Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHA SAPI POTONG DI KABUPATEN BANTUL (The Comparative Advantage of Beef Cattle Farming in Bantul Regency) SUGENG WIDODO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jl. Rajawali No. 28 Demangan Baru, Yogyakarta
ABSTRACT The increasing national demand of beef becomes a domestic opportunity. Resently, the insufficient beef supply has been covered by beef importation. It is a dilemmatic issue since opportunities have been widely opened based on the GATT, NAFTA and AFTA agreements on free trades on the other hand Indonesian people have not prepared to deal with this competition yet. It seems that a problem has been identified in the government policy on farming business. Major weakness in Indonesian beef cattle farming management related to less implemented technological aspect. One of the developed models is Livestock-Paddy Soil Integrated System. The technological introduction of Livestock-Paddy Soil Integrated System (SIPT) model had been tested in Bantul for 5 years (2001 – 2005). Approach method involved applied technology among two groups with each of 20 – 30 members. Total respondents indicated the ownership of Brahman Cross, Siemental and Limousin. Result indicated that (1) from financial aspect of profitability, Net B/C was >1.0 i.e. 1.8; (2) from feasible investment aspect, actual Internal Rate of Return (IRR) indicated value of 22% or > IRR estimate (12%), and positive Net Present Value (NPV) of Rp 54,095,000; (3) from sensitivity aspect, although reduction in cattle’s price (10 – 15%) was found, this business had been still profitable with Net B/C indicating > 1.0, i.e. 1.41 to 1.54; positive NPV of + Rp. 2,300,000 to + Rp 19,565,000 and actual IRR > estimated IRR, i.e. 12.50% to 16.00%. However, at the reduction of 20%, this farming business was less profitable since actual IRR < estimated IRR and NPV was negative; (4) the SIPT model-based beef cattle farming management acquired comparative advantages indicated by DRCC (Domestic Resources Cost Coefficient) value of < 1.0, i.e. 0.57. Therefore, it is concluded that the policy was aimed to increase shadow price of beef cattle (limit price) and decrease input price. Increasing shadow price of beef cattle was conducted by effective import duty; hence, output of domestic cattle have higher competitive edge compared to their imported counterparts. This is applied since government’s tariff policy has been lower (< 5%) yet and still relevant to GATT, NAFTA, AFTA-based decrease in agricultural commodity tariffs. Key Words: Comparative, Financial, Economic, Sensitivity and Beef Cattle ABSTRAK Kenaikan kebutuhan konsumsi daging sapi Nasional merupakan suatu peluang di dalam negeri, sementara ini kekurangan daging dipenuhi dari luar negeri. Merupakan suatu dilema negara kita yang sudah membuka keran lebar-lebar karena kesepakatan GATT, NAFTA dan AFTA tentang perdagangan bebas, dimana bangsa Indonesia sendiri tampaknya belum siap menghadapinya. Tampaknya ada yang salah dalam penerapan kebijakan pemerintah dalam sektor peternakan ini. Kelemahan yang mencolok dalam pengelolaan ternak sapi di Indonesia adalah belum menerapkan aspek teknologi. Salah satu model teknologi yang telah dikembangkan adalah Integrasi Padi-Ternak. Telah dilakukan uji introduksi teknologi Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) di Kabupaten Bantul selama 5 tahun (2001 – 2005). Metodologi pendekatan adalah penerapkan teknologi pada dua kelompok ternak dengan masing-masing anggota 20 – 30 orang. Jumlah responden identik dengan pemilikan satu ekor sapi dengan jenis Brahman Cross, Siemental dan Limousin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) sisi finansial menguntungkan dengan Net B/C >1,0 yaitu 1,8 (2) sisi investasi layak, dengan indikator Internal Rate of Return (IRR) aktual 