29
BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara strategi nafkah masyarakat dengan status penguasaan lahan mereka. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.
Struktur Agraria di Kawasan TNGHS Pengelolaan Hutan TNGHS Pengelolaan hutan TNGHS pada awalnya berada pada dua kubu. Wilayah bagian barat (Gunung Halimun) dikelola oleh Taman Nasional sedangkan wilayah bagian timur (Gunung Salak) dikelola oleh Perum Perhutani (Rinaldi et al. 2008). Pada masa itu, masyarakat masih memiliki kebebasan untuk mengakses sumberdaya dalam hutan bagian Gunung Salak. Hal ini disebabkan oleh sistem zonasi dimana kala itu kawasan yang dikelola Perum Perhutani termasuk zona penyangga. Mata air, kayu, pohon, dan lahan dalam hutan dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Kawasan zona penyangga TNGHS ketika dipegang oleh Perum Perhutani masih berfungsi sebagai hutan produksi. Sebagai hutan produksi, tentu saja masyarakat bisa memanfaatkan kawasan hutan tersebut sebagai alat pemenuhan ekonomi rumahtangga. Pembukaan hutan dilakukan untuk membangun lahan garapan pertanian hingga perluasan area pemukiman masyarakat. Namun kebebasan akses yang diperoleh masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan tidak diikuti dengan adanya hak yang sah yang miliki oleh masyarakat. Hak yang sah yang dimaksud adalah keterangan berupa surat tertulis mengenai hak penguasaan atas lahan tersebut. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari jika terjadi penggusuran terhadap lahan garapan masyarakat. Meskipun lahan tersebut telah menjadi lahan garapan masyarakat selama bertahun-tahun, namun ketika tidak ada hak kepemilikan terhadap lahan tersebut maka bisa saja lahan tersebut diambil kembali oleh Perhutani. Artinya, masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk merebut kembali lahan garapan mereka jika digusur oleh Perhutani selaku pengelola lahan hutan. Bisa dikatakan, masyarakat hanya memiliki hak pemanfaatan terhadap lahan tersebut namun tidak secara sah memiliki. Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, dilakukan perluasan kawasan taman nasional menjadi TNGHS. Perluasan yang dimaksud adalah penggabungan kawasan bagian barat (Gunung Halimun) dan kawasan bagian timur (Gunung Salak). Seluruh areal koridor dan kawasan pun menjadi bagian pengelolaan BTNGHS (Rinaldi et al. 2008). Sebagai kawasan hutan yang sepenuhnya ditujukan untuk kebutuhan konservasi, sudah tentu hutan TNGHS tak seharusnya dimanfaatkan selain untuk kegiatan konservasi. Kawasan TNGHS yang telah dibagi-bagi ke dalam beberapa zona ini tidak boleh dimanfaatkan untuk pemukiman, pertanian, pertambangan, dan sebagainya.
30 Perluasan kawasan menjadi TNGHS pada tahun 2003 ini menjadikan lahan masyarakat masuk ke dalam kawasan TNGHS. Ancaman penggusuran lahan garapan masyarakat pun bermunculan akibat keberadaan status baru TNGHS ini. Meskipun terdapat zona-zona yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, namun lahan-lahan garapan masyarakat sebelum berstatus taman nasional telah memasuki zona inti atau zona rimba. Pengelolaan kawasan TNGHS yang berada di tangan BTNGHS pada awalnya tidak memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menggarap lahan dalam kawasan TNGHS. Bibit konflik bermula pada saat itu, ketika BTNGHS dan masyarakat saling memiliki kepentingan yang berbeda. BTNGHS dengan kepentingan konservasi sedangkan masyarakat dengan kepentingan ekonomi. Pengelolaan hutan TNGHS setelah perluasan kawasan sebenarnya sama saja seperti pengelolaan kawasan taman nasional lainnya. Kawasan konservasi diperuntukkan untuk perlindungan, bukan untuk pemukiman ataupun budidaya pertanian. Namun masyarakat yang terlanjur bertempat tinggal dan menggarap lahan di dalam kawasan tidak dapat serta merta diusir begitu saja. Apalagi masyarakat memiliki kepentingan ekonomi yakni untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya.
