KEBERLANJUTAN USAHA TANI POLA PADI SAWAH- SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SRAGEN: PENDEKATAN RAP-CLS
SUWANDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan Rap-CLS adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Desember 2005
Suwandi NRP P.026010201
ABSTRAK SUWANDI. Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan Rap-CLS. Dibimbing oleh KOOSWARDHONO MUDIKDJO, BUNASOR SANIM, ANANTO K. SETA. Tujuan penelitian: Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan keuntungan usaha tani padi pola Crops Livestock System (CLS), kelayakan ekonomi usaha tani, peran kelembagaan dan status keberlanjutan usahatani pola CLS serta merumuskan rekomendasi pengembangan di masa mendatang. Faktor yang mempengaruhi produksi usaha tani padi sawah adalah penggunaan benih, pupuk urea, KCl, tenaga kerja, pola usaha tani, skala luas lahan. Variabel luas lahan dan pola usaha tani mempengaruhi produksi. Sedangkan keuntungan usaha tani padi sawah selain dipengaruhi oleh variabel yang mempengaruhi produksi juga dipengaruhi oleh faktor harga input dan harga output. Fungsi produksi berada pada constants return to scale dan petani telah menggunakan faktor produksi secara optimal. Usaha tani pola CLS memberikan harapan bagi petani lahan sempit untuk meningkatkan produksi usaha taninya dan diperlukan insentif untuk mendorong usaha tani pola CLS. Usaha tani padi sawah pola CLS meningkatkan produksi padi sebesar 23,6% dan keuntungan sebesar 14,7% lebih tinggi dibandingkan pola non CLS. Penggunaan pupuk kandang meningkatkan produksi padi dengan koefisien sebesar +0,125 dan keuntungan usaha tani sebesar +0,134. Perbaikan aplikasi pupuk kandang sesuai standar teknis mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Pengelolaan usaha tani dalam skala yang lebih luas dapat menghemat penggunaan input dan meningkatkan produksi padi sebesar 17,7% serta keuntungan sebesar 15,6%. Semakin lama menerapkan pola CLS semakin meningkatkan produksi dan keuntungan. Peran kelembagaan petani dalam usaha tani pola CLS sangat penting terutama dalam rangka mempercepat alih teknologi, efisiensi pengelolaan usaha tani, mempermudah akses terhadap berbagai sumberdaya, serta menjalin kerjasama, kemitraan dan pemasaran. Kelayakan finansial dan ekonomi usaha tani pola CLS lebih tinggi dibandingkan pola non CLS. Kelayakan ekonomi usaha tani pola CLS jauh lebih tinggi dibandingkan kelayakan finansial yang diperoleh petani. Pola CLS turut memperbaiki kesuburan lahan, kualitas air dan udara serta menciptakan keserasian lingkungan sosial budaya masyarakat setempat. Status keberlanjutan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen berada dalam kategori cukup berkelanjutan dan ada empat faktor kunci yang memiliki pengaruh tinggi dan ketergantungan yang rendah, yaitu: (1) kelembagaan/kelompok tani, (2) subsidi, (3). tingkat penggunaan pupuk/pestisida, dan (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak dan terdapat lima empat variabel yang berpengaruh tinggi dan tingkat ketergantungan yang tinggi adalah: (1) sistem pemeliharaan ternak sapi, (2) lembaga keuangan, (3) frekuensi penyuluhan dan pelatihan, (4) pemanfaatan limbah ternak, dan (5) kelayakan finansial dan ekonomi. Diperlukan kebijakan dan gerakan nasional yang mampu mendorong pembangunan pertanian secara berkelanjutan melalui penerapan pola-pola CLS spesifik lokasi dengan memperhatikan faktor-faktor kunci. Kata kunci: Crop-Livestock System (CLS), produksi padi, ekonomi, keberlanjutan.
SUSTAINABILITY OF INTEGRATED WETLAND PADDY-LIVESTOCK AT SRAGEN DISTRICT: A RAP CLS APPROACH Suwandi, Kooswardhono Mudikdjo2), Bunasor Sanim2), Ananto K Seta2) Abstract Objectives of the research: to analyze factors affecting production and profit of rice farming under Crop-Livestock System (CLS), farming economic feasibility, the role of farmers institution and sustainability of CLS, and to formulate future development recommendation. Factors affecting the production of wetland paddy farming are numbers of seeds, Urea (N-source fertilizer), Potassium Chlorida (KCl) fertilizer, farm size, man power and farming pattern. Number of farming production was influenced by farm size and farming pattern, while wetland paddy farming profit were influenced by both production and prices of inputs and outputs. Analysis of production function model indicated that CLS was in constants return to scale. This informed that a farmer used optimum of production factors. CLS should be prospective to be applied by small scale farmers to increase their production. To broaden of CLS pattern it is necessary to support farmers with some of incentives. Data showed that yield of wetland paddy farming increased up to 23.6% and farming profit increased up to 14.7% in CLS, compared with non CLS. In CLS, farming management in larger scale saved the inputs, and increased wetland paddy production up to 17.7%, and farming profit up to 15.6%. The CLS increased the yield and farming profit in the long term application. Application of manure increased wetland paddy production with coefficient value at +0.125, while farming profit coefficient value at +0.134. This information mean that revitalization of manure application as a technical standard/ requirement increased farmer income. The financial and economic feasibility of CLS application is higher than non CLS. The economic feasibility of CLS is much higher than financial feasibility received by farmers. The CLS potentially increased land fertilization, water and air quality, and also created environmentally sound the socio-culture for its community. Farmer got multiple revenues comes from paddy farming, cattle fattening and manure processing. Sustainability of CLS at Sragen District could be categorized in “sustainable status”. There are 4 key factors which have stated as high affected and lower dependant level and should be considered in the development of CLS i.e: (1) farmer group/institution, (2) subsidiary/credit scheme, (3) fertilizers and pesticide application level, and (4) use of paddy straw as livestock feed. There are 5 variables which have stated as high influence and high dependant level, i.e: (1) cattle husbandry system, (2) rural micro finance institution, (3) extension and training frequency, (4) the use of livestock by product and (5) financial and economic feasibility. It is necessary to formulate policy and national movement, toward sustainable agriculture development by adapting of local specific CLS. Key words: Crop-Livestock System (CLS), paddy production, economic, sustainability.
KEBERLANJUTAN USAHA TANI POLA PADI SAWAH- SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SRAGEN: PENDEKATAN RAP-CLS
SUWANDI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi: Nama NRP
: :
Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Metode Rap-CLS
Suwandi P026010201
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc Anggota
Dr. Ir. Ananto K. Seta, MSc Anggota Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
DRAFT DISERTASI Judul Nama
: Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan Rap-CLS. : Suwandi
NRP
: P026010201
Program : PSL Telah disetujui dan layak untuk digunakan sebagai bahan Ujian Terbuka Program Doktor pada Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Oktober 2005
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc Anggota
Dr. Ir. Ananto K. Seta, MSc Anggota
PRAKATA Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi berhasil diselesaikan. Disertasi dengan judul “Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan Rap-CLS disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Kooswardhono Mudikdjo, MSc (sebagai ketua komisi pembimbing), Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc (sebagai anggota) dan Dr. Ir. Ananto K. Seta (sebagai anggota) yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam penyelesaian disertasi;
2.
Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB;
3.
Bapak Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen dan Bapak Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sragen beserta jajarannya yang telah membantu selama pengumpulan data;
4.
Bapak Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian, Bapak Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan serta Bapak Kepala Bagian Perencanaan Anggaran yang telah memberikan ijin dan mendorong menyelesaikan studi; serta
5.
Rekan-rekan di kantor Departemen Pertanian dan di kampus IPB serta semua pihak yang turut membantu memberikan data dan informasi dalam menyelesaikan disertasi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, istri dan anak-anak
tercinta serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Akhirnya, semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Bogor,
Desember 2005 Suwandi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bantul pada tanggal 23 Maret 1967 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Noto Darminto dan Anjariah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB Bogor, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1998, penulis diterima di Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik pada Pascasarjana Universitas Indonesia dan menamatkannya pada tahun 2000. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan kuliah S3 Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB Bogor. Pada tahun 1992 penulis menikah dengan Ir. Heni Aswiatin, dan pada tahun 1993 mendapat karunia seorang anak laki-laki Hendi Nur Wicaksono dan pada tahun 1997 seorang anak perempuan Nindya Dendrania Fitra. Penulis sejak tahun 1992 bekerja sebagai PNS di Departemen Pertanian, pada tahun 1997 sampai tahun 2002 menjadi pemimpin proyek, dan pada tahun 2003 sampai 1 Desember
2005
menjabat
sebagai
Kepala
Subbagian
Perencanaan
Anggaran
Pembangunan II, dan mulai Desember 2005 menjabat sebagai Kepala Subbagian Analisis Anggaran, di Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal, Departemen Pertanian.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ………….………………………………………….........…… DAFTAR GAMBAR …………….……………………………………….........…… DAFTAR LAMPIRAN ………..……………………………………………............… viii I. PENDAHULUAN …………….……………………………………………........ 1.1. Latar Belakang …..……………………………………………………........ 1.2. Tujuan Penelitian .......................……………………………………....... 1.3. Kerangka Pemikiran ……………..……………………………………....... 1.4. Perumusan Permasalahan ……………………………………………...... 1.5. Manfaat Penelitian .......................……………………………………..... 11 1.6. Hipotesis ……………..…………..……………………………………........ 11 1.7. Novelty Penelitian ................................................................................ 11 II. TINJAUAN PUSTAKA …......……………………….…………………….......... 12 2.1. Pertanian Berkelanjutan …...............……..…….……………………....... 12 2.2. Landasan Teori ….........……….……..….…………………...................... 14 2.2.1. Pendekatan Fungsi Produksi ………………………………........ 14 2.2.2. Pendekatan Ekonomi Lingkungan ………………………….. ..... 17 2.2.3. Pendekatan Analisis Kelembagaan Petani................................ 20 2.2.4. Pendekatan Analisis Keberlanjutan dan Prospektif................... 20 2.2.5. Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya …………………….............. 23 III. METODE PENELITIAN …………………………………..……….................... 25 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian …...........………………………………….. 25 3.2. Rancangan Penelitian …......................………………………………….. 25 3.2.1. Analisis Fungsi Produksi dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah 25 3.2.2. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi, dan Analisis Peran Kelembagaan Petani ..…..................................……................... 31 3.2.3. Analisis Status Keberlanjutan Usahatani Pola CLS .................. 35
Halaman v vi 1 1 4 5 9
3.2.4. Analisis Prospektif ...................................................................... 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keragaan Lokasi Penelitian … ......…………………………..…… ............. 46 4.1.1. Keadaan Umum Kabupaten Sragen …..………………………… . 46 4.1.2. Keragaan Usahatani Padi ........................................................... 47 4.1.3. Keragaan Usaha Ternak Sapi Potong......................................... 51 4.1.4. Karakteristik Responden .........…………………………………… .. 53 4.2. Analisis Fungsi Produksi Dan Keuntungan Usahatani ........................... 60 4.2.1. Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah………………… 60 4.2.2. Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah .………..… .. 68 4.2.3. Tingkat Produksi dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah .…… .. 72 4.2.4. Dampak Penggunaan Pupuk Kandang Terhadap Produksi Padi.. 74 4.3. Kelayakan Finansial dan Ekonomi Usahatani ........................................... 77 4.3.1. Kelayakan Finansial Usaha tani Pola CLS dan Non CLS.….......... . 77 4.3.2. Kelayakan Ekonomi Usahatani Pola CLS dan Non CLS ............... 79 4.4. Peran Kelembagaan Petani Usahatani Pola Cls ........................................ 83 4.4.1. Keragaan Kelompoktani Usahatani Pola CLS................................. 83 4.4.2. Pengembangan Kelembagaan Petani Usahatani Pola CLS............ 88 4.5 Tingkat Keberlanjutan Usahatani Pola Cls dan Strategi Pengembangannya 89 4.5.1. Indek dan Status Keberlanjutan Usahatani Pola CLS........................ 89 4.5.2. Perumusan Strategi Pengembangan Usahatani Pola CLS ............... 105 V. 115
SIMPULAN
DAN
REKOMENDASI.................................….....……..…… ............
5.1. Simpulan 115 5.2. Rekomendasi 116 DAFTAR PUSTAKA 118 LAMPIRAN
........................................................……………………….......
....
..................................................………….…………….....
....
………………………………………………………..........
.......
…………………………………......................……………………
.......
125
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perbedaan Analisis Finansial dan Ekonomi ................................................... 34
2.
Atribut dan Skor Keberlanjutan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen 39
3.
Pengaruh Langsung antar Faktor dalam Pertanian Berkelanjutan Pola CLS 43
4.
Penggunaan Sarana Usahatani Padi di Lokasi Penelitian 59
5.
Pendugaan 61
6.
Model
Fungsi
Produksi
Padi
………………… ...
Sawah.............................................
Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola CLS.............................. 64
7.
Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola Non CLS...................... 66
8.
Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Usahatani Padi Sawah ...................... 68
9.
Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Usahatani Padi Sawah Pola CLS....... 69
10. Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Usahatani Padi Sawah Pola Non CLS 71 11. Tingkat Produksi dan Keuntungan Usahatani Padi Pola CLS dan Non CLS...... 73 12. Keragaan Kelembagaan Kelompoktani di Lokasi Penelitian.............................. 84 13. Peran Kelompoktani pada Setiap Jenis Kegiatan Usahatani ............................. 85 . 14. Hasil Analisis Rap-CLS untuk Beberapa Parameter Statistik Usahatani Pola CLS 102 15. Hasil Analisis Monte Carlo untuk nilai IkB-CLS dan masing-masing Dimensi Usahatani Pola CLS pada Selang Kepercayaan 95% di Kabupaten Sragen .... 105
16. Kondisi Skor 10 dari 26 Atribut Sensitif yang Mempengaruhi IkB-CLS ............... 107 17. Prospektif Faktor-faktor Kunci Pengembangan Usahatani Pola CLS ................... 110 18. Skenario Strategi Pengembangan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen..... 110
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka Pemikiran Pengembangan Pertanian Berkelanjutan Pola CLS ..........
6
2.
Hubungan-hubungan Diamond Triangle Pembangunan Berkelanjutan…………
8
3.
Pemilihan Teknik Valuasi Ekonomi Kualitas Lingkungan ……............................ 18
4.
Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen ........ 39
5.
Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi Usahatani Pola CLS .................... 39
6.
Tahapan Analisis Rap-CLS Menggunakan MDS dengan Modifikasi Rapfish ..... 41
7.
Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan antar Faktor dalam Sistem ................ 44
8.
Diagram Alir Tahapan Penelitian Pengembangan Pertanian Berkelanjutan Pola CLS di Kabupaten Sragen ......................................................................... 45
9.
Pola Tanam yang Dilakukan Petani di Lokasi Penelitian ………………............. 50
10.
Mata 51
11.
Mata Rantai Perdagangan Gabah dengan Fasilitasi Pemerintah ………………. 51
12.
Sistem Pemasaran Ternak sapi Potong Kabupaten Sragen............................... 54
13.
Prosentase 56
14.
Tingkat 56
Pendidikan
15.
Jumlah 57
Tanggungan
Rantai
Perdagangan
Umur
Gabah………………………………………..…...........
Responden............................................................................. Responden........................................................................... Keluarga
Responden.........................................................
16.
Pendugaan 63
17.
Pendugaan Produktivitas Padi Sawah Pola CLS................................................. 66
18.
Pendugaan Produktivitas Padi Sawah Pola Non CLS......................................... 67
19.
Kurva Pengaruh Pupuk Kandang terhadap Produksi Padi.................................. 76
20.
Model Keterkaitan Kelembagaan Petani Pola CLS.............................................. 86
21.
Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan nilai Keberlanjutan Pengelolaan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen 53,21 ............................................... 90
22.
Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi sebesar 49,55 .............................................................................. 91
23.
Peran masing-masing Atribut Dimensi Ekologi yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS .............................................................................. 95
24.
Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi sebesar 56,23 ............................................................................ 97
25.
Peran masing-masing Atribut Dimensi Ekonomi yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS .............................................................................. 97
26.
Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya sebesar 67,4 ..................................................................... 98
27.
Peran masing-masing Atribut Dimensi Sosial Budaya yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS ..............................................................................
100 28. 101 29.
Produktivitas
Padi
Sawah.................................................................
Diagram Layang (kite diagram) Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen .......................................................... Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 persen yang Menunjukkan
103
Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi 49,95 .................................................
30. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 Persen yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi 54,99 ............................................... 104 31. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 Persen yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial 67,49 ................................................... 104 32. Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Diuji ... 109
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Keragaan Penggunaan Pupuk, Produksi dan Produktivitas Beras 1968-1991 126
2.
Peta Lokasi Rencana Penelitian 127
3.
Unit Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel…………………………... 128
4.
Nama Kecamatan, Desa dan kelompoktani Lokasi Penelitian............................ 128
……………………………………………
.. ...........
5. Jenis, Sumber Data dan Kegunaan Data yang Dikumpulkan......................... .... 128 6.
Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sragen............................. 129
7.
Data Fisik Tanah di Lokasi Penelitian.................................................................. 130
9.
Persyaratan Tumbuh Tanaman Padi Sawah........................................................ 131
8.
Klas Kesesuaian Lahan di Lokasi Penelitian........................................................ 131
10.
Data sampel Air di Lokasi Penelitian.................................................................... 133
11.
Luas Panen dan Produksi Padi Kabupaten Sragen............................................. 134
12.
Populasi Ternak Kabupaten Sragen tahun 2003................................................. 135
13.
Uji Beda Nyata Produksi Usahatani Pola CLS dan Non CLS............................... 136
14. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Pola CLS................................................ 138 15. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Pola Non CLS........................................ 138
16. Analisis Kelayakan Ekonomi Usahatani Pola Non CLS........................................ 139 17. Analisis Kelayakan Ekonomi Usahatani Pola CLS................................................ 139 18. Ringkasan Kelayakan Finansial dan Ekonomi Usahatani Pola CLS dan Non CLS 140 19. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usahatani CLS dengan Kenaikan Harga Input (Pupuk dan Pakan) sebesar 10 %...................................................... 140 20.
Analisis Sensitivitas Kelayakan Usahatani CLS dengan Penurunan Harga Output (Beras dan Daging Sapi) sebesar 10 %........................................... 140
21. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah........................................... 141 22. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola CLS........................... 142 23. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola Non CLS................... 143 24. Hasil Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah ................................... 144 25. Hasil Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah Pola CLS .................... 145 26. Hasil Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah Pola Non CLS ............ 146 27. Atribut, Skor dan Hasil Pengukuran Skor Keberlanjutan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen .............................................................................................. 147
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai teori pembangunan dan pengalaman empiris di banyak negara membuktikan kemampuan pertanian sebagai satu sektor strategis dalam pembangunan ekonomi suatu negara.
Peran sektor pertanian diwujudkan dalam bentuk penyediaan
pangan bagi seluruh penduduk, bahan baku industri, sebagai pasar bagi barang-barang produksi dan konsumsi, penciptaan lapangan kerja sekaligus pemasok lapangan kerja, serta penghasil devisa. Pembangunan pertanian terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam terutama lahan dan perairan pada suatu wilayah. Pemanfaatan sumberdaya alam berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dapat berdampak negatif yang lebih besar dibanding manfaat yang diperoleh. Sejalan dengan semakin intensifnya pembangunan pertanian, terdapat kecenderungan penggunaan pupuk kimia dan pestisida per hektar meningkat dari tahun ke tahun.
Hal tersebut terlihat dari program intensifikasi yang
dilakukan oleh Pemerintah sejak tahun 1963 dalam rangka meningkatkan produksi gabah. Laju peningkatan produktivitas gabah Indonesia tahun 1961 sampai 1991 rata-rata 3,15% per tahun sedangkan penggunaan pupuk meningkat rata-rata 13,44% per tahun (IRRI, 2003). Rintisan usaha intensifikasi telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian dalam program Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI) pada tahun 1950 sampai 1960 melalui peningkatan pengadaan benih padi unggul, penggunaan pupuk dan insektisida, perbaikan pengairan rakyat, penyuluhan dan konservasi tanah. Pada tahun 1958 dikembangkan padi sentra di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana petani diberi kredit natura (benih dan pupuk) serta uang. Pada tahun 1963 kegiatan tersebut dihentikan karena dinilai kurang berhasil akibat kendala manajemen kurang baik, sistem perkreditan kurang tepat dan harga jual padi sentra lebih rendah dibandingkan dengan harga pasaran umum. Walaupun demikian produktivitas padi pada pada tahun 1960-an dapat ditingkatkan dari 1,1 ton/ha menjadi 1,9 ton/ha. Pada periode tersebut juga dikembangkan ternak dan diproyeksikan populasi ternak sapi dapat meningkat 4% pertahun (Anonim, 2002a). Pada Musim Tanam (MT) 1963/1964 Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama instansi terkait mengadakan ‘action research” untuk menemukan cara penyuluhan yang tepat, dimulai dengan proyek percontohan 100 hektar di Karawang, dilanjutkan dengan Proyek
Demontrasi Massal (Demas) seluas 110.000 hektar. Pada tahun 1965 proyek Demas ditingkatkan menjadi program Bimbingan Massal (Bimas). Kegiatan pada Program Bimas meliputi pelayanan penyuluhan, penyaluran kredit oleh BRI, pupuk dan insektisida oleh PT. Pertani, dan penyaluran bibit oleh Dinas Pertanian. melalui
kelompoktani
yang
terorganisir
dalam
Kegiatan tersebut disalurkan
koperasi
desa.
Program
Bimas
dikembangkan menjadi Program Intensifikasi Massal (Inmas) dengan maksud agar para petani peserta Bimas mampu membeli sarana produksi sendiri secara tunai. Program Bimas diarahkan kepada praktek-praktek better farming yaitu praktek usaha tani yang baik, better business yaitu berusaha tani yang menguntungkan, better living yaitu berkehidupan yang layak dan better community yaitu tata kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Pada masa tersebut produksi beras meningkat rata-rata 4,7% pertahun yang
berarti di atas rata-rata pertumbuhan penduduk (Deptan, 2002a). Pada Pelita II karena terjadi gejala “leveling off” pada produksi padi maka pada tahun 1976 dilakukan uji coba dem-area dengan hasil yang baik, selanjutnya mulai tahun 1979 diterapkan Program Intensifikasi Khusus (Insus) yang lebih menekankan pada kerjasama di dalam dan antar kelompok dalam satu area. Program Insus berhasil meningkatkan produksi padi dan pada tahun 1984 Indonesia dapat mencapai swasembada beras. Prestasi tersebut dipuji oleh FAO. Namun stabilitas swasembada beras tersebut sangat rendah karena faktor perubahan iklim, serangan hama dan penyakit serta gejolak pasar. Selanjutnya pada MT 1987 Program Insus diperluas menjadi Supra Insus dengan mengembangkan kerjasama antar kelompok dalam penyelenggaraan intensifikasi dalam Unit Hamparan Supra Insus (UHSI). Hal ini dilakukan untuk menerapkan pola tanam sehingga terwujud keserempakan panen dan keseragaman varietas dalam hamparan usaha tani se Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP) atau sehamparan irigasi tersier di bawah kepemimpinan kelompok kontak tani se-WKPP.
Memasuki Pelita V
diadakan reorientasi pola pendekatan pembangunan pertanian dari peningkatan produksi menjadi peningkatan pendapatan dengan mengintroduksi pendekatan agribisnis yang mengharuskan keterpaduan dalam berusaha tani mulai dari aspek hulu sampai hilir. Dengan adanya penggunaan input pupuk kimia dan pestisida semakin intensif, ternyata tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas padi secara proporsional sehingga produksi padi tidak meningkat secara proporsional. Hal ini karena tanah sawah kekurangan unsur hara akibat terkurasnya bahan organik tanah dan unsur-unsur mikro sehingga produksi tidak dapat meningkat seperti yang diharapkan. Gejala levelling off produksi padi dapat
dilihat dari besarnya produktivitas padi di Jawa dari tahun 1980, tahun 1990 dan tahun 1999 berturut-turut 3,8 ton/ha, 5,1 ton/ha dan 4,8 ton/ha, sedangkan dosis penggunaan pupuk per hektar berturut-turut 268 kg/hektar, 403 kg/hektar dan ditunjukkan secara grafik laju penggunaan pupuk kimia, produksi dan produktivitas gabah nasional dari tahun 19681991 disajikan pada Lampiran 1. Potensi lahan di Indonesia yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian terdiri atas (a) lahan basah seluas 9,6 juta hektar meliputi lahan irigasi seluas 7,3 juta hektar dan lahan rawa seluas 2,3 juta hektar dan (b) lahan kering seluas 23,5 juta hektar meliputi sawah tadah hujan seluas 2,1 juta hektar, lahan tegal/ kebun seluas 8,5 hektar, lahan ladang/huma seluas 3,2 juta hektar, lahan penggembalaan/padang rumput seluas 2,0 juta hektar dan lahan sementara tidak diusahakan selua 7,7 juta hektar.
Potensi lahan
tersebut belum dimanfaatkan secara optimal bahkan cenderung mengalami penurunan kualitas dan terjadi konversi lahan. Kualitas lahan mengalami penurunan dimana terdapat lahan kritis pada lahan budi daya pertanian seluas 21,9 juta hektar (Deptan, 2002a). Terdapat kecenderungan lahan pertanian mengalami fragmentasi akibat sempitnya kepemilikan dan penguasaan lahan oleh petani sehingga mengakibatkan in-efisiensi dalam usaha tani.
Sensus pertanian tahun 1993 menunjukkan bahwa jumlah petani
dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar meningkat dari 9,5 juta orang pada tahun 1983 menjadi 10,9 juta orang pada tahun 1993.
Berkembangnya sektor industri,
pemukiman dan sektor lainnya mengakibatkan terjadinya alih fungsi (konversi) lahan pertanian subur untuk kepentingan non pertanian. Dalam periode 10 tahun (1983-1993) rata-rata seluas 47.000 hektar pertahun lahan sawah beralih fungsi ke non sawah (Deptan, 2002a). Penurunan luas lahan pertanian terjadi terutama di Pulau Jawa yang mempunyai implikasi serius dalam produksi beras karena pangsa Pulau Jawa dalam produksi beras nasional lebih dari 50,0%.
Laju konversi lahan juga diikuti dengan
penurunan kualitas lahan dan air akibat pola pemanfaatan lahan dan perkembangan sektor non pertanian yang kurang memperhatikan aspek lingkungan (Deptan, 2001). Peranan sektor pertanian terhadap ekonomi nasional sangat penting dilihat dari kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian menyumbang produk domestik bruto pada tahun 2003 sebesar 15,20%, yang diantaranya berasal dari subsektor tanaman pangan sebesar 7,39% (Deptan, 2004). Struktur pendapatan rumah tangga tahun 1999 menunjukkan kontribusi usaha tani (on-farm) sebesar 54,35% dan luar usaha tani (off-farm) 6,10% (Deptan,200b). Kesempatan kerja di sektor pertanian masih
cukup tinggi yaitu pada tahun 1992 sebesar 44% (Deptan,2002a).
Sebab-sebab
kemiskinan antara lain: keterbatasan aksesibilitas pada aset produktif, ketersediaan dan jangkuan serta ketersediaan teknologi maju yang sangat terbatas, miskinnya prasarana sosial dan perekonomian, kualitas SDM yang minim, ketersediaan lapangan usaha yang terbatas, jangkauan pada pembiayaan usaha terbatas, pola pembangunan yang tidak sesuai dengan keunggulan komparatif wilayah, sangat lemahnya dukungan politik, dan belum mantapnya desentralisasi manajemen pembangunan dan otonomi daerah masih lemah. Dalam
rangka
meningkatkan
produktivitas
dan
pendapatan
petani
serta
meningkatkan kualitas lingkungan, dikembangkan integrasi antara usaha tanaman dengan peternakan, usaha tanaman dengan perikanan, maupun usaha perkebunan dengan peternakan dan lain sebagainya. Dengan harapan bahwa pola integrasi ini merupakan salah satu terobosan yang tepat untuk menjawab permasalahan terjadinya leveling 0ff produksi padi dan kualitas lingkungan, maka diperlukan pengkajian lebih jauh mengenai manfaatnya terhadap perbaikan lingkungan, peningkatan produksi padi dan tingkat keberlanjutan dari pola integrasi tersebut. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah melakukan analisis keberlanjutan usaha tani pola padi sawah-sapi potong terpadu dengan pendekatan Rapid Appraisal Crop-Livestock System (Rap-CLS) di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah serta memberikan rekomendasi pengembangan di masa mendatang. Secara rinci tujuan penelitian adalah: (1) Menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi dan keuntungan usaha tani berkelanjutan pola CLS dibandingkan dengan usaha tani pola non CLS. (2) Menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi usaha tani pola CLS dan non CLS serta peran kelembagaan usaha tani pola CLS. (3) Menilai keberlanjutan melalui penyusunan indeks dan status keberlanjutan usaha tani pola CLS serta mengidentifikasi faktor-faktor strategis masa depan dalam pengembangan pertanian berkelanjutan pola CLS, serta (4) Merumuskan rekomendasi kebijakan dan strategi pengembangan usaha tani pola CLS di masa mendatang. 1.3.
Kerangka Pemikiran
Pembangunan pertanian sangat terkait dengan pemanfaatan sumberdaya lahan dan air. Upaya peningkatan produktivitas hasil pertanian melalui pola usaha tani konvensional dengan menggunakan input pupuk kimia dan pestisida secara intensif telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, produksi tidak meningkat secara proporsional, bahkan cenderung menurun. Hal ini diperkirakan karena banyak tanah sawah yang kekurangan unsur hara akibat terkurasnya bahan organik tanah dan unsur-unsur mikro (Abdurahman, 2001 dalam Ella, 2001).
Pada sisi lain, terjadi peningkatan harga sarana produksi
sementara kemampuan petani membeli pupuk kimia dan pestisida semakin rendah, sehingga petani melakukan pemupukan semampunya.
Penurunan produksi berakibat
menurunnya pendapatan petani yang dalam jangka panjang berdampak meningkatnya kemiskinan. Terdapat hubungan timbal balik antara kemiskinan dan kerusakan lingkungan, dimana kerusakan lingkungan mengakibatkan kemiskinan dan sebaliknya peningkatan kemiskinan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satu terobosan upaya peningkatan produksi melalui pembangunan pertanian berkelanjutan yang mampu melestarikan lingkungan serta mengurangi ketergantungan penggunaan pupuk kimia dan pestisida dengan biaya relatif murah adalah sistem pertanian pola padi-ternak terpadu atau dikenal dengan nama Crop-Livestock System (CLS). Pembangunan pertanian berkelanjutan pola CLS adalah integrasi usaha tani yang memadukan antara usaha tani tanaman pangan dengan ternak. Dalam penelitian ini pola CLS yang dimaksud adalah usaha tani pola padi sawah – penggemukan ternak sapi potong secara terpadu. Di samping dapat memperbaiki kerusakan lingkungan, usaha tani pola CLS juga mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani, sehingga pola CLS ini dapat memutus mata rantai kemiskinan. Secara skematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Kemiskinan
-/+
+/-
Produksi Usahatani
pendapatan -/+
-/+
+
Usahatani Pola Konvensional
-/+ Kualitas Lingkungan
Usahatani Pola CLS +
-
Gamba r 1. Kerangka Pemikiran Pengembangan Pertanian Berkelanjutan Pola CLS Upaya-upaya peningkatan produksi pangan dan pengentasan kemiskinan ini sejalan dengan komitmen internasional pada dalam pertemuan World Food Summit (WFS) 2002 yang dikenal Millenium Development Goals sebagai tekad komitmen global sebagai tidank lanjut dari Deklarasi Roma 1996. Pada WFS tersebut menghasilkan kesepakatan untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap orang dan menghapuskan penduduk yang kelaparan di seluruh negara dengan meningkatkan sasaran pengurangan penduduk rawan pangan sejak tahun 2002 menjadi rata-rata sekitar 22 juta jiwa per tahun. Deklarasi Roma 2002 menegaskan pentingnya pembangunan pertanian dan perdesaan dalam mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Pembangunan pertanian dan perdesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan ketahanan pangan, karena 70 persen penduduk miskin dunia hidup di perdesaan dan mengandalkan sumber penghidupannya dari sektor pertanian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada puncak krisis ekonomi tahun 1998, jumlah penduduk miskin hampir mencapai 50 juta jiwa dan sekitar 64,4 persen tinggal di perdesaan. Pada tahun 1999, saat ekonomi menuju pemulihan, jumlah penduduk miskin turun menjadi sekitar 37 juta jiwa dan sekitar 66,8 persen tinggal di perdesaan. Sesuai Renstra
Pembangunan Pertanian tahun 2005-2009, dimana sasaran penduduk miskin di perdesaan menurun dari 18,90% pada tahun menjadi 15,02% pada tahun 2009 (Deptan, 2005). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pengentasan kemiskinan hanya dapat dilakukan melalui pembangunan pertanian dan perdesaan yang berkelanjutan, yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian, produksi pangan dan daya beli masyarakat. Munasinghe
(1993)
mengembangkan
konsep
Diamond
Triangle
yang
menghubungkan antara aspek ekonomi, sosial dan ekologi dalam kerangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi aspek, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan).
Keterkaitan tiga aspek tersebut seperti
disajikan pada Gambar 2, dimana hubungan antara sosial-ekonomi didekati dengan ukuran seperti pemerataan dan kesempatan kerja, hubungan ekonomi-ekologi didekati dengan penilaian lingkungan, valuasi ekonomi dan internalisasi biaya eksternal, serta hubungan sosial-ekologi didekati dengan tingkat partisipasi, pluralisme dan lainnya. Valuasi ekonomi sumber daya alam pada dasarnya berlandaskan tujuan umum agar sumber daya alam dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (economic welfare). Ekonomi kemakmuran berusaha mencari kriteria mengenai alokasi faktor produksi antara berbagai penggunaan dan distribusi hasil antar individu, yang mendasarkan pada analisis manfaat/ kepuasan. Di samping teori Munasinghe yang mengembangkan pembangunan berkelanjutan dilihat dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi, OECD (1993) juga menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan pada prinsipnya menyangkut dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya yang didalamnya termasuk dimensi kelembagaan. Beberapa literatur lain menambahkan dimensi teknologi dan dimensi hukum, namun dalam pembahasan selanjutnya penulis menggunakan dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya untuk menilai status keberlanjutan dengan pertimbangan bahwa bukan sekedar pengelompokan dimensi besar tersebut yang penting tetapi atribut atau kriteria pada setiap dimensi tersebut yang lebih penting, sehingga mencakup kriteria yang lebih luas untuk menilai status keberlanjutan usaha tani pola CLS.
Tujuan Ekonomi: Pertumbuhan dan Efisiensi
Penilaian LH Valuasi Internalisasi
Pemerataan Tenaga Kerja Target Asistensi
Tujuan Sosial: Kesejahteraan, Persamaan Hak
Tujuan Ekologi: Pelestarian SDAL dan Berkelanjutan. Partisipasi Pluralisme Konsultasi
Gambar 2. Hubungan-hubungan Diamond Triangle Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1993) Dalam penelitian ini sebelum dilakukan analisis status keberlanjutan usaha tani pola CLS, terlebih dahulu dilakukan analisis model fungsi produksi usaha tani padi pola CLS, analisis finansial dan ekonomi, serta analisis sosial budaya dengan fokus pada peran kelembagaan petani. Pendugaan model fungsi produksi dan kelayakan finansial dan ekonomi usaha tani padi pola CLS penting dilakukan untuk menganalisis pengaruh usaha tani pola CLS terhadap produksi padi dan pendapatan petani. Guna menilai status keberlanjutan dari usaha tani pola CLS secara cepat (rapid appraisal) digunakan metode multi variabel non-parametrik yang disebut multidimensional scaling (MDS). Metode ini belum pernah dilakukan untuk mengevaluasi pembangunan pertanian berkelanjutan pola CLS. Metode serupa pernah digunakan untuk mengevaluasi pembangunan perikanan yang dikenal dengan nama RAPFISH (The Rapid Appraisal of the Status of Fisheries) dan pernah dimodifikasi untuk melihat status keberlanjutan pada sistem budidaya sapi potong. Metode multidimensional scaling akan digunakan untuk menghitung indeks sustainabilitas pengembangan pertanian pola CLS dan selanjutnya disebut sebagai Rap-CLS (Rapid Appraisal Corps-Livestock System).
Pada tahapan selanjutnya, hasil penilaian status keberlanjutan usaha tani pola CLS ini digunakan untuk menganalisis keterkaitan dan ketergantungan antar faktor, sehingga dapat
diketahui
faktor-faktor
yang
dominan
sebagai
dasar
menyusun
strategi
pengembangan usaha tani pola CLS dan merumuskan kebijakan pengembangan dimasa mendatang dengan menggunakan analisis prospektif. Dengan
demikian,
diharapkan
dapat
dirumuskan
kebijakan
dan
strategi
pengembangan pertanian berkelanjutan pola CLS dalam rangka peningkatan produksi pangan dan pengentasan kemiskinan menunjang Millenium Development Goals. 1.4. Perumusan Permasalahan Objek yang diteliti adalah usaha tani pola CLS khususnya usaha tani pola padi sawah dan penggemukan ternak sapi potong secara terpadu. Potensi pengembangan usaha tani pola CLS di Pulau Jawa sangat besar namun belum dapat dikembangkan secara luas dan sebagian petani kesulitan menerapkan usaha tani pola CLS karena diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang cukup serta diperlukan sarana pendukung dan kelembagaan yang memadai. Dalam melaksanakan usaha tani, petani membutuhkan kelompok tani sebagai wadah yang menampung seluruh kepentingan dan aktivitas petani. Dengan adanya kelompok tani maka pengelolaan usah tani dapat dilakukan dengan relatif mudah. Untuk itu perlu dilakukan analisis diskriptif keragaan dan peran kelompok tani dalam usaha tani CLS. Usaha tani pola CLS menggunakan input pupuk kimia dan pestisida sangat rendah serta lebih banyak menggunakan input dari pupuk organik hasil dari proses pengolahan limbah pertanian. Hal ini berbeda dengan usaha tani konvensional yang cenderung menggunakan input pupuk kimia dan pestisida tinggi. Dengan adanya perbedaan perlakuan tersebut sangat dimungkinkan produktivitas usaha tani pola CLS dan usaha tani non CLS akan berbeda. Selain kondisi lahan pertanian, sarana produksi, tenaga keja, modal dan manajemen, faktor sosial ekonomi lainnya turut mempengaruhi tingkat produksi usaha tani. Untuk itu perlu dianalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi usaha tani pola CLS dibandingkan dengan usaha tani non CLS. Sampai saat ini keuntungan finansial usaha tani pola CLS merupakan satu-satunya kriteria kelayakan usaha tani, dimana keuntungan finansial belum memasukkan komponen manfaat dan biaya lingkungan seperti peningkatan kesuburan lahan, perbaikan kualitas air dan lainnya. Hasil-hasil penelitian kelayakan finansial usaha tani pola CLS telah dilakukan
pada tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan kelayakan ekonomi yang mengukur manfaat dan biaya bagi masyarakat secara keseluruhan termasuk memasukkan unsur kualitas lingkungan belum banyak dilakukan.
Mengingat strategisnya sektor pertanian dalam
pembangunan nasional, kiranya sangat diperlukan penelitian mengenai analisis ekonomi usaha tani pola CLS. Usaha tani pola CLS di tingkat lapangan sangat beragam dan dihadapkan pada berbagai kendala, serta belum dapat diukur sejauh mana tingkat keberlanjutannya, sedangkan konsepsi pembangunan pertanian berkelanjutan belum dijabarkan secara lebih operasional dan implementatif, sehingga terjadi kesenjangan antara konsepsi ideal dengan aktual di lapangan.
Dengan demikian penelitian ini berupaya menjembatani
kesenjangan tersebut dengan mengembangkan konsep pembangunan
pertanian
berkelanjutan usaha tani pola CLS ke arah yang lebih kuantitatif dan implementatif dengan mengukur indeks dan status keberlanjutan usaha tani pola CLS dan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keberlanjutan usaha tani pola CLS. Dengan memperhatikan berbagai permasalahan dan potensi pengembangan usaha tani pola CLS, maka perumusan masalahnya adalah: (1)
Apakah usaha tani pola CLS mampu meningkatkan produksi padi. Variabel apa saja yang mempengaruhi produksi usaha tani padi sawah pola CLS? Dan sejauhmana variabel tersebut mempengaruhi produksi dan keuntungan usaha tani padi sawah pola CLS? Apakah produksi usaha tani padi sawah pola CLS lebih tinggi dibandingkan dengan non CLS?
