RANCANG BANGUN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH
TEGUH ADIPRASETYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Rancang Bangun Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2010
Teguh Adiprasetyo NRP P062050121
ABSTRACT TEGUH ADIPRASETYO. Designing a Sustainable Management Policy of National Park in the Decentralized Era. Under the direction of ERIYATNO, ERLIZA NOOR, and CH. FADJAR SOFYAR. National park plays an important role in conserving nature, biodiversity and life supporting system. However, sectoral policy set up intended to manage national park may hinder that crusial role for humankind. Therefore, there has to be alternative approach to create a sound and effective public policy to manage national park sustainably. Critical system thinking could provide practical framework on policy analysis. This study was intended to develop a sustainable management policy model of national park using soft and hard system methodology approach. The results revealed that the need of such system was to balance social, economic, environment and natural resources for supporting sustainable development. The goals of the system were to protect valuable national park ecosystem for human wellbeing, to increase wealth of local residents close to national park, and to secure the existence of culture. The park authority should pay more attention to local people since they might behave as supporter or destroyer. Conceptual policy model of sustainable national park management was developed, namely National Park Management System Based on Ecosystem and Community which consisted of 3 models which were Management Model, Institutional Model and Funding Model. The model was considered as Community Initiative Government Support. In order to overcome coordination problem, to enhance comanagement and to increase benefit to local people, it is suggested that Working Group of National Park Planning Management and Village Owned Enterprise might be established. In addition, National Park Office should be enacted to General Service Agency of National Park as for efficiency and flexibility of financial management which are more transparent, accountable and professional.
Key words : sustainable management, model, national park, soft system methodology
RINGKASAN TEGUH ADIPRASETYO. Rancang Bangun Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional di Era Otonomi Daerah. Dibawah bimbingan ERIYATNO, ERLIZA NOOR, dan CH. FADJAR SOFYAR. Di Indonesia pertumbuhan jumlah taman nasional cukup cepat, sampai tahun 2004 terdapat 50 unit taman nasional dengan total luasan 12.4 juta hektar. Taman nasional memiliki fungsi strategis dan dapat memberikan manfaat dari kegiatan konservasi. Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi selama ini terfokus pada konservasi sumberdaya alam. Meskipun kawasan konservasi mempunyai tujuan utama pada upaya konservasi sumberdaya alam, tetapi secara normatif perlu diupayakan untuk memenuhi tujuan yang lebih luas untuk merekonsiliasi ketegangan antara sistem alam dengan sistem manusia. Perubahan politik yang lebih demokratis dan otonomi daerah memberikan konsekuensi bahwa pemerintah pusat tidak lagi menjadi satu-satunya institusi yang bertanggung jawab dalam mengelola kawasan konservasi. Pemerintah daerah dan masyarakat lokal dapat mempunyai peran yang lebih besar dalam mendukung efektifitas pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan lingkungan ini bisa berdampak positif maupun negatif terhadap kawasan konservasi, dampak negatif yang sering dijumpai antara lain perambahan lahan, perburuan ilegal, maupun fragmentasi habitat jika kebijakan pengelolaannya hanya terfokus pada sistem ekologi. Perubahan-perubahan ini tidak bisa dihindari. Untuk itu, diperlukan pendekatan kebijakan yang dapat menyeimbangkan aspek sosial ekonomi dengan aspek ekologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah dengan menggunakan pendekatan soft dan hard system methodology. Studi kasus dilakukan di Taman Nasional Kerinci Seblat dan desa sekitar di Kabupaten Kerinci dan Lebong. Responden rumah tangga masyarakat sekitar taman nasional dan pakar dilibatkan dalam penelitian ini. Data primer dan sekunder diolah menggunakan teknik analisis isi, statistik, strategic assumption surfacing and testing, pemodelan interpretasi struktural, dan fuzzy analisis hirarki proses. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia rendah dengan akses sumberdaya lahan pertanian yang terbatas. Kepemilikan lahan berkontribusi terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Pengetahuan tentang manfaat dan persepsi masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional, tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta koordinasi merupakan faktor-faktor yang menjadi kendala utama dalam pengelolaan taman nasional agar berkelanjutan. Tingkat pengetahuan masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu keterlibatan masyarakat dalam organisasi, asal etnis, afiliasi wilayah administratif kabupaten tempat domisili, tingkat pendidikan, jarak domisili ke TNKS, ukuran keluarga, tingkat pendapatan dan kepemilikan lahan pertanian. Upaya pengelolaan diarahkan pada peningkatan pengetahuan masyarakat tentang manfaat dan fungsi taman nasional dan peningkatan pendapatan serta tingkat kesejahteraan masyarakat lokal karena upaya-upaya ini sampai batas tertentu akan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya taman nasional. Petani yang bermukim dalam kawasan dan di sekitar taman nasional merupakan kelompok masyarakat yang paling terkena
dampak oleh baik buruknya kinerja sistem pengelolaan taman nasional. Lembaga lain yang dapat dilibatkan dan berperan penting dalam sistem pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan adalah Pemerintah Kabupaten dan satuan kerja perangkat daerah terkait, masyarakat lokal sekitar kawasan taman nasional, perguruan tinggi dan masyarakat adat. Keterlibatan berbagai pihak yang dapat berperan penting dalam mendukung keberlanjutan taman nasional menyebabkan koordinasi menjadi elemen kunci keberhasilan pengelolaan. Sintesa asumsi strategis dengan metode SAST untuk pengembangan model kebijakan pengelolaan taman nasional yang memiliki tingkat kepentingan dan kepastian tinggi adalah Pemerintah Daerah, akademisi dan LSM memiliki komitmen tinggi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, pembangunan ekonomi berkeadilan dan kesepahaman masyarakat, serta kesadaran masyarakat, aparat Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap peran penting jasa lingkungan dan ketersediaan dana dan tenaga pendampingan serta kesamaan pandang terhadap peran sumberdaya alam dalam pembangunan juga merupakan asumsi yang penting dan pasti. Sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat (TaNaBEM) sebagai manifestasi dari pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan di era otonomi daerah dibangun dengan mengacu pada prinsip good decision making. Sistem TaNaBEM dijabarkan ke dalam 3 model, yaitu Model Manajemen (Model MTN), Model Kelembagaan (Model KPTN) dan Model Pendanaan (Model PTN). Model MTN merupakan upaya integrasi perencanaan pembangunan jangka menengah, rencana tata ruang wilayah, rencana kerja pemerintah dan rencana pengelolaan lingkungan yang dilandasi asas komplementer. Model KPTN adalah perwujudan kelembagaan yang mampu menampung aspirasi masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk memperoleh konsensus pengelolaan taman nasional. Organisasi untuk merealisasikan kebijakan ini dilakukan melalui pembentukan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sedangkan Model PTN merupakan perwujudan dari asas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan yang diwadahi melalui penetapan status Badan Layanan Umum Taman Nasional. Untuk peningkatan efektifitas koordinasi perlu dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional sebagai antar muka antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, masyarakat lokal dan swasta. Kelompok Kerja ini memiliki fungsi mengkoordinasikan upaya konservasi secara partisipatif, pengembangan kegiatan ekonomi alternatif yang terkait dengan sumberdaya taman nasional, pengembangan usaha mikro kecil dan menengah yang bergerak dibidang usaha yang terkait dengan taman nasional, konsensus penetapan prioritas pengelolaan taman nasional sesuai dengan tata nilai lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Keanggotaan Forum merupakan representasi dari unsur-unsur Pemda, dinas terkait, pengelola taman nasional, perguruan tinggi, LSM dan kelompok masyarakat pengguna yang didukung oleh tim ahli dan tim teknis. Keluaran dari Kelompok Kerja ini adalah masukan kebijakan operasional dan perencanaan pengelolaan taman nasional yang pelaksanaannya akan dilakukan oleh masing-masing pihak terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Di samping itu, kelembagaan Balai Besar Taman Nasional diusulkan untuk menjadi Badan Layanan Umum Taman Nasional agar pendanaan dan pengelolaan keuangan dapat menjadi lebih fleksibel, transparan dan akuntabel. Kata kunci: pendekatan sistem, soft system, pengelolaan, taman nasional
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RANCANG BANGUN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH
TEGUH ADIPRASETYO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji pada Ujian Tertutup:
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Dr. Ir. Machfud, MS
Penguji pada Ujian Terbuka:
Prof. Dr. Ir. Herman Haeruman Js, MF Dr. Ir. Boen M. Purnama
PRAKATA Ucapan syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME atas segala nikmat-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Rancang Bangun Kebijakan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah” dapat diselesaikan dengan baik. Kebijakan pengelolaan taman nasional sangat penting untuk dikaji karena ekosistem ini harus terjaga sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan tulus disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE, sebagai ketua
komisi
pembimbing,
Dr. Erliza Noor, dan Dr. Chairul Fadjar Sofyar, masing-masing sebagai anggota komisi, atas segala bimbingan dan pengarahannya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. sebagai Ketua Program Studi PSL IPB, Prof. Dr. Ir. Herman Haeruman sebagai penguji luar komisi pada ujian prelim dan ujian terbuka, dan Prof. Dr.Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr.Ir. Machfud, MS yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr.Ir. Boen M. Purnama yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi ujian terbuka. Kepada Dr.Ir. Samedi, Dr.Ir. Priyono, Dr.Ir. Nugroho, Dr.Ir. Wiryono, Dr. Ir. Agus Susatya,
Ir. Soewartono, MM, Ir. Syamsu NM, MSc, Drs.Panji
Suminar, MSc, dan Dr. Agus Trianto yang telah banyak memberikan pendapat, masukan mendasar dan dukungan pada proses penyusunan disertasi ini. Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Ditjen Dikti yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam rangka mengikuti program doktor di IPB, baik melalui beasiswa BPPS maupun Hibah Penelitian Program Doktor.
Ucapan
terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Rektor UNIB atas kesempatan tugas belajar yang diberikan, Ketua Bappeda Propinsi Bengkulu dan Jambi, Kabupaten Kerinci dan Lebong, Kepala Dinas Kehutanan, Pertanian, Koperasi dan UKM, Pariwisata dan Ketua Kadinda Prop. Bengkulu dan Jambi, serta Kab. Lebong dan Kerinci, atas dukungan moril dan informasinya. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa PSL Pascasarjana IPB atas saran, masukan dan dukungan dalam penyelesaian disertasi ini. Untuk Rani dan Erni diucapkan terima kasih banyak atas pengorbanan, pengertian dan doanya. Bogor, Agustus 2010 Teguh Adiprasetyo
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Oktober 1959 di Kendal, sebagai anak pertama dari 5 bersaudara dari Bapak Rochimam (alm) dan Ibu Roekaeniwati (alm). Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di Semarang. Pada tahun 1983, penulis menyelesaikan S1 di Jurusan Ilmu Tanah, Faperta IPB dan pada tahun 1991 menyelesaikan S2 di Agric. Mech. Kansas State University, USA. Tahun 2005 mulai menempuh program S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB. Selama 4 tahun sejak lulus S1, penulis pernah bekerja di beberapa perusahaan konsultan pertanian.
Sejak tahun 1987 meniti karir sebagai staf
pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
Penulis menikah dengan
Ir. Agustina Erni, MSc yang bekerja pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan dikaruniai seorang anak, Rani Yanarastri yang sekarang sedang menempuh pendidikan di Teknik Sipil ITB. Publikasi ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian disertasi ini telah di publikasikan pada Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 9 Nomor 2 tahun 2009, jurnal ini terakreditasi Dirjen Dikti Depdiknas No:108/DIKTI/Kep/2007. Judul artikel “Sikap Masyarakat Lokal Terhadap Konservasi dan Taman Nasional sebagai Pendukung Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat: studi kasus di Kabupaten Kerinci dan Lebong, Indonesia”
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………… ……………………………… DAFTAR GAMBAR ………………………….…………………………... DAFTAR LAMPIRAN …………………….……………………………… DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………..
xi xiii xv xvi
1
PENDAHULUAN ……………………………………...…….………. 1.1. Latar Belakang ………………………………………………..... 1.2. Tujuan Penelitian ……………………………………………….. 1.3. Kerangka Pemikiran …………………………………………..... 1.4. Manfaat ………………………………………………………..... 1.5. Kebaruan …………………………………………………….....
1 1 3 4 7 8
2
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………..…..……..... 2.1. Taman Nasional …………………………………………….…... 2.2. Pengelolaan Taman Nasional …………………………………… 2.3. Partisipasi Masyarakat .………………………………………... 2.4. Pembangunan Berkelanjutan …………………………………..... 2.5. Analisis Kebijakan …………………………..………….……… 2.6. Pendekatan Sistem dan Soft System Methodology ..…….……..... 2.7. Strategic Assumption Surfacing and Testing ..……….………..... 2.8. Pemodelan Interpretasi Struktural ……………………………..... 2.9. Fuzzy Analytical Hierarchy Process …………………………..... 2.10. Validasi Model ……..……………………………………………
9 9 16 20 23 30 40 45 48 54 62
3
METODOLOGI PENELITIAN …………………………………….... 3.1. Lokasi Penelitian …..…………………………………………... 3.2. Tahapan Penelitian ………………………………..……………. 3.3. Teknik Pengambilan Data …………………….……..………… 3.4. Metode Analisis Data …………………….……………………. 3.5. Pemodelan Sistem ……………………………..………………. 3.6. Analisis Sistem Dinamik ……………………………..………... 3.7. Validasi Model …….………………………..…………………..
65 65 65 67 72 78 81 81
4
ANALISIS SITUASIONAL …………………………………..…….. 83 4.1. Kebijakan Sektoral dan Daerah ………..……………………….. 83 4.2. Internal Manajemen ……………………………………………... 87 4.3. Kondisi Fisik Kawasan …………………………………………. 96 4.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ………………………..…. 100 4.5. Partisipasi Masyarakat ………………………………………….. 117
5
ANALISIS KEBIJAKAN ……………………………………………. 5.1. Asumsi Kebijakan ……………………………………………… 5.2. Struktur Sistem Pengelolaan Taman Nasional ………………….. 5.3. Sistem Dinamik …………..……………………………………..
119 119 122 154 ix
6
MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN …………………………….. 6.1. Sistem Pengelolaan Taman Nasional ………………………….. 6.2. Model Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Berkelanjutan ... 6.3. Validasi Model ……………..…………………………………... 6.4. Prospektif Dampak dan Implikasi Kebijakan …………...……...
159 159 161 184 185
7
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 7.1. Kesimpulan ……..……………………..………………………. 7.2. Saran .…………………………………………………………..
193 193 196
DAFTAR PUSTAKA ………………………….…………………………
199
LAMPIRAN .……………………………………………………………..
211
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM ....................
53
2 Skala penilaian perbandingan berpasangan ...........................................
55
3 Nilai Indeks Random (RI) …………………………………………….
57
4 Peubah dan sumber data penelitian ……………………………………
68
5 Padanan variabel linguistik dengan triangular fuzzy number .................
77
6 Proporsi beberapa aspek kunci dalam perundangan dan peraturan yang terkait dengan taman nasional ……………………………………
84
7 Luasan kawasan TNKS berdasarkan wilayah administratif ………..…
88
8 Zonasi kawasan TNKS di Kab. Kerinci dan Lebong/Rejang Lebong …
94
9 Tutupan hutan dan perubahannya di Kabupaten sekitar TNKS ………
97
10 Tutupan hutan dan perubahannya di kawasan TNKS …………………
98
11 Luasan daerah aliran sungai di kawasan TNKS ....................................
100
12 Distribusi PDRB Kabupaten Kerinci harga konstan tahun 2000 ……… 102 13 Tingkat pendapatan dan kemiskinan di lokasi penelitian ………..……
105
14 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan tentang taman nasional ………………………………………………………………..
107
15 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap masyarakat …… 110 16 Pengaruh pengetahuan dan persepsi terhadap sikap masyarakat ……… 117 17 Alternatif asumsi dasar kebijakan pengelolaan taman nasional ……………… 120 18 Peubah kunci sistem pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan.
123
19 Elemen kelompok masyarakat yang terpengaruhi dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan ………………………………….
124
20 Elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan .................................................................................
131
21 Elemen kebutuhan ……………………………………………………..
135
22 Elemen tujuan …………………………………………………………
139
23 Elemen kendala utama ………………………………………………..
145
24 Elemen perubahan yang dimungkinkan ………………………………
149
25 Elemen kegiatan yang diperlukan …………………………………….
153
xi
26 Peran dan keterlibatan stakeholder dalam Sistem Pengelolaan Taman Nasional secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah …………….
180
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian ……………………………………….
7
2 Tiga elemen sistem kebijakan (Dunn 1994) ………………………….
34
3 Siklus kebijakan (Dunn 1994) ………………………………………..
36
4 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan (Richardson & Pugh 1983) ................................................................
42
5 Proses soft system methodology (Checkland 1999) ..............................
45
6 Grafik peringkat asumsi (Flood & Jackson 2000) ……………………
48
7 Lokasi penelitian ……………………………………………………...
65
8 Tahapan penelitian ................................................................................
67
9 Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992) ……………………………
80
10 Struktur Organisasi Pengelola TNKS ………………………………..
91
11 Zonasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS 2005) ……………….
95
12 Proporsi belanja anggaran pengelolaan TNKS (TNKS 2007) .………
96
13 Tingkat kepentingan dan kepastian asumsi …………………………..
121
14 Struktur sistem elemen kelompok masyarakat yang terpengaruhi …...
125
15 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi ………………………………………..
126
16 Struktur sistem elemen pelaku atau lembaga yang terlibat …………..
132
17 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen lembaga yang terlibat …………………………………………………………
133
18 Struktur sistem elemen kebutuhan ……………………………………
136
19 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen kebutuhan …………………………………………………………….
136
20 Struktur sistem elemen tujuan ………………………………………...
140
21 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen tujuan ….
141
22 Struktur sistem elemen kendala utama ………………………………..
146
23 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen kendala ..
146
24 Struktur sistem elemen perubahan yang dimungkinkan ……………...
150
xiii
25 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen perubahan yang dimungkinkan ……………………………………….
151
26 Struktur sistem elemen kegiatan yang diperlukan ……………………
153
27 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen kegiatan yang diperlukan …………………………………………….
154
28 Diagram simpal kausal sistem pengelolaan integratif ……………….
155
29 Proyeksi partisipasi, pendapatan masyarakat dan kesehatan ekosistem
156
30 Sistem manajemen lingkungan pengelolaan taman nasional ………...
161
31 Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007) ………
162
32 Prioritas kebijakan pengelolaan taman nasional …………………….
168
33 Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat (TaNaBEM) ……………………………………………
169
34 Model Manajemen (Model MTN) …………………..……………….
172
35 Model Kelembagaan (Model KPTN) ………………………………..
175
36 Model Pendanaan (Model PTN) …………………………………….
176
37 Diagram alir sistem dinamik pengelolaan taman nasional ………….
187
38 Proyeksi peningkatan pendapatan masyarakat setelah kebijakan ……
188
39 Proyeksi peningkatan partisipasi setelah kebijakan ………………….
188
40 Proyeksi kesehatan ekosistem setelah penerapan kebijakan …………
188
41 Usulan struktur organisasi BLU Badan Pengelola TNKS …………..
192
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan, persepsi dan sikap ……
212
2 Kebijakan terkait Sistem Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah ……………………………..
213
3 Karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat lokal ……..
219
4 Hasil ISM untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi …....
220
5 Hasil ISM untuk elemen pelaku yang terlibat …………….………...
221
6 Hasil ISM untuk elemen kebutuhan …………………….…………..
222
7 Hasil ISM untuk elemen tujuan ……………….…………………….
223
8 Hasil ISM untuk elemen kendala utama …………….………………
224
9 Hasil ISM untuk elemen perubahan yang dimungkinkan …….…….
225
10 Hasil ISM untuk elemen kegiatan yang diperlukan ……….………..
226
11 Persamaan model sistem dinamik pengelolaan taman nasional ……
227
12 Nilai fuzzy agregat pendapat pakar ………………………….………
231
13 Nilai eigen faktor, stakeholder, tujuan dan alternatif kebijakan …….
241
14 Bagan organisasi Lembaga Penjaminan Dana Bergulir KUMKM .…
243
15 Bagan organisasi Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan ………….
244
xv
DAFTAR SINGKATAN AHP AME APBD APBN AVE Bappenas BBTN BLU BPS BUMDes CAC DAS Dephut Digraph Ditjen PHKA
: : : : : : : : : : : : : : :
DP DW FGD HSM ISM IUCN
: : : : : :
KF KPTN KTT LSM MGDs MTN PP Permenhut PDRB Pokja PTN RKP RM
: : : : : : : : : : : : :
Analytical Hierarchy Process Average Mean Error Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Absolute Variation Error Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Balai Besar Taman Nasional Badan Layanan Umum Badan Pusat Statistik Badan Usaha Milik Desa Command and Control Daerah Aliran Sungai Departemen Kehutanan Directional Graph Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Driver Power Durbin Watson Focus Group Discussion Hard System Methodology Interpretive Structural Modelling International Union for Conservation of Nature and Natural Resources Kalman Filter Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional Konferensi Tingkat Tinggi Lembaga Swadaya Masyarakat Millenium Development Goals Manajemen Taman Nasional Peraturan Pemerintah Peraturan Menteri Kehutanan Pendapatan Domestik Regional Bruto Kelompok Kerja Pendanaan Taman Nasional Rencana Kerja Pemerintah Reachability Matrix
xvi
RPL RPJMN RPJMD RTRW SAST SSIM SSM TaNaBEM TN TNKS UNCED UNDESA UPT UU WCED
: : : : : : : : : : : : : : :
Rencana Pengelolaan Lingkungan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Strategic Assumption Surfacing and Testing Self Structural Interaction Matrix Soft System Methodology Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat Taman Nasional Taman Nasional Kerinci Seblat United Nations on Environment and Development United Nations Departement of Economic and Social Affair Unit Pelaksana Teknis Undang-Undang World Commission on Environment and Development
xvii
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia.
Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep pembangunan berkelanjutan. Pemahaman dan penerimaan konsep ini berkembang dari yang awalnya hanya terfokus pada dimensi lingkungan sampai kepada pemahaman bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengintegrasikan tujuan-tujuan
pembangunan
ekonomi,
sosial
budaya
dan
kelestarian
lingkungan. Di samping itu, juga disadari bahwa pencapaian pembangunan berkelanjutan memerlukan reformasi kelembagaan dan kebijakan yang melibatkan seluruh sektor pembangunan pada semua tingkatan. Pembangunan berkelanjutan merupakan tanggung jawab pemerintah, dunia usaha dan masyarakat (UNDESA 2002). Sejak dicanangkannya otonomi daerah yang dilandasi oleh Undangundang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, pembangunan di Indonesia mengalami perubahan paradigma yang mendasar dan bersifat struktural. Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar bagi Pemerintah Kota, Kabupaten dan Propinsi untuk dapat menjalankan kebijakan pembangunan sektoral, wilayah dan daerah secara otonom yang didasarkan pada potensi sumber daya di daerahnya masing-masing. Hal ini membuka peluang bagi pemerintah daerah dalam menggali potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendelegasian kewenangan yang luas kepada daerah otonom diharapkan dapat meningkatkan percepatan pembangunan di daerah melalui pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki tanpa mengabaikan keberlanjutan pembangunan daerah (Kuncoro 2004). Salah satu aset sumber daya alam yang berada di daerah otonom dan merupakan kawasan konservasi adalah taman nasional. Di Indonesia, sampai tahun 2007 terdapat taman nasional sejumlah 50 unit dengan luasan 16.4 juta
2 hektar (Dephut 2008). Taman nasional
memiliki fungsi strategis dan dapat
memberikan manfaat yang berasal dari tujuan konservasi, menurut Dixon and Sherman (1990) antara lain: 1) terpeliharanya sumber daya alam, jasa lingkungan dan proses ekologis; 2) produksi material dari sumber daya alam, seperti tanaman obat dan satwa; 3) produksi jasa rekreasi dan wisata; 4) produk objek-objek wisata sejarah dan budaya; dan 5) penyediaan peluang untuk pendidikan dan penelitian. Pelayanan jasa lingkungan dan manfaat lainnya dari taman nasional ini sangat potensial bernilai ekonomi apabila dapat dikelola dengan tepat (Haeruman 1997). Untuk itu, taman nasional seharusnya dikelola agar nilai-nilai strategis tersebut dapat mengakomodasi kepentingan pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang secara adil maupun generasi yang akan datang, baik lokal, nasional maupun internasional. Namun, pengelola taman nasional sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya di taman nasional, dimana. seringkali masyarakat lokal diabaikan dalam pengelolaan taman nasional (Stevens 1997). Pada awalnya, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi hanya terfokus pada konservasi sumber daya alam, tetapi belakangan kebijakan ini dituntut untuk bergeser sejalan dengan kesadaran bahwa sumber daya alam dengan sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan konservasi pada dasarnya saling terkait (Phillips 2002; Wilson 2003). Kawasan konservasi perlu dikelola secara adaptif dalam perspektif jangka panjang dan dipandang sebagai aset masyarakat, baik lokal, nasional maupun internasional dengan tujuan yang mencakup keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dengan proses pembangunan sosial ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Pengelolaan kawasan konservasi ini perlu melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhinya dan memberikan perhatian yang lebih kepada nilai-nilai budaya lokal (Phillips 2003; Borrini-Feyerabend et al. 2004).
3 Meskipun kawasan konservasi mempunyai tujuan utama pada upaya konservasi sumber daya alam, tetapi secara normatif perlu diupayakan untuk memenuhi tujuan yang lebih luas, yaitu merekonsiliasi ketegangan antara sistem alam dengan sistem manusia. Kawasan konservasi dapat dijadikan sebagai mekanisme
untuk
mengantarkan
tercapainya
tujuan-tujuan
pembangunan
berkelanjutan (Barker & Stockdale 2008). Tekanan dari faktor-faktor perubahan lingkungan ini bisa berdampak positif maupun negatif terhadap kawasan konservasi, dampak negatif yang sering dijumpai antara lain perambahan lahan, perburuan ilegal, maupun fragmentasi habitat (Shadie & Epps 2008) jika kebijakan pengelolaannya hanya fokus pada sistem ekologi.
Perubahan-
perubahan ini tidak bisa dihindari. Perubahan pendekatan ini memerlukan kebijakan yang dapat menyeimbangkan aspek sosial ekonomi dengan aspek ekologi (Jeanrenaud 2002). Mengingat kompleksitas dan adanya saling keterkaitan yang kuat antara aspek ekologi, sosial budaya dan ekonomi dalam pengelolaan taman nasional serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan taman nasional, maka formulasi kebijakan pengelolaannya perlu dilakukan melalui pendekatan sistem (Eriyatno 2003). Jackson (2006) mengemukakan bahwa critical system thinking dapat memberikan arahan bagaimana menggunakan teori sistem, metodologi dan metode dalam menganalisis kebijakan. Checkland (1999) dan Christis (2005) menyebutkan bahwa perihal yang kompleks dan tidak terstruktur dapat ditangani dengan baik melalui penggunaan soft system methodology. Dengan demikian diharapkan pengelolaan taman nasional dapat mencapai tujuan konservasi, memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah secara berkelanjutan. 1.2
Tujuan Tujuan umum penelitian adalah merancang bangun model kebijakan
pengelolaan
taman
nasional
yang
berkelanjutan
dan
integratif
dengan
menggunakan pendekatan soft dan hard system methodology untuk harmonisasi
4 aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Tujuan khusus untuk mendukung perumusan kebijakan adalah: 1) Menganalisis situasi sistem pengelolaan taman nasional. 2) Memunculkan dan mensintesis asumsi dasar yang melandasi model kebijakan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan. 3) Merumuskan struktur sistem pengelolaan taman nasional berkelanjutan dengan pendekatan sistem melalui sintesis aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat. 4) Menentukan prioritas alternatif kebijakan untuk pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan di era otonomi daerah. 1.3
Kerangka Pemikiran Taman nasional sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi dapat banyak
berperan dalam perekonomian daerah maupun nasional melalui beragam manfaat jasa lingkungan yang disediakannya. Beberapa manfaat tersebut merupakan hasil dari pemanfaatan langsung sumber daya alam yang dapat memiliki nilai ekonomi sesuai dengan harga pasar.
Sedangkan sebagian manfaat lainnya, seperti
penggunaan rekreasi dan wisata, tergantung dari penggunaan taman nasional oleh masyarakat dan manfaatnya dapat diukur secara moneter. Namun, sebagian besar manfaat lain dari taman nasional, seperti perlindungan sistem hidrologi, sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati sangat sulit untuk diukur secara moneter. Manfaat ini sering disebut sebagai manfaat sosial karena memberikan manfaat kepada individu-individu atau masyarakat secara luas, tetapi sering tidak disadari manfaatnya karena tidak terukur secara moneter dan selama ini manfaat tersebut diperoleh secara gratis (Haeruman 1997). Terpeliharanya fungsi penyediaan jasa lingkungan dan manfaat taman nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik taman nasional dan interaksinya dengan perubahan kondisi lingkungan sosial ekonomi, kebijakan nasional dan daerah. Perubahan sosial ekonomi seperti dinamika dan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, perdagangan dan konsumsi, kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan akan mempengaruhi taman nasional. Perubahan biofisik seperti konversi lahan dan kelembagaan pengelolaan juga akan mempengaruhi kinerja
5 dan efektifitas pengelolaan taman nasional (Barber 2004). Sebaliknya, Perubahan kondisi taman nasional, misalnya karena adanya konversi penggunaan lahan akan dapat mempengaruhi, baik positif maupun negatif, kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Kelompok masyarakat yang mengkonversi lahan di taman nasional akan mendapatkan manfaat dan akan meningkatkan pendapatannya. Sedangkan biaya yang muncul akibat konversi tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dan komunitas masyarakat secara keseluruhan (Dasgupta & Mäler 1994; Mink 1999). Paradigma kebijakan pengelolaan taman nasional saat ini masih terfokus pada sistem ekologi dan kawasan (Phillips 2002; Wilson 2003). Sistem sosial dan ekonomi kawasan sekitar taman nasional belum mendapatkan pertimbangan yang besar dalam pengelolaan taman nasional. Di samping itu, otonomi daerah telah menyebabkan berbagai perubahan yang mendasar, terutama akibat pendelegasian sebagian besar kewenangan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Namun, kebijakan terhadap pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional masih sama. Kewenangan pengelolaan taman nasional masih tetap berada pada Pemerintah Pusat. Kebijakan ini menurut Resosudarmo (2002) tidak dapat efektif untuk mencapai tujuan pengelolaan taman nasional. Hal ini diindikasikan dengan sikap beberapa pemerintah daerah yang tidak bersedia membantu secara aktif mengatasi permasalahan yang dihadapi pengelola taman nasional. Sedikitnya manfaat langsung (tangible benefit) yang dapat dinikmati masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan taman nasional dan pemerintah daerah juga menyebabkan rendahnya dukungan masyarakat dan Pemda terhadap eksistensi taman nasional (Soetarto et al. 2001).
Akibat akhirnya adalah degradasi
ekosistem karena pengelolaan taman nasional tidak efektif untuk mencapai tujuan penetapannya. Degradasi ekosistem yang banyak terjadi di taman nasional memunculkan keperluan suatu sistem pengelolaan yang baru. Argumentasi tuntutan perubahan kebijakan pengelolaan didasari pemikiran bahwa pendekatan konservasi yang telah diharmonisasikan dengan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat dan agenda pembangunan diharapkan akan menyebabkan manfaat kawasan konservasi dapat berkelanjutan. Kawasan konservasi seyogyanya dikelola dalam perspektif jangka
6 panjang dengan tujuan mencakup keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dalam proses pembangunan sosial ekonomi regional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah daerah yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Di samping itu, pengelolaan kawasan konservasi ini perlu melibatkan seluruh stakeholder dalam pengambilan keputusan pengelolaannya. Pengembangan
kebijakan
pengelolaan
taman
nasional
yang
mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi memiliki dimensi yang sangat kompleks. Aspek ekologi yang tercermin dari kondisi fisik kawasan menuntut terlindunginya ekosistem taman nasional dan terjamin kelestariannya. Aspek sosial menghendaki adanya penerimaan secara sosial terhadap keberadaan taman nasional dan semua stakeholder dapat turut serta menjaga kelestariannya sesuai dengan peran masing-masing. Sedangkan dari aspek ekonomi, taman nasional diharapkan dapat berkontribusi terhadap perekonomian daerah melalui pemanfaatan yang berkelanjutan. Di samping itu, kebijakan sektoral dan daerah juga merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional. Mengingat kompleksitas yang dihadapi maka pengembangan kebijakan pengelolaan akan dibangun menggunakan pendekatan soft dan hard system.
Pendekatan sistem diyakini akan dapat
menghasilkan kebijakan pengelolaan taman nasional yang efektif. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan ini diharapkan akan mampu mendukung pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini tanpa mengurangi
kemampuan
generasi
yang
akan
datang
untuk
memenuhi
kebutuhannya. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.
7
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.4
Manfaat Keluaran dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pengelolaan
taman nasional di masa mendatang. Secara terperinci manfaat dari penelitian ini adalah: 1) Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang holistik akan pentingnya nilai taman nasional kepada pihak-pihak yang berkepentingan dari sisi ekologi, sosial dan ekonomi.
8 2) Hasil penelitian dapat dipergunakan untuk memahami secara holistik dan mendapatkan peluang perbaikan pengelolaan taman nasional, menggali kesempatan usaha bagi masyarakat dari keberadaan taman nasional, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3) Penelitian akan menghasilkan suatu kebijakan pengelolaan taman nasional yang efektif dan berkelanjutan yang melibatkan pemangku kepentingan secara menyeluruh. Model kebijakan ini selanjutnya diharapkan dapat diaplikasikan pada taman nasional lainnya di Indonesia. 1.5
Kebaruan Kebaruan dari penelitian rancang bangun kebijakan pengelolaan taman
nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah adalah: 1) Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional didasarkan pada pemodelan pengelolaan melalui penggabungan pendekatan soft dan hard system methodology yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi. 2) Pengembangan konsep pengelolaan taman nasional dilakukan dengan pendekatan sistem dan kebijakan yang dibangun didasarkan pada konsep pengelolaan yang holistik dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. 3) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kebaruan berupa perwujudan pengelolaan taman nasional dalam hal: a) Aspek Manajemen yang mengintegrasikan rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan daerah dan kebijakan bidang kehutanan dan lingkungan hidup, b) Aspek Kelembagaan
untuk
menampung
aspirasi
masyarakat
dalam
rangka
pencapaian konsensus pengelolaan taman nasional melalui koordinasi yang efektif melalui saluran Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dan Badan Usaha Milik Desa yang mengakomodasi upaya pemanfaatan taman nasional untuk peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, dan c) Aspek Pendanaan yang fleksibel dan efisien serta dikelola secara transparan dan akuntabel melalui status Balai Besar/Balai Taman Nasional sebagai Badan Layanan Umum.
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Taman Nasional Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi. Sampai
dengan tahun 2007 di Indonesia kawasan yang telah ditetapkan sebagai taman nasional darat sejumlah 50 unit dengan luas 12 298 216 hektar dan 7 unit taman nasional laut dengan luas 4 049 541 hektar (Dephut 2008). Kawasan taman nasional termasuk ke dalam kategori II pada klasifikasi yang dikembangkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, yaitu kawasan pelestarian alam yang dikelola utamanya untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi (Dudley & Phillips 2006). Taman nasional didefinisikan sebagai kawasan alami baik di darat maupun laut yang ditetapkan untuk melindungi integritas satu atau lebih ekosistem untuk generasi sekarang dan mendatang, menghindarkan dari ekploitasi dan pendudukan kawasan tersebut, dan menyediakan landasan untuk keperluan spiritual, pendidikan, rekreasi dan peluang kunjungan yang keseluruhannya harus selaras dengan lingkungan dan budaya (IUCN 1994). Sedangkan tujuan pembangunan taman nasional meliputi: 1) melindungi kawasan alami yang memiliki nilai kepentingan pada tingkat nasional maupun internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi maupun wisata, 2) mempertahankan
sealami
mungkin
representasi
fisiografis
kawasan,
komunitas biotik, sumber daya genetik dan jenis untuk mempertahankan stabilitas dan keragaman ekologis, 3) mengelola pengunjung yang menggunakan kawasan untuk inspirasi, pendidikan, budaya dan rekreasi pada tingkat yang dapat menjamin terpeliharanya kawasan sealami mungkin atau mendekati alami, 4) mengeliminasi dan kemudian menghindarkan kegiatan eksploitasi atau pendudukan yang bertentangan dengan tujuan penetapan kawasan, 5) memelihara atribut ekologi, geomorfologi dan keindahan yang menjamin tujuan penetapannya,
10 6) mengakomodasikan
kepentingan
masyarakat
lokal,
termasuk
untuk
pemanfaatan secara subsisten sepanjang tidak mengabaikan tujuan penetapan kawasan. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, taman nasional didefinisikan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Suatu kawasan dapat ditetapkan menjadi taman nasional harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, yaitu: 1) kawasan yang akan ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami, 2) memiliki sumber daya alam yang khas dan unik, baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami, 3) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, 4) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam, 5) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lainnya yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Sistem zonasi merupakan landasan pengelolaan taman nasional di Indonesia. Masing-masing zona memiliki kriteria yang harus dipenuhi. Zona inti merupakan bagian kawasan taman nasional yang mutlak harus dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia. Penetapan zona ini didasarkan atas 6 kriteria. Pertama, memiliki keanekaragaman jenis
11 tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Kedua, mewakili formasi biota
tertentu dan atau unit-unit penyusunnya. Ketiga, mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia. Keempat, mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami. Kelima, mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
Keenam, mempunyai
komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah. Zona pemanfaatan merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang dikhususkan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata. didasarkan atas 3 kriteria.
Penetapan zona ini
Pertama, mempunyai daya tarik alam berupa
tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik.
Kedua, mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam. Ketiga, kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Di samping itu dapat ditetapkan zona lain, yaitu zona di luar zona inti dan pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, atau zona rehabilitasi. Zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang melindungi zona inti dimana pembangunan fisik yang bersifat permanen tidak diperbolehkan serta dapat dikunjungi secara terbatas. Zona ini mempunyai 3 kriteria. Pertama, kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembang biakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi. Kedua, memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan. Ketiga, merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. Taman
nasional
yang
merupakan
kawasan
pelestarian
alam
dan
pengelolaannya dilakukan dengan sistem zonasi memungkinkan kawasan tersebut memenuhi seluruh fungsinya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari sumber daya
12 alam hayati dan ekosistemnya. Pemeliharaan dan peningkatan fungsi ini dalam pengelolaan taman nasional akan dapat menjaga keutuhan dan keberlanjutan taman nasional dan sekaligus dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Jika hal ini dapat berlangsung dengan baik maka pengelolaan taman nasional dapat digunakan untuk menggambarkan pola hubungan timbal balik antara manusia dengan alam yang saling menguntungkan.
Hal ini akan
menunjukkan bahwa integrasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam program dan kebijakan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang dapat dilakukan.
Namun, kenyataannya
keberadaan taman nasional masih belum sepenuhnya dapat berfungsi dengan baik dan optimal. Pengelolaan taman nasional sampai saat ini menunjukkan masih dalam taraf upaya untuk mempertahankan dan melindungi eksistensi potensi dan kawasan taman nasional dari berbagai faktor penyebab kerusakan dan penyusutan luasan kawasan.
Aspek pemanfaatan taman nasional untuk kesejahteraan
masyarakat belum berkembang dengan baik dan belum mampu memberikan kontribusi direct use value yang berarti bagi daerah dimana kawasan tersebut berada. IUCN (2005) menekankan bahwa sebenarnya taman nasional dapat memainkan peran penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati dan sekaligus dalam berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena taman nasional dapat menjadi faktor kunci dalam pencapaian Millennium Development Goals, khususnya yang terkait dengan keberlanjutan lingkungan dan pengentasan kemiskinan dan dapat menjadi kontributor penting terhadap salah satu target pembangunan berkelanjutan yang mempunyai tujuan mengurangi kehilangan keanekaragaman hayati secara nyata. Namun, beberapa kalangan masyarakat masih melihat bahwa taman nasional merupakan pembatas aspirasi dan aktifitasnya.
Di samping itu, dewasa ini taman nasional juga
menghadapi berbagai tantangan yang semakin meningkat sebagai akibat adanya perubahan lokal maupun global, semisal perubahan iklim, demografi, ekonomi, politik/kepemerintahan, dan teknologi.
Sistem pengelolaan taman nasional
menjadi semakin kompleks, khususnya karena menyangkut pengaruh antara
13 pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pengelola taman nasional. Karenanya, aturan dan peran dari masing-masing pihak pemangku kepentingan dalam pengelolaan taman nasional harus terdefinisikan dengan jelas dan dipahami bersama.
Tantangan utama yang harus dihadapi bersama dalam pengelolaan
taman nasional adalah rekonsiliasi antara pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal, kepentingan nasional dan global, dan antara kebutuhan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Evaluasi terhadap efektifitas pengelolaan kawasan konservasi yang dilakukan oleh WWF terhadap 600 kawasan konservasi di dunia mengindikasikan bahwa ancaman utama dari kawasan konservasi adalah perburuan satwa liar, pembalakan dan perambahan lahan untuk aktifitas pertanian.
Sedangkan
kelemahan pengelolaan kawasan konservasi yang paling utama adalah keterbatasan pendanaan dan staf, lemahnya penegakan hukum dan hubungan dengan masyarakat yang kurang bagus.
Namun, meskipun kelemahan
pengelolaan kawasan konservasi secara umum telah diketahui, upaya secara sistematis dan terkoordinasi yang ditujukan untuk mengatasi ancaman yang paling umum dan merusak masih belum banyak dilakukan (IUCN 2005). Kondisi ini seharusnya direspon dengan peningkatan efektifitas pengelolaan taman nasional melalui kebijakan yang tepat agar taman nasional dapat berperan secara optimal dalam mendukung keberkelanjutan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan. Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki sumber daya alam hayati yang sangat tinggi di dunia, dan sebagian bersifat endemik. Sampai saat ini telah teridentifikasi 515 jenis mamalia (12% dari jenis mamalia dunia), 511 jenis reptilia (7,3% dari jenis reptilia dunia), 1 531 jenis burung (17% dari jenis burung dunia), 270 jenis amfibi, serta lebih dari 38 000 yang diantaranya 1 260 jenis bernilai medis (Dephut 2008). Sumber daya alam hayati merupakan unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari tumbuhan dan hewan yang bersama dengan unsur non hayati di lingkungannya secara keseluruhan membentuk sistem hubungan timbal balik, saling bergantung dan mempengaruhi. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi sumber pangan dan tanaman obat, daerah tujuan wisata maupun
14 penyerap karbon dunia. Sumber daya ini merupakan aset untuk pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, pengelolaan terhadap aset ini bukan hal yang mudah. Sejauh ini, sumber daya alam hayati dipandang sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi dengan mudah tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya (Bappenas 2003). Peran pelestarian sumber daya alam yang terbarukan bagi pembangunan berkelanjutan menurut MacKinnon (2001) dapat dicapai melalui: 1) menjaga proses dan sistem pendukung kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan, 2) melestarikan keanekaragaman plasma nutfah bagi program budidaya agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat tanaman dan hewan budidaya. 3) menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh manusia, yang mendukung kehidupan penduduk pedesaan serta dapat menopang sejumlah besar industri. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang keberadaannya tidak dapat digantikan. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia maka upaya konservasi menjadi kewajiban bagi setiap generasi. Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang dilakukan oleh Pemerintah, salah satunya melalui penetapan kawasan konservasi. IUCN (1994) mendefinisikan kawasan konservasi sebagai suatu kawasan daratan atau laut yang didedikasikan untuk proteksi dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang terkait dengan sosial budaya dan dikelola berdasarkan hukum atau cara lain yang efektif untuk mencapai tujuan konservasi. Pada awalnya dalam sejarah peradaban manusia, motivasi untuk mengkonservasi kawasan alam ditujukan untuk keperluan rekreasi dan untuk melindungi spesies tertentu dalam kaitannya dengan aktifitas wisata berburu dan kepentingan lainnya. Pada waktu itu, sumber daya alam dipersepsikan tidak terbatas dan dapat dimanfaatkan kapanpun diperlukan. Namun, persepsi ini mulai berubah sejak disadari bahwa ketersediaan kawasan alam mulai terus menurun.
Sejak itu,
pembentukan kawasan konservasi tidak hanya ditujukan semata-mata untuk
15 wisata dan rekreasi saja, tetapi juga untuk melindungi keseluruhan ekosistem. Karena itu dapat dikatakan bahwa pembentukan kawasan konservasi merupakan manifestasi dari respon manusia menanggapi
adanya ancaman terhadap
keberlanjutan sumber daya alam (Dixon & Sherman 1990). Taman
Nasional
Yellowstone
merupakan
tonggak
sejarah
awal
pengembangan kawasan konservasi modern. Hingga saat ini, kawasan konservasi telah menjadi satu bentuk penggunaan lahan yang paling signifikan di muka bumi. Namun, paradigma pengembangan kawasan konservasi telah bergeser dengan pendekatan konsep yang lebih luas, menurut Chape et al. (2005) mencakup: 1) formulasi kategori pengelolaan kawasan konservasi yang lebih spesifik dengan mempertimbangkan lingkup dan nilai dari tujuan pengelolaan kawasan konservasi yang berbeda-beda; 2) integrasi
konservasi
ke
dalam
agenda
pembangunan
dengan
mengharmonisasikan tujuan konservasi dan pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan; 3) pemahaman terhadap pentingnya nilai sosial dan budaya; dan 4) pemahaman terhadap peran kawasan konservasi sebagai indikator kunci untuk menilai pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan secara global. Ekosistem
yang
sehat
merupakan
prasyarat
untuk
keberlanjutan
pembangunan dan konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan karena sumber daya alam hayati mendukung kehidupan manusia melalui keragaman dan fungsi ekosistem yang memberikan jasa lingkungan yang mendukung berbagai sektor ekonomi.
Namun, kecenderungan yang terjadi pada pembangunan
ekonomi secara tipikal kurang menghargai jasa dan proses ekosistem sehingga mengakibatkan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam hayati. Eksploitasi yang berlebihan dari kegiatan pembangunan ekonomi selanjutnya mengakibatkan kepunahan spesies dan degradasi habitat. Kondisi yang seperti ini tidak memungkinkan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan hanya akan tercapai jika pembangunan ekonomi juga mengintegrasikan strategi konservasi dan rehabilitasi ekosistem yang efektif. Pendekatan tradisional konservasi sumber daya hayati adalah dengan melakukan
16 konservasi spesies dan mengembangkan berbagai berbagai bentuk kawasan konservasi. Namun, keanekaragaman hayati tidak mungkin dapat terkonservasi secara efektif hanya melalui pembentukan kawasan konservasi saja.
Tekanan
terhadap kawasan konservasi yang mengakibatkan fragmentasi dan degradasi habitat akan menyebabkan penurunan viabilitas kawasan konservasi dalam jangka panjang sebagai akibat meningkatnya kerentanan spesies terhadap erosi genetik dan perubahan iklim. Pada sisi yang lain, manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem alam. Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi dan kesejahteraan manusia sangat bergantung kepada komponen lain dan interaksi manusia dengan komponen lain dalam ekosistem. Kondisi tersebut memunculkan pemahaman bahwa untuk mempertahankan eksistensi sumber daya alam hayati hanya mungkin dicapai melalui pengelolaan kawasan terpadu yang dapat memenuhi kebutuhan manusia, memelihara dan merestorasi integritas ekosistem dan mengkonservasi sumber daya hayati secara simultan (Pirot et al. 2000). 2.2
Pengelolaan Taman Nasional Pengelolaan taman nasional telah bergeser dari hanya terfokus pada stok
sumber daya alam hayati dan spesies terancam punah menuju kepada pengelolaan yang
lebih
menyeluruh,
termasuk
upaya
pengelolaan
kolaborasi
dan
memperhatikan pembangunan ekonomi masyarakat lokal Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa 42% dari kawasan konservasi di dunia berada di negara berkembang dimana pengelola dihadapkan oleh banyak persoalan, antara lain keterbatasan dana, rendahnya pemasukan dari kegiatan pariwisata, tidak adanya manfaat ekonomi langsung (tangible benefits) maupun sikap yang tidak mendukung dari masyarakat lokal (hostile neighbours). Meskipun persoalan ini bukan monopoli negara berkembang, tetapi kebutuhan agar taman nasional dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal lebih besar di negara berkembang. Di lain pihak, kawasan konservasi merupakan satu-satunya alat penting yang dapat memastikan daya hidup (survival) kebanyakan spesies dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, pengelolaan taman nasional di negara
berkembang seharusnya menjangkau keluar batas kawasan dan menunjukkan
17 adanya keterkaitan dan sinergi dengan pembangunan dimana kawasan tersebut berada (MacKinnon 2001). Kebijakan dan implementasi pengelolaan di Indonesia hampir sama dengan pengelolaan di Laos, Vietnam, Kamboja dan Thailand. Di negara tersebut, menurut Carew-Reid (2003) telah ditetapkan kawasan konservasi, sebagian besar berbentuk taman nasional dengan proporsi luas kawasan terbesar di dunia. Pendekatan pengelolaan kawasan lebih menekankan pada isolasi kawasan dan terlepas dari penggunaannya bagi kepentingan manusia. Hal ini dilakukan dengan argumentasi untuk kebaikan upaya konservasi. Implementasi upaya konservasi juga sedikit relevansinya untuk menjawab tantangan pembangunan yang dihadapi keempat negara tersebut. Ketentuan hukum juga telah mengatur bahwa penggunaan ekstraktif tidak diperbolehkan.
Namun, dalam prakteknya
masyarakat terus mengambil sumber daya hayati yang terdapat di dalam kawasan taman nasional.
Pemerintah lokal juga sering mengabaikan kepentingan
pengelolaan kawasan jika dihadapkan pada pilihan antara konservasi dan kebutuhan pembangunan ekonomi lokal, misalnya pembangunan jalan, jaringan listrik, dan ekstensifikasi pertanian. Hasil review pembangunan kawasan pelestarian di negara tersebut menunjukkan bahwa meskipun luasan kawasan pelestarian secara legal cenderung meningkat akan tetapi nilai keanekaragaman hayati terus merosot yang diindikasikan dari meningkatnya luasan kerusakan habitat. Kawasan konservasi di negara ini berada di kawasan dengan tingkat penduduk miskin tinggi yang umumnya memiliki ketergantungan secara langsung terhadap sumber daya di dalam kawasan untuk penghidupannya seperti bahan pangan, kayu bakar, tanaman obat, dan rumput, maupun manfaat ekologi, seperti fungsi regulasi suplai air irigasi dan fungsi pemeliharaan stok ikan.
