STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN DAN KELEMBAGAAN PASAR LAHAN DI PEDESAAN Saptana, Handewi P.S. Rachman, dan Tri Bastuti P. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Four determining-factors in agricultural development are natural resources, human resources, technology, and institution. This paper aims at analyzing land holding structure and land market institution in rural areas. Land holding structure varies among land holding status, land type, and inter region. However, land holding distribution is classified as moderate such as shown by Gini index of less than 0.500. Distribution of land ownership is more unequal than that of land holding. Inequality of land holding of rice fields is a little higher than that of total land holding. Land holding distribution in Java is more imbalanced than that outside Java. Imbalanced distribution of land holding will affect income structure inequality. Land market institution is dynamic and is affected by market mechanism. A case in rural Java showed that the system shifts from cultivating own-land to those of sharecropping and rent-out. Implications of the study are: (1) enforcing land reform, (2) developing agro-industry using local raw materials, (3) agricultural land consolidation, (4) improving farm efficiency, and (5) expanding commercial commodities. Key words : landholding structure, land institution
PENDAHULUAN Ada empat faktor penggerak utama dalam pembangunan pertanian, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, dan kelembagaan. Di masa datang upaya peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani dihadapkan pada tekanan faktor-faktor berikut. Pertama, arus globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan serta tuntutan masyarakat dunia terhadap pelestarian lingkungan. Kedua, semakin terbatasnya anggaran pembangunan. Ketiga, meningkatnya kelangkaan sumberdaya dan degradasi sumberdaya alam, khususnya lahan. Keempat, pelaksanaan otonomi daerah, yang membawa implikasi desentralisasi dalam sistem penyelenggaraan pembangunan. Berdasarkan tinjauan teoritis maupun berbagai studi empiris tentang struktur penguasaan lahan baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro menunjukkan adanya pemusatan penguasaan lahan di satu pihak dan proses penyempitan lahan di pihak lain. Sementara itu, tinjauan dan kajian tentang dinamika kelembagaan pasar lahan menunjukkan makin berjalannya mekanisme pasar lahan di pedesaan sebagai akibat makin dominannya faktor pasar atau ekonomi (market factors) dibandingkan faktor kelembaga-
120
an (institutional factors), sejalan dengan makin terbukanya perekonomian suatu wilayah. Meskipun diakui di beberapa wilayah pedesaan, baik di Jawa maupun Luar Jawa kelembagaan tradisional masih berjalan secara efektif. Dari sudut pandang sumberdaya, masalah lahan terkait dengan konfigurasi daratan, persebaran penduduk, dinamika sosial budaya masyarakat, serta kebijakan pemerintah. Lahan merupakan faktor yang sangat penting dalam kegiatan usahatani, bukan saja lahan merupakan media tumbuh bagi tanaman, namun kepemilikan lahan mempunyai arti sosial bagi pemiliknya. Masalah penguasaan lahan pertanian di pedesaan berbeda antar lokasi dan antar tipe irigasi. Secara umum masalah pertanahan di Indonesia pada saat ini dan dimasa mendatang sangat terkait dengan implikasi dari faktor-faktor berikut: (1) konfigurasi daratan dan ketimpangan persebaran penduduk, (2) rata-rata luas penguasaan lahan petani yang kecil dan makin mengecil, (3) konversi lahan pertanian produktif yang kurang terkendali, (4) terus berlangsungnya degradasi lahan pertanian, dan (5) sistem administrasi pertanahan yang lemah dan implementasi Undang-Undang Penataan Ruang tidak terlaksana secara konsisten (Latief, 1996; Nasution dan Winoto, 1996; Suhendar, 1994; Sumaryanto, 1996 dan Sumaryanto et al., 2002).
Strategi pembangunan ekonomi selama pemerintahan orde baru yang bias ke pertumbuhan dan adanya dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan mengakibatkan berbagai dampak negatif yang bersifat fundamental, antara lain terjadinya kontraksi perekonomian nasional, degradasi sumberdaya lahan, terbatasnya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di luar sektor pertanian, dan kesenjangan sosial yang makin lebar. Penyebab utama masalahmasalah yang bersifat fundamental tersebut antara lain adalah : (1) Kesenjangan distribusi dan akses terhadap sumberdaya lahan, (2) Kesenjangan distribusi dan akses terhadap sumberdaya kapital, (3) Tidak dipahaminya dengan baik tentang dinamika kelembagaan lahan pertanian di pedesaan, dan (4) Tidak tertransformasikannya dengan baik kelembagaan lokal-tradisional ke dalam kelembagaan ekonomi pasar yang makin terbuka. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kajian tentang “Struktur Penguasaan dan Kelembagaan Pasar Lahan” akan difokuskan pada beberapa aspek sebagai berikut: (1) struktur penguasaan lahan di pedesaan, (2) kelembagaan penguasaan lahan di pedesaan, (4) pasar Lahan dan harga lahan di pedesaan, dan (5) implikasi kebijakan yang terkait dengan struktur penguasaan dan kelembagaan pasar lahan. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Basis informasi dan data primer studi difokuskan di tujuh kabupaten yang tersebar di lima provinsi yaitu Indramayu dan Majalengka (Jawa Barat), Klaten (Jawa Tengah), Kediri dan Ngawi (Jawa Timur), Agam (Sumatera Barat), dan Sidrap (Sulawesi Selatan). Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan adanya perbedaan sistem usahatani lahan sawah menurut tipe irigasi dan adanya perbedaan keragaan pasar input dan output pertanian antar lokasi. Dalam hal ini faktor pembeda dalam penerapan teknologi adalah derajat pengendalian air, yang berbeda menurut ketersediaan dan kehandalan sarana irigasi. Penelitian ini membedakan empat sistem pengairan sawah yakni; irigasi teknis (ketersediaan air irigasi baik), setengah teknis (ketersediaan irigasi sedang), sederhana (ketersediaan air irigasi kurang) dan tadah hujan. Pada
setiap kabupaten dipilih empat desa yang merepresentasikan jenis irigasi tersebut. Penelitian ini dilakukan pada periode MH 1999/2000–2001/ 2002, sehingga diharapkan dapat diungkap dinamika kelembagaan pasar lahan. Pengumpulan dan Analisis Data Data primer dan sekunder dianalisis secara proporsional. Pengumpulan data dan informasi kualitatif mengenai pasar input-output pertanian, termasuk dinamika pasar lahan di pedesaan dilakukan secara periodik mulai dari MH 1999/ 2000 sampai MH 2001/2002. Penggalian informasi kualitatif dilakukan secara berlapis ditingkat desa, kabupaten, dan provinsi, baik secara kelompok maupun secara individu. Sumber data dan informasi pasar lahan berasal dari tokoh masyarakat baik formal (perangkat desa/pamong desa, Badan Perwakilan Desa, PPL, Mantri Tani, dan Balai Penyuluhan Pertanian) dan informal (kelompok tani, kelompok P3A, kelompok pekerja), beberapa informan kunci mengetahui tentang sejarah lahan, serta para pelaku ekonomi ditingkat lokal; dan Dinas Teknis yang terkait (Dinas Pertanian, Badan Pertanahan Nasional, Bappeda, dll). Analisis data dilakukan secara deskriptif, historik, dan komparatif dengan penekanan pada penggalian secara mendalam tentang dinamika dan keragaan pasar lahan di pedesaan, baik antar lokasi penelitian maupun antar waktu. STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN PEDESAAN Secara historis, pola penggunaan lahan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari pola ekstensif alamiah ke pola yang relatif lebih intensif. Pola penggunaan lahan di tujuh kabupaten contoh sudah bercorak intensif, meskipun intensivitasnya berbeda antar lokasi, antar tipe irigasi, dan antar jenis komoditas yang diusahakan. Secara umum pengusahaan lahan di pedesaan Jawa lebih intensif dibandingkan di Luar Jawa, pada lahan sawah yang sistem pengairannya lebih baik lebih intensif dibandingkan yang sistem pengairannya kurang baik, komoditas komersial (high value commodity) seperti hortikultura dan tembakau lebih intensif dibandingkan komoditas konvensional (padi dan palawija). 121
Secara gradual lahan pertanian produktif mengalami penyusutan, sebagai konskuensi berkembangnya pembangunan di berbagai sektor ekonomi yang juga menuntut ketersediaan lahan dan infrastruktur yang memadai. Konflik antar sektor ekonomi senantiasa menempatkan sektor pertanian pada posisi yang lemah, karena pengambil kebijakan cenderung bias terhadap sektor-sektor yang memberikan manfaat (economic rent) yang lebih besar. Pemilikan Lahan Sawah dan Lahan Pertanian Distribusi pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian di tujuh kabupaten contoh dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum status petani yang mengusahakan lahan di Kabupaten Indramayu adalah petani pemilik penggarap (39,7%), pemilik (31%) dan penggarap (29,2%). Di Kecamatan Haurgeulis (desa contoh irigasi sederhana dan tadah hujan) dan Cikedung (desa contoh irigasi setengah teknis), sebagian besar status petani adalah petani pemilik, pemilik penggarap dan penggarap. Sementara itu, di Kecamatan Anjatan (desa contoh irigasi teknis) status petani didominasi oleh pemilik penggarap (55,3%), penggarap (26,1%) dan pemilik (18,6%). Status petani secara rataan kabupaten dan kasus di Kecamatan Anjatan menunjukkan bahwa petani pemilik penggarap lebih tinggi dari petani pemilik, hal ini mengindikasikan adanya polarisasi kepemilikan lahan pada sekelompok orang tertentu. Kasus di Desa Limpas, Kecamatan Anjatan (desa contoh irigasi teknis) mendukung fenomena tersebut. Struktur penguasaan lahan sawah di desa ini sangat timpang, dimana sekitar 60 persen dari lahan sawah yang ada (sekitar 455 ha) dikuasai oleh satu keluarga, yang terdiri dari 7 orang bersaudara. Mereka lebih dikenal dengan sebutan G7 (“Gegedug 7”). Selebihnya dikuasai oleh petani lain yang mencapai 80 persen dari keluarga Desa Limpas. Sebagian besar petani (85%) merupakan petani pemilik, walaupun masih menambah dengan menyakap. Hanya sekitar 15 persen petani yang murni petani penggarap. Sementara struktur penguasaan lahan sawah di desa contoh lainnya tidak menunjukkan ketimpangan berat seperti di desa irigasi teknis. Rata-rata luas pemilikan lahan di pedesaan Kabupaten Indramayu bervariasi antar tipe irigasi. Sebagai ilustrasi rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian di pedesaan 122
Kabupaten Indramayu adalah sebagai berikut, untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian lebih kurang 0,397 ha, yang semuanya merupakan lahan sawah irigasi teknis. Rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi setengah teknis masingmasing 0,659 ha dan 0,718 ha, yang sebagian besar merupakan lahan sawah irigasi setengah teknis. Sedangkan rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi sederhana masing-masing seluas 0,384 ha dan 0,703 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki adalah lahan sawah irigasi sederhana. Sementara itu rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh sawah tadah hujan masing-masing seluas 1,408 ha dan 1,419 ha, di mana hampir semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah tadah hujan. Rata-rata luas pemilikan lahan di pedesaan Kabupaten Majalengka bervariasi antar tipe irigasi. Sebagai ilustrasi rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian di pedesaan Kabupaten Majalengka adalah sebagai berikut : untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian masing-masing seluas 1,360 ha dan 1,427 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan sawah irigasi teknis. Rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi setengah teknis masingmasing 0,266 ha dan 0,304 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah irigasi setengah teknis. Sedangkan ratarata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi sederhana masing-masing seluas 0,395 ha dan 0,417 ha. Sementara itu rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh sawah tadah hujan masing-masing seluas 0,312 ha dan 0,319 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah tadah hujan. Rata-rata luas pemilikan di pedesaan Kabupaten Klaten relatif kecil. Sebagai ilustrasi Desa Jatipuro, Kecamatan Trucuk merupakan desa contoh dengan sistem pengairan irigasi teknis, rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian 0,197 ha (2 pathok). Rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian di Desa Daleman, Kecamatan Tulung merupakan desa contoh irigasi setengah teknis masing-
Tabel 1. Rata-rata Luas Pemilikan dan Garapan Lahan Pertanian di Tujuh Kabupaten Contoh, Tahun 2000-2001 No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kabupaten
Milik
Lahan Sawah Garapan
Lahan Pertanian Milik Garapan
Indramayu a. teknis b. ½ teknis c. sederhana d. tadah hujan
0,397 0,659 0,384 1,408
0,662 0,588 0,376 0,865
0,397 0,718 0,703 1,419
0,702 0,647 0,627 0,876
Majalengka a. teknis b. ½ teknis c. sederhana d. tadah hujan
1,360 0,266 0,395 0,312
0,823 0,319 0,469 0,968
1,427 0,304 0,417 0,319
0,890 0,351 0,491 0,982
Klaten a. b. c. d.
teknis ½ teknis sederhana tadah hujan
0,197 0,266 0,275 0,307
0,389 0,377 0,703 0,413
0,197 0,266 0,275 0,310
0,389 0,377 0,703 0,416
Kediri a. b. c. d.
teknis ½ teknis sederhana tadah hujan
0,616 0,403 0,623 0,371
0,642 0,548 0,752 0,472
0,630 0,503 0,726 0,468
0,656 0,659 0,966 0,530
Ngawi a. b. c. d.
teknis ½ teknis sederhana tadah hujan
0,602 0,250 0,590 0,688
0,730 0,353 0,632 0,569
0,604 0,299 0,597 0,764
0,732 0,402 0,639 0,645
Agam a. b. c. d.
teknis ½ teknis sederhana tadah hujan
0,408 0,530 0,398 0,341
0,691 0,737 0,873 0,649
0,736 0,211 0,423 0,354
1,019 0,921 0,898 0,662
Sidrap a. b. c. d.
teknis ½ teknis sederhana tadah hujan
0,994 0,476 0,635 0,429
1,508 1,100 1,160 1,282
0,994 0,729 0,934 0,691
1,508 1,358 1,459 1,619
Sumber : Data primer (diolah)
masing seluas 0,266 ha. Sedangkan rata-rata pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian di Desa Solodiran, Kecamatan Manisrenggo merupakan desa contoh irigasi sederhana masingmasing seluas 0,275 ha. Sementara itu rata-rata pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian di Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat merupakan desa contoh tadah hujan masing-masing seluas 0,307 ha dan 0,310 ha.