(2)
Sejauhmana kelayakan finansial dan ekonomi usaha tani pola CLS dibandingkan non CLS? serta bagaimana peran kelembagaan petani dalam usaha tani pola CLS?
(3)
Seberapa besar nilai keberlanjutan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen pada saat ini dan apa faktor-faktor strategis dalam pengembangan pertanian berkelanjutan pola CLS, serta
(4)
Bagaimana rekomendasi kebijakan dan strategi pengembangan pertanian berkelanjutan pola CLS di masa mendatang?.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pertanian, berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan sebagai berikut: (1) Pemerintah, sebagai bahan masukan dalam penentuan kebijakan pengembangan pertanian di masa mendatang. (2) Akademisi dan Peneliti, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan penelitian di tempat yang lain maupun penelitian-penelitian lanjutannya. (3) Swasta, LSM dan masyarakat, penelitian ini dapat menunjukkan kepada masyarakat mengenai salah satu upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta manfaat yang akan dinikmatinya. (4) Penulis, bermanfaat untuk mengasah kemampuan riset dan penyelesaian tugas akhir Program Pascasarjana di IPB.
1.6. Hipotesis Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka pemikiran yang telah disusun, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: (1) Diduga produksi dan keuntungan usaha tani padi sawah pola CLS lebih tinggi dibandingkan usaha tani padi sawah non CLS. (2) Diduga tingkat kelayakan baik secara finansial dan ekonomi usaha tani pola CLS lebih tinggi dibandingkan dengan kelayakan usaha tani non CLS. Diduga pada usaha tani pola CLS tingkat kelayakan secara ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kelayakan secara finansial.
1.7. Novelty Penelitian Mengembangkan konsep pembangunan pertanian berkelanjutan usaha tani pola CLS menjadi konsep yang lebih kuantitatif dan implementatif. Metode Rap-CLS yang dibuat dari modifikasi Rapfish telah teruji bisa dikembangkan untuk mengukur indeks dan status keberlanjutan usaha tani pola CLS.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Berkelanjutan FAO mendefinisikan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sebagai suatu praktek pertanian yang melibatkan pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia bersamaan dengan upaya mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan mengkonservasi sumbcrdaya alam. Secara lebih luas pembangunan pertanian berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai upaya pengelolaan dan konservasi sumberdaya pertanian (lahan, air dan sumberdaya genetik) melalui orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa sehingga menjamin tercapainya kebutuhan yang diperlukan secara berkesinambungan baik dari waktu ke waktu maupun dari generasi ke generasi.
Pertanian berkelanjutan
(sustainable agriculture) juga diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan SDA. (Reijntjes, et al. 1999).
Pertanian
berkelanjutan yang rendah input luar (low external input and sustainable agriculture) sebagian besar input usaha tani yang dimanfaatkan berasal dari lahan, desa, wilayah atau negara sendiri dan diupayakan tindakan tepat
untuk
menjamin dan menjaga
keberlanjutan. (Reijntjes, et al. 1999). Pembangunan pertanian berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya pengelolaan sumberdaya kelembagaan
dan
usaha
secara
pertanian
melalui
berkesinambungan
penerapan
bagi
generasi
teknologi kini
dan
pertanian masa
dan
depan.
Kesinambungan usaha dapat diartikan bahwa usaha tani tersebut dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi petani dan keluarganya, sehingga pemilihan jenis komoditas dan usaha harus yang bernilai ekonomis, pasar tersedia dan produksi kontinyu (Departemen Pertanian, 2005). Aktivitas kegiatan ekonomi yang mencerminkan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat kualitas lingkungan yang ada. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan adalah: (1) struktur: jenis barang dan jasa yang diproduksi dalam lingkungan, (2) efisiensi: input yang digunakan untuk menghasilkan per unit output dalam perekonomian, (3) substitusi: kemampuan substitusi sumberdaya langka dengan bahan lain, dan (4) teknologi bersih lingkungan: kemampuan mempengaruhi kerusakan lingkungan per unit dari penggunaan input atau output yang dihasilkan.
Sistem
usaha
pertanian
dikatakan
berwawasan
lingkungan
apabila
dalam
pengelolaannya menerapkan teknologi maju yang sesuai dengan potensi sumberdaya dan tidak menimbulkan eksternalitas negatif kepada lingkungan biofisik maupun sosial ekonomi pada tingkat mikro dan makro (Kasryno, 1998). Selanjutnya dikatakan pertanian berkelanjutan mengandung arti bahwa dalam jangka panjang secara simultan harus mampu: (1) mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan, (2) mampu menyiapkan insentif sosial dan ekonomi bagi semua pelaku dalam sistem produksi, (3) mampu memproduksi pangan secara cukup dan setiap penduduk memiliki akses terhadap pasokan pangan. Strategi untuk mewujudkan pertanian bekelanjutan tergantung dari tipe permasalahan.
Konsep pertanian berkelanjutan dikembangkan sebagai payung yang
mewadahi pemikiran dan ideologi tentang pendekatan pembangunan pertanian meliputi: usaha tani organik, pertanian biologis, pertanian ekologis, LEISA, pertanian biodinamis, maupun pertanian regeneratif. Sistem pertanian (farming system) adalah pengaturan usaha tani yang stabil, unik dan layak yang dikelola menurut praktek yang dijabarkan sesuai lingkungan fisik, biologis dan sosioekonomi menurut tujuan, preferensi dan sumber daya rumahtangga (Shanner, et al 1982 dalam Reijntjes, 1999). Usaha tani dapat berupa usaha bercocok tanam atau memelihara ternak. Usaha tani yang baik adalah bersifat produktif dan efisien yaitu memiliki produktivitas atau produksi per satuan lahan yang tinggi (Mubyarto, 1994). Menurut Sutanto, (2002) dikenal tiga farming system yaitu (1) pertanian tunggal (monocropping), (2) sistem tumpangsari dan tumpang gilir, serta (3) sistem usaha tani terpadu. Kelemahan monocropping tanpa penambahan bahan organik menyebabkan degradasi lahan, sementara kelemahan sistem tumpangsari dan tumpang gilir adalah apabila dieksplotasi berlebihan berakibat sama dengan pola monocropping yaitu kemunduran aktivitas biologi dan kehilangan hara serta kesuburan lahan. Menurut Arifin (2001) bahwa dalam sistem usaha tani, faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi lahan antara lain: intensifikasi penggunaan lahan, tekanan penduduk, pendapatan perkapita, dan tingkat keterjaminan hak-hak atas tanah. Lebih lanjut dikatakan dikatakan faktor ekonomi (tingkat keuntungan usaha tani) mempengaruhi keputusan
petani
menerapkan
teknologi
pengelolaan
lahan.
Mubyarto
(1994)
mengemukakan pada umumnya tidak ada petani yang menggantungkan hidupnya dari satu macam pertanian. Petani dalam mengurangi resiko pertaniannya dengan menanam
berbagai macam tanaman di sawah, pekarangan, disamping memelihara ternak, bekerja sebagai buruh, tukang dan sebagainya. Kelemahan-kelemahan monocropping diatasi dengan sistem usaha tani terpadu, dimana
sistem
ini
memerlukan
pendekatan
holistik
dengan
menitikberatkan
keanekaragaman produksi dan produk pasca panen akan banyak menghasilkan residu yang mudah didekomposisi (Sutanto, 2002b).
Pola usaha tani monocropping pada
tanaman padi dan ternak sapi potong dapat diatasi secara simultan melalui penerapan pola integrasi dengan pendekatan zero waste (Diwyanto et al 2001). Pola integrasi ini sebenarnya sudah lama dikenal petani dan telah dikembangkan beberapa Negara Asia seperti Thailand, Filipina, Vietnam, RRC dan lainnya. Di Indonesia mulai tahun 1970 telah dikenal sistem usaha tani terpadu dan muncul istilah pola tanam (cropping pattern), kemudian muncul pola usaha tani (cropping system), sistem usaha tani (farming system) dan akhirnya sistem tanaman ternak (crop-livestock system CLS). Selain pola CLS masih ada beberapa pola sejenis antara lain padi-ikan-itik, mina-padi dan lain sebagainya. Sistem usaha tani terpadu dikembangkan dengan prinsip pertanian organik untuk melestarikan hasil tanaman dan produktivitas keseluruhan sistem. Sedangkan yang dimaksud dengan pertanian organik (organic farming) adalah suatu sistem pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui praktek seperti pendaur-ulangan unsur hara bahan organik (seperti kompos dan sampah tanaman), rotasi tanaman, pengolahan yang tepat dan menghindari pupuk sintetis dan pestisida (IASA, 1990 dalam Reijntjes, 1999). Pertanian organik ini merupakan upaya-upaya dalam kerangka pemanfaatan teknologi bersih lingkungan. Beberapa pola usaha tani terpadu antara lain pengembangan pertanian terpadu yang melibatkan tanaman dengan ternak, pertanian dengan perikanan, dan lainnya yang memerlukan perencanaan dengan baik. 2.2. Landasan Teori 2.2.1. Pendekatan Fungsi Produksi Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi usaha tani didekati dengan fungsi produksi.
Fungsi
dijelaskan/dependent
produksi variable
adalah (Y)
hubungan
biasanya
fisik
berupa
antara
output
menjelaskan/independent variable (X) biasanya berupa input.
dan
variabel variabel
yang yang
Dengan demikian dapat
diketahui hubungan antara variabel Y dan X serta sekaligus mengetahui hubungan antar
variabel yang menjelaskan. Secara matematis hubungan variabel Y dan X dapat ditulis peserti pada persamaan (1). Y= f (X1, X2, ………… , Xn) …………..………………………
..……
(1)
Dalam proses produksi pertanian, variabel Y dapat berupa produksi pertanian dan variabel X dapat berupa lahan pertanian, tenaga kerja, modal dan manajemen. Namun demikian dalam praktek, keempat faktor produksi tersebut belum cukup untuk dapat menjelaskan Y. Faktor-faktor sosial ekonomi lainnya, seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat ketrampilan dan lain-lain juga berperan dalam mempengaruhi tingkat produksi. Berbagai macam bentuk fungsi produksi yaitu fungsi produksi linier, kuadratik, polinom, dan lainnya, namun ada fungsi produksi yang sering digunakan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas (Soekartawi, 1994). Penyelesaian hubungan antara variabel X dan Y biasanya dengan cara regresi dimana variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X.
Dengan demikian kaidah-kaidah pada garis regresi juga berlaku dalam
penyelesaian fungsi Cobb-Douglas. Secara matematis fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan seperti pada persamaan (2). Y = a X1bl X2b2.... Xibi….. X nbn eu Keterangan
Y X a,b µ e
………………………………………
.....
(2)
: Variabel yang dijelaskan : Variabel yang menjelaskan : Besaran yang akan diduga : Kesalahan (disturbance term) : logaritma natural =2,718.
Pendugaan terhadap koefisien a dan b dapat dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS), tetapi sebelum dilakukan pendugaan, fungsi produksi Cobb-Douglas diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan (2) menjadi persamaan (3). log Y = log a + bl log X1 + b2 log X2 +…..... + b n log Xn + u ……………… ....
(3)
Ada tiga alasan mengapa fungsi produksi Cobb-Douglas lebih banyak dipakai untuk menganalisis oleh para peneliti (Soekartawi, 1994), yaitu:
1.
Penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas lebih mudah dianalisis dibandingkan dengan fungsi yang lain, seperti fungsi kuadratik. Fungsi produksi Cobb-Douglas mudah ditransfer ke bentuk linear.
2.
Hasil pendugaan garis dari fungsi Cobb-Douglas menghasilkan koefisien regresi yang menunjukkan besaran elastisitas. Jadi besaran b pada persamaan (3) adalah angka elastisitas.
3.
Besaran elastisitas tersebut menunjukkan tingkat besaran Return to Scale. Dengan demikian terdapat tiga kemungkinan, yaitu: a. b. c.
Decreasing Return to Scale, bila bl +b2+ ... + bn < 1, berarti bahwa proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi. Constant Return to Scale, bila bl +b2+ ... + bn = 1, berarti bahwa penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. Increasing Return to Scale, bila bl +b2+ ... + bn > 1, berarti bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.
Kelemahan model fungsi produksi Cobb-Douglas adalah tidak pernah dicapai tingkat produksi maksimum, sulit menghindari multicolinearity dan karena fungsi produksi Cobb-Douglas menggunakan bentuk logaritma, maka data tidak boleh bernilai nol atau negatif. Cara memperbaiki pendugaan yang menggunakan data nol atau negatif adalah (1) besaran dari variabel yang bernilai nol atau negatif tersebut diubah nilainya menjadi variabel Dummy, misalnya pengamatan yang bernilai nol atau negatif diberi penimbang nol dan yang bernilai bukan nol atau bukan negatif diberi penimbang satu, (2) menambahkan suatu bilangan yang sama untuk setiap nilai X, sehingga pengamatan yang bernilai nol atau negatif tidak akan menjadi nol atau negatif, dan (3) mengganti pengamatan yang bernilai nol dengan bilangan yang kecil sekali.
Cara ini menurut
Johnson dan Rausser (1971) adalah cara yang lebih baik bila dibandingkan dengan kedua cara diatas (Soekartawi, 1994). Pendugaan model dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas yang dimodifikasi ke dalam bentuk logaritma. Kelemahan dari model ini adalah pendugaan fungsi produksi dapat dilakukan dengan baik bila logika dan mekanisme proses produksi diketahui sebelumnya. Variabel manajemen dapat mempengaruhi pendugaan elastisitas produksi terhadap faktor produksi akan bias ke atas, sedangkan penduga terhadap skala
usaha akan bias ke bawah, sehingga variabel manajemen sering dimsukkan sebagai variabel boneka (dummy variabel). Uji t dilakukan untuk melihat signifikasi dari perbedaan dua pengamatan yang dibandingkan. Model uji t yang digunakan seperti persamaan (4).
_ XiA _ XiB NA NB S2
_ _ • X iA - XiB • T hitung = ----------------------------- ……….………………. • S 2 ( 1/NA + 1/NB )
rata-rata dari nilai pengamatan yang diperoleh dari petani yang menerapkan usaha tani pola CLS. rata-rata dari nilai pengamatan yang diperoleh dari petani yang tidak menerapkan usaha tani pola CLS. jumlah petani sampel yang menerapkan usaha tani pola CLS jumlah petani sampel yang tidak menerapkan usaha tani pola CLS varian gabungan yang dihitung dengan rumus persamaan (5):
(NA – 1) S2A + (NB – 1) S2B S = --------------------------------( NA + NB -2 ) 2
S2A S2B
(4)
………………………………………..
(5)
varian dari sampel petani yang menerapkan usaha tani pola CLS varian dari sampel petani yang menerapkan usaha tani pola CLS _ _ H0 = XiA = XiB _ _ H1 = XiA > XiB á = 0,05 ttabel = t á % ; (NA
+
NB - 2)
Jika thitung < ttabel, H0 diterima artinya tidak beda nyata antara dua pengamatan yang dibandingkan. Jika thitung > ttabel, H0 ditolak artinya ada beda nyata antara dua pengamatan yang dibandingkan. 2.2.2. Pendekatan Ekonomi Lingkungan Pemberian nilai (valuation) terhadap manfaat dan biaya lingkungan menunjukkan bahwa lingkungan dalam memberikan pelayanan tidak cuma-cuma, namun mempunyai nilai dan harga yang sering tidak tersirat oleh mekanisme pasar. Lingkungan mempunyai nilai sebagai bahan baku untuk kegiatan ekonomi, kegiatan rekreasi, sumber kenikmatan, keselarasan yang menentukan kualitas hidup, sebagai
pelimbahan dan asimilator atau pendaur ulang limbah dan aktivitas ekonomi, sumber pengetahuan untuk pendidikan dan penelitian ilmiah, keanekaragaman hayati dan asset yang dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Valuasi ekonomi merupakan komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya, dimana valuasi ekonomi mengaitkan dimensi-dimensi ekonomi dengan ekologi secara
integratif
(Hufschmidt, et al, 1983). Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam valuasi ekonomi dimulai dari identifikasi biaya dan manfaat pengelolaan pertanian pola CLS, melakukan penilaian biaya dan manfaat dari masing-masing komponen baik yang dapat dinilai dengan harga pasar maupun non pasar, menghitung nilai kelayakan sesuai kriteria investasi serta melakukan analisis biaya manfaat dan kesimpulan. Beberapa kajian komparasi antara beberapa metode valuasi ekonomi disimpulkan bahwa (1) tidak ada satu teknikpun yang superior dibandingkan teknik yang lain, (2) masing-masing teknik adalah cocok bagi beberapa kasus tertentu tetapi tidak cocok untuk kasus yang lain, dan (3) penentuan teknik yang akan digunakan bergantung pada masalah yang akan dinilai serta sumberdaya pendukung studi (Ramdan et al 2003). Pemilihan teknik benefit cost analysis (BCA) valuasi kualitas lingkungan berdasarkan Askary (2001) dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Pemilihan Teknik Valuasi Ekonomi Kualitas Lingkungan (sumber : Askary, 2001)
Dampak Lingkungan
Perubahan Produksi
Perubahan kualitas
Terhitung
lingkungan
Habitat Ya
Kualitas udara & air
Efek kesehatan
Rekreasi
Tidak
Estetika, Biodiversitas, Budaya, Sejarah,
Tersediakah harga
Biaya
Efektifitas Biaya
pasar non-distorsi ?
Kesempatan
Pencegahan
Biaya
Pengeluaran
Ya
Tidak
Pengganti
Preventif
Gunakan
Gunakan
Nilai tanah
Biaya relokasi/
Perubahan
Pendekatan
Produktivitas
Pasar Proksi,
Sakit
Kematian
Hilangnya
Biaya
pendapatan
pencegahan
Biaya
Modal
pengobatan
manusia
Biaya
Hak milik/
perjalanan
aset
Valuasi
Valuasi
kontingen
kontingen
pengganti
Aplikasikan
Valuasi
harga
kontingen
bayangan terhadap perubahan produksi
Metode analisis biaya dan manfaat merupakan metode yang cukup penting dalam analisis dampak lingkungan. Dengan metode ini dapat dibandingkan antara besarnya pendapatan dengan komponen biaya.
Metode ini digunakan untuk menilai proyek
pembangunan berskala mikro dengan menggunakan teknik penilaian Benefit Cost Ratio (B/C R). Penilaian suatu proyek yang dilakukan dengan mengadakan analisis finansial atau analisis ekonomi biasa disebut dengan kelayakan finansial atau ekonomi. Penilaian finansial meliputi perhitungan semua pengeluaran untuk investasi sampai jangka waktu tertentu dibandingkan dengan semua pendapatan yang timbul sebagai akibat adanya proyek tersebut. Baik pengeluaran dan penerimaan diperhitungkan pada standar harga pasar yang berlaku. Usaha tani tanaman pangan dan usaha ternak sapi potong mengandung unsur resiko dan ketidakpastian. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis sensitivitas untuk mengetahui prospek pengembangan usaha di masa yang akan datang. Kepekaan atau
sensitivitas adalah sifat responsif terhadap variabel atau parameter yang mengalami perubahan baik kualitas atau kuantitas. Manfaat dan biaya pada umumnya bersifat peka atau responsif terhadap berbagai macam variabel sehingga penerimaan dan pengeluaran itu sendiri juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut pada umumnya dikatagorikan dari sikap penganalisis menjadi tiga sikap yaitu sikap optimis, moderat, dan pesimis. Untuk mengatasi perubahan maka digunakan alat analisis sensitivitas atau analisis kepekaan. Analisis sensitivitas merupakan analisis untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek jika ada sesuatu perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau benefit. Kadariah (1988) mengatakan bahwa analisis sensitivitas perlu sekali diperhitungkan karena analisis proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang. Yang perlu diperhatikan dalam analisis sensitivitas antara lain: (1) terdapatnya kenaikan dalam biaya konstruksi, (2) perubahan harga produksi dan (3) mundurnya waktu implementasi. Perubahan harga berupa penurunan harga jual produksi (gabah dan daging sapi) serta kenaikan biaya produksi (terutama pupuk dan pakan ternak) diperkirakan berpengaruh terhadap NPV, net B/C ratio dan IRR karena komponen tersebut merupakan bagian yang terbesar dari arus manfaat dan biaya dalam usaha tani pola CLS. 2.2.3. Pendekatan Analisis Kelembagaan Petani Dalam analisis aspek sosial budaya difokuskan dengan pendekatan kelembagaan petani yang menempatkan sumberdaya manusia (SDM) sebagai motor penggerak pembangunan.
Pendekatan ini secara konsepsional sesuai dengan kondisi di negara
sedang berkembang yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi (Tonny, 1988). Aspek manajemen dan kelembagaan petani perlu mendapat perhatian. Perbaikan kinerja kelembagaan
perlu
dilakukan
secara
terus-menerus
dan
menyeluruh
sehingga
kelembagaan petani mampu melayani anggotanya secara optimal. Pendekatan kelompok merupakan wadah penting sebagai penunjang keberhasilan, dengan berkelompok dapat dilakukan tindakan kolektif sehingga tercapainya efisiensi. Menurut Norman Uphoff 1986 dalam Syahyuti (2003) keberhasilan pengembangan kelembagaan akan bergantung pada kapasitas pelaksanaannya dan kelembagaan yang sudah terbentuk (existing condition). Pendekatan pengembangan kelembagaan dapat dilakukan secara individual dengan introduksi pengetahuan, kesadaran dan perilaku, maupun melalui pengorganisasian dengan fokus pada aspek peran-peran, struktur dan prosedur. Dalam usaha tani pola
CLS terdapat beberapa jenis kegiatan yang akan lebih efisien apabila dilaksanakan secara berkelompok seperti kegiatan pengandangan ternak, pengelolaan kompos dan lainnya. 2.2.4. Pendekatan Analisis Status Keberlanjutan dan Analisis Prospektif Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multi disiplin karena banyak dimensi pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain dimensi ekologi, ekonomi, sosialbudaya, hukum dan kelembagaan. Walaupun banyak pendapat ahli memberikan persyaratan pembangunan berkelanjutan dengan aspek-aspek yang hampir sama tetapi dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Di bidang pertanian menurut
Suryana et al. (1998), konsep berkelanjutan
mengandung pengertian, bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang lintas generasi (inter-generational sustainability). Pembangunan pertanian juga harus mengindahkan aspek kelestarian lingkungan sehingga pemilihan teknologi dan pengelolaannya tidak hanya didasarkan pada keuntungan sesaat (jangka pendek). Teknologi ramah lingkungan yang sudah banyak dikembangkan dan telah digunakan, antara lain Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Pengelolaan
Tanaman
Terpadu
(PTT).
Pembangunan
pertanian
berkelanjutan
memerlukan penerapan Good Agricultural Practices (GAP) yang pada dasarnya menekankan pada penggunaan low external input. Pola CLS merupakan salah satu kegiatan pertanian organik dengan sistem usaha tani terpadu dimana dilakukan masukan teknologi rendah dan memanfaatkan sumber daya lokal didaur ulang secara efektif (Sutanto, 2002a). Pertanian pola CLS diharapkan dapat menjamin suatu pola usaha tani stabil dan lestari karena mengembangkan keterkaitan antara limbah padi diolah menjadi pakan ternak dan kotoran ternak diolah menjadi pupuk organik (kompos) sebagai siklus utama meningkatkan produktivitas padi dan ternak. Upaya peningkatan produktivitas lahan dan efisiensi usaha tani melalui pola CLS dilakukan melalui penerapan teknologi inovatif, optimalisasi sumber daya lahan dan tenaga kerja, serta mebangun kelembagaan usaha bersama (Wein Simei, 1998 dalam Prasetyo, et al 2001). Integrasi pola CLS mencakup tiga jenis kegiatan usaha tani yang saling berkaitan yaitu (1) budidaya ternak, (2) budidaya padi serta (3) pengelolaan jerami dan kompos. Inovasi yang dikembangkan dalam budidaya ternak mencakup pengandangan ternak
secara berkelompok, aplikasi budidaya ternak termasuk strategi pemberian pakan, pengelolaan dan pemanfaatan kotoran ternak
menjadi kompos
tanaman padi.
Pengembangan budidaya padi sawah irigasi melalui teknologi pengelolaan, penyimpanan dan peningkatan kualitas jerami sebagai pakan ternak. Pengomposan adalah proses mengubah limbah organik menjadi pupuk organik melalui kegiatan biologi pada kondisi yang terkontrol (Sutanto, 2001a). Tujuan pengomposan adalah mengurai bahan organik yang dikandung bahan limbah, menekan timbulnya bau busuk, membunuh benih gulma dan organisme yang bersifat pathogen dan sebagai produknya berupa pupuk organik yang sesuai untuk diaplikasikan di lahan pertanian. Manfaat penggunaan pupuk kompos/pupuk organik memperbaiki kesuburan tanah, sedangkan kelemahan pupuk organik adalah diperlukan jumlah yang banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur hara pertanaman, bersifat ruah dalam pengangkutan maupun aplikasi di lapangan, dan dapat menimbulkan kekahatan unsur hara bila bahan organik yang diberikan belum cukup matang (Sutanto, 2001a). Penerapan
konsep
pembangunan
berkelanjutan
dalam
suatu
kegiatan
pembangunan menjadi lebih komprehensif untuk menilai status/tingkat keberlanjutan. Dengan demikian usaha tani pola CLS dapat dikatakan berkelanjutan jika memenuhi kriteria dari masing-masing dimensi dari konsep pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya. Suatu usaha tani pola CLS disebut memenuhi syarat berkelanjutan dilihat dari dimensi ekologi jika pola CLS dapat meminimalisir penggunaan input kimia dari luar, memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan mengolah limbah ternak menjadi kompos dan mengolah limbah jerami menjadi pakan ternak. Dengan demikian, atribut yang dapat digunakan untuk mencerminkan keberlanjutan dimensi ini adalah tingkat pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik dan limbah pertanian untuk pakan ternak, instalasi pengelolaan limbah di rumah potong hewan (RPH) dan lain-lain. Usaha tani pola CLS dikatakan memenuhi dimensi ekonomi dalam konsep pembangunan
berkelanjutan
bila
mampu
menghasilkan
produksi
secara
berkesinambungan, meningkatkan pendapatan petani, penyerapan tenaga kerja dan tumbuhnya berbagai kegiatan usaha pendukung. Dengan demikian, atribut ekonomi yang dapat mencerminkan keberlanjutan dari dimensi ini adalah kelayakan usaha dari aspek
finansial dan ekonomi, tingkat penerimaan petani, kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), dan lain-lain. Usaha tani pola CLS dikatakan memenuhi dimensi sosial-budaya, bila pola tersebut dapat mendukung pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan), terjadi pemerataan pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, serta terdapat akuntabilitas serta partisipasi masyarakat. Dengan demikian atribut sosial-budaya yang dapat mencerminkan keberlanjutan dari dimensi ini antara lain adalah pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, bekerja dalam kelompok, frekuensi penyuluhan dan pelatihan dan lain-lain. Karena kondisi yang demikian akan mampu mendorong ke arah keadilan sosial dan mencegah terjadinya konflik kepentingan. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya yang berbasis pada masyarakat lokal harus dapat dipertahankan. Dari uraian sebelumnya, semakin jelas bahwa tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan pola CLS bersifat
multidimensi (multiobjective)
yaitu mewujudkan
kelestarian (sustainability) baik secara ekologis, ekonomi, dan sosial-budaya. Implikasinya memang menjadi kompleks jika dibandingkan dengan usaha tani pola monokultur yang hanya mengejar produksi pertanian.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari
pertanian terpadu pola CLS ini antara lain: meningkatkan produktivitas gabah dan daging, meningkatkan populasi ternak sapi, meningkatkan pendapatan petani dan pendapatan daerah, meningkatkan produktivitas dan kelestarian lahan, meningkatkan lapangan kerja baru dengan mengolah kompos, meningkatkan keharmonisan kehidupan sosial dan menyehatkan lingkungan. 2.2.5. Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya Beberapa hasil penelitian usaha tani pola CLS yang telah dilakukan masih terbatas melakukan analisis kelayakan secara finansial.
Pertama kali penelitian pola CLS
dilakukan di Batumarta, Sumatera Selatan tahun 1985 dimana penerapan model tanamanternak selama tiga tahun meningkatkan pendapatan petani sebesar US$1.500 /KK/tahun, dimana tiap KK memiliki lahan 2 hektar tanaman pangan dan satu ekor sapi (Puslitbang Pangan dan Puslitbang Peternakan, dalam Diwyanto et al 2001). Kontribusi hasil ternak terhadap total pendapatan masih rendah yaitu 10% sedangkan dari tanaman pangan 71,7% dan sisanya berasal dari pendapatan lainnya, dibandingkan dengan pola
konvensial maka pola CLS mampu meningkatkan pendapatan bersih petani sebesar 36% (CRIFC, 1995 dalam Devendra, et al, 1997). Hasil penelitian Pramono et al (2001) pola integrasi padi - sapi potong pembibitan dengan hasil pendapatan usaha tani padi lahan irigasi di Kabupaten Banyumas, Purworejo, Pati, Boyolali dan Grobogan per tahun rata-rata Rp. 2,455 juta/ha dan pendapatan dari usaha tani sapi potong pembibitan dengan pola introduksi sebesar Rp.1,183 juta per periode (13 bulan). Dengan demikian penerapan integrasi padi – sapi potong mampu memberikan tambahan pendapatan petani. Hasil penelitian di Philipina menunjukkan bahwa dengan menerapkan CLS, maka usaha dari ternak sapi mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% terhadap pendapatan usaha tani dan lebih dari 20% terhadap pendapatan keluarga. Pola CLS di lahan irigasi di Mindanao meningkatkan pendapatan per tahun dari US$ 570/hektar menjadi US$ 767/hektar (Guy, 1995 dalam Devendra, et al, 1997). Hasil penelitian di Pulau Luzon tahun 1986-1988 pola CLS pada lahan kering dengan pemberian pakan konsentrat untuk ternak sapi mampu meningkatkan pendapatan petani dari US$ 935/hektar menjadi US$ 1.232/hektar. Hasil penelitian di Thailand menunjukkan usaha ternak pada lahan kering mampu meningkatkan pendapatan usaha tani dari US$ 518 pada tahun 1983 menjadi US$ 715 pada tahun 1986 (Devendra, et al, 1997). Sedangkan penelitian di Ban Donpondaeng Thailand usaha tani pola CLS dengan kepemilikan rata-rata 4,8 ekor sapi menunjukkan hasil pada tahun kedua mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 18.151 baht/KK dari 12.728 baht/KK dan kepemilikan rata-rata 7,5 ekor sapi pada tahun kedua mampu meningkatkan pendapatan 39.982 baht/KK dari 24.972 baht/KK, dimana US$1= 26.5 Bath (Bromani, 1985 dalam IRRI, 1986). Mersyah. R. (2005) melakukan penelitian di Kabupaten Bengkulu Selatan menggunakan pendekatan konsep pembangunan berkelanjutan sistem budidaya sapi potong, yang bersangkutan menyusun nilai indeks keberlanjutan dengan metode MDS disimpulkan bahwa pengembangan sapi potong di Bengkulu Selatan termasuk dalam kategori “kurang” berkelanjutan.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Waktu penelitian selama 13 bulan bulan mulai bulan Februari 2003 sampai Maret 2004 dan sebagian data dikumpulkan sampai Juli 2005. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa kabupaten tersebut telah tumbuh kegiatan usaha tani pola CLS integrasi usaha tani padi sawah dengan ternak sapi potong dan pihak Pemda mendukung pengembangan pertanian pola CLS sebagai transisi menuju pertanian organik. Peta lokasi penelitian seperti pada Lampiran-2. 3.2. Rancangan Penelitian 3.2.1. Analisis Fungsi Produksi dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah A. Penentuan Sampel Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Penentuan sampel sebanyak lima kecamatan dan tujuh desa dipilih secara (purposive) dengan pertimbangan petani pada kecamatan dan desa tersebut telah menerapkan kegiatan usaha tani pola CLS secara rinci disajikan pada Lampiran 3 dan 4. Pada masing-masing desa dipilih satu kelompoktani secara sengaja (purposive) dan sepuluh responden petani per kelompoktani secara sampling acak distratifikasi (stratified random sampling) berdasarkan lama berusaha tani pola CLS dan luas lahan, sehingga jumlah responden yang menerapkan CLS sebanyak 70 orang. Disamping itu juga pada desa tersebut dipilih secara acak sederhana sebanyak 40 responden petani yang tidak menerapkan pola CLS sebagai responden pembandingnya. Petugas PPL, tokoh masyarakat dan petugas instansi terkait dijadikan sumber informasi. B. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: (a)
Teknik Observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan di lapangan.
(b)
Teknik wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi langsung dengan responden dan informan yang
diambil sebagai sampel penelitian dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. (c)
Teknik pencatatan, yaitu mencatat semua data sekunder dari dinas atau instansi yang berkaitan dengan penelitian.
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa data pola usahatani, sarana produksi, produksi, struktur ongkos usahatani padi, ternak, pengolahan kompos dan jerami diperoleh dari hasil wawancara/ interview kepada responden dan informan dengan kuesioner yang telah disiapkan, pengamatan langsung di lapang. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait baik di tingkat pusat, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan tingkat desa antara lain dari Kantor Statistik Kabupaten, Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten, Kantor Kecamatan, Kantor Desa, Puskesmas dan instansi terkait lainnya. Data sekunder mencakup keadaan umum daerah, keragaan usaha tani padi, usaha tani ternak sapi potong, pengelolaan limbah, luas areal, produksi dan produktivitas usaha tani, populasi ternak, kelompok tani, harga, dan lainnya. C. Definisi, Pengukuran Variabel dan Asumsi-Asumsi Definisi dan pengukuran variabel sebagai berikut: (1)
Usaha tani terpadu adalah suatu kegiatan petani dalam memanfaatkan secara optimal secara terpadu dengan lebih dari satu komoditas pertanian, baik komponen usaha tani pangan, palawija, hortikultura, ternak, dan ikan selama setahun. Sedangkan usaha tani tidak terpadu hanya dengan satu komoditas selama setahun.
(2)
Manajemen dan kelembagaan petani, yang diukur adalah kinerja kelompoktani. Bagaimana kelompoktani mampu melayani kebutuhan anggotanya. Jenis-jenis aktivitas usaha tani yang dilakukan bersama dan perorangan, penyediaan sarana produksi dan fasilitas lain, pengelolaan tenaga kerja, kepemimpinan, keuangan kelompok, maupun permasalahan-permasalahan dalam kelompoktani.
(3)
Lahan sawah adalah tanah pertanian yang hampir sepanjang tahun terdapat irigasi secara permanen, sebaliknya disebut lahan kering bila sepanjang tahun tidak tergenang air (mengandalkan air hujan).
(4)
Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan yang sesuai dengan kondisi iklim dan komoditas pada suatu areal dalam kurun waktu tertentu.
(5)
Produktivitas adalah kemampuan berproduksi dari usaha tani dalam setahun.
(6)
Luas lahan. Luas lahan diukur dalam satuan hektar. Pada tingkat usaha tani luas lahan yang digunakan adalah rata-rata pemilikan lahan oleh petani. Untuk tingkat kabupaten luas lahan yang digunakan adalah luas lahan pertanian baik berupa lahan sawah maupun lahan kering.
(7)
Tenaga kerja. Tenaga kerja diukur dalam satuan HOK, dimana satu HOK adalah 6 jam.
Pada tingkat usaha tani tenaga kerja dibedakan antara laki-laki dan
perempuan. Pada tingkat kabupaten tenaga kerja laki-laki dan perempuan disatukan, dimana 1 HOK tenaga kerja perempuan = 0.8 HOK laki-laki. Tingkat upah yang dipakai adalah rata-rata tingkat upah yang pernah dibayarkan petani atau tingkat upah yang pernah diterima petani bila bekerja di luar pertanian. (8)
Produksi. Untuk tingkat usaha tani produksi dinilai dalam satuan fisik (untuk gabah/beras: ton, ternak sapi: ekor, pupuk kompos: ton) yang mana produksi tersebut merupakan nilai rata-rata yang dihasilkan oleh petani. Sedangkan tingkat kabupaten karena beragamnya komoditas maka berupa Rp/hektar yang merupakan perkalian antara produksi yang nyata di lapangan dengan harga jualnya.
(9)
Harga. Harga yang terjadi pada tingkat usaha tani, dimana harga output usaha tani merupakan harga jual yang diterima petani, sedangkan harga input merupakan harga beli input yang dibayar oleh petani. Pada tingat kabupaten harga yang dipakai adalah rata-rata harga yang terjadi pada daerah tersebut.
(10) Keuntungan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dari usaha tani dengan biaya yang dikeluarkan dalam satu tahun (dalam rupiah). Penerimaan usaha tani adalah hasil kali produk total dikalikan dengan harga output per satuan volume. Sedangkan total biaya produksi usaha tani adalah jumlah input yang digunakan selama proses usaha tani dikalikan dengan harga input per satuan volume. Asumsi yang digunakan dalam pemakaian fungsi Cobb-Douglas antara lain: (a) petani dianggap rasional dalam melakukan usaha tani untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, (b) harga-harga faktor produksi dan output usaha tani selama penelitian dianggap tetap dan dihitung berdasaran harga yang dibayarkan dan diterima petani, dimana masing-masing individu sampel memperlakukan harga input bervariasi, (c) untuk menduga fungsi Cobb-Douglas diasumsikan pasar dalam kondisi persaingan sempurna, (d) teknologi dianggap netral yang berarti intercept boleh berbeda tetapi slope garis
penduga Cobb-Douglas dianggap sama, dan (e) fungsi keuntungan adalah menurun bersamaan dengan bertambahnya jumlah faktor produksi tetap. D. Pengolahan dan Analisis Data Fungsi Produksi Usaha tani Pola CLS dan Non CLS Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha tani padi pola CLS digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas.
Yang
membedakan usaha tani padi sawah CLS dan non CLS adalah pada usaha tani padi pola CLS menggunakan input pupuk organik dan biasanya sedikit atau bahkan tidak menggunakan pupuk kimia maupun pestisida, dan sebaliknya untuk usaha tani non CLS. Dengan adanya perbedaan tindakan usaha tani padi pola CLS dan non CLS yang dilakukan oleh petani maka dapat diduga adanya perbedaan produksi diantara dua pola usaha tani tersebut.
Langkah pertama dilakukan uji-t untuk melihat signifikasi dari
perbedaan produksi antara usaha tani pol CLS dan non CLS, selanjutnya dilakukan pendugaan model. Untuk mempermudah pendugaan fungsi produksi padi sawah, persamaan CobbDouglas diubah dalam bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan menjadi persamaan (6). ln Qp = ln a + b1 ln Pb + b2 ln Pu + b3 ln Pt + b4 ln Pc + b5 ln Pk + b6 ln Ppc + b7 ln Ppp + b8 ln Tk + b9 ln Pdd + bl0 ln Pum + bl1 ln Pgl + b12 ln Tx + b13 ln Ps + b14 ln D1 + b15 ln D2 + u. …......…............................................................ (6) Keterangan : Qp = produksi (kg) Pb = bibit/benih (kg/ha) Pu = Urea (kg/ha) Pt = TSP (kg/ha) Pc = KCl (kg/ha) Pk = pupuk kompos (kg/ha) Ppc = pestisida cair (liter/ha) Ppp = pestisida padat (kg/ha) Tk = tenaga kerja (HOK/ha) Pdd = pendidikan petani (tahun) Pum = umur petani (tahun) Pgl = pengalaman bertani (tahun) Tx = pajak/sewa lahan Ps = sewa alat dan mesin D1 = dummy luas lahan D2 = variable pola usaha tani D1 = 1 Luas lahan > 0,5 hektar D2 = 1 pola usaha tani CLS D1 = 0 Luas lahan < 0,5 hektar D2 = 0 pola usaha tani non CLS a = intersep/konstanta bi = koefisien regresi variabel independen ke-i u = kesalahan pengganggu
Dengan memasukkan variabel dummy (D2) pola usaha tani CLS dengan non CLS ke dalam model, maka dapat diketahui ada tidaknya perbedaan nyata antara produksi usaha tani pola CLS dengan non CLS. Ddalam pendugaan model fungsi produksi dipilih model yang paling baik dari berbagai variabel yang ada. Pengujian model dilakukan dengan menghitung koefisien determinasi majemuk (R2) yaitu nilai yang menyatakan besarnya proporsi atau persentase variasi total dari variabel tak bebas/yang dijelaskan (Y) oleh variabel yang menjelaskan (X) secara bersama-sama. Untuk menguji hubungan keseluruhan dari variabel independen terhadap variabel dependen maka dilakukan uji F (over all test) sedangkan pengujian masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen maka dilakukan uji t (individual test). Apabila setelah dilakukan analisis diketahui koefisien regresi dari Dummy variable hasilnya berbeda nyata dan positif, maka dikatakan bahwa ada pengaruh perbedaan antara usaha tani pola CLS dengan non CLS terhadap produksi usaha tani. Besarnya nilai intersep dan koefisien regresi dari masing-masing variabel independen antara usaha tani pola CLS dibandingkan dengan nilai intersep dan koefisien regresi usaha tani pola non CLS.
