PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Muhammad Zuhdi, PhD. Abstrak
Seiring dcngan tcrjadinya perubahan sistem politik Indonesia dari scntralisasi ke desentralisasi, sistem pcngelolaan pendidikan pun mcngalami pcrubahan. Secara yuridis, pcrubahan tersebut tekah dilegalkan dcngan berbagai peraturan pcrundang-undangan yang berlaku. Scmm~gat desentralisasi pendidikan yang utama adalah mcmbcrikan kesempatan lcbih luas kepada otontas
dacrah untuk mclakukan inovasi dan mcmanflwtkan keunggulan !aka! dalam pcnyclcnggaraan pcndidikan. Meski dcmikian, di samping banyaknyahal-hal positif yang diperoleh dari desentralisasi pendidiknn, sejumlah hal yang tidak mcnguntungkan pun tcrjadL Olch seb;;:b. itu, perlu kajian lebih lanjut dan lcbih mcndalam mengenai cfektivitas penyelenggaraan pcndidtkan dcngan pola dcsentralisasi.
Kata kunci : pendidikan, desentralisasi, sentralisasi, otonomi daerah, orde baru, stabilitas politik
A. Pendahuluan Berakhirnya Era Orde Baru di Indonesia membawa banyak perubahan pada tatanan sosial-politik di negara mL Perubahan tersebut tidak lepas dari semangat untuk terlepas dari sejarah uniformalisme Orde BartL Dipahami bersama, bahwa pemerintah Orde Bam atas nama pembangunan mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan. Demi mempertahankan ketiga stabilitas tersebut pemerintah Orde Bam melakukan berbagai upaya yang dampaknya pada penyeragaman berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk pendidikan. Dalam dunia pendidikan, kita melihat bahwa pemerintah Orde Bam menerapkan sistem sentralisasi (centralized system). Hal ini berimplikasi pada kewenangan mutlak pemerintah pusat dalam pengelolaan berbagai aspek pendidikan, antara lain bempa sistem pendidikan, kurikulum, sumber daya manusia, pengadaan media dan sumber belajar, hingga anggaran pendidikan. Walhasil, pemerintah daerah dan institusi pendidikan tidak memiliki mang untuk berkreasi dan berinovasi untuk
86
mengembangkan pendiclikan eli lingkungannya masing-masing. Sistem sentralisasi dalam dunia pendiclikan eli Indonesia berakhir semng clengan berakhimya Era Orde BanL Ini menandakan betapa pendidikan tidak bisa terlepas clari clunia politik. Era Refmmasi membuka lembaran bam pengelolaan pendidikan eli Indonesia. Pacla Era ini, kita mengenal sistem penclidikan yang desentralistik (decentralized system). Sistem m1 mengurang1 kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan memberikan otoritas lebih beasr kepacla pemerintah claerah hingga institusi pendidikan untuk menentukan mas a clepan anak-anak mereka. Peralihan sistem ini, pacla mulanya clisambut dengan antusias, karena eli samping sebagai bukti nyata keseriusan pemerintah pasca orde baru untuk mengelola negara secm·a bersama-sama clengan cara berbagi kewenangan, juga clipandang memberikan peluang para pemangku otoritas pendidikan eli berbagai jenjang untuk berkreasi dan melakukan inovasi sesuai clengan konclisi lingkungannya. Dinas penclidikan daerah, yang clulu mempakan Kanwil Departemen
Muhammad Zuhdi: Pendidikan di Era Otonomi Oaerah
sentralisasi pendidikan yang dilakukan olehPemerintah Orde Baru menutup potensi kreativitas, inovasi dan bahkan kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah. Di samping itu pemerintah daerah pun hampir tidak memiliki otoritas terhadap lembagalembaga pendidikan eli wilayah mereka. Kedua hal ini seolah bukan masalah ketika Orde Baru berkuasa, tetapi menjadi persoalan ketika rezim Orde Barn berakhir. Sistem pendidikan yang sentralistik diduga telah menyebabkan mandulnya kreativitas dan movast para guru dan pengelola lembaga-lembaga pendidikan, karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat secm·a seragam oleh pemerintah pusat. Demikian juga, sistem tersebut telah menyebabkan hilangnya berbagai kearifan lokal dan kemampuan otoritas pendidikan dareha untuk memaksimalkan sumber daya setempat, karena mayoritas keputusan penting ditetapkan oleh pemerintah pusat. Meski tidak banyak muncul eli permukaan ketika orde baru berkuasa, namun hal-hal eli atas tetap terpendam dan menjadi keprihatinan banyak praktisi dan pemikir pendidikan. Mereka meyakini, bahwa meskipun sentralisasi pendidikan claim batas-batas tertentu diperlukan untuk menjada persatuan, namun dalam beberapa hal menjadi !contra produktif, terutama karena penyeragaman. Ketika kekuasaan Orde Baru berakhir clan euforia reformasi menggejala eli A. Mengapa Otonomi Pendidikan? Indonesia, tuntutan untuk menyerahkan sebagian (besar) kebijakan, pengelolaan dan Desentralisasi biclang pencliclikan, penyelenggaraan pencliclikan kepacla yang lazim juga clisebut sebagai otonomi otoritas claerah clan lembaga pendiclikan pendiclikan, sebenarnya bukanlah kebijakan semakin menguat. Kritik terhaclap yang cliambil tanpa lanclasan. Seticlaknya sentralisasi pun semakin terbuka. ada tiga alasan utama mengapa clesentraKeclua aclalah alasan politis. Ini lisasi pencliclikan 1111 clilaksanakan eli berkaitan erat dengan alasan psikologis eli Indonesia. alas. Salah satu aspek politik aclalah Pe1iama adalah alasan psikologis. kekuasaan, termasuk di clalamnya Seperti disebutkan eli muka, kebijakan kekuasaan atau kewenangan clalam pengelolaan pencliclikan. Pacla masa Orcle 1 "Kemdikbud kaji ulang konsep otonomi Baru, otoritas pencliclikan eli claerah tetap eli pendidikan" diambil dari Kompas Online cdisi 29 bawah kewenangan pemerintah pusat. Hal Nopember 2011. ini cliwujuclkan dengan aclanya kantorhttp://edukast.kompas.com/read/2011/li/29/09304757/K kantor wilayah clepartemen pencliclikan eli emdikbud.Kaji.Ulang.Konsep.Otonomi.Pendidikan ·' · d l cl ' . se 1wp propms1 an (an tor epartemen . kscs 1angga 1 16 Apu.