ANALISIS MANAJEMEN AGRARIA INDONESIA
DR. RISNARTO MS
PROGRAM PASCASARJANA- MANAJEMEN DAN BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
1
2
BAGIAN KESATU PERSPEKTIF MANAJEMEN AGRARIA
1. Konsepsi Mengenai Agraria 2. Konsepsi Manajemen Agraria
3
1 Konsepsi Mengenai Agraria 1. Pengertian Umum Pengertian agraria secara umum tertuang dalam berbagai kamus bahasa, yang berasal dari bahasa latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Selanjutnya Kamus Latin Indonesia (Prent K.Adisubrata .J Poerwadarminta,W.J.S., 1960) menyebutkan bahwa Agrarius diartikan sebagai perladangan, persawahan, pertanian. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Depdiknas,Balai Pustaka.1999), agraria diartikan urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Dalam bahasa Inggris agraria diartikan sebagai tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian (Black’s Law Dictionary, 1983). Lebih lanjut disebutkan agraria law merujuk pada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya. Di lingkungan administrasi pemerintahan, pengertian agraria digunakan dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non-pertanian (Boedi Harsono,1999). Lingkup pengertian itu bukan dalam arti pisik, namun dalam lingkup pengaturan perangkat perundang-undangan yang memberikan landasan kebijakan di bidang pertanahan sebagai bagian dari hukum administrasi negara. Instansi yang mengurusi bidang pertanahan dikenal sebagai instansi Agraria atau Pertanahan. Lembaga yang mengurusi bidang agraria/pertanahan itu, berubah-ubah. Mulai dari Bagian Agraria pada Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Agraria, Departemen Agraria, Departemen Pertanian dan Agraria, Direktorat Jenderal Agraria pada Departemen Dalam Negeri (1972-1988), Badan Pertanahan Nasional (1988-1993), Kementrian Agraria/Badan Pertanahan Nasional (1993-2000), Badan Pertanahan Nasional (2000-sekarang). Walaupun nama lembaga berubah-ubah, namun kewenangan yang diurusi relatif tidak berbeda. Kalaupun menjadi setingkat Departemen atau Kementrian lebih merujuk pada perluasan kewenangan mengkoordinasi instansi lain di bidang agraria. 2.
Pengertian Agraria dalam UUPA
Pengertian agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria yang dikenal dengan istilah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) digunakan dalam arti yang luas, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang kemudian menjadi kebijakan dasar pertanahan, menyatakan bahwa “ bumi, air, ruang angkasa beserta segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal 1 ayat (2) UUPA, menyatakan bahwa “ bumi, air, ruang angkasa beserta segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Selanjutnya pada ayat (4), dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Pada ayat (5), dalam pengertian air, termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. Pada ayat (6), yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan ayat (5). Secara skematis ruang lingkup agraria disajikan pada Gambar-1 berikut ini.
4
Bumi (1) Agraria (Pasal -1)
Air (2)
Ruang Angkasa (3)
---Æ Permukaan disebut tanah (1A) ---Æ Tubuh bumi di bawahnya (1B) --Æ Tubuh bumi di bawah air (1C) ---Æ Perairan Pedalaman ---Æ Laut .---Æ Ruang di atas Bumi ---Æ Ruang di atas Air
(2A) (2B) (3A) (3B)
Gambar-1: Ruang Lingkup Pengertian Agraria
Dari pengertian dasar tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa pengertian agraria itu meliputi bumi, air dan ruang angkasa. Ruang lingkup bumi, sesuai Pasal 1 ayat (4) jo Pasal 4 ayat(1), meliputi permukaan bumi yang disebut tanah, tubuh bumi di bawahnya serta tubuh bumi yang berada di bawah air. Mengacu pada pengertian ini, maka yang disebut “tanah” meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut. Sehubungan itu, bumi meliputi juga apa yang dikenal sebagai Landas Kontinen Indonesia (LKI). LKI merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU Perairan), sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di LKI tersebut serta pemilikannya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, ada pada Negara Republik Indonesia. Pengertian air, meliputi perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. Dalam konteks ini dikenal apa yang disebut Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zone Ekonomi Ekslusif, dinyatakan bahwa hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas segala sumberdaya alam hayati dan non-hayati yang terdapat di dasar laut serta tubuh bumi di bawahnya dan air di atasnya ada pada Negara republik Indonesia. Pengertian ruang angkasa sebagaimana tertuang dalam Pasal 48 ayat (1) UUPA yang intinya menyatakan bahwa ruang angkasa meliputi ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu. Pengertian agraria menurut UUPA tersebut di atas dapat dikatakan dalam arti sempit adalah permukaan bumi yang disebut tanah. Sedangkan dalam arti luas meliputi bumi, air dan ruang angkasa. Pengertian agraria dalam arti luas, pada hakikatnya tidak berbeda dengan pengertian ruang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Dalam Pasal 1 angka 1 UUPR dinyatakan bahwa “ ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”. 3.