Dikatakan usaha tani pola CLS lebih baik bila nilai intersep dan koefisien
regresinya lebih besar dibandingkan dengan usaha tani non CLS. Model estimasi fungsi produksi usaha tani padi sawah pola CLS seperti persamaan (7). ln Qpc = ln a + bl ln Pb + b2 ln Pu + b3 ln Pt + b4 ln Pc + b5 ln Pk + b6 ln Tk + b9 ln D1 + u. ..........................................…............…...............…. Keterangan: Qpc produksi padi sawah pola CLS.
(7)
Sedangkan model estimasi fungsi produksi usaha tani padi sawah pola non CLS seperti persamaan (8). ln Qpn = ln á + âl lnPb + â2 lnPu + â3 lnPt + â4 lnPc + â5 lnTk + â6 ln D1 + u ..... (8) Keterangan: Qpn produksi padi sawah pola non CLS Setelah diperoleh nilai intersept dan koefisien regresi dari kedua pola usaha tani tersebut, masing-masing model diuji signifikansi perbedaannya dengan Uji t. Demikian pula untuk menguji signifikansi dari perbedaan penggunaan input (pupuk kimia, pestisida, pupuk kompos) terhadap produksi di antara kedua pola usaha tani juga digunakan Uji t . Fungsi Keuntungan Usaha tani Pola CLS dan non CLS
Untuk mengetahui dan menganalisis tingkat efisiensi harga (ekonomi) pada usaha tani padi pola CLS dan non CLS dilakukan dengan cara menurunkan model fungsi produksi Cobb-Douglas dengan teknik Unit-Output Price Cobb-Douglas Profit Function. Untuk mempermudah pendugaan, pada kondisi model fungsi produksi yang optimal, harga faktor produksi dan harga produksi “dinormalkan” dengan harga tertentu, artinya besaran keuntungan dan variabel lain dibagi dengan besarnya harga produksi.
Persamaan
keuntungan yang diturunkan dari fungsi produksi Cobb-Douglas seperti pada persamaan (9). m n ð = ApF (X l ,…… X m ; Zi ,…, Z n ) - • c j Xj - • f j Zj …………….… ........… (9) j=1 j=1 dimana : ð = besarnya keuntungan (rp/ha) A = besaran efisiensi teknik p = harga produksi (rp/ton) Xj = variabel faktor produksi, dimana j= 1,…,n Zj = variabel faktor produksi tetap (fixed variable), dimana j= 1,…,n cj = harga faktor produksi per satuan fj = harga faktor produksi tetap per satuan Bentuk logaritma dari persamaan (9) menjadi persamaan (10). m n ln ð* = lnA* + • â j ln cj * + • áj ln Zj ……………………………..…… j=1 j=1
......... (10)
dimana : ð*= keuntungan yang telah “dinormalkan” dengan harga produks i. âj= koefisien variabel faktor produksi “dinormalkan” dengan harga produksi. áj= koefisien variabel faktor produksi tetap “dinormalkan” dengan harga produksi. cj*= variabel faktor produksi yang telah “dinormalkan” dengan harga produksi. Pendugaan fungsi keuntungan usaha tani padi sawah, usaha tani padi pola CLS dan non CLS seperti pada persamaan (11). ln ðp = ln a + b1 ln W b + b2 ln W u + b3 ln W t + b4 ln W c + b5 ln W p + b6 ln W s + b7 ln W h + b8 ln W x + b9 ln Lu + bl0 ln Wk + bl1 ln D1 + b12 ln D2 + b13 ln D3 + + u. …................................... ............................................ (11)
Keterangan: ðp keuntungan padi s awah, ðpc keuntungan padi s awah CLS , ðpn keuntungan padi sawah non CLS, harga benih (Wb), harga urea (Wu), harga pupuk TSP (Wt), hargaKCl (Wc), harga pestisida (Wp), sewa/ pemeliharaan alsin (Ws), upah kerja (Wh), pajak (Wx), lahan
usaha (Lu), harga pupuk kandang (Wk), dummy luas lahan (D1), dummy pola usaha tani (D2), dan dummy lama usaha tani CLS (D3), a=intersep/konstanta, bi= koefisien regresi variabel independen ke-i, u= kesalahan pengganggu. 3.2.2. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi, serta Analisis Peran Kelembagaan Petani A. Penentuan Sampel Penelitian Metode penentuan sampel penelitian yang digunakan pada analisis kelayakan finansial dan ekonomi sama dengan metode penentuan sampel penelitian pada analisis fungsi produksi dan fungsi keuntungan usaha tani padi sawah seperti yang telah diuraikan pada sub bab 3.2.1. B. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data Teknik pengumpulan data dilakukan analisis kelayakan finansial dan ekonomi sama dengan metode penentuan sampel penelitian pada analisis fungsi produksi dan fungsi keuntungan usaha tani padi sawah seperti yang telah diuraikan pada sub bab 3.2.1. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa data pola usahatani, sarana produksi, produksi, struktur ongkos usahatani padi, ternak, pengolahan kompos dan jerami, kegiatan hulu dan hilir usahatani, valuasi ekonomi lingkungan, manajemen dan kelembagaan petani diperoleh dari hasil wawancara/ interview kepada responden dan informan dengan kuesioner yang telah disiapkan, pengamatan langsung di lapang. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait baik di tingkat pusat, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan tingkat desa antara lain dari Kantor Statistik Kabupaten, Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten, Kantor Kecamatan, Kantor Desa, Puskesmas dan instansi terkait lainnya. Data sekunder mencakup keadaan umum daerah, keragaan usaha tani padi, usaha tani ternak sapi potong, pengelolaan limbah, luas areal, produksi dan produktivitas usaha tani, populasi ternak, kelompok tani, harga, dan lainnya.
C. Definisi, Pengukuran Variabel dan Asumsi-Asumsi Definisi dan pengukuran variabel sebagai berikut:
(1) Total biaya produksi meliputi biaya investasi, biaya produksi/operasional dan biaya sosial dalam satuan rupiah. Biaya investasi meliputi biaya pembuatan kandang, bangunan kompos, pembelian bakalan ternak serta pembelian/pengadaan lahan dalam satuan rupiah. Biaya operasional meliputi biaya tetap dan biaya variabel dalam satuan rupiah. Biaya tetap merupakan biaya yang tidak habis sekali pakai dalam proses produksi meliputi penyusutan alat dan mesin pertanian, kandang, bangunan kompos, dan bunga modal dalam satuan rupiah, sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang habis pakai dalam proses produksi meliputi biaya pembelian bibit, pupuk, pakan ternak, biaya obat, transport dan biaya upah tenaga kerja. (2) Analisis biaya dan manfaat yang dilakukan tidak hanya mencakup analisis kelayakan finansial tetapi juga analisis kelayakan secara ekonomi/sosial. (3) Valuasi ekonomi lingkungan merupakan penilaian manfaat dan biaya yang berhubungan dengan perbaikan maupun pencegahan kerusakan lingkungan meliputi penanganan limbah, penanganan bau, gangguan kesehatan dan tanggungjawab sosial (berbagai sumbangan dan iuran) dalam satuan rupiah. (4) Identifikasi manfaat lingkungan mencakup seluruh manfaat yang bersifat langsung dan tidak langsung dinikmati oleh petani maupun masyarakat serta manfaat yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak dapat dinilai dengan uang.
Manfaat
usaha tani pola CLS yang bersifat langsung dan dapat dinilai dengan uang diukur melalui harga pasar, seperti peningkatan produksi gabah, daging ternak maupun kompos. Sedangkan manfaat yang bersifat tidak langsung dan tidak dapat dinilai dengan harga pasar, dilakukan penyesuaian (adjusted) terlebih dahulu. Manfaat bersifat tidak langsung dari usaha tani pola CLS, misalnya seperti: perbaikan kesuburan lahan dan kualitas air, berkurangnya bau limbah ternak maupun berkurangnya gangguan kesehatan. (5) Identifikasi biaya lingkungan mencakup seluruh biaya yang bersifat langsung dan tidak langsung dikeluarkan oleh petani maupun masyarakat maupun biaya yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak dapat dinilai dengan uang. Biaya usaha tani pola CLS yang bersifat langsung dan dapat dinilai dengan uang diukur melalui harga pasar, seperti biaya pakan, bibit, pupuk, pestisida dan lainnya. Sedangkan biaya yang bersifat tidak langsung dan tidak dapat dinilai dengan harga pasar, dilakukan penyesuaian (adjusted) terlebih dahulu. Biaya bersifat tidak langsung
dari usaha tani pola CLS, misalnya seperti: penanganan limbah, penanganan bau, gangguan kesehatan dan tanggungjawab sosial (berbagai sumbangan dan iuran) dalam satuan rupiah. Asumsi-asumsi dalam analisis kelayakan antara finansial dan ekonomi lain: (a) tingkat discount rate sebesar tingkat suku bunga pinjaman pada waktu penelitian, (b) economics life of the capital selama lima tahun dengan pertimbangan alat dan mesin/asetaset produksi sudah memerlukan penggantian, (c) straigth line depreciation method, dan (d) tidak ada nilai sisa barang dan modal dalam proses produksi. D. Pengolahan dan Analisis Data Kelayakan Finansial dan Ekonomi Perbedaan penilaian antara analisis finansial dan analisis ekonomi adalah pada kelayakan finansial yang dianalisis adalah besarnya penerimaan dan pengeluaran riil suatu unit usaha tani, sedangkan kelayakan ekonomi menggunakan pendekatan biaya dan manfaat sosial atau ditinjau secara ekonomi agregat. Metode analisis finansial lebih menekankan kepada analisis biaya-manfaat terhadap individu atau privat, sedangkan analisis ekonomi lebih menekankan kepada analisis biaya-manfaat terhadap masyarakat. Dalam analisis finansial menggunakan tingkat bunga sebenarnya yang harus dibayarkan misalnya melalui kredit bank, sedangkan analisis ekonomi menggunakan tingkat bunga umum yang berlaku. Dalam analisis finansial menggunakan harga pasar (market prices) sedangkan dalam analisis ekonomi menggunakan shadow price yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya dari unsur-unsur biaya maupun manfaat. Dalam analisis ekonomi menggunakan asumsi, misalnya shadow untuk tenaga kerja kasar = 0,5 (tidak memerlukan keahlian khusus) sedangkan tenaga ahli = 1,0 untuk tenaga terlatih dan berpendidikan. Dalam analisis ekonomi, faktor-faktor yang supply-nya sudah tetap seperti tanah, tempat bangunan mungkin menghasilkan sewa yang mencerminkan kelangkaannya. Oleh karena itu nilai kandang diperhitungkan sewanya sebagai nilai opportunity cost bagi perekonomian yang berlaku. Semua perhitungan secara finansial dan ekonomis menggunakan cara diskonto dalam bentuk cash flow dimana pengeluaran dan pemasukan setiap tahun dinilai sekarang (present value) dengan tingkat bunga (discount rate) tertentu. Perbedaan antara analisis finansial dan ekonomi secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Analisis Finansial dan Ekonomi No.
Uraian
Analisis Finansial
Analisis Ekonomi
1.
Objek
2. 3.
Harga yang digunakan Manfaat
Private/orang/badan (petani) Harga pasar Private return, manfaat riil yang diterima oleh petani
4.
Biaya
Biaya riil yang dikeluarkan petani
5. 6. 7.
Pajak Subsidi Bunga atas Modal
Diperhitungkan Diperhitungkan Dibayarkan karena dianggap sebagai biaya
8.
Tenaga kerja
Harga pasar
9.
Alat dan bahan
Harga pasar
Publik/perekonomian keseluruhan Harga bayangan The social/economic return (termasuk manfaat tidak langsung, manfaat intangible seperti perbaikan lingkungan dan lainnya. Manfaat yang hilang, opportunity cost, termasuk biaya pencegahan kerusakan lingkungan Tidak diperhitungkan Tidak diperhitungkan Tidak dianggap sebagai biaya sebab merupakan transfer payment. shadow price tenaga kerja skill=1 dan unskill labour=0.5. Harga yang tidak terdistorsi
Sumber: Kadariah (1988).
Metode yang digunakan dalam analisis finansial dan ekonomi dengan menggunakan metode “with and without” yaitu membandingkan antara usaha tani pola CLS dan non CLS. Satuan analisis kelayakan adalah skala usaha tani dalam satu hektar dengan penggemukan dua ekor ternak sapi potong. Dalam hal ini yang diukur secara finansial adalah penerimaan dari usaha tani pola CLS, sedangkan pengeluarannya berupa biaya investasi (bangunan, instalasi dan alat dan mesin) serta biaya operasional.
Indikator
kelayakan investasi diukur dari nilai kini dari manfaat bersih investasi (net present value atau NPV), rasio manfaat dan biaya (benefit and cost rasio atau B/C Rasio) dan internal rate of return (IRR).
Rumus NPV, gross B/C rasio dan IRR adalah seperti pada
persamaan (12), (13) dan (14). n NPV = ∑ t=1
B ti - C ti …………….……………… (1 +i)t
n B ti ∑ B/C R= t=1 ( 1 + i ) t Gross n C ti ∑
.........…
……………………...........….
(12)
(13)
t=1 ( 1 + i ) t IRR =
i’
NPV’ NPV’ – NPV”
(i” – i’) ……….……………
...…
(14)
Nilai NPV pada persamaan (12) pada tingkat discount faktor pada periode tertentu bila bernilai positif berarti investasi layak, bernilai negatif berarti tidak layak, bernilai 0 berarti titik impas. Gross B/C rasio pada persamaan (13) menilai seberapa besar manfaat yang dapat dihasilkan dari satu satuan unit biaya yang dikeluarkan. Investasi disebut layak bila B/C rasio lebih besar dari satu, tidak layak bila B/C rasio lebih kecil dari satu, bernilai 1 berarti titik impas. Nilai IRR pada persamaan (14) menunjukkan tingkat suku bunga yang diperoleh bila dibandingkan dengan nilai bunga investasinya.
Untuk itu
investasi suatu kegiatan disebut layak bila memiliki nilai IRR lebih besar dari tingkat discount ratenya. Nilai IRR ini biasa untuk menilai berbagai alternatif-alternatif pilihan investasi yang paling menguntungkan secara finansial maupun ekonomi. Peran Kelembagaan Petani Analisis kelembagaan petani pada usaha tani pola CLS dilakukan secara kualitatif dan dipaparkan secara diskriptif mengenai keragaan kelompok tani dan analisis fungsional dengan melihat hubungan antar bagian di dalamnya dan antar lembaga lainnya (Soekanto, 1999). Dalam penelitian juga dianalisis secara diskriptif peran kelembagaan petani dalam usaha tani pola CLS yang ditunjukkan oleh jenis-jenis kegiatan yang dilakukan secara kolektif dalam kelompok dan jenis-jenis kegiatan yang dilakukan secara perorangan/rumah tangga serta pengembangannya. 3.2.3. Analisis Status Keberlanjutan Usaha Tani Pola CLS A. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi, wawancara, pengisian kuesioner, dan pengamatan langsung terhadap usaha tani pola CLS di lokasi penelitian. Dipilih expert/pakar yang mewakili pemerintah daerah (dinas pertanian dan ketahanan pangan), perguruan tinggi, KTNA, petani, swasta. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, seperti hasil penelitian terdahulu,
hasil studi pustaka, dan laporan serta
dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian.
B. Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer. Data sekunder mencakup keadaan umum daerah, keragaan usaha tani padi, usaha tani ternak sapi potong, pengelolaan limbah, keberadaan RPH, aspek kelembagaan, permodalan, persepsi masyarakat, dan lainnya yang berkaitan dengan atribut pada setiap dimensi ekologi, ekonomi dan sosial. C. Penentuan Atribut dan Pengukuran Skor Berdasarkan data yang ada, maka setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pembangunan yang bersangkutan. Skor ini menunjukkan skala dari nilai yang “buruk” sampai pada nilai ”baik”. Nilai “buruk” mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pengembangan pertanian berkelanjutan. Sebaliknya nilai “baik” mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Di antara dua ekstrem nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut akan ditentukan oleh tersedia tidaknya literatur yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah peringkat. Sebagai contoh untuk menentukan tingkat pemanfataan limbah ternak sapi potong masih belum jelas kriteria yang dapat digunakan sebagai acuan, oleh karena itu akan ditentukan berdasarkan “scientific judgement” dari pembuat skor. Dalam penelitian ini dibuat empat peringkat yaitu tidak dimanfaatkan, sedikit dimanfaatkan, sebagian besar dimanfaatkan, dan seluruhnya dimanfaatkan. Pada dimensi ekonomi, misalnya atribut kelayakan finansial terdiri dari empat peringkat yaitu: sangat layak, layak, impas, dan tidak layak. Pada Tabel 2 disajikan atribut-atribut dan skor yang akan digunakan untuk menilai keberlanjutan pengembangan pertanian usaha tani pola CLS pada setiap dimensi. Tabel 2. Atribut dan Skor Keberlanjutan Usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen. Dimensi dan Atribut
I.
Dimensi ekologi
1.
Kesesuaian lahan untuk padi Tingkat pemanfaatan lahan untuk padi Tingkat penggunaan pupuk/
2. 3.
Skor
Baik
Buruk
Keterangan
0; 1; 2;3
3
0
0; 1; 2;3
0
3
0; 1; 2;3
0
3
(0) tanah tidak sesuai; (1) kurang sesuai S3; (2) sesuai S2; (3) sangat sesuai S1 (3) melebihi kapasitas; (2) tinggi (1) sedang; (0) rendah (3) melebihi standar; (2) tinggi (1) sedang; (0)
4.
pestisida Pemanfaatan limbah ternak sapi untuk pupuk kandang
0; 1; 2; 3
3
0
5.
Pemanfaatan limbah jerami untuk pakan ternak sapi
0; 1; 2; 3
3
0
6.
Sistem Pemeliharaan ternak sapi
0; 1; 2; 3
0
3
7.
Kepadatan ternak ternak/ 1000 orang)
(ekor
0; 1; 2; 3
3
0
8.
Ketersediaan Rumah Potong Hewan (RPH) Pemotongan sapi betina produktif
0; 1; 2; 3
3
0
0; 1; 2; 3
0
3
Kelayakan ekonomi
dan
0; 1; 2; 3
3
0
Kontribusi terhadap PDRB Rata-rata penghasilan petani CLS relatif dibanding non CLS Rata-rata penghasilan petani CLS relatif terhadap UMR (upah minimum regional) Jawa Tengah. Lembaga keuangan (bank/kredit)
0; 1; 2;3 0; 1; 2; 3
3 3
0 0
0; 1; 2; 3
3
0
6.
Transfer keuntungan
0; 1; 2;3
3
0
7.
Besarnya pasar
0; 1; 2;3
3
0
8.
Besarnya subsidi
0; 1; 2; 3
0
3
III.
Dimensi SosialBudaya
Sosialisasi pekerjaan (individual atau kelompok)
0; 1; 2;3
3
0
Jumlah rumah tangga petani CLS Pengetahuan terhadap lingkungan Frekwensi konflik
0; 1; 2;3
3
0
0; 1; 2;3
3
0
0; 1; 2;3
3
0
Persepsi/peran masyarakat dalam usaha tani CLS Frekwensi penyuluhan dan pelatihan
0; 1; 2; 3
3
0
0; 1; 2; 3
3
0
7.
Kelembagaan/Kelompok tani
0; 1; 2; 3
3
0
8.
Kelembagaan/badan usaha/jasa di bidang input dan output
0; 1; 2; 3
3
0
9.
Lembaga layanan pemerintah (layanan
0; 1; 2; 3
3
0
9.
II. 1. 2. 3. 4.
5.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Dimensi Ekonomi finansial
0; 1; 2 ; 3
3
0
rendah (0) tidk dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan (0) tidak dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan (3) >50 % diumbar/liar; (2) 25 % -50% diumbar/liar (1) 10%-25 % diumbar/liar; (0) <10% yang diumbar/liar Mengacu pada APWPPP Deptan: (0) sangat padat (300-500); (1) padat (100-300); (2) sedang (50100); (3) jarang (<50) Mengacu pada Ditjen Peternakan; (0) tidak ada, (1) type C; (2) type B; (3) type A (3 > 50%; (2) 25 - <50%; (1) 10 - < 25%; (0) < 10%; Mengacu analisis kelayakan: (0) rugi/tidak layak; (1) impas/kembali modal; (2) untung/layak; (3) sangat untung/layak (0) tidak ada, (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi (0) di bawah ; (1) sama; (2) lebih tinggi; (3) jauh lebih tinggi (0) di bawah; (1) sama; (2) lebih tinggi; (3) jauh lebih tinggi (0) tidak ada; (1) ada tapi menjangkau sebagian kecil petani; (2) ada dan menjangkau sebagai besar petani; (3) menjangkau seluruh petani (0) sebagian besar dinikmati penduduk luar daerah; (1) seimbang antara penduduk lokal dengan penduduk luar daerah; (2) sebagian besar penduduk lokal; (3) seluruhnya penduduk lokal; (0) pasar lokal; (1) pasar provinsi, (2) pasar nasional; (3) pasar internasional (3) mutlak 100% subsidi; (2) besar; (1) sedikit; (0) tidak ada subsidi
(0) pekerjaan dilakukan secara individual; (1) kerjasama satu keluarga; (2) sebagian kerjasama kelompok; (3) seluruhnya kerjasama kelompok (0) <10%; (1) 10-25%; (2) 25-50%; (3) >50%dari total jumlah rumah tangga di Sragen (0) tidak ada (1) sedikit; (2) cukup; (3) banyak/luas (0) banyak/sering; (1) ada sedikit; (2) jarang sekali; (3) tidak ada (0) negatif; (1) netral; (2) positif; (3) sangat positif (0) tidak pernah ada; (1) sekali dalam 5 tahun; (2) sekali dalam setahun; (3) dua kali atau lebih dalam setahun (0) <25% punya; (1) 25-50% punya; (2) 50-75% punya; (3) >75% punya Badan usaha/jasa (perusahaan, kios, KUD): (0) ada tapi semuanya belum dapat diakses petani; (1) ada, tapi hanya sebagian kecil yang dapat diakses; (2) sebagian besar dapat diakses; (3) semuanya dapat diakses Kelembagaan pemerintah: memberi akses penyuluhan, pengolahan dan pemasaran produk:
penyuluhan, teknologi, informasi saprodi, informasi pengolahan dan pemasaran hasil)
(0) ada tapi semuanya belum dapat diakses petani; (1) hanya sebagian kecil yang dapat diakses; (2) sebagian besar dapat diakses; (3) semuanya dapat diakses.
Jika diperhatikan pada Tabel 2, pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan terkecil ke nilai terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan berdasarkan urutan nilai dari yang terburuk ke nilai yang terbaik. Untuk selanjutnya nilai skor dari masingmasing atribut dianalisis secara multidisiplin untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan usaha tani pola CLS yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik” (“good’) dan titik “buruk”(“bad”). Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. D. Pengolahan dan Analisis Data Analisis dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahapan penentuan atribut usaha tani pola CLS secara berkelanjutan yang mencakup tiga dimensi (dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya), tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan pada setiap dimensi, analisis ordinasi “Rap-CLS” yang berbasis metode “Multidimensional Scaling” (MDS), penyusunan indeks dan status keberlanjutan yang dikaji. Proses ordinasi Rap-CLS ini menggunakan perangkat lunak modifikasi Rapfish (Kavanagh, 2001). Perangkat lunak Rapfish ini merupakan pengembangan MDS yang ada di dalam perangkat lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebaikan posisi (flipping), dan beberapa analisis sensitivitas telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS ini maka posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrem “buruk” diberi nilai skor 0% dan titik ekstrem “baik” diberi skor nila 100%. Posisi keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrem tersebut. Nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Sragen. Ilustrasi hasil ordinasi yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dari sistem yang dikaji disajikan pada Gambar 4.
0%
71 %
100 %
Gambar 4. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen sebesar 71 %. Analisis ordinasi ini juga dapat digunakan hanya untuk satu dimensi saja dengan memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis akan mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan dimensi tersebut, misalnya dimensi ekologi. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan maka analisis perbandingan keberlanjutan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dlam bentuk diagram disajikan pada Gambar 5.
Ekonomi 100%
0%
Sosial Budaya
Ekologi 100%
Gambar 5.
100%
Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi Usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen.
Skala indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS mempunyai selang 0%-100%, jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 50% (>50%) maka sistem tersebut sustainable, dan sebaliknya jika kurang atau sama dengan 50% (•50% ) ma ka sistem tersebut belum sustainable. Namun demikian dalam penelitian ini penulis mencoba membuat empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar tersebut yaitu: Skala Indek 75% - 100% Skala Indek 50% - 75% Skala Indek 25% - 50%
Kategori: baik Kategori: cukup Kategori: kurang
Skala Indek
0% - 25%
Kategori: buruk
Untuk selanjutnya indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS ini akan disebut sebagai IkB-CLS, yang merupakan singkatan dari Indeks Keberlanjutan Usaha tani Pola CLS. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap IkB-CLS di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root mean square” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu-x atau skala sustainabilitas. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut dalam pembentukan nilai IkB-CLS pada skala sustainabilitas atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam keberlanjutan usaha tani pola CLS di lokasi penelitian. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinsi usaha tani pola CLS digunakan analisis “Monte Carlo”. Menurut Kavanagh (2001) dan Fauzi dan Anna (2002) analisis “Monte Carlo” juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini. 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut; 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda; 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi); 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing date);
5. Tingginya nilai “stress’ hasil analisis Rap-CLS menggunakan metode MDS maksimal 25%. Tahapan dengan aplikasi Rapfish disajikan pada Gambar 6.
Mulai
Penetuan Atribut sebagai Kriteria Penilaian
Kondisi Usaha tani pola CLS saat ini
Penilaian (skor) setiap dimensi Variabel MDS (ordinasi setiap dimensi) variabel) Analisis Monte Carlo
Analsis Sensitivitas
Analisis Keberlanjutan Gambar 6. Tahapan Analisis Rap-CLS Menggunakan MDS dengan Aplikasi Modifikasi Rapfish. 3.2.4. Analisis Prospektif A. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi, wawancara, pengisian kuesioner, dan pengamatan langsung terhadap usaha tani pola CLS di lokasi penelitian. Dipilih expert/pakar yang mewakili pemerintah daerah (dinas pertanian dan ketahanan pangan), perguruan tinggi, KTNA, petani, swasta. rangka
menggali
informasi
dan
Teknik pengambilan contoh dalam
pengetahuannya
(akuisisi
pendapat
pakar)
ditentukan/dipilih secara sengaja (purposive sampling). Dasar pertimbangan dalam penentuan atau pemilihan
pakar untuk dijadikan sebagai responden menggunakan
kriteria keberadaan dan kesediaan menjadi responden, memiliki reputasi dan kedudukan, kredibel dan memiliki pengalaman di bidangnya. Jenis data primer berupa data sosialekonomi, tujuan sistem, identifikasi faktor strategis, tingkat kepentingan faktro strategis, perumusan skenario sistem dan prioritas jenis kegiatan.
Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, seperti hasil penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, dan laporan serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian.
B. Pengolahan dan Analisis Data Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang. Dari analisis ini akan didapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam pengembangan pertanian berkelanjutan pola CLS sesuai dengan kebutuhan dari para pelaku (stakeholders) yang terlibat dalam sistem ini. Selanjutnya faktor kunci tersebut akan digunakan untuk mendeskripsikan kemungkinan perubahan di masa depan. Menurut Hartrisari (2002), tahapan dalam melakukan analisis prospektif adalah sebagai berikut. 1. Menentukan faktor kunci untuk masa depan dari sistem yang dikaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi seluruh faktor penting, menganalisis pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks, dan menggambarkan pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor ke dalam 4 (empat) kuadran utama, sebagaimana disajikan pada Gambar 10 (Trayer-POLAGAWAT 2000). Dalam hal ini faktor kunci diperoleh dari atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dari hasil analisis RMS pada Rap-CLS. 2. Menentukan tujuan strategis. 3. Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana faktor kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan, dan
menggambarkan skenario dengan memasangkan
perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem. Untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem, yang dilakukan pada tahap pertama analisis prospektif digunakan matriks, sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Langsung antar Faktor dalam Pertanian Berkelanjutan Pola CLS. Dari • Tehadap A B C D E F G H I J • A B C D E F G H I J Sumber: Godet 1999. Keterangan : A – J = faktor penting dalam sistem Pedoman pengisian : 1. Dilihat dahulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika tidak ada pengaruh beri nilai 0. 2. Jika ada pengaruh, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3. 3. Jika ada pengaruh, baru dilihat apakah pengaruhnya kecil = 1, atau berpengaruh sedang = 2. Pedoman penilaian : Skor : 0 1 2 3
Keterangan: Tidak ada pengaruh Berpengaruh kecil Berpengaruh sedang Berpengaruh sangat kuat.
Untuk menentukan faktor kunci digunakan software analisis prospektif yang akan memperlihatkan tingkat pengaruh dan kertergantungan antar faktor di dalam sistem dengan tampilan hasil pada Gambar 7.
Pengaruh
Faktor Penentu INPUT
Faktor Penghubung STAKE
Faktor Bebas UNUSED
Faktor Terikat OUPUT
Ketergantungan
Gambar 7.
Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan antar Faktor dalam (Sumber : Byl et al. 2002).
Sistem
C. Tahapan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan kebijakan dan strategi pengembagan pertanian berkelanjutan pola CLS. Pada Gambar 8, disajikan tahapan penelitian dari mulai sampai selesai.
Tahap Pertama • Studi Pustaka • Survey lapang • Transformasi model cobb-douglas • TEV, NPV, B/C R • Analisis diskriptif.
MULAI • Pendugaan Model Fungsi Produksi/Produktivitas Padi • Analisis Finansial & Ekonomi • Peran Kelembagaan Petani
Tahap Kedua Multidimensional Scaling (MSD)
Rap-CLS (status keberlanjutan usaha tani pola CLS)
Faktor Strategis Pengembangan Pertanian Berkelanjutan Pola CLS
Tahap Ketiga Analisis Prospektif
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pertanian Berkelanjutan Pola CLS
Selesai
Gambar 8. Diagram Alir Tahapan Penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keragaan Lokasi Penelitian 4.1.1. Keadaan Umum Kabupaten Sragen Luas Kabupaten Sragen sebesar 941,55 km2 secara astronomis terletak pada 110 45’ dan 111 10’ BT serta 7 15’ dan 7 30, LS.
Secara administrasi pemerintahan
Kabupaten Sragen dengan nama ibukotanya Sragen mempunyai batas-batas sebelah utara berbatasan Kabupaten Grobogan, sebelah timur berbatasan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, sebelah selatan berbatasan Kabupaten Karanganyar dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Boyolali. Kabupaten Sragen memiliki topografi bervariasi dari dataran rendah sampai dataran tinggi, dimana sebesr 53,63% wilayah termasuk klas lereng 1 (0-2%) dan 43,30% wilayahnya termasuk klas lereng 2 (2-15%). Wilayah Sragen mempunyai ketinggian ratarata 109 m di atas permukaan laut dengan standar deviasi 50 m. Tekstur tanah pada lokasi penelitian sebagian besar bertekstur halus sampai sedang, kedalaman efektif tanah berkisar 30-90 cm dan jenis tanah yang dominan adalah tanah Grumusol, Aluvial dan Latosol. Iklim termasuk beriklim tropik dan temperatur sedang. Curah hujan rata-rata di bawah 2.438 mm pertahun dan hari hujan dengan rata-rata di bawah 106 hari pertahun. Bulan basah berkisar antara 4-8 bulan, bulan lembab berkisar antara 2-5 bulan dan bulan kering berkisar antara 2-4 bulan. Kabupaten Sragen dibelah menjadi dua bagian oleh Sungai Bengawan Solo, dimana Sragen bagian selatan merupakan sentra pertanian tanaman pangan karena kondisi tanah subur dan berpengairan yang lebih baik, sedangkan di bagian utara tanahnya kering dan berkapur sehingga sebagian besar penduduk bekerja berkebun, berdagang dan industri pengolahan. Kegiatan pertanian selain mengandalkan irigasi dari sungai bengawan solo, juga memperoleh air dari Waduk Botok, Kembangan, Brambang, Gebyar, Blimbing, Gembong, Kreto dan Terban. Kabupaten Sragen terdiri atas 20 kecamatan, 204 desa dan 3 kelurahan. Jumlah penduduk Kabupaten Sragen pada tahun 2003 sebanyak 853.711 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 907 jiwa/km2. Secara rinci terlihat pada Lampiran 6. Sebagian besar penduduk di Kabuapaten Sragen bekerja di sektor pertanian (58,40%), jasa (17,22%), perdagangan (13,04%), dan industri (5,21%) , selebihnya bekerja di sektor lainnya.
Dilihat dari struktur PDRB, maka di Kabupaten Sragen kontribusi sektor pertanian mencapai 41,09%, industri pengolahan 16,17%, perdagangan, hotel dan restoran 14,60%, jasa-jasa 12,40%, pengangkutan dan komunikasi 4,43%, keuangan 4,18%, bangunan 4,16%, pertambangan dan galian 1,70% serta listrik, serta gas dan air bersih 1,27%. Kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan asli daerah (PAD) pada tahun 2002 sebesar Rp. 1 milyar. Sarana jalan darat dan kereta api melintasi Kabupaten Sragen menjadikan akses ke kota-kota lain menjadi mudah.
Akses ke Bandar Udara Adi Sumarmo Solo dapat
ditempuh dalam waktu satu jam dan ke pelabuhan Tanjung Mas Semarang dapat ditempuh sekitar tiga jam. Kabupaten Sragen berdekatan langsung dengan kota Solo. Sarana perekonomian yang ada antara lain terdapat pasar desa 42 buah, 46 pasar pemda. Pasar hewan 9 buah. Jumlah koperasi pada tahun 2003 sebanyak 770 terdiri atas non KUD 741 buah dan KUD 29 buah dengan anggota 120.750 orang, serta jumlah kios saprodi 149 unit. 4.1.2. Keragaan Usaha tani Padi Hasil pengamatan dan pengecekan lapangan, lahan yang digunakan budi daya padi sawah umumnya jenis tanah aluvial (vertisol) yaitu tanah lempung liat berwarna hitam dan retak-retak jika kering. Hasil analisis contoh tanah di Laboratprium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB menunjukkan sifat tanah dapat dilihat pada Lampiran 7. Tanah aluvial umumnya terbentuk dari sedimen sungai yang berupa sedimen liat, tidak menemukan adanya perkembangan penampang, tekstur liat sampai liat berdebu, struktur pejal, konsistensi teguh (lembab) lekat dan plastis (basah), reaksi tanah (pH) 5,75 – 7,85 dan kandungan bahan organik 0,76 – 6,91 %. Apabila dibandingkan dengan persyaratan tumbuh tanaman padi pada Lampiran 9, maka tanah yang ada di daerah penelitian memiliki kelas kesesuaian lahan antara Sesuai Marjinal (S3) sampai Sangat Sesuai (S1) seperti yang ada pada Lampiran 8. Berdasarkan data tersebut, tanah yang tergolong pada kelas S1 ada pada Kecamatan Sambungmacan, Masaran, dan Gondong; yang tergolong Cukup Sesuai (S2) ada pada Kecamatan Sambunganmacan, Masaran, Karangmalang dan Gondong; sedangkan yang tergolong pada Sesuai Marginal (S3) ada pada Kecamatan Karangmalang. Kelas kesesuaian tanah pada golongan Cukup Sesuai (S2) pada daerah penelitian adalah tanah yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat (karena kandungan C-
organiknya antara 0,8 – 1,5 %) untuk penggunaan lahan sawah yang lestari. Pembatas Corganik yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tanah yang ada di daerah penelitian dapat ditingkatkan menjadi kelas kesesuaian golongan S1 apabila dilakukan penambahan C-organik yang cukup, akan memiliki produktivitas yang tinggi sesuai dengan potensi lahannya. Hasil pengamatan dan pengecekan di lapangan, air yang digunakan untuk budi daya padi swah pada umumnya dari air hujan dan air irigasi. Sampel Air dianalisis di Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB menunjukkan sifat air, kandungan pH antara 6,0 – 9,0; kandungan N antara 7,76 – 10,40 mg/l; P antara 0,2 – 0,7 mg/l; K antara 1,0 – 7,0 mg/l; Ca antara 10,2 – 30,1 mg/l; Mg antara 1,6 – 7,4 mg/l; Fe antara 0,1 – 3.7 mg/l; dan Mn tak terukur sampai 0,05 mg/l. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82/2001 tentang pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka sampel air yang berada di lokasi penelitian termasuk dalam batas toleransi untuk golongan IV yaitu golongan air untuk irigasi pertanian. Sedangkan sampel air limbah ternak tidak dapat langsung digunakan untuk air irigasi pertanian dan untuk dapat digunakan sebagai air irigasi harus melalui proses pelarutan ke dalam air sungai terlebih dahulu. Hasil sampel air sebagaimana Lampiran 10. Kabupaten Sragen merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Tengah, Luas lahan pertanian 94.649 hektar berupa (1) lahan sawah 40.193 hektar terdiri irigasi teknis 18.957 hektar, setengah teknis 3.475 hektar, sederhana 1.527 hektar, pengairan desa/non PU 1.282 hektar, tadah hujan 14.341 hektar, lebak dan lainnya 611 hektar dan (2) lahan kering seluas 54.456 hektar terdiri atas bangunan/pekarangan 23.054 hektar, tegal/kebun 19.545 hektar, ladang/huma/padang rumput 72 hektar dan sisanya berupa hutan Negara, hutan rakyat dan lainnya (Jawa Tengah dalam Angka 1999). Lahan sawah dapat ditanami 2-3 kali setahun dengan produksi hingga 450.000 ton gabah pertahun.
Produksi padi
pada tahun 2002 sebanyak 451.337 ton, dengan kebutuhan beras penduduk Sragen 113.180 ton berarti kabupaten Sragen termasuk surplus besar dan mampu mensuplai di daerah lain terutama kota Solo. Perkembangan luas panen dan produksi padi di Kabupaten Sragen disajikan pada Lampiran 11. Pada tahun 2002, seluas 1.000 hektar lebih ditanami padi organik dengan produksi gabah GKG 6.441 ton. Jumlah ini meningkat lima kali lipat dibanding pada tahun sebelumnya. Penanaman padi organik dilakukan oleh sekitar 72 kelompoktani di sembilan kecamatan di Sragen sebelah selatan.
Tanaman padi sebagai salah satu produser energi dalam rantai makanan membutuhkan input antara lain energi matahari dan unsur hara berupa bahan-bahan organik, unsur N, P, K dan unsur mineral dan vitamin lainnya. Penggunaan pupuk alami (organik) merupakan salah satu usaha yang digunakan untuk mengembalikan kesuburan tanah serta meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Petani di Sragen sudah sejak lama menggunakan pupuk kompos yang dibuat dari kotoran ternak dan tumbuhtumbuhan, namun tidak dapat langsung digunakan untuk pertanian organik, karena harus mencampur pupuk urea dengan komposisi yang seimbang. Misal bila menggunakan pupuk kimia dibutuhkan 300 kg/ha, maka dengan aplikasi pupuk organik hanya dibutuhkan pupuk kimia sekitar 100-150 kg/ha. Pemda Kabupaten Sragen menghimbau agar tidak menggunakan pestisida, karena dapat mengganggu kesehatan petani dan merusak hasil pertanian. Produksi jagung pada tahun 2001 sebanyak 16.574 ton dengan luas panen 4.398 hektar, ubi kayu produksi 102.281 ton dengan luas panen 6.884 hektar, kacang tanah produksi 16.760 ton luas panen 13.800 hektar, kedelai produksi 2.213 ton luas panen 1.492 hektar dan kacang hijau produksi 3.118 ton luas panen 3.124 hektar. Jenis buahbuahan yang dominan mangga, pisang, jambu dan pepaya. Jumlah penyuluh yang dikerahkan untuk pembangunan pertanian sebanyak 140 penyuluh yang membina 1.400 kelompok tani di 20 Kecamatan. Sarana alat dan mesin pertanian yang dimiliki petani pada tahun 2003 berupa hand-traktor 1.224 unit, pompa air 8.947 unit, hand-spayer 12.420 unit, tresher perontoh sebanyak 11.684 unit, power tresher 14 unit, polisher 684 unit, RMU 684 unit dan huller 684 unit. Usaha tani padi merupakan salah satu komoditas prioritas petani sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam hal pola tanam, usaha yang dilakukan oleh para petani masih bersifat sangat luwes dan dinamis. Untuk meningkatkan pendapatan, petani memilih jenis tanaman disesuaikan dengan kondisi lingkungan, ketersediaan air irigasi dan kepastian hasilnya. Pola tanam yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian Gambar 9. Gambar 9. Pola Tanam yang Dilakukan Petani di Lokasi Penelitian.
