I
OTONOMI DAERAH, DEMOKRASI DAN PERDA SYARIAH
Budi Suryadi Fisip, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, email
[email protected]
Abstract: This article addresses that regional autonomy era in Kalimantan Selatan Province comes along with the emergence of sharia law formalization in several regencies and cities. Religion exists as a new mainstream in government policy in the forms of sharia regulation for people's daily life. This phenomena indicates that the relationship between state and religion has not ended yet in local and national level. There is still a bargain of grouping community into religious identity or national state identity, especially in the case of Republic of
Indonesia.
Keywords: Region autonomy, democration, sharia local regulation
PENDAHULUAN Konjungsi negara dan masyarakat konteks agama dalam ranah ke Indonesiaan merupakan persoalan yang krusial dan klasik. Hal ini dapat dilihat pada sejarah panjang berdirinya negara Indonesia, yang menunjukkan persoalan hubungan negara dengan masyarakat konteks agama sering kali muncul kepermukaan sebagai realitas politik yang menghantui tatanan kesatuan negara republik Indonesia.
Konjungsi negara dan masyarakat konteks agama di Indonesia ini, pada realitasnya banyak terjadi pada sebelum dan masa orde lama, serta masa reformasi. Sebelum dan masa orde lama, ketika para pemimpin politik waktu itu masih merumuskan dasar-dasar negara Indonesia. Pemimpin-pemimpin politik pada waktu itu masih berdebat dan bersitegang dalam menentukan dasar-das ar negara tersebut. Perdebatan menjadi berlarut-larut karena pada realitasnya basis kelompok yang muncul di masyarakat sangat kental dengan nuansa agama-agama sehingga mempertemukan perbedaan ini kedalam ranah negara kesatuan sangat pelik dan kompleks. Ramage (2002), mendiskripsikan pada waktu itu terdapat beberapa kesulitan dalam mempertemukan posisi-posisi ideologis anggota-anggota BPUPKI. Yang mencolok diantaranya adalah posisi-posisi dari mereka yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara, mereka yang mencoba menegakkan suatu demokrasi konstitusional yang sek-uler. dan mereka yang menganjurkan negarayang kemudian disebut sebagai negara integraiis:rr
167
168
20ll' hlm' 167-282 Jurnal Charta Publika, vol. 2, Nontor l, Jttli-Desernberi
paling emosional dan konfrontasional antara para anggota usul agar Islam d4adikan dasar negara'r perdebatan
adalah
1.ar-rg
bermuara pada pencantuman Kli n-rak dari kete gangan perdebatan dasar ne gara tersebut pada sila pertama yang 7 kata syariat pada ideologi negara, yaitu Pancasila' Khususnya syariat' Pencatuman kalimat ini rencananya diubah menjadi ketuhanan yang berdasarkan bertendensi agama tertentu. ini berakhir dengan tetap digunakannya kalirmat Walaupun demikian ketegangan tnt Yang *?nu,ttu, t"t"'-:Lq:1]: nasionalis pada sila pertama Pancasila, yaitu ketuhanan ke dalam./rameptagam pencantuman kalimaisyariat pada dasar negara ini terkodifikasikan Jakarta.
