RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat)
Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA A14203024
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat)
Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA A14203024
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan SITI SUGIAH MUGNIESYAH). Penelitian ini secara umum mengacu pada beragam konsep, pendekatan dan teori-teori berkenan dengan gender dan pembangunan, sosiologi agraria, sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. Tujuan skripsi ini adalah untuk menganalisis lebih jauh mengenai: (1). Sistem
nilai
mengenai
status
anak
laki-laki
dan
perempuan
dalam
keluarga/rumahtangga petani yang berkaitan atas hak harta (termasuk sumberdaya agraria) pada masyarakat petani Desa Cipeuteuy serta menganalisis adil gender dalam sistem nilai tersebut; (2). Hubungan antara sistem nilai mengenai status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumahtangga petani dengan hukum adat yang berhubungan dengan alokasi harta kekayaan (termasuk sumberdaya agraria) dalam keluarga serta pola kepemilikan lahan pada rumahtangga petani; (3). Pengakuan anggota masyarakat/komunitas pertanian terhadap sistem nilai tentang status anak dalam rumahtangga dan hubungannya dengan pola penguasaan sumberdaya agraria pada rumah tanga petani; (4). Dinamika relasi gender dalam pengelolaan sumberdaya agraria, khususnya yang berkenaan dengan akses dan kontrol anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan sumberdaya agraria yang dimiliki dan dikuasai. Selain itu juga untuk mengetahui akses dan kontrol mereka terhadap manfaat dari pengelolaan
sumberdaya agraria yang mereka lakukan; (5) Pengakuan aparat desa terhadap kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria pada tingkat individu, laki-laki dan perempuan sebagaimana tercermin dalam dokumen Letter C dan bukti formal lainnya (sertifikat, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau SPPT, dan PBB) Penelitian ini dilakukan di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September hingga Desember 2007. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian dari wilayah Desa Cipeuteuy termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wilayah tersebut berada pada daerah dengan latar belakang budaya Sunda yang Bilateral dengan asumsi baik laki-laki dan perempuan mempunyai akses dan kontrol terhadap penguasaan dan kepemilikan lahan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan pencacahan lengkap atau full enumeration survey, survei rumah tangga kasus, wawancara mendalam (indepth interview) dan diskusi kelompok terarah (FGD). Data sekunder diperoleh melalui kegiatan studi dokumentasi, khususnya yang menyangkut potensi desa, catatan lapangan, dokumentasi foto, dokumen pribadi, memo, dan catatan-catatan resmi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Terletak di sekitar kawasan hutan, Desa Cipeuteuy merupakan salah satu desa agraris yang memiliki luas wilayah 3746,5 hektar dan sebagian besar wilayah Desa Cipeuteuy adalah Hutan Produksi (2000 hektar) dan Hutan Konvesi (115 hektar) dan lebih dari setengah wilayah Desa Cipeuteuy beririsan langsung
dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 2.115 hektar. Jika dilihat dari proporsi jumlah lahan sawah dan kebun dan pemanfaatan lahan kebun yang dilakukan oleh masyarakat, maka wilayah Desa Cipeuteuy termasuk dalan komunitas padi sawah, sehingga berbeda dengan komunitas lahan kering yang cenderung egaliter. Dari tingkat stratifikasi yang diperoleh dari hasil FGD, Stratum A (atas), tergolong dalam rumahtangga petani berlahan luas dengan jumlah penguasaan lahan 5.000m2->20.000m2, Stratum B (menengah), tergolong dalam rumahtangga petani berlahan sedang dengan jumlah penguasaan lahan 2000m2–5000m2, Stratum C (bawah), tergolong dalam rumahtangga petani berlahan sederhana dengan jumlah penguasaan lahan <2.000m2 dan Stratum D, merupakan petani tidak berlahan (tunakisma). Ditinjau dari profil anggota rumahtangga petani (ART) yang disurvei, persentase jumlah perempuan lebih tinggi dibandingkan anggota rumahtangga petani laki-laki dengan tingkat komposisi penduduk tergolong pada usia muda dengan tingkat ketergantungan (dependency ratio) yang rendah. Adapun tingkat pendidikan anggota rumahtangga di desa Cipeuteuy sebagaimana halnya tipikal masyarakat pedesaan di Indonesia tergolong rendah. Secara umum jumlah ART laki-laki yang mengatakan memiliki pekerjaan utama lebih banyak dari anggota rumahtangga perempuan.dan diketahui bahwa kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki pekerjaan utama cukup tinggi. Jenis pekerjaan utama dapat memberikan gambaran bahwa anggota rumahtangga perempuan pada ketiga kampung kasus sudah dapat menyatakan diri mereka memiliki pekerjaan utama yang berrarti mereka bekerja
untuk berkontribusi dalam penghidupan keluarga selayaknya suami mereka bekerja, meskipun jumlahnya masih lebih rendah dan penghasilannya masih relatif lebih rendah daripada yang diperoleh laki-laki. Hal ini diduga dipengaruhi oleh masih kuatnya pemikiran penduduk, bahwa pencari nafkah utama adalah laki-laki sedangkan perempuan yang berpenghasilan hanya membantu suaminya, sehingga tidak berkontribusi penuh dalam pendapatan keluarga. Jika dianalisis melalui jenis kelaminnya, jumlah perempuan yang berstatus sebagai pekerja keluarga lebih banyak dari jumlah anggota rumahtangga laki-laki. yakni sebesar 26 orang dari 82 orang anggota rumahtangga perempuan yang mempunyai pekerjaan utama. Dengan demikian sebanyak 26 orang perempuan yang mengaku mempunyai pekerjaan utama tidak memperoleh penghasilan dari apa yang mereka kerjakan, namun tetap berkontribusi dalam penghasilan keluarga dengan tenaganya yang menghemat tenaga upahan. Mengutip pernyataan Mugniesyah dan Mizuno (2007) bahwa sistem kekerabatan akan mempengaruhi dinamika internal rumahtangga petani, termasuk relasi gender dalam hal kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan. Selanjutnya ditemukan tiga bentuk sistem pewarisan yang berlaku di Desa Cipeuteuy, dimana yang pertama, sistem pewarisan menggunakan syari’at Islam (2:1), dan kebijakan penambahan bagian pun akan lebih besar kepada laki-laki. Sejalan dengan yang ditemukan Mugniesyah (2003) pada Desa Kemang, Cianjur, sistem pembagian waris kedua dilakukan dengan dua tahapan. Tahapan pertama dilakukan dengan cara Islam, dan dilanjutkan dengan tahapan kedua sesuai dengan kebijakan keluarga dan kondisi masing-masing anak laki-laki dan anak perempuan. Adapun pembagian warisan dengan pemikiran yang ketiga lebih mengedepankan keadilan
yang merata antara laki-laki dan perempuan, dengan membagi rata antara laki-laki dan perempuan. Cara inilah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Desa Cipeuteuy secara umum. Berangkat dari adanya sistem pewarisan yang terjadi pada masyarakat Sunda yang Bilateral, maka di lapangan diperoleh dua kategori kepemilikan sumberdaya agraria. Adapun kepemilikan yang pertama adalah kepemilikan sumberdaya agraria oleh laki-laki/suami dan perempuan/istri secara individu, yakni berupa warisan/hibah. Kategori kedua adalah gono-gini atau guna kaya, dimana kepemilikannya merupakan kepemilikan bersama yang diperoleh setelah menikah melalui pembelian dari hasil keduanya dan jika terjadi perceraian, maka harta tersebut akan dibagi agar masing-masing memperoleh bagiannya. Dari bentuk kepemilikan tersebut kemudian ditemukan kombinasi tiga bentuk kepemilikan dan pola-pola kepemilikan. Kombinasi yang pertama adalah kombinasi satu bnetuk kepemilikan saja, yakni milik suami (S), milik istri (I) dan gono-gini (G). Selanjutnya adalah kombinasi dua bentuk kepemilikan yakni milik suami dan milik istri (S-I), milik suami dan gono-gini (S-G), milik istri dan gonogini (I-G). Yang terakhir adalah kombinasi tiga bentuk kepemilikan dalam satu rumahtangga yakni milik suami, milik istri dan gono-gini (S-I-G). Selanjutnya ditemukan tujuh bentuk penguasaan lahan yang ada pada tiga kampung kasus, terdiri dari satu bentuk penguasaan lahan yakni garap, sewa, bagi hasil dan hibah. Kombinasi dua bentuk penguasaan lahan, yakni garap-bagi hasil dan sewa- bagi hasil dan komposisi dari tiga betuk penguasaan lahan yakni garapsewa- hibah.
Menurut tingkat stratifikasinya perempuan pada rumahtangga sampel memiliki hak kepemilikan secara adat (customary right of posession1) lebih dari 52,7 persen dengan 35,8 persen pada stratum atas 11,5 persen pada stratum menengah dan 5,4 persen pada stratum bawah. Selanjutnya, lebih dari 34,2 persen, sekitar 18,0 persen luas lahan stratum atas, 10,4 persen luas lahan stratum menengah dan 5,7 persen luas lahan stratum bawah merupakan lahan dimana perempuan memiliki hak pembagian secara khusus (exclusive right of disposal)2 atas kepemilikan lahan. Sedangkan perempuan juga memiliki hak kepemilikan secara sah (customary legal right)3 sama dengan laki-laki lebih dari 5,1 persen luas lahan stratum atas yang dimiliki oleh rumahtangga kasus, 5,6 persen luas lahan stratum menengah dan 2,5 persen luas lahan pada stratum bawah. Dari pola pengambilan keputusan tersebut diketahui bahwa meskipun persentasenya lebih rendah dari laki-laki, namun perempuan memiliki partisipasi dalam pengambilan keputusan yang cukup tinggi karena selain sebesar 21,4 persen pengambilan keputusan dilakukan oleh perempuan sendiri, masih terjadi pengambilan keputusan yang melibatkan perempuan sebanyak 37,1 persen. Menurut pemaparan responden dalam FGD dan wawancara mendalam yang dilakukan di kampung Cisalimar diungkapkan bahwa perempuan dan laki-laki tetap menjadi pelaku utama dan penentu utama atas masing-masing sumberdaya agraria yang dimilikinya, namun keduanya tetap saling membantu dalam pengelolaannya.
1
Perempuan memiliki hak kepemilikan secara adat, atau yang disebut oleh Mugniesyah sebagai customary right of posession sebanyak lebih dari jumlah lahan yang dimiliki oleh laki-laki. 2 Perempuan mempunyai hak pembagian secara khusus sebanyak lebih dari jumlah persentase yang dimiliki oleh perempuan 3 Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memiliki lahan secara individu sebanyak lebih dari persentase lahan gono-gini.
Pengelolaan sumberdaya agraria merupakan cara bagaimana lahan tersebut termanfaatkan. Di tiga kampung kasus, dikembangkan beberapa komoditi yang tentunya memiliki cara tanam dan perlakuan yang bervariasi. Keberagaman komoditas dan kondisi sumberdaya agraria tersebut yang lantas mempengaruhi kontribusi ART laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan lahan. Tenaga kerja keluarga laki-laki memiliki kontribusi waktu lebih banyak daripada tenaga kerja keluarga perempuan pada lahan kering dan lahan sawah. Lain halnya dengan tenaga kerja luar keluarga, dimana kontribusi buruh perempuan dua kali lipat lebih tinggi dibanding buruh lak-laki pada lahan padisawah, namun tidak demikian pada lahan kebun yang membutuhkan waktu lebih banyak untuk pengelolaannya. Kemudian, jika dibandingkan dengan hari kerja pada lahan kebun, maka sesungguhnya, kontribusi waktu yang dialokasikan pada lahan kebun, lebih lama dibandingkan lahan padi-sawah meskipun umur tanamnya lebih lama padi dibandingkan tanaman hortikultura. Untuk kegiatan-kegiatan yang membutuhkan kontribusi dengan rata-rata hari kerja terbanyak dilakukan oleh laki-laki yakni pada kegiatan pengolahan lahan dan pengontrolan hama, sedangkan perempuan memiliki jumlah tinggi pada kegiatan persemaian dan panen. Pada stratum atas dan menengah, seterusnya pada stratum bawah keduanya memiliki akses yang sama, selanjutnya perempuan lebih akses pada kebutuhan rumahtangga dan pada hasil produksi, karena beberapa responden mengaku bahwa laki-lakinya yang bekerja di luar sektor usahatani memiliki akses yang lebih kecil dari perempuan. Akses perempuan dikatakan kurang pada pemenuhan kebutuhan pribadi karena perempuan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga daripada kebutuhan pribadi.
Pada usahatani kebun, terlihat sekali adanya kesenjangan antara persentase rumahtangga yang berpola pengambilan keputusan secara individu (suami sendiri dan perempuan sendiri). Pada lahan kebun perempuan tetap memiliki kontrol yang tinggi pada kegiatan penyiangan dan persemaian, diduga karena perempuan menjadi pelaku pada proses persemaian/bungbung pada tanaman cabai dan tomat. Sedangkan kontrol atas kegiatan lainnya masih dilakukan oleh suami dan bersama (suami istri, suami dominan; suami istri setara; suami istri, istri dominan) kontrol perempuan sangat rendah pada lahan kebun dikarenakan proses usahatani cukup rumit. Disamping itu lahan usahatani kebun merupakan satu-satunya pendapatan yang diperoleh, karena lahan sawah hanya untuk dikonsumsi secara pribadi (subsisten) sehingga pengambilan keputusan pada lahan usahatani sawah akan menentukan pendapatan rumahtangga. Dari hasil wawancara mendalam, perempuan di kampung Sukagalih menyatakan bahwa mereka memiliki kontrol yang tinggi atas lahan kebun, mereka selama ini hanya membantu menjadi pekerja keluarga, jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Relasi gender dalam rumahtangga petani atas kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria dipengaruhi pula oleh tingkat akses dan kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani. Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan bertujuan untuk mendukung penghidupan keluarga. Hasil pengelolaan lahan usahatani padi-sawah adalah beras yang menjadi makanan pokok pada setiap rumahtangga, sedangkan hasil dari lahan kebun adalah komoditas-komoditas hortikultura yang dapat dikonsumsi dan dijual untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang. Dengan demikian akses
anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan usahatani menentukan akses anggota ruamah tangga laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria. Secara keseluruhan perempuan memiliki akses terhadap manfaat pengelolaan lahan lebih besar dari laki-laki. Perempuan lebih akses pada kebutuhan rumahtangga dan pada hasil produksi, karena beberapa responden mengaku bahwa laki-lakinya yang bekerja di luar sektor usahatani memiliki akses yang lebih kecil dari perempuan. Dalam pemanfaatan hasil pengelolaan sumberdaya agraria, akses perempuan dikatakan kurang pada pemenuhan kebutuhan pribadi karena perempuan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga daripada kebutuhan pribadi.
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun: Nama
:
Febri Sastiviani Putri Cantika
No. Pokok
:
A14203024
Judul
:
Relasi
Geder
dalam
Pemilikan
dan
Penguasaan
Sumberdaya Agraria (Kasus Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS. NIP. 130 779 504
Mengetahui, Fakultas Pertanian Dekan
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian:_______________
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “RELASI
GENDER
DALAM
PEMILIKAN
DAN
PENGUASAAN
SUMBERDAYA AGRARIA” (KASUS DESA CIPEUTEUY, KECAMATAN KABANDUNGAN
KABUPATEN
SUKABUMI)”
BELUM
PERNAH
DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN
KECUALI
SEBAGAI
BAHAN
RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Maret 2008
Febri Sativiani Putri Cantika A14203024
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 8 Februari 1986 di kota Yogyakarta dengan nama Febri Sastiviani Putri Cantika. Putri dari pasangan Eko Putranto dan Mutia Novarida ini memulai pendidikan formalnya pada usia 4 tahun di SDN Muktiharjo 10 Semarang, setelah lulus Sekolah Dasar, penulis melanjutkan pendidikannya di SMPN 15 Semarang. Karena pekerjaan ayahnya yang mengharuskan sang ayah tinggal di Jakarta dan sesekali melaksanakan studi di Luar Negeri, maka keluarganya memutuskan untuk pindah ke kota Bogor agar mempermudah mobilisasi ayahnya. Penulis kemudian melanjutkan sekolahnya di SMPN 4 Bogor dan lulus pada bulan Juni 2000. SMUN 2 merupakan sekolah menengah atas yang dipilih penulis untuk melanjutkan studinya. Penulis lulus pada Juni 2003 dan melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor dan memilih Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian melalui jalur USMI Di Institut Pertanian Bogor, penulis cukup aktif mengikuti beberapa kegiatan diantaranya: Organisasi Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Politik (MISETA) sebagai Ketua Departemen Sosial pada periode 2005-2006; Gema Almamater periode 2005-2006; Ladang Seni periode 2006-2007; Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Sosial Politik Indonesia (POPMASEPI) periode 2005-2006; Ladang Seni, sebagai Sekretaris Umum periode 2005-2006 dan Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni ESQ (FOSMA) Bogor.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pustaka dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Tak lupa shalawat serta salam yang selalu dilimpahkan kepada idola dan panutan seluruh muslimin di dunia Rasulullah Muhammad SAW atas segala ajarannya menjadi umat muslim yang selalu mencari ridha Allah SWT. Skripsi yang berjudul Relasi Gender dalam Pemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria (Kasus Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) ini mengulas tentang bagaimana sistem kekerabatan mempengaruhi relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria termasuk pola pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria di Desa cipeuteuy yang notabene mempunyai sistem kekerabatan yang bilateral. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk mmeperoleh gelar sarjana pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada: 1. Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS., selaku pembimbing utama yang telah mengarahkan dan memberi masukan sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Martua Sihaloho SP. MS., selaku penguji utama yang telah memberikan banyak masukan dalam rangka perbaikan Skripsi ini. 3. Ir. Dwi Sadono, MS., selaku penguji dari Departemen KPM yang telah banyak mengoreksi kesalahan dalam penulisan Skripsi ini. 4. Ir. Endriatmo Soetarto, MS., selaku pembimbing akademik yang banyak memberikan bimbingan dan nasehat. 5. Keluarga yang tercinta, Bapak dan Ibu yang telah memberikan kasih sayang dan doanya. Adik-adik terkasihku Joe dan Gemz. 6. Seluruh Warga Desa Cipeuteuy, terutama Keluarga besar Amih, Uwa Unen, Bapak Kosi, Bapak Ahim, Bapak Atin, Uwa Uneb dan Kang Hendy
yang telah menjadi keluarga dan memberikan tempat tinggal pada saat penulis melakukan penelitian. Juga kepada Izrom, Ipong, Lurah Acun Mansyur, Bapak Ida, Bapak Endang, Bapak Ustad Tirta, yang telah mendoakan, mendukung dan membantu kelancaran penelitian penulis. 7. Okty, teman sepanjang masaku, Hendrik, Putra, Bobby, Jhony, Poppy, terimakasih atas dukungan dan doanya dan Dian Annisa sebagai teman seperjuanganku, terima kasih untuk berbagi dan mendoakanku. 8. Bapak Ahmad Baehaqie, Ibu Melani, Pak Jajat dan Ibu Ira PSW dan Mas Anthon atas masukan, dukungan dan doanya. 9. Teman-teman komunitasku SALAM, KALAM, Kampoeng Bogor, Circle Clan, RCxHC, dan D.O.D yang telah memberikan doa dan dukungan. Terutama Januar Sena dan Aji Sarsito (alm) yang banyak membantu dalam saat-saat yang sulit dan memberikan masukan pada penelitian ini. 10. Teman-teman seperjuangan KPM 40, yang telah banyak membantu, terutama untuk Widi, Iq, Emma, Puput, Mine, Karin, Dephie, Ciendo, Veni, Irma, Susan, Cencen, Tika, Tata, Sasti, Nayda, Yoyo, Yuni, Jaum, Joko, Yudi, 11. Tim dosen KPM SOSEK IPB, terimakasih telah memberikan pengajaran yang terbaik, juga untuk seluruh staff KPM (Mbak Maria dan Mbak Nisa) yang telah membantu selama perkuliahan. 12. Tidak lupa rasa terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu atas bantuannya dalam penyusunan dan penyelesaian Skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap bahwa Skripsi ini bermanfaat bagi pihakpihak yang mempunyai perhatian terhadap masalah gender dalam kaitannya dengan sumberdaya agraria. Bogor, Maret 2008 Penulis
i
DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi ...........................................................................................................
i
Daftar Tabel ........................................................................................................ iv Daftar Gambar..................................................................................................... vii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN.............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................
5
1.3. Tujuan dan Kegunaan ..............................................................
8
PENDEKATAN TEORITIS ............................................................. 11 2.1. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 11 2.1.1. 2.1.2. 2.1.3. 2.1.4. 2.1.5. 2.1.6. 2.1.7. 2.1.8.
Pengertian Rumahtangga Pertanian ............................. Konsep Gender............................................................. Jenis Peran dan Relasi Gender ..................................... Kesetaraan dan Keadilan Gender ................................. Pengertian dan Lingkup Agraria .................................. Konsep dan Definisi Lahan.......................................... Struktur Agraria ........................................................... Pola Penguasaan dan Kepemilikan Lahan ...................
11 11 13 14 16 16 17 21
2.2. Kerangka Pemikiran................................................................. 23 2.3. Definisi Operasional................................................................. 29 BAB III
METODOLOGI ................................................................................ 33 3.1. Metode Penelitian..................................................................... 33 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 35 3.3. Penentuan Sampel dan Responden........................................... 35 3.4. Pengolahan dan Analisis Data.................................................. 38
BAB IV
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................. 39 4.1. Kondisi Geografis .................................................................... 39 4.2. Keadaan Umum Penduduk....................................................... 44 4.3. Kelembagaan............................................................................ 52 4.4. Sarana dan Prasarana................................................................ 59
ii
BAB V
PROFIL RUMAH TANGGA PETANI ............................................ 65 5.1. Karakteristik Individu .............................................................. 65 5.1.1. 5.1.2. 5.1.3. 5.1.4. 5.1.5.
Jenis Kelamin ............................................................... Umur ............................................................................ Tingkat Pendidikan ...................................................... Jenis Pekerjaan ............................................................. Status Bekerja...............................................................
66 66 70 75 86
5.2. Karakteristik Rumahtangga...................................................... 91 5.2.1. Kepemilikan Benda Berharga ...................................... 91 5.2.2. Partisipasi Kelembagaan .............................................. 96 BAB VI
SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN TOKOH MASYARAKAT................................................................ 101 6.1. Sistem Kekerabatan.................................................................. 101 6.1.1. Sistem Nilai yang Mengakui Status Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga ......................................... 101 6.1.2. Hukum Adat yang Mengatur Kepemilikan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan. .. 104 6.2. Pengakuan Komunitas/Desa terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan................................................................................ 112 6.2.1. Derajat Pengakuan Tokoh Masyarakat terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan ..................................... 112 6.2.2. Pencatatan Kepemilikan Lahan dalam Letter C........... 114 6.2.3. Bukti SPPT Iuran Desa Menurut Individu Pemiliknya ................................................................... 115
BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY................................ 117 BAB VIII RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA ............................... 124 8.1. Pola Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria ........ 124 8.1.1. Pola kepemilikan Sumberdaya Agraria........................ 124 8.1.2. Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria......................... 128 8.2. Pemilikan Sumberdaya Agraria ............................................... 133 8.2.1. Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Lakilaki dan Perempuan terhadap Kepemilikan Sumberdaya Agraria .................................................... 133
iii
8.2.2. Tingkat Kontrol Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Kepemilikan Sumberdaya Agraria .................................................... 138 8.3. Penguasaan Sumberdaya Agraria............................................. 140 8.3.1. Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Lakilaki dan Perempuan terhadap Penguasaan Sumberdaya Agraria .................................................... 140 8.4. Pengelolaan Sumberdaya Agraria ............................................ 146 8.4.1. Tingkat Kontribusi Waktu Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Pengelolaan Sumberdaya Agraria ................................ 149 8.4.2. Tingkat kontrol Anggota Rumahtangga Petani Lakilaki dan Perempuan terhadap Pengelolaan Sumberdaya Agraria .................................................... 154 8.5. Manfaat dari Pengelolan Sumberdaya Agraria ........................ 159 8.5.1. Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Lakilaki dan Perempuan terhadap Manfaat dari Pengelolaan Sumberdaya Agraria ................................ 159 8.5.2. Tingkat kontrol Anggota Rumahtangga Petani Lakilaki dan Perempuan terhadap Manfaat dari Pengelolaan Sumberdaya Agraria ................................ 161 IX.
KESIMPULAN ................................................................................. 163 8.6. Kesimpulan .............................................................................. 163
8.7. Saran......................................................................................... Error! Bookmark no DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 170
iv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Teks
Tabel 1.
Luas Wilayah Desa Cipeuteuy Menurut Penggunaannya Tahun 2004 (dalam hektar) ............................................................................ 42
Tabel 2.
Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006.......................................................................................... 45
Tabel 3.
Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja Tahun 2006................... 46
Tabel 4.
Jumlah Penduduk Desa Cipeuteuy Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2006.......................................................................................... 47
Tabel 5.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan Lahan Tahun 2006. ..... 49
Tabel 6.
Jumlah Rumahtangga Pertanian Menurut Jumlah Kepemilikan Lahan Tahun 2006............................................................................... 50
Tabel 7.
Jumlah Anggota Rumahtangga Desa Cipeuteuy Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2006 .......................... 52
Tabel 8.
Jumlah Sarana pengairan dan Rumahtangga Penerima Manfaat Sarana Pengairan di Desa Cipeuteuy Tahun 2006 .............................. 61
Tabel 9.
Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Golongan Umur Tahun 2007(dalam persen)............................................................................. 68
Tabel 10. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan di Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Pendidikan Terakhir Tahun 2007 (dalam persen)............................................................................ 71 Tabel 11. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Jenis Pekerjaan (dalam persen) ................................................................................................. 76 Tabel 12. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Jenis Pekerjaan Sampingan (dalam persen).................................................................. 84 Tabel 13. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Status Pekerjaan Tahun 2007 (dalam persen)............................................................................ 87 Tabel 14. Kondisi Kepemilikan Ternak pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi Tahun 2006 (dalam persen).................. 91
v
Tabel 15 Kondisi Kepemilikan Benda Teknologi Rumahtangga pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi Tahun 2006 (dalam persen)..................................................................................... 94 Tabel 16. Kondisi RTP di Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Partisipasi dan Jenis Kelamin.............................................................. 97 Tabel 17. Pola Kepemilikan Lahan Pada Tiga Kampung Kasus Tahun 2007 (dalam Persen)................................................................................... 127 Tabel 18 Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi, dan Pola Kepemilikan Sumberdaya Agraria Tahun 2007 (dalam persen dan total jumlah dalam are).......................................................................................... 128 Tabel 19. Pola Penguasaan Lahan Pada Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy berdasarkan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam are dan persen) ............................................................................................... 130 Tabel 20. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Status Kepemilikan Lahan dan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam persen dan total jumlah dalam are) ................... 134 Tabel 21. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi dan Kepemilikannya Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are) ................... 136 Tabel 22. Tingkat Kontrol ART Terhadap Kepemilikan Sumberdaya Agraria Tahun 2007 (dalam persen) ................................................. 139 Tabel 23. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi, Bentuk Penguasaan dan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are)..................................................................................................... 142 Tabel 24. Distribusi Sumberdaya Agraria Menurut Tingkat Stratifikasi Berserta Status Kepemilikan yang Dikuasai Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are) ................................................... 143 Tabel 25 Tingkat Kontrol Terhadap Penguasaan Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (dalam persen)......... 145 Tabel 26. Kalender Musim Tanam (Kebun-Cabai) Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (untuk 1 Rol Mulsa) ................................................................. 147 Tabel 27. Kalender Musin Tanam Tomat Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (untuk 1 rol mulsa) ............................................................................ 148 Tabel 28. Kalender Musim Tanam (Sawah) Desa Cipeuteuy Tahun 2007....... 149
vi
Tabel 29. Rata-rata dan Persentase Jam Kerja dalam Kegiatan Usahatani Padi Sawah di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (dalam hektar) .......................................................................... 150 Tabel 30. Rata-rata dan Persentase Jam Kerja dalam Kegiatan Usahatani Kebun di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (dalam hektar) ................................................................................... 152 Tabel 31. Rata-rata dan Persentase Hari Kerja dalam Kegiatan Usahatani Padi Sawah di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007 (dalam hektar) ............................................................................................... 153 Tabel 32. Rata-rata dan Persentase Hari Kerja dalam Kegiatan Usahatani Kebun di Dusun Pandan Arum Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007 (dalam hektar) ............................................................................................... 154 Tabel 33. Penentu Utama dalam Kegiatan Usahatani Padi Sawah di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007.................................................... 155 Tabel 34. Penentu Utama dalam Kegiatan Usahatani Lahan Pasir/Kebun di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007.................................................... 157 Tabel 35. Tingkat Akses Terhadap Manfaat dari Pengelolaan Sumberdaya Agraria............................................................................................... 160 Tabel 36. Tingkat Kontrol Terhadap Manfaat dari Pengelolaan Sumberdaya Agraria............................................................................................... 162
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Struktur Agraria ....................................................................... 20 Gambar 2 Kerangka Pemikiran Relasi Gender dalam Pemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria........................................................ 28 Gambar 3. Peta Lokasi Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan , Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat....................................................... 39 Gambar 4. Bagan Struktur Agraria Desa Cipeuteuy........................................... 122
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sumberdaya agraria merupakan sumber penghidupan terpenting bagi
masyarakat di Indonesia yang sebagian besar penduduknya menggantungkan diri dari proses produksi pertanian. Data Potensi Desa Sensus Pertanian (ST) 2003 melaporkan bahwa sektor pertanian menjadi sumber penghasilan sebagian besar penduduk, yakni 88,10 persen dari 68.816 desa di Indonesia. Berdasar sektor mata pencaharian, sebagian besar bekerja di sektor tanaman pangan sebesar 71,71 persen diikuti oleh mereka yang bekerja di sektor perkebunan (17,55 persen), perikanan (4,70 persen), hortikultura (2,54 persen), pertanian lain (1,9 persen), kehutanan (1,27 persen) dan sisanya di sektor peternakan sebesar 0,30 persen. Lebih lanjut hasil ST 2003 menunjukkan bahwa sekitar 115 juta rumahtangga, 54 persen diantaranya adalah rumahtangga pertanian, yang terdiri atas 21,6 persen rumahtangga pertanian, 20,9 persen rumahtangga pengguna lahan, dan sekitar 11,5 persen adalah rumahtangga petani gurem (Badan Pusat Statistik dalam Mugniesyah, 2006). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumberdaya agraria, khususnya lahan menjadi tumpuan utama rumahtangga petani di Indonesia. Terjadinya krisis ekonomi multidimensional yang berkepanjangan telah menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, yang tercermin dari tingginya jumlah penduduk miskin di pedesaan Indonesia. Data tahun 2004 menunjukkan bahwa dari 36,15 juta penduduk miskin di Indonesia, sebanyak 68,5 persen diantaranya adalah adalah penduduk di pedesaan (Badan Pusat Statistik,
2
2004). Pemerintah mengakui bahwa hal tersebut antara lain disebabkan masyarakat miskin di pedesaan menghadapi masalah keterbatasan akses terhadap sumberdaya alam dan ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan lahan, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Karenanya, dalam RPJMN 2004-2009 dinyatakan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin, antara lain hak-hak atas tanah, lingkungan hidup, dan sumberdaya alam. Sesungguhnya sejak tahun 1960, kebijakan pemerintah sudah mengakui hak laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria, sebagaimana tercantum pada pasal 9 ayat 2 dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Namun demikian, data yang dilaporkan Badan Pusat Statistik pada tingkat makro masih menggunakan rumahtangga sebagai unit analisisnya, sedangkan di tingkat mikro sebagaimana dikutip Mugniesyah dan Mizuno (2007), beberapa studi yang dilakukan para ahli agraria seperti van der Kroef, Hüsken, White dan Wiradi, sebagian besar hanya menggunakan data sekunder dan data primer dengan unit analisis rumahtangga. Itu sebabnya, keduanya menyatakan bahwa ketika membicarakan mengenai masalah agraria, maka tidak cukup hanya mengkaji pada tingkat rumahtangga saja, namun hingga tingkat individu baik lakilaki dan perempuan yang mempunyai kepentingan atas lahan. Dengan demikian pengakuan negara atas hak individu, baik laki-laki dan perempuan belum dimanifestasikan dengan ketersediaan data pada tingkat individu.
3
Kondisi tersebut nampaknya dimungkinkan karena masih adanya perbedan pendapat di kalangan birokrat dan pakar serta pelaksana pembangunan pertanian pada umumnya. Pertama, sebagaimana dikemukakan Mugniesyah dan Mizuno (2003), masih kuatnya persepsi yang bias gender di kalangan para pakar, birokrat dan pelaksana program pembangunan pertanian yang beranggapan bahwa pengelolaan
usahatani
dilakukan
oleh
rumahtangga,
sehingga
kepala
rumahtanggalah yang bertanggungjawab atas semua hal yang berkenaan dengan usahatani. Akibat dari terjadinya internalisasi stereotipi nilai gender, secara de jure timbul asumsi bahwa yang berstatus sebagai kepala rumahtangga pertanian adalah laki-laki, dengan demikian pemilikan, penguasaan dan pengambilan keputusan yang berkenaan dengan sumberdaya agraria, khususnya lahan adalah laki-laki. Hal inilah yang selanjutnya membuat hampir seluruh sasaran dalam pembangunan pertanian pada masa lalu adalah petani laki-laki (Mugniesyah dan Fadhilah, 2001; Fakih dalam Bachriadi et.al.,1997). Dari asumsi tersebut, timbul beberapa pernyataan, salah satunya dari FSPI (2006) yang menyatakan bahwa “bagi petani perempuan akses terhadap sumberdaya agraria bisa dikatakan tidak ada sama sekali, karena dalam budaya perempuan hanya mempunyai hak untuk bekerja dan mengolah sawah sementara kepemilikan berada di tangan suami/kepala keluarga, karena itu segala keputusan yang menyangkut tanah berada di tangan laki-laki”. Berseberangan dengan pernyataan tersebut, selain mengutip dari hasil studi Simbolon (1998) serta Quisumbing dan Otsuka (2001), Mugniesyah dan Mizuno (2007) berhasil membuktikan adanya hubungan antara sistem nilai dan hukum adat yang disertai dengan bukti empiris rumahtangga petani lahan kering
4
Cianjur, Jawa Barat4. Keduanya mengemukakan bahwa sistem kekerabatan akan mempengaruhi dinamika internal rumahtangga petani5, termasuk relasi gender dalam hal kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumberdaya agraria, antara lain melalui sistem nilai dan hukum adat yang mengatur kepemilikan lahan dan sumberdaya agraria lainnya. Sayangnya, banyak studi yang berkaitan dengan kepemilikan lahan sama sekali tidak menyinggung dan menyebutkan mengenai sistem nilai dan pembagian lahan pada anggota keluarga dengan memperhatikan laki-laki dan perempuan, padahal menurut Soepomo (1982) dalam Mugniesyah dan Mizuno (2007), laki-laki (suami) dan perempuan (istri) mempunyai hak yang sama dalam pernikahan, termasuk individu dan hak kepemilikan. Adanya perbedaan pendapat tersebut, menuntut adanya penelitianpenelitian yang berkenaan dengan relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria di kalangan masyarakat petani. Hal ini menjadi penting, untuk beberapa alasan; pertama, sebagaimana diungkapkan oleh Fakih (1997)6, bahwa para pakar yang mencoba mencari solusi masalah kemiskinan dan pedesaan melalui usaha pembaruan agraria, belum berhasil memasukkan analisis yang tajam mengenai bagaimana relasi gender terjadi dan sering justru menjadi sumber marjinalisasi kaum perempuan. Kedua, penelitian ini penting untuk mendukung ketersediaan data kepemilikan dan penguasaan lahan menurut jenis kelamin,
4
Mugniesyah dan Mizuno (2007) mengemukakan bahwa adanya sistem nilai adil gender dan hukum adat yang setara gender di kalangan masyarakat petani lahan kering, petani perempuan dan laki-laki akses dan kontrol terhadap kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian dan pengelolaan usahatani, baik itu sistem padi sawah maupun sistem huma talun. Keduanya mengemukakan hasil studi Simbolon (1998) yang menemukan bahwa pada masyarakat Batak yang patrilineal sekalipun, perempuan petani bisa akses dan kontrol terhadap lahan. Berkenaan hasil studi Quisumbing dan Otsuka (2001), dilaporkan bahwa pada masyarakat Sumatera Barat yang matrilineal, adanya individualisasi dalam hak atas lahan telah membawa dampak pada sistem yang lebih egalitarian, dimana laki-laki dan perempuan memiliki hak waris atas lahan (Quisumbing dan Otsuka ,2001) 5 Keluarga/rumahtangga petani adalah unit terkecil suatu masyarakat, maka sistem kekerabatan dimana rumahtangga petani menjadi anggotanya akan mempengaruhi dinamika internal rumahtangga petani. 6 Fakih (1997) dalam prolog pada buku Reformasi Agraria
5
sebagai suatu prasyarat bagi terselenggaranya pembangunan pertanian yang responsif gender sebagaimana diamanatkan dalam Inpres No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG)7. Kebutuhan ini juga perlu diteliti lebih lanjut mengingat akses terhadap lahan merupakan strategi oleh pemerintah sehubungan dengan RPJMN 2004-2009, yang menyatakan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan harus disertai upaya untuk menjamin dan melindungi hak perorangan dan komunal atas tanah dengan cara meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat miskin tanpa diskriminasi gender yang juga didukung oleh UU No 7 Th 1984 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang juga merupakan kesepakatan terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (CEDAW). 1.2.
