WEWENANG PERTANAHAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Sri Winarsi
Abstract Central Government authority in Land affairs area which is divided with province government and city government include location permit, land procurement for public interest, private land disputes settlement, indemnity solution and land compensation which use for the development. Subject and object established in land redistributed and land indemnity, maximum excess and absentee land, stipulating of customary right for land (ulayat), exploiting and solution of unoccupied land matters, open land permit, and usage planning of city/ sub province. Residu theory in which transfer or delivery or division of governance matters in land area from central government to local government which is implement shamly, means authority distribution in land area which deliver from central government to local government simply only administrative matters intend to have the service character in land administration area. Keywords: land affairs, local autonomy, admiministrative law.
1. Latar Belakang Masalah dan Rumusannya Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan salah satu lembaga yang keberadaannya perlu ditelaah dan diteliti sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah1 (UU 22/1999) maupun setelah undang-undang itu dicabut oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah2 (UU 32/2004)3, karena dengan kehadiran undang-undang yang berbasis otonomi daerah tersebut lahir Dinas Pertanahan pada provinsi, kabupaten/kota4 yang diberi wewenang menyelenggarakan urusan pertanahan yang semula merupakan wewenang BPN5. Perkembangan demikian itu menimbulkan aneka persoalan, antara lain konflik wewenang atau setidak-tidaknya overlapping/ketumpangtindihan wewenang pada lembaga yang mengatur pelayanan di bidang pertanahan. Jika konflik atau ketumpangtindihan wewenang itu tidak ditata dengan baik, maka pada perspektif
Dosen Hukum Pemerintahan Daerah dan Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 2004 Nomor 3839 2 Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Tahun 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 2004 Nomor 4438 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 4 Contoh Kabupaten/Kota yang membentuk Dinas Pertanahan: Kota Depok, Kabupaten Nganjuk., Kabupaten Bolaang Mongondo, Kabupaten Gorontalo. Sedangkan Kabupaten Minahasa membentuk Badan Pertanahan. 5 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijaksanaan Nasional di Bidang Pertanahan 1
1
hukum akan muncul persoalan ketidakpastian hukum, dan pada perspektif manajemen pemerintahan akan muncul inefisiensi. Dalam perspektif sejarahnya, BPN (dahulu Kantor Agraria) lahir sebagai konsekuensi yuridis dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)6, sedangkan kehadiran Dinas Pertanahan Kabupaten/Kota lahir akibat dikeluarkannya UU 22/1999 juncto UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Rumusan Pasal 13 UU 32/2004: (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: … k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota.”
Rumusan Pasal 14 UU 32/2004: (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: … k. pelayanan pertanahan."
Berdasarkan ketentuan tersebut, pelayanan pertanahan merupakan urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota. Kewenangan tersebut lahir karena desentralisasi, dekonsentrasi ataukah asas yang lain? Kejelasan tentang penerapan asas-asas itu menjadi kata kunci penjelasan tentang wewenang pemerintah daerah di bidang pertanahan, karena jika ditilik berdasarkan UUPA urusan pertanahan merupakan wewenang pemerintah (pusat). Desentralisasi kewenangan mengenai pertanahan melahirkan pro dan kontra di masyarakat luas. Terjadi konflik norma mengenai dasar legalitas Badan Pertanahan Nasional (BPN) khusunya yang menyangkut tugas pokok dan fungsinya di daerah provinsi dan kabupaten/kota yang kemudian melahirkan perdebatan panjang di kalangan masyarakat. Perdebatan bertambah kuat setelah keluar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tanggal 31 Mei 2001 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, dan Keputusan Presiden tersebut sekarang ini telah
6
Lembara Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1960 Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara (TLN) Tahun 1960 Nomor 2043.
2
diganti oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Pada masa sebelum itu, pada tahun 2001, desentralisasi pertanahan yang digariskan oleh UU 22/1999 dianulir oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah NonDepartemen sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2001. Berdasarkan ketentuan Pasal 114 ayat (6) Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2001 desentralisasi pertanahan ditarik kembali (atau ditunda pelaksanaannya sampai batas waktu 31 Mei 2003). Namun demikian, ternyata sampai dengan penelitian ini dilakukan, tindak lanjut atas desentralisasi pertanahan tersebut belum juga dilaksanakan secara tegas. Hal itu merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya tumpang tindih kewenangan di bidang pertanahan antara Pemerintah Pusat c.q. BPN dengan Pemerintah Daerah c.q Provinsi, Kabupaten/Kota. Beberapa
materi
mendasar
yang
dapat
menjadi
kendala
dalam
penyelenggaraan otonomi bidang pertanahan7 : 1.
