DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN DAN SUKSESI BUDAYA TANI Kedi Suradisastra
Penguasaan lahan merupakan suatu hal yang sangat erat kaitannya dengan adat-istiadat dan tata peraturan masyarakat setempat. Berbagai kelompok masyarakat tradisional di Indonesia mengenal berbagai pola penguasaan lahan yang umumnya dikontrol oleh hukum kolektif etnis dan marga. Terminologi “hukum” dalam konteks penguasaan lahan sering kali tidak sejalan dengan pemaknaan kolektif masyarakat tradisional, namun “hukum” dalam terminologi modern menunjukkan makna penguasaan yang jelas, berarti, dan dapat diterapkan dengan dukungan formal. Pendekatan antropologis umumnya mendalami keragaman sistem penguasaan lahan, hak penggunaan dan pengalihfungsian, serta “kepemilikan” atas lahan dalam suatu teori besar. Sebaliknya, teori penguasaan lahan yang dikembangkan oleh masyarakat Barat lebih menekankan pada kepemilikan lahan “secara legal” oleh individu. Akan tetapi, aspek legalitas barat yang dijadikan dasar sering kali tidak mampu memahami aspek sosial dan sifat komunal penguasaan lahan pada masyarakat nonbarat. Teori penguasaan lahan versi barat sangat tidak cocok dengan falsafah tertua atas pemilikan lahan yang dianut oleh berbagai etnis nonbarat sampai abad sekarang, yaitu “kepemilikan atas lahan terjadi bila seseorang menguasai lahan tersebut sebelum orang lain menguasainya”. Kedua perbedaan mendasar tersebut merupakan kunci dinamika penguasaan lahan pertanian di berbagai wilayah dan etnis di seluruh pelosok tanah air. Dinamika penguasaan lahan, yang antara lain dicirikan oleh alih penguasaan atas lahan dan alih fungsi lahan, sangat besar pengaruhnya terhadap budaya tani dan kegiatan pertanian. Pengalihan penguasaan lahan, karena proses jual beli atau penurunan hak kepemilikan karena sistem waris, berdampak besar terhadap kegiatan produktif keluarga dan individu. Perubahan luas lahan yang dikuasai dapat menyebabkan perubahan pola usaha tani, perubahan komoditas yang diusahakan, atau bahkan menyebabkan migrasi kegiatan ekonomi dari usaha tani ke usaha non-pertanian. Perubahan terakhir ini merupakan gambaran yang sangat menonjol akhir-akhir ini sebagai dampak alih fungsi lahan yang sangat cepat, terutama di wilayah sekitar perkotaan.
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
Dinamika Peralihan Fungsi Lahan dan Perubahan Sosial Peralihan fungsi lahan pertanian, terutama di sekitar kota-kota besar di Pulau Jawa menunjukkan dinamika perubahan penguasaan dan fungsi lahan yang sangat intensif. Kondisi ini terjadi sejalan dengan pergeseran perekonomian wilayah setempat dari struktur perekonomian agraris ke sektor nonagraris seperti sektor industri, jasa, dan perdagangan. Alih fungsi lahan pertanian di berbagai wilayah perkotaan erat kaitannya dengan pertumbuhan sektor non-pertanian dan kecepatan pembangunan perkotaan. Pembangunan infrastruktur transportasi dan kelembagaan pendukungnya semakin mendesak ruang gerak sektor pertanian. Walaupun pertumbuhan infrastruktur fisik tersebut turut membantu kelancaran pemasaran produk pertanian, hal ini juga mempermudah akses umum ke kantong-kantong produksi pertanian. Di sisi lain, penyempurnaan infrastruktur jalan tersebut pada umumnya tidak diimbangi dengan perbaikan atau penggantian infrastruktur usaha tani seperti saluran irigasi dan pos-pos penyediaan sarana produksi. Intervensi kelompok pengusaha dan individu ke kantong-kantong produksi pertanian yang semula terbatas, kini menjadi sangat terbuka. Dalam kondisi seperti ini, posisi lahan usaha tani sangat rawan karena sangat terdedah kepada kelompok “lapar lahan” yang menginginkan lahan dekat perkotaan sebagai alat untuk meningkatkan keuntungan finansial. Dalam kerawanan ini, proses alih fungsi dan alih penguasaan lahan menjadi semakin subur. Peralihan penguasaan lahan pertanian sering kali diawali dalam bentuk gadai, sakap, ijon, dan