Nasib
masyarakat ini di masa depan sangat tergantung dari kebijakan dan implementasi pengelolaan taman nasional. Kebijakan dan implementasi pengelolaan yang ekslusif dengan sedikit upaya untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi sebagai pengganti biaya oportunitas masyarakat, telah menempatkan taman nasional sebagai sumber konflik (Morris & Vathana 2003).
18 Di Indonesia, permasalahan sosial dan ekonomi banyak dihadapi dalam pengelolaan taman nasional. Perambahan lahan oleh masyarakat
yang
menyebabkan kerusakan kawasan terjadi di Taman Nasional Kutai, perburuan satwa dilindungi di Taman Nasional Rawa Aopa Watu Mohai dan Lore Lindu dan perambahan, penebangan liar dan perburuan liar terjadi di Taman Nasional Meru Betiri (Riyanto 2005) dan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS 2007). Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak juga menyebabkan konflik antara masyarakat adat Kasepuhan dengan pengelola (Galudra 2009). Kondisi demikian semakin memperkuat gagasan untuk mengintegrasikan aspek sosial dan ekonomi dengan elemen ekologi dalam pengelolaan taman nasional. Phillips (2003) menyatakan bahwa model klasik pengelolaan taman nasional sudah tidak memadai untuk abad ke-21 dan untuk beberapa kasus dapat berpotensi kontra produktif. Model klasik pengelolaan taman nasional dicirikan antara lain oleh: 1) Tujuan ditetapkan hanya untuk keperluan konservasi semata, khususnya untuk perlindungan pemandangan dan hidupan liar dengan penekanan lebih pada bentuk fisik dari pada fungsi sistem alam.
Dikelola khusus untuk
pengunjung dan wisatawan dengan nilai utamanya sifat liar pada kawasan sehingga diupayakan perlindungan dan bebas dari pengaruh manusia. 2) Pengelolaan oleh pemerintah pusat. 3) Masyarakat lokal tidak dilibatkan dan aspirasinya kurang dipedulikan dalam perencanaan dan pengelolaan, serta menghindari pengaruh manusia kecuali wisatawan. 4) Cakupan pengelolaan tidak menyeluruh, dikembangkan secara parsial dan terpisah seperti pulau biologi tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan sekitarnya. Sedangkan paradigma pengelolaan yang sesuai untuk kondisi saat ini dan mendatang memiliki elemen penting berikut: 1) Tujuan mencakup aspek sosial, ekonomi dan konservasi maupun rekreasi. Umumnya dikembangkan juga untuk tujuan ilmiah, ekonomi dan budaya sehingga menambah kompleksitas pengelolaan. Pengelolaan dimaksudkan
19 untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, disamping aspek perlindungan, rehabilitasi dan restorasi dilakukan sehingga nilai-nilai yang tererosi dapat dikembalikan. 2) Pengelolaan dilakukan dengan kemitraan dan melibatkan para pihak yang berkepentingan. 3) Masyarakat lokal berperan aktif dan tidak dipandang sebagai penerima manfaat secara pasif karena taman nasional dikelola bersama, untuk dan bahkan oleh masyarakat.
Masyarakat lokal diposisikan sebagai penerima
manfaat sehingga kepentingannya perlu diakomodasikan. 4) Cakupan pengelolaan menyeluruh, direncanakan dan dikembangkan sebagai bagian dari sistem nasional, regional bahkan internasional, serta diperlakukan bukan sebagai pulau biologi melainkan berbentuk jaringan dengan koridorkoridor hijau sebagai daerah penyangga. Kongres Taman Nasional Sedunia V (IUCN 2005) memandatkan secara tegas bahwa pengelolaan kawasan taman nasional harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat lokal. Penguatan kapasitas kelembagaan dan sosial untuk pengelolaan taman nasional dalam abad ke-21 diperlukan mengingat berbagai tantangan dan perubahan global.
Menurut Sukmadi (2005), seiring dengan perkembangan
terkini tersebut, maka berbagai kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi juga selayaknya mengikutinya. Hal ini penting karena institusi konservasi yang saat ini diimplementasikan di Indonesia masih mengikuti model klasik pengelolaan kawasan konservasi. Efektifitas pengelolaan memerlukan perluasan spektrum model dan mekanisme tata kelola di luar batas model pengelolaan tersentralisasi oleh pemerintah yang saat ini mendominasi pola pikir dan praktek pengelolaan. Semakin beragamnya pilihan tata kelola dan pengelolaan memerlukan proses pengambilan keputusan yang lebih partisipatif dan melibatkan beragam stakeholder, khususnya masyarakat lokal dan adat (Barber 2004).
Dengan
demikian, efektifitas pengelolaan taman nasional dapat diukur dengan menggunakan tiga indikator, yaitu 1) aspek ekologi, yang menunjukkan bahwa
20 kawasan konservasi atau taman nasional sebagai manifestasi fisik dari potensi sumber keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dapat terjamin kelestariannya, 2) aspek ekonomi dan sosial, yang menunjukkan bahwa sistem pengelolaan kawasan konservasi atau taman nasional dapat mendukung perkembangan ekonomi masyarakat lokal yang dicirikan oleh tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang cenderung meningkat, dan 3) persepsi dan partisipasi,
yang menunjukkan
bahwa pemahaman
masyarakat
tentang
pentingnya konservasi cenderung meningkat yang dicirikan oleh meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mendukung kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem kawasan konservasi atau taman nasional (Darusman & Widada 2004). Sistem pengelolaan taman nasional mendatang menuntut penggabungan berbagai pendekatan secara komprehensif dan harus dapat merespon secara sistematis terhadap adanya perubahan biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Hal ini disebabkan karena sistem pengelolaan taman nasional yang ada saat ini tidak didesain untuk merespon terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan (Barber et al. 2004).
Sehingga jika diukur kinerja pengelolaan
kawasan taman nasional saat ini maka akan dapat dikatakan bahwa kinerja pengelolaan pada umumnya belum efektif. Belum efektifnya kinerja pengelolaan ini dapat ditunjukkan oleh adanya fakta-fakta antara lain: 1) proses degradasi sumber daya alam hampir di seluruh kawasan taman nasional sampai saat ini masih terjadi dan cenderung meningkat, dan 2) perkembangan ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional pada umumnya sampai saat ini masih sangat rendah, yang dicirikan oleh rendahnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan, termasuk tingkat pendidikan masyarakat (Darusman & Widada 2004). 2.3
Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat atau publik pada hakekatnya adalah proses
komunikasi dua arah yang interaktif dimana kebutuhan dan tata nilai masyarakat terakomodasi untuk mendapatkan pengambilan keputusan yang lebih baik karena mendapatkan dukungan publik (Creighton 2005). Sedangkan menurut Ostrom (1994) partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses
21 pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Masyarakat akan berpartsisipasi jika terdapat faktor pendorong, seperti kebutuhan, harapan, keuntungan dan tersedianya kelembagaan untuk berpartisipasi. Berdasarkan definisi tersebut maka secara garis besar partisipasi masyarakat memiliki karakteristik yang mencakup: 1) partisipasi publik diaplikasikan dalam pengambilan keputusan administratif lembaga pemerintah, 2) tidak hanya penyediaan informasi kepada publik melainkan terjalinnya interaksi antara organisasi pengambil
keputusan dengan masyarakat yang ingin berpartisipasi,
3) partisipasi publik melibatkan proses yang terorganisasi dan terencana untuk melibatkan publik, bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau tidak sengaja, dan 4) partisipan berkontribusi terhadap keputusan yang dibuat (Creighton 2005). Partisipasi masyarakat dapat dilakukan untuk mengeksplorasi persoalan pengelolaan dalam tahap penetapan tujuan, perencanaan, implementasi, maupun monitoring. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional diharapkan akan membuahkan hasil yang lebih baik karena informasi dan perspektif para pihak yang penting untuk efektifitas pengelolaan akan tertangkap secara efektif. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan yang beragam akan mendorong tumbuhnya
pembelajaran
sosial
karena
memungkinkan
berlangsungnya
transformasi relasi, perubahan persepsi dan mengidentifikasi cara baru untuk bekerja sama mencapai tujuan.
Di samping itu, partisipasi masyarakat dapat
digunakan sebagai sarana komplementer untuk menutupi kelemahan pendekatan topdown yang selama ini banyak diterapkan dalam pengelolaan taman nasional sehingga legitimasi dan dukungan masyarakat akan meningkat (Stringer et al. 2006). Secara umum terdapat tiga faktor utama yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan
taman
2) kemampuan, dan 3) kesempatan.
nasional, mencakup: 1) kemauan,
Ketiga faktor tersebut sangat ditentukan
oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap manfaat dan kerugian yang diperolehnya, karakteristik sosial ekonomi masyarakat, seperti tingkat pendidikan formal, non formal dan keterlibatan dalam organisasi masyarakat, serta variabel kebijakan (Brännlund et al. 2009). Oleh karena itu, faktor-faktor penting yang
22 menentukan partisipasi masyarakat dalam mendukung pengelolaan taman nasional perlu dipahami dan dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan. Masyarakat lokal yang bermukim di sekitar taman nasional pada umumnya telah mempunyai hubungan yang panjang dengan taman nasional dan dapat mempunyai peran penting dalam pengelolaan taman nasional. Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap taman nasional akan mempengaruhi bentuk-bentuk interaksi antara masyarakat lokal dengan taman nasional.
Interaksi ini dapat
berdampak positif atau negatif terhadap taman nasional, yang selanjutnya akan mempengaruhi efektifitas pengelolaan taman nasional (Ormsby & Kaplin 2005). Sikap masyarakat lokal sangat ditentukan oleh tata nilai dan kerangka referensinya, baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya dari masyarakat. Karenanya, kondisi atau faktor demografi, seperti umur, pendidikan, lokasi tempat tinggal, dan asal etnik dapat secara signifikan membentuk persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap taman nasional (Mehta & Heinen 2001; Jim et al. 2002; Cihar & Stankova 2006; Allendorf 2007; Allendorf et.al. 2007). Persepsi masyarakat lokal terhadap taman nasional dipengaruhi oleh tingkat manfaat yang dirasakan, ketergantungannya terhadap sumber daya taman nasional (Badola 1998, Soto et al. 2001; Silori 2007), maupun pengetahuan masyarakat lokal tentang taman nasional (Ormsby & Kaplin 2005). Selanjutnya, pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang taman nasional dapat mempengaruhi sikapnya terhadap taman nasional (Kideghesho et al. 2007; Spiteri & Nepal 2008). Mengingat kondisi masyarakat lokal yang tidak homogen dan memiliki tata nilai yang mungkin tidak sama maka akan menyebabkan relasi dan sikap masyarakat lokal terhadap sumber daya alam atau taman nasional akan sangat bervariasi antar individu atau rumah tangga (Geoghehan & Renard 2002). Pengabaian terhadap perbedaan ini dalam perumusan kebijakan pengelolaan taman nasional akan menyebabkan dampak yang merugikan masyarakat dan akan menjadi kendala pencapaian tujuan konservasi dan pengelolaan taman nasional dalam jangka panjang (Agrawal & Gibson 1999). Dengan demikian, identifikasi stakeholder (Achterkamp & Vos 2007) dan pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan sikap stakeholder terhadap upaya konservasi dan
23 taman nasional sangat diperlukan sebagai masukan untuk merumuskan kebijakan dan strategi untuk peningkatan peran serta masyarakat agar efektifitas pengelolaan taman nasional dapat meningkat. 2.4
Pembangunan Berkelanjutan Alternatif lain dari keberlanjutan secara implisit hanya ada satu, yaitu
ketidak berlanjutan.
Namun, karena keberlanjutan melibatkan dimensi waktu
maka ancaman terhadap keberlanjutan untuk menjadi keadaan yang tidak berkelanjutan sangat jarang mengimplikasikan suatu ancaman yang akibatnya dapat segera dirasakan. Terdapat jeda waktu yang cukup panjang antara ancaman terhadap keberlanjutan dengan realisasi kondisi menjadi ketidak berlanjutan. Di masa lampau, pembangunan lebih ditekankan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan pelaku pembangunan kurang menyadari adanya ancaman terhadap keberlanjutan pembangunan. Ancaman ini muncul karena pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas yang berbasis pada sumber daya yang terbatas merupakan hal yang tidak mungkin untuk dapat berlanjut secara terus menerus. Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan perwujudan dari keprihatinan masyarakat dunia terhadap aktifitas manusia yang berdampak pada lingkungan. Keprihatinan masyarakat dunia akan aktifitas manusia yang berdampak terhadap lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan manusia telah berkembang menjadi kesepakatan politik internasional untuk mengarahkan pembangunan menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan, didefinisikan untuk pertama kalinya dalam World Conservation Strategy (IUCN 1980) sebagai pembangunan yang mempertimbangkan faktor sosial, ekologi dan ekonomi, basis sumber daya biotik dan abiotik, keuntungan dan kerugian tindakan yang akan dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya berkembang definisi pembangunan berkelanjutan yang lebih luas, WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai kemampuan kemanusiaan yang memastikan bahwa pemenuhan kebutuhan masyarakat generasi sekarang dapat dipenuhi tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam pengertian ini,
24 pembangunan berkelanjutan bukanlah merupakan kondisi harmoni yang statis terhadap pemenuhan kebutuhan antar generasi, tetapi lebih merupakan proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya alam, kegiatan investasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan kelembagaan diarahkan sejalan dengan pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan mempunyai 3 dimensi utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan terhadap lingkungan. Dimensi ekonomi didasari oleh prinsip
bahwa
kemiskinan
dihilangkan
dan
kesejahteraan
masyarakat
ditingkatkan, minimal untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan efisien. Dimensi sosial mengacu kepada keterkaitan antara alam dan manusia, yaitu meningkatkan kesejahteraan manusia, perbaikan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan, pemenuhan standar minimal keamanan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dimensi ini juga mengacu kepada pembangunan keragaman budaya, pluralisme dan pelibatan partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Aspek
keadilan (equity), yaitu distribusi manfaat dan akses terhadap sumber daya alam merupakan komponen penting dari dimensi ekonomi dan sosial dalam pembangunan berkelanjutan. Dimensi lingkungan meliputi upaya konservasi dan perbaikan basis sumber daya fisik, biologi dan ekosistem. Sedangkan Barbier (1987)
menekankan
bahwa
konsep
pembangunan
berkelanjutan
yang
diaplikasikan di negara sedang berkembang seharusnya tidak secara langsung terkait dengan pertumbuhan agregat ekonomi nasional, tetapi lebih diarahkan secara langsung untuk meningkatkan standar hidup penduduk miskin di akar rumput yang dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan, penyediaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, sanitasi dan suplai air bersih.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan di negara berkembang tujuan utamanya sebaiknya adalah mengurangi kemiskinan absolut melalui penyediaan penghidupan yang layak dan berkelanjutan dan yang meminimalkan deplesi sumber daya alam, degradasi lingkungan, dan ketidak stabilan sosial budaya.
25 Konsep pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan atau transformasi struktur ekonomi dan pola sosial yang mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial bagi generasi sekarang tanpa mengurangi potensi manfaat serupa untuk generasi yang akan datang (Goodland & Ledoc 1987). Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang terdistribusi secara adil dan dapat dipertahankan secara berkelanjutan untuk beberapa generasi mendatang.
Pembangunan
berkelanjutan mengimplikasikan keharusan penggunaan sumber daya alam terbarukan dengan cara-cara yang tidak merusak atau menghabiskan sumber daya alam itu sendiri karena kerusakan atau kehilangan sumber daya alam tersebut pada saat sekarang akan mengurangi manfaatnya bagi generasi yang akan datang. Sedangkan pemanfaatan sumber daya energi yang tidak terbarukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dilakukan dengan kecepatan serendah mungkin dan memastikan adanya transisi menuju penggunaan sumber daya energi yang terbarukan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan diharapkan akan dapat menjamin kelangsungan hidup manusia secara berkualitas melalui pemeliharaan sistem pendukung kehidupan, seperti udara, air, lahan, dan biota, dan pengembangan infrastruktur dan kelembagaan yang dapat mendistribusikan dan melindungi komponen-komponen sistem pendukung kehidupan (Liverman et al. 1988). Sejak sekitar tahun 1990, perubahan kondisi objektif ekosistem global, seperti pemanasan iklim global, penipisan lapisan ozone, kerusakan sumber daya terbarukan
dan
kerusakan
komponen
lingkungan
lainnya
menyebabkan
masyarakat dunia semakin yakin untuk mengarahkan kegiatan ekonomi global menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.
Isu lingkungan hidup dan
pembangunan diangkat pada KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 (UNCED 1992). Pengangkatan isu yang mengkaitkan kualitas lingkungan hidup sebagai bagian dari pembangunan, didasarkan pada dua hal, yaitu: 1) Selama ini lingkungan dan pembangunan seolah-olah merupakan dua hal yang terpisah, sehingga sering terjadi pertentangan dalam pemilihan antara kepentingan pembangunan atau lingkungan.
26 2) Munculnya keprihatinan terhadap kemampuan sumber daya alam untuk dapat menopang pembangunan secara terus menerus. Kesepakatan
internasional
untuk
mempromosikan
pembangunan
berkelanjutan tertuang dalam Agenda 21 yang berisikan kesepakatan dan program kerja global yang intinya menyepakati bahwa pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan lingkungan itu sendiri. Partisipasi aktif dari seluruh pihak dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu kunci keberhasilan dari pembangunan.
Sehingga untuk mencapai
pembangunan yang berkelanjutan ini maka harus dilakukan secara bersama oleh semua unsur baik pada tingkat lokal, nasional maupun global. Keberlangsungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama semua negara, sedangkan implementasi program kerja Agenda 21 disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masing-masing negara. Evaluasi terhadap pelaksanaan Agenda 21 dilakukan pada pertemuan dunia tentang pembangunan berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) yang diselenggarakan di Johannesberg pada tahun 2002.
Pertemuan ini
menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu: 1) Deklarasi Johannesberg untuk pembangunan berkelanjutan, yang memuat tantangan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan komitmen dunia internasional untuk menghadapinya. 2) Rencana implementasi (Plan of Implementation), yang memuat upaya-upaya yang harus dilakukan oleh masing-masing negara berdasarkan prinsip bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama dengan porsi yang berbeda. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan dokumen acuan untuk rencana implementasi. 3) Dokumen kerjasama, yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan berkelanjutan merata secara internasional melalui dukungan negara maju dan lembaga internasional. Perencanaan atau strategi nasional pembangunan berkelanjutan merupakan focal point untuk mengintegrasikan lingkungan dan pembangunan dalam pengambilan keputusan, dan untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan
27 prioritas pembangunan berkelanjutan.
Tantangan utama dalam penyusunan
strategi nasional pembangunan berkelanjutan adalah menterjemahkan konsep dan komitmen pembangunan berkelanjutan kedalam kebijakan dan program yang kongkrit untuk mencapai atau minimal mengarah kepada tujuan pembangunan berkelanjutan, yaitu kehidupan masyarakat yang berkualitas yang secara sosial diharapkan masyarakat, layak secara ekonomi, mampu mempertahankan ekosistem pendukung kehidupan secara berkelanjutan dan dapat dipertahankan untuk generasi mendatang (Dalal-Clayton et al. 1994). Meskipun pembangunan berkelanjutan menyangkut prinsip-prinsip universal tertentu, namun formulasi tujuan dari pembangunan berkelanjutan itu sendiri secara tepat dan operasional seharusnya dinegosiasikan secara lokal pada masing-masing daerah atau negara. Hal ini disebabkan karena komunitas dan individu-individu pada daerah tersebut yang akan melakukan pengambilan keputusan terhadap penggunaan sumber daya di daerahnya, dimana pada akhirnya keputusan-keputusan tersebut yang akan mempengaruhi kehidupannya. Oleh karena itu,
perencanaan atau formulasi
strategi nasional atau daerah pembangunan berkelanjutan memerlukan partisipasi semaksimal mungkin dari komunitas lokal dan para pemangku kepentingan. Pada dasarnya prinsip keberkelanjutan menurut Schleicher-Tappeser et al. (1999) ada 3, yaitu: 1) Dimensi pembangunan, yang mencakup tiga hal, yaitu: a) menghargai integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi lingkungan), b) pemenuhan kebutuhan manusia melalui efisiensi pemanfaatan sumber daya (dimensi ekonomi), dan c) konservasi dan pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya). 2) Dimensi keadilan, yang mencakup: a) kesetaraan sosial dan gender (kesetaraan antar manusia manusia), b) kesetaraan antar wilayah dan negara (kesetaraan spasial), dan c) kesetaraan antar generasi sekarang dan yang akan datang. 3) Prinsip-prinsip sistemik, yang mencakup keanekaragaman, subsidiaritas, kemitraan dan partisipasi.
28 Dalam rangka menginterpretasikan prinsip pembangunan berkelanjutan, beberapa
model
telah
dikembangkan
agar
konsep
tersebut
dapat
diimplementasikan. Model yang paling populer adalah Model Tiga Pilar, yaitu segitiga dengan dimensi pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan konservasi lingkungan yang digunakan sebagai landasan dan tujuan pembangunan. Setelah itu berkembang alternatif model yang diusulkan untuk menggantikan Model Tiga Pilar dengan Model Prisma, yaitu dengan menambahkan dimensi kelembagaan untuk mengakomodasikan sejumlah elemen sosial dan budaya yang penting (Keiner 2005). Pengembangan model ini mengindikasikan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya merupakan suatu bentuk pembangunan bertujuan merekonsiliasi kebutuhan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan saja melainkan juga merupakan proses tata kelola yang memerlukan kelembagaan dan tata kelola yang dapat menjamin keberlanjutan. Spangenberg
(2002)
menyediakan
suatu
Model Prisma ini menurut
kerangka
kerja
yang
mampu
mengakomodasikan beragam konsep pembangunan berkelanjutan dan keterkaitan yang seimbang dan terintegrasi dari dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga dapat menghindari kerusakan yang tidak dapat pulih dari salah satu dimensi. Meskipun
kedua model
tersebut
terlihat
terlalu
sederhana untuk
menggambarkan realitas dan kompleksitas pembangunan, tetapi model tersebut dapat digunakan secara efektif sebagai tujuan primer untuk berargumentasi dalam menentukan pilihan-pilihan kebijakan pembangunan. Hal ini terkonfirmasi dari diadopsinya Model Tiga Pilar sebagai panduan pembangunan yang disepakati oleh UN International Forum on National Strategies for Sustainable Development (UNDESA 2001) dan Model Prisma diterima sebagai landasan sistem indikator oleh United Nations Commission on Sustainable Development (UNDESA 2002). Tujuan primer pembangunan berdasarkan Model Tiga Pilar dapat diuraikan sebagai berikut (UNDESA 2002): 1) Pertumbuhan Ekonomi: pembangunan ekonomi ditujukan untuk peningkatan masyarakat dan upaya pengentasan kemiskinan dimaksimalkan melalui pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan efisien. Prioritas diberikan untuk peningkatan kemampuan masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
29 2) Keadilan Sosial: dimensi ini merujuk kepada hubungan antara sumber daya alam dan manusia, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan akses terhadap pelayanan dasar kesehatan, pendidikan dan pemenuhan standar keamanan serta penghargaan terhadap hak asasi manusia. 3) Perlindungan Lingkungan:
dimensi ini berkaitan dengan perlunya untuk
memperhatikan konservasi dan memperkuat basis sumber daya fisik dan biologi maupun ekosistem dalam mendukung pembangunan. Ketiga tujuan tersebut diatas saling tergantung dan terkait. Sebagai ilustrasi, isu keadilan yang menyangkut distribusi manfaat dan akses terhadap sumber daya alam merupakan komponen penting dalam dimensi ekonomi dan sosial dari pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi dicapai dengan melibatkan proses transformasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan dasar dan material dari masyarakat dan lingkungan alam akan terdeplesi. Pada saat yang sama, pembangunan ekonomi juga dapat menimbulkan dampak samping, seperti polusi udara, perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati. Sehingga implementasi pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah mengembangkan keseimbangan yang tepat antara ketiga dimensi ini bagi kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Konsep keberlanjutan terbaru dinyatakan dalam Comhar (2007) yang menekankan
upaya
implementasi
keberlanjutan
pembangunan
dengan
memperhatikan tujuh tema, yaitu: 1) Kepuasan pemenuhan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan sumber daya 2) Keadilan antar generasi 3) Menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati 4) Keadilan antar negara dan daerah 5) Keadilan sosial 6) Menghormati warisan dan keanekaragaman budaya 7) Pengambilan keputusan yang baik
30 Berdasarkan
ketujuh
tema
tersebut
dikembangkan
menjadi
12
prinsip
pembangunan berkelanjutan yang meliputi: 1) Penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbarui harus diminimalkan. 2) Penggunaan bahan berbahaya atau bahan pencemar dan menimbulkan sampah harus diminimalkan. 3) Sumber daya yang dapat diperbaharui harus digunakan dalam kapasitas regenerasi. 4) Kualitas tanah dan sumber air harus dipelihara dan diperbaiki. 5) Keanekaragaman margasatwa, habitat dan spesies harus dipelihara dan diperbaiki. 6) Udara dan atmosfir harus dijaga dan pengaruh perubahan iklim harus diminimalkan. 7) Pengembngan sumber daya potensial di suatu daerah tidak harus disetujui bersama daerah lainnya untuk mencapai potensinya sendiri. 8) Pemasukan sosial harus dikembangkan untuk meningkatkan perbaikan kualitas hidup semua 9) Pengembangan keberlanjutan tergantung pada kerjasama dan kesepakatan antar bagian. 10) Kualitas pemandangan, warisan sejarah dan lingkungan buatan dan sumber budaya harus dipelihara dan diperbaiki. 11) Pengambilan keputusan harus dikembangkan untuk tingkat yang tepat. 12) Partisipasi pemangku kepentingan harus dikembangkan pada semua tingkat pengambilan keputusan. 2.5
Analisis Kebijakan Pembangunan dan kebijakan merupakan dua konsep yang terkait. Sebagai
sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah konteks dimana kebijakan beroperasi.
Di lain pihak, kebijakan yang merujuk pada
kerangka kerja pembangunan memberikan pedoman bagi implementasi tujuantujuan pembangunan ke dalam berbagai macam program dan kegiatan. Kebijakan merupakan perangkat pedoman yang memberikan arah terhadap pelaksanaan
31 strategi-strategi pembangunan dan berfungsi untuk memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas agar dapat mencapai tujuan pembangunan dengan efektif (Suharto 2008). Kebijakan merupakan salah satu unsur penting dalam organisasi atau lembaga yang digunakan untuk pengendalian atau pengaturan kepentingan umum. Dalam hal kebijakan dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum maka kebijakan dapat diartikan sebagai suatu perangkat prinsip-prinsip yang mendasasi pengambilan keputusan kebijakan publik.
Kebijakan dapat dinyatakan dalam
berbagai bentuk: 1). instrumen legal (hukum), seperti peraturan perundangan, 2). instrumen ekonomi, seperti kebijakan fiskal, subsidi dan harga, 3). petunjuk, arahan ataupun ketetapan, 4). pernyataan politik, dan 5). kebijakan dapat dituangkan dalam garis-garis besar arah pembangunan, strategi, maupun program. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatannya dan implementasinya (Djogo et al. 2003). Kebijakan publik adalah apapun yang akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut dan apa akibat dari tindakan tersebut terkait dengan suatu isu atau persoalan publik (Dye 1992). Pengertian ini mengandung makna bahwa kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah, baik pusat maupun daerah dan kebijakan publik menyangkut pilihan Sedangkan menurut Parsons (2005) kebijakan publik berhubungan dengan bidang publik dan problem-problemnya, yang berbeda dengan bidang privat. Kebijakan publik membahas tentang bagaimana isu-isu dan problemproblem tersebut disusun dan didefinisikan, dan bagaimana keseluruhannya tersebut diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Ide kebijakan publik mengandung anggapan bahwa terdapat domain atau ranah dalam kehidupan yang bukan bersifat privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum.
Kebijakan merupakan peraturan yang telah
dirumuskan dan disepakati untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan atau mempengaruhi pertumbuhan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum.
Dengan demikian, kebijakan
merupakan campur tangan yang dilakukan pemerintah untuk mempengaruhi
32 suatu pertumbuhan secara sektoral dari suatu aktifitas yang dilakukan masyarakat.
Peraturan tersebut ditetapkan terutama dari pihak yang secara
yuridis mewakili kepentingan masyarakat umum, dalam hal ini dapat hanya pemerintah atau pemerintah bersama perwakilan rakyat. Kebijakan publik menurut Agustino (2008) dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tipologi, yaitu: 1) Kebijakan substansial dan prosedural. Kebijakan substansial merupakan jenis kebijakan yang isinya mengarah kepada upaya penyelesaian suatu masalah yang dihadapi oleh publik, misalnya pendidikan, kesehatan, lingkungan, ataupun bantuan untuk usaha kecil. Sedangkan kebijakan prosedural mengatur pihak-pihak yang harus melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Kebijakan ini mempunyai efek dasar yang penting walaupun tidak langsung tertuju kepada kepentingan publik karena hanya mengatur bagaimana sesuatu dikerjakan dan siapa yang melaksanakannya. 2) Kebijakan distributif, redistributif, dan regulatori.
Kebijakan distributif
merupakan pengaturan yang ditujukan untuk menyebarkan pelayanan atau keuntungan kepada sektor-sektor tertentu, baik untuk individu, kelompok atau komunitas, misalnya subsidi pupuk, bantuan langsung tunai, dan beras untuk rakyat miskin. Kebijakan redistributif adalah pengaturan untuk memindahkan alokasi dana dari kekayaan, pendapatan, pemilihan atau hak-hak diantara kelompok penduduk, sebagai misal penggolongan pajak pendapatan. Sedangkan kebijakan regulatori adalah
pembatasan penggunaan atau
larangan perbuatan bagi individu dan kelompok individu. Analisis kebijakan didefinisikan oleh Dunn (2003) sebagai suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi yang relevan untuk dapat memberikan landasan bagi para pengambil kebijakan dalam membuat suatu keputusan yang terkait dengan masalah-masalah publik.
Dalam analisis
kebijakan, kata analisis digunakan dalam pengertian yang luas, termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat serta mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya ke dalam sejumlah komponen melainkan juga perancangan dan sintesis alternatif-alternatif baru.
Analisis
33 kebijakan juga didefinisikan sebagai aktifitas yang produknya adalah saran yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan untuk pembuatan kebijakan publik (Weimer & Vining 1989). Dalam melakukan analisis kebijakan diperlukan identifikasi masalah kebijakan dan kebutuhan masyarakat penerima, mengevaluasi respon pemerintah terhadap masalah, pengembangan alternatif kebijakan, rekomendasi, implementasi dan evaluasi kebijakan (Hogwood & Gunn 1984; Soebarsono 2008). Dunn (1994) menyebutkan analisis kebijakan dapat dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan, yaitu pendekatan prospektif, retrospektif dan integratif. Pendekatan prospektif adalah bentuk analisis yang dilakukan untuk mendapatkan informasi konsekuensi
komponen
kebijakan
sebelum
suatu
kebijakan
diterapkan.
Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan prediktif karena melibatkan teknik-teknik peramalan untuk memprediksi kemungkinan yang akan timbul dari suatu kebijakan yang diusulkan. Pendekatan retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan.
Pendekatan ini juga disebut pendekatan evaluatif karena
banyak menggunakan pendekatan evaluasi dari dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan. Sedangkan pendekatan integratif merupakan perpaduan antara pendekatan prospektif dan retrospektif. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan komprehensif atau holistik karena analisis dilakukan terhadap kemungkinan dan konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul. Analisis kebijakan, menurut Dunn (1994) merupakan salah satu di antara sejumlah komponen dalam sistem kebijakan. Sistem kebijakan atau keseluruhan pola kelembagaan, dimana suatu kebijakan dibuat, menyangkut hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu kebijakan publik, pemangku kepentingan kebijakan, dan lingkungan kebijakan (Gambar 2). Kebijakan publik merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berkaitan, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh pejabat dan badan pemerintah diformulasikan ke dalam bidang-bidang isu. Pada setiap bidang isu tersebut terdapat beragam isu kebijakan, yaitu serangkaian arah tindakan pemerintah yang aktual ataupun potensial mengandung konflik diantara
34 segmen-segmen yang ada dalam masyarakat. Isu kebijakan yang ada biasanya merupakan hasil definisi konflik mengenai masalah kebijakan. Sebagai contoh, sebagian segmen masyarakat memandang kriminalitas penebangan liar sebagai isu kebijakan, dimana kriminal sebagai masalah yang menyangkut tidak tegaknya hukum, aturan dan pengamanan dapat didefinisikan sebagai masalah sosial, ekonomi, pendidikan ataupun motivasi individu.
Gambar 2 Tiga elemen sistem kebijakan (Dunn 1994) Pendefinisian
masalah
kebijakan
sangat
ditentukan
oleh
pola
keterlibatan pemangku kepentingan tertentu, yaitu individu atau kelompok dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan, baik karena akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan pemerintah.
Setiap
pemangku kepentingan dapat merespon secara berbeda terhadap informasi lingkungan kebijakan yang sama.
Sedangkan lingkungan kebijakan dimana
isu kebijakan terjadi dalam konteks yang spesifik, mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh pemangku kepentingan dan kebijakan publik.
Dengan
demikian, sistem kebijakan mengandung proses dialektika antara dimensi objektif dan subjektif yang tidak terpisahkan dalam pengambilan kebijakan. Teori sistem menjelaskan bahwa pengambilan kebijakan publik tidak dapat
35 dilepaskan dari pengaruh lingkungan.
Kebijakan publik dapat dilahirkan
karena pengaruh lingkungan yang ditransformasikan secara subjektif oleh pemangku kepentingan dan secara objektif akan terwujudkan dalam tindakan yang menghasilkan konsekuensi bagi pemangku kepentingan dan lingkungan kebijakan (Subarsono 2008). Analisis kebijakan sering kurang berhasil karena memecahkan masalah yang salah dibandingkan dengan
kegagalan menemukan solusi yang salah untuk
memecahkan masalah yang benar.
Sebuah masalah disebut sebagai masalah
privat jika penyelesaiannya dapat dilakukan tanpa harus melibatkan pemerintah. Pemerintah akan mendapat pembenaran untuk intervensi jika masalah yang akan dipecahkan merupakan masalah publik dan intervensi yang dilakukan dilandasi nilai yang tepat. Sehingga untuk merumuskan intervensi yang tepat diperlukan beberapa tahapan siklus kebijakan, seperti dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu masalah kebijakan (policy problem), masa depan alternatif kebijakan (policy future), pilihan tindakan kebijakan (policy action), hasil kebijakan (policy outcomes), dan kinerja kebijakan (policy performance). Perumusan masalah merupakan aspek analisis kebijakan yang penting untuk mendapatkan perhatian karena merupakan landasan bagi proses analisis selanjutnya. Masalah kebijakan dapat dipahami sebagai belum terpenuhinya tata nilai (value), kebutuhan maupun kesempatan yang pemenuhannya hanya dimungkinkan melalui kebijakan pemerintah. Masa depan kebijakan merupakan konsekuensi dari tindakan yang diharapkan berkontribusi terhadap pemenuhan nilai.
Untuk mendapatkan
informasi ini memerlukan kreativitas karena tidak dapat diperoleh dari situasi yang ada. Tindakan kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang dirancang untuk mendapatkan hasil kebijakan yang sesuai dengan tata nilai melalui alternatif kebijakan (Dunn 1994). Merumuskan suatu masalah publik yang benar dan tepat merupakan hal yang tidak mudah karena sifat masalah publik sangat kompleks.
Pengambil
kebijakan dihadapkan pada dua tipe persoalan dalam formulasi kebijakan, yaitu penetapan prioritas dan pemilihan instrumen yang tepat dalam intervensi (Mingat & Tan 2003).
Kesulitan dalam perumusan masalah kebijakan menurut Dye
36 (1992) dapat diatasi dengan menggunakan model yang telah banyak digunakan selama ini untuk pengambilan keputusan. Setidaknya terdapat sembilan model yang dapat digunakan dalam perumusan kebijakan, yaitu model sistem,
elit,
institusional, kelompok, proses, inkremental, pilihan publik dan model teori permainan. metodologi
Menurut Hayden (2006) prinsip-prinsip general system dengan dan
modelnya
sangat
bermanfaat
untuk
menjelaskan
dan
mengevaluasi kebijakan, program pemerintah, biaya sosial dan barang publik maupun perumusan kebijakan.
Gambar 3 Siklus kebijakan (Dunn 1994) Sedangkan Dunn (1994) berpendapat bahwa pemodelan kebijakan bukan hanya bermanfaat tetapi dirasakan perlu digunakan dalam perumusan kebijakan.
Model kebijakan merupakan penyederhanaan representasi dari
aspek-aspek situasi permasalahan yang dikonstruksi untuk tujuan perumusan kebijakan. Model ini dapat diwujudkan dalam bentuk konsep, gambar, grafik,
37 atau persamaan matematika yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksikan elemen-elemen situasi masalah kebijakan. Di samping itu, model kebijakan juga dapat digunakan untuk memperbaiki situasi masalah melalui rekomendasi langkah-langkah tindakan yang dapat menyelesaikan masalah. Berdasarkan tujuannya, model kebijakan dapat dibedakan antara model deskriptif dan model normatif. Tujuan model deskriptif adalah untuk menjelaskan dan atau memprediksi sebab dan akibat dari pilihan kebijakan. Sedangkan model normatif selain dapat digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi, tetapi juga untuk mengembangkan aturan dan rekomendasi yang mengoptimalkan pencapaian tujuan kebijakan.
Di samping itu, dikenal juga model prosedural, yaitu
penyederhanaan yang merepresentasikan hubungan dinamis antar peubah yang diyakini merupakan karakteristik dari masalah kebijakan. Prediksi dan optimasi solusi dalam model ini diperoleh melalui simulasi dan pencarian dengan menggunakan himpunan peluang relasi yang tidak mungkin dideskripsikan secara memadai karena tidak adanya data.
Salah satu bentuk sederhana simulasi dari
model prosedural adalah pohon keputusan (decision tree) (Dunn 1994). Sebagian besar situasi pengambilan kebijakan di dunia nyata, menurut Walker (2000) pengambil kebijakan selalu dihadapkan pada beragam kemungkinan alternatif, ketidak pastian, beragam pemangku kepentingan dan konsekuensi kebijakan sehingga tidak ada cara untuk mengidentifikasi solusi yang optimal.
Dalam
kondisi demikian, penggunaan model akan sangat membantu menyediakan informasi yang relevan bagi pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan mengambil keputusan yang sama-sama dikehendaki sehingga implementasi kebijakan dapat efektif. Kondisi lingkungan hidup sangat berkaitan dengan fungsi ekologi dan ekonomi lingkungan hidup. Sikap dan kelakuan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi, pengetahuan atau penghargaan terhadap fungsi ekologi lingkungan hidup yang memberikan layanan pada manusia.
Kekurangan penghargaan dan motivasi ekonomi
perorangan maupun negara yang berlebihan tanpa diikuti oleh upaya perlindungan
38 yang memadai terhadap lingkungan hidup akan menyebabkan terjadinya eksploitasi berlebih (over exploitation) sumber daya alam.
Untuk mengatasi
masalah ini, sikap dan perilaku masyarakat harus direkayasa agar menjadi ramah lingkungan tanpa mengurangi upaya pembangunan ekonomi. Pengubahan ini tidak mudah karena sifat manusia yang dominan adalah egoisme sehingga diperlukan kebijakan sistem pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada sifat manusia tersebut.
Kebijakan yang dapat digunakan dalam pengelolaan
lingkungan hidup meliputi instrumen pengaturan dan pengawasan, instrumen ekonomi, dan instrumen suasif (Soemarwoto 2004). Sedangkan Sterner (2003) menyatakan bahwa pada dasarnya ada empat instrumen kebijakan, yaitu instrumen organisasi, legal, insentif ekonomi dan informasi. Walaupun demikian, tidak ada satupun taksonomi instrumen kebijakan yang paling baik karena masing-masing memiliki kegunaan yang tergantung dari konteksnya. Instrumen pengaturan dan pengawasan (Command and Control – CAC) bertujuan untuk mengurangi pilihan pelaku dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup, misalnya melalui penetapan zonasi, preskripsi teknologi tertentu dan pelarangan kegiatan yang merusak lingkungan.
Pada intinya, instrumen CAC
dimaksudkan untuk menekan egoisme manusia dan mendorong perilaku ramah lingkungan melalui ancaman sanksi tindakan hukum. Pemerintah menetapkan peraturan dan pengawasan kepatuhan pelaksanaannya.
Ketidak patuhan
dikenakan sanksi denda dan/atau kurungan. Di Indonesia instrumen CAC sangat dominan dalam pengelolaan lingkungan. Kekuasaan perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, pengawasan dan penindakan mengalir dari pusat ke daerah dan dari atas ke bawah (top down). Dengan demikian, ciri utama instrumen CAC tersebut adalah penindakan, topdown dan instruktif, serta kaku dan birokratis. Instrumen CAC mengandung kelemahan, yang pertama bersumber dari ciri utama instrumen CAC dan yang kedua pada implementasinya, sehingga diperlukan pendekatan alternatif untuk menutupi kelemahan instrumen CAC (Soemarwoto 2005). Instrumen ekonomi bertujuan untuk
mengubah nilai keuntungan relatif
terhadap kerugian bagi pelaku dengan memberikan insentif dan disinsentif ekonomi. Insentif dan disinsentif ini mencakup instrumen pasar (market-based
39 instruments) yang dapat menghasilkan untung rugi berupa uang sehingga bersifat tangible.
Pertimbangan tangible diharapkan akan memberikan dorongan yang
kuat untuk berperilaku mendukung lingkungan dan menjadi hambatan untuk merusak lingkungan. Beberapa contoh instrumen ekonomi adalah pengurangan pajak untuk produksi bersih dan penggunaan peralatan yang hemat energi, pemungutan retribusi limbah dan pemberian denda untuk pelanggaran peraturan lingkungan. Instrumen ekonomi sebenarnya tidak merubah sistem nilai pelaku terhadap lingkungan karena perilaku ramah lingkungan hanya didasari oleh motivasi keuntungan ekonomi. Oleh karena itu, jika insentif berhenti maka tidak ada jaminan perilaku ramah lingkungan akan berlanjut, kecuali perubahan perilaku tersebut telah terinternalisasikan. Peluang internalisasi akan semakin besar jika instrumen ekonomi ini dikembangkan oleh masyarakat sendiri dan pemerintah berperan sebagai fasilitator (Soemarwoto 2004). Instrumen kebijakan suasif merupakan instrumen yang mendorong perilaku masyarakat secara persuasif, bukan dengan paksaan.
Instrumen ini bertujuan
untuk mengubah persepsi hubungan manusia dengan lingkungan hidup yang lebih menguntungkan.
Dalam kondisi ini, proses pengambilan keputusan pelaku
didorong untuk mengubah prioritas pilihan yang lebih menguntungkan lingkungan hidup dan masyarakat secara luas. Instrumen ini dapat berupa pendidikan, latihan, penyebaran informasi melalui media massa maupun ceramah.
Dalam jangka
panjang, nilai-nilai yang diajarkan dapat mengubah perilaku secara permanen dan budaya yang lebih ramah lingkungan (Soemarwoto 2004). Pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem secara ekonomi memiliki nilai strategis yang penting dalam mendukung pembangunan sebagian besar negara-negara berkembang (Steiner 2003).
Kebijakan publik berperan
dalam menyediakan barang publik yang disediakan oleh fungsi ekosistem. Namun, hal yang mungkin perlu dipahami adalah pilihan-pilihan apa yang telah dilakukan pemerintah terkait pembangunan kawasan konservasi, bagaimana implementasi
dan
administrasinya
(Papageorgiou dan Vogiatzakis 2006).
serta
dampak
dari
pilihan
tersebut
Kesuksesan pengelolaan sumber daya
alam hayati dan ekosistem dalam kawasan konservasi tidak hanya fungsi dari
40 jumlah, tipe dan luasan kawasan yang telah ditetapkan, tetapi yang terpenting adalah penetapan kebijakan yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan bersama dan dijalankan dalam praktek oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan. Suatu kebijakan akan berpeluang untuk sukses dalam implementasinya jika bersifat antisipatif dan partisipatif dibandingkan dengan yang bersifat reaktif dan kurang akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat. 2.6
Pendekatan Sistem dan Soft System Methodology Teori sistem dipelopori oleh Bertalanffy yang memperkenalkan suatu
kerangka konsep dan teori yang dapat diterapkan pada berbagai bidang ilmu. Kerangka tersebut dikenal sebagai General System Theory yang didasari oleh pemikiran perlunya generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien.
Sistem merupakan suatu agregasi atau kumpulan
objek-objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan saling tergantung. Konsep sistem merupakan awal dari studi sistem yang selanjutnya akan didesain dan dievaluasi (Dubrowsky 2004; Eriyatno & Sofyar 2007; Drack 2009). Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan komponen-komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan.
Pengertian
komponen atau unsur adalah benda, baik kongkrit atau abstrak yang menyusun suatu sistem. Tujuan sistem merupakan unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur dan keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan sistem. Gangguan salah satu unsur akan mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi unjuk kerja sistem secara keseluruhan.
Interaksi antar
komponen atau unsur merupakan ikatan atau hubungan antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada suatu sistem sehingga dapat dibedakan dari sistem lainnya dan interaksi ini mempengaruhi perilaku sistem secara keseluruhan.
Dengan demikian, sistem memiliki dua sifat utama yang
berkaitan dengan aspek struktur dan aspek perilaku.
Struktur sistem
41 berkaitan
dengan
susunan
dan
rangkaian
diantara
elemen-elemen
penyusunnya dan perilaku sistem yang berkaitan dengan input dan output sistem (Eriyatno, 2003; Muhammadi et al. 2001). Lebih lanjut Marimin (2005) menyebutkan bahwa sebuah sistem
pada
umumnya mempunyai beberapa sifat mendasar, antara lain: 1) berorientasi kepada tujuan dan dalam proses pencapaian tujuan akan terjadi perubahan yang terus menerus sehingga bersifat dinamis, 2) satu kesatuan usaha dimana hasil kerja sistem secara keseluruhan melebihi dari jumlah hasil kerja dari masing-masing bagian sistem secara sendirisendiri atau bersifat sinergis, 3) terbuka terhadap lingkungan, yang berarti bahwa lingkungan merupakan sumber kesempatan ataupun hambatan unjuk kerja sistem, 4) adanya transformasi, yang merupakan proses perubahan input menjadi output yang dilakukan oleh sistem, 5) interaksi antara bagian maupun subsistem, dan 6) adanya mekanisme pengendalian, yang menyangkut sistem umpan balik yang merupakan suatu bagian yang memberikan informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan masalah yang dihadapi. Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan cara penyelesaian persoalan yang sangat berbeda dari pendekatan konvensional.
Pendekatan konvensional
menekankan pada aspek analisis elemen-elemen secara parsial atau tereduksi. Sedangkan pendekatan sistem menekankan pada aspek analisis interaksi elemen dan perilaku sistem secara keseluruhan atau holistik. Pendekatan sistem dimulai dengan dilakukannya identifikasi kebutuhan-kebutuhan pemangku kepentingan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari suatu sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem memiliki dua hal utama, yaitu pencarian semua faktor penting yang terdapat dalam sistem untuk mendapatkan solusi penyelesaian masalah yang baik serta pembuatan suatu model konseptual dan kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional (Eriyatno 2003).
42 Pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan dan penyelesaian persoalan yang kompleks terfokus pada pemahaman proses interaksi yang terjadi dalam sistem (Richardson & Pugh 1983). Hal ini dilandasi oleh filosofi bahwa struktur sistem bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan dalam sistem dengan berjalannya waktu. Premisnya adalah perilaku dinamik merupakan konsekuensi dari struktur sistem. Pendekatan sistem cenderung untuk melihat sebab dan konsekuensi dari perilaku di dalam sistem. Persoalan atau output yang tidak dikehendaki dari sistem tidak dipandang sebagai akibat dari agen atau komponen di luar sistem.
Sedangkan tahapan pendekatan sistem dalam penyelesaian
persoalan yang kompleks meliputi: 1) definisi dan identifikasi masalah, 2) konseptualisasi sistem, 3) formulasi model, 4) analisis perilaku model, 5) evaluasi model, 6) analisis kebijakan dan 7) implementasi atau penggunaan model. Secara skematis, proses pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan atau penyelesaian persoalan ditunjukkan pada Gambar 4. Implementasi kebijakan
Pemahaman sistem
Definisi masalah
Analisis kebijakan
Konseptualisasi sistem Simulasi
Formulasi model
Gambar 4 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan (Richardson & Pugh 1983)
43 Menurut Jackson (2000) pendekatan sistem dalam aplikasi system thinking untuk penelitian dan intervensi kebijakan dapat dibedakan menjadi pendekatan sistem: 1) fungsionalis, 2) interpretasi, 3) emansipatori, dan 4) postmodern. Pengklasifikasian ini didasarkan atas metodologi yang digunakan.
Sedangkan
Checkland (2000) dengan berdasarkan atas keterkaitan antara systems thinking dan systems practice membedakan pendekatan sistem menjadi hard system dan soft system.
Hard system thinking dengan landasan paradigma optimasi sangat
tepat digunakan pada pemecahan masalah teknis yang tersturktur dan tujuannya telah diketahui sebelumnya, sedangkan soft system thinking dengan paradigma pembelajaran lebih tepat digunakan pada situasi pemecahan persoalan yang tidak terstruktur dan melibatkan aspek manusia dan sosial budaya. Pendekatan sistem lunak dapat dilakukan dengan menggunakan Soft System Methodology (SSM) yang bersifat interpretasi jika situasi permasalahan yang dihadapi bersifat kompleks dan messy atau ill-defined (Christis 2005). Metodologi SSM dikembangkan oleh Checkland (1999) dengan landasan pemikiran bahwa dalam rangka perbaikan sistem di dunia nyata, setiap tindakan oleh manusia pasti memiliki makna bagi dirinya sehingga pemodelan sistem aktifitas manusia akan menggambarkan karakteristik tujuan tertentu yang diinginkannya. Selanjutnya, dalam pemodelan sistem aktifitas manusia dalam rangka mengeksplorasi tindakan manusia di dunia nyata memungkinkan munculnya beragam interpretasi terhadap suatu tujuan tertentu sehingga dapat dibangun banyak model.
