Milik Dep. Dik. Bud. tidak diperdagangkan
POLA PENGUASAAN PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SECARA TRADISIONAL PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
I.
POLA PENGUASAAN PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SECARA TRADISIONAL PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH
1b\
w
Milik Dep. Dik. Bud. tidak diperdagangkan
POLA PENGUASAAN PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SECARA TRADISIONAL PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH
TEAM PENELITI
I.
KONSULTAN
II.
PELAKSANA
DRS. ZAKARIA AHMAD
A.
KETUA
DRS.
RUSDI SUn
B.
SEKRETARIS
DRS. MUHAMMAD IBRAHIM
C.
ANGGOTA
1.
DRS. NASRUDDIN SULAIMAN
2.
DRS. ALAMSYAH
3.
DRS. DAHLAN HASAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH
1984 / 1985
Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1984.
Milik Dep. Dik. Bud. tidak diperdagangkan
POLA PENGUASAAN PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SECARA TRADISIONAL PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH
EDITOR :
-
SYAMSIDAR Drs. SUGIARTO DAKUNG
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH
1984 / 1985
P R A K A T A
Bagian Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi-Kebudayaan Daerah (IDKD) Istimewa Aceh berusaha untuk menginventarisir dan mendokumentasikan serta menerbitkan hasil penelitian setiap tahun. Hasil dari pada Inentarisasi dan Dokumentasi tersebut secara berangsur-angsur diterbitkan sesuai dengan dana yang tersedia. Tahun Anggaran 1987/1988 salah satu yang diterbitkan adalah Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Naskah ini adalah hasil penelitian Tahun 1984/1985. Buku ini memuat tentang Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan tanah oleh masyarakat dalam Daerah Istimewa Aceh, yang telah berhasil diteliti oleh Tim yang dipercayakan untuk itu. Berhasilnya para anggota Tim dalam pelaksanaan tugasnya terutama mengumpulkan data-data hingga buku ini diterbitkan adalah berkat kerja sama dengan berbagai Instansi/Jawatan Pemerintah, Swasta dan tokoh-tokoh masyarakat serta Informan pada umumnya. Disamping itu Pemerintah Daerah, Rektor Universitas Syiah Kuala, Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional, juga telah memberikan bantuan sepenuhnya, seyogianya kami mengucapkan terima kasih. Kepada Penanggung Jawab Peneliti, Konsultan dan Anggota Tim tersebut tak lupa kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Akhirnya penuh harapan kami, semoga penerbitan ini ada manfaatnya.
Banda Aceh, Juli 1987 Bagian Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (IDKD) Istimewa Aceh. Pemimpin
DRS. T. ALAMSJAH NIP. 130 343 205.
i
—
PENGANTAR Bagian Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah menghasilkan beberapa macam naskah Kebudayaan Daerah di antaranya ialah : Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Kami menyadari bahwa naskah ini belumlah merupakan suatu hasil penelitian yang mendalam, tetapi baru pada tahap pencatatan, yang diharapkan dapat disempurnakan pada waktu-waktu selanjutnya. Berhasilnya usaha ini berkat kerja sama yang baik antara Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional dengan Pimpinan dan Staf Bagian Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Pemerintah Daerah. Kantor Wilayah Departemen Pendidikan, Perguruan Tinggi, Leknas/LIPI dan Tenaga ahli di daerah. Oleh karena itu dengan selesainya naskah ini, maka kepada semua pihak yang tersebut di atas kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Demikian pula kepada tim penulis naskah ini di daerah yang terdiri dari : Drs.Zakaria Ahmad, Drs. Rusdi Sufi, Drs. Muhammad Ibrahim, Drs. Nasruddin Sulaiman, Drs. Alamsyah dan Drs. Dahlan Hasan dan tim penyempurnaan naskah di pusat tak lupa kami ucapkan terima kasih. Harapan kami, terbitan ini ada manfaatnya.
Jakarta, Juli 1987. Pemimpin Proyek,
Drs. H. Ahmad Yunus NIP. 130 146112
iii
KATA SAMBUTAN Seirama dengan Pembangunan Nasional secara menyeluruh, Sektor Kebudayaan terus ditata dan dikembangkan. Salah satu upaya dalam menata dan mengembangkan Kebudayaan adalah usaha Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Bagi suatu Daerah yang sedang berkecimpung dalam arena Pembangunan Nasional, data dan Pendokumentasian segala aspek Kebudayaan Daerah perlu mendapat perhatian sebagai salah satu unsur untuk menentukan corak Pembangunan Daerah dan sekaligus memperkokoh dan memperkaya Kebudayaan Nasional. Kegiatan Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh dengan berbagai Aspek Penelitian dan penerbitan adalah dalam rangka ikut berpartisipasi dalam pembangunan daerah. Salah satu Aspek yang diterbitkan tahun ini adalah Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh adalah tata cara tentang Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan tanah di daerah sebagai suatu budaya masyarakat pendukungnya yang perlu diketahui oleh semua fihak agar dapat mendukung program Pemerintah dalam kegiatan pembangunan. Meskipun dirasakan terdapat kekurangan-kekurangan, namun sajian dalam buku ini kiranya dapat memberikan data dan informasi bahwa Propinsi Daerah Istimewa Aceh memiliki potensi budaya yang mempunyai arti tersendiri dalam keanekaragaman Kebudayaan Nasional. Usaha penerbitan buku Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai salah satu hasil penelitian disamping sebagai pendokumentasian juga dimaksudkan untuk merangsang kegairahan berkarya, dan menggali lebih jauh nilai-nilai luhur Bangsa untuk diwariskan kepada Generasi penrus. Kepada semua pihak yang telah membantu usaha penerbitan ini, kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Banda Aceh, Juli 1987 Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh K e p a l a DRS. MOCHTAR DJALAL NIP. 130 317 364
v
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
vii
BAB
I.
PENDAHULUAN 1.1. MASALAH 1.2. TUJUAN 1.3. RUANG LINGKUP 1.4. PERTANGGUNG JAWABAN ILMIAH 1.4.1. 1.4.2. 1.4.3. 1.4.4. 1.4.5. 1.4.6.
BAB
II.
Tahap Persiapan Tahap Pengumpulan Data Tahap Pengolahan Data Penulisan Laporan Hambatan - Hambatan Hasil Akhir
MENEMUKENALI
1 1 1 2 3 3 4 4 5 5 6 7
2.1. LOKASI 2.1.1. Letak 2.1.2. Keadaan Geografis 2.1.3. Pola Perkampungan
o JQ
2.2. PENDUDUK 2.2.1. Jumlah 2.2.2. Jenis Penduduk
21 ,.
2.3. LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA 2.3.1. Sejarah 2.3.2. Sistem Mata Pencaharian Hidup Yang ada Relevansinya Dengan Tanah 2.3.3. 2.3.4.
Sistem Kekerabatan Sistem Religi
2.4. PERTUMBUHAN SISTEM PEMERINTAHAN 2.4.L Masa Sebelum Penjajahan 2.4.2. Masa Belanda 2.4.3. Masa Jepang 2.4.4. Masa Kemerdekaan
7 7
n
14 j4 ig 17 18 is 18 20 21 21
vn
BAB UI.
BAB
IV.
SEJARAH TENTANG TANAH
24
3.1. ASAL USUL PENGUASAAN TANAH 3.1.1. Masa Sebelum Penjajahan 3.1.2. Masa Belanda 3.1.3. Masa Jepang 3.1.4. Masa Kemerdekaan
24 24 27 29 29
3.2.ASAL USUL PEMILIKAN TANAH 3.2.1. Masa Sebelum Penjajahan 3.2.2. Masa Belanda 3.2.3. Masa Jepang 3.2.4. Masa Kemerdekaan
30 30 33 33 34
3.3. ASAL USUL PENGGUNAAN TANAH 3.3.1. Masa Sebelum Penjajahan 3.3.2. Masa Belanda 3.3.3. Masa Jepang 3.3.4. Masa Kemerdekaan
36 36 38 39 40
POLA PENGUASAAN TANAH
43
4.1. PRANATA PRANATA SOSIAL YANG BERLAKU DALAM PENGUASAAN TANAH
43
4.1.1. 4.1.2. 4.1.3. 4.1.4. 4.1.5.
Pranata Politik Pranata Religi Pranata Ekonomi Pranata Lain. Hukum Adat
4.2. BENTUK PENGUASAAN TANAH BAB
V. POLAPEMILIKAN TANAH 5.1. PRANATA PRANATA SOSIAL YANG BERLAKU DALAM PEMILIKAN TANAH 5.1.1. 5.1.2. 5.1.3. 5.1.4. 5.1.5.
Pranata Politik Pranata Religi Pranata Ekonomi Pranata Lain Hukum Adat
5.2. BENTUK PEMILIKAN TANAH BAB
vii
VI. POLA PENGGUNAAN TANAH.
43 46 48 52 52 53 55 55 55 57 59 61 62 62 64
6.1. PRANATA PRANATA SOSIAL YANG BERLAKU DALAM PENGGUNAAN TANAH 6.1.1. 6.1.2. 6.1.3. 6.1.4.
Pranata Pranata Pranata Hukum
Politik Religi Ekonomi Adat
6.2. BENTUK PENGGUNAAN TANAH BAB
VII. A N A L I S A
64 64 65 67 71 72 74
7.1. POLA PENGUASAAN PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SECARA TRADISIONAL. . . . . . . .
74
7.2. POLA PENGUASAAN PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SETELAH BERLAKUNYA UUPA No. 5 TAHUN 1960 DAN UU No. 5 TAHUN 1979..
77
KESIMPULAN
80
BIBLIOGRAFI
86
LAMPIRAN
87
ix
BAB I P E N D A H U L U A N 1.1. MASALAH Dalam hidupnya manusia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan tanah. Hampir semua kegiatan manusia dilakukan di atas tanah. Sehingga dapat disebutkan bahwa tidak ada dari segi kehidupan manusia yang tidak berhubungan dengan tanah. Bagi manusia, tanah bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, tetapi juga menyangkut semua aktifitas sehari-hari, tempat mengadakan upacara, tempat mendirikan rumah tinggal dan bahkan juga tempat manusia dimakamkan. Oleh karenanya, tanah merupakan benda yang paling penting dan tinggi nilainya dari pada benda-benda lain yang dimiliki manusia. . Bersumber dari tanah yang sangat tinggi nilainya ini, timbul berbagai hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang sangat kompleks; seperti dalam penguasaan, pemilikan dan penggunaannya. Sehubungan dengan hal ini maka dijumpai berbagai pranata yang diperlukan untuk pengaturannya, seperti yang terdapat di dalam adat/tradisi yang lazim disebut dengan hukum tanah. Namun pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah ini, mengalami perubahan dari masa kemasa, sesuai dengan situasi zaman. Dalam kaitan dengan hal-hal yang di kemukakan di atas, diperkirakan bahwa pada daerah yang diteliti (Propinsi Daerah Istimewa Aceh, khususnya Kabupaten Aceh Besar) akan dijumpai beberapa permasalahan. Pertama, bagaimanakah pola-pola yang berlaku sehubungan dengan penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah dari masa ke masa; kedua, seberapa jauh adanya konflikkonflik dan keresahan-keresahan sosial dalam masyarakat, yang disebabkan karena ketidak jelasan pola-pola yang menyangkut tentang masalah penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah. Dan ketiga, apakah dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 (tentang struktur desa), telah mengakibatkan timbulnya perubahan-perubahan, atau adanya pola-pola baru dalam hal penguasaan, penuhkan dan penggunaan tanah. Inilah di antaranya yang akan diungkapkan dalam penelitian ini. 1.2. TUJUAN Berdasarkan masalah yang disebutkan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional yang berlaku di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, khususnya
1
di wilayah Kabupaten Aceh Besar. Sehingga akan memudahkan bagi yang berkepentingan khususnya bagi pemerintah dalam menempuh kebijaksanaan sehubungan dengan masalah tanah, di wilayah yang bersangkutan. Selain itu juga untuk mengetahui sejauh mana telah terjadi perubahan-perubahan dalam pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah, akibat berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1979. Dengan penelitian juga diharapkan akan tersedianya data-data dan informasiinformasi yang menyangkut tentang pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, khususnya di Kabupaten Aceh Besar; sehingga dapat dijadikan sebagai bahan kebijaksanaan pembinaan kebudayaan khususnya di lingkungan Direktorat Jendral Kebudayaan. Tujuan lain dari penelitian ini yaitu, agar tersedianya suatu naskah tentang pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah secara tradisional di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, khususnya di Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Besar. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah dari masa ke masa di wilayah yang diteliti. Dan juga agar dapat digunakan oleh pemerintah sebagai pedoman dalam rangka mengadakan pembangunan. 1.3. RUANG LINGKUP Ada dua ruang lingkup utama yang terdapat dalam penelitian ini; pertama ruang lingkup materi. Disini menyangkut uraian tentang berbagai hak atas tanah pengaturan penggunaannya yang ditentukan oleh sejumlah pranata yang ada dalam kebudayaan masyarakat di wilayah yang diteliti (kebudayaan masyarakat Aceh). Jadi dalam ruang lingkup permasalahan ini mengandung dua komponen, yaitu pranata dan tanah. Dengan mengetengahkan kedua komponen ini maka akan dapat diketahui tentang pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah di daerah Istimewa Aceh umumnya dan di Kabupaten Aceh Besar khususnya. Meskipun titik berat uraian tentang dua komponen tersebut, tetapi di sini juga disinggung secara garis besar tentang kondisi daerah daerah bersangkutan dan juga tentang latar belakang masyarakat di wilayah lokasi penelitian. Kedua, ruang lingkup operasional (lokasi penelitian). Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Daerah Istimewa Aceh; yang meliputi 14 buah kecamatan. Namun penelitian secara khusus dilakukan di tiga kecamatan, yaitu 1. Kecamatan Mesjid'Raya, 2. Kecamatan Sukamakmur, dan 3. Kecamatan Indrapuri. Pemilihan ketiga kecamatan ini didasarkan atas adanya perbedaan2
perbedaan yang menyangkut tentang tanah dan pranata yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat di Kabupaten Aceh Besar. Pemilihan lebih khusus atas kecamatan Mesjid Raya, karena kecamatan ini berlokasi dekat laut/berbatas dengan laut; di sini terdapat tanoh neuhen (tanah tambak) dan sebagainya yang memiliki pranata sendiri. Pemilihan kecamatan Sukamakmur, karena kecamatan ini terletak pada dataran rendah, dengan pola-pola dan pranata-pranata yang menyangkut tanah yang berbeda pula. Sedangkan pemilihan kecamatan Indrapuri, karena wilayah ini terletak pada daerah perbukitan/pegunungan yang juga memiliki hak-hak atas tanah dan pranata-pranata yang berbeda pula. Adapun pemilihan Kabupaten Aceh Besar secara keseluruhan untuk lokasi penelitian, dengan alasan bahwa daerah ini menurut keterangan dari yang berwenang (Pemerintah Daerah) termasuk yang paling menonjol rawan dalam masalah tanah di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Di sini masih dijumpai berbagai hak atas tanah, baik yang menyangkut tentang pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah yang berlaku secara tradisional. 1.4. PERTANGGUNG JAWABAN ILMIAH 1.4.1.
Tahap Persiapan
Sesuai dengan petunjuk dan pengarahan dari tim Pusat Penelitian tentang Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional, maka dalam tahap persiapan ini telah dilakukan serangkaian kegiatan. Pertama, menyusun anggota tim peneliti, yang terdiri dari seorang ketua/penanggung jawab (yang telah mendapat pengarahan dari tim pusat), seorang sekretaris yang juga merangkap anggota, dan tiga orang anggota lainnya, serta seorang konsultan. Kepada anggota tim ini telah ditentukan tugas masing-masing, sehubungan dengan penelitian. Kedua, oleh ketua/penanggung jawab tim telah memberikan pengarahan kepada anggota tim; yaitu menjelaskan tentang T O R yang terdapat dalam buku Pola Penelitian / Kerangka Laporan Dan Petunjuk Pelaksanaan tentang Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional. Bukui ini dikeluarkan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Pusat; menjelaskan tentang materi Pola Penguasaan Pemilikan dari Penggunaan Tanah secara Tradisional; menjelaskan tentang kerangka dasar laporan, tentang metode yang digunakan dan sebagainya. Kesemuanya merupakan penyambungan dari apa yang telah disampaikan oleh pengarah-pengarah di Pusat kepada ketua-ketua aspek yang telah berlangsung di Hotel USSU Cisarua Bogor pada tanggal 20 s/d 26 Mei 1984, untuk diteruskan kepada anggota-anggota peneliti di daerah. Kegiatan ketiga yaitu penyusunan rencana kerja dan pengadaan instrumen penelitian. 3
1.4.2.
Tahap Pengumpulan Data.
Pada tahap ini telah dilakukan dua kegiatan utama, yaitu kegiatan penelitian kepustakaan dan kegiatan penelitian lapangan. Kegiatan penelitian kepustakaan dilakukan pada beberapa perpustakaan yang terdapat di Kotamadya Banda Aceh. Adapun perpustakaan yang dikunjungi adalah : a. Perpustakaan Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh; b. Perpustakaan Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh; c. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala; d. Perpustakaan Pusat Universitas Syiah Kuala; e. Perpustakaan Negara; dan f. Perpustakaan Museum Negeri Aceh. Dari penelitian ini telah dikumpulkan sejumlah data yang diperlukan sehubungan dengan tujuan penelitian; yang kesemuanya diperoleh melalui buku-buku dan artikel-artikel baik yang ditulis oleh orang-orang Indonesia maupun oleh orang-orang asing. Buku-buku dan artikel-artikel yang telah digunakan untuk keperluan penelitian ini dapat dilihat pada bagian akhir naskah ini. Kegiatan penelitian lapangan, telah dilaksanakan di Kabupaten Aceh Besar (salah satu kabupaten yang terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh), khususnya pada tiga buah kecamatan. Yiatu kecamatan Mesjid Raya, kecamatan Sukamakmur dan kecamatan Indrapuri. Pemilihan ketiga kecamatan ini sebagai lokasi penelitian, berdasarkan adanya variasi dari berbagai hal yang menyangkut Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara tradisional yang terdapat di tiga kecamatan tersebut di atas (alasan yang lebih terperinci telah disebutkan pada bagian 1.3., Ruang Lingkup di atas). Selama kegiatan penelitian lapangan, telah digunakan metode observasi dan wawancara. Dengan observasi dicoba untuk mendapatkan gambaran umum dan konsepsi tentang tanah yang ada dalam masyarakat. Untuk wawancara tim peneliti secara selektif telah memilih mereka yang diwawancarai yang cukup representatif atau yang dianggap mengetahui masalah yang diteliti. Penelitian yang diadakan di tiga kecamatan tersebut, telah dilakukan masing-masing oleh 2 orang anggota tim peneliti. Sejumlah informan dari masing-masing Kecamatan yang telah diwawancarai ini juga dapat dilihat dalam naskah ini pada bagian akhir. 1.4.3.
Tahap Pengolahan Data.
Setelah tahap pengumpulan data selesai, maka tahap berikutnya yaitu dilakukan kegiatan pemeriksaaan terhadap data yang masuk; baik data lapangan dari hasil wawancara maupun yang diperoleh melalui buku-buku dan artikelartikel. Setelah diadakan pemeriksaan kembali, maka diadakan pengklasifikasian data sesuai dengan kerangka dasar laporan; pengolahan data serta mengadakan 4
diskusi sesama anggota tim peneliti dan kemudian menganalisanya. Dari kesemua hasil analisa data ini, ditulis dalam bentuk laporan draft. Draft ini didiskusikan lagi antar tim peneliti dan juga konsultan, untuk perbaikan yang kemudian disusun kembali menjadi laporan akhir. Waktu yang digunakan untuk tahap .pengolahan data ini, selama 45 hari (sejak pertengahan bulan Nopember hingga akhir bulan Desember 1984). 1.4.4.
Penulisan Laporan.
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan yaitu, penyadaran data-data sehubungan dengan tema penelitian; penyusunan konsepsi-konsepsi melalui diskusi anggota tim peneliti; dan akhirnya mengadakan sistese/perangkaian data yang merupakan penulisan laporan. Adapun yang menyangkut dengan sistem penulisan, organisasi laporan, bahasa, sistem bibliografi, indeks dan lampiran, dalam penyusunan laporan ini supaya seragam, maka diusahakan menurut petunjuk dari tim pusat seperti termuat dalam buku Pola Penelitian/Kerangka Laporan Dan Petunjuk Pelaksanaan, aspek Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional, Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Pusat, 1984/1985. 1.4.5.
Hambatan-hambatan.
Dalam melakukan penelitian ini, tim peneliti sebenarnya tidak mendapatkan hambatan-hambatan yang berarti. Tetapi karena yang diteliti ini menyangkut dengan masalah tanah yang merupakan benda paling penting dan bernilai bagi penduduk di wilayah yang diteliti, maka dalam melakukan penelitian ke lapangan pada mulanya anggota tim peneliti diliputi perasaan was-was dan sangat berhati-hati. Karena anggota tim peneliti khawatir, jangan-jangan data yang diperlukan itu sulit didapat. Hal ini berasalasan karena pada mulanya memang ada informan yang ragu-ragu dan menyangka bahwa pelacakan terhadap masalah tanah yang dilakukan anggota tim peneliti, ada hubungannya dengan masalah pajak/ipeda. Tetapi setelah dijelaskan dan juga dengan menunjukkan surat dari yang berwenang (izin untuk mengadakan penelitian yang dikeluarkan Pemda) maka keragu-raguan dan salah sangka informan itu hilang. Hambatan lain yang pernah ditemui pula oleh anggota tim peneliti yaitu, sulitnya mendapatkan informan yang dianggap representatif/mengerti masalah; karena yang diteliti ini menyangkut masalah adat/tradisi lama, yang mana generasi muda belum banyak mengetahui. Namun dengan pelacakan yang terus-menerus oleh anggota tim peneliti, maka informan-informan yang representatif ini diperoleh juga, meskipun terbatas. Dan kebanyakan di antara mereka pada umumnya sudah berusia lanjut.
5
1.4.6.
Hasil Akhir.
Laporan penelitian ini yang merupakan hasil akhir yang dapat dicapai, seluruhnya diperinci dalam 7 bab dan kesimpulan. Bab pertama merupakan pendahuluan. Dalam bab ini di kemukakan tentang latar belakang masalah yang diteliti, tujuan dari pada penelitian, ruang lingkupnya dan pertanggung jawaban ilmiah dari pada peneUtian. Dalam bab kedua diberikan gambaran tentang daerah peneUtian, atau dengan istilah menemukenaU (identifikasi), yang menyangkut tentang lokasi peneUtian, tentang penduduk, tentang latar belakang sosial budaya dari masyarakat yang diteliti dan yang terakhir tentang pertumbuhan sistem pemerintahan di wilayah yang diteliti dari masa ke masa (sebelum penjajah, masa Belanda, masa Jepang dan masa kemerdekaan, Bab tiga, yaitu sejarah tentang tanah, yang diperinci dalam tiga bagian, yakni : asal usul penguasaan, asal usul pemilikan tanah dan asal usul penggunaannya, dari masa ke masa. Bab empat diuraikan tentang pola penguasaan tanah. Di sini dicoba di kemukakan tentang berbagai pranata sosial yang berlaku dalam penguasaan tanah (pranata poUtik, pranata reUgi, pranata ekonomi, pranata-pranata lain dan hukum adat); dan juga tentang bentuk-bentuk penguasaan tanah. Bab Uma, tentang pola pemilikan tanah. Di sini juga dikemukakan tentang pranata-pranata sosial yang berlaku dalam pemilikan tanah yang perinciannya sama seperti bab empat; dan juga tentang bentuk pemiUkan tanah. Bab enam mengenai pola penggunaan tanah. Di sini juga dikemukakan tentang pranata-pranata sosial yang berlaku dalam penggunaan tanah; yang perinciannya juga sama dengan bab empat dan bab Uma; serta juga di kemukakan tentang bentuk penggunaan tanah. Bab tujuh, anaUsa. Dalam bab ini dicoba untuk dianalisa tentang : pola penguasaan pemiUkan dan penggunaan tanah secara tradisional sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 dan Undang-Undang No.5 tahun 1979. Dalam kesimpulan dicoba untuk mengambil konklusi, tentang pola penguasaan, pemiUkan dan penggunaan tanah secara tradisional yang terdapat 'dii Propinsi Daerah Istimewa Aceh, khususnya di wilayah Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Besar. Dalam laporan hasil akhir ini juga dicantumkan sejumlah BibUografi yang digunakan dalam penyusunan laporan ini; dan juga sejumlah informan yang pernah diwawancarai untuk mendapatkan data-data primer guna penyusunan laporan ini; serta juga sejumlah peta yang menunjukkan lokasi peneUtian.
6
BAB II MENEMUKENALI 2.1.LOKASI 2.1.1.
Letak
Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar merupakan salah satu di antara 8 (delapan) kabupaten yang terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sekarang. Terletak di bagian paling ujung pulau Sumatera; sebagai bagian paling Barat dan paling Utara dari wilayah Indonesia. Memanjang dari Barat Laut ke Selatan, dengan batas-batasnya sebagai berikut : sebelah Utara dengan Teluk Benggala dan Selat Malaka; sebelah Timur dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Pidie dan Selat Malaka; sebelah Barat dengan Lautan Hindia; sebelah Selatan dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Barat dan Propinsi Sumatera Utara. Secara astronomis terletak pada 95° 13' dan 98° 17' Bujur Timur dan antara 5,2° 48' dan 5,8° 40' Lintang Utara. Prasarana jalan yang terdapat di Kabupaten Aceh Besar dapat diklasifikasikan atas 4 (empat) golongan, yaitu : jalan negara, jalan propinsi, jalan kabupaten dan jalan desa. Panjang masing-masing jalan ini adalah sebagai berikut : jalan negara 77 km., jalan Propinsi 98,47 km., dan jalan kabupaten 614 km.; sedangkan jalan desa (yang menghubungkan antar desa) belum didapatkan suatu angka yang kongkrit. Jalan negara dan jalan Propinsi keadaannya cukup baik, dalam arti seluruhnya sudah diaspal; jalan kabupaten, di samping ada yang sudah diaspal juga masih terdapat jalan-jalan batu yang diperkeras; sedangkan jalan desa pada umumnya belum diaspal. Dengan adanya prasarana jalan ini maka berbagai jenis alat transportasi darat di wilayah Aceh Besar dapat dikatakan cukup lancar; terutama yang menyangkut hubungan antar kecamatan dan juga hubungan dengan ibukota kabupaten Jantho yang letaknya sekitar 52 km. dari kota Banda Aceh. Sebagaimana telah disebutkan bahwa lokasi peneUtian dipusatkan pada 3 (tiga) kecamatan di antara 12 kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Besar. Jarak antara lokasi ini dengan ibukota kabupaten adalah sebagai berikut : Kecamatan Mesjid Raya 50 km., Kecamatan Suka Makmur 30 km., dan Kecamatan Indrapuri 15 km. Hubungan antara lokasi peneUtian ini dengan ibukota kabupaten tersebut dapat ditempuh dengan kenderaan mobil, sepeda motor dan 7
sepeda. Jenis-jenis transportasi ini pulalah yang juga menghubungkan antara daerah lokasi peneUtian dengan daerah-daerah lain di sekitarnya. Luas Kabupaten Aceh Besar 273.707.50 Ha dengan perincian penggunaan tanah sebagai berikut : 4005 Kota dan Kampung Ha ( 1,463%) 23653,75 Ha ( 8,64 % ) Sawah 665,50 Ha ( 0,243%) Ladang dan Tegalan 12279,25 Ha ( 4,486%) Perkebunan rakyat 61286,75 Ha (22,391%) Padang Rumput/padang pengembalaan 127,75 Ha ( 0,05%) Tambak ikan 33804,75 Ha (12,35%) Hutan muda 2,08 2,084 Ha ( 4,10%) Rawa 127,75 750 Ha (47,34%) Hutan 440 Ha ( 0,146%) Lain - lain Luas lokasi khusus daerah peneUtian adalah sebagai berikut : Kecamatan Mesjid Raya 11,115 Ha; Kecamatan Suka Makmur 8,025 Ha; dan Kecamatan Indrapuri 45,644,50 Ha. Masing-masing Kecamatan tersebut di atas, terdiri dari sejumlah Mukim (unit pemerintahan yang berada dil' bawah Kecamatan atau gabungan dari beberapa buah kampung/desa) dan sejumlah Gampong (kampung). Kecamatan Mesjid Raya terdiri atas 5 mukim dan 58 buah gampong; kecamatan Sukamakmur terdiri atas 8 mukim dan 75 buah gampong; dan kecamatan Indrapuri terdiri atas 4 buah mukim dan 75 buah gampong. Penduduk gampong / desa ini pada umumnya terdiri dari suku Aceh dan beragama Islam. Di setiap gampong terdapat sebuah Meunasah yang berfungsi selain sebagai tempat beribadah (tempat sembahyang dan pengajian) juga sebagai tempat musyawarah gampung / kampung, tempat tidur anak-anak muda dan sebagainya. Tata kehidupan di kampung-kampung ini diatur menurut adat berdasarkan kaidah-kaidah dalam agama Islam. Sehubungan dengan hal ini di daerah Aceh pada umumnya dan di kampung-kampung ini pada khususnya, dikenal sebuah ungkapan yang berbunyi hukom ngon adat han jeut ere lage zat ngon sifet artinya kaidah-kaidah agama Islam tidak boleh dipisahkan sudah menyatu seperti zat dengan sifatnya. Alam Flora Daerah ini memiliki berbagai macam tanaman atau tumbuh-tumbuhan. Tanaman-tanaman tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu : a.
