1
PENGELOLAAN PENDIDIKAN MADRASAH DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh : H. Sutrisno Rachmat*)
Abstract Madrasah as Islamic educational institutions attended, grow, and evolve with the entry and development of Islam in the archipelago had developed in tune with the development of this nation, from the traditional form of recitation in the houses, mosques, as to the form of formal education and modern institutions as it is known today. Development of madrasah in Indonesia quite rapidly influenced by Islamic tradition in the Middle East has taught modern era the religious sciences and public, as well as modern education system which was brought by the Dutch. Since the enactment of Law No. 2 of 1989 to Act No. 20 of 2003 on National Education System, the school has shown a lot of progress, even some madrassa used as a model has adequate educational facilities such as learning centers, laboratories, libraries, and so on. The teachers also have improved competence through a variety of education and training both domestically and abroad. CBM (Community Based Management) which is characteristic of madrasah, would be authorized management madrasah (School Based Management ) that management education is done autonomously, then the era of regional autonomy, decentralization in madrasah could be interpreted as a form of repositioning them better. Madrasah will be able to survive in accordance identity, as a community based educational institutions, and education that promotes the expansion of the knowledge required students to continue higher education, and or to live in the community, as well as religious education that prepares students to be able to perform the role which requires the mastery and use of the values of Islam. Repositioning madrasah is a consequence of the basic principles of local autonomy as well as respond to changes to the centralized system of autonomy, deconcentration, and decentralization. Rationalization of thought of this school relates directly to the system of government in accordance with Law No. 22 of 1999 and Act No. 25 of 1999 on Regional Government, deemed it necessary that the implementation of policies established primarily private madrasah is still being done by the community. Several things about the organization of education is the responsibility of the government in this case is a local government district, especially in the finance, human resources and infrastructure, as the authority owned. While the preparation and development of teaching materials that is the substance of Islamic religious and still managed by the community under the guidance and supervision of the Ministry of Religious Affairs. Through this paradigm change, as well as the consistency of the local government to do a fair and not discriminative, it is expected that especially private madrasah able to be in the competition place oriented to the quality of the product, and no longer well on the less of infrastructure. Key words: Education, Islamic Shool, Regional otonomy
_______________________________
*)H. Sutrisno Rachmat adalah tenaga pengajar pada STITMA Tuban
2
PENDAHULUAN Madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang telah hadir, tumbuh dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara ini.Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa Indonesia, semenjak masa kesultanan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan.Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan madrasah dari bentuk tradisional pengajian di rumah-rumah, mushala, masjid, dan kemudian kebangunan sekolah modern seperti yang kita kenal saat ini. Demikian pula dari segi materi pendidikan dari yang semula hanya belajar mengaji Al-Qur’an kemudian ditambah dengan pelajaran ibadah praktis, pengajaran tauhid, hadis, tafsir, tarikh Islam dan bahasa Arab, kemudian masuk pula pelajaran pengetahuan umum dan keterampilan. Dari segi jenjang pendidikan, telah terjadi pula perkembangan dari jenjang belajar mengaji alQuran, kejenjang pengajian kitab tingkat dasar dan kitab tingkat lanjut, kemudian berubah ke jenjang Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah. Pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia,cukup pesat dipengaruhi oleh tradisi madrasah di Timur Tengah masa modern yang sudah mengajarkan ilmu-ilmu agama dan umum, serta sistem pendidikan yang dibawa oleh Pemerintah Belanda. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam waktu itu, pada dasarnya bersifat menekan dan membatasi karena kekhawatiran akan munculnya militansi kaum muslimin terpelajar. Kebijakan inilah yang memicu beberapa madrasah dan pesantren mengisolir diri dari intervensi ”dunia luar” dengan tetap mengajarkan hanya pelajaran agama, namun sekelompok yang lain melihat banyak hal yang menarik dari sistem ”sekolah Belanda”, sehingga menimbulkan gagasan membuka sekolah seperti sekolah Belanda dengan tambahan pelajaran agama, dan ada juga madrasah yang menggunakan pola sekolah dengan tambahan pelajaran umum. Upaya yang terakhir inilah yang oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya modernisasi madrasah (pendidikan Islam). Pada perkembangannya, madrasah ingin menegaskan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan modern berbasis keagamaan.Pemrakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi organisasi “modernis" Islam seperti Jami’at Khair, Al Irsyad, dan Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, pendirian lembaga pendidikan Islam ini menjadi inspirasi bagi hampir semua organisasi dan gerakan Islam, seperti Nahdlatul
