peran serta para pihak secara adil, transparan dan berwawasan lingkungan kebijakan pembangunan daerah dan pengembangan kapasitas kebudayaan dalam penyelamatan hutan mangrove. 1. Muara Angke Hasil wawancara terhadap keinginan 100 responden di kawasan Hutan Muara Angke dan wilayah sekitarnya menunjukkan bahwa diperlukan adanya penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh guna menjaga kelestarian hutan mangrove pada saat ini dan di masa yang akan datang. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove di Muara Angke, 30,0% responden menyatakan sangat setuju untuk menjaga dan melindungi hutan mangrove guna menghindari kerusakan, 65,6% menyatakan setuju, 3,2% kurang setuju, 1,0% tidak setuju, serta 0,2% menyatakan sangat tidak setuju secara rinci seperti tertera pada Tabel 18. Kenyataan ini menggambarkan bahwa dalam mengembangkan hutan mangrove di kawasan suaka marga satwa dan wilayah sekitarnya diperlukan peran serta masyarakat. Untuk itu maka sangat diharapkan adanya upaya perlindungan hutan mangrove secara efisien dan efektif guna menghindari kerusakan yang berkepanjangan yang pada akhirnya akan berakibat pada perubahan situasi lingkungan.
81 Tabel 18. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Angke Jumlah Responden Pertanyaan
Sangat Kurang Tidak Setuju Setuju Setuju Setuju
Penyelamatan hutan mangrove Zonasi dalam mangrove
Sangat Tidak Setuju
50
46
4
0
0
pemanfaatan
hutan
20
72
5
3
0
mangrove
bagi
19
79
1
1
0
Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada didalamnya
36
61
2
1
0
Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove
25
70
4
0
1
Jumlah
150
328
16
5
1
Persentase (%)
30,0
65,6
3,2
1,0
0,2
Manfaat hutan masyarakat
Sumber: Hasil analisis (2006) Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove tergolong tinggi yakni mencapai 96%. Hal ini menunjukkan besarnya ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumberdaya hutan mangrove. Dalam kegiatan pengelolaan,
masyarakat
perlu
dilibatkan
secara
substantif.
Persentase
masyarakat yang menyatakan bahwa partisipasi masyatakat dibutuhkan mencapai 95%. Kondisi ini menunjukkan perlunya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove dari waktu ke waktu. Selain itu secara langsung juga akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan pada lokasi tersebut. Untuk itu perlu diupayakan kembali peningkatan luas dan kerapatan hutan mangrove dalam rangka mengantisipasi perubahan lingkungan yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove tersebut. Penyebaran hutan mangrove secara baik dapat ditentukan oleh kondisi ekologi hutan dan habitat dari jenis hutan mangrove tersebut (Istomo, 1992; Dahuri, 2003). Kawasan hutan mangrove Muara Angke merupakan salah satu jenis hutan kota yang masih relatif terpelihara dengan baik di wilayah Jakarta Utara. Oleh karena itu diharapkan adanya perlindungan guna penyelamatan hutan pada masa yang akan datang.
82 Tabel 19.
Keinginan stakeholder terhadap pengembangan kawasan hutan mangrove di Muara Angke Jumlah Responden
Persentase (%)
Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove
26
26,0
Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut
31
31,0
Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut
18
18,0
Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan
11
11,0
Meningkatkan lapangan kerja
6
6,0
Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan
8
8,0
100
100,0
Keinginan Stakeholder
Jumlah
Sumber: Hasil analisis (2006) Kegiatan pembangunan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembangunan dalam berbagai sektor cukup menentukan keberhasilan suatu pembangunan. Pada penelitian ini terlihat bahwa masyarakat yang berkeinginan meningkatkan sarana pembangunan hanya 11,0%. Rustiadi et al., (2004)
menyatakan
bahwa
semakin
meningkat
sarana
dan
prasarana
infrastruktur penunjang pembangunan merupakan suatu pertanda bahwa daerah tersebut maju dan berkembang dari waktu ke waktu, serta dalam berbagai sektor pembangunan juga meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat Susilo (2003) bahwa peningkatan sarana dan prasarana pembangunan di desa yang berdekatan tidak sama, sehingga perkembangan
desa tersebut juga beda.
Untuk itu pada penelitian ini selain kondisi lingkungan yang diperlukan dalam peningkatan suatu kawasan hutan mangrove, faktor penting lain yang
perlu
diperhatikan adalah peningkatan sarana dan prasarana untuk pengembangan kawasan hutan tersebut. Terpeliharanya kawasan hutan mangrove di Muara Angke dan wilayah sekitarnya yang ditunjang dengan peningkatan sarana dan prasarana yang ada di dalamnya, maka diharapkan akan dapat menggenjot subsektor tenaga kerja melalui ketersediaan lapangan kerja. Keadaan ini sangat diharapkan oleh masyarakat yang berada di sekitar wilayah kawasan hutan mangrove, seperti yang terlihat pada Tabel 19 yang menunjukkan adanya persentase responden sebesar 26,0%.
83 Partisipasi
masyarakat
secara
langsung
dalam
setiap
kegiatan
pembangunan merupakan bentuk interaksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat juga sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan dalam pembangunan di setiap subsektor. Soetrisno (1995) menyatakan bahwa partisipasi
masyarakat dalam pembangunan merupakan
kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. 2. Muara Gembong Hasil wawancara di Kecamatan Muara Gembong secara umum terlihat bahwa keinginan stakeholder untuk menyelamatkan hutan mangrove cukup besar. Sebanyak 60% responden menginginkan perlunya menjaga kelestarian hutan mangrove dan melakukan rehabilitasi mangorve yang sesuai dengan kondisi lokasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove Muara Gembong Jumlah Responden
Persentase (%)
Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove
30
30,0
Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut
29
29,0
Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut
5
5,0
Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan
10
10,0
Meningkatkan lapangan kerja
11
11,0
Dalam pengelolaan melibatkan masyarakat
15
15,0
100
100,0
Keinginan Stakeholder
Jumlah
Sumber: Hasil analisis (2006) Tabel 21 menunjukkan bahwa dalam upaya penyelamatan hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong, maka kelestarian hutan mangrove perlu dijaga dengan mencegah terjadinya konversi lahan menjadi peruntukan lain secara berlebihan, kualitas perairan perlu dijaga dari buangan limbah rumah tangga mengingat umumnya masyarakat Kecamatan Muara Gembong hidupnya di pesisir pantai Kecamatan Muara Gembong. Aktifitas lain yang diinginkan masyarakat adalah melakukan penanaman kembali anakan berbagai jenis
84 mangrove guna mencegah berkurangnya berbagai jenis hutan mangrove di pesisir Muara Gembong. Dalam rangka penyelamatan hutan mangrove, pelibatan masyarakat sangat dibutuhkan baik sebagai penyedia tenaga kerja maupun untuk mengambil keputusan dalam pelaksanaan setiap kegiatan di wilayah pesisir. Tabel 21. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Gembong Jumlah Responden Pertanyaan
Sangat Kurang Tidak Setuju Setuju Setuju Setuju
Sangat Tidak Setuju
Penyelamatan hutan mangrove
27
68
2
2
1
Zonasi dalam pemanfaatan hutan mangrove
22
70
5
2
1
Manfaat hutan mangrove bagi masyarakat
22
74
2
1
1
Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada didalamnya
23
58
11
3
5
Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove
15
75
10
0
0
Jumlah
109
345
30
8
8
Persentase (%)
21,8
69, 0
6,0
1,6
1,6
Sumber: Hasil analisis (2006) Persepsi responden masyarakat (90,8%) Kecamatan Muara Gembong menginginkan adanya perhatian yang serius terhadap kelestarian hutan mangrove. Persepsi ini berkembang karena lahan yang semulanya merupakan lahan hutan mangrove dialihkan menjadi peruntukan lainnya. Peralihan lahan hutan mangrove menjadi peruntukan lainnya semakin berkembang di Kecamatan Muara Gembong sejalan dengan keluarnya Perda Kabupaten Bekasi No. 5 tahun 2003 tentang rencana tata ruang kawasan
khusus pantai
utara.
Penilaian
secara ekonomis yang hanya sesaat, Perda ini sangat menguntungkan karena membuka lapangan kerja baru, meningkatnya basis-basis pertumbuhan ekonomi untuk sub sektor perhubungan, industri, pariwisata, dan perikanan
namun
secara ekologis menimbulkan kerusakan pada lahan hutan mangrove yang berdampak pada terjadinya abrasi pantai.