Perumusan Masalah Rumahtangga petani terdiri atas individu-individu laki-laki dan
perempuan, sebagaimana dikatakan Slyter dan Rocheleau (1995) dalam Mugniesyah dan Mizuno (2003) bahwa dalam tataran dunia, baik perempuan maupun laki-laki merupakan sumberdaya pemakai dan pengelola dimana keduanya
memiliki
perbedaan
peran,
kewajiban,
kesempatan,
dan
ketidakleluasaan dalam mengelola sumberdaya baik dalam tataran rumahtangga maupun komunitas. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya agraria menuntut partisipasi anggota masyarakat, laki-laki dan perempuan, khususnya di pedesaan, karena mereka pada dasarnya memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya 7
Inpres No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional yang menetapkan pengintegrasian perspektif gender dalam pembangunan, baik pembangunan nasional, daerah maupun sektoral, guna mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
6
tersebut melalui hak-hak adat dari sistem kekerabatan dimana mereka menjadi anggotanya, yang dikenal sebagai kelembagaan kepemilikan lahan. Mengacu kepada pendapat Soepomo, Koentjaraningrat dan Ekadjati dalam Mugniesyah dan Mizuno (2007), masyarakat Desa Cipeuteuy diduga tergolong masyarakat Sunda yang memiliki sistem kekerabatan Bilateral. Masyarakat petani Desa Cipeuteuy yang diduga tidak homogen, memiliki sistem nilai tersendiri (lokal) berkenaan dengan status anak laki-laki dan perempuan dalam hak atas harta (termasuk sumberdaya agraria) dalam keluarga/rumahtangga mereka. Sehubungan dengan itu, adakah sistem nilai yang mengatur status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumahtangga dan apakah sistem tersebut adil gender? Menurut ahli antropologi seperti Koentjaraningrat dan ahli sosiologi seperti Soerjono Soekanto, sistem nilai (values) mempengaruhi perilaku anggota masyarakat dalam mencapai tujuan mereka berkeluarga dan bermasyarakat, Bahkan Soerjono dan Taneko menyatakan bahwa sistem kekerabatan juga mengatur hukum adat yang berhubungan dengan alokasi harta kekayaan (termasuk sumberdaya agraria) dalam keluarga. Sehubungan dengan itu, apakah sistem nilai yang ada mempengaruhi hukum adat yang setara gender dalam hal sistem alokasi sumberdaya agraria diantara anak laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga petani. Bagaimanakah relasi gender dalam hal kepemilikan sumberdaya agraria dalam rumahtangga petani tersebut? Bagaimana pula pengaruhnya pada pola kepemilikan lahan pada tingkat rumahtangga petani? Mengingat
rumahtangga
petani
adalah
unit
terkecil
dalam
komunitas/masyarakat pertanian, apakah sistem nilai dan hukum adat dalam sistem alokasi sumberdaya agraria pada tingkat rumahtangga petani juga diakui
7
oleh komunitas masyarakat petani yang lebih luas? Apakah sistem nilai tersebut juga mempengaruhi alokasi sumberdaya agraria pada tingkat komunitas? Mengacu pada hasil empiris White dan Wiradi (1987) serta Mugniesyah dan Mizuno (2007) tentang pola penguasaan lahan, bagaimana pula pengaruhnya terhadap pola penguasaan lahan oleh anggota rumahtangga petani? Sebagaimana dikemukakan oleh pakar gender dalam pembangunan, upaya untuk memahami relasi gender dalam rumahtangga petani dapat dilakukan dengan menggunakan teknik analisis gender yang diartikan sebagai pengujian secara sistematis terhadap peranan-peranan, hubungan-hubungan dan prosesproses yang memusatkan perhatiannya pada ketidakseimbangan kekuasaan, kesejahteraan dan beban kerja antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat (Mosher dalam Mugniesyah, 2004). Karenanya, apakah pola kepemilikan dan penguasaan lahan tersebut juga mempengaruhi pola pengelolaan sumberdaya agraria oleh anggota rumahtangga petani? Berhubungan dengan komponen yang perlu dianalisis dalam teknik analisis gender, apakah anggota rumahtangga petani dewasa, laki-laki dan perempuan mempunyai akses dan kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya agraria? Di pihak lain, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 pasal 9 ayat 2, apakah anggota rumahtangga petani di Desa Cipeuteuy juga memiliki akses dan kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria yang mereka lakukan? Pada tingkat makro, pemerintah mengakui kepemilikan lahan pada tingkat individu, laki-laki dan perempuan. Mengacu pada Mugniesyah dan Mizuno (2007), apakah kepemilikan lahan pada tingkat individu tersebut diakui
8
oleh desa/aparat desa, sebagaimana dicerminkan dalam Letter C dan bukti formal lainnya (sertifikat, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau SPPT, dan PBB)? Akses dan kontrol anggota rumahtangga petani/buruh tani laki-laki dan perempuan atas lahan sangat dipengaruhi oleh pemanfaatan sumberdaya agraria, karenanya perlu diketahui bagaimanakah kondisi sumberdaya agraria dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi akses dan kontrol terhadap sumberdaya agraria? Akses dan kontrol atas sumberdaya agraria akan menunjukkan bagaimana laki-laki dan perempuan mempunyai peluang dan hak untuk mengambil keputusan untuk memiliki, menguasai, mengelola dan memanfaatkan hasilnya, sehingga perlu diketahui, bagaimanakah akses dan kontrol atas sumberdaya agraria menentukan pola pemilikan, penguasaan, pengelolaan dan manfaat yang diperoleh atas lahan 1.3.
Tujuan dan Kegunaan Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui: 1) Sistem nilai mengenai status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumahtangga petani yang berkaitan atas hak harta (termasuk sumberdaya agraria) pada masyarakat petani Desa Cipeuteuy serta menganalisis adil gender dalam sistem nilai tersebut. 2) Hubungan antara sistem nilai mengenai status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumahtangga petani dengan hukum adat yang
berhubungan
dengan
alokasi
harta
kekayaan
(termasuk
sumberdaya agraria) dalam keluarga serta pola kepemilikan lahan pada rumahtangga petani.
9
3) Pengakuan anggota masyarakat/komunitas pertanian terhadap sistem nilai tentang status anak dalam rumahtangga dan hubungannya dengan pola penguasaan sumberdaya agraria pada rumah tanga petani. 4) Dinamika relasi gender dalam pengelolaan sumberdaya agraria, khususnya yang berkenaan dengan akses dan kontrol anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan sumberdaya agraria yang dimiliki dan dikuasai. Selain itu juga untuk mengetahui akses dan kontrol mereka terhadap manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria yang mereka lakukan. 5) Pengakuan
aparat
desa
terhadap
kepemilikan
dan
penguasaan
sumberdaya agraria pada tingkat individu, laki-laki dan perempuan sebagaimana tercermin dalam dokumen Letter C dan bukti formal lainnya (sertifikat, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau SPPT, dan PBB) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan referensi bagi berbagai pihak yang tertarik dan terkait dengan kajian gender dalam penguasaan dan kepemilikan lahan serta potensi konflik yang ada di dalamnya, khususnya bagi: 1. Peneliti sendiri, sebagai proses pembelajaran yang akan memberikan pengalaman dan pembelajaran dalam penerapan konsep, teori dan metodologi yang telah dipelajari, terutama teori-teori mengenai gender dan sosiologi agraria. 2. Peneliti dan akademisi lainnya, penelitian ini dapat memberikan sumbangsih berupa tambahan literatur dan informasi dasar berkenaan
10
dengan relasi gender dalam penguasaan dan kepemilikan sumberdaya agraria. 3. Non-akademisi yang meliputi pemerintah pusat maupun daerah, lembagalembaga pemberdayaan perempuan, swasta dan masyarakat dapat bermanfaat dalam mendukung kebutuhan data terpilah menurut jenis kelamin yang dibutuhkan dalam pelaksanaan PUG dan penyelenggaraan program yang sensitif gender serta mendukung bagi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
11
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1.
Pengertian Rumahtangga Pertanian Rumahtangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami
sebagian atau seluruh bangunan fisik serta biasanya tinggal bersama dan mengkonsumsi makanan yang berasal dari satu dapur, dimana kebutuhan seharihari anggotanya dikelola menjadi satu (BPS, 1996). Adapun yang dimaksud dengan rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, keramba maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak atau unggas ataupun berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual untuk memperoleh pendapatan ataupun keuntungan atas resiko sendiri. Dengan demikian, yang dimaksud dengan rumahtangga usahatani adalah rumahtangga yang salah satu atau lebih anggotanya mengolah lahan pertanian, baik lahan basah (sawah) maupun lahan kering, membudidayakan tanaman pertanian, melakukan pengambilan hasil lahan pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dimanfaatkan sendiri atau dijual untuk memperoleh pendapatan ataupun keuntungan atas resiko sendiri. 2.1.2.
Konsep Gender Gender, secara etomologis diartikan sebagai menjadi laki-laki dan
perempuan seta terkait denga isu-isu mengenai perbedaan, relasi dan peranan gender. Gender pertama kali dinyatakan sebagai suatu karakteristik sosial pada
12
tahun 1792 oleh Mary Wollstonecraft. Ivy dan Barklund (1995) dalam Mugniesyah (2005) mengemukaan bahwa gender merupakan sesuatu yang dikonstruksikan, karena gender bukanlah suatu fakta alamiah tetapi secara historis dapat merubah suatu hubungan sosial. Selanjutnya, para ahli peminat studi gender, diantaranya: Donnel (1988); Eviota (1993); Kabeer (1990); Sudrajat (1994); Fakih (1994); ILO (2000); Wood (2001) mengemukakan definisi gender yang dapat disimpulkan bahwa gender tidak sama dengan jenis kelamin dan gender bukan berarti perempuan. Gender merupakan suatu bentukkan/ konstruksi sosial mengenai perbedaan peran, fungsi serta tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana laki-laki berperilaku maskulin dan perempuan berperilaku feminin menurut budaya yang berbeda-beda. Perbedaan gender dapat menimbulkan adanya permasalahan seputar ketidakadilan gender yang mencakup stereotipi, beban kerja, subordinasi, marjinalisasi dan kekerasan. Menyusul pernyataan dari Fakih tersebut, Mugniesyah mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin telah mempengaruhi manusia untuk memberi persepsi identitas peranan gender atau mengakibatkan perbedaan peranan gender (Mugniesyah, 2006, 8). Perbedaan biologis seringkali menjadi landasan masyarakat untuk mengkotakkan peran perempuan dan lakilaki. Seorang perempuan yang berperan sebagai ibu dengan kemampuan reproduktif untuk melahirkan dan menyusui membawa masyarakat untuk menempatkan perempuan kedalam peran-peran pengasuhan yang berkorelasi dengan ‘ibu’. Demikianlah sehingga perempuan mengalami proses domestikasi atas statusnya sebagai ‘ibu’. Demikian halnya dengan laki-laki yang di’label’i sebagai pencari nafkah dan pekerja, sehingga ia memiliki kekuasaan yang tinggi
13
atas sumberdaya ekonomi keluarga dan dalam proses pengambilan keputusan sementara perempuan tersubordinasi oleh peranan laki-laki yang dominan.
2.1.3.
Jenis Peran dan Relasi Gender Peran gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki
sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Adapun yang dimaksud dengan peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu di persepsikan sebagai peranan perempuan
dan
laki-laki.
Mosher
(1993)
dalam
Mugniesyah
(2006)
mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender (triple role), yaitu: 1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan lakilaki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya. Termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar, dan produksi rumahtangga/subsistem dengan suatu nilai guna, tetapi juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya: kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal. 2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan tenaga. Contoh: Melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, memasak, mencuci, membersihkan, membersihkan rumah, memperbaiki baju dan lainnya.
14
3. Peranan Pengelolaan Masyarakat dan Politik. Peranan ini dibedakan ke dalam dua kategori sebagai berikut: a. Peranan Pengelolaan Masyarakat (Kegiatan Sosial), yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan dalam tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat volunteer dan tanpa upah. b. Pengelolaan Masyarakat Politik (Kegiatan Politik), yakni peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status. Peranan gender berhubungan dengan relasi gender yang menurut Agarwal (1994) dalam Mugniesyah (2006) diartikan sebagai suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan (ide), praktek dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan. 2.1.4.
Kesetaraan dan Keadilan Gender Menurut konsepsi ILO (2001), Mugniesyah (2005) mengemukakan
tentang pengertian keadilan dan kesetaraan gender, dimana keadilan gender (gender equity) merupakan keadilan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan berdasar pada kebutuhan-kebutuhan mereka, mencakup perlakuan setara atau perlakuan yang berbeda akan tetapi dalam koridor pertimbangan kesamaan dalam hak-hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan dan manfaat. Kesetaraan gender (gender equality) adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa pembatasan oleh seperangkat stereotipi, prasangka, dan peran gender yang kaku. Dalam hal ini kesetaraan bukanlah berarti bahwa laki-laki dan perempuan menjadi sama, akan tetapi hak-
15
hak, tanggung jawab dan kesempatan mereka tidak ditentukan karena mereka terlahir sebagai laki-laki dan perempuan (ILO, 2001). Upaya pemerintah dalam menghapuskan ketidakadilan gender di Indonesia, salah satunya melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan gender, diantaranya adalah Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan, Keputusan Menteri dalam Negeri No. 132 tahun 2003, Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang rativikasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elemination of All from of Discrimination Against Women atau CEDAW), GBHN 1999-2004 dan UU No. 25 tahun 2000. Dikeluarkannya Inpres No. 9 tahun 2000 adalah dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan, serta upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dipandang perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender kedalam seluruh proses pembangunan nasional (Mugniesyah, 2004). Untuk menyikapi hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor. 132 Tahun 2003 tentang pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan di daerah. Kebijakan ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan pedoman pelaksanaan PUG pada pembangunan di daerah. Pembuatan kebijakan-kebijakan dalam upaya penghapusan ketidakadilan gender diharapkan dapat dilaksanakan diseluruh wilayah di Indonesia dan ditaati oleh semua lapisan warga masyarakat Indonesia agar kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud.
16
2.1.5.
Pengertian dan Lingkup Agraria Tjondronegoro dan Wiradi (2001) mengemukakan bahwa pengertian
agraria secara etimologis berasal dari bahasa Latin ‘ager’ yang dapat berarti lapangan, pedusunan, wilayah; ‘aggeer’ yang berarti tanggul pelindung, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah dan bukit. Kedua ahli agraria tersebut mengatakan bahwa agraria sangat berkonotasi dengan ‘tanah’, hal ini menunjukkan bahwa ‘agraria’ mencakup segala sesuatu yang ada di atas tanah yang dapat meliputi air, sungai, tumbuhan, bangunan, bahkan manusia yang menghuni di atasnya. Berdasarkan Pasal 1 (ayat 2,4,5,6) UUPA 1960, Sitorus (2004) menyimpulkan konsep agraria yang merujuk pada obyek atau sumber agraria yang meliputi:(1) Tanah, atau “permukaan bumi”, yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan; (2) Perairan, baik di darat maupun di laut, yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan perikanan dan area penangkapan ikan (fishing ground) bagi komunitas nelayan; (3) Hutan, meliputi kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan; (4) Bahan Tambang¸ mencakup beragam barang tambang dan mineral yang terkandung di dalam perut;(5) Udara, dalam arti “ruang di atas bumi dan air” maupun materi udara (O2) itu sendiri. 2.1.6.
Konsep dan Definisi Lahan Menurut Soepardi (1983) lahan merupakan tanah (sekumpulan tubuh
alamiah, mempunyai kedalaman lebar yang ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan dengan vegetasi dan pertanian sekarang ) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air dan tumbuhan penutup yang dijumpai. Lahan merupakan
17
sumberdaya dasar sumber makanan, serat, bahan-bahan bangunan, mineral, energi, dan bahan-bahan alamiah lain yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya (Winoto, 1997) Lahan bersama faktor produksi lainnya akan dijadikan dasar untuk menciptakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh manusia, Dengan demikian lahan dapat diartikan sebagai sebidang tanah dalam penampakan fisik yang digunakan sebagai sumberdaya ekonomi wilayah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. 2.1.7.
Struktur Agraria Seperti yang sebelumnya dinyatakan oleh Tjondronegoro dan Wiradi
(2001) bahwa agraria mencakup semua sumberdaya dan manusia yang ada di atas suatu wilayah. Unsur kekayaan alam dan kehidupan sosial mempunyai hubunganhubungan yang saling berkaitan dalam pengelolaan agraria. Unsur pertama dalam agraria adalah sumber agraria yang kemudian disebut sebagai objek agraria, sedangkan manusia sebagai pengelola sumber agraria disebut sebagai subjek agraria. Subjek agraria dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok sosial, yaitu (1) komunitas yang meliputi individu, keluarga kelompok; (2) pemerintah mencakup pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa; (3) pihak swasta (private sector) , yang mencakup perusahaan kecil, sedang dan perusahaan besar. Dengan
mengacu
kepada
pendapat
Habermas8,
Sitorus
(2004)
merumuskan dimensi kerja dan interaksi yang terdapat pada bidang keagrariaan. Ketiga subjek agraria yang telah dijelaskan mempunyai hubungan satu sama lain
8
J. Habermas dalam tesisnya menuliskan tentang dua dimensi tindakan manusia, yaitu dimensi kerja yang merupakan tindakan teknis dan dimensi interaksi atau komunikasi yang merupakan tindakan sosial.
18
yang disebut hubungan sosio agraria yang diwujudkan dalam interaksi antara ketiga subjek agraria dalam memanfaatkan objek agraria. Hubungan ini menggambarkan hubungan yang terjadi antara manusia dengan manusia. Hubungan yang terjadi antara pihak-pihak yang berkepentingan atas sumber agraria ini bersifat dua arah. Hal yang mendasari timbulnya hubungan ini adalah hak yang dimiliki tiap subjek agraria atas pengelolaan sumber agraria. Pola hubungan tersebut dapat terjadi antara subjek agraria dan intra subjek agraria. Hubungan antar subjek agraria tercemin dari hubungan antara pemerintah dengan komunitas, pemerintah dengan swasta dan komunitas dengan swasta. Sedangkan hubungan intra subjek agraria digambarkan lewat hubungan antara kelompok komunitas, contohnya adalah hubungan antara individu dengan keluarga; hubungan antar kelompok pemerintah yang tercermin antara pemerintah pusat dengan daerah; dan antar swasta yaitu antara perusahaan nasional dan multinasional. Hubungan teknis terjadi antara masing-masing subjek agraria dengan objek agraria yang diwujudkan dalam hubungan kerja yang berupa pengelolaan dan penguasaan terhadap sumber agraria. Pola hubungan ini mencerminkan hubungan antara manusia dengan sumber agraria. Hubungan teknis bersifat searah dan menunjukkan cara kerja subjek dalam mengelola sumber-sumber agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Subjek agraria akan memanfaatkan sumber agraria sesuai dengan kebutuhannya, karenanya cara-cara yang digunakan dalam mengelola sumberdaya agraria berbeda-beda sesuai dengan kepentingan. Dua cara pengelolaan yang digunakan subjek agraria adalah dengan (1) konservatif, yang memperhatikan kelestarian sumberdaya dan (2) eksploitatif yang akan berdampak
19
pada degradasi lingkungan hidup yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat sekitar. Perbedaan pola penguasaan antar subjek agraria (komunitas, pemerintah dan pihak swasta) direpresentasikan dengan suatu hubungan kelas-kelas sosial seperti hubungan antara pemilik dengan pemilik, pemilik dengan penyewa dan lainnya. Sitorus (2004) menyebutkan bahwa hubungan antara kelas sosial dalam penguasaan sumber agraria mengandung dimensi sosiologis, antropologis, ekonomi politik, budaya yang membentuk suatu tatanan sosial yang disebut struktur sosial. Struktur agraria menunjukkan cara produksi dari subjek-subjek agraria yang juga sangat ditentukan oleh formasi sosial yang ada dalam masyarakat. Terdapat lima tipe struktur agraria yang menunjukkan cara produksi baik yang eksis maupun dominan diantaranya ( Jacoby, 1971; Wiradi, 2000 dalam): 1. Tipe Naturalisme Komunitas lokal seperti komunitas adat menguasai sumber agraria secara kolektif, atau dimiliki secara bersama-sama. 2. Tipe Feodalisme Sumber agraria dikuasai oleh tuan tanah yang biasanya merupakan patronpolitik. 3. Tipe Kapitalisme Sumber agraria dikuasai oleh perusahaan-perusahaan pemilik modal (nonpenggarap) atau perusahaan kapitalis. 4. Tipe Sosialisme Sumber agraria dikuasai oleh negara atas nama kelompok pekerja.
20
5. Tipe Populisme/ Neo populisme Sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumah tangga pengguna. Dalam suatu masyarakat ditemukan setidaknya dua atau tiga jenis tipe penguasaan agraria dan tidak ditemukan secara mutlak hanya satu tipologi saja. Kelima tipe tersebut menunjukkan struktur agraria dalam penguasaan sumber agraria dimana satu tipe akan lebih dominan dalam masyarakat dibanding tipe lainnya. Misalkan dalam tipe kapitalis, hubungan yang akan terbentuk adalah hubungan majikan-buruh, sedangkan untuk sosialis akan akan tercipta hubungan ketua-anggota antara pemerintah dengan komunitas. Hubungan teknis dan sosio agraria yang tercipta dalam pola penguasaan agraria dapat digambarkan sebagai hubungan antara subjek dengan pusatnya yaitu objek agraria, yang dapat ditunjukkan oleh Gambar 1. Gambar 1. Bagan Struktur Agraria
Keterangan:
→ ↔
: Hubungan teknis agraria : Hubungan sosio agraria
21
2.1.8.
Pola Penguasaan dan Kepemilikan Lahan Menurut Wiradi (1984), Kata “pemilikan” menunjuk kepada penguasaan
formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Lahan yang tergolong kedalam lahan milik mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara sah yang mengikat lahan tersebut dengan pemiliknya. Sebagaimana diungkapkan oleh Kano (1984), pola kepemilikan lahan dibagi menjadi tiga kategori yakni: milik perorangan turun menurun9, tanah komunal dan tanah bengkok. Adapun milik perorangan dapat diperoleh melalui proses jual beli dan pemindahtanganan dengan cara waris dan hibah. Adapun penguasaan lahan berkenaan dengan sejumlah lahan yang digarap dan dimanfaatkan yang menurut Wiradi (1984) meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Dengan demikian pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena ada berbagai jalan untuk menguasai tanah yaitu melalui sewa, sakap, gadai dan sebagainya. Selanjutnya, laporan Tjondronegoro (1869) menerangkan tentang bagi hasil yang terjadi di atas tanah sendiri yang disewakan, dimana penyewa bertindak sebagi pemberi tanah garapan, sedangkan pihak yang menyewakan tanah, yaitu pemiliknya, bertindak sebagai penyakap. Adapun bentuk-bentuk bagi hasil dan sewa menyewa tanah seperti studi yang dilakukan oleh Biro Penelitian Umum RI di pedesaan Jawa Barat (Kroef, 1896) meliputi:
9
Milik perorangan turun menurun adalah suatu bentuk penguasaan tanah dimana seseorang menduduki
sebidang tanah secara kekal, dapat menyerahkannya kepada ahli warisnya beik melalui pemindahtangannan hak penguasaan tersebut sebelum ia meninggal, atas kemauannya atau pemindahtanganan tersebut pada saat meninggalnya.
22
1. Mertelu, Pemilik tanah menanggung biaya benih (sampai pada saat penghapusan sistem ini, juga membayar pajak-pajak tanah) dan memungut 2/3 hasil panen, sisanya merupakan hak penyewa atau penyakap. 2. Merapat, Persyaratannya sama dengan di atas, kecuali bahwa pemilik tanah mendapat ¾ bagian hasil panen dan bagian untuk penyakap. 3. Nyeblok/Ngepak: Dalam hal ini penggarap melakukan semua pekerjaan, dari membajak, menyiang sampai menanam. Kemudian pemilik tanah mengambil alih pekerjaan (mengatur pengairan dan panen). Penggarap menerima 1/5 hasil panen. 4. Derep:Penggarap/buruh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta membantu pekerjaan lain sampai panen tiba. Bagian buruh adalah 1/5 padi bulir, tetapi bilamana hasilnya jelek bagiannya dapat berkurang. 5. Gotong royong: Suatu kegiatan yang biasanya mengikutsertakan anggota keluarga saja. Penggarap mendapat bagian yang telah ditentukan sebelumnya dan sesuai dengan kebiasaan. Pemilik tanah yang luas biasanya tidak selalu menggarap tanahnya sendiri, sebaliknya, pemilik tanah yang sempit dapat pula menggarap tanah orang lain melalui sewa atau sakap, disamping menggarap tanahnya sendiri. Dengan demikian, penduduk pedesaan tidak hanya menggarap tanah milik, namun juga menggarap lahan orang lain, sehingga menurut pola penguasaannya dapat dikelompokkan menjadi: 1. Pemilik Penggarap murni, yakni petani yang hanya menggarap tanahnya sendiri.
23
2. Penyewa dan penyakap murni, yakni mereka yang tidak memiliki tanah tapi mempunyai tanah garapan melalui sewa dan /atau bagi hasil. 3. Pemilik penyewaan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang disamping menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah orang lain 4. Pemilik bukan penggarap 5. Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang tidak memiliki tanah dan tidak memilik tanah garapan. Sebagian dari mereka adalah buruh tani dan hanya sedikit yang memang tidak bekerja di bidang pertanian. 2.2.
Kerangka Pemikiran Penelitian mengenai Relasi Gender dalam Pemilikan dan Penguasaan
Sumberdaya Agraria, kasus pada rumahtangga petani Desa Cipeuteuy ini didasarkan pada hasil sintesis dari beragam konsep, pendekatan dan teori khususnya mengenai gender dan agraria yang dirumuskan dalam kerangka pemikiran seperti yang tertera pada Gambar 2. Adapun lingkup sumberdaya agraria dalam studi ini mencakup jenis-jenis lahan, meliputi rumah/ pemukiman, sawah, pekarangan, tanah darat, lahan kering atau tegalan, kolam, hutan milik individu (penduduk asli desa/pendatang), komunal, desa, swasta dan atau subjek agraria lainnya, serta taman nasional. Relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria, dalam studi ini dianggap sebagai variabel-variabel tidak bebas (dependent variable).
Keluarga/rumahtangga
petani
merupakan
unit
terkecil
dalam
masyarakat hukum adat pada tingkat sistem kekerabatan, komunitas dan desa (Soekanto, 1979; Soekanto dan Taneko, 1981). Mengacu pada konsep akses dan kontrol dari Hagiss, dkk. dan Agarwal serta hasil empiris dari studi Mugniesyah
24
dan Mizuno (2007) pada masyarakat petani lahan kering di Cianjur, relasi gender dalam
pemilikan
dan
penguasaan
sumberdaya
agraria
pada
tingkat
keluarga/rumahtangga petani/buruh tani dalam studi ini akan ditelaah melalui indikator-indikator akses dan kontrol anggota rumahtangga petani laki –laki dan perempuan terhadap pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria, serta akses dan kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan dan manfaat pengelolaan sumberdaya agraria. Sehubungan dengan itu, relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria diukur oleh variabel-variabel :tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria (Y1), tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria (Y2), tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria (Y3), tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria (Y4), tingkat kontribusi waktu dalam pengelolaan sumberdaya agraria (Y5), tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya agraria (Y6), tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani, (Y7), dan tingkat kontrol anggota rumahtangga petani lakilaki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani (Y8). Selanjutnya, variabel tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria (Y1) dan tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria (Y2), diduga akan mempengaruhi pola kepemilikan sumberdaya agraria.
25
Variabel tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria (Y3) dan tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria (Y4) diduga akan mempengaruhi pola penguasaan sumberdaya agraria. Mengacu pada konsep peranan produktif menurut Mosher (1993) dan pengalaman empiris dari studi terdahulu, seperti laporan Pudjiwati Sajogyo (1991), Mugniesyah, dkk (2001), serta Mugniesyah dan Mizuno (2003), tingkat kontribusi anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan lahan dapat dilihat dari peranan anggota rumahtangga petani dalam mengelola sumberdaya agraria sebagai kegiatan produktif yang secara kualitatif diketahui melalui variabel pembagian kerja dalam mengelola sumberdaya agraria. Secara kuantitatif dilihat dengan tingkat kontribusi waktu anggota rumahtangga petani dalam mengelola sumberdaya agraria (sistem sawah, sistem kebun, hutan rakyat, taman nasional, lahan swasta dan/ negara, kolam, lahan pekarangan, dan lainnya). Adapun kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya agraria diukur melalui pola pengambilan keputusan dalam mengelola sumberdaya agraria yang disesuaikan dengan tahapan kegiatan pengelolaan sumberdaya agraria yang dimiliki atau dikuasai oleh anggota rumahtangga petani. Tingkat akses terhadap manfaat hasil pengelolaan sumberdaya agraria dapat diukur dari akses mengkonsumsi hasil produk, pengelolaan sumberdaya agraria dan akses terhadap hasil penjualan (pendapatan dari produk pengelolaan sumberdaya agraria), sedangkan tingkat kontrol terhadap hasil pengelolaan sumberdaya agraria diukur dengan pola pengambilan keputusan dalam
26
menentukan alokasi produk dan pola pengambilan keputusan dalam menentukan alokasi hasil penjualan produk. Mengingat relasi gender pada tingkat rumahtangga petani merupakan hasil konstruksi sosial budaya masyarakat, dimana rumahtangga petani menjadi anggotanya maka diduga relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria dianggap sebagai variabel tidak bebas (dependent variabel) yang dipengaruhi oleh sejumlah variabel yang ada pada masyarakat hukum adat petani. Pola kepemilikan dan penguasaan lahan dipengaruhi oleh sistem kekerabatan. Mengacu kepada Mugniesyah dan Mizuno (2007), dalam kenyataannya individu memperoleh akses dan kontrol dari sistem kekerabatan dengan diakuinya penguasaan dan kepemilikan atas lahan. Sistem kekerabatan yang diduga mempengaruhi tingkat akses dan kontrol anggota rumahtangga petani atau buruh tani laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria terdiri dari sistem
nilai
yang
mengakui
status
laki-laki
dan
perempuan
dalam
rumahtangga/keluarga (X1) dan hukum adat yang mengatur kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria (X2). Hukum adat mempengaruhi kepemilikan dan penguasaan lahan oleh laki-laki dan perempuan lewat aturan dan tata cara pemberian warisan, hibah, pembelian dan sewa menyewa. Dalam hal akses dan kontrol terhadap sumberdaya agraria diluar milik, dimungkinkan adanya kelembagaan (sistem nilai dan norma) penguasaan sumberdaya agraria pada tingkat komunitas, masyarakat. Hal ini diduga mempengaruhi relasi gender pada pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria yang akan diukur melalui variabel derajat pengakuan tokoh masyarakat atas kepemilikan laki-laki dan perempuan (X3) dan variabel pencatatan kepemilikan
27
lahan dalam Letter C (X4), khusus ditingkat desa serta bukti SPPT iuran desa menurut individu pemiliknya (X5). Rumahtangga petani merupakan bagian dari sistem kekerabatan yang terdiri dari individu-individu laki-laki dan perempuan. Individu-individu tersebut merupakan suatu entitas yang unik, sehingga setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena rumahtangga terdiri dari individu, dimana menurut Grijns dkk. (1992) siklus hidup perempuan mempengaruhi status bekerja mereka, dengan ini maka karakteristik sumberdaya manusia juga ikut menentukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya agraria yaitu dari kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh individu (pendidikan, pengetahuan, dll). Karakteristik individu yang diduga menentukan akses dan kontrol anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria terdiri dari tingkat pendidikan (X6), jenis pekerjaan utama (X7), jenis pekerjaan sampingan (X8), dan status bekerja (X9). Karakteristik sumberdaya rumahtangga diduga juga mempengaruhi tingkat akses dan kontrol anggota rumahtangga petani atau buruh tani laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria melalui tingkat stratifikasi (X10), dan kepemilikan benda berharga (X11). Sumberdaya agraria memiliki banyak fungsi dan tidak hanya digunakan untuk bercocok tanam. Dengan sumberdaya yang beragam, maka kondisi sumberdaya (X12) agraria diduga mempengaruhi tingkat akses dan kontrol lakilaki dan perempuan atas sumberdaya agraria melalui proses pengolahan sumberdaya agraria.
28
Sistem kekerabatan X1 : Sistem nilai yang mengakui status laki-laki dan perempuan dalam keluarga X2 : Hukum adat yang mengatur kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria
Pengakuan Komunitas/ Desa X3 : Derajat pengakuan tokoh masyarakat terhadap kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria oleh lakilaki dan perempuan X4 : Pencatatan pemilikan lahan dalam letter C X5 : Bukti SPPT iuran desa menurut individu pemiliknya
Karakteristik sumberdaya Rumahtangga X10 : Kepemilikan benda berharga X11 : Tingkat stratifikasi
Relasi Gender dalam Pemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria Y1 : Tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria. Y2 : Tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria
Pola kepemilikan sumberdaya agraria
Y3 : Tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria. Y4 : Tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria.
Pola penguasaan sumberdaya agraria
Y5 : Tingkat kontribusi waktu dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Y6 : Tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya agraria Y7 : Tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani. Y8 : Tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan
Karakteristik Sumberdaya Manusia X6 X7 X8 X9
: Tingkat pendidikan : Jenis pekerjaan utama : Jenis pekerjaan sampingan : Status bekerja
Kondisi Sumberdaya Agraria X10 : Proses pengolahan Sumber daya Agraria
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Relasi Gender dalam Pemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria
29
2.3.
Definisi Operasional 1. Tingkat pendidikan, merupakan lamanya atau banyaknya pendidikan lakilaki dan perempuan dalam satu rumahtangga yang meliputi pendidikan formal, yakni yang ditempuh di bangku sekolah yang ditamatkan. 2. Jenis pekerjaan menunjuk pada pekerjaan yang dilakukan selama survei, terlepas dari industri atau status dalam pekerjaan yang dimiliki. Jenis pekerjaan diklasifikasikan menjadi: PNS/ABRI, pensiunan PNS/ABRI, petani milik, petani penggarap, buruh tani, pedagang, pemilik warung, buruh angkut dan petani pemilik dan penggarap, 3. Status pekerjaan berkenaan dengan status dalam mendirikan/ membuat usaha atau melakukan suatu pekerjaan yang diklasifikasikan dalam: Berusaha sendiri, berusaha dengan tenaga kerja keluarga, berusaha dengan tenaga kerja upahan, karyawan/ buruh, pekerja keluarga dan berusaha dengan tenaga kerja keluarga dan upahan. 4. Tingkat Akses atas kepemilikan lahan adalah peluang atau kesempatan anggota rumahtangga petani, laki-laki dan perempuan untuk memiliki sumberdaya agraria melalui pembelian, pewarisan dan hibah, yang dibedakan ke dalam milik suami, milik isteri, dan gono-gini. Tingkat akses dikatakan tinggi jika laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama terhadap lahan orang tua melalui hibah dan pewarisan serta keduanya mempunyai hak yang sama untuk membeli secara individu. 5. Tingkat kontrol atas kepemilikan sumberdaya agraria adalah partisipasi anggota rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan untuk mempertahankan sumberdaya agraria yang dimilikinya (pewarisan, hibah
30
orangtua dan yang dibelinya sendiri) untuk membeli dan menjual. Tingkat kontrol atas kepemilikan sumberdaya agraria dikatakan tinggi, jika pengambilan keputusan atas sumberdaya agraria sepenuhnya dilakukan oleh masing-masing individu yang memiliki. Dikatakan rendah jika yang mengambil keputusan adalah pasangannya, dan dikatakan setara jika pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama. 6. Tingkat Akses atas penguasaan lahan adalah peluang atau kesempatan anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan untuk menguasai sumberdaya agraria milik orang lain, pemerintah, swasta atau lainnya dengan sistem kontrak yang dibedakan ke dalam sistem sewa, gadai, bagi hasil, gadai akad dan atau lainnya sesuai temuan di lapangan. Tingkat akses atas penguasaan lahan dikatakan tinggi jika laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama untuk menguasai sumberdaya agraria milik orang lain, pemerintah, swasta atau lainnya dengan sistem kontrak. 7. Tingkat Kontrol atas penguasaan lahan adalah kekuasan yang dimiliki anggota rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan untuk menyewa, menyakap/bagi hasil, untuk gadai akad, menggarap lahan pemerintah. Tingkat kontrol atas penguasaan lahan dikatakan tinggi, jika sepenuhnya dilakukan oleh masing-masing individu yang menguasai, dan dikatakan rendah jika yang mengambil keputusan adalah individu pasangannya, dan dikatakan setara jika pengambilan keputusan dilakukan bersama-sama. 8. Tingkat Kontribusi Waktu dalam pengelolaan lahan adalah curahan waktu (jam kerja dan hari kerja) anggota rumahtangga petani, laki-laki dan
31
perempuan dalam pengelolaan usahatani mencakup proses produksi dan pasca panen, sesuai temuan di lapangan. 9. Tingkat Kontrol dalam pengelolaan lahan adalah kekuasan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani untuk mengambil keputusan dalam aktivitas pengelolaan lahan usahatani yang mencakup proses produksi dan pasca panen. Tingkat kontrol dalam pengelolaan lahan dikatakan tinggi jika dilakukan oleh suami dan istri setara, rendah jika suami atau istri saja, dan sedang jika suami dan istri tapi salah satu diantaranya dominan. 10. Tingkat Akses terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani adalah peluang yang diperoleh anggota rumahtangga petani untuk menikmati hasil produksi secara langsung dan hasil penjualan produksi untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dan rumahtangga. Diketahui dari ikut tidaknya individu mengonsumsi pangan dan menikmati hasil jumlah dalam nilai rupiah . 11. Tingkat Kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani adalah kekuasan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani untuk menikmati hasil produksi secara langsung dan hasil penjualan produksi untuk mengambil keputusan dalam pemanfaatan hasil produksi dan hasil penjualan produksi untuk kebutuhan pribadi maupun rumahtangga. 12. Pola pemilikan sumberdaya agraria adalah kombinasi dari beragam bentuk kepemilikan lahan pada rumahtangga petani, yang dibedakan ke dalam : kombinasi semua bentuk kepemilikan (kombinasi tiga bentuk milik: S-IG; kombinasi dua bentuk kepemilikan: S-I, S-G, I-G; dan salah satu bentuk kepemilikan saja S,I,G).
32
13. Derajat pengakuan tokoh masyarakat adalah bagaimanakah para tokoh masyarakat mengakui adanya kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria oleh individu laki-laki dan perempuan. Derajat pengakuan dikatakan tinggi jika tokoh masyarakat mengakui adanya kepemilikan sumberdaya agraria oleh laki-laki dan perempuan secara setara. Derajat pengakuan dikatakan rendah jika tokoh masyarakat hanya mengakui kepemilikan oleh laki-laki saja atau hanya perempuan saja. 14. Pencatatan kepemilikan letter C adalah pencatatan kepemilikan buktibukti bahwa anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan memiliki sumberdaya agraria melalui letter C. 15. Bukti SPPT adalah bukti kepemilikan sumberdaya agraria melalui pembayaran pajak yang dilakukan pemiliknya. 16. Proses pengolahan sumberdaya agraria adalah bagaimana sumberdaya agraria dikelola, yakni dengan cara dimanfaatkan sebagai lahan bercocok tanam (lahan kering, lahan basah), berternak (kolam, peternakan), lahan industri, dan lainnya sesuai dengan apa yang ditemukan di lapangan. 17. Pola penguasaan sumberdaya agraria adalah kombinasi dari beragam bentuk penguasaan lahan pada rumahtangga petani, dibedakan ke dalam: kombinasi semua bentuk penguasaan, kombinasi tiga bentuk kekuasaan, dua bentuk kekuasaan dan satu bentuk kekuasaan saja. 18. Kepemilikan benda berharga merupakan jumlah benda-benda berharga yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani yang menggambarkan karakteristik rumahtangga.
33
BAB III METODOLOGI 3.1.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif.
Metode penelitian yang digunakan berupa (a) full enumeration survey, yaitu mewawancarai seluruh rumahtangga yang ada dalam suatu dukuh/kampung, atau dalam desa yang bersangkutan sehingga data yang disajikan merupakan gambaran lengkap dari ’dukuh penelitian’ (Wiradi, 1984).; (b) Survei pada rumahtangga kasus yang dipilih sesuai dengan tingkat stratifikasi yang ditentukan dari jumlah lahan yang dikuasainya. Wawancara mendalam (indepth interview) maupun diskusi kelompok terarah (FGD) dilakukan untuk mengumpulkan data berkenaan sistem kekerabatan, khususnya aspek budaya dan adat masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai (values) gender baik pada tingkat keluarga maupun dalam masyarakat. Wawancara mendalam (indepth interview) juga dilakukan untuk mengetahui pengakuan desa atas kepemilikan lahan oleh laki-laki dan perempuan. Pengumpulan data yang dilakukan dengan full enumeration survey dan survei rumahtangga kasus menggunakan kuesioner terstruktur yang mencakup kuesioner-kuesioner profil rumahtangga, usahatani pendapatan rumahtangga dan akses kontrol anggota rumahtangga atas kepemilikan sumberdaya agraria, penguasaan sumberdaya agraria dan manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria. Adapun kuesioner profil rumahtangga, usahatani dan pendapatan rumahtangga diadopsi dari penelitian Riset Unggulan Terpadu (RUT), Mugniesyah dkk (2001-2003).