3 Ulama, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al Washliyah, Matlaul Anwar, dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) dengan corak dan ciri khas masingmasing. Adopsi gagasan modernisasi pendidikan Islam ini, pada awalnya setidaknya ditandai oleh dua kecenderungan organisasi organisasi Islam dalam mewujudkannya yaitu: Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh. Usaha ini melahirkan sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan tambahan pengajaran agama Islam. Kedua, munculnya madrasah madrasah modern, yang memakai sistem sekolah dan fokusnya tetap pada pengajaran agama dengan tambahan pelajaran umum.Kedua bentuk usaha ini terus berlanjut.Satu sisi terdapat sistem dan kelembagaan "sekolah Islam" yang sebenamya sekolah umum dengan memasukkan pengajaran agama. Kelompok inilah nantinya melahirkan sekolah umum Islam seperti SR Islam (SD Islam), SMP Islam, SMA Islam diikuti nama organisasinya. Di sisilain ada sistem dan kelembagaan "madrasah" yang menggunakan pola sekolah dan tetap menitik beratkan pengajaran agama, namun dengan tambahan pelajaran umum. Kelompok inilah yang melahirkan MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah) seperti yang kita kenal saat ini.Pengembangan terus berjalan termasuk memperoleh pengakuan dari pemerintah bahwa madrasah adalah bagian dari lembaga pendidikan nasional yang harus diakomodir oleh institusi pemerintah bidang pendidikan nasional.Hal ini merupakan hasil dari perencanaan yang dibuat oleh pimpinan madrasah dalam menyetarakan madrasah dalam pendidikan nasional. Dengan perencanaan yang pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang sistematis mengenai apa yang akan dicapai, kegiatan yang harus dilakukan, langkah-langkah, metode-metode, pelaksana (tenaga) yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kegiatan pencapaian tujuan (Burhanuddin, 2002: 32). PEMBAHASAN Madrasah di Era Otonomi Daerah Bagaimana
madrasah di
era
otonomi
daerah
seperti
sekarang
ini?
Pengembangan Madrasah yang dilakukan sejak diberlakukannya UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menunjukkan banyak kemajuan. Menurut Hasbullah, ada beberapa indikator yang menunjukkan hal itu, misalnya kondisi fisik madrasah (terutama negeri) sudah banyak yang bagus, bahkan ada beberapa
4 madrasah yang dijadikan model dilengkapi dengan sarana pendidikan yang memadai seperti pusat belajar, laboratorium, perpustakaan dan sebagainya. Guru-guru madrasah juga telah ditingkatkan kompetensi dan kemampuannya melalui berbagai pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun di luar negeri.Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 hingga Undang-Undang Nomor20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan madrasah telah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.Oleh karena itu, visi pendidikan madrasah tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional. Tidak disangkal bahwa pendidikan Islam diantaranya madrasah, lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan madrasah pada hakikatnya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat secara demokratis. Meskipun dalam perkembangannya madrasah dikelola oleh yayasan, pengurus, bahkan perorangan, kehidupan madrasah tetap ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya.Ketika banyak pihak berbicara tentang strategi pendidikan dengan pendekatan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat, madrasah khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah memiliki pengalaman dan sejarah panjang mengenai hal tersebut. Inilah kekuatan utama yang dimiliki oleh madrasah. Selanjutnya, CBM (Community Based Management) akan bermuara pada manajemen madrasah (School Based Management) yakni pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh madrasah secara otonom. Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 1 ayat (5), dikemukakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom yang dimaksud disini adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehadiran UU Nomor 32 tahun 2004 (dimulai dengan UU Nomor 29 tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah, dimana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerinta Daerah, memungkinkan daerah untuk melakukan kreasi, inovasi dan improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Berubahnya kewenangan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan mengandung pengertian terjadinya pelimpahan