Sistem Zonasi TNGHS Kawasan TNGHS merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan UU No. 24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, yang mana TNGHS merupakan kawasan lindung. TNGHS memiliki aturan zonasi yang sekiranya pihak-pihak yang berkepentingan mampu memahami dan melaksanakan sesuai aturan yang ditetapkan. Tata zonasi kawasan TNGHS berdasarkan rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (RPTNGHS) periode tahun 2007-2026 adalah: 1. Zona inti dan zona rimba Zona inti dan zina rimba meliputi ekosistem hutan alam yang mana identifikasi zona ini melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai dan pengaruh terhadap ekosistem. 2. Zona rehabilitasi Zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan rendah, areal rusak, koridor Gunung Halimun Salah, dan sebagainya. Di masa yang akan datang, setelah ekosistem ini pulih dapat ditetapkan menjadi zona inti atau zona rimba atau zona pemanfaatan. 3. Zona pemanfaatan Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional antara-lain untuk wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung, dan lokasi penelitian intensif. Zona pemanfaatan yang memiliki obyek wisata dan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dan zona yang
31 berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah yang rawan pengunjung akan dikelola oleh BTNGHS. 4. Zona khusus Zona khusus merupakan bagian dari TNGHS yang mana sebelum penunjukan taman nasional, dalam wilayah ini sudah ada pemukiman dan garapan masyarakat sejak dulu. Selain itu juga jalan provinsi dan kabupaten yang melintas TNGHS. 5. Zona religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional Penentuan zonal religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional terbagi menjadi dua yaitu: a. Areal yang penting bagi kegiatan budaya yang ditentukan melalui penelusuran sejarah seperti makam di puncak Gunung Salak, Situs Cibedug, dan Situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. b. Wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non-kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses masyarakat terhadap hutan. Wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di dalam kawasan TNGHS. 6. Zona lainnya Zona lainnya tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini merupakan bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona trtentu melalui komunikasi dengan para pihak. Menurut penuturan beberapa warga, masyarakat telah terlebih dahulu menempati dan memanfaatkan lahan sehingga lahan masyarakat untuk kegiatan pertanian telah masuk ke dalam zona-zona yang ditetapkan oleh pihak BTNGHS. “Hutan TNGHS telah mengalami banyak perubahan. Sistem zonasi sudah semakin luas dari sebelumnya. Dulu sebelum perluasan kawasan TNGHS, lahan masyarakat masih berada pada zona pemanfaatan. Namun setelah perluasan, lahan masyarakat ada yang telah memasuki zona inti. Masyarakat menjadi takut untuk bercocok tanam karena aturan dan sistem zonasi tersebut.” (AGB, 33 tahun, petani dan aktivis)
Untung saja, lahan tersebut masih berada pada zona pemanfaatan sehingga masih bisa digunakan. Namun kemudian, ketika muncul wacana untuk memperluas TNGHS, masyarakat harus kembali terkekang karena sebagian besar lahan masyarakat telah memasuki zona inti akibat perubahan sistem zonasi yang ditetapkan. Hal ini memunculkan ketakutan pada masyarakat akan ditariknya lahan pertanian mereka.
