Keragaan Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usaha Tani Padi Sawah
KERAGAAN PEMANFAATAN DAN SUMBER PINJAMAN USAHA TANI PADI SAWAH Performance of Uses and Sources of Rice Farm Business Working Capital Valeriana Darwis dan M. Iqbal Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Defrayal is an essential element in agricultural sector, especially to support production acceleration as a means to improve farmer earnings. However, currently farmer accessibility to formal defrayal institute was very limited. About 50 percent of rice farmers in Java island and 40 percent of rice farmers outside Java island have to seek for loans to finance their production operation with an verage of Rp.900.000,-/hectar/planting season in Java island and Rp. 1.300.000,-/hectar/planting season in outside Java island. But in aggregate national level only around 1,5 percent of farmer who actually makes use of loan from formal financial institution (bank). That means, a large part of farmers have not been making access to banking institute (non – bankable). One solution this problem is by establishment Bank Pertanian or Agriculture Bank. But the new bank should provide farming operating capital in the form of credits with rational interes rates by putting into consideration of variations in farmer behavior, tradition and practices among regions. Key words : farmer operating cost, defrayal institute, rice cultivation
ABSTRAK Pembiayaan merupakan salah satu elemen esensial dalam sektor pertanian, khususnya guna mendukung percepatan produksi menuju peningkatan pendapatan petani. Akan tetapi, selama ini aksesibilitas petani terhadap lembaga pembiayaan formal boleh dikatakan sangat terbatas. Sekitar 50 persen petani padi sawah di Pulau Jawa dan hampir 40 persen petani padi sawah di luar Pulau Jawa mencukupi kebutuhan modal usaha tani dari pinjaman dengan rataan pinjaman masing-masing lebih kurang Rp 900.000 per hektar per musim tanam dan Rp 1.300.000 per hektar per musim tanam. Secara agregat hanya sekitar 1,5 persen proporsi petani yang memanfaatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal (bank). Artinya, sebagian besar petani tidak bisa akses ke lembaga perbankan (nonbankable). Permasalahan ini dapat dicarikan solusinya melalui pembentukan bank pertanian. Implementasinya, bantuan penyediaan modal usaha tani disarankan dalam bentuk kredit yang rasional dengan memperhatikan variasi kebiasaan petani antardaerah dalam pengelolaan usaha tani. Kata kunci : biaya usaha tani, lembaga pembiayaan, budidaya padi sawah
557
Valeriana Darwis dan M. Iqbal
PENDAHULUAN
Pembiayaan merupakan salah satu elemen esensial dalam sektor pertanian, khususnya guna mendukung percepatan produksi menuju peningkatan pendapatan petani. Dengan kata lain, kekurangan pembiayaan (modal) dapat mengakibatkan terhambatnya ruang gerak aktivitas usaha tani. Konsekuensinya, pendapatan para petani dari usaha tani yang mereka kelola juga tidak akan berhasil secara optimal. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian, telah berupaya mencarikan solusi mengenai pembiayaan pertanian. Dalam konteks revitalisasi pertanian, pembiayaan telah dimasukkan sebagai salah satu komponen strategis guna mendukung pembangunan pertanian. Secara garis besar, dua isu penting dalam kebijakan pembiayaan juga telah digulirkan, yaitu : (1) kebijakan pembiayaan pembangunan pertanian yang memprioritaskan anggaran untuk sektor pertanian dan sektor pendukungnya; dan (2) kebijakan pembiayaan petanian yang mudah diakses masyarakat (Deptan, 2005). Kedua kebijakan di atas sebetulnya telah banyak dan sudah cukup lama dilakukan Departemen Pertanian melalui penerapan sejumlah program/proyek seperti kredit usaha tani (KUT), proyek peningkatan pendapatan petani-nelayan kecil (P4K), kredit ketahanan pangan (KKP), dana penguatan modal-lembaga usaha ekonomi perdesaan (DPM-LUEP), bantuan langsung masyarakat (BLM), dan lembaga keuangan mikro (LKM). Peralihan atau pergantian dari suatu program/proyek ke program/proyek lainnya disamping memperkaya khasanah pembiayaan pertanian, beberapa diantaranya juga dimaksudkan sebagai kebijakan alternatif yang diharapkan implementasi lebih efektif dibandingkan sebelumnya. Berbagai kebijakan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan pembiayaan pada awalnya diimplementasikan dalam bentuk program pemberian kredit masal melalui fasilitasi bunga pinjaman bersubsidi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi berbagai komoditas pertanian. Akan tetapi, dalam perkembangannya pemberian kredit tersebut menimbulkan polemik yang berkepanjangan karena terjadinya berbagai penyimpangan dan penggunaan yang kurang tepat sasaran (Sugiarto dan Syukur, 2005). Eksistensi lembaga pembiayaan lebih banyak dimanfaatkan petani dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit. Direktorat Pembiayaan (2004) menggarisbawahi bahwa dengan adanya kredit maka petani bisa mencukupi kekurangan pengadaan benih, pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian (alsintan). Selain itu, kredit tidak hanya dipandang sekedar sebagai input produksi saja tetapi juga dimanfaatkan sebagai suatu instrumen yang memungkinkan seseorang (petani) untuk memperoleh akses atau memperluas kontrol terhadap sumber daya (a command over resources). Apabila para petani tidak bisa mendapatkan kredit, maka produksi usaha tani yang mereka kelola tidak akan optimal. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Todaro (2000) bahwa salah satu dari tiga strategi pembangunan perdesaan dan pertanian adalah adanya dukungan pemerintah terhadap suatu
558
Keragaan Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usaha Tani Padi Sawah