34
Data yang akan digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer mencakup semua data yang berkaitan dengan variabel bebas (independent variable) dan tidak bebas (dependent variable) yang tertera dalam bagan kerangka pemikiran. Data primer juga mencakup informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Full enumeration survey, sebagai salah satu alat untuk mengumpulkan data primer, dilakukan setelah melakukan seleksi dusun dan kampung. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran realita karakteristik rumahtangga pengelola sumberdaya agraria dari aspek demografi, kepemilikan dan penguasaan lahan, benda berharga lainnya yang berhubungan dengan pertanian, menyangkut akses terhadap beragam kelembagaan formal maupun informal serta hal-hal yang berhubungan dengan kondisi perumahan mereka. Kondisi sosial ekonomi ini penting untuk digali guna memperoleh gambaran bagaimanakah kondisi gender dalam rumahtangga petani Teknik diskusi kelompok terarah dan pertemuan kelompok menjadi bagian integral dalam mengenali berbagai hal yang berhubungan dengan praktekpraktek usahatani yang telah dikembangkan, serta menjadi alat untuk menggali sistem nilai serta derajat pengakuan tokoh masyarakat atas kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria oleh laki-laki dan perempuan. Data sekunder yang dikumpulkan mencakup data, dokumen-dokumen, hasil dokumentasi serta laporan-laporan penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Data sekunder mencakup semua data yang mendukung penelitian ini, baik data yang diperoleh dari pemerintah maupun dari kelembagaan setempat, baik lembaga pemerintahan dan NGO setempat
35
3.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan
Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purpossive) dengan pertimbangan bahwa sebagian dari wilayah Desa Cipeuteuy termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wilayah tersebut berada pada daerah dengan latar belakang budaya Sunda yang Bilateral dengan asumsi baik laki-laki dan perempuan mempunyai akses dan kontrol terhadap penguasaan dan kepemilikan lahan. Penelitian ini dilaksanakan pada tiga kampung di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yaitu Kampung Sukagalih, Cisalimar dan Pasir Masigit. Pada desa tersebut dipilih satu Dusun yang memiliki pola penguasaan lahan yang beragam, yakni Dusun Pandan Arum dan setelahnya dipilih 3 Kampung yang menjadi sampel penelitian. Adapun pemilihan Dusun dan Kampung dilakukan secara purpossive, selain sesuai dengan tujuan juga mencakup desa yang memiliki potensi pertanian yang berbeda. 3.3.
Penentuan Sampel dan Responden Populasi penelitian ini adalah masyarakat di Kampung Sukagalih,
Cisalimar dan Pasir Masigit yang berlokasi di Dusun Pandan Arum, Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat. Analisis yang digunakan mencakup individu dan rumahtangga. Unit analisis individu digunakan untuk memperoleh informasi, khususnya yang menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap dan tindakan dalam pengelolaan lahan. Unit analisis rumahtangga digunakan untuk menganalisis/mempelajari dinamika intra dan inter rumahtangga petani yang berkenaan dengan pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.
36
Adapun rumahtangga sampel pada penelitian ini adalah seluruh rumahtangga pertanian yang ada di tiga Kampung tersebut. Pemilihan rumahtangga sampel dilakukan secara acak terstratifikasi (stratified random sampling) berdasar stratifikasi penguasaan lahan (luas, sedang, sederhana dan Tunakisma/landless). Masing-masing pada tiga tingkatan stratum diambil secara purpossive sebanyak 10 rumahtangga. Responden terdiri dari anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan usia produktif. Selain responden, akan dipilih aparat desa, dan tokoh masyarakat baik laki-laki dan perempuan sebagai informan dalam penelitian ini. Dari hasil pencacahan lengkap (full enumeration survey) diketahui jumlah rumahtangga yakni berturut turut sebayak 30 rumahtangga di kampung Sukagalih, 39 rumahtangga di Cisalimar, dan 31 rumahtangga di Pasir Masigit. Lebih lanjut, dari hasil sensus rumahtangga tersebut diperoleh gambaran stratifikasi rumahtangga, seperti pada Gambar 1. yang dirumuskan dari FGD yang dilakukan pada tiga kampung, yakni sebagai berikut: 1. Stratum A, yang selanjutnya akan disebut dengan Stratum Atas adalah tingkat stratifikasi yang tergolong dalam rumahtangga petani berlahan luas dengan jumlah penguasaan lahan 5000 m2 - >20.000 m2. 2. Stratum B, yang selanjutnya disebut sebagai Stratum Menengah adalah tingkat stratifikasi yang tergolong dalam rumahtangga petani berlahan sedang dengan jumlah penguasaan lahan 2000 m2 – 5000 m2. 3. Stratum C, yang selanjutnya disebut sebagai Stratum Bawah adalah tingkat stratifikasi yang tergolong dalam rumahtangga petani berlahan sederhana dengan jumlah penguasaan lahan < 2000 m2.
37
4. Stratum D, yang selanjutnya disebut dengan Tunakisma adalah tingkat stratifikasi yang tergolong dalam rumahtangga petani tidak berlahan (landless), yakni para petani yang tidak mempunyai lahan milik maupun lahan garapan. Adapun komposisi responden yang di survei dari tiga kampung menurut tingkat stratifikasinya adalah sebagai berikut: 1. Kampung Sukagalih, dari 30 rumahtangga yang di survei terdistribusi ke dalam delapan rumahtangga (26.67 persen) stratum atas (A), delapan rumahtangga (26,67 persen) stratum menengah (B), sebelas rumahtangga (36,67 persen) stratum bawah (C), dan tiga rumahtangga (10,00 persen) Tunakisma pada stratum D. 2. Kampung Cisalimar, dari 39 rumahtangga yang di survei terdistribusi ke dalam sembilan rumahtangga (23.08 persen) stratum atas (A), tujuh rumahtangga (17,95 persen) stratum menengah (B), 20 rumahtangga (51,28 persen) stratum bawah (C), dan tiga rumahtangga (7,69 persen) Tunakisma pada stratum D. 3. Kampung Pasir Masigit, dari 31 rumahtangga yang di survei terdistribusi ke dalam tiga rumahtangga (9.68 persen) stratum atas (A), sembilan rumahtangga (29,03 persen) stratum menengah (B), sepuluh rumahtangga (32,26 persen) stratum bawah (C), dan sembilan rumahtangga (29,03 persen) Tunakisma pada stratum D. Setelah memperoleh gambaran stratifikasi rumahtangga, selanjutnya dilakukan pemilihan sampel rumahtangga untuk mendapat gambaran hubungan relasi gender dalam rumahtangga petani. Kegiatan survei ini berhubungan dengan
38
pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. Adapun jumlah sampel rumahtangga, berturut turut sebanyak 12 rumahtangga di kampung Sukagalih, 11 rumahtangga di Kampung Cisalimar dan 8 rumahtangga di Pasir Masigit. 3.4.
Pengolahan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan melalui full enumeration survey maupun survei
rumahtangga kasus diolah dengan menggunakan Micro-Exel dan program SPSS untuk kemudian dianalisis kedalam tabulasi frekuensi sesuai dengan penelitian ini dengan mengacu pada konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Data kualitatif yang diperoleh berupa transkrip wawancara, catatan lapangan, dokumentasi foto, dokumen pribadi, memo, dan catatan-catatan resmi lainnya dianalisis dengan mereduksi data, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data, sehingga sesuai dengan kebutuhan data untuk mendukung data-data kuantitiatif. Hasil analisis data kuantitatif dan kualitataif kemudian disinergiskan sehingga dapat saling melengkapi jawaban penelitian.
39
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1.
Kondisi Geografis Secara administratif, Desa Cipeuteuy termasuk ke dalam wilayah
Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat dan berbatasan dengan Desa Cihamerang, di sebelah Selatan, Desa Kabandungan, di sebelah Timur Desa Ciasmara Kabupaten Bogor di sebelah Utara dan Kabubaten Bogor di sebelah Barat.
Gambar 3. Peta Lokasi Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan , Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
40
Desa Cipeuteuy terletak 35 kilometer dari Kabupaten Sukabumi dan 1,5 kilometer dari Kota Kecamatan. Lokasinya yang cukup jauh dapat ditempuh dengan menggunakan colt atau bus jurusan Sukabumi–Bogor hingga terminal Parung Kuda. Setelahnya hanya colt khusus menuju Desa Cipeuteuy-lah yang akan mengantarkan hingga terminal Desa Cipeuteuy yang letaknya hanya 100 meter dari Balai Desa Cipeuteuy. Desa Cipeuteuy membentuk desa tersendiri setelah terpisah dari Desa Kabandungan yang mengalami pemekaran pada tahun 1980 menjadi Desa Kabandungan dan Desa Cipeuteuy yang terdiri dari 28 RT dan 4 RW. Desa Cipeuteuy melakukan pemekaran kembali pada tahun 2006 menjadi 5 RW dengan tujuh RT pada masing-masing RW. Adapun pembagian wilayah menurut penamaan secara lokal dikenal dengan wilayah Kampung dan Dusun, dimana wilayah kampung merupakan bagian dari dusun itu sendiri. Diketahui bahwa Desa Cipeuteuy terdiri dari 5 dusun dan 18 kampung, yakni Dusun Cipeuteuy 1 yang terdiri dari Kampung Arendah, Babakan dan Parigi 1. Adapun Dusun Cipeuteuy 2 yang hanya terdiri dari kampung Cipeuteuy, Dusun Cisarua terdiri dari Kampung Babakan dan Cisarua, Leuwiwaluh dengan Kampung Leuwiwaluh, Kampung Sawah, Kebon Genep, Gunung Leutik, Dramaga dan Cilodor serta Dusun Pandan Arum yang terdiri dari Kampung Pasir Majlis, Pasir Badak, Cisalimar, Pandan Arum, Pasir Masigit dan Sukagalih. Selanjutnya diketahui bahwa RT 1A, 1B, 2, 3, 4 masuk kedalam Kampung.Arendah, RT 5 dan RT 10B pada Kampung Babakan, RT 9 pada Parigi dan tujuh RT yakni 6A, 6B, 7A, 7B, 8A, 8B, 10A pada Kampung Cipeuteuy. Kemudian RT 11, 12, 13, 14, 15A, 15B
berada pada
Kampung Cisarua, RT 16, 17 pada Kampung Leuwiwaluh, dan RT 18, 19, 20, 21,
41
28, 22, 23, 24, 25, 26, 27 masing-masing berturut-turut berada pada Kampung Sawah, Kampung Kebon Genep, Kampung Gunung Leutik, Dramaga, Cilodor Pasir Majlis, Pasir Badak, Cisalimar 2, Pandan Arum, Pasir Masigit, dan Sukagalih. Bentang wilayah Desa Cipeuteuy berupa dataran tinggi berbukit dengan ketinggian 750-900 meter dibawah permukaan air laut (mdpl) dengan curah hujan rata-rata sebesar 2.600 mm3/tahun dan suhu rata-rata harian 360 Celcius. Terletak di sekitar kawasan hutan, Desa Cipeuteuy memiliki luas wilayah 3.746,5 hektar termasuk juga lahan berstatus terlantar seluas 32 hektar (0,85 persen) dengan pemanfaatan lahan yang dapat dilihat pada Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan lahan terbesar diperuntukkan pada Hutan Produksi yang juga difungsikan sebagai hutan lindung seluas 2.000 hektar (53,38 persen) yang diikuti oleh ladang/tegalan seluas 1.077 hektar (28,75 persen) dan sawah irigasi setengah teknis seluas 545 hektar (14,55 persen). Selanjutnya, seluas 115 hektar (3,07 persen) dimanfaatkan sebagai Hutan Konversi, sedangkan sisanya seluas lima hektar (0,13 persen) dari total luas wilayah desa dimanfaatkan sebagai pemukiman dan seluas 2 hektar (0,05 persen) menjadi kas desa. Meskipun tidak tercantum dalam tabel pemanfaatan lahan, namun total luasan tersebut sudah termasuk perkebunan seluas 616 hektar atau 16,44 persen dari luas total yang terbagi menjadi perkebunan rakyat seluas 30 hektar (0,80 persen) dan perkebunan swasta sebanyak 586 hektar (15,64 persen). Selain itu pemanfaatan lainnya adalah berupa tanah bengkok, bangunan umum dan jalan yang secara berturut-turut memiliki luas lima hektar (0,13 persen), 1,5 hektar (0,04 persen) dan 0,08 persen (tiga hektar). Meskipun tidak tertera di dalam Data
42
Monografi Desa, namun menurut hasil wawancara, 583 hektar lahan yang berada di Desa Cipeuteuy merupakan lahan ber-status quo yang sebelumnya merupakan perkebunan cengkeh PT. Intan Hepta, milik Toyib Hadiwijaya yang dibuka pada tahun 1971 dan telah habis masa HGU-nya pada tahun 2002. Sebelum masa HGU PT. Intan Hepta habis, pada tahun 1996 masyarakat telah terlebih dahulu menggarap lahan tersebut. Tabel 1.
Luas Wilayah Desa Cipeuteuy Menurut Penggunaannya Tahun 2004 (dalam hektar)
Penggunaan Lahan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Ladang/Tegalan Sawah Irigasi Setengah Teknis Pemukiman Lapangan Kas Desa Total
Luas 2.115 1.077 545 5 3 2 3.747
Persen 56,45 28,75 14,55 0,13 0,07 0,05 100,00
Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2006
Sebagian besar wilayah Desa Cipeuteuy adalah Hutan eks Perhutani. Hutan Produksi (2000 hektar) dan Hutan Konvesi (115 hektar) yang merupakan bagian dari wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang beririsan langsung dengan Desa Cipeuteuy seluas 2115 hektar atau 56,42 persen dari total luas wilayah Desa Cipeuteuy, sedangkan seluas 10 hektar dari Hutan tersebut atau 0,26 persen dari total luas desa merupakan Hutan yang pengusahaannya dimiliki oleh rakyat. Dengan demikian lebih dari setengah wilayah Desa Cipeuteuy merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kawasan ini merupakan perluasan dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak pada tahun 2006 yang sebagian besar kondisinya berupa garapan tumpang sari eks Perhutani.
43
Meskipun telah ada penetapan zona lindung dan zona pemanfaatan, namun demikian selama ini tidak ada nota kesepakatan yang jelas mengenai batas Desa dengan Taman Nasional, sehingga belum ada batasan wilayah yang jelas antara wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dengan Desa Cipeuteuy. Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak pada awalnya merupakan wilayah Perhutani yang dialihkan berdasarkan Surat Keputusan No 175 Tahun 2003 yang berisi penetapan kawasan Perhutani sekitar 73.000 hektar sepanjang Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak untuk dialihkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wacana pengalih-kelolaan hutan tersebut sesungguhnya sudah dimulai dari tahun 2003, namun baru terealisasikan pada tahun 2006. Alasan pengalihan tersebut, salah satunya adalah untuk menyelamatkan hutan yang ketika dikelola oleh Perhutani mengalami banyak kerusakan. Aparat desa mengungkapkan bahwa timbul kekhawatiran dari masyarakat ketika hutan dikelola oleh Perum Perhutani karena selama pengelolaan dilakukan oleh Perhutani, banyak pohon yang ditebang baik secara legal maupun ilegal tanpa dilakukan peremajaan atau penanaman kembali. Hal ini menyebabkan hutan perbatasan yang menghubungkan antara Gunung Halimun dan Gunung Salak menjadi gundul yang kemudian akan berakibat terputusnya jalur satwa endemik yang ada di kawasan tersebut. Satwa endemik seperti macan tutul yang ada di wilayah Salak akan mengalami kesulitan untuk melintas ke Halimun dikarenakan hutan tersebut telah gundul. Dengan demikian, tujuan lain diturunkannya Surat Keputusan tersebut adalah untuk menyelamatkan species endemik yang ada di Taman Nasional Gunung Halimun–Salak, seperti macan tutul.
44
Berdasarkan Tabel 1, luas sawah dan ladang merupakan jumlah pemanfaatan lahan terbesar kedua setelah hutan, yakni seluas 1.622 hektar, berarti 43,29 persen dari total wilayah desa merupakan lahan pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa, mayoritas penduduk Desa Cipeuteuy menggantungkan hidupnya pada pengelolaan sawah dan ladang. Menurut hasil wawancara dan observasi, masyarakat desa Cipeuteuy yang dengan intensif bertani adalah masyarakat Dusun Pandan Arum (RT 05) yang memiliki keragaman penguasaan lahan, dimana selain menggarap lahan milik, mereka pun menggarap lahan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan lahan status-quo eks HGU PT. Intan Hepta.
4.2.
Keadaan Umum Penduduk Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy pada tahun 2006 tercatat sebanyak
6.352 jiwa yang terdiri dari 3.236 jiwa (50,94 persen) laki-laki dan 3.116 jiwa (49,06 persen) perempuan. Jumlah tersebut berasal dari 1.608 Kepala Keluarga (KK), dengan rata-rata sebanyak 3-4 orang jumlah anggota keluarga pada tiap KK-nya. Adapun komposisi penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 2. Menurut jenis kelaminnya, jelas terlihat bahwa jumlah penduduk lakilaki lebih tinggi dari jumlah penduduk perempuan berturut-turut baik pada usia anak-anak, produktif, hingga usia lanjut. Data pada monografi Desa Cipeuteuy, menerangkan bahwa menurut desa, golongan penduduk usia produktif berkisar antara 15-55 tahun, sedangkan usia <15 tahun termasuk dalam usia muda dan >55 tahun merupakan usia Lansia.
45
Tabel 2.
Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006 Golongan Umur (tahun) 0-1 2 3-5 6 7-12 13-15 16-18 19-35 36-49 50-55 55+ Total (Persen) Total (Jumlah)
Laki-laki Perempuan 1.02 0,98 1,18 1,15 4,80 4,63 1,43 1,37 5,78 5,56 3,15 3,01 3,09 2,96 9,90 9,60 12,19 11,73 4,80 4,61 3,61 3,46 50,94 49,06 3.236 3.116
Total 2,00 2,33 9,43 2,80 11,34 6,16 6,05 19,51 23,91 9,41 7,07 100,00 6.352
Sumber: Data Monografi Desa 2006
Berdasarkan data jumlah angkatan kerja pada monografi desa, yang selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 3, jumlah penduduk angkatan kerja tercatat sebanyak 3.880 jiwa atau 61,08 persen dari jumlah penduduk seluruhnya yaitu 6.352 jiwa sedangkan sisanya sebanyak 2.472 jiwa (38,91 persen) merupakan anak-anak dan penduduk bukan usia kerja. Dengan demikian, jumlah penduduk yang berada dalam usia produktif (15-55 tahun) lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk di usia anak-anak, dan usia lanjut. Menurut data potensi desa, penduduk yang termasuk ke dalam usia kerja berkisar dari umur 15 hingga 55 tahun, meskipun di lapangan ditemukan penduduk yang menurut desa masuk dalam usia lanjut, namun masih dapat melakukan kegiatan usahatani.
46
Tabel 3.
Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja Tahun 2006.
Tenaga Kerja Usia 15-55 yang bekerja penuh Usia 15-55 yang menjadi ibu rumahtangga Usia 15-55 yang bekerja tidak tentu Usia 15-55 yang masih sekolah Jumlah angkatan kerja (15-55)
Jumlah 1.863 1.548 305 164 3.880
Persen 48,02 39,90 7,86 4,23 100,00
Sumber: Data Monografi Desa 2006
Pada Tabel 3 dikemukakan bahwa dari total jumlah angkatan kerja, penduduk usia kerja (15-55) yang bekerja penuh mempunyai proporsi yang paling besar dibandingkan kondisi angkatan kerja lainnya, yakni sebanyak 48,02 persen dari jumlah total angkatan kerja, atau 29,32 persen dari total jumlah penduduk. Selanjutnya, sebanyak 305 jiwa atau 7,86 persen dari total angkatan kerja merupakan penduduk usia kerja yang bekerja tidak tentu sedangkan dari total angkatan kerja, 4,23 persen diantaranya masih bersekolah. Data angkatan kerja juga mencantumkan bahwa jumlah angkatan kerja yang menjadi Ibu Rumahtangga memiliki persentase sebanyak 39,90 persen dari total angkatan kerja. Data mengenai angkatan kerja tidak teragregasi menurut jenis kelamin, sehingga sulit untuk membandingkan kondisi pekerjaan menurut jenis kelamin. Namun demikian, menurut penuturan salah seorang aparat desa jumlah penduduk yang bekerja penuh dan tidak tentu belum termasuk jumlah ibu rumahtangga yang menjadi tenaga kerja keluarga. Lebih lanjut jumlah penduduk desa menurut jenis pekerjan dikemukakan pada Tabel 4. Tabel yang tersedia pada potensi desa tidak teragregasi menurut jenis kelamin, dengan demikian data mengenai jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan hanya dapat dilihat secara umum. Total jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan sama dengan jumlah penduduk angkatan kerja yang bekerja penuh
47
yakni sebanyak 1.863 jiwa. Hal ini berarti jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak tentu dan menjadi ibu rumahtangga tidak termasuk kedalam penduduk usia produktif yang memiliki pekerjaan.
Tabel 4.
Jumlah Penduduk Desa Cipeuteuy Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2006. Jenis Pekerjaan
Petani Buruh Tani Pedagang/Penguasaha/Wiraswasta Tukang Batu Supir Karyawan Swasta Tukang Kayu PNS Konstraktor Penjahit Montir Total
Jumlah 1.192 425 80 60 41 30 20 6 4 3 2 1.863
Persen 63,98 22,81 4,29 3,22 2,20 1,61 1,07 0,32 0,21 0,16 0,11 100,00
Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2006
Pada Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa sebanyak 25,45 persen dari total penduduk Desa Cipeuteuy mempunyai pekerjaan tetap pada bidang usahatani, yakni petani dan buruh tani, yakni sebanyak 63,98 persen atau lebih dari setengah total jumah penduduk menurut jenis pekerjaan bekerja sebagai petani, yang disusul oleh buruh tani sebesar 22,81 persen. Jika dibandingkan dengan data pemanfaatan lahan, maka dapat disimpulkan bahwa belum ada distribusi lahan yang cukup merata, mengingat sebagian besar lahan di Desa Cipeuteuy dimanfaatkan untuk hutan produksi (2.000 hektar), tegalan/ladang (1.077 hektar) dan sawah (545 hektar), sedangkan data penduduk menurut pekerjaan menyatakan bahwa pekerjaan yang paling banyak setelah petani adalah menjadi buruh tani
48
(425 jiwa), dengan demikian masih banyak penduduk yang tidak memiliki atau menguasai lahan sehingga mereka harus menjadi buruh tani dan menggarap lahan orang lain tanpa dapat menguasai lahan. Adapun pekerjaan lainnya adalah pedagang/pengusaha/wiraswasta yang berjumlah 80 jiwa (4,29 persen) termasuk tengkulak besar, kecil dan pedagang makanan menetap hingga keliling. Hampir seluruh petani Desa Cipeuteuy menjual hasil pertaniannya kepada para tengkulak. Para tengkulak mempunyai peranan yang cukup besar untuk petani, terutama dalam pemasaran dan distribusi hasil pertanian. Para tengkulak akan berkeliling Desa untuk mengambil hasil pertanian setiap periode yang telah disepakati bersama para petani. Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada para petani dan tengkulak, penetapan harga yang dilakukan oleh tengkulak cukup transparan. Hal ini terjadi setelah munculnya tengkulak-tengkulak kecil yang diasumsikan dapat merugikan tengkulak besar, karena penetapan harga yang lebih murah dan lebih transparan kepada petani. Hingga saat ini, para tengkulak menetapkan harga yang lebih relevan dan mulai terbuka kepada para petani mengenai perputaran dan pembayaran uang agar tidak dirugikan oleh keberadaan tengkulak kecil. Selanjutnya karyawan swasta sejumlah 30 jiwa (1,61 persen) merupakan karyawan yang bekerja di dalam desa maupun pekerja migran yang bekerja di Kota seperti Jakarta, Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Jenis pekerjaan di bidang jasa antara lain adalah penjahit, sebanyak tiga orang (0,16 persen), sopir (41 orang atau 2,20 persen), dan montir yang jumlahnya hanya 2 orang (0,11 persen). Sisanya adalah PNS (6 orang atau 0,32 persen), Kontraktor (4 orang atau 0,21 persen) dan Pertukangan, yang meliputi tukang kayu sebanyak 20 orang (1,07 persen) dan
49
tukang batu dengan jumlah 60 orang (3,22 persen). Meskipun tidak tertera dalam monografi desa, namun dari hasil observasi, beberapa penduduk mengembangkan usaha di bidang peternakan. Hingga saat ini tidak ada peternak yang mengusahakannya secara profesional, dan hanya merupakan kepemilikan individu yang dikonsumsi untuk kepentingan pribadi saja. Sehubungan dengan distribusi kepemilikan lahan, pada Tabel 5 disajikan mengenai jumlah penduduk berdasarkan kepemilikan lahan. Jumlah yang tertera tersebut merupakan data kepemilikan lahan atas individu. Data kepemilikan lahan tersebut tidak teragregasi menurut jenis kelamin, sehingga tidak dapat melihat sebaran kepemilikan lahan menurut jenis kelamin.
Tabel 5.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan Lahan Tahun 2006.
Kepemilikan Lahan Tidak memiliki Lahan < 0.1 Ha 0.1-0.2 0.21-0.3 0.31-0.4 0.41-0.5 0.51-0.6 0.61-0.7 0.71-0.8 0.81-0.9 0.91-1.0 >1.0 Rumahtangga Pemilik Lahan
Jumlah (Rumahtangga) 163 212 120 136 96 54 204 66 92 47 53 98 1.178
Persen ( persen) 10,14 13,18 7,46 8,46 5,97 3,36 12,69 4,10 5,72 2,92 3,30 6,09 73,26
Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2006
Selanjutnya diketahui bahwa persentase jumlah penduduk yang memiliki lahan lebih tinggi dari penduduk yang tidak memiliki lahan. Penduduk Desa
50
Cipeuteuy dengan persentase sebanyak 13,18 persen dari total penduduk memiliki lahan seluas lebih dari satu hektar, dimana jumlah tersebut merupakan persentase tertinggi dibanding rumahtangga lainnya. Dari data tersebut diketahui bahwa distribusi lahan di Desa Cipeuteuy masih kurang merata. Berbeda dengan Tabel 5 yang menyajikan kepemilikan individu atas.lahan, data yang disajikan pada Tabel 6 merupakan data mengenai kepemilikan rumahtangga petani atas lahan. Sebanyak 74,12 persen dari total rumahtangga yang ada di Desa Cipeuteuy adalah rumahtangga petani yang sebanyak 63,43 persen dari total rumahtangga adalah rumahtangga petani yang memiliki lahan pertanian dan sisanya adalah rumahtangga petani yang tidak berlahan/tunakisma. Dari data tersebut diperoleh 85,57 persen jumlah rumahtangga petani yang memiliki lahan pertanian. Didalamnya termasuk 68 (5,7 persen) rumahtangga petani yang memiliki kurang dari 0,5 hektar, 257 rumahtangga petani yang memiliki 0,5 hektar – 1,0 hektar lahan dan rumahtangga petani yang memiliki lebih dari 1,0 hektar yaitu sebanyak 154 (12,92 persen) rumahtangga petani.
Tabel 6.
Jumlah Rumahtangga Pertanian Menurut Jumlah Kepemilikan Lahan Tahun 2006.
Kepemilikan Lahan Rumahtangga Petani Rumahtangga yang Memiliki Lahan Pertanian Rumahtangga yang Memiliki 0,5 – 1,0 Ha Rumahtangga Petani yang Tidak memiliki Lahan Rumahtangga yang Memiliki lebih dari 1,0 Ha Rumahtangga yang Memiliki kurang dari 0,5 Ha Total Rumahtangga Petani Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2006
Jumlah Persen ( %) (RTP) 1.020 85,57 257 21,56 163 13,67 154 12,92 68 5,70 1.192 100,00
51
Para petani yang memiliki/menguasai lahan sawah merupakan petani yang subsisten, karena luas sawah yang dimiliki hanya dapat memenuhi kebutuhan pokok pangan keluarga. Tidak jarang pada beberapa kasus, lahan sawah akhirnya mengering atau bahkan sengaja dikeringkan dan di buat ladang karena kesulitan air untuk mengairi sawah. Alasan yang memotivasi penduduk untuk merubah sawah menjadi kebun dan mulai menanam tanaman palawija adalah besarnya keuntungan yang diperoleh dari lahan kebun, mengingat hasil dari pengelolaan sawah tidak dapat dikomersilkan dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan rumahtangga. Seiring dengan masuknya teknik budidaya pengelolaan yang baru, maka sedikit demi sedikit petani menggunakan cara baru dan meninggalkan cara lama yang sesungguhnya lebih baik Tabel 7 selanjutnya akan menunjukkan jumlah penduduk desa menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Dalam dokumen potensi desa, tidak ditemukan data mengenai tingkat pendidikan yang teragregasi menurut jenis kelamin, sehingga tidak diperoleh gambaran mengenai perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap pendidikan. Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan penduduk Desa Cipeuteuy tergolong rendah. Mayoritas penduduk Desa Cipeuteuy sebanyak 3.689 jiwa (58,08 persen) hanya mengenyam pendidikan hingga SD/sederajat, hal ini diduga karena adanya kebijakan mengenai wajib belajar 9 tahun yang digalakkan pemerintah. Selanjutnya terdapat 64 jiwa atau 1,01 penduduk usia 7-45 tahun yang tidak pernah sekolah. Sedangkan jumlah penduduk yang menikmati pendidikan SLTP, SLTA, D2 dan S1 semakin sedikit, secara berturut turut yaitu sebanyak 478 jiwa (7,53 persen), 264 jiwa (4,16 persen), 6 jiwa (0,09 persen), 8 jiwa (0,13 persen). Sisanya adalah penduduk yang
52
belum bersekolah sebanyak 720 jiwa atau 11,34 persen dari total jumlah penduduk. Rendahnya partisipasi pendidikan tinggi ini diduga dikarenakan jarak dari Desa menuju sekolahan cukup jauh. Desa Cipeuteuy tidak memiliki sekolah SLTP dan SMU, sehingga anak usia sekolah lanjutan pertama harus menempuh jarak sejauh empat kilometer untuk bersekolah pada tingkat SLTP dan lima kilometer jauhnya untuk bersekolah di SMU. Tsanawiyah yang setingkat dengan SLTP berada tiga kilometer jauhnya dari Balai Desa Cipeuteuy, sedangkan akses untuk bersekolah di Perguruan Tinggi hanya dapat diperoleh di Kota Bogor, Sukabumi, Cianjur dan Jakarta.
Tabel 7.
Jumlah Anggota Rumahtangga Desa Cipeuteuy Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2006 Tingkat Pendidikan
Tamat SD Tidak tamat SD Belum sekolah SLTA SLTP Tidak pernah sekolah Diploma (D2) S1 Total (Persen) Total (Jumlah)
Persen 58,08 17,68 11,34 4,16 7,53 1,01 0,09 0,13 100,00 6.352
Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2006
4.3.
Kelembagaan Kelembagaan yang terdapat di Desa Cipeuteuy meliputi kelembagaan
formal dan informal yang beberapa diantaranya diprakarsai sendiri oleh penduduk Desa. Adapun lembaga formal yang terdapat di Desa Cipeuteuy antara lain Pemerintahan Desa, Posyandu, Keluarga Berencana (KB), POSYANDU, dan
53
lainnya. Meskipun sudah mengedepankan partisipasi dari masyarakat namun kelembagaan yang berkaitan dengan kepemerintahan desa masih ada campur tangan pemerintah dalam kepengurusan. Kelembagaan keamanan didukung dengan adanya 50 orang hansip dan pos kamling sejumlah 24 unit. Secara umum dalam kelembagaan tersebut dominasi laki-laki masih sangat kuat, karena tergolong dalam kategori lembaga politik menurut Mosher. Sedangkan lembaga yang cenderung kepanjangan dari pekerjaan reproduktif perempuan lebih di dominasi oleh perempuan, seperti halnya Keluarga Berencana (KB) dan POSYANDU. Kelembagaan desa juga meliputi jaring pengaman sosial dengan program pelayanan kartu sehat dan beras murah (raskin). Distribusi raskin mulai masuk ke Desa Cipeuteuy pada tahun 1997. Raskin didistribusikan masing-masing delapan karung pada tiap RT dengan pembagian 4-5 liter tiap KK. Munculnya kelembagaan ini diduga merupakan dampak dari terjadinya krisis ekonomi. Pendistribusian beras murah cenderung merata karena hampir seluruh penduduk yang termasuk dalam unit analisis penelitian ini memperoleh manfaat dari beras murah. Sedangkan pelaksanaan kartu sehat mengalami hambatan karena tidak juga terlaksananya perpanjangan kartu sehat. Pada lembaga jaring pengaman sosial ini, perempuan diduga lebih dominan dibanding laki-laki karena program ini didominasi oleh peran reproduktif. Mengingat sebagian luas wilayah Desa Cipeuteuy merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, maka kelembagaan Taman Nasional pun banyak dibentuk, diantaranya KOPEL (Komunitas Peduli Lingkungan), JAMASKOR (Jaringan Masyarakat Hutan Koridor), Taman Nasional dan Kader
54
Konservasi. Pemrakarsa lembaga-lembaga ini adalah lembaga atau institusi lain di luar Desa Cipeuteuy yang berkegiatan di wilayah Desa Cipeuteuy dan taman Nasional Gunung Halimun-Salak, seperti lembaga-lembaga penelitian, konservasi dan lainnya. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk berdasarkan adanya kebutuhan akan pemeliharaan dan pelestarian hutan dari masyarakat dan pihak-pihak yang berkegiatan di wilayah desa. Lembaga yang terbentuk mempunyai kontribusi yang besar dalam pelestarian hutan. Selain lembaga tersebut, terdapat kelembagaan pertanian yang meliputi kelompok tani dan koperasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor desa, terdapat 10 kelompok tani yang pernah dibentuk di Desa Cipeuteuy, namun menurut hasil wawancara dan observasi, hanya tiga kelompok tani yang masih aktif dan satu kelompok tani yang berkembang pesat. Kelompok tani yang terbentuk akan berjalan jika kelompok tersebut memiliki pemimpin (front person) dan insentif dari pihak luar. Ketika kelompok tersebut kehilangan figur pemimpin dan tidak dapat menciptakan kader yang baik, maka kelompok tersebut akan “mati”, seperti halnya yang pernah terjadi pada Kelompok Tani Arum Jaya, Tunas Sari di Dusun Cipeuteuy, dan Citra Tani di tingkat Desa Cipeuteuy. Kelompok Tani yang tergolong aktif meliputi Kekompok Tani Arum Bandung yang terletak di Dusun Leuwiwaluh, Kelompok Tani Arum Mekar di Dusun Cisalimar yang juga memprakarsai koperasi Arum Bangun dan Kelompok Tani Selaras di Kampung Sukagalih (RT 25/RW 05) yang hanya mencakup wilayah RT. Meskipun cakupannya hanya pada wilayah Kampung pada 1 RT, namun Kelompok Tani Sukagalih memiliki prestasi yang sangat baik dan mampu melakukan pengembangan kelompok dengan luar biasa hingga membuat
55
Sukagalih menjadi Kampung percontohan. Kelompok Tani Arum Mekar dulu pernah menjadi kelompok tani yang lebih besar daripada Kelompok Tani Selaras di Sukagalih pada saat ini. Kelompok tani ini akhirnya pecah, karena tidak dibangun dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Selain daripada itu, banyaknya intervensi dari NGO-NGO yang membawa misinya tersendiri membuat pola pikir masyarakat bervariasi yang pada akhirnya membuat masyarakat bingung akan program-program yang akan dilaksanakan. Hampir keseluruhan anggota Kelompok Tani Arum Bandung menggarap lahan status quo (Eks. Intan Hepta) dan telah bertahun-tahun memperjuangkan hak garapnya. Kelompok tani yang masih aktif di Desa Cipeuteuy ternyata sangat membantu anggota petani di dalamnya dalam proses produksi dan penjualan hasil pertanian. Kelompok Tani Selaras yang ada di Kampung Sukagalih, Dusun Pandan Arum ini sudah 10 tahun didirikan, namun peresmian kelompok tani ini baru
dilaksanakan
selama
dua
tahun.
Kelompok
Tani
Selaras
hanya
beranggotakan laki-laki, namun kelompok tani ini sudah memiliki rencana untuk membentuk kelompok tani khusus perempuan. Kang Hendy, merupakan tokoh masyarakat yang memajukan kelompok tani Selaras dan memotivasi para petani hingga mendapatkan Kalpataru dan mendapat perhatian dari Departemen Pertanian. Kelompok Tani ini sangat mengedepankan konsep swadaya dalam program-program yang diselenggarakan. Modal sosial yang sangat kuat juga menjadi salah satu penunjang keberhasilan Kelompok Tani Selaras. Saat ini kampung Sukagalih menjadi kampung percontohan dan mendapatkan perhatian dari pihak luar, sehingga konsentrasi kegiatan pertanian hingga wisata (camping ground) terpusat pada Kampung Sukagalih.
56
Koperasi Arum Mekar terbentuk pada tahun 2003 sebagai solusi atas kebutuhan dalam pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Micro hydro (PLTMH). Koperasi ini mencakup wilayah Pandan Arum yang terdiri dari tujuh buah kampung. Koperasi Arum Mekar memiliki fungsi simpan pinjam untuk para anggotanya dengan modal simpan pinjam anggota sebesar Rp12.542.000,-. Selain berfungsi sebagai simpan pinjam, koperasi Arum Mekar juga membiayai perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Micro hydro (PLTMH) lewat iuran bulanan yang dibayarkan oleh setiap orang yang menggunakan listrik dari PLTMH. Jumlah anggota koperasi Arum Mekar per 30 Desember 2005 adalah 247 orang dengan 107 orang anggota aktif dan 40 orang anggota tidak aktif. Simpanan pokok anggota Koperasi Arum Mekar sebesar Rp25.000,- yang diperoleh dari uang muka listrik. Simpanan wajib koperasi sebesar Rp2.000,-/bulan per anggota dengan pinjaman anggota yang tidak boleh lebih dari Rp500.000,-. Jasa simpan pinjam sukarela koperasi sebesar satu persen tiap bulan dan bunga tiga persen untuk tiap pinjaman anggota. Pada tahun 2005 pengurus telah menggulirkan pinjaman sebesar Rp 34.300.000,- dan piutang anggota sebesar Rp 13.906.000,-. Adapun
kelembagaan
informal
yang
terdapat
di
Desa
adalah
kelembagaan keagamaan (pengajian), keuangan (arisan) dan kelembagaan gotong royong. Pengajian yang dilaksanakan di Desa Cipeuteuy biasanya dilaksanakan di tiap RT dengan tokoh agama sebagai penggiatnya. Pada beberapa wilayah, pengajian yang dilaksanakan di setiap RT bergantung kepada pemuka agama daerah tersebut. Dalam kasus ini jika pemuka agama yang dimaksudkan pindah atau meninggal dunia, maka pengajian rutin yang biasanya diselenggarakan akan terhambat dan tidak dapat terselenggara sampai ada pengganti tokoh agama
57
tersebut. Di Desa Cipeuteuy juga terdapat satu kepercayaan yang dianut oleh beberapa penduduk, khususnya di daerah Kampung Cilodor yang sering dijuluki ASPEK10. Kelembagaan arisan hanya dapat ditemui di Dusun Cipeuteuy 1 (RW 01), Dusun Cipeuteuy 2 (RW 02), dan Dusun Cisarua (RW 03). Arisan yang diselenggarakan pada Dusun Cipeuteuy 1,2 dan Cisarua, merupakan arisan dalam bentuk uang yang dipergilirkan sesuai dengan undian dan tidak hanya diperuntukkan pada perempuan, tapi juga laki-laki. Pada tahun 2004, penduduk dusun Pandan Arum menyelenggarakan arisan yang lebih didominasi oleh lakilaki. Penduduk yang berpartisipasi dalam arisan ini membayar arisan tiap bulannya menggunakan padi. Arisan ini disebut Arisan Padi atau dalam bahasa lokalnya disebut arisan pare. Sudah hampir dua tahun arisan ini tidak lagi dijalankan. Padi hasil arisan yang terkumpul disimpan dalam suatu ruangan tempat penyimpanan yang hingga saat ini masih terjaga, namun sudah tidak difungsikan. Kelembagaan gotong royong (rempugan, babarengan, gorol) di Desa Cipeuteuy dilaksanakan di setiap RT dan Kampung. Gotong royong yang masih ada dewasa ini terutama berlangsung manakala ada kegiatan yang sifatnya temporer, seperti pembangunan masjid, pembangunan jalan, perbaikan jalan hingga membantu pembangunan rumah penduduk. Namun beberapa kampung memiliki jadwal gotong royong, yang umumnya dilaksanakan setiap hari jumat (Jumsih/jumat bersih) dengan kegiatan gotong royong yang meliputi pembuatan 10
ASPEK merupakan kepanjangan dari Anti Speaker. Penduduk yang termasuk ASPEK, mempercayai bahwa speaker dan segala bunyi-bunyian yang keluar dari benda elektronik dan tersiar kepada publik adalah sesuatu hal yang tidak baik. Masjid tempat ibadah penduduk yang mempercayai ASPEK tidak menggunakan speaker untuk menggaungkan Adzan dan lantunan ayatayat Al-Quran.
