1
Pengarahan Pusat Pertumbuhan Melalui Analisis Keunggulan Komparatif di Kabupaten Garut Endah Djuwendah, Hepi Hapsari, Erna Rachmawati Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Korespondensi :
[email protected] ABSTRACT The Guidance for Center of Growth and Services Area Through Comparative Advantage Analysis at The District of Garut The agricultural sector plays an important role in social economic life of Garut. Therefore, regional development strategies in accordance with the potentiality of agricultural resources are absolutely necessary in Garut regency.The aims of this research ware (1) to identify the agricultural commodities basis and the area could be become the priority to be developed in Garut, (2) to know the localizastion of commodities and specialization of agricultural activity in each sub-district, (3) to know a hierarchy system of service and growth areas
which supported the
development of area in Garut. The results showed superior agricultural commodities to be developed are food crops namely rice, peanuts, soybeans, corn and cassava; horticultural commodities are potatoes, chili, carrots, tomatoes, alpuket, tangerines, bananas and papayas. Superior agricultural commodities showed a tendency localized in several subdistricts.
The 31sub-districts (% 73.81) had a tendency of specialization of
agricultural activities, while 11 sub-districts (26.19%), others do not specialize in agricultural activities in some specific commodities. Sub Karangpawitan Garut City and a point of growth. There are six sub-district as the main service centers, 13 district as a local service center and the 23 district which became the center of the smallest service. Keywords: Growth Center, service center, comparative advantage
2
ABSTRAK Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Garut. Oleh karena itu strategi pengembangan daerah yang sesuai dengan potensialitas sumberdaya pertanian mutlak diperlukan di Kabupaten Garut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1)komoditas pertanian yang menjadi unggulan untuk dikembangkan di Kabupaten Garut, dan 2) sistem hierarki pusatpusat pelayanan dan pertumbuhan
yang mendukung pengembangan wilayah di
Kabupaten Garut. Hasil penelitian menunjukkan Komoditas
pertanian unggulan untuk
dikembangkan adalah komoditas tanaman pangan yaitu padi sawah, kacang tanah, kedelai, jagung dan ubi kayu; komoditas hortikultura yaitu kentang, cabe besar, wortel, tomat, alpuket, jeruk keprok,
pisang dan pepaya.
Komoditas unggulan
pertanian tersebut menunjukkan kecenderungan terlokalisasi di beberapa kecamatan. 31 Kecamatan (73,81%) memiliki kecenderungan spesialisasi sedangkan 11 kecamatan (26,19%) lainnya
tidak
kegiatan pertanian
mengkhususkan kegiatan
pertaniannya pada beberapa komoditas tertentu. Kecamatan Garut Kota dan Karangpawitan
merupakan titik pertumbuhan. Terdapat 6 Kecamatan sebagai pusat
pelayanan utama, 13 kecamatan sebagai pusat pelayanan lokal dan 23 Kecamatan menjadi pusat pelayanan terkecil. Kata kunci : Pusat Pertumbuhan, pusat pelayanan, keunggulan komparatif
PENDAHULUAN Selama ini Kabupaten Garut telah dikenal sebagai sentra produksi tanaman pangan, sayuran dan buah-buahan serta perkebunan yang potensial di Jawa Barat. Pada tahun 2008 sektor pertanian memberi sumbangan terbesar terhadap perekonomian Kabupaten Garut yaitu Rp.7.912,94 miliar (38,86%) dari total Pendapatan kotor daerah (PDRB) atas dasar harga berlaku. Kondisi tersebut dapat dimengerti, karena perekonomian wilayah Garut masih
di dominasi oleh sektor
3
pertanian. Hal ini terlihat dari sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sektor ini serta sebagian besar( hampir mencapai 75 % lahan di wilayah Kabupaten Garut digunakan untuk kegiatan di sektor pertanian (Pemda Garut, 2009). Secara administrasi Kabupaten Garut memiliki
wilayah cukup luas yaitu
306.519 Hektar yang terbagi atas 42 kecamatan dan 419 desa/ kelurahan. Dengan mengembangkan wilayah pedesaan maka paling sedikitnya sebesar 75 % penduduk tersentuh oleh pembangunan tersebut. Sebaliknya bila pembangunan tidak diarahkan ke wilayah pedesaan, maka akan berakibat sebagian besar penduduk tidak dapat menikmati pembangunan yang pada gilirannya
berpengaruh terhadap penurunan
produktifitas pertaniannya. Secara spasial basis pembangunan pertanian adalah pembangunan pedesaan. Oleh karena itu
pembangunan pedesaan di daerah sentra produksi melalui
pengembangan daerah pusat pertumbuhan perlu lebih dimantapkan agar memiliki keunggulan komperatif dan keberlanjutan (Departemen Pertanian, 2002). Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Anderson dan Rajul Pradya (2003) yang
mengemukakan
pembangunan
perlunya
memfasilitasi
pertumbuhan
pedesaan melalui perbaikan infrastruktur
perbaikan aksesibilitas terhadap input
faktor secara tepat.