5 kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri yang dihadapi di bidang pendidikan.Desentralisasi pendidikan diterapkan untuk peningkatan mutu pendidikan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa dampak positif atas kebijakan desentralisasi pendidikan, meliputi: a) peningkatan mutu;
b) efisien keuangan;
c) efisiensi administrasi;
dan d)
perluasan/pemerataan ( (Kompas: 11 September, 2000). Dengan demikian, keberadaan otonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau
mempunyai
sendiri.Kemudian
hak/kekuasaan/kewenangan istilah
otonomi
ini
untuk
berkembang
membuat menjadi
peraturan
“pemerintahan
sendiri”.Dalam artian pemerintahan sendiri ini berarti mulai dari peraturan, perundangundangan dan pelaksanaan dilakukan sendiri oleh daerah yang mempunyai kewenangan tersebut (Josef Riwu Kaho, 1991: 14). Mengenai bidang pendidikan khususnya pendidikan Islam seperti madrasah, maka dengan bergulirnya UU tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian berlanjut pada otonomi pendidikan,dalam political decentralization, kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak, sedangkan dalam administrative decentralization, kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas yang pelaksanaan tugas pendidikannya dilakukan di daerahnya (Makmuri, dkk, 2003: 2). Dengan desentralisasi ini maka keberadaan madrasah bisa dimaknaisebagai bentuk reposisi madrasah. Hal ini karena madrasah merupakan community based education. Oleh sebab itu, di era otonomi daerah dan otonomi pendidikan, reposisi kelembagaan Islam dalam hal ini madrasah, ditujukan pada berkembangnya identitas lembaga tersebut yang pada akhirnya akan melahirkan pribadi peserta didik yang mempunyai identitas karena pembinaan madrasah dengan ciri khas yang dimilikinya. Bertolak dari arah baru tersebut, menurut hemat penulismaka pemberdayaan madrasah dapat dilaksanakan melalui: (1) pemberdayaan manajemen, yang meliputi pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola pendidikan seperti: Pengurus Madrasah, Kepala Madrasah, Pengawas, guru, serta tenaga administrasi, dan tenaga kependidikan lainnya, untuk siap mengembangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); (2) pemberdayaan sistem, dari top down ke bottom up, atau dari sentralisasi ke desentralisasi; (3) pemberdayaan kebijakan, yaitu dengan tidak membuat kebijakan yang memarjinalkan madrasah; dan (4) pemberdayaan masyarakat,yakni untuk ikut serta menjadi bagian inti dalam pemberdayaan madrasah. Cara yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan peransertamasyarakat danstakeholder lainnyadalam upaya mengembangkan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di madrasah.Oleh karena itu, daerah diberi kesempatan membuat grand design yang secara kontekstual sesuai dengan kondisi wilayahnya.Sejalan dengan desentralisasi pendidikan pada daerah tingkat
6 II (Kabupaten dan Kota) yang memiliki kewenangan untuk menggarap pengembangan pendidikan sesuai dengan konteks, potensi, dan kebutuhan masyarakat di daerah tersebut(Ishartiwi, dkk, 2002: 2) Atas pandangan tersebut, maka dapat diharapkan bahwa madrasah akan survive sesuai dengan jatidirinya, yaitu sebagai: (1) lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat, yakni menyelenggarakan pendidian berdasar kekhasan agama Islam serta sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat Islam, sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat Islam; (2) pendidikan umum, yakni pendidikan dasar (MI &MTs) dan menengah (MA) yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, dan atau untuk hidup di masyarakat; dan (3) pendidikan keagamaan, yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peran yang menuntut penguasaan dan penggunaan nilai-nilai ajaran agama Islam. Dengan adanya otonomi madrasah ini diharapkan madrasah memiliki kewenangan otonomi yang lebih besar dalam mengelola madrasahnya, sehingga madrasah bisa lebih mandiri.Untuk itu dalam kemandirian ini, madrasah banyak diberikandorongan untuk memberdayakanpengembangan programprogram yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.Dalam pengambilan keputusan bersifat partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, yang nantinya rasa memiliki warga madrasah terhadap madrasah bisa semakin meningkat.Peningkatan rasa memiliki ini yang akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab dan peningkatan dedikasi warga madrasah terhadap madrasah yang ada didaerahnya. Inilah esensi pengambilan keputusan partisipatif (Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Sekolah Lanjutan Pertama, 2001: 3).
