BAGIAN KETIGA KELEMBAGAAN MANAJEMEN AGRARIA
8. Sistem Pengambilan Keputusan Terhadap Sumberdaya Agraria dan Implikasinya 9. Penataan Kelembagaan Manajemen Agraria 10
Pemberdayaan Masyarakat Manajemen Agraria/Pertanahan
di
11. Dukungan Data dan Informasi Agraria 12. Manajemen Reforma Agraria
Bidang
8
Pengambilan Keputusan Terhadap Sumberdaya Agraria dan Implikasinya. 1.
Konsep Manajemen Pengambilan Keputusan
Secara konsepsional keputusan merupakan suatu tindakan yang diambil setelah melalui proses pertimbangan secara mendalam dari berbagai aspek, terutama manfaat dan resiko yang diperoleh. Tindakan untuk pengambilan keputusan dilakukan karena adanya dua atau lebih alternatif pilihan. Pengambilan keputusan dilakukan oleh pengambil keputusan (policy maker). Dalam struktur organisasi pengambil keputusan adalah pemimpin tertinggi dalam suatu unit organisasi yang berfungsi sebagai top manager . Maka tugas manager sebagai pengambil keputusan adalah mendiskripsikan pilihan yang konsisten dan memaksimalkan nilai manfaat yang akan diperoleh dengan mempertimbangkan kendala dan resiko yang telah diketahui. Oleh karena itu, pengambilan keputusan dilakukan dengan asumsi rasionalitas, antara lain: (1) adanya kejelasan masalah, (2) orientasi pada satu tujuan, (3) pilihan dan konsekwensinya diketahui, (4) preferensi yang jelas, (5) preferensi konsisten, (6) tidak terdapat kendala waktu dan biaya serta (7) diperoleh keuntungan maksimal. Proses pengambilan keputusan merupakan rangkaian yang terdiri dari delapan langkah, yaitu: (1) mengidentifikasi masalah, (2) menetapkan kriteria untuk pengambilan keputusan, (3) memberi bobot terhadap kriteria, (4) menyusun berbagai alternatif pilihan, (5) menganalisis berbagai alternatif, (6) melakukan satu pilihan dari berbagai alternatif yang tersedia, (7) mengimplementasikan pilihan yang telah ditetapkan dan (8) mengevaluasi efektifitas keputusan. Pada saat proses pengambilan keputusan seringkali terdapat kondisi kepastian dan ketidakpastian serta resiko yang akan terjadi. Adanya kepastian merupakan suatu kondisi yang sangat mendukung efektifitas dari sebuah keputusan. Sebaliknya adanya ketidakpastian mendorong manajer untuk menetapkan sebuah pilihan maksimum-optimis untuk memaksimalkan hasil, maksimum-pesimis untuk memaksimumkan hasil yang minimum atau pilihan minimalis, yaitu meminimumkan resiko yang akan terjadi. Pengambilan keputusan ditentukan oleh gaya kepemimpinan seorang manajer. Terdapat dua dimensi cara mendekati pengambilan keputusan: (1) berpikir, dalam proses perubahan dari rasional ke intuitif dan (2) toleransi akan ambiguitas, yaitu dapat menanggung ketidakjelasan yang tinggi dan mampu memproses banyak pemikiran sekaligus. Pada dasarnya terdapat empat gaya dalam pengambilan keputusan, yaitu secara: (1) direktif, bersifat cepat, efisien dan logis, (2) analitis, bersifat hati-hati dan mampu adaptasi dengan situasi baru, (3) konseptual, mampu menemukan solusi kreatif dan (4) perilaku, kemampuan toleransi yang rendah terhadap ambiguitas dan cara berfikir intuitif. Dalam praktek birokrasi, masih banyak keputusan yang didasarkan pada pendekatan intuisi. Pendekatan ini pada umumnya tidak didasarkan pada analisis secara sistematis dan seksama terhadap masalahmasalah tersebut, namun lebih kepada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang sudah terkumpul dan terakumulasi dalam pikiran para pengambil keputusan. Pertimbangan itu antara lain: (1) adanya nilai-nilai etika atau kultur tertentu, (2) pengalaman sebelumnya, (3) adanya feeling dan emosi, (4) ketramplian dan
pengetahuan yang dimiliki serta (5) rekaman data bawah sadar. Terhadap jenis masalah yang terstruktur dengan baik dan telah dikenal serta mudah dirumuskan pada umumnya pengambilan keputusan dengan pendekatan intuisi dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan dampak yang serius. Namun terhadap jenis masalah yang tidak terstruktur dengan baik, yang dukungan data dan informasinya tidak lengkap, pendekatan intuisi dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut sumberdaya publik dapat berdampak serius terhadap keberlanjutan sistem sumberdaya tersebut. 2
Konsep Manajemen Pengambilan Keputusan Terhadap Sumberdaya Agraria
Secara umum terdapat dua pandangan dalam memahami keberadaan sumberdaya alam. Pertama, pandangan konservatif atau pandangan pesimis yang mengacu pada konsep Malthusian. Kedua, pandangan eksploitatif atau pandangan optimis yang mengacu pada konsep Ricardian. Pandangan konservatif, beragumentasi bahwa sumberdaya alam harus dimanfaatkan secara hati-hati karena adanya ketidakpastian apa yang akan terjadi pada generasi yang akan datang. Konsep Malthus (1879) dalam bukunya ”Principle of Population” pada intinya menyatakan bahwa sumberdaya alam ketersediaannya terbatas sehingga tidak akan mampu mendukung konsumsi penduduk yang jumlahnya berkembang secara eksponensial. Produksi sumberdaya akan mengalami deminishing of return, di mana output per kapita mengalami kecenderungan yang semakin menurun dalam perjalanan waktu. Proses ini tidak berlangsung terus, karena pada saat terjadi deminishing of return, standar hidup juga akan menurun sampai pada tingkat subsisten yang pada akhirnya akan terjadi penurunan reproduksi manusia. Pada saat itullah terjadi keseimbangan baru yang dikenal dengan istilah steady state. Pandangan eksploitatif, berargumentasi bahwa sumberdaya alam itu ibarat ”engine of growth” yang mentransformasikan sumberdaya alam ke dalam “man made capital” yang cenderung akan menghasilkan produktivitas yang semakin tinggi dengan berkembangnya teknologi produksi. Adapun keterbatasan suplai dari sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat disubstitusi dengan cara intensifikasi atau ekstensifikasi. Dari segi ekonomi kelangkaan sumberdaya akan mendorong meningkatnya harga output maupun harga produksi per satuan output. Meningkatnya harga cenderung akan menurunkan permintaan barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya itu. Di sisi lain, peningkatan harga output merangsang insentif produsen untuk meningkatkan suplai. Akibat keterbatasan sumberdaya itu, terjadi tarik menarik antara harga output dan biaya produksi sehingga akan mendorong proses pencarian sumberdaya substitusi dan peningkatan daur ulang. Selain itu juga akan mendorong inovasi mencari sumber-sumber baru yang masih mungkin. Sumberdaya agraria merupakan salah satu aset sumberdaya alam yang strategis bagi Bangsa Indonesia yang saat ini masih menjadi sumberdaya utama dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.. Oleh karena itu, pengambilan keputusan dalam manajemen sumberdaya tersebut menjadi penting karena selain berdampak terhadap keberadaan sumberdaya tersebut juga berdampak kondisi politik-sosialekonomi dan budaya masyarakat bahkan dalam berbagai tulisan sering dikatakan berdampak terhadap keberlangsungan peradaban suatu bangsa. Dalam proses pengambilan keputusan terhadap sumberdaya agraria itu dapat dilakukan dengan pendekatan kebijakan konvensional, yang berdasarkan kekuatan politik dan pengalaman para pengambil keputusan dalam mengelola suatu sumberdaya. Pendekatan tersebut pada situasi tertentu menghasilkan kebijakan yang diterima oleh masyarakat. Namun sumberdaya agrarian mempunyai karakterisrik tertentu, di antaranya keberadaannya tertentu, kualitas dan kuantitasnya juga terbatas sedangkan proses pembaharuannya memerlukan jangka waktu relative lama, bahkan untuk sumberdaya tertentu memerlukan waktu jutaan tahun. Dengan demikian diperlukan suatu pendekatan yang didasarkan pada argumen professional. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan analisis pengambilan keputusan yang sering dikenal dengan istilah Decision Support Analysis (DSA) atau Decision Support System (DSS). Penggunaan DSA/DSS itu didukung dengan kemajuan teknologi demikian cepatnya dibanding beberapa abad sebelumnya. Komunikasi satelit dan sistem transportasi antar benua berkembang sehingga faktor jarak, tempat dan waktu seakan-akan menjadi nisbi, namun dampak dari perkembangan tersebut juga semakin terasa. Kebijakan yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan seakan-akan berlomba dengan perkembangan teknologi.
Kebijakan terhadap sumberdaya tanah, air dan hutan di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi yang kurang diimbangi dengan pengendalian telah berdampak negatif. Sebagai contoh ketika pemerintah merespon pertumbuhan permukiman dan industri melalui kebijakan ijin lokasi pembangunan besar-besaran melebihi kebutuhan, sehingga ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1997-an, terdapat ribuan hektar tanah yang tidak termanfaatkan. Padahal terdapat pengalaman dunia sekitar tahun 1933-an terjadi resesi ekonomi yang bersumber dari mis-alokasi sumberdaya tanah. Demikian pula terdapat pengalaman dalam mengeksploitasi sumberdaya hutan yang telah merubah Brasilia sebagai paru-paru dunia menjadi padang rumput juga telah terabaikan dengan pengkaplingan hutan melalui pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tanpa pengendalian yang ketat dalam program reboisasi sehingga saat ini sebagian besar hutan telah berubah menjadi semak-semak dan hutan belantara. Maka terjadilah sumber kerusakan tanah dan air. Kondisi di atas menjadi salah satu sumber malapetaka dan berdampak krisis ekonomi yang berkepanjangan bagi Bangsa Indonesia. Masyarakat mencatat bahwa sejak awal 1980-an ketika harga minyak mentah dunia jatuh, perhatian dialihkan kepada sumberdaya non-migas. Maka kebijakan ekonomi pembangunan di Indonesia diarahkan pada komoditi sumberdaya alam yang mampu menjadi tulang punggung dan mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia. Maka sumberdaya non-migas seakan-akan menjadi primadona yang tidak dapat dijangkau lagi dengan pendekatan yang lebih rasional. Bahkan pendekatan yang rasional pun juga menjadi alat pembenaran untuk merubah hutan dan tanah pertanian dan membebaskan areal tanah masyarakat guna pembangunan jalan, industri, permukiman, perkebunan dan sebagainya.. Pihak bank berlomba-lomba memberi kredit yang akibatnya menjadi sumber krisis ekonomi sampai saat ini. Semua faktor analisis menghasilkan keputusan yang kompleks yang hanya dimiliki oleh para pengambil keputusan yang mempunyai informasi akurat, pengalaman dan dipandang sempurna sehingga kebijakan yang diputuskan dianggap bermanfaat bagi masyarakat banyak. Namun perkembangan menunjukkan bahwa informasi yang dimiliki ternyata tidak sempurna, evaluasi membuktikan bahwa faktor manusia lebih bersifat subyektif. Perkembangan teknologi komputer yang mempunyai kemampuan analisis yang kompleks merupakan pendorong berkembangnya teknologi baru yang menggunakan informasi dalam suatu kerangka pengambilan keputusan . Maka para pengambil keputusan semakin membutuhkan pendekatan yang sistematis untuk menangani masalah sumberdaya. Pengambilan keputusan tidak cukup hanya dengan pengalaman, opini atau intuisi, namun memerlukan pendekatan yang lebih obyektif dengan menggunakan alat bantu berupa analisis pengambilan keputusan. Analisis pengambilan keputusan ini merupakan bagian dari metode manajemen untuk mencari penyelesaian masalah. Maka fokus analisis adalah penggunaan ilmu pengetahuan berbasis modeling, baik model fisik maupun model simbolik. Sedangkan langkah analisis sebagaimana metode manajemen tetap mendasarkan pada observasi data, definisi masalah, formulasi masalah, eksperimental design serta pemecahan masalah dengan operasionalisasi analisis. 3.
Struktur Pengambilan Keputusan Yang Menimbulkan Mis-Alokasi Sumberdaya Tanah
Tanah sebagai sumberdaya yang persediannya relatif tetap, tidak elastis namun permintaannya selalu meningkat sejalan dengan meningkatnya penduduk dan pola konsumsi, mendorong timbulnya pola pengambilan keputusan yang mengabaikan prinsip-prinsip manajemen sumberdaya alam berkelanjutan. Pengambilan keputusan secara parsial terhadap sumberdaya tanah yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya alam, antara lain: ¾ ¾ ¾ ¾ ¾
Tanah dianggap sebagai komoditi yang dapat dimiliki, dijual, dibagi-bagi, digunakan atau tidak tanpa ada sangsi yang tegas Penggarapan tanah oleh bukan pemilik sehingga tidak ada keinginan untuk memelihara tanah Tanah dijual, dikapling-kapling tanpa melihat satuan ekosistem dan batas drainase alami Tanah diperdagangkan dalam luasan yang kecil tanpa mempertimbangkan satuan unit produksi atau skala minmum usahatani. Tanah digunakan secara parsial tanpa melihat penggunaan sekelilingnya
¾
Tanah digunakan sesuai nilai lokal tanpa melihat peranannya sebagai pelindung dan konservasi alam
Beberapa faktor kunci yang mempengaruhi eksternalitas dis-ekonomi pengambilan keputusan terhadap sumberdaya agraria adalah keadaan fisik geografi wilayah serta hubungan sosial ekonomi terhadap sumberdaya tersebut. Secara fisik geografis, terdapat daerah berlereng yang curam yang berpotensi terkikis. Semakin tinggi tempat, daerah yang berlereng curam semakin luas dan semakin besar pula potensi terjadinya pengikisan atau erosi tanah. Keadaan itu menjadi lebih rentan, ketika keadaan sosial ekonomi tidak mendukung, seperti kondisi dimana tanah pertanian tidak diusahakan sendiri oleh pemiliknya. Sebagaimana diketahui dalam struktur piramida penguasaan pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah, sekurang-kurangnya terdapat empat penguasa tanah, yaitu, pemilik (owner), penyewa (tenantcy), pembagi hasil (share cropper) dan penggarap tanah (laborer). Semakin jauh hubungan kepoemilikan terhadap tanah cenderung semakin rendah komitmen terhadap upaya mengelola tanah secara lestari karena membutuhkan biaya konservasi yang tinggi. Bagi pemilik tanah, semua resiko, biaya, manajerial dan usaha konservasi akan dilakukan karena manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan apabila ia sebagai penyewa atau sebagai pembagi hasil. Seballiknya bagi penyewa, ia akan mengelola penuh usaha selama jangka waktu persewaan dengan memasukkan semua resiko dan usaha konservasi ke dalam struktur biaya selama hal itu lebih menguntungkan. Hal yang relatif sama juga dilakukan bagi para pembagi hasil, setelah memperhitungkan keuntungan bersih yang diperoleh setalah hasilnya dibagi sesuai perjanjian dengan pemilik tanah. Dari uraian ini jelas bahwa aspek kepemilikan tanah memegang peran yang penting dalam manajemen agraria berkelanjutan. Pada gambar berikut disajikan kondisi fisik geografi dan sosial ekonomi yang menyebabkan mis-alokasi manajemen sumberdaya agraria serta proses terjadinya tanah tererosi, rusak dan akhirnya menjadi tanah kritis yang secara ekonomi tidak lagi dapat diusahakan di bidang pertanian.
Gambar : Pengusahaan Tanah di Lereng Pegunungan Berpotensi Erosi
Gambar
: Perumahan Tanpa Usaha Konservasi di Daerah Pegunungan
Gambar
Gambar
: Permukaan Tanah Mulai Terkikis
: Runtuhnya Peradaban Bangsa Agraris
4.
Pendekatan Holistik Dalam Pengambilan Keputusan
Konsep ini pada intinya mengacu pada upaya mengelola manusia agar mampu mempertahankan kualitas lingkungan sebaik mungkin. Dengan kata lain mengkaji secara seksama bagaimana intervensi manusia terhadap sumberdaya agraria dan mengupayakan agar memberi manfaat sebesar mungkin dan selama mungkin bagi kehidupan manusia. Prinsip dasar yang diacu adalah keseimbangan dinamis antara manusia dan segala aktivitas kehidupannya di berbagai ekosistem dengan memaksimalkan kemampuan hidup. Dengan acuan tersebut, konsep ini mengintegrasikan berbagai fenomena teknologi sosial-ekonomi-managemen-politik dalam suatu system kehidupan yang semakin baik (lihat Gambar 9). Aspek teknologi berkaitan dengan efiensi dan efektifitas penggunaan sumber-sumber input produksi yang dikaji dari sisi biologi, toricity, deficiency, quality standard, material balance. Aspek ekonomi berkaitan dengan analisa biaya internal dan eksternal, simulasi biaya, transaksi, analisis effectiveness, trade-of analisis dan lain sebagainya Aspek managerial berkaitan dengan struktur pengambilan keputusan, kelembagaan perencanaan, penganggaran sumberdaya agraria, struktur organisasi. Aspek politik berkaitan dengan keinginan, kebutuhan sistem nilai masyarakat kelompok tertentu dan public yang menghendaki alokasi sumberdaya agraria yang berkeadilan melalui negosiasi, koalisi, kompromi dan lain sebagainya. Sistem nilai masyarakat mempunyai peran yang penting dalam proses pengambilan keputusan manajemen sumberdaya tanah. Terdapat beberapa pertimbangan publik yang membatasi pengambilan keputusan masyarakat terhadap sumberdaya tanah secara parsial, antara lain:
¾ Pemilik tanah harus menghormati hak masyarakat dan membayar pajak tanah untuk mendukung pelayanan sosial dan kepentingan umum
¾ Masyarakat harus memperoleh kompensasi atas pelepasan/penjualan hak atas tanah secara parsial yang umumnya dinikmati oleh perorangan
¾ Penggunaan
tanah
dibatasi
oleh
tata
ruang
yang
melibatkan
publik.
Gambar 9. Pendekatan Holistik Manajemen Agraria
Toxicity
Biologi
Deficiency
Material Balance
TECHNICAL SOCIETY
Marginal Analysis
Market Simulation
Quality Standards
Need and Value System
SOCIO ECONOMIC SOCIETY
Trade Off Analysis
KUALITAS SUMBER DAYA AGRARIA
POLITICAL SOCIETY
Negoziation Compromise Coalition
MANAGERIAL SOCIETY
Decision Structure
Planning Methode
Financing Landresources Program
Interest Group Vs Public Needs
New Decision Structure
5.
Model Analisis Pengambilan Keputusan
Secara umum model adalah gambaran sederhana mengenai sesuatu yang relevan dari kondisi atau proses suatu sistem yang sesungguhnya dalam dunia nyata. Pengertian relevan bersifat relatif karena setiap model tergantung pada bagaimana dan sejauhmana dapat memggambarkan keadaan yang nyata tersebut. Fokus model adalah berkaitan dengan penerapan pengambilan keputusan organisasi, namun yang sering terjadi proses pengambilan keputusan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang tertentu secara sepintas. Maka yang perlu dipertanyakan bukan hanya bagaimana model tersebut bvbdibangun, namun lebih kepada seberapa jauh model tersebut diterapkan. Model yang dibangun tergantung dari karateristik obyek, masalah atau sistem dalam studi tertentu. Model dapat berbentuk fisik atau simbolik atau kombinasi fisik dan simbolik. Beberapa bentuk yang sering digunakan dapat dikemukakan sebagai berikut.: Model fisik Model fisik menggambarkan obyek, masalah atau sistem dalam bentuk fisik secara sederhana dan relatif bentuknya sudah tertentu dan umumnya terbatas dalam pengembangan analisis pengambilan keputusan. Model fisik secara garis besar terdiri dari dua bentuk, yaitu model ikonik dan model analog. Model ikonik merupakan replica dalam skala kecil dari bentuk sesungguhnya. Misalnya replika mobil atau pesawat terbang. Model analog dibangun untuk menggambarkan hubungan fungsi secara fisik. Misalnya model Bendungan/DAM yang menggambarkan fungsi bendungan dan fungsi aliran air untuk berbagai penggunaan seperti tenaga listrik, irigasi pertanian atau sumberair minum daerah perkotaan. Model juga dapat berbentuk Grafik atau Diagram suatu organisasi dengan fungsi-fungsi yang saling berkaitan. Model Simbolik Model simbolik digunakan untuk menggambarkan hubungan fungsional antara berbagai variabel yang tidak dapat digambarkan secara fisik . Selain itu nilai-nilai variabel dapat dimanipulir sehingga dapat diperoleh hubungan fungsional yang relevan dengan tujuan analisis dan prediksi yang diperlukan. Model simbolik secara garis besar terdiri dari dua bentuk, yaitu model matematik dan model verbal. Pada model matematik, basis analisis didasarkan pada hubungan karyawan yang menggunakan symbol matematik sebagai contoh kebijakan kode produksi ditentukan oleh luas area (hektar) dan produktivitas dinyatakan dalam hubungan fungsi V=A x P. Pengguna model matematik dalam alternatif pengambilan keputusan sangat penting, karena system matematika akan berperan sebagaimana sistem yang sesungguhnya . Jadi dengan pengalaman berbagai alternatif variasi dalam pemecahan masalah, para pengambil keputusan dapat mensimulasi perilaku system yang nyata pada berbagai kondisi. Model matematik ada dua tipe: (1) model deskriptif-normatif, (2) model. Model matematikprobabilistik Model deskriptif-normatif Model deskriptif menjelaskan sesuatu apa adanya digunakan untuk menjelaskan situasi agar lebih jelas, mengidentifikasi perubahan area yang mungkin terjadi dan meneliti konsekuensi dari berbagai alternatif ,namun model deskriptif mampu mengidentifikasi semua alternatif yang mungkin terjadi. Keuntunganmodel ini adalah memberi kerangka kerja untuk analisis pengambilan keputusan dalam menyeleksi alternative. Model normative mengiidikasi bagaimana seharusnya. Digunakan untuk mengidentifikasi alternatif yang sebaiknya berdasarkan beberapa kriteria tertentu . Biasanya mengacu kepada model keputusan yang optimal, karena memang untuk menempatkan solusi yang optimal di bawah Model matematik-probabilitik.
Model matematik menggunakan variabel tertentu yang sudah pasti. Misalnya dalam kasus V = A x P, tidak ada variabel lain, kecuali formula yang sudah ditentukan tersebut. Model Probabilitas menggunakan sejumlah variabel yang belum dapat ditentukan secara pasti dan sulit diprediksi secara pasti, misalnya dalam kasus penambangan pasir (galian C) sulit ditetapkan berapa tahun kemapuan untuk ditambang Model Verbal Model ini dikenal sebagai “ model mental’, karena tidak menggunakan symbol-simbol tertentu, tetapi berupa tulisan atau pernyataan individu yang bersifat abstrak. Keuntungan model ini pengambil keputusan dapat mengidentifikasi hubungan dan kendala sebelum sampai pada pemecahan masalah. Proses pembentukkan model dideskripsi dalam hubungan dengan pemilihan alternatif tertentu sebelum diputuskan dakam kategori tertentu. Penerapan model fisik atau model simbolik tergantung situasi tertentu. Beberapa kekuatan dan kelemahan model tersebut dapat dikemukakan berikut ini Uraian Tingkatan abstraksi Kemudahan menyusun Kemudahan manipulasi
6.
Model Fisik Analog) kecil / sempit lebih mudah lebih sulit
(Ikonik,
Model Simbolik (Matematik, Verbal) besar / luas lebih sulit lebih mudah
Operasionalisasi Model
Terdapat berbagai model yang dapat digunakan dalam analisis pengambilan keputusan. Berdasarkan faktor-faktor yang telah diuraikan pada butir 3 berikut akan dibahas tujuh model dasar yang sering digunakan dalam analisis pengambilan keputusan, yaitu (a) model Decision Theory, (b) Model Alokasi Sumberdaya, (c) Model Inventory, (d) Model Quening, (e) Model Simulation, (f) Model Markov dan (g) Model Network. Secara garis besar penerapan model disajikan pada Tabel 23 berikut. Tabel 23 Ringkasan Berbagai Model Pengambilan Keputusan
No 1.
2.
3.
4.
Operasionalisasi Model Pengambilan Keputusan Decision Theory Models Tujuan : membuat keputusan yang lebih baik terhadap suatu masalah yang bersifat penuh risiko dan ketidakpastian. Focus Model : elemen yang biasa digunakan sebagai basis untuk analisis yang complex dengan berbagai alternatif keputusan. Model didasarkan pada analisis statistik dengan basis variabel yang probabilistic (peluang). Allocation Model Tujuan : Memilih penggunaan sumberdaya yang terbatas untuk berbagai kegiatan dengan maksud memperoleh hasil terbaik karakternya atau meminimumkan biaya. Contoh : Linear Programming dengan fungsi minimum atau maksimum dengan variabel yang deterministic. Inventory Model Tujuan : Memilih sumberdaya yang strategis stok di gudang atau dipasarkan dengan maksud menghemat biaya penyimpanan. Focus model : mendesign keuntungan ekonomi order quantity (EOQ) dan mengoptimumkan barang yang dipesan. Model ini merupakan normative dengan pola determinan atau probabilitas tergantung dari kondisi ketidakpastian atau resiko. Penerapan: department store, apotik. Queing Model Tujuan : Memilih fasilitas pelayanan yang terbaik agar waktu menunggu dapat diminimumkan, sehingga diperoleh keseimbangan antara biaya dan waktu fungsi. Penerapan: jalan tol dan jenbatan laying pada Perencanaan Fasilitas Pelayanan Publik. Model ini seringkali bersifat deskriptif dan terdiri dari variabel probabilistic.
5.
6.
7.
Simulation Model Tujuan : merupakan gambaran bentuk sesungguhnya dengan menggunakan percobaan pada berbagai komponen dan melihat responnya, sehingga diperoleh solusi yang terbaik. Model biasanya menggunakan model matematik dan pendekatan system dengan cara step demi step. Keuntungannya dapat meyakinkan hasil tanpa menggunakan sumberdaya yang sesungguhnya. Model menggunakan deskripsi dengan variabel probabilistic. Penerapan : Model DAS dan bendungan / dam. Markov Model Tujuan : menganalisis perilaku konsumen dalam memilih produk yang diinginkan dari berbagai jenis yang dipasarkan. Model ini sering dikenal dengan istilah model “ BrandSwitching” karena mampu memprediksi perubahan produk yang diinginkan konsumen. Model menggunakan deskripsi analisis dengan variabel probabilistic. Network Model Tujuan : menganalisis waktu tercepat yang diperlukan untuk memilih beberapa alternatif cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Basis model adalah The Gantchart yang kemudian dikembangkan ke dalam dua model yaitu PERT (Program Evalution Review Technique) dan CPM (Critical –Path Method). Keduanya digunakan untuk perencanaan dan pengendalian proyek. Model ini adalah normative dan biasanya dengan variabel probabilistic.
Penggunaan Model Operasional secara umum dapat digambarkan dalam Tabel sebagai berikut
Tabel 24 Penerapan Penggunaan Model Pengambilan Keputusan
Model
Penggunaan Deskriptif Normatif
Decision Theory Allocation Inventory Quering Simulation Network Marhov
X X X
Tipe Variabel Determinate Probabilistik X X
X X X X
Jumlah Variabel Sedikit Banyak
X
X
X X X X X
X
X X X X X
– apa adanya Keterangan : deskriptif normatif - seharusnya, ada ukuran tertentu deterministic - tertentu, pasti probabilitas - tidak pasti, tidak menentu
7.
Tahapan Analisis Model
Dalam analisis model pengambilan keputusan, terdapat berbagai langkah yang dapat ditempuh . Tahapan dasar tersebut tidak terpisah satu sama lain, namun saling berkaitan dalam suatu sekuen tertentu. Penentuan Masalah. Untuk pemecahan suatu masalah perlu diketahui apa masalahnya. Namun karena suatu masalah sering bersifat kompleks maka dalam prakteknya tidak mudah membuat pernyataan masalah. Kekeliruan dalam penentuan masalah merupakan sumber “masalah yang tidak
terpecahkan”. Tidak ada ruang yang tepat bagaimana menentukan masalah dalam proses pengembangan model. Namun ada acuan yang dapat digunakan yaitu kemampuan dalam membedah “doing things right dan doing the right things”. Untuk mengidentifikasi masalah dapat dikembangkan dari variabel dalam komponen input,masukan atau output.Selanjutnya ditetapkan hubungan antar variabel. Definisi masalah tergantung dari sejumlah variabel yang dikembangkan . Suatu masalah mungkin mempunyai variabel yang sedikit dan mudah didefinisikan serta mempunyai tingkat kepastian yang tinggi. Masalah yang lain mempunyai variabel yang banyak dan penuh dengan ketidakpastian. Penyederhanaan Masalah Masalah yang diperkirakan sangat kompleks perlu disederhanakan , maka diperlukan beberapa asumsi, menyederhanakan hubungan antara variabel serta membatasi lingkup masalah . Asumsi yang digunakan antara lain berkaitan dengan periode waktu tertentu kondisi .tidak berubah secara drastic demand terhadap suatu komoditi tidak berubah dan sebagainya. Model hubungan dapat disederhanakan berkaitan dengan asumsi adanya kesamaan konsumsi masayarakat berkaitan dengan tingkat/kadar social ekonominya atau tingkat pendapatannya. Penyederhanaan lain misalnya pola perubahan pendapatan dan pola konsumsi diasumsikan bersifat linear sehingga model dapat diprediksi. Pembatasan lingkup masalah diperlukan dengan pemecahan masalahnya dapat ditangani dengan hasil yang optimal. Walaupun model yang dibangun sangat komplek dan memerlukan wawasan pengetahuan yang luas namun pada sekmen tertentu perlu dibatasi permasalahannya. Ada acuan yang dapat digunakan dalam pembatasan masalah yaitu “globally thingking but locally acting” Model Pemecahan Masalah Sebagaimana dikemukakan model pemecahan masalah perlu diseduaikan dengan karakteristik masalah. Misalnya untuk kondisi yang spesipik digunakan model matematik. Untuk model normative lebih sesuai untuk meneliti masalah secara optimal, adalah dengan memperhitungkan kondisi yang ada. Model deskriptif lebih sesuai untuk model analisis simbolis digunakan untuk menyederhanakan fungsi suatu system. Testing Pemecahan Masalah Hasil analisis seyogyanya diadakan testing untuk memantapkan hasil prediksi model. Penyesuaian seperlunyta dapat dilakukan bilamana hasil testing belum dapat memuaskan pengambilan keputusan. Pengendalian Feedback/Umpan Balik Berdasarkan hasil testing model serta pengaruh yang mungkin dapat terjadi, para pengambil keputusan dapat melakukan pengendalian melalui monitoring dan evaluasi. Bilamana pengaruh lebijakan yang ditetapkan dianggap kurang m,emuaskan dapat dilakukan tiga hal; antara lain merevisi model analisis, memformulasi kembali masalahnya atau dampak yang diduga terjadi dapat dieleminasi. Penerapan Model Analisis pengambilan keputusan seringkali dilaksanakan oleh staf yang professional. Namun bilamana pengambilan keputusan tidak mengikuti secara langsung atau kurang memahami persoalan yang berkaitan dengan tujuan, asumsi serta simulasi yang diperlukan maka hasil analisis mungkin dianggap kurang memuaskan maka koordinasi antara pengambil keputusan dengan analisis yang professional menjadi penting agar terkjadi komunikasi dan keberhasilan dalam menerapkan hasil analisis bagi pengambilan keputusan bagi pengembangan argumen. Tidak ada data yang pasti tentang seberapa besar model analisis pengambilan keputusan yang digunakan oleh organisasi. Namun selain decade 1975 Schumacher dan Smith telah mengirim questioner kepada 168 perusahaan yang tercatat dalam majalah “Fortune
Magazine’s” sebagai 500 perusahaan industri yang terkemuka. Dari 65 perusahaan yang memberi respon, terdapat 49 perusahaan yang menerapkan analisis pengambilan keputusan. Hasil studi juga menunjukkan bahwa ada dua kesulitan pokok dalam membangun koordinasi antara staf professional dengan para pengambil keputusan, yaitu menyangkut tingkat kepercayaan/keyakinan dari para pengambil keputusan dan miss komunikasi anta para analisis professional dengan para pelaksana operasional. Survey kedua dilakukan pada tahun 1967 oleh Vatter yang mengirim questioner kepada 3.500 perusahaan di USA dengan focus penelitian tentang model analisis yang digunakan oleh para eksekutif dari 360 perusahaan besar dan menengah yang memberi respon sebagian besar (63 %) menggunakan model PERT/CPM network untuk perencanaan jadual opersional perusahaan dan kontrol pelaksanaan kegiatan. Selanjutnya menggunakan model analisis inventori dan linear programming. Hasil penelitian Vatter juga mencatat bahwa penerapan model analisis PERT/CPM memperoleh hasil yang paling sukses (34 %) disbanding model analisis lainnya. Namun perlu dicatat bahwa hampir 2/3 reeponden menyatakan semua model kurang sesuai untuk diimplementasi. Model PERT/CPM meskipun dianggap paling sukses pada waktu itu, dalam implementasinya kurang diikuti dengan feedback atau monitoring dan evaluasi serta partisipasi aktif selama kegiatan berlangsung. Tabel 25 Model Analisis Pengambilan Keputusan Hasil Penerapan di USA, Tahun 1967. Penggunaan (%) Hasil Penerapan (%) No. Model Tidak KadangTerlalu Baik Jelek Tidak Analisis terlalu kadang Jelas 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Matematika Programing PERT/CPM Questionaire Model Inventory Simulasi Lain-lainnya*
54 37 78 48 50 87
31 45 19 32 34 7
15 18 3 20 6 6
24 34 9 24 31 9
69 59 87 68 63 90
Keterangan : - Jumlah responden 3160 perusahaan besar dan menengah -* Model lain meliputi Model Analisis Marshal, Theory Probability, Vatter juga menambahkan model analisis factor, analisis regresi dan statistic sampling, namun dalam laporan tersebut tidak dibahas secara khusus harus merupakan bagian pengembnagan model-model di atas.