pertanian dan
pedesaan, pasar dan Adanya infrastruktur
ekonomi yang memadai merupakan prakondisi bagi tumbuh kembangnya kegiatan agribisnis dan perekonomoian di pedesaan. Selama ini industri yang dianggap dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah pedesaan dan menunjukkan rantai dan cabang usaha yang terkait (lingkage) dengan sektor pertanian dan industri adalah agroindustri. Desa-desa memiliki potensi yang besar di sektor pertanian dan memiliki keunggulan komparatif sehingga pembangunan
ekonominya
harus
bersifat
resource
Sehubungan dengan itu diperlukan pengkajian karakteristik wilayah pedesaan dan keunggulan komparatif.
based
atau
agrobased.
secara komprehensif terhadap
kegiatan usaha pedesaan yang memiliki
Pengetahuan mengenai keunggulan komparatif suatu
4
daerah sangat membantu kelancaran pembangunan pertanian di daerah yang bersangkutan karena kegiatan/komoditas potensial yang ada diharapkan
dapat
menjadi tulang punggung perekonomian wilayah guna mempercepat integrasinya ke dalam struktur pusat-pusat pertumbuhan regional. Pada dasarnya pusat wilayah mempunyai hierarki yang ditentukan oleh :(a) Jumlah penduduk yang bermukim pada pusat tersebut, (b) Jumlah fasilitas pelayanan umum yang tersedia, dan (c) Jumlah jenis fasilitas pelayanan umum yang tersedia (Budiharsono, 2001). Kota Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan dan pelayanan harus dapat menyediakan fasilitas-fasilitas pelayanan yang diperlukan oleh masyarakat setempat. Agar fasilitas pelayanan tersebut efektif dan efisien, maka penyebarannya dapat dikonsentrasikan pada titik tertentu berdasarkan hiearkinya.
Konsentrasi
tersebut akan menguntungkan karena dapat menghemat dana anggaran pembangunan dan menghindarkan duplikasi pembangunan. Pemusatan fasilitas pelayanan tersebut merupakan bentuk usaha mengkonsentrasikan kegiatan pembangunan.
METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah survey deskriptif dengan unit analisis 42 kecamatan di Kabupaten Garut dan obyek penelitiannya adalah
produksi sektor
pertanian dan kondisi sarana prasanana ekonomi dan sosial yang berada di Kabupaten Garut. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari arsip, catatan, dokumen dan informasi dari Bappeda, Dinas Pertanian dan BPS Kabupaten Garut. Teknis analisis data menggunakan Quesien lokasi, analisis Koefisien Lokalisasi (α), analisis koefisien Spesialisasi (β), Analisis Ketersediaan Fasilitas Sosial Ekonomi, metode skalogram dan metode Skorsentralitas. Analisis Location Quatient (LQ) Koefisien Lokalisasi (α) dan Spesialisasi (β) Penilaian potensialitas pertanian dalam penelitian ini dilihat dari tingkat produksi dan dianalisis menggunakan Analisis Location quotient (LQ), Koefisien lokalisasi (α) dan spesialisasi (β). Location quotient (LQ) merupakan perbandingan
5
antara produksi relatif suatu sektor dalam suatu daerah dengan total produksi relatif sektor pada tingkat daerah yang lebih luas sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif suatu wilayah bagi sektor yangtelah lama berkembang(Tarigan, 2004). Koefisien lokalisasi
adalah indikator untuk melihat penyebaran kegiatan
pertanian di suatu daerah sedangkan koefisien spesialisasi adalah indikator untuk melihat ada tidaknya spesialisasi kegiatan pertanian di suatu daerah. LQ = (Si/Ni)/(Si/N) atau (Si/S)/(Ni/N) Analisis Koefisien lokalisasi (α)
α = Si/Ni- S/N Analisis koefisien spesialisasi (β) β = Si/S- Ni/N keterangan : Si
= Jumlah rpoduksi sektor i pada tingkat kecamatan
S
= Jumlah produksi seluruh sektor pda tingkat kecamatan
Ni
= Jumlah produksi sektor i pada tingkat Kabupaten
N
= Jumlah produksi seluruh sektor pada tingkat Kabupaten
Analisis Hierarki Pusat Pertumbuhan Sebelumnya dilakukan
pengelompokan ketersediaan sumberdaya manusia
dan sarana-prasarana pendukung aktifitas sosial ekonomi dalam kategori, sedang dan tinggi. Peringkat pusat pertumbuhan diperoleh dengan metode skorsentralitas dan skalogram. Setelah diketahuinya peringkat pusat pertumbuhan dan fasilitas pelayanan maka struktur dan organisasi tataruang wilayah Kabupaten Garut dapat diketahui.
HASIL DAN PEMBAHASAN Komoditas Basis dan Lokalisasi Kegiatan Pertanian di Kabupaten Garut Penetapan komoditas unggulan tidak hanya berdasarkan hasil analisis basis yang dasar perhitungannya sangat tergantung pada data produksi komoditas namun sehingga komoditas lama yang telah menjadi trade mark (lokal spesific) akan
6
tersisihkan karena produksinya relatif kecil (Djuwendah, 2006).
Oleh karena itu
dipertimbangkan juga komoditas unik daerah seperti jeruk keprok yang lebih dikenal sebagai
jeruk Garut, walaupun produksinya relatif kecil tetap dipertimbangkan