Agraria sebagai Sumberdaya Kekayaan Alam
Konsep tentang sumberdaya telah banyak diungkapkan di berbagai literatur dan kamus bahasa. Dalam tulisan ini sumberdaya secara umum diartikan sebagai faktor produksi yang digunakan atau dimanfaatkan oleh manusia untuk menghasilkan barang atau jasa, berupa modal bergerak maupun modal tak bergerak. baik yang konkrit maupun yang abstrak dengan tujuan untuk
5
memenuhi keperluan hidup. Dengan mendasarkan pada pengertian itu, dapat dipilah pengertian tentang sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Sumberdaya alam dapat diartikan segala sesuatu yang tersedia di alam atau merupakan kekayaan alam yang dimanfaatkan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat menguntungkan umat manusia. Sedangkan sumberdaya manusia adalah semua orang yang terdapat dalam suatu masyarakat yang siap bekerja secara pisik maupun pikiran di berbagai lapangan usaha di pedesaan maupun perkotaan. Sumberdaya agraria meliputi tubuh bumi (yang disebut tanah), air dan ruang angkasa. Dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa itu terkandung kekayaan alam yang dapat disebut sumberdaya alam. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan dinyatakan bahwa kekayaan alam dalam tubuh bumi disebut bahan-bahan galian, yaitu unsure-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan–batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Kekayaan alam yang terkandung di dalam air menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia Kekayaan alam yang terkandung di dalam ruang angkasa adalah tenaga/energi dan unsur-unsur yang dapat digunakan sebagai faktor produksi.
4.
Ruang Lingkup Agraria
Berdasarkan pengertian, uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa ruang lingkup agraria dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu aspek lapangan usaha atau bidang profesi terkait pertanian, aspek politik kebijakan dan pengaturan pemerintah mengenai sumberdaya agraria dalam arti sempit maupun arti luas, maupun aspek keilmuan dan pengetahuan mengenai keagrariaan lihat Gambar 2). Sebagai bidang profesi, agraria dalam arti luas, merupakan lapangan usaha yang menggunakan dan memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk usaha di bidang pertanian umum di daerah pedesaan (seperti pertanian pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan dan kehutanan). Lapangan usaha pertanahan/agraria dewasa ini bahkan juga diartikan mencakup lapangan usaha pembangunan kawasan industri dan perkotaan (seperti industrial estate, real-estate, urban development estate dan sebagainya). Profesi ini merupakan lapangan usaha umum yang memerlukan keahlian khusus sesuai dengan karakteristik usahanya. Sedangkan dalam arti sempit merupakan lapangan usaha yang berkaitan dengan produk barang atau jasa pejabat publik, yaitu pegawai di instansi pertanahan/agraria, PPAT, Surveyor Berlisensi, Penilai Aset Tanah (land-valuer ) dan Pejabat Pemeta Tanah (land mapper). Dewasa ini yang masih dalam wacana adalah Pejabat Penunjuk Batas Tanah (land fix-border). Sebagai politik kebijakan pemerintah, agraria merupakan kebijakan dan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut melalui proses perencanaan, pelaksanaan pelayanan serta pengawasan dan pengendalian dalam suatu sistem administrasi pemerintahan. Sebagai bidang keilmuan, merupakan suatu pengetahuan mengenai kegiatan manusia di lapangan usaha agraria yang dilaksanakan dengan tata cara tertentu yang akhirnya menjadi suatu pengetahuan agraria yang teratur dan sistimatis. Dalam lingkup UUPA, agraria dapat dipandang sebagai bidang keilmuan agraria/pertanahan yang mempelajari agraria/pertanahan dari sudut pandang politik dan kebijakan, hukum, sosial, ekonomi adat/budaya, geodesi, geografi dan manajemen. 5.
Kompetensi Agraria Sebagai Sub Bidang Keilmuan
Kebutuhan agraria sebagai lapangan usaha, politik dan kebijakan maupun sebagai bidang keilmuan dengan sendirinya membutuhkan kompetensi sumberdaya manusia yang didukung dengan program pendidikan keahlian yang sesuai untuk itu, yang dikembangkan melalui . program pendidikan umum maupun program pendidikan yang dikembangkan instansinya.
6
Berkaitan dengan UUPA, pendidikan umum agraria lebih banyak dikembangkan sebagai hukum agraria di Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Pengertian agraria sangat luas, maka hukum agraria yang dikembangkan bukan hanya merupakan perangkat bidang hukum, tetapi merupakan kelompok bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumberdaya alam tertentu (Boedi Harsono, 1999). Kelompok itu terdiri atas: a. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air c. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan d. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air e. Hukum Kehutanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan yang dimaksud oleh UU Pokok Kehutanan f. Hukum-hukum untuk mendukung pelaksanaan tugas sektoral lainnya, seperti Hukum Transmigrasi, Hukum Lingkungan Hidup, Hukum Tata Ruang, Hukum Perkebunan, Hukum Kelautan dan Perikanan dan sebagainya Pendidikan keahlian untuk mendukung profesi para pegawai di lingkungan instansi agraria pada awalnya (sekitar tahun 1964-an) dilaksanakan melalui Akademi Agraria dan Akademi Tata Guna Tanah di Yogyakarta serta Akademi Pendaftaran Tanah di Semarang, dengan gelar Sarjana Muda (BSc dan BA). Lulusan akademi ini, sejak tahun 1975 memperoleh kesempatan menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana di Institut Ilmu Pemerintahan Jurusan Agraria. Selanjutnya pada tahun 1988 dengan berpisahnya Direktorat Jenderal Agraria dari Departemen Dalam Negeri menjadi Badan Pertanahan Nasional, sekitar tahun 1990-an dibentuk Akademi Pertanahan Nasional (APTN) yang menghasilkan lulusan setingkat D-3. Selanjutnya pada tahun 1994 ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) yang menghasilkan lulusan setingkat D-4 dengan gelar Ahli Pertanahan. Saat ini STPN tersebut disetarakan dengan pendidikan sarjana dengan gelar SSiT. Pendidikan lain untuk mendukung profesi tertentu seperti PPAT, masih dilaksanakan oleh pendidikan umum, yaitu jurusan Notariat pada fakultas Hukum. .Demikian pula Surveyor Berlisensi yang menghasilkan juru ukur pada strata D-1, dilaksanakan di beberapa perguruan tinggi negeri seperti UGM, ITB, IPB, dan juga di STPN. Selanjutnya sinergi antara profesi pertanahan/keagrariaan dalam arti sempit dan dalam arti luas, telah membuka lapangan usaha baru yang memerlukan keahlian tertentu yang lebih spesifik seperti ahli perencana tata guna tanah pedesaan atau perkotaan, ahli konsolidasi penguasaan pemilikan tanah daerah perkotaan, ahli hukum pertanahan Satuan Rumah Susun dan sebagainya. Keahlian ini didukung dengan pendidikan tertentu yang lebih spesifik pula,yang dilaksanakan oleh pendidikan umum negeri maupun swasta. Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa keberadaan pendidikan tinggi yang mendukung profesi pertanahan/keagrariaan yang lebih luas dibandingkan dengan profesi saat ini diperlukan secara profesional melalui peningkatan pendidikan magister manajemen agraria.
