DEMOKRASI DAN OTONOMI DAERAH Oleh: Koentjoro Dosen Fak. Isipot Universitas Tidar Magelang
ABSTRACT The basi'c standard aJ autonomn,l,,i.\. not an apromise untl commitntent but it is on lhe real practice u;hether [he aulorutnn,
reallv places the people in honorury p
l. \
2. 3. 1.
there
is a gap befiyeen lhe
'
institutiotr of'
per,tple
representative and lhe people u,ho ure represenletl u,hat a elentents that should he representecl u,ho ha.s a right to represent peoples aspiratiotts how legilimaqt is achieved
Therefore lhe people need to participate in politicsJbr all let,els and all aspects of lives. It ulso needs democracy inno,-ation b1; bureaucratic refbrnration, the potic.v change, potitic eclucatiott for opeople, political supports.
Key llorrt : Democracy, participate, autonomy,
A.
PENDAIIULUAN
Kebijakan otonomi daerah yang kini berkembang, rlemang bisa dilihat sebagai bagian dari suatu proses perubahan. Akan tetapi bila proses perubahan tersebut ditumpukan hanya 29
Demokrasi Dan Otonomi Daerah (K'oenljoro)
pada kebijakan otonomi daerah, khusunya yang termuat dalam UU No. 32 th2004, maka demokrasi di atas merupakan gam_
baran, ahwa setiap kebijakan setiap elit politik masih sangat mungkin menyisakan kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan demokrasi dan keadilan. oleh sebab itu, partisi'pasi aktifrakyat. yakni partisipasi dalam kesadaran penuh, sangat diperlukan terutamaagar kebiiakan yang ada tidak sekedar menjadi slogan yang macet dalpm praktek. Oleh karena itu, ukuran dasar dari otonomi, bukan terletak pada janjidan sejurnlah komitmen. melainkan riil pada praktek : apakah otonomi benar-benar akan menempatkan rakyat pada posisi terlrorr.nat, ataukah rak;-at tetap saja sebagai ob.iek clari elit politik. Dengan demikian yang harus dilihat adalah apakan dengan otonomi daerah elit lokal meniadi lebih dekat denga raky'at ataukah sebaliknya. Pengalaman dalam pernilihan Bupati di b,erbagai tempat menunjukkan dengan sangat jels bah$'a otononli hanya rnenyadi a.iang rebr,rtan elit lokal sementara prospek pemberdayaan rakyat masih beluru tampak. Adalah tugas bagi kita semua yang menghendaki dernokratisasi untuk bergandengan tangan dalanr memperkuat rakyat. sehingga rakl,at dapat menjadi kekuatan efektif untuk mengontrol jalannya otonomi daerah. Otonorni sendiri harus nrenjadi bagian dari prosess pembaruan diberbagai sektor. untuk karena diperlukan pemahaman yang lebih utuh mengenai proses demokrasi yakni mengenali medan demokrasi, agar dapat merumuskan langkah yang leibh baik dalam membangun demokrasi berporos rakyat,
30
IbL 30 No, 2, I 5 September 2008 : 29-41
PEMBAHASAN Masalah-masalah dalam demokrasi Ditinjau dari makna kata, demokrasi berarti kekuasaan rakyat atau pemerintahan rakyat. Ungkapan ini sudah tentu sangat lazim, namun rumit (kompleks) dalam realitas. Men' gapa dikatakan demikian, pengalaman dinamika masyarakat. sejak dan sebelum kemerdekaan nasional. menunjukkan dengan sangat jelas bahwa gerakdemokratisasi masih belum bergulir secara'sehat, bahkan pada masa Orde Baru, demokrasi. bukan saja.dikacaukan maknanya, melainkan juga direndahkan dalam realisasi. Ulasan berikut akan memperlihatkan beberapa masalah utama. yang patut diduga sebagai bagian dari penyebab macetnya proses demokratisasi. Pertama, jika demokrasi merupakan pernyataan pemerintahan rakyat. apakah hal tersebut bermakna bahrva rakyat yang secara langsung memerintah atau menjalankan kekuasaa ? Para ilendiri Republik Indonesia. menjawab dalam pasal 1 ayat 2 UUD'45 dengan : kedaulatan adalah ditangan raky61. dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis permusyar,varatan Rakyat. Di sini telah muncul prinsip perrvakialn (representasi). Dengan demikian, secara langsung ataupun tidak, dikatakan (dianggap) bahwa rakyat (secara keseluruhan) tidak mungkin menj alankan pemerintahan. Parlemen merupakan institusi yang diciptakan sebagai.representasi, dan diharapkan menj adi wakil yang aktual dan obyektif dari aspirasi rakyat. persis di sini pula terdapat kompleksitas masalah. Inilah masalah pertama : adanya jarak antara institusi wakil rakyat dan rakyat diwakilinya. Kedua, siapakah dan dari unsur apayangseharunya duduk di dalam institusi representasi kepentingan rakyat ? Berbagai
