PENATAAN RUANG PERDESAAN DALAM ERA OTONOMI DAERAH
Oleh :
RAHMANTA
SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
I. PENDAHULUAN Kebijakan pembangunan yang sentralistik dan menekankan kepada pencapaian pertumbuhan ekonomi serta penciptaan kondisi politik dan keamanan yang sangat terkendali, secara spatial ternyata telah menambah tingkat ketimpangan antar wilayah. Kebijaksanaan yang sentralistik tersebut tercermin dalam kebijaksanaan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah pusat selama masa orde baru. Sebagai contoh adalah kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Hak pemanfaatan sumber daya alam selama pemerintahan orde baru diatur oleh pemerintah pusat dan hasil sumber daya alam sepenuhnya dikelola pemerintah pusat. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam dimasukkan ke dalam penerimaan negara yang kemudian sebagian dialokasikan untuk belanja rutin dan pembangunan. Dalam beberapa tahun terakhir ini para perencana pengembangan wilayah berusaha untuk menemukan paradigma baru dalam perencanaan pengembangan. Pertimbangan prinsip-prinsip efisiensi dalam suatu usaha telah mengakibatkan lokasi penempatan investasi suatu usaha berada di sekitar pusat-pusat kota besar. Strategi pengembangan wilayahnya mengharapkan bahwa efisiensi teknologi maupun keuntungan-keuntungan adanya investasi suatu usaha di sekitar kota-kota besar ini akan menyebar (menetes) ke kawasan perdesaan lainnya. Bentuk perencanaan pengembangan wilayahnya disebut penumbuhan kutub-kutub pertumbuhan (growth pole theory) melalui perencanaan suatu usaha yang bersifat sentralistik. Para
perencana
tata
ruang
merealisasikan
strategi
perencanaan
pengembangan wilayah ke dalam model perencanaan pembangunan kutub-kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan yang memberikan prioritas kepada investasi di sektor tertentu, seperti: industri dan pembangunan sarana prasarana ekonomi, yang cenderung dikonsentrasikan pada lokasi kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan sistem prioritas pendanaan pembangunan, efisiensi ekonomis dan dampak gandanya (multiplier effects) yang harus tinggi. Secara spatial (keruangan) strategi ini diharapkan mampu meneteskan keuntungannya ke
2
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
kawasan lainnya terutama mendorong efisiensi pertumbuhan ekonomi di kawasan perdesaan. Paradigma ini telah banyak dibahas dalam dimensi spatial (keruangan) maupun non-spatial. Di satu pihak, paradigma ini dianggap kurang berhasil membawa hasil-hasil yang diharapkan. Sebagai konsekuensi dari kritik ini, paradigma baru pengembangan wilayah mulai mencuat. Tujuan utamanya bukan lagi pertumbuhan ekonomi, tetapi pemerataan dan pembangunan sosial dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia secara khusus diperdesaan. Menurut paradigma ini, pembangunan harus menyesuaikan diri dengan kendalakendala ekologis, dan perhatian utama harus diberikan pada pembangunan kawasan-kawasan perdesaan sebagai sentra-sentra pembangunan. Perencanaan pembangunan kawasan perdesaan harus bersifat desentralisasi, partisipatif, dan melibatkan peran khusus komunitas lokal jauh kedalam proses perencanaannya. Oleh karena itu, proses perencanaan harus didasarkan pada penumbuhan kemampuan sumberdaya lokal dan pendekatannyapun harus transaktif . Wilayah perdesaan sebagian besar tempat tinggal penduduk miskin. Menurut hasil penelitian, International Fund for Agricultural Development (2001) melaporkan karakteristik penduduk miskin di pedesaan antara lain: buruh tani, tidak memiliki lahan/faktor produksi, petani gurem, petani tadah hujan, nelayan, peternak penggembala, masyarakat disekitar hutan dan lahan kritis, masyarakat di daerah terpencil, masyarakat yang direlokasikan karena suatu keadaan bencana alam,dan sebagainya. Sedangkan penduduk miskin di perkotaan, menurut Supriatna (2000) yaitu pedagang kecil, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, pengemis, pengangguran, dan buruh angkutan. Selanjutnya, perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Sumatera Utara pada tahun 1993 – 2007 dapat dilihat pada Tabel 1.