58
rumah, perbaikan jalan, pembuatan irigasi, perawatan irigasi, dan hal lain yang tergolong public facilities. Gotong royong dalam pertanian atau yang sering dijuluki dengan Liliuran masih terselenggara di Desa Cipeuteuy. Kampung Sukagalih merupakan kampung yang masih menyelenggarakan liliuran dengan cara menggarap lahan anggota kelompok bersama-sama secara bergiliran dalam satu kelompok. Dilaksanakannya liliuran ini bertujuan untuk menghemat biaya pengelolaan lahan pertanian yang dapat dikerjakan bersama-sama. Salah satu lembaga pemuda yang ada di Desa Cipeuteuy adalah Absolute dan GARDECI (Gabungan Remaja Desa Cipeuteuy). GARDECI merupakan Karang Taruna Desa Cipeuteuy yang terbentuk pada tahun 1990. Mayoritas anggota GARDECI berkegiatan di bidang olah raga dan kegiatan Masjid (IRMAIkatan Remaja Masjid). Sedangkan Absolute terbentuk tahun 2000, atas dasar persamaan persepsi pemuda Desa Kabandungan dan Desa Cipeuteuy tentang konservasi hutan, pembangunan desa, juga etika pemuda dalam kehidupan bermasyarkat. Pendiri Absolute berjumlah tujuh orang yang berbeda latar belakang pendidikan dan karakter. Anggota Absolute pada tahun 2000 berjumlah 23 orang yang terdiri dari pemuda pemudi Desa Kabandungan dan Cipeuteuy. Dalam perjalanannya, Absolute menjadi jembatan informasi antara masyarakat dengan para pihak yang berkegiatan di wilayah Taman Nasional dan Desa Cipeuteuy. Mereka seringkali membantu kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Pemerintah serta LSM-LSM yang berkegiatan di Desa Cipeuteuy sehingga menelurkan beberapa divisi program, diantaranya Ekowisata, Community Development, Litbang, dan Informasi publik.
59
Kelembagaan olah raga yang ada di Desa Cipeuteuy meliputi kelembagaan olah raga sepak bola, bulu tangkis, voli, sepak takrau, tenis meja dan pencak silat. Kelompok olah raga berjumlah 12 kelompok yang terdiri dari Radeci, Boystay, Ligen, PSTL (Persatuan Sepakbola Tanjakan Limus), Arendah, Asten (Asal Tendang), PERSIBA (Persatuan Sepakbola Babakan), Elang Muda, PILIP, Perancis (Peranakan Cisalimar), Garuda, Munding Laya yang seluruhnya dibawah naungan karang taruna desa/KONI (Komite Olah Raga Nasional Indonesia) 4.4.
Sarana dan Prasarana Desa Cipeuteuy mempunyai sarana dan prasarana yang menunjang
kegiatan masyarakat, baik formal maupun informal. Sarana yang mendukung kegiatan desa adalah Balai Desa/Kantor Desa dengan berbagai fasilitas di dalamnya meliputi masing-masing tiga unit komputer dan mesin tik, 10 unit meja, 46 unit kursi yang dapat disewakan atau dipinjamkan untuk kebutuhan desa dan warga, dan lemari arsip sebanyak dua unit. Selain itu, desa juga menyediakan sound system yang merupakan bantuan dari PT. Chevron Gunung Salak dan bantuan dari Balai Taman Nasional, berupa.sepeda motor yang digunakan untuk operasional desa. Desa Cipeuteuy memiliki satu buah Madrasah Ibtidaiyah setara Sekolah Dasar yang terletak di Dusun Cipeuteuy 1 dan empat buah Sekolah Dasar (SD), masing-masing terletak di Dusun Cipeuteuy 2, Cisarua, Leuwiwaluh dan Pandan Arum. Empat Sekolah Dasar tersebut dalam kondisi baik, salah satunya, yakni SD Cipeuteuy baru saja mendapat bantuan untuk perbaikan sekolah. Desa Cipeuteuy hanya memiliki satu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Dusun
60
Cipeuteuy 2 dan 1. Tsanawiyah yang sederajat dengan pendidikan tingkat SLTP di Dusun Leuwiwaluh. Selain itu, Desa Cipeuteuy juga memiliki tujuh buah Madrasah Diniyah yang juga merupakan sarana pendidikan formal. Kondisi ketujuh bangunan tersebut masih dapat dikatakan baik, namun masih memerlukan perbaikan pada beberapa tempat. Untuk pendidikan Informal, di Desa Cipeuteuy terdapat rental komputer serta perpusatakaan sederhana yang berisikan buku-buku hasil riset serta buku-buku sumbangan. Setiap kampung dan dusun memiliki masjid dan mushola yang secara keseluruhan berjumlah 10 buah masjid dan 19 buah mushola, dimana beberapa diantaranya telah mengalami perbaikan dengan bantuan dari pihak luar yang mempunyai lahan di Desa Cipeuteuy. Terdapat tiga buah masjid dan empat buah mushola di Cipeuteuy, masing-masing dalam kondisi yang baik. Dusun Cisarua memiliki dua buah masjid dan tujuh buah mushola, sebanyak satu buah masjid dan lima buah mushola di Dusun Leuwiwaluh dan empat buah masjid serta tiga buah mushola di dusun Pandan Arum. Sarana dan prasarana kesehatan yang terdapat di Desa Cipeuteuy antara lain meliputi enam buah posyandu, yang didukung oleh satu orang paramedis dan tiga orang dukun terlatih. Sedangkan untuk pengairan, Cipeuteuy memiliki dua unit saluran air bersih/perpipaan, 117 unit sumur gali yang dimanfaatkan oleh 117 KK, lima aliran sungai, diantaranya Citamiang, Cipanas dan Citarik yang dimanfaatkan oleh 431 jiwa. Selanjutnya masih ada penduduk yang menggunakan mata air, yakni sebanyak 560 KK pada 120 mata air, sedangkan PAM tersedia tiga unit dengan 500 KK yang memanfaatkannya. Sebagai sarana sanitasi, masyarakat Desa Cipeuteuy sebanyak 1.120 rumahtangga atau 69,7 persen dari total KK
61
memiliki WC dan sebanyak 280 rumahtangga yang buang air besar di sungai sedangkan jumlah MCK yang tersedia sebanyak 500 unit termasuk 20 unit yang mengalami kerusakan. Adapun data mengenai jumlah dan pemanfaatan sarana dan prasarana pengairan terdapat pada Tabel 8.
Tabel 8.
Jumlah Sarana pengairan dan Rumahtangga Penerima Manfaat Sarana Pengairan di Desa Cipeuteuy Tahun 2006
Sarana Pengairan
Jumlah (unit)
Mata Air Sumur Gali PAM Sungai Mata Air Perpipaan
120 177 3 5 120 4
Jumlah Penerima Manfaat (KK) 560 117 500 431 560 500
Sumber: Data Potensi Desa Cipeuteuy 2006
Saluran irigasi yang mengairi sawah penduduk Desa Cipeuteuy seluas 545 hektar terbagi menjadi saluran primer sepanjang 2,5 meter, saluran sekunder sepanjang 800 meter dan pintu pembagi air sebanyak 80 unit Adapun sepanjang 800 meter saluran primer, 200 meter saluran sekunder dan 20 unit pintu pembagi air dalam keadaan rusak. Adapun untuk menunjang kebutuhan masyarakat akan listrik, fasilitas yang disediakan Desa Cipeuteuy antara lain aliran listrik dari PLN, turbin kecil (keren) dan Pembangkit Listrik Tenaga Micro hydro (PLTMH). PLTMH ini di bangun sejak tahun 2004, tepatnya di Dusun Pandan Arum dan telah mensuplai listrik untuk lima kampung atau kurang lebih 500 KK yang ada di Dusun tersebut. Kondisi mesin Micro hydro masih dalam keadaan baik, dan hanya dua kali melakukan penggantian karet. Pemasangan PLTMH ini merupakan bantuan dari IBEKA dan dioperasikan mulai pukul empat sore hingga pukul tujuh pagi oleh
62
empat orang yang bertanggung jawab mengoperasikan dan memeliharanya. Dana pemeliharaan Micro hydro berasal dari koperasi yang dibayarkan tiap bulan. Selama ini pemakaian daya telah melampaui batas ketetapan. Tidak ada kesesuaian antara jumlah daya yang terdaftar di koperasi dengan pemakaian konsumen. Kapasitas turbin adalah 33.000 watt, jumlah yang terjual (data koperasi) adalah sebanyak 22.000 watt, pengeluaran jumlah watt di turbin tiap harinya adalah 30.000 s/d 33.000 watt. Dengan demikian, jumlah watt yang menjadi cadangan telah habis terpakai. Benda elektronik yang paling banyak mengambil daya salah satunya adalah penggunaan rice cooker dan setrika. Adapun fasilitas olah raga yang tersedia di desa ini adalah tiga lapangan sepak bola, berikut peralatan pertandingan bola, empat buah lapangan tenis meja, dan empat lapangan voli yang dikapasitasi oleh delapan tim sepak bola, empat tim tenis meja dan empat tim voli. Sarana komunikasi desa tersebut antara lain tersedianya jaringan telepon rumah, wartel dan radio lokal (TATALEPA). Jaringan telepon rumah hanya dapat menjangkau satu buah Dusun yang ada di desa tersebut dan hanya 20 orang yang mempunyai pesawat telepon. Sarana komunikasi didukung juga oleh adanya dua buah wartel dan keberadaan radio lokal yang di inisiasi oleh Absolute sebagai lembaga lokal pada tahun 2005. Selain itu, sebanyak 643 orang menikmati bentuk komunikasi visual pada televisi dengan total empat parabola di wilayah desa. Radio lokal diinisiasi pada tahun 2005 oleh lembaga Absolute untuk informasi publik dan sarana berbagi informasi antara masyarakat antar kampung. Radio ini dikelola oleh pemuda setempat dengan tujuan untuk mengembangan pola pikir pemuda tentang hidup
63
berorganisasi. Sejauh ini radio lokal yang ada belum dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber informasi masyarakat desa. Sarana jalan yang menghubungkan antara satu dusun ke dusun lainnya dalam kondisi kurang baik. Hanya beberapa wilayah dan jalan tertentu saja yang beraspal. Salah satunya karena jalan tersebut merupakan jalan yang baru dibuka untuk memenuhi kebutuhan TNGHS, sedangkan jalan dari Dusun Leuwiwaluh hingga Pandan Arum merupakan jalan bebatuan. Niatan seorang tokoh masyarakat untuk menjadikan desa ini menjadi desa Agropolitan dengan maksud agar jalan segera diaspal, tidak dapat terlaksana, karena kurangnya luas wilayah akibat lahan status quo sebagai salah satu persyaratan. Selain ojeg, terdapat angkutan umum (colt) dari Parung Kuda hingga Dusun Pandan Arum sebagai batas terjauh, dimana terminalnya terletak di Dusun Cipeuteuy. Angkutan pertama kali adalah Bus yang beroperasi tahun 1957. Disusul dengan oplet (1974) yang beroperasi hingga batas kantor desa, karena jalan belum dibuka. Tahun 1986 mulai masuk angkutan menuju Leuwiwaluh yang merupakan angkutannya satusatunya yang menempuh jarak jauh melewati kantor desa. Saat ini sudah ada kendaraan yang menjangkau hingga ke Nirmala, yang letaknya 11 kilometer dari balai Desa Cipeuteuy, diantaranya mobil (20 unit), truk (10 unit), kendaraan pribadi baik motor maupun mobil berjumlah 30 unit dan 50 buah ojeg yang ditunjang dengan adanya lima buah pangkalan ojeg, enam buah jembatan dan sebuah terminal. Cipeuteuy mempunyai tiga buah Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang terletak di Dusun Cisarua dan Pandan Arum. Tempat pemakaman umum hanya tersedia bagi penduduk yang tidak memiliki tanah pemakaman keluarga atau
64
tanah hak milik. Bagi orang-orang yang memiliki tanah hak milik, maka anggota keluarga yang meninggal akan dikuburkan di tanah hak milik, seperti di pekarangan dan kebun. Hal ini menjadi salah satu alasan, mengapa tanah-tanah di daerah Cipeuteuy tergolong murah, karena tiap lahan pekarangan rumah atau kebun terdapat kuburan anggota keluarga yang telah meninggal. Hal ini hanya berlaku pada daerah perbatasan antara Desa Cipeuteuy dengan Desa Kabandungan.
65
BAB V PROFIL RUMAH TANGGA PETANI Rumahtangga petani mempunyai heterogenitas dalam status sosial ekonomi mereka, terlebih dalam kepemilikan dan penguasaan lahan serta bendabenda berharga. Heterogenitas status sosial dalam rumahtangga diduga dapat mempengaruhi relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. Heterogenitas tersebut juga diperoleh dari hasil full enumeration survey yang dilakukan pada 100 rumahtangga di Desa Cipeuteuy meliputi tiga kampung. Hasil tersebut menggambarkan mengenai karakteristik individu dan rumahtangga yang mencakup struktur demografi, kepemilikan dan penguasaan lahan, ternak, benda-benda berharga, serta partisipasi anggota rumahtangga dalam beragam kelembagaan desa, keseluruhannya dianalisis secara terperinci sebagai berikut. 5.1.
Karakteristik Individu Berdasarkan full enumeration survey yang dilakukan di tiga kampung,
diperoleh 394 anggota rumahtangga (ART) dari 100 rumahtangga sampel, masing masing 113 anggota rumahtangga (ART) di Kampung Sukagalih, 154 anggota rumahtangga (ART) di Kampung Cisalimar dan 127 anggota rumahtangga (ART) pada Kampung Pasir Masigit. Hasil dari dari full enumeration survey ini memberikan gambaran mengenai jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, jenis dan status pekerjaan yang dapat mewakili karakterisktik individu pada masingmasing kampung.
66
5.1.1.
Jenis Kelamin Berdasarkan hasil full enumeration survey diketahui bahwa jumlah
anggota rumahtangga petani (ART) perempuan lebih tinggi dibandingkan anggota rumahtangga petani (ART) laki-laki yakni sebesar 51 persen dari total ART yang di survei. Komposisi jenis kelamin ART laki-laki dan perempuan di kampung Sukagalih berturut turut sebanyak 52,2 persen dan 47,8 persen, adapun di kampung Cisalimar sebayak 50,6 persen dan 49,4 persen sedangkan presentase ART perempuan di Pasir Masigit lebih besar dibandingkan ART laki-laki, yakni 44,1 persen ART laki-laki dan 55,9 persen ART perempuan. Jika dilihat dari stratumnya, masing-masing kampung memiliki keragaman pola komposisi jenis kelamin. Keberagaman tampak pada kampung Sukagalih dan Cisalimar. Pada kampung Sukagalih, persentase ART perempuan berada pada stratum yang cenderung setingkat lebih tinggi daripada laki-laki. Persentase ART perempuan lebih tinggi pada stratum atas dan pada stratum bawah, sedangkan ART laki-laki lebih tinggi pada stratum menengah dan tunakisma dan keduanya memiliki persentase yang sama pada stratum bawah. Lain halnya di Cisalimar, dimana persentase ART laki-laki cenderung lebih tinggi dari perempuan pada stratum yang satu tingkat tergolong lebih tinggi (A dan C). Adapun di Pasir Masigit, menunjukkan persentase ART perempuan tinggi pada seluruh stratum (A, B, C) 5.1.2.
Umur Penduduk Desa Cipeuteuy memiliki struktur umur yang tergolong muda,
hal ini ditunjukkan dengan tingkat komposisi penduduk usia muda yang lebih tinggi dari penduduk usia tua. Pada Tabel 9. dijelaskan bahwa persentase
67
penduduk terbesar adalah penduduk yang tergolong produktif (15-64 tahun)11, yakni sebesar 223 orang atau 56,60 persen dari total ART yang disurvei pada 3 kampung dengan persentase jumlah perempuan lebh besar 1,27 persen daripada persentase laki-laki sedangkan sebanyak 146 (37,1 persen) berusia < 15 tahun dan 25 (6,35 persen) adalah penduduk usia lanjut (>55 tahun). Berdasarkan komposisi umur yang berkaitan dengan jenis kelaminnya, diketahui bahwa ART perempuan memiliki struktur umur lebih muda dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun tidak terpaut jauh, namun jumlah ART perempuan dapat dikatakan sedikit lebih tinggi daripada ART laki-laki pada usia muda, yakni sebanyak 114 orang perempuan dan 109 orang laki-laki pada usia produktif (15-64 tahun) serta sebanyak 76 perempuan dan 70 laki-laki pada usia <15 tahun. Jumlah ART yang tergolong lansia, tinggi pada ART berjenis kelamin laki-laki dibandingkan ART berjenis kelamin perempuan yakni sebesar 14 ART laki-laki dan 11 ART perempuan. Pada Tabel 9 menurut stratumnya, penduduk pada stratum yang tinggi (stratum atas dan menengah) cenderung lebih muda jika dibandingkan dengan penduduk pada stratum bawah. Hal ini terlihat dari jumlah persentase penduduk yang berusia muda pada stratum atas lebih besar daripada penduduk pada stratum lainnya.Menurut jenis kelaminnya, persentase jumlah penduduk perempuan lebih tinggi daripada persentase jumlah penduduk laki-laki di usia < 15 tahun pada stratum atas, menengah dan bawah, sedangkan ART laki-laki perempuan memiliki persentase yang sama pada stratum D (tunakisma).
11
Menurut data statistic Indonesia, usia muda yang belum produktif adalah 0-14 tahun. Usia produktif 15-64 tahun, dan usia kurang produktif yakni 65 tahun keatas.
68
Tabel 9.
Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Golongan Umur Tahun 2007(dalam persen)
Golongan Umur < 15 Tahun 15-64 Tahun >64 Tahun Total (Persen) Total (Jumlah) < 15 Tahun 15-64 Tahun >64 Tahun Total (Persen) Total (Jumlah) < 15 Tahun 15-64 Tahun >64 Tahun Total (Persen) Total (Jumlah) < 15 Tahun 15-64 Tahun >64 Tahun Total (Persen) Total (Jumlah) < 15 Tahun 15-64 Tahun >64 Tahun Total (Persen) Total (Jumlah)
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Stratum Atas 15,19 29,11 5,06 49,37 39 Stratum Menengah 19,09 31,82 50,91 56 Stratum Bawah 17,79 25,15 4,29 47,24 77 Tunakisma 16,67 30,95 2,38 50,00 21 Total 17,51 28,43 3,05 48,98 193
Total
18,99 30,38 1,27 50,63 40
34,18 59,49 6,33 100,00 79
20,91 27,27 0,91 49,09 54
40,00 59,09 0,91 100,00 110
20,25 27,61 4,91 52,76 86
38,04 52,76 9,20 100,00 163
16,67 28,57 4,76 50,00 21
33,33 59,52 7,14 100,00 42
19,80 28,17 3,05 51,02 201
37,31 56,60 6,09 100,00 394
Sumber: Dikumpulkan oleh Penulis dari Survei Tahun 2007
Selanjutnya, Tabel 9 juga menunjukkan bahwa stratum atas dan bawah memiliki persentase ART perempuan usia produktif yang lebih tinggi dibanding laki-laki dan sebaliknya pada stratum menengah dan tunakisma. Khusus usia Lansia, ART perempuan pada stratum bawah dan tunakisma mempunyai
69
persentase lebih tinggi dibanding laki-laki yakni secara berturut-turut sebanyak 4,91 persen, 4,76 persen, sedangkan laki-laki lansia pada stratum atas memiliki persentase lebih banyak dan pada stratum menengah tidak ditemukan lansia yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini berkaitan dengan analisis ketergantungan individu yang diperoleh dengan cara membagi jumlah penduduk usia muda dan tua dibagi dengan jumlah penduduk berusia produktif. Berdasarkan analisis ketergantungan individu (dependency ratio) diperoleh perhitungan yang secara keseluruhan menyatakan bahwa
penduduk
Desa
Cipeuteuy
mempunyai
tingkat
ketergantungan
(dependency ratio) rendah (kurang dari 1,0) yang berarti bahwa jumlah penduduk usia kerja lebih banyak daripada jumlah ART yang tidak berusia kerja (muda dan lansia). Secara keseluruhan, penduduk Desa Cipeuteuy memiliki tingkat ketergantungan sebesar 0,77 dengan tingkat ketergantungan terendah pada kampung Cisalimar sebesar 0,83 dibandingkan kampung Sukagalih dan Pasir Masigit yang bertutut-turut mempunyai tingkat ketergantungan sebesar 0,85 dan 0,98. Khusus pada anggota rumahtangga petani yang tergolong usia lanjut, perempuan memiliki persentase yang lebih tinggi daripada laki-laki dengan urutan tertinggi adalah di kampung Sukagalih dan diikuti oleh kampung Cisalimar dan Pasir Masigit. Dilihat pada stratumnya dari tiga kampung diketahui bahwa jumlah anggota rumahtangga lanjut usia (Lansia) tertinggi ada pada stratum A dan C sedangkan B dan D mempunyai nilai yang rendah. Keberagaman ini menunjukan bahwa di Desa Cipeuteuy umur harapan hidup anggota rumahtangga tidak
70
berhubungan dengan status ekonominya, hal ini juga turut menjelaskan bahwa anggota rumahtangga pada semua stratum memperoleh akses dan hak yang sama terhadap kesehatan dan pangan yang menunjang kualitas hidup mereka. Kampung Sukagalih diketahui mempunyai balita terendah dengan persentase 2,54 persen dan proporsi jumlah laki-laki perempuan sebanyak 1,27 persen untuk masing-masing balita. Kampung Cisalimar dan Pasir Masigit mempunyai jumlah balita yang sama yakni 3,05 persen dengan masing-masing jumlah balita laki-laki 1.78 persen, 1,02 persen dan perempuan 1,27 persen dan 2,03 persen. Secara keseluruhan, jika dilihat dari stratumnya diketahui pada stratum tertinggi dan terendah (A dan D) mempunyai jumlah Balita terendah sebesar 1,02 pada masing-masing stratum, sedangkan stratum bawah mempunyai jumlah tertingi sebelum stratum menengah sebanyak 4,06 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata umur pasangan pada stratum bawah dimungkinkan lebih muda dan tidak ada perbedaan pola umur pernikahan pada tiap stratum. 5.1.3.
Tingkat Pendidikan Tingkat
pendidikan
anggota
rumahtangga
di
Desa
Cipeuteuy
sebagaimana tertera pada Tabel 10. tergolong rendah. diduga hal tersebut dipengaruhi oleh adanya program pendidikan wajib belajar sembilan tahun. Sebagaimana haknya tipikal masyarakat pedesaan di Indonesia yang merasa cukup mengenyam pendidikan setaraf SD.
71
Tabel 10. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan di Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Pendidikan Terakhir Tahun 2007 (dalam persen) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Stratum Atas Tidak Sekolah 5,06 5,06 Belum Sekolah 6,33 3,80 SD 7,59 8,86 SLTP 0 1,27 SMU 0 1,27 Kuliah 0 2,53 Tamat SD 22,78 26,58 Tamat SLTP 3,80 0 Tamat SMU 1,27 0 Tidak tamat SD 1,27 1,27 Akademi/universitas tidak tamat 1,27 Total (Persen) 49,37 50,63 Total (Jumlah) 39 40 Stratum Menengah Tidak Sekolah 0,91 2,73 Belum Sekolah 5,45 8,18 SD 10,00 11,82 SLTP 1,82 0 Kuliah 0,91 0,91 Tamat SD 22,73 15,45 Tamat SLTP 0,91 1,82 Tidak tamat SD 8,18 8,18 Total (Persen) 50,91 49,09 Total (Jumlah) 56 54 Stratum bawah Tidak Sekolah 3,07 5,52 Belum Sekolah 6,13 9,20 SD 9,82 7,36 SLTP 2,45 0 SMU 0 1,23 Kuliah 0,61 0,61 Tamat SD 23,31 27,61 Tidak tamat SD 1,84 0,61 Mesantren 0 0,61 Total (Persen) 47,24 52,76 Total (Jumlah) 77 86 Tingkat Pendidikan
Total 10,13 10,13 16,46 1,27 1,27 2,53 49,37 3,80 1,27 2,53 1,27 100,00 79 3,64 13,64 21,82 1,82 1,82 38,18 2,73 16,36 100,00 110 8,59 15,34 17,18 2,45 1,23 1,23 50,92 2,45 0,61 100,00 163
72
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tunakisma Tidak Sekolah 2,38 4,76 Belum Sekolah 9,52 9,52 SD 4,76 7,14 SMU 2,38 0 Kuliah 4,76 0 Tamat SD 21,43 23,81 Tamat SMU 2,38 4,76 Tidak tamat SD 2,38 0 Total (Persen) 50,00 50,00 Total (Jumlah) 21 21 Total Tidak Sekolah 2,79 4,57 Belum Sekolah 6,35 7,87 SD 8,88 8,88 SLTP 1,52 0,25 SMU 0,25 0,76 Kuliah 1,02 1,02 Tamat SD 22,84 23,60 Tamat SLTP 1,02 0,51 Tamat SMU 0,51 0,51 Tidak tamat SD 3,55 2,79 Akademi/universitas tidak tamat 0,25 0 Mesantren 0 0,25 Total (Persen) 48,98 51,02 Total (Jumlah) 193 201 Tingkat Pendidikan
Total 7,14 19,05 11,90 2,38 4,76 45,24 7,14 2,38 100,00 42 7,36 14,21 17,77 1,78 1,02 2,03 46,45 1,52 1,02 6,35 0,25 0,25 100,00 394
Sumber: Dikumpulkan oleh Penulis dari Survei Tahun 2007
Secara keseluruhan, persentase tertinggi ada pada tingkat pendidikan tamat SD. Persentase jumlah ART perempuan pada tiga kampung kasus yang tidak bersekolah lebih tinggi, hal ini diduga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang menganggap bahwa anak laki-laki lebih didahulukan untuk mendapatkan pendidikan dibandingkan anak perempuan. Persentase terendah berada pada tingkat pendidikan akademi/universitas tidak tamat dan mesantren dengan persentase yang sama, yakni 0,25 persen dimana tidak ada perempuan yang tidak tamat akademi dan tidak ada laki-laki yang mesantren. Untuk pendidikan tertinggi (kuliah), laki-laki dan perempuan memiliki jumlah persentase yang sama.
73
Menurut stratum dan jenis kelaminnya, perempuan memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada stratum atas, sedangkan semakin rendah stratum, maka kesempatan perempuan untuk menikmati pendidikan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Dari Tabel 10 juga dapat diketahui bahwa hanya penduduk pada stratum menengah yang mesantren dan tidak ada ART yang bersekolah SMU pada stratum menengah. Yang menarik adalah jumlah persentase ART yang kuliah paling tinggi pada stratum tunakisma dengan hanya ART laki-laki sebanyak 4,76 persen yang kuliah. Kondisi ini terjadi diduga karena ART pada stratum tunakisma yang tidak memiliki lahan milik dan garapan hanya dapat menggantungkan hidupnya di luar sektor pertanian, maka dari itu timbul pemikiran bahwa generasi muda harus memiliki pendidikan yang tinggi agar dapat memiliki pekerjaan yang dapat mencukupi karena orang tua mereka tidak dapat mewariskan lahannya untuk dikelola. Mayoritas anggota rumahtangga pada tiga kampung kasus mengenyam pendidikan hingga tingkat SD jika dilihat sebaran tingkat pendidikannya, anggota rumahtangga pada kampung Pasir masigit memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kampung Cisalimar dan Sukagalih. Pada tabel 11. diketahui bahwa sebanyak 27,9 persen laki-laki dan 29,87 persen perempuan pada kampung Cisalimar berpendidikan hingga tingkat SD. Jumlah tersebut merupakan persentase lulusan SD tertinggi yang setelahnya diikuti oleh kampung Pasir masigit dengan persentase total sebanyak 34,65 persen dan Sukagalih 45,13 persen
74
Selanjutnya jumlah anggota rumahtangga yang mengenyam pendidikan setaraf SLTP terbanyak dimiliki oleh kampung Sukagalih kemudian diikuti oleh Pasir masigit dan Cisalimar secara berturut-turut sebesar 2,65 persen, 2,36 persen dan 0,65 persen. Lain halnya dengan pendidikan tingkat SMU dan perguruan tinggi dimana Pasir masigit mempunyai persentase terbanyak dibandingkan dua kampung lainnya. Sedangkan kampung Cisalimar tidak memiliki anggota rumahtangga yang bersekolah hingga perguruan tinggi. Selanjutnya jika membanding antara jenis kelamin dengan kampung diketahui bahwa pendidikan perempuan cenderung lebih rendah, namun pada tingkatan pendidikan tertentu perempuan memiliki akses yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Pada tiga kampung kasus hanya anggota rumahtangga perempuan yang mengenyam pendidikan hingga tingkat SMU. Pada kampung Pasir Masigit anggota rumahtangga perempuan yang kuliah memiliki persentase lebih besar dari laki-laki yakni masing-masing sebanyak 2,48 persen dan 1,57 persen. Selanjutnya pada kampung Suka galih keduanya memiliki persentase yang sama pada tingkat kuliah. Hal tersebut diduga dikarenakan laki-laki sejak usia dini telah memiliki rasa tanggung jawab untuk berkontribusi terhadap pendidikan keluarganya dengan bekerja sebagai petani atau pekerjaan lainnya diluar sektor pertanian sedangkan perempuan memiliki akses yang lebih besar terhadap pendidikan yang menurut stratumnya, pada kampung Sukagalih dan Cisalimar, akses pada pendidikan yang tinggi hanya dimiliki oleh anggota rumahtangga pada stratum atas, menengah dan bawah dengan proporsi anggota rumahtangga pada stratum C yang paling banyak mempunyai akses pada pendidikan yang tinggi terutama pada tingkat perguruan
75
tingi yang hanya dimiliki oleh stratum bawah pada Kampung Sukagalih, namun demikian tidak ada anggota rumahtangga yang bersekolah pada tingkat perguruan tinggi di Kampung Cisalimar. Lain halnya dengan Kampung Pasir Masigit dimana akses terhadap pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh anggota rumahtangga pada tiap tingkatan stratum. Hanya stratum atas (A) dan tunakisma (D) yang akses pada pendidikan tingkat SMU dan stratum tunakisma (D) yang mempunyai akses pada tingkat pendidikan perguruan tinggi dengan proporsi yang sama yakni sejumlah 1,57 persen pada tiga tingkat stratum tersebut. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh lokasi sekolah yang cenderung lebih dekat dengan Pasir Masigit dibandingkan dengan dua kampung lainnya. Kampung Pasir masigit yang lebih dekat dengan jalan utama memudahkan anggota rumahtangga untuk mengakses kendaraan seperti ojek dan mobil bak terbuka untuk Mobil sampai pada sekolahnya. 5.1.4.
Jenis Pekerjaan Pada tabel 13 disajikan mengenai kondisi anggota rumahtangga dan janis
pekerjaan yang digelutinya. Jika dilihat dari tabel 13, paling banyak penduduk pada tiga kampung berstatus tidak bekerja. Namun jumlah tersebut merupakan jumlah anggota rumahtangga yang berada pada usia non-produktif (muda dan Lansia). Selebihnya hampir seluruh anggota rumahtangga berusia produktif dapat dipastikan memiliki pekerjaan baik pekerjaan utama maupun sampingan. Secara umum jumlah anggota rumahtangga laki-laki yang mengatakan memiliki pekerjaan utama lebih banyak dari anggota rumahtangga perempuan. Namun jika dibandingkan menurut kampungnya, jumlah anggota rumahtangga perempuan pada Kampung Pasir Masigit yang memiliki pekerjaan utama lebih
76
banyak 2,36 persen dari anggota rumahtangga laki-laki. Di Kampung Sukagalih dan Cisalimar diketahui bahwa kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki pekerjaan utama cukup tinggi yakni 6,149 persen pada Kampung Sukagalih dan 9,09 persen pada Cisalimar. Hal tersebut diduga berkaitan erat dengan kondisi masing-masing kampung. Pada Pasir Masigit, potensi SDA dan kondisi pemilikan lahannya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan dua kampung lainnya sehingga mendorong laki-laki sebagai kepala rumahtangga untuk mencari pekerjaan lainnya diluar kampung/desa yang lebih menjamin untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kondisi ini menyebabkan perempuan/istri harus memiliki pekerjaan utama untuk mendukung penghidupan keluarganya selama suaminya bekerja di luar kampung. Tabel 11. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Jenis Pekerjaan (dalam persen) Jenis Pekerjaan Utama
Laki-laki Stratum Atas Tidak Bekerja 21,52 Petani Pemilik 10,13 Petani Penggarap 3,80 Buruh Tani 1,27 Pedagang 0 Warung 0 Petani Pemilik dan penggarap 10,13 Lainnya 2,53 Total (Persen) 49,37 Total (Jumlah) 39 Stratum Menengah Tidak Bekerja 25,45 Petani Pemilik 1,82 Petani Penggarap 10,00 Buruh Tani 5,45 Warung 0 Petani Pemilik dan penggarap 6,36 Kombinasi 0,91 Lainnya 0,91
Perempuan
Total
29,11 5,06 8,86 3,80 1,27 2,53 0 0 50,63 40
50,63 15,19 12,66 5,06 1,27 2,53 10,13 2,53 100,00 79
27,27 1,82 10,91 3,64 0,91 3,64 0,91 0
52,73 3,64 20,91 9,09 0,91 10,00 1,82 0,91
77
Jenis Pekerjaan Utama Total (Persen) Total (Jumlah)
Laki-laki 50,91 56 Stratum Bawah Tidak Bekerja 21,47 Petani Pemilik 4,91 Petani Penggarap 9,82 Buruh Tani 3,07 Pedagang 0,61 Petani Pemilik dan penggarap 5,52 Kombinasi 0,61 Lainnya 1,23 Total (Persen) 47,24 Total (Jumlah) 77 Tunakisma Tidak Bekerja 26,19 Buruh Tani 23,81 Kombinasi 0 Lainnya 0 Total (Persen) 50,00 Total (Jumlah) 21 Total Tidak Bekerja 23,10 Petani Pemilik 4,82 Petani Penggarap 8,38 Buruh Tani 4,57 Pedagang 0,25 Warung Petani Pemilik dan penggarap 6,09 Kombinasi 0,51 Lainnya 1,27 Total (Persen) 48,98 Total (Jumlah) 193
Perempuan 49,09 54
Total 100,00 110
33,74 3,07 7,98 6,13 0,61 1,23 0 0 52,76 86
55,21 7,98 17,79 9,20 1,23 6,75 0,61 1,23 100,00 163
26,19 16,66 4,76 2,38 50,00 21
52,38 40,47 4,76 2,38 100,00 42
30,20 2,79 8,63 5,58 0,51 0,76
53,30 7,61 17,01 10,15 0,76 0,76
1,52 0,76 0,25 51,02 201
7,61 1,27 1,52 100,00 394
Sumber: Dikumpulkan oleh Penulis dari Survei Tahun 2007
Jika dilihat pada Tabel 11, penduduk Desa Cipeuteuy menurut pekerjaan utamanya dapat diklasifikasikan dalam tujuh bentuk pekerjaan, yakni petan ipemilik, penggarap dan petani pemilik penggarap. Selanjutnya adalah pedagang, warung dan pekerjaan lainnya, yakni sebagai supir, tukang ojeg, penambang, karyawan, sedangkan untuk kombinasi berarti ART tersebut melakukan lebih dari dua jenis pekerjaan secara bersamaan. Adapun untuk jenis pekerjaan utama petani
78
diklasifikasikan kembali menjadi petani pemilik, penggarap dan gabungan antara petani pemilik dan penggarap untuk melihat bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya agraria. Pada Tabel 11 terlihat bahwa sebanyak 53,30 persen penduduk yang tidak bekerja, tidak keseluruhannya ART yang tidak ada dalam usia produktif. Jika dibandingkan dengan Tabel 9 maka diketahui bahwa sebanyak 9,89 persen penduduk usia produktif di tiga kampung kasus tidak bekerja dengan komposisi masing-masing sebanyak 2,54 persen ART laki-laki dan 7,35persen ART perempuan. Menurut stratumnya, pada Tabel 11 diketahui bahwa kusus untuk jenis pekerjaan utama sebagai petani pemilik, petani penggarap dan peteni pemilikpenggarap dapat dipastikan hanya dilakukan oleh penduduk pada stratum atas, menengah dan bawah.. Pada jenis pekerjaan pemilik warung hanya dilakukan oleh penduduk pada stratum atas dan menengah, yang berarti bahwa hanya penduduk dengan tingkat stratifikasi tinggi saja yang dapat mengelola warung, sedangkan jenis pekerjaan kombinasi yakni lebih dari satu jenis pekerjaan dilakukan oleh 0,51 persen penduduk stratum menengah, 0,25 persen pada stratum bawah dan persentase yang paling tinggi sebesar1,02 pada stratum D/tunakisma. Dengan demikian penduduk pada stratum atas sudah merasa cukup dengan menggeluti hanya satu jenis pekerjaan saja sedangkan sebesar 1,25 persen penduduk pada tingkatan stratum bawah merasa harus memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan utama untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sebanyak 25,83 persen laki-laki dan 20,82 persen perempuan pada tiga kampung
kasus
mengaku
mempunyai
pekerjaan
utama.
Dari
jumlah
persentasenya, diketahui bahwa ART laki-laki yang mengaku mempunyai
79
pekerjaan utama lebih banyak dari ART perempuan. Demikian halnya jika dilihat dari tingkat stratifikasi dimana secara berturut turut pada stratum atas, menengah dan bawah, persentase laki-laki sebanyak 27,85 persen, 25,46 persen dan 25,77 persen lebih tinggi dari perempuan secara berturut-turut 21,52 persen, 21,82 persen, dan 19,02 persen. Sedangkan pada stratum tunakisma keduanya memiliki persentase yang sama, yakni sebesar 23,81 persen. Selanjutnya diketahui bahwa secara keseluruhan jumlah petani penggarap mempunyai persentase tertinggi sebesar 17,01 persen yang diikuti oleh buruh tani sebesar 10,15 persen dan petani pemilik penggarap sebesar 7,61 persen. Menurut tingkat stratifikasinya dapat dipastikan bahwa pada stratum atas mayoritas ART memiliki pekerjaan utama sebagai petani pemilik, diikuti oleh petani penggarap dan petani pemilik-penggarap dimana persentase laki-laki lebih tinggi pada petani pemilik sebanyak 10,13 persen laki-laki dan 5,06 persen perempuan dibanding petani penggarap sebanyak 3,80 persen petani penggarap laki-laki dan 8,86 persen petani penggarap perempuan, sedangkan tidak ada perempuan yang menjadi petani pemilik-penggarap. Pada stratum menengah, persentase petani penggarap lebih tinggi dengan komposisi 10 persen petani penggarap laki-laki dan 10,91 persen penggarap perempua, disusul oleh 5,45 persen buruh tani laki-laki dan 3,64 persen buruh perempuan. Pada stratum bawah, sama halnya dengan stratum menengah, petani penggarap masih menjadi pekerjaan utama yang memiliki persentase tertinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Selanjutnya pada stratum tunakisma dapat dipastikan bahwa persentase pekerjaan utama tertinggi adalah pada pekerjaan utama sebagai buruh tani dengan komposisi 23,81 persen laki-laki dan 16,6 persen perempuan.