7
Pengaturan penguasaan pemilikan penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria Politik - Kebijakan Proses perencanaan, pelaksanaan pelayanan serta pengawasan sumberdaya agraria
Sempit (Pegawai BPN, PPAT, Surveyor berlisensi, Penilai tanah, Pemeta tanah, Penunjuk batas tanah) Profesi Manajemen
Luas
Agraria
(Pertanian pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, kehutanan, periakanan, tambak) Properti (Industrial estate, real estate, urban development estate)
Kegiatan manusia Keilmuan
Tata cara tertentu Pengetahuan ilmiah
Gambar 2. Perspektif Manajemen Agraria
9
2 Konsepsi Manajemen Agraria 1.
Pengertian Umum Manajemen Agraria
Manajemen atau bahasa Inggris “management” merupakan istilah lain yang digunakan untuk istilah pengelolaan yang secara umum berarti kegiatan untuk mengendalikan sesuatu agar mencapai sasaran yang paling menguntungkan. Pengertian paling menguntungkan sering diistilahkan efisien (berhasil guna) dan efektif (berdaya guna). Maka efisien mengacu kepada "done things right” atau kegiatan mencapai hasil yang benar sedangkan efektif mengacu kepada “done right things” atau kegiatan mencapai sasaran yang tepat Menurut Jujun Soeriasumantri (2005:27), manajemen pada hakikatnya bertujuan menelaah kerjasama antarsesama manusia untuk mencapai tujuan yang disetujui bersama. Dari segi ilmu pengetahuan, dapat dikatakan manajemen agraria itu merupakan pengetahuan yang teratur dan sisitimatis untuk mengatur orang-orang dalam berbagai kegiatan agraria untuk tujuan yang memberi manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat kegiatan agraria itu juga dipandang sebagai politik kebijakan dan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut melalui proses perencanaan, pelaksanaan pelayanan serta pengawasan dan pengendalian dalam suatu sistem administrasi pemerintahan, maka manajemen agraria secara umum merupakan suatu kegiatan untuk mengendalikan penguasaan dan peruntukan tanah serta penggunaannya agar memberi manfaat yang sebesarbesarnya bagi kemakmuran masyarakat. Pengertian ini memang belum baku, sebab sampai saat ini belum ada acuan yang jelas tentang pengertian dan konsep manajemen agraria. Jika mendasarkan pada pengertian manajemen pertanahan, terdapat dua acuan secara kelembagaan Badan Pertanahan Nasional dan pengertian menurut PBB. Secara kelembagaan, pada tahun 1988, Direktorat Jenderal Agraria pada Departemen Dalam Negeri diubah menjadi Badan Pertanahan Nasional. Dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional Pasal 2 dinyatakan bahwa : “Badan Pertanahan Nasional bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria maupun Peraturan Perundang-undangan lain yang meliputi pengaturan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, pengurusan hak-hak tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden”. Pengertian menurut “Land Administration Guide Lines” sebuah publikasi Perserikatan BangsaBangsa (PBB) tentang manajemen pertanahan dimaksudkan sebagai berikut : "The Procces by which the resources of land are put so good effect, which covers all activities concerned with the management of land as resources both from an environmental and from economic perspectives”. Atau “proses untuk memanfaatkan sumberdaya tanah dengan baik meliputi semua kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan tanah sebagai sumberdaya, dalam perspektif lingkungan maupun dalam perspektif ekonomi.