Status Penguasaan Lahan Masyarakat Pola Pemilikan Lahan Struktur agraria terdiri dari tiga jenis pola penguasaan atas tanah yaitu pola kepemilikan lahan, pola penguasaan lahan, dan pola pemanfaatan lahan. Pada subbab ini akan dibahas mengenai pola kepemilikan lahan. Pola kepemilikan lahan adalah pola penguasaan atas tanah yang paling tinggi tingkatannya karena
32 telah memiliki pengukuhan yang sah yaitu hak milik yang bisa ditandai dengan adanya sertifikat tanah. Pola kepemilikan lahan terdiri dari dua cara yaitu kepemilikan tanah dari proses waris dan kepemilikan tanah dari proses jual beli. Kepemilikan tanah dari proses waris terjadi ketika sebuah tanah diwariskan dari seseorang kepada orang lain dengan mengalihkan nama atas kepemilikan tanah tersebut. Biasanya dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Ketika orang tua meninggal dunia, mereka mewariskan tanah tersebut kepada anaknya yang memiliki hak waris. Di Desa Cipeuteuy, mayoritas kepemilikan tanah atau lahan berasal dari kepemilikan melalui proses warisan. Ketika orang tua meninggal, maka hak waris atas tanah tersebut jatuh kepada anaknya. Biasanya tanah tersebut adalah tanah yang telah dibangun rumah di atasnya. Pola kepemilikan yang kedua berasal dari proses jual beli. Kepemilikan tanah dari proses ini terjadi ketika seseorang ingin menjual tanahnya kepada orang lain yang ditandai dengan akta jual beli dan alih nama sertifikat. Di Desa Cipeuteuy sendiri, jual beli tanah jarang dilakukan karena mayoritas warga tidak memiliki tanah untuk dijual. Bahkan jika memiliki tanah, biasanya warga akan mengusahakan kegiatan pertanian di atasnya. Maka dari itu, proses jual beli tanah jarang dilakukan di desa ini. Kepemilikan tanah, baik melalui proses waris maupun jual beli tentu ditandai dengan adanya sertifikat tanah. Hal tersebut menjadi salah satu cara yang sah sebagai pengukuhan atas sebuah tanah yang dimiliki. Sayangnya di desa ini, kepemilikan tanah yang ditandai dengan adanya sertifikat masih sedikit. Mayoritas kepemilikan tersebut hanya ditandai dengan surat pengukuhan atau pengakuan dari kepala desa. Tabel 5 Persentase kepemilikan lahan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun 2012 Kepemilikan tanah
Persentase (%)
Tanah milik negara
72,01 %
Tanah milik sendiri (masyarakat)
27,99 %
Sumber: Profil Desa Cipeuteuy tahun 2011
Dari tabel 5 di atas, telihat bahwa kepemilikan tanah milik sendiri hanya sekitar 27,99 persen, sedangkan tanah milik negara yang berada di desa mencapai 72,01 persen. Tanah milik negara di sini terdiri dari tanah dalam koridor TNGHS dan tanah eks HGU PT. Intan Hepta yang dahulu merupakan perkebunan cengkeh. Sedangkan untuk tanah milik sendiri pun hanya sedikit yang memiliki sertifikat sebagai tanda pengesahan kepemilikan tanah. Sebagian besar masyarakat hanya bermodalkan surat keterangan dri pihak desa.
33 “Biasanya pemilik tanah hanya dibuatkan surat oleh pihak desa sebagai tanda bahwa ia adalah pemilik tanah. Masalahnya adalah biaya membuat sertifikat cukup mahal dan prosesnya lama. Kalau ada tanah bersertifikat, biasanya karena dari orang tuanya yang mewariskan sehingga sudah ada sertifikatnya. Dulu biaya membuat sertifikat belum semahal sekarang.” (RSD, 36 tahun, IRT)
Alasan terkait biaya dan proses pembuatan sertifikat yang lama sehingga masyarakat tidak mau membuat sertifikat atas tanahnya. Mereka hanya bergantung pada surat pengakuan kepala desa tersebut. Padahal sebenarnya, hal tersebut rentan terhadap adanya klaim ganda atas kepemilikan sebuah tanah.