22% atau > IRR estimate (12%), serta nilai Net Present Value (NPV) positif sebesar Rp. 54.095.000 (3) sisi sensitivitas, walaupun terjadi penurunan harga sapi (10 – 15%) usaha ini masih menguntungkan dengan indikator Net B/C > 1,0 yaitu 1,41 s.d. 1,54; NPV positif sebesar + Rp. 2.300.000 s.d. + Rp. 19.565.000 dan IRR aktual > IRR estimate, yaitu 12,50% s.d. 16,00%; Namun pada penurunan harga 20% usaha ternak merugi karena IRR aktual < IRR estimate dan NPV negatif, (4) pengelolaan sapi potong model SIPT memiliki keunggulan komparatif dengan indikator nilai KBSD atau DRCC (Domestic Resources Cost Coeficient) < 1,0 yaitu 0,57. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan
268
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
diarahkan pada upaya mempertinggi harga bayangan sapi potong (harga batas) dan memperendah harga input. Mempertinggi harga bayangan daging sapi dilakukan dengan penerapan tarif impor sehingga output sapi domestik mampu bersaing secara kompetitif dengan sapi impor. Hal ini dapat diterapkan karena kebijakan tarif pemerintah masih rendah (< 5%), dan masih relevan dengan ketentuan pengurangan tarif komoditas pertanian sesuai dalam GATT, NAFTA, dan AFTA. Kata Kunci: Komparatif, Finansial, Ekonomi, Sensitivitas dan Sapi Potong
PENDAHULUAN Pencanangan Indonesia tahun 2010 swasembada daging, merupakan iklim kondusif sekaligus sebagai tantangan bagaimana kita bisa mencapai apa yang akan dicapai. Secara Nasional bahwa sapi potong mengalami penurunan, sementara itu konsumsi daging terus mengalami kenaikan selama dekade 10 tahun terakhir ini. Menurut BPS, 2004 dan Pusat Data Pertanian Departemen Pertanian, 2004 terjadi peningkatan konsumsi daging dari 381.000 ton pada tahun 1995 menjadi 667.091 pada tahun 2003. Untuk propinsi D.I. Yogyakarta memberikan tren yang sama seperti halnya secara Nasional. Berdasarkan BPS (2004) dan DINAS PERTANIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (2005), produksi daging sapi meningkat selama 4 tahun terakhir ini yaitu dari 4.788,187 ton pada tahun 2001 meningkat menjadi 4.885,350 ton pada tahun 2002 dan pada tahun 2005 menjadi 6.848,448 ton dengan kenaikan rerata 9%. Kenaikan daging sapi ini selaras dengan kenaikan konsumsi daging sapi di DIY 12 – 15% per tahun. Laju konsumsi ternyata secara nasional tidak diimbangi dengan laju produksi daging sapi. Kontribusi daging sapi lokal cenderung menurun, namun sebaliknya dari sisi impor cenderung meningkat, dari 27,58% pada tahun 1995 menjadi 44,58%. Secara Nasional kontribusi daging sapi local selama 10 tahun terakhir mengalami penurunan dari awal tahun 1995 sebesar 82,42% menjadi 55,42% pada tahun 2004. Sektor peternakan selain tingkat pertumbuhannya yang cukup tinggi juga mampu menyerap tenaga kerja yang relatif besar dan mendorong tumbuhnya agroindustri. Dalam analisis “input output table” peternakan mempunyai koefisien “foreward linkage” yang tinggi yakni 1,1082 dan “backward linkage” relatif rendah yakni 0,7763, artinya bahwa sektor peternakan memiliki kecenderungan
lebih banyak mempengaruhi konsumen akhir dan mendorong munculnya industri hulu (SUNANDAR, 2005). Era kesepakatan General Agreement on Tarif and Trade (GATT), AFTA berupa era globalisasi yang sekaligus mencirikan bahwa peta perdagangan komoditas pertanian dunia akan mengalami perubahan dimasa mendatang. Sistem perdagangan yang berorientasi pasar dengan perdagangan dunia bebas, mengurangi diskriminasi, dan menghapuskan kebijakan non-tarif. Dengan demikian usaha diskriminasi dan menghapuskan kebijakan non-tarif. Dengan demikian, usaha ternak sapi akan menghadapi permasalahan serius. Ketatnya persaingan pasar akan menuntut usaha ternak sapi akan kompetitif dan usaha ini akan efisien dan efektif. Badan Litbang pertanian melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor (2000) telah melakukan serangkaian