85 Menurut McNelly (1992) dan Suhaeri (2005) peranan hutan mangrove belum mendapat penghargaan sebagaimana mestinya, sebagaimana terlihat di Kecamatan Muara Gembong. Total PDRB yang bersumber dari mangrove terus mengalami peningkatan, namun penghargaan mangrove baru dinilai dari kontribusi langsung komoditas kehutanan dan belum dinilai secara utuh sebagai ekosistem. Tingkat kerusakan hutan mangrove semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan perubahan lahan hutan mangrove menjadi peruntukan lain sekaligus peningkatan lapangan usaha. 3. Teluk Naga Kondisi kawasan pesisir pantai utara (Pantura) Kabupaten Tangerang, DKI Jakarta dan Bekasi telah lama memburuk serta tampak tak terurus dan cenderung
terabaikan sehingga telah kehilangan kemampuannya
sebagai
agen perlindungan ekosistem pantai. Adanya reklamasi pantai di lokasi tersebut yang dirintis sejak jaman pemerintahan Soeharto, Sejalan dengan itu, dalam rangka
memperbaiki pantai yang rusak ke kondisi semula, telah dilakukan
kegiatan
membersihkan
tumbuhannya,
sampah
khususnya
yang
berlebihan
mengembalikan
dan
kemampuan
memperkaya
fungsi
sebagai
penyangga ekosistem dan perlindungan pantai, maka pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 32 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 47 tahun 1997 merupakan kawasan lindung sempadan pantai. Kenyataannya kebijakan tersebut disalahartikan karena dengan adanya reklamasi, dengan tujuan untuk pembangunan water front city serta pusat bisnis, bahkan secara illegal diikuti oleh pengembang dengan dalih adanya ijin seperti pemerintah Kabupaten Tangerang untuk membangun pusat wisata. Dengan perubahan ini, maka sebagian besar lahan di pesisir Kabupaten Tangerang menjadi rusak berat dan secara langsung berakibat pada rusaknya lahan hutan mangrove. Hal ini sudah disadari oleh masyarakat setempat (pesisir Kabupaten Tangerang),
sehingga
95%
diantara
mereka
mengatakan
perlunya
menyelamatkan kondisi kawasan pesisir dan ekosistem hutan mangrove dari kerusakan yang berkepanjangan. Hanya
sebagian
masyarakat
yang
mempunyai
keinginan
untuk
menyelamatkan hutan mangrove di Teluk Naga. Dari Tabel 22 juga terlihat adanya sejumlah responden yang tidak
memahami manfaat dari pelestarian
hutan mangrove. Hal ini terjadi karena didesak oleh keterbatasan lapangan
86 kerja dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga meskipun kawasan pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang telah memburuk di Kecamatan Teluk Naga masih ada responden yang kurang mendukung upaya penyelamatan hutan mangrove, secara rinci seperti tertera pada Tabel 22. Tabel 22. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Teluk Naga Jumlah Responden Sangat Setuju
Setuju
Kurang Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Penyelamatan hutan mangrove
15
85
0
0
0
Zonasi dalam pemanfaatan hutan mangrove
20
64
5
6
5
Manfaat hutan masyarakat
bagi
23
70
3
4
0
Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada di dalamnya
33
55
8
1
3
Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove
40
60
0
0
0
Jumlah
131
334
16
11
8
Persentase (%)
26,2
66,8
3,2
2,2
1,6
Pertanyaan
mangrove
Sumber: Hasil analisis (2006) Data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang (2005) luas abrasi di pantai utara Kabupaten Tangerang telah mencapai
193 ha
lebih.
Kawasan yang terkena abrasi membentang sepanjang 52 km dengan garis pantai yang telah bergeser antara 15 sampai 50 m ke arah daratan. Abrasi pantai di pesisir utara Kabupaten Tangerang terjadi sangat parah, mulai dari Tanjung Kait di bagian barat sampai Tanjung Pasir dan Teluk Naga di bagian timur tak luput dari penggalian pasir yang membuahkan abrasi pantai. Hal ini juga terlihat dari pemandangan di sepanjang jalan raya pantai utara Kabupaten Tangerang sepanjang kurang lebih 15 km dari Tanjung Kait menuju Tanjung Pasir banyak didapati empang-empang maupun cekungan bekas penambangan pasir. Stakeholder di Kecamatan Teluk Naga pada umumnya menginginkan adanya perhatian khusus pada kawasan hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan serius (Tabel 23).
87 Tabel 23. Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga Jumlah Responden
Persentase (%)
Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove
46
46,0
Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut
21
21,0
Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut
14
14,0
Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan
2
2,0
Meningkatkan lapangan kerja
7
7,0
Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan
10
10,0
Jumlah
100
100,0
Keinginan Stakeholder
Sumber: Hasil analisis (2006)
Masyarakat di pesisir Kecamatan Teluk Naga telah menyadari bahwa kawasan hutan mangrove di pesisir Kecamatan Teluk Naga telah rusak berat. 46% responden masyarakat mengharapkan adanya perhatian serius terhadap perbaikan kawasan hutan mangrove, dan 21% dari mereka perlu menanam kembali jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut, disamping itu 10% dari mereka mengharapkan adanya keterlibatan masyarakat
dalam setiap
aktivitas kegiatan pembangunan.
4.6 Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Teluk Jakarta Sebagai salah satu negara yang memiliki tekanan penduduk dan ekonomi yang tinggi di daerah pantai, pemerintah Indonesia memandang bahwa wawasan dan kesepakatan mangrove harus di dasarkan pada pertimbangan nilai ekologi, sosial dan budaya (Alikodra, 2000). Permasalahan utama dalam pengelolaan mangrove secara lestari sangat tergantung pada keharmonisan diantara ketiga komponen tersebut. Manfaat mangrove secara terhadap kepentingan bangsa dan masyarakat setempat sudah didokumentasikan dengan baik sekalipun masih belum sepenuhnya diakui oleh ilmuwan lain yang berhubungan dengan pengumpulan data dan penelitian sumberdaya pantai. Demikian juga sudah diketahui tentang kondisi adanya tekanan sosial ekonomi terhadap sumberdaya mangrove, status
88 hukum dan kelembagaan yang belum jelas sehingga berbagai instansi mengembangkan sumberdaya mangrove. Keseimbangan kepentingan perlu dijaga untuk mencapai peningkatan pengembangan ekonomi, di satu pihak, dan usaha perlindungan ekosistem hutan mangrove di lain pihak. Peningkatan kesadaran akan fungsi perlindungan, produksi dan sosial ekonomi dari ekosistem mangrove tropis, serta konsekuensi kerusakan
hutan
dipertimbangkan
mangrove
dalam
merupakan
pengelolaan
pokok-pokok
sumberdaya
secara
yang
harus
terpadu
untuk
konservasi dean pelestarian. Memperhatikan berbagai fungsi tersebut, maka dalam pengelolaan mangrove dengan didasari ekosistem daratan dan lautan, perlu menggunakan konsep perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu. Pada prinsipnya ada tiga pilihan dalam pengelolaan dan pengembangan mangrove: (1) perlindungan ekosistem secara alami; (2) pemanfaatan ekosistem untuk berbagai penggunaan barang dan jasa atas dasar kelestarian; (3) konservasi ekosistem alami, khususnya untuk kepentingan tertentu. Dalam melaksanakan ketiga pilihan diatas belum didukung oleh ketersediaan data yang lengkap. Fungsi dan manfaat hutan mangrove dapat menempatkan peranannya yang cukup besar dalam kelestarian mutu dan tatanan lingkungan serta pengembangan ekonomi kerakyatan dan pendapatan negara. Oleh karena itu pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan mangrove perlu dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan peranannya bagi kepentingan generasi masa kini maupun masa datang serta perlunya dibangun institusi pengelola yang profesional. Prinsip kelestarian menjadi tujuan utama dalam pengelolaan hutan mangrove yang diindikasikan oleh tiga tujuan pokok yang saling terkait dan tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu tujuan ekologis, ekonomis, dan sosial. Tujuan ekologis, yaitu sebagai suatu sistem penyangga kehidupan antara lain merupakan pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi dan abrasi, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara bersih,
menjaga
siklus
makanan
serta
sebagai
tempat
pengawetan
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Tujuan ekonomis, yaitu sebagai sumber yang menghasilkan barang dan jasa baik yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu, maupun
89 yang tidak terukur seperti ekoturisme. Tujuan sosial, yaitu sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian masyarakat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan mangrove, serta untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengelolaan
hutan
mangrove
merupakan
bagian
pengembangan
kawasan pesisir secara keseluruhan sehingga selalu mempertimbangkan kepentingan dan manfaat yang lebih luas, dengan tetap mengutamakan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. UU No. 32 tahun 2004 memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah sebagai daerah otonom dalam pengelolaan lingkungan, termasuk didalamnya pengelolaan mangrove. Langkah yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kerusakan hutan mangrove melalui: (a) komitmen dan konsistensi Pemerintah Daerah Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pengembangan wilayahnya untuk tetap mengacu kepada Tata Ruang Daerah dengan prinsip konservasi untuk kawasan jalur hijau mangrove dan tetap menjaga fungsi pelestarian untuk kawasan hutan mangrove yang telah ditetapkan peruntukannya sebagai suaka alam atau suaka margasatwa; (b) penetapan jalur hijau pantai dengan mangrove untuk kawasan-kawasan yang sesuai secara ekologis (Keppres 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung), yaitu 130 kali perbedaan pasang-surut melalui Peraturan Daerah; dan (c) menetapkan lokasi prioritas rehabilitasi dan melaksanakan rehabilitasi untuk kawasan hutan mangrove yang telah mengalami degradasi melalui kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Secara umum permasalahan yang perlu diatasi agar kerusakan hutan mangrove tidak berkelanjutan adalah: (1) data dan informasi serta pengetahuan dam teknologi yang berkaitan dengan sumberdaya alam mangrove masih terbatas, sehingga belum mendukung tata ruang, pembinaan, pemanfaatan yang lestari dan perlindungan serta rehabilitasinya, (2) belum berkembangnya pengelolaan hutan mangrove, baik dalam hal silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan maupun pengawasannya, (3) kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara lestari, terutama dalam hal pendidikan, pengetahuan, kesadaran, keterbatasan, dan kesempatan
berusaha,
(4) pengelolaan
kawasan hutan mangrove
merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, namun
90 keikutsertaan secara aktif dari masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemanfaatannya masih terbatas, sehingga pesepsi dan kepedulian antara pengelola dan pengguna hutan mangrove berbeda-beda, dan (5) mekanisme pendanaan yang belum memadai untuk program-program pengelolaan hutan mangrove yang meliputi perlindungan, pelestarian, penelitian, dan pemanfaatan yang lestari dengan melibatkan berbagai aspek pokok seperti sarana dan prasarana (Alikodra, 1999). Dalam wilayah penelitian, diidentifikasi empat permasalahan utama dalam pengelolaan hutan mangrove yaitu degradasi ekosistem mangrove, persepsi dan pola hidup masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove, konflik pemanfaatan dan laih fungsi lahan, kelembagaan pengelolaan dan kebijakan yang sifatnya sektoral. Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove, analisis kebutuhan masyarakat dan stakeholder, kebijakan pembangunan wilayah pesisir Teluk Jakarta, hasil diskusi dengan pakar dan stakeholder diperoleh lima alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta secara berkelanjutan berdasarkan permasalahan yang ada seperti yang disajikan pada Gambar 8.