sebagai komoditas unggulan daerah. Tabel 1. Koefisien lokasi (LQ) dan lokalisasi (α) komoditas Pertanian Kabupaten Garut Produksi Jlh No Komoditas LQ α (Ton) Kecamatan 1 Padi sawah 586.343 38 1.43 0.84 2 Jagung 285.674 35 2.54 0.81 3. Ubi kayu 507.446 36 2.80 0.80 4 Kacang tanah 29.926 33 1.81 0.81 5 Kedelai 7.872 29 1,32 0,93 6 Kentang 110.018 17 2,38 0.97 7 Tomat 88.980 28 1,35 0.93 8 Cabe besar 67.388 31 1,29 0.90 9 Wortel 24.857 13 1.76 0.98 10 Pisang 104.727 33 2,58 0,92 11 Pepaya 61.318 5 1,27 0,87 12 Alpuket 37.421 33 1,12 0,91 13 Jeruk keprok 8.119 26 1,06 0.95 14 Mangga 27.680 34 1,14 0,89 Berdasarkan analisis LQ dan koefisien lokalisasi (α), diperoleh 14 komoditas pertanian yang potensial menjadi komoditas unggulan di Kabupaten Garut. Pada kelompok palawija, padi sawah menempati posisi pertama yang tersebar di 33 kecamatan dengan kemampuan menghasilkan padi melewati kebutuhan wilayahnya (sektor basis). Pada kelompok hortikultura kentang menduduki peringkat pertama yang tersebar di 17 kecamatan sentra selanjutnya diikuti oleh pisang yang tersebar di 33 kecamatan sentra. Berdasarkan analisis koefisien lokalisasi (β) pada Tabel 2, diketahui 33 kecamatan (78,57 %) menunjukkan kecenderungan melakukan spesialisasi kegiatan pertaniannya pada beberapa komoditas tertentu. Sedangkan 9 kecamatan lainnya
7
(21,53%) memiliki kecenderungan tidak melakukan spesialisasi kegiatan pertanian pada komoditas tertentu tetapi lebih beragam. Tabel 2. Koefisien Spesialisasi (β) komoditas Pertanian di Kabupaten Garut No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kecamatan Cisewu Caringin Talegong Bungbulang Mekarmukti Pamulihan Pekenjeng Cikelet Pameungpeuk Cibalong Cisompet Singajaya Cihurip Peundeuy Cikajang Banjarwangi Cilawu Bayongbong Cikedug Cisurupan Sukaresmi
Nilai β No Kecamatan 0,22 22 Samarang 0,98 23 Pasirwangi 0,17 24 Tarogong kidul 0.98 25 Tarogong kaler 0.98 26 Garut kota 0,98 27 Karangpawitan 0,40 28 Wanaraja 0,68 29 Sucinagara 0.98 30 Pangatikan 0,98 31 Sukawening 0,98 32 Karangtengah 0,75 33 Banyuresmi 0,72 34 Leles 0,98 35 Leuwigoong 0,98 36 Kadungora 0.95 37 Cibiuk 0,84 38 Cibatu 0,37 39 Kersamanah 0,24 40 Malangbong 0,96 41 Limbangan 0,72 42 Selaawi
Nilai β 0,79 0,79 0,75 0,48 0,95 0.72 0,48 0,17 0,98 0,98 0,90 0,60 0,82 0,98 0,97 0,26 0,36 0,50 0,67 0,37 0,72
Menurut Direktorat jenderal Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan prasarana wilayah (2003), suatu wilayah pertanian sebaiknya dikembangkan menjadi kawasan agropolitan yang ditunjang oleh ketersediaan sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai, memiliki sarana dan prasarana agribisnis yang memadai, memiliki sarana dan prasarana sosial yang memadai serta adanya upaya menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup. Oleh karena itu guna mendorong pertumbuhan wilayah
berbasis
komoditas
pertanian
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan wilayah.
unggulan(agropolitan)
diperlukan
8
Hierarki Pusat Pertumbuhan dan Pelayanan Hasil analisis metode skalogram dan skorsentralitas terhadap kelima variabel penentu pusat pertumbuhan dan kawasan penyangganya (hinterland) yaitu jumlah penduduk, tingkat keterpusatan, aksesibiltas, ketersediaan fasilitas ekonomi dan fasilitas sosial diperoleh tipe pusat pelayanan dan pertumbuhan wilayah Kabupaten Garut seperti tertera pada Tabel 3. Tabel 3 . Tipe Pusat Pelayanan dan Pertumbuhan Kabupaten Garut No 1. 2. 3.
4.