Melihat hasil penelitian pada tahun 1970-an di atas menunjukkan bahwa masih ada “gap” penggunaan analisis pengambilan keputusan dan para pengambil keputusan dalam mengevaluasi hasil tersebut perlu dikemukakan tiga pendapat ahli manajemen yaitu Harvey M. Wagner, Peter F. Qoucher dan C. Jackson Grayson. Wagner (1969) adalah guru besar Manajemen Sciences, menyatakan bahwa dalam dua decade mendatang, (1990-an) model analisis pengambilan keputusan akan mengalami perkembangan pesat dan akan banyak diterapkan di bidang pemerintahan dan perusahaan bisnis. Perkiraan tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa para manager dan pengambil kepputusan akan belajar dari kenyataan bahwa kebijakan yang ditetapkan memerlukan dasar analisis yang rasional. Disamping itu perkembangan komputer telah membantu proses analisis yang rumit menjadi lebih cepat diperoleh hasilnya. Wagner menyatakan : “Sangat sedikit eksekutif yang menentukan kabijakan organisasi masih menanyakan “Mengapa kami memerlukan bantuan analisis pengambil keputusan/operation riset ?” Mereka tahu jawabannya ! Quecher (1971) seorang konsultan manajemen berpendapat “Model analisis pengambilan keputusan kurang diminati para manager karena kurang meyakinkan dalam memecahkan permasalahan organisasi.” Menurut Quecher anggapan para manager tersebut disebabkan analisis hanya memfokuskan sebagian dari masalah organisasi disbanding dengan masalah organisasi keseluruhan. Akibatnya bagian yang dianalisis memang merupakan solusi optimal namun dalam penerapan tidak mampu memecahkan masalah organisasi yang sesungguhnya disbanding dengan dasar pengalaman manajerioal selama bertahun-tahun.
7 7 4 8 6 1
Grayson (1971) adalah ketua Komisi Penetapan Harga menyatakan bahwa analisis pengambilan keputusan akan berkembang pada perusahaan yang berbasis manajemen. Adapun gap antara hasil analisis dengan praktek penerapan disebabkan lima hal yaitu : a. Para manager membutuhkan waktu yang singkat untuk memperoleh hasil yang nyata sesuai rekomendasi hasil penelitian. b. Analisis model pengambilan keputusan memerlukan basis data yang lengkap dan akurat sedangkan para manager tidak dapat menunggu proses pengumpulan data yang memerlukan waktu cukup lama. c. Masih sedikit staf peneliti yang mempunyai kemampuan menggunakan model analisis yang memang cukup sulit. d. Banyak persoalan dalam keputusan organisasi yang memerlukan kebijakan yang cepat dan “kadang kotor” yang tidak dapat diterima oleh para analisis yang professional. e. Adanya asumsi analisis yang kurang realistis. Keadaan nyata sehingga formulasi model dapat diaplikasi dalam kondisi politik dan social ekonomi yang sesungguhnya. Bagi para peneliti yang professional pekerjaan penelitian merupakan salah satu kepuasan. Dalam suatu penelitian terhadap 400 peneliti yang terlibat dalam analisis pengambilan keputusan yang tergabung dalam the Operation Researc Society of Amerika (ORSA) pada tahun 1971 telah diproses respon dati 192 peneliti yang menyatakan bahwa pengamanan hasil peneliti merupakan kepuasan yang utama. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa peneliti professional akan bekerja dengan baik pada lingkungan negara yang memberi kesempatan berkembang
9 Penataan Kelembagaan Manajemen Agraria 1.
Konsepsi Kelembagaan
Secara umum penataan kelembagaan yang dalam literature diistilahkan dengan institutional development, adalah proses perencanaan dan pembinaan terhadap suatu organisasi dengan cara membangun keterkaitan dan saling memperkuat di antara komponen organisasi sehingga memberi dampak positif secara fisik dan sosial terhadap suatu lingkungan tertentu. Komponen kelembagaan sebagai variabel strategis itu adalah: (a) kepemimpinan, (b) doktrin, (c) program, (d) sumberdaya dan (e) struktur internal. Sedangkan keterkaitan kelembagaan yang strategis dalam pengembangan kelembagaan: (a) organisasi, (b) norma dan cara kerja (c) fungsi pelayanan dan (d) difusi informal ke masyarakat. Kepemimpinan, merupakan kelompok atau individu yang secara aktif memformulasi doktrin dan program kelembagaan, secara langsung melaksanakan dan mengembangkan ke lingkungannya. Doktrin merupakan penetapan spesifikasi nilai, tujuan dan cara melaksanakan konsep yang telah ditetapkan, sedangkan program merupakan penetapan kegiatan yang berkaitan dengan peragaan fungsi dan pelayanan yang akan dicapai oleh kelembagaan yang bersangkutan. Dalam pelaksanaan program tersebut diperlukan sumberdaya berupa aspek fisik, manusia, dana teknologi dan informasi yang diperlukan oleh kelembagaan serta penetapan struktur Internal. berupa proses pengembangan untuk memfungsikan dan melestarikan kelembagaan. Isu pokok dalam kelembagaan manajemen agrarian dewasa ini adalah tidak berfungsinya berbagai variable dalam komponen kelembagaan sehingga tujuan organisasi yaitu memberi dampak positif secara fisik dan sosial terhadap suatu lingkungan tertentu tidak tercapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Beberapa contoh yang telah dikemukakan di bab terdahulu antara lain, terjadi konversi tanah pertanian ke non-pertanian tanpa kendali, terjadinya ketimpangan penguasaan pemilikan tanah, meningkatnya jumlah rakyat miskin di pedesaan karena tidak mempunyai akses ke sumberdaya tanah dan akses ke sumber ekonomi pedesaan. Menghadapi masalah manajemen kelembagaan yang umumnya dihadapi negara berkembang, Eaton, (1972) seorang ahli pengembangan kelembagaan menawarkan strategi penataan kelembagaan dengan memfungsikan keterkaitan variabel komponen kelembagaan melalui (1) keterkaitan organisasi, yang berfungsi mengatur distribusi, tugas,wewenang dan tanggung jawab serta sumberdaya yang diperlukan oleh kelembagaan, (2) mengembangkan norma dan cara kerja, dengan mengatur tata nilai dan petunjuk yang berkaitan dengan doktrin dan pelayanan kelembagaan, (3) menata fungsi pelayanan ke masyarakat, dengan cara mengatur fungsi pelayanan yang saling menguntungkan dalam menentukan input dan output kelembagaan serta (4).menata kemampuan difusi informal ke elemen masyarakat tanpa melalui organisasi formal. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 (selanjutnya PerPres 11/2005), Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berada dalam koordinasi Menteri Dalam Negeri. Tugas pokok dan fungsi BPN adalah menetapkan kebijakan mengenai perencanaan, pengelolaan, pengaturan dan pengendalian serta kebijakan pelaksanaan pelayanan pertanahan. Secara operasional kegiatan manajemen pertanahan dilaksanakan oleh unit kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota.
Sebagai organisasi publik, harus berproduksi secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, salah satu indikator keberhasilan manajemen kelembagaan agraria/pertanahan apabila lembaga pertanahan itu bekerja secara produktif. Dalam kaitan dengan produktivitas organisasi publik, Tan Sri Dato’ Sri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid, seorang ahli kelembagaan Malaysia (1991:2) merumuskan konsep produktivitas secara mendasar dalam Guideline Productivity Improvement in the Public Service. Produktivitas didefinisikan sebagai nilai atau jumlah output yang dapat diproduksi oleh suatu unit input. Output mengacu pada produk atau hasil pelayanan oleh suatu organisasi publik, sedangkan input mengacu pada sumbersumber yang menghasilkan output, antara lain sumberdaya manusia, modal, teknologi, bahan baku, peralatan, proses dan sebagainya.. Selanjutnya dijelaskan bahwa produktivitas organisasi publik ditentukan oleh seperangkat faktor strategis, yaitu (1) sumberdaya manusia, (2) sistem dan prosedur, (3) struktur organisasi, (4) pola manajemen, (5) lingkungan kerja, (6) teknologi, (7) bahan baku dan (8) perlengkapan kerja. Dengan mengetahui peranan faktorfaktor itu, maka akan dapat dilakukan upaya meningkatkan produktivitas. Tan Sri Dato’ Sri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid, mengutarakan tiga hal yang berkaitan dengan produktivitas, yaitu (1) konsep produktivitas (2) pengukuran produktivitas dan (3) ukuran produktivitas. Produktivitas didefinisikan sebagai nilai atau jumlah output yang dapat diproduksi oleh satu satuan unit input. Output mengacu pada produk atau hasil pelayanan oleh suatu organisasi, sedangkan input mengacu pada sumber-sumber yang menghasilkan output, antara lain sumberdaya manusia, modal, teknologi, bahan baku, peralatan, proses dan sebagainya. Dengan kata lain produktivitas (P) adalah konsep yang menunjukkan hubungan antara output yang dihasilkan oleh suatu organisasi dan input yang digunakan. Hubungan itu, dapat dinyatakan dalam rumusan : P = Output atau P = O Input
I
Dalam sistem manajemen organisasi, input-input itu diproses dalam suatu transformasi yang akan menghasilkan output. Semakin tinggi output yang diperoleh pada suatu input tertentu menunjukkan proses transformasi semakin efisien. Hubungan antara input, transformasi dan output dapat digambarkan dalam Skema Transformasi berikut. Gambar 10 Skema Transformasi Input Output
a. b. c. d. e. f.
INPUT sumberdaya manusia modal teknologi bahan baku PROSES peralatan, dan sistem manajemen
OUTPUT
Produksi Jasa Pelayanan
Sumber : Guideline Productivity Improvement in the Public Service oleh Tan Sri Dato’ Sri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid (1991). Produktivitas itu sendiri, pengertiannya seringkali dikaitkan dengan masalah teknis, pada hal selain masalah teknis pengertiannya juga menyangkut filosofi. Secara filosofis, Simandjuntak (1985:30) menyatakan bahwa dalam istilah produktivitas sesungguhnya terkandung suatu pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berupaya meningkatkan mutu kehidupan, yang diungkapkan dalam kalimat : “keadaan hari ini harus lebih baik dari kemarin”. Pandangan hidup dan sikap mental demikian mendorong manusia untuk tidak cepat merasa puas, tetapi terus berupaya mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan kerja. Sementara itu, Tan Sri Dato’ Sri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid (1991:10) mengemukakan bahwa pengukuran produktivitas merupakan salah satu komponen penting dalam rangka meningkatkan produktivitas suatu organisasi. Pencapaian produktivitas di masa depan tidak dapat diimplementasikan tanpa informasi dasar produktivitas saat ini. Sebagai suatu norma, terdapat ukuran yang dipakai untuk menduga tingkat produktivitas suatu organisasi. Ukuran produktivitas memungkinkan suatu organisasi: (1) menduga besarnya sumberdaya yang dialokasikan (2) meningkatkan fleksibilitas operasional bagi penggunaan tenaga kerja dan peralatan, (3) mengidentifikasi mengenai penyempurnaan produktivitas, (4) menetapkan
biaya operasional. Pengukuran produktivitas dapat diimplementasi pada dua tingkatan, yaitu tingkat organisasi dan tingkat individu sebagai anggota organisasi yang bersangkutan. Pengukuran pada tingkat organisasi dapat dilakukan dengan tahapan: (1) mengidentifikasi output terpenting sesuai tujuan organisasi, (2) menjelaskan indikator produktivitas untuk setiap output terpenting yang diidentifikasi dan (3) mengukur tingkat produktivitas saat ini. Pengukuran pada tingkat individu, dapat dilakukan dengan empat tahapan, yaitu: (1) menetapkan output terpenting yang dihasilkan, antara lain kertas kerja, laporan, bacaan, implementasi kegiatan (2) mengembangkan norma kerja setiap output terpenting yang dihasilkan, antara lain berdasarkan catatan yang lalu, mempelajari waktu dan aktivitas, diskusi di antara supervisor dan tenaga kerja yang terlibat (3) mengumpulkan data dasar mengenai standar kerja atau norma kerja, antara lain jumlah produk per satuan waktu (4) mengevaluasi tingkat produktivitas saat ini dibandingkan dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Apabila kinerja karyawan pada saat ini melampaui standar kinerja pada periode yang lalu, hal ini memberi indikasi bahwa produktivitas karyawan tersebut meningkat.
2.
Kapasitas kelembagaan manajemen agraria di tingkat pemerintah daerah
Penyelenggaraan pemerintahan mengalami perubahan orientasi dari sistem sentralisasi menurut UU 5/1974 menjadi sistem desentralisasi menurut UU 22/1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU 32/2004 membawa implikasi perubahan paradigma yang memberi kewenangan Daerah untuk mengelola sumberdaya lokal. Berdasarkan pasal 11 ayat 2 UU 32/2004, penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota atau antar pemerintahan Daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Bertitik tolak pada UU No 22/1999, sebagian besar Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota telah membentuk lembaga pertanahan seperti Dinas Pertanahan, Badan Pertanahan Daerah yang merupakan lembaga tersendiri maupun tergabung dengan Lembaga Daerah lainnya seperti Dinas Tata Ruang dan Pertanahan, Dinas Pemetaan dan Pertanahan, dan sebagainya. Berikut diutarakan beberapa kondisi kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan di bidang pertanahan. Kewenangan Otonomi Bidang Pertanahan Menurut Keppres 34/2003. Dalam rangka menindaklanjuti TAP MPR-RI No.IX/MPR/2001, telah ditetapkan Keppres No 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional Bidang Pertanahan, yang intinya perlu segera diadakan penyempurnaan UUPA dan peraturan perundangan lainnya. Selain itu juga ditetapkan sembilan kewenangan di bidang pertanahan yang dapat dilaksanaan Pemerintah Kabupaten/Kota. Bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota itu, meliputi : a.
Pemberian izin lokasi;
Yang dimaksud dengan ijin lokasi adalah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999. Ijin lokasi merupakan suatu arahan dan pengendalian bagi daerah untuk mengalokasikan tanah-tanah dalam wilayahnya bagi keperluan pembangunan. Selama ini pelaksanaan ijin lokasi yang mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999, ditandatangani oleh Bupati/Walikota (untuk DKI Jakarta oleh Gubernur), namun penyiapan sampai dengan konsep penetapannya masih disiapkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Bahkan di beberapa daerah, penerbitan ijin lokasi pelaksanaannya beragam. b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini adalah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan tersebut secara substantif berpedoman pada ketentuan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun
1993 dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994. Ketentuan itu telah diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan terakhir diubah menjadi peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Selama ini penyelenggaraan pengadaan tanah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah yang diketuai Bupati/ Walikota atau Gubernur apabila obyek pengadaaan tanahnya terletak di dua atau lebih kabupaten/kota (lintas kabupaten/kota), namun sekretariat Panitia dan tahapan kegiatan yang meliputi penetapan lokasi, penyuluhan, inventarisasi, pengumuman hasil inventarisasi, musyawarah, mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, penyusunan daftar nominatif dan pelaksanaan pembayarannya serta pelepasan haknya disiapkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau Kantor Wilayah BPN Provinsi sesuai dengan ketentuan Ketentuan Peraturan Mentreri Negara agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994. c. Penyelesaian sengketa tanah garapan Sengketa tanah garapan merupakan konflik kepentingan berkaitan dengan pengusahaan tanah oleh pihak-pihak yang tidak berhak, di atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau di atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau di atas tanah hak pihak lain, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 51 Prp. Tahun 1960 dan keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979. d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan Yang dimaksud masalah ganti kerugian disini adalah ganti kerugian yang timbul sebagai akibat dari kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan diluar kriteria kepentingan umum sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dan Pasal 47 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994. dalam hal ini masalah yang timbul berkaitan dengan penentuan besarnya ganti kerugian. Selama ini pengawasan terhadap pengadaan tanah di atas dilakukan oleh Tim Pengawasan dan Pengendalian Pengadaan Tanah yang diketuai oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud Surat Edaran Kepala Badan Pertanahn Nasional Nomor 580.2-5568.D.III, tanggal 6 Desember 1990. Berdasarkan keputusan presiden ini, maka Tim tersebut ditetapkan oleh Bupati/Walikota. e. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee Dengan Keputusan Presiden ini Bupati/Walikota selaku Ketua Panitia Pertimbangan Landereform Kabupaten/Kota, mempunyai tugas menetapkan tanah-tanah kelebihan batas maksimum dan tanah absentee, menjadi tanah obyek landreform dan petani calon penerima tanah sesuai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. f.
Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat
Tanah ulayat adalah tanah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan peraturan tersebut Bupati/Walikota berwenang untuk menetapkan keberadaan tanah ulayat tersebut, termasuk status dan pemegang hak ulayatnya. Selama ini ketentuan di atas belum dilaksanakan sebagimana mestinya, karena berkembang persepsi bahwa pengaturan mengenai tanah ulayat tersebut tidak memadai apabila diatur dengan peraturan yang setingkat dengan peraturan menteri. Dengan keputusan Presiden ini ditegaskan ditegaskan ditegaskan kembali mengenai amanat Pasal 3 Undang-indang Nomor 5 Tahun 1960, yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak ulayat dan hak-hak serupaitu dari masyarakat hukum adat, yang meliputi : (1) penyamaan persepsi mengenai hak ulayat; (2) kriteria dan penentuan mengenai hak ulayat, dan (3) kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya.
g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong Yang dimaksud tanah kosong adalah tanah hak atau tanah-tanah yang telah terdapat dasar penguasaannya, yang dalam jangka waktu tertentu tidak atau belum dimanfaatkan oleh yang bersangkutan. Terhadap tanah-tanah kosong tersebut, tugas pemerintah kabupaten/kota melakukan inventarisasi, identifikasi, pengaturan, serta menentukan kebijakan pemanfaatannya ssuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1998, tentang Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan, dalam rangka upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional. h. Pemberian ijin membuka tanah Ijin membuka tanah yang semula diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 22 Mei 1984 Nomor 593/5707/SJ dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999. Sampai saat ini ijin membuka tanah belum diatur kembali sehingga penataan dan penertiban kegiatan pembukaan tanah menjadi tidak terkendali.Hal ini terlihat dari banyaknya pembukaan tanah yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan-kawasan hutan, taman nasional, kawasan lindung dan kawasan konservasi lainnya. i.
Perencanaan penggunaan tanah wilayah
Yang dimaksud dengan prencanaan penggunaan tanah adalah membuat rencana letak kegiatan penggunaan tanah yang sesuai dengan fungsi kawasan. Di bidang perencanaan penggunaan tanah, bupati/walikota (1) melaksanakan dan menetapkan rencana letak kegiatan penggunaan tanah yang sesuai dengan fungsi kawasan. (2) Menyusun rencana letak kegiatan pengunaan tanah dimaksud harus mempertimbangkan data dan informasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang disiapkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/kota. Sampai saat ini, kewenangan di luar apa yang tertulis dalam Keppres 34/2003 masih berada pada pemerintah pusat. Untuk melaksanakan ketentuan Keppres 34/2003 Badan Pertanahan Nasional pada tanggal 28 Agustus 2003 telah menerbitkan keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 2/2003 tentang Norma dan Stándar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Norma dan Stándar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.2 Pelaksanaan Keppres 34/2003 di Daerah Dengan ditetapkannya Keppres No 34/2003 dan Keputusan Kepala BPN No. 2/2003 telah mempertegas kedudukan pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan sembilan kewenangan Dengan ditetapkannya Keppres No. 34/2003 beserta Keputusan KBPN No. 2/2003 akan semakin mempertegas kedudukan Pemda Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan sembilan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan tersebut. Kebijakan ini memberikan peluang kepada Pemda Kabupaten/Kota untuk lebih mengembangkan pembangunan wilayahnya dan kelembagaan yang akan menangani pelaksanaan sembilan kewenangan di bidang pertanahan, sehingga diharapkan hasilnya lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya di masing-masing daerah Kabupaten/Kota bersangkutan. Meskipun keputusan KBPN No. 2/2003 telah memuat norma dan standar mekanisme ketataklasanaan sembilan kewenangan tersebut secara nasional, namun dalam implementasi kebijakan pertanahan ini masih banyak menghadapi berbagai kendala yang menyebabkan pelaksanaannya belum sesuai harapan, antara lain sebagai berikut : 1. Banyak aparat pemerintah Kabupaten/Kota belum mengenali dan memahami kebijakan pertanahan tersebut yang dikarenakan kurangnya penyebarluasan informasi melalui
sosialisasi mengenai Keppres No. 34/2003 dan Keputusan KBPN No. 2/2003, sehingga di lapangan masih sangat banyak dijumpai Pemda Kabupaten/Kota belum mampu melaksanakannya secara keseluruhan. 2. Untuk mengoperasinalisasi sembilan kewenangan di bidang pertanahan tersebut oleh Pemda Kabupaten/Kota, selain adanya pedoman pelaksanaan yang telah digariskan dalam Keputusan KBPN No. 2/2003, juga diperlukan sejumlah perangkat pendukung lainnya, seperti peraturan daerah, organisasi pelaksana dengan tupoksi yang jelas, sumber daya manusia yang memadai, sumber pembiayaan, adanya sarana dan prasarana, pihak-pihak yang mengendalikan, dan sebagainya. Secara umum Pemda Kabupaten/Kota sampai saat ini masih sangat kesulitan menyediakan pengadaan berbagai perangkat pendukung tersebut, sehingga dalam pelaksanaan dari sembilan kewenangan bidang pertahanan di daerah Kabupaten/Kota terdapat bermacam variasi sesuai kemampuan masing-masing daerah. Hasil kajian awal yang dilakukan Puslitbang BPN pada tahun 2003 menunjukkan bahwa Pemda Kabupaten/Kota secara keseluruhannya belum mampu merealisasikan pelaksanaan kesembilan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan tersebut. Sebagian kecil Pemda Kabupaten/Kota telah melaksanakan pelayanan pemberian izin lokasi dan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, sedangkan sebagian besar belum melakukannya. Dalam kajian ini belum dilakukan analisis faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan pelaksanaan kebijakan pertanahan tersebut. Meskipun Pemda Kabupaten/Kota mempunyai peluang mengembangkan kelembagaan yang akan menangani pelaksanaan sembilan kewenangan di bidang pertanahan di daerah, khususnya Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, karena teradapat sebagian tupoksinya yang hilang sebagian sumber daya lembaga pertanahan di daerah tidak efektif dan efisien pemanfaatannya. Hal ini membawa konsekuensi logis bahwa perlunya pengaturan dan penataan kembali sumber daya yang terkena dampaknya tersebut, baik sumber daya manusia, prasarana dan sarana maupun tupoksi lembaga pertanahan di daerah sebagaimana yang dijabarkan dalam Keputusan KBPN No. 1/1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil BPN di Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota. Hasil penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan sembilan kewenangan bidang pertanahan di daerah pada tahun 2004 oleh Puslitbang BPN di tujuh provinsi yaitu : (1) Provinsi Kalimantan Timur (Kab Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda), (2) Provinsi Sulawesi Utara (Kab Minahasa dan Kota Manado), (3) Provinsi Sulawesi Selatan (Kab Gowa dan Kota Makassar), (4) Provinsi Sumatera Barat (Kab Padang Pariaman dan Kota Padang), (5) Provinsi Kalimantan Selatan (Kab Banjar dan Kota Banjar Masin), (6) Provinsi Sumatera Utara (Kab Deli Serdang dan Kota Medan), (7) Provinsi Kalimantan Barat (Kab Pontianak dan Kota Pontianak) menunjukkan hal-hal sebagai berikut : a.
Mengenai Tanggapan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap Keppres 34/2003 dan SK Kepala BPN no 2/2003. •
Sebagian besar menerima kebijakan dengan baik dan hanya sebagian kecil saja yang menerimanya dengan sikap kurang baik/buruk (menentang). Artinya, bahwa kebijakan di bidang pertanahan bahwa kebijakan di bidang pertanahan tersebut tidak begitu banyak dipertentangkan di daerah.
•
Kecenderungan penerimaan yang baik di lingkungan Pemda terutama dirasakan di wilayah Kabupaten Kota/Kota yang hubungan Kantor Pertanahan dan Pemdanya sangat baik dan harmonis, sehingga gejolak-gejolak penolakan hampir tidak terjadi karena adanya pendekatan yang intensif dilakukan Kantor Pertanahan secara formal maupun informal. Di daerah seperti ini, umumnya pelaksanaan pekerjaan yang berkaitan dengan sembilan kewenangan di bidang pertanahan tersebut ditangani oleh Kantor Pertanahan setemapat dan Pemdanya cukup mengesahkan saja sesuai kewenangan yang ada pada mereka.
b. Mengenai pemahaman aparat terhadap Keppres 34/2003 dan SK Kepala BPN no 2/2003.
Pemahaman aparat sudah cukup baik, namun masih dijumpai sebagian kecil yang masih kurang memahaminya, sehingga menimbulkan beberapa persepsi dan interpretasi yang berbeda di antara aparat di daerah. Salah satu penyebabnya adalah belum optimal dan intensifnya upaya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten/Kota dan Kantor Pertanahan, seperti terlihat bahwa ternyata masih ada sebagian Pemda dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota sampel yang belum pernah mengadakan sosialisasi tersebut. Untuk daerah-daerah seperti ini perlu adanya upaya mendorong mereka agar mau mensosialisasikan kebijakan tersebut, sehingga tidak terjadi kerancuan dalam pelaksanaannya di kemudian hari. c.
Mengenai jenis pelayanan pertanahan yang dilaksanakan di daerah.
Hanya sebagian yang ada realisai pelaksanaannya, yaitu kegiatan pemberian ijin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, dan penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. Ketiga kegiatan itupun tidak merata di setiap kabupaten/Kota sampel, sedangkan untuk kegiatan yang lainnya belum ada realisasinya di daerah lokasi penelitian. d.
Mengenai penanganan pelayanan pertanahan
Dari empat jenis pelayanan pertanahan yang dilaksanakan daerah itu sebagian besar masih dikerjakan oleh kantor pertanahan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada prinsipnya Pemda sampai saat ini belum siap sepenuhnya untuk menjalankan tugas-tugas kesembilan kewenangan bidang pertanahan tersebut. e.
Mengenai prosedur penanganan pelayanan pertanahan
Terdapat kecenderungan prosedur dan proses pengurusan sembilann kewenangan bidang pertanahan menjadi sulit koordinasinya karena ketersediaan data, prasarana dan sarana yang diperlukan masih berada di kantor pertanahan. Kendala yang Dihadapi Pemerintah Kabupaten/Kota a. Kesiapan mengenai peraturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut dari keppres no 34/2003 dan keputusan KBPN No 2/2003 untuk mengimplementasikan sembilan kewenangan tersebut masih sangat kurang. Peraturan pelaksanaan yang sudah eksis baru pemberian ijin lokasi serta sebagian kecil kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota, sedangkan untuk kegiatan lainnya belum ada upaya untuk menindak lanjutinya. Pada dasarnya mereka menganggap bahwa peraturan daerah untuk menindaklanjuti kebijakan ini sangat penting sebagai pedoman di daerah sebagai sesuai karakteristik, potensi dan arah pembangunan di masing-masing daerah. Kekurangan peraturan yang lebih operasional ini di daerah dianggap juga salah satu kendala kurang efektinya pelaksanaan sembilan kewenangan di bidang pertanahan tersebut. b.
Dari sembilan kewenangan yang akan dilaksanakan Pemda, baru sebagian kecil yang sudah menetapkanya sebagai bagian tupoksi yang harus dilaksanakan di lingkungan kerjanya. Hal ini salah satu penyebab kesulitan mereka dalam merealisasikan pelaksanaan tersebut. Lebih lanjut akan berdampak pula terhadap organisasi yang akan melaksanakan kebijakan pertanahan tersebut di daerah. Ketidakjelasan siapa yang akan melaksanakan kebijakan tersebut mengakibatkan sebagian dari kebijakan pertanahan ini belum efektif ditangani di daerah.
Ketersediaan prasarana dan sarana pendukung yang digunakan seperti bangunan kantor, mobil, motor, peta, komputer dan sebagainya di lingkungan Pemda masih sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan pemda-pemdanya mengalami kesulitan untuk melaksanakan sendiri kebijakan tersebut. Untuk mengatasi hal ini supaya kegiatan tersebut tetap dapat berjalan biasanya Pemda melakukan koordinasi dengan Kantor Pertanahan terutama yang berkaitan dengan data-data pertanahan, peta dan teknis lainnya. Begitu pula halnya dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang akan mendukung pelaksanaan kesembilan
kewenangan tersebut yang akan mendukung pelaksanaan kesembilan kewenangan tersebut, Pemda secara umum belum siap dan keadaannya sangat terbats, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Dana pembiayaan yang khusus dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan sembilan kewenangan di lingkungan Pmda masih sangat terbatas. Bagi daerah-daerah yang sudah tersedia dananya, kebanyakan berasaal dari dana operasional yang diperoleh melalui komponen yang sudah ada selama ini dan umumnya berasal dari APBD Kabupaten/Kota. Sejalan dengan itu, dalam upaya pengendalian / pengontrol hasil-hasil pelaksanaan sembilan kewenangan di daerah Pemda belum siap, sehingga peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Kota / Kota dalam mengendalikan dan mengontrol hasil kerja Pemda tersebut masih sangat diperlukan.