masyarakat konteks agama Kemudian masa-masa berikutnya konjungsi negara dan baru' Hal ini dikarenakan posisi ini tensinya mulai menumn atau melemut paaalasa orde lemah' Sehingga negara cukup negara pada waktu itu sangat kuat dan potiti masyarakat keagamaan yang puiyu kekuatan besar untuk menekan munculnya kelompok-kelompok
radikal. meletakkannya
dan orde baru memuiai desain negara berfokuskan pada Pancasila sepenuhny'a menjadi suatu sebagai pilar ideologis rezin-r dan masrarakat. Pancasila lasi hanr a merupakan suatu pembenaran ideologiJ unruk kelontpok r ars berkiiasa. Iidak
rRemage ' l(-)(Jl)' platformbersama di n-,ana SenlLIa tdet'rlc ri b-=: ,i;pe:temuiisn masl arakat kedalam Proses pengebirian aspirasi keionl:i,i-r:3-.:l:.s :;i::1 pancasila sangat berhasil. berkat duk'rrsan i:.:,-. -:-..,:3: '.;:.; rt;rggunakan pendekatan ::e:*::sai iangkah selanjutnya represif sehingga pengerucutan pantai politik rl.3:,-'::- -1 dalam menyatukan pengelompokkan agama' ';::lil baru 1'aitu pembangunPada waktu itu jargon agama mulai hilang crl::.-j;;:' :nruk sibuk membangun anisme. Jargon ini sangat ampuh daiam membr:': :--"" ':"": ;J: l;r\ 3 kita 'bangsa Indonesia' dan melupakan keagama annya,dengan istiiah 1311 '::'-: bukan kami umat agama' i;Ia dan masyarakat konteks Pada masa reformasi, menunjukkan realttas ktr;l' *:-.is ' :-3 s:"::ang konjungsi hubungan agarna di Indonesia ternyata belum berakhrr. pada s::: atau diperdebatkan negara dan masyarakat konteks agama menjadi fi1";'ti::':!;-:-::iakan yang ada di pada tatanan lokal. konjungsi ini muncul atau merei3,\ :il: ':': ;"erah-daerah ri'ilayah negara Indonesia sedang melaksanakan otor''':" r-:3:;:]
kepala daerahSepertilya penyelengg ataanotonomi daerah oi:"il:'':: sesuai seiera ke:g":laan di masyarakat daerah n., a. khusus di Kalimantan Selatan, sebagian kelompok syariat Islam pada berasumsi otonomi daerah merupakan kesempatar UflILr ::::erapkan keh:.iupan masvarakat di daerah2.
negara. sekuler posisi-posisi kuat antara kaum naslo:''.. ' 'r-: menginginkan nlen\ 3lrll:'r;i s:crirh pidato Pada tanggal i Juni dengan filere rir ', ":-: ;ll:nghendaki r-regara Islam, Sukarllo ..lahirnya pancasila". Suk:n,r *: :1 gai ukan suatu elstanschauung 1g4\ yangkemuor:r irs:ntl sebagai pidato atau'idasar filosotrs" bagi ne-rara Indonesia yang merdeka'
1 L r.:*i :l:::r:n-'batani
2
Halini
dapar dilihai pada hasil-hasil laporan FGD
l ang ,lir;..uk:n oleh LK3
pada tahun 2004
Budi Suryadi, Otonomi Daerah, Demokrasi dan Perda
Syariah
169
Namun apabila disimak secara cermat perbedaannya konjungsi negara dan masyarakat konteks agama dengan persoalan lalu dan persoalan sekarang, hanya pada peristilahan atau simbol yang digunakan. Problematik saat sekarang mengenai konjungsi negara dan masyarakat konteks agama dengan sebutan istilah formalisasi agama, tetapi cukup uniknya dibandingkan konjungsi lama yang tanpa disponsori negara, formalisasi agama ini justru di sponsor utama oleh cabang-cabang resmi negara yang ada di daerah, yaitu pemerintah daerah kabupaten/kota. Penerapan sistem desentralisasi, yang sebagai pengganti sistem sentralistis, dalam penyelenggaraan pernerintahan memang memerlukan penyesuaian-penyesuaian pada kehidupan masyarakat lokal. Otonomi daerah ibarat sebuah arus balik kekuasaan, yang dulunya kekuasaan (sistem sentralisasi) itu berpusat di pemerintah pusat kemudian berbalik arah kekuasaan itu berpusat di daerah-daerah (sistem desentralisasi).
Awalnya, ketika otonomi daerah atau arus balik kekuasaan itu ke daerah, banyak orang berkomentar "bahwa arus balik kekuasaan itu juga diiringi dengan arus balik KKN di daerah-daerah". KKN yang dulunya terjadi di Jakarta, sekarang berpindah teqadi di daerah-daerah. Selain itu ada juga komentar "bahwa daerah-daerah tidak akan mampu untuk berotonomi daerah sendiri dan lain-lain. Yang jelas nada miring tentang implementasi otonomi daerah ini sebenarnya wujud dari kebimbangan dan kebebasan orang untuk terus berpikir mencari solusi-solusi perbaikan demi melancarkan proses-proses otonomi daerah tersebut.