10
Termasuk dalam kegiatan manajemen pertanahan adalah penyelenggaraan pemanfaatan penguasaan tanah atau “land reform” serta penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan penatagunaan tanah “the formation and implementation of land use policies”. Acuan mengenai lingkup manajemen agraria dapat ditemukan pada Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993, yang mana Badan Pertanahan Nasional ditingkatkan organisasinya menjadi Kementrian Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional, dengan tugas yang dinyatakan. “ Menteri Negara Agraria bertugas pokok menangani hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan dan menyelenggarakan fungsi: ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾
mengkoordinasi perumusan kebijaksanaan Pemerintah di bidang keagrariaan merencanakan pelaksanaan kebijaksanaan dalam rangka penyusunan program keagrariaan mengkoordinasi kegiatan sseluruh Instansi Pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka pelaksanaan program Pemerintah secara menyeluruh meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang keagrariaan mengkoordinasi kegiatan operasional Badan Pertanahan Nasional mengkoordinasi kegiatan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional sejauh menyangkut pemetaan tanah menyampaikan laporan, bahan keterangan serta saran dan pertimbangan di bidang tugas dan tanggung jawabnya kepada Presiden.
Tugas-tugas di atas pada hakikatnya manyangkut fungsi-fungsi manajemen. Meskipun pengertian tentang manajemen agraria belum dibakukan, namun konsep tersebut sekurang-kurangnya mengandung prinsip-prinsip dasar yang perlu dikembangkan. Manajemen agraria mengandung prinsip pengaturan atau kebijaksanaan (Politik Agraria/Pertanahan) yang muatannya terkandung dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya. Terdapat lima prinsip dasar dalam pengelolaan pertanahan, yaitu (a) prinsip keterpaduan antar bidang kegiatan; (b) prinsip manfaat dan prioritas daerah dalam lingkup nasional.(c) prinsip profesionalisme dan (d) prinsip kepastian dapat memberikan kepastian pelayanan dalam mengadministrasi pertanahan, serta (e) mampu menjamin kesinambungan pembangunan Daerah Kabupaten/Kota, Daerah Propinsi dan Pembangunan Nasional (Risnarto, 1999). 2.
Administrasi Agraria/Pertanahan.
Sebagaimana manajemen pertanahan, administrator pertanahan juga belum memperoleh pengertian khusus. Pengertian tentang administrasi pertanahan menurut guideline PBB, dinyatakan: "The process of recording and information about the ownwership value and use of land and its associated resources”. Atau “proses-proses pencatatan dan diseminasi tentang nilai kepemilikan dan penggunaan tanah serta sumberdaya yang terkait dengannya." Ruang lingkup nilai kepemilikan dan penggunaan tanah serta sumberdaya yang terkait dengannya antara lain meliputi akuntabilitas, transparansi, distribusi dan intensitasnya, Sebagaimana halnya dengan manajemen agraria, administrasi agraria/ pertanahan juga mengandung prinsip dan strategi manajemen yaitu dengan cara (i) menginventaris/ mencatat/mendata, merencanakan dan merumuskan kebijakan yang akan ditempuh, (ii) melaksanakan kebijakan operasionalnya serta (iii) mengendalikan, memonitor dan mengevaluasi
11
atau melaksanakan kebijakan tersebut. Pelaksanaan strategi tersebut berbeda dengan lain, sesuai dengan kondisi lingkungan fisik, sosial ekonomi dan budaya. 3.
daerah satu
Manajemen Agraria, Sarana Penyelenggaraan Asas Kepemerintahan Yang baik
Berdasarkan uraian di atas, manajemen agraria secara umum merupakan suatu kegiatan untuk mengendalikan penguasaan dan peruntukan tanah serta penggunaannya agar memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat. Kemakmuran itu, dengan sendirinya akan dapat diselenggarakan apabila tanah dapat memberikan nilai tambah atau hasil atau produksi. Pengertian nilai tambah atau hasil atau produksi, dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya mencerminkan wujud peranan dari berbagai faktor dalam suatu proses pada kurun waktu tertentu, yang menunjukkan adanya hubungan kausal antara produksi dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kekuatan faktor-faktor menghasilkan produksi itu disebut produktivitas (dalam bahasa Inggris productivity, Woyowasito,1977). Word Book Dictionary, Volume 2 Tahun 1963 menjelaskan bahwa pengertian produktivitas adalah kemampuan memproduksi. Penyelenggaraan bidang agraria dapat dipandang sebagai penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang berkaitan dengan organisasi publik yang memerlukan asas kepemerintahan yang baik (good governance) . Konsep kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu pokok dewasa ini dalam pengelolaan administrasi publik untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Ditinjau dari aspek fungsional, good governance menunjukkan apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu (1) menyelenggarakan pemerintahan, (2) mengatur ketertiban umum dan keamanan, serta (3) mewujudkan kesejahteraan rakyat. Arti good dalam good governance mengandung dua pengertian : (1) mengenai nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial, dan (2) mengenai aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Bintoro T, (2000:25-28) berpendapat tentang good governance yang intinya menyatakan bahwa clean governance adalah bagian dari good governance, sedangkan good governance itu sendiri suatu kondisi di mana birokrasi berperan enabling dan empowering yang bukan membebani dengan bureaucratic cost. Adapun unsur-unsur utama good governance menurut pendapatnya meliputi (i) akuntabilitas, (2) transparansi, dan (3) rule of law. Dengan demikian penyelenggaraan good governance tergantung pada sejauh mana pemerintahan