2.
3.
4.
7
Persoalan legalitas hukum pelaksanaan otonomi di bidang pertanahan. Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi pertanahan merupakan hukum publik yang secara langsung tidak dapat diberlakukan dalam bidang pertanahan, karena bidang pertanahan juga mengandung aspek hukum perdata/privat. Penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan urusan yang berskala nasional, karenanya lebih baik jika dilakukan dalam lingkup nasional. Fungsi pendaftaran berkaitan dengan penetapan status hukum bidang tanah, batas tanah dan siapa yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah. Jika kewenangan ini diserahkan kepada daerah, ada kekhawatiran kepentingan pemerintah daerah akan lebih diutamakan dengan mengabaikan kebenaran menurut hukum. Pelayanan bersifat lintas provinsi seperti pembuatan akta hak tanggungan yang dibuat oleh seorang PPAT yang memiliki wilayah kerja meliputi satu Kabupaten/Kota akan menimbulkan permasalahan mengenai siapa yang berhak untuk memberikan izin kepada PPAT tersebut untuk membuat akta di luar wilayah kerjanya apabila pendaftaran dilaksanakan di wilayah otonom yang lain. Penyelenggaraan otonomi daerah telah menimbulkan kecenderungan daerah untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bidang pertanahan merupakan salah satu potensi untuk menambah pendapatan daerah. Untuk kepentingan tersebut, pemerintah Kabupaten/Kota dapat dengan semena-mena mengeluarkan keputusan pemungutan biaya yang dibebankan kepada masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya.
H. Taufik Iman Santoso, Implikasi Kebijakan Sumber Daya Agraria Pasca Tap MPR No. IX/2001 dan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 di Daerah dari Sudut Pandang Pelaku Usaha, Malang, 2003.
3
5.
Dalam rangka kontrol penerbitan surat keputusan pemberian hak, Kepala BPN mempunyai kewenangan membatalkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang dalam penerbitannya oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi mengandung cacat hukum. Apabila semua kewenangan pemberian hak tanah dan pembatalannya berada di satu tangan maka fungsi kontrol dalam penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah negara yang mengandung cacat hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, sedangkan tugas lain instansi pertanahan adalah menyelesaikan permasalahan pertanahan.
Dalam Hukum Administrasi ada persoalan pembagian urusan pemerintahan sehingga muncul pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah – provinsi – kabupaten/kota. UU 32/2004 membedakan urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah (pusat) dan urusan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota dibedakan ke dalam urusan wajib dan urusan pilihan. Persoalannya adalah apakah bidang pertanahan merupakan urusan pemerintah ataukah pemerintah daerah. Jawaban atas persoalan tersebut, selain UU 32/2004, hendaknya juga didasarkan pada UUPA. Jika mendasarkan pada UUPA, maka tampak bahwa bidang pertanahan merupakan urusan pemerintah, meskipun dapat diserahkan kepada pemerintah daerah {Pasal 2 ayat (4) UUPA}8. Dengan demikian, ketika hendak menata urusan bidang pertanahan ini, kita akan mengacu kepada UUPA ataukah UU 32/2004? Namun, yang terpenting adalah menata urusan pertanahan agar tidak terjadi konflik wewenang dalam kerangka pembaruan agraria.
Secara skematis, uraian di atas dapat digambarkan sebagai berikut.
8
Rumusan Pasal 2 ayat (4) UUPA: “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”.
