PANDUAN RESTORASI HUTAN MANGROVE YANG RUSAK (DEGRATED) MOHAMMAD BASYUNI, Shut, Msi Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang spesifik. Hutan mangrove tumbuh di zon pantai (berlumpur) yang secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi tidak dipengaruhi iklim. Vegetasi mangrove terdiri dari beberapa jenis antara lain Rhizophora apiculata, R. mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, B. parfivlora, B. sexangula, Avicennia sp, Sonneratia spp, Xylacarpus granatum, dan Ceriops tagal. Adaptasi pohon-pohon mangrove terhadap keadaan tanah berlumpur dan kekurangan oksigen dalam tanah adalah dengan membentuk system perakaran yang khas. Vegetasi mangrove mempunyai struktur seragam yang tidak mengenal lapisan tajuk. Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri atas lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Soegiarto, 1984). Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Dipandang dari segi luas areal, hutan mengrove di Indonesia adalah yang terluas di dunia. Di Indonesia, mangrove tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Irian Jaya, dengan luas sangat bervariasi bergantung pada kondisi fisik, komposisi substrat, kondisi hidrologi, dan iklim yang terdapat di pulau-pulau tersebut (FAO, 1992; Soemodihardjo, Ongkosono & Abdullah, 1986). Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3,7 juta ha, dimana sekitar 1,3 juta ha sudah disewakan kepada 14 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) (Kusmana, 1995). Ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan sumberdaya alam, yakni letak hutan mangrove terbatas pada tempat tertentu, peranan ekologis ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya, dan hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi, serta hutan mangrove sebagai sumber daya alam yang dapat dipulihkan pendayagunaannya memerlukan pengelolaan yang tepat, sejauh mungkin dapat mencegah pencemaran lingkungan hidup dan menjamin kelestariannya untuk keperluan masa kini dan akan datang. Tekanan populasi, pengelolaan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian, perkembangan industri dan perkotaan memebrikan proporsi yang signifikan terhadap kerusakan hutan mangrove di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Dengan meningkatnya populasi, lahan produksi semakin berkurang sehingga hutan mangrove dikonsversi menjadi lahan pertanian, pertambakan (aqua culture), bahan bakar, dan tujuan lainnya. Bersamaan dengan terjadinya kerusakan pada sebagian
2002 digitized by USU digital library
1
besar hutan mangrove di Indonesia yang diawali dengan adanya degradasi luasan hutan, degradasi jenis, konversi hutan mangrove, eksploitasi dan pemanfaatan hutan mangrove yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya serta kerusakan kondisi biofisik ekosistem mangrove dan ekosistem sekitranya. Penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove mengakibatkan menurunnya kualitas biofisik ekosistem hutan mangrove dan lingkungan sekitarnya, seperti abrasi pantai, hilangnya habitat burung, banjir dan menurunnya produktivitas perairan. Kerusakan hutan mangrove perlu segera diatur dengan menghentikan perusakan, mengadakan kegiatan konservasi bahkan merestorasi dengan mengembalikan dan menata kembali yang mengalami kerusakan. Oleh karena itu kegiatan konservasi dan restorasi hutan mangrove tidak hanya sekedar untuk melindungi dan melestarikan spesies serta menyediakan obyek wisata (ekoturism), tetapi harus pula berfungsi untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dalam konteks pembangunan berwawasan lingkungan. Membangun hutan mangrove adalah membangun suatu inti bagi tercapainya pembangunan berwawasan lingkungan yang tujuan pokoknya adalah meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dan melakukan penanaman kembali hutan mangrove yang telah rusak. Berarti hutan mangrove merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari seluruh sistem pembangunan daerah (Alikodra, 1999). Aspek-aspek nyata yang dapat dipertimbangkan untuk merestorasi ekosistem mangrove yang rusak antara lain : 1. Eksploitasi yang berlebihan atau penebangan hutan mangrove terusmenerus untuk kayu bakar dan makanan ternak. 2. Masalah erosi di wilayah estuaria. 3. Pengurangan produktivitas perikanan 4. Konversi hutan mangrove menjadi budidaya perikanan. Penciptaan fasilitas umum 5.
