Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi Musmualim Unsoed Purwokerto E-mail:
[email protected] Muhammad Miftah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus E-mail:
[email protected]
Abstrak Lahirnya paradigma desentralisasi memberikan kran kebebasan bagi kreativitas daerah untuk muncul ke permukaan mengelola daerahnya sendiri secara mandiri sesuai dengan kemampuannya, termasuk dalam bidang pendidikan. Disaat berbagai daerah sedang menggalakkan otonomi pendidikan, kondisi geografis dan ekonomi yang membedakan secara signifikan antara daerah satu dengan yang lain dan antara lembaga pendidikan disatu sisi dan lembaga pendidikan disisi lain menciptakan sebuah ketimpangan yang menjadi persoalan dalam pemerataan pendidikan. Hasil penelitian menunjukan demokratisasi otonomi pendidikan di era desentralisasi bukan monopoli lokal, namun menjadi gerbang komunikasi lokal dengan pusat, pemerintah lokal dengan grassroot sebagai subjek pembangunan. Kata kunci: desentralisasi, otonomi pendidikan, demokratisasi
Abstract The birth of decentralization paradigm provides the freedom for the creativity of the district to manage its own region independently in accordance with its capabilities, including in the field of education. When many regions is promoting
202
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
the autonomy of educational, the geographical and economic condition distinguish significantly between one region to another and between educational institutions on the one hand and educational institutions on the other hand creates an inequality issue in the distribution of education. The result of the research showed the democratization of educational autonomy in the era of decentralization was not local monopolies, but it became a local communication gateway to the center, the local government to the grassroots as the subject of development. Keywords: decentralization, educational autonomy, democratization
A. Pendahuluan Mengkaji dunia pendidikan akan berbanding lurus dengan upaya pengembangan sumber daya manusia (human resources). Bertolak dari pembangunan mentalitas bangsa akan menghasilkan paradigma membangun yang lebih maju. Melalui pengembangan sumber daya manusia, akan meningkatkan daya saing dalam kompetisi global. Pendidikan menjadi tiang pancang bagi keberlangsungan hidup dan penghidupan bangsa. Paradigma ini sekaligus memberikan kekuatan dasar dalam membangun bangsa dan negara melalui dunia pendidikan. Sejak awal kemerdekaan hingga tahun 2000 sistem pemerintahan dan pembangunan dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan menggunakan paradigma sentralisasi, bahwa pemerintah pusat mendominasi proses perencanaan, implementasi dan evaluasi kinerja pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah pusat menjadi pemain utama yang menentukan orientasi dan tujuan berbagai kebijakan pendidikan. Setelah mengalami krisis multidimensi yang sangat serius dan berkepanjangan, muncullah gerakan reformasi yang sangat kritis terhadap paradigma sentralisasi dan pada saat yang sama juga sangat yakin bahwa solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah dengan menerapkan paradigma desentralisasi dalam sistem pemerintahan dan pembangunan.1 Diyakini bahwa penerapan pola sentralistik telah membuat roda pemerintahan dan pembangunan berjalan kurang efektif dan efisien; rawan kebocoran; menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan M. Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 229- 230. 1
Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi|
203
regional; memaksa keseragaman (uniformitas); mematikan potensi dan karakteristik daerah; menyulitkan quality control (pengawasan mutu) dan quality assurance (jaminan mutu); mematikan kreativitas pemerintah daerah; dan menghambat partisipasi masyarakat.2 Problem ini semakin menjadi ketika kebebasan daerah dibatasi oleh kepentingan-kepentingan pusat yang mendominasi dan mengeksploitasi potensi keragaman dan kekayaan daerah. Maka paradigma desentralisasi memberikan kran kebebasan bagi kreativitas daerah untuk muncul ke permukaan mengelola daerahnya sendiri secara mandiri sesuai dengan kemampuannya. Dari sini kemudian setiap daerah memiliki kepercayaan diri dan kemauan untuk mengelola dan mengatur segala potensi daerah, termasuk kebijakan otonomi daerah dalam kaitan pendidikan. Namun demikian seiring berjalan, proses otonomi pendidikan ini telah dan akan terus berhadapan dengan kompetisi global, artinya setiap setiap daerah kemudian berlomba untuk merekonstruksi potensinya menjadi yang terunggul. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah kondisi geografis yang tak sepadan, akses informasi yang didapatkan dan kesempatan ekonomi yang timpang, akan sangat berpengaruh dalam proses otonomi pendidikan. Lahirnya kurikulum 2013 menjadi referensi baru dalam dinamika pendidikan kekinian yang dapat direpresentasikan dalam otonomi pendidikan, dimana proses uji coba dibeberapa daerah sudah dilakukan, sekalipun memang terdapat pro dan kontra atas kemunculannya. Kurikulum 2013 memberikan harapan baru sebagai kebijakan pendidikan yang signifikan mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat kekinian, pemerataan, berkeadilan dan demokratis. Mampu mengakomodasi perbedaan keberagaman bangsa yang plural, memberikan perubahan paradigma dan peningkatan kualitas pendidikan. Dalam konteks otonomi pendidikan, diharapkan menemukan titik temu yang membangun antara kebutuhan daerah dan kebutuhan dalam skala nasional sebagai bangsa Indonesia yang satu.
2
Ibid, h. 230.
