Problema Pendidikan Islam Di Era Otonomi Daerah Misbahul Munir ABSTRAKSI
In the 1945 Constitution, article 31, paragraph 4, has mandated that education is the responsibility of the state, thus matters relating to the financing of education is also the responsibility of government. However, the reality of the field shows that the realization of the government's responsibility in the financing of education cannot be done optimally. One reason is because the very vast area of Indonesia with the socio-cultural and demographic diversity. Not to mention the very large population, while the government's priority in the planning of the education budget has not been prioritized in the first place. One alternative form of government is to do the delegation of authority and division of management responsibilities to local government education. Moreover, regional autonomy has been introduced, so that the management policy of education is also accompanied by a decentralized system, although not entirely. Decentralization of education become very urgent as it pertains to three things, namely: (a) construction of democratic society, (b) the development of social capital, and (c) increasing the competitiveness of nations. To overcome these constraints, then the government issued various policies as mandated by the 1945 Constitution, among others, Law no. 2 of 1989 on national education system is then updated with the release of Law no. 20 of 2003, and confirmed by the Law no. 32 of 2004 on Regional Government. Legislation before the rules are crustaceans, actually has issued Law no. 23 of 1999 on Financial Balance between Central and Regional Government and Regulation no. 25 of 2000 on delegation of authority and the provincial government as an autonomous areas to organize and manage the interests of the public in accordance with statutory regulations. Keywords :
The Problem of Islamic Education in the Era of Regional Autonomy, the problems of Islamic education; Islamic education on regional autonomy.
Misbahul Munir, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Makhdum Ibrahim (STITMA) Tuban
PROBLEMA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA OTONOMI DAERAH
A. PENGERTIAN OTONOMI DAERAH Kata otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hukum atau aturan.1 Dalam konteks etimologis, Danuredjo2 mengartikan otonomi sebagai zelfwetgeving atau “pengundangan
sendiri”,
Koesoemahatmadja3
“perundangan sendiri”, dan Riant Nugroho
4
mengartikan
sebagai
mengartikan “mengatur atau
memerintah sendiri.” Lebih lanjut, Koesoemahatmadja5 mengemukakan, bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, selain mengandung arti “perundangan”, otonomi juga berarti “pemerintahan.” Secara konseptual, banyak konsep yang diberikan para pakar tentang otonomi. Wayong6 mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memlihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. S.H. Sarundajang7 berpendapat bahawa pada hakikatnya otonomi daerah adalah (1) hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom; (2) dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya di luar batas wilayah daerahnya; (3) daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain; dan (4) otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain. Kebijakan pemerintah yang mengatur Otonomi Daerah tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999, yang selanjutnya direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada UU No. 24 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) dikemukakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom di sini dimaksudkan adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari beberapa konsep di atas, otonomi daerah menunjuk kepada pada kemandirian daerah, dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengrus rumah tangganya sendiri tanpa atau meminimalisir adanya campur tangan atau intervensi pihak lain atau pemerintah pusat dan pemerintah di atasnya. Dengan otonomi tersebut, daerah bebas untuk melakukan improvisasi, mengekspresikan dan mengapresiasikan kemampuan dan potensi yang dimiliki, mempunyai kebebasan berpikir dan bertindak, sehingga bisa berkarya sesuai dengan kebebasan yang dimilikinya. Tentu saja kebebasan-kebebasan tersebut sejauh dalam koridor hukum perundang-undangan yang berlaku di negara ini. B. KETENTUAN PERUNDANGAN TENTANG OTONOMI PENGELOLAAN PENDIDIKAN Menurut Mark Olsen, John Codd, dan Anne-Marie O’Neil, dalam Tilaar (2008), kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi, bagi negara-negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi.8 Sebagai hal yang menyangkut kepentingan publik, maka kebijakan dibidang pendidikan harus sejalan dengan kebijakan publik. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4, telah mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, dengan demikian hal-hal yang menyangkut pembiayaan pendidikan juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, realita dilapangan menunjukkan bahwa realisasi dari tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum dapat dilakukan secara optimal. Salah satu penyebabnya adalah karena sangat luasnya wilayah Indonesia dengan kondisi sosio-kultural dan demografisnya yang sangat beragam. Belum lagi dengan jumlah penduduk yang sangat besar, sementara prioritas pemerintah dalam perencanaan anggaran belum memprioritaskan pada pendidikan di urutan pertama.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan pemerintah adalah melakukan pelimpahan wewenang dan pembagian tanggung jawab pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Apalagi otonomi daerah telah digulirkan, sehingga kebijakan pengelolaan pendidikan juga mengiringinya dengan sistem desentralisasi meskipun tidak sepenuhnya. 9 Bagi Tilaar, Desentralisasi pendidikan menjadi sangat urgen karena berkaitan dengan tiga hal, yaitu; (a) pembangunan masyarakat demokrasi, (b) pengembangan social capital, dan (c) peningkatan daya saing bangsa.10 Untuk
mengatasi
kendala-kendala
tersebut,
Maka
pemerintah
mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai amanat UUD 1945, antara lain UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional yang kemudian diperbaharui dengan keluarnya UU No. 20 tahun 2003, dan dikuatkan oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum aturan Perundangudangan tersebut, sebenarnya telah dikeluarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dan PP no. 25 tahun 2000 tentang pelimpahan wewenang pemerintahan dan propinsi sebagai daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam PP tersebut disebutkan adanya 7 hal yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, yaitu; (1) standar kompetensi siswa dan pengaturan kurikulum serta penilaian secara nasional, (2) standar materi pelajaran pokok, (3) gelar akademik, (4) biaya penyelenggaraan pendidikan, (5) penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa/mahasiswa, (6) benda cagar budaya, dan (7) kalender akademik.11 Kebijakan terakhir yang dikeluarkan pemerintah adalah UU BAdan Hukum Pendidikan (BHP) yang disahkan pada tanggal 17 Desember 2008. Meskipun demikian UU BHP ini masih menuai pro dan kontra serta belum dapat diterapkan karena belum dikeluarkan PP-nya.12 Berdasar PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, pada kelompok Bidang
Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah pusat meliputi hal-hal sebagai berikut;13 1.
Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya;
2.
Penetapan standar materi pelajaran pokok;
3.
Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik;
4.
Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan;
5.
Penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, serifikasi siswa, warga belajar, dan mahasiswa;
6.
Penetapan persyaratan peningkatan, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi;
7.
Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatn sumber arsip, dan monumen yang diakui secara internasional;
8.
Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah;
9.
Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional;
10. Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra indonesia. Sementara itu, kewenangan pemerintah otonom meliputi hal-hal sebagai berikut:14 1.
Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu;
2.
Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah;
3.
Membantu
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
selain
kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis; 4.
Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi;
pengaturan
5.
Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan, dan penataran guru; penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah,
kepurbakalaan, kajian sejaran dan nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah. C. PENGELOLAAN
MADRASAH
:
ANTARA
SENTRALISASI
DAN
DESENTRALISASI Secara harfiah, madrasah mengandung arti tempat terlaksananya proses pembelajaran. Dengan demikian, secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara foemal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi spesifik. Di madrasah seseorang memperoleh pembelajaran seluk beluk agama dan keagamaan, sehingga dalam pemakaiannya, kata madrasah lebih dikenal sebagai sekolah agama. Kata madrasah yang secara harfiah identik dengan sekolah agama diakui telah mengalami perubahan, walaupun tidak melepaskan diri dari makna asal sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.15 Seiring bergulirnya reformasi pada tahun 1998, terjadi perubahan besar dalam tata sistem pemerintahan. Sejalan dengan semangat reformasi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Revisinya yang tertuang pada UU No.24 Tahun 2004. Peraturan ini menjadi acuan pokok dalam tata hubungan antara
Pemerintah
pusat
dan
Daerah.