B. Tujuan Tujuan penulisan karya tulis ini adalah 1. Memberikan gambaran tentang kondisi hutan mangrove di Indonesia 2. Memberikan metodologi panduan dalam penerapan restorasi hutan mangrove yang telah rusak. 3. Memberikan penerapan kegiatan restorasi hutan mangrove yang rusak.
2002 digitized by USU digital library
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ekologi Restorasi Pengertian ekologi restorasi adalah proses mengubah dengan sengaja keadaaan lingkungan suatu lokasi guna menetapkan suatu ekosistem yang bersifat tertentu, asli, dan bersejarah. Tujauannya untuk mengembalikan struktur, fungsi, kenekragaman dan dinamika suatu ekosistem yang dituju (Society for Ecological Restoration 199 dalam Primack, R.B. dkk, 1998). Tujuan utama restorasi mangrove ada dua, yaitu : (1) merestorasi fungsi ekologi hutan mangrove yang rusak (degraded), (2) mendapatkan produk hutan yang mempunyai nilai komersial. Dalam konteks ini nilai komersial berarti produk hutan yang dibutuhkan oleh penduduk sekitar sebagai sumber energi dan perumahan selain untuk industri. Dua tujuan ini menentukan spesies mangrove yang akan ditanam (Soemardjani & Mulia, 1994). Soemodihardjo dan Soemardjani (1994) menyatakan bahwa untuk tujuan restorasi ekologi semua spesies mangrove dapat dimanfaatkan/ditanam. Saat ini di Indonesia hanya tiga genus mangrove yang digunakan untuk tujuan ini, yaitu : Avicennia spp, Sonneratia spp, dan Rhizophora mucronata. Dua jenis pertama dipilih karena kemampuannya yang sangat baik untuk stabilisasi sedimen lumpur melalui sistem perkarannya yang ekstensif. R. mucronata juga memiliki akar yang rapat meskipun jenis perakarannya berbeda. Restorasi dari daerah tersebut hingga mencapai struktur dan komposisi spesies semula, melalui suatu program reintroduksi yang aktif, terutama dengan cara menanam dan membenihkan spesies tumbuhan semula. (Bradshaw 1990 dalam Primack, R,B. dkk 1998). B. Pengertian Hutan Mangrove Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tentang silvikultur hutan payau, hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sedangkan menurut Nybakken (1992) hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Ciri-ciri hutan mangrove menurut Soerianegara dan Indrawan (1982) adalah sebagai berikut : tidak dipengaruhi iklim, terpengaruh pasang surut, tanah tergenang air laut atau berpasir dan tanah liat, tanah rendah pantai, hutan tidak mempunyai stratum tajuk, tinggi mencapai 30 meter. Jenis tumbuhan mulai dari laut ke darat adalah Rhizophora, Avicennia, Soneratia, Xylocarpus, Lumnitzera, Bruguiera dan tumbuh-tumbuhan bawah yang hidup diantaranya Acrostichum aureum, Achanthus illicifolius, dan Archanthus ebracteatus. Tempat ideal bagi pertumbuhan hutan mangrove adalah di sekitar pantai, delta, muara sungai yang arus sungainya banyak mengandung pasir dan lumpur serta umunya pada pantai landai yang terhindar dari ombak besar. Vegetasi mangrove mempunyai zonasi yang khas, dicirikan oleh adanya perbedaan jenis yang
2002 digitized by USU digital library
3