Musim Hujan
Marengan
Kemarau
N
D
J
F
M
A
Padi
M
J
J
A
Padi
S
O
Padi
ternak sapi Pola tanam model II Musim Hujan N
D
Marengan J
F
M
Padi
A
M
Kemarau J
Padi
J
A
S
O
Palawija
ternak sapi Kebiasaan petani pada musim hujam pertama sekitar bulan November sudah melakukan tanam benih padi selanjutnya pada bulan Februari menanam benih padi lagi setelah panen padi pada musim hujan (MH). Pada daerah-daerah yang air irigasinya tersedia sepanjang musim, maka musim kering (MK) dilakukan penanaman padi lagi (Pola Tanam Model I), sedangkan pada daerah yang air irigasinya terbatas dilakukan penanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah dan lainnya maupun tumpang sari tanaman palawija (Pola Tanam Model II). Teknologi budi daya padi telah dikuasai petani dengan menerapkan penggunaan benih unggul varietas IR64 dan sebagian kecil menggunakan varietas Ciherang dan Mentik. Kegiatan pengolahan tanah menggunakan traktor dan sebagian menggunakan ternak sapi. Demikian juga teknik pemupukan, telah menggunakan pupuk lengkap urea, TSP dan KCL, sedangkan untuk pola CLS disamping menggunakan pupuk kimia juga menggunakan pupuk kandang. Mata rantai pemasaran gabah pada Gambar 10 tidak menguntungkan bagi petani, sehingga Pemda Kabupaten Sragen melakukan intervensi bekerja sama dengan Sub Dolog Surakarta, PT. Kurnia Wijayakusuma Abadi, PD Pelopor Alam Lestari (PD. PAL) untuk memotong mata rantai gabah organik yang panjang sehingga petani/kelompok tani dapat langsung memasarkan hasilnya langsung ke Dolog/Sub Dolog maupun ke pasar seperti Gambar 11. Pemda Sragen juga melakukan kerjasama kemitraan dengan PT.
Pusri untuk pengembangan padi organik, melakukan pemasaran beras bagi konsumen PNS, dan menjalin jaringan pasar di kota-kota besar.
Petani
P
Penebas
Pengepul
Pedangang
Pasar
Broker
Dolog
Gambar 10. Mata Tantai Perdagangan Gabah di Kabupaten Sragen. Petani
Pemda Sragen memfasilitasi + kerjasama dengan Swasta
Pasar
Dolog Gambar 11. Mata Rantai Perdagangan Gabah dengan Fasilitasi Pemerintah. 4.1.3. Keragaan Usaha Ternak Sapi Potong Populasi sapi potong tahun 2003 sebanyak 75.113 ekor. Sentra penggemukan sapi potong terletak di Kecamatan gemolong, Plupuh, Masaran, Tanon, Karangmalang, Gondang, dan Kalijambe. Jenis penyakit ternak yang ditemukan di RPH tahun 2003 fasciolosis 172 ekor sapi, sedangkan penyakit pada tahun 2001 berupa fasciolosis 297 ekor, kelumpuhan 6 ekor sapi, patah tulang 10 ekor dan penyakit lain 3 ekor. Pemberantasan dan pencegahan penyakit ternak menular yang dilakukan adalah ND dan SE tahun 1997-2000, dan tahun 2001 penyakit cacing. Tingkat pemotongan ternak sapi di RPH tahun 2003 ada 2.332 sapi jantan dan 319 sapi betina, lebih tinggi dibanding dengan tahun 2000 2.613 sapi jantan dan 26 sapi betina. Perkembangan populasi ternak menurut Kecamatan di Kabupaten Sragen disajikan pada Lampiran 12. Usaha peternakan sapi yang biasa dilakukan petani berupa penggemukan sapi dan pembibitan. Usaha penggemukan sapi lebih diminati petani karena lebih menguntungkan dan siklus produksi lebih pendek sekitar enam bulan, sedangkan pembibitan memerlukan waktu sekitar 16 bulan. Keberadaan ternak telah menyatu dengan sistem usaha tani, namun usaha ternak biasanya masih dianggap sebagai usaha sampingan. Teknik
pemeliharaan ternak bervariasi dari yang tradisional sampai pengelolaan dengan manajemen yang lebih baik. Dalam usaha tani pola CLS, limbah jerami dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada saat musim penghujan kesediaan pakan selain jerami berlimpah sehingga sistem budi daya ternak sapi potong tidak mengalami hambatan. Pada musim kemarau ternak hanya diberikan pakan jerami padi. Petani telah terbiasa menyimpan jerami dalam bentuk kering dan difermentasi dengan probiotik biasanya berupa starbio untuk dijadikan sebagai pakan ternaknya. Pengolahan limbah jerami secara biologi dilakukan dengan perlakuan fermentasi dengan probiotik yang dikombinasi amoniasi mampu delignifikasi dan menaikkan kandungan protein jerami padi. Fermentasi aerobik terhadap jerami padi dengan menggunakan probiotik dan urea masing-masing (6 kg probiotik + 6 kg urea untuk 1000 kg jerami padi) dengan kadar air sekitar 50-60 % untuk perbaikan kualitas pakan. Proses pembuatan jerami fermentasi secar umum dilakukan sebagai berikut : 1. Membuat tumpukan jerami segar (kadar air 65 %) dengan ketebalan setinggi 20 cm (lapisan pertama). 2. Taburkan Urea dan Probiotik secara merata di lapisan atas tumpukan tersebut. Dosis Urea dan Probiotik masing-masing 2,5 kg/ton jerami segar. 3. Buat tumpukan jerami lapisan ke 2 diatas lapisan pertama, taburkan kembali urea + probiotik, demikian seterusnya hingga ketinggian jerami sekitar 1-2 m. 4. Biarkan selama 21 hari agar proses fermentasi berlangsung sempurna. 5. Tumpukan jerami padi yang telah terfermentasi dijemur dan dianginkan selama 3 hari, selanjutnya dapat disimpang di tempat yang tersedia. 6. Jerami padi dapat diberikan pada ternak sebagai pakan pengganti rumput segar. Jenis pakan ternak yang biasa diberikan yaitu terdiri dari hijuan dan konsentrat. Hijauan pakan dibedakan menjadi dua yaitu hijauan kering dan hijauan segar. Untuk hijauan kering yang dominan sebagian besar dari limbah jerami padai dan kadangkala jerami kacang tanah maupun kedelai, sedangkan hijauan segar dalam jumlah sedikit berupa rumput kolonjono, daun jagung, daun ubi kayu, rambanan, tebon dan lainnya. Pakan yang diberikan disesuaikan dengan ketersediaan pakan hijauan yang ada di sekitarnya. Pakan komboran yang biasa diberikan pada ternak dibeli dalam bentuk konsentrat. Pemberian konsentrat per hari sekitar 1,0% dari berat badan ternak dengan harga
konsentrat sekitar Rp. 7.00/kg. Pemberian pakan jerami yang sudah difermentasi dengan starbio per hari sebanyak 10% dari berat badan ternak. Sampai saat ini belum ada petani/kelompok tani yang membuat pakan konsentrat dari bahan lokal. Padahal pemberian konsentrat yang disusun dari bahan pakan lokal mampu meningkatkan bobot badan per hari ternak sapi potong sebanyak 1,5 % berat badan. Masih terbuka peluang untuk memanfaatkan potensi limbah jerami pada saat ini belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak, karena masih ada sebagian limbah yang ditumpuk di pinggir sawah ataupun dibakar. Salah satu yang dapat ditumbuhkan untuk mengoptimalisasi pemanfaatan limbah jerami dan limbah pertanian lainnya sebagai pakan ternak dapat dilakukan dengan pembuatan pakan lengkap (Complete feed). Pengelolaan kesehatan ternak ditujukan untuk mengendalikan parasit-parasit dan kesehatan secara umum. Jenis penyakit yang biasa terjadi yaitu rabies dan kembung, namun sudah bisa diatasi sendiri oleh petani atau memanggil petugas kesehatan hewan. Pada awal pemeliharaan, biasanya ternak sapi diberi obat cacing dan vitamin B komplek serta menjaga kebersihan lingkungan untuk mendapatkan kondisi optimum bagi kesehatan ternak. Pencegahan kemungkinan timbulnya infeksi penyakit baik yang bersifat ektoparasit maupun endoparasit. Namun demikian masih dijumpai kondisi tumpukan sisa pakan bercampur dengan kotoran terletak dipinggir-pinggir kandang dan tidak dikelola secara baik, sehingga lingkungan kandang menjadi kotor dan akan menimbulkan berbagai macam penyakit ternak. Kondisi ini menunjukkan perlunya prioritas pengelolaan limbah kandang, pengelolaan pakan dan penanganan kesehatan ternak. Permasalahan umum dalam budi daya ternak yaitu petani kesulitan modal untuk penggemukan ternak, harga ternak tidak stabil, dan terbatasnya pedet yang berkualitas. Pasar merupakan salah satu aspek penting dalam proses produksi. Ketersediaan pasar dapat memacu berkembangnya program CLS dalam menerapkan teknologi. Keterpaduan sistem usaha tani pola CLS ini akan mempunyai dampak terhadap perubahan ekonomi petani bila pengelolaan usaha tani berorientasi pasar. Bila selama ini usaha ternak dianggap sebagai usaha sampingan, maka dalam pola CLS ternak sapi mempunyai peluang pasar sama dengan komoditas tanaman pangan. Pasar ternak yang relatif besar dan berdekatan dengan lokasi penelitian yaitu pasar hewan Nglangon di Kecamatan Sragen dan pasar hewan Sumber Lawang, sedangkan pasar hewan yang sedang berada di Kecamatan Gondang dan Sukodono. Biasanya
peternak tidak menjual sapi langsung ke pasar melainkan ke pedagang penghubung (blantik). Peran blantik pertama membawa ternak yang mau dijual ke pasar selanjutnya diterima oleh blantik kedua di pasar, baru masuk ke pedagang besar atau ke jagal. Sistem pemasaran ternak sapi potong ditunjukkan pada Gambar 12. Secara mikro tingkat regional pelaku pasar sapi potong terdiri atas: peternak, blantik, jagal, rumah makan, pedagang daging dan konsumen. Pemasaran ternak sapi potong membentuk jaringan tataniaga yang sangat komplek. Jaringan tataniaga ini terbentuk mulai tingkat desa (peternak) sampai konsumen. Yang berperan langsung adalah keberadaan blantik. Blantik merupakan pedagang perantara yang wilayah kerjanya meliputi tingkat dusun, desa sampai lintas kabupaten. Penguasaan pasar hewan didominsi oleh keberadaan blantik yang lebih mempunyai posisi tawar, walaupun dengan modal yang terbatas. Rumah tangga
Blantik
Rumah tangga
Jagal
RPH. Regional Cirebon
Pedagang Pengumpul Lintas Kabupaten
PASAR HEWAN
Pedangan daging
Konsumen
Gambar 12. Sistem pemasaran ternak sapi potong di Kabupaten Sragen. Petani dalam melakukan penjualan ternak biasa dilakukan di rumah masing-masing. Blantik dusun/desa diundang untuk melakukan penawaran. Cara pembayaran bisa kontan atau dengan uang muka dan sisanya dibayarkan setelah sapi terjual di pasar hewan. Tingkat harga ternak sapi potong didasarkan atas tipenya yaitu: pedet, bakalan digemukkan dan sapi siap potong. Pedet dan bakalan jantan segmen pasarnya adalah peternak di perdesaan dan pengusaha penggemukan. Sapi siap potong mempunyai segmen tersendiri yaitu pedagang besar atau jagal. Besarnya harga tergantung dengan jenis ternak (ternak hasil persilangan lebih tinggi dibanding dengan ternak lokal), jenis
kelamin, umur dan kondisi ternak. Mekanisme penentuan harga dilakukan dengan sistem taksiran. Pemasaran ternak sapi berlangsung secar dinamis, harga selalu berfluktuatif. Kondisi ini berkaitan langsung dengan permintaan dan penawaran. Harga tinggi biasa terjadi pada saat menjelang hari raya Idul Adha, namun sebaliknya harga turun ketika kebutuhan sangat mendesak dan harus menjual ternak misal kebutuhan biaya sekolah, paceklik, pakan, hajatan dan lain-lain. 4.1.5. Karakteristik Responden Karakteristik petani responden menurut pola usaha tani CLS dan non CLS yang meliputi umur petani, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, mata pencaharian utama, lama berusaha tani dan struktur penguasaan lahan. Umur dan Pendidikan Responden Karakteristik umur responden yang tercakup dalam penelitian ini rata-rata berumur 45 tahun. Berarti dapat dikatakan bahwa petani yang tercakup dalam penelitian ini mayoritas masih didominasi oleh petani usia produktif. Hal ini bisa dibenarkan, bahwa kriteria umur produktif adalah berkisar antara 15-60 tahun. Pada pola usaha tani CLS responden yang berusia produktif sebesar 94,55 %, sedangkan yang berusia lanjut sebesar 5,45 responden. Petani dengan katagori usia produkstif tersebut akan lebih mendorong dalam keberhasilan usaha taninya. Sedangkan bila dilihat lebih rinci, sebagian besar responden berumur pada kisaran antara 40-44 tahun sebesar 29 orang atau 26,36 % dan 50-54 tahun sekitar 21,82 % (Gambar 13).
Gambar 13. Prosentase Tingat Umur Responden
50 45 40 (%) 35 30 25 20 15 10 5 0 25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-60
+60
Kelompok Umur
Selain kategori petani produktif atau non produktif sangat menentukan keberhasilan usaha taninya, faktor pendidikan juga mempengaruhi petni dalam mengelola usaha taninya. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka wawasannya semakin meningkat, dengan demikian akan semakin mudah menerima inovasi teknologi. Responden pada penelitian ini masih didominasi oleh petani dengan pendidikan SD, yakni sebanyak 51 orang atau 46,36 %. Dominasi ke dua oleh petani dengan tingkat pendidikan SMA hanya 31 orang atau 28,18 %, sedangkan petani dengan tingkat pendidikan SMP hanya 17 orang atau 15,45 %. Petani dengan tingkat pendidikan sarjana hanya sebanyak 2 orang atau 1,82 %. Walaupun secara keseluruhan, petani yang masuk sebagai responden pada penelitian ini pernah mengenyam pendidikan, namun ada sekitar 9 petani atau 8,18 % tidak mengenyam pendidikan. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya kualitas sumber daya manusia petani yang mengakibatkan rendahnya adopsi teknologi sebagai ukuran respon petani terhadap perubahan teknologi tersebut. Rincian jumlah petani responden berdasarkan kelompok tingkat pendidikan disajikan pada Gambar 14. Gambar 14. Prosentase Tingkat Pendidikan Responden
(%)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Tidak sekolah
SD
SLTP Pendidikan
SLTA
Sarjana
Tanggungan Keluarga Responden Beban yang ditanggung oleh kepla keluarga seringkali dicerminkan oleh banyaknya anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Walaupun usaha tani dari keluarga petani dikatagorikan menguntungkan, namun bila jumlah keluarga yang ditanggungnya cukup besar maka tingkat kesejahteraannyapun dapat terganggu. Responden dalam termasuk katagori keluarga sedang, dimana pada pola CLS rata-rata jumlah anggota keluarga responden sebanyak 5 orang dan non CLS sebanyak 4 orang. Prosentase terbanyak keluarga seluruh responden memiliki jumlah keluarga sebanyak empat orang yakni sebesar 38,18 %, kemudian diikuti jumlah keluarga lima orang sebesar 24,55 % dan tiga keluarga sebesar 20,91 %. Gambar 15. Prosentase Jumlah Tanggungan Keluarga Responden 50 45 40 35 (%) 30 25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jumlah anggota (orang)
Anggota keluarga sangat penting artinya sebagai faktor produksi (tenaga kerja) dalam berusaha tani, sehingga tidak perlu mengeluarkan uang tunai untuk membayar upah tenaga kerja. Rata-rata kontribusi tenaga kerja keluarga dalam kegiatan usaha tani, baik yang berpola CLS maupun non CLS mencapai 96,50 %. Ini salah satu indikasi masih tingginya oeran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, yang tidak terserap pada sektor non pertanian. Jenis Pekerjaan dan Lama Berusaha Tani Walaupun umumnya responden di wilayah kajian bekerja sebagai petani (rata-rata sekitar 89,02 %), akan tetapi ada juga yang memiliki kegiatan kerja lainnya seperti swasta, PNS dan buruh masing-masing sekitar 2,81 %, 5,85 % dan 2,33 %. Hal ini menunjukkan
makin pentingnya sektor pertanian sabagai lapangan kerja di luar sektor industri dan jasa. Jika dikaji menurut komposisinya, maka kegiatan responden pada usaha tani pola CLS disamping bertani adalah swasta dan buruh berturut-turut 3,44 % dan 0,32 %, serta responden pola non CLS adalah swasta 2,17 % dan buruh 4,34 %. Pengalaman berusaha tani juga nerupakan satu faktor penentu produktivita. Ratarata responden di wilayah kajian telah berusaha tanu cukup lama yaitu sekitar 17,05 tahun. Akan tetapi, jika ditinjau berdasarkan distribusinya, pengalaman responden pada pola CLS telah berpengalaman berusaha tani cukup lama (22,25 tahun) dibandingkan dengan non CLS yang hanya sekitar 11,85 tahun. Fenomena ini mengindikasikan bahwa respon petani terhadap pola usaha tani CLS cukup bagus, sehingga pola ini akan bisa dijadikan alternatif pengembangan pertanian berkelanjutan di masa mendatang. Rata-rata responden pada pola CLS telah mengusahakan usaha tani pola CLS berkisar antara tahun 1999-2003, namun ada enam responden telah menerapkan CLS antara tahun 19801990 an. Status Penguasaan Lahan Sebagian studi yang dilakukan selama ini sering tidak mengkaji lebih dalam mengenai status penguasaan lahan pertanian.
Padahal isu penting pembangunan
pertanian saat ini adalah menciutnya lahan pertanian akibat tekanan pembangunan sektor lain yang membutuhkan lahan. Oleh karena itu, dalam studi ini ditinjau status penguasaan lahan bagi petani, baik usaha tani pola CLS maupun Non CLS. Pemilikan lahan yang diidentifikasi dalam kajian ini adalah lahan milik dan lahan sewa. Jika dilihat dari banyaknya responden pola CLS yang mengelola lahan milik sendiri (73,33%), lahan milik sendiri sekaligus menyewa lahan (11,11%), dan menyewa lahan (15,56%). Sebagian besar responden (75,0%) yang menyewa lahan dengan lahan lebih luas adri 0,5 hektar dan sisanya 25,0 % responden dengan luas ≤0,5 hektar. Bila ditelusuri lebih jauh luas lahan sewa tersebut berkisar 0,3 – 0,5 hektar dan tidak ada yang menyewa lahan ≤ 0,3 hektar, yang berarti petani melakukan efisiensi produksi dengan tidak menyewa lahan yang kurang dari 0,3 hektar. Keragaan usaha tani di lokasi penelitian terlihat penggunaan benih padai bervariasi antara pola CLS dan non CLS dengan kisaran antar 27,33 kg/ha sampai 36,84 kg/ha. Penggunaan benih tersebut
lebih tinggi dibanding
standar
teknis
benih yang
direkomendasikan yaitu 25 kg/ha. Penggunaan pupuk urea pada pola non CLS cukup tinggi dengan kisaran 324,56-424,43 kg/ha hampir sama untuk pola serupa berdasarkan hasil
penelitian
Puslitanak
di
Jawa
lainnya.
Penggunaan
pupuk
urea
yang
direkomendasikan untuk Kabupaten Sragen sebesar 250 kg/ha. Pada pola CLS penggunaan pupuk urea lebih rendah dibandingkan dengan pola CLS yaitu berkisar antara 268,70 kg/ha samapai 366,18 kg/ha, namun diikuti dengan pemanfaatan pupuk kandang berkisar antara 1,25 ton/ha sampai 1,89 ton/ha. Pada sisi yang lain penggunaan pupuk TSP pada pola CLS sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan non CLS dan keduanya masih diatas standar penggunaan TSP sebesar 150 kg/ha, sedangkan penggunaan pupuk kimia (KCL, ZA, dan lainnya) berkisar antara 71,12 kg/ha sampai 126,88 kg/ha. Dilihat dari produktivitas rata-rata untuk pola CLS yaitu 6,28 ton/ha lebih tinggi 9,27 % di atas produktivitas pola non CLS. Secara rinci penggunaan sarana usaha tani dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Penggunaan Sarana Produksi dan Produksi Usaha tani Pola CLS Keragaan Usaha tani pola CLS dan Non CLS Rerata
CLS
CLS bibit (kg/ha)
<0.5ha
Rerata
>0.5ha
Non CLS
Non CLS
<0.5ha
>0.5ha
31.66
27.33
35.98
34.83
Urea (kg/ha)
317.44
366.18
268.70
374.50
424.43
324.56
TSP (kg/ha)
178.84
189.10
168.58
164.85
154.87
174.82
85.29
99.45
71.12
123.67
126.88
120.45
1,570.10
1,253.70
1,886.50
1.20
1.12
6,284.62
6,047.17
pupuk kimia lain (kg/ha) Pupuk kandang (kg/ha) Pestisida (lt/ha) Produksi (kg/ha)
36.84
32.82
-
-
-
1.27
1.29
1.29
1.28
6,522.07
5,751.64
5,637.63
5,865.64
4.2. Analisis Fungsi Produksi Dan Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah 4.2.1. Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Langkah pertama yang dilakukan guna memperoleh model fungsi produksi adalah melakukan uji beda nyata untuk mengetahui perbedaan rata-rata tingkat produksi dari usaha tani padi pola CLS dan non CLS dengan hasil disajikan pada Lampiran 13. Berdasarkan uji-t tingkat produksi dengan asumsi variannya sama diketahui bahwa nilai thitung sebesar 4.186 signifikan pada taraf keyakinan 1% yang berarti terdapat perbedaan nyata antara tingkat produksi padi pola CLS dan non CLS. Demikian pula berdasarkan uji-t tingkat produktivitas diketahui bahwa nilai t-hitung sebesar 4.632 signifikan pada taraf keyakinan 1 % yang berarti terdapat perbedaan nyata antara produktivitas usaha tani padi pola CLS dan non CLS. Pendugaan model fungsi produksi padi dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas yang dimodifikasi ke dalam bentuk logaritma. Variabel bebas yang diduga berpengaruh terhadap produksi padi adalah penggunaan benih, pupuk urea, TSP, KCL, pupuk kandang, pestisida, tenaga kerja, tingkat pendidikan petani, umur petani, pengalaman bertani, sewa alsin, pajak/sewa lahan, dummy luas lahan (≤0,5 hektar atau >0,5 hektar) dan dummy pola usaha tani (CLS atau non CLS), sedangkan variabel terikatnya adalah produksi padi. Setelah dilakukan pengolahan data dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) ternyata tidak semua variabel bebas mampu menghasilkan model yang terbaik. Setelah dilakukan eksplorasi masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat, penapisan variabel bebas dengan step-wise, maka variabel bebas penggunaan benih, pupuk urea, KCL, sewa/penyusutan alsin, tenaga kerja, pajak/sewa lahan, dummy luas lahan dan dummy pola usaha tani menghasilkan pendugaan model fungsi produksi padi yang terbaik. Perhatian utma pendugaan fungsi produksi padi adalah melihat pengaruh dummy pola usaha tani terhadap intercep fungsi produksi padi sawah yang dicerminkan dari nilai kepekaan produksi padi terhadap perbedaan pola usaha tani. Hasil pendugaan fungsi padi sawah disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah (Gabungan) No Variabel Bebas Nilai uji t Prob. T Koefisien β 1 Kons tanta (á) 7,688 8,404 0,000 2 Penggunaan Benih (Pb) 0,295 4,055 0,000 3 Penggunaan Urea (Pu) -0,119 -2,173 0,033 4 Penggunaan KCl (Pc) 0,246 3,742 0,000 5 Sewa/penyusutan alsin (Ps) -0,114 -2,292 0,024 6 Upak kerja (Uk) 0,164 2,261 0,026 7 Pajak (Tx) 0,140 4,818 0,000 8 Dummy luas lahan (D1) 0,177 3,286 0,001 9 Dummy pola usaha tani (D2) 0,236 4,259 0,000 2 Keterangan: Variabel terikat Produksi Padi (Qp) R = 0,801 F hit = 42,208 Sumber: Olahan data primer. Dari semua data-data pada variabel bebas telah diolah dengan program SPSS, ternyata variabel-variabel bebas tersebut memiliki koefisien dengan tanda benar (+/-), berada dalam batas yang masuk akal dan memenuhi persyaratan asumsi-asumsi statistik. Selanjutnya, hasil pendugaan fungsi produksi padi harus memenuhi sifat Best Linier Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian terhadap validitas asumsi klasik dilakukan apakah terjadi pelanggaran asumsi berupa multikolinearitas dan keteroskedastisitas. Mengingat data yang dikumpulkan berupa data cross section dan bukan data time series, maka tidak dilakukan uji statistik Durbin Watson (DW) untuk meluhat apakah terjadi autokorelasi. Heteroskedastisitas terjadi bila variabel gangguan tidak mempunyai varians yang sama untuk semua observasi, akibatnya penaksir OLS tetap tidak bias tetapi tidak efisien. Multikolinearitas adalah keadaan dimana satu atau lebih variabel bebas dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari varibale bebas lainnya (saling mempengaruhi). Untuk mendeteksi dilihat dari nilai adjusted R2 dan F. Uji F dilakukan untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap penggunaan benih secara keseluruhan. Bila nilai F > 0 berarti variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi penggunaan benih. Jika R2 dan F tinggi sedangkan nilai t-statistik banyak yang tidak signifikan berarti terjadi multikolinearitas. Kejadian multikolinier yang tinggi mempengaruhi ketepatan pendugaan parameter secara individu, namun pendugaan kombinasi linier dari parameter-parameter dapt diduga dengan tepat. Keberadaan multikolinier antar variabel bebas di dalam model fungsi produksi tidak melanggar asumsi kekonsistenan suatu parameter dugaan. Model pendugaan fungsi produksi padi sawah pada persamaan (15). log Qp = 7,688 + 0,295 log Pb - 0,119 log Pu + 0,246 log Pc - 0,114 log Ps +
0,164 log Tk + 0,140 log Tx + 0,177 D1 + 0,236 D2 .......................... (15) R2 = 0,801 F hit = 42,208 Model produksi padi sawah pola CLS menunjukkan bahwa model baik dengan nilai koefisien R2 0,801. Model mampu bekerja dengan baik apabila nilai R2 cukup tinggi yang berarti keragaman variabel bebas mampu menjelaskan perilaku variabel terikat (produksi padi), dengan demikian model ini mampu menjelaskan garis regresi secara baik. Hal ini berarti bahwa variasi besar kecilnya perubahan variabel produksi padi dapat dijelaskan oleh variasi perubahan variabel-variabel bebas sebesar 80,10 %. Sedangkan sisanya sebesar 19,90% dari variasi perubahan variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel bebas dalam model. Untuk melihat pengaruh variabel bebas secara bersama-sama dalam mempengaruhi variabel terikat dapat dilihat dari nilai uji F. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Fhitung diperoleh sebesar 42,208 Nilai F tersebut pada taraf keyakinan 1% menunjukkan hasil signifikan yang berarti minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi variabel terikat
produksi
padi
swah.
Untuk
mengetahui
masing-masing
variabel
bebas
mempengaruhi variabel terikat analisi dengan uji t. Uji t dilakukan untuk melihat signifikansi pengaruh suatu variabel bebas terhadap variabel terikat, dengan menganggap variabel bebas yang lain tetap.
Uji t dengan
signifikansi sebesar <10% menunjukkan bahwa variabel dummy pola usaha tani CLS atau non CLS (D2) dengan koefisien sebesar 0,236 berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi padi (Qp) yang berarti penerapan pola CLS petani responden menggeser intercep fungsi produksi rata-rata sebesar 0,236 unit ke atas dari fungsi produksi rata-rata petani responden yang tidak menerapkan pola CLS. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Suretno (2002) di Lampung Tengah yang nyata bahwa penggunaan kompos dapat meningkatkan produksi padi 15,06 % dibandingkan pola konvensional. Variabel bebas penggunaan benih, KCL, tenaga kerja dan pajak/sewa lahan berpengaruh positif secara signifikan terhadap produksi padi. Variabel pajak/sewa lahan mengindikasikan bahwa petani penggarap/penyewa mengusahakan lahannya untuk memperoleh produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani pemilik. Sedangkan variabel bebas penggunaan pupuk urea dan sewa/penyusutan alat dan mesin pertanian secara signifikan berpengaruh negatif terhadap produksi, hal ini dimungkinkan akibat
penggunaan pupuk urea per hektar sudah terlampau tinggi yaitu rata-rata 345,97 kg/ha. Demikian pula besarnya sewa alat dan mesin pertanian menyebabkan petani mengolah lahannya sendiri dengan sekedarnya sehingga berpengaruh terhadap penurunan produksi. Pendugaan produktivitas padi berdasarkan model fungsi produksi padi sawah pola gabungan terlihat bahwa model pendugaan produktivitas padi tanpa menggunakan variabel dummy variabel luas lahan (D1=0) hasilnya mendekati keragaan kondisi nyata di lapangan dimana antara garis pendugaan dan garis aktual saling berhimpitan. Sedangkan pendugaan dengan menggunakan variabel dummy luas lahan (D1 =1) terlihat bahwa garis pendugaan jauh di atas garis aktual yang berarti produktivitas usaha tani padi sawah baik pola CLS maupun non CLS akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya skala luas usaha tani. Besarnya koefisien elastisitas D1 = 0,177 menunjukkan penerapan usaha tani dengan skala lahan yang luas meningkatkan produksi 17,7 %. Pendugaan produktivitas usaha tani padi sawah pada Gambar 16. Gambar 16. Pendugaan Produktivitas Padi Sawah
Produktivitas (ton/ha) 16.00 14.00 12.00 10.00
Aktual
8.00
D1 = 1 D1 = 0
6.00 4.00 2.00
1
5
9
13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93
Apabila dirinci dengan membedakan model fungsi produksi padi sawah menurut usaha tani, maka model fungsi produksi padi dari usaha tani pola CLS dapat dilihat pada Tabel 6 dan usaha tani non CLS pada Tabel 7.
Tabel 6. Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola CLS No Variabel Bebas Nilai uji t Prob. T Koefisien β 1 Kons tanta (á) 5,396 6,006 0,000 2 Penggunaan Benih (Pb) 0,488 5,484 0,000 3 Penggunaan Urea (Pu) -0,109 -1,161 0,251 4 Penggunaan TSP (Pt) 0,098 0,993 0,325 5 Penggunaan KCl (Pc) 0,131 2,081 0,042 6 Pupuk Kandang (Pk) 0,125 2,633 0,011 7 Upah Kerja (Uk) 0,113 1,676 0,099 8 Dummy Luas Lahan (D1) 0,171 3,470 0,001 2 Keterangan: Variabel terikat Produksi Padi (Qpc) R = 0,831 F hit = 39,302 Sumber: Olahan data primer Berdasarkan hasil analisis model fungsi produksi padi pola CLS diperoleh nilai R2 sebesar 0,831 yang berarti variasi besar kecilnya perubahan variabel produksi padi pola CLS dapat dijelaskan oleh variasi perubahan penggunaan benih, urea, TSP, KCL, pupuk kandang, upah dan dummy luas lahan sebesar 83,10 %, sedangkan sisanya sebesar 16,90 % dari variasi perubahan variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel bebas. Hasil uji F sebesar 39,302 menunjukkan nyata pada taraf keyakinan sebesar 1% yang berarti minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi produksi padi pola CLS. Model pendugaan fungsi produksi padi sawah pola CLS seperti pada persamaan (16). log Qpc = 5,396 + 0,488 log Pb - 0,109 log Pu + 0,098 log Pt + 0,131 log Pc + 0,125 log Pk + 0,113 log Tk + 0,171 D1 ......................................(16) R2 = 0,831 F hit = 39,302 Berdasarkan hasil uji-t pada taraf keyakinan 5 % variabel bebas penggunaan benih, KCL, pupuk kandang dan dummy luas lahan secara signifikan mempengaruhi produksi padi pola CLS, variabel bebas upah kerja signifikan pada taraf
keyakinan 10 %,
sedangkan variabel penggunaan pupuk urea dan TSP tidak nyata mempengaruhi produksi padi. Peningkatan penggunaan benih berdampak positif terhadap produksi padi, dengan demikian walaupun harga benih meningkat, petani tetap menggunakan benih. Tingkat penggunaan benih di lokasi penelitian sudah relatif tinggi yaitu rata-rata 33,24 kg/ha. Jumlah ini 32,97 % lebih tinggi dari dosis yang dianjurkan 25 kg/ha. Tingginya dosis penggunaan benih ini kemungkinan disebabkan petani kawatir bahwa dosis anjuran tidak mencukupi kebutuhan, daya tumbuhnya kurang, atau menginginkan kepadatan tanaman
padi yang lebih tinggi. Acuan rekomendasi takaran pemupukan di areal sistem usaha pertanian padi sawah irigasi di Jawa Tengah adalah 215 kg/ha urea, SP36 75 kg/ha, KCL 50 kg/ha, dan tidak menggunakan ZA (kasryno, 1998), sedangkan acuan penggunaan pupuk di Sragen 250 kg/ha urea, TSP 150 kg/ha, KCL 75 kg/ha. Nilai elastisitas penggunaan faktor produksi benih, pupuk, tenaga kerja pada penelitian ini ternyata tidak jauh berbeda engan hasil penelitian Basri, et al (1993) di Sumatera Barat menunjukkan bahwa faktor produksi bibit dan pupuk berperan besar terhadap produksi gabah, dimana nilai elastisitas bibit terhadap produksi gabah berkisar antara 0,12 sampai 0,99; elastisitas pupuk antara 0,27 sampai 0,52; elastisitas pestisida – 0,10; elastisitas tenaga kerja antara –0,10 sampai 0,33; dan elastisitas luas lahan terhadap produksi gabah antara –0,54 samapai 0,66. Dengan menggunakan gambar kurva produksi, posisi penggunaan variabel benih, KCL, pupuk kandang dan tenaga kerja berada pada daerah rasional penggunaan input produksi. Pendugaan produktivitas padi berdasarkan model fungsi produksi padi sawah pola CLS terlihat bahwa model pendugaan produktivitas padi tanpa menggunakan variabel dummy luas lahan (D1 = 0) hasil pendugaan mendekati kondisi aktual di lapangan dimana antara garis pendugaan dan garis aktual saling berhimpitan. Sedangkan pendugaan dengan menggunakan variabel dummy luas lahan (D1 = 1) terlihat garis pengudaan berada sedikit di atas garis aktual yang berarti produktivitas usaha tani padi sawah pola CLS memberikan harapan bagi petani berlahan sempit dapat meningkatkan produktivitas padi dengan memperbaiki manajemen usaha tani berdasarkan skala luas usaha tani. Guna mencapai skala ekonomi kemungkinan dapat dilakukan dengan pendekatan kelompok, konsolidasi lahan petani, pemberian pinjaman untuk menyewa lahan, maupun perluasan lahan. Pendugaan produktivitas usaha tani padi sawah pola CLS pada Gambar 17.
Gambar 17. Pendugaan Produktivitas Padi Sawah Pola CLS Produktivitas (ton/ha) 10.00 9.00 8.00 7.00 6.00
Aktual
5.00
D1 = 1 D1 = 0
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1
4
7
10 13 16
19 22 25
28 31 34 37
40 43 46
49 52 55
58 61 64
Pada model fungsi produksi pola non CLS seperti pada Tabel 7 diperoleh nilai R2 sebesar 0,792 yang berarti bahwa variasi besar kecilnya perubahan variabel produksi padi pola non CLS dapat dijelaskan oleh variasi perubahan variabel penggunaan pestisida, urea, TSP, KCL, upah kerja dan dummy luas lahan sebesar 79,20 %, sedangkan sisanya sebesar 10,80 % dari variasi perubahan variabel terikat tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas dalam model. Hasil uji F diperoleh sebesar 13.936 menunjukkan nyata pada taraf keyakinan sebesar 1 % berarti minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi produksi padi pola CLS. Tabel 7. Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola non CLS No Variabel Bebas Nilai uji t Prob. T Koefisien β 1 Kons tanta (á) 9,187 4,088 0,000 2 Penggunaan Benih (Pb) 0,115 0,715 0,482 3 Penggunaan Urea (Pu) -0,146 -0,787 0,440 4 Penggunaan TSP (Pt) -0,386 -2,096 0,048 5 Penggunaan KCl (Pc) 1,048 4,002 0,001 6 Upah Kerja (Uk) -0,103 -0,460 0,650 7 Dummy Luas Lahan (D1) 0,419 2,619 0,016 Keterangan: Variabel terikat Produksi Padi (Qpn) R2 = 0,792 F hit = 13,936 Sumber: Olahan data primer
Berdasarkan hasil uji-t pada taraf keyakinan 5% variabel bebas penggunaan TSP, KCl,
dummy luas lahan secara signifikan mempengaruhi produksi padi non CLS,
sedangkan variabel penggunaan pestisida, pupuk urea dan tenaga kerja tidak nyata mempengaruhi produksi padi dimana nilai probability untuk masing-masing perubah berada dibawah probability nilai kritis 5%. Model pendugaan fungsi produksi usaha tani non CLS pada persamaan (17) log Qpn = 9,187 + 0,115 log Pb - 0,146 log Pu - 0,386 log Pt + 1,048 log Pc – 0,103 log Tk + 0,419 D1 ................................................................(17) R2 =0,792 F-hit=13,936 Pendugaan produktivitas padi berdasarkan model fungsi produksi padi sawah pola non CLS terlihat bahwa model pendugaan produktivitas padi tanpa menggunakan variabel dummy variabel luas lahan (D1 = 0) hasilnya mendekati keragaan kondisi nyata di lapangan dimana antara garis pendugaan dan garis aktual saling berhimpitan. Sedangkan pendugaan dengan menggunakan variabel dummy (D1 = 1) terlihat garis pendugaan berada jauh di atas garis aktual yang berarti produktivitas usaha tani padi sawah non CLS akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya skala usaha tani. Kondisi demikian memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan teori maupun penelitianpenelitian pada umumnya. Pendugaan produktivitas usaha tani padi sawah pola non CLS pada Gambar 18. Gambar 18. Pendugaan Produktivitas Padi sawah Pola Non CLS
Produktivitas Padi (ton/ha) 10000 9000 8000 7000 6000
Aktual
5000
D1 = 1
4000
D1 = 0
3000 2000 1000 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
4.2.2. Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah Guna memperkuat analisis efisiensi alokasi penggunaan faktor produksi tidak hanya dilihat dari tingkat efisiensi teknis yang dicerminkan dari model fungsi produksi, melainkan dilihat pula tingkat efisiensi ekonomis yang dicerminkan dari model fungsi keuntungan. Model fungsi keuntungan dapat digunakan untuk menelaah masalah efisiensi harga dan ekonomis, dimana variabel yang diamati adalah variabel harga output dan input. Hasil analisis fungsi keuntungan usaha tani padi sawah (Gabungan) disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah No Variabel Bebas Nilai uji t Prob. T Koefisien β 1 Kons tanta (á) 5,425 12,990 0,000 2 Benih (W b) 0,414 3,980 0,000 3 Urea (W u) -0,308 -2,887 0,005 4 KCl (W c) -0,051 -0,440 0,661 5 Sewa/pmeliharn alsin (Ws) 0,398 4,751 0,000 6 Upah kerja (W h) -0,097 -1,418 0,160 7 Pajak (W x) 0,134 3,276 0,002 8 Dummy pola usaha tani (D2) 0,147 1,765 0,081 9 Dummy luas lahan (D1) 0,156 2,055 0,043 Ket.: Variabel terikat Keuntungan P adi CL S (ð p) R2 = 0,681 F hit = 22,190 Sumber: Olahan data primer
Model keuntungan padi sawah menunjukkan bahwa model baik dengan nilai koefisien R2 0,681 yang berarti bahwa variasi besar kecilnya perubahan variabel keuntungan padi dapat dijelaskan oleh variasi perubahan variabel-variabel bebas sebesar 68,10 %. Sedangkan sisanya sebesar 31,90% dari variasi perubahan variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel bebas dalam model. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai F-hitung diperoleh sebesar 22,190 nyata pada taraf keyakinan sebesar 1%. Hal ini menunjukkan minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi variabel terikat keuntungan padi sawah. Berdasarkan uji t pada taraf keyakinan 5% variabel harga input bibit, urea, sewa/pemeliharaan alat dan mesin pertanian, pajak dan dummy luas lahan berpengaruh nyata terhadap keuntungan usaha tani padi sawah, sedangkan dummy pola usaha tani nyata pada tarap keyakinan 10%, sedangkan variabel harga TSP dan sewa/pemeliharaan alat dan mesin pertanian tidak nyata mempengaruhi keuntungan usaha tani padi sawah.
