1
PENGELOLAAN POTENSI HUTAN MANGROVE SECARA BERKELANJUTAN Oleh: Syaiful Eddy, S.Si* Abstrak Hutan mangrove memiliki bermacam-macam fungsi, antara lain fungsi fisik, biologis dan sosial ekonomis. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kaya dan menjadi salah satu sumberdaya yang produktif. Namun sering pula dianggap sebagai lahan yang terlantar dan tidak memiliki nilai sehingga pemanfaatan yang mengatasnamakan pembangunan menyebabkan terjadinya degradasi. Indonesia memilki hutan mangrove terluas di dunia, namun kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Kerusakan yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian, permukiman dan reklamasi pantai untuk kawasan wisata. Upaya-upaya pelestarian hutan mangrove hendaknya melibatkan semua pihak yang terkait seperti masyarakat, pemerintah, swasta, civitas akademika dan lembaga swadaya masyarakat serta pihak-pihak lain dalam bentuk kemitraan yang adil dan sejajar. Pelestarian ekosistem hutan mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan teknik silvofishery dalam usaha pertambakan yang berbasis lingkungan, penyuluhan serta pendekatan bottom up dalam usaha rehabilitasi (reboisasi) hutan mangrove. Selain itu upaya untuk kelestarian hutan mangrove dapat ditempuh dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional masyarakat (kearifan lokal) serta adanya peraturan-peraturan daerah yang mengatur serta mengontrol kegiatan masyarakat di kawasan hutan mangrove. Kata kunci : hutan mangrove, pengelolaan berkelanjutan *)
Dosen Fakultas MIPA Jurusan Biologi Universitas PGRI Palembang
A. Pendahuluan Wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai macam tipologi habitat serta keanekaragaman biota yang tinggi. Kanekaragaman hayati tersebut merupakan sumber kehidupan yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan atau perdagangan, sehingga keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan akibat aktivitas kehidupan dan pembangunan. Beberapa bentuk ancaman kelestarian keanekaragaman hayati antara lain karena pencemaran, eksploitasi sumber daya alam untuk perdagangan, penebangan hutan dan sebagainya. Salah satu bentuk ekosistem pesisir Indonesia adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang unik merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial, mendukung hidupnya keanekaragaman flora dan fauna. Komunitas terestris akuatik yang ada di dalamnya secara langsung atau tidak langsung berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia baik dari segi
2
ekonomi, sosial maupun lingkungan (ekologi). Tetapi ekosistem ini sangat mudah dipengaruhi oleh ekosistem yang ada di sekitarnya serta sulit untuk dipulihkan kembali jika terjadi degradasi. Hutan mangrove memiliki bermacam-macam fungsi, antara lain fungsi fisik, biologis dan sosial ekonomis. Fungsi biologis yang dimiliki hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery grund), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (Rahmawaty, 2006). Fungsi biologis ini sangat ditentukan oleh faktor kemampuan menghasilkan serasah. Serasah yang jatuh akan diuraikan oleh berbagai macam jasad renik, yang merupakan nutrisi bagi kehidupan beberapa fitoplankton, sebagai penyusun utama rantai makanan di daerah perairan. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km dimana sebagian daerah pantai tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Berdasarkan luasnya kawasan, hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia. Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3,7 juta ha, dimana sekitar 1,3 juta ha sudah disewakan kepada 14 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (Onrizal, 2002). Konflik pemanfaatan lahan mangrove selalu menjadi bayang-bayang akan timbulnya degradasi baik fisik dan kwalitasnya. Hal ini telah mendapatkan perhatian yang serius bagi banyak kalangan pemerhati lingkungan. Pengembangan tambaktambak beberapa tahun belakangan dapat dikatakan menjadi salah satu faktor yang merusak karena pengembangannya didahului dengan penebangan mangrove sehingga ekosistem yang telah terbentuk sebelumnya mengalami gangguan. Pada dasarnya hutan mangrove merupakan ekosistem yang kaya dan menjadi salah satu sumberdaya yang produktif. Namun sering pula dianggap sebagai lahan yang terlantar dan tidak memiliki nilai