3
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Sumatera Utara, Tahun 1993-2007 Tahun 1993 1996 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah penduduk miskin (Jiwa) Kota Desa Kota+Desa 494 479 837 152 1 331 631 457 037 777 157 1 234 194 968 400 1 004 300 1 972 700 698 830 1 185 070 1 883 890 689 620 1 199 770 1 889 400 633 400 1 166 700 1 800 100 1.760.228 1.979.702 833.500 935.000 1.768.500
Penduduk miskin (%) Kota Desa Kota+Desa 11.72 12.70 12.31 9.51 11.95 10.92 18.28 15.49 16.74 13.60 17.55 15.84 13.41 17.78 15.89 12.02 17.19 14.93 14,28 15,66 14,21 13,63 13,90
Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka, 2008. Keterangan : (-) Data tidak tersedia Persentase jumlah penduduk miskin di provinsi Sumatera Utara tahun 2007 rata-rata sebesar 13.90%, baik yang berada dipedesaan maupun perkotaan. Salah satu penanggulangan kemiskinan adalah dengan program pengeluaran pemerintah baik di tingkat regional maupun nasional.
Sebelum era otonomi
daerah, antara tahun 1994/1995 dan 1997/1998 pengeluaran pemerintah dalam rangka program penanggulangan kemiskinan naik dari 0.10% ke 0.30% dari total GDP Indonesia. Pada otonomi daerah, pemerintah meluncurkan program jaring pengaman sosial, dan pengeluaran pemerintah bagi penanggulangan kemiskinan naik menjadi 1.40% dari GDP. Fokus utama dengan adanya jaring pengaman sosial ini berubah dari semula yang difokuskan kepada skema kesempatan kerja, kepada subsidi beras, kesehatan masyarakat dan beasiswa bagi masyarakat miskin, dan bantuan sekolah. Pada tahun 2005 karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak, maka program penanggulangan kemiskinan diperluas lagi dengan nama program subsidi langsung tunai, bantuan operasional sekolah, dan lainnya. Salah satu masalah mendasar yang masih membayangi daerah dalam pembangunan dimasa kini dan mendatang adalah masalah disparitas hasil pembangunan antar wilayah. Disparitas hasil pembangunan antar wilayah tampak dari perbandingan-perbandingan hasil pembangunan, yaitu : kurang seimbangnya pembangunan kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan. Oleh karena itu, perlu
4
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
dilakukannya pentaaan ruang perdesaan dalam rangka peningkatan pengembangan wilayah perdesaan.
II. DESENTRALISASI EKONOMI Pembangunan ekonomi daerah dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional berarti menjadikan perekonomian daerah sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Sebagai agregasi dari ekonomi daerah, perekonomian nasional yang tangguh hanya mungkin diwujudkan melalui perekonomian daerah yang kokoh. Rapuhnya perekonomian nasional selama ini di satu sisi dan parahnya disparitas ekonomi antar daerah dan golongan di sisi lain mencerminkan bahwa perekonomian Indonesia di masa lalu tidak berakar kuat pada ekonomi daerah. Dalam kerangka pembangunan ekonomi daerah, desentralisasi ekonomi bukan sekedar pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, tetapi paling tidak harus diterjemahkan dalam tiga aspek perubahan penting. Pertama,
“pendaerahan”
pengelolaan
pembangunan
ekonomi
(perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, dan evaluasi) yang sebelumnya lebih didominasi pemerintah pusat dialihkan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat tidak perlu lagi terlampau banyak intervensi secara langsung dalam pembangunan ekonomi daerah, tetapi perlu diberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk berkreasi dan mengambil inisiatif dalam pembangunan ekonomi di daerahnya masing-masing. Kedua, swastanisasi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Di masa lalu, dengan kebijakan pembangunan yang sentralistik atau top down, pemerintah cenderung terlalu banyak menangani dan mengatur kegiatan-kegiatan ekonomi yang sebenarnya dapat ditangani secara lebih efisien oleh swasta atau rakyat, baik secara individu maupun melalui badan usaha. Peran pemerintah yang terlalu dominan dalam pembangunan ekonomi selain memboroskan penggunaan anggaran negara, juga telah banyak mematikan kreativitas ekonomi rakyat dan kelembagaan lokal. Di masa yang akan datang, jika desentralisasi ekonomi benarbenar akan diwujudkan, maka rasionalisasi pelaksanaan pembangunan ekonomi harus benar-benar dilakukan. Paradigma lama yang menganggap pembangunan