Peta Kapasitas Pemerintah Daerah Menangani Pertanahan Dalam rangka menyusun Peta Kapasitas Kelembagaan Pemda dalam penanganan sembilan kewenangan bidang pertanahan, pada tahun 2005 Departemen Dalam Negeri telah melakukan survey secara langsung, di 10 kabupaten/kota dan survey self assesment di tujuh kabupaten/kota dan telah memperoleh data faktor eksternal dan internal mengenai indikatorindikator kapasitas sebagai bahan analisis SWOT. Lokasi yang di survey secara langsung, di 10 kabupaten/kota itu adalah kabupaten-kabupaten (1) Tanah Datar-Sumatera Barat, (2) Bandung-Jawa Barat, (3) Sleman-DI Yogyakarta, (4) Blitar-Jawa Timur, (5) Gianyar-Bali, (6) Banjar-Kalimantan Selatan dan (7) Maros-Sulawesi Selatan, serta kota-kota (8) DenpasarBali. (9) Pontianak-Kalimantan Barat dan (10) Tarakan-Kalimantan Timur. Sedangkan lokasi yang disurvey dengan cara self assesment di tujuh kabupaten/kota itu adalah kabupatenkabupaten (1) Deli Serdang-Sumatera Utara, (2) Solok-Sumatera Barat, (3) Lampung BaratLampung, (4) Batang-Jawa Tengah, (5) Sukoharjo (Jawa Tengah) serta kota-kota (6) Kupang (NTT) dan (7) Balikpapan (Kalimantan Timur). Untuk menganalisis kompetensi kelembagaan pemerintah daerah dalam menangani sembilan kewenangan di bidang pertanahan dalam studi ini menggunakan analisis SWOT (strengthening atau kekuatan, weaknesses atau kelemahan, opportunity atau peluang/potensi dan threaths atau ancaman). Analisis SWOT sebagai alat untuk memformulasi strategi telah banyak digunakan di berbagai penelitian kebijakan kelembagaan. Secara umum analisis SWOT ini adalah mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi instansi pemerintah dan swasta. Analisis ini didsarkan pada logika yang dapat memaksimalkan keuatan (strength) dan peluang/potensi (opportunity), dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) . Proses pengambilan keputusan strategis terkait dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan operasional instansi. Dengan demikian perencana strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis yang dimiliki instansi itu, baik kekuatan,kelemahan,potensi maupun ancaman dalam kondisi yang ada saat ini. Analisis ini dikenal dengan istilah analisis situasi. Model untuk menganalisis situasi yang cukup handal adalah Analisis SWOT. Analisis SWOT itu, membandingkan antara faktor eksternal Peluang/Potensi (opportunity) dan Ancaman (threats) dengan faktor internal Kekuatan (strengh) dan Kelemahan (weaknesses). Secara umum model ini disajikan dalam bentuk kuadran seperti pada Gambar. berikut. Berbagai Peluang 3. Mendukung strategi turn around
1. Mendukung strategi agresif
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal
4. Mendukung strategi defensif
2. Mendukung strategi diversifikasi Berbagai Tantangan
Kuadran I, menunjukkan situasi yang sangat menguntungkan, karena instansi itu, memiliki potensi dan kekuatan untuk mengembangkan kinerjanya. Strategi yang diterapkan adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (groth oriented strategy). Kuadran II, menunjukkan bahwa pada situasi ini, instansi menghadapi ancaman, namun dari segi internal masih memiliki kekuatan. Strategi yang diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan potensi jangka panjang dengan strategi diversifikasi. Kuadran III, menunjukkan bahwa instansi memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan misinya, namun di lain pihak menghadapi berbagai kendala internal. Strategi yang diterapkan adalah meminimalkan masalah internal agar kinerjanya dapat meningkat. Misalnya dengan meningkatkan kapasitas karyawannya melalui program pelatihan. Kuadran IV, menunjukkan situasi yang kurang menguntungkan, karena menghadapi berbagai kelemahan dan ancaman. Dalam prakteknya, di setiap kuadran dapat diklasifikasikan ke dalam dua posisi, tergantung kebutuhan. Selanjutnya ditetapkan fakktor eksternal dan faktor internal yang diduga berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan. Faktor eksternal mengenai indikator potensi dan ancaman itu selanjutnya diidentifikasi aspekaspeknya. Aspek-aspek Potensi meliputi: (1) kejelasan visi dan misi dalam pelaksanaan sembilan kewenangan bidang pertanahan, (2) aksesibilitas dalam pengelolaan pertanahan di tingkat kabupaten/kota, kecamatan maupun desa/kelurahan, (3) kemampuan profesional yang terspesialisasi di bidang pertanahan. Sedangkan aspek-aspek Ancaman meliputi: (1) kesiapan dalam membangun dan memelihara hubungan koordinasi dengan lembaga terkait, (2) kesiapan dalam mengembangkan analisis informasi dan publikasi mengenai pengelolaan pertanahan di daerah dan (3) kesiapan dalam mengembangkan profesi di bidang pertanahan/keagrariaan Faktor internal mengenai indikator kekuatan dan kelemahan juga diidentifikasi aspekaspeknya. Aspek-aspek Kekuatan meliputi: (1) pengembangan Dinas Pertanahan dengan Tupoksi yang dapat dilaksanakan organisasi, (2) ketersediaan staf yang mempunyai kemampuan profesi didukung dengan pendidikan yang memadai untuk pengelolaan bidang pertanahan, dan (3) komitmen Pemda Kabupaten/Kota untuk melengkapi sarana dan prasaranan kantor serta pembiayaan untuk pendukung kegiatan. Sedangkan aspek-aspek Kelemahan meliputi: (1) jaringan informasi dan komunikasi dalam penguatan kelembagaan Pemda secara terstruktur di tingkat kab/kota sampai desa, (2) pandangan tentang pola penguatan kapasitas kelembagaan Pemda dan (3) kejelasan arah pengembangan kapasitas kelembagaan di kalangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kapasitas pemerintah daerah dalam melaksanakan sembilan kewenangan bidang pertanahan itu kemudian difokuskan pada pelaksanaan bidang-bidang tertentu, yaitu ijin lokasi, pengadaan tanah, penyelesaian sengketa pertanahan dan perencanaan tpenggunaan tanah. Sedangkan aspek-aspek potensi, ancaman, kekuatan dan kelemahan tersebut selanjutnya disesuaikan dengan keadaan senyatanya yang menjadi fokus kajian. Materi yang dinilai dalam aspel-aspek tersebut beserta rating dan bobotnya disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini.
Tabel 1 Penilaian Kondisi Eksternal (Y) Kapasitas Pemda Kabupaten/Kota Butir
Uraian
A A-1
Potensi (+) Terdapat iklim kondusif dalam pelaksanaan dan pengembangan sembilan kewenangan bidang pertanahan Mempunyai akses yang kuat mengenai pengelolaan pertanahan di tingkat kabupaten/kota, kecamatan maupun desa/kelurahan. Mempunyai kemampuan profesional yang terspesialisasi di bidang pertanahan Jumlah (A) Ancaman (-) Ketidaksiapan dalam membangun dan memelihara hubungan koordinasi dengan lembaga terkait Ketidaksiapan dalam mengembangkan analisis informasi dan publikasi mengenai pengelolaan pertanahan di daerah Ketidaksiapan dalam mengembangkan profesi di bidang pertanahan/keagrariaan Jumlah (B)
A-2
A-3
B B-1 B-2
B-3
Rating (1-4)
Bobot
1,2,3,4
20 %
1,2,3,4
20 %
1,2,3,4
15 % 55 %
1,2,3,4
18 %
1,2,3,4
15 %
1,2,3,4
12 % 45 %
Tabel 2 Penilaian Kondisi Internal (X) Kapasitas Pemda Kabupaten/Kota Butir
Uraian
A A-1
Kekuatan (+) Terdapat beberapa Pemda yang sudah mengembangkan Dinas Pertanahan dengan Tupoksi yang dapat dilaksanakan organisasi Terdapat beberapa staf yang mempunyai kemampuan profesi didukung dengan pendidikan yang memadai di beberapa kabupaten/kota Terdapat komitmen Pemda Kabupaten/Kota melengkapi sarana dan prasaranan kantor serta pembiayaan untuk pendukung kegiatan Jumlah (A) Kelemahan (-) Lemahnya jaringan informasi dan komunikasi dalam penguatan kelembagaan Pemda secara terstruktur di tingkat kab/kota, sampai desa Belum adanya kesamaan pandangan tentang pola penguatan kapasitas kelembagaan Pemda Belum jelasnya arah pengembangan kapasitas kelembagaan di kalangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Jumlah (B)
A-2
A-3
B B-1
B-2 B-3
Rating (1-4)
Bobot
1,2,3,4
20 %
1,2,3,4
15 %
1,2,3,4
12 %
47 % 1,2,3,4
20 %
1,2,3,4
17 %
1,2,3,4
16 % 53 %
Penilaian rating dan bobot indikator eksternal dan internal dilakukan dengan metode Profesional Judgement dari para Tenaga Ahli yang terlibat dalam kegiatan studi ini mulai dari perencanaan, pengumpulan data secara langsung maupun tidak langsung (survey self assesment), FGD, pengolahan dan analisis data, editing serta pelaksanaan Workshop.
Nilai rating berkisar antara nilai 1 s/d 4, dengan kriteria:
Nilai 1 =
kurang, apabila aspek-aspek yang menjadi kewenangan pemda, tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku tidak didukung dengan sumberdaya manusia dan sarana & prasarana yang memadai sehingga seluruh kewenangan tidak berjalan.
Nilai 2
= cukup, apabila aspek-aspek yang menjadi kewenangan pemda, dilaksanakan untuk salah satu atau sebagian jenis kewenangan namun pelaksanaanya tidak didukung dengan sumberdaya manusia dan sarana & prasarana yang memadai.
Nilai 3
= baik, apabila aspek-aspek yang menjadi kewenangan pemda, dilaksanakan salah satu atau seluruhnya, pelaksanaanya didukung dengan sumberdaya manusia dan sarana & prasarana yang memadai.
Nilai 4
= sangat baik, apabila aspek-aspek yang menjadi kewenangan pemda, dilaksanakan salah satu atau seluruhnya, pelaksanaanya didukung dengan sumberdaya manusia dan sarana & prasarana yang memadai serta ada inovasi yang dikembangkan.
Untuk bobot keadaan eksternal dan internal masing-masing bernilai kumulatif 100 % Pada indikator eksternal, nilai bobot potensi diberi bobot 55 % sedangkan nilai bobot ancaman diberi bobot 45 %. Bobot potensi ditetapkan lebih tinggi dengan asumsi bahwa secara yuridis normatif, sembilan kewenangan bidang pertanahan itu telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 sehingga potensi untuk dikembangkan pemerintah daerah lebih nyata. Selanjutnya nilai bobot potensi pada indikator ekternal sebesar 55 % itu kemudian dialokasi untuk setiap aspek sesuai dengan tingkat kepentingan. Sebagai contoh adanya kejelasan iklim yang kondusif dalam pengelolaan pertanahan di daerah diberi bobot 20 % lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan profesional di bidang pertanahan yang diberi bobot 15 %. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa iklim yang kondusif dalam pengelolaan pertanahan di daerah merupakan cerminan kebijakan yang melibatkan seluruh perangkat Pemerintah Daerah baik eksekutif maupun yudikatif. Sedangkan kemampuan profesional di bidang pertanahan pada dasarnya dapat ditingkatkan melalui program pelatihan pertanahan. Demikian pula pada dengan cara yang sama. bobot ancaman pada indikator ekternal sebesar 45 % itu kemudian dialokasi untuk setiap aspek sesuai dengan tingkat kepentingan. Pada indikator internal, nilai bobot kekuatan diberi bobot 47 % sedangkan nilai bobot kelemahan diberi bobot 53 %. Bobot kelemahan ditetapkan lebih tinggi dengan asumsi bahwa pelaksanaan sembilan kewenangan bidang pertanahan itu pada saat dilakukan penilaian pada tahun 2005 baru berjalan sekitar dua tahun sehingga banyak dijumpai berbagai kelemahan. Di samping itu disain studi ini adalah dalam rangka penguatan kapasitas pemda melaksanakan sembilan kewenangan itu yang dalam arah pengembangan didisain dari kondisi lemah menjadi kuat. Selanjutnya nilai bobot kekuatan pada indikator internal sebesar 47 % itu kemudian dialokasi untuk setiap aspek sesuai dengan tingkat kepentingan. Sebagai contoh penataan organisasi pertanahan melalui pembentukan Dinas Pertanahan diberi bobot 20 % lebih tinggi dibandingkan dengan dukungan pengadaaan sarana dan prasarana yang diberi bobot 12 %. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa pembentukan Dinas Pertanahan merupakan keputusan kebijakan sedangkan dukungan sarana dan prasarana berkaitan dengan kemampuan anggaran pemerintah daerah yang secara bertahap dapat ditingkatkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) atau sumber-sumber lain yang sah. Demikian pula pada dengan cara yang sama. bobot kelemahan pada indikator internal sebesar 53 % itu kemudian dialokasi untuk setiap aspek sesuai dengan tingkat kepentingan. Dari tabel analisis penilaian ekternal dan internal Kapasitas kelembagaan Pemda dapat diperoleh sebuah titik dengan koordinat (X,Y) yang dalam bentuk Peta Posisi Kapasitas Kelembagaan Pemda sebagaimana disajikan pada Gambar 1 untuk kabupaten dan kota yang disurvey langsung dan Gambar 2 untuk kabupaten dan kota yang disurvey dengan self assesment
Dari 10 kabupaten dan kota yang disurvey langsung, tiga lokasi pada posisi Stable Growth dengan nilai sangat baik yaitu Kabupaten Sleman, Maros dan Kota Tarakan. Tiga lokasi pada posisi Stable Growth dengan nilai baik, yaitu Kabupaten Bandung, Blitar dan Kota Pontianak. Tiga pada posisi Selective maintenance dengan nilai cukup, yaitu Kabupaten Tanah Datar, Banjar dan Kota Denpasar. Sedangkan Kabupaten Gianyar pada posisi turn around dengan nilai kurang. Selanjutnya dari tujuh kabupaten dan kota yang disurvey dengan cara self assesment , satu lokasi pada posisi Stable Growth dengan nilai baik yaitu Kota Kupang. Dua lokasi pada posisi Selective Maintenance dengan nilai cukup baik, yaitu Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Sukoharjo. Dua lokasi pada posisi Selective Maintenance dengan nilai cukup, yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Batang. Satu lokasi pada posisi turn around dengan nilai kurang, yaitu Kabupaten Deli Serdang.
Tabel-3: Hasil Analisis SWOT Pemetaan Kapasitas Pemda dalam Pelaksanaan Sembilan Kewenangan Bidang Pertanahan No Kabupaten/Kota Hasil Penilain SWOT Posisi Saat Ini Status Kasus Yang Diamati Kapasitas Internal Eksternal Nilai X,Y A 1
Survey Langsung Tanah Datar (Kab)
- 0,31
+ 0,10
(- 0,31 : + 0,10)
2 3
Bandung (Kab) Sleman (Kab)
+ 0,03 + 0,38
+ 1,26 + 0,97
(+ 0,03 : + 1,26) (+ 0,38 : + 0,97)
4 5 6
Blitar (Kab) Gianyar (Kab) Banjar (Kab)
+ 0,07 - 0,45 - 0,31
+ 0,48 - 0,05 + 0,07
(+ 0,07: + 0,48) (- 0,45 : - 0,05) (- 0,31 : + 0,07)
7
Maros (Kab)
+ 0,20
+ 1,26
(+ 0,20 : + 1,26)
8
Denpasar (Kota)
- 0,14
+ 0,06
(- 0,14 : + 0,06)
9 10
Pontianak (kota) Tarakan (Kota)
+ 0,02 + 0,28
+ 0,28 + 1,00
(+ 0,02 : + 0,28) (+ 0,28 : +1,00)
selective maintenance Stable growth Stable growth
Cukup
Penanganan Sengketa Tanah
Baik Sangat Baik
Pengadaan Tanah Perijinan Lokasi dan Perencanaan Penggunaan Tanah Penanganan Sengketa Tanah Penanganan Sengketa Perijinan Lokasi dan Penanganan Sengketa Tanah Pengadaan Tanah dan Perencanaan Penggunaan Tanah Perijinan Lokasi dan Pengadaan Tanah
Stable growth turn around selective maintenance Stable growth
Baik Kurang Cukup
selective maintenance Stable growth Stable growth
Cukup
Sangat Baik
Perencanaan Penggunaan Tanah Perijinan Lokasi, Pengadaan Tanah dan Perencanaan Penggunaan Tanah B. Self Assesment Perencanaan Penggunaan Tanah 1 Deli Serdang (Kab) - 0,25 : - 0,07 (- 0,25 : - 0,07) Kurang Perencanaan Penggunaan Tanah turn around 2 Solok (Kab) - 0,25 + 0,08 (- 0,25 : + 0,08) Cukup Ijin Lokasi, Pengadaan Tanah, Penanganan selective Sengketa dan Perencanaan Pengg. Tanah maintenance 3 Lampung Barat (kab) - 0,29 + 0,25 (- 0,29 : + 0,25) Cukup Baik Ijin Lokasi, Pengadaan Tanah, Penanganan selective Sengketa dan Perencanaan Pengg. Tanah maintenance 4 Batang (Kab) - 0,09 + 0,13 (- 0,09 : + 0,27) Cukup Ijin Lokasi, Pengadaan Tanah, Penanganan selective Sengketa dan Perencanaan Pengg. Tanah maintenance 5 Sukoharjo (Kab) - 0,09 + 0,45 (- 0,09 : + 0,45) Cukup Baik Ijin Lokasi, Pengadaan Tanah, Penanganan selective Sengketa dan Perencanaan Pengg. Tanah maintenance 6 Kupang (Kota) + 0,08 + 0,20) (+ 0,08 : + 0,20) Baik Ijin Lokasi, Pengadaan Tanah, Penanganan Stable growth Sengketa dan Perencanaan Pengg. Tanah 7 Balikpapan (Kota) - 0,08 + 0,08 (- 0,08 : + 0,08) Cukup Ijin Lokasi, Pengadaan Tanah, dan selective Perencanaan Penggunaan Tanah maintenance Sumber : Studi Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah Menangani Sembilan Kewenangan Bidang Pertanaahan. Depdagri. 2005
:
Baik Sangat Baik
3.
Kapasitas kelembagaan manajemen agraria di tingkat lokal
Pembahasan tentang kelembagaan manajemen agraria di tingkat lokal akan terkait dengan keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakat perkotaan dan pedesaan yang tidak lepas pula dari karakteristik geografi wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan. Masyarakat Perkotaan Wilayah perkotaan secara umum dicirikan dengan dominasi kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan sumberdaya tanah. Kriteria wilayah perkotaan sering diasosiakan dengan pola penggunaan tanah yang sudah terbangun kegiatan non-pertanian seperti permukiman dengan fasilitas pendukung perdagangan, jasa dan industri. Karakteristik masyarakat perkotaan secara umum dicirikan : a) b) c) d) e)
Pekerjaan masyarakat lebih beragam di luar bidang pertanian, seperti jasa, industri dan perdagangan Jumlah penduduk dan tingkat kepadatan tinggi Sifat individualisme tinggi Organisasi social berkembang dan kompleks Budaya masyarakat heterogin
Karakteristik Budaya Masyarakat Perkotaan dicirikan sebagai berikut : a) b)
c)
d). e).
Tingkat kompleksitas dari kebudayaannya yang tercermin dalam berbagai sistem organisasi, struktur, tindakan dan tingkah laku warga. Beberapa kota besar merupakan pusat jaringan politik, administratif, ekonomi, komunikasi yang diatur sedemikian dan mencerminkan hubungan hirarki antara pusat dan pusat lainnya yang berpusat di Jakarta sebagai ibukota negara. Beberapa ibu kota propinsi dapat digolongkan sebagai berikut : ) Dihuni oleh warga satu suku bangsa, misalnya kota Semarang (ibu kota Jawa Tengah) penduduk sebagian besar orang Jawa ) Dihuni oleh beberapa suku bangsa tetapi kebudayaan salah satu suku bangsanya mendominasi tata kehidupan warga dalam tingkat hubungan sosial tertentu. ) Dihuni sejumlah suku bangsa, tetapi tidak satupun dari suku bangsa tersebut mendominasi kebudayaan dari ibu kota . Para warganya cenderung lebih banyak terlibat dalam berbagai kegiatan sosial yang tergolong dalam lingkungan nasional Komunikasi di antara para warganya tidak dapat dilakukan secara tatap muka. Interest atau perhatian para warganya sudah menjadi lebih kompleks dan terspesialisasi sehingga komunikasi membutuhkan berbagai saluran media Komunikasi, antara lain mass media cetak.
Masyarakat Pedesaan Wilayah pedesaan secara umum dicirikan dominasi kegiatan yang berhubungan langsung dengan usaha sumberdaya tanah seperti pertanian, perkebunan, kehutanan. Kriteria wilayah pedesaan sering diasosiakan dengan pola penggunaan tanah yang terbangun untuk kegiatan pertanian seperti permukiman dengan fasilitas pendukung jaringan irigasi, jalan penghubung pedesaan. Karakteristik masyarakat pedesaan secara umum dicirikan : a) b)
Mayoritas bekerja sebagai petani atau usaha terkait bidang pertanian Jumlah penduduk dan tingkat kepadatan rendah
c) d) e) f)
Hidup mengelompok dan mengenal satu dengan yang lain serta hubungan social yang bertumpu pada kekerabatan Aktifitas kehidupan didasarkan pada nilai dan norma local Organisasi social relative sederhana Budaya masyarakat homogen
Karakteristik Budaya Masyarakat Pedesaan dicirikan sebagai berikut : a)
Di desa kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan nasional amat terbatas jumlah dan ruang lingkupnya
b)
Simbol−simbol komunikasi yang digunakan dalam lingkungan keluarga, mengggunakan bahasa Indonesia, dengan sejumlah kata-kata Indonesia sesuai dengan situasi sosial yang dihadapi selebihnya adalah kata-kata yang berasal dari suku bangsanya ( Jawa, Sunda atau suku lainnya).
c)
Kegiatan masyrakat perdesaan didominasi dengan kebudayaan suku warga yang bersangkutan yang tercermin dalam nilai nilai aturan, jabatan, kedudukan dan golongan sosial yang ada dan penggunaan bahasa serta simbol yang berasal dari kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan.
Praktek Manajemen Agraria di Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan Dalam rangka memahami praktek manajemen agraria di masyarakat, uraian berikut ini akan menyajikan isu-isu penting yang berkaitan dengan kedua masalah tersebut serta masalah-masalah lain di bidang agraria/pertanahan dengan mengambil empat kasus, (1) kasus Masyarakat Perkotaan di Kelurahan Purwoyoso, Kecamatan Ngaliyan. Kota Semarang (2) Kasus Masyarakat Transisi Perkotaan-Pedesaan di Desa Karangrowo, Kecamatan Undakan, Kabupaten Kudus, (3) Kasus Masyarakat Pedesaan di Desa Tunjungan, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora dan (4) Kasus Masyarakat Adat (Samin) di Kabupaten Blora Kasus Masyarakat Perkotaan di Kelurahan Purwoyoso, Kecamatan Ngaliyan. Kota Semarang Lokasi penelitian mengambil sampel di Kelurahaan Purwoyoso, yang merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Tugu, sebelah Barat Kabupaten Kendal, sebelah Selatan kecamatan Gunungpati dan sebelah Selatan kecamatan Wijen. Jarak tempuh ke kota kecamatan 1 km dan 7 km untuk mencapai kota Semarang. Berdasarkan monografi desa jumlah penduduk mencapai 14.736 jiwa, dengan tingkat kepadatan 10,915 jiwa/km, dengan luas wilayah 135 Ha. Dari jumlah penduduk yang bekerja di Purwoyoso 5.970, terdiri dari pengusaha kecil 1.970 (33 %), pegawai swasta dan pegawai negeri 1.552 (26 %), pekerja di sektor jasa 1.015 (17 %) dan sisanya 1.433 (24 %) bekerja sebagai tenaga kerja (tukang kayu, tukang batu, pensiunan dan buruh tani). Kelompok masyarakat yang tumbuh di lokasi penelitian adalah Lembaga Musyawarah Desa, kelompok pengajian dan Karangtaruna. Kegiatan sosial dan ekonomi kota diarahkan pada pola penyebaran pusat-pusat dengan corak yang disesuaikan dengan spesifikasi kegiatan yang ada dan akan dikembangkan pada masing masing daerah di sekitar kecamatan Ngaliyan, memiliki konsekwensi pergeseran sumber penghidupan dan lokasi permukiman. Serta kajian berdasarkan Rencana Struktur Kota dan Wilayah Pengembangan Kota Semarang, Kecamatan Ngaliyan termasuk dalam Wilayah Pengembangan II, Bagian Wilayah Kota X (BWK X) dengan fungsi sebagai wilayah sub urban dan akan dikembangkan menjadi wilayah industri, rekreasi pantai dan perumahan kepadatan rendah dan akan dikembangkan menjadi wilayah jasa kemasyarakatan dan perumahan kepadatan rendah sampai sedang serta kawasan industri dengan luas wilayah terbatas. Ini menyebabkan banyaknya penduduk yang tinggal di bagian
pesisir kota berpindah ke bagian selatannya dan tinggal di kecamatan Ngaliyan, khususnya di Purwoyoso karena tidak mampu bersaing dengan pendatang dan pekerja tambak. Indikator partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pertanahan dapat diutarakan berikut ini. a) Kegiatan pensertifikatan tanah dan respon masyarakat. Kecamatan Ngaliyan merupakan salah satu kecamatan yang pernah menjadi lokasi pelaksanaan Proyek Administrasi Pertanahan, atas biaya APBN pada tahun 1997/1998. Tahap I dari target 5.000 bidang tereralisasi 5.204 bidang (104.08 %). Tahap II dari 5.000 bidang terealisasikan 4.888 bidang (97,76 %). Tahun 1998/1999 dari target 5.000 bidang teralisasi 6.111 bidang (122,22 %). Pemilihan lokasi ini didasarkan atas jumlah bidang tanah yang telah bersertifikat melalui pendaftaran sporadis atau program pendaftaran tanah lainnya, letak tanah yang belum bersertifikat tidak terpencar pencar, tersedianya peta dasar desa/kelurahan dan tersedia titik kontrol dalam sistem proyeksi nasional yang telah ada. Pada tahun 2002, 85 % tanah persil di Purwoyoso telah bersertifikat. Dengan memiliki sertifikat mereka merasa lebih aman, karena memiliki bukti pemilikan hak atas tanah, serta mempermudah apabila mendapatkan pinjaman kredit. Sebagian responden menyatakan bahwa kepemilikan tanah dengan menunjukkan sertifikat mengangkat status sosial. Responden yang dihubungi berkaitan dengan belum disertifikatkannya tanah yang dimiliki dengan bukti kepemilikan masih berupa petuk, land rent (pajak bumi), girik, pipil, kekitiran dan verponding indie, memang ada rencana untuk mensertifikatkan tanahnya. Sebagian lagi menyatakan menganggap belum perlu karena selama ini tidak ada masalah dengan tanah yang dimilikinya baik sudah bersertifikat atau belum. Karena merupakan daerah pengembangan perkotaan dengan tingkat pembangunan cukup tinggi, terjadi banyak jual beli tanah melalui perangkat desa atau notaris. Ini menyebabkan terjadinya perubahan peruntukan tanah, yang tadinya bersifat sawah/ladang akan berubah menjadi perumahan. b) Sosialisasi Program Sertipikasi Tanah Beberapa pendapat responden berkaitan dengan program sertipikasi tanah menyebutkan bahwa sertifikasi memang diperlukan, baik atas inisiatif masyarakat sendiri, inisiatif Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Pelaksanaan sosialisasi oleh aparat desa/kelurahan sangat kurang. Instansi terkait yang terlibat dalam proses ini hanya memanfaatkan waktu untuk sosialisasi apabila ada kunjungan terpadu antar instansi secara bulanan atau tiga bulanan. Di sisi lain setelah masyarakat mengurus sendiri atau melalui aparat desa, tidak diimbangi dengan ketepatan waktu dalam penyelesaiannya sesuai dengan perkiraan. Sebagian masyarakat mengurus sendiri, sedangkan lainnya bersama sama dengan mempergunakan jasa aparat kelurahan. Lamanya kepengurusan menjadi kendala bagi masyarakat. Rentang waktu penyelesaian sertifikat tidak sama dan melebihi batas waktu yang dijanjikan membuat sebagian calon pemohon menjadi ragu. Bukti kepemilikan tanah yang dimiliki tidak dipermasalahkan apakah masih berbentuk pipil atau letter C. Besarnya biaya yang dikeluarkan, selain berdasarkan tarif yang telah ditentukan, masih ditambah biaya lain untuk aparat yang mengurus, dengan besaran yang bervariasi. Sosialisasi perlu dilakukan, baik di tingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan secara sistematis dan terprogram, sehingga masyarakat menjadi sadar serta mendapatkan informasi yang benar mengenai manfaat sertifikat tanah, hak hak atas tanah dan mengenai tanggung jawab para pemilik tanah. c) Sengketa Tanah Konflik atas kepemilikan sebagian menyangkut pembagian atas tanah warisan. Cara penyelesaian yang dilakukan adalah musyawarah keluarga yang apabila terjadi kebuntuan baru melibatkan aparat desa, aoakah ketua RT atau lurah. Mereka menyadari bahwa sertifikkat tanah tidak dapat diterbitkan apabila tidak terjadi penyelesaian. Berapa jumlahnya tidak teridentifikasi dengan jelas, karena waktu penyelesaian relatif tidak sama.
Kasus Masyarakat Transisi Perkotaan-Pedesaan di Desa Karangrowo, Kecamatan Undakan, Kabupaten Kudus. Lokasi penelitian mengambil sampel di desa Karangrowo, Kecamatan Undakan, Kabupaten Kudus. Jarak tempuh ke kota kecamatan 10 km dan 23 km untuk mencapai kota kabupaten. Desa Karangrowo, sebelah Utara dibatasi Kecamatan Mejobo, sebelah Timur Kabupaten Pati, sebelah Selatan kecamatan Undaan Tengah dan sebelah Barat kelurahan Ngemplok, kelurahan Larikrejo dan kecamatan Undaan Tengah. Jumlah penduduk di kelurahan Karangrowo adalah 6.124 jiwa yang terdiri dari 2.874 orang lakilaki dan 3.250 orang perempuan. Dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.411 Kk dengan jumlah rata-rata 4,33 jiwa per rumah tangga. Studi diawali dengan kajian literatur dan sosialisasi kemudian diangkat dalam forum diskusi formal maupun informal dalam rangka pengayaan materi serta pengembangan wacana. Kelurahan Karangrowo dengan luas 1.100,26 Ha merupakan kelurahan yang terluas (15,33 %) dari luas wilayah kecamatan Undaan. Berdasarkan penggunaan tanah terdiri dari tanah sawah 926,50 Ha, (158,00 Ha sawah irigasi ½ teknis, 260,00 Ha irigasi sederhana, 508,50 Ha sawah tadah hujan), tanah kering, 173,76 Ha (tanah bangunan/pekarangan 73,06 Ha, tegal/kebun/ladang 70,61 Ha dan tanah lainnya 30,09 Ha). Sebagian besar penduduknya terdiri dari pengusaha kecil/warung, pegawai swasta (karyawan swasta berbagai macam pabrik) dan pegawai negeri, pekerja di sektor jasa (sopir angkutan) dan sisanya bekerja sebagai tenaga kerja (tukang kayu, tukang batu, pensiunan dan buruh tani). Kelompok masyarakat yang tumbuh di lokasi penelitian adalah Lembaga Musyawarah Desa, kelompok pengajian remaja dan ibu-ibu serta Karangtaruna serta terdapat Kelompencapir bernama Warto Utomo. Indikator partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pertanahan dapat diutarakan berikut ini. a) Kegiatan Pensertifikatan dan Respon Masyarakat Berdasarkan Daftar Permohonan Pensertifikatan Massal Swadaya Tahun Anggaran 2001 pada Kantor Pertanahan Kabupaten Kudus dengan target 13.131 bidang, Desa Karangrowo termasuk salah satu desa dimana masyarakatnya mengajukan sertifikasi massal sebanyak 162 bidang. Kegiatan Proda dan sertifikasi massal masih perlu terus disosialisaikan terutama pada saat dilakukan "tilik dusun" (kegiatan yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk mengunjungi warganya). Hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat terhadap hukum pertanahan, telah Kantor Pertanahan Kabupaten Kudus adalah dengan menyelenggarakan penyuluhan-penyuluhan hukum pertanahan di antaranya : ¾ Penyuluhan dalam rangka proyek ajudikasi ¾ Dalam rangka pelaksanaan prona ¾ Penyuluhan bersama instansi lain KADARKUM (Kelompok Sadar Hukum) ¾ Penyuluhan dalam POKMASDARTIBNAH (Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan) Responden yang dihubungi berkaitan dengan belum disertifikatkannya tanah yang dimiliki dengan bukti kepemilikan masih berupa petuk, land rent (pajak bumi), girik, pipil, kekitiran dan verponding indie, memang ada rencana untuk mensertifikatkan tanahnya. Sebagian responden lagi menyatakan menganggap belum perlu mensertifikatkan tanah karena selama ini tidak ada masalah dengan tanah yang dimilikinya walaupun bukti kepemilikan berupa girik, pipil. Dalam mengurus sertifikat tanah jarang sekali mengurus sendiri karena responden tidak mengerti prosedur pengurusan sertifikat, mulai dari pendaftaran, penguruan hingga penyelesaiannya. Masyarakat lebih mempercayakan kepada aparat desa setempat. Semua persyaratan administrasi dipenuhi oleh masyarakat. Setelah mencapai jumlah tertentu, baru disampaikan kepada Kantor Pertanahan. Berapa lamanya kepengurusan menjadi kendala bagi masyarakat. Pada umumnya responden berharap waktu
penyelesaian untuk mendapatkan sertifikat, tidak lebih dari empat bulan. Apalagi setelah mendapatkan informasi dari tetangganya yang mengurus sertifikat memerlukan waktu yang cukup lama. Rentang waktu penyelesaian sertifikat tidak sama dan melebihi batas waktu yang dijanjikan membuat sebagian calon pemohon menjadi ragu.Biasanya masyarakat akan membayar biaya pensertifikatan tanah tersebut ditambah dengan uang lelah. yang ditaripkan berkisar antara Rp. 300.000,- sampai Rp. 400.000,-. b) Sosialisasi Sertifikasi Tanah Sertifikasi memang diperlukan, baik atas inisiatif masyarakat sendiri, inisiatif Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Minimnya sosialisasi menyebabkan keinginan untuk itu relatif rendah, sehingga masih diperlukan adanya kegiatan sosialisasi yang terus menerus, baik ditingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan secara sistematis dan terprogram. Karena selama ini masyarakat masih banyak kurang mendapatkan informasi apalagi apabila ada kaitannya dengan sertifikasi massal dengan biaya yang relatif murah. Sosialiasi cenderung dilakukan secara tertutup, terlebih lagi apabila bukti kepemilikan tanah tersebut masih berupa petuk, land rent, girik, pipil, kekitiran. c) Manfaat Sertifikasi Tanah Berdasarkan jawaban responden atas pertanyaan perlunya sertifikasi tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada para pemegang hak atas satu bidang tanah. Sedangkan dengan memiliki sertifikat mereka merasa senang dan lebih aman, karena memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah, serta mempermudah pengurusan apabila mendapatkan pinjaman kredit. d) Sengketa Tanah Berkaitan dengan permasalahan tanah yang muncul adalah batas kepemilikan tanah yang berkaitan dengan hak waris. Konflik atas kepemilikan sebagian menyangkut warisan, sehingga ketika dilakukan pengukuran untuk menentukan luasannya selain tidak sama juga terdapat nama yang berlainan, karena terdapat perbedaan nama dalam tanah hasil warisan tersebut. Cara menyelesaikan permasalah ini adalah dilakukan dengan musyawarah keluarga dengan saksi-saksi orang yang dianggap tua dan mengetahui asal mula tanah tersebut. Apabila tidak bisa terselesaikan mereka melibatkan aparat desa. Sampai disini masalah terebut biasanya dapat terselesaikan dengan baik.