4
UUD 1945 dan PERUBAHANNYA serta Kebijakan Dasar Pertanahan Nasional
ARAH PEMBARUAN
UUPA
BPN
PEMBARUAN AGRARIA
Alternatif OUT PUT (di bidang kelembagaan): 1. Dualisme institusi: BPN c.q. Kantor Pertanahan dan Dinas Pertanahan 2. Merjer antara Kantor Pertanahan dan Dinas Pertanahan 3. Likuidasi BPN c.q. Kantor Pertanahan atau Likuidasi Dinas Pertanahan
PRINSIP PEMBARUAN
UU 32/2004
DINAS PERTANAHAN
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, masalah yang akan dikaji dan sekaligus menjadi legal issues dalam penelitian ini adalah: Bagaimana implementasi teori residu dalam penyerahan atau pelimpahan atau pembagian urusan pemerintahan di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah ?
5
PEMBAHASAN
1. Kerangka Konseptual a. Teori Residu Urusan Pemerintah Daerah: Provinsi, Kabupaten/Kota (UPDPKK) sama dengan Urusan Pemerintahan Secara Umum
(UPU) dikurangi Urusan
Pemerintahan Pusat (UPP) atau jika dituliskan dengan rumus menjadi sebagai berikut: Rumus Teori Residu: UPDPKK = UPU – UPP
Pelayanan dasar selalu berkaitan dengan fungsi pelayanan publik9 yang dilakukan oleh pemerintah. Pelayanan dasar selalu dilakukan oleh aparat penyelenggara pelayan publik yaitu para pejabat, pegawai dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara. Pelayanan publik di dalam Hukum Administrasi dikaji dalam pendekatan fungsionaris, yaitu dengan titik pijak bahwa yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan adalah pejabat (orang). Oleh karena itu yang menjadi perhatian dalam pendekatan fungsionaris adalah perilaku aparat dalam melakukan pelayanan publik. Dengan pendekatan ini, norma Hukum Administrasi tidak hanya meliputi norma pemerintahan tetapi norma perilaku aparat (overheidsgedrag). Norma perilaku diukur dengan konsep maladministrasi. Istilah maladministrasi digunakan sebagai dasar penilaian perilaku aparat atau pejabat publik dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menelaah arti kata maladministrasi, berasal dari Bahasa Latin malum yang artinya jahat (jelek). Istilah administrasi sendiri dari Bahas Latin administrare yang berarti melayani. Kalau dipadukan kedua istilah tadi berarti pelayanan yang 9
Dalam RUU tentang Pelayanan Publik dinyatakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Bandingkan menurut Mr. NE. Algra, et.al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda Indonesia, Bina Cipta, Cet. I, Jakarta, 1983, h.363, pelayanan publik adalah urusan yang terbuka untuk umum, kepentingan umum. Urusan yang terbuka untuk umum meliputi semua bidang yang berkaitan dengan publik.
6
jelek, sedangkan pelayanan itu dilakukan oleh pejabat publik.10 dalam kaitan dengan maladministrasi E.I. Sykes, mengemukakan “the most appropriate general description is that his works is directed at the correction of case of maladministration a term which has been described as including bias, neglect, delay,
inattention,
incompetence,
ineptitude,
perversity,
turpitude
and
arbitrariness11”. Ada dua (2) perilaku dasar bagi perilaku aparat, yaitu: sikap melayani (dienstbaarheid),
betrouwbaarheid
(terpercaya)
yang
meliputi:
openheid
(keterbukaan), nauwgezetheid (kehati-hatian, kecermatan), integriteit (integritas), soberheid (kesederhanaan), eerlijkheid (kehormatan).12 Pelayanan dasar di bidang pertanahan yang menjadi urusan pemerintah daerah menurut PP Nomor 38 Tahun 2007 meliputi 9 (sembilan) sub bidang: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
izin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan tanah ulayat pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, izin membuka tanah, perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten / kota.
2. Otonomi Pertanahan Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah Kajian otonomi pertanahan berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah secara teoritik tidak bisa dilepaskan dari teori hukum publik yang merupakan obyek kajian Hukum Administrasi. Kajian Hukum Administrasi menyangkut
penggunaan
wewenang
yang
dilakukan
oleh
pemerintah,
pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya, partisipasi dari rakyat atas penggunaan yang dilakukan oleh pemerintah dan pada akhirnya rakyat memerlukan perlindungan hukum agar pemerintah dalam menggunakan 10
Tatiek Sri Djatmiati, Faute Personelle Dan Faute De Service Dalam Tanggung Gugat Negara, Yuridika, Vol.19 No.4 Juli-Agustus 2004, h. 361. 11 E.I. Sykes BA (Qld) LLD (Melb) et.al., General Principles of Administrative Law, Third Edition, Butterworth, Sidney, 1989, h. 21. 12 Tatiek Sri Djatmiati, Op.cit.,h. 362.