5
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
adalah seolah-olah adalah “karya agung” pemerintah harus diubah menjadi pembangunan merupakan kreativitas rakyat. Kegiatan ekonomi yang dapat dilaksanakan oleh rakyat atau swasta harus diserahkan kepada rakyat atau swasta. Ketiga, organisasi dan kelembagaan pembangunan ekonomi juga harus mengalami perubahan. Di masa lalu, untuk “memberhasilkan” kebijakan pembangunan yang top down, pemerintah sering membentuk organisasi dan kelembagaan baru (yang oleh pemerintah dianggap modern) dan “meminggirkan” organisasi dan kelembagaan lokal. Contohnya, kelembagaan sistem bagi hasil digantikan oleh sistem kelembagaan PIR, atau bapak angkat, dan lainnya. Penyingkiran organisasi dan kelembagaan lokal telah menyebabkan rakyat kehilangan kemandirian dalam memecahkan permasalahannya sendiri. Dimasa yang akan datang untuk mengembangkan ekonomi daerah, maka seyogyanya organisasi dan kelembagaan lokal harus dibangkitkan kembali dan dimodernisasi (bukan digantikan) menjadi organisasi dan kelembagaan pembangunan daerah. Ketiga aspek tersebut sejalan dengan pemikiran dalam konsep otonomi daerah dengan kebijaksanaan pembangunan yang bersifat bottom-up. Dengan ketiga perubahan tersebut diharapkan perekonomian daerah akan digerakkan oleh kreativitas rakyat beserta kelembagaan lokal sedemikain rupa, sehingga potensi ekonomi yang terdapat di setiap daerah dapat dimanfaatkan demi kemajuan ekonomi daerah yang bersangkutan. Agar pembangunan ekonomi daerah dapat benar-benar dinikmati oleh rakyat, maka sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di setiap daerah haruslah sektor ekonomi yang dapat mendayagunakan sumber daya yang terdapat atau dikuasai oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Relokasi industri, seperti: KAPET, di mana industri-industri yang dikembangkan tidak berkaitan dengan potensi sumber daya lokal (foot lose industry), bukanlah kebijakan yang tepat untuk mengembangkan perekonomian daerah. Pola-pola pengembangan KAPET di masa lalu terbukti hanya menciptakan perekonomian daerah yang dualistis dan menimbulkan disparitas ekonomi. Di satu sisi berkembang sektor modern yang sangat eksklusif dan dikuasai oleh pengusaha-pengusaha luar, sementara di sisi lain terdapat sektor tradisional yang terbelakang dan justru menjadi tumpuan hidup sebagian besar
6
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
masyarakat lokal. Pengembangan KAPET ke depan yang diharapkan adalah bersifat inklusif bagi daerah yang bersangkutan, yaitu pengembangan kawasan industri yang bersifat local resources based sedemikian rupa sehingga pengembangan KAPET benar-benar bermanfaat bagi modernisasi perekonomian rakyat banyak di daerah-daerah. Hal ini akan terwujud bila sistem pelayanan publik yang ada direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu dan adaptif terhadap tuntutan masyarakat dengan penerapan desentralisasi pembangunan ekonomi. Hal lain yang harus diperhatikan dalam penerapan asas desentralisasi pembangunan ekonomi agar tidak menemui hambatan adalah : 1. Adanya keterkaitan dan kesinambungan pelaksanaan pembangunan yang mensyaratkan perencanaan pembangunan yang komprehensif. 2. Adanya keterbukaan dalam segala aspek pembangunan sehingga masyarakat mengetahui program apa yang telah, sedang dan akan dilaksanakan. 3. Perlunya partisipasi masyarakat setempat. 4. Perlunya perencanaan yang strategis dan matang merupakan cara untuk meningkatkan kualitas perekonomian daerah.