tersusun menurut urutan tetentu walaupun dengan batas yang kurang jelas. Secara ekologis zonasi jenis di hutan mangrove dari arah laut ke darat berturut-turut adalah Sonneratia spp, Rhizophora spp, Bruguiera spp, Ceriops spp, Lumnitzera spp dan Xylocarpus spp. Dari seluruh jenis ini, nilai ekonomi kayu Rhizophora spp dan Bruguiera spp paling tinggi (Sagala, 1994). Hutan mangrove bagi kebanyakan pantai pesisir di Sumatra utara merupakan suatu daerah pinggiran yang berguna dan produktif, dan juga melindungi pesisir dari ombak dan perembesan air asin, dan selanjutnya mempunyai fungsi dan potensi yang secara garis besarnya dapat dibagi tiga aspek : (1) aspek fisik, (2) aspek biologi, dan (3) aspek ekonomis (Anwar, Damanik, Hisyam, & Whitten, 1984). C. Kelas Lingkungan Hutan Mangrove Untuk mengetahui hutan mangrove di Indonesia dengan segala kespesifikasinya, maka hutan mangrove terutama posisinya, menurut Soemodihardjo, Ongkosono, dan Abdullah (1986) terbagi dalam empat kelas lingkungan. Keempat kelas lingkungan tersebut adalah : 1. Delta. Terbentu di muara-muara sungai besar dan di teluk-teluk. Sedimen yang terbawa aliran sungai dengan cepat mengendap membentuk delta, umumnya dengan morfologi bercabang-cabang. Selain cabang-cabang sungai, juga ditemui sungai-sungai pasang surut yang besar dan berkelok-kelok. Delta semacam ini ditemukan di Sumatera (delta Musi, delta Tembilahan, delta sungai Siak), Kalimantan (delta Mahakam, delta Batu Ampar, dan delta Tarakan), delta Bintuni, Irian Jaya. 2. Dataran Lumpur. Dapat terletak di pinggiran pantai, misalnya Selatan Sorong dan Segara Anakan Bagian Timur. Umunya dataran lumpur ini dilatarbelakangi dengan gunung dan sungai-sungai yang mengalir, seperti sungai Citanduy di Cilacap. Arus pasang surut yang relatif tinggi tersebut menyebarluaskan sedimen dari sungai menjadi dataran endapan lumpur yang luas setinggi permukaan air di waktu pasang tinggi, dan apabila erosi cukup tinggi daerah aliran sungai tersebut, maka dapat mengakibatkan terancamnya keberadaan hutan mangrove, karena dataran lumpur menjadi daratan. 3. Dataran Pulau. Berbentuk sebuah pulau kecil yang pada waktu surut rendah muncul di atas permukaan air. Substrat biasanya terdiri dari sedimen asal darat atau endapan karbonat laut, misalnya pulau lumpur Segara Anakan dan pulau Piroko di Kepulauan Kangean, Madura. 4. Dataran Pantai. Habitat ini merupakan jalur sempit memanjang pantai. Substrat terdiri dari pasir, pasir berlumpur atau batu-batuan. Komunitas hutan mangrove seperti ini biasanya disebut hutan mangro ve pinggiran (fringing mangrove). Misalnya Pantai Timur Lampung, sebagian pantai Timur Sumatera Selatan serta Pantai Utara Jawa dan Pantai Bunaken (Manado). Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup mangrove perlu dikenal terlebih dahulu empat unsur utama dalam ekosistem mangrove. Keempat unsir utama dalam ekosistem mangrove tersebut adalah (Soemodihardjo et al, 1986): 1. Status lingkungan 2. Komposisi substrat 3. Kondisi hidrologi 4. Iklim
2002 digitized by USU digital library
4
III. METODOLOGI RESTORASI HUTAN MANGROVE
Kegiatan restorasi magrove biasanya dilakukan pada lahan-lahan mangrove alami yang tapaknya telah rusak, dimana lahan mangrove ini terganggu (disturbed) atau terdegradasi (degraded) akibat aktivitas manusia atau gangguan alam, daripada pemeliharaan hutan mangrove komersial, meskipun pendekatan yang digunakan hampir sama. Para rimbawan biasanya tertarik pada kuantitas produksi kayu komersial dan arang kayu dari hutan mangrove dengan menggunakan teknik seperti tebang habis dan penanaman untuk mendapatkan hasil berupa tegakan yang seragam A. Seleksi dan Persiapan Tapak Penanaman Untuk seleksi dan persiapan tapak tergantung dari kondisi setempat dan spesies mangrove yang akan ditanam. Namun rekomendasi umu dapat diterapkan berdasrkan dari berbagai studi kasusus dengan pendekatan lokasi yang berdekatan dengan maksud tapak yang akan direstorasi. Bebarapa pertimbangan tentang karakteristi tapak sebelum merestorasi eksosietem mangrove. 