· 12011 . d1a Pencliclikan, memiliki otoritas lebih besar untuk mengatur lembaga-lembaga pencliclikan eli claerahnya clalam berbagai aspek:nya. Demikian juga halnya clengan lembaga-lembaga pencliclikan, mereka memiliki otoritas yang lebih besar untuk menentukan apa yang harus diajarkan eli sekolah-sekolah mereka. Namun clemikian, belakangan muncul rasa skeptis atas keberhasilan pcngelolaan pendiclikan dengan pola desentralisasi ini. Berbagai persoalan muncul sebagai clampak cliberikan kewenangan yang besar kepacla pemetintah claerah untuk mengelola pencliclikan eli wilayalmya. Bahkan Kepala Balitbang Kemenclikbucl mengemukakan bahwa "pelaksanaan otonomi pencliclikan yang telah berlangsung lima tahun lebih kerap mengalami banyak hambatan clan pem1asalahan, yang berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, clan profesionalisme pengelolaan penclidikan. " 1 Pernyataan tersebut secm·a tegas menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi pencliclikan membawa sejumlah masalah serius yang perlu menjacli keprihatinan bersama. Tulisan im mencoba mengiclentifikasi berbagai keuntungan clan persoalan yang clijumpai dengan cliberlakukannya otonomi pencliclikan. Di bagian akhir akan clisampaikan beberapa pain pemikiran yang perlu cliclskusikan lebih lanjut.
87
al-mal
pendidikan di setiap kabupaten/kota, yang merupakan bagian dari struktur pemerintah. Struktur ini menunjukkan bahwa berbagai kewenangan pendidikan, dari mulai penetapan kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah dan guru merupakan kewenangan pusat. Seiring dengan tuntutan untuk pendelegasian kewcnangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, tuntutan untuk memberikan kewenangan dalam bidang pendidikan pun tidak terelakkan. Pemerintah daerah merasa perlu memiliki kewenangan lebih besar dalam hal kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, alasan hukum. Alasan hukum eli sini lebih merupakan implikasi dari ketenhmn yang telah ditetapkan. Karena alasan psikologis dan politis di atas, dipicu dengan berald1irnya kekuasaan Orde Baru, maka lahirlah Undang-Undang yang mengatur sekaligus memberi kekuasaan yang lebih besar pemerintahan daerah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secm·a resmi mengald1iri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Undang-Undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang kemuclian clirevisi clengan UU No. !2 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah. Beberapa Undang-Unclang eli atas merupakan landasan diberikannya kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan itu diberikan clengan pertimbangan antara lain bahwa pemerintah claerah lebih mengetahui kebutuhan penclidikan eli claerah masingmasmg, sehingga cliharapkan dapat membuat program clan kebijakan yang secm·a langsung menyentuh kebutuhan penclidikan eli daerah. Harapan lebih lanjutnya kemudia adalah tetjadinya akselerasi pembangunan sektor pendiclikan sebagai wahana penyiapan sumber claya manusia Indonesia masa depan. Ketiga alasan di atas menunjuldmn bahwa otonomi daerah, tem1asuk otonomi
88
pengelolaan pendidikan, bukan scmatamata keinginan pihak tertcntu, tetapi lebih mempakan kebutuhan sosiologis clan clorongan psikologis yang kuat clari masyarakat. Kelahiran Undang-Undang yang menjacli clasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah lebih merupakanlegalitas yang mengakomoclasi berbagai tuntutan eli atas.
Ada clua implikasi utama dari pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah dan pcmberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal penyelenggaraan pendiclikan oleh claerah, kementerian pendidikan dan kebuclayaan tidak lagi memiliki kantor wilayah eli provinsi dan kantor dcpartemen eli kabupaten/kota. Pcran kantor wilayah dan kantor departemen diambil alih oleh dinas pencliclikan yang menjacli bagian dari pemerintahan claerah. Implikasi lebih lanjut dari pemberlakuan hal mt adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah daerah, pengelolaan lembagalembaga penclidikan oleh claerah, dan pengelolaan tenaga pencliclik dan tenaga pendiclikan oleh daerah. Dalam hal pemberlakuan kurikulum berbasis seko lah, yang clikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat mcmberikan sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepacla masing-masing lembaga penclidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendiclikan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang S isdiknas dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal penyusunan kurikulum in1 pemerintah pusat membuat model kurikulum KTSP dan menentukan standar kompetensi clari berbagai pelajaran yang menjacli bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya masmg-masing lembaga pendiclikan harus mengembangkan sendiri kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi
Muhammad Zuhdi: Pendidikan di Era Otonomi Daerah
kekhasan daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran yang tidak menjacli memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah.