sehingga pemanfaatan yang mengatasnamakan pembangunan menyebabkan terjadinya kerusakan. Pengelolaan tambak memang menjanjikan hasil yang menggiurkan tetapi sangat perlu dilihat kesinambungan dan kelestarian lingkungan yang sudah terbentuk sebelumnya. Kondisi ini memerlukan suatu strategi yang jelas dan nyata untuk dapat mempertahankan dan mengelola secara baik dan utuh hutan mangrove. Untuk itu perlu dikaji pendayagunaan potensi hutan mangrove, sebagai salah satu bagian dari ekosistem pesisir, secara berkelanjutan berbasis masyarakat. B. Ekosistem Hutan Mangrove Istilah mangrove berasal dari istilah yang digunakan untuk salah satu vegetasi hutan mangrove yaitu Rhizophora sp (bakau). Menurut MacKinnon dkk. (2000) hutan mangrove adalah nama kolektif untuk vegetasi pohon yang menempati pantai berlumpur di dalam wilayah pasang surut, dari tingkat air pasang tertinggi sampai tingkat air surut terendah. Hutan mangrove hanya terdapat di pantai yang kekuatan ombaknya terpecah oleh penghalang berupa pasir, terumbu karang atau pulau. Ekosistem hutan mangrove dapat dibedakan dalam tiga tipe utama yaitu bentuk pantai/delta, bentuk muara sungai/laguna dan bentuk pulau. Ketiga tipe tersebut
3
semuanya terwakili di Indonesia. Menurut Khazali (2005), kondisi pantai yang baik untuk ditumbuhi vegetasi hutan mangrove adalah pantai yang mempunyai sifat-sifat; air tenang/ombak tidak besar, air payau, mengandung endapan lumpur dan lereng endapan tidak lebih dari 0,25 - 0,50%. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia menurut Bengen (2002) dalam Fachrul (2007) adalah sebagai berikut: 1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi dengan Sonneratia sp yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. 2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp. Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera sp dan Xylocarpus sp. 3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp. 4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi nipah (Nypa fructicans) dan beberapa spesies palem lainnya. Menurut Nybakken (1982) hutan mangrove di Indonesia memilliki keanekaragaman yang terbesar di dunia. Komunitas mangrove membentuk pencampuran antara dua kelompok, yaitu kelompok fauna daratan /terestial (arboreal) yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove dan kelompok fauna perairan /akuatik. Beberapa hewan tinggal di atas pohon sebagian lain di antara akar dan lumpur sekitarnya. Walaupun banyak hewan yang tinggal sepanjang tahun, habitat mangrove penting pula untuk pengunjung yang hanya sementara waktu saja, seperti burung yang menggunakan dahan mangrove untuk bertengger atau membuat sarangnya tetapi mencari makan di daratan yang jauh dari habitat mangrove. Kelompok hewan arboreal yang hidup di atas daratan seperti serangga, ular pohon, primata dan burung yang tidak sepanjang hidupnya berada di habitat mangrove, tidak perlu beradaptasi dengan kondisi pasang surut. Burung-burung dari daerah daratan menemukan sumber makanan dan habitat yang baik untuk bertengger dan bersarang. Mereka makan kepiting, ikan dan moluska atau hewan lain yang hidup di habitat mangrove. Kelompok lain yang bukan hewan arboreal adalah hewan-hewan yang hidupnya menempati daerah dengan substrat yang keras (tanah) atau akar mangrove maupun pada substrat yang lunak (lumpur). Kelompok ini antara lain adalah jenis kepiting mangrove, kerang-kerangan dan golongan invertebrata lainnya. Adaptasi vegetasi hutan mangrove yang unik menyebabkan mangrove dapat tumbuh pada daerah yang cukup ekstrim bagi sebagian besar tanaman, yaitu daerah dengan kadar oksigen rendah, salinitas (kadar garam) yang tinggi dan dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Bengen (2002), adaptasi vegetasi hutan mangrove dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: A. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah; dengan memiliki bentuk perakaran yang khas (tipe cakar ayam/pasak dengan pneumatofora dan tipe tongkat/tunjang dengan lentisel untuk mengambil oksigen dari udara); B. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi; memiliki sel-sel khusus dalam daun untuk menyimpan garam, daun tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk menjaga keseimbangan garam dan memiliki stomata khusus untuk mengurangi penguapan;
4
C.