III. SUMBER PENDANAAN DAERAH Sumber pendanaan daerah dapat berasal dari berbagai sumber antara lain pajak dan retribusi daerah, microfinance, pendanaan UKM dan pinjaman daerah. Pinjaman daerah antara lain melalui penerbitan obligasi daerah. Sampai saat ini aturan pelaksanaan obligasi daerah belum begitu jelas, sementara daerah sangat memerlukan dana untuk pembangunan fisik teruama yang berkaitan dengan pelayanan publik di wilayahnya. Pengertian obligasi daerah adalah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah, Badan Otorita Daerah, Badan Usaha Daerah dan kegiatan-kegiatan swasta masyarakat (provat activity bond) yang didukung atau disponsori dan dijamin Pemerintah Daerah. Proses penerbitan obligasi daerah oleh Pemerinah Daerah akan ditawarkan kepada masyarakat melalui penawaran umum (publik opffering). Untuk dapat melakukan penawaran umum, Pemda terlebih dahulu mengajukan
7
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
pernyataan pendaftaran sesuai dengan peraturan yang berlaku dan memperoleh pernyataan efektif dari Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal). Pemerintah Daerah bertindak sebagai emiten dan berstatus sebagai peminjam dana. Sedangkan masyarakat berkedudukan sebagai pemodal (investor) dan bertindak sebagai pemberi pinjaman yang meliputi pemodal perorangan dan lembaga (individual and institutional investor). Hasil emisi obligasi daerah digunakan untuk kebutuhan keuangan umum daerah maupun membiayai pengadaan sarana umum. Penerapan obligasi daerah diyakini mampu memberikan solusi multi dimensi dengan membawa filosofi “win-win” antara pemerintah, warga asyarakat, investor dan pelaku pasar modal. Adapun keuntungan dari penerbitan obligasi daerah, adalah : 1. Pemerintah daerah dapat menghimpun dana guna memberdayakan diri untuk memicu dan memacu pembangunan di daerahnya. Perbaikan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penciptaan lapangan kerja yang timbul dan penggandaan jaringan ekonomi (multiplier effect). 2. Bagi masyarakat dan investor akan memperoleh imbal hasil (yield) dan insentif lain serta manfaat langsung dari infrastruktur yang dibangun dari dana obligasi. 3. Bagi lembaga profesi penunjang dan pelaku pasar modal dapat dijadikan pekerjaan baru sebagai penjual jasa profesi dan fee dari jasa yang telah diberikan.