B. Implikasi positif Pemberlakuan otonomi daerah dalam biclang pencliclikan memiliki aspek yang sangat luas dan meliputi berbagai faktor seperti pengelolaan anggaran, pemanfaatan sumder daya manusia, dan pengembangan potensi lokal lainnya. Kebijakan ini tidak clapat clipungkiri telah memberikan kcsempatan kepada pemerintah claerah untuk lebih terlibat clalam pengambilan berbagai kebijakan pencliclikan. Diharapkan dengan clekatnya pengambil keputusan dengan institusi yang melaksanakan keputusan tersebut, mal
1. Kemandirian
Dengan pemberian otoritas kepacla daerah untuk mengelola urusan pendiclikan, malca pemerintah daerah dit1mtut untuk mengelola penyenggaraan pendiclilcan n1ereka secm·a n1andiri, dan tnengurangi lcetergantungan pada pemerintah pusat. Kemandirian ini diwujuclkan antm·a lain clengan anggaran pencliclikan yang clikelola oleh pemerintah claerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga diberi keleluasaan untuk memanfaatkan berbagai sumberclaya pendidikan. Sekolah dan guru yang semula clari pengelolaan menjadi bagian Departemen Penclidikan Nasional diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Hal ini memberikan lcesempatan sekaligus juga tantangan kepacla pemerintah claerah untuk benar-benar mampu mengelola penyelenggaraan pencliclikan. Tantangan yang besar buat pemerintah claerah, terutama eli masa-masa transisi dari sentralisasi ke desentralisasi adalah meningkatkan kapasitas, kreativitas dan sensitivitas clalam hal pengelolaan pendidikan. Kapasitas dimaksud eli sini adalah kemampuan mengelola kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Otoritas penclidikan daerah tentu perlu dibekali dengan penguasaan terhadap berbagai aspek pengelolaan pendiclikan dari keuangan, kurikulum, pengembangan SDM, dan hubungan clengan para pemangku kepentingan pendidikan eli daerah. Kreativitas yang perlu dimiliki oleh otoritas pencliclikan claerah ialah berkaitan bagaimana pengelolaan pencliclikan terus berinovasi untuk membuat proses pendiclilcan lebih mudah cliakses, lebih memberikan motivasi bagi s1swa, dan dengan hasil yang lebih berlcualitas. Di sini, para pemangku otritas penclidikan claerah diharapkan memiliki visi clan imaginasi penyelenggaran penclidikan yang accessible, menyenangkan dan berkualitas. Sensitivitas diperlnkan untuk mampu melihat kebutuhan dan persoalan penclidikan claerah setempat, sehingga mampu memberikan layanan pencliclikan yang benar-benar membumi.
89
al-mal
Kapasitas, kreativitas dan sensistivitas dalam pengelolaan pendidikan ini penting untuk memastikan bahwa kewenangan besar yang diberikan kepada otoritas pendidikan daerah benar-benar mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Implikasi dari pemberian kewenangan yang lebih besar ini adalah akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Otoritas yang besar hmuslah dimanfaatkan secara positif untuk meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan, bnkan sekedar sarana unjuk kekuasaan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengelola penyelenggaraan pendiclikan yang akuntabel 2 Akuntabilitas ini penting sebagai wujud keseimbangan antara kekuasaan dan pertanggung-jawaban.
2. Memaksimalkan Potensi Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dalam hal pendidikan. Berbagai potensi tersebut tidak terperhatikan ketika pengelolaan pendidikan dilangsungkan secm·a sentra-listik, karena tetjadi penyeragaman dalam berbagai kebijakan, pengelolaan dan kegiatan pendidikan. Pemberian otoritas pendidikan yang lebih besar kepada daerah memberikan peluang bagi setiap daerah untuk mampu memanfaatkan dan mengembangkan potensi pendidikan yang dimiliki. Potensi dimaksud meliputi potensi lembaga, potensi sumberdaya manusia dan potensi kearifan lokal. Dalam hal potensi lembaga, banyak daerah yang memiliki lembaga-lembaga pendiclikan yang memiliki kelebihankelebihan tertentu. Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu kelebihan pengelolaan lembaga pendidikan yang climiliki daerah. Hal lain yang sering menjadi keunggulan sebuah lembaga pendidikan adalah budaya sekolah yang diciptakan. Budaya sekolah merupakan
faktor penting bagi pendidikan karakter SlS\Va.