1. Tanah (berpasir, berlumpur, liat) harus stabil 2. Tapak tanaman ternaungi, seperti seedling muda tidak mampu menahan angin yang kuat, arus yang deras, dan erosi 3. Tanaman muda tergenangi langsung secara teratur oleh pasang surut 4. Pemilihan tempat yang relatif dangkal 5. Spesies mangrove yang ditanam butuh naungan atau tidak. 6. Kerjasama dengan masyarakat lokal. Masyarakat lokal diajak secara persuatif berkaitan dengan proyek restorasi yang akan menguntungkan khidupan mereka dan lingkungan. Kerjasama tersebut dalam penyediaan tenaga kerja selama penyiapan tapak dan peneyediaan bahan tanaman. B. Persiapan Areal Tanaman. Membangun tapak (barrier) sekeliling tapak untuk melindungi tanaman muda dari rerentuhan yang mengambang. Pembatas bertujuan untuk memandu tingkat pasang surut air laut. Sebelum ditanam tapak harus dibersihkan dari Sisa reruntuhan dari kelapa, batang pisang, daun bambu, dan cabang pohon lainnya. Penentuan tapak penting untuk mengukur faktor lingkungan lainnya : jenis tanah, pH tanah, temperatur, salinitas, PAR, kerapatan batanag, luas bidang dasar pohon/ha, dan biameter setinggi dada. C. Pendekatan Restorasi Ada dua pendekatan yang umumnya dilakukan dalam setiap kegiatan restorasi lahan mangrove, yaitu: 1. Pendekatan regerasi alami Sumber benih dari sumber benih (propagul), benih langsung pohon mangrove Keutungannya : 1. Dihasolkan hutan yang serupa dengan vegetasio hutan mangrove asal 2. Murah biayanya 3. Sedikit tanaga kerja 4. Gangguan tanah sedikit 5. Seedling tumbuh dengan lebih kekar
2002 digitized by USU digital library
5
2. Pendekatan regenerasi buatan Metodenya : 1. Termasuk dengan penenaman benih, sumber benih, seedling di areal bila regenerasi alami tidak cukup. 2. Dengan memindahkan seedling ke lokasi yang baru 3. Mengumpulkan benih yang masak/sumber benih dan menanam langsung di tempat atau dimasukkan ke kebun benih dulu baru dipindahkan ke lapangan Keutungannya : 1. Komposisi spesies dan penyebaran seedling dapat dikontrol 2. Secara genetik persediaan dapay ditingkatkan 3. Hama di tapak lebih mudah dipulihkan D. Seleksi Spesies dan Koleksi Biji Seleksi mangrove untuk penanaman biasanya ditentukan oleh tiga factor, yaitu: (1) kepentingan spesies mangrove yang terjadi secara alami di lokasi tapak restorasi, (2) ketersediaan biji atau bahan perbanyakan, dan (3) objek dari program restorasi yang akan dilakukan. Daerah di mana mangrove harus ditanami, seperti daerah yang menuju ke laut, pertengahan atau daerah yang menuju ke darat, atau daerah hulu sungai atau hilir sungai, yang dapat dideterminasikan dari observasi spesies-spesies yang secara alamiah terjadi. Observasi yang sama juga akan menentukan tipe tanah yang diperlukan dan regim pasang-surut yang terbaik. Koleksi benih atau bahan perbanyakan tergantung pada tingkat kematangan pohon. Idealnya, pohon-pohon darimana biji atau bahan perbanyakan diperoleh harus sehat dan berkembang secara baik, dengan karakteristik tinggi, diameter dan tajuk. Mangrove akan berbunga dan menghasilkan biji-biji yang fertile pada berbagai waktu dalam setahunnya, tergantung pada lokasi. Sangat penting untuk mengetahui waktu berbunga dan berbuah dari spesies mangrove