D.
Adaptasi terhadap tanah yang tidak stabil dan pasang surut; mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar untuk memperkokoh pohon dan mengambil unsur hara serta menahan sedimen.
Keanekaragaman Hayati Hutan Mangrove Di dunia dikenal banyak jenis tumbuhan yang ada di hutan mangrove. Tercatat telah dikenal sebanyak 24 familia dan antara 54 sampai dengan 75 spesies. Ada yang menyatakan bahwa Asia merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman dan jenis mangrovenya. Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis mangrove, di Ceylon ada 32 jenis, dan terdapat sebanyak 41 jenis di Filipina. Di benua Amerika hanya memiliki sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan Indonesia disebutkan memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis. Dari berbagai jenis mangrove tersebut yang hidup di daerah pasang surut, tahan air garam dan berbuah terdapat sekitar 12 famili (Bengen, 2002). Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api atau di dunia dikenal sebagai black mangrove mungkin merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperatur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak) dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik. Mangrove besar, mangrove merah atau Red mangrove (Rhizophora sp) merupakan jenis terbaik kedua setelah api-api. Jenis-jenis tersebut dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin. Salah satu kawasan hutan mangrove yang potensial karena kaya akan sumber daya alam adalah kawasan mangrove Taman Nasional (TN) Sembilang. Kawasan TN Sembilang terletak di pesisir timur Propinsi Sumatera Selatan, yang secara geografis berada pada 104°11’ - 104°94’ BT dan 1,35° – 2,48° LS. Sebagian besar wilayahnya mencakup hutan mangrove di sekitar sungai-sungai yang bermuara di Teluk Sekanak dan Teluk Benawang, Pulau Betet, Pulau Alagantang, Semenanjung Banyuasin serta perairan di sekitarnya. TN Sembilang terdiri dari kira-kira 87.000 ha hutan mangrove yang masih utuh. Maluas ke arah daratan hingga 35 km menjadikannya sebagai kawasan mangrove terluas di Indonesia bagian barat. Spesies mangrove ditemukan meliputi Sonneratia alba, Avicennia marina (langsung di garis pantai), Rhizophora mucronata, R. apiculata, Bruguiera gymnorhiza, dan Xylocarpus granatum. Sedikitnya terdapat 112 spesies burung, 142 spesies ikan dari 43 familia, 38 spesies kepiting dan sedikitnya 13 spesies udang dari 9 familia (Departemen Kehutanan, 2007). Kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan mangrove adalah moluska, udang-udangan, dan beberapa ikan yang khas. Beberapa penelitian secara intensif
5
terhadap hewan yang ada di hutan mangrove menghasilkan pembagian habitat organisme di bawah hutan mangrove menjadi 5 macam habitat, yaitu: A. Lubang pada cabang busuk dan air pada celah retakan antara batang dan ranting merupakan habitat yang baik sekali bagi larva nyamuk. B. Permukaan tanah dan di bawah tanah hidup berbagai jenis siput dan kepiting. C. Bagian batang dan akar napas merupakan tempat hidupnya bangsa kerang dan jenis molusca lainnya. D. Pohon kecil dihuni oleh jenis-jenis ketam/kepiting, larva nyamuk dan katak. E. Bagian yang berair dihuni oleh ikan, udang, buaya, dan jenis-jenis biawak (MacKinnon, et al., 2000). F.