Namun pada saat sekarang, setelah otonomi daerah berjalan sekitar 5 tahun (walaupun dengan 2kali UU baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004), nadanada miring tersebut ada sebagian benar dan sebagiannya lagi tidak benar. Salah satu kebenarannya pada saat sekarang, yaitu konjungsi negara dengan masyarakat konteks agama yang dulunya merupakan fenomena pemerintah pusat, sekarang pasca otonomi daerah juga ikut berpindah ke daerah-daerah. Sebagai gambaran awal, cukup banyak peftanyaan yang dapat dikembangkan dari fenomena formalisasi agama oleh pemerintah daerah kabupaten/kota, seperti pertanyaan, mengapa kekuasaanyangberada di pemerintah daerah digunakanuntuk soal-soal primordial, seperti agama? Apakah keterlibatan pemerintahan daerah dalam agama ini cukup berbahaya untuk menciptakan disintegrasi di ranah lokal yang merembet ke pemerintah pusat?
Betulkah kebijakan pemerintah daerah
ini
sama dengan pengkotak-kotakkan masyarakat daerah karena diketahui masyarakat Indonesia sangat heterogen atau plural? Tidakkah kebijakan pemda mengenai keagamaan itu memicu ketidak adilan agama lain dan bagaimana jika agama lain pun ingin diperaturan-daerahkan keagamaannya? Apakah kebijakan pemda soal formalisasi agama ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi? Kehati-hatian atas semua dilematik ini dikemukakan oleh Al-Fauzi dan Mujani (2009), yang menegaskan bahwa dalam sistem demokrasi modern, prinsip kebebasan beragama hampir selalu dijewantahkan dalam benfuk keharusan untuk memisahkan antara urusan-urusan negara dan urusan-urusan agama. Bersatunya agama dan negara, sebagian dan apalagi keseluruhan, akan berbahaya baik bagi agama maupun bagi negara. \ar:'-: harus diingat bahwa pemisahan di sisni artinya bukan permusuhan negara atas :::r:-; tetapi netralitas negara dalam urusan-urusan agama.
170
Jurnal Charta Publika,
VoL 2, Nomor
l,
Juli-Desemberi 2011, hlnt. 167-282
PE}IBAHASAN Perda Sl ariah Fenomena perda syariah di masa otonomi daerah merebak bagaikan musim hujan. Kelornpok-kelompok keagamaan di masyarakat daerah seperti lepas kendali kehilangan akar kesaruannya, kembali pada bentuk politik komunalisme lama, seperti keagamaannya.
Sepertinya, kegagalan di tingkat nasional lalu tidak menyurutkan niat untuk memformalkan agama dalam negara. Perjuangan formalisasi Syari'at Islam tetap terus digalakkan di berbegai daerah melalui pencantuman ke dalam Peraturan Daerah (perda) atau peraturan lainnya di daerah. Beberapa daerah yang menggelorakan wacana formalisasi Syari'at Islam, sekadar menyebut contoh adalah Provinsi NAD, Provinsi Riau, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten, Kota Makassar, Kota Tetnate, Kabupaten Palembang, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Cianjur dan sejumlah kabupaten lainnya (Wahid, 2006). Tak hanya itu di beberapa daerah kota/kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan ikut memformalisasikan agama, seperti perda khusus jum'at, perda ramadhan, perda khatam qur'an, perda jilbab, dan banl,ak lagi perda 1ainn1'a 1'ang bernuansa keagamaan.
\lu-ianiil009t. sebagai perda-perda rang drterbitkan oieir pemenntah daerah bernuansa syari'ah di mana berbagai peraturan dan sisinya sangar kuat digarnai atau drtiuai oleh a_taran-ajaran islam tertentu menurut Fenomena perda s1'ariah inidrsetrut-{1i-Fauzi dan
penafsiran tertentu.