sistem yang dapat menciptakan insentif, kesempatan ekonomi, dan akses terhadap kredit serta input produksi sehingga para petani kecil dapat meningkatkan produktivitas usaha tani mereka. Tampubolon (2002) menambahkan bahwa kredit dapat dianggap sebagai salah satu alat yang sanggup memutuskan “lingkaran setan” penyebab rendahnya kemampuan dalam pemupukan modal, kemampuan pembelian sarana produksi, percepatan produktivitas usaha tani, dan peningkatan pendapatan. Dalam prakteknya para petani seringkali menghadapi keterbatasan untuk mengakses lembaga pembiayaan karena persyaratan agunan (collateral) atau karena tingkat pendidikan yang masih rendah sehingga mereka kurang mengenai prosedur cara memperoleh kredit. ADB (2004) mengemukakan bahwa secara empirik terdapat kesenjangan akses petani terhadap kredit, sehingga menyebabkan semakin terbatasnya kemampuan untuk melakukan kegiatan diversifikasi dan mengambil kesempatan pasar yang notabene akan menguntungkan mereka. Terkait dengan ini fasilitasi kredit dapat memberikan kesempatan kepada petani dalam beberapa hal, yaitu untuk : (1) membeli input produksi seperti benih, pupuk, dan sebagainya; (2) membeli alat dan mesin pertanian; (3) melaksanakan diversifikasi antara berbagai jenis tanaman dan atau ternak dengan tanaman yang bernilai tinggi; (4) melakukan pengolahan pascapanen dalam rangka meningkatkan nilai tambah produk pertanian; dan (5) melaksanakan diversifikasi bisnis horizontal antara pertanian dan non-pertanian. Kementerian Pertanian telah menetapkan target dalam empat sukses pertanian (2010-2014), yaitu : (1) keberlanjutan swasembada beras, jagung, dan pencapaian swasembada kedelai, gula, dan daging sapi; (2) peningkatan diversifikasi pangan; (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor serta; (4) peningkatan kesejahteraan petani. Untuk mencapai empat sukses tersebut telah dibuat tujuh strategi yang dinamai “Tujuh Gema Revitalisasi” Adapun strategi tersebut adalah : (1) revitaliasi lahan, (2) revitalisasi perbenihan dan pembibitan, (3) revitalisasi infrastruktur dan sarana, (4) revitalisasi sumber daya manusia, (5) revitalisasi pembiayaan pertanian, (6) revitalisasi kelembagaan petani, (7) revitalisasi teknologi dan industri hilir (Suswono. 2010). Berdasarkan uraian diatas dan dengan adanya kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan revitalisasi pembiayaan pertanian, maka tulisan ini bertujuan menyampaikan kondisi dan eksistensi lembaga pembiayaan di pertanian dan lembaga pembiayaan yang selama ini dipergunakan oleh petani sebagai pinjaman usaha tani padi sawah di lokasi Patanas.
METODOLOGI Lokasi Penelitian Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian Patanas 2007 yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakaan Pertanian. Dalam penelitian Patanas ada beberapa instrumen monitoring yang harus dipertahankan, yaitu : (1) konsistensi desa contoh dan rumah tangga contoh yang merupakan
559
Valeriana Darwis dan M. Iqbal
sumber informasi, (2) konsistensi metode pengukuran variabel yang diamati, (3) konsistensi kedalaman informasi yang dikumpulkan melalui kuesioner, dan (4) konsistensi interval waktu yang digunakan dalam mengkaji perubahan variabelvariabel yang diamati. Pada tahun 2007 dilakukan survei rumah tangga di desa-desa contoh yang telah dipilih melalui kegiatan penelitian PATANAS tahun 2006. Pemilihan provinsi lokasi desa contoh yang akan disurvei dilakukan dengan memperhitungkan sebaran jumlah tipe desa sawah irigasi berbasis padi (tipe desa 1) menurut provinsi. Berdasarkan kriteria tersebut maka 14 desa sawah irigasi berbasis padi (tipe desa 1) yang akan disurvei pada tahun 2007 adalah: (1) 4 desa di Provinsi Jateng, (2) 3 desa di Provinsi Jatim, (3) 3 desa di Provinsi Jabar, (4) 2 desa di Provinsi Sumut, dan (5) 2 desa di Provinsi Sulsel.
Sampling Rumah Tangga Contoh Pengumpulan data rumah tangga dilakukan melalui survei rumah tangga yang melibatkan 25 rumah tangga contoh untuk setiap tipe desa. Pemilihan rumah tangga contoh dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut : Tabel.1. Jumlah Desa Menurut Basis Sumber Daya Lahan dan Basis Komoditas Tipe Desa LK-padi
Basis Sumber daya Lahan
Total Desa
Lahan kering
23257
Basis Komoditas
Jumlah Desa
Persentase (%)
Padi
2.181
4,25
LK-palawija
Palawija
5.749
11,19
LK-sayuran
Sayuran
4.361
8,49
LK-buah
Buah
3.265
6,36
LK-kebun
Perkebunan
7.354
14,31
Total
22.910
44,59
Padi
4.607
8,97
SWNOIR-plwija
Palawija
1.588
3,09
SWNOIR-sayur
Sayuran
1.353
2,63
SWNOIR-buah
Buah
835
1,63
SWNOIR-kebun
Perkebunan
817
1,59
Total
9.200
17,91
Padi
11.237
21,87
SWNOIR-padi
SWIR-padi
Sawah non irigasi
Sawah irigasi
9320
19420
SWIR-palawija
Palawija
2.387
4,65
SWIR-sayuran
Sayuran
2.926
5,70
SWIR-buah
Buah
1.323
2,58
SWIR-kebun
Perkebunan Total
Jumlah
560
51997
1.391
2,71
19.264
37,50
51.374
100.00
Keragaan Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usaha Tani Padi Sawah
(1) Identifikasi blok-blok Sensus Pertanian 2003 di setiap desa contoh yang telah dipilih beserta jumlah rumah tangga di setiap blok. (2) Pilih 2-3 blok Sensus Pertanian 2003 yang merupakan daerah sentra sumber daya lahan dan sentra komoditas yang dianalis, yang memiliki jumlah rumah tangga terbanyak. (3) Buat daftar rumah tangga di blok Sensus Pertanian 2003 yang dipilih beserta : alamat, sumber pendapatan utama rumah tangga, luas pemilikan dan penguasaan lahan menurut jenis lahan, kegiatan anggota rumah tangga dan penguasaan asset produktif. (4) Berdasarkan daftar rumah tangga yang diperoleh dari butir (3) dipilih secara acak 25 rumah tangga contoh. Data dan Analisis Data Data yang diperoleh merupakan hasil wawancara dengan 25 rumah tangga responden dengan mempergunakan kuesioner (daftar pertanyaan terstruktur). Data-data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif dan analisis tabulasi.