Kasus Masyarakat Pedesaan di Desa Tunjungan, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora Lokasi penelitian mengambil sampel di desa Tunjungan, yang merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Japah, sebelah Barat dengan kecamatan Blora, dan sebelah Selatan kecamatan Banjarejo. Jarak tempuh ke kota kecamatan 1 km dan 15 km untuk mencapai kota Blora. Berdasarkan monografi desa Tunjungan mempunyai luas wilayah 10.181,522 Ha, terdiri dari tanah sawah 2.846,623 Ha, tanah kering 2.961,972 Ha dan hutan negara 4.372,928 Ha. Dari jumlah penduduk yang bekerja, terdiri dari pengusaha kecil dan menengah pegawai swasta dan pegawai negeri, pekerja di sektor jasa dan sisanya bekerja sebagai tenaga kerja (tukang kayu, tukang batu, pensiunan dan buruh tani). Kelompok masyarakat yang tumbuh di lokasi penelitian adalah Lembaga Musyawarah Desa, kelompok pengajian dan Karangtaruna. Indikator partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pertanahan dapat diutarakan berikut ini.
a)
Kegiatan Pensertifikatan Tanah dan Respon Masyarakat
Kecamatan Tunjungan merupakan salah satu kecamatan yang pernah menjadi lokasi pelaksanaan Proyek Administrasi Pertanahan, atas biaya APBN pada tahun 1985/1986 Tahap I dengan jumlah 500 bidang, Tahap II tahun 1999/2000 berjumlah 200. Tahun 2000 dengan 135 bidang. Dengan memiliki sertifikat mereka merasa lebih aman, karena memiliki bukti pemilikan hak atas tanah, serta mempermudah apabila mendapatkan pinjaman kredit. Sebagian responden menyatakan bahwa kepemilikan tanah dengan menunjukkan sertifikat mengangkat status sosial. Responden yang dihubungi berkaitan dengan belum disertifikatkannya tanah yang dimiliki dengan bukti kepemilikan masih berupa petuk, land rent (pajak bumi), girik, pipil, kekitiran dan verponding indie, memang ada rencana untuk mensertifikatkan tanahnya. Sebagian lagi menyatakan menganggap belum perlu karena selama ini tidak ada masalah dengan tanah yang dimilikinya baik yang sudah bersertifikat atau belum. b)
Sosialisasi Sertifikasi Tanah
Beberapa menyebutkan bahwa : sertifikasi memang diperlukan, baik atas inisiatif masyarakat sendiri, inisiatif Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Namun demikian sosialisasi harus terus dilakukan, baik ditingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan secara sistematis dan terprogram, sehingga masyarakat menjadi sadar serta mendapatkan informasi yang benar mengenai manfaat manfaat persertifikatan tanah, mengenai hak hak atas tanah dan mengenai tanggung jawab para pemilik tanah. Pelaksanaan sosialisasi oleh aparat desa/kelurahan sangat kurang. Instansi terkait yang terlibat dalam proses ini hanya memanfaatkan waktu untuk sosialisasi apabila ada kunjungan terpadu antar instansi secara bulanan, bahkan tiga bulanan. Di sisi lain setelah masyarakat mengurus sendiri atau melalui aparat desa, tidak diimbangi dengan ketepatan waktu dalam penyelesaiannya sesuai dengan perkiraan. Sebagian mengurus sendiri. Sedangkan lainnya bersama sama dengan menggunakan jasa aparat kelurahan. Lamanya kepengurusan menjadi kendala bagi masyarakat. Rentang waktu penyelesaian sertifikat tidak sama dan melebihi batas waktu yang dijanjikan membuat sebagian calon pemohon menjadi ragu. Bukti kepemilikan tanah yang dimiliki tidak dimasalahkan apakah masih berbentuk pipil atau letter C. Mengenai besarnya biaya yang dikeluarkan, selain berdasarkan tarif yang telah ditentukan ditambah biaya untuk aparat yang mengurusnya dengan besaran tidak sama. c)
Sengketa Tanah
Konflik atas kepemilikan sebagian menyangkut batas tanah yang selama ini hanya berupa alam (batu, pepohonan, saluran air). Sehingga ketika dilakukan pengukuran untuk menentukan luasannya seringkali tidak sama. Selain itu berkaitan dengan tanah warisan. Karena terdapat perbedaan nama dalam tanah hasil warisan tersebut. Cara menyelesaikan permasalahan ini adalah dilakukan dengan musyawarah keluarga dengan saksi saksi orang yang dianggap tua dan mengetahui asal mula tanah tersebut. Apabila tidak bisa terselesaikan mereka melibatkan aparat desa. Sampai disini kemudian masalah tersebut biasanya terselesaikan. Kasus Masyarakat Adat (Samin) di Kabupaten Blora Lokasi penelitian dilakukan di desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora dimana sebagian masyarakat Samin tinggal. Klopoduwur, merupakan kelurahan yang terdiri dari 5 desa, yaitu : Sale, Samengko, Wotrangkul, Kelopoduwur dan Badeng. Secara administratif desa Klopoduwur sebelah Utara berbatasan dengan Desa Gedongsari, sebelah barat desa Sumberagung dan sebelah Timur kecamatan Blora Kota dan sebelah Selatan dibatasi Hutan Negara. Jumlah penduduk 4.380 jiwa, terdiri dari 2.148 laki laki dan 2.232 perempuan, terdiri dari 1.470 kepala keluarga.
Masyarakat Samin yang berorientasi pada Samin sebagai anutan kepercayaan, berisikan tentang kejujuran dan kedisiplinan serta hukum sebab akibat atau hukum kasualitas yang mempunyai tujuan penyempurnaan manusia dalam hidupnya. Aturan tersebut mencakup perkataan dan perbuatan atau tingkah laku yang disebutnya "lelaku" yang bermuara pada pandangan hidup, bahwa manusia adalah sama. Realisasinya diwujudkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perwujudan itu berbentuk kerjasama, gotong royong, rukun, saling melindungi dan menolong, tidak menyakiti orang lain, memandang manusia semuanya sama, sederajat, jujur dan tidak menganggu orang lain. Pada tahun 1905, orang-orang desa yang menganut ajaran Samin mulai mengubah tata cara hidup mereka dari pergaulan hidup sehari-hari. Mereka tidak mau membayar pajak, menyetor padi ke lumbung desa serta menolak untuk mengandangkan sapi dan kerbau mereka ke kandang umum bersama-sama orang desa lainnya dan mereka mulai menentang Pemerintah Kolonial Belanda. Hingga pada tahun 1908 Samin Soerantika ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa. Namun pengikutnya giat menyebarkan ajarannya ke wilayah Pati, Kudus, Bojonegoro dan lain-lain. Dan gerakan Samin ini gerakan untuk melawan penjajah dan tidak mau menghormati pamong desa dan Pemerintah. Makna Filosofi Tanah Bagi Masyarakat Samin Pemahaman nilai-nilai yang ada pada tanah secara sosiologis maupun religi pada kelompok masyarakat dimana saja akan membawa dampak yang besar terhadap perilaku mereka dalam perilaku atau bersikap. Banyak persoalan yang muncul dalam masyarakat yang disebabkan karena perbedaan nilai-nilai pemahaman baik oleh pemerintah, swasta atau individu-individu yang bukan kelompok mereka. Tanah, menurut orang Samin disebut "bumi", yang merupakan "ibu" yang harus di emi-emi. Orang tua yang melahirkan dan harus dilestarikan. Inilah yang membawa pada kesimpulan yang penting yaitu betapa sungguh tanah merupakam basis elementer yang menentukan soal hidup matinya manusia. Masalah tanah bagi orang Samin adalah tempat berpijak bagi dirinya untuk mengadakan dan melangsungkan kehidupan manusiawinya. Dalam arti itu, tanah merupakan satu-satunya pijakan fundamental yang paling menentukan eksistensi hidup manusia. a)
Tanah sebagai tempat tinggal
Tanah sebagai tempat dimana manusia bisa mendirikan rumah sebagai tempat tinggal. Di atas tanah itulah masyarakat Samin memijakkan eksistensinya dan dengan itu pula lalu mengukuhkan identitasnya sebagai makhluk hidup yang sifatnya mendunia. Di atas tanahnya di desa Klopoduwur, dengan rumah tempat tinggalnya disitulah orang Samin . menemukan basis eksistensinya yang paling elementer untuk bisa melanjutkan kontinyuitas identitasnya sebagai makhluk sosial. Apalagi sebagian besar dari mereka adalah petani. Sehingga ketika pertanyaan dimunculkan berkaitan dengan apakah diperlukan sertifikat sebagai salah satu alat untuk membuktikan eksistensinya, mereka menganggap bahwa keberadan terhadap tempat tinggal dan usahanya lebih penting ketimbang sertifikat tanah. b)
Tanah sebagai dasar kepercayaan
Alam pikiran tradisional yang bersifat kosmis, menempatkan segala-galanya sebagai suatu kesatuan kosmis (totaliter). Dimana manusia merupakan bagian dari alam semesta, sehingga tidak ada pembatasan dari berbagai lapangan kehidupan. Tidak ada batasan antara dunia lahir dan dunia gaib. Tidak ada pemisahan antara manusia dengan makhluk lain, juga tempat dimana mereka berada termasuk tanah. Jadi dalam memanfaatkan tanah demi mencukupi kebutuhan hidup ada aturannya untuk itu tidak semua tempat dapat digunakan untuk bertani, berladang. Mereka mengerti benar batas-batas milik mereka dengan orang lain, sehingga tetap terjaga keseimbangan diantara mereka dengan alam.
c)
Tanah sebagai modal
Tanah dalam usaha memegang peranan sebagai factor alam dan sebagai modal. Di antara modalmodal, tanah memegang peranan khusus sekali, karena orang tidak dapat menambahnya pada suatu tempat. Tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah permukiman, jalan-jalan untuk transportasi, tempat rekreasi atau untuk kawasan cagar alam. Penggunaan tanah yang paling luas di desa Klopoduwur adalah sektor pertanian tanaman pangan, tanaman keras, kehutanan, lading penggembalaan.
Lokasi penelitian dilaksanakan di dua desa di wilayah Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung, yaitu Desa Parerenan dan Desa Cemagi. Desa Parerenan merupakan desa lokasi kegiatan PRONA pada tahun 20001 dan 2002 dengan target masing-masing 200 bidang tanah dan realisasinya selama dua tahun anggaran sebanyak 465 bidang. Hampir seluruh bidang tanah sawah yang ada di desa Parerenan telah bersertipikat hak Milik. Desa Cemagi merupakan salah satu desa yang terletak sekitar 6 km dari Desa Parerenan. Di desa ini tidak ada kegiatan sertipikasi tanah secara massal, namun telah ada upaya masyarakat untuk mensertipikatkan secara individu/rutin.
Desa Parerenan Desa Parerenan, terletak sekitar 15 Km dari ibukota Kecamatan Mengwi. Desa ini merupakan pemecahan dari Desa Buduk pada tahun 1997, yang kemudian disahkan menjadi desa definitive pada tahun 1999. Desa Parerenan terletak di pinggir Pantaii dan merupakan jalur jalan alternative menuju daerah wisata Tanah Lot di Kabupaten Tabanan. Luas wilayahnya sekitar 446 hektar, terdiri dari 1 Desa Adat dan 6 Banjar, yaitu (1) Banjar Tiyingtutul, (2) Kangkang,(3) Jempinis, (4) Batu, (5) Delodpadonan dan (6) Banjar Pengembungan. Selain itu wilayah desa ini terdiri dari 3 Subak, yaitu Subak Parigi, Kedungu dan Subak Munggu Tanjung Lanting. Jumlah penduduk pada tahun 2002 sebanyak 2985 jiwa dengan 574 keluarga, tingkat kepadatannya sekitar 634 jiwa/Km2. Pertumbuhan penduduk sekitar 0,15 % per tahun. Desa Cemagi Desa Cemagi, terletak sekitar 20 Km dari ibukota Kecamatan Mengwi. Desa ini merupakan pemecahan dari Desa Munggu pada tahun 1997, yang kemudian disahkan menjadi desa definitive pada tahun 1999. Terdiri dari 18 Subak. Luas wilayahnya sekitar 458 hektar, dengan jumlah penduduk pada tahun 2002 sebanyak 4 673 jiwa dan 984 keluarga, tingkat kepadatannya sekitar 1 020 jiwa/Km2. Pertumbuhan penduduk sekitar 0,20 % per tahun.
1.
Penggunaan Tanah
Mayoritas penggunaan tanah di Desa Parerenan dan Cemagi didominasi dengan tanah sawah (masing-masing 51 dan 79 %) serta tanah pekarangan termasuk perumahan (masing-masing 39 dan 12 %). Selain tanah sawah dan pekarangan , terdapat pula tanah tegalan dalam jumlah yang relative kecil (masing-masing 4,8 dan 4,5 %). Rincian penggunaan tanah di dua desa disajikan pada Tabel 2-6. TABEL 2-6 Pola Penggunaan Tanah Di Desa Parerenan dan Cemagi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Tahun 2002
No 1 2
Uraian
Desa Parerenan Hektar % 228,1 51,1
Tanah Sawah Bukan sawah a.. Pekarangan/Rumah 172,8 38,7 b. Tegalan 21,3 4,8 c.. Kebun Campuran 4,5 1,0 d. Kolam/Tambak 0,0 0,0 e. Tanah tidak diusahakan 0,0 0,0 f. Perkebunan 0,0 0,0 g. Hutan Rakyat 0,0 0,0 h. Lainnya 19,3 4,3 Jumlah/ Luas Wilayan 446,0 100,0 Sumber : Monografi Desa Parerenan dan Cemagi, Tahun 2003.
2.
Desa Cemagi Hektar % 361,0 78,82 53,0 20,8 2,7 0,4 0,0 0,0 0,0 20,1 458,,0
11,6 4,5 0,6 0,1 0,0 0,0 0,0 4,4 100,0
Perekonomian
Perekonomian Desa Parerenan dan Desa Cemagi didukung dengan usahatani basis tanah, terutama padi sawah yang produktivitasnya mencapai sekitar 2,5 sampai 3,0 ton per hektar per panen. Tanaman padi dapat diusahakan 2 sampai 3 kali setahun. Indikator lain adalah mayoritas mata-pencaharian penduduk . Jumlah penduduk yang bekerja di Desa parerenan sebanyak 2 204 orang sedangkan di Desa Cemagi sebanyak 1754 orang. Di dua desa tersebut banyak penduduk yang bekerja sebagai pegawai, baik pegawai negeri maupun pegawai swasta di Kota Denpasar atau Tabanan. Di Desa Parerenan banyak dijumpai buruh tani yang jumlahnya lebih besar disbanding petani pemilik tanah. Selain itu banyak yang bekerja sebagai pedagang. Sedangkan di Desa Cemagi juga banyak penduduk bekerja sebagai nelayan. Tabel 2-7 Matapencaharian Penduduk Desa Parerenan dan Cemagi No
Matapencaharian
1
Pertanian
Desa Parerenan Orang % Pekerja 613 27,82
Desa Cemagi Orang % Pekerja 759 43,20
2 3 4 5 6
Nelayan 0 0,00 Perdagangan 275 12,48 Pegawai (Negeri dan Swasta) 423 19,19 Tukang (Batu dan Ukir) 215 9,75 Buruh tani 678 30,76 Jumlah Bekerja 2 204 100,00 Sumber : Monografi Desa Parerenan dan Cemagi, Tahun 2003.
3.
90 53 409 258 188 1 757
5,12 3,02 23,28 14,68 10,70 100,00
Pelayanan Pertanahan di Desa
Kegiatan pelayanan pemberian hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Badung di dua desa sample selain dilakukan melalui kegiatan permohonan rutin (ndividu), untuk Desa Parerenan juga dilakukan secara massal, yaitu melalui PRONA Pada saat ini, jumlah bidang tanah yang telah besertipikat di desa Parerenan sebanyak 624 bidang. Hampir seluruhnya merupakan bidang tanah sawah dengan hak milik. Di desa tersebut juga terdapat 2 HGB atas tanah yang di atasnya berdiri bangunan villa. Berdasarkan keterangan Kepala Desa, masyarakat desa ini juga sedang mengupayakan untuk mensertipikatkan secara missal swadaya bidang tanah pekarangan/perumahan. Di Desa Cemagi jumlah bidang tanah yang telah bersetipikat sebanyak 287 bidang. Sebagian besar tanah pekarangan/perumahan. TABEL 2-8 : Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah di Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Hak Guna Hak Guna Hak Milik Bangunan Usaha Bidang % Bidang % Bidang % 1 Pererenan 622 2.62 2 0.15 0 0.00 2 Cemagi 284 1.19 0 0.00 0 0.00 3 Desa lain 22 870 96.29 1 373 99.85 0 0.00 Jumlah 23 776 100.0 1 375 100.0 0 0.0 Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, Juli. 2004
No
Desa
Hak Pakai Bidang % 0 0.00 3 0.74 400 99.26 403 100.0
Jumlah Bidang % 624 2.44 287 1.12 24 643 97.54 25 554 100.0
Dengan berlakunya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang pelaksanaannya mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2001, telah menempatkan posisi desa sebagai unit pemerintahan terbawah yang otonom. Kondisi ini telah mendorong pemerintah desa melakukan berbagai upaya untuk lebih berperan dalam menggali sumber-sumber perekonomian, termasuk menggali berbagai sumber penerimaan guna pembiayaan pembangunan di wilayah desanya . Salah satu upaya yang dilakukan Desa Parerenan dan Desa Cemagi adalah menggali sumber penerimaan pelayanan desa yang berkaitan dengan bidang pertanahan. Berdasarkan Peraturan Desa No 01/BPD/2004 tentang Pungutan Desa, di Desa Parerenan dan Desa Cemagi telah ditetapkan tariff pelayanan terkait dengan kegiatan bidang pertanahan sebagaimana disajikan pada Tabel 3-4 berikut ini. Dari daftar
tersebut terdapat beberapa kegiatan pelayanan dengan tariff yang sama dan sebagian lagi berbeda. Juga terdapat perbedaan dalam pelayanan bagi warga desa dan warga luar desa tang memerlukan pelayanan pertanahan di desa, dengan tariff yang lebih murah bagi warga desa. Selain didasarkan pada satuan surat dari desa, pengenaan tarif juga didasarkan pada luas area seperti keterangan sewa tanah dan mutasi status dan peralihan kepemilikan tanah, serta besaran nilai transaksi tanah. Di ke dua desa tersebut nilai tanah sekitar Rp 40 sampai Rp 50 juta/are (atau sekitar Rp 400.000 sampai Rp 500 000/m2) untuk tanah yang lokasinya dekat pantai (lokasi wisata) dan sekitar Rp 20 sampai Rp 25 juta/are (atau sekitar Rp 200.000 sampai Rp 250 000/m2) untuk tanah yang letaknya di pedalaman. TABEL 2-9 Kegiatan Pelayanan Terkait Pertanahan dan Tarif Pelayanan Oleh Desa No
Jenis Pelayanan Terkait Pertanahan
Tarif Pelayanan Desa Desa Parerenan Cemagi 1 Penguatan jaminan Bank Rp/Surat 4 000,3 000.2 Surat keterangan Kepemilikan Tanah Rp/Surat 2 000.2.000.3 Domisili melengkapi administrasi tanah Rp/Surat 5,000.10,000.4 Domisisili untuk penduduk luar desa Rp/Surat 300,000.- 150,000.5 Surat keterangan sewa tanah Rp/are 5,000.5,000.6 Pernyataan ahli waris/waris tunggal/pembagian waris Rp/Surat 5,000.10,000.7 Mutasi tanah karena konversi (hak baru) Rp/are 4 000,1,000.8 Mutasi tanah karena jual beli (peralihan) Rp/are 7,000.5,000.9 Surat kuasa jual beli tanah Rp/Surat 5,000.5,000.10 Surat kuasa pemjaminan tanah Rp/Surat 5,000.5,000.11 Pembuktian hak Rp/Surat 5,000.5,000.12 Pengesahan penyanding IMB (dari tetangga bersebelahan) Rp/Surat 25,000.20,000.13 Keterangan pembeli dari luar desa Rp/ 1juta 5,000.5,000.14 Pernyataan jual beli habis Rp/ 1juta 5,000.10,000 15 Sewa tanah/bangunan 0,5 % nilai Sumber : Peraturan Desa Tentang Pungutan Desa.di Desa Parerenan dan Cemagi, Tahun 2004. Satuan
10 Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Manajemen Agraria/Pertanahan 1.
Konsepsi Persepsi, Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat
Pembahasan tentang pemberdayaan (empowerment) seringkali terkait dengan istilah partisipasi (participation). Partisipasi itu sendiri merupakan sesuatu keadaan yang dinamis berkaitan dengan persepsi (perception). Oleh karena itu, dalam uraian berikut ini akan diawali dengan pemahaman mengenai persepsi, pemberdayan dan partisipasi masyarakat. Secara umum persepsi (perception) adalah penilaian individu atau kelompok masyarakat yang dilandasi pada hasil pertimbangan mendalam tentang manfaat dan resiko terhadap suatu keadaan atau kegiatan menyangkut barang atau jasa yang akan mempengaruhi kehidupannya dan lingkungan hidupnya. Dari pengertian ini persepsi individu atau kelompok masyarakat bersifat dinamis dan dapat berubah setiap saat tergantung kemampuan menilai manfaat dan resiko yang diterima secara fisik dan non fisik. Kemampuan untuk menilai tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal individu maupun kondisi lingkungan geografi, sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Pemberdayaan (empowerment) secara umum adalah perolehan kekuatan dan akses sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup individu, keluarga atau kelompok sosial masyarakat. Hulme dan Turner (1990) berpendapat bahwa pemberdayaan mendorong suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang yang semula tidak berdaya menjadi mampu memberi pendapat dan penilaian terhadap sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya dan lingkungannya. Karena itu pemberdayaan bersifat individu sekaligus kolektif. Di samping itu pemberdayaan juga merupakan proses perubahan pribadi untuk mengambil keputusan atas nama diri mereka sendiri, dan kemudian mempertegas pemahamannya terhadap lingkungan kelompoknya. Persepsi diri bergerak dari korban (victim) menjadi pelaku (agent) karena kemampuannya mencukupi kebutuhan bereksistensi secara social ekonomi dan sosial budaya di lingkungannya ( Shragge, 1995). Kekuasaan (power) merupakan basis pemberdayaan (empowerment), yang mempunyai dimensi distributive dan dimensi generatif. Dimensi distributive kekuasaan dipandang sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk memaksakan kehendak pada pihak lain. Sedangkan dimensi generatif dipandang sebagai tindakan yang memungkinkan kelompok sosial atau masyarakat meningkatkan kemampuannya untuk mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri. Dimensi generatif dapat diciptakan melalui kelompok sosial masyarakat dengan mendorong proses perubahan sosial yang memungkinkan kelompok tersebut memberi pengaruh yang lebih besar terhadap lingkungan kehidupannya pada tingkat lokal maupun nasional. Dari konsep tentang persepsi dan pemberdayaan tersebut di atas dapat disusun suatu hubungan kausalistis melalui proses pengambilan keputusan (decision making process). Persepsi yang masih bersifat penilaian dalam pikiran individu atau kelompok masyarakat dapat diwujudkan melalui proses pengambilan keputusan dalam suatu bentuk tindakan yang nyata yang berupa penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu yang dikenalkan. Kemampuan untuk menolak atau menerima tersebut
berkembang sesuai dengan proses pemberdayaan yang diberikan dan dimiliki pada individu atau kelompok masyarakat tersebut. Partisipasi mempunyai berbagai tujuan, di antaranya : (a) Menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama atas masalah yang ada di lingkungannya.(b) Memupuk rasa kebersamaan, (c) Menimbulkan rasa memiliki atas hasil kegiatan proyek. Dari berbagai tujuan di atas, partisipasi di satu sisi mengarah pada tujuan pemberdayaan dalam rangka mencapai efisiensi manajemen proyek atau kegiatan pembangunan, namun pada sisi lain merupakan tujuan pada dirinya sendiri yang lebih tinggi seperti menjadi swadaya dan dapat berkelanjutan. Sebagai sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Jadi hakekat dari partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengambilan keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung menyangkut kehidupannya.
2.
Persepsi masyarakat terhadap manajemen agraria/pertanahan
Isu-isu penting yang berkaitan dengan manajemen agraria di masyarakat dapat diamati dari 13 butir yang ditemukan sebagai hasil penelitian Puslitbang pada tahun 2003 mengenai Persepsi Masyarakat Dalam Manajemen Pertanahan berikut ini.
1.
Pokmas Sebagai Kepanjangtanganan BPN
Upaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pertanahan telah lama dilakukan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional melalui program sertipikasi massal yang dikenal dengan istilah Prona (Program Nasional) dan Proda (Program Daerah). Guna menunjang keberhasilan kedua program tersebut telah dibentuk kelompok masyarakat (Pokmas) di tiap-tiap lokasi program. Pembentukan Pokmas di tiap-tiap lokasi program tidak lain bertujuan agar masyarakat terlibat secara langsung dalam pendaftaran tanah, dan diharapkan pula melalui Pokmas inilah kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan tanah secara swadaya terus berkembang. Bahkan tidak hanya itu, kesadaran masyarakat untuk mengelola pertanahan dalam arti luas yang meliputi tertib hukum, tertib penggunaan, tertib administrasi dan tertib lingkungan dapat berjalan dengan baik. Dengan perkataan lain, Pokmas diharapkan mampu sebagai agen pembaharu di tingkat masyarakat sehingga kemandirian dan keberdayaan masyarakat dapat terwujud. Wawancara dengan sejumlah masyarakat dapat dipaparkan bahwa keberadaan Pokmas selama program berjalan cukup baik. Mereka terlibat secara langsung dalam sosialisasi, administrasi, serta pengukuran dan pemasangan tanda batas. Namun pada pasca proyek eksistensi Pokmas tidak ada sama sekali. Pokmas yang diharapkan sebagai institusi lokal yang mampu memberdayakan masyarakat ternyata berhenti di tengah jalan Mereka terjebak pada persoalan-persoalan maupun pekerjaan teknis administratif. Dengan demikian keberadaannya hanya sebatas sebagai kepanjangtanganan BPN.
2.
Motivasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Pertanahan
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pertanahan belum berjalan seperti yang diharapkan. Ini terbukti, sebagian besar masyarakat belum bisa menunjukkan tindakannya yang berkaitan dengan pengelolaan pertanahan. Sebagai contoh, misalnya, pendaftaran tanah atau sertipikasi tanah secara swadaya masih belum banyak dilakukan oleh masyarakat. Pendaftaran tanah dan atau sertipikasi tanah secara swadaya mandiri banyak terjadi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan. Sungguhpun demikian jumlah sertipikasi tanah yang terjadi di perkotaan pun belum sebanding dengan jumlah bidang tanah yang ada. Disamping jumlah bidang tanah yang memang banyak, di kota sering
terjadi pelepasan hak atas tanah baik itu melalui jual-beli maupun dengan cara lain yang kesemuanya itu tentu saja membutuhkan administrasi pertanahan. Meskipun transaksi jual-beli, sewa dan atau bentuk transaksi lainnya banyak dijumpai di daerah perkotaan, namun tidak selamanya benar untuk menyatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat kota dalam pengelolaan pertanahan – sebut saja pendaftaran tanah – cukup tinggi. Oleh sebab itu adanya sinyalemen bahwa tingkat partisipasi masyarakat kota dalam berbagai macam dan bentuknya lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat perdesaan perlu diuji secara empiris. Dengan demikian persoalan partisipasi masyarakat tidak selalu dikhotomis antara masyarakat kota dengan masyarakat desa. Artinya masyarakat kota tidak selalu tinggi tingkat partisipasinya dibandingkan dengan masyarakat desa. Partisipasi masyarakat sangat dipengaruhi oleh motif-motif atau kepentingan-kepentingan masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, misalnya, masyarakat berusaha mendaftarkan bidang tanah yang dimiliki untuk diterbitkan sertipikatnya apabila tanah tersebut akan dijual. Ini dilakukan sebab jika tanah yang dimiliki belum bersertipikat ada dua kemungkinan yaitu, pertama tanah tersebut tidak laku dijual; kedua jika laku dijual harganya relatif rendah. Oleh sebab itu mereka berupaya mendaftarkan tanah miliknya karena ada kepentingan untuk menjual tanah tersebut. Contoh lain adalah permohonan pengeringan atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat dari tanah sawah (basah) menjadi tanah pekarangan (tanah kering). Jika tanah dimaksud akan dijualbelikan maka mereka mengurus permohonan pengeringan sampai tuntas. Akan tetapi jika tanah tersebut akan dimanfaatkan sendiri untuk bangunan maka mereka sebatas mengajukan permohonan ke kantor BPN. Meskipun proses pengeringan belum selesai dan belum keluar tanda bukti pengeringan tanah tersebut segera dipergunakan untuk bangunan. Apabila sewaktuwaktu ada teguran dari pihak pemerintah mereka selalu beralasan telah mengajukan permohonan pengeringan. Keadaan ini mengisyaratkan bahwa kepentingan atau motivasi berkorelasi dengan kepedulian masyarakat atas pemanfaatan atau penggunaan tanah yang dimiliki.
3.
Sebagian Besar Sengketa Pertanahan Menempatkan BPN Sebagai Bagian Yang Tak Terpisahkan.