Pola Penguasaan Lahan Setelah membahas mengenai pola kepemilikan tanah, pada subbab ini akan dibahas pola lain yaitu pola penguasaan tanah. Pola penguasaan tanah adalah penggunaan tanah yang terdiri dari tiga jenis cara yaitu melalui sewa-menyewa, pinjam-pakai, dan sistem bagi hasil. Pola penguasaan tanah melalui sewamenyewa tidak ada di Desa Cipeuteuy. Masyarakat tidak pernah menyewa tanah untuk kegiatan pertaniannya. Mereka cenderung bergantung pada lahan yang bisa dipakai secara cuma-cuma tanpa harus mengeluarkan biaya sewa. Lahan yang digarap oleh masyarakat kebanyakan merupakan lahan di dalam Taman Nasional. Sebenarnya, pada awalnya lahan tersebut merupakan lahan di bawah pengelolaan pihak Perhutani. Namun setelah terjadi perluasan areal TNGHS, lahan tersebut menjadi bagian dari kawasan konservasi. Masyarakat kemudian menggunakan lahan tersebut atas pola penguasaan “pinjampakai” lahan. Masyarakat menggunakan lahan tersebut secara cuma-cuma tanpa mengeluarkan biaya sewa atau semacamnya. Namun karena masyarakat menggunakan lahan taman nasional yang seharusnya menjadilahan konservasi, aturan dan larangan dari pihak TNGHS pun tak dapat dielakkan. Alhasil, warga tidak dapat bertani dengan tenang karena sewaktu-waktu lahan tersebut dapat diambil kembali oleh sang pemilik lahan. Namun jika dilihat lagi, sekarang ini akses masyarakat terhadap lahan dalam TNGHS cukup besar.Meski terdapat resot yang mengontrol keberadaan lahanlahan kosong di TNGHS, namun luasnya lahan yang harus dikontrol dan sedikitnya personil pengawas dari pihak TNGHS membuat kontrol tersebut tidak berfungsi dengan baik. “Pihak TNGHS memutuskan bahwa masyarakat boleh tetap mempergunakan lahan pertanian mereka sekarang, namun tidak boleh memperluas. Jika masyarakat ketahuan memperluas lahan maka seluruh lahan akan diambil alih kembali oleh pihak TNGHS.” (DYT, 38 tahun, tokoh masyarakat)
Selain itu, ada juga lahan desa yang merupakan milik orang lain di luar desa, yaitu pemilik dari Jakarta. Lahan tersebut dibeli namun tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Karena berada dalam kawasan Desa Cipeuteuy, warga pun memanfaatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam.
34 Sistem pemakaian pada lahan ini adalah melalui sistem bagi hasil. Namun sistem bagi hasil yang dilakukan tidak berpatokan pada perjanjian kontrak bagi hasil, melainkan hanya secara kekeluargaan. Pemilik lahan tersebut merupakan orang yang pernah meneliti di desa tersebut dan menjadi penyumbang rutin untuk beberapa kegiatan desa seperti qurban ketika Hari Raya Idul Adha. Petani yang akan mengusahakan kegiatan pertanian di lahan tersebut meminta izin kepada pemilik lahan untuk bercocok tanam dan melakukan kegiatan pertanian di sana. Sebagai ucapan terima kasih, petani akan memberikan sebagian kecil hasil panen mereka kepada sang pemilik lahan. Mereka biasanya akan mengirim hasil panen seperti sayuran atau buah-buahan ketika selesai panen kepada pemilik lahan. Selain itu, ada juga responden penelitian yang menyebutkan tentang lahan yang menggunakan HGU. Sejarah lahan ini berawal dari adanya PT. Intan Hepta yang bergerak di bidang perkebunan cengkeh sekitar tahun 1975. Namun masyarakat tidak terlalu bergantung pada keberadaan perkebunaan ini. Hanya sedikit dari masyarakat yang bekerja di perkebunan ini, sebagian besar dari mereka bekerja di bidang pertanian atau bekerja di kota. Sekitar awal tahun 1990, PT. Intan Hepta menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan sebelum HGU habis pada tahun 2002. Pada tahun-tahun itu pula mulai banyak lahan bekas perkebunan cengkeh yang terlantar. Sekitar tahun 1996 sampai tahun 1997, masyarakat desa mulai menggarap lahan-lahan yang dianggap terlantar tersebut. Penggarapan lahan HGU eks PT. Intan Hepta ini tetap berlangsung sampai sekarang. Meskipun sebenarnya HGU lahan tersebut telah habis pada tahun 2002. Lahan tersebut tetap dimanfaatkan oleh beberapa warga masyarakat untuk melakukan kegiatan pertanian di atasnya. Bahkan saat ini menurut penuturan aparat desa, hampir seluruh lahan eks HGU PT. Intan Hepta yang memiliki luas sekitar 583 hektar dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian. Beberapa sistem dan bentuk penguasaan lahan yang dijelaskan di atas memperlihatkan bahwa kawasan hutan TNGHS dan lahan-lahan lain yang ada di wilayah Desa Cipeuteuy telah dimanfaatkan oleh warga masyarakat melalui berbagai cara perizinan. Semua bentuk penguasaan lahan tersebut dilakukan guna menjadi pendukung sumber nafkah mereka sebagai petani.