penelitian tentang Sistem Integrasi PertanianTernak (SIPT) sehingga didapatkan teknologi yang benar-benar nyata mampu menigkatkan pendapatan peternak. Masalah yang dihadapi peternak sapi umumnya adalah belum dikuasainya lima subsistem dalam agribisnis yakni (1) input produksi peternakan, (2) produksi peternakan, (3) agroindustri pengolahan pascapanen, (4) pemasaran, dan (5) kelembagaan penunjang. Pengertian peternakan melalui pendekatan agribisnis adalah pembangunan peternakan secara keseluruhan yakni melibatkan masalah “on farm” dan “off farm”. Pemikiran tersebut berlaku untuk agribisnis skala besar dan usaha rakyat. Masalah yang dihadapi di DIY, dengan semakin terbatasnya luas lahan garapan dan kualitas lahan yang menurun mengakibatkan pendapatan usahataninya relatif rendah. Sulitnya memperoleh bahan pakan pada musim-musim tertentu, telah mendorong masyarakat mengembangkan usaha yang bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya secara efesien, antara lain pemanfaatan limbah
269
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
pertanian untuk pakan sapi, dimana jerami menjadi alternatif pengganti sebagian rumput (DIWYANTO et al., 2000). Keterbatasan peternak untuk dapat mengadopsi teknologi baru, maka diperlukan kemampuan peternak untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya lokal pertanian agar lebih efesien. Salah satu usaha yang dapat dikembangkan adalah teknologi dengan pola Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT). Dalam mengantisipasi tantangan ke depan, pembangunan bidang peternakan di DIY khususnya di Bantul, difokuskan pada usaha ketersediaan pakan, peningkatan kualitas bibit bakalan (teknologi reproduksi), pengelolaan/ manajemen sistem kelompok (model perusahaan) yang terintegrasi, pengembangan kelembagaan keuangan dan agribisnis ditingkat petani. MATERI DAN METODE Lokasi Penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) dengan alasan bahwa lokasi merupakan salah satu sentra sapi potong di Kabupaten Bantul. Dasar pertimbangan lain adalah lokasi merupakan daerah yang dijadikan model introduksi SIPT (Sistem Integrasi Padi Ternak). Data primer diperoleh dari hasil survei di sebagian Kabupaten Bantul. Data sekunder meliputi: data input usaha ternak sapi potong diuraikan dari Tabel input-output (BPS), total nilai ekspor, impor, pajak impor dan ekspor, data harga output dan input tradeable dari BPS serta nilai tukar rupiah terhadap dolar US. Salah satu model teknologi yang dapat dikembangkan adalah Sistem Integrasi PadiTernak. Teknologi ini memberdayakan peternak dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal yang terintegrasi sehingga didapatkan peningkatan produktivitas, efisiensi dan menguntungkan. Data primer dianalisis selama 5 (lima) tahun usaha ternak sapi potong (2001 – 2005). Pendekatan metode adalah penerapkan teknologi SIPT secara penuh pada dua kelompok ternak dengan masing-masing anggota 20 – 30 orang. Ternak dikandangkan dan dikelola bersama-sama. Pendekatan analisis dilakukan secara bertahap mulai dari analisis finansial dan investasi, analisis sentitivitas dan dilanjutkan dengan analisis
270
ekonomi yang merupakan cermin dari analisis komparatif. Jumlah responden identik dengan pemilikan satu ekor sapi dengan jenis Brahman Cross, Siemental dan Limousin. ANALISIS DATA Analisis pendapatan bersih usaha ternak sapi, merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya total kemudian dilakukan pula analisis investasi dengan melihat tingkat imbalan yang diterima dari modal yang sudah diinvestasikan. Kriteria investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Net Present Value (NPV), Net B/C, dan IRR. (GITTINGER, 1986). a. Net Present Value (NPV): merupakan selisih antara benefit (penerimaan) dengan cost (pengeluaran).
NPV
=
t=n
∑
t=i
( Bt − C t ) (1 + i ) t