Pendugaan model fungsi
keuntungan usaha tani padi sawah seperti pada persamaan (18). log ðP =5,425 + 0,414 log W b - 0,308 log W u - 0,0518 log W c + 0,398 log Ws – 0,097 log W h + 0,134 log W x + 0,171 D2 + 0,156 D1 .......................... (18) R2 = 0,681 Fhit = 22,190 Koefisien variabel harga urea, KCL dan upah kerja bertanda negatif menunjukkan hubungan terbalik antara harga input dengan tingkat keuntungan yang berarti bahwa makin tinggi harga urea dan KCL serta upah kerja, maka makin kecil keuntungan yang diperoleh.
Sedangkan koefisien harga benih, dan sewa/pemeliharaan alat dan mesin
pertanian, serta pajak bertanda positif menunjukkan walaupun terjadi kenaikan harga benih, dan sewa/pemeliharaan alat dan mesin, petani tetap menggunakan input tersebut untuk mencapai keuntungan maksimum. Dummy pola usaha tani menunjukkan tanda positif yang berarti penerapan usaha tani pola CLS akan meningkatkan keuntungan usaha tani dengan menggeser ke atas intersep fungsi keuntungan, demikian pula untuk dummy luas lahan yang berarti semakin luas lahan yang dikelola akan semakin meningkatkan keuntungan. Guna melihat lebih mendalam lagi dari variabel dummy pola usaha tani berpengaruh terhadap keuntungan usaha tani padi, maka model fungsi keuntungan padi sawah dibedakan lebih lanjut menurut pola usaha tani, dimana model fungsi keuntungan usaha tani pola CLS pada Tabel 9.
Tabel 9. Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah Pola CLS No Variabel Bebas Nilai uji t Koefisien β 1 0,704 0,588 Konstanta (α) 2 0,924 3,742 Luas Lahan (Lu) 3 0,397 2,511 Benih (Bb) 4 -0,022 -0,237 Pestisida (W p) 5 -0,479 -5,005 Pupuk Urea (W u) 6 0,134 1,640 Pupuk kandang (Wk) 7 -0,148 -1,222 Upah kerja (W h) 8 0,173 2,024 Dummy lama ustan (D3)
Prob. T 0,559 0,000 0,015 0,814 0,000 0,107 0,227 0,048
Keterangan: Variabel terikat Produksi Padi (ðpc) R2 = 0,743 F hit = 23,072 Sumber: Olahan data primer Seperti halnya fungsi keuntungan padi sawah keseluruhan, maka untuk melihat ketepatan model fungsi keuntungan pola CLS dilihat dari nilai R2 sebesar 0,743 yang berarti variasi besar kecilnya perubahan variabel keuntungan padi pola CLS dapat dijelaskan oleh variasi perubahan variabel harga benih, pestisida, urea, pupuk kandang, upah kerja, dummy lama usaha tani CLS sebesar 74,30 %, sedangkan sisanya sebesar 15,70 % dari variasi perubahan variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel bebas dalam model. Hasil uji-F diperoleh sebesar 23.072 menujukkan nyata pad taraf keyakinan sebesar 1 % yang berarti minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi keuntungan usaha tani padi pola CLS. Berdasarkan hasil uji-t varibel luas lahan, harga benih, pupuk urea dan dummy lama lahan secara signifikan pada taraf keyakinan 5 % mempengaruhi keuntungan usaha tani padi pola CLS, sedangkan variabel harga pestisida dan upah kerja tidak nyata mempengaruhi keuntungan. Pendugaan model fungsi keuntungan usaha tani padi sawah pola CLS seperti pada persamaan (19). log ðpc= 0,704 + 0,924 log Lu + 0,397 log W b - 0,022 log W p - 0,479 log W u + 0,134 log Wk - 0,148 log W h + 0,173 D3 ........................................ (19) R2 = 0,743 F hit = 23,072 Koefisien variabel harga pestisida, pupuk urea, dan upah kerja bertanda negatif menunjukkan hubungan terbalik antara harga input dan tingkat keuntungan yang berarti bahwa makin tinggi harga pestisida, urea, serta upah kerja, maka makin kecil keuntungan yang diperoleh. Hal ini relevan dengan prinsip-prinsip usaha tani pola CLS, di mana petani mengurangi penggunaan input pupuk buatan dan pestisida, digantikan dengan pupuk
kandang dan bio-pestisida yang dapat disediakan sendiri oleh petani. Koefisien variabel luas lahan bertanda positif yang berarti semakin luas lahan yang dikelola maka keuntungan akan semakin meningkat. Koefisien variabel harga benih dan harga pupuk kandang, petani tetap menggunakan input benih untuk mencapai keuntungan maksimum, serta menggunakan pupuk kandang yang dapat disediakan sendiri. Dummy luas lahan menunjukkan tanda positif yang berarti semakin luas lahan usaha tani akan meningkatkan keuntungan dengan menggeser ke atas intersep fungsi keuntungan. Usaha tani pola CLS dipengaruhi lahan usaha tani dimana nilai lahan secara signifikan mempengaruhi keuntungan usaha tani dengan nilai elastisitas sebesar 0,924. Demikian pula dummy lamanya berusaha tani CLS turut mempengaruhi keuntungan dengan elastisitas 0,713 yang berarti bahwa penerapan CLS lebih dari dua tahun meningkatkan keuntungan sebesar 17,3 % lebih tinggi dibandingkan penerapan CLS kurang dari dua tahun. Hal ini dimungkinkan karena pada tahap-tahap awal mengusahakan pola CLS, dampak penggunaan pupuk kandang masih dalam taraf memperbaiki kesuburan tanah yang selama ini menjadi tandus akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang intensif pada tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan pengusahaan CLS lebih dari dua tahun kesuburan tanah mulai pulih sehingga penggunaan pupuk kandang berdampak lebih tinggi terhadap produksi padi dan pada akhirnya mempengaruhi keuntungan petani. Penggunaan pupuk kandang rata-rata petani responden sekitar 1.570,1 kg/hektar dan produksi padi mencapai 6.28 ton/hektar. Tabel 10. Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah Pola non CLS No Variabel Bebas Nilai uji t Koefisien β 1 Kons tanta (á) -3,363 -2,362 2 Luas Lahan (Lu) 1,404 4,957 3 Benih (W b) 0,027 0,376 4 Pestisida (W p) 0,052 0,510 5 Pupuk urea (W u) -0,241 -1,836 6 Pupuk TSP (W t) 0,403 2,699 7 Pupuk KCl (W c) -0,019 -0,139 8 Upah Kerja (W h) -0,117 -1,464 9 Pajak (W x) -0,290 -2,958
Prob. T 0,029 0,000 0,711 0,616 0,082 0,014 0,891 0,159 0,008
Keterangan: Variabel terikat Produks i Padi (ðpn) R2 = 0,959 F-hit = 56,170 Sumber: Olahan data primer
Pada model fungsi keuntungan usaha tani padi pola non CLS dilihat dari nilai R2 sebesar 0,959, yang berati bahwa variasi besar kecilnya perubahan variabel keuntungan usaha tani padi pola non CLS dapat dijelaskan oleh variasi perubahan varial bebas sebesar 95,90 %, sedangkan sisanya sebesar 4,10 % dari variasi perubahan variabel terikat tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas dalam model. Hasil uji F diperoleh sebesar 56.170 menunjukkan nyata pada taraf keyakinan sebesar 1% yang berarti minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi keuntungan usaha tani padi pola non CLS. Pendugaan model fungsi keuntungan usaha tani padi sawah non CLS seperti pada persamaan (20). log ðpn= -3,363 + 1,404 log Lu + 0,027 log W b + 0,052 log W p - 0,241 log Wu + 0,403 log W t - 0,019 log W c - 0,117 log W h - 0,290 log W x ........ (20) R2 = 0,959 F-hit = 56,170 Berdasarkan hasil uji-t variabel bebas harga benih, urea, pupuk kandang dan luas lahan secara signifikan pada taraf keyakinan 5% mempengaruhi keuntungan padi, sedangkan variabel bebas lainnya tidak signifikan. Koefisien variabel harga urea, KCL, upah kerja dan pajak bertanda negatif menunjukkan hubungan terbalik dengan tingkat keuntungan yang berarti bahwa makin tinggi harga urea, KCL, upah kerja maupun pajak, maka makin kecil keuntungan yang akan diperoleh. Sedangkan koefisien variabel luas lahan, harga benih, pestisida dan pupuk TSP bertanda positif menunjukkan semakin luas lahan yang diusahakan akan semakin meningkatkan keuntungan. Walaupun terjadi kenaikan harga benih, pestisida dan pupuk TSP, petani non CLS sangat bergantung pada input tersebut untuk mencapai keuntungan maksimum. 4.2.3. Tingkat Produksi dan Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah Berdasarkan hasil pendugaan model fungsi produksi dapat diketahui bahwa elastisitas fungsi produksi pola usaha tani berada diantara nol dan satu yang berarti berada dalam kondisi produksi yang rasional dan petani telah menggunakan faktor produksi secara optimal. Konsep koefisien fungsi adalah konsep jangka panjang, sedangkan elastisitas produksi parsial adalah konsep jangka pendek. Mengingat data yang dikumpulkan berupa data cross-section, sehingga koefisien fungsi produksi lebih mencerminkan fungsi produksi jangka pendek. Namun mengingat keragaman dan keterwakilan responden dalam penerapan teknologi usaha tani, maka fungsi produksi
jangka pndek dapat dijadikan sebagai proksi ke dalam fungsi produksi jangka panjang walaupun tidak akurat sekali. Pengujian secara statistik dapat dilakukan untuk melihat tingkat kepercayaan terhadap besaran koefisien fungsi produksi total. Pada fungsi produksi jangka panjang, koefisien fungsinya mencerminkan nilai return to scale apabila semua inputnya berupa variabel, koefisien tersebut dapat berada pada berbagai titik alternatif return to scale dalam ruang produksi. Oleh karena itu, koefisien fungsi dapat diperluakan sebagai elastisitas produksi total.
Elastisitas produksi total adalah
penjumlahan perubahan output bila variabel input X1 berubah (variabel input lainnya tetap) sampai variabel input Xn berubah (variabel input lainnya tetap). nilai koefisien fungsi produksi berkisar atau mendekati nilai satu untuk pola CLS maupun non CLS menunjukkan elastistas produksi total pada posisi constant return to scale bahwa alokasi sumber daya sudah dilakukan secara optimal dalam arti peningkatan penggunaan semua input akan meningkatkan produksi secara proporsional. Berdasarkan fungsi keuntungan, usaha tani pola non CLS menunjukkan kondisi increasing return to scale yang berarti ada hubungan berbanding terbalik, peningkatan harga input akan menurunkan keuntungan yang lebih besar dan peningkatan harga produk akan meningkatkan keuntungan yang lebih besar. Hal ini berbeda dengan pola padi sawah (gabungan) dalam kondisi decreasing return to scale yang berarti peningkatan harga input akan menurunkan keuntungan yang lebih kecil dan peningkatan harga produk akan meningkatkan keuntungan yang lebih kecil (tidak proporsional). Pada usaha tani pola CLS tingkat efisiensi fungsi keuntungan berada dalam kondisi constant return to scale atau optimum berarti keuntungan meningkat secara proporsial seiring dengan penurunan harga input atau peningkatan harga output. Namun demikian, dalam kondisi tersebut masih diperlukan pemberian insentif harga dan kemudahan yang dapat mendorong gairah usaha tani pola CLS. Tingkat produksi dan keuntungan usaha tani padi di lokasi penelitian disajikan Tabel 11. Tabel 11. Tingkat Produksi dan Keuntungan Usaha tani Padi Pola CLS dan non CLS No
Uraian
Fungsi Produksi
1 Pola CLS 1,017 constant RTS 2 Pola Non CLS 0,947 constant RTS 3 Pola Gabungan 1,025 constant RTS Keterangan: RTS = return to scale
Fungsi Keuntungan (UOP) 0,979 constant RTS 1,219 increasing RTS 0,793 decreasing RTS
Berdasarkan analisis fungsi keuntungan diperoleh hasil bahwa usaha tani padi pola CLS telah memberikan keuntungan maksimum bagi petani, yang berarti pertimbangan harga input secara keseluruhan telah dialokasikan secara optimal. Pencapaian tingkat keuntungan maksimum tidak hanya ditentukan oleh tingkat produksi, tetapi juga harga input dan output. Dalam kaitannya dengan harga input dan output, selama ini pemerintah melakukan intervensi penetapan harga input-output guna melindungi petani karena posisinya yang lemah dalam pasar input dan output. Hal ini sejalan dengan pedapat Anthony Giddens (2000) bahwa kita membutuhkan mekanisme pasar, tetapi juga kita masih memerlukan peran pemerintah. Dengan demikian diketahui bahwa antara model fungsi produksi padi sawah dan model fungsi keuntungan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana variabel input benih, urea, sewa/perawatan alat dan mesin, serta pajak mempengaruhi produksi, demikian pula harga input benih, urea dan pajak mempengaruhi keuntungan usaha tani padi sawah. Variabel dummy luas lahan dan pola usaha tani mempengaruhi produksi dan keuntungan usaha tani padi sawah. Berdasarkan pendugaan model fungsi produksi padi pola CLS terlihat bahwa usaha tani pola CLS memberikan harapan bagi petani lahan sempit untuk meningkatkan produktivitas usaha taninya. 4.2.4. Dampak Penggunaan Pupuk Kandang Terhadap Produksi Padi Perbedaan utama antara usaha tani pola CLS dan non CLS adalah penggunaan pupuk kandang. Sebagai indikasi awal adanya perbedaan nyata antara usaha tani pola CLS dan non CLS dapat dilihat dari model fungsi produksi padi sawah gabungan, dimana variabel dummy pola usaha tani (D2) dengan nilai koefisien sebesar 0,236 memberikan isyarat bahwa dengan menerapkan usaha tani pola CLS menyebabkan tingkat teknologi petani meningkat dan dapat meningkatkan produksi padi sebesar 23,6 % dibandingkan produksi padi dari pola non CLS. Fokus perhatian analisis pada model fungsi produksi padi pola CLS adalah melihat pengaruh penggunaan pupuk kandang yang ditunjukkan oleh nilai koefisien/elastisitas dari model fungsi produksi padi sawah pola CLS seperti pada persamaan (16) dengan nilai koefisien penggunaan pupuk kandang (Pk) terhadap produksi padi (Qpc) sebesar +0,125 yang berarti bahwa peningkatan penggunaan input pupuk kandang sebesar 10 % dengan asumsi variabel lain konstan, akan meningkatkan produksi padi sebesar 1,25 %.
Beberapa
manfaat
penggunaan
kompos
dalam
jangka
panjang
mampu
meningkatkan N, P, K dan Si tanah, disamping itu juga mampu meningkatkan aktivitas mikrobia penyemat nitrogen melalui peningkatan kandungan bahan organik tanah yang mudah terdekomposisi, meningkatkan pembentukan agregat yang stabil dan pertukaran kation (Wada, 1981 dalam Sutanto, 2002a). Pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan dan mempertahankan keanekaragaman dan kehidupan organisme tanah. Bahan organik merupakan sumber energi bagi kehidupan organisme tanah. Pemberian pupuk pada tanah dapat meningkatkan cacing tanah dari 13.000 ekor/hektar menjadi 1 juta ekor/hektar (Poniman, et al, 2003). Meskipun pupuk kandang banyak memberikan keuntungan, tetapi pemakaiannya di lapangan
juga
harus
memperhatikan
kondisi
setiap
jenis
bahan
orgnik
yang
dikandungnya. Penggunaan pupuk organik yang tidak tepat juga bisa mencemari lingkungan. Dengan demikian harus diketahui jenis bahan organik, jumlah yang harus diberikan, kapan pupuk kandang digunakan secara tepat melalui teknologi diperlukan untuk men-treatment limbah organik pertanian. Menurut Rochayati, Sri, at al ((2003) penggunaan pupuk organik di Korea Selatan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Persentase agregat berukuran 1 mm atau lebih, prositas, permeabilitas, pH, kandungan bahan organik dan KTK meningkat, sebaliknya bulk density dan kekerasan tanah berkurang dengan pemberian pupuk organik. Selanjutnya dikatakan efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah perlu terus ditingkatkan sehingga penggunaan pupuk dapat lebih rasional dan efisien berdasarkan analisis tanah, sifat-sifat tanah dan kebutuhan tanaman serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Perimbangan pupuk organik dan pupuk nonorganik yang tepat menyebabkan tanaman tumbuh optimal dan produksi meningkat. Berdasarkan penelitian Sutardi et al (2002) jumlah pupuk anorganik yang tinggi tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi, namun yang menentukan tingkat produksi adalah perimbangan pupuk organik dan anorganik dengan perlakuan kurang 30 % atau 105 kg/ha Urea, 45 kg/ha SP-36, dan 30 kg/ha KCL dengan perimbangan pupuk organik 2,5 ton/ha. Faktor genetik juga menentukan berat gabah pertanaman. Keseimbangan pupuk dengan perbandingan <30 persen pupuk kimia merupakan sistem usaha tani dengan teknologi akrab lingkungan yang berdampak terhadap peningkatan keamanan produk pertanian serta menghasilkan produk organik. Pemanfaatan pupuk kandang akan mampu mengurangi kandungan logam
berat Cadmium dalam tanah melalui mekanisme penghelatan sehingga mudah diserap oleh tanaman. Penelitian di Maharassta dan Bihar dimana penggunaan pupuk kandang dan kompos sebanyak 1,26 ton.ha dapat meningkatkan hasil gabah 100 kg/ha dan di Orissa meningkatkan hasil 216 kg/ha (Grag et al., 1971 dalam Sutanto, 2002a) serta pemanfaatan berbagai jenis kompos untuk tanaman kacang dan jagung ternyata memperoleh hasil yang lebih tinggi daripada menggunakan pupuk kimiawi sesuai dengan dosis anjuran. Menurut Juanda, et-al (2003) perbaikan rekomendasi teknologi pemupukan melalui pemetaan status har P dan K lahan sawah mutlak diperlukan, karena merupakan kunci dalam upaya menciptakan swasembada pangan. Lebih lanjut dikatakan dengan melakukan pemupukan sesuai hasil analisis tanah, maka dapat dihemat biaya sebesar Rp. 242.884.600-Rp. 315.715.500,-/musim untuk pembelian pupuk SP-36 dan Rp. 337.115.100,-/musim tanam untuk pembelian pupuk KCL. Simulasi hubungan antara penggunan pupuk kandang dan besarnya penambahan produksi padi dilakukan dengan asumsi ceteris paribus ditampilkan dalam bentuk kurva pengaruh penggunaan pupuk kandang terhadap penambahan produksi padi sawah pola CLS seperti Gambar 19. Gambar 19. Pendugaan Produktivitas Padi sawah Pola Non CLS Terhadap Peningkatan Produksi Padi
Peningkatan produksi padi (kg)
400 350 300 250 200 150 100 50 0.25 0.75 1.25 1.75 0
2.25 2.75 3.25 3.75 4.25 4.75 5.25 5.75 6.25 6.75 7.25 7.75 8.25 8.75
Penggunaan pupuk kandang (ton/ha)
Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa peningkatan pupuk kandang sampai dengan 6,75 ton/ha masih mampu meningkatkan produksi padi secara signifikan. Namun demikian penggunaan pupuk kandang yang berlebihan berakibat tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi padi. Hal ini sejalan dengan pendapat Pakpahan (1980) bahwa faktor produksi yang memberikan respon terpenting terhadap produksi padi adalah luas garapan dan pupuk organik. Hasil penelitian Puslitanak (2004) menyatakan penggunaan pupuk kandang sampai 5.000 kg/hektar masih mampu meningkatkan
produksi
padi.
Dengan
demikian,
dapat
direkomendasikan
agar
penggunaan pupuk kandang per satuan luas dapat ditingkatkan dengan memperhatikan standar teknis kebutuhan hara dan luas pengusahaan pola CLS dalam skala ekonomi. Guna menentukan besarnya kebutuhan hara menurut wilayah, maka diperlukan pemetaan kondisi unsur hara menurut wilayah/agro-ecosystem. Pemakaian pupuk kandang sebagai pupuk organik bukan merupakan hal baru dalam sistem usaha tani, namun penggunaan pupuk kandang untuk memupuk tanaman dan menjaga kesuburan tanah secar besar-besaran di kalangan petani masih sangat terbatas. Kendala yang dihadapi oleh masyarakat pengguna pupuk kandang adalah masih terbatasnya persediaan pupuk kandang, proses pengomposan memakan waktu dan masih sedikitnya instalasi pengomposan baik milik pemerintah maupun masyarakat. Dengan memperhatikan trend dunia dalam mengurangi pemakaian pupuk kimia dan lebih
mengedepankan
kesuburan
berkelanjutan
yang
ramah
lingkungan
serta
ketersediaan bahan baku limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pupuk melimpah, maka perlu ditingkatkan gerakan sosialisasi dan penyuluhan pemanfaatan pupuk organik dan mengembangkan usaha tani pola integrasi spesifik lokasi. 4.3. Kelayakan Finansial Dan Ekonomi Usaha Tani 4.3.1. Kelayakan Finansial Usaha tani Pola CLS dan Non CLS Dalam analisis tingkat kelayakan finansial usaha tani pola CLS maupun non CLS menggunakan kriteria kelayakan nilai NPV, B/C rasio dan IRR. Berdasarkan analisis finansial usaha tani pola CLS nilai NPV sebesar Rp. 24,6 juta, nilai IRR pada OCC 12% sebesar 28,86% dan B/C rasio sebesar 1,45. Sedangkan analisis finansial usaha tani non CLS nilai NPV sebesar Rp. 8,4 juta, nilai IRR sebesar 19,38% dan B/C rasio sebesar 1,22. Baik usaha tani pola CLS maupun non CLS layak dilihat dari nilai NPV, IRR B/C rasio,
namun tingkat kelayakan usaha tani pola CLS lebih tinggi dibandingkan dengan non CLS. Sehingga dari ke tiga kriteria investasi tersebut dalam analisis finansial dapat disimpulkan bahwa usaha tersebut adalah layak secara finansial seperti terlihat pada Lampiran 14 dan 15. Sebagai perbandingan beberapa penelitian mengenai kelayakan finansial adalah penelitian pola padi-ternak di Laos pada lahan dataran rendah dengan kepemilikan ratarata 4,4 ekor sapi/KK dan dataran tinggi dengan 7,2 sapi/KK, diperoleh hasil bahwa pendapatan dari usaha ternak mampu memberikan kontribusi terhadap total pendapatan usaha tani masing-masing sebesar 46% dan 56% (DLVS 1993dalam Devendra,et al, 1997). Pola integrasi usaha tani yang dilakukan di Malaysia sebagian besar berupa integrasi antara tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit) dan ternak domba dengan hasil mampu memberikan keuntungan sebesar Rp.2,56 juta per farm (Devendra, et al, 1997).
Demikian pula berdasarkan hasil penelitian dari BPTP LitbangDepartemen
Pertanian pada usaha tani padi-ikan-itik di Subang secara finansial memberi keuntungan Rp.889.000 – Rp.1,16 juta per musim. Sementara penelitian integrasi ternak-padi dengan pola tanam IP-300 di Yogyakarta tahun1999/2000 meningkat pendapatan petani 100% bila dibandingkan dengan padi tanpa ternak, dimana sekitar 40% dari hasil tersebut diperoleh dari pupuk organik.
Hasil-hasil penelitian tersebut secara keseluruhan
menyatakan bahwa pola integrasi dapat meningkatkan pendapatan petani dengan kisaran antara 40% samapai dengan 100% dari usaha tani pola konvensional. Hasil penelitian Litbang Departemen Pertanian tahun 2002 yang dilakukan pada beberapa Provinsi menunjukkan bahwa produksi usaha tani pola padi-ternak meningkat berkisar antara 0,20 – 0,55 ton per hektar. Pendapatan dari usaha tani padi pada pola integrasi padi-ternak di Grobogan pertahun sebesar Rp. 2,45 juta/hektar dengan B/C rasio 2,2 ( Prasetyo, et al 2001). Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan penerimaan dari usaha penggemukan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil studi ternak sapi potong di Provinsi Jawa Timur dimana tingkat penerimaan per bulan berkisar Rp.38.124/ekor ternak, di Lampung berkisar antara Rp.29.466 sampai Rp.68.808/ekor ternak (Adnyana, et al 1999).
Hal yang
membedakan besarnya penerimaan diduga adalah jenis ternak sapi yang dikembangkan, teknik pengolahan ternak dan sistem pemasarannya. Penelitian Umiyasih, et al (2002) di Jawa Timur dimana diperoleh nilai R/C rasio berkisar antara 2,17 samapi 3,30
Selain ternak, usaha alternatif yang menguntungkan petani adalah pembuatan kompos.
Dilihat dari tingkat teknologi proses pembuatan kompos dan pemasarannya
kompos cukup bervariasi diantara para petani pola CLS.
Ada petani yang mengolah
kompos dan dikemas dengan baik dan masih ada dengan ala kadarnya saja, sehingga terdapat perbedaan tingkat pendapatan dari kompos yang dihasilkan dan kemampuan memasarkan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa selain usaha tani padi, guna meningkatkan penerimaan petani dilakukan dengan mengembangkan usaha ternak sapi potong dan usaha pengolahan limbah ternak menjadi pupuk kandang/ kompos. Hasil Pengalaman empiris menunjukkan bahwa integrsai padi-ternak merupakan satu alternatif mengatasi masalah usaha sapi potong dalam menghasilkan bakalan sekaligus membantu meningkatkan efisiensi dan pendapatan petani padi.
Bila
pengembangan diarahkan kepada perbaikan sistem agribisnis maka integrasi ini lebih relevan, namun perlu dikaji sistem dan jenis ternak yang cocok di suatu wilayah. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara finansial usaha tani pola CLS lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha tani pola konvensional atau monokultur.
4.3.2. Kelayakan Ekonomi Usaha tani Pola CLS dan Non CLS Komponen input usaha tani pola CLS meliputi komponen usaha tani padi, penggemukan sapi dan pengolahan kompos. Komponen usaha tani padi meliputi pupuk, benih/bibit, pestisida, tenaga kerja, alat dan mesin pertanian, modal, manajemen, dan lainnya. Komponen input penggemukan sapi antara lain pakan, bibit sapi bakalan, obatobatan, kandang, tenaga kerja, dan sarana lainnya. Komponen input pembuatan kompos berupa limbah kotoran ternak, abu dapur, bahan lainnya, bak jerami dan merang serta bahan fermentasi. Komponen output antara lain padi/gabah, daging sapi, kompos, jerami pakan ternak. Output yang tidak dikehendaki antara lain limbah padi dan limbah ternak. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pertanian terpadu pola CLS ini antara lain: meningkat pendapatan petani dan pendapatan daerah, meningkatkan produktivitas dan kelestarian lahan, meningkatkan lapangan kerja baru dengan mengolah kompos, meningkatkan keharmonisan kehidupan sosial dan menyehatkan lingkungan. Dalam kaitannya dengan perbaikan kualitas lingkungan, usaha tani pola CLS turut mengurangi emisi Gas Rumah Kaca karena jerami tidak dibakar tetapi diolah menjadi kompos. Namun
demikian sampai saat ini belum ada penelitian mengenai dampak kenaikan Gas Rumah Kaca akibat pembakaran limbah padi. Ditinjau manfaatnya bagi perbaikan kualitas lingkungan, usaha tani pola CLS mampu meningkatan kesuburan lahan dan mengurangi efek gas rumah kaca. Pada budi daya padi pola non CLS, limbah jerami dibakar dapat menghasilkan polusi. Berdasarkan data FAO tahun 1998 disebutkan bahwa pembakaran jerami dan jagung menghasilkan gas methan (CH4) 31,35 ribu ton, carbonmonoksida (CO) 658,3 ribu ton, N20 sebanyak 5 ribu ton dan NOx 19 ribu ton, gas-gas tersebut berkontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK). Gas CH4, CO, NOx CH4 juga turut menyebabkan panas bumi dan NOx turut menyebabkan menipisnya lapisan ozon, walaupun penyebab utamanya adalah CFC. Gas CO berpengaruh bagi kesehatan yaitu merintangi darah mengangkut oksigen. Hasil penelitian Setyanto et aI (1997), di Pati Jawa Tengah dimana emisi gas methan pada padi sawah tanpa dipupuk organik pada MH 1995/96 sebesar 55,6 kg CH4/ha dan ebolusi methan 24,1 kg CH4/ha, pada MK 1996 emisi methan sebesar 153,8 kg CH4/ha dan ebolusi methan 61,7 kg CH4/ha. Penelitian pada lahan tadah hujan tanpa perlakuan pupuk organik, dengan perlakuan 5 ton jerami per hektar dan perlakuan 5 ton pupuk kandang/ha pada MH 1995/96 besamya emisi methan masing-masing 51,8; 73,3 dan 52,3 kg CH4/ha dan ebolusi methan sebesar 8,9; 13,8 dan 16,1 kg CH4/ha, sedangkan pada MK 1996 dengan besamya emisi methan masing-masing 50,0; 67,9 dan 85,2 kg CH4/ha dan ebolusi methan masing-masing sebesar 6,6; 18,5 dan 40,5 kg CH4/ha. Jika rasio C/N di dalam tanah rendah, maka peningkatan pemupukan tidak berpengaruh terhadap emisi methan. Guna mengurangi efek GRK, hasil penelitian Puslitnak (2002) menyebutkan pola usaha tani dengan cara: 1) substitusi penggunaan urea dengan ammonium sulfat, (2) usaha tani pola tanpa olah tanah, (3) dan penyemaian benih dengan sebar benih langsung dapat mengurangi efek GRK sampai dengan 62%. Limbah dari usaha tani padi dapat diolah dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, energi dan pupuk/pakan sehingga meningkatkan pendapatan petani serta turut menurunkan emisi GRK dan memperbaiki kualitas lingkungan. Usaha tani ternak sapi potong berdampak terhadap efek gas rumah kaca maupun kualitas lingkungan. Berdasar data FAO tahun 1998 disebutkan bahwa kotoran ternak menghasilkan gas methan (CH4) 848,4 ribu ton yang dapat meningkatkan emisi GRK. Namun demikian kotoran ternak dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai penghasil gasbio,
bahan bakar, pupuk kandang sehingga meningkatkan pendapatan petani serta turut menurunkan emisi GRK dan memperbaiki lingkungan. Biaya dan Manfaat Usaha tani Pola CLS Usaha tani pola CLS merupakan salah satu upaya memperbaiki kualitas lingkungan terutama kesuburan lahan sekaligus meningkatkan pendapatan petani. 1. Identifikasi manfaat usaha tani pola CLS bagi perbaikan kualitas lingkungan dan peningkatan pendapatan petani yang dihitung dengan rincian sebagai berikut : a.
terjadinya peningkatan kesuburan lahan dengan bertambahnya unsur hara di dalam lahan akibat pemakaian kompos. Perbaikan produktivitas lahan dari adopsi pupuk kompos, dimana valuasi ekonomi didekati dengan menghitung effect on product on Production yaitu terjadi peningkatan produksi gabah permusim sekitar 0,10 ton/ha x Rp.1.450.000/ton = Rp.145.000/ha dan meningkatnya produktivitas pakan ternak yang dihitung dari nilai penghematan dari konsentrat sebesar Rp1.500. 000 per tahun. Adanya lapangan kerja baru dengan mengelola limbah sebesar 100 HOK atau Rp.1000.000/tahun.
b.
meningkatnya kesehatan masyarakat akibat berkurangnya aplikasi pestisida kimia yang diukur dari penghematan biaya berobat akibat limbah gas dan udara bila dilakukan pembakaran jerami maupun pemakaian pestisida kimia (non CLS) dihitung dengan pendekatan cost illness method dengan biaya sekali berobat ke Puskesmas sebesar Rp. 10.000,-, dengan adanya po1a CLS maka kejadian penyakit ISPA berkurang.
c.
meningkatnya kualitas udara, terutama karena berkurangnya buangan gas methan dari limbah ternak dengan nilai US$5 per ton methan.
d.
bertambahnya keanekaragaman hayati akibat berkurangnya penggunaan pestisida kimia, dimana valuasi ekonomi didekati dengan menghitung selisih antara besamya biaya pemakaian pestisida kimia dengan bio pestisida yaitu ratarata sekitar Rp.30.000/ha dengan upah kerja yang relatif sama.
e.
meningkatnya biodata air akibat tidak ada limbah pertanian yang dibuang ke sungai dihitung berdasarkan effect on production dimana produksi ikan meningkat diduga sebesar 0,05 ton/tahun atau setara Rp 250.000/tahun. Sedangkan manfaat untuk MCK, pemanfaatan air bersih, maupun dampak pada ekosistem sungai tidak dapat dikuantifikasi.
2. Identifikasi biaya dari untuk pengendalian dampak dari usaha tani pola CLS secara rinci sebagai berikut: a.
Proses pengomposan dan fermentasi jerami dan merang tetap menghasilkan limbah padat dan cair yang perlu dilakukan penampungan dan pengelolaan sebelum dibuang ke sungai dengan biaya tenaga kerja 15 HOK/musim x Rp.l0.000/HOK Rp.150.000/musim.
b.
Proses pengomposan dan fermentasi jerami dan merang juga menghasilkan aroma bau tidak sedap dan mengganggu estetika, namun tidak bisa dikuantifikasi, sehingga didekati dengan pemberian gamping agar tidak terlalu becek dengan biaya pertahun bervariasi antara Rp. 20.000 sampai Rp. 180.000,atau rata-rata sebesar Rp. 44.500,-
c.
Pembuatan gudang skala satu kelompoktani untuk pengolahan limbah ternak dan pengepakan dengan rata-rata biaya pertahun sebesar Rp. 1.408.333,Pembuatan
bak
penampung
limbah/septictank
rata-rata
sebesar
Rp.612.500,-. Penyedotan limbah cair dan perbaikan saluran pembuangan limbah skala satu kelompoktani rata-rata biaya pertahun sebesar Rp. 300.000,d.
Biaya-biaya pengelolaan lingkungan masyarakat dan sosial budaya dalam satu tahun
meliputi:
sumbangan
sumbangan
lampu
semen/conblok/perbaikan
neon/penerangan jalan
Rp.
lain
1.492.826,-
Rp.
50.000,-
sumbangan
hajatan/duka Rp. 44.342,- sumbangan acara perayaan/hari besar Rp. 13.409,maupun sumbangan ronda ronda Rp.11.333,-. Kelayakan Ekonomi Usaha tani Pola CLS dan Non CLS. Berdasarkan analisis ekonomi dengan memasukan unsur perbaikan kualitas lingkungan, maka usaha tani pola CLS memiliki nilai NPV sebesar Rp. 42,9 juta memiliki nilai positif (layak), nilai IRR dengan OCC 12 % sebesar 38,05% lebih besar dari 12 % (layak), dan nilai B/C rasio sebesar 1,54 berarti memiliki nilai lebih dari satu (layak). Sedangkan kelayakan ekonomi dari usaha tani pola non CLS memberikan hasil layak tetapi jauh lebih rendah dibandingkan dengn pola CLS, yaitu NPV sebesar Rp.3,07 juta, IRR sebesar 14,14% dan B/C rasio 1.15. Rincian analisis kelayakan ekonomi terlihat pada tabel Lampiran 16 dan 17. Apabila dibandingkan antara hasil kelayakan finansial dengan ekonomi, dapat disimpulkan bahwa kelayakan ekonomi usaha tani pola CLS lebih
tinggi dibandingkan kelayakan secara finansial. Pada analisis dengan uji sensitivitas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kenaikan biaya bahan input pertanian (pupuk dan pakan ternak) sebesar 10% baik usaha tani CLS maupun non CLS masih layak namun kelayakan ekonomi usaha tani pola CLS lebih tinggi daripada non CLS, yaitu nilai IRR usaha tani pola CLS sebesar 37,45% dan B/C rasio 1,54 sedangkan nilai IRR usaha tani non CLS sebesar 12,75 % dan B/C rasio 1,13 secara rinci seperti terlihat pada Lampiran 19. Pada analisis dengan uji sensitivitas dengan adanya penurunan harga jual output yaitu harga gabah dan sapi sebesar 10 % usaha tani CLS masih layak dilaksanakan, sedangkan usaha tani non CLS secara ekonomi tidak layak dilaksanakan. Tingkat kelayakan ekonomi usaha tani CLS untuk nilai IRR usaha tani pola CLS sebesar 29,95 % dan B/C rasio 1,41, sedangkan nilai IRR usaha tani non CLS sebesar 3,63% da B/C rasio 1,03 dengan rincian seperti terlihat pada Lampiran 20. Dampak penurunan harga jual output ternyata lebih sensitif dibandingkan dengan kenaikan harga bahan baku (input pertanian). Dengan demikian guna melindungi petani terhadap perubahan harga output diperlukan regulasi pada aspek harga dan pemasaran hasil pertanian. 4.4. Peran Kelembagaan Petani Dalam Usaha Tani Cls 4.4.1. Keragaan Kelompok Usaha tani Pola CLS Kelembagaan berfungsi untuk: (1) memberikan pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam menghadapi masalah, (2) menjaga keutuhan masyarakat, dan (3) memberikan pegangan masyarakat dalam pengendalian sosial (Soekanto, 1999). Kelembagaan juga berperan dalam pengelolaan sumberdaya, mobilisasi, dan wadah untuk berkomunikasi. Jenis-jenis kelembagaan yang terkait dengan usaha pertanian di lokasi penelitian diantaranya Kelompoktani-ternak, Koperasi Unit Desa (KUD), Toko/Kios Saprotan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Dinas Peternakan dan Perikanan, Perbankan (BRI, BPD, dan lainnya) dan Swasta. Beberapa manfaat adanya kelompok tani yang dapat dinikmati oleh anggotanya antara lain : ¬ Kemudahan untuk mendapatkan sarana produksi. ¬ Kemudahan untuk pemasaran hasil. ¬ Meningkatkan keahlian dan ketrampilan di bidang teknis dan manajemen kelompok secara bersama-sama.
¬ Inisiatif dalam melaksanakan kegiatan pembangunan desa dan menciptakan kesadaran mobilisasi sumberdaya secara optimal. ¬ Mendukung satu sama lain sebagai anggota kelompok. ¬ Memudahkan komunikasi dan alih teknologi di bidang pertanian dan peternakan. ¬ Menciptakan hubungan dan jaringan dengan lembaga lain. Jenis-jenis usaha yang dilakukan oleh kelompoktani bervariasi antar kelompoktani yang mengusahakan pola CLS, namun secara umum kelompoktani tersebut melakukan usaha pengolahan kompos maupun usaha simpan-pinjam.
Kelompoktani Tani Mulyo
telah mampu memberikan pelayanan jasa IB dan kesehatan hewan, penyewaan jasa alat dan mesin pertanian berupa hand traktor dan memiliki laboratorium mini pengelolaan enzim/mikroba. Keragaan usaha kelompoktani disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Keragaan Kelembagaan Kelompoktani di Lokasi Penelitian No.