Hampir
seluruh
kewenangan
pemerintahan yang sebelum diundangkannya UU tersebut, berada di tangan Pemerintah Pusat kini dialihkan (dilimpahkan) ke Pemerintah Daerah dalam sebuah system baru yang selanjutnya dikenal secara umum sebagai Desentralisasi. Dalam UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 7 ayat (1) dinyatakan : “ Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama, serta kewenangan bidang lain. Selanjutnya pada Pasal 7 ayat (2) dijelaskan tentang kewenangan bidang lain sebagaimana dinyatakan, “… meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembanguan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, system administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional" Dari bunyi pasal tersebut di atas, secara jelas dinyatakan bahwa hanya lima bidang itu sebagaimana termaktub yang tidak berada dalam wewenang Pemerintah Daerah alias tidak diotonomikan (desentralisasi). Agama termasuk salah satu diantara lima bidang yang wewenangnya tidak diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Karena itulah, ketika banyak departemen sibuk melakukan restrukturisasi
dan perampingan serta menyerahkan
sebagian (besar)
pegawainya ke Pemerintah Daerah, Departemen Agama tidak melakukan hal yang sama.
sebaliknya, justru Departemen Pendidikan,--- karena alasan
amanat UU no. 22 Th 1999, bahwa pendidikan tidak termasuk salah satu dari lima bidang yang tetap menjadi wewenang Pemerintah Pusat---, menjadi ikut sibuk merestrukturisasi departemennya agar lebih ramping dan memindahkan sebagian besar pegawainya (terutama guru) ke Pemerintah Daerah. Hal ini karenakan pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 22 Th. 1999 dinyatakan : “Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.” Di lain pihak, Pasal 11 ayat (2) UU tersebut juga menyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah salah satu dari 11 (sebelas) bidang yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota.16 Untuk merespon UU No. 22 Tahun 1999 ini, pada tanggal 21 Nopember 2000 Menteri Agama telah mengirim surat bernomor MA/402/2000
kepada Mendagri yang isinya menyerahkan sebagian dari kewenangan yang ada pada Menteri Agama dalam bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan kepada
Pemerintah
Daerah.
Adapun
kewenangan
yang
diserahkan
menyangkut aspek-aspek: (1) Operasional Penyelenggaraan; (2) Penjabaran kurikulum; (3) Penyediaan tenaga pendidikan; (4) Penyediaan sarana dan prasarana; (5) Penyediaan Anggaran. Penyerahan wewenang tersebut, jika mengacu pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 22 Th. 1999, akan disertai pula dengan penyerahan segala asset (gedung, tanah, alat-alat kantor, dsb.) serta sumber daya manusia (guru dan pegawai) serta dana operasional yang selama ini diberikan ke madrasah.17 Tanggapan atas surat Menteri Agama tersebut amatlah beragam. Beberapa Kanwil Departemen Agama, secara tegas menolak dan meminta agar kebijakan ini di cabut, seperti Kanwil Depag Jawa Timur. Sementara Kanwil Jawa Tengah meminta agar penyerahan wewenang ini dalam kerangka dekonsentrasi, bukan desentralisasi, maka pihak Kanwil Depag Kalsel meminta para Kandepag agar memperjuangkan adanya Dinas Perguruan Agama Islam di tiap Kabupaten/Kota. Tanggapan serupa pun terjadi dilingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota. Sebagian Pemda ada yang menerima penyerahan wewenang tersebut (misalnya Madura dan beberapa Kabupaten/kota di Jawa Timur) namun beberapa Pemda lainnya menolak. Di Jawa Barat dilaporkan ada 15 Pemda Kabupaten / Kota yang positif menerima penyerahan wewenang tersebut dan memasukkan satu/dua sub-dinas dalam Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten/Kota, semntara 13 Pemda masih pikir-pikir, dan satu merasa keberatan. Menanggapi reaksi yang beragam ini, Departemen Agama mengambil sikap yang luwes (flexible). Dalam dengar pendapat DPR dengan Menteri Agama, dinyatakan bahwa keputusan pelimpahan wewenang pendidikan agama diserahkan sepenuhnya kepada Pemda. Dengan kata lain, bagi Pemda yang sudah siap menerima penyerahan Pendidikan Agama di daerahnya, maka Pendidikan Agama itu akan diserahkan oleh Depag kepada Pemda.