mempunyai kompetensi, dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik serta administrasi negara berfungsi secara efektif dan efisien dalam melayani kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan good land governance, maka penyelenggaraan manajemen agraria merupakan hal yang menentukan dalam pelayanan kepada masyarakat. Dalam hubungannya dengan produktivitas organisasi publik, Hamid (1991:2) merumuskan konsep produktivitas secara mendasar dalam Guideline Productivity Improvement in the Public Service. Produktivitas didefinisikan sebagai nilai atau jumlah output yang dapat diproduksi oleh suatu unit input. Output mengacu pada produk atau hasil pelayanan oleh suatu organisasi publik, sedangkan input mengacu pada sumber-sumber yang menghasilkan output, antara lain sumberdaya manusia, modal, teknologi, bahan baku, peralatan, proses dan sebagainya. Selanjutnya dijelaskan bahwa produktivitas organisasi publik ditentukan oleh seperangkat faktor strategis, yaitu (1) sumberdaya manusia, (2) sistem dan prosedur, (3) struktur organisasi, (4) pola manajemen, (5) lingkungan kerja, (6) teknologi, (7) bahan baku dan (8) perlengkapan kerja. Dengan mengetahui peranan faktor-faktor itu, maka akan dapat dilakukan upaya meningkatkan produktivitas. Pola manajemen sebagai salah satu faktor yang berfungsi merumuskan rencana , tujuan serta cara mencapai tujuan memerlukan suatu kepemimpinan yang berperanan dalam proses penetapan kebijakan, perencanaan, pembiayaan, penentuan skala prioritas kerja, pengembangan sumberdaya yang dimiliki serta evaluasi kinerja organisasi. Dengan demikian
12
kepemimpinan ikut menentukan output yang diperoleh dalam suatu proses manajemen organisasi. Berbagai teori tentang kepemimpinan dikemukakan oleh para ahli, di antaranya Mintzberg, Keating, Fiedler dan Garcia, Steers, Robbins, Hersey dan Blanchard. Mintzberg (dalam Thoha, 2001:12) menjelaskan mengenai peranan kepemimpinan seorang manajer dari berbagai aspek antara lain peranan hubungan antar pribadi, berhubungan dengan informasi, serta peranan dalam pembuat keputusan. Berkaitann dengan penyelenggaraan manajemen agraria yang berfungsi menetapkan kebijakan dan pengaturan sumberdaya agraria, memerlukan pemahaman mengenai proses pengambilan keputusan terhadap yang dilakukan oleh masyarakat pada tataran lokal, maupun pemerintah daerah pada tataran regional maupun pemerintah pada tataran nasional secara seimbang dan berkeadilan yang dinamis. Konsep ini memerlukan pandangan yang terintegrasi dari berbagai fenomena teknologi-sosial ekonomi-manajerial-politik dengan berorientasi pada konsep hak asasi manusia terhadap sumberdaya agraria 4.
Konsep Agribisnis dalam Manajemen Agraria
Agribisnis sebagai sebuah sistem dan budaya dalam mengelola sumberdaya alam telah lama dikenal di Indonesia, terutama setelah diletakkannya upaya konsolidasi sektor pertanian pada awal tahun 1970-an dan dicanangkannya “revolusi hijau” pada awal tahun 1980-an, dimana kemajuan produksi akibat penerapan teknologi pangan diikuti dengan aksesibiltas sarana dan prasarana pembangunan wilayah pedesaan, termasuk aspek pemasaran dan perbankan. Secara umum konsep agribisnis sebagaimana didefinisikan oleh Bustanul Arifin, (2004) sebagai suatu rangkaian sistem usaha berbasis pertanian dan sumberdaya lain dari hulu sampai hilir. Selanjutnya dikatakan bahwa agribisnis itu, mencakup subsistem sarana produksi atau bahan baku di hulu, proses produksi biologis di tingkat bisnis atau usahatani, aktivitas transformasi berbagai fungsi bentuk (pengolahan), waktu (penyimpanan atau pengawetan), dan tempat (pergudangan) ditengah, serta pemasaran dan perdagangan di hilir; dan subsistem pendukung lain seperti jasa, permodalan, perbankan dan sebagainya (lihat Gambar 3). Sistem agribisnis dirancang sebagai sustu sistem budaya, organisasi dan manajemen untuk menghasilkan nilai tambah yang dapat didistribusikan dan dinikmati seluruh pelaku ekonomi secara fair dari petani produsen, pedagang dan konsumen dari segenap lapisan masyarakat. Membangun agribisnis di tingkat mikro memerlukan penguatan kapasitas (capacity building) petani dan pelaku usaha tani sebagai aktor terpenting dalam agribisnis. Oleh karena itu diperlukan keterpaduan antara manajemen bisnis di tingkat mikro usahatani dengan kebijakan pemerintah di tingkat makro serta terobosan strategi di tingkat entrepreuner. Kebijakan pemerintah mengenai agribisnis, telah tertuang dalam perspektif ketahanan pangan. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004) telah mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan ”pengembangan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan lokal dalam rangka menjamin ketersediaan pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani”. Amanat ini mengisyaratkan strategi pengembangan ketahanan pangan yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi (lihat Tampubolon, 2002). Pengertian berdaya saing adalah bahwa bahan pangan harus memenuhi kaidah efisiensi, sehingga usaha agribisnis itu mampu meningkatkan pendapatan petani produsen yang sekaligus terjangkau oleh konsumen. Pengertian agribisnis yang berkerakyatan dimaksudkan bahwa rumah tangga, mayoritas petani produsen dan konsumen serta kaum miskin dan tidak mampu juga menjadi sasaran pengembangan ketahanan pangan, melalui proses pengambilan keputusan yang demokratis. Berkelanjutan merujuk pada keberlanjutan dan kemampuan agribisnis untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya pangan yang semakin baik, meningkatkan pendapatan masyarakat dan rasa keadilan antar ruang/tempat dan antar waktu/generasi. Sedangkan terdesentralisasi berbasis kompetensi lokal adalah dengan pemanfaatan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.
