Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Agus Surono
UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA FAKULTAS HUKUM 2013
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Agus Surono PENGUASAAN, PEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH (P4T) Agus Surono Cet. 1 - Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013 viii + 132 hlm. B5 ISBN 978-602-17732-6-0
Untuk yang tercinta Orang tuaku : Bapak Slamet Surani dan Ibu Nafiah Istriku Sonyendah R. Anak-anakku : M. Rizqi Alfarizi R. dan M. Ridho Bayu Prakoso
KATA PENGANTAR Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil penelitian dan kajian yang mendalam tentang Pola Pengelolaan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat di beberapa daerah. Semoga lahirnya buku ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Pertanahan/Agraria. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian buku ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ayahanda H. Slamet Surani yang selalu memanjatkan doa buat penulis dalam shalatnya dan secara khusus kepada Almarhumah Hj. Nafiah yang dengan tulus dan ikhlas semasa hidupnya selalu memperjuangkan pendidikan buat putera-puterinya, dan tidak henti-hentinya memanjatkan doa, penulis menghaturkan sembah sujud dan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Semoga Allah senantiasa meridloi apa yang yang sudah Bapak dan Ibu upayakan dan ihtiarkan. Kepada Mertua yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, H. Soemarsono (Almarhum) yang telah banyak mendorong dan berdoa semasa hidupnya, serta Ibu Hj. Sri Suparsih yang senantiasa memberikan doa kepada penulis dan keluarga, penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa penulis sampaikan kepada Istri tercinta Sonyendah Retnaningsih, SH., MH., yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, serta anak-anak tercinta M. Rizqi Alfarizi Ramadhan dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan semangat dan mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya sebagai dosen dan praktisi hukum ini. Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan Ilmu Hukum Agraria di Indonesia khususnya. Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan disana-sini serta masih jauh untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, segala kritik dan saran yang positif senantiasa penulis harapkan. Jakarta,
April 2013
Agus Surono
DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN A.
Latar Belakang .......................................................................
1
B.
Permasalahan .........................................................................
6
C.
Maksud dan Tujuan ..............................................................
7
D.
Manfaat Penelitian ................................................................
8
BAB 2 KERANGKA TEORITIK A.
Teori Negara Kesejahteraan .................................................
10
B.
Teori Keadilan ........................................................................
14
C.
Teori Hukum Pembangunan ...............................................
16
BAB 3 METODE PENELITIAN A.
Kerangka Pikir Kajian . .........................................................
23
B.
Pendekatan Penelitian ..........................................................
24
C.
Metode Pengumpulan Data .................................................
25
D.
Analisa Data ...........................................................................
42
BAB 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................
B.
Hasil Analisis Berdasarkan Data Sekunder Diluar
Lokasi Studi . ..........................................................................
43 86
BAB 5 HASIL OLAHAN DATA SEMENTARA YANG SUDAH SELESAI DIOLAH A.
Analisis Sementara di Lokasi Pontianak
BAB 6 PENUTUP A.
Kesimpulan ............................................................................ 127
B.
Saran . ...................................................................................... 128
DAFTAR PUSTAKA
Bab Satu PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih lanjut hak menguasai Negara dijabarkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang lain seperti UU Nomor 11 Tahun 1967 dan UU Nomor 5 Tahun 1967, Hak menguasai Negara dijabarkan menjadi: a. Mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dari hak menguasai Negara inilah bersumber wewenang Negara untuk mengelola bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
1
rakyat. Namun kenyataannya pengelolaan tanah telah menimbulkan berbagai masalah. Tujuan “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” masih jauh dari yang diharapkan. Kebijakan pembangunan yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan ketimpangan pemilikan penguasaan tanah. Tanah dalam Republik ini sebagian besar dikuasai oleh pengusaha-pengusaha konglomerasi. Demikian juga telah terjadi secara besar-besaran peralihan fungsi tanah pertanian dan non pertanian. Sejak adanya perubahan paradigma pemerintahan setelah era reformasi hingga sekarang pelaksanaan usaha untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dapat dilakukan melalui berbagai program seperti usaha pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UKMM), program revitalisasi pertanian maupun program pembaruan agraria nasional. Masalah hak atas tanah ini sering kali dalam praktiknya menimbulkan berbagai persoalan, sehingga perlu dicari jalan keluar/solusi yang saling menguntungkan baik untuk kepentingan masyarakat maupun demi kepentingan Negara/umum. Pelaksanaan
pengelolaan
dan
pengembangan
administrasi
pertanahan di Indonesia sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 33 (3) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sampai saat ini masih banyak mendapat sorotan dari masyarakat, bahkan ada pihak-pihak tertentu yang mempunyai keinginan untuk merevisi UUPA tersebut. Pada sisi lain banyak pula pihak menilai bahwa substansi yang termuat dalam UUPA sebenarnya masih sangat relevan dengan perkembangan jaman dewasa ini, karena mereka beranggapan bahwa berbagai permasalahan pertanahan yang muncul ke permukaan semata-mata berada pada tataran implementasinya. Namun demikian, harus diakui bahwa pelaksanaan UUPA selama ini belumlah optimal memberikan kemakmuran yang 2
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
sebesar-besarnya bagi masyarakat. Paling tidak terdapat tiga kondisi yang
mencerminkan
permasalahan
utama
pengelolaan
bidang
pertanahan. Pertama, maraknya bermunculan kasus tentang konflik pertanahan. Sengketa/konflik pertanahanan ini dapat terjadi antara individu dengan individu, masyarakat dengan pihak swasta, swasta dengan swasta serta masyarakat dengan pemerintah. Termasuk juga di dalamnya sengketa terhadap tanah ulayat yang akan dimanfaatkan baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk kepentingan perkebunan. Kedua, masih terjadi ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Ketimpangan struktur ini mencerminkan masih terdapat focus kepemilikan/penguasaan tanah hanya pada kelompok tertentu. Sehingga masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan manfaat atas tanah sebagai salah satu sumber kehidupan. Ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah ini juga terhadap keberadaan tanah ulayat, meskipun dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah memberikan pengakuan terhadap hak atas tanah ulayat kepada masyarakat adat. Ketiga, lemahnya jaminan kepastian hukum hak atas tanah, khususnya bagi masyarakat ekonomi lemah. Jaminanan kepastian hukum ini sangat diperlukan terutama bagi kalangan ekonomi lemah agar menghindari adanya kemungkinan peluang dilakukan penyerobotan oleh pihak lain yang lebih kuat secara ekonomi baik individu maupun swasta. Dalam rangka meningkatkan kepastian hukum maka sangat diperlukan kualitas pelayanan terutama dalam memberikan hak atas tanah. Perlunya jaminan kepastian hukum ini juga sangat penting, khususnya kepada tanah ulayat yang dapat dimanfaatkan oleh kepentingan masyarakat untuk meningkatkan taraf ekonominya. Salah satu masalah yang terkait dengan masalah pertanahan adalah berkaitan dengan persoalan tanah adat/tanah ulayat. Masalah tanah Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
3
dan masyarakat mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan tersebut beraspek hukum perdata yang terbukti dengan adanya hak kepunyaan bersama atas tanah yang ada diwilayah hukumnya, sedangkan dalam aspek hukum public berupa kewenangan untuk mengelola, mengatur penguasaan, pemeliharaan, dan peruntukan penggunaan tanah. Hubungan yang meliputi kedua bidang hukum itu disebut Hak Ulayat.1 Perwujudan ke dalam hak ulayat itu adalah pemanfaatan tanah ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan warga masyarakat, dengan memungkinkan bagi setiap warganya memakai bagian tanah bersama itu untuk digarap guna memenuhi keperluan hidup pribadi dan keluarganya. Pengakuan hak individu warga atas tanah yang demikian itu hanyalah berlaku selama tanah itu digarap, dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan hak bersama tadi. Apabila hak menggarap itu tidak dimanfaatkan setelah melewati batas waktu tertentu maka hak itu lenyap dan kembali ke tangan masyarakat. Dalam perwujudan keluar hak ulayat itu, orang asing atau orang luar masyarakat tanah milik bersama tadi, kecuali seizin masyarakat atau persekutuan dan harus pula memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Misalnya memberikan kepada persekutuan barang sesuatu yang disebut pengisi adat, sedangkan dalam Penjelasan angka 3 UUPA istilah itu disebut dengan recognitie. Dengan izin itu orang asing atau orang luar tersebut dimungkinkan membuka tanah untuk perladangan atau perkebunan, tetapi harus ditanami dengan tanaman yang tidak berumur panjang. Karena pada prinsipnya orang asing atau orang luar persekutuan tidak dibenarkan ikut memiliki tanah didalam wilayah persekutuan tersebut.2 1 2
4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, cet. Ketiga, (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm. 162. Menurut Ter Haar dalam bukunya “Beginselen en stelsel van het adatrecht” (dalam Soepomo, 1993:46) dikatakan bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan masing-masing Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Keberadaan hukum adat mengenai tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan Agrarische Wet 1870-55, hanyalah diakui sebagai hak memakai tanah domein Negara (erfelijk individueel gebruikrecht = hak memakai individual yang turun temurun), dan disebut onvrij lands domein (=tanah Negara tidak bebas) dalam administrasi pertanahannya. Mengenai hak ulayat tidak diakui sebagai lembaga hukum, karena digolongkan vrij kinds domein (=tanah Negara bebas). Selain itu, dan sebagai akibat dari ketentuan Pasal 131 dan Pasal 163 IS maka pada masa ini pula berlaku dualisme hukum tanah, yaitu Hukum Tanah Barat yang tertulis dan diatur dalam Buku II BW dan Hukum Tanah Indonesia (Hukum Tanah Adat) yang umumnya tidak tertulis. Setelah Indonesia merdeka, masalah pertanahan untuk pertama kalinya dicantumkan dalam Pasal 3 ayat (3) UUD 1945. Karena kondisi Negara kurang kondusif, 15 tahun kemudian baru selesai dibuat UUPA yang bertujuan untuk mengunifiukasi hukum tanah. Dalam konsideran dari UUPA tersebut disebutkan bahwa hukum atnah agrarian nasional dinyatakan berdasarkan atas hukum tanah adat, maksudnya adalah bahwa dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional, hukum adat berfungsi sebagai sumber utama. Dalam penjelasan Pasal 2 (1) UUPA dikatakan bahwa hak bangsa itu adalah semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan paling atas, yaitu pada tingkatan mengenai seluruh wilayah negara. Pada hak bangsa itulah bersumber hak penguasaan atas tanah primer maupun sekunder termasuk hak tanggungan. Tetapi dalam Pasal 3 UUPA hak ulayat itu masih tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Adanya ketimpangan pemilikan tanah, khususnya mengenai pemilikan dan pemanfaatan tanah adat maka diperlukan suatu program mengalami kehidupan sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada satu orangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus tersendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniawian dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hidup. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
5
kebijakan di bidang pertanahan yang lebih menjamin perlindungan masyarakat dan benar-benar mewujudkan harapan masyarakat. Untuk menangani dan membenahi persoalan pertanahan yang berkaitan dengan tanah adat tersebut di atas tentu diperlukan pemikiran-pemikiran dari banyak pihak, baik bersifat akademisi maupun praktisi yang diharapkan nantinya dapat membantu pimpinan merumuskan kebijakan pertanahan dalam bentuk kegiatan beruapa penelitian mengenai pola P4T masyarakat hukum adat dengan sasasran utama bagaimana merumuskannya dalam wilayah masyarakat hukum adat/ulayat dapat member kontribusi maksimal bagi keinginan politik pemerintah yaitu “tanah untuk kesejahteraan rakyat.” Melalui penilitian ini akan dapat menghasilkan sebuah rekomendasi yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk kebijakan di bidang pertanahan khususnya mengenai pola P4T masyarakat hukum adat agar mampu memberikan kontribusi yang nyata untuk mensejahterakan masyarakat adat khususnya dan masyarakat pada umumnya terutama terhadap kesempatan mereka untuk memanfaatkan tanah secara optimal. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut di atas harus mampu menjawab beberapa permasalahan yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Bagaimana pola P4T terhadap tanah adat/ulayat yang ada pada saat ini? 2. Bagaimanakah kontribusi P4T pada tanah adat/ulayat terhadap kesejahteraan masyarakat? 3. Bagaimanakah konsep pola P4T yang efektif dan ideal dalam rangka 6
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
mewujudkan kesejahteraan masyarakat? 4. Alternatif kebijakan apakah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah terhadap pola P4T terhadap tanah adat/ulayat untuk mensejahterakan masyarakat? C. Maksud dan Tujuan Maksud penyelenggaraan kegiatan ini adalah untuk memperoleh masukan-masukan dalam pola P4T yang telah dilaksanakan di berbagai daerah yang dijadikan sebagai sampel penelitian guna menghasilkan rumusan kebijakan secara nasional berkaitan dengan pola P4T terhadap tanah adat/ulayat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun yang menjadi tujuan kajian ini secara lebih khusus harus mampu menjawab beberapa permasalahan yang dikemukakan tersebut di atas yang meliputi: 1. Untuk mendapatkan informasi dan menganalisis tentang P4T terhadap tanah adat/ulayat yang ada saat ini. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang kontribusi P4T pada tanah adat/ulayat terhadap kesejahteraan masyarakat. 3. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang pola P4T yang efektif dan ideal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. 4. Untuk mendapatkan informasi dan mengkaji tentang kemungkinan alternatif kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah terhadap pola P4T terhadap tanah adat/ulayat untuk mensejahterakan masyarakat.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
7
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat dan memberikan kontribusi pemikiran: Pertama, penelitian ini diharapkan, dari sudut teori dapat memberikan sumbangan pemikiran dan upaya mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya yang berkaitan dengan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ ulayat. Kedua, dari sudut praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman oleh instansi BPN khususnya dalam memberikan masukan terhadap kebijakan yang akan diambil oleh BPN dalam pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ ulayat.
8
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Bab Dua KERANGKA TEORITIK
Penelitian ini pada dasarnya adalah dalam rangka sebagai alternatif kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Secara khusus akan dicermati tentang pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat yang dapat diterapkan secara nasional di beberapa daerah dengan disesuaikan dengan kondisi di daerah masingmasing. Upaya untuk melakukan penelitian “Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat” menggunakan beberapa teori yang akan dipakai sebagai alat analisis penelitian. Beberapa teori tersebut diantaranya teori Negara Kesejahteraan (welfare state), teori Keadilan yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Rawls, teori hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
9
A. Teori Negara Kesejahteraan
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digunakan untuk dapat menjawab 3 (tiga) identifikasi masalah yang telah ditetapkan. Pilihan berfikir yuridis dari salah satu teori tentang tujuan negara adalah Negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara hukum yang semula merupakan liberal berubah ke negara hukum yang menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.1 Menurut konsep Negara Kesejahteraan, tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara tersebut.2 Selain konsep negara berdasar atas hukum (biasa disebut negara hukum), juga dikenal konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni suatu konsep yang menempatkan peran negara dalam setiap aspek kehidupan rakyatnya demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat3. Sehubungan dengan konsep negara kesejahteraan tersebut, maka negara yang menganut konsep negara kesejahteraan dapat mengemban 4 (empat) fungsi4 yaitu: 1. The State as provider (negara sebagai pelayan) 2. The State as regulator (negara sebagai pengatur) 3. The State as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and 4. The State as umpire (negara sebagai wasit). 1 2 3 4 10
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 133. CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 20. Mustamin Dg. Matutu, ”Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Tipe-Tipe Negara Modem, ”Pidato Lustrum ke IV Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, 1972. hlm. 15. W. Friedmann., The State and The Rule of Law In A Mixed Economy, London: Steven & Son, 1971, hlm. 5. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Merujuk pada fungsi negara yang menganut konsep negara kesejahteraan sebagaimana telah dikemukakan di atas, menyebabkan negara memegang peranan penting. Guna memenuhi fungsinya sebagai pelayan dan sebagai regulator, maka negara terlibat dan diberi kewenangan untuk membuat peraturan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang memberikan perlindungan kepada masyarakat lokal, sehingga terwujud kesejahteraan rakyat sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3). Oleh sebab itu,peranan pemerintah dalam mendorong masyarakat agar lebih berdaya dalam ikut mengelola dan memanfaatkan tanah adat/ulayat menjadi suatu hal yang sangat penting. Negara mempunyai peran penting dalam mengatur penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ ulayat dalam mewujudkan hak-hak masyarakat adat/lokal. Instrumen penting yang dapat digunakan oleh negara dalam menyelenggarakan fungsi reguleren termasuk dalam bidang agrarian khususnya terhadap tanah adat/ulayat adalah undang-undang, dan ini merupakan aplikasi dari asas legalitas dalam konsep negara berdasar atas hukum. Teori Negara Kesejahteraan sangat mendukung suatu pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dalam mewujudkan hak masyarakat lokal, sehingga akan mendukung terwujudnya kesejahteraan umum dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui sektor agrarian yang dapat dimanfaatkan untuk bidang pertanian, perkebunan maupun bidang lainnya.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
11
Konsep Negara Kesejahteraan
dalam UUD 1945 pertama kali
diadop oleh Muhamad Hatta, 5 yang dapat dikemukakan berdasarkan ketentuan Pasal 33 yang berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang.
Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, termasuk juga di dalamnya sumber daya agraria mengacu pada ideologi penguasaan dan pemanfaatan sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
5 12
Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Universitas Indonesia , Jakarta, 1998. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara menguasai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun penguasaan ini dibatasi yaitu harus dipergunakan untuk sebesarnyabesarnya kemakmuran rakyat.6 Campur tangan Pemerintah tersebut di atas menunjukkan bahwa Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan (Welfare State), sebagaimana dicetuskan oleh Beveridge.7 Selanjutnya, dalam perkembangannya karena keterlibatan pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya dalam membuat regulasi dan mengawasi berbagai aktivitas di masyarakat, timbul berbagai permasalahan yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat di lapangan. Hal tersebut digambarkan oleh Tocqueville seringkali menimbulkan konflik termasuk juga di dalamnya konflik tenurial di suatu negara. Ia mengemukakan bahwa: “Conflict, however bounded; controversy, however regulated-these are features not incidental but essential to the operation of the political system”.8 Tujuan hukum dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, masingmasing: Pertama, dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatik, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi 6 7
8
Muchsan, Hukum Administrasi Negara dan Peradilan, Administrasi Negara di Indonesia, (Jakarta: Liberti, 2003), hlm.9. Beveridge seorang anggota Parlemen Inggris dalam reportnya yang mengandung suatu program sosial, dengan perincian antara lain tentang meratakan pendapatan masyarakat, usulan kesejahteraan social, peluang kerja, pengawasan upah oleh Pemerintah dan usaha di bidang pendidikan. Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2002), hlm.82. Tocqueville’s seperti dikutip Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State, (New York: Stanford University Press, 1978), hlm. 111. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
13
kepastian hukumnya. Kedua, dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan. Ketiga, dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya.9
B. Teori Keadilan
Disamping teori Negara Kesejahteraan, dipergunakan juga sebagai pisau analisis adalah teori keadilan. Menurut ajaran utilitis dengan tujuan kemanfaatannya, yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Menurut pandangan ini, tujuan hukum semata-mata adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyakbanyaknya warga masyarakat. Penangannya didasarkan pada filsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya. Doktrin utilitis ini mennjurkan ‘the greathes happiness principle’ (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya dan agar ketidakbahagiaan diusahakan sedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya.10
9 10 14
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 2000), hlm.72. Ibid., hlm.77. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Selain pandangan teori keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dapat dikemukakan teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls. Menurut John Rawls, semua teori keadilan merupakan teori tentang cara untuk menentukan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari semua warga masyarakat. Menurut konsep teori keadilan utilitaris, cara yang adil mempersatukan kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda adalah dengan selalu mencoba memperbesar kebahagiaan. Menurut Rawls, bagaimanapun juga cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Teori ini sering disebut ’justice as fairness ‘(keadilan sebagai kejujuran). Jadi yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling fair, itulah yang harus dipedomani. Terdapat dua prinsip dasar keadilan. Prinsip yang pertama, disebut kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus diberi kebebasan memilih menjadi pejabat kebebasan berbicara dan berfikir kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan tanpa alasan dan sebagainya.11 Prinsip keadilan yang kedua yang akan disetujui oleh semua orang yang fair adalah bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus menolong seluruh masyarakat dan para pejabat tinggi harus terbuka 11
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 181 dan 203. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
15
bagi semuanya. Tegasnya, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dianggap tidak adil kecuali jika ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat.12 Teori keadilan ini sangat relevan untuk menjawab bagaimana seharusnya kebijakan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dapat mewujudkan hak masyarakat adat/lokal secara adil. Karena esensi hak masyarakat adat/lokal dalam pemanfaatan sumber daya agrarian khususnya terhadap tanah adat/ ulayat adalah adanya perlakuan yang adil untuk memanfaatkan dan mengelola tanah adat/ulayat secara arif bijaksana dan berkesinambungan untuk kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan generasi yang akan datang.
C. Teori Hukum Pembangunan
Friedman mengemukakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari tiga unsur13: “Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 (elemen), yaitu (a) struktur system hukum (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislative), institusi pengadilan dengan strukturnya lembaga kejaksaan dan badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b) subtansi sistem hukum (substance of legal) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan12 13 16
Ibid. Lawrence W Friedman, American Law, ( New York: W.W. Norton & Company, 1984), hlm. 7. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum”. Pendapat
serupa
juga
dikemukakan
dalam
teori
hukum
pembangunan dari Muchtar Kusumaatmadja. Berdasarkan kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Muchtar Kusumaatmadja merumuskan landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrlich dan teori hukum Roscou Pound, dan mengolahnya menjadi suatu konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.14 Untuk memberikan landasan teoritis dalam memerankan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat serta membangun tatanan hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan tersebut, Muchtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi hukum yang tidak saja merupakan keseluruhan azas-azas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.15 Dengan konsepsi hukum tersebut, tampak bahwa Muchtar memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas 3 (tiga) komponen (sub sistem) yaitu:16
14 15 16
Ibid, hlm. 7. Ibid. Ibid. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
17
a. Azas-azas dan kaidah hukum; b. Kelembagaan hukum; c. Proses perwujudan hukum.
Menurut Muchtar Kusumaatmadja, hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan
atau
ketertiban
dalam
usaha
pembangunan
atau
pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu.17 Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bias berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti merupakan arah kegiatan rumusan kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.18 Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.19 Perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.20 Peranan
hukum
dalam
pembangunan
dimaksudkan
agar
pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah 17 18 19 20 18
Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2002), hlm. 89. Ibid. Ibid. Ibid, hlm. 89. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat produk hukum baik berwujud perundang-undangan maupun keputusan badan-badan peradilan yang mampu menunjang pembangunan.21 Dalam tataran pelaksanaan kebijakan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat harus dapat dijabarkan lebih detail dan lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundangperundangan. Dalam kaitannya dengan pengurusan sumber daya agrarian khususnya yang berkaitan dengan tanah adat/ulayat perlu adanya good lands governance.22 Adapun syarat good lands governance antara lain: Pertama, adanya transparansi hukum, kebijakan dan pelaksanaan; Kedua, tersedianya mekanisme yang “legitimate” dalam proses akuntabilitas publik; Ketiga, adanya mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi yang partisipatif; Keempat, adanya mekanisme demokratis dalam memperkuat daerah; Kelima, memperbaiki birokrasi pusat yang tidak efektif dan efisien untuk perbaikan kinerja melalui pengembangan institusi yang mengarah kepada peningkatan pelayanan publik.23 Beberapa prasyarat di atas sudah sejalan dengan subtansi Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.24
21
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hlm. 65.
22
Elfian Efendi, Jangan Menunggu Kapal Pecah, ( Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001), hlm.61. Ibid., hlm. 61. Pasal 3 Undang-Undang No.28 Tahun 1999, menyebutkan bahwa ada tujuan asas umum penyelenggaraan negara, yaitu: Kesatu, kepastian hukum, Kedua, asas tertib penyelenggara negara, Ketiga, asas kepentingan umum, Keempat, asas keterbukaan.
23 24
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
19
Pengelolaan tanah adat/ulayat adalah sistem pengelolaan tanah adat/ulayat dalam rangka memberikan perlindungan sistem penyangga kehidupan di kawasan tanah adat/ulayat yang dalam penelitian ini digunakan khusus untuk lingkup penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Apabila pengelolan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dapat menerapkan prinsip keadilan, maka akan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Artinya hak-hak masyarakat adat/lokal dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya, sehingga cita-cita konsep Negara kesejahteraan dapat terwujud. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Pemerintah khususnya institusi BPN Pusat dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dan bagaimana mewujudkan hak masyarakat lokal, terutama perlindungan dalam bentuk perbaikan atas pengaturan perundang-undangan pada masa yang akan datang. Untuk menghindarkan perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan disertasi ini, berikut ini definisi operasional dari istilah-istilah tersebut. 1. Masyarakat Adat adalah kesatuan manusia yang tertentu, mempunyai penguasa-penguasa danmempunyai kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun di antara para anggota mempunyai fikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, dalam arti melepaskannya untuk selamalamanya.25
25 20
Budi Riyanto, Bunga Rampai Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam Menuju Smart Regulation, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, 2006), hlm.44. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
2. Masyarakat Lokal adalah masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan yang dalam hal ini tinggal disekitar kawasan Taman Nasional yang mempunyai ciri-ciri sosial, ekonomi, budaya yang berbeda dari pengertian masyarakat hukum adat. Masyarakat lokal yaitu sekelompok penduduk asli yang tidak terikat lagi pada masyarakat adat dan pendatang yang berasal dari daerah lain yang sudah tinggal di kawasan tersebut selama lebih dari 10 tahun atau lahir di tempat tersebut, mempunyai hak untuk memanfaatkan hutan yang berada disekitar masyarakat tersebut tinggal.26 3. Konflik adalah sebagai perwujudan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama. Titik berat konflik dalam penelitian ini adalah konflik kehutanan yang telah muncul kearena publik yang antara lain disebabkan oleh perambahan hutan, pencurian kayu illegal, masalah batas wilayah pengelolaan kawasan hutan, masalah kerusakan hutan, serta adanya peralihan fungsi kawasan hutan.27 4. Pembagian Kewenangan adalah pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.28 5. Hak Masyarakat Lokal adalah merupakan hak penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan untuk memanfaatkan sumber daya alam dalam bentuk hak untuk menggarap tanah, memanfaatkan air dan mengambil hasil hutan untuk keperluan rumah tangga. 6. Hak Ulayat adalah hak kepemilikan bersama/komunal dari masyarakat hukum adat yang dikelola dengan cara gotong royong dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan para warga 26 27 28
Saafroedin Bahar, Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM, 2005), hlm.73. Yuliana Cahya Wulan, dkk, Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2006, (Bogor: CIFOR, 2007), hlm.3. Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
21
masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentang dengan undangundang.29 7. Pengetahuan Tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal setempat dalam kaitannya dengan masalah konservasi sesuai pengethuan yang dimiliki secara turun temurun dalam mengelola sumber daya alam dengan senantiasa berpedoman pada kearifan tradisional/lokal.30 8. Zona Pemanfaatan Tradisonal adalah merupakan zona pemanfaatan kawasan hutan dengan memperhatikan kearifan lokal/tradisonal masyarakat sekitar kawasan hutan dalam kaitannya dengan pemanfaatan hutan dan masalah konservasi.31 9. Konservasi Tradisional adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya dengan memperhatikan nilai-nilai kearifan tradisonal masrakat sekitar kawasan hutan.32 10. Tanah Ulayat adalah tanah hak kemilikan bersama/komunal dari masyarakat hukum adat yang dikelola secara gotong royong dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan para warga masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentangan dengan undang-undang.33 11. Pemerintahan Desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Sedangkan perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya.34
29 30 31 32 33 34 22
Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria. Budi Riyanto, Op. Cit, hlm.45. Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Budi Riyanto, Op. Cit., hlm.47. Ibid Pasal 202 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Bab Tiga METODE PENELITIAN
A. Kerangka Pikir Kajian
Dalam bab ini akan dijelaskan pendekatan dan metodologi yang akan dijalankan oleh Konsultan dalam menangani Pekerjaan Penelitian Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat, yang secara garis besar tahapan pekerjaan sesuai yang tercantum dalam kerangka acuan kerja adalah tahap persiapan perencanaan/ perancangan,
penyusunan gambar pra rencana,
penyusunan pengembangan perencanaan, pembuatan perhitungan biaya kerja, rancangan detail, persiapan pelelangan, pelelangan, evaluasi dan negosiasi, pengawasan berkala, dan tentunya dalam setiap langkah yang akan diambil tetap mengadakan asistensi/ diskusi dengan Pengguna Jasa. Dalam penelitian tentang Pola P4T terhadap Tanah Ulayat, pertama kali dilakukan pendekatan dengan melakukan proses inventarisasi berbagai kebijakan pemerintah di bidang pertanahan baik yang terdapat dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
23
dan Ketentuan turunannya beserta UU lainnya yang terkait dengan masalah tanah adat atau tanah ulayat, Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan. Untuk mencapai tujuan pertama ini, dilakukan desk research dan evaluasi relevansi dan tingkat kepentingan substansi pengaturan peraturan perundangundangan dan kebijakan yang berkaitan dengan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat
pada
saat ini untuk antisipasi pada masa yang akan datang. Desk research kemudian diintegrasikan dengan hasil observasi dan survei lapangan, serta pencocokan data untuk dapat dievaluasi pelaksanaan Pola P4T dalam pengambilan kebijakan di pemerintahan daerah.
Mengingat
kebijakan yang berpengaruh terhadap pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat di pemerintahn daerah, maka secara umum kebijakan yang dievaluasi dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu : (1) Relevansi, (2) Signifikansi, dan (3) Daya guna.
B. Pendekatan Penelitian
Dalam melaksanakan “ Penelitian Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat”, diperlukan pendekatan yuridis empiris/yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis dilakukan untuk memahami pengaturan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dan juga untuk mengetahui sinkronisasi dan kontradiksi terhadap aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah tanah adat/ulayat dalam kerangka hukum tanah nasional. Pendekatan sosiologis digunakan untuk mengidentifikasi hukum yang nyatanyata berlaku (secara implicit berlaku) dalam masyarakat mengenai hak penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Penelitian ini juga didukung dengan pendekatan historis 24
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
(sejarah) untuk mengungkap dan menjelaskan lembaga hukum terutama masyarakat adat yang terkait dengan masalah tanah adat/ulayat.1 Agar proses pelaksanaan penelitian dapat mencapai tujuan yang akan dicapai maka diperlukan enam langkah proses berpikir sistemik. Langkah-langkah proses ini merupakan panduan umum saja yang meliputi: 1. Identifikasi kondisi yang ada; 2. Identifikasi kebutuhan dan kondisi yang diinginkan; 3. Identifikasi permasalahan; 4. Analisis; 5. Penyusunan alternatif usulan kebijakan; 6. Memperkirakan dampak implementasi kebijakan.
C. Metode Pengumpulan Data
1. Metodologi Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan guna mengumpulkan Literatur yang berkaitan dengan kebijakan, peraturan dan perundangan terkait di bidang pola penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Atau bisa juga diperoleh berdasarkan hasil studi sebelumnya untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dari kondisi yang terkait dengan perumahan dan permukiman, termasuk permasalahan, kebutuhan maupun harapan yang diinginkan .
1
Jufrina Rizal, dalam Hermayulis, “Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Keberadaan Pada Sistem Kekerabatan Patrilinial di Sumatera Barat”, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1991), hlm. 58. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
25
Pengumpulan data melalui data sekunder ini dikatagorikan sebagai penelitian sekunder, dimana penelitian sekunder merupakan pendekatan penelitian yang menggunakan data-data yang telah ada, selanjutnya dilakukan proses analisa dan interpretasi terhadap data-data tersebut sesuai dengan tujuan penelitian. Sebelum melaksanakan pengumpulan data sekunder tim studi harus benarbenar memahami sampai sejauh mana data-data sekunder ini dapat digunakan, untuk itu keuntungan dan kerugian penelitian sekunder berikut harus diketahui. Metodologi umum dalam penelitian sekunder a. Mencari dan mengumpulkan data. b. Membuat agar unit pengukuran yang digunakan dapat dibandingkan (comparable). c. Mengevaluasi data/ dokumen. d. Menentukan kelengkapan data. e. Melakukan analisa data. Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan. kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi. Dokumen dapat dibedakan menjadi dokumen primer, jika dokumen ini ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu peristiwa; dan dokumen sekunder, jika peristiwa dilaporkan kepada orang lain yang selanjutnya ditulis oleh orang ini. Dokumen dapat berupa buku harian, surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan kasus (case records) dalam pekerjaan sosial, dan dokumen lainnya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dokumen-dokumen ini ditulis tidak untuk tujuan penelitian sehingga penggunaannya memerlukan kecermatan. 26
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Kegiatan studi literatur mengacu sumber-sumber yang meliputi : a. Inventarisasi landasan hukum, peraturan dan perundang¬undangan serta kebijakan dan strategi Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat; b. Data
terkait
dengan
kondisi/situasi
dan
permasalahan-
permasalahan yang terjadi di lapangan yang terkait dengan Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat ; c. Data mengenai kondisi yang ada terkait dengan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat; d. Kondisi yang terjadi di lapnagan tentang Pola P4T terhadap Tanah Adat/Ulayat saat ini; e. Data dan informasi mengenai aspek teknologis, administratif pertanahan, sosiologis dan ekonomis, terkait dengan Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat yang dilaksanakan saat ini.
Hasil deskripsi ringkas dari studi data sekunder tersebut selanjutnya diasistensikan untuk mendapat masukan dari pengguna jasa guna penyempurnaan langkah kerja lebih lanjut. Setelah dibahas dibuatlah superimpossed untuk masing-masing permasalahan yang dihadapi guna dilakukan verifikasi lapangan dengan penelitian primer (survai primer). Hasil dari penelitian sekunder yang masih berupa data akan dituangkan dalam laporan antara.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
27
2. Metodologi Pengumpulan Data Primer Survey akan dilakukan guna pengumpulan data dikakukan dengan cara wawancara ataupun kuesioner dengan nara sumber dari masyarakat, instansi pemerintahan terkait dan juga dari kalangan akademisi. Adapun kuesioner yang disebarkan untuk mendapatkan data lapangan yang memadai menggunakan beberapa model yaitu berupa pertanayaan yang akan dianalisis secara kualitatif dan juga kuantitatif. Secara rinci kedua jenis kuesioner tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Kuesioner Kajian Dengan Analisis Kuantitatif
Tabel. Matrik Pengumpulan Data
No 1
Rumusan Masalah Bagaimana karakteristik P4T tanah adat/ulayat dari aspek Penguasaan/ pemilikan, penggunaan/ pemanfaatan dan jenis hak atas tanah ? Delineasi Wilayah penguasaan pengguanan geografis Administrasi)
Pengembangan Indikator A. Karakteristik P4T A-1. Penguasaan pemilikan ? Tanah adat/ulayat
Variabel
Indidualisasi
Penuh/Utuh
Campuran
28
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Paremeter Ukur
Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek, Waktu, , sistem sewa, bagi hasil, garapan Peralihan/ Jual Beli, program pertanahan Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek, Waktu, , sistem sewa, bagi hasil, garapan Peralihan/ Jual Beli, program pertanahan Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek, Waktu, , sistem sewa, bagi hasil, garapan Peralihan/ Jual Beli, program pertanahan
A-2 Penggunaan pemanfaatan ?
Individualisasi
Penuh/Utuh
Campuran
2
Kontribusi P4T masyarakat adat/ulayat thd kesejahteraan ?
Asset tanah
Penguasaan Pemilikan Penggunaan Pemanfaatan
Akses Sosekbud
Jalan penghubung Pemasaran
Perbankan
Produksi
3
Rumusan pola P4T yang efektif dan ideal
Akses Kelembagaan
Organisasi usaha
Efektif
Peraturan
Mayoritas jenis penggunaan/ pemanfaatan tanah (Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb) Mayoritas jenis penggunaan/ pemanfaatan tanah (Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb), Mayoritas jenis penggunaan/ pemanfaatan tanah (Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb) Sistem sewa, bagi hasil, garapan, jual beli Individu, Kolektif/ Bersama, Campuran Permukiman, sawah, tanah kering, kebun Permukiman, sawah, tanah kering, kebun Kondisi jalan penghubung (jalan rusak, baik, dsb) Pemasaran melalui koperasi, kelompok masyarakat, tengkulak, dsb. Terdapat bank yang menyalurkan kredit di pedesaan (BPR, BRI, dsb) Produksi pemanfaatan tanah adat bagi masyarakat (padi, polowijo, karet, dsb) Organisasi usaha meliputi (Koperasi, UKM, dsb) Peraturan yang ada telah dilaksanakan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
29
Pelaksanaan
Ideal
Pelaksanaan peraturan sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam ketentuan yang berlaku Rumusan memenuhi kaidah pembuatan peraturan yang baik Melindungi kepentingan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan
Rumusan
Perlindungan
PETUNJUK PENGISIAN Mohon Bapak/Ibu/Saudara untuk memberikan tanda silang (X) pada kolom yang telah disediakan sesuai dengan pendapat atau pilihan Bapak/Ibu/Sdr. Keterangan Pilihan Jawaban
1 = STS (Sangat tidak Setuju)
3 = CS (Cukup
Setuju)
5 = SS (Sangat Setuju)
2 = TS (Tidak Setuju)
4=S
(Setuju)
30
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
PERNYATAAN MENGENAI FAKTOR FAKTOR YANG MENENTUKAN PERCEPATAN PENDAFTARAN DAN SERTIPIKASI TANAH PERTAMA KALI No
Item-Item Pernyataan Yang Mempercepat
PILIHAN JAWABAN
Karakteristik P4T A
Penguasaan/pemilikan Tanah adat/ulayat (individu, utuh/kolektif, campuran).