Sengketa pertanahan terutama pada sengketa yang proses penyelesaiannya sampai ke lembaga peradilan, ternyata tak bisa lepas dari keterlibatan BPN untuk menyelesaikannya. Keterlibatan BPN dalam kasus sengketa pertanahan dapat berstatus sebagai mediasi, saksi, dan tergugat. Data yang ada di lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan BPN dalam sengketa pertanahan di pengadilan ternyata sebagian besar adalah sebagai tergugat. Hal ini menunjukkan bahwa sengketa pertanahan terutama berkaitan dengan status penguasaan atas tanah, BPN dapat dinyatakan sebagai lembaga yang paling bertanggungjawab atas konflik pertanahan. Di samping karena BPN sebagai satu-satunya lembaga yang resmi mengurusi masalah pertanahan, BPN juga merupakan satu-satunya badan yang mengeluarkan sertipikat atas tanah. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan dalam kasus sengketa pertanahan ini adalah karena adanya kekeliruan-kekeliruan berkaitan dengan produk dari BPN. Dengan kata lain, hal ini menyangkut dengan kinerja atau performance BPN sendiri. Artinya kalau performance BPN dalam pengurusan sertipikasi misalnya banyak terjadi kekeliruan, maka konsekuensinya sengketa atas tanah mesti memaksa BPN turut dilibatkan. Kasus penguat informasi ini adalah ketika tim peneliti di lapangan juga menemukan sebuah konflik pertanahan, di mana sebuah bidang tanah ada dua orang yang mengklaim bahwa tanah itu miliknya.
4.
Dilihat Dari Klasifikasi Tertib Pertanahan, Sebagian Besar Partisipasi Masyarakat Masih Terfokus Pada Tertib Administrasi dan Tertib Hukum
Adanya catur tertib yang dicanangkan oleh BPN yaitu meliputi tertib administrasi, tertib hukum, tertib penggunaan dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, partisipasi masyarakat yang sangat menonjol hanya pada tertib pertama dan kedua. Kenyataan ini diestimasikan karena selama ini BPN juga hanya dalam dua tertib itu yang diprioritaskan. Adapun tertib administrasi adalah program yang berkaitan dengan pengurusan pertanahan berkaitan dengan sisi administrasinya seperti pendaftaran tanah dan sertipikasi. Tertib hukum adalah berkaitan dengan masalah status penguasaan tanah serta hak-hak dan kewajibannya atas tanah termasuk masalah sengketa atas tanah. Tertib penggunaan adalah berkaitan dengan masalah kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan atas tanah sesuai dengan peruntukannya. Tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup adalah berkaitan dengan masalah konservasi atau menjaga kesuburan tanah, penghijauan misalnya.
5.
Partisipasi Mayarakat Dalam Pengelolaan Pertanahan Berkorelasi Positif Dengan Nilai Tanah
Nilai tanah lazimnya seiring dengan kemajuan daerah di mana tanah itu berada. Daerah yang sudah mapan dengan kepadatan penduduk yang tinggi biasanya nilai tanah semakin meningkat. Nilai tanah juga berkorelasi positif dengan harga tanah. Bentuk partisipasi masyarakat dalam hal ini adalah terlihat dari meningkatnya pendaftaran tanah yang dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa ada terapi apapun dari pemerintah atau BPN. Di sisi lain juga menunjukan adanya peningkatan sengketa atas tanah yang mengemuka sampai ke pengadilan sebagai bentuk kepedulian terhadap tanah yang dimiliki. Daerah yang banyak terjadi isu ini adalah daerah yang terjadi perubahan pesat yang biasanya sebagai obyek atau ekses dari suatu pembangunan. Dengan kata lain terjadi pergeseran dari pola kehidupan yang agraris ke pola kehidupan industri. Daerah yang dimaksud dengan isu ini sebenarnya mengindikasikan adanya perubahan yang tidak saja menyangkut perubahan secara fisik geografis, namun yang tak kalah pentingnya adalah perubahan sosial yang revolusioner pada masyarakatnya. Perubahan sosial yang semacam itu menurut Jary and Jary (1991) dapat menyangkut konflik sosial antar komponen yang ada dalam masyarakat, malintegration pada bagian-bagian yang ada dalam masyarakat baik dalam aspek kultural maupun struktural, serta adanya tuntutan untuk menyesuaikan dengan sistem sosial yang baru sebagai konsekuensi perkembangan kapitalism.
6. Partisipasi Masyarakat Dalam Pertanahan Berkorelasi Positif Dengan Tingkat Intelektualitasnya. Partisipasi dalam hal pertanahan terkait dengan tingkat intelektualitas masyarakat adalah isu yang terangkat dari fenomena empiris di mana ada indikasi bahwa kelompok masyarakat yang aktif terlibat dalam kegiatan pertanahan adalah mereka yang terdidik atau paling tidak buta aksara (literate). Adapun bentuk partisipasi dari isu ini terlihat pada bidang pendaftaran tanah dan sertipikasi tanah. Hal ini dapat pahami bahwa pengurusan pendaftaran tanah khususnya yang sporadis membutuhkan pengetahuan, kesadaran dan keberanian untuk mengurusnya karena berhubungan dengan birokrasi dan prosedur yang tidak sederhana. Pengetahuan di sini berkaitan dengan keluasan wawasan, penguasaan dan pemahaman masalah administratif berkaitan dengan pertanahan. Kesadaran biasanya sebagai bentuk sikap yang mengarah pada tindakan riil, sedangkan keberanian adalah menyangkut keberanian dalam pengurusan ke kantor-kantor atau instansi yang biasanya bagi orang-orang yang tidak berpendidikan merupakan suatu hal yang menakutkan atau paling tidak mereka enggan.
7. Partisipasi Masyarakat Dalam Pemanfaatan Tanah Berdasar Atas Kepercayaan Yang Mereka Miliki
Pengetahuan dan
Partisipasi dalam kontek ini diangkat dari fenomena di lapangan yang menggambarkan bahwa masyarakat akan bertindak sesuai dengan referensi yang mereka miliki. Misalnya ada pengetahuan dan pemahaman di masyarakat bahwa tanah longsor akan terjadi kalau di daerah atasnya dilakukan penggundulan lahan. Pemahaman yang tertanam ini di masyarakat akan merupakan kekuatan untuk menjaga konservasi di daerah tersebut. Demikian pula adanya kepercayaan akan dapat menjadi kekuatan yang besar untuk membangkitkan partisipasi masyarakat.
8. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Lewat Masyarakat Setempat Lebih Dapat Mencerminkan Keadilan Dari Pada Lewat Pengadilan. Konflik sebagai salah satu fenomena sosial yang selalu ada dalam kehidupan masyarakat, juga ada dalam kaitannya dengan masalah pertanahan. Konflik atas tanah yang berupa sengketa itu biasanya diselesaikan dengan bantuan pihak lain yang berperan sebagai wasit atau arbiter. Arbiter ini ada yang menggunakan lembaga resmi yang mengurusi sengketa yaitu peradilan, namun ada pula yang menggunakan lembaga terendah di desa yang dianggap dapat berfungsi pula sebagai arbiter. Dari temuan di lapangan ternyata menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa lewat pengadilan menghasilkan keputusan yang dinilai oleh masyarakat sebagai keputusan yang menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Hal ini terjadi karena ukuran keadilan yang berlaku di masyarakat belum tentu sama dengan standar ukuran keadilan lembaga peradilan. Di sisi lain, ada penyelesaian sengketa yang hanya memanfaatkan arbiter lembaga yang paling rendah di desa seperti Rukun Tetangga, Rukun warga atau Aparat Desa justru hasilnya melegakan semua pihak yang bersengketa bahkan masyarakat sekitar yang melihatnya. Artinya keadilan yang diupayakan oleh arbiter lokal lebih sesuai dengan nilai keadilan pihak-pihak yang bersengketa.
9.
Sasaran Proyek Sertipikasi Massal Dikaitkan dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Memenuhi Kewajibannya Sebagai Penguasa Atas Tanah Akan Lebih Berhasil Guna
Selama ini sasaran proyek sertipikasi massal yang dibiayai oleh pemerintah baik Pemerintah Pusat seperti Prona maupun Pemerintah Daerah seperti Proda, bahkan Bank dunia seperti PAP, tidak dikaitkan dengan hal lain yang menyangkut partisipasi masyartakat. Dari hasil penelitian menemukan sebuah model kriteria menentukan sasaran proyek sertipikasi massal atas dasar prestasi dalam hal partisipainya dalam membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Hal ini nampaknya akan lebih bernilai ganda di mana mereka yang mendapat kesempatan untuk sertipikasi murah adalah yang telah berprestasi dalam partisipasi memenuhi kewajibannya sebagai penguasa atas tanahnya. Di samping itu, cara yang demikian akan merangsang pada kelompok masyarakat yang lain untuk meningkatkan partisipasinya dalam hal pertanahan misalnya persentase pembayaran PBB yang tertinggi, atau mungkin dapat dalam bidang-bidang yang lain seperti misalnya pada kelompok masyarakat yang menjaga konservasi dengan baik lahan di sekitarnya, dll. Betapapun pada umumnya selama ini penentuan daerah sasaran proyek sertipikasi juga bukan tanpa alasan atau pertimbangan tertentu, namun pertimbangan prestasi partisipasi dapat ditambahkan sebagai kriteria tambahan di samping kriteria yang sudah ada selama ini yang mesti dipersyaratkan.
10. Di Daerah Pedesaan Terdapat Tradisi Bahwa Pemerintah Desa Dapat Berfungsi Semacam PPAT Khususnya Dalam Hal Jual Beli Tanah Secara yuridis formal memang desa atau kepala desa bukan tergolong sebagai lembaga atau pejabat pembuat akta tanah. Namun sebuah temuan menunjukkan bahwa pemanfaatan pemerintah desa untuk mengurusi transaksi jual beli tanah, terutama di desa yang cukup jauh dari kota, merupakan sebuah tradisi yang fisible, efektif, efisien, dan credible. Tradisi semacam ini sekaligus merupakan pemberdayaan pemerintah desa agar eksis di mata warga masyarakatnya. Tradisi itu juga merupakan wujud memfungsikan kepala desa menjadi semacam PPAT.. Langkah itu tergolong mudah untuk dilakukan. Prosesnya cepat karena hanya melibatkan kepala desa disertai aparatnya dan ditambah saksi-saksi yang mudah diperoleh di desanya sendiri. Proses semacam itu sangat efisien karena tidak memakan biaya, tenaga dan waktu yang banyak. Di samping itu produk dari semacam PPAT lokal itu juga dapat dipercaya karena melibatkan orang-orang yang secara personal dikenal dengan baik di desa yang bersangkutan. Dengan kata lain, fenomena semacam ini adalah tergolong pemberdayaan lembaga pemerintahan desa melalui pemberian wewenang mengurusi sebuah pekerjaan yang belum lazim dilakukan oleh pemerintah desa..
11. Masyarakat Menilai Tinggi terhadap Tanah Betapapun Harga di Daerahnya Relatif Rendah Fenomena ini mengandung arti bahwa tanah memiliki nilai lebih dibanding dengan harta benda pemilikan yang lain bagi masyarakat. Isu ini diangkat terutama dari data lapang khususnya di wilayah perdesaan yang kepemilikan tanahnya tergolong masih luas dan murah. Namun demikian masyarakat tidak mudah melepas tanahnya untuk dijual. Mereka cenderung untuk mempertahankan hak atas tanahnya betapapun tanah yang dikuasainya belum tentu menghasilkan secara optimal karena memang tidak dapat terolah secara maksimal pula. Indikasi lain yang menunjukkan isu ini adalah bahwa status sosial masih sangat nyata berhubungan dengan status penguasaan atas tanah. Orang yang penguasaan tanahnya luas masih dilihat sebagai orang yang terhormat dari pada mereka yang tanahnya sempit. Fakta ini akan lebih memperkuat nilai tanah di daerah yang lebih padat penduduknya seperti di wilayah pulau Jawa. Karena di daerah yang lebih padat penduduk harga tanah semakin tinggi sehingga nilai tanahpun akan semakin tinggi pula. Ats dasar itulah, nampaknya falsafah jawa yang berbunyi sedumuk batuk senyari bumi masih tetap relevan untuk kondisi sekarang, tidak saja di kalangan masyarakat Jawa namun juga di daerah dan masyarakat yang lain..
12.
Adanya Pranata Sosial yang Masih Dijunjung Tinggi oleh Masyarakat Sangat Berarti Bagi Pengelolaan atas Tanah
Pranata sosial yang berupa adat istiadat di masyarakat adapt sangat efektif dalam pengelolaan atas tanah. Kasus-kasus sengketa atas tanah betatapun sebenarnya juga sering muncul, semuanya dapat diselesaikan oleh adat yang ada. Dengan demikian kasus-kasus sengketa yang berkaitan dengan hak atas tanah tidak ada yang sampai ke kantor pengadilan. Dalam satu desa di sana ada pengurus adat yang berjalan berdampingan dengan aparat desa. Berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh warganya termasuk menyangkut masalah pertanahan dikenakan sanksi yang berupa pembayaran denda disesuaikan dengan berat ringannya masalah. Cara penghukuman pelanggaran adat yang disaksikan oleh seluruh warga masyarakat di desa yang bersangkutan dimaksudkan untuk membuat malu bagi pelanggar adat dan sekaligus diharapkan untuk jera. Nampaknya adat tersebut berjalan efektif.
13.
SKT (Surat Keterangan Tanah) Sebagai Tanda Berkedudukan Cukup Kuat di Wilayah Pedesaan.
Bukti
Hak
Atas
Tanah
Tanda bukti atas tanah selain sertipikat, yang berlaku secara lokal di daerah sangat bervariasi. Pada umumnya tanda-tanda bukti tersebut tidak kuat kedudukannya di masyarakat apalagi di muka hukum. Namun ada temuan dalam studi ini bahwa SKT yang dibuat oleh pemerintah kelurahan atas dasar saksi ketua RT dan ditandatangani oleh kepala kelurahan dan dapat disyahkan pula oleh Camat, nampaknya lebih kuat kedudukannya dibanding tanda-tanda bukti yang lain. Hal ini ditandai dengan berlakunya SKT ini untuk dijadikan jaminan di bank untuk meminjam kredit. Di samping itu juga dijadikan tanda bukti untuk keperluan jual beli atas tanah. Di sisi lain dengan adanya SKT ini, nampaknya mengurangi animo masyarakat untuk menyertipikatkan tanahnya. Menurut mereka mengurus sertipikat membutuhkan proses yang lebih lama dan biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengurusan SKT. Untuk mengurus SKT dapat selesai dalam waktu 2 sampai 3 hari sementara sertipikat paling cepat 4 bulan bahkan lebih dari 6 bulan. Kepercayaan masyarakat terhadap SKT ini semakin mantap saja karena pengurusan kasus sengketa atas tanah juga dapat diselesaikan dengan SKT ini yang kemudian ditambah dengan SPT (Surat Pernyataan Tanah). SPT ini berfungsi semacam surat yang menunjukkan asal usul tanah karena dalam SPT itu menyebutkan pemilik lama dan pemilik baru, atau semacam surat peralihan hak atas tanah.
3.
Persepsi Masyarakat Terhadap Sertipikat Hak Milik Atas Tanah
Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum hak milik atas tanah, pemerintah sesuai dengan PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, wajib mendaftar seluruh bidang tanah di wilayah Indonesia dengan pendekatan sistematis dan sporadis. Dengan telah dilakukan pendaftaran tanah tersebut, kepada masyarakat baik perorangan maupun badan hukum dapat diberikan sertipikat hak atas tanah. Diharapkan dengan telah didaftarkannya bidang demi bidang tanah, keadaan administrasi pertanahan dapat menjadi tertib. Sedangkan masyarakat yang telah memperoleh sertipikat hak atas tanah dapat berpartisipasi secara aktif dalam memanfaatkan tanahnya secara optimal. Selain itu, tanah yang sudah bersertipikat juga dapat mengurangi potensi sengketa kepemilikan tanah dan dapat digunakan sebagai jaminan kredit Dalam proses pendaftaran tanah diperlukan kepastian data fisik obyek tanahnya (letak, batas, ukuran, luas, penggunaan) maupun kepastian data yuridis subyek tanahnya (riwayat penguasaan dan kepemilikannya serta pihak yang memberi keterangan kebenaran penguasaan tanah tersebut. Kepastian data fisik dan data yuridis akan menentukan kualitas produk sertipikat dan jaminan dari gugatan pihak lain yang merasa memiliki tanah. Kualitas produk sertipikat tanah semakin meningkat jika masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses pendaftaran dan sertipikasi tanah. Partisipasi akan terwujud jika masyarakat mempunyai pemahaman tentang nilai manfaat yang lebih besar jika tanahnya didaftar dan disertipikatkan. Pemahaman tersebut sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat tentang manfaat sertipikat tanah. Hasil studi Puslitbang Tahun 2003 yang berjudul “Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Pertanahan” menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya sertipikat tanah bervariasi mengingat perbedaan latar belakang geografis, sosial ekonomis maupun sosial budaya. Permasalahan umum yang dihadapi dalam pengambilan keputusan tentang perlu tidaknya tanah disertipikatkan adalah adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang manfaat dan resiko pensertipikatan tanah. Pandangan pemerintah lebih menitikberatkan pada kebutuhan tertib administrasi pertanahan sebagai dasar pengelolaan sumberdaya tanah, sedangkan pandangan masyarakat lebih menitikberatkan pada pertimbangan manfaat dan resiko yang harus ditanggung selama proses pendaftaran dan sertipikasi tanah, serta dampak sosial ekonomi dan dampak sosial budaya setelah tanah bersertipikat.
Berdasarkan permasalahan umum di atas, pada tahun 2004 Puslitbang melaksanakan penelitian tentang “Persepsi Masyarakat Terhadap Pelayanan Sertipikasi Tanah”. Penelitian ini penting karena akan menjadi dasar perumusan kebijakan dalam rangka mempercepat pelaksanaan pendaftaran tanah masyarakat. berbasis kebutuhan masyarakat. Adapun tujuan penelitian ini adalah : (1) mengetahui persepsi masyarakat terhadap pelayanan sertipikasi tanah mulai dari persyaratan, proses, output, manfaat hingga dampak sertipikasi tanah, (2) mengetahui kendala-kendala yang dihadapi masyarakat dalam mensertipikatkan tanah dan (3) merumuskan upaya yang perlu dilakukan dalam rangka memenuhi harapan masyarakat dalam percepatan pelayanan sertipikasi tanah. Penelitian dilaksanakan di sembilan daerah propinsi, yaitu Propinsi Jawa Barat (Kota Bandung dan Kabupaten Bekasi), Jawa Tengah (Kota dan Kabupaten Semarang, Propinsi Lampung (Kota Lampung dan Kabupaten, Palembang (Kota Palembang dan Kabupaten , D.I. Yogyakarta (Kota Yogyakarta dan kabupaten , Jawa Timur, Bali, NTB (Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur) serta Kalimantan Barat (Kota Pontianak dan Kabupaten ). Pengumpulan data menggunakan metode purposive stratification random sample. Penetapan purposive dilakukan pada tingkat propinsi sebagai lokasi penelitian. Stratifikasi dilakukan pada tingkat kelompok masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Sedangkan random dilakukan pada tingkat responden sebagai sampel penelitian. Teknik pengumpulan data adalah wewancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dalam instrumen penelitian. Data yang telah terkumpul dilakukan pengelompokan sesuai dengan strata wilayah dan strata responden. Selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan metode analisis distribusi frekwensi serta analisis scalor diagram yang menggambarkan skala tingkat kepentingan sertipikat tanah bagi masyarakat. Responden yang diamati sebanyak 63 keluarga. Sebanyak 46 keluarga (73,02 %) tinggal di daerah perkotaan dan sebanyak 17 keluarga lainnya (26,98 %) tinggal di daerah pedesaan. Sebanyak 66,67 % keluarga tersebut mempunyai tanggungan sebanyak 3 – 5 orang, sebanyak 15,87 % dengan tanggungan kurang dari 3 orang dan sebanyak 17,46 % lainnya mempunyai tanggungan lebih dari 5 orang. Pekerjaan para responden, sebagian besar (66,67 %) sebagai pegawai negeri dan swasta, 3 orang (4,76 % ) sebagai pedagang, dan sisanya sebanyak 18 orang (28,57 %) sebagai petani, buruh dan lain-lain yang tidak teridentifikasi dengan jelas. Dari sisi kehidupan ekonomi, sebanyak 12 keluarga (19,05 %) mempunyai penghasilan kurang dari Rp 500 000.- per bulan, 22 keluarga (34,92 %) berpenghasilan antara Rp 500 000.- Rp 1,0 juta per bulan dan 29 keluarga (46,03 %) lainnya berpenghasilan lebih dari Rp 1,0 juta per bulan. . Persepsi Tentang Persyaratan Penerbitan Sertipikat Dalam rangka pemberian pelayanan penerbitan sertipikat hak milik atas tanah diperlukan persyaratan dasar, yaitu keterangan tentang subyek hak dan keterangan tentang obyek hak. Sebagian besar (93,65 %) responden menyatakan bahwa penetapan persyaratan itu mengerti dan mengaggap penting untuk dipenuhi, sedangkan sebanyak 6,35 % lainnya tidak mengerti bahkan mengaggap kurang atau tidak penting. Pentingnya keterangan subyek hak milik atas tanah adalah berkaitan dengan dapat dipenuhi atau tidaknya persyaratan seseorang sebagai subyek hak milik atas tanah. Sebagai contoh hak milik atas tanah hanya dapat diberikan terhadap warga negara RI. Di samping itu diperlukan keterangan bahwa pemohon adalah benar-benar yang menguasai dan memiliki bidang tanah yang dimohon, keterangan dari tetangga yang berbatasan dengan bidang tanah pemohon (memenuhi asas "contadictur delimitation" tinggal dalam kecamatan letak bidang tanah serta keterangan lain seperti tidak melampaui batas pemilikan tanah maksimum, . Keterangan tersebut diberikan secara tertulis dengan mengisi formulir yang telah ditentukan Kantor Pertanahan atau membuat Surat Keterangan/Surat Pernyataan yang disahkan oleh Kepala Desa/Lurah setempat. Dalam hal ini sebagian besar (90,37 %) responden menyatakan mengerti adanya penetapan persyaratan itu dan mengaggap persyaratan tersebut penting untuk
dipenuhi, sedangkan sebanyak 9,63 % lainnya tidak mengerti bahkan mengaggap kurang atau tidak penting. Pentingnya keterangan obyek hak milik atas tanah adalah berkaitan dengan kebenaran letak tepat bidang tanah yang dimohon serta memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan.seperti, luas fisik bidang tanah yang dimohon, tanah tidak dalam sengketa dan sebagainya. Terhadap persyaratan ini sebagian besar (68,26 %) responden menyatakan mengerti adanya penetapan persyaratan itu dan mengaggap persyaratan tersebut penting untuk dipenuhi, sedangkan sebanyak 31,74 % lainnya tidak mengerti bahkan mengaggap kurang atau tidak penting Dari dua informasi tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat tampaknya lebih mengerti aspek penguasaan/pemilikan tanah (seperti siapa pemiliknya) dibandingkan dengan kondisi fisik tanah itu sendiri (seperti berapa luasnya). Keterangan tentang kondisi fisik dan yuridis bidang tanah merupakan dasar dalam memperkuat kepastian hukum hak milik atas tanah. Oleh karena Kantor Pertanahan tidak mempunyai ’hak uji’ terhadap kebenaran atas keterangan yang diberikan oleh masyarakat tentang bidang tanahnya, maka sangat penting untuk melibatkan masyarakat sejak awal dalam hal aspek informasi data fisik dan data yuridis bidang tanah dalam suatu kelurahan/desa. Persepsi Tentang Proses Penerbitan Sertipikat Persepsi masyarakat terhadap proses penerbitan sertipikat hak milik atas tanah pada umumnya menyangkut tiga hal pokok, yaitu kemudahan mengurus sertipikat yang berkaitan dengan prosedur penerbitan sertipikat, lama pengurusan yang berkaitan dengan jangka waktu serta biaya pengurusan yang berkaitan dengan kemampuan dan kemauan untuk membayar pelayanan sertipikat. Secara umum sebanyak 61,90 % responden menyatakan bahwa proses tersebut tidak mudah atau sulit dimengerti. Dalam hal kemudahan mengurus sertipikat, hasil penelitian bahwa sebanyak 41,27 % lainnya merasa sulit/sangat sulit bahkan dianggap berbelit-belit. Di antara ketiga factor tersebut, jangka waktu penyelesaian merupakan hal yang masih dianggap menjadi kendala dalam proses penerbitan sertipikat hak milik atas tanah. Walaupun masing-masing Kantor Pertanahan telah menetapkan jangka waktu pelayanan penerbitan sertipikat pertama kali, namun dalam kenyataannya sulit untuk dipenuhi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 59,73 % responden menyatakan Kantor Pertanahan kurang cepat bahkan cenderung lambat dalam masalah ketepatan waktu pelayanan sertipikasi tanah di Kantor Pertanahan. Salah satu kendala yang dihadapi dalam percepatan sertipikasi tanah selain keterbatasan petugas dan alat ukur adalah masalah kelengkapan dan keabsahan berkas permohonan sebagai dasar dalam proses penerbitan sertipikat hak milik atas tanah, Dalam hal ini pengukuran bidang tanah, sebanyak 74,60 % responden menyatakan sudah baik bahkan 11,11 % di antaranya menyatakan sangat baik, namun tidak diikuti dengan kecepatan dalam hal pemeriksaan tanah oleh Panitia A sehingga proses penerbitan sertipikat menjadi lama. Sementara itu, dalam penetapan biaya pengurusan sertipikat, sebanyak 61,43 % menyatakan biaya pengurusan tergolong mahal bahkan di beberapa tempat, masyarakat menganggap sangat mahal. Persepsi Tentang Arti Penting dan Manfaat Sertipikat Secara umum, hampir seluruh responden (92,07 %) setuju tentang arti penting pensertipikatan tanahnya, terutama dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepemilikan tanah. Sebanyak 58,73 % di antaranya mengetahui hak dan kewajiban sebagai pemilik sertipikat hak atas tanah tersebut. Arti penting sertipikat hak milik atas tanah berkaitan dengan kemanfaatannya. Dalam hal ini sebanyak 96,82 % responden menyatakan bahwa dengan adanya sertipikat hak milik atas tanah, dapat digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit, sebanyak 96,83 % menyatakan tanah yang bersertipikat lebih tinggi nilainya dibanding yang belum bersertipikat, 60,32 % menyatakan dapat memberi manfaat
terhadap kesejahteraan ekonomi dan 52,38 % responden menyatakan dapat meningkatkan status sosialnya. Persepsi Tentang Dampak Sertipikasi Tanah Para responden sebagian besar (88,88 %) setuju bahwa dengan terbitnya sertipikat hak milik atas tanah selain memberi manfaat juga memberi dampak terhadap pemiliknya maupun pemerintah. Dalam hal kepentingan pemerintah, 96,83 % responden menyatakan bahwa dengan pensertipikatan tanah, keadaan kepemilikan tanah menjadi lebih tertib administrasinya. Sedangkan dalam hal dampak yang diterima, sebanyak 39,69 % responden menyatakan nilai pajak tanah akan naik, sebanyak 90,48 % responden berkeyakinan bahwa apabila terjadi pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan, ganti ruginya akan lebih tinggi. Sebanyak 77,30 % responden menyatakan dengan sertipikat hak milik, akan mencegah terjadinya sengketa kepemilikan tanah. Kendala Kantor Pertanahan dalam mempercepat pelayanan pensertipikatan tanah Kendala Kantor Pertanahan dalam mempercepat pelayanan pensertipikatan tanah dapat dalam kendala internal dan eksternal Kantor Pertanahan. Kendala internal umumnya berupa minimnya prasarana kantor seperti gedung, sarana ruang penyimpanan buku tanah, ruang pegawai, komputer, kenyatamanan kantor, maupun jumlah pegawai. Kondisi tersebut belum memberikan suasana yang kondusif dalam mendukung pelayanan kepada public terutama dalam percepatan pensertipikatan tanah. Dengan kondisi seperti itu, maka pelayanan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahanan lebih banyak masih “menunggu bola”. Artinya inisiatif masyarakat menjadi lebih berperan dalam pendaftaran tanah. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah bidang tanah non hutan diperkirakan sekitar 75 juta, saat ini baru ekitar 22 juta bidang tanah atau 29,3% yang telah bersertifikat melalui kegiatan pendaftaran tanah sistematis dan sporadic. Sekitar 35 % merupakan inisiatif pemerintah dan sisanya 65 % merupakan inisiatif masyarakat. Kondisi internal masyarakat Kendala Yang Dihadapi Masyarakat Kendala yang dihadapi oleh masyarakat dalam mensertifikatkan tanah antara lain persyaratan, prosedur, biaya, sistem pendaftaran tanah yang berbeda
menyangkut
Kendala persyaratan, terjadi karena sebagian besar masyarakat belum memiliki alas hak atas tanah atau tidak lengkap. Pada umumnya alas hak atas tanah yang dimiliki masyarakat belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahkan di antaranya tidak memiliki alas hak/bukti-bukti kepemilikan tanah. Seperti diketahui, tanda bukti atas tanah selain sertipikat, yang berlaku secara lokal di daerah sangat bervariasi. Pada umumnya tanda-tanda bukti tersebut tidak kuat kedudukannya di muka hukum. Namun ada temuan dalam studi ini bahwa SKT yang dibuat oleh pemerintah kelurahan atas dasar saksi ketua RT dan ditandatangani oleh kepala kelurahan dan disyahkan pula oleh Camat, nampaknya lebih kuat kedudukannya dibanding tanda-tanda bukti yang lain. Hal ini ditandai dengan berlakunya SKT ini untuk dijadikan jaminan di bank untuk meminjam kredit. Di samping itu juga dijadikan tanda bukti untuk keperluan jual beli atas tanah. Dengan adanya SKT ini, nampaknya mengurangi animo masyarakat untuk menyertipikatkan tanahnya. Menurut mereka mengurus sertipikat membutuhkan proses yang lebih lama dan biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengurusan SKT. Untuk mengurus SKT dapat selesai dalam waktu 2 sampai 3 hari sementara sertipikat paling cepat 4 bulan bahkan lebih dari 6 bulan. Kepercayaan masyarakat terhadap SKT ini semakin mantap saja karena pengurusan kasus sengketa atas tanah juga dapat diselesaikan dengan SKT ini yang kemudian ditambah dengan SPT (Surat Pernyataan Tanah). SPT ini berfungsi semacam surat yang menunjukkan asal usul tanah karena dalam SPT itu menyebutkan pemilik lama dan pemilik baru, atau semacam surat peralihan hak atas tanah. Namun di sisi lain khususnya di luar Jawa seperti di Kalimantan Barat penggunaan SKT justru sebaliknya sering menimbulkan masalah/sengketa, hal ini dikarenakan administrasi pertanahan di tingkat
desa/kelurahan sangat minim dan aparat Desa/Kelurahan tidak mengetahui batas-batas administrasi dan kepemilikan tanah di wilayahnya, sehingga sering muncul alas hak yang tumpang tindih. Kendala prosedur, terjadi karena sebagian besar masyarakat menganggap prosedur pensertipikatan tanah masih berbelit-belit karena kendala birokrasi yang belum sempurna. Prosesnya tidak sederhana dan banyaknya kaitan dengan instansi lain diluar BPN (lurah, kecamatan, PPAT, PBB). Secara yuridis formal memang desa atau kepala desa bukan tergolong sebagai lembaga atau pejabat pembuat akta tanah. Namun sebuah temuan menunjukkan bahwa pemanfaatan pemerintah desa untuk mengurusi transaksi jual beli tanah, terutama di desa yang cukup jauh dari kota, merupakan sebuah tradisi yang fisible, efektif, efisien, dan credible. Tradisi semacam ini sekaligus merupakan pemberdayaan pemerintah desa agar eksis di mata warga masyarakatnya. Tradisi itu juga merupakan wujud memfungsikan kepala desa menjadi semacam PPAT. Langkah itu tergolong mudah untuk dilakukan. Prosesnya cepat karena hanya melibatkan kepala desa disertai aparatnya dan ditambah saksi-saksi yang mudah diperoleh di desanya sendiri. Proses semacam itu sangat efisien karena tidak memakan biaya, tenaga dan waktu yang banyak. Di samping itu produk dari semacam PPAT lokal itu juga dapat dipercaya karena melibatkan orang-orang yang secara personal dikenal dengan baik di desa yang bersangkutan. Dengan kata lain, fenomena semacam ini adalah tergolong pemberdayaan lembaga pemerintahan desa melalui pemberian wewenang mengurusi sebuah pekerjaan yang belum lazim dilakukan oleh pemerintah desa. Kendala biaya, terjadi karena adanya keragaman kondisi social ekonomi masyarakat. Masyarakat yang tinggal di lingkungan kota dengan lingkungan yang strategis mempunyai tingkat pemahaman tentang sertifikat yang tinggi. Bagi mereka biaya pensertifikatan tanah yang rata-rata berkisar Rp. 300.000 sampai 500.000,- bukan menjadi kendala. Namun justru pengenaan Pajak atas tanah yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) yang cukup tinggi menyebabkan animo masyarakat dalam mensertifikatkan tanah menjadi berkurang. Sedangkan pada masyarakat pinggiran rata-rata animo dalam mensertifikatkan tanahnya belum setinggi di perkotaan. Secara riil biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik tanah dalam mensertifikatkan tanah mencakup tiga jenis biaya yaitu pajak (berupa BPHTB bagi yang terkena) dan non pajak yang merupakan biaya resmi untuk proses pensertifikatan tanah dan biaya lain-lain yang berupa biaya tidak resmi yang sangat rentan dipermainkan oleh para calo atau oknum. Biaya lain-lain ini tersebar mulai dari tingkat keluarahan/kantor, PPAT, kantor pajak, kantor BPN. Biaya lain-lain mempunyai interval yang beragam sangat tergantung pada kedekatan, hubungan dengan petugas dan sebagainya, sehingga tidak ada yang sama untuk setiap masyarakat. Sistem Pendaftaran Tanah yang Berbeda Saat ini masyarakat telah mengenal berbagai cara atau system pendaftaran tanah. Sistem yang telah lama dikenal oleh masyarakat adalah PRONA. Masyarakat telah mengenal system ini dengan baik, sehingga masyarakat sangat berharap tanahnya dapat disertifikat melalui Prona. Prona dikenal oleh masyarakat sebagai system pendaftaran tanah yang murah, dan transparan serta pasti. Hampir semua responden yang belum mempunyai sertifikat masih berharap mendapatkan sertifikat melalui prona. Sistem kedua yang dikenal terutama oleh masyarakat perkotaan adalah system pendaftaran tanah melalui ajudikasi. Sistem ini dikenal oleh masyarakat sebagai system yang murah karena emmperoleh bantuan dari luar, dengan persyaratan yang minimal dan adanya system door to door yang sangat memudahkan masyarakat. Masih terdapat system lain seperti massal swadaya, sporadic namun sangat mempunyai perbedaan baik dalam biaya, persyaratan maupun prosedur. Perbedaan system pendaftaran tanah terutama dalam hal biaya, perosedur, persyaratan dan waktu menyebabkan persepsi masyarakat sangat beragam dan sangat berpengaruh terhadap animo masyarakat dalam mensertifikatkan tanahnya khususnya dalam pensertifikatan tanah yang sporadic. Rendahnya Pemahaman tentang Pentingnya Sertifikat Di lingkungan masyarakat yang relative maju/perkotaan, pemahaman terhadap arti pentingnya sertifikat cukup baik, hal ini ditunjukkan oleh pemanfaatan sertifikat untuk memperoleh modal/uang melalui
jaminan ke bank. Sedangkan untuk masyarakat pinggiran, belum menunjukkan hal yang sama dalam arti pemahamannya sangat kurang. Kekurang pahaman ini paralel dengan pemahaman tentang proses pensertifikatan tanah baik dari segi persyaratan, prosedur dan pembiayaan. Efek selanjutnya adalah kemauan mensertifikatkan tanah juga rendah. Secara umum dapat dikatakan bahwa rendahnya pensertifikatan tanah disebabkan oleh: (1) manfaat sertifikat belum melekat pada diri pemilik tanah, dimana terdapat anggapan bahwa tanpa sertifikatpun tanahnya tidak akan berkurang nilai manfaatnya, (2) informasi dari orang lain bahwa mensertifikatkan tanah adalah sesuatu pekerjaan yang “sulit,mahal dan lama”, (3) pensertifikatan akan dilakukan ketika ada kepentingan : waris, sengketa, jual beli dan lainlain dan (4) pengenaan BPHTB yang cukup tinggi mengakibatkan bahwa biaya secara keseluruhan keluarnya sertifikat menjadi mahal. Sebagai gambaran, masyarakat kelurahan Sei Pangeran Kota Palembang mempunyai persepsi yang cukup bervariasi dalam melihat persoalan sertifikat tanah. Masyarakat dengan tingkat social ekonomi yang tinggi cenderung mempunyai persepsi yang positip tentang manfaat sertifikat tetapi negative dalam melihat proses pensertifikatan tanah. Sedangkan masyarakat yang berada pada tingkat social ekonomi yang rendah mempunyai persepsi yang negative terhadap manfaat maupun proses pensertifikatan tanah. Seorang responden “X” sangat berkeinginan untuk mensertifikatkan tanahnya karena didasari oleh pemahaman yang tinggi akan manfaat sertifikat, dengan cara mengikuti program pensertikatan melalui prona. Namun ternyata setelah prosesnya berjalan cukup lama, diketahui bahwa yang bersangkutan dianggap bukan masyarakat yang tergolong dalam ekonomi lemah, sehingga sertifikat yang diharapkaa tidak diterbitkan. Masalah ketidakadilan muncul ketika “X” tersebut mengetahui bahwa orang lain yang tergolong lebih mampu dari dirinya (kondisi rumah lebih baik, tanah strategis, seorang pejabat) telah menerima sertifikat tanah melalui prona. Sikap protes yang diajukan olehh “X” tersebut diatasi oleh BPN dengan menawarkan proses sertifikat tanah melalui cara sporadic/rutin. Tawaran tersebut akhirnya disanggupi oleh “X” dengan biaya yang lebih besar yaitu Rp. 400.000,- padahal ketika dengan prona hanya Rp. 13.000. Kasus di atas menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam pelaksanaan proyek seperti prona juga dirasakan oleh masyarakat, padahal keinginan masyarakat cukup baik dalam pensertifikatan tanah. Hal ini sejalan dengan tingkat pemahaman masyarakat dalam mempersepsikan arti pentingnya sebuah sertifikat. Kesadaran ini antara lain disebabkan oleh beberapa pemahaman tentang arti pentingnya sertipikat tanah bagi masyarakat, antara lain adanya rasa aman terhadap kepastian pemilikan tanah ketika tanah sudah bersertifikat, terdapat kondisi psikologis; rasa bangga terhadap syahnya kepemilikan suatu barang. Dengan adanya sertipikat menunjukkan adanya jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah. Hal ini akan berdampak positif, karena beberapa hal :
tanah yang bersertifikat mempunyai posisi yang lebih baik (daya tawar) dibandingkan dengan tanah yang belum bersertifikat ketika terdapat jual beli terhadap tanah tersebut. Secara langsung atau tidak langsung, penertbitan sertipikat akan menambah nilai jual atas tanahnya. tanah yang bersertifikat akan lebih cepat terjual jika dibandingkan dengan tanah yang belum bersertifikat. sertifikat tanah dapat dijadikan agunan ke lembaga formal (lembaga keuangan) maupun secara informal (jaminan secara individual) untuk memperoleh modal. tanah yang bersertifikat memudahkan informasi tentang subyek dan obyek pajak.