KONDISI DAN EKSISTENSI LEMBAGA PEMBIAYAAN
Menurut M. Jafar Hafsah (2010) ada beberapa permasalahan dalam membangun pertanian, yaitu (1) liberalisasi perdagangan, (2) belum mantapnya ketahanan pangan, (3) sempitnya kepemilikan lahan, (4) investasi dan kredit, (5) lemahnya dukungan IPTEK, (6) kelembagaan, (7) perbenihan, (8) pemasaran hasil, (9) manajemen pembangunan pertanian, (10) ketidakseimbangan porsi PDB dan tenaga kerja, (11) migrasi sektoral dan spasial. Lebih lanjut dikatakan tantangan pertanian kedepan adalah (1) memperbaiki platform pembangunan pertanian yang konsisten dan operasional, (2) memperoleh dukungan dan kemauan politik secara nasional untuk mendorong pembangunan pertanian, (3) produk pertanian mampu melakukan penetrasi pasar internasional, (4) memanfaatkan dan mengefektifkan pasar domestik, (5) mewujudkan bank pertanian, (6) membangun indutri alsintan, dan (7) membangun sistem manajemen pembangunan pertanian. Adanya permasalahan di sektor pertanian juga dikemukakan oleh Sunaso, Executive Vice President Agro Based Group Bank Mandiri. Ada beberapa kendala investasi pertanian, antara lain adalah : (1) Belum tuntasnya blueprint tata ruang yang menimbulkan permasalahan : (i) ketidakpastian tata ruang berimplikasi pada ketidakpastian hukum yang rumit dan high-cost investment, (ii) terganggunya siklus hidrologi, tidak terpeliharanya DAS, tumpang tindih ijin pemanfaatan lahan, (iii) masih adanya ego wilayah, pemanfaatan lahan tidak ada poteni terbaiknya. (2) Diperlukan penguatan peran kelembagaan petani. (3) Dibutuhkan berbagai kebijakan yang tidak bertentangan antarsatu lembaga dengan yang lain, pasti
561
Valeriana Darwis dan M. Iqbal
tanpa mis-informasi dan memiliki rentang waktu kepastian jangka panjang dan menjamin waktu pengembalian modal bagi para investor. (4) Perlu dukungan infrastruktur fisik yang lebih optimal untuk menjamin ekstensifikasi, ketersediaan sarana produksi yang sesuai dengan tingkat penerapan teknologi dalam intensifikasi. (5) Lahan pertanian menyempit dan terpecah-pecah akibat konversi lahan produktif menjadi pengguna nonpertanian. (6) Tidak adanya jaminan bagi investor atas kepastian harga, kesulitan investor memperhitungkan feasibility investasinya. (7) terdapat komoditas yang dipersepsi sebagai tanaman sampingan dan tingkat permintaannya dianggap tidak begitu berkembang, tanaman pangan dengan penggunaan yang luas dan permintaan yang jelas akan lebih diminati investor. (8) Persepsi lembaga keuangan bahwa investasi usaha tanaman pangan memiliki risiko yang tinggi, keterbatasan petani untuk mengakses permodalan. Secara umum lembaga pembiayaan dapat dikelompokkan ke dalam lembaga pembiayaan formal dan nonformal. Lembaga pembiayaan formal dalam kegiatan untuk mencari calon peminjam, pada umumnya banyak menawarkan jasa untuk menarik para peminjam dengan berbagai kemudahan, baik dengan cara promosi maupun melalui pemberian imbal jasa. Berbagai skim yang dikeluarkan oleh perbankan untuk menarik para peminjam, baik mulai dari sistem penyaluran, pelayanan, pemberian tingkat bunga, insentif, hingga sangsi yang diterapkan dan persyaratannya, semuanya dibuat sesederhana mungkin sehingga para peminjam dapat akses kepada lembaga pembiayaan. Lembaga pembiayaan nonformal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, terutama diwilayah perdesaan, pada umumnya kurang memperhatikan aspek promosi tetapi berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Salah satu bentuk pelayanan yang diberikan lembaga pembiayaan nonformal adalah fasilitasi kemudahan dari segi waktu, jumlah, dan bentuk pinjaman. Kendati demikian, fasilitasi kemudahan tersebut seringkali tergantung pada kesepakatan yang dibuat bersama antara peminjam dan pemberi pinjaman. Pada dasarnya filosofi yang dijadikan pertimbangan dalam pemberian kredit formal dan nonformal adalah sama, yaitu dibangun atas dasar kepercayaan (trust). Hal yang cukup membedakan, pada lembaga formal kepercayaan dibangun atas bukti-bukti empiris yang ditunjukkan berdasarkan dokumen yang sah menurut hukum. Sementara itu, pada lembaga nonformal kepercayaan dibangun berdasarkan intensitas hubungan dan citra yang muncul dalam masyarakat terhadap seseorang (Syukur et al., 2002). Secara garis besar sumber biaya usaha pertanian terdiri dari empat kelompok, yaitu : (1) pemilik usaha (modal sendiri); (2) kredit formal; (3) kredit nonformal; dan (4) kemitraan. Lembaga keuangan yang memfasilitasi pembiayaan pertanian sampai sekarang masih sulit diakses oleh petani (faktor internal). Hal tersebut disebabkan oleh sistem dan prosedur penyaluran kredit dari perbankan yang cukup rumit, birokratis, dan kurang memperhatikan kondisi lingkungan sosial budaya perdesaan (Swastika et al., 2007). Rendahnya dukungan pembiayaan bagi sektor pertanian juga disebabkan oleh faktor eksternal dalam pembentukan lembaga pembiayaan khusus pertanian atau Bank Pertanian.