Kriteria NPV yaitu: (1) NPV > 0 berarti usaha layak (2) NPV < 0 berarti sampai dengan t tahun investasi proyek tidak layak (3) NPV = 0 berarti tambahan manfaat proyek sama dengan tambahan biaya b. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio): merupakan perbandingan antara benefit bersih dari tahun ke tahun yang bersangkutan (pembilang/bersifat positif) dengan biaya bersih dalam tahun dimana B, - C, (penyebut/ bersifat negatif). ⎧ t=n ⎫ ⎧ t=n ⎫ B / C = ⎨ ∑ Bt /( 1 + i ) t ⎬ / ⎨ ∑ Ct /( 1 + i ) t ⎬ ⎩ i =1 ⎭ ⎩ i =1 ⎭
Kriteria Net B/C Ratio yaitu: (1) Net B/C Ratio > 1 berarti proyek menguntungkan (2) Net B/C Ratio < 1 berarti proyek tidak menguntungkan c. Internal Rate of Returns (IRR) yaitu: menunjukan kemampuan suatu proyek untuk menghasilkan suatu returns, atau tingkat
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
keuntungan yang akan dicapainya. IRR ini digunakan pedoman tingkat bunga (i) yang berlaku, walaupun sebetulnya bukan i, tetapi IRR akan selalu mendekati besarnya i tersebut. IRR
=
t = n
∑
t =1
(Bt − C t) = 0 (1 + i ) t
Kriteria IRR yaitu: 1. IRR > Social Discount Rate berarti usaha layak 2. IRR < Social Discount Rate berarti usaha tidak layak dimana: B = Manfaat penerimaan tiap tahun C = Manfaat biaya yang dikeluarkan tiap tahun t = Tahun kegiatan usaha (t = 1, 2,...n) i = Tingkat discount yang berlaku Kepekaan (sensitivitas) Harga output komoditi sapi sangat berfluktuasi, dan sangat rentan terhadap perubahan harga pasar. Sensitivitas dapat terjadi pada harga produk, biaya input dan produksi (output) baik itu secara parsial ataupun secara bersamaan (simultan) (KADARIYAH, 1988). Pendugaan analisis ini tergantung pada kebutuhan dan kondisi lapang. Pada kasus penelitian ini pendugaan analisis hanya terjadi pada perubahan harga output akhir yaitu harga sapi antara 10%, 15% dan 20%. Analisis kelayakan ekonomi dan keunggulan komparatif Perbedaan analisis ekonomi dengan finansial adalah, pada analisis ekonomi harga input dan output yang digunakan adalah harga bayangan (shadow price). Hal ini karena harga pasar yang terjadi tidak mencerminkan nilai produk marginal atau biaya opportunitasnya (ANONIMUS, 1998; GITTINGER, 1986). Karena output sapi diperdagangkan di pasar dunia (traded goods) maka perlu penyesuaian hargaharga c.i.f. (cost, insurance and freight) atau
f.o.b. (free-on-board) yang dikonversikan ke dalam nilai ekonomi dengan tarif yang relevan 1998). Hasil perhitungan (MASYHURI, didapatkan nilai STF = 0.984, sedangkan output dari sapi dan daging adalah nilai FOB value ($) US x SER. Langkah-langkah analisis komparatif meliputi tahapan (1) penentuan alokasi biaya input tradeable dan nontradeable, (2) alokasi biaya input asing dan domestik, (3) harga bayangan nilai tukar uang (exchange rate). Karena analisis komparatif ini berdasarkan data primer di tingkat kelompok tani/ ditingkat petani maka ada biaya distribusi dan transportasi. Secara terinci dapat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Alokasi biaya dalam komponen biaya domestik dan asing
Domestik (%)
Asing (%)
Bibit bakalan
100,00
0,00
Dedak
100,00
0,00
Hijauan makanan ternak
100,00
0,00
Garam mineral
50,00
50,00
Tenaga kerja
100,00
0,00
Lahan
100,00
0,00
Kandang dan peralatan
50,00
50,00
Obat-obatan dan IB
50,00
50,00
Bahan bakar minyak
50,00
50,00
Uraian jenis biaya
Listrik
50,00
50,00
Air
50,00
50,00
Lain-lain biaya
50,00
50,00
Sumber: i) Data Primer; ii) Tabel Input-Output Indonesia 1995; iii) RACHMAN (1995)
Untuk alokasi biaya input tradeable dan nontradeable, meliputi: biaya bibit/bakalan, dedak, hijauan pakan ternak, jerami, garam mineral, konsentrat, tenaga kerja, lahan, BBM, listrik, obat-obatan, kandang dan peralatannya. Sedangkan untuk alokasi biaya input produksi dan biaya niaga domestik dan asing meliputi bongkar dan muat barang, karantina dan pengangkutan. Secara terinci disajikan pada Tabel 2.