STS
TS
CS
S
SS
1.
Pola penguasaan/ pemilikan tanah adat/ ulayat saat ini lebih mengaraah kepada individualisasi.
1
2
3
4
5
2.
Pola penguasaan/ pemilikan tanah adat/ ulayat saat ini lebih mengarah kepada kolektif/ bersama secara utuh?
1
2
3
4
5
.3.
Pola penguasaan/ pemilikan tanah adat/ ulayat lebih mengarah kepada pola penguasaan yang bersifat campuran.
1
2
3
4
5
4.
Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek penguasaan/pemilikan yang bersifat individual dapat melalui sistem sewa, bagi hasil, garapan, Jual Beli, program pertanahan.
5.
Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek penguasaan/pemilikan yang bersifat utuh (kolektif/bersama) dapat melalui sistem sewa, bagi hasil, garapan, Jual Beli, program pertanahan.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
31
6.
Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek penguasaan/pemilikan yang bersifat campuran dapat melalui sistem sewa, bagi hasil, garapan, Jual Beli, program pertanahan.
7.
Mayoritas jenis p e n g g u n a a n / pemanfaatan tanah yang bersifat individual untuk Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb.
8.
Mayoritas jenis p e n g g u n a a n / pemanfaatan tanah yang bersifat utuh/ kolektif/bersama untuk Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb.
9.
Mayoritas jenis p e n g g u n a a n / pemanfaatan tanah yang bersifat campuran untuk Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb.
1
2
3
4
5
STS
TS
CS
S
SS
1
2
3
4
5
Kontribusi P4T Masyarakat Adat/Ulayat Terhadap Kesejahteraan B.
5.
32
Aset Tanah, Akses Sosekbud, Akases Kelembagaan terhadap kesejahteraan Kontribusi P4T terhadap kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh Aset tanah yang dapat berupa sistem sewa, bagi hasil, garapan, jual beli.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
6.
Kontribusi P4T terhadap kesejahtaeraan masyarakat ditentukan oleh kepemilikan tanah adat/ulayat yang bersifat Individu, Kolektif/ Bersama, Campuran.
1
2
3
4
5
7
P e n g g u n a a n / pemanfaatan tanah adat/ulayat terhadap k e s e j a h t e r a a n masyarakat dapat berupa Permukiman, sawah, tanah kering, kebun.
1
2
3
4
5
8.
Akses sosekbud terhadap kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh faktor jalan penghubung, pemasaran, perbankan dan produksi.
1
2
3
4
5
9
Akses sosekbud terhadap kesejahteraan masyarakat juga ditentukan oleh faktorfaktor selain faktor jalan penghubung, pemasaran, perbankan dan produksi.
1
2
3
4
5
12
Akses kelembagaan terhadap kesejahteraan masyarakat dapat berupa koperasi, UKM dan organisasi usaha lainnya.
1
2
3
4
5
STS
TS
CS
S
SS
1
2
3
4
5
C.
RUMUSAN POLA P4T YANG EFEKTIF DAN IDEAL Efektif
1.
Peraturan yang ada terkait dengan Pola P4T telah memadai dan telah dilaksanakan dengan baik
2.
Pelaksanaan peraturan yang berkaitan dengan pola P4T tidak terjadi penyimpangan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
33
3 Ideal
1
Peraturan tentang Pola P4T memenuhi kaidah pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik
2
Peraturan perundangundangan tentang Pola P4T mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
3
1
2
3
4
5
STS
TS
CS
S
SS
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
b. Kuesioner Dengan Metode Analisis Kualitatif
Format metode kuesioner dengan metode analisis kualitatif dalam penelitian pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat, dapat diuraikan sesuai format sebagai berikut:
DAFTAR PERTANYAAN
1. Identitas a. Nama
:
b. Jenis Kelamin :
34
c. Pekerjaan
:
d. Umur
:
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
e. Instansi
:
f. Alamat
:
2. Daftar Pertanyaan : a. Apakah yang Bapak/Ibu/saudara ketahui tentang hak atas tanah ulayat? .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... ....................................................................................................
b. Permasalahan apa yang berkaitan dengan masalah hak atas tanah ulayat yang sering kali terjadi? Apakah karena pola penguasaan, penggunaan, pemilikan ataukah pemanfaatan atas tanah ulayat? .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... ....................................................................................................
c. Terhadap pilihan jawaban pada poin b yang dipilih jelaskan alasan mengapa di Provinsi Bapak/Ibu/saudara permasalahan tanah ulayat disebabkan oleh salah satu faktor tersebut di atas? .................................................................................................... Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
35
.................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... ....................................................................................................
d. Diantara keempat permasalahan yang sering muncul mengenai tanah ulayat di daerah Bapak/Ibu/saudara. Mana permasalahan yang sering kali terjadi, apakah mengenai pola penguasaan, penggunaan, pemilikan ataukah pemanfaatan atas tanah ulayat? Jawaban dapat disusun berdasarkan skala yang sering muncul dengan disertai apa penyebabnya? .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... ....................................................................................................
e. Apakah masalah tanah ulayat di Provinsi/Kabupaten di wilayah kerja Bapak/Ibu terkait dengan beberapa faktor di bawah ini seperti: masalah ketimpangan yang meliputi faktor: a) Fisik
(lereng,
tanah,
bahan
tambang,
hutan,
perkebunan) b) Sosial (infrastruktur pendidikan, sanitasi, jalan, listrik, akses ke pemerintahan) c) Ekonomi (pemasaran, perbankan, sarana transportasi) 36
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
d) Faktor lainnya ............................................................................................. ............................................................................................. ............................................................................................. ............................................................................................. .............................................................................................
f. Bagaimanakah
interaksi
antar
wilayah
yang
mempengaruhi masalah tanah ulayat di wilayah kerja institusi Bapak/Ibu/saudara, apakah disebabkan oleh beberapa faktor di bawah ini: a) Masyarakat (profesi, pendidikan, kepadatan kep. endudukan) b) Komoditas
(infrastruktur
penyuluhan,
inovasi
teknologi) c) Ekologi (sumber air bersih, bencana alam, bahan bakar) d) Faktor-faktor lainnya ............................................................................................. ............................................................................................. ............................................................................................. ............................................................................................. .............................................................................................
g. Apakah terdapat konflik/masalah tanah ulayat di wilayah kerja Bapak/Ibu/saudara? .................................................................................................... Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
37
.................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... ....................................................................................................
h. Apakah tanah ulayat yang menjadi faktor penyebab konflik/aset yang dikuasai/dimiliki terkait dengan halhal dibawah ini seperti: a) Tanah (luas, lokasi, kesuburan, status dll) b) Sosial-ekonomi (tenaga kerja,pendidikan, pekerjaan, pendapatan dlll,) c) Sosial Budaya (interaksi masyarakat, organisasi dll) ............................................................................................. ............................................................................................. ............................................................................................. ............................................................................................. .............................................................................................
i. Apakah tanah ulayat yang dijadikan sebagai obyek konflik merupakan tanah yang diperoleh/dimanfaatkan untuk kepentingan di bawah ini atau lainnya : a) Kepemerintahan b) Aksesibilitas, jalan dsb c) Sarana Pendidikan d) Sarana Produksi, Inovasi Teknologi dan Pemasaran e) Sarana Perbankan 38
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
f) Lainnya ............................................................................................. ............................................................................................. ............................................................................................. ............................................................................................. .............................................................................................
j. Masalah/konflik tanah ulayat apakah yang sangat urgen sekali untuk segera diselesaikan dan sebaliknya masalah/ konflik tanah apakah yang tidak terlalu penting untuk segera diselesaikan? .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... ....................................................................................................
k. Bagaimanakah cara masyarakat dalam menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan masalah tanah ulayat? Apakah melalui cara musyawarah untuk mufakat, mediasi ataukah melalui pengadilan? .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
39
l. Bagaimanakah peran menyelesaikan
tokoh masyarakat/adat dalam
konflik
penguasaan,
pengelolaan,
pemilikan dan pemanfaatan tanah ulayat yang terjadi di wilayah kerja institusi Bapak/Ibu? .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... m. Bagaimanakah peran Pemerintah Daerah di dalam menyelesaikan konflik penataan dan pemanfaatan tanah ulayat yang terjadi di wilayah kerja Bapak/Ibu? .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... n. Apakah terdapat Perda yang mengatur tentang tanah ulayat di Provinsi atau Kabupaten yang dijadikan landasan dalam pengelolaan, penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah ulayat? .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... 40
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
o. Bagaimanakah sebaiknya kebijakan yang seharusnya diambil oleh Pemerintah baik pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terhadap masalah yang berkaitan dengan tanah ulayat? .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... .................................................................................................... ....................................................................................................
3. Responden dan Nara Sumber Responden yang akan diambil dalam survey adalah masyarakat, instansi pemerintahan terkait dan stake holder terkait, dimana sample akan diambil baik dari pusat maupun dari daerah yang telah ditentukan. Dimana daerah yang akan diambil samplenya adalah : • Provinsi Sumatera Barat; • Provinsi sumatera Selatan; • Provinsi Kalimantan Barat; • Provinsi Bali; • Provinsi Nusat tenggara Timur; • Provinsi Papua.
Penentuan kota definitif akan didiskusikan lebih lanjut dengan pengguna jasa, dimana usulan awal dari konsultan adalah mengusulkan lokasi-lokasi.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
41
D. Analisa Data
Analisis data sekunder dilakukan terhadap peraturan perundangundangan yang mempunyai korelasi dengan penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Dengan demikian akan dapat diketahui sinkronisasi dan kontradiksi terhadap peraturan yang terkait dengan tanah adat/ulayat dan bagaimana aplikasinya di lapangan. Sedangkan untuk data primer yang
telah terkumpul melalui
observasi dan wawancara yang mendalam itu disaring terlebih dahulu, baru kemudian dianalisis akan dianalisis dengan menggunakan untuk mendiskripsikan terhadap masalah yang diteliti. Selanjutnya terhadap data sekunder dan primer, juga dilakukan analisa data secara deskriptif evaluatif dari studi kebijakan/peraturan dan hasil survey serta masukan atau pendapat pakar instansi terkait dengan Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat. Hasil analisis data tersebut dibahas dengan bantuan teori-teori yang relevan untuk mengantar pada kegiatan penyusunan model kebijakan yang efektif.
42
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Bab Empat GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambaran umum lokasi penelitian ini dengan mengacu kepada ruang lingkup kegiatan penelitian ini yang dapat dibedakan kedalam materi penelitian dan wilayah penelitian yang dijadikan sebagai sampel terutama daerah-daerah yang masih aksis dalam kaitannya dengan masalah tanah adat/ulayat.
1. Materi Kegiatan Penelitian
Materi
kegiatan
difokuskan
pada
eksplorasi
mengenai
keberadaan pola P4T terhadap tanah adat/ulayat dan kontribusinya terhadap kesejahteraan masyarakat, serta mengkaji bahan-bahan untuk menyusun rumusan konsep pengembangan kebijakan pola P4T yang lebih efektif dan ideal pada masa depan. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
43
2. Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian difokuskan di 6 (enam) daerah/provinsi sebagai sampel yang mempunyai masyarakat hukum adat/ulayat cukup kuat yang dipilih secara purposive random sampling, yaitu Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Selatan (Sumsel), Kalimantan Barat (Kalbar), Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Provinsi Papua.
1. Sumatera Selatan Lambang
“Bersatu Teguh”
Peta Lokasi Sumatera Selatan
Koordinat Dasar hukum Tanggal penting Ibu kota Gubernur Luas Penduduk Kepadatan Kabupaten Kota Kecamatan Kelurahan/Desa Suku Agama Bahasa Zona waktu 44
Palembang Alex Noerdin 113.339 km² 6.275.945 11 4 147 2693 Melayu (31%), Jawa (27%), Komering (6%), Banyuasin (3%), Sunda (2%)[1] Islam (96%), Kristen (1,7%), Buddha (1,8%), Lain-lain (0,5%) Bahasa Indonesia WIB
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kep. Bangka-Belitung di timur, provinsi Lampung di selatan, dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Selain itu ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena sempat menjadi ibu kota dari Kerajaan Sriwijaya. Di samping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam, dll. Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara tidak langsung ikut mempengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek, model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok, berengkes, dan tempoyak.
a. Sejarah Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika. Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
45
tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri China. Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga
menjadikan
Palembang
sebagai
Kota
Kerajaan.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya.
b. Kabupaten dan Kota No. 1 2 3 4 5
46
Kabupaten/Kota Kabupaten Banyuasin Kabupaten Empat Lawang Kabupaten Lahat Kabupaten Muara Enim Kabupaten Musi Banyuasin
6
Kabupaten Musi Rawas
7
Kabupaten Ogan Ilir
8
Kabupaten Ogan Komering Ilir
9 10 11 12 13 14 15
Kabupaten Ogan Komering Ulu Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Kota Lubuklinggau Kota Pagar Alam Kota Palembang Kota Prabumulih
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Ibu kota Pangkalan Balai Tebing Tinggi Lahat Muara Enim Sekayu Muara Beliti Baru Indralaya Kota Kayu Agung Baturaja Muaradua Martapura -
c. Profil Provinsi Sumatera Selatan Sumatera Selatan terletak antar 1-4 derajat LS dan 102104 derajat BT. Wilayahnya berbatasan dengan Prop. Jambi di sebelah utara, Prop. Lampung di sebelah Selatan, Prop. Bangka Belitung di sebelah Timur dan Prop. Bengkulu di sebelah Barat. Sumatera Selatan mempunyai luas wilayah 87.017 Km2( 8.701.742 Ha). terdiri dari 10 kabupaten dan 4 Kota, dengan jumlah penduduk sebesar 6,6 juta jiwa. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani (perkebunan manupun tanaman bahan makanan).
Tabel Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Sumatera Selatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Jumlah
Kota/ Kabupaten Palembang Prabumulih Pagaralam Lubuklinggau Musi Banyuasin Banyuasin Ogan Komering Ilir
Luas (ha) 37.403 42.162 57.916 41.980 1.447.700 1.214.274 1.957.141
(OKI) Ogan Ilir * Ogan Komering Ulu 1.617.665 (OKU) OKU Timur OKU Selatan Musi Rawas Muara Enim Lahat
* * 1.213.457 88.794 663.250 8.701.742
Penduduk 1.304.211 128.207 113.752 171.235 455.739 712.813 1.000.152 * 1.112.854 * * 465.682 621.876 541.895 6.628.416
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
47
Tingkat kesejahteraan penduduk yang tercermin melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tercatat sebesar 66,00 atau berada pada rangking 16 dari seluruh Provinsi di Indonesia. IPM tertinggi terdapat di Kota Palembang, yaitu sebesar 71,20 dan terendah di Kabupaten Musi Rawas, sebesar 62,00. Dari sisi ketenagakerjaan, sebagian besar penduduk Sumsel (63,53 persen) bekerja di sektor pertanian, terutama sub sektor tanaman bahan makanan dan sub sektor perkebunan. Sementara itu, angka pengangguran berada pada kisaran 9-10 persen.
2. Kalimantan Barat “Akcaya” (Bahasa Indonesia: “Tak Kunjung Binasa”)
Lambang
Peta Lokasi Sumatera Selatan
Koordinat Dasar hukum Tanggal penting Ibu kota Gubernur Luas Penduduk Kepadatan Kabupaten Kota Kecamatan 48
1 Januari 1957 (hari jadi) Pontianak Drs. Cornelis MH 146.807 km² 4.073.304 (sensus 2004) 10 2 136
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Kelurahan/Desa 1445 Suku Dayak (35%) Sambas (12%), Tionghoa (9%), Jawa (9%), Kendayan (8%), Melayu (8%)[1] Agama Islam (57,6%), Katolik (24,1%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%), lainlain (1,7%) Bahasa Bahasa Indonesia, Bahasa Dayak, Bahasa melayu, Bahasa Tionghoa Zona waktu WIB
Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan, dan beribukotakan Pontianak. Secara geografis, Provinsi Kalimantan Barat terletak di antara 108º BT hingga 114º BT, dan antara 2º6’ LU hingga 3º5’ LS. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah 146.807 km² (7,53% luas Indonesia). Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki propinsi “Seribu Sungai”. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalbar merupakan perairan laut, akan tetapi Kalbar memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Riau. Jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Barat menurut sensus tahun 2000 berjumlah 4.073.430 jiwa (1,85% penduduk Indonesia). Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
49
a. Sejarah
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibukota
wilayah
administratif
Gouvernement
Borneo
berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu diantaranya adalah Residentie Westerafdeeling Van Borneo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen. Pada tanggal 1 Januari 1957 Kalimantan Barat resmi menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal 7 Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua provinsi lainnya di pulau terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
b. Kondisi Alam
Iklim di kalimantan barat beriklim tropik basah, curah hujan merata sepanjang tahun dengan puncak hujan terjadi pada bulan Januari dan Oktober suhu udara rata-rata antara 26,0 s/d 27,0.kelembapan rata-tara antara 80% s/d 90%
c. Sosial Kemasyarakatan Suku Bangsa 50
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Daerah Kalimantan Barat dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Suku bangsa mayoritasnya yaitu Dayak,Melayu dan Tionghoa, yang jumlahnya melebihi 90% penduduk Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat juga suku-suku bangsa lain, antara lain Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak, dan lain-lain yang jumlahnya dibawah 10%.