Pola Hubungan Sosial Agraria Pola hubungan sosial agraria berkaitan dengan hubungan-hubungan yang berlangsung dari kegiatan interaksi dalam proses penggunaan lahan. Misalnya saja hubungan buruh tani dan petani pemilik, hubungan pemilik lahan dan penyewa lahan, dan sebagainya. Pola hubungan pemilik lahan dan penyewa lahan bisa dibilang tidak ada di Desa Cipeuteuy. Hal ini karena sewa-menyewa tanah tidak pernah dilakukan di desa ini. Warga lebih cenderung menggunakan lahan di TNGHS untuk kegiatan pertanian karena dapat digunakan secara cuma-cuma tanpa mengeluarkan biaya sewa. Pola hubungan buruh tani dan petani pemilik pada dasarnya berjalan atas dasar kekeluargaan. Buruh tani bekerja membantu petani pemilik untuk menggarap, mengolah, hingga memanen hasil pertanian sesuai dengan waktu yang disepakati. Biasanya mereka bekerja dalam satu kali musim tanam. Proses
35 pembayarannya dilakukan setiap hari setelah bekerja. Rata-rata buruh tani akan dibayar 20.000-35.000 rupiah per harinya. Hubungan sosial lainnya terjadi pada sistem bagi hasil antara pemberi lahan dan pemakai lahan. Tanah milik orang Jakarta menjadi salah satu contoh berjalannya hubungan tersebut. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab pola penguasaan lahan, sistem bagi hasil yang dilakukan tidak berpatokan pada perjanjian kontrak bagi hasil, melainkan hanya secara kekeluargaan. Petani pemakai lahan akan menggunakan lahan tersebut untuk kegiatan pertaniannya setelah meminta izin kepada pemilik lahan. Sebagai ucapan terima kasih, petani akan memberikan sebagian kecil hasil panen mereka kepada sang pemilik lahan. Mereka biasanya akan mengirim hasil panen seperti sayuran atau buah-buahan ketika selesai panen kepada pemilik lahan.
Kaitan Strategi Nafkah dan Status Penguasaan Lahan Penguasaan lahan masyarakat di Desa Cipueteuy memang bermacammacam jenisnya, mulai dari lahan milik sendiri, pinjam pakai, eks HGU PT. Intan Hepta, hingga bagi hasil. Namun mayoritas lahan yang digunakan oleh petani di desa ini adalah lahan pinjam pakai dari pihak TNGHS. Tabel 4 telah memperlihatkan bahwa persentase petani pengguna lahan TNGHS dari 35 responden penelitian mencapai 54 persen. Angka tersebut memastikan bahwa petani di desa ini cukup bergantung pada keberadaan lahan TNGHS. Ketergantungan terhadap lahan TNGHS ini tentu mempengaruhi cara berstrategi petani dalam mencari nafkah bagi rumahtangganya. Apalagi lahan TNGHS ini bukanlah lahan milik petani sendiri melainkan lahan yang hanya berstatus pinjam pakai. Tidak ada perjanjian sewa menyewa ataupun bagi hasil untuk lahan ini sehingga bisa dikatakan lahan ini memiliki status yang tidak jelas dalam penggunaannya. Status penguasaan lahan yang tidak jelas ini menyebabkan ketidakamanan petani dalam menggunakan lahan tersebut. Apalagi mayoritas petani di desa ini memanfaatkan lahan tersebut untuk kegiatan pertaniannya. Secara tidak langsung, hal ini mempengaruhi keberlangsungan kegiatan pertanian masyarakat. Masyarakat akan merasa tidak bebas dalam memanfaatkan lahan tersebut. Mereka akan dihantui rasa cemas akibat status penguasaan lahan yang tidak jelas. Ketakutan akan ditariknya lahan tersebut sewaktu-waktu oleh pihak TNGHS membuat mereka tidak bebas menjalankan kegiatan bercocok tanamnya. Pengelolaan kawasan hutan TNGHS pada awalnya dipegang oleh Perhutani yang mana masyarakat masih bebas memanfaatkan lahan untuk berbagai kegiatan pertanian. Ketika pengelolaan beralih kepada BTNGHS, sempat terjadi kekosongan kekuasaan dan pengelolaan yang menjadikan masyarakat bebas mengambil alih dan menjarah sumberdaya dalam kawasan hutan. kemudian sekitar tahun 2003, ketika masa perluasan lahan TNGHS, perhatian BTNGHS terbagi antara pengawasan kawasan dan perluasan terjadiperluasan kawasan TNGHS. Hal tersebut dimanfaatkan masyarakat menjarah sumberdaya dalam kawasan hutan. Penebangan kayu serta perburuan binatang-binatang dalam kawasan hutan banyak terjadi. Kawasan TNGHS pun banyak yang menjadi tandus.