Oleh karena itu, sebelum melakukan pemodelan perlu
dipilih pandangan (world view) yang paling relevan sebagai landasan dalam pemodelan untuk mengekplorasi situasi masalah sehingga dapat diperoleh konsep yang dapat digunakan (usable concept). SSM digunakan pada situasi dimana karena berbagai alasan merupakan situasi yang problematik bagi pihak yang berkepentingan dan melalui pemodelan konseptual yang relevan akan dapat teridentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan situasi problematik tersebut (Checkland & Scholes 1999). Metodologi SSM mencakup 7 langkah atau tahapan proses (Gambar 5) dimana dapat dibedakan antara aktifitas
44 di dunia nyata yang melibatkan para pihak terkait situasi problematik dan aktifitas system thinking yang dapat berkaitan maupun tidak dengan situasi problematik. Tahapan proses tersebut meliputi: 1) Situasi permasalahan tidak terstruktur. 2) Situasi permasalahan terekspresikan. 3) Definisi mendasar sistem yang relevan. 4) Model konseptual. 5) Perbandingan model dengan dunia nyata. 6) Perubahan yang diharapkan dan layak. 7) Tindakan untuk memperbaiki situasi problematik. Tahapan 1 dan 2 merupakan fase pengungkapan situasi yang dipersepsikan sebagai masalah. Analisis yang dilakukan dalam fase ini menyangkut identifikasi elemen kunci dari struktur dan proses, serta interaksi antar elemen dan proses dari situasi masalah. Tahap 3 merupakan tahapan pendefinisian sistem yang relevan untuk memperbaiki situasi masalah. Formulasi ini dapat dimodifikasi kembali dalam proses iterasi dan pendalaman. Selanjutnya berdasarkan definisi sistem yang telah terbentuk maka dilakukan tahap 4, yaitu membangun model konseptual dari sistem aktifitas manusia yang memuat sekumpulan aktifitas minimal yang diperlukan.
Jika dijumpai kekurangan dan diperlukan transformasi untuk
pembentukan model konseptual maka dapat digunakan konsep sistem formal dan pemikiran sistem yang lain.
Pada tahap 5 dilakukan pembandingan model
konseptual dengan persepsi yang ada di dunia nyata. Pembandingan ini sebagai tahapan 6, dilakukan melalui perdebatan diantara para pihak yang berkepentingan sehingga dapat diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua pihak. Tahap 7 menyangkut pengambilan tindakan untuk memperbaiki situasi masalah.
45
Gambar 5 Proses soft system methodology (Checkland 1999) 2.7
Strategic Assumption Surfacing and Testing Metode Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST), menurut Flood
and Jackson (2000) menggunakan pendekatan sistem yang terfokus pada para pihak yang terkait dengan konteks permasalahan dan tidak pada karakteristik elemen sistem yang menyebabkan permasalahan. Aspek manusia dan politik dari organisasi menjadi perhatian utama dalam metode SAST sedangkan struktur organisasi tidak menjadi fokus meskipun aspek ini akan diperhatikan setelah isu pluralisme terselesaikan. Metode SAST di rancang sebagai sebuah pendekatan sistem yang sesuai untuk menyelesaikan persoalan yang rumit (messes atau illstructured problem context) dan merupakan metode yang digunakan dalam menyusun alternatif kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi (Dewar 2004). Persoalan yang rumit dicirikan oleh adanya ketergantungan yang kuat dalam komponen persoalan. Ciri yang menonjol dari metode SAST sebagai metode pemecahan persoalan adalah asumsi bahwa suatu persoalan pluralisme yang telah dapat diselesaikan melalui metode SAST selanjutnya penyelesaian persoalan akan dapat diteruskan dengan menggunakan metode manajemen konvensional.
46 Filosofi metode SAST menurut Flood and Jackson (2000) didasarkan atas 4 argumentasi tentang sifat persoalan dan upaya pemecahannya.
Argumentasi
pertama dinyatakan bahwa sebagian besar persoalan strategik yang dihadapi organisasi merupakan persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, sedangkan sebagian besar teknik-teknik pemecahan masalah konvensional hanya cocok untuk pemecahan masalah yang tidak kompleks dan terstruktur. Kedua, sebagian besar organisasi gagal memecahkan persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur karena kegagalan dalam mengubah pola pikir dan melakukan pekerjaan. Pemilihan kebijakan alternatif yang tidak didasari oleh praktek yang selama ini dilakukan kurang mendapatkan perhatian. Metode SAST memastikan alternatif kebijakan tersebut akan tetap dipertimbangkan.
Ketiga, menantang
kebijakan yang lebih disukai akan mengharuskan pembangkitan kebijakan yang berbeda. Organisasi akan mulai belajar ketika asumsi-asumsi yang ada sebagai dasar pengembangan kebijakan ditantang oleh asumsi-asumsi tandingan. Proses ini akan mendorong berkembangnya organisasi melalui proses pembelajaran karena asumsi yang digunakan selalu akan dihadapkan pada perihal baru. Keempat, disadari akan muncul friksi dalam proses pengembangan alternatif strategi dan kebijakan. Berdasarkan filosofi tersebut, metode SAST memiliki empat prinsip, yaitu: 1) adversarial atau berlawanan, dengan keyakinan bahwa upaya penilaian masalah yang tidak terstruktur dengan baik melalui pertimbangan perspektif yang bertentangan. 2) partisipatif,
sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan
beragam melalui pelibatan berbagai individu atau kelompok yang terkait atau organisasi yang berbeda untuk memecahkan masalah yang kompleks dan kemudian mendistribuasikan pelaksanaan hasil pemecahan pada pihak yang berkepentingan. 3) Integratif, berdasarkan asumsi perlu dilakukan satu sintesis dari berbagai sudut pandang untuk dapat merumuskan rencana tindak yang dapat dioperasionalkan.
47 4) Mendukung gagasan manajerial, dimana orang yakin bahwa dengan melibatkan para manajer yang selalu dihadapkan pada berbagai asumsi yang membuatnya memahami lebih mendalam organisasi, kebijakan maupun masalah-masalah yang dihadapinya. Proses pengedepanan asumsi dapat dilakukan melalui tiga teknik (Mason & Mitroff 1981).
Teknik pertama adalah analisis stakeholder yang dilakukan
melalui identifikasi komponen stakeholder yang terkena dengan kebijakan, yang tertarik maupun berada pada posisi mempengaruhi penerapan suatu kebijakan atau yang menolak serta memberikan dukungannya. Dalam upaya mengangkat asumsi digunakan cara dengan memberikan pertanyaan terbalik yang optimal, sebagai contoh “dengan diberlakukannya kebijakan yang dirumuskan, apakah yang harus diasumsikan tentang sikap stakeholder sehingga asumsi yang ada tersebut secara logis dapat mengoptimalkan penerapan strategi kebijakan yang dimaksud. Teknik kedua adalah spesifikasi asumsi.
Masing-masing stakeholder yang telah
teridentifikasi dikelompokkan dan membuat daftar asumsi yang diyakini akan dapat menjadi landasan keberhasilan implementasi strategi kebijakan. Teknik ketiga adalah pemeringkatan asumsi.
Masing-masing kelompok stakeholder
menilai masing-masing asumsi berdasarkan kriteria tingkat kepentingan dan kepastian.
Tingkat kepentingan dari asumsi menunjukkan derajat pengaruh
asumsi terhadap keberhasilan atau kegagalan strategi kebijakan.
Sedangkan
tingkat kepastian menunjukkan tingkat keyakinan bahwa suatu asumsi benar adanya. Hasil analisis menggunakan teknik pemeringkatan asumsi selanjutnya disajikan dalam bentuk grafik peringkat asumsi (assumption rating). Gambar 6 menunjukkan kuadran rencana yang pasti mendukung keberhasilan strategi kebijakan dan kuadran rencana yang bermasalah. Asumsi-asumsi yang memiliki tingkat kepentingan rendah pada kuadran bagian kiri secara nyata tidak akan mempengaruhi efektifitas perencanaan atau pemecahan masalah. Asumsi-asumsi yang berada pada kuadran paling pasti dan penting merupakan asumsi yang akan dapat digunakan sebagai pijakan strategi kebijakan.
48
Kuadran Rencana yang pasti Paling Penting
Paling Tidak Penting
Paling Pasti
Kuadran Rencana yang bermasalah
Paling Tidak Pasti
Gambar 6 Grafik peringkat asumsi (Flood & Jackson 2000)
2.8
Pemodelan Interpretasi Struktural Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan
kebijakan strategis adalah Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretive Structural Modelling – ISM). Menurut Eriyatno (2003) ISM merupakan proses pengkajian kelompok yang berguna untuk memberikan gambaran perihal yang kompleks dari suatu sistem dan melalui pola yang dirancang secara saksama dengan menggunakan grafis dan kalimat akan menghasilkan
model-model
struktural. Teknik ISM meskipun utamanya ditujukan untuk pengkajian oleh sebuah kelompok, tetapi bisa juga digunakan oleh seorang peneliti dengan melibatkan pakar multi disiplin. Teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif.
49 Menurut Saxena et al. (1992), analisis sistematis dari suatu program atau objek
secara
holistik
sangat
bermanfaat
agar
tujuan
program
dapat
diimplementasikan dengan efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat karena memenuhi kebutuhannya saat ini maupun masa mendatang.
ISM
merupakan interpretasi dari suatu program atau objek yang utuh dan mentransformasikan model mental yang tidak terang dan lemah penjelasannya menjadi model sistem yang terdefinisikan secara jelas hingga dapat dimanfaatkan untuk perencanaan strategik dan formulasi kebijakan. ISM merupakan salah satu metode permodelan berbasis komputer yang dapat membantu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas, ataupun kategori ide. ISM merupakan sebuah metode
yang interaktif dan diimplementasikan dalam
sebuah wadah kelompok sehingga metode ini memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi yang cukup kompleks. ISM menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, maupun faktor-faktor penilaian. Sedangkan hubungan langsung dapat dalam konteks yang beragam (Marimin 2005). Menurut Kanungo and Bhatnagar (2002), Eriyatno (2003) dan Marimin (2005), langkah-langkah permodelan dengan menggunakan ISM mencakup: 1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi elemen dapat diperoleh melalui penelitian, diskusi curah pendapat maupun cara yang lainnya. 2) Hubungan kontekstual: Sebuah hubungan kontekstual antar elemen dibangun berdasarkan pada tujuan dari permodelan. 3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix – SSIM): Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap hubungan elemen yang dituju.
50 Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang terdapat antar dua elemen dari sistem yang dikaji adalah:
V ..... hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya
A ..... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya
X ..... hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya
O ..... menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan
4) Matriks Reachability (Reachability Matrix – RM):
Sebuah RM
yang
dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner.
Konversi SSIM menjadi SM menggunakan aturan-aturan
berikut,
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM.
Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM.
Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 1 dalam RM.
Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. 5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability set (Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri ∩ Ai adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda.
51 6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical. Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir. 8) Interpretive Structural Model:
ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metode dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang dikaji.
Menentukan jenjang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan,
namun harus memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi dimana tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang diatas, c) konteks dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas, d) liputan dimana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah, dan e) hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat dibawahnya.
Teknik ISM dapat memberikan basis analisis program
dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis. Selanjutnya, Saxena et al. (1992) menyatakan bahwa
52 penggunaan ISM dalam analisis, program dapat dibagi menjadi sembilan elemen utama: 1) Sektor masyarakat yang terpengaruh 2) Kebutuhan dari program 3) Kendala utama program 4) Perubahan yang diinginkan 5) Tujuan dari program 6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan 7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan 8) Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas 9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan menjadi sejumlah sub-elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual antara sub-elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada perbandingan berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu dinyatakan dalam terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antar subelemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Menurut Eriyatno (2003) hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Keterkaitan antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis hubungan seperti disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hubungan kontekstual tersebut, maka disusun Structural Self Interaction Matrix dengan menggunakan simbol: V jika eij = 1 dan eji = 0 A jika eij = 0 dan eji = 1 V jika eij = 1 dan eji = 1 V jika eij = 0 dan eji = 0
53 Tabel 1 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM No
Jenis Hubungan
Interpretasi
1
Pembandingan (comparative)
A lebih penting/besar/indah dari B A 20% lebih berat dari B
2
Pernyataan (definitive)
A adalah atribut B A termasuk di dalam B A mengartikan B
3
Pengaruh (influence)
A menyebabkan B A adalah sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B
4
Keruangan (spatial)
A adalah selatan/utara B A diatas B A sebelah kiri B
5
Kewaktuan (temporal/time scale)
A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B
Sumber: Eriyatno (2003) Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen ke-j. Hasil penilaian ini kemudian dibuat dalam Structural Self Interaction Matrix
yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan
mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks RM selanjutnya dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi kaidah transitivitas. Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian diolah untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk mengetahui peran masing-masing sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke dalam 4 sektor: Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem,
54 mungkin mempunyai hubungan yang sedikit walaupun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas atau dipengaruhi oleh sub elemen lain. Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub elemen yang berada pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil.
Setiap tindakan pada sub elemen
tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lain dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya merupakan sub elemen bebas yang memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap sub elemen lain dalam sistem. 2.9
Fuzzy Analytical Hierarchy Process Penilaian untuk memilih kebijakan prioritas dapat dilakukan dengan
menggunakan metode Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process – AHP). AHP mempunyai peralatan utama yaitu sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia dalam memilih alternatif-alternatif keputusan pemecahan masalah. Suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Proses hirarki analitik cocok untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dengan kriteria majemuk (Saaty, 1993). Menurut Goodwin and Wright (2004) dan Marimin (2005) prinsip dasar AHP meliputi beberapa langkah, yaitu: 1) Penyusunan struktur hirarki Persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya yang dapat berupa atribut dan alternatif.
Unsur-unsur ini
kemudian disusun
menjadi struktur hirarki yang menunjukkan alternatif yang tersedia dalam membuat keputusan berada pada tingkat yang paling bawah.
55 2) Penilaian perbandingan berpasangan Penilaian unsur-unsur hirarki dilakukan melalui perbandingan berpasangan dari masing-masing elemen dalam suatu unsur untuk menetapkan kepentingan relatif. Skala penilaian 1 sampai 9 merupakan skala yang terbaik untuk menilai berbagai persoalan. Nilai pendapat yang diekspresikan didefinisikan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. 3) Penentuan prioritas Penentuan prioritas didasarkan atas hasil perbandingan berpasangan dari masing-masing elemen dalam unsur-unsur hirarki. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Elemen-elemen kualitatif maupun kuantitatif dibandingkan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dapat dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematika. Analisis sensitivitas dapat dilakukan untuk mengetahui akibat adanya perubahan tingkat kepentingan. 4) Konsistensi logis Seluruh elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
Tabel 2 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Identitas Kepentingan
Definisi Nilai
1
Kedua elemen sama penting
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari yang lain
5
Elemen yang satu jelas lebih penting dari yang lain
7
Elemen yang satu sangat jelas lebih penting dari yang lain
9
Elemen yang satu mutlak lebih penting dari yang lain
2, 4, 6, 8
Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan
56 Untuk menentukan bobot atau prioritas melalui cara penghitungan nilai eigen dapat diselesaikan melalui 2 cara, yaitu: 1) Penyelesaian dengan manipulasi matriks Manipulasi matriks dilakukan untuk menentukan bobot dari elemen unsur dengan
jalan
menentukan
nilai
eigen.
Sedangkan
prosedur
untuk
mendapatkan nilai eigen dilakukan dengan cara mengkuadratkan matriks dan dilanjutkan dengan penjumlahan nilai dari setiap baris dan dilakukan normalisasi. Proses penghitungan ini dilakukan sampai dihasilkan perbedaan antara jumlah dari dua perhitungan berturut-turut lebih kecil dari suatu nilai batas tertentu. a. Pengolahan Horisontal Pengolahan horisontal dimaksudkan untuk menyusun prioritas elemen keputusan setiap tingkat hirarki keputusan. Tahapannya adalah sebagai berikut: 1)
Perkalian baris (Z) dengan rumus: n
Z = n
2)
aij
j 1
Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen
n
n eVPi =
aij
j 1 n
n
i 1
n
aij
j 1
eVPi adalah elemen vektor prioritas ke – i 3)
Perhitungan nilai eigen maksimum VA = aij x VP dengan VB = VA/VP
dengan
VA = (Vai) VB = (Vbi)
57 λmaks =
1 n aij.VBi n i 1
(untuk i = 1,2,3,.......n)
VA = VB = vektor antara 4)
Perhitungan indeks konsistensi (CI) Pengukuran ini dimaksudkan untuk mengetahui konsistensi jawaban yang akan berpengaruh pada kesahihan hasil, ditentukan dengan rumus:
CI =
maks n n 1
Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui consistency ratio (CR) yang dianggap baik, yaitu CR ≤ 0.1. Consistency Ratio dapat dihitung dengan rumus: CR = CI/RI Nilai RI merupakan nilai indeks random, ditampilkan pada Tabel 3: Tabel 3 Nilai Indeks Random (RI) Ukuran Matriks
Indeks Random
Ukuran Matriks
Indeks Random
1
0.00
8
1.41
2
0.00
9
1.45
3
0.58
10
1.49
4
0.90
11
1.51
5
1.12
12
1.48
6
1.24
13
1.56
7
1.32
58 b. Pengolahan Vertikal Pengolahan ini digunakan untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam hirarki terhadap sasaran utama.
Jika NPpq didefinisikan sebagai nilai
prioritas pengaruh elemen ke – p pada tingkat ke – q terhadap sasaran utama, maka: n
NPpq =
NPHpq ( t , q 1) * NPTt ( q 1)
t 1
untuk p = 1,2,3,........,r t = 1,2,3,........,s dimana: NPpq = nilai prioritas pengaruh elemen ke–p pada tingkat ke–q terhadap sasaran utama NPHpq = nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q NPTt
= nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke-(q-1)
2) Penyelesaian dengan persamaan matematika Langkah-langkah untuk menentukan besarnya bobot adalah: a. Langkah 1: wi/wj = aij
(ij = 1,2,3,……n)
wi = bobot input dalam baris wj = bobot input dalam kolom b. Langkah 2: wi = aij wj
(ij = 1,2,3,…….n)
untuk kasus-kasus umum mempunyai bentuk:
wi =
1 n aijwj n j 1
(ij = 1,2,3,……n)
wi = rataan dari ai1 w1, ……ain wj
59 c. Langkah 3: Bila perkiraan aij baik akan cenderung untuk dekat dengan nisbah wi/wj. Jika n juga berubah maka n diubah menjadi λmaks sehingga diperoleh:
wi =
1
maks
n
aijwj
(ij = 1,2,3,……n)
j 1
Metode fuzzy AHP adalah suatu metode yang dikembangkan dari metode AHP dengan menggunakan konsep fuzzy dalam penilaian perbandingan berpasangan dari elemen-elemen unsur untuk menetapkan prioritas alternatif. Kelebihan penggunaan fuzzy AHP adalah pada waktu melakukan penilaian perbandingan berpasangan, para pengambil kebijakan tidak dipaksa untuk melakukan penilaian diskrit tetapi dapat menggunakan intuisi yang dinyatakan melalui informasi linguistik atau verbal (Buckley 2001). Salah satu metode analisis fuzzy AHP dikemukakan oleh Chang (1996). Analisis ini mencakup beberapa langkah, yaitu: 1) Langkah 1 Nilai sintesa pengembangan fuzzy (fuzzy synthetic extent value) (Si) dari kriteria ke-i didefinisikan sebagai – persamaan 1:
Untuk mendapatkan – persamaan 2:
dilakukan melalui operasi penambahan fuzzy dari m extent analysis values untuk matriks tertentu berdasarkan persamaan 3 yang akan menghasilkan himpunan baru (l, m, u) dan digunakan pada persamaan:
60
dimana l adalah batas bawah nilai limit, m adalah nilai paling promising dan u adalah batas atas nilai limit.
Dan untuk memperoleh persamaan 4:
dilakukan melalui operasi penambahan fuzzy dari nilai
akan memberikan persamaan 5:
dan kemudian dihitung vektor inverse pada persamaan 5 untuk memperoleh persamaan 6:
2) Langkah 2 Derajat kemungkinan dari: M2 = (l2, m2, u2) ≥ M1 = (l1, m1, u1) didefinisikan dalam persamaan 7:
61 dan x dan y adalah nilai pada aksis fungsi keanggotaan dari masing-masing kriteria. Persamaan ini dapat diekspresikan sebagai persamaan 8:
dimana d adalah titik persimpangan tertinggi μM1 dan μM2. 3) Langkah 3 Derajat kemungkinan untuk nilai fuzzy konveks lebih besar dari k nilai fuzzy konveks Mi (i = 1,2,3,4,5,......., k) dapat didefinisikan oleh V(M ≥ M1, M2, M3, M4, M5, M6,............., Mk) = V[(M≥M1) dan (M≥M2) dan (M≥M3) dan (M≥M4) dan......dan (M≥M1) = min V(M≥Mi), i = 1,2,3,4,......, k. Jika persamaan 9: d*(Ai) = min V(Si ≥ Sk) untuk k = 1,2,3,4,5,......,n; k ≠ i maka bobot vektor diperoleh dari persamaan 10, yaitu: W* = (d*(A1), d*(A2), d*(A3), d*(A4), d*(A5),........, d*(An))T dimana A1 (i = 1,2,3,4,5,6,.............., n) adalah n elemen. 4) Langkah 4 Melalui normalisasi, bobot vektor ternormalisasi diperoleh berdasarkan persamaan 11, yaitu: W = (d(A1), d(A2), d(A3), d(A4), d(A5),........, d(An))T dimana W adalah bukan angka fuzzy.
62 2.10 Validasi Model Penggunaan model merupakan elemen penting dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Model ini dapat berwujud mental model yang
berada di pikiran pengambil keputusan sampai model kompleks yang eksplisit untuk mengeksplorasi dampak suatu keputusan. Tingkat manfaat penggunaan model sangat ditentukan oleh ketepatan hasil simulasi model. Untuk menjamin ketepatan hasil simulasi diperlukan proses verifikasi dan validasi model terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk pengambilan keputusan. Validasi model menurut Eriyatno (2003) merupakan usaha untuk menyimpulkan bahwa model sistem yang dibangun merupakan representasi yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan dan valid. Validasi juga merupakan suatu proses pengujian yang iteratif untuk penyempurnaan model yang dibangun.Validasi dapat mulai dilakukan dengan pengujian sederhana, seperti pengamatan respon model terhadap beberapa hal, yaitu: 1) tanda aljabar (sign), 2) tingkat kepangkatan dari besaran (order of magnitude), 3) format respon (linier, eksponensial, logaritmik dan lainnya), 4) arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti-ganti, dan 5) nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem. Checkland (1995) membedakan verifikasi dan validasi dalam soft system (SST) dengan hard system thinking (HST).
Dalam SST model merupakan
representasi sistem kegiatan manusia yang terkait secara logis dan dimaksudkan sebagai sarana untuk mendebatkan kesesuaian antara model dengan dunia nyata bagi pihak-pihak yang terlibat dalam situasi problematik. Perdebatan ini akan menghasilkan akomodasi sehingga memungkinkan dilakukannya tindakantindakan yang diharapkan dan layak untuk memperbaiki situasi problematik. Dengan demikian validasi model dilakukan sebelum model digunakan untuk debat. Keabsahan model dinilai dari relevansinya dengan situasi permasalahan dan kecukupan model ditinjau dari karakteristik sistem formal atau tingkat kesesuaian antara root definition dengan model konseptual.
63 Sedangkan pada HST,
model digunakan sebagai abstraksi dunia nyata
untuk melakukan eksperimentasi yang hasilnya digunakan sebagai dasar pemecahan masalah.
Menurut Muhammadi et al. (2001), validitas model
merupakan suatu hasil penilaian secara objektif terhadap model yang ditunjukkan sejauhmana hasil simulasi model dapat menirukan fakta. Dalam dunia nyata, fakta adalah kejadian yang teramati. Pengamatan tersebut dapat bersifat terukur secara kuantitatif maupun kuailitatif atau informasi aktual. Sedangkan hasil simulasi merupakan perilaku variabel yang diinteraksikan menggunakan bantuan komputer. Proses melihat keserupaan ini disebut validasi output atau kinerja model. Validasi kinerja model bersifat pelengkap karena yang utama adalah validasi struktur model. Validasi struktur model merupakan penilaian sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur dunia nyata. Struktur model yang dibangun secara holistik, lintas disiplin dan perspektif diharapkan mampu menirukan interaksi kejadian nyata. Dengan demikian, verifikasi dan validasi model ditujukan untuk menguji keabsahan representasi tersebut agar hasil simulasinya akurat. Keabsahan suatu hasil simulasi, menurut Sargent (1998) dapat dilakukan melalui tiga pendekatan.
Setiap pendekatan memerlukan tim pengembangan
model yang melakukan verifikasi dan validasi sebagai bagian dari proses pengembangan model. Pendekatan pertama dan paling umum digunakan adalah pendekatan subjektif.
Dalam pendekatan ini, tim pengembangan model
memutuskan keabsahan model berdasarkan pada hasil berbagai pengujian dan evaluasi dalam proses pengembangan model. Pendekatan kedua adalah melalui penggunaan pihak ketiga yang independen untuk memutuskan keabsahan suatu model. Pihak ketiga tidak memiliki ketergantungan dengan tim pengembangan model dan pengguna. Setelah model dikembangkan, pihak ketiga melakukan evaluasi untuk menentukan keabsahannya. Penggunaan pendekatan ini biasanya dilakukan untuk menjaga kredibilitas model.
Pendekatan ketiga untuk
menentukan keabsahan model dilakukan dengan penggunaan model penilaian. Nilai atau bobot ditentukan secara subjektif pada saat melakukan proses validasi dari berbagai aspek dan kemudian dikombinasikan untuk menentukan kategori
64 nilai dan total nilai simulasi model. Suatu model dianggap valid jika kategori dan total nilai lebih besar dari suatu nilai yang telah ditetapkan. Beragam teknik dapat digunakan dalam validasi model. Menurut Sargent (1998), secara umum terdapat 16 teknik untuk melakukan validasi model, yaitu: 1) animation, 2) comparison to other models, 3) degenerate test, 4) event validity, 5) extreme condition test, 6) face validity, 7) fixed values, 8) historical data validation, 9) historical methods. 10) internal validity, 11) multistage validity, 12) operational graphic, 13) parameter variability-sensitivity analysis, 14) predictive validation, 15) traces, dan 16) turing test.
Validasi model
konseptual yang merupakan representasi dari ide, situasi, fenomena atau kebijakan yang dimodelkan dalam bentuk persamaan matematika, hubungan logika maupun verbal dilakukan dengan face validation.
Validitas model konseptual dinilai
berdasarkan kebenaran teori dan asumsi yang mendasari dan tingkat representasinya.
3 3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi Penelitian Objek penelitian ini adalah taman nasional daratan yang mempunyai
ekosistem asli dan berfungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati serta dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Studi kasus penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan
beberapa desa di Kabupaten Kerinci,
Propinsi Jambi dan Kabupaten Lebong, Propinsi Bengkulu (Gambar 7).
Gambar 7 Lokasi penelitian 3.2
Tahapan Penelitian Untuk mencapai tujuan, pelaksanaan penelitian dilakukan melalui beberapa
tahap.
Keseluruhan tahapan proses pelaksanaan penelitian mulai dari studi
pustaka sampai penarikan kesimpulan dan saran ditunjukkan pada Gambar 8. Penelitian dilakukan dengan pendekatan soft dan hard system methodology (SSM dan HSM). SSM menggunakan teknik SAST dan ISM, sedangkan HSM dengan teknik sistem dinamik.
66 Penelitian ini dimulai dengan studi pustaka dan penelusuran data sekunder. Kemudian akan dilanjutkan dengan survai lapang untuk mendapatkan data sekunder dan primer melalui penelusuran pustaka, wawancara mendalam, diskusi/FGD dan pengisian kuesioner dengan responden pakar dan rumah tangga. Data primer responden pakar diolah dengan menggunakan SAST dan ISM, sedangkan data primer responden rumah tangga diolah dengan teknik statistika deskriptif dan regresi logistik. Data sekunder lainnya diolah dengan tabulasi dan content analysis untuk data perundangan.
Sedangkan proyeksi keberlanjutan
sistem pengelolaan saat ini dilakukan dengan teknik sistem dinamik. Analisis situasional menghasilkan gambaran faktor-faktor yang berperan dalam pengelolaan taman. Faktor-faktor tersebut meliputi kebijakan nasional dan daerah, internal manajemen, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar, kondisi fisik kawasan dan partisipasi masyarakat. Analisis kebijakan menghasilkan asumsi dasar pengembangan kebijakan, struktur sistem dan peubah kunci elemen pengelolaan yang dapat diintervensi dengan kebijakan, serta peubah independen. Berdasarkan
hasil analisis kebijakan dan mempertimbangkan hasil analisis
situasional maka disusun alternatif-alternatif kebijakan. Pemilihan prioritas dari alternatif-alternatif kebijakan dilakukan dengan menggunakan fuzzy AHP. Model konseptual kebijakan dibangun berdasarkan hasil pemilihan alternatif kebijakan prioritas dan merupakan sintesis dari hasil analisis. Selanjutnya, model kebijakan divalidasi melalui face validation. Dengan menggunakan model yang telah valid maka disusun implikasi-implikasi kebijakan untuk pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah. Langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan sintesis yang telah dilakukan serta formulasi saran yang dapat disampaikan.
67
Gambar 8 Tahapan Penelitian 3.3
Teknik Pengambilan Data Data yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer dan data
sekunder. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran secara langsung di lokasi penelitian dan lainnya maupun secara elektronik. Data sekunder merupakan data pendukung, baik berupa data, informasi maupun hasil penelitian yang relevan. Sedangkan data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapang melalui wawancara dengan informan kunci, seperti tokoh masyarakat, aparat Desa, Pemerintah Kabupaten, maupun Propinsi, dan pegawai TNKS, diskusi dengan tokoh masyarakat dan pakar, serta pengisian kuesioner. Peubah dan sumber data situasi yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 4.
68 Tabel 4 Peubah dan sumber data penelitian No 1
Faktor Kebijakan
Peubah
Sumber data
Kebijakan sektor
Kementerian Kehutanan, Lingkungan Hidup, Dalam Negeri dan Keuangan
Kebijakan daerah
Pemerintah Kabupaten dan Provinsi
2
Internal manajemen
Perihal perencanaan Pendanaan
TNKS TNKS
3
Kondisi sosial ekonomi
Karakteristik demografi Pendapatan keluarga Kesejahteraan Pekerjaan
Responden masyarakat Responden masyarakat Responden masyarakat Responden masyarakat
PDRB
BPS
Kesehatan ekosistem
Responden pakar
Tutupan hutan Rehabilitasi hutan
TNKS TNKS
4
Kondisi fisik kawasan
5
Partisipasi masyarakat
Tingkat partisipasi
Responden pakar Responden masyarakat
6
Perihal asumsi
Pendapat pakar
Responden pakar
7
Perihal strukturisasi sistem pengelolaan
Elemen dan sub-elemen
Responden pakar
8
Perihal pemilihan alternatif kebijakan
Pendapat pakar
Responden pakar
3.3.1 Survai Responden Rumah Tangga Survai responden rumah tangga dilakukan dilakukan di Kabupaten Kerinci, Jambi dan Kabupaten Lebong, Bengkulu melalui diskusi, wawancara mendalam dan pengisian kuesioner. Diskusi dan wawancara dimaksudkan untuk mendalami dan mendapatkan gambaran pendapat umum tentang upaya-upaya konservasi dan peranan/dampak taman nasional terhadap kehidupan masyarakat serta harapan dan alternatif-alternatif tindakan yang dapat diterima oleh masyarakat terkait implementasi kebijakan pengelolaan taman nasional.
69 Sejumlah responden kepala keluarga dipilih secara purposif dari masingmasing desa dengan jumlah keseluruhan dari Kabupaten Kerinci 197 kepala keluarga yang tersebar di Desa Gunung Labu (37 KK), Kebun Baru (40 KK), Sungai Gelampeh (40 KK), Tanjung Syam (40 KK), dan Talang Kemuning (40 KK). Sedangkan jumlah responden di Kabupaten Lebong berjumlah 97 kepala keluarga, yang tersebar di Desa Kota Baru (32 KK), Suka Datang (23 KK), Embong Uram (22 KK), dan Garut (20 KK). Pengumpulan data penelitian dilaksanakan melalui wawancara responden dengan menggunakan alat kuesioner. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk pertanyaan terbuka dan pertanyaan dengan jawaban dikotomi yang disertai dengan peluang untuk memberikan jawaban bebas.
Pertanyaan-
pertanyaan dalam kuesioner dimaksudkan untuk mengidentifikasi karakteristik demografi dan sosial ekonomi responden dan 10 pertanyaan yang diadaptasi dari Harada (2003) digunakan untuk mengungkap pengetahuan, persepsi dan sikap responden terhadap konservasi dan taman nasional (Lampiran 1). Untuk melengkapi data yang diperoleh secara formal melalui kuesioner dilakukan wawancara dengan informan dan diskusi kelompok. Data karakteristik demografi dan sosial ekonomi yang dikumpulkan yang akan digunakan sebagai peubah penjelas, meliputi: a.
Umur. Umur merupakan peubah kontiyu.
b.
Pendidikan. Pendidikan menunjukkan tingkat pendidikan responden yang merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk tingkat pendidikan yang kurang dari SLTA dan nilai 0 untuk tingkat pendidikan SLTA dan yang lebih tinggi.
c.
Pendidikan non formal.
Pendidikan non formal merupakan pendidikan
yang pernah diikuti oleh responden, diantaranya penyuluhan pertanian dan kursus tani. Pendidikan non formal merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang pernah mengikuti pendidikan non formal dan nilai 0 untuk responden yang tidak pernah mengikuti pendidikan non formal. d.
Organisasi.
Organisasi merupakan aktifitas atau keterlibatan responden
dalam kegiatan organisasi, seperti kelompok tani dan kontak tani. Organisasi merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang terlibat atau aktif dalam suatu organisasi dan nilai 0 untuk responden yang tidak pernah aktif dalam organisasi.
70 e.
Pekerjaan utama.
Pekerjaan utama merupakan pekerjaan utama kepala
rumah tangga yang merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang pekerjaan utamanya bukan petani dan nilai 0 untuk responden pekerjaan utamanya sebagai petani. f.
Ukuran keluarga.
Ukuran keluarga merupakan jumlah seluruh anggota
keluarga yang masih tinggal dalam satu rumah dengan responden. Ukuran keluarga merupakan peubah kontinyu. g.
Etnis. Etnis merupakan suku dari kepala rumah tangga yang merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang merupakan penduduk asli, etnis Kerinci di Kabupaten Kerinci dan etnis Rejang di Kabupaten Lebong dan nilai 0 untuk responden yang merupakan etnis pendatang, meskipun telah lama bermukim ditempat sekarang.
h.
Kabupaten. Kabupaten merupakan afiliasi wilayah administratif domisili responden dan merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang berdomisili di wilayah administratif Kabupaten Lebong dan nilai 0 untuk responden yang berdomisili di Kabupaten Kerinci.
i.
Jarak ke TNKS. Jarak domisili ke TNKS adalah peubah kontinyu.
j.
Lama bermukim. Lama bermukim adalah peubah kontinyu.
k.
Penghasilan. Penghasilan merupakan penghasilan keluarga yang merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang memiliki penghasilan lebih dari Rp. 1.000.000,- dan nilai 0 untuk responden yang mempunyai penghasilan sama atau kurang dari Rp. 1.000.000,-.
l.
Kesejahteraan.
Tingkat kesejahteraan didekati dengan melihat apakah
responden pernah menerima bantuan langsung tunai atau tidak. Responden yang tidak pernah menerima bantuan tunai diasumsikan termasuk kelompok masyarakat yang sejahtera, sedangkan yang pernah menerima bantuan dapat dikategorikan belum/tidak sejahtera. Kesejahteraan merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang pernah mendapatkan bantuan langsung tunai atau sejenisnya dan nilai 0 untuk responden yang tidak pernah mendapatkan bantuan langsung tunai atau sejenisnya.
71 m. Kepemilikan lahan.
Kepemilikan lahan merupakan kepemilikan lahan
pertanian, baik sawah maupun kebun/tegalan. Kepemilikan lahan merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang memiliki lahan pertanian sawah atau kebun/tegalan atau kedua-duanya dan nilai 0 untuk responden yang tidak memiliki lahan pertanian. Peubah respon berskala biner Y=1 jika respon terhadap pertanyaan tentang pengetahuan dijawab responden dengan “Ya”, sedangkan Y=0 jika respon terhadap pertanyaan tentang pengetahuan dijawab responden dengan “Tidak Tahu”.
Sedangkan peubah respon berskala biner Y=1 jika respon terhadap
pertanyaan tentang persepsi dan sikap dijawab responden dengan “Setuju”, sedangkan Y=0 jika respon terhadap pertanyaan tentang pengetahuan dijawab responden dengan “Tidak Setuju”. 3.3.2 Survai Pakar Survai pakar dilakukan dengan tujuan untuk akuisisi pengetahuan yang dimiliki oleh pakar terhadap aspek-aspek pengelolaan taman nasional yang penting dalam rangka mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Penetapan pakar sebagai sumber pengetahuan atau pertimbangan
responden
didasarkan
atas
dan kriteria: 1). keberadaan, kemudahan dan kesediaan untuk
diwawancarai, 2). reputasi, kedudukan, dan memiliki kredibilitas sebagai pakar, c). pengalaman pakar yang menunjukkan kemampuan untuk memberikan saran yang benar dan dapat membantu pemecahan masalah. Dalam memecahkan suatu masalah, seorang pakar memiliki karakteristik efektif, efisien dan sadar terhadap keterbatasanya.
Akuisisi pengetahuan dari pakar dapat digunakan metode
wawancara secara mendalam. Alternatif sumber pengetahuan dapat ditemukan melalui pengamatan kinerja seorang ahli maupun publikasi ilmiah (Eriyatno & Sofyar 2007). Pakar yang dilibatkan dalam penelitian ini berasal dari akademisi, tokoh masyarakat dan pemerintah. Jumlah total responden pakar dalam FGD 34 orang dan dilanjutkan dengan wawancara mendalam dengan 17 pakar untuk pembahasan asumsi, identifikasi struktur dan perbandingan berpasangan fuzzy AHP.
72 3.4
Metode Analisis Data
3.4.1 Content Analysis Beberapa variabel yang kemungkinan akan mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan taman nasional yang termuat dalam perundangan dan peraturan yang terkait dianalisis dengan menggunakan teknik content analysis. Content analysis adalah suatu teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumendokumen tertulis yang dapat digunakan, antara lain untuk menjelaskan pola budaya kelompok, kelembagaan, ataupun masyarakat, mengidentifikasi intention dan karakteristik lainnya, dan mengungkapkan fokus perhatian dari kelompok, institusi ataupun masyarakat. Teknik penelitian ini dapat berupa teknik kualitatif maupun kuantitatif yang sistematis dan dapat diaplikasikan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang dikaji (Weber 1990). Menurut Stemler (2001) content analysis merupakan teknik kualititatif yang menganalisis frekuensi kata, frasa atau kalimat yang terkandung dalam dokumen tertulis dan mengasumsikan bahwa frekuensi yang tinggi dapat diartikan sebagai refleksi suatu perhatian yang besar terhadap variabel tersebut.
Content analysis
dilakukan terhadap naskah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, UndangUndang Nomor 5 tahun 1990, Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, dan Permenhut Nomor 3 tahun 2007. 3.4.2 Analisis Statistik Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menyajikan hasil pengolahan data sekunder dan primer. Sedangkan analisis data pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional dilakukan dalam 2 tahap, yaitu 1). melakukan analisis data secara eksploratif untuk mendapatkan gambaran secara rinci mengenai karakteristik demografi dan sosial ekonomi responden, dan 2). melakukan analisis regresi logistik yang meliputi pendugaan parameter model persamaan fungsi logit, pengujian parameter, dan interpretasi hasil regresi logistik. Analisis regresi logistik digunakan untuk menilai tingkat pengaruh pengetahuan dan persepsi terhadap sikap dan faktor-faktor demografi dan sosial ekonomi terhadap peubah respon. Faktor-faktor demografi dan sosial
73 ekonomi yang digunakan sebagai peubah penjelas dalam analisis regresi logistik meliputi umur,
pendidikan,
pendidikan non formal, keterlibatan dalam
organisasi, pekerjaan, ukuran keluarga, etnis, afiliasi wilayah administratif kabupaten tempat tinggal, jarak domisili ke TNKS, lama bermukim, penghasilan, tingkat kesejahteraan, dan kepemilikan lahan. Model regresi yang digunakan adalah regresi logistik karena regresi logistik dapat menggambarkan hubungan antara beberapa peubah penjelas dengan sebuah peubah respon dikotomi (biner). Jika nilai peubah biner ini dilambangkan dengan 1 untuk kejadian (sukses) dan 0 untuk tidak kejadian (gagal) maka distribusi Bernoulli untuk peubah biner ini adalah P(Y=1) = π dan P(Y=0) = 1- π dengan nilai harapan E(Y) = 1 (π) + 0 (1 – π) = π. Secara umum model regresi logistik dengan p peubah bebas dapat didefinisikan sebagai: y = E (Y │x) + ε dimana ε adalah galat atau error Menurut Hosmer and Lemeshow (2000), jika fungsi penghubung yang digunakan adalah fungsi logit (logit transformation) maka sebaran peluang yang digunakan adalah sebaran logistik.
Nilai harapan bersyarat Y jika diketahui x adalah:
E (Y │x) = π (x) = dan transformasi logit yang didefinisikan sebagai fungsi π (x) adalah: g(x) =
= β0 + β1x1 + β2x2 + … + βpxp
Pada regresi logistik biner, nilai bersyarat Y jika diketahui x akan mengikuti persamaan y = π (x) + ε karena E (Y │x) = π (x) dan var(Y │x) = π (x)[1 - π (x)]. Nilai galat ε hanya akan menghasilkan 2 kemungkinan nilai. Jika Y=1 maka ε = 1 - π (x) dengan peluang π (x), dan jika Y=0 maka ε = - π (x) dengan peluang 1 - π (x).
Sehingga ε mempunyai distribusi dengan rataan nol dan ragam
sebesar π (x)[1 - π (x)]. Dengan demikian, sebaran bersyarat dari peubah respon
74 mengikuti sebaran binomial dengan peluang yang diberikan oleh rataan bersyarat, π (x). Untuk menduga parameter β pada model regresi biner dilakukan dengan memaksimumkan fungsi logaritma likehood (log-likelihood), yaitu: L(β) = ln[l(β)] = sehingga diperoleh
yang merupakan penduga kemungkinan maksimum dari
parameter pada model regresi biner. Penduga kemungkinan maksimum untuk parameter-parameter model diperoleh dengan metode kuadrat terkecil terboboti melalui iterasi. Setelah pendugaan parameter, pengujian taraf nyata terhadap parameter model dilakukan untuk menilai peranan peubah-peubah penjelas dalam model. Penilaian taraf nyata parameter menyangkut formulasi dan pengujian statistik terhadap hipotesis untuk menentukan apakah variabel penjelas dalam model berpengaruh secara signifikan terhadap variabel respon. Pengujian peranan satu peubah penjelas terhadap peubah respon, menurut Hosmer and Lemeshow (2000) pada prinsipnya dilakukan dengan membandingkan nilai variabel respon yang teramati dengan yang diprediksi dari model dengan dan tanpa menyertakan variabel penjelas yang diuji. Pembandingan nilai yang teramati terhadap nilai prediksi dilakukan dengan menggunakan fungsi likelihood berdasarkan rumus: D = - 2ln
Untuk menilai taraf nyata dari suatu variabel penjelas maka dilakukan pembandingan nilai D dengan dan tanpa variabel penjelas dalam model atau ujiG, yaitu: G = D(model tanpa variabel penjelas) – D(model dengan variabel penjelas) G = - 2ln Hipotesis yang diuji adalah: Ho: β1 = β2 = … = βp = 0
75 H1: paling sedikit ada satu βi ≠ 0 statistik uji-G ini mengikuti sebaran χ2 dengan derajat bebas p maka hipotesis nol ditolak jika G> . Sedangkan statistik uji-Wald digunakan untuk menguji parameter βj satu per satu secara parsial, dengan hipotesis nol sama adalah βj sama dengan nol. 3.4.3 Strategic Assumption Surfacing and Testing SAST merupakan salah satu metode dalam soft systems thinking yang menekankan pada asumsi yang melandasi pengambilan keputusan dibandingkan dengan memperhatikan perancangan sistem yang efisien. Metode ini sesuai untuk mengkaji perihal yang bersifat plural untuk membantu membuka asumsi kritis yang melandasi kebijakan, rencana atau strategi. Tahapan yang dilakukan dalam teknik SAST untuk merumuskan alternatif asumsi yang melandasi penyusunan kebijakan, menurut Mason dan Mitroff (1981) adalah: 1) Tahap pembentukan kelompok yang bertujuan untuk membentuk kelompok dengan
melibatkan
pihak-pihak
yang
memahami
persoalan
dalam
pengelolaan taman nasional. Pihak yang dilibatkan meliputi pakar kebijakan, ekologi, lingkungan hidup dan sosial ekonomi, baik yang berasal dari instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun LSM. 2) Tahap pengedepanan asumsi yang dimaksudkan untuk menggali berbagai asumsi melalui diskusi kelompok untuk mendukung kebijakan yang diharapkan. Dalam tahap ini didiskusikan aspek-aspek pengelolaan taman nasional sehingga diperoleh asumsi dasar yang paling menentukan untuk mendukung keberlanjutan taman nasional.
Berdasarkan hasil analisis
asumsi, alternatif asumsi dinilai tingkat kepentingan dan kepastiannya dengan menggunakan teknik peringkatan asumsi dengan melibatkan pendapat pakar. Peringkatan asumsi dilakukan dengan menanyakan tingkat kepentingan berdasarkan skala paling tidak penting sampai paling penting dari suatu asumsi terhadap keberhasilan dan kegagalan kebijakan.
Di samping itu,
tingkat kepastian dari asumsi dinilai dengan menanyakan tingkat keyakinan
76 pakar berdasarkan skala paling tidak pasti sampai paling pasti bahwa asumsi tersebut dapat dibenarkan. 3) Tahap pembahasan dialektik dimaksudkan untuk membahas asumsi yang bermasalah dan perbedaan-perbedaan peringkat asumsi untuk mendapatkan kesepakatan-kesepakatan. 4) Tahap sintesis dilakukan untuk mencapai kompromi sehingga diperoleh asumsi-asumsi yang dapat menghasilkan kebijakan baru yang lebih unggul. 3.4.4 Fuzzy Analytical Hierarchy Process Metode fuzzy AHP adalah suatu metode yang dikembangkan dari metode AHP dengan menggunakan konsep fuzzy dalam penilaian kriteria dan alternatif oleh pengambil keputusan. Keuntungan fuzzy AHP adalah pada waktu penilaian, pengambil keputusan tidak dipaksa untuk melakukan penilaian diskrit tetapi menggunakan
intuisi
yang
diungkapkan
melalui
informasi
linguistik.
Perbandingan berpasangan fuzzy digunakan untuk menilai faktor, stakeholder dan tujuan yang digunakan untuk melakukan penilaian prioritas pilihan kebijakan dengan menggunakan metode, langkah-langkah dan perhitungan seperti yang dikembangkan oleh Chang (1996). Perbandingan berpasangan dilakukan dengan menggunakan skala penilaian ekspresi linguistik sebagai berikut: 1) Just equal (JE), jika kedua elemen yang diperbandingkan sama persis tingkat kepentingannya. 2) Equally important (EQ), jika kedua elemen lebih kurang sama penting. 3) Weakly important (WI), jika elemen kesatu sedikit lebih penting dari elemen yang kedua. 4) Strongly more important (SI), jika elemen kesatu jelas lebih penting dari elemen yang kedua. 5) Very strongly more important (VS), jika elemen kesatu sangat jelas lebih penting dari elemen yang kedua. 6) Absolutely more important (AI), jika elemen kesatu mutlak lebih penting dari elemen yang kedua.
77 Berdasarkan hasil penilaian dengan variabel linguistik kemudian dilakukan fuzzyfikasi dengan menggunakan Triangular Fuzzy Number (TFN) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5 (Bozbura et al. 2007). Tabel 5 Padanan variabel linguistik dengan triangular fuzzy number No
Variabel lingustik
TFN
Inversi TFN
1
Just equal (JE)
(1, 1, 1)
(1, 1, 1)
2
Equally important (EQ)
(1/2, 1, 3/2)
(2/3, 1, 2)
3
Weakly important (WI)
(1, 3/2, 2)
(1/2, 2/3, 1)
4
Strongly more important (SI)
(3/2, 2, 5/2)
(2/5, 1/2, 2/3)
5
Very strongly more important (VS)
(2, 5/2, 3)
(1/3, 2/5, 1/2)
6
Absolutely more important (AI)
(5/2, 3, 7/2)
(2/7, 1/3, 2/5)
Agregasi pendapat pakar merupakan penggabungan nilai fuzzy dari pendapat para pakar. Penggabungan pendapat beberapa pakar dapat dilakukan dengan ratarata geometrik (Marimin 2005). Agregasi ini dilakukan dengan cara menghitung nilai rata-rata geometrik dari nilai fuzzy batas bawah, tengah dan batas atas dari masing-masing pakar untuk mendapatkan nilai batas bawah, tengah dan batas atas gabungan. Penghitungan dilakukan dengan rumus:
dimana: : rata-rata geometrik batas bawah nilai fuzzy : rata-rata geometrik nilai tengah : rata-rata geometrik batas atas
78 : nilai batas bawah dari hasil penilaian pakar ke-i : nilai tengah hasil penilaian pakar ke-i : nilai batas atas dari hasil penilaian pakar ke-i : jumlah pakar : pakar ke-I (1 sampai n) Penghitungan nilai eigen dilakukan berdasarkan hasil agregasi dengan mengikuti langkah-langkah Chang (1996). 3.5
Pemodelan Sistem Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan
kebijakan
strategis
adalah
Teknik
Permodelan
Interpretasi
Struktural
(Interpretative Structural Modelling – ISM). ISM merupakan salah satu metode permodelan soft system berbasis komputer yang dapat membantu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas, dan kategori ide. ISM menganalisis elemenelemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki.