lain-lain, yang pada akhirnya memojokkan petani untuk melepas hak kepemilikannya karena ruang gerak usaha taninya sudah sangat terbatas. Dari sisi masyarakat petani, alih fungsi lahan pertanian terjadi karena masyarakat petani tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan lahan yang dimilikinya. Proses alih penguasaan lahan juga erat kaitannya dengan pemilikan yang sempit, ketiadaan minat generasi muda untuk menggarap lahan pertanian, nilai kontribusi lahan pertanian yang tidak stabil, dan perlindungan serta pengaturan terhadap lahan usaha tani yang lemah. Upaya meningkatkan pendapatan daerah sering kali melibatkan upaya-upaya kegiatan ekonomi yang mampu memberikan keuntungan besar dalam waktu relatif singkat (highyielding activity) serta menangung risiko lebih rendah daripada kegiatan atau penumbuhan sektor lainnya. Sektor-sektor seperti pertambangan, perindustrian, perdagangan, dan pariwisata merupakan sektor yang mampu meningkatkan pendapatan daerah serta menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Sektor-sektor demikian juga menjanjikan pendapatan yang bersifat rutin dan lebih menarik dari perolehan kegiatan bertani. Pembangunan dan pengembangan sektor-sektor non-pertanian tetap lebih mengandalkan penyediaan lahan dari lahan pertanian guna memenuhi tuntutan kebutuhannya daripada mengalihfungsikan lahan yang luas namun tidak didukung jaringan infrastruktur transportasi sebaik yang terdapat di lahan pertanian. Dampak yang dijumpai pada alih fungsi lahan yang secara kasat mata sangat menonjol adalah kenyataan bahwa proses alih fungsi lahan umumnya 110
DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN DAN SUKSESI BUDAYA TANI
membunuh kegiatan pertanian karena ketersediaan air, baik air irigasi maupun air dari sumber lain, kini dimanfaatkan secara lebih efektif guna memenuhi kebutuhan sektorsektor yang menggantikan posisi sektor pertanian dalam wilayah yang bersangkutan. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang menunjukkan dinamika tertinggi, baik dari segi produksi dan produktivitas, pergerakan dan dinamika penguasaan dan alih fungsi, serta dinamika nilai ekonomi. Secara historis, dinamika lahan pertanian ditunjukkan oleh pergerakan dan ekspansi luasan yang pada kuarter pertama abad-20 baru mencapai 1,4 juta hektare, meningkat menjadi 2,8 juta hektare pada kuarter kedua dan pada pertengahan abad-20 mencapai luas 3,5 juta hektare (WISMP 2010). Pada kuarter ketiga, luas lahan sawah beririgasi mencapai 4,04 juta hektare dan pada kuarter terakhir mencapai 4,65 juta hektare (Pasandaran et al. 2006). Namun demikian, dinamika perkembangan lahan sawah beririgasi di Indonesia jauh tertinggal dari perkembangan global yang dalam periode yang sama meningkat dari 80 menjadi 270 juta hektare. Dinamika perluasan lahan sawah beririgasi di Indonesia nampaknya berbagi peluang dengan dinamika perluasan areal perkotaan dan pertumbuhan sektor non-pertanian yang memerlukan lahan luas untuk memenuhi kebutuhannya. Di Pulau Jawa sendiri, selama periode 1978–1998, terjadi konversi lahan beririgasi seluas 1 juta hektare menjadi lahan non-pertanian (WISMP 2010). Alih fungsi lahan untuk kepentingan pembangunan dan perluasan perkotaan di Jawa terjadi pada lahan pertanian yang paling subur secara efektif dan cepat. Pola konversi lahan pertanian demikian mengikuti tesis Pasandaran (2008) yang dikenal dengan nama the Java Syndrome. Sindrom tersebut menunjukkan penurunan produksi pertanian, khususnya padi, yang disebabkan oleh kerusakan lahan dan ekosistem yang terjadi karena pengusahaan berlebih (over exploitation) yang erat kaitannya dengan peningkatan populasi. Bappenas (2006) memilah pola alih fungsi lahan secara sederhana, yaitu: (a) alih fungsi lahan sistematis, terjadi pada satu hamparan atau area terkonsolidasi karena pembangunan kawasan industri, perkotaan, pemukiman, jalan raya, kompleks perkantoran dan sebagainya, dan (b) alih fungsi lahan sporadis, terjadi karena lahan sawah yang terpencar dengan luasan yang sempit-sempit dialihkan secara sengaja dan sporadis oleh para pemiliknya. Alih fungsi lahan sistematis cenderung lebih tinggi daripada alih fungsi lahan sporadis. Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki lahan pertanian beririgasi paling luas di Pulau Jawa dan nomor dua di tingkat nasional (setelah Sulawesi Selatan). Luas total lahan pertanian beririgasi di Jawa Barat adalah 1.096.022 hektare, terdiri atas 962.039 hektare sawah beririgasi teknis, 81.432 hektare semi teknis, dan 52.551 hektare sawah beririgasi sederhana (Jawa Barat dalam Angka 2009). Namun produktivitas dan luas lahan sawah beririgasi di Jawa Barat mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Penurunan luas lahan pertanian di Jawa Barat terjadi karena laju alih fungsi lahan yang semakin meningkat, terutama di sentra-sentra produksi padi. Bappeda Provinsi Jawa Barat (2010) 111
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
memperkirakan alih fungsi lahan di Jawa Barat antara 4.000–5.000 hektare per tahun. Luas alih fungsi lahan tersebut merupakan yang tertinggi di Jawa. Perubahan iklim, kekeringan, bencana banjir dan longsor, serangan hama dan penyakit yang sulit diduga, semakin meningkatkan tantangan dan risiko berusaha tani. Informasi Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, sampai dengan bulan April 2009, dari 41.000 hektare lahan sawah beririgasi yang terkena dampak banjir dan longsor, seluas 14.000 hektare dinyatakan gagal panen. Harian Kompas (5 April 2010) mengabarkan bahwa banjir di beberapa daerah di Jawa Barat sudah merendam sekitar 13.768 hektare sawah dan seluas 3.030 hektare mengalami puso. Bencana alam dan risiko bertani yang semakin besar turut memengaruhi sikap petani untuk beralih kegiatan ke usaha non-pertanian atau usaha lain yang kurang berisiko dan mampu memberikan pendapatan yang lebih terjamin kelangsungannya. Namun, kebutuhan akan modal usaha menyudutkan petani untuk melepas lahan pertaniannya guna memperoleh uang tunai untuk memulai usaha produktif baru. Peralihan kepemilikan lahan pertanian seperti ini telah berlangsung lama dan terus berlangsung selama petani tidak memperoleh jaminan atas kegiatan berusaha tani yang memberikan perolehan memadai dan terjamin kelangsungannya. Respons terhadap dinamika penguasaan lahan yang menimbulkan dampak yang tidak diingini terlihat dalam penerbitan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang merupakan langkah politik pemerintah dalam upaya mengendalikan alih fungsi lahan pertanian ke lahan nonpertanian. Undang-undang ini menjadi rujukan dan panduan upaya pengendalian alih fungsi lahan yang sejalan dengan kondisi biofisik, ekonomi sosial-budaya, dan kelembagaan masyarakat menurut kondisi spesifik masing-masing. Akan tetapi, proses penyusunan tata ruang (RT/RW) daerah sering kali tidak atau belum mengacu pada undang-undang tersebut, padahal tata ruang wilayah sangat kuat pengaruhnya dalam proses alih fungsi lahan. Kondisi di atas terjadi karena keraguan akan risiko yang mungkin timbul karena cakupan tata ruang (RT/RW) masih bersifat makro, sehingga penerbitan peraturan daerah harus cepat agar perancangan rencana pembangunan dapat diselesaikan sesuai penjadwalan kegiatan setempat. Beberapa kasus kelambatan yang terjadi disebabkan karena penyusunan RT/RW masih belum mengacu pada UU No. 41/2009 dalam kaitannya dengan Undang-Undang RT/RW Tahun 2009. Kasus demikian antara lain dijumpai di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Lembaga perencanaan dan pembangunan daerah di kedua lokasi tersebut menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tentang irigasi sebagai dasar pengembangan kebijakan serta tindakan terkait alih fungsi lahan dan pembangunan perkotaan. Lebih jauh lagi kelambatan menyusun dan menerapkan RT/RW juga disebabkan oleh kelemahan koordinasi antarkelembagaan 112
DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN DAN SUKSESI BUDAYA TANI
terkait ketidaksesuaian pandangan terhadap peran sektor pertanian antara kelembagaan dan dinas sektor terkait dalam wilayah otonom. Upaya mempertahankan lahan pertanian harus dikuatkan oleh kebijakan yang bersifat terpadu berikut enforcement dalam proses implementasinya. Sikap seperti ini tidak menyelesaikan masalah pengembangan tata ruang dan upaya mempertahankan lahan pertanian pangan berkelanjutan, tetapi hanya menunda sampai waktu yang tidak dapat diramalkan. Guna mengatasi kerumitan di atas dan agar proses pembangunan tetap berlanjut, contoh tindakan Pemda Kabupaten Majalengka dapat dikemukakan. Dalam hal ini rencana dan proses alih fungsi lahan pertanian dikaji oleh Tim Sembilan yang terdiri atas wakil dari lembaga eksekutif dan legislatif tingkat kabupaten dalam lembaga Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT). Proses alih fungsi lahan biasanya terjadi karena perubahan penguasaan atau kepemilikan atas lahan penyusunan tata ruang wilayah yang tidak berimbang dapat menimbulkan ”kehilangan” lahan karena berpindah ke ruang pemanfaatan sektor lain yang memiliki dasar kuat untuk memanfaatkannya. Alih fungsi lahan yang sesuai dengan RT/RW dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan ekonomi lokal, namun juga berpengaruh terhadap migrasi perkotaan. Rencana pemerintah untuk membangun bandar udara baru yang mengambil sebagian lahan dari Kabupaten Majalengka dapat menimbulkan kegelisahan sektor pertanian karena sebagian besar lahan yang dikonversi menjadi infrastruktur bandara tersebut adalah lahan pertanian produktif. Dari kebutuhan lahan untuk bandara seluas 5.000 hektare, seluas 1.800 hektare untuk bandara serta infrastrukturnya dan 3.000 hektare lahan penunjang berasal dari lahan pertanian tadah hujan yang berasal dari 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Subang, dan Majalengka. Alih fungsi lahan seluas itu juga mengubah akses petani terhadap air irigasi dan air tanah di sekitar lokasi pembangunan tersebut. Sumber daya air di lokasi bandara dan sekitar bandara tidak lagi dapat diakses untuk kepentingan pertanian karena kelak akan dijadikan air baku untuk kepentingan bandara tersebut. Kondisi demikian akan memengaruhi produksi dan produktivitas sektor pertanian sangat signifikan. Masalah di atas berakar dari perbedaan persepsi dan ego sektor kelembagaan dan sektor terkait di wilayah pembangunan terutama dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Perbedaan pemahaman pihak-pihak terkait (lembaga sektor) terhadap definisi “pertanian” yang mencakup ketersediaan lahan dan tujuan kegiatannya. 2. Perbedaan persepsi terhadap beberapa definisi baku. Sebagai contoh adalah perbedaan persepsi terhadap terminologi hutan lindung dan hutan budi daya. 3. Perbedaan persepsi dan tujuan antara pola ruang (kuantitatif), tata ruang (kualitatif), dan perbedaan pemahaman akan kebutuhan pembangunan. 4. Perbedaan tujuan kebijakan pembangunan yang didasarkan pada RT/RW dengan tujuan sektor yang bersifat parsial. 113
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
5. Metode dan teknik perhitungan kebutuhan/alokasi lahan untuk berbagai tujuan pembangunan belum sepaham. 6. Penataan tata ruang (RT/RW) belum dikembangkan karena harus menunggu persetujuan kelembagaan terkait, antara lain Kementan dan Ditjen Irigasi. Segenap masalah di atas secara saling terkait dapat menghambat penerbitan peraturan daerah mengenai pelaksanaan dan kelancaran proses pembangunan yang didasarkan pada tata ruang wilayah. Posisi dan status UU No. 41/2009 sebagai kebijakan dan acuan terkait kawasan pertanian hendaknya mampu melakukan intervensi dengan pertimbangan butir-butir penting dalam undang-undang tersebut yang secara eksplisit menekankan perlindungan lahan pertanian milik petani (Pasal 3, Butir d).