Sebaliknya, bagi Pemda yang berkeberatan atau belum siap untuk menerima penyerahan Pendidikan Agama di daerahnya, maka Pendidikan Agama itu akan tetap menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat.18 Sekilas meninjau historisitas kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan Islam yang berada dibawah naungan Departemen Agama, terlihat adanya tarik-ulur bagaimana sistem pendidikan tersebut dijalankan antara sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem Sentralisasi yang diterapkan sebelumnya, pendidikan Madrasah menghadapi berbagai macam kendala yang dapat digambarkan sebagai berikut : Pertama, perhatian pemerintah terhadap madrasah sangat minim dibandingkan perhatian mereka pada sekolah umum, misalnya dalam mengadakan sarana dan prasarana pendidikan bagi madrasah. Akibatnya, madrasah beroperasi dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas dan kurang. Ironisnya, pemerintah lebih banyak melakukan intervensi terhadap kehasan pendidikan madrasah, selain intervensi mereka terhadap kurikulum. Kedua, adalah masalah kesenjangan kesejahteraan guru madrasah dan sekolah umum pun tidak terselesaikan. Guru yang berada di bawah Depag tidak mendapat bantuan seperti guru sekolah umum lain, terutama guru madrasah swasta. Guru-guru madrasah negeri juga tidak sedikit mengalami masalah karena banyak yang belum naik kepangkatannya, meski sudah puluhan tahun mengabdi. Terjadinya ketidakseimbangan dalam proses menjalankan kebijakan di bidang pendidikan menyebabkan jurang kesenjangan dan ketimpangan antara lembaga pendidikan umum dengan madrasah terus terbuka, termasuk adanya anggapan madrasah hanya sebuah lembaga pendidikan kelas dua alias tidak memiliki kesesuaian standar kualitas mutu pendidikan.19 Ketiga, keterbatasan gerak inovasi dan modifikasi kurikulum untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kebijakan kurikulum yang dikendalikan oleh pusat. Padahal masalah kurikulum menjadi hal yang signifikan dalam menjawab perubahan kondisi sosial-budaya di
lingkungan madrasah itu berada, dan kenyataannya, entah karena beban berat yang disandangkan dalam kurikulum madrasah, secara makro, atau karena kurangnya perhatian pemerintah (tidak sebagaimana pada pendidikan/sekolah umum), terjadi kesenjangan prestasi antara madrasah dan sekolah umum. Gambaran singkat diatas menunjukkan bahwa sentralisasi madrasah menjadi penyebab terhadap rendahnya kualitas madrasah. Mengatasi persoalan yang muncul sebagai dampak kebijakan pengelolaan yang masih sentralistik adalah
desentralisasi
madrasah.
Mencermati
filosofi
dan
ide
dasar
digulirkannnya kebijakan otonomi pendidikan, madrasah juga diotonomikan pengelolaannya sebagaimana sekolah umum. Dengan otonomi madrasah, diharapkan permasalahan madrasah bisa diminimalisir, bahkan, kalau bisa, dieliminir serta secara gradual, kualitas madrasahpun bisa ditingkatkan. Dengan desentralisasi, madrasah bisa mengembangkan kekuatankekuatannya yang selama ini tereliminir oleh kekuatan-kekuatan pusat. Secara umum, gambaran desentralisasi madrasah akan membawa dampak positif sebagai berikut: Pertama, madrasah akan dianggap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, dan dengan pengakuan tersebut madrasah akan mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah lainnya, baik dalam hal alokasi dana maupun kebijakan pengembangan lainnya. Kedua, kepala madrasah dan guru akan dapat mengembangkan sumber daya yang ada dan mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan masayarakat. Persoalan yang terkait dengan masayarakat dan sekolah akan dapat diselesaikan dengan segera karena struktur yang ada sudah sangat pendek.20 Ketiga, iklim akademik akan tumbuh dengan baik karena adanya kebebasan sekolah dalam mengembangkan program dan sumber belajar. Masyarakat bisa langsung memberikan saran, kritikan, masukan, serta usulan kepada kepala sekolah untuk kemajuan dan kebaikan sekolah. Namun, beranggapan bahwa kebijakan sentralisasi pendidikan Madrasah secara keseluruhan memiliki kelemahan yang mendasar tidaklah
tepat karena pendekatan manajemen sentralistik dalam pendidikan Islam mempunyai posisi yang amat strategic dalam pengembangan kehidupan serta kohesi (keterpaduan) nasional. Tanpa adanya sentralisasi yang bersifat fundamental, maka perkembangan desentralisasi hanya akan melahirkan permasalahan baru yang krusial bahkan anarkhis. Salah satu wujud nyata dampak manajemen desentralisasi adalah kesenjangan dan ketidak-adilan pemerataan pendidikan di masing-masing daerah. Dengan demikian, Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, dalam pengelolaannya tetap mengacu pada kebijakan sentralisasi dalam hal yang bersifat fundamental, seperti berkenaan Standar Isi Kurikulum, SKL dan Kompetensi Dasar pendidikan Agama. Adapun hal-hal yang terkait dengan operasional