8
Tanaman pangan terdiri dari : 'padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan lain-lain.
b.
Tanaman buah-buahan dan sayuran. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah : jeruk, mangga, duren, jambu, pisang, pepaya, langsat dan sayuran yaitu : bawang merah, bawang putih, lombok, ketimun, tomat, buncis, kentang dan lain-lain.
c.
Tanaman perkebunan seperti : kelapa, kopi, cengkeh, pala, karet, kelapa sawit dan tembakau.
Alam Fauna Kabupaten Aceh Besar disamping memiliki berbagai macam tanaman, juga memiliki berbagai macam binatang Binatang-binatang yang hidup di daerah ini dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu : a.
Binatang yang dapat membantu perekonomian masyarakat. Binatangbinatang yang termasuk kelompok ini adalah : kambing, biri-biri, kerbau, lembu, kuda, dan bermacam jenis unggas yaitu ayam, itik, itik serati, angsa dan merpati. Termasuk juga dalam kelompok ini ialah berbagai jenis ikan yaitu: leleh, belanak, mujair, bandeng, udang, bawal, badu, kakap, gabul/ gabu, sisiek/sisek dan lain-lain.
b.
Binatang Uar yang diUndungi negara maupun tidak diUndungi. Binatangbinatang tersebut adalah : rusa kijang, penyu, badeak/badak, bui/babi, remueng/harimau, bue/kera dan lain-lain.
c.
Binatang yang dipelihara karena kesenangan (hiburan). Yang termasuk kelompok ini adalah : kucing dan anjing. 2.1.2.
Keadaan Geografis
Seperti halnya dengan kabupaten-kabupaten lain di Daerah Istimewa Aceh dan juga daerah-daerah lain di Indonesia, Kabupaten Aceh Besar berikUm tropis. Pada umumnya di daerah ini terdapat 2 (dua) musim yang menonjol, yaitu musim Barat dan musim Timur. Pada waktu musim Barat yang dimulai dari bulan Agustus s/d bulan Desember, angin berembus dari Barat ke Timur dengan curah hujan relatip tinggi, sehingga ada juga yang menyebutnya musim hujan. Sebaliknya pada musim Timur yang dimulai dari bulan Januari s/d bulan JuU angin berembus dari Timur ke Barat dengan curah hujan relatip rendah, sehingga sering juga disebut musim kemarau. Keadaan iklim yang demikian itu, menyebabkan temperatur di Kabupaten Aceh Besar adalah sebagai berikut : maksimum 31,20°C. minimum 24,40°C. dan rata-rata sekitar 28,1°C. Kelembaban relatip maksimum 85%, minimum 59% dan rata-rata 71%; sedangkan kecepatan angin maksimum 0,5 knot per9
jam. Bila dilihat keadaan alamnya, daerah ini terdiri dari 3 bentuk topografi, yaitu : a. tanah datar landai, b. tanah berbukit/bergelombang kecil-kecil; dan c. tanah pegunungan curam s/d sangat curam. Tanah daftar terutama dapat dijumpai pada bagian tengah sepanjang daerah aüran sungai / Krueng Aceh yang merupakan daerah pemukiman dan persawahan/perkebunan penduduk. Tanah berbukit / bergelombang kecil-kecil terdapat pada bagian Tenggara dan dataran/ lembah sungai Aceh yang merupakan bagian yang relatip luas. daerah berbukit ini mempunyai ketinggian antara 25 - 500 m. dari permukaan laut. Areal ini mempunyai padang rumput, hutan, sedikit untuk daerah pertanian dan pemukiman penduduk.. Tanah pegunungan dengan kemiringan curam sedang dan sangat curam terdapat di bagian Selatan, dengan ketinggian antara 500 - 1200 m. dari permukaan laut. Kalau dilihat dari jenis tanah, Kabupaten Aceh Besar terdiri dari : a. jenis Latosol yang dapat dijumpai di sekitar Gunung Seulawah Agam dan Gunung Seulawah Inong yang diperkirakan 16% dari luas daerah; b. jenis Potsolit merah kuning, yang terdapat pada daerah dengan ketinggian antara 10 — 300 m. dari permukaan laut, dengan luas % dari luas daerah; c. jenis Benzona, yang banyak dijumpai pada daerah deretan pegunungan bukit Barat, yang merupakan tanah batu kapur, dengan luas 7% dari luas daerah; dan d. jenis Aluvial, Hydromorph serta jenis Regosal yang terdapat di daerah pantai dengan ketinggian pada 0 - 10 m. dari permukaan air laut, dengan luas sekitar 6% dari luas seluruh daerah. 2.1.3.
Pola Perkampungan
Kabupaten Aceh Besar dapat dikatakan mempunyai pola perkampungan yang sama dengan daerah adat Aceh, yang mana secara keseluruhan tidak menyebar ke seluruh areal. Karena itu banyak ditemukan daerah yang masih padang alang-alang dan semak belukar, sebab belum dijamah oleh tangan manusia. Kampung-kampung penduduk pada umumnya masih memusat pada pinggiran sungai, pinggiran laut (daerah pesisir) dan pada pinggiran danau, bahkan ada yang memusat di lembah-lembah antara celah-celah gunung (daerah pedalaman sesuai dengan kondisi daerah tersebut), mereka hidup mengelompok. Perujudan kampung-kampung pada umumnya terjadi atas 20-50 rumah pendudukk yang dikepalai seorang kepala kampung (gampong) yang disebut keuchik dari 5-7 gampong terbentuk sebuah mukim yang disebut Imum mukim. Tiap-tiap perkampungan ditandai dengan adanya meunasah (menasah).
10
Meunasah berfungsi sebagai tempat anak-anak belajar mengaji (Al Quran), tempat sembahyang berjemaah (kecuaü sembahyang Jum'at), tempat tidur pemuda dan tempat aktifitas perkampungan dan kadang-kadang dipakai sebagai sarana untuk menyampaikan instruksi-instruksi oleh pimpinan kampung. Jadi meunasah mengandung fungsi sosial dan keagamaan. Batas-batas desa hingga masa kini, merupakan batas-batas desa peninggalan zaman koloniah Belanda, walaupun terjadi perubahan-perubahan kecil di sana-sini, yang tidak begitu berarti. Bangunan-bangunan umum biasanya berada di pusat suatu desa seperti meunasah, mesjid, kantor kecamatan, gedung sekolah, madrasah. Disamping itu terdapat pula bangunan keagamaan seperti pesantren dan kuburan para ahm ulama. Bangunan-bangunan itu masih berada dalam bentuk asU yang terbuat dari bahan kayu. Hanya sebagian kecil dari bangunan itu yang sudah dibangun dengan bahan-bahan bangunan modern. Perubahan bahan bangunan ini terjadi sejak tahun 1966, hingga .sekarang terlihat bahwa masyarakat Aceh umumnya, masyarakat Aceh Besar khususnya memulai pembangunan rumahnya dengan bahan dan kerangka modern yang mengarah kepada suatu pola arsitektur yang baru. 2.2. PENDUDUK 2.2.1.
Jumlah.
Menurut hasil sensus penduduk tahun 1971, jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Besar 181,579 jiwa dan dari hasil sensus tahun 1980 berjumlah 236,254 jiwa. Terlihat bahwa selama 9 tahun, pertumbuhan penduduk adalah 54.657 jiwa yang berarti laju pertumbuhan sekitar 2,5% setahun. Perincian pertambahannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
11
TABEL 1 JUMLAH PENDUDUK TAHUN 1971 dan 1980 No.
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Mesjid Raya Peukan Bada Lhok Nga/Leupung Lhoong Darullmarah Ingin Jaya Darussalam Kuta Baro Montasik Sukamakmur Indrapuri SeuUmum Jumlah
Sensus 1971
Sensus IS
28.874 14.163 13.145 6.301 17.135 16.607 16.075 11.699 16.480 13.421 13.916 13.721
40.093 19.448 17.426 8.271 21.917 22.731 22.001 14.610 19.173 15.887 17.045 17.662
181.597
236.254.
Sumber : Kantor Sensus Kecamatan. Jumlah penduduk ini bila dikaitkan dengan luas daerah (273.707,50 Ha) maka tingkat kepadatan penduduk rata-rata 57 jiwa perkilometer. Di kecamatankecamatan yang menjadi pusat lokasi peneUtian, penyebaran penduduk adalah sebagai berikut : Kecamatan Mesjid Raya dengan luas daerah 1.115 km 2 mempunyai jumlah penduduk 40.093 jiwa, yang berarti rata-rata 35 jiwa per Km 2 ; Kecamatan Sukamakmur dengan luas daerah 802,5 Km2 mempunyai jumlah penduduk 15.887 jiwa, berarti rata-rata 20 jiwa per Km 2 ; dan kecamatan Indrapuri dengan luas wilayah 4.5'64,45 Km 2 , mempunyai penduduk 17.045 jiwa, berarti 3 jiwa per Km 2 . Untuk jelasnya jumlah penduduk secara umum menurut hasil sensus tahun 1980 di kecamatan-kecamatan dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar lihat tabel berikut.
12
TABEL 2 JUMLAH PENDUDUK TAHUN 1980 No.
Kecamatan
Luas daerah (Km2)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Mesjid Raya Peukan Bada Lhok Nga/Leupung Lhoong Darul Imarah Ingin Jaya Darussalam Kuta Baro Mon tasik Sukamakmur Indrapuri Seulimum
1,115 1,356,675 2,097,475 1,520 530 79 808,75 617,3 1,076,2 802,5 4,564,45 12,806,9
Jlh.Penduduk
40.093 19.448 17.428 8.271 21.917 22.731 22.001 14.610 19.173 15.887 17.045 17.662
Rata-Rata perKm2 35 14 8 5 41 286 24 23 17 20 3 1
Sumber : Kantor Sensus Kecamatan. Jika diperinci menurut jenis kelamin maka komposisi penduduk di daerah ini susunannya dapat dilihat pada tabel berikut ini. TABEL 3 JUMLAH PENDUDUK MENURUT JENIS KELAMIN No.
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Mesjid Raya Peukan Bada Lhok Nga/Leupung Lhoong Darul Imarah Ingin Jaya Darussalam Kuta Baro Montasik Sukamakmur Indrapuri Seulimum Jumlah
Jmlh.
Laki-Laki
Perempuan
20.616 10.013 9.013 4.239 11.261 11.738 11.318 7.275 9.349 7.980 8.484 8.962
19.352 9.433 8.414 4.051 10.647 10.993 10.687 7.341 9.826 7.907 8.574 8.705
39.968 19.446 17.427 8.290 21.908 22.731 22.005 14.616 19.175 15.887 17.058 17.667
120.175
116.003
236.178
Sumber : Kantor Sensus Kecamatan.
13
2.2.2
Jenis Penduduk.
Penduduk tersebut di atas, sebagian besar adalah penduduk asli (suku Aceh) yang seluruhnya beragama Islam. Selain itu terdapat pula penduduk sebagai pendatang (suku Jawa) yang mendiami sekitar irigasi Krueng Jreue di Kecamatan Indrapuri dan daerah pegunungan Sare di Kecamatan Seulimum. Dan juga penduduk asing (warga negara asing) sejumlah 236 jiwa yang hanya terdapat di Kecamatan Mesjid Raya (164 jiwa); kecamatan Darul Imarah (30 jiwa) dan di kecamatan Darussalam (42 jiwa). Seperti telah disebutkan bahwa apabila jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Besar dikaitkan dengan luas daerah, maka tingkat kepadatannya adalah rata-rata 57 jiwa per Km 2 . Namun seperti terlihat pada tabel no.2, penyebaran penduduk pada tiap kecamatan tidak sama. Kebanyakan penduduk bermukim di lembah Aceh, sepanjang aliran sungai Aceh yang hidup secara mengelompok. Hanya di tiga kecamatan saja (Kecamatan Seulimum, Kecamatan Indrapuri dan Kecamatan Lhok Nga/Leupung) sebagian penduduk yang daerah pemukimannya dapat dikatakan agak berpencar. 2.3. LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA 2.3.1.
Sejarah.
Jika dilihat secara kronologis fase-fase perkembangan kebudayaan dari masyarakat atau suku bangsa yang mendiami Kabupaten Aceh Besar, maka dapat dibagi dalam 3 fase. Pertama fase sebelum masuk agama Islam; kedua fase Islam dan ketiga fase pengaruh bangsa asing/Belanda. Pada fase sebelum Islam, kebudayaan di daerah ini dapat dikatakan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Budha. Dan tentunya juga pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme. Sisa-sisa dari kepercayaan yang tersebut terakhir masih dapat dijumpai/terlihat dalam kehidupan masyarakat di wilayah ini sampai sekarang, meskipun telah dipengaruhi oleh kepercayaan lain yang datang sesudahnya (seperti pengaruh Islam). Khusus mengenai sisa pengaruh Hindu dan Budha di antaranya beberapa peninggalan purbakala seperti benteng Indrapatra (di wilayah Kecamatan Mesjid Raya), benteng Indrapurwa (di kecamatan Peukan Bada), dan benteng Indrapuri yang kemudian di atasnya telah didirikan sebuah mesjid (di wilayah Kecamatan Indrapuri). Ketiga peninggalan ini dapat dijadikan sebagai indikasi adanya pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha di wilayah ini. Namun hal-hal yang lebih kongkrit dari peninggalan Hindu dan Budha seperti yang dijumpai di pulau Jawa (berupa candi dan lain-lain) sampai sekarang belum dijumpai di daerah ini. Hal ini mungkin disebabkan pernah terjadi semacam revolusi kepercayaan akibat berkembangnya agama Islam; sehingga peninggalan-peninggalan yang berbau kepercayaan lama (Hindu dan Budha) dihancurkan. Kedatangan agama Islam di berbagai daerah di Indonesia tidak bersamaan. 14
Tetapi daerah tempat Islam pertama bertapak salah satu di antaranya yaitu wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang. Daerah inilah yang pada mulanya dikenal dengan nama Aceh, yang dalam bahasa Aceh disebut dengan nama Aceh Rayeuk (Aceh Besar); dan untuk nama ini ada juga yang menyebut dengan nama Aceh Inti (Aceh Proper) atau Aceh sebenarnya. Disebut demikian karena daerah inilah pada mulanya yang menjadi inti kerajaan Aceh, dan juga karena di daerah ini pula terletak ibukota kerajaan yang bernama Bandar Aceh Darussalam. Terbentuknya kerajaan Aceh diperkirakan pada awal abad ke XVI; setelah jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis pada tahun 1511. Oleh para saudagar Islam waktu itu Aceh digunakan sebagai pengganti Malaka, baik sebagai tempat berdagang maupun sebagai tempat penyebaran agama Islam ke wilayahwilayah lain di Nusantara. Oleh karenanya Aceh berkembang sebagai sebuah kerajaan Islam di belahan barat kepualauan Indonesia, yang merupakan awal dari fase pengaruh Islam. Puncak kejayaan kerajaan ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Di bawah Sultan ini banyak ketentuan dan peraturan yang ditetapkan/diciptakan. Di antaranya ada yang terus "hidup" dan berlaku sampai dewasa ini; seperti yang dikenal dengan nama Adat Meukuta Alam, yaitu tentang tata cara dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di kerajaan atau dalam masyarakat Aceh. Sebagai sebuah kerajaan Islam, pengaruh ajaran Islam sangat besar dan kuat terhadap masyarakat Aceh. Lebih-lebih karena pengaruh Hindu dan Budha tidak begitu mendalam. Berbagai aspek kehidupan masyarakat di pengaruhi oleh ajaran Islam ini. Namun demikian tidak berarti bahwa segala hal dan ketentuan yang berlaku di Aceh (khususnya di Kabupaten Aceh Besar) diatur menurut ketentuan Islam. Karena di samping hukom (syariat Islam) kebiasaankebiasaan lama (adat) masih tetap dipakai dalam mengatur tata kehidupan masyarakat. Tetapi karena mendalamnya pengaruh ajaran Islam, maka antara hukom dengan adat telah terjadi penyesuaian yang luar biasa. Sehingga sudah sulit untuk dibedakan mana yang hukom dan mana yang adat. Hal ini tercermin dalam ungkapan terkenal di Aceh seperti telah disinggung di atas yaitu Adat ngon hukom han jeut ere lage zat ngon sifeuet yang artinya adat dan hukum Islam tidak boleh dipisahkan sudah seperti zat dengan sifatnya. Pengaruh bangsa asing/Belanda, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia terlambat masuk ke Aceh. Meskipun Belanda pertama masuk ke Aceh pada tahun 1873 (saat mereka menyerang Aceh, yang merupakan awal pecahnya perang antara Belanda dengan Aceh), tetapi pengaruh mereka (Belanda) terutama dalam bidang kebudayaan, baru mulai pada permulaan abad ke XX. Pada saat itu masyarakat Aceh telah mulai berkenalan dengan 15
unsur-unsur kebudayaan Barat/Belanda. Sehingga hal ini juga telah mempengaruhi perkembangan kebudayaan di daerah ini. Dan dalam perkembangannya telah mengakibatkan timbulnya perubahan-perubahan dalam masyarakat, khususnya dalam bidang kebudayaan. 2.3.2.
Sistem Mata Pencaharian Hidup Yang Ada Relevansinya Dengan Tanah.
Mata pencaharian utama bagi penduduk di Kabupaten Aceh Besar adalah pertanian. Dari semua bidang pertanian, bersawah (menanam padi) menempati tempat teratas dan dikerjakan oleh semua penduduk. Sebagai contoh misalnya bagi mereka yang berprofesi sebagai Nelayan, bila ada tanah yang dapat ditanami di sekitar kampung-kampung mereka, maka tanah tersebut mereka manfaatkan untuk lahan usaha tani. Hal ini lebih-lebih bila keadaan iklim tidak memungkinkan para nelayan untuk turun ke laut. Padi yang dihasilkan, di samping untuk konsumsi sendiri, juga untuk dipasarkan guna memenuhi kebutuhan lainnya. Selain itu juga mereka yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri dan lain-lain (terutama yang tinggal di pedesaan) tidak jarang pula yang juga mendapatkan penghasilan dari hasil pertanian. Karena pada umumnya mereka juga mengusahakan usaha-usaha tani. Untuk mengetahui bagaimana antusiasnya masyarakat di Kabupaten Aceh Besar terhadap pertanian ini tersirat dalam dua buah peribahasa yang berbunyi : "Seumayang pangulee ibadat, meugo pangulee haurekat" artinya sembahyang adalah bagian terpenting dari ibadat, tetapi usaha bertani merupakan sumber utama mata pencaharian. Dan yang sebuah lagi, "Kaya meueh hana meusampe, kaya pade meusampurna", artinya kaya emas tidak mencukupi tetapi kaya padi yang paling sempurna. Berkebun termasuk urutan kedua terpenting setelah bersawah. Dalam mengusahakan kebun, para petani biasanya tidak mengkhususkan pada satu jenis tanaman tertentu dalam sebuah kebun, tetapi menanam berjenis tanaman, hal ini dilakukan karena masing-masing tanaman mempunyai satu musim berbuah sendiri; sehingga dalam satu tahun ada penghasilan yang terus-menerus. Jenis tanaman kebun yang utama yaitu rambutan, langsat, durian, kelapa, pisang, jeruk dan lain-lain. Akhir-akhir ini juga telah ada cengkeh dan jambu mete. Mata pencaharian lainnya yang berhubungan dengan pertanian yaitu pemeliharaan ternak (lembu, kerbau, kambing dan lain-lain). Lembu dan kerbau selain untuk dijual, juga digunakan sebagai penarik bahak di sawah-sawah, ladang-ladang ataupun di kebun-kebun. Penanaman tanaman muda dan palawija, juga merupakan salah satu sumber penghasilan penduduk yang berhubungan dengan bidang pertanian (tanah). Tanaman ini kebanyakan dikerjakan/ditempatkan pada dataran sepanjang kiri 16
dan kanan sungai Aceh. Selain itu di beberapa kecamatan yang berbatasan dengan laut (seperti kecamatan Mesjid Raya dan Keucamatan Peukan Bada serta kecamatan Lhok Nga / Leupung) juga ada penduduk yang mengusahakan tambak-tambak ikan dan pembuatan garam. Meskipun dalam jumlah kecil, tetapi usaha-usaha ini juga merupakan mata pencaharian penduduk yang ada relevansinya dengan tanah. 2.3.3.
Sistem Kekerabatan.
Penduduk yang mendiami kampung-kampung (desa) di Kabupaten Aceh Besar, pada umumnya penduduk asli (suku Aceh) dan beragama Islam. Setiap rumah tangga yang didiami orang Aceh adalah rumah tangga muslim, artinya tidak ada orang yang tinggal dalam satu keluarga yang bukan beragama Islam. Sebuah keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu (isteri) dan anak-anak, serta juga orang tua isteri (kakek) dan ibunya (nenek). Kehidupan keluarga berdasarkan kekuasaan ayah. Kekerabatan yang berlaku pada umumnya menurut garis laki-laki (patrilineal), baik vertikal maupun horizontal yang disebut kekerabatan menurut garis wali. Selain itu ada juga kekerabatan menurut garis perempuan (matrilineal) yang disebut "kekerabatan karung". Perkawinan antar keluarga menurut garis wali atau turunan darah lakilaki tidak dibenarkan. Namun yang menurut kekerabatan karung atau turunan perempuan yang sudah agak jauh, dibolehkan. Dalam setiap perkawinan yang meminang adalah pihak laki-laki. Tetapi sesudah terjadi perkawinan, si suami menetap di rumah isterinya. Dengan kata lain suami yang baru kawin itu tinggal bersama dengan orang tua si isteri. Namun lambat laun (biasanya bila sudah mempunyai anak, apalagi anak perempuan) si suami tadi akan membangun rumah sendiri dan tinggal terpisah dengan mertuanya. Hal yang demikain ini di Kabupaten Aceh Besar disebut dengan istilah Peumeukleh (memisahkan diri). Setiap laki-laki jika sudah kawin dan mempunyai anak (perempuan) akan berusaha untuk dapat membuat rumah yang diperuntukkan buat anak perempuannya, untuk tinggal bersama suaminya kelak. Jadi yang akan mewarisi rumah yaitu anak perempuan; sedangkan harta warisan lainnya dilakukan pembagian menurut hukum Islam (kecuali rumah tempat tinggal, tanah rumah tempat tinggal, tanah pekuburan/makam, dan barang-barang yang dipakai anak perempuan pada malam pengantin seperti tempat tidur, perhiasan dan bendabenda lainnya yang berhubungan dengan itu). Dan seandainya harta-harta itu tidak ada lagi yang berhak mewarisinya, maka akan menjadi milik BmtaMm (baital mal), harta agama. 17
2.3.4. Sistem Religi. Pengaruh agama Islam di daerah Aceh, khususnya di Kabupaten Aceh Besar adalah sangat kuat/besar. Sehingga dalam kaitan ini daerah Aceh mendapat julukan sebagai daerah "'Serambi Mekah". Dapat dikatakan bahwa 99,9% penduduk di daerah ini (Kabupaten Aceh Besar) adalah penganut agama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap orang Aceh adalah seorang Islam. Taat atau tidak dalam menjalankan kewajiban agama Islam, tidak menjadi persoalan, yang penting adalah beragama Islam. Jadi fanatisme terhadap agama (Islam) adalah sangat kuat. Rumah tempat menjalankan ibadah Islam seperti mesjid, musalla, meunasah/langgar, terdapat di mana-mana; yang juga digunakan sebagai tempat dakwah, pengajian, pertemuan, musyawarah, untuk merayakan hari-hari besar Islam, dan lain-lain. Di seluruh wilayah Kabupaten Aceh Besar, terdapat 114 buah mesjid, 333 buah musalla, dan 664 buah langgar. Tempat-tempat peribadatan tersebut di atas, sangat berperan dalam hubungan dengan pertumbuhan kehidupan masyarakat, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Oleh karenanya maka faktor agama (Islam) ini merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh. Meskipun demikian kepercayaan kuno seperti animisme dan dinamisme kadang-kadang masih juga dapat dijumpai di sini. juga terhadap adanya mahluk halus (jin atau setan dan sejenisnya tetap dipercayai). Adanya berbagai bentuk magi dan upacara-upacara yang dilakukan masyarakat (berbagai bentuk kenduri) erat kaitannya dengan kepercayaan tersebut. 2.4. PERTUMBUHAN SISTEM PEMERINTAHAN 2.4.1.
Masa Sebelum Penjajahan
Seperti telah disinggung di atas, bahwa mula terbentuknya kerajaan Aceh adalah pada awal abad ke XVI. Dan lokasi kerajaan ini pada awal pertumbuhannya itu adalah di wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang. Dalam perkembangannya wilayah kerajaan ini menjadi luas ke luar daerah Kabupaten Aceh Besar, sehingga wilayahnya dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama yang disebut daerah Aceh Inti dan kedua daerah takluk Aceh. Yang tersebut pertama ialah daerah yang dimiliki kerajaan Aceh pada mula berdirinya kerajaan ini, yaitu meliputi daerah Aceh Besar sekarang. Daerah ini merupakan pusat kerajaan (inti kerajaan) dan pimpinannya disebut Sultan. Sedangkan yang kedua, yaitu daerah yang berhasil diintegrasikan dengan daerah inti, yaitu daerahdaerah yang letaknya di luar wilayah Aceh Besar, atau daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh sekarang (tidak ter18
masuk Kabupaten Aceh Besar). Daerah-daerah yang tersebut terakhir ini, lazim disebut dengan nama Nanggroe (negeri); jumlahnya sekitar 110 buah. Pimpinannya disebut Uleebalang (hulubalang). Uleebalang ini merupakan "raja-raja" kecil yang sangat berkuasa di daerahnya. Kedudukan mereka dipegang secara turun-temurun. Namun demikian bila seseorang memangku jabatan uleebalang, mereka harus mendapatkan pengesahan dari pimpinan kerajaan (Sultan) dengan memberikan sarakata yang; dibubuhi Cab Siekurueueng (cap sembilan) stempel kerajaan, sebagai lambang kekuasaan Sultan Aceh. Baik di daerah inti (Aceh Besar) maupun di daerah takluk Aceh (Nanggroe), terdapat bentuk-bentuk pemerintahan yang lebih kecil, yaitu yang disebut mukim dan gampong (kampung). Yang tersebut terakhir adalah bentuk teritorial terkecil dari susunan pemerintahan; dikepalai oleh seorang yang disebut Keuchiek (kepala kampung). Sebuah gampong terdiri atas beberapa kelompok rumah dan mempunyai suatu tempat beribadat sendiri yang disebut meunasah. Keuchiek dalam memerintah gampong dibantu oleh beberapa pembantu seperti : 1. waki (wakil), 2. teungku meunasah yang membantu di bidang keagamaan ), dan 3. tuha peuet dewan orang tua yang jumlahnya 4 orang). Gamponggampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada setiap hari Jumaat di sebuah mesjid, juga merupakan suatu unit pemerintahan yang diberi nama Mukim. Pimpinannya disebut Imum Mukim. Dialah yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumaat di sebuah mesjid dalam wilayah mukim tersebut. Namun dalam perkembangannya Imum mukim ini berubah peranannya menjadi kepala pemerintahan di sebuah mukim, yang menkoordinir Keuchiek-Keuchiek (kepalakepala kampung) dan panggilannya juga berubah, yaitu menjadi kepala mukim. Khusus di wilayah Aceh Inti (Aceh Besar) kepala-kepala mukim ini juga bergelar uleebalang. Dalam perkembangannya pada masa pemerintahan Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin (1675 - 1678) di Aceh Besar dibentuk suatu unit teritorial baru yang juga merupakan bentuk pemerintahan, yaitu yang disebut Sagoe (Sagi). Wilayah Aceh Besar dibagi menjadi tiga bagian atau tigak sagi. Tiap sagi terdiri dari sejumlah mukim. Dan masing-masing mukim diberi nama sesuai dengan jumlah mukim yang berada di bawah sagi yang bersangkutan. Ketiga sagi' ini ialah : 1. Sagi XXII mukim; 2. Sagi XXV mukim; dan 3. Sagi XXVI mukim. Pimpinannya disebut Panglima Sagoe (panglima sagi j, yang bergelar Uleebalang. Pada dasarnya kedudukan panglima sagi berada di bawah pengawasan langsung Sultan dengan memperoleh hak otonom. Selain itu, di luar sagi-sagi tersebut, masih terdapat muMm-mukim yang berdiri sendiri, yang tunduk langsung di bawah Sultan Aceh. Sultan sendiri mempunyai daerah, yaitu yang disebut daerah bibeueh (daerah bebas), yang
19
langsung berada di bawah kuasa Sultan; dan dalam pelaksanaan pemeritahan sehari-hari diserahkan kepada Keuchiek (kepala kampung) di wilayah bersangkutan. Susunan pemerintahan seperti tersebut di atas, hingga Belanda datang dan menduduki daerah ini (Aceh Besar) tetap tidak berubah. 2.4.2.