• Suku Dayak : (1) Rumpun Iban, (2) Rumpun Darat, (3) Rumpun Ot Danum, (4) Rumpun Punan, (5) Rumpun Apo Kayan, terdiri atas : 1. Suku Iban 2. Suku Bidayuh 3. Suku Seberuang 4. Suku Mualang 5. Suku Kanayatn 6. Suku Mali 7. Suku Sekujam 8. Suku Sekubang 9. Suku Kantuk 10. Suku Ketungau 11. Suku Desa 12. Suku Hovongan 13. Suku Uheng Kereho 14. Suku Babak 15. Suku Badat Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
51
16. Suku Barai 17. Suku Bangau 18. Suku Bukat 19. Suku Galik 20. Suku Gun 21. Suku Jangkang 22. Suku Kalis 23. Suku Kayan 24. Suku Kayanan 25. Suku Kede 26. Suku Keramai 27. Suku Klemantan 28. Suku Pos 29. Suku Punti 30. Suku Randuk 31. Suku Ribun 32. Suku Cempedek 33. Suku Dalam 34. Suku Darok 35. Suku Kopak 36. Suku Koyon 37. Suku Lara 38. Suku Senunang 39. Suku Sisang 40. Suku Sintang 52
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
41. Suku Suhaid 42. Suku Sungkung 43. Suku Limbai 44. Suku Maloh 45. Suku Mayau 46. Suku Mentebak 47. Suku Menyangka 48. Suku Sanggau 49. Suku Sani 50. Suku Sekajang 51. Suku Selayang 52. Suku Selimpat 53. Suku Dusun 54. Suku Embaloh 55. Suku Empayuh 56. Suku Engkarong 57. Suku Ensanang 58. Suku Menyanya 59. Suku Merau 60. Suku Muara 61. Suku Muduh 62. Suku Muluk 63. Suku Ngabang 64. Suku Ngalampan 65. Suku Ngamukit 66. Suku Nganayat Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
53
67. Suku Panu 68. Suku Pengkedang 69. Suku Pompang 70. Suku Senangkan 71. Suku Suruh 72. Suku Tabuas 73. Suku Taman 74. Suku Tingui
• Melayu lokal/Senganan dan suku lainnya 1. Suku Melayu 2. Suku Sambas 3. Suku Banjar 4. Suku Pesaguan 5. Suku Bugis 6. Suku Jawa 7. Suku Madura 8. Suku Minang 9. Suku Batak 10. dan lain-lain
• Tionghoa 1. Hakka 2. Tiochiu 3. dan lain-lain
54
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
d. Bahasa
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang secara umum dipakai oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat pula bahasa-bahasa daerah yang juga banyak dipakai seperti Bahasa Melayu, beragam jenis Bahasa Dayak, Menurut penelitian Institut Dayakologi terdapat 188 dialek yang dituturkan oleh suku Dayak dan Bahasa Tionghoa seperti Tiochiu dan Khek/Hakka. Bahasa Melayu di kalbar terdiri atas beberapa jenis, antara lain Bahasa Melayu Pontianak, Bahasa Melayu Sanggau dan Bahasa Melayu Sambas. Bahasa Melayu Pontianak sendiri memiliki logat yang hampir mirip dengan bahas Melayu Malaysia dan Melayu Riau.
e. Agama
Mayoritas penduduk Kalimantan Barat memeluk agama Islam (57,6%),Katolik (24,1%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%), dan lain-lain (1,7%).
f. Pendidikan Perguruan Tinggi/Universitas di Kalimantan Barat 1. Universitas Tanjungpura 2. Politeknik Negeri Pontianak 3. STAIN Pontianak Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
55
4. STMIK Pontianak 5. Politeknik Kesehatan 6. STKIP-PGRI Pontianak 7. Universitas Muhammadiyah 8. ASMI Pontianak 9. ABA Pontianak 10. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Dharma 11. Akademi Sekretari dan Manajemen Widya Dharma 12. Akademi Bahasa Asing Widya Dharma 13. Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Widya Dharma 14. Politeknik Tonggak Equator (POLTEQ) 15. STIE Pontianak 16. Universitas Pancabakti 17. STIH Singkawang 18. Universitas Kapuas, Sintang 19. Unit Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka
g. Pemerintahan Ibu kota Kalimantan Barat adalah kota Pontianak
h. Kabupaten dan Kota No. 1 2 3 4 56
Kabupaten/Kota Kabupaten Bengkayang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Ketapang
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Ibu kota Bengkayang Putussibau Sukadana Ketapang
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kabupaten Kubu Raya Kabupaten Landak Kabupaten Melawi Kabupaten Pontianak Kabupaten Sambas Kabupaten Sanggau Kabupaten Sekadau Kabupaten Sintang Kota Pontianak Kota Singkawang
Sungai Raya Ngabang Nanga Pinoh Mempawah Sambas Batang Tarang Sekadau Sintang -
3. Nusa Tenggara Timur
Lambang
Koordinat Dasar hukum Tanggal penting Ibu kota Gubernur Luas Penduduk Kepadatan Kabupaten Kota Kecamatan Kelurahan/Desa Suku Agama Bahasa Zona waktu Lagu daerah
Peta Lokasi Sumatera Selatan
UU 64/1958 Kupang Frans Lebu Raya 48.718,10 km² 4.230.028 (2007) 87 15 1 186 2.650 Atoni atau Dawan (21%), Manggarai (15%), Sumba (13%), Lamaholot (5%), Belu (6%), Rote (5%), Lio (4%)[1] Katolik (53,9%), Protestan (33,8%), Islam (8,8%), Lainnya (3,5%) Bahasa Indonesia WITA Moree Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
57
Nusa Tenggara Timur adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari beberapa pulau, antara lain Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, Rote, Sabu, Adonara, Solor, Komodo dan Palue. Ibu kotanya terletak di Kupang, Timor Barat. Provinsi ini terdiri dari kurang lebih 550 pulau; tiga pulau utama di NTT adalah Flores, Sumba, dan Timor Barat. Provinsi ini menempati bagian barat pulau Timor. Sementara bagian timur pulau tersebut adalah bekas provinsi Indonesia yang ke-27, yaitu Timor Timur, yang merdeka menjadi negara Timor Leste pada tahun 2002. a. Arti lambang Berbentuk perisai dengan sudut lima dengan maksud, selain melambangkan makna perlindungan rakyat juga melambangkan Pancasila. Dalam perisai terBerkas: bintang, komodo, padi dan kapas, tombak dan pohon Beringin. Bintang melambangkan keagungan Tuhan yang Maha Esa, komodo (buaya darat) satu-satunya reptil prasejarah yang hingga kini masih lestari. Binatang purba ini merupakan reptil raksasa yang oleh dunia dinyatakan dilindungi karena jenis hewan ini hanya terdapat di NTT, tepatnya di pulau komodo. Banyak wisatawan dari seluruh dunia datang ke pulau ini hanya untuk melihat komodo. Padi-kapas melambangkan kemakmuran. Tombak melambangkan keagungan dan kejayaan.
Sedangkan
pohon
beringin
melambangkan
persatuan dan kesatuan yang tetap terpelihara. Hari terbentuknya provinsi NTT dilukiskan melalui jumlah padi (14) dan tahun 1958 tertera langsung pada sudut bawah lambang.
58
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
b. Pemerintahan Kabupaten dan Kota No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kabupaten/Kota Kabupaten Kupang Kabupaten Timor Tengah Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara Kabupaten Belu Kabupaten Alor Kabupaten Flores Timur Kabupaten Sikka Kabupaten Ende Kabupaten Ngada Kabupaten Manggarai Kabupaten Sumba Timur Kabupaten Sumba Barat Kabupaten Lembata Kabupaten Rote Ndao Kabupaten Manggarai Barat Kabupaten Nagekeo Kabupaten Sumba Tengah Kabupaten Sumba Barat Daya Kabupaten Manggarai Timur Kabupaten Sabu Raijua Kota Kupang
Ibu kota Kupang Soe Kefamenanu Atambua Kalabahi Larantuka Maumere Ende Bajawa Ruteng Waingapu Waikabubak Lewoleba Baa Labuan Bajo Mbay Waibakul Tambolaka Borong Seba Kupang
PROFIL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
59
c. Letak dan Luas Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan katulistiwa pada posisi 8” – 12” Lintang Selatan dan 118” – 125” Bujur Timur.
d. Batas-batas wilayah •
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores
•
Sebelah Selatan dengan Samudera Hindia
•
Sebelah Timur dengan Negara Timor Leste
•
Sebelah Barat dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
NTT
merupakan
wilayah
kepulauan
yang
terdiri dari 566 pulau, 246 pulau diantaranya sudah mempunyai nama dan sisanya sampai saat ini belum mempunyai nama. Diantara 246 pulau yang sudah bernama terdapat 4 pulau besar: Flores, Sumba, Timor dan Alor (FLOBAMORA) dan pulau-pulau kecil antara lain: Adonara, Babi, Lomblen, Pamana Besar, Panga Batang, Parmahan, Rusah, Samhila, Solor (masuk wilayah Kabupaten Flotim/ Lembata), Pulau Batang, Kisu, Lapang, Pura, Rusa, Trweng (Kabupaten Alor), Pulau Dana, Doo, Landu Manifon, Manuk, Pamana, Raijna, Rote, Sarvu, Semau (Kabupaten Kupang/ Rote Ndao), Pulau Loren, Komodo, Rinca, Sebabi Sebayur Kecil, Sebayur Besar Serayu Besar (Wilayah Kabupaten Manggarai), Pulau Untelue (Kabupaten Ngada), Pulau Halura (Kabupaten Sumba Timur, dll. Dari seluruh 60
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
pulau yang ada, 46 pulau telah berpenghuni sedangkan sisanya belum berpenghuni. Terdapat tiga pulau besar, yaitu pulau Flores, Sumba dan Timor, selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang letaknya tersebar, komoditas yang dimiliki sangat terbatas dan sangat dipengaruhi oleh iklim. Luas wilayah daratan 47.349,9 km2 atau 2,49% luas Indonesia dan luas wilayah perairan ± 200.000 km2 diluar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Secara rinci luas wilayah menurut Kabupaten/ Kota adalah sebagai berikut: Hampir semua pulau di wilayah NTT terdiri dari pegunungan dan perbukitan kapur. Dari sejumlah gunung yang ada terdapat gunung berapi yang masih aktif. Di pulau Flores, Sumba dan Timor terdapat kawasan padang rumput (savana) dan stepa yang luas. Pada beberapa kawasan padang rumput tersebut dipotong oleh aliran sungai-sungai.
d. Jumlah Penduduk Berikut ini adalah daftar jumlah penduduk yang ada pada masing-masing kabupaten/ kota seluruh NTT berdasrkan hasil registrasi penduduk tahun 1999 yaitu : KABUPATEN/ KOTA - Sumba Barat - Sumba Timur - Kupang - TTS
Jumlah (orang) 399.580 203.525 337.406 405.993
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
61
- TTU - Belu - Alor - Lembata - Flores Timur - Sikka - Ende - Ngada - Manggarai - Kota Kupang - Rote Ndao - Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur
197.174 352.136 170.965 99.458 218.257 280.841 241.826 245.169 487.192 258.104 104.899 186.209 4.188.774
KABUPATEN e. Kondisi Iklim Wilayah Nusa Tenggara Timur beriklim kering yang dipengaruhi oleh angin musim. Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei sampai dengan Nopember) sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai dengan April). Suhu udara rata-rata 27,6 C, suhu maksimum rata-rata 290 C, dan suhu minimum rata-rata 26,1 C. f. Keadaan Tanah Apabila dilihat dari topografinya, maka wilayah NTT dapat dibagi atas 5 bagian besar, yaitu : •
Agak berombak dengan kemiringan 3-16 %.
•
Agak bergelombang dengan kemiringan 17-26 %.
•
Bergelombang dengan kemiringan 27-50 %.
•
Berbukuti-bukit bergunung dengan kemiringan lebih besar dari 50 %.
• 62
Dataran banjir dengan kemiringan 0-30 %.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Keadaan topografi demikian mempunyai pengaruh pula terhadap pola kehidupan penduduk, antara lain pola pemukiman digunung-gunung, sehingga terdapat variasi adat dan tipologi kehidupan yang sangat besar antara suatu daerah dengan daerah lainnya.
4. Sumatera Barat Lambang
“Tuah Sakato” (Bahasa Minangkabau: Seia Sekata)
Peta Lokasi Sumatera Selatan
Koordinat Dasar hukum Tanggal penting Ibu kota Gubernur Luas Penduduk Kepadatan Kabupaten Kota Kecamatan Kelurahan/Desa Suku Agama Bahasa
0°U-102° LS, 98°-102° BT Padang Gamawan Fauzi Wakil: Marlis Rahman 42.297,30 km² Perairan 2,59% 4.400.000 (2002) 104/km² 12 7 147 877 Minangkabau (88%), Batak (4%), Jawa (4%), Mentawai (1%)[1] Islam (98%), Kristen (1,6%), Hindu (0,0032%), Buddha (0,26%) Bahasa Minangkabau, Bahasa Melayu/ Bahasa Indonesia Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
63
Zona waktu Lagu daerah
WIB Ayam Den Lapeh, Kampuang Nan Jauah di Mato, Kambanglah Bungo, Minangkabau, Bareh Solok, Tinggalah Kampuang.
Sumatera Barat adalah sebuah provinsi yang terletak di pulau Sumatra, Indonesia. Provinsi ini adalah provinsi terluas kesebelas di Indonesia.
a. Kondisi dan sumber daya alam Geografi
Danau Maninjau, salah satu danau di Sumatera Barat
Sumatera Barat berada di bagian barat tengah pulau Sumatera dengan luas 42.297,30 km². Provinsi ini memiliki dataran rendah di pantai barat, serta dataran tinggi vulkanik yang dibentuk Bukit Barisan yang membentang dari barat laut ke tenggara. Kepulauan Mentawai yang terletak di Samudera Hindia termasuk dalam provinsi ini. Garis pantai Sumatera Barat seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 375 km. Danau yang berada di Sumatera Barat adalah Maninjau (99,5 km²), Singkarak (130,1 km²), 64
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Diatas (31,5 km²), Dibawah (Dibaruh) (14,0 km²), Talang (5,0 km²). Beberapa sungai besar di pulau Sumatera berhulu di provinsi ini, yaitu Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai Inderagiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian hulunya), Sungai Kampar dan Batang Hari. Semua sungai ini bermuara di pantai timur Sumatera, di provinsi Riau dan Jambi. Sungai-sungai yang bermuara di pantai barat pendekpendek. Beberapa di antaranya adalah Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan. Gunung-gunung di Sumatera Barat adalah Marapi (2.891 m), Sago (2.271 m), Singgalang (2.877 m), Tandikat (2.438 m), Talakmau (2.912 m), Talang (2.572 m).
b. Keanekaragaman hayati Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati. Sebagian besar wilayahnya masih merupakan hutan alami dan dilindungi. Dalam hutan tropis di Sumatera Barat dapat dijumpai berbagai spesies langka, misalnya: Rafflesia arnoldii (bunga terbesar di dunia), Harimau Sumatra, siamang, tapir, rusa, beruang, dan berbagai jenis burung dan kupu-kupu.=poiu. Terdapat dua Taman Nasional di provinsi ini: Taman Nasional Siberut yang terdapat di Pulau Siberut (Kabupaten Mentawai) dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman Nasional terakhir ini wilayahnya membentang di empat Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
65
provinsi: Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatra Selatan. Selain kedua Taman Nasional tersebut masih ada beberapa cagar alam lainnya, yaitu Cagar Alam Rimbo Panti, Cagar Alam Lembah Anai, Cagar Alam Batang Palupuh, Cagar Alam Lembah Harau, Taman Raya Bung Hatta, dan Cagar Alam Beringin Sakti.
c. Sumber daya alam Batubara, Batu besi, Batu galena, Timah hitam, Seng, Manganase, Emas, Batu kapur (Semen), Kelapa sawit, Perikanan, Kakao.
d. Suku bangsa Mayoritas penduduk Sumatera Barat merupakan suku Minangkabau. Di daerah Pasaman selain suku Minang berdiam pula suku Batak Mandailing. Suku Mentawai terdapat di Kepulauan Mentawai.
e. Bahasa Bahasa yang digunakan dalam keseharian ialah bahasa daerah yaitu Bahasa Minangkabau yang memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bukittinggi, dialek Pariaman, dialek Pesisir Selatan dan dialek Payakumbuh. Di daerah Pasaman yang berbatasan dengan Sumatera Utara, dituturkan juga Bahasa Batak dialek Mandailing, yang biasanya digunakan suku Batak Mandailing. Sementara itu di daerah Mentawai yang berupa kepulauan dan terletak beberapa puluh 66
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
kilometer lepas pantai Sumatra Barat, bahasa yang digunakan adalah Bahasa Mentawai.
f. Agama Mayoritas penduduk Sumatra Barat beragama Islam. Selain itu ada juga yang beragama Kristen di Kepulauan Mentawai, serta Hindu dan Buddha yang pada umumnya adalah para pendatang.