teknis
ataupun
kebijakan
yang
parsial
dapat
dilakukan
deseantralisasi. D. PROBLEMA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA OTONOMI DAERAH Banyak orang beranggapan bahwa pelaksanaan otonomi daerah memberikan harapan pada perbaikan penyelenggaraan pendidikan yang pada gilirannya meningkatkan kualitas outputnya. Namun ternyata harapan itu menghadapi berbagai tantangan salah satunya adalah ketidaksiapan sumber daya sehingga menghambat peningkatan mutu pembelajaran dan upaya-upaya inovasi. Beberapa problema yang ada dapat digambarkan sebagai berikut: 1.
Akuntabilitas madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat masih rendah.21
2.
Manajemen madrasah yang masih kurang bermutu, terutama pada madrasah-madrasah swasta.
3.
Rendahnya kemampuan sumber daya manusia, baik tenaga pendidik maupun tenaga administratif.22
4.
Madrasah-madrasah di pedalaman masih belum memiliki sarana-prasarana yang memadai.23
5.
Penggunaan
sumberdaya
tidak
optimal
yang
diakibatkan
oleh
ketidakmampuan SDM. Juga bisa karena kurang tepatnya bantuan
sumberdaya yang diberikan pemerintah yang disebabkan rendahnya kepercayaan kepada madrasah selama ini, dimana pemerintah pusat seringkali mengasumsikan berbagai alat, bahan dan input pendidikan lainnya yang dibutuhkan sekolah; mengadakan dan mengirimkannya ke sekolah. Cara lain adalah memberikan anggaran kepada sekolah yang sebagian besar atau seluruhnya sudah ditentukan untuk pembelanjaan alat, bahan, atau input pendidikan tertentu sesuai dengan asumsi pusat. Sayangnya, asumsi tersebut seringkali keliru, sehingga penggunaan sumberdaya yang sangat terbatas itu menjadi sangat rendah dan mendekati mubazir. 6.
Partisipasi masyarakat masih rendah.
7.
Madrasah
tidak
mampu
mengikuti
perubahan
yang
terjadi
di
lingkungannya
E. KAJIAN KRITIS UNTUK MENCARI JALAN KELUARNYA Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil
harus selalu dipertanggungjawabkan
kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang. Berangkat dari ide otonomi pendidikan, muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, antara lain: 1) Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah24 Menurut Wardiman Djojonegoro, bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut : a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar yang harus dikuasai dengan tujuan dan
sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar; b) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya; dan c)
hasil pendidikan sesuai atau
relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja. Menghadapi kondisi ini maka dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya. Menurut penelitian Simmons dan Alexander bahwa ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran, dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal. Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan secara bersama-sama; salah satu tujuan UU Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan. 2) Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara PusatDaerah menyangkut pengelolaan pendapatan dan penggunaannya untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka
memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang sah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 3) Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan Pada era otonomi, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala pemerintahan daerah, kota diberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah. 4) Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokohtokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai mitra berpikir untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih
banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. 5) Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah Pemerintah Pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah. Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakankebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standar mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator, bukan regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisien.