Tuntutan pembangunan dan kesejahteraan di daerah beriringan den,ean tuntutan akan eksistensi keagamaan tertenru di masl,arakat. Sepertinl'a semua orans tidak lagi memperdulikan keiompok lainnya yang penting kelompok agaman)'a 1ah 1'ang eksis dalam kehidupan sehan-hari.
Sehingga dalam hal ini formalisasi agama cenderung acapkali diartikan sebagai pembenfukkan tbrmal sebuah agama tertentu dalam kehidupan masyarakat. dengan kata iain beberapa kegiatan agama yang disahkan dalam bentuk peraturan daerah atau peraruran lainnya.
Rumadi (:i:)06 t. membagi perda-perda itu ke dalam tiga kategori, yairu: Pertama, perda-perda )'ang terkait dengan moralitas masyarakat secara umum. Meskipun menl'angkut moralitas umum. percia-perda jenis ini sebenarnya menjadi concern semua agama: Kedua. peraa-perda>,angterkait denganfashion danmode pakaian, sepefti keharusan rnemakai iilbal dar ienis pakaian lainnya di tempat-tempat tertentu. Perda jenis ini juga banr ak sekali muncul di berbagai daerah. berbeda dengan yang pertama, perda fashion ini iei,i= sai,srt ripikal Isiam, sehingga orang akan dengan mudah mengidentifikasikannya sebagai :erca s1 a:i'ah: Keriga. perda-perda yang terkait dengan keterampilan beragama, seperti keharusan bis baca-tulis -{l-Qur'an sebagaimana terdapat di Indramal.u, Bulukumba, dan daerah-daerah lainnya. pada tingkar tefientu, perda keharusan belajar di Madrasah Diniyah Awwaliyah dapat digolongkan ke dalam jenis perda keterampilan beragama ini. perda jenis ini juga
Budi Suryadi, Otonomi Daerah, Demokrasi dan Perda Syariah
sangat
t7t
tipikal Islam sehingga tampak sekali kepentingan Islam mendominasi munculnya
perda-perda tersebut. Fenomena perda syariah ini juga dipertanyakan oleh Anwar (2006), yang mengemukakan 'keinginan untuk memperjuangkan nilai-nilai islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja dalam perda biasa, tidak dalam format perda Syari'ah yang dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali. Bukankah perjuangan anti maksiatpada hakekatnya adalah perjuanan semua golongan? Dan itu semua dapat dilakukan di bawah payung Pancasila., khususnya sila pertama.... ujungnya perda syari'ah akan menjadi boomerang. Jika kenyataan ini berlaku dari sisi dakwah, sungguh merupakan malapetaka. Orang akan mencibir: ternyata produk yang serba syari'ah itu tidak membuahkan kenyamanan dan ketentraman. Masalah ini jauh dari sederhana'.
Prinsip demokrasi Nilai-nilai demokrasi merupakan sesuatu yang universal. Nilai-nilai yang universal dalam demokrasi inilah, yang menyebabkan banyak digunakan oleh negara-negara di dunia sebagai sesuatu yang urgen dalam mengelola tatanan masyarakat yang pluraiistik.
Keuniversalan nilai demokrasi ini maksudnya, walaupun setiap negara-negara di dunia memiliki ideologis-ideologis atau keragaman SARA yang berbeda namun substansi ideologis negara tersebut mengandung nilai-nilai demokrasi, yang menjamin terselenggaranya, kemerdekaan, kebebasan dan persamaan. Sebagai contoh Negara Indonesia yang berideologi Pancasila juga menerapkan nilainilai demokrasi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Selain itu nilai-nilai demokrasi ini dalam kerangka sistem desentralisasi dijadikan konsederan menimbang dalam UU No. 32 tahun2004 tentang pemerintahan daerah, yang menyebutkan "bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah.......diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaandan peran serta masyarakat. . . . . . dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi. . ... Maksudnya penyelenggaraan pemerintah di level daerah oleh pemerintahan daerah dalam kontek melayani kepentingan masyarakat harus berpinsip atau mengutamakan nilainilai demokrasi. Pemerintah daerah dalam melayani masyarakat daerah secara adil dan merata tanpa memandang faktor suku, agama, golongan, ras yang ada di dalam masyarakat daerah tersebut.