7
kewenangannya tidak sewenang-wenang. Sejalan dengan deskripsi demikian, patutlah diperhatikan pendapat H. B. Jacobini13 yang mendefinisikan Hukum Administrasi sebagai berikut: “definition of administrative law contain several or all of the following components : control of administration, the legal rules, both internal and external, emerging from administrative agencies, the concerns and procedures pertinent to remedying legal injury to individuals caused by government entities and their agents, and courts decisions pertinent to all or to parts of these” dan lebih lanjut dikatakan bahwa dalam Hukum Administrasi terdapat empat elemen yaitu:14 1) The administrative organizations of the state 2) The study of administrative activity 3) The means of action by which administration is in fact carried out particulary the personal employed and the material level utilized 4) The patterns on litigation or yudicial control of administration. Berdasarkan paparan di atas maka di dalam mengkaji kedudukan lembaga pertanahan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konsep Hukum Administrasi karena Hukum Administrasi mengkaji tentang kewenangan lembaga tersebut di bidang pertanahan. Seperti diketahui, Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan kekuasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan merupakan suatu yang sangat penting untuk dikaji dan dianalisis agar tidak terdapat kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan, atau setidak-tidaknya dapat dilakukan minimalisasi kendala penyelenggaraan otonomi daerah. Kelahiran satuan pemerintahan tingkat daerah adalah konsekuensi dari konsep pembagian dan pembatasan kekuasaan sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam tataran teoritis dikenal pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah suatu pembagian kekuasaan yang kekuasaan 13
H.B. Jacobini, An Introduction to Comparative Administrative Law, Oceana Publications Inc, New York, 1991, h. 3. 14 Ibid, h. 4.
8
dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada lembaga-lembaga negara. Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal merupakan suatu pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintah lainnya yang lebih rendah. Pembagian kekuasaan secara vertikal tersebut lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1),ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945. Walaupun otonomi daerah ditetapkan dengan menganut sistem otonomi luas, pelaksanaan otonomi tersebut tentunya tidak dapat melepaskan dari konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut dikarenakan bahwa “oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka negara kesatuan tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga”. Menurut Bagir Manan,15 di dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat asas desentralisasi yang mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan. Dengan demikian, desentralisasi merupakan pengakuan hak atau penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah. Desentralisasi dapat dibedakan ke dalam desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial melahirkan pemerintahan daerah yang otonom, sedangkan dekosentrasi adalah penugasan kepada pejabat atau dinas-dinas yang mempunyai hubungan hirarkhis dalam suatu badan pemerintahan untuk mengurus tugas-tugas tertentu yang disertai hak untuk mengatur
dan
membuat
keputusan
dalam
masalah-masalah
tertentu,
pertanggungjawaban terakhir tetap pada badan pemerintahan yang bersangkutan. Wesber mengatakan desentralisasi diartikan sebagai “to decentralize means to devide and distribute, as governmental administration; to withdraw from the center or place of concentration”, sedangkan Rondinelli dan Cheema
15
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1994, h. 30.
9
menyatakan bahwa desentralisasi adalah ……. the transfer of planning decision making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organizations.16 Pendapat tersebut di atas senada dengan pendapat The Liang Gie yang menyatakan
bahwa
desentralisasi
adalah
pelimpahan
wewenang
untuk
menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah. Satuan organisasi pemerintahan itu berikut lingkungan
wilayahnya
disebut
daerah
otonom.