Partisipasi dalam hal pertanahan terkait dengan tingkat intelektualitas masyarakat adalah isu yang terangkat dari fenomena empiris di mana ada indikasi bahwa kelompok masyarakat yang aktif terlibat dalam kegiatan pertanahan adalah mereka yang terdidik atau paling tidak buta aksara (literate). Adapun bentuk partisipasi dari isu ini terlihat pada bidang pendaftaran tanah dan sertipikasi tanah. Hal ini dapat pahami bahwa pengurusan pendaftaran tanah khususnya yang sporadis membutuhkan pengetahuan, kesadaran dan keberanian untuk mengurusnya karena berhubungan dengan birokrasi dan prosedur yang tidak sederhana. Pengetahuan di sini berkaitan dengan keluasan wawasan, penguasaan dan
pemahaman masalah administratif berkaitan dengan pertanahan. Kesadaran biasanya sebagai bentuk sikap yang mengarah pada tindakan riil, sedangkan keberanian adalah menyangkut keberanian dalam pengurusan ke kantor-kantor atau instansi yang biasanya bagi orang-orang yang tidak berpendidikan merupakan suatu hal yang menakutkan atau paling tidak mereka enggan Kendala yang dihadapi Kantor Pertanahan telah menempatkan masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pedesaan dalam kondisi tidak mengerti harus melakukan apa, bagaimana dan mengapa harus melakukan ertipikasi tanah yang dikuasai/dimiliki. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh minimnya pemahaman terhadap arti penting sertipikat tanah dan mekanisme pendaftaran tanah. Sosialisasi terhadap berbagai peraturan/ketentuan tentang pendaftaran tanah saat belum optimal dilaksanakan oleh pemerintah. Minimnya sosialisasi ini menyebabkan “ketidakberdayaan” masyarakat dalam memahami urusan pertanahan terutama dalam mendaftarkan tanahnya. Selain itu, budaya masyarakat juga telah “memperparah” kondisi tersebut, masyarakat tidak mau repot serta tidak ada motivasi yang kuat untuk mendaftrakan tanahnya kecuali jika ada kepentingan terhadap tanah tersebut. Hal ini sangat mempengaruhi image masyarakat terhadap bagaimana proses pensertipikatan tanah. Banyak masyarakat enggan mensertipikatkan karena dipengaruhi oleh persepsi orang lain tentang proses pensertipikatan tanah. Orang lain sudah membentuk persepsi umum bahwa mengurus sertipikat adalah pekerjaan yang melelahkan, lama, biaya tinggi dan berbelit-belit. Sikap yang ditunjukkan masyarakat terhadap pensertipikatan tanah antara lain apatis, hanya peduli jika ada kepentingan serta menunggu proyek dari pemerintah. Sikap apatis ditunjukkan oleh anggapan dan pemahaman masyarakat bahwa tanah tanpa sertipikatpun tidak mempengaruhi kuat atau lemahnya pemilikan/penguasaan tanah. Masyarakat menganggap sudah cukup aman menempati atau mengusahakan tanahnya. Dalam pemahaman seperti ini sertipikat tidak memberikan nilai lebih yang bermanfaat langsung kepada pemiliknya, sepanjang tidak diganggu oleh orang lain. Sikap praktis masyarakat ketika ada kepentingan yang memaksa, telah mendorong perubahan sikap terhadap pentingnya sertipikat tanah. Kepentingan tersebut adalah berupa keinginan untuk mengalihkan tanahnya kepada orang lain. Dengan kata lain ketika ada peralihan tanah baik itu jual beli, warisan dan lainnya, masyarakat menindaklanjuti dengan proses pendaftaran tanah. Berbagai proyek yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah seperti Prona, Proda, ajudikasi atau P3HT telah memberikan image kepada masyarakat bahwa pendaftaran tanah merupakan sebuah proses yang murah dan cepat. Hal ini dapat dipahami karena dalam setiap proyek terdapat subsidi pemerintah yang seharusnya dibayar oleh masyarakat. Oleh karenanya proyek pendaftaran tanah sangat ditunggu oleh masyarakat karena terdapat subsidi dari pemerintah dan terdapat kepastian baik dalam biaya, dan waktu. Kendala Berkaitan Pengenaan Pajak Atas Tanah Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah seperti BPHTB dan pajak penghasilan merupakan hambatan yang sangat signifikan dalam mempercepat pendaftaran tanah. Jika batas Tidak Kena Pajak (TKP) sebesar Rp.20 juta memberikan makna bahwa tanah yang nilai jualnya lebih dari Rp.20 juta akan terkena pajak BPHTB. Pada umumnya jumlah pajak yang harus dibayar merupakan komponen yang terbesar dalam keseluruhan biaya yang harus dibayarkan sampai sertipikat selesai. Hal ini memberikan kesan bahwa pensertipikatan tanah sangat mahal. Bahkan kegiatan proyek seperti prona juga mengalami hambatan terutama untuk tanah-tanah yang nilainya tinggi. Banyak masyarakat yang tingkat ekonominya rendah mempunyai tanah yang nilai ekonominya tinggi, sehingga ketika mengikuti Prona harus membayar pajak (BPHTB). Sementara itu, kemampuan membayar pajak tersebut sangat rendah. Dalam pengurusan sertipikat tanah, hampir sebagian besar (75%), masyarakat selalu menggunakan biro jasa seperti PPAT dengan menggunakan surat kuasa. Hal ini tidak bisa ditolak oleh Kantor Pertanahan karena surat kuasa dibenarkan oleh peraturan. Masyarakat cenderung tidak ingin repot, sehingga terdapat kesan tidak pernah mau tahu bagaimana proses, prosedur maupun persyaratan yang digunakan dalam mensertipikatkan tanah. Padahal, didaerah perkotaan, sertipikat sudah merupakan suatu
kebutuhan. Sebagai contoh, pensertipikatan tanah di Kota Denpasar sudah sangat mainded (sangat antusias). Hal ini ditunjukkan oleh data bahwa pensertipikatan tanah di kota tersebut cukup banyak dengan tujuan untuk agunan ke lembaga perbankan dan tujuan untuk jual beli tanah. Perbandingan antara kedua tujuan tersebut adalah 3:2. Hal ini kemungkinan karena adanya kemudahan perbangkan dalam memberikan kredit kepada masyarakat. Upaya Untuk Mengatasi Kendala Kantor Pertanahan telah berupaya mendorong percepatan pensertifikatan tanah melalui berbagai upaya dengan memperbaiki kualitas pelayanan maupun dukungan secara kelembagaan,antara lain: (1) mempermudah akses masyarakat golongan ekonomi kurang mampu, (2) sosialisasi peraturan pertanahan kepada masyarakat, (3) pembentukan kelompok masyarakat terkait pertanahan dan (4) meningkatkan motivasi untuk mensertipikatkan tanah Pajak atas tanah menjadi kendala dalam memotivasi masyarakat untuk mensertipikatkan tanah. Bahkan pelaksanaan Prona mengalami hambatan pelaksanaannya karena subyek hak atas tanah membatalkan untuk mensertipikatkan tanahnya. Kriteria Prona yang sudah ditentukan yaitu golongan ekonomi lemah, harus disesuaikan dengan nilai jual obyek pajak (NJOP). Masyarakat yang termasuk golongan ekonomi lemah tetapi mempunyai NJOP yang tinggi ternyata banyak yang membatalkan permohonannya karena terkena BPHTB dan pajak penghasilan. Dengan kondisi tersebut maka pelaksanaan Prona harus benarbenar diarahkan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah yang mempunyai tanah tidak terkena pajak. Sementara itu, sosialisasi peraturan perundangan bidang pertanahan dilaksanakan melalui:kegiatan Proyek seperti Prona; penyuluhan hukum yang dilakukan oleh Pemda.yang mana bidang pertanahan dimasukkan sebagai salah satu materi serta kegiatan rutin penyuluhan belum pernah dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Upaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam sertipikasi tanah telah lama dilakukan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional melalui program sertipikasi massal yang dikenal dengan istilah Prona (Program Nasional) dan Proda (Program Daerah). Guna menunjang keberhasilan kedua program tersebut telah dibentuk kelompok masyarakat (Pokmas) di tiap-tiap lokasi program. Pembentukan Pokmas di tiap-tiap lokasi program tidak lain bertujuan agar masyarakat terlibat secara langsung dalam pendaftaran tanah, dan diharapkan pula melalui Pokmas inilah kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan tanah secara swadaya terus berkembang. Bahkan tidak hanya itu, kesadaran masyarakat untuk mengelola pertanahan dalam arti luas yang meliputi tertib hukum, tertib penggunaan, tertib administrasi dan tertib lingkungan dapat berjalan dengan baik. Dengan perkataan lain, Pokmas diharapkan mampu sebagai agen pembaharu di tingkat masyarakat sehingga kemandirian dan keberdayaan masyarakat dapat terwujud. Wawancara dengan sejumlah masyarakat dapat dipaparkan bahwa keberadaan Pokmas selama program berjalan cukup baik. Mereka terlibat secara langsung dalam sosialisasi, administrasi, serta pengukuran dan pemasangan tanda batas. Namun pada pasca proyek eksistensi Pokmas tidak ada sama sekali. Pokmas yang diharapkan sebagai institusi lokal yang mampu memberdayakan masyarakat ternyata berhenti di tengah jalan Mereka terjebak pada persoalanpersoalan maupun pekerjaan teknis administratif. Dengan demikian keberadaannya hanya sebatas sebagai kepanjangtanganan BPN. Partisipasi masyarakat dalam sertipikasi tanah belum berjalan seperti yang diharapkan. Ini terbukti, sebagian besar masyarakat belum bisa menunjukkan tindakannya yang berkaitan dengan pengelolaan pertanahan. Sebagai contoh, misalnya, pendaftaran tanah atau sertipikasi tanah secara swadaya masih belum banyak dilakukan oleh masyarakat. Pendaftaran tanah dan atau sertipikasi tanah secara swadaya mandiri banyak terjadi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan. Sungguhpun demikian jumlah sertipikasi tanah yang terjadi di perkotaan pun belum sebanding dengan jumlah bidang tanah yang ada. Di samping jumlah bidang tanah yang memang banyak, di kota sering terjadi pelepasan hak atas tanah baik itu melalui jual-beli maupun dengan cara lain yang kesemuanya itu tentu saja membutuhkan administrasi pertanahan.
Meskipun transaksi jual-beli, sewa dan atau bentuk transaksi lainnya banyak dijumpai di daerah perkotaan, namun tidak selamanya benar untuk menyatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat kota dalam pengelolaan pertanahan – sebut saja pendaftaran tanah – cukup tinggi. Oleh sebab itu adanya sinyalemen bahwa tingkat partisipasi masyarakat kota dalam berbagai macam dan bentuknya lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat perdesaan perlu diuji secara empiris. Dengan demikian persoalan partisipasi masyarakat tidak selalu dikhotomis antara masyarakat kota dengan masyarakat desa. Artinya masyarakat kota tidak selalu tinggi tingkat partisipasinya dibandingkan dengan masyarakat desa. Partisipasi masyarakat sangat dipengaruhi oleh motif-motif atau kepentingan-kepentingan masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, misalnya, masyarakat berusaha mendaftarkan bidang tanah yang dimiliki untuk diterbitkan sertipikatnya apabila tanah tersebut akan dijual. Ini dilakukan sebab jika tanah yang dimiliki belum bersertipikat ada dua kemungkinan yaitu, pertama tanah tersebut tidak laku dijual; kedua jika laku dijual harganya relatif rendah. Oleh sebab itu mereka berupaya mendaftarkan tanah miliknya karena ada kepentingan untuk menjual tanah tersebut. Jasa Pengurusan Sertipikat Hak Atas Tanah Secara ideal kepastian hukum atas tanah harus disertai dengan proses yang cepat, murah dan tidak berbelit-belit dalam mengurus sertipikat tanah. Namun dalam kenyataannya hal tersebut kurang diakomodir sehinggha berpengaruh terhadap motivasi masyarakat dalam mensertipikatkan tanahnya. Khususnya dalam hal biaya, persepsi masyarakat tentang pengenaan pajak atas tanah (BPHTB dan PPH) merupakan satu kesatuan dalam pengurusan sertipikat. Tidak mudah untuk menjelaskan bahwa pengenaan pajak adalah sesuatu yang berbeda dengan biaya pengurusan sertipikat. Sebagai contoh, persepsi masyarakat Kota Denpasar dalam memahami arti penting sertipikat sangat baik. Latar belakang Bali sebagai daerah wisata merupakan satu alasan mengapa masyarakat sangat termotivasi dalam mensertipikatkan tanahnya. Keperluan modal sebagai usaha untuk ikut serta dalam mendorong kepariwisataan diperoleh melalui perbankan dengan mengagunkan tanahnya. Lembaga keuangan akan memberikan pinjaman kepada masyarakat apabila tanah yang diagunkan telah disertipikatkan. Bahkan lembaga keuangan adatpun menggunakan metode yang seperti itu, bahwa tanah yang hanya bersertipikat yang dapat diagunkan. Selain persoalan modal untuk menambah dan meningkatkan usaha kepariwisataan, masyarakat Kota Denpasar akan mendaftarkan tanahnya jika terdapat peralihan hak baik dalam jual beli, waris, pemecahan, hibah, dll. Khususnya dalam peralihan hak berupa jual beli, merupakan kegiatan yang sangat menonjol dibanding peralihan yang lain. Hal ini menjadi kharakteristik dari kota yang aktivitas ekonominya cukup tinggi seperti halnya Kota Denpasar. Namun demikian, secara umum masyarakat tidak terbiasa mengurus proses pendaftaran tanahnya sendiri, artinya selalu menggunakan perantara. Bahkan dalam mengurus akta tanah (PPAT) selalu menghadapi perantara dalam mengurus akta tanahnya, sehingga bagi pemilik tanah memerlukan biaya tambahan dalam mengurus akta tanahnya. Biaya tambahan akan meningkat ketika pengurusan sertipikat juga diserahkan oleh PPAT tersebut. Sehingga komponen biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat sampai pada keluarnya sertipikat terdiri dari biaya pajak, biaya perantara, biaya PPAT, biaya resmi untuk PPAT dan BPN serta biaya tambahan untuk Kantor BPN. Informasi yang diperoleh dari PPAT menunjukkan bahwa masyarakat ingin memperoleh jasa pelayanan PPAT dalam 3 hal yaitu jasa advokasi pertanahan,, penerbitan akta peralihan hak serta jasa pengurusan pensertipikatan tanah. Jasa advokasi pertanahan yang diberikan oleh PPAT bukan hanya persoalan akta atau sertipikat tetapi mencakup berbagai persoalan pertanahan seperti pewarisan, konflik pertanahan serta masalah pertanahan yang dialami. Berbagai hal yang dianggap menjadi kendala dalam memberikan jasa pelayanan di atas antara lain: a). Dalam era otonomi daerah, Pemda telah menerbitkan SK tentang ijin pemecahan bidang tanah yang lebih dari 5 kapling/bidang. SK ini mengacu pada Perda tentang tata ruang Kota Denpasar. SK ini dirasakan oleh PPAT sebagai hal yang menambah birokrasi dalam mengurus sertipikat, selain menambah biaya.
b) Pengenaan pajak atas tanah terutama BPHTB memerlukan pengesahan akta sehingga pemohon harus membayar terlebih dahulu BPHTB bagi yang terkena BPHTB. Setelah itu, SSB harus disyahkan ke Kantor Pajak setempat. Hal ini juga dirasakan sebagai proses yang membuat penerbitan akta terganggu. Tidak semua pemohon siap dengan beban pajak yang seperti ini karena pajak ini biasanya beban yang paling besar dari keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan. c)
4.
Dalam era otonomi saat ini ada kecenderungan bahwa lurah/kepala desa ingin terlibat dalam setiap peralihan hak walaupun tanah tersebut telah bersertipikat. Proses peralihan hak atas tanah yang sudah terdaftar memang tidak mengharuskan keterlibatan lurah/kepala desa terutama sebagai saksi. Saat ini keterlibatan lurah/kepala desa terbatas ketika masyarakat ingin memproses tanah untuk pertama kali. Alasan yang diajukan oleh lurah/kepala desa dalam hal ini adalah posisi sebagai orang yang harus tahu tentang wilayah desa/kelurahan termasuk di dalamnya adalah pemilik tanah yang ada di wilayahnya.
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Masyarakat di Bidang Pertanahan
Apakah Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Atas Tanah ? Hak dan kewajiban ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Hak membicarakan masalah kewenangan sesuai ketentuan yang ada, sedangkan kewajiban berkaitan dengan keharusan melaksanakan sesuatu yang sudah ditetapkan. Secara umum, pengertian hak adalah kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan/menggunakan/memanfaatkan sesuatu yang telah tercantum dalam aturan atau undang-undang, sedangkan kewajiban adalah keharusan atau hal yang harus dilaksanakan sesuai dengan aturan atau undang-undang yang berlaku. Berdasarkan pengertian umum di atas, pengertian hak dan kewajiban dalam tulisan ini dikaitkan dengan hak-hak atas tanah sebagai kewenangan dan keharusan pemilik tanah untuk melaksanakan sesuatu jenis hak menurut UUPA dan peraturan pertanahan lainnya. Dalam pelaksanaan hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah, seyogyanya dilakukan pendalaman terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban para pemegang hak atas tanah menurut UUPA untuk hak perorangan dan badan hukum swasta berdasarkan norma-norma dalam aspek penguasaan/ pemilikkan tanah, aspek penggunaan tanah, dan aspek kepastian hukum dan administrasi pertanahan, baik tanah pertanian maupun tanah non pertanian. Hak atas tanah merupakan gambaran kewenangan/kekuasaan yang dimiliki pemegang hak atas tanah berdasarkan UUPA dan peraturan pertanahan lainnya untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuannya dalam rangka memperoleh kehidupan yang layak, serta jaminan dan perlindungan hak atas pemilikan tanahnya tersebut, dan sebagainya. Sedangkan kewajiban merupakan gambaran keharusan melaksanakan sesuatu hal oleh pemegang hak atas tanah sesuai arahnya dan ketentuan UUPA dan peraturan pertanahan lainnya, seperti larangan pemilikan tanah yang berlebihan, tanah diusahakan sendiri secara aktif, penggunaan/ pemanfaatan tanah sesuai RTRW, pemeliharaan dan menambah kesuburan tanah, larangan menelantarkan tanah, keharusan menjaga patok/tanda batas tanah, membayar pajak tanah, dan sebagainya. Negara Indonesia sebagai negara hukum yang demokrasi, dimana dalam implementasinya Pemerintah memberikan jaminan antara lain kepada warga negara, baik perorangan, kelompok maupun badan hukum untuk mendapatkan hak-haknya sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku. Hak-hak tersebut bersifat korelatif, artinya bahwa hak-hak yang sudah dimiliki oleh warga negara selaku perorangan, kelompok, maupun badan hukum juga mengandung kewajiban untuk menghormati dan melaksanakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan menjadi tanggung jawab si pemegang hak tersebut. Pada prinsipnya setiap hukum dan peraturan yang mengandung hak dan kewajiban bertujuan untuk menciptakan ketertiban, keteraturan, disiplin, keamanan, adil dan demokratis. Apabila hak dan
kewajiban yang berdasarkan atas hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku dilaksana-kan, maka negara dalam hal ini pemerintah mempunyai kewenangan untuk mendesaknya dan memberikan sanksi yang tegas terhadap pemegang hak dan kewajiban bersangkutan. Hak dan kewajiban setiap pemegang hak atas tanah di Indonesia telah digariskan dalam UU No.5/1960 (UUPA) serta peraturan lainnya. Norma-norma tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam 3 aspek, yaitu aspek penguasaan/pemilikan tanah, aspek penggunaan tanah, dan aspek kepastian hukum dan administrasi pertanahan. Secara umum hak-hak para pemegang hak atas tanah telah digariskan dalam ketentuan-ketentuan UUPA seperti pasal 4 (1) mengenai kewenangan untuk mempergunakan tanah; pasal 9 berkaitan dengan memperoleh sesuatu hak dan manfaat hasilnya; pasal 18 mengenai hak untuk meperoleh ganti kerugian yang layak atas pencabutan hak atas tanah. Selain itu, adanya hak mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum setiap pemegang hak atas tanah, dan sebagainya. Sebagian dari hak-hak tersebut di atas telah berjalan sesuai dengan tujuannya untuk dinikmati dan melindungi pemegang hak atas tanah, namun di sisi lain masih banyak dijumpai terjadinya ketidakadilan dalam menghormati hak-hak orang lain. Hal ini antara lain terlihat dari proses pembebasan tanah dengan pemberian ganti kerugian yang kurang layak, kurangnya jaminan dan perlindungan hukum kepada orang-orang pinggiran yang berekonomi lemah, sehingga kelompok miskin tersebut semakin kurang terperhatikan. Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan para pemegang hak atas tanah menurut UUPA dapat dilihat pada pasal-pasalnya, seperti pasal 6 mengenai aturan yang berkaitan tanah mempunyai fungsi sosial, pasal 7 tentang larangan pemilikan tanah yang melampaui batas yang diperkenankan, pasal 10 berkaitan dengan kewajiban mengerjakan tanahnya sendiri secara aktif dan mencegah caracara pemerasan, perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah (pasal 11). Pasal 13 anjuran untuk meninggikan produktivitas dan larangan adanya monopoli di bidang pertanahan, serta kewajiban memelihara tanah, menambah kesuburan tanah dan mencegah kerusakannya (pasal 15), dan sebagainya. Selanjutnya, tanah-tanah yang dimiliki harus digunakan sesuai rencana tata ruang dan produktif dengan mencegah terjadinya penelantaran tanah. Untuk mencegah konflik sepadan tanah, maka perlu menjaga patok-patok atau tanda-tanda batas harus ada/terpelihara, serta adanya kewajiban membayar pajak tanah. Dalam kenyataan di lapangan sebagian dari kewajiban tersebut telah dilaksanakan para pemegang hak atas tanah sesuai arahannya, namun masih ada pula yang belum melakukannya atau bahkan melanggarnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tanah-tanah belum dimanfaatkan sesuai peruntukkan, perhatian terhadap kelestarian lingkungan relatif masih rendah, sehingga menimbulkan berbagai kerusakan dan bencana alam. Keadaan di atas mungkin ditimbulkan oleh berbagai faktor penyebab, diantaranya masih rendahnya penegakan sanksi hukum, kesadaran masyarakat rendah, kurangnya sosialisasi pihak-pihak yang berkompeten dalam bidang tersebut, dan sebagainya. Untuk mengendalikan ini baik yang bersifat preventif maupun represif perlu diupayakan lebih intensif dan efektif. Dalam mengkaji pelaksanaan hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah, terdapat beberapa jenis objek hak yang bersifat strategis, yaitu hak milik (HM), hak guna usaha (HGU) untuk usaha pertanian/perikanan/peternakan, dan hak guna bangunan (HGB) induk skala besar untuk pembangunan perumahan. Hak Milik merupakan hak yang bersifat tetap, dimana subyek haknya paling banyak melibatkan penduduk dengan areal tanah yang luas. Objek hak ini sangat strategis untuk dikaji mengenai tingkat kesadaran pelaksanaan hak dan kewajiban para pemegang haknya karena mempunyai implikasi yang sangat luas dalam upaya pengendalian dan pemberdayaannya. Sebagai gambaran bahwa dari 2.421,6 ribu SK pemberian hak yang diterbitkan BPN selama tahun 1988 s/d 1998, sebanyak 1.216,9 SK (50,25 %) merupakan hak milik (HM). Objek hak HGU mempunyai arti strategis untuk dikaji karena subjek haknya relatif sedikit, tetapi meliputi areal yang sangat luas. Pada pihak lain di beberapa daerah kelangkaan tanah mulai terasa, sehingga hasil kajian ini sangat membantu dan bermanfaat untuk mengendalikan pemberian HGU-HGU berikutnya. Objek hak HGB, terutama HGB induk skala besar yang
dikuasai para pengembang perumahan, dimana subjek haknya juga relatif sedikit tetapi meliputi areal yang sangat luas. Banyak lokasi yang direncanakan untuk pembangunan perumahan di berbagai daerah menunjukkan bahwa sebagian dari tanah-tanahnya belum dimanfaatkan secara efektif dan efisien, sehingga dikuatirkan menjadi tanah-tanah terlantar/tidur atau objek spekulasi. Hal ini perlu dikenali sampai sejauhmana para pemegang haknya telah merealisasikan kegiatannya, dan hasilnya mempunyai arti strategis dalam rangka pengendalian dan pemberdayaannya pada masa mendatang. Berdasarkan gambaran hasil kajian mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban di atas, maka akan dikenali pula faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, sehingga menjadi landasan dalam menentukan atau memilih upaya-upaya alternatif yang dipergunakan untuk meningkatkan pengendalian dan pemberdayaan serta mendorong partisipasi masyarakat dalam menjalankan hak dan kewajibannya.