204
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Ketimpangan ekonomi dan kondisi geografis yang kurang menguntungkan berdampak pada akselerasi dan akses informasi pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai corong dan garda depan pendidikan akan memiliki tingkat kesulitan yang berbeda, kemampuan yang tak sebanding dengan daerah yang notabene mudah aksesnya. Hal ini terjadi disaat semua mempunyai kesempatan yang seluasluasnya dalam otonomi pendidikan. Sekolah berkesempatan untuk berinovasi mengembangkan kreativitasnya. Tapi sekali lagi medan yang terjal mengganjal bagi efektivitas otonomi. Menanggapi persoalan diatas tentu bukan hal mudah, disaat sedang digalakkan otonomi pendidikan, namun disisi lain jarak dan tempat yang membedakan secara signifikan antara daerah satu dengan yang lain, antara lembaga pendidikan disatu sisi dan lembaga pendidikan disisi lain. Maka terobosan dan inovasi dalam merespon ketimpangan itu perlu diwujudkan dalam langkah konkret, agar akses dan geografis tidak lagi menjadi persoalan yang menghalang-halangi pemerataan pendidikan. B. Kajian Teori 1. Demokratisasi dan Otonomi Pendidikan a. Pengertian Demokratisasi Kajian demokrasi sampai hari ini masih menjadi hal ihwal dalam tatanan hidup bangsa Indonesia. Istilah demokrasi sebagaimana dalam literatur politik diambil dari bahasa Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan di tangan rakyat.3 Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan yang berjalan atas dasar aspirasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi rakyat secara langsung terlibat dalam penentuan upaya pembangunan dan kebijakan-kebijakan strategis yang mengedepankan kepentingan bersama dan berbasis kerakyatan.
3
h. 15.
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2007),
Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi|
205
Demokrasi yang ideal adalah pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan keberbedaan dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Demokrasi justru ada karena pengakuan terhadap pluralisme, terhadap pendapat yang berbeda, dan kesanggupan menyelesaikan konflik untuk tujuan bersama. Demokrasi adalah suatu pola hidup bersama dan akumulasi pengalaman-pengalaman yang terkomunikasi bersama.4 Secara sederhana demokratisasi dipahami sebagai proses menuju terwujudnya demorakasi itu sendiri, dimana kekuasaan di pegang oleh rakyat. Proses untuk menuju terciptanya tatanan masyarakat yang mengedepankan hak dan aspirasi rakyat. Proses ini melibatkan berbagai macam unsur dan cara (strategi) yang dilakukan untuk memfasilitasi suara rakyat dan menentukan agenda perubahan bersama yang terencana, terpimpin dan terarah. Demokratisasi otonomi pendidikan mengidamkan sebuah perubahan kesetaraan dan pemerataan pendidikan yang transparan, adil, berorientasi kepada masa depan (futuristik) yang selalu melihat kebutuhan dan perkembangan masyarakatnya. b. Otonomi Pendidikan Otonomi berawal digunakan pada istilah pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Dalam pengertian yang sedehana, otonomi adalah proses pendelegasian dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola, mengatur dan mengembangkan potensi lokal. Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan, menurut HAR Tilaar mencakup enam aspek, yakni : a) Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah, b) Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan, c) Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah, d) pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, e) hubungan kemitraan “stakeholders” pendidikan, f) pengembangan infrastruktur sosial.5 Otonomi pendidikan menurut UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 adalah terungkap pada hak dan kewajiban warga 4 Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 51. 5 Anonim, Otonomi Pendidikan, Diakses Melalui Laman: http://pakguruonline. pendidikan.net/otonomi_pendidikan.html, Pada 16 November 2016.
206
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Pada bagian ketiga hak dan kewajiban masyarakat pasal 8 disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal 9, masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat hak dan kewajiban pemerintah, dan pemerintah daerah pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia 7-15 tahun.6 Keberadaan otonomi dan desentralisasi diharapkan semua komponen daerah lebih terpacu memberdayakan diri, mengembangkan mutu “kompetensi” sumber daya manusia, menumbuhkan prakarya dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan pendidikan.7 Secara politis, sebenarnya menguatnya aspirasi bagi otonomisasi dan disentralisasi pendidikan tidak terlepas dari kenyataan adanya lemahnya konsep dan praktik penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama Orde Baru. Diantara masalah dan kelemahan dalam konteks ini meliputi:8 1. Kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam yang akhirnya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kebijakan pendidikan nasional hampir tidak memberikan ruang gerak yang memadai bagi masyarakat di wilayah atau daerah tertentu untuk mengembangka pendidikan yang sesuai dan relevan dengan daerah dan kebutuhan masyarakat sendiri;
6 Mifta Sifana. Otonomi Pendidikan, Diakses Melalui Laman: http://miftasifana. blogspot.com/2012/12/otonomi-pendidikan.8.html, Pada 15 November 2016. 7 Usman Abu Bakar, Pendidikan Nasional memasuki Era Otonomi Daerah, dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah; Kebijakan, Evaluasi dan Saran, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 233. 8 Djohar dan Abd.Rachman Assegaf, Pendidikan Transformatif, (Yogyakarta: Teras, 2010), h.180.
Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi|
207
2. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu, seperti target kurikulum, yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran sangat berorientasi pada ranah kognitif dengan pendekatan verbalisme dan pada saat yang sama cenderung mengabaikan pembelajaran ranah afeksi dan pskomotorik. Dalam rangka meningkatkan keberhasilan pembangunan melalui pendidikan, maka model pembangunan berhaluan desentralisasi perlu dikembangkan dengan melihat kebutuhan masyarakat lokal. Perubahan dari sentralistik ke desentralistik melahirkan sebuah konsekuensi logis bagi para stakeholders pendidikan untuk sedapat mungkin kreatif dan aktif untuk dapat menyesuaikan dengan konsep otonomi pendidikan, sehingga cita-cita kemandirian akan terwujud. Namun demikian otonomi pendidikan bukan kesempatan untuk mencari untung oknum individu (stakeholder) atau kelompok (institusi pendidikan), yang menggunakan kebebasan kebijakan pendidikan tidak pro dengan kondisi ekonomi masyarakat sekitar. Artinya lembaga pendidikan tidak semena-mena mengadakan konsensus dengan orang tua peserta didik yang memberatkan dalam kaitan biaya pendidikan peserta didik. Justru otonomi pendidikan menjawab kegelisahan ketidakmampuan atas pembiayaan pendidikan. 2. Demokratisasi Otonomi Pendidikan Demokratisasi pendidikan adalah implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan mendorong pengelolaan sektor pendidikan pada daerah, yang implementasinya di tingkat sekolah. Gagasan demokratis ini didasari oleh pertimbangan yang simpel, yakni memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan, tidak sekedar dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan. Kemudian, gagasan demokratisasi juga dikembangkan dengan sebuah paradigma baru tentang pelibatan siswa dalam proses pembelajaran, yang juga memberi kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan.
208
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Semangat demokratisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah mesti dikawal, agar perjalanan menuju pendidikan yang berkualitas selalu terpenuhi. Maka prinsip keadilan dalam garis koordinasi dan kewenangan harus ditegakkan, artinya batasan dan ketentuan otonomi pendidikan yang diberlakukan harus berkeadilan sosial; Teknis pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah mesti jelas dan akuntabel; Pelibatan masyarakat untuk turut andil dalam kebijakan pendidikan di tingkat lokal, yang memungkinkan diatur dalam manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan; Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah menjadi prioritas dan tolak ukur tingkat keberhasilan otonomi pendidikan, dengan kapasitas manajemen kelembagaan yang mumpun, akan menghadirkan kinerja yang kredibel. Selanjutnya pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan yang bersumber dari lokal, seperti sarana dan prasarana yang harus tercukupi untuk kebutuhan dasar dan teknis. Termasuk sumber daya manusia (human resources) dalam hal ini adalah ketersediaan tenaga pendidik dan kependidikan yang profesional. Jaringan antarlembaga menjadi modal untuk membangun hubungan kemitraan “stakeholders” pendidikan, yang tiada lain membangun kerjasama dan termasuk dalam penentuan standarisasi pendidikan di tingkat daerah. Pengembangan infrastruktur sosial menjadi langkah inovasi dan investasi sosial sebagai modal sosial dalam mengembangkan dan menambah sarana prasarana dan mengembangkan hubungan harmonis dengan lingkungan masyarakat sekitar yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai modal sosial. Dalam kaitan yang lebih teknis, secara praktis pembelajaran peserta didik di kelas juga menjadi bagian dari orientasi mendasar dari otonomi pendidikan. Pendidikan berlaku adil dan akomodatif terhadap perkembangan peserta didik terutama dalam perolehan peraihan prestasi belajar. Masing-masing kelas berkesempatan untuk menentukan pengembangan kreativitas, intelektualitas dan kebutuhan dalam pembelajaran di kelasnya masing-masing. Sehingga pembelajaran tetap dimanis dan tidak monoton dengan pendidik mampu membawa suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi|
209