Wewenang
untuk
menyelenggarakan segenap kepentingan setempat yang diterima oleh satuan organisasi pemerintah itu dinamakan otonomi. Aparatur daerah otonom yang memegang otonomi ini disebut pemerintahan daerah, sedangkan segenap penyelenggaraan wewenang untuk kepentingan setempat tersebut berikut kewajiban, tugas dan tanggungjawabnya tercakup dalam istilah pemerintah daerah. Dekonsentrasi adalah pelimpahan dalam rangka jabatan yang bermaksud memberikan wewenang dari pemerintah pusat kepada para pejabat pemerintah itu sendiri menurut tingkat-tingkat hirarkhis. Seseorang pejabat pemerintah pusat diberi wewenang untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam suatu lingkungan wilayah tertentu yang lazimnya disebut daerah administratif. Jadi dekonsentrasi tidak menimbulkan pemerintahan daerah, melainkan pemerintahan oleh pejabat atau instansi pusat di daerah.17 Memperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dengan kekuasaan-kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan pertimbangan, inisiatif dan administrasi sendiri. Dalam desentralisasi akan dijumpai proses pembentukan daerah yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan daerahnya, disertai dengan pendelegasian kewenangan-kewenangan 16
17
G. Shabbir Cheema and Dennis A. Rondinelli, Decentralization and Development (policy Implementation in Developing Countries), Sage Publications Beverly Hills/London/New Delhi. h. 7. The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Liberty, Yogjakarta,1995,h. 38-39.
10
atau kekuasaan atas pengelolaan urusan atau kegiatan tertentu. Menurut Smith, pendelegasian kekuasaan dari tingkat tertinggi ke tingkat yang lebih rendah, dalam hirarkhi teritorial meliputi dua aspek, pertama syarat pembatasan wilayah (the limitation of areas) karena adanya pembagian territorial negara. Kedua, penyerahan wewenang (the delegation of authority). (….”that decentralization involves one of more division of the state’s territory). Ketentuan tentang otonomi daerah yang tercakup dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945 lebih lanjut diatur dalam UU 22/1999 yang telah dicabut oleh UU 32/2004. Berdasarkan paparan di atas, urusan pertanahan mengalami perubahan yang sangat mendasar dengan diberlakukannya UU 22/1999 terutama berdasarkan ketentuan Pasal 11 yang menetapkan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota sebagai daerah otonom mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Ketentuan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom18. Meskipun UU 22/1999 telah diganti dengan UU 32/2004, tetapi substansi kewenangan pertanahan masih dalam kewenangan pemerintah daerah kabupaten atau kota. Hal itu termuat dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU 32/2004 yang menyatakan urusan wajib yang menjadi
kewenangan
pemerintahan daerah
untuk
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi antara lain pelayanan di bidang pertanahan. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
18
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 2000 Nomor 3952.
11
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000.
2. Implementasi Teori Residu ke dalam UU 32/2004 Operasionalisasi teori residu yang menyangkut bidang pertanahan dalam UU 32/2004 dan peraturan pelaksanaannya tampak bias. Berdasarkan UU 32/2004, kewenangan yang dimiliki oleh daerah Otonom diatur masing-masing pada Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 14. Rumusan Pasal 10 UU 32/2004: (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal nasional; dan f. Agama (4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. (5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat : a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur, selaku wakil Pemerintah; atau c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Rumusan Pasal 13 UU 32/2004: (2) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: … m. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota….”.
Rumusan Pasal 14 UU 32/2004: (2) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: m. pelayanan pertanahan….”
12
Mempertegas pola pembagian kewenangan yang ditentukan pasal-pasal tersebut di atas dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota telah dibuat daftar lengkap mengenai kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom.
Penyelenggaraan
desentralisasi
mensyaratkan
pembagian
urusan
pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, keamanan, moneter dan fiscal nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah. Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintaah daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan
pemerintahan
yang
diprioritaskan
oleh
pemerintah
daerah
untuk
diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan diluar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah , maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar
13
mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi dan kekhasan daerah yang bersangkutan. Diluar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Dengan pola pembagian seperti tersebut di atas, baik dalam UU 32/2004 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, nampak bahwa keduanya menganut pola residu. Berdasarkan ketentuan tersebut, pelayanan pertanahan merupakan urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota. Namun kenyataannya sampai sekarang ini urusan pelayanan pertanahan masih ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional yang terdiri atas BPN (Pusat), Kanwil Pertanahan Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota
3. Wewenang Pemerintah Daerah Berdasarkan UU 32/ 2004 jo. PP 38/ 2007 Tujuan hak menguasai dari negara atas tanahyang termuat dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA yaitu untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Pelaksanaan hak menguasai dari negara atas tanah dapat dikuasakan atau dilimpahkan kepada daerahdaerah swatantra (pemerintah daerah) dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Pernyataan tersebut diatas dapat diselaraskan dengan pemberlakuan Undang-undang Pemerintahan Daerah baik menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004
tentang
Pemerintahan
Daerah.