80
Secara umum anggota rumahtangga Desa Cipeuteuy yang kondisinya tercermin pada tiga kampung kasus paling banyak memilih sektor pertanian sebagai lahan mencari nafkah dengan menjadi petani pemilik, petani penggarap dan buruh tani. Pada Kampung Sukagalih, jumlah petani penggarap lebih tinggi dan diikuti oleh buruh tani, petani pemilik penggarap dan petani pemilik. Berhubungan dengan kondisi penguasaan lahannya, dimana sebagian besar luasan lahan Kampung Sukagalih termasuk dalam kawasan TNGHS dan lahan status quo eks HGU PT.Intan Hepta, sehingga petani hanya dapat memaksimalkan tenaga sebagai petani penggarap yang hanya dapat menguasai lahan tanpa bukti kepemilikan, dan buruh tani yang membantu menggarap tanah penguasaan orang lain. Adapun anggota rumahtangga yang bekerja sebagai petani penggarap sebanyak 19,47 persen dengan komposisi jumlah anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan sebesar 9,73 persen untuk kedua-duanya. Selanjutnya jumlah anggota rumah tangga perempuan yang menjadi buruh tani lebih banyak daripada laki-laki yakni sebesar 8,85 persen anggota rumahtangga perempuan dan 7,08 persen anggota rumahtangga laki-laki, diikuti oleh jumlah anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan yang menjadi petani pemilik dan petani penggarap yang masing-masing memiliki persentase sebesar 5,31 persen, 1,77 persen petani pemilik dan 7,08 persen, 2,65 persen petani penggarap. Pekerjaan utama sebagai petani penggarap juga memiliki jumlah persentase yang tinggi sebanyak 18,83 persen diikuti oleh petani pemilik penggarap sebanyak 9,74 persen, 7,14 persen petani pemilik dan 3,25 persen buruh tani.
81
Jumlah petani penggarap yang lebih dominan diduga karena banyaknya lahan milik di wilayah Cisalimar yang telah dijual kepada pihak lain dari perkotaan. Kondisi tersebut kemudian mendorong para petani untuk menggarap lahan yang telah dijual kepada orang/pihak lain dari perkotaan. Kondisi tersebut kemudian mendorong para petani untuk menggarap lahan yang telah dijual tersebut dengan sistem sewa, gadai dan bagi hasil. Selain itu para petani juga mulai membuka lahan koridor TNGHS untuk usahatani. Buruh tani menjadi pekerjaan yang dominan di Kampung Pasir Masigit sebanyak 13,39 persen dibandingkan dengan persentase petani pemilik, penggarap dan pemilik penggarap berturut-turut memiliki persentase sebanyak 9,45 persen, 11,81 persen dan 3,15 persen. Kondisi tersebut berkaitan dengan kondisi Pasir Masigit yang sebelumnya telah diterangkan memiliki kondisi kepemilikan lahan yang lebih rendah dari kampung lainnya sehingga mendorong penduduk untuk berburuh kepada petani lainnya. Pada ketiga kampung kasus, persentase anggota rumahtangga perempuan pada jenis pekerjaan utama buruh tani lebih banyak daripada anggota rumahtangga perempuan yang bekerja sebagai buruh tani, sedangkan jumlah anggota rumahtangga laki-laki selalu lebih tinggi pada jenis pekerjaan utama petani pemilik dan petani pemilik-penggarap dan cenderung variatif pada jenis pekerjaan utama sebagai petani pemilik persentase lebih tinggi pada Kampung Cisalimar, persentase perempuan lebih tinggi pada Kampung Pasir Masigit dan sama pada Kampung Sukagalih. Pada pekerjaan utama lainnya, lebih terarah pada membuka warung dan pedagang. Adapun jenis pekerjaan utama warung seluruhnya dikerjakan oleh
82
tenaga kerja keluarga yakni sebesar 0,88 persen pada Kampung Sukagalih dan 1,30 persen pada Kampung Cisalimar. Hal ini diduga berkaitan dengan peranan reproduktif perempuan yang menurut Mosher (1993) berhubungan dengan tugastugas domestik dimana warung sebagai tempat penyedia bahan baku rumahtangga yang berhubungan dengan tugas-tugas domestik. Mereka yang mengaku sebagai pedagang berjumlah 0,65 persen anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan pada Kampung Cisalimar dan 0,79 persen anggota rumahtangga perempuan pada Pasir Masigit. Keseluruhan warung merupakan warung kebutuhan rumahtangga, sembako dan jajanan anak-anak. Pernyataan tersebut dapat menggambarkan kondisi perempuan di tiga kampung kasus, dimana perempuan memiliki jenis pekerjaan utama dengan kondisi pekerjaan yang lebih rendah dari laki-laki, sehinggga posisi perempuan muncul sebagai individu ke-dua yang berkontribusi terhadap penghasilan keluarga karena mereka cenderung berpenghasilan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Data jenis pekerjaan utama yang tersaji tersebut dapat memberikan gambaran bahwa anggota rumahtangga perempuan pada ketiga kampung kasus sudah dapat menyatakan diri mereka memiliki pekerjaan utama yang berarti mereka bekerja untuk berkontribusi dalam penghidupan keluarga selayaknya suami mereka bekerja. Meskipun jumlahnya masih lebih rendah dan penghasilannya masih relatif lebih rendah, namun hal tersebut diduga dipengaruhi oleh masih kuatnya pemikiran penduduk.
83
Mengenai pembagian kerja gender dimana laki-laki merupakan nafkah yang menurut Mosher (1993) menjalankan peranan produktif dan perempuan merupakan pengurus rumahtangga yang menjalankan peranan reproduktif. Penduduk pada tiga kampung kasus yang tidak memiliki pekerjaan sampingan adalah sebesar 118 anggota rumahtangga atau 29.95 persen yang tidak mempunyai pekerjaan utama sampingan sebesar 210 anggota rumahtangga atau 53.30 persen jumlah anggota rumahtangga pada tiga kampung kasus. Persentas etersebut belum termasuk jumlah usia produktif yang tidak bekerja.. Jika dilihat dari persentasenya pada stratum tunakisma, jumlah persentase penduduk ART yang memiliki pekerjaan sampingan paling tinggi diantara lainnya yakni sebesar 42,86 persen, sedangkan stratum atas hanya 30,38 persen. Hal ini berarti bahwa ART laki-laki dan perempuan pada stratum tunakisma memiliki peluang lebih sedikit untuk mempunyai pekerjaan sampingan, diduga karena waktu yang dimiliki telah dialokasikan kepada pekerjaan utama. Pekerjaan sampingan merupakan pekerjaan dengan prioritas ke-2 dimana dapat dibedakan dari alokasi waktu untuk mengerjakan pekerjaan sampingan yang relatif membutuhkan waktu lebih sedikit dari pekerjaan utama. Adapun jenis pekerjaan sampingan yang dipilih anggota rumahtangga tiga kampung kasus adalah sebagai petani pemilik, penggarap, buruh tani, pedagang, dagang warung, dan kombinasi serta pekerjaan lain seperti sopir, peternak ikan, dan kuli bangunan. Untuk ART pada stratum atas, masih dapat melakukan pekerjaan sampingan, dikarenakan mereka telah memiliki pekerjaan yang mencukupi. Baik pada stratum atas,menengah, bawah dan tunakisma, semuanya memilih buruh tani
84
sebagai pekerjaan sampingan yang jika dilihat pada Tabel 12 memiliki persentase tertinggi yakni 3,80 persen laki-laki dan 5,06 persen perempuan pada stratum atas, 6,36 persen laki-laki dan 2,73 persen perempuan pada stratum menengah. Kemudian pada stratum bawah sejumlah 9,28 persen laki-laki dan 7,36 persen perempuan serta 2,38 persen laki-lai pada startum tunakisma memilih buruh tani sebagai pekerjaan sampingan. Tabel 12. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Jenis Pekerjaan Sampingan (dalam persen) Pekerjaan Sampingan
Laki-laki Stratum Atas Tidak mempunyai pekerjaan sampingan 37,97 Petani pemilik 0 Petani Penggarap 2,53 Buruh Tani 3,80 Pedagang 1,27 Lainnya 3,80 Total (Persen) 49,37 Total (Jumlah) 39 Stratum Menengah Tidak mempunyai pekerjaan sampingan 40,00 Petani Penggarap 2,73 Buruh Tani 6,36 Dagang 0,91 Lainnya 0,91 Total (Persen) 50,91 Total (Jumlah) 56 Stratum Bawah Tidak mempunyai pekerjaan sampingan 35,58 Petani pemilik 0 Petani Penggarap 0,61 Buruh Tani 9,82 Pedagang 0,61 Dagang 0 Warung 0 Lainnya 0,61 Total (Persen) 47,24 Total (Jumlah) 77
Perempuan
Total
43,04 81,01 1,27 1,27 1,27 3,80 5,06 8,86 0 1,27 0 3,80 50,63 100,00 40 79 46,36 86,36 0 2,73 2,73 9,09 0 0,91 0 0,91 49,09 100,00 54 110 43,56 79,14 0,61 0,61 0 0,61 7,36 17,18 0 0,61 0,61 0,61 0,61 0,61 0 0,61 52,76 100,00 86 163
85
Pekerjaan Sampingan
Laki-laki Tunakisma Tidak mempunyai pekerjaan sampingan 47,62 Buruh Tani 2,38 Dagang Total (Persen) 50,00 Total (Jumlah) 21 Total Tidak mempunyai pekerjaan sampingan 38,58 Petani pemilik Petani Penggarap 1,52 Buruh Tani 6,85 Pedagang 0,51 Dagang 0,25 Warung Lainnya 1,27 Total (Persen) 48,98 Total (Jumlah) 193
Perempuan
Total
47,62
95,24 2,38 2,38 2,38 50,00 100,00 21 42 44,67 0,51 0,25 4,82 0,51 0,25 51,02 201
83,25 0,51 1,78 11,68 0,51 0,76 0,25 1,27 100,00 394
Sumber: Dikumpulkan oleh Penulis dari Survei Tahun 2007
Di Kampung Sukagalih terdapat 37,29 persen laki-laki yang mempunyai pekerjaan sampingan dari 59 orang laki-laki dan 16,67 persen perempuan yang punya pekerjaan sampingan dari 54 orang perempuan. Adapun 16,67 persen atau 13 orang anggota rumahtangga dari 78 orang anggota rumahtangga laki-laki Kampung Cisalimar yang punya pekerjaan sampingan dan hanya 10 orang (13,16 persen) dari selanjutnya 10,71 persen dari 56 anggota rumahtangga laki-laki di Pasir Masigit dan 8,45 persen dari 71 anggota rumahtangga perempuan Pasir Masigit memutuskan untuk mempunyai pekerjaan sampingan. Jika dilihat kembali dari jenis kelaminnya, berbeda dengan pekerjaan utama, pekerjaan sampingan sebagai buruh tani persentase jumlah terbanyak dimiliki oleh anggota rumahtangga laki-laki pada ketiga kampung kasus. yang menarik jika dilihat pada jenis pekerjaan sampingan sebagai petani pemilik pada Kampung Cisalimar dimana seluruhnya merupakan anggota rumahtangga perempuan, dengan demikian masih ada anggapan bahwa pekerjaan wanita
86
sebagai petani pemilik dan penggarap masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan selain pekerjaan rumahtangga/domestik. Dianalisis dengan tingkat stratifikasinya, maka pada. Tabel 12 telah diperoleh hasil bahwa pada Kampung Sukagalih dan Cisalimar persentase jumlah anggota rumahtangga yang tertinggi yang mempunyai pekerjaan sampingan berada pada stratum bawah dimana pada Kampung Cisalimar sebanyak 9,09 persen diikuti stratum atas 5,84 persen kemudian pada Kampung Sukagalih sebanyak 13,27 persen diikuti dengan stratum menegah, atas dan tunakisma masing-masing berturut-turut sebanyak 7,96 persen 5,31 persen dan 0,88 persen dari total anggota rumahtangga kampung. Pada Kampung Pasir Masigit persentase jumlah anggota rumahtangga yang mempunyai pekerjaan sampingan sebanyak 4,72 persen pada stratum menengah 3,94 persen pada stratum bawah 0,79 persen pada stratum tunakisma. 5.1.5.
Status Bekerja Status pekerjaan berkenaan dengan bagaimana seseorang melakukan
pekerjaannya. Sebagai petani, ada yang mengolah sawah/ladangnya sendiri, ada yang menggunakan tenaga kerja keluarga, ada yang mengupah buruh dan ada juga yang menggunakan dua cara sekaligus. Dengan status pekerjaannya dapat diketahui apakah status pekerja tersebut sebagai pekerja keluarga yang tidak memperoleh upah/sebagai karyawan yang memperoleh upah. Pada Tabel 13 diketahui bahwa mayoritas penduduk Desa Cipeuteuy lebih memilih berusaha menggunakan pekerja keluarga dengan persentase 14.21 persen, selanjutnya disusul oleh penduduk yang berstatus pekerja keluarga dan
87
karyawan/buruh dengan persentase secara berturut-turut sebesar 10,15 persen dan 9,90 persen. Selanjutnya jika dilihat dari jenis kelamin dan tingkat stratifikasinya, pada stratum atas, menegah dan bawah persentase status pekerjaan tertinggi masih pada kategori berusaha dengan tenaga kerja keluarga dimana pada ketiga stratum tersebut, jumlah laki-laki memiliki persentase yang lebih tinggi daripada ART perempuan. Selanjutnya pada tiga tingkatan stratum tersebut, persentase jumlah karyawan/buruh lebih kecil dibandingkan jumlah pekerja keluarga dengan jumlah perempuan yang lebih tinggi pada kategori status pekerjaan sebagai pekerja keluarga dibandingkan dengan laki-laki. Dengan demikian perempuan yang bekerja sebagai pekerja keluarga lebih banyak, asumsinya adalah bahwa lebih banyak perempuan yang bekerja tanpa upahan menjadi pekerja keluarga daripada perempuan yang bekerja sebagai karyawan/buruh dan diupah baik dengan uang maupun bentuk natura.
Tabel 13. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Status Pekerjaan Tahun 2007 (dalam persen) Status Pekerjaan
Laki-laki Stratum Atas Tidak Bekerja 22,78 Berusaha Sendiri 1,27 Berusaha+TK Keluarga 10,13 Berusaha+TK Upahan 6,33 Kartawan/Buruh 1,27 Pekerja Keluarga 1,27 Berusaha Sendiri+TK Keluarga+TK 6,33 Upahan Total (Persen) 49,37 Total (Jumlah) 39
Perempuan
Total
27,85 3,80 2,53 2,53 3,80 8,86
50,63 5,06 12,66 8,86 5,06 10,13
1,27
7,59
50,63 40
100,00 79
88
Stratum Menengah Tidak Bekerja 25,45 Berusaha Sendiri 0,91 Berusaha+TK Keluarga 10,91 Berusaha+TK Upahan 1,82 Kartawan/Buruh 5,45 Pekerja Keluarga 4,55 Berusaha Sendiri+TK Keluarga+TK 1,82 Upahan Kombinasi 0 Total (Persen) 50,91 Total (Jumlah) 56 Stratum Bawah Tidak Bekerja 23,31 Berusaha Sendiri 2,45 Berusaha+TK Keluarga 12,27 Berusaha+TK Upahan 0,61 Kartawan/Buruh 2,45 Pekerja Keluarga 4,91 Berusaha Sendiri+TK Keluarga+TK 1,23 Upahan Lainnya 0 Total (Persen) 47,24 Total (Jumlah) 77 Tunakisma Tidak Bekerja 26,19 Berusaha Sendiri 2,38 Berusaha+TK Keluarga 2,38 Kartawan/Buruh 19,05 Total (Persen) 50,00 Total (Jumlah) 21 Total Tidak Bekerja 24,11 Berusaha Sendiri 1,78 Berusaha+TK Keluarga 10,41 Berusaha+TK Upahan 2,03 Kartawan/Buruh 4,82 Pekerja Keluarga 3,55 Berusaha Sendiri+TK Keluarga+TK 2,28 Upahan Kombinasi 0 Lainnya 0 Total (Persen) 48,98 Total (Jumlah) 193 Sumber: Dikumpulkan oleh Penulis dari Survei Tahun 2007
27,27 1,82 3,64 2,73 2,73 9,09
52,73 2,73 14,55 4,55 8,18 13,64
0,91
2,73
0,91 49,09 54
0,91 100,00 110
34,36 1,84 4,91 1,23 4,29 5,52
57,67 4,29 17,18 1,84 6,75 10,43
0
1,23
0,61 52,76 86
0,61 100,00 163
28,57 2,38 2,38 16,67 50,00 21
54,76 4,76 4,76 35,71 100,00 42
30,46 2,28 3,81 1,78 5,08 6,60
54,57 4,06 14,21 3,81 9,90 10,15
0,51
2,79
0,25 0,25 51,02 102
0,25 0,25 100,00 394
89
Selanjutnya pada Kampung Sukagalih diketahui hanya sebanyak dua orang yang berusaha sendiri dalam mengelola warung, demikian halnya yang terjadi pada Kampung Cisalimar dan Pasir Masigit Pada Kampung Cisalimar dan Pasir Masigit dimana pedagang dan pemilik warung yang berusaha dan mengelola warung dagangannya sendiri. Pada Pasir Masigit ditemukan sejumlah enam orang petani pemilik yang mengelola lahannya sendiri. Pada tiga kampung kasus anggota rumahtangga yang mempunyai pekerjaan utama sebagai petani pemilik, penggarap dan petani pemilik-penggarap yakni berturut-turut sejumlah empat ART, sembilan ART dan lima ART pada Kampung Sukagalih, tujuh ART, 13 ART dan sembilan ART pada Cisalimar dan empat ART, lima ART, satu ART pada kampung Pasir Masigit. Demikian halnya dengan status berusaha sendiri + upahan yang juga disandang petani pemilik, petani penggarap, petani pemilik penggarap yakni masing-masing satu orang pada pasir masigit, masing masing dua orang pada Cisalimar dan empat orang petani pemilik serta dua orang petani penggarap pada Sukagalih. Ditemukan sejumlah 16 orang pada Kampung Sukagalih dan 15 orang Kampung Pasir Masigit yang bekerja sebagai buruh tani dan bersatatus sebagai karyawan/buruh dari petani lain. Disamping itu, ternyata sebanyak dua orang dari Cisalimar dan satu orang dari pasir masigit merupakan petani pemilik yang menjadi buruh. Selanjutanya juga ditemukan bahwa sebanyak delapan orang petani penggarap pada kampung Sukagalih dan dua orang buruh tani merupakan pekerja keluarga, satu orang petani pemilik dan 12 orang petani penggarap pada Kampung
90
Cisalimar merupakan pekerja keluarga sedangkan status pekerja keluarga di Kampung Pasir Masigit dimiliki oleh tujuh orang petani penggarap, satu orang buruh tani, satu orang petani pemilik penggarap, satu orang yang bekerja kombinasi. Dari uraian tersebu diduga petani pemilik, petani penggarap dan petani pemilik penggarap yang berstatus sebagai pekerja keluarga membantu anggota keluarga lain yang memiliki dan mempunyai tanah untuk mengolah lahannya atau jika dikaitkan dengan jenis kelamin diduga petani pemilik dan penggarap tersebut memiliki dan menguasai lahan secara gono-gini sehingga individu satu dapat menjadi tenaga kerja keluarga individu lainnya. Selanjutnya hanya sejumlah satu petani penggarap dan satu petani pemilik penggarap pada Kampung Sukagalih masing-masing satu orang petani pemilik, petani penggarap dan petani pemilik penggarap serta satu orang petani penggarap dua orang petani pemilik penggarap dan satu orang yang bekerja yang mempunyai status berusaha sendiri+tenaga kerja keluarga+tenaga kerja upahan (BS+TKK+TU). Dengan demikian dapat dilihat bahwa petani pemilik, petani penggarap serta petani pemilik penggarap membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk melakukan pekerjaanya dibandingkan jenis pekerjaan utama lainnya. Jika dianalisis melalui jenis kelaminnya jumlah perempuan yang berstatus sebagai pekerja keluarga lebih banyak dari jumlah anggota rumahtangga laki-laki yakni sebesar 26 orang dari 82 orang anggota rumahtangga perempuan yang mempunyai pekerjaan utama, dengan demikian sebanyak 26 orang perempuan yang mengaku mempunyai pekerjaan utama tidak memperoleh
91
penghasilan dari apa yang mereka kerjakan, namun tetap berkontribusi dalam penghasilan keluarga dengan tenaganya yang menghemat tenaga upahan. 5.2.
Karakteristik Rumahtangga
5.2.1.
Kepemilikan Benda Berharga Kepemilikan benda berharga merupakan karakteristik rumahtangga
petani, dimana melalui kepemilikan benda-benda tersebut akan diperoleh gambaran mengenai kondisi dari rumahtangga tersebut. Adapun kepemilikan benda berharga terdiri dari kepemilikan atas ternak dan kepemilikan rumahtangga petani atas teknologi rumahtangga. Ditemukan hanya empat jenis ternak yang dimiliki oleh tiga kampung kasus Desa Cipeuteuy, diantaranya kepemilikan ternak kambing, domba, ayam dan bebek. Pada tiga kampung tersebut tidak ditemukan ternak besar seperti kerbau dan sapi. Dari Tabel 14 diketahui bahwa kepemilikan ternak kambing pada rumahtangga stratum atas menengah dan bawah memiliki persentase paling tinggi dari ternak lainnya, sedangkan pada stratum tunakisma, persentase kepemilikan ternak tertinggi berada pada jenis ternak ayam. Tabel 14. Kondisi Kepemilikan Ternak pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi Tahun 2006 (dalam persen) Kepemilikan Ternak Kambing Domba Ayam Bebek Total (Persen) Total (Jumlah)
Stratum Atas 8,51 2,13 7,09 0,71 18,44 26
Stratum Menengah 13,48 2,13 11,35 0 26,95 38
Stratum Bawah 18,44 2,84 17,73 0 39,01 55
Sumber: Dikumpulkan oleh Penulis dari Survei Tahun 2007
Tunakisma
Total
2,13 0 4,96 0 7,09 10
42,55 7,09 41,13 9,22 100,00 141
92
Dari data tersebut diketahui bahwa tingkat stratifikasi mempengaruhi kepemilikan ternak rumahtangga petani, terlihat dari kepemilikan ternak kembing dan domba yang notabene bernilai jual tinggi lebih banyak dimiliki oleh RTP pada stratum tinggi, sedangkan kepemilikan ternak yang memiliki harga jual rendah banyak dimiliki oleh RTP pada stratum yang rendah. Selanjutnya kepemilikan ternak bebek hanya dilakukan oleh stratum atas. Jika dilihat dari urutan persentase kepemilikan ternaknya, kepemilikan ternak kambing, domba dan ayam mulai dari yang tertinggi dimiliki oleh RTP pada stratum bawah, menengah dan atas. Diduga, kepemilikan sumberdaya agraria mempengaruhi kepemilikan RTP atas ternak. RTP pada stratum atas lebih menginvestasikan kekayaannya pada kepemilikan sumberdaya agraria (lahan) sehingga persentase kepemilikan ternak lebih kecil dari stratum bawah yang lebih menginvestasikan kekayaan kepada kepemilikan ternak dibandingkan pada kepemilikan sumberdaya agraria. Secara umum dapat diketahui bahwa kepemilikan ternak di kalangan rumahtangga petani tiga kampung kasus tergolong cukup tinggi, dengan jumlah kepemilikan sebesar 43 persen pada Kampung Sukagalih, 36 persen pada Kampung Cisalimar dan persentase kepemilikan tertinggi pada Kampung Cisalimar. Berdasarkan jenis ternak, secara keseluruhan persentase kepemilikan kambing lebih banyak dilakukan pada Kampung Sukagalih sebanyak 76,67 persen, pun demikian dengan ternak ayam (63,33 persen). Sedangkan domba lebih banyak dikembangbiakkan di Kampung Pasir Masigit dan hanya Kampung Cisalimar yang memelihara bebek, yakni sebanyak ±33,33 persen dari jumlah ruah tangga di Cisalimar.
93
Jika dilihat dari stratumnya, stratum B memiliki persentase kepemilikan ternak tertinggi dan dapat dipastikan bahwa penduduk yang tergolong tunakisma (stratum D) memiliki persentase kepemilikan ternak terkecil. Berdasarkan stratumnya, terdapat kecenderungan dimana kepemilikan ternak kambing lebih banyak dilakukan oleh petani pada stratum bawah di Kampung Sukagalih (21,95 persen) dan Cisalimar (31,71 persen) selanjutnya dilakukan juga pada stratum B di Pasir Masigit (25 persen). Kepemilikan ternak ayam dengan persentase tertinggi dilakukan oleh petani pada stratum B di Kampung Sukagalih dan Pasir Masigit dengan persentase kepemilikan masingmasing sebesar 29,17 persen dan 20, 83 persen kemudian petani pada stratum atas di Cisalimar dan stratum menengah di Pasir Masigit lebih memilih memelihara domba. Pada tiga kampung kasus tidak ditemukan kepemilikan ternak besar seperti sapi dan kerbau, hal ini dikarenakan tidak tersedianya lahan yang cukup luas untuk memelihara ternak tersebut. Kepemilikan ternak pada tiga kampung kasus hanya ditujukan untuk investasi semata, sehingga sewaktu-waktu diperlukan dapat dikonsumsi ataupun di jual. Pada tiga kampung kasus tidak ditemukan pengembangan ternak untuk usaha pupuk kandang atau peternakan padahal kepemilikan ternak dapat membantu penyediaan saprodi untuk usahatani sekaligus menjaga pelestarian lahan kering (Mugniesyah dan Mizuno, 2003) Selanjutnya
kepemilikan
rumahtangga
petani
akan
teknologi
rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 15. Diketahui bahwa kepemilikan dengan persentase tertingi ada pada kepemilikan atas lemari pakaian, yang disusul oleh radio, dan lemari pajangan, sedangkan kepemilikan dengan persentase terkecil ada
94
pada mobil. Menurut hasil wawancara mendalam, kepemilikan mobil dan motor ditujukan untuk mencari nafkah, yakni sebagai supir angkutan umum dan jasa transportasi ojeg. Adapun kepemilikan lemari pajangan dan lemari pakaian diperoleh dengan cara membuat sendiri, jika lemari tersebut baru, maka yang dapat memiliki hanya golongan dengan tingkat stratifikasi yang tinggi, selebihnya diperoleh dari pemberian anak atau orang tua. Tabel 15 Kondisi Kepemilikan Benda Teknologi Rumahtangga pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi Tahun 2006 (dalam persen) Kepemilikan Teknologi Rumahtangga Motor
Stratum Stratum Stratum Tunakisma Atas Menengah Bawah 0,90 1,79 1,19 0,30
Total 4,18
Sepeda
1,79
0,60
2,09
0
4,48
TV Berwarna
3,28
4,48
4,78
2,39
14,93
Radio
4,48
4,78
8,36
1,49
19,10
Mobil
0
0
0,30
0
0,30
Lemari Pajangan
3,88
3,28
5,97
0,90
14,03
Kursi Tamu
3,28
2,99
5,37
1,49
13,13
Lemari Pakaian
5,67
5,67
11,04
2,39
23,28
Perhiasan
0,90
2,09
2,99
0,60
6,57
Total (Persen)
24,18
25,67
41,49
Total (Jumlah)
81
86
139
9,55 100,00 32
335
Sumber: Dikumpulkan oleh Penulis dari Survei Tahun 2007
Diketahui bahwa persentase kepemilikan teknologi rumahtangga tertinggi ada pada Kampung Cisalimar, benda-benda elektronik tersebut baru mulai dimiliki oleh rumahtangga pada Kampung Sukagalih, Cisalimar dan Pasir Masigit pada tahun 2003, yakni bersamaan dengan mulai dioperasikannya PLTMH sebagai sumber tenaga listrik di ketiga kampung tersebut. Meskipun jumlahnya
kecil
namun
persentase
kepemilikan
benda-benda
rumahtangga paling tinggi sudah dapat dipastikan ada pada stratum atas.
teknologi
95
Benda berharga dalam rumahtangga yang mempunyai persentase tertinggi dimiliki oleh rumahtangga petani pada Kampung Sukagalih sebanyak 86,67 persen, 79,49 persen pada Kampung Cisalimar dan dimiliki oleh rumahtangga pada Kampung Pasir Masigit sebanyak 67,74 persen selanjutnya diikuti oleh kepemilikan radio yang masing-masing mempunyai persentase sebesar 66,67 persen pada Kampung Sukagalih, 64,10 persen pada Kampung Cisalimar dan 61,29 persen pada Kampung Pasir Masigit. Mayoritas kepemilikan lemari pakaian diperoleh dengan cara membuat sendiri atau memesan kepada orang lain untuk membuatkan. Akses untuk memiliki lemari dulunya sangat mudah karena kayu dapat diperoleh langsung dari Hutan yang sekarang telah menjadi TNGHS, namun saat ini penduduk pun merasa kesulitan untuk memperbaiki lantai atau atap rumah nya yang terbuat dari kayu karena masyarakat sudah tidak dapat lagi memanfaatkan kayu dalam hutan untuk kepentingan mereka. Kepemilikan radio mempunyai persentase tertinggi kedua karena sebelum adanya PLTMH radio merupakan alat komunikasi paling efektif untuk menyampaikan
informasi
dikarenakan
radio
dapat
dioperasikan
dengan
menggunakan baterai. Selanjutnya TV merupakan benda yang cukup populer yang dimiliki oleh rumahtangga petani stratum menengah sebanyak 25 persen pada Kampung Sukagalih dan Cisalimar serta sebanyak 33,33 persen pada stratum tunakisma (D) di Kampung Pasir Masigit. Kepemilikan motor mayoritas dimiliki oleh stratum menengah pada Kampung Cisalimar sebanyak 12,50 persen dan 8,33 persen pada Kampung Sukagalih sisanya lima persen pada Kampung Pasir Masigit ada satu
96
pada stratum atas. Kepemilikan motor sebagian besar digunakan untuk mata pencaharian dengan cara menyediakan jasa ojek. Mobil sebagai benda yang tergolong ekslusif hanya dimilki oleh rumahtangga pada stratum bawah (C) di Kampung Cisalimar. Adapun kepemilikan mobil dimaksudkan untuk mencari nafkah dengan menyediakan angkutan umum dengan jurusan Parung KudaCipeuteuy. 5.2.2.
Partisipasi Kelembagaan Pada Tabel 16 disajikan data mengenai kondisi anggota rumahtangga
berdasarkan tingkat partisipasi dalam kelembagaan. Pada kelembagaan di lingkungan pemerintahan jumlah anggota rumahtangga perempuan tertinggi ada pada jenis kelembagaan yang berkaitan dengan peran-peran reproduktif seperti PKK, KB dan Posyandu, secara berturut-turut sebanyak satu orang (0,25 persen), 33 orang (8,38 persen) dan 37 orang (9,39 persen) perempuan, meskipun sebanyak 1,52 persen dan 2,03 persen anggota rumahtangga yang melakukan KB dan Posyandu. Lembaga lainnya dalam lingkungan pemerintahan dapat dipastikan anggota rumahtangga petani laki-laki mempunyai jumlah yang lebih tinggi dikarenakan lembaga seperti Linmas, BPD, sangat berkaitan dengan stereotipi gender laki-laki yang maskulin masing-masing sebanyak 1,27 persen dan 0,51 persen. Demikian halnya dengan kelembagaan taman nasional dimana anggota rumahtangga laki-laki memiliki persentase lebih tinggi sebanyak 3,81 persen. Anggota rumahtangga laki-laki yang mengikuti kopel sebanyak 0,25 persen, Jamaskor, sedangkan untuk kegiatan Taman Nasional, keduanya memiliki kesenjangan yang sangat kecil sekali yakni 1,02 persen anggota rumahtangga
97
perempuan dan 1,27 persen anggota rumahtangga petani laki-laki. Yang menarik adalah pada kelembagaan kader konservasi dimana tidak ada angota rumahtangga laki-laki yang berpartisipasi, yang berpartisipasi hanya anggota rumahtangga perempuan sebesar 0,25 persen. Tabel 16. Kondisi RTP di Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Partisipasi dan Jenis Kelamin
Lingkungan Pemerintahan
Taman Nasional Pertanian Jaring Pengaman Sosial
Informal
Partisipasi Politik
Kelembagaan Keuangan
Partisipasi PKK KB Posyandu Linmas BPD Kopel Jamaskor TN Kader Konservasi Kelompok Tani Koperasi Raskin Kartu Sehat Sembako Murah Pengajian Arisan Gotong Royong Jalan Gotong Royong Masjid Selamatan Kematian Perbaikan Jalan Pilkades
Laki-Laki
10,15 15,48 10,91 2,54 0,51 23,86 2,03 19,80 19,54 15,99 14,97 17,01 26,14
1,02 0,25 2,79 7,11 12,69 3,81 0,51 23,10 2,03 10,41 10,91 14,21 11,17 11,42 26,40
Persentase 0,25 9,90 11,42 1,27 0,76 5,08 0,25 2,28 0,25 12,94 22,59 23.60 6,35 1,02 46,95 4,06 30,20 30,46 30,20 26,14 28,43 52,54
Pemilihan BPD
26,14
26,40
52,54
Pemilu
25,63
26,40
52,03
Pemilihan Caleg
25,89
26,40
52,28
3,05 239,59 944
0,51 0,51 6,35 511,17 2014
Bank Keluarga Lainnya Total (Persen) Total (Jumlah)
Mengingat
lembaga
1,52 2,03 1,27 0,51 3,81 0,25 1,27
0,51 0,51 3,30 271,57 1070
tersebut
Perempuan 0,25 8,38 9,39 0,25 1,27
merekrut
anggota
dengan
pemilihan/penunjukan, maka kedudukan perempuan dalam organisasi di mata
98
taman nasional telah diperhitungkan. Hal tersebut juga berkaitan dengan peran pemeliharaan yang dilakukan kader konservasi yang notabene juga merupakan sifat-sifat feminis yang dipercayai menjadi sifat-sifat perempuan. Kesenjangan tingkat partsipasi sangat tinggi pada kelembagaan pertanian. Pada kelompok tani sebannyak 40 orang (10,15 persen) anggota rumahtangga laki-laki tergabung dalam kelompok tani dan hanya 11 orang (2,79 persen) anggota rumahtangga perempuan yang berpartisipasi dalam kelompok tani, demikian halnya yang terjadi ada koperasi dan anggota rumahtangga laki-laki yang mengakses koperasi secara langsung sebesar 15,48 persen dibandingkan dengan anggota rumahtangga perempuan sebanyak 7,11 persen. Jaring pengaman sosial sangat berkaitan dengan peran perempuan reproduktif yang menurut Mosher (1993) mencakup tugas-tugas menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja termasuk memasak dan menyediakan keperluan rumahtangga. Dengan demikian sangatlah dimaklumi jika, anggota rumahtangga perempuan yang mengikuti program raskin memiliki persentase lebih tinggi sebanyak 12,69 persen dari 10,91 persen anggota rumahtangga laki-laki yang menebus raskin. Jumlah tersebut kemudian diikuti oleh program kartu sehat masing-masing 3,81 persen anggota rumahtangga perempuan dan 2,54 persen anggota rumahtangga laki-laki dan keduanya memiliki persentase yang sama sebanyak 0,51 persen pada program kartu sehat. Jumlah anggota rumahtangga laki-laki yang berpartisipasi pada kelembagaan informal masih lebih tinggi dari jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam kelompok informal. Perbedaan kesenjangan yang rendah
99
terjadi pada kelembagaan pengajian dan arisan yakni sebanyak 91 (23,10 persen) anggota rumahtangga perempuan dan 94 (23,86 persen) anggota rumahtangga laki-laki yang ikut dalam pengajian sedangkan keduanya memiliki jumlah anggota rumahtangga yang sama sebanyak 2,03 persen kelembagaan arisan. Selanjutnya pada kelembagaan gotong royong jalan, gotong royong masjid, selamatan, kematian dan perbaikan jalan memiliki kesenjangan jumlah anggota rumahtangga laki-laki dan anggota rumahtangga perempuan yang sangat tinggi sebanyak 19,80 persen anggota rumahtangga laki-laki dan 10,41 persen anggota rumahtangga perempuan melakukan gotong royong jalan. Kemudian secara berturut-turut adalah 19,54 persen dan 6,91 persen pada gotong royong masjid, 15,99 persen dan 14,21 persen dalam selamatan 14,97 dan 11,17 dalam kematian dan 17,01 persen anggota rumahtangga laki-laki, 11,42 persen anggota rumahtangga laki-laki yang berpartisipasi dalam perbaikan jalan. Jika dilihat secara keseluruhan, kelembagaan informal dengan tingkat kesenjangan jumlah anggota rumahtangga perempuan dan laki-laki yang tinggi diduga dipengaruhi oleh cara masing-masing anggota rumahtangga berpartispasi, mengingat pekerjaan gotong royong perbaikan jalan merupakan peranan yang sangat dekat dengan laki-laki yang notabene lebih layak untuk mengerjakan pekerjaan yang cenderung berat membutuhkan banyak tenaga menurut penuturan beberapa orang anggota rumahtangga perempuan bentuk partisipasi mereka dalam gotong royong perbaikan jalan adalah dengan menyediakan konsumsi bagi para pekerja. Selanjutnya tingkat kesenjangan pada kelembagaan selamatan dan kematian diduga berhubungan dengan sistem nilai yang ada pada masyarakat dimana untuk
100
acara selamatan dan bantuan kematian merupakan tugas anggota rumahtangga laki-laki dalam kehidupan sosial. Pada partisipasi politik, baik laki-laki, perempuan ataupun keduanya memiliki partisipasi yang sama sehingga baik untuk anggota rumahtangga perempuan dan anggota rumahtangga laki-laki jika telah memenuhi syarat untuk hak pilih maka tidak ada hal-hal yang menghalanginya untuk memilih menggunakan hak pilihnya baik ditingkat desa maupun tingkat Nasional. Pada tiga kampung kasus sangatlah sulit untuk menemukan kelembagaan keuangan berikut anggota rumahtangga perempuan dan laki-laki yang berpartisipasi di dalamnya. Pada Tabel 16 ditemukan hanya sebanyak 2 orang anggota rumahtangga laki-laki yang menabung, masing-masing pada Bank dan keluarga dan sebanyak 13 orang anggota rumahtangga laki-laki dan 12 orang anggota rumahtangga perempuan yang menabung pada lembaga lainnya, yakni anak-anak yang menabung di sekolah dan beberapa anggota yang menabung di Masjid.
101
BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN TOKOH MASYARAKAT 6.1.
Sistem Kekerabatan
6.1.1.
Sistem Nilai yang Mengakui Status Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan
bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Pada Desa Cipeuteuy, laki-laki dan perempuan memiliki perlakuan yang berbeda dalam keluarga, sebagaimana halnya tercermin dari pembagian kerja gender dalam keluarga baik pembagian peran di rumah maupun pada kegiatan usahatani. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan telah terinternalisasi pada tiap keluarga, dan mempengaruhi bagaimana mereka memperlakukan anggota keluarga laki-laki dan perempuan baik pada lingkungan keluarga hingga lingkungan yang lebih tinggi yakni lingkungan sosial ART laki-laki dan ART perempuan. Anak perempuan dan anak laki-laki sedari dini telah diperkenalkan mengenai pembagian kerja gender, dimana laki-laki ditempatkan pada sektor pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menafkahi keluarga dan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan reproduktif yang berkaitan dengan pola pengasuhan dan pekerjaan domestik di rumah. Dengan demikian peran reproduktif sangat melekat pada individu laki-laki sebagaimana halnya peran reproduktif pada ART perempuan.