untuk memastikan kapan waktu pengumpulan biji terbaik. Biji-biji atau bahan perbanyakan dapat dikumpulkan dari pohon-pohon atau dari jatuhan di bawah pohon. Jika biji dikumpulkan dari pohon langsung maka dapat dikoleksi langsung sebagai benih. Akan tetapi jika biji berasal dari jatuhan di bawah pohon, penting untuk dipastikan bahwa biji mempunyai bentuk radikel yang baik dan tidak terserang oleh insek atau hama. Biji yang berasal dari jatuhan berpeluang untuk diserang oleh hama atau jamur penyakit. Bahan perbanyakan yang akan diangkut ke jarak yang relatif jauh perlu diperhatikan tingkat viabilitasnya. Sebagai contoh, bahan perbanyakan Rhizophora sp. Bersifat bulky dan kelembabannya harus terus terjaga, karena sewaktu masih di pohon biasanya mereka sudah berkecambah. Untuk tetap menjaga kelembabannya serta untuk mencegah serangan hama dan jamur penyakit, bahan-bahan perbanyakan sebaiknya dibungkus dengan bahan-bahan lembab, seperti daun pisang. Biji-biji dari spesies Avicennia officinalis, Ceriops decandra dan Sonneratia apetala dapat disimpan dalam kantong-kantong jute atau keranjang bambu untuk melindungi biji dan mencegah agar tidak terekspos pada suhu tinggi atau terkena cahaya matahari langsung.
2002 digitized by USU digital library
6
E. Praktek Pembibitan Pembibitan diperlukan apabila regenerasi dengan system penanaman langsung sulit dilakukan, atau jika bibit yang dihasilkan perlu dipersiapkan perkembangannya sebelum dilakukan penenaman. Kegiatan ini sangat berguna bagi spesies-spesies mangrove, seperti Sonneratia spp. dan Avicenia spp yang ukuran biji-bijinya relatif kecil. Ada beberapa deskripsi detail dari praktek pembibitan menurut Qureshi (1990), Untawale (1993) dan Siddiqi et al. (1993). Teknik pembibitan sangat bervariasi tergantung pada spesies mangrove yang akan digunakan. Berikut ini adalah teknik pembibitan yang dapat dikembangkan menurut Siddiqi et al (1993): 1. Biji-biji ditaburkan dengan cara penyebaran pada alas atau kotak berukuran 120 x 120 cm. Kotak-kotak tersebut dipisahkan dengan jarak 30 cm dan kedalaman drainase 20 cm. Pengontrolan secara teratur dari gulma dan serangga hama harus dilakukan. Pemupukan juga penting dilakukan jika diperlukan. Juga perlu ditetapkan masalah irigasi jika suplai air tidak mencukupi. 2. Biji-biji atau bahan perbanyakan ditumbuhkan dalam polibag yang berisi tanah yang sudah dipersiapkan. Kantong polibag berukuran 15 x 10 cm atau 15 x 25 cm. Pada tahap ini kotak pembibitan dibuat relatif tinggi dari tanah dengan diberi fasilitas saluran pengairan. Kotak-kotak pembibitan berukuran sama seperti yang digunakan untuk penyebaran biji, tetapi pada tahap ini polibag-polibag diletakkan di sisi-sisi kotak. Perhatian yang sama diperlukan seperti halnya pada tahap-tahap sebelumnya. Polibag-polibag tersebut kemudian dibawa ke lapangan dan siap untuk ditanam. F.
Penanaman Penanaman menggunakan seedling yang dikembangkan dari kebun bibit maupun bagian dari tanaman (propagule). Prosese penanaman propagule yang dikoleksi dari hutan ataupun dari koleksi kebun benih
G. Pemeliharaan Restorasi dari hutan mangrove yang rusak memerlukan pemeliharan yang tepat setelah dilakukan penanaman. Aktivitas pemeliharaan yang wajar adalah pembebasan, penyiangan, penjarangan, penggantian tanaman (penyulaman). Diperlukan juga pengendalian terhadap hama dan penyakit. Pencegahan dilakukan terhadap binatang yang dapat mengaganggu tanaman.