Fungsi Hutan Mangrove Hutan mangrove memiliki berbagai macam fungsi. Menurut Rahmawaty (2006), beberapa fungsi yang dimiliki hutan mangrove adalah sebagai berikut: a. Fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi (abrasi) dan intrusi air laut, peredam gelombang dan badai, penahan lumpur, penangkap sedimen, pengendali banjir, mengolah bahan limbah, penghasil detritus, memelihara kualitas air, penyerap CO 2 dan penghasil O 2 serta mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. b. Fungsi biologis; merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) dan pengontrol penyakit malaria. c. Fungsi sosial ekonomi; sumber mata pencarian, produksi berbagai hasil hutan (kayu, arang, obat dan makanan), sumber bahan bangunan dan kerajinan, tempat wisata alam, objek pendidikan dan penelitian, areal pertambakan, tempat pembuatan garam dan areal perkebunan. Sebagai contoh fungsi hutan mangrove, yaitu dalam mengurangi tingkat pencemaran logam berat di perairan. Dalam banyak penelitian menunjukkan bahwa pohon bakau (Rhizophora mucronata) dapat mengakumulasi tembaga (Cu), mangan (Mn), dan seng (Zn). Banus,1977 juga mengungkapkan bahwa hipokotil pohon bakau dapat mengakumulasi tembaga (Cu), besi (Fe), dan seng (Zn). Kemampuan vegetasi mangrove dalam mengakumulasi logam berat dapat dijadikan alternatif perlindungan perairan terhadap pencemaran logam berat (Onrizal, 2002). Dalam kedudukannya sebagai suatu ekosistem antara darat dan lautan, hutan mangrove memiliki peranan menjaga keseimbangan biota laut dan darat. Hutan mangrove merupakan lingkungan hidup yang baik bagi petumbuhan udang, tempat berlindung nener (benih) ikan bandeng, dan sebagai tempat penggantian kulit kepiting (Scylla serrata), rajungan (Neptunus palagicus), yang semuanya itu merupakan potensi produktivitas laut (MacKinnon, et al., 2000). Seluruh fauna yang hidup di dalam ekositem hutan mangrove mempunyai peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan ekologi. Sekian banyak fauna yang hidup terdapat beberapa spesies kunci (keystone species) yang memegang peranan yang sangat penting. Salah satu spesies tersebut adalah kepiting yang hidup di dalam ekosistem mangrove. Kepiting diusulkan sebagai keystone species di kawasan hutan mangrove karena setiap aktivitasnya mempunyai pengaruh utama
6
pada berbagai proses paras ekosistem. Peran kepiting di dalam ekosistem hutan mangrove diantaranya mengkonversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi, meningkatkan distribusi oksigen di dalam tanah, membantu daur hidup karbon, serta tempat penyedia makanan alami bagi berbagai jenis biota perairan (Prianto, 2007). G.
Degradasi Hutan Mangrove di Indonesia Hutan mangrove di beberapa wilayah di Indonesia telah mengalami degradasi secara sistematis dari tahun ke tahun akibat banyaknya kepentingan manusia. Degradasi hutan mangrove rata-rata mencapai 14% pertahun (Walhi, 2006). Kondisi hutan mangrove di Indonesia saat ini memang cukup mengkhawatirkan, hal ini disebabkan karena pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya wilayah pesisir. Saat ini hutan mangrove telah banyak mengalami degradasi dimana dimanfaatkan untuk pertambakan, perkebunan, tempat pembuatan garam, pelabuhan dan lain-lain. Tidak heran bila pada tahun 1993 luas hutan mangrove yang tersisa tinggal 2,50 juta hektar dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 (Dahuri, 2002 dalam Rahmawaty, 2006). LKBN Antara (2006) melaporkan degradasi hutan mangrove mencapai 513 juta hektar. Degradasi ini disebabkan karena pemukiman penduduk, usaha pertambakan dan kegiatan logging. Sedangkan dilaporkan oleh Husein (2006), degradasi hutan mangrove menyebabkan potensi perikanan merosot drastis akibat kematian ikan, udang dan kepiting. Secara garis besar ada dua faktor penyebab rusaknya hutan mangrove, yaitu : 1. Faktor manusia, yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan. 2. Faktor alam, seperti: banjir, kekeringan, hama penyakit, tsunami, dan kebakaran yang merupakan faktor penyebab relatif kecil (Tirtakusumah, 1994 dalam Rahmawaty, 2006). Kerusakan ekosistem hutan mangrove akibat ulah manusia dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : 1. Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem hutan mangrove, 2. Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat atau sebagai bagian dari ekosistem mangrove, 3. Karena pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada lingkungan hidup (Soesanto & Sudomo, 1994 dalam Rahmawaty, 2006). Seperti yang dilaporkan oleh Onrizal (2002), bahwa penyebab rusaknya ekosistem mangrove di Jawa Barat dan Banten, umumnya bukan disebabkan oleh pencemaran air dan tanah di habitat mangrove. Hal ini dapat dilihat dari kualitas air maupun kandungan dan kedalaman pirit yang relatif baik bagi ekosistem mangrove. Kerusakan yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian, permukiman dan reklamasi pantai untuk kawasan wisata. H.