102
Menurut hasil dari diskusi kelompok terarah (FGD), mekanisme kerja dalam keluarga yang terbentuk secara umum adalah perempuan bekerja di rumah sedangkan laki-laki mencari rumput, mencangkul dan bekerja di sawah. Ketika seorang anak laki-laki beranjak dewasa dan memasuki usia produktif, maka selain bersekolah ia pun mulai diajarkan pada pola-pola pekerjaan yang berkaitan dengan usahatani sebagai salah satu sektor alternatif sumber nafkah bagi penduduk Desa Cipeuteuy yang tercermin pada tiga kampung kasus. Pada awalnya anak laki-laki akan diajarkan untuk mengambil rumput untuk pakan ternak (ngajukut) yang kemudian akan menjadi tugas/pekerjaan rutin yang dilakukan oleh anak laki-laki sebelum bersiap untuk melakukan praktekpraktek usahatani. Selain ngajukut anak laki-laki juga bertugas untuk mengambil kayu bakar di hutan untuk bahan bakar masak (ngala’ hawu). Kayu yang diambil berasal dari hutan TNGHS, dimana kayu-kayu tersebut bukan merupakan hasil tebangan baru, namun kayu bekas tebangan atau ranting-ranting yang telah jatuh, dengan demikian diperlukan sedikit ketrampilan memilih kayu dan mengemas kayu sedemikian rupa untuk mempermudah dalam memindahkan hasil kayu yang di’panen’. Selain daripada itu, anak laki-laki juga telah diajarkan untuk menyisiri kawasan hutan, sehingga ia tidak akan pernah tersesat saat mencari kayu dan selanjutnya, mengingat tiga kampung kasus tersebut seringkali mendapat kunjungan dari turis, peneliti ataupun pendatang, maka ketrampilan tersebut dapat digunakan untuk memandu mereka menyusuri hutan, seperti yang dilakukan oleh Bapak ‘AH’, yang pernah menemani peneliti dari Jepang mengelilingi TNGHS selama tujuh hari tujuh malam. Anak laki-laki yang telah dapat mandiri dalam
103
kegiatan ngajukut dan ngala’ hawu dapat membantu meringankan pekerjaan orang tuanya. Lain halnya dengan perempuan yang sedari dini telah diajarkan untuk melakukan pekerjaan domestik seperti membantu ibu memasak, menyediakan makanan untuk para pekerja dan membantu orang tua mereka mengasuh adikadiknya. Namun demikian, anak perempuan juga diperkenalkan pada kegiatan usahatani yang nantinya akan menjadi pekerjaan mereka, baik sebagai pekerja keluarga maupun sebagai buruh tani. Anak perempuan, sepulang dari sekolah mulai diperkenalkan kepada pekerjaan usahatani yang dilakukan oleh ibu mereka, meliputi
kegiatan
persemaian
(ngabungbung),
penyiangan
(ngarambet),
penanaman (tandur) dan proses panen. Pada beberapa rumahtangga petani, ditemukan bahwa kegiatan mengambil rumput untuk pakan ternak (ngajukut) juga dilakukan oleh anak perempuan. Pembagian kerja yang terjadi juga turut mendorong perbedaan perlakuan laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Perbedaan perlakuan antara RTP satu dengan lainnya relatif berbeda menurut perspektif tiap keluarga dalam memandang kebutuhan laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, dalam hal pendidikan, mayoritas ART menyatakan bahwa kecenderungan laki-laki memiliki pendidikan yang tinggi lebih besar dari perempuan dikarenakan laki-laki kelak akan menjadi penopang keluarga yang diasumsikan dapat bekerja lebih layak ketika mempunyai status pendidikan yang tinggi. Lain halnya dengan beberapa ART yang melalui wawancara mendalam mengungkapkan bahwa mereka lebih mementingkan pendidikan untuk anak perempuannya. Responden tersebut menyatakan bahwa laki-laki sebagai calon kepala rumahtangga harus memiliki
104
ketrampilan yang mencukupi sehingga ia dapat berkontribusi dalam pendapatan keluarga, pun dapat membina keluarga sejak dini, sehingga laki-laki lebih diarahkan pada peningkatan kapasistas dalam melakukan praktek-praktek usahatani daripada mengenyam pendidikan tinggi, yang hasilnya pun belum tentu dapat menjamin masa depan sang anak untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak. Anggapan tersebut muncul, karena anak laki-laki kerabat/tetangga mereka yang mengenyam pendidikan tinggi pada akhirnya kembali lagi ke kampung mereka dan melakukan kegiatan usahatani dengan alasan sulitnya mencari pekerjaan di kota. RTP yang beranggapan demikian cenderung membina anak laki-lakinya mengelola usahatani dan menyekolahkan anak perempuan mereka, agar meningkatkan status mereka dengan harapan nantinya memperoleh jodoh yang lebih baik. Ketika anak mengenyam pendidikan tinggi maka ia akan bertemu dengan lingkungan yang lebih luas, sehingga akan mempengaruhinya dalam penyeleksian pasangan hidup. Mereka mengharapkan pasangan hidup yang diperoleh anaknya berasal dari luar kampung/desa dengan pendidikan yang setara bahkan lebih tinggi.
6.1.2.
Hukum Adat yang Mengatur Kepemilikan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan. Secara tertulis maupun secara adat, penduduk Desa Cipeuteuy tidak
memiliki Hukum Adat yang mengatur mengenai kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya, namun ada kebiasaan- kebiasaan yang kemudian melembaga pada masing-masing kampung yang menjadi acuan dalam pengaturan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya. Dari hasil diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam yang melibatkan aparat desa dan
105
tokoh masyarakat diluar dari tiga kampung kasus, ditemui beberapa asumsi yang mendasari kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya. Individu laki-laki dan perempuan memperoleh hak atas kepemilikan sumberdaya agraria melalui proses jual beli, hibah dan waris. Kebanyakan kepemilikan lahan oleh perempuan berasal dari hibah dan waris. Sejumlah responden perempuan hasil wawancara mendalam menyatakan bahwa saat ini mereka hidup bersama suami dengan mengelola sumberdaya agraria milik suami. Hal ini bukan karena mereka tidak memiliki lahan, namun dikarenakan lahan yang mereka mereka warisi terletak jauh di tempat tinggal mereka dulu, sehingga mereka harus menjual atau menghibahkannya kepada saudara untuk mengelola lahan tersebut. Selanjutnya responden lainnya menyatakan bahwa mereka mengelola lahan yang dihibahkan oleh orang tua mereka dan meninggali rumah yang diwariskan kepada mereka. Dalam proses jual beli sumberdaya agraria, keduanya mempunyai hak yang sama untuk dapat menjual dan membeli sumberdaya agraria. Tidak ada ketentuan khusus pada tingkat desa yang mengatur proses jual beli atas keduanya kecuali peraturan-peraturan secara hukum yang mengatur syarat-syarat jual beli antara pihak penjual dan pembeli secara umum. Adapun syarat-syarat umum jual beli sumberdaya agraria – dalam hal ini adalah tanah/lahan - telah diatur dalam PS 1320 KUH Perdata dan UUPA dalam UU No 5 th 1960 an PP 24/1997 mengenai jual beli tanah. Adapun syarat umum sah jual beli berinduk pada kesepakatan, dimana subjeknya cakap hukum dan objeknya dalam keadaan tidak bertentangan hukum (tidak dalam status sengketa). Sedangkan syarat khusus untuk jual beli tanah antara lain : bukti Cash and carry, KTP, KK, surat nikah, sertifikat yang telah di cek BPN, 10 tahun melunasi PBB,
106
pembayaran pajak transaksi, dan Akta yang di tanda tangani oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai status hukum yang sama dalam proses jual beli, hanya saja terdapat ketentuan pada penjualan sumberdaya agraria, dimana ketika menjual baik laki-laki maupun perempuan harus didasari atas persetujuan pasangan hidupnya dengan pernyataan tertulis. Namun hal tersebut tidak berlaku jika masing-masing ingin membeli sumberdaya agraria. Selanjutnya mengenai batasan usia di atur dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Baik laki-laki maupun perempuan hanya dapat menjual dan membeli sumberdaya agraria setelah berumur 21 tahun (> 21 tahun), terkecuali jika kondisi individu belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah, maka ia dapat melakukan pembelian sendiri dan penjualan atas persetujuan pasangannya. Jika dalam peraturan hukum jual beli sumberdaya agraria, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, tidak demikian pada sistem pewarisan sumberdaya agraria terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan perolehan hak atas kepemilikan sumberdaya agraria terlihat jelas pada sistem pewarisan dimana antara laki-laki dan perempuan tidak selalu memperoleh bagian yang sama satu dengan lainnya. Hal ini menjadi sangat menarik mengingat Desa Cipeuteuy mempunyai sistem kekerabatan Sunda yang Bilateral. Berbeda dengan sistem kekerabatan di daerah Jawa yang patrilineal, dimana garis keturunan yang digunakan adalah garis keturunan ayah, pada sistem kekerabatan sunda, garis keturunannya berasal dari kedua orang tua, ayah dan ibu. Dengan demikian asumsinya, baik perempuan dan laki-laki memperoleh hak yang sama atas sumberdaya, termasuk sumberdaya agraria. Selain daripada itu, mayoritas penduduk Desa Cipeuteuy merupakan penduduk yang beragama Islam, dimana
107
dalam agama Islam telah diatur pembagian pewarisan yang jelas atas laki-laki dan perempuan12. Pembagian warisan menurut hukum Islam diatur dalam Q.S. An Nisa ayat 11 (4:11)13 yang menyatakan bahwa “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.......”. Dengan demikian laki-laki memperoleh warisan dua kali lebih banyak dari bagian perempuan (2:1). Ketentuan tersebut didasari oleh kondisi dimana kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah14. Pada dasarnya, penduduk Desa Cipeuteuy menggunakan ketentuan dari agama Islam (syari’at hukum Islam) dalam pembagian warisannya, yakni dengan perbandingan L:P=1:2. Dengan demikian laki-laki akan memperoleh bagian yang lebih banyak dari perempuan. Namun, dari kondisi yang demikianlah, beberapa rumahtangga mengaku masih mempertimbangkan kondisi anak laki-laki dan perempuan serta kebijakan keluarga dalam pembagian warisan. Ketiga kampung kasus sendiri memiliki perbedaan dalam sistem pewarisan. Menurut keterangan tokoh masyarakat yang berada di kampung 12
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Q.S. An Nisa (4:7) 13
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah) ; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi) maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Q.S. An Nisa (4:11) 14
......Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka......Q.S. An Nisa (4:34)
108
Sukagalih, proporsi penduduk yang menggunakan syari’at Islam rata-rata hanya 25 persen dibandingkan dengan 75 persen penduduk lainnya yang menggunakan kebijakan keluarganya dan pertimbangan kondisi anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian warisan. Demikian halnya yang terjadi pada kampung Cisalimar, dimana sistem pewarisan dengan syari’at Islam masih dijalankan, namun ada kebijakan pembagian harta dengan alternatif hibah melihat dari kondisi individu laki-laki dan perempuan yang akan diwarisi, seperti pernyataan yang dilontarkan Bapak “AH” selaku kepala Dusun pada saat diskusi kelompok terarah berlangsung yang menyatakan bahwa “Kalo waris disini mah pakai sistem hukum Islam, tapi suka ada kebijakan-kebijakan dalam keluarga. Misalnya lakilaki suka lebih besar atau karena perempuan kasihan cuma dapet sedikit yah dikasih lebih banyak lagi. Itu mah tergantung keluarganya juga”. Selanjutnya terdapat tiga pandangan dalam kebijakan keluarga mengenai sistem pewarisan, dimana yang pertama, beberapa responden menyepakati bahwa laki-laki memang seharusnya memperoleh bagian lebih banyak sehingga mereka menjalankan syari’at Islam, dan kebijakan penambahan bagian pun akan lebih besar kepada laki-laki. Seperti pernyataan Ibu ‘AC’ dari kampung Cisalimar yang mengatakan : ”Kan kalo anak laki-laki itu bakalan bawa istri, sedangkan anak perempuan mah nanti dibawa suaminya.” Hal ini juga selaras dengan pernyataan dari Bapak ‘AD’ yang berujar: “Sistem disini mah masih menganut pepatah “lalaki di gawe awewe nungguan di bere” yang berarti bahwa laki-laki yang memberi nafkah dan perempuan yang menunggu diberi. Namun ketika dalam FGD terlontar kasus mengenai pembagian warisan kepada anak perempuaan yang telah menikah dengan laki-laki yang
109
berkecukupan, mereka kembali berkesimpulan bahwa anak perempuan tetap memproleh hak waris, meskipun lebih sedikit dari laki-laki. Pada sistem pewarisan ini stereotipi gender masih mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam pembagian warisan. Lain halnya dengan sistem pembagian waris yang kedua, dimana sistem pewarisan yang berlaku cenderung sama menggunakan cara Islam, yang selebihnya tergantung pada kebijakan keluarga tersebut, namun sistem ini tidak melihat label gender yang disandang individu, misalkan seorang anak perempuan bisa saja ditambah dengan sejumlah hibah sehingga akan memperoleh bagian yang sama dengan laki-laki. Cara lainnya adalah jika terdapat dua orang anak baik itu laki-laki maupun perempuan, dimana anak pertama memiliki penghasilan yang lebih banyak dari anak laki-laki, maka pembagian lebih banyak kepada anak ke dua. Pada sistem pewarisan ini dimungkinkan pembagian kepada anak perempuan akan lebih besar. Hal ini didasari semata-mata oleh rasa sayang orang tua kepada anak perempuannya dan keinginan untuk berbuat adil disamping menjalankan syari’at. Pembagian warisan dengan pemikiran yang ketiga lebih mengedepankan keadilan yang merata antara laki-laki dan perempuan, dan cara inilah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Desa Cipeuteuy secara umum. Menurut penuturan Bapak ’EN’, selaku aparat desa, pembagian warisan di Desa Cipeuteuy tidak lagi menggunakan syari’ah. Sudah menjadi adat dan budaya bahwa pembagiannya dibagi secara rata. “Da’ laki-laki atanapi perempuan, semuanya anak saya, yah masa mau dibedakan, kalo masih ada ibunya ya dibagi rata dengan ibunya juga, disini mah meskipun ustad juga bagi rata aja lah.” ujarnya kemudian.
110
Beririsan dengan pernyataan Bapak ’TR’ yang menyatakan bahwa meskipun mayoritas masyarakat Desa Cipeuteuy beragama Islam, namun dalam pembagian harta warisan yang lebih menonjol adalah adat istiadatnya. Jika dalam agama pembagian warisan diatur yakni 1:2, semisal laki-laki mendapat satu bagian berarti perempuan memperoleh ½ bagian, namun yang terjadi di wilayah ini adalah pembagian secara rata yakni L:P=1:1. Merata yang dimaksudkan bukan hanya berkenaan dengan jumlah namun nominal/nilai rupiah. Dengan demikian pembagian warisan dengan sistem ini dapat dipengaruhi oleh lokasi/tipe lahan dan kondisi sumberdaya agraria. Harga tanah ditentukan menurut kelasnya. Harga tanah kelas 1 akan lebih mahal karena keberadaan tanah tersebut yang terletak di pingir jalan protokol/ibukota desa.Namun harga tanah Cipeuteuy lebih mahal dari Desa Kalapa Nunggal yang secara logika jaraknya lebih dekat dengan Kecamatan, hal ini dikarenakan atmosfer-nya yang sejuk dan lokasinya yang cenderung lebih dekat dengan tempat wisata. Adapun untuk tanah kelas satu harganya berkisar > 50.000/meter. Tanah Kelas dua, dipengaruhi oleh kontur tanah, dimana batasan dimulai dari as jalan menuju batas akhir jalan datar. Harga tanah kelas dua berkisar < 50.000/meter. Kelas tiga merupakan wilayah yang jauh dari jalan, namun masih dapat diakses oleh kendaraan bermotor. Harga berkisar antara 25.000-15.000/meter. Kelas empat, berada jauh dari jalan dan tidak dapat diakses oleh kendaraan bermotor, berkisar antara 5000-10.000/meter. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk wilayah di ibukota desa. Untuk wilayah yang jauh dari balai desa, kelas satu yang ada di daerah tersebut sama dengan kelas tiga di daerah ibukota desa. Dari uraian tersebut, dapat diambil contoh semisal ada dua petak sawah, dimana petak
111
pertama berlokasi di pinggir jalan (kelas satu) yang notabene lebih mahal dan petak kedua yang berlokasi di tengah desa (kelas dua) otomatis harga kedua lahan tersebut berbeda, maka pembagiannya pun berdasarkan nominal rupiah, bukan jumlahnya. Selain
lokasi,
kondisi
sumberdaya
agraria
juga
mempengaruhi
pembagian warisan. Seperti yang telah diketahui, harga sawah lebih mahal dari harga darat yang menurut penduduk desa hal ini disebabkan karena tanah sawah dapat dimanfaatkan untuk menanam padi dan dipergilirkan untuk menanam tanaman palawija dan pemeliharaan ikan. Disamping itu, pembuatan sawah lebih banyak mengeluarkan biaya dan membutuhkan perlakuan (proses pengolahan lahan, irigasi, dan lainnya) yang lebih sulit dari pembuatan ladang/darat. Menurut penduduk desa harga sawah dapat mencapai tiga kali lipat dari harga darat/ladang. Harga juga dapat dilihat dari hasil panen, karena luas lahan pun dapat dilihat dari hasil panen. Jika menanam sebanyak satu gedeng padi (tujuh kilogram padi besar, eman kilogram untuk padi bubuk) harganya berkisar diatas 20.000/meter, itupun sawah yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan desa dan jauh dari jalan utama. Jika sawah yang letaknya di pinggir jalan dan dekat dengan pusat pmerintahan desa, maka harganya dapat mencapai 100.000/meter. Dari kondisi sumberdaya agraria, contoh selanjutnya jika lahan kering dan lahan basah akan diwariskan kepada empat orang anak laki-laki dan perempuan secara seimbang, dimana lahan kering lebih luas dari lahan basah, maka lahan kering akan dibagi menjadi empat bagian yang sama, dan jika lahan basah tidak dapat dibagi dengan merata maka lahan itu akan dijual dan hasilnya akan dibagi rata untuk ke empat orang anak tersebut.
112
6.2.
Pengakuan Komunitas/Desa terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan
6.2.1.
Derajat Pengakuan Tokoh Masyarakat terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan Tokoh masyarakat di tingkat desa pada intinya mengakui adanya
kepemilikan perempuan atas sumberdaya agraria sedemikian halnya laki-laki. Berbeda dengan ketentuan hukum yang menetapkan usia 21 tahun sebagai batas usia hak membeli dan menjual, di Desa Cipeuteuy kepemilikan laki-laki dan perempuan telah diakui mulai pada usia 17 tahun keatas. Dengan demikian pengakuan kepemilikan sumberdaya agraria tidak hanya melalui proses jual beli, namun juga melalui sistem pewarisan dan hibah. Desa juga memiliki ketentuan-ketentuan dalan proses jual beli yang dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan, Adapun ketentuan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh alat-alat hukum dalam proses jual beli yang diantaranya adalah: pertama, pada lahan milik gonogini, jika istri mau menjual, maka harus ada persetujuan dari suami, dan jika suami menjual harus ada persetujuan dari istri; Kedua, jika menjual tanah milik Suami/Istri, maka harus ada persetujuan dari ahli warisnya; Ketiga, untuk tanah waris/hibah yang dimiliki oleh lebih dari satu orang anak dan salah satu ingin menjual maka harus ada izin dari saudara-saudaranya; Keempat, untuk tanah waris/hibah yang dihibahkan atau diwariskan dan belum dibuatkan akta hibah, maka ketika menjual dalam SPPT-nya masih menggunakan nama Bapak, disamping itu sebelum menjual harus izin saudara-saudaranya (tanda tangan di atas materai) dan membuat Surat Pernyataaan Kuasa Hibah (SPKH) Sebelum Di
113
aktakan, namun jika telah memiliki akta hibah maka tidak perlu dibuatkan surat lagi. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki pengakuan yang sama atas kepemilikan sumberdaya dan keduanya memiliki kemudahan yang sama dalam pengurusan kepemilikan sumberdaya agraria. Tidak hanya kepemilikan laki-laki dan perempuan atas lahan yang mendapat pengakuan dari tokoh masyarakat, penguasaan keduanya atas lahan pun diakui pada tingkat desa dan tokoh masyarakat. Kondisi sumberdaya agraria pada tiga kampung kasus mendorong penduduknya untuk menggarap lahan taman Nasional Gunung Halimun–Salak (TNGHS) dan lahan status quo eks PT. Intan Hepta. Dengan demikian, jumlah penguasaan lahan tentunya lebih banyak dari jumlah kepemilikan lahan. Tidak hanya laki-laki sebagai kepala rumahtangga yang diakui dapat menguasai lahan, namun perempuan–tidak hanya janda-juga diakui atas penguasaan lahan. Sebagai contoh, Ibu ‘SC’ yang tinggal di Kampung Cisalimar yang menguasai lahan sawah milik Bapak ‘ID’ (pemilik lahan yang tinggal di Jakarta) menguasai lahan dengan sistem sewa dan menguasai kebun lahan TNGHS dengan sistem garap dan ia
mendapat
pengakuan
dari
tokoh
masyarakat
setempat
dan
dapat
mempekerjakan beberapa buruh tani untuk mengelola lahannya. Contoh lainnya terjadi di kampung Cisalimar dimana kelompok perempuan secara khusus diberikan hak penguasaan atas lahan garapan kelompok yang dapat diusahakan dan dikelola sesuai dengan kebutuhan kelompok perempuan. Dengan adanya lahan kelompok khusus perempuan tersebut, perempuan selanjutnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas lahan yang mereka kuasai sendiri.
114
6.2.2.
Pencatatan Kepemilikan Lahan dalam Letter C Menurut penuturan aparatur desa, sebelum adanya Letter C, bukti
kepemilikan atas tanah yang digunakan adalah Girik dan Blangko. Pada tahun 1967, verifikasi pemilikan lahan yang dilakukan oleh BPN menghasilkan pencatatan kepemilikan lahan melalui Letter C desa. Kemudian pada tahun 1992, girik dan blangko sebagai bukti kepemilikan individu dihilangkan dan diganti dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Selain SPPT, sebelum diaktakan terlebih dahulu dibuatkan surat pemindahan kepemilikan hanya sementara (SEGEL). Dengan demikian sertifikasi tanah baru diberlakukan pada tahun 1992, sedangkan Hak Guna Usaha (HGU) sudah disertifikasi dari tahun 1972. Selanjutnya jumlah sertifikasi yang tercatat di desa berjumlah 75 buah dengan kepemilikan sebanyak 50 orang sedangkan jumlah Letter C tercatat hingga berjumlah 813 nomor. Pada tingkat desa diketahui bahwa jumlah laki-laki yang tercatat dalam Letter C desa lebih banyak dari jumlah perempuan. Kepemilikan lahan oleh perempuan yang berasal dari hibah atau waris, bisa jadi tidak tercatat atas nama perempuan tersebut, kecuali ia membeli lahan. Hal ini diduga karena belum adanya pemindahan kepemilikan melalui surat waris dan surat hibah, disamping itu penduduk Desa Cipeuteuy, mayoritas mendaftarkan kepemilikannya atas lahan dengan diatas namakan laki-laki. Menurut pengakuan dari masyarakat, mereka cenderung mendaftarkan dalam Letter C dengan mengatas-namakan/meminjam nama anak laki-laki mereka. Seperti bapak ‘AJ’ yang mengatakan bahwa ketika anak laki-lakinya
115
dewasa, maka ia akan membukukan hartanya atas nama anak laki-lakinya dan bukan anak perempuan pertamanya, pertimbangannya adalah, bahwa penopang keluarga adalah laki-laki dan selama ini laki-laki cenderung mempunyai sifat kritis, sehingga ketika namanya tercantum ia akan memperjuangkan harta tersebut, berbeda dengan sifat anak perempuan yang cenderung pasrah menerima keadaan. Dari anggapan tersebut, tidak sedikit perempuan yang memiliki lahan namun tidak tercatat dalam Letter C dikarenakan lahan tersebut tercatat atas nama saudara laki-laki atau orang tuanya. Dalam pencatatn Letter C terdapat pihak-pihak yang cenderung memilih menggunakan nama anak laki-lakinya dengan pertimbangan bahwa laki-laki dianggap lebih dapat bertanggung jawab untuk menjaga harta benda yang dimilki, sedangkan hanya beberapa pihak yang cenderung tidak mempermasalahkan nama anak perempuan atau laki-laki yang digunakan karena mereka berpandangan bahwa baik laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab dan hak yang sama dalam kepemilikan lahan. Adapun nama perempuan yang tercatat dalam Letter C menandakan bahwa perempuan tersebut memperoleh lahan dari hasil membeli dan jika mewarisi dan mendapat hibah, artinya ia telah mengganti nama pemilik sebelumnya dengan menerbitkan surat waris/hibah sehinga kepemilikannya atas sumberdaya agraria menjadi sah. 6.2.3.
Bukti SPPT Iuran Desa Menurut Individu Pemiliknya Seperti yang telah diuraikan di atas, SPPT mulai diberlakukan pada tahun
1992 sebagai pengganti girik dan blangko. Adapun jumlah SPPT yang tercatat di desa berjumlah 1.212 lembar SPPT dengan kepemilikan sebanyak 308 orang.
116
Setelah dianalisis, dari 308 pemegang SPPT, diperoleh jumlah laki-laki sebanyak 225 orang dan jumlah perempuan sebanyak 83 orang pemegang SPPT. Adapun masing-masing orang berpeluang memiliki satu hingga sepuluh lembar SPPT. Ditemukan beberapa diantaranya menggunakan nama yang berbeda pada tiap SPPT, hal ini diduga memberikan peluang untuk memiliki lembarlembar SPPT selanjutnya, sehingga jika menggunakan nama yang berbeda asumsinya pemiliknya adalah orang yang berbeda. Tercatat pada tahun 2007, total pembayaran pokok sebanyak Rp 8.020.561,-. Untuk SPPT, biasanya digunakan juga nama anak laki-laki sebagai anak pertama, sama halnya dengan pencatatan SPPT, jika anak pertama adalah perempuan, maka tergantung kepada kebijakan keluarga masing-masing.
117
BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah, seperti Bogor, Sukabumi, Garut dan sebagainya. Mereka datang sebagai buruh pekerja pada perkebunan teh Pandan Arum dan tinggal pada bedeng-bedeng yang disediakan. Desa Cipeuteuy mengalami dinamika penguasaan sumberdaya agraria yang secara periodisasi dapat dibagi menjadi lima periode, yakni masa Perkebunan Pandan Arum pada jaman Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, perkebunan Intan Hepta dan masa masuknya program-program kemasyarakatan. Adapun dinamika tersebut akhirnya akan menciptakan hubungan sosio-agraria antara subjek-subjek agraria yang berkepentingan pada sumberdaya agraria. Hubungan ini selanjutnya akan membentuk struktur agraria pada Desa Cipeuteuy dengan pihak-pihak yang selama ini berkepentingan atas sumberdaya agraria. Menurut penuturan salah satu warga Kampung Cisalimar yang paling tua Pada masa Belanda, semua orang yang ada di Desa Cipeuteuy merupakan pekerja perkebunan sebagai buruh perkebunan, kuli kontrak dan pendatang yang memiliki tujuan tertentu, termasuk untuk meningkatkan taraf hidupnya, sehingga kebutuhan hidup dan masa depannya sepenuhnya digantungkan kepada perkebunan. Praktis, mereka hanya menjadi organ dan pelengkap dari suatu sistem besar industri perkebunan.
118
Sebagai buruh perkebunan mereka hanya mengerjakan pekerjaan di perkebunan teh. Mereka tidak membuka lahan, baik untuk pertanian maupun perkebunan, terlebih lagi membuka kawasan hutan. Mereka tinggal pada bedengbedeng yang telah disediakan dan mereka telah diberi suplai untukpemenuhan kebutuhan sehari-hari mulai dari makanan pokok hingga kebutuhan bambu, kayu bakar dan kayu untuk bangunan. Pihak perkebunan pun telah menyediakan areal tersendiri untuk tanaman kayu bakar, bambu dan kayu bangunan, sehingga pada saat itu tidak ada orang yang diperbolehkan untuk masuk ke dalam hutan, terlebih lagi dengan membawa golok ataupun kampak. Pada masa Jepang, masyarakat Cipeuteuy mengalami penderitaan. Perkebunan teh dirusak dan dibakar dan masyarakat dipaksa untuk membuka lahan-lahan pertanian, berhuma, tanam jagung dan umbi-umbian, namun hasil pertaniannya banyak diambil oleh Jepang. Pada masa tersebut banyak kampungkampung mulai dibuka. Rumah-rumah mulai bertambah, sawah-sawah dan pemukiman mulai dibuka. Selanjutnya pada jaman kemerdekaan, banyak masyarakat yang membuka lahan-lahan eks perkebunan teh Pandan Arum untuk berhuma dan berkebun. Pada tahun 1958 banyak tanah eks perkebunan Pandan Arum tersebut yang digarap masyarakat diberikan surat Letter C. Kemudian, tahun 1963 dikeluarkan surat keputusan dari agraria mengenai pembebasan tanah untuk garapan masyarakat. Pada masa perkebunan Intan Hepta, masyarakat kembali menjadi buruh dan pekerja seperti halnya yang terjadi pada masa perkebunan Pandan Arum, namun tidak semua anggota masyarakat bekerja disitu, telah banyak yang
119
memiliki sawah, lahan garapan, dan kebun. Disamping itu telah banyak yang mencari pekerjaan di kota, baik sebagai buruh, atau kuli bangunan, sehingga tidak lagi menggantungkan hidup pada perkebunan. Dengan demikian pola interaksi yang terjadi menjadi lebih bebas, terbuka dan tidak ketergantungan. Pada tahun 1969, tanah-tanah eks erfpacth yang dikonversi menjadi HGU mulai dibuka kembali. Tahun 1973 terjadi pembebasan lahan yang dilakukan kontraktor pembebasan tanah dari PT. Intan Hepta, meskipun pada tahun 1963 sudah banyak tanah yang diberikan Petok C. Tanah-tanah eks perkebunan Pandan Arum yang sudah digarap masyarakat diberikan ganti rugi sebanyak Rp.7.000,per hektar. Pada tahun 1975 PT. Intan Hepta yang dimiliki oleh Thoyib Hidayatullah, seorang menteri pertanian pada saat itu melakukan penanaman cengkeh seluas 583 hektar. Namun demikian, PT. Intan Hepta tidak bertahan lama karena hasil cengkehnya tidak terlalu baik. Perkebunan ini kemudian diterlantarkan dan sempat menjadi sarang babi hutan yang mengganggu perkebunan masyarakat. Pada akhirnya masyarakat diperkenankan untuk menggarap selebar empat meter dari sisi jalan dan tanaman cengkeh mulai ditebangi pada tahun 1997 Sebagian lahan yang tidak digarap oleh rakyat disubkontrakkan pada pihak lain untuk ditanami pohon yang berumur pendek sambil memanfaatkan sisa waktu HGU yang habis pada tahun 2000 Berkah kebangkrutan PT. Intan Hepta sebelumnya didahului oleh adanya kesempatan untuk melakukan tebangan hutan pada kawasan hutan produksi. Disamping melakukan tumpangsari mereka juga memperoleh tambahan pendapatan dari pekerjaan perawat tanaman pokok, seperti upah mengolah lahan,
120
pemupukan dan penyiangan. Masa tersebut merupakan masa yang penuh berkah bagi masyarakat Desa Cipeuteuy, karena mereka mendapatkan lahan garapan yang luas untuk perkebunan dan tumpangsari. Dengan demikian masyarakat dapat melakukan tumpansari pada lahan kehutanan eks tebangan Perhutani, selain itu, mereka dapat mengelola lahan eks perkebunan Perhutani. Akan tetapi pada masa itu kelimpahan ini diterima begitu saja tanpa diikuti oleh peningkatan kreatifitas dan daya jual yang tinggi, melainkan mereka selalu mengeluh mengenai modal. Mereka tidak mengupayakan adanya irigasi teknis ataupun menanam tanaman yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Mereka hanya menanam tanaman yang ada dan bisa dibiarkan berkembang sendiri tanpa perawatan, seperti singkong, pisang dan sejenisnya. Sehingga pemanfaatan lahan eks perkebunan Intan Hepta yang masing-masing mencapai seluas satu hektar tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi mereka. Meskipun masih diliputi rasa takut, karena terdesak kebutuhan hidup, banyak masyarakat desa dan luar desa memanfaatkan lahan bekas perkebunan Intan Hepta. Pada awalnya, ada yang menggarap secara sembunyi-sembunyi dan perlahan-lahan tetapi akhirnya mereka masuk dan menggarap secara terangterangan setelah mereka dibiarkan untuk mengelola lahan. Pembukaan lahan inipun juga dilakukan oleh warga desa tetangga yang kemudian menetap, salah satunya dilakukan oleh kelompok tani yang dikoordinir oleh Bapak ‘PI’ yang hingga saat ini bersama dengan kelompok taninya memerjuangkan status lahan eks HGU.
121
Sudah hampir sepuluh tahun kelompok tani ini berkonflik dengan pemegang kepemilikan HGU lahan perkebunan eks Intan Hepta. Pemilik HGU menginginkan agar ia dapat memperpanjang masa HGU, sedangkan Bapak ‘PI” dengan kelompoknya berusaha agar HGU tersebut tidak lagi diperpanjang dan warga memperoleh hak garap pada lahan tersebut. Pada masa masuknya program kemasyarakatan mulai dikembangkan pertanian modern dengan komoditas yang padat modal, seperti tanaman cabai, tomat dan sayuran lainnya yang membutuhkan saprodi lebih banyak seperti mulsa plastik, pupuk kimia dan pestisida. Pada masa ini mulai banyak bantuan yang datang dari pemerintah, lembaga kemasyarakatan, akademisi hingga LSM. Hal ini sangat mempengaruhi perubahan pola pikir masyarakat. Masayarakat menjadi lebih
konsumtif,
dan
cenderung
pasif
untuk
berusaha.
Mereka
lebih
mengharapkan bantuan dari luar. Hal ini dipicu oleh kesalahan pihak luar dalam melakukan pendekatan pada masyarakat. Sebagai contoh, LSM Internasional pernah mengadakan pendampingan, dimana pada setiap pertemuan, masyarakat diberikan uang saku/amplop, sehingga hal ini membentuk pola pikir masyarakat yang memandang bahwa, setiap ada pihak luar yang masuk Desa Cipeuteuy, maka pasti akan ada bantuan atau sumbangan. Selain itu, banyaknya lembaga-lembaga yang menjalankan program di Desa Cipeuteuy juga mempengaruhi pola-pola yang ada di masyarakat. Menurut penuturan dari informan, beberapa program tidak datang dari keinginan warga dan cenderung dipaksakan untuk diarahkan kepada kepentingan lembaga. Perbedaan pola penguasaan antar subjek agraria (komunitas, pemerintah dan pihak swasta) direpresentasikan dengan suatu hubungan kelas-kelas sosial.
122
Adanya hubungan antar kelas ini akan membentuk suatu tatanan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria. Dari dinamika penguasaan sumberdaya agraria yang terjadi, maka Desa Cipeuteuy memiliki tatanan sosial, yakni struktur agraria yang terbagi menjadi tiga tipe penguasaan sumberdaya agraria, yakni tipe kapitalis, sosialis dan tipe populis dengan hubungan sosio agraria seperti pada Gambar 4. Pada tipe kapitalis, sumberdaya agraria dimiliki oleh perusahaan, atau pemilik modal. Hubungan yang terjadi antara subjek agraria adalah hubungan majikan- buruh.yang pada Desa Cipeuteuy subjek agrarianya antara lain PT. Intan Hepta, petani penggarap dan pemerintah desa sebagai pihak yang selama ini menjadi perantara antara dua pihak tersebut. Gambar 4. Bagan Struktur Agraria Desa Cipeuteuy
Petani Pemilik Komunitas Hunungan intra subjek
- Kelompok tani - Petani Pemilik - Petani penggarap - Buruh Tani
Buruh Tani
Sumberdaya Agraria - Eks HGU Perkebunan Intan Hepta - Perkebunan Rakyat - Lahan TNGH-S - Lahan Perorangan
Swasta
PT. Intan Hepta
Sumber:Penelusuran Peneliti Pada Desa Cipeuteuy tahun 2007
Pemerintah Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupaten Sukabumi TNGH-S
123
Pada tipe sosialisme, sumber agraria dikuasai oleh negara atas nama kelompok, dimana hubungan sosio agraria yang terjadi adalah hubungan ketua –a nggota. Di Desa Cipeuteuy, tipe sosialis dapat ditemui pada lahan yang dikelola kelompok tani secara bersama-sama. Subjek agrarianya antara lain pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), kelompok tani dan pemerintah desa. Pihak TNGHS menyediakan lahan untuk dikelola dan dimanfaatkan bersama oleh kelompok tani pada Kampung Sukagalih. Tipe populisme merupakan tipologi yang mendominasi wilayah Cipeuteuy, dimana sumberdaya agraria dikuasai oleh keluarga atau rumah tangga pengguna. Adapun subjek agrarianya antara lain petani pemilik, petani penggarap dan buruh tani. Hubungan yang terjadi antara subjek agraria adalah hubungan intra subjek agraria yang tercermin dalam hubungan patron-klien. Selanjutnya, Hubungan yang terjadi antara subjek agraria dengan sumberdaya agraria ditunjukkan dari pengelolaan sumberdaya agraria. Pada Desa Cipeuteuy tidak ditemukan hubungan teknis yang eksploratif. Hampir seluruh pengelolaan sumberdaya agraria dilakukan secara konservatif, dalam artian pengelolaannya memperhatikan kelestarian dan keberlangsungan lingkungannya. Hal ini salah satunya ditunjukkan dari peran serta masyarakat dalam menjaga hutan
124
BAB VIII RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA 8.1.
Pola Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria Pola Kepemilikan dan Penguasaan merupakan dua hal yang berbeda.
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Wiradi (1984) bahwa “kepemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal sedangkan “penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif”. Kepemilikan dapat dilakukan dengan cara membeli, mewarisi dan hibah, sedangkan penguasaan lebih jauh dalam hal ini diartikan sebagai penguasaan atas sumberdaya agraria yang bukan saja melalui hak milik, namun juga hak garap atau hak pemanfaatan. Perbedaan kepemilikan dan penguasaan lahan ini akan menciptakan pola-pola kepemilikan dan penguasaan pada masing-masing rumahtangga, dengan pola kepemilikan masing-masing komponen individu di dalamnya. 8.1.1.
