RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat)
Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA A14203024
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat)
Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA A14203024
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan SITI SUGIAH MUGNIESYAH). Penelitian ini secara umum mengacu pada beragam konsep, pendekatan dan teori-teori berkenan dengan gender dan pembangunan, sosiologi agraria, sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. Tujuan skripsi ini adalah untuk menganalisis lebih jauh mengenai: (1). Sistem
nilai
mengenai
status
anak
laki-laki
dan
perempuan
dalam
keluarga/rumahtangga petani yang berkaitan atas hak harta (termasuk sumberdaya agraria) pada masyarakat petani Desa Cipeuteuy serta menganalisis adil gender dalam sistem nilai tersebut; (2). Hubungan antara sistem nilai mengenai status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumahtangga petani dengan hukum adat yang berhubungan dengan alokasi harta kekayaan (termasuk sumberdaya agraria) dalam keluarga serta pola kepemilikan lahan pada rumahtangga petani; (3). Pengakuan anggota masyarakat/komunitas pertanian terhadap sistem nilai tentang status anak dalam rumahtangga dan hubungannya dengan pola penguasaan sumberdaya agraria pada rumah tanga petani; (4). Dinamika relasi gender dalam pengelolaan sumberdaya agraria, khususnya yang berkenaan dengan akses dan kontrol anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan sumberdaya agraria yang dimiliki dan dikuasai. Selain itu juga untuk mengetahui akses dan kontrol mereka terhadap manfaat dari pengelolaan
sumberdaya agraria yang mereka lakukan; (5) Pengakuan aparat desa terhadap kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria pada tingkat individu, laki-laki dan perempuan sebagaimana tercermin dalam dokumen Letter C dan bukti formal lainnya (sertifikat, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau SPPT, dan PBB) Penelitian ini dilakukan di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September hingga Desember 2007. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian dari wilayah Desa Cipeuteuy termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wilayah tersebut berada pada daerah dengan latar belakang budaya Sunda yang Bilateral dengan asumsi baik laki-laki dan perempuan mempunyai akses dan kontrol terhadap penguasaan dan kepemilikan lahan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan pencacahan lengkap atau full enumeration survey, survei rumah tangga kasus, wawancara mendalam (indepth interview) dan diskusi kelompok terarah (FGD). Data sekunder diperoleh melalui kegiatan studi dokumentasi, khususnya yang menyangkut potensi desa, catatan lapangan, dokumentasi foto, dokumen pribadi, memo, dan catatan-catatan resmi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Terletak di sekitar kawasan hutan, Desa Cipeuteuy merupakan salah satu desa agraris yang memiliki luas wilayah 3746,5 hektar dan sebagian besar wilayah Desa Cipeuteuy adalah Hutan Produksi (2000 hektar) dan Hutan Konvesi (115 hektar) dan lebih dari setengah wilayah Desa Cipeuteuy beririsan langsung
dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 2.115 hektar. Jika dilihat dari proporsi jumlah lahan sawah dan kebun dan pemanfaatan lahan kebun yang dilakukan oleh masyarakat, maka wilayah Desa Cipeuteuy termasuk dalan komunitas padi sawah, sehingga berbeda dengan komunitas lahan kering yang cenderung egaliter. Dari tingkat stratifikasi yang diperoleh dari hasil FGD, Stratum A (atas), tergolong dalam rumahtangga petani berlahan luas dengan jumlah penguasaan lahan 5.000m2->20.000m2, Stratum B (menengah), tergolong dalam rumahtangga petani berlahan sedang dengan jumlah penguasaan lahan 2000m2–5000m2, Stratum C (bawah), tergolong dalam rumahtangga petani berlahan sederhana dengan jumlah penguasaan lahan <2.000m2 dan Stratum D, merupakan petani tidak berlahan (tunakisma). Ditinjau dari profil anggota rumahtangga petani (ART) yang disurvei, persentase jumlah perempuan lebih tinggi dibandingkan anggota rumahtangga petani laki-laki dengan tingkat komposisi penduduk tergolong pada usia muda dengan tingkat ketergantungan (dependency ratio) yang rendah. Adapun tingkat pendidikan anggota rumahtangga di desa Cipeuteuy sebagaimana halnya tipikal masyarakat pedesaan di Indonesia tergolong rendah. Secara umum jumlah ART laki-laki yang mengatakan memiliki pekerjaan utama lebih banyak dari anggota rumahtangga perempuan.dan diketahui bahwa kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki pekerjaan utama cukup tinggi. Jenis pekerjaan utama dapat memberikan gambaran bahwa anggota rumahtangga perempuan pada ketiga kampung kasus sudah dapat menyatakan diri mereka memiliki pekerjaan utama yang berrarti mereka bekerja