Kelompoktani
1. Sari Mulyo
Tahun Berdiri 1984
Anggota (orang) 33
2. Dewi Sri
1978
85
3. Tani Mulyo
1981
70
4. Eko Upoyo
1979
102
5. Tani Mulyo VI
1982
82
6. Ngudi Makmur
1978
87
7. Tani Manunggal
1992
24
Sumber : data primer, 2004. Selain
mengembangkan
usaha
Usaha kelompoktani Usaha saprodi & kompos, pelayanan jasa IB/ Keswan, dan simpan pinjam. Usaha saprodi & kompos, simpan pinjam. Usaha saprodi & kompos, pelayanan jasa IB/Keswan, jasa alsin, lab mini, simpan pinjam. Usaha saprodi & kompos, pelayanan jasa IB/ Keswan, simpan pinjam. Usaha kompos, pelayanan jasa IB/Keswan, simpan pinjam. Usaha kompos, pelayanan jasa IB/Keswan, simpan pinjam. Usaha kompos, pelayanan jasa IB/Keswan, simpan pinjam.
kelompok,
kegiatan
lain
yang
dilakukan
kelompoktani antara lain pelayanan kegiatan yang bersifat kelompok seperti penyampaian informasi, pengaturan rencana tanam, pengandangan ternak, iuran kelompok, arisan dan lainnya. Dalam hal penguasaan teknologi yang melestarikan lingkungan, kelompoktani pola
CLS
relatif
lebih
maju
dibandingkan
dengan
kelompoktani
pola
monokultur/konvensional, namun keberadaan dan peran kelompok masih dapat ditingkatkan, seperti menjalin kerjasama dengan pihak-pihak penyedia input, sebagai agen
untuk memperoleh permodalan dan meningkatkan jaringan pemasaran.
Berdasarkan
wawancara terlihat bahwa kelompoktani masih mengalami kesulitan akses permodalan maupun pasar.
Posisi tawar petani dalam pemasaran lemah, dan peran pemasaran
dikendalikan oleh keberadaan pedagang dan blantik. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian Setiani, C, at al (2003) dimana tingkat pemanfaatan kelompok belum menjangkau aspek pasca panen dan pemasaran, masih diperlukan pinjaman modal bagi pengembangan uasaha tani tanaman-ternak, serta pendekatan organisasi kelompok tani dalam penerapan teknologi usaha tani tanaman ternak perlu dilakukan berdasarkan agroekosistem. Pada Tabel 13
disajikan jenis-jenis kegiatan usaha tani yang bisa
dilakukan secara perorangan maupun secara berkelompok. Tabel 13. Peran Kelompoktani pada Setiap Jenis Kegiatan Usaha tani No 1.
Jenis Kegiatan Usaha tani padi : - Pengolahan lahan - Penanaman - Pemupukan - Pengendalian hama/penyakit - Pemanenan - Pemasaran hasil - Pengolahan jerami
2.
Usaha Penggemukan Ternak - Pengandangan ternak - Pengadaan pakan - Pengolahan kompos - Pengendalian penyakit - Pemasaran hasil
% Responden dalam Melaksanakan Kegiatan Secara individu (57,14%), berkelompok (42,86%) Secara individu (91,43%), berkelompok (8,57%) Secara individu (100,00%), Secara individu (100,00%), Secara individu (71,43%), berkelompok (28,57%) Secara individu (71,43%), berkelompok (28,57%) Secara individu (78,57%), berkelompok (21,43%) Secara individu (57,14%), berkelompok (42,86%) Secara individu (71,43%), berkelompok (28,57%) Secara individu (62,14%), berkelompok (37,86%) Secara individu (85,71%), berkelompok (14,29%) Secara individu (75,00%), berkelompok (25,00%)
Sumber : olahan data primer, 2004. Berdasarkan peran kelompoktani dalam berusaha tani, terdapat beberapa kegiatan usaha tani yang dilakukan secara perorangan seperti penanaman, pemupukan, pengendalian hama penyakit tanaman maupun pemasaran hasil, namun ada peran kelompoktani yang dominan melaksanakan beberapa kegiatan secara kolektif dengan pertimbangan lebih efisien seperti pengolahan lahan, pengandangan ternak, dan pengolahan kompos, di samping itu sudah terlihat peran kelompok dalam pemanenan, pendagaan pakan dan pemasaran hasil.
Pelaksanaan kegiatan CLS didukung oleh berbagai lembaga baik di tingkat pusat, daerah bahkan sampai tingkat petani. Kegiatan CLS melibatkan berbagai pihak antara lain penyedia saprodi, peternak, pedagang, dokter hewan, poskeswan, alat mesin pertanian dan sebagainya.
Diperlukan pengorganisasian yang baik serta kejelasan fungsi
kelompoktani sebagai wadah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut. Dalam rangka menunjang kegiatan CLS ditumbuhkan lembaga pelayanan permodalan/ keuangan dari perbankan. Disamping itu diperlukan kerja sama dengan swasta ataupun koperasi. Lingkup kegitan layanan permodalan/keuangan meliputi penyaluran kredit serta memobilisasi dana dari masyarakat. Sedangkan lingkup kegiatan swasta ataupun koperasi meliputi kerja sama dalam penyaluran sprodi bibit, benih obat dan ternak serta pemasaran hasil pertanian. Namun demikian, pada saat dilakukan penelitian terlihat bahwa koperasi dalam hal ini KUD belum berperan dalam penyediaan pupuk kandang, bahan fermentasi dan pemasaran produk hasil usaha tani pola CLS. Peran asosiasi petani organik disamping menyediakan kebutuhan pupuk kandang bagi anggotanya, juga merupakan wadah dalam proses pembelajaran dan pemasaran hasil. Beberapa hal yang terkait dengan pengembangan dan pemberdayaan kelompoktani adalah mengenai: kondisi dan kinerja kelompoktani, pemanfaatan potensi dan pengembangan peluang usaha serta pemenuhan jenis-jenis pelayanan yang dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan anggota. Penumbuhan
kelembagaan untuk
mendukung kegiatan CLS dilakukan dengan pendekatan partisipatif petani dalam mengembangkan usaha bersama.
Pemerintah Daerah; Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Dinas Peternakan dan Perikanan
Lembaga Permodalan
Swasta/Koperasi
Kelompoktani/Asosiasi kelompok tani
Sapi Potong
Produksi Padi
Kompos dan jerami
Pasar
Gambar 20. Model Keterkaitan Kelembagaan Petani Pola CLS di Lokasi Penelitian Berdasarkan model keterkaitan kelembagaan petani pada Gambar 20 dapat dijelaskan bahwa dalam rangka pengembangan usaha tani pola CLS, terdapat keterkaitan antara kelompoktani/Asosiasi kelompoktani dan pihak pemerintah daerah. Pemerintah Daerah berperan sebagai regulator dan fasilitator agar kegiatan CLS dapat berjalan. Bupati beserta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen (sampai dengan tahun 2004) dan mulai tahun 2005 bersama Dinas Peternakan dan Perikanan proaktif mendorong pengembangan CLS.
Beberapa kegiatan yang dilakukan dinas
beserta jajarannya yaitu Kantor Cabang Dinas di Kecamatan dan PPL antara lain merancang rencana tanam dan target produksi usaha tani pola CLS dan padi organik, inventarisasi kelompoktani, pembinaan, penyuluhan dan pemantauan di lapangan. Kegiatan-kegitan yang dilakukan oleh instansi terkait tersebut terlihat lebih bersifat satu arah dan top-down, serta belum dilakukan kegiatan yang bersifat penjaringan masukan dari petani/kelompoktani (konsultasi publik). Kegiatan konsultasi publik sangat penting untuk dilakukan guna memperoleh masukan dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan pengembangan CLS. Demikian pula agar pembinaan kelompoktani dapat lebih intensif, maka perlu dilakukan kegiatan pendampingan. Dinas beserta intansi terkait lain menjalin kerjasama dengan pihak swasta yang bergerak dalam bidang penyedia sarana produksi dan pemasaran hasil. Pendampingan dilakukan secara terpadu guna pemecahan masalah yang dihadapi petani dalam memperoleh perrmodalan, pengadaan dan distribusi sarana produksi serta pemasaran, manajemen usaha serta meningkatkan skala usaha. Perlu dibangun kerja sama yang sinergis antara kelompoktani dan pihak swasta/pengusaha maupun dengan koperasi mengingat masing-masing pihak memiliki potensi dan kekuatan yang bisa dipadukan. Kelompoktani memiliki potensi dan kekuatan dalam penyediaan bahan baku, tenaga kerja, sumber pakan dan lainnya, namun memiliki
kelemahan dalam hal manajemen, teknologi/inovasi dan pemasaran ternaknya, sementara pihak swasta/pengusaha memiliki modal, kemampuan manajemen dan akses pasar dari produk padi dan ternak, sehingga apabila kedua kekuatan tersebut digabungkan akan memiliki senergi yang signifkan bagi pengembangan usaha tani pola CLS. Hal yang perlu dibenahi
dalam
rangka
menjajagi
kerjasama
antara
kelompoktani
dengan
swasta/pengusaha adalah detail komponen kegiatan yang dapat dikerjasamakan. Misalnya untuk usaha tani padi, pihak swasta berperan dalam penyediaan sarana produksi dan menampung hasil produksi padi, untuk itu sejak awal telah disepakati besarnya saprodi, produksi dan harga jualnya. Untuk usaha penggemukan sapi potong perlu ada pengaturan penjualan melalui pengaturan produksi. Pengaturan produksi dapat membantu dalam perencanaan penjualan maupun pembelian bakalan dan perkiraan kebutuhan modal. Produksi dapat diatur dengan memperhatikan lamanya proses produksi dengan permintaan pasar. 4.4.2. Pengembangan Kelembagaan Usaha tani Pola CLS Keberadaan kelompoktani terlihat cenderung hanya memperkuat hubungan secara horisontal dengan jenis-jenis aktivitas anggotanya relatif sama yaitu usaha tani padi dan penggemukan ternak sapi potong dengan asumsi dapat meningkatkan posisi tawar kelompok bila anggotanya banyak, namun belum dibangun struktur kelompok yan lebih konprehenship yang menyatukan antara mereka secara vertikal sehingga lemah dalam menjalin kerja sama pihak terkait. Dengan demikian terlihat jelas dalam kelompoktani, dimana penyedia input atau bakalan ternak serta yang memasarkan hasil (gabah maupun sapi potong) adalah bukan kelompoktani malinkan pihak pedagang/blantik. Upaya pengembangan usaha tani pola CLS lebih tepat dilakukan dengan pendekatan kelembagaan melalui kelompoktani daripada pendekatan individu. Hal ini beralasan mengingat setiap individu secara sosial akan memilih satu kelembagaan sebagai wadah kegiatannya dan tidak ada satu kegiatan yang dapat dilakukan secara bebas sama sekali. Walaupun disadari bahwa pendekatan individu melalui kontaktani atau petani yang sukses jauh lebih murah dan mudah, namun dapat melemahkan proses belajar anggota untuk memajukan kelompok. Pengembangan kelompoktani selama ini dominan perhatian pada aspek-aspek struktural dan kurang perhatian pada aspek kultural. Membangun kelembagaan tidaklah mudah dan membutuhkan waktu lama, hal ini berbeda dengan introduksi suatu teknologi yang dapat langsung diterapkan dan kelihatan
hasilnya. Pada usaha tani pola CLS diperlukan pola pengandangan secara kelompok atau sering disebut “kandang komunal”, ternyata terdapat beberapa kelompok yang belum mengelola ternak secara komunal dengan alasan belum fahamnya maksud dan tujuan pengandangan secara komunal, rasa nyaman apabila ternaknya menyatu dengan rumah/pekarangannya kerena persepsi sapi sebagai harta “rojo koyo” disamping kendala dana dan keterbatasan lahan untuk membangun kandang komunal. Kondisi demikian menunjukkan banyak pertimbangan petani untuk mengubah perilakunya. Sebagai teknologi yang relatif baru, penggunaan kandang kelompok memerlukan proses sosialisasi agar dapat diterimah sepenuhnya oleh petani. Salah satu persyaratan penting agar suatu inovasi dan diadopsi oleh petani adalah manfaat ekonomi. Menurut Yuwono, DM, (2003, teknik pengandangan kelompok bermanfaat dari aspek lingkungan, antara lain: mengurangi pencemaran udara (bau), meningkatnya estetika lingkungan pemukiman dikarenakan kandang sapi tidak menyatu lagi dengan rumah penduduk, nyamuk menjadi berkurang, sehingga berdampak positif terhadap kesehatan petani, sedangkan dari aspek non lingkungan, penggunaan kandang kelompok menyebabkan peluang petani untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran tentang budi daya sapi potong lebih besar, di samping nafsu makan sapi cenderung meningkat karena saling berdekatan. Dengan demikian introduksi teknologi pengandangan ternak komunal perlu pendekatan kelembagaan yang berisi nilai, norma dan kondisi sosial ekonomi lainnya. Perlu kehati-hatian dalam pengembangan kemitraan dalam kelompoktani, diperlukan skenario rancangan yang memadai, mengingat kesulitan memadukan dunia petani yang cenderung bersifat sosial dengan dunia pasar yang berorientasi bisnis. Prinsip utama kemitraan adalah adanya kemudahan akses dan kesejajaran yang adil antara satu pihak dengan yang lain. 4.5. Tingkat Keberlanjutan dan Strategi Pengembangan Usaha tani CLS 4.5.1 Indeks dan Status Keberlanjutan Usaha tani Pola CLS Hasil analisis Rap-CLS dengan menggunakan metode MDS menghasilkan
nilai
Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Usaha tani Pola CLS (IkB-CLS) di Kabupaten Sragen adalah sebesar 53,21 pada skala sustainabilitas 0 – 100 (Gambar 21). Nilai IkB-CLS sebesar 53,21 yang diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 26 atribut yang tercakup dalam tiga dimensi (ekologi, ekonomi, dan sosial) termasuk ke dalam kategori cukup
berkelanjutan, mengingat nilai IkB-CLS-nya berada pada selang nilai 50 – 75 (0< Nilai indeks •25 = buruk; 25< Nilai indeks• 50 = kurang; 50< Nilai indeks•75 = cukup; dan 75< Nilai indeks •100 = baik). Untuk mengetahui as pek pembangunan apa yang mas ih lemah dan memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-CLS pada setiap dimensi. 60 UP
Sum bu Y Setelah R otasi
40
20
0
GOOD
B AD 0
20
40
60
80
100
120
-2 0
-4 0 D OWN -6 0 Sum bu X Stelah Rotasi: Indeks Keberlanjutan
In d e ks K e b e rla n ju ta n Usa h a ta n i C L S
R e fe re n ce s
A n ch o rs
Gambar 21. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan nilai Keberlanjutan Pengelolaan Usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen 53,21. Pada Gambar 21 memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti semua nilai indeks dari setiap dimensi harus memiliki nilai yang sama besar akan tetapi dalam berbagai kondisi daerah/negara tentu memiliki prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian, namun prinsipnya adalah bagaimana supaya setiap dimensi tersebut berada pada kategori “baik” atau paling tidak “cukup” status keberlanjutannya. Berdasarkan Gambar 22 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar 49,55 pada skala sustainabilitas 0–100. Jika dibandingkan dengan nilai IkB-CLS
yang bersifat multi dimensi maka nilai indeks dimensi ekologi berada di bawah nilai IkBCLS dan termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (kurang: 25< Nilai indeks •50)
60 UP
S u m b u Y setelah Ro tasi
40
20
0 0
BAD
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOW N -60 S u m b u X S e ta lh Ro ta si: In d e ks Ke b e rla n ju ta n Indek s K eberlanjutan A s pek E k ologi
R eferenc es
A nc hors
Gambar 22. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi sebesar 49,55. Analisis leverage dilakukan
bertujuan untuk melihat atribut
yang
sensitif
memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Berdasarkan Gambar 23, ada lima atribut yang
sensitif mempengaruhi
nilai indeks keberlanjutan
dimensi ekologi, yaitu: (1) sistem pemeliharaan ternak sapi potong, (2) kepadatan ternak, (3) tingkat pemanfaatan pupuk dan pestisida, (4) tingkat pemanfaatan jerami untuk pakan, dan (5) pemanfaatan limbah ternak. Sistem pemeliharaan ternak terutama dapat dilihat dari teknik pengandangan ternak. Pengadangan ternak yang dilakukan oleh petani sangat beragam, sebagian besar ternak dipelihara dengan sistem pengandangan dan hanya sebagian kecil petani mengumbar ternak sapi di kebun/ladang dan di waktu sore hari dikandangkan. Sistem
pengandangan yang ada adalah sistem kandang ternak perorangan yang ditempatkan di sekitar atau bahkan menyatu dengan rumahnya, tetapi ada juga sistem kandang berkelompok. Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan ternak pada usaha tani pola CLS diperlukan sistem pengandangan kelompok. Sistem perkandangan yang diterapkan dalam pola CLS menyesuaikan sistem perkandangan yang telah diterapkan oleh anggota kelompok. Pengandangan ternak yang dibangun oleh kelompoktani yang lebih maju adalah pengandangan ternak dalam satu kandang yang luas (kandang komunal) agar kotoran ternak terkonsentrasi dan mudah dikumpulkan dalam satu tempat, bermanfaat dalam menjaga kesehatan ternak dan kebersihan lingkungan serta meningkatkan komunikasi dan hubungan sosial antar peternak. Pengandangan ternak secara komunal juga merupakan solusi kendala keterbatasan lahan yang dimiliki petani. Populasi ternak di Kabupaten Sragen termasuk dalam katerogi sangat padat. Tingkat kepadatan populasi ternak juga menunjukkan besarnya minat petani beternak sapi potong. Banyaknya populasi ternak di Kabupaten Sragen memerlukan pengelolaan ternak sapi potong secara intensif. Kegiatan pertanian tanaman padi yang menggunakan bahan kimia (pupuk dan pestisida) tidak tepat dapat berdampak pada pencemaran air dan tanah. Jenis pestisida kimia pada umumnya berupa golongan (1) organokhlorin, antara lain endrin, aldrin, dieldrin, DDT), (2) organophospat, antara lain diazinon, feninthrothion, parathion, malathion dan (3) karbamat contohnya sevin. Jenis organokhlorin sudah jarang digunakan karena tingkat bahayanya tinggi, residunya persisten sekali di dalam tanah, hewan, dan jaringan tumbuhan, dan cenderung terakumulasi kedalam tubuh makhluk hidup dalam jangka waktu lama. Jenis organophospat dan karbamat bersifat mudah larut dalam air dan mudah terurai dalam lingkungan, akan tetapi jenis organophospat daya racunnya sangat tinggi dan walaupun dengan kadar yang rendahpun dapat berakibat gangguan pada organisme di dalam perairan. Pada dasarya pupuk kimia terdiri unsur nitrogen, phospor, dan potasium. Sebagian pupuk yang tidak terserap tanaman akan larut ke dalam air tanah, sungai, danau dan air laut. Senyawa nitrogen dan phospor menyebabkan eutrofikasi yaitu proses pertumbuhan tanaman/gulma air berkembang pesat. Senyawa nitrogen dari limbah pemupukan yang berada di dalam tanah dapat meningkatkan kadar nitrat dan nitrat di dalam tanah da air tanah. Sedangkan pupuk organik tidak mengandung bahan kimia beracun. Pencemaran air dan tanah berdampak bahaya baik bagi tanaman, hewan dan bagi manusia.
Limbah pertanian yang tidak diolah dapat menurunkan kualitas lingkungan air, tanah dan udara serta berdampak bagi kesehatan manusia. Limbah pestisida dapat mengganggu kesehatan manusia yaitu syaraf otak dan menurunkan sel darah merah. Gejala keracunan pestisida antara lain pusing, sakit kepala, lemah, kejang dan lainnya. Tumpukan bahan organik berupa limbah dapat merusak estetika juga menimbulkan bau tidak sedap dan menjadi tempat berkembangnya vektor penyakit perut. Limbah yang larut dalam air menyebabkan air berwama, menjadi keruh dan dapat menurunkan pH air. Air yang mengandung nitrit dapat menyebabkan penyakit metaemoglobin, sedangkan air yang mengandung limbah organik secara tidak langsung dapat menyebabkan kenaikan BOD dan COD. Tingkat kekeruhan air yang aman adalah antara 5-25 silika, tingkat pH air yang aman untuk diminum adalah antara 6,5 sampai 9,2 sedangkan tingkat kadar nitrat dalam air tidak boleh melampaui 20 ppm (Tugaswati et al, 1985). Usaha tani pola CLS juga turut mengurangi pencemaran air dan tanah, karena berkurangnya penggunaan pupuk kimia dan pestisida untuk input usaha tani. Usaha tani pola CLS mampu meningkatkan kesuburan tanah dengan cara memperkaya unsur luar dalam tanah dan menambah ketebalan humus sehingga produktivitas lahan untuk usaha tani padi dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun. Sebaliknya bila dilakukan usaha tani non CLS dimana penggunaan pupuk kimia dan pestisida tinggi maka mengakibatkan produktivitas lahan semakin menurun. Seperti halnya usaha pertanian lainnya, penggemukan sapi potong juga berdampak terhadap lingkungan baik berupa pencemaran udara maupun pencemaran air dan tanah. Sapi potong merupakan hewan herbivora yang memanfaatkan produser/hasil fotosintesa untuk proses biologinya kemudian menghasilkan biomasa antara lain daging, kulit, tulang, isi rumen, tanduk, kotoran dan air kencing ternak. Manfaat kotoran ternak sapi disamping dapat digunakan sebagai pupuk kandang, juga dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti kayu bakar dan sekam, gas bio, pakan ternak unggas (Wiryosuhanto, 1985). Secara umum manfaat pupuk kandang adalah memperbaiki keadaan fisik, kimia dan biologi tanah, berupa memudahkan penyerapan air hujan, memperbaiki daya mengikat air, mengurangi erosi, memberikan lingkungan tumbuh yang baik bagi kecambah biji dan akar, serta sebagai pemasok unsur hara tanaman. Dibandingkan dengan pupuk organik yang lain, pupuk kandang lebih banyak mengandung unsur N jantan berat sekitar 450 kg menghasilkan 10 ton kotoran kering sekitar 1-2 ton kotoran pertahun yang didalamnya mengandung pupuk dan air kencing sedangkan urine sapi mengandung nitrogen (Ditjen
Peternakan, 1996). Menurut Diwyanto et al (2001) produksi limbah ternak sapi yang dapat digunakan pupuk kandang per tahun sekitar 3 ton/ekor apabila diolah menjadi kompos cukup untuk memenuhi kebutuhan kompos satu musim sekitar 1,2 sampai 2 ton kompos/ha. Pemanfaatan pupuk dan pestisida kimia di lokasi penelitian masih relatif tinggi dan melebihi standar yang direkomendasikan. Guna meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha tani padi, penggunaan pupuk dan pestisida kimia harus dikurangi. Penggunaan pestisida kimia dapat digantikan dengan bio-pestisida yang bermanfaat ganda bagi peningkatan produksi sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan.
Penggunaan pupuk
kandang di lokasi penelitian rata-rata 1.570 kg/ha masih dapat ditingkatkan menjadi sekitar 4000 kg/ha sampai dengan 6000 kg/ha. Berdasarkan pendugaan model fungsi produksi usaha tani pola CLS diketahui dampak penggunaan pupuk kandang terhadap produksi padi sebesar +0,125, sehingga penggunaan pupuk kandang per satuan luas masih dapat ditingkatkan dengan memperhatikan standar teknis kebutuhan hara. Jenis limbah usaha tani padi berupa sekam, dedak, bekatul, merang dan jerami masing-masing mempunyai manfaat tersendiri. Komposisi biomasa tanaman padi disebutkan bahwa dari 100 kg tanaman padi kering hanya diperoleh 28,9 kg beras, sisanya berupa limbah jerami 55,6 kg, sekam 8,9 kg, dan bekatul 3,6 kg (Abbas et al, 1985). Sedangkan berdasarkan (data Vademekum 1980 dalam Kantor Meneg. Peningkatan Produksi Pangan, 1985) bahwa besarnya produksi sekam adalah sebesar 4 % dari produksi gabah, dedak kasar 4 %, dedak halus 2,5 %, bekatul 1,5 % dari produksi gabah dan tergantung dari peralatan penggilingan padi, besarnya jerami dan merang sekitar 150 % dari produksi gabah. Sekam dapat dimanfaatkan sebagai bahan energi alternatif, bahan baku industri kimia, industri bangunan dan industri karet, dan tahan isolasi. Dedak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk atau bahan bakar namun kandungan N,P dan K relatif rendah, bahan farmasi penyedia konsentrat vitamin B, dan sebagai makanan ternak. Merang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kertas, bahan baku shampoo/mencuci rambut dan pakan ternak, sedangkan jerami banyak mengandung silika dapat dimanfaatkan strawboard/bahan bangunan (Abbas et al, 1985). Saat ini jerami dengan ditambahkan bahan organik (jerami fermentasi) dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Potensi jerami sebagai pakan ternak sapi potong di Kabupaten Sragen cukup tinggi, namun belum dimanfaatkan secara optimal, hanya petani dengan usaha tani pola
CLS yang memanfaatkan limbah jerami sebagai pakan ternak, sedangkan petani pola konvensional tidak memanfaatkan jerami, limbah jerami dibakar atau hanya ditumpuk di pinggiran sawah. Menurut Diwyanto et al (2001) produksi jerami dari usaha tani padi per musim sekitar 6 ton/ha mampu mencukupi kebutuhan pakan ternak 4 – 5 ekor sapi dewasa sepanjang tahun.
Pemotongan sapi betina produktif
0.31
Ketersediaan RPH
1.06
Kepadatan ternak
4.36
Sistem pemeliharaan ternak sapi
6.13
Variabel Pemanfaatan jerami untuk pakan ternak sapi
2.88
Pemanfaatan limbah ternak sapi
2.19
Tingkat penggunaan pupuk/pestisida
4.28
Tingkat pemanfaatan lahan
2.01
Kesesuaian lahan
0.55
0
1
2
3
4
5
6
7
Peran masing-masing variabel dimensi ekologi dalam bentuk perubahan nilai RMS
Gambar 23. Peran masing-masing Atribut Dimensi Ekologi yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS.
Pada Gambar 24 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 56,23. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sedikit lebih besar daripada nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, namun tetap masih termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan. Hal ini mengandung pengertian bahwa pengelolaan usaha tani pola CLS Kabupaten Sragen lebih berkelanjutan (memberikan manfaat) dari dimensi ekonomi daripada dimensi ekologi. Agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut.
Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana pada Gambar 25 ada tiga atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan pada dimensi ekonomi, yaitu: (1) ketersediaan lembaga keuangan dan kemudahan untuk mengaksesnya, (2) tingkat kelayakan usaha tani pola CLS, serta (3) jenis subsidi dari pemerintah yang dibutuhkan petani pola CLS. Permodalan merupakan unsur yang sangat penting dalam kegiatan usaha tani. Sumber-sumber permodalan petani/kelompoktani dapat diperoleh dari swadaya anggota, bantuan pemerintah, kerjasama/pinjaman dari swasta, maupun kredit dari perbankan. Keberadaan lembaga keuangan sangat penting guna mendukung permodalan petani, kendala umum yang dihadapi adalah sulitnya mengakses ke lembaga keuangan (perbankan) karena dibutuhkan agunan, persyaratan administrasi yang rumit dan lainnya, padahal petani pada umumnya tidak memiliki aset sebagai agunan kecuali lahannya dan menginginkan prosedur memperoleh kredit secara sederhana.
Apabila kelayakan
finansial usaha tani merupakan persyaratan untuk memperoleh kredit dari bank, maka petani belum terbiasa menyusun proposal kelayakan usaha tani maupun membukukan keuangan usaha tani, sehingga pihak perbankan kesulitan menilai kelayakan usaha dan pemantauan perkembangan usahanya.
Secara umum tingkat kelayakan di sektor
pertanian lebih rendah dibandingkan dengan sektor industri dan resiko faktor alamnya lebih tinggi. Untuk dapat menerapkan usaha tani pola CLS secara sempurna setidaknya harus tersedia sekitar 2-4 ekor per hektar sawah. Namun petani tidak memiliki modal yang cukup untuk membeli bakalan sapi, sehingga dibutuhkan modal dari pinjaman. Lembaga keuangan yang biasa diakses petani di Kabupaten Sragen adalah BRI dan BPD, kerjasama/kemitraan dengan swasta dan perusahaan daerah. Sedangkan KUD dan koperasi simpan pinjam belum berkembang. Dalam rangka pengembangan usaha tani pola CLS mesti disediakan lembaga keuangan dan kemudahan untuk mengakses permodalan atau setidaknya pemerintah menjembatani antara pihak pemberi modal dan petani/kelompoktani, sehingga petani dapat dengan mudah mengakses modal. mengurangi ketergantungan petani kepada pemerintah,
Guna
maka pola-pola pemberian
bantuan cuma-cuma dari pemerintah agar dikurangi digantikan dengan kredit program.
60 UP
S u m b u Y setelah Ro tasi
40
20
0
GOOD
BAD 0
20
40
60
80
1 00
1 20
-2 0
-4 0 DO W N -6 0 S u m b u X se te la h Rota si: In de ks Ke b e rla nju ta n Ind e ks keb e r la n ju ta n A s p e k Eko n o mi
Re f e r e n c e s
A nc hors
Gambar 24. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi sebesar 56,23.
Besarnya subsidi
1.17
Besarnya pasar
0.11
Transfer keuntungan
variabel
0.47
Lembaga keuangan
2.66
Rata-rata penghasilan petani CLS-UMR
0.67
Rata-rata penghasilan petani CLS-non CLS
0.34
Kontribusi terhadap PDRB
0.67
Kelayakan finansial/ ekonomi
1.36 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Peran masing-masing variabel dimensi ekonomi dalam bentuk perubahan nilai RMS
Gambar 25.
Peran masing-masing Atribut Dimensi Ekonomi yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS.
Pada Gambar 26 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial sebesar 67,44. Nilai indeks tersebut berada di atas indeks keberlanjutan dimensi ekologi maupun ekonomi namun masih termasuk ke dalam kategori cukup
berkelanjutan.
Untuk
meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial, perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut.
60 UP
Sumbu Y setelah Rotasi
40
20
0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60 Sumbu X setelah Rotasi: Indeks Keberlanjutan Indeks Keberlanjutan Aspek Sosial
References
Anchors
Gambar 26. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya sebesar 67,44. Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 27, ada lima atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial. Dengan demikian atribut tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini meningkat di masa yang akan datang. Atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi sosial adalah sebagai berikut: (1) frekuensi konflik, (2) kelembagaan/kelompok tani (3) jumlah rumahtangga CLS, (4) persepsi masyarakat terhadap CLS, dan (5) frekwensi penyuluhan dan pelatihan. Di dalam kehidupan masyarakat petani di Kabupaten Sragen tidak dijumpai adanya konflik yang berarti dan tidak terlihat adanya potensi konflik yang berarti. Tidak terjadinya konflik terkait dengan sistem budaya dan adat istiadat yang bersifat kekeluargaan dan adanya tokoh informal maupun formal sebagai panutan. Dengan diterapkan usaha tani pola CLS dapat meningkatkan gotong royong dan kerukunan antar petani, mengingat
beberapa jenis kegiatan usaha tani pola CLS dikalukan secara bersama-sama dalam kelompoktani. Jumlah anggota rumahtangga petani pola CLS yang turut terlibat membantu mengelola usaha tani turut mempengaruhi keberhasilan usaha tani, mengingat diperlukan curahan waktu dan jumlah tenaga kerja yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan usaha tani pola konvensional. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam usaha tani berkisar antara 2-3 orang per keluarga. Keterlibatan anggota keluarga dalam usaha tani turut menghemat biaya upah tenaga kerja dari luar keluarga. Persepsi masyarakat turut mempengaruhi keberlanjutan usaha tani pola CLS, apabila masyarakat mempunyai persepsi yang positif diharapkan dapat mendukung pengembangan usaha tani CLS, dan sebaliknya apabila persepsi nya negatif. Intensitas penyuluhan dan pelatihan akan berpengaruh terhadap laju adopsi teknologi, sehingga semakin intensifnya penyuluhan akan mempercepat tumbuh berkembangknya usaha tani pola CLS. Peran kelembagaan/kelompok tani dalam usaha tani pola CLS sangat penting, mengingat beberapa jenis kegiatan harus dilakukan secara berkelompok, antara lain seperti pengolahan kompos, pengandangan ternak, pemasaran hasil dan sebagainya.
Lembaga layanan pemerintah
2.19
Kelembagaan/badan usaha/jasa
2.00
Kelembagaan/kelompok tani Variabel
3.73
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
2.37
Persepsi/peran masyarakat dalam usaha tani CLS
2.39
Frekuensi konflik
4.26
Pengetahuan tentang lingkungan
1.74
Jumlah rumahtangga CLS
3.02
Sosialisasi pekerjaan
0.47 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Peran masing-masing variabel dimensi sosial dalam bentuk perubahan nilai RMS
Gambar 27. Peran masing-masing Atribut Dimensi Sosial Budaya yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS Analisis Rap-CLS
pada setiap
dimensi (ekologi, ekonomi, dan sosial)
sebagaimana disajikan pada Gambar 22, 24, dan 26 memperlihatkan, bahwa dari ketiga dimensi yang dianalisis ternyata dimensi sosial memiliki indeks keberlanjutan paling tinggi, kemudian disusul oleh dimensi ekonomi, dan yang paling rendah adalah dimensi ekologi. Dari nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi hasil analisis Rap-CLS dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun dimensi pengelolaan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen yang termasuk kategori “baik” dan sebaliknya juga tidak ada satupun dimensi yang termasuk kategori “buruk”. Pada Gambar 28 memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda. Secara proporsional, terlihat indek keberlanjutan dimensi ekologi termasuk dalam kategori kurang keberlanjutan, sedangkan dimensi lainnya cukup berkelanjutan. Indek keberlanjutan dari masing-masing dimensi ini saling berinteraksi sehingga menjadi satu kesatuan indeks keberlanjutan. Dengan demikian perubahan pada satu dimensi akan mempengaruhi dimensi lain secara kohesif dan berpengaruh terhadap total indek keberlanjutan. Perhatian tidak hanya dilihat dari besaran masing-masing
dimensi, melainkan juga besarnya permasalahan pada atribut di setiap dimensi. Skor indek keberlanjutan dapat ditingkatkan dengan memperhatikan masing-masing atribut pada setiap dimensi yang dapat ditingkatkan kinerjanya. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti semua nilai indeks dari setiap dimensi harus memiliki nilai yang sama besar akan tetapi dalam berbagai kondisi daerah tentu memiliki prioritas dimensi yang lebih dominan untuk menjadi perhatian, namun prinsipnya adalah mengupayakan agar setiap dimensi tersebut berada pada kategori “baik” atau paling tidak “cukup” status keberlanjutannya.
56.23 Ekonomi 100 80 60 40 20 0
Sosial
Ekologi
67.44
49.55
Gambar 28. Diagram Layang (kite diagram) Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen Beberapa parameter statistik yang diperoleh dari analisis Rap-CLS dengan menggunakan metode MDS berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi. Tabel 14 menyajikan nilai “stress” dan R2 (koefisien determinasi) untuk setiap dimensi maupun multi-dimensi. Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi sebenarnya).
Tabel 14. Hasil Analisis Rap-CLS untuk Beberapa Parameter Statistik Usaha CLS. Nilai Statistik Multi Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Stress 0.15 0.13 0.16 0.14 R2 0.96 0.95 0.94 0.95 Jumlah iterasi 2 2 2 2 Sumber : Hasil analisis, 2005.
tani Pola
Berdasarkan Tabel 14 setiap dimensi maupun multi dimensi memiliki nilai “stress” yang jauh lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan bahwa nilai “stress” pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai jika diperoleh nilai 25% (Fisheries. Com, 1999). Karena semakin kecil nilai “stress” yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R2), kualitas hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1). Dengan demikian dari kedua parameter
(nilai “stress” dan R2) menunjukkan bahwa
seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan usaha tani Pola CLS Kabupaten Sragen sudah cukup baik dalam menerangkan ketiga dimensi pembangunan yang dianalisis (ekologi, ekonomi, dan sosial). Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total maupun masing-masing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis yang berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis (EPA 1997). Mekanisme untuk mendapatkan solusi tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Oleh karena itu menurut Bielajew (2001) proses perhitungan akan lebih cepat dan efisien jika menggunakan komputer. Nama “Monte Carlo” diambil dari nama kota “Monte Carlo” karena analisis Monte Carlo pada prinsipnya mirip dengan permainan rolet (roullet) di Monte Carlo. Permainan Rolet ini dapat berfungsi sebagai pembangkit bilangan acak yang sederhana. Analisis Monte Carlo sangat membantu di dalam analisis Rap-CLS untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masing-masing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda,
stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukan data atau ada data yang hilang (missing data), dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Pemberian skor pada analisis Rap-CLS hanya menunjukkan kondisi sesaat, sehingga dinamika yang terjadi di dalam sistem itu sendiri tidak dapat digambarkan secara detail. Oleh karena itu penilaian (pemberian skor) dapat didasarkan pada perkembangan atribut dalam kurun waktu tertentu dan atau perlu ada analisis tambahan yang dapat memberikan gambaran dinamika sistem yang berkelanjutan. Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total maupun masingmasing dimensi. Berdasarkan Tabel 15 dan Gambar 29, 30 dan 31 dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen pada selang kepercayaan 95% diperoleh hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan antara hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo. Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: (1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil; (2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; (3) proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil; (4) kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari. 60
Su m b u Y stelah R o tasi
40
20
0 0
20
40
60
80
100
-2 0
-4 0
-6 0 Su m b u X s e te lah Ro tas i: In d e k s k e b e r lan ju tan .
120
Gambar 29. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 persen Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi 49,95.
yang
60
S u m b u Y setelah Ro tasi
40
20
0 0
20
40
60
80
100
120
-2 0
-4 0
-6 0 S u m b u X se te la h Ro ta si: In d e ks Ke b e rla n ju ta n
Gambar 30. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 Persen Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi 54,99.
yang
60
S u m bu Y setelah Rotasi
40
20
0 0
20
40
60
80
1 00
1 20
-20
-40
-60 S u m bu X se te la h Rota si: Ind e ks Ke be rla n ju ta n
Gambar 31. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 Persen yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial 67,49. Tabel 15.Hasil Analisis Monte Carlo untuk nilai IkB-CLS dan masing-masing Dimensi Usaha tani Pola CLS pada Selang Kepercayaan 95% di Kabupaten Sragen. Status Indeks IkB-CLS Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial-Budaya Sumber: Hasil Analisis, 2005.
Hasil MDS 53,21 49,55 56,23 67,44
Hasil Monte Carlo 54,01 49,95 54,99 67,49
Perbedaan 0,80 0,40 1,24 0.05
Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada Tabel 15 menunjukkan bahwa analisis Rap-CLS dengan menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan usaha tani pola CLS yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa metode analisis Rap-CLS yang dilakukan dalam kajian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara cepat (rapid appraisal) keberlanjutan dari kegiatan usaha tani di suatu wilayah/daerah.
4.5.2. Perumusan Strategi Pengembangan Usaha tani CLS Berdasarkan hasil analisis fungsi produksi dan fungsi keuntungan usaha tani padi, analisis kelayakan finansial dan ekonomi, analisis peran kelembagaan petani
dapat
diketahui bahwa usaha tani pola CLS merupakan pola alternatif dalam penerapan pembangunan
pertanian
secara
berkelanjutan.
Usaha
tani
pola
CLS
mampu
meningkatkan produksi dan produktivitas usaha tani, meningkatkan pendapatan dan melestarikan sumber daya alam dan lingkungan. Hal ini sejalan dengan pendapat Salikin K.A. (2003) bahwa sistem pertanian masa depan adalah sistem pertanian berkelanjutan yang diindikasikan dengan tingkat produksi yang terus meningkat dengan biaya yang konstan atau menurun. Guna merumuskan pengembangan usaha tani pola CLS di masa mendatang, terlebih dahulu dilihat potensi pengembangan CLS di Indonesia.
Pulau Jawa dapat
dijadikan sebagai contoh gambaran sumberdaya lahan sawah dan ternak sapi yang sangat
potensi
dikembangkan
CLS.