Berdasar pandangan diatas, berarti secara kultural, desentralisasi dimaksudkan untuk memperhatikan kekhususan, keistimewaan suatu daerah, seperti geografis, kondisi penduduk, perekonomian, kebudayaan.Dari segi pembangunan, desentralisasi diharapkan dapat memperlancar formulasi dan implementasi program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.Hal ini yang membedakan antara sentralisasi dan desentralisasi. Pendidikan yang sentralistik menjadikan kinerja pendidikan cenderung memperlakukan peserta didik dan guru sebagai robot, inhuman dan impersonal.Sebagai hasil akhirnya, beberapa lulusan tidak kreatif dan lemah kemandiriannya setelah terjun di masyarakat dan dunia kerja.Pada tingkat makro kinerja
7 madrasah cenderung korporatis, dimana standar guru, kurikulum, fasilitas, dan prosedur proses pembelajaran ditentukan oleh kantor pusat(Danim, Sudarmawan, , 2003: 14). Kalau dari kepentingan pusat, berarti keberadaan desentralisasi mampu mengatasi kelemahan pemerintah pusat dalam mengawasi program-programnya.Untuk itu, sudah saatnya masyarakat berperan aktif, apalagi saat ini sudah digulirkan kebijakan otonomi daerah, dimana kemampuan dalam mengelola tata kehidupan suatu masyarakat tidak lagi bersifat
sentralistik,
termasuk
juga
dalam
hal
manajemen
pengembangan
madrasah.Modal sosial yang dimiliki madrasah merupakan aset utama bagi peningkatan mutu madrasah.Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa social capital,yakni kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan-tujuan bersama dalam berbagai kelompok organisasi (Fukuyama, Francis, 2002: 12). Sebagaimana diketahui, bahwa munculnya kebijakan tentang desentralisasi pendidikan, merupakan implikasi dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Dengan demikian, kebijakan desentralisasi pendidikan berarti merupakan peluang yang sangat berharga bagi madrasah, karena dengan sendirinya madrasah dikembalikan kepada habitatnya.Persoalan yang muncul ketika madrasah mereposisi diri atau kembali ke habitatnya setelah berlakunya desentralisasi pendidikan adalah berkaitan dengan intensitas pemberdayaan masyarakat.Hal ini cukup beralasan karena masyarakat mempunyai peran strategis dalam meningkatkan pendidikan, termasuk madrasah, dan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengelolanya.Namun kesempatan untuk menjalankan amanah desentralisasi pendidikan tersebut pada kenyataannya masih jauh dari yang diharapkan, maka mau tidak mau optimalisasi pemberdayaan masyarakat harus diwujudkan.Untuk itu dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan memerlukan adanya the stakeholder society, yang keberadaannya perlu diformulasikan secara sederhana, dengan begitu sebagai masyarakat yang para anggotanya mempunyai kepentingan bersama untuk membangun masyarakatnya sendiri. Terdapat lima pemain dalam the stakeholder society, yaitu: 1) Masyarakat lokal; 2) Orang tua; 3) Peserta didik; 4) Negara; 5) Pengelolaprofesional pendidikan (Sumarto, Feita Sj, 2003): 14) Maka sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat, dikeluarkanlah Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Komite Sekolah/Madrasah. Perlu diingat, bahwasanya partisipasi masyarakat
8 lebih banyak bersifat dukungan input (dana), bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas) (Waterman, 1988: 2). Komite Sekolah/madrasah berkedudukan di setiap satuan pendidikan, dan untuk penamaan badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, seperti : Komite Sekolah, Majelis Madrasah, Majelis Sekolah, Komite TK atau nama lain yang disepakati. Sementara itu, tujuan dari Komite Sekolah/Madrasah adalah : (1) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan; (2) meningkatkan tanggungjawab dan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; dan (3) menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. Tujuan pertama dan kedua Komite Sekolah di atas, jelas sekali dapat dipahami bahwa sebenarnya masyarakat mempunyai ruang aspirasi yang harus tertampung oleh Komite Sekolah atau Majelis Madrasah, karena mereka adalah (juga) bertanggungjawab atas kelangsungan penyelenggaraan pendidikan. Karena itu, dalam pasal 56 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa di masyarakat ada Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah atau Komite Madrasah, dimana “masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dankomite sekolah atau madrasah”. Dengan demikian, penerapan desentraslisasi perlu disertai dengan penataan fungsi kelembagaan pendidikan mulai dari Dinas Pendidikan di tingkat Provinsi sebagai pihak yang mempunyai kewenangan dalam perumusan kebijakan, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sebagai operasional kebijakan dan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan yang berfungsi sebagai pengontrol terhadap kualitas pengembangan profesional guru (Feurstain, 2000: 1). Reposisi Madrasah Reposisi keberadaan madrasah adalah sebuah konsekuensi prinsip dasar otonomi daerah sekaligus merespon adanya perubahan sistem pemerintah RI dari sentralisasi kepada otonomi, dekonsentrasi, dan desentralisasi. Rasionalisasi pemikiran tentang madrasah ini berkaitan lansung dengan sistem pemerintah kedepan sesuai
9 dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999,memandang perlu ditetapkan kebijakan bahwa: 1)
Penyelenggaraan madarasah terutama swasta tetap dilakukan oleh masyarakat. Beberapa hal mengenai penyelengaraan pendidikan menjadi tanggungjawab pemerinahan dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten/kota, terutama pada aspek pembiayaan, ketenagaan dan sarana prasarana, sesuai kewenangan yang dimiliki. Sedangkan penyiapan dan pengembangan materi pembelajaran yang bersifat substansikeagamaan dan ciri khas keislaman tetap dikelola oleh masyarakat di bawah pembinaan dan pengawasan Kementerian Agama.