IV. PENDEKATAN PEMBANGUNAN Pendekatan pembangunan telah mengalami perkembangan. Pendekatan sektoral menekankan pada pembangunan maing-masing sektor sesuai dengan potensinya, dan selanjutnya ditentukan prioritasnya. Pendekatan wilayah (regional) lebih maju karena mengutamakan keterkaitan pembangunan antar sektor dalam suatu wilayah sebagi unit perencanaan yang lebih kecil. Dengan demikian interaksi pembangunan lebih intensif dan lebih terfokus lagi yaitu pendekatan pembangunan spasial (tata ruang) yang mempertimbangkan pemilihan
8
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
lokasi yang tepat dimana proyek pembangunan antar fasilitas pembangunan ditempatkan. Belakangan ini telah dilontarkan pendekatan pembangunan kawasan. Kawasan diartikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai fungsi atau aspek fungsional tertentu. Dengan menerapkan pendekatan pembangunan kawasan diharapkan pembangunan dapat lebih interaktif dan responsive secara fungsional sehingga manfaat pembangunan dapat lebih terealisasikan dan keterbatasan dapat teratasi. Pada kawasan yang akan dikembangkan itu memiliki sektor atau lapangan usaha yang potensial dan strategis untuk menunjang pembangunan. Kawasan yang dimaksud disebut sebagai kawasan andalan, dan sektornya adalah sektor unggulan. Sektor unggulan yang dimaksud adalah: (1) sektor yang menghasilkan produksi yang mempunyai kontribusi besar terhadap nilai produksi bruto (PDRB), (2) sektor yang memberikan lapangan kerja yang besar, dengan demikian akan menciptakan pendapatan bagi masyarakat, (3) sektor yang mempunyai keterkaitan yang kuat terhadap pengembangan sektor-sektor lainnya, baik kedepan (forward linkage) maupun kebelakang (backward linkage), (4) sektor yang berpotensi meningkatkan ekspor non migas (menghasilkan devisa), (5) sektor yang pada saat sekarang meskipun kontribusinya terhadap PDRB masih relatif kecil tetapi sektor tersebut memiliki prospek pengembangan yang menjanjikan pada masa mendatang, misalnya sektor parawisata.
V. KEBIJAKAN PENATAAN RUANG PERDESAAN 1. Kriteria Kebijakan Penataan Ruang Perdesaan Secara operasional, ada beberapa gagasan strategi dalam rangka percepatan pembangunan perdesaan, yaitu : a. Untuk merombak daerah pedalaman yang kurang dinamis, tetapi tetap dengan menghormati
tatanan
komunitas
lokal
dalam
mempertahankan
kebersamaannya dengan memperkenalkan dan memasukkan unsur-unsur urbanisme ke dalam tatanan pedesaan tertentu. Artinya: daripada mendorong arus penduduk desa ke kota dengan cara menanam modal di kota, lebih baik penduduk didorong untuk tinggal di desanya sendiri dengan cara menanam
9
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
modal di lingkungan pedesaan. Dengan demikian pemukiman yang sudah ada akan berubah menjadi suatu bentuk hibrid yang disebut kota-kota pertanian. Dengan pembangunan kawasan perdesaan tersebut, konflik lama antara kota dan desa dapat dikurangi. b. Untuk memperluas jaringan interaksi sosial di daerah perdesaan sehingga tercipta ruang sosio-ekonomi dan politik yang lebih luas, yang diistilahkan dengan kawasan pusat permukiman perdesaan. c. Untuk mengurangi dislokasi sosial dalam tujuan pembangunan, menjaga integritas keluarga, memperkuat rasa aman secara psikologis, dan menyediakan pemenuhan kebutuhan individu maupun sosial dalam usaha pemeliharaan dan pembentukan tatanan masyarakat. d. Untuk menstabilkan baik pendapatan desa maupun kota dan untuk mengurangi perbedaan di antara keduanya dengan cara memperbanyak ragam kesempatan kerja produktif dan dengan menggabungkan kegiatan agraris ke dalam kegiatan non-agraris dalam wilayah yang sama. e. Untuk memanfaatkan tenaga kerja yang tersedia secara lebih efektif dengan cara mengarahkannya dalam pembangunan pemanfaatan sumber daya alam dari setiap permukiman perdesaan dan dilakukan secara besar-besaran. Pembangunan ini mencakup perbaikan sistem agribisnis, pelestarian dan pengendalian sumber daya alam, lahan, air, pelestarian tatanan sosial budaya setempat dalam mengelola sumber daya alam yang lestari, pengembangan jasa pedesaan, dan meningkatkan nilai tambah kegiatan masyarakat desa. f.