Untuk pedesaan Kabupaten Kediri ratarata luas pemilikan lahan bervariasi antar tipe irigasi. Untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian masing-masing seluas 0,616 ha dan 0,630 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan sawah irigasi teknis. Rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi setengah teknis masing123
masing 0,409 ha dan 0,503 ha, di mana lahan sawah yang dimiliki terdiri dari lahan sawah irigasi setengah teknis seluas 0,389 ha dan irigasi teknis 0,014 ha. Sedangkan rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi sederhana masing-masing seluas 0,623 ha dan 0,726 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki adalah sawah irigasi sederhana. Sementara itu rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh sawah tadah hujan masing-masing seluas 0,371 ha dan 0,468 ha, di mana lahan sawah yang dimiliki terdiri dari lahan sawah tadah hujan seluas 0,315 ha dan sawah irigasi sederhana seluas 0,056 ha. Rata-rata luas pemilikan lahan di pedesaan Kabupaten Ngawi bervariasi antar tipe irigasi. Untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian masing-masing seluas 0,602 ha dan 0,604 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan sawah irigasi teknis. Rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi setengah teknis masingmasing 0,266 ha dan 0,299 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah irigasi setengah teknis. Sedangkan ratarata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi sederhana masing-masing seluas 0,590 ha dan 0,597 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah irigasi sederhana. Sementara itu rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh sawah tadah hujan masing-masing seluas 0,688 ha dan 0,764 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah tadah hujan. Tanah-tanah di empat kecamatan Kabupaten Agam pada umumnya merupakan “tanah pusako” atau “ulayat”, sehingga hampir sebagian besar petani adalah penggarap, bukan pemilik. Oleh karena itu, transaksi pemindahan hak kepemilikan lahan sawah hampir tidak terjadi di Kabupaten Agam ini, yang ada adalah hanya transaksi pemindahan hak garapan terutama dari pemilik lahan sawah kepada orang lain. Pemindahan hak kepemilikan lahan sawah hanya terjadi berdasarkan ”adat” yang telah disepakati oleh ‘ninik mamak” dimana apabila orang tua sudah meninggal, maka hak kepemilikan lahan sawah tersebut diwariskan kepada anak “perempuan”. Dalam keadaan luas lahan sawah 124
yang terbatas (sempit), maka pembagian lahan sawah tidak dilakukan dengan cara memecah lahan sawah (fragmenting land) tetapi dilakukan dengan cara garap bergiliran yang disebut dengan istilah “ligaran”. Namun demikian bagi lahan sawah yang bukan merupakan lahan “ninik mamak” (seperti lahan sawah bukaan hutan), tidak menjadi halangan untuk diperjual belikan dengan tanpa melakukan musyawarah adat dan untuk kepentingan yang tidak ditentukan, hanya saja hal ini sangat jarang terjadi pada lokasi penelitian. Rata-rata luas pemilikan lahan pada empat kecamatan Kabupaten Agam berkisar antara 2 – 3 ha (luas ini merupakan luas milik “ninik mamak” yang berarti milik keluarga). Pemilikan lahan di pedesaan Kabupaten Agam adalah merupakan milik “ninik mamak” , juga sebagian dari yang memiliki lahan sawah pada umumnya merantau ke luar Kabupaten Agam, seperti ke Jakarta, Pekan Baru dan Batam. Pada keluarga yang kebetulan anggota keluarga perempuan banyak, maka penggarapan lahan sawah dilakukan secara bergiliran, sehingga dapat saja seseorang petani memperoleh hak garapan lahan sawah “ninik mamak” musim ini, musim berikutnya sudah harus dilepaskan untuk digarap oleh saudaranya atau kerabatnya dalam satu “ninik mamak” . Rata-rata luas pemilikan lahan di pedesaan Kabupaten Agam bervariasi antar tipe irigasi. Sebagai ilustrasi rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian di pedesaan Kabupaten Agam adalah sebagai berikut, untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian masing-masing seluas 0,408 ha dan 0,736 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan sawah irigasi teknis. Rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi setengah teknis masing-masing 0,053 ha dan 0,211 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah irigasi setengah teknis. Sedangkan rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi sederhana masing-masing seluas 0,398 ha dan 0,423 ha. Sementara itu rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh sawah tadah hujan masingmasing seluas 0,341 ha dan 0,354 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah tadah hujan.
Luas lahan Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) adalah 188.325 hektar atau 3,12 persen dari luas Provinsi Sulawesi Selatan (BPS, 2000). Berdasarkan potensi lahan yang tersedia, terdapat lahan seluas 188.325 hektar, sebagian besar berupa hutan (35,59%), lahan sawah (24,53%), kebun campuran dan ladang (7,95%), dan perkebunan (6,47%). Sisanya (25,46%) berupa pekarangan/ bangunan, padang rumput, rawa-rawa, tambak/danau, kolam/tebat/empang, lahan sementara tidak diusahakan, lahan yang ditanami kayu-kayuan, dan lainnya. Dari sekitar 46.190 hektar areal persawahan, berdasarkan kelas irigasi yang merupakan sawah irigasi teknis (57,6%), setengah teknis (15,5%), irigasi sederhana (7,4%), dan sawah tadah hujan (19,5%). Dilihat dari frekuensi penanamannya, dari luas lahan sawah 46,190 hektar dapat ditanami padi satu kali setahun (14,07%), dua kali setahun (81,58 %), dan sementara tidak diusahakan (4,36%). Lahan merupakan faktor yang sangat penting dalam kegiatan usahatani, bukan saja lahan merupakan media tumbuh bagi tanaman, namun kepemilikan lahan mempunyai arti sosial bagi pemiliknya. Masalah penguasaan lahan pertanian di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan berbeda dengan yang dihadapi di Jawa. Rata– rata penguasaan lahan sawah di pedesaan Sidrap jauh lebih luas dibandingkan dengan di pedesaan Jawa. Permasalahan utama yang dihadapi adalah masalah ketimpangan struktur pemilikan lahan, sebagai ilustrasi di Desa Empagae yang merupakan Desa Contoh sawah irigasi teknis terdapat 4 orang yang menguasai lahan (30-33 ha per orang), bahkan jika diperhitungkan dengan pemilikannya di luar desa ada yang mencapai kurang lebih 50 ha. Hal tersebut mendorong adanya transfer dalam penggarapan lahan dari pemilik kepada penggarap melalui kelembagaan bagi hasil (share cropping), berlakunya sistem gadai (mortgage system) dan diterapkannya tenaga kerja tetap (permanent labor) yang diupah secara natura. Luas pemilikan lahan berbeda antar lokasi dan antar agroekosistem. Rata-rata luas pemilikan lahan sawah terluas ditemui pada sawah irigasi teknis di Desa Empagae, Kecamatan Sidenreng dengan rata-rata luas lahan sawah dan lahan pertanian masing-masing seluas 0,994 ha. Sementara itu, rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian pada desa contoh sawah irigasi setengah teknis di Desa Kanie,
Kecamatan Maritengae masing-masing seluas 0,476 ha dan 0,729 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah setengah teknis. Untuk desa contoh lahan sawah irigasi sederhana di Desa Wanio Timoreng dengan rata-rata pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian masing-masing seluas 0,635 ha dan 0,934 ha, di mana semua lahan yang dimiliki merupakan lahan sawah irigasi sederhana. Terakhir pada desa contoh lahan sawah tadah hujan di Desa Kulo, Kecamatan Kulo dengan rata-rata pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian masing-masing seluas 0,429 ha dan 0,692 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki semua berupa lahan sawah tadah hujan. Penggarapan Lahan Sawah dan Lahan Pertanian Rata-rata luas penggarapan lahan di pedesaan Kabupaten Indramayu bervariasi antar tipe irigasi. Untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas total lahan garapan 0,702 ha, yang terdiri dari lahan sawah yang hampir semuanya sawah irigasi teknis seluas 0,662 dan lahan kering 0,04 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,371 ha, menyewa seluas 0,229 ha, sistem bagi hasil 0,039, dan menggadai seluas 0,023 ha. Rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi setengah teknis seluas 0,647 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,588 ha terdiri dari sawah semi teknis seluas 0,500 dan sawah tadah hujan 0,088 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik digarap sendiri seluas 0,538ha, lahan sewa 0,039 ha, dan lahan sakap 0,007 ha, serta lainnya 0,004 ha. Sedangkan rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi sederhana seluas 0,627 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,376, ha yang terdiri dari sawah irigasi sederhana 0,303 ha dan sawah tadah hujan 0,073 ha, serta lahan kering 0,351 ha. Dari lahan sawah yang digarap semuanya merupakan lahan sawah milik yang digarap sendiri. Sementara itu rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh sawah tadah hujan seluas 0,876 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,865 ha dan lahan kering seluas 0,011 ha. Dari lahan sawah yang digarap merupakan lahan sawah tadah hujan seluas 0,847 ha dan lahan sawah irigasi sederhana seluas 0,018 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,667
125
ha, lahan sewa 0,129 ha, lahan sakap 0,045 ha, dan lainnya 0,016 ha. Informasi secara ringkas tentang rata-rata luas pemilikan dan penggarapan lahan sawah dan lahan pertanian menurut kabupaten contoh dapat disimak pada Tabel 2. Rata-rata luas penggarapan lahan di pedesaan Kabupaten Majalengka bervariasi antar tipe irigasi. Rata-rata luas garapan total lahan di pedesaan Kabupaten Majalengka adalah sebagai berikut, untuk desa contoh irigasi teknis, ratarata luas total lahan garapan lebih kurang 0,890 ha, yang terdiri dari lahan sawah yang semuanya merupakan sawah irigasi teknis seluas 0,823 dan lahan kering 0,067 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,395 ha, menyewa seluas 0,413 ha, dan sistem bagi hasil 0,015 ha. Ratarata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi setengah teknis seluas 0,351 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,319 ha terdiri dari sawah semi teknis seluas 0,305 dan irigasi teknis 0,008 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,221 ha, lahan sewa seluas 0,017 ha, dan lahan sakap seluas 0,074 ha. Sedangkan rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi sederhana seluas 0,491 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,469 ha yang secara keseluruhan merupakan sawah irigasi sederhana dan lahan kering 0,022 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,332 ha dan lahan sewa 0,137 ha. Sementara itu rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh sawah tadah hujan seluas 0,982 ha, yang terdiri dari lahan sawah yang semuanya merupakan sawah tadah hujan seluas 0,968 ha dan lahan kering seluas 0,014 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,312 ha dan lahan sewa 0,656 ha. Rata-rata luas garapan lahan di pedesaan Kabupaten Klaten bervariasi antar tipe irigasi. Sebagai ilustrasi rata-rata luas garapan total lahan di pedesaan Kabupaten Klaten adalah sebagai berikut, untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas penguasaan garapan total lebih kurang 0,389 ha, yang secara keseluruhan merupakan lahan sawah irigasi teknis seluas 0,389 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,181 ha, lahan sewa seluas 0,118 ha, dan lahan sakap 0,090 ha. Rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi setengah 126
teknis seluas 0,377 ha, yang semuanya merupakan lahan sawah irigasi setengah teknis. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,230 ha dan lahan sakap seluas 0,147 ha. Sedangkan rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi sederhana seluas 0,703 ha, yang semuanya merupakan lahan sawah irigasi sederhana seluas 0,703 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,256 ha, lahan sewa seluas 0,165 ha, dan lahan sakap seluas 0,052 ha. Sementara itu rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh sawah tadah hujan seluas 0,416 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,413 ha yang semuanya lahan sawah tadah hujan dan lahan kering seluas 0,003 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,273 ha, lahan sewa 0,06 ha dan lahan sakap seluas 0,080 ha. Rata-rata luas garapan lahan di pedesaan Kabupaten Kediri bervariasi antar tipe irigasi. Sebagai ilustrasi rata-rata luas garapan total lahan di pedesaan Kabupaten Kediri adalah sebagai berikut, untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas penguasaan lebih kurang 0,656 ha, yang terdiri dari lahan sawah yang semuanya merupakan lahan sawah irigasi teknis seluas 0,642 dan lahan kering 0,014 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,552 ha dan lahan menyewa seluas 0,090 ha. Rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi setengah teknis seluas 0,659 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,548 ha terdiri dari sawah semi teknis seluas 0,499 dan teknis 0,049 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,382 ha, lahan sewa seluas 0,159 ha, dan lahan sakap seluas 0,007 ha. Sedangkan rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi sederhana seluas 0,966 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,752 ha yang secara keseluruhan merupakan sawah irigasi sederhana seluas dan lahan kering 0,214 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,623 ha dan lahan sewa seluas 0,129. Sementara itu rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh sawah tadah hujan seluas 0,530 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,472 ha dan lahan kering seluas 0,058 ha. Dari lahan sawah yang digarap merupakan lahan sawah tadah hujan seluas 0,416 ha dan lahan sawah irigasi sederhana
Tabel 2. Rata-rata Luas Lahan Garapan Menurut Tipe Lahan (ha/rumah tangga) di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat (seluruh contoh) Tipe lahan menurut irigasi dan sumber penguasaan Indramayu Irigasi teknis 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai 5. Lainnya Irigasi ½ teknis 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai 5. Lainnya Irigasi sederhana 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai 5. Lainnya Sawah tadah hujan 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai 5. Lainnya Majalengka Irigasi teknis 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai 5. Lainnya Irgiasi ½ teknis 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai 5. Lainnya Irigasi sederhana 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai 5. Lainnya Sawah tadah hujan 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai 5. Lainnya
Irigasi teknis
Lahan sawah Irigasi Irigasi ½ sederhana teknis
Total lahan sawah
Tadah hujan
Lahan kering
Total lahan
0,371 0,229 0,025 0,023 -
0,014 -
-
-
0,371 0,229 0,039 0,023 -
0,004 -
0,371 0,233 0,039 0,023 -
-
0,450 0,039 0,007 0,004
-
0,088 -
0,538 0,039 0,007 0,004
0,059 -
0,597 0,039 0,007 0,004
-
-
0,303 -
0,073 -
0,376 -
0,307 0,025 0,019
0,583 0,025 0,019
-
-
0,018 -
0,649 0,129 0,046 0,007 0,016
0,667 0,129 0,045 0,007 0,016
0,011 -
0,678 0,129 0,045 0,007 0,015
0,395 0,413 0,015 -
-
-
-
0,395 0,413 0,015 -
0,067 -
0,462 0,413 0,015 -
0,008 -
0,221 0,017 0,066 0,001 -
-
-
0,221 0,017 0,074 0,007 -
0,038 -
0,259 0,017 0,074 0,001 -
-
-
0,332 0,137 -
-
0,332 0,137 -
0,022 -
0,354 0,137 -
-
-
-
0,312 0,656 -
0,312 0,656 -
0,014 -
0,312 0,670 -
Sumber : Data primer (di olah)
127