2)
Pembinaan manajemen penyelengaraan pendidikan, terutama madrasah swasta dilakukan oleh pemerintah daerah dibawah tanggungjawab Bupati/Walikota, sedangkan Kementerian Agama Kabupaten/Kota memiliki tugaspembinaan, pengendalian dan pengawasanberkenaan dengan substansi materi pendidikan agama dan pendidikan keagamaan di semua tingkat dan jenjang pendidikan. Melalui perubahan paradigma ini, sekaligus dengan konsistensi pemerintah
daerah untuk berbuat adil dan tidak diskriminatip, maka diharapkan madrasah terutama swasta mampu berada pada arena persaingan yang berorienasi kepada kualitas produk, dan tidak lagi berkutat pada kurangannya sarana prasarana dan tenaga yang ada.Disinilah pentingnya otonomi pendidikan, bahwasanya “otonomi pendidikan idealnya harus sampai pada tingkat sekolah/ unit kerja.”Dalam hal ini kepala sekolah/ madrasah, guru, tenaga administrasi dan tenaga pelaksana kependikan lainnya, yang akhirnya diberi tanggung jawab besar untuk melaksanakan otonomi tersebut(Hasbullah, 2006: 108) Berdasarkan kalkulasi sosial budaya masyarakat Indonesia pada umumnya,
madrasah yang mampu melaksanakan otonomi seperti diatas maka keberadaan madrasahakan lebih mudah diterima dan mendapat dukungan dari masyarakatnya. Disisi lain, dinamika yang terjadi di kalangan umat islam akan dengan mudah diserap oleh madrsah terutama dinamika dibidang ilmu pengetahuan, sebab madrasah mendapat kontrol langsung dari masyarakat pendukungnya. Sebagai institusi pendidikan yang bernafaskan agama, maka madrasah harus bergerak
dalam
mekanisme
organisasi
yang
pengorganisasian dan penyelenggaraan sebagai berikut:
profesinal,
dalam
formulasi
10 1)
Pengorganisasian dan pengelolaan madrasah dalam arti penataan dan pengaturan seluruh
komponen
pendidikan
yang
memungkinkan
tercapainya
tujuan
institusional, secara bertahap dilimpakan kepada pihak madrasah (school based management), dan didukung oleh masyarakat(community based education), sehingga madrasah tidak terisolasi dari komunitasnya. 2)
Pengorganisasian dan pengeloaan madrasah diarahkan kepada terciptanya hubungan timbalbalikantara madrasah dan masyarakat dalam rangka memperkuat posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan.
3)
Struktur pengoranisasian dan pengelolaan madrasah bersifat fleksibel sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat madrasah.
4)
Pengelolaan madrasah dikembangkan melalui pendekatan profesional yang memungkinkan tumbuhdan berkembangnya segenap potensi madrasah, sehingga mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip School Based Management yang secara historis telah ada pada kultur madrasah.
5)
Pengelolaan madrasah bersifat terbuka dan demokratis. Pengelola diberi kesempatan untuk menumbuh kembangkan nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia(HAM) dalam membina tata hubungan kerja di madrasah.
6)
Manajemen madrasah diberi peluang yang memungkinkan terciptanya kerja sama dengan unsur dan unit kerja laindalam rangka peningkatan kualitas pendidikan.
7)
Pengelolaan madrasah perlu pengembangan konsep keterpaduan yang mencakup keterpatuan lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan ketebukaan.
8)
Pembinaan, pengawasan atau kontrol pengorganisasian dan pengelolaan madrasah menjadi tanggungjawab pemerintah daerah dalam hal ini bupati/walokota yang dilakukan
oleh
suatu
badan
atau
dewan
pendidikan/sekolah/madrasah
yangmemiliki kompetensi sebagai pendamping pengelola madrasah, sedangkan pembinaan dan pengawasan substansi pendidikan keagamaan (Islam) dilakukan oleh Kementerian Agama. 9)
Perlu dipersiapkan perangkat atau tindakan hukum bagi pihak-pihak yang melanggar
atau
menyimpang
dari
prosedur
dan
etika
pengelola
dan
pengorganisasian madrasah. 10) Perlu adanya upaya bersama untuk mengembalikan image madrasah sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan khas Agama Islam.