36 Bibit konflik mulai muncul ketika masa perluasan lahan TNGHS tersebut. Pasalnya, lahan desa yang telah lama dimanfaatkan masyarakat telah dibungkus oleh aturan-aturan hukum dari hutan konservasi, Akses masyarakat terhadap lahan pada masa itu memasuki masa sulit dikarenakan ketika perluasan, lahan-lahan masyarakat beralih dari zona pemanfaatan menjadi zona inti. Masyarakat dibebankan aturan untuk tidak lagi menggunakan lahan taman nasional untuk kegiatan pertanian. “Dulu ketika masa peralihan dari Pihak Perhutani kepada BTNGHS, sempat terjadi kekosongan pengelolaan. Masyarakat menjadi bebas memanfaatkan sumberdaya di hutan. Kayu-kayu banyak ditebang dan dijual karena harganya yang tinggi. Hewan-hewan pun banyak diburu. Biasanya setiap hari kita akan mendengar suara tembakan yang artinya mulai banyak orang yang berburu.” (DYT, 38 tahun, tokoh masyarakat)
Setelah pengelolaan kembali baik, masyarakat pun dituntut untuk mengganti rugi semua kerusakan hutan yang terjadi. Ancaman terhadap penggusuran lahan pertanian masyarakat menjadi bibit konflik antara masyarakat dan pihak TNGHS. Masyarakat mengancam akan terus melakukan pengrusakan jika lahannya digusur, sedangkan pihak TNGHS bersikeras menginginkan penggusuran jika masyarakat tidak beritikad baik memperbaiki kerusakan yang telah mereka lakukan. Sejarah konflik laten yang diceritakan di atas berkaitan pula dengan perjanjian yang dihasilkan antara dua pihak yang berkonflik. Masyarakat memang boleh menggunakan lahan tersebut untuk becocok tanam, namun mereka tidak boleh memperluas lahan. Lahan yang boleh dimanfaatkan hanya lahan yang sekarang mereka gunakan. Perjanjian ini sebenarnya cukup berpihak pada masyarakat karena lahan pertanian emreka tidak jadi digusur. Namun bentuk perjanjian yang hanya berupa perjanjian lisan bukan tulisan membuat rasa cemas masyarakat tak bisa hilang sepenuhnya. Akibatnya, masyarakat menjadi takut mengembangkan usaha pertaniannya. Mereka cemas jika kegiatan pertanian mereka dikembangkan sedemikian rupa kemudian tiba-tiba lahan pertanian tersebut diambil alih kembali oleh pihak TNGHS, mereka akan mengalami kerugian. Maka dari itu, masyarakat perlu memanfaatkan strategi lain untuk bertahan hidup. Masyarakat harus bisa memanfaatkan sektor-sektor lain selain pertanian untuk menggantungkan hidupnya. Sewaktu-waktu jika benar lahan pertanian mereka di kawasan TNGHS diambil, mereka tetap bisa bertahan hidup dari sektor lain dan tetap bisa memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Strategi nafkah yang dijalankan oleh masyarakat pun tidak hanya bergantung pada pertanian melainkan juga memanfaatkan sektor lain. Sektor nonpertanian dilihat memiliki peran yang besar dalam hal ini. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sektor non-pertanian telah memiliki tempat tersendiri mendampingi sektor pertanian dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga petani. Strategi nafkah masyarakat di desa ini cukup banyak memanfaatkan sektor nonpertanian seperti menjadi pedagang di pasar, pedagang ternak, pedagang warung, buruh bangunan, buruh hutan, hingga tukang ojek. Macam-macam mata pencaharian yang dilakukan oleh rumahtangga petani ini berdasarkan hasil