Elemen-elemen dapat merupakan tujuan
kebijakan, target organisasi, maupun faktor-faktor penilaian.
Sedangkan
hubungan langsung dapat dalam konteks yang beragam (Marimin 2005). Dalam penelitian ini, prosedur teknik pemodelan dilakukan seperti yang diuraikan Saxena et al. (1992) dan Kanungo and Bhatnagar (2002) dengan langkah (Gambar 9): 1) Identifikasi elemen, yaitu setiap elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi elemen dapat diperoleh melalui penelitian, diskusi curah pendapat maupun cara yang lainnya. 2) Hubungan kontekstual, yaitu menetapkan hubungan kontekstual antar elemen yang dikembangkan berdasarkan pada tujuan dari permodelan. 3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix – SSIM) dibangun berdasarkan persepsi responden terhadap hubungan elemen yang dinilai.
79 Empat simbol digunakan untuk mewakili tipe hubungan antar dua elemen yang dikaji. Simbol tersebut adalah:
V menunjukkan hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya
A menunjukkan hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya
X jika ada hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya
O merepresentasikan bahwa elemen Ei dan Ej tidak berkaitan
4) Matriks Reachability (Reachability Matrix – RM) dibangun dengan mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Konversi SSIM menjadi RM menggunakan aturan-aturan berikut,
Jika relasi Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM.
Jika relasi Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM.
Jika relasi Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 1 dalam RM.
Jika relasi Ei terhadap Ej = O dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. 5) Tingkat partisi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam levellevel yang berbeda dari struktur ISM.
Untuk tujuan ini, dua perangkat
diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability set (Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri ∩ Ai adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda.
80
Gambar 9. Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992)
6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical. Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.
81 8) Interpretive Structural Model:
ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. 3.6
Analisis Sistem Dinamik Analisis model dinamik dilakukan terhadap variabel-variabel yang telah
teridentifikasi melalui metode soft system, yang meliputi aspek ekologi, sosial dan ekonomi.
Analisis model dinamik yang merupakan metode hard system
dilakukan melalui 2 tahap, yaitu pembuatan diagram simpal kausal dan diagram alir. Diagram simpal kausal menunjukkan hubungan antar variabel dalam proses sistem yang dikaji.
Prinsip dasar pembuatannya adalah suatu proses sebagai
sebab yang akan menghasilkan keadaan, atau sebaliknya suatu keadaan sebagai sebab akan menghasilkan proses. Sedangkan diagram alir dibuat berdasarkan persamaan model dinamik yang mencakup variabel keadaan (level), aliran (rate), auxiliary, dan konstanta (constant). Variabel tersebut berupa lambang-lambang yang digunakan dalam pembuatan model dengan menggunakan piranti lunak Powersim. simulasi.
Model yang dikembangkan selanjutnya digunakan sebagai alat Simulasi ini dilakukan setelah uji validitas dan hasil pengujian
menunjukkan adanya kesesuaian atau keabsahan antara hasil simulasi dengan data empiris (Sushil 1993; Muhammadi et al. 2001). Analisis dan simulasi sistem dinamik dilakukan dengan bantuan program Powersim Constructor untuk memproyeksikan kecenderungan kondisi pengelolaan taman nasional saat ini dan analisis prospekif dampak pengelolaan setelah adanya kebijakan. 3.7
Validasi Model Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), proses verifikasi model kebijakan
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan dari model serta mengidentfikasi berbagai masalah yang perlu diantisipasi terkait dengan penerapan kebijakan yang dirumuskan. Proses uji validasi pada penelitian
82 kebijakan dilakukan terhadap 2 aspek, yaitu proses perumusan kebijakan dan produk kebijakan. Verifikasi proses perumusan kebijakan dilakukan terhadap metode yang digunakan dalam pengembangan kebijakan. Sedangkan validasi produk kebijakan dilakukan melalui uji pendapat pakar atau dilakukan dengan membandingkan produk kebijakan hasil penelitian terhadap kebijakan yang sedang berjalan atau sudah dijalankan. Validasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Sargent (1998) adalah face validity. Proses validasi dilakukan dengan menggunakan pendapat pakar untuk mengetahui kesesuaian dan kelayakan model serta kebenaran logika dan teori dalam model konseptual yang menjelaskan hubungan input-output model secara masuk akal. Di samping itu, uji validitas juga dilakukan terhadap kinerja beberapa variabel dengan uji statistik.
Uji statistik dimaksudkan untuk
melihat penyimpangan antara keluaran simulasi dengan data aktual. Pengujian statistik meliputi uji penyimpangan rata-rata absolut (AME), penyimpangan variasi absolut (AVE), saringan Kalman (KF), koefisien diskrepansi (U-Theils) dan Durbin Watson (DW) (Barlas 1998). AME (absolute means error) adalah penyimpangan antara nilai rata-rata simulasi terhadap data aktual. Sedangkan AVE (absolute variation error) adalah penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap data aktual. U-Theils adalah koefisien diskrepansi antara nilai simulasi dengan data aktual. U-Theils dapat menggambarkan
ada
tidaknya
penyimpangan
yang
menonjol.
Batas
penympangan yang dapat diterima untuk AME, AVE dan U-Theils adalah antara 5-10%. Untuk mengamati pola penyimpangan dapat dilakukan melalui uji DW (Durbin Watson) dan KF (Kalman Filter). DW digunakan untuk melihat pola fluktuasi, jika DW>2 maka terdapat fluktuasi yang tajam dan DW<2 fluktuasi kurang tajam. Sedangkan KF digunakan untuk menjelaskan tingkat kesesuaian (fitting) antara hasil simulasi dan data aktual. Jika nilai KF = 0.5 maka model 100% sesuai, kurang 0.5 berarti nilai simulasi dibawah aktual dan lebih 0.5 berarti nilai simulasi melebihi data aktual (Muhammadi et al. 2001). .
4 4.1
ANALISIS SITUASIONAL
Kebijakan Sektoral dan Daerah Pengelolaan
taman
nasional
didasarkan
pada
berbagai
peraturan
perundangan, baik sektor kehutanan maupun sektor terkait lainnya (Lampiran 2). Landasan utamanya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan berikut peraturan turunannya. Analisis terhadap isi peraturan perundangan ini akan dapat mengungkapkan intention dan fokus dari kebijakan pengelolaan taman nasional. Hasil content analysis dari beberapa perundangan dan peraturan yang relevan dengan taman nasional, seperti disajikan pada Tabel 6, menunjukkan bahwa terdapat pergeseran-pergeseran penekanan atau fokus dari kebijakan pengelolaan taman nasional.
Kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, penekanan kebijakan kehutanan paling banyak kepada aspek pemanfaatan yang disusul dengan aspek pengelolaan, penelitian, pendidikan, perlindungan, konservasi dan rehabilitasi.
Sedangkan
aspek-aspek yang kurang atau sedikit mendapatkan penekanan adalah ekosistem, pengawetan, pengamanan, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena pada masa lalu, pembangunan sektor kehutanan lebih banyak difokuskan sebagai penyedia hasil hutan, terutama hasil kayu. Aspek pengawetan ekosistem kurang mendapatkan penekanan dan lebih dibebankan pada kawasan hutan konservasi dibanding pada hutan produksi. Hal ini tercermin pada pengklasifikasian hutan, yaitu hutan produksi, lindung dan konservasi yang menghasilkan dikotomi sistem pengelolaan hutan. Jika pengertian konservasi hanya dipersepsikan dan dipahami hanya berlaku pada kawasan hutan konservasi maka masa depan kelestarian sumber daya alam hayati akan sangat tergantung pada keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi (Sukmadi 2005). Di samping itu, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat belum mendapatkan perhatian dalam kebijakan pembangunan sektor kehutanan, walaupun keadaan ini sekarang sudah berubah.
84 Tabel 6
Proporsi beberapa aspek kunci dalam perundangan dan peraturan yang terkait dengan taman nasional
No
Aspek Kunci
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pengelolaan Ekosistem Konservasi Pengamanan Perlindungan Pengawetan Pemanfaatan Penelitian Pendidikan Penyuluhan Informasi Peran serta Pemberdayaan masyarakat Pariwisata alam Rehabilitasi Budidaya
Undang-Undang Undang-Undang PP No.68/1998 Permenhut No. 41 tahun 1999 No. 5 tahun 1990 No.3 tahun 2007
13.8 0.6 7.2 0.0 8.4 0.0 28.1 10.2 9.0 7.2 3.0 3.6 1.2 0.0 7.8 0.0
3.4 26.4 14.2 0.0 7.4 9.5 13.5 4.7 4.7 0.7 0.0 1.4 0.0 9.5 0.7 4.1
16.2 15.2 3.4 2.9 4.4 11.3 10.3 13.2 5.4 0.0 0.0 0.0 0.0 9.8 1.0 6.9
17.9 11.9 10.4 10.4 10.4 6.0 10.4 0.0 0.0 9.0 0.0 0.0 9.0 4.5 0.0 0.0
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menunjukkan bahwa aspek ekosistem, konservasi, pemanfaatan, pengawetan, perlindungan dan pariwisata alam mendapatkan proporsi yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemanfaatan, misalnya dalam bentuk pariwisata alam dapat dilakukan bersamaan dengan perlindungan dan pengawetan ekosistem. Kebijakan pengaturan penyelenggaraan, pengusahaan dan pemanfaatan taman nasional untuk pariwisata alam diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010. Aspek partisipasi masyarakat telah mendapatkan penekanan walaupun proporsinya masih kecil. Di samping itu, kebijakan pemerintah dalam ketentuan Undang-Undang ini secara tekstual tidak mengenal adanya aspek pengamanan dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, aspek partisipasi, pemberdayaan masyarakat dan penyuluhan sama sekali tidak dijumpai. Aspek partisipasi
85 masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati yang diharapkan dapat menumbuhkan dukungan masyarakat dalam upaya konservasi tidak termuat sama sekali dalam peraturan ini karena akan diatur lebih lanjut secara tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan ini juga memuat aspek pengamanan
dalam upaya pengawetan dalam pengelolaan taman nasional yang sebelumnya tidak dijumpai dalam ketentuan Undang-Undang diatasnya.
Kebijakan
perlindungan dan pengamanan menjadi pendekatan dalam pengelolaan taman nasional. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional mengatur kedudukan, tugas, fungsi, klasifikasi, susunan organisasi, dan tata kerja taman nasional. Salah satu tugas dan fungsinya adalah perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional.
Aspek perlindungan dan pengamanan cukup mendapat
penekanan dalam peraturan ini.
Sedangkan aspek partisipasi masyarakat,
penelitian, pendidikan dan informasi sama sekali tidak termuat secara tekstual. Untuk mengelola TNKS dengan kawasan yang luasnya hampir 1.4 juta hektar dengan dukungan 190 personil dirasakan oleh TNKS (2005a) masih sangat belum memadai. Pengelola TNKS hanya didukung lebih kurang 108 tenaga fungsional polisi hutan sehingga cakupan pengamanan ±12 000 hektar per orang. Jika pengelolaan TNKS lebih menekankan pendekatan perlindungan dan pengamanan oleh personil TNKS sendiri maka kemungkinan pemenuhan personil akan sulit dicapai karena luasnya kawasan.
Sehingga pendekatan
pengamanan semata akan menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan untuk mengurangi kegiatan ilegal yang terjadi.
Untuk itu diperlukan pendekatan
alternatif, yaitu meningkatkan kerja sama dengan masyarakat lokal dan Pemeritah Daerah untuk melindungi taman nasional dan sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat lokal (Locke & Dearden 2005).
Oleh karena itu,
partisipasi masyarakat dan para pihak menjadi determinan keberhasilan pengelolaan taman nasional.
86 Sedangkan keterkaitan kebijakan sektor lain, yaitu kebijakan otonomi daerah, dalam pengelolaan taman nasional mengacu pada ketentuan UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berikut turunannya. Dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, telah ditetapkan bahwa pelaksanaan zonasi, penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan serta pelaksanaannya menjadi kewenangan Pemerintah. Pemerintah Daerah memberikan pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tetapi tidak memiliki kewenangan dalam penataan batas, zonasi dan pelaksanaan pengelolaan. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan penataan zonasi unsur Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat dilibatkan dalam tim kerja sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Sedangkan untuk pengusahaan pariwisata alam di dalam taman nasional, pemberian perizinan berada pada kewenangan Pemerintah dengan pertimbangan teknis dari Pemerintah Daerah. Penunjukan kawasan pelestarian alam dilaksanakan oleh Pemerintah berdasarkan usulan penunjukan dari Pemerintah Kabupaten dengan pertimbangan teknis Pemerintah Propinsi. Meskipun secara pembagian urusan Pemerintah Kabupaten dan Provinsi tidak memiliki kewenangan pengelolaan taman nasional, Pemda dapat berperan dan berkeinginan untuk mendukung perlindungan taman nasional. Pemerintah Kabupaten Kerinci mewujudkan dukungan terhadap perlindungan TNKS melalui pembentukan Tim Satgas Penertiban Wibawa Sakti melalui Keputusan Bupati. Tim bertugas diantaranya untuk penertiban dan pengawasan terhadap wilayah TNKS dan pengamanan kehutanan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup serta menertibkan sekaligus menindak bagi perundangan yang berlaku.
yang melanggar peraturan
Pembentukan ini dimulai pada tahun 2001.
Di
samping itu, Pemerintah Kabupaten Kerinci telah melakukan kesepakatan bersama dengan Pemerintah Kabupaten Merangin pelestarian TNKS.
tentang pengamanan dan
Inisiatif pemerintah daerah dalam upaya perlindungan,
pengamanan dan pelestarian TNKS juga diwujudkan dalam bentuk kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten yang wilayahnya sebagian
87 berada dalam kawasan TNKS. Kesepakatan ini dilakukan pada tahun 2002. Halhal yang disepakati meliputi: 1) kehendak untuk melakukan operasi bersama antar kabupaten secara terpadu dalam rangka pencegahan dan penanganan kegiatan-kegiatan yang mengancam kelestarian TNKS, terutama penebangan liar, perambahan dan kebakaran hutan. 2) kesepakatan untuk melakukan tuntutan hukum dan tindakan administratif terhadap pelaku langsung maupun tidak langsung terhadap perusakan dan gangguan pelestarian TNKS, seperti perambahan, pengambilan hasil hutan, penambangan, pendirian penggergajian liar dan pembakaran. 4.2
Internal Manajemen Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), menurut Balai TNKS
(2005) ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 901 tahun 1999 yang meliputi areal seluas 1 375 389 876 hektar yang terletak di empat wilayah propinsi, yaitu Propinsi Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Bengkulu.
Pada tahun 2004
cakupan kawasan TNKS bertambah ± 14 160 hektar setelah sebagian kawasan hutan produksi tetap pada Kelompok Hutan Sipurak Hook yang terletak di Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi dirubah fungsinya dan ditetapkan menjadi bagian kawasan TNKS sehingga luasan TNKS secara keseluruhan menjadi lebih kurang 1 389 509 867 hektar.
Luas
penyebaran
kawasan
TNKS
berdasarkan wilayah administratif Pemerintah Daerah disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan besarnya luasan kawasan TNKS yang berada di wilayah propinsi, secara berturut-turut adalah di Propinsi Jambi (32.4%), Propinsi Sumatera Barat (25.1%), Propinsi Bengkulu (24.5%), dan Propinsi Sumatera Selatan (18%). Sedangkan kabupaten yang memiliki luasan kawasan TNKS paling luas adalah Kabupaten Pesisir Selatan dan yang paling sempit adalah Dharmasraya, keduanya berada di Propinsi Sumatera Barat.
88 Tabel 7 Luasan kawasan TNKS berdasarkan wilayah administratif
No
Wilayah Administratif
Luas (hektar)
1
2
Total TNKS
Kabupaten Kerinci
215 000
47.76
15.47
Kabupaten Bungo
86 364
19.18
6.22
Kabupaten Merangin
148 833
33.06
10.71
Sub Total
450 197
100.00
32.40
81 165
23.31
5.84
5 993
1.72
0.43
Kab. Pesisir Selatan
260 968
74.96
18.78
Sub Total
348 125
100.00
25.05
Kab. Bengkulu Utara dan Kab. Muko-Muko
188 474
55.34
13.56
Kab. Lebong dan Rejang Lebong
152 101
44.66
10.95
Sub Total
340 575
100.00
24.51
243 997
97.36
17.56
6 616
2.64
0.48
250 613
100.00
18.04
Prop. Sumatera Barat Dharmasraya
4
Propinsi
Propinsi Jambi
Solok dan Solok Selatan
3
Persentase
Propinsi Bengkulu
Prop. Sumatera Selatan Kab. Musi Rawas Lubuk Linggau Sub Total Total
1 389 509
100.00
Sumber: TNKS (2005a) Sampai tahun 2006, organisasi TNKS adalah Balai Taman Nasional dengan mandat tugas pokok dan fungsi yang didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional adalah sebagai berikut: 1) menyusun rencana, program dan evaluasi pengelolaan taman nasional,
89 2) pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional, 3) perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran kawasan, 4) promosi, informasi, bina wisata dan cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 5) kerjasama pengelolaan taman nasional, dan 6) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Taman nasional merupakan bagian dari suatu wilayah yang lebih luas dan keberadaannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang berada di sekitarnya. Hal ini berkaitan dengan adanya interaksi, baik langsung maupun tidak langsung antara kawasan taman nasional beserta sumber daya alam hayati yang terkandung di dalamnya dengan daerah dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi taman nasional akan dipengaruhi oleh karakteristik kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan non hayati oleh masyarakat sekitar. Interaksi antara masyarakat sekitar dengan taman nasional sampai saat ini masih cenderung kurang menguntungkan bagi pengelolaan taman nasional. Hal ini disebabkan karena batas kawasan TNKS yang panjangnya ± 2 503 km berbatasan langsung dengan kawasan budidaya sehingga memunculkan berbagai permasalahan, antara lain perambahan lahan, penebangan liar, pencurian satwa liar, konversi untuk pembangunan jalan, dan pemukiman (TNKS 2005a). Pencurian hasil hutan dan penebangan liar dikarenakan masih terdapatnya ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumber daya alam yang terdapat di dalam kawasan baik berupa kayu dan non kayu.
Permasalahan pengelolaan seperti perambahan dan
penebangan liar tidak hanya dihadapi oleh pengelola taman nasional di Indonesia. Hal yang sama terjadi juga di negara-negara berkembang lainnya, seperti India dan Nepal (Agrawal & Gupta 2005). Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pengelola, baik karena luasnya kawasan maupun tekanan kegiatan manusia yang kurang mendukung maka melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional ditetapkan arahan pengelolaan yang mencakup kebijakan: 1) pengembangan kelembagaan, profesionalisme dan efisiensi pengelolaan,
90 2) pengelolaan konservasi kawasan, 3) pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati, 4) perlindungan dan pengamanan hutan, 5) pengembangan pariwisata alam, 6) pengendalian kebakaran hutan, 7) penyuluhan, informasi dan promosi, 8) pembinaan daerah penyangga dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, 9) pengembangan kerjasama kemitraan dan jejaring kerja. Sejak 1 Februari 2007 TNKS berubah status menjadi UPT Taman Nasional Kelas I atau Balai Besar Taman Nasional berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Perubahan status ini membawa konsekuensi pada perubahan struktur internal organisasi, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 10. Pengelola taman nasional masih tetap berada dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Sedangkan tugas pokoknya adalah melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional. Tugas ini dilakukan dengan penyelenggaraan fungsi: 1) penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional, 2) pengelolaan kawasan taman nasional, 3) penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional, 4) pengendalian kebakaran hutan 5) promosi, informasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 6) pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 7) kerjasama pengembangan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan, 8) pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional, 9) pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, dan 10) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
91
Gambar 10 Struktur organisasi pengelola TNKS Berdasarkan struktur pengelolaan yang baru ini, tugas dan fungsi eksternal, seperti pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, penyuluhan
dan
informasi,
pengembangan
koperasi
dan
pemberdayaan
masyarakat secara eksplisit telah dimandatkan dan diwadahi dalam struktur organisasi. Dalam pelaksanaan tugas yang bersifat eksternal ini akan sulit untuk berlangsung efektif jika tidak dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dan berkepentingan di luar organisasi pengelola taman nasional. Untuk itu, upaya peningkatan koordinasi teknis secara khusus disiapkan oleh Bidang Teknis Konservasi meliputi bidang: 1) perlindungan dan pengamanan kawasan, penyiapan dan penegakan hukum, 2) pengawetan tumbuhan dan satwa liar, 3) pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, dan
92 4) penyuluhan, bina cinta alam, pengembangan koperasi dan pemberdayaan masyarakat. Untuk keperluan pengelolaan taman nasional, khususnya TNKS yang memiliki luasan yang besar, pembagian peruntukan kawasan ke dalam zona berdasarkan fungsi dan peruntukannya merupakan langkah utama sebagai landasan pengelolaan. Penetapan zona dalam kawasan TNKS oleh Pemerintah dilakukan dengan ketentuan berdasarkan fungsi dan peruntukannya, meliputi: 1) Zona Inti adalah bagian dari taman nasional yang mempunyai kondisi alami, baik flora, fauna atau fisiknya masih asli dan atau belum terganggu oleh manusia yang mutlak perlu dilindungi agar dapat berfungsi
untuk
perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. 2) Zona Rimba adalah bagian dari taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung pelestarian Zona Inti dan Zona Pemanfaatan. 3) Zona Pemanfaatan adalah bagian dari taman nasional yang letak, kondisi, dan potensi alamnya terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan lainnya. 4) Zona Rehabilitasi adalah bagian taman nasional yang telah mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya. 5) Zona Tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan
pemanfaatan
tradisional
oleh
masyarakat
adat
yang
kehidupannya memiliki ketergantungan dengan sumber daya alam.
Zona
tradisional merupakan areal penyangga yang mengelilingi zona khusus. Sumber daya alam hayati tertentu yang berada dalam zona ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adat dengan memperhatikan kelestariannya. 6) Zona Khusus adalah bagian dari taman nasional yang karena kondisinya tidak dapat dihindarkan dari keberadaan kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya sebelum wilayah TNKS ditetapkan sebagai taman nasional. Zona khusus di TNKS berupa kawasan pemukiman penduduk, sarana telekomunikasi, transportasi dan listrik yang memotong kawasan taman nasional.
93 Sedangkan penetapan luasan masing-masing zona TNKS yang digunakan sebagai dasar pengelolaannya meliputi: 1) Zona Inti seluas ± 744 990 atau 53.62% yang meliputi kawasan di punggung Bukit Barisan Kabupaten Kerinci, Merangin, Bungo, Dharmasraya, Solok, Solok Selatan, Pesisir Selatan, Muko-Muko, Bengkulu Utara, Rejang Lebong, Lebong, Musi Rawas, dan Lubuk Linggau, 2) Zona Rimba seluas ± 463 394 hektar atau 33.35% yang meliputi kawasan yang mengelilingi Zona Inti, 3) Zona Pemanfaatan seluas ± 17 802 hektar atau 1.28%, 4) Zona Rehabilitasi seluas ± 136 791 hektar atau 9.84%, 5) Zona Khusus seluas ± 13 789 hektar atau 0.99%, dan 6) Zona Tradisional seluas ± 12 733 hektar atau 0.92%. Luasan zona yang terdapat di daerah penelitian disajikan pada Tabel 8, sedangkan sebaran luasan zona TNKS secara keseluruhan disajikan pada Gambar 11.
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa proporsi zona inti dan rimba
kawasan TNKS yang berada di Kabupaten Kerinci lebih luas dibandingkan dengan Kabupaten Lebong.
Sedangkan zona pemanfaatan dan rehabilitasi yang
berada di Kabupaten Lebong lebih luas dibandingkan di Kabupaten Kerinci. Jika pemanfaatan sumber daya taman nasional hanya mungkin dilakukan di zona pemanfaatan maka dapat diartikan bahwa potensi manfaat ekonomi taman nasional secara langsung lebih besar di Kabupaten Lebong. Zona pemanfaatan di Kabupaten Lebong berada di Bukit Gedang Seblat dan Pal VIII yang dapat dimanfaatkan untuk wisata agro, situs budaya, pengamatan satwa, bird watching, perkemahan, pendakian, dan wisata alam. Namun, potensi pemanfaatan ini belum dikembangkan secara optimal. Sedangkan di Kabupaten Kerinci meskipun luasan zona pemanfaatannya lebih sempit tetapi objek wisata alamnya lebih banyak, antara lain Gunung Kerinci, Gunung Belerang, Gunung Masurai, panorama alam Bukit Tapan, air terjun Sungai Mentilin dan Mendikit, Danau Gunung Tujuh, Belibis, dan Danau Duo. Di samping itu, zona rehabilitasi yang luas di Kabupaten Lebong menunjukkan bahwa aktifitas penduduk yang dapat dikategorikan merusak taman nasional lebih besar di Kabupaten Lebong.
Kerusakan ini
94 umumnya terjadi di wilayah perbatasan akibat kegiatan perambahan lahan untuk pertanian, perkebunan dan pertambangan rakyat. Pada saat yang sama, jika upaya rehabilitasi akan dilakukan pada zona ini dengan melibatkan masyarakat sekitar maka potensi manfaat ekonomi langsung dari kegiatan rehabilitasi juga lebih besar untuk Kabupaten Lebong. Tabel 8 Zonasi kawasan TNKS di Kab. Kerinci dan Lebong/Rejang Lebong Kabupaten Lebong/
Kabupaten Kerinci No
Rejang Lebong
Zona Luas (ha)
% TNKS
Luas (ha)
% TNKS
1
Inti
109 480
7.9
48 880
3.5
2
Rimba
102 827
7.4
72 197
5.2
3
Pemanfaatan
6
0.0
1 855
0.1
4
Rehabilitasi
2 641
0.2
29 168
2.1
5
Tradisional
-
-
-
-
6
Khusus
46
0
-
-
215 000
15.5
152 101
10.9
Total Sumber: TNKS (2005a)
Pendanaan pengelolaan taman nasional merupakan salah satu isu kritis untuk efektfitas pengelolaan.
Keterbatasan dana mengakibatkan tidak
tercukupinya kebutuhan personil dan sarana prasarana pendukung untuk menunjang aktifitas pengelolaan yang efektif. Pendanaan pengelolaan taman nasional selama ini masing bergantung pada Pemerintah melalui dana APBN dan untuk taman nasional tertentu juga memiliki dukungan dana debt for nature swap (DNS). Berdasarkan data tahun 2006, biaya pengelolaan TNKS secara total berjumlah Rp.7 495 000 000,- yang diperuntukkan bagi berbagai kegiatan dengan proporsi seperti ditunjukkan pada Gambar 12. Sebagian besar anggaran sejumlah 4.2 miliar rupiah (53.4%) dipergunakan untuk administrasi umum. Jika alokasi dana mencerminkan prioritas maka pengamanan dan perlindungan hutan merupakan kegiatan paling penting di luar kegiatan administrasi. Selanjutnya
95 kegiatan konservasi kawasan dan pengembangan pariwisata alam.
Alokasi
anggaran sebesar ini masih berdampak pada keterbatasan sarana dan prasarana untuk mendukung pengelolaan TNKS yang efektif. Alokasi belanja anggaran beberapa taman nasional di Amerika Serikat menunjukkan proporsi belanja untuk manajemen dan administrasi umum berkisar antara 7-15% dari total pengeluaran. Taman nasional Yellowstone membelanjakan anggarannya untuk manajemen dan administrasi umum sejumlah 7.8% dari total pengeluaran sebesar US$ 3.8 juta (YPF 2005), sedangkan taman nasional Acadia (Stevens 2006) dan Everglades proporsi pengeluaran untuk manajemen dan administrasi masing-masing sejumlah 15% dan 13%.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa dukungan dana
pengelolaan TNKS masih terbatas dan belum mampu untuk membiayai fungsifungsi manajemen yang lain seperti hubungan dengan masyarakat, pelayanan pengunjung maupun penelitian konservasi. Anggaran biaya optimal yang diperlukan untuk pengelolaan TNKS menurut McQuistan et al. (2006) diperkirakan sejumlah Rp.25 500.- per hektar per tahun sedangkan ketersediaan anggaran biaya pengelolaan aktual masih berkisar Rp.6 500.- per hektar per tahun.
Gambar 11 Zonasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS 2005a)
96
Gambar 12 Proporsi belanja anggaran pengelolaan TNKS (TNKS 2007)
4.3
Kondisi Fisik Kawasan Kebijakan penetapan taman nasional menurut Undang-Undang Nomor 5
tahun 1990 tentang Kawasan Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan taman nasional merupakan suatu kawasan pelestarian alam yang dikelola untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan.
Jika salah satu indikator efektifitas tujuan
pengelolaan adalah tingkat kerusakan tutupan hutan dalam kawasan maka penetapan taman nasional dapat diargumentasikan cukup efektif untuk mengurangi laju pengurangan tutupan lahan hutan, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10. Tabel 9 menunjukkan data perubahan tutupan lahan hutan di wilayah administratif kabupaten yang tidak berada di dalam kawasan TNKS, sedangkan luas tutupan lahan hutan yang berada dalam kawasan TNKS ditunjukkan pada Tabel 10.
97 Berdasarkan atas data perubahan tutupan lahan hutan pada wilayah administratif yang sama, secara total luasan hutan di kawasan luar taman nasional antara tahun 1985 dan 1995 berkurang 4.8% (112 164 hektar), sedangkan kawasan hutan di dalam TNKS hanya berkurang 0.5% (6 824 hektar). Hal yang sama antara tahun 1995 dan 2002 terlihat bahwa luas hutan di luar kawasan TNKS berkurang 5.8% (130 145 hektar) sedangkan yang berada di dalam kawasan TNKS berkurang 0.9% (19 220 hektar). Kecenderungan ini menunjukkan bahwa penetapan kawasan TNKS dapat efektif untuk mengurangi laju perubahan tutupan hutan atau deforestasi. Walaupun demikian, kelembagaan taman nasional bukan merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk perlindungan kawasan hutan (Hayes & Ostrom 2005; Hayes 2006).
Tabel 9 Tutupan hutan dan perubahannya di Kabupaten sekitar TNKS Perubahan Tutupan Hutan (%)
Tutupan Hutan (ha) No
Wilayah 1985
1995
2002
1985/1995
1995/2002
1
Bengkulu Utara
430 010
352 530
333 126
- 18.0
- 5.5
2
Bungo
131 269
133 016
120 309
1.3
- 9.6
3
Kerinci
221 649
220 274
212 692
- 0.6
- 3.4
4
Merangin
312 080
309 808
289 324
- 0.7
- 6.6
5
Musi Rawas
296 749
287 576
281 597
- 3.1
- 2.1
6
Pesisir Selatan
325 865
328 477
314 594
0.8
- 4.2
7
Rejang Lebong
149 162
141 384
130 762
- 5.2
- 7.5
8
Sawah Lunto
56 986
43 569
35 885
- 23.5
-17.6
9
Solok
432 639
427 612
395 812
- 1.2
- 7.4
2 356 410 2 244 246
2 114 101
- 4.8
- 5.8
Total
Sumber: TNKS
Desentralisasi kewenangan politik dan administratitif telah memberikan implikasi yang nyata terhadap cara pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan dan konservasi sumber daya alam hayati (Kothari & Pathak 2006). Tingkat
98 kerusakan kawasan hutan juga banyak dikaitkan dengan perubahan kelembagaan politik setelah
pemberlakuan
otonomi daerah (McCarthy 2002).
Tabel 10 Tutupan hutan dan perubahannya di kawasan TNKS Perubahan Tutupan Hutan (%)
Tutupan Hutan (ha) No
Wilayah
1985
1995
2002
1985/1995
1995/2002
213 248
213 541
213 099
+0.1
-0.2
1
Bengkulu Utara
2
Bungo
37 016
36 945
36 945
-0.2
0.0
3
Kerinci
211 692
210 666
205 789
-0.5
-2.3
4
Merangin
140 754
141 419
139 554
+0.5
-1.3
5
Musi Rawas
224 193
223 934
220 971
-0.1
-1.3
6
Pesisir Selatan
256 140
254 913
252 736
-0.5
-0.9
7
Rejang Lebong
116 526
116 194
111 714
-0.3
-3.9
8
Sawah Lunto
3 560
3 534
3 534
-0.7
0.0
9
Solok
72 305
67 463
65 049
-6.7
-3.6
1 275 434 1 268 610
1 249 390
-0.5
-1.5
Total
Sumber: TNKS (2005a) Implementasi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya alam di daerahnya, termasuk sumber daya hutan diduga meningkatkan laju kerusakan hutan. Jika data perubahan tutupan hutan antara tahun 1985 dan 1995 dapat diasumsikan sebagai representasi sebelum otonomi daerah dan perubahan antara tahun 1995 dan 2002 sebagai representasi era otonomi daerah maka pada era otonomi daerah cenderung menyebabkan penurunan tutupan lahan yang lebih tinggi. Kecenderungan ini terjadi baik pada kawasan hutan di luar TNKS maupun di dalam TNKS, walaupun perubahan tutupan hutan di dalam TNKS lebih rendah. Peningkatan laju kerusakan kawasan hutan diduga karena adanya perubahan peruntukan penggunaan lahan maupun penebangan liar.
Perubahan struktur
politik setelah otonomi daerah menyebabkan Pemerintah Daerah mengusahakan
99 peningkatan pendapatan asli daerah melalui eksploitasi sumber daya alam, dan sumber daya hutan merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan dengan segera dan mudah (McCarthy 2002).
Deforestasi secara langsung terjadi akibat
adanya kebutuhan terhadap kayu, baik untuk pemenuhan kebutuhan domestik maupun sebagai komoditas, dan kebutuhan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Sedangkan penyebab yang mendasarinya antara lain adalah pertumbuhan penduduk, tingkat pendapatan, maupun tingkat kemiskinan (Angelsen & Kaimowitz 1999). Untuk memperbaiki kerusakan lahan hutan, TNKS melakukan kegiatan reboisasi seluas 125 hektar pada tahun 2004, 200 hektar tahun 2005, 400 hektar tahun 2006 dan 600 hektar pada tahun 2007. Salah satu jasa lingkungan adalah sumber daya air.
Kawasan TNKS
merupakan hulu dari beberapa daerah aliran sungai (DAS) penting di Sumatera, seperti sungai Ketahun, Musi dan Batanghari (Tabel 11).
Kawasan Sub DAS
Ketahun paling luas di TNKS yang mencapai 100 195 hektar dan yang kedua terluas adalah Sub DAS Batang Tebo. Kawasan DAS ini memiliki potensi untuk dikembangkan dalam skema imbal jasa lingkungan. Imbal jasa lingkungan air yang dapat dikembangkan adalah pembangkit listrik tenaga air (Mini/mikro hidro), sumber air dalam kemasan, maupun pemanfaatan untuk pariwisata alam. Beberapa kawasan yang dapat di kembangkan sebagai wisata alam air di kawasan TNKS, diantaranya Air Terjun Tembulun, Air Terjun Lumpo dan Air Terjun Muara Sako di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat; Danau Gunung Tujuh, Air Terjun Gunung Tujuh, Danau Belibis, Air Terjun Telun Berasap, Air Terjun Pauh Sago di Kabupaten Kerinci; dan Danau Pauh, Air Terjun Sungai Mendikit, Air Terjun Sungai Sako, Danau Depati Empat di Kabupaten Merangin.
100 Tabel 11 Luasan daerah aliran sungai di kawasan TNKS No
Provinsi
DAS
Sub DAS
1
Bengkulu
Pantai Barat Teramang Selagan Seblat Ketahun Ipuh Dikit Batang Manjunto
2
Jambi
Batanghari
Luas Luas di TNKS (ha) (%) 63 265 46.6 71 924 22.0 104 239 71.5 239 006 41.9 76 029 62.5 106 442 8.3 84 538 14.6
Sangir Batang Tebo Batang Tabir Batang Merangin
31 659 184 658 294 347 331 663
60.1 30.4 7.8 10.4
Pantai Barat Selagan Indrapura Dikit Batang Manjunto
5 919 50 718 87 659 27 603
100.0 87.1 82.1 96.9
Sumber: TNKS (2005b)
4.4
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Keberadaan taman nasional sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi
dan budaya masyarakat sekitar karena taman nasional merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas. Sebaliknya, taman nasional juga akan mempengaruhi wilayah sekitarnya, baik melalui manfaat yang diberikannya maupun dampak yang ditimbulkannya. Secara legal sampai sekarang, pengelolaan taman nasional terpisah dengan pengelolaan wilayah di sekitarnya. Fenomena perambahan yang masih terus berlangsung dalam kawasan TNKS menyebabkan areal kawasan rusak akibat dijadikan areal perladangan. Kerusakan ini biasanya terjadi pada kawasan yang berbatasan langsung dengan pemukiman maupun lahan milik masyarakat. Era otonomi daerah juga mempengaruhi perilaku masyarakat yang menuntut penggunaan kawasan hutan, termasuk TNKS, untuk dijadikan lahan garapan. Di samping itu, penebangan liar dan kegiatan ilegal lain juga masih sering terjadi. Upaya untuk memecahkan masalah ini tidak mungkin efektif jika tidak
101 dipecahkan akar permasalahannya. Akar permasalahannya kemungkinan berada di luar kewenangan pengelola taman nasional. Oleh karena itu, kedua pengelola tersebut perlu memahami penyebab fenomena yang muncul dan menggunakan kewenangan yang dimiliki masing-masing pihak untuk mencari solusi yang optimal dan menguntungkan bagi semua pihak. Wilayah administratif terdekat dari TNKS adalah Pemerintah Kabupaten. Dalam penelitian ini studi kasus dilakukan di Kabupaten Kerinci, Jambi dan Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Kondisi sosial ekonomi dari masing-masing
kabupaten akan diuaraikan dalam bahasan selanjutnya. Luas wilayah Kabupaten Kerinci adalah 420 000 hektar dengan luas wilayah budidaya 205 000 hektar, yang meliputi kawasan pertanian 163 380 hektar dan 41 620 hektar kawasan non pertanian. Kawasan lindung meliputi kawasan TNKS dengan luas 215 000 hektar atau 51.2% dari luas wilayah kabupaten. Perubahan penggunaan lahan untuk budidaya selama lima tahun terakhir menunjukkan lahan sawah berkurang 0.96% dan tegalan meningkat 0.82%. Sedangkan luas wilayah Kabupaten Lebong adalah 192 924 hektar dengan wilayah TNKS seluas 111 035 atau 57.6%. Luas wilayah hunian dan budidaya sebesar 58 090 hektar (30.1%), sedangkan sisanya seluas 23 799 hektar (12.3%) merupakan hutan lindung dan cagar alam. Lahan budidaya seluas 20 568 hektar didominasi oleh pengusahaan budidaya pertanian sawah dan perikanan. Pengusahaan perikanan darat memiliki potensi yang besar dan layak karena didukung oleh kondisi alam yang memiliki banyak sumber mata air dan sungai. Salah satu indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi daerah dalam periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang menunjukkan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Struktur perekonomian
Kabupaten
Kerinci
disajikan pada
Tabel 12.
Berdasarkan data ini terlihat bahwa sektor pertanian masih sangat dominan. Sektor pertanian sebagai sektor yang dominan sangat memerlukan fungsi ekologis yang disediakan oleh TNKS. Fungsi ekologis seperti ketersediaan air, kesesuaian iklim mikro dan siklus hara yang menunjang kesuburan lahan akan berkurang fungsinya atau bahkan hilang jika TNKS rusak. Hilangnya fungsi ekologis karena
102 kerusakan TNKS akan menyebabkan penurunan jumlah dan nilai produksi sektor pertanian sehingga dapat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan PDRB. Dengan demikian, kabupaten yang berbatasan dengan TNKS sangat bergantung secara ekonomi pada TNKS karena adanya dukungan fungsi ekologis terhadap sektor pertanian yang merupakan kontributor yang besar bagi perekonomian kabupaten.
Tabel 12 Distribusi PDRB Kabupaten Kerinci harga konstan tahun 2000 No 1
Sektor
2001
2002
2003
2004
2005
50.33
50.44
50.08
49.95
50.09
0.41
0.41
0.41
0.40
0.40
a. Industri pengolahan
4.38
4.30
4.39
4.21
4.19
b. Listrik, gas dan air bersih
0.62
0.66
0.74
0.77
0.77
c. Bangunan
2.65
2.63
3.08
3.34
3.34
14.86
14.79
14.67
14.43
14.41
b. Pengangkutan & komunikasi
9.61
9.73
9.39
10.05
10.14
c. Keu, persewaan & jasa usaha
4.59
4.48
4.27
4.13
4.00
12.53
12.57
12.67
12.69
12.70
Sektor Primer a. Pertanian b. Pertambangan
2
3
Kontribusi terhadap PDRB (%)
Sektor Sekunder
Sektor Tersier a. Perdagangan, hotel & restauran
d. Jasa-jasa Sumber BPS (2006a)
Untuk Kabupaten Lebong pada tahun 2005, sektor pertanian juga merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar dalam kinerja perekonomian dengan sumbangan sebesar 51.2%.
Sebaran mata pencaharian
penduduk didominasi oleh sektor pertanian dengan rata-rata 81.3% dan disusul oleh sektor jasa-jasa 5.5%, perdagangan 4.1%, industri 3.2%, sektor transportasi sebesar 2.1%, dan bangunan 1.7% (BPS 2006b).
Besarnya kontribusi sektor
pertanian terhadap perekonomian dan banyaknya penduduk yang bergantung pada
103 sektor pertanian dapat mengindikasikan peran strategis TNKS dalam mendukung perekonomian Kabupaten Lebong.
Hilangnya fungsi ekologis TNKS dapat
langsung berdampak pada produksi sektor pertanian yang didominasi padi sawah dan perikanan. Namun, data menunjukkan bahwa kawasan hutan seluas ± 53 933 hektar (40%) dalam kondisi rusak akibat perambahan dan penebangan liar. Kerusakan ini dikhawatirkan selain dapat menurunkan produksi sektor pertanian akibat terganggunya irigasi tetapi juga dapat menimbulkan bencana banjir, longsor dan berkurangnya debit air Sungai Ketahun untuk pembangkit listrik PLTA Tes. Penduduk merupakan salah satu faktor penentu bagi tingkat keberhasilan pengelolaan taman nasional. Kualitas penduduk yang rendah akan menjadi faktor pembatas dalam pembangunan, sebaliknya penduduk yang memiliki kualifikasi tinggi akan dapat menunjang pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dan disertai tingkat pertumbuhan yang tinggi akan memberikan konsekuensi meningkatnya tingkat konsumsi dan kebutuhan sumber daya, seperti lahan pemukiman maupun budidaya untuk menunjang kebutuhan pangan yang juga meningkat. Di samping itu, pertumbuhan penduduk yang pesat juga mungkin akan menimbulkan dampak samping berupa permasalahan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, maupun keamanan yang pada akhirnya akan memberikan tekanan pada kawasan taman nasional. Karakteristik demografi dan sosial ekonomi dari responden masyarakat (Lampiran 3) berdasarkan hasil survai menunjukkan umur responden berkisar antara 21 dan 73 tahun dengan umur rata-rata 41 tahun. Penduduk bermukim dengan jarak ke Taman Nasional Kerinci Seblat antara 1 km dan kurang sampai dengan 10 km dengan rata-rata jarak domisili 3 km dari TNKS. Lama bermukim ditempat domisili antara kurang 1 tahun sampai 66 tahun dengan rata-rata lama bermukim 31 tahun.
Sedangkan ukuran keluarga antara 2 jiwa per kepala
keluarga sampai 6 jiwa/kk dengan rata-rata 4 jiwa/KK. Sebagian besar penduduk merupakan penduduk asli (73%), yaitu etnis Kerinci di Kabupaten Kerinci dan etnis Rejang di Kabupaten Lebong, sedangkan proporsi etnis pendatang, yaitu
104 etnis Jawa, Batak, dan Melayu lebih besar di Kabupaten Kerinci (37%) dibandingkan etnis pendatang di Kabupaten Lebong. Secara keseluruhan, jika dilihat dari tingkat pendidikan formal maka distribusi responden dengan tingkat pendidikan yang tidak tamat SD 5 orang (2%), tamat SD 146 orang (50%), SMP 66 orang (22%), SMA 70 orang (24%) dan pendidikan tinggi 7 orang (2%). Di Kabupaten Kerinci proporsi tingkat pendidikan yang tamat SD mencapai 62%, SMP 18%, dan SMA 18%, sedangkan di Kabupaten Lebong yang tamat SD 25%, SMP 31%, dan SMA 36%. Sedangkan jika ditinjau dari segi pendidikan non formal, proporsi responden yang pernah mengikuti pendidikan non formal, seperti pelatihan kursus tani dan penyuluhan pertanian di Kabupaten Kerinci mencapai 29% dan di Kabupaten Lebong 49%. Sebagian penduduk kurang aktif dalam organisasi kemasyarakatan seperti kelompok tani, penduduk yang aktif dalam organisasi hanya 30%. Proporsi penduduk yang aktif dalam organisasi lebih besar di Kabupaten Lebong (36%) dibandingkan dengan di Kabupaten Kerinci (26%). Sumber mata pencaharian yang dominan di lokasi penelitian adalah sektor pertanian. Proporsi pekerjaan utama sebagai petani sebesar 96%. Namun, jika dilihat dari kepemilikan lahan pertanian, hanya 42% penduduk memiliki lahan pertanian dengan luas kepemilikan kebun rata-rata 1.1 hektar dan sawah 0.5 hektar.
Proporsi penduduk yang tidak memiliki lahan lebih besar di Kabupaten
Lebong (60%) dibandingkan dengan penduduk yang tidak memiliki lahan di Kabupaten Kerinci (49%). Tingkat penghasilan penduduk sebagian besar (88%) kurang atau sama dengan Rp.1 000 000.- dengan rata-rata penghasilan keluarga Rp.680 000.- per bulan. Penghasilan masyarakat yang memiliki lahan pertanian sebesar Rp.818 000.-cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan penghasilan penduduk yang tidak memiliki lahan yang berpenghasilan rata-rata Rp.589 000.-. Sebagian besar penduduk dapat dikategorikan sejahtera dengan indikator tidak pernah menerima bantuan langsung tunai atau sejenisnya dari pemerintah, hanya 34% penduduk yang kurang sejahtera atau pernah menerima bantuan langsung tunai. Proporsi penduduk yang pernah menerima bantuan tunai lebih besar di Kabupaten Kerinci (38%) dibanding proporsi penduduk yang pernah menerima
105 bantuan serupa di Kabupaten Lebong (27%).
Secara keseluruhan, jumlah
keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan berjumlah 20.7%. Jumlah keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan pada kelompok masyarakat yang memiliki lahan berjumlah 16% sedangkan kelompok masyarakat yang tidak memiliki lahan 84%
(Tabel 13). Kepemilikan lahan berkontribusi terhadap
tingkat pendapatan masyarakat. Tabel 13. Tingkat pendapatan dan kemiskinan di lokasi penelitian No
Uraian
1 Pendapatan (Rp/bulan/keluarga) 2 Jumlah keluarga (jiwa/keluarga) 3 Pendapatan (Rp/bulan/kapita) 4 Garis kemiskinan *) (Rp/kapita) 5 Persentase Miskin (%)
Kabupaten Lebong Total Kabupaten Kerinci Pemilik Bukan Rata-rata Pemilik Bukan Rata-rata Pemilik Bukan Lahan Pemilik Lahan Pemilik Lahan Pemilik 853,000 602,000 4
4
213,250 150,500
731,000 709,000 569,000 616,000 818,000 589,000 4
28
4
4
4
4
182,750 177,250 142,250 154,000 204,500 147,250
160,000 160,000 5
4
155,000 155,000 16
15
41
155,000 155,000 32
16
84
*) Batas yang digunakan BPS (2008)
Hasil analisis untuk mengetahui pengetahuan masyarakat lokal tentang taman nasional dan fungsinya menunjukkan bahwa 73% masyarakat lokal mengetahui tentang adanya atau keberadaan TNKS. Proporsi masyarakat lokal yang mengetahui keberadaan TNKS lebih tinggi di Kabupaten Kerinci (83%) dibandingkan dengan masyarakat lokal di Kabupaten Lebong (53%). Namun, masih banyak masyarakat lokal yang bermukim di sekitar taman nasional yang tidak melihat adanya batas kawasan TNKS. Proporsi masyarakat lokal yang tidak pernah melihat adanya batas kawasan di Kabupaten Lebong (71%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi masyarakat lokal yang tidak tahu di Kabupaten Kerinci (58%).
106 Pengetahuan masyarakat lokal tentang peraturan pengelolaan taman nasional, seperti menggarap lahan di kawasan TNKS untuk pertanian tidak diperbolehkan menunjukkan sebagian besar masyarakat (78%) mengetahuinya. Proporsi masyarakat yang mengetahui bahwa menggarap lahan di kawasan TNKS tidak diperbolehkan lebih besar di Kabupaten Kerinci (91%) dibandingkan dengan di Kabupaten Lebong (53%). Namun, masih lebih banyak mayarakat lokal (55%) yang tidak mengetahui fungsi dan manfaat TNKS bagi masyarakat secara umum. Proporsi masyarakat lokal yang tidak mengetahui fungsi dan manfaat kawasan TNKS bagi masyarakat secara umum lebih besar di Kabupaten Lebong (64%) dibandingkan dengan di Kabupaten Kerinci (51%). Tabel 14 menyajikan hasil analisis regresi logistik untuk mengetahui faktorfaktor demografi dan sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap peubah respon pengetahuan responden terhadap konservasi dan taman nasional. Faktor yang dominan mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang konservasi dan taman nasional adalah afiliasi wilayah administratif domisili masyarakat, pendidikan formal yang ditempuh dan jarak domisili ke TNKS. Masyarakat sekitar TNKS yang berdomisili di Kabupaten Kerinci cenderung lebih tahu keberadaan dan batas kawasan TNKS maupun ketentuan peraturan pengelolaan taman nasional dibandingkan dengan masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Lebong. Faktor tingkat pendidikan formal mempunyai koefisien yang positif dan nilai odds ratio (OR) lebih besar dari 1. Sehingga dapat diartikan bahwa kelompok masyarakat lokal yang menempuh pendidikan formal tamat SMA dan yang lebih tinggi cenderung mengetahui TNKS lebih dari 1 kali dibandingkan dengan kelompok masyarakat lokal yang memiliki pendidikan formal tidak tamat SD, tamat SD dan SMP.
Sedangkan pengaruh jarak domisili ke kawasan TNKS menunjukkan
bahwa semakin dekat domisili ke kawasan TNKS, masyarakat cenderung semakin tahu tentang TNKS.