F. PENUTUP Kompleksitas porblematika pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, sangatlah rumit. Satu problem bisa memunculkan problem yang. Bahkan beberapa penyelesain, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak sekolah,
justru
melahirkan
problem
baru
yang
juga
membutuhkan
penyelesaian. Hal ini menunjukkan bahwa suatu bentuk problem solving yang memang betul-betul mengatasi masalah tanpa masalah masih sangat dibutuhkan. Dari uraian di atas, problematika pendidikan Islam pada otonomi daerah dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Akuntabilitas madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat masih rendah.
2.
Manajemen madrasah yang masih kurang bermutu, terutama pada madrasah-madrasah swasta.
3.
Rendahnya kemampuan sumber daya manusia, baik tenaga pendidik maupun tenaga administratif.
4.
Madrasah-madrasah di pedalaman masih belum memiliki sarana-prasarana yang memadai.
5.
Penggunaan
sumberdaya
tidak
optimal
yang
diakibatkan
oleh
ketidakmampuan SDM. Partisipasi masyarakat masih rendah. 6.
Madrasah
tidak
mampu
mengikuti
perubahan
yang
terjadi
di
lingkungannya Sedangkan alternatif penyelesaian masalah-masalah tersebut yang coba ditawarkan adalah: 1) Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah 2) Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah 3) Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan 4) Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat 5) Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah
CACATAN KAKI 1
2
3
4
5 6 7
8
9
10 11 12 13
14
15
16
17
18 19
20 21
22
23
24
Abdurrahman, Beberapa Pemikiran tentang Otonomi Daerah (Jakarta: Media Sarana Press, 1987), 9. Danuredjo, Otonomi Indonesia Ditinjau dalam Rangka Kedaulatan (Jakarta: Penerbit Laras, 1977), 12. Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan di Daerah di Indonesia (Bandung: Binacipta, 1979), 9. D. Riant Nugroho, Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2000), 46. Koesoemahatmadja, 9. Wayong J., Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979), 16. S.H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 34. H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; Pengantar untuk Memehami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 267. http://imamsolo.blogspot.com/2009/01/implikasi-uu-bhp-terhadap-pengembangan.html (diakses tanggal 20 Desember 2010). H.A.R. Tilaar,Membenahi Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),20. E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Rosdakarya, 2002), 194-214. http://imamsolo.blogspot.com/2009/01/implikasi-uu-bhp-terhadap-pengembangan.html PP Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (3) Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom PP Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 3 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom A. Malik Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam (Jakarta Timur: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999), 87. Sebelas bidang tersebut meliputi : 1) Pelayanan umum; 2) pertahanan; 3) Ketertiban dan Keamanan; 4) Ekonomi; 5) Lingkungan Hidup; 6) Perumahan dan Fasilitas Umum; 7) Kesehatan; 8) Pariwisata dan Budaya; 9) Agama; 10) Pendidikan; 11)Perlindungan Sosial. Lihat Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia (Kediri : STAIN Kediri Press, 2009), 199. Arif Furchan, Pendidikan Agama di Era Otonomi Daerah dalam http://www.pendidikanislam.net/ index.php/makalah/41-makalah-tertulis/298-pendidikanagama-di-otonami-daerah (diakses tanggal 20 Desember 2010) Ibid., Abd. Hamid Wahid, Sentralisasi Madrasah; Menafikan atau Menguatkan? Dalam Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Edisi Juli-September 2008 (Jakarta: PusLitbang Pendidikan Agama Dan Keagamaan Balitbang dan Diklat Depag RI), 24-25. Ibid, 25. Indra Djati Sidi, Sekolah Sebagai Pemegang Otonomi Pengelolaan Pendidikan dalam Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan, Vol. 3, No. 1/2001, 42. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), 45. Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 60. Marihot Manulang, Otonomi Pendidikan dalam http://www.hariansib.com/index. php?option=com_content&task=view&id=8202&Itemid=9 (diakses tanggal 8 Desember 2010)