g. Pemerintahan Daftar kabupaten dan kota No. Kabupaten/Kota 1 Kabupaten Agam 2 Kabupaten Dharmasraya Kabupaten Kepulauan 3 Mentawai 4 Kabupaten Lima Puluh Kota 5 Kabupaten Padang Pariaman 6 Kabupaten Pasaman 7 Kabupaten Pasaman Barat 8 Kabupaten Pesisir Selatan 9 Kabupaten Sijunjung 10 Kabupaten Solok 11
Kabupaten Solok Selatan
12 13 14 15 16 17 18 19
Kabupaten Tanah Datar Kota Bukittinggi Kota Padang Kota Padangpanjang Kota Pariaman Kota Payakumbuh Kota Sawahlunto Kota Solok
Ibu kota Lubuk Basung Pulau Punjung Tuapejat Sarilamak Parit Malintang Lubuk Sikaping Simpang Empat Painan Muaro Sijunjung Arosuka Padang Aro, Solok Selatan Batusangkar -
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
67
PROFIL PROVINSI SUMATERA BARAT
Provinsi Sumatera Barat secara geografis terletak antara 0,45 LU dan 3,30 LS serta antara 98,36 dan 101,53 BT. Daerah ini diapit oleh Samudera Indonesia serta empat provinsi lain, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi dan Bengkulu. Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 12 Kabupaten dan 7 kota dengan luas daratan sekitar 42.229,64 km2. Jumlah penduduk Propinsi Sumatera Barat pada tahun 2004 sebanyak 4.528.242 jiwa. Berdasarkan data Kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Barat, jumlah penduduk terbanyak terdapat di kota Padang, yaitu 784.740 jiwa dan terendah di kota Padang Panjang, yaitu 44.699 jiwa. Masyarakat Sumatera Barat sebagian besar terdiri dari suku Minangkabau dan penyandang budaya serta adat Minangkabau. Dalam bidang budaya, sinergi antara nilainilai adat dan agama, serta dengan nilai-nilai modern yang universal yang dilandasi oleh ilmu dan teknologi yang dikenal dengan ungkapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Motto Sumatera Barat adalah “Tuah Sakato” yang berarti sepakat untuk melaksanakan hasil mufakat/musyawarah. 68
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
5. Provinsi Bali Lambang
“Bali Dwipa Jaya” (Bahasa Kawi: “Pulau Bali Jaya”)
Peta Lokasi
Koordinat Dasar hukum Tanggal penting Ibu kota Gubernur
{{{koordinat}}} {{{dasar hukum}}} 14 Agustus 1959 (hari jadi) Denpasar (dahulu Singaraja) Komjen Pol (Purn) I Made Mangku Pastika (20082013) Luas 5.561 km² Penduduk 4.500.000 (+/-) Kepadatan 800 /km² Kabupaten 8 Kota 1 Kecamatan {{{kecamatan}}} Kelurahan/Desa {{{kelurahan}}} Suku Bali (89%), Jawa (7%), Baliaga (1%), Madura (1%)[1] Agama Hindu (92,3%), Islam (5,7%), Lainnya (2%) Bahasa Bahasa Bali, Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Bahasa Sasak, Bahasa Madura, dll. Zona waktu WITA Bali adalah sebuah pulau di Indonesia, sekaligus menjadi salah satu provinsi Indonesia. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar, yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal sebagai Pulau Dewata. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
69
a. Geografi Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Lintang Timur yang mebuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai. Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (1540%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur. Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah 70
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan. Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan dan 701 desa/kelurahan. b. Sejarah
Sawah di sekitar puri Gunung Kawi, Tampaksiring, Bali. Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada 3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia. Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau. Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya orang-orang Hindu dari India pada 100 SM. Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan India, yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, diantaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
71
Majapahit (1293–1500 AD) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis, dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali. Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah menjadi permanen, yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur, dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai mati atau puputan, yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah. Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II, dan saat itu seorang perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk 72
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
pasukan Bali ‘pejuang kemerdekaan’. Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang. Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu menggunakan senjata Jepang. Pada 20 November 1940, pecahlah pertempuran Puputan Margarana yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang berusia 29 tahun, memimpin tentaranya dari wilayah timur Bali untuk melakukan serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya, dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir. Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh Sukarno dan Hatta. Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949. Tahun 1950, secara resmi Bali meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia. Letusan Gunung Agung yang terjadi di tahun 1963, sempat mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak penduduk Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di Indonesia. Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah penumpasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari 100.000 orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
73
di masa awal Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum.[2] Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat liputan internasional yang luas karena sebagian besar korbannya adalah wisatawan asing, dan menyebabkan industri pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini. c. Demografi
Lahan sawah di Bali Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa, dengan mayoritas 92,3% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Islam, Protestan, Katolik, dan Buddha. Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan perikanan. Sebagian juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang digunakan di Bali adalah Bahasa Indonesia, Bali, dan Inggris khususnya bagi yang bekerja di sektor pariwisata. 74
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya di Bali, dan sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun terdapat beberapa dialek dalam bahasa Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan sebentuk bahasa Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem catur warna dalam agama Hindu Dharma; meskipun pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga (dan bahasa asing utama) bagi banyak masyarakat Bali, yang dipengaruhi oleh kebutuhan yang besar dari industri pariwisata. Para karyawan yang bekerja pada pusat-pusat informasi wisatawan di Bali, seringkali juga memahami beberapa bahasa asing dengan kompetensi yang cukup memadai. d. Transportasi Bali tidak memiliki jaringan rel kereta api namun jaringan jalan yang sangat baik tersedia khususnya ke daerah-daerah tujuan wisatawan. Sebagian besar penduduk memiliki kendaraan pribadi dan memilih menggunakannya karena moda transportasi umum tidak tersedia dengan baik, kecuali taksi. Jenis kendaraan umum di Bali antara lain: •
Dokar, kendaraan dengan menggunakan kuda sebagai penarik
•
Ojek, taksi sepeda motor
•
Bemo, melayani dalam dan antarkota
•
Taksi
•
Bus, melayani hubungan antarkota, pedesaan, dan antarprovinsi. Bali terhubung dengan Pulau Jawa dengan layanan kapal feri
yang menghubungkan Pelabuhan Gilimanuk dengan Pelabuhan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
75
Ketapang di Kabupaten Banyuwangi, yang lama tempuhnya sekitar 30 hingga 45 menit. Penyeberangan ke Pulau Lombok melalui Pelabuhan Padang Bay menuju Pelabuhan Lembar, yang memakan waktu sekitar empat jam. Transportasi udara dilayani oleh Bandara Internasional Ngurah Rai, dengan destinasi ke sejumlah kota besar di Indonesia, Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, serta Jepang. Landas pacu dan pesawat terbang yang datang dan pergi bisa terlihat dengan jelas dari pantai. e. Pemerintahan
Peta topografi Pulau Bali Daftar kabupaten dan kota di Bali No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
76
Kabupaten/Kota Kabupaten Badung Kabupaten Bangli Kabupaten Buleleng Kabupaten Gianyar Kabupaten Jembrana Kabupaten Karangasem Kabupaten Klungkung Kabupaten Tabanan Kota Denpasar
Ibu kota
Badung Bangli Singaraja Gianyar Negara Karangasem Klungkung Tabanan -
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
6. Papua Lambang
Peta Lokasi
Peta Lokasi
Koordinat Dasar hukum Tanggal penting Ibu kota Gubernur Luas Penduduk Kepadatan Kabupaten Kota Kecamatan Kelurahan/Desa Suku
1 Mei 1963 (direbut dari Belanda) Jayapura Barnabas Suebu 309.934,4 km² (setelah pembentukan Papua Barat) 2,93 Juta (2002) 800/km² 27 2 214 Papua (52%), Non Papua/Pendatang (48%) (2002) •
Papua: Suku Aitinyo, Suku Aefak, Suku Asmat, Suku Agast, Suku Dani, Suku Ayamaru, Suku Mandacan, Suku Biak, Suku Serui
Non-Papua/Pendatang: Suku Jawa, Suku Makassar, Suku Batak, Suku Manado Protestan (51,2%), Katolik (25,42%), Islam (23%), Budha (0,13%), Hindu (0,25%), lain-lain (1%) Bahasa Indonesia, dan 268 Bahasa Daerah WIT •
Agama Bahasa Zona waktu
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
77
Papua adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada di bawah penguasaan Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli.
78
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
a. Pemerintahan Kabupaten dan Kota No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Kabupaten/Kota Kabupaten Asmat Kabupaten Biak Numfor Kabupaten Boven Digoel Kabupaten Deiyai Kabupaten Dogiyai Kabupaten Intan Jaya Kabupaten Jayapura Kabupaten Jayawijaya Kabupaten Keerom Kabupaten Kepulauan Yapen Kabupaten Lanny Jaya Kabupaten Mamberamo Raya Kabupaten Mamberamo Tengah Kabupaten Mappi Kabupaten Merauke Kabupaten Mimika Kabupaten Nabire Kabupaten Nduga Kabupaten Paniai Kabupaten Pegunungan Bintang Kabupaten Puncak Kabupaten Puncak Jaya Kabupaten Sarmi Kabupaten Supiori Kabupaten Tolikara Kabupaten Waropen Kabupaten Yahukimo Kabupaten Yalimo Kota Jayapura
Ibu kota Agats Biak Tanah Merah Tigi Kigamani Sugapa Sentani Wamena Waris Serui Tiom Burmeso Kobakma Kepi Merauke Timika Nabire Kenyam Enarotali Oksibil Ilaga Kotamulia Sarmi Sorendiweri Karubaga Botawa Sumohai Elelim -
UU RI Tahun 2008 Nomor 6 adalah dasar hukum pembentukan Kabupaten Nduga di Provinsi Papua, saat ini tidak terdapat jurisdiksi Kabupaten Nduga Tengah.[1]
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
79
b. Geografi Luas wilayah 420.540 km² Iklim 1.800 – 3.000 mm 19-28°C 80%
Luas Curah hujan Suhu udara Kelembapan Batas Wilayah Utara Selatan Barat Timur
Samudera Pasifik Samudera Indonesia, Australia Papua Barat, Kepulauan Maluku Papua Nugini
c. Kelompok suku asli di Papua
Peta menunjukkan kota-kota penting di Irjabar dan Papua
Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut antara lain: 80
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
• Ansus • Amungme • Asmat • Ayamaru, mendiami daerah Sorong • Bauzi • Biak • Dani • Empur, mendiami daerah Kebar dan Amberbaken • Hatam, mendiami daerah Ransiki dan Oransbari • Iha • Kamoro • Mee, mendiami daerah pegunungan Paniai • Meyakh, mendiami Kota Manokwari • Moskona, mendiami daerah Merdei • Nafri • Sentani, mendiami sekitar danau Sentani • Souk, mendiami daerah Anggi dan Menyambouw • Waropen • Wamesa • Muyu • Tobati • Enggros • Korowai • Fuyu
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
81
PROFIL PROVINSI PAPUA
Setelah penyerahan kekuasaan dari UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority) kepada Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 dan sebagai hasil pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Agustus 1969 maka Irian Barat ditetapkan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan maka oleh Pemerintah Pusat, daerah Irian Jaya disejajarkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Pada tahun 1999 dikeluarkanlah UU No 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah yang kemudian menuai kontroversi karena dirasa tumpang tindih dengan UU No 1 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Menurut UU tersebut maka kedua propinsi baru itu diresmikan pada tanggal 12 Oktober 1999. Namun pembentukan propinsi baru tersebut tidak segera terealisir dan tertunda.Pada tahun 2003 gaung pembentukan propinsi tersebut mulai terdengar lagi. Dan setelah 3 tahun 3 bulan dan 13 hari dikeluarkanlah Inpres No 1 tahun 2003, tepatnya pada tanggal 6 Februari 2003, mengenai aktifnya kembali Propinsi Irian Jaya Barat yang pemerintahannya dibantu oleh Tim Fasilitasi Pemkab Manokwari dan Tim Asistensi Pusat yang diketuai langsung oleh Mendagri. Pembentukan propinsi baru tersebut menuai protes dari pihak eksekutif 82
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
dan legislatif Propinsi Papua yang ada sekarang. Sehingga di masyarakat pun timbul kebingungan mengenai kesimpang siuran pemerintahan tersebut. Pada tanggal 14 Juli 2003 pemerintahan di Propinsi Irian Jaya Barat resmi berjalan dengan dibentuknya Muspida yang resmi berdasarkan Keputusan Provinsi Irian Jaya Barat Nomor SK 821.12.02. Selanjutnya perkembangan terakhir menunjukkan fakta bahwa Propinsi Irian Jaya Barat semakin ditetapkan eksistensinya dengan pelaksanaan pilkada Gubernur Irjabar, dan terpilih sebagai Gubernur definitif yaitu Brigjen Mar (Purn) Abraham Atururi dan sebagai Wakil Gubernur adalah Rahimin Katjong. Wilayah Kerja KBI Jayapura meliputi seluruh wilayah Papua, yang terbagi atas 2 Provinsi dan 29 Kabupaten/Kota yang masuk ke dalam 2 Provinsi tersebut. Kedua provinsi tersebut adalah Provinsi Papua dengan ibu kota Jayapura dan Provinsi Irian Jaya Barat dengan ibu kota Manokwari. Wilayah Kerja KBI Jayapura, yaitu meliputi Papua dengan luas wilayah sebesar 42,2juta Ha, dengan penduduk berjumlah 2,469juta jiwa (BPS, 2003). Wilayah yang terbesar adalah Kabupaten Merauke dengan luas 4,4juta Ha dan yang terkecil adalah Kabupaten Supiori dengan luas 77ribu Ha. Sementara wilayah yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah wilayah Kota Jayapura yaitu sejumlah 185ribu jiwa, dan yang memiliki jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten Supiori yaitu sebesar 12ribu jiwa.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
83
Kabupaten/ Kota
Jumlah Kecamatan
Luas (Ha)
Jumlah Penduduk (jiwa)
Kabupaten 1. Merauke 2. Jayawijaya 3. Jayapura 4. Paniai 5. Puncak Jaya 6. Nabire 7. Fak-fak 8. Mimika 9. Sorong 10. Manokwari 11. Yapen Waropen 12. Biak Numfor 13. Boven Digoel 14. Mappi 15. Asmat 16. Yahukimo 17. Pegunungan Bintang 18. Tolikara 19. Sarmi 20. Keerom 21. Kaimana 22. Sorong Selatan 23. Raja Ampat 24. Teluk Bintuni 25. Teluk Wondama 26. Waropen 27. Supiori 71. Jayapura 72. Sorong Jumlah
10 15 11 11 6 10 9 12 12 11 5 12 6 6 7 3 6 4 8 5 7 10 7 8 7 3 Kota 4 4 219
4,397,931 1,268,006 1,530,923 1,421,481 1,085,205 1,631,200 900,975 2,003,983 1,623,533 1,419,069 313,072 236,044 2,847,068 2,763,235 1,897,616 1,577,056 1,690,840 881,634 2,590,173 936,453 1,904,070 1,326,543 881,953 1,866,344 531,405 2,462,832 77,456
171,233 222,976 105,967 100,799 89,612 143,886 56,958 122,572 70,081 153,602 62,149 106,107 38,452 68,496 67,586 108,512 53,915 53,116 43,220 44,774 31,771 52,299 29,248 38,398 29,317 23,279 12,119
94,000 38,000 42,198,100
185,102 184,239 2,469,785
d. Geografi Papua merupakan wilayah paling Timur di Indonesia, dengan Jayapura sebagai ibukotanya. Pada bagian utara 84
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
berbatasan dengan Samudera Pasifik, bagian selatan dengan laut Arafura dan Samudera Indonesia dan pada bagian timur berbatasan dengan negara Papua Nugini. Daerah-daerah di wilayah Papua secara geografis berbeda satu dengan lainnya. Pegunungan kapur yang tinggi berrelief curam, membentang di sebagian besar wilayah Papua, dengan ketinggian mencapai 3000 meter diatas permukaan laut. Deretan pegunungan tersebut diapit oleh daerah aluvial landai, yang terletak disisi utara (dataran Mamberamo), di bagian selatan (kawasan Asmat) serta dataran rendah Inanwatan di bagian barat. Sementara puncak tertinggi pegunungan yang terdapat di Papua terletak di bagian timur, bernama Puncak Jaya. Dengan ketinggian 4884 meter,Puncak Jaya (Cartenz Pyramid) merupakan puncak tertinggi di Asia Tenggara, didampingi oleh Puncak Trikora (4750 m), Mandala (4760 m) dan Yamin (4595 m).
f. Iklim Sebagai sebuah pulau besar dengan topografi berbukitbukit dan bergunung-gunung dan pengaruh letak geografis dan anatomis, menyebabkan Papua memiliki iklim yang bervariasi di tiap daerah meskipun secara umum beriklim tropis. Sepanjang daerah pegunungan hujan turun hampir sepanjang tahun dan di bagian belahan utara, musim hujan pada umumnya lebih panjang daripada musim kemarau. Sedangkan pada bagian tenggara musim kemarau berlangsung lebih panjang. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
85
B. Hasil Analisis Berdasarkan Data Sekunder Diluar Lokasi Studi
Hasil penelitian sementara ini belum berdasarkan analisis terhadap kuesioner yang telah dibagikan baik yang dengan menggunakan metode analisis kualitatif maupun yang dengan menggunakan metode analisis kuantitatif. Oleh sebab itu dalam hasil penelitian sementara didasarkan pada beberapa Peraturan Daerah yang mengatur tentang masyarakat adat dan juga tanah ulayat. Analisis terhadap Perda ini secara lebih lengkap akan dikemukakan pada laporan akhir penelitian ini. Masyarakat Hukum adat yang tersebar di wilayah Indonesia mencapai 20.000 kelompok. Dari jumlah tersebut, yang baru terdata oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebanyak 6300 kelompok di wilayah Aceh, 700 kelompok di wilayah Sumatera dan 1000 kelompok di wilayah Bali.1 Sebagai contoh, berikut ini dapat dikemukakan tiga Masyarakat Hukum Adat yang telah disahkan dengan Peraturan Daerah (Perda) atau Keputusan Bupati, yaitu Peraturan daerah (Perda) Kabupaten Kampar Riau No. 12 tahun 1999 tentang Hak tanah layat, Peraturan daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy di Wilayah Banten, dan Keputusan Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin.2
1 S. James Anaya. Indigenous Peoples in International Law, (New York: Oxford University Press, 1994), hlm. 89. 2 Herman Slaats, Erman Rajagukguk, Nurul Ilmiyah, Akhmad Safik, Masalah Tanah Di Indonesia Dari Masa Ke Masa, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 22. 86
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
1. Pengaturan Hak Masyarakat Adat Kampar Perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Kampar Riau dapat dilihat dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 g Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Riau No. 12 Tahun Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat menyatakan, bahwa Masyarakat Adat adalah suatu kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memiliki harta ulayat secara turun-temurun di daerah, berbentuk persukuan, nagari, perbatinan, desa, kepenghuluan dan kampung. Selanjutnya Pasal 1 h menyatakan, bahwa Hak Tanah Ulayat merupakan salah satu harta milik bersama suatu masyarakat adat, yang mencakup suatu kesatuan wilayah berupa lahan pertanahan, tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang yang hidup liar diatasnya.
Sedangka Pasal 2 menyebutkan, bahwa: 1) Hak Tanah Ulayat dan Hak-Hak serupa dari masyarakat Hukum Adat sepanjang hak serupa menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa menurut ketentuan Hukum Adat yang berlaku di setiap tempat. 2) Fungsi Hak Tanah Ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota persekutuan dan masyarakat yang bersifat sosial dan ekonomis.
Selanjutnya Pasal menyatakan sesuai dengan maksu Pasal 2 Peraturan Daerah ini, dapat dilakukan sebagai berikut: a. Agar Tanah Ulayat menjadi produktif dapat diberikan hak pola kemitraan pada Pihak Ketiga b. Untuk memenuhi maksud ayat (1) pasal ini dilakukan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
87
musyawarah pemangku adat setempat dan anggota persekutuan masyarakat adat sesuai dengan ketentuan Hukum Adat setempat. c. Kesepakatan kedua belah pihak dibuat di hadapan Pejabat yang berwenang untuk melakukan perjanjian-perjanjian sebagaimana dimaksud pada point a di atas. d. Perbuatan berupa mentelantarkan atau tidak memanfaatkan Hak Tanah Ulayat berturut-turut selama 3 (tiga) tahun yang dilakukan oleh pihak-pihak sebagaimana tercantum pada pasal ini, dikenakan sanksi adat berdasarkan Hukum Adat yang berlaku berupa pencabutan hak untuk penggunaan atau pemanfaatan Hak Tanah Ulayat dan dapat diberikan sanksi tambahan sesuai dengan Ketentuan Adat yang berlaku.
Selanjutnya Pasal 4 menyatakan bahwa Pemangku Adat memegang atau menguasai Tanah Ulayat tidak dapat mengalihkan atau melepaskan haknya kepada pihak lain kecuali telah ditentukan bersama berdasarkan musyawarah persekutuan adat sesuai adat istiadat setempat. Pasal 5 menjelaskan bahwa: 1) Kerapatan
Adat
merupakan
satu-satunya
lembaga
permusyawaratan tertinggi yang mengatur tentang penggunaan dan atau pemanfaatan serta pemindahan kepemilikan Tanah Ulayat. 2) Ketetapan Kerapatan Adat merupakan suatu hasil kesepakatan musyawarah bersama seluruh anggota Kerapatan Adat. 3) Ketetapan Kerapatan adat sebagaimana tersebut pada ayat (2) merupakan suatu ketentuan hukum yang mengikat bagi setiap warga masyarakat adat. 88
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan daerah ini menyatakan Hak Penguasaan Tanah Ulayat dibuat atas nam Gelar pemangku Adat yang berhak untuk itu sesuai dengan ketentuan Hukum Adat setempat. Ayat (2) menyebutkan sertifikasi Hak Kepemilikan Tanah Ulayat diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya ayat (1) menjelaskan tentang larangan untuk memindahkan hak kepemilikan Tanah Ulayat kecuali untuk kepentingan: a. Pembangunan Daerah b. Kehendak bersama seluruh warga masyarakat adat berdasarkan ketentuan Hukum Adat yang berlaku.