Potensi sumberdaya manusia meliputi kepemimpinan, tenaga pendiclik dan tenaga Salah satu tantangan kependidikan. pengelolaan pendidikan di Era Otonomi claerah menurut Abuddin Nata adalah bagaimana melahirkan kepemimpinan 3 baru. Meskipun ban yak teori dan pelatihan kepemimpinan, tetapi pemnnpin yang seberanya baru akan lahir ketika dituntut untuk mengelola tanggung jawab yang besar lengkap dengan berbagai permasalahan yang melingkupinya. Di samping itu, daerah diberi keleluasaan untuk mengelola potensi tenaga pendidik dan tenaga kependiclikan yang dimilikinya, karena semua tenaga pendiclik dan kependidikan yang semua menjadi bagian departemen pendidikan diserahkan kepada claerah masmg-masing. Hal mi tentu menguntungkan bagi daerah-claerah yang telah memiliki kualitas sumberclaya manusia lebih baik dibanding daerah yang lain. Bagi daerah yang kualitas SDMnya belum memadai tentu punya kesempatan untuk memprioritaskan pengembangan SDM 1111, sehingga mampu mengepr ketertinggalan dari daerah lain. Setiap daerah di Indonesia kaya akan kearifan lokal (local wisdom) clengan berbagai bentuk clan variasinya. Otonomi daerah di bidang penclidikan memberikan kesempatan bagi para pemangku otoritas untuk memanfaatkan berbagai kearifan lokal tersebut, melestarikannya, bahkan menggali berbagai potensi kearifan lokal yang belum climanfaatkan. Salah satu bentuk kearifan lokal aclalah hubngan antar pemeluk agama eli sebuah daerah yang multi-iman. Praktek kerukunan yang sudah berlangsung bertahun-tahun di masyarakat hendaknya menjadi bagian clari pendidikan eli sekolah, sehingga nilai-nilai kebersamaan tidak mudah luntur oleh pengaruh clari luar yang mungkin menguatkan
2
Muhammad Hasanuddin Buhory, 'AI
90
3
Abuddin Nata, 'Menggagas sistem pendidikan masa depan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah,' Jurnal Didaktika lsfamika (UIN Jakarta), Vol. VI, No. 2, tahun 2004, hal. 12.
Muhammad Zuhdi: Pendidikan di Era Otonomi Oaerah
keberagamaan seseorang tetapi melunturkan nilai-nilai kebersamaan.
mendapat perhatian serius. Berikut aclalah beberapa persoalan yang perlu menclapat perhatian bersama.
3. Kebutuhan lokal
Pemberian otoritas yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan telah mendekatkan pengambil kebijakan pendidikan dengan pelaksana pendidikan, yaitu sekolah dan para guru, dan konsumen pendidikan, yaitu masyarakat. Meskipun pendielikan nasional 4 memiliki tujuan yang sama dan karenanya materi pendidikan pun banyak memiliki kesamaan, namun tielak dapat dapat elipungkiri bahwa setiap daerah memiliki beberapa perbedaan dalam hal kebutuhan pendidikan. Kekhasan elaerah akan kebutuhan tersebut antm·a lain elisebabkan oleh konelisi geografis, pengaruh praktek pendidikan eli masa lalu, input pendidikan yang tidak merata dan warisan budaya setcmpat. Otoritas penclidikan yang sensitif akan berbagai persoalan pencliclikan akan mampu mcngidentifikasi kebutuhankebutuhan penelidikan yang secm·a spesifik climiliki oleh daerah maupun olch lembagalembaga pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan terscbut meliputi kebutuhan saranaprasarana, pengembangan SDM, materi penelielikan, dan layanan khusus. Kemampuan otoritas pencliclikan daerah elalam mcmperhatikan kebutuhan pencliclikan daeralmya pacla gilirannya akan mampu meningkatkan akses, pmtisipasi dan kualitas pencliclikan.
C. Dampak Negatif Di samping berbagai manfaat dari eliberlakukannya sistem desentralisasi pendidikan sebagaimana tersebut eli atas, ticlak dapat dipungkiri munculnya pcrsoalan-persoalan bam yang perlu 4
Mcnurut UU No. 20 tahun 2003, tujuan pcndidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi pescrta didik agar menjadi manusia yang bcriman dan bcrtakwa kepacla Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
1. Lokalisasi SDM
Kewenangan pemerintah clacrah untuk mengelola SDM pendielikan seringkali memuneulkan sentimen kedaerahan yang berpotensi menimbulkan konflik eli kemudian hari. Kewenangan yang besar kepada daerah unhtk mengelola sumber daya manusia eli bidang penclidikan eli elaerahnya menyebabkan mengecilnya peluang perpinclahan tenaga pendiclik dan tenaga kependidikan dari satu daerah ke elaerah lain, sehingga proses pembauran antar etnis clari berbagai claerah eli Indonesia mengalami hambatan. Hal ini mungkin tidak begiht nampak eli kota-kota besar yang multi-etnis, namun akan terasa dampaknya eli berbagai claerah yang relatif homogen secm·a etnis. Memang lokalisasi im membuka kesempatan lebih besar kepada para putra claerah untuk terlibat secm·a langsung dalam penyelenggaraan pcndiclikan, namun ada dua hal penting yang perlu diperhatikan ketika te1jadi lokalisasi SDM secara besarbesaran. Pertama, kesempatan siswa dan guru unh1k berinteraksi dengan orang dari daerah atau etnis yang berbeda menjacli sangat sedikit. Kehaeliran guru-guru elari daerah atau etnis yang berbecla eli sekolah akan mendidik s1swa untuk mengenal berbagai etnis yang ada eli tanah air, sehingga mereka sadar bahwa etnis mereka bukanlah satu-sahmya etnis yang ada eli tanah air. Kedua, lokalisasi SDM seringkali berakibat pada kekurangan tenaga pencliclik unh1k materi te1tenh1 karena tingginya kebutuhan sekolah-sekolah di satu daerah terhadap tenaga pencliclik tersebut. Sementara sumberclaya manusia yang climiliki sangat tidak memaclai. Akibatnya, banyak elaerah memaksa tenaga pendidik yang ada untuk mengajarkan materi pelajaran eli luar biclang keahliannya guna memenuhi tuntutan atas ketersediaan guru eli bidang-biclang tertenht tersebut.
kreatif, mandiri, dan mcnjadi warga negara yang dcmokratis serta bertanggung jawab.
