Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Perwujudan Good Governance di Era Otonomi Daerah Oleh: Yunizir Djakfar Abstract Decentralization policy is based on Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government is the policy of birth in order to respond and fulfill the demands of reform as democratize relations between regional and local empowerment. Regional autonomy according to Law No. 32 of 2004 is understood as an autonomous regional authority to regulate and manage the interests of society at its own initiative based on the aspirations of society based on statutory regulations. Keywords: Autonomy, democracy, reform, authority
Pendahuluan Realisasi otonomi daerah yang nyata berdasarkan aturan perundang-undangan, merupakan perwujudan dari good governace yang berjalan di Indonesia pasca reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru. Indonesia bukan negara liberal, di mana swasta memiliki kebebasan yang luar biasa dalam negara. Namun hubungan negara menjadi pengayom rakyat, di mana negara punya tujuan (wajib) mensejahterakan rakyatnya. Era otonomi daerah, dalam pandangan Syamsuddin Haris (2009), bukan merupakan ancaman bagi upaya pengembangan industri dan perdagangan, namun sebaliknya justru memberikan kesempatan dan dukungan bagi pengembangan perindustrian dan perdagangan. Dengan kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, maka terbuka kesempatan untuk megembangkan peridustrian dan perdagangan secara optimal di daerah. Sejalan dengan kewenangan yang dimiliki daerah, pengembangan industri dan perdagangan akan lebih efektif jika diarahkan kepada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, karena pada umumnya setiap daerah memiiki kelompok usaha jenis tersebut. Pelaksanaan tata pemerintahan yang baik adalah bertumpu pada tiga domain yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Ketiga domain tersebut harus bekerja secara sinergis, yang berarti setiap domain diharapkan mampu menjalankan perannya dengan optimal agar pencapaian tujuan berhasil dengan efektif (Syamsuddin Haris, 1995). Pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif; swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.
Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Baturaja
26
Yunizir Djakfar; 26 - 30
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Konsep Good Governance Good governance maupun konsep-konsep sejenis (seperti demokratisasi, desentralisasi, deregulasi, debirokratisasi, reinventing government, mewirausahakan birokrasi dan lain-lain), merupakan komoditas wacana publik yang sangat populer di era reformasi. Dari presiden sampai pejabat di tingkat kabupaten atau dari politisi, akademisi sampai aktivis LSM membicarakan tema-tema itu dengan semangat. Spirit dari Good Governance adalah memenimalkan peran negara dan mengedepankan pasar. Hal ini sekaligus menunjukan betapa teori ini tidaklah mampu menempatkan dirinya, secara konseptual pada pihak rakyat terlebih di negara-negara maju. Negara berkembang selalu saja menjadi objek dari trend ekonomi global yang diciptakan oleh negara maju khususnya negara-negara G-8. Prinsip spirit good governance adalah ingin menjamin hak-hak demokrasi ada di tangan rakyat. Tiga sektor dalam good governance yaitu sektor pemerintahan, sektor privat (swasta), dan masyarakat seharusnya mempunyai pembagian yang hak dan tanggungjawab bersama dan jelas, yang diatur dalam kontrak sosial. Di mana kontrak sosial tersebut merupakan hasil produksi pengaturan bersama yang melibatkan ketiga sektor tersebut. Sistem ini dapat memberi implikasi yuridis apabila lembaga-lembaga tersebut melalaikan fungsinya dalam mewujudkan transparansi informasi dan akuntabilitas publik. Pengelolaan yang baik (good governance) setidak-tidaknya harus memiliki tiga faktor yang mesti ditangani secara baik. Faktor tersebut adalah faktor dukungan politik, kualitas administrasi pemerintahan dan kapasitas membuat, menerapkan serta mengevaluasi kebijaksanaan-kebijaksanaan khususnya di bidang ekonomi. Menurut hematnya, siapapun yang memerintah, termasuk pemerintah yang memiliki legitimasi, tidak bisa melaksanakan good governance bila ketiga elemen tadi tidak mampu dikendalikan atau dikelola secara tepat. Karena itu pembicaraan tentang good governance harus merujuk kepada faktor yang terpenting yaitu mengatasi kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bisa saja pemerintah kita mendapatkan legitimasi dari masyarakat luas, namun pada kenyataannya kita masih belum mampu memberantas KKN secara tuntas sampai keakar-akarnya. Sementara masyarakat luaspun mungkin sekali belum menyadari betapa dalamnya mereka (sendiri) sudah terjangkit virus KKN. Analisis Terhadap Implementasi Good Governance Pada level institusional birokrasi Indonesia belum berubah secara signifikan. Sekarang setiap instansi birokrasi sudah mempunyai visi-misi baru (yang konon banyak dipengaruhi oleh gagasan reinventing government), tetapi visi-misi itu tidak otentik dan tidak bermakna karena tidak menjadi haluan berpikir para birokrat dan tidak diterapkan secara empirik. Di daerah sekarang sudah dimulai perombakan struktur organisasi pemerintahan daerah (Pemda), tetapi tidak mencerminkan prinsip perampingan dan rasionalisasi birokrasi, malah cenderung menciptakan pembengkakan birokrasi (Bintoro Tjokromidjojo, 2009). Tetapi hasil perombakan tersebut justru menunjukan bahwa penataan organisasi Pemda dilakukan secara cepat, “serba instan” dan asal dibentuk. Pembentukannya tidak didahului suatu tahapan analisis jabatan, karena tidak ada pertimbangan yang jelas dan mendasar. Organisasi dibentuk lebih karena alasan politis dan pertimbangan untuk mengakomodir dan penyelamatan pejabat dan pegawai. 27
Yunizir Djakfar; 26 - 30