Pusat-pusat Titik pertumbuhan (Tipe I) Pusat Pelayanan Utama (Tipe II) Pusat pelayanan kecil (Tipe III) Pusat Pelayanan Terkecil (Tipe IV)
Wilayah Kecamatan Garut Kota , Karangpawitan, Bayongbong, Tarogong Kidul, Kadungora, Leles, Limbangan, Cibatu Malangbong, Cilawu, Cisurupan, Cikajang, Bungbulang, Pakenjeng, Banyuresmi, Selaawi, Singajaya, Talegong, Cisewu Banjarwangi, Cikelet, Sukawening, Cisompet, Samarang, Pameungpeuk, Pasirwangi, Mekarmukti, Karangtengah Sukaresmi, Pangatikan, Sucinagara, Leuwigoong, Pamulihan, Cihurip, Cibiuk, Kersamanah, Cikedug, Peundeuy, Cibalong, Caringin, Tarogong Kaler, Wanaraja
Kecamata Garut Kota dan Karangpawitan merupakan wilayah yang berada pada tipe I yang merupakan titik pertumbuhan. Wilayah belakang yang dilayaninya terdiri atas pusat-pusat pelayanan utama dengan hierarki yang lebih rendah. Kecamatan-kecamatan
sebagai pusat pertumbuhan ini harus mampu
menjadi
penggerak pembangunan bagi seluruh wilayah belakangnya dan dalam jangka panjang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian Kabupaten Garut. Kecamatan yang berfungsi sebagai pusat pelayanan utama meliputi 6 kecamatan (14,28%) dan berperan untuk melayani pusat-pusat
pelayanan kecil
dengan hierarki yang lebih rendah. Kecamatan yang termasuk pusat pelayanan kecil berjumlah 11 buah (26,19%) yang berperan untuk melayani pusat pelayanan terkecil dengan hierarki yang lebih rendah. Pusat pelayanan terkecil mencakup 23 kecamatan (54,76%) dan bertugas hanya melayani desa-desa di sekitarnya.
9
Semakin banyak wilayah yang berada pada tipe tertinggi yaitu tipe I dan II akan semakin banyak
wilayah integrasi karena memiliki keterkaitan fungsional
dengan wilayah hinterlandnya. Hal ini sangat baik bagi wilayah belakang karena semakin dekat dengan pusat-pusat pelayanan dan pertumbuhan (Hanafiah dalam Gita Anggi , 2005) Sebaliknya semakin banyak wilayah yang berada pada tipe III dan IV berarti semakin sedikit wilayah interaksi sehingga menunjukkan semakin tingginya ketimpangan wilayah. Berdasarkan hasil penelitian Wahid Abdul (2006), terdapat ketimpangan wilayah di Kabupaten Garut terkait dengan perbedaan keadaan geografis dan potensi fisik wilayah dimana wilayah kaya sebagian besar berada di Garut Utara (SWP I) dan wilayah miskin
berada di
Garut Selatan (SWP II dan SWP III) kecuali
kecamatan Karang Tengah, Kersamanah dan Cibiuk. Hal senada dikemukakan oleh Dicky Achmad (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia berdasarkan penetapan oleh Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Di dalam internal Wilayah Kabupaten Garut terdapat ketimpangan wilayah dimana perkembangan fisik wilayah bagian utara lebih maju dibandingkan bagian selatan. Faktor geografis wilayah bagian selatan merupakan faktor utama lainnya terhadap ketimpangan tersebut. Dalam kaitannya dengan pembangunan daerah Kabupaten Garut, pelayanan dan pertumbuhan tipe I dan II
pusat
ternyata berada pada sub wilayah
pembangunan kesatu (SWP I ), sedangkan tipe III dan IV pada umumnya berada pada sub wilayah pembangunan kedua dan ketiga (SWP II & SWP III). Dengan demikian pembangunan di sub wilayah pembangunan dua dan tiga harus lebih diprioritaskan lagi guna meningkatkan kinerja pemerintahan, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Meninjau misi Pemda Kabupaten Garut diantaranya adalah mengembankan ekonomi kerakyatan berbasis agrobisnis, agroindustri dan pariwisata disertai
10
pengembangan budaya lokal serta meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur wilayah sesuai dengan daya dukung dan fungsi ruang (Pemda Kabupaten Garut, 2008) serta sejalan dengan temuan dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
maka perlu adanya suatu konsep pembangunan wilayah (regional
development) di Kabupaten Garut yang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah setempat sebagai upaya dalam mengurangi ketertinggalan tersebut sekaligus memacu
pertumbuhan ekonomi
yang akan
berpengaruh
terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat Kabupaten Garut.
