Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah
Konflik di Era Otonomi Daerah ROBINSON SEMBIRING Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8201652 Diterima tanggal 21 Juli 2010/Disetujui tanggal 3 September 2010 Base on National Report Goverment Decentralization Survey 2002 by Centre for Population and Policy Studies Universitas Gajah Mada (UGM) with PEG USAID-UNDP World Bank, have fund interesting of data about conflict in North Sumatera Province. The first in nation trial case, North Sumatera province is more peace from conflict if compared to Riau Province. Second, in national case, North Sumatera province is one that can provide conflict resolution to maintain harmonism. This research answer why this phenomenon happened and observes what is conflict potency in North Sumatera Province related to regional autonomy era. It is so interesting because in the past North Sumatera Province often estimated as a gristle area. To be parallel with the society has hard character, heterogeneous and very dinamic. This study has found that in North Sumatera people standing in “conflict potencial” category. In this research appertain as lowest category. Because of that dynamics and violence of North Sumatera society basically is invisible. Keywords: Regional autonomy, social-political relationship, social conflict.
Pendahuluan Di banyak Provinsi di Indonesia ditemukan hasil penelitian bahwa implementasi otonomi daerah memicu munculnya konflik. Tetapi sebaliknya, data dari Sumatera Utara belum menunjukkan bahwa implementasi otonomi daerah cenderung menyulut konflik di wilayah ini. Sulawesi Utara memiliki index eskalasi konflik tertinggi dengan angka index mencapai 0,6633. Diikuti dengan wilayah Sulawesi Tengah dengan angka index eskalasi konflik 0,642. Sumatera Utara berada diperingkat 18 dengan angka index 0,3722. Kenyataan tersebut memunculkan berbagai pertanyaan akademik dan praktis, yakni; Konflik apakah yang paling potensial terjadi di Sumatera Utara? Adakah ada kekhususan konflik di Sumatera Utara sehubungan dengan implementasi otonomi daerah? Lalu, apakah yang perlu diperhatikan agar konflik tidak menghambat implementasi otonomi daerah di Sumatera Utara?
36
No.
Tabel 1 Otonomi Daerah dan Eskalasi Konflik Kota/Kabupaten Index
1 Sulawesi Utara 2 Sulawesi tengah 3 NTT 4 Jawa Timur 5 Kalimantan Selatan 6 Bali 7 Irian Jaya .... .............dst...... 18 Sumatera Utara Sumber: GDS, (2002).
0,6633 0,6428 0,6412 0,5458 0,5416 0,5203 0,5203 ......... 0,3722
Konflik yang timbul dalam kehidupan masyarakat umumnya bersumber pada ketidakmampuan untuk hidup berdampingan secara harmonis dengan orang-orang lain. Harmoni bukanlah merupakan hasil yang bersifat alami dari kehidupan masyarakat tetapi merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan. Jelasnya, agar terdapat kehidupan masyarakat yang lebih harmonis, harus ada upaya-upaya mengurangi segala macam bentuk pertentangan dan konflik. Namun perlu pula dicatat bahwa untuk mencapai harmoni, individu maupun kelompok harus berkorban berupa
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring kesediaan kehilangan sebagian kemerdekaannya. Walau demikian harus pula dicatat bahwa konflik tidak melulu memberikan dampak yang negatif. Terdapat juga akibat-akibat yang bersifat positif yang pada gilirannya memberikan kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat. Tidak heran adakalanya konflik diinginkan kehadirannya. Untuk menjelaskan hal ini, Amstutz 1 mengajukan tentang fungsifungsi konflik, yakni fungsi positif dan fungsi negatif konflik. Fungsi positif konflik adalah; (1). Konflik cenderung mengurangi konflik yang mendalam; (2).Konflik cenderung mendorong kreatifitas dan inovasi; (3).Konflik meningkatkan kohesi masyarakat; (4).Konflik dapat dijadikan sebagai tolok ukur kadar persaingan dalam masyarakat. Fungsi negatif konflik adalah; (1).Konflik dapat menyebabkan ketidakteraturan dan instabilitas; (2).Konflik dapat menimbulkan kekerasan dan penghancuran masyarakat; (3).Konflik memperlambat dan menyebabkan inefisiensi dalam pengambilan keputusan. Konflik dapat menguntungkan bagi relasi, kelompok dan komunitas, tergantung pada beberapa faktor seperti tipe, frekuensi, dan intensitas. Beberapa konflik ternyata bersifat konstruktif dan integratif bagi suatu komunitas, sementara pada komunitas lain dapat bersifat merugikan. Sulit menentukan garis batas antara apakah suatu konflik akan berakibat destruktif atau konstruktif bagi sesuatu komunitas; hanya dapat ditentukan kasus per kasus. Konflik dapat muncul karena alasanalasan ekonomi, politik dan budaya. Alasanalasan ekonomis biasanya menyangkut kepemilikan, distribusi atau akses terhadap sumber-sumber daya yang bersifat ekonomis. Konflik yang disebabkan alasan politis secara umum menyangkut perbedaan-perbedaan komunitas yang bersifat vertikal maupun horizontal. Perbedaan-perbedaan vertikal berkaitan dengan struktur masyarakat yang beragam menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Perbedaan-perbedaan tersebut akan menentukan posisi yang ditempati anggota masyarakat dalam kehidupan bersama. Selanjutnya, perbedaan ini akan mengakibatkan perbedaan-perbedaan kepentingan. Perbedaan-perbedaan yang bersifat
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah vertikal ini potensial menimbulkan konflik sebab perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan akses terhadap kekuasaan juga berbeda. Padahal dalam realitas kehidupan masyarakat, akses terhadap kekuasaan akan mempengaruhi kesempatan mendapatkan posisi yang terhormat, akses terhadap sumbersumber ekonomi bahkan sumber informasi dan pengetahuan. Beberapa hal yang dijelaskan tersebut akan menyebabkan peluang terjadinya perbenturan antara kepentingan kelompok satu dengan lainnya 2. Perbedaan-perbedaan yang bersifat vertikal adalah menyangkut struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, daerah, agama dan ras. Perbedaan ini juga menyangkut perbedaan secara sosial yang menyangkut perbedaan pekerjaan dan profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri sipil, militer, wartawan, dokter, alim ulama dan cendikiawan, dan juga perbedaan tempat tinggal, seperti desa dan kota. Konflik yang terjadi berdasarkan alasan budaya atau kultural secara khusus berkaitan dengan eksistensi kelompok-kelompok masyarakat menurut nilai-nilai, bahasa, keyakinan, agama, ras maupun persepsi kelompoknya. Konflik terjadi jika suatu kelompok merasa bahwa eksistensinya terusik oleh kelompok lainnya. Dalam masyarakat majemuk, penguatan identitas kolektif suatu kelompok sangat potensial melahirkan konflik dengan kelompok lain, terlebih lagi bila telah ada akar historis konflik terbuka di masa lalu. Dalam Laporan Nasional GDS 2002 dikemukakan tipe konflik berdasarkan penyebab, jenis dan aktor yang terlibat dalam konflik. Tipe yang dimaksud berdasarkan penyebabnya adalah; (a).konflik sosial; (b).konflik politik; (c).konflik ekonomi. Berdasarkan jenisnya, dibedakan menjadi; (a).konflik pertanahan; (b).konflik perburuhan; (c).konflik antar warga. Sedangkan berdasarkan aktor yang terlibat dibedakan atas; (a).konflik perseorangan; (b). Konflik lembaga; (c).konflik daerah. Laporan ini juga membedakan konflik berupa perselisihan dan konflik berupa kekerasan. Dalam bentuk perselisihan, konflik dapat terjadi karena sengketa tanah/
1
Mark R. Amstutz, An Introduction to Political Science, the Management Conflict, (Glenview: Scott, Foresman & Co, 1989), hal. 11-13.
2
Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1992), hal. 151-152.
37
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring bangunan dan perselisihan pengelolaan sumber daya alam. Dalam bentuk kekerasan, konflik dapat berupa kekerasan antarwarga dan antar pendukung partai politik. Pendekatan dan Metode Studi ini menggunakan pendekatan konflik sosial dengan basis analisis data kuantitatif. Studi ini merupakan bagian dari Government Decentralization Survey 2002 (GDS 2002) yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PPSK-UGM). Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi, dokumen dan data survei. Data yang digunakan berasal dari hasil-hasil lapangan yang diperoleh melalui GDS 2002. Pada GDS 2002, penelitian di Provinsi Sumatera Utara dilakukan terhadap 10 (sepuluh) Kota/Kabupaten, yakni: Kota Medan, Kota Binjai, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Asahan, Kabupaten Nias, dan Kabupaten Dairi. Data yang diperoleh melalui penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah pendapat yang diperoleh langsung dari responden yang terdiri atas kelompok-kelompok: Birokrat, Anggota DPRD, Pegawai Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Pegawai Dinas Kesehatan, Pekerja Medis di Puskesmas, Wartawan Media Cetak, Pengusaha/Sektor Swasta, Jaksa-Hakim, Pengacara, Aktivis Ormas Madani/LSM, dan Rumah Tangga. Data primer adalah data tentang jenis kewenangan dan urusan Kabupaten/Kota, struktur organisasi Pemda, kepegawaian per instansi, Perdaperda, forum kerjasama antara pemerintah dengan LSM, data tentang LSM, Kepartaian, Jumlah warga Kabupaten/Kota yang menjadi anggota legislatif, Besar anggaran pembangunan dalam APBD, besar anggaran rutin untuk DPRD, dan besar anggaran rutin birokrasi Kabupaten/Kota. Dalam laporan yang khusus memfokuskan perhatian terhadap issue konflik di Sumatera Utara ini, data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari responden Birokrat, Anggota DPRD, Wartawan Media Cetak, Pengusaha/ Sektor Swasta, Jaksa-Hakim, Pengacara, Aktivis Ormas Madani/LSM, dan Rumah Tang-
38
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah ga. Dikarenakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadap masing-masing kelompok responden dapat berbeda, maka jumlah responden untuk beberapa pertanyaan dapat berbeda. Jadi dalam penyajian tabel dapat terjadi perbedaan jumlah responden. Untuk memberikan gambaran tentang realitas konflik di Sumatera Utara, pada laporan ini akan digunakan dua macam sumber data pada data-data yang telah diperoleh GDS 2002. Data pertama adalah data pendapat responden tentang kasus-kasus konflik yang terjadi di daerah yang dimasukkan dalam kelompok data tentang penegakan hukum. Data yang termasuk dalam kelompok ini adalah jawaban responden tentang keberadaan konflik menurut variasi kasus yang menarik perhatian publik menyangkut: Sengketa tanah/ bangunan antara pemerintah dan warga, sengketa tanah/bangunan antara antar warga, dan perselisihan antar pendukung parpol, dan perselisihan pengelolaan SDA. Sedangkan data kedua adalah pendapat responden tentang kasus-kasus konflik antar kelompok/institusi yang dimasukkan dalam kelompok data tentang managemen konflik. Data yang termasuk dalam kelompok ini adalah jawaban responden tentang keberadaan konflik menurut variasi keterlibatan aktor: Antara pemerintah dengan masyarakat, antara Bupati dengan DPRD, antar instansi, antar warga, antar Kabupaten/Kota dengan Kabupaten/Kota lain, dan antara pengusaha dengan buruh. Sebagian besar data yang digunakan diambil dari file Tab_konflik dalam direktori Dofile. Data-data tersebut selanjutnya dilengkapi dengan data-data yang berasal dari studi lainnya yang dilakukan oleh orang/lembaga lain, termasuk berita-berita yang diperoleh dari surat kabar lokal. Pemaparan dan analisis data dilakukan secara secara deskriptif. Kasus dan Potensi Konflik Utama Berdasarkan laporan nasional GDS 2002, konflik yang paling potensial terjadi di Sumatera Utara adalah konflik menyangkut tanah. Namun, walaupun berdasarkan laporan tersebut derajat konflik yang terjadi tidak menyamai derajat konflik yang terjadi di daerah lain, tidak berarti bahwa konflik pertanahan di Sumatera Utara dapat diabaikan begitu saja. Di Kabupaten Deli Serdang, konflik menyangkut tanah perkebunan antara
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring masyarakat dengan perusahaan perkebunan negara tetap menjadi masalah hingga hari ini. Demikian juga pada daerah lain seperti di Kabupaten Labuhan Batu dan Kota Medan. (Kedua wilayah ini termasuk menjadi objek dalam penelitian ini). Menyangkut tingkat kerawanan terjadinya konflik di selururuh provinsi, laporan tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan bentuknya, konflik yang paling rawan terjadi adalah kasus sengketa tanah antarwarga, diikuti kasus kekerasan antarwarga, sengketa tanah antara Pemda dan warga, perselisihan antar pendukung partai, dan perselisihan pengelolaan sumber daya alam3. Berdasarkan datadata yang diperoleh menyangkut konflikkonflik tersebut, jika dibuat perbandingan antara Sumatera Utara dengan Provinsi lain (seperti Sulawesi Utara dan Papua) maka kondisi konflik di Provinsi Sumatera Utara relatif tidak begitu mengkhawatirkan. Dengan menggunakan kategorisasi tingkat konflik menjadi 3 macam, yaitu: Potensial Konflik, Rawan Konflik dan Sangat Rawan Konflik, maka untuk bentuk-bentuk konflik tersebut, Sumatera Utara hanya berada pada kategori potensial konflik. Bahkan jika dibandingkan dengan provinsi tetangga yaitu provinsi Riau, maka kondisi Sumatera Utara tampak relatif tidak mengkhawatirkan. Kondisi ini dapat merupakan gambaran awal bagaimana kondisi konflik di Sumatera Utara setelah memasuki era otonomi daerah. Gambaran tersebut sekaligus menunjukkan betapa tingkat heterogenitas, dinamika hubungan antar etnik serta tempramen keras masyarakat Sumatera Utara ternyata tidak dengan sendirinya menempatkannya dalam kondisi lebih rawan konflik dengan Provinsi Riau yang masyarakatnya justru lebih homogen, dan sering dianggap masyarakat bertempramen lembut dengan budaya dominannya yaitu budaya Melayu. Walaupun demikian tentu perlu dicermati bahwa jika faktor-faktor tertentu dari aspek sosial, ekonomi, politik dan psikologis berkerja menurut konfigurasi tertentu, kondisi potensial konflik setiap saat dapat berubah menjadi ledakan konflik secara terbuka. Me-
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah nurut Jajat Burhanuddin dan Arief Subhan, faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi merupakan infrastruktur terjadinya konflik dan kerusuhan sosial 4. Kasus penyerangan terhadap etnis Tionghoa pada tahun 1997 hanya dalam waktu sehari telah menjalar ke segenap penjuru Kota Medan, bahkan menjalar ke kota Tebing Tinggi, betapa menunjukkan bahwa tempo pemunculan dan penyebaran konflik tersebut sulit diduga, apa lagi jika potensi konflik tersebut memang sudah ada walau sekecil apapun. Kehadiran konflik memang sering bersifat dadakan dan mengejutkan. Maka identifikasi terhadap jenis konflik yang potensial serta faktor-faktor yang mempengaruhinya tetap diperlukan. Berdasarkan hasil hitungan angka index, urutan ranking konflik sebagaimana tertera pada Tabel 2, sengketa tanah tercatat menduduki peringkat pertama sebagai bentuk konflik paling potensial terjadi di Sumatera Utara. Angka index pada Tabel 2 menunjukkan nilai sengketa tanah 0,4233. Sementara di bawahnya adalah penyalahgunaan kekuasaan dengan nilai index 0,3301. Gambaran ini tampaknya berkait dengan basis ekonomi masyarakat yang masih terletak pada bidang pertanian, yang diiringi dengan tingkat pertumbuhan jumlah penduduk yang menyebabkan tanah tetap sebagai faktor produksi utama dengan nilai yang terus meningkat. Kesempatan memiliki tanah menjadi suatu yang amat penting sehingga senantiasa menjadi sesuatu yang harus dan akan diperjuangkan setiap anggota masyarakat. Apalagi, jika mereka merasa pernah memiliki tanah yang terpaksa harus dilepaskan akibat tekanan aparat pemerintah pada masa lalu.
No.
Tabel 2 Rangking dan Index Konflik Bentuk Konflik
1 Sengketa Tanah 2 Penyalahgunaan Kekuasaan 3 Kekerasan Warga 4 Pencemaran Lingkungan 5 Perselisihan Pendukung Parpol 6 Perselisihan Pengelolaan SDA Sumber: Data GDS, (2002).
Index 0,4233 0,3301 0,3183 0,2524 0,1099 0,0564
4 3
Agus Dwiyanto et al, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: PSKK UGM, 2003), hal. 62-63.
Jajat Burhanuddin dan Arief Subhan (eds), Sistem Siaga Dini untuk Kerusuhan Sosial, (Jakarta: Balitbang Depag RI dan PPIM-IAIN Jakarta, 1999), hal. 15.
39
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring Kini, sejalan dengan semangat keterbukaan dan demokratisasi yang terjadi pada pemerintahan, masyarakat menjadi lebih berani menyatakan aspirasi dan tuntutannya. Sebaliknya, pemerintah daerah menjadi kewalahan menghadapi dan menyelesaikan tuntutan tersebut karena kewenangan penyelesaian kasus pertanahan belum menjadi kewenangannya. Disamping itu, bukti-bukti resmi kepemilikan tanah yang dimiliki masyarakat masih sangat meragukan. Di sisi lain, sistem kepemilikan lahan berdasarkan hukum adat yang menjadikan tanah sebagai milik kelompok marga pada beberapa daerah potensial menyulut konflik baik antar anggota keluarga maupun antar anggota keluarga dengan pihak lain. Dalam sistem kepemilikan ini, pemilik lahan adalah kelompok marga atau kerabat. Walaupun lahan tersebut dalam waktu yang lama telah diusahakan oleh anggota keluarga, namun dia tidak berhak untuk mengalihkan/ menjual kepemilikan tanpa persetujuan kelompok marga. Sementara itu, warga/anggota kerabat itu sendiri umumnya banyak yang telah tersebar di luar daerah. Pembangunan fasilitas pemerintah, penghijauan lahan gundul maupun pembangunan fasilitas oleh perusahaan swasta sering terhalang oleh situasi ini dan tidak jarang menimbulkan konflik. Di Sumatera Utara, dalam hal sengketa tanah, ternyata Kabupaten Labuhanbatu menduduki ranking pertama dan selanjutnya disusul oleh Kota Medan dan Kabupaten Asahan (lihat Tabel 3 Persamaan antara ketiga wilayah yang potensial sengketa tanah ini adalah bahwa ketiga-tiganya memiliki wilayah yang menjadi areal perkebunan besar. Umumnya, sengketa pertanahan yang menonjol adalah sengketa menyangkut tanah antar masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang terdapat di daerah tersebut. Setelah memasuki era otonomi daerah terdapat kecenderungan bahwa rakyat semakin berani menuntut kepada pemerintah menyangkut hak-hak yang selama ini diabaikan, termasuk dalam hal pemilikan tanah. Terdapat tanahtanah yang dulunya diusahakan oleh perusahaan perkebunan diklaim oleh masyarakat sebagai tanahnya yang pada masa lalu diambil alih oleh perusahaan perkebunan. Klaimklaim tersebut mengemuka terutama karena
40
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah menurut anggapan masyarakat masa kontrak atas hak pengelelolaan perkebunan tersebut telah berakhir atau harus diakhiri. Tanahtanah tersebut tiba-tiba dipatok dan dikapling oleh masyarakat dan langsung ditanami dengan pohon pisang. Semangat keterbukaan yang telah mulai menyeruak memasuki era reformasi, telah digunakan masyarakat untuk menuntut kembali haknya yang selama ini mereka anggap telah hilang. Permasalahan tersebut hingga saat ini berlarut-larut tidak dapat diselesaikan Pemerintah Daerah sebagai akibat kewenangan untuk menangani masalah pertanahan masih berada di tangan pemerintah pusat. Sementara itu, Pemerintah Pusat sampai sekarang belum memberikan respon yang memadai untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tabel 3 Rangking Tingkat Kerawanan Kota/Kabupaten terhadap Semua Konflik No. Kota/Kabupaten Index 1 Kota Medan 2 Labuhan Batu 3 Tapanuli Tengah 4 Toba Samosir 5 Asahan 6 Kota Pematang Siantar 7 Nias 8 Dairi 9 Tapanuli Utara 10 Kota Binjai Sumber: Data GDS, (2002).
1,686046 1,406593 1,351351 1,282609 1,186813 1,1 1,054348 0,788889 0,744444 0,706522
Di Kabupaten Labuhan Batu, tercatat bahwa kasus sengketa tanah ini semakin mencuat setelah masuknya advokasi dari LSM yang kian intens melakukan program-programnya untuk memberdayakan masyarakat. Sehingga muncul tudingan bahwa pihak LSM justru ikut melecut timbulnya konflik dalam pertanahan, tanpa mampu memberikan jalan keluar yang memuaskan bagi pihak-pihak yang berkonflik. Berdasarkan ranking tingkat kerawanan terhadap berbagai konflik yaitu sengketa tanah, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan warga, pencemaran lingkungan, perselisihan pendukung parpol dan perselisihan pengelolaan SDA pada Tabel 3 diperlihatkan urutan masing-masing daerah Kabupaten/ Kota yang termasuk dalam penelitian ini. Di Provinsi Sumatera Utara ternyata Kota Medan menduduki ranking pertama dalam
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring hal tingkat kerawanan konflik. Situasi ini tentu saja berhubungan dengan posisinya sebagai ibukota provinsi, kota terbesar dan merupakan tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai etnik, agama, pekerjaan dan afiliasi politik dengan berbagai kepentingan dan aspirasi. Perlu dicatat bahwa di Medan tidak hanya bermukim etnik-etnik asli Sumatera Utara yang berjumlah hingga 7 (tujuh) etnik (Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, Pakpak, Melayu dan Nias), melainkan juga etnik lain seperti Jawa, Minangkabau dan Cina. Etnik Jawa bahkan merupakan etnik yang memiliki jumlah warga terbanyak di Medan. Heterogenitas sering dipandang sebagai faktor pemicu adanya konflik dalam masyarakat. Tingkat kerawanan berdasarkan penelitian di atas, jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata berkaitan dengan konflik berupa kekerasan antar warga. Hal ini ternyata konsisten dengan peta konflik sebagaimana tergambar melalui beritaberita harian/koran sepanjang tahun 2002 (Harian Sinar Indonesia Baru). Berdasarkan berita-berita tersebut ternyata peristiwa konflik (kekerasan antar warga) yang paling sering terjadi adalah di kota Medan. Dalam keseharian masyarakat, fenomena "premanisme" juga dapat dicatat sebagai perkara yang penting yang sering menyulut kekerasan antar warga. Salah satu fakta yang menyolok bagi orang luar, ketika pertama kalinya mengunjungi Medan adalah betapa kelompokkelompok pemuda secara menyolok memainkan perannya dalam kehidupan keseharian masyarakat. Ciri awal yang menandai setiap wilayah pemukiman adalah adanya kelompok pemuda tertentu yang "menguasai wilayah" yang dimaksud. Mereka biasanya berkumpul pada titik tertentu dari wilayah itu, misalnya: kedai kopi, rumah bilyard dan pos jaga dipinggir atau di persimpangan jalan. Pada perkembangannya, kelompok-kelompok pemuda tersebut telah menjadikan organisasinya sebagai "legalitas" untuk melakukan pungutan-pungutan terhadap masyarakat. Setiap kali mereka menyelenggarakan suatu kegiatan bagi kelompoknya, maka mereka melakukan pungutan-pungutan terhadap masyarakat. Pemungutan sumbangan masyarakat biasanya dilakukan dengan mendatangi tempat-tempat usaha masyarakat atau mela-
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah kukan pungutan dengan menghentikan kenderaan-kendaraan pengangkutan umum. Di kompleks-kompleks perumahan tertentu bahkan ada ketentuan bahwa setiap kenderaan angkutan barang/truk wajib membayar sejumlah uang agar mereka diijinkan masuk. Jika tidak membayar maka mereka tidak diperkenankan memasuki kompleks perumahan. Di salah satu kompleks perumahan Perumnas, bahkan pernah supir truk angkutan minyak tanah tidak bersedia memasuki kompleks perumahan tersebut. Akibatnya, suplai minyak tanah terhenti yang menyebabkan adanya kepanikan pada masyarakat, karena tidak dapat memperoleh minyak tanah dari warung-warung di sekitar rumahnya. Tokohtokoh masyarakat sebenarnya keberatan dengan berbagai kutipan tersebut. Namun, karena kuatir akan keselamatan diri dan keluarganya, masyarakat cenderung diam. Akhirnya, kenyataan tersebut telah diterima sebagai sesuatu yang harus diterima tanpa harus diprotes. Beberapa kelompok masyarakat sebenarnya sudah ramai memperbincangkannya untuk melakukan protes. Namun, karena berbagai pertimbangan menyangkut etnisitas mereka yang terlibat melakukan pengutipan, protes diurungkan. Protes dikuatirkan akan membenturkan kelompok yang memprotes dengan kelompok etnis pelaku. Ini dipandang sebagai bibit kemungkinan pecahnya konflik yang meluas dan diwarnai kekerasan dalam masyarakat. Kegiatan kelompok-kelompok pemuda juga meluas pada kegiatan pemungutan uang dengan dalih "uang keamanan’, "uang jaga malam", "uang parkir" dan sebagainya. Pada kompleks-kompleks service center seperti di kompleks pertokoan, kios/pasar, bahkan persimpangan jalan tempat perhentian kenderaan angkutan umum menaikan penumpang. Tempat-tempat seperti itu telah lazim dikenal dengan sebutan "lahan" bagi kelompok-kelompok pemuda. Lahan-lahan tersebut menjadi rawan menjadi lahan rebutan antar kelompok pemuda. Perebutan lahan ini telah biasa menjadi pemicu perang antar kelompok pemuda, yang sering ditandai dengan jatuhnya korban manusia. Tindak dan laku yang sedemikian oleh masyarakat dikategorikan sebagai bagian dari gejala "premanisme". Masyarakat lazimnya menamakan orangorang tersebut dengan sebutan preman. Yang
41
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring menarik pada eksistensi kelompok-kelompok pemuda adalah munculnya tokoh-tokoh pemuda menjadi tokoh partai dan tokoh masyarakat. Beberapa dari tokoh pemuda tersebut bahkan mampu meraih posisi sebagai anggota DPRD sambil tetap mempertahankan posisinya sebagai pengurus kelompok-kelompok pemuda. Berdasarkan berita yang dilansir oleh media massa, pernah salah seorang anggota DPRD diminta keterangan/diperiksa oleh pihak kepolisian, ketika terjadi perseteruan antara dua kelompok pemuda di kompleks perumahan yang terdapat di kota Medan. Munculnya tokoh pemuda sebagai anggota DPRD tidak hanya terjadi di kota Medan melainkan juga terjadi di kota lain dan kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara. Salah satu bentuk kekerasan antar warga yang paling sering muncul adalah akibat persaingan yang disusul dengan perkelahian dalam mendapatkan wilayah-wilayah yang dipandang dapat menghasilkan uang bagi kelompok-kelompok tersebut. Sebagian besar dari berita kekerasan yang diperoleh melalui media massa adalah kekerasan akibat benturan antar kelompok pemuda ini. Jika dilihat dari segi kerawanan terhadap berbagai konflik, maka terlihat bahwa untuk setiap bentuk konflik, kota Medan termasuk dalam kategori 4 (empat) besar. Ini sekaligus menunjukkan betapa diantara berbagai kabupaten/kota, kota Medan termasuk wilayah yang paling rawan terhadap berbagai bentuk konflik. Sedangkan wilayah kabupaten/kota yang dianggap paling aman adalah Kabupaten Dairi. Wilayah ini tidak memiliki satu bentuk konflik pun yang termasuk dalam rangking empat besar. Konflik Khusus dan Dinamikanya Kekhususan konflik yang ada dan tampak pada masyarakat Sumatera Utara terlihat dalam dua hal, yaitu: bentuk pemunculan menyangkut kadar atau intensitas konflik yang tidak jelas (latent), seolah-olah tidak ada konflik. Namun seperti api dalam sekam yang tiba-tiba bisa meledak dan cara penyelesaiannya. Dari segi pemunculannya, temuan GDS 2002 mengemukakan bahwa kondisi konflik di Sumatera Utara hanya berada pada kategori potensial konflik yang merupakan kategori terendah dari kategori-
42
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah kategori konflik yang digunakan dalam penelitian tersebut. Dalam ungkapan yang lebih lugas dan sederhana dapat dinyatakan bahwa di wilayah Sumatera Utara hampir tidak ada konflik yang berarti atau signifikan jika dibandingkan dengan provinsi lain. Dengan kondisi semacam ini, dapat pula dinyatakan bahwa konflik yang ada belum sampai pada tingkat yang mengancam terhadap pelaksanaan pemerintahan dan implementasi otonomi daerah. Data-data tentang keberadaan konflik menurut variasi kasus maupun keterlibatan aktor menunjukkan kecenderungan yang konsisten dengan gambaran tersebut. Sebagian besar responden menyatakan bahwa berbagai bentuk konflik yang ditanyakan tidak ada terjadi dengan proporsi yang mencolok. Hanya menyangkut sengketa tanah terdapat angka yang lumayan yakni 62,41% untuk sengketa tanah antar warga dan 36,81% untuk sengketa tanah antara pemerintah dan masyarakat dilaporkan responden tentang adanya konflik (lihat Tabel 4). Angka ini kemudian disusul oleh angka pada kekerasan antar warga yang mencapai 31,83%. Demikian pula halnya menyangkut keberadaan menurut konflik keterlibatan aktor. Sebahagian besar responden menggambarkan bahwa tidak ada konflik. Namun, proporsi jawaban responden yang menganggap konflik tersebut ada -untuk konflik antara pengusaha dan buruh (43,79%), konflik antara pemerintah dan masyarakat mencapai 35,48 %, dan untuk konflik antar warga mencapai angka 34,19 (lihat Tabel 5). Tabel 4 Keberadaan Sengketa Menurut Variasi Kasus Jawab
Ya Tidak [N=]
Tanah antar Pemerintah dan Warga % 36,81 63,19 424
Tanah antar Warga % 62,41 37,59 141
Keberadaan Sengketa Kekerasan Perselisihan antar Pendukung Warga Parpol % % 31,83 10,99 68,17 89,01 688 664
Pengelolaan SDA % 5,64 94,36 692
Sumber: GDS, (2002).
Ini menandakan bahwa terdapat sejumlah golongan masyarakat yang merasakan adanya konflik, yang jika ditelusuri lebih jauh kemungkinan berkaitan dengan lokasi konflik yang terbatas pada lokasi-lokasi tertentu. Di Medan orang merasakan adanya konflik antar warga, namun di Binjai kemungkinan konflik tersebut tidak begitu terasa bagi masyarakatnya. Secara umum, keseluruhan masyarakat Sumatera Utara tentu tidak merasakan konflik yang terjadi pada
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring wilayah tertentu saja, sehingga mereka menyatakan konflik tersebut tidak ada. Hal itu berarti bahwa proporsi jawaban memang tidak secara mutlak menggambarkan bahwa konflik yang dipertanyakan sama sekali tidak ada. Tabel 5 Keberadaan Konflik Menurut Variasi Keterlibatan Aktor Jawab
Ya Tidak Total (%)
Pemerintah dengan Masyarakat % 35,48 64,52 100
Pemda dengan DPRD % 32,47 67,52 100
Keberadaan Konflik (Antara) Antar Antar Instansi Warga % 13,73 86,27 100
% 34,19 65,81 100
Antar Daerah % 7,79 92,21 100
Buruh dengan Pengusaha % 43,79 56,21 100
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah (lihat Tabel 6). Hanya kasus/sengketa bangunan antar masyarakat yang sebagian besar berakhir melalui musyawarah, dan sisanya berakhir di pengadilan. Tidak ada kasus semacam ini yang berakhir di kepolisian, atau berakhir dengan kekerasan. Berdasarkan gambaran ini, dapat dilihat bahwa kasus sengketa tanah/bangunan antara masyarakat, institusi kemasyarakatan berupa musyawarah, dan pengadilan dipercaya sebagai institusi yang paling mampu menyelesaikan konflik. Tabel 6 Penyelesaian Konflik
Sumber: GDS, (2002).
Terdapat beberapa kalangan masyarakat yang memberikan jawaban bahwa mereka berpendapat bahwa konflik tersebut ada. Namun belum sampai pada tahap mengganggu jalannya pemerintahan. Walaupun demikian data lain, menyangkut rasa aman dari kekerasan politik menunjukkan bahwa, 62% responden menyatakan merasa aman, sedangkan sisanya sebesar 38 % tidak merasa aman. Hal yang sama juga ditemukan menyangkut rasa aman dari kekerasan/perselisihan antar warga; responden cenderung mengatakan cukup aman (62%), namun sisanya sebanyak 38% menyatakan tidak merasa aman yang bisa juga berarti sangat potensial konflik. Keberadaan konflik juga belum sampai mengganggu implementasi otonomi daerah di Sumatera Menyangkut cara penyelesaian konflik, kecenderungan-kecenderungan yang diperlihatkan di Sumatera Utara, bahwa umumnya konflik diselesaikan secara musyawarah dan berakhir di kepolisian namun tidak dibawa ke pengadilan. Selanjutnya, tidak adanya deteksi dini terhadap konflik dan tidak ada kelembagaan yang mengatasi konflik, namun terdapat kelembagaan yang menangani setelah konflik terjadi. Dengan gambaran tersebut, dapat dinyatakan bahwa belum ada upaya pencegahan atau tindakan preventif terhadap konflik, melainkan lebih merupakan tindakan kuratif yakni penanganan post-conflict. Sebagian besar kasus konflik berakhir di tangan kepolisian. Kasus perselisihan pengelolaan SDA 54,05% berakhir di Kepolisian, 63,83% kasus kekerasan warga juga berakhir di Kepolisian (lihat Tabel 6). Demikian juga akhir dari 41,94% kasus perselisihan parpol
Penyelesaian
Kekerasan Dibiarkan Musyawarah Polisi Pengadilan [N=]
Sengketa Tanah antar Pemda dan Masyarakat % 0,59 11,18 42,35 32,35 13,53 170
Sengketa Tanah antar Masyarakat % 0,00 1,47 57,35 0,00 41,18 68
Bentuk Konflik Kekeras an Warga % 1,06 3,19 10,64 63,83 21,28 188
Perselisih an Parpol
Perselisihan Pengelolaan SDA
% 3,23 17,74 17,74 41,94 19,53 62
% 2,70 13,51 27,03 54,05 2,70 37
Sumber: GDS, (2002).
Bagaimana Pemerintah Daerah Sumatera Utara memagemeni konflik di wilayahnya dapat dilihat dari ketersediaan anggarannya untuk mediasi konflik. Berdasarkan data yang diperoleh, cenderung dilaporkan bahwa hanya untuk mediasi konflik antara pemerintah dan masyarakat, dan konflik antara Bupati/Walikota dengan DPRD disediakan anggaran. Data ini tentu memerlukan penafsiran lebih lanjut, bahwa anggaran yang dimaksud bukan merupakan anggaran yang tertulis dalam APBD. Para responden melihat bahwa pada pokoknya kedua konflik tersebut lebih menyita perhatian PEMDA daripada konflik-konflik lainnya. Ada 66,67% responden yang menjawab “ya” mengenai anggaran untuk mediasi konflik antara Bupati/Walikota dengan DPRD. Lebih lanjut dapat dilihat menyangkut keterkaitan antara aktor konflik dengan perhatian pemerintah atas konflik yang dimaksud. Tampak bahwa pada konflik yang bersentuhan langsung dengan pemegang kekuasan diyakini terdapat anggaran untuk mediasinya. Sedangkan untuk konflik seperti antar instansi, antar warga, antar Kabupaten/ Kota dengan Kabupaten/Kota lain dan antara pengusaha dengan buruh yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan pemegang pusat kekuasaan cenderung tidak ada alokasi dana dari PEMDA. Disamping itu, tentu
43
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring untuk konflik-konflik yang dirasakan tidak terlalu rawan sebagaimana pada data sebelumnya tentu dianggap tidak perlu untuk menyediakan anggaran. Konflik sering muncul secara tiba-tiba. Sehingga upaya untuk menangkalnya harus sedini mungkin dideteksi kemungkinan munculnya konflik. Berdasarkan responden penelitian ini (GDS), di Sumatera Utara hampir tidak dirasakan adanya sistem deteksi dini terhadap konflik. Sebagian besar responden (78,51%) berpendapat bahwa sistem deteksi dini konflik tidak ada. Data ini sekaligus menunjukkan menunjukkan betapa masyarakat dan pemerintah Sumatera Utara belum menganggap bahwa keenam bentuk konflik yang diteliti dalam studi ini sebagai ancaman, sehingga deteksi dini terhadapnya belum diperlukan. Padahal, di berbagai penjuru Kota Medan telah tersebar alat deteksi/pengukur polusi udara untuk menunjukkan berapa kadar polusi waktu demi waktu. Apakah ini berarti bahwa kesadaran terhadap ancaman terhadap polusi udara jauh lebih tinggi daripada kesadaran akan ancaman konflik ? Sebaliknya, menyangkut sistem penanganan pasca-konflik sebagian besar responden melaporkan bahwa Sumatera Utara memilikinya. Data tentang ada tidaknya sistem penanganan pasca-konflik menunjukkan perbedaan yang menyolok antara yang berpendapat positif dengan yang berpendapat negatif. Data menunjukkan 83,33% menjawab “ya” dan 16,67% persen menjawab “tidak” (lihat Tabel 7). Tabel 7 Ada Tidaknya Sistem Penanganan Pasca Konflik Kategori Jawaban Penanganan Pasca Konflik Ya 83,33 Tidak 16,67 Total 100 [N=] 114 Sumber: GDS, (2002).
Data ini memberikan gambaran bahwa penanganan konflik dilakukan adalah setelah konflik tersebut terjadi. Tampaknya tindakan preventif terhadap konflik belum diupayakan secara terprogram. Yang biasa dilakukan adalah tindakan kuratif, yaitu perbaikan setelah konflik terjadi dan meninggalkan bekas. Hal ini berkaitan dengan adanya pembedaan tugas antara fungsi keamanan dan ketertiban (Kamtib) yang ada di tangan polisi dan mili-
44
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah ter dengan tugas-tugas rutin dan tugas-tugas pembangunan di tangan pemerintahan sipil. Sehingga tugas-tugas mendeteksi keamanan dan ketertiban adalah tugas-tugas polisi dan militer, yang seolah-olah terpisah sama sekali dengan urusan pemerintahan sipil. Setelah Indonesia memasuki era reformasi pada kebanyakan wilayah terdapat kecenderungan peningkatan terjadinya konflik. Sumatera Utara menduduki rangking ke 18 dalam hal peningkatan eskalasi konflik setelah era otonomi daerah. Dalam kehidupan seharihari, yang jelas terasa adalah berupa meningkatnya keberanian masyarakat menyatakan tuntutannya terhadap pemerintah maupun perwakilan rakyat. Setelah era reformasi frekuensi adanya arak-arakan masyarakat yang datang ke kantor DPRD kian meningkat. Berbagai tuntutan disampaikan kelompokkelompok masyarakat sehubungan dengan permasalahan yang mereka hadapi. Namun kondisi ini belum menunjukkan bahwa ada pengaruh langsung konflik terhadap jalannya pemerintahan termasuk dalam hal implementasi otonomi daerah, melainkan masih sebatas peningkatan partipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi ke dalam pengambilan kebijakan publik. Walaupun demikian, temuan penelitian yang menunjukkan bahwa potensi konflik menyangkut sengketa tanah, kekerasan antar warga, konflik antara pengusaha dan buruh, konflik antara pemerintah dan masyarakat/penyalahgunaan kekuasaan perlu dicermati. Berbagai kasus sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat dengan perkebunan negara/perkebunan swasta suatu ketika dapat meledak menjadi kekerasan yang mengganggu kehidupan masyarakat dan jalannya pemerintahan. Demikian juga menyangkut kekerasan antar warga, perlu dicermati agar kekerasan tersebut tidak secara berkelanjutan dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus menyangkut hal ini adalah kecenderungan premanisme yang dilegalisir dalam bentuk kegiatan-kegiatan OKP (Organisasi Kepemudaan) yang justru sering menyebabkan perbenturan antara sesama OKP. Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan antarwarga seolah-olah menjadi peristiwa yang rutin di daerah-daerah di Sumatera Utara. Perkelahian antar OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) setiap saat dapat terjadi.