562
Keragaan Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usaha Tani Padi Sawah
Bank Pertanian Tidak dapat dipungkiri, sektor pertanian dan perdesaan memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan nasional. Soekartawi (1996) mengemukakan bahwa peran tersebut diantaranya adalah sebagai andalan mata pencaharian sebagian besar penduduk, penyumbang bagi Produk Domestik Bruto (PDB), kontribusi terhadap ekspor (devisa), bahan baku industri, serta penyedia bahan pangan dan gizi masyarakat. Beberapa kali sektor pertanian terbukti mampu secara strategis menjadi penyangga ekonomi. Walaupun strategis, sektor pertanian cukup sering dihadapkan pada beberapa permasalahan terutama lemahnya pembiayaan. Kelemahan yang paling menonjol pada sektor pertanian di Indonesia selama lebih 30 tahun terakhir adalah kurang berminatnya lembaga finansial (bank konvensional) dalam melakukan investasi di sektor ini. Krisna W. (1999) mengemukakan bahwa sektor pertanian memerlukan lembaga pembiayaan mandiri yang bersifat khusus, terlepas dari sistem perbankan konvensional. Lembaga pembiayaan tersebut selain menyalurkan kredit juga berfungsi sebagai konsultan informasi pasar bagi produk-produk pertanian yang akan dikembangkan. Dalam prakteknya, peran lembaga pembiayaan belum optimal dalam mendanai sektor pertanian. Hal demikian misalnya terlihat pada tahun 2003 dimana persentase jumlah kredit investasi untuk sektor pertanian tercatat sekitar 18,8 persen dari total kredit, sedangkan kredit modal kerja jauh lebih kecil yaitu hanya sekitar 6,53 persen (Arifin, 2004). Rendahnya alokasi kredit tersebut karena tidak adanya perlakukan istimewa terhadap sektor pertanian, seperti tingkat suku bunga, agunan, sistem penyaluran, dan pengembalian (Ashari dan Friyatno, 2006). Pentingnya kredit dalam pembangunan pertanian Indonesia terkait dengan tipologi petani yang sebagian besar merupakan petani kecil dengan penguasaan lahan yang sempit, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pemupukan modal untuk investasi pada teknologi baru. Dengan demikian dukungan pembiayaan harus dilakukan. Syukur dan Windarty (1999) menyatakan bahwa peran kredit sebagai akselerator pembangunan pertanian diantaranya dalam (1) membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga yang relatif ringan; (2) mengurangi ketergantungan petani terhadap pedagang perantara dan pelepas uang dalam kaitannya dengan upaya memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian; (3) mendorong mekanisme tranfer pemerataan pendapatan masyarakat; dan (4) memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi usaha tani Berdasarkan kondisi di atas, Ashari dan Friyatno (2006) menawarkan pendirian bank pertanian dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: (1) kesiapan sumber daya manusia pengelola bank pertanian; (2) kesiapan sumber daya manusia kelompok sasaran (petani, peternak, kelompok tani, dan pelaku ekonomi pertanian lainnya); (3) syarat-syarat administratif pendirian dan operasional bank pertanian; (4) ketatalaksanaan operasionalisasi bank pertanian; (5) pengembangan jaringan, baik internal maupun eksternal bank pertanian dan tahap prosesnya; (6) pengembangan sistem informasi manajemen bank pertanian; dan (7) dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif bagi perbankan maupun sektor pertanian, termasuk aspek-aspek lain yang kontruktif bagi tumbuh dan berkembangnya bank pertanian di Indonesia.
563
Valeriana Darwis dan M. Iqbal
Menurut Winarno dan Habib (2006) bank pertanian dapat diinisiasi melalui pembentukan Lembaga Keuangan Milik Pertanian (LKMP). Secara empirik Indonesia memiliki 24 juta petani, dengan jumlah anggota LKMP 100 orang, maka dapat dimiliki 240 ribu LKPM. Dengan aset tiap LKPM sebesar Rp 25 juta, maka secara nasional memiliki aset Rp 6 triliun. Jika aset tersebut dijadikan lembaga induk, maka lembaga induk yang dimaksud bisa berupa bank pertanian, karena dari aset yang ada lebih dari cukup sebagai syarat minimal untuk membentuk lembaga bank pertanian. Berdasarkan kajian ontologi, Nuswantara (2002) mendefenisikan bank pertanian sebagai bank umum dan bank pekreditan rakyat (BPR) yang secara operasional mempunyai fungsi utama dalam melayani kegiatan-kegiatan sektor riil (investasi, produksi, dan distribusi) di bidang pertanian, terutama dalam hal pemberian kredit. Untuk itu, ada empat aspek yang dapat dijadikan indikator seberapa besar bank tersebut melayani bidang pertanian, yaitu : (1) portofolio kredit yang diberikan; (2) jumlah nasabah (debitor) yang dilayani; (3) letak dan jumlah kantor yang dimiliki; dan (4) skim kredit yang dimiliki. Dalam orasi ilmiahnya tanggal 23 Juni 2007, KH Didin Hafidhuddin (guru besar IPB) meminta bank syariah untuk lebih memperhatikan pembangunan pertanian dengan lebih meningkatkan penyaluran pembiayaan bagi sektor ini. Implementasinya, pembentukan bank syariah pertanian direkomendasikan berdasarkan rancangan khusus untuk mendukung pengembangan sektor pertanian di tanah air (Republika, 24 Juni 2007. Pendapat di atas juga didukung oleh Irfan (2007) dengan dua alasan utama. Pertama, sistem syariah sebenarnya lebih sesuai dengan karakter petani dan pertanian di Indonesia, sehingga lebih memungkinkan untuk diterapkan dan dibandingkan dengan sistem bunga. Pada sistem syariah, yang dituntut adalah kemampuan petani untuk memproduksi hasil pertanian. Misalnya pada skema pembiayaan “bai' as salaam”, di mana petani mendapatkan modal untuk berproduksi sesuai biaya aktual yang dibutuhkan dan mendapat keuntungan dengan persentase tertentu. Berdasarkan skema tersebut, kewajiban petani adalah menyerahkan produk pertanian dengan kriteria yang telah disepakati kepada pemberi modal (dalam hal ini adalah bank dan atau pemerintah). Bank dan pemerintah dapat menunjuk suatu lembaga untuk memasarkan produk pertanian tersebut. Kriteria ini berbeda dengan sistem konvensional, di mana yang menjadi titik tumpunya adalah pengembalian modal (uang) plus bunga. Kedua, bank syariah lebih menitikberatkan pada investasi di sektor riil, dimana dalam hal ini sektor pertanian merupakan bagian dari sektor riil. Untuk itu, struktur bank pertanian syariah yang nantinya didirikan sebaiknya mengikuti struktur bank investasi daripada bank komersial. Diharapkan, bank pertanian syariah dapat menjadi model bank investasi syariah, sehingga mampu menjawab problematika akses pembiayaan bagi petani. Bank tersebut juga dapat menjadi jembatan untuk mengintegrasikan pasar keuangan syariah dengan sektor pertanian, antara lain melalui penerbitan sukuk (obligasi syariah) untuk pertanian. Ketiga, bank pertanian syariah dapat menjadi substitusi kebijakan subsidi pemerintah untuk sektor pertanian. Selama ini subsidi yang diberikan pemerintah
564
Keragaan Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usaha Tani Padi Sawah
lebih menitikberatkan pada subsidi sarana produksi pertanian. Pada prakteknya seringkali subsidi tersebut salah sasaran akibat penyelewengan moral (moral hazard). Sebagai contoh, subsidi pupuk yang tujuannya adalah untuk pendistribusian pupuk dengan harga murah dan dapat dijangkau oleh petani malah diselewengkan oleh permainan oknum di tingkat produksi. Akibatnya, seringkali harga yang diterima di tingkat petani menjadi lebih mahal dari harga yang ditetapkan pemerintah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Usaha tani padi sawah dapat dianggap sebagai usaha basis pertanian mengingat peran strategisnya dalam menyangga ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, eksistensi dan peran lembaga pembiayaan sangat penting dalam upaya pengembangan dan pelestarian usaha tani ini. Uraian berikut membahas beberapa aspek pembiayaan yang berhubungan langsung dengan pengelolaan usaha tani padi sawah, yaitu peminjam dan pemanfaatan pinjaman, proporsi dan jumlah pinjaman, dan sumber pinjaman.