Berdasarkan
Undang-undang
Pemerintahan Daerah tersebut di atas urusan pertanahan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Hal ini bermula dari ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota sebagai daerah otonom mencakup semua kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
14
daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan , kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Ketentuan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Meskipun UU 22/1999 telah diganti dengan UU 32/2004, tetapi substansi kewenangan pertanahan masih dalam kewenangan pemerintah daerah kabupaten atau kota. Hal ini termuat dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 yang menyatakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk daerah
provinsi dan
daerah kabupaten atau kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi antara lain pelayanan di bidang pertanahan. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000.
4. Pelayanan Publik (Urusan) di Bidang Pertanahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota Pelayanan publik di bidang pertanahan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota pada era otonomi daerah sekarang ini berbeda dengan kewenangan pelayan publik dibidang pertanahan sebelum diberlakukan otonomi daerah, karena sebelum diberlakukan otonomi daerah yang didasarkan pada UU 22/1999 maupun UU 32/2004 pelayanan publik di bidang pertanahan menjadi satu dengan kewenangan lainnya dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) beserta perangkatnya yang ada di daerah yang melaksanakan tugasnya berdasarkan asas dekonsentrasi. Pelayanan publik di bidang pertanahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten atau kota menurut UU 22/1999 yang telah diganti oleh UU 32/2004 dikuatkan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Atau Kota terutama di Bagian
15
Kedua tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah, terutama diatur dalam Pasal 2, Pasal 6 dan Pasal 7. Rumusan Pasal 2 ayat (4) PP 38/2007: (4) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi: a. pendidikan;… i. pertanahan;…”.
Rumusan Pasal 6 PP 38/2007: (1) Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menjadi kewenangannya. (2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Rumusan Pasal 7 PP 38/2007: (1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. (2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pendidikan; … r. pertanahan;…”.
Berdasarkan bahan hukum berupa rumusan pasal-pasal tersebut di atas ditemukan bahwa: 1) Urusan pemerintahan meliputi 31 (tiga puluh satu) bidang, sedangkan urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten kota meliputi 26 (dua puluh enam) bidang. 2) Ada 5 (lima) bidang urusan pemerintahan yang tidak “mengalir” ke dalam urusan wajib pemerintahan daerah yakni: a) kehutanan, b) energi dan sumber daya mineral, c) kelautan dan perikanan, d) perdagangan, dan e) perindustrian. 3) Ada 3 (tiga) bidang urusan dengan penyebutan yang berbeda antara pemerintahan dibanding dengan pemerintahan daerah yakni:
Pemerintahan Daerah
Pemerintahan
16
1. ketenagakerjaan
1.
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
2. ketahanan pangan
2.
pertanian dan ketahanan pangan
3. kebudayaan
3.
kebudayaan dan pariwisata
4) Urusan bidang pertanahan merupakan bidang yang menjadi urusan pemerintahan (pusat) sebagaimana tercantum pada huruf i Pasal 2 ayat (4) maupun urusan pemerintahan daerah provinsi maupun pemerintahan daerah kabupaten atau kota sebagaimana tercantum pada huruf r Pasal 7 ayat (2) PP 38/2007.
Pembagian urusan tersebut dipaparkan dalam bentuk matriks sebagai terpapar pada halaman berikut.
MATRIKS KEWENANGAN BPN & PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN PUSAT (BPN)
DAERAH (Dinas Pertanahan)
Berdasarkan UUPA 1. Penyelenggaraan pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah; 2. Penyelenggaraan penatagunaan tanah nasional; 3. Penyelenggaraan pengaturan dan pemberian hak-hak atas tanah; 4. Penyelenggaraan pendaftaran tanah; serta 5. Pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan PP No 38 Th 2007 1) izin lokasi, 2) pengadaan tanah untuk kepentingan umum, 3) penyelesaian sengketa tanah garapan, 4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, 5) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, 6) penetapan tanah ulayat 7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, 8) izin membuka tanah, 9) perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten / kota.