Banyak para ahli mengemukakan tentang ciri-ciri demokrasi, misalnya Ebenstein (1961), Mayo (1965), David Held (1998), dll. Namun pada dasarnya kesemua ciri-ciri tersebut tercakup pada 3 hal substansi, yaitu kebebasaan (fi'eedom), persamaan (equality) dan kffi 1 a/;rn raky at (s ov ereignity). Konsep kebebasan dan persamaan diantaranya semua manusia melahirkan beberapa persyaratan, yakni: penekanan pada hak individu, persetujuan sebagai dasar dalam hubungan
antar manusia, persamaan semua manusia, menghargai keanekaragaman, pengakuan hak suara l,ang luas, kebebasan berbicara dan berkumpul. Konsep kedaulatan rakl at menghasilkan beberapa persyaratan, yakni: negara sebagai alat, rule of lar,', pemiliha:
172
Jurnal Charta Publika, Vol. 2, Nomor I , Juli-Desemberi
201 I ,
ltlm. 167-282
umum yang bebas-terbuka-adil-jujur-berkala-kompetitif, pemerintah yang tergantung pada parlemen dan pengadilan yang terbatas. Konsep kebebasan dan persamaan mempakan fondasi dari demokrasi. Kebebasan dan persamaan dianggap sebagai sarana untuk mencapai kemajuan (Goul, 1993). Kebebasan berusaha akan memberikan hasil yang maksimal karena orang yang bersangkutan akan mengerjakan usaha tersebut secara sungguh-sun,eguh sehin-ega kemungkinan untuk berhasil adalah lebih besar. Bagian yang tidak terprsahkan dengan kebebasan adalah kekuasaan penguasa politik. ide kebebasan pada n.ru1an1-a memang diajukan untuk membatasi kekuasaan monarkhi absolute di Eropa Barat. semenjak an'al abad ke 16 hingga berkernbangnya kebebasan berkaitan dengan penqa\\'asan terhadap pengawasan kekuasaan pemerintah oleh rakyat. Sampai sekarang pun der:rokrasr r:.iasrh dil akini sebagai sebuah mekanisme politik yang mampu n-relindungi kebebas3: ia{, ai .lengan memberikan tugas kepada pemerintah untuk melindungi rakrat c:,;:r- :.::.,<;.::, .,e rebasan tersebut. Harus pula dicatat di sini bahrva kebebasan rang Cr:r.is*: ,:".:: k:L,ebasan yang terbatas, bukan kebebasan mutlak, karena peme:nt:l _,::; :.--;;s :rergaiur masyarakat telah memberikan batasan-batasan terhadai: ke:e:.s':- :3-.:: ',,.':i: :r...,arakat. Ini lah alasan
pria :::r-.,':.'.. .,;,.;::,:":r: .::; :::---: ::;- S3::ep Orang UntUk mengembangkan din sesu:. Cers:l l'e=;:::*;:-:-'.: t3rt:*::,-.-:-:teJ.;l: rang muncul di antara \\ arga masvarakat menlperoleh kesempalan ., ;rl s::-; ;---;:r: s:basai hal yang (equAlitt1 mengaCU
*-ajar karena manusia memang mempunlai bakat dan ke;:;::*::--.":s rerbeda. Oleh karena iru persamaan merupakan sarana I'ang tidak kalah pen:i,5:.. :.:- ie;najuan setiap orang tanpa memandang apapun.
Kedaulatan rakyat maksudnya bahwa yang berkuasa adalah ::A. i: :s:.ipi sekaligus yang diperintah. Namun rakyat patuh kepada pemerintah karena me:;k, nengharapkan adanya perlindungan dari pemerintah demi terbenrukn),a keteraturan iil c..:n rnasl,arakat (Rauf, 1998).