31
Demokrasi Dan Otonomi Daerah (Koen$oro)
konflik yang kini berkembang, baik yang mencerminkan konflik antar agama, suku dan golongan, maupun konflik berkaitan dengan kepentingan material (ekonomi), pada dasarnya memberikan rhomentum yang sangat aktual untuk mengkaji kembali dasar-dasar representasi kehidupan dalam bernegara. Tuntutan kemerdekaan dari beberapa daerah, memberi sedikit petuniuk tentang adanya aspirasi yang kuat, agar sistem perwakilan daerah digunakan. Kejadian fraksionalisme di DPR dalam proses pemilihan wakil-wakil rakyat. rnernberi fakta lain dari kemungkinan sistem perwakilan dengan menggunakan dasar keyakinan agama. Sementara itLr. gejolak petani" akibat sistem pertanian dan agraria. demo buruh akibat SKB 4 Menteri. Berbagai dinamik tersebut, sesungguhnya merupakan realitas dari masalah besar demokrasi. Kegagalan a'ival demokrasi adalah ketika ia gagal membttat rumusan mengenai dasar perrvakilan, )'ang pada gilirannya menjadikan kekuasaau hanya milik segelintir orang dan mengabaikan yang lain' Dalarn konteks Indonesia kekinian, masalah representasi masih merupakan tantangan untuk dapat mewujudkan suatu pemerintahan yang mellgadopsi kepentingan seluruh rakvat' Ket iga,jika sistem perrvakilan dibenarkan. dan dipandang sebagai pilihan terbaik. maka siapakah yang merniliki hak untuk mewakili aspirasi rakyat ? Apakah yang dipilih itu yang dikehendaki oleh rakyat, ataukan mereka yang memenuhi kriteria umum. Kritik dari kalangan akademisi terdapat para anggota perlemen, baik di pusat maupun daerah yang menyatakan bahwa banyak anggota parlemen adalah pihak yang tidak memiliki kemampuan, menunjukkan dengan sangat jelas suatu aspirasi bahwa masalah kemampuan menjadi penting' Aspirasi
32
llol 30 No. 2, I5 September 20()8 : 29-ll
tersebut, pada dasarnya merupatan bentuk pengingkaran yang
paling tajam dari demokrasi. yakni asumsi bahwa di dalam masyarakat terdapat suatu ketidaksamaan. Memerintah dipandang sebagai pekerjaan yang menerlukan kecakapan khusus, sehingga tidak semua orang bisa mengemban tugas tersebut, . dengan dasar-dasar
dari kekr.rasaan feodal, dimana raja adalah pihak yang memiliki kemampuan diatas rata-ratamanusia lain. Raja adalah representasi dari kekuatan yang bisa mengatasi dan mengelola berbagai problem duniarvi, bahwakan di duniawi. Posisi istirnewa tersebut membuat Iogika perlanggungjarvaban rnenjadi tidak bisa di.ialankan, sebab raja bukan mengembar.rg tugas rakyat, melainkan membawa misi dari ,,atas". Cara pandang elitis tersebut, pada dasarnya telah merasuk dalam pikiran para pengambil kebijakan nasional. Contoh mengenai Badan Perwakilan Desa (BPD, parlemen desa), disebutkan bahwa anggota BPD adalah pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa BPD dipilih dari kalangan adat, agama, organisasi sosial-politik, golongan profesi dan unsur pemuka masyarakat lain. Dari ketentuan tersebut, meskipun klausula mengenai golongan prof-esi dapat diperluas maknanya. namLln secara eksplisit kebijakan tersebut tidak menyebut unsur petani, yang padahal bila berbicara mengenai desa, maka petani merupakan unsur mayoritas dan sekaligus menjadi ciri dari masyarakat desa. Artinya kita mendapati masalah ketiga yang tendensius, yakni adanya kecenderungan elitisme dan pelecehan hak-hak rakyat, untuk bisa menjadi elemen dalam institusi representasi. Keempat, dalam pemerintahan yang berbasis demokrasi, yang menjadi titik masalah bukan sekedar asal dari legitimasi kekuasaan, melainkan juga mempersoalkan bagaimanaj kekua-