13
Sebagaimana diketahui, dalam proses produksi, sumberdaya agraria, khususnya tanah merupakan faktor produksi sumberdaya alam yang perlu dikuasai dan dimiliki petani, di samping faktor tenaga kerja, modal dan manajemen. Dengan demikian manajemen agraria dalam konsep agribisnis merupakan sistem pemberdayaan usahatani berbasis tanah yang dikembangkan dalam suatu tipologi wilayah usahatani yang sesuai dengan agroekologi yang terintegrasi dengan pembangunan pertanian dan wilayah pedesaan. Tipologi usahatani itu dapat dikembangkan dengan pola agroforestry, pola perkebunan, pola pertanian tanah kering, pola usahatani sawah atau pola usahatani tambak/perikanan. Dalam konsep agribisnis murni, kegiatan berawal dari produksi komoditas pertanian yang di hulunya terkait dengan sarana dan prasarana sedangkan di hilir terkait dengan pengolahan dan pemasaran. Di samping itu terdapat berbagai lembaga penunjang, seperti perbankan, asuransi dan sebagainya. Keika dikaitkan dengan pengembangan konsep agribisnis dalam manajemen agraria, terdapat tiga persyaratan yang memerlukan penguatan di tingkat lokal. Pertama, penguatan akses rakyat terhadap sumberdaya agraria, utamanya tanah usaha sebagai faktor produksi yang pokok. Implikasi dari persyaratan ini adalah bahwa sumberdaya tanah harus terdistribusi secara adil ke rakyat/petani sehingga rakyat/petani memiliki tanah usaha yang cukup disertai dengan jaminan kepastian hak kepemilikan berupa sertipikat hak milik atas tanah. Kedua, penguatan akses rakyat terhadap sistem agribisnis. Implikasi dari persyaratan ini adalah bahwa sarana dan prasarana kelembagaan agribisnis harus dikembangkan secara lengkap dan terpadu di wilayah yang telah diperkuat akses rakyat terhadap sumberdaya agrarianya. Ketiga, rakyat/petani mempunyai kapasitas manajemen yang cukup untuk melaksanakan proses pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal yang berpengaruh signifiokan terhadap keberlanjutan sistem agribisnis. Pemasaran
Perbankan
Pelayanan Pengolahan (Agroindustri)
Penyimpanan
Penelitian
Asuransi
Penyuluhan
Angkutan
Pengaturan
Dan lain-lain
Produksi Komoditas Pertanian
Kebijakan
Pengadaan dan Penyaluran Sarana Produksi Alat-alat dan Mesin Pertanian
Gambar 3. Sistem Agribisnis
14
BAGIAN KEDUA TANAH: SUMBERDAYA STRATEGIS
3. 4. 5. 6.
Tanah dalam Dimensi Agraria Kebijakan Pertanahan Nasional Neraca Sumberdaya Tanah Akses Sumberdaya Agraria dan Kemiskinan Struktural 7. Hak Asasi Manusia Terhadap Akses Agraria
15
3 Tanah Dalam Dimensi Agraria 1.
Persepsi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Tanah
Tanah yang seperti tampak sehari-hari sebagai hamparan atau bidang mempunyai pengertian yang berbeda-beda bagi orang atau masyarakat satu dengan orang atau masyarakat lain, tergantung dari sudut pandang atau kepentingannya terhadap sumberdaya tersebut. Pengertian yang berbeda akan mendorong cara memperlakukan tanah yang berbeda sehingga menimbulkan dampak yang berbeda pula. Sejarah mencatat bahwa kepentingan manusia terhadap tanah bersifat universal. Bahkan sampai abad ke 21 tanah masih menjadi ruang kehidupan seluruh bangsa di dunia yang belum dapat diganti dengan kehidupan di ruang atas tanah, ruang bawah tanah atau di ruang perairan. Dalam hal ini Risnarto (1999) menyatakan sekurang-kurangnya terdapat lima sudut pandang yang berbeda terhadap sumberdaya tanah, yaitu: (1) dari aspek produktivitas tanah, (2) landscape tanah, (3) penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah, (4) perencanaan tata ruang dan wilayah serta (5) perlindungan lingkungan ekologi. Bagi petani atau pekebun yang sumber kehidupannya berasal dari usaha berbasis tanah maka pengertian tanah terkait dengan kesuburan yaitu kemampuan untuk menghasilkan produksi tanaman pada suatu masa tertentu pada tingkat input teknologi tertentu. Nilai yang diberikan pada tanah tersebut mengacu pada konsep “produktivitas”. Semakin subur tanah tersebut atau semakin produktif akan semakin tinggi nilainya. Ukuran yang digunakan terhadap produksi tanaman adalah kuintal (ku) atau ton. Jika dikaitkan dengan satuan luas usaha menjadi ku/ha atau ton/ha. Bagi kontraktor pembangunan perumahan yang harus mengurug atau menimbun areal atau kawasan perumahan sesuai “landscape” yang telah didisain, maka pengertian tanah terkait dengan jumlah bahan galian yang diperlukan untuk menimbun. Nilai yang diberikan pada tanah tersebut mengacu pada konsep “volume”. Semakin banyak jumlah volume tanah yang diperlukan untuk mengurug, semakin tinggi biaya yang ditambahkan pada wilayah perumahan tersebut. Ukuran yang biasa digunakan bagi tanah galiannya adalah m³ atau truck (satu truck volumenya 3-5 m³). Bagi seorang yang bekerja di bidang agraria/pertanahan maka pengertian tanah akan terkait dengan penguasaan dan penggunaannya untuk berbagai kehidupan. Nilai yang diberikan pada tanah tersebut mengacu pada konsep “ownership” dan “intensity use”. Semakin jelas dan kuat hak penguasaannya dan semakin besar intensitas penggunaan yang diberikan oleh sebidang tanah tersebut maka semakin tinggi nilainya. Ukuran yang biasa digunakan adalah luasan meter persegi (m²) atau hektar. Bagi perencana kota atau wilayah atau kawasan tertentu, yang harus membuat disain tata ruang, maka pengertian tanah terkait dengan posisi atau letak yang memberi kemudahan terhadap berbagai kepentingan kehidupan . Nilai yang diberikan pada tanah tersebut mengacu pada konsep “spatial” atau ruang wilayah. Semakin besar akses suatu bidang tanah pada tempat tertentu akan semakin besar kemudahan yang diperoleh dan nilai tanah cenderung menjadi tinggi. Ukuran yang biasa digunakan bagi tanah tersebut adalah “aksesibilitas” dalam bentuk jarak meter (m) atau kilometer (km).