Degradasi ekosistem mangrove
P E R M A S A L A H A N
Penerapan Teknologi
Pemberdayan Masyarakat Persepsi dan pola hidup masyarakat Pengelolaan Terpadu
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN
Konflik Pemanfaatan dan alih fungsi lahan Penguatan Kelembagaan Kelembagaan dan Kebijakan Sektoral
Penegakan Hukum
Gambar 8. Permasalahan dan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta
91 Deskripsi alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah: 1. Kebijakan penegakan hukum mencakup penyediaan perangkat hukum yang tepat, melakukan penegakan hukum melalui mekanisme pemberian sanksi yang konsisten dan reward. Guna menghindari terjadinya ketimpangan dan konflik kepentingan serta aktualisasi pelaksanaan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan lingkungan maka perlu ada koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan di pusat dan di daerah dengan memperhatikan hukum adat dan kearifan lokal. Penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan secara konsisten, menghindari konflik kepentingan horizontal dan vertikal. 2. Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi dan akses masyarakat dalam pembangunan. Dalam kaitan itu, pemberdayaan dan peningkatan
partisipasi
masyarakat
sekitar
hutan
mangrove
sangat
diperlukan dan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam upaya melestarikan hutan mangrove sekaligus mensejahterakan masyarakat. Mengingat,
masyarakat
pesisir
merupakan
komunitas
yang
pola
kehidupannya sebagian besar sangat tergantung dengan sumberdaya hutan mangrove, dan sebaliknya masyarakat di sekitar hutan mangrove yang akan merasakan dampak dari kerusakan hutan mangrove.
Dalam pengelolaan
lingkungan diperlukan keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat sejak proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasi. Hal ini dilakukan agar pengelolaan lingkungan untuk menjaga ekosistem kelautan lebih sesuai dengan proses demokratisasi dan penerapan prinsip people centre
development.
Strategi
pemberdayaan
masyarakat
(community
empowerment) diarahkan bagi masyarakat lokal agar dapat mengakses sumberdaya
informasi,
politik,
ekonomi,
teknologi
dan
sosial
untuk
kesejahteraannya dan untuk pemeliharaan kualitas lingkungan. Upaya yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan potensi sumberdaya lokal sehingga akan terbangun rasa memiliki akan sumberdaya yang ada. 3. Melakukan pengembangan dan penerapan teknologi kelautan yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan melalui investasi pemerintah dan swasta dengan kolaborasi lembaga riset dan partisipasi masyarakat. Pengembangan dan penerapan teknologi mencakup adopsi teknologi ramah lingkungan yang
92 produktif dan efisien. Arah pengembangan teknologi yang dikembangkan adalah pada pengembangan dan penerapan teknologi budidaya perikanan, mitigasi bencana, pencegahan abrasi pantai, dan penanggulangan illegal fishing. Pengembangan dan penerapan teknologi ini harus dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi nasional, dan kelestarian lingkungan. Untuk itu diperlukan kemitraan dengan dunia usaha, kolaborasi dengan lembaga riset dan partisipasi masyarakat. 4. Pengelolaan terpadu dari aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan yang bersifat lintas sektor dan multistakeholder. Pengelolaan lingkungan untuk menjaga ekosistem kelautan dilakukan secara terpadu dan komprehensif (integrated management) dari berbagai aspek pembangunan sehingga terwujud suatu mekanisme pengelolaan lingkungan yang
optimal
dan
berkelanjutan
dengan
mengintegrasikan
berbagai
kepentingan. Keterpaduan mencakup pengelolaan pada level birokrasi, keterpaduan wilayah, dan keterpaduan antar stakeholder yakni masyarakat, pemerintah,
pengusaha,
dan
lembaga
swadaya
masyarakat
yang
menggunakan prinsip-prinsip sistem manajemen nasional. 5. Penguatan kapasitas kelembagaan mencakup kelembagaan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha. Kelembagaan ini perlu ditingkatkan baik kualitas maupun peransertanya dalam pembangunan. Peningkatan kapasitas kelembagaan (capacity building) untuk menegaskan mekanisme kerjasama antar lembaga guna menghindari konflik kewenangan dan konflik pemanfaatan. Peningkatan kapasitas kelembagaan diarahkan dalam rangka kerjasama yang harmonis diantara semua institusi serta kemampuan dalam pengelolaan lingkungan di wilayahnya masing-masing. Perangkat hukum yang memadai, penegakan hukum yang tegas, dan kapasitas kelembagaan yang sesuai akan berdampak positif secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan dan keamaman.
4.6.1 Prioritas kebijakan pengelolaan Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta disusun menurut urutan prioritas berdasarkan hasil analisis yang melibatkan pakar dan praktisi yang berkompeten dibidangnya. Analisis yang digunakan adalah analytical hierarchy process (AHP) yang merupakan salah satu metodologi paling efektif dalam penentuan prioritas-prioritas yang strategis
93 karena datanya merupakan representasi dari aspirasi para expert yang juga mewakili instansi-instansi dan kepakaran-kepakaran yang terkait dengan substansi kajian. Ada sembilan expert sebagai responden yang mewakili instansi-instansi terkait, yaitu perguruan tinggi (IPB), Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, serta individual pakar. Hirarki analisis AHP disajikan pada Gambar 9.