Peminjam dan Pemanfaatan Pinjaman Pada umumnya input yang digunakan petani dalam budidaya usaha tani padi sawah dapat dikelompokkan atas penyediaan tenaga kerja, benih, pupuk, dan pestisida. Jenis tenaga kerja yang diperlukan dalam budidaya padi sawah adalah untuk kegiatan pembibitan, pengolahan lahan, penanaman, pemerliharaan (pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, pengairan, dan lain-lain), panen, dan pascapanen. Dari beragam kegiatan tersebut, pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan sendiri oleh para petani yang memiliki lahan sempit (petani gurem). Kegiatan pembibitan dan penanaman sebagian besar dilakukan tenaga perempuan dengan sistem upah borongan. Pengolahan lahan biasanya menggunakan jasa traktor (upah borongan). Kegiatan pemeliharaan dilakukan oleh tenaga laki-laki dan perempuan baik melalui sistem upah harian maupun sistem upah borongan. Sementara itu, kegiatan panen dan pascapanen lazimnya dilaksanakan secara upah borongan. Input lainnya di luar tenaga kerja, sebagian dibeli dan sebagian lagi disediakan sendiri oleh petani. Untuk kebutuhan benih, apabila tidak mendesak dan petani memiliki keterbatasan modal atau kurang percaya terhadap kualitas benih yang di jual di pasar, ketersediaannya cukup dipenuhi dengan cara menyisihkan sebagian dari hasil panen. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan input lainnya seperti pupuk dan pestisida, harus dikeluarkan biaya berhubung input tersebut tidak bisa diproduksi sendiri oleh petani. Akibat keterbatasan modal, seringkali petani meminjam uang untuk pengadaan input usaha tani. Hasil penelitian Irawan et al. (2007) menggambarkan bahwa petani padi sawah di luar Pulau Jawa lebih besar meminjam modal dibandingkan petani di Pulau Jawa, yaitu masing-masing 54 persen dan 33,9
565
Valeriana Darwis dan M. Iqbal
persen (Tabel 2). Hal demiklian mengindikasikan bahwa keterbatasan modal tunai untuk pembiayaan kegiatan usaha tani padi sawah lebih banyak dialami petani di luar Pulau Jawa. Gambaran lebih jauh yaitu pada level desa, ditemui lebih dari setengah petani pada beberapa desa penelitian melakukan peminjaman modal dalam berusaha tani padi sawah. Lengkapnya, desa yang paling banyak para petaninya meminjam modal usaha tani di luar Pulau Jawa adalah Desa Carawali (Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan dan Desa Lidah Tanah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara). Sebaliknya, petani yang paling sedikit meminjam modal usaha tani padi sawah terdapat di Desa Tambah Mulyo (Kabupaten Pati, Jawa Tengah). Pinjaman modal yang dilakukan petani padi sawah baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa paling banyak dialokasikan untuk kegiatan pembelian pupuk (29,3% dan 51%). Berikutnya diikuti oleh pembelian pestisida (22,7% dan 38%), biaya pengolahan lahan (18,6% dan 33%), dan pembelian benih (14,5% dan 24%). Tingginya pinjaman modal untuk pembelian pupuk mengindikasikan bahwa petani sangat membutuhkan input ini. Situasi tersebut cukup beralasan mengingat para petani tidak bisa menciptakan pupuk (khususnya pupuk kimia) diiringi dengan persepsi mereka terhadap pentingnya pupuk dalam meningkatkan produksi usaha tani.
Proporsi dan Jumlah Pinjaman Agar bisa melanjutkan kegiatan pada musim tanam berikutnya, biasanya petani menyimpan modal dari hasil penjualan produksi usaha tani musim tanam sebelumnya. Kebiasan tersebut adakalanya terganggu manakala terjadi kegagalan panen atau petani mengalami kerugian akibat tidak seimbangnya kenaikan harga produksi (output) dengan kenaikan harga input. Akibatnya, para petani harus melakukan peminjaman guna memenuhi biaya pembelian input yang dibutuhkan dalam usaha tani mereka. Menurut Irawan et al. (2007), proporsi petani dalam meminjam modal untuk kebutuhan usaha tani padi sawah selama kurun waktu lima tahun terakhir (2003-2007) mengalami kenaikan, yaitu masing-masing sekitar 21,6 persen di Pulau Jawa dan 32 persen di luar Pulau Jawa (Tabel 2). Kenaikan proporsi tersebut disebabkan oleh selalu meningkatnya harga-harga input, sementara harga produksi (output) boleh dikatakan tidak menentu bahkan turun pada saat musim panen raya. Selain itu, faktor penyebab lainnya adalah terjadinya penurunan produksi akibat fenomena perubahan iklim serta serangan hama dan penyakit tanaman. Peminjaman modal usaha tani padi sawah yang dilakukan petani di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa masing-masing sekitar Rp 900.000 per hektar per musim tanam dan Rp 1.300.000 per hektar per musim tanam (Tabel 3). Besarnya pinjaman petani di luar Pulau Jawa disebabkan oleh kebiasaan petani setempat dalam budidaya usaha tani padi sawah. Kebiasaan tersebut antara lain kurang mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, menggunakan herbisida dalam pemeliharaan lahan, dan melakukan pengolahan lahan sawah
566
Keragaan Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usaha Tani Padi Sawah
dengan cara menggunakan sistem upah borongan tenaga kerja secara keseluruhan.