271
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 2. Alokasi biaya niaga pada komponen biaya domestik dan asing
Domestik (%)
Asing (%)
Pajak (%)
Bongkar dan muat barang
Uraian
100,00
0,00
0,00
Karantina
50,00
45,00
5,00
Pengangkutan
44,32
54,47
1,21
Sumber: Tabel input-output Indonesia (1995)
Keunggulan komparatif identik dengan kelayakan ekonomi, dengan kata lain bahwa aktivitas ekonomi akan memberikan keunggulan komparatif jika keuntungan sosial bersih tradeable > biaya sumberdaya domestik. Keunggulan komparatif dilakukan dengan melihat Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) yaitu perbandingan antara Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) dengan harga bayangan nilai tukar uang (V). Sehingga KBSD = Nilai BSD/V. Hubungan antara BSD dengan KBSD: (1) Bila KSB = 0, maka BSD = V1, sehingga KBSD = 1 (2) Bila KSB > 0, maka BSD < V1, sehingga KBSD < 1 (3) Bila KSB < 0, maka BSD > V1, sehingga KBSD > 1 Sehingga KBSD dapat digunakan sebagai tolok ukur keunggulan dengan kriteria: (1) Bila KBSD < 1, berarti mempunyai keunggulan komparatif, dan (2) Bila KBSD > 1, berarti tidak mempunyai keunggulan komparatif Shadow price input yaitu: bibit bakalan, sewa lahan, pajak, transportasi dan tenaga kerja. Nilai social opportunity cost dari input yang diperdagangkan diasumsikan sebagai harga batasnya, sedangkan input yang tidak diperdagangkan tetapi memiliki komponen impor dinilai dengan social opportunity cost dikonversikan ke dalam nilai batas dengan standar konversi. Sedangkan harga bayangan lahan dengan membagi OCC (Opportunity Cost of Capital) sebesar 12% (sesuai tingkat suku bunga) x SCf (standard conversion factor) yaitu 0,909. Sedangkan nilai tukar merupakan OER/SCf.
272
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis finansial Pendekatan arus tunai berdiskonto dengan tingkat bunga 12%/tahun atau discount factor 1% per bulan sesuai dengan suku bunga komersial. Output yang dihasilkan adalah anak sapi siap jual dengan bobot badan, umur sesuai harga pasar; kompos hasil pengolahan limbah sapi dikemas dalam ukuran plastik ukuran 5 kg. Pada kasus penelitian ini untuk sapi afkir (sesuai umur ekonomis) tidak diperhitungkan. Investasi awal adalah: kandang kelompok, tempat prosesing limbah/kompos, tempat prosesing jerami, peralatan kerja/habis pakai dan pembelian sapi bakalan/siap bunting. Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan setiap tahun terdiri dari sewa lahan kandang, pajak dan peralatan kerja. Biaya yang dikeluarkan untuk operasional yang terdiri dari :probiotik jerami, konsentrat, probiotik kompos, serbuk gergaji, BBM/listrik, obatobatan, vaksin, IB, transportasi untuk jerami dan sapi, pupuk urea, pupuk SP-36 dan tenaga kerja (luar dan sendiri). Hasil analisis finansial disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha sapi potong ini layak dengan indikator nilai Net B/C > 1,0 yaitu 1,80 artinya bahwa usaha ini menguntungkan dan memberikan manfaat. Berdasarkan analisis kelayakan investasi dengan melihat indikator nilai IRR dan NPV juga layak dan menguntungkan, dimana nilai Internal Rate of Return (IRR) aktual yaitu 22% atau > IRR estimate (12%). Berdasarkan nilai NPV memberikan hasil positif sebesar Rp. 54.095.000 (Tabel 4), artinya usaha ini layak dengan perhitungan waktu investasi selama 5 (lima) tahun.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 3. Analisis finansial usaha sapi di Kabupaten Bantul tahun 2001 – 2005. (x Rp. 1000)
Tahun Uraian
2001
2002
2003
2004
2005
(T0)
(T1)
(T2)
(T3)
(T4)
Total penerimaan
0
111.378
268.298
268.298
268.298
Penjualan sapi
0
62.000
218.920
218.920
218.920
Penjualan kompos
0
49.377,6
49.377,6
49.377,6
49.377,6
0
0
Pengeluaran Biaya investasi Pembuatan kandang sapi
225.100 40.000
0
0
Tempat prosesing kompos
5.000
0
0
0
0
Tempat prosesing jerami
5.000
0
0
0
0
Peralatan kerja
800
0
0
0
0
Pembelian sapi (40 ekor)
174.300
0
0
0
0
0
2.524
2.524
2.524
2.524
Sewa lahan kandang
0
1.968
1.968
1.968
1.968
Pajak
0
56,4
56,4
56,4
56,4
Peralatan kerja
0
500
500
500
500
Biaya tetap
Biaya variabel
0
89.840
90.040
90,240
90,440
Probiotik jerami
0
31.200
31.200
31.200
31.200
Konsentrat
0
21.160
21.160
21.160
21.160
Probiotik kompos
0
13.716
13.716
13.716
13.716
Serbuk gergaji
0
2.640
2.640
2.640
2.640
Listrik
0
960
960
960
960
Obat, vaksin
0
9.210
9.210
9.210
9.210
Transpor
0
3.840
3.840
3.840
3.840
Urea
0
4.200
4.200
4.200
4.200
SP-36
0
914,1
914,1
914,1
914,1
Tenaga kerja
0
2.000
2.200
2.400
2.600
Total pengeluaran
225.100
92.365
92.565
92.765
92.965
Pendapatan bersih
(225.100)
19.013
175.733
175.533
175.333
df 12%
1
0,892
0,792
0,711
0,635
Present value
(225.100)
16.960
139.181
124.804
111.337
Total PV positif (tahun 1 – 5)
375.321
Total PV negatif (tahun 0)
(208.140)
Net B/C ratio = F/G
1,80
Sumber: DATA PRIMER (2005)
273
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 4. Analisis investasi berdasarkan aliran kas (T0 – T4)
Aliran kas/tahun
Nilai (Rp.)