Terlebih menjelang diberlakukannya kurikulum 2013, implementasinya tentu harus memberikan dampak perubahan pendidikan yang lebih meningkat, pembelajaran yang membangun kreativitas peserta didik dan mengajak pendidik untuk lebih menambah kredit point profesional. Kurikulum 2013 dalam konteks demokratisasi otonomi pendidikan, mestinya sudah paripurna menjawab kebutuhan masyarakat, mengakomodasi ketimpangan dan perbedaan daerah dalam kaitan akselerasi pendidikan. Sebagai proses penanaman nilainilai luhur yang terintegrasi pada setiap satuan pembelajaran dan mata pelajaran yang tertuang dalam aktivitas pendidikan. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Meminimalisasi Ketimpangan Pendidikan; Sebuah Upaya Pemerataan a. Pemerataan Akses Informasi Pendidikan Selama ini faktor geografis negara kita memang cukup berpengaruh terhadap akselerasi daerah untuk maju. Termasuk masalah akses informasi, komunikasi, perhubungan, pendapatan daerah dan sebagainya. Upaya pemerataan pembangunan dalam bidang pendidikan berbasis desentralisasi paling tidak akan menjawab problem akses dan jaringan. Selama ini yang dirasakan, antara satu pulau dengan pulau lain saling berbeda dan terjadi ketimpangan secara signifikan. Taruhlah tentang aplikasi pendataan pendidikan, tidak semua sekolah dapat mengakses dengan baik, lantaran belum tersedianya alat komputerisasi yang masuk. Informasi yang datang lebih sering terlambat atau bahkan tidak tahu menahu sama sekali, sehingga terjadi ketimpangan; antara daerah pedalaman (daerah terdepan, terpencil) dengan daerah yang notabene sudah kota atau dekat dengan pusat kota. Otonomi pendidikan melalui kebijakan lokal, akan menghasilkan suatu rumusan masalah yang mampu dijawab secara komunal di internal daerah. Sistem transportasi barangkali dapat dirubah sesuai dengan kebutuhan lokal, system komunikasi dan informasi dapat dibuat sedemikian rupa untuk membelah bukit dan perairan yang membentang sebagian wilayah di Indonesia. Daerah
210
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
pedalaman dapat mudah terjangkau dengan menggunakan sarana transportasi umum, dengan menyebar perluasan penduduk di daerahdaerah terpencil, termasuk menggalakkan sadar pendidikan sampai dengan wajib belajar 12 (dua belas) tahun. Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentransfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.9 Kesadaran untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi ternyata masih menjadi “buah simalakama” bagi sebagian masyarakat. Disatu sisi mereka para generasi muda ingin sekolah, namun disisi lain kemampuan ekonomi, kesulitan akses pendidikan menghadang. Sehingga ketika kaum muda putus sekolah, akibat yang ditimbulkan adalah 10 (sepuluh) atau 20 (dua puluh) tahun berikutnya kita akan tertinggal dengan bangsa dan negara lain. Karena sistem pranata sosial masih menganggap bahwa pendidikan menjadi tulang punggung bangsa untuk lebih bermartabat. Maka konsep sekolah gratis dari pemerintah meski diimplementasikan sebagaimana kebutuhan riil masyarakat. Nah, yang mampu menjawab kebutuhan lokal adalah pemerintah setempat, melalui lembaga pendidikan yang ada, sehingga otonomi pendidikan mampu memback-up kekurangan dan ketertinggalan lokal. Akses informasi, komunikasi dan transportasi memang persoalan yang serius, ini karena kita sadari bersama menjadi permasalahan kita bersama. Maka skala prioritas pembangunan daerah terdepan (terpencil) adalah infrastruktur dan pengadaan fasilitas kebutuhan masyarakat secara umum dan bersifat lokal. Dengan menggali kebutuhan kearifan lokal (local wisdom), upaya menangani kebuntuan dan prioritas program otonomi pendidikan akan mempercepat terpenuhinya kebutuhan lokal seiring kesadaran masyarakat dalam partisipasi pendidikan. Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al-Maarif, 1980), h. 92. 9
Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi|
211
b. Keterbatasan Ekonomi dan Sarana Prasarana Kondisi ekonomi bangsa yang tak menentu, menambah catatan panjang nasib pendidikan bangsa. Meskipun program gratis biaya pendidikan sudah dicanangkan, namun sepertinya di beberapa daerah masih saja pendidikan belum menjadi pilihan utama masyarakat kita. Penyebabnya adalah biaya pendidikan yang relatif tinggi dan kurang memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat. Keterbatasan ekonomi menjadi faktor penghalang proses pemerataan pendidikan. Maka sekali lagi, konsep sekolah atau pendidikan gratis bagi masyarakat mesti sesuai dengan perbedaan angka kemiskinan antara satu daerah dengan daerah lain, sehingga pemerataan pendidikan akan mudah untuk diakses oleh mereka yang mengalami kesulitan ekonomi. Proses otonomi pendidikan, sedikit banyak dimaknai keliru oleh para praktisi pendidikan, terutama dalam kaitan anggaran biaya pendidikan. Catatan Doni Koesoema A menjelaskan bahwa : “Otonomi pendidikan oleh insan pendidikan tampaknya baru dipahami sekadar sebagai otonomi untuk memungut dana dari orangtua. Namun apa daya orangtua? Mereka tidak bisa marah sebab anak harus sekolah. Mereka pasrah meski dijadikan sapi perah! Siswa dari keluarga miskin akhirnya hengkang dari sekolah. Mereka tak mampu membayar uang sekolah”. Menarik dana pendidikan dari masyarakat merupakan sesuatu yang wajar, terlebih bagi sekolah-sekolah swasta yang hidup matinya tergantung dari dana masyarakat. Namun, proses ini menjadi tidak wajar saat lembaga pendidikan memanfaatkan posisi lemah kekuatan tawar-menawar orangtua terhadap kebijakan sekolah. Ada ketidakberesan dalam komunikasi pendidikan dan cara memahami otonomi sekolah. Alihalih memosisikan orangtua sebagai partner malah menjadikannya “sapi perah”.10