Pola kepemilikan Sumberdaya Agraria Kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya baik
laki-laki, maupun perempuan dalam pengelolaan sumberdaya agraria sedari dini menjadi pola tersendiri bagi perkembangan keduanya, sehingga sangat dimungkinkan ketika keduanya beranjak dewasa, baik laki-laki dan perempuan akan mengelola lahannya sendiri. Hal ini akan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan lahan, termasuk pengambilan keputusan atas lahan yang dimilikinya. Berdasarkan kelompok diskusi terarah (FGD) yang dilaksanakan pada tiga kampung kasus dengan melibatkan laki-laki dan perempuan di dalamnya,
125
serta hasil wawancara mendalam telah diketahui adanya pengakuan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria. Hal ini berarti baik laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan sumberdaya agraria yang diperoleh baik dengan cara membeli, mewarisi dan hibah. Penduduk Desa Cipeuteuy sendiri, seperti telah diuraikan sebelumnya mempunyai tiga cara dalam pewarisan, dimana salah satunya diberikan melalui dua tahapan, yakni sistem pewarisan secara islam dengan pembagian 2:1 dan dilanjutkan dengan pembagian secara merata, tergantung pada kebijakan yang dimiliki keluarga. Dengan demikian peluang laki-laki dan perempuan untuk memiliki sumberdaya agraria, sama besarnya. Berangkat dari adanya sistem pewarisan yang terjadi pada masyarakat sunda yang bilateral, maka di lapangan diperoleh dua kategori kepemilikan sumberdaya agraria. Adapun kepemilikan yang pertama adalah kepemilikan sumberdaya agraria oleh laki-laki/suami dan perempuan/istri secara individu, dimana kepemilikannya dapat berlangsung sebelum individu tersebut menikah melalui proses pembelian maupun hasil dari pemberian dari orang tua berupa warisan/hibah yang ketika mereka menikah-pun, harta tersebut merupakan harta pribadi dan apabila mereka sudah bercerai-pun, mereka akan tetap dapat memilikinya. Kategori kedua adalah gono-gini atau guna kaya, dimana kepemilikannya merupakan kepemilikan bersama yang diperoleh setelah menikah melalui pembelian dari hasil keduanya dan jika terjadi perceraian, maka harta tersebut akan dibagi agar masing-masing memperoleh bagiannya. Dari bentuk kepemilikan tersebut kemudian ditemukan kombinasi tiga bentuk kepemilikan dan pola-pola kepemilikan. Kombinasi yang pertama adalah
126
kombinasi satu bentuk kepemilikan saja, yakni milik suami (S), milik istri (I) dan gono-gini (G). Selanjutnya adalah kombinasi dua bentuk kepemilikan yakni milik suami dan milik istri (S-I), milik suami dan gono-gini (S-G), milik istri dan gonogini (I-G). Yang terakhir adalah kombinasi tiga bentuk kepemilikan dalam satu rumahtangga yakni milik suami, milik istri dan gono-gini (S-I-G). Pada Tabel 17 menunjukkan jumlah rumahtangga survei dengan pola kepemilikan lahan pada masing-masing rumahtangga. Secara umum rumahtangga petani yang tercatat memiliki kepemilikan lahan berjumlah 70 rumahtangga dan sebesar 30 persen dari total rumahtangga yang disurvei tidak memiliki sumberdaya agraria, termasuk 15 persen rumah tangga yang hanya memiliki hak garap. Pada Tabel 17 diketahui bahwa dari total rumahtangga yang di survey, sebanyak 70 persen RTP yang memiliki sumberdaya agraria dengan pola kepemilikan yang beragam pada tiap stratum dengan 18 persen RTP pada stratum atas, 20 persen pada stratum menengah, dan 32 persen pada stratum bawah. Adapun jumlah persentase pola kepemilikan yang paling banyak adalah RTP dengan pola kepemilikan individu suami saja, dimana persentase tertinggi ada pada stratum atas yang diikuti kemudian oleh stratum bawah dan menengah. Persentase selanjutnya ada pada RTP dengan kepemilikan berpola gono-gini, dimana persentase tertinggi pada stratum bawah, kemudian disusul oleh stratum atas dan menengah. Hal ini diduga karena pasangan suami istri pada stratum yang rendah cenderung membeli sumberdaya agraria secara bersama-sama setelah menikah dengan hasil usaha bersama. Untuk rumahtangga yang mempunyai pola
127
kepemilikan oleh istri saja hanya ditemui pada rumahtangga dengan stratum menengah dan bawah Selanjutnya pada dua pola kepemilikan, khusus pada kepemilikan dengan kombinasi suami-istri dan suami-gono-gini, persentase lebih besar ada pada RTP stratum atas, menengah dan pada stratum bawah yang terkecil. Pada pola istri gono-gini hanya ditemui pada stratum menengah, sedangkan untuk tiga bentuk kombinasi dapat dipastikan hanya ditemui pada stratum atas dan menengah. Tabel 17. Pola Kepemilikan Lahan Pada Tiga Kampung Kasus Tahun 2007 (dalam Persen) Pola Kepemilikan S I G S-I S-G I-G S-I-G Total (Persen) Total (Jumlah)
Stratum Atas 11,43 0,00 4,29 2,86 4,29 1,43 1,43 25,71 18
Stratum Menengah 8,57 4,29 7,14 1,43 4,29 0,00 2,86 28,57 20
Stratum Bawah 15,71 7,14 14,29 4,29 1,43 2,86 0,00 45,71 32
Total 35,71 11,43 25,71 8,57 10,00 4,29 4,29 100,00 70
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 70 (Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32)
Distribusi sumberdaya agraria menurut pola kepemilikannya ditunjukkan pada pada Tabel 18. Data tersebut menjelaskan bahwa distribusi sumberdaya kepada laki-laki/suami masih lebih banyak daripada RTP yang hanya istrinya saja yang memiliki sumberdaya agraria. Persentase luasan sumberdaya agraria tertinggi selanjutnya terdistribusi pada pola kepemilikan suami,istri dan gono-gini. Dan persentase luasan terkecil ada pada dua pola kepemilikan yakni kepemilikna istri-gono-gini. Lebih lanjut ditemukan bahwa RTP yang memiliki pola
128
kepemilikan individu lebih banyak dari RTP yang memiliki pola kepemilikan bersama. Tabel 18 Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi, dan Pola Kepemilikan Sumberdaya Agraria Tahun 2007 (dalam persen dan total jumlah dalam are) Pola Kepemilikan S I G S-I S-G I-G S-I-G Total (Persen) Total (Jumlah)
Stratum Atas 38,75 0,00 6,44 4,71 3,37 1,15 16,55 70,97 1501
Stratum Menengah 4,43 2,17 6,89 1,71 3,51 0,00 0,76 19,48 412
Stratum Bawah 2,73 1,13 3,67 1,02 0,20 0,83 0,00 9,57 202
Total 45,91 3,30 17,00 7,44 7,08 1,98 17,30 100,00 2115
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 70 (Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32)
Kampung Sukagalih dan Cisalimar memiliki lima pola kepemilikan dimana RTP dengan pola kepemilikan individu masih lebih banyak di RTP dengan pola kepemilkan bersama, pun demikian halnya pada Kampung Pasir Masigit dimana pada kampung tersebut hanya ditemukan empat pola kepemilikan, yakni kepemilikan individu/kombinasi satu bentuk kepemilikan dan dua bentuk kepemilikan dan tidak ada rumahtangga yang memiliki komposisi tiga bentuk kepemilikan. 8.1.2.
Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria Selain lahan milik yang diperoleh dari waris, hibah dan membeli, petani
juga memiliki akses terhadap sumberdaya agraria berupa lahan sawah dan kebun dengan cara menggarap, menyewa, gadai dan melakukan sistem bagi hasil yang selanjutnya termasuk dalam penguasaan lahan.
129
Munculnya pola penguasaan selain lahan milik ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya, banyaknya lahan yang telah dijual dan menjadi milik orang-orang di luar kampung, termasuk orang ‘kota’ yang kemudian mengkondisikan para petani untuk kehilangan hak miliknya dan hanya memperoleh hak garap. Selain itu keberadaan lahan status quo eks-HGU PT. Intan Hepta dan kawasan wilayah TNGHS yang memberikan kesempatan seluasnya bagi para petani untuk memanfaatkan lahan menjadi momentum banyaknya petani yang menjadi petani penggarap. Kebutuhan para petani untuk menggarap lahan membuat mereka melakukan bentuk-bentuk penguasaan yang pada kenyataanya mereka cenderung menguasai banyak lahan dengan pola yang berbeda. Bentuk-bentuk penguasaan tersebut kemudian menjadi pola-pola penguasan sumberdaya agraria. Selanjutnya ditemukan tujuh bentuk penguasaan lahan diluar lahan milik yang yang ada pada tiga kampung kasus, terdiri dari satu bentuk penguasaan lahan yakni garap, sewa dan bagi hasil. Kombinasi dua bentuk penguasaan lahan, yakni garap-bagi hasil dan sewa- bagi hasil dan komposisi dari tiga betuk penguasaan lahan yakni garapsewa- hibah Pada disajikan bentuk-bentuk pola penguasaan lahan, dimana setiap tingkatan stratum memiliki keberagaman pola penguasaan. Untuk stratum atas, ART laki-laki dan perempuan mengolah lahan dengan cara menggarap, sebanyak 54,73 persen luas lahan sawah, dan 45,27 persen lahan kebun. Pola penguasaan bagi hasil saja paling sedikit dilakukan, sedangkan persentase luas yang digarap pola garap-bagi hasil masih lebih tinggi pada lahan kebun daripada lahan sawah.
130
Tabel 19. Pola Penguasaan Lahan Pada Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy berdasarkan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam are dan persen) Pola Penguasaan Milik Garap Garap-Bagi Hasil Total (Persen) Total (Jumlah) Milik Garap Sewa Garap-Bagi Hasil
Sawah Kebun Stratum Atas 54,64 45,05 0,08 0,19 0,01 0,02 54,73 45,27 77.524 64.120 Stratum Menengah 54,03 0,14 0,00 0,02
Total 99,70 0,27 0,03 100,00 141.644
44,70 0,41 0,06 0,00
98,74 0,55 0,06 0,02
0,37 45,54 18.541
0,64 100,00 40.715
Garap-Sewa-Gadai Total (Persen) Total (Jumlah)
0,27 54,46 22.174 Stratum Bawah
Milik
70,93 0,52 0,02 0,04
25,56 1,96 0,00 0,00
96,59 2,47 0,02 0,04
Garap-Bagi Hasil Sewa- Bagi Hasil Total (Persen) Total (Jumlah)
0,00 0,07 71,57 14.159 Total
0,51 0,30 28,43 5.624
0,51 0,37 100,00 19.783
Milik
56,11 0,13 0,00 0,00 0,01 0,01 0,05 56,32 113.857
43,08 0,41 0,01 0,00 0,07 0,03 0,07 43,67 88.286
99,20 0,54 0,01 0,01 0,08 0,04 0,13 100,00 202.143
Garap Sewa Bagi Hasil
Garap Sewa Bagi Hasil Garap-Bagi Hasil Sewa- Bagi Hasil Garap-Sewa-Gadai Total (Persen) Total (Jumlah)
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 85 (Stratum A=20, Stratum B=24, Stratum C=41)
Pada stratum menengah, jumlah lahan yang dioleh dengan kombinasi cara garap-sewa-gadai memiliki persentasi luas lebih tinggi dibandingkan luasan
131
yang diolah dengan cara garap, sewa dan garap-bagi hasil. Persentase luasan kebun yang dikelola masih lebih banyak daripada luasan sawah pada keempat pola penguasaan yang ditemui pada stratum menengah.. Pada stratum bawah, persentase luasan sumberdaya agraria yang paling tinggi dikuasai dengan sisitem garap yang diikuti oleh kombinasi garap-bagi hasil, sewa-bagi hasil, bagi hasil, dan sistem sewa yang memiliki persentase terendah. Pasa stratum bawah, tidak ada kebun yang diolah dengan sistem sewa dan bagi hasil dan ditemui bahwa tidak ada sawah yang dikuasai dengan sistem kombinasi garap-bagi hasil. Secara keseluruhan, pola penguasaan yang dimiliki oleh RTP dengan persentase tertinggi adalah satu bentuk pola penguasaan dengan sistem garap, sedangkan persentase terendah dilakukan dengan cara bagi-hasil. Banyaknya RTP yang berpola garap dalam penguasaan sumberdaya agraria dipengaruhi oleh aksesibilitas pengelolaan lahan TNGHS dan eks HGU PT. Intan Hepta yang tidak terbatas. Dengan demikian penduduk yang memiliki modal untuk membuka lahan, dapat menggarap lahan tanpa harus menyewa, bagi hasil ataupun kombinasi daripadanya. Jika dilihat sebarannya, maka penguasaan-non milik lebih luas lahan kebun dibandingkan sawah, hal ini dikarenakan lahan yang dibuka adalah lahan kering. Penguasaan atas lahan pada stratum bawah lebih luas dibandingkan dengan stratum atas, hal ini diduga berhubungan erat karena RTP pada stratum bawah akan cenderung lebih memilih untuk membuka lahan dan menggarapnya daripada membeli lahan, meskipun hal tersebut cenderung kurang aman.
132
Pada Kampung Sukagalih terdapat tiga pola penguasaan lahan, dimana para petani di Sukagalih menguasai lahan, selain dari hak milik, juga menggarap dengan cara bagi hasil dan kombinasi antara menggarap dan bagi hasil. Pada Kampung Cisalimar ditemukan empat pola penguasaan lahan selain hak milik yang dilakukan dengan cara menggarap, kombinasi antara menggarap dan bagi hasil, sewa dan bagi hasil dan kombinasi tiga bentuk penguasaan dengan cara menggarap-menyewa dan menggadai. Pada Kampung Cisalimar hanya ditemui tiga pola penguasaan sumberdaya agraria selain hak milik. Selanjutnya, diketahui bahwa jumlah petani yang menguasai lahan dengan cara menggarap lebih banyak dibandingkan pola penguasan lainnya yakni secara keseluruhan sebesar 84,9 persen rumahtangga yang menggarap dari total rumahtangga yang menguasai lahan. Kondisi ini berkenaan dengan lokasi tiga kampung kasus yang masih beririsan dengan TNGHS dan lokasinya sangat dekat dengan lahan status quo eks HGU PT. Intan Hepta. Hal tersebut berarti bahwa masyarakat di tiga kampung kasus memiliki akses terhadap lahan milik TNGHS dan lahan eks HGU PT. Intan Hepta. TNGHS dalam hal ini telah memberikan kesempatan kepada para petani untuk membuka lahan dan memanfaatkan lahan pada batas koridor hutan. Praktek ini secara langsung diawasi oleh masyarakat yang tergabung dalam jaringan masyarakat hutan koridor (JAMASKOR), sehingga tidak ada masyarakat yang akan membuka lahan melewati zona/ batasan koridor lahan hutan dengan lahan masyarakat. Sedangkan lahan eks HGU dapat diakses masyarakat, baik secara legal maupun ilegal, karena lahan tersebut dalam keadaan status-quo, namun kondisi ini justru memberikan kecemasan tersendiri
133
atas kondisi lahan, karena petani mulai menanam pada lereng-lereng bukit yang seharusnya menjadi penyangga dan tidak boleh ditanami. 8.2.
Pemilikan Sumberdaya Agraria Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, mayoritas penduduk Desa
Cipeuteuy, khusunya pada kampung Sukagalih, Cisalimar dan Pasir Masigit merupakan petani pemilik, penggarap dan buruh tani yang mengelola lahan sawah dan lahan kering/kebun. Telah diuraikan mengenai pola-pola kepemilikan yang dimiliki tiap rumahtangga petani yang disurvei pada tiga kampung kasus, dimana pola-pola kepemilikan tersebut diduga mempengaruhi relasi gender anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan dalam tingkat akses dan tingkat kontrol ART petani laki-laki dan perempuan terhadap kepemilikan sumberdaya agraria. Selanjutnya kepemilikan atas sumberdaya akan dilihat melalui kepemilikan individu secara utuh pada masing-masing rumahtangga yang juga menentukan tingkat akses masing-masing anggota rumahtangga tersebut akan kepemilikan sumberdaya agraria. Adapun jenis lahan milik meliputi lahan sawah, lahan kebun, pekarangan, dan kolam. 8.2.1.
Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Kepemilikan Sumberdaya Agraria Adanya pengakuan komunitas dan desa terhadap kepemilikan laki-laki
dan perempuan atas sumberdaya agraria secara tidak langsung mempengaruhi akses keduanya terhadap kepemilikan lahan, karena laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama untuk memiliki sumberdaya agraria melalui proses jual beli. Sistem pewarisan yang diterapkan di Desa Cipeuteuy juga
134
memberikan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk memiliki lahan melalui pewarisan dan hibah. Merujuk pada pola-pola kepemilikan dan penguasaan lahan diperoleh bentuk-bentuk kepemilikan atas individu yang telah diakui oleh komunitas hingga tingkat desa, yakni kepemilikan laki-laki/suami, kepemilikan perempuan/istri dan kepemilikan secara gono-gini (guna kaya). Kepemilikan secara inividu ini kemudian menggambarkan akses dan kontrol ART laki-laki dan perempuan atas kepemilikan lahan. Pada Tabel 20 telah disajikan jumlah luasan lahan yang dimiliki oleh ART laki-laki dan perempuan secara individu maupun bersama dilihat dari seluruh ART yang disurvei. Tabel 20. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Status Kepemilikan Lahan dan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam persen dan total jumlah dalam are) Kepemilikan Sawah Kebun Pekarangan Kolam Total (Persen) Total (Jumlah)
Laki-laki 41,52 23,45 1,58 0,16 66,71 1416,6
Perempuan 3,20 3,14 0,52 2,39 9,24 196,3
Gono-Gini 9,07 14,42 0,46 0,09 24,05 510,7
Total 53,80 41,01 2,56 2,64 100,00 2123,6
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 70 (Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32)
Dilihat dari luas lahan yang berstatus milik, Kepemilikan lahan pada 3 kampung kasus adalah seluas 2123,6 are (21,23 hektar) dengan rata-rata kepemilikan lahan sebesar 24,97 are per rumahtangga. Adapun komposisi kepemilikan lahan sebesar 53,8 persen lahan sawah, 41.01 persen lahan kebun, 2.56 persen lahan pekarangan dan 2,64 persen lahan kolam. Secara keseluruhan dari 100 rumahtangga ditemukan bahwa luas lahan yang dimiliki oleh laki-laki
135
memiliki persentase lebih tinggi dari lahan yang dimiliki oleh perempuan. Seluas 66.71 persen dari total lahan kepemilikan pada tiga kampung kasus dimiliki oleh laki-laki, selanjutnya sebesar 24,05 persen lahan kepemilikan dimiliki secara bersama/gono-gini dengan komposisi 9.07 persen lahan sawah, 14.42 persen lahan kebun, 0.46 persen lahan pekarangan dan 0.09 persen lahan kolam, sedangkan sisanya sebesar 9,24 persen adalah milik perempuan. Dengan demikian laki-laki memiliki persentase tertinggi dalam kepemilikan lahan dengan kepemilikan lahan sawah seluas 41,52 persen dan 23,45 persen lahan kebun dari total lahan kepemilikan. Dari pencacahan lengkap 100 rumahtangga, diperoleh gambaran mengenai tingkat akses anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan atas kepemilikan sumberdaya agraria. Pada Tabel 21 diketahui luas total kepemilikan lahan dari 100 rumahtangga adalah sebanyak 1494,2 are dengan rata-rata kepemilikan lahan 14,94 are per rumahtangga, dimana masing–masing seluas 58,9 persen dimiliki oleh stratum atas, 27,6 persen stratum menengah dan 13,5 persen pada stratum bawah. Menurut tingkat stratifikasinya perempuan pada rumahtangga sampel memiliki hak kepemilikan secara adat (customary right of posession15) lebih dari 52,7 persen dengan 35,8 persen pada stratum atas 11,5 persen pada stratum menengah dan 5,4 persen pada stratum bawah. Selanjutnya, lebih dari 34,2 persen, sekitar 18,0 persen luas lahan stratum atas, 10,4 persen luas lahan stratum menengah dan 5,7 persen luas lahan stratum bawah merupakan lahan dimana
15
Perempuan memiliki hak kepemilikan secara adat, atau yang disebut oleh Mugniesyah sebagai customary right of posession sebanyak lebih dari jumlah lahan yang dimiliki oleh laki-laki.
136
perempuan memiliki hak pembagian secara khusus (exclusive right of disposal)16 atas kepemilikan lahan. Tabel 21. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi dan Kepemilikannya Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are) Tingkat Stratifikasi Stratum Atas Stratum Menengah Stratum Bawah Total (Persen) Total (Jumlah) Stratum Atas Stratum Menengah Stratum Bawah Total (Persen) Total (Jumlah) Stratum Atas Stratum Menengah Stratum Bawah Total (Persen) Total (Jumlah) Stratum Atas Stratum Menengah Stratum Bawah Total (Persen) Total (Jumlah) Stratum Atas Stratum Menengah Stratum Bawah Total (Persen) Total (Jumlah)
Laki-Laki/Suami Gono-gini Sawah 4,6 1,1 7,8 2,9 4,5 0,5 16,9 4,6 252,7 68,0 Kebun 29,3 0,0 3,2 2,7 0,8 1,8 33,3 4,5 498,0 66,6 Pekarangan 1,7 0,6 0,5 0,0 0,0 0,1 2,2 0,7 33,5 11,0 Kolam 0,2 3,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 3,4 3,4 50,7 Total 35,8 5,1 11,5 5,6 5,4 2,5 52,7 13,1 787,5 196,2
Perempuan/Istri 4,6 4,0 4,3 12,9 192,7 13,4 6,3 0,8 20,5 306,2 0,0 0,1 0,5 0,7 9,8 0,1 0,0 0,0 0,1 1,9 18,0 10,4 5,7 34,2 510,5
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 70 (Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32)
Disamping itu juga memiliki hak kepemilikan secara sah (customary legal right)17 sama dengan laki-laki lebih dari 5,1 persen luas lahan stratum atas 16
Perempuan mempunyai hak pembagian secara khusus sebanyak lebih dari jumlah persentase yang dimiliki oleh perempuan
137
yang dimiliki oleh rumahtangga kasus, 5,6 persen luas lahan stratum menengah dan 2,5 persen luas lahan pada stratum bawah. Kepemilikan perempuan atas lahan akan mempengaruhi secara langsung terhadap bagaimana mereka memanfaatkan lahan tersebut. Dilihat kembali dari kampung kasus, tingkat akses perempuan rendah berada pada Kampung Cisalimar dan memiliki luas persentase kepemilikan lahan tertinggi pada Kampung Sukagalih, diduga hal ini dikarenakan perempuan pada Kampung Cisalimar mayoritas adalah pendatang yang dibawa oleh suaminya untuk tinggal di kampung tersebut sehingga kepemilikan lahan yang dimilikinya berada pada kampung asalnya yang notabene harus dijual, digarapkan/dihibahkan pada saudaranya agar lahan tersebut tetap dapat termanfaatkan. Menurut penuturan salah satu responden perempuan di wilayah Sukagalih memang telah terbiasa melakukan kegiatan usahatani sejak usia dini sehingga hal tersebut mempengaruhi kepemilikan lahan oleh perempuan karena perempuan cenderung akan terus melakukan kegiatan usahatani pada lahannya sendiri. Pada 100 rumahtangga kasus dapat dipastikan bahwa tingkat akses perempuan atas lahan mempunyai persentase tertinggi pada stratum atas dimana menurut pernyataan responden, perempuan yang termasuk kedalam stratum atas lebih banyak mewarisi lahan dari suaminya yang telah meninggal dan, membeli lahan tersebut dari hasil penghasilan beberapa orang yang suaminya bekerja diluar usahatani. Sedangkan perempuan pada stratum menengah dan stratum bawah cenderung memperolehnya dari membeli dan mewarisnya dari orang tua. 17
Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memiliki lahan secara individu sebanyak lebih dari persentase lahan gono-gini.
138
Mengingat sistem pewarisan yang berlaku dan pengakuan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria, maka tingkat akses dapat dikatakan tinggi karena keduanya memiliki akses yang sama terhadap lahan orang tua melalui hibah dan pewarisan. Serta keduanya mempunyai hak yang sama untuk membeli secara individu. Namun jika dilihat dari distribusi lahannya, tingkat akses anggota rumahtangga petani perempuan lebih rendah dibandingkan tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki. Hal ini diduga masih kuatnya anggapan bahwa laki-laki lah yang menjadi tumpuan hidup keluarganya sedangkan perempuan hanya ikut suami saja, sehingga perempuan yang masih memiliki lahan, memutuskan untuk menjualnya sedangkan perempuan yang awalnya tidak mempunyai lahan, mengalami kesulitan untuk memutuskan membeli lahan karena beberapa pertimbangan sehubungan dengan pengelolaan lahan.
8.2.2.
Tingkat Kontrol Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Kepemilikan Sumberdaya Agraria Pada Tabel 22 telah diketahui tingkat akses anggota rumahtangga petani
atas sumberdaya agraria, tingkat akses tersebut belum dapat menggambarkan tingkat partisipasi anggota rumahtangga laki–laki dan perempuan atas kepemilikan sumberdaya agraria mereka,dengan demikian perlu diketahui tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas kepemilikan sumberdaya agraria, tingkat kontrol ini berkenaan dengan partisasi ART laki-laki dan perempuan dalam mempertahanakan sumberdaya agraria yang dimilikinya melalui pewarisan, hibah dan membeli sendiri untuk membeli dan menjual sumberdaya agrariannya.
139
Tingkat kontrol ART laki-laki dan perempuan atas kepemilikan sumberdaya agraria ditentukan dari pola pengambilan keputusan atas kepemilikan sumberdayanya. Pola pengambilan keputusan untuk mempertahankan sumberdaya agraria yang dimiliki ART laki-laki dan perempuan terdiri dari 3 pola, yakni: pengambilan keputusan oleh suami sendiri, pengambilan keputusan oleh suami dan istri secara setara, dan pengambilan keputusan oleh istri saja. Secara keseluruhan pengambilan keputusan oleh suami sendiri dilakukan sebanyak 41,4 persen dari jumlah rumahtangga yang disurvei. Suami memiliki tingkat kontrol yang tinggi dengan persentase sebesar 41,4 persen untuk suami sendiri dan 37,1 persen untuk kombinasi suami dan istri setara.
Tabel 22. Tingkat Kontrol ART Terhadap Kepemilikan Sumberdaya Agraria Tahun 2007 (dalam persen) Tingkat Stratifikasi Stratum Atas Stratum Menengah Stratum Bawah Total (Persen) Total (Jumlah)
Pola Pengambilan Keputusan ART Laki-laki dan Perempuan atas Kepemilikan Sumberdaya Agraria Suami Suami dan Istri Istri Total 10,0 11,4 4,3 25,7 14,3 8,6 5,7 28,6 17,1 17,1 11,4 45,7 41,4 37,1 21,4 100,0 29 26 15 70
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 70 (Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32)
Dari pola pengambilan keputusan tersebut diketahui bahwa meskipun persentasenya lebih rendah dari laki-laki, namun perempuan memiliki partisipasi dalam pengambilan keputusan yang cukup tinggi karena selain sebesar 21,4 persen pengambilan keputusan dilakukan oleh perempuan sendiri, masih terjadi pengambilan keputusan yang melibatkan perempuan sebanyak 37,1 persen. Menurut pemaparan responden dalam FGD dan wawancara mendalam yang
140
dilakukan di kampung Cisalimar diungkapkan bahwa perempuan dan laki-laki tetap menjadi pelaku utama dan penentu utama atas masing-masing sumberdaya agraria yang dimilikinya namun keduanya tetap saling membantu dalam pengelolaanya. 8.3.
Penguasaan Sumberdaya Agraria Kondisi
sumberdaya
agraria
di
Desa
Cipeuteuy
sangat
tidak
memungkinkan penduduknya yang mayoritas berprofesi sebagai petani untuk mencukupi kebutuhannya dengan hanya mengandalkan sumberdaya agraria yang dimilikinya. Dengan alasan tersebut, maka penduduk Desa Cipeuteuy tidak hanya mengarap lahan yang dimilikinya namun juga menguasai lahan garapan baik milik orang lain, pemerintah maupun lahan TNGHS. Dari hasil observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di tiga kampung kasus, diketahui bahwa mayoritas penduduk di Kampung Sukagalih, Cisalimar dan Pasir Masigit menguasai lahan milik Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan eks perkebunan PT. Intan Hepta yang ditetapkan sebagai lahan status quo. Penduduk pada tiga kampung kasus tersebut dapat menggarap lahan TNGHS dan eks HGU tanpa sistem sewa, gadai, ataupun bagi hasil. Dengan demikian dirasa cukup penting untuk melihat penguasaan sumberdaya agraria, pada masing-masing rumahtangga 8.3.1.
Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Penguasaan Sumberdaya Agraria Dengan kebebasan akses untuk menguasai lahan TNGHS dan eks HGU
PT. Intan Hepta, maka baik laki-laki dan perempuan diduga mempunyai kesempatan yang sama untuk menguasai sumberdaya agraria tersebut dengan cara
141
menggarap. Adapun kesempatan laki-laki dan perempuan dalam penguasaan lahan dapat dilihat dari tingkat akses keduanya dalam menguasai lahan. Tingkat Akses atas penguasaan lahan diukur dari peluang atau kesempatan anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan untuk menguasai sumberdaya agraria milik orang lain, pemerintah, swasta atau lainnya dengan sistem garap dan kontrak yang dibedakan ke dalam sistem sewa, gadai, bagi hasil. Tidak seperti tingkat akses terhadap kepemilikan sumberdaya agraria yang dapat diukur kepemilikannya atas kepemilikan laki-laki dan perempuan. Penguasaan sumberdaya agraria juga berkenaan dengan lahan garapan, sehingga status petani yang menggarap tidak hanya sebagai petani pemilik, namun petani pemilik dan penggarap. Menurut hasil FGD dan wawancara mendalam, lahan garapan yang dikuasai secara otomatis dianggap sebagai lahan gono gini (guna kaya) yang penguasaannya adalah penguasaannya secara bersama, sehingga baik laki-laki maupun perempuan mempunyai akses yang sama atas penguasaan lahan tersebut. Dari 100 rumahtangga yang disurvei, terdapat 85 rumahtangga yang menguasai lahan, baik lahan milik dan lahan garapan dan didalamnya termasuk 53 rumahtangga yang menguasai sumberdaya agraria bukan milik melalui hak garap. Luas penguasaan lahan pada ketiga kampung kasus, adalah seluas 3446,9 are, dengan rata-rata luas lahan penguasaan 40,551 are per rumahtangga dan 2149,2 are lahan garapan di luar lahan milik.
142
Tabel 23. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi, Bentuk Penguasaan dan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are) Bentuk Penguasaan Waris Beli Hibah Sewa Garap Bagi Hasil Gadai Total (Persen) Total (Jumlah)
Stratum Atas 5,7 5,7 10,0 1,5 4,9 0,2 0,6 28,7 988,0
Sawah Kebun Stratum Stratum Stratum Stratum Stratum Total Menenga Bawah Atas Menengah Bawah h 2,9 1,7 5,3 1,7 0,8 18,3 2,7 0,9 10,6 3,0 0,7 23,5 0,2 0,7 2,0 0,0 0,6 13,5 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 1,6 4,1 1,0 19,9 6,4 5,5 41,9 0,3 0,1 0,0 0,0 0,0 0,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,6 10,4 4,4 37,8 11,1 7,6 100,0 358,0 152,3 1304,2 384,0 260,4 3446,9
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 85 (Stratum A=20, Stratum B=24, Stratum C=41)
Tabel 22 menyajikan data yang menyatakan bahwa sumberdaya agraria yang dikuasai dengan cara menggarap memiliki persentase tertinggi, yang diikuti oleh persentase luas sumberdaya agraria yang dikuasai dengan cara membeli, mewarisi, sedangkan persentase terendah dilakukan dengan cara sewa dan gadai. Sumberdaya agraria yang dikuasai dengan cara menggarap berturut-turut dari persentase yang tertinggi dilakukan oleh ART pada stratum atas, menengah. Diketahui bahwa jumlah lahan kebun yang digarap memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah. Data yang tersaji pada Tabel 23 juga menginformasikan bahwa lahan sawah lebih banyak diwariskan daripada lahan kebun, sedangkan di lain sisi, masyarakat lebih memilih untuk membeli lahan kebun daripada sawah. Hal ini diduga dipengaruhi oleh masuknya pertanian modern yang padat modal dengan berbagai tanaman hortikultur yang menjanjikan peluang perolehan pendapatan
143
yang lebih tinggi, sehingga para petani lebih menaruh minat untuk mengusahakan komoditi yang komersil dibandingkan dengan lahan padi sawah yang subsisten. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa penguasaan sumberdaya agraria yang berstatus hak garap dikuasai secara gono-gini. Hal ini dikarenakan, kebutuhan untuk menggarap dan menguasai lahan di luar hak milik baru akan timbul setelah individu laki-laki dan perempuan menikah. Karenanya, laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama dalam proses membuka lahan hingga pengelolaannya. Selanjutnya diketahui bahwa sebanyak 20 persen penguasaan lahan dilakukan oleh laki-laki sendiri dan perempuan sendiri. Hal ini dikarenakan, pasangan dari keduanya bekerja di luar sektor usahatani, sehingga tidak akses kepada lahan yang dikuasai. Tabel 24. Distribusi Sumberdaya Agraria Menurut Tingkat Stratifikasi Berserta Status Kepemilikan yang Dikuasai Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are) Status Kepemilikan Sumberdaya Agraria Suami Istri Gono-Gini TNGH-S Eks-HGU Lainnya Total (Persen) Total (Jumlah) Suami Istri Gono-Gini TNGH-S Eks-HGU Lainnya Total (Persen) Total (Jumlah)
Stratum Atas Sawah 19.5 0.5 1.9 1.0 1.6 4.4 29.0 1025.0 Kebun 12.4 0.0 5.7 11.1 6.7 2.2 38.0 1344.2
Stratum Menengah
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 85 (Stratum A=20, Stratum B=24, Stratum C=41)
Stratum Bawah
3.3 1.2 1.7 2.7 0.0 1.2 10.1 358.0
1.9 0.2 1.8 0.6 0.0 0.3 4.9 172.3
1.4 1.1 2.7 5.4 0.6 0.0 11.1 394.0
0.3 0.8 0.3 3.9 1.1 0.3 6.8 240.4
144
Tabel 24 menyajikan gambaran mengenai status kepemilikan lahan yang dikuasai, dimana terlihat bahwa persentase tertinggi ada pada lahan milik suami, yang disusul oleh lahan milik TNGHS, Gono-gini dan lahan garapan eks HGU perkebunan PT. Intan Hepta. Tingginya jumlah persentase penguasaan lahan pada kawasan TNGHS turut menjelaskan tingginya persentase penguasaan dengan cara menggarap. Dari keseluruhan data yang diperoleh, diketahui bahwa anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan memiliki tingkat akses yang tinggi terhadap penguasaan lahan, karena keduanya memiliki akses yang sama terhadap penguasaan sumberdaya agraria. Selanjutnya diketahui bahwa petani penggarap lebih memilih menggarap lahan kering/kebun daripada sawah. Hal ini dikarenakan lahan kering/kebun lebih menghasilkan daripada lahan sawah yang pengerjaannya membutuhkan waktu yang cukup lama dan pengelolaan yang cukup mahal. Selain daripada itu, lahan kering/kebun merupakan sumber penghasilan petani, sedangkan sawah berfungsi untuk mencukupi kebutuhan pangan harian, dimana masing-masing petani telah memiliki sawah dengan hak milik. 8.3.2.
Tingkat kontrol Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Penguasaan Sumberdaya Agraria Tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan
atas penguasaan sumberdaya agraria berkenaan dengan kekuasan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan untuk menggarap, menyewa, dan mengarap dengan sistem bagi hasil, lahan lainnya termasuk lahan pemerintah.
145
Pola pengambilan keputusan untuk menggarap, menyewa, dan mengarap dengan sistem bagi hasil terdiri dari tiga pola, yakni: pengambilan keputusan oleh suami sendiri, suami dan istri secara setara, dan pengambilan keputusan oleh istri saja. Pada Error! Reference source not found. diketahui pola pengambilan keputusan ART laki-laki dan perempuan terhadap kepemilikan sumberdaya agrarianya. Secara keseluruhan pengambilan keputusan oleh suami sendiri dilakukan sebanyak 38,8 persen dari jumlah rumahtangga yang disurvei, masingmasing 10,6 persen dari total jumlah rumahtangga yang disurvei pada stratum atas, 11,8 persen pada stratum menengah, dan 16,5 persen dari total rumahtangga pada stratum bawah. Suami memiliki tingkat kontrol yang tinggi dengan persentase sebesar 33,8 persen untuk suami sendiri, dan 36,5 persen untuk pengambilan keputusan bersama
Tabel 25 Tingkat Kontrol Terhadap Penguasaan Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (dalam persen) Tingkat Stratifikasi Stratum Atas Stratum Menengah Stratum Bawah Total (Persen) Total (Jumlah)
Kontrol ART Laki-laki dan Perempuan atas Penguasaan Sumberdaya Agraria Suami Suami+Istri Istri Total 10,6 8,2 4,7 23,5 11,8 9,4 7,1 28,2 16,5 18,8 12,9 48,2 38,8 36,5 24,7 100,0 33 31 21 85
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 85 (Stratum A=20, Stratum B=24, Stratum C=41)
Dari Pola pengambilan keputusan tersebut diketahui bahwa perempuan secara sendiri masih memiliki tingkat kontrol yang rendah terhadap penguasaan sumberdaya agraria. Dengan demikian, tingkat kontrol terhadap penguasaan sumberdaya agraria dapat dikatakan rendah, karena laki-laki lebih dominan dalam
146
pengambilan keputusan atas penguasaan sumberdaya agraria, meskipun keduanya mempunyai akses yang sama terhadap lahan yang dikuasai. 8.4.
Pengelolaan Sumberdaya Agraria Relasi gender pada rumahtangga petani tidak pernah terlepas dari proses
pengelolaan sumberdaya agraria sebagai salah satu bentuk kegiatan produktif yang menyokong kebutuhan rumahtangga pertanian. Seperti pedesaan yang terletak di dataran tinggi lainnya, Desa Cipeuteuy juga mengandalkan hasil usahataninya untuk menunjang pemenuhan kehidupan. Desa Cipeuteuy pernah menjadi Desa yang hanya memproduksi komoditas padi, sehingga pada masa itu, masyarakat tidak perlu menghawatirkan pengangkutan komoditas hasil produksinya. Pada tahun 1997, penduduk Desa Cipeuteuy mulai menanam sayuran. Hal ini bersamaan dengan mulai digarapnya tanah eks HGU oleh masyarakat, sehingga dibukalah lahan-lahan untuk menanam sayuran. Adapun pertimbangan untuk mengganti komoditas ini adalah karena tanaman hortikultur lebih menguntungkan dari pada hasil lahan basah/sawah. Seiring dengan masuknya teknologi pertanian, maka cabai, tomat dan kol menjadi komoditas andalan, salah satunya di wilayah Sukagalih, sedangkan tanaman padi tetap menjadi tanaman subsisten untuk memenuhi kebutuhan pangan harian. Pengolahan lahan pun selanjutnya akan dipengaruhi oleh komoditas yang ditanam, karena masing-masing komoditas memiliki perlakuan dan usia yang berbeda hingga masa produksinya habis. Dari hasil FGD, diketahui bahwa cabai memerlukan waktu kurang lebih empat bulan dari proses pengolahan lahan hingga panen terakhir dan tumbuhan cabai mati. Sedangkan jarak waktu antara panen pertama dengan panen
147
selanjutnya adalah satu minggu dalam periode 12 kali panen. Untuk perlakuannya, tanaman cabai rata-rata membutuhkan penyemprotan hama fungisida dan insektisida setiap satu kali dalam satu minggu dan untuk penyiraman dilakukan tiap lima hari satu kali khusus pada musin kemarau. Adapun aktifitas dan waktu yang diperlukan untuk penanaman cabai tertera pada Tabel 26 mengenai kalender musim tanam cabai untuk satu rol mulsa yang diperoleh dari hasil FGD tiga kampung sampel.
Tabel 26. Kalender Musim Tanam (Kebun-Cabai) Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (untuk 1 Rol Mulsa) Kegiatan Nyacar Macul Ngipuk Ngagarit Ngabungbung Masang pupuk kandang Ngapur Berak dasar Ngaduk Masang mulsa Melak Pasang Ajir Ngobat Nyirung Nalian Ngobat Ngecor Panen
Peranan L P √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Lama Pengerjaan 1 Minggu 1 Minggu 1 Hari 3 Hari 1 hari 1 Minggu 1 Hari 5 hari 2 Hari 4 Hari 3 Hari 5 Hari 1 hari 1 hari 2 Hari 1 hari 4 Hari 4 Hari
Jam Kerja (Perhari) L P 6 6 6 0 1 0 6 0 3 6 6 6 6 6 6 6 6 3 3 6 6 6 6 6 6
Sumber: Hasil FGD Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy
Pada Tabel 27 telah disajikan aktifitas beserta waktu yang diperlukan dalam penanaman komoditas tomat. Untuk komoditas tomat, dari mulai pengolahan tanah hingga panen pertama memerlukan waktu ± 2,5 bulan dengan jarak antara panen pertama ke panen selanjutnya adalah satu minggu. Seperti
148
komoditas cabai, tomat juga memerlukan penyemprotan hama (fungisida dan insektisida) satu minggu satu kali dan penyiraman dilakukan tiap lima hari satu kali pada musim kemarau Yang membedakannya dengan cabai adalah masa hidup tomat yang hanya mampu berproduksi hingga delapan kali panen.