Masa Belanda
Setelah berhasil dengan agresinya yang kedua ke Aceh pada Januari 1874, Belanda mengumumkan suatu pernyataan, bahwa sejak waktu itu Aceh Inti dan daerah takluknya digabungkan ke dalam wilayah Hindia Belanda. Namun pada waktu itu timbul suatu permasalahan bagi Belanda; bentuk pemerintahan yang bagaimana yang harus mereka laksanakan untuk mengendalikan daaerah baru itu. Karena singkatnya waktu, untuk sementara diambil suatu keputusan untuk membagi daerah Aceh dalam dua bagian. Daerah Aceh Inti (Aceh Besar) sebagai daerah yang langsung berada di bawah Sultan, akan diperintah sendiri oleh Belanda. Kedua, daerah-daerah takluk Aceh yang letaknya di luar Aceh Besar, akan diambil suatu jalan lain. Dalam perkembangannya, para uleebalang di luar Aceh Besar yang tunduk kepada Belanda (menanda tangani korte verklaring) diakui oleh Belanda sebagai aparat-aparat pemerintahan adat dalam bentuk daerah uleebalang (nanggroe) yang berperintahan sendiri (zelfbesturende landschappen). Sedangkan para uleebalang di Aceh Besar, berada langsung di bawah Belanda, karena daerah itu diperintah secara langsung (rechtstreeks bestuurd gebied). Hal ini juga didasarkan oleh Belanda, karena para uleebalang di Aceh Besar yakni yang mengepalai mukim-mukim dan sagi-sagi dahulunya merupakan bawahan langsung Sultan. Berbeda halnya dengan uleebalang-uleebalang di daerah takluk, untuk uleebalang di Aceh Besar oleh Belanda tidak disuruh menanda tangani kontrak politik (korte verklaring), seperti dengan uleebalang di daerah-daerah di luar Aceh Besar (daerah takluk), yang. dianggap bebas atau berdiri sendiri. Dalam tahun 1914, Aceh dan daerah takluknya (Atjeh en onderhoorigheden) dibagi dalam lima afdeeling. salah satu di antaranya yaitu afdeeling Groot Atjeh (Aceh Besar), yang berada di bawah pimpinan seorang Assistent Resident; berkedudukan di Kutaraja. Afdeeling Aceh Besar ini dibagi pula dalam lima wilayah administrasi yang disebut onderafdeeling; dan berada di bawah pimpinan seorang controleur (seorang Belanda). Kelima wilayah ini yaitu : 1. Kutaraja, yang terdiri dari ibukota Kutaraja dan sejumlah gampong yang berdiri sendiri {gampong Keudah, Jawa, Baro dan pasar Mesjid Raya, Planggahan dan Biang Peurelak); 2. Oelee Lheue, 3. Lhok Nga, 4. Seulimeum; dan 5. Sabang (terdiri dari pulau We dan pulau Rondo), {Ind. Stb. 1914, No. 87). 20
Pada tahun 1936, Aceh dan Daerah Takluknya dirubah status dari Gubernemen menjadi Keresidenan, yang berada di bawah seorang Residen (sebelumnya Aceh berada di bawah pimpinan seorang Gubernur). Tetapi susunan/struktur pemerintahan yang lebih bawah, tidak dirubah. Aceh Besar tetap sebagai sebuah afdeeling; hanya onderafdeeling saja yang diciutkan menjadi tiga buah; yaitu Kutaraja, Seulimum dan Sabang. Susunan pemerintahan seperti di atas, berlangsung hingga masa pendudukan Jepang. Namun demikian susunan pemerintahan yang telah ada (pemerintahan tradisional/adat seperti sagi, mukim dan gampong) masih tetap dipertahankan oleh Belanda. Belanda masih mengakui kewenangan dan kedaulatan panglima-panglima sagi, kepala-kepala mukim (uleebalang-uleebalang) dan keuchiek-keuchiek dalam bentuk pemerintahan adat. Hanya dalam beberapa hal panglima sagi dan para uleebalang sudah menjadi aparat dari sistem birokrasi Belanda. 2.4.3.
Masa Jepang.
Jepang mendarat di Aceh pada tanggal 12 Maret 1942. Salah satu tempat pendaratan yaitu, di wilayah Aceh Besar (Ujong Bate, Kecamatan Mesjid Raya). Pendaratan ke Aceh berlangsung lancar, karena tidak mendapat rintangan, baik dari pemerintah Belanda maupun dari rakyat Aceh. Langkah pertama yang dilakukan Jepang di Aceh yaitu, mengadakan penataan terhadap lembaga pemerintahan dalam rangka memantapkan kekuasaannya. Jepang masih tetap mempertahankan status Aceh dalam bentuk Keresidenan, yang disebut dalam bahasa Jepang Syu. Susunan pemerintahan sebelumnya (masa Belanda) dalam bentuk afdeeling, onderafdeeling, landschap, mukim dan gampong, masih tetap dipertahankan. Hanya saja sebutannya ditukar, yaitu bunshu untuk afdeeling, gun untuk onderafdeeling, son untuk landschap, ku untuk mukim dan kumi untuk gampong. Sebutan untuk kepala wilayah administrasi, juga disesuaikan dengan bahasa Jepang; yaitu bunshucho bagi kepala bunshu, guncho bagi kepala gun, soncho bagi sebutan kepala son, kuncho untuk kepala ku, dan kumicho bagi kepala kumi. Pemegang jabatan pada unit-unit pemerintahan itu, juga masih tetap meneruskan tradisi sebelumnya, hanya saja pimpinan gun (onderafeeling) tidak dipegang oleh orang Jepang (sebelumnya jabatan ini dipegang oleh orang Belanda, yang disebut controleur), tetapi oleh penduduk bumi putera. 2.4.4.
Masa Kemerdekaan.
Meskipun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia terjadi pada tang21
gal 17 Agustus 1945, tetapi pemerintahan R I yang definitif baru terbentuk dan digerakkan di Aceh, sejak tanggal 3 Oktober 1945. Karena pada tanggal itu telah keluar pengumuman resmi Gubernur Sumatra yang menyatakan bahwa: Pemerintahan Negara Republik Indonesia mulai dengan resmi dijalankan dengan Pulau Sumatra, dengan pengangkatan Residen-Residen seluruh staf Gubernur dengan mempergunakan kekuasaan yang diberikan Presiden Negara Republik Indonesia. Setelah dikeluarkan pengumuman Gubernur ini, kemudian disusul dengan ketetapan-ketetapan mengenai pengangkatan Residen di seluruh Sumatra, susunan staf pemerintahan dan jawatan-jawatan; baik pada tingkat Propinsi maupun pada tingkat Keresidenan. Nama-nama unit pemerintahan, pada mulanya dikembalikan seperti nama sebelum masa pendudukan Jepang. Misalnya daerah yang dikepalai oleh Asisten Residen disebut afdeeling. Namun kemudian pada tahun 1946, dirubah menjadi Kabupaten yang dikepalai oleh Bupati; dan daerah-daerah yang dikepalai oleh Controleur (onderafdeeling) dirubah menjadi kewedanaan yang dikepalai oleh wedana. Pada tahun 1948 Keresidenan Aceh dijadikan menjadi 7 kabupaten, 21 kewedanaan dan 102 buah negeri (bekas landschap). Salah satu di antara kabupaten itu adalah Aceh Besar. Dan seperti juga sebelumnya, Kabupaten Aceh Besar ini terdiri atas 3 Kewedanaan, yaitu Kutaraja, Seulimum dan Sabang. Dalam tahun 1956, berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, diadakan pembagian wilayah administrasi Kabupaten Aceh Besar. Dengan terbentuknya Kotamadya Kutaraja (sekarang Banda Aceh), maka dengan sendirinya Kutaraja tidak lagi termasuk dalam Kabupaten Aceh Besar. Selanjutnya bekas Kewedanaan Sabang, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1965, juga menjadi Kotamadya. Jadi juga tidak lagi sebagai wilayah Aceh Besar. Sehingga sejak saat itu hingga sekarang, luas daerah Kabupaten Aceh Besar adalah 273.707,50 Ha; yang terdiri dari 12 Kecamatan, 72 Kemukiman dan 663 buah Gampong (kampung). Tentang pembagian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
22
TABEL 4 PEMBAGIAN KABUPATEN ACEH BESAR No. Kec.
Ibu Kota
1. Mesjid Raya 2. Peukan Bada 3. Lhok Nga Leupung 4. Lhoong 5. Darul Imarah 6. Ingin Jaya 7. Darussalam 8. Kuta Baro 9. Montasik 10. Suka Makmur 11. Indrapuri 12. Seulimeum
Banda Aceh Peukan Bada Lhok Nga Mon Mata Lampeuneurut Ulee Kareng Lambaro Angan Peukan Ateuk Montasik Sibreh Indrapuri Seulimeum
Jumlah
Luas (Ha)
Mukim
Jumlah Gampong
11.115 13.566,75 20.974,75
5 7 5
58 49 31
15.200 5.300 7.900 8.087,50 6.173 10.762 8.025 45.644,50 128.069
4 5 7 6 6 7 8 4 8
28 52 46 49 57 78 75 75 65
273.707,50
72
663
Sumber: Kantor Sensus Kecamatan.
23
BAB
in
SEJARAH TENTANG TANAH
3.1. ASAL USUL PENGUASAAN TANAH 3.1.1.
Masa Sebelum Penjajahan.
Ketika Aceh masih sebagai sebuah kerajaan yang berada di bawah pemerintahan raja-raja atau sultan-sultan, masyarakatnya sudah memiliki suatu bentuk kesatuan hukum atas tanah yang belum dikerjakan dalam lingkungan wilayahnya. Tanah ini disebut dengan nama Tanoh mile poteu Allah, Tanah Kuliah atau Tanoh Tuhan, yang artinya tanah milik Allah atau tanah milik Tuhan. Sebutan seperti ini mempunyai hubungan yang erat dengan i kepercayaan menurut ajaran agama Islam, yang diantaranya menyebutkan bahwa dunia ini beserta dengan segala isinya adalah hasil ciptaan Allah ta'ala / Tuhan. Seperti telah disebutkan dalam bab II di atas, bahwa pengaruh agama Islam terhadap masyarakat Aceh adalah sangat kuat. Segala hal yang berlaku dalam masyarakat dikaitkan dengan ajaran agama Islam. Unsur-unsur agama seperti sudah berbaur dengan adat dan dipatuhi serta ditaati oleh masyarakat sebagai suatu ketentuan (hukum). Sehingga timbul ungkapan terkenal Hukom ngon adat hanieut cre lagee zat ngon sifeut; yang artinya hukum (ajaran Islam) dengan adat istiadat sukar untuk dipisahkan seperti zat dengan sifatnya (lihat dalam bab II di atas ). Selain menyebut tanoh mile' Allah, tanoh Kuliah atau tanoh tuhan, (sebutan untuk tanah yang belum digarap atau dikerjakan) ada juga yang menggunakan istilah-istilah lain seperti, tanoh raja (tanah raja). Penyebutan ini erat kaitannya dengan anggapan bahwa meskipun tanah itu milik tuhan, tetapi raja (sultan) selaku penguasa adalah sebagai ureueng nyong peutimang (orang yang mengurusi); di sini berarti bahwa tanah itu berada di bawah kuasa raja (sultan). Misalnya pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), rakyat yang berada di bawah kuasanya (khusus di wilayah Aceh Besar) pada saat saat tertentu memberi persembahan/upeti kepadanya berupa kebutuhan-kebutuhan dapur istana. Oleh karena rakyat beranggapan bahwa sultan Iskandar Muda adalah "tuan", dan mereka (rakyat) "hamba"-nya selaku yang mengerjakan tanah miliknya. Jadi di sini berarti bahwa tanah itu milik raja (sultan), baik atas tanah yang belum dikerjakan maupun atas tanah yang sudah dikerjakan. Untuk tanah yang belum dikerjakan ini ada juga yang menggunakan istilah lain yaitu dengan menyebutnya dengan nama tanoh uleebalang (tanah 24
uleebalang). Uleebalang adalah bawahan sultan Aceh dan merupakan raja-raja kecil yang sangat berkuasa di daerahnya. Dia memiliki berbagai hak yang telah diatur menurut adat di daerahnya. Misalnya hak untuk menentukan boleh atau tidak seseorang untuk membuka tanah baru/tanah yang belum dikerjakan di dalam wilayah kekuasaannya. Sehingga dengan demikian orang menganggap bahwa tanah-tanah yang belum dikerjakan yang terdapat di daerah uleebalang tertentu adalah tanoh uleebalang (tanah uleebalang). Penyebutan tanoh mile' Allah, tanah tuhan, tanoh raja dan tanoh uleebalang untuk tanah-tanah yang belum dikerjakan yaitu untuk membedakan dengan tanoh mile ' gob yang secara harafiah berarti tanah milik orang lain, yaitu tanah yang telah dikerjakan atau digarap orang. Secara garis besar tanah yang belum dikerjakan ini dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu : 1. tanah yang berada di luar kawasan / jangkauan dari wilayah bersangkutan seperti gampong, mukim, nanggroe dan sagoe (sagj); dan 2. tanah yang berada dalam kawasan /jangkauan wilayah administrasi yang bersangkutan (gampong, mukim, nanggroe dan sagoe). Tanah yang tersebut terakhir, sering pula disebut dengan nama tanoh mile'umum (tanah milik umum). Kedua bagian kelompok tanah yang belum dikerjakan seperti tersebut di atas, terdiri atas beberapa jenis, yaitu : 1. tanoh rimba, tanah hutan belantara yang berada di pedalaman dan belum dikerjakan orang, tempat anak negeri mengambil hasil-hasil hutan; 2.
tanoh uteuen, tanah hutan-hutan tertentu dan kebanyakan diberi nama menurut jenis-jenis hutan yang tumbuh di atasnya;
3.
tanoh tamah, yaitu tanah hutan yang sudah pernah dikerjakan untuk ladang dan di atasnya tumbuh tarok (tunas-tunas kayu); kadang-kadang dijadikan kayu api, di samping itu dibedakan juga dengan bluka atau beuluka, kayu-kayu belukar yang rendah tumbuhnya;
4.
tanoh padang, yaitu tempat ditumbuhi kayu-kayuan, tetapi kebanyakan ditumbuhi alang-alang atau jenis-jenis rumput lain yang di dataran rendah belum seluruhnya digarap dan biasanya berada di sekeliling lingkungan sawah-sawah kampung dan dijadikan tempat hewan makan rumput atau untuk dijadikan kebun; jika tanoh padang datar keadaannya, maka ia disebut tanoh data, dan jika berada di lembah-lembah sungai (di antara bukit-bukit di tepi sungai) maka disebut tanoh pan ton;
5.
tanoh paya atau tanoh bueng, tanah rendah yang digenangi air secara tetap, serta ditumbuhi semak belukar di atasnya; bila letaknya di daerah dekat pantai, disebut dengan nama tanoh suwak (hutan-hutan rawa); 25
6. sarah, yaitu tanah yang terdapat pada aliran sungai yang dangkal di bahagian hulu dengan dataran rendah yang subur di sekitarnya; 7.
sawang, tanah dangkalan sungai yang menjorok ke dalam daratan;
8.
tanoh, jeud, tanah yang terbentuk / terjadi karena bawaan lumpur oleh arus sungai, baik yang terdapat di tengah sungai (berupa pulau) maupun di tepi sungai yang berupa ujung menjorok ke tengah sungai.
Tanah-tanah tersebut di atas, bila berada di pinggir atau dalam kawasan administrasi suatu masyarakat hukum (gampong, mukim dan sagoe) dan khusus dipergunakan bagi kesejahteraan hidup para warganya (tidak kepada orang yang berada di luar kawasan administrasi itu), maka tanah-tanah semacam itu disebut dengan nama tanoh umum (tanah milik umum). Di sini berarti bahwa penguasaan atas tanah itu dimiliki oleh masyarakat hukum adat yang dalam hal ini, gampong, mukim dan sagoe. Karena gampong, mukim dan sagoe di Aceh Besar menurut adat merupakan suatu badan hukum; sebagai pendukung hak dan kewajiban masyarakatnya. Terhadap tanoh milik umum yang secara nasional disebut hak ulayat, mukim dan sagoe mempunyai wewenang untuk bertindak dan berkuasa ke luar; sedangkan gampong hanya berwenang untuk bertindak dan berkuasa ke dalam saja. Yang dimaksud bertindak dan berkuasa ke luar yaitu, tanoh mile' umum itu pada prinsipnya harus dipertahankan terhadap penguasaan orang luar. Artinya orang yang berada di luar mukim dan sagoe yang bersangkutan hanya boleh mengerjakan tanah itu, bila telah diizinkan oleh Imuen mukim/ kepala mukim dan Panglima sagoe setempat. Izin ini dapat diperoleh melalui pimpinan gampong (keucheik) setempat; dan keuchiek inilah kemudiannya yang memberitahukan kepada kepala mukim atau panglima sagoe. Untuk mendapatkan izin ini si orang luar itu terlebih dahulu harus membayar kepada kepala mukim atau panglima sagoe berupa uang ataupun barang. Pembayaran ini disebut dengan istilah hak tamong (membayar uang masuk). Dengan membayar hak tamong ini si orang luar itu telah boleh masuk/mengerjakan tanah yang dimaksud. Dan juga dimaksudkan sebagai tanda telah adanya pengakuan orang luar, bahwa tanah yang akan dikerjakan itu, tanah orang lain; yakni milik masyarakat gampong, mukim ataupun sagoe yang bersangkutan. Adapun berkuasa dan bertindak ke dalam maksudnya, bahagian-bahagian tertentu dari tanah milik umum itu, tetap dipertahankan dalam kedudukan atau statusnya sebagai tanoh umum (tanah milik umum). Misalnya tanah tempat pengembalaan umum/melepaskan ternak, tanoh weu keubeu/leumo ureung rame (tanah tempat kandang kerbau/sapi milik orang banyak (umum); tanoh bhom jirat gampong (tanah tempat kuburan milik kampung); tanoh geulang26
gang umum (tanah tempat/arena pertunjukan umum),dan sebagainya. Kesemua tanah-tanah yang tersebut terakhir ini diurusi oleh gampong-gampong di mana tanah-tanah tersebut berlokasi. Meskipun beberapa jenis di antara tanah-tanah milik umum itu tetap dipertahankan untuk kepentingan gampong (kampung atau mukim seperti tersebut di atas, tetapi warga masyarakat gampong atau mukim yang bersangkutan masih mempunyai hak untuk menguasai tanah-tanah milik umum lainnya yang belum dikerjakan. Pembukaan terhadap tanah-tanah itu disebut dengan beberapa istilah, yaitu hak dong tanoh, hak dong gaki, ceu tanoh (tanda atas tanah), cah gaki dan sebagainya. Kesemua istilah ini dapat diartikan, adanya kebebasan memilih oleh seseorang warga masyarakat gampong atau mukim yang bersangkutan, di lokasi mana ia akan membuka tanah. Dengan istilah dong tanoh, ceu tanoh, dong gaki dan cah gaki, dimaksudkan pula sebagai pemberian tanda pada tanah yang akan dikerjaan, sehingga orang lain tidak akan mengerjakan lagi. 3.1.2.
Masa Belanda.
Pada masa Belanda, status tanah umum tetap seperti masa sebelumnya. Pemerintah Hindia Belanda masih mempertahankan "hak menguasai" atas tanah yang dimiliki oleh penduduk pribumi. Dengan kata lain hak-hak rakyat atas tanah masih tetap dipertahankan. Terhadap tanah yang termasuk ke dalam wilayah kekuasaan masyarakat hukum tertentu seperti gampong, mukim dan sagoe, para warganya tetap bebas meletakkan kekuasaan individu (perseorangan) sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakatnya. Di sini berarti bahwa kehadiran pemerintah kolonial Belanda di Aceh ternyata tidak banyak mempengaruhi peraturan adat tentang tanah. Namun demikian khusus di wilayah sekitar Kutaraja (sekarang Banda Aceh) pemerintah Hindia Belanda ada mengeluarkan suatu pernyataan yang menyebutkan bahwa tanah-tanah umum atau tanah-tanah yang belum dikerjakan oleh penduduk yang tidak mempunyai bukti bahwa tanah itu bukan tanah hak milik, dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan sesudah menguasai tanah-tanah ini, kemudian oleh pemerintah Hindia Belanda kebanyakan disewakan kepada pihak swasta yang pada umumnya terdiri dari orang-orang Cina, Yahudi dan Timur Asing lainnya (Vremde Oostxerlingen ). Pernyataan Belanda tersebut, rupa-rupanya didasarkan kepada agrarisch besluit yang mereka ciptakan. Tetapi untuk daerah Aceh, khususnya di wilayah Kabupaten Aceh besar sekarang berlakunya agrarisch besluit tersebut tidak sama seperti di pulau Jawa. Kalau di Jawa berlaku sejak dikeluarkannya agrarisch wet (Undang-Undang Agraria) pada tahun 1870; maka di daerah Aceh sejak 27
permulaan abad ke XX. Ketidak bersamaan ini disebabkan karena Belanda mulai masuk ke Aceh pada tahun 1873 (saat Belanda menyerang kerajaan Aceh) yang merupakan awal pecahnya perang antara Kerajaan Aceh dengan Belanda. Dan perang ini baru agak mereda sesudah tahun 1910. Saat sesudah mereda perang itulah maka Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di sana, termasuk memperlakukan beberapa ketentuan/peraturan yang mereka ciptakan dan laksanakan sebagaimana pada daerah-daerah lain di Indonesia pada waktu itu. Khusus terhadap tanah-tanah umum yang letaknya berjauhan dengan Kutaraja (Banda Aceh), "terutama pada daerah-daerah pegunungan (dalam wilayah Aceh Besar), Belanda mencoba pula untuk menjalankan kekuasaannya dengan secara paksa. Tanah dan hutan yang menurut mereka tidak digarap oleh rakyat, dikuasainya atau diatur oleh mereka. Jenis-jenis tanah yang dikuasai oleh pemerintah Belanda di wilayah Aceh Besar, dapat dilihat dalam Adatrecht bundel I, 1910, hal. 52-78. Akibatnya timbul keresahan dan kebencian rakyat kepada pemerintah Belanda; oleh karena jika sebelum berkuasanya Belanda, tanah-tanah yang belum dikerjakan itu dianggap oleh rakyat sebagai milik Allah/ Tuhan, maka setelah Belanda berkuasa, mereka memproklamirkan bahwa tanah-tanah tersebut berada di bawah kuasanya. Dan mungkin hal ini pula yang merupakan salah satu sebab, mengapa rakyat Aceh tetap membenci dan memerangi Belanda, hingga mereka angkat kaki dari Aceh untuk selama-lamanya dalam tahun 1942. Selain itu juga pada daerah-daerah yang letaknya di luar Kutaraja, terutama di daerah pegunungan, pemerintah Hindia Belanda juga mencoba untuk mengatur dan menetapkan batas-batas baru atas jenis-jenis tanah yang belum dikerjakan itu. Menurut mereka, batas administratif yang telah ada (gampong, mukim dan , sagôeP perlu diperjelas lagi, karena tidak selamanya batas-batas itu dapat dijadikan sebagai batas tanah milik umum (tanah yang belum digarap). Batas-batas administratif tersebut, hanya menjadi batas tanah milik umum, apabila bertemu dengan tanah milik umum lainnya. Maka oleh pemerintah Hindia Belanda ditetapkan batas baru, terutama batas tanah umum ke jurusan gunung/hutan. Batas yang ditetapkan ini, dikenal oleh masyarakat dengan nama jalan Bos wesen atau ada juga yang menyebutnya dengan nama jalan kaphee (jalan kafir). Sehubungan dengan tanah-tanah yang belum digarap, pemerintah Hindia Belanda juga mencabut seluruh urusan konsesi dari kekuasaan penguasa adat (keuchiek, kepala mukim, panglima sagi/uleebalang). Tetapi seperti telah disebutkan, pemerintah Hindia Belanda masih tetap juga memperhatikan "hak menguasai" yang dimiliki oleh penduduk atas tanah-tanahnya; yaitu dengan menetapkan suatu ketentuan seperti dimuat pada pasal 30 zelfbestuursregelen 28
yang dikeluarkan dalam tahun 1919 (L N. no. 822). 3.1.3.
Masa Jepang.
Pemerintahan pendudukan Jepang (1942-1945) dalam menjalankan kebijaksanaannya sehubungan dengan masalah penguasaan tanah di daerah Aceh, sama seperti yang telah ditempuh oleh pemerintah Hindia Belanda. Pihak Jepang tetap mengakui dan memperhatikan "hak menguasai" atas tanah yang dimiliki oleh penduduk setempat Pengurusan dan pengaturan atas masalah tanah ini dilaksanakan atau ditetapkan oleh suatu perundang-undangan yang disebut Aceh Syu Rei (Undang-Undang Aceh). Tanah-tanah yang belum dikerjakan masih dianggap oleh pemerintah pendudukan Jepang, sebagai tanah yang berada di bawah penguasaan mereka; karena mereka sebagai pengganti pemerintah Hindia Belanda. Dan sebagian tanah-tanah ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Jepang untuk kepentingan mereka. Misalnya untuk membuat kubu-kubu pertahanan militer, untuk membuat lapangan terbang, dan sebagainya; yang lokasinya di daerah pegunungan ataupun di daerah pantai. Sehubungan dengan masalah ini, pemerintah Jepang juga mengeluarkan sebuah maklumat (Aceh Syu Kokuzi No. 35) yang isinya berkaitan dengan masalah penguasaan atas tanah, khususnya atas tanah-tanah wakaf, tanah milik orang gila serta tanah-tanah orang mati yang tidak ada walinya. Semua tanahtanah ini pengurusannya dilakukan oleh pemerintah Jepang. 3.1.4.
Masa Kemerdekaan.
Pada masa kemerdekaan, konsepsi penduduk terhadap tanah-tanah tradisional di daerah Aceh tidak banyak membawa perubahan. Pola-pola yang ada sejak masa pemerintahan raja-raja masih tetap ditemukan. Hak menguasai atas tanah oleh persekutuan administratif (gampong dan mukim) yang terletak dalam kawasan hukum adatnya, masih tetap ada. Barang siapa hendak menggarap tanah-tanah milik umum (tanah-tanah yang belum dikerjakan), berburu dan mencari hasil hutan di dalamnya adalah bebas; tetapi dengan syarat harus meminta izin terlebih dahulu kepada keuchiek atau kepala mukim (selaku kepala desa dan pimpinan mukim) pada wilayah yang bersangkutan. Sejak masa kemerdekaan, jabatan kepala (panglima) sagoe (panglima sagi) sudah tidak ditemui lagi; karena satuan wilayah administratif yang disebut sagoe atau sagi sudah dihapus; yang tinggal hanya gampong dan mukim (selaku satuan hukum). Akhir-akhir ini kedudukan mukim juga terancam (sejak dikeluarkannya Undang Undang No. 5 tahun 1979 yang mengatur tentang struktur 29
desa di Indonesia); dan nampak-nampaknya tinggal menunggu saatnya lagi. Beberapa perubahan yang ditemui sehubungan dengan penguasaan tanah yaitu, sebutan untuk tanah yang berbatasan dengan yang disebut jalan bos wesen atau jalan kaphe terutama tanoh umum (tanah yang belum dikerjakan) di daerah pegunungan dan rimba raya, disebut dengan nama baru yaitu tanoh agraria atau tanoh pemerintah. Disebut demikian karena sejak kemerdekaan, lebihlebih setelah dikeluarkannya U U P A No. 5 tahun 1960, yang menguasai tanah-tanah umum itu adalah pemerintah (Dinas Kehutanan); meskipun tanah-tanah tersebut masih termasuk dalam suatu daerah kesatuan administratif sesuatu gampong atau mukim. Namun demikian seperti telah disebutkan di atas, hak menguasai atas tanah-tanah itu masih tetap dipunyai oleh sesuatu persekutuan gampong atau mukim; sejauh tanah-tanah itu terletak atau masuk dalam kawasan hukum adatnya. Meskipun pada saat sekarang ini, hukum yang mengatur tentang tanah adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, tetapi dalam kenyataannya hak-hak atas tanah yang digunakan penduduk di Kabupaten Aceh Besar tetap didasarkan kepada peraturan adat dan hukom (syariat Islam). 3.2. ASAL USUL PEMILIKAN TANAH 3.2.1.
Masa Sebelum Panjajahan
Hak milik atas tanah adalah hak yang dipunyai penduduk untuk menggunakan tanah seperti milik sendiri. Di sini juga meliputi kekuasaan untuk bertindak sebagai yang berhak sepenuhnya atas tanah dengan mengingat beberapa kewajiban terhadap masyarakat yang harus diperhatikan oleh pemilik tanah itu. Pada masa sebelum penjajahan di daerah Aceh Besar, hak milik atas tanah telah dimiliki penduduk. Tanah yang dimiliki oleh seseorang di sini disebut dengan istilah tanoh milek (tanah milik). Kata milek ini dimaksudkan untuk membedakan dengan jenis-jenis hak perseorangan lainnya yang terdapat atas tanah. Hak milik atas tanah, dapat diperoleh penduduk melalui beberapa cara. Di antaranya dengan membuka tanah baru. Membuka tanah baru ini, tidak dimaksudkan pembukaan tanah yang telah sempurna tetapi dimulai pada mulanya dengan jalan membubuhi tanda berupa pagar, yang berarti bahwa tanah itu akan dibuka. Karena menurut adat (adat Aceh) setiap tanaman harus dilindungi dengan pagar yang terdiri dari tiga buah tiang yang ditanam secara tegak lurus yang disebut jeuneurab. Pagar ini didirikan dengan jarak sedepa (deupa) serta dibubuhi lima buah kisi-kisi melintang yang disebut beuteueng. Di Aceh, khususnya Aceh Besar ada suatu ketentuan, bahwa yang boleh 30
(diperbolehkan) membuka tanah yang tidak dikerjakan (tanah mati) ialah orang Islam saja. Pembukaan itu tidak dibatasi, karena tanah mati itu cukup luas, tetapi dengan catatan tanah yang dibuka itu harus benar-benar digarap. Adapun yang berhak memberikan izin untuk membuka tanah yang mati itu kepada seseorang ialah, keuchiek, kepala mukim dan panglima sagóe (panglima sagi) atau uli balang di wilayah mereka yang bersangkutan. Selain itu Sultan Acehpun dapat juga memberikan hak kepada seseorang (orang Islam) untuk membuka tanah yang belum digarap itu, seluas yang dirasanya wajar. Hak pembukaan atas tanah dapat dianggap hilang kembali, bila' bekasbekas pembukaan itu sudah tidak ada lagi atau hilang. Artinya tanda batas terhadap tanah akan dibuka itu telah hilang, begitu pula bekas-bekas hutan yang ditebang, dibakar atau dibersihkan sudah tidak dikenali lagi. Khusus terhadap kebun dan ladang, jika kayu-kayu muda yang dapat ditebang dengan parang lambat laun sudah berubah menjadi hutan besar yang harus ditebang dengan kampak, maka tanah-tanah itu yang sebelumnya adalah hutan besar, sudah kembali menjadi rimba, yang dalam istilah Aceh disebut asay bak rimba, ka muwoe keu rimba, artinya dari rimba kembali ke rimba. Pada beberapa tempat ( di kecamatan Seulimum sekarang) terdapat suatu peraturan/ketentuan yang dikeluarkan oleh penguasa setempat, (uleebalang atau panglima sagi) bahwa tanah-tanah yang tidak dikerjakan lebih dari enam bulan karena pemiliknya tidak mau mengerjakannya lagi, maka tanah itu dapat diberikan kepada orang lain yang sungguh-sungguh menghendakinya untuk dikerjakan. Namun pada daerah-daerah lain seperti di kecamatan Indrapuri dan kecamatan Mesjid Raya, berlaku ketentuan bahwa tanah-tanah yang telah dikerjakan itu jika ditinggalkan kembali dalam tempo beberapa tahun menurut adat setempat, dapat dianggap sudah mati kembali dan dapat diberikan kepada orang lain untuk diusahakan. Selain dengan cara membuka tanah baru atau menghidupkan tanah yang mati, asal-usul pemilikan atas tanah dapat pula terjadi melalui pemberian yang dalam istilah Aceh lazim disebut peunulang. Menurut adat, setiap anak lakilaki yang baru memasuki jenjang perkawinan, ia tinggal di rumah keluarga isterinya (rumah mertuanya). Tetapi setelah beberapa tahun perkawinan berlangsung (biasanya sesudah mendapatkan anak), kepada suami isteri ini dianjurkan untuk berdiri sendiri. Dalam arti suami isteri itu berpisah periuk dengan orang tua pihak si isteri. Pemisahan seperti ini disebut dengan istilah peumeukleh. Dan biasanya sebelum hal ini dilakukan, pihak orang tua isteri telah mempersiapkan harta pemberian berupa tanah (sawah atau kebun) untuk anak perempuannya. Pada saat harta ini akan diberikan, dihadiri oleh para famili, keuchiek dan pemuka masyarakat kampung lainnya yang khusus diundang untuk dike31
tahui oleh mereka. Pemberian harta ini dilakukan secara simbolis kepada si suami, karena dialah yang akan bertanggung jawab untuk mengusahakan harta tanah itu. Namun secara adat harta itu tetap milik isteri, sebab sekiranya terjadi perceraian, harta yang berupa tanah itu akan kembali kepada pihak isteri. Kecuali bila isteri meninggal, maka tanah itu akan menjadi harta warisan. Asal-usul pemilikan tanah juga dapat bermula dari warisan. Orang tua yang memiliki harta berupa tanah biasanya bila usianya telah lanjut, maka harta/tanah itu diberikan kepada ahli warisnya, yang disebut dengan istilah peuraé. Warisan ini juga dapat terjadi, bila seseorang meninggal dunia yang mana orang yang meninggal ini meninggalkan harta, maka semua ahli warisnya mendapat bagian sesuai dengan hukum waris menurut Islam. Harta benda milik orang yang meninggal ini dibagi (dipeuraé) kepada ahli warisnya. Mihk yang dibagi itu antara lain ialah tanah. Selain itu pemilikan atas tanah dapat terjadi juga melalui blo-publo artinya secara jual-beli. Jual beli tanah pada masa dahulu dilakukan dengan suatu upacara tertentu. Caranya sebagian besar berdasarkan hukom (syariat Islam) dan sebagian lagi berdasarkan adat. Untuk upacara blo-publo ini biasanya harus dipenuhi tiga buah syarat. Pertama, hadirnya pimpinan gampong (keuchiek) dari pihak penjual. Kedua, hadirnya paling sedikit dua orang saksi, akan tetapi akan lebih disukai jika jumlahnya lebih banyak; bahkan diusahakan agar hadir pula anak-anak yang akan mengingatkan kejadian itu kelak. Suatu hal unik yang terdapat pula dalam upacara ini, yaitu kepada setiap hadirin dibagi-bagikan daun-daun pisang dan tembakau sebagai syarat secara diam-diam bahwa mereka itu kelak tidak akan menarik diri sebagai saksi. Dan syarat yang ketiga ialah upacara tentang peusambot (penyerahan) oleh yang menjual yang harus disambot (disambut) oleh pembelinya. Untuk ini terlebih dahulu keuchiek memberitahukan kepada hadirin tentang transaksi yang akan terjadi. Diumpamakan bahwa vum (harga) tanah yang akan dijual itu Rp. 1000,-, penjualnya akan berkata demikian : Ion publo keu droeneu tanoh Ion nyong di..... dengan vum sieribe rupia artinya saya menjual kepada anda tanah saya yang terletak di seharga seribu rupiah. Pembelinya akan menyahut sebagai berikut : Ion blo bak droeneu tanoh nyong di dengon vum siribe rupiah artinya saya membeli tanah anda yang terletak di .... seharga seribu rupiah. Setelah keuchiek bertanya kepada hadirin, apakah mereka itu jelas mendengar semuanya itu dan kemudian si pembeli membayar dengan tunai maka selesailah urusan jual-beli tanah itu. Dan mulai saat itu hak atas tanah yang dijual itu menjadi hak si pembeli. Untuk menentukan batas-batasnya dan untuk kepastian hukum tentang kedudukan tanah itu di kemudian hari, maka biasanya diberi tanda dengan meletakkan batu pada sudut-sudutnya. 32
Selain itu pemilikan tanah dapat pula melalui hibbah yang pelaksanaannya hampir sama dengan peunulang. 3.2.2.
Masa Belanda.
Kehadiran pemerintah kolonial Belanda di Aceh ternyata tidak banyak mempengaruhi peraturan adat tetang hak milik atas tanah. Pengaturan tentang masalah ini tetap didasarkan kepada hukum adat. Pemangku-pemangku adat seperti keuchiek, /«pala mukim dan panglima sagôe atau para uleebalang masih berperanan dominan dalam masalah tersebut. Pernyataan hak milik atas tanah (domein verklaring) berkenaan dengan wilayah Aceh Besar, misalnya dapat dilihat sebagaimana yang disebutkan oleh Mr. van Vollenhoven dalam L.N. 1874 No. 94 f. (pualu Sumatra), hanya saja tanpa hukum adat; Seperti telah disebutkan di atas (3.2.1.), hak milik penduduk atas tanah tetap diperoleh dengan beberapa cara, yaitu dengan jalan pembukaan (ontginning), dari pemberian (peunulang), pusaka (warisan), blo-publo (jual beli) dan hibbah. Sehubungan dengan masalah jual-beli dan hibbah Mr. van Vollenhoven menerangkan bahwa menurut adat Aceh, blo-publo dan hibbah bukanlah suatu perjanjian seperti menurut pengertian Belanda, yang menunjukkan tentang hak milik, akan tetapi seperti halnya dengan penukaran, adalah pengoperan/pengalihan dari hak milik atas tanah (Mr. van Vollenhoven, I, 200). Oleh karena hanya orang-orang bumi putera saja yang menjadi obyek "hak milik" bumi putera, maka pengalihan itu tidak mungkin dapat dilakukan terhadap orang-orang yang bukan bumi putera; jadi tidak berdasarkan L.N. 1875 No. 179, akan tetapi tetap sesuai dengan yang dinyatakan pada L.N. tersebut. Seperti telah disinggung di atas (3.1.2.), bahwa agrarische wet yang diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda pda tahun 1870, baru diberlakukan di daerah Aceh, sejak permulaan abad ke XX, ketika peperangan dengan pihak Aceh sudah agak mereda. Namun tidak sepenuhnya agraris wet ini bisa diterapkan di Aceh. Misalnya dalam hubungan hak milik penduduk atas tanah, pengaturannya tetap dilakukan berdasar hukum adat. Hanya atas beberapa jenis tanah saja yang lokasinya di sekitar kota Kutaraja (sekarang Banda Aceh) yang oleh Belanda disebut dengan tanah-tanah domein, penguasaan serta pemiliknya diatur oleh pemerintah Hindia Belanda. 3.2.3.
Masa Jepang.
Tentang asal-usul pemilikan tanah di daerah Aceh pada masa pendudukan Jepang, juga sama halnya dengan masa-masa sebelumnya. Artinya segala sesuatu yang berlaku dalam cara penduduk mendapatkan hak milik atas tanah sama 33
*
seperti pada masa sebelum penjajahan Belanda dan pada masa Belanda, yaitu melalui cara pembukaan tanah yang belum dikerjakan, melalui pemberian (peunulang, dari warisan atau pusaka; dan melalui cara jual beli. Dalam hal ini memang pemerintah pendudukan Jepang belum sempat untuk menciptakan suatu peraturan tentang masalah itu. Karena seperti di - ketahui masa pendudukan Jepang di Indonesia relatif singkat bila dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda; sehingga mereka mungkin belum berkesampatan untuk mengatur atau menciptakan peraturan-peraturan khusus seperti dalam hal pengaturan tentang pemilikan tanah penduduk. 3.2.4.
Masa Kemerdekaan.
Pada masa kemerdekaan asal-usul pemilikan tanah juga tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Tanah yang berstatus hak milik pada mulanya diperoleh penduduk tetap melalui empat cara seperti yang telah disebutkan, yaitu : a. dengan membuka tanah baru, b. dari peunulang (pemberian), c. dari harta warisan/pusaka, dan d. dengan cara jual-beli. Pada saat sekarang kebanyakan orang yang mempunyai modal banyak, yang melakukan dengan cara membuka tanah baru di daerah-daerah pegunungan yang kebanyakan untuk- tanah perkebunan (cengkeh). Hal ini dimungkinkan karena pada daerah-daerah tertentu seperti di Kecamatan Seulimum, kecamatan Indrapuri dan kecamatan Mesjid Raya masih banyak tersedianya tanah yang belum dibuka. Proses untuk pembukaannya juga tidak jauh berbeda seperti yang berlaku pada masa-masa sebelumnya. Untuk mendapatkan hak milik atas tanah melalui cara ini, pertama-tama harus meminta izin kepada kepala kampung (keuchiek) dengan mengetahui pimpinan kecamatan (camat) di wilayah mana tanah itu berlokasi. Selanjutnya setelah memperoleh izin harus memberikan tanda batas terhadap tanah yang akan dibuka. Setelah itu hutan yang terdapat di atasnya ditebang, dibakar dan dibersihkan serta kemudian diberi pagar. Karena menurut adat, tanaman harus dilindungi dengan pagar. Dengan demikian sejak saat itu, secara adat tanah itu sudah menjadi hak milik orang yang membuka dan mengerjakannya. Meskipun kekuasaan seorang pemilik terhadap tanahnya begitu besar, tetapi hak milik atas tanah pada daerah-daerah yang diteliti (khususnya di tiga kecamatan dalam Daerah Kabupaten Aceh Besar), bukanlah hak yang mutlak. Oleh karena sesuai dengan pasal 6 Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, hak milik atas tanah mengandung fungsi sosial. Maka seorang pemilik tanah tidak diperkenankan untuk menggunakan tanahnya itu secara sewenangwenang, sehingga dapat mengganggu tetangganya. Pada masa kemerdekaan, pola yang berlaku dalam hal peunulang (pem34
berian) atas tanah, sedikit banyak sudah mulai berubah. Dewasa ini jika ada peunulang, biasanya selain harus diketahui oleh saksi dan pengakuan masyarakat yang mengetahui di sekitarnya yang menentukan status tanah itu, juga ada yang telah dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat di atas kertas segel. Hal yang demikian ini juga berlaku dalam pola pembagian harta warisan/pusaka yang disebut dengan istilah peurae. Demikian juga dalam hal jual beli yang merupakan salah satu cara dalam hubungan dengan asal-usul pemilikan tanah. Di masa kemerdekaan, sebagai suatu syarat terpenting dalam hal jual beli tanah yaitu, selain ada tanah dan uang harga untuk tanah itu, juga harus ada ijab kabul yang disebut peusambot; yakni ucapan penyerahan oleh pembeli di hadapan saksi-saksi. Namun dewasa ini upacara, ijab kabul dengan peusambot seperti telah disebutkan di atas, sudah jarang dilaksanakan. Dan sekarang sudah diganti dengan surat atau ijab kabul itu sudah tercantum dalam surat jual beli. Berdasarkan adat, di wilayah Aceh Besar setiap jual beli tanah harus dengan sepengetahaun pimpinan gampong (kepala kampung) atau keuchiek) setempat. Oleh karena keuchiek tersebut dipandang sebagai orang yang paling mengetahui tentang situasi tanah dalam wilayah kekuasaannya atau gampongnya. Oleh karena itu pada saat sekarang ini (pada masa kemerdekaan), setiap jual beli tanah, selain harus memenuhi syarat-syarat seperti tersebut di atas, juga harus dilaksanakan dengan terang di hadapan pejabat yang berwenang agar jual beli itu syah. Dan pejabat yang berwenang ini dapat seorang keuchiek atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang/peraturan pemerintah yang mengatur tentang pembelian dan penjualan tanah. Dengan kata lain, jual beli tanah pada masa sekarang setidak-tidaknya harus dilaksanakan dengan surat keterangan jual beli. Akhir-akhir ini memang ada keharusan dari pemerintah, bahwa setiap jual beli tanah harus dengan akta tanah yang diperbuat oleh dan di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu. Dan pejabat yang berwenang untuk wilayah pedesaan adalah camat. Namun ketentuan ini, pada beberapa daerah yang diteliti belum berjalan sebagaimana mestinya; karena masyarakat pada umumnya belum mengerti dan merasa itu sebagai suatu keberatan. Pada saat sekarang dalam wilayah kecamatan Indrapuri, Montasik, Sukamakmur, Ingin Jaya dan Mesjid Raya, dilakukan suatu pergantian rugi yang dalam istilah Aceh disebut gantôe peunayah atas sejumlah tanah penduduk yang terkena pembebasan Proyek Kali Aceh. Dalam hal ini tanah-tanah penduduk tersebut, telah beralih hak milik untuk selamanya kepada pihak pemerintah selaku yang memberi ganti rugi atas tanah-tanah yang telah dibebaskan itu dari pemilik-pemiliknya. 35
3.3. ASAL USUL PENGGUNAAN TANAH 3.3.1.
Masa Sebelum Penjajahan.
Jika dilihat menurut penggunaannya maka tanah-tanah di daerah yang diteliti dapat dibagi dalam beberapa macam. Di antaranya yang disebut tanoh uteuen (tanah hutan), tanoh glé (tanah gunung), tanoh tempat peulheueh leumolkeubeue (tanah pengembalaan), tanoh tempat meutani (tanah pertanian) yang dapat dibagi : tanoh biang (tanah sawah) dan tanoh lampoh (tanah perkebunan), tanoh leuen (tanah pekarangan), tanoh ateueng (tanah jalan), tanoh jirat atau boom jirat (tanah pekuburan), tanoh neuheuen (tanah tambak, tanoh ntmoh (tanah untuk perumahan), dan sebagainya. Asal mula penggunaan tanah di daerah Aceh (khususnya Aceh Rayeuk (Aceh Besar), erat hubungannya dengan pembukaan tanah baru atau "tanah mati"; karena tanah yang dibuka itu pada umumnya untuk digunakan. Proses tentang pembukaan tanah yang mati ini, lihat dalam bagian 3.1.1. di atas. Setiap tanah yang akan dibuka biasanya diawali dengan memilih lokasi di mana tanah itu terletak; dan tanah yang akan digunakan itu masih berada dalam lingkungan wilayah administrasi tertentu seperti gampong atau mukim dari warga yang bersangkutan. Selanjutnya memberi tanda pada tanah yang akan digunakan itu, sehingga orang lain tidak akan menggarapnya lagi. Cara pemberian tanda ini ada bermacam-macam; antara lain dengan mengupas kuht kayu pada keempat sudut dari luas tanah yang akan digarap ataupun dengan merintis semak-semak pada kaki bukit (bila di daerah pegunungan) sejarak lebar yang dikehendakinya. Cara-cara yang dipakai ini tergantung pula kepada jenis tanah. Untuk tanah datar, tanda dibuka pada keempat sudut tanah, terkecuali jikalau ada terdapat batas alam, seperti yang disebut alue (sungai kecil), parit dan sebagainya. Dan yang terpenting dalam cara pemberian tanda ini yaitu tanda itu harus kelihatan dari luar. Sehingga setiap orang lain yang kebetulan lewat di tempat itu, hanya dapat melihat serta berkesimpulan bahwa tanah yang bersangkutan akan digunakan/digarap oleh seseoang. Seseorang yang akan membuka tanah untuk digunakan, terlebih dahulu memberitahukan kepada yang berwenang yaitu keuchiek, kepala mukim, kepala sagi ataupun Sultan Aceh; untuk diketahui bhwa tanah bebas yang belum ada penggarapannya itu bakal dikerjakan. Oleh karena tanah itu kelak dimaksudkan oleh si penggarap untuk dijadikan boinah (harta) sebagai kebun yang ditanami tanaman keras, tebat ikan dan sebagainya. Setelah seseorang menjatuhkan pilihannya atas sebidang tanah yang akan digunakan, maka tidak lama kemudian dilanjutkan dengan perbuatan menebang kayu. Semak belukar dibersihkna dan dikumpulkan beronggok-onggok. 36
Beberapa hari kemudian setelah kSring, barulah dibakar bersama-sama dengan batang-batang kayu yang telah ditebang. Perbuatan in disebut dengan istilah cah rimba artinya, membersihkan rimba. Sisa-sisa kayu setelah pembaran dikumpulkan pada suatu tempat dan pada tempat-tempat yang telah bersih, benih-benih bibit tanaman disebarkan. Perbuatan demikian ini disebut meulampoh (berladang). Bila panen selesai, jika tidak dilanjutkan dengan menanami tanaman keras, tanahnya dibiarkan tingggal selama beberapa tahun untuk mengembalikan kesuburannya. Tempat bekas ladang yang ditinggalkan ini dinamakan "tanoh ka usoue yang artinya tidak ada kemungkinan lagi tanah itu untuk ditanami dengan tanaman yang sejenis. Tanah ka usoue ini mulanya ditumbuhi oleh sema belukar, yang tiada lama kemudian berubah menjadi uteuen muda (hutan muda). Beberapa tahun kemudian hutan muda ini berubah lagi menjadi uteuen tuha (hutan tua). Cepat lambatnya perubahan bentuk hutan, sangat tergantung kepada tingkat kesuburan tanahnya. Tetapi pada umumnya di Aceh Besar bekas lampoih (ladang) yang ditinggalkan hutannya menjadi tua kembali setelah dibiarkan selama tiga tahun. Tanah yang digunakan oleh penggarapnya, belum berarti bahwa tanah itu ditelantarkan selama hutan itu masih muda. Tetapi jika hutan itu telah tua dan oleh si penggarap tanah tidak diulangi lagi, maka barulah tanah itu termasuk kategori tanah terlantar atau menjadi tanoh umum (tanah umum) kembali. Namun selama bekas ladang masih ditumbuhi hutan muda., setiap orang lain yang ingin menggunakan tanah tersebut, berkewajiban meminta persetujuan lebih dahulu dari bekas penggarap pertama. Penggarap pertama dalam hal ini memiliki beberapa kemungkinan yang dapat diperbuatnya atas tanah yang telah digunakannya itu. Di antaranya : a. dapat mengalihkan hak atasnya kepada orang lain dengan memberi gantoe peunayah (ganti rugi) kepadanya; b. mengizinkan orang lain menggunakan tanah tersebut dengan cuma-cuma; dan c. menggarap sendiri kembali setelah masa "usoue" tanah berakhir. Apabila seseorang penggarap tanah, setelah mengambil hasil panen tidak meninggalkan tanah itu, tetapi mengolahnya kembali untuk ditanami dengan tanamanlain, maka perbuatan orang itu juga disebut dengan istilah meulampoih (berkebun). Hal ini berarti pula bahwa dia telah memperarat hubungannya dengan tanah bersangkutan. Sebagai kelanjutan usaha, biasanya tanah tersebut ditanami dengan tanaman keras. Dan tanah-tanah ini diberikan batasbatas yang lebih jelas (berupa pagar), kecuali jika di tempat tersebut terdapat batas-batas alam. Pada daerah pegunungan atau data (dataran), jika tanah yang akan diguna37
kan itu untuk ditanami dengan tanaman keras yang biasanya lada, maka tanah tempat penanaman itu disebut dengan istilah seunebok. Penggunaan tanah pertama sekali di sini lazim pula disebut dengan buka seunebok. Dan jika dalam perkembangannya seunebok-seunebok ini berkembang menjadi ramai, sehingga di kawasan itu dapat terbentuk suatu pemukiman penduduk yang diebut gampong. Jadi seunebok-seunebok ini dapat berkembang menjadi gampong (kampung). Orang-orang yang mula-mula mengerjakan/menggunaC k e b u n lada ini disebut peutua pangkay; dan mereka yang datang kemudian disebut dengan nama aneuk seunabok. Di antara peutua pangkay mi ada yang oleh Sultan Aceh diangkat menjadi uleebalang dengan syarat-syarat yang sesuai untuk jabatan itu. Penggunaan tanah pertama sekali untuk seunebok lada, harus berdasarkan adat-adaf tentang seunebok yang mengatur tentang itu. Sehingga pemakaipemakai tanah itu merasa aman dan tentram yang ^ ^ ^ ^ narik untuk mempropagandakan kepada orang-orang lain. Dan Sultan Aceh adalah merupakan orang yang mementingkan sekali perkembangan perkebunan lada, baik untuk kemakmuran rakyatnyaa maupun untuk kepentingan kerejaan (Moehammad Hoesin, 1967, 177). Asal-usul penggunaan tanah di Aceh Besar, dapat pula terjadi atas tanoh rawa (tanah rawa) atau paya; yang pada umumnya dipergunakan sebagai umong (sawah) atau juga untuk neuheun (tambak ikan). Proses penggunaannya juga sama dengan tanah rimba atau pegunungan, yang didahului dengan memberitahukan kepada yang berwenang (keuchiek atau kepala mukim) pada wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya memberi tanda dan membersihkan rawa-rawa yang ada di atasnya, serta mengeringkan air jika tanah rawa itu berair. Tanah rawa atau paya yang telah menjadi umong (sawah dinamakan umong paya, walaupun airnya belum dikeringkan. Sedangkan tanah rawa yang dijadikan tambak ikan disebut neuheuen. Bila tanah rawa / paya yang digunakan telah sempurna menjadi sawah atau tambak ikan, maka usaha seseorang atas tanah itu dapat dikatakan telah berhasil. Dan tanah itu dapat menjadi boinah, barang berharga yang mempunyai nilai tinggi. 3.3.2. Masa Belanda. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian 3.1.2. di atas, bahwa pada masa Belanda (sesudah peperangan dengan pihak Aceh mereda), seluruh urusan konsesi tentang tanah di daerah Aceh telah dicabut dari kekuasaan penguasa pribumi (panglima sagóe, kepala mukim uleebalang), (keuchiek). Namun demikian pemerintah Belanda tetap memperhatikan hak menguasai atas tanah yang dimiliki oleh penduduk/rakyat, yaitu dengan menetapkan suatu ketentuan 38
seperti termuat dalam pasal 30 zelfbestuursregelen, tahun 1919, (L.N. No. 822). Setelah berdamainya Sultan Aceh yang terakhir dengan Belanda (1903), tanah-tanah yang tidak ada pemiliknya atau tidak bisa membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka oleh pemerintah Hindia Belanda dianggap itu berada di bawah penguasaannya. Tanah-tanah yang berstatus demikian itu hanya terdapat di sekitar kota Kutaraja saja. Dan sekarang memang di sekitar kota Banda Aceh, terdapat cukup banyak tanah-tanah yang berstatus demikian. Oleh karena kebanyakan tanah-tanah itu dahulunya telah ditinggalkan oleh pemiliknya akibat pecah perang antara Belanda dengan kerajaan Aceh. Dan perang itu berlangsung cukup lama menurut ukuran masa itu (1873 — 1912). Sehingga ketika peperangan itu telah berakhir, ada di antara pemilik tanah itu yang sudah tidak kembali lagi dan tidak diketahui lagi di mana mereka berada. Tanah-tanah yang tidak ada pemiliknya lagi langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan kemudian disewakan kepada pengusaha-pengusaha asing seperti Cina, Benggali, Arab, Yahudi dan lain-lain. Penyewaan tanah kepada orang asing dilakukan oleh Belanda, khusus hanya di wilayah kota Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dan dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang. Jadi di luar wilayah Kabupaten Aceh Besar, tidak ada tanah-tanah yang statusnya seperti itu (tanah-tanah erfpacht). Oleh penyewa-penyewa asing tanah-tanah tersebut digunakan untuk berbagai keperluan, seperti untuk perkebunan tanaman keras yang dikenal dengan nama lampoh oeu (kebun kelapa), untuk ditanami hutan bakau/bangka, tempat untuk mendirikan industri-industri keci1., tempat peternakan babi, dan sebagainya. Sedangkan pemerintah Belanda sendiri menggunakan tanah-tanah itu (yang tidak disewakan) untuk mendirikan bangunan-bangunan perkantoran dan perumahan milik mereka, pertokoan, dan juga untuk keperluan membuat lapangan-lapangan, baik untuk keperluan militer, olah raga, maupun untuk taman, ataupun untuk tanah pekuburan (kerkhof), dan sebagainya. 3.3.3.
Masa Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, penggunaan tanah di Aceh Besar tetap seperti masa-masa sebelumnya. Hanya saja pihak Jepang juga ada membuka tanah-tanah baru, yang kebanyakan digunakan untuk kepentingan pertahanannya. Yang paling menonjol digunakan oleh pihak Jepang yaitu membuat kubu-kubu dengan melakukan penggalian tanah yang dalam istilah Aceh disebut kurôk-kurôk yang fungsinya selain untuk tempat pertahanan juga sebagai tempat menyembunyikan alat-alat perlengkkapan militer). Tanah-tanah 39
yang digunakan pihak Jepang ini kebanyakan berlokasi di daerah pegunungan 6 dan di tepi-tepi pantai. Selain untuk membuat kurok-kurok pihak pemerintah pendudukan Jepang juga menggunakan tanah untuk kepentingan pembuatan lapangan terbang, yang dalam hal ini di Aceh Besar dibangun dua buah yaitu lapangan terbang Biang Bintang dan lapangan terbang Lhok Nga. Cara mereka mendapatkan tanah ini, selain melalui pembelian (ganti rugi) yang dibayarkan via kepala mukim atau uleebalang setempat juga ada tanah yang mereka ambil begito saja. Yang tersebut terakhir ini setelah Jepang "angkat kaki" diambil kembal, oleh pemilik sebelumnya, sedangkan yang tersebut pertama menjadi mihk negara. Tanah-tanah yang terletak di daerah pegunungan, pada umum nya diambü begitu saja, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada yang berwenang. Demikian pula tanah-tanah yan terdapat di tepi pantai, juga diambil dan digunakan begitu saja. Karena memang pada umumnya tanah tanah itu merupakan tanah-tanah umum yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang ada U I t " 3 IV7- T 8 a b e r i g a n t i " * ° I e h * * * ^Pang, Ïperti tLaÎ £iah yang berlokasi di sekitar Kuala sungai Aceh (wilayah kecamatan Mesjid Raya). Dewasa ini kesemua tanah-tanah i ru dikuasai oleh negara. 3.3.4.
Masa Kemerdekaan.
k e b u t - T k ! m e r d e k a a n keban yakan penggunaan tanah disesuaikan dengan ^T*fuPm- S e p e r t i t e M d i S e b u t k a n b a h w a ™*™ Penggunaan tanah di Kabupaten Aceh Besar dapat dibedakan atas : a. tanah hutan T t a n ^ penggembalaan, c. tanah pertanian, d. tanah perikanan/tambak, e. t n a h p e W ngan, f. tanah jalan, g. tanah perumahan, dan h. tanah pekuburaa Sehubungan dengan tanah hutan, orang Aceh Besar membedakan pengertiannya a as tiga macam, pertama rimba, yaitu hutan belantara yang jauh et ak .
ilhuT ta;tempat oranÊ mensambü hasü huta"; kedua> « * - o £ » . lah hutan-hutan tertentu yang diberi sepertiteM hutan hutan yang serinrumbia i u t T i Z 83 belukar Mnama,
£Ä3 f '
**A2Î
'
tempat penduduk mencari kayu bakar. Pembagian ini dahulu didasari ata anggapan bahwa tanah itu milik Allah (tanoh mile Allah). Hingga maTseka ang masih ada di antara penduduk yang berpikir demikian, nZuTllZ * besar dan mereka telah menerimanya sebagai tanah negara. dan ZtZtd7VTT J Raya) InH H T '
rhttan huTn TÏÏ ^
(keCamatan IndrapUri k e c a m a t a n ' P a d a hutan hu
Sukamakmur - tan pegunungan telah banyak pula
** *** ^
^ "* ^
^
ka hutan-hutan itu untuk dijadikan areal penanaman cengkeh. Dan proses pem40
bukaannya sekarang, selain dapat melalui kepala desa (keuchiek) dan camat, juga dapat melalui kantor agraria kabupaten Aceh Besar. Jadi sekarang tidak ada lagi ketentuan seperti dahulu, bahwa yang berhak membuka hutan itu (tanah yang belum dikerjakan) adalah penduduk dalam wilayah yang bersangkutan saja. Yang termasuk dalam jenis tanah pengembalaan, adalah padang yang sudah tidak ditumbuhi lagi oleh kayu-kayuan. Biasanya ditumbuhi oleh berjenis rumput-rumputan, alang-alang dan tumbuhan-tumbuhan lainnya. Tanah jenis ini sebagian besar terdapat di sekeliling sawah-sawah kampung yang dijadikan tempat hewan merumput oleh penduduk. Yang paling luas terdapat jenis tanah ini adalah di kecamatan Seulimum dan kecamatan Indrapuri. Menurut adat Aceh, semua orang bebas melepaskan ternaknya di sana. Dan nampaknampaknya pada saat sekarang ini telah ada keinginan dari pemerintah untuk memanfaatkannya, misalnya untuk proyek peternakan dan areal reboisasi. Kelihatannya orang berduitpun ada yang berminat pula memiliki sebagian tanah tersebut, untuk mendirikan ranch peternakan di sana atau menanaminya dengan jenis tanaman cengkeh dan jambu mete. Penggunaan tanah ini bagi penduduk berarti tempat hewan mereka merumput akan menjadi lebih sempit. Dan akibatnya telah sering menimbulkan perselisihan baik antara penduduk dengan pemerintah, maupun antar sesama penduduk sendiri. Penggunaan tanah pertanian dapat dibagi dalam dua macam; yaitu, tanah kebun dan tanah sawah. Tanah kebun adalah bidang-bidang tanah yang ditanami oleh penduduk dengan jenis tanaman tua, seperti kelapa, cengkeh, pohon buah-buahan (rambutan, langsat, jambu air dan lain-lain), dan tanaman tua lainnya. Tanah sawah yang setiap tahunnya ditanami dengan padi oleh penduduk, namun kadang-kadang juga diselangj dengan tanaman palawija, seperti jagung, kacang hijau dan sebagainya. Tanah perikanan atau tanah tambak, kebanyakan terdapat di kecamatan Mesjid Raya. Oleh penduduk tanah ini dibuat berbidang-bidang seperti sawahsawah yang disebut neuheuen. Di sini dipelihara jenis-jenis ikan tertentu, seperti bandeng dan udang. Pada tanah pekarangan (yang terdapat di sekeliling rumah) oleh penduduk digunakan untuk, ditanami dengan tanaman buah-buahan seperti pisang, jeruk, mangga, papaya, dan sebagainya, serta ada juga yang menanam jenisjenis bunga. Tanah jalan adalah tanah yang diperuntukkan untuk digunakan sebagai jalan. Dewasa ini tanah jalan tersebut ada disebut dengan jalan negara, jalan propinsi, jalan kabupaten, jalan kampung (desa), jalan kereta api dan sebagai41
nya. Dan semua jalan-jalan ini sekarang oleh penduduk telah dianggap dan diterima sebagai jalan milik negara. Adapun yang disebut tanah perumahan, yaitu tanah tempat didirikannya rumah penduduk, kantor, tempat-tempat ibadat (mesjid, meunasah, rongkong, musalla), dan sebagainya. Status tanah-tanah ini berbeda menurut siapa yang memilikinya. Tanah pekuburan adalah tanah yang digunakan sebagai tempat makam. Pada umumnya setiap keluarga di Kabupaten Aceh Besar, memiliki tanah untuk makam keluarga yang disebut boom jirat. Namun dewasa ini telah terdapat pula pada kampung-kampung (desa) tertentu tanah pekuburan umum, milik' warga kampung bersangkutan.
42
BAB IV POLA PANGUASAAN TANAH 4.1. PRANATA PRANATA SOSIAL YANG BERLAKU DALAM PENGUASAAN TANAH. 4.1.1. Pranata Politik. Kelompok masyarakat pada umumnya dapat terbentuk berdasarkan keturunan dan berdasarkan wilayah tempat tinggal. Masyarakat di wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang, terbentuk berdasarkan azas tempat tinggal bersama, yakni bersama-sama mendiami satu gampong (kampung) ataupun satu kemuMman (T.I. El Hakimy, 1981, 8). Pada masa dahulu (sampai masa kemerdekaan), terdapat pula apa yang dinamakan sagóe (sagi) yaitu satuan wilayah administratif yang berada di atas mukim; jumlahnya tiga buah, yakni : sagi XXII mukim, sagi XXV mukim dan sagi XXVI mukim. Pimpinannya disebut panglima sagi. Di bawah masing-masing sagi ini, terdapat mukkim-mukim yang jumlahnya sesuai dengan sebutannya. Misalnya sagi XXII mukim, berarti di bawah sagi itu terdapat dua puluh dua buah mukim dan begitu pula dengan sagi yang lainnya. Seperti telah disebutkan, di bawah mukim-mukim ini terdapat gampong yang merupakan unit pemerintahan terkecil. Gampong (kampung) adalah suatu lembaga pemerintahan yang merupakan unit terkecil yang dipimpin oleh seorang keuchiek (kepala kampung). Sedangkan kemukzman atau mukim adalah gabungan dari beberapa buah gampong yang berada di bawah pimpinan seorang imuem mukim / kepala mukim. Dahulunya kedua jabatan ini dipegang secara turun-temurun, tetapi pada masa sekarang melalui cara pemilihan. Gampong ataupun mukim di Aceh Besar dapat dikatakan kelompok-kelompok orang yang mendiami wilayah-wilayah pedesaan. Mereka merupakan suatu golongan, suatu kesatuan dengan kekuasaan ke luar serta kekuasaan ke dalam (Ter Haar, 1960, 17). Kelompok orang serupa ini dinamakan masyarakat hukum. Gampong dan mukim di Aceh Besar menurut hukum adat merupakan badan hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban warga masyarakatnya. Baik gampong maupun mukim mempunyai kekayaan sendiri, seperti bangunanbangunan meunasah beserta tanahnya, mesjid beserta tanahnya, tanah pekuburan umum (bhoom jiratj tanoh geulanggang (tanah tempat permainan umum), permandian umum (kolam), tanah wakaf, tanah baitalmaal, tanoh ie bu dan sebagainya. Ini berarti bahwa gampong dan mukim mempunyai wilayah lingku43
ngan tersendiri yang diperuntukkan untuk kesejahteraan para warga/masyarakatnya dan pada prinsipnya tidak diperbolehkan untuk dipergunakan oleh orang luar dari mukim atau gampong yang bersangkutan. Terhadap tanah-tanah milik umum, mukim dan gampong berkuasa atasnya. Mukim bertindak ke luar, sedangkan gampong bertindak ke dalam (oleh para keuchiek)- Namun seadainya ada keuchiek yang juga bertindak ke luar (luar mukim) ini berarti ia telah mendapat persetujuan dari imeum mukim/ kepala mukim. Dengan demikian gampong dan mukim adalah masyarakat hukum dan merupakan lembaga-lembaga yang mengatur dan mengelola keseimbangan kekuasaan dalam kehidupan masyarkat di wilayah Aceh Besar. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian 3.1.1. di atas, mukim dan. gampong berkuasa atas tanah umum. Mukim berkuasa ke luar dan gampong berkuasa ke dalam. Berbagai jenis tanah umum seperti tercantum pada bagian 3.1.1. tersebut, diatur penertiban penggunaannya oleh lembaga-lembaga di mana tanah itu terletak. Oleh karena peranannya yang demikian itu, imuem mukim/ kepala mukim yang juga bergelar uleebalang (khusus di Aceh Besar) dan juga keuchiek, maka kedudukan mereka dalam masyarakat adalah selaku pemangku adat. Artinya orang yang memegang dan melaksanakan adat dalam suatu masyarakat hukum tertentu. Kepala mukim dan keuchiek memegang peranan penting dalam setiap peralihan hak atas tanah; baik pada peralihan dengan cara asli maupun peralihan hak secara turunan. Bila terdapat hal-hal yang meragukan sehubungan dengan hak perseorangan atas tanah oleh seorang warga gampong, terutama sewaktu membuka tanah baru, maka keuchiek selalu akan turun tangan menyelesaikannya. Dan bila keuchiek tidak mampu memutuskan sendiri, dia akan mengundang cerdik pandai kampung untuk bermusyawarah tentang masalah itu. Keuchiek dan kepala mukim mempunyai wewenang untuk memberikan sesuatu hak atas tanah umum kepada seseorang; baik kepada orang dalam maupun orang luar wilayahnya. Pemberian hak atas tanah-tanah umum kepada orang luar dilakukan bila tanah-tanah itu tidak diperlukan oleh anggota masyarakatnya. Hampir setiap peralihan hak atas tanah hanya dapat berlangsung dengan sepengetahuan kepala mukim dan keuchiek. Surat-surat akta peralihan hak atas tanah diperbuat dengan sepengetahuan kedua pejabat tersebut; baik peralihan itu antara sesama masyarakat gampong atau mukim yang bersangkutan, maupun kepada orang luar dari wilayah tersebut. Seperti telah disebutkan di atas, mukim dan gampong merupakan unitunit administratif pemerintahan dan sebagai bawahan dari kerajaan Aceh. Te44
tapi wewenang sesungguhnya tetap ada pada pimpinan masing-masing mukim dan gampong (baca kepala mukim/uleebalang dan keuchiek). Kerajaan (sultan Aceh) hanya memiliki beberapa buah mukim (mukzm-mukim yang berdiri sendiri) dan beberapa buah gampong yang langsung berada di bawah kekuasaannya. Mukim dan gampong ini disebut dengan istilah daerah bibeuh (daerah bebas); dalam arti bahwa daerah-daerah itu lepas dari ketentuan-ketentuan pemerintahan biasa, di luar dari sagt Adapun mukim-mukim yang termasuk dalam daerah bibeueh ini yaitu : mukim Pagar Ayer, mukim Lamsayun, mukim Longbata, mukim Meuraksa, mukim sebelah kiri dan sebelah kanan knieng Aceh. Sedangkan gampong-gampong (kampung-kampung) yang berada di bawah kuasa sultan yaitu : kampung kandang, kampung meurdiwati, kampung jawa, kampung keudah, kampung pandé, kampung panté perak dan kampung neusu. Semua keucheik yang membawahi kampung-kampung tersebut, langsung berada di bawah kuasa sultan Aceh. Daerah-daerah bibeueh itu dewasa ini sudah tidak ada lagi, karena sesuah berakhirnya kesultanan Aceh, statusnya sudah sama dengan yang lainnya; Dan sekarang telah termasuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Besar. Selain memiliki daerah bibeueh, sultan Aceh juga menguasai dan memiliki apa yang disebut tanoh bibeueh (tanah bebas). Di antara tanah ini adan yang disebut lampoih kandang (tanah kebun milik sultan) yang menyebar pada beberapa daerah bibeueh. Selain itu ada juga yang tanoh raja (tanah raja); yaitu sejalur tanah selebar 7 depan panjang (deupa meunara) yang terletak sebelah-menyebelah krueng (sungai) Aceh. Adanya jalur-jalur tanah itu di masa dahulu, karena dicadangkan oleh sultan Aceh untuk kepentingan pelabuhan yang terdapat sepanjang sungai Aceh. Dan sebenarnya jalur-jalur itu lebih berupa jalan, sehingga ada yang menyebutnya dengan nama jurong raja (jalan raja). Seperti halnya sekarang, pada masa dahulupun sungai Aceh sering banjir, sehingga memperlebar palungnya itu. Oleh karena sepanjang kedua tepinya itu terdapat jalan-jalan penting yang menghubungkan kota pelabuhan (Banda Aceh) dengan kuala sungai (kuala Aceh), maka terpaksalah jalan-jalan itu selalu harus dipindahkan. Supaya selalu tersedia tanah yang diperlukan, maka jalurjalur tanah itu dicadangkan sebagai tanoh raja (tanah raja). Disebabkan tepitepi sungai Aceh selalu berpindah-pindah karena dihanyutkan oleh banjir yang terjadi terus-menerus; dan membawa lumpurnya di ana, maka tanah raja itu dapat dikatakan tidak ada yang tertinggal lagi. Pada masa sekarang penduduk yang berdiam di tepi sungai, tidak saja berhak menggunakan tanah-tanah itu, tetapi juga boleh memilikinya. Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa yang "berkuasa" atas tanah di Aceh Besar adalah persekutuan kampung, mukim dan kerajaan; 45
dengan kata lain keuchiek, imuem mukim/kepala mukim (uleebalang) dan sultan. Hak menguasai yang mereka miliki ini disebabkan karena kedudukan mereka selaku pemangku adat, yaitu orang yang memegang dan melaksanakan adat dalam suatu masyarakat hukum tertentu. 4.1.2.
Pranata Religi.
Suatu lembaga keagamaan yang erat sekali hubungannya dengan hak atas tanah yang terdapat di wilayah Aceh Besar yaitu apa yang dinamakan "tanah wakaf'. Kata wakaf ini berasal dari bahasa Arab waqf yang dalam bahasa Aceh disebut wakeueh. Dalam hal ini seseorang yang memiliki sesuatu barang atau tanah, menyerahkannya untuk keperluan seseorang tertentu atau untuk kepentingan umum, sesuai dengan kaidah dalam agama Islam/hukum Islam. Dengan penyerahan ini dimaksudkan agar kelak akan menerima ganjaran (di hari akhirat kelak). Misalnya tanah sawah atau tanah kebun yang penghasilannya dipergunakan untuk kepentingan mesjid atau meunasah-meunasah di kampung-kampung. Yang termasuk dalam kelompok tanah-tanah wäkeueh ini yaitu lampoih wakeueh, yaitu kebun yang penghasilannya boleh diambil secara bebas oleh setiap orang yang lalu di kebun itu; mon wakeueh, yaitu sumur yang boleh diambil airnya oleh setiap orang yang menginginkan airnya; bale wakeueh, yaitu balé-balé atau rumah-rumah biasa tempat orang beristirahat atau tempat bersembahyang setiap hari dan sebagainya. Selain dari bangunan-bangunan untuk kepentingan amal, terdapat juga wakaf-wakaf yang dipergunakan untuk menyimpan sesuatu milik keluarga yang terjamin dari kerusakan atau juga untuk menghindarkan warisan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum menurut Islam. Selain itu yang juga tergolong sebagai tanah wakaf pada masa dahulu yaitu yang dinamakan umong sara (sawah untuk bekal) atau sebagai alat nafkah yang disebut beukay. Umong sara ini diperuntukkan untuk kepentingan mesjid; misalnya untuk mesjid raya yang terdapat di Kutaraja (Banda Aceh) yang penetapannya ditentukan oleh Sultan. Dewasa ini ketentuan-ketentuan tentang umong sara ini banyak yang sudah tidak berbekas lagi; yang masih dinamakan dengan nama itu pada saat sekarang yaitu sawah-sawah yang oleh pemerintah / urusan agama telah diserahkan kepada imeum dan bileue (bilal) mesjid raya Banda Aceh, karena mereka itu sama-sama bukan orang yang makan gaji sama pemerintah. Tanah wakaf juga dapat berarti, kampung-kampung atau daerah-daerah bebas yang disebut dengan nanggroe wakeueh. Dengan waqf menurut hukum Islam, mungkin daerah-daerah bebas itu dapat disamakan dengan lembaga 46
perdikan di Jawa. Jika di masa kesultanan dahulu, hampir di mana-mana dijumpai daerah-daerah bebas itu. Namun di masa sekarang daerah-daerah tersebut telah dihapuskan karena tidak mempunyai arti lagi. Biasanya daerah wakaf seperti itu mendapat pengakuan sultan atau uleebalang. Akan tetapi keadaannya itu kadangkala terjadi tanpa pengakuannya. Pada umumnya sifat daerah wakaf itu dibenarkan pada tempat-tempat yang menjadi pusat mempelajari hukum-hukum Islam (dayah-dayah) seperti di Kuta Karang (kecamatan Darul Imarah) dan di Indrapuri (kecamatan Indrapuri. Para kepala mukim (uleebalang) di sekitarnya menyerahkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum Islam itu kepada para ulama, sehingga ketentuanketentuan menurut adat artinya menjadi berkurang di daerah itu. Seperti telah disebutkan di atas, adanya daerah-daerah bebas itu disebabkarena persembahan orang-orang tertentu. Sultan menganugerahi hak pakai atas tanah kepada orang-orang yang dikasihaninya, setelah dibayar ganti rugi kepada pemüik-pemiliknya. Kadang-kadang penduduk suatu daerah dibebaskan dari berbagai tugas dan lepas dari kekuasaan dari kekuasaan para kepala lokal. Jika ini ditujukan kepada kepala-kepala tertentu, maka mereka itu langsung berada di bawah kekuasaan raja dan terlepas pula dari kekuasaan kepala-kepala teritorial. Daerah-daerah wakeueh itu dewasa ini sudah tidak ada lagi, akan tetapi mukim-mukim atau kampung-kampung yang merupakan sisa-sisa dari daerah wakeueh masih tetap ada. Selain tanah wakaf dalam kaitannya dengan pranata religi yang ditemui di wilayah Aceh Besar, yaitu yang disebut oleh penduduk dengan istilah tanoh le - bu (secara harafiah artinya tanah bubur). Tanah ini berasal dari pemberian seseorang kepada gampong untuk dijadikan sebagai milik bersama warga kampung. Hasil tanah ini digunakan untuk kepentingan kampung, misalnya untuk kenduri desa dan lain sebagainya. Dan yang paling menonjol penggunaannya yaitu berkaitan dengan bulan Ramadhan (bulan puasa). Artinya tanah itu oleh keuchiek diserahkan kepada seseorang warga kampung yang miskin untuk dikerjakan dan hasilnya boleh diambil oleh yang mengerjakan itu. Tetapi ia (si penggarap tanah itu) mempunyai suatu kewajiban, yaitu setiap bulan puasa, ia harus membuat le bu (bubur) di meunasah untuk kepentingan buka puasa warga kampung bersangkutan yang mengingininya. Mungkin itulah sebabnya maka tanah itu disebut dengan istilah tanoh le bu. Dewasa ini jenis tanah ini masih dapat dijumpai pada kampung-kampung tertentu dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Lembaga lain dalam kaitan dengan pola penguasaan tanah yang juga berfungsi untuk keperluan manusia dalam berhubungan dan berbakti kepada tuhan yang terdapat di wilayah Kabupaten Aceh Besar yaitu yang disebut tanoh boitay may (tanah baital mal) atau harta agama. Tanah ini sebenarnya 47
merupakan harta-harta dari orang-orang yang tidak diketahui di mana mereka berada / menetap. Ataupun harta benda dari orang-orang asing yang meninggal di Aceh dan tidak ada keluarganya. Jika ada tanah-tanah yang demikian itu maka penguasa-penguasa setempat seperti keucheik, kepala mukim ataupun uleebalang berkewajiban untuk mengurus dan memanfaatkan tanah-tanah itu bagi kepentingan agama Islam, menurut ketentuan hukom (syariat Islam) dan adat setempat. Misalnya hasil-hasil yang diperoleh dari tanah itu disumbangkan untuk kepentingan mesjid, meunasah dan sebagainya dalam kaitan dengan masalah keagamaan. Dari apa yang telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa yang berkuasa atas tanah di sini yaitu para kepala kampung, kepala mukim dan uleebalang. Namun kekuasaan mereka atas tanah-tanah tersebut hanya terbatas dalam pengaturan dan pengawasannya saja. 4.1.3.
Pranata Ekonomi.
Selain pranata politik dan religi yang terdapat dalam penguasaan tanah di wilayah Aceh Besar, juga terdapat pranata ekonomi. Di antaranya yaitu yang disebut wasé tanoh (secara harafiah artinya hasil tanah, tetapi disini dapat diartikan sebagai pajak tanah). Maksudnya Seseorang yang hendak menggarap tanah yang belum dikerjakan atau membuka "tanah yang mati" untuk dijadikan kebun ladang atau sawah adalah bebas. Tetapi bila tanah yang akan dibuka itu berdekatan letaknya dengan tanah yang telah digarap oleh orang lain, maka ia harus meminta izin terlebih dahulu kepadanya dan juga kepada kepala daerah yang bersangkutan. Untuk mendapatkan izin ini tidak perlu dibayar atau diberi apapun; hanya saja bila tanah yang telah digarap itu telah menghasilkan sesuatu (telah panen), maka si penggarap tersebut harus membayar yang disebut wasé tanoh kepada kepala daerah yang bersangkutan / ulee bolongnya. Pada beberapa tempat dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar (kecamatan Mesjid Raya dan kecamatan Peukan Bada), ureung cah rimba (orang yang membuka rimba pertama sekali) untuk dijadikan kebun-kebun lada, dianggap sebagai penguasa atas tanah itu. Di sini juga berlaku, orang itu harus membayar hak masuk atas tanah itu kepada penguasa wilayah bersangkutan (tempat tanah itu berlokasi). Ketentuan ini dikenal dengan nama bay eue ha' tamong yang secara harafiah artinya membayar hak masuk. Pranata ekonomi lainnya dalam hubungan dengan penguasaan tanah di wilayah Aceh Besar, yaitu apa yang disebut gala atau geunala. Dengan ini diartikan hak yang diperoleh seseorang untuk menguasai tanah dengan cara memberi 48
sejumlah uang kepada orang lain yang memiliki tanah atau dapat juga diartikan, meminjamkan uang kepada seseorang; dan sebagai jaminan agar uang itu dikembalikan maka diberikan tanah kepada si peminjam itu. Tanah itu tidak menjadi milik si pemberi uang, akan tetapi ia hanya memperoleh hak penguasaan/penggunaannya saja; dengan kewajiban bahwa ia harus mengembalikannya kepada si pemilik tanah itu bila telah dilakukan teuboih (menebus) kembali. Penerima tanah itu dapat mengajukan syarat sebelumnya, bahwa pengembalian itu uang itu (teuboih) tidak boleh ddilakukan sebelum waktu yang disepakati itu berlalu. Sebaliknya tidak dipaksakan lama waktunya. Dengan kata lain, bahwa pengembalian itu tetap mungkin di masa datang, kecuali jika pemilik tanah karena ketiadaan uang, menyetujui untuk mengubah janji teboih itu menjadi janji beli seharga tertentu. Hal yang demikian ini bila terjadi disebut dengan istilah peusah. Tanah yang hendak di gala atau di teboih itu selalu dalam keadaan tidak dikerjakan setelah panen. Berhubung bunga uang yang di gala itu terdiri dari hasil panen yang dihasilkan oleh si penerima uangga/c itu; maka teuboih atas tanah itu tidak boleh dilakukan sebelum pemilik uang mengambil hasilnya sekurang-kurangnya sekali. Penerima gala tidak memperoleh hak untuk memiliki tanah itu. Misalnya ia tidak boleh sama sekali menjual tanah yang di gala - nya itu. Dan ia berkewajiban untuk mengerjakan tanah yang telah di gala-nya itu; namun ia boleh mempersewakannya, bahkan dapat pula meng-go/a-kannya kembali setelah memperoleh izin dari pemiliknya itu, ataupun dapat mewariskan kepada ahli warisnya bila tanah itu belum ditebus. Bagi pemilik selama gala berlangsung hanya memiliki satu hak, yakni haknya untuk teuboih. Qan pemilik selama gala berlangsung dapat selalu meminta penambahan uang gala, jika hal ini disetujui oleh si pemegang gala. Dengan persetujuan ini bila terus-menerus dilakukan, maka pada suatu waktu harga gala itu dapat serupa dengan harga tanah. Sehingga dalam hal ini si pemilik tanah tiada berapa berkepentingan lagi untuk menebus, namun sejauh itu pemilik tidak dapat dipaksa untuk melakukan teuboih. Yang boleh melakukan gala, yaitu pemilik tanah dan orang yang mendapat kekuasaan sebagai pemilik, seperti pemegang gala. Barang-barang yang dapat menjadi obyek gala dalam hubungan dengan tanah yaitu, tanah, kolam, pekarangan, rumah dan pohon. Barang-barang di atas tanah dapat di gala lepas dari tanahnya; maka pohon-pohon tanaman keras sering di gala-kzn tanpa ikut sertanya tanah di mana pepohonan itu tumbuh Oleh karena itu dalam setiap perjanjian gala harus secara tegas dinyatakan, apakah yang di gala itu pohon bersama tanahnya atau hanya pohonnya saja tanpa tanah. 49
Dalam hal gala tanah ini, tidak harus diperlukan keizinan dari pemilikpemilik tanah di samping tanah yang di gda-kan itu, walaupun ada juga yang memperhatikannya. Hak gala di atas tanah dapat berakhir karena : 1. diteuboih (ditebus); uang tebusan bisa diangsur, tetapi tiap angsuran dipandang sebagai simpanan pada pemegang gala. Gala baru berakhir setelah angsuran terakhir lunas dibayar. 2.
Tanah yang digalakan itu dijual kepada si pemegang gala;
3.
Tanah gala itu diwariskan kepada pemegang gala.
4.
Musnahnya tanah yang di gda itu (umpamanya disebabkan oleh banjir, bagi tanah yang letaknya di pinggir sungai, akibat peperangan dan sebagainya). Dalam hal ini yang melakukan gda hilang tanahnya dan yang melepaskan uang hilang uangnya.
Dewasa ini gda dapat berakhir juga setelah lewat masa 7 tahun; dengan akibat si pemegang gala berkewajiban mengembalikan tanah kepada pemilik tanpa hak meminta uang tebusan. (Budi Harsono, 1961, 358). Namun berdasarkan pengamatan tim peneliti, ketentuan seperti tersebut di atas di daerah-daerah yang menjadi fokus penelitian belum berlaku. Suatu pranata ekonomi lainnya yang termasuk dalam pola penguasaan tanah, yaitu yang dikenal dengan istilah pak atau peupak, artinya jual tahunan. Bila seseorang pemilik sebidang tanah melepaskan tanahnya itu dengan menerima sejumlah uang tunai pada ketika itu juga dengan syarat setelah beberapa tahun (menurut perjanjian) tanah itu dikembalikan tanpa mengembalikan uang. Bentuk semacam ini dikenal hampir di seluruh daerah pedesaan Aceh tetapi dari hasil penelitian yang dilakukan, tidak semua kampung/desa yang melakukannya. Biasanya yang menjadi obyek (barang) pada sistem pak ini ialah tanah, kolam, kebun tanaman keras yang denganperhitungan tepat oleh si pelepas uang bisa memperkirakan, bahwa setelah lampaunya waktu yang diperjanjikan di dapat kembali pokok dan memperoleh keuntungan. Setiap pak yang waktunya lebih dari setahun, selalu harus dilaksanakan dengan sepengetahuan keuchiek setempat. Tetapi pak dengan jangka waktu tidak lebih dari setahun lazimnya telah cukup hanya dengan persetujuan kedua belah pihak saja. . Perjanjian pak sebenarnya hampir sama dengan perjanjian sewa, kalau sewa dibayar kemudian pada akhir bulan atau akhir tahun ataupun setelah selesai panen; sedangkan harga pak dibayar di depan. Obyek perjanjian pada pak 50
adalah tanah, sedangkan pada sewa yang menjadi obyek pejanjian adalah uang sewanya. Selain pak juga ada yang disebut borogh atau anggunan yang juga merupakan pranata ekonomi yang berlaku dalam pola penguasaan tanah di wilayah Kabupaten Aceh Besar, borogh adalah suatu perjanjian yangg menyangkut tanah, dalam hubungan dengan pinjam meminjam uang. Seseorang yang berutang pada orang lain sering kali menunjukkan sebidang tanahnya sebagai jaminan; yakni tanah tersebut akan dijual ataupun akan digadaikan kelak kepada si pemberi uang apabila hutang tidak terbayar pada waktunya. Hal yang demikian itulah yang di Aceh dikenal dengan nama borogh yang mungkin berasal dari perkataan borg (bahasa Belanda). Perjanjian semaca ini diperbuat karena ada yang memerlukan uang secara mendadak dan dalam waktu singkat akan dibayar kembali. Waktu singkat dimaksud, biasanya hanya beberapa bulan saja, kurang dari setahun. Apabila tiba pada waktunya hutang belum terbayar juga, maka ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi; a. barang yang dijadikan borogh digadaikan kepada pemberi uang dengan mengubah perjanjian borogh menjadi perjanjian gadai; b. barang borogh dijual kepada pemberi uang, dengan membuat surat jualbeli; dan c. barang yang dijadikan borogh dijual bersama kepada pihak ketiga dengan hasil penjualan terlebih dahulu dibayarkan untuk melunasi hutang. Pada perjanjian borogh biasanya tanah itu tetap tinggal di tangan orang yang berhutang. Biasanya pada perjanjian hutang dengan borogh tanah, selalu dibuat suatu perjanjian secara tertulis; tetapi jarang dengan sepengetahuan keuchiek, terkecuali bila jumlah uang hutang itu terlalu besar. Suatu pranata ekonomi lainnya yaitu yang disebut bloe akat; yaitu pinjaman uang dalam bentuk pembelian dengan hak membeli kembali. Artinya seseorang yang memerlukan uang menjual tanahnya kepada pemilik uang, dengan syarat, bahwa ia akan membelinya kembali kelak dengan harga yang lebih tinggi. Uang kelebihan yang akan dibayarnya kelak sebenarnya merupakan bunga. Sebenarnya dalam hal ini terdapat suatu perjanjian semu, yang dimaksudkan supaya orang dapat melepaskaTniiri dari larangan uang riba, karena sebenarnya cara yang dilakukan dengan istilah bloe akat itu sama dengan gda (gadai); jadi agar orang terhindar dari uang riba yang dilarang dalam agama, maka ditempuh jalan seperti itu. Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa yang berkuasa atas tanah sehubungan dengan pranata ekonomi ini yaitu, paia penguasa wilayah (keuchiek, kepala mukim / uleebdang), dan para pemilik tanah. Yang tersebut pertama kedudukannya sebagai pemangku adat, sedangkan yang kedua sebagai pemegang hak milik atas tanah. Kalau para penguasa wilayah 51
berwenang untuk mengatur dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pemanfaatan tanah .dalam wilayahnya, maka para pemilik tanah berwenang untuk memanfaatkan tanah itu bagi kepentingannya. 4.1.4.
Pranata Sosial.
Suatu pranata sosial lain yang didapati di Aceh Besar yaitu yang disebut numpang. Yiatu suatu perjanjian yang menyangkut tanah, di mana seseorang pemilik tanah karena ingin memberikan jasa atau membalas budi baik seseorang, maka ia memperbolehkan orang tersebut untuk mendiami tanahnya secara cuma-cuma. Lamanya waktu penumpang ini biasanya tidak ditentukan batasnya, bahkan sering ditemui hingga si penumpang itu beranak cucu di tempat si pemilik tanah itu. Tetapi apabila si pemilik tanah memerlukan tanahnya itu untuk sesuatu keperluan, dia dapat memberi tahukan kepada si orang yang menumpang itu untuk pindah dari tanahnya; dengan suatu kewajiban dari pemilik tanah yaitu, memberikan suatu ganti rugi terhadap bangunan yang terdapat di atas tanahnya milik si penumpang itu. Pada masa dahulu perjanjian numpang, jarang dilakukan dengan secara tertulis. Tetapi pada masa sekarang telah diperbuat dengan surat, demi mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diingini di belakang hari. Karena pada perjanjian numpang yang turun-temurun, tanpa surat, sering timbul sengketa, yang disebabkan karena keturunan orang yang menumpang pada akhirnya tidak mengakui lagi hak numpang; tetapi menyatakan tanah yang ditempatinya itu adalah merupakan boinah bak ureueng chiek artinya sebagai tanah pusaka dari orang tuanya. 4.1.5.
Hukum Adat
Di antara pranata-pranata yang tercakup di dalam hukum adat yang berkaitan dengan pola penguasaan tanah di wilayah Kabupaten Aceh Besar yaitu, yang disebut : ulée lampoih (secara harafiah kepala kebun). Artinya seorang pemilik tanah yang tanahnya berbatasan langsung dengan rimba, lebih berhak untuk menggarap rimba itu dari pada orang-orang lainnya. Hak ulée lampoih berlaku sejarak ukuran pohon tertinggi yang direbahkan dari perbatasan kebun ke arah rimba. Dalam pengertian ulée lampoih, juga termasuk apa yang disebut ulée umong (kepala kebun); sawang, artinya dangkalan air sungai yang menjorok ke dalam daratan tanah milik seseorang; maka tanah itu menjadi hak utama pemilik tanah yang bersangkutan untuk menggarapnya. Hak tanoh jeued (tanah jadi atau tanah lidah) (Iman Sudiyat, 1973 : 21). 52
Ada tiga macam hak utama terhadap tanah jenis ini yang diketemukan tim peneliti di wilayah Kabupaten Aceh Besar, yaitu : a. tanah yang bertambah karena endapan lumpur di pinggir sungai menjadi hak utama pemilik tanah yang tanahnya berbatasan langsung dengan sungai. b. tanah yang timbul kembali dibekas tenggelamnya tanah milik seseorang menjadi hak terdahulu dari orang yang tanahnya tenggelam. c. suatu hal yang unik dijumpai di kecamatan Indrapuri dan di kecamatan Seulimum. Di kedua kecamatan ini dijumpai/berlaku, bahwa bila seseorang pemilik tanah di pinggir sungai tanahnya tenggelam, maka ia mendapat hak terdahulu untuk mengambil tanah yang timbul di seberang sungai n dengan bekas tanahnya yang telah tenggelam itu. Perlu diketahui bahwa hak terhadap tanoh jeued ini hanya menyangkut tanah saja, tidak termasuk pantai sungai di mana terdapat batu dan pasir. Hak langgeh; yaitu hak terdahulu untuk membeli sebidang tanah karena pembeli mempunyai hubungan famili, sekampung atau semukim dengan penjual ataupun pembeli mempunyai tanah yang berbatasan dengan tanah yang akan dijual. Hak terdahulu ini hanyalah kewenangan seseorang untuk diutamakan dari pada orang lainnya dalam pembinaan sesuatu hak atas tanah. Dalam pembinaan hak baru di atas tanah ini, dengan alasan tertentu seseorang lebih diutamakan dari pada orang-orang lainnya. Oleh karena itu penggunaan hak terdahulu tiada cukup dengan hanya pernyataan dengan kata-kata saja, tetapi juga harus direalisir dalam perbuatan nyata. 4.2. BENTUK PENGUASAAN TANAH Gampong dan mukim yang terdapat di wilayah Kabupaten Aceh Besar merupakan suatu masyarakat hukum adat; yang mempunyai hak untuk menguasai seluruh tanah yang berada dalam daerah kekuasaannya. Hak yang- dimiliki oleh gampong dan mukim atas tanah ini, dapat disebutkan sebagai hak ulayat. Kata ulayat berasal dari bahasa Minangkabau yang artinya wilayah. Wilayah dari suatu persekutuan hukum. Dan kata ini sekarang telah dipakai sebagai istilah nasional; menurut Iman Sudiyat kata ulayat dapat diartikan sebagai suatu hak yang dipunyai atau melekat pada masyarakat hukum adat yang memberi wewenang kepadanya untuk menguasai seluruh tanah yang berada dalam daerah kekuasaannya. Dengan kata lain bahwa ulayat (wilayah) yang termasuk dalam lingkungan suatu masyarakat hukum tertentu dikuasai sepenuhnya oleh masyarakat itu dan terlarang bagi orang luar. Meskipun di wilayah Kabupaten Aceh Besar, sepanjang penelitian yang
53
dilakukan tim peneliti kata ulayat ini tidak dikenal, namun tidak berarti bahwa di daerah ini tidak diketemukan tanah ulayat. Masyarakat di sini mengetahui dan mengenal wilayah lingkungan dari suatu persekutuan hukum terhadap tanahtanah yang belum dikerjakan dalam lingkungan wilayahnya. Dari dahulu hingga sekarang mereka menggunakan berbagai istilah untuk menyebutkan tanah tanah yang belum digarap tersebut; misalnya, tanoh tuhan, (tanah tuhan), tanoh raja (tanah raja), tanoh mukim (tanah mukim), tanoh peumeurintah (tanah pemerintah), tanoh umum (tanah umum), tanoh masyarakat (tanah masyarakat), dan sebagainya (lihat pada bagian 3.1. di atas). Selain itu ada juga yang menyebutnya dengan istilah tanoh glee atau tanoh gunong (tanah gunug^j. Kesemuanya termasuk tanah-tanah bebas yang termasuk ke dalam lingkungan wilayah hukum tertentu (gampong atau mukim). Dan tanah-tanah itu terlarang bagi orang luar untuk menguasainya; jadi yang boleh hanya warga masyarakat tertentu saja, dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan itu. Dengan demikian bentuk penguasaan atas tanah ini pengaturannya berdasarkan hukum adat. Hak atas tanah ulayat dimiliki oleh persekutuan gampong atau mukim yang terletak dalam kawasan hukum adatnya. Namun demikian warga masyarakat dalam lingkungan gampong atau mukim tersebut, tetap bebas meletakkan hak-hak perseorangan atas tanah dalam wilayahnya. Mereka dapat membuka tanah-tanah yang belum dikerjakan, tetapi dengan seizin pemimpin gampong atau mukim. Bentuk penguasaan tanah yang lain yaitu lampoih kundang (tanah kebun milik sultan), yang menyebar pada daerah bebas (lihat hal. 85).
54
BAB V POLA PEMILIKAN TANAH 5.1. PRANATA-PRANATA SOSIAL YANG BERLAKU DALAM PEMILIKAN TANAH 5.1.1.
Pranata Politik.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa hak milik penduduk atas tanah diperoleh di antaranya dengan jalan pembukaan, yang dalam bahasa Belanda disebut ontginning. Penggunaan hak untuk membuka tanah (ontginningrecht) yang dilakukan secara individu/perseorangan menjurus kepada hak milek, penumpukan harta yang lazim disebut di Aceh peutamon areute. Sebagai contoh dikatakan gobnyan le that milek, yang artinya orang itu (dia) memiliki banyak hartanya (banyak tanahnya). Namun hak ini menjadi terbatas oleh hak pengembalaan dan hak tetangga. Obyeknya ialah, tanah-tanah yang digarap tetap, terutama tanah-tanah sawah (umong), bukan tanah-tanah padang, ladang dan kebun (lampoih). Namun hak milek ini dapat berpindah karena beberapa hal, diantaranya peusaka (pusaka), tanah umong (sawah) jatuhnya kepada anak laki-laki; selain itu juga karena penyerahan yang dilakukan secara sengaja atau dengan pemindahan yang disebut dengan istilah publo (penjualan), atau hibah kepada orang lain. Pranata sosial lain (pranata politik) yang berlaku dalam pemilikan tanah di wilayah Kabupaten Aceh Besar, yaitu yang disebut tanoh boinah. Artinya tanah yang dikerjakan telah sempurna menjadi sawah, neuheuen (tambak ikan), lampoih yang telah menghasilkan. Hasil-hasil usaha tersebut disebut telah menjadi boinah; maksudnya telah menjadi barang berharga yang tidak mudah hilang kembali. Sehubungan dengan jerih payah seseorang setelah menggarap tanah, tanah menjadi bernilai tinggi. Orang yang mengerjakan tanah itu mempunyai suatu hak yang disebut hak useuha. Yang berkuasa atas tanah ulayat (tanah umum) tetap persekutuan hukum gampong atau mukim. Hak useuha seseorang atas tanah itu berlangsung selama boinah masih terdapat di atas tanah itu. Dan seandainya boinah itu diwarisi oleh keturunan atau ahli waris yang mengusahakan tanah itu, maka useuhajhak ueuseha atas tanah itu juga turut terwariskan. Dengan perkataan lain hak useuha atas tanah ulayah (tanoh umum), dapat turun-temurun; dan lama-kelamaan kemungkinan akan menjadi hak milik. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa boinah itu tidak dipisahkan dengan tanah. Tanah menjadi berguna dan berharga sebab ada boinah di atasnya; sebalik55
nya boinah dapat menghasilkan karena adanya tanah. Perwarisan boinah ini kepada ahli warisnya lama kelamaan dapat merubah status tanah itu dari status hak usaha menjadi status hak milik. Hal ini dapat terjadi karena boinah itu selalu berstatus hak milik. Seseorang yang menerima boinah dari orang tua atau leluhurnya sering disebut dengan istilah boinah bak ureueng chiek (harta warisan berasal dari orang tua) yang pengertiannya mencakup tanah dengan segala hasil usaha di atasnya. Namun demikian yang terpenting yaitu adanya pengakuan dari masyarakat sekitarnya tentang status tanah tersebut, terutama sewaktu upacara pembagian harta warisan (peraei) itu dilakukan. Sungguh boinah sukar dipisahkan dengan tanahnya namun dalam keadaan tertentu kadang-kadang dapat memisahkannya. Menurut adat yang berlaku, ada yang dapat dibedakan antara tanah dengan benda lain / tanaman keras yang terdapat di atasnya. Seseorang dapat memiliki sesuatu benda di atas tanah, sedangkan tanahnya kepunyaan orang lain. Beberapa kasus seperti di atas, telah diketemukan tim peneliti pada beberapa kecamatan seperti di kemukiman Pagar Air (kecamatan Mesjid Raya). Berdasarkan wawancara di sini didapati pohon-pohon kelapa dan tanaman keras lainnya yang terdapat di atas tanahtanah tertentu bukan milik si empunya tanah; yang berarti pohon-pohon kelapa dan tanaman-tanaman keras itu berbeda pemiliknya dengan tanah tempat tanaman-tanaman itu tumbuh. Kemungkinan di sini dahulu terdapat perbedaan antara hak euseha dengan hak milik atas tanah. Demikian dapat terjadi atas boinah. Terhadap tanah hak useuha apabila ditinggalkan dalam waktu yang lama, maka hak atas tanahnya akan hilang. Hal yang demikian itu ditentukan dalam suatu ungkapan yaitu asa bak glee jiwo keu glee. Maksudnya, apabila kebun tanaman keras yang ditinggalkan telah menjadi hutan belantara kembali, maka hilanglah hak seseorang atas tanahnya. Situasi yang demikian ini pulalah yang mengakibatkan hilangnya pengakuan masyarakat sekitarnya terhadap hak useuha seseorang atas tanah ulayat atau tanah umum. Namun demikian sisasisa tanaman kerasnya yang terdapat atas tanah itu, tetap dihargai serta dihormati sebagai milik bekas si penggarapnya. Pranata sosial lainnya yaitu yang disebut hak dong tanoh. Atas tanah ulayat / tanah umum, selain jenis dan bahagian-bahagian tertentu yang dipertahankan untuk kepentingan gampong atau mukim, maka warga desa bebas meletakkan hak-hak perseorangannya. Inilah yang disebut hak dong tanoh. Di beberapa desa istilah ini disebut pula dengan nama ceu tanoh, dong gaki, cah gaki dan istilah lain semacamnya. Sebagaimana telah disinggung di atas hak dong tanoh yaitu, kebebasan memilih yang dimiliki oleh seseorang warga gampong atau mukim, di lokasi mana dia akan membuka tanah dari tanah umum/tanah 56
ulayat Selanjutnya yang disebut tanoh bibeueh; yakni tanah bebas yang kebebasannya diperoleh dari raja oleh orang-orang tertentu yang dalam masyarakat Aceh memperoleh hak-hak istimewa, karena asal-usul mereka ataupun karena pengetahuannya di bidang agama Islam. Termasuk di dalamnya kelompok para ulama dan sayed-sayed. Yang tersebut terakhir ini mendapat penghormatan hebat sekali dari masyarakat Aceh yang mungkin tidak ditemukan pada tempattempat lain di nusantara. Menurut anggapan syiah, sayed-sayed itu adalah keturunan nabi Muhammad; dalam hal-hal tertentu mereka dianggap keramat. Tanoh milek, yaitu tingkat atau hak tertinggi yang dapat dicapai seseorang atas tanah yang pada mulanya berasal dari tanah umum. Jika tanah telah menjadi milik seseorang, maka dianggap lepas hubungannya dengan hak masyarakat umum. Namun demikian tanah milik seseorang itu masih tetap mempunyai ikatan dengan beberapa hak umum atau hak masyarakat, seperti : a. b. c.
harus membolehkan/memperkenankan adanya jalan lintasan di atas tanahnya bila diperlukan. Harus memberikan hak pengembalaan ternak, apabila tanahnya tidak berpagar dan tidak ditanami dengan tanaman apapun. Harus menuruti ketentuan langgeh, apabila tanahnya akan dijual.
Namun demikian, selain adanya keterikatan seperti tersebut di atas, pemilik tanah masih mempunyai kebebasan penuh atas tanahnya dalam beberapa hal tertentu, yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
bebas untuk menggarap sendiri tanahnya; bebas membagi hasilnya dengan orang lain; bebas untuk menyewakannya; bebas untuk meng-awgwn-kannya untuk sesuatu hutang atau menjadikannya sebagai borogh / sebagai jaminan; bebas menumpangkan orang lain di atasnya; bebas untuk di peugala (menggadaikannya); bebas untuk menjualnya (publoe); bebas untuk melakukan peu pak (menjual tahunan); bebas untuk mewakafkannya untuk tujuan amal; bebas untuk menghibahkannya kepada seseorang atau suatu badan / lembaga; dan bebas untuk mewariskan kepada keturunannya / peusaka.
5.1.2.
Pranata Religi.
Di antara pranata religi yang berlaku dalam pola pemilikan tanah yang terda57
pat di wilayah Kabupaten Aceh Besar yaitu yang disebut weuek peusaka (membagi-bagikan pusaka) atau ada juga yang menyebutnya dengan kata peurae. Pembagian ini dilakukan menurut hukom (syariat Islam) dan juga ada yang berdasarkan hukum adat yang dipatuhi secara turun-temurun. Peusaka yang dibagi ini menyangkut berbagai harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Namun yang di kemukakan di sini khusus tentang harta berupa tanah. Tanah peusaka milik seseorang, pembagiannya baru dilakukan bila telah tiba saatnya. Biasanya setelah orang yang meninggal dunia (yang memiliki tanah peusaka) telah lebih dari 44 atau 100 hari penguburannya, baru dipikirkan soal pembagian tanah peusaka yang ditinggalkannya. Adapun mereka yang berhak untuk menerima tanah peusaka ini adalah para ahli warisnya dari orang yang meninggal. Biasanya pembagian ini dilakukan secara umum sesuai dengan hukum Islam, dan hukum adat. Lazimnya anak perempuan mendapatkan rumah beserta tanahnya; selain itu juga hartaharta lainnya, asal saja tidak melebihi sepertiga dari harta semuanya dan dibenarkan oleh anak laki-laki. Sedangkan tanah (baik tanah kebun maupun tanah sawah serta juga neuheuen) diperuntukkan untuk anak laki-laki. Namun pada saat sekarang telah ada pula pembagian tanah untuk anak perempuan (khusus sawah atau kebun kelapa). Pada masa dahulu yang melaksanakan pembagian ini adalah para pemangku adat (uleebalang, kepala mukim, keuchiek) dan juga teungku meunasah (orang yang mengurusi masalah agama dalam sesuatu gampong). Mereka yang melakukan/melaksanakan pembagian, masing-masing memperoleh hak juga dari tanah yang dibagikan itu, yang besarnya sesuai dengan ketentuan menurut adat. Hak yang mereka terima ini lazim disebut dengan hak peurae. Dahulu besarnya hak peurae ini adalah 10% dari tanah yang dibagikan; tetapi pada masa pemerintahan Belanda diturunkan menjadi 5%; keseluruhannya diterima oleh uleebalang yang bersangkutan sesudah selesai urusan pembagian itu. Dari hak ini oleh uleebalang diberikan pula kepada keuchiek dan teungku meunasah. Dan jika ada orang-orang lain yang ikut digunakan tenaganya dalam pembagian harta warisan ini, maka kepada mereka inipun diberikan juga sekadarnya. Tanah-tanah kepunyaan anak-anak yatim, biasanya diserahkan pengurusannya kepada ibunya, tetapi wali dari anak-anak ini menghindahkannya juga agar selamat. Wali ini misalnya meminta agar harta atau tanah itu diperlihatkan kepadanya untuk diketahui. Jika ibu ini meninggal dunia, maka pengurusannya dilakukan deh saudara-
58
nya yang laki-laki, kecuali jika saudara ini tidak mendapat kepercayaan dari uleebalang atau keuchiek di wilayah yang bersangkutan; maka dalam hal ini pengurusan atas tanah itu diambil alih oleh uleebalang bersangkutan. Pada masa sekarang pengurusan tanah dimaksud diambil over pengurusannya oleh wali yang berkepentingan dan dikembalikan kepada anak-anak itu, sesudalrmereka dewasa. Lazimnya wali ini memelihara tanah dari anak yatim itu denganbaik, menurut ajaran Islam. Jika menyimpang akan ada orang yang akan melaporkan kepada pemangku adat (uleebalang atau keuchiek). Teungku meunasah dan keuchiek biasanya selalu mengawasi apa yang dilakukan oleh wali dari anak yatim bersangkutan. Sehubungan dengan weuek peusaka ini, terdapat suatu adat bahwa isteri tidak mendapat harta/tanah peninggalan suaminya, begitu pula sebaliknya, bila mana salah seorang dari mereka meninggal dunia dalam masa belum dilakukan peumeukleh (pemisahan). Namun pada masa sekarang hal yang demikian ini sudah jarang terjadi. Salah satu pranata religi lainnya dalam hubungan dengan pola pemilikan tanah yaitu yang disebut hibbah (penghibahan tanah). Sebagaimana telah disebutkan hibbah oleh orang Aceh dinamakan pula dengan peunulang. Lazimnya tanah yang dihibahkan itu berasal dari seorang ayah atau seorang ibu kepada anak-anaknya. Penghibahan ini dilakukan sewaktu ayah atau ibu masih hidup di hadapan para pemangku adat (keuchiek atau teungku meunasah) dan orangorang tua dari kampung tempat tinggalnya. Tanah pemberian ini (peulang) besarnya tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta-harta semuanya; mulai saat itu tidak termasuk ke dalam harta-harta lain yang akan menjadi harta pusaka dari pemberi hibbah itu, bila mana ia meninggal dunia kelak. Hibbah ini sudah dianggap sah oleh adat. Sementara pemeliharaannya sudah menjadi tanggungan dari yang menerima hibbah . Pemberiannya diikrarkan oleh si pemberi hibbah di hadapan keuchiek, teungku meunasah dan orang-orang tua kampung lainnya seperti tersebut di atas. Pejabat-pejabat kampung ini menyelidiki apakah tanah-tanah yang dihibbahkan itu benar-benar milik si pemberi hibbah. Oleh karena jika tanah itu milik orang lain maka hal itu tidak dibenarkan untuk dihibbahkan. Selain kepada anak-anaknya ada juga orang yang menghibbahkan tanahnya kepada seseorang yang sudah berjasa kepadanya. Baik melalui weuek peusaka, maupun melalui hibbah adalah merupakan cara memiliki tanah yang diketemukan di wilayah Kabupaten Aceh Besar dalam hubungannya pranata religi. 5.1.3.
Pranata Ekonomi
Di antara pranata ekonomi yang berlaku dalam pola pemilikan tanah yaitu 59
Hoe publoe (lihat pada bagian 3.2, di atas). Publoe dimaksudkan apabila seseorang melepaskan sebidang tanah miliknya untuk selamanya kepada orang lain dengan menerima sejumlah uang tunai pada ketika itu juga tanpa sesuatu syarat. Yang melepaskan tanah dinamakan ureueng publoe (orang yang menjual), sedangkan pemberi uang disebut ureueng bloe (orang yang membeli). Dan jual belinya sendiri disebut bloe publoe. Sudah menjadi kebiasaan, tetapi bukan suatu keharusan bahwa jual beli tanah selalu didahului dengan memberikan uang panjar yang dinamakan caram atau cingram. Caram atau uang panjar ini dimaksudkan sebagai bukti, bahwa pembelian tanah itu sudah disepakati. Ataupun dapat juga dipandang sebagai tanda permulaan jual beli tanah. Jika si pemberi caram tidak jadi membelinya atau membatalkan kembali yang telah disepakati itu, maka uang caram itu menjadi hilang atau "hangus". Akan tetapi sebaliknya jika pihak penjual yang membatalkannya, maka ia diharuskan membayar kembali uang caram yang telah diterimanya itu dua kali lipat dari yang telah diberikan (ganda caram). Maka oleh karenanya uang caram yang diberikan itu selalu dalam jumlah yang kecil saja (tidak melebihi 10% dari harga tanah), meskipun caram itu akan diperhitungkan kembali pada harga tanah. Membeli sebidang tanah dari seorang, yang tidak berhak menjualnya adalah batal. Orang yang tidak berhak menjual itu boleh jadi seorang pemilik yang belum dewasa, atau dalam keadaan sakit ingatan, ataupun sama sekali bukan pemilik dari tanah yang dijual itu dan tidak mendapat kuasa untuk menjualnya dari si pemilik yang sesungguhnya. Selalu dalam hal jual beli sebidang tanah, tidak dapat memutuskan hubungan sewa-menyewa yang telah ada atas tanah itu dengan pihak ketiga. Tetapi sebaliknya penjual, harus memberitahukan terlebih dahulu kepada pembeli, bahwa tanah yang akan diperjual-belikan itu masih berada dalam keadaan status sewa ataupun status gala (gadai). Jika tanah yang dibeli itu masih dalam keadaan status g&dm/gda, maka baru boleh dikuasai oleh si pembeli bila telah ditebus; meskipun sebenarnya pembeli telah menjadi pemilik atas tanah itu pada saat jual-beli berlangsung. Seseorang yang menjual tanah, tidak boleh melakukannya sebelum terlebih dahulu memberi tahukan kepada pemilik-pemilik tanah yang berada di samping tanah yang akan dijual itu. Mereka yang memiliki tanah di samping tanah yang akan dijual itu dinamakan ureueng ceu (secara harafiah, orang perbatasan). Penawaran tanah itu pertama sekali harus kepada ureueng ceu tersebut, yaitu jika tawarannya melebihi atau sama dengan orang lain yang hendak membelinya. Ketentuan ini disebut pula sebagai hak tetangga. Dan bila dikatakan bahwa mereka telah melepaskan hak pembeliannya, maka baru si
60
penjual tanah itu dapat menawarkan atau menjualnya kepada orang lain. Bloe publoe seperti tersebut di atas, bukan merupakan satu-satunya cara penyerahan hak milik atas tanah. Seperti telah disebutkan di atas, hak milik atas tanah dapat terjadi dalam beberapa cara. Melalui warisan, peunulang, pembukaan tanah baru dan sebagainya. Salah satu pranata lain yang erat hubungannya dengan bloe publoe adalah yang disebut sigie; yaitu suatu keharusan membayar bagi setiap orang yang menjual dan membeli tanah, kepada para pemangku adat yang dalam hal ini pada masa dahulu disebut uleebalang. Pembayaran ini dimaksudkan sebagai bukti bahwa transaksi itu telah terjadi. Perkataan sige itu sendiri mungkin berasal dari kata Belanda zegel ( sigillum ); meskipun mungkin tidak tepat, tetapi perkataan ini sudah lama dipakai dalam hal-hal lain untuk pengertian "membuktikan" atau "mengesahkan". Dan besarnya uang sige tidak ada suatu patokan tertentu. Ada yang ditentukan berapa besar jumlahnya dan juga ada yang disuruh bayar secara sukarela saja. 5.1.4.
Pranata lain.
Suatu pranata yang mempunyai hubungan dengan pola pemilikan tanah yang belaku di wilayah Kabupaten Aceh Besar yaitu yang disebut wasiet, yang artinya wasiat. Seseorang yang merasa sudah dekat kematiannya, ataupun yang masih sehat, menyatakan suatu wasiet (secara harafiah pesan/wasiat); orang ini mewasiatkan suatu tanah miliknya akan menjadi milik orang yang menerima wasiat, bilamana kelak ia meninggal dunia. Biasanya wasiat ini diucapkan di hadapan orang-orang tertentu seperti keuchiek, tengku meunasah, orangorang tua kampung lainnya atau dari famili yang bersangkutan. Dan yang menerima wasiat itu biasanya bukan ahli waris yang berhak menerima harta/tanah peninggalannya itu. Untuk menghindari timbulnya persengketaan kelak antara ahli waris dengan yang menerima wasiat itu, maka yang memiliki tanah itu melakukan hal yang demikian. Tanah yang diwasiatkan itu biasanya tidak begitu besar, tidak melebihi dari pada sepertiga dari tanah yang dimilikinya. Biasanya keuchiek atau teungku meunasah harus meminta keterangan-keterangan atau bukti-bukti tentang ini kepada yang memberikan wasiat, dengan maksud agar bukan tanah orang lain yang diwasiatkan itu. Sudah menjadi suatu tradisi, tanah-tanah yang sudah diwasiatkan itu tidak digugat lagi oleh ahli warisnya, untuk menjaga nama baik orang yang memberi wasiat Pencabutan wasiat, jika ada yang melakukannya, biasanya juga dilangsungkan di hadapan keuchiek, teungku meunasah dan orang-orang tua lainnya seperti tersebut di atas. Namun dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya 61
pencabutan kembali wasiat mi. Di sini ada kscenderungan, orang selalu berusaha supaya yang sudah diberikan kepada orang lain itu, tidak diminta kembali, sebab dapat memalukannya. Suatu istilah Aceh sehubungan dengan masalah ini yaitu, nyang ka ta muntah bek ta'ut le artinya yang sudah dikeluarkan/dimuntahkan jangan ditelan kembali. Dalam praktek orang tidak memberikan hak untuk menjalankan sesuatu wasiat kepada seorang yang fasik. Dan menurut adat tidak dibenarkan anakanak memberikan wasiat; sementara orang sakit dibolehkan memberikannya. 5.1.5.
Hukum Adat.
Menurut adat, tanah milik ayah atau Ibu yang meninggal dunia maka harta berupa tanah yang ditinggalkannya dimiliki oleh anak-anaknya yang laki-laki atau perempuan. Biasanya bagian anak laki-laki dua kali sebanyak bagian anak perempuan. Kalau anak yang ditinggalkan hanya seorang yang laki-laki saja, maka semua tanah itu menjadi milik anak laki-laki itu. Tetapi bila yang ditinggalkan seorang anak perempuan, ia mendapat seperduanya dan kalau yang ditinggalkan dua anak perempuan, mereka ini mendapat dua pertiga dari tanah itu. Seandainya yang meninggal ayah saja, maka tanah yang akan dibagikan itu, dipotong terlebih dahulu yang disebut areuta sihareukat artinya harta yang diusahakan bersama-sama antara suami dan isteri; untuk isterinya sebanyak yang ditentukan menurut adat setempat, misalnya seperdua, sepertiga, dan sebagainya. Selain itu ada juga yang disebut tanoh tuha (secara harafiah artinya tanah tua), maksudnya tanah si isteri yang diperoleh dari orang tuanya. Dan tanah ini tidak turut dibagikan, melainkan harus dikembalikan kepada isteri dan orang yang meninggal itu. Lazimnya di wilayah Aceh Besar, bila seorang ibu meninggal dunia dengan meninggalkan suami dan anak-anak, tanah dan harta mereka lainnya tidak dibagi-bagikan, melainkan tinggal dalam tangan suaminya. Namun si suami ini hanya mengurus dan memelihara saja, hingga anak-anaknya menjadi dewasa. Menurut hukum adat, tidak dibenarkan untuk memberikan sebagian tanah pusaka kepada yang membunuh mati orang yang meninggalkan tanah, meskipun orang yang membunuh itu sebenarnya ahli warisnya. 5.2. BENTUK PEMILIKAN TANAH Hak milik adalah hak yang dipunyai oleh seseorang untuk menggunakan62
nya seperti milik sendiri. Sebagian besar penduduk di wilayah Kabupaten Aceh Besar memiliki tanah berstatus hak milik. Hak milik atas tanah ini sudah sejak lama dipergunakan dan dikenal di Aceh, sebagai kekuasaan penuh seseorang atas tanah. Sebidang tanah yang dikuasai sepenuhnya oleh seseorang digunakan istilah tanoh milek (tanah milik). Seperti telah disebutkan di atas, bahwa hak milik atas tanah dapat diperoleh melalui beberapa cara, seperti dengan cara membuka tanah baru, melalui cara pemberian yang disebut peunulang, dari areuta pusaka atau warisan dan dengan cara bloe publoe (jual beli). Di antara cara-cara yang disebutkan di atas, bentuk pemilikan yang diperoleh dengan cara membuka tanah baru, kedudukannya masih atau yang paling longgar. Karena tanah-tanah yang dibuka oleh penggarap-penggarap-nya yang pertama itu hanya dianggap sebagai pemilik tanah. Penggunaan hak untuk membuka tanah hanya dapat menjurus kepada hak milik yang dalam bahasa Belanda disebut beschikkingsrecht. Maksudnya, hak untuk menggunakan tanah itu seperti milik sendiri. Namun hak ini menjadi terbatas oleh beberapa hal; di antaranya hak pengembalaan dan hak tetangga seperti telah dijelaskan di atas. Selain itu hak milik yang diperoleh melalui pembukaan (ontginning) ini, pada mulanya biasanya tidak dimaksudkan untuk pembukaan yang telah sempurna, tetapi hanya dengan sekedar memberikan tanda-tanda saja, bahwa tanah itu akan dibuka. Maka oleh karenannya hak ini akan mudah dianggap hilang kembali, seandainya bekas-bekas atau tanda-tanda pembukaan itu telah hilang kembali. Jadi bentuk pemilikan tanah yang diperoleh seperti ini statusnya masih longgar. Hal ini sesuai dengan suatu ungkapan Aceh, asm bak rimba fiwoue keu rimba atau asm bak glee jiwoue keu glee (artinya : asal dari rimba kembali ke rimba, atau asal dari gunung kembali ke gunung). Sebaliknya tanah yang diperoleh menjadi hak milik dengan cara peunulang, melalui warisan dan jual-beli, kedudukannya lebih kuat. Pemilik tanah, benarbenar dapat menggunakan tanahnya itu seperti milik sendiri; dengan catatan ia harus memperhatikan beberapa kewajiban, terhadap masyarakat di sekitarnya. Dan sebagaimana telah disinggung pada bagian lain dalam studi ini, betapapun luasnya kekuasaan seseorang pemilik terhadap tanahnya, namun hak milik atas tanah itu seperti yang terdapat di wilayah Kabupaten Aceh Besar, bukanlah hak milik yang mutlak. Karena hak milik atas tanah di sini, mengandung fungsi-fungsi sosial, sesuai dengan yang telah digariskan/dituangkan dalam pasal 6 Undang Undang Pokok Agraria (UUPA tahun 1960).
BAB VI POLA PENGGUNAAN TANAH 6.1. PRANATA-PRANATA SOSIAL YANG BERLAKU DALAM PENGGUNAAN TANAH 6.1.1.
Pranata Politik.
Setiap orang/penduduk di wilayah Kabupaten Aceh Besar berhak untuk menggunakan tanah; baik tanah hak milik maupun tanah-tanah umum. Namun penggunaannya berdasarkan ketentuan yang berlaku, menurut hukum adat ataupun hukum negara. Jika dilihat dari sudut penggunaannya, maka tanahtanah itu dapat dibedakan atas : tanah hutan, tanah pengembalaan, tanah pertanian, tanah tambak, tanah pekarangan, tanah jalan, tanah pekuburan dan tanah perumahan. Di antara pranata politik yang berlaku dalam penggunaan tanah, yaitu yang disebut musem luwmh biang (secara harafiâh artinya masa sawah yang luas). Maksudnya suatu lembaga yang mengatur tentang penggunaan tanah dalam hubungan dengan tanah untuk pengembalaan ternak. Musem luwaih biang merupakan hak bersama penduduk suatu kampung untuk menggunakan tanahtanah sawah bagi tempat pegembalaan ternak-ternak mereka pada waktu sawah-sawah tidak ditanami, atau setelah panen padi selesai. Tetapi hak ini tidak menghalang-halangi seseorang pemilik sawah yang hendak tetap menggunakan sawahnya meskipun panen padi telah selesai; misalnya dengan menanaminya dengan tanaman palawija; dengan catatan ia harus memagari tanamannya itu dari gangguan terrnak yang lepas. Akan tetapi bila ia alpa memagarinya, maka pengaduannya terhadap orang-orang yang ternak-ternaknya merusak tanamannya itu akan merupakan hal yang sia-sia saja. Pranata musem luwmh biang ini diketemukan pada semua sawah yang terdapat di wilayah Kabupaten Aceh Besar. Pranata politik lainnya dalam hubungan dengan pola penggunaan tanah yaitu yang disebut adat glee atau meusara glee dan adat biang. Adat di sini berarti cukai atau bea; jadi adat glee artinya cukai atau bea yang ditarik dari penggunaan tanah gunung atau mengambil hasil dari padanya, seperti rotan, kayu dan sebagainya. Begitu pula dengan adat biang, yaitu cukai yang dipungut terhadap setiap petak sawah yang digunakan untuk ditanami dengan 1 naleh (= 16 are) bibit padi yang berjumlah 1 naleh padi dari penghasilannya. Cukai-cukai ini pada masa dahulu dibayar kepada para pemangku adat seperti 64
uleebalang dan keuchiek. Selain itu ada pula yang disebut buet umong. Artinya pemungutan bea terhadap penggunaan tanah sawah yang diairi, bila tanah sawah itu telah menghasilkan padi. Biasanya bea atau cukai yang diambil ini berjumlah 1 — 2 gantang ( 1 gantang = 2 are ) dalam setiap naleh bibit padi yang ditanam, kira-kira 1—2% dari penghasilannya. Pada mulanya pembayaran cukai ini dimaksudkan sebagai imbalan jerih payah mereka (yaitu, keuchiek, orang yang diserahi tugas menjaga lueung = saluran air, keujruen biang = orang yang mengatur tentang penggunaan tanah-tanah sawah, dan petugas-petugas di sawah lainnya = yang bertugas mengatur air pada sawah-sawah penduduk. Akan tetapi kadang-kadang ada juga bea yang dipungut secara liar pada sawah-sawah yang tidak diairi dan juga pada ladang-ladang. Di beberapa daerah cukai ini dipungut dalam hubungan untuk memberi bantuan kepada keuchiek dan para aparat gampong lainnya; sebab tidak ada jalan lain untuk memberikan jerih payah kepada mereka itu. Jadi pemungutan cukai dalam hubungan dengan penggunaan tanah sawah ini, sebenarnya berkaitan dengan keinginan untuk membalas jerih payah keuchiek dan keujreun biang. Pada beberapa tempat terdapat pula penduduk yang membantu keuchiek berupa tenaga, bila yang bersangkutan mengerjakan sawahnya. Pemberian bea tersebut, di samping dimaksudkan untuk membantu para pimpinan gampong, juga agar si pembayar ini tidak mendapat kesulitan bila berhubungan dengan para "kepalanya". 6.1.2.
Pranata Religi.
Penggunaan tanah dalam hubungan dengan religi yang sudah melembaga di wilayah Kabupaten Aceh Besar, di antaranya yaitu terhadap tanoh wakeueh ( tanah wakaf ). Wakeueh di sini seperti telah dijelaskan pada bagian lain di atas dapat diartikan sebagai lembaga keagamaan (vrome stichting). Dalam hal ini seseorang yang memiliki tanah, menyerahkan sebagian dari padanya untuk keperluan seseorang tertentu atau sesuatu keperluan bersama, sesuai dengan hukum Islam, dengan maksud akan menerima pahala sebagai bekal di hari akhirat kelak ( lihat pada bagian 4.1.2. di atas). Pada masa dahulu di antara para orang kaya yang memiliki tanah, memberikan sebagian dari pada tanahnya itu kepada umum dengan jalan mewaqafkannya. Misalnya sebidang tanah kebun, sawah, membangunkan rumah ibadah, menggali sumur, membuat jamban, dan sebagainya di atas tanah. Pem65
berian dan pembangunan ini semua dimaksudkan agar mendapat pahala dari pada Allah. Biasanya penyerahan ini dilakukan kepada keuchiek dan teungku meunasah; dan seterusnya tanah ini pengurusannya diatur oleh kedua aparat kampung tersebut. Dari tanah waqaf ini khusus tanah sawah, ada diantaranya yang oleh keuchiek dan teungku meunasah dijadikan lagi sebagai tanoh ie bu; yaitu tanah tersebut diberikan pula kepada seseorang untuk menggunakannya dan orang tersebut berhak mengambil hasil dari padanya. Tetapi dengan catatan, ia harus membuat ie bu kanjie atau ie bu dapeudah ( sejenis bubur yang dibuat dari berbagai jenis daun kayu yang khusus untuk itu pada setiap bulan Ramadhan di meunasah ) untuk bahan berbuka puasa masyarakat kampung bersangkutan. Menurut adat keuchiek mendapat hak sige dari tanah waqaf ini, yaitu satu bagian dari wase adat untuk penghidupannya. Sawahnya ikut dibantu oleh penduduk bila keuchiek mengerjakannya (menanam padi). Kepala kerbau atau lembu yang disembelih pada hari ma'meugang ( penyembelihan kerbau atau sapi pada setiap menjelang hari-hari besar, seperti memasuki bulan Ramadhan dan hari-hari raya ) diperuntukkan bagi keuchiek; sementara teungku meunasah mendapat hak seumelih (bagian lehernya) selaku orang yang menyembelih hewan tersebut. Dengan demikian mereka mendapat hak masing-masing; dan dalam hal ini rakyat telah turut serta mengawasi harta / tanah waqaf tersebut; agar tidak dijual oleh pemeliharanya ataupun disalah gunakan. Penggunaan tanah dari milik orang-orang yang tidak diketahui lagi di mana mereka berada dan juga tanah-tanah dari orang-orang asing yang meninggal di Aceh (tidak ada familinya lagi), pengurusannya juga dilakukan oleh pemangku adat setempat. Tanah-tanah ini disebut sebagai harta boitay may (harta baytalmal = harta agama). Pada masa dahulu uleebalang yang bersangkutan diwajibkan untuk mendaftar tanah-tanah ini yang terdapat dalam wilayahnya dan kemudian mengurusnya menurut hukum Islam dan adat setempat. Pada masa sekarang tanah-tanah tersebut penggunaannya diatur oleh keuchiek dan teungku meunasah; dan biasanya hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan meunasah dan masyarakat kampung yang bersangkutan. Jadi pada pranata ini yang berhak menggunakan tanah yaitu rakyat bersangkutan yang ditunjuk oleh aparat pimpinan gampong setempat. Dan penggunaannya berhubungan dengan kepentingan religi.
66
6.1.3.
Pranata Ekonomi.
Di antara pranata ekonomi yang berlaku dalam penggunaan tanah di sini yaitu yang disebut bagi hase (bagi hasil); yaitu yang menyangkut transaksi yang berisikan ketentuan-ketentuan tentang bagian yang diperoleh oleh seseorang yang menggunakan sebidang tanah milik orang lain. Dan transaksi ini terjadi apabila pemilik tanah memberi izin kepada orang lain untuk menggunakan tanahnya dengan perjanjian bahwa yang mendapat izin harus memberikan hasilnya sebagian kepada pemilik tanah ( Soekamto, 1954 : 107 ). Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa bagi hase dapat terjadi bila ada pemilik tanah yang tidak sempat atau tidak menggarap tanahnya sendiri, tetapi ada petani lain (mungkin yang tidak mempunyai tanah sendiri) untuk menggunakannya. Bagi hase ini banyak ditemukan di daerah ini; dan bentuknya cukup bervariasi. Di antaranya yang disebut pemarohan atau mawmh. Dalam hal ini pemilik tanah, menyerahkan tanahnya kepada orang lain, yaitu orang yang hendak menggunakannya untuk waktu yang tidak ditentukan; dengan kewajiban agar yang menggunakannya itu menyerahkan suatu bahagian yang sama dari penghasilannya kepada pemiliknya. Nama mawmh sebenarnya serupa dengan mendua laba, bila hanya dipergunakan pembagian hasilnya dibagi dua (mawaih bagi dua); tetapi jika lain pembagiannya maka disebut misalnya mawaih Ihee, mawaih bagi peuet, mawaih bagi limong dan sebagainya (1:1; 1:2; 1:3; 1:4; 1:5; dan sebagainya), artinya satu bahagian untuk pemilik, bahagian selebihnya 2, 3, 4, dan 5 untuk penggarap / yang menggunakannya. Di wilayah Kabupaten Aceh Besar yang paling banyak dijumpai yaitu mawaih bagi peuet (1:4). Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hase yang berbeda-beda ini ialah : kepadatan penduduk, jenis tanah, banyak atau sedikitnya tanah, jenis tanaman, letak tanah, fasilitas-fasilitas yang ada; kesemuanya itu menentukan sukar atau tidaknya menggarap atau memeliharanya. Sehubungan dengan hal-hal ini, maka di wilayah Kabupaten Aceh Besar dikenal bagi hase atas tanah sawah, tanah neuheuen ( tambak ikan ), tanah kebun, tanaman muda, tanaman keras, bagi hase boh kaye ( bagi hasil buah-buahan ), bagi hasil pohon dan sebagainya. Selain bagi hase terdapat pula transaksi lain, yang disebut siewa; yaitu hak untuk menggunakan tanah, dengan jalan menyewa, dengan pembayaran sejumlah sewa. Sewa itu dapat dibayar dengan uang atau hasil dari tanah yang
67
disewakan itu, Mempersewakan atau yang dinamakan peusiwa oleh pemilikpemilik tanah dan orang-orang yang menggadaikannya merupakan hal yang biasa sekali, akan tetapi dalam hal ini transaksinya serupa dengan pemarohan/ mawaih. Mempersewakan tanah di sini sering dinamakan dengan istilah bungkay; yang hampir selalu dilakukan dengan pembayaran uang. Hal ini sering dilakukan untuk jenis tanah sawah, tanah tanaman muda, rumah dan pekarangan. Kadang-kadang juga untuk tanah kebun yang dipergunakan untuk menanam tebu, untuk tanah tambak ikan (neuheuen) dan sebagainya. Jumlah uang / hasil sewa biasanya ditentukan dalam perjanjian. Untuk jenis tanah sawah dan tanah tanaman muda perjanjian pada umumnya diikat hanya untuk sekali panen. Oleh karena itu janji ini hanya diperbuat secara lisan antara kedua pihak. Tetapi untuk jenis yang lain yang perjanjiannya diikat untuk waktu yang lama (lebih dari setahun), janji sewa ini diperbuat secara tertulis dan dengan sepengetahuan keuchiek setempat. Transaksi yang banyak terjadi dalam hubungan dengan penggunaan tanah di sini yaitu dengan jalan gala atau gadai. Dengan ini diartikan, hak untuk menggunakan tanah yang diperoleh oleh seorang pemberi uang (penerima gadaian) atas tanah yang digadainya. Penerima gadaian tidak menjadi pemilik tanah, akan tetapi ia hanya memperoleh hak untuk penggunaannya saja, dengan kewajiban bahwa ia harus mengembalikannya kepada yang menggadaikannya setelah ia menebus uang gadaian itu. Di antara pranata ekonomi lainnya dalam hubungan dengan penggunaan tanah, yaitu yang disebut poh roh atau aboun; di kecamatan Mesjid Raya lazim disebut pajoh asoy. Kesemuanya berarti suatu perjanjian yang menyangkut tanah, di mana seorang pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk digunakan secara cuma-cuma selama beberapa waktu, dengan ketentuan setelah masa tersebut berakhir dilanjutkan dengan bagi /lase/bagi hasil. Perjanjian pajoh asoy seperti itu, biasanya dilakukan untuk tanah sawah atau tanah tambak ikan yang sudah lama terlantar, sehingga memerlukan tenaga yang banyak dan waktu yang lama untuk membenahinya kembali agar menghasilkan kembali. Lamanya "waktu garapan cuma-cuma ini tanpa bagi hasil tidak ada suatu keseragaman, tergantung perjanjian antara si pemilik tanah dengan penggarapnya. Bagi hase tanoh biang (bagi hasil tanah sawah). Terhadap tanah sawah bagi hasil harus dilihat sawah berpengairan dan sawah yang tidak berpengairan. Pada sawah berpengairan pada umumnya hasil bersih dibagi 2 antara pemilik 68
dan yang menggunakannya ( 1 : 1 ) . Dengan hasil bersih dimaksudkan setelah dipotong bibit dan ongkos-ongkos. Tidak semua ongkos termasuk dalam perhitungan antara pemilik dan penggarap, tetapi sebahagian, yakni pemihk boleh memilih, apakah ia memikul ongkos tanam atau membayar ongkos meu umpoo (membersihkan rumput) untuk tahap pertama. Sedangkan untuk tahap kedua pemihk boleh memilih pula salah satu antara ongkos potong (sabit) dengan ongkos girik. Masing-masing tahap perongkosan biasanya diperhitungkan dengan hasil padi, yaitu sebanyak 2 naleh padi untuk setiap 1 naleh bibit atau yok (petak) sawah. Pekerjaan selebihnya menjadi kewajiban penggarap untuk melaksanakannya, seperti meluku dan lain-lain sehubungan dengan itu. Pada sawah tadah hujan, umumnya pembahagjan antara pemilik dan penggarap dibagi 3 ( 1 : 2 ) , yakni 1 bahagian untuk pemihk sawah dan selebihnya untuk penggarap. Namun perimbangan bagi hasil ini pada tiap daerah cukup bervariasi. Pada umumnya perimbangan ini tergantung pada letak sawah yang disebut biang tersebut. Setiap biang di wilayah Aceh Besar mempunyai ketentuan perimbangan bagi hasil tersendiri, sehingga para pihak bersangkutan jarang sekah membuat persetujuan khusus. Namun demikian kadang kala dalam satu biang terdapat juga perbedaan bagi hasil sawah. Hal ini biasanya terdapat pada biang yang cukup luas arealnya, sehingga sawah yang terdekat letaknya dengan gampong (pemukiman penduduk) mempunyai perimbangan bagi hasil yang berlainan dengan sawah yang letaknya paling jauh dari pemukiman. Lazimnya mengenai sawah-sawah yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk ini, perimbangan bagi hasilnya ditentukan dengan persetujuan tersendiri antara pemihk dengan penggarap/ yang menggunakannya. Biasanya pada sawah-sawah yang tidak berpengairan, pemilik hanya menyediakan bibit (yang disebut pade bijeh) sedangkan keseluruhan pekerjaan penggarapan menjadi kewajiban penggarap sampai selesai panen. Sehubungan dengan banyaknya pekerjaan yang mesti dipikul penggarap, maka perimbangan bagi hasil juga selalu menguntungkan penggarap, yakni 1 : 2; 1 : 3; 1 : 4; 1 : 5 dan sebagainya, bahkan sering diawali dengan pajoh asoy jikalau sawahnya pernah terlantar. Adapun bagi hasil tanaman muda ( palawija ) yang lazim pula ditanam di sawah setelah panen padi selesai, mempunyai perimbangan bagi hasil tersendiri. Bagi tanaman tembakau misalnya 1 : 1 0 , yakni satu bahagian untuk pemiUk tanah, 10 bahagian untuk penggarap dalam bentuk tembakau yang sudah 69
siap di balot (dipak). Mengenai jenis tanaman muda lainnya perimbangannya tidak tertentu, amat tergantung kepada rasa terima kasih penggarap terhadap pemUik tanah. Umumnya yang memprakarsai bagi hasil tanaman muda adalah penggarap sendiri, bukan pemihk tanah. Bagi hase teunaman tuha, yaitu bagi hasil tanaman keras atau tanaman yang berumur panjang. Dalam hal bagi hasil tanaman jenis ini terdapat berapa variasi. Antara lain, apabila seorang pemihk menyediakan tanahnya untuk digunakan orang lain dengan menanami tanaman keras, selain tanah, pemilik juga menyediakan bibit, kawat duri dan alat pertanian, maka hasilnya kelak dibagi dua. Tetapi apabila pemihk hanya menyediakan tanah tanpa sesuatu yang lain, maka hasilnya dibagi tiga, yakni 1 bagian untuk pemilik tanah dan dua bagian untuk penggarap. Selain itu ada juga bagi hasil tanaman keras yang ditanami atas tanah umum/ tanoh glee (tanah ulayat). Dalam hal ini, apabila seorang menyediakan modal untuk keperluan membuka hutan, termasuk bibit dan biaya makan seharihari bagi penggarap, maka hasilnya dibagi 2, termasuk hak usaha di atas tanah. Baik pemberi modal maupun penggarap mendapat hak yang sama. Mengenai tanaman keras, bagi hasil baru dilaksanakan setelah tanaman mulai berbunga atau berbuah. Yang dibagi adalah jumlah batangnya, termasuk batang sisipan yang belum dewasa. Lazimnya pembagian dilakukan dengan upacara kenduri yang dihadiri oleh keuchiek setempat. Tanaman keras yang ditanami atas tanah milik, pembagian tidak termasuk tanahnya. Penggarap hanya mempunyai hak pakai atas tanah selama tanaman masih hidup. Mengganti tanaman yang telah mati harus dengan persetujuan pemihk tanah. Bagi hase tanoh leon; tanoh leon dimaksudkan tanah-tanah subur di pinggir sungai, karena hampir setiap tahun digenangi banjir. Tanah leon umumnya ditanami dengan jenis tanaman keras yang menghasilkan buah-buahan (mangga, rambutan, langsat, nangka dan sebagainya). Tanah ini juga sesuai untuk tanaman tembakau dan sayuran. Bagi hasil pada tanah leon ini mempunyai corak khas tersendiri, yakni 1 : 1 , antara pemilik dan penggarap. Penggarap disebut ureueng dong lampoih (orang yang menduduki/menjaga kebun). Yang dibagi hasil buahnya setiap tahun dalam bentuk uang. Umumnya tanaman keras yang telah ada hak pemihk tanah yang sudah turun temurun, penggarap hanya menjaga dan memetik hasilnya saja. Apabila selama dalam pengawasannya, penggarap juga menanami tanaman keras, maka hasilnya juga dibagi dua antara pemihk dan penggarap. Penanaman 70
baru oleh penggarap hanya dibolehkan setelah mendapat persetujuan pemilik. Jikalau kemudian hari penggarap / penjaga pindah, maka bahagiannya jisuet (diganti rugi) oleh pemihk tanah, dengan harga yang dipatutkan oleh orang tua-tua gampong. Mengenai bagi hasil tanoh leon ini jarang sekali diperbuat perjanjian tertulis, karena memang sudah ada ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas. Kecuali bagi hase batang/pohon tanaman keras, yang memerlukan waktu panjang, maka semua bentuk perjanjian bagi hase lainnya diikat untuk sekali panen (setahun). Tetapi apabila pihak-pihak tiada menyatakan mengakhirinya, maka berarti perjanjian dengan sendirinya diperpanjang. Perpanjangan perjanjian secara otomatis ini bisa terus-menerus tanpa batas waktu, sampai salah satu pihak menyatakan mengakhirinya. Seperti halnya gala, maka bagi hasil tiada boleh diakhiri., jika bibit sudah turun ke sawah atau bunga musiman sudah nampak dibatang. Pada masa sekarang oleh pemerintah telah dikeluarkan Undang-Undang No. 2/1960 yang mengharuskan perjanjian bagi hasil diperbuat secara tertulis di hadapan kepala desa / keuchiek, dengan jangka waktu tidak boleh kurang dari 3 tahun untuk sawah dan 5 tahun untuk tanah kering; dengan perimbangan bagi hasil untuk tanah sawah 1 : 1 dan untuk tanah kering 2 : 1 (bahagian terbesar untuk penggarapnya). Namun dari pengamatan tim peneliti ketentuan ini belum terlaksana sebagaimana mestinya. Banyak sistim bagi hasil yang masih berlaku seperti cara-cara sebelumnya, atau berdasarkan hukum adat. 6.1.4.
Hukum Adat.