SIMPULAN DAN SARAN 1. Terdapat 14 Komoditas basis pertanian yang layak menjadi komoditas unggulan Kabupaten Garut
yaitu
padi sawah, kacang tanah, ubi kayu,kedelai, jagung,
kentang, cabe besar, wortel, tomat, alpuket, jeruk keprok, mangga, pisang, dan pepaya. 2. Umumnya komoditas basis pertanian tersebut memiliki nilai koefisien lokalisasi mendekati satu yaitu menunjukkan kecenderungan
terlokalisasi di beberapa
kecamatan.Sebanyak 31 Kecamatan (73,81%) menunjukkan adanya kecenderungan spesialisasi kegiatan pertanian sedangkan 11 kecamatan (26,19%) lainnya tidak mengkhususkan kegiatan pertaniannya pada beberapa komoditas tertentu. 3. Kecamatan Garut Kota dan
Karangpawitan
merupakan titik pertumbuhan.
Kecamatan ini menjadi penggerak pembangunan bagi seluruh wilayah belakangnya dan dalam jangka panjang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian Kabupaten Garut. Kecamatan Bayongbong, Tarogong kidul, Kadungora, Leles, Limbangan dan Cibatu
berfungsi sebagai pusat pelayanan utama dan wilayah
belakang yang dilayani terdiri atas pusat-pusat pelayanan kecil dengan hierarki yang lebih rendah. Pusat pelayanan lokal terdiri dari Kecamatan Cilawu, Cikajang, Cibatu,
Karangtengah,
Cisurupan,
Bungbulang,
Banjarwangi,
Wanaraja,
Malangbong, Tarogong Kaler, Banyuresmi, Tarogong Kidul dan Pasirwangi. Pusat
11
pelayanan terkecil (tipe IV)
meliputi kecamatan Cikelet, Cisompet, Singajaya,
Bayongbong, Cigedug, Cibiuk, Cisewu, Pameungpeuk, Mekarmukti, Cibalong, Pakenjeng, Sukaresmi Pangatikan, Sucinagara, Talegong,Selaawi, Kersamanah, Leuwigoong, Pamulihan, Cihurip, Peundeuy dan Caringin. Pengembangan komoditas basis pertanian
hendaknya diarahkan pada lokasi
yang memiliki potensi sumberdaya alam pertanian berupa ketersediaan lahan dan kesesuaian kondisi agroklimat. Selain itu disesuaikan pula dengan pengembangan kawasan komoditas unggulan dan kebijakan alokasi pemanfaatan ruang budidaya. Dalam kaitannya dengan pembangunan daerah Kabupaten Garut, pelayanan dan pertumbuhan tipe I dan II
pusat
ternyata berada pada sub wilayah
pembangunan ke-satu (SWP I ), sedangkan tipe III dan IV berada pada sub wilayah pembangunan
ke-dua dan ke-tiga (SWP II dan
SWP III).
Dengan demikian
pembangunan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi di SWP I dan SWP II harus lebih diprioritaskan lagi
guna meningkatkan kinerja pemerintahan, meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi yang akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Garut.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, terutama kepada Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bappeda, Biro Pusat Statitsik dan Dinas Pertanian Kabupaten Garut.
DAFTAR PUSTAKA Anderson PP and Rajul Pradya-lorch, 2003. The Unfinished Agenda, Internasional Food Policy Research institute, washington, USA. Budiharsono, Sugeng, 2001, Teknis Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan, Padnya Paramita, Jakarta. Dewi Siska N, 2007. Potensialitas Sumberdaya Pertanian dalam Mendukung Kecamatan Cisurupan sebagai Distrik Prioritas Agropolitan di Kabupaten Garut. Skripsi Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unpad, Bandung.