Faktor lain yang secara nyata mempengaruhi pengetahuan
masyarakat tentang TNKS adalah etnis, pendidikan non formal, keterlibatan dalam organisasi, lama bermukim, kepemilikan lahan.
besarnya
keluarga, kesejahteraan dan
Sedangkan faktor-faktor yang secara nyata tidak
107 mempengaruhi pengetahuan masyarakat adalah umur, pekerjaan utama, dan penghasilan. Tabel 14 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan tentang taman nasional Pertanyaan
Variabel
Mengetahui tentang adanya atau keberadaan TNKS di wilayah ini
Keterlibatan dalam Organisasi Umur Etnis Kabupaten Pendidikan Formal Pendidikan Non Formal Jarak domisili ke TNKS Lama Bermukim Pekerjaan Utama KK Penghasilan per bulan Ukuran Keluarga Kesejahteraan Kepemilikan Lahan Pertanian Keterlibatan dalam Organisasi Umur Etnis Kabupaten Pendidikan Formal Pendidikan Non Formal Jarak domisili ke TNKS Lama Bermukim Pekerjaan Utama KK Penghasilan per bulan Ukuran Keluarga Kesejahteraan Kepemilikan Lahan Pertanian Keterlibatan dalam Organisasi Umur Etnis Kabupaten Pendidikan Formal Pendidikan Non Formal Jarak domisili ke TNKS Lama Bermukim Pekerjaan Utama KK Penghasilan per bulan Ukuran Keluarga Kesejahteraan Kepemilikan Lahan Pertanian Keterlibatan dalam Organisasi Umur Etnis Kabupaten Pendidikan Formal Pendidikan Non Formal Jarak domisili ke TNKS Lama Bermukim Pekerjaan Utama KK Penghasilan per bulan Ukuran Keluarga Kesejahteraan Kepemilikan Lahan Pertanian
Mengetahui atau melihat adanya batas kawasan TNKS
Mengetahui bahwa menggarap lahan di kawasan TNKS tidak diperbolehkan
Mengetahui fungsi dan manfaat TNKS bagi masyarakat secara umum
Variabel dalam model β Nilai-p Odd 0.591 0.095 * 0.023 0.224 -0.197 0.641 -1.607 0.000 * 0.456 0.236 0.182 0.591 -0.166 0.088 * -0.009 0.508 0.031 0.968 1.089 0.072 0.252 0.051 * -0.757 0.015 * 0.130 0.663 0.282 0.372 0.024 0.184 1.121 0.006 * -0.902 0.008 * 0.678 0.049 * -0.767 0.018 * -0.184 0.054 * -0.016 0.217 0.389 0.582 0.312 0.485 0.192 0.108 -0.425 0.156 0.562 0.050 * -0.122 0.756 0.014 0.516 1.272 0.016 * -2.696 0.000 * 1.088 0.021 * -0.706 0.064 * 0.135 0.280 -0.016 0.325 0.742 0.423 0.804 0.203 -0.001 0.995 -0.396 0.291 0.284 0.424 -0.047 0.881 -0.018 0.332 -1.019 0.005 * -0.183 0.597 0.593 0.080 * -0.209 0.512 0.235 0.012 * -0.028 0.031 * 0.005 0.994 0.182 0.694 0.185 0.154 0.035 0.906 0.279 0.331
rasio 1.806 1.023 0.821 0.200 1.578 1.200 0.847 0.991 1.032 2.970 1.286 0.469 1.139 1.326 1.024 3.069 0.406 1.970 0.465 0.832 0.984 1.475 1.366 1.212 0.654 1.755 0.885 1.014 3.569 0.067 2.968 0.494 1.145 0.984 2.101 2.234 0.999 0.673 1.329 0.954 0.982 0.361 0.833 1.809 0.811 1.265 0.973 1.005 1.200 1.203 1.036 1.322
108 Penduduk asli, etnis Kerinci di Kabupaten Kerinci dan etnis Rejang di Kabupaten Lebong memiliki kecenderungan untuk lebih tahu batas kawasan dan ketentuan peraturan yang mengatur pengelolaan taman nasional dibandingkan dengan etnis pendatang yang merupakan etnis Jawa, Batak, Namun, etnis
maupun
Melayu.
pendatang cenderung lebih tahu tentang fungsi dan manfaat
taman nasional bagi masyarakat secara umum. Kelompok masyarakat yang aktif terlibat dalam organisasi, bermukim lebih lama, memiliki jumlah anggota keluarga yang besar, lebih sejahtera atau tidak pernah menerima bantuan langsung tunai, dan memiliki lahan pertanian mempunyai kecenderungan lebih mengetahui tentang TNKS dibandingkan kelompok masyarakat yang sebaliknya. Hasil analisis atas persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap konservasi dan taman nasional yang dilakukan berdasarkan jawaban atas pertanyaan nomor 5 sampai 10 dari Lampiran 1, menunjukkan bahwa sebagian besar atau lebih dari 70% masyarakat lokal memiliki persepsi bahwa keberadaan TNKS tidak memberikan manfaat ekonomi secara langsung, tetapi memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung.
Proporsi masyarakat lokal yang berpersepsi
keberadaan TNKS tidak memberikan manfaat ekonomi secara langsung, tetapi memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung lebih besar di Kabupaten Kerinci dibandingkan dengan di Kabupaten Lebong. Secara keseluruhan, 61% masyarakat lokal bersikap bahwa kawasan TNKS memang diperlukan untuk konservasi sumber daya alam hayati, tetapi di Kabupaten Lebong proporsi masyarakat yang bersikap bahwa kawasan TNKS diperlukan untuk konservasi sumber daya alam hayati lebih rendah dibanding dengan masyarakat yang tidak bersikap demikian. Sebagian besar masyarakat lokal (84%) juga memiliki sikap bahwa kawasan TNKS diperlukan untuk dapat menjaga keseimbangan alam agar tidak terjadi bencana alam seperti banjir dan longsor. Proporsi masyarakat yang bersikap demikian lebih besar di Kabupaten Kerinci (91%) dibandingkan dengan di Kabupaten Lebong (70%). Namun, sebagian besar masyarakat (66%) bersikap tidak setuju bahwa keberadaan TNKS harus dijaga bersama agar fungsi dan
109 manfaatnya, seperti keindahan alam juga dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Proporsi masyarakat yang tidak setuju jauh lebih besar di Kabupaten Kerinci (84%) dibandingkan dengan proporsi masyarakat yang tidak setuju di Kabupaten Lebong (28%). Sebagian besar masyarakat (94%) mempunyai sikap bahwa pengelola TNKS dan pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan pemanfaatan taman nasional. Hal ini mungkin dikarenakan sebagian besar masyarakat lokal (83%) menyadari bahwa kerusakan hutan dan TNKS akan dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hasil analisis regresi logistik dengan peubah penjelas faktor-faktor demografi dan sosial ekonomi terhadap peubah respon persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional disajikan pada Tabel 15. Pada Tabel 15 hanya disajikan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi peubah respon pada taraf nyata α=10%. Persepsi masyarakat terhadap taman nasional secara nyata dipengaruhi oleh faktor afiliasi wilayah administratif kabupaten domisili, etnis, ukuran keluarga, kesejahteraan dan kepemilikan lahan pertanian. Masyarakat lokal yang berdomisili di Kabupaten Lebong cenderung lebih memiliki persepsi bahwa TNKS memberikan manfaat ekonomi secara langsung atau mendapatkan penghasilan dari keberadaan TNKS masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Kerinci.
dibanding
Sebaliknya, masyarakat
lokal yang berdomisili di Kabupaten Kerinci cenderung lebih memiliki persepsi TNKS memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung, seperti sumber air pertanian dibanding masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Lebong. Penduduk pendatang memiliki kecenderungan persepsi bahwa TNKS tidak memberikan manfaat ekonomi secara langsung atau mendapatkan penghasilan dari keberadaan TNKS yang lebih besar dibandingkan dengan penduduk asli. Kelompok masyarakat yang memiliki lahan pertanian, ukuran keluarga yang kecil, dan sejahtera atau tidak pernah menerima bantuan langsung tunai memiliki kecenderungan persepsi bahwa TNKS memberikan manfaat ekonomi secara langsung atau mendapatkan penghasilan dari keberadaan TNKS.
110 Tabel 15 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap masyarakat Pertanyaan
Variabel
1 TNKS memberikan manfaat ekonomi secara langsung/mendapatkan penghasilan dari keberadaan TNKS
Etnis Kabupaten Kepemilikan Lahan Pertanian
Variabel dalam model β Nilai-p Odd rasio -1.073 0.006 0.342 0.001 3.570 1.273 0.089 1.671 0.513
2 TNKS memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung, seperti sumber air pertanian
Kabupaten Ukuran Keluarga Kesejahteraan
-1.431 0.339 -0.634
0.000 0.016 0.056
0.239 1.404 0.531
3 Kawasan TNKS diperlukan untuk konservasi/melestarikan sumberdaya alam hayati
Umur Kabupaten Lama Bermukim Ukuran Keluarga
0.037 -0.642 -0.035 0.250
0.036 0.048 0.007 0.035
1.038 0.526 0.966 1.283
4 Kawasan TNKS diperlukan untuk dapat menjaga alam agar tidak terjadi bencana alam seperti banjir dan longsor
Keterlibatan dalam Organisasi Etnis Kabupaten Jarak domisili ke TNKS Penghasilan per bulan Ukuran Keluarga
0.710 0.893 -2.274 -0.388 1.240 0.301
0.096 0.067 0.000 0.001 0.085 0.054
2.033 2.442 0.103 0.678 3.457 1.351
5 Keberadaan Taman nasional Kerinci Seblat (TNKS) seharusnya dijaga bersama agar fungsi dan manfaatnya (keindahan alam, dll) dapat juga dinikmati oleh anak cucu 6 Pengelola TNKS dan Pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan pemanfaatan taman nasional
Kabupaten Ukuran Keluarga
2.747 0.289
0.000 0.050
15.591 1.335
Keterlibatan dalam Organisasi Lama Bermukim
-0.969 0.066
0.099 0.004
0.379 1.069
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat terhadap konservasi dan TNKS yang dominan adalah afiliasi wilayah administratif kabupaten tempat domisili, keterlibatan dalam organisasi, lama bermukim dan ukuran keluarga.
Masyarakat yang berdomisili di wilayah administratif
Kabupaten Kerinci cenderung bersikap tidak setuju bahwa kawasan TNKS diperlukan untuk konservasi/melestarikan sumber daya alam hayati dan kawasan TNKS diperlukan untuk dapat menjaga keseimbangan alam agar tidak terjadi bencana alam seperti banjir dan longsor.
Sedangkan masyarakat di Kabupaten
111 Lebong cenderung lebih bersikap bahwa keberadaan TNKS seharusnya dijaga bersama agar fungsi dan manfaatnya dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Kelompok
masyarakat
yang
aktif
terlibat
dalam
organisasi
memiliki
kecenderungan sikap setuju bahwa kawasan TNKS diperlukan untuk dapat menjaga keseimbangan alam agar tidak terjadi bencana alam seperti banjir dan longsor dan pihak pengelola TNKS dan pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan pemanfaatan taman nasional. pendidikan
formal
maupun
kesejahteraan maupun
pendidikan
non
kepemilikan lahan
formal,
pekerjaan,
Tingkat tingkat
pertanian tidak secara nyata
mempengaruhi sikap masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional. Pengelolaan taman nasional saat ini tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan karena manusia dan alam bukan merupakan suatu kesatuan yang terpisah (Borrini-Feyerabend et.al., 2004), sehingga keberhasilan pengelolaan taman nasional sedikit banyak akan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat sekitarnya terhadap taman nasional.
Pengetahuan masyarakat lokal tentang keberadaan TNKS secara
keseluruhan menunjukkan sebagian besar mengetahuinya. Namun, jika dilihat afiliasi wilayah administratif domisili responden maka proporsi masyarakat di Kabupaten Kerinci yang mengetahui keberadaan taman nasional lebih tinggi dibanding masyarakat di Kabupaten Lebong.
Afiliasi wilayah administratif
kabupaten domisili responden berpengaruh
nyata terhadap pengetahuan
masyarakat tentang keberadaan taman nasional. Hasil ini dapat didukung oleh hasil penelitian Harada (2003) dan Sugandhy (2006). Dalam penelitiannya di kawasan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun di Jawa Barat, hasil penelitian Harada (2003) menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat (81%) mengetahui keberadaan Taman Nasional Gunung Halimun. Sebaliknya, Sugandhy (2006) menemukan bahwa sebagian besar (90%) masyarakat sekitar Taman Nasional Way Kambas di Lampung Timur tidak mengetahui mengenai keberadaan dan nilai-nilai fisik ekologis, sosial dan ekonomi dari Taman Nasional Way Kambas.
112 Kemungkinan untuk menjelaskan hal ini adalah adanya perbedaan peran pemerintah daerah dalam peningkatan pengetahuan masyarakat sekitar tentang taman nasional. Mengingat secara administratif masyarakat lokal yang bermukim di sekitar taman nasional berada dalam suatu wilayah administratif tertentu, maka dinas terkait atau pemerintah daerah setempat dapat berperan dalam peningkatan pengetahuan masyarakat tentang taman nasional. Sejumlah 44% masyarakat di Kabupaten Kerinci pernah mendapatkan penyuluhan dan pemahaman tentang TNKS dari dinas atau instansi pemerintah daerah, sedangkan masyarakat di Kabupaten Lebong hanya 25% yang pernah mendapatkan penyuluhan.
Di
samping itu, upaya penyuluhan yang dilakukan oleh pengelola TNKS mungkin juga belum merata, sejumlah 72% masyarakat di Kabupaten Kerinci pernah mendapatkan penyuluhan atau pemahaman tentang TNKS, sedangkan di Kabupaten Lebong hanya 25%.
Perbedaan-perbedaan ini diduga akhirnya
menyebabkan adanya perbedaan tingkat pengetahuan masyarakat tentang TNKS di Kabupaten Kerinci dan di Kabupaten Lebong. Pengetahuan masyarakat tentang batas taman nasional memegang peran penting dalam efektifitas pengelolaan taman nasional.
Pada saat masyarakat
mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang taman nasional, seperti tidak diperbolehkan menggarap atau mengambil sumber daya dalam kawasan taman nasional, tetapi jika pada saat yang sama tidak mengetahui batas-batas taman nasional maka pengetahuan ketentuan hukum tersebut menjadi kurang efektif. Sebagian besar (62%) masyarakat tidak mengetahui atau melihat adanya batas kawasan TNKS. Penduduk asli, masyarakat yang berpendidikan SMA atau lebih, masyarakat yang memiliki lahan pertanian, berdomisili dekat dengan TNKS atau berdomisili di Kabupaten Kerinci cenderung lebih mengetahui batas kawasan TNKS. Perambahan kawasan TNKS untuk kegiatan pertanian disebabkan karena adanya kebutuhan lahan pertanian, karena hanya 42% masyarakat yang memiliki lahan pertanian. Jika batas kawasan TNKS tidak jelas atau tidak diketahui oleh masyarakat setempat maka peluang terjadinya perambahan semakin besar.
113 Persoalan ketidak jelasan batas kawasan akan menyebabkan persoalan yang serius bagi administrasi taman nasional sebagaimana ditemukan juga oleh Harada (2003) di Taman Nasional Gunung Halimun. Lebih dari setengah masyarakat lokal menyatakan tidak mengetahui fungsi dan manfaat TNKS bagi masyarakat secara umum, dan masyarakat merasa TNKS tidak memberikan manfaat ekonomi secara langsung atau mendapatkan penghasilan dari keberadaan TNKS. Namun demikian, sebagian besar setuju bahwa kawasan TNKS memberikan manfaat tidak langsung dan kawasan TNKS diperlukan untuk konservasi atau melestarikan sumber daya alam hayati, untuk dapat menjaga keseimbangan alam agar tidak terjadi bencana alam seperti banjir dan longsor, dan kerusakan hutan dan TNKS akan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Sikap tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat kurang
sepenuhnya memahami keterkaitan antara taman nasional dan konservasi dan belum melihat manfaat penggunaan langsung, manfaat pilihan dan warisan dari taman
nasional.
Faktor
tingkat
penghasilan
keluarga
mempengaruhi
kecenderungan sikap masyarakat untuk dapat melihat nilai kegunaan tidak langsung dari taman nasional.
Sedangkan tingkat pendidikan masyarakat
mempengaruhi tingkat ketergantungan terhadap keberadaan taman nasional. Masyarakat yang berpendidikan tinggi memiliki keunggulan dan peluang yang lebih banyak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang bersumber di luar kawasan taman nasional sehingga cenderung mempunyai sikap bahwa kehidupan dan kesejahteraannya tidak tergantung dari keberadaan TNKS. Pendidikan sering diyakini sebagai langkah awal dalam meningkatkan sikap positif masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional (Kideghesho et al. 2007). Faktor pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang TNKS secara nyata mempengaruhi sikap masyarakat terhadap TNKS (Tabel 16).
Pengetahuan
tentang perundangan yang mengatur pengelolaan taman nasional, seperti tidak diperbolehkannya menggarap lahan di kawasan TNKS untuk pertanian dan batas
114 kawasan, maupun persepsi bahwa TNKS memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung secara dominan mempengaruhi sikap masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional.
Dengan demikian, rekayasa terhadap faktor-
faktor yang dapat meningkatkan pengetahuan tentang ketentuan dalam pengelolaan TNKS dan pembentukan persepsi manfaat TNKS masih dapat dilakukan agar sikap masyarakat terhadap TNKS menjadi lebih positif.
Hal ini
mengingat sampai saat ini 55% masyarakat lokal masih belum mengetahui fungsi dan manfaat TNKS dan 66% masyarakat masih bersikap tidak harus untuk menjaga secara bersama
keberadaan TNKS. Peningkatan pengetahuan tentang
fungsi dan manfaat TNKS masih lebih diperlukan bagi masyarakat lokal di Kabupaten Lebong dibandingkan masyarakat lokal di Kabupaten Kerinci. Namun, upaya untuk merubah sikap masyarakat agar bersedia menjaga keberadaan TNKS secara bersama-sama masih lebih diperlukan di Kabupaten Kerinci dibanding di Kabupaten Lebong.
Demikian juga peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang batas kawasan masih dapat ditingkatkan melalui antara lain penyuluhan karena sebagian besar masyarakat lokal (62%) tidak mengetahui batas kawasan TNKS.
Peningkatan pengetahuan tentang batas
kawasan selanjutnya dapat diharapkan akan dapat meningkatkan sikap masyarakat bahwa kawasan TNKS diperlukan untuk konservasi sumber daya alam hayati dan keberadaan TNKS harus dijaga secara bersama agar fungsi dan manfaatnya dapat dinikmati dalam jangka panjang.
Jika sikap-sikap ini telah muncul secara
dominan dalam masyarakat maka pengelolaan taman nasional dapat diharapkan akan menjadi lebih efektif. Masyarakat yang bermukim di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Kabupaten Kerinci, Jambi dan Kabupaten Lebong, Bengkulu pada umumnya mengetahui tentang keberadaan TNKS, tetapi kurang mengetahui atau melihat adanya batas kawasan. Masyarakat lokal juga kurang mengetahui fungsi dan manfaat TNKS bagi masyarakat secara umum. Meskipun demikian, sebagian besar masyarakat lokal mengetahui ketentuan hukum yang mengatur pengelolaan
115 taman nasional, seperti ketentuan bahwa menggarap lahan di kawasan TNKS untuk kegiatan pertanian tidak diperbolehkan. Pengetahuan masyarakat lokal di sekitar TNKS tentang keberadaan dan batas kawasan, ketentuan hukum yang mengatur pengelolaan taman nasional, fungsi dan manfaat taman nasional bagi masyarakat secara umum berbeda antara masyarakat lokal yang bermukim di Kabupaten Kerinci dengan yang bermukim di Kabupaten Lebong. Masyarakat lokal yang bermukim di Kabupaten Kerinci cenderung lebih mengetahuinya dibandingkan dengan masyarakat di Kabupaten Lebong.
Tingkat pengetahuan
masyarakat lokal tentang konservasi dan taman nasional dipengaruhi secara nyata oleh berbagai faktor, yaitu keterlibatan masyarakat dalam organisasi, asal etnis, afiliasi wilayah administratif kabupaten tempat domisili, tingkat pendidikan, jarak domisili ke TNKS, ukuran keluarga, tingkat kesejahteraan atau kepemilikan lahan pertanian. Sikap masyarakat lokal terhadap konservasi dan taman nasional menunjukkan bahwa
sebagian besar atau lebih dari 70% masyarakat lokal
menyatakan keberadaan TNKS tidak memberikan manfaat ekonomi secara langsung, tetapi memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung. Proporsi masyarakat lokal yang menyatakan keberadaan TNKS tidak memberikan manfaat ekonomi secara langsung, tetapi memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung lebih besar di Kabupaten Kerinci dibandingkan dengan di Kabupaten Lebong. Secara keseluruhan, sebagian besar masyarakat lokal berpendapat bahwa kawasan TNKS diperlukan untuk konservasi sumber daya alam hayati, tetapi di Kabupaten Lebong proporsi masyarakat yang setuju bahwa kawasan TNKS diperlukan untuk konservasi sumber daya alam hayati lebih rendah dibanding dengan masyarakat yang tidak setuju. Sikap masyarakat lokal terhadap konservasi dan taman nasional dipengaruhi secara nyata oleh beberapa faktor, yaitu
keterlibatan masyarakat dalam
organisasi, asal etnis, afiliasi wilayah administratif kabupaten tempat domisili, tingkat pendidikan, jarak domisili ke TNKS, penghasilan dan ukuran keluarga,
116 tingkat kesejahteraan atau kepemilikan lahan pertanian.
Faktor tingkat
penghasilan keluarga mempengaruhi kecenderungan sikap masyarakat untuk dapat melihat nilai kegunaan tidak langsung dari taman nasional. Sedangkan tingkat pendidikan masyarakat mempengaruhi tingkat ketergantungan terhadap keberadaan taman nasional.
Masyarakat yang berpendidikan tinggi memiliki
keunggulan dan peluang yang lebih banyak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang bersumber di luar kawasan taman nasional sehingga cenderung mempunyai sikap bahwa kehidupan dan kesejahteraannya tidak tergantung dari keberadaan TNKS. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan pengetahuan tentang keberadaan TNKS masih dapat direkaya agar sikap masyarakat terhadap TNKS dapat lebih mendukung. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang batas kawasan juga masih dapat ditingkatkan melalui antara lain penyuluhan karena sebagian besar masyarakat lokal tidak mengetahui batas kawasan TNKS.
Peningkatan
pengetahuan tentang batas kawasan TNKS ini selanjutnya diharapkan akan dapat meningkatkan sikap masyarakat bahwa kawasan TNKS diperlukan untuk konservasi sumber daya alam hayati dan keberadaan TNKS harus dijaga secara bersama agar fungsi dan manfaatnya dapat dinikmati dalam jangka panjang.
117 Tabel 16. Pengaruh pengetahuan dan persepsi terhadap sikap masyarakat No
Variabel Respon
1 Kawasan TNKS diperlukan untuk konservasi/melestarikan sumberdaya alam hayati
Variabel Penjelas
Mengetahui tentang adanya atau keberadaan TNKS di wilayah ini Mengetahui atau melihat adanya batas kawasan TNKS Mengetahui bahwa menggarap lahan di kawasan TNKS untuk pertanian tidak diperbolehkan Mengetahui fungsi dan manfaat TNKS bagi masyarakat TNKS memberikan manfaat ekonomi secara langsung/mendapatkan penghasilan dari keberadaan TNKS TNKS memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung, seperti sumber air pertanian 2 Kawasan TNKS diperlukan untuk Mengetahui tentang adanya atau keberadaan TNKS di dapat menjaga alam agar tidak terjadi wilayah ini bencana alam seperti banjir dan Mengetahui atau melihat adanya batas kawasan TNKS longsor Mengetahui bahwa menggarap lahan di kawasan TNKS untuk pertanian tidak diperbolehkan Mengetahui fungsi dan manfaat TNKS bagi masyarakat TNKS memberikan manfaat ekonomi secara langsung/mendapatkan penghasilan dari keberadaan TNKS TNKS memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung, seperti sumber air pertanian 3 Keberadaan Taman nasional Kerinci Mengetahui tentang adanya atau keberadaan TNKS di Seblat (TNKS) seharusnya dijaga wilayah ini bersama agar fungsi dan manfaatnya Mengetahui atau melihat adanya batas kawasan TNKS (keindahan alam, dll) dapat juga Mengetahui bahwa menggarap lahan di kawasan TNKS dinikmati oleh generasi mendatang untuk pertanian tidak diperbolehkan Mengetahui fungsi dan manfaat TNKS bagi masyarakat TNKS memberikan manfaat ekonomi secara langsung/mendapatkan penghasilan dari keberadaan TNKS TNKS memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung, seperti sumber air pertanian Mengetahui tentang adanya atau keberadaan TNKS di 4 Pengelola TNKS dan Pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat wilayah ini lokal dalam perencanaan pemanfaatan Mengetahui atau melihat adanya batas kawasan TNKS taman nasional Mengetahui bahwa menggarap lahan di kawasan TNKS untuk pertanian tidak diperbolehkan Mengetahui fungsi dan manfaat TNKS bagi masyarakat TNKS memberikan manfaat ekonomi secara langsung/mendapatkan penghasilan dari keberadaan TNKS TNKS memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung, seperti sumber air pertanian
4.5
Variabel dalam model β Nilai-p Odd rasio 1.442 0.366 0.395 2.184 0.000 * 1.217 0.012 *
8.881 3.379
2.178 0.000 * 1.137 0.009 *
8.825 3.116
0.691 0.078 *
1.996
1.529 0.000 *
4.611
-0.168 0.698 0.807 0.067 *
0.845 2.240
-0.069 0.871 0.070 0.869
0.934 1.073
0.972 0.013 *
2.643
0.981 0.012 *
2.667
-0.547 0.082 * -1.164 0.004 *
0.579 0.312
0.372 0.238 0.477 0.139
1.450 1.612
-0.585 0.087 *
0.557
0.435 0.495
1.545
-0.130 0.842 0.636 0.336
0.878 1.888
0.015 0.981 0.070 0.913
1.015 1.072
1.000 0.077 *
2.718
Partisipasi Masyarakat Hasil survai responden masyarakat untuk mengidentifikasi tingkat
partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat masih sangat rendah. Sebagian besar (62%) responden tidak pernah mendapatkan penyuluhan
118 tentang manfaat dan fungsi taman nasional ataupun topik lainnya. Penyampaian informasi merupakan strata paling rendah pada hierarki partisipasi (Wilcox 1994). Tanpa penyuluhan atau penyampaian informasi yang memadai maka dapat terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. Sebagai contoh, penggarapan lahan TNKS untuk aktifitas pertanian dinyatakan oleh 91% responden dikarenakan batas-batas kawasan tidak jelas atau tidak ada dan masyarakat tidak tahu karena tidak pernah mendapatkan sosialisasi batas kawasan. Sebagian besar (82%) responden juga tidak mengetahui rencana pemanfaatan taman nasional. Hal ini menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat dalam perencanaan masih sangat rendah. Peningkatan pengetahuan tentang fungsi dan potensi pemanfaatan taman nasional melalui penyuluhan diyakini oleh 92% responden akan dapat meningkatkan dukungan perlindungan terhadap kawasan. Pelibatan masyarakat lokal dalam pemanfaatan TNKS yang dapat meningkatkan pendapatan diyakini oleh 89% responden akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan. Survai pendapat pakar juga mengkonfirmasi bahwa partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan TNKS saat ini masih sangat rendah.
Sebenarnya
prakondisi untuk melibatkan masyarakat telah ada, yaitu mandat yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Akan tetapi, karena masing-masing pihak belum memiliki kesamaan pandang dan belum tersedianya mekanisme pelibatan masyarakat maka mengakibatkan partisipasi masyarakat masih rendah.
5 5.1
ANALISIS KEBIJAKAN
Asumsi Kebijakan Dalam pemodelan kebijakan, hal-hal yang tidak dapat diselesaikan, baik
yang berupa kendala, faktor penghambat maupun kondisi yang tidak mungkin dapat dirubah digunakan sebagai asumsi.
Asumsi-asumsi strategis yang
digunakan dalam pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional diperoleh dari FGD dengan menggunakan metode Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST) yang melibatkan pakar dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakat, lembaga terkait dari pemerintah, dan tokoh masyarakat. Pengedepanan asumsi
strategis
dilakukan
dengan
pertanyaan
terbalik,
yaitu
dengan
diberlakukannya kebijakan yang dirumuskan, apakah yang harus diasumsikan tentang sikap stakeholder sehingga asumsi yang ada tersebut secara logis dapat mengoptimalkan penerapan kebijakan yang dimaksud. Eliminasi suatu asumsi dari daftar asumsi yang tersusun dilakukan melalui pertanyaan jika kebalikan dari suatu asumsi adalah benar dan tidak memiliki dampak terhadap hasil maka asumsi tersebut tidak terlalu relevan. Di samping itu, suatu asumsi yang dapat diterima sebagai landasan kebijakan atau strategi harus memenuhi dua kriteria, yaitu asumsi harus memiliki dampak nyata (significant bearing) terhadap hasil dan harus mendekati pasti benar. Hasil identifikasi asumsi pengembangan model kebijakan pengelolaan taman nasional dibahas dalam diskusi pakar untuk menyusun asumsi-asumsi alternatif yang digunakan dalam penyusunan kebijakan. Asumsi-asumsi alternatif didiskusikan dan ditentukan tingkat kepentingan dan kepastian dengan mengacu pada: 1) seberapa penting asumsi tersebut dalam mempengaruhi hasil kebijakan, dan 2) seberapa besar keyakinannya bahwa asumsi yang dimunculkan dapat dipastikan kebenarannya. Tabel 17 menunjukkan penilaian tingkat kepentingan dan
kepastian
alternatif
asumsi.
Sedangkan
Gambar
13
menunjukkan
penggambaran tingkat kepentingan dan kepastian asumsi secara grafik yang dapat dijadikan landasan penyusunan kebijakan pengelolaan taman nasional.
120 Tabel 17 Alternatif asumsi dasar kebijakan pengelolaan taman nasional No
Alternatif Asumsi
Tingkat Kepentingan
Tingkat Kepastian
A
Pemerintah daerah dan interest group (akademisi dan lainnya) memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung konservasi
3
2
B
Kesediaan seluruh stakeholder dalam mematuhi ketentuan hukum yang berlaku
1
-2
C
Ketersediaan dana stimulan untuk pengembangan kegiatan usaha perdesaan
2
1
D
Sistem informasi dan komunikasi stakeholder sudah dikembangkan
3
-1
E
Mekanisme pelibatan masyarakat telah terbangun
3
-1
F
Kesamaan persepsi terhadap peran sumber daya alam dalam pembangunan manusia
2
1
G
Program pembangunan di daerah benar-benar berpihak kepada masyarakat miskin
2
1
H
Adanya kesadaran masyarakat terhadap peran jasa lingkungan
2
2
I
Pembangunan ekonomi memenuhi rasa keadilan
2
2
J
Adanya akses untuk berpartisipasi
2
-1
K
Ketersediaan dana untuk peningkatan kapasitas
2
-1
L
Tersedia program peningkatan kesejahteraan
3
2
antar
Hasil sintesa asumsi pengembangan model kebijakan pengelolaan taman nasional yang memiliki tingkat kepentingan dan kepastian tinggi yang terdapat pada kuadran I mencakup: 1) Pemerintah Daerah, akademisi dan LSM memiliki komitmen tinggi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat (sintesa A dan L) 2) Pembangunan ekonomi berkeadilan dan kesepahaman serta kesadaran masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap peran penting jasa lingkungan (sintesa H dan I).
121 3) Ketersediaan dana dan tenaga pendampingan serta kesamaan pandang terhadap peran sumber daya alam dalam pembangunan (sintesa C, F, dan G). Sedangkan asumsi-asumsi yang memiliki tingkat kepentingan tinggi tetapi memiliki ketidak pastian pada kuadran II disintesa sebagai berikut: 1) Ketersediaan
akses
dan
peningkatan
kapasitas
untuk
kegiatan
pengembangan kegiatan usaha perdesaan (sintesa J dan K). 2) Kesiapan seluruh masyarakat dalam mematuhi ketentuan hukum yang berlaku secara konsisten (B). 3) Ketersediaan sistem informasi dan mekanisme partisipasi masyarakat (sintesa D dan E). Asumsi-asumsi alternatif dengan tingkat kepentingan dan kepastian yang tinggi selanjutnya digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan.
Gambar 13 Tingkat kepentingan dan kepastian asumsi
122 5.2
Struktur Sistem Pengelolaan Taman Nasional Metode ISM digunakan untuk menganalisis keterkaitan dan ketergantungan
antar elemen yang membentuk struktur model pengelolaan taman nasional dan mengidentifikasi peubah kunci serta driver power masing-masing elemen serta struktur/hirarki elemen dalam model.
Hasil wawancara dengan pakar dan
pengisian kuesioner yang dilakukan berdasarkan teknik ISM diperoleh 7 elemen yang terdiri dari: 1) sektor kelompok masyarakat yang terkena dampak dari baik buruknya sistem pengelolaan taman nasional, 2) pelaku atau lembaga yang terlibat dan berperan dalam pengelolaan, 3) kebutuhan terhadap pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan, 4) tujuan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan, 5) perubahan yang dimungkinkan untuk mencapai tujuan, 6) kendala utama dalam pengelolaan, dan 7) kegiatan yang diperlukan. Masing-masing elemen kemudian diuraikan menjadi beberapa sub elemen. Dalam penelitian ini teridentifikasi 20 kelompok masyarakat yang terkena dampak, 18 kelompok pelaku yang terlibat, 10 kebutuhan, 12 tujuan, 16 perubahan yang dimungkinkan, 12 kendala utama dan 10 kegiatan yang diperlukan, sehingga secara total dalam sistem teridentifikasi 98 sub-elemen. Berdasarkan pengolahan matriks yang telah memenuhi kaidah transitivitas maka keluaran model struktural dari masing-masing elemen akan memberikan gambaran hirarki dari masing-masing sub-elemen. Struktur sub-elemen ini tidak memberikan informasi peubah kunci, yaitu sub-elemen yang memiliki peringkat satu. Informasi elemen kunci diperoleh dari reachability matrix final.
Peubah
kunci dari masing-masing elemen sistem secara keseluruhan dari masing-masing elemen disajikan pada Tabel 18.
Sedangkan keluaran model struktural dari
masing-masing elemen ditampilkan secara rinci pada uraian selanjutnya.
123 Tabel 18 Peubah kunci sistem pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan No
Elemen
Peubah Kunci
1
Sektor masyarakat yang terkena dampak
1. Petani di dalam kawasan taman nasional 2. Petani sekitar kawasan taman nasional
2
Lembaga yang terlibat dan berperan
1. Departemen Kehutanan 2. Balai Besar/Balai Taman Nasional 3. Masyarakat lokal sekitar kawasan taman nasional
3
Kebutuhan
Keseimbangan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan berkelanjutan
4
Tujuan
1. Melindungi ekosistem yang penting untuk kesejahteraan masyarakat 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar taman nasional 3. Menjamin terpeliharanya keberadaan dan potensi budaya
5
Kendala utama
Kurangnya koordinasi dalam pengelolaan taman nasional
6
Perubahan yang dimungkinkan
Peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk pemanfaatan “terbatas”
7
Kegiatan yang diperlukan
1. Peningkatan pengetahuan manfaat dan kepedulian masyarakat terhadap taman nasional 2. Peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat lokal di sekitar taman nasional
5.2.1 Elemen Kelompok Masyarakat yang Terpengaruhi Elemen kelompok masyarakat yang terkena dampak baik positif maupun negatif dari pengelolaan taman nasional perlu diidentifikasi untuk mendapatkan perhatian dari pengambil kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar dapat dirancang intervensi-intervensi yang diperlukan untuk dapat mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif dengan harapan akan didapatkan dukungan dari kelompok masyarakat yang bersangkutan dalam pengelolaan taman nasional. Identfikasi kelompok masyarakat yang mungkin terkena dampak dapat diuraikan menjadi 20 kelompok seperti disajikan pada Tabel 19. Sedangkan hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar peubah adalah
124 hubungan pengaruh, yaitu suatu kelompok masyarakat mempengaruhi kelompok yang lainnya. Struktur hirarki dari kelompok tersebut ditampilkan pada Gambar 14
dan klasifikasi masing-masing kelompok ke dalam empat sektor, yaitu
autonomous, dependent, linkage dan independent disajikan pada Gambar 15. Sedangkan data analisis ISM dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 19 Elemen kelompok masyarakat yang terpengaruhi dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan Sub elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pengelola Taman Nasional Masyarakat lokal Wisatawan Akademisi Pecinta Alam Petani di dalam kawasan taman nasional Petani sekitar di luar kawasan taman nasional Pembalak Pelaku usaha di bidang kehutanan – non kayu Pegawai perusahaan di bidang kehutanan – non kayu Pelaku usaha atau pemegang ijin pariwisata alam Pegawai perusahaan pariwisata alam Pengusaha jasa penunjang pariwisata alam Pegawai perusahaan jasa penunjang pariwisata alam Pedagang informal di kawasan wisata alam LSM lingkungan dan kehutanan Masyarakat adat Konsumen hasil hutan non kayu
Peubah kunci dalam elemen kelompok masyarakat yang terpengaruhi dalam pengembangan model pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan adalah petani di dalam dan di luar sekitar kawasan taman nasional. Jika didasarkan pada nilai driver power dan dependence maka dua puluh kelompok tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 sektor. Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa sub elemen yang termasuk dalam kuadran independent adalah kelompok: 1) petani
125 di dalam kawasan taman nasional, 2) petani sekitar kawasan, 3) pegawai taman nasional, 4) masyarakat lokal, 5) pelaku usaha pariwisata alam, 6) pelaku usaha jasa penunjang pariwisata alam, dan 7) pelaku usaha informal di kawasan wisata alam. Sedangkan kelompok sub elemen yang berada dalam kuadran dependent meliputi: 1) Pemerintah Pusat, 2) Pemerintah Daerah, 3) wisatawan, 4) pecinta alam, 5) pelaku usaha di bidang kehutanan non kayu, 6) LSM lingkungan dan kehutanan,
dan 7) konsumen hasil hutan non kayu.
Berdasarkan matriks
tersebut, tidak ada sub elemen yang termasuk dalam kuadran linkage dan autonomous.
Gambar 14 Struktur sistem elemen kelompok masyarakat yang terpengaruhi
126 20 19
8,9
18 3 IV. Independent
III. Linkage
17 16
13
14
4,15
13
12,14,17
12 11
16
10
Driver Power
15
9
11,19
8
2
7 I. Autonomous
II. Dependent
6 5
1,5,6,7,10,18,20
4 3 2 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Dependence
Gambar 15 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi Kelompok masyarakat yang merupakan peubah dependent, seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, wisatawan, akademisi, LSM dan lainnya dalam konteks dampak pengelolaan merupakan kelompok yang dipengaruhi oleh kelompok masyarakat yang merupakan peubah independent, seperti petani di dalam dan sekitar kawasan taman nasional, pengelola taman nasional, pengusaha wisata alam dan yang lainnya. Kelompok petani di dalam dan sekitar kawasan taman nasional merupakan peubah kunci dari kelompok masyarakat yang terkena dampak pengelolaan taman nasional. Hal ini memberikan arti bahwa sedikit perubahan dari kelompok ini akan mengakibatkan perubahan yang besar pada kelompok yang lainnya. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Chen et al. (2005) yang menyatakan bahwa petani sekitar merupakan kelompok masyarakat yang paling terkena dampak pengelolaan kawasan konservasi dan persepsi serta perilakunya mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan pengelolaannya. Dampak positif langsung yang dirasakan
127 adalah manfaat ekonomi, baik yang secara langsung memanfaatkan sumber daya taman nasional, seperti pemungutan kayu bakar dan perburuan satwa liar yang berada di luar kawasan, maupun manfaat tidak langsung seperti sumber air untuk irigasi persawahan. Sedangkan dampak negatif, meskipun tidak sering terjadi adalah kerusakan akibat gangguan dari satwa liar. Secara alamiah, satwa liar akan bergerak bebas dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa mengenal batas kawasan maupun wilayah administrasi.
Kadang kala satwa liar memasuki kawasan
budidaya dan merusak tanaman atau memangsa ternak masyarakat, bahkan dapat menyebabkan korban manusia. Ketika hal ini terjadi maka timbul biaya yang harus ditanggung masyarakat karena pada umumnya pengelola tidak memberikan ganti rugi jika bukan kejadian yang berdampak besar. Di samping itu, kelompok petani ini juga menanggung biaya oportunitas akibat tertutupnya akses terhadap sumber daya hutan yang sebelum penetapan kawasan dapat mendukung kehidupannya.
Persepsi
kelompok petani terhadap manfaat dan dampak
pengelolaan akan menentukan kualitas hubungannya dengan pengelola taman nasional. Keberhasilan pengelola dalam mengelola taman nasional banyak bergantung pada tingkat dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada taman nasional oleh kelompok petani sekitar. Jika taman nasional yang dilindungi hukum formal dipandang sebagai penghalang, masyarakat lokal dapat menggagalkan efektifitas upaya konservasi. Namun, sebaliknya jika upaya konservasi dianggap sebagai sesuatu yang bermanfaat positif maka masyarakat lokal yang akan berinisiatif untuk bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi taman nasional dari kegiatan-kegiatan yang merugikan (Mackinnon et al. 1986). Aktifitas kelompok ini secara langsung akan mempengaruhi pengelola taman nasional sebagai pemegang otoritas pengelolaan taman nasional. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk di sekitar kawasan TNKS mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian, baik sebagai petani pemilik lahan maupun sebagai buruh tani yang tidak memiliki lahan pertanian. Pola penggunaan sumber daya alam seperti lahan pertanian dan air akan mempengaruhi kinerja pengelolaan taman nasional. Pola penggunaan lahan secara intensif dan
128 kurang ramah lingkungan dapat menjadi sumber koloni bagi jenis tumbuhan invasif yang dapat masuk ke dalam kawasan taman nasional. Di samping itu, kegiatan perambahan lahan kawasan taman nasional dan penebangan kayu secara ilegal yang sering terjadi di TNKS juga akan mempengaruhi pengelola taman nasional.
Aktifitas ini terjadi, menurut TNKS (2007) selain disebabkan
terbatasnya alternatif sumber pendapatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga karena keterbatasan sarana prasarana pendukung dan sumber daya pengelola, khususnya personil pengamanan yang mempunyai cakupan wilayah kerja hanya ± 13,000 hektar/orang. Elemen penting untuk keberhasilan pengelolaan taman nasional adalah pelibatan dan partisipasi masyarakat lokal. Penempatan kelompok petani di dalam dan sekitar taman nasional sebagai pihak yang berkepentingan untuk mendukung perlindungan sumber daya alam kawasan sangat diperlukan (Dixon & Sherman 1990; Kramer et al. 2009). Meskipun demikian, efektifitas program konservasi yang menempatkan masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan memerlukan pengaturan pengelolaan yang tidak mudah dan perlu dilakukan secara hati-hati karena kompleksitas interaksi antara kebijakan, sistem sosial, dan ekologi (Garnett et al. 2007). Namun, jika hubungan antara masyarakat dengan pengelola ingin didorong menuju interaksi yang berdampak positif maka pemahaman terhadap aspek ekologi, sosial, ekonomi serta parameter persepsi, sikap dan dukungan masyarakat lokal dapat membantu dalam pengaturan pengelolaan untuk keberhasilan upaya konservasi. Selanjutnya, pengelola taman nasional akan mempengaruhi berbagai kelompok masyarakat melalui keberhasilan pengelolaan kawasan.
Kelompok
masyarakat yang secara langsung dipengaruhi oleh pengelola adalah pengusaha pariwisata alam. Tingkat keberhasilan pengelola dalam mengembangkan nilai estetik taman nasional sebagai wahana rekreasi dan pariwisata alam akan berpengaruh kepada kelompok masyarakat sektor usaha wisata alam. Beberapa nilai estetik yang menjadi alasan penetapan taman nasional seperti suasana alami, keindahan pemandangan alam, keragaman flora fauna, yang bersifat mudah rusak dan tidak dapat balik (irreversible) merupakan aset taman nasional yang
129 dibutuhkan oleh sektor usaha wisata alam.
Sektor usaha wisata berbasis
komoditas konservasi tidak mungkin berkembang jika nilai estetik taman nasional tidak dikelola dengan baik. Namun, sektor usaha wisata alam juga belum tentu dapat tumbuh dan berkembang meskipun nilai estetik taman nasional dalam kondisi yang prima.
Zhong et al. (2008) berpendapat bahwa tingkat
perkembangan sektor wisata alam ditentukan oleh berbagai macam faktor sehingga tidak ada formula yang pasti cocok diterapkan untuk semua lokasi. Tetapi, pada dasarnya faktor tersebut dapat dikelompokkan sebagai faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah pengelolaan, kualitas pelayanan dan
karakteristik daerah tujuan wisata, seperti keunikan objek wisata, sikap masyarakat lokal terhadap kegiatan wisata, dan kualitas sumber daya wisata. Sedangkan faktor eksternal adalah pelaku usaha, wisatawan dan pemerintah sebagai regulator.
Diantara faktor-faktor tersebut, karakteristik dan keunikan
objek wisata merupakan faktor penentu.
Dengan demikian, pengelola taman
nasional sangat berperan penting dalam pelestarian keunikan objek wisata. Di TNKS bird watching merupakan potensi wisata alam yang memiliki prospek secara internasional, walaupun wisatawan yang berkunjung untuk tujuan tersebut, berdasarkan pengamatan lapang saat ini masih sangat sedikit. Perkembangan sektor usaha wisata alam akan mempengaruhi pengusaha jasa pariwisata alam dan masyarakat lokal.
Sektor usaha jasa penunjang
pariwisata tidak mungkin tumbuh jika sektor usaha wisata alam
belum
berkembang. Di samping itu, perkembangan sektor usaha wisata alam juga akan mempengaruhi masyarakat lokal.
Sektor usaha wisata alam dapat digunakan
sebagai alternatif strategi perbaikan kehidupan masyarakat lokal melalui diversifikasi usaha maupun pemenuhan kebutuhan ekonominya (Goodwin & Roe 2001). Keterkaitan manfaat langsung yang diperoleh masyarakat lokal dengan keberadaan taman nasional melalui aktfitas pariwisata alam diharapkan akan meningkatkan dukungannya terhadap konservasi. Sekhar (2003) membuktikan bahwa masyarakat lokal yang mendapatkan manfaat dari pariwisata cenderung bersikap positif dan mendukung pengembangan wisata alam. Pengelola taman
130 nasional seyogyanya memandang hal ini sebagai satu peluang untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional.
5.2.2 Elemen Pelaku atau Lembaga yang Terlibat dalam Pengelolaan Kebijakan dan kelembagaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Kebijakan yang bagus tetapi tidak dilandasi oleh kelembagaan yang mendukung tidak akan menyebabkan pengelolaan taman nasional menuju tujuan yang diharapkan.
Demikian juga sebaliknya, kelembagaan yang bagus tetapi
kebijakannya tidak mendukung juga membuat tujuan pengelolaan sulit dicapai sesuai dengan yang diharapkan.
Kelembagaan merupakan dasar dari seluruh
proses pengelolaan taman nasional. Kelembagaan merupakan suatu tatanan dan pola hubungan antar anggota atau kelompok masyarakat yang saling mengikat dan diwadahi dalam suatu organisasi atau lembaga dengan faktor-faktor pengikat dan pembatas berupa norma, aturan formal maupun informal sebagai pengendali perilaku sosial dan insentif untuk bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, kelembagaan dapat dilihat sebagai organisasi dan sekaligus juga mengandung pengertian aturan main. Kebijakan merupakan unsur penting dalam lembaga dan dapat diturunkan dalam bentuk strategi, rencana, peraturan, kesepakatan, konsensus maupun program yang merupakan landasan untuk tindakan-tindakan nyata (Djogo et al. 2003).
Kelembagaan pengelolaan taman
nasional merupakan sistem yang kompleks karena menyangkut aspek ekologi, sosial ekonomi, politik maupun teknologi.
Oleh karena itu perlu dianalisis
mengenai lembaga yang terlibat dan berperan dalam pengelolaan. Elemen lembaga yang terlibat dijabarkan menjadi 18 sub elemen seperti ditampilkan pada Tabel 20.
Struktur hirarki dari masing-masing sub elemen
disajikan dalam Gambar 16. Sedangkan Gambar 17 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver power dan dependence.
Untuk
hasil analisis data ISM dapat dilihat pada Lampiran 5. Struktur hirarki peubah lembaga yang terlibat terdiri dari 9 tingkat. Lembaga yang terlibat dan menempati hirarki yang tertinggi adalah Departemen Kehutanan, Balai Besar/Balai Taman Nasional dan masyarakat lokal sekitar taman
131 nasional. Ketiga lembaga ini saling mempengaruhi dan merupakan peubah kunci yang mempengaruhi lembaga lain pada hirarki di bawahnya. Dalam pengelolaan taman nasional saat ini, elemen masyarakat lokal secara formal belum masuk dalam pertimbangan sebagai lembaga yang berpengaruh besar dalam menunjang keberhasilan pengelolaan. Pengelompokan elemen lembaga yang terlibat berdasarkan driver power dan dependence menunjukkan
bahwa lembaga Departemen Kehutanan, Balai
Besar/Balai Taman Nasional, masyarakat lokal, Pemerintah Kabupaten, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, perguruan tinggi dan masyarakat adat merupakan peubah independent.
Sedangkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup,
Pemerintah Propinsi, Dinas Pertanian, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Sektor usaha pariwisata alam dan kehutanan non kayu, LSM serta masyarakat umum merupakan peubah dependent. Pembalak merupakan peubah autonomus sehingga dapat diartikan sebagai peubah yang berada di luar sistem meskipun terdapat hubungan dengan peubah lainnya. Tabel 20 Elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan Sub elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Departemen Kehutanan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Pemerintah Propinsi Pemerintah Kabupaten Balai Besar/Balai Taman Nasional Dinas Kehutanan Dinas Pertanian Dinas Pekerjaan Umum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Dinas Pariwisata Perguruan Tinggi Masyarakat lokal di sekitar kawasan taman nasional LSM Lingkungan dan Kehutanan Sektor usaha bidang kehutanan non kayu Sektor usaha wisata dan jasa pariwisata alam Pembalak Masyarakat Adat Masyarakat umum
132
Gambar 16 Struktur sistem elemen pelaku atau lembaga yang terlibat Hasil pengelompokan ini memberikan makna bahwa lembaga Departemen Kehutanan, Balai Besar/Balai Taman Nasional, masyarakat lokal, Pemerintah Kabupaten, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, perguruan tinggi dan masyarakat adat merupakan peubah bebas yang mempengaruhi lembaga Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Pemerintah Propinsi, Dinas Pertanian, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Sektor usaha pariwisata alam dan kehutanan non kayu, LSM serta masyarakat umum.