11 Untuk itu madrasah sebagai bagian dari pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkaan perkembangan potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab (Kemenag RI, 2006: 8) memiliki hak yang sama sertakesejajaran dalam berbagai hal dengan lembaga
pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional. Tidak Diskriminatip dan Timbal balik dalam Pengawasan Pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan berciri khas Islam, seharusnya madrasah juga tidak lepas dari pelaksanaan otonomi pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat, sehingga memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia. Menurut catatan Kementerian Agama jumlah MI sebesar 22.468 lembaga, 92,50% diantaranya swasta; MTs sebesar 14.757 lembaga, 90,26 %diantaranya diantaranya swasta; sedangkan MA sebesar 6.415 lembaga, 88.18% diantaranya swasta. Dari angka-angka ini dapat diinterpretasikan bahwa eksistensi madrasah terutama madrasah swasta di Indonesia sangatlah besar pengaruhnya dalammenentukan keberhasilan pendidikan nasional. Menguatnya aspirasi bagi otomisasi atau desentralisasi pendidikan tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya semasa Orde Baru yang mana proses pendidikan, kurikulum, metodologi pendidikan, merupakan pengejawantahan dari sistem kekuasaan atau merupakan upaya pelestarian kekuasaan Orde Baru pada saat itu. Diantara masalah dan kelemahan yang terjadi dalam konteks ini menurut Azyumardi Azra antara lain: Pertama, kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi, budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kedua, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu, seperti target kurikulum yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Dan perlu diperhatikan bahwasanya setiap madrasah memiliki budaya madrasah yang berbeda dan mempunyai penglaman yang tidak sama dalam membangun budaya madrasah. Dalam membangun budaya madrasah tidaklah semudah yang dibayangkan,
12 karena setiap madrasah punya pengalaman yang berbeda dalam menciptakan budaya madrasah.Porses yang paling sulit dalam membangun budaya madrasah adalah dalam menerapkan disiplin di madrasah.Pernyataan kepala sekolah dan guru tentang pentingnya disiplin erat kaitannya dengan prinsip learning process yang menjadi inti pendidikan.Dalam proses pembelajaran ini sangat dengan disiplin yang memiliki tiga bentuk. Pertama, disiplin sebagai suatu kebiasaan yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.Kedua,disiplin sebagai suatu kesadaran diri untuk bertindak atau bertindak sesuai dengan peraturan yang ada atau ditetapkan oleh pihak yang berwenang.Ketiga, disiplin sebagai suatu sikap mental dan posisi moral untuk senantiasa memisahkan dan tidak mencampur adukkan antara benar dan salah, dan senantiasa menyatakan kalau salah adalah salah dan suatu itu benar adalah benar sebagaimana adanya (Sumarto, Feita Sj, 2003: 12).
Kosekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut dalam penyelenggaraan pendidikan, berimplikasi pada bentuk otonomi atau desentralisasi pendidikan. Hal ini akan mengubah beberapa paradigma pendidikan dari sentralisasi mengarah kepada desentralisasi serta prinsip demokratisasi, keterbukaan, akuntabilitas yang mengarah pada munculnya kebijakan arus bawah. Namun demikian implikasi kebijakan otonomi daerah (desentralisasi pendidikan) tersebut di sisi lain telah melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Perbedaan mutu pendidikan masing-masing daerah sangat ditentukan oleh besarnya perhatian pemerintah daerah pada bidang pendidikan, selain itu juga dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusia serta pemberdayaan
masyarakat.Untuk
itu
diperlukan
adanya
pemahaman
bahwa
perencanaan pada lembaga pendidikan Islam merupakan kegiatan sistematis dalam merancang sumber daya lembaga, meliputi tentang apa yang akan dicapai (diidealkan), kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan dan memilih pelaksana kegiatan yang tepat bagi usaha pencapaian tujuan. Dengan demikian ada beberapa syarat mengenai perencanaan, yaitu: 1) Tujuannya dirumuskan dengan jelas, 2) Bersifat sederhana (simple) artinya dapat dilaksanakan, 3) Memuat analisis dan penjelasan, serta penggolongan tindak usaha yang direncanakan untuk dilakukan, 4) Memiliki fleksibilitas, dan 5) Planning didukung oleh ketersediaan sumber daya yang dapat digunakan seefisien dan seefektif mungkin (Sarwoto, 1978: 70). Dalam konteks globalisasi, menurut Suyanto daerah-daerah perlu melakukan benchmarking sektor