Catatan diatas mengindikasikan tingkat pemahaman atas otonomi pendidikan yang keliru oleh sebagian masyarakat kita, bahkan mereka para praktisi pendidikan. Pihak sekolah dapat mengeruk sebanyak-banyaknya pungutan dari orang tua peserta didik, dengan alasan sekolah mempunyai kebijakan untuk memungut kepada orang tua atas nama otonomi. Kekeliruan ini menimbulkan Doni Koesoema A, Otonomi (Pungutan) Pendidikan, Diakses Melalui Laman: http://www.unisosdem.org.otonomi(pungutan)pendidikan, Pada 4 Januari 2013. 10
212
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
masalah pendidikan dalam kaitan batasan biaya pendidikan yang diukur dari standar pendapatan dalam kelas sosial masyarakat, sehingga masyarakat yang kurang berkecukupan, akan mengalami kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Kondisi ekonomi masyarakat tidak bisa disamaratakan antara satu daerah dengan daerah lain. Tingkat pendapatan masyarakat masih banyak dibawah rata-rata, sehingga otonomi pendidikan tidak sekadar dimaknai sebagai peningkatan biaya pendidikan yang tidak memperhatikan kondisi ekonomi bangsa, terutama kapita pendapatan masyarakat di daerah. Gloabalisasi adalah suatu keniscayaan yang takkan terhindarkan. Dari aspek ekonomi, perekonomian di Indonesia bergerak ke arah perdagangan bebas, hal ini memperbesar peran tangan-tangan asing untuk menentukan nasib negara-negara miskin. Aspek social politik Indonesia bergerak dari sentralisasi kearah desentralisasi, kehidupan politik dan masyarakat semakin demokratis, kebebasan berpendapat dan berserikat semakin berkembang, dan pers semakin kokoh. Aspek kultural ditunjukan dengan adanya perubahan perilaku masyarakat termasuk dalam berkonsumsi. Semakin deras aliran informasi antar bangsa dan semakin intensnya komunikasi yang terjadi baik dalam sekala nasional maupun internasional.11 Maka pemerintah daerah meski waspada dan mengutamakan prioritas pendidikan melalui program pencapaian tingkat pendidikan yang mudah, akses informasi dan komunikasi bagi yang lemah (miskin), muncul keterbukaan publik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan secara merata dan berkesinambungan. Perubahan yang begitu cepat harus diimbangi dengan perubahan paradigma masyarakat, globalisasi yang menyeluruh memaksakan kehendak perubahan untuk tetap melangkah maju. Kondisi ini jelas tidak berpihak pada masyarakat yang kurang mampu, maka kebijakan pendidikan yang berpihak kepada masyarakat miskin perlu diaktualisasikan dalam ranah otonomi pendidikan. Keterbatasan ekonomi tidak menjadi penghalang bagi pencapaian tingkat pendidikan masyarakat miskin. Justru bergulirnya otonomi pendidikan dapat menjawab kebuntuan dan kebekuan pendidikan, 11
Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, h. 3.
Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi|
213
termasuk memberikan solusi permasalahan biaya pendidikan dan memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang kurang mampu. Persoalan dalam lingkup otonomi pendidikan yang sering menjadi perhatian adalah ketersediaan sarana dan prasarana. Komponen sarana dan prasarana menjadi indikator eksistensi sekolah untuk mengembangkan pendidikan. Apabila ketersediaan sarana pendidikan terpenuhi, maka akan mempermudah proses pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Otonomi pendidikan memberikan peluang kepada lembaga pendidikan untuk memenuhi standarisasi sarana dan prasarana sekolah tertentu. Karena di beberapa daerah masih saja terdapat peserta didik yang tidak memiliki gedung (ruang kelas) untuk tempat belajar. Mereka belajar ditempat seadanya yang jauh dari standar dan kesempurnaan. Sarana dan prasarana pendidikan dianggap sebagai kebutuhan mendasar apabila lembaga pendidikan akan menyelenggarakan pendidikan. Otonomi pendidikan memberikan kesempatan untuk merehabilitasi ruang kelas tempat belajar peserta didik. Rehabilitasi ruang kelas pada tahun 2013 diharapkan menjadi paripurna, tahun 2013 tidak ada lagi bangunan pendidikan yang rusak atau tidak memiliki ruang kelas untuk belajar. Program rehabilitasi ruang kelas melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun 2012, diharapkan dapat merealisasikan kebutuhan dasar pembangunan gedung pendidikan sebagai sarana dan prasarana pendidikan. c. Keterbukaan Kesempatan Partisipasi Masyarakat Kita sadari bersama bahwa letak geografis Negara Indonesia sangat beragam dengan penghubung menggunakan jalur darat, laut dan udara. Berbagai jenis bentuk geografis yang tak sama menimbulkan kesenjangan dan tingkat perbedaan dalam komunikasi, koordinasi dan hubungan antar lembaga. Kesulitan yang bersifat geografis, menjadi bagian dari dinamika pembangunan infrasturktur, namun ini bukan menjadi masalah ketika strategi pembangunan yang digunakan mampu menjawab tingkat kesulitan dengan dibantu daya dukung potensi alamnya.