Kegiatan
pertanian
pola
CLS
dengan
mengintegrasikan usaha tani padi dengan penggemukan ternak sapi potong sudah berkembang terutama di Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur, sedangkan di Provinsi Jawa Barat belum berkembang, tetapi memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan/diterapkan usaha tani pola CLS. Secara keseluruhan lahan sawah yang berpotensi untuk dikembangkan usaha tani pola CLS di Pulau Jawa cukup tersedia, dimana luas lahan sawah sebanyak 2,87 juta hektar. Luas panen padi sawah di Pulau Jawa pada tahun 2003 seluas 4,70 juta hektar atau 45,24 % dari luas panen padi di Indonesia dengan kontribusi terhadap produksi gabah nasional mencapai 25,46 juta ton gabah atau sebesar 51,56 % (Deptan, 2004). Dilihat dari kontribusi produksi gabah dan luas panen tersebut terlihat bahwa rata-rata produksi gabah di Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Sedangkan produktivitas gabah di Pulau Jawa ratarata sebesar 5,23 ton/ha lebih tinggi dibangdingkan dengan rata-rata nasional sebesar 4,25 ton/ha. Bahkan di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur produktivitas gabah mencapai lebih dari 5,35 ton/ha. Limbah padi yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah dedak, merang dan jerami. Bila diasumsikan produksi dedak kasar dan halus sebesar 6,5 % dari produksi gabah, maka potensi pakan ternak dari dedak di Pulau Jawa sebanyak 1,88 juta ton dan
bila produksi jerami 6 ton/ha/musim diperkirakan produksi jerami sebanyak 34,5 juta ton pertahun, maka bahan baku jerami sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak sapi potong di Pulau Jawa. Demikian pula apabila dilihat potensi ternak sapi potong, dimana populasi sapi potong di Pulau Jawa pada tahun 2003 sebanyak 4,31 juta ekor. Populasi sapi potong tersebut mencapai 40,3 % dari populasi ternak nasional dan sebagian besar berada di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Deptan, 2004). Dari populasi ternak 5 juta ekor akan diperoleh kotoran sekitar 136,9 ribu ton perhari, berat kering pupuk lebih dari 22,8 ribu ton perhari, sehingga produksi pupuk setiap tahunnya diperkirakan 7,9 juta ton. Bila tanaman padi membutuhkan pupuk kandang per hektar sebesar 1,5 ton.musim tanam (2 kali musim tanam pertahun), maka produksi pupuk kandang tersebut mampu mencukupi kebutuhan pupuk seluas 2,63 juta hektar atau sekitar 90 % dari luas lahan sawah di Pulau Jawa. Potensi sumberdaya pertanian tersebut sampai sekarang belum dikembangkan secara baik, dan apabila dikembangkan secara tepat akan berdampak positif terhadap pendapatan petani, menggerakan perekonomian dan kelestarian lingkungan. Untuk itu diperlukan terobosan melalui gerakan nasional pembangunan pertanian berkelanjutan melalui pemanfaatan sumberdaya lokal dan meminimalisir penggunaan input dari luar. Berdasarkan hasil analisis indek dan status keberlanjutan usaha tani pola CLS ada 13 atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen. Selanjutnya atribut-atribut tersebut dijadikan sebagai faktor penting dalam perumusan kebijakan dan strategi pengembangan usaha tani pola CLS pada masa yang akan datang.
Atribut–atribut yang menjadi faktor penting dalam perumusan
kebijakan dan skenario strategi pengembangan usaha tani pola CLS adalah: (1) Sistem pemeliharaan ternak sapi, (2) Kepadatan ternak sapi, (3) Tingkat penggunaan pupuk dan pestisida, (4) Pemanfaatan jerami untuk pakan ternak sapi, (5) Pemanfaatan limbah ternak sapi, (6) Frekuensi konflik, (7) Kelembagaan/Kelompok tani, (8) Jumlah rumahtangga CLS, (9) Persepsi masyarakat terhadap CLS, (10) frekwensi penyuluhan dan pelatihan, (11) Lembaga keuangan, (12) Kelayakan finansial-ekonomi dan (13) Subsidi. Selanjutnya faktor-faktor penting tersebut didefinisikan dan dideskripsikan evolusi kemungkinannya di masa depan. Pada Tabel 16 disajikan kondisi faktor-faktor kunci/penentu pengembangan usaha tani pola CLS dengan berbagai keadaan (state) untuk setiap faktor dan program atau tindakan yang perlu dilaksanakan sehingga nilai
indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS dapat ditingkatkan lebih tinggi dari kategori sebelumnya, yaitu menjadi kategori “baik” atau “cukup” berkelanjutan. Tabel 16. Kondisi skor 13 dari 26 atribut yang sensitif berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen. Dimensi dan Atribut
Kondisi Skor
Program/Tindakan
I.
Dimensi ekologi
1.
Tingkat penggunaan pupuk/ pestisida kimia Pemanfaatan limbah ternak sapi untuk pupuk kandang
Melebihi standar
3.
Pemanfaatan limbah jerami untuk pakan ternak sapi
Sebagian besar dimanfaatkan
4.
Sistem Pemeliharaan ternak sapi Kepadatan ternak (ekor ternak/ 1000 orang)
<10% yang diumbar/liar
Kelayakan finansial/ekonomi
Untung /layak
8.
Lembaga keuangan (bank/kredit) Besarnya subsidi
Ada tapi menjangkau sebagian kecil petani. sedikit
III.
Dimensi Sosial-Budaya
2.
5.
II. 6. 7.
9.
10. 11. 12. 13.
Dimensi Ekonomi
sebagian besar dimanfaatkan
Sangat padat
Jumlah rumah tangga petani CLS Frekwensi konflik
25%-50% dari total jumlah rumah tangga di Sragen Tidak ada
Persepsi/peran masyarakat dalam usaha tani CLS Frekwensi penyuluhan dan pelatihan Kelembagaan/Kelompok tani
Positif Sekali dalam setahun >75% punya/menjadi anggota kelompoktani
Kurangi penggunaan pupuk/ pestisida kimia Tingkatkan dengan cara meningkatkan jumlah petani ikut menerapkan CLS Tingkatkan dengan cara meningkatkan jumlah petani ikut menerapkan CLS Terapkan pengelolaan ternak secara intensif Pengelolaan dengan intensif dengan sarana yang mendukung Pertahakan/tingkatkan kelayakannya Tingkkatkan akses petani memperoleh permodalan Kurangi/hapus subsidi dengan kompensasi perbaiki infrastruktur dan regulasi Sosialisasi kepada petani non CLS Pertahankan agar tidak terjadi konflik Pertahankan mendukung pola CLS Tingkatkan penyuluhan dan pelatihan Tingkatkan jumlah keanggotaan kelompoktani.
Hasil analisis prospektif pada Gambar 32 menunjukkan terdapat empat faktor kunci yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usaha tani Pola CLS, yaitu (1) kelembagaan/kelompok tani, (2) subsidi, (3) tingkat penggunaan pupuk/ pestisida, dan (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak. Empat faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang memiliki pengaruh yang besar terhadap tujuan pengembangan usaha tani Pola CLS dan ketergantungan antar faktor tersebut rendah.
Disamping itu ada lima faktor
penghubung (stake), dimana faktor tersebut memiliki pengaruh dan ketergantungan yang tinggi adalah: (1) sistem pemeliharaan, (2) lembaga keuangan, (3) frekwensi penyuluhan dan pelatihan, (4) pemanfaatan limbah ternak, dan (5) kelayakan finansial/ekonomi. Faktor-faktor
kunci
ini
perlu
mendapat
perhatian
dalam
perumusan
kebijakan
pengembangan usaha tani Pola CLS agar keberlanjutannya pada masa yang akan datang dapat terjamin. Faktor bebas dengan tingkat pengaruh dan ketergantungan yang rendah antara lain jumlah rumah tangga petani-peternak CLS, kepadatan ternak dan frekwensi konflik. Walaupun jumlah anggota rumah tangga peternak berpengaruh terhadap penyediaan tenaga kerja usaha tani CLS dan keberlanjutan usaha tani CLS, namun kondisi rumah tangga yang ada di lapangan menunjukkan kondisi ideal pengelolaan usaha tani CLS skala rumah tangga. Kepadatan ternak di lokasi penelitian termasuk sangat padat dan pengelolaan ternak telah diusahakan secara intensif. Mengingat tidak terjadi konflik di lapangan, sehingga frekwensi konflik menjadi faktor bebas tidak berpengaruh dan ketergantungan dengan faktor yang lain. Persepsi masyarakat akan semakin positif atau sebaliknya terhadap usaha tani pola CLS dengan ketergantungan yang tinggi dengan faktor-faktor lain secara kohesif.
Gambar 32. Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Diuji Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
2.50
2.00
Sistem Pemeliharaan
Pengaruh
Lembaga Keuangan Kelembagaan/Kelompok Tani
1.50
Frekuensi penyuluhan
Subsidi pemanfaatan limbah ternak Kelayakan Finansial/ ekonomi
Penggunaan Pupuk/Pestisida
1.00 Pemanfaatan Jerami
0.50 Jumlah Rumahtangga CLS Kepadatan ternak Frekwensi konflik
-
0.20
0.40
0.60
0.80
persepsi masyarakat
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
Ketergantungan
Dalam rangka pengembangan pertanian berkelanjutan usaha tani pola CLS, perumusan kebijakan dan strategi yang perlu dilakukan adalah dengan memfokuskan
kepada empat faktor kunci tersebut dan memperhatikan faktor penghubung. Rancangan program dan kebijakan disusun dengan mengemas empat faktor kunci dan faktor penghubung menjadi satu kebijakan yang memadukan faktor tersebut melalui suatu gerakan pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Selanjutnya faktor kunci tersebut didefinisikan dan dideskripsikan evolusi kemungkinannya di masa depan. Pada Tabel 17 disajikan prospektif faktor-faktor kunci/penentu pengembangan usaha tani pola CLS dengan berbagai keadaan (state) untuk
setiap faktor. Berdasarkan keadaan (state)
setiap faktor, maka dirumuskan
berbagai skenario strategi dengan cara memasangkan perubahan yang akan terjadi dan menganalisis implikasinya.
Dari hasil tersebut dirumuskan tiga skenario strategi
pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen yaitu: (1) skenario konservatifpesimistik; (2) skenario moderat-optimistik; dan (3) skenario progresif-optimistik (Tabel 18). Jumlah skenario strategi yang dapat dirumuskan dalam rangka pengembangan usaha tani pola CLS bisa lebih dari tiga skenario, namun keadaan (state) dari masing-masing faktor penentu/kunci kemungkinan yang paling besar diperkirakan akan terjadi di masa yang akan datang adalah ketiga skenario tersebut. Tabel 17.
Prospektif faktor-faktor kunci/penentu pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen.
No. 1.
2.
3.
Faktor kelembagaan/kelompok tani
subsidi tingkat penggunaan pupuk/ pestisida kimia
1A Keanggoatan rendah dan kelompoktani kurang berperan terhadap pengembangan CLS.
2A
Keadaan (State) 1B
1C
Berperan menerapkan konsep pembangunan berlanjutan secara bertahap
Berperan dominan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan
2B
2C
Dikurangi secara bertahap
Tidak ada subsidi sama sekali
Tetap
Berkurang
Berkurang mengacu standar teknis kebutuhan hara setempat
Tetap
3A
3B
3C
4.
Pemanfaatan jerami untuk pakan ternak
4A
4B
Tetap
Meningkat
5.
Sistem pemeliharaan ternak
5A
5B
5C
Tetap
Tetap
Meningkat
6.
Lembaga keuangan
6A
6B
6C
Semakin menjangkau
Mudah
7B
7C
Tersedia dan sedikit menjangkau
7A
4C
Meningkat/lestari
7.
Frekwensi penyuluhan dan pelatihan
Tetap
Meningkat
Meningkat/intensif
8.
Pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk
8A
8B
8C
Tetap
Meningkat
Meningkat/lestari
9A
9B
9C
Meningkat
Meningkat/sangat layak
9.
Kelayakan finansial dan ekonomi Sumber: Hasil Analisis 2005.
Tetap
Tabel 18 Hasil analisis skenario strategi pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen. No. Skenario Strategi 1. Konservatif-pesimistik 2. Moderat-optimistik 3. Progresif-optimistik Sumber: Hasil Analisis 2005.
Urutan Faktor 1A; 2A; 3A; 4A;5A;6A;7A;8A;9A 1B; 2B; 3B; 4B; 5A;6A;7A;8A;9A 1C; 2C; 3C; 4C; 5A;6A;7A;8A;9A
Skenario Konservatif- Pesimistik Skenario konservatif-pesimistik dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing condition) dari usahatai pola CLS di wilayah Kabupaten Sragen dan tidak ada perubahan dan tidak memiliki prospek di masa mendatang. Skenario konservatif-pesimistik dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor kunci/penentu dengan kondisi: yaitu (1) tidak ada perkembangan jumlah kelompoktani dan anggotanya yang menerapkan pola CLS, kelompoktani yang menerapkan pola CLS sangat pasif/statis, (2) subsidi yang diberikan pemerintah tidak fokus sesuai kebutuhan setempat, tidak ada kredit program untuk modal petani, bahkan tidak ada yang menjembatani petani mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan pupuk/ pestisida masih melebihi standar teknis yang ada, (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak belum optimal dan sebagian petani belum mengolah jerami untuk pakan ternak, (5) sistem pemeliharaan tetap, (6) lembaga keuangan sedikit menjangkau masyarakat, (7) frekwensi penyuluhan dan pelatihan tetap, (8) pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk tetap/ tidak ada peningkatan, dan (9) tidak ada peningkatan kelayakan finansial/ekonomi. Penerapan skenario koservatif-pesimistik ini akan memberikan implikasi berupa: (1) usaha tani pola CLS tidak berkembang, (2) tidak ada lagi peningkatan produktivitas padi, ternak rendah, (3) petani kesulitan memperoleh kemudahan dan akses ke permodalan, (4) limbah jerami tidak dimanfaatkan, sehingga mengganggu kebersihan dan
keindahan lingkungan, (5) penyerapan tenaga kerja rendah, (6) produksi dan pendapatan petani rendah. Skenario Moderat-Optimistik Skenario moderat-optimistik mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi diperhitungkan dengan penuh pertimbangan
sesuai dengan
keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki serta berkeyakinan pengembangan yang dapat dilakukan. Skenario ini dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor kunci/penentu dengan kondisi sebagai berikut: (1) terdapat peningkatan peran kelompoktani dan jumlah anggotanya dalam menerapkan pola CLS, (2) subsidi yang diberikan pemerintah dikurangi secara bertahap dan digantikan dengan pendampingan petani mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan pupuk/pestisida sesuai standar teknis dan mulai memanfaatkan pupuk organik, (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak ditingkatkan, (5) sistem pemeliharaan tetap, (6) lembaga keuangan semakin menjangkau masyarakat, (7) frekwensi penyuluhan dan pelatihan meningkat, (8) meningkatnya pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk, dan (9) meningkatnya kelayakan finansial/ekonomi. Penerapan skenario moderat-optimistik ini akan memberikan implikasi berupa: (1) usaha tani pola CLS menjadi berkembang, (2) produktivitas padi dan ternak meningkat, (3) ketergantungan petani terhadap subsidi berkurang (4) limbah pertanian dimanfaatkan meningkat walaupun belum penuh/lestari, (5) terjadi penyerapan tenaga kerja, (6) produksi dan pendapatan petani meningkat. Skenario Progresif-Optimistik Skenario progresif-optimistik mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi mendapat dukungan secara maksimal dari
setiap faktor
kunci/penentu, mempunyai pemikiran yang sangat maju dan optimisme bahwa usaha tani pola CLS merupakan solusi pengembangan pertanian di masa mendatang. Skenario progresif-optimistik
dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor
kunci/penentu dengan kondisi: (1) peran kelompoktani dan anggotanya sangat dominan dalam menerapkan pola CLS, (2) tidak ada subsidi dari pemerintah karena petani secara mandiri mampu mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan pupuk/pestisida sesuai standar teknis dan memanfaatkan pupuk organik secara penuh/lestari, (4) limbah jerami
dimanfaatkan secara penuh/lestari, (5) sistem pemeliharaan sangat intensif, (6) lembaga keuangan banyak menjangkau masyarakat, (7) meningkatnya frekwensi penyuluhan dan pelatihan, (8) peningkatan pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk secara lestrai, dan (9) meningkatnya kelayakan finansial/ekonomi (sangat layak). Penerapan skenario progresif-optimistik ini akan memberikan implikasi berupa: (1) usaha tani pola CLS sudah berkembang, (2) produktivitas padi dan ternak meningkat, (3) kemandirian petani terhadap permodalan dan modal mudah diperoleh, (4) tidak ada lagi limbah yang tidak dimanfaatkan, pengelolaan lingkungan secara lestari,
(5) terjadi
penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan petani. Berdasarkan hasil analisis prospektif, strategi yang dapat digunakan untuk pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen adalah strategi moderatoptimistik. Adapun faktor penentu/kunci untuk mengimplementasikan strategi tersebut ada empat faktor kunci yang memiliki pengaruh yang tinggi dan ketergantungan yang rendah adalah: (1) peran kelompoktani dan anggotanya dalam menerapkan pola CLS, (2) subsidi pemerintah dan pendampingan petani mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan pupuk/pestisida dan pemanfaatan pupuk organik, dan (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak. Sedangkan faktor kunci yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang tinggi adalah: (1) sistem pemeliharaan, (2) lembaga keuangan, (3) frekwensi penyuluhan dan pelatihan, (4) pemanfaatan limbah ternak, dan (5) kelayakan finansial/ekonomi. Guna mempercepat gerakan pembangunan pertanian berkelanjutan perlu dilakukan melalui pendekatan kelembagaan. Rekayasa kelembagaan dikembangkan tidak harus membentuk organisasi yang baru dan menghilangkan kesan yang bersifat arahan top down melainkan gerakan yang dimulai dari kesadaran bersama dengan memanfaatkan kelembagaan yang ada. Kelembagaan petani berupa kelompoktani ditingkatkan perannya menjadi wadah seluruh aktivitas anggota sehingga terjadi proses pembelajaran diantara anggota. Kelompoktani-kelompoktani atas kesadaran bersama dapat membentuk gabungan kelompoktani atau asosiasi kelompoktani guna mempermudah membangun jaringan (networking) dengan pihak luar. Peran kelompoktani diharapkan dapat ditingkatkan menjadi lembaga ekonomi yang berorientasi bisnis. Di dalam program CLS sangat berpeluang untuk dibentuk unit-unit usaha bisnis. Melalui manajemen yang baik dengan mengembangkan unit pengolahan dan pengadaan pakan lengkap (Complete feed), unit pengolahan pupuk organik dan unit pengadaan pemasaran hasil dapat dijadikan peluang bisnis yang menguntungkan. Secara
bertahap kegiatan kelembagaan petani dikembangkan sejalan dengan semakin besarnya skala usaha tani CLS. Untuk memperkuat posisi tawar petani maka kegiatan usaha tani dan kelembagaan harus menunjukkan tingkat efisiensi secara finansial, kontinuitas dan kualitas produk yang dihasilkan dapat dijamin. Dengan demikian, dalam jangka panjang kelembagaan petani diarahkan dalam rangka peningkatan partisipasi dan kemandirian petani serta meningkatkan berfungsinya kelembagaan agribisnis di perdesaan yang lebih dinamis dan mandiri. Usaha tani CLS ini merupakan pola transisi menuju padi organik atau biasa disebut pertanian semi organik. Sehingga perlu dilakukan gerakan penggunaan pupuk alami yang diperoleh dari limbah atau sumberdaya alam yang ada di sekitarnya serta mengurangi penggunaan pupuk/pestisida kimia.
Penggunaan pakan konsentrat untuk ternak sapi
dapat dikurangi dan digantikan dengan penggunaan jerami atau limbah apapun yang ada di sekitar diolah untuk pakan ternak. Pada prinsipnya pertanian berkelanjutan adalah memanfaatkan sumberdaya lokal sebagai input usaha tani dengan biaya yang relatif minimum dan mengurangi penggunaan input kimia dari luar sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan menjaga kelestarian lingkungan dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan pendapat Salikin K.A (2003) yang menyatakan manajemen baru sistem pertanian berkelanjutan adalah berorientasi bukan pada produk dan bersifat jangka pendek melainkan berorientasi pada ekonomi dan lingkungan serta bersifat jangka panjang. Pengembangan usaha tani pola CLS ini sangat spesifik lokasi, masing-masing wilayah memiliki keunikan sendiri-sendiri. Jenis integrasi komoditas, sumberdaya yang ada dan teknik pengelolaannya bervariasi bervariasi antar daerah, dengan demikian operasionalisasi usaha tani pola CLS sesuai dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Namun demikian, mengingat pembangunan pertanian dengan polapola sejenis CLS mencakup aspek yang multi dimensi dan terbukti mampu menjawab permasalahan pembangunan pertanian secara berkelanjutan, maka diperlukan kebijakan nasional yang mampu memberikan iklim kondusif bagi pengembangan usaha tani polapola integrasi baik secara vertikal maupun horisontal. Kebijakan tersebut dalam dilakukan dalam kerangka regulasi maupun kerangka anggaran. Regulasi diperlukan untuk penentuan standar, norma dan pedoman pengembangan pertanian berkelanjutan, sedangkan kerangka anggaran diperlukan untuk inovasi teknologi dan diseminasi ke masyarakat petani, anggaran untuk penyediaan sarana publik dan lainnya guna menstimulasi investasi swasta dan masyarakat dalam usaha tani ini.
Guna mempercepat proses sosialisasi pola-pola integrasi, pemerintah secara bersama-sama masyarakat pertanian perlu melakukan gerakan nasional dalam rangka pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Kegiatan penyuluhan dan pembinaan perlu dilakukan guna mendorong peran aktif swasta di bidang pertanian dan masyarakat petani untuk mengembangkan pola-pola sejenis CLS maupun pola-pola integrasi usaha pertanian secara vertikal maupun horisontal yang spesifik lokasi.
V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Simpulan 1. Guna meningkatkan produksi padi sawah dan keuntungan usaha tani di Kabupaten Sragen perlu memperhatikan penggunaan faktor produksi secara efisien. Faktor produksi tersebut antara lain: benih, pupuk urea, TSP, KCl, pupuk kandang dan lainnya.
Keuntungan usaha tani disamping ditentukan oleh faktor produksi, juga
ditentukan oleh harga padi dan faktor produksi. Pengelolaan usaha tani dalam skala yang lebih luas dapat menghemat penggunaan input dan meningkatkan produksi padi sebesar 17,7% serta keuntungan sebesar 15,6% lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sempit. Penerapan usaha tani padi sawah pola CLS meningkatkan produksi padi sebesar 23,6% dan keuntungan sebesar 14,7% lebih tinggi dibandingkan usaha tani padi sawah pola non CLS. 2. Usaha tani pola CLS memberikan
harapan bagi petani lahan sempit untuk
meningkatkan produksi dan keuntungan usaha taninya dengan memperhatikan skala luas lahan yang dikelola bersama. Penerapan usaha tani padi sawah pola CLS lebih dari dua tahun memberikan keuntungan 17,3% lebih tinggi dibandingkan dengan penerapan pola CLS kurang dari dua tahun. Penggunaan pupuk kandang turut meningkatkan produksi padi sawah pola CLS dengan koefisien sebesar +0,125 dan keuntungan sebesar +0,134. 3. Kelayakan finansial usaha tani pola CLS lebih tinggi dari pada non CLS. Kelayakan ekonomi usaha tani pola CLS jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelayakan finansial. Manfaat usaha tani pola CLS meningkatkan pendapatan petani, memperbaiki kesuburan lahan, kualitas air dan udara serta menciptakan keserasian lingkungan sosial budaya masyarakat. 4. Peran kelembagaan kelompoktani pada usaha tani pola CLS masih terbatas pada pengelolaan usaha secara bersama, belum mampu menyediakan kebutuhan sarana, permodalan dan pemasaran hasil dari petani anggota. 5. Nilai Indeks Keberlanjutan Usaha tani Pola CLS (IkB-CLS) di Kabupaten Sragen secara multidimensi sebesar 53,21 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang berarti termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan. Nilai paling tinggi pada dimensi sosial-budaya sebesar 67,44 (cukup berkelanjutan),
kemudian dimensi ekonomi
sebesar 56,23 (cukup berkelanjutan), dan yang paling rendah dimensi ekologi sebesar
49,55 (kurang berkelanjutan). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa metode Rap-CLS cukup baik untuk dipergunakan sebagai salah satu alat untuk mengevaluasi keberlanjutan usaha tani pola CLS di suatu daerah/wilayah secara cepat (rapid appraisal). 6. Terdapat 13 atribut yang menjadi faktor penting dalam perumusan kebijakan dan strategi pengembangan usaha tani pola CLS di masa mendatang, dimana ada empat faktor yang memiliki pengaruh tinggi dan ketergantungan yang rendah adalah: (1) kelembagaan/kelompok tani, (2) subsidi pemerintah, (3) tingkat penggunaan pupuk/ pestisida, dan (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak. Sedangkan faktor yang berpengaruh tinggi dan tingkat ketergantungan yang tinggi adalah: (1) sistem pemeliharaan ternak sapi, (2) lembaga keuangan, (3) frekuensi penyuluhan dan pelatihan, (4) pemanfaatan limbah ternak, dan (5) kelayakan finansial dan ekonomi. Penerapan skenario moderat-optimistik ini akan memberikan implikasi berupa: (1) usaha tani pola CLS menjadi berkembang, (2) produktivitas padi dan
ternak
meningkat, (3) ketergantungan petani terhadap subsidi berkurang (4) limbah pertanian dimanfaatkan secara lestari, (5) terjadi penyerapan tenaga kerja, (6) produksi dan pendapatan petani meningkat. 5.2. Rekomendasi 1. Peningkatan efisiensi skala ekonomi usaha tani padi sawah pola CLS dapat dilakukan dengan pendekatan kelompok melalui perbaikan manajemen usaha tani. Efisiensi penggunaan faktor produksi pada usaha tani pola CLS dapat dilakukan dengan menggunakan
pupuk kandang/kompos per satuan luas sesuai standar teknis
kebutuhan hara serta mengurangi penggunaan pupuk urea secara bertahap. 2. Nilai IkB-CLS
di Kabupaten Sragen yang termasuk ke dalam kategori cukup
berkelanjutan perlu ditingkatkan melalui perbaikan masing-masing atribut pada setiap dimensi pembangunan berkelanjutan berikut ini: (1) kepadatan ternak tetap dipertahankan/ditingkatkan dengan sistem pemeliharaan ternak intensif, penggunaan pupuk/pestisida
kimia
dikurangi,
ditingkatkan
(dimensi
dipertahankan/ditingkatkan,
pemanfaatan
ekologi); subsidi
(2) pemerintah
jerami
sebagai
kelayakan dikurangi
pakan
ternak
finansial-ekonomi digantikan
dengan
kemudahan-kemudahan akses permodalan, menyediakan lembaga keuangan yang
mudah diakses (dimensi ekonomi); dan (3) meningkatkan peran kelompoktani, mempertahankan tidak terjadinya konflik (dimensi sosial) 3. Pemberian skor pada analisis Rap-CLS hanya menunjukkan kondisi sesaat, sehingga dinamika dari atribut-atribut dalam kurun waktu tertentu belum dapat digambarkan. Oleh karena itu penilaian (pemberian skor) dapat didasarkan pada perkembangan atribut dalam kurun waktu tertentu dan atau perlu dilakukan analisis tambahan seperti analisis kebutuhan pada pihak terkait yang dapat memberikan gambaran dinamika sistem yang berkelanjutan. Selanjutnya analisis pengembangan di masa mendatang dapat dilakukan analisis secara dinamis berdasarkan goal oreinted. 4. Diperlukan
kebijakan
pemerintah
dan
gerakan
nasional
guna
mendorong
pengembangan pertanian secara berkelanjutan melalui penggunaan sarana produksi yang memanfaatkan sumber daya lokal secara efisien serta mengurangi penggunaan pupuk an-organik dan pestisida kimia. Usaha tani pola CLS sangat spesifik lokasi, pola sejenis CLS ini dapat dikembangkan pada daerah lain dengan memperhatikan sumberdaya dan faktor produksi spesifik lokasi. Pengembangan pola-pola sejenis CLS disesuaikan dengan lingkungan ekologi, ekonomi serta kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA Abbas, S., A. Halim dan T. A. Subiarti. 1985. Dalam Monografi Limbah Hasil Pertanian. Kantor Menmud Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Jakarta. p.59. Adnyana, O. , I. Kariyana. 1999. Prospek dan Kendala Agribisnis Sapi Potong di Indonesia Memasuki Era Globalisasi Ekonomi. Dalam Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku III. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Arief, S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. UI-Press. Jakarta. Askary, M. 2001. Panduan Umum Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan untuk Penyusunan AMDAL. Bapedal. Jakarta. [Badan Litbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002. Pedoman Umum Kegiatan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu 2002 – 2004. Departemen Pertanian. Jakarta. P.6. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Sragen Dalam Angka 2003. Kerjasama Bappeda dan BPS Kabupaten Sragen. Jawa Tengah. Basri, I., M. Ali dan H. Nasrul. 1993. Elastisitas Produksi Padi Sawah Dataran Tinggi di Sumatera. Dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Bielajew AF. 2001. Fundamental of the Monte Carlo Method for Nuetral and Charged Particle Transpot. Departement of Nuclear Engineering and Radiological Sciences. The University of Michingan. Ann Arbor. Byl R, Trainmar, Guadeloupe. 2002. Strategic Planning Using Scenario. Presented at IAME 2002 Conference. Panama City. Panama.
Paper to
[Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 20052009. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian Tahun 2004. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002a. Profil Pembangunan Pertanian Menjelang 100 Tahun. Jakarta. p.144 dan 167. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002b. Pembangunan Sistem Agribisnis sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Jakarta. p.10-14. [Deptan] Departemen Pertanian. 2001. Program Pembangunan Pertanian Tahun 20012004. Jakarta. p.9.
Devendra, C., Thomas D., Jabbar M.A. and Kudo H. 1997. Improvement of Livestock Production in Crop-Animal Systems in Rainfield Agro-ecological Zones of SounthEast Asia. International Livestock Research Institute (ILRI). Nairobi, Kenya. [Ditjen Nak] Ditjen Peternakan kerjasama Australian Meat and Livestick Corporation (AMLC) dan APFINDO. 1996. Petunjuk Teknis Penggemukan Sapi Australia. Jakarta. P.70. [Disnak] Dinas Peternakan Jawa Tengah. 1998. Statistik Peternakan Jawa Tengah. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah. Ungaran. [Dinas KP] Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen. 2005. Profil Padi Organik di Kabupaten Sragen. Sragen. Jawa Tengah. Diwyanto, K., R.P. Bambang, dan L.Darwinsyah. 2001. Integrasi Tanaman-Ternak dalam Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing, Berkelanjutan dan Berkerakyatan. Dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner September 2001. Bogor. Puslitbang Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor. Djojodipuro, M. 1991. Teori Harga. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta. D. Juanda J.S., B.R. Marhening, Samijan, dan S. Jauhari. 2003. Peluang Efisiensi Penggunaan dan Biaya Pupuk Pada Lahan Sawah Berdasarkan Status Hara Tanah (Kasus Di Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap). Prosiding Seminar Pengelolaan Lingkungan Pertanian 21 Oktober 2003. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Dyah, A.W. 1983. Persepsi Staf Pengajar dan Tugas Pimpinan Perguruan Tinggi tentang Pengabdian Masyarakat. [Tesis] Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Ella, A. 2001. Crop-Livestock System di Sulawesi Selatan: Suatu Tinjauan Pelaksanaan Kegiatan. Dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner September 2001. Bogor. IP2TP Gowa. Sulawesi Selatan. EPA.
1997. Guiding Principle of Monte Carlo Analysis. EPA/630/R-97/001. Risk Assesment Forum. US. Environmental Protection Agency. Wahsington D.C.
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. FAO. 2001. World Markets for Organic Fruit and Vegetables: Opportunity for Developing Countries in the Production and Export of Organic Horticultural Products. Rome. Fauzi A, Anna S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan. Aplikasi Pendekatan Rapfish (kasus: Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol.4.
Fisheries.com. 1999. Rapfish Project. http:/fisheries.com/project/rapfish.htm. Giddens, A. 2000. Jalan Ketiga, Pembaharuan Demokrasi Sosial. Pustaka Utama. Jakarta.
PT. Gramedia
Godet M. 1999. Scenarios and Strategis. A Toolbox For Scenario Planning. Librairie des Arts et Metiers. Paris. France. Gujarati, D dan S. Zain. 1997. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta. Haeruman, H. 1979. Perencanaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup IPB. Bogor. Hartisari H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Propektif. Fakultas Teknologi Pertanian. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hernanto, F. 1991. Ilmu Usahatani. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Hufschmidt, M.M., D.E. James, A.D. Meister, BT.Bower and J.A. Dixon. 1983. Environment, Natural Systems, and Development – An Economic Valuation Guide. The John Hopkins University Press Baltimore and London. Hufschmidt, M.M., and J.A. Dixon. 1986. An Economic Valuation Techniques For The Environment: A Case Study Workbook. The John Hopkins University Press. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan: Suatu Buku Kerja Studi Kasus. Reksohadiprodjo, Soekanto. penerjemah, Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. [IRRI] International Rice Reseach Institute and The Philipine Ministry of Agricultre and Food. 1986. The Asean Rice farming Systems Working Group. 5-11 October 1986. Bangkok. Thailand. [IRRI] International Rice Reseach Institute. 2003.World Rice Statistics. Metro Manila. Philippines. (http://www.irri.org/science/ricestat/index.asp). 15 April 2003 (data olahan). Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek: Analisa Ekonomis. Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Lembaga Penerbit Fakultas
Kasryno, F. 1998. Pemanfaatan dan Pengolahan Sumberdaya Pangan dan Lingkungan Hidup serta Ketersediaan Iptek Pertanian untuk Mendukung Pembangunan Pangan dan Gizi Nasional Berkelanjutan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. LIPI. Jakarta. Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Discription (for Microsft Excel). University of British Columbia. Fisheries Centre. Vancouver.
Mersyah. R. 2005. Desain Sistem Budidaya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan. (Disertasi). IPB. Bogor. Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Mulya, S,H, Ade R, Arti, D., Agus G., Triny dan Iwan J. 2003. Dampak Pengelolaan Tanaman Terpadu Terhadap Kelestarian Lingkungan Pertanian. Prosiding Seminar Pengelolaan Lingkungan Pertanian 21 Oktober 2003. Universitas sebelas Maret. Surakarta. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development, World Bank Environment Paper no.3. Washington, DC. USA. OECD.
1993. Coastal Zone Management. Integrated Policies. Economic Co-operation and Development. Paris.
Organization for
Pakpahan, A. 1980. Analisis Fungsi Produksi Usahatani untuk Menunjang Pengembangan Daerah Aliran Sungai Cimanuk. JAE Vol 1 No.2, Mei 1982. Peraturan Pemerintah. No. 28 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. Pramono, D., U. Nuschati. B. Utomo. dan J. Susilo. 2001. Pengkajian Terintegrasi Sapi Potong Perbibitan dan Tanaman dalam Sistem Usahatani Terpadu. BPTP Jawa Tengah. Ungaran. Jawa Tengah. Prasetyo, T., H. Anwar., dan H. Supadmo. 2001. Integrasi Tanaman-Ternak pada Sistem Usahatani di Lahan Irigasi. Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner September 2001 di Bogor. BPTP Jawa Tengah. Ungaran. Jawa Tengah. [Puslitanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Departemen Pertanian. Bogor. Poniman, 2003. Upaya Peningkatan Produktivitas Lahan Melalui Pengelolaan Bahan Organik. Prosiding Seminar Pengelolaan Lingkungan Pertanian 21 Oktober 2003. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Poniman. 2002. Pertanian Ramah Lingkungan: Kenyataan dan Harapan. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Produk Pertanian, Kudus, 4 November 2002. Puslitanak, Deptan. Bogor. Ramdan, H., Yusran, D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint. Jatinangor. Bandung. Reijntjes, C., Haver K, Bertus and Bayer A.W. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Sukoco, Y.
[penerjemah]. Terjemahan dari Farming For the Future: An Introduction to LowExternal-Input and Sustainable Agriculture. Kanisius. Yogyakarta. Rogers, E.M. and F.F. Shoemaker. 1971. Communication Inovation. A Cross Cultural Approach. The Free Press. New York. Rochayati S., Mulyadi dan J.S. Adiningsih. 1990. Penelitian Efisiensi Penggunaan Pupuk di Lahan Sawah. Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V, 12-13 November 1990. Puslitanak. Bogor. Rozana, Y. 1998. Usaha Ternak Sapi Potong sebagai Diversifikasi Usahatani untuk Menambah Pendapatan Petani Padi Sawah di Tasikmalaya, Jawa Barat (Skripsi). IPB. Bogor. Salikin. K.A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sayaka, B., Saptana, R.S. Rivai, E.L. Hastuti, H. Tarigan, dan Ashari. 2004. Strategi Mengatasi Pelandaian dan Ketidakstabilan Produksi Padi di Lahan Sub Optimal. Dalam Seminar Hasil Penelitian Puslit Sosial Ekonomi Pertanian Tahun 2004. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Seto, A.K. 2002. Bahan Kuliah Modul Mata Kuliah Ekonomi Lingkungan dan Analisis Kebijakan. Program Studi PSL. IPB. Bogor. Setiani, C., D. Juanda, dan T. Prasetyo. 2003. Penerapan Teknologi Sistem Usahatani Tanaman-Ternak Melalui Pendekatan Organisasi Kelompok Tani (Suatu Model Pengelolaan Lingkungan Pertanian). Dalam Prosiding Seminar Pengelolaan Lingkungan Pertanian, Surakarta, 1 Oktober 2003. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Setyorini, D., L.R. Widowati, dan S. Rochayati. 2004. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Sawah Intensifikasi. Puslitanak. Bogor. Siagian, D. dan Sugiarto. 2000. Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
PT.
Singarimbun, M. dan E. Sofian. 1985. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta. Soekanto S. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soekartawi S., A. Dillon L, John. Hardaker, Brian, J. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk pengembangan Petani Kecil. UI-Press. Jakarta. Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis CobbDouglas. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Suharto. 2000. Integrated Farming System, Modul Pelatihan. Multifarm. Solo.
CV. Lembah Hijau
Suretno, N.D., T. Kusnanto dan B. Sudaryanto. 2002. Pemanfaatan Kotoran Ternak Sebagai Pupuk Pada Lahan Sawah Irigasi di Lampung Tengah. Dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Ciawi 30 September – 1 Oktober 2002. Puslitbang Peternakan. Bogor. Suryana A, Erwidodo, Prajogo UH. 1988. Isu Strategis dan Alternatif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Memesuki Repelita VII. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Treyer-POLAGAWAT. 2000. Prospective Analysis on Agricultural Water Use in the Maditerranean. www.engref.fr/rgt/doc-pdf/treyer-polagawat-metodologi.PDF. Sutardi, A., Musofie, Nurhidayat, dan Soeharsono. 2002. Pengkajian Integrasi Usahatani Tanaman Pangan dan Ternak Ruminansia di Agroekologi Lahan Sawah Tadah Hujan. Dalam seminar Nasional pada Usahatani Ramah Lingkungan di Loka Jakenan, Pati Jawa Tengah, Puslitanak Bogor, 11 Desember 2002. Sutanto, R. 2002a. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sutanto, R. 2002b. Penerapan Pertanian Organik: Pengembangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Pemasyarakatan
dan
Syahyuti. 2003, Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Tonny, F. 1988. Dinamika Kelompoktani dan Partisipasi Petani dalam Program Konservasi Tanah dan Air di DAS Citanduy (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tugaswati, T. dan S. Nugroho. 1985. Dampak Limbah Pertanian terhadap Kesehatan Masyarakat. Dalam Monografi Limbah Hasil Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Jakarta. p243. Umiyasih, U., Aryogi dan Y. N. Anggraeny. 2002. Pengaruh Suplementasi Terhadap Kinerja Sapi PO yang Mendapatkan Pakan Basal Jerami Padi Fermentasi. Dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Ciawi 30 September – 1 Oktober 2002. Puslitbang Peternakan. Bogor. Winarno, F, G. 1985. Penanganan Limbah Tanaman Pangan, Dalam: Monografi Limbah Hasil Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Jakarta. p 11.