Pengelolaan Potensi Hutan Mangrove secara Berkelanjutan Upaya menjaga kelestarian hutan mangrove dapat dilakukan melalui teknik silvofishery dan pendekatan bottom up dalam upaya rehabilitasi. Silvofishery merupakan teknik pertambakan ikan dan udang yang dikombinasikan dengan
7
tanaman kehutanan dalam hal ini adalah vegetasi hutan mangrove. Usaha ini dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem hutan mangrove sehingga terjaga kelangsungan hidupnya. Selama ini pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi pada beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasan dalam suatu proyek apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down. Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek, yaitu saat dana telah habis, tentu saja pelaksana proyek tersebut merasa sudah habis pula tangung jawabnya. Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan, mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek (Savitri dan Khazali, 1999). Karena pendekatan top down kurang memberdayakan masyarakat maka diterapkanlah pendekatan secara bottom up yang merupakan suatu teknik dalam rehabilitasi hutan mangrove yang lebih banyak melibatkan masyarakat. Seyogyanya upaya pemulihan hutan mangrove adalah atas biaya pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian semua proses rehabilitasi (reboisasi) hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman dilakukan oleh masyarakat sehingga masyarakat merasa memiliki dan akan selalu turut menjaga kelestarian hutan mangrove (Rahmawaty, 2006). Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya, karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama. Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan jangka panjang. Pendekatan bottom up akan menumbuhkan partisipasi masyarakat juga sekaligus merupakan proses pendidikan bagi masyarakat (Savitri dan Khazali,1999). Selain itu juga kondisi hutan mangrove yang terjaga dapat menjadi objek wisata yang pada akhirnya mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya. Hutan mangrove merupakan objek wisata alam yang sangat menarik. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Karakteristik hutannya yang
8
berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Ada beberapa hal penting lainnya yang dapat dilaksanakan dalam upaya pelestarian hutan mangrove, yaitu: 1. Mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya yang lebih mudah diterima dan dikembangkan sesuai dengan keadaan setempat. 2. Perlu adanya peraturan-peraturan tertulis mengenai tanggung jawab pemerintah dan masyarakat akan kelangsungan ekosistem hutan mangrove berupa peraturan daerah. Seperti kita ketahui bersama, tambak tradisional yang telah dikembangkan selama berabad-abad silam tidak terlalu menjadi hal yang merisaukan dari segi lingkungan karena menggunakan vegetasi mangrove sebagai bagian dari sistem. Hal ini merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang patut dijadikan orientasi dalam pelestarian hutan mangrove. Untuk pengembangan teknologi yang berorientasi pada tradisi masyarakat perlu kiranya dilakukan penelitian-penelitian seputar kawasan hutan mangrove yang melibatkan masyarakat pesisir. Untuk itu perlu adanya peran aktif para peneliti baik dari civitas akademika maupun dari lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan swasta. Selain itu peran serta pemerintah sebagai fasilitator sangat diharapkan sehingga akan memperlancar terlaksananya berbagai riset yang berhubungan dengan upaya pelestarian hutan mangrove. Peraturan-peraturan daerah mengenai perlindungan kawasan hutan mangrove merupakan hal yang penting sebagai pengontrol kegiatan masyarakat di kawasan tersebut untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Sebagai contoh Peraturan Daerah Kota Tarakan nomor 04 tahun 2002 tentang Larangan dan Pengawasan Hutan Mangrove di kota Tarakan yang mengatur fungsi dan peran hutan mangrove, hak dan tanggung jawab masyarakat, larangan, pengawasan serta sanksi bagi perusak ekosistem hutan mangrove. Menurut Khazali (2005), struktur sosial dan bentuk pemanfaatan serta intensitas interaksi wilayah pesisir oleh masyarakat perlu diketahui dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove agar kelompok target masyarakat yang terlibat, baik prioritas maupun bukan prioritas dapat ditentukan. Biasanya kelompok target prioritas adalah tokoh masyarakat, petambak, nelayan dan lain-lain. Sedangkan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove dan rencana penanaman yang akan dilaksanakan penting diketahui untuk memantau persepsi masyarakat terhadap mangrove. Jika persepsi masyarakat negatif atau tidak mendukung terhadap rencana kegiatan penanaman vegetasi mangrove, maka pertama kali yang harus dilaksanakan adalah membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove dan pentingnya manfaat penanaman bagi mereka melalui pendidikan dan penyuluhan. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam membangun kesadaran masyarakat antara lain: 1. Diskusi bersama masyarakat untuk memahami kondisi pantai saat ini dan sebelumnya. 2. Mengidentifikasi dan menyadari bersama dampak hilang/rusaknya hutan mangrove.