seluas 0,056 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,359 ha dan lahan sakap seluas 0,113 ha. Rata-rata luas garapan lahan di pedesaan Kabupaten Ngawi bervariasi antar tipe irigasi. Sebagai ilustrasi rata-rata luas garapan total lahan di pedesaan Kabupaten Ngawi adalah sebagai berikut, untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas penguasaan lebih kurang 0,732 ha, yang terdiri dari lahan sawah yang semuanya merupakan lahan sawah irigasi teknis seluas 0,730 dan lahan kering 0,002 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,560 ha, lahan sewa seluas 0,163 ha, dan lahan sakap 0,007 ha. Rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi setengah teknis seluas 0,402 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,353 ha terdiri dari sawah semi teknis seluas 0,347 dan sawah tadah hujan 0,006 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,281 ha, lahan sewa seluas 0,066 ha, dan lahan sakap seluas 0,055 ha. Sedangkan rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi sederhana seluas 0,639 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,632 ha yang secara keseluruhan merupakan sawah irigasi sederhana seluas dan lahan kering 0,007 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,536 ha, lahan sewa seluas 0,074 ha dan lahan sakap 0,025 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,544 ha dan lahan sakap seluas 0,025 ha. Rata-rata luas garapan lahan di pedesaan Kabupaten Agam bervariasi antar tipe irigasi. Sebagai ilustrasi rata-rata luas garapan total lahan di pedesaan Kabupaten Agam adalah sebagai berikut, untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas penguasaan lebih kurang 1,109 ha, yang terdiri dari lahan sawah yang semuanya merupakan lahan sawah irigasi teknis seluas 0,691 dan lahan kering 0,328 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,388 ha, lahan sewa seluas 0,025 ha, lahan sakap 0,253 ha, lahan gadai 0,025 ha. Rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi setengah teknis seluas 0,921 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,737 ha yang semuanya merupakan sawah irigasi setengah teknis dan lahan kering 0,184 128
ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,053 ha, lahan sewa seluas 0,121 ha, lahan sakap 0,563 ha. Sedangkan rata-rata luas total garapan pada lahan sawah irigasi sederhana 0,898 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,873 ha yang semuanya merupakan lahan sawah irigasi sederhana dan lahan kering 0,025 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan milik digarap sendiri 0,248 ha, lahan sakap 0,480 ha, dan lahan gadai 0,145 ha. Sementara itu ratarata luas total lahan garapan di desa contoh sawah tadah hujan seluas 0,662 ha, yang terdiri dari lahan sawah 0,649 ha dan lahan kering seluas 0,013 ha. Dari lahan sawah yang digarap merupakan lahan sawah tadah hujan seluas 0,649 ha dan lahan kering seluas 0,013 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,337 ha, lahan sewa 0,058 ha, lahan sakap seluas 0,182 ha, lahan gadai 0,066 ha, serta garapan lainnya seluas 0,006 ha. Rata-rata luas garapan lahan di pedesaan Kabupaten Sidrap bervariasi antar tipe irigasi. Sebagai ilustrasi, rata-rata luas pemilikan lahan di pedesaan Kabupaten Majalengka bervariasi antar tipe irigasi. Sebagai ilustrasi rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian di pedesaan Kabupaten Majalengka adalah sebagai berikut, untuk desa contoh irigasi teknis, ratarata luas pemilikan lahan sawah dan lahan pertanian masing-masing seluas 1,360 ha dan 1,427 ha, di mana semuan lahan sawah yang dimiliki merupakan sawah irigasi teknis. Rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi setengah teknis masing-masing 0,266 ha dan 0,304 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah irigasi setengah teknis. Sedangkan rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh irigasi sederhana masing-masing seluas 0,395 ha dan 0,417 ha. Sementara itu rata-rata luas pemilikan lahan sawah dan total lahan pertanian di desa contoh sawah tadah hujan masing-masing seluas 0,312 ha dan 0,319 ha, di mana semua lahan sawah yang dimiliki merupakan lahan sawah tadah hujan. Rata-rata luas garapan total lahan di pedesaan Kabupaten Sidrap adalah sebagai berikut, untuk desa contoh irigasi teknis, rata-rata luas penguasaan lebih kurang 1,508 ha, yang terdiri dari lahan sawah yang semuanya merupakan
lahan sawah irigasi teknis seluas 1,508 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,795 ha, lahan sakap seluas 0,618 ha, dan lahan gadai seluas 0,095 ha. Rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi setengah teknis seluas 1,358 ha, yang terdiri dari lahan sawah 1,100 ha yang semuanya merupakan sawah semi teknis dan lahan kering 0,258 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,426 ha, lahan sakap seluas 0,050 ha, dan lahan gadai seluas 0,008 ha. Sedangkan rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh irigasi sederhana seluas 1,459 ha, yang terdiri dari lahan sawah 1,160 ha yang secara keseluruhan merupakan sawah irigasi sederhana seluas dan lahan kering 0,299 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,691 ha dan lahan sakap 0,525 ha. Sementara itu rata-rata luas total lahan garapan di desa contoh sawah tadah hujan seluas 1,619 ha, yang terdiri dari lahan sawah 1,282 ha yang semuanya merupakan lahan sawah tadah hujan dan lahan kering seluas 0,337 ha. Dari lahan sawah yang digarap terdiri dari lahan sawah milik yang digarap sendiri seluas 0,429 ha dan lahan sakap seluas 0,838 ha, serta lahan gadai seluas 0,015 ha. Transaksi Penggarapan Lahan Dalam transaksi penguasaan lahan, paling tidak terdapat dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang mengalihkan (rented-out) dan yang menguasai sementara pengalihan tersebut (rentedin). Data pada Tabel 2 s/d 9 menunjukkan keragaan rented-in dan rented out. Pada Tabel 2, terlihat bahwa rataan luas lahan sawah yang merupakan pengalihan ke dalam pengusahaannya (renting in) bervariasi menurut kabupaten dan tipe irigasi desa contoh. Di Indramayu dan Majalengka, petani contoh di keempat desa penelitian melakukan pengalihan lahan garapan sawah ke dalam melalui sistem sewa (menyewa) masing-masing dengan rataan luas yang disewa berkisar antara 0,039 – 0,229 hektar di Kabupaten Indramayu, dan 0,017 – 0,656 hektar di Majalengka. Petani yang melakukan penyakapan lahan sawah di Kabupaten Indramayu relatif kecil yang hanya berkisar antara 0,039-0,045 ha dan berkisar antara 0,0150,074 ha di Kabupaten Majalengka.
Apabila data pada Tabel 3 diamati, terlihat bahwa rataan luas lahan sawah yang merupakan pengalihan ke luar (rented out) lahan bervariasi menurut kabupaten dan tipe irigasi desa contoh. Di Indramayu dan Majalengka, petani contoh di keempat desa penelitian melakukan pengalihan lahan melalui sewa (menyewakan) masingmasing dengan rataan luas yang disewakan berkisar antara 0,025 – 0,233 ha di Kabupaten Indramayu, dan 0,017 – 0,620 ha di Majalengka. Petani yang menyakapkan lahan di kedua kabupaten ini ditemukan pada hampir semua tipe irigasi, kecuali di desa contoh dengan ketersediaan air kurang di Indramayu dan di desa irigasi kurang dan tadah hujan di Majalengka. Berdasarkan analisis perbandingan antara Tabel 2 dan Tabel 3 yang masing-masing menggambarkan keragaan renting in dan rented out merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut: (1) Mekanisme kelembagaan pasar lahan sawah di pedesaan Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat sebagian besar dilakukan dengan sistem sewa-menyewa dan sebagian kecil dilakukan dengan sistem bagi hasil; (2) Pengalihan garapan lahan sawah dengan sistem sewamenyewa juga lebih merata dibandingkan sistem sakap-menyakap; (3) Kelembagaan pasar lahan melalui sistem gadai hampir tidak ditemukan lagi; (4) Ditinjau dari perbandingan renting in dan rented out menunjukkan bahwa pengalihan garapan lahan sawah di pedesaan masih terjadi antar warga desa setempat, hal ini ditunjukkan relatif seimbangnya rata-rata luas lahan rented in dengan rata-rata luas lahan rented out. Pada Tabel 4, terlihat bahwa rataan luas dan distribusi petani contoh yang melakukan pengalihan lahan garapan sawah kedalam pengu-sahaannya bervariasi menurut tipe irigasi desa contoh. Di pedesaan Kabupaten Klaten, petani contoh di keempat desa penelitian melakukan pengalihan lahan garapan sawah ke dalam pengusahaannya (renting in) melalui sistem sewa (menyewa) masing-masing dengan rataan luas lahan sawah yang disewa berkisar antara 0,060 – 0,165 ha dan penyakapan lahan sawah berkisar antara 0,080-0,147 ha. Di Kabupaten Klaten, petani contoh di keempat desa penelitian melakukan pengalihan lahan garapan sawah ke luar (rented out) bervariasi antar tipe irigasi. Untuk tipe irigasi teknis sebagian besar melalui sistem sewa (menyewakan) dengan rataan luas 0.118 ha dan sistem
129
Tabel 3. Rata-rata Luas Lahan yang Dialihkan Menurut Tipe Lahan (ha/rumah tangga) di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat (seluruh contoh) Tipe lahan menurut irigasi dan sumber penguasaan Indramayu Irigasi teknis 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai Irgiasi ½ teknis 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai Irigasi sederhana 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai Sawah tadah hujan 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai Majalengka Irigasi teknis 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai Irgiasi ½ teknis 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai Irigasi sederhana 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai Sawah tadah hujan 1. Lahan milik digarap sendiri 2. Menyewa 3. Menyakap 4. Menggadai
Lahan sawah Irigasi Irigasi ½ sederhana teknis
Irigasi teknis
Total lahan sawah
Tadah hujan
Total lahan
Lahan kering
0,229 0,025 0,023 -
0,014 -
-
-
0,229 0,039 0,023 -
0,004 -
0,233 0,039 0,023 -
-
0,039 0,007 0,004
-
-
-
-
0,039 0,007 0,004
-
-
-
-
-
0,025 0,019
0,025 0,019
-
-
-
0,129 0,045 0,007 0,016
0,129 0,045 0,007 0,016
-
0,129 0,045 0,007 0,016
0,413 0,015 -
-
-
-
0,413 0,015 -
-
0,413 0,015 -
0,008 -
0,017 0,068 0,001 -
-
-
0,017 0,074 0,001 -
-
0,017 0,074 0,001 -
-
-
0,137 -
-
0,137 -
-
0,137 -
-
-
-
0,613 0,043 -
0,613 0,043 -
0,007 -
0,620 0,043 -
Sumber : Data primer (di olah)
sakap (menyakapkan) 0,090 ha. Di desa contoh dengan tipe irigasi setengah teknis di Kabupaten Klaten tidak ditemui petani contoh yang menyewakan lahan, namun ditemukan petani contoh yang menyakapkan lahan sawah dengan rataan luas lahan yang disakapkan 0,147 ha. Sementa130
ra itu di desa contoh irigasi sederhana ditemukan baik menyewakan lahan sawah dengan rataan 0,051–0,202 ha dan rataan menyakapkan antara 0,052– 0,080 ha. Bahkan pada tipe irigasi tadah hujan masih ditemukan adanya sistem gadai dengan rataan luas menggadaikan seluas 0,090 ha.
Table 4. Rata-rata Luas Lahan Garapan Menurut Tipe Lahan (ha/rumah tangga) di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (seluruh contoh) Tipe lahan menurut tipe irigasi dan sumber penguasaan lahan
Lahan sawah Irigasi Irigasi ½ sederhana teknis
Irigasi teknis
Total lahan sawah
Tadah hujan
Total lahan
Lahan kering
Irigasi teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya
0,181 0,118 0,090 -
-
-
-
0,181 0,118 0,090 -
-
0,181 0,118 0,090 -
Irigasi ½ teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya
-
0,230 0,147 -
-
-
0,230 0,147 -
-
0,230 0,147 -
Irigasi sederhana - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Tadah hujan
-
-
0,256 0,165 0,052 -
-
0,256 0,165 0,052 -
-
0,256 0,165 0,052 -
- Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya
-
-
-
0,273 0,060 0,080 -
0,273 0,060 0,080 -
0,003 -
0,276 0,060 0,080 -
Sumber : Data primer (diolah)
Berdasarkan analisis perbandingan antara Tabel 4 dan Tabel 5 yang menggambarkan keragaan rented in dan rented out merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut: (1) Mekanisme kelembagaan pasar lahan sawah di pedesaan Klaten, Jawa Tengah sebagian besar dilakukan dengan sistem sewa-menyewa dan sebagian lainnya dilakukan dengan sistem bagi hasil; (2) Meskipun kasus pengalihan hak penggarapan lahan sawah dengan sistem penyakapan lebih kecil namun distribusinya relatif lebih merata; (3) Kelembagaan pasar lahan melalui sistem gadai hanya ditemukan pada lahan sawah tadah hujan; (4) Ditinjau dari perbandingan rented in dan rented out menunjukkan bahwa pengalihan garapan lahan sawah di pedesaan Klaten relatif masih terjadi antar warga desa setempat, hal ini ditunjukkan relatif seimbangnya rata-rata luas lahan rented in dengan rata-rata luas lahan rented out.
Pada Tabel 6 terlihat bahwa rataan luas dan distribusi petani contoh yang melakukan pengalihan lahan garapan sawah kedalam pengusahaannya bervariasi menurut tipe irigasi desa contoh. Di pedesaan Kaupaten Kediri, petani contoh di keempat desa penelitian melakukan pengalihan lahan garapan sawah ke dalam melalui sistem sewa (menyewa) masing-masing dengan rataan luas yang disewa berkisar antara 0,090 – 0,165 ha dan petani yang melakukan penyakapan lahan sawah berkisar antara 0,0070,113 ha. Sementara itu di pedesaan Kabupaten Ngawi, nampak petani contoh yang melakukan pengalihan lahan garapan sawah kedalam pengusahaannya bervariasi menurut tipe irigasi desa contoh. Pengalihan hak garapan lahan sawah dengan menyewa berkisar antara berkisar antara 0,066 – 0,163 ha dan petani yang melakukan penyakapan lahan sawah berkisar antara 0,007- 0,055 ha. Tidak ditemukan pengalihan hak
131
Tabel 5. Rata-rata Luas Lahan yang Dialihkan Menurut Tipe Lahan (ha/rumah tangga) di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (seluruh contoh) Tipe lahan menurut pengalihan pengusahaan lahan
Lahan sawah Irigasi Irigasi ½ sederhana teknis
Irigasi teknis
Total lahan sawah
Tadah hujan
Total lahan
Lahan kering
Irigasi teknis - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya
0,118 0,009 -
-
-
-
0,118 0,090 -
-
0,118 0,090 -
Irigasi ½ teknis - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya
-
0,147 -
-
-
0,147 -
-
0,147 -
Irigasi sederhana - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya
-
-
0,202 0,052 -
-
0,202 0,052 -
-
0,202 0,052 -
Tadah hujan - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya
-
-
-
0,051 0,080 0,009 -
0,051 0,080 0,009 -
-
0,051 0,080 0,009 -
Sumber : Data primer (diolah)
garapan lahan sawah ke dalam dengan sistem menggadai. Pengalihan hak garapan lahan sawah keluar (rented out) di empat desa contoh Kabupaten Kediri (Tabel 7 – Tabel 9), sebagian besar dilakukan melalui sistem sewa (menyewakan) dengan rataan luas lahan yang disewakan sekitar 0,090-0,474 hektar dan menyakapkan lahan sawah hanya ditemukan pada desa contoh tipe irigasi setengah teknis dengan rataan luas hanya 0,007 ha. Sementara itu, pengalihan lahan garapan sawah melalui sewa di Kabupaten Ngawi ditemui di tiga desa dengan ketersediaan air baik, sedang dan kurang dengan rataan luas yang disewakan 0,074-0,163 ha dan yang menyakapkan lahan hanya ditemukan pada desa contoh irigasi teknis dan irigasi sederhana dengan rataan luas 0,007-0,029 ha. Tidak ditemukan adanya pengalihan hak garapan sawah ke luar dengan sistem menggadaikan.
132
Berdasarkan analisis perbandingan antara Tabel 6 dan Tabel 7 yang menggambarkan keragaan rented in dan rented out merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut: (1) Mekanisme kelembagaan pasar lahan sawah di pedesaan Kediri dan Ngawi, Jawa Timur sebagian besar dilakukan dengan sistem sewa-menyewa dan sebagian kecil lainnya dilakukan dengan sistem bagi hasil; (2) Di samping pengalihan lahan garapan sawah dengan sistem sewa lebih dominan juga bersifat lebih merata; (3) Kelembagaan pasar lahan melalui sistem gadai sudah tidak ditemukan lagi pada semua tipe irigasi; (4) Ditinjau dari perbandingan rented in dan rented out menunjukkan bahwa pengalihan garapan lahan sawah di pedesaan Kediri dan Ngawi di samping terjadi antar warga desa setempat, juga terjadi dengan pihak luas khususnya Pabrik Gula yang sering menyewa lahan petani.