Kemudian dari sudut perkembangan istilah demokrasi sekarang tldaklah sama dengan istilah demokrasi masa lalu (Yunani). Pada masa 1a1u demokrasi dianssap sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakr at. Pengertian ini dianggap sebagai demokrasi klasik, yang cenderung menciptakan tirani mal,oritarianrkekuasaan mavoritas. Dalam rangka perbaikan istilah demokrasi iniiah maka pada perkembangan saat ini, pengertian demokrasi sekarang disebut dengan istilah demokrasi modern 1.ang lebih mensusung nilai-nilai prosedur dalam pengambilan kepurusan (Huntington, 1997). Prinstp-prinsip demokrasi yang dianut daiam konsederan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah merupakan prinsip-prinsip demokrasi modern, )'ang menghendaki pelayanan pemerintah daerah kepada masr arakat berlandaskan prosedurprosedur d,an tidak berdasarkan landasan masyarakat mal oritarian.
Konsep penlelenggaraan pemerintahan daerah dalam hal pelayanan kepada masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. maksudn)'a adalah bahwa setiap
Budi Suryadi, Otonomi Daerah, Demokrasi dan Perda Syariah 173
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah mengandung unsur-unsur adanya persamaan, kebebasan dan kedaulatan rakyat.
Apabila memandang prinsip-prinsip demokrasi di atas, maka kebijakan pemerintah daerah soal perda keagamaan sangat tidak mengusung prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini dikarenakan perda keagamaan ini tidak menjamin adanya kebebasan, persamaan dan kedaulatan bagi agama lain atau aliran kepercayaan lainnya dalam melakukan peribadatan.
Dari aspek kebebasan, eksistensi perda syariah oleh pemerintah daerah ini secara subtansi merupakan pembatasan kebebasan masyarakat daerah dalarn beragama. Kebebasan masyarakat untuk berbicara dan berkumpul melakukan aktivitas agama menjadi hilang atau
terbatasi. Persoalannya juga pada pembatasan kebebasan ini, pemerintah daerah melakukan kerancuan atau penyimpangan pengertian pembatasan kebebasan. Pembatasan kebebasan yang dilakukan pemda ini bukanlah pembatasan demi kepentingan umum tetapi pembatasan keagamaan yang mengarah pada aktivitas keagamaan tertentu. Formalisasi agama ini merupakan pembatasan kebebasan masyarakat daerah secara berlebihan, yang cenderung mematikan pengawasan oleh masyarakat daerah terhadap kinerja pemerintah daerah.
Menurut Ali-Fauzi dan mujani (2009), perda-perda bernuansa syari'ah menggerogoti kebebasan beragama dan kebebasan sipil, yaitu: Peftama, perda-perda ini tidak menerapkan prinsip perlakuan yang sama di mata hukum kepada semua warganegara; Kedua, perdaperda ini membatasi kebebasan untuk memilih agama dan kepercayaafi. Perda-perda yang ada jelas mengacu kepada satu mazhab tertentu dalam Islam; Ketiga, perda-perda ini membatasi kebebasan seseorang atau kelompok untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka. Dari aspek persamaan, formalisasi agama oleh pemerintah daerah menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini melakukan pelayanan secara diskrirninatif terhadap masyarakat daerah. Layanan pemerintah daerah ini cenderung mengarah kesalah satu agama tertentu yang akibatnya pemerintah mensponsori perbedaan-perbedaan dalam masyarakat daerah. Selain itu kepentingan agama lain atau aliran kepercayaan lainnya terabaikan. Seharusnya pemerintah daerah melindungi persamaan terhadap masyarakat daerah dalam menikmati persamaan dalam keagamaan.
Dari aspek kedaulatan rakyat, formalisasi agama oleh pemerintah daerah merupakan penyimpangan terhadap kedaulatan rakyat itu sendiri. Dikarenakan dalam hal ini kedaulatan yang terjadi bukanlah kedaulatan masyarakat daerah tetapi kedaulatan agam4 yang secara otomatis mengabaikan kedaulatan agama atau aliran kepercayaan lainnya. Dalam hal formalisasi agama oleh pemerintah daerah ini berarti pemerintah daerah dalam pelayanannya mengembangkan nilai-nilai demokrasi dalam pengertian yang sempit sehingga secara otomatis akan berdampak pada komunitas keagamaan atau aliran kepercayaan lainnya yangada di masyarakat daerah.