Untuk menghubungkan kawasan permukiman perdesaan ke dalam sistem jaringan wilayah dengan cara membangun dan memperbaiki jaringan transportasi dan komunikasi ke kota besar. Selain itu juga dengan melakukan regionalisasi kegiatan jasa tingkat tinggi tertentu dan kegiatan penunjang lain yang membutuhkan basis penduduk lebih besar dari pada jumlah yang tersedia dalam satu kawasan.
g. Untuk membuat suatu sistem pemerintahan dan perencanaan yang spesifik secara ekologis serta memberikan kendali yang penting pada prioritas pembangunan yang berkelanjutan, partisipasi dan perasaan memiliki program harus diletakan pada masyarakat setempat. Yang dibayangkan di sini adalah
10
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
suatu sistem pemerintahan dimana kekuatan efektif untuk mengambil keputusan diserahkan pada pemerintahan desa. Dengan tujuan yaitu, : (1) agar kawasan perdesaan dapat menarik keuntungan dari adanya peluang ekologis setempat (dengan tetap memperhatikan hambatan-hambatan ekologisnya), (2) formalisasi kekayaan pengetahuan, tatanan sosial budaya dan aturan-aturan dalam pengaturan lingkungan dan tata ruang masyarakat setempat kedalam ilmu pengetahuan di bidang perencanaan tata ruang pembangunan perdesaan, (3) untuk mendorong naluri dalam mengidentifikasi dan mempertahankan kepribadian masyarakat setempat dalam menghadapi eksploitasi dunia luar yang lebih besar. h. Untuk menyediakan sumber pendanaan yang cukup bagi penataan ruang dan pengaturan pembangunan kawasan perdesaan, dengan jalan : (1) menjamin adanya reinvestasi dari sebagian besar tabungan masyarakat lokal dan menggairahkan partisipasi anggota masyarakatnya yang berada di perkotaan. Melembagakan sistem "gotong-royong, saiyo-sakato" perdesaan bagi anggota masyarakat yang sudah dewasa, (2) memindahkan dana pembangunan dari kawasan-kawasan industri yang terpusat dikota-kota besar dan kawasan khusus industri ke pembangunan kawasan perdesaan, (3) membalikkan transaksi perdagangan yang buruk antara petani kecil di perdesaan dan penduduk kota.
2. Pembangunan Kawasan Perdesaan Terpadu Konsep percepatan pembangunan desa mungkin sekarang menjadi lebih penting. Sebagaimana layaknya kawasan perkotaan lainnya, kawasan permukiman perdesaan ini juga memiliki skala ukuran/kepadatan tertentu, kegiatan pelayanan jasa dan kenyamanan lain yang cocok bagi pengembangan budaya dan ekonomi masyarakatnya, menyediakan lapangan kerja di luar sektor pertanian, serta memiliki kemandirian menyelengarakan pemerintahan. Dalam konteks ini, maka diperlukan kota di tengah ladang pertanian atau sering disebut dengan agropolitan. Konsep
pengembangan
agropolitan
pertama
kali
diperkenalkan
Mc.Douglass dan Friedmann (1974, dalam Pasaribu, 1999) sebagai siasat untuk pengembangan perdesaan. Meskipun termaksud banyak hal dalam pengembangan
11
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
agropolitan, seperti: redistribusi tanah, namun konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah “kota di ladang”.