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat birokrasi Indonesia lebih banyak berpikir tentang gaji dan kesejahteraan. Perhatian maksimal terhadap pelayanan publik belum terfokus pada satu titik gerakan nyata. Kenyataannya praktik-praktik red tape dalam pelayanan administrasi masih tetap terjadi. Semetara akuntabilitas dalam mengelola barang-barang publik tetap rendah. Tetapi, ironisnya, Pemda sangat bernafsu mengeruk Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan dalih otonomi daerah. Pemda juga tidak begitu reponsif terhadap tandatanda zaman, belum mau membuka diri dan belajar bersama dengan elemen-elemen organisasi masyarakat sipil. Perubahan birokrasi pada level institusional yang cukup signifikan, menurut Hettifah (2009), adalah munculnya kebijakan-kebijakan yang mengundang investasi. Pemda, misalnya, sangat bernafsu terhadap investasi dengan cara membuka lebar-lebar pintunya untuk dimasuki para investor dan menyiapkan kebijakan yang bersahabat dengan pasar. Perubahan ini tentu paralel dengan kampanye reinventing government dan good govermance. Tetapi pengelolaan baru governance yang cenderung pro pasar inilah yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, termasuk kritik aktivis. Oleh karena itu, lanjut Hettifah (2009), persoalannya adalah bagaimana memahami kembali good governance, terutama untuk meletakkan relasi antara negara, masyarakat dan pasar? Adapun makna dari good governance: 1) Governance adalah sebuah pendekatan konseptual yang bias member kerangka bagi analisis komparatif pada level politik makro; 2) Governance sangat menaruh perhatian pada pertanyaan besar tentang hakekat konstitusional yang mengabadikan aturan main politik; 3) Governance mencakup intervensi kreatif oleh aktor-aktor politik pada perubahan struktural yang menghalangi pengembangan potensi manusia; 4) Governance adalah sebuah konsep yang menekankan hakekat interaksi antara negara dan aktor-aktor sosial serta di antara aktor-aktor sosial sendiri, dan; 5) Governance menunjuk pada tipe khusus hubungan antara aktor-aktor politik yang menekankan atauran main bersama dan sanksi-sanksi sosial ketimbang kesewenangan. Kunci utama memahami good governance, menurut Masyarakat Transprasi Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsipprinsip ini dapat tolak ukur kinerja suatu pemerintah, di mana prinsip-prinsip tersebut meliputi: 1) Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif; 2) Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia; 3) Transparasi: transparasi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau peduli dan stakeholder, lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan; 4) Berorientas pada konsensus: tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingankepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur; 28
Yunizir Djakfar; 26 - 30
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
5) Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka; 6) Efektivitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin; 7) Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi masyarakat bertanggung jawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan, dan; 8) Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh kedepan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagai perspektif tersebut. Upaya pelaksanaan tata pemerintah yang baik, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu instrumen yang merefleksikan keinginan pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagai para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan. Meskipun dalam pencapaian good governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan di dalam masyarakat pemerintah mempunyai peran sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuah negara. UU No. 32 Tahun 2004 yang memberikan hak otonomi kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Penutup Beberapa isu (indikator) yang terkandung dalam Governance (legitimasi, akuntabilitas, keterbukaan, partisipasi, dan lain-lain). Max Weber merumuskan tipe ideal birokrasi, padahal secara empirik, birokrasi tidak mesti sama seperti digambarkan Weber. Demikian juga dengan governance yang tidak mesti dipraktikkan secara transparan, akuntabel, partisipatif dan seterusnya (Bintoro Tjokromidjojo, 2006). Sebenarnya governance adalah sebuah konsep yang netral, sebagaimana konsep rezim untuk menggambarkan pola-pola relasi antara negara, masyarakat dan pasar. Dari sudut pandang ilmu politik, governance bias digunakan sebagai alat analisis untuk memetakan bagaimana model (pola) relasi antara negara, masyarakat dan pasar pada negara tertentu. Oleh karena itu, menurut Bintoro Tjokromidjojo (2006), pembicaraan mengenai good governance tidak bisa lepas dari isu government transformation, karena dulu yang lebih populer adalah government, bukan governance. Dulu negara (pemerintah) dianggap maha kuat (omnipotent) dan juga dipraktikkan di muka bumi ini. Ilmu politik juga punya dua perspektif utama yang mengganggap penting pemerintah. Perspektif institusional yang mengkaji tentang lembaga-lembaga negara termasuk pemerintah sebagai lembaga (bukan proses dan interaksi), 29
Yunizir Djakfar; 26 - 30
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
perspektif sistem yang berbicara tentang proses politik yang melibatkan pemerintah secara seimbang. Pemerintah dipahami sebagai institusi raksasa yang menggunakan kewenangannya secara memaksa atas seluruh wilayah dan penduduk, serta mengontrol pengaruh internasional atas kebijakan domestic dan institusinya. Pemerintah adalah segala-galanya (omnipotent) dan maha kuasa yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Haris, Syamsuddin. 1995. Otonaomi Daerah: Peluang dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan _______________. 2006. Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. Sumarto, Hettifah SJ. 2009. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Edisi Ke-2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Tjokromidjojo, Bintoro. 2006. Good Governance: Paradigma Baru Pembangunan. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
Manajemen
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah
30
Yunizir Djakfar; 26 - 30