33
Demokrusi Dan Otonomi Daeruh (Kocnljoro)
saan diselenggarakan. Kewenangan yang diberikan penguasa
hanya sebagian dari kewenangan, dan sebagian lagi masih dalam genggaman rakyat, dan merupakan hak rakyat, unfuk sewaktu-waktu meninj au kembali kewenangan yang dierikan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, memberikan jawa.ban, "setiap orang mempllnyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya, baik secara langsung atau melalui para wakil yang dipilih secara bebass". Pada rnasa Orde Baru. pandangan initidak begitu populer. Setiap keterlibatan rakyat akan dihadang dengan pernyataan : sudah ada wakil rakyat ! Pengalaman nrenunjukkan bahwa pengrnsa (pernerintah). atas nama ketertiban dan kepentingan umum, telah menciptakan sejumlah aturan (prosedur. periiinan), yang pada kenyataannya bukan rneniadi.jalan lebar bagi rakyat unturk bisa ambil bagian secara aktif dalam proses politik. justru sebaliknya. Artinya. suatu rejim \/ang rnenqklaim berdasarkan atas prinsip denrokrasi. tidak rnenjamin memberi ruarlg yang lebar bagi partisipasi rakyat. Dan persis di sini pula letak tantangan yang serius bagi demokrasi. 1.akni suatu paradoks pemberian ker.venangan, yang pada satu sisi dibutuhkan agar pemerintah bisa menjalankan kehendak rakvat, namun disisi Iain terbuka kesempatan yang lebar bagi penyalahgunaan yang justru mengingkari aspirasi rakvat. Keempat masalah tersebut pada dasamya hanya sebagian dari persoalan-persoalan penting yang menyertai gagasun d.mokrasi. Kejelasan jawaban terhadap persoalan tersebut, sudah tentu akan menjadi bagian dari proses untuk menumbuhkan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya dan tidak sekedar menambah label dari demokrasi yang pada gilirannya hanya mengkhianati spirit dan prinsipnya. Masalah pertama. kedua
34
I/oL 30 No. 2,
l5 Septemher 20()8 : 29-14
dan ketiga, pada dasarnya merupakan refleksi dari persoalan sruktur dan kultur sosial. Argumen struktural mengatakan bahwa segala kerumitan mengenai sistem perwakilan pada dasamya merupakan cermin dari konflik kelas, dimana kelas atas memenangkan arena dan kelas bahwa menerima nasib ' yang termarj inalisasi. Masalah ini menjadi leibh telanjang pada masa Orde Baru, dimana perwakilan pengusaha mendominasi, sedangkan perwakilan dari'kelas bekerja, hanya minoritas yang tidak berarti. Posisi inilah yang pada gilirannya memungkinkan berkembangnya berbagai skema pengendalian dan meniadi kekuasaan sebagai alat untuk menggandakan kepentingan,.vang pada sisi lain menindas dan mengeksploitasi. Struktur budaya yang terbentuk, dengan sendirinya tidak bisa dilepaskan dari dinamika struktur sosial tersebut. Masalah kedua diatas, dari optik ini, merupakan akibat langsung dari skema hirarki yang berkembang. Tidak adanya kepercayaan pada rakyat, dan sebaliknya, berkembangnya rasa inferior di kalangan rakyat, merupakan hasil dari reproduksi sirnbol yang lnengukuhkan golongan atas dan sebaliknya melecehkan golongan bawah. Secara keseluruhan hendak dikatakan bahwa formasi demoktasi masih menjadi tantangan yang serius bagi masa depan Indonesia. Dalam konteks otonomi daerah, formasi demokrasi yang dipilih akan sangat mengtukan kualitas dari realisasi otonomi menentukan kualitas realisasi otonomi daerah yang akan dikembangkan. Hendak dikatakan di sini bahwa terdapat kesan yang sangat luas, bahwa formasi demokrasi yang ada masih sangat kental bernuansa pusat, sehingga belum lagi mengakomodasi kepentingan rakyat (lokal). Dapat dikatakan pula bahwa memisahkan agenda otonomi daerah dan penataan ulang format
35
Demokrasi Dan Otottomi Daerah (Kocntjoto)
politik nasional. sama halnya dengan suatu manipulasi sama hanya dengan mengembangkan suatu demokrasi di dalam gelas.