Dengan demikian
petani atau masyarakat desa tidak perlu harus pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan yang berhubungan dengan masalah produksi dan pemasaran maupun masalah yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan setiap hari. Pusat pelayanan diberikan pada setingkat desa, sehingga sangat dekat dengan pemukiman petani, baik pelayanan mengenai teknik berbudidaya pertanian maupun kredit modal kerja dan informasi pasar. Besarnya biaya produksi dan biaya pemasaran dapat diperkecil dengan meningkatkan faktor-faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan pemasaran. Faktor-faktor tersebut menjadi optimal dengan adanya kegiatan pusat agropolitan. Jadi peran agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberikan kemudahan produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan, dan lain-lain), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi, listrik, dan lain-lain), serta sarana pemasaran (pasar, terminal angkutan, sarana transportasi, dan lain-lain). Dalam konsep agropolitan juga diperkenalkan adanya agropolitan district, suatu daerah perdesaan dengan radius pelayanan 5 – 10 km dan dengan jumlah penduduk 50 – 150 ribu jiwa serta kepadatan minimal 200 jiwa/km2. Jasa-jasa dan pelayanan yang disediakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setempat. Agropolitan district perlu mempunyai otonomi lokal yang memberi tatanan terbentuknya pusat-pusat pelayanan di kawasan perdesaan telah dikenal sejak lama. Pusat-pusat pelayanan tersebut dicirikan dengan adanya pasar-pasar untuk pelayanan masyarakat perdesaan. Mengingat volume permintaan dan penawaran yang masih terbatas dan jenisnya berbeda, maka telah tumbuh pasar mingguan untuk jenis komoditi yang berbeda. Pada zaman penjajahan, fungsi utama pusat-pusat pelayanan perdesaan dikaitkan dengan kebutuhan pemerintah kolonial atau perusahaan perkebunan maupun pertanian untuk meningkatkan produksi dan atau mengangkut hasil
12
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
produksi perkebunan. Untuk itu banyak dibangun jaringan rel kereta api yang menghubungkan pusat produksi di perdesaan dengan pusat pengumpulan yang lebih besar untuk diangkut ke luar wilayah atau diekspor. Saat itu kepentingan utamanya adalah untuk menghasilkan produk-produk yang berorientasi pada ekspor yang menguntungkan negara penjajah, mengingat semua keuntungan yang diperoleh dari perkebunan di Indonesia diinvestasikan kembali di negara penjajah. Petani dan negara jajahan tidak mendapat keuntungan sama sekali. Pusat-pusat agropolitan dan agropolitan distrik yang berkembang saat itu sekarang telah berkembang menjadi beberapa kota metropolitan. Pada zaman kemerdekaan hingga saat ini, pusat-pusat perdesaan relatif masih sama dengan masa sebelumnya, hanya volume dan jenis komoditi yang diperdagangkan mulai berkembang. Program pemerintah dengan menempatkan kantor Koperasi Unit Desa dan Badan Usaha Unit Desa dipandang sebagai peningkatan pelayanan kepada kawasan perdesaan dalam menyalurkan sarana produksi (Saprodi) maupun dalam menampung hasil panen. Pelayanan kesehatan juga mulai ditingkatkan di pusat desa maupun pusat kecamatan melalui pembangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di setiap kecamatan dan Puskesmas Pembantu pada desa-desa tertentu. Konsep pengembangan agropolitan distrik sebenarnya juga sudah diimplementasikan dengan cara pengembangan kawasan pemukiman baru melalui Pengembangan Unit Pemukiman Transmigrasi, Pengembangan Kawasan Andalan, Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET), dan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP). Sebagai tambahan, agropolitan distrik juga dapat terbentuk dalam keliling dari kota-kota besar. Karena pembangunan agropolitan distrik mengusahakan untuk membawa kota ke desa, maka desa pun dapat dibawa ke kota ("pertanian kota"). Dengan kata lain, model agropolitan distrik yang sudah dimodifikasi dapat diperkenalkan untuk membantu merestrukturisasi bentuk kota besar yang ada, dengan jalan membuka daerah terbangun di kota bagi usaha pertanian kota. Sehubungan dengan ini, dapat dicatat bahwa kebanyakan kota-kota besar akan lebih dari berlipat dua penduduknya dalam 20 tahun berikut. Kemungkinan untuk merestrukturisasi bentuk fisik kota yang lebih memasukan unsur lingkungan alami
13
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
maupun
bentuk
pemerintahannya
akan
menjadi
cukup
penting
untuk
dipertimbangkan. Meskipun agropolitan distrik memiliki kota utama maupun penduduk tersebar pada kota-kota menengah lainnya, kunci sukses pembangunan agropolitan distrik adalah perlakuan terhadap setiap kawasan sebagai satu unit tunggal yang terintegrasi dan otonom mandiri. Hal yang berhubungan erat dengan gagasan pembangunan agropolitan distrik adalah syarat bahwa setiap unit memiliki otonomi dan kemandirian sumberdaya ekonomi yang cukup untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunannya sendiri. Dalam rencana ini, tugas pemerintah daerah adalah mendukung pembangunan yang dimulai secara lokal dengan bantuan dan bimbingan teknik, material dan memberi peluang kepada sumber dana finansial Pemerintah juga harus melaksanakan proyekproyek yang penting secara daerah dan nasional, menjamin persamaan alokasi dana
pembangunan
di
setiap
daerah,
serta
memelihara
keseimbangan
perkembangan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosialnya. Selanjutnya, pemerintah daerah juga akan memantau pencapaian standar minimal yang ditetapkan nasional serta membantu mempercepat kemajuan di desa-desa yang sangat tertinggal.