Tabel 6. Rata-rata Luas Lahan Garapan Menurut Tipe Lahan di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Jawa Timur (seluruh contoh) Tipe lahan menurut sumber penguasaan lahan Kediri Irigasi teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi ½ teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi sederhana - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Tadah hujan - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Ngawi Irigasi teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi ½ teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi sederhana - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Tadah hujan - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya
Lahan sawah Irigasi Irigasi ½ sederhana teknis
Irigasi teknis
Total lahan sawah
Tadah hujan
Lahan kering
Total lahan
0,552 0,090 -
-
-
-
0,552 0,090 -
0,014 -
0,566 0,090 -
0,014 0,035 -
0,368 0,124 0,007 -
-
-
0,382 0,159 0,007 -
0,100 0,011 -
0,482 0,170 0,007 -
-
-
0,623 0,129 -
-
0,623 0,129 -
0,103 0,111 -
0,726 0,129 0,111 -
-
-
0,056 -
0,303 0,113 -
0,359 0,113 -
0,047 0,011 -
0,406 0,011 0,113 -
0,560 0,163 0,007 -
-
-
-
0,560 0,163 0,007 -
0,002 -
0,562 0,163 0,007 -
-
0,226 0,066 0,055 -
-
0,006 -
0,232 0,066 0,055 -
0,049 -
0,281 0,066 0,055 -
-
-
0,529 0,074 0,029 -
-
0,529 0,074 0,029 -
0,007 -
0,536 0,074 0,029 -
-
-
-
0,544 0,025 -
0,544 0,025 -
0,070 0,006 -
0,614 0,025 0,006 -
Sumber : Data primer (diolah)
133
Tabel 7. Rata-rata Luas Lahan yang Dialihkan Menurut Tipe Lahan (ha/rumah tangga) di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (seluruh contoh) Lahan sawah Tipe lahan menurut pengalihan penguasaan lahan
Irigasi teknis
Irigasi ½ teknis
Irigasi sederhana
Total lahan sawah
Tadah hujan
Total lahan
Lahan kering
Irigasi teknis - Menyewakan
0,118
-
-
-
0,118
-
0,118
- Menyakapkan
0,090
-
-
-
0,090
-
0,090
- Menggadaikan
-
-
-
-
-
-
-
- Lainnya
-
-
-
-
-
-
-
- Menyewakan
-
-
-
-
-
-
-
- Menyakapkan
-
0,147
-
-
0,147
-
0,147
- Menggadaikan
-
-
-
-
-
-
-
- Lainnya
-
-
-
-
-
-
-
- Menyewakan
-
-
0,202
-
0,202
-
0,202
- Menyakapkan
-
-
0,052
-
0,052
-
0,052
- Menggadaikan
-
-
-
-
-
-
-
- Lainnya
-
-
-
-
-
-
-
- Menyewakan
-
-
-
0,051
0,051
-
0,051
- Menyakapkan
-
-
-
0,080
0,080
-
0,080
- Menggadaikan
-
-
-
0,009
0,009
-
0,009
- Lainnya
-
-
-
-
-
-
-
Irigasi ½ teknis
Irigasi sederhana
Tadah hujan
Sumber : Data primer (diolah)
134
Tabel 8. Rata-rata Luas Lahan Garapan Menurut Tipe Lahan di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Jawa Timur (seluruh contoh) Tipe lahan menurut sumber penguasaan lahan Kediri Irigasi teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi ½ teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi sederhana - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Tadah hujan - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Ngawi Irigasi teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi ½ teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi sederhana - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Tadahu hujan - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya
Lahan sawah Irigasi Irigasi ½ sederhana teknis
Irigasi teknis
Total lahan sawah
Tadah hujan
Lahan kering
Total lahan
0,552 0,090 -
-
-
-
0,552 0,090 -
0,014 -
0,566 0,090 -
0,014 0,035 -
0,368 0,124 0,007 -
-
-
0,382 0,159 0,007 -
0,100 0,011 -
0,482 0,170 0,007 -
-
-
0,623 0,129 -
-
0,623 0,129 -
0,103 0,111 -
0,726 0,129 0,111 -
-
-
0,056 -
0,303 0,113 -
0,359 0,113 -
0,047 0,011 -
0,406 0,011 0,113 -
0,560 0,163 0,007 -
-
-
-
0,560 0,163 0,007 -
0,002 -
0,562 0,163 0,007 -
-
0,226 0,066 0,055 -
-
0,006 -
0,232 0,066 0,055 -
0,049 -
0,281 0,066 0,055 -
-
-
0,529 0,074 0,029 -
-
0,529 0,074 0,029 -
0,007 -
0,536 0,074 0,029 -
-
-
-
0,544 0,025 -
0,544 0,025 -
0,070 0,006 -
0,614 0,025 0,006 -
Sumber : Data primer (diolah)
135
Tabel 9. Rata-rata Luas Lahan yang Dialihkan Menurut Tipe Lahan (ha/rumah tangga) di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Jawa Timur (seluruh contoh) Tipe lahan menurut pengalihan penguasaan lahan Kediri Irigasi teknis - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Irigasi ½ teknis - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Irigasi sederhana - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Tadah hujan - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Ngawi Irigasi teknis - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Irigasi ½ teknis - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Irigasi sederhana - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Tadah hujan - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya
Lahan sawah Irigasi Irigasi ½ sederhana teknis
Irigasi teknis
Total lahan sawah
Tadah hujan
Total lahan
Lahan kering
0,090 -
-
-
-
0,090 -
-
0,090 -
0,035 -
0,124 0,007 -
-
-
0,474 0,007 -
0,011 -
0,170 0,007 -
-
-
0,129 -
-
0,129 -
0,111 -
0,129 0,111 -
-
-
-
0,113 -
0,113 -
0,011 -
0,011 0,113 -
0,163 0,007 -
-
-
-
0,163 0,007 -
-
0,163 0,007 -
-
0,121 -
-
-
0,121 -
-
0,121 -
-
-
0,074 0,029 -
-
0,074 0,029 -
-
0,074 0,029 -
-
-
-
0,025 -
0,025 -
0,006 -
0,025 0,006 -
Sumber : Data primer (diolah)
Pada Tabel 10 terlihat bahwa rataan luas dan distribusi petani contoh yang melakukan pengalihan lahan garapan sawah kedalam pengusahaannya bervariasi menurut tipe irigasi desa contoh. Di pedesaan Kabupaten Agam, petani contoh di keempat desa penelitian melakukan pengalihan lahan garapan sawah ke dalam melalui sistem sewa (menyewa) masing136
masing dengan rataan luas yang disewa berkisar antara 0,025 – 0,121 ha dan petani yang melakukan penyakapan lahan sawah berkisar antara 0,182-0,563 ha. Sementara itu, di pedesaan Kabupaten Sidrap, nampak petani contoh yang melakukan pengalihan lahan garapan sawah ke dalam pengusahaannya dengan sistem menyakap dengan rataan luas antara 0,525-0,838 ha
Tabel 10. Rata-rata Luas Lahan Garapan Menurut Tipe Lahan (ha/rumah tangga) Kabupaten Agam, Sumatera Barat dan Sidrap, Sulawesi Selatan (seluruh contoh) Tipe lahan menurut sumber penguasaan lahan Agam Irigasi teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi ½ teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi sederhana - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Tadah hujan - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Sidrap Irigasi teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi ½ teknis - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Irigasi sederhana - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya Tadah hujan - Lahan milik digarap sendiri - Menyewa - Menyakap - Menggadai - Lainnya
Lahan sawah Irigasi Irigasi ½ sederhana teknis
Irigasi teknis
Total lahan sawah
Tadah hujan
Total lahan
Lahan kering
0,388 0,025 0,253 0,025 -
-
-
-
0,388 0,025 0,253 0,025 -
0,328 -
0,716 0,025 0,253 0,025 -
-
0,053 0,121 0,563 -
-
-
0,053 0,121 0,563 -
0,158 0,026 -
0,211 0,121 0,589 -
-
-
0,248 0,480 0,145 -
-
0,248 0,480 0,145 -
0,025 -
0,273 0,480 0,145 -
-
-
-
0,337 0,058 0,182 0,066 0,006
0,337 0,058 0,182 0,066 0,006
0,013 -
0,350 0,058 0,182 0,066 0,006
0,795 0,618 0,095 -
-
-
-
0,795 0,618 0,095 -
-
0,795 0,618 0,095 -
-
0,428 0,614 0,050 0,008
-
-
0,426 0,614 0,050 0,008
0,258 -
0,679 0,614 0,050 0,008
-
-
0,635 0,525 -
-
0,635 0,525 -
0,299 -
0,934 0,525 -
0,025 -
-
-
0,429 0,838 0,015
0,429 0,838 0,015
0,262 0,055 0,020
0,691 0,918 0,035
Sumber : Data primer (diolah)
137
Tabel 11. Rata-rata Luas Lahan yang Dialihkan Menurut Tipe Lahan (ha/rumah tangga) di Kabupaten Agam, Sumatera Barat dan Sidrap, Sulawesi Selatan (seluruh contoh) Tipe lahan menurut pengalihan penguasaan lahan Agam Irigasi teknis - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Irigasi ½ teknis - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Irigasi sederhana - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Tadah hujan - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Sidrap Irigasi teknis - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Irigasi ½ teknis - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Irigasi sederhana - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya Tadah hujan - Menyewakan - Menyakapkan - Menggadaikan - Lainnya
Lahan sawah Irigasi Irigasi ½ sederhana teknis
Irigasi teknis
Total lahan sawah
Tadah hujan
Total lahan
Lahan kering
0,025 0,253 0,025 -
-
-
-
0,025 0,253 0,025 -
-
0,025 0,253 0,025 -
-
0,121 0,563 -
-
-
0,121 0,563 -
0,026 -
0,121 0,589 -
-
-
0,480 0,145 -
-
0,480 0,145 -
-
0,480 0,145 -
-
-
-
0,058 0,182 0,066 0,006
0,058 0,182 0,066 0,006
-
0,058 0,182 0,066 0,006
0,618 0,095 -
-
-
-
0,618 0,095 -
-
0,618 0,095 -
-
0,614 0,050 0,008
-
-
0,614 0,050 0,008
-
0,614 0,050 0,008
-
-
0,525 -
-
0,525 -
-
0,525 -
0,025 -
-
-
0,838 0,015
0,863 0,015
0,055 0,020
0,918 0,035
Sumber : Data primer (diolah)
Pengalihan hak garapan lahan sawah dengan menyewa tidak ditemukan di pedesaan Sidrap. Namun sistem pengalihan hak garapan lahan sawah dengan sistem gadai masih banyak ditemukan baik di pedesaan Agam maupun Sidrap.
138
Pengalihan hak garapan lahan sawah keluar (rented out) di empat desa contoh Kabupaten Agam (Tabel 11), sebagian besar dilakukan melalui sistem sakap (menyakapkan) dengan rataan luas lahan yang disakapkan berkisar antara 0,145-0,182-0,480 ha dan menyewakan
lahan sawah berkisar antara 0,025-0,121 ha. Sementara itu, pengalihan lahan garapan sawah melalui sewa di Kabupaten Sidrap tidak ditemukan sama sekali, namun berdasarkan informasi kualitatif di lapang di pedesaan lahan sawah sidrap mulai ada sistem sewa. Sistem pengalihan hak garapan ke luar yang umum di pedesaan Sidrap adalah dengan sistem menyakapkan dengan rataan luas 0,050-0,838 ha. Sistem gadai ditemukan pada desa dengan tipe irigasi teknis dan setengah teknis. Berdasarkan analisis perbandingan antara Tabel 10 dan Tabel 11 yang menggambarkan keragaan rented in dan rented out merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut: (1) Mekanisme kelembagaan pasar lahan sawah di pedesaan Agam dan Sidrap, sebagian besar dilakukan dengan sistem sakap-menyakap dan sebagian kecil lainnya dilakukan dengan sistem gadai; (2) Sistem pengalihan hak garapan lahan sawah dengan sistem masih ditemukan di pedesaan Agam, namun tidak ditemukan di pedesaan Sidrap; (3) Kelembagaan pasar lahan melalui sistem gadai masih ditemukan baik di Agam dihampir semua tipe irigasi maupun di pedesaan Sidrap meskipun ditemukan hanya pada desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis; (4) Ditinjau dari perbandingan rented in dan rented out menunjukkan bahwa pengalihan garapan lahan sawah di pedesaan Agam masih relatif terjadi antar warga desa setempat karena masih kuatnya kekerabatan ninik mamak, sedangkan di pedesaan Kabupaten Sidrap sudah tidak terbatas antar warga desa tetapi juga dengan warga luar desa. Kajian mikro di lima provinsi PATANAS (Susilowati et al., 1999) menunjukkan bahwa rataan pemilikan lahan sawah cenderung menurun, sebaliknya pemilikan lahan kering mengalami peningkatan selama kurun waktu 1994-1998 (Tabel 2). Di Provinsi Lampung rataan pemilikan lahan sawah mengalami penurunan 0,11 ha, dan Sulawesi Utara berkurang 0,39 ha. Sementara di Jawa Tengah, dan NTB masing-masing hanya menurun 0,04 ha dalam kurun waktu yang sama. Berbeda halnya bila dilihat dari segi partisipasi pemilikan lahan sawah dan lahan kering, secara umum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Peningkatan cukup tinggi terjadi di Sulawesi Selatan dan NTB yaitu 38,4 persen dan 20,4 persen untuk lahan sawah dan lahan kering sekitar 11,4 persen dan 9,6 persen dalam periode yang sama.
Kondisi tersebut memberikan gambaran semakin terbatasnya lahan sawah yang terjadi tidak hanya di Jawa tetapi juga di Luar Jawa, sedangkan untuk lahan kering menunjukkan di Jawa ketersediaannya makin terbatas, namun di Luar Jawa ketersediaannya masih cukup memadai. Implikasi penting yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengendalikan penyusutan lahan sawah di Jawa dan melalui perluasan areal lahan sawah di Luar Jawa baik melalui pencetakan lahan sawah (ekstensifikasi secara horisontal) maupun melalui peningkatan indek pertanaman (ekstensifikasi secara vertikal). Ketimpangan Pemilikan dan Penggarapan Lahan Untuk melihat tingkat distribusi penguasaan lahan akan di ungkap tingkat ketimpangan pemilikan dan penggarapan lahan di pedesaan kabupaten contoh. Tabel 12 memberikan beberapa gambaran pokok sebagai berikut. Secara umum tingkat distribusi penguasaan lahan baik lahan sawah atau lahan pertanian milik maupun lahan sawah dan lahan pertanian garapan menunjukkan tidak timpangnya penguasaan lahan antar kabupaten. Nampak bahwa ketimpangan lahan sawah dan lahan pertanian milik sedikit lebih tinggi dibandingkan lahan sawah dan lahan pertanian garapan. Hal ini menunjukkan adanya transfer garapan dari pemilik lahan kepada petani penggarap baik melalui mekanisme sistem sewa-menyewa, sakap-menyakap, sistem gadai, dan lainnya. Mengacu pada batasan yang diajukan oleh Oshima (1976) dalam Syukur (1988) pemilikan lahan sawah di Kabupaten Klaten, Agam, dan Sidrap, tergolong memiliki tingkat ketimpangan ringan, sedangkan di Kabupaten Indramayu, Kediri dan Ngawi tingkat ketimpangan sedang, sementara itu di Kabupaten Majalengka tingkat ketimpangan pemilikan lahan sawah tergolong berat. Relatif meratanya pemilikan lahan sawah di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah hal ini sangat terkait adanya pembatasan sertifikasi lahan sawah milik yang sebelum era reformasi dibatasi minimal 0,400-0,450 ha (2 pathok) dan sekarang pembatasan tersebut telah diturunkan menjadi 0,200-0,250 ha (1 pathok). Relatif meratanya pemilikan lahan sawah di pedesaan Kabupaten Agam sangat terkait dengan sistem penguasaan lahan dan pola pewarisan. Tanah-tanah di empat kecamatan Kabupaten Agam pada umumnya 139
merupakan “tanah pusako tinggi” atau “ulayat”, sehingga hampir sebagian besar petani adalah penggarap, bukan pemilik. Oleh karena itu, transaksi pemindahan hak kepemilikan lahan sawah jarang sekali terjadi di kabupaten Agam ini, yang banyak terjadi adalah hanya transaksi pemindahan hak garapan terutama dari pemilik lahan sawah kepada orang lain. Pemindahan hak kepemilikan lahan sawah hanya terjadi berdasarkan ”adat” yang telah disepakati oleh ‘ninik mamak” dimana apabila orang tua sudah meninggal, maka hak kepemilikan lahan sawah tersebut diwariskan kepada anak “perempuan”. Dalam keadaan luas lahan sawah yang terbatas (sempit), maka pembagian lahan sawah tidak dilakukan dengan cara memecah lahan sawah (fragmenting land) tetapi dilakukan dengan cara garap bergiliran yang disebut dengan istilah “ligaran”. Sementara itu, relatif meratanya pemilikan lahan sawah di Kabupaten Sidrap disebabkan rata-rata petani di desa contoh memiliki lahan sawah yang cukup merata. Kecuali terjadinya pemusatan penguasaan lahan oleh 4 orang tertentu dan tidak termasuk responden contoh. Tabel 12. Nilai Gini Indek Pemilikan dan Garapan Lahan Pertanian di Tujuh Kabupaten Contoh, Tahun 2000-2001 Kabupaten Indramayu Majalengka Klaten Kediri Ngawi Agam Sidrap
Lahan Sawah Milik Garapan 0,385 0,475 0,514 0,545 0,374 0,226 0,430 0,442 0,406 0,423 0,369 0,249 0,385 0,224
Lahan Pertanian Milik Garapan 0,389 0,461 0,511 0,538 0,373 0,238 0,418 0,443 0,398 0,431 0,400 0,267 0,383 0,324
Sumber : Analisis data primer (diolah)
DINAMIKA KELEMBAGAAN LAHAN DI PEDESAAN Sistem kelembagaan lahan yang ditemukan di pedesaan tujuh kabupaten contoh adalah sistem bagi-hasil (share cropping), sewa-menyewa (land rent) dan sistem gadai (mortage system). Sistem Bagi Hasil atau Sakap-Menyakap Sistem sakap-menyakap (share cropping) di pedesaan contoh di kabupaten-kabupaten 140
contoh di Jawa menunjukkan adanya kecenderungan semakin berkurang, meskipun eksistensi sistem tersebut masih tetap ada hingga sekarang, sementara itu di pedesaan contoh di Luar Jawa masih tetap berkembang, bahkan kasus di Kabupaten Sidrap perkembangannya dapat dikatakan meningkat menggeser sistem gadai. Sistem sakap yang berlaku di pedesaan Majalengka dan Indramayu yang masih berlaku adalah sistem maro, sedangkan sistem mertelu sudah jarang dijumpai lagi. Hak dan kewajiban penggarap dalam sistem bagi hasil maro di Majalengka dan Indramayu berbeda. Secara umum sistem maro yang berlaku di Indramayu adalah sebagai berikut: (a) menyediakan setengah/separoh dari sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, dll); (b) semua kebutuhan tenaga kerja termasuk pengolahan tanah dengan traktor menjadi tanggung jawab penggarap; dan (c) hasil setelah dikurangi bawon penyeblok dibagi dua. Sementara itu hak dan tanggung jawab pemilik lahan adalah: (a) menyediakan lahan dan membayar pajak atas tanah serta kewajiban lain atas tanah tersebut; (b) menanggung sarana biaya produksi separohnya; dan (c) memperoleh setengah/separo hasil setelah dikurangi bawon (catu) bagi penyeblok. Sementara itu sistem gadai menunjukkan kecenderungan yang menurun. Sementara itu sistem sakap yang berlaku di pedesaan Majalengka yang masih berlaku adalah sistem maro, sedangkan sistem mertelu sudah jarang dijumpai lagi. Hak dan kewajiban penggarap dalam sistem bagi hasil maro di Majalengka adalah sebagai berikut: (a) menyediakan semua sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, dll); (b) semua kebutuhan tenaga kerja termasuk pengolahan tanah dengan traktor menjadi tanggung jawab penggarap; dan (c) hasil setelah dikurangi bawon penyeblok dibagi dua. Sementara itu hak dan tanggung jawab pemilik lahan adalah: (a) menyediakan lahan dan membayar pajak atas tanah serta kewajiban lain atas tanah tersebut; (b) tidak menanggung biaya sarana produksi sama sekali; dan (c) memperoleh setengah/separo hasil setelah dikurangi bawon (catu) bagi penyeblok. Sementara itu sistem bagi hasil mertelu (jujuron) seluruh input produksi menjadi tanggungan pemilik lahan, sewa alat dan mesin pertanian (traktor, pompa, power threser) ditanggung pemilik lahan. Sementara itu sistem gadai menunjukkan kecenderungan yang menurun.
Selain itu di pedesaan contoh Kabupaten Indramayu, khususnya di desa irigasi teknis ditemukan juga adanya sistem “open-openan” (mengurus). Pemilik lahan mempunyai posisi yang lebih kuat dalam menentukan penawaran lahan garapan, untuk memperoleh lahan garapan dengan sistem bagi hasil pada MK, pada MH calon penyakap berkewajiban untuk mengurus (sistem “open-openan”) yaitu dengan melakukan kegiatan menamping, menyiang dan menjemur untuk luasan tertentu, dengan imbalan 7 kw GKP per ha per musim. Pada MK baru diterapkan sistem bagi hasil untuk luasan tertentu dan disamping tetap sebagai tenaga tetap pada sistem “open-openan”. Sistem bagi hasil yang berkaitan dengan sistem open-openan adalah maro dengan ketentuan penyakap mempunyai tanggung jawab sebagai berikut : (1) 50 persen dari biaya pengolahan tanah; (2) 50 persen sarana produksi; (3) 50 persen dari biaya panen; dan (4) 100 persen biaya tanam dan pemeliharaan; dan (4) memperoleh 50 persen dari produksi. Secara ringkas sistem bagi hasil yang dominan di pedesaan contoh Kabupaten Indramayu dan Majalengka dapat dilihat pada Tabel 13. Sistem sakap (share cropping) di pedesaan contoh Kabupaten Klaten adalah sebagai berikut. Sistem bagi-hasil pada sawah irigasi teknis adalah sistem maro, mertelu, dan sebagian kecil merempat, sedangkan pada lahan sawah tipe setengah teknis irigasi dan sederhana adalah maro dan mertelu, sementara itu pada lahan sawah tadah hujan hanya ditemukan sistem maro. Hal yang menarik untuk diungkap
adalah adanya pergeseran sistem sakapmenyakap dari dominan merempat ke mertelu, dan selanjutnya dominan ke sistem maro (pada lahan sawah irigasi teknis yang ketersediaan airnya terjamin), sedangkan pada tipe lain yang umum berlaku dari waktu ke waktu adalah sistem maro. Pada sistem maro seluruh biaya input produksi (benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja pra panen) menjadi tanggungan penggarap, sedangkan hasil 50 persen penggarap dan 50 persen pemilik lahan setelah dikurangi biaya panen. Hal yang menarik dikemukakan disini adalah sistem maro untuk komoditas tembakau pada lahan sawah irigasi setengah teknis, bahwa pemilik lahan biasanya mempunyai kewajiban membantu 100 kg pupuk urea atau ZA dalam luasan 0,18-0,22 ha (1 pathok) atau 500 kg pupuk urea atau ZA per ha. Pada sistem mertelu biaya input produksi (benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja pra panen) 50 persen menjadi tanggungan penggarap dan 50 persen menjadi tanggungan pemilik lahan (pada saat dibutuhkan bisa dibayar oleh pemilik lahan atau oleh penggarap dan setelah panen diperhitungkan), sedangkan hasil 33 persen penggarap dan 67 persen pemilik lahan setelah dikurangi biaya panen. Namun saat ini ada tuntutan dari penggarap bahwa pemilik lahan membantu biaya pengolahan lahan sebesar Rp. 100.000-150.000 per ha (Rp. 20.000-30.000/ 0,200 ha atau per pathok), yang kurang lebih separoh dari biaya pengolahan lahan dengan traktor.
Tabel 13. Sistem Bagi Hasil Maro (1/2) di Pedesaan contoh Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat, 1999-2002 Uraian 1. Input a. Bibit b. Pupuk c. Pestisida d. Herbisida 2. Tenaga Kerja a. Pra-panen -Pengolahan tanah -Tanam dan pemeliharaan b. Panen 3. Iuran Air 4. Pajak Tanah 5. Produksi
Kabupaten Indramayu Pemilik lahan (%) Penggarap (%)
Kabupaten Majalengka Pemilik lahan (%) Penggarap (%)
50 50 50 50
50 50 50 50
0 0 0 0
100 100 100 100
0 0 50 0 100 50
100 100 50 100 0 50
0 0 50 0 100 50
100 100 50 100 0 50
Catatan : Sistem bagi hasil menunjuk bagian yang diterima penggarap
141
Sistem sakap-menyakap (bagi-hasil) di pedesaan contoh Kabupaten Ngawi adalah sebagai berikut. Sistem bagi-hasil yang ditemui di desa contoh irigasi baik teknis, setengah teknis, dan sederhana adalah sistem ‘maro’ kecuali di Desa Kalang (desa tadah hujan) berlaku sitem maro untuk musim hujan dan mertelu yang sebenarnya merupakan sistem dua pertiga untuk musim kemarau (MK 1 dan MK 2). Perbedaan sistem bagi hasil antar musim di Desa Kalang yang merupakan desa contoh lahan sawah tadah hujan disebabkan oleh tingginya biaya untuk irigasi pompa yang biasa digunakan pada musim kemarau.
Pada sistem merempat seluruh biaya input produksi (benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja pra panen) seluruhnya menjadi tanggungan pemilik lahan, sedangkan hasil 25 persen penggarap dan 75 persen pemilik lahan setelah dikurangi biaya panen. Sementara itu, sistem merempat semakin berkurang karena penggarap tidak bersedia lagi, pola bagi hasil ini dipandang tidak layak lagi, karena bersifat eksploitatif. Secara ringkas sistem bagi hasil yang masih eksis di pedesaan contoh Kabupaten Klaten dapat dilihat pada Tabel 14. Sistem bagi hasil yang berlaku dipedesaan contoh Kediri adalah “sistem maro”. Pada sistem ini yang berlaku pada umumnya adalah semua biaya ditanggung oleh penggarap, kecuali biaya panen menjadi tanggungan berdua. Sementara itu, hasil produksi dibagi dua secara proporsional antara penyakap dan pemilik. Sistem ini bagi penggarap memang lebih menguntungkan dibandingkan sistem lainnya seperti mertelu, merempat yang masih berjalan di beberapa daerah. Namun demikian kalau dikaitkan dengan tujuan si penggarap adalah untuk memaksimumkan keuntungan yang mereka peroleh, tentunya sistem maro ini menyebabkan si penggarap tidak akan berproduksi pada tingkat penggunaan input yang optimal. Agar sistem ini menguntungkan kedua belah pihak, sebaiknya disamping pembagiaan hasil secara proporsional, besarnya biaya sebaiknya juga dibagi secara proporsional seperti yang berlaku pada Undang-undang bagi hasil.
Sistem ‘maro’ artinya rasio bagi hasil produksi padi (setelah dikurangi biaya panen atau bawon) antara pemilik lahan dan penggarap adalah 50 : 50, dimana pajak lahan ditanggung oleh pemilik lahan sedangkan biaya sarana produksi (benih, pupuk dan obat-obatan) ditanggung bersama pemilik dan penggarap, biaya tenaga kerja pra panen menjadi tanggungan penggarap, dan biaya tenaga kerja panen menjadi pemilik lahan dan penggarap. Sedangkan sistem ‘mertelu’, di pedesaan Ngawi berbeda dengan yang belaku di Jawa Tengah dan Jawa Barat, yang sebenarnya sistem “dua pertiga” artinya rasio bagi hasil produksi padi (setelah dikurangi bawon) antara pemilik lahan dan penggarap adalah 33 :67, dalam hal ini pemilik lahan hanya menanggung pajak lahan, biaya produksi usahatani padi selain pajak lahan seluruhnya ditanggung oleh penggarap. Berdasar informan
Tabel 14. Sistem Bagi di Pedesaan Contoh Klaten, Jawa Tengah, 1999-2002 Maro (1/2) Uraian 1. Input a. Bibit b. Pupuk c. Pestisida d. Herbisida 2. Tenaga Kerja a. Pra-panen - Pengolahan tanah - Tanam dan pemeliharaan b. Panen 3. Iuran Air 4. Pajak Tanah 5. Produksi
Pemilik lahan (%)
Penggarap (%)
Merempat (1/4) Pemilik (%)
Penggarap (%)
0 0 0 0
100 100 100 100
50 50 50 50
50 50 50 50
100 100 100 100
0 0 0 0
0 0 50 0 100 50
100 100 50 100 0 50
0-50 0 67 0 100 67
50-100 100 33 100 0 33
100 100 75 100 100 75
0 0 25 0 0 25
Catatan : Sistem bagi hasil menunjuk bagian yang diterima penggarap
142
Mertelu (1/3) Penggarap Pemilik (%) (%)
kunci di desa-desa penelitian, saat ini sistem bagi hasil frekuensinya makin berkurang disebabkan oleh makin tingginya biaya usahatani padi sementara harga gabah menurut petani kurang seimbang dibanding biaya produksi. Secara ringkas sistem bagi hasil yang dominan di pedesaan contoh Kabupaten Kediri dan Ngawi dapat dilihat pada Tabel 15. Ditemukan adanya dua jenis sistem bagi hasil maro antar lokasi penelitian di pedesaan Jawa, sebagai ilustrasi sistem bagi hasil yang berlaku di satu sisi untuk lokasi Majalengka, Klaten, dan Kediri berlaku sistem maro di mana pemilik lahan tidak menanggung biaya sarana produksi sama sekali, sedangkan pada sisi lain untuk lokasi Kabupaten Indramayu dan Ngawi sistem bagi hasil maro yang berlaku adalah pemilik lahan masih harus menanggung separoh dari biaya sarana produksi. Adanya variasi sistem maro antar lokasi tersebut disebabkan oleh dua hal : (1) tingkat ketersediaan lahan dan kelangkaan sumberdaya lahan ; (2) tingkat ketersediaan dan kelangkaan tenaga kerja pertanian di pedesaan. Pada sistem yang pertama menunjukkan bahwa tingkat ketersedian lahan sawah pada lokasi-lokasi penelitian tersebut sudah makin terbatas, sedangkan ketersediaan tenaga kerja masih relatif tinggi. Demikian juga sebaliknya, pada sistem yang kedua menunjukkan masih relatif tersedia lahan sawah dan menunjukkan adanya kecenderungan makin langkanya tenaga kerja di pedesaan contoh Indramayu dan Ngawi. Sedangkan sistem pengalihan hak garap dengan cara sakap atau bagi hasil di pedesaan contoh Agam, Sumatera Barat pada umumnya
dilakukan dengan cara “maro” dan “mertelu”. Pada sistem maro di pedesan contoh Agam, seluruh biaya usahatani menjadi tanggungan dari pemilik lahan, kecuali tenaga kerja pra panen menjadi tanggungan penggarap, sedangkan biaya tenaga kerja panen menjadi tanggungan berdua, sedangkan mertelu atau mertigo di pedesaan Agam mempunyai pengertian yang sebaliknya dengan sistem yang berlaku di pedesaan Jawa, dimana sepertiga produksi adalah untuk pemilik lahan sawah dan dua pertiga untuk penggarap semua biaya usahatani kecuali pajak lahan menjadi tanggungan pemilik lahan dan biaya tenaga kerja panen ditanggung bersama. Berdasarkan data informasi share cropping (sakap) di Agam relatif beragam baik antar lokasi dalam satu daerah maupun antar daerah. Keragaman sistem sakap ini lebih banyak ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) kesuburan lahan yang direfleksikan oleh kondisi irigasi dan ketersediaan air irigasi serta tingkat kematangan pembentukan tanah, (2) kelas lahan yang ditentukan oleh aksesibilitas lahan terhadap jalan dan prasarana ekonomi lainnya, dan (3) risiko kegagalan panen. Sementara itu, sistem bagi hasil yang berlaku di pedesaan contoh Sidrap, Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut. Sistem bagi hasil berbeda antar tipe irigasi dan antar kelas lahan, yang menggambarkan tingkat kesuburan lahan, aksessibilitasnya terhadap sumber air irigasi dan aksessibilitasnya terhadap prasarana ekonomi. Sistem bagi hasil yang eksis dilokasi penelitian adalah sistem bagi dua (50% pemilik : 50% penggarap), bagi lima (40% pemilik : 60% penggarap), bagi tiga (33% pemilik : 67% penggarap).
Tabel 15. Sistem Bagi Hasil Maro (1/2) di Pedesaan Contoh Kediri dan Ngawi, Jawa Timur, 1999-2002 Uraian 1. Input a. Bibit b. Pupuk c. Pestisida d. Herbisida 2. Tenaga Kerja a. Pra-panen - Pengolahan tanah - Tanam dan pemeliharaan b. Panen 3. Iuran Air /biaya pompa 4. Pajak Tanah 5. Produksi
Kabupaten Kediri Pemilik lahan (%) Penggarap (%)
Kabupaten Ngawi Pemilik lahan (%) Penggarap (%)
0 0 0 0
100 100 100 100
50 50 50 50
50 50 50 50
0 0 50 0 100 50
100 100 50 100 0 50
0 0 50 0 100 50
100 100 50 100 0 50
Catatan : Sistem bagi hasil menunjuk bagian yang diterima penggarap
143
Sistem Sewa-Menyewa Lahan
Besarnya tanggung jawab dalam sistem bagi hasil yang berlaku di Pedesaan Kabupaten Sidrap umumnya mengikuti sistem bagi hasilnya. Pada sistem maro seluruh biaya, kecuali tenaga kerja pra-panen menjadi tanggungan berdua. Sedangkan pada sistem dua perlima (40% : 60%), seluruh biaya kecuali biaya tenaga kerja pra-panen menjadi tanggungan berdua dengan proporsi yang sama dengan bagi hasil.
Ada kecenderungan pergeseran dari sistem gadai dan bagi hasil ke sistem sewamenyewa lahan di pedesaan Jawa, sebaliknya sistem sewa-menyewa lahan masih jarang ditemukan di pedesaan Agam, Sumatera Barat dan Sidrap, Sulawesi Selatan, namun cukup banyak ditemukan adanya sistem bagi hasil dan sistem gadai. Pergeseran sistem bagi hasil ke sistem sewa pada awalnya berlaku sistem sewa secara natura dan dibayar setelah panen, yang dipedesaan Majalengka dan Indramayu disebut sistem lagu. Tingkat perkembangan kelembagaan lahan sangat tergantung dari perkembangan sosial budaya masyarakat setempat, tingkat ketersediaan dan kelangkaan sumberdaya lahan, tingkat ketersediaan dan kelangkaan tenaga kerja, dan tingkat keterbukaan ekonomi. Bahkan pergeseran dari sistem bagi hasil dan gadai ke sistem sewa merupakan dinamika pasar lahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Sementara itu, pada sistem dua pertiga (33% : 67%) seluruh biaya kecuali tenaga kerja pra panen menjadi tanggungan berdua dengan proporsi yang sama dengan sistem bagi hasil. Namun biasanya pengeluaran biaya tersebut ditanggung oleh penggarap dan setelah panen diperhitungkan. Secara ringkas sistem bagi hasil yang masih berkembang di pedesaan contoh Kabupaten Agam dan Sidrap dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Sistem Bagi Hasil Maro di Pedesaan Contoh Agam, Sumatera Barat dan Sidrap, Sulawesi Selatan, 19992002 Maro (1/2) Uraian A. Agam 1.Input: a. Bibit b. Pupuk c. Pestisida d. Herbisida 2.Tenaga Kerja a. Pra-panen - Pengolahan tanah - Tanam dan pemeliharaan b. Panen 3. Iuran Air 4. Pajak Tanah 5. Produksi B. Sidrap 1.Input: a. Bibit b. Pupuk c. Pestisida d.Herbisida 2.Tenaga Kerja a. Pra-panen - Pengolahan tanah - Tanam dan pemeliharaan b. Panen 3. Iuran Air 4. Pajak Tanah 5. Produksi
Pemilik (%)
Dua pertiga (2/3)
Penggarap (%)
Penggarap (%)
Tiga perlima (3/5) Pemilik (%)
Penggarap (%)
100 100 100 0
0 0 0 100
0 0 0 0
100 100 100 100
-
-
0 0 50 100 50
100 100 50 0 50
0 0 33 100 33
100 100 67 0 67
-
-
50 50 50 50
50 50 50 50
33 33 33 33
67 67 67 67
40 40 40 40
60 60 60 60
0 0 50 50 50 50
100 100 50 50 50 50
0 0 33 33 33 33
100 100 67 67 67 67
0 0 40 40 40 40
100 100 100 100 100 100
Catatan : Sistem bagi hasil menunjuk bagian yang diterima penggarap
144
Pemilik (%)
Perubahan dan pola bagi hasil ke sistem sewa tunai merupakan proses rasionalisasi dan moneterisasi pasar hak guna lahan temporer. Pola bagi hasil merupakan bentuk transaksi melalui institusi kontrak dengan media pertukaran barang dan rentan terhadap “agency problem” sehingga biaya transaksinya lebih tinggi dari pola sewa yang berbasis pada media pertukaran uang. Pergeseran dari sistem bagi hasil ke sistem sewa di pedesaan Jawa disebabkan oleh dua sisi yaitu dari pihak pemilik lahan dan dari pihak penggarap. Beberapa argumen dari pemilik lahan, yaitu: (1) Adanya pergeseran sistem bagi hasil yang menunjukkan makin baiknya posisi penggarap, kasus di Klaten Jawa tengah terjadi pergeseran dari sistem merempat (1/4) ke sistem mertelu (1/3) selanjutnya ke sistem maro (1/2), sistem tersebut menunjuk bagian hasil yang diterima penggarap, meskipun pada masing-masing sistem tersebut penggarap mempunyai tanggung jawab yang berbeda; (2) Risiko kegagalan panen atau kekurang berhasilan panen ditanggung bersama, sementara itu pengelolaan lahan berada dibawah managemen penggarap; dan (3) Pemilik lahan seringkali merasa kurang adanya informasi hasil produksi yang sebe-narnya. Sementara itu, dari pihak penggarap beberapa keberatan dengan sistem bagi hasil adalah: (1) Sistem bagi hasil yang meskipun sudah dengan sistem maro dirasakan terlalu menguntungkan pemilik lahan, karena biaya produksi pada sistem maro ini semua menjadi tanggungan penggarap, kasus di Jawa, sedangkan di Luar Jawa menjadi tanggungan bersama; (2) Kondisi tersebut diperparah lagi adanya kecenderungan kenaikan harga sarana produksi dan tingkat upah di satu sisi, sementara di sisi lain harga hasil produksi relatif stagnan. Di samping itu, berkembangnya sistem sewa-menyewa juga sangat dipengaruhi oleh berkembangnya komoditas komersial (high value commodity), seperti kasus di Indramayu berkembangnya komoditas bawang merah dan cabe merah; di Klaten untuk komoditas (tembakau, semangka, melon, cabe dan tomat); di Ngawi berkembangnya usahatani melon; di Kediri berkembang komoditas tebu tidak saja untuk Pabrik Gula tetapi juga untuk industri rumah tangga, jagung hibrida, dan cabe merah, di Agam untuk komoditas cabe merah dan tomat, dan di Sidrap untuk komoditas jagung hibrida.
Meskipun permintaan terhadap sewa lahan meningkat di pedesaan Jawa, namun frekuensi terjadinya sistem ini makin berkurang karena pemilikan lahan yang relatif kecil-kecil. Lahan yang disewakan tinggal lahan-lahan bengkok dan beberapa pemilik lahan luas. Nilai sewa lahan berbeda antar lokasi dan antar waktu, yang antara lain disebabkan oleh perbedaan: (1) kesuburan lahan yang sangat terkait dengan ketersediaan air irigasi dan direfleksikan oleh tingkat produktifitas serta intensitas tanam; (2) kelas lahan yang sangat terkait dengan aksesibilitasnya terhadap jalan yang memberikan kemudahan dalam pengangkutan; (3) tingkat ketersediaan atau kelangkaan sumberdaya lahan; (4) meningkatnya opprtunity cost dari lahan sejalan dengan berkembangnya beberapa komoditas komersial (high value commodity); (5) kapan pembayaran sewa tersebut dilakukan, apakah sebelum tanam atau sesudah panen; (6) kecepatan waktu menggarap dari lahan yang disewa, semakin cepat semakin mahal. Nilai sewa lahan menurut lokasi penelitian dan tipe irigasi (ketersediaan air) dapat di lihat pada Tabel 17. Secara umum di semua lokasi desa penelitian terlihat adanya korelasi positif antara nilai sewa lahan dengan kondisi lahan sawah menurut ketersediaan air untuk irigasi, semakin baik ketersediaan air semakin mahal nilai sewa lahan sawah. Perlu dicatat bahwa nilai sewa lahan yang disajikan pada Tabel 15 adalah nilai setelah dinilai dengan rupiah. Kondisi riil yang terjadi di beberapa lokasi bahwa transaksi sewa lahan tidak semua dinilai dalam rupiah, seperti beberapa desa contoh di Kabupaten Agam dinilai dalam beras dan sebagian desa di Indramayu nilai sewa dihitung dengan gabah. Sistem sewa-menyewa di lokasi penelitian pedesaan Kabupaten Agam, Sumatera Barat jarang terjadi untuk komoditas padi dan palawija, yang sering adalah untuk komoditas tanaman hortikultura, seperti cabe, tomat dan sayuran lainnya. Nilai sewa lahan sawah dalam bentuk uang tunai untuk usahatani padi dan palawija jarang terjadi di kabupaten Agam, kecuali bagi penduduk yang datang dari luar daerah atau bukan kerabat ninik mamak, namun ada kecenderungan bagi desa yang sudah bercampur dengan penduduk pendatang dan perekonomiannya sudah relatif terbuka lebih cenderung nilai sewa lahan dibayar secara tunai, karena menurut penduduk pendatang lebih praktis dilakukan. Rata-rata nilai sewa dalam bentuk uang berkisar 145
Tabel 17. Nilai Sewa Lahan Sawah di Desa-desa Penghasil Padi di Tujuh Kabupaten Menurut Ketersediaan Air, Tahun 2001 (Rp 000/Ha/tahun)
Baik
Ketersediaan Air Sedang
Kurang
1. Indramayu
4.500
4.200
2. Majalengka
4.200
3. Klaten
Tadah hujan
Rataan
3.900
3.600
4.050
3.600
2.700
2.100
3.150
4.950
4.500
4.200
3.600
4.313
4. Kediri
5.400
4.950
4.200
3.600
4.537
5. Ngawi
4.800
4.200
4.200
3.000
4.050
6. Agam
5.400
4.800
4.200
3.600
4.500
7. Sidrap
4.050
3.600
3.375
2.430
3.364
Kabupaten
antara Rp 3,6 – 5,4 juta per ha per tahun, dengan nilai rata-rata sekitar Rp 4,5 juta per ha, yang sebagian besar terjadi untuk komoditas hortikultura. Di Kabupaten Indramayu, di Desa Limpas (ketersediaan air sedang) nilai sewa lahan sawah yang berlaku dihitung dan dibayar setara dengan gabah, nilainya bervariasi antara 35 – 42 kuintal GKG per ha per tahun, tergantung pada aksesibilitas terhadap jalan dan saluran irigasi. Dengan adanya nilai sewa dalam bentuk natura maka nilai sewa lahan tidak mengalami perubahan. Untuk memperoleh lahan sewaan pada tahun ini petani harus melakukan transaksi pada musim hujan (MH) tahun sebelumnya, dan pembayaran dilakukan dengan gabah hasil panen MH tahun sebelummya. Dengan kata lain ada masa tunggu 2 musim yaitu musim kemarau (MK I dan MK II). Fenomena ini menunjukkan bahwa permintaan sewa lahan lebih besar dibandingkan dengan penawarannya. Dalam hal ini, pemilik lahan mempunyai posisi yang lebih kuat. Apabila calon penyewa tidak membayar pada musim panen tahun sebelumnya, pemilik lahan akan menawarkan lahannya kepada orang lain. Disamping sewa lahan per tahun, juga ditemui sewa lahan musiman khususnya untuk lahan yang ditanami komoditas hortikultura terutama semangka dan cabe. Nilai sewa lahan untuk komoditas semangka lebih tinggi, yaitu Rp 700 000,- untuk jangka waktu 2 bulan, sementara nilai sewa lahan untuk komoditas cabe 28 kw GKP per musim/ha (sekitar 6 bulan). Tingginya nilai sewa untuk komoditas semangka dan cabe disebabkan karena kedua komoditas tersebut dapat memberikan pendapatan yang tinggi.
146
Sistem Gadai Sistem gadai mulai jarang ditemukan di pedesaan Jawa, namun masih cukup banyak ditemukan di pedesaan Luar Jawa. Pergeseran dari sistem gadai ke sistem sewa mengalami proses evolusi yang sangat lamban. Semakin hilangnya sistem gadai di pedesaan Jawa disebabkan sistem ini dirasa tidak adil bagi pihak yang menggadaikan lahan. Pihak yang menggadaikan lahan meminjam sejumlah uang tertentu, yang biasanya dalam setara gabah/ beras (kasus pedesaan Jawa Zaman dulu dan Sidrap kondisi sekarang) atau setara uang emas (kasus di pedesaan Kabupaten Agam, Sumatera Barat), dengan jaminan diberikan hak penggarapan dalam luasan tertentu sesuai satuan setempat dalam periode waktu minimal dua musim tanam atau 2 tahun sampai yang bersangkutan dapat mengembalikan jumlah uang dalam setara gabah/beras atau uang emas yang dipinjamnya. Dengan kata lain, penghasilan usahatani secara tidak langsung sebagai bunga pinjaman. Sistem gadai di pedesaan Kabupaten Sidrap, mulai berlaku 1960-1970, di mana pada waktu itu sistem gadai yang umum berlaku 10 ton/ha dengan masa gadai minimal 2 tahun, sedangkan sekarang sebesar 30 ton/ha dengan masa gadai minimal 2 tahun. Perbedaan besarnya nilai gadai pada dua periode tersebut disebabkan intensitas tanam dan tingkat produktivitas yang dicapai, di mana waktu itu intensitas tanam masih 1 kali per tahun dengan tingkat produktivitas setengah dari yang bisa dicapai sekarang. Karena pada sistem gadai ini besarnya uang setara gabah yang dipinjamkan harus ditebus maka sesungguhnya besarnya pendapatan
dari usahatani selama dua tahun tersebut merupakan kompensasi nilai suku bunga. Timbulnya sistem gadai di pedesaan Kabupaten Agam, Sumatera Barat disebabkan karena tidak diperbolehkannya menjual lahan sawah, oleh karena itu apabila keluarga memerlukan dana likuiditas yang agak besar terpaksa lahan sawah “ninik mamak” tersebut digadaikan. Tentunya harga sistem gadai ini lebih besar dari pada menyewakan atau menyakapkan lahan. Besarnya nilai gadai tergantung kepada kualitas lahan itu sendiri. Penghargaan sistem gadai sudah menjadi umum, biasanya disetarakan dengan “uang emas”. Nilai gadai per hektar sawah berkisar antara 20-22,5 rupiah emas dimana satu rupiah emas bernilai sekitar Rp 1,5 juta rupiah, dengan demikian nilai gadai saat ini adalah berkisar antara Rp 30 – 33,75 juta/ha, sistem gadai ini hanya dibatasi kapan pihak yang menggadaikan mampu membayar besarnya uang gadai yang telah diterima. Transaksi menggadaikan lahan sawah juga harus berdasarkan kesepakatan “ninik mamak” dan untuk kepentingan yang sangat fundamental, seperti pesta perkawinan, menyekolahkan anak dan membayar hutang bekas keperluan-keperluan mendesak. Pergeseran dari sistem dominan gadai ke sistem dominan bagi hasil, yang selanjutnya kedominan sistem sewa merefleksikan makin berjalannya mekanisme pasar lahan di pedesaan sejalan dengan makin terbukanya perekonomian suatu wilayah. PASAR LAHAN DAN HARGA LAHAN Keragaan dan Mekanisme Pasar Lahan Ditinjau dari sudut ekonomi sumberdaya, lahan merupakan barang ekonomi yang ketersediaannya sudah tertentu atau tetap (fixed), sementara di sisi lain kebutuhan (demand) terhadap lahan meningkat dan semakin meningkat dari waktu kewaktu. Berdasarkan sifat lahan tersebut menjadikan lahan bukan saja barang ekonomi, tetapi lahan mengandung makna yang komplek (politik, sosial-budaya, religius, harta pusaka, dll). Tanah dipandang harta pusako tinggi yang tidak dapat diperjual belikan masih ditemukan pada masyarakat Adat Minangkabau di Sumatera Barat. Namun demikian berdasar kajian di lapang dengan makin terbukanya perekonomian desa terhadap ekonomi pasar
semakin menunjukkan sosok dominasinya lahan sebagai barang ekonomi. Lahan dapat dijadikan agunan Bank, lahan dapat di perjual belikan, lahan dapat dialihkan pengusahaannya kepada pihak lain, misalnya melalui sistem sewamenyewa (land rent), sistem bagi hasil (share cropping), sistem gadai (mortgage system), dan dipinjamkan (borrowing). Frekuensi Transaksi Jual Beli Lahan Transaksi jual-beli lahan ditemukan di hampir semua Kabupaten Contoh bahkan di Kabupaten Agam di mana lahan warisan dipandang sebagai harta pusako tinggi juga ditemukan adanya transaksi jual beli lahan, melalui musyawarah keluarga dan atas persetujuan ninik mamak. Namun diakui bahwa transaksi jual beli lahan jarang terjadi di pedesaan Jawa maupun Luar Jawa. Berdasarkan hasil wawancara dengan key informan menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya transaksi jual-beli lahan sangat jarang terjadi, yaitu 1-3 kali setiap tahun, bahkan di Kabupaten Agam dalam periode yang lebih lama, karena terbatasnya lahan sebagai harta pusaka rendah. Hasil penelitian Saptana (1994), Jawa Timur menunjukkan bahwa makin dekat dengan pusat ekonomi maka frekuensi tansaksi jual-beli lahan semakin tinggi. Hasil penelitian di 7 Kabupaten Contoh juga menunjukkan hal yang sama yaitu semakin terbuka perekonomian maka frekuensi jual beli lahan semakin tinggi. Sebagai ilustrasi di Desa Jatipuro, Kabupaten Klaten yang merupakan desa contoh lahan sawah irigasi teknis di mana berkembang industri meubeller transaksi jual beli lahan relatif tinggi. Biasanya untuk lahan sawah dipinggir jalan yang dalam Pola Tata Ruang Desa diperuntukkan kawasan industri mempunyai nilai jual 2 kali lipat dibandingkan lahan sawah yang jauh dari jalan. Gambaran lain terjadinya akumulasi lahan yang tinggi di Kabupaten Indramayu dan Sidrap, menunjukkan adanya frekuensi jual beli lahan yang cukup tinggi, karena hanya 1-2 generasi mampu mengumpulkan lahan puluhan hingga ratusan hektar lahan sawah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa dengan makin terbukanya ekonomi suatu wilayah cenderung meningkatkan laju transaksi jual beli lahan di pedesaan, namun dampak keterbukaan ekonomi wilayah terhadap distribusi penguasaan lahan berikut implikasinya sangat beragam dan memerlukan penelitian lebih lanjut. 147
Harga Lahan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah: (1) kelas lahan, yang menunjukkan jarak lahan terhadap jalan atau pusat ekonomi, semakin dekat lahan terhadap prasarana jalan dan pusat semakin tinggi harga lahan; (2) kesuburan lahan, yang direfleksikan oleh ketersediaan air irigasi, semakin baik jenis irigasi atau semakin subur semakin tinggi harga lahan; (3) tingkat ketersediaan dan kelangkaan dari sumberdaya lahan, semakin langka lahan semakin tinggi harganya; (4) permintaan lahan, semakin tinggi permintaan terhadap sumberdaya lahan semakin meningkat harganya; dan (5) status lahan, semakin pasti hak kepemilikan lahan biasanya memberikan harga lahan yang semakin baik. Fleksibilitas harga lahan sangat tergantung tingkat keterbukaan ekonomi suatu wilayah dan perkembangan sektor-sektor ekonomi di luar sektor non pertanian serta faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di atas. Secara rinci harga lahan menurut Kabupaten contoh dan tipe irigasi dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Nilai Jual Lahan di Desa-desa Penelitian Menurut Tingkat Ketersediaan Air (Rp. juta/ha) Tingkat Ketersediaan Air Kabupaten Indramayu Majalengka Klaten Kediri Ngawi Agam*) Sidrap
Baik
Sedang
Kurang
55-75 50-70 80-120 60-110 50-110 50-60 40-75
50-70 50-60 60-100 50-100 50-100 40-50 30-50
50-60 50-60 60-100 50-100 50-100 30-40 30-50
Tadah Hujan 42-56 40-50 50-80 45-75 40-70 20-30 15-40
Catatan : *) Di pedesaan Kabupaten Agam sangat jarang terjadi transaksi jual beli lahan, karena sebagian besar lahan adalah milik komunal
SIMPUL SIMPUL KRITIS DALAM KELEMBAGAAN PASAR LAHAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa simpul-simpul kritis struktur penguasaan dan kelembagaan pasar lahan di pedesaan mencakup 10 aspek. Kesepuluh aspek tersebut adalah: (1) karakteristik sumberdaya Lahan, (2) tipe lahan berdasarkan jenis irigasi dan kelas lahan, (3) struktur penguasaan lahan yang kecil dan makin 148
kecil, (4) pergeseran kelembagaan lahan dari sistem bagi hasil ke sistem sewa, (5) perpecahan dan perpencaran (fragmentation) lahan, (6) akumulasi lahan, (7) dinamika harga masukan dan keluaran, (8) persepsi petani terhadap lahan, (9) kelembagaan petani, dan (10) pengembangan sistem informasi. Karakteristik Sumberdaya Lahan Ditinjau dari sudut ekonomi sumberdaya lahan merupakan barang ekonomi yang ketersediaannya sudah tertentu atau tetap (fixed), sementara di sisi lain kebutuhan (demand) terhadap lahan meningkat dan semakin meningkat dari waktu kewaktu. Hubungan antara lahan dan penduduk mulai diperhatikan dengan adanya pernyataan Malthus dalam bukunya An Essay on Population (1978) dalam Reksohadiprojo (1994). Pernyataan pokoknya adalah ada kecenderungan kuat pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan pasokan bahan makanan terutama disebabkan ketersediaan areal lahan adalah tetap. Berdasarkan sifat lahan tersebut menjadikan lahan bukan saja barang ekonomi, tetapi lahan mengandung makna yang kompleks (politik, sosial-budaya, religius, harta pusaka, dll). Namun demikian berdasar kajian di lapang dengan makin terbukanya perekonomian desa semakin menunjukkan sosok dominasinya lahan sebagai barang ekonomi. Lahan dapat dijadikan agunan Bank, lahan dapat di perjual belikan, lahan dapat dialihkan pengusahaannya kepada pihak lain (sistem sewa-menyewa , sistem bagi hasil, sistem gadai, dan dipinjamkan). Tipe Lahan Berdasarkan Jenis Irigasi dan Kelas Lahan Jenis irigasi merupakan tinjauan lahan dari aspek kualitasnya atau kesuburannya (land fertility). Berdasarkan kajian di lapang baik di Jawa Barat (Majalengka dan Indramayu), Jawa Tengah (Klaten), Jawa Timur (Ngawi dan Kediri), Sumatera Barat (Agam) dan Sulawesi Selatan (Sidrap) menunjukkan bahwa tingkat produktivitas lahan pada jenis irigasi yang lebih baik (kualitas bangunan dan ketersediaannya) adalah lebih baik. Kondisi ini memberikan insentif ekonomi yang lebih baik, seperti, nilai sewa yang lebih tinggi, sistem bagi hasil dengan bagian yang lebih besar, penyerahan nilai gadai yang lebih tinggi dan harga jual lahan yang lebih tinggi.
Lokasi (letak lahan) merupakan tinjauan lahan dari aspek ruang (space) yang menentukan kelas lahannya. Reksohadiprojo (1994) mengemukakan pentingnya lokasi dapat di lihat dari 3 aspek, yaitu lokasi ekonomi, penggunaan lahan, dan status hukum. Konsep lokasi ekonomi berdasarkan asumsi bahwa suatu tempat dapat menikmati keuntungan lokasi dibanding tempat lainnya berupa antara lain berkurangnya biaya transportasi dan waktu dari lahan ke jalan atau pusat pasar. Kondisi ini nampak jelas pada daerah-daerah persawahan yang merupakan hamparan yang luas, seperti di Indramayu dan Sidrap merupakan jalur pantura. Biaya angkut antara tempat yang dekat dan yang jauh bisa mencapai merupakan kelipatan 2-3 kali lipat. Struktur Penguasaan Lahan yang Kecil dan Makin Mengecil Telah banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa struktur penguasaan lahan sangat menentukan sistem usahatani yang diterapkan petani. Struktur penguasaan lahan yang kecil dan makin mengecil mendorong pengusahaan lahan cenderung ke pola yang intensif baik dalam penggunaan input maupun tenaga kerja. Namun, pola usahatani yang intensif dalam penggunaan tenaga kerja telah menimbulkan menurunnya produktivitas atau marginalisasi tenaga kerja di sektor pertanian. Pergeseran Kelembagaan dari Sistem Bagi Hasil dan Gadai ke Sistem Sewa Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan adanya pergeseran dari sistem sakap dan gadai ke sistem sewa terutama di pedesaan Jawa. Sementara itu, kelembagaan bagi hasil dan gadai di luar Jawa masih tetap eksis, namun indikasinya mulai ada sistem sewa kasus per kasus, seperti yang ditemui pada usahatani cabe merah di Agam, Sumatera Barat. Hal tersebut mengindikasikan makin berjalannya pasar lahan di pedesaan Jawa, meskipun faktorfaktor kelembagaan (institutional factors) masih cukup dominan terutama di pedesaan Luar Jawa. Akumulasi Lahan Terjadinya akumulasi pemilikan lahan dapat dipandang sebagai hal positif maupun negatif. Akumulasi lahan dipandang sebagai hal
yang positif kalau di satu sisi dapat meningkatkan efisiensi usahatani, dan di sisi lain tersedia lapangan kerja di luar sektor pertanian yang memadai. Sementara itu, akumulasi lahan dapat dipandang sebagai hal yang negatif apabila pemilikan lahan sangat terkonsentrasi pada segolongan kecil rumah tangga, dilakukan oleh orang bermodal yang pada dasarnya bukan merupakan petani (spekulan tanah) dan belum tersedia lapangan kerja di sektor pertanian secara memadai. Melihat kasus-kasus di lapang, bahwa di kabupaten-kabupaten contoh menunjukkan adanya ketimpangan lahan ringan, sedang, hingga tinggi. Ketimpangan ringan terjadi di pedesaan Kabupaten Klaten, Agam, dan Sidrap; ketimpangan sedang terjadi di pedesaan Indramayu dan Ngawi; sedangkan ketimpangan tinggi terjadi di pedesaan Kabupaten Majalengka. Di Indramayu ditemukan adanya beberapa orang yang menguasai lahan antara 20 ha hingga 40 ha, mereka lebih dikenal G7 (Gegedug 7), di mana dari 7 orang tersebut menguasai lahan 267 ha (60%). Sementara itu di Kabupaten Sidrap ditemukan 4 orang petani yang menguasai lahan dari 25-33 ha, bahkan apabila dengan memperhitungkan penguasaannya di luar desa, ada yang mencapai 100 ha. Namun di kedua kabupaten tersebut pemilik lahan yang sangat luas tersebut tidak termasuk dalam rumah tangga contoh. Perpecahan, Perpencaran dan Konsolidasi Lahan Faktor lain yang turut berpengaruh langsung terhadap efisiensi pemanfaatan lahan adalah perpecahan dan perpencaran lahan (land fragmentation). Perpecahan tanah adalah pembagian lahan milik seseorang ke dalam petakanpetakan kecil melalui pola pewarisan. Sedangkan perpencaran tanah adanya kenyataan sebuah usahatani di bawah satu managemen yang terdiri atas beberapa bidang lahan yang terserak, hal ini terjadi karena perolehan lahan melalui warisan maupun pembelian. Suatu usaha untuk meningkatkan efisiensi usahatani dari lahan-lahan yang mengalami fragmentasi adalah melalui konsolidasi lahan. Konsolidasi lahan dapat dilakukan dalam pemilikan maupun pengusahaan. Konsolidasi pemilikan lahan merupakan usaha penggabungan petakpetak atau bidang-bidang lahan yang terserak menjadi satu atau beberapa petak atau bidang yang lebih besar, yang dapat terjadi penata149
gunaan baik secara alami maupun melalui program pemerintah. Sementara itu konsolidasi pengusahaan lahan ditemukan pada pengusahaan tembakau di Kabupaten Klaten dan pengusahaan tebu di Kediri yang dikelola secara kelompok. Dinamika Harga Masukan dan Keluaran Secara langsung harga masukan mempengaruhi biaya produksi. Oleh sebab itu, permintaan terhadap masukan usahatani merupakan fungsi dari harga-harga masukan. Di sisi lain, harga keluaran menentukan total penerimaan yang akan diterima oleh produsen. Oleh sebab itu merupakan determinan dari penawaran produk yang dihasilkan. Dalam praktek, pengaruh dinamika harga masukan dan keluaran bersifat simultan; terutama jika referensi waktu yang digunakan termasuk dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, permintaan terhadap masukan dan penawaran terhadap keluaran produk yang dihasilkan merupakan fungsi dari harga-harga keluaran dan masukan secara simultan. Hasil penelitian (Saptana et al., 2000) dan hasil penelitian tim rice di lapang diperoleh informasi bahwa, bagi petani dinamika harga masukan dan (ekspektasi) harga keluaran menentukan keputusan petani mengenai jenis komoditas, skala usaha dan waktu serta metode berproduksi dalam kegiatan usahatani. Oleh karena itu harga masukan dan keluaran secara langsung mempengaruhi struktur, pola pengusahaan lahan, dan kelembagaan lahan.
Barat lainnya, serta di Desa contoh irigasi teknis di Kabupaten Sidrap. Kelembagaan Petani Kelembagaan petani mencakup perangkat keras dan perangkat lunak dalam pengelolaan sumberdaya pertanian. Secara normatif, kelembagaan petani haruslah kompatibel dengan tugas pokok dan fungsi yang akan dijalankan. Sehingga yang perlu mendapat perhatian serius dalam pendayagunaan sumberdaya lahan pertanian adalah pengkajian secara mendalam tentang eksistensi kelembagaan petani yang ada dimasyarakat. Seperti kelembagaan kelompok tani yang ada pada hampir semua kabupaten contoh, kelembagaan kelompok petani pemakai air (P3A atau HIPPA) yang eksis pada daerah-daerah irigasi dihampir semua kabupaten contoh, kelembagaan kelompok kerja panen (penderos) yang ada di Sidrap, Sulawesi Selatan, kelembagaan ceblokan yang ada di Kabupaten Majalengka dan sebagian Indramayu yang di Jawa Timur disebut kedokan, kelembagaan panen tebasan yang ada di Klaten, Jawa Tengah dan Kediri Jawa Timur, serta Indramayu Jawa Barat. Eksistensi kelembagaan-kelembagaan tersebut akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi petani dalam pengelolaan lahan, tentunya pengaruh tersebut ada yang positif maupun negatif. Sehingga program-program pembangunan pertanian haruslah memperhitungkan dan mendayagunakan kelembagaan yang telah eksis di pedesaan.
Persepsi Petani Terhadap Lahan Secara teoritis maupun secara empiris di lapang, menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap lahan menentukan sejauhmana petani menghargai lahan pertanian yang dikuasai. Pada masyarakat Minangkabau kasus di Agam Sumatera Barat, lahan mendapat penghargaan sebagai tanah pusaka, yang tidak boleh diperjual belikan, pada kabupaten-kabupaten contoh di Jawa menunjukkan adanya variasi persepsi terhadap lahan. Penghargaan terhadap lahan tersebut dapat dilihat dari sejauhmana petani mudah tidaknya melepas lahan tersebut kepada pihak lain. Secara historis pada komunitas masyarakat yang mudah melepaskan lahannya, disitu terdapat pemusatan dalam penguasaan lahan, seperti kasus di Kabupaten Indramayu dan pada kelompok masyarakat Pantura Jawa 150
Pengembangan Sistem Informasi Informasi merupakan input utama dalam sistem kelembagaan. Pengembangan sistem informasi tentang lahan haruslah mencakup ketersediaan lahan baik dari jumlah maupun kualitas, sistem penguasaan lahan yang ada, distribusi dan akses masyarakat petani terhadap sumberdaya lahan yang sangat dibutuhkan, bagaimana masyarakat baik lokal atau pemerintah melakukan pemetaan dan penata gunaan hingga di tingkat mikro desa, bagaimana jaringan kelembagaan yang ada di desa tersebut berjalan, hubungan kelembagaan secara internal, hubungan kelembagaan tersebut baik secara horisontal maupun secara vertikal, bagaimana sistem administrasi pertanahan dijalankan. Pengembangan sistem informasi berguna untuk memper-
mudah eksekusi suatu aktivitas dan merupakan determinan dari sistem koordinasi, yang sangat berpengaruh terhadap optimalisasi penggunaan lahan pertanian. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1. Salah satu persoalan lahan pertanian di pedesaan Indonesia dari waktu ke waktu adalah struktur penguasaan lahan yang kecil. Struktur penguasaan yang demikian ini menjadikan sistem usahatani kurang efisien. Implikasi kebijakan yang penting dilakukan adalah melakukan konsolidasi lahan, konsolidasi managemen sistem usahatani, pemilihan komoditas yang diusahakan, pola dan siklus tanam secara tepat, intensifikasi usahatani yang dibarengi dengan sistem usahatani konservasi, serta perluasan pasar untuk beberapa komoditas komersial (high value commodity). Sementara itu, untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan pengembangan industrialisasi dipedesaan menjadi suatu pilihan yang strategis, berkembangnya industri pengolahan tembakau asepan dan rajangan serta industri meubeller di Klaten, berkembangnya industri batu bata dan genteng di Majalengka dapat menjadi penyerap tenaga kerja yang potensial. Operasionalisasi adalah bagaimana dapat meningkatkan jenis, kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan oleh masyarakat pedesaan serta mampu meintegrasikan pasar produk pedesaan ke dalam sistem ekonomi pasar baik lokal, regional, maupun global. 2. Terdapat keragaman struktur penguasaan lahan pertanian di pedesaan, baik antar status penguasaan, jenis lahan, dan antar wilayah, namun secara umum menunjukkan tingkat ketimpangan yang sedang dengan nilai koefisien indeks gini <0,500. Berdasarkan status penguasaannya diketahui bahwa struktur penguasaan lahan milik lebih timpang dibandingkan struktur lahan garapan. Hal ini disebabkan adanya transfer penguasaan dari petani pemilik lahan kepada petani penggarap melalui sistem sewa-menyewa dan sistem sakap-menyakap. Berdasarkan jenis lahan diketahui bahwa struktur penguasaan lahan sawah sedikit lebih timpang dibandingkan total lahan pertanian, karena
sawah mempunyai tingkat kesuburan dan intensitas tanam yang lebih tinggi. Sementara itu di lihat dari wilayah, secara umum struktur penguasaan lahan di pedesaan Jawa lebih timpang dibandingkan dengan pedesaan Luar Jawa. 3. Di samping persoalan lahan yang kecil, persoalan lain adalah masalah penguasaan lahan yang semakin timpang. Ketimpangan struktur penguasaan lahan yang dibarengi dengan ketimpangan dalam penguasaan kapital telah menyebabkan ketimpangan dalam struktur pendapatan rumah tangga pedesaan. Implikasi kebijakan penting yang di pandang cukup mendasar adalah: (a) melakukan pembaruan agraria yang didasarkan pada pemberdayaan masyarakat lokal (land reform by leverage); (b) pengembangan agroindustri atau industri di pedesaan yang berbasis bahan baku setempat, seperti industri penggilingan padi di pedesaan Sidrap yang menghasilkan beras berkualitas (branded rice), industri tembakau di pedesaan Klaten, industri gula merah di pedesaan Kediri, dan industri genteng di pedesaan Majalengka; kuncinya adalah menyerap surplus tenaga kerja dari sektor pertanian. 4. Masih berkembangnya kelembagaan lahan seperti sistem bagi hasil dan sistem sewa lahan di satu sisi, dan terjadinya akumulasi penguasaan lahan pada sisi lain, telah mendorong adanya transfer penggarapan lahan. Sehingga sistem usahatani tidak terdorong ke arah usahatani skala besar yang bersifat kapitalistik tetapi sistem usahatani yang dijalankan tetap diusahakan dalam petakan-petakan kecil. Adanya mekanisme ini dalam batas-batas tertentu dapat menjadi katup pengaman ketimpangan yang terjadi di pedesaan. 5. Terjadinya pergeseran kelembagaan lahan dari dominan sistem gadai ke dominan sistem bagi hasil (kasus di pedesaan Jawa pada masa lalu dan pedesaan luar Jawa dewasa ini), selanjutnya ke dominan sistem sewa (kasus di pedesaan Jawa) menunjukkan makin berjalannya mekanisme pasar lahan. Perkembangan ini merupakan hal positif karena transaksi berjalan secara lebih transparan dan efisien. Namun akan menyisakan masalah tersendiri apabila sampai pada lepasnya hak penguasaan lahan petani
151
kepada pihak lain yang bukan petani. Implikasi kebijakan penting yang dapat diambil adalah: (a) mendorong kelembagaan bagi hasil yang didasarkan pada saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan; (b) meningkatkan efisiensi dan produktivitas lahan ke arah pengusahaan komoditas komersial yang spektrum pasarnya luas; (c) melakukan konsolidasi lahan dan konsolidasi usahatani, seperti kasus pada usahatani tembakau di Klaten dan usahatani tebu di Kediri, serta usahatani perbenihan padi dan usahatani padi di Sidrap; dan (d) pengintegrasian hasil produk pertanian berdayasaing tinggi baik untuk tujuan pasar lokal, regional, dan ekspor. 6. Frekuensi jual beli lahan yang jarang terjadi pada satu sisi menunjukkan bahwa sesungguhnya petani enggan melepaskan lahan pertaniannya. Di sisi lain secara empiris terjadi akumulasi penguasaan lahan (kasus Indramayu dan Sidrap) menunjukkan terjadinya pelepasan lahan secara terpaksa oleh petani, disebabkan adanya perpecahan lahan melalui pola pewarisan dan adanya kebutuhan yang mendesak, yang tidak terhindarkan. Implikasi kebijakan penting dari kondisi ini adalah: (a) perlu perbaikan sistem administrasi di bidang pertanahan; (b) perubahan pola pewarisan ke arah pola yang tidak mengalami perpecahan lahan; (c) pengembangan kredit mikro pertanian di pedesaan; dan (d) kebijakan pajak pertanahan secara progresif. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih J. S., A. Sofyan, dan D. Nursyamsi. 2000. Lahan Sawah dan Pengelolaannya. Dalam Buku: Sumberdaya Alam dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Anonim. 1960. Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960. Pemerintah Republik Indonesia. Anonim. 1983. Sensus Pertanian. Biro Pusat Statistik. Jakarta Anonim. 1993. Sensus Pertanian. Biro Pusat Statistik. Jakarta Anonim. 1999. Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pariba. Jakarta
152
Husken, Frans dan Benjamin White. 1989. Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa. Majalah Prisma No. 4, 1989. Husken,
Frans. 1998. Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman : Sejarah Differensiasi Sosial di Jawa 1980-1980. PT Gramedia Widia sarana Indonesia. Jakarta.
Jamal, E., Tri Pranadji, A. M. Hurun, A. Setyanto, Roosganda, dan M. Y. Napiri. 2001. Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan Pada Komunitas Lokal. Pusat Penelitian dan pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Kantor
Meneg Agraria. 1999. Laporan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Pada Rapat Koordinasi Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, tanggal 4 Mei 1999. Jakarta.
Ketetapan MPR RI, Nomor IX/MPR/2001. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta. Latief, D. 1996. Kebijaksanaan Penataan Ruang Dalam Pembangunan Daerah. Dalam Hermanto et al. (Penyunting) : Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air; Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya, Hasil kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Food Foundation. Nasoetion, L. dan J. Winoto. 1994. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Dalam Hermanto et al. (Penyunting): Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air; Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya, Hasil kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Food Foundation. Nasoetion, L., I. dan S. Saifulhakim. 1994. Rural Land Use Management for Economic Development. Paper Persented at the Seminar on Agricultural Land Use Management, Organized by Asian Productivity Organization (APO) Tokyo 8th-18th November 1994. Nasoetion, L., Ibrahim. 1994. Kebijakan Pertanahan Nasional Dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi: Pengalaman Masa Lalu, Tantangan dan Arah Ke Masa Depan. Makalah Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Reksohadiprodjo, S. dan Pradono. 1994. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Energi (Edisi-2). BPFE. Yogyakarta
Rusastra, I. W. dan T. Sudaryanto (1997). Dinamika Ekonomi Pedesaan Dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Dayasaing Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor, 4-6 Agustus 1997, Bogor.
Sumaryanto, Syahyuti, Saptana, B. Irawan, dan A. M. Hurun. 2002. Dimensi Sosial Ekonomi Masalah Pertanahan di Indonesia: Implikasinya Terhadap Pembaharuan Agraria. Makalah disampaikan Dalam Rangka Ekspose Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Saptana, Chaerul Saleh, Waluyo, dan Soentoro. 1994. Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan di Lima Desa Contoh Patanas Jawa Timur. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Panel Petani Nasional (PATANAS), yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Syukur, M., H. P. S. Rachman dan S. Pasaribu. 1988. Pola dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga di Pedesaan Jawa Barat Dalam Kasryno et al. (Penyunting) Prosiding Patanas : Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Saptana, Sumaryanto, Hendiarto, R.S. Rivai, Sunarsih, A. Murtiningsih, dan V. Siagian. Laporan Penelitian : Rekayasa Optimalisasi Alokasi Air Irigasi Dalam Rangka Peningkatan Produksi Pangan dan Pendapatan Petani (Tinjauan dari Aspek Kelembagaannya). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Sri Hery Susilowati, dkk. 1999. Perubahan Penguasaan Asset, Tenaga Kerja dan Teknologi di Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Pembaruan Agraria Demi Menghindari Revolusi Anarkis dan Memasuki Era Industrialisasi. Seminar Pembaruan Agraria Mendesakkan Agenda Pembaruan Agraria Dalam Sidang Umum (SU) MPR 1999. Jakarta. Wiradi, Gunawan. 2001. Reforma Agraria: TonggakTonggak Perjalanan Kebijaksanaan Agraria di Indonesia. Lapera Pustaka Utama.
Sumaryanto, I. Amien dan M. Husein Sawit. 1996. Beberapa Permasalahan Sosial Ekonomi Pertanahan di Indonesia. Dalam Handoko, I. (Penyunting) : Sistem Evaluasi Lahan Otomatis. Prosiding Seminar ‘ Automated Land Evaluation System’. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Bekerjasama dengan Jurusan Geofisika dan Metereologi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
153