214
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Ketika persoalan sturktur belum final diselesaikan, maka kita dapat melihat bagian lain dari potensi kesadaran masyarakat dalam pelibatan secara langsung dalam pembangunan. Keterbukaan masyarakat dalam kesempatan partisipasi sosial, ikut andil dalam proses akselerasi informasi akan mempermudah jalinan komunikasi. Begitu juga dengan pemerintah, membuka kran demokrasi untuk memberikan kesempatan masyarakat untuk berperan aktif mengawal jalannya otonomi pendidikan. Karena sekalipun mengalami hambatan infrastruktur fisik pembangunan, termasuk masalah geografis, ketika masyarakat dan pemerintah memiliki kesadaran dan kemauan bersama membangun, maka akan melahirkan sinergi positif untuk percepatan informasi dan terbukanya kesempatan partisipasi masyarakat. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa masalah teknis infrastuktur akan mudah teratasi seiring tingkat partisipasi seluruh komponen lokal terlibat aktif dan konstruktif. Kemauan ini juga lahir dari kondisi dan pengaruh pendidikan masyarakat, kesadaran bahwa perubahan akan terus bergulir, maka masyarakat akan mempersiapkan kebutuhan mendatang, salah satunya menyiapkan pendidikan untuk generasi penerus. Penghitungan Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKraR) rasio Maret 2012, telah menggambarkan bahwa pendidikan menjadi tolok ukur bagi kehidupan sosial, utamanya indeks kesejahteraan sosial. Beberapa indeks yang ada dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), juga masuk dalam IKraR. Indeks ini dihitung dari tiga sektor yaitu bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi. IKraR juga dilihat dari tiga dimensi yaitu keadilan sosial, keadilan ekonomi, serta demokrasi dan pemerintahan.12 Dalam poin keadilan sosial, pendidikan menjadi salah satu ukuran penting dalam menilai kualitas sumber daya manusia yang dimiliki sebuah bangsa. Bahkan, ukuran ini juga digunakan dalam melihat kesejahteraan sebuah bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk suatu bangsa, maka kualitas bangsa tersebut juga semakin baik dalam mengelola potensi dan sumber daya yang dimiliki. Pada konteks itu, pengukuran dalam IKraR menggunakan Kemendikbud, Diakses Melalui Laman kemdikbud/berita/202, Pada 15 November 2016. 12
http://kemdikbud.go.id/
Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi|
215
rata-rata lama sekolah sebagai salah satu ukuran dalam menilai kualitas sumber daya manusia dalam aspek pendidikan. Penghitungan rata-rata lama sekolah menggunakan dua batasan yang dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara. Rata-rata lama sekolah memiliki batas maksimum 15 tahun dan minimum 0 tahun.13 Informasi diatas meneguhkan keyakinan bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas dan tolok ukur dalam menghitung tingkat kesejahteraan sosial. Semakin pendidikan meningkat maka semakin terbuka luas kesempatan masyarakat meningkatkan kesejahteraan sosial. Paling tidak dari sisi mentalitas dan paradigma yang digunakan akan semakin konstruktif dan memiliki kapasitas yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing. Jadi tidak salah, ketika masih ada sebagian masyarakat yang menganggap kurang penting pendidikan, karena memang mereka masih menggunakan tolok ukur kesejahteraan dengan kaya materi dari pada menyandang manusia berpendidikan. Selain karena persoalan finansial dan keterbatasan mereka untuk mengenyam pendidikan, paradigma bahwa tingkat pendidikan tidak berkorelasi positif dengan penambahan penghasilan untuk menjadi banyak materi masih berkecamuk menyelimuti masyarakat kita. Nah, disini otonomi pendidikan juga mempunyai pekerjaan sosiologis dan psikologis untuk membangun paradigma masyarakat yang berorientasi pada masa depan (futuristik). Paradigma diatas harus dibarengi dengan upaya konkret dalam pemenuhan kebutuhan lokal. Konsep basic need asessement (penilaian dasar kebutuhan) mesti diterapkan sebagai identifikasi kebutuhan untuk mencapai pemerataan yaitu dengan melakukan penggalian potensi dan kekayaan lokal; menyusun kebutuhan lokal secara mandiri; membangun kesadaran pendidikan masyarakat; pemenuhan infrastruktur dan sarana prasarana; penguatan orientasi dan hasil guna dari prioritas pembangunan terhadap implikasi lokal dan nasional.
13
Ibid.
216
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
2. Desentralisasi Pendidikan untuk Kesejahteraan Sosial a. Tujuan dan Cita-cita Bangsa Otonomi pengelolaan pendidikan ditujukan agar dapat diwujud-kan pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan yang lebih cepat dan tepat, efektif dan efisien, bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Seiring dengan itu otonomi pendidikan berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan yang selama ini ditentukan oleh pusat dilimpahkan menjadi wewenang pemerintah daerah. Dalam konteks otonomi pendidikan, secara alamiah pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah, sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan. Dalam pengertian otonomi pendidikan terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya pendidikan dilaksanakan secara demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa. Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang. Bowles dan Grintis menunjukkan adanya relasi antara sekolah dan ketidakadilan sosial atau antara sekolah dan reproduksi sosial. Argumennya adalah hampir semua kasus menunjukkan bahwa mayoritas anak-anak dari golongan kelas menengah atas akan masuk ke dalam golongan kelas sosial yang sama ketika mereka nanti beranjak dewasa. Hal ini terjadi karena anak-anak menengah atas punya kapital dan modal untuk mendapatkan pendidikan yang bagus dan fasilitas yang sangat memadai. Sementara anak-anak dari masyarakat bawah tidak atau jarang memiliki kesempatan untuk
Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi|
217
mendapatkan pendidikan seperti ini. Mayoritas mereka hanya memperoleh pendidikan yang pas-pasan dengan fasilitas yang tidak memadai. Dengan mendapatkan kualitas pendidikan seperti itu tentulah mereka ketika dewasa akan mendapatkan kesempatan yang besar untuk kembali ke kelas sosialnya semula.14 Otonomi pendidikan diorientasikan sebagai pencapaian tujuan dan cita-cita bangsa. Dalam kaitan ini, pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi idealisme semangat bersama menggapai tujuan bangsa. Otonomi pendidikan sebagai alat untuk memakmurkan masyarakat pada bidang pendidikan, yang ingin mengangkat harkat dan martabat bangsa, baik secara lokal, interlokal, nasional maupun di taraf internasional. Cita-cita bangsa tidak munking dapat diraih tanpa ada kerjasama dan transparansi dalam sistem kekuasaan lokal. Masyarakat harus turut serta dalam proses pengawasan (controlling) dalam setiap kebijakan pendidikan agar setiap yang dihasilkan dari kebijakan dapat optimal membangun kejayaan negeri mewujudkan cita-cita bangsa. b. Era Desentralisasi: Sebuah Tantangan Bangsa Krisis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia disebabkan oleh lemahnya sistem perekonomian, yang pada akhirnya berdampak pada kemampuan pemerintah dalam penyiapan dana yang cukup untuk keperluan pendidikan. Kondisi tersebut mengakibatkan menurunnya mutu pendidikan dan terganggunya proses pemerataan pendidikan. Pelaksanaan otonomi pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu: 1) Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota. 2) Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena sumber daya manusia M. Agus Nuryano, Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2008), h. 62. 14
218
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
(human resources) yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4) Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Barangkali inilah tantangan otonomi pendidikan ke depan, bahwa problem utama implementasi otonomi pendidikan adalah secara internal, yang menginginkan pencapaian tujuan pemerataan pendidikan. Problem internal ini mesti dipecahkan oleh stakeholder yang profesional dengan integritas dan kapabilitas yang tinggi. Stakeholder era desentralisasi mesti memiliki kepercayaan publik yang memang sudah teruji dan mampu membenahi kondisi riil masyarakat di daerahnya. Seperti yang pernah di stereotipekan bahwa munculnya desentralisasi khususnya otonomi bidang pembangunan, melahirkan “raja kecil” di daerah yang menjadi penguasa bagi daerahnya. Mereka memiliki otoritas kekuasaan yang bersifat lokal, yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan lokal. Maka apabila sang raja ini memiliki visi yang baik, maka realisasi otonomi pendidikan akan signifikan dan sebaliknya. Sebut saja disana kekuasaan Bupati, kekuasaan Sekretaris Daerah, Kebijakan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebijakan Kepala Sekolah sebagai pucut pimpinan masing satuan kerja struktural di daerah. Maka visi penguasa juga akan berimplikasi pada visi kelembagaan dan orientasi kebijakan yang dibuat. Selanjutnya Doni Koesoema A menambahkan catatannya, bahwa daerah atau lembaga pendidikan (sekolah) yang memiliki visi otonomi dalam masyarakat demokratis semestinya mengarahkan diri pada 2 (dua) sasaran yang berjalan secara seimbang, sebagaimana berikut:15 Pertama, otonomi pendidikan seharusnya memusatkan kinerja dan perhatiannya terutama pada dan bagi anak didik. Instansi yang terlibat dalam kerangka pendidikan, seperti sekolah, guru, orangtua, dan masyarakat, merupakan sebuah jaringan demi tujuan formasi anak didik. Karena itu, program pendidikan yang diusulkan, sistem kurikulum yang ditawarkan, penganggaran pendapatan dan belanja
15
Anonim, Otonomi (Pungutan) Pendidikan.,
Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi|
219
sekolah semestinya diarahkan pada satu tujuan bersama yaitu proses pembentukan (formasi) anak didik. Kedua, otonomi sekolah merupakan sebuah sintesis antara kebijakan makro (visi dan kebijakan Menteri Pendidikan tentang tujuan pendidikan nasional dan perangkat praktis ke arah sana) dan kebijakan mikro (sistem organisasi sekolah, pengayaan kurikulum, tanggung jawab sekolah atas program formasi, dan lainnya). Dalam level mikro inilah orangtua benar-benar dilibatkan dalam proses formasi anak didik dengan memberi masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih dan ditawarkan sekolah. Orangtua seharusnya menjadi partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan transparansi dijiwai semangat demokratis, keterbukaan, disertai kepekaan akan kebutuhan masyarakat lokal. c. Desentralisasi Walfare State
Pendidikan:
Dari
Pemerataan
Menuju
Ki Hajar Dewantara menjelaskan, pendidikan merupakan proses kebudayaan yang utuh. Ia tidak saja berurusan dengan pengajaran semata. Tetapi juga berurusan dengan bakat, psikologi, karakter, dan moral. Pendidikan juga tidak terbatas pada ruang formal dan non formal belaka, seperti sekolah dan tempat kursus. Pendidikan meliputi seluruh kehidupan di alam semesta yang dimulai dari keluarga.16 Sementara demokrasi dimaknai sebagai kekuasaan menjadi milik rakyat yang mempunyai kesempatan dalam menentukan arah pembangunan bangsa. Maka demokratisasi otonomi pendidikan menginginkan terciptanya masyarakat yang kondusif dengan pemerataan dalam segala bidang terutama pendidikan. Dengan pemerataan pendidikan diharapkan mampu mengangkat martabat bangsa menuju kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan negara. Hubungan antara demokrasi dan pendidikan sangat erat dan bersifat saling memberi dan saling membutuhkan. Menurut Dewey, pendidikan tanpa demokrasi akan menjadi kering, menjemukan dan merana. Demokrasi adalah sistem bentuk kehidupan social yang ditandai dengan kontak interaksi yang terbuka diantara Gatut Saksono, Pendidikan yang Memerdekakan, (Yogyakarta: Diandra Primamitra Media, 2008), h. 50. 16