LEVEL 1
PENENTUAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA
FOKUS
LEVEL 2
AKTOR
PEMERINTAH (PUSAT DAN DAERAH) (0,637)
PENGUSAHA DAN INVESTOR (0,105)
MASYARAKAT DAN LSM (0,258)
Kelestarian Ekosistem (0,250)
Kesejahteraan Masyarakat (0,500)
Pertumbuhan ekonomi (0,250)
LEVEL 3
TUJUAN
LEVEL 4
Terpeliharanya habitat mangrove
KRITERIA
LEVEL 5
KEBIJAKAN
Tercukupinya luas lahan mangrove
Penegakan Hukum (0,092)
Terjaganya fungsi ekosistem
Peningkatan Pendapatan masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat (0,314)
Terciptanya kesempatan kerja dan berusaha
Peningkatan pendidikan dan kesehatan
Penerapan Teknologi (0,270)
Peningkatan PAD
Meningkatnya investasi
Pengelolaan Terpadu (0,220)
Berkembangnya sektor informal
Penguatan Kelembagaan (0,104)
Gambar 9. Hasil AHP penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta Analisis AHP dalam kajian ini memperhatikan aktor dalam pengelolaan hutan mangrove. Hasil judgement pakar dan stakeholder menunjukkan bahwa aktor yang paling berperan dalam penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah pemerintah dan pemerintah daerah (bobot 0,637). Hal ini berkaitan dengan fungsi dan kewenangan pemerintah untuk mengatur sumberdaya milik bersama seperti hutan mangrove. Di samping itu, hutan
mangrove
memiliki
fungsi
yang
sangat
vital
sehingga
apabila
keberadaannya terganggu dapat menghambat proses pembangunan yang akan merugikan semua pihak. Aktor yang juga memiliki peran penting adalah masyarakat (bobot 0,258). Masyarakat dalam hal ini adalah pihak yang langsung memanfaatkan hutan mangrove untuk kegiatan sehari-hari. Dengan demikian sangat terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan mangrove.
94 Pada level tujuan, yang menjadi prioritas utama adalah kesejahteraan masyarakat (bobot 0,500). Hal ini menunjukkan indikasi bahwa kesejahteraan masyarakat sangat berperan dalam keberhasilan pengelolaan hutan mangrove. Masyarakat sebagai penerima manfaat terbesar dari keberadaan hutan mangrove
memerlukan
perhatian
khusus
terkait
dengan
tingkat
kesejahteraannya. Kelestarian pemanfaatan hutan mangrove berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingginya pengetahuan tentang konservasi dan tingkat pendapatan masyarakat akan menunjang keberlanjutan pengelolaan mangrove. Tujuan kelestarian ekologi dan pertumbuhan ekonomi memiliki bobot yang sama yakni 0,250. Hal ini menunjukkan bahwa kelestarian ekologi dan pertumbuhan ekonomi harus didorong untuk memenuhi tujuan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat, kriteria yang paling utama adalah peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan pendidikan dan kesehatan. Untuk mencapai tujuan kelestarian ekologi faktor terpeliharanya habitat mangrove dan terjaganya fungsi ekosistem merupakan kriteria yang harus diperhatikan. Sedangkan untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi, faktor yang paling utama adalah perkembangan sektor informal dan tumbuhnya investasi swasta. Hasil analisis AHP pada level alternatif kebijakan berdasarkan judgement pakar dan stakeholder diperoleh hasil seperti pada Gambar 10.
Gambar 10. Hasil analisis AHP Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan prioritas tertinggi dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta dengan bobot 0,314. Kebijakan ini perlu dilaksanakan secara menyeluruh dengan didukung oleh seluruh stakeholder. Prioritas kedua adalah
95 penerapan teknologi dengan bobot 0,270 dan ketiga adalah pengelolaan terpadu dengan bobot 0,220. Kebijakan penerapan teknologi dan pengelolaan terpadu ini perlu dilakukan untuk mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat.
4.6.2 Strategi implementasi kebijakan pengelolaan Secara
operasional
diperlukan
suatu
strategi
implementasi
guna
memudahkan perwujudan kebijakan yang menjadi prioritas pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta. Strategi implementasi ini dirumuskan melalui FGD yang melibatkan pakar dan praktisi. Pada saat FGD disepakati bahwa kelima kebijakan yang dirumuskan harus dilakukan secara konsisten dan terpadu dengan melibatkan stakeholder pada ketiga wilayah kajian. Pada tahap operasional, strategi dan program harus disesuaikan dengan karakteristik ketiga wilayah kajian dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi. Guna menyelamatkan hutan mangrove yang masih ada dan memperluas kawasan hutan mangrove sesuai dengan yang dibutuhkan untuk dapat berfungsi secara optimal, maka terdapat empat program yang perlu dilakukan yaitu rehabilitasi kawasan mangrove, perbaikan kualitas perairan, penanganan sampah dan limbah, dan pengendalian abrasi dan sedimentasi.
1. Strategi pemberdayaan masyarakat Masyarakat pesisir dapat dibedakan menjadi dua kelompok menurut jenis kegiatan utamanya yaitu nelayan penangkap ikan dan nelayan petambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas. Petambak adalah nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai (Soewito, 1984). Namun untuk wilayah Teluk Jakarta, selain sebagai nelayan, masyarakat di wilayah pesisir juga ada yang menjadi buruh, pedagang, dan karyawan untuk kegiatan di sekitar pantai. Beberapa
strategi
pemberdayaan
masyarakat
dalam
pengelolaan
sumberdaya hutan mangrove di Teluk Jakarta yang cukup efektif dan efisien untuk diterapkan dan dikembangkan adalah: pendekatan kelompok, penguatan kelembagaan, pendampingan, pengembangan sumberdaya manusia, dan
96 pemberian stimulan. Kelima strategi tersebut merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dan saling mempunyai kerkaitan yang erat satu sama lain. Dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, dapat dilakukan dengan cara: (a) pemberian motivasi untuk menciptakan kondisi yang membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya dan berupaya mengembangkannya; (b) penguatan untuk memperkuat potensi dan daya yang dimiliki masyarkat dengan memberikan input dan membuka peluang untuk berkembang; dan (c) pemberian potensi untuk memberikan perlindungan agar mempunyai kemampuan bersaing. Upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan mangrove, akan dapat dilakukan secara baik jika masyarakat yang bersangkutan didukung oleh: (1) taraf pendidikan yang memadai, baik secara kuantitatif maupun kualitatif; (2) Tingkat kesehatan yang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas; (3) Penguasaan/akses sumber-sumber kemajuan ekonomi yang memadai seperti modal, teknologi, lapangan kerja, pasar, dsb; (4) Keberadaan faktor-faktor sosial budaya yang mendukung baik yang berkaitan dengan tata nilai, kelembagaan sosial, maupun interaksi sosial antar kelompok. Pendidikan masyarakat umumnya masih rendah dan bersifat non-captive, sehingga
upaya
peningkatan
sumberdaya
manusia
dilakukan
melalui
pendekatan kelompok (penyuluhan interpretatif, demonstrasi, pelatihan dan studi banding)
maupun
perorangan
(pendampingan).
Agar
masyarakat
dapat
mengapresiasikan kegiatan dengan baik, maka perlu dilibatkan dalam seluruh tahap manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. Dengan demikian masyarakat dapat merasakan bahwa masalah yang ada merupakan masalah yang bersama yang perlu dipecahkan sendiri. Pengenalan
masalah
dilakukan
bersama-sama
masyarakat
dengan
menggunakan teknik participatory rural appraisal (PRA). Pendekatan sosial budaya pada dasarnya untuk mengubah perilaku masyarakat yang bersifat negatif menjadi positif serta mengembangkan budaya positif yang telah ada pada sebagian anggota masyarakat sehingga bisa memasyarakat. Pengubahan perilaku merupakan bukan hal yang mudah karena berkaitan dengan sistem nilai yang berlaku dan telah mengakar dalam masyarakat serta mengubah sikap masyarakat tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Metode yang dapat digunakan adalah metode penyuluhan atau interpretasi sosial budaya yang disertai dengan penyediaan sarana sosial budaya
97 yang mendukung perilaku masayarakat tersebut. Hal yang penting adalah bahwa perubahan perilaku tersebut terjadi secara sukarela atas kepentingannya sendiri. Masyarakat mengetahui bahwa apabila ia berperilaku sebagaimana yang disarankan, maka ia akan memperoleh insentif dan apabila tidak melakukan hal tersebut akan rugi dibanding dengan orang yang melakukannya. Upaya pelestarian terhadap keberadaan suaka margasatwa Muara Angke akan sulit dilakukan, mengingat tekanan yang begitu besar dan permasalahan yang sedemikian kompleks. Untuk itu diperlukan upaya bersama antara stakeholder dan pihak-pihak lain yang bersifat terus menerus, terkonsentrasi yang dituangkan dalam bentuk upaya konkrit pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove di kawasan tersebut. Disamping itu perlu adanya monitoring terhadap mangrove yang telah ditanam, agar rehabilitasi yang telah dilakukan benar-benar sesuai dengan rencana, selain itu perlunya tindak lanjut kegiatan tersebut dikaitkan dengan kegiatan lainnya seperti penelitian, wisata dan pendidikan lingkungan. Dalam kaitan dengan rencana reklamasi Pantura, perlu melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Proses partisipatif ini akan lebih
menjamin
kesejahteraan
masyarakat,
kelestarian
ekosistem,
dan
keberlanjutan pembangunan yang dilaksanakan di Teluk Jakarta. Pada proses ini, dapat disepakati bersama berbagai kegiatan pembangunan yang dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Selain peningkatan kualitas pendidikan, langkah-langkah strategis pemberdayaan masyarakat yang harus dilakukan adalah: 1) Mentransformasi
nelayan
tradisional
menjadi
nelayan
modern
untuk
memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir yang ada yang sekaligus dapat memainkan peran ganda dalam membantu menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai praktek ilegal yang dilakukan di sekitar hutan mangrove. Kegiatan transformasi nelayan dilakukan secara spesifik lokasi yakni nelayan dapat diarahkan pada kegiatan yang tidak bergantung pada sumberdaya mangrove misalnya nelayan Muara Angke ke arah budidaya perairan, nelayan Muara Gembong ke arah pengolahan hasil perikanan, dan nelayan Teluk Naga ke arah jasa wisata. 2) Peningkatan keberpihakan pemerintah dan pengusaha terhadap nelayan kecil dan masyarakat di wilayah pantai yang tingkat kesejahteraannya masih relatif rendah. Upaya ini dilakukan dengan peningkatan aktivitas nelayan
98 dalam kegiatan produksi dengan memberikan wilayah tangkapan yang sesuai dengan kemampuannya dengan mengubah rezim pengelolaan perikanan dari quasi open acces menjadi limited entry. Penentuan sistem ini harus disepakti oleh semua stakeholder di wilayah Teluk Jakarta. Untuk nelayan di Muara Gembong dan Teluk Naga, perlu perhatian yang lebih serius karena sulitnya mencari alternatif usaha sehingga dapat mengancam keberlanjutan program. Dengan demikian perlu pendampingan dan sosialisasi kegiatan yang intensif pada awal program. 3) Memberikan aksesibilitas yang tinggi kepada generasi muda nelayan untuk memperoleh pendidikan yang terjangkau, akses terhadap pelayanan kesehatan yang murah, dan akses terhadap lembaga keuangan yang mudah khususnya lembaga keuangan mikro di pedesaan. Upaya ini tentu saja harus dimulai dengan program pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat (pembinaan, pendampingan, penyuluhan) secara bertahap hingga mencapai tingkat mandiri. Selain itu perlu fasilitasi pemerintah untuk pemasaran dan pengolahan hasil perikanan yang dapat menjamin peningkatan kesejahteraan nelayan.