13 pendidikan yang dikelolanya secara otonomi dalam aspek input, process, product, maupun outcome agar otonomi daerah tidak membuat sektor pendidikan justru ketinggalan zaman. Harus diakui, secara yuridis madrasah telah menjadi sub sistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor20 Tahun 2003, namun demikian posisi ini menimbulkan beberapa konsekuensi antara lain adalah dimulainya suatu pola pembinaan yang mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah. Padahal pada kenyataannya secara struktural madrasah sebagai sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan Kementerian Agama.Dengan demikian terjadi dualisme dalam pembinaan pendidikan antara sekolah (madrasah) yang berada di bawah Kementerian Agama dengan sekolah yang berada dibawah Kementerian Pendidikan Nasional.Dualisme ini berimplikasi pada munculnya kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan madrasah yang berada di bawah Kementerian. Salah satu “kekeliruan” kebijakan pendidikan otonomi daerah yang berpengaruh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap rendahnya kinerja
pendidikan (educational performance) Indonesia adalah adanya persepsi kurang diperhitungkannya madrasah dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. Kalau kita berbicara mengenai peningkatan mutu pendidikan dan masalah-masalah kependidikan lainnya seolah-olah semuanya ditentukan oleh sekolah. Padahal di satu sisi madrasah dituntut menghasilkan lulusan yang sama dengan sekolah umum akan tetapi kurang memperoleh dukungan financial yang memadai, lebih-lebih lagi bagi madrasah swasta yang pada umumnya sebagai penyangga financial kehidupan madrasah adalah para wali murid, terutama masa sebelum adanya kebijakan bantuan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dari pemerintah. Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 3 huruf f tentang pembagian urusan pemerintahan, urusan agama termasuk salah satu urusan pemerintahan yang tidak didesentralisasikan atau diotonomkan ke daerah. Hal ini menimbulkan multi interpretasi terhadap kedudukan Pendidikan Agama dalam hal ini madrasah.Di lapangan seringkali terjadi lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.Pemerintah daerah berdalih bahwa madrasah tidak menjadi bagian tugasnya karena belum diotonomikan, sedangkan pemerintah pusat mengira jika kebutuhan madrasah juga telah dicukupi oleh daerah
14 sebagaimana mengurus pendidikan di daerah pada umumnya, akhirnya nasib madrasah bertambah memprihatinkan manakala tidak ditopang oleh kedua-duanya, baik pusat maupun daerah. Sikap diskriminasi pendidikan terhadap madrasah tersebut semakin dipertegas oleh keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tanggal 21 September 2005 No 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006 yang melarang pemerintah daerah untuk mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal. Sementara madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam selama ini berada di bawah koordinasi Kementerian Agama yang termasuk organisasi vertikal karena agama adalah bidang yang tidak diberi kewenangan otonomi. Dari segi anggaran, perolehan anggaran untuk operasional pendidikan terdapat perbedaan antara lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama dengan sekolah-sekolah di bawah Kementerian Pendidikan Nasional.Sebagai akibat perbedaan anggaran tersebut maka wajar ketika terjadi pula perbedaan dalam pengadaan sarana fisik serta kegiatan pendidikan yang bersifat non fisik lainnya. Masalah lain yang muncul adalah kekurangan tenaga pengajar khususnya guru-guru yang sesuai dengan bidang keahlian dan problem-problem lain yang tidak sedikit. Seharusnya pemerintah bersikap adil, demokratis dan bertangungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tanpa harus mendiskriminasikan antara lembaga pendidikan yang berada dalam pengelolaan Kementerian Agama maupun yang berada dalam pengelolaan Kementerian Pendidikan Nasional sesuai dengan prinsipprinsip dasar kebijakan otonomi daerah, karena madrasah juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mencerdaskan anak bangsa. Pandangan dan perilaku sebelah mata hingga saat ini tetap terjadi, kendati sudah mulai ada perbaikan.Ini pula yang menjadi problem utama kemajuan madrasah, sehingga merembet pada aspek-aspek lain pada pengelolaan lembaga pendidikan berbasis Islam bernama madrasah ini.Problem tersebut mempengaruhi pula terhadap penyelenggaraan pengawasan atau supervisi pendidikan di madrasah dimana porsi pengawasan sangatlah minim dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. Terlebih ketika di lingkungan Kementerian Agama sangatlah terbatas tenaga pengawas yang berbasis pendidikan matapelajaran umum, dipihak lain Kementerian Agama harus mensuplai tenaga pengawasnya untuk membina mata pelajaran agama di sekolahsekolah di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan Nasional, seharusnya hal yang
15 sama juga dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Nasional terhadap lembaga-lembaga madrasah yang berada di bawah pembinaan Kementerian Agama terutama pengawasan dan pembinaan mata pelajaran yang berbasis pengetahuan umum. Jadi dalam upaya menjaga kualitas pendidikan yang seimbang, perlu adanya pemikiran pelaksanaan pengawasan pendidikan timbal balik diantara kedua institusi pembina lembaga pendidikan tersebut.