37 penelitian memperlihatkan bahwa mereka telah cukup jauh memanfaatkan sektor ini di samping basis nafkah utama mereka yaitu pertanian. Maka dari itu, pengelolaan kawasan TNGHS yang dijalankan oleh BTNGHS mempengaruhi status penguasaan lahan masyarakat, terutama lahan yang selama ini digunakan oleh mereka untuk kegiatan pertanian. Status penguasaan lahan yang berada di atas perjanjian yang tidak jelas membuat masyarakat takut untuk mengembangkan pertaniannya. Jika begitu, masyarakat harus memiliki pekerjaan lain selain petani untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang juga terus meningkat.
Ikhtisar Pengelolaan hutan TNGHS pada masa sebelum ditunjuk menjadi areal konservasi berada di tangan Perum Perhutani. Pada masa itu, masyarakat masih memiliki kebebasan untuk mengakses sumberdaya dalam hutan. Namun kebebasan akses yang diperoleh masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan tidak diikuti dengan adanya hak yang sah atas penguasaan atas lahan tersebut. Artinya, masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk merebut kembali lahan garapan mereka jika digusur oleh Perhutani selaku pengelola lahan hutan. Bisa dikatakan, masyarakat hanya memiliki hak pemanfaatan terhadap lahan tersebut namun tidak secara sah memiliki. Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, dilakukan perluasan kawasan taman nasional menjadi TNGHS. Perluasan kawasan TNGHS ini menjadikan lahan masyarakat masuk ke dalam kawasan TNGHS. Meskipun terdapat zona-zona yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, namun lahan-lahan garapan masyarakat sebelum berstatus taman nasional telah memasuki zona inti atau zona rimba. Tentu saja status penguasaan lahan kawasan TNGHS yang tidak jelas ini menyebabkan ketidakamanan petani dalam menggunakan lahan tersebut. Apalagi mayoritas lahan yang digunakan oleh petani di desa ini adalah lahan pinjam pakai dari pihak TNGHS dan eks HGU PT. Intan Hepta. Kedua jenis lahan tersebut merupakan lahan milik negara. Ketergantungan terhadap lahan milik negara ini tentu mempengaruhi cara berstrategi petani dalam mencari nafkah bagi rumahtangganya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sektor non-pertanian telah menjadi tempat bergantung masyarakat selain pertanian. Strategi nafkah masyarakat di desa ini cukup banyak memanfaatkan sektor non-pertanian seperti menjadi pedagang di pasar, pedagang ternak, pedagang warung, buruh bangunan, buruh hutan, hingga tukang ojek. Macam-macam mata pencaharian yang dilakukan rumahtangga petani ini memperlihatkan bahwa mereka telah cukup jauh memanfaatkan sektor ini di samping basis nafkah utama mereka yaitu pertanian. Maka dari itu, pengelolaan kawasan TNGHS yang dijalankan oleh BTNGHS mempengaruhi status penguasaan lahan masyarakat, terutama lahan yang selama ini digunakan oleh mereka untuk kegiatan pertanian. Status penguasaan lahan yang berada di atas perjanjian yang tidak jelas membuat masyarakat takut untuk mengembangkan pertaniannya. Jika begitu, masyarakat harus memiliki pekerjaan lain selain petani untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang juga terus meningkat.