Aliran kas tahun ke-0
-(225.100.000)
Aliran kas tahun ke-2
+ 139.181.000
Aliran kas tahun ke-3
+ 124.804.000
Aliran kas tahun ke-4
+ 111.337.000
IRR estimate
12%
IRR aktual
22%
NPV
54.095.000
Kesimpulan
Layak
Sumber: ANALISIS DATA PRIMER (2005)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan ketiga kriteria indikator kelayakan (B/C, IRR dan NPV) usaha sapi potong model Sistem Integrasi Padi – Ternak di Kabupaten Bantul layak untuk dikembangkan. Analisis sensitivitas Pendekatan analisis sensitivitas dilakukan karena harga output (sapi) sangat rentan terhadap perubahan harga, sedangkan biaya input, produksi dan penerimaan kompos dianggap sama/tetap. Pendekatan perubahan harga output sapi dibagi tiga criteria yaitu asumís terjadi penurunan harga sapi 10%, 15% dan 20%. Hasil analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, dengan indikator kriteria Net B/C, IRR dan NPV, dengan model 1. asumsi harga sapi turun sebesar 10% didapatkan Net B/C > 1,0 yaitu 1,54; nilai IRR aktual > IRR estimate dan NPV positif sebesar Rp. 19.565.000. Artinya bahwa berdasrakan kriteria penurunan harga sapi 10% usaha sapi ini masih layak. Begitu pula dengan asumsi bahwa bilamana harga sapi turun sebesar 15% usaha ini masih layak dengan
indikator nilai Net B/C >1; IRR > 12% dan NPV positif sebesar Rp. 2.300.000. Namun apabila terjadi penurunan harga sapi sebesar 20% maka usaha ini menjadi tidak layak dengan idikator IRR actual 10,74% < IRR estimate, dan nilai NPV menjadi negatif sebesar Rp. 14.965.000. Analisis komparatif Pada kasus perhitugan keunggulan komparatif sapi potong di Kabupaten Bantul ini hanya ditujukan pada hasil produksi sapi potong, sistem produksi serta pada pengelolaanya. Pendekatan keunggulan komparatif berdasarkan nilai KBSD. Apabila nilai < 1 berarti usaha ternak sapi mempunyai keunggulan komparatif. Berdasarkan persentase komposisi biaya domestik dan asing serta alokasi biaya input disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan komposisinya, alokasi biaya input domestik adalah Rp. 101,662,600 meliputi biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Sedangkan untuk alokasi biaya input asing adalah Rp. 52.024.100. Jumlah keseluruhan biaya adalah Rp. 153.686.700. Usaha ternak sapi potong dalam negeri dikatakan mempunyai keunggulan komparatif jika memiliki nilai KBSD < 1,0, dengan kata lain bahwa produksi sapi potong secara ekonomi layak untuk diusahakan karena lebih menguntungkan diproduksi di dalam negeri dari pada diimpor. Berdasarkan hasil analisis komparatif usaha ternak sapi di Kabupaten Bantul ternyata memberikan nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) < 1, yaitu 0,57 (Tabel 7), artinya bahwa produksi sapi model SIPT memiliki keunggulan komparatif (Comparative Advantage), sehingga usaha ini layak dan memberikan keuntungan untuk diproduksi di dalam negeri daripada di impor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian SIMATUPANG dan RUSASTRA (1990)
Tabel 5. Analisis sensitivitas berdasarkan penurunan harga output sapi di Kabupaten Bantul (2001 – 2005)
Model
Kriteria
Net B/C
IRR (%)
NPV (Rp)
Keterangan
1
Harga sapi - 10%
1,54
16,00
+ 19.565.000
Layak
2
Harga sapi - 15%
1,41
12,5
+ 2.300.000
Layak
3
Harga sapi - 20%
< 1,00
10,74
- 14.965.000
Tidak layak
Sumber: DATA PRIMER (2005)
274
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 6. Komposisi dan alokasi biaya input usaha sapi di Kabupaten Bantul rerata dari 4 tahun (2002 – 2005)
Komposisi (%)
Alokasi biaya input (Rp.) Domestik
Asing
Total biaya input (Rp.)