12
Dicky Achmad. 2008. Studi Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Garu Selatan (studi kasus : wilayah pembangunan di Kabupaten Garut) http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdldickyachma-28493( Diakses 24 April 2010). Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah.2003. Penyusunan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Terpadu. Djuwendah, Endah, 2006. Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan di Kabupaten Sumedang, Lembaga Penelitian Unpad, Bandung Hanafiah, T, (1988), Pendekatan Wilayah dan pembangunan Pedesaan, Jurusan Sosek, Faperta IPB, Bogor. Gita Anggi, 2005. Alokasi Sumberdaya Lahan dalam Mendukung Perwilayahan Komoditas Pertanian di Kabupaten Sumedang, Jurusan Sosial Ekonomi Unpad, Bandung. Iqbal M dan Iwan Setiadjie, 2002. Rancang Bangun Kebijakan Agropolitan dan Pengembangan ekonomi lokal menuju percepatan Pembangunan Wilayah, PSE Bogor.http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART7-2d.pdf (diakses 25 April 2010). Mosher, AT, 1987, Menciptakan Struktur Pertanian Progesif Untuk Melayani Pertanian Modern, CV Yasaguna. Pemerintahan Kabupaten Garut,2009 . Profil Ekonomi. http://www.Garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/ekonomi_profile_dom estik. diakses 24 April 2010 ( 25 April 2010) Pemerintahan Kabupaten Garut. 2008. Policy brief Rancangan akhir RPJMD Kabupaten Garut tahun 2009-2014. http://www.smeru.or.id/report/training/menjembatani_penelitian_dan_ke bijakan/untuk_organisasi_advokasi/files/110.pdf(diakses 24 April 2010) Tarigan, R.2004. Ekonomi Regional, Bumi Aksara Jakarta. Wahid Abdul, 2006. Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal, Studi Kasus di Kabupaten Garut, Skripsi Pada PS Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Faperta IPB, Bogor
13
Lampiran 1. Matriks Skalogram Pusat Pertumbuhan & Pelayanan Kabupaten Garut, 2007 No 5 26 27 17 20 42 24 22 4 31 32 34 39 40 33 16 15 36 23
Kecamatan Tarogong kaler Garut kota Karangpawitan Cilawu Cisurupan Malangbong Tarogong kidul Samarang Bungbulang Sukawening Karangtengah Leles Kadungora Bl. Limbangan Banyuresmi Banjarwangi Cikajang Cibatu Pasirwangi
Nilai skala 15 14 14 14 14 14 14 13 13 12 12 12 12 12 9 9 9 9 9
Nilai nyata 9 12 12 9 9 9 9 11 8 10 7 10 10 10 9 9 7 7 7
ordo 2 1 II X I X I X II X II X II X II X I III II III II II II II II III III III
Tinggi 3 5 X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X
4
2 X X X X X X X X X X X
Sedang 1 3 5 X X X
4
X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X
X X X X X
X X
X
2
X X X X X X X X X X X X X X X X X
14
7 28 18 8 No
Pekenjeng Wanaraja Bayongbong Cikelet Kecamatan
35 11 13 1 41 9 24 21 2 3 5 29 30 37 12 6 19 38 10
Leuwigoong Cisompet Singjaya Cisewu Selaawi Pameungpeuk Cihurip Sukaresmi Caringin Talegong Mekarmukti Sucinagara Pangatikan Kersamanah Peundeuy Pamulihan Cigedug Cibiuk Cibalong Frekuensi Kesalahan
9 9 8 8 Nilai skala 8 8 8 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 5 5 5 5 210 36
5 8 5 6 Nilai nyata 6 6 6 5 4 6 6 6 6 6 6 6 6 5 4 5 5 5
IV III IV IV Tipe
X
X
X
X X X X Sedang
X Tinggi X
IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV
X X
X X X
X X X X
X
X X X X X X
X X
X
X X X X X X X X X
1 0
7 1
9 2
19 6
12 1
1 1
Derajat Kebenaran
15 2
16 1
16 2
15 1
X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X 39 12
= 210 – 36 / 210 X 1