133 18
1,5,12
17 16 15
4
14
6,10,11 III. Linkage
13 12 11 10
17
9
16
8
2,3
7
7,14,15 I. Autonomous
Driver Power
IV. Independent
II. Dependent
6 5 4 3
9,13,18 8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
2 1
10 11 12 13 14 15 16 17 18
Dependence
Gambar 17 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen lembaga yang terlibat Ketujuh belas lembaga ini mencerminkan keadaan bahwa pengelolaan taman nasional membutuhkan keterlibatan dan peran banyak stakeholder mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta, masyarakat lokal dan adat, LSM maupun perguruan tinggi. Hal ini karena banyaknya aspek pengelolaan yang sebenarnya tidak dapat ditangani hanya oleh Pemerintah Pusat saja melainkan harus melibatkan lembaga lain jika tujuan pengelolaan ingin dicapai sesuai dengan yang diharapkan bersama. Menurut Djogo et al. (2003) efektifitas kelembagaan untuk mendukung pencapaian tujuan memerlukan interaksi optimum dari tiga aspek, yaitu infrastruktur kelembagaan (institutional infrastructure), penataan kelembagaan (institutional arrangement) dan mekanisme kelembagaan (institutional mechanism). Dalam konteks pengelolaan taman nasional, Hayes (2006) menunjukkan bahwa lembaga pengelola milik pemerintah bukan satu-
134 satunya cara penataan kelembagaan yang paling efektif untuk mencapai tujuan konservasi. Alternatif penataan kelembagaan lain terbukti juga dapat efektif. Hal yang penting adalah adanya aturan main yang dibangun dan disepakati bersama antara pihak yang berkepentingan karena kesepakatan aturan main yang akan mempengaruhi efektifitas konservasi.
Berdasarkan hal ini maka penataan
lembaga pengelolaan taman nasional yang selama ini hanya bertumpu pada Kementerian Kehutanan dan Balai Besar/Balai Taman Nasional perlu ditinjau kembali dengan memperhatikan peubah-peubah lembaga yang memiliki pengaruh besar dalam pengelolaan taman nasional, seperti masyarakat lokal, Pemerintah Kabupaten dan dinas terkait, perguruan tinggi dan masyarakat adat. Pengelolaan taman nasional yang melibatkan multi stakeholder dengan pengaruh yang besar diharapkan dapat membangun kerjasama positif untuk mencapai tujuan pengelolaan yang berkelanjutan. 5.2.3 Elemen Kebutuhan Elemen kebutuhan terhadap pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan dijabarkan menjadi 10 sub elemen seperti ditampilkan pada Tabel 21. Struktur hirarki dari masing-masing sub elemen disajikan dalam Gambar 18. Sedangkan Gambar 19 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver power dan dependence.
Hasil analisis data ISM dapat dilihat pada
Lampiran 6. Struktur hirarki elemen kebutuhan terdiri dari 7 tingkat. Keseimbangan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang berada pada tingkat 7 merupakan peubah kunci kebutuhan.
Peubah kunci ini menjadi
penggerak utama dan mempengaruhi peubah pada tingkat di bawahnya. Pengklasifikasian sub elemen kebutuhan yang didasarkan pada driver power dan dependence menunjukkan bahwa keseimbangan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan berkelanjutan, distribusi manfaat taman nasional secara berkeadilan, peran serta masyarakat dalam menjaga taman nasional, koordinasi kelembagaan pemerintah dalam pengelolaan taman nasional, pengetahuan yang mendalam terhadap manfaat ekologi, ekonomi dan sosial dari taman nasional, dan
135 keberlanjutan pembiayaan pengelolaan taman nasional merupakan peubah independent.
Sedangkan peubah peningkatan kesejahteraan dan pendapatan
masyarakat lokal di sekitar taman nasional, pendidikan lingkungan bagi pejabat dan masyarakat, perluasan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan, serta kontribusi ekonomi taman nasional bagi pembangunan daerah merupakan peubah dependent. Dalam elemen kebutuhan ternyata tidak ada sub elemen yang masuk ke dalam kuadran linkage maupun autonomous. Hasil pengklasifikasian ini memberikan arti bahwa keseimbangan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan berkelanjutan, distribusi manfaat taman nasional secara berkeadilan, peran serta masyarakat dalam menjaga taman nasional, koordinasi kelembagaan pemerintah dalam pengelolaan taman nasional, pengetahuan yang mendalam terhadap manfaat ekologi, ekonomi dan sosial dari taman nasional, dan keberlanjutan pembiayaan pengelolaan taman nasional merupakan peubah bebas yang mempengaruhi kebutuhan peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat lokal di sekitar taman nasional, pendidikan lingkungan bagi pejabat dan masyarakat, perluasan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan, serta kontribusi ekonomi taman nasional bagi pembangunan daerah. Tabel 21. Elemen kebutuhan Sub elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kontribusi ekonomi taman nasional bagi pembangunan daerah Keseimbangan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan berkelanjutan Koordinasi kelembagaan pemerintah dalam pengelolaan taman nasional Pengetahuan yang mendalam terhadap manfaat ekologi, ekonomi dan sosial dari taman nasional Peran serta masyarakat dalam menjaga taman nasional Peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat lokal di sekitar TN Perluasan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan Distribusi manfaat taman nasional secara berkeadilan Keberlanjutan pembiayaan pengelolaan taman nasional Pendidikan lingkungan bagi pejabat dan masyarakat untuk menumbuhkan apresiasi terhadap nilai lingkungan yang seringkali tidak dapat dihitung secara ekonomi
136
Gambar 18 Struktur sistem elemen kebutuhan
IV. Independent
III. Linkage
10
2
9
3
7
4,9
6
5
5 6,10
4 7
I. Autonomous
3
II. Dependent
2 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
D river Power
8
8
1
10
Dependence Gambar 19 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen kebutuhan
137 Berdasarkan hasil analisis ISM terlihat bahwa kebutuhan terhadap pengelolaan taman nasional diawali oleh kebutuhan keseimbangan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan berkelanjutan.
Hal ini sejalan dengan
pendapat Bromley (2009) yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memberikan perhatian pada rekayasa proses dinamika aktifitas manusia yang dapat merespon umpan balik dari proses ekologi, baik yang dapat diantisipasi maupun tidak sehingga dapat diupayakan terciptanya keseimbangan lingkungan hidup. Kebutuhan kontribusi ekonomi taman nasional bagi pembangunan daerah tidak mungkin terpenuhi tanpa adanya keseimbangan lingkungan hidup yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Menurut Salim (1993) hutan, termasuk di dalamnya hutan di kawasan taman nasional, dengan berbagai komponen di dalamnya merupakan sumber alam yang berperan dalam pembangunan. Hutan mempunyai berbagai fungsi, diantaranya adalah sebagai sumber penyimpan dan pengatur air, sumber plasma nutfah tumbuhan dan hewan, pengatur iklim, pemelihara kesuburan tanah, sumber energi, dan lainnya. Fungsi-fungsi ini sangat diperlukan untuk mendukung pembangunan sektor lain, seperti sektor pertanian, peternakan maupun perikanan,
sehingga perubahan
fungsi hutan
akan
mempengaruhi sektor tersebut.
Hakekat lingkungan hidup tersimpul pada
kehadiran hubungan timbal balik antara makluk hidup dan unsur di dalamnya. Sektor pertanian merupakan sektor perekonomian yang dominan di wilayah sekitar TNKS.
Dengan demikian ada kebutuhan untuk mempertahankan
interdependensi lingkungan hidup dalam proses pembangunan sektor kehutanan dengan sektor lain, diantaranya sektor pertanian. Jika TNKS mengalami kerusakan maka fungsi ekologisnya akan terganggu. Hilangnya fungsi ekologis TNKS akan menyebabkan kebutuhan sektor pertanian terhadap suplai air, iklim mikro dan kesuburan tanah tidak dapat terpenuhi dan akan menurunkan jumlah dan nilai produksi sektor pertanian. Penurunan ini akan menyebabkan penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
Hal ini
menunjukkan bahwa kebutuhan kontribusi ekonomi taman nasional bagi pembangunan daerah hanya dapat terpenuhi dengan adanya keseimbangan lingkungan hidup.
138 Ketika kebutuhan keseimbangan lingkungan hidup telah terpenuhi maka akan dapat membantu pemenuhan kebutuhan distribusi manfaat yang berkeadilan. Pemenuhan kebutuhan ini sangat diperlukan bagi terciptanya peran serta masyarakat dalam menjaga keutuhan taman nasional. Ketika masyarakat turut berpartisipasi dan disertai adanya koordinasi kelembagaan yang efektif dalam pengelolaan akan menciptakan keberlanjutan pembiayaan. Hal ini dikarenakan adanya efisiensi pendanaan untuk operasional pengamanan. Upaya pengamanan yang harus dilakukakan oleh pengelola intensitasnya dapat dikurangi karena terbantu dari partisipasi masyarakat dan lembaga lain. Efisiensi penggunaan dana selanjutnya dapat digunakan untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan serta pendidikan lingkungan bagi masyarakat dan aparat pemerintah. Jika pendapatan masyarakat telah meningkat maka dapat diharapkan kebutuhan untuk pengentasan kemiskinan akan terpenuhi. 5.2.4 Elemen Tujuan Tujuan pengelolaan taman nasional secara legal dimandatkan untuk melindungi ekosistem, pengawetan sumber daya alam hayati dan pemanfaatan sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya untuk kesejahteraan masyarakat. Selain aspek legal, kebijakan penetapan tujuan pengelolaan memerlukan legitimasi dari pihak-pihak yang berkepentingan agar tercipta dukungan untuk mencapai
tujuan.
Berdasarkan
hasil
diskusi
dengan
pihak-pihak
yang
berkepentingan dan konsultasi pakar, elemen tujuan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan dijabarkan menjadi 12 sub elemen seperti ditampilkan pada Tabel 22. Sedangkan hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar peubah tujuan adalah hubungan pengaruh, yaitu suatu tujuan akan membantu tercapainya tujuan yang lainnya. Struktur hirarki dari dalam elemen yang menggambarkan posisi masing-masing sub elemen disajikan pada Gambar 20. Sedangkan Gambar 21 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver power dan dependence. Sedangkan hasil analisis data ISM dapat dilihat pada Lampiran 7.
139 Struktur hirarki elemen tujuan terdiri dari 7 tingkat. Melindungi ekosistem yang penting untuk kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional dan menjamin terpeliharanya keberadaan dan potensi budaya yang berada pada tingkat 7 merupakan peubah kunci elemen tujuan.
Peubah kunci ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi peubah
pada tingkat di bawahnya. Tabel 22 Elemen tujuan Sub elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Melindungi ekosistem yang penting untuk kesejahteraan masyarakat Melestarikan keanekaragaman hayati Melindungi spesies yang terancam punah dan endemik Menyediakan lokasi wisata alam dan rekreasi Menyediakan wahana untuk penelitian, pendidikan dan pelatihan Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional Menyediakan sumber daya non kayu bagi masyarakat lokal Menyediakan sumber daya hayati untuk menunjang budidaya Menjamin terpeliharanya fungsi hidrologi, keseimbangan ekologi, kesuburan tanah dan kestabilan iklim Memperkuat struktur ekonomi daerah dengan keterkaitan yang kuat dan saling mendukung antar sektor Memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesempatan kerja Menjamin terpeliharanya keberadaan dan potensi budaya
Pengklasifikasian sub elemen tujuan pengelolaan yang didasarkan pada driver power dan dependence menunjukkan bahwa melindungi ekosistem yang penting untuk kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional, menjamin terpeliharanya keberadaan dan potensi budaya, menyediakan wahana untuk penelitian, pendidikan dan pelatihan,
dan
melestarikan keanekaragaman hayati merupakan peubah independent. Sedangkan peubah melindungi spesies yang terancam punah dan endemik, menyediakan lokasi wisata alam dan rekreasi,
menjamin terpeliharanya fungsi hidrologi,
keseimbangan ekologi, kesuburan tanah dan kestabilan iklim, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesempatan kerja, menyediakan sumber daya
140 hayati untuk menunjang budidaya, menyediakan sumber daya non kayu bagi masyarakat lokal dan memperkuat struktur
Gambar 20 Struktur sistem elemen tujuan ekonomi daerah dengan keterkaitan yang kuat dan saling mendukung antar sektor merupakan peubah dependent.
Dalam elemen tujuan ternyata tidak ada sub
elemen yang masuk ke dalam kuadran linkage maupun autonomous. Secara umum hasil pengklasifikasian sub elemen memberikan arti bahwa tujuan untuk melindungi ekosistem yang penting untuk kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional,
menjamin
terpeliharanya keberadaan dan potensi budaya, menyediakan wahana untuk penelitian, pendidikan dan pelatihan, dan melestarikan keanekaragaman hayati
141 merupakan peubah bebas yang mempengaruhi tujuan melindungi spesies yang terancam punah dan endemik, menyediakan lokasi wisata alam dan rekreasi, menjamin terpeliharanya fungsi hidrologi, keseimbangan ekologi, kesuburan tanah dan kestabilan iklim, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesempatan kerja, menyediakan sumber daya hayati untuk menunjang budidaya, menyediakan sumber daya non kayu bagi masyarakat lokal dan memperkuat struktur ekonomi daerah dengan keterkaitan yang kuat dan saling mendukung antar sektor.
1,6,12
12 11
IV. Independent
III. Linkage
5
9 8
2
7 3,4
6
I. Autonomous
9,11
5
II. Dependent
4
8
Driver Power
10
3 7,10
2 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Dependence
Gambar 21 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen tujuan
Berdasarkan hasil analisis ISM, peubah kunci tujuan dalam model pengelolaan taman nasional yang mencakup 1).
melindungi ekosistem yang
penting untuk kesejahteraan masyarakat, 2). meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional, dan 3). menjamin terpeliharanya keberadaan dan potensi budaya merupakan landasan untuk mencapai tujuan yang lain. Ketiga tujuan ini juga saling terkait dan mempengaruhi. Ekosistem taman nasional tidak diragukan lagi dapat memberikan manfaat jasa lingkungan untuk meningkatkan
142 kesejahteraan umat manusia. Pada saat yang sama, sistem ekologi taman nasional juga berinteraksi dengan sistem manusia sehingga pengelolaan taman nasional tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial ekonomi masyarakat setempat. Faktor manusia sering diposisikan sebagai faktor negatif dalam sistem ekologi sehingga pandangan, kebutuhan serta preferensi masyarakat lokal sering diabaikan dalam implementasi kebijakan konservasi.
Akomodasi kebutuhan dan aspirasi
masyarakat lokal sebenarnya dapat mendukung perlindungan ekosistem taman nasional (Castillo et al. 2005). Namun demikian, pengakomodasian ini harus memperhatikan kesehatan ekosistem taman nasional sebagai batas maksimal pemanfaatan taman nasional. Sistem pengelolaan perlu menjaga keseimbangan pemanfaatan dengan daya dukung dan menjamin partisipasi masyarakat lokal secara dinamis untuk mendukung pembangunan ekonomi (Mbile 2005). Dalam pengelolaan taman nasional terdapat dua aspek yang telah terbukti penting untuk diperhatikan (Wells & Sharma 1998).
Pertama adalah rekonsiliasi antara
kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional. Kedua adalah rekonsiliasi peluang ekonomi pemanfaatan taman nasional, seperti pariwisata alam dengan dampak ekologi yang mungkin timbul dari pemanfaatan tersebut. Keberadaan dan potensi budaya masyarakat adat yang terbukti mampu melindungi kawasan luas yang pada intinya merupakan ekosistem alam dan memungut sumber daya terpulihkan dari lingkungan dengan prinsip pada hasil yang berkelanjutan, menurut MacKinnon et al. (1986) dapat melindungi ekosistem yang penting dan sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat. Pengelola taman nasional dapat belajar banyak mengenai pelestarian dan pemanfaatan sumber daya, sedangkan kawasan pelestarian alam dapat memberi peluang bagi budaya masyarakat adat untuk tetap bertahan. Keberadaan dan potensi budaya lokal akan membantu tujuan penyediaan lokasi wisata dan rekreasi, yang selanjutnya akan dapat memperluas dan meningkatkan kesempatan kerja jika sektor pariwisata sudah berkembang.
143 Terpeliharanya ekosistem, keberadaan dan potensi budaya lokal akan dapat menyediakan wahana untuk penelitian, pendidikan dan latihan.
Sedangkan
perlindungan ekosistem secara langsung juga akan mengawetkan keanekaragaman hayati, yang selanjutnya akan melindungi spesies yang terancam punah dan endemik.
Di samping itu, pelestarian keanekaragaman hayati juga akan
mendukung tujuan penyediaan sumber daya hayati untuk menunjang budidaya, dan selanjutnya akan mendukung pemenuhan tujuan penyediaan sumber daya non kayu bagi masyarakat.
Penyediaan sumber daya non kayu diharapkan akan
memperkuat struktur ekonomi daerah.
Menurut Rodriguez et al. (2007) dan
Nicholson et al. (2009) kajian status ekosistem yang hanya didasarkan pada spesies
kurang
dapat
menjamin
konservasi
keseluruhan
komponen
keanekaragaman hayati karena akan mengeliminasi spesies yang belum diketahui atau masih sedikit dipahami.
Pemeliharaan ekosistem yang didasarkan pada
komunitas ekologi akan memastikan keberlangsungan proses dan pola ekologi, seperti komposisi spesies, interaksi antar spesies dan lingkungannya dan proses biotik dan abiotik. Terpeliharanya fungsi hidrologi, keseimbangan ekologi, kesuburan tanah dan kestabilan iklim akan akan mendukung pertumbuhan sektor lain seperti pertanian, perikanan dan peternakan sehingga akhirnya akan dapat memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesempatan kerja. Kedua tujuan ini selanjutnya akan memperkuat struktur ekonomi daerah dan saling mendukung antar sektor. 5.2.5 Elemen Kendala Utama Elemen kendala utama pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan dijabarkan menjadi 12 sub elemen seperti ditampilkan pada Tabel 23. Sedangkan hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar peubah kendala utama adalah hubungan pengaruh, yaitu eliminasi suatu kendala utama akan membantu mengurangi kendala yang lainnya. Struktur hirarki dari dalam elemen yang menggambarkan posisi masing-masing sub elemen disajikan dalam Gambar 22.
Sedangkan Gambar 23 menunjukkan klasifikasi masing-
masing sub elemen berdasarkan driver power dan dependence. Sedangkan hasil analisis data ISM dapat dilihat pada Lampiran 8.
144 Struktur hirarki elemen kendala utama terdiri dari 7 tingkat. Kurangnya koordinasi dalam pengelolaan taman nasional yang berada pada tingkat 7 merupakan peubah kunci elemen kendala utama.
Peubah kunci ini menjadi
penggerak utama dan mempengaruhi peubah pada tingkat di bawahnya. Pengklasifikasian sub elemen kendala utama yang didasarkan pada driver power dan dependence menunjukkan bahwa kurangnya koordinasi dalam pengelolaan taman nasional, rendahnya pendapatan masyarakat lokal di sekitar taman nasional, rendahnya pengetahuan manfaat dan kepedulian masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal di sekitar taman nasional, dan keterbatasan peluang kegiatan ekonomi alternatif di sekitar kawasan taman nasional merupakan peubah independent. Sedangkan peubah keterbatasan jumlah dan kualitas sumber daya manusia untuk pengamanan dan pengelolaan taman nasional, kurangnya pengetahuan/kesadaran pejabat Pemda terhadap pentingnya taman nasional, keterbatasan dana pengelolaan taman nasional, tingginya kebutuhan
lahan
untuk
kehidupan
masyarakat,
tingginya
biaya
untuk
mengamankan keutuhan taman nasional, kurangnya pemahaman peran sosial dari taman nasional dan keterbatasan pendapatan asli daerah merupakan peubah dependent. Dalam elemen kendala utama ternyata tidak ada sub elemen yang masuk ke dalam kuadran linkage maupun autonomous. Secara umum hasil pengklasifikasian sub elemen memberikan arti bahwa kendala utama kurangnya koordinasi dalam pengelolaan taman nasional, rendahnya pendapatan masyarakat lokal di sekitar taman nasional, rendahnya pengetahuan manfaat dan kepedulian masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal di sekitar taman nasional, dan keterbatasan peluang kegiatan ekonomi alternatif di sekitar kawasan taman nasional merupakan peubah bebas yang mempengaruhi kendala keterbatasan jumlah dan kualitas sumber daya manusia untuk pengamanan dan pengelolaan taman nasional, kurangnya pengetahuan/kesadaran pejabat Pemda terhadap pentingnya taman nasional, keterbatasan dana pengelolaan taman nasional, tingginya kebutuhan lahan untuk kehidupan masyarakat, tingginya biaya untuk mengamankan keutuhan taman
145 nasional,
kurangnya pemahaman peran sosial dari taman nasional dan
keterbatasan pendapatan asli daerah.
Tabel 23 Elemen kendala utama Sub elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Keterbatasan dana pengelolaan taman nasional Keterbatasan jumlah dan kualitas sumber daya manusia untuk pengamanan dan pengelolaan taman nasional Keterbatasan pendapatan asli daerah Keterbatasan peluang kegiatan ekonomi alternatif di sekitar kawasan taman nasional Rendahnya pengetahuan manfaat dan kepedulian masyarakat Rendahnya pendapatan masyarakat lokal di sekitar taman nasional Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal di sekitar taman nasional Tingginya biaya untuk mengamankan keutuhan taman nasional Tingginya kebutuhan lahan untuk kehidupan masyarakat Kurangnya pengetahuan/kesadaran pejabat Pemda terhadap pentingnya taman nasional Kurangnya pemahaman peran sosial dari taman nasional Kurangnya koordinasi dalam pengelolaan taman nasional
Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
koordinasi
dalam
pengelolaan
merupakan peubah kunci. Peubah ini menjadi penggerak utama bagi perbaikan pengelolaan jika kendala ini dapat diatasi. Secara langsung, perbaikan koordinasi akan dapat membantu mengatasi kendala rendahnya kesejahteraan masyarakat lokal dan pengetahuan manfaat serta kepedulian masyarakat. Koordinasi perlu dilakukan antara pengelola taman nasional dengan lembaga lain, yaitu Pemerintah Kabupaten dan dinas terkait, masyarakat lokal dan adat, dan perguruan tinggi yang memiliki penggerak besar untuk meningkatkan kinerja pengelolaan. Ketika telah terjadi kesepakatan tentang tujuan pengelolaan maka dapat disusun kembali kegiatan-kegiatan yang saling bergantung dari masing-masing lembaga untuk mencapai tujuan. Koordinasi tidak lain dari suatu proses yang mengelola saling ketergantungan dari berbagai akftifitas.
Ketergantungan dapat terjadi karena
adanya hubungan produsen/konsumen, berbagi sumber daya, kendala maupun tugas (Malone & Crowston 1994).
146
Gambar 22 Struktur sistem elemen kendala utama
12
12
11 IV. Independent
III. Linkage
9 8
7 4
7 6
2,10 I. Autonomous
1,9
5
II. Dependent
4
D river Power
10
5,6
3 3,8,11
2 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Dependence
Gambar 23 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen kendala
147 Upaya untuk menanggulangi kendala kurangnya koordinasi dapat diuraikan berdasarkan tugas, sumber daya dan aktifitas sehingga koordinasi sebenarnya bersifat kontekstual.
Jika koordinasi akan ditingkatkan dalam rangka
meningkatkan pengetahuan manfaat dan kepedulian masyarakat maka pengelola dapat melakukan melalui perencanaan strategik dengan lembaga lain yang mempunyai tugas sejenis. Demikian juga jika pengelola akan melakukan upaya peningkatan pendapatan masyarakat lokal maka dapat dilakukan bersama dengan lembaga-lembaga lain melalui berbagi sumber daya (sharing resources), misalnya melalui pengembangan usaha pariwisata alam bagi usaha mikro, kecil dan koperasi.
Koordinasi dan kerjasama dengan lembaga lain dapat berbentuk
hubungan kelembagaan pada tahap perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, maupun evaluasi program. 5.2.6 Elemen Perubahan yang Dimungkinkan Elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pengelolaan taman nasional agar berkelanjutan diuraikan menjadi 16 sub elemen seperti ditampilkan pada Tabel 24. Sedangkan hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar peubah perubahan yang dimungkinkan adalah hubungan pengaruh, yaitu realisasi suatu perubahan yang dimungkinkan akan membantu merealisasikan perubahan yang lainnya. Struktur hirarki dari dalam elemen yang menggambarkan posisi masing-masing sub elemen disajikan dalam Gambar 24. Sedangkan Gambar 25 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver power dan dependence.
Sedangkan hasil analisis data ISM
dapat dilihat pada Lampiran 9. Struktur hirarki elemen perubahan yang dimungkinkan terdiri dari 7 tingkat. Peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk pemanfaatan terbatas yang berada pada tingkat tujuh merupakan peubah kunci dari elemen perubahan yang dimungkinkan. Peubah kunci ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi peubah pada tingkat di bawahnya. Pengklasifikasian sub elemen perubahan yang dimungkinkan didasarkan pada driver power dan dependence menunjukkan bahwa peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk pemanfaatan terbatas, peningkatan
148 manfaat ekonomi taman nasional untuk menunjang pembangunan daerah, peningkatan kegiatan investasi di sektor pariwisata alam, peningkatan peran serta masyarakat dalam menjaga keutuhan taman nasional, pengembangan ekonomi pedesaan sehingga mampu menyerap tenaga kerja di sekitar kawasan taman nasional, pengembangan usaha mikro, kecil dan koperasi pada sektor pariwisata, pertanian, kehutanan, yang dapat memberikan alternatif sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar taman nasional dan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani dan pekebun di sekitar kawasan taman nasional merupakan peubah independent. Sedangkan peubah pengurangan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya lahan taman nasional, pengembangan kebutuhan dan pasar wisata alam, pengembangan investasi dan kegiatan jasa pendukung pariwisata alam, penurunan kegiatan ilegal (pembalakan, perburuan liar dan konversi lahan pertanian),
peningkatan pendapatan
pengusaha dan
tenaga kerja pariwisata, kehutanan non kayu dan pertanian, peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan bioprospecting untuk menunjang kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan daerah, dan penurunan tingkat atau angka kemiskinan di daerah merupakan peubah dependent. Dalam elemen perubahan yang dimungkinkan, pengembangan penerapan budidaya pertanian yang berbasis pada teknologi ramah lingkungan masuk ke dalam kuadran autonomous. Secara umum hasil pengklasifikasian sub elemen perubahan memberikan arti bahwa
peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk
pemanfaatan terbatas, peningkatan manfaat ekonomi taman nasional untuk menunjang pembangunan daerah, peningkatan kegiatan investasi di sektor pariwisata alam, peningkatan peran serta masyarakat dalam menjaga keutuhan taman nasional, pengembangan ekonomi pedesaan sehingga mampu menyerap tenaga kerja di sekitar kawasan taman nasional, pengembangan usaha mikro, kecil dan koperasi pada sektor pariwisata, pertanian, kehutanan, yang dapat memberikan alternatif sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar taman nasional dan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani dan pekebun di sekitar kawasan taman nasionalyang merupakan peubah bebas yang mempengaruhi pengurangan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber
149 daya lahan taman nasional, pengembangan kebutuhan dan pasar wisata alam, pengembangan investasi dan kegiatan jasa pendukung pariwisata alam, penurunan kegiatan ilegal (pembalakan, perburuan liar dan konversi lahan pertanian),
peningkatan pendapatan
pengusaha dan tenaga kerja pariwisata,
kehutanan non kayu dan pertanian, peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan bioprospecting untuk menunjang kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan daerah, dan penurunan tingkat atau angka kemiskinan di daerah. Tabel 24 Elemen perubahan yang dimungkinkan Sub elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16
Peningkatan manfaat ekonomi taman nasional untuk menunjang pembangunan daerah Peningkatan kegiatan investasi di sektor pariwisata alam Peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan bioprospecting untuk menunjang kesejahteraan masyarakat Penurunan kegiatan ilegal (pembalakan, perburuan liar dan konversi lahan pertanian) Pengurangan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya lahan taman nasional Peningkatan peran serta masyarakat dalam menjaga keutuhan TN Pengembangan kebutuhan dan pasar wisata alam Peningkatan pendapatan daerah Penurunan tingkat atau angka kemiskinan di daerah Pengembangan ekonomi pedesaan sehingga mampu menyerap tenaga kerja di sekitar kawasan taman nasional Pengembangan usaha mikro, kecil dan koperasi pada sektor pariwisata, pertanian, kehutanan, yang dapat memberikan alternatif sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar taman nasional Pengembangan investasi dan kegiatan jasa pendukung pariwisata alam Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani dan pekebun di sekitar kawasan taman nasional Peningkatan pendapatan pengusaha dan tenaga kerja pariwisata, kehutanan non kayu dan pertanian Pengembangan penerapan budidaya pertanian yang berbasis pada teknologi ramah lingkungan Peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk pemanfaatan "terbatas"
150
Gambar 24 Struktur sistem elemen perubahan yang dimungkinkan
151 16
16 1,2,6
15 14
IV. Independent
III. Linkage
13
10,11,13
11 10 9
15
8 5,7
7
Driver Power
12
6 12 I. Autonomous
5
II. Dependent
4 3
4,14
2 3,8,9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
10 11 12 13 14 15 16
Dependence
Gambar 25 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen perubahan yang dimungkinkan 5.2.7 Elemen Kegiatan yang Diperlukan Elemen kegiatan yang diperlukan dalam pengelolaan taman nasional agar dapat berkelanjutan diuraikan menjadi 10 sub elemen seperti ditampilkan pada Tabel 25.
Struktur hirarki dari dalam elemen yang menggambarkan posisi
masing-masing sub elemen disajikan dalam Gambar 26. Sedangkan Gambar 27 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver power dan dependence. Hasil analisis data ISM dapat dilihat pada Lampiran 10. Struktur hirarki elemen kegiatan yang diperlukan terdiri dari 3 tingkat. Kegiatan peningkatan pengetahuan manfaat dan kepedulian masyarakat dan peningkatan pendapatan masyarakat lokal di sekitar taman nasional yang berada pada tingkat tiga merupakan peubah kunci dari elemen kegiatan yang diperlukan. Peubah kunci ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi peubah pada tingkat di bawahnya.
152 Pengklasifikasian sub elemen kegiatan yang diperlukan berdasarkan pada driver power dan dependence menunjukkan bahwa kegiatan peningkatan pengetahuan manfaat dan kepedulian masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat lokal, pengembangan peluang kegiatan ekonomi alternatif, dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan taman nasional merupakan peubah independent. Sedangkan peubah peningkatan kerjasama pengelolaan taman nasional dengan dunia uasaha dan pemerintah daerah, peningkatan dan pengembangan pemanfaatan sumber daya hayati taman nasional, peningkatan
pengetahuan/kesadaran
pejabat/pegawai
pemerintah
daerah,
pemberdayaan organisasi pengelola taman nasional, pemberdayaan penduduk miskin di sekitar kawasan taman nasional, dan pengembangan dan penguatan usaha mikro, kecil dan koperasi di sekitar kawasan merupakan peubah dependent. Dalam elemen kegiatan yang diperlukan, tidak ada sub elemen yang masuk ke dalam kuadran autonomous. Secara umum hasil pengklasifikasian sub elemen kegiatan yang diperlukan memberikan arti bahwa
kegiatan peningkatan pengetahuan manfaat dan
kepedulian masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat lokal, pengembangan peluang kegiatan ekonomi alternatif, dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan taman nasional merupakan peubah bebas yang mempengaruhi peningkatan kerjasama pengelolaan taman nasional dengan dunia uasaha dan pemerintah daerah, peningkatan dan pengembangan pemanfaatan sumber daya hayati taman nasional,
peningkatan pengetahuan/kesadaran pejabat/pegawai
pemerintah daerah, pemberdayaan organisasi pengelola taman nasional, pemberdayaan penduduk miskin di sekitar kawasan taman nasional, dan pengembangan dan penguatan usaha mikro, kecil dan koperasi di sekitar kawasan.
153 Tabel 25 Elemen kegiatan yang diperlukan Sub elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pemberdayaan organisasi pengelola taman nasional Pemberdayaan penduduk miskin di sekitar kawasan taman nasional Pengembangan dan penguatan usaha mikro, kecil dan koperasi di sekitar kawasan taman nasional Pengembangan peluang kegiatan ekonomi alternatif di sekitar kawasan taman nasional Peningkatan pengetahuan manfaat dan kepedulian masyarakat terhadap taman nasional Peningkatan pendapatan masyarakat lokal di sekitar taman nasional Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan taman nasional Peningkatan kerjasama pengelolaan taman nasional dengan dunia uasaha dan pemerintah daerah Peningkatan dan pengembangan pemanfaatan sumber daya hayati taman nasional Peningkatan pengetahuan/kesadaran pejabat/pegawai pemerintah daerah
Gambar 26 Struktur sistem elemen kegiatan yang diperlukan
154 5,6
10 9 8 III. Linkage
7
4,7
6 5 II. Dependent
I. Autonomous
4
1,2,3,8,9,10
3
Driver Power
IV. Independent
2 1 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Dependence
Gambar 27 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen kegiatan yang diperlukan
5.3
Sistem Dinamik Variabel-variabel yang telah teridentifikasi melalui metode soft system dan
mempengaruhi sistem dikembangkan ke dalam model dinamik. Diagram simpal kausal (Gambar 28) menunjukkan keterkaitan variabel tersebut, sedangkan diagran alir dan persamaan powersim dapat dilihat pada Gambar 37. Diagram ini merupakan integrasi dari sub-sistem ekologi, sosial dan ekonomi. Sub-sistem ekologi terdiri dari variabel rehabilitasi lahan, tingkat kerusakan taman nasional, tingkat kesehatan ekosistem dan manfaat taman nasional.
Sub-sistem sosial
diwakili oleh variabel jumlah penduduk, tenaga kerja,
pengetahuan dan
partisipasi. Sedangkan sub-sistem ekonomi meliputi tingkat investasi pedesaan, jumlah koperasi, usaha mikro dan kecil, luas kepemilikan lahan, mata pencaharian alternatif dan pendapatan masyarakat. Keluaran dari sistem pengelolaan adalah pendapatan masyarakat, tingkat kesehatan ekosistem dan partisipasi masyarakat. Hasil proyeksi dari variabel tersebut ditunjukkan pada Gambar 29, pada tahun 2028 terlihat bahwa kesehatan ekosistem turun menjadi sedang dan pendapatan Rp.87 318 000.- per tahun jika pengelolaan dilakukan seperti saat sekarang dengan tingkat partisipasi sangat rendah.
155
+
Partisipasi +
Pengetahuan Angkatan Kerja
Jumlah Penduduk -
+
Rehabilitasi Hutan
+
+
+ +
Kebutuhan Lahan Budidaya
-
Penyerapan Tenaga Kerja
-
+ +
+
Tingkat Kesehatan Ekosistem
Tingkat Kerusakan +
-
+
Pengamanan Perambahan -
+
Luas Kepemilikan Lahan
+
+
-
Pendapatan Masyarakat
Dana Pengelolaan dan pengamanan
+
-
Manfaat Taman Nasional
Mata Pencaharian Alternatif
Tingkat Investasi Pedesaan
+ +
+
Jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi
Gambar 28 Diagram simpal kausal sistem pengelolaan integratif
+
156 1
7
2
88,000,000
3
1
1
6
2
70,800,000
3
1
1
6
2
53,600,000
3
1
1
1
3
1 2 3 1
1 1
5
2
36,400,000
3
1
1
5
2
19,200,000
3
1
1
4
2
2,000,000
3
1
2 3 3
3 23 2,000
Pendapatan_Masy Partisipasi
12
2
3
Kes_Ekosistem
1
2
2
2,005
2,010
2,015
2,020
2,025
Waktu
Gambar 29 Proyeksi partisipasi, pendapatan masyarakat dan kesehatan ekosistem Sistem pengelolaan yang direpresentasikan dalam diagram simpal kausal model dinamik tidak menyertakan variabel perubahan iklim.
Sebenarnya
perubahan iklim memiliki sejumlah implikasi terhadap pengelolaan taman nasional. Perubahan iklim akan berdampak terhadap taman nasional. Perubahan iklim akan menyebabkan perubahan keanekaragaman hayati
sehingga akan
memberikan konsekuensi pertanyaan apa yang harus dilindungi dan diawetkan dalam kawasan taman nasional terkait perubahan iklim (Welch 2005).
Potensi
dampak perubahan iklim terhadap taman nasional karenanya memerlukan pemikiran ulang yang mendasar dalam pendekatan perlindungan karena sumberdaya alam hayati yang dilindunginya mungkin tidak akan selamat lagi akibat perubahan iklim. Kondisi yang mungkin akan dihadapi oleh pengelola taman nasional terkait perubahan iklim adalah peningkatan laju kepunahan spesies yang semakin meningkat dan berfluktuasi secara tidak alami. Konsekuensi dari perubahan iklim terhadap taman nasional seyogyanya menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan sumber daya taman nasional.
157 Berdasarkan hasil proyeksi model dinamik terlihat bahwa pengelolaan saat ini kurang efektif untuk mencapai tujuan konservasi yang diindikasikan dengan kecenderungan
penurunan
kesehatan
ekosistem
dalam
jangka
panjang.
Kecenderungan penurunan kesehatan ekosistem juga akan mengurangi daya dukung kawasan untuk memberikan subsidi ekologi bagi pertumbuhan ekonomi, khususnya bagi sektor pertanian. Sehingga meskipun kecenderungan pendapatan masyarakat meningkat dalam jangka panjang, peningkatan ini kurang optimal akibat
adanya penurunan subsidi ekologi.
Menurut Darusman dan Widada
(2004), semakin tinggi kinerja ekosistem kawasan taman nasional akan memberikan peluang ekonomi yang tinggi karena banyaknya sumber daya ekonomi yang tersedia. Sumber daya ekonomi ini antara lain berupa sumber daya alam hayati yang melimpah, baik jenis-jenis tumbuhan maupun satwa dan jasa lingkungan yang berkualitas tinggi. Adanya peluang ekonomi yang tinggi berarti juga menciptakan peluang berusaha dalam industri jasa lingkungan (ecobusiness). Namun sebaliknya jika kinerja ekosistem rendah maka sumber daya ekonomi yang tersedia akan turun sehingga peningkatan pendapatan masyarakat kurang optimal. Di samping itu, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang manfaat konservasi dan pada saat yang sama tidak merasakan manfaat ekonomi secara langsung diduga mengakibatkan tingkat partisipasi sangat rendah dan cenderung tidak meningkat dalam jangka panjang. Menurut Darusman dan Widada (2004) peningkatan pengetahuan saja belum tentu akan meningkatkan kepedulian dalam mendukung upaya konservasi yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi untuk menjaga dan melestarikan kawasan taman nasional.
Hal ini disebabkan
masyarakat memerlukan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kelangsungan kehidupannya. Kondisi dilematis ini yang akhirnya menyebabkan masih adanya aktivitas yang sifatnya negatif bagi upaya konservasi dan mengakibatkan degradasi ekosistem. Belum adanya kelembagaan untuk berpartisipasi dan lemahnya koordinasi diduga juga berkontribusi terhadap
158 rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam mendukung taman nasional. Kondisi ini mendorong perlunya pengembangan kebijakan yang memungkinkan untuk mempertahankan kecenderungan kesehatan ekosistem pada kisaran baik sampai sangat baik, terciptanya industri jasa lingkungan yang dapat meningkatkan pendapatan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional agar berkelanjutan.
6 6.1
MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
Sistem Pengelolaan Taman Nasional Taman nasional dapat memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung
melalui subsidi ekologi dalam perekonomian daerah di sekitar TNKS. Subsidi ekologi yang mendukung pertumbuhan sektor pertanian berupa penyediaan suplai air domestik dan pertanian, pengaturan iklim mikro, pengendalian banjir dan siklus unsur hara. Nilai ketergantungan sektor pertanian berdasarkan perhitungan pada tahun 2000 di Kabupaten Kerinci berkisar antara Rp.72 miliar sampai Rp. 256 miliar per tahun dan Kabupaten Lebong/Rejang Lebong berkisar antara Rp.151 – Rp.542 miliar per tahun (Efendi 2001).
Subsidi ekologi ini
menggambarkan bahwa kerusakan TNKS akan menyebabkan kerugian berupa penurunan output pertanian dan PDRB sejumlah nilai tersebut. Sehingga secara langsung sebenarnya subsidi ini telah dinikmati oleh masyarakat lokal yang memiliki
akses terhadap sumber daya lahan, baik memiliki atau menyewa.
Namun, karena 58% masyarakat lokal tidak memiliki lahan sehingga dapat dikatakan belum merasakan manfaat ekonomi secara langsung dari TNKS. Pada dasarnya TNKS memiliki tiga manfaat, yang pertama adalah manfaat dari penggunaan langsung, seperti sumber daya kayu dan non kayu serta lahan. Manfaat yang kedua berasal dari penggunaan tidak langsung, seperti fungsi ekologis, pengaturan hidrologi dan siklus hara. Manfaat yang ketiga merupakan manfaat yang berasal dari nilai pilihan dan keberadaan, seperti keanekaragaman hayati, habitat dan spesies. Ketiga manfaat ini tidak mungkin diperoleh secara bersama-sama. Manfaat kedua dan ketiga hanya mungkin terealisasi jika manfaat pertama dikonsumsi secara berkelanjutan. Jika sumber daya kayu dipanen dan lahan dialih fungsikan untuk pertanian maka manfaat lain akan menurun dan bahkan hilang. Oleh karena itu, manfaat lain tersebut seperti fungsi ekologis tidak mungkin diperoleh oleh masyarakat secara luas dan Pemerintah Daerah.
Di
samping itu, dampak menurunnya fungsi ekologis TNKS juga berarti menurunnya kemampuan mengatur hidroorologi kawasan sehingga berpotensi meningkatkan resiko terjadinya bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor.
Pemulihan
dampak bencana alam selanjutnya akan mengurangi alokasi dana untuk kegiatan
160 lain sehingga akan menyebabkan efek pengganda yang akan ditanggung dan dirasakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun, tingginya kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya lahan karena mayoritas masyarakat masih bergantung pada sektor pertanian dan kurangnya alternatif sumber penghidupan lain menyebabkan terjadinya aktifitas perambahan lahan kawasan TNKS dan juga kegiatan ilegal lainnya.
Pendekatan pengelolaan yang lebih mengedepankan
aspek pengamanan kawasan dapat kurang efektif untuk menanggulangi kerusakan kawasan akibat perambahan karena adanya keterbatasan dana, sarana prasarana dan personil pengaman.
Pengelolaan taman nasional seyogyanya dilakukan
secara integratif melalui harmonisasi aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Aspek ekonomi dapat diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek bagi masyarakat lokal sebatas daya dukung lingkungan dan manfaat jangka panjang bagi masyarakat luas.
Pemenuhan kebutuhan ini akan
memberikan dampak penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap taman nasional (aspek sosial) yang selanjutnya akan memelihara aspek ekologi kawasan taman nasional. Berdasarkan hasil pengamatan, analisis situasional dan ISM yang telah dilakukan maka sistem pengelolaan taman nasional agar dapat berkelanjutan didefinisikan (root definition) sebagai sistem yang mengelola kesehatan ekosistem agar dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara berkelanjutan untuk masyarakat lokal, nasional dan internasional melalui upaya kemitraan dengan para pihak yang memungkinkan terciptanya alternatif mata pencaharian bagi masyarakat lokal dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Gambar 30). Pengembangan pemanfaatan sumber daya taman nasional yang dapat menyediakan alternatif mata pencaharian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan akan mengurangi kegiatan ilegal. Dampak lebih lanjut, kesehatan ekosistem akan terjaga.
Pemanfaatan sumber daya taman
nasional juga dibatasi oleh status kesehatan ekosistem. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan ini tidak boleh melebihi kemampuan daya pulih dari ekosistem terhadap gangguan akibat pemanfaatan oleh manusia. Penciptaan alternatif mata
161 pencaharian dan pemeliharaan ekosistem dilakukan secara bersama antara pengelola dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi dan dunia usaha sehingga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat lokal dan sekaligus dapat mengurangi persoalan keterbatasan dana dan personil pengamanan yang dihadapi pengelola. Saling ketergantungan ini akhirnya akan menciptakan sinergi yang dapat mendukung pencapaian tujuan konservasi taman nasional.
Aspek Ekologi: Kesehatan ekosistem
Aspek Sosial: Partisipasi
Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berkelanjutan
Aspek Ekonomi: Mata pencaharian Alternatif
Gambar 30 Sistem manajemen lingkungan pengelolaan taman nasional
6.2
Model Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Berkelanjutan Kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon terhadap masalah publik.
Keberlanjutan
taman
nasional
merupakan
salah
satu
masalah
publik.
Pengembangan kebijakan agar pengelolaan taman nasional dapat berkelanjutan sangat kompleks karena melibatkan beberapa stakeholder kunci, yaitu Pemerintah Pusat/pengelola, Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, perguruan tinggi dan pelaku usaha.
Masing-masing stakeholder mempunyai prioritas kebutuhan
dengan tingkat kepentingan yang berbeda. Di samping itu, pengelolaan taman
162 nasional bersifat dinamis dan memiliki tingkat ketidak pastian yang tinggi sehingga diperlukan pendekatan sistem dalam pengembangan kebijakan pengelolaan untuk mengurangi dampak kegagalan kebijakan. Perumusan
kebijakan strategis pengelolaan taman nasional yang
berkelanjutan mengacu pada lima tema pembangunan berkelanjutan COMHAR (2007) seperti disajikan pada Gambar 31. Lima tema ini meliputi pengambilan keputusan yang baik (good decision making), berkeadilan sosial (social equity), berkeadilan antar generasi (equity between generations), pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya secara efisien (satisfaction of human needs by the efficient use of resources), dan penghargaan terhadap integritas ekosistem dan keanekaragaman hayati (respect for ecological integrity and biodiversity).
Gambar 31 Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007)
163 Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional dilandasi oleh good decision making dan social equity. Untuk mendapatkan pengambilan keputusan yang tepat dalam perumusan kebijakan maka diperlukan partisipasi stakeholder dalam proses perumusan.
Di samping itu perumusan kebijakan juga
mempertimbangkan aspek keadilan sosial sehingga kebijakan pengelolaan bersifat inklusif yang memberikan manfaat secara adil bagi semua pihak. Kebijakan yang dibangun juga memungkinkan untuk berlangsungnya partisipasi stakeholder dan pendelegasian pengambilan keputusan.
Kebijakan yang dirumuskan dirancang
bangun untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya taman nasional secara efisien tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memperoleh manfaat yang sama. Aktifitas pemenuhan kebutuhan manusia ini dilakukan tanpa mengorbankan atau dibatasi oleh integritas ekosistem dan keanekaragaman hayati taman nasional. Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional berdasarkan konsep keberlanjutan tersebut merupakan upaya perumusan solusi permasalahan dalam pengelolaan taman nasional.
Aktivitas masyarakat yang menimbulkan
permasalahan, seperti perambahan taman nasional berpotensi mengakibatkan penurunan integritas ekosistem dan kepunahan sumber daya alam hayati. Berdasarkan
konsep
pembangunan
keberlanjutan,
permasalahan
tersebut
diselesaikan tidak hanya melalui pendekatan pengamanan saja melainkan juga diperlukan penyelesaian yang lebih holistik dan berkeadilan sosial melalui kebijakan dengan melibatkan Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, perguruan tinggi dan dunia usaha untuk mencapai tujuan pengelolaan. Oleh karena itu, pengembangan kebijakan ini merupakan kebijakan yang baru atau memodifikasi produk hukum lama berdasarkan hasil analisis dan sintesis terhadap kebijakan strategis dan operasional pengelolaan taman nasional yang berlaku. Penyusunan kebijakan didasarkan atas asumsi dari hasil analisis SAST, yaitu: 1) Pemerintah Daerah, akademisi dan LSM memiliki komitmen tinggi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat, 2) pembangunan ekonomi dilaksanakan secara berkeadilan yang didukung kesepahaman serta kesadaran masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap peran penting
164 jasa lingkungan, dan 3) ketersediaan dana dan tenaga pendampingan serta kesamaan pandang terhadap peran sumber daya alam dalam pembangunan. Sedangkan pengembangan kebijakannya sendiri didasarkan atas hasil ISM elemen tujuan terlindunginya ekosistem dan keanekaragaman hayati serta bertambahnya pendapatan masyarakat digunakan sebagai tujuan khusus pengelolaan taman nasional. Elemen lembaga yang terlibat atau stakeholder yang digunakan dalam kebijakan adalah lembaga yang merupakan variabel kunci. dengan
daya
pendorong besar dari
elemen
kendala,
Sedangkan variabel perubahan
yang
dimungkinkan dan kegiatan yang diperlukan digunakan sebagai intervensi kebijakan. Identifikasi faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan pengelolaan taman nasional dilakukan melalui sintesis dari hasil pengamatan dan analisis yang telah dilakukan. Faktor ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Internal Manajemen Internal manajemen sangat menentukan tingkat keberhasilan pengelolaan karena mempengaruhi alokasi dan pemanfaatan sumber daya, khususnya dana dan personalia, maupun sumber daya alam. Peningkatan manfaat ekonomi, baik langsung maupun tidak langsung sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dunia usaha maupun Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pengelola dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi kebutuhan para pihak melalui pengelolaan sumber daya taman nasional secara efektif. 2) Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Faktor ini menentukan keberlanjutan pengelolaan karena kemungkinan pengaruh tekanan populasi penduduk, kondisi ekonomi, persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional.
Faktor ini dapat
menumbuhkan dukungan terhadap upaya konservasi maupun berdampak negatif seperti pencurian sumber daya hayati dan perambahan lahan. 3) Kondisi Fisik Kawasan Kondisi fisik kawasan sangat menentukan kemampuan taman nasional dalam memberikan manfaat bagi umat manusia. Hal yang termasuk dalam faktor ini adalah kondisi keanekaragaman sumber daya alam hayati, termasuk
165 keragaman genetik, spesies, jenis, ekosistem serta habitat.