Pengeluaran total (1 + 2 + 3)
101.662.600
52.024.100
153.686.700
Biaya investasi (5 tahun)
51.077.000
6.350.000
57.427.000
Uraian
Domestik
Asing
Pembuatan kandang sapi
50
50
5.000.000
5.000.000
10.000.000
Pembuatan tempat prosesing kompos
50
50
625.000
625.000
1.250.000
Pembuatan tempat prosesing jerami
50
50
625.000
625.000
1.250.000
50
50
100.000
100.000
200.000
100
0
44.727.000
-
44.727.000
2.274.000
250.000
2.524.000
Peralatan kerja Pembelian sapi*) Biaya tetap Sewa lahan kandang
100
0
1.968.000
-
1.968.000
Pajak
100
0
56.000
-
56.000
50
50
Peralatan kerja Biaya variabel
250.000
250.000
500.000
48.311.600
45.424.100
93.735.700 31.200.000
Probiotik jerami
50
50
15.600.000
15.600.000
Konsentrat
50
50
10.580.000
10.580.000
21.160.000
Probiotik kompos
50
50
6.858.000
6.858.000
13.716.000
100
0
2.640.000
-
2.640.000
Listrik*)
50
50
720.000
720.000
1.440.000
Obat, vaksin
50
50
4.605.000
4.605.000
9.210.000
Serbuk gergaji
Transpor*)
30
70
1.382.400
3.225.600
4.608.000
Urea*)
50
50
3.150.000
3.150.000
6.300.000
SP-36*)
50
50
685.500
685.500
1.371.000
100
0
2.090.700
-
2.090.700
Tenaga kerja*) *) Penyesuaian dengan harga bayangan Sumber: DATA PRIMER (2005)
yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat dan Jawa Timur memberikan keunggulan komparatif pada usaha sapi potong. Hal ini karena didukung dengan sumberdaya domestik sesuai, manajemen tertata dengan baik serta adanya nilai tambah dari hasil kotoran sapi yang diproses menjadi kompos serta memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal berbeda dari hasil penelitian SUNANDAR (2005) yang dilakukan di Kabupaten Gunung Kidul, DIY ternyata hasilnya sebaliknya dimana usaha ternak sapi potong di wilayah ini tidak memiliki keunggulan komparatif (Comparative Disadvantage).
Tabel 7. Keunggulan komparatif (KBSD) usaha ternak potong model SIPT di Kabupaten Bantul
Uraian
Nilai (Rp.)
Penerimaan ekonomi
229.068.000
Biaya ekonomi
153.686.700
Biaya ekonomi domestik
101.662.600
Biaya ekonomi asing
52.024.100
Keuntungan ekonomi (1 – 2)
75.381.300
Nilai tambah ekonomi (1 – 4)
177.043.900
KBSD (3 : 6)
0,57
Sumber: DATA PRIMER (2005)
275
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Keunggulan komparatif sapi potong yang diusahakan dengan model SIPT ini selain manajemen relatif baik, bibit ternak sapi relatif baik, pemberian konsentrat serta intensif akan memberikan produktivitas yang tinggi. Dengan sistem produksi model kelompok (skala ekonomis dengan model skala perusahaan) dan terintegrasi dengan padi sawah juga memberikan nilai tambah dari jerami dan setelah difermentasi dapat ditingkatkan nilai gizinya.