Tabel 2. Persentase Petani Peminjam Modal Usaha Tani dan Pemanfaatannya, 2007 Provinsi/ Kabupaten Jawa Barat : Indramayu Subang Karawang Jawa Tengah : Cilacap Klaten Sragen Pati Jawa Timur : Jember Banyuwangi Lamongan
Desa
Jumlah Responden (KK)
Peminjam Modal Usaha Tani (%)
Pemanfaatan Modal Pinjaman (%) Biaya Biaya Biaya Biaya pengolahan Benih Pupuk Insektisida tanah
Tugu Simpar Sindangsari
25 25 25
32,0 24,0 56,0
24,0 8,0 36,0
16,0 4,0 16,0
16,0 24,0 56,0
16.0 16.0 40.0
Padangsari Demangan Mojorejo Tambahmulyo
17 25 25 25
17,6 40,0 32,0 8,0
5,9 24,0 12,0 4,0
5,9 20,0 12,0 4,0
17,6 32,0 20,0 8,0
5.9 32.0 12.0 4.0
Padomasan Kaligondo Sungegeneng
25 25 25 242
44,0 56,0 24,0 33,9
12,0 48,0 8,0 18,6
8,0 44,0 12,0 14,5
40,0 56,0 20,0 29,3
28.0 52.0 16.0 22,7
25 25
60,0 40,0
36,0 20,0
20,0 4,0
60,0 36,0
48.0 28.0
25 25 100 342
44,0 72,0 54,0 39,8
16,0 60,0 33,0 22,8
24,0 48,0 24,0 17,3
44,0 64,0 51,0 35,7
28.0 48.0 38,0 27,2
Jawa Sulawesi Selatan : Sidrap Carawali Luwu Salu Jambu Sumatera Utara : Asahan Kwala Gunung Serdang Bedagai Lidah Tanah Luar Jawa Total Sumber : data primer
Sumber Pinjaman Pengembangan lembaga bank formal yang dapat menyalurkan pinjaman dengan bunga cukup rendah dapat dianggap sebagai langkah strategis untuk membantu para petani dalam mengatasi persoalan mereka terhadap keterbatasan modal usaha tani. Konsep ini sebetulnya telah cukup lama muncul yaitu bermula pada masa Revolusi Hijau (green revolution) sekitar tiga dekade yang lalu. Pada waktu itu, pemerintah mengembangkan lembaga BRI unit desa yang berlokasi di kecamatan-kecamatan guna menciptakan dukungan aksesibilitas yang lebih baik bagi petani terhadap lembaga perbankan. Implementasinya, lembaga tersebut juga menyalurkan kredit kepada petani dengan prosedur, persyaratan, dan bunga cukup rendah dengan tujuan agar aksesibilitas petani secara finansial terhadap lembaga perbankan menjadi semakin baik. Dalam prakteknya, BRI juga pernah memberikan perlakuan (treatment) khusus dalam penyaluran kredit di sektor pertanian, yaitu dengan skim pembiayaan musiman (4 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan). Namun demikian dibandingkan dengan kebutuhan dana untuk sektor pertanian yang sangat besar
567
Valeriana Darwis dan M. Iqbal
serta luas cakupannya, maka jumlah alokasi penyaluran kredit dengan skim pola musiman tersebut masih sangat terbatas (Ashari dan Saptana, 2005). Realitanya perkreditan di perdesaan melibatkan dua kelompok kepentingan yaitu petani atau masyarakat di satu pihak sebagai debitor dan lembaga pembiayaan di lain pihak sebagai kreditor. Kedua kelompok tersebut memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda terhadap perkreditan, sehingga dapat menimbulkan konflik pandangan. Konflik pandangan tersebut terjadi antara lembaga perkreditan pemerintah dengan masyarakat petani. Oleh karena itu, di daerah perdesaan muncul berbagai bentuk kelembagaan pembiayaan nonformal yang terbentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat, misalnya pedagang output, pedagang input, arisan, kelompok pengajian, dan sebagainya (Uphoff, 1986; Hastuti, dan White, 1979). Tabel 3. Nilai Pinjaman Modal Usaha Tani dan Persepsi Tentang Kecenderungan Banyaknya Petani yang Meminjam Modal Selama Lima Tahun Terakhir, 2003-2007
Provinsi/Kabupaten Jawa Barat : Indramayu Subang Karawang Jawa Tengah : Cilacap Klaten Sragen Pati Jawa Timur : Jember Banyuwangi Lamongan
Desa
Jumlah Responden (KK)
Rata-rata nilai pinjaman modal usaha tani (Rp 000/ha/MT)
Persepsi tentang kecenderungan jumlah petani peminjam modal usaha tani selama 5 tahun terakhir (%) Tetap Naik Turun
Tugu Simpar Sindangsari
25 25 25
738,3 2.033,3 1.117,9
20,0 12,0 20,0
16,0 16,0 24,0
4,0 0 0
Padangsari Demangan Mojorejo Tambahmulyo
17 25 25 25
66,7 917,6 1.481,3 300,0
5,9 4,0 16,0 0
23,5 24,0 24,0 8,0
0 8,0 0 0
Padomasan Kaligondo Sungegeneng
25 25 25 242
1.127,7 487,5 832,5 910,3
16,0 12,0 20,0 12,6
32,0 44,0 4,0 21,6
4,0 0 0 1,6
25 25
1.416,1 394,8
28,0 32,0
16,0 32,0
0 4,0
25 25 100 342
863,0 2.747,4 1.355,3 1.317,4
16,0 8,0 21,0 15,2
24,0 56,0 32,0 24,6
0 4,0 2,0 1,8
Jawa Sulawesi Selatan : Sidrap Carawali Luwu Salu Jambu Sumatera Utara : Asahan Kwala Gunung Serdang Bedagai Lidah Tanah Luar Jawa Total Sumber : data primer
Keterbatasan aksesibilitas petani terhadap lembaga pembiayaan kredit formal terjadi di berbagai wilayah perdesaan. Hasil penelitian Irawan et al. (2007) menunjukkan bahwa secara keseluruhan dari 49,5 persen petani peminjam modal usaha tani hanya 1,5 persen dari mereka yang melakukan pinjaman modal kepada lembaga bank formal (Tabel 4). Kondisi tersebut hanya terdapat di tiga desa penelitian di Pulau Jawa (Desa Tugu, Kabupaten Indramayu; Desa Mojorejo, Kabupaten Sragen; dan Desa Padomasan, Kabupaten Jember) serta satu desa di luar Pulau Jawa (Desa Lidah Tanah Kabupaten Serdang Bedagai). Hal demikian
568
Keragaan Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usaha Tani Padi Sawah