Partisipasi Polik Rakyat Dalam demokrasi, partisipasik potitik rak),at merupakan hal yang mutlak meskipun pertisipasi merupakan syarat dan indikator dari praktek demokasi, namun rejim-rejim otoriter. pada umumnl'a masih mentolelir berkembangnya issue ini. Orde Baru sebagai contoh. telah menvatakan komitmenya untuk nremberi tempat bagi partisipasi politik raky'at. Keberadaan lembaga-lembaga demokrasi. seperti DPR. Pers. dan institusi seperti LSlv{ (Ornop), urerupakan indikasi kuat bahrva partisipasi tidak diharamkan. Namun masalahnva adalah bagairnana bentuk pertisipasi 1'ang di$enarkan oleh negara. Berbagai pembatasan 1,ang dilakukan. memperlihatkan bahwa pertisipasi 1,ang dikenibangkan merupakan partisipasi dalam kontrol, partisipasi 1'ang tidak rnempersoalkan relasi kuasa, melainkan partisipasi dalam
'
rangka untuk memaksimalkan energi .vang ada dalam masyarakat. agar kesernuanya dapat menjadi penyokong pembangunan.
Di kalangan rakyat desa, terkadang muncul pandangan bahrva keterlibatan mereka sebagai pekerja dalarn proyek-proyek pembangunan jalan, sudah merupakan bentuk partisipasi. Pandangan ini patut di baca sebagai produk dari manipulasi konsep partisipasi dari demokrasi, oelh rejim berkuasa. Sesuai dengan konsep demokrasi, maka partisipasi harus dibaca sebagai hak dasar dari rakyat untuk terlibat, langsung ataupun tidak langsung, dalam keseluruhan proses politik. Dari
perencanaan, sampai pada distribusi hasil-hasil. Pada masa
36
l/oL 30 No. 2, I5 Septembet 2008 : 29-44
Orde Baru, rakyat hanya dilibatkan dalarn teknis pelaksanaan. Kalaupun ada kesempatan untuk mengajukan usul pda proses perencanaan, maka hal tersebut lebih bersifat formalitas yang tidak ada jaminan sedikitpun bagi diakomodasinya aspirasi rakyat tersebut. Bahkan dalam kasus dikalangan aparat send'iri, kejadian serupa juga berlangsung. Meskipun aparat desa kerap kali harus membuat pengajuan, namun keputusan atau proyek-proyek yang diturunkan, tetap saja bukan yang dajukan, melaink'an suatu kegiatan lain. Aparat di atas desa rnempunyai banyag alasan atas diabaikannya aspirasi (usulan) dari desa, sebaliknya dipihak apa.at desa. tidak punya daya untLrk menolah ataupun untuk menagih sesuai dengan usulan yang diberikan. De ngan demikian untuk melvuj udkan partisi pasi. dibutuhkan, bukan saja syarat internal. namun juga syarat eksternal. Yang dimaksud dengan syarat internal adalah suatu kapsitas tertentu dari rakyat. Kapasitas di sini, bukan terutama mangacu kepada masalah kemampuan intelegensi, melainkan pada kesadaran dan ketrampilan. Kesadaran menjadi unsur yang paling utama. Maksud dari kesadaran disini adalah adanya pemahaman dari rakyat terhadap berbagai aspek yang sedang dihadapi, sehingga ketika mengambil keputusan-keputusan penting, langkah tersebut merupakan pilihan yang sadar dan bebas, bukan sebagai hasil manipulasi atau paksaan. Kualitas kesadaran tersebut, bila dikontraskan dengan realitas kesadaran rakyat dewasa ini, akan berarti perlunya upaya unfuk mentransformasi kesadaran lama yang dibentuk oleh rejim otoriter Orde Baru, untuk digantikan dengan kesadaran baru di bawah prinsip-prinsip demokras i. Bagi keperluan ini, pendidikan politik merupakan agenda
37
Demokrasi Dun Otonomi Daerah (Koenljoro)
