PERDA PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh : H. M. Jusup, SH., M.Si.
ABSTRAKSI Pajak dan Retribusi Daerah sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), pada tataran pelaksanaannya ternyata menjadi sebuah bentuk perlombaan antara daerah satu dengan daerah lainnya untuk menciptakan berbagai jenis pajak dan retribusi daerah demi pemasukan PAD yang besar. Implikasi dari kreasi mencari sumber PAD melalui pajak dan retribusi daerah salah satunya, adalah menghambat investor untuk berinvestasi di daerahnya. Pada konteks Indonesia, Otonomi Daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang dan tanggung jawab daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sementara itu Pasal 1 butir 5 Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan rumusan tentang Otonomi Daerah, adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai Peraturan Perundang-undangan. Reformasi pajak dan retribusi daerah di era Otonomi Daerah, dalam kerangka pengumpulan dana pembangunan di daerah, pada implementasinya banyak dampak yang ditimbulkan sehubungan masing-masing daerah berlomba untuk menciptakan Perda baru yang mengatur masalah pajak dan retribusi di daerahnya, dampak yang ditimbulkan banyaknya Perda tentang pajak dan restribusi adalah terhambatnya investasi di daerah, karena para investor menganggap pajak-pajak dan retribusi-retribusi sangat membebani mereka. Keadaan ini disikapi oleh Pemerintah Pusat dengan cara menertibkan pajak-pajak daerah baru di luar yang sudah ada saat ini. Kebijakan tersebut dituangkan di dalam Rancangan Undang Undang tentang Pajak dan Retibusi Daerah. Dengan pengaturan tersebut diharapkan kepastian investasi di dalam negeri semakin meningkat. Hal ini merupakan upaya pengawasan Pemerintah Pusat, sebagai amanat Pasal 218 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan “Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi : pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah”, Jadi reformasi pajak dan retribusi darah di era Otonomi Daerah, dalam kerangka pengumpulan dana pembangunan daerah, pada implementasinya H a l a m a n | 96 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
banyak menimbulkan dampak terhadap investasi, baik dari investor luar maupun dalam negeri sendiri. Dan hendaknya Pemerintah Daerah di dalam mengumpulkan pemasukan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak hanya mengacu dan berkreasi dengan menciptakaan Perda-Perda yang mengatur tentang pajak dan retribusi daerah saja, karena dengan banyaknya investasi di daerahnya penghasilan daerah bersangkutan dalam hal PAD-nya akan bertambah jauh lebih banyak daripada hanya didasarkan kepada pajak dan retribusi semata.
Kata Kunci : PERDA Pajak, Retribusi Daerah, dan Otonomi Daerah. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pembiayaan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang dapat diandalkan. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah terutama sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, yaitu mulai tanggal 1 Januari 2001. Dengan adanya otonomi daerah dipacu untuk dapat berkreasi mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Dari berbagai alternatif sumber penerimaan yang mungkin dipungut oleh daerah, Undang Undang tentang Pemerintahan Daerah menetapkan pajak dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Pajak dan retribusi daerah sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD), pada tataran pelaksanaannya ternyata menjadi sebuah bentuk perlombaan antara daerah satu dengan daerah lainnya untuk menciptakan berbagai jenis pajak dan retribusi daerah demipemasukan PAD yang besar. Implikasi dari kreasi mencari sumber PAD melalui pajak dan retribusi daerah salah satunya, adalah menghambat investor untuk berinvestasi di daerahnya. Berdasarkan data KADIN pada tahun 2001, dari 910 peraturan daerah mengenai pajak atau retribusi, sebanyak 14,7% pajak daerah dan 72.2% retribusi daerah berhubungan dengan dunia usaha, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga kekhawatiran pengusaha cukup beralasan mengingat banyaknya Perda Baru yang berkaitan dengan pajak atau retribusi daerah yang akan mempengaruhi kegiatan dunia usaha. Data Komite H a l a m a n | 97 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) di tahun 2003 mengenai Perda yang dianggap memiliki dampak negatif terhadap dunia usaha, terdapat 500 Perda dari 1300 Perda yang dianilisis, merupakan Perda yang bermasalah, baik secara prinsip, subtansi atau teknis. Pajak dan retribusi daerah sebagai salah satu sumber PAD yang pada implementasinya menghambat investasi di daerah, disikapi oleh Pemerintah Pusat, dengan cara menertibkan pajak-pajak daerah baru di luar yang sudah ada saat ini. Kebijakan tersebut dituangkan di dalam Rancangan Undang Undang tentang Pajak Dan Retribusi Daerah. Dengan pengaturan tersebut diharapkan kepastian investasi di dalam negeri semakin meningkat. Him ini merupakan upaya pengawasan Pemerintah Pusat, sebagai amanat oleh Undang Undang Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Definisi di atas menunjukkan dengan jelas bahwasannya setiap urusan yang telah diserahkan kepada suatu daerah, menghendaki pengurangan campur tangan pemerintah pusat, baik pada proses pengambilan keputusan, maupun pada tahap pelaksanaannya. Pernyataan ini cukup beralasan, karena sesuai dengan obsesi dari dua prinsip dasar dianutnya sistem otonomi daerah, yakni demi tercapainya efektivitas, pemerintah dan demi terlaksananya demokratisasi dari bawah (grass roots democracy). Bila memang benar demikian, ini mengandung makna bahwa semakin banyak urusan yang diserahkan kepada suatu daerah, maka akan semakin mendorong tercapainya efektivitas pemerintahan dan terlaksanannya demokrasi dari bawah. Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas jasa dari negara. Adapun Pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Teori Negara Hukum Indonesia Manusia dalam pergaulan hidupnya cenderung untuk selalu hidup bersama dengan manusia lainnya, Aristoteles menyebutnya sebagai Zoon Politicon" dan setiap manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu H a l a m a n | 98 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
masyarakat, dapat membentuk negara atau tidak. Berdasarkan kenyataan bahwa tiap-tiap masyarakat yang tidak merupakan negara seialu merupakan bagian dari negara. Istilah negara (state) pada zaman Yunani Purba masih bersifat Polispolis atau The Greek State, yaitu pada masa pertamanya merupakan suatu tempat di puncak suatubukit, lama kelamaan orang-orang banyak yang tinggal di tempat itu untuk mendirikan tempattinggal bersama ... dan kemudian tempat tersebut dikelilinginya dengan suatu benteng tembok untuk menjaga serangan musuh dari luar. Dalam pandangan Socrates (470-399 SM) "Negara bukanlah suatu organisasi yang dibuat untuk manusia demi kepentingan pribadinya, melainkan negara itu sebagai suatu tata susunan yang obyektif, termuat keadilan bagi umum, dan tidak hanya melayani kebutuhan pada penguasa Negara yang berganti-ganti orangnya. Menurut Hans Kelsen bahwa "Negara itu merupakan kesatuan tata hukum atau norm ordening (behoren ordening) yaitu tata yang memberikan pedoman tingkah laku manusia apa yang seharusnya dijalnkan, dan tidak dijalankan sehingga dengan demikian negara itu identik dengan hukum; staatslehre identik dengan Rechtslehre, maka obyek dari pada staatlehre sama dengan obyek dari pada rechtlehre. Negara Hukum diterjemahkan sebagai rechtsstaat atau the rule of law. Muhammad Yamin menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat, government of law). Disamping penggunaan kata rechtsstaat, juga dipakai istilah the rule of law sebagaimana dikemukakan oleh Mauro Cappeletti. Konsep negara hukum dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl mempunyai ciri-ciri: 1. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia; 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia; 3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; 4. Peradilan administrasi Negara dalam perselisihan. Sri Soemantri menguraikan bahwa unsur-unsur terpenting dari Negara Hukum yaitu : 1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya hams berdasarkan atas hukum atau perundang-undangan; H a l a m a n | 99 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 3. Adanya pembagian kekuasaan; 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle). Lebih lanjut Padmo Wahyono menyatakan bahwa di dalam negara hukum terdapat suatu pola sebagai berikut: 1. Menghormati dan melindungi hak-hak manusia; 2. Mekanismekelembagaan negara yang demokratis; 3. Tertib hukum; 4. Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Ke-empat halaman yang terdapat dalam pola itu saling kait mengait, serta saling berhubungan erat dengan fungsi negara hukum dalam arti materil yaitu menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial berdasarkan Pancasila. Negara hukum berdasarkan Pancasila dikenal jak dan kewajiban asasi manusia, hak-hak perseorangan yang bukan saja harus diperhatikan melainkan harus ditegakkan dengan mengingat kepentingan umum, menghormati bangsa, moral umum dan ketahanan nasional berdasarkan undang-undang. Bagir Manan & Kuntara Magnar menyatakan bahwa dalam negara hukum mengandung pengertian kekuasaan itu dibatasi oleh hukum dan sekaligus menyatakan bahwa hukum adalam supreme di bandingkan dengan alat kekuasaan yang ada. Him ini berarti bahwa ajaran negara berdasarkan atas hukum mengandung esensi bahwa hukum adalam "supreme" dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subyek to the law). Tidak ada kekuasaan di atas hukum (above to the law), semuanya ada di bawah hukum (under the rule of law). Dalam hubungan inilah tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power). Karena itu ajaran negara berdasarkan atas hukum memuat unsur pengawasan terhadap kekuasaan agar tidak terjadi kesewenangwenangan. Kaitannya dengan him tersebut di atas, dikatakan pula bahwa hukum berasal dari negara. Namun dalam kehidupan sehari-hari ternyata hukum itu berasal dari penguasa negara yaitu Pemerintah. Pemerintah mengatur kehidupan masyarakat melalui politiknya. Hukum bertujuan untuk menciptakan aturan yang adil, berdasarkan hak-hak manusia sejati. Hukum mengatur kehidupan bersama agar dalam aktifitasnya sehari-hari di masyarakat bila timbul konflik-konflik dapat segera diatasi dengan berpegang pada hukum yang berlaku. H a l a m a n | 100 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
Analisis Terhadap Perda Pajak Dan Retribusi Daerah Di Era Otonomi Daerah Otonomi Daerah, sebagaimana telah dikemukakan di atas, berdasarkan definisi di atas menunjukkan dengan jelas bahwasannya setiap urusan yang telah diserahkan kepada suatu daerah, menghendaki pengurangan campur tangan pemerintah pusat, baik pada proses pengambilan keputusan, maupun pada tahap pelaksanaannya. Pernyataan ini cukup beralasan, karena sesuai dengan obsesi dari dua prinsip dasar dianutnya sistem otonomi daerah, yakni demi tercapainya efektivitas, pemerintah dan demi terlaksananya demokratisasi dari bawah (grass roots democracy). Bila memang benar demikian, ini mengandung makna bahwa semakin banyak urusan yang diserahkan kepada suatu daerah, maka akan semakin mendorong tercapainya efektivitas pemerintahan dan terlaksanannya demokrasi dari bawah. Namun demikian dalam pelaksanaannya, teynyata otonomi daerah di Indonesia tidak sesederhana seperti yang dibayangkan, karena ia dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain; pertimbangan politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Bahkan mungkin tidak berlebihan bila dikatakan, dua prinsip dasar otonomi daerah seperti dikemukakan di atas, sering kali menjadi samara-samar, bila telah berhadapan dengan tiga pertimbangan tersebut. Dari variabel di atas, tampaknya pertimbangan politik lebih dominant di antara yang lain, karena ia sangat erat kaitannya dengan "power" (kekuasaan). Permasalahan yang sering muncul bila berbicara masalah kekuasaan adalah adanya kekhawatiran dari pemerintah pusat untuk "kehilangan" kekuasaan atas daerah. Itulah sebabnya tidak mengherankan bila berbicara masalah otonomi daerah akan lebih banyak dihadapkan dengan fenomena kontradiksi antara apa yang sesungguhnya dengan apa yang seharusnya terjadi. Pemberian otonomi kepada daerah harus didasarkan kepada faktorfaktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaankebijaksanaan yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri serta dapat mempertanggungjawabkan otonomi tersebut sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk melancarkan pembangunan nasional. Otonomi daerah, kaitannya dengan reformasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di Indonesia dewasa ini tidak terlepas dari pemberlakuan undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah yang baru, yaitu Undang H a l a m a n | 101 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000. Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 lahir sebagai upaya untuk mengubah sistem perpajakan daerah dan retribusi daerah yang berlangsung di Indonesia yang banyak menimbulkan kendala, baik dalam penetapan maupun pemungutannya. Adanya ketidak jelasan dalam penetapan obyek pajak maupun obyek retribusi serta kemungkinan timbulnya pengenaan berganda telah mengakibatkan proses pemungutan pajak dan retribusi daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi ekonomi dan dinamika masyarakat. Oleh karena itu lahirnya Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 telah membawa perubahan dalam pemungutan pajak dan retribusi daerah. Dalam perkembangan penerapan undang undang tersebut, pemerintah dan DPR merasa perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan seiring dengan perkembangan situasi perekonomian secara makro serta perubahan kondisi sosial politik, yang ditandai dengan semangat otonomi daerah yang semakin besar. Dengan demikian, Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 lahir sebagai penyempurnaan terhadap Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997. Reformasi pajak dan retribusi daerah di era Otonomi Daerah (Otda), dalam kerangka pengumpulan dana pembangunan di daerah, pada implementasinya banyak dampak yang ditimbulkan, sehubungan masingmasing daerah berlomba untuk menciptakan perda baru yang mengatur masalah pajak dan retribusi di daerahnya, dampak yang ditimbulkan dari banyaknya perda tentang pajak dan retribusi daerah, adalah terhambatnya investasi di daerah, karena para investor menganggap pajak-pajak dan retribusi-retribusi tersebut sangat membebani mereka. Keadaan ini disikapi oleh Pemerintah Pusat dengan cara menertibkan pajak-pajak daerah baru di luar yang sudah ada saat ini. Kebijakan tersebut dituangkan di dalam Rancangan Undang Undang tentang Pajak Dan Retribusi Daerah. Dengan pengaturan tersebut diharapkan kepastian investasi di dalam negeri semakin meningkat. Hlm ini merupakan upaya pengawasan Pemerintah Pusat, sebagai amanat oleh Pasal 218 ayat (1)b Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan "Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksankan oleh Pemerintah yang meliputi : pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah". Pengertian bunyi pengawsan demikian sebelumnya telah disalah tafsirkan oleh Pemerintah dengan adanya ada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah, Keputusan Menteri ini lahir sebagai peraturan teknis dari Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada implementasinya banyak perda yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. H a l a m a n | 102 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
Kebijakan Pemerintah (Pemerintah Pusat) dalam hlm pembatalan perda yang bermasalah sebagai implemetasi bentuk salah penafsiran ketentuan pengawasan pemerintah kepada pemerintah daerah, sebagaiamana diamanatkan oleh Pasal 218 ayat (1)b Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menurut hemat penulis adalah bentuk pengawasan yang kebablasan, karena jika hlm tersebut ditinjau dari teori negara hukum, bentuk pengawasan pemerintah yang demikian tidak sejalan dengan unsur-unsur terpenting dari negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Sri Soernantri, yang sudah penulis kemukakan di atas, yakni: 1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya hams berdasarkan atas hukum atau perundang-undangan; 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 3. Adanya pembagian kekuasaan; 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle). Perda sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan, seharusnya hanya dapat dibatalkan melalui proses hak meneliti dan menilai apakah isi suatu peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, atau biasa dikenal sebagai proses hak uji materiil atau judicial review. Hak uji materiil sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk kekuasaan kehakiman. Di mana kekuasaan kehakiman merupakan wilayah kewenangan lembaga yudikatif dalam him ini Mahkamah Agung (MA) dan bukanlah wilayah kewenangan eksekutif. Dengan demikian penafsiran kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah untuk mengawasi Pemerintah Daerah Kaitannya dengan Perda yang bermasalah, bentuk pengawasanya bukanlah dengan pembatalan perda bermasalah tersebut. Kaitannya dengan keadaan kesewenang-wenangan Pemerintahan Daerah sebagai raja-raja kecil di era otonomi daerah dalam pengumpulan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan dikeluarkannya Perda-perda tentang pajak dan retribusi daerah yang akhir-akhir ini bermasalah kaitannya dengan terhambatnya investasi baik dari investor dalam negeri maupun investor asing, inipun harus tetap diawasi oleh Pemerintah, namun bentuk pengawasannya harus sesuai dengan kerangka hukum di Negara Hukum Pancasila, yakni Pemerintah Daerah sebelum mengundangkan Perda di daerahnya, terlebih dahulu harus mendapat ijin dari Pemerintah (Pusat), setelah perda yang bersangkutan mendapat ijin untuk diundangkan, maka barulah Pemerintah Daerah mengundangkan Perda bersangkutan. Sehingga tidak akan terjadi lagi Pemerintah membatlkan Perda yang sudah H a l a m a n | 103 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
diundangkan. Terhadap Perda-perda yang dianggap bermasalah oleh masyarakat, dalam him ini pengusaha yang ingin berinvestasi, maka hak masyarakat atau para pengusaha tersebutiah untuk mengajukan Perda bersangkutan ke Mahkamah Agung untuk dilakukan hak uji materiil. Sejalan dengan hlm tersebut di atas, maka Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga telah mendapat revisi dari Mahkamah Konstitusi, Hendaknya bunyi Penjelasan Pasai 218 ayat (1)b Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan penjelasan yang tegas dalam tim pengawasan ini, sehingga tidak akan menimbulkan salah tafsir. Serta Hendaknya Pemerintah Daerah di dalam mengumpulkan pemasukan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak hanya mengacu dan berkreasi dengan menciptakan Perda-perda yang mengatur tentang pajak dan retribusi daerah saja, melainkan juga dapat menarik investor ke daerahnya untuk berinvestasi, karena dengan banyaknya investasi di daerahnya pengasilan daerah bersangkutan dalam hlm PAD-nya akan bertambah jauh lebih banyak daripada hanya didasarkan kepada pajak dan retribusi semata. Dengan demikian, artinya terhadap pasal-pasal yang berhubungan dengan pengawasan pemerintah di atas, harus mendapat revisi atau amandemen. Revisi undang-undang atau amandemen, tentunya berkaitan dengan parlemen dan pemerintah, dalam him ini Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, sebab, perundang-undangan ditentukan oleh aktivitas para pembuat undang-undang yang ada di parlemen. Perubahan perundangundangan dapat dilakukan dengan : a. Membuat sebuah undang-undang baru. b. Melakukan amandemen terhadap perundang-undangan yang sudah ada. c. Mencabut perundang-undangan yang telah ada Dengan demikian terhadap permasalahan yang terdapat di dalam Pasal 218 ayat (1) b Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perubahannya dapat dilakukan dengan memilih salah satu cara yang penulis sebutkan di atas, jika memang pemerintah benar-benar ingin memberikan otonomi yang penuh kepada daerah bukan otonomi yang setengah-setengah, dengan tetap menghormati hukum atau undang-undang yang telah dibuatnya, yakni tidak mengambil hak lembaga lain, yakni lembaga yufikatif, yang memiliki hak dan kewenangan untuk mencabut atau membatalkan peraturan perundang-undangan.
H a l a m a n | 104 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan 1. Bahwa Reformasi pajak dan retribusi daerah di era Otonomi Daerah (Otda), dalam kerangka pengumpulan dana pembangunan di daerah, pada implementasinya banyak menimbulkan dampak terhadap investasi, baik dari investor luar maupun dalam negeri sendiri, 2. Bahwa kewenangan dalam hlm pengawasan oleh Pemerintah (Pusat) yang ditentukan oleh Pasal 218 ayat (1)b Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Pemerintah Daerah, telah disalah tafsirkan, sehingga Pemerintah berhak dan berwenang membatalkan Perda yang bermasalah, Hlm ini telah mengabil alih kewenangan yang oleh lembaga yudikatif, yakni Mahkamah Agung dalam hlm melakukan ujin materiil. Saran 1. Hendaknya bunyi Penjelasan Pasal 218 ayat (1)b Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan penjelasan yang tegas dalam hlm pengawasan ini, sehingga tidak akan menirnbulkan salah tafsir. 2. Hendaknya Pemerintah Daerah di dalam mengumpulkan pemasukan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak hanya mengacu dan berkreasi dengan menciptakan Perda-perda yang mengatur tentang pajak dan retribusi daerah saja, melainkan juga dapat menarik investor ke daerahnya untuk berinvestasi, karena dengan banyaknya investasi di daerahnya pengasilan daerah bersangkutan dalam hlm PAD-nya akan bertambah jauh lebih banyak daripada hanya didasarkan kepada pajak dan retribusi semata. DAFTAR KEPUSTAKAAN Alexander, Harry, 2004, Panduan Perancangan Peraturan Daerah Di Indonesia"Jakarta : Penerbit PT XYS Solusindo. Anom, Kamis 13 April 2006, "Keuangan Negara : Pemerintah Daerah Dilarang Terbitkan Perda Pajak Baru", Jakarta. Anoraga, Panji, 1995, "Perusahaan Multinasional Dan Penanaman Modal Asing", Jakarta : Pustaka Jaya. H a l a m a n | 105 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
Basah, Sjachran, 1997, llmu Negara (Pengantar, Metode Dan Sejarah Perkembangan), Bandung : Citra Adittiya Bakti. ---------------, 1985, Eksistensi Dan Tolok Ukur Administrasi Di Indonesia, Bandung.
Badan
Peradilan
Cappeletti, Mauro, 2005, Judicial Review in The Contemporah Word, the Bobbs-Marill Company, Inc. New York, 1971, him. 42, dengan menyatakan "... it has since come to considered by many as essential to the rule of law any where, dalam H. La Ode Husen, Hubungan Fungsi Pengawasa Dewan Perwakilan Rakyat Dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Bandung : CV. Utomo. Hemmer, Hans-Rimbert, et.al. "Negara Berkembang Dalam Proses Globalisasi: Untung Atau Buntung", Konrad Adenauer Stiftung-Jakarta Office, tanpa tahun terbit. Hidayat, Syarif, 2000, "Refleksi Realitas Otonomi Daerah Dan Tantangan Ke Depan". Jakarta : Pustaka Quantum. H, Muchsin, 2004, Ikhtisar Materi Pokok Filsafat Hukum, Jakarta : Penerbit IBLAM Husen, H. La Ode, 2005, Hubungan Fungsi Pengawasa Dewan Perwakilan Rakyat Dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Bandung : CV. Utomo. Kaho, Riwo, 1982, "Analisa Hubungan Pemerintah Pusat Dan Daerah Indonesia", Jakarta : BinaAksara, 1982. Lukito, Enggartiasto, "Investasi Di Indonesia - Refleksi Terhadap Posisi Pengusaha Indonesia : Antara Kepastian Hukum Dan Realitasnya", Makalah Seminar Nasional Hukum Investasi, Pengusaha Indonesia, 1 April 2006, Diantara Hukum Dan Politik, Hotel Prima Cirebon. Marbun, S.F. & Moh. Mahfud MD, 1987, Pokok Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Liberty.
H a l a m a n | 106 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012
Siahaan, Marihot P., 2005, "Pajak Daerah & Retribusi Daerah", Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Soekanto,Soerjono, 1990, "Sosiologi Suatu Pengantar", Jakarta : Rajawali Pers. Sri Soemantri, 1992, M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung : Alumni. Wahyono, Padmo, 1985, Indonesia Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tanggal 17 Nopember 1979, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hlm. 6, dalam, Sjahran Basah, Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Bandung : Alumni. Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Undang Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah.
H a l a m a n | 107 JURNAL EKONOMI
ISSN: 2302-7169
VOL. 1 NO. 1 September-Desember 2012