2. Strategi penerapan teknologi Jenis teknologi yang dikembangkan di masing-masing lokasi adalah jenis teknologi yang prospektif, yaitu: secara ekonomis menguntungkan, secara teknis mudah dilakukan oleh masyarakat, secara sosial budaya dapat diterima (tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku), dan secara lingkungan tidak menimbulkan kerusakan ekosistem. Pengembangan dan peningkatan penguasaan teknologi dilakukan melalui berbagai pendekatan yaitu introduksi inovasi, perbaikan teknologi yang ada, introduksi metode, memperbaiki dan mengembangkan kembali pengetahuan lokal yang ada, merekayasa teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat, atau introduksi alat. Metodologi yang digunakan adalah demonstrasi cara dan pembangunan proyek percontohan (demonstrasi plot) seperti metode rehabilitasi di Teluk Naga. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini adalah: 1) Pengembangan teknologi perlindungan wilayah pantai dan mitigasi bencana. Teknologi ini dapat memanfaatkan sumberdaya lokal seperti penanaman mangrove yang dikombinasi dengan break waters. Untuk kawasan tertentu
99 yang telah mengalami abrasi, dilakukan dengan bangunan tanggul yang kokoh kemudian melakukan program rehabilitasi dan reboisasi kawasan menjadi hutan mangrove. Program ini perlu dilakukan khususnya di Muara Gembong dan Teluk Naga yang sangat rentang terhadap abrasi dan sedimentasi. Luas hutan mangrove yang dipersyaratkan yakni sesuai dengan keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Selain itu perlu pengembangan teknik konservasi yang ekonomis, efektif, dan dapat dilakukan oleh masyarakat secara berkelanjutan. 2) Pengembangan dan adopsi teknologi pengolahan hasil perikanan. Upaya ini dimulai dengan penyediaan coldstorage dengan kapasitas yang besar di setiap sentra penghasil perikanan guna menjamin ketersediaan bahan baku dan kepastian harga, menambah jumlah sarana dan prasarana pelabuhan perikanan dan pusat pendaratan ikan. Selanjutnya perlu dikembangkan teknologi pengolahan hasil perikanan yang ekonomis dan berdasarkan permintaan pasar. Meningkatkan fasilitas laboratorium pengujian mutu hasil perikanan (laboratorium), baik yang terdapat di pusat maupun di daerah, agar mampu melaksanakan pengujian mutu sesuai standar yang berlaku terhadap produk perikanan yang akan dipasarkan ke pasar lokal maupun ekspor. Untuk menjamin keberlanjutan upaya ini, perlu dikembangkan pula sistem agribisnis yang dapat menunjang pemasaran hasil produksi perikanan dan produk olahannya. 3) Penerapan teknologi budidaya perikanan untuk komoditi potensial. Sistem yang tepat untuk pengembangan budidaya laut adalah sea farming. Sistem ini mengkombinasikan kegiatan restocking (rehabilitasi stok ikan), budidaya dalam keramba jaring apung, budidaya dalam kadang sekat, dan penyediaan sarana seperti hacthery. Sistem sea farming dapat digunakan untuk wilayah di sekitar Teluk Jakarta dan telah dilakukan di Kepulauan Seribu. Teknik budidaya yang sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ekosistem mangrove adalah sistem sylvofishery (tumpangsari) antara budidaya perikanan dan pelestarian mangrove. Teknik ini dapat digunakan di wilayah Muara Gembong yang kualitas airnya relatif masih mendukung. 5) Pembinaan dan pendampingan penggunaan teknologi tepat guna secara bertahap sesuai dengan tingkat adopsinya. Pembinaan ini dilakukan untuk masyarakat
agar
dapat
terus
meningkatkan
kemampuannya
dalam
menerapkan teknologi yang sesuai sehinga tingkat kesejahteraannya dapat
100 meningkat sejalan dengan produktivitasnya. Lembaga yang diharapkan berperan dalam upaya ini adalah lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat. Upaya ini difokuskan pada kawasan yang memiliki potensi perikanan tinggi tetapi kualitas SDM yang rendah seperti di Muara Gembong dan Teluk Naga.