Suatu pranata lain yang berlaku dalam penggunaan tanah yang disebut wate tron u biang (secara harafiâh artinya waktu orang mengerjakan sawah). Pada umumnya tanah sawah yan terdapat di Aceh Besar sangat tergantung pada air hujan. Masyarakat mulai mengerjakan / menggunakan sawah bila telah ada air, pada musim penghujan. Lazimnya jika akan mengerjakan sawah, orangorang tua kampung menentukan waktu kapan seharusnya sawah-sawah itu dapat dikerjakan. Penentuan waktu ini disebut dengan istilah keunong (secara harafiâh artinya kena / waktu yang tepat. Menurut tradisi di Aceh Besar orang mulai menggunakan tanah sawah dalam bulan Agustus, yang disebut dengan istilah wate keunong sikureueng (waktu kena sembilan). Tetapi ada juga yang dalam bulan September; karena bulan-bulan September, Oktober, Nopember dan Desember adalah musim penghujan. Menghitung keunong ini harus tepat 71
dan caranya ialah, misalnya hendak diketahui bulan 12 itu keunong berapa. Maka dipergunakan sebagai sifatnya / patokannya angka 25, dikurangi 2 kah 12, tinggal satu (1), maka bulan Desember itu jatuh keunong sa (satu) bulan Agustus keunong sikureueng (sembilan) karena 25 dikurangi 2 kah 8 = 9, dan sebagainya. Sudah menjadi kebiasaan, jika sawah akan dikerjakan dimufakatkan terlebih dahulu, tergantung- pada keunong berapa penduduk suatu kampung boleh turun ke sawah. Sebelum ada ketentuan ini tidak dibenarkan bagi setiap penduduk untuk mengerjakan sawahnya pada setiap waktu.
6.2. BENTUK PENGGUNAAN TANAH Sebagaimana telah disebutkan di atas, menurut penggunaannya tanah di wilayah Kabupaten Aceh Besar dapat dibedakan atas : tanah hutan/rimba, tanah pengembalaan, tanah pertanian, tanah pekarangan, tanah tambak, tanah pekuburan, tanah perumahan dan tanah jalan. Tanah hutan/rimba yang belum dikerjakan dapat dimanfaatkan penduduk untuk digunakan bagi kepentingannya, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat setempat. Penduduk dapat menggunakan tanah-tanah tersebut untuk mengambil hasil hutan, tempat mencari kayu bakar dan sebagainya, serta ada juga yang membersihkan semak-semak di atasnya untuk kemudian dijadikan/digunakan sebagai areal pertanian. Demikian pula dengan tanah umum yang ditumbuhi oleh berjenis rumput dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang letaknya di sekeliling pemukiman penduduk, dapat dijadikan oleh penduduk sebagai tempat/tanah pengembalaan hewan-hewan mereka. Karena menurut adat semua orang bebas untuk menggunakan tanah itu untuk tempat pelepasan ternak. Dan penggunaan tanah jenis inipun harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Di sekeliling rumah-rumah penduduk terdapat tanah-tanah yang digunakan untuk menanaminya dengan tanaman buah-buahan dan tanaman-tanaman muda; tanah ini lazim disebut dengan istilah tanoh leuen (tanah pekarangan). Setiap penduduk yang memiliki tanah ini, bebas untuk menggunakannya dengan berbagai jenis tanaman seperti tersebut di atas. Tetapi tentu saja juga harus berdasarkan ketentuan yang berlaka Misalnya tanaman itu tidak boleh mengganggu tetangga di sampingnya (seperti pohon kelapa yang terlalu ting-
72
gi dan sebagainya). Dengan melihat beberapa kasus penggunaan tanah seperti tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kesemua tanah tanah yang digunakan itu harus berdasarkan aturan-aturan tertentu yang berlaku dalam masyarakat
73
*
BAB
vn
A N A L I S A
7.1. POLA PENGUASAAN PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SECARA TRADISIONAL Penguasaan atas tanah dapat terjadi apabila sekelompok manusia secara bersama membuka hutan / rimba (tanah Umum/tanah ulayat) untuk diusahakan dan digunakan, dalam batas-batas yang dapat terjangkau di bawah kekuasaan mereka. Dengan tindakan ini mereka telah memperoleh hak menguasai atas tanah. Hak menguasai adalah hak yang dipunyai oleh sua tu persekutuan / masyarakat hukum ( gampong, mukim ) terhadap tanah yang terletak dalam kawasan wilayah kekuasaannya. Tanah-tanah ini disebut dengan berbagai sebutan, ada yang menyebutnya tanoh hak kuliah, tanoh Tuhan, tanoh raja, tanoh glee, tanoh umum dan sebagainya. Barang siapa hendak menggarap, berburu, dan mencari hasil hutan di dalamnya adalah bebas. Dengan catatan yang bersangkutan harus meminta izin terlebih dahulu kepada pimpinan gampong dan mukim (keuchiek dan kepala mukim / ukebalang). Ataupun dengan membayar sejenis wase kepada para pemangku adat tersebut. Terhadap tanah yang termasuk ke dalam wilayah kekuasaan masyarakat hukum tertentu ( gampong dan mukim ) para warganya bebas meletakkan kekuasaan perseorangan, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan, peralihan hak kekuasaan atas tanah secara berturutan, yakni dari alam kepada masyarakat hukum / persekutuan masyarakat tertentu ( gampong, mukim j kepada perseorangan. Dengan telah diperolehnya hak penguasaan atas tanah oleh perseorangan, maka hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain, baik bersifat sementara maupun tetap. Peralihan ini dapat terjadi dengan membuat berbagai perjanjian yang menyangkut tanah, atau dengan perwaqafan ataupun dengan pewarisan. Seperti telah disebutkan bahwa hak penguasaan atas tanah dapat beralih dari alam kepada masyarakat hukum tertentu ( gampong atau mukim ); dari masyarakat hukum ini dapat pula kepada perseorangan. Tetapi sebaliknya dapat juga terjadi, yaitu pengguasaan perseorangan atas tanah seperti hak dong 74
tanoh, hak cah rimba, hak useuha dan hak milek dapat beralih kembali kepada masyarakat hukum gampong atau mukim, bila tanah tersebut ditinggalkan terlantar untuk batas waktu yang lama, sehingga tanda-tanda bahwa tanah itu sebelumnya dikuasai oleh seseorang tidak nampak lagi. Selain itu dapat pula terjadi, yaitu hak menguasai yang dimiliki masyarakat hukum gampong / mukim tanah, juga dapat hilang; apabila masyarakatnya tersebut bersama-sama meninggalkan gampong, pindah jauh ke tempat lain, sehingga bekas perkampungannya itu hilang ditelan alam kembali. Hak milik adalah hak yang dipunyai penduduk untuk menggunakannya seperti milik sendiri. Hak milik atas tanah meliputi kekuasaan untuk bertindak sebagai yang berhak sepenuhnya atas tanah dengan mengingat beberapa kewajiban terhadap masyarakat yang harus diperhatikan oleh pemilik. Sejak masa penjajahan dan jauh sebelumnya, sebagian besar penduduk telah memiliki tanah berstatus hak milik. Sehubungan dengan hal ini masyarakat di wilayah Kabupaten Aceh Besar, membedakannya dalam 2 bagian : 1. yang disebut tanoh poteu Allah (tanah milik Allah), dan tanoh milek gob (tanah milik orang lain). Istilah hak milik ini telah lama dikenal dan dipergunakan sebagai kekuasaan penuh seseorang atas sesuatu benda. Sebidang tanah yang dikuasai sepenuhnya oleh seseorang disebut tanoh milek. Dan jika tanah itu telah menjadi hak milik seseorang, maka tanah itu dianggap lepas hubungannya dengan hak masyarakat umum. Yang termasuk tanoh poteu Allah tersebut di atas yaitu : tanah rimba, tanah hutan, tanah padang, tanah paya, tanah gunung, dan sebagainya; sedangkan tanoh milek gob yaitu tanah-tanah yang telah dikerjakan seperti, tanah sawah, tanah ladang, tanah pekuburan, tanah rumah, tanah pekarangan, tanah tambak, tanah kebun dan sebagainya. Tanah-tanah yang tersebut pada kelompok pertama, dapat menjadi hak milik, bila tanah itu dibuka; dan dikerjakan. Dan tanah-tanah pada kelompok kedua, dapat menjadi hak milik, melalui pemberian, warisan, dan jual beli. Ketentuan seperti itu, telah berlaku sejak masa sebelum penjajahan, pada masa penjajahan dan hingga masa kemerdekaan. Tetapi betapapun luas atau besarnya kekuasaan seorang pemilik terhadap tanahnya, namun hak milik ini bukanlah hak yang mutlak. Karena ia harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku dalam masyarakatnya. Tentang hal ini, semenjak da75
hulu hingga sekarang berlaku ketentuan seperti dalam ungkapan, asai bak rimba jiwoue keu rimba, artinya, asal dari rimba kembali ke rimba. Pada masa sekarang hak milik atas tanah harus mengandung fungsi sosial, sesuai pasal 6 UUPA. Seorang pemilik tidak boleh mempergunakan tanahnya secara sewenang-wenang, sehingga dapat mengganggu orang lain. Sehubungan dengan pola penggunaan tanah di Aceh, terkenal suatu ungkapan pangulee hareukat meugoe artinya usaha yang paling utama untuk mencari makan adalah dengan bersawah/bertani. Oleh karenanya masalah penggunaan tanah dalam hubungan dengan pertanian/bersawah menjadi yang paling menonjol dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sebagaimana telah di kemukakan pada bagian 6.1.3. di atas, di wilayah Kabupaten Aceh Besar terdapat berbagai bentuk transaksi dalam pola. penggunaan tanah. Bentuk transaksi ini berbeda-beda dan didasarkan kepada tradisi yang berlaku dalam masyarakat setempat. Dalam pola penggunaan tanah, transaksi yang menonjol yaitu yang menyangkut sewa; yang dapat dibagi atas dua, pertama sistem bagi hasil dan kedua sistem sewujbungkay. Bagi hasil artinya suatu perjanjian yang berisikan ketentuan-ketentuan, berapa bagian yang diperoleh oleh seorang yang menggunakan tanah (tanah sawah, tanah kebun, tanah tambak dan sebagainya) milik orang lain. Jadi transaksi ini dapat terjadi bila pemilik tanah memberi izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian bahwa yang mendapat izin tersebut harus memberikan sebagian hasilnya kepada pemilik tanah; ataupun sebaliknya, berapa bagian yang diterima si penggarap. Hubungan bagi hasil ini telah merupakan kelaziman di daerah ini. Tetapi isinya cukup bervariasi; tergantung kepada beberapa hal, antara lain, jauh dekatnya tanah tersebut dari pemukiman penduduk; kesuburan tanah; dan sebagainya. Atas dasar itu maka sistem bagi hasil ini dapat dibedakan dalam beberapa macam, yaitu sistem mawdh, berbagi dua, berbagi tiga, berbagi empat, berbagi lima dan yan tidak ada ketentuan pembagian tetap (lihat pada bagian 6.1.3. di atas). Kedua, sistem bungkay / sewa. Bungkay ini terjadi bila seseorang pemilik tanah mengizinkan orang lain untuk mengerjakan tanahnya, atau tinggal di tanahnya dengan membayar sewa setiap selesai panen, setiap bulan atau setiap tahun dengan uang sewa yang tetap. Biasanya jenis tanah yang disewakan yaitu : tanah sawah, tanah rumah, tanah tambak ikan, dan sebagainya. Untuk itu berapa besarnya sewa, dibuat berdasarkan atas perjanjian yang ditanda tangani berdasarkan ( antara pemilik tanah dan yang menyewa). Jadi ketentuan berdasarkan adat di sini tidak ada, atau dengan kata lain adat dalam masalah ini 76
tidak mengaturnya. Segala hal yang menyangkut transaksi sewa dalam penggunaan tanah ditentukan sendiri oleh yang bersangkutan ( antara pemilik dan penyewa/yang menggunakan tanah ). 7.2. POLA PENGUASAAN PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SETELAH BERLAKUNYA UUPA N0.5 TAHUN 1960 DAN UU No.S TAHUN 1979 TENTANG PEMERINTAHAN DESA. Sebelum dikeluarkannya UUPA No. 5 tahun 1960 (tanggal 24 September 1960), ketentuan yang berlaku mengenai masalah tanah di Indonesia adalah Undang-Undang produk zaman Hindia Belanda (agrarisch wet). Dengan adanya UUPA tersebut, maka UU produk zaman Belanda tersebut tidak berlaku lagi. UUPA ini mendasarkan konsepsi tanah atas hak mihk individu warga negara Indonesia. Tanah yang dimiliki itu tidak boleh lebih dari batas maksimum yang ditetapkan. Namun ukuran pemilikan yang dipakai masih belum ditetapkan secara pasti; dan hak milik atas tanah ini tidak mutlak; karena pemerintah selalu berhak menggunakannya apabila diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan yang menyangkut kepentingan umum. Sekarang ini (1985) UUPA tersebut telah 25 tahun berlakunya. Tetapi tampaknya pelaksanaan sesungguhnya di wilayah Kabupaten Aceh Besar belum berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya yang menyangkut tentang tanah umum (tanah rimba, tanah gunung dan sebagainya) yang belum dikerjakan. Ada penduduk yang masih menganggap bahwa tanah itu adalah milik tuhan. Selain itu menurut UUPA, setiap pemilik tanah harus memiliki sertifikat (surat bukti pemilikan tanah). Tetapi sebagian besar penduduk, terutama di wilayah pedesaan belum memilikinya dan ada anggapan bahwa surat tersebut tidak perlu. Karena menurut mereka yang penting dalam hal ini adalah adanya pengakuan dari masyarakat setempat bahwa tanah itu ada pemiliknya. Pembatasan luas maksimum dalam penguasaan dan pemilikan tanah seperti ketentuan dalam UUPA, di sini juga belum berlaku. Karena selain pemilikan tanah tidak mencapai batas minimum, juga karena jika ada yang menguasai tanah luas, tetapi tanah itu masih dipakai bersama untuk pengembalaan ternak, seperti yang terdapat di kecamatan Indrapuri dan kecamatan Seulimum. Menurut adat, penggunaan hak membuka- tanah yang menjurus kepada hak mihk hanya dibenarkankepada penduduk dalam daerah itu sendiri. Hak membuka tanah adalah hanya dimiliki oleh penduduk setempat (hak komunal
77
mereka saja). Dan hak milik atas tanah itu akan berpindah hanya karena, warisan, pemberian, dan penjualan. Namun pada saat sekarang, nampak-nampaknya hal ini sudah mulai berubah. Orang dari wilayah hukum tertentu (gampong lain) sudah ada yang membuka tanah-tanah baru di luar wilayahnya. Dan kelihatannya hal ini telah dibenarkan, asal mempunyai izin dari kepala wilayah yang bersangkutan. Sehingga sekarang dapat dikatakan bahwa hak komunal kampung atau hak menguasai atas tanah di wilayahnya telah hilang. Juga dalam hal pemilikan tanah, melalui cara blopublo (jual beli). Menurut ketentuan tradisional, seseorang yang akan menjual tanahnya selalu memperhatikan dan mendahulukan hak tetangganya sebagai pembeli. Tetapi pada saat sekarang ada kecenderungan ketentuan itu mulai berubah. Perubahan ini mungkin disebabkan untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi. Demikian pula dalam hal bagi hasil yang berkaitan dengan pola penggunaan tanah, juga ada kecenderungan mengalami perubahan. Berdasarkan data yang diperoleh tentang pemilikan tanah di Kabupaten Aceh Besar setelah berlakunya UUPA (kantor sensus dan statistik) bahwa dari 18.717 ha. pemilikan tanah di Aceh Besar, 12.199 ha. (65%) digarap sendiri; 6.518 ha (35%) dikerjakan oleh bukan pemilik, yang terdiri dari 663 ha. (4%) berbentuk sewa tanah, 5.662 (30%) merupakan bagi hasil dan 193 (1%) dalam bentuk hubungan kerja lain. Dari data di atas, kelihatan bahwa sistem bagi hasil merupakan cara yang terbanyak dipakai penduduk. Dan dari beberapa informan didapat keterangan bahwa pola bagi hasil ini sudah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Kalau dulu ada yang mawah, bagi 2, bagi 3 dan bagi 4; maka pada saat sekarang sudah ada bagi 5 dan bagi 6. Adanya perubahan ini, mungkin disebabkan oleh beberapa faktor; pertama karena pertambahan penduduk, tenaga kerja, kwalitas tanah dan kebutuhan akan tanah. Salah satu tujuan pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 adalah untuk meningkatkan pelaksanaan administrasi desa dan usaha untuk menyeragamkan desa di seluruh wilayah Indonesia. Di Aceh, desa yaitu yang disebut gampong (kampung) yang merupakan unit pemerintahan terkecil dan berada di bawah pimpinan seorang kepala kampung yang disebut keuchiek Gampong-gampong ini terkoordinir di dalam satu wilayah kemukiman (mukim) yang dikepalai oleh seorang kepala mukim. Sebelum dikeluarkannya UU No. 5 tahun 1979 itu, baik gampong maupun mukim merupakan suatu persekutuan/ masyarakat hukum. Keuchiek dan kepala mukim adalah para pemangku adat dalam wilayah kekuasaannya. 78
Pada masa kemerdekaan, kepala mukim di samping sebagai koordinator gampong (kampung/desa), juga sebagai pembantu camat kepala wilayah kecamatan. Meskipun sebagai kordinator kampung, tetapi hak dan kewajibannya tidak jelas; karena tidak ada suatu ketentuan atau pedoman tertulis, yang mengatur tentang masalah ini. Sehingga, seberapa jauh wewenang kepala mukim selaku koordinator kampung dan sebagai pembantu camat adalah juga tidak jelas. Dengan keluarnya UU No.5 tahun 1979 itu, kedudukan mukim j kepala mukim, menjadi bertambah kabur. Peranan kepala mukim selaku pembantu camat, sudah sangat berkurang. Para kepala desa (keuchiek) jika berurusan dengan camat, tidak lagi melalui kepala mukim, tetapi langsung dengan camat sebagai kepala wilayah kecamatan. Dan ini sesuai dengan pasal 10 UU No.5 tahun 1979 tersebut; yaitu yang mengatur tentang hak, wewenang, kewajiban kepala desa. Pada masa sekarang pada daerah-daerah yang diteliti jika ada orang yang akan membuka tanah baru, tidak lagi berhubungan dengan kepala mukim, tetapi langsung pada kepala desa atau camat yang bersangkutan. Demikian juga dalam hal / masalah jual beli tanah, ada di antaranya yang tidak lagi dilakukan dengan cara-cara tradisonal, tetapi dengan cara surat (membuat surat jual beli yang diketahui oleh keuchiek dan camat). Namun tidak berarti caracara tradisional dalam masalah soal jual beli tanah ini sudah ditinggalkan sama sekali. Karena pada daerah-daerah yang letaknya jauh dari kota, pola-pola tradisional dalam masalah tanah ini masih tetap berlaku.
79
KESIMPULAN Jika dilihat dari latar belakang sejarah masalah tanah di Aceh khususnya di Aceh Besar, maka akan tampak bahwa di daerah ini pernah terdapat tiga kekuasaan politik yang menonjol; yaitu : kekuasaan politik kerajaan Aceh, kekuasaan Belanda, dan kekuasaan pada masa kemerdekaan. Adanya peralihan kekuasaan dari yang satu ke yang lainnya, tidak banyak membawa pengaruh terhadap pola-pola tradisional yang berlaku dalam soal pertanahan. Misalnya pada masa kerajaan, hak milik penduduk atas tanah tetap diakui; meskipun ada anggapan bahwa tanah itu adalah milik Tuhan, milik raja, dan sebagainya. Datangnya pemerintah Kolonial Belanda, juga tidak mempengaruhi polapola tradisional / ketentuan-ketentuan adat mengenai tanah. Belanda hanya menguasai beberapa kawasan tanah yang terdapat di sekitar Kutaraja (sekarang Banda, Aceh) yang tidak jelas status pemilikannya. Dan oleh mereka tanahtanah ini dijadikan sebagai tanah-tanah erfpacht. Hak menguasai dan hak mihk penduduk pribumi atas tanah tetap mereka akui. Peranan para pemangku adat dalam mengurusi masalah tanah juga tetap mereka hormati dan akui. Juga pada masa kemerdekaan, tidak banyak memberikan perubahan terhadap konsepsi tanah dalam hubungan dengan pola-pola tradisional. Meskipun hukum yang berlaku tentang pertanahan dewasa ini adalah UUPA No.5 tahun 1960, tetapi dalam kenyataannya, penduduk di daerah ini masih tetap menggunakan peraturan-peraturan âdat dalam menyelesaikan masalah-masalah tanah. UUPA No. 5 tahun 1960 yang dimaksudkan untuk mengatur tentang tanah, nampaknya tidak begitu menunjang/berjalan di daerah ini. Beberapa perubahan yang nampak yaitu, kalau pada masa lampau orang luar dari suatu persekutuan hukum (gampong/mukim) tidak boleh membuka dan membeli tanah di wilayah itu; pada masa sekarang sudah mulai kelihatan berubah. Selain itu, kalau dulu mukim sebagai suatu satuan hukum cukup berperan dalam mengatur masalah tanah, pada sekarang tidak lagi. Dan nampaknya peranan kepala desa (keuchiek) dengan adanya UU no. 5 tahun 1979, sudah semakin meningkat. Namun tidak lagi selaku pemangku adat, tetapi sebagai aparat pemerintah.
80
DAFTAR IDEKS
adat biang adat glee' adat meukuta alam adat ngon hukom han jeut ere lage zat ngon sifeuet Aceh rayeuk & Aceh syn riy alue aneuk seunebok asai bah rimba jiwone hen rimba asai hak rimba hamuwae hen rimba
64 *. . , 15 15 38 63, 76 3j
B balot bagi huse Bai ta Mai bayeue ha' tamong beuteueng boinah boinah bok ureueng chiek borogh boom jirat bungkay baie' blo publoe
Cab siekureueng Cakgaki cak rimba ceu tanoh
70 67 71 17,66
48 30 38 55,56 52, 56 51,57 36,42 68 46 32,60,61 63
19
27 56 75 27
D daerah bibeueh
19 45 81
dayah-dayah data deupa disambot diteuboih dong tanoh
47 37 30 32 50 74,75
G gala gautae peunayah gampongj. geunala
48, 49, 60 35,37 8, 43, 54 48
H hak dong tanoh hak dong gaki hak langgeh hak milék hak useuha hukom ngon adat han jeut ere lagi zat
sifet
27,56 27,56 53 55,75 55,56 8
J jalan kaphé jeuneurab jisuet
30 30 71
K kekerabatan karung kepala mukim keuchiek keujreum keunong keujreum blong krueng krueng Aceh kurok-kurok 82
17 19,40,44,48 10,19,46,48,50,59 71,72 65 45 45 39,40
L lampoih lampoih oen lampoih kondang lueung
37 39 45
M mendua laba mawaih mawaih lhèe mansara glée meunasah meulampoijh mukim musem lawaih biang mon wakeueh
^
67 ~o 67 ^
10,19,42,48 37 8 . 19,43, 54 64 46
N nalih bibit nanggróe nanggróe wakeneh neuheuen
pak pemarohan pengala peraci peunulang peumeukléh Peurae peusah peusaha peusambat peutamon areute peutua pangkay
64 29 46 38,41,55,58,68
50
67 49,57 56 31,33,34,59,61 17 3J 59 32) 35) 58
49 57 32,35 55 38 83
peupah publo poh roh atan aboum
j.i
^57
55,60 68
S sagóe sarakata sarah sawang seunebok seumayang pangulée ibadat, meugo siewa
19,26,43
lee haurekat
19 26 52 38 j^ 67
T tanoh ateueng teuboih teboih tanoh tuhan tanoh leon tanoh leuen tanoh gle'e tanoh uteuen tanoh le bu teungku meunasah tuha peuet tanoh bhom jirat gampong tanoh bibeneh tanoh blang
36 49 49 24, 54, 74 70,71 36,72 36, 54, 70, 74 36 43, 47, 66 19, 58, 59 19 26 45,57 36
U uleebalang umong sura umong usoue uteuen tuha uteuen 84
19,47 46 38 37 37 40
ureong cah uleé lampoih uleé umong
rimba
4g 52 52
V Vum vok
32 69 W
waki wakeueh wase tanoh weueh peusaka waté tron u biang
19 46> 47> 6 5
48 5 g 59 7.
85
BIBLIOGRAFI Adatrechtbundel I Serie F. Atjeh, 's-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1910. Boer, D.W.N. "Het Recht op Grond in Atjeh", Koloniaal Tijdschrift, 1932. Djajadiningrat, R.A. Hoesein, Atjehsch-Nederiandsch Batavia, Landsdrukkerij, 1934.
Woordenboek I - II,
Hakimy, T.I.EI., Beterapa Segi Hukum Adat Tentang Tanah Pedesaan Aceh, Banda Aceh, Rural Development Center, Syiah Kuala University' 1981. " Hoesein, Mohammad, Adat Atjeh, Banda Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, 1970. Kantor Sensus dan Sta istik Kabupaten Aceh Besar, Aceh Besar Dalam Angka Banda Aceh, 1080/1981. Kreemer, J. Atjeh I - II, Leiden, E.J. Brill, 1923. Iman Sudiyat, Beberapa Masalah Hukum Tanah Di Daerah Banyumas Yogyakarta, 1973. ' Snouck Hyrgronje, C. Dr Atjehers I - II, Leiden, E.J. Brill, 1893. Soekamto, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita 1960. Pusat Studi Pengembangan Desa Universitas Syiah Kuala, Studi Penguasaan Dan Pengusahaan Tanah (Land Tenure Study) Daerah Istimewa Aceh Banda Aceh, 1982. Team Monografi Daerah Istimewa Aceh, Monografi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1976. Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam Th. 1520 - 1675, Medan, Monora, 1972.
86
Daftar Informan Abasyiah, umur : 52 tahun; tempat tinggal : kampung Jruuk Bak Kreh, Kecamatan Indrapuri; pendidikan : S R I; pekerjaan : ibu rumah tangga. Abdul Jalil Ahmad, umur : 47 tahun, pendidikan : IIP Jakarta, pekerjaan : ex .Camat Kepala Wilayah Kecamatan Indrapuri. Abdullah, Jusuf T., umur : 80 tahun, tempat tinggal : kampung Lampuuk, Kecamatan Lhok Nga; pendidikan : volkschool, pekerjaan : penasehat kampung Lampuuk. Cut Awan, umur : 80 tahun, tempat tinggal : kampung Pante Kemukiman Pagar Ayer, Kecamatan Mesjid Raya; pendidikan : Sekolah Agama; pekerjaan : ex isteri uleebalang Pagar Ayer. Cut Intan, umur : 76 tahun, tempat tinggal : kampung Pante, Kecamatan Mesjid Raya; pendidikan : sekolah agama, pekerjaan : ibu rumah tangga. Daud, umur : 52 tahun, tempat tinggal : Kruengmak, Kecamatan Sukamakmur; pendidikan : S R, pekerjaan : Keuchiek kampung Simpang Tiga Kruengmak. Djuned, umur : 47 tahun, tempat tinggal : Kruengmak, Kecamatan Sukamakmur, pendidikan : S R, pekerjaan : teungku meunasah kampung Simpang Tiga Kruengmak. Harun Abbas, umur : 67 tahun, tempat tinggal : kampung Lampuuk, Kecamatan Lhok Nga, pendidikan : volkschool, pekerjaan : keuchiek kampung Lampuuk. Hasyiam, Ibrahim, umur : 58 tahun, tempat tinggal : kampung Aneuek Glee, Kecamatan Indrapuri, pendidikan : S R I, pekerjaan : kepala mukim dan keuchiek kampung Aneuek Glee. Keuchiek Umar, umur : 76 tahun, tempat tinggal : kampung Bineh Biang, Kecamatan Mesjid Raya; pendidikan : volkschool, pekerjaan ex keuchiek kampung Bineh Biang. Lem Bintang, umur : 79 tahun, tempat tinggal : kampung Pante, Kemukiman Pagar Ayer, Kecamatan Mesjid Raya; pendidikan : sekolah agama, pekerjaan : tani Maryam, umur : 62 tahun, tempat tinggal : kampung Krueng Kareueng, Kecamatan Indrapuri; pendidikan : sekolah agama; pekerjaan : ibu rumah tangga/tani. 87
Rachmani, umur : 60 tahun, tempat tinggal : kampung Jurong Peujira, Kecamatan Mesjid Raya; pendidikan : volkschool, pekerjaan : ex. keuchiek kampung Jurong Peujira / dagang. Teungku Ah Lamkawe, umur : 89 tahun; tempat tinggal : kampung Jurong Peujira, Kecamatan Mesjid Raya; pendidikan : pesantren; pekerjaan : guru agama. Teungku Lukman, umur : 67 tahun, tempat tinggal : kampung Jurong Peujira, Kecamatan Mesjid Raya; pekerjaan : teungku meunasah kampung Pagar Ayer, pendidikan : sekolah agama. Teuku Raden, umur : 62 tahun, tempat tinggal : kampung Pante, kecamatan Mesjid Raya; pendidikan : volkschool; pekerjaan : dagang.Teuku Rayeuk, umur 82 tahun, tempat tinggal : kampung meunasah Lampaku, kecamatan Indrapuri; pendidikan : HIS, pekerjaan : ex uleebalang Lampaku.
88
KABUPATEN ACEH BESAR SKALA 1 :
KAB. ACEH BARAT
m
= KODYA BANDA ACEH = BATAS KABUPATEN = BATAS KECAMATAN = JALAN RAYA = SUNGAI
89
^
I
ce i \qn