Perubahan Budaya dan Suksesi Bertani Perubahan budaya tani dan suksesinya sebagai dampak alih penguasaan dan alih fungsi lahan pertanian juga erat kaitannya dengan kondisi sosial-psikologis petani. Kebijakan pembangunan yang memprioritaskan pembangunan kota (urban development strategy) telah menimbulkan ketimpangan struktur perekonomian wilayah. Strategi pembangunan perkotaan telah memarjinalkan posisi dan status sektor pertanian sebagai dampak peralihan fungsi dan penguasaan lahan pertanian guna mendukung kelancaran pembangunan sektor yang lebih menguntungkan. Marjinalisasi peran sektor pertanian telah memundurkan posisi dan status kegiatan pertanian ke dalam status pertanian subsisten dan untuk bertahan hidup (survival agriculture) di tengah-tengah gemuruh pembangunan serta modernisasi wilayah perkotaan. Kegiatan pertanian semakin dianggap sebagai kegiatan kampungan (ndeso) dan tidak memiliki prestise sebagaimana halnya dengan kegiatan yang memberikan pemasukan rutin dan sinambung seperti kegiatan di sektor industri dan jasa. Gejala ini digambarkan dengan sikap kebanggaan pekerja sektor industri atau perdagangan yang mampu menjaga ketenteraman keluarganya dengan kata-kata “menunggu gajian”. Hal ini sangat kontras dengan kondisi petani subsisten di wilayah peri-urban yang tidak mampu mencari katakata penenteram bagi keluarganya selain menunggu panen yang belum tentu menunjukkan keberhasilan yang memuaskan. Dari sisi teknis dan teknologi, marjinalisasi sektor pertanian yang diakibatkan oleh penyempitan penguasaan lahan telah memundurkan proses adopsi teknologi oleh petani. dengan pemilikan lahan yang relatif luas, sarana produksi yang mudah diperoleh, dan ketersediaan air irigasi terjamin, kegiatan usaha tani masih dapat memberikan jaminan penghidupan relatif baik. Namun, ketika kebijakan pembangunan mengubah pola kepemilikan lahan dan membuka persaingan penggunaan air serta memengaruhi secara negatif proses alih teknologi, kegiatan bertani menjadi tidak lagi menarik. Proses 114
DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN DAN SUKSESI BUDAYA TANI
pembangunan dan perluasan perkotaan yang didominasi oleh pembangunan fisik dan infrastruktur telah menjadi penghalang dalam konsolidasi lahan pertanian. Penyebaran sarana produksi pertanian secara fisik menjadi sulit, para distributor dan petugas mengalami kesulitan dalam melakukan kontak dengan petani di lahan mereka. Pemanfaatan teknologi tepat guna menjadi menurun secara kuantitatif dan kualitatif karena ekosistem setempat tidak mampu memberikan dukungan seperti semula. Konsekuensinya adalah produksi dan produktivitas pertanian menurun secara dramatis. Kemunduran pemanfaatan teknologi pertanian seperti yang disebutkan di atas merupakan gejala evolusi pertanian yang bersifat negatif. Dengan kata lain, kegiatan pertanian di lahan pertanian yang termarjinalisasi oleh kebijakan pembangunan mengalami involusi atau evolusi mundur. Geertz (1970) telah sangat jelas menjelaskan kondisi dan proses perkembangan pertanian involutif seperti itu di Indonesia. Lebih jauh lagi, sikap keluarga tani juga tidak mendorong generasi berikutnya untuk berkiprah di sektor pertanian. Berbagai kasus pengalihan kepemilikan lahan, selain didorong oleh kebutuhan uang untuk beralih usaha (migrasi profesi), juga didorong oleh kebutuhan meningkatkan pendidikan generasi berikutnya ke tingkat yang lebih tinggi dengan harapan mereka tidak lagi harus bekerja sebagai petani gurem. Dampak migrasi kegiatan ini adalah kelangkaan tenaga kerja sektor pertanian di pedesaan karena sebagian besar tenaga produktif kini bekerja di sektor non-pertanian. Tenaga kerja sektor pertanian menjadi semakin mahal, menyebabkan insentif kegiatan di sektor pertanian menurun. Kelompok masyarakat petani melakukan migrasi fisik dengan harapan memperoleh tambahan pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pada awalnya migrasi fisik bersifat musiman seperti yang secara tradisional dilakukan oleh masyarakat petani di jalur Pantura dan Kabupaten Majalengka. Migrasi musiman merupakan salah satu upaya mencari tambahan penghasilan di saat kondisi usaha tani yang didominasi usaha tani padi tidak menuntut kegiatan besar dan berat seperti mencangkul dan mengolah tanah. Akan tetapi, semakin berkembangnya kebutuhan rumah tangga yang berkaitan dengan perubahan pola hidup disertai dengan semakin terbukanya wawasan sosial-ekonomi keluarga tani, sifat migrasi musiman secara berangsur-angsur berubah menjadi migrasi permanen. Petani tidak lagi berpindah ke kawasan perkotaan hanya untuk mencari kegiatan ekonomi sementara, namun sebagian berniat mengorek peluang kegiatan ekonomi yang lebih mampu menopang kehidupan keluarga yang tinggal di pedesaan. Dalam kondisi demikian, peluang melakukan migrasi profesi lintas sektor semakin besar. Peralihan profesi petani ke profesi nonpetani memberikan dampak yang mengkhawatirkan terhadap kelangsungan hidup kegiatan pertanian pedesaan. Sering terjadi, petani yang beralih profesi dan bermigrasi fisik ke perkotaan pada akhirnya akan memboyong seluruh anggota keluarganya untuk membantu kegiatan ekonomi nonpertanian yang dilakukan kepala keluarganya. Dalam hal ini, lahan pertanian yang semula 115