mengindikasikan bahwa jaringan lembaga perbankan yang dapat diakses oleh petani sangat terbatas meskipun bunga pinjaman yang diberikan oleh lembaga bank formal biasanya relatif rendah dibanding lembaga finansial nonformal seperti para rentenir dan pedagang yang memberikan pinjaman modal kepada petani. Petani lebih tertarik meminjam ke lembaga nonformal karena persyaratannya relatif mudah untuk dipenuhi. Fenomena lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Desa Oenani ditemui bahwa apabila petani setempat mengalami kekurangan modal, biasanya mereka lebih suka meminjam ke saudara atau tetangga. Sementara itu di Desa Baumata, selain meminjam ke saudara terdekat atau ke tetangga, petani setempat juga melakukan pinjaman ke lembaga kelompok tani dan koperasi serta pengusaha penggilingan padi (Nurmanaf et al., 2002). Irawan et al. (2007) mengemukakan bahwa sekitar 23,4 persen petani melakukan pinjaman dari pedagang input usaha tani. Rinciannya masing-masing 19,4 persen petani di Pulau Jawa dan 33 persen di luar Pulau Jawa. Umumnya peminjaman tersebut dilakukan untuk kemudahan praktis pengadaan input khususnya pupuk dan pestisida dari pedagang yang bersangkutan. Semantara itu, khusus di luar Pulau Jawa ditemui sekitar 12 persen petani juga melakukan peminjaman kepada sumber lain yaitu pemilik penggilingan padi. Pinjaman modal usaha tani dari penggilingan padi tersebut umumnya dilakukan petani untuk biaya pengolahan lahan dengan sistem pembayaran “yarnen” (bayar setelah panen). Tabel 4. Persentase Petani Menurut Sumber Pinjaman Modal Usaha Tani, 2007 Provinsi/Kabupaten Jawa Barat : Indramayu Subang Karawang Jawa Tengah : Cilacap Klaten Sragen Pati Jawa Timur : Jember Banyuwangi Lamongan
Desa
Jumlah Responden (KK)
Sumber pinjaman modal usaha tani (%) *) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tugu Simpar Sindangsari
25 25 25
8,0 12,0 32,0
4,0 0 12,0
0 0 8,0
0 0 0
16,0 4,0 28,0
8,0 12,0 0
0 0 0
0 0 0
8.0 0 0
Padangsari Demangan Mojorejo Tambahmulyo
17 25 25 25
0 28,0 8,0 8,0
0 0 0 0
5,9 4,0 4,0 0
0 0 0 0
17,6 4,0 4,0 0
5,9 4,0 4,0 0
0 0 12,0 0
0 4,0 4,0 0
0 0 4.0 0
Padomasan Kaligondo Sungegeneng
25 25 25 242
28,0 48,0 16,0 19,4
8,0 0 12,0 3,7
0 0 4,0 2,5
0 0 0 0
4,0 4,0 0 7,9
0 0 0 3,3
4,0 4,0 4,0 2,5
0 0 0 0,8
4.0 0 0 1,7
Jawa Sulawesi Selatan : Sidrap Carawali 25 52,0 4,0 0 0 0 0 4,0 0 0 Luwu Salu Jambu 25 24,0 4,0 12,0 0 12,0 0 16,0 0 0 Sumatera Utara : Asahan Kwala Gunung 25 36,0 8,0 4,0 0 0 0 0 0 0 Serdang Bedagai Lidah Tanah 25 20,0 20,0 32,0 0 8,0 4,0 8,0 0 4.0 Luar Jawa 100 33,0 9,0 12,0 0 5,0 1,0 7,0 0 1,0 Total 342 23,4 5,3 5,3 0 7,0 2,6 3,8 0,6 1,5 Keterangan : *) 1 = pedagang input; 2 = pedagang padi; 3 = penggilingan padi; 4 = bank harian; 5 = petani lain; 6 = pelepas uang; 7 = kelompok tani; 8 = koperasi desa; 9 = bank formal
569
Valeriana Darwis dan M. Iqbal
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kebiasaan menyisihkan hasil panen di lumbung gabah dalam rumah tangga petani sudah sulit untuk ditemukan. Kondisi sekarang petani lebih banyak menjual hasil panennya untuk menutupi kembali modal usaha tani atau membayar hutang usaha tani (yarnen). Dalam lima tahun terakhir ini petani padi sawah mengalami kecenderungan peningkatan pinjaman. Meningkatnya pinjaman ini disebab oleh faktor eskternal, misalnya turunnya harga gabah, produktivitas menurun akibat iklim yang tidak berpihak ke petani atau serangan hama penyakit . Kegiatan usaha tani yang umumnya dibiayai dari dana pinjaman adalah pembelian pupuk dan obat-obatan. Di Pulau Jawa, lebih dari 50 persen petani meminjam modal untuk kegiatan usaha tani padi sawah dengan rataan pinjaman sekitar Rp 900.000 per hektar per musim tanam. Sementara itu, hampir 40 persen petani di luar Pulau Jawa meminjam dengan rataan sekitar Rp. 1.300.000 per hektar per musim tanam. Hal yang perlu digarisbawahi adalah hanya sekitar 1,5 persen proporsi agregat petani peminjam yang memanfaatkan sumber pinjaman modal dari lembaga keuangan formal. Sekitar 48 persen berasal dari lembaga nonformal (pedagang input/output, pelepas uang, dan lain-lain). Kondisi ini mengartikan bahwa petani sebenarnya tidak kesulitan dalam membayar hutang dengan bunga yang relatif tinggi dibandingkan lembaga keuangan formal. Bagi petani yang paling penting adalah saat meminjam langsung dikabulkan. Disisi lain terlihat petani mengalami kesulitan meminjam ke lembaga pembiyaan formal karena harus memenuhi persyaratan administrasi. Syarat yang paling krusial dan umumnya tidak dimiliki oleh petani adalah anggunan. Seiring fenomena pentingnya modal bagi para petani serta kurang tertariknya bank konvensional mewadahi mereka dalam mencukupi kebutuhan biaya usaha tani, maka akselerasi pembentukan bank pertanian perlu diwujudkan. Bank Pertanian juga dapat dijadikan tempat untuk menyimpan dana milik pemerintah untuk program-program yang berkaitan dengan pembiayaan pertanian seperti subsidi benih dan pupuk atau asuransi pertanian. Bantuan penyediaan modal usaha tani disarankan dalam bentuk kredit yang rasional dengan memperhatikan variasi kebiasaan petani antar daerah dalam pengelolaan usaha tani. Selain itu kebijakan pemerintah untuk mendanai pertanian dalam bentuk program bantuan langsung usaha tani sebaiknya mulai dikurangi, sebaliknya kebijakan pemerintah dalam membuat program mendekatkan petani ke mekanisme perbankan atau lembaga keuangan lebih ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA ADB. 2004. Agriculture and Rural Development Strategy Study. Final Report Vol. 1 – Main Report. SEARCA-IFPRI-CRECENT. Asian Development Bank. Manila.