yang mendesak. Namun demikian, perlu pula ditegaskan di sini, bahwa kesadaran saja tidaklah cukup untuk memberi jaminan bagi proses partisipasi yang produktif. Diperlukan pula ketrampilan-ketrampilan tertentu, seperti kemampuan untuk melakukan negosiasi, memaj ukan tuntutan-tuntutan, dan lainlain. Kebutuhan akan trampilan bukan berarti menutup jalan bagi yang tidak mampu, melainkan menuntut adanya proses pendidikan politik yang lebih massal. sehingga memberikan kesempatan yAng luas kepadad siapa saja untuk bisa ambil bagian secara sehat. Berbagai proses untuk mengembangkan partisipasi. pada dasarnya membutuhkan suatu ruang politik 1'ang terbuka dan terjarnin keamanannya. Hal ini berarti bahwa proses mentransformasi kesadaran rakyat dan memungkinkan partisipasi, hanya akan bermakna bila terjadi pembaruan dalarn sistem politik dan tata sosial. Pembaruan sistem politk, bermakna dilakukan sej umlalL pembaruan kebi i akan-kebii akan (p o I i c re f it r nt 1 politik, sehingga segala bentuk restriksi atas gerak "-politik rakl'at. bisa dihilangkan, Kita n'renyadari sepenuyhnya bahwa suatu kebiiakan pada galibnya merupakan cermin dari kepentingan mereka yang berkuasa. Pengalaman di bawah Orde Baru, memperlihatkan dengan sangat jelas. Pembangunan dengan menggusur, proyek-proyek perkebunpn dengan skala besar yang mengabaikan hak-hak rakyat adat, sampai pada kebijakan industrial peace yang memotong gerak dinamis kelas buruh, merupakan contoh-contoh yang nyata bahwa kebijakan atau muatan dari hukum yang dikembangkan lebih rnengabdi kepada kepentingan yang memegang kuasa. Relasi penuh ketimpangan ini, dapat segera di baca sebagai konsekuensi atau produk dari
38
l/oL 30 h'o. 2, I 5 September 2008
: 29-14
struktur sosial yang timpang dan menjacli ajang eksploitasi. Kenyataan ketimpangan dalam struktur agraria, merupakan sub bagian dari ketimpangan sosial yang makin melebar. Hal yang hendak dikatakan bahwa pembaruan kebijakan (policy reform) yang tidak disertai oleh agenda-agenda pem' baruan struktur sosial, hanya akan menjadi ilusi bagi proses perubahan yang memperkuat rakyat. Kebutuhan untuk mempersiapkan situasi eksternal, lingkungan di mana rakyat bisa berpartisipadi, tidak mungkin hanya peraturan dan mendatangkan peraturan baru, seperti yang sekarang menjadi semacam trend, melainkan juga rnenuntut adanya gerak sisternatis ke arah pernbaruan struktur sosial. termasuk struktur agraria. Masalah-masalah seperti situasi politik yang penuh ketidakpastian, infrastruktur pendukung yang lemah, juga terdapat hambatan kultur politik yang masih merupakan imbas dari kultur feodal. Up'aya untuk memperkuat dernokrasi di level ,.akar rumput" yang tidak disertai dengan proses transformasi struktur sosial dan kultur, hanya akan menjadi tindakan formalitas belaka, yang tidak punya banyak makna bagi demokasi. Otonomi daerah dalam konteks ini harus ditempatkan sebagai bagian dari upaya transformasi sosial, dan bukan sekedar penataan kelembagaan politik semata. Namun sayangnya, kita belum mendapati kecenderungan yang dimaksud. Hal yang lebih mencolok adalah ditempatkannya otonomi hanya sebagai penataan struktur kekuasaan yang ditandai oleh pembagian ulang kewenangan pusat dan daerah. Kenyataan ini pula yang mendorong adanya kekhawatiran terjadinya proses penciptaan rap-raja kecil di daerah. Dengan demikian, dilihat dari konteks kebutuhan menum-
39
Demokrusi Dan Olonomi Daerah (Koentjoro)
buhkan suatu bentuk partisipasi rakyat yang utuh dan kuat, skema otonomi daerah masih jauh dari memadai. Masih dibutuhkan langkah-langkah potitik tambahan? agar proses yang berjalan benar-benar bisa membawa atau menciptakan kondisi yang memperkuat partisipasi politik rakyat dan bukan sebaliknya. Apa artinya ? bahu'a usaha pengembangan demokrasi tidak bisa hanya dilihat sebagai proses perubahan kebijakan. Pandangan ini sekaligus menjadi kritik atas kecenderungan mutakhir" yang melihat bahwa perubahan hukum dipandang sebagai jalan terpenting (terutama) untuk menyelesaikan nrasalah-masalah sosial dan dentoktasi.