16
Bagi ekolog atau lingkungan yang harus mempertimbangkan aspek konservasi tanah, air dan udara maka pengertian tanah terkait dengan potensi kerusakan atau pencemaran lingkungan atau perlindungan yang harus diberikan karena sifat khas kelangkaan, keberadaan maupun kandungan nilai budaya tertentu. Nilai yang diberikan pada tanah tersebut mengacu pada konsep ” sustainabilty” atau keberlanjutan. Ukuran yang biasa digunakan bagi tanah tersebut adalah “environmental quality” atau kualitas lingkungan fisik, biologi, sosial ekonomi, sosial budaya dalam suatu kelembagaan tertentu. Dari uraian di atas, terlihat bahwa pengaturan produktivitas tanah, landscape tanah, penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah, perencanaan tata ruang dan wilayah serta perlindungan lingkungan ekologi terkait erat dengan sistem perlakuan yang diberikan terhadap tanah. Cara memperlakukan tanah terkait dengan manajemen agraria 2.
Pengertian Tanah Dalam Lingkup Manajemen Agraria
Usaha untuk memberi pengertian yang lebih tepat telah dikemukakan pada berbagai literatur. Kamus Webster misalnya, membedakan istilah “soil” yang mengacu pada aspek kesuburan dan “land” yang mengacu pada hamparan atau area. Istilah land oleh para ahli pertanian kemudian diartikan sebagai lahan yang terkait dengan peruntukan dan pemanfaatannya. Misalnya lahan pertanian, lahan gambut, lahan perkebunan dan sebagainya. Konsep tanah sebagai sumberdaya (resources) berkaitan dengan usaha untuk melindungi kelangkaan tanah karena sifatnya yang tidak dapat diperbarui (unrenewable). Konsep ini berkembang ketika tanah bersama-sama dengan sumberdaya yang lain seperti bahan galian/tambang, minyak, hutan dan kelautan, dieksploitasi secara besar-besaran sehingga terjadi kerusakan dan tidak dapat diusahakan secara produktif. Tanah di samping mempunyai aspek produksi juga mempunyai aspek ruang dan aspek hukum. Aspek produksi berkaitan dengan tempat unsur hara dan akar tanaman, aspek ruang berkaitan dengan tempat tumbuh tanaman dan kegiatan manusia di atasnya maupun di bawahnya, sedangkan aspek hukum berkaitan dengan hak pemilikan dan penggunaan. Aspek-aspek itulah yang terbawa dan melekat menjadi hak bagi pemilik sebidang tanah sebagai subyek hak dan tanah sebagai obyek hak. Titik awal hubungan antara subyek hak dan obyek hak (tanah) merupakan hubungan yang bersifat hakiki, adalah hubungan penguasaan dan penggunaan dalam rangka memperoleh manfaat bagi kepentingan kehidupan dan penghidupannya, baik untuk kepentingan sendiri sebagai mahluk individu maupun kepentingan bersama sebagai mahluk sosial. Hubungan penguasaan dan penggunaan tanah itu memerlukan kepastian hukum kepemilikan tanah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali. Pengertian ini sejalan dengan pengertian tanah sesuai Pasal 4 ayat (1) UUPA adalah permukaan bumi yang dapat diberikan macam-macam hak atas tanah kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang dan serta badan hukum. Dengan demikian pengertian hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua, dengan ukuran panjang dan lebar. Lebih lanjut, pengertian permukaan bumi itu, pada Pasal 4 ayat (2) dinyatakan termasuk pula tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undangundang ini (UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Menurut Boedi Harsono (1999) sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajarannya, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Penggunaan tubuh bumi itu harus ada hubungannya langsung dengan gedung yang dibangun di atas tanah yang bersangkutan. Misalnya untuk pemancangan tiang-tiang pondasi, untuk basement, ruang parker dan lain-lain keperluan yang langsung berhubungan dengan pembangunan dan penggunaan gedung yang dibangun.