Berdasarkan Perpres No 10 Th 2006 a. Merumuskan kebijakan nasional di bidang pertanahan; b. Merumuskan kebijakan teknis di bidang pertanahan; c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan; f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; h. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus; i. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
17
j.
Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; k. Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain; l. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; m. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; n. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan; o. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; p. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; q. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan; r. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan s. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan; t. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang , dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Seperti telah diutarakan di atas, yang dimaksud urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 38 Tahun 2007
Penutup
Kesimpulan
Kewenangan pemerintah ( pusat) di bidang pertanahan yang dibagi dengan Pemerintahan Daerah Provisni, Kabupaten/Kota meliputi: izin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, izin membuka tanah, perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten / kota. Teori residu dalam penyerahan atau pelimpahan atau pembagian urusan pemerintahan di bidang pertanahan dari pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah diimplementasikan secara semu, artinya distribusi wewenang urusan di bidang pertanahan yang dilimpahkan dari 18
pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah tidak lebih sekedar urusan yang bersifat administratif dalam arti bersifat pelayanan di bidang administrasi pertanahan.
Saran
Perlu ada pengaturan yang tegas tentang pembagian wewenang dibidang pertanahan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota sehingga tidak ada kerancuan pembagian wewenang dibidang pertanahan diantara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini perlu dilakukan karena dalam peraturan selama ini menunjukkan ketidakkonsistenan dalam pembagian kewenangan dibidang pertanahan, sehingga menyebabkan tarik ulur antara pemerintah pusat dan daerah apalagi sekarang ini ada eforia otonomi daerah sehingga daerah-daerah ingin mengambil kewenangan terutama dibidang pertanahan untuk menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, Enid, et.al., Legal Research (Materials and Methods), The Law Book Company Ltd., Forth Edition, Sydney,1996. Cheema, G Shabbir, et.al, Decentralization and Development (Policy Implementation in Developing Countries), London, Sage Publications,1998. David, Wong S.Y.,Tenure and Land Dealing in The Malay States, Singapore University Press, 1977. Garner, Bryan A, Black’s Law Dictionary, Sevent Edition, West Group, St. Paul Minn,1999. Gie, The Liang, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Liberty, Jogjakarta. ______________, Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning), Gadjah Mada University Press, 2005.
19
Harsono, Boedi (I), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria – Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1994. _____________ (II). Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Agraria, Djambatan, Jakarta, 2000. Jacobini, H.B., An Introduction to Comparative Administrative Law, Oceana Publications Inc, New York,1991. Joe Cursley & Kate Green, Land Law, Palgrave Law Masters, 2001. Manan, Bagir (I), Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta ,1994. __________ (II), Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, Jogjakarta, 2000. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2003. Neumann Jr, Richard K., Legal Reasoning and Legal Writing (Structure, Strategy, an Style), Aspen Law & Business, New York, 2001. Rombauer, Marjorie Dick, Legal Problem Solving (Analysis, Reasonong and Writing), 3 rd ed., West Publishing Co., St. Paul Minn,1978. Smith, Roger J, Property Law, Fifth edition, Pearson Education Limited, Edinburgh Gate, Harlow, Essex CM20 2 JE United Kindom, 2006. Sumardjono, Maria, S.W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001. Sykes, E.I. Ba (Qld) LLD (Melb) et.al., General Principles Of Administrative Law, Third Edition, Butterworth, Sidney,1989. Watt, Robert, Concise Legal Research, 4 th.ed., The Federation Press, NSW,2001. MAKALAH Djatmiati, S. Tatiek, Faute Personelle dan Faute de Service Dalam Tanggung Gugat Negara, Yuridika, Vol.19 No. 4 Juli-Agustus 2004 : 352-363. Hadjon, Philipus M, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Makalah, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994. Santoso, Taufik Imam, Implikasi Kebijakan Sumber Daya Agraria Pasca TAP MPR Nomor IX/2001 dan Keppres Nomor 34 /2003 di daerah Dari Sudut Pandang Pelaku Usaha, Makalah, Malang, 2003.
20
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Atau Kota. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelayanan Publik .
21