Membangun Kultur Demokrasi Struktur yang tidak adil dan memuingkinkan berlangsllngnya penindasan, pada dasarnya telah rnengkonsolidasik diri. diperkuat dan menjelma dalam nilai-nilai yang hirlup dalam masyarakat. Cara pandang rakyat terhadap pemerintah, ang ) melihat bahu'a pemerintah adalah pihak vang harus critakuti. dan karena itu harus dihormati secasra berlebihan. Memajukan demokrasi, akan sama artinya dengan memajukan partisipasi rakyat. atau memungkinkan rakyat ambil bagian dalam proses politk secasra wajar dan sadar. hal iniakan segera di hadang oleh se.iumlah nilai yang memang tidak membenarkan bagi rakyat unfuk bisa ambil bagian secasra sehat. Berbagai relasi sosial yang ada di masvarakat. seperti hubungan antara guru. murid, atasan bau.ahan. suami-istri. laki-laki perempuan. pejabat ra'ry*at, kiai santri, kota desa, dan lain-lain merupakan suatu benfuk hirarki yang sekaligus menyebar aroma diskriminasi dan sekaligus pelecehan. perubahan sosial yan berjalan, terutama denga masuknya berbagi teknik dan
40
Demokrosi Dsn Otonomi Doerah (Koentjoro)
buhkan suatu bentuk partisipasi rakyat yang utuh dan kuat, skema otonomi daerah masih jauh dari memadai. Masih dibutuhkan langkah-langkah politik tambahan, agar proses yang berjalan benar-benar bisa membawa atau menciptakan kondisi yang memperkuat partisipasi politik rakyat dan bukan sebaliknya. Apa artinya ? bahwa usaha pengembangan dernokrasi tidak bisa hanya dilihat sebagai proses perubahan kebijakan. Pandangan ini sekaligus menjadi kritik atas kecenderungan mutakhir. yarig melihat bahwa perubahan hukum dipandang sebagai jalan terpenting (terutama) untuk menl,elesaikan nrasalah-masalah sosial dan demoktasi.
Membangun Kultur Demokrasi Struktur yang tidak adil dan memuingkinkan berlangsungnya penindasan, pada dasarnya telah mengkonsolidasik diri. diperkuat dan menjelma dalam nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Cara pandang rakyat terhadap pemerintah, ang ) melihat bahwa pemerintah adalah pihak yang harus ditakuti. dan karena itu harus dihormati secasra berlebihan. Memajukan demokrasi, akan sama artinya dengan memajukan partisipasi rakyat. atau memungkinkan rakyat ambil bagian dalam proses politk secasra wajar dan sadar. hal iniakan segera di hadang oleh sejumlah nilai yang memang tidak membenarkan bagi rakyat untuk bisa ambil bagian secasra sehat. Berbagai relasi sosial yang ada di masyarakat, seperti hubungan antara guru. murid, atasan bawahan. suami-istri, laki-laki perempuan, pejabat rakyat, kiai santri, kota desa, dan lain-lain merupakan suatu bentuk hirarki yang sekaligus menyebar aroma diskriminasi dan sekaligus pelecehan. perubahan sosial yan berjalan, terutama denga masuknya berbagi teknik dan
40
IbL 30 No. 2,
15
Septenbu 2008: 29-11
teknologi baru, nampaknya belum dapat melakukan transfbrmasi yang signifikan, bahkan yang nampak adalah munculnya model-model baru dari skema yang lama. Langkah demokratisasi. dengan demikiank membutuhkar-r upaya-upaya yang lebih menyeluruh. Pendidikan politk merupakan salah satu agenda yang dapat dikembangkan. Dalam hal ini suatu pendidikan politik yang efektif tidak sekedar suatu'pendidikan dalam skema konvensional (sistem sekolahan), melairikan perlunya proses yang memungkinkan rakyat melakukan praktek atau tindakan-tindakan perubahan, seperti aksi massa. Proses yang terakhir ini bukan sajaj memungkinkan rakyat memahami kenyataan-kenyataan mengenai relasi sosial yang tidak adil, timpang dan diskriminatif, melainkan juga rnemungkinkan rakyat untuk melakukan demokratisasi, melalui upaya-upaya perubahan. Lebih dari itu, berbagai kerumitan dalam skema demokrasi, seperti masalah representasi, posisi institusi representasi. sampai pada proses partisipasi politk, tentu saja harus dijarvab secara tuntas. Jawabannya tidak bisa diserahkan kepada para pakar atau sejumlah tokoh, seperti yang kini kerapkali berlangsung, tetapi secasra jujur dan tulus menyerahkan kepada rakyat untuk menyatakan pikirannya. Inilah tahap awal dari proses pembaruan yang perlu dilakukan. Masalahnya : bagaimana para ahli bisa merelakan posisi terhormat mereka. dan mengembalikan hak bicasra pada rakyat. Inilah kultur demokrasi yang paling awal yang perlu dikembangkan.