570
Keragaan Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usaha Tani Padi Sawah
Arifin, B. 2004. Perjalanan Panjang Pembangunan Pertanian : Basis Ideologi, Strategi Kebijakan, dan Langkah Pemihakan. Bahan Diskusi Pada Seminar “Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2004-2009”, tanggal 4 Juli 2004. Jakarta. Ashari dan S. Friyatno. 2006. Perspektif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia. Forum Agro Ekonomi. Vol. 24, No. 2, Desember 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Ashari dan Saptana. 2005. Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 23, No. 2, Desember 2005. Bogor. Deptan. 2005. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Pembiayaan. 2004. Kelembagaan dan Pola Pelayanan Keuangan Mikro untuk Sektor Pertanian (Pedoman dan Kebijakan). Direktorat Pembiayaan, Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Hastuti, E.L. dan B. White. 1979. Bentuk-Bentuk Kerja Sama Ekonomi Skala Kecil di Enam Desa Contoh di Daerah Aliran Sungai Cimanuk, Jawa Barat. ISDP-SAE. Bogor. Irawan, B., P. Simatupang, R. Kustiari, Sugiarto, Supadi, J.F. Sinurraya, M. Iqbal, M. Ariani, V. Darwis, R. Elizabeth, Sunarsih, C. Muslim, T.B. Purwantini, dan T. Nurasa. 2007. Panel Petani Nasional (PATANAS) Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Irfan, S.B. 2007. Bank Pertanian Syariah. Harian Republika, 2 Juli 2007. Jakarta. Jafar.H.M. 2010. Membangun Pertanian : Sejahtera, Demokrasi dan Berkeadilan. Makalah dalam Seminar : Membangun Pertanian, Menuju Kesejehteraan Petani. 16 Febuari 2010 di Aula Deptan. Krisna, W. 1999. Pertanian Perlu Lembaga Pembiayaan Mandiri Pertanian. Harian Media Indonesia, 26 Juli 1999. Jakarta. Nurmanaf, A.R, S. Wahyuni, H. Mayrowani, V. Darwis, C. Muslim, dan Sugiarto, 2002. Strategi Penanggulangan Kemiskinan dalam Perspektif Pembangunan Partisipatif di Wilayah Agroekosistem. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Nuswantara, B. 2002. Prospek Bank Pertanian di Indonesia (Kajian Falsafah Sains terhadap Sistem Kredit Pertanian). Term Paper. Sekolah Pascasarjana IPB. http://tumotou.net/70204212/bayu nusantara.htm (akses tanggal 23 Mei 2006) Republika, Pendirian Bank Syariah Pertanian. Harian Republika 24 Juni 2007 Sugiarto dan M. Syukur, 2005. Keragaan Pembiayaan Usaha Tani Tembakau Besuki Na Oogost. Jurnal SOCA. Vol 5, No. 3. Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Denpasar. Sunaro. 2010. Potensi Pembiayaan Perbankan Pada Sektor Pertanian. Makalah dalam Seminar : Membangun Pertanian, Menuju Kesejehteraan Petani. 16 Febuari 2010 di Aula Deptan. Suswono. 2010. Program Pembangunan Pertanian 2010-2014. Makalah dalam Seminar : Membangun Pertanian, Menuju Kesejehteraan Petani. 16 Febuari 2010 di Aula Deptan.
571
Valeriana Darwis dan M. Iqbal
Swastika, D.K.S, J. Wargiono, B. Sayaka, A. Agustian, dan V. Darwis. 2007. Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Prosiding Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Syukur M., H. Mayrowani, Sunarsih, Y. Marisa, dan M. Fauzi Sutopo. 2000. Peningkatan Peranan Kredit dalam Menunjang Agribisnis di Perdesaan. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Syukur, M. dan H. Windarti.1999. Karya Usaha Mandiri : Sebuah Skim Pembiayaan Mikro dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Syukur. M, E.L. Hastuti, Soentoro, A. Supriyatna, Supadi, Sumedi, dan B.W.D. Wicaksono, 2002. Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Perdesaan. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Tampubolon, S.M.H. 2002. Kredit Untuk Petani. Sistem dan Usaha Agribisnis : Kacamata Sang Pemikir. Harianto, R. Pambudy, Tungkot. S, dan Burhanudin (eds). Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Fondation. Jakarta. Todaro, M.P. 2000. Economic Development (Seventh Edition). Addison-Wesley, Inc. New York. Uphoff N. 1986. Local Institutional Development. An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press. Winarno, T. dan H. Habib, 2006. Lembaga Keuangan Milik Petani Sebagai Cikal Bakal Bank Pertanian. Sinar Tani. No. 3137, Tahun XXXVI, 15-21 Februari 2006. Jakarta.
572