91
al-maktabah Vol. 11, No.1, November 2012: 86-97
M. Hidayat mengidentifikasi dua hal persoalan penting dalam hal SDM yang menyebabkan pendidikan di Era Otonomi Daerah tidak bejalan dengan baik, yaitu guru yang kurang profesional dan pejabat yang tidak kompeten. 5
2. Ketidaksiapan daerah Tidak semua daerah memiliki sumberdaya manusra yang memiliki kesiapan yang sama nntuk mengelola pendidikan secm·a baik. Ada daerah yang merespon kewenangan yang besar 1111 dengan berbagai program yang bettujuan untuk memajukan pendidikan di daerahnya, baik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan guru, penyecliaan sarana clan prasarana inti dan penunjang yang memadai, pembentukan unit-unit penunjang penyelenggaraan pencliclikan, dan sebagainya. Namun clemikian, tidak sedikit pula claerah yang melihat pembcrian kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang menguntungkan bagi peribadi at<:m kelompoknya. Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran penclidikan, keberpihakan pacla pihak-pihak tertentu yang tidak berorientasi pacla kualitas, penerimaan tenaga pendiclik clan tenaga kepenclidikan yang kurang selektiC clan pembuatan program-program yang yang tidak secm·a substansial menyentuh kebuhthan pencliclikan. Meskipun kecurigaan ini perlu clibuktikan secara fakta clan hukum, namun fenomena yang sering clitutup-tutupi ini seolah telah menjadi rahasia umum di berbagai claerah. Di atas nampak ketidaksiapan claerah dalam hal pengelo laan penclidikan, terutama kemampuan sumberclaya manusia daerah mengelola penyelenggaraan pencliclikan yang akuntabel. Di samping itu, keticlaksiapan Jnga dapat clilihat dari ketersediaan fasilitas penclidikan eli claerahdaerah. Daerah-claerah bam yang merupakan pemekaran clari provinsi atau 5
Lihat M. Hidayat, 'Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah', makalah disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011.
92
kabupaten yang sudah lebih dulu ada seringkali masih belum memiliki perangkat, fasilitas dan sarana pendiclikan yang memadai. Efek lebih lanjut dari ketidak siapan daerah clalam pengelolaan dan penyelenggaraan pencliclikan aclalah adanya kesenjangan prestasi belajar siswa dari berbagai daerah. Sudah clapat dipastikan bahwa daerah atau leota yang memiliki pendapatan claerah yang lebih besar, fasilitas, sarana clan parasarana pendidikan yang lebih lengkap, serta sumberdaya manusia yang lebih baik mampu menyelenggarakan pencliclikan yang lebih berkaulitas serta hasil pencliclikan yang lebih kompeten. Sementara sebaliknya claerah-claerah yang memiliki sumber anggaran yang lebih kecil, fasiltas dan sarana yang belum lengkap serta sumberclaya manusia yang belum maksimal. tenht akan sulit mengejar ketertinggalan. Daerah-daerah pada kelompok kedua inilah yang dapat dikatkan kurang siap unh1k menyelenggarakan pendidikan secara clesentralistik.
3. Berorientasi Nilai dan kelulusan Pemerintah pusat bempaya meminimalisir kesenjangan kualitas penclidikan antar daerah dengan penerapan stanclar nasional penclidikan 6 clan penyelenggaraan UJtan nasional. Standar nasional mengamanatkan adanya delapan standar yang harus ditetapkan oleh pemerintah guna menghindari kesenj angan kualitas pendidikan, yaitu standarisi, stanclar proses, stanclar kompetensi lulusan, standar pendiclik clan tenaga kependidikan, stanclar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan stanclar penilaian pendidikan. 7 Di sampmg penetapan dan pemberlakuan berbagai stanclar penclidikan
6
Lihat Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang dibuat berdasarkan amanat UU No. 20 tahun 2003. 7 Untuk penjelasan Jebih lanjut tentang berbagai standar tersebut, lihat PP No. 19 tahun 2005.
Muhammad Zuhdi: Pendidikan di Era Otonomi Daerah
di atas, ujian nasional merupakan salah satu perangkat yang diharapkan mampu mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan. Dengan naskah ujian yang dibuat oleh pemerintah pusat, seluruh siswa yang akan menyelesaikan pendidikan pacta jenjang pendidikan dasar dan menengah harus mengikuti ujian akhir, dan hams mencapai standar nilai minimum yang ditetapkan untuk dianggap lulus. Diharapkan pemberlakuan ujian nasional 1111 dapat memacu para pengemban otoritas pendidikan daerah untuk mampu meningkatkan lcualitas pendidikan eli daerahnya masingmasing sehingga tidak tertinggal dari daerah lain. Ukurannya adalah pemenuhan nilai standar minimum yang ditetapkan. Di sinilah persoalan besar mulai mengintai. Bagi sebagian pemerintah claerah, amana! standar nasional pencliclikan dan ujian nasional ini merupakan tuntutan untuk meningkatkan kualitas pencliclikan eli wilayahnya. Bagi scbagian pemerintah claerah yang lain, pemberlakuan UJJan nasional merupakan tuntutan untuk menghasilkan siswa yang memiliki basil ujian yang bcrada eli atas nilai minimum nasional. Perbeclaan dalam memandang persoalan ini berimplikasi besar terhadap etika penyelenggaraan pendiclikan. Jika panclangan kelompok yang pe1iama lebih kepacla penyediaan layanan penclidikan yang berorientasi kualitas, maim kelompok yang keclua lebih berupaya bagaimana memperolch nilai ujian yang melebih standar minimum yang clitetapkan, maka kemudian banyak daerah yang mencanangkan lulus UN I 00% sebagai target pencapaian bidang pendidikan. Target yang ditetapkan oleh kcpala claerah kcmuclian clisosialisasikan oleh dinas penclidikan dan dibebankan kepada para kepala sekolah untuk pencapaiannya. Banyak kepala sekolah yang menyadari keterbatasan dan rendahnya kulitas pendidikan yang dimiliki sekolahnya, tetapi mercka tetap clituntut unh1k mcmaksimalkan jumlah lulusan ujian nasional dari lembaga-lcmbaga pendidikan mereka. Walahsil, berbagai cara, dari yang
halal hingga yang haram pun dilakukan.