INOVASI DEMOKRASI Pengalaman di bawah rejim otoriter Orde Baru, menunjuk dengan sangatjelas keterasingan rakyat dari proses politik.
4l
Demokrasi Dan Oktnomi Daeroh (Kocntjoro)
Dengan demikian, untuk masa depan diperlukan suatu format baru, yang bisa menjadi jalan bagi massa rakyat untuk dapat diambil bagian. Dalam konteks ini, kesadaran politk rakyat mutlak untuk ditingkatkan. hal mana program pendidikan .politik rakyat mutlak untuk digelar oleh banyak pihak, dengan maksud agar rakyat tidak lagi menjadi alat politik dari kalangan elit, dan rakyat dapat dengan kritis menentukan sikap dan mengambil pilihan. Jaman di mana elti politik menimbun manfaat dari "ketidaktahuan rakl'at" harus diakhiri. Sudah barang tentr"r dibutuhkan suatu format baru, dalam hr-rbungan-hubungan politik, antara massa rakyat dan elit politik. baik lokal rnaupun nasional. f)alarn format tersebut diharapkan diperoleh kondisi : Pertama. hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak lagi subordinatif. Kebijakan publik diambil sebagai proses tawar rnenawar yang produktif dan kritis. Pemerintah daerah sendiri menjalankan mandat penuh dari massa rakyat. sehingga apa yang dinegosiasikan bukan lagi sebuah kepentingan sempit. melainkan kepentingan dari massa rakyat. Kedua. pemerintah daerah, bukan lagi berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari elit pusat, melainkan menjadi alat politik massa rakyat. Hal ini bermakna pula bahw'a di level lokal, terjadi proses politik yang memungkinkan negosiasi dan dialog yang produktif dan kritis.
KESIMPULAN Untuk memperkuat proses pembaruan, melalui otonomi, diperlukan sejumlah aspek berikut : Pertama, perubahan di kalangan birolaasi pemerintah. agar membangun semangat dan kultur baru jaman lama patut ditinggalkan, yakni jaman dimana pemerintah bertindak seb-
42
I'oL 30 No. 2, I 5
Septenbu 2008 : 29-11
teknologi baru, nampaknya belum dapat melakukan transformasi yang signifikan, bahkan yang nampak adalah munculnya model-model baru dari skema yang lama. Langkah demokratisasi, dengan dernikiank membutuhkan upaya-upaya yang lebih menyeluruh. Pendidikan politk merupakan salah satu agenda yang dapat dikembangkan. Dalam hal ini suatu pendidikan politik yang efektif tidak sekedar suatu'pendidikan dalam skema konvensional (sistem sekolahan), melairikan perlunya proses yang memungkinkan rakyat melakukan praktek atau tindakan-tindakan perubahan, seperti aksi massa. Proses yang terakhir ini bukan sajaj memungkinkan rakyat memahami kenyataan-kenyataan mengenai relasi sosial yang tidak adil, timpang dan diskrirrinatif, melainkan juga memungkinkan rakyat untuk melakukan demokratisasi, melalui upaya-upaya perubahan. Lebih dari itu, berbagai kerumitan dalam skema demokrasi, seperti masalah representasi, posisi institusi representasi. sampai pada proses partisipasi politk, tentu saja harus dijarvab secara funtas. Jawabannya tidak bisa diserahkan kepada para pakar atau sejumlah tokoh, seperti yang kini kerapkali berlangsung, tetapi secasra jujur dan tulus menyerahkan kepada rakyat untuk menyatakan pikirannya. Inilah tahap awal dari proses pembaruan yang perlu dilakukan. Masalahnya : bagaimana para ahli bisa merelakan posisi terhormat mereka. dan mengembalikan hak bicasra pada rakyat. Inilah kultur demokrasi yang paling awal yang perlu dikembangkan.