Kondisi fisik
kawasan yang direpresentasikan oleh penutupan hutan menunjukkan kecenderungan yang menurun. 4) Partisipasi Masyarakat Faktor ini sangat menentukan tingkat dukungan masyarakat terhadap upaya konservasi dan taman nasional. Pengamatan lapang 5) Kebijakan Sektoral/daerah Kebijakan sektoral dan daerah dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap pengelolaan taman nasional. Alternatif kebijakan yang telah dibangun berdasarkan hasil ISM mengacu pada faktor-faktor yang menentukan pengelolaan taman nasional agar dapat berkelanjutan. Alternatif kebijakan tersebut pada prinsipnya untuk mewujudkan dan melingkupi: 1). kegiatan yang memang perlu dilakukan, 2). kegiatan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi kendala utama yang menghambat pencapaian tujuan sistem pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah, dan 3). kegiatan yang dapat mengisi peluang perubahan yang dimungkinkan agar taman nasional dapat berkelanjutan. Arahan kebijakan-kebijakan tersebut mencakup: 1) Peningkatan pengetahuan tentang manfaat dan kepedulian masyarakat terhadap taman nasional, 2) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar taman nasional, 3) Peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk pemanfaatan terbatas, 4) Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan taman nasional, 5) Peningkatan
manfaat
ekonomi
taman
nasional
untuk
menunjang
pembangunan daerah, 6) Peningkatan kegiatan investasi yang ramah lingkungan dan manusia di sektor pariwisata alam, 7) Peningkatan koordinasi dalam pengelolaan taman nasional.
166 Berdasarkan arahan ini dan tujuan pengelolaan maka alternatif kebijakan yang dibangun dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Penguatan kelembagaan pengelolaan Ruang lingkup kebijakan ini dimaksudkan untuk perbaikan koordinasi sehingga dapat meningkatkan efektifitas manajemen taman nasional. Koordinasi tidak hanya terfokus pada tingkat perencanaan, implementasi maupun monitoring kegiatan pengelolaan, melainkan juga untuk sinkronisasi pada tingkatan kebijakan daerah dan sektoral. Peningkatan efektifitas manajemen diharapkan dapat meningkatkan manfaat ekonomi taman nasional secara langsung untuk menunjang pembangunan daerah.
Penguatan
kelembagaan juga akan mengatasi kendala keterbatasan dan alokasi pemanfaatan dana pengelolaan. 2) Pengentasan kemiskinan sebagai upaya konservasi Kebijakan ini untuk meningkatkan kegiatan investasi yang ramah lingkungan dan ramah manusia di sektor pariwisata alam. Di samping itu, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar taman nasional diupayakan melalui peningkatan akses terhadap sumber daya taman nasional maupun sumber daya di luar taman nasional akan didorong oleh kebijakan ini.
Kebijakan pengentasan kemiskinan sebagai sarana konservasi dapat
dijabarkan lebih lanjut ke dalam berbagai program kegiatan, antara lain: a) pengembangan potensi tanaman obat-obatan, b) pengembangan kegiatan usaha pariwisata alam, c) pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi lahan. Sedangkan kebijakan pengembangan sistem informasi dan relasi publik dapat diuraikan dalam program kegiatan, yaitu: a) inventarisasi ekosistem, b) kerjasama ekonomi dengan masyarakat, c) penyuluhan dan pendidikan lingkungan. 3) Pelembagaan partisipasi masyarakat Partisipasi pengelolaan
masyarakat yang
merupakan
berkelanjutan
elemen
pendorong
terwujudnya
sehingga
partisipasi
seyogyanya
diperlakukan sebagai upaya sadar yang dilakukan untuk mendukung taman nasional.
Partisipasi diwadahi oleh sebuah lembaga dan mekanisme
167 partisipasi dibangun sehingga memungkinkan masyarakat dan para pihak dapat merencanakan, mengimplementasikan maupun memonitor tingkat keberhasilan pengelolaan taman nasional. 4) Pengembangan sistem informasi dan relasi publik Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan tentang manfaat, kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap keberlanjutan pengelolaan taman nasional. Alternatif kebijakan tersebut selanjutnya ditelaah secara keseluruhan menggunakan metode fuzzy AHP berdasarkan faktor, tujuan dan stakeholder untuk menetapkan prioritas kebijakan tertinggi sebagai kebijakan yang mengarahkan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan.
Hasil agregasi
nilai fuzzy penilaian perbandingan berpasangan dengan menggunakan variabel linguistik oleh pakar terhadap faktor, tujuan, stakeholder dan alternatif kebijakan dan nilai eigennya ditampilkan pada Lampiran 11 dan 12. Berdasarkan hasil analisis jenjang keputusan menggunakan metode fuzzy AHP (Gambar 32), faktor yang menempati prioritas tertinggi adalah partisipasi masyarakat yang disusul dengan internal manajemen, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kebijakan sektoral/daerah dan kondisi fisik kawasan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor partisipasi masyarakat merupakan faktor paling penting dalam pengembangan kebijakan agar pengelolaan taman nasional dapat berkelanjutan.
Pemerintah
Daerah mempunyai peran paling penting dalam mempengaruhi faktor-faktor pengembangan kebijakan. Sedangkan tujuan yang memiliki prioritas paling tinggi adalah perlindungan ekosistem yang penting dan pelestarian keanekaragaman hayati. Meskipun demikian, sebenarnya nilai eigen dari masing-masing tujuan tidak banyak berbeda sehingga dapat dikatakan memiliki prioritas yang relatif sama. Dengan demikian, alternatif strategi kebijakan dalam pengelolaan taman nasional memiliki prioritas secara berturut-turut adalah: 1) Penguatan kelembagaan dan pengentasan kemiskinan sebagai sarana upaya konservasi, 2) Pelembagaan partisipasi masyarakat, dan 3) Pengembangan sistem informasi dan relasi publik.
168
Gambar 32 Prioritas kebijakan pengelolaan taman nasional
Prioritas kebijakan penguatan kelembagaan dan pengentasan kemiskinan sebagai sarana upaya konservasi kemudian dirancang bangun ke dalam bentuk Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat (TaNaBEM).
Sistem TaNaBEM merupakan suatu sistem
pengelolaan yang
dilandasi oleh prinsip good decision making dan bersifat partisipatif dari berbagai stakeholder yang mampu menampung aspirasi masyarakat, kebijakan Pemerintah serta Pemerintah Daerah.
Sistem ini juga merupakan suatu perencanaan
berdimensi kewilayahan yang mampu mensinkronisasikan dan mengintegrasikan antara rencana tata ruang wilayah dengan kegiatan taman nasional itu sendiri. Selain itu, Sistem TaNaBEM mengkoordinasikan kegiatan di TNKS yang secara komplementer berkaitan dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah dari kabupaten-kabupaten yang tercakup dalam wilayah kawasan TNKS dan memperhatikan dan memonitor daya dukung lingkungan melalui rencana
169 pengelolaan lingkungan. Sistem pengelolaan ini terdiri atas aspek manajemen, kelembagaan dan pendanaan yang diwujudkan dalam 3 model seperti yang ditunjukkan pada Gambar 33, yaitu: 1) Model Manajemen (Model MTN) 2) Model Kelembagaan (Model KPTN) 3) Model Pendanaan (Model PTN)
Gambar 33 Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat (TaNaBEM)
Model Manajemen (Model MTN) pada dasarnya mengintegrasikan kebijakan Pemerintah dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah, rencana tata ruang wilayah kabupaten, dan rencana pengelolaan lingkungan serta bersifat komplementer (Gambar 34). Model MTN merupakan manajemen perencanaan yang memiliki tujuan untuk stabilitas kesehatan ekosistem dan tercapainya peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan adat dengan tingkat resiko kerusakan ekosistem yang rendah karena dukungan dan partisipasi para pihak.
Peningkatan pendapatan diperoleh melalui peningkatan akses sumber
daya, yang dapat berbentuk pemanfaatan sumber daya taman nasional atau sumber daya diluar taman nasional maupun akses sumber daya finansial.
Akses
pemanfaatan diberikan kepada masyarakat lokal dan adat melalui Badan Usaha
170 Milik Desa (BUMDes), industri rumah tangga maupun koperasi. Pemerintah Kabupaten berperan dalam mendorong pembentukan dan pembinaan BUMDes di desa-desa sekitar kawasan taman nasional.
Pembinaan terhadap BUMDes,
industri rumah tangga dan koperasi meliputi pengembangan kapasitas yang disertai dengan penyuluhan dan peningkatan pengetahuan manfaat ekonomi tidak langsung dari keberadaan taman nasional. Upaya-upaya ini akan membentuk masyarakat yang lebih berdaya. Jika masyarakat lebih berdaya maka peluang keberhasilan dalam mengelola sumber daya keuangan semakin besar. Pada tahap ini dukungan pemerintah melalui Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank untuk mendanai kegiatan ekonomi menjadi penting.
Di samping itu, program
penyediaan dana bergulir juga akan dapat bermanfaat. Berkembangnya kegiatan ekonomi pedesaan akan menciptakan mata pencaharian alternatif di luar kegiatan ekonomi yang bergantung pada sumber daya lahan untuk pertanian. Selanjutnya keadaan ini akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Berkurangnya ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap sumber daya lahan untuk penghidupan karena telah berkembangnya alternatif mata pencaharian diharapkan akan menyebabkan berkurangnya kegiatan perambahan lahan dan kegiatan lain yang merusak taman nasional taman nasional. Jika masyarakat memiliki ketergantungan terhadap taman nasional melalui kegiatan produktif yang sejalan dengan tujuan konservasi maka masyarakat akan menjaga sumber penghidupannya secara partipatif. Hal ini selanjutnya akan mengurangi tingkat kerusakan dan kegiatan rehabilitasi taman nasional. Partisipasi masyarakat yang secara sukarela turut memelihara taman nasional akan mengurangi persoalan keterbatasan dana dan personil pengamanan dari Pengelola TNKS saat ini. Kondisi ini mendorong terpeliharanya stabilitas kesehatan ekosistem. Umpan balik dalam Model MTN terjadi ketika stabilitas kesehatan ekosistem dapat terjaga maka akses pemanfaatan dapat ditingkatkan. Namun, pengaturan dan monitoring perlu dilakukan oleh Pengelola TNKS agar tingkat pemanfaatan tidak melebihi daya lenting ekosistem taman nasional. Mekanisme
171 kontrol ini sangat penting karena untuk menghindari kehancuran sistem pengelolaan taman nasional.
Di samping itu, pengembangan alternatif mata
pencaharian juga dilakukan dengan mempertimbangkan dampak samping negatif yang mungkin timbul. Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat dengan memanfaatkan kawasan taman nasional dapat dilakukan melalui beberapa cara. Cara pertama adalah meningkatkan pemanfaatan potensi yang terdapat di kawasan taman secara langsung dan yang kedua adalah secara tidak langsung. Pengembangan potensi taman nasional secara langsung yang utama adalah pemanfaatan selain zona inti kawasan untuk pariwisata alam. Usaha pariwisata alam meliputi usaha penyediaan jasa pariwisata alam dan penyediaan sarana pariwisata alam. Usaha penyediaan jasa pariwisata alam diantaranya adalah usaha jasa informasi, pemandu wisata, transportasi, perjalanan wisata dan jasa makanan minuman. Sedangkan usaha penyediaan sarana dapat berupa usaha akomodasi dan sarana perlengkapan wisata alam. Di samping itu, dapat juga dikembangkan usaha pendukung pariwisata alam diantaranya usaha perdagangan kerajinan, cindera mata maupun makanan khas daerah. Pengembangan jasa lingkungan taman nasional yang hasilnya kemudian dapat digunakan untuk pengelolaan taman nasional maupun pengembangan masyarakat adalah pengembangan imbal jasa lingkungan. Imbal jasa lingkungan yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah jasa pemanfaatan air. Sumber daya air dari taman nasional cukup potensial karena beberapa DAS besar mempunyai hulu di kawasan taman nasional. Beberapa pihak telah menggunakan jasa pemanfaatan air yang bersumber dari kawasan taman nasional. Sumber daya air telah digunakan untuk tanaman budidaya, rekreasi danau, suplai bahan baku air minum, dan sumber tenaga pembangkit listrik.
172
Gambar 34 Model Manajemen (Model MTN) Untuk meningkatkan efektifitas Model MTN diperlukan pengaturan kelembagaan karena selama ini koordinasi menjadi kendala yang nyata. Berdasarkan stakeholder dan lembaga kunci yang berperan penting dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan di era otonomi daerah maka dibangun Model Kelembagaan – KPTN (Gambar 35). Stakeholder yang terlibat dalam model ini adalah Pemerintah Pusat, Departemen Kehutanan/Pengelola Taman Nasional, Pemerintah Daerah, masyarakat lokal dan adat dan pelaku usaha mikro, kecil dan koperasi, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Model KPTN dibangun untuk memungkinkan partisipasi para pihak dalam
173 pengelolaan taman nasional sehingga menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan.
Di samping itu, Model KPTN dirancang untuk dapat
menampung aspirasi para pihak yang berkepentingan dan memungkinkan pembuatan konsensus dalam pengelolaan taman nasional. Selama ini proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi pengelolaan taman nasional dilakukan oleh pengelola taman nasional sebagai penjabaran kebijakan program Kementerian Kehutanan.
Keterlibatan masyarakat dan
Pemerintah Daerah dalam proses tersebut hanya berlangsung pada penyusunan perencanaan taman nasional jangka panjang dan menengah melalui konsultasi publik dan rekomendasi Pemda dalam penyusunan rencana pengelolaan. Sedangkan dalam proses perencanaan jangka pendek masyarakat dan Pemerintah Daerah tidak terlibat. evaluasi
pembangunan
Di lain pihak, proses perencanaan, implementasi dan daerah
mempunyai
mekanisme
tersendiri
dan
pembangunan sektor kehutanan di daerah tidak termasuk penyelenggaraan pembangunan taman nasional karena pembangunan taman nasional bukan dalam kewenangan Pemerintah Daerah. Keadaan ini menyebabkan pengelolaan taman nasional kurang efektif
karena koordinasi antara pengelola taman nasional
dengan Pemerintah Daerah merupakan kendala yang dirasakan oleh semua pihak. Partisipasi masyarakat juga masih dalam tahap penyampaian informasi yang masih terbatas penyebarannya sehingga masyarakat kurang memahami fungsi dan manfaat taman nasional. Hal ini mengakibatkan tingginya ketidak pedulian dan rendahnya dukungan masyarakat terhadap taman nasional. Model KPTN dibangun untuk meningkatkan koordinasi dan kelemahan kebijakan yang sekarang dijumpai dalam pengelolaan taman nasional. Model ini memiliki tujuan untuk sinkronisasi dan integrasi kebijakan, perencanaan, dan program antara pengelola taman nasional dan Pemerintah Daerah dengan partisipasi para pihak. Model KPTN akan memperkuat hubungan kelembagaan pengelolaan taman nasional melalui pembentukan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional yang sekaligus menjembatani dan mewadahi partisipasi para pihak sebagai mitra. Kelompok Kerja (Pokja) ini merupakan antar muka antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah, masyarakat
174 lokal, pelaku usaha, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat yang dapat menampung aspirasi dan menghasilkan konsensus dalam pengelolaan taman nasional.
Pokja ini memiliki fungsi koordinatif konsultatif dan memberikan
masukan dalam perencanaan dan evaluasi yang merekonsiliasi trade-off dan membangun sinergi melalui konsensus untuk: 1) mengkoordinasikan
upaya-upaya
konsevasi
sumber
daya
hayati
dan
ekosistemnya secara partisipatif dan komplementer, 2) mengkoordinasikan pengembangan kegiatan
ekonomi
alternatif terkait
dengan pemanfaatan sumber daya taman nasional, 3) pengembangan usaha mikro kecil dan koperasi yang bergerak dibidang usaha yang terkait dengan taman nasional, 4) penyusunan usulan penetapan prioritas pengelolaan taman nasional sesuai dengan daya dukung taman nasional maupun kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal, dan 5) pemberdayaan dan pengembangan kapasitas masyarakat lokal. Sedangkan aspek pelaksanaan pemanfaatan sumber daya taman nasional untuk kesejahteraan masyarakat, pendapatan Pemerintah dan Pemerintah Daerah diwadahi dalam bentuk BUMDes.
Pembentukan BUMDes berpedoman pada
ketentuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.
Inisiasi dan
pembentukan BUMDes didasarkan atas aspirasi dan prakarsa masyarakat desa dengan prinsip kooperatif, partisipatif dan emansipatif.
Pada intinya adalah
BUMDes dimiliki, dipetik manfaat produktifnya dan dikelola oleh pemrakarsa. Pembentukan BUMDes dimaksudkan untuk mendorong dan menampung kegiatan peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan potensi taman nasional, maupun kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat melalui program Pemerintah dan pemerintah daerah yang lainnya.
BUMDes juga merupakan sarana perluasan
kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar TNKS.
175
Gambar 35 Model Kelembagaan (Model KPTN)
Konsekuensi dari penerapan Model MTN dan Model KPTN lebih lanjut memerlukan perubahan mekanisme pendanaan. Kebijakan mekanisme pendanaan untuk implementasi kebijakan pengelolaan taman nasional diwujudkan dalam bentuk Model Pendanaan Taman Nasional (Model PTN) seperti disajikan pada Gambar 36.
176
Kementerian Keuangan
APBN, DNS
Dana perimbangan APBN Debt for Nature Swap (DNS)
Pemerintah Propinsi
Perguruan Tinggi
Pemerintah Kabupaten
APBD
Dinas Teknis
Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional
Hibah
Dana bergulir
Imbal jasa lingkungan Iuran ijin usaha wisata
Taman Nasional
Dukungan dana
Badan Layanan Umum
APBD
Dana Penelitian
Dana perimbangan
Kementerian Kehutanan
Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) Retribusi
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)/ Koperasi
APBD/penguatan permodalan Dana Kemitraan Penguatan permodalan
Usaha Mikro dan Kecil
Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Kemitraan
Industri Jasa Lingkungan
Kredit
Pembiayaan usaha/kredit
Badan Usaha Menengah dan Besar
Pendapatan
CSR
Masyarakat Lokal dan Adat CSR
Keterangan:
usulan perubahan - - - - - koordinasi
Gambar 36 Model Pendanaan (Model PTN) Balai Besar/Balai Taman Nasional (BBTN) memiliki kegiatan usaha pariwisata
alam,
bioprospecting.
potensi
pengembangan
imbal
jasa
lingkungan
dan
Untuk keperluan fleksibilitas pengelolaan keuangan yang
transparan dan akuntabel maka salah satu alternatif yang memungkinkan adalah memberikan status Badan Layanan Umum (BLU). Status BLU bukan merupakan yang pertama di lingkungan Kementerian Kehutanan, walaupun status tersebut belum pernah ditetapkan untuk taman nasional.
Usulan ini dapat dilakukan
mengingat beberapa hal. Pertama, BBTN merupakan instansi Pemerintah yang
177 mengelola kawasan dan juga memberikan pelayanan, khususnya pelayanan jasa lingkungan kepada masyarakat.
Dalam melakukan kegiatan pelayanan jasa
BBTN seharusnya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Kedua, pengelolaan BBTN sudah bersifat semi otonom dan berperan sebagai pelaksana dari lembaga induknya, yaitu Departemen Kehutanan. Ketiga, penggalian sumber dana perlu ditingkatkan dan pengelolaan keuangan memerlukan fleksibilitas agar pelayanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan.
Keempat, penguatan
kelembagaan Balai Besar/Balai Taman Nasional menjadi Badan Layanan Umum Taman Nasional (BLU-TN) diharapkan dapat mengatasi persoalan pemeliharaan melalui alokasi pemanfaatan dana hibah dalam pengelolaan taman nasional. Landasan hukum BLU-TN adalah UU 01 Tahun 2004, Pasal 68 ayat 1, yang menyatakan bahwa Badan Layanan Umum dapat dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih spesifik lagi, PP 23 Tahun 2005 Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa BLU merupakan instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan. BLU-TN dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola pengelolaan keuangan BLU-TN merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat. Kekayaan BLU-TN merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya .
Pembinaan keuangan Badan Layanan
Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan (Pasal 68 ayat 2), dalam hal ini Menteri Kehutanan. BLU-TN akan menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan (UU 01 Tahun 2004, Pasal 69 ayat 1). Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Kehutanan. Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum sesuai
178 dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara dalam rencana kerja dan anggaran tahunannya dikonsolidasikan ke dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Kehutanan. Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara. Di samping itu, Badan Layanan Umum sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2005 dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain, termasuk dari organisasi luar negeri.
Pendapatan ini dapat digunakan
langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum Taman Nasional sesuai dengan dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan yang merupakan Bendahara Umum Negara (BUN). BLU-TN dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola pengelolaan keuangan BLU-TN merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat. Kekayaan BLU-TN merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya .
Pembinaan keuangan Badan Layanan
Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan (Pasal 68 ayat 2), dalam hal ini Menteri Kehutanan. BLU-TN akan menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan (UU 01 Tahun 2004, Pasal 69 ayat 1). Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Kehutanan. Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana kerja dan anggaran tahunan dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Kehutanan. Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara. Di samping itu, Badan Layanan Umum dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain. Pendapatan ini dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum Taman Nasional.
179 Pengembangan model ini telah memperhatikan ketentuan dalam kebijakan otonomi daerah.
Penentuan kebijakan dalam pelaksanaan otonomi daerah,
menurut Sofyar (2004) peranan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam model memiliki karakteristik sistem pemerintahan yang harus sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Tugas dan fungsi masing-masing pihak yang terkait dalam Model
MTN, KPTN dan PTN (Tabel 26) , secara garis besar yaitu: 1) Pemerintah Kabupaten secara langsung berinteraksi dengan masyarakat sehingga peranannya lebih berorientasi pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan pengembangan infrastruktur serta mendukung penguatan dan pembinaan lembaga masyarakat dan pendayagunaan potensi kawasan dalam kabupaten. 2) Pemerintah Propinsi yang membawahi kawasan lintas kabupaten lebih berorientasi pada penguatan kelembagaan dan pendayagunaan potensi kawasan lintas kabupaten serta pemberian insentif terutama informasi yang terpadu dalam penataan kawasan ekonomi, penataan daya dukung lingkungan serta pasar regional. 3) Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya lebih berorientasi pada penciptaan dukungan kebijakan melalui penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang bersifat induk.
Di samping itu,
Pemerintah Pusat memberikan fasilitas dan pembinaan. Alternatif kebijakan pengelolaan taman nasional yang dikembangkan berdasarkan Model MTN, Model KPTN dan Model PTN, secara keseluruhan model ini akan menghasilkan kebijakan dan program pengelolaan taman nasional untuk jangka menengah yang merupakan kebijakan strategis dan kebijakan operasional yang berupa perencanaan dan evaluasi program kegiatan tahunan. Kebijakan strategis dan operasional yang disusun merupakan kebijakan sinergi yang mengacu pada kebijakan pembangunan nasional, sektoral dan daerah. Keluaran dari kebijakan tersebut jika keseluruhan proses dilaksanakan sesuai dengan Model MTN bersama dengan Model KPTN dan Model PTN adalah terjaganya kesehatan ekosistem dan terpenuhinya peningkatan pendapatan masyarakat lokal melalui partisipasi masyarakat.
180 Tabel 26 Peran dan keterlibatan stakeholder dalam Sistem Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah
181
182
183
184
6.3
Validasi Model Validasi model dan perumusan alternatif kebijakan dilakukan berdasarkan
tinjauan teoritis terhadap model dan studi komparatif terhadap asumsi-asumsi kebijakan yang setara dengan model pengelolaan taman nasional. Secara teoritis, model tersebut sesuai dengan proses pengembangan kebijakan dengan mengaplikasikan soft system methodology dan pendeketan intervensi sistem (Luckett & Grossenbacher 2003) serta inklusi stakeholder (Achterkamp & Vos 2007).
Proses pengembangan kebijakan ini menghasilkan pemahaman lintas
disiplin dengan lebih baik dan mengikut sertakan para pihak yang berkepentingan sehingga dapat membangun kebijakan yang holistik.
185 Validasi Model MTN, KPTN dan PTN dilakukan dengan pendapat pakar melalui wawancara yang mendalam.
Hasil validasi melalui pendapat pakar
menunjukkan bahwa: 1) Model yang dikembangkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan pengelolaan taman nasional, namun perlu disesuaikan dengan kondisi dan respon Pemerintah Daerah, terutama terkait dengan dipenuhi atau tidaknya asumsi yang mendasari kebijakan. 2) Model yang dikembangkan tidak dapat menggambarkan kegiatan yang mungkin merusak sumbardaya alam hayati taman nasional akibat aktifitas perusahaan swasta besar, seperti perusahaan kehutanan, perkebunan dan pembalakan ilegal. 3) Bentuk lembaga antar muka antara pengelola taman nasional dan para pihak dapat berbentuk lain selain working group, tergantung dari kesepahaman antara pengelola dan para pihak. 4) Secara keseluruhan, sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat (TaNaBEM) sebagai upaya pengelolaan taman nasional untuk menjaga stabilitas kesehatan ekosistem dan tercapainya peningkatan pendapatan
masyarakat
melalui
partisipasi
masyarakat
dapat
merepresentasikan kondisi yang diharapkan para pihak. Model MTN, Model KPTN dan Model PTN yang dibangun untuk meningkatkan koordinasi perencanaan dan evaluasi, sinkronisasi kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, memiliki kemampuan untuk menampung aspirasi masyarakat dan fleksibilitas pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntablel dapat diterima dan layak diimplementasikan. Sedangkan validasi output model sistem dinamik dilakukan dengan uji statistik.
Hasil uji validitas kinerja variabel jumlah penduduk AME=0.12,
AVE=6.98, U-Theil=5.35, KF=0.5 dan DW=0.71 dan pendapatan masyarakat AME=8.03, AVE=9.65, U-Theil=6.06, KF=0.5 dan DW=0.74.
Hasil ini
menunjukkan bahwa model sistem dinamik menghasilkan kinerja yang sesuai dengan data.
186 6.4
Prospektif Dampak dan Implikasi Kebijakan Simulasi kebijakan Sistem TaNaBEM yang dilakukan secara hipotetik
berdasarkan diagram alir (Gambar 37) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, partisipasi dan stabilisasi kesehatan ekosistem (Gambar 38, 39 dan 40). Peningkatan alternatif mata pencaharian sebesar 20% melalui pemberian akses terbatas pemanfaatan tumbuhan, satwa liar dan wisata alam dapat meningkatkan penghasilan menjadi Rp.125 078 000.- pada tahun 2028. Pendapatan masyarakat meningkat 43% jika dibandingkan proyeksi sebelum penerapan kebijakan. Kebijakan peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk pemanfaatan terbatas, khususnya pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar ini disimulasikan mulai tahun 2011 dengan pemanfaatan secara periodik 3 tahunan. Namun, kebijakan peningkatan akses pemanfaatan terbatas ini harus disertai peningkatan pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem taman nasional sebesar 30%. Peningkatan pendapatan dan pengetahuan menginisiasi peningkatan tingkat partisipasi menjadi tinggi dan pada saat yang sama kesehatan ekosistem dapat mempertahankan berada pada kondisi baik.
187
Jumlah_Penddk Laju_Penambahan
Laju_Pengurangan Fr_Pengurangan_Pdd
Laju_Tumbuh_Neto
Fr_Penambahan_Pdd
Laju_Tumb_KK
Kbth_Lahan_Bud Fr_JKK
L_Keb_Lahan
Pengetahuan Fr_Pengetahuan
Fr_Keb_Lahan Penyerapan_TK Ls_Rehabilitasi
P_Pendapatan
Fr_Klahan
Pendapatan_Masy
Partisipasi
Fr_Serap_Rehab
Laju_Partisipasi Fr_Serap_LB
Fr_Partisipasi Kepemilikan_Lahan L_KLahan
Fr_KTN
Kbth_Lahan_Bud
Pengamanan_TN
Kes_Ekosistem L_Peningkatan_KE
L_Degradasi_KE
Fr_Rambah Fr_Tingkat_KE Perambahan Fr_DKE P_Kerusakan_TN
Luas_Kerusakan_TN L_Perbaikan L_Kerusakan Fr_Kerusakan
Ls_Rehabilitasi
Fr_Perbaikan
L_Rehab_Hutan Jumlah_Investasi Laju_Investasi
Fr_Rehab_Hutan
Reboisasi
Fr_Investasi Jumlah_UMKM Fr_UMKK
Laju_UMKM
Pendapatan_Masy
Dana_Pengamanan L_Dana_Pengamanan
Fr_Dana_Kelola
L_Pendapatan
Fr_JMP_Alternatif
Fr_Manfaat
L_Kurang_DP
Manfaat Fr_KDP
M_Penc_Alternatif L_Alternatif_MP
Fr_Alternatif_MP
Pengamanan_TN
Gambar 37 Diagram alir sistem dinamik pengelolaan taman nasional
188
Gambar 38 Proyeksi tingkat pendapatan masyarakat setelah kebijakan
Gambar 39 Proyeksi tingkat partisipasi setelah kebijakan
Gambar 40 Proyeksi kesehatan ekosistem setelah penerapan kebijakan
189 Kebijakan
pengelolaan
taman
nasional
dengan
Sistem
TaNaBEM
memungkinkan peningkatan manfaat taman nasional bagi masyarakat secara langsung tanpa mengorbankan tujuan konservasi. Namun, implementasi Model MTN, KPTN dan PTN hanya dapat dilaksanakan secara efektif jika didukung oleh peraturan dan kebijakan daerah yang tepat. Pada tingkat nasional, peraturan dan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan taman nasional telah ditetapkan melalui berbagai peraturan antara lain Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UndangUndang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19 tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Di samping itu, peraturan dan kebijakan yang terkait dengan pemerintahan sudah ditetapkan melalui
Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian implikasi kebijakannya di tingkat pusat bertugas untuk mewujudkan kondisi yang memungkinkan bagi pemberdayaan masyarakat dan terpeliharanya ekosistem melalui inisiatif terhadap pengembangan dan penyempurnaan peraturan perundangan serta penyediaan fasilitas. Untuk peningkatan efektifitas koordinasi perlu dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional sebagai antar muka antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi dan masyarakat lokal yang memiliki fungsi koordinatif yang merekonsiliasi trade-off dan membangun sinergi melalui konsensus. Penetapan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Kehutanan.
Pokja ini merupakan
wadah koordinasi dan komunikasi antara wakil Pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten, wakil UPT Taman Nasional, wakil pemanfaat taman nasional,
190 wakil masyarakat umum dan akademisi. Pokja ini merupakan organisasi non struktural yang melaporkan kegiatannya kepada BLU-TN, Gubernur dan Bupati untuk membantu tugas-tugas dalam mengkoordinasikan pengembangan manfaat taman nasional bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat kabupaten. Mandat yang diberikan kepada Kelompok Kerja sebaiknya diarahkan pada tugas dan fungsi: 1) memberikan masukan kebijakan operasional untuk memelihara
dan
meningkatkan manfaat taman nasional bagi masyarakat, 2) merumuskan masukan rencana yang sinergis
pengembangan
ekonomi
masyarakat sekitar taman nasional, 3) merekomendasikan prioritas alokasi dana sektoral untuk mendukung terpeliharanya sumber daya taman nasional, 4) memberikan masukan perumusan rencana tahunan dan lima tahunan pengelolaan taman nasional, dan 5) memberikan masukan untuk pemberian ijin pemanfaatan taman nasional, serta 6) melaporkan hasil kegiatan kepada Menteri Kehutanan, Gubernur dan Bupati. Penetapan status BLU Taman Nasional ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Perubahan status menjadi BLU dan sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat memerlukan penyesuaian struktur organisasi pengelola. Perubahan status BLU berimplikasi pada perlunya perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Taman nasional saat ini secara teknis dibawah pengelolaan Ditjen PHKA, maka kalau status berubah menjadi BLU, pengelolaan sebaiknya berada di bawah koordinasi Menteri Kehutanan karena fungsinya lintas Ditjen dan juga memerlukan penanganan khusus dari aspek keuangan dan perencanaan yang terkait dengan fungsi Setjen Kementerian Kehutanan. Sehingga BLU Badan Pengelola Taman Nasional bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kehutanan yang secara teknis dibina oleh Direktur Jenderal PHKA dan secara administratif dibina oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
Perubahan struktur pengelola TNKS ini diperlukan juga untuk
mewadahi pengembangan potensi sumber-sumber pendanaan alternatif dari
191 pemanfaatan sumber daya taman nasional yang terencana dan dengan resiko yang terkelola serta pengelolaan keuangan yang efisien dan produktif. Sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat memerlukan pengelola yang sifatnya multidisplin dan profesional. Karakteristik multidisiplin ini diperlukan untuk dapat mengaitkan pengelolaan taman nasional dengan kawasan sekitarnya dan mampu melibatkan serta mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal maupun pemerintah daerah. Karakteristik pengelola yang multidisplin ini diharapkan akan membantu mewujudkan keseimbangan yang dinamis antara kepentingan konservasi dan pemanfaatan taman nasional secara ekonomi untuk masyarakat lokal dan pemerintah daerah.
Sedangkan
profesionalitas pengelola diperlukan agar pengelolaan taman nasional dapat dilaksanakan secara lebih efektif, efisien, transparan dan bertanggung jawab. Untuk lebih meningkatkan profesionalitas maka pengelolaan taman nasional dilaksanakan dengan berbasis kinerja operasional dan keuangan serta perekrutan personalia pengelola didasarkan atas kemampuan. Personalia pengelolanya dapat direkrut baik dari kalangan pegawai negeri sipil maupun non-pegawai negeri sipil yang profesional sesuai dengan ketentuan PP 23 tahun 2005 Pasal 33. Di samping itu, untuk
memberikan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan maka struktur
organisasi BLU Badan Pengelola Taman Nasional seyogyanya bersifat profesional non eselon. Di tingkat propinsi bertugas untuk mengembangkan pelatihan-pelatihan pembangunan kapasitas untuk meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan konservasi ekosistem dan melakukan koordinasi lintas kabupaten dalam upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat dan konservasi ekosistem, Di tingkat kabupaten bertugas untuk menetapkan kawasan-kawasan prioritas pengembangan masyarakat, mengembangkan penerapan partisipasi masyarakat dan mengembangkan pendidikan lingkungan dan pelatihan teknis. Pemerintah Kabupaten memprakarsai pembentukan BUMDes melalui penetapan Peraturan Daerah Kabupaten sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa Pasal 78 sampai dengan 81.
192
Gambar 41 Bagan organisasi hipotetik BLU Badan Pengelola TNKS Melalui studi komparatif pada organisasi pengelola Lembaga Penjamin Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Lampiran 14) dan mempelajari
organisasi
yang
terdapat
pada
BLU
Badan
Pembiayaan
Pembangunan Hutan Kementerian Kehutanan (Lampiran 15) maka secara hipotetik dapat diusulkan bagan organisasi BLU Badan Pengelola TNKS (Gambar 41) yang masih memerlukan pendalaman fungsi dan struktur lebih lanjut. Untuk menindaklanjuti kelayakan terhadap bagan organisasi hipotetik tersebut dapat dilakukan Kementerian Kehutanan dan Keuangan sebagai pengambil kebijakan terkait penetapan BLU.
Apabila BLU Badan Pengelola TNKS dapat
direalisasikan maka konsep kelembagaan tersebut dapat diterapkan pada taman nasional yang lainnya.
7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan
1
Analisis situasional menunjukkan bahwa penghidupan masyarakat yang bermukim di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Kabupaten Kerinci, Jambi dan Kabupaten Lebong, Bengkulu bertumpu pada sektor pertanian dengan komoditas utamanya padi, kentang, kol, kayu manis dan kopi. Hanya 42% masyarakat yang memiliki lahan pertanian dengan luas kepemilikan kebun rata-rata 1,1 hektar dan sawah 0,5 hektar. Ukuruan keluarga rata-rata 4 jiwa/keluarga dengan tingkat pendidikan kepala keluarga rendah, 50% lulusan sekolah dasar. Kualitas sumber daya manusia rendah dengan akses sumber daya lahan pertanian terbatas.
2
Observasi lapang menunjukkan penghasilan keluarga rata-rata Rp. 680.000,per bulan. Rata-rata penghasilan keluarga yang memiliki lahan pertanian Rp. 820.000,- sedangkan yang tidak memiliki lahan Rp. 590.000,-. Secara keseluruhan jumlah keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan berjumlah 20.7%. Jumlah keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan pada kelompok masyarakat yang memiliki lahan berjumlah 16%, sedangkan yang tidak memiliki lahan 84%. Kepemilikan lahan berkontribusi terhadap tingkat pendapatan masyarakat.
3
Rendahnya pengetahuan tentang manfaat dan persepsi masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional, tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat merupakan faktor-faktor yang menjadi kendala utama dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan. Walaupun sebagian besar (73%) masyarakat yang bermukim di sekitar TNKS mengetahui keberadaan TNKS, namun hanya 45% masyarakat lokal yang memahami fungsi dan manfaat TNKS dan 70% tidak merasakan manfaat ekonomi secara langsung dari keberadaan TNKS. Tingkat pengetahuan masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu tingkat pendapatan, keterlibatan masyarakat dalam organisasi dan kepemilikan lahan pertanian.
194 4
Lembaga yang perlu dilibatkan dan berperan penting dalam sistem pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan adalah
Pemerintah
Kabupaten dan satuan kerja perangkat daerah terkait, masyarakat lokal sekitar kawasan taman nasional, perguruan tinggi, masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat dan pelaku usaha. Adanya keterlibatan berbagai pihak yang dapat berperan penting dalam mendukung keberlanjutan taman nasional menyebabkan koordinasi menjadi elemen kunci keberhasilan pengelolaan. 5
Sintesis asumsi strategis dengan metode SAST untuk pengembangan model kebijakan pengelolaan taman nasional dengan tingkat kepentingan dan kepastian tinggi adalah Pemerintah Daerah, akademisi dan LSM memiliki komitmen tinggi untuk mendukung pengembangan mata pencaharian alternatif. Pemerintah Kabupaten menetapkan kebijakan berupa peraturan daerah yang memungkinkan pembentukan badan usaha yang diinisiasi oleh masyarakat lokal/pemerintah desa berbentuk koperasi.
6
Kebijakan publik untuk pengelolaan taman nasional berkelanjutan di era otonomi daerah dapat dirancang bangun melalui pendekatan soft dan hard system.
Kebijakan pengelolaan taman nasional yang dibangun dengan
pendekatan sistem yang dilandasi dengan good decision making melalui proses inquiry yang sistemik, partisipatif dan merupakan konsensus dari seluruh
stakeholder
dapat
meningkatkan
peluang
keberhasilan
implementasinya. Kebijakan tersebut diwujudkan dalam Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat (TaNaBEM), yang terdiri atas Model Manajemen (Model MTN), Model Kelembagaan (Model KPTN), dan Model Pendanaan (Model PTN). 7
Model MTN merupakan upaya integrasi kebijakan sektoral dan daerah yang tertuang dalam perencanaan pembangunan jangka menengah, rencana tata ruang wilayah, rencana kerja pemerintah dan rencana pengelolaan lingkungan yang dilandasi asas komplementer.
Model KPTN adalah
perwujudan kelembagaan yang mampu menampung aspirasi masyarakat dan
195 Pemerintah Daerah untuk memperoleh konsensus pengelolaan taman nasional. Organisasi untuk merealisasikan kebijakan ini dilakukan melalui pembentukan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sedangkan Model PTN
merupakan perwujudan dari asas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan yang diwadahi melalui penetapan status Badan Layanan Umum Taman Nasional. 8
Implikasi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan taman nasional dari Model MTN, KPTN dan PTN di tingkat pusat bertugas untuk mewujudkan kondisi
yang
memungkinkan
bagi
pemberdayaan
masyarakat
dan
terpeliharanya ekosistem melalui inisiatif terhadap pengembangan dan penyempurnaan
peraturan
perundangan
serta
penyediaan
fasilitas.
Pemerintah Pusat mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif bagi BLU Taman Nasional dan Pemerintah Daerah yang terwujud dalam alokasi anggaran berdasarkan kinerja yang dinilai atas dasar kriteria dan indikator ekologi, ekonomi dan sosial.
Pemerintah Kabupaten memfasilitasi
pembentukan BUMDes melalui Peraturan Daerah. 9
Untuk
peningkatan
efektifitas
koordinasi
diperlukan
pembentukan
Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional sebagai antar muka antara Pengelola Taman Nasional dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi,
masyarakat lokal dan swasta. Kelompok Kerja ini
memiliki
koordinatif
fungsi
untuk
membangun
konsensus
dalam
pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya taman nasional bagi kepentingan masyarakat lokal dan program membangun
sinergi
melalui
pembangunan
daerah dan
konsensus untuk mengkoordinasikan
pengembangan kegiatan ekonomi alternatif yang terkait dengan sumber daya taman nasional, pengembangan usaha mikro kecil dan menengah yang bergerak dibidang industri jasa lingkungan yang terkait dengan taman nasional, dan konsensus penetapan prioritas pengelolaan taman nasional sesuai dengan tata nilai lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat lokal.
196 10
Untuk efisiensi kelembagaan pengelolaan taman nasional dan fleksibilitas manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel memerlukan perubahan status Balai Besar/Balai Taman Nasional menjadi Badan Layanan Umum agar dapat dikelola secara profesional.
BLU Badan
Pengelola Taman Nasional memungkinkan pengelolaan keuangan secara fleksibel, termasuk memobilisasi penggalangan dana sesuai dengan rencana bisnis anggaran dan diharapkan pendanaan penyelenggaraan kegiatan manajemen kawasan, pengembangan masyarakat sekitar, relasi publik dan penelitian dapat tersedia dengan tepat waktu dan optimal.
7.2
Saran
1
Pengembangan pembangunan taman nasional berbasis kewilayahan perlu didukung oleh perencanaan yang didasarkan pada data dinamika spasial.
2
Pemerintah Pusat perlu mengembangkan kriteria dan indikator ekologi, ekonomi dan sosial yang dapat digunakan untuk menilai secara kuantitatif efektifitas operasional pengelolaan taman nasional dalam pencapaian tujuan pembentukannya.
3
Pemerintah Propinsi perlu memfasilitasi dan mengembangkan pelatihanpelatihan pembangunan kapasitas untuk meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan konservasi ekosistem serta melakukan koordinasi lintas kabupaten yang efektif.
4
Pemerintah menetapkan
Kabupaten
perlu
kawasan-kawasan
menetapkan prioritas
Peraturan
Bupati
pengembangan
untuk
masyarakat,
mengembangkan penerapan partisipasi masyarakat dan mengembangkan pendidikan lingkungan dan pelatihan teknis.
Sedangkan di tingkat
masyarakat, sosialisasi, penyuluhan dan pendidikan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah Daerah dan Pengelola Taman Nasional dapat dilakukan melalui integrasi ke dalam kurikulum sekolah.
197 5
Kelembagaan
BLU
Badan
Pengelola
Taman
Nasional
disarankan
bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kehutanan karena fungsinya lintas Ditjen dan memerlukan penanganan khusus dari aspek keuangan dan perencanaan. Badan Pengelola Taman Nasional secara teknis dibina oleh Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam dan secara administratif dibina oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
DAFTAR PUSTAKA Achterkamp M, Vos JFJ. 2007. Critically identifying stakeholders: evaluating boundary critique as a vehicle for stakeholder identification. Syst Res Behav Sci 24:3-14. Agrawal A, Gibson C. 1999. Enhancement and disenhancement: the role of community in natural resource conservation. World Dev 27(4):629-649. Agrawal A, Gupta K. 2005. Decentralization and participation: the governance of common pool resources in Nepal’s Terai. World Dev 33(7):1101-1114. Agustino L. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta. Allendorf TD. 2007. Residents’ attitudes toward three protected areas in southwestern Nepal. Biodiv Conserv 16:2087-2102. Allendorf TD, Smith JL, Anderson DH. 2007. Residents’ perceptions of Royal Bardia National Park, Nepal. Landscape Urban Plann 82:33-40. Angelsen A, Kaimowitz D. 1999. Rethinking causes of the causes of deforestation: lessons from economic models. The World Bank Res Obs 14(1):73-98. Badola R. 1998. Attitudes of local people towards conservation and alternatives to forest resources: a case study from the lower Himalayas. Biodiv Conserv 7:1245-1259. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003. Indonesian Biodiversity Strategi and Action Plan: National Document. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Barber CV. 2004. Parks and people in a world of changes: governance, participation and equity. Di dalam: Barber CV, Miller KR, Boness M, editor. Securing Protected Areas in the Face of Global Change. Gland: IUCN. hlm 97-136. Barbier E. 1987. The concept of sustainable economic development. Environ Conserv 14(2):114-129. Barker A, Stockdale A. 2008. Out of the wilderness? Achieving sustainable development within Scottish national parks. J Environ Mngt 88:181-193. Barlas Y. 1998. Formal aspects of model validity and validation in system dynamics. Syst Dyn Rev 12(3):183-210 Borrini-Feyerabend G, Kothari A, Oveido G. 2004. Indigenous and local communities and protected areas: towards equity and enhanced conservation. Gland: IUCN. Bozbura FT, Beskese A, Kahraman C. 2007. Prioritization of human capital measurement indicators using fuzzy AHP. Expert Syst Appl 32:1100-1112.
200 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006a. Kerinci Dalam Angka 2005. Sungai Penuh: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006b. Lebong Dalam Angka 2005. Curup: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2007: Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. Brännlund R, Sidibe A, Gong P. 2009. Participation to forest conservation in National Kabore Tambi Park in Southern Faso. Forest Policy Econ 11:468474. 2007. Environmental regulations and the problem of Bromley DW. sustainability: moving beyond “market failure”. Ecol Econ 63:676-683. Buckley JJ, Feureng T, Hayashi Y. 2001. Fuzzy hierarchical analysis. European J Operational Res 129:48-64. Carew-Reid J. 2003. Protected areas as engines for good governance and economic reform in the Lower Mekong region. Parks 13(3):5-14. Castillo A, Magana A, Pujadas A, Martinez L, Godinez C. 2005. Understanding the interaction of rural people with ecosystems: a case study in a tropical dry forest of Mexico. Ecosystems (8):630-643. Chang DY. 1996. Applications of the extent analysis method on fuzzy AHP. European J Operational Res 95:649-655. Chape S, Harrison J, Spalding M, Lysenko I. 2005. Measuring the extent and effectiveness of protected areas as an indicator for meeting global biodiversity target. Phil Trans R Soc B. 360:443-455 Checkland P. 1995. 12(1):47-54
Model validation in soft systems practice.
Syst Res
Checkland P. 1999. Systems Thinking, Systems Practice: Includes a 30-year Retrospective. New York: J Wiley. Checkland P. 2000. Soft systems methodology: a thirty year retrospective. Syst Res Behav Sci 17:S11-S58. Checkland P, Scholes J. 1999. Soft systems methodology in action: a 30-year retrospective. New York: J Wiley. Chen Z, Yang J, Xie Z. 2005. Economic development of local communities and biodiversity conservation: a case study from Shennongjia National Nature Reserve, China. Biodiv Conserv 14:2095-2108. Christis J. 2005. Theory and practice of soft systems methodology: a performative contradiction?. Syst Res Behav Sci 22:11-26.
201 Cihar M, Stankova J. 2006. Attitudes of stakeholders towards the Podyji/Thaya River Basin National Park in the Czech Republic. J Environ Mngt 81:273-285. Comhar. 2007. Principles for sustainable development. Dublin: The National Sustainable Development Partnership, Sustainable Development Council. Creighton JL. 2005. The Public Participation Handbook: Making Better Decisions Through Citizen Involvement. San Fransisco: Jossey-Bass. Dalal-Clayton B, Bass S, Sadler B, Thompson K, Sandbrook R, Robins N, Hughes R. 1994. National Sustainable Development Strategies: Experience and Dilemmas. Environmental Planning Issues No.6. London: Environ Plan Group, IIED. Darusman D, Widada. 2004. Konservasi Dalam Perspektif Ekonomi Pembangunan. Bogor: Ditjen PHKA, JICA, IPB. Dasgupta P, Mäler KG. 1994. Poverty, institutions and the environmentresource base. World Bank Environment Paper No.9. Washington D.C: World Bank [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan. Dewar JA. 2004. Assumption-based Planning: A Tool for Reducing Avoidable Surprises. Cambridge: Cambrigde Univ Pr. Dixon JA, Sherman PB. 1990. Economics of Protected Areas: a New Look at Benefits and Costs. Washington DC: Island Pr. Djogo T, Sunaryo, Suharjito D, Sirait M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan Dalam Pengembangan Agroforestri. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). Drack M. 2009. Ludwig von Bertalanffy’s early system approach. Syst Res Behav Sci 26:563-571. Dubrowsky V. 2004. Toward system principles: general system theory and the alternative approach. Syst Res Behav Sci 21:109-122. Dudley N, Phillips A. 2006. Forest and Protected Areas: Guidance on the Use of the IUCN Protected Areas Management Categories. Gland: IUCN. Dunn WN. 1994. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey:Prentice Hall. Dye TR. 1992. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall.
202 Efendi E, Shantiko B, Mustasya T, Fachruddin A, Satya B, Marba J, Syahputra H, Arsyad I. 2001. Subsidi ekologi Taman Nasional Kerinci Seblat: Memperkuat Pertumbuhan Ekonomi dan Menciptakan Efisiensi APBD Kabupaten. Park Management, Integrated Conservation and Development Project, Kerinci Seblat National Park. Jakarta: Greenomics Indonesia. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset kebijakan: metode penelitian untuk pascasarjana. Bogor: IPB Press. Flood RL, Jackson MC. 2000. Creative Problem Solving: Total Systems Intervention. New York: J Wiley. Galudra G. 2009. Memahami konflik tenurial melalui pendekatan sejarah: studi kasus di Lebak, Banten. [terhubung berkala] Http://www.wg-tenure.org/ file/Makalah/GammaGaludra WT02.pdf. 20 Sept 2009. Garnett ST, Sayer J, Toit J du. 2007. Improving the effectiveness of interventions to balance conservation and development: a conceptual Ecol Soc 12(1):2. [terhubung berkala]. URL: framework. http://www.ecologyandsociety.org/vol12/ iss1/art2/. 3 Des 2007. Geoghehan T, Renard Y. 2002. Beyond community involvement: lessons from the insular Caribbean. Parks 12(2):16-27. Goodland R, Ledoc G. 1987. Neoclassical economics and principles of sustainable development. Ecol Modelling 38(1-2):19-46. Goodwin H, Roe D. 2001. Tourism, livelihoods and protected areas: opprotunities for fair-trade tourism in and around national parks. Int J Tourism Res 3:377-391. Goodwin P, Wright G. 2004. Decision Analysis for Management Judgment. West Sussex: J Wiley. Haeruman H. 1997. Strategy for sustainable management of non-forest products. The International Workshop on Sustainable Management of Non-Wood Forest Products. Selangor: Universiti Putra Malaysia. Harada, K. 2003. Attitudes of local people towards conservation and Gunung Halimun National Park in West Jawa, Indonesia. Journal of Forest Resource 8:271-282. Hayes TM. 2006. Parks, people, and forest protection: an institutional assesment of the effectiveness of protected areas. World Dev 34(12):2064-2075. Hayes TM, Ostrom E. 2005. Conserving the world’s forest: are areas the only way?. Indiana Law Rev 38:594-617.