Ayat (2) menyebutkan pengecualian sebagaimana tersebut pada ayat (1), harus berdasarkan ketetapan Kerapatan Adat. Pasal 10 menyebutkan fungsi Penghulu Suku adalah: a. Membantu Pemerintah dalam bidang kemasyarakatan b. Mengurus, mengatur urusan dalam Hukum Adat c. Mengurus mengatur ketentuan dalam Hukum Adat, terhadap hal-hal yang menyangkut tanah ulayat dalam persekutuan, guna kepentingan keperdataan adat juga dalam hal adanya persengketaan atau perkara adat. d. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan tanah ulayat untuk kesejahteraan anggota persekutuan.
Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan wewenang Penghulu Suku adalah: Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
89
a. Mengatur dan menetapkan pembagian Tanah Ulayat untuk anggota persekutuan melalui musyawarah b. Memberikan rekomendasi tertulis dalam hal adanya pengalihan atau pelepasan Hak Ulayat kepada pihak ketiga berupa Hak Guna Usaha atau hak pakai sesuai ketentuan adat setempat. Bagi pemegang Hak Guna Usaha atau Hak Pakai , jika sampai jangka waktunya, maka hak tanah tersebut kembali kepada Hak Tanah Ulayat dan penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan di dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala badan pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat, Pasal 4 ayat (2). Pengalihan atau Pelepasan Hak Tanah Ulayat kepada anggota persekutuan adat tetap memberlakukan ketentuan Hukum adat setempat. c. Memberikan sanksi secara adat berupa pencabutan hak menggarap, bila ternyata tanah tersebut ditelantarkan berturutturut selama 3 (tiga) tahun oleh anggota persekutuan. d. Mendaftarkan Tanah Ulayat yang masih ada di kantor Pertanahan Kabupaten Kampar.
Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan, bahwa pada saat mulai berlakunya Peraturan daerah ini, terhadap seluruh Tanah Ulayat yang dalam proses pengalihan kepemilikannya, akan ditertibkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan Hukum adat yang berlaku. Ayat (2) menjelaskan, bahwa penerbitan sebagaimana tercantum pada ayat (1), akan diselesaikan paling lambat selama 90
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
3(tiga) tahun terhitung semenjak diberlakukannya Peraturan Daerah ini, yang meliputi kegiatan-kegiatan: a. Inventarisasi Tanah Ulayat masing-masing masyarakat adat di daerah b. Sertifikat dan atau pemutihan kepemilikan Tanah Ulayat tersebut.
2. Pengaturan Masyarakat Adat Baduy
Perlindungan masyarakat lokal menurut Hukum Sdat Baduy diwilayah Banten sudah diakui keberadaannya yang diatur dalam Peraturan daerah (Perda) Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Pasal 1 menyebutkan apa yang dimaksud Hak Ulayat, Tanah Ulayat, Masyarakat Baduy, yaitu: ”Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut Hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat Hukum Adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.” Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum adat tertentu. Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Lebak yang mempunyai Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
91
ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum.” Pasal 2 menyebutkan Hak Ulayat Masyarakat Baduy dibatasi terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupate Lebak yang diukur sesuai dengan peta rekonstruksi dan dituangkan dalam Beriota Acara sebagai landasan penetapan keputusan Bupati. Selanjutnya Pasal 4 menjelaskan, bahwa segala peruntukan lahan terhadap Hak Ulayat Masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat baduy. Pasal 5 menyebutkan, bahwa Hak Ulayat Masyarakat Baduy tidak meliputi bidang-bidang tanah yang: a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang_undang Pokok agraria; b. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku.
Selanjutnya Pasal 6 menyebutkan, bahwa Desa Kanekes sebagai wilayah pemukiman masyarakat Baduy memiliki batas-batas Desa sebagai berikut: a. Utara: 1) Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar. 2) Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar. 3) Desa Nyagati Kecamatan Leuwidamar
92
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
b. Barat: 1) Desa Parakanbeusi Kecamatan Bojongmanik. 2) Desa Keboncau Kecamatan Bojongmanik. 3) Desa Karangnunggal Kecamatan Bojongmanik. c. Selatan: 1) Desa Cikate Kecamatan Cikaju d. Timur: 1) Desa Karangcombang Kecamatan Muncang 2) Desa Cilebang Kecamatan Muncang
Pasal 7 menyebutkan wilayah Masyarakat Baduy yang berlokasi di Desa Kanekes memiliki batas-batas alam sebagai berikut: a. Utara: Kali Ciujung b. Selatan: Kali Cidikit c. Barat: Kali Cibarani; d. Timur: Kali Cisimeut.
Kemudian Pasal 9 mengatur tentang Ketentuan Pidana. Ayat (1) menyatakan setiap Masyarakat Luar Baduy yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak dan menggunakan lahan hak ulayat Masyarakat Baduy diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Ayat (2) menyatakan, bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Selanjutnya Pasal 11 menyatakan dalam rangka menghindari perselisihan dan kesimpangsiuran hak ulayat Masyarakat baduy Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
93
dari kepentingan perorangan serta sebagai wujud pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat, maka upaya persertifikatan wilayah Baduy tidak diperkenankan.
3. Pengaturan Masyarakat Adat Merangin
Perlindungan masyarakat lokal di Kabupaten Merangin tentang Hutan Adat dan Masyarakat adat diatur dalam Keputusan Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin, yang antara lain memutuskan: ”Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Desa Guguk dengan luas 690 Ha yang terletak antara 120o 12’00’’ BT-120o03’45’’ BT dan 02o10’00’’ LS-02o 12’20’’ LS’ mulai dari Titik satu di Muara Sungai Tai dengan titik koordinat (02o10’06’’S, 102o02’59’’ BT) ke Titik Dua di Muara Sungai Nilo dengan titik koordinat (02o14’47’’ LS, 102o03’42’’ BT) terus menelusuri Sungai Nilo ke Titik Tiga Muara Sungai Jambun Jalan Logging dengan titik koordinat (02o11’58’’ LS, 102o03’29’’ BT) terus mengikuti jalan ke Logging kearah Barat sampai ke titik Empat di Kilometer 68 Jalan Logging dengan titik koordinat (02o12’12” LS, 102o01’ 58” BT) terus ke Titik Lima di Telun Muara Sungai Keleman dengan titik koordinat (02o11’37” LS, 102o02’19” BT) terus ke Titik Enam di Sungai Tai bercabang dua titik koordinat (02o10’39” LS, 102o02’24” BT) ditarik sejajar dengan Sungai Tai bercabang dua berjarak + 200 meter dari pinggir Sungai Tai sampai bertemu kembali ke Titik Satu dengan koordinat (02o10’06”LS, 102o06” LS, 102o02’59” BT).” 94
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk sebagaimana dimaksud dikelola oleh Masyarakat Adat Desa Guguk dengan ketentuan Hukum Adat yang berlaku di Desa Guguk dan telah dituangkan
dalam
Piagam
Kesepakatan
pemeliharaan
dan
Pengelolaan Hutan Adat Desa Guguk Kecamatan sungai Manau Kabupaten Merangin sebagaimana terlampir dalam keputusan ini dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam pengelolaan Hutan adat Desa Guguk sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola yang ditetapkan dengan Keputusan Bersama Lembaga Adat Desa Guguk, BPD dan Kepala Desa Guguk. Pengelola
wajib
melaporkan
pengelolaan
Hutan
Adat
sebagaimana dimaksud di atas kepada Bupati Merangin melalui Camat Kecamatan Sungai Manau setiap tahunnya dengan tembusan kepada
Dinas
Kehutanan
dan
pengembangan
Sumberdaya
Hayati Kabupaten Merangin sebagai instansi yang melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan Hutan Adat Desa Guguk. Apabila Pengelolaan Hutan Adat Guguk menyimpang dari aturan perundang-undangan yang berlaku ataupun bertentangan dengan kepentingan nasional serta menyimpang dari Piagam Kesekapatan sebagaimana dimaksud di atas maka keputusan ini dapat dibatalkan. Keberadaan masyarakat adat dalam Peraturan daerah (Perda) menjadi sangat penting karena Pasal 203 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 204 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara implisit menyebutkan, bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat diakui bila telah ditetapkan oleh Peraturan daerah. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
95
Apabila tidak ditetapkan dengan Peraturan daerah, maka mereka hanya berstatus sebagai masyarakat Hukum Adat secara sosial dan tidak memiliki kedudukan secara hukum.3 Di Sumatera Barat (Indonesia Bagian Barat), Rancangan Peraturan Daerah provinsi mengenai pemanfaatan tanah ulayat memunculkan
kekhawatiran
masyarakat.
Menurut
Direktur
Lembaga Bantuan Hukum Sumatera Barat, Peraturan daerah itu nanti akan menghilangkan tanah-tanah ulayat yang sekarang ini dikuasai oleh masyarakat adat. Menurut Pemerintah Daerah Sumatera Barat, banyak investor ingin menanam modalnya dibidang perkebunan. Namun mereka ragu-ragu karena ketidakpastian pengaturan tanah ulayat dan cara mendapatkan tanah ulayat tersebut.4 Sampai saat ini semenjak di undangkannya Peraturan Menteri graria tersebut, baru empat kabupaten yang telah mengeluarkan produk hukum Perda tentang Hak Ulayat Empat kabupaten dimaksud adalah Kabupaten Lebak (Banten) dengan Perda Nomor 32 tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Surat Keputusan Bupati Bungo (Jambi) Nomor 1249 tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, Surat Keputusan Bupati Merangin (Jambi) Nomor 287 tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang Sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin dan Perda Kabupaten Kampar (Riau) Nomor 12 tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat. Sedangkan sejumlah daerah lain pernah merencanakan atau 3 4 96
Herman Slaats, dkk, Op Cit., hlm.29. Raperda Tanah Ulayat Cemaskan Masyarakat asli”, Media Indonesia, 7 Februari 2003, dalam Herman Slaats, dkk, Ibid., hlm. 29. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
sedang melangsungkan inisiatif serupa, Propinsi Sumatera Barat sempat menggodok Raperda tentang Pengaturan Pemanfaatan Tanah Ulayat, Kabupaten Jayapura (Papua) pernah merancang peraturan daerah tentang Perlindungan Terhadap Tanah-Tanah Ulayat Masyarakat Kabupaten Jayapura. Kabupatan Pasir dan Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) masing-masing dalam proses penyusunan raperda dan identifikasi hak ulayat. Seluruh perda yang telah diundangkan dan sedang dalam pembahasan tersebut, menempatkan Permenag/Kepala BPN No. 5/1999 sebagai dasar hukum. Pengorganisiran analisa ini tidak dibuat mengikuti kerangka yang dimiliki oleh Raperda Hak Ulayat ini. Pembahasan akan dilakukan dengan memilih sejumlah topik yang dianggap penting berkenaan dengan substansi dan teknik perancangannya. Berikut ulasan terhadap beberapa topik yang dianggap penting. Sebagai contoh analisa adalah Raperda Kabupaten Pasir tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Pada bagian menimbang huruf c dari raperda hak ulayat ini mengatur mengenai seluk beluk hak ulayat defenisi, kriteria, cara mendapatkannya. Pengaturan mengenai hal-hal itu kemudian difungsikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah tanah ulayat. Namun, kesan seperti itu langsung sirna ketika pasal 10 dan 11 raperda ini mengatakan bahwa di wilayah pemerintahan Kabupayen Pasir tidak ada masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Bukankah Bagian Menimbang huruf c raperda ini mengatakan bahwa pengaturan mengenai tanah ulayat (salah satunya mengenai kriteria) hanyalah sebagai pedoman? Seharusnya, kalau ia hanya berfungsi sebagai pedoman maka tidak boleh sekaligus berfungsi sebagai peraturan yang menetapkan atau Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
97
imperatif. Andai raperda ini diposisikan sebagai pedoman, maka urusan menetapkan dan membuat peraturan-peraturan imperatif diserahkan pada pengaturan lebih lanjut dari raperda ini. Pengaturan lebih lanjutnya bisa dilakukan oleh perda lain atau oleh Keputusan Bupati. Dengan memilih sifat yang demikian, sebenarnya raperda ini sudah menyimpang dari Permenang/Kepala BPN No. 5/199. Kenapa demikian? Karena dengan tegas Permenag ini mengatakan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat serta pencatatan keberadaan tanah ulayat, akan diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah (pasal 6). Bila menggunakan tafsir gramatikal maka sangat jelas bahwa Permenag ini memandatkan kepada Pemda untuk membuat pengaturan lebih lanjut mengenai dua hal di atas di dalam perda. Perda tersebut akan menjadi landasan yuridis bagi kegiatan penelitian dan penentuan hak ulayat. Mandat semacam itu memang masuk akal karena Permenag ini tidak mengatur lebih rinci mengenai penelitian
dan
penentuan
(prosedur/mekanisme
penelitian,
mekanisme penyampaian keberatan, dll). Fungsinya hanya sebagai pedoman. Dengan menyebutkan kriteria hak ulayat dan batasan pemberlakukannya maka pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan adalah bagaimana caranya menentukan (prosedur/mekanisme): apakah kelompok masyarakat tertentu memang memiliki atau tidak memiliki hak ulayat karena memenuhi atau tidak memenuhi kriteria tertentu. Sebagai pedoman, Permenag ini telah merumuskan hal-hal yang subtantif dan untuk menjalankannya yang diperlukan adalah peraturan pelaksana (perda) yang mengatur hal-hal prosedural. 98
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Sementara itu, raperda hak ulayat secara sepihak telah memutuskan bahwa di Kabupaten Pasir tidak satupun kelompok masyarakat dan lembaga adat yang memenuhi kriteria masyarakat hukum adat dan hak ulayat tanpa mengajukan argumen. Apa dasar yang digunakan oleh raperda ini untuk sampai pada kesimpulan semacam itu? Kuat dugaan bahwa yang dijadikan dasar adalah penelitian yang dilakukan oleh Tim Universitas Hasanudin pada tahun 2002. Tapi, bagaimana orang mengetahui hasil penelitian tersebut bila ia tidak merupakan bagian yang integral dari raperda ini. Bila penelitian tersebut menjadi dasar, bagaimana status hukumnya? Apakah penelitian itu menjadi mengikat semua orang yang ada di Kabupaten Pasir atau hanya salah satu rujukan? Lagipula, mengapa penelitian itu dikatakan diselenggarakan oleh Universitas Hasanudin? Bukankah menurut Permenag penelitian dilakukan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan pihak lain, bukan justru sebaliknya? Tapi sulit juga untuk menyimpulkan bahwa keputusan untuk mengatakan bahwa di Pasir tidak ada mayarakat hukum adat dan hak ulayat didasarkan pada hasil penelitian tersebut. Kesimpulan seperti itu didapat ketika raperda ini mengatakan bahwa di Pasir tidak ada kelompok masyarakat dan lembaga adat karena tidak memenuhi kriteria masyarakat hukum adat dan hak ulayat (pasal 10 dan pasal 11), bukan karena penelitian membuktikan demikian. Jadi, bila dianalogkan dengan proses pemeriksaan sebuah perkara/ kasus di pengadilan maka raperda ini ‘mengadili’ bahwa di Pasir dinyatakan tidak ada masyarakat hukum adat dan hak ulayat tanpa proses/tahapan pembuktian. Dengan kata lain, Raperda ini mendengar dirinya sendiri lalu membuat keputusan. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
99
Memilih gaya yang demikian membuat raperda ini bisa dikategorikan menyimpangi prinsip hak untuk mengidentifikasi diri sendiri (right to self-identification), yang dikenal dalam hukum internasional. Misalnya dalam Framework Convention on National Minorities (pasal 3) dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (pasal 27). Hak ini bisa bisa dimiliki oleh perorangan maupun kelompok. Bagi perorangan, diberikan hak untuk menentukan apakah dirinya bagian dari masyarakat adat atau tidak. Sedangkan untuk kelompok diberi hak untuk memelihara identitasnya termasuk identitas kebiasaan, tradisi, bahasa dan agama. Di dalam Kovenan HakHak Sipil dalam Politik ditekankan bahwa penentuan keberadaan sebuah kelompok didasarkan atas kriteria obyektif dan hak untuk mengidentifikasi diri sendiri, bukan diserahkan kepada negara. 5 Bila merujuk pada kerangka normatif semacam itu maka apa yang dilakukan oleh pemda dan tim peneliti dari Universitas Hasanudin adalah sebuah kekeliruan besar. Pertama, bukan mereka yang seharusnya melakukan identifikasi melainkan masyarakat adat, dengan menggunakan kriteria yang dirumuskan dalam Permenag/Kepala BPN No. 5/1999. Kedua, siapa yang ditemui oleh Tim Peneliti Unhas di lapangan? Apakah orang atau kelompok yang tepat, ataukah justru orang atau kelompok yang keliru? Kalau yang ditemui adalah orang dan kelompok yang tepat, mengapa tiga organisasi yang relatif reprentatif mewakili masyarakat adat di Pasir justru bereaksi dengan kehadiran raperda ini? Tanggal 31 Juli 2000 Bupati Pasir mengesahkan Perda Kabupaten Pasir Nomor 3 tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan 5 100
Peter Baehr, dkk, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), Pasal 3 dan 27. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, yang kemudian diundangkan pada tanggal 8 Agustus 2000. Sebagai bagian dari 13 paket Perda mengenai Pemerintahan Desa6, perda ini mengakui bahwa di Pasir ada lembaga adat, wilayah adat, hukum adat dan adat istiadat. Dengan asumsi seperti itu, perda ini kemudian mengatur bagaimana kedudukan dan fungsi lembaga adat, hak dan kewajibannya, sumber kekayaannya dan bagaimana ia diberdayakan, dilestarikan, dikembangkan, dilindungi dan dipelihara. Kendati mengatur hal yang relevan dengan materi muatan raperda hak ulayat, anehnya perda No. 3/2000 ini tidak dijadikan sebagai salah satu dasar hukum oleh raperda tersebut. Mengapa demikian? Agak sukar menemukan penjelasan logis dari tindakan ini. Apakah lembaga adat dan adat istiadat sesuatu yang berbeda dan terpisah dengan masyarakat hukum adat dan hak ulayat? Apa bedanya istilah ‘wilayah adat’ yang disebutkan dalam Perda No. 3/2000 dengan istilah ‘wilayah’ yang disebutkan dalam Raperda Hak Ulayat7? Bagaimana mungkin pengakuan keberadaan lembaga adat dan adat istiadat bisa berbeda dan terpisah dengan pengakuan masyarakat hukum adat dan hak ulayat? Bukankah lembaga adat justru menjadi salah satu unsur pemenuh dari masyarakat hukum adat dan hak ulayat? Penggunaan syarat kumulatif agaknya menjadi alat penjelas yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Raperda ini dengan tegas mengatakan bahwa pemenuhan unsur masyarakat hukum adat dan kriteria hak ulayat harus secara kumulatif. Artinya, seluruh unsur dan kriteria 6
Akibat UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (pasal ..) dan Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001 tentang Pedoman Pengaturan Mengenai Pemerintahan Desa, banyak sekali Kabupaten yang berbondong-bondong membuat paket perda mengenai pemerintahan desa, yang jumlahnya berkisar antara 10 sampai 13 buah. Redaksi perda-perda yang mengatur hal itu sangat mirip satu sama lain untuk setiap kabupaten. Rupanya inilah yang memicu gelombang baru penyeragaman pemerintahan lokal pasca UU No. 5/1979, sekalipun di beberapa tempat digunakan istilah yang berbeda. 7 Dalam Perda No. 3/2000 wilayah adat didefenisikan sebagai wilayah kesatuan budaya setempat adat istiadat itu tumbuh, hidup dan berkembang sehingga menjadi penyanggah adat istiadat yang bersangkutan. Sedangkan istilah ‘wilayah’ dalam raperda hak ulayat dipakai sebagai salah satu unsur masyarakat hukum adat (pasal 3 ayat 1d). Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
101
tersebut harus dipenuhi dengan sekaligus atau keseluruhan. Sekalipun sebuah kelompok masyarakat memiliki lembaga adat atau wilayah adat, namun tidak otomatis menjadi masyarakat hukum adat bila tidak memiliki hukum adat dan kekayaan. Begitu juga sebaliknya, memiliki hukum adat dan kekayaan belum bisa digolongkan sebagai masyarakat hukum adat bila tidak memiliki lembaga adat dan wilayah adat. Karena raperda ini tidak mengakui keberadaan masyarakat hukum adat di Pasir, dengan sendirinya tidak ada hak ulayat di Pasir. Kenapa? Raperda ini kelihatan cukup cerdik dalam soal ini. Dikatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah subyek hukum hak ulayat (pasal 6). Kalimat ini seolaholah mengatakan bahwa masyarakat hukum adat bukanlah satu-satunya subyek hukum hak ulayat, tapi juga bisa kelompok masyarakat yang lain. Benarkan demikian? Tafsir semacam itu bisa dianggap keliru dengan dua alasan, yakni: Pertama, raperda ini dengan tegas mengatakan bahwa hak ulayat hanya dimiliki oleh masyarakat hukum adat (pasal 1 angka 7). Kedua, bila mengacu pada kriteria yang digunakan (pasal 7 ayat 1) maka yang dimungkinkan memiliki hak ulayat hanyalah masyarakat hukum adat karena persyaratan terikat oleh tatanan hukum adat (kriteria a dan c). Kriteria semacam itu hanya bisa dipenuhi oleh masyarakat hukum adat. Jadi, baik dilihat dari sisi defenisi dan kriteria, yang berhak menjadi subyek hukum hak ulayat hanyalah masyarakat hukum adat. Jadi karena satusatunya subyek hukum hak ulayat adalah masyarakat adat dan di Pasir tidak ada masyarakat hukum adat maka tidak ada hak ulayat di Pasir. Tidak perlu susah-susah untuk memeriksa apakah masih ada hak ulayat di Pasir yang memenuhi kriteria karena subyek hukumnya sendiri tidak ada. Cara berfikir semacam ini bisa dilihat dengan telanjang dalam pasal 11 raperda hak ulayat. “Masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum hak ulayat, dinyatakan 102
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
sudah tidak ada lagi sebagaimana dimaksud pada pasal 10 Peraturan Daerah ini, maka hak ulayat atas tanah, hutan dan perairan sebagai obyek, dinyatakan sudah tidak ada lagi”. Dengan tidak mencantumkan Perda No. 3/2000 sebagai dasar hukum, raperda hak ulayat seolah-olah punya anggapan tidak memiliki hubungan dengannya. Namun hal itu bisa saja dilihat sebagai kekeliruan. Mengapa? Pertama, sejumlah istilah digunakan baik oleh raperda hak ulayat dan Perda No. 3/2000. Misalnya, istilah lembaga adat, masyarakat hukum adat dan hukum adat. Kedua, dua-duanya memiliki cakupan atau obyek pengaturan yang sama. Oleh sebab itu, raperda hak ulayat mutlak menjadikan perda No. 3/2000 sebagai dasar hukum. Dengan logika itulah bisa dikatakan bahwa raperda hak ulayat memang bertentangan (kontradiktif) dengan perda No. 3/2000 seperti yang dinyatakan dalam Pernyataan Sikap Bersama tentang Raperda Kabupaten Pasir Mengenai Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kenapa dikatakan bertentangan? Pertama, pendefinisian istilah ‘lembaga adat’. Dalam Perda No. 3/2000 lembaga adat didefenisikan sebagai organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan bebagai permasalahan kahidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Sedangkan raperda hak ulayat mendefenisikannya sebagai lembaga yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat untuk melakukan kegiatan pelestarian adat istiadat, diakui dan dikukuhkan oleh Pemerintah Kabupaten. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
103
Definisi yang dirumuskan oleh raperda hak ulayat mengerdilkan sosok lembaga adat. Pertama, mendefenisikannya sebatas lembaga, bukan organisasi kemasyarakatan. Kedua, menyempitkan kewenangan lembaga adat sebatas melakukan pelestarian adat istiadat. Dan ketiga, meletakan posisi lembaga adat subordinat di hadapan pemerintah daerah karena terlebih dahulu harus mendapatkan pengakuan. Sebenarnya, lembaga adat menurut perda No. 3/2000 hampir serupa dengan masyarakat hukum adat yang dibayangkan oleh raperda hak ulayat. Itu sebabnya, raperda hak ulayat menggunakan kata kelompok masyarakat dan lembaga adat pada posisi yang sejajar (pasal 10). Ukuran bahwa lembaga adat nyaris serupa dengan masyarakat hukum adat didasari oleh alasan bahwa unsur-unsur lembaga adat hampir mirip dengan unsur masyarakat hukum adat. Menurut perda No. 3/2000 lembaga adat memiliki: (1) sumber kekayaan (pasal 14 ayat 1): (2) memiliki wilayah adat (pasal 1 angka 10); dan (3) memiliki tugas dan kewenangan untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan (pasal 1 angka 10, pasal 6 ayat 2a, pasal 7 ayat 1c). Sedangkan menurut raperda hak ulayat unsur masyarakat hukum adat adalah: (1) adanya kelompok masyarakat yang memiliki integritas, teratur dan bertindak sebagai kesatuan yang terikat dan tunduk pada tatanan hukum adatnya; (2) adanya struktur pemerintahan sendiri yang memiliki kewenangan untuk mengadakan aturan-aturan yang diakui dan diataati oleh warganya; (3) adanya kekayaan yang terpisah dengan kekayaan masing-masing warganya; dan (4) adanya wilayah. Kedua, berbeda dengan raperda hak ulayat, perda No. 3/2000 justru mengakui adanya masyarakat hukum adat. Pasal 13 ayat (1) perda No. 3/2000 berbunyi: “Penetapan wilayah adat yang dikuasai oleh masyarakat adat secara tumurun-temurun mempunyai batas-batas yang jelas dan pasti, diakui 104
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
oleh pemerintah dan dapat digunakan oleh masyarakat sesuai adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku.” Maksud senada bisa didapatkan dalam pasal 1 angka 10 yang mengatakan bahwa lembaga adat tumbuh dan berkembang di dalam sejarah perkembangan masyarakat hukum adat tertentu. Dengan redaksi semacam itu, karena perda No. 3/2000 mengakui lembaga adat, maka dengan sendirinya Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Pasir telah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat lewat perda tersebut. Jadi bisa disimpulkan bahwa dengan mengusulkan raperda hak ulayat artinya pemda Pasir menganulir kebijakannya terdahulu yang mengakui adanya masyarakat hukum adat di Pasir. Barangkali, diantara sekian produk hukum daerah yang mencoba melaksanakan lebih lanjut Permenag/Kepala BPN No. 5/1999, hanya raperda hak ulayat yang difungsikan untuk mendeklarasikan tiadanya masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Berbeda dengan raperda hak ulayat, inisiatif-inisiatif yang berlangsung di Kabupaten Lebak, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin justru mengakui masih adanya masyarakat hukum adat atau hak ulayat di daerah masing-masing. Begitu juga dengan Kabupaten Kampar, kendati mencoba mengendalikan hak tanah ulayat dan pemangku adat, tapi tetap masih mengakui adanya tanah ulayat di Kabupaten Kampar. Begitu juga dengan inisiatif di Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Jayapura, yang masih dalam status rancangan, samasama mengakui kebaradaan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat. Untuk
memudahkan,
perbedaan
masing-masing
Perda,
Keputusan Bupati dan rancangan Perda tersebut akan dperlihatkan dalam bentuk tabel. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
105
Tabel 1. Perbandingan Inisiatif Kebijakan Pengakuan Hak Ulayat Raperda Pasir1
Perda Lebak
Perda Kampar
SK Bupati Bungo dan Merangin
Raperda Sumatera Barat2
Raperda Jayapura
Rauang Lingkup Pengaturan
Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat
Hak Ulayat
Hak tanah Ulayat
Hutan Adat
Tanah Ulayat
Tanah Ulayat, Tanah Adat
Materi Pokok yang Diatur
Kriteria masyarakat hukum adat, subyek hak ulayat, kriteria dan obyek hak ulayat, penentuan keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat
Penetapan wilayah hak ulayat, bidang-bidang tanah yang dikecualikan dari hak ulayat, batas-batas hak ulayat masyarakat Baduy, ketentuan pidana, ketentuan penyidikan, larangan pensertifikatan hak ulayat masyarakat Baduy
Hak Tanah Ulayat (fungsi, larangan dalam penggunaan), Tata cara pemilikan dan penggunaan tanah ulayat, kerapatan adat, pemilikan tanah ulayat, pengawasan, tugas , wewenang dan fungsi kepala penghulu, mandat pembentukan Badan Penyelesaian Permasalahan dan Pemutihan Tanah Ulayat Daerah
Pengakuan terhadap hutan adat, batas, batas hutan adat, penggunaan hukum adat untuk mengelola hutan adat, kewajiban untuk melaporkan
Klasifikasi dan Kewenangan Penguasaan Tanah Ulayat, Kedudukan dan Fungsi Tanah Ulayat, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Ulayat, Pendaftaran Tanah Ulayat, Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat, Penguasaan Kembali oleh Negara terhadap Tanah yang telah Berakhir masa berlaku hak atas tanahnya
Pelepasan Tanah Ulayat, Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Kegiatan Usaha, Kewajiban Bagi Perusahaan untuk Memberikan Kompensasi, Ganti Rugia atas TanamTanaman, Kewajiban Membayar Pajak, Kenetuan Peralihan
Mengakui Hak Ulayat/Tdk Mengakui Hak Ulayat
Tidak Mengakui adanya masyarakat hukum adat dan hak ulayat di Pasir
Mengakui keberadaan hak ulayat Masyarakat Baduy
Mengakui Adanya Tanah Hak Ulayat Kampar
Mengakui Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Mengakui adanya Tanah Ulayat di Sumbar
Mengakui adanya Hak Ulayat di Kabupaten Jayapura
Sumber: Perpustakaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tahun 2006
Di Kabupaten Kapuas Hulu (Kalbar) sejak November 2003 sampai saat ini tengah dilakukan proses identifikasi terhadap lima kampung8 yang berada di Kabupaten tersebut dalam rangka pengakuan hak ulayat/hak-hak adat lainnya. Identifikasi dilakukan oleh sejumlah LSM lokal yakni Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Yayasan Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Kalbar dan PPSDAK. Tim identifikasi hanya bertugas melengkapi dan mengklarifikasi datadata mengenai lima kampung tersebut, yang sebelumnya sudah dikumpulkan. Identifikasi dilakukan dengan metode menggelar diskusi kampung dan wawancara. Seluruh biaya penyelenggaraan 8 106
Kelima kampung tersebut adalah Sei-Utik, Pulan, Ungak, Langan dan Sei-Tebelian. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
identifikasi ditanggung oleh pemda Kapuas Hulu yang diambil dari pos APBD. Menurut rencana, setelah identifikasi akan dibentuk sebuah tim verifikasi yang bertugas memverifikasi data yang didapatkan dari kegiatan identifikasi. Tim verfikasi akan beranggotakan unsur akademisi, pemda dan LSM. Hasil tim verifikasi akan dipergunakan sebagai dasar ntuk mengeluarkan pengakuan terhadap lima kampung tersebut, lewat peraturan daerah. Selain bermasalah dari segi proses, raperda hak ulayat juga memiliki sejumlah catatan negatif dari sisi substansi. Materi raperda ini menyalahi tuntutan yang dikehendaki oleh Permenag/Kepala BPN No. 5/1999. Tanpa mengatur atau tanpa terlebih dahulu menerbitkan ketentuan atau perda yang mengatur mengenai prosedur penelitian dan penentuan hak ulayat, raperda ini langsung menyimpulkan bahwa di Kabupaten Pasir tidak terdapat masyarakat hukum adat dan hak ulayat, berdasarkan kriteria yang dibuatnya. Raperda hak ulayat juga menabrak perda No. 3/2000 yang nyatanyata memiliki materi pengaturan yang relevan dengannya. Bukan hanya menabrak, raperda hak ulayat justru menegasikan keberadaan perda No. 3/2000 karena tidak mencantumkannya sebagai dasar hukum. Selain melakukan penyempitan defenisi, raperda hak ulayat juga bersebarangan dengan perda No. 3/2000 karena tidak mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat, sementara perda No. 3/2000 mengakuinya. ”Bila dibandingkan dengan inisiatif kebijakan di daerah lain, raperda hak ulayat memilih jalan yang berbeda. Bila inisiatif kebijakan lain mengenai hak ulayat dilandasi oleh semangat untuk mengakui keberadaan hak ulayat, raperda hak ulayat memilih jalan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
107
sebaliknya. Tidak salah rasanya bila Pernyataan Sikap Bersama menganggap raperda ini melawan semangat yang dipunyai UUD 1945 hasil amandemen dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sekedar menggenapi, raperda ini juga melakukan hal serupa terhadap Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan P
108
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Bab Lima HASIL OLAHAN DATA SEMENTARA YANG SUDAH SELESAI DIOLAH
Berikut disampaikan contoh olahan data berdasarkan penelitian lapangan yang sudah diselesaikan. Hasil ini masih belum final karena masih terdapat beberapa data kuesioner yang diolah secara kuantitatif dan juga data hasil wawancara yang diolah secara kualitatif. Namun demikian yang disampaikan dalam draft laporan akhir ini masih merupakan salah satu contoh hasil olahan sementara. Sedangkan olahan data secara keseluruhan akan diselesaikan sebelum akan dilaksanakannya FGD untuk mendapatkan masukan dalam rangka penyelesaian laporan akhir yang sudah final. A. Analisis Sementara di Lokasi Pontianak KARAKTERISTIK P4T Pola Penguasaan Tanah
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
109
Berdasarkan hasil analisis [tabel frekuensi] terlihat bahwa lebih dari 50 responden setuju bahwa pola penguasaan tanah adat belakangan ini lebih mengarah pada individualisasi. Sementara hanya 27% yang tidak setuju dengan argumen sebaliknya.
Meskipun demikian lebih dari 60 persen responden kasus Pontianak juga menyatakan bahwa pola penguasaan tanah adat saat ini masih mengarah pada pola kolektif. Hanya 20% responden yang menyatakan tidak setuju bila pola penguasaan tanah adat saat ini mengarah pada pola kolektif. Frequency Table penguasaan tanah individualisasi Frequency Percent Valid Percent Valid tidak setuju 4 26.7 26.7 cukup setuju 2 13.3 13.3 setuju 8 53.3 53.3 sangat setuju 1 6.7 6.7 Total 15 100.0 100.0
110
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Cumulative Percent 26.7 40.0 93.3 100.0
penguasaan tanah secara utuh Frequency Percent Valid Percent Valid tidak setuju 3 20.0 20.0 cukup setuju 2 13.3 13.3 setuju 9 60.0 60.0 sangat setuju 1 6.7 6.7 Total 15 100.0 100.0
penguasaan tanah campuran Valid tidak setuju cukup setuju setuju sangat setuju Total
Frequency Percent Valid Percent 1 6.7 6.7 5 33.3 33.3 8 53.3 53.3 1 6.7 6.7 15 100.0 100.0
Cumulative Percent 20.0 33.3 93.3 100.0
Cumulative Percent 6.7 40.0 93.3 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
111
Tatacara Perolehan Tanah Mayoritas responden pada dasarnya setuju bahwa tata cara perolah tanah baik itu yang bersifat individu, kolektif, maupun campuran dapat dilakukan melalui sistem-sistem yang berlaku yaitu dengan sewa, bagi hasil, jual beli, garapan maupun program pertanahan. Lebih dari 68% responden setuju bahwa pola penguasaan tanah adat secara individu dapat dilakukan dengan system transaksi tanah yang umum. Sedangkan 59% responden setuju untuk tanah yang dikuasai secara kolektif. Sementara itu 100% responden juga setuju bahwa tata cara perolehan tanah yang bersifat campuran dapat dilakukan dengan system sewa, garapan, bagi hasil, jual beli, dan program pertanahan.