PENUTUP Madrasah, lahir dari, oleh dan untuk masyarakat.Oleh karena itu, pendidikan madrasah
pada
hakikatnya
dimiliki
dan
dikelola
oleh
masyarakat
secara
demokratis.Meskipun dalam perkembangannya madrasah dikelola oleh yayasan, pengurus, bahkan perorangan, kehidupan madrasah tetap ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat.Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 (dimulai dengan UU Nomor 29 tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah, memungkinkan daerah melakukan kreasi, inovasi dan improvisasi termasuk dalam bidang pendidikan madrasah. Oleh sebab itu, di era otonomi daerah dan otonomi pendidikan,ditujukan pada berkembangnya identitas lembaga madrasah yang pada akhirnya akan melahirkan pribadi peserta didiknya yang mempunyai identitas karena pembinaan madrasah dengan ciri khas yang dimilikinya. Reposisi madrasah di era otonomi daerah adalah sebuah konsekuensi dari prinsip dasar otonomi daerah, memandang perlu ditetapkan kebijakan bahwa penyelenggaraan madarasah terutama swasta tetap dilakukan oleh masyarakat, namun dalam
berbagai
hal
tentang
penyelengaraan
pendidikanseharusnya
menjadi
tanggungjawab pemerintah daerah kabupaten/kota, terutama pada aspek pembiayaan, ketenagaan dan sarana prasarana, sesuai kewenangan yang dimiliki, sedangkan penyiapan dan pengembangan materi pembelajaran yang bersifat substansi keagamaan dan ciri khas keislaman dikelola oleh masyarakat di bawah pembinaan dan pengawasan Kementerian Agama.Melalui perubahan paradigma ini dan dengan konsistensi pemerintah daerah untuk berbuat adil dan tidak diskriminatip, maka diharapkan madrasah terutama swasta mampu berada pada arena persaingan yang berorienasi
16 kepada kualitas produk, tidak lagi berkutat pada persoalan kekuranangan tenaga, saranaprasarana dan dana penyelenggaraan pendidikan.
Daftar Pustaka Alhuman, Amich, Pembangunan Pendidikan dalam Konteks Desentralisasi; Kompas: 11 September, 2000 Burhanuddin, et.al, Manajemen Pendidikan, Wacana, Proses, dan Aplikasinya di Sekolah;Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang, 2002 Danim, Sudarmawan, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan I, Yogyakarta: Pustaka Jaya, 2003 Dep Pen Nas, Panduan Manajemen Pendidikan;Jakarta, 2000 Feurstain, School Characteristic And Parent Involvement: Influence On Parisipation In Children’s School, The Journal Of Education Research, 2000 Fukuyama, Francis, TRUST: Kebajikan Sosial Kemakmuran;Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002
dan
Penciptaan
Hasbullah, Otonomi Pendidikan – Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan;Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006 Ishartiwi, dkk, Assesmen Kebutuhan Pengembangan Profesionalisme Guru SD Berbasis Kecamatan Sebagai Sentra Pertumbuhan; Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta, 2002 Josef Riwu Kaho, Proyek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia; Jakarta: Rajawali Press, 1991 Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan; Jakarta: Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Sekolah Lanjutan Pertama, 2001
17
Makmuri, dkk, Demokratisasi Pendidikan Dalam Era Otonomi Daerah; Jakarta: LIPI, 2003 Sarwoto, Dasar-dasar Organisasi dan Manajemen; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978 Sahertian, Ida Aleida, dan Piet A. Sahertian, 2000, Supervisi pendidikan dalam rangka Inservice Education;Jakarta : Rineka Cipta UU RI No. 20 tahin 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;Kemenag RI, 2006 Waterman, Understanding The Impact Of Parent Choll Involvement On Children’s Educational; The Journal Of Educational Research, 1988