komoditas pertanian sesuai dalam GATT, NAFTA, dan AFTA. UCAPAN TERIMA KASIH Kepada Sdr. Thomas Kristianto Nugroho (alumnus Pascasarjana Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gajah Mada), yang sekarang bekerja di Global TV Jakarta. DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan. Dari hasil analisis komparatif usaha ternak sapi potong model SIPT selama (5) tahun mulai tahun 2001 s.d. 2005 di Kabupaten Bantul disimpulkan: (1) sisi finansial usaha ternak sapi potong menguntungkan dengan indikator Net B/C > 1,0 yaitu 1,8, artinya bahwa usaha ini menguntungkan dan memberikan manfaat; (2) Berdasarkan analisis investasi juga layak dan menguntungkan, dimana nilai Internal Rate of Return (IRR) aktual yaitu 22% atau > IRR estimate (12%), serta nilai Net Present Value (NPV) positif sebesar Rp. 54.095.000; (3) sisi sensitivitas, walaupun terjadi penurunan harga sapi potong (10 – 15%) usaha ini masih menguntungkan dengan indikator Net B/C > 1,0 yaitu 1,41 s.d. 1,54 ; NPV positif sebesar + 2.300.000 s.d. + 19.565.000 dan IRR aktual > IRR estimate, yaitu 12,50 s.d. 16,00; Namun pada penurunan harga 20% usaha ternak sapi potong merugi karena IRR aktual < IRR estimate dan NPV negatif, (4) pengelolaan sapi potong model SIPT memiliki keunggulan komparatif dengan indikator nilai KBSD atau DRCC (Domestic Resources Cost Coeficient) < 1,0 yaitu 0,57. Implikasi Kebijakan. (1) Perlu kebijakan yang bersifat dan terkondisikan ideal pada penentuan harga bayangan sapi potong yang tinggi dengan harga input yang rendah; (2) Mempertinggi harga bayangan daging sapi dengan penerapan tarif impor sehingga output sapi domestik mampu bersaing secara kompetitif dengan sapi impor. Ini masih mungkin diterapkan karena kebijakan tarif oleh pemerintah masih rendah (< 5%), dan masih relevan dengan ketentuan pengurangan tarif
276
BADAN PUSAT STATISTIK D.I. YOGYAKARTA. 2004. Yogyakarta dalam Angka 2004 – 2005. Badan Pusat Statistik Prop. D.I.Yogyakarta. BADAN PUSAT STATISTIK. 1995. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri. Import. Edisi Juni 2004. Badan Pusat Statistik. Jakarta. BADAN PUSAT STATISTIK. 2004. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri. Import. Edisi Juni 2004. Badan Pusat Statistik. Jakarta. DINAS PERTANIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. 2005. Statistik Peternakan. 2000 – 2004. Dinas Pertanian Prop. D.I. Yogyakarta. GARRISON dan NORREN. 2001. Akutansi Manajerial Diterjemahkan oleh Totok Budi Santoso. Salemba Empat. Jakarta. GITTINGER, J.P. 1986. Analisis Ekonomi ProyekProyek Pertanian. Eds. (II). Universitas Indonesia Press. John Hopkins. Jakarta. KADARIAH. 1988. Evaluasi Proyek Analsis Ekonomis. Edisi Kedua. LPFE – UI. Jakarta. DIWYANTO, K. dan BUDI HARYANTO. 2000. Restrukturisasi Peta Kesesuaian dan Pemberdayaan Sumberdaya Unggulan. Makalah disampaikan dalam “Revitalisasi Keterpaduan Unggul Ternak dalam Sistem Usaha Tani”. Bogor, 21 Februari – 6 Maret 2000. MASYHURI. 1992. Perangsang Ekonomi dan Keunggulan Komparatif Produksi Beras dan Palawija Indonesia. Ilmu Pertanian. 5(1): 529 – 539. NASIR, M. 1988. Metode Indonesia. Jakarta.
Penelitian. Ghalia
PUDJOSUMARTO, M. 1998. Evaluasi Proyek, Uraian Singkat dan Soal Jawab. Fakultas Ekonomi Brawijaya Malang. Edisi Kedua. Liberty. Yogyakarta.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
RAHCMAN, B. 1995. Dampak Keberhasilan Putaran Urugay (GATT) Terhadap Usaha Pengembangan Ternak Sapi Perah di Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor (Unplished). SIMATUPANG, P. and W. RUSASTRA. 1990. Comparative Advantage and Policy Incentive of Production in Java and East Nusa Tenggara. Center For Agro Economic Research, Bogor.
SUNANDAR. 2005. Keunggulan Komparatif Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Gunung Kidul. Januari 2006. Universitas Janabadra Yogyakarta. Agros. 8(1): 43 – 54. TIM JUKNIS SIPT. 2001. Petunjuk Teknis SIPT. Petunjuk Teknis Operasional SIPT Propinsi DIY. Dinas Pertanian. Bagian Proyek Pengembangan Padi Terpadu. Daerah Istimewa Yogyakarta.
SUNANDAR. 2005. Analisis Insentif Ekonomi, Keunggulan Komparatif, dan Keunggulan Kompetitif Usahaternak Sapi Potong di Kabupaten Gunung Kidul. Disertasi. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (Unpublished).
277