Hak individu dalam wilayah negara Indonesia akhirnya terabaikan dengan adanya perda keagamaan. Individu yang berada di luar komunitas agama ini atau individu yang berada pada komunitas agamalaliran kepercayaan yang berbeda akan merasa diskriminasi dal am aktir,itas keagamaan mereka sehari-hari.
174
Jurnal charta Publika, vol.2, Nomor l, Juli-Desemberi 2011, hlm. 167-282
Seharusnya negara/pemerintah daerah menjamin atau melindungi hak inidividu yang ada di u.ilayah negara Indonesia dengan tidak membedakan asal agama, suku, ras dan golongan di masyarakat.
Idealnya pemerintah daerah setempat berposisi sebagai alat negara atau penengah dari kepentingan-kepentingan masyarakat bukan cenderung ke arah salah saru kepentingan agama tertentu. Konsekuensinya, secara tidak langsung pemerintah daerah berdiri pada golongan satu golongan tertentu di masyarakat daerah, dan hal ini cukup memicu kerisauan lain. pemerintah daerah sebagai kepanjangan pemerintah pusat atau kepentingan negara harus berdiri di tengah-tengah masyarakat. posisi tengah pemerintah di daerah sudah harga mati bagr ne gara Indonesia. Di mana Ciketahui negara Indonesia tidak dilahirkan oleh salah satu agan-ia i.renru. atau kelompok tertentu atau suku tertentu tetapi dilahirkan oieh semua kelonlpok. suku. agama yang ada
di Indonesia.
Selintas memandang sejarah kemerdekaan Indones.:. -':::,\a seluruh bangsa Indonesia ingin bersatu dan menyatu ke dalam sebuah ne:::: :1".:, ..'i :- nula para pemuda mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun 191S ra:g '::i-:- :::'-:":- :ndividu dari suku, ras, golongan, agama dan aliran kepercalean. F::: -:;-'.-t- ,:,- :e:i-'-ompok ke dalam jll' nama isttlahjongiava, jong atnbon. -lonq s.'li7;c ':.'.7; I ';-"j - ';-: -'"::.'s Maka para pemuda dari berbagal kelonp,-.: -:., ::3:1:.::*,-, I:::':ntas nrlai baru yang diwujudkan atau dikumandangkan uaktu li; ie::":.:-;:1::-:'-:": pen'ruda, yaitu Satu bangsa: bangsa Indonesia. Satu nusa: IndLrnesli Cr:- :;;- ::::Si = bahasa Indonesia. Artinya ketika seluruh pen-ruda bersatu ke ciaiant ::n:*r:.-..-:1 :aru. mereka hanya mengenal satu bangsa, Satu nusa dan satu bahasa. )'an.q
"r:-r*:*: ::::eda
atau beragam.
Relevan dengan di atas, Geerz juga menrebutk;l ;,..: ::.s11 penelitiannya di Mojukoto, dimana daerah ini cukup plural masl arakatn) e. i::: :-r::.trmpokkan ke dalam varian abangan, santri dan priyayi. Dalam kehidupan rn:.; ':.i:r: di mojukuto varianvarian ini menunjukkan gejala persaingan yang ting-si namlui .;e:-:. -
\t1ai sosial terpenting dari pancasila adalah toleransi. teF;.il:tB dalam masalah agama. Fancasila berhasil meyakinkan kaum nasionalis sekuier. b,atx', aig beragama Islam maupun l ane ilc:k. bahri a negara baru ini tidak akan mempriontasken lsiam dr atas yang lainnya. Seb,ai;ki., a. pancasila menyatakan bahwa meski Indonesia Si'-3ri rrlosofis didasarkan pada asama. nega:a tidak mendukung salah satu agama. Kompromr politrs ini berarti bahwa pemenntah menghLrnlati keberagamaan agama rakyatnl a tRemage. 2002). Sampai sekarans rntegritas sistem nilai negara Indonesia terus terjaga dan apabila ada gangguan keserntbangan sistem integritas nilai itu maka nesara atas nama aparatusnya melakukan peneniban-penertrban demi keteraturan dan keteniban nlasyarakat Indonesia.