Contoh upaya halal yang menganggu proses pendiclikan adalah try-out yang dilakukan berulang-ulang dan pengurangan jumlah jam pelajaran non-UN. Sementara cara haram yang masih ditemukan dalam proses ujian nasional adalah pembocoran naskah ujian ataupun kunci jawabanya dan melakukan ke1jasama dengan para pengawas ujian dan pengawas inclepneden unh1k membiarkan te1jadinya perilaku curang clan tidak jujur dalam pelaksanaan ujian nasional. Orientasi nilai ujian nasional yang menjadi tujuan penyelenggaraan pencliclikan daerah dan lembaga-lembaga pendiclikan pacla gilirannya menciderai bahkan merusak mental penyelenggara pendiclikan dan terlebih parab lagi mental para siswa. Seolah prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan menjadi bagian dari proses pendidikan kita. 4. Hilangnya narasi besar pendidikan Ada satu hal penting yang hilang dari dunia pendidikan kita seiring dengan berlakunya desentralissasi pendidikan, yaitu narasi besar pendiclikan nasional. Pada masa lalu, kita senng menclengar nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai yang harus ditanamkan lewat pendidikan. Lebih dari itu, nasionalisme dan patriotisme tersebut juga mewarnai berbagai kegiatan lembaga pendiclikan baik formal maupun non-fonnal. Karena itu, tidak heran jika ada kurikulum resmi yang berorientasi pacta nasionalisme dan patriotisme, serta ada aktivitas ekstrakurikuler yang berorientasi pacta nasionalisme dan patriotisme. Pacla masa ordc baru, Pendidikan Pancasila menjacli sebuah narasi besar yang mewamai hampir seluruh kegiatan berbangsa dan bemegara. Seluruh lembaga formal pendidikan dan lembaga-lembaga non kependidikan diwarnai dengan semangat internalisasi nilai-nilai Pancasila. Terlepas dari hal-hal negatif yang clibawa, pendidikan Pancasila telah menjadi wabah di seluruh Indonesia dan menjacli narasi besar pendiclikan nasional. 93
al-mal
Dewasa m1, pendidikan kita kehilangan naras1 besamya, sehingga pendidikan nasional seperti kehilangan kepentingan untuk dipe1juangkan bersama. Pentingnya narasi besar pendidikan dinyatakan oleh Neil Postman dalam ka1ya provokatifnya "The End of Education." Menumt Postman, pendidikan memerlukan sebuah narasi bersama yang menegaskan identitas bersama, kepentingan bersama dan nilai-nilai moral yang dianut bersama 8 Ketiadaan narasi besar yang menyuarakan kepentingan bersama dalam konteks negara, menyebabkan berkurangnya nilai-nilai komunalitas sebagai bangsa. Jika kondisi ini dibiarkan tentu negara ini hanya akan menjadi kumpulan kelompok-kelompok orang yang memiliki dan mempe1juangkan kepentingannya masing-masing. Melihat fen omena yang hadir di dunia 1111, dengan pendididikan dewasa ketidakjelasannya narasi bersama dalam pendidikan, maka tidak mengherankan jika para penyelenggara pendidikan, baik di birokrasi pemerintahan, di lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta, lebih memprioriatskan kepentingan kelompok kecil mereka dan kurang memeperhatikan kepentingan bersama. Masalahnya adalah tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan kepentingan bersama dalam pendidikan.Di sinilah nampak bahwa pendidikan kita seperti kehilangan nilainilai sejatinya. Pendidikan seolah-olah hanya dijadikan sebagai instrumen untuk menciptakan manusia yang cerdas dan berprestasi. Ada beberapa narasi bersama yang sering dimunculkan saat ini. Di antaranya adalah intemasionalisasi pendidikan dan pendidikan karakter. Dua istilah tersebut dewasa ini ramai dibincangkan dan dikesankan menjadi kepentingan bersamasama dalam hal pendidikan. Namun demikian keduanya masih perlu diuji lebih lanjut kelayakannya untuk dapat menjadi narasi bersama dalam pendidikan. 8
Neil Postman, The End of Education: Redefining the value of school, New York: Alfred A Knopf, 1995.
94
D. Dislmsi Politik dan pendidikan adalah dua dari beberapa tema yang senantiasa menarik minat banyak orang untuk berdiskusi. Politik, meski sebatas wacana, sering menjadi bahan diskusi dari berbagai kalangan masyarakat, baik secara formal maupun nonformal. Pendidikan juga sering menjadi bahan diskusi karena penyelenggaraan pendidikan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Jika masing-masing dari lema politik dan pendidikan telah menjadi tema yang senanliasa menarik untuk didiskusikan, maka tentu akan lebih menarik jika kedua tema itu digabungkan. Tema Pendidikan dan Otonomi Daerah merupakan tema yang menggabungkan dua tema terpisah di alas. Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan sistem pendidikan yang desentralistik telah melahirkan berbagai persoalan baru di dunia pendidikan sebagaimana telah dijelaskan di muka. Melihal berbagai persoalan di alas, maka perlu didiskusikan lebih lanjut mengenai hal-hal berikut ini.