Pentingnya pelaksanaan hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah Tujuan akhir yang diharapkan dari pembangunan di bidang pertanahan sebagaimana digariskan oleh UUPA yang merupakan penjabaran lebih lanjut pasal 33 (3) UUD 1945 adalah “Tanah untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat”. Dalam rangka menuju pencapaian tujuan tersebut harus didukung kondisi yang kondusif, yaitu terciptanya suasana penguasaan dan pemilikan tanah yang memenuhi azas keadilan dan pemerataan, serta adanya kepastian dan jaminan hukum di bidang pertanahan, dan kemudian tanah-tanah yang telah dikuasai/dimiliki ini harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai rencana tata ruang dengan tetap menjaga kelestarian dan dan kesuburannya. Dengan demikian diharapkan dari tanah-tanah yang dimiliki tersebut dapat memberikan penghasilan untuk menjamin kelangsungan hidup yang layak bagi para pemilik dan keluarganya. Agar para pemilik tanah yakin dan terjamin kepemilikan tanahnya, maka perlu penentuan jenis-jenis hak atas tanah yang dikuasai sesuai pertimbangan normanorma yang ada dalam UUPA dan peraturan lainnya, serta selanjutnya didaftar dan disertipikatkan. Dengan adanya kepastian kepemilikan tanah yang dibuktikan dengan memegang sertipikat tanah, sehingga diharapkan pengelolaan, pemelihaaraan dan pemanfaatan tanah tersebut lebih intensif dan terarah sesuai perencanaan peruntukannya. Pada prinsipnya setiap bidang tanah yang sudah dilekati sesuatu hak menurut UUPA di atas maupun bidang-bidang tanah yang belum dihaki, para penguasa/pemiliknya harus melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai norma-norma peraturan yang ada. Oleh karena sangat banyaknya subjek pemilik tanah dan sangat luasnya objek tanah, maka dalam penelitian ini hanya akan melihat objek tanah yang sudah dihaki, serta didaftarkan dan disertipikatkan menurut hak-hak yang termuat dalam UUPA. Sejauhmana para pemegang hak atas tanah telah melaksanakan hak dan kewajibannya, pada intinya sangat tergantung dari faktor internal dan eksternal pemilik tanah. Kedua faktor tersebut sangat berperan dalam membentuk perilaku pemegang hak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Dari faktor internal pemilik tanah antara lain adanya keterbatasan kemampuan pengetahuan dalam pemahaman masyarakat mengenai norma-norma dalam aspek penguasaan/ pemilikan tanah, aspek penggunaan pemanfaatan tanah maupun aspek kepastian hukum dan administrasi pertanahan. Selain itu, perilaku pemilik tanah juga tidak terlepas dari faktor eksternal yang ada di lingkungan sekitarnya. Ketidak-tahuan dan ketidak-pahaman pemilik tanah dalam melaksanakan hak dan kewajibannya dapat juga disebabkan sosialisasi yang dilakukan pemerintah kurang atau tidak ada, penerapan hukum kurang tegas dan sebagainya. Di samping itu peranan masyarakat sebagai komunitas sosial pengontrol pelaksanaan hak dan kewajiban belum berfungsi/berjalan lebih efektif. Berdasarkan hasil kajian terhadap norma-norma yang ada dalam aspek penguasaan/pemilikan, aspek penggunaan/pemanfaatan, dan aspek kepastian hukum dan administrasi pertanahan serta norma-norma yang terkait dengan kondisi sosial lainnya, diharapkan akan dapat dikenali tingkat kesadaran para pemegang hak atas tanah menjalankan hak dan kewajibannya. Dalam hal ini peranan dan fungsi pemerintah maupun masyarakat lainnya perlu pula dikaji karena sangat terkait dengan perilaku pemilik
tanah tersebut. Dari hasil tersebut akan dapat diketahui faktor-faktor utama yang menjadi pendorong dan penghambat terhadap tingkat kesadaran masyarakat pemegang hak atas tanah dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Selanjutnya, dapat disusun langkah-langkah dan upaya-upaya yang diperlukan untuk meningkatkan kesadaran pelaksanaan hak dan kewajiban para pemegang hak atas tanah serta pengendaliannya secara preventif maupun represif.
HAK & KEWAJIBAN
HA K
•Terjamin kepa stian hak •Terlind ungi secara hukum •Menjual •Menjaminkan •Mewaris ka n •Dst.
KEWAJIB AN
•Merenca nakan sesuatu sesuai tujua n pemberian •Memelihar a agar tidak terlantar •Dst.
Memb ayar UP/ Paja k
Gambar : Keseimbangan Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Atas Tanah (Sumber, Deputi Bidang pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat, 2006)
PENEGAKAN HAK DAN KEWAJ IBAN DALAM PENGELOL AAN PERTANAHAN PENGELOLAAN UUD 45 Pasal 33 ayat (3)
UUPA (UU 5/60)
) Psl. 2 ayat 2 (umum) ) Norm a Aspek Penguasaan/Pem ilikan (Psl. 4,6,7,9,10,11,12,13,17,18,27,34,40) 4,14,15)
) Norm a Aspek Kepastian Hukum/Adm (Psl.19, 20,28,35,41)
• Jenis Hak • Ketentuan per-UU • Karakteristk wilayah
Gambar
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
PENGENDALIAN
) Norm a Aspek Penggunaan Tanah (Psl.
H AK & KEW AJIB AN
PP 36/98
Tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
TANAH YG DIBERIKAN HAK TDK DIGUNAKAN SESUAI SESUAI SIFAT DAN TUJUAN (BERINDIKASI TELANTAR)
• PREVENTIF • REPRESIF
AKIBAT: - KETIMPANGAN PEN GUASAAN TANAH - KERUSAKAN TANAH - PENURUNAN PR ODUKTIFITAS - PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN
: Kerangka Hubungan Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Atas Tanah (Sumber, Deputi Bidang pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat, 2006)
Pemberian Hak Berkaitan Pengelolaan Pertanahan Berpijak pada prinsip hak menguasai atas seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia, menunjukkan bahwa Negara yang diwakili oleh Pemerintah mempunyai kewenangan sangat besar untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan tanah, serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan dan perbuatan-perbuatan hukum dalam pengelolaannya. Untuk menjalankan kewenangan tersebut telah diciptakan atau dikeluarkan berbagai kebijakan, dimana salah satunya adalah kewenangan pemerintah dalam memberikan jaminan hukum di bidang pertanahan dengan melekatkan sesuatu jenis hak atas tanah kepada setiap warganya, baik perorangan maupun badan hukum publik dan swasta terhadap tanah-tanah yang dikuasai/dimilikinya. Dalam kaitan dengan pemberian hak-hak atas tanah, pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) mempunyai kewajiban mendaftar setiap bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia. Selanjutnya sesuai permintaan dan keperluan masyarakat pemilik, tanah-tanah tersebut disertipikatkan yang berfungsi sebagai surat tanda bukti haknya. Kegiatan pendaftaran dan pensertipikatan ini pada hakekatnya sudah dilaksanakan sejak berlakunya UUPA pada tahun 1960 hingga sekarang, namun dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi pemerintah, sehingga hasil yang diperolehpun masih kurang memuaskan. Sebagai gambaran bahwa saat ini diperkirakan jumlah bidang tanah di Indonesia telah berkembang menjadi sekitar 78 juta bidang, sedangkan yang sudah didaftar/disertipikatkan baru sekitar 26 juta bidang tanah (33 %). Pemberian hak-hak tersebut di atas dilakukan melalui berbagai pertimbangan berdasarkan norma-norma yang ada, baik dari aspek penguasaan/ pemilikan tanah, aspek penggunaan tanah maupun aspek kepastian hukum dan administrasi pertanahan, sehingga pemberian hak atas tanah sesuai dengan kedaan, sifat dan tujuannya. Dengan demikian diharapkan akan dapat diwujudkan sasaran antara pembangunan di bidang pertanahan, yaitu catur tertib pertanahan, antara lain terciptanya (1) tertib hukum
pertanahan, (2) tertib administrasi pertanahan, (3) tertib penggunaan tanah, dan (4) tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Meskipun dalam proses pemberian hak atas tanah telah dilakukan melalui berbagai faktor pertimbangan, namun dalam implementasinya di lapangan masih banyak ditemui para pemegang hak belum menjalankan hak dan kewajibannya sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut. Kurangnya kesadaran ini antara lain dapat dilihat dari penggunaan/pemanfaatan tanah yang belum produktif, efektif dan efisien sesuai arahan rencana peruntukannya, penguasaan/ pemilikkan tanah yang melampaui batas, kerusakan lingkungan, timbulnya tanah-tanah tidur/terlantar, sengketa batas dan permasalahan pertanahan lainnya. Fenomena ini dapat dijumpai di wilayah perkotaan, pinggiran (marjinal) maupun di wilayah pedesaan. Di wilayah perkotaan dengan ketersediaan tanah yang sangat terbatas, pada sisi lain tingkat kebutuhannya sangat tinggi, sehingga tanah menjadi faktor ekonomi langka yang menyebabkan harganya cenderung naik terus dan sulit dikendalikan. Kondisi ini diperparah pula oleh sikap sebagian orang atau sekelompok orang yang melakukan spekulasi di bidang pertanahan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Gejala-gejala tersebut seringkali dijumpai banyaknya tanah-tanah kosong ditengah-tengah kota yang tidak dimanfaatkan secara produktif dan efektif sehingga menjadi tanah tidur, sedangkan pada pihak lain banyak yang membutuhkannya. Di wilayah pinggiran perkotaan (transisi) yang berpotensi mengalami perkembangan cepat terdapat kecenderungan para pemilik modal (investor), terutama pengembang (developer) pembangunan perumahan berskala besar melalui izin lokasi berusaha menguasai tanah seluas-luasnya tanpa mempertimbangkan kebutuhan perumahan masyarakat yang sebenanrnya, sehingga banyak ditemui tanah-tanah yang sudah dibebaskan dan disertipikatkan melalui HGB hanya sebagian saja yang dibangun atau dimanfaatkan. Akibatnya banyak tanah-tanah tersebut menjadi terlantar yang tidak efektif digunakan, dan bahkan dapat merusak lingkungan serta dikuatirkan hanya dijadikan sebagai objek spekulasi saja. Di wilayah pedesaan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi tempat usaha tani skala besar, umumnya para pemilik modal (investor) melalui HGU berusaha menguasai tanah-tanah yang sangat luas melebihi dari kemampuannya. Dalam realisasinya hanya sebagian saja yang dipergunakan dan dimanfaatkan. Tanah-tanah yang belum termanfaatkan tersebut menjadi tidak produktif dan tanah tidur/terlantar, sehingga sebagian ada yang diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya secara liar, penyerabotan tanah, tidak terurus dan sebagainya. Kondisi di atas pada dasarnya tidak terlepas dari perilaku masing-masing pemegang hak atas tanah, baik bersifat internal maupun eksternal yang keduanya saling terkait. Secara internal antara lain adanya keterbatasan kemampuan pemilik tanah dalam mengetahui, memahami dan menyadari norma-norma peraturan yang menjadi rambu-rambu dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya, sehingga seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan, sedangkan secara eksternal adanya faktor luar yang kurang dapat mendukung meningkatkan kemampuan internalnya, seperti kurangnya sosialisasi norma-norma tersebut oleh pemerintah dan sebagainya. Dengan mengacu pada prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial, dimana setiap hak atas sebidang tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat perorangan maupun badan hukum diberi kewenangan untuk mempergunakan dan memanfaatkan tanahnya, namun pada sisi lain pemiliknya juga mempunyai kewajiban untuk mengusahakan dan menjaga kelestarian tanah-tanah tersebut agar tetap produktif dan efektif sesuai peruntukannya, serta kewajiban lainnya. Dalam hal ini, pemerintah (BPN) sebagai pihak regulator kebijakan dan pengelola di bidang pertanahan serta didukung masyarakat luas sebagai pengontrol sosial merupakan pihak-pihak yang mempunyai peranan sangat penting dan strategis dalam mengendalikan dan memberdayakan para pemilik tanah untuk menjaga keseimbangan antara pelaksanaan hak dan kewajibannya dalam memanfaatkan tanah-tanah tersebut secara seimbang dan serasi sebagaimana yang telah digariskan dalam norma-norma peraturan yang berlaku.
Dari uraian-uraian di atas, kajian mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban bagi para pemegang hak atas tanah ini merupakan kegiatan yang sangat relevan dan strategis dalam upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan produk-produk kebijakan di bidang pertanahan. Data dan informasi yang diperoleh dari kajian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah kebijakan pengelolaan di bidang pertanahan pada masa mendatang. Permasalahan Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Penguasaan dan pemilikkan tanah oleh seseorang, sekelompok orang atau badan hukum berdasarkan sesuatu jenis hak atas tanah menurut UUPA dalam pelaksanaannya harus berdasarkan pada prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. Artinya, bahwa selain mempunyai hak menggunakan dan memanfaatkan tanah untuk memperoleh penghidupan yang layak, maka para pemilik tanah juga berkewajiban menjaga kelestarian dan kesuburannya agar tanah tetap produktif, efektif dan efisien digunakan dan dimanfaatkan menurut norma-norma peraturan yang berlaku, seperti kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah, larangan pemilikan tanah yang berlebihan, keharusan menjaga kelestarian tanah dan sebagainya. Dalam kaitannya sedemikian itu, terdapaat beberapa permasalahan berkaitaan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban para pemegang hak atas tanah. Pertamaa,, pelaksanaan hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah dalam pengelolaan pertanahan, sebenarnya dapat diliohat dan diamati dari penampakan pisiknya. Sebagai contoh pola permikiman yang tertata dengan baik di Kawasan Real Estate umumnya mengikuti pola tata ruaang kawasan dan blok disain para peraancangnya. Batas pemilikan tanahnya teratur dengan tanda batas kepemilikan yang jelas berupa patok besi atau batu sebagai tanda batas. Demikian pula di daerah persawahan misalnya, para petani membuat terasering untuk menjaga ketersediaan air yang dibutuhkan pada masa pertumbuhan padi. Kedua, kemampuaan masyarakat dalam melaksanakan haak dan kewajiban tidak selalu sama. Satu oraang bias lebih intensif dalam mengelola kebunnya disbanding oraang lain. Jika demikian tentu terdapat sejumlah faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pelaksanaan hak dan kewajiban para pemegang hak atas tanah. Jika faaktor-faktor ini dapat diketahui maka dapat dikembangkan upaya untuk mendorong para pemegang hak atas tanah meningkatkan pelaksanaan hak dan kewajibannya. Sehubungan dengan itu, sudah waktunya untuk mengevaluasi produk-produk kebijakan pengelolaan sumber daya agraria yang difokuskan pada pelaksanaan hak dan kewajiban para pemegang hak atas tanah dalam memanfaatkan tanahnya sesuai fungsi sosial yang terkandung di dalamnya. Selain itu, perlu pula dilihat peranan yang dijalankan pemerintah (BPN) dan masyarakat terkait (pengamat pertanahan) dalam upaya pengendalian dan pemberdayaan para pemilik tanah untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Berdasarkan hasil kajian tersebut diharapkan menjadi salah satu bahan masukan dan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan pemanfaatan sumber daya agraria pada masa mendatang, terutama dalam rangka pengendalian dan pemberdayaan masyarakat pemilik tanah melalui produk-produk yang dikeluarkan dari kegiatan pengelolaan di bidang pertanahan. Dengan mengetahui gambaran pelaksanaan hak dan kewajiban para pemegang hak atas tanah menurut norma-norma peraturan yang ada, merupakan salah satu data dan informasi bahan masukan yang sangat berguna bagi Pemerintah (BPN) sebagai regulator dan pengelola di bidang pertanahan dalam rangka menentukan langkah-langkah kebijakan selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemberian hak-hak atas tanah pada masa mendatang. Norma Dalam Pemberian Hak Atas Tanah
Untuk mencapai tujuan pengelolaan di bidang pertanahan yang telah digariskan dalam arahannya berdasarkan landasan kebijakan pertanahan tersebut di atas, pemerintah (BPN) mempunyai kewenangan memberikan hak-hak atas tanah kepada setiap warganya atas tanah-tanah yang dimilikinya, baik secara perorangan maupun badan hukum (publik dan swasta). Dengan melekatkan sesuatu jenis hak berdasarkan UUPA tersebut diharapkan akan terjamin kepastian hukum terhadap penguasaan dan pemilikan tanah dan mengurangi sengketa yang timbul dalam bidang pertanahan. Lebih lanjut hal ini berdampak pula pada peningkatan produktivitas dan efektivitas penggunaan dan pemanfaatan tanah serta mendorong upaya-upaya pelestarian dan penambahan kesuburan tanah oleh pemiliknya. Sejalan dengan harapan di atas, pemberian hak-hak atas tanah dilakukan dengan beberapa pertimbangan berdasarkan norma-norma dalam pengelolaan bidang pertanahan yang telah digariskan oleh UUPA, yaitu berkaitan dengan aspek penguasaan/pemilikkan tanah, aspek penggunaan/ pemanfaatan tanah, dan aspek kepastian hukum dan administrasi pertanahan. a.
Norma-norma dalam aspek penguasaan pemilikan tanah, yaitu penguasaan/pemilikan tanah dengan hak tertentu, tanah berfungsi sosial, tidak boleh melampaui batas/berlebihan, diusahakan sendiri secara aktif, melindungi masyarakat ekonomi lemah dan sebagainya (UUPA Pasal 4, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 17, 18, 27, 34 dan 40).
b.
Norma-norma dalam aspek penggunaan tanah, yaitu adanya hak menggunakan/memanfaatkan tanah, penggunaan tanah menurut rencana tata ruang, memelihara/mencegah kerusakan tanah, menambah kesuburan tanah, penggunaan tanah tidak boleh boros/efisien, tidak menelantarkan tanah, dan sebagainya (UUPA Pasal 4,14 dan 15).
c.
Norma-norma dalam aspek kepastian hukum dan adiministrasi pertanahan, yaitu adanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, kewajiban mendaftar hak atas tanah, menjaga tanda batas tanah, penggunaan hak atas tanah menurut keadaan, sifat dan tujuannya, kewajiban membayar pajak, dan sebagainya (UUPA Pasal 19, 20, 28, 35 dan 41).
Berdasarkan norma-norma pertimbangan di atas, pemberian hak atas tanah dapat berupa hak perorangan dan kelompok maupun badan hukum publik dan swasta. Pada prinsipnya setiap pemberian hak-hak atas tanah sekaligus akan termuat di dalamnya aspek hak yang akan diterima dan aspek kewajiban yang harus dijalankan oleh para penerima hak tersebut, dimana kedua aspek ini saling terkait satu sama lainnya. Dari aspek hak merupakan kewenangan yang dimiliki para pemegang hak atas tanah dalam menggunakan/memanfaatkan tanah sesuai keadaan, sifat dan tujuannya, jaminan kepastian dan perlindungan hukum, manfaat nilai tambah tanah dan lain-lain. Sedangkan dari aspek kewajiban merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh para pemilik tanah dalam menggunakan/memanfaatkan tanahnya seperti tanah diusahakan sendiri secara aktif, dilarang mentelantarkan tanah, sesuai dengan rencana tata ruang, memelihara dan menambah kesuburannya, dan sebagainya. Meskipun dalam proses pemberian hak atas tanah sudah ada norma-norma yang melandasinya, namun dalam pelaksanaan di lapangan masih banyak ditemui penyimpangan-penyimpangan. Para pemegang hak atas tanah belum menjalankan hak dan kewajibannya sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut. Indikasi yang menunjukkan adanya penyimpangan tersebut antara lain: a. b. c. d. e.
Penguasaan/pemilikan tanah yang melampaui batas; Penggunaan/pemanfaatan tanah yang belum produktif, efektif, efisien sesuai peruntukkannya; Kerusakan lingkungan; Timbulnya tanah terlantar; Sengketa batas dan permasalahan lainnya.
Untuk mengatasi penyimpangan tersebut, maka dalam proses pemberian hak tersebut perlu adanya upaya penegakan hak dan kewajiban bagi para pihak melalui : a. Penegakkan norma-norma pengelolaan pertanahan agar dipahami dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan pertanahan, yaitu pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha b. Peningkatan kesadaran pemegang hak atas tanah atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah untuk mempergunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberiannya c. Peningkatan produktivitas dan pemeliharaan tanah oleh pemegang hak atas tanah serta usaha pemberdayaan masyarakat d. Mencegah terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan tanah (tanah tidak produktif dan terlantar) e. Mencegah terjadinya spekulasi tanah dan monopoli tanah, dan sebagainya. Hak dan kewajiban dalam implementasinya sangat tergantung pada keadaan, jenis dan tujuannya. Sehubungan dengan itu, beberapa gambaran mengenai hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah menurut UUPA mengenai objek hak milik (HM), hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB), sebagai berikut: Pemegang Hak Milik Atas Tanah, mempunyai hak untuk memiliki hak tersebut secara turun-temurun, terkuat dan terpenuhi serta dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak milik ini hanya dapat dimiliki oleh WNI. Hak Milik juga dapat dijadikan jaminan utang. Adapun kewajiban pemegang Hak Milik antara lain memperhatikan bahwa hak milik mempunyai fungsi sosial, harus didaftar apabila ada peralihan serta wajib memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah kerusakannya. Pemegang HGU, mempunyai hak untuk usaha: pertanian, perikanan dan peternakan, luas tanah paling sedikit 5 Ha apabila luasnya 25 Ha atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik pengolahan yang baik, mempunyai hak mengalihkan. Jangka waktu terbatas: pertama kali 25 tahun, perpanjangan 35 tahun dan diperbarui kembali 25 tahun. HGU dapat dijadikan jaminan utang. Sementara itu, kewajiban pemegang HGU adalah mengerjakan tanahnya sendiri secara aktif dan mencegah caracara pemerasan serta memelihara, menjaga kesuburan, mencegah kerusakan tanah. Mengenai kewajiban Pemegang HGU juga ditetapkan dalam SK KBPN No.10/HGU/BPN/2003, yaitu harus dipergunakan untuk usaha sesuai tujuannya, mengusahakan secara produktif sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi yang terkait, membangun serta memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam, menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, apabila ada perubahan pengunaan tanah diperlukan ijin dahulu dari BPN. Pemegang HGB, mempunyai hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, jangka waktu: 30 tahun dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Dapat dipunyai oleh perorangan dan badan hokum dan dapat dijadikan jaminan utang. Adapun kewajiban Pemegang HGB adalah memelihara, menjaga kesuburan, mencegah kerusakan tanah. Sedangkan berdasarkan SK Kepala BPN No. 6/HGB/2003: Bidang tanah harus diberi tanda-tanda batas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipelihara keberadaannya, digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkan, sifat dan tujuan dari hak yang diberikan, apabila dan dialihkan terlebih dahulu harus dimintakan ijin kepada BPN.
11 Dukungan Data dan Informasi Agraria 1.
Keberadaan data dan informasi pertanahan/agraria
Tanah merupakan salah satu sumberdaya strategis dan penting bagi kehidupan masyarakat di wilayah perkotaan dan pedesaan. Oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan administrasi pertanahan juga sangat penting untuk dikembangkan di wilayah perkotaan dan pedesaan. Upaya ini merupakan pelaksanaan TAP MPR-RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta KEPPRES Nomor 34 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Pertanahan, khususnya yang menyangkut E-Government, E-Payment dan E-Commerce. Administrasi bidang pertanahan secara umum meliputi pencatatan keterangan keadaan fisik dan yuridis tentang bidang-bidang tanah yang terdapat di suatu wilayah kota dan kabupaten. Keterangan keadaan bidang fisik antara lain menyangkut jumlah bidang tanah, luasnya, potensinya, penggunaannya, produktifitasnya, nilainya dan sebagainya. Sedangkan keterangan keadaan yuridisnya antara menyangkut status tanah, kepemilikan tanah, status hak kepemilikan, status yang memanfaatkan/menggarap, hubungan hukum pemilik dan penggarap dan sebagainya. Dengan sistem administrasi pendataan dan registrasi pertanahan yang cepat dan akurat; sistem pengolahan dan analisis yang tepat serta didukung dengan teknologi informasi yang memadai, BPN dapat mengetahui dan memonitor proses pengambilan keputusan terhadap pengelolaan sumberdaya tanah oleh masyarakat secara perorangan dan badan hukum serta menetapkan kebijakan pertanahan yang berimplikasi kepada aspek politik, sosial ekonomi dan sosial budaya bidang pertanahan. Selain itu keterangan tentang keadaan fisik dan yuridis pertanahan di wilayah perkotaan dan pedesaan juga sangat penting untuk mendukung kegiatan pelayanan pertanahan, sehingga diharapkan produk-produk pelayanan pertanahan dapat menjadi lebih akurat dan mengurangi timbulnya sengketa pertanahan yang dewasa ini semakin meningkat. Pada saat ini kondisi administrasi pertanahan di wilayah perkotaan dan pedesaan, khususnya di kelurahan dan desa sebagai unit administrasi pemerintahan terbawah tidak dapat memberikan keterangan dan informasi yang terkini dan akurat mengenai keadaan fisik maupun yuridisnya. Hal ini disebabkan antara lain : a. Adanya pemecahan/pemekaran wilayah kelurahan dan desa serta perubahan status administrasi wilayah dari desa ke kelurahan yang menyebabkan arsip desa dan kelurahan tidak teradministrasi dengan baik. b. Adanya kawasan pemukiman baru dan kawasan industri yang merubah keadaan fisik penggunaan tanah dan sarana pendukung infrastruktur kawasan yang tidak diikuti dengan perubahan peta dan data fisiknya. c. Adanya pemecahan dan peralihan kepemilikan tanah yang tidak diikuti dengan perubahan data yuridis kepemilikan tanah di desa. d. Data pertanahan tersebar di berbagai unit kerja di lingkungan BPN serta di berbagai instansi luar BPN.
Mengingat administrasi pertanahan merupakan suatu dokumen yang dinamis, yang ditentukan oleh perkembangan keadaan fisik dan yuridis dari waktu ke waktu, maka dokumen administrasi pertanahan di desa/kelurahan perlu ditata sehingga dapat mendukung tertib administrasi pertanahan. Untuk keperluan penataan tersebut, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian tentang ketersedian data spatial dan tekstual yang meliputi pemilikan, penguasaan, status hak atas tanah, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta metode inventarisasi yang cepat dan murah administrasi pertanahan di kelurahan dan desa dari segi jenisnya, keberadaannya, bentuknya, instansi pembinanya, pemanfataannya maupun pemeliharaannya. Kelengkapan dan kebenaran data fisik dan data yuridis yang menyangkut subyek dan obyek bidang pertanahan di desa dan kelurahan akan menjadi dasar Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam memberikan jaminan kepastian hak milik atas tanah maupun dalam pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah di desa dan kelurahan. Data Pertanahan di Desa Untuk melihat keadaan data pertanahan di tingkat Desa/kelurahan, pada tahun 2004, Risnarto, Puslitbang-BPN, telah dilakukan penelitian Administrasi Pertanahan di Wilayah Desa di Kabupaten Badung, Propinsi Bali, dengan mengambil Desa Parerenan dan Desa Cemagi di Kecamatan Mengwi sebagai sample. Penelitian meliputi keberadaan data, bentuk data, pembaruan data, sumber data, instansi pembina dan penggunan data administrasi pertanahan. Keterangan tentang ketersediaan data administrasi pertanahan tersebut bersumber dari dua sisi, yaitu dari sisi Kantor Pertanahan dan dari sisi Kantor Desa. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 3-1 dan 3-2 dengan uraian berikut ini. Data Fisik Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Badung dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya untuk mengelola dan memnerikan pelayanan pertanahan, memerlukan data fisik tanah yang meliputi : luas wilayah desa, jumlah bidang tanah di desa, batas-batas bidang tanah, jenis dan kemampuan tanah, keterangan tentang topografi dan kemiringan wilayah, peta dasar pertanahan serta titik ikat pengukuran (Orde 1, 2, 3 ). ¾
Data luas wilayah desa, dibutuhkan oleh semua seksi teknis di lingkungan Kantor Pertanahan. Data ini tersedia di Kantor Desa Parerenan maupun Desa Cemagi. Selain itu, menurut keterangan Kepala Desa, data tersebut juga tersedia di Kantor Camat dan KP-PBB. Data tersedia dalam bentuk tekstual dan peta. Data telah tersedia sejak tahun 1997 ketika Desa Parerenan dan Cemagi ditetapkan sebagai Desa Persiapan pemecahan dari desa induknya. Pembaruan data dilakukan secara berkala setiap tahun. Adapun instansi Pembina adalah Pemerintah Kabupaten. Sedangkan penggunanya selain bagi pihak desa dan kecamatan juga pihak pemerintah daerah, kantor pertanahan, KP-PBB, Camat, PPAT dan masyarakat umum termasuk para mahasiswa dan konsultan
¾
Data jumlah bidang tanah diperlukan Seksi PPT, HAT serta P & PT. Data tersebut selain tersedia di kantor desa juga tersedia di KP-PBB dalam bentuk tekstual dan tabel. Di KP-PBB juga tersedia dalam bentuk peta hasil klasiran tahun 1948 dan perubahannya tahun 1990 (masih bergabung dengan desa induk). Pembaruan data dilakukan secara berkala setiap tahun. Adapun instansi Pembina adalah KP_PBB. Sedangkan penggunanya selain bagi pihak desa dan kecamatan juga pihak pemerintah daerah, kantor pertanahan, KP-PBB, Camat dan PPAT
¾
Data batas-batas bidang tanah, diperlukan Seksi PPT, HAT serta P & PT. Data tersebut tidak tersedia di kantor desa, namun tersedia di Kantor Pertanahan sepanjang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah. Dalam bentuk tekstual dan peta bersumber langsung dari pengukuran di lapangan. Sama dengan data jumlah bidang tanah, pembaruan data dilakukan secara berkala setiap tahun. Adapun instansi pembina adalah pemerintah kabupaten, kantor pertanahan dan KP-PBB. Sedangkan penggunanya selain bagi pihak desa dan kecamatan juga pihak pemerintah daerah, kantor pertanahan, KP-PBB, Camat dan PPAT
¾
Data jenis dan kemampuan tanah diperlukan oleh Seksi PGT. Data ini juga tidak tersedia di kantor desa, namun tersedia di Kantor Pertanahan dan Dinas Pertanian dalam bentuk tekstual dan peta bersumber langsung dari pemetaan di lapangan. Pembina data tidak diketahui, namun data ini banyak dimanfaatkan oleh Pemda, kantor pertanahan dan masyarakat umum
¾
Data topografi dan kemiringan wilayah juga diperlukan oleh Seksi PGT. Data ini tersedia di kantor desa, kantor Camat serta kantor Pertanahan dalam bentuk tekstual tabel dan peta. Di Kantor Desa, data ini telah tersedia sejak penetapan sebagai wilayah administrasi desa. Seperti halnya dengan data topografi dan kemiringan wilayah, pembina data juga tidak diketahui, namun data ini banyak dimanfaatkan oleh Pemda, kantor pertanahan dan masyarakat umum
¾
Data peta dasar pertanahan dan titik ikat pengukuran, terutama diperlukan Seksi PPT,PGT dan P&PT. Data ini tidak tersedia di kantor desa, namun tersedia di Kantor Pertanahan dalam bentuk tabel dan peta bersumber langsung dari pemetaan di lapangan. Pembina data adalah kantor pertanahan, data ini selain dimanfaatkan oleh kantor pertanahan juga dimanfaatkan oleh Pemda, khususnya BAPEDA.
Data Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Beberapa data terkait penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dibutuhkan Seksi Penatagunaan Tanah dan antara lain data rencana peruntukan penggunaan tanah, perubahan penggunaan tanah serta data tentang jenis penggunaan tanah. ¾
Data rencana rencana peruntukan penggunaan tanah,selain dibutuhkan Seksi Penatagunaan Tanah juga dibutuhkan Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah. Data ini tersedia di Kantor Kecamatan, PemKab (Dinas dan Bapeda) serta kantor pertanahan, dalam bentuk tekstual, tabel dan peta. Data ini merupakan hasil analisis yang dilakukan oleh Pemerintah kabupaten Badung (BAPEDA). Pembaruan data umumnya setiap lima tahun. Adapun pembina data adalah Pemda (BAPEDA), data ini selain dimanfaatkan oleh kantor pertanahan juga dimanfaatkan oleh Pemda, khususnya BAPEDA serta masyarakatan umum.
¾
Data perubahan penggunaan tanah walaupun diketahui oleh Kepala dan Sektretaris Desa, namun tidak tercatat secara khusus di Kantor Desa, hanya ada di Kantor Pertanahan, sepanjang data tersebut berkaitan dengan ijin lokasi pembangunan dan Dinas Pertanian sepanjang terjadi ijin perubahan penggunaan tanah.
¾
Data jenis penggunaan tanah tersedia di Kantor Desa dan Kantor Pertanahan. Beberapa jenis data terkait pajak , seperti data perumahan/pekarangan, sawah dan tanah kering/tegalan juga tercatat di Kantor Camat (BPS), Dinas Pertanian dan KP-PBB. Data ini tersedia dalam bentuk tekstual dan peta. Tersedia di Kantor Desa sejak penetapan sebagai wilayah administrasi desa. Pembaruan data oleh Kantor Desa dan instansi Pembina yaitu Kantor Camat melalui monografi desa yang diterbitkan setiap tahun Data ini selain dimanfaatkan oleh kantor pertanahan juga dimanfaatkan oleh Pemda, khususnya BAPEDA serta masyarakatan umum.