INOVASI DEMOKRASI Pengalaman di bawah rejim otoriter Orde Baru, menunjuk dengan sangatjelas keterasingan rakyat dari proses politik.
41
L'oL
30 No. 2,
15 September 2008
: 29-44
agai penguasa. Dengan demikian, sikap dan prilaku birokrasi perlu diperbaharui dengan semangat pelayanan dan menjadikan birokrasi sebagai organisasi layanan masyarakat, yang tanggap terhadap persoalan-persoalan rakyat. Untuk membangun kultur baru ini, tentu juga sangat tidak ' jelas dari kontrol yang dikembangkan oleh kalangan masyarakat sendiri, dan sikap yang dibangun masyarakat. Dengan demikian, kesadaran baru di kalangan masyarakat perlu pula dikembangkhn" supaya birokrasi. tidak lagi diperlukan sebagai penguasa, melainkan instansi yang memiliki tugas untuk melayani masyarakat. Kedua, diperlukan pernbaruan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak kondusif bagi perturnbuhan dinarnika rakyat. Perubahan tersebut tidak saja kebijakan politik, retapijuga kebijakan ekonomi yang selama ini mengeksploitasi dan membatasi nnng gerak rakyat. Policy reform menjadi syarat mutlak agai refbrmasi tidak di atas kertas. retapi riil dan berwujud daslam tatanan masyarakat. Ketiga, perlunya langkah massal pendidikan politik rnassal, dalam hal ini bukan saja pemerintah, tetapi kekuatan non pemerintah dapat ambil bagian. Inti dari pembaruan adalah menguatnya kontrol, karena itu pula, pendidikan politik untuk penguatan rakyat sangat diperlukan. Dengan skema ini, diharapkan rakyat dapa! ambil bagian secara positif dalam pengambilan kebijakan, dan bermain pada arena politik yang ada.
Keempat, ditingkat "akar rumput" desar, suatu dukungan politik diperlukan, agar otonomi di tingkat desa tidak bermakna sebagai beban baru bagi rakyat desa, tetapi sebagaititik tolak untuk proses pembaruan yang lebih mendasar dan me-
43
Demokrusi Dan Otonomi Daerah (Koentjoro)
nyeluruh. Pada sisi yang lain, diperlukan berbagai upaya untuk mengembangkan instittrsi lokal, seperti parlemen desa dan kemungkinan untuk menumbuhkan suatu bentuk koalisi antar desa, sehingga rakyat desa menjadi lebih kuat dalam melakukan negosiasi kepentingan mereka. . Kelima, masih perlu dipikirkan kembali apakah otonomi cukup memadai di tingkat kota / kabupaten sebetulnya otonomi hartis berada di tingkat propinsi agar otonorni menjadi berdaya guna darl secara riil bisa membangkitkan potensi daerah. Apabila otonomi di tingkat II diperpanjang, masih menyimpan agenda kontrol terlebih di jaman di mana globalisasi makin nyata. Otonomi di tingkat propinsi akan lebih memberdal,akan daerah dalam mengembangkan suatau negosiasi yang egaliter, dengan kekuatan luar" penyelesaian masalah-masalah ini tentu akan positif dan konstruktif bila dipikirkan bersama rak1,at. .lnstru disinilah partisipasi diuji apakah han-va sekedar slogan ataukah hanya sekedar kata-kata. Karena status ekononti baik ditingkat propinsi rnaupan di tingkat Kota / Kab. Masih perln dirumuskan.
DAFTAR PUSTAKA Koten, D.C. dan Sjahrir, 1988, Pentbqngunan Berdintensi Keralqtatan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Geller, Emest. 1994. Membangun Masyorokat Sipil, Prasarat menuju kebebasan Mizan, Bandung Tiro, Hasan Muhammad, 1999. Demokasi Untuk Indonesia. Teplok Press, Jakarta Juliantara, Dadang. 2000. Masyarkaat Sipil dan Demokrasi. Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum. Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 44