untuk berkontribusi dalam penghidupan keluarga selayaknya suami mereka bekerja, meskipun jumlahnya masih lebih rendah dan penghasilannya masih relatif lebih rendah daripada yang diperoleh laki-laki. Hal ini diduga dipengaruhi oleh masih kuatnya pemikiran penduduk, bahwa pencari nafkah utama adalah laki-laki sedangkan perempuan yang berpenghasilan hanya membantu suaminya, sehingga tidak berkontribusi penuh dalam pendapatan keluarga. Jika dianalisis melalui jenis kelaminnya, jumlah perempuan yang berstatus sebagai pekerja keluarga lebih banyak dari jumlah anggota rumahtangga laki-laki. yakni sebesar 26 orang dari 82 orang anggota rumahtangga perempuan yang mempunyai pekerjaan utama. Dengan demikian sebanyak 26 orang perempuan yang mengaku mempunyai pekerjaan utama tidak memperoleh penghasilan dari apa yang mereka kerjakan, namun tetap berkontribusi dalam penghasilan keluarga dengan tenaganya yang menghemat tenaga upahan. Mengutip pernyataan Mugniesyah dan Mizuno (2007) bahwa sistem kekerabatan akan mempengaruhi dinamika internal rumahtangga petani, termasuk relasi gender dalam hal kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan. Selanjutnya ditemukan tiga bentuk sistem pewarisan yang berlaku di Desa Cipeuteuy, dimana yang pertama, sistem pewarisan menggunakan syari’at Islam (2:1), dan kebijakan penambahan bagian pun akan lebih besar kepada laki-laki. Sejalan dengan yang ditemukan Mugniesyah (2003) pada Desa Kemang, Cianjur, sistem pembagian waris kedua dilakukan dengan dua tahapan. Tahapan pertama dilakukan dengan cara Islam, dan dilanjutkan dengan tahapan kedua sesuai dengan kebijakan keluarga dan kondisi masing-masing anak laki-laki dan anak perempuan. Adapun pembagian warisan dengan pemikiran yang ketiga lebih mengedepankan keadilan
yang merata antara laki-laki dan perempuan, dengan membagi rata antara laki-laki dan perempuan. Cara inilah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Desa Cipeuteuy secara umum. Berangkat dari adanya sistem pewarisan yang terjadi pada masyarakat Sunda yang Bilateral, maka di lapangan diperoleh dua kategori kepemilikan sumberdaya agraria. Adapun kepemilikan yang pertama adalah kepemilikan sumberdaya agraria oleh laki-laki/suami dan perempuan/istri secara individu, yakni berupa warisan/hibah. Kategori kedua adalah gono-gini atau guna kaya, dimana kepemilikannya merupakan kepemilikan bersama yang diperoleh setelah menikah melalui pembelian dari hasil keduanya dan jika terjadi perceraian, maka harta tersebut akan dibagi agar masing-masing memperoleh bagiannya. Dari bentuk kepemilikan tersebut kemudian ditemukan kombinasi tiga bentuk kepemilikan dan pola-pola kepemilikan. Kombinasi yang pertama adalah kombinasi satu bnetuk kepemilikan saja, yakni milik suami (S), milik istri (I) dan gono-gini (G). Selanjutnya adalah kombinasi dua bentuk kepemilikan yakni milik suami dan milik istri (S-I), milik suami dan gono-gini (S-G), milik istri dan gonogini (I-G). Yang terakhir adalah kombinasi tiga bentuk kepemilikan dalam satu rumahtangga yakni milik suami, milik istri dan gono-gini (S-I-G). Selanjutnya ditemukan tujuh bentuk penguasaan lahan yang ada pada tiga kampung kasus, terdiri dari satu bentuk penguasaan lahan yakni garap, sewa, bagi hasil dan hibah. Kombinasi dua bentuk penguasaan lahan, yakni garap-bagi hasil dan sewa- bagi hasil dan komposisi dari tiga betuk penguasaan lahan yakni garapsewa- hibah.
Menurut tingkat stratifikasinya perempuan pada rumahtangga sampel memiliki hak kepemilikan secara adat (customary right of posession1) lebih dari 52,7 persen dengan 35,8 persen pada stratum atas 11,5 persen pada stratum menengah dan 5,4 persen pada stratum bawah. Selanjutnya, lebih dari 34,2 persen, sekitar 18,0 persen luas lahan stratum atas, 10,4 persen luas lahan stratum menengah dan 5,7 persen luas lahan stratum bawah merupakan lahan dimana perempuan memiliki hak pembagian secara khusus (exclusive right of disposal)2 atas kepemilikan lahan. Sedangkan perempuan juga memiliki hak kepemilikan secara sah (customary legal right)3 sama dengan laki-laki lebih dari 5,1 persen luas lahan stratum atas yang dimiliki oleh rumahtangga kasus, 5,6 persen luas lahan stratum menengah dan 2,5 persen luas lahan pada stratum bawah. Dari pola pengambilan keputusan tersebut diketahui bahwa meskipun persentasenya lebih rendah dari laki-laki, namun perempuan memiliki partisipasi dalam pengambilan keputusan yang cukup tinggi karena selain sebesar 21,4 persen pengambilan keputusan dilakukan oleh perempuan sendiri, masih terjadi pengambilan keputusan yang melibatkan perempuan sebanyak 37,1 persen. Menurut pemaparan responden dalam FGD dan wawancara mendalam yang dilakukan di kampung Cisalimar diungkapkan bahwa perempuan dan laki-laki tetap menjadi pelaku utama dan penentu utama atas masing-masing sumberdaya agraria yang dimilikinya, namun keduanya tetap saling membantu dalam pengelolaannya.