17
Pengertian tanah seperti tersebut di atas adalah pengertian tanah dalam arti land yang lebih menekankan pada permukaan tanah, bukan dalam arti soil yang lebih menekankan pada tubuh tanah, walaupun dalam pengertian land itu juga termasuk pula sebagian dari tubuh tanah sebagaimana diutarakan berbagai pendapat para ahli dan berbagai literatur. Vink, seorang ahli tanah dan geografi, menyatakan bahwa tanah merupakan permukaan bumi dengan kedalaman tertentu di bawah dan ketinggian tertentu di atas, merupakan luasan berkaitan dengan ruang (spatial context). Pengertian itu digunakan oleh banyak Negara dan instansi, antara lain Food Agricultural Organization (FAO). Pengertian tanah seperti itu (dalam bahasa Inggris land, bukan soil), maka tanah adalah satu kesatuan wilayah yang spesifik dari permukaan bumi. Ciri spesifik itu merupakan rangkuman sifat tertentu dan tetap, berhubungan dengan angkasa di atasnya, keadaan batu-batuan, tata air, tanaman dan binatang di dalam dan atau di atasnya, serta hasil kegiatan manusia. Ciri spesifik itu akan mempengaruhi cara kegiatan manusia dalam mengambil manfaat dan melindungi haknya. Selanjutnya pengertian tanah, menurut Petter Butt (2001), secara umum didefinisikan sebagai luasan fisik dari permukaan bumi yang ada luasan tertentu dalam sebuah area tertentu, di mana pemilikan atas tanah tersebut dibuktikan dengan sebuah dokumen yang disebut “title deed”, seperti diutarakan: “dalam hukum, tanah adalah tidak terbatas sekadar permukaan bumi, tetapi termasuk di bawah dan di atas permukaan bumi, tidak juga dibatasi sesuatu yang padat, tetapi dapat meliputi sesuatu benda cair dan gas”. Dalam Common Law konsep tanah mempunyai tiga area dimensi ruang: “land is an area of three-dimensioned space, its position identified by natural or imaginary points located by reference to the earth’s surface. This three dimensional space may include the earth’s surface, or may be the wholly above it or wholly below it. It may have physical contents or it may be void, for any three-dimensional quantum of the space – even airspace - can be “land”. If it has contents that are fixed in position, those fixed contents are part of the “land”. But the “land” is more than those fixed contents. The contents of the space may be physically severed, destroyed or consumed, but the space itself – and so the “land” – remains. In this sense, the land is indestructible. It is also immovable”. Pengertian tanah dalam arti land juga dikemukakan dalam peraturan perundang-undangan Negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Dalam National Land Code Malaysia (1965), pada Pasal 5, pengertian tanah meliputi: (a) that surface of the earth and all substances forming that surface (b) the earth below the surface and all substances therein (c) all vegetation and other natural products, wether or not requiring the periodically application of labour to their production, wether on or below the surface (d) all things attached to the earth or permanently fastened to anything attached to the earth, wether on or below the surface and (e) land covered by water Pengertian tanah dalam arti land, menurut Pasal 4 Land Titles Act Singapura, didefinisikan: “ the surface of any defined parcel of the earth, and all substances thereunder, and so much of the colomn of air above the surface as is reasonably necessary for the proprietor’s use enjoyment, and includes any estate or interest in land all vegetation growing thereon and structures affixed thereto any parcel of airspace or subterranean space held apart from the surface of the land as shown in an approved plan Subject to any provisions to the contrary the proprietorship of land includes natural rights to air, light, water, and support and the right of access to any highway on which the land abuts”
18
Dalam hukum perdata tentang benda, yang dianut di berbagai negara seperti Belanda, Amerika, Perancis, Taiwan, Jepang dan sebagainya, dikenal benda bergerak (movable) dan benda tidak bergerak (immovable). Pengertian benda tidak bergerak antara lain karena sifatnya yang apabila dipindahkan akan mengubah wujud, fungsi dan hakikatnya. Termasuk dalam pengertian benda tidak bergerak adalah tanah dan bangunan. Konsep tanah sebagai benda tidak bergerak tersebut berkaitan dengan kedudukan tanah dalam lalu lintas ekonomi sebagai benda yang dapat dialihkan hak penguasaan dan pemilikannya serta dapat dibebani dengan hak tanggungan. Di Inggris, konsep tanah sebagai benda ekonomi dikenal dengan istilah “real property” yaitu tanah (land) dan segala sesuatu yang tertancap padanya sebagaimana dikatakan oleh Gandhi (1983) dalam bukunya English Law, Systematic Business. Trainning Center Sdu.Bhd.Kualalumpur, sebagai berikut : “ Real property means land (realty) and anything attached there to (i.g. house, cashed)” Dari uraian tersebut tampak ada pola pikir dan konsep yang mengacu pengertian tanah dalam arti luas dan pengertian tanah dalam arti sempit. Pengertian tanah dalam arti luas menurut filosofi adat tentang tanah yaitu meliputi bagian tubuh bumi sampai kedalaman tertentu dan ruang udara di atasnya sampai ketinggian tertentu dimana roh bermukim. Konsep tanah dalam arti luas ini memang tidak setegas rumusan tanah menurut konsep hukum Anglo Saxon (Common Law) yang bersumber pada peribahasa hukum Romawi : “Cuius est solum eius est usque ad coelum et ad inferos” yang merumuskan tanah sebagai obyek pemilikan “ Barangsiapa memiliki tanