Kontribusi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kota Batam
AKHIRMAN Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang
Abstract Regional autonomy is the local government authority to regulate the area in order to provide prosperity to the people. With regional autonomy of local governments to manage and explore the potential of the region to increase the PAD region one of which is sourced from Taxes and Retribution as well as other taxes are legitimate. Delivering superior service and building insfrastructure as well as to develop human resources in the region. Keyword: "Regional Autonomy is for self reliance area". PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan perwujudan dari pelaksanaan urusan pemerintahan yang telah diserahkan ke daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Langkah awal pembangunan daerah yaitu perencanaan pembangunan daerah yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan dan permasalahan/isu pembangunan guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dengan memberlakukan pendekatan closed-list terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi yang dapat dikelola oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/ Kota sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah-nya. Pemerintah Provinsi diberikan akses terhadap lima jenis pajak, sementara Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan akses terhadap sebelas jenis pajak. Disamping adanya perluasan basis pajak (seperti dimasukkannya catering sebagai bagian dari pajak restoran) dan adanya keleluasaan pemerintah daerah dalam menetapkan tarif pajak, hal lain yang cukup penting dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 ini
adalah dimasukkannya 2 jenis pajak pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebagai pajak daerah. Ini merupakan perubahan besar dalam mendukung desentralisasi seiring dengan pemahaman umum dan pengalaman internasional yang menunjukkan bahwa pajak properti lebih baik diserahkan kepada daerah sebagai sumber pendapatan tingkat kabupaten/kota Berbagai kebijakan nasional sebagaimana dimaksud membawa harapan besar bagi daerah untuk membangun daerahnya dengan menggali potensi daerahnya masing-masing sebagai sumber pendapatan daerah, khususnya pendapatan asli daerah. Harapan dari daerah tersebut merupakan hal yang wajar, karena diberikannya berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya dibarengi dengan muatan kewenangan untuk mengurus keuangannya secara otonom dalam membiayai penyelenggaraan otonomi, baik dalam menggali sumber-sumber keuangan, pemanfaatannya serta pertanggungjawabannya. Dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Darah dan Retribusi Daerah dan ketentuan-ketentuan lainnya tentang Pajak dan Retribusi sebagai berikut. Tabel 1 Jenis Pajak Daerah Berdasarkan UU Keberlakuannya No.
Jenis Pajak dan Retribusi Daerah
I. 1. 2. 3. 4.
Pajak Daerah Provinsi Pajak Kendaraan Bermotor Bea Balik Nama Kendaraan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Pajak Air Permukaan Pajak Rokok
5. 6. II. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pajak Daerah Kabupaten/Kota Pajak Hotel dan Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Pajak Parkir Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Air Tanah Pajak Mineral Bukan Logam Pajak Sarang Burung Walet Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
UU No. 18/1997
UU No. 34/2000
UU No. 28/2009
√ √ √ -
√ √ √ √
√ √ √ -
-
-
√ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√
-
-
-
√ -
√ √ √ √ √ √ √
Sumber : Data Olahan Dari UU No. 18/1997, UU No. 34/2000, UU No. 28/2009..
Tabel 2 Jenis Retribusi Daerah Berdasarkan UU Keberlakuannya No.
Jenis Retribusi Daerah
1. 2. 3.
Retribusi Jasa Umum; Retribusi Jasa Usaha Retribusi Perizinan Tertentu
UU No. 18/1997 √ √ √
UU No. 34/2000 √ √ √
UU No. 28/2009 √* √* √*
Sumber : Data Olahan Dari UU No. 18/1997, UU No. 34/2000, UU No. 28/2009..
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah terdiri dari : Deviden Laba, Jasa Giro, Bunga Pinjaman, Penerimaan hasil penjualan tiket, Tarif Pelayanan Kesehatan RSUD dan Lain-lain yang Sah. Walaupun ada kebijakan penyerahan tugas pemungutan beberapa jenis retribusi daerah kepada dinas atau instansi lain, Dinas Pendapatan tetap berkewajiban membina dan memonitor perkembangan terhadap segala usaha dibidang pendapatan atau penerimaan daerah, karena Dinas Pendapatan sebagai Koordinator Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2. Masalah Penelitian Penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pola perumusan kebijakan tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah ? 2. Seberapa besar kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap Pendapatan Daerah, khususnya Pendapatan Asli Daerah? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah? TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Tentang Sumber-sumber Penerimaan Daerah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 1, Ayat 5, dijelaskan bahwa pengertian dari otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Suparmoko (2002) mengatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemberian otonomi didasarkan pada desentralisasi dalam wujud ekonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Untuk daerah otonom, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal
1, Ayat 6 menyebutkan bahwa daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Republik Indonesia. Tujuan dari otonomi daerah menurut smith, seperti yang dikutip dalam Halim (2004) dapat dibedakan dari dua kepentingan yakni kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk kepentingan pemerintah pusat, tujuan utamanya adalah politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik, dan mewujudkan demokrasi system pemerintahan daerah. Sedangkan kepentingan daerah bertujuan untuk; 1) Untuk mewujudkan political equality, artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik di tingkat lokal. 2) Untuk mewujudkan local accountability, artinya dengan otonomi akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat, 3) Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan otonomi daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan social dan ekonomi daerah. Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Menurut Halim (2004), pendapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, sedangkan Mardiasmo (2002) mengatakan bahwa pendapatan asli daerah adalah penerimaan daerah dari sector pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lainlain pendapatan asli daerah yang sah. Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1, pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undnagan yang berlaku yang terdiri dari 1) pajak daerah, 2) retribusi daerah, 3) hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan 4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pendapatan asli daerah ini merupakan bagian terpenting dari penerimaan Daerah. Semakin
tinggi
sumber
PAD
akan
semakin
tinggi
kemampuan
daerah
dalam
menyelenggarakan otonomi daerah. Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber pendapatan asli daerah adalah : a) Pajak Daerah b) Retribusi Daerah c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d) Lain-lain PAD yang sah . Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Karena penyelenggaraan pemerintahan di daerah akan terlaksana dengan baik apabila didukung oleh dana yang memadai, disamping dana yang berasal pusat. Namun demikian meskipun terdapat bantuan transfer dana dari pusat, daerah diharapkan tidak selalu bergantung kepada pusat dalam artian daerah harus mampu menggali sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari daerahnya sendiri. Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal namun tetap dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam era otonomi daerah PAD merupakan pencerminan dari local taxing power yang seharusnya memiliki peranan yang cukup signifikan. Namun kenyataannya peran PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota masih relatif kecil. Rata-rata kontribusi PAD terhadap total penerimaan sebelum era desentralisasi sebesar 0,2 persen (1998-2000), sedangkan pada era desentralisasi mengalami penurunan menjadi 8,1 persen (2000-2001). Walau demikian pemerintah tidak boleh mengabaikan kemungkinankemungkinan seperti dampak perkembangan, dan sebaliknya penurunan dari penerimaan daerah itu sendiri, seperti jumlah kendaraan bertambah namun penerimaannya menurun, kemudian, berkurangnya jumlah penerimaan darn sektor
kontruksi (bangunan) karena
keterbatasan lahan, atau karena faktor kebijakan dalam pengambilalihan dari desentralisasi kepada sentralisasi untuk beberapa jenis penerimaan. 2. Pajak Daerah Pengaturan tentang pajak daerah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksananya dengan PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Berdasarkan UU dan PP tersebut Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap
masing-masing jenis pajak. Untuk itu daerah diberikan kewenangan memungut 11 jenis pajak. Penetapan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pajak tersebut secara umum dapat dipungut hampir di semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan pungutan yang baik. UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. 2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah. 3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan UU ini, yaitu: 1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional. 2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List). 3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang. 4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah. 5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dankorektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi. Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang telah ditetapkan secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang telah ditetapkan oleh undang-undang tersebut. Namun ada rambu-rambu atau kriteria yang harus diikuti a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;
b. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; c. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum; d. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan/atau obyek pajak pusat; e. Potensinya memadai; f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif; g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, dan; h. Menjaga kelestarian lingkungan. Jika ada pajak daerah yang akan dikenakan tidak memenuhi satu saja dari rambu di atas, maka seyogyanya dipertibangkan untuk dibatalkan pengesahannya. UU No.34 Tahun 2000 secara tegas telah menyatakan bahwa pemerintah pusat bisa meminta daerah untuk membatalkan pajak-pajak yang dianggap tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditetapkan undang-undang. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh propinsi dan yang dipungut oleh kabupaten/kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda. Menurut Kristiadi , pajak daerah secara teori hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain : a. Tidak bertentangan atau searah dengan kebijakan pemerintah pusat b. Sederhana dan tidak banyak jenisnya c. Biaya administrasinya rendah d. Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat e. Kurang dipengaruhi oleh “business cycle” tapi dapat berkembang dengan meningkatnya kemakmuran f. Beban pajak relatif seimbang dan “tax base” yang sama diterapkan secara nasional Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Untuk itu pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya. 3. Retribusi Daerah Sebagaimana halnya pajak daerah, retribusi diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Pasal 1 ayat (28) UU No. 34 Tahun 2000 :Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka retribusi tidak lain merupakan pemasukan yang berasal dari usahausaha Pemerintah Daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan warga msyarakat baik individu maupun badan atau koorporasi dengan kewajiban memberikan pengganti berupa uang sebagai pemasukan kas daerah. Daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Retribusi dapat digolongkan atas tiga golongan, yaitu Retribusi Jasa Umum; Retribusi Jasa Usaha; dan Retribusi Perijinan Tertentu. a. Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan tau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis Retribusi Jasa Umum antara lain; Retribusi Pelayanan Kesehatan; Retribusi Pelayanan Kebersihan/Persampahan; Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Penduduk dan Akte Catatan Sipil dan lain-lain. b. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jenis retribusi jasa usaha antara lain; Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; Retribusi Tempat Pelelangan dan lain-lain. c. Retribusi Perijinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan, atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumberdaya alam, sarana, prasarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perijinan Tertentu terdiri dari; Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan; Retribusi Ijin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; Retribusi Ijin Gangguan; dan Retribusi Ijin Trayek. Namun demikian berdasarkan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, daerah dapat menerapkan berbagai jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Jenis retribusi lainnya, misalnya adalah penerimaan negara bukan
pajak yang telah diserahkan kepada daerah. Ketentuan inilah yang membuka peluang bagi daerah untuk menerbitkan berbagai jenis retribusi yang pada akhirnya dibatalkan oleh Pemerintah Pusat karena dianggap mengganggu iklim investasi di daerah dan memberatkan pelaku usaha. Tim gabungan yang terdiri dari perwakilan Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri, telah membatalkan dan merevisi 111 peraturan daerah (perda) bermasalah dari 193 perda tentang pajak dan retribusi yang diterima tim sepanjang 2005. Sejak 2001 tim telah membatalkan dan merevisi total 448 perda dari 4.574 perda yang diterima. dari total 448 perda itu, yang dibatalkan sebanyak 404 perda dan yang direvisi 44 perda dari berbagai sektor. Sektor
yang
terbanyak adalah pertanian dan peternakan (87), industri dan
perdagangan (68), dan perhubungan (66). METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Masalah Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis (sociological legal research), yakni penelitian yang menggunakan pendekatan hukum dalam makna “law in action”. Penelitian yang demikian di awali dengan melakukan studi dokumen terhadap peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pajak dan retribusi daerah. Selanjutnya ditelusuri dan diteliti realitas kebijakan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai fenomena sosial dengan menggunakan perspektif hukum. 2.
Sifat Penelitian Secara umum penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu mendeskripsikan bagaimana bentuk kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah, dan dengan kacamata hukum menganalisis setiap fakta yang dikemukakan. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan dalam beberapa bagian penelitian ini juga bisa bersifat eksploratif terutama berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah terhadap pajak daerah dan retribusi daerah.
3. Jenis dan Sumber Data Sebagaimana lazimnya penelitian hukum di masyarakat (sosio-legal research), penelitian ini membutuhkan baik data sekunder yang berasal dari “bahan hukum” maupun data primer yang berasal dari informan. a. Data Primer Data primer yang diperlukan berupa informasi yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah. Oleh karena itu, informan penelitian ini terdiri atas orang-orang yang
terkena dampak langsung dari kebijakan pajak dan retribusi daerah yang dihasilkan. Berkaitan dengan itu, maka teknik sampling yang digunakan untuk menentukan informan penelitian adalah purposive sampling. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang bersumber dari realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, publikasi dari Pemerintah Daerah, literatur, peraturan perundangundangan dan kebijakan Pemerintah Daerah terkait dengan pajak dan retribusi daerah, serta hasil-hasil penelitian sebelumnya. 4. Teknik Pengumpulan Data a.
Studi Dokumentasi Penelitian untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan dengan studi dokumentasi, khususnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan internal yang berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah.
b. Wawancara Dalam hal ini dilakukan survai dan wawancara dengan metode depth interview atau wawancara
mendalam
untuk
mengumpulkan
data
yang
berkaitan
dengan
permasalahan yang dihadapi. Wawancara juga dilakukan dengan menggunakan petunjuk wawancara (guided interview) sebagai petunjuk atau pedoman dalam melakukan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap pejabat daerah terutama dari Dinas Pendapatan Daerah, BAPPEDA Bagian Hukum di Lingkungan Sekretariat Daerah, DPRD serta dari pihak di luar Pemda seperti beberapa asosiasi pengusaha daerah yang terkena dampak langsung dengan kebijakan yang dihasilkan. 5. Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan analisis isi (content analysis) terhadap peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi daerah. Langkah pertama adalah dengan melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah. Langkah selanjutnya melakukan telaah terhadap semua dokumen pemungutan dan rekaitulasi hasil pemungutan pajak dan retribusi daerah guna diperoleh taraf kesesuaian antara norma yang mengatur dengan operasional norma di lapangan. Berkaitan dengan data primer terlebih dahulu dilakukan reduksi data dan dianalisis dengan analisis domain. Hal ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang bersifat umum dan menyeluruh tentang objek permasalahan yang diteliti. Berdasarkan analisis yang
dilakukan kemudian ditarik generalisasi tentang permasalahan dan kemudian diambil konklusi guna memberikan jawaban tentang permasalahan yang dikemukakan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kebijakan pajak dan retribusi daerah terhadap peningkatan pendapatan asli daerah. a. Peraturan perundang-undangan Kebijakan pajak dan retibusi merupakan bagian dari kebijakan publik (umum) yang diambil pemerintah sejalan sebagai cerminan kehendak rakyat dalam mencapai tujuan negara.
Konskuensi lanjut terhadap hal di atas bagaimana pemerintah dapat
menyelenggarakan fungsi pajak (budgeter dan reguler). Pola perumusan kebijakan pajak dan retribusi daerah sebagai sumber pendapatan daerah didasarkan pada pola kebijaksanaan nasional yang diakomodir dalam berbagai peraturan perundangundangan nasional, sebagai berikut: 1) Undang Undang Dasar 1945, khusus berkenaan dengan pajak secara umum diakomodir dalam Pasal 23A yang menyatakan ”pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Norma yang demikian mempunyai makna bahwa segala sesuatu pungutan yang menjadi beban rakyat harus sepengetahuan rakyat melalui representasinya di lembaga perwakilan rakyat. Persoalan pajak dan retribusi daerah masuk dalam lingkup konstitusional yang dimaksud di atas, sehingga perlu ada pengaturan umum tentang pajak dan retribusi daerah ke dalam undang-undang. 2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah selanjutnya disingkat dengan sebutan UU No. 28/ 2009 merupakan undang-undang terbaru yang mengatur pajak dan retribusi daerah menggantikan UU No. 18/1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34/2000. b. Analisis Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Hasil penelusuran terhadap rumusan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dalam bentuk pengaturan undang-undang merupakan cermin dari pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat. Artinya tatkala penguasa hendak memberikan beban kepada rakyat, wajib diketahui dan disetujui oleh rakyat, dalam hal ini representasinya diperlihatkan melalui sosok lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Demikian halnya dengan adanya pengaturan dan penetapan pajak daerah dan retribusi daerah dalam bentuk perda, juga merupakan representasi rakyat melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dinamika kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah yang diwujudkan oleh UU yang telah diubah dan diganti terakhir oleh UU No. 28/2009 mencerminkan upaya untuk mendorong daerah agar optimal menggali potensi daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah. Ada beberapa catatan khusus yang perlu diberikan perhatian guna mendukung kemampuan daerah untuk membiayai diri sendiri, yakni: 1) Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan semula merupakan jenis pajak daerah Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 18/1997, kemudian ditarik dan dijadikan pajak daerah Provinsi berdasarkan UU No. 34/2000. Namun dalam perkembangan terbaru berdasarkan UU No. 28/2009, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dipisahkan menjadi dua jenis pajak daerah yang berbeda, yakni Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. 2) Pajak Hotel dan Restoran yang diatur dalam UU No. 18/1997, selanjutnya oleh UU No. 34/2000 sebagaimana diganti oleh UU No. 38/2009 dipisahkan menjadi dua jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota, yakni Pajak Hotel dan Pajak Restoran. 3) Adanya penambahan jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota, yakni Pajak Parkir berdasarkan UU No. 34/2000, sedangkan berdasarkan UU No. 18/1997 jenis pajak daerah tersebut tidak ada. 4) Adanya penambahan jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota yang sebelumnya berdasarkan UU No. 18/1997 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 34/2000 tidak ada. UU No. 28/2009 telah menetapkan tambahan jenis pajak daerah kabupaten/kota, yakni : (1) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; (2) Pajak Sarang Burung Walet; (3) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; (4) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 5) Dinamika pengaturan kebijakan retribusi daerah diperlihatkan semula UU No. 18/1997 dan UU No. 34/2000 tidak mengatur rincian jenis retribusi daerah, selanjutnya diatur dalam UU No. 28/2009, yakni ada 13 macam retribusi jasa umum, 11 macam retribusi jasa usaha dan 6 macam retribusi perizinan tertentu. Adapun rincian dari masing-masing jenis retribusi daerah yang dimaksud dalam UU No. 28/2009, sebagian besar merupakan materi muatan yang telah diatur dalam PP No. 66/2001. Artinya terjadi peningkatan derajat materi muatan kebijakan, semula ditetapkan riniciannya dalam PP, selanjutnya diatur ke dalam UU.
2.
Kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap peningkatan pendapatan asli daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah Berikut ini akan dilihat bagaimana seberasa besar kontribusi pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap peningkatan pendapatan asli daerah di Kota Batam Periode 2010-2014 Tabel 1 Kontribusi Pajak Daerah Terhadap Kenaikan PAD Kota Batam No
Tahun
Target
Realisasi
1
2010
128.219.929.638.00
127.487.430.587.83
Capaian Persen (%) 99,43
2
2011
231.203.000.000.00
280.370.093.254.06
121,27
3
2012
303.710.000,000,00
335.216.496.634.00
110,37
4
2013
406.030.000.000.00
475.172.881.113.96
117,03
5
2014
489.366.315.500.00
586.089.724.759.97
119,77
Sumber : Profile Dispenda Kota Batam, 2014 Data di atas menunjukkan bahwa kontribusi pajak daerah Kota Batam terhadap peningkatan PAD, rata-rata sebesar 113,57 persen per-tahun dari tahun 2010-2014. Sedangkan kontribusi retribusi daerah terhadap peningkatan PAD dapat diperoleh informasi datanya dari tabel berikut ini. Tabel 1 Kontribusi Retribusi Terhadap Kenaikan PAD Kota Batam No
Tahun
Target
Realisasi
1
2010
18.368.611.375.00
17.891.453.807,00
Capaian Persen (%) 97.40
2
2011
26.601.222.400,60
25.467.237.706.49
95.74
3
2012
40.471.446.621,00
41.388.925.091.13
102.27
4
2013
63.229.647.640,00
71.027.828.781.05
112.33
5
2014
77.112.523.550.00
86.575.046.043.55
112,27
Sumber : Profile Dispenda Kota Batam, 2014 Data di atas menunjukkan bahwa kontribusi retribusi daerah Kota Batam terhadap peningkatan PAD,
rata-rata sebesar 104,00 persen per-tahun dari tahun 2010-2014. Meski
tahun 2011 mengalami penurunan dari tahun 2010, yaitu sebesar 1,66 persen. Pada penelitian ini, juga akan dilihat secara lebih rinci pada masing-masing jenis pajak dan retribusi daerah yang menonjol memberikan kontribusi terhadap peningkatan PAD di Kota Batam.
Tabel Struktur Kontribusi Pajak Kota Batam berdasarkan Jenisnya 2012 No
Jenis Pajak
2013
2014
Target
Realisasi
Target (Jt)
Realisasi (jt)
Target (jt)
Realisasi (jt)
(jt) Rp
(jt) Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
1
Hotel
48.500
50,183
57,000
62,000
64,100
74,400
2
Restoran
22,126
24,552
27,500
32,127
32,475
38,236
3
Hiburan
13,160
13,500
11,800
13,282
13,562
14,854
4
Reklame
3,500
3,864
3,980
4,330
5.050
6,373
300
307
370
379
383
392
PPJ. PLN
14,500
81,349
93,200
96,534
101,550
105,000
NON PLN
2.000
1.742
2,100
2,318
2,320
3,272
300
1,703
300
414
360
559
Bilboard Non Bilboard 5
Proyek Pemerintah 6
Swasta
1,130
3,854
1,180
1,517
1,220
1,427
7
Parkir
3,200
3,224
3,600
3,951
4,500
4,743
8
BPHTB
135,000
154,561
140,000
179,565
182,779
247,144
9
PBB
-
-
65,000
78,912
81,000
90,646
Sumber Data : Dispenda Kota Batam, 2014 Dari Tabel di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata semua jenis pajak dari tahun 2012 hingga tahun 2014 kontribusinya rata-rata meningkat. Yang yang paling dominan memberikan kontribusi terhadap PAD adalah Pajak BPHTB, dihitung dari wajib pajaknya juga jauh lebih tinggi dibandingkan denan jenis pajak yang lainnya. Yaitu berujumlah 12.937 wajib pajak tahun 2012, dan pada tahun 2014 berjumlah 14.432 wajib pajak. Dengan realisasi pajaknya sebesar Rp. 247.144 juta. Dan disusul ke dua adalah pajak dari PPJ, yaitu dari PLN dari tahun 2012 terus mengalami peningkatan dari sebesar Rp. 81,349 juta
pada
tahun 2014 meningkat tajam menjadi sebesar Rp. 105,000 juta dari target yang ditetapkan sebesar Rp. 101,550 juta. Sementara yang terendah adalah Reklame Non Bilboard selama tahun 2012 – 2014 hanya berkisar Rp. 392 juta dan disusul terendah ke-dua adalah Proyek pemerintah hanya mencapai Rp. 559, Sedangkan kondisi penerimaan dari Retribusi di Kota Batam dapat diketahui pada table berikut ini.
Tabel Kontribusi Retribusi Kota Batam berdasarkan Jenisnya 2012
2013
2014
No
Jenis Retribusi
Target (jt) Rp
Realisa si (jt) Rp
(%)
Target (jt) Rp
Realisasi (jt) Rp
1
Pelayanan Persampahan Penggantian biaya cetak KTP Penggantian Pencatatan Sipil Pelayanan parkir tepi jalan Pelayanan Pasar Pengujian Kendaraan bermotor Pemeriksa alat pemadam kebakaran Surat ket.Pindah SKTT dan SKTS Legalisir dok.kependudu kan Penggantian biaya cetak KK Surat ket.Pindah Datang Pengendalian Menara Telkomsel Pelayana Kesehatan
19.000
17.779
93,57
19.000
19.582
103,06
22.000
21.381
97.15
2.481
3.230
130.18
343
410
119
180
180
100
663
614
92,56
603
1.178
195,38
140
140
100
5,261
3.428
65,16
4.500
3,297
73,26
3.312
3.594
108.51
200
177
88,79
113
109
96,61
250
210
84,13
1.185
1.422
120.01
1.557
1.867
119,86
1.700
2111
124,18
00
00
00
166
153
91,86
00
00
00
130
152
117,27
3,26
3,26
100
00
00
00
250
266
106,58
105
127
120,87
46
48
104,36
16,6
17,2
104,00
00
00
00
00
00
00
1.220
1.070
87,71
316,8
282,8
89,27
139
139
100
166
207
124,81
1,47
1,47
100
00
00
00
1.067
1,057
98,96
2,116
1,762
83,36
2,850
4,886
171,44
00
00
00
1,780
1,909
107,23
2,150
1,751
81,44
2
3 4 5 6
7
8 9 10
11 12
13
14
(%)
Target (jt) Rp
Realisasi (jt) Rp
(%)
Sumber Data : Dispenda Kota Batam, 2014
Dari Tabel di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata semua jenis retribusi di Kota Batam adalah meningkat. Namun sangat pluktuatif, artinya tidak semua jenis retribusi memberikan kontribusi yang merata antara tahun 2012 – 2914. Seperti yang terbesar kontribusi dari retribusi pada PAD tahun 2012 adalah dari Jenis
Penggantian biaya cetak
KTP, yaitu mencapai 130,18 persen atau terealisasi sebesar Rp 3.230 miliar dar 2.481 target yang ditetapkan. Namun pada tahun
2014 hanya mencapai 100 persen dari target yang
ditetapkan sebesasr Rp. 180 juta. Pada tahun 2013 kontribusi retribusi tertinggi adalah dari realisasi jenis Penggantian Pencatatan Sipil mencapai 195,38 persen. Sementara realisasi retribusi tertinggi pada tahun 2014 adalah dari jenis Pengendalian Menara Telkomsel mencapai Rp. 171,44 persen. Berdasarkan data di atas peneliti juga dapat menyimpulkan bahwa pemerintah Kota Batam terhadap retribusi
yang ada tidak sepenuhnya di tangani secara serius seperti
terhadap target dan realisasi yang ditetapkan dan diperoleh dari jenis retribus, Pelayanan Parkir Tepi Jalan” dari sisi targetnya tahun 2012 cukup tinggi yaitu sebesar Rp. 5,261 miliar dengan realisasi sebesar Rp. 3.428 atau hanya 65,16 persen. Kemudian pada tahun 2014 targetnya menurun hanya Rp. 3.312 miliar, dengan realisasi Rp.3.594 miliar atau 108.51 persen. Semesteinya bias sejakan dengan penerimaan dari retribusi jenis
Pengujian
Kendaraan bermotor yang setiap tahunya meningkat. Hal ini dapat merugikan Kota Batam sendiri. Karena setiap tahun jumlah kendaraan terus meningkat namun penerimaan daerah dari penerimaannya menurun. 3.
Faktor yang mempengaruhi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah Salah satu perubahan penting dari UU No. 28 Tahun 2009 adalah adanya keleluasaan
dalam menetapkan tarif pajak. UU No. 28 Tahun 2009 memang hanya mengatur batas maksimum atau minimum sehingga daerah diharapkan dapat menetapkan tarif sendiri sesuai dengan karakteristik daerahnya. Jika pemerintah daerah menganggap perlu kebijakan fiskal yang lebih lunak untuk menarik investasi di daerahnya agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, maka daerah itu dapat saja menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah dari batas maksimum atau bahkan nol (sementara tidak mengenakan pajak daerah). Meskipun demikian, ternyata, berdasarkan informasi yang diperoleh dalam FGD, sebagian besar daerah hanya sekedar mengikuti batasan maksimum atau minimum sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Daerah belum bisa menetapkan tarif pajak yang sesuai dengan karakteristiknya. beberapa masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara lain: 1.
Masalah Dalam Perluasan Basis Pajak Di Kota Batam,
hingga saat ini belum melakukan pemungutan terhadap rumah kos
(pajak hotel) dan katering (pajak restoran) karena mendapat penolakan dari buruh. Pengenaan pajak terhadap rumah kos dan katering akan berdampak langsung terhadap peningkatan biaya hidup buruh, sehingga jika perluasan basis pajak tersebut diberlakukan, mereka akan menuntut kenaikan upah. Disamping itu, ada banyak rumah yang berubah jadi vila dengan kepemilikan yang tidak jelas (sering berpindah) atau pembangunan vila baru yang proses izinnya untuk rumah pribadi sehingga sulit memungut pajaknya atau bahkan seolah bebas dari pajak. PHRI sangat keberatan dengan situasi ini karena mereka yang tidak bayar pajak menjadi lebih kompetitif karena biaya operasional yang lebih rendah. Padahal hotel-hotel yang sudah membayar pajak sebagian masih dibebani lagi dengan pungutan “setengah resmi” lainnya yang berasal dari desa adat. Sebagian desa adat di Kabupaten Badung menetapkan pungutan sebesar Rp.2,5 juta per hotel per tahun atau US$ 1 per kamar per tahun untuk membantu aktivitas sosial
kemasyarakatan di desa serta adanya kewajiban membayar retribusi pengelolaan limbah sebesar Rp.100 ribu per kamar per bulan. 2.
Masalah Dalam Penetapan Tarif Pajak Salah satu perubahan penting dari UU No. 28 Tahun 2009 adalah adanya keleluasaan dalam menetapkan tarif pajak. UU No. 28 Tahun 2009 memang hanya mengatur batas maksimum atau minimum sehingga daerah diharapkan dapat menetapkan tarif sendiri sesuai dengan karakteristik daerahnya. Jika pemerintah daerah menganggap perlu kebijakan fiskal yang lebih lunak untuk menarik investasi di daerahnya agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, maka daerah itu dapat saja menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah dari batas maksimum atau bahkan nol (sementara tidak mengenakan pajak daerah). Meskipun demikian, ternyata, berdasarkan informasi yang diperoleh dalam FGD, sebagian besar daerah hanya sekedar mengikuti batasan maksimum atau minimum sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Daerah belum bisa menetapkan tarif pajak yang sesuai dengan karakteristiknya. Masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara lain: 1) Sebagian daerah belum memiliki SDM yang kompeten dalam bidang keuangan daerah, memahami karakteristik daerah dan mampu melaku- 48 EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK ... kan simulasi untuk menghitung dampak penetapan tarif pajak terhadap kondisi ekonomi dan penerimaan daerah. Banyak daerah menganggap semakin tinggi tarif akan semakin tinggi pendapatan dan semakin baik keadaan ekonomi di daerahnya. 2) Penetapan tarif pajak daerah seringkali belum melibatkan stakeholders (seperti PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-lain) sehingga kurang mendapat dukungan dan komitmen dalam pelaksanaannya.
3. Masalah Dalam Pemungutan Jenis Pajak Baru Terkait dengan pemungutan dua jenis pajak baru, yaitu BPHTB dan PBB P2 daerah mengemukakan bahwa mereka masih menghadapi berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Masalah-masalah tersebut antara lain: 1) Kesiapan yang minim tersebut terutama disebabkan oleh terbatasnya waktu dan kurangnya SDM baik dari aspek kualitas maupun kuantitas untuk mempersiapkan semua hal terkait dengan pengalihan kedua jenis pajak ini. Akibatnya, Perda yang menjadi dasar pemungutan pajak daerah tersebut dalam beberapa bagian tampak
memiliki kelemahan karena cenderung hanya meniru dari pusat atau perda dari daerah lain yang karakteristiknya belum tentu sama. 2) Struktur Dispenda yang ada sekarang dianggap belum cukup kuat untuk melaksanakan pemungutan dua jenis pajak baru tersebut. 3) Kompetensi SDM kurang (pendataan, penilaian, administrasi, dan pelayanan); Pengalihan BPHTB dan PBB P2 memang membutuhkan staf yang secara teknis bisa melakukan pendataan, penilaian, pengadministrasian, dan pelayanan dengan baik kepada wajib pajak. Staf yang memenuhi kualifikasi itu memang masih sangat terbatas di daerah. Oleh karena itulah dalam masa transisi pendampingan atau kerjasama dengan KPP menjadi sebuah keniscayaan. Lebih dari itu, beberapa staf Dispenda bahkan diikutkan dalam pelatihan dan atau pendidikan di STAN. 4) Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat; Pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah dan perubahan peraturan sebagai akibat pengalihan itu perlu diketahui oleh masyarakat. Perlu dilakukan sosialisasi yang sistematis dan intensif terutama untuk menjelaskan proses pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah sekaligus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak daerah. Namun dari hasil FGD diketahui bahwa secara umum daerah masih menganggap pengalihan ini sebagai hal yang biasa saja yang tidak memerlukan respon kebijakan khusus.
PENUTUP 1. Kesimpulan a. Pemerintah pusat untuk memberikan dorongan kepada Daerah untuk lebih optimal dan tertib dalam meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai refleksi pelaksanaan prinsip otonomi yang seluas-luasnya. b. Kontribusi pajak dan retribusi di Batam cukup baik dari tahun 2010-2014 rata-rata 113,57 persen terhadap PAD Kota Batam, dan kontribusi retiribusi sebesar 104,00 persen per-tahun terhadap PAD. c. Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dalam peningkatan PAD, antara lain: Tentang perluasan basis pajak yang belum optimal digali, masalah dalam penetapan tarif masing-masing pajak dan retribusi, dan masalah dalam pemungutan jenis pajak baru yang ditetapkan. d. Ada ketidak seriusan pemeritah dalam hal ini dinas pendapatan Kota Batam, terhadap penerimaan pelayanan retibusi parkir pinggir jalan, yang setiap tahunnya mengalami
penurunan.
Sementara jumlah kendaraan setiap tahunnya meningkat seperti data
penerimaan Pengujian Kendaraan bermotor. 2. Saran a. Pemerintahan Kota Batam, agar segera melakukan upaya yang serius terutama dalam hal mempersiapkan SDM yang memiliki kompetensi benar-benar memahami baik proses penggalian potensi pajak dan retribusi, hingga pelaporan penerimaan sebagai kekayaan daerah. b. Melakukan Sosialisasi kepada wajib pajak dan masyarakat berkaitan dengan jenis pajak dan retribusi baru yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Yani, 2002, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta Arsyad, Lincolyn, (2004) Ekonomi Pembangunan Yogyakarta (SYIE YKPN) Boediono, (1992) Teori Pembangunan Ekonomi Yogyakarta, BPFE, Yogyakarta Badan Pusat Statistik. 2008-2012. Indikator Makroekonomi Tahun 2008-2012 Indonesia. Jakarta: BPS Indonesia BPS, Provinsi Kepulauan Riau, (2010 – 2015) Bappeda Provinsi Kepri, (2010-2015) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. 2008-2012. Laporan Keuangan Daerah Historis. Erlangga Agustino Landiyanto, Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah; Studi Kasus Kotab Surabaya, Cures Working Paper 05/01, Januari 2005 Gunadi. (2004) Reformasi Administrasi Perpajakan dalam Rangka Kontribusi Menuju Good Governance. Pidato Guru Besar Perpajakan, FISIP, Universitas Indonesia. Jakarta Profil Dinas Pendapatan Daerah Kota Batam, 2014 Machfud Sidik, 2002, Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah, Orasi Ilmiah dengan tema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah”, Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung, 10 April 2002 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, tentang Pajak dan Retribusi Daerah TIM EKPD Provinsi Kepri UMRAH, . Lapoan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi, Kepulauan Riau, UMRAH dan Bapenas (2010-2015)