Budi Suryadi, Otonomi Daerah, Dentokrasi dan Perda Syariah
175
Namun kesimbangan sistem nilai negara Indonesia menjadi tidak relevan/terganggu ketika terjadinya fenomena formalisasi agaff:,a oleh pemerintah daerah dalam penegasan aktivitas keagamaan tertentu. keseimbangan nilai-nilai keagamaan dan aliran kepercayaan yang sudah berlangsung lama dalam negararepublik Indonesia, akhirnya menjadi terganggu dengan penyesuaian-penyesuaian nilai baru yang dikembangkan pemerintah daerah.Yang seharusnya pemerintah daerah sebagai bagian dari negara, berperan secara netral untuk melayani masyarakat menjadi tidak netral ketika kebijakannya menyubrirkan aktivitas keagamaan tefientu. Ini bentuk diskriminasi pemerintah daerah terhadap keagamaan dan aliran kepercayaan tertentu, padahal diketahui secara umum di Kalimantan Selatan begitu beragam perbedaan suku-suku yang memiliki aliran kepercayaan tertentu. Ketidak seimbangan sistem nilai ini dapat dipastikan akan menyebabkan disintegritas pada masyarakat daerah.
I(ESIMPULAN Perda syariah merupakan bentuk konjungsi antara agama dan negara yang menjadi fenomena lanjutan dari fenomena masa lalu, di mana menegaskan realitas belum rampungnya konstruksi konjungsi antara negara dan masyarakat konteks agama di negara Republik lndonesia.
Agama dalam kerangkeng Negara Republik Indonesia merupakan salah satu fondasi kesatuan dan persatuan masyarakat Indonesia, Yang seharusnya tetap tidak dominan agar keseimbangan kehidupan masyarakat di daerah tetap tentram dan nyaman serta toleran.
DAFTAR PUSTAKA Ali-Fauzi, I dan Mujani, S. 2009. Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syari'ah, Penerbit Nalar: Jakarta.
Anwar,
M Syafi'I, 2006.
Perda-Perda Bernuansa Syari'ah Serta Dampaknya Terhadap Indonesia Sebagai Negeri Yang Plural, Makalah Diskusi Publik LK3 Banjarmasin, berkerjasama dengan Forlog Kalsel, YDIS Amuntai, FPM, Lakas Rakat Barabai, Banjarmasin.
Giddens, Anthony, 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta. Geerz,
Clifford, 1960.
The Religion OfJava, The
University Of Chicago Pres: Chicago and
London.
Goul, Carol, 1993. Demokrasi Ditinjau Kembali, Penerbit Tiara Wacana: Yogyakarta. Huntington, Samuel, 1997. Gelornbang Demokrasi Ketiga, Penerbit Grafiti: Yogyakarta. Lipson, Leslie, 1964. The Democratic Civilization, Oxford University Pres: New York. Ramage, Douglas
E, 2002. Percaturan Politik Di Indonesia, Penerbit Mata
Bangsa:
Yoe,vakana.
Rumadi, 2006. Perda Syariaat Islam: Jalan Menuju Negara Islam, Jurnal Tash* irul1.::,::
176
Jurnal Charta Publika, Vol.2, Nomor l, Juli-Desemberi 2011, hlm. 167-282
Wahid, M, 2006. Syari'at Islam Versus Negara-Bangsa: Pergulatan Sejarah dan Pemikiran, Makalah Diskusi Publik LK3 Banjarmasin berkerjasama dengan Forlog Kalsel, YDIS 'Amuntai, FPM, Lakas Rakat Barabai, Banjarmasin.
Tim Riset LK3,2004. Peta dan Problem Penegakan Syariat Islam Di Kalimantan Selatan, Banjarmasin.