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
menyokong hidup keluarga kini dipindahtangankan ke pihak lain yang belum tentu berminat menyelenggarakan kegiatan pertanian di lokasi tersebut. Migrasi profesi lintas-sektor seperti digambarkan dalam pergeseran kegiatan sektor pertanian ke sektor lain disebabkan oleh perbedaan kekuatan faktor pendorong (push factor) dan faktor penahan (pull factor) bagi masyarakat pedesaan untuk tetap tinggal di desa dan bekerja di sektor pertanian, atau berubah profesi ke sektor lain, atau migrasi ke perkotaan untuk mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian (non-skilled job). Di sektor pertanian, kekuatan faktor pendorong yang berkaitan dengan aspek ekonomi dan sosial sangat besar. Ketiadaan jaminan akan penghasilan yang lumintu (sustainable) dan relatif stabil, perubahan iklim dan fluktuasi musim, kesulitan memperoleh akses terhadap sarana produksi, internal rate of return yang rendah dari sektor pertanian, dan lain-lain, merupakan faktor pendorong bagi generasi muda pertanian untuk memilih kegiatan nonpertanian yang mampu memberi pendapatan setiap waktu (misalnya sebagai pengojek di desa) atau memilih melakukan migrasi ke perkotaan. Masa depan budaya bertani juga menjadi semakin muram karena selain migrasi profesi dan migrasi fisik yang dilakukan oleh generasi orang tua, terjadi juga upaya meningkatkan kehidupan dan status sosial generasi berikutnya melalui upaya pendidikan yang memerlukan biaya besar. Guna memenuhi kebutuhan pendidikan sering kali petani rela mengalihkan hak pengelolaan dan/atau penguasaan lahan kepada pihak lain melalui proses gadai dan/atau proses penjualan. Meningkatkan pendidikan generasi muda pedesaan untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik di luar kegiatan di sektor pertanian merupakan upaya relokasi fisik, psikologis, dan profesi yang secara bersamaan mencabut tenaga pedesaan terampil dari akar budaya bertani pedesaan menjadi budaya profesional murni di dalam lingkungan baru yang berbeda dari lingkungan pedesaan dan pertanian di mana para pemuda tersebut lahir dan dibesarkan. Suradisastra (1983) mengemukakan bahwa petani Indonesia pada umumnya memiliki rasa rendah diri (inferiority) yang antara lain disebabkan oleh penampilan yang ”kurang layak” dan pendapatan yang tidak menjamin kehidupan keluarganya. Sebaliknya, penampilan ”orang kota” yang memiliki pekerjaan yang mampu memberikan pendapatan rutin merupakan salah satu alasan petani untuk menyekolahkan anak-anaknya agar dapat hidup dan bekerja di kota dan berpenampilan seperti ”orang kota”. Kondisi psikologis seperti ini merupakan hambatan bagi proses suksesi bertani. Sikap demikian semakin berkembang dalam dua dekade terakhir ini. Peralihan fungsi lahan pertanian juga dapat disebabkan oleh sistem sosial dalam bentuk pewarisan. Sistem pewarisan dibagi habis, yaitu dibagi menurut jumlah anak atau saudara, yang sesuai dengan kepercayaan atau tradisi, cenderung meningkatkan kerentanan penguasaan lahan. Semakin sempit luasan lahan pertanian yang dikuasai, semakin menurun efisiensi pemanfaatannya dan semakin tidak efektif penerapan teknologi pendukung kegiatan pertanian di lahan tersebut. Sebaliknya, bila sistem pewarisan memiliki 116
DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN DAN SUKSESI BUDAYA TANI
pola warisan lahan untuk generasi berikutnya, dapat diharapkan penurunan kerentanan penguasaan tidak secepat pada sistem waris dibagi habis. Kasus tanah ongko di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, adalah sistem pewarisan keluarga. Suradisastra dan Kasim (1992) mengungkap bahwa tanah ongko adalah lahan warisan orang tua yang disisihkan untuk seluruh ahli warisnya guna dipertahankan dan diusahakan secara bergilir. Dalam kasus ini, seseorang yang meninggal membagi dua tanah yang dikuasai atau dimilikinya, sebagian untuk warisan dibagi habis oleh para ahli waris, sebagian untuk dipertahankan dan dimanfaatkan secara bergilir oleh para ahli warisnya. Pada saat yang lain, para ahli warisnya juga diharapkan melakukan hal yang sama. Dengan cara demikian, peralihan penguasaan lahan dihambat atau diperlambat oleh tradisi tersebut karena setiap upaya pengalihan penguasaan harus disepakati oleh seluruh ahli waris yang meninggal.