Tabel 27. Kalender Musin Tanam Tomat Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (untuk 1 rol mulsa)
Kegiatan Ngored Ngabungbung Macul Masang Pupuk Masang Mulsa Kemplong Melak Ngobat Pasang Ajir Nalian Nyirung Panen
Jam Bulan Kerja 10 11 12 1 2 3 (perhari) P L P Syawal Hapit Haji Muharam Sapar Mulud √ 6 6 √ 6 √ 0 √ 6 0 √ 4 0 √ 7 0 √ 6 0 √ 6 √ 6 √ 3 0 √ √ √ 6 0 √ 6 √ √ √ √ 6 √ 6 √ √ √ 6 √ 6 √ √
Peran L √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sumber: Hasil FGD Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy
Pada lahan sawah, seperti pada Tabel 28 mengenai kalender musim tanam pada Kampung Sukagalih, mayoritas masyarakat Sukagalih memanen padinya dua kali dalam satu tahun, dengan masa istirahat tanah dua bulan termasuk pengolahan tanah dan pembibitan. Dari masa tanam hingga panen memerlukan waktu selama empat bulan. Berdasarkan hasil FGD pada tiga kampung kasus rata-rata penduduk ketiga kampung kasus, diketahui bahwa dalam jangka waktu selama dua tahun, mereka dapat merasakan panen selama tiga kali panen. Adapun varietas padi yang ditanan adalah varietas lokal (srikuning dan markoti). Petani di sukagalih
149
mendapatkan benih padi dari hasil panen sebelumnya yang dibenihkan. Adapun kegiatan usahatani pasi-sawah mulai dari pengelolaan lahan antara lain: Mopok (mengolah
lahan),
Nyangkul,
Tandur
(menanam),
Mupuk,
Pengobatan,
Ngarembet (penyiangan), Babad, dan panen.
Tabel 28. Kalender Musim Tanam (Sawah) Desa Cipeuteuy Tahun 2007
Kegiatan
Peran
7
8
9
10
Bulan 11
12
1
2
L P Rajab Ruwah Puasa Syawal Hapit Haji Muharam Sapar Mopok Nyangkul Tandur Mupuk Pengobatan Ngarambet Mupuk Ngarambet Pengobatan Babad Pasca Panen Panen
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√
Sumber: Hasil FGD Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy
8.4.1.
Tingkat Kontribusi Waktu Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Pengelolaan Sumberdaya Agraria Perbedaan komoditi yang dibudidayakan turut mempengaruhi kontribusi
anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya agraria (sawah dan kebun) dibutuhkan adanya pembagian peran dalam dalam rumahtangga. Secara umum, baik dilihat dari kampung maupun stratumnya, tidak terdapat perbedaan dalam kontribusi perempuan pada pengelolaan usahatani. Dalam pembagian peran pada kegiatan usahatani,
150
perempuan memiliki kontribusi tenaga dalam kegiatan tandur, ngerembet, mupuk, panen dan penjemuran padi, sedangkan laki-laki lebih banyak melakukan pekerjaan yang berat seperti pengolahan tanah, penyemprotan hama dan pemupukan dan ada beberapa kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama, contohnya saat memupuk laki-laki mengangkut karung pupuk ke ladang, sedangkan perempuan yang menabur. Relasi Gender dalam kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria diduga juga dipengaruhi oleh akses ART laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan lahan. Untuk melihat akses ART laki-laki dan perempuan atas pengelolaan sumberdaya agraria yang dikuasainya, maka perlu diketahui curahan waktu produktif ART laki-laki dan perempuan dalam usahatani yang menggambarkan kontribusi anggota rumahtangga, laki-laki dan perempuan atas pengelolaan sumberdaya agraria. Tabel 29. Rata-rata dan Persentase Jam Kerja dalam Kegiatan Usahatani Padi Sawah di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (dalam hektar) Kegiatan
TK Keluarga TK Luar Keluarga Pria Wanita Pria Wanita
Pengolahan Lahan 12,6 0 Persemaian 1,9 1,2 Mencabut bibit 0,6 4,4 Pemupukan 3,8 1,9 Penyiangan 0,5 4,0 Penyemprotan hama 3,1 0 Pengontrolan hama 35,9 6,4 Panen 2,2 4,6 Menjemur 5,2 7,7 Menggiling 2,1 1,9 Total (Persen) 67,9 32,1 Total (Jumlah Rata-rata) 324 153 Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007
14,1 2,6 1,9 2,6 0,2 0 0,7 8,3 1,0 2,0 33,5 31
0 0,4 21,1 0,9 23,9 0 0 17,7 2,3 0 66,4 61
Total Pria Wanita 12,8 2,0 0,8 3,6 0,5 2,6 30,3 3,2 4,5 2,1 62,4 354
0 1,0 7,1 1,8 7,2 0 5,4 6,7 6,8 1,6 37,7 214
151
Keterangan: n=22 (Stratum A=7, Stratum B=8, Stratum C=7) Pada Tabel 29 dan Error! Reference source not found. disajikan data mengenai rata-rata dan persentase jam kerja yang dibutuhkan ART laki-laki dan perempuan, baik tenaga kerja keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga dalam pengelolaan lahan padi-sawah dan kebun. Dari Error! Reference source not found. diketahui bahwa jumlah tenaga kerja keluarga dan luar keluarga memiliki alokasi waktu yang berbeda dalam kontribusiya pada pengelolaan usahatani padisawah. Pekerja keluarga laki-laki rata-rata membutuhkan waktu selama 324 jam kerja mulai dari pengelolaan lahan hingga proses produksi usahatani selesai, sedangkan kontribusi pekerja luar keluarga laki-laki berkontribusi sebesar 31 jam kerja, dimana alokasi terbanyak dilakukan pada kegiatan pengelolaan lahan dan panen, yakni sebesar 12,8 persen rata-rata jam kerja dan 9,9 persen untuk kegiatan panen. Tenaga kerja keluarga perempuan mengalokasikan waktu hampir setengah dari kontribusi waktu TK keluarga laki-laki, yakni sebanyak 153 (32,1 persen) rata-rata jam kerja. Berbeda dengan alokasi waktu tenaga kerja luar keluarga perempuan yang memiliki kontribusi waktu sebanyak dua kalinya (61 rata-rata jam kerja) waktu yang dibutuhkan TK luar keluarga laki-laki (31 ratarata jam kerja). Secara keseluruhan kontribusi laki-lak lebih tinggi daripada tenaga kerja perempuan dilihat dari jam kerja yang dibutuhkan keduanya dalam pengelolaan usahatani padi-sawah. Namun demikian, TK keluarga laki-laki memiliki kontrbusi sebanyak dua kali lipat jam kerja yang dialokasikan TK keluarga perempuan,
152
sedangkan pada tenaga kerja luar keluarga, perempuan memiliki kontribusi waktu dua kali dari jam kerja yang dialokasikan TK luar keluarga laki-laki. Lain halnya dengan pengelolaan lahan padi-sawah, pada lahan kebun, baik tenaga kerja keluarga laki-laki maupun tenaga kerja luar keluarga laki-laki memiliki kontribusi yang lebih tinggi dari perempuan dilihat dari jam kerja yang dibutuhkan untuk pengelolaan lahan usahatani kebun.
Tabel 30. Rata-rata dan Persentase Jam Kerja dalam Kegiatan Usahatani Kebun di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (dalam hektar) Kegiatan
TK Keluarga Pria Wanita
TK Luar Keluarga Pria Wanita
Pengolahan Lahan 24,5 0,1 41,2 Persemaian 2,8 2,5 0,1 Mencabut bibit 1,0 5,4 0,5 8,1 Pemupukan 5,5 1,0 4,9 0,9 Penyiangan 0,6 5,8 11,6 Penyemprotan hama 5,7 0 0,5 0 Pengontrolan hama 22,1 5,8 0,8 0 Panen 4,6 7,4 6,9 23,2 Menjemur 2,5 2,5 0,6 Menggiling 0,4 0 0,7 0 Total (Persen) 69,7 30,4 55,4 44,7 Total (Jumlah Rata-rata) 362 158 129 104 Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n=17 (Stratum A=6, Stratum B=5, Stratum C=6)
Total Pria Wanita 29,6 1,9 0,8 5,3 0,4
0,1 1,8 6,2 1,0 7,6
4,1
0
15,5 5,3 1,7 0,5 65,2
4,0 12,2 1,9 0 34,8
491
262
Pada TK keluarga, kesenjangan antara kontribusi laki-laki dan perempuan sangat mencolok dengan perbandingan jumlah persentase jam kerja sebesar 69,7 persen untuk TK keluarga laki-laki dan 30,4 persen untuk TK keluarga perempuan. Selanjutnya pada TK luar keluarga, kesenjangan antara TK
153
laki-laki dan perempuan tidak terpaut terlalu jauh, yakni sebesar 55,4 persen untuk TK laki-laki dan 44,7 persen untuk TK perempuan luar keluarga. Hasil dari perbandingan tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa lahan kebun memerlukan pengelolaan yang lebih intensif dan sedikit lebih berat dibandingkan lahan sawah. Pada lahan sawah, buruh tani perempuan memiliki kontribusi yang lebih besar daripada buruh laki-laki, sedangkan hal yang sebaliknya terjadi pada lahan kebun, dikarenakan, tanaman hortikuktutra membutuhkan penanganna lebih intensif daripada lahan padi-sawah.
Tabel 31. Rata-rata dan Persentase Hari Kerja dalam Kegiatan Usahatani Padi Sawah di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007 (dalam hektar) Kegiatan
TK Keluarga Pria Wanita
TK Luar Keluarga Total Pria Wanita Pria Wanita
Pengolahan Lahan 12,0 0 11,8 0 12,0 Persemaian 4,5 1,5 6,1 0,7 4,7 Mencabut bibit 0,3 2,8 2,8 20,2 0,6 Pemupukan 2,2 1,7 3,1 0,9 2,2 Penyiangan 0,5 3,7 0,3 20,5 0,5 Penyemprotan hama 3,0 0 0 0 2,7 Pengontrolan hama 37,4 8,5 1,7 0 33,9 Panen 1,6 2,9 9,9 13,3 2,4 Menjemur 5,2 7,1 0,6 2,6 4,8 Menggiling 2,5 2,5 5,0 0 2,7 Total (Persen) 69,2 30,8 41,3 58,3 66,4 Total (Jumlah Rata-rata) 250 111 16 23 266 Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n=22 (Stratum A=7, Stratum B=8, Stratum C=7)
0 1,4 4,5 1,6 5,3 0 7,7 4,0 6,7 2,3 33,4 134
Selanjutnya, pada Tabel 31 terlihat kontribusi laki-laki dan perempuan menurut hari kerja yang dialokasikan pada lahan usahatani padi-sawah dan pada
154
Tabel 32 disajikan pada lahan kebun. Pada lahan usahatani padi- sawah, TK keluarga laki-laki berkontribusi rata-rata sebesar 69,2 persen untuk tiap hektar lahan kebun dari total hari yang dibutuhkan sedangkan perempuan hanya 30,8 persen hari kerja. Secara keseluruhan, jika TK keluarga laki-laki dan perempuan mengerjakan lahannya tanpa bantuan dari TK luar keluarga, maka proses produksinya akan memakan waktu hingga satu tahun.
Tabel 32. Rata-rata dan Persentase Hari Kerja dalam Kegiatan Usahatani Kebun di Dusun Pandan Arum Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007 (dalam hektar) Kegiatan
TK Keluarga Pria
Wanita
TK Luar Keluarga Pria Wanita
Pengolahan Lahan 22,4 0,1 34,1 Persemaian 4,5 1,4 3,7 0,3 Mencabut bibit 1,5 2,5 0,6 7,5 Pemupukan 3,0 1,3 2,5 1,8 Penyiangan 0,9 2,9 7,0 Penyemprotan hama 9,3 0,8 Pengontrolan hama 28,5 7,2 2,0 Panen 4,0 5,5 9,9 25,8 Menjemur 1,2 1,2 1,6 Menggiling 0,5 1,9 Memasarkan 2,0 Total (Persen) 77,8 22,2 55,4 44,0 Total (Jumlah Rata-rata) 322 92 50 40 Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n=17 (Stratum A=6, Stratum B=5, Stratum C=6)
8.4.2.
Total Pria 24,5 4,3 1,4 2,9 0,8 7,8 23,8 5,1 1,0 0,7 1,6 73,8 372
Wanita 0,1 1,2 3,4 1,4 3,6 5,9 9,2 1,2
26,1 132
Tingkat kontrol Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Pengelolaan Sumberdaya Agraria Dalam pengelolaan sumberdata agraria, selain kontribusi waktu, dalam
tiap kegiatan usahatani juga memiliki penentu utama pada setiap kegiatan.
155
Pennetu utama ini dapat menggambarkan kontrol yang dimiliki anggpta rumah tanga laki-laki danperempuan atas pengelolaan sumberdaya agraria. Pada Tabel 33 telah disajikan tingkat kontrol dari ART laki-laki dan perempuan menurut tingkatan stratumnya dari 30 sampel rumahtangga. Seperti yang terlihat pada Tabel 33 terdapat keragaman pola pengambilan keputusan atau kontrol yang dilakukan oleh anggota rumahtangga petani menurut jenis kelamin dan stratumnya. Tabel 33. Penentu Utama dalam Kegiatan Usahatani Padi Sawah di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007
Kegiatan
a. Pengolahan Lahan b. Persemaian c. Mencabut bibit d. pemupukan e. penyiangan f. penyemprotan hama g. pengontrolan hama i. panen j. menjemur k. menggiling a. Pengolahan Lahan b. Persemaian c. Mencabut bibit d. pemupukan e. penyiangan f. penyemprotan hama g. pengontrolan hama i. panen j. menjemur k. menggiling
Suami dan Istri, Suami Suami Dominan Stratum Atas 42,9 42,9 57,1 28,6 0,0 57,1 42,9 28,6 14,3 0,0 42,9 28,6 57,1 42,9 28,6 42,9 0,0 14,3 28,6 14,3 Stratum B 75,0 12,5 50,0 25,0 12,5 25,0 37,5 12,5 37,5 12,5 62,5 12,5 12,5 37,5 12,5 25,0 0,0 0,0 25,0 12,5
Suami dan Istri, Setara
Istri dan Suami, Istri Dominan
Istri Sendiri
0,0 0,0 0,0 0,0 14,3 0,0 28,6 0,0 14,3 0,0
0,0 0,0 14,3 14,3 0,0 0,0 0,0 14,3 57,1 14,3
14,3 14,3 28,6 14,3 71,4 28,6 14,3 14,3 14,3 42,9
0,0 0,0 0,0 37,5 0,0 0,0 12,5 0,0 25,0 0,0
50,0 12,5 25,0 0,0 25,0 12,5 12,5 50,0 37,5 50,0
12,5 12,5 37,5 12,5 25,0 12,5 25,0 12,5 12,5 12,5
156
Suami Istri dan Suami dan Istri, Suami, Kegiatan Suami dan Istri, Suami Istri Setara Dominan Dominan Stratum C a. Pengolahan Lahan 14,3 57,1 28,6 0,0 b. Persemaian 28,6 57,1 14,3 0,0 c. Mencabut bibit 28,6 42,9 0,0 28,6 d. pemupukan 57,1 42,9 0,0 0,0 e. penyiangan 14,3 42,9 0,0 28,6 f. penyemprotan hama 71,4 28,6 0,0 0,0 g. pengontrolan hama 42,9 57,1 0,0 0,0 i. panen 14,3 85,7 0,0 0,0 j. menjemur 0,0 28,6 0,0 42,9 k. menggiling 14,3 42,9 0,0 42,9 Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n=22 (Stratum A=7, Stratum B=8, Stratum C=7)
Istri Sendiri
0,0 0,0 0,0 0,0 14,3 0,0 0,0 0,0 28,6 0,0
Tingkat Kontrol dalam pengelolaan lahan adalah kekuasan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani untuk mengambil keputusan dalam aktivitas pengelolaan lahan usahatani yang mencakup proses produksi dan pasca panen. Dikatakan tinggi jika dilakukan oleh suami dan istri setara, rendah jika suami atau istri saja, dan sedang jika suami dan isteri tapi salah satu diantaranya dominan Secara umum persentase tertinggi rumahtangga petani, pada usahatani padi-sawah berpola pengambilan keputusan dengan cara suami, istri, suami dominan dan persentase terkecil dengan pola suami dan istri, setara. Perempuan selalu ikut andil dalam pengambilan keputusan pada tahapan kegiatan usahatani padi sawah, secara individu ataupun bersama dengan suaminya.
157
Tabel 34. Penentu Utama dalam Kegiatan Usahatani Lahan Pasir/Kebun di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007
Kegiatan
a. Pengolahan Lahan b. Persemaian c. Mencabut bibit d. pemupukan e. penyiangan f. penyemprotan hama g. pengontrolan hama i. panen j. Menjual a. Pengolahan Lahan b. Persemaian c. Mencabut bibit d. pemupukan e. penyiangan f. penyemprotan hama g. pengontrolan hama i. panen j. menjual a. Pengolahan Lahan b. Persemaian c. Mencabut bibit d. pemupukan e. penyiangan f. penyemprotan hama g. pengontrolan hama i. panen j. Menjual
Suami Istri dan dan Suami suami, Suami Istri, dan Istri istri suami bersama dominan dominan Stratum A 50,0 33,3 33,3 66,7 16,7 50,0 66,7 33,3 33,3 16,7 66,7 33,3 50,0 50,0 16,7 50,0 50,0 33,3 Stratum B 80,0 20,0 40,0 0 20,0 0 40,0 0 40,0 0 100,0 0 80,0 0 100,0 0 60,0 20.0 Stratum C 83.3 16.7 16.7 33.3 33.3 50.0 66.7 0 0 66.7 16.7 50.0 33.3 50.0 33.3 66.7 16.7
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n=17 (Stratum A=6, Stratum B=5, Stratum C=6)
Isteri
16,7 0 33,3 0 16,7 0 0 16,7 16,7
0 0 0 0 16,7 0 0 16,7 0,0
0 0 0 0 16,7 0 0 0 0
0 0 20,0 60,0 20,0 0 20,0 0 0
0 0 20,0 40,0 0 0 0 0
0 60,0 40,0 0 0 0 0 0 20.0
0 0 0 16.7 33.3 0 0 0 0
0 50.0 0 0 33.3 0 0 0 0
0 0 0 0 16.7 0 0 0 0
158
Adapun dari 22 rumahtangga petani usahatani padi sawah, pengambilan keputusan oleh istri sendiri memiliki persentase pada kegiatan penyiangan (36,4 persen), Pencabut bibit (22,7 persen), menjemur dan menggiling 18,2 persen, sedangkan persentase pola pengambilan keputusan tertinggi laki-laki sendiri ada pada kegiatan penyemprotan hama (59,1 persen). Selanjtnya sebanyak 45,5 persen untuk kegiatan penglahan lahan, persemaian dan pemupukan pengambilan keputusan secara bersama atau setara memiliki persentase besar pada kegiatan pemupukan dan pengontrolan hama. Jika dilihat dari stratumnya, persentase pola pengambilan keputusan rumahtangga petani tertinggi berpola suami sendiri pada stratum A dan B, sedangkan untuk stratum C lebih memilih pola pengambilan keputusan secara bersama namun dominan suami (suami istri, suami dominan). Selanjutnya terlihat perempuan memiliki kontrol yang tinggi pada kegiatan dimana ia juga memiliki kontribusi atas kegiatan tersebut, seperti penyiangan, panen, menjemur dan menggililing. Selebihnya kontrol lebih banyak dilakukan oleh laki-laki secara dominan. Adapun perempuan yang dominan dalam pengambilan keputusan atas pengelolaan lahan pada tiap kegiatan diduga karena ia memiliki kontrol penuh atas sumberdaya agraria yang dimilikinya. Pada usahatani kebun, dari 30 KK ditemukan sebanyak 17 KK yang mengelola lahan kebun mereka. Pada lahan kebun terlihat sekali adanya kesenjangan antara persentase rumahtangga yang berpola pengambilan keputusan secara individu (suami sendiri dan perempuan sendiri). Pada lahan kebun perempuan tetap memiliki kontrol yang tinggi pada kegiatan penyiangan dan persemaian,
diduga
karena
perempuan
menjadi
pelaku
pada
proses
159
persemaian/bungbung pada tanaman cabai dan tomat. Sedangkan kontrol atas kegiatan lainnya masih dilakukan oleh suami dan bersama (suami istri, suami dominan; suami istri setara; suami istri istri dominan ) kontrol perempuan sangat rendah pada lahan kebun dikarenakan proses usahatani cukup rumit. Disamping itu lahan usahatani kebun merupakan satu-satunya pendapatan yang diperoleh, karen alahan sawah hanya untuk dikonsumsi secara pribadi (subsisten) sehingga pengambilan keputusan pada lahan usahatani sawah akan menentukan pendapatan rumahtangga. Dari hasil wawancara mendalam, perempuan di kampung Sukagalih menyatakan bahwa mereka memiliki kontrol yang tinggi atas lahan kebun, mereka selama ini hanya membantu menjadi pekerja keluarga, jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. 8.5.
Manfaat dari Pengelolan Sumberdaya Agraria
8.5.1.
Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Manfaat dari Pengelolaan Sumberdaya Agraria Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki
dan perempuan bertujuan untuk mendukung penghidupan keluarga. Hasil pengelolaan lahan usahatani padi-sawah adalah beras yang menjadi makanan pokok pada setiap rumahtangga, sedangkan hasil dari lahan kebun adalah komoditas-komoditas hortikultura yang dapat dikonsumsi dan dijual untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang. Dengan demikian akses anggota rumahtangga
laki-laki
dan
perempuan
terhadap
pengelolaan
usahatani
menentukan akses anggota ruamah tangga laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria.
160
Tingkat akses terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani adalah peluang yang diperoleh anggota rumahtangga petani untuk menikmati hasil produksi secara langsung dan hasil penjualan produk untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangga maupun pribadi. Pada Tabel 35 secara keseluruhan perempuan memiliki akses terhadap manfaat pengelolaan lahan lebih besar dari laki-laki. Jika dilihat dari stratumnya, perempuan memiliki akses lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada stratum atas dan menengah dan stratum bawah. Selanjutnya perempuan lebih akses pada kebutuhan rumahtangga dan pada hasil produksi, karena beberapa responden mengaku bahwa laki-lakinya yang bekerja di luar sektor usahatani memiliki akses yang lebih kecil dari perempuan. Dalam pemanfaatan hasil pengelolaan sumberdaya agraria, akses perempuan dikatakan kurang pada pemenuhan kebutuhan pribadi karena perempuan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga daripada kebutuhan pribadi.
Tabel 35. Tingkat Akses Terhadap Manfaat dari Pengelolaan Sumberdaya Agraria Jenis Pemanfaatan
Stratum Atas Suami
Hasil Produksi Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Kebutuhan Pribadi Pendapatan
Istri
Stratum Menengah Suami Istri
Stratum bawah Suami
Istri
90,0
100,0
91,7
100,0
92,7
100,0
70,0 90,0 90,0
100,0 80,0 90,0
91,7 91,7 83,3
100,0 87,5 100,0
92,7 92,7 92,7
100,0 97,6 100,0
Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 85 (Stratum A=20, Stratum B=24, Stratum C=41)
161
8.5.2.
Tingkat kontrol Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Manfaat dari Pengelolaan Sumberdaya Agraria Relasi gender dalam rumahtangga petani atas kepemilikan dan
penguasaan sumberdaya agraria dipengaruhi pula oleh tingkat kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani. Adapun tingkat kontrol atas manfaat dalam pengelolaan usahatani mencakup kekuasaan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan dalam mengambil keputusan dalam pemanfaatan hasil produksi dan hasil penjualan produksi untuk kebutuhan probadi maupun rumahtangga. Dari Tabel 36 diketahui bahwa perempuan memiliki kontrol yang lebih tinggi daripada laki-laki. Atas hasil produksi, kebutuhan dasar, dan cenderung setara pada pemanfaatan pendapatan. Dilihat dari stratumnya, kontrol atas hasil produksi pada stratum menengah dan bawah dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara bersama, sedangkan pada stratum atas, kontrol cenderung lebih banyak ada pada istri, hal ini disebabkan hasil produksi menyangkut kebutuhan pangan keluarga yang terkait dengan peran reproduktif perempuan pada tiga tingkat stratum perempuan mempunyai kontrol tinggi pada pemanfaatan atas kebutuhan dasar rumahtangga. Kontrol atas manfaat terhadap penadpatan dan memanfaatkan untuk kebutuhan pribadi diputuskan secara bersama (laki-laki dan perempuan) Adapun
pada
stratum
bawah,
kontrol
pemanfaatan
pendapatan
mempunyai persentase tinggi pada perempuan dan setara. Hal ini diduga karena meurut hasil FGD, mereka menjelaskan bahwa laki-laki lebih mempercayakan uang hasil usahatani kepada istri mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan
162
bahwa tingkat kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani dapat dikatakan sedang dengan kontrol atas perempuan dalam hal yang berkaitan dengan pekerjaan domestik lebih tinggi
Tabel 36. Tingkat Kontrol Terhadap Manfaat dari Pengelolaan Sumberdaya Agraria Jenis Pemanfaatan
Pengambilan Keputusan dalam Pemanfaatan Hasil Pengelolaan Sumberdaya Agraria Suami Suami dan Istri Istri Stratum Atas
Hasil Produksi Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Kebutuhan Pribadi Pendapatan
20.00 25.00 20.00 10.00 Stratum Menengah Hasil Produksi 25.00 Kebutuhan Dasar Rumah Tangga 0.00 Kebutuhan Pribadi 33.33 Pendapatan 37.50 Stratum Bawah Hasil Produksi 29.27 Kebutuhan Dasar Rumah Tangga 14.63 Kebutuhan Pribadi 19.51 Pendapatan 14.63 Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 85 (Stratum A=20, Stratum B=24, Stratum C=41)
30.00 20.00 60.00 80.00
50.00 55.00 20.00 10.00
41.67 41.67 45.83 37.50
33.33 58.33 20.83 25.00
36.59 34.15 65.85 58.54
34.15 51.22 14.63 26.83
163
BAB IX KESIMPULAN 9.1.
Kesimpulan Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan
bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai mengenai status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumah tangga petani yang berkenaan dengan hak atas harta (termasuk sumberdaya agraria) pada masyarakat desa Cipeuteuy secara adil mengakui tingkat akses dan kontrol anggota rumah tangga petani laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria dengan beranggapan bahwa anak laki-laki dan perempuan merupakan dua entitas yang berbeda, dimana keduanya harus diperlakukan secara adil, Sistem tersebut telah mengkonstruksikan peran-peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun pembagian peran pada kegiatan usahatani sedari dini. Masyarakat Desa Cipeuteuy telah menerapkan pembagian kerja laki-laki dan perempuan dan mempengaruhi bagaimana mereka memperlakukan anggota keluarga laki-laki dan perempuan baik pada lingkungan keluarga hingga lingkungan yang lebih tinggi yakni lingkungan sosial ART laki-laki dan ART perempuan. Sebelum melakukan praktek kegiatan usahatani anak laki-laki berperan sebagai pencari rumput dan kayu bakar sedangkan perempuan lebih kepada pekerjaan domestik, seperti menyediakan makanan, mengasuh adik, tapi tidak jarang anak-anak perempuan juga membantu mencari rumput dan menyiangi tanaman. Menurut penuturan salah satu responden perempuan di wilayah Sukagalih memang telah terbiasa melakukan kegiatan usahatani sejak usia dini sehingga hal tersebut mempengaruhi kepemilikan lahan oleh perempuan karena perempuan cenderung akan terus
164
melakukan kegiatan usahatani pada lahannya sendiri. Perbedaan perlakuan antara RTP satu dengan lainnya relatif berbeda menurut perspektif tiap keluarga dalam memandang kebutuhan laki-laki dan perempuan. Hal ini turut mempengaruhi sistem alokasi sumberdaya, dimana, terdapat tiga cara alokasi sumberdaya melalui pewarisan, yakni dengan syari’at islam, pembagian dua tahap, yakni pembagian pertama menggunakan syariat islam dan pembagian kedua tergantung pada kebijakan keluarga, dan pembagian cara ketiga secara merata. Cara pembagian alokasi sumberdaya melalui pewarisan ini tergantung kepada kebijakan keluarga yang tentunya dipengaruhi oleh bagaimana keluarga tersebut memposisikan anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga Masyarakat/komunitas ikut mengakui adanya hubungan antara sistem nilai status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumah tangga dengan pola penguasaan sumberdaya agraria pada rumah tangga petani.. Dalam hal ini sangat jelas, bahwa adanya sistem pewarisan sebagai pintu masuk atas akses anak laki-laki dan perempuan, yang kemudian akan membentuk pola-pola kepemilikan baik secara individu, dua kombinasi atau tiga kombinasi sekaligus. Adanya pengakuan komunitas dan desa terhadap kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria secara tidak langsung mempengaruhi akses keduanya terhadap kepemilikan lahan, karena laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama untuk memiliki sumberdaya agraria melalui proses jual beli. Pengakuan komunitas/desa dimanifestasikan melalui pencatatan bukti kepemilikan pada Letter C dan SPPT, dimana kepemilikan individu telah diakui mulai dari usia 17 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa desa mengakui adanya sistem pewarisan yang mempengaruhi alokasi sumberdaya kepada laki-laki dan
165
perempuan. Pengakuan pada tingkat komunitas juga dicontohkan pada kelompok tani di Kampung Sukagalih, dimana kelompok tani laki-laki dan perempuan diberikan lahan kelompok untuk dikelola dan dimanfaatkan secara bersama-sama. Adanya pengakuan ini memungkinkan laki-laki dan perempuan untuk menguasai lahan baik melalui waris, hibah, membeli ataupun dengan cara menggarap dengan system kontrak, seperti sewa, gadai dan bagi hasil Berangkat dari adanya sistem pewarisan yang terjadi pada masyarakat sunda yang bilateral, maka di lapangan diperoleh dua kategori kepemilikan sumberdaya agraria. Merujuk pada pola-pola kepemilikan dan penguasaan lahan diperoleh bentuk-bentuk kepemilikan atas individu yang telah diakui oleh komunitas
hingga
tingkat
desa,
yakni
kepemilikan
laki-laki/suami,dan
kepemilikan perempuan/istri secara individu, serta kepemilikan bersama, yakni kepemilikan secara gono-gini (guna kaya). Kepemilikan secara inividu ini kemudian menggambarkan akses dan kontrol ART laki-laki dan perempuan atas kepemilikan lahan. Dari bentuk kepemilikan tersebut kemudian ditemukan kombinasi tiga bentuk kepemilikan dan pola-pola kepemilikan. Kombinasi yang pertama adalah kombinasi satu bentuk kepemilikan saja, yakni milik suami (S), milik istri (I) dan gono-gini (G). Selanjutnya adalah kombinasi dua bentuk kepemilikan yakni milik suami dan milik istri (S-I), milik suami dan gono-gini (SG), milik istri dan gono-gini (I-G). Yang terakhir adalah kombinasi tiga bentuk kepemilikan dalam satu rumahtangga yakni milik suami, milik istri dan gono-gini (S-I-G). Pola-pola kepemilikan tersebut memepengaruhi relasi gender anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan dalam tingkat akses dan tingkat kontrol
166
ART petani laki-laki dan perempuan terhadap kepemilikan sumberdaya agraria yang meliputi lahan sawah, lahan kebun, pekarangan, dan kolam. Mengingat sistem pewarisan yang berlaku dan pengakuan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria, maka tingkat akses dapat dikatakan tinggi karena keduanya memiliki akses yang sama terhadap lahan orang tua melalui hibah dan pewarisan. Serta keduanya mempunyai hak yang sama untuk membeli secara individu. Namun jika dilihat dari distribusi lahannya, tingkat akses anggota rumahtangga petani perempuan lebih rendah dibandingkan tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki. Hal ini diduga masih kuatnya anggapan bahwa laki-laki lah yang menjadi tumpuan hidup keluarganya sedangkan perempuan hanya ikut suami saja, sehingga perempuan yang masih memiliki lahan, memutuskan untuk menjualnya sedangkan perempuan yang awalnya tidak mempunyai lahan, mengalami kesulitan untuk memutuskan membeli lahan karena beberapa pertimbangan sehubungan dengan pengelolaan lahan. Namun demikian, dari pola pengambilan keputusan, diketahui bahwa meskipun persentasenya lebih rendah dari laki-laki, perempuan memiliki partisipasi dalam pengambilan keputusan yang cukup tinggi secara bersama-sama. Kondisi lahan yang semakin sempit kurang memungkinkan para petani untuk memiliki lahan sendiri, sehingga petani tidak hanya memiliki sumberdaya agraria melalui waris, hibah dan membeli, namun juga menguasai dengan cara menggarap, sewa, gadai dan bagi hasil. Penguasaan sumberdaya agraria ini juga dipengaruhi oleh aksesibilitas terhadap lahan TNGHS dan eks HGU PT. Intan Hepta yang cukup tinggi.
167
Hal ini juga berkaitan dengan Akses dan kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya agraria yang dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya agrarian yang dimanfaatkan. Akses terhadap pengelolaan sumberdaya agraria diukur melalui kontribusi waktu yang dicurahkan anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan dalam melakukan kegiatan usahatani . Menurut hasil yang diperoleh diketahui bahwa lahan kebun memerlukan tcurahan waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan lahan sawah. Adapun pola kepemilikan dan pola penguasaan sumberdaya agraria tidak mempengaruhi pola pengelolaan sumberdaya agraria. Meskipun kontrol terhadap kepemilikan sumberdaya agraria dilakukan oleh masing-masing individu yang menguasainya, namun dalam pengelolaan sumberdaya agrarian tetap dilakukan secara bersama-sama. Hal tersebut salah satunya ditujukan untuk efisiensi biaya, karena petani lebih memilih untuk menggunakan pekerja keluarga dibandingkna tenaga kerja luar keluarga yang memperoleh upah. Relasi gender dalam rumahtangga petani atas kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria dipengaruhi pula oleh tingkat akses dan kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani. Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan bertujuan untuk mendukung penghidupan keluarga. Hasil pengelolaan lahan usahatani padi-sawah adalah beras yang menjadi makanan pokok pada setiap rumahtangga, sedangkan hasil dari lahan kebun adalah komoditas-komoditas hortikultura yang dapat dikonsumsi dan dijual untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang. Dengan demikian akses anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan usahatani menentukan akses anggota ruamah tangga laki-laki dan perempuan terhadap
168
manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria. Secara keseluruhan perempuan memiliki akses terhadap manfaat pengelolaan lahan lebih besar dari laki-laki. Perempuan lebih akses pada kebutuhan rumahtangga dan pada hasil produksi, karena beberapa responden mengaku bahwa laki-lakinya yang bekerja di luar sektor usahatani memiliki akses yang lebih kecil dari perempuan. Dalam pemanfaatan hasil pengelolaan sumberdaya agraria, akses perempuan dikatakan kurang pada pemenuhan kebutuhan pribadi karena perempuan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga daripada kebutuhan pribadi. 9.2.
Saran Pengakuan pemerintah atas kepemilikan dan penguasaan laki-laki dan
perempuan yang tertera pada Undang-undang Pokok Agraria Pasal 9 ayat 2 sebaiknya didukung oleh ketersediaan data yang terpilah gender. Hal tersebut dapat dimulai dari pendataan penduduk pada potensi desa yang sebaiknya memang terpilah berdasarkan jenis kelamin. Kajian mengenai agraria sebaiknya juga mengikutsertakan aspek relasi gender di dalamnya, karena permasalahan yang berhubungan dengan agraria, tidak hanya menjadi masalah dalam tataran rumah tangga, namun juga individu laki-laki dan perempuan. Program pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan di pedesaan sebaiknya melihat kebutuhan perempuan secara partisipatif sedangkan program yang berkenaan dengan usaha tani, sebaiknya juga melibatkan perempuan, khususnya yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan dan konservasi lingkungan, mengingat Dsa Cipeuteuy masih beririsan dengan Taman Nasional
169
Gunung Halimun Salak, dan masih sedikit sekali perempuan yang berpartisipasi dalam kegiatan TNGHS.
170
DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2005. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 20042009. Billah, M.M, L. Widjajanto dan A. Kristyanto. 1984. “Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa (Tengah)”. Dua Abad Penguasaan Tanah, editor S. M. P Tjondronegoro dan G. Wiradi. Jakarta: PT Gramedia. Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST, KPA, Pustaka Pelajar. Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2001. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Pusat Studi Wanita dan kemasyarakatan Universitas Muhammadiyah Malang. Harsono, Boedi. 1988. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan. Kano, Hiroyoshi. 1984. “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa pada Abad XIX”. Dua Abad Penguasaan Tanah, editor S. M. P Tjondronegoro dan G. Wiradi. Jakarta: PT Gramedia. __________. 1984. “Pemilikan Tanah dan Diferensiasi Masyarakat Desa”. Dua Abad Penguasaan Tanah, editor S. M. P Tjondronegoro dan G. Wiradi. Jakarta: PT Gramedia. Mugniesyah, Siti Sugiah. 2001. Pemberdayaan Wanita dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan untuk Meningkatkan Ekonomi dan Ketahanan Pangan Rumahtangga. Laporan Riset Unggulan Terpadu. Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Mugniesyah, Siti Sugiah. 2006. Komunikasi Gender I. Bogor. Departemen Ilmuilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Mugniesyah, Siti Sugiah,. 2006. “Gender, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan” dalam Ekologi Manusia. Editor Soeryo Adiwibowo.Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mugniesyah, Siti Sugiah, Winati Wigna dan Endang Husaini. 2002. “Jender dan Perilaku Masyarakat Petani Lahan Kering dalam Pembagunan Pertanian Berkelanjutan”. Laporan Penelitian. Bogor: Pusat Studi Wanita Institut Pertanian Bogor.
171
Mugniesyah, Siti Sugiah dan Mizuno Kosuke. 2007. “ Access to Land in Sundanese Community: A Case Study of Upland Peasant Households in Kemang Village, West Java, Indonesia. Southeast Asian Studies, vol. 44, no. 4, March. __________. 2003. “ Gender Relation Among Upland Farming Households: The Case of Kemang Village in West Java, Indonesia. Sustainable Agriculture in Rural Indonesia. Gajahmada University Press __________. 2003. “ Gender in Sustainability of Local Organizations and Institutions (A Case In Two Upland Village in West Java, Indonesia). Sustainable Agriculture in Rural Indonesia. Gajahmada University Press Murniatmo, Gatut et.,al. 1984. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional di daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sitorus, M.T. Felix. 2004. “Kerangka dan Metode Kajian Agraria”. Jurnal Analisis Sosial, vol. 9, no,1, hal 101-137. Sunarsih, Uun. 2003. Gender dalam Rumahtangga Petani Peserta Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Institut Pertanian Bogor. Suryaalam, Maria R. Ruwiastuti. “Hak Perempuan Atas Sumberdaya Alam”. Tanah Masih di Langit. hal. 819-825 Tauchid, Mochammad. 1952. Masalah Agraria. Jakarta: Cakrawala. Tim Studi KPA. 1997. “Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah pada Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan”. Reformasi Agraria. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tjondronegoro, Sediono M.P. 1999. Sosiologi Agraria, editor: M.T. Felix Sitorus dan G. Wiradi. Bandung: AKATIGA. Tjondronegoro, Sediono M.P dan Gunawan Wiradi. 2004. “Menelusuri Pengertian Istilah Agraria”. Jurnal Analisis Sosial, vol. 9, no,1, hal 1-26. Van der Kroef, J.M. 1984. “Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa”. Dua Abad Penguasaan Tanah, editor S. M. P Tjondronegoro dan G. Wiradi. Jakarta: PT Gramedia. Wiradi, Gunawan. 1984. “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria”. Dua Abad Penguasaan Tanah, editor S. M. P Tjondronegoro dan G. Wiradi. Jakarta: PT Gramedia. Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria. Jakarta: INSIST Press.