1. Pentingnya narasi besar Sebagaimana telah dij elaskan di atas, ketiadaan narasi bersama dalam pendidikan lelah menyebabkan dunia pendidikan kehilangan miSI besamya. Saat 1111 ketiadaan narasi ihi seolah-olah terlulupi oleh adanya upaya daerah-daerah unh1k berkonsentrasi pada peningkatan berbagai aspek pendidikan. Namun pada gilirannya, ketiadaan narasi bersama dalam pendidikan dapat menurunkan kulitas pendidikan dan runtuhnya nilai-nilai kebangsaan. Pendidikan yang tidak memiliki narasi bersama, adalah pendidikan yang tidak memperhatikan humanitas manusia. Hal ini karena pendidikan lersebut lebih berorientasi pada kompetensi siswa setelah belajar, bukan pada kualitas pribadi siswa itu sendiri. Oleh karena itu, Postman berpendapat bahwa pendidikan baru clapat dikatakan bermalma apabila guru, orangtua, dana para s1swa memiliki kesamaan pandangan dalam melaksanakan
Muhammad Zuhdi: Pendidikan di Era Otonomi Daerah
pendidikan, baik formal, nonformal dan informal 9 Tantangan besar dunia pendidikan dewasa ini adalah memastikan bahwa pendidikan kita memiliki sebuah narasi besar yang mencerminkan kepentingan bangsa dan negara secm·a un1un1. Kepentingan bangsa dan negara yang merupakan kepentingan dan kepedulian bersama dapat diwujudkan dalam sebuah narasi besar pendidikan yang akan menjadi rujukan bagi berbagai pihak penyelenggara pendidikan baik formal, nonfom1al, maupun informal. Oleh karena itu, rumusan mengenm naras1 pendidikan harus diperhatikan secara bersama-sama, sehingga kita tidak te1jebak pada penyelenggaraan pendidikan yang normatif dan administratif.
2. Orientasi kualitas bukan formalitas
Ada dna fenomena yang belakangan im menggejala di sekolah-sekolah eli Indonesia, yaitu perhatian yang begitu besar terhadap ujian nasional dan keinginan untuk internasionalisasi pendidikan. Bila diperhatikan, sikap berbagai lembaga pendidikan terhadap dua hal tersebut mencerminkan bahwa kebanyaknn lembaga pendidikan berorientasi pada formalitas dan bukan kualitas, meskipun sejatinya ujian nasional dan internasionalisasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas. Tuntutan terhadap sekolah dan daerah untuk menghasilkan siswa-siswi yang lulus ujian nasional secm·a maksimal, telah menyebabkan hilangnya orientasi kualitas pada pendidikan nasional. Setiap daerah dan sekolah seakan berlomba-lomba untuk memperoleh nilai ujian setingi-tingginya sehingga bisa mencapai target jumlah kelulusan siswa. Tuntutan ujian nasional dan implikasinya pada siswa secm·a nyata telah merubah orientasi atau tujuan pendidikan eli daerah dan sekolah. Setiap penyelenggaraan ujian nasional, selalu menyisakan cerita tentang upaya-upaya 9
Neil Postman, The End of Education: Redfining the value of school, New York: Alfred A Knopf, 1995.
tidak halal yang dilakukan siswa dengan atau tanpa bantuan sekolah. Ketika nilai ujian nasional telah menghanh1i pikiran siswa dan penyelenggara pendidikan, maka pendidikan telah kehilangan arabnya. Oleh sebab ihl perlu dipikirkan cara untuk merubah cara berpikir (mindser) terhadap penyelenggaraan pendidikan dari pendidikan yang berorientasi semata-mata kelulusan dan nilai, menuju penyelenggaraan yang berorentasi pada kualitas proses dan basil pendidikan. Di samping ujian nasional, internasionalisasi pendidikan juga mempakan hal lain yang menghantui pikiran penyelenggara pendiclikan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 mengamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah "menyelenggarakan sekurang-kurangnya sntu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf 10 internasional." Amanat m1 membuat pemerintah menunuskan apa yang disebut sebagai Rintisan Sekolah Berstandar Internasional dan Sekolah Berstandar Internasional. Sekolah-sekolah yang telah memiliki fasilitas yang memadai dan prestasi yang baik dapat membuka kelas-kelas internasional dan menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Dengan berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, banyak sekolah negeri yang berupaya untuk menjadi Sekolah Berstandar Intemasional dengan terlebih dahulu menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Hal menarik yang memicu sekolah sekolah untuk menjadi sekolah RSBI adalah eli samping meningkatkan prestise sekolah, JUga peluang untuk memperoleh dana tambahan baik dari pemerintah sebagai dana penyiapan RSBI, maupun dari orangtua siswa untuk penyelenggaraan pendidikan. Fenomena Sekolah Berstandar Internasional tersebut menjadi keprihatinan banyak pihak, karena banyak sekolah yang 10
lihat UU No. 20 tahun 2003, pasaiSO ayat 3.
95
al-maktabah Vol. 11, No.1, November 2012: 86. 97
menjadi RSBI lebih memperhatikan aspek fonnalitas, seperti ruangan yang eksklusif, guru yang bisa berbahasa Inggris dan biaya yang lebih tinggi. Sementara aspek substansialnya seperti kehilanaan arah ' b sehingga muncul pertanyaan mendaasar, sebenarnya apa yang ingin dicapai dengan sekolah bertaraf internasional.