2002 digitized by USU digital library
7
IV. PENERAPAN KEGIATAN RESTORASI HUTAN MANGROVE Kegiatan restorasi magrove biasanya dilakukan pada lahan-lahan mangrove alami yang tapaknya telah rusak, dimana lahan mangrove ini terganggu (disturbed) atau terdegradasi (degraded) akibat aktivitas manusia atau gangguan alam. Tata urutan kegiatan dalam merestorasi hutan mangrove adalah sebagai berikut (Taniguchi et al, 1999): Bagan Kegiatan Restorasi
Persiapan Observasi
Observasi Awal
Pemilihan Jenis
Estimasi Kuantitas
Pengadaan Benih dan Bibit
Penyiapan Lahan
Pengangkutan Bibit
Penanaman
Pemeliharaan
2002 digitized by USU digital library
8
Perincian Kegiatan :
1. Persiapan Penanaman Berikut ini dipaparkan tentang persiapan observasi awal untuk menetapkan rencana penanaman. Bagan Observasi Awal
Penyiapan Peralatan
Survei Hutan Alam yang Masih Ada
Survei Tinggi Permukaan Tanah
Penyusunan Jadwal
Pengukuran Salinitas
Survei Sosial Ekonomi
Survei Tanda Batas
Pemeriksaan Tanah dan Vegetasi lain, dsb
Survei Fasilitas yang Diperlukan
A. Observasi Awal untuk Penanaman 1. Perlengkapan Observasi Tabel 1. Daftar Peralatan untuk Observasi Nama Alat Peta Hipsografi/Korigrafi/Topografi Peta Dasar Peta Rencana Pengelolaan Hutan Peta Tataguna Lahan Peta Vegetasi Tabel Pasang Surut Kompas Survei
Nama Alat
Nama Alat
Tripod
Palu
Pita Ukur GalahUkur (Alumunium)
Sekop Soil Boring Stick
Galah Survei Pancang Survei
Blanko Catatan Handbookof Mangrove Anti Serangga Lain-lain
Pancang Bambu Cat Warna
2002 digitized by USU digital library
9
2. Jadwal Observasi a. Jadwal observasi sesuai tabel pasang surut untuk observasi lingkungan b. Mengobservasi kondisi lokal penanaman saat pasang maupun surut. c. Observasi berbagai kondisi tanah dan lahan hanya pada saat surut d. Observasi ketinggian pasang purnama sebelum air pasang datang e. Observasi durasi yang potensial untuk memanfaatkan jalan air/alur sungai. 3. Kondisi Sosial Ekonomi sekitar Lokasi Penanaman a. Observasi sosial ekonomi sekitar areal penanaman b. Mendapatkan informasi tentang kepemilikan lahan c. Mendapatkan informasi rencana tata guna lahan dari instansi terkait. B. Pelaksanaan Observasi Awal 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penentuan batas lokasi penanaman Mengestimasi fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan penanaman Mengestimasi kuantitas bibit yang diperlukan Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan spesies tanaman Memilih spesies utama untuk restorasi di Pulau-pulau Otorita Batam Mengarsip hasil observasi