203 Hayden FG. 2006. Policy Making for a Good Society: The Social Fabric Matrix Approach to Policy Analysis and Program Evaluation. New York: Springer. Hogwood BW, Gunn LA. 1984. Policy Analysis for the Real World. New York: Oxford Univ Pr. Hosmer DW, Lemeshow S. 2000. Applied Logistic Regression 2nd Edition. New York: J Wiley. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources 1980. World conservation strategy: Living resource conservation for sustainable development. Gland: IUCN. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1994. Guidelines for protected area management categories. Gland: IUCN. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2005. Benefits Beyond Boundaries: Proceeding of the Vth IUCN World Parks Congress. Gland: IUCN. Jackson MC. 2000. Systems Approaches to Management. New York: Kluwer Academic/Plenum. Jackson MC. 2006. Creative holism: a critical system approaches to complex problem situation. Syst Res Behav Sci 23(5):647-658. Jeanrenaud S. 2002. People-oriented approaches to global conservation – is the Leopard changing its spots. London: IIED. Jim CY, Steve SW, Xu. 2002. Stifled stakeholders and subdued participation: interpreting local responses toward Shimentai Nature Reserve in South China. J Environ Mngt 30(3):327-341. Kanungo S, Bhatnagar VK. 2002. Beyond generic models for information system quality, the use of Interpretive Structural Modelling (ISM). Syst Res 19:531549. Keiner M. 2005. History, definitions and models of “sustainable development”. [terhubung berkala] http://e-collection.ethbib.ethz.ch/ecol-pool/bericht_ 416.pdf. 21 Mar 2007. Kideghesho JR, Roskaft E, Kaltenborn BP. 2007. Factors influencing conservation attitudes of local people in Western Serengeti, Tanzania. Biodiv Conserv 16:2213-2230. Kothari A, Pathak N. 2006. Protected Areas, Community Based Conservation and Decentralisation: Lessons from India. Gland: IUCN Regional Protected Areas Programme, Asia.
204 Kramer RA, Sills EO, Pattanayak SK. 2009. National Park as Conservation and Development Projects: Gauging Local Support. Di dalam: Ninan KN, editor. Conserving and Valuing Ecosystem Services and Biodiversity: Economic, Institutional and Social Challenges. London: Earthscan. Hlm 113-132. Kuncoro, M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga. Liverman DM, Hanson ME, Brown BJ, Merideth RW. 1988. sustainability, toward measurement. Environ Mngt 12(2):133-143.
Global
Locke H, Dearden P. 2005. Rethinking protected areas categories and the new paradigm. Environ Conserv 32(1):1-10. Luckett S, Grossenbacher K. 2003. A critical systems intervention to improve the implementation of a District Health System in KwaZulu-Natal. Syst Res Behav Sci 20:147-162. MacKinnon K. 2001. Integrated conservation and development projects - can they work?. Parks 11(2):1-5. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1986. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, penerjemah. Yogyakarta: Gajahmada Univ Pr. Terjemahan dari: Managing Protected Areas in the Tropics. Malone TW, Crowston K. 1994. The interdisciplinary study of coordination. ACM Comp Survey 26(1):87-119. Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. Mason RO, Mitroff I. 1981. Challenging strategic planning assumptions. New York: J Wiley. Mbile et al. 2005. Linking management and livelihood in environmental conservation: case of the Korup National Park Cameroon. J Environ Mngt 76:1-13. McCarthy JF. 2002. Turning in circles: District Governance, illegal logging, and environmental decline in Sumatera, Indonesia. Soc Nat Res 15:867-886. McQuistan CI, Fahmi Z, Leisher C, Halim A, Adi SW. 2006. Protected area funding in Indonesia: a study implemented under the Programmes of Work on Protected Areas of the Seventh Meeting of the Conference of Parties on the Convention on Biological Diversity. Jakarta: State Ministry of Environment. Mehta JN, Heinen JT. 2001. Does community-based conservation shape favorable attitudes among locals? An empirical study from Nepal. J Environ Mngt 28(2):165-177.
205 Mingat A, Tan JP. 2003. Diagnosing Structural Weaknesses in Education – Implications for Project Selection. Di dalam: Mingat A, Tan JP, Sosale S. Tools for Education Policy Analysis. Washington: The World Bank. Mink S. 1999. Poverty, population and the environment. Discussion Paper No. 189. Washington D.C: World Bank.
World Bank
Morris J, Vathana K. 2003. Poverty reduction and protected areas in the Lower Mekong region. Parks 13(3):15-22. Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis sistem dinamis: lingkungan hidup, sosial, ekonomi, manajemen. Jakarta: UMJ Pr. Nicholson E, Keith DA, Wilcove DS. 2009. Assessing the threat status of ecological communities. Conserv Biol 23(2):259-274. Ormsby A, Kaplin BA. 2005. A framework for understanding community resident perseptions of Masoala National Park, Madagaskar. Environ Conserv 32(2):156-164. Ostrom E. 1994. Neither Market norSstate: Governance of Common-pool Resources in theTtwenty-first Century. Washington DC: International Food Policy Research Institute. Papageorgiou K, Vogiatzakis IN. 2006. Nature protection in Greece: an appraisal of the factors shaping integrative conservation and policy effectiveness. Environ Sci Policy:476-486. Parsons DW. 2005. Public policy: an introduction to the theory and practice of policy analysis. London: Edward Elgar Pub. Phillips A. 2002. Management guidelines for IUCN Category V protected areas: protected lanscapes/seascapes. Gland: IUCN. Phillips A. 2003. Turning ideas on their head: the new paradigm for protected areas. The George Wright Forum 20(2):8-32. Pirot JY, Meynell PJ, Elder D. 2000. Ecosystem Management: Lessons from around the World – A Guide for Development and Conservation Practioners. Gland: IUCN. Resosudarmo IAP. 2002. Closer to people and trees: will decentralization work for the people and the forests of Indonesia?. World Resources Institute Conference on Decentralization and the Environment. Bellagio, Italy 18-22 Feb 2002. Washington: WRI. Richardson GP, Pugh A. 1983. Introduction to System Dynamics Modelling with Dynamo. Cambridge: MIT Pr.
206 Rinekso S. 2005. Pengelolaan kawasan konservasi sebagai benteng terakhir konservasi sumber daya alam hayati: sebuah tuntutan pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi di era otonomi daerah. Di dalam: Paradigma Pengelolaan Sumber daya Alam Indonesia di Masa Mendatang: Konsep dan Pemikiran Prof. Dr.Ir. H. Herman Haeruman Js, MF. Prosiding Seminar Nasional; Bogor, 11 Juni 2005, Bogor: Fahutan IPB dan HA Fahutan IPB, hlm 111-139. Riyanto B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Rodriguez JP, Balch JK, Rodriguez-Clark KM. 2007. Assessing extinction risk in the absence of species-level data: quantitative criteria for terrestrial ecosystem. Biodiv Conserv 16:183-209. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Setiono L [Penerjemah]; Peniwati IK [Editor]. Terjemahan dari: Decision Making for Leaders: the Analytical Hierarchy Process for Decisions in Complex World. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Salim E. 1993. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta:LP3ES. Sargent RG. 1998. Validation and verification of simulation models. Di dalam: Medeiros DJ, Watson EF, Carson JF, Manivannan MS, editor. Proceedings of the 1998 Winter Simulation Conference; Washington, 13-16 Dec 1998. San Diego: IEEE, ACM, Soc Comp Sim Int. Hlm 121-130. Saxena JP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and classification of program plan elements using Interpretive Structural Modeling: a case study of energy conservation in the Indian Cement Industry. Syst Practice 5(6):651-670. Schleicher-Tappeser R, Lukesch R, Strati F, Thiertein A, Sweeney G. 1997. Sustainable regional development: an integrative concept. Conference of Science for a Sustainable Society. Roskilde. Sekhar NU. 2003. Local people’s attitudes towards conservation and wildlife tourism around Sariska Tiger Reserve, India. J Environ Mngt 69:339-347. Shadie P, Epps M. 2008. Securing protected areas in the face of global change: key lessons learned from case studies and field learning sites in protected areas. Bangkok: IUCN Asia Regional Office. Silori CS. 2007. Perception of local people towards conservation of forest resources in Nanda Devi Biosphere Reserve, north-western Himalaya, India. Biodiv Conserv 16:211-222.
207 Soemarwoto O. 2004. Atur-Diri-Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup – Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak pada Rakyat, Ekonomis, Berkelanjutan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Soetarto E, Sitorus MTF, Napiri MY. 2001. Decentralization of administration, policy making and forest management in Ketapang district, West Kalimantan. Bogor: CIFOR. Sofyar F. 2004. Pengembangan Kebijakan Usaha Kecil yang Berbasis Produksi Bersih [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Soto B, Munthali SM, Breen C. 2001. Perceptions of the forestry and wildlife policy by the local communities living in the Maputo Elephant Reserve, Mozambique. Biodiv Conserv 10:1723-1738. Spangenberg JH. 2002. Institutions for sustainable development: indicators for performance assessment. Di dalam: Governance for Sustainable Development, Barcelona Workshop (18-19 April 2002), the Advisory Council for the Sustainable Development of Catalonia. Spain. Hlm 133-162. [terhubung berkala] http://www.gencat.net/cads/ pdf/paper2.pdf. 12 Agustus 2007. Spiteri A, Nepal SK. 2008. Distributing conservation incentives in the buffer zone of Chitwan National Park, Nepal. Environ Conserv 35(1):76-86. Stemler S. 2001. An overview of content analysis. Pract Assmt Res Eval 7(17). [terhubung berkala] http://PAREonline.net/getvn.asp?v=7&n=17. 5 Des 2008. Sterner T. 2003. Policy Instruments for Environmental and Natural Resource Management. Washington: RFF Pr. Stevens, S. 1997. Conservation through cultural survival: indigenous peoples and protected areas. Washington: Island Press. Stevens C. 2006. A review of relevant experience in sustainable tourism in the coastal and marine environment. [terhubung berkala] http:// www.plantmaterials.nrcs.usda.gov/pubs/nypmcpr7497.pdf. 3 Agustus 2010. Stringer LC et al. 2006. Unpacking “participation” in the adaptive management of social-ecological systems: critical review. Ecol Society 11(2):39. [terhubung berkala] http://www.ecologyandsociety.org/vol11/iss2/art39/. 3 Des 2007. Subarsono AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugandhy, A. 2006. Pengelolaan Taman Nasional dalam Pembangunan Berkelanjutan: Studi Kasus Kawasan Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur, Propinsi Lampung. [Disertasi]. Depok: Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
208 Suharto ES. 2008. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Penerbit Alfabeta. Sukmadi R. 2005. Pengelolaan kawasan konservasi sebagai benteng terakhir konservasi sumberdaya alam hayati: sebuah tuntutan pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi di era otonomi daerah. Di dalam: Nugroho B, Suharjito D, Soedomo S, Kartodihardjo H, editor. Paradigma Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia di Masa Mendatang. Prosiding Seminar Nasional: Bogor, 11 Juni 2005. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. hlm 111-139. Sushil. 1993. System dynamics: a practical approach for managerial problems. New Delhi: Wiley Eastern Ltd. [TNKS] Balai Taman Nasional Kerinci Seblat. 2007. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Kerinci Seblat Tahun 2006. Sungai Penuh: Balai Taman Nasional Kerinci Seblat. [TNKS] Balai Taman Nasional Kerinci Seblat. 2005a. Zonasi Taman Nasional Kerinci Seblat (Buku II). Sungai Penuh: Balai Taman Nasional Kerinci Seblat. [TNKS] Balai Taman Nasional Kerinci Seblat. 2005b. Inventarisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam. Sungai Penuh: Balai Taman Nasional Kerinci Seblat. [UNCED] United Nations Commission on Environment and Development. 1992. Agenda 21. New York:UN. [UNDESA] United Nations Departement of Economic and Social Affairs. 2001. Indicators of Sustainable Development: Guidelines and Methodology. New York: United Nations Publications. [terhubung berkala] http://www.un.org/ esa/sustdev/publications/indisd-mg2001.pdf. 23 Nov 2007. [UNDESA] United Nations Departement of Economic and Social Affairs. 2002. Guidance in Preparing a National Sustainable Strategy: Managing Sustainable Development in the New Millenium. Background Paper No.13New York: United Nations Pub. [terhubung berkala] http://www.un.or/esa/sustdev/ publications/ nsds_guidance.pdf. 23 Nov 2007. Walker WE. 2000. Policy analysis: a systematic approach to supporting policy making in the public sector. J Multi-Crit Decis Anal 9:11-27. [WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. South Melbourne: Oxford Univ Pr. Weber RP. 1990. Basic Content Analysis. London: Sage Pub. Welch D. 2005. What should protected areas managers do in the face of climate change?. The George Wright Forum 22(1):75-93.
209 Wells MP, Sharma UR. 1998. Socio-economic and political aspects of biodiversity conservation in Nepal. Int J Soc Econ 25(2/3/4):226-243. Weimer DL, Vining AR. 1989. Policy Analysis: Concept and Practice. New York: Prentice-Hall Int. Wilcox D. 1994. The Guide of Effective Participation. [terhubung berkala] http://www.partnerships.org.uk/guide/index.html. 23 Nov 2007. Wilson, A. 2003. All parks are people’s parks. Policy Matters 12:71-75. [YPF] Yellowstone Park Foundation. 2005. Yellowstone Park Foundation Annual Report 2004. [terhubung berkala]. http://www.ypf.org/pdfs/annualreport.pdf. 3 Agustus 2010. Zhong L, Deng J, Xiang B. 2008. Tourism development and the tourism area life-cycle model: a case study of Zhangjiajie National Forest Park, China. Tourism Mngt 29(5):841-856.
Referensi Kebijakan: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
210 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupten/Kota. Peraturan Menteri Kehutanan P. 19/Menhut-II/2004. Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Peraturan Menteri Kehutanan P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional.
211
LAMPIRAN
212 Lampiran 1 Pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan, persepsi dan sikap No Pertanyaan Pengetahuan 1 Apakah mengetahui tentang adanya atau keberadaan TNKS di wilayah ini? 2 Apakah mengetahui atau melihat adanya batas kawasan TNKS? 3 Apakah mengetahui bahwa menggarap lahan di kawasan TNKS tidak diperbolehkan? 4 Apakah mengetahui fungsi dan manfaat TNKS bagi masyarakat secara umum? Persepsi 5 TNKS memberikan manfaat ekonomi secara langsung/mendapatkan penghasilan dari keberadaan TNKS 6 TNKS memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung, misal sumber air pertanian Sikap 7 Kawasan TNKS diperlukan untuk konservasi/melestarikan sumberdaya alam hayati 8 Kawasan TNKS diperlukan untuk menjaga keseimbangan alam agar tidak terjadi bencana 9 Keberadaan TNKS seharusnya dijaga bersama agar fungsi dan manfaatnya dapat diwarisi generasi mendatang 10 Pengelola TNKS dan pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan pemanfaatan taman nasional
213 Lampiran 2 Kebijakan Terkait Sistem Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah Jenis Undang-Undang
Nomor
Tentang
Keterkaitan
5 Tahun 1990
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Penetapan kawasan taman nasional dan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
41 Tahun 1999
Kehutanan
Pengelolaan kawasan hutan
17 Tahun 2003
Keuangan Negara
Pengelolaan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang
1 Tahun 2004
Perbendaharaan Negara
Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
32 Tahun 2004
Pemerintah Daerah
Penyelenggaraan pemerintah daerah di wilayah administratif luar kawasan taman nasional
33 Tahun 2004
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan
26 Tahun 2007
Penataan Ruang
Pengembangan pola ruang kawasan taman nasional
214
Jenis Undang-Undang
Peraturan Pemerintah
Nomor
Tentang
Keterkaitan
10 Tahun 2009
Kepariwisataan
Pembangunan dan pengembangan potensi wisata taman nasional
32 Tahun 2009
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup taman nasional
13 Tahun 1994
Perburuan Satwa Liar
Pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan satwa liar
68 Tahun 1998
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional
7 Tahun 1999
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Pengaturan penyelenggaraan pengawetan jenis tumbuhan an satwa
8 Tahun 1999
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
Pengaturan penyelenggaraan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar
215 Jenis Peraturan Pemerintah
Nomor
Tentang
Keterkaitan
4 Tahun 2001
Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Pengaturan pengendalian kebakaran hutan, Lingkungan Hidup yang Berkaitan termasuk hutan di kawasan taman nasional Kebakaran Hutan dan/ lahan
23 Tahun 2005
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Pengaturan pengelolaan keuangan instansi pemerintah yang berbentuk Badan Layanan Umum
55 Tahun 2005
Dana Perimbangan
Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan
72 Tahun 2005
Desa
Pengaturan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
6 Tahun 2007
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
Pengaturan penataan hutan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan
26 Tahun 2007
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
Pengaturan perencanaan struktur dan pola ruang
216
Jenis
Nomor
Tentang
38 Tahun 2007
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pengaturan kewenangan pengelolaan kawasan taman nasional
8 Tahun 2008
Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
Pengaturan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi rencana pembangunan daerah
76 Tahun 2008
Rehabilitasi dan ReklamasiHutan
Pengaturan rehabilitasi dan reklamasi hutan
36 Tahun 2010
Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
Pengaturan penyelenggaraan, pengusahaan, dan pemanfaatan taman nasional untuk pariwisata alam
Peraturan Presiden
5 Tahun 2010
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014
Pembagunan berdimensi kewilayahan untuk memperkuat sinergi Pusat-Daerah dan Antardaerah
Peraturan Menteri Kehutanan
P.01/Menhut-II/ 2004
Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry
Meningkatkan dukungan dan kesejahteraan masyarakat untuk kelestarian sumber daya hutan
Peraturan Pemerintah
Keterkaitan
217 Jenis
Nomor
Tentang
Keterkaitan
Peraturan Menteri Kehutanan
P.19/Menhut-II/ 2004
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Peningkatan efektifitas pengelolaan taman nasional
P.56/Menhut-II/ 2006
Pedoman Zonasi Taman Nasional
Dasar pengelolaan taman nasional
P.03/Menhut-II/ 2007
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Kepengurusan operasional taman nasional Teknis Taman Nasional
P.35/Menhut-II/ 2007
Hasil Hutan Bukan Kayu
Pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
P.70/Menhut-II/ 2008
Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Operasional rehabilitasi dan konservasi hutan
P.48/Menhut-II/ 2008
Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar
Operasional perlindungan satwa liar
P.12/Menhut-II/ 2009
Pengendalian Kebakaran Hutan
Perlindungan hutan taman nasional dari kebakaran
P.19/Menhut-II/ 2009
Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional
Pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu
218 Jenis Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor
Tentang
Keterkaitan
5 Tahun 2007
Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan
Pengaturan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan
19 Tahun 2007
Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/ Kelurahan
Upaya meningkatkan pengetahuan, sikap, ketrampilan dan perilaku masyarakat/aparatur desa
219 Lampiran 3 Karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat lokal No
Karakteristik
1
Umur (tahun)
2
Jarak domisili ke TNKS (km)
3
Lama bermukim (tahun)
4
Ukuran keluarga (jiwa/KK)
5
Pendidikan formal
6
8
Pendidikan non-formal Aktifitas berorganisasi Pekerjaan utama
9
Etnis
10
Penghasilan keluarga Kesejahteraan
7
11
12
Kepemilikan lahan pertanian
Kelompok Minimum Maksimum Rata-rata Minimum Maksimum Rata-rata Minimum Maksimum Rata-rata Minimum Maksimum Rata-rata Kurang dari SMA SMA atau lebih Tidak pernah Pernah Tidak aktif Aktif Petani Bukan petani Penduduk asli Pendatang Kurang/sama 1 juta Lebih 1 juta Tidak menerima bantuan tunai Pernah menerima Tidak memiliki lahan Memiliki lahan
Kabupaten Kerinci
Kabupaten Lebong
Total (%)
24 61 40 1 10 4 1 60 30 2 6 4 160 37 139 58 145 52 192 5 123 74 173 24 123
21 73 41 1 7 3 1 66 34 2 6 4 59 38 50 47 62 35 89 8 92 5 85 12 71
21 73 41 1 10 3 1 66 31 2 6 4 219 (74%) 75 (26%) 189 (64%) 105 (36%) 207 (70%) 87 (30%) 281 (96%) 13 ( 4%) 215 (73%) 79 (27%) 258 (88%) 36 (12%) 194 (66%)
74 96 101
26 58 39
100 (34%) 154 (52%) 140 (48%)
220 Lampiran 4 Hasil ISM untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi a.
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
b.
1
2 A
3 A A
4 A A 0
5 V V V X
6 0 V V A V
7 0 0 V V 0 X
8 A A A A A 0 A
9 A A A A 0 0 A X
10 X V V V 0 A A V V
11 12 13 14 15 16 17 A A A A A A A A A A A A A A V V V V V V V V V 0 V 0 X V A A A A A A A A A A A X 0 A 0 A A A A A A V V V V V V V V V V V V V V A A A A A A A A A A A A A A X A V X V V V V A V X V V A
18 19 20 0 A V V X V V V V V X V 0 X 0 A A A X V A V V V V V V 0 A 0 V V V V 0 V X V V V 0 V V 0 X V V V V 0 V A 0 V
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12 13 14 15 16
17
18 19 20 Drv
R
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
4
9
2
1
1
0
0
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
8
8
3
1
1
1
0
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
17
2
4
1
1
0
1
1
0
1
0
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
14
4
5
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
4
9
6
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
4
9
7
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
4
9
8
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
19
1
9
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
19
1
10
1
0
0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
9
11
1
1
0
0
1
1
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
9
7
12
1
1
0
0
1
1
1
0
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
13
5
13
1
1
0
0
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
16
3
14
1
1
0
0
1
1
1
0
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
13
5
15
1
1
0
0
1
1
1
0
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
0
1
14
4
16
1
1
0
1
1
0
1
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
1
1
1
11
6
17
1
1
0
0
1
1
1
0
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
13
5
18
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
4
9
19
1
1
0
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
9
7
20 0 0 Dep 15 13 L 1 2
0 3 8
0 0 1 1 7 15 15 15 6 1 1 1
0 2 9
0 2 9
0 15 1
0 11 3
0 9 5
0 5 7
0 9 5
1 7 6
0 10 4
0 9 5
0 0 1 15 11 15 1 3 1
4
9
221 Lampiran 5 Hasil ISM untuk elemen pelaku yang terlibat a. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
b. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Dep L
Drv Dep R L
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas 1
2 V
3 V 0
4 V A A
5 X A A A
6 V A A V V
7 V V V V V V
8 V V V V V V V
9 V V X V V V V 0
10 11 12 13 14 15 16 17 18 V V X V V V V V V A A A V V V 0 0 V A A A V V V 0 0 X V V A V V V V V V V V X V V V V V V X X A V V V V V V A A A V X X A A V A A A 0 A A A A A A A A 0 A A A A 0 X A V V V V V V A V V V V V V V V V V V V A A A A V X A A V A A V A V V
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 3 9
2 3 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 10 10 4 4
: : : :
4 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 4 8
5 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 3 9
Driver Power Dependence Ranking Level
6 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 7 7
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Drv 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 8 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 8 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 15 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 14 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 7 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 14 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 2 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 7 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 7 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 9 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 10 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 14 16 15 7 7 3 15 14 14 9 8 15 3 1 2 7 7 9 2 3 3 5 6 2
R 1 6 6 2 1 3 7 9 8 3 3 1 8 7 7 5 4 8
222 Lampiran 6 Hasil ISM untuk elemen kebutuhan a.
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
b.
1
2 A
3 A 0
4 A V X
5 A V 0 A
6 A V V X V
7 A V V V X V
8 A V A 0 A A A
9 A V X 0 V A A V
10 A V V 0 V 0 A V X
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Dep L
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 1
Drv Dep R L
: : : :
2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 7
3 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 4 5
4 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 4 4
Driver Power Dependence Ranking Level
5 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 3 5
6 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 7 3
7 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 2
8 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 2 6
9 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 4 4
10 Drv 0 1 1 9 1 7 1 6 1 7 0 4 0 3 1 8 1 6 1 4 7 3
R 7 1 3 4 3 5 6 2 4 5
223 Lampiran 7 Hasil ISM untuk elemen tujuan a. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
b. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Dep L
Drv Dep R L
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas 1
2 V
3 V V
4 V 0 0
5 V A A 0
6 X A A A A
7 V V V V V V
8 V V V X V V A
9 V V V V V V A A
10 11 V V V V V V X V V V V V V A 0 A V X A
12 X A A A A X A A A A A
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 3 7
: : : :
2 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 5 5
3 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 6 4
4 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 6 4
Driver Power Dependence Ranking Level
5 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 4 6
6 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 3 7
7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 11 1
8 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 10 2
9 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 9 3
10 11 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 11 9 1 3
12 Drv Drv 1 12 1 0 7 3 0 6 4 0 6 4 0 8 2 1 12 1 0 2 7 0 3 6 0 5 5 0 2 7 0 5 5 1 12 1 3 7
224 Lampiran 8 Hasil ISM untuk elemen kendala utama a.
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
b.
1
2 A
3 V V
4 A A A
5 A A A A
6 A A A A X
7 A A A A V V
8 V V 0 V V V V
9 X V A V V V V A
10 A 0 A 0 V V 0 X A
11 V V 0 V V V V 0 V X
12 A A X A A A A A A A A
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Dep L
1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 9 2
Drv Dep R L
: : : :
2 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 6 3
3 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 10 1
4 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 5 4
Driver Power Dependence Ranking Level
5 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 3 6
6 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 3 6
7 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 4 5
8 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 10 1
9 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 9 2
10 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 1 6 3
11 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 10 1
12 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 7
Drv 5 6 2 7 11 11 8 2 5 6 2 12
R 7 6 8 5 3 2 4 8 7 6 8 1
225 Lampiran 9 Hasil ISM untuk elemen perubahan yang dimungkinkan a. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
b.
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas 1
2 X
3 V V
4 V V A
5 V V A A
6 X X A A A
7 V V A A X V
8 V V A V V V V
9 V V X 0 V V V 0
10 V V 0 A A V A A A
11 V V 0 A A V A A A X
12 V V A A V V V A A V V
13 V V 0 A A V A A A X X A
14 V V A 0 V V V A A V V V V
15 V V A A A V A A A V V A V A
16 A A A A A A A A A A A A A A A
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Dep L
1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 7
Drv Dep R L
: : : :
2 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 7
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 14 1
4 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 12 2
5 1 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 1 10 4
Driver Power Dependence Ranking Level
6 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 7
7 8 9 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 10 14 14 4 1 1
10 1 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 7 6
11 1 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 7 6
12 1 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 11 3
13 1 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 7 6
14 1 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 12 2
15 1 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 8 5
16 Drv 0 15 0 15 0 1 0 2 0 7 0 15 0 7 0 1 0 1 0 11 0 11 0 5 0 11 0 3 0 8 1 16 1 8
R 2 2 8 7 5 2 5 8 8 3 3 6 3 7 4 1
226 Lampiran 10 Hasil ISM untuk elemen kegiatan yang diperlukan a.
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
b.
1
2 X
3 X X
4 A A A
5 A A A A
6 A A A A X
7 A A A 0 V V
8 0 0 0 V V V V
9 0 0 0 V V V V X
10 0 0 0 V V V V X X
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Dep L
1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 7 1
Drv Dep R L
: : : :
2 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 7 1
3 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 7 1
4 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 3 2
Driver Power Dependence Ranking Level
5 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 2 3
6 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 2 3
7 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 3 2
8 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 7 1
9 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 7 1
10 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 7 1
Drv 3 3 3 6 10 10 6 3 3 3
R 3 3 3 2 1 1 2 3 3 3
227 Lampiran 11 Persamaan model sistem dinamik pengelolaan taman nasional init
Dana_Pengamanan = 8900000000
flow
Dana_Pengamanan = -dt*L_Kurang_DP +dt*L_Dana_Pengamanan
init
Jumlah_Investasi = 3189000000
flow
Jumlah_Investasi = +dt*Laju_Investasi
init
Jumlah_Penddk = 291917
flow
Jumlah_Penddk = -dt*Laju_Pengurangan +dt*Laju_Penambahan
init
Jumlah_UMKM = 504
flow
Jumlah_UMKM = +dt*Laju_UMKM
init
Kbth_Lahan_Bud = 560
flow
Kbth_Lahan_Bud = +dt*L_Keb_Lahan
init
Kepemilikan_Lahan = 1.12
flow
Kepemilikan_Lahan = +dt*L_KLahan
init
Kes_Ekosistem = 7
flow
Kes_Ekosistem = -dt*L_Degradasi_KE +dt*L_Peningkatan_KE
init
Ls_Rehabilitasi = 0
flow
Ls_Rehabilitasi = +dt*L_Rehab_Hutan
init
Luas_Kerusakan_TN = 3087
flow
Luas_Kerusakan_TN = -dt*L_Perbaikan +dt*L_Kerusakan
init
M_Penc_Alternatif = 862
flow
M_Penc_Alternatif = +dt*L_Alternatif_MP
228 init
Partisipasi = 1
flow
Partisipasi = +dt*Laju_Partisipasi
init
Pendapatan_Masy = 2745540
flow
Pendapatan_Masy = +dt*L_Pendapatan
aux
L_Alternatif_MP = Jumlah_UMKM*Fr_Alternatif_MP
aux
L_Dana_Pengamanan = Dana_Pengamanan*Fr_Dana_Kelola
aux
L_Degradasi_KE = Kes_Ekosistem*Fr_DKE*P_Kerusakan_TN
aux
L_Keb_Lahan = Laju_Tumb_KK*Fr_Keb_Lahan
aux
L_Kerusakan = Perambahan*Fr_Kerusakan
aux
L_KLahan = (Pendapatan_Masy*Fr_Klahan)
aux
L_Kurang_DP = Dana_Pengamanan*Manfaat*Fr_KDP
aux
L_Pendapatan = M_Penc_Alternatif*Fr_JMP_Alternatif
aux
L_Peningkatan_KE = Pengamanan_TN*Fr_Tingkat_KE
aux
L_Perbaikan = DELAYMTR(Ls_Rehabilitasi, Fr_Perbaikan, 1, 0)
aux
L_Rehab_Hutan = Reboisasi*Fr_Rehab_Hutan
aux
Laju_Investasi = Jumlah_Investasi*Fr_Investasi
aux
Laju_Partisipasi = Pengetahuan*Fr_Partisipasi
aux
Laju_Penambahan = Jumlah_Penddk*Fr_Penambahan_Pdd
aux
Laju_Pengurangan = Jumlah_Penddk*Fr_Pengurangan_Pdd
aux
Laju_UMKM = Jumlah_Investasi*Fr_UMKK
aux
Laju_Tumb_KK = Laju_Tumbuh_Neto/Fr_JKK
aux
Laju_Tumbuh_Neto = Laju_Penambahan-Laju_Pengurangan
aux
Manfaat = Fr_Manfaat*Pengamanan_TN
aux P_Kerusakan_TN = GRAPH(Luas_Kerusakan_TN,0,200000,[0.01,0.02,0.03,0.04,0.05,0.06,0.07,0.08, 0.09,0.1,0.1"Min:0;Max:1"])
229 aux P_Pendapatan = GRAPH(Pendapatan_Masy,1000000,1000000,[0,10,15,20,25,30,35,40,50,60,70,8 0,90,100,100"Min:0;Max:100"]) aux
Pengamanan_TN = Partisipasi*Fr_KTN
aux
Pengetahuan = P_Pendapatan*Fr_Pengetahuan
aux Penyerapan_TK (Kbth_Lahan_Bud*Fr_Serap_LB)+(Ls_Rehabilitasi*Fr_Serap_Rehab) aux
=
Perambahan = Kbth_Lahan_Bud*Fr_Rambah
aux Reboisasi GRAPH(TIME,1998,1,[0,0,0,0,0,125,75,200,200"Min:0;Max:600"]) const Fr_Alternatif_MP = 0.2 const Fr_Dana_Kelola = 0.0012 const Fr_DKE = 1 const Fr_Investasi = 0.1972 const Fr_JKK = 3.5 const Fr_JMP_Alternatif = 300 const Fr_KDP = 0.005 const Fr_Keb_Lahan = 1 const Fr_Kerusakan = 1 const Fr_Klahan = 0.00000001 const Fr_KTN = 1 const Fr_Manfaat = 0.001 const Fr_Partisipasi = 0.01 const Fr_Penambahan_Pdd = 0.0233 const Fr_Pengetahuan = 0.01 const Fr_Pengurangan_Pdd = 0.0155 const Fr_Perbaikan = 5
=
230 const Fr_Rambah = 1 const Fr_Rehab_Hutan = 1 const Fr_Serap_LB = 1 const Fr_Serap_Rehab = 20 const Fr_Tingkat_KE = 0.0001 const Fr_UMKK = 0.000000010468
231 Lampiran 12 Nilai fuzzy agregat pendapat pakar A. Perbandingan Faktor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Faktor Internal Manajemen Internal Manajemen Internal Manajemen Internal Manajemen Kondisi Sosial Ekonomi Masy. Kondisi Sosial Ekonomi Masy. Kondisi Sosial Ekonomi Masy. Kondisi Fisik Kawasan Kondisi Fisik Kawasan Partisipasi Masyarakat Kondisi Sosial Ekonomi Masy. Kondisi Fisik Kawasan Kondisi Fisik Kawasan Partisipasi Masyarakat Partisipasi Masyarakat Partisipasi Masyarakat Kebijakan Sektor/Daerah Kebijakan Sektor/Daerah Kebijakan Sektor/Daerah Kebijakan Sektor/Daerah
Agregasi Pakar BB BT BA 1.00 1.32 1.65 1.46 1.97 2.47 0.64 0.88 1.19 1.22 1.61 2.08 1.46 1.97 2.47 0.42 0.54 0.74 0.93 1.32 1.78 0.45 0.58 0.82 0.47 0.62 0.90 1.32 1.83 2.34 0.60 0.76 1.00 0.40 0.51 0.69 0.40 0.51 0.69 0.84 1.14 1.57 1.36 1.86 2.36 1.22 1.73 2.24 0.48 0.62 0.82 0.56 0.76 1.07 1.11 1.61 2.11 0.43 0.55 0.76
Faktor Kondisi Sosial Ekonomi Masy. Kondisi Fisik Kawasan Partisipasi Masyarakat Kebijakan Sektor/Daerah Kondisi Fisik Kawasan Partisipasi Masyarakat Kebijakan Sektor/Daerah Partisipasi Masyarakat Kebijakan Sektor/Daerah Kebijakan Sektor/Daerah Internal Manajemen Internal Manajemen Kondisi Sosial Ekonomi Masy. Internal Manajemen Kondisi Sosial Ekonomi Masy. Kondisi Fisik Kawasan Internal Manajemen Kondisi Sosial Ekonomi Masy. Kondisi Fisik Kawasan Partisipasi Masyarakat
232 B. Perbandingan Stakeholder 1 Internal Manajemen No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Stakeholder Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha
Agregasi Pakar BB BT BA 1.73 2.24 2.74 1.19 1.70 2.21 1.50 2.00 2.50 2.11 2.62 3.12 0.59 0.90 1.32 0.78 1.19 1.65 0.93 1.32 1.78 0.93 1.32 1.78 0.84 1.22 1.68 1.03 1.57 2.08 0.37 0.45 0.58 0.45 0.59 0.84 0.76 1.11 1.68 0.40 0.50 0.67 0.60 0.84 1.28 0.56 0.76 1.07 0.32 0.38 0.47 0.56 0.76 1.07 0.59 0.82 1.19 0.48 0.64 0.97
Stakeholder Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi
233 B. Perbandingan Stakeholder 2 Kondisi sosial ekonomi masyarakat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Stakeholder Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha
Agregasi Pakar BB BT BA 0.40 0.51 0.69 0.59 0.90 1.32 1.22 1.73 2.24 1.03 1.41 1.88 1.03 1.57 2.08 1.46 1.97 2.47 0.93 1.35 1.83 1.00 1.50 2.00 0.71 1.11 1.57 0.50 0.74 1.11 1.46 1.97 2.47 0.76 1.11 1.68 0.48 0.64 0.97 0.45 0.58 0.82 0.40 0.51 0.69 0.50 0.67 1.00 0.53 0.71 0.97 0.55 0.74 1.07 0.64 0.90 1.41 0.76 1.11 1.68
Stakeholder Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi
234 B. Perbandingan Stakeholder 3 Kondisi fisik kawasan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Stakeholder Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha
Agregasi Pakar BB BT BA 0.32 0.38 0.47 0.37 0.45 0.58 1.08 1.41 1.80 0.84 1.16 1.50 0.59 1.00 1.46 1.08 1.41 1.80 0.84 1.22 1.68 1.08 1.41 1.80 0.71 1.11 1.57 0.47 0.76 1.11 1.30 1.58 1.88 0.46 0.55 0.66 0.69 1.00 1.68 0.56 0.71 0.93 0.56 0.71 0.93 0.56 0.71 0.93 0.67 0.86 1.19 0.59 0.82 1.19 0.47 0.62 0.95 0.90 1.32 2.11
Stakeholder Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi
235 B. Perbandingan Stakeholder 4 Partisipasi masyarakat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Stakeholder Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha
Agregasi Pakar BB BT BA 0.59 0.82 1.19 0.47 0.69 1.00 0.43 0.52 0.63 1.22 1.73 2.24 0.50 0.74 1.11 1.50 2.00 2.50 1.61 2.11 2.62 1.32 1.70 2.18 1.86 2.36 2.87 0.66 0.97 1.39 0.61 0.84 1.12 1.00 1.46 2.11 0.66 0.93 1.34 0.45 0.58 0.82 0.40 0.50 0.67 0.48 0.62 0.82 0.45 0.58 0.82 0.38 0.47 0.62 0.35 0.42 0.54 0.60 0.82 1.07
Stakeholder Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi
236 B. 5 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Perbandingan Stakeholder Kebijakan sektoral/daerah Stakeholder Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha
Agregasi Pakar BB BT BA 0.40 0.51 0.69 1.11 1.61 2.11 1.14 1.52 1.99 1.22 1.73 2.24 1.50 2.00 2.50 1.50 2.00 2.50 1.73 2.24 2.74 0.43 0.55 0.76 1.00 1.50 2.00 0.59 0.82 1.19 1.46 1.97 2.47 0.47 0.62 0.90 0.40 0.50 0.67 0.50 0.66 0.88 0.40 0.50 0.67 1.32 1.83 2.34 0.45 0.58 0.82 0.37 0.45 0.58 0.50 0.67 1.00 0.84 1.22 1.68
Stakeholder Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Perguruan Tinggi Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Pemerintah Pusat/ Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat Lokal Perguruan Tinggi
237 C. Perbandingan Tujuan 1 Pemerintah Pusat/Pengelola No
Tujuan
Agregasi Pakar BB BT BA
Tujuan
1 Perlindungan ekosistem yang penting
0.71
1.22
1.73 Pelestarian keanekaragaman hayati
2 Perlindungan ekosistem yang penting
0.45
0.64
0.83 Peningkatan pendapatan masyarakat
3 Pelestarian keanekaragaman hayati
0.71
1.22
1.73 Peningkatan pendapatan masyarakat
4 Pelestarian keanekaragaman hayati
0.58
0.82
1.41 Perlindungan ekosistem yang penting
5 Peningkatan pendapatan masyarakat
0.58
0.82
1.41 Perlindungan ekosistem yang penting
6 Peningkatan pendapatan masyarakat
0.58
0.82
1.41 Pelestarian keanekaragaman hayati
C. Perbandingan Tujuan 2 Pemerintah Daerah No
Tujuan
Agregasi Pakar BB BT BA
Tujuan
1 Perlindungan ekosistem yang penting
0.52
0.84
1.16 Pelestarian keanekaragaman hayati
2 Perlindungan ekosistem yang penting
0.47
0.69
1.00 Peningkatan pendapatan masyarakat
3 Pelestarian keanekaragaman hayati
0.37
0.45
0.58 Peningkatan pendapatan masyarakat
4 Pelestarian keanekaragaman hayati
0.76
1.07
1.78 Perlindungan ekosistem yang penting
5 Peningkatan pendapatan masyarakat
0.35
0.44
0.60 Perlindungan ekosistem yang penting
6 Peningkatan pendapatan masyarakat
0.43
0.52
0.63 Pelestarian keanekaragaman hayati
238 C. Perbandingan Tujuan 3 Masyarakat lokal No
Tujuan
Agregasi Pakar BB BT BA
Tujuan
1 Perlindungan ekosistem yang penting
0.50
1.00
1.50 Pelestarian keanekaragaman hayati
2 Perlindungan ekosistem yang penting
0.45
0.58
0.82 Peningkatan pendapatan masyarakat
3 Pelestarian keanekaragaman hayati
0.47
0.62
0.90 Peningkatan pendapatan masyarakat
4 Pelestarian keanekaragaman hayati
0.67
1.00
2.00 Perlindungan ekosistem yang penting
5 Peningkatan pendapatan masyarakat
0.29
0.33
0.40 Perlindungan ekosistem yang penting
6 Peningkatan pendapatan masyarakat
0.73
1.03
1.34 Pelestarian keanekaragaman hayati
C. Perbandingan Tujuan 4 Perguruan tinggi No
Tujuan
Agregasi Pakar BB BT BA
Tujuan
1 Perlindungan ekosistem yang penting
0.84
1.36
1.86 Pelestarian keanekaragaman hayati
2 Perlindungan ekosistem yang penting
0.38
0.58
0.77 Peningkatan pendapatan masyarakat
3 Pelestarian keanekaragaman hayati
0.52
0.84
1.16 Peningkatan pendapatan masyarakat
4 Pelestarian keanekaragaman hayati
0.54
0.74
1.19 Perlindungan ekosistem yang penting
5 Peningkatan pendapatan masyarakat
0.58
0.82
1.41 Perlindungan ekosistem yang penting
6 Peningkatan pendapatan masyarakat
0.58
0.82
1.41 Pelestarian keanekaragaman hayati
239 C. Perbandingan Tujuan 5 Pelaku usaha No
Tujuan
Agregasi Pakar BB BT BA
Tujuan
1 Perlindungan ekosistem yang penting
0.50
1.00
1.50 Pelestarian keanekaragaman hayati
2 Perlindungan ekosistem yang penting
0.47
0.62
0.90 Peningkatan pendapatan masyarakat
3 Pelestarian keanekaragaman hayati
0.60
0.76
1.00 Peningkatan pendapatan masyarakat
4 Pelestarian keanekaragaman hayati
0.67
1.00
2.00 Perlindungan ekosistem yang penting
5 Peningkatan pendapatan masyarakat
0.43
0.52
0.63 Perlindungan ekosistem yang penting
6 Peningkatan pendapatan masyarakat
0.59
0.76
0.95 Pelestarian keanekaragaman hayati
D. Perbandingan Alternatif 1 Perlindungan ekosistem No
Alternatif
Agreagasi Pakar BB BT BA
Alternatif Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
1 Penguatan kelembagaan
0.84
1.22
1.68 upaya konservasi
2 Penguatan kelembagaan
1.22
1.61
2.08
3 Penguatan kelembagaan
1.14
1.52
1.99 publik
0.43
0.52
0.63
5 upaya konservasi
1.50
2.00
2.50 publik
6 Pelembagaan partisipasi masyarakat
1.11
1.61
2.11 publik
7 upaya konservasi 8 Pelembagaan partisipasi masyarakat
0.59
0.82
1.19
0.48
0.62
0.82 Penguatan kelembagaan
9 Pelembagaan partisipasi masyarakat
0.56
0.76
1.07 upaya konservasi
0.50
0.67
1.00
0.40
0.50
0.67 upaya konservasi
0.47
0.62
0.90
Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
4 upaya konservasi
Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
Pengembangan sistem informasi dan relasi
10 publik
Pengembangan sistem informasi dan relasi
11 publik
Pengembangan sistem informasi dan relasi
12 publik
Pelembagaan partisipasi masyarakat Pengembangan sistem informasi dan relasi Pelembagaan partisipasi masyarakat Pengembangan sistem informasi dan relasi Pengembangan sistem informasi dan relasi Penguatan kelembagaan
Pengentasan kemiskinan sebagai sarana Penguatan kelembagaan Pengentasan kemiskinan sebagai sarana Pelembagaan partisipasi masyarakat
240 D. Perbandingan Alternatif 2 Pelestarian keanekaragaman hayati No 1 2 3
Alternatif Penguatan kelembagaan Penguatan kelembagaan Penguatan kelembagaan Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
4 upaya konservasi
Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
5 upaya konservasi 6
Pelembagaan partisipasi masyarakat Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
7 upaya konservasi 8 Pelembagaan partisipasi masyarakat 9
Pelembagaan partisipasi masyarakat Pengembangan sistem informasi dan relasi
10 publik
Pengembangan sistem informasi dan relasi
11 publik
Pengembangan sistem informasi dan relasi
12 publik
Agregasi Pakar BB BT BA
Alternatif Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
0.50
0.90
1.36 upaya konservasi
0.50
0.67
1.00
0.50
0.67
1.00 publik
0.29
0.33
0.40
1.11
1.61
2.11 publik
1.00
1.50
2.00 publik
0.74
1.11
2.00
1.00
1.50
2.00 Penguatan kelembagaan
0.50
0.67
1.00 upaya konservasi
1.00
1.50
2.00
0.47
0.62
0.90 upaya konservasi
0.50
0.67
1.00
Pelembagaan partisipasi masyarakat Pengembangan sistem informasi dan relasi Pelembagaan partisipasi masyarakat Pengembangan sistem informasi dan relasi Pengembangan sistem informasi dan relasi Penguatan kelembagaan
Pengentasan kemiskinan sebagai sarana Penguatan kelembagaan Pengentasan kemiskinan sebagai sarana Pelembagaan partisipasi masyarakat
241 D. Perbandingan Alternatif 3 Peningkatan pendapatan masyarakat No 1 2 3
Alternatif
Agregasi Pakar BB BT BA
Penguatan kelembagaan Penguatan kelembagaan Penguatan kelembagaan Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
4 upaya konservasi
Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
5 upaya konservasi 6
Pelembagaan partisipasi masyarakat Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
7 upaya konservasi 8 Pelembagaan partisipasi masyarakat 9
Pelembagaan partisipasi masyarakat Pengembangan sistem informasi dan relasi
10 publik
Pengembangan sistem informasi dan relasi
11 publik
Pengembangan sistem informasi dan relasi
12 publik
Alternatif Pengentasan kemiskinan sebagai sarana
1.11
1.61
2.11 upaya konservasi
1.22
1.73
2.24
0.76
0.91
1.10 publik
1.50
2.00
2.50
1.50
2.00
2.50 publik
1.00
1.50
2.00 publik
0.47
0.62
0.90
0.45
0.58
0.82 Penguatan kelembagaan
0.40
0.50
0.67 upaya konservasi
0.41
0.52
0.71
0.40
0.50
0.67 upaya konservasi
0.50
0.67
1.00
Pelembagaan partisipasi masyarakat Pengembangan sistem informasi dan relasi Pelembagaan partisipasi masyarakat Pengembangan sistem informasi dan relasi Pengembangan sistem informasi dan relasi Penguatan kelembagaan
Pengentasan kemiskinan sebagai sarana Penguatan kelembagaan Pengentasan kemiskinan sebagai sarana Pelembagaan partisipasi masyarakat
Lampiran 13 Nilai eigen faktor, stakeholder, tujuan dan alternatif kebijakan
Stakeholder Bobot Pemerintah Pemda Masyarakat Perguruan Pelaku Faktor Pusat Lokal Tinggi Usaha
No
Faktor
1 2 3 4 5
Internal manajemen Kondisi sosek masyarakat Kondisi fisik kawasan Partisipasi masyarakat Kebijakan sektoral/daerah
0.43 0.22 0.18 0.19 0.26
0.17 0.30 0.26 0.30 0.40
0.20 0.21 0.22 0.33 0.10
0.15 0.10 0.15 0.11 0.15
0.05 0.17 0.20 0.07 0.08
Bobot Stakeholder
0.27
0.28
0.23
0.13
0.09
0.28 0.22 0.04 0.31 0.15
242 Tujuan Bobot Perlindungan Pelestarian Peningkatan Stakeholder ekosistem Keanekaragaman hayati pendapatan
No
Stakeholder
1 2 3 4 5
Pemerintah Pusat/Pengelola Pemerintah Daerah Masyarakat lokal Perguruan tinggi Pelaku usaha
0.33 0.37 0.34 0.35 0.35
0.35 0.36 0.35 0.32 0.36
0.32 0.27 0.31 0.33 0.29
Bobot Tujuan
0.35
0.35
0.30
0.27 0.28 0.23 0.13 0.09
Alternatif Penguatan Pengentasan Pelembagaan Relasi Bobot kelembagaan kemiskinan untuk konservasi partisipasi Publik Tujuan
No
Tujuan
1 2
Perlindungan ekosistem Pelestarian keanekaragaman hayati Peningkatan pendapatan
0.34
0.27
0.25
0.13
0.35
0.21
0.26
0.29
0.24
0.35
0.34
0.36
0.20
0.10
0.30
Bobot Alternatif
0.29
0.29
0.25
0.16
3
243 Lampiran 14 Bagan organisasi Lembaga Penjaminan Dana Bergulir KUMKM
Dewan Pengawas
Direktur Utama
Satuan Pemeriksaan Intern
Sumber: LPDB KUMKM
Divisi Bisnis II
Divisi Bisnis I
Direktur Bisnis
Divisi Umum
Divisi Hukum dan Humas
Direktur Keuangan dan Umum
Divisi Keuangan
Divisi Manajemen Resiko
Divisi Evaluasi dan Pengkajian
Divisi Perencanaan
Direktur Pengembangan Usaha
244 Lampiran 14 Bagan organisasi Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan
Sumber: Permenhut No. P31/Menhut-II/2007