112
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Frequency Table tata cara penguasaan tanah individu dapat melalui sistem Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid abstain 5 33.3 33.3 33.3 cukup setuju 6 40.0 40.0 73.3 setuju 3 20.0 20.0 93.3 sangat setuju 1 6.7 6.7 100.0 Total 15 100.0 100.0
tata cara penguasaan tanah kolektif dapat melalui sistem Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid abstain 5 33.3 33.3 33.3 tidak setuju 1 6.7 6.7 40.0 cukup setuju 5 33.3 33.3 73.3 setuju 2 13.3 13.3 86.7 sangat setuju 2 13.3 13.3 100.0 Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
113
tata cara penguasaan tanah campuran dapat melalui sistem Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid cukup setuju 5 33.3 33.3 33.3 setuju 8 53.3 53.3 86.7 sangat setuju 2 13.3 13.3 100.0 Total 15 100.0 100.0
114
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Mayoritas Penggunaan Tanah Sebagian besar responden juga setuju bahwa mayoritas penggunaan lahan baik itu yang bersifat individual, kolektif, maupun, campuran banyak digunakan untuk pemukiman, sawah, tanah, tanah kering, maupun kebun. Frequency Table mayoritas penggunaan tanah individu untuk pemukiman dll Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid abstain 4 26.7 26.7 26.7 tidak setuju 1 6.7 6.7 33.3 cukup setuju 2 13.3 13.3 46.7 setuju 6 40.0 40.0 86.7 sangat setuju 2 13.3 13.3 100.0 Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
115
mayoritas penggunaan tanah kolektif untuk pemukiman dll Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid abstain 4 26.7 26.7 26.7 cukup setuju 3 20.0 20.0 46.7 setuju 6 40.0 40.0 86.7 sangat setuju 2 13.3 13.3 100.0 Total 15 100.0 100.0
mayoritas penggunaan tanah campuran untuk pemukiman dll Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid abstain 4 26.7 26.7 26.7 cukup setuju 3 20.0 20.0 46.7 setuju 6 40.0 40.0 86.7 sangat setuju 2 13.3 13.3 100.0 Total 15 100.0 100.0
116
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
KONTRIBUSI P4T Jenis Aset dan Pola Pemilikan Tanah dan Kesejahteraan Masyarakat Sebagian besar responden setuju bahwa jenis aset dan pola pemilikan tanah juga akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Lebih dari 86% responden studi kasus Pontianak menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat dapat ditentukan oleh jenis aset tanah yang dimilikinya. Frequency Table Kontribusi P4T terhadap kesejahteraan masy ditentukan oleh jenis aset tanah Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid cukup setuju 2 13.3 13.3 13.3 Setuju 9 60.0 60.0 73.3 sangat setuju 4 26.7 26.7 100.0 Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
117
kontribusi P4T terhadap kesejahteraan masy ditentukan jenis kepemilikan Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid cukup setuju 2 13.3 13.3 13.3 Setuju 9 60.0 60.0 73.3 sangat setuju 4 26.7 26.7 100.0 Total 15 100.0 100.0
118
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Faktor Jalan Penghubung, Produksi, Bank, dan Pemasaran, dan Faktor Lain yang mempengaruhi Akses Sosekbud terhadap Kesejahteraan Masyarakat Hampir seluruh responden setuju bahwa berbagai faktor-faktor seperti jalan penghubung, produksi, bank, dan pemasaran, maupun berbagai faktor lan akan mempengaruhi akses sosial, ekonomi, budaya terhadap kesejahteraan masyarakat. Frequency Table faktor prod, pasar, bank mempengaruhi akses sosbud terhadap kesejahteraan masy Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid cukup setuju 3 20.0 20.0 20.0 setuju 8 53.3 53.3 73.3 sangat setuju 4 26.7 26.7 100.0 Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
119
faktor selain prod, pasar, bank mempengaruhi akses sosbud terhadap kesejahteraan masy Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid cukup setuju 3 20.0 20.0 20.0 setuju 7 46.7 46.7 66.7 sangat setuju 5 33.3 33.3 100.0 Total 15 100.0 100.0
EFEKTIVITAS DAN IDEAL Dapat terlihat pada tabel, bahwa mayoritas responden Pontianak setuju bahwa peraturan yang ada saat ini telah cukup memadai dan dilaksanakan dengan baik dan tanpa penyimpangan. Responden juga setuju bila aturan-aturan P4T telah dianggap cukup memenuhi kaidah peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
120
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Frequency Table aturan efektif Valid tidak setuju cukup setuju setuju sangat setuju Total
Frequency Percent Valid Percent 1 6.7 6.7 4 26.7 26.7 6 40.0 40.0 4 26.7 26.7 15 100.0 100.0
pelaksanaan efektif Valid tidak setuju cukup setuju setuju sangat setuju Total
Frequency Percent Valid Percent 1 6.7 6.7 4 26.7 26.7 6 40.0 40.0 4 26.7 26.7 15 100.0 100.0
Cumulative Percent 6.7 33.3 73.3 100.0
Cumulative Percent 6.7 33.3 73.3 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
121
ideal rumusan Frequency Percent Valid Percent Valid cukup setuju 4 26.7 26.7 setuju 7 46.7 46.7 sangat setuju 4 26.7 26.7 Total 15 100.0 100.0
122
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Cumulative Percent 26.7 73.3 100.0
ideal perlindungan Frequency Percent Valid Percent Valid cukup setuju 4 26.7 26.7 setuju 7 46.7 46.7 sangat setuju 4 26.7 26.7 Total 15 100.0 100.0
Cumulative Percent 26.7 73.3 100.0
KORELASI Korelasi Antara Peraturan P4T yang Telah Memadai dan Kemampuan Memberikan Perlindungan Pada Masyarakat Hasil Pertama. Analisis tabulasi silang menunjukkan bahwa 40% dari responden yang setuju bahwa peraturan P4T telah telah memadai juga setuju bahwa peraturan pola P4T mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat. Prosentase ini jauh lebih besar daripada responden yang memiliki persepsi lainnya.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
123
Hasil Kedua. Uji analisis namun demikian menunjukkan bahwa approx sig. 0,0 yang yang lebih kecil dari 0,05. Hal ini mencirikan bahwa variable bebas memiliki kemungkinan korelasi. Dalam bahasa lain hasil ini menunjukkan bahwa tanggapan responden terhadap efektivitas peraturan dapat digunakan untuk menilai apakah aturan pola P4T telah memberikan perlindungan pada masyarakat. Crosstabs
aturan efektif * ideal
Case Processing Summary Cases Valid Missing N Percent N Percent 15 100.0% 0 .0%
N 15
Total Percent 100.0%
perlindungan
aturan efektif
Total
aturan efektif * ideal perlindungan Crosstabulation ideal perlindungan cukup setuju setuju sangat setuju tidak Count 1 0 0 setuju % of Total 6.7% .0% .0% cukup Count 3 1 0 setuju % of Total 20.0% 6.7% .0% setuju Count 0 6 0 % of Total .0% 40.0% .0% sangat Count 0 0 4 setuju % of Total .0% .0% 26.7% Count 4 7 4 % of Total 26.7% 46.7% 26.7%
Total
1 6.7% 4 26.7% 6 40.0% 4 26.7% 15 100.0%
Directional Measures
Ordinal by Ordinal
Symmetric aturan efektif Dependent ideal perlindungan .885 .071 10.355 Dependent a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
124
Somers’ d
Asymp. Std. Approx. Approx. Value Errora Tb Sig. .920 .055 10.355 .000 .958 .043 10.355 .000
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
.000
Symmetric Measures Asymp. Approx. Value Std. Errora Tb Ordinal by Ordinal Kendall’s tau-b .921 .055 10.355 Kendall’s tau-c .920 .089 10.355 Gamma 1.000 .000 10.355 Spearman .946 .048 10.481 Correlation Interval by Interval Pearson’s R .929 .034 9.047 N of Valid Cases 15 a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
Approx. Sig. .000 .000 .000 .000c .000c
Korelasi Antara Peraturan P4T yang Sesuai Dengan Kaidah Peraturan Perundang-undangan yang Baik dan Penyimpangan Peraturan P4T Yang Mungkin Terjadi Hasil Pertama. Seperti sebelumnya analisis tabulasi silang menunjukkan bahwa 40% dari responden yang setuju bahwa peraturan P4T telah telah ideal memenuhi kaidah peraturan perundang-undangan juga setuju bahwa peraturan pola P4T telah dilaksanakan dengan baik tanpan penyimpangan. Prosentase ini jauh lebih besar daripada responden yang memiliki persepsi lainnya.
Hasil Kedua. Uji analisis namun demikian menunjukkan bahwa approx sig. 0,0 yang yang lebih kecil dari 0,05. Hal ini mencirikan bahwa variabel bebas memiliki kemungkinan korelasi. Dalam bahasa lain hasil ini menunjukkan bahwa tanggapan responden terhadap adanya penyimpangan pelaksanaan peraturan pola P4T dapat digunakan untuk menilai apakah aturan pola P4T telah memenuhi kaidah peraturan perundang-undangan yang baik. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
125
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid Missing N Percent N Percent pelaksanaan efektif * ideal 15 100.0% 0 .0% rumusan
N
Total Percent 15 100.0%
pelaksanaan efektif * ideal rumusan Crosstabulation ideal rumusan cukup sangat setuju setuju setuju pelaksanaan tidak setuju Count 1 0 0 efektif % of 6.7% .0% .0% Total cukup setuju Count 3 1 0 % of 20.0% 6.7% .0% Total setuju Count 0 6 0 % of .0% 40.0% .0% Total sangat setuju Count 0 0 4 % of .0% .0% 26.7% Total Total Count 4 7 4 % of 26.7% 46.7% 26.7% Total
Symmetric Measures Asymp. Value Std. Errora Approx. Tb Ordinal by Ordinal Kendall’s tau-b .921 .055 10.355 Kendall’s tau-c .920 .089 10.355 Gamma 1.000 .000 10.355 Spearman .946 .048 10.481 Correlation Interval by Interval Pearson’s R .929 .034 9.047 N of Valid Cases 15 a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
126
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Total
1 6.7%
4 26.7% 6 40.0% 4 26.7% 15 100.0%
Approx. Sig. .000 .000 .000 .000c .000c
Bab Enam PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sementara sebagai berikut: Pertama, berkaitan dengan pola P4T terhadap tanah adat/ulayat yang ada pada saat ini, maka dapat disimpulkan sementara bahwa bahwa pola P4T yang ada saat ini masih menggunakan sistem konvensional. Artinya bahwa pola penggunaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah adat/ ulayat masih belum mampu untuk meningkatkan ekonomi masyarakat adat secara komunal. Yang terjadi bahkan di beberapa daerah masih bersifat parsial, khusunya apabila dilihat dari subyek yang dapat menggunakan, mengelola dan memanfaatkannya. Kedua, berkaitan dengan kontribusi P4T pada tanah adat/ ulayat terhadap kesejahteraan masyarakat. Mengingat penggunaan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah ulayat masih bersifat konvensional dan juga masih bersifat parsial, maka kontribusi pola P4T belum dapat secara maksimal dapat mensejahterakan masyarakat. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
127
Ketiga, berkaitan dengan konsep pola P4T yang efektif dan ideal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Mengenai kesimpulan yang ketiga ini belum dapat disimpulkan secara komprehensif. Namun demikian harapannya kedepan bahwa pola P4T tersebut harus meninggalkan paradigm secara parsial dan konvensional, sehingga lebih menyentuh hal mendasar yang sangat diperlukan oleh masyarakat baik dilihat dari aspek akses dan akses terhadap tanah ulayat. Keempat, berkaitan dengan alternatif kebijakan apakah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah terhadap pola P4T terhadap tanah adat/ulayat untuk mensejahterakan masyarakat ini maka kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah bahwa P4T harus lebih memperhatikan potensi masyarakat hukum adat yang tinggal di sekitar kawasan tanah ulayat tersebut dalam berbagai perspektif seperti ekonomi, social, budaya dan aspek lainnya. Kebijakan pemerintah ini dapat dilakukan dengan lebih melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah untuk ikut terlibat dalam langkah yang nyata dalam penggunaan, pengelolaan dan pemanfaatan terhadap tanah ulayat.
B. Saran
Adapun saran yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan kebijakan pola P4T dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama, melakukan koordinasi secara nyata dengan pemerintah daerah melalui beberapa paket program kegiatan yang terkait dengan pola P4T. Kedua, melibatkan masyarakat hukum adat secara nyata dalam setiap program kebijakan yang diambil berkaitan dengan pola P4T. 128
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
DAFTAR PUSTAKA Adalsteinsson, Ragna dan Pall Thorhallson, “Article 27”, in Gudmundur Alfredsson and Asbjorn Eide (eds.), The Universal Declaration of human Rights: A Common Standard of Achievement, 1999. Alfredsson, Gudmundur, “Treaties with Indigeneous Populations”, in Encyclopedia of International Law, vol 2, 1995. _______, “Group Rights, Prefential Treatment and The Rule Law, “ paper presented to the Law & Society Trust Consultation on Group & Minority Rights, 1995. Aditjondro, George Junus. Pola-Pola Gerakan lingkungan: Refleksi Untuk Menyelematkan Lingkungan Dari Ekspansi Modal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. _______, Korban-Korban Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Ali Kodra, Hadi S. dan Syaukani. Bumi Makin Panas Banjir Makin Luas, Yayasan Nuansa Cendekia, Bandung, 2004. Bahri, Saiful. “Tangkahan Inisiatif Lokal Untuk Merakyatkan Taman Nasional Gunung Leuser, “Makalah disampaikan pada “Shearde Learning”, Kawasan Ekowisata Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, Langkat Sumatera Utara, 13-12 Februari 2006. Cahyat, A. Masyarakat Mengawasi Pembangunan Daerah: Bagaimana Agar Dapat Efektif?. Bogor: CIFOR, 2005. ______, Perubahan Perundangan Desentralisasi. Bogor: CIFOR, 2005. Cahya Wulan, Yuliana, dkk. Analisa Konflik sector kehutanan di Indonesia 1997-2003. Bogor: Center for International Forestry Research, 2004. Depsos RI, Profil Keberhasilan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil pada 12 Provinsi, Depsos RI, 2004. Depsos RI, Model pendekatan Sosial Budaya Dalam Penyiapan dan Pemantapan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Depsos RI, 2004. Fauzi, Noer dan I Nyoman Nurjaya, Sumber Daya Alam Untuk Rakyat: Modul Lokakarya Penelitian Hukum Kritis-Partisipatif bagi Pendamping Hukum Rakyat, Jakarta: ELSAM, 2000. Heroepoetri, Arimbi Julia Kalmirah dan Niken Sekar Palupi, Seri Konvensi Internasional Lingkungan: Konvensi Washington, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Konvensi Perubahan Iklim, Jakarta: Wahana Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
129
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bekerjasama dengan FH UNIKA Atmajaya, 1999. H. Fuad, Faisal. dan Siti Maskanah. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Pustaka LATIN, 2000. Harahap, Bazar dkk,. Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional. Jakarta: Yayasan Peduli Pengembangan Daerah, 2005. Hilary N. “Weaver, Indigenous Identity: What Is It, and Who Really Has It?” American Indian Quarterly/Spring 2001/vol. 25, No 2:244. Kleden, Emil. Otonomi Komunitas Masyarakat Adat. Jakarta: AMAN, 2000. Kasim, Ifdhal. dan Johanes da Masenus Arus. Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2001. ______, Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum. Jakarta: Elsam, 2001. Kusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju, 1992. Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: PT. Alumni, 2002. Kleden, Emil, Sandra Moniaga, B. Steni. “ Sarasehan Tentang Taman Nasional,” Diskusi dengan Tokoh Adat tentang Taman Nasional di Wisma Kenasih, Puncak Bogor, tanggal 31 Agustus 2005. Kuncoro, Mudrajad. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004. Malik, Ichsan. dkk. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan konflik Atas Sumber Daya Alam, Jakarta: Yayasan Kemala, 2003. Moelyono, Ilya. dkk, Memadukan Kepentingan Memenagkan Kehidupan, Bandung: Driya Media, 2003. Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2004. Moh Askin. Penegakan Hukum Lingkungan dan Pembicaraan di DPR-RI. Jakarta: Yasrif Watampoene, 2003. Moh. Koesnoe. Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini. Surabaya: Airlangga University Press, 1979. Moniaga, Sandra. Hak Masyarakat Adat dan Masalah Serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia. Jakarta: HUMA, 2003. Marquardt, S., “International Law and Indigeneous peoples”, in International Journal on Group Rights 3, 1995. 130
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
Moniaga, Sandra,” Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah Lokakarya Nasional IV HAM 1998 diselenggarakan oleh Komnas HAM, Departemen Luar Negeri dan The Australian Human Rights and Equal Opportunity Commission, Jakarta, 1 – 3 Desember 1998. Moh. Yamin. Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945. Jakarta: tanpa penerbit, 1959. Parlindungan, A.P. Komentar Terhadap UUPA No.5 Tahun 1960. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2000. Riyatno, Budi. Selayang Pandang Pengelolaan Kawasan Hutan di Indonesia, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004. ______,. Pengaturan Hukum Adat di Indonesia, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004. ______,. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Sebuah Tinjauan Hukum Terhadap Debt for nature Swaps, Lembaga Pengkajian Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004. Rahardo, Satjipto. Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Modern Republik Indonesia. Rositah. Kemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan dan Penanggulangannya. Bogor: CIFOR, 2005. Rahardo, Satjipto.” Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Modern Republik Indonesia.”Makalah dalam Lokakarya Nasional Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, KOMNASHAM, DEPDAGRI dan MAHKAMAH KONSTITUSI, Jakarta 14-15 Juni 2005. Republik Indonesia, Undang-Undang UU No.23 Tahun 1997. Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Republik Indonesia. Undang-Undang UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Republik Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
No.32
tahun
2004
Tentang
Republik, Indonesia, Undang-Undang UU No.39 tahun 1999. tentang Hak Asasi Manusia. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
131
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sangaji, Arianto.“Membaca Ulang Gerakan Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah”, Jurnal Hukum Adat, 1995. Susanti, Ari dkk, Proceeding Lokakarya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Yogyakarta: Lembaga ARUPA, 2000. Suporahardjo. Strategi dan Praktek Kolaborasi: Sebuah Tinjauan. Bogor: Pustaka LATIN, 2005. ______,. Manajemen Kolaborasi: Memahami Plurasisme Membangun Konsensus. Bogor: Pustaka LATIN, 2005. _______, dkk. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka LATIN, 2000. Soekanto, Soerjono.Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1983. _______, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Sirait, Martua, Chip Fay, dan A. Kusworo.” Bagaimana Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur?.” Makalah Roundtable Discussion di Wisma PKBI, 20 Oktober 1999. Tim Peneliti CIFOR, Analisa Konflik Kehutanan di Indonesia 1997-2003, CIFOR, 2004. Tim Peneliti ARUPA. Proceeding Lokakarya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Lembaga ARUPA, Yogyakarta, 2000. Tim Fasilitator PILI dan CIFOR, “Prinsip Dalam Penyelesaian Konflik Dengan Mediasi,” makalah disampaikan pada acara Sheared Learning di Tangkahan, Taman Nasional gunung Leuser, 13-22 Februari, 2006. Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM – HuMa, 2002. ______________.” Pembaharuan Hukum untuk Menggalang Kehidupan Masyarakat Indonesia Baru yang Berperikemanusiaan.” Makalah seminar Nasional “Menggalang Masyarakat Baru yang Berkemanusiaan”, diselenggarakan oleh Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 – 29 Agustus 2002. Yulianti. Kopermas: Masyarakat Hukum Adat Sebagai Tameng Bagi Pihak Yang Berkepentingan. Bogor: CIFOR, 2005.
132
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)