220
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
warga masyarakat. Kontak-kontak interaksi ini memungkinkan setiap individu mendapatkan pengalaman yang tidak terbatas. Pengalaman yang diperoleh masing- masing individu ada hakikatnya merupakan pendidikan, sehingga masing-masing individu akan mampu mengembangkan pengalaman yang diperoleh dan dapat memperhitungkan pengalaman baru yang akan diperoleh sebagai hasil mendapatkan pengalaman sebelumnya. Tanpa kontak interaksi tidak akan ada pengalaman, dan tanpa pengalaman tidak ada learning. Dan berikutnya, tanpa ada learning kontak-kontak interaksi sosial sangat terbatas dan pada gilirannya akan membatasi terwujudnya demokrasi.17 Pemberlakuan desentralisasi pendidikan mengharuskan diperkuatnya landasan dasar pendidikan yang demokratis, transparan, efisien dan melibatkan partisipasi masyarakat daerah. Muctar Buchori menyatakan pendidikan merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan manusia, karena pendidikan berfungsi sebagai pengembang pengetahuan, keterampilan, nilai dan kebudayaan.18 Desentralisasi juga mesti mempertimbangkan prioritas kebutuhan lokal. Termasuk masalah yang masih akut adalah terkait kesejahteraan sosial, angka kemiskinan, sadar pendidikan, partisipasi masyarakat yang minim, jiwa kemandirian dan kepemimpinan serta karakter bangsa. Masalah kemiskinan ini berimbas kepada pendidikan, seperti diketahui sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih menyandang predikat miskin. Dengan mahalnya biaya pendidikan sementara masyarakat masih banyak yang miskin tentunya angka putus sekolah semakin meningkat. Disamping itu bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan sehari-hari seperti perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada keluarga yang meletakkan pendidikan sebagai kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anak mereka. Seharusnya pemerintah juga demikian. Apabila Indonesia ingin cepat 17 Zamroni, Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi, (Jakarta: PSAP, 2007), h. 46. 18 Anonim, Otonomi Pendidikan, Diakses Melaluui Laman http://pakguruonline. pendidikan.net/otonomi_pendidikan.html, Pada 13 November 2016.
Demokratisasi Otonomi Pendidikan di Era Desentralisasi|
221
maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan. Mestinya pendidikan sebagai pengembang pengetahuan, menjadi paradigma awal untuk memulai kesadaran mengenyam pendidikan. Persoalan kemiskinan tidak lagi menjadi alasan untuk putus sekolah, maka ketika masyarakat sadar pendidikan, parangai lain seperti karakter, partisipasi dan kesadaran kemandirian akan terbangun dengan sendirinya melalui penanaman nilai kehidupan menuju kesejahteraan sosial. D. Simpulan Prioritas otonomi pendidikan dalam era desentralisasi mesti menjadi agenda utama pemenuhan kebutuhan lokal. Selain pemenuhan infrastruktur dan sarana prasarana, kesadaran pendidikan juga perlu dibangun sebagai kekuatan pondasi awal membangun karakter bangsa. Demokratisasi otonomi pendidikan bukan monopoli lokal, namun menjadi gerbang komunikasi lokal dengan pusat, pemerintah lokal dengan grassroot sebagai subjek pembangunan. Upaya demokratisasi otonomi pendidikan dalam pelaksanaan otonomi daerah mesti dikawal, agar perjalanan menuju pendidikan yang berkualitas selalu terpenuhi. Otonomi pendidikan diimplementasikan melalui pembagian perimbangan kewenangan pusat dan daerah secara akuntabel; Pelibatan masyarakat untuk andil dalam kebijakan pendidikan ditingkat lokal, yang memungkinkan diatur dalam manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan; Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah menjadi prioritas dan tolak ukur tingkat keberhasilan otonomi pendidikan. Kekuasaan berpihak kepada masyarakat yang berkesempatan dalam menentukan arah pembangunan bangsa. Perubahan paradigma kebutuhan pendidikan menjadi prioritas dalam kacamata masyarakat yang akan membawa energi positif menuju terciptanya masyarakat yang kondusif dengan pemerataan di segala bidang terutama pendidikan untuk mengangkat harkat, martabat dan kepribadian bangsa menuju kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan negara[.]
222
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
DAFTAR PUSTAKA
A., Doni Kusuma, Otonomi Pungutan Pendidikan, Diakses Melalui Laman: http://www.unisosdem.org.otonomi-(pungutan)pendidikan, Pada 4 Januari 2013. Anonim, Otonomi Pendidikan, Diakses Melalui Laman: http:// pakguruonline.pendidikan.net/otonomi_pendidikan.html, Pada 3 Januari 2013. Djohar dan Assegaf, Abd. Rachman. Pendidikan Transformatif, Yogyakarta: Teras, 2010. Rosyada, Dede. Paradigna Pendidikan Demokratis, Jakarta: Kencana, 2007. Hamid Edy Suandi dan Malian, Sobirin. Memperkokoh Otonomi Daerah; Kebijakan, Evaluasi dan Saran, Yogyakarta: UII Press, 2004. Kemendikbud, Diakses Melalui Laman: http://kemdikbud.go.id/ kemdikbud/berita/202, Pada 4 Januari 2012. Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: al-Maarif, 1980. Mifta Sifana, Otonomi Pendidikan, Diakses Melalui Laman: http:// miftasifana.blogspot.com/2012/12/otonomi-pendidikan.8.html, Pada 3 Januari 2013. Sirozi, M. Politik Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 2000. Nuryano, M. Agus. Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Resist Book, 2008. Saksono, Gatut. Pendidikan Yang Memerdekakan, Yogyakarta: Diandra Primamitra Media, 2008. Zamroni, Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi, Jakarta: PSAP, 2007.