Penutup Secara garis besar, alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan terjadi karena interaksi yang kompleks antara faktor-faktor ekonomi, sosial dan teknis biofisik yang sulit diduga dampaknya terhadap sistem sosial setempat. Pertimbangan atas suatu faktor akan memberi dampak yang sulit diramalkan pada faktor lain. Kebijakan pembangunan wilayah dan dinamika politik juga turut menyumbang keruwetan masalah alih fungsi lahan. Namun, secara garis besar teridentifikasi faktor-faktor berikut sebagai peubah penyela (intervening variables) dalam proses alih fungsi lahan: 1. Kebijakan pembangunan. Kebijakan pembangunan dan pengaturan tata ruang wilayah sering kali tidak berjalan seiring dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan sektor pertanian. Kondisi ini tercipta karena perbedaan persepsi dan pemahaman akan parameter kemajuan pembangunan, perbedaan pengertian akan sasaran pembangunan, dan perbedaan pemahaman akan terminologi beberapa kata kunci atau definisi tertentu. Sebagai contoh, kelompok legislatif dan eksekutif di Kabupaten Majalengka menghadapi dilema perbedaan pemahaman atas terminologi ”hutan lindung” dan ”lahan pertanian”. 2. Ketersediaan dan dinamika perkembangan infrastruktur. Pengaruh infrastruktur terhadap akses dan pertumbuhan ekonomi sangat besar sehingga lahan pertanian yang semula terisolir, kini menjadi terbuka dan mudah diakses. Nilai jual lahan semakin meningkat dan semakin memengaruhi sikap pemilik lahan dalam proses alih kepemilikan lahan. 3. Lokasi lahan. Lokasi ekonomi dan sosial merupakan peubah yang sangat berpengaruh dalam memilih kegiatan usaha selain bertani. Lokasi lahan yang dekat ke pusat pemasaran produk atau pusat pembangunan memiliki nilai jual lebih baik dan mudah memengaruhi sikap petani untuk melepas lahannya kepada pembeli terbaik. 117
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
4. Tenaga kerja. Migrasi fisik, yaitu ketika keluarga tani berpindah untuk mencari pekerjaan di luar desanya (urban migration), dan migrasi kegiatan atau pekerjaan (occupational migration), yaitu ketika petani beralih kegiatan, telah menyebabkan pengurangan populasi tenaga kerja pertanian dan pedesaan. Tenaga kerja pertanian yang semakin berkurang menyebabkan upah semakin meningkat sehingga petani tidak mampu membayar upah tinggi. Mengalihkan hak kepemilikan merupakan salah satu alternatif yang relatif mudah dilakukan dalam waktu relatif singkat. 5. Perubahan iklim dan fluktuasi musim. Perubahan iklim yang terjadi secara gradual seperti terlihat pada fluktuasi hujan dan musim kering, perubahan ekologi dan bencana alam, memberikan dampak negatif terhadap stabilitas produksi dan produktivitas sektor pertanian. Kondisi ini memengaruhi sikap petani untuk beralih kegiatan, atau berpindah tempat ke lokasi yang masih layak digarap sebagai lahan usaha tani. 6. Topografi dan ekosistem. Dalam berbagai kasus, lahan pertanian (terutama lahan sawah) memiliki ketergantungan akan kebutuhan air pada topografi lahan. Dari sisi ekonomi, lahan bergelombang, lahan sawah, dan lahan kering memiliki nilai jual yang berbeda. 7. Sistem sosial dan psikologis. Sistem waris yang membagi habis penguasaan lahan dari generasi ke generasi menyebabkan penurunan efisiensi pemanfaatan dan pengurangan pendapatan dari kegiatan usaha tani sehingga lahan lebih menguntungkan bila dijual. Lebih jauh lagi, persepsi terhadap ukuran keberhasilan yang semakin dicirikan oleh perolehan materi telah mendorong generasi muda untuk keluar dari wilayah pertanian dengan didorong oleh sikap keluarganya yang memandang kegiatan non-pertanian sebagai kegiatan yang lebih menjanjikan. Pengalihan fungsi lahan karena berbagai sebab hendaknya mendapat perhatian serius melalui berbagai kebijakan dan program aksi. Selain mengembangkan kebijakan dan program pembangunan berkeseimbangan yang memerhatikan aspek-aspek sosialekonomi, biofisik, teknologi, dan politik serta kebijakan, hendaknya juga dilakukan kaji ulang potensi dan peluang penerapan berbagai kelembagaan lokal (indigenous institutions and local wisdom) di setiap lokasi spesifik. Guna melakukan pendekatan operasional yang diharapkan mampu mengatasi masalah yang saling terkait satu sama lain, pemerintah dan perencana pembangunan hendaknya mengembangkan kebijakan dan mempertimbangkan alternatif tindakan sebagai berikut: 1. Implementasi secara konsisten kebijakan payung terkait perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (Undang-Undang Nomor 41/2009, dan Peraturan Pemerintah Nomor 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. 2. Pengembangan tata ruang yang berimbang dan efisien serta mampu menggambarkan secara jelas masa depan pembangunan wilayah menurut sektor dengan dukungan lahan optimal. 118
DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN DAN SUKSESI BUDAYA TANI
3. Penyusunan dan implementasi kebijakan terkait penghargaan dan sangsi atas tindakan positif dan negatif terhadap lahan dan lingkungan (reward and punishment policy). Tindakan positif masyarakat hendaknya dihargai dengan memberikan insentif, sedangkan sikap tidak bertanggung jawab yang menimbulkan kerusakan lahan dan lingkungan sepantasnya memperoleh denda atau disinsentif. 4. Menghidupkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memantau proses perubahan fungsi lahan (kontrol komunal) sesuai dengan kebijakan payung dan tuntutan pembangunan wilayah yang berimbang. 5. Mengkaji potensi kebijakan lokal terkait mobilisasi lahan pertanian dan pangan untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat. Beberapa kelembagaan lokal yang memiliki potensi sebagai lembaga konsolidasi sumber daya lahan dan lahan pertanian antara lain adalah lembaga subak di Bali, marsitalolo di Sumatra Utara, laza di Pulau Nias, sawah sanggan dan sawah yasan di Jawa Tengah, dan tanah ongko di Sulawesi Selatan. Konsolidasi lahan potensial untuk pertanian dapat dievolusikan ke dalam bentuk collective farming atau corporate agriculture. 6. Menghidupkan kembali peran sesepuh adat dan lembaga adat terkait konsolidasi lahan dan penyediaan pangan komunal, terutama di wilayah Papua dan Maluku seperti kepala suku (keret dan ondoafie) di Papua, dan raja-soa di Maluku. 7. Penyusunan dan implementasi kebijakan operasional yang bersifat pemihakan (affirmative policy) dan kebijakan perlindungan (protective policy) terhadap lahan pertanian yang berada di wilayah rawan perluasan kota.
Daftar Pustaka Geertz C. 1970. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia. University of California Press. Pasandaran E. 2008. Membangun Kerangka Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Lahan dan Air: Perspektif Sejarah dan Politik. Analisis Kebijakan Pertanian 6 (4): 297–313. Suradisastra K, Kasim H. 1992. Analisis Agro-ekosistem Kabupaten Enrekang: Analisis Sistem Kecamatan Baraka dan Kasus Lahan Kering Desa Buttu Batu. Kelompok Penelitian Agro-ekosistem. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Proyek Pengembangan Wilayah Sulawesi CIDA. Water Resources and Irrigation Sector Management Project (WISMP). 2010. Panduan Mekanisme Insentif dan Disinsentif bagi Pencegahan Alih Fungsi Lahan Beririgasi di Jawa Barat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Badan Perencanaan Daerah.
119