3. Pemerataan ai{ses dan sumberdaya Ketika Undang-Undang mengenai otonomi daerah diberlakukan, nampak bahwa kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi bidang pendidikan sangat beragam. Dua persoalan utama yang perlu dicarikan solusinya adalah pemerataan akses . dan pengembangan sumber daya manus1a. Penyediaan atau peningkatan sarana dan pra-sarana pendiclikan perlu tents clitingkatkan untuk dapat meningkatkan akses terhadap pendiclikan. Persoalan akses tentu tidak mengganggu penyelenggaraan pencliclikan di kota-kota yang prasarana transportasinya memadai. Namun ia menjadi masalah besar di claerah-claerah yang memiliki wilayah yang cukup luas, banyak masyarakat yang tinggal eli daerah yang sulit dijangkau, dan prasarana transportasi yang kurang memaclai. Persoalan geografis dan fasilitas transportasi sering menjadi kendala utama Pacla pemerataan akses penclidikan. gilirannya persoalan akses m1 juga mempengaruhi tingkat partisipasi pendidikan. 0 leh karena itu, perlu clipikirkan berbagai alternatif bagi daerah -daerah yang memiliki masalah clengan keterbatasan akses, karena berbagai kenclala di atas. Sumberclaya, baik manusia maupun benda, juga perlu mendapatkan perhatian serius. Banyak daerah yang melakukan otonomi pencliclikan tidak diclukung oleh sumberdaya pendidikan yang memaclai. Keterbatasan sumberclaya ini te1jacli sebagai akibat clari tidak meratanya penyebaran penducluk, tidak seimbangnya penyebaran ekonomi clan ticlak meratanya pembangunan. Akibatnya snmberdaya yang baik terkonsentrasi eli kota-kota besar.
96
Perlu ada pemikiran dan upaya serius (affirmative action) untuk membantu daerah-darah yang memiliki sumberdaya Pemerataan yang kurang memadai. sumberdaya dapat dilakukan clengan menyiapkan generasi muda eli berbagai claerah untuk meningkatkan kapasitas diri sehingga mampu menciptakan proses pendiclikan yang berkualitas. Di samping itu, perlu juga clibuka peluang untuk menclatangkan sumberclaya dari daerah lain guna membantu percepatan pembangunan eli claerah-daerah yang pencliclikan sumberdayanya relatif memaclai. Hal terakhir ini memerlukan campur tangan pemerintah pusat dan ketcrbukaan pemerintah daerah clemi pembangunan penclidikan.
E. Penutup Berbagai persoalan dan pemikiran eli atas menunjukkan bahwa penclidikan nasional Indonesia sedang mengalami dinamika yang luar biasa besar. Dinamika ini tetjacli karena sebagai negara, Indonesia sedang dalam proses transisi panjang menjadi negara demokrasi. Otonomi claerah clalam penyelenggaraan pencliclikan merupakan bagian clari proses transisi tersebut, sehingga tidak mengherankan apabila banyak clijumpai kcjanggalan atau anomali dan ketidakpuasan atas apa yang seclang te1jacli. Kunci keberhasilan penclidikan nasional aclalah penyelenggaraan pencliclikan eli lembaga-lembaga pcncliclikan. Oleh karenanya lembaga-lembaga pencliclikan hams benar-benar disiapkan menjadi lembaga lembaga yang beorientasi pada pengembangan kualitas-kualitas pribadi siswa, tidak hanya mengembangkan intelektualitas clan berpaku pacla formalitas. Untuk itu, Mochtar Buchory pernah mengemukakan, bahwa dunia pencliclikan kita ticlak sekedar memerlukan reformasi seperti yang terjadi eli biclang politik dan ekonomi, tetapi ia memerlukan transfonnasi guna menghasilkan pencliclikan yang
Muhammad Zuhdi: Pendidikan di Era Otonomi Doerah
11
berkualitas dan berkarakter. Oleh karenanya, lanjut Buchory, guru hams dilepaskan dari beban politik dan kepentingan sepihak birokrasi, gum harus diberikan keleluasaan untuk mendidik karakter siswa. 12
DAFT AR PUST AKA
Buchory, Mochtar (200 I), Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanis ius, 2001, hal. 71
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Buhory, M. H. (2007) 'Akuntabilitas Instansi Pemerintah dalam Bidang Pendidikan di Era Otonomi Daerah,' Jurnal Ilmu Pendidikan (Universitas Negeri Malang) Tahun 34 No. 2, Juli2007,hal.115
Postman, Neil (1995), The End of Education: Redefining the value of school, New York: Alfred A Knopf, 1995.
'Kemdikbud kaji ulang konsep otonomi pendidikan'Kornpas Online edisi 29 N opember 20 11 http:// edukasi .kompas. com/read/2 0 I 1111129/09304757/Kemdikbud.Kaii. Ulang.Konsep.Otonomi.Pendidikan diakses tangga1 16 April 2011. 'Masalah Mutu Hidayat, M. (20 11) Pendidikan di Era Otonomi Daerah', makalah disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 N opember 2011.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 12 tahun 2008 tentang Revisi Kedua atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004.
Nata, Abuddin (2004), 'Menggagas sistem pendidikan masa depan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah,' Jurnal Didaktika Islamika (UIN Jakarta), Vol. VI, No.2, tahun 2004, hal. 12.
11
Mochtar Buchory, Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71 12 Mochtar Buchory, Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71
97