C. Menentukan Rencana Penanaman 1. a. b. c. d. 2. 3. 4.
Menghitung biaya penanaman Penghitungan areal penanaman Pemilihan bentuk bibit Penghitungan jumlah tenaga kerja Penyesuaian jumlah tenaga kerja Mengestimasi kuantitas bibit dan penentuan jarak tanam Pemilihan spesies tanaman Mendapatkan fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan penanaman
D. Pengadaan Benih dan Bibit Pembibitan diperlukan apabila regerasi dengan sistem penanaman langsung sulit dilakukan atau jika bibit yang dihasilkan perlu dipersiapkan perkembangannya sebelum dilakukan penanaman. Kegiatan ini sangat berguna bagi spesies-spesies mangrove sperti Sonneratia spp dan Avicennia spp yang ukuran biji-bijinya relatif kecil. Beberapa deskripsi pembibitan yang dapat dilakukan dalam penelitian ini (Siddiqi et al, 1993) : 1. Biji-biji ditaburkan dengan cara penyebaran pada lokasi/kotak berukuran 120 x 120 cm. Kotak-kotak tersebut dipisahkan dengan jarak 30 cm dan kedalaman drainase 20 cm. Pengontrolan secara teratur dari gulma dan serangga hama harus dilakukan. Pemupukan juga penting dilakukan jika diperlukan. Juga perlu ditetapkan masalah irigasi jika suplai air tidak mencukupi. 2. Biji-biji atau bahan perbanyakan ditumbuhkan dalam polibag yang berisi tanah yang sudah dipersiapkan. Kantong polibag berukuran 15 x 10 cm atau 15 x 25 cm. Pada tahap ini kotak pembibitan dibuat relatif tinggi dari tanah dengan diberi fasilitas saluran pengairan. Polibag-polibag tersebut kemudian dibawa ke lapangan dan siap untuk ditanam.
2002 digitized by USU digital library
10
E. Kegiatan Penanaman Bagan Kegiatan Penanaman
Pembersihan Tanah yang Tercemar
Persiapan Tapak
Pembersihan Rumput
Pengangkutan Bibit
Perbaikan Jalan Kerja
Penghitungan Waktu Kerja Bibit
Penanaman
Pembuatan Lubang Tanam
Penanaman Penanaman Benih F. Kegiatan Pemeliharaan Bagan Kegiatan Pemeliharaan Pemantauan
Pengukuran Tingkat Keberhasilan Hidup
Identifikasi Faktor/Penyebab Kerusakan
Tindakan Pencegahan Kerusakan
2002 digitized by USU digital library
Penyulaman
11
V. KESIMPULAN
Kerusakan ekosistem mangrove berada pada titik yang mengkhawatirkan, oleh karena itu perlu dilakukan upaya pemulihan melalui restorasi hutan mangrove yang terpadu. Ekologi restorasi sebagai cabang dari bidang ekologi diharapkan mampu melakukan aktivitas tersebut sehingga dapat mengembalikan fungsi dan peranan ekosistem mangrove. Pada karya tulis ini digambarkan metodologi dan aplikasi restorasi hutan mangrove secara praktis, mudah, dan sederhana.
2002 digitized by USU digital library
12
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 1999. Implementasi Konservasi Hutan Mangrove di Indonesia. Makalah pada Raker Pengelolaan Pesisir dan Hutan di Indonesia yang diselenggarakan pada 18 Mei 1999 oleh Direktorat Jenderal Bangda Depdagri. Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam & A.J. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta. FAO. 1992. Management and Utilation of Mangrove in Asia and The Pasific. FAO Environmental Paper III. FAO. Rome. Kusmana, C. 1995a. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Proceeding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi, Jakarta, 10-12 Agustus 1995. Mulia, F. 1999. Implementasi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan. Workshop Penyempurnaan Kriteria Indikator Pengelolaan Hutan Mangrove Produksi Lestari. Kerjasama LPP Mangrove – LEI, Bogor, 8 Desember 1999. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Eidman, M. dkk., penerjemah). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan& P.Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor. Jakarta Sagala, P. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Siddiqi, N.A., M.R. Islam, M.A.S. Khan, dan M. Shahidullah. 1993. Mangrove Nurseries in Bangladesh. ISME Occasional Papers N.o. 1 ISME. Japan. Soegiarto, A. 1984. The Mangrove Ecosystem in Indonesia : Its Problems and Management in H.J. Teas (ed). Physiology and Management of Mangrove. W. Jung Publishers, The Hague. P69 - 78. Soemodihardjo, S., R. Ongkosono, & A. Abdullah. 1986. Diskusi Panel Daya guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Panitian Program MAB Indonesia – LIPI. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup. P17 - 22. Soerianegara, I. & A. Indrawan. 1982. Ekologi Hutan. Departemen Mnajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Taniguchi, K., Takashima, S., & O. Suko. 1999. Manual Silvikultur Mangrove. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI dan JICA. Jakarta.
2002 digitized by USU digital library
13