9
3. Menentukan dan menyepakati bersama solusi mengatasi masalah akibat hilang/rusaknya hutan mangrove. 4. Sosialisasi peraturan-peraturan yang berlaku tentang hutan mangrove. 5. Studi banding untuk menyakini dan memperluas wawasan tentang manfaat hutan mangrove, perencanaan dan pelaksanaan bersama penanaman mangrove, serta pembentukan kelompok masyarakat pengelola dan pelestari hutan mangrove. Kemampuan masyarakat tradisional dalam memecahkan masalah-masalah dalam pengelolaan sumber daya alam yang semakin terbatas dapat masuk dalam kerangka konservasi hutan mangrove. Kemampuan ini lebih dikenal dengan sebutan sistem pengetahuan masyarakat setempat (local knowledge system). Kemampuan ini berkembang bukan hanya terbatas kepada bagaimana memanfaatkan hutan adat mereka, tetapi juga penyerapan teknologi pola pertanian tradisional (perladangan) termasuk pola agroklimatologi yang khusus disetiap tempat (Patriono, dkk.,2005). I.
Penutup Upaya pemanfaatan sumber daya hutan mangrove perlu diselaraskan dengan upaya pelestariannya, agar fungsi hutan mangrove secara fisik, ekologis dan sosialekonomis tetap lestari dan berkelanjutan. Upaya-upaya yang dilakukan hendaknya melibatkan semua pihak yang terkait seperti masyarakat, pemerintah, swasta, civitas akademika dan lembaga swadaya masyarakat serta pihak-pihak lain dalam bentuk kemitraan yang adil dan sejajar. Pelestarian ekosistem hutan mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan teknik silvofishery dalam usaha pertambakan yang berbasis lingkungan, penyuluhan serta pendekatan bottom up dalam usaha rehabilitasi (reboisasi) hutan mangrove. Selain itu upaya untuk kelestarian hutan mangrove dapat ditempuh dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional masyarakat (kearifan lokal) serta adanya peraturan-peraturan daerah yang mengatur serta mengontrol kegiatan masyarakat di kawasan hutan mangrove.
DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor. Departemen Kehutanan. 2007. Draft Profil taman Nasional Sembilang. Balai Taman Nasional Sembilang. Palembang. Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Husein, S. 2006. Memahami Proses Alamiah Degradasi Lingkungan Delta Mahakam (Online), (http://jo.ppi-jepang.org/article, diakses 22 Desember 2007). Khazali, M. 2005. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor. (Online), (http://www.pmdmahakam.org, diakses 2 April 2008).
10
LKBN Antara. 2006. Manusia Penyebab Utama Degradasi Mangrove (Online), (http://www.antara.co.id, diakses 10 Januari 2008). MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. & Mangalik, A. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta. Nybakken, J.W. 1982. Marine Biology: An Ecological Approach. Terjemahan Dr. M. Eidman. Gramedia Jakarta. Onrizal. 2002. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan. (Online), (http://library usu.ac.id, 2 April 2008). Patriono, E., Endri, J & Dwi, P.A. 2006. Diktat Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. FMIPA Universitas Sriwijaya. Inderalaya. Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan Masyarakat. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. (Online), (http://library usu.ac.id, diakses 2 April 2008). Savitri, L.A dan M. Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994. Walhi. 2006. Degradasi Hutan Bakau dan (http://www.walhi.or.id, diakses 11 Januari 2008).
Akibatnya
(Online),