3. Strategi pengelolaan terpadu Dalam
rangka
mengimplementasikan
strategi
pengelolaan
hutan
mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan diperlukan dukungan programprogram berbagai instansi terkait dari tingkat pusat sampai tingkat desa dan lembaga-lembaga lainnya. Kegiatan pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana merupakan kewenangan instansi sektoral. Seringkali berbagai macam kegiatan tersebut sebenarnya sudah direncanakan tetapi dalam waktu dan atau tempat yang berbeda, sehingga seolah-olah masing-masing berjalan sendiri. Apabila kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara bersama-sama menangani permasalahan yang ada, maka akan terjadi kerjasama yang sinergis. Untuk itu diperlukan koordinasi yang baik sampai di tingkat lokasi kegiatan, baik pada tahap perencanaan maupun dalam tahap implementasinya di lapangan. Berdasarkan penelitian di lapangan, instansi yang berperan penting di tingkat kabupaten/kota yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kimpraswil, Dinas Perindag, Dinas Pertanian, Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, Dinas Koperasi UKM, dan PT Perhutani. Lembaga-lembaga penunjangnya
adalah
Kadin,
Lembaga
Asuransi,
Perbankan,
Lembaga
Penjamin, BUMN dan BUMD, LSM dan berbagai stakeholder. Dinas
Perikanan
dan
Kelautan
berperan
dalam
membina
dan
mengembangkan usaha dan produksi perikanan, termasuk pertambakan. Dinas Kimpraswil berperan dalam penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana, pembuatan jalan, saluran, pengerukan, dan pencegahan abrasi. Dinas Perindag berperan dalam penyediaan informasi pasar dan harga. Dinas Pertanian berperan dalam pengembangan produksi pertanian, termasuk mengawasi konversi lahan pertanian. Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup berperan dalam membina dan memantau lingkungan hidup. Dinas Kehutanan dan PT Perhutani berperan dalam menjaga kelestarian hutan mangrove dan mengawasi pengelolaan dan penyelamatan hutan mangrove. Dinas Koperasi UKM membina
101 koperasi dan UKM. Bappeda mengendalikan prasarananya, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat membantu masyarakat untuk mandiri. Lembaga-lembaga penunjang seperti bank dan lembaga keuangan bukan bank berperan membina kelembagaan yang ada. Perbankan berperan dalam penyediaan perkreditan dan pinjaman, lembaga penjamin dan asuransi berperan dalam memberikan konsultasi dan penjamin BUMN dan BUMD, swasta dan LSM berperan sebagai mitra usaha yang saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Peran
Camat
dipertegas
dengan
Peraturan
Daerah
dalam
mengkoordinasikan kepala desa dan berbagai stakeholder. Kepala Desa berperan penting sebagai ujung tombak dalam meningkatkan pengetahuan, pengawasan kemampuan dan kesejahteraan warganya. Untuk itu, camat dan kepala desa perlu dibekali wawasan dan pengetahuan tentang penyelamatan hutan mangrove melalui pendidikan dan latihan sesuai dengan yang dibutuhkan dengan dukungan dari berbagai instansi secara lintas sektoral dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Keterpaduan pengelolaan lingkungan merupakan necessary condition untuk mencapai kelestarian lingkungan kelautan dan keberlanjutan usaha perikanan. Keterpaduan ini mencakup antara pusat dan daerah dan antar wilayah. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini adalah: 1) Menyusun mekanisme kerjasama antar instansi dan sistem koordinasi kelembagaan yang transparan di pusat dan antar daerah. Mekanisme ini menjadi blue print pengelolaan sumberdaya hutan mangrove yang disusun dan disepakati secara bersama-sama semua stakeholder yang dilengkapi dengan mekanisme kerjasama, tata laksana dan aspek insentif/disinsentif serta seleksi. 2) Penataan ruang kawasan budidaya agar terhindar dari eksternalitas yang dapat mengganggu kualitas lingkungan perairan sehingga usaha budidaya yang dilakukan dapat berkelanjutan. Selanjutnya membangun komitmen pelaksanaan program pembangunan kelautan dan pantai sesuai RTR dan kemudian penyediaan jaringan infrastruktur penunjang budidaya seperti jaringan listrik, jalan, dan komunikasi. 3) Peningkatan kapasitas stakeholder pembangunan khususnya di daerah sehingga semua pelaku pembangunan dapat memahami dan menjalankan
102 tugas fungsi dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa konflik dengan pihak lain. 4) Mengembangkan sistem informasi eksekutif pengelolaan mangrove yang terkait dengan semua sektor lainnya di seluruh wilayah Teluk Jakarta. Sistem ini berbasis teknologi informasi yang dapat di akses oleh semua instansi, baik untuk memperoleh informasi maupun untuk memberikan informasi. Potensi dan kondisi wilayah perairan dapat diketahui dengan cepat dan akurat sehingga dapat meningkatkan efektivitas perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pembangunan wilayah Teluk Jakarta.
4. Penguatan kelembagaan Pemanfaatan hutan dan ekosistem hutan mangrove melibatkan berbagai instansi. Setiap instansi sudah ditentukan perannya, namun penjabarannya terkadang tidak jelas dan seringkali terlihat adanya peranan dan tanggung jawab yang terisolir. Banyak duplikasi dan tumpang tindih antara tanggung jawab dan peranan pada berbagai instansi pemerintah. Terdapat instansi kunci yang berperan dan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dari instansi lainnya, yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Dalam Negeri, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Departemen Kehutanan mempunyai tanggung jawab dalam pengelolaan seluruh kawasan hutan pantai termasuk hutan mangrove tetapi tidak menyebutkan tanggung jawab dan otoritas lintas sektoral untuk menjamin keharmonisan dalam pelaksanaan dengan berbagai instansi. Kekosongan kewenangan ini merupakan kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk sinkronisasi kegiatan lintas sektor dan lintas wilayah. Departemen Kelautan dan Perikanan mempunyai peranan dalam pengelolaan sumberdaya mangrove khususnya yang berhubungan dengan produksi perikanan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup melakukan penyelamatan lingkungan dari kerusakan akibat kegiatan pemanfaatan hutan mangrove. Paradoks kelembagaan yang mendasar dalam pengelolaan mangrove dan sumberdaya wilayah pantai adalah instansi masing-masing bertindak menurut kepentingan sektoralnya dan secara umum tidak memandang situasi secara jernih meskipun pemisahan kepentingan sektoral di wilayah pantai bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumberdaya secara lestari. Adanya kepentingan multisektoral memerlukan peran Depdagri untuk melaksanakan
103 kebijakasanaan
lintas
sektoral.
Dengan
demikian
Depdagri
mempunyai
kewenangan dalam pengelolaan mangrove di Teluk Jakarta, yang harus bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove. Kerangka kerja instansi sektoral harus terkait secara baik dangan kebijakan yang dibuat oleh lembaga koordinasi seperti Bappenas pada tingkat nasional dan Bappeda untuk tingkat daerah. Kelemahan yang ada saat ini adalah: (1) Kejelasan tentang peranan dan tanggung jawab masing-masing instansi di dalam pengelolaan sumberdaya mangrove secara lestari; (2) Kurangnya pemahaman terhadap peranan pentingnya strategi dan rencana pengelolaan sumberdaya mangrove secara lestari dan wilayah pantai diantara instansi sektor dan bahkan instansi koordinator yang dapat menentukan strategi dan rencana tersebut; dan (3) Kurangnya tenaga perencana dan pakar di Kantor Bappeda dalam memberikan input penting untuk perencanaan tata ruang provinsi dan kabupaten, serta menyiapkan data base sumberdaya alam. Urusan yang menjadi kewenangan pusat adalah penyelenggaraan konservasi alam karena fungsi dan karakteristik pengelolaannya akan lebih aman jika ada di Pusat. Di luar konservasi sumberdaya alam urusan yang termasuk administrasi dan teknis operasional menjadi kewenangan daerah Kabupaten dan Kota, sedangkan daerah provinsi kewenangannya dalam perencanaan makro provinsi, pedoman, pengawasan dan hal-hal lain yang cakupannya melintas batas kabupaten. Pada tingkat provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten), belum sepenuhnya menjabarkan dan mengimplementasikan kelembagaan yang dapat berperan dalam pelestarian atau penyelamatan hutan mangrove di wilayahnya. Demikian juga lembaga seperti BPN, Dinas Tata Kota, Bappeda, perlu mengatur penataan ruang dan penggunaan lahan yang berwawasan lingkungan. Guna membantu pelaku usaha kecil mengatasi masalah permodalan diperlukan suatu lembaga keuangan satu lembaga keuangan mikro yang dapat memberi pinjaman dengan persyaratan yang sederhana sehingga mereka dapat segera mendapatkan modal pada saat yang diperlukan. Pelaku usaha tersebut harus tetap dididik untuk selalu bertanggung jawab sehingga mereka dapat mengembalikan pinjamannya dan meningkatkan usahanya. Karena penghasilan mereka tidak tetap dan beragam maka sistem pengembalian sebaliknya dilakukan secara periodik dengan jumlah yang tidak ditentukan tetapi mereka harus melunasi pinjamannya dalam jangka waktu maksimum yang ditentukan.
104 Upaya-upaya yang dapat ditempuh adalah 1) mengembangkan lembaga keuangan yang telah ada dengan memperluas jangkauan sampai ke lokasi sasaran. Lembaga keuangan yang telah ada adalah Bank Rakyat Indonesia, Bank Perkreditan Rakyat, atau Perum Pegadaian atau 2) menciptakan suatu sistem dana bergulir yang dilengkapi dengan kelembagaan kelompok yang dibuat oleh kelompok sendiri, misalnya untuk dana yang bersumber dari pengurangan subsidi BBM atau program lainnya. Peningkatan mutu kelembagaan masyarakat yang dilakukan oleh keluarga, perlu diberi pengetahuan tentang prinsip-prinsip usaha, yaitu pengelolaan sumberdaya modal, bahan baku, dan tenaga kerja untuk menghasilkan suatu produk dan pemasarannya secara berkelanjutan. Walaupun usaha tersebut tetap dilaksanakan dalam lembaga keluarga, tetapi pelaku usaha perlu diberi pengertian tentang pentingnya administrasi usaha dengan baik sehingga perkembangan usahanya dapat dimonitor. Untuk itu, diperlukan pelatihan dan bimbingan secara kontinu sampai mereka menyadari, memahami serta mau dan dapat melaksanakan sendiri. Metode yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah penyuluhan, pelatihan, pendampingan, dan pemagangan. Peningkatan peran perluasan jaringan usaha seperti koperasi, usaha patungan, kelompok usaha, bersama baik di bidang produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran. Upaya lainnya adalah mengintroduksi lembaga perkreditan seperti lembaga keuangan mikro. Lembaga perkreditan yang diintroduksikan harus dapat memberikan pinjaman dengan prosedur yang sederhana dan dalam waktu cepat serta besar pinjaman yang sesuai kelayakan usaha tani. Lembaga yang dapat berfungsi seperti itu adalah lembaga keuangan pemerintah, misalnya Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank DKI, Bank Jabar, atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Perum pengadaian, termasuk koperasi. Meningkatkan kekuatan lembaga yang telah ada di masyarakat (penguatan internal) dengan membangun dan mengembangkan unsur-unsur lembaga sosial kemasyarakatan yang ada di masyarakat, misalnya kebiasaan orang tua menabung di sekolah, lembaga arisan, lembaga keuangan yang terbentuk dalam pengajian, majelis taklim, organisasi masyarakat, atau mengubah paradigma dan memperbaiki kinerja koperasi yang telah ada agar sesuai dengan sendi-sendi koperasi.