Winoto, J. 1997. Studi Penyusunan Pedoman Analisis Pewilayahan Komoditas Pertanian. Kerjasama Proyek Pengembangan Sumberdaya, Sarana dan Prasarana Pertanian, Deptan dengan PT. Murfa Surya Mahardhika. Jakarta. Wiryosuhanto, S. 1985. Produksi dan Penggunaan Kotoran Ternak, Dalam Monografi Limbah Hasil Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Jakarta. P.169. Wiyono, U. 2005. Pengembangan Pertanian Organik sebagai Komoditas Unggulan dalam rangka Peningkatan Pertumbuhan Perekonomian Daerah (makalah). Dalam Workshop Pengembangan Komoditas Agribisnis dan Agroindustri Unggulan Daerah, Jakarta, 16-17 Mei 2005. Departemen Pertanian. Jakarta. Wiyono, U. 2003. Produksi dan Pemasaran Beras Organik di Kabupaten Sragen (makalah). Dalam Diskusi Pengembangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Produk Pertanian Organik, Jakarta, 30 Juni 2003. Ditjen BP2HP, Departemen Pertanian. Jakarta. Yuwono, D.M, dan T. Prasetyo, 2003. Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Peternakan Sapi Potong Rakyat. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Pertanian 21 Oktober 2003. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Yusdja, Y., R. Sayuti, S.H. Suhartini, I. Sadikin, B. Winarso, dan C. Muslim. 2004. Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi. Dalam Seminar Hasil Penelitian Puslit Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2004. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Grafik laju penggunaan pupuk kimia, produksi dan produktivitas gabah secara nasional dari tahun 1968-1991
Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian PET A S T R AT EGI PEMB ANGUNAN PR OPI NS I JAW A T ENGAH
Lampiran 3. Unit Populasi Usahatani CLS dan Teknik Pengambilan Sampel No. 1.
Unit Populasi Area/Daerah: a. Kecamatan b. Desa Kelompoktani Responden
2. 3.
Jumlah Populasi
Jumlah Sampel
Teknik Pengambilan Sampel
16 Kecamatan 114 Desa 157 Kelompoktani 5657 petani
5 7 7 70
Purposive Purposive Purposive Stratified random sampling
Kecamatan Desa Kelompoktani responden
Lampiran 4. Nama Kecamatan, Desa, dan Kelompoktani Lokasi Penelitian No.
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Masaran Masaran Sambungmacan Sidoarjo Sidoarjo Karangmalang Gondang
Desa Pringanom Sidodadi Gringging Tenggak Jetak Guworejo Glonggong
Kelompoktani
Tahun Berdiri Kelompoktani 1984 1984 1981 1979 1982 1978 1992
Sari Mulyo Dewi Sri Tani Mulyo Eko Upoyo Tani Mulyo VI Ngudi Makmur Tani Manunggal
Jumlah Anggota Kelompoktani 33 39 70 102 82 87 24
Lampiran 5. Jenis dan Sumber Data, serta Kegunaan Data yang Dikumpulkan No. I. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
II. 1.
2.
3.
Jenis Data Data Primer Karakteristik responden Manajemen/kelembagaan petani Pola Usahatani, sarana produksi, produksi Struktur Ongkos usahatani padi & ternak Kegiatan hulu dan hilir usahatani Pengelolaan limbah padi dan ternak Valuasi ekonomi lingkungan Identifikasi faktor-faktor strategis, tingkat kepentingan faktor-faktor strategis, perumusan skenario, penentuan prioritas. Data Sekunder Keadaan umum wilayah: letak geografis, topografi, jenis tanah, iklim, kependudukan, infrastruktur, dan perekonomian Usahatani padi: luas lahan, prasarana & sarana produksi, produksi, tenaga kerja, kelembagaan tani, pengelolaan jerami, upah, harga, dan lainnya. Ternak sapi potong: populasi, produksi, pakan, tenaga kerja, kelembagaan tani, RPH, pengelolaan kompos, harga, kelompok ternak dan lainnya.
Sumber Data
Digunakan untuk
Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi
Gambaran umum, analisis kelembagaan Analisis kelembagaan Analisis fungsi produksi, finansial dan ekonomi Analisis fungsi keuntungan, finansial dan ekonomi Analisis finansial dan ekonomi Analisis finansial dan ekonomi Analisis ekonomi Analisis keberlanjutan, analisis prospektif
Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi Responden (Expert/Pakar)
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab, Kantor Statistik, instansi Terkait. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab,
Gambaran umum wilayah, data dukung analisis finansial, ekonomi, indek keberlanjutan.
Dinas Pertanian Ketahanan Kab,
Gambaran umum usaha sapi potong, data dukung analisis finansial, ekonomi, kelembagaan dan indeks keberlanjutan.
dan Pangan
Gambaran umum usahatani padi, data dukung analisis model fungsi produksi & keuntungan, finansial, ekonomi, kelembagaa, dan indeks keberlanjutan.
Lampiran 6. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kab. Sragen Tahun 2003 No
Kecamatan
Luas (Km2)
Penduduk Jumlah (jiwa) Kepadatan (jw/km2) 1 Kalijambe 46,96 45.208 963 2 Plupuh 48,36 45.255 936 3 Masaran 44,04 64.631 1.468 4 Kedawung 49,78 55.045 1.106 5 Sambirejo 48,43 36.864 761 6 Gondang 41,17 42.520 1.033 7 Sambungmacan 38,48 43.549 1.132 8 Ngrampal 34,40 36.842 1.071 9 Karangmalang 42,98 56.890 1.324 10 Sragen 27,27 64.607 2.369 11 Sidoharjo 45,89 50.595 1.103 12 Tanon 51,00 54.108 1.061 13 Gemolong 40,23 44.430 1.104 14 Miri 53,81 32.188 598 15 Sumberlawang 75,16 44.579 593 16 Mondokan 49,36 33.610 681 17 Sukodono 45,55 29.949 657 18 Gesi 39,58 20.404 516 19 Tangen 55,13 26.330 478 20 Jenar 63,97 26.107 408 Total 941,55 853,711 907 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen, 2003.
Lampiran 7. Data Fisik Tanah di Lokasi Penelitian Tekstur
Bh Ksr (%)
Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat
h
<3
>100
h
<3
h
Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat Agak terhambat
No
Tanaman
Klas
Lokasi
Drain
A1
Padi
S2
A4
Padi
S2
B1
Padi
S1
B4
Padi
S1
C1
Padi
S2
C4
Padi
S2
D1
Padi
S1
D4
Padi
S2
E1
Padi
S1
E4
Padi
S1
F
Padi
S1
D
Padi
S1
1,1
Padi
S2
1.2
Padi
S2
Kec Sambungmacan pakai kompos Kec Sambungmacan tanpa kompos Kec.Sambungmacan pakai kompos Kec.Sambungmacan tanpa kompos Kec.Sidoarjo pakai kompos Kec.Sidoarjo tanpa kompos Kec.Masaran pakai kompos Kec.Masaran tanpa kompos Kec.Masaran pakai kompos Kec.Masaran tanpa kompos Kec.Masaran pakai kompos Kec.Masaan Saat tanam Kec.Karangmalang Bekas panen Kec.Karangmalang Bekas panen
1.3
Padi
S3
2.1
Padi
S1
2.2
Padi
S1
3.1
Padi
S2
Kec.Karangmalang Bekas panen Kec.Karangmalang Ada limbah ternak Kec.Godang Ada limbah ternak Kec.Gondang Saat tanam
Keterangan: 1. Klas kesesuaian lahan : S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = cukup marjinal 2. Drain = drainase 3. Tekstur = tekstur tanah (h=halus, ah=agak halus, s=sedang, ak=agak kasar,, k=kasar) 4. Bh ksr = bakan kasar (%)
5. 6. 7. 8.
Kdl KTK liat tnh (cmol) (cm)
KB
pH
C Org (%)
Salin (ds/m)
Alkalin (%)
Kdl Sulf (cm)
Lereng (%)
BE
Genang
Bt dipr (%)
Sing Bt (%)
45
99,80
6,57
1,4
0
16,52
>100
<1
sr
F0
<5
<5
>100
63,75
82,41
6,61
1,14
0
19,37
>100
<1
sr
F0
<5
<5
<3
>100
32,51
64,59
6,28
1,82
0
18,48
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
28,3
100,00
5,75
2,01
0
18,12
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
30,19
100,00
7,03
1,22
0
15,24
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
31,73
100,00
6,90
1,36
0
17,33
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
37,76
98,87
6,67
2,29
0
17,42
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
32,11
98,45
6,95
0,93
0
19,39
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
36,42
84,79
6,85
1,82
0
16,13
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
31,97
98,55
6,89
1,83
0
19,23
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
31,97
98,55
6,89
1,83
0
18,95
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
32,63
100
6,77
1,77
0
16,89
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
42,55
100
6,12
1,03
0
17,41
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
41,53
100
6,27
1,03
0
19,55
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
36,65
100
6,24
0,79
0
23,66
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
26,14
7,29
3,9
0
15,64
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
27,43
7,85
2,43
0
20,07
>100
<1
sr
F0
<5
<5
h
<3
>100
21,53
6,87
1,48
0
24,53
>100
<1
sr
F0
<5
<5
100 100 100
Kdl tnh= kedalaman tanah (cm) KTK liat = kapasitas tukar kation (cmol) KB = kejenuhan basa (%) pH H2O
9. C-org= kandungan bahan carbon organic (%) 10. Salin = salinitas (dS/m) 11. Alkalin = Alkalinitas/ESP (5) 12. Kdl Sulf = kedalaman sulfidik (cm)
13. BE = bahaya erosi, r=ringan, b=berat 14. Genang= genangan FO <25cm 15. Bt dpr= batuan dipermukaan (%) 16. Sing Bt=singkapan batuan (%)
Lampiran 8. Kelas Kesesuaian Lahan di Lokasi Penelitian No
Tanam-an
Teks-tur
Bh Ksr (%)
Kdl tnh (cm)
KTK liat (cmol)
KB
pH
Kdl Sulf (cm)
Lereng (%)
BE
Genang
Bt dipr (%)
Sing Bt (%)
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S3
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
C Org (%)
Salin (ds/m)
S1
S2
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
Klas
Lokasi
Drain
Kec Sambungmacan pakai kompos Kec Sambungmacan tanpa kompos Kec.Sambungmacan pakai kompos Kec.Sambungmacan tanpa kompos Kec.Sidoarjo pakai kompos Kec.Sidoarjo tanpa kompos Kec.Masaran pakai kompos Kec.Masaran tanpa kompos Kec.Masaran pakai kompos Kec.Masaran tanpa kompos Kec.Masaran pakai kompos Kec.Masaan Saat tanam Kec.Karangmalang Bekas panen Kec.Karangmalang Bekas panen Kec.Karangmalang Bekas panen Kec.Gondang Ada limbah ternak Kec.Gondang Ada limbah ternak Kec.Gondang Saat tanam
A1
Padi
S2
A4
Padi
S2
B1
Padi
S1
B4
Padi
S1
C1
Padi
S2
C4
Padi
S2
D1
Padi
S1
D4
Padi
S2
E1
Padi
S1
E4
Padi
S1
F
Padi
S1
D
Padi
S1
1,1
Padi
S2
1.2
Padi
S2
1.3
Padi
S3
2.1
Padi
S1
2.2
Padi
S1
3.1
Padi
S2
Alkalin (%)
LAMPIRAN 9. PERSYARATAN TUMBUH TANAMAN
No
Tanaman
1
Padi sawah (Oryza sativa)
Suhu o Klas ( C)
Ch Kelemb (mm) (%)
Drain
S1
2429
33-90 Agak terhamba t, agak baik
S2
2224 2932
30-33 Terhamba t, baik
S3
1822 3235 <22 >35
N
<30 >90
Sangat terhamba t, agak cepat 33-90 Cepat
Bh Ksr (%)
Kdl KTK tnh liat (cm) (cmol)
KB
pH
<3
>50
>16
>50
s
3-15
4050
<16
ak
1535
2540
k
>35
<25
Tekstur h, ah
C Org Salin Alkalin (%) (ds/m) (%)
Kdl Sulf (cm)
Bt Lereng BE Genang dipr (%) (%)
5,58,2
>1,5
<2
<20
>100
<1
3550
4,55,5 8,28,5
0,81,5
2-4
20-30
75100
1-2
<35
<4,5 >8,5
<0,8
4-6
30-40
4075
2-4
>6
>40
<40
>4
sr F0, F11, F12, F21, F23, F31, F32 - F13, F23, F33, F41, F42, F43 - F14, F24, F34, F44 >sd F15, F25, F35, F45
Sing Bt (%)
<5
<5
515
5-15
1540
1525
>40
>25
Lampiran 10. Data Lapangan Sampel Air No
Lokasi
pH
1 2
Sawah CLS Sawah CLS Sawah CLS
7.70 7.90
N (mg/l) 9.67 9.00
7.20 7.20 7.10 6.80 6.60 7.00 6.60 8.30 5-9
9.15 8.64 8.93 8.50 7.76 9.88 10.40 433.97 20.0
3 4 5 6 7 8 9 10
Sawah Non CLS Sawah Non CLS Sawah Non CLS Sawah CLS Sawah CLS Sawah CLS Kandang ternak Baku Mutu IV*)
P (mg/l) 0.2 0.3 0.5 0.3 0.3 0.7 0.5 0.3 0.3 22.8 5.0
K (mg/l) 1.5 3.0
Ca (mg/l) 20.2 21.7
Mg (mg/l) 2.4 4.0
Fe (mg/l) 0.5 0.4
Cu (mg/l) tr tr
Zn (mg/l) tr tr
Mn (mg/l) tr tr
1.5 7.0 2.5 1.0 3.0 2.0 2.0 5200.0 200.0
10.2 29.3 23.3 28.3 24.9 30.1 20.0 82.2 200.0
1.6 7.4 3.8 5.0 4.2 5.6 4.7 11.0 63.0
0.8 0.1 1.0 1.0 3.7 0.8 1.9 0.6 -
tr tr tr tr tr tr tr tr 0.2
0.03 tr tr tr 0.02 tr tr 0.05 2.0
0.04 tr tr 0.01 0.01 0.01 0.04 2.17 0.05
Keterangan: tr = tidak terukur. *) Baku mutu golongan IV pemanfaatan air untuk pertanian (PP No.82/2001). Untuk unsure K, Ca, Mg mengacu Puslitanak Bogor. Hasil analisis: sesuai PP No.82/2001 untuk semua sample air layak digunakan untuk golongan IV pemanfaatan air irigasi pertanian, kecuali sample terakhir, (limbah ternak) yang tidak layak untuk air irigasi, karena sample air masih berupa limbah ternak yang belum tercampur dengan air sungai.
Lampiran 11. Luas Panen dan Produksi Padi di Kabupaten Sragen 2003 No
Kecamatan
Padi Sawah Padi Gogo Jumlah Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi Panen (ton) Panen (ton) Panen (ton) (ha) (ha) (ha) 1 Kalijambe 2.500 11.872 531 1.696 3.031 13.568 2 Plupuh 4.963 24.753 595 2.172 5.558 26.925 3 Masaran 7.036 41.730 7.036 41.730 4 Kedawung 5.526 32.824 5.526 32.824 5 Sambirejo 2.814 16.766 2.814 16.766 6 Gondang 4.731 27.354 4.731 27.354 7 Sambungmacan 4.921 29.222 4.921 29.222 8 Ngrampal 4.989 29.537 4.989 29.537 9 Karangmalang 4.753 28.481 4.753 28.481 10 Sragen 3.811 22.785 37 121 3.848 22.906 11 Sidoharjo 7.967 49.670 7.967 49.670 12 Tanon 5.962 29.030 243 726 6.205 29.756 13 Gemolong 3.369 16.730 390 1.134 3.759 17.864 14 Miri 2.220 10.777 368 1.145 2.588 11.922 15 Sumberlawang 3.531 16.637 332 906 3.863 17.543 16 Mondokan 1.619 7.802 610 1.744 2.229 9.546 17 Sukodono 2.843 12.953 94 281 2.937 13.234 18 Gesi 1.008 4.835 70 219 1.078 5.045 19 Tangen 929 4.532 929 4.532 20 Jenar 951 4.602 951 4.602 Total th 2003 76.443 422.892 3.270 10.144 79.713 433.036 Tahun 2002 82.952 453.959 4.002 12.741 86.954 466.700 Tahun 1001 86.528 448.945 4.692 14.439 91.220 463.384 Tahun 2000 86.852 459.748 5.163 21.184 92.015 480.932 Tahun 1999 87.989 451.548 4.920 19.454 92.909 471.002 Tahun 1998 86.190 501.876 4.709 18.206 90.899 520.082 Tahun 1997 78.529 463.575 4.658 18.674 83.187 482.249 Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen, 2004.
Tabel 12. Populasi Ternak Kabupaten Sragen Menurut Kecamatan Tahun 2003 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kecamatan
Sapi potong (ekor)
Kambing (ekor)
Domba (ekor)
Ayam kampong (ekor)
Ayam ras (ekor)
Kalijambe 3.781 4.555 4.374 52.267 140.708 Plupuh 6.435 2.992 3.461 47.625 49.195 Masaran 4.538 3.306 2.765 79.597 123.765 Kedawung 2.947 2.185 5.161 66.063 252.833 Sambirejo 3.260 4.868 5.595 55.111 44.833 Gondang 3.209 2.776 2.540 16.955 6.195 Sambungmacan 3.464 2.876 3.578 43.966 52.833 Ngrampal 3.104 4.046 3.015 38.767 Karangmalang 3.310 2.013 4.007 105.088 52.833 Sragen 2.670 3.237 2.523 72.814 109.833 Sidoharjo 3.005 2.268 1.448 38.018 13.195 Tanon 3.971 4.763 5.037 74.894 232.471 Gemolong 3.880 2.052 3.279 32.732 105.033 Miri 3.315 1.652 5.444 33.493 28.883 Sumberlawang 3.511 4.695 5.027 58.547 53.195 Mondokan 4.264 4.050 3.863 59.331 6.195 Sukodono 3.787 4.847 2.170 32.477 49.195 Gesi 3.520 3.355 2.139 27.438 Tangen 4.442 4.296 1.509 30.302 Jenar 4.700 2.932 1.443 32.078 Total th 2003 75.113 67.674 68.378 997.563 1.321.145 Tahun 2002 74.561 67.374 68.038 997.212 1.302.025 Tahun 2001 73.306 67.359 68.008 996.102 1.342.595 Tahun 2000 71.696 62.070 66.705 995.870 522.720 Tahun 1999 71.638 66.009 66.540 995.529 199.200 Tahun 1998 69.968 64.090 65.047 970.812 120.465 Tahun 1997 71.070 64.478 69.088 977.239 128.024 Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen, 2004.
Lampiran 13. T-Test Uji Beda Nyata Nilai Produksi Usahatani Padi Pola CLS dengan Non CLS (Rp.) Group Statistics
Prod1
PTT 1.00 .00
N 64 29
Mean 3473234 2289534
Std. Error Mean 171118.3 182940.3
Std. Deviation 1368946.741 985163.56447
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
Prod1
Equal variances assumed Equal variances not assumed
F 1.066
Sig. .304
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
4.186
91
.000
1183699.1
282795.40
621960.8
1745437
4.725
73.443
.000
1183699.1
250496.77
684510.5
1682888
T-Test Uji Beda Nyata Produktivitas Usahatani Padi Pola CLS dan Non CLS (kg/ha) Group Statistics
prod/tni
PTT 1.00 .00
N
Mean 64 6505.3152 29 5260.8368
Std. Error Std. Deviation Mean 1338.92172 167.36522 805.43385 149.56531
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
prod/tni
Equal variances assumed Equal variances not assumed
F 9.785
Sig. .002
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
4.632
91
.000
1244.4784
268.68384
710.77096
1778.186
5.544
83.698
.000
1244.4784
224.45689
798.09775
1690.859
Lampiran 21. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Model Summary
Model 1
R
R Square
.895(a)
Adjusted R Square
.801
Std. Error of the Estimate
.782
.19622
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb), Penggunaan Urea (Pu), Pnggunaan KCl (Pc), Sewa/penyusutan alsin (Ps), Tenaga kerja (Uk), Pajak/Sewa Lahan (Tx), Dummy luas lahan (D1), Dummy pola usaha tani (D2) ANOVA(b)
Model 1
Regression
Sum of Squares 13.001
8
Mean Square 1.625
3.234
84
.039
16.236
92
Residual Total
Df
F 42.208
Sig. .000(a)
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb), Penggunaan Urea (Pu), Pnggunaan KCl (Pc), Sewa/penyusutan alsin (Ps), Tenaga kerja (Uk), Pajak/Sewa Lahan (Tx), Dummy luas lahan (D1), Dummy pola usaha tani (D2) b Dependent Variable: Produksi (Qp) Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model 1
Konstanta (α) Penggunaan Benih (Pb) Penggunaan Urea (Pu) Pnggunaan KCl (Pc) Sewa/penyusutan alsin (Ps)
Standardized Coefficients
t
Sig.
B 7.688
Std. Error .915
Beta 8.404
.000
.295
.073
.284
4.055
.000
-.119
.055
-.136
-2.173
.033
.246
.066
.278
3.742
.000
-.114
.050
-.203
-2.292
.024
Tenaga kerja (Uk)
.164
.072
.175
2.261
.026
Pajak/Sewa Lahan (Tx)
.140
.029
.343
4.818
.000
Dummy luas lahan (D1)
.177
.054
.210
3.286
.001
Dummy pola usaha tani (D2)
.236
.055
.262
4.259
.000
a Dependent Variable: Produksi (Qp)
Lampiran 22. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola CLS
Model Summary
Model 1
R
R Square
.912(a)
Adjusted R Square
.831
Std. Error of the Estimate
.810
.16080
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb),Penggunaan Urea (Pu), Penggunaan TSP (Pt), Penggunaan KCl (Pc), Pupuk Kandang (Pk), Tenaga Kerja (Uk), Dummy Luas Lahan (D1)
ANOVA(b)
Model 1
Regression
Sum of Squares 7.114
df
Mean Square 7
1.016 .026
Residual
1.448
56
Total
8.562
63
F
Sig.
39.302
.000(a)
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb),Penggunaan Urea (Pu), Penggunaan TSP (Pt), Penggunaan KCl (Pc), Pupuk Kandang (Pk), Tenaga Kerja (Uk), Dummy Luas Lahan (D1) b Dependent Variable: Produksi (Qp) Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model 1
Konstanta (α) Penggunaan Benih (Pb)
B 5.396
Std. Error .899
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta 6.006
.000
.488
.089
.495
5.484
.000
Penggunaan Urea (Pu)
-.109
.094
-.149
-1.161
.251
Penggunaan TSP (Pt)
.098
.099
.122
.993
.325
Penggunaan KCl (Pc)
.131
.063
.168
2.081
.042
Pupuk Kandang (Pk)
.125
.047
.178
2.633
.011
Tenaga Kerja (Uk)
.113
.067
.140
1.676
.099
Dummy Luas Lahan (D1)
.171
.049
.233
3.470
.001
a Dependent Variable: Produksi (Qp)
Lampiran 23. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola Non CLS
Model Summary
Model 1
R
R Square
.890(a)
Adjusted R Square
.792
Std. Error of the Estimate
.735
.21496
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb),Penggunaan Urea (Pu), Penggunaan TSP (Pt), Penggunaan KCl (Pc), Tenaga Kerja (Uk), Dummy Luas Lahan (D1) ANOVA(b)
Model 1
Sum of Squares 3.864
6
Mean Square .644
Residual
1.017
22
.046
Total
4.881
28
Regression
df
F 13.936
Sig. .000(a)
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb),Penggunaan Urea (Pu), Penggunaan TSP (Pt), Penggunaan KCl (Pc), Tenaga Kerja (Uk), Dummy Luas Lahan (D1) b Dependent Variable: Produksi (Qp)
Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model 1
Konstanta (α) Penggunaan Benih (Pb)
Standardized Coefficients
B 9.187
Std. Error 2.247
t
Sig.
Beta 4.088
.000
.115
.161
.141
.715
.482
-.146
.186
-.121
-.787
.440
Penggunaan TSP (Pt)
-.386
.184
-.500
-2.096
.048
Penggunaan KCl (Pc)
1.048
.262
1.210
4.002
.001
Tenaga Kerja (Uk)
-.103
.225
-.104
-.460
.650
.419
.160
.385
2.619
.016
Penggunaan Urea (Pu)
Dummy Luas Lahan (D1) a Dependent Variable: Produksi (Qp)
Lampiran 24. Hasil Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah
Model Summary
Model 1
R
R Square
.825(a)
Adjusted R Square
.681
Std. Error of the Estimate
.651
.27279
a Predictors: Konstanta (α), Benih (W b), Urea (W u), KCl (W c), Sewa/pemeliharaan alsin (Ws), Upah kerja (W h), Pajak (W x), Dummy pola usaha tani (D2), Dummy luas lahan (D1) ANOVA(b)
Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
df
Mean Square
13.210
8
1.651
6.176
83
.074
19.387
91
F
Sig.
22.190
.000(a)
a Predictors: Konstanta (α), Benih (W b), Urea (W u), KCl (W c), Sewa/pemeliharaan alsin (Ws), Upah kerja (W h), Pajak (W x), Dummy pola usaha tani (D2), Dummy luas lahan (D1) b Dependent Variable: Keuntungan produksi (πp) Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model 1
Standardized Coefficients
t
Sig.
B 5.425
Std. Error .418
12.990
.000
.414
.104
.364
3.980
.000
Urea (W u)
-.308
.107
-.320
-2.887
.005
KCl (W c)
-.051
.115
-.054
-.440
.661
Konstanta (α) Benih (W b)
Sewa/pemeliharaan alsin (W s)
Beta
.398
.084
.409
4.751
.000
-.097
.068
-.158
-1.418
.160
Pajak (W x)
.134
.041
.300
3.276
.002
Dummy pola usaha tani (D2)
.147
.084
.148
1.765
.081
Dummy luas lahan (D1)
.156
.076
.168
2.055
.043
Upah kerja (W h)
a Dependent Variable: Keuntungan produksi (πp)
Lampiran 25. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola CLS
Model Summary
Model 1
R
R Square
.862(a)
Adjusted R Square
.743
Std. Error of the Estimate
.710
.23473
a Predictors: Konstanta (α), Luas Lahan (Lu), Benih (W b), Pestisida (W p), Pupuk Urea (W u), Pupuk Kandang (W k), Upah Kerja (W h), Dummy lama usaha (D3) ANOVA(b)
Model 1
Sum of Squares
Df
Mean Square
Regression
8.898
7
1.271
Residual
3.085
56
.055
11.984
63
Total
F
Sig.
23.072
.000(a)
a Predictors: Konstanta (α), Luas Lahan (Lu), Benih (W b), Pestisida (W p), Pupuk Urea (W u), Pupuk Kandang (W k), Upah Kerja (W h), Dummy lama usaha (D3) b Dependent Variable: Keuntungan produksi (πpc) Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model
B 1
Standardized Coefficients
Konstanta (α) Luas Lahan (Lu)
.704
Std. Error 1.197
.924
.247
Benih (W b)
.397
.158
Pestisida (W p)
-.022
.093
Pupuk Urea (W u)
-.479
.096
.134
Pupuk Kandang (W k) Upah Kerja (W h) Dummy lama usaha (D3)
t
Sig.
Beta .588
.559
.663
3.742
.000
.341
2.511
.015
-.028
-.237
.814
-.556
-5.005
.000
.082
.161
1.640
.107
-.148
.121
-.156
-1.222
.227
.173
.085
.200
2.024
.048
a Dependent Variable: Keuntungan produksi (πpc)
Lampiran 26. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola Non CLS
Model Summary
Model 1
R
R Square
.980(a)
.959
Adjusted R Square .942
Std. Error of the Estimate .10631
a Predictors: Konstanta (α), Luas Lahan (Lu), Benih (W b), Pestisida (W p), Pupuk Urea (W u), Pupuk TSP (W t), Pupuk KCl (W c), Upah Kerja (W h), Pajak (W x) ANOVA(b)
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 5.078
Df 8
Mean Square .635
.215
19
.011
5.293
27
F 56.170
Sig. .000(a)
a Predictors: Konstanta (α), Luas Lahan (Lu), Benih (W b), Pestisida (W p), Pupuk Urea (W u), Pupuk TSP (W t), Pupuk KCl (W c), Upah Kerja (W h), Pajak (W x) b Dependent Variable: Keuntungan produksi (πpc) Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model 1
Konstanta (α) Luas Lahan (Lu) Benih (W b) Pestisida (W p)
B -3.363
Std. Error 1.424
1.404
.283
.027
.071
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta -2.362
.029
1.125
4.957
.000
.028
.376
.711
.052
.102
.060
.510
.616
Pupuk urea (W u)
-.241
.131
-.187
-1.836
.082
Pupuk TSP (W t)
.403
.149
.443
2.699
.014
Pupuk KCl (W c)
-.019
.134
-.018
-.139
.891
Upah Kerja (W h)
-.117
.080
-.248
-1.464
.159
Pajak (W x)
-.290
.098
-.354
-2.958
.008
a Dependent Variable: Keuntungan produksi (πpn)
Lampiran 27. Atribut, Skor dan Hasil Pengukuran Skor Keberlanjutan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen. Dimensi dan Atribut
Skor
Baik
Buruk
Hasil
Keterangan
I.
Dimensi ekologi
1.
Kesesuaian lahan untuk padi Tingkat pemanfaatan lahan untuk padi Tingkat penggunaan pupuk/ pestisida Pemanfaatan limbah ternak sapi untuk pupuk kandang
0; 1; 2;3
3
0
2
0; 1; 2;3
0
3
2
0; 1; 2;3
0
3
3
0; 1; 2; 3
3
0
2
5.
Pemanfaatan limbah jerami untuk pakan ternak sapi
0; 1; 2; 3
3
0
2
6.
Sistem Pemeliharaan ternak sapi
0; 1; 2; 3
0
3
0
7.
Kepadatan ternak ternak/ 1000 orang)
(ekor
0; 1; 2; 3
3
0
0
8.
Ketersediaan Rumah Potong Hewan (RPH) Pemotongan sapi betina produktif Dimensi Ekonomi Kelayakan finansial & ekonomi
0; 1; 2; 3
3
0
1
0; 1; 2; 3
0
3
0
0; 1; 2; 3
3
0
2
Kontribusi terhadap PDRB Rata-rata penghasilan petani CLS relatif dibanding non CLS Rata-rata penghasilan petani CLS relatif terhadap UMR Provinsi Jawa Tengah. Lembaga keuangan (bank/ kredit).
0; 1; 2;3 0; 1; 2; 3
3 3
0 0
2 2
0; 1; 2; 3
3
0
2
(0) di bawah; (1) sama; (2) lebih tinggi; (3) jauh lebih tinggi
0; 1; 2; 3
3
0
1
6.
Transfer keuntungan
0; 1; 2;3
3
0
2
7.
Besarnya pasar
0; 1; 2;3
3
0
2
(0) tidak ada; (1) ada, tetapi menjangkau sebagian kecil petani; (2) ada dan menjangkau sebagian besar petani; (3) menjangkau seluruh petani (0) sebagian besar dinikmati penduduk luar daerah; (1) seimbang antara penduduk lokal dengan penduduk luar daerah; (2) sebagian besar penduduk lokal; (3) seluruhnya penduduk lokal; (0) pasar lokal; (1) pasar provinsi, (2) pasar
2. 3. 4.
9. II. 1. 2. 3. 4. 5.
(0) tanah tidak sesuai; (1) kurang sesuai S3; (2) sesuai S2; (3) sangat sesuai S1 (3) melebihi kapasitas; (2) tinggi (1) sedang; (0) rendah (3) melebihi standar; (2) tinggi (1) sedang; (0) rendah (0) tidk dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan (0) tidak dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan (3) >50 % diumbar/liar; (2) 25 % -50% diumbar/liar (1) 10%-25 % diumbar/liar; (0) <10% yang diumbar/liar Mengacu pada APWPPP Deptan: (0) sangat padat (300-500); (1) padat (100-300); (2) sedang (50100); (3) jarang (<50) Mengacu pada Ditjen Peternakan; (0) tidak ada, (1) type C; (2) type B; (3) type A (3 > 50%; (2) 25 - <50%; (1) 10 - < 25%; (0) < 10%; Mengacu analisis kelayakan: (0) rugi/tidak layak; (1) impas/kembali modal; (2) untung/layak; (3) sangat untung/layak (0) tidak ada, (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi (0) di bawah ; (1) sama; (2) lebih tinggi; (3) jauh lebih tinggi
8.
Besarnya subsidi
0; 1; 2;3
0
3
1
III. 1.
Dimensi Sosial-Budaya Sosialisasi pekerjaan (individual atau kelompok)
0; 1; 2;3
3
0
2
2.
Jumlah rumah tangga petani CLS Pengetahuan terhadap lingkungan Frekwensi konflik
0; 1; 2;3
3
0
2
0; 1; 2;3
3
0
2
0; 1; 2;3
3
0
3
Persepsi/peran masyarakat dalam usaha tani CLS Frekwensi penyuluhan dan pelatihan
0; 1; 2; 3
3
0
2
0; 1; 2; 3
3
0
2
7.
Kelembagaan/Kelompok tani
0; 1; 2; 3
3
0
3
8.
Kelembagaan/badan usaha/jasa di bidang input dan output
0; 1; 2; 3
3
0
3
9.
Lembaga layanan pemerintah (layanan penyuluhan, teknologi, informasi saprodi, informasi pengolahan dan pemasaran hasil)
0; 1; 2; 3
3
0
2
3. 4. 5. 6.
nasional; (3) pasar internasional (3) multa 100% subsidi; (2) besar, (1) sedikit; (0) tidak ada subsidi (0) pekerjaan dilakukan secara individual; (1) kerjasama satu keluarga; (2) sebagian kerjasama kelompok; (3) seluruhnya kerjasama kelompok (0) <10%; (1) 10-25%; (2) 25-50%; (3) >50%dari total jumlah rumah tangga di Sragen (0) tidak ada (1) sedikit; (2) cukup; (3) banyak/luas (0) banyak/sering; (1) ada sedikit; (2) jarang sekali; (3) tidak ada (0) negatif; (1) netral; (2) positif; (3) sangat positif (0) tidak pernah ada; (1) sekali dalam 5 tahun; (2) sekali dalam setahun; (3) dua kali atau lebih dalam sehatun (0) <25% punya; (1) 25-50% punya; (2) 50-75% punya; (3) >75% punya Badan usaha/jasa (perusahaan, kios, KUD): (0) ada tapi semuanya belum dapat diakses petani; (1) ada, tapi hanya sebagian kecil yang dapat diakses; (2) sebagian besar dapat diakses; (3) semuanya dapat diakses Kelembagaan pemerintah: memberi akses penyuluhan, pengolahan dan pemasaran produk: (0) ada tapi semuanya belum dapat diakses petani; (1) hanya sebagian kecil yang dapat diakses; (2) sebagian besar dapat diakses; (3) semuanya dapat diakses.
Tabel 10. Hasil Uji Validitas Berdasarkan Korelasi Pearson Product Moment No.
Item Pertanyaan
A 1
Aspek Ekonomi Usahatani CLS dapat dijadikan sebagai usaha pokok Usahatani CLS dapat mencukupi sekolah anak sampi usia sekolah Dengan usahatani CLS penduduk bisa menabung Usahatani CLS lebih untung disbanding non CLS Banyak petani lain berpindah ke usahatani CLS Menguntungkan sewaktu-waktu ternak dapat dijual Usahatani CLS dapat menghidupi keluarga Limbah ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organic Limbah padi dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak Limbah ternak dan padi dapat digunakan untuk lainnya Aspek Sosial Usahatani CLS memerlukan wadah kelompoktani Sapi sebaiknya ditempatkan dalam kandang kelompok Masalah bau kandang/limbah ternak dibicarakan musyawarah Sosial budaya : pemupukan padi dengan limbah tidak dilarang Usahatani padi : jerami diolah menjadi pakan ternak Kerjasama dalam kelompok diperlukan untuk mengelola CLS Petani pola CLS ikut aktif kerja bakti dan kegiatan sosial lain Petani aktif membantu warga yang kena musibah Petani aktif membantu perayaan/hajatan Tidak ada konflik sosial dala berusahatani pola CLS Aspek Lingkungan Kandang ternak kelompok terpisah dengan rumah warga Perlu tempat/bangunan khusus mengolah limbah
2 3 4 5 6 7 8 9 10 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 C 1 2
Korelasi Pearson
Significant (2-tailed)
0,675**
0,000
0,661**
0,000
0,694** 0,625** 0,700** 0,385**
0,000 0,000 0,000 0,001
0,400** 0,643**
0,001 0,000
0,645**
0,000
0,545**
0,000
-0,163 -0,065
0,181 0,598
0,139
0,256
0,148
0,225
0,338**
0,005
0,280*
0,020
0,201
0,097
0,486** 0,374** 0,217
0,000 0,002 0,074
0,462**
0,000
0,452**
0,000
3 4 5 6 7 8 9 10
ternak dan padi Dalam berusahatani perlu menjaga kesuburan tanah Pupuk kimia dan pestisida merusak lingkungan Usahatani padi : jerami tidak dibakar Limbah ternak dan jerami dimanfaatkan/diolah sebagai input pertanian Bau ternak sapid an limbahnya menyebabkan orang berpindah dan semangat bekerja menurun Bau ternak sapid an limbahnya menyebabkan warga sakit Limbah ternak mencemari sumur-sumur penduduk dan sungai sehingga berbau Selama ini penduduk tidak peduli bau limbah pertanian Keterangan : **) Korelasi nyata pada alpha 0,01 *) Korelasi nyata pada alpha 0,05
0,410**
0,000
0,302* 0,236* 0,325**
0,011 0,049 0,006
0,053
0,664
0,326**
0,006
0,260*
0,030
0,125
0,303
Tabel 1 Luas Panen dan Produktivitas Padi sawah 1970-2000 Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Peningkatan Luas Panen (juta ha) 6–7 7–8 8–9 9 – 10 10 – 11 Produktivitas (ton/ha) 2,5 – 3,0 3,0 – 3,5 3,5 – 4,0 4,0 – 4,5 4,5 – 5,0
Tahun Dicapai
Lama Pencapaian
1970 – 1973 1973 – 1983 1983 – 1989 1989 – 1995 1995 - ?
3 tahun 10 tahun 6 tahun 6 tahun belum tercapai
1970 – 1976 1976 – 1980 1980 – 1982 1982 – 1989 1989 - ?
6 tahun 4 tahun 2 tahun 7 tahun belum tercapai
Sumber: Pusat Data Pertanian, 2002 diolah)
Lampiran 3. Diagram Lingkar Pengembangan Usahatani Pola CLS. -
+
Kompos
Input dari luar
-
-
+
-
Limbah Padi
+ Pakan Ternak
+ +
+
-
Usahatani Padi
+
Limbah Ternak
Kerusakan lingkungan
+ +
+
Upah Kerja
Produksi Gabah
+
+
+ Pendapatan petani
+
+
Produksi Daging
+ +
Usaha Ternak Sapi Potong
+
Lampiran 3. Model Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen.
Pupuk Kandang
+
Kerusakan Lingkungan
Limbah Sawah
Padi Sawah
Produksi Gabah
Limbah ternak
Pakan Ternak
Tenaga Kerja Ternak
+
+ Manajemen Tenaga Kerja
-Ternak Sapi
Produksi Ternak
+
Rumah Tangga
Benih, Pupuk Kimia, Pestisida
Pasar
Pakan Konsentrat, Obat-obatan
Perbandingan Pola Usahatani dengan Kesuburan Lahan, Produksi dan Pendapatan Petani Pola Usahatani CLS Konvensional
Lahan Subur Kritis
Kriteria Produksi Usahatani Pendapatan/Kesejahteraan Tinggi Tinggi Rendah Rendah
PASAR
RUMAH TANGGA Bibit Pupuk anorganik Pestisida
TANAMAN PADI SAWAH
Tenaga kerja non-farm
Pakan Ternak, Obat hewan
Manajemen Tenaga kerja Budidaya Sapi potong Limbah tanaman Tenaga kerja ternak
Limbah ternak
Kompos
Gambar 1.
Model Usahatani Pola padi Sawah-Ternak Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen
Usaha Tani Pola CLS
Sisi Lingkungan
Sisi Ekonomi
Total Manfaat (a) Penerimaan Kotor
Biaya Investasi © - pembuatan kandang/gudang - pembelian bakalan - harga lahan, dll
Total Biaya (b) 1. Biaya Investasi 2. Biaya Operasional 3. Biaya Sosial
Biaya Operasional (d) - pembelian bibit/benih - pupuk/pakan - pestisida/obat - penyusutan - upah tenaga kerja
Finansial benefit (a-(c+d)
Persepsi penduduk Ditinjau dari 3 aspek - aspek ekonomi - aspek sosial - aspek lingkungan
Biaya Sosial (e) Metode CVM
Metode Produktv
Kompensasi dlm bentuk - tanggung jawab sosial - penanganan limbah
green/net benefit/ekonomis (a-(c+d+e)) Evaluasi Kelayakan usaha 3 metode analisis - B/C Ratio - NPV (Net Present Value) - IRR