VI. PENUTUP Setelah era otonomi daerah, telah terungkap bahwa pengembangan pentaan ruang yang sentralistik (top down) membawa akibat terjadinya disparitas pembangunan yang sangat mengkhawatirkan bagi bangsa dan negara kita. Pada masa lalu, kebijakan pembangunan yang top down, dimana pemerintah pusat cenderung terlalu banyak turut campur tangan terhadap kegiatan-kegiatan pengaturan di daerah. Hal tersebut mengakibatkan rapuhnya perekonomian daerah dan parahnya disparitas ekonomi antar daerah dan golongan masyarakat, karena tidak berakar kuat pada pembangunan daerah. Oleh karena itu, dengan diberlakukannya konsep Otonomi Daerah dengan kebijakan pembangunan ekonomi daerah yang bottom-up, sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan disetiap daerah harus dapat mendayagunakan sumber daya
14
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
yang terdapat atau dikuasi oleh masyarakat di daerah tersebut. Cara yang paling efektif
untuk
mengembangkan
perekonomian
daerah
adalah
melalui
pengembangan keterkaitan antar sektor produksi dalam suatu wilayah sebagai unit perencanaan yang lebih kecil, atau melalui pentaan ruang perdesaan yang berpedoman kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK).
VII. DAFTAR PUSTAKA 1. Adisasmita, H.R. 2005. Ilmu, Yogyakarta.
Dasar-dasar Ekonomi Wilayah.
Penerbit Graha
2. Badan Pusat Statistik. 2008. Sumatera Utara Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik, Medan. 3. IFAD. 2001. The Challenge of Ending Rural Poverty, International Fund for Agricultural Development. Oxford University Press, New York. 4. Pasaribu, M., 1999. Kebijakan dan Dukungan PSD-PU dalam Pengembangan Agropolitan. Makalah pada Seminar Sehari Pengembangan Agropolitan dan Agribisnis serta Dukungan Prasarana dan Sarana, Jakarta. 5. Saragih, Bungaran, 1999. Pembangunan Agribisnis Sebagai Penggerak Utama Ekonomi Daerah di Indonesia. Makalah pada Seminar Sehari Pengembangan Agropolitan dan Agribisnis serta Dukungan Prasarana dan Sarana, Jakarta. 6. Syahrani H.H.A. 2001. Penerapan Agropolitan dan Agribisnis Dalam Pembangunan Ekonomi Daerah. Jurnal Frontir, Nomor 33. 7. Sumodiningrat, Gunawan, 2000. Pembangunan Ekonomi Pengembangan Pertanian, PT.Bina Rena Pariwisata, Jakarta.
Melalui
8. Supriatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. 9. Uton Rustan Harun, 1999. Aspek Agropolitan Dalam Kebijakan Penataan Ruang Wilayah di Indonesia. Makalah pada Seminar Sehari Pengembangan Agropolitan dan Agribisnis serta Dukungan Prasarana dan Sarana, Jakarta. 10. Efiawan, H.R. 2004. Regional Management Sebagai Pendekatan Alternatif Pengelolaan Pembangunan Antar Daerah Dalam Era Desentralisasi. Makalah pada Seminar Sehari Regional Dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Pembangunan Wilayah, Semarang.
15
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008