Data Penguasaan Pemilikan Tanah Beberapa data terkait penguasaan dan pemilikan tanah yang dibutuhkan Kantor Pertanahan adalah data tentang status tanah, pengusaan pemilikan serta peralihan tanahnya. Selain itu juga data tentang sengketa/ masalah penguasaan tanah dan pembebasan tanah. ¾
Data status tanah seluruh seksi di lingkungan Kantor Pertanahan antara lain keberadaan tanah Negara, tanah ulayat/pura dan tanah yang sudah bersertipikat. Data tersebut selain tersedia di Desa Parerenan dan Cemagi, juga tersedia di Kantor Pertanahan. Untuk tanah Negara dan tanah labuh pura juga tercatat di Kantor Camat dan Pemda. Umumnya dalam bentuk tekstual dan peta serta merupakan hasil olahan atau telah tersedia sejak penetapan sebagai wilayah administrasi desa.
Pembaruan data secara insidentil tercatat di Kantor Pertanahan. Instansi pembinanya adalah Kantor Pertanahan, sedangkan pemanfaatannya selain oleh kantor pertanahan juga dimanfaatkan oleh Camat, PPAT, Pemda, KP-PBB, serta masyarakatan umum. ¾ Data tanah yang belum besertipikat, dengan berbagai alas hak kepemilikan (jual beli, waris, girik/petuk C) dibutuhkan Seksi P & PT serta Seksi HAT. Data tersebut ini tersedia di Desa Parerenan (terutama tanah pekarangan) dan Desa Cemagi. Umumnya dalam bentuk tekstual serta merupakan hasil olahan atau telah tersedia sejak penetapan sebagai wilayah administrasi desa. Pembaruan data secara insidentil tercatat di Kantor Desa. Instansi pembinanya adalah KP-PBB dan Kantor Pertanahan, sedangkan pemanfaatannya selain oleh kantor pertanahan juga dimanfaatkan oleh Camat, PPAT, Pemda, KP-PBB, serta masyarakatan umum. ¾ Data tentang tanah absentee, tanah kelebihan maksimum serta data tentang pernyataan penguasaan, penggarapan tanah, sewa-menyewa tanah dan perjanjian gadai dibutuhkan terutama oleh Seksi PPT . Data tersebut diketahui staf desa, namun tidak tercatat di Desa Parerenan dan Cemagi. Demikian pula tidak tercatat secara khusus di Kantor Pertanahan. ¾ Data peralihan tanah. untuk tanah yang sudah besertipikat tercatat di Kantor Pertanahan dan PPAT (Camat/Notaris) dalam bentuk tekstual serta merupakan hasil olahan. Pembaruan data secara insidentil tercatat di Kantor Pertanahan. Instansi pembinanya adalah Kantor Pertanahan, sedangkan pemanfaatannya selain oleh kantor pertanahan juga dimanfaatkan oleh Camat, PPAT, Pemda, KPPBB, serta masyarakat umum. ¾
Data peralihan tanah. untuk tanah yang belum bersertipikat tercatat di Kantor Desa, dengan berbagai alas hak kepemilikan (jual beli, waris, girik/petuk C) dibutuhkan Seksi P & PT serta Seksi HAT. Data tersebut ini tersedia di Desa Parerenan dan Desa Cemagi. Umumnya dalam bentuk tekstual serta merupakan hasil olahan atau telah tersedia sejak penetapan sebagai wilayah administrasi desa. Pembaruan data secara insidentil tercatat di Kantor Desa. Instansi pembinanya adalah KP-PBB, sedangkan pemanfaatannya selain oleh kantor pertanahan juga dimanfaatkan oleh Camat, PPAT, Pemda, KP-PBB, serta masyarakat umum.
Data Pendukung Lainnya. Data pendukung lainnya yang diperlukan dalam rangka pengolaaan dan penataan administrasi pertanahan di desa antara lain : data kependudukan (jumlah, kepadatan, tenaga kerja), jumlah wajib pajak, kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat, anggaran desa serta harga tanah. ¾
Data kependudukan yang menyangkut individu sebagai subyek hak atas tanah dibutuhkan Seksi P&PT serta Seksi HAT dalam rangka pendaftaran tanah pertamakali dan peralihannya. Sedangkan data umum yang menyangkut, jumlah, kepadatan, tenaga kerja, mata pencaharian, serta kondisi sosial ekonomi dan sosial budayanya tercatat sebagai bagian dari Monografi Desa.
¾
Data wajib pajak dan NJOP tersedia di Desa Parerenan dan Desa Cemagi, dalam bentuk table, telah tersedia sejak penetapan sebagai wilayah administrasi desa. Pembaruan data secara insidentil tercatat di Instansi pembinanya yaitu KP-PBB, sedangkan pemanfaatannya selain oleh kantor pertanahan juga dimanfaatkan oleh Camat, PPAT, Pemda, KP-PBB, serta masyarakat umum. Untuk data harga tanah umum tercatat diketahui oleh Desa, namun tidak tercatat secara khusus. sedangkan pemanfaatannya selain oleh kantor pertanahan juga dimanfaatkan oleh Camat, PPAT, Pemda, KP-PBB, serta masyarakat umum.
¾
Data anggaran desa yang meliputi anggaran umum Kas Desa (APPKD) maupun tariff yang berkaitan dengan pelayanan di bidang pertanahan tersedia di Desa Parerenan dan Desa Cemagi, dalam bentuk tekstual. Disusun dan ditetapkan setiap tahun anggaran. Instansi pembinanya adalah Camat dan Pemda Kabupaten Badung, sedangkan pemanfaatannya selain oleh desa sendiri juga oleh Camat, Pemda, serta masyarakat umum..
Tabel Kebutuhan dan Ketersediaan Data Administrasi Pertanahan di Desa
HAT
Par
Cmg
Y Y Y
Y
Y Y Y
Y Y Y
Y Y
Y Y
Y Y
B. Data Penggunaan/Pemanfaatan Tanah 6 Rencana peruntukan pengg. Tanah
Y
Y
Y
Y
Y
Y Y
Y Y
Y
Y Y
Y Y Y Y Y
Y Y
Y Y Y Y Y
Y
Y
Y
Y
Y
Peta
P&PT
Tabel
PGT
Tekstual
PPT
Kantah
A. Data Fisik Tanah 1 Luas wilayah desa 2 Jumlah bidang tanah 3 Batas-batas bidang tanah 4 Jenis & kemampuan tanah 5 Topografi & kelerengan wilayah
Desa
Bentuk Data Pem Kab
Jenis Data
KP-PBB
No
Keberadaan Data Camat
Kebutuhan Data Untuk Pengelolaan Pertanahan
7
Perubahan penggunaan tanah
Y
8
Sengketa penggunaan tanah
Y
9
Tanah Perumahan/pemukiman
Y
Y
Y
10
Tanah Perindustrian
Y
Y
Y
11
Tanah Perdagangan/Usaha
Y
Y
Y
Y
Y
12
Tanah Perkantoran/Jasa
Y
Y
Y
Y
Y
13
Tanah Sawah irigasi/tadah hujan
Y
Y
Y
Y
Y
14
Tanah Tegalan/kebun campuran
Y
Y
Y
Y
Y
15
Tanah Perkebunan
Y
Y
Y
Y
Y
16
Tanah Tambak/empang/kolam
Y
Y
Y
Y
Y
17
Tanah hutan negara/rakyat
18 Tanah Kosong/terlantar C. Data Penguasaan/Pemilikan Tanah
Y Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Tanah Negara
Y
Y
Y
Y
20
Tanah ulayat/labuh pura
Y
Y
Y
Y
21
Tanah sudah sertipikat (HM, HGB)
Y
Y
Y
Y
22
Tanah absentee
Y
23
Tanah Pemda
Y
Y
Y
24
Tanah kelebihan maksimum
Y
25
Tanah bengkok/kas desa/…..
Y
26
Tanah wakaf/pura
Y
Y
27
Pencatatan tanah belum bersertipikat
28
a. Akta Jual beli
Y
Y
29
b. Girik/Letter C/Pipil
Y
Y
30
c. Keterangan Waris
Y
Y
31
d. Pernyataan penguasaan
Y
Y
32
Pencatatan peralihan tanah Y
33
a. Akta jual beli, tanah bersertipikat
Y
34
b. Akta Hibah
Y
Y
35
c. Akta Warisan
Y
Y
36
d. Akta Wakaf
Y
Y
37
e. Girik/Letter C/Pipil
Y
Y
38
g. Surat izin menggarap tanah
Y
Y
Y
Y
Y Y
Y
19
Y
Y
39
h. Perjanjian bagi hasil
Y
Y
Y
40
i. Perjanjian sewa menyewa tanah
Y
Y
Y
41
j. Perjanjian gadai
Y
Y
Y
42
Sengketa/masalah penguasaan tanah
Y
Y
Y
Y
43
Pembebasan tanah
Y
Y
Y
Y
44
Peta dasar desa
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
45 Titik ikat (Orde 1 s/d 4) D. Data Pendukung Lainnya 46
Jumlah penduduk (jiwa, KK)
47
Jumlah wajib pajak
Y
Y
48
Sosial ekonomi penduduk
Y
Y
49
Sosial budaya penduduk
Y
Y
50
Anggaran pendapatan desa (APPKD)
51
Pendapatan desa dari pertanahan
Y
Y
Y
52
Data harga tanah umum (pasaran)
Y
Y
Y
Y
53
Data nilai tanah objek pajak (NJOP)
Y
Y
Y
Y
Y
Par = Desa Parerenan, CMg = Desa Cemagi Sumber: Risnarto, Laporan Penelitian Mandiri. Puslitbang BPN. 2004.
Tabel Pembaruan Data Administrasi Pertanahan di Desa
Y
Y Y Y
Y Y Y
Umum
Y Y Y Y Y
Desa
Y Y Y
Y Y Y Y Y
Y Y Y
Y Y Y Y Y
Y
Y Y
Y
Y
7
Perubahan penggunaan tanah
Y
Y
Y
Y
8
Sengketa penggunaan tanah
Y
Y
Y
Y
9
Tanah Perumahan/pemukiman
Y
Y
Y
Y
Y
10
Tanah Perindustrian
Y
Y
Y
Y
11
Tanah Perdagangan/Usaha
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
12
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
14
Tanah Perkantoran/Jasa Tanah Sawah irigasi/tadah hujan Tanah Tegalan/kebun campuran
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
15
Tanah Perkebunan
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
16
Tanah Tambak/empang/kolam
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
13
Y
Y
Y Y
Y
PPAT
Y Y
Y Y Y Y Y
Camat
Y Y Y
KP-PBB
Y Y Y
Kantah
Y
Pem Kab
Y Y Y
Pengguna Data
KP-PBB
HAT
Pemda
P&PT
Insidentil
PGT
Pembina Data Kantah
A. Data Fisik Tanah 1 Luas wilayah desa 2 Jumlah bidang tanah 3 Batas-batas bidang tanah 4 Jenis & kemampuan tanah 5 Topografi & kelerengan wilayah B. Data Penggunaan/Pemanfaatan Tanah Rencana peruntukan pengg. 6 tanah
PPT
Tahunan
Untuk Pengelolaan Pertanahan
Jenis Data
Bulanan
No
Triwulan
Pembaruan Data
Kebutuhan Data
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
17
Tanah hutan negara/rakyat
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
18 Tanah Kosong/terlantar C. Data Penguasaan/Pemilikan Tanah
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
19
Tanah Negara
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
20
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
21
Tanah ulayat/labuh pura Tanah sudah bersertipikat (HM, HGB)
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
22
Tanah absentee
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
23
Tanah Pemda
Y
24
Tanah kelebihan maksimum
Y
25
Tanah bengkok/kas desa/…..
Y
26
Tanah wakaf/pura Pencatatan tanah belum bersertipikat
Y
Y
28
a. Akta Jual beli
Y
Y
29
b. Girik/Letter C/Pipil
Y
Y
27
30
c. Keterangan Waris
31
33
d. Pernyataan penguasaan Pencatatan peralihan penguasaan tnh a. Akta jual beli, tanah bersertipikat
34
b. Akta Hibah
35 36
32
Y
Y
Y
Y Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
c. Akta Warisan
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
d. Akta Wakaf
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
37
e. Girik/Letter C/Pipil
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
38
g. Surat izin menggarap tanah
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
39
h. Perjanjian bagi hasil i. Perjanjian sewa menyewa tanah
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
40
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
42
j. Perjanjian gadai Sengketa/masalah penguasaan tanah
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
43
Pembebasan tanah
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Peta dasar desa Titik ikat (Orde 1, Orde 2 & 45 Orde 3, …..) D. Data Pendukung Lainnya
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Jumlah penduduk (jiwa, KK)
Y
Y
Y
Y
Y
Y
47
Jumlah wajib pajak
Y
Y
Y
Y
Y
Y
48
Sosial ekonomi penduduk
Y
Y
Y
Y
49
Sosial budaya penduduk Anggaran pendapatan desa (APPKD) Pendapatan desa dari pertanahan Data harga tanah umum (pasaran) Data nilai tanah objek pajak (NJOP)
Y
Y
Y
Y
41
44
46
50 51 52 53
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Sumber: Risnarto, Laporan Penelitian Mandiri. Puslitbang BPN. 2004.
Y
Y
Y Y
Y
Y
Kendala Penataan Administrasi Pertanahan di Desa Dalam pencatatan administrasi pertanahan di Desa Parerenan dan Cemagi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, telah dijumpai beberapa kendala administrasi maupun teknis yuridis. Kendala yang dihadapi dari aspek administrasi adalah berkaitan dengan pemekaran desa. Desa ini merupakan pemecahan dari Desa Buduk pada tahun 1997, sedangkan Desa Cemagi merupakan pemecahan dari Desa Munggu juga pada tahun 1997. Kedua desa tersebut kemudian disahkan menjadi desa definitive pada tahun 1999, namun data tanah sawah masih berada di Pekaseh (Kepala Subak) di desa induknya. Penarikan pajak untuk tanah sawah oleh KP-PBB, langsung dilakukakan oleh para Pekaseh, sedangkan untuk tanah kering dilakukan oleh Kepala Banjar. Pihak Desa lebih terfokus menangani masalah administrasi kependudukan dan pembangunan umum di desa Kendala yang dihadapi dari aspek teknis yuridis adalah berkaitan dengan peralihan tanah yamg telah bersertipikat serta perubahan penggunaan tanah. Dalam hal peralihan tanah yang telah bersertipikat, umumnya melalui PPAT Notaris, tanpa kesaksian dari pihak desa, sehingga pihak desa tidak dapat memantau jika ada peralihan kepemilikan tanah di desanya. Demikian pula pihak desa tidak memperoleh tembusan Ijin Membuat Bangunan, sehingga jika ada perubahan penggunaan dari tanah sawah ke perumahan atau villa. Upaya Penataan Administrasi Pertanahan di Desa Berdasarkan hasil penelitian mengenai penataan adminitrasi pertanahan di wilayah desa di Kabupaten Badung, dengan mengambil sample Desa Parerenan dan Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi dapat disimpulkan sebagai berikut : ¾
Kondisi administrasi pertanahan di Kantor Desa saat ini belum tercatat dengan baik untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pengelolaan dan pelayanan pertanahan. Data yang ada masih terbatas jenisnya, keberadaannya tidak lengkap di desa, bentuknya tidak standar, instansi pembinanya beragam, dan pemeliharaannya belum teratur. ¾ Pembinaan administrasi pertanahan di Kantor Desa saat ini belum dilakukan secara khusus oleh Kantor Pertanahan. Kalaupun ada pembinaan terbatas jika ada kegiatan pertanahan seperti program sertipikasi tanah secara missal yang memerlukan sosialisasi. Untuk tanah yang telah bersertipikat bahkan tidak dilakukan hubungan fungsional dengan pihak desa sehingga peralihan kepemilikan tanah tidak terpantau oleh desa. Demikian pula pihak desa tidak dapat ikut mengendalikan perubahan penggunaan tanah dari tanah sawah ke bangunan rumah/villa, karena tidak memproleh tembusan IMBnya.
¾
Dalam rangka pengelolaan dan pelayanan pertanahan, termasuk mengurangi kemungkinan terjadinya sengketa pertanahan, BPN c/q Kantor Pertanahan perlu bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten melakukan penataan administrasi pertanahan di Kantor Desa, sehingga dapat tercatat dengan baik jenisnya, kelengkapannya, bentuknya standar, dan pemeliharaannya teratur.
¾
Pembinaan administrasi pertanahan di Kantor Desa oleh Kantor Pertanahan bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten dapat dilakukan secara bertahap dengan langkah-langkah sebagai berikut (1) menyusun contoh profil pertanahan di desa yang berisi data fisik tanah, data penggunaan dan pemanfaatan tanah, data penguasaan kepemilikan tanah serta data pendudkung lainnya dalam bentuk tekstual, tabel dan peta, (2) melakukan sosialisasi di desa dalam rangka melengkapi dan melakukan standarisasi data oertanahan serta pemeliharaannya.
Sampai saat kini belum ada peraturan daerah atau peraturan desa yang mengatur penataan administrasi pertanahan di desa. Karena itu pihak desa hanya dapat penataan dengan melakukan koordonasi dengan instansi terkait. Sebagai contoh dalam hal penarikan pajak PBB atas tanah sawah dan tanah pekarangan, pihak desa melakukan koordinasi dengan para Pekaseh.dan Kepala Banjar yang
mendapat tugas dari KP-PBB. Demikian pula dalam hal program sertipikasi tanah secara massal melalui PRONA, pihak desa melakukan koordinasi dengan Kantor Pertanahan serta para Pekaseh. Pada saat ini Kantor Pertanahan Kabupaten Badung sedang mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten melalui BAPEDA Kabupaten Badung untuk melakukan pendataan bidang demi bidang tanah di daerah SEMIGITA (Kuta). Melaui kegiataan tersebut akan dikembangkan model penataan administrasi pertanahan di desa. 2.
Pembangunan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan/Agraria
Penyelenggaraan pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan dengan prinsip good governance. Institusi dari governance mencakup tiga domain, yaitu State (negara atau pemerintahan), Private Sector (sektor swasta dan dunia usaha), dan Society (masyarakat) yang saling berinteraksi dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif serta sebagai fasilitator dan motivator, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan serta mendorong pembangunan ekonomi, sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik, termasuk mengajak kelompok-kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik . Pelayanan pertanahan yang merupakan bagian dari pemerintahan, tidak lepas dari upaya memenuhi prinsip good governance melalui hirarki organisasi sesuai dengan fungsi meliputi kebijakan, pengaturan, koordinasi, pengendalian, pembinaan dan pengawasan. Good land governance meliputi penetapan kebijakan politik yaitu proses pembuatan keputusan untuk memformulasikan kebijakan pertanahan (land policy) serta kebijakan administrasi untuk mengimplementasikan proses kebijakan tersebut. Dalam kaitannya dengan tanah pada hakekatnya bukan sekedar sebagai sumberdaya alam, tetapi adalah kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia milik Bangsa yang merupakan kedaulatan Negara. Berkaitan dengan pelaksanaan good land governance di bidang pelayanan pertanahan, telah ditetapkan Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Efisiensi Peningkatan Pelayanan Di Bidang Pertanahan (selanjutnya Inmenag 3/98) yang intinya mengatur ketentuan percepatan pelayanan pertanahan kepada masyarakat melalui standarisasi prosedur, jangka waktu dan biaya pelayanan pertanahan. Adapun proses pelayanan dimaksud dilaksanakan dengan menggunakan sistem loket, yang terdiri dari Loket I yang berfungsi pemberian informasi, Loket II yang berfungsi untuk pendaftaran permohonan dari masyarakat, Loket III berfungsi untuk pembukuan dan Loket IV berfungsi untuk penyerahan produk. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2005 telah ditetapkan Standar Prosedur Operasional Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) yang intinya mengatur ketentuan persyaratan permohonan, prosedur (alur pelayanan), biaya serta jangka waktu penyelesaian pelayanan pertanahan. Untuk mendukung good land governance itulah diperlukan dukungan Sistem Informasi Pertanahan dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS). Pembangunan SIMTANAS itu juga telah ditetapkan dalam Keppres No 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional Bidang Pertanahan, yang intinya perlu segera diadakan penyempurnaan UUPA dan peraturan perundangan lainnya serta mengembangkan SIMTANAS. Sebagaimana ditetapkan dalam Keppres No 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional Bidang Pertanahan pada ayat 1 huruf b menugaskan pada BPN untuk membangun dan mengembangkan Sistem Informasi Pertanahan dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS), yang meliputi: (1) sub sistem Aset Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, (2) sub sistem fisik kadasteral, (3) sub sistem legal kadasteral dan (4) sub sistem pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Manfaat dengan terbentuknya SIMTANAS itu, antara lain: (1) terbentuknya Pusat Informasi Pertanahan Nasional dalam rangka mendukung peran BPN menerapkan e-government, e-commerce dan e-payment di bidang pertanahan., (2) trsedianya data dan informasi P4T, (3) mmpercepat pelayanan di bidang pertanahan dan mengurangi timbulnya sengketa pertanahan dan (4) mmbantu pemerintah dalam peningkatan pendapatan Negara melalu pengenaan BPHTB
BPN BPN
DATA SPASIAL BIDANG TANAH •
PENDAFTA RA N TA NA H DILAK UKAN DISELURUH WILAYAH INDONESIA (BE RBASIS BIDA NG TANA H) •
HUTAN
TERMASUK YAN G DIGUNAK AN UNTUK KEHUTAN AN, TAMB ANG, DLL (DENG AN SESU ATU H AK ATAU TID AK)
TAMBANG
REL KA PABRIK
PERUMAHAN OFFSHORE
T UNNEL
BPN BPN
PETA DATA SPASIAL BIDANG TANAH
Adapun pembangunan SIMTANAS itu meliputi: a. Penyusunan Basis Data Tanah-tanah Aset Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah yang terdiri dari: (1) inventarisasi aset Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Perwakilan Negara Asing serta (2) Pembangunan data base aset digital yang memuat informasi data penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta data lokasi bidang tanah, identitas bidang, luas, jenis hak, NOP, NJOP,IMB, Foto Bangunan, perubahan data pemilikan dan sebagainya. b.
Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah, yang dihubungkan dengan e-government, e-commerce dan e-payment. Penyusunan basis data pertanahan digital, meliputi: (i) data tekstual penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, status hak atas tanah dan catatan perubahan data serta (ii) data spasial peta, NIB, luas, letak bidang tanah Penyusunan aplikasi data textual spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah, meliputi: (i) pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah, (ii) pendaftaran hak dan pemeliharaan data, (iii) pemberian surat-surat tanda bukti hak, (iv) early warning system (sengketa tanah, pemblokiran, dan berakhirnya hak atas tanah), simulasi perencanaan tata kota/pembebasan tanah. Pembangunan Aplikasi Layanan Informasi Pertanahan melalui media elektronik (e-government, e-commerce dan e-payment), antara lain: (i) informasi umum BPN, (ii) layanan informasi aset, kepemilikan bidang tanah, status berkas permohonan dsb.
c.
Pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi P4T dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah. Pemetaan Kadasteral digital dengan menggunakan teknologi Pemotretan Udara dan Citra Satelit di beberapa daerah, dengan cakupan: (i) titik ground kontrol dengan menggunakan GPS, (ii) peta pendaftaran tanah, (iii) batas administrasi pemerintahan, batas kawasan penggunaan tanah,dan sebagainya. Pemanfaatan peta kadasteral untuk: (i) pengaturan P4T, (ii) perencanaan dan implementasi kebijakan nasional di bidang land reform (tanah absentee dan kelebihan luas maksimum), percepatan pemberian hak atas tanah dan sebagainya.
d.
Pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui sistem informasi geografi (SIG), untuk mendukung: (a) perencanaan penatagunaan tanah berdasarkan penggunaan dan pemanfaatan tanah, (b) pemantauan penggunaan dan pemanfaatan tanah, (c) early warning system dalam pengendalian perubahan penggunaan tanah dan (d) penetapan zona sawah beririgasi dan tanah-tanah produktif lainnya, dalam rangka ketahanan pangan nasional.
Dalam rangka percepatan SIMTANAS telah dilakukan komputerisasi kegiatan Kantor Pertanahan melalui program Land Office Computerisation (LOC) dan percepatan pemetaan kadasteral dan pendaftaran tanah sistematik melalui Land Manajemen and Po;icy Development Program (LMPDP).Selanjutnya untuk menjamin keberhasilan implementasi kebijakan pertanahan nasional, BPN telah menetapkan langkah kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait seperti Ditjen Pajak Departemen Keuangan, Pemerintah Daerah, BAKOSURTANAL. Departemen KIMPRASWIL dan sebagainya.
BPN BPN
SIMTANAS PENDAFTARAN TANAH PASAL 19 UUPA FISIK KADASTER
PERPE TA AN PE MBU KUA N
GU/SU PENGUKURAN
TAN AH
DTK PBB PLL, DLL.
NIB
E – COM E – GOV E - PAY PENDAFTARAN HAK DAN PENDAFTARAN PERALIHAN HAK
PEMBERIAN SURAT TANDA
LEGAL
KADASTER
BUKTI HAK (BUKU TANAH) HM, HGB, HP, HGU
SISTIM INFORMASI PERTANAHAN
PPAT Provider
BPN BPN
PELAYANAN PERTANAHAN PENGUKURAN (AZAS SPESIALITAS)
BID. TANAH
NIB
PETA PENDAFTARAN DAFTAR TANAH SK PEMBERIAN HAK SK PENGAKUAN HAK KONVERSI HAK BPHTB PENDAFTARAN HAK
DIBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
BIDANG TANAH NIB + HAK DIPECAH/DIGABUNG
DIALIHKAN DIWARISKAN
HMSRS
3.
Pembangunan Teknologi Informasi Bidang Pertanahan
Perkembangan Teknologi Informasi klim globalisasi yang melanda dunia bisnis dan pemerintahan dewasa ini telah mendorong berpacunya kegiatan produksi dan pelayanan yang semakin kompetetif. Di bidang pertanahan telah ditetapkan kebijakan nasional yang menetapkan teknologi informasi sebagai sarana pendukung dalam mewujudkan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran takyat yang berkeadilan. Untuk itu diperlukan SIMTANAS yang operasionalisasinya dikembangkan dalam sistem e-government, e-commerce dan e-payment di bidang pertanahan. Penggunaan teknologi modern di bidang pertanahan merupakan upaya penting untuk meningkatkan kinerja pelayanan pertanahan. Teknologi tidak hanya berkaitan dengan peralatan elektronik seperti komputer, tetapi juga penguasaan metode ilmiah yang dapat mempercepat penyelesaian pekerjaan, menurunkan biaya dan menaikkan kualitas (Tan Sri Dato’ Sri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid, 1991: 9). Secara umum teknologi merupakan penerapan dari pengembangan sesuatu agar menghasilkan nilai tambah dalam bentuk kuantitas, kualitas, waktu dan keakurasian suatu produk. Dikaitkan dengan manajemen organisasi pertanahan, penerapan teknologi dapat berupa program otomasi yang mendasarkan program komputer dapat secara langsung mengoperasikan sistem informasi untuk tujuan perencanaan, keuangan, pengawasan keuangan, pemeliharaan dan sebagainya. Sistem informasi disebut juga teknologi informasi. Pengertian teknologi informasi sering digunakan dalam konteks yang berbeda. Massachusset Institute of Technology (MIT) mendefinisikan teknologi informasi sebagai suatu sistem yang meliputi enam komponen saling terkait dan terintegrasi, terdiri dari: (1) perangkat keras, (2) perangkat lunak, (3) jaringan, (4) simpul kegiatan, (5) mesin otomasi dan (6) sistem analisis. Nolan dan Crosson (1995) mengutarakan bahwa teknologi informasi menggunakan dua elemen yaitu komputerisasi dan jaringan kerja. Sejarah perkembangan teknologi informasi, sebagaimana diutarakan oleh Nolan bersama-sama dengan Bradley (1883) dan Croisson (1995), dalam “ Stage Theory”, pada intinya menyatakan ada tiga tahapan pengembangan teknologi informasi, yaitu Era DP (Data Processing), Era Micro (Informasi) dan Era Network (jaringan). Tahapan dimuali pada awal 1960-an dan masing-masing tahap berlangsung 15 – 20 tahun. Antara tahap saru dengan lainnya berkembang seperti huruf S dan saling melingkup seperti disajikan pada Gambat 1. Era DP berlangsung kira-kira tahun 1960 – 1980 an. Paradigma yang dikembangkan adalah “otomasi”. Komputer digunakan untuk membuat organisasi lebih efisien yaitu mengefisiensikan proses dan prosedur. Di tingkat bawah otomasi otomasi ini telah mengurangi penggunaan 20-30 % pekerja sehingga struktur biaya menjadi lebih rendah. Era mikro berlangsung kira-kira tahun 1975 sampai 1995-an. Paradigma baru dikenalkan melalui “ informate”. Tujuan informating berbeda dengan otomasi dan tidak mengganti professional dengan komputing, tetapi untuk menolong cara kerja lebih profesional. Perkembangan mikrokomputer dengan berbagai program terapan untuk mengolah dan menganalisis data telah memacu para profesional tanpa ketergantungan dengan para programer. Maka terjadi restrukturisasi organisasi yang berakibat pengurangan pegawai di tingkat menengah yang tidak mampu bekerja secara profesional memanfaatkan data, mengolah dan menganalisis membentuk suatu informasi sebagai bahan pengambilan keputusan organisasi. Era network (jaringan) berkembang sejak tahun 1990-an. Paradigma dikenalkan melalui program Local Area Network (LAN) yang memungkinkan kelompok profesional menjalin informasi dengan kelompok profesional lain yang terpisah secara geografis melalui work-station mereka. LAN ini telah berkembang sedemikian pesatnya seiring dengan globalisasi di bidang teknologi informasi khususnya ‘web-site” . Diskusi dan seminar dapat dilakukan melalui media elektronik, intra dan ekstra-net yang dikenal dengan istilah “ tele conference” . Jaringan komputer elektronik yang terintegrasi dan saling terkait mempunyai dampak besar terhadap kinerja organisasi yang lebih produktif dan memperluas jaringan kerja dengan para pelanggan dan mitra kerjanya.
Teknologi informasi dibutuhkan dalam upaya meningkatkan volume produk pelayanan sehingga menghasilkan kinerja organisasi yang semakin efisien dan berkualitas. Penelitian MIT menghasilkan enam temuan penting dalam meningkatkan kinerja organisasi, yaitu: (1) mampu merubah cara orang bekerja untuk menghasilkan produksi fisik, pekerjaan koordinatif maupun pekerjaan manajerial, (2) mampu mengintegrasikan kegiatan pelayanan di semua tingkat dalam dan antar organisasi, (3) mampu mencapai keunggulan kompetitif suatu organisasi, (4) mampu menawarkan strategi baru untuk organisasi yang bersedia mengkaji ulang misi dan operasinya, (5) mampu menciptakan proses baru dalam memajukan organisasi dan (6) mampu membantu pengembangan kepemimpinan transformasional yang membutuhkan perubahan organisasi dalam menghadapi globalisasi (Risnarto, 1999:I-6). Pemanfaatan teknologi informasi tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan. Hal itu disebabkan antara lain data yang tidak valid, karyawan kurang mampu mengoperasikan, kurang pemeliharaan serta kurang mengikuti perkembangan kemajuan teknologi. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi informasi perlu memperhatikan updating soft-ware dan hard-ware serta upgrading operator sesuai dengan cara operasinya. Berkaitan dengan cara operasinya, penggunaan teknologi informasi dalam organisasi, perlu memperhatikan: (1) kesesuaian jenis teknologi dengan sifat pekerjaan, (2) kemampuan untuk mengoperasikan teknologi, serta (3) pemeliharaan dan pembaruan perangkat keras dan perangkat lunaknya agar senantiasa mengikuti perkembangan. Sehubungan dengan itu, kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk mempercepat tugas dan kemauan untuk meningkatkan penguasaan teknologi informasi merupakan unsur penting untuk meningkatkan produk suatu organisasi.
“
duniaku adalah sebatas kemampuan berbahasaku, dengan memahami bahasa teknologi informasi itulah aku memperluas duniaku”