1
Perempuan memiliki hak kepemilikan secara adat, atau yang disebut oleh Mugniesyah sebagai customary right of posession sebanyak lebih dari jumlah lahan yang dimiliki oleh laki-laki. 2 Perempuan mempunyai hak pembagian secara khusus sebanyak lebih dari jumlah persentase yang dimiliki oleh perempuan 3 Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memiliki lahan secara individu sebanyak lebih dari persentase lahan gono-gini.
Pengelolaan sumberdaya agraria merupakan cara bagaimana lahan tersebut termanfaatkan. Di tiga kampung kasus, dikembangkan beberapa komoditi yang tentunya memiliki cara tanam dan perlakuan yang bervariasi. Keberagaman komoditas dan kondisi sumberdaya agraria tersebut yang lantas mempengaruhi kontribusi ART laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan lahan. Tenaga kerja keluarga laki-laki memiliki kontribusi waktu lebih banyak daripada tenaga kerja keluarga perempuan pada lahan kering dan lahan sawah. Lain halnya dengan tenaga kerja luar keluarga, dimana kontribusi buruh perempuan dua kali lipat lebih tinggi dibanding buruh lak-laki pada lahan padisawah, namun tidak demikian pada lahan kebun yang membutuhkan waktu lebih banyak untuk pengelolaannya. Kemudian, jika dibandingkan dengan hari kerja pada lahan kebun, maka sesungguhnya, kontribusi waktu yang dialokasikan pada lahan kebun, lebih lama dibandingkan lahan padi-sawah meskipun umur tanamnya lebih lama padi dibandingkan tanaman hortikultura. Untuk kegiatan-kegiatan yang membutuhkan kontribusi dengan rata-rata hari kerja terbanyak dilakukan oleh laki-laki yakni pada kegiatan pengolahan lahan dan pengontrolan hama, sedangkan perempuan memiliki jumlah tinggi pada kegiatan persemaian dan panen. Pada stratum atas dan menengah, seterusnya pada stratum bawah keduanya memiliki akses yang sama, selanjutnya perempuan lebih akses pada kebutuhan rumahtangga dan pada hasil produksi, karena beberapa responden mengaku bahwa laki-lakinya yang bekerja di luar sektor usahatani memiliki akses yang lebih kecil dari perempuan. Akses perempuan dikatakan kurang pada pemenuhan kebutuhan pribadi karena perempuan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga daripada kebutuhan pribadi.
Pada usahatani kebun, terlihat sekali adanya kesenjangan antara persentase rumahtangga yang berpola pengambilan keputusan secara individu (suami sendiri dan perempuan sendiri). Pada lahan kebun perempuan tetap memiliki kontrol yang tinggi pada kegiatan penyiangan dan persemaian, diduga karena perempuan menjadi pelaku pada proses persemaian/bungbung pada tanaman cabai dan tomat. Sedangkan kontrol atas kegiatan lainnya masih dilakukan oleh suami dan bersama (suami istri, suami dominan; suami istri setara; suami istri, istri dominan) kontrol perempuan sangat rendah pada lahan kebun dikarenakan proses usahatani cukup rumit. Disamping itu lahan usahatani kebun merupakan satu-satunya pendapatan yang diperoleh, karena lahan sawah hanya untuk dikonsumsi secara pribadi (subsisten) sehingga pengambilan keputusan pada lahan usahatani sawah akan menentukan pendapatan rumahtangga. Dari hasil wawancara mendalam, perempuan di kampung Sukagalih menyatakan bahwa mereka memiliki kontrol yang tinggi atas lahan kebun, mereka selama ini hanya membantu menjadi pekerja keluarga, jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Relasi gender dalam rumahtangga petani atas kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria dipengaruhi pula oleh tingkat akses dan kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani. Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan bertujuan untuk mendukung penghidupan keluarga. Hasil pengelolaan lahan usahatani padi-sawah adalah beras yang menjadi makanan pokok pada setiap rumahtangga, sedangkan hasil dari lahan kebun adalah komoditas-komoditas hortikultura yang dapat dikonsumsi dan dijual untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang. Dengan demikian akses