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring Dalam banyak kasus, pemerintah ternyata tak efektif menghentikan perseteruan yang nyata telah merugikan masyarakat. Berdasarkan informasi dari lapangan, masing-masing pihak yang berseteru ternyata bahkan sering pula memanfaatkan petugas keamanan menjadi backingnya Gejala lain yang terjadi di daerah-daerah Sumatera Utara adalah permainan uang yang meningkat. Ada pengamat menyatakan bahwa uang upeti yang dulu mengalir ke Jakarta, sekarang berhenti di Sumatera Utara. Gejala ini hampir telah membuat masyarakat jenuh, sehingga mulai ada ungkapan yang menyatakan lebih baik kembali seperti masa Orde Baru. Jika dilihat dari ranking potensi konflik di Sumatera Utara salah satu diantaranya adalah penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan pada era otonomi daerah dalam banyak hal berkaitan dengan tidak efektifnya fungsi pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif, serta buruknya kinerja aparat peradilan dalam menjalankan fungsinya. Peluang kolusi antara pihak ekskutif daerah dan legislatif daerah untuk memanfaatkan keuangan daerah maupun mengeluarkan kebijakan publik untuk kepentingannya sendiri kian besar terjadi. Kasus money politics untuk Otonomi Daerah dan Eskalasi Konflik meluluskan laporan pertanggungjawaban Bupati/Walikota maupun tender proyek pemerintah yang tertutup dan tidak fair sudah menjadi kasus yang jamak dirasakan dan diketahui masyarakat. Kasus perambahan hutan di Kabupaten Karo oleh perusahaan swasta yang ditengarai dibackingi oleh Bupati telah menyebabkan konflik antara anggota masyarakat dengan Bupati. DPR seolah-olah tidak memiliki kemampuan untuk mempersoalkan perambahan tersebut, sehingga masyarakat dengan caranya sendiri melakukan protes, termasuk dengan membakar berbagai alat berat yang dipergunakan oleh para perambah. Wacana tentang etnisitas juga telah semakin terbuka dibicarakan, sesuatu yang sangat langka pada masa lalu. Di masa depan heterogenitas masyarakat tetap dapat dipandang sebagai potensi konflik. Sehingga, penanganan aspek-aspek etnisitas dalam kelembagaan pemerintah perlu di perhatikan dalam pembuatan kebijakan publik.
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah Disamping itu, konflik yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan umumnya melibatkan masyarakat dengan perusahaanperusahaan swasta. Pembuangan limbahlimbah pabrik yang mengganggu lingkungan pemukiman masyarakat sering menjadi pemicu konflik antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan. Kasus yang paling menyolok hingga terangkat sebagai berita nasional adalah menyangkut konflik antara masyarakat Porsea di Kabupaten Toba Samosir dengan pabrik rayon/pulp yang ada di wilayah tersebut. Kasus konflik tersebut telah menjadi konflik berkepanjangan yang hingga saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas. Kesulitan dalam menyelesaikan kasus tersebut terletak pada ketidakmampuan pemerintah untuk memilih kepentingan siapa yang pertama perlu dilindungi, ditambah lagi dengan terbelahnya masyarakat menjadi kelompok-kelompok pro dan kontra tentang kelanjutan operasional perusahanaan serta melebarnya pihak-pihak yang berkepentingan dan ikut terlibat dalam konflik. Penutup Berdasarkan berbagai uraian yang telah dikemukakan, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, keberadaan konflik yang menyangkut tentang konflik menurut variasi kasus, yakni sengketa tanah/bangunan antara antara pemerintah dan warga, sengketa tanah/ bangunan antara antar warga, dan perselisihan antar pendukung parpol, serta perselisihan pengelolaan SDA masih berada dalam kategori potensial konflik; Kedua, keberadaan konflik menurut variasi keterlibatan aktor, yakni konflik antara pemerintah dengan masyarakat, konflik antara Bupati dengan DPRD, konflik antar instansi, konflik antarwarga, konflik antara Kabupaten/Kota dengan Kabupaten /Kota lain, dan konflik antara pengusaha dengan buruh masih termasuk dalam kategori potensial konflik; Ketiga, dari berbagai bentuk konflik yang ada, beberapa di antaranya yang perlu dicermati adalah sengketa tanah, kekerasan antarwarga, dan sengketa penyalahgunaan kekuasan. Berbagai kasus menyangkut bentuk konflik tersebut agar diselesaikan oleh pemerintah sehingga kasusnya tidak meluas. Beberapa saran yang dipandang perlu sebagai tindak lanjut dari penelitian ini adalah; Pertama, dalam
45
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 Robinson Sembiring hal manajemen konflik, pemerintah bersamasama masyarakat perlu merumuskan dan mempersiapkan kelembagaan yang khusus berfungsi mengumpulkan dan menganalisis data serta merumuskan pola penanganan konflik-konflik yang potensial maupun yang sudah terjadi, yang dibiayai oleh pemerintah daerah melalui APBD; Kedua, studi mengenai konflik di Sumatera Utara perlu dilanjutkan dengan melibatkan isu konflik antar etnis maupun agama, dan studi lebih mendalam tentang konflik antar warga dalam kaitannya dengan implementasi otonomi daerah di Sumatera Utara.
46
ISSN: 0216-9290 Konflik di Era Otonomi Daerah Daftar Pustaka Amstutz, Mark R.. 1989. An Introduction to Political Science, the Management Conflict. Glenview: Scott, Foresman & Co. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia. Dwiyanto, Agus et al. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: PSKK UGM. Burhanuddin, Jajat dan Arief Subhan (eds). 1999. Sistem Siaga Dini untuk Kerusuhan Sosial. Jakarta: Balitbang Depag RI dan PPIM-IAIN Jakarta.