105 5. Penegakan hukum Regulasi mengenai kawasan pesisir belum banyak. Regulasi yang ada sebagian besar tidak khusus mengenai kawasan mangrove. Beberapa regulasi yang berkenaan dengan ekosistem pesisir, pantai dan pulau kecil yaitu regulasi dalam hal perikanan, sumberdaya alam, lingkungan, dan tata ruang. Kekurangan regulasi ini berlanjut dengan pelaksanaannya di lapangan. Secara umum bisa dikatakan bahwa implementasi regulasi masih sangat lemah yang ditujukan oleh banyaknya pelanggaran dan ketidakpatuhan hukum. Kelemahan implementasi hukum ini juga karena sistem peradilan yang tidak efisien yang tidak memberikan dorongan bagi masyarakat untuk memenuhi regulasi yang ada. Dengan demikian maka kelemahan implementasi hukum merupakan kelemahan sistem atau kelembagaan yang memang merupakan prasyarat pelaksanaan hukum secara efisien. Akibat kelemahan regulasi serta kelembagaan maka sumberdaya hutan mangrove tidak tertata dengan baik. Tumpang tindih kegiatan dalam hal pemanfaatan ruang masih terjadi. Dampak eksternalitas negatif pemanfaatan sumberdaya masih tetap berlangsung namun tidak dapat dihentikan karena kelembagaan yang ada tidak memiliki kapasitas untuk mengatasinya. Demikian pula, transfer dan alokasi hasil pemanfaatan sumberdaya cenderung tidak adil dan hanya menguntungkan beberapa pihak yang memiliki kekuatan sosial, ekonomi dan politik. Kelemahan dalam aspek hukum dan kelembagaan ini membuat proses pemiskinan di satu sisi serta pengkayaan di sisi lain tetap berlangsung. Dengan kata lain, akibat hukum dan kelembagaan yang lemah maka distribusi manfaat serta disparitas status sosial ekonomi tetap berlangsung di antara masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan mangrove. Hukum
pengelolaan
hutan
mangrove
meliputi
semua
peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dari sudut hirarkinya, peraturan perundang-undangan yang memiliki tingkat lebih tinggi akan ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Semua permasalahan seperti benturan kepentingan antara lembaga harus diselesaikan dengan mengacu kepada peraturan perundangundangan yang mempunyai tingkatan lebih tinggi.
106 Peraturan tentang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, seperti Undang-Undang Nomor 41 tahun 2005 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 41 tentang 1999 Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur mengenai pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Namun demikian kerusakan wilayah pesisir dan degradasi habitat masih terjadi. Hal ini merupakan indikasi lemahnya penegakan hukum. Untuk penegakan hukum tentunya perlu memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap citra dan peranan aparatur negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Upayaupaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini adalah: 1) Menelaah dan mengkaji materi yang terkandung dalam setiap peraturan yang ada mengenai validitasnya jika dihadapkan pada tuntutan
kebutuhan
masyarakat dalam rangka mengembangkan stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Juga perlu merevitalisasi kebijakan–kebijakan maupun aturan–aturan yang selama ini memberikan peluang tindak pidana korupsi, kolusi
dan
nepotisme
dengan
mengedepankan
pengetatan
fungsi
pengawasan dan pemeriksaan. 2) Penegakan aturan hukum dan sanksi yang tegas terhadap para pelaku IUU (illegal, unreported, and unrated) fishing; Masih banyaknya kegiatan IUU fishing baik oleh nelayan Indonesia maupun oleh kapal-kapal ikan asing selain disebabkan oleh kurangnya pengawasan juga disebabkan oleh lemahnya penegakan aturan hukum dan kurang beratnya sanksi yang dikenakan terhadap para pelanggar. Hal ini diperparah lagi oleh adanya pihak-pihak tertentu yang menjadi backing kegiatan IUU fishing tersebut. Oleh karena itu menjadi tugas DKP, dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan untuk menegakkan aturan hukum dan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar. 3) Mengembangkan sistem pengawasan berbasis teknologi informasi sehingga informasi pelanggaran dapat diperoleh lebih akurat, cepat, efisien, dan efektif. Pengembangan teknologi ini diharapkan saling sinergi dengan teknologi penangkapan ikan dan mitigasi bencana. Diharapkan perhatian dari Departemen Kelautan dan Perikanan, LIPI, perguruan tinggi, dan pengusaha untuk memberi dukungan dalam pengembangan sistem ini.
107 4.6.3 Arahan program pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan mangrove tersebut dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana pengelolaan ini harus dijadwalkan dan diakomodir secara resmi di dalam rencana tata ruang daerah tersebut, dan merupakan bagian dari rencana tata ruang kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan survey yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada. Untuk aspirasi masyarakat perlu dinilai dan di dengar melalui komunikasi langsung dan dipertimbangkan didalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian, dan kerjasama dengan masyarakat setempat maka rencana pengelolaan tersebut tidak akan berfungsi dengan baik (Alikodra, 2000). Dalam kaitan dengan kondisi mangrove di tiga lokasi, maka terdapat emapt program utama yang harus dilakukan yakni rehabilitasi mangrove, penanganan sampah, perbaikan kualitas air, dan pengendalian abrasi dan sedimentasi. 1. Rehabilitasi mangrove Beberapa prinsip-prinsip rehabilitasi yang merupakan bagian dari strategi nasional diantaranya: (1) masyarakat mempunyai hak untuk memanfaatkan/ menggunakan
mangrove
dalam
rangka
memperoleh
produksi
yang
berkesinambungan, (2) keanekaragaman hayati harus dipertahankan atau ditingkatkan, (3) areal mangrove tidak boleh berkurang, dan (4) melestarikan mangrove harus dilakukan dengan jalan melestarikan habitat, tidak sekadar dengan penanaman saja. Dalam ekosistem pesisir, secara alami hutan mangrove mempunyai peran ekologis yang sangat penting dan tidak dapat tergantikan. Walaupun manusia dapat
merekayasa, akan tetapi memerlukan biaya yang tinggi dan
sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, dalam jangka panjang keberlangsungan usaha kecil, baik pertanian, tambak, nelayan, pembuatan terasi, pembuatan ikan asin maupun usaha pembesaran nener ditentukan oleh kuantitas (luas) dan kualitas hutan mangrove. Untuk melindungi sumberdaya lahan sawah diperlukan kebijakan yang dapat mencegah konversi lahan sawah menjadi tambak (misalnya dengan kebijakan insentif-disinsentif), pembuatan tanggul penangkal (break water) yang dapat mencegah masuknya air (pasang) laut sekaligus sebagai pembatas antara
108 areal persawahan dengan pertambakan, dan pembuatan saluran irigasi sehingga mampu memenuhi kebutuhan air sawah, terutama pada musim kemarau. Dalam kaitannya dengan perlindungan sumberdaya hutan mangrove, tata ruang kabupaten/kota yang ada saat ini perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan pelestarian hutan mangrove. Rencana penanaman tidak dapat dipisahkan dari penyusunan rencana pengembangan sumber daerah pantai secara keseluruhan dan juga tidak dapat dipisahkan dari rencana pengelolaan wilayah tersebut, karena sangat penting ditinjau dari tipe program rehabilitasinya, faktor ekologis dan sosial ekonominya. Beberapa arahan prinsip yang terpenting adalah: (1) perlunya penyesuaian (kecocokan) antara rencana penanaman dan prinsip-prinsip ekologis yang berlaku pada perencanaan sumberdaya pantai dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan, dan (2) upaya penanaman mangrove pada tempat-tempat yang tidak pernah ada mangrovenya tidak akan bermanfaat. Kegiatan ini kemungkinan akan gagal karena kondisi lapangan tidak sesuai dengan pertumbuhan mangrove. Rehabilitasi kerusakan hutan mangrove harus menjadi salah satu program kerja prioritas, meliputi: (1) koordinasi dan pendekatan sosial dengan masyarakat untuk mensosialisasikan dan menyamakan persepsi arti pentingnya hutan mangrove dalam kaitannya dengan produktivitas usaha; (2) partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok, sekolah-sekolah, dan acara-acara khusus (pengajian, arisan) dalam menghutankan kembali mangrove; (3) insentif kepada
masyarakat
yang
melaksanakan
memanfaatkan dana-dana crash programme
rehabilitasi dari BUMN
hutan
mangrove
dan swasta; (4)
peningkatan jaringan kemitraan dengan melakukan pendekatan ke instansi pemerintah
dalam
peningkatan
usaha
tambak
yang
dikaitkan
dengan
penanaman hutan mangrove; (5) penyuluhan, pembinaan dan menyebarluaskan informasi melalui leaflet, brosur, dan buku-buku saku tentang arti dan pentingnya mangrove; (6) pendekatan ke sekolah-sekolah untuk melakukan praktek bersama antara siswa dengan anggota dan masyarakat dalam rehabilitasi mangrove atas dasar saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan; dan (7) tenaga pendamping yang ahli dalam bidang hutan mangrove untuk membantu koperasi dan masyarakat.
109 2. Penanganan sampah dan limbah Program yang perlu diprioritaskan dalam penanganan sampah dan limbah, meliputi: (1) penyuluhan dan pembinaan kepada anggota dan masyarakat
tentang
jenis-jenis
limbah
dan
dampak
negatifnya
melalui
pendekatan sosial dari penggunan pakan dan pestisida; (2) pelatihan tentang teknik-teknik budidaya tambak atas usaha lain yang cepat mengurangi terjadinya limbah
dan
teknik
penanganan
limbah
yang
ramah
lingkungan;
(3)
penyebarluasan brosur-brosur dan leaflet tentang jenis-jenis limbah, tanda-tanda (indikator) adanya limbah, bahaya yang ditimbulkan dan cara mengatasinya; (4) partisipasi anggota dan masyarakat dalam mengatasi limbah dengan sistem insentif dan menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab; (5) petak-petak percontohan tentang teknik penanganan limbah di lingkungannya; (6) jaringan kemitraan dengan instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan usahausaha seperti pemberian dan pestisida dan penanganan limbah yang ditimbulkan; dan (7) informasi pada lembaga kelompoknya tentang bencana limbah di wilayah kinerja yang disebabkan oleh usaha perorangan/kelompok, perusahaan yang menghasilkan limbah dan membahayakan. 3. Perbaikan kualitas perairan Program penanganan kualitas perairan untuk mendukung penyelamatan hutan mangrove yang perlu diprioritaskan melalui: (1) koordinasi dan pendekatan sosial dengan tokoh-tokoh masyarakat, kelompok, dan lembaga-lembaga yang ada untuk menyamakan persepsi arti dan pentingnya menangani kualitas perairan yang terkena pencemaran; (2) jaringan kemitraan dan pendekatan dengan instansi Pemerintah dan swasta dalam mengadakan sosialisasi dan teknik penanganan pencemaran; (3) partisipasi dan kesadaran anggota dan masyarakat
dalam
menangani
pencemaran,
misalnya
tidak
membuang
sampah/limbah ke sungai, laut, saluran tambak, tetapi mengolah yang lebih bermanfaat/mendaur ulang limbah yang dihasilkan; (4) kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian secara periodik dalam pemeriksaan kondisi perairannya; dan (5) pembinaan, penyuluhan, dan penyebarluasan informasi melalui brosur, leaflet atau media lainnya tentang jenis-jenis pencemaran, baku mutu lingkungan, dan teknik-teknik penanganannya.
110 4. Pengendalian abrasi dan sedimentasi Program yang perlu diprioritaskan dalam penanganan abrasi pantai dan sedimentasi meliputi: (1) koordinasi dan pendekatan sosial dengan tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, dan lembaga lainnya untuk menyamakan persepsi, arti dan pentingnya pengendalian abrasi pantai dan sedimentasi dengan sistem insentif; (2) jaringan kemitraan dan pendekatan dengan instansi pemerintah dan swasta berkaitan dengan bencana alam abrasi pantai dan sedimentasi, misalnya pembuatan break water, penanaman hutan mangrove secara bersama seperti gotong royong; (3) pembinaan, penyuluhan dan penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan abrasi, sedimentasi dan teknik-teknik pengendalian langsung dan tak langsung pada anggota dan masyarakat; (4) informasi kepada instansi dan lembaga yang tugas dan kewenangannya berkaitan dengan pengendalian abrasi pantai dan sedimentasi khususnya yang terjadi di wilayah kerjanya; dan (5) partisipasi dan kesadaran anggota dan masyarakat dalam pengendalian abrasi pantai dan sedimentasi dengan sistem insentif (bonus).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pengembangan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi berdasarkan hasil pengujian: a. Hasil analisis spasial vegetasi mangrove diketahui bahwa luasan hutan mangrove telah mengalami penyusutan dan spesiesnya mengalami pengurangan jenis. Persentase perubahan luas hutan mangrove selama 10 tahun mencapai 42,52% dari 340,90 ha menjadi 232,04 ha. b. Hasil pengujian kualitas air diketahui bahwa parameter BOD, COD, amonia, dan logam berat (kadmiun dan timbal) telah melampaui baku mutu kualitas air. Kondisi fisik lahan mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman, dan industri. c. Hutan
mangrove
Teluk
Jakarta
sangat
rentan
terhadap
abrasi,
sedimentasi, dan alih fungsi lahan. 2. Kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta bervariasi berdasarkan kategori stakeholder yakni kesejahteraan masyarakat, kelestarian
ekosistem,
dan
pertumbuhan
ekonomi.
Kesejahteraan
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui peningkatan pendapatan masyarakat, pendidikan dan kesehatan masyarakat, dan peningkatan investasi, sedangkan kelestarian ekosistem dilakukan melalui rehabilitasi kawasan secara partisipatif. 3. Prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan berdasarkan aspirasi stakeholder secara berturut-turut adalah pemberdayaan masyarakat (0,314), penerapan teknologi (0,270), dan pengelolaan terpadu (0,220). Ketiga kebijakan ini dilaksanakan secara terpadu dan konsisten dengan berbagai langkah-langkah strategis yang telah disepakati oleh semua stakeholder. Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan kondisi saat ini dirumuskan empat
112 program utama yaitu rehabilitasi mangrove, penanganan sampah dan limbah, perbaikan kualitas perairan, dan pencegahan abrasi dan sedimentasi.
5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, hasil analisis dan pembahasan maka disarankan: 1.
Merancang mekanisme pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan kawasan mangrove di Teluk Jakarta.
2.
Menyusun informasi hutan mangrove melalui inventarisasi dan pemetaan baik aspek lingkungan, sosial dan ekonomi serta penataan kembali tata ruang dan tata guna lahan yang melibatkan seluruh wilayah administrasi di Teluk Jakarta.
3.
Melakukan reformasi terhadap mekanisme koordinasi instansi-instansi yang terkait dalam penjabaran aturan dan kebijakan dalam bentuk pokja (model satu atap)
McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. DLH Kabupaten Tangerang. 2004. Perencanaan Strategis (Renstra) 2003-2008. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang. Tangerang. [DPK]. 2003. Rencana Strategis Pembangunan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang Tahun 2003 – 2008. Dinas Perikanan dan Kelautan. Tangerang. Imanuddin dan A. Mardiastuti. 2002. Ekologi Bangau Bluwok Mycteria cinerea di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Bogor. Soerianegara, I. 1987. The Width of Mangrove Green Belt as Coastal Zone Protection Forest. Media Konservasi. Buletin Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Alikodra, H.S. 2002. Policy Analysis on Sustainable Mangrove Conservation. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Tanggal 6 – 7 Agustus 2002. Jakarta. Soemodihardjo, S., A. Budiman, S. Hardjowigeno, N. Naamin, E. Subiandono, dan Sudarmadji. 1993. Penelitian dan Pengembangan. Makalah Utama. Seminar Pembahasan Strategi Nasional dan Program Aksi Mangrove di Indonesia. Jakarta. Walsh, G.E. 1974. Mangrove: a review. In : Ecology of halophytes. Academic Press. New York. Wartaputra, S. Kebijaksanaan Pengelolaan Mangrove ditinjau dari sudut konservasi. Dalam Soemihardjo dkk. (eds) Prosiding Seminar IV Ekosystem aturan baru. Sumarwoto, O. 2001. Atur – Diri – Sendiri. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Keraf, A. S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. [BAPPEDA] Badan Perencana Daerah. 2004. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tangerang. [BPS Tangerang] 2005. Kotamadya Tangerang dalam Angka. Kota Tangerang pada tahun 2004. [BPS Jakarta] 2006. Kota DKI dalam Angka.. Jakarta. [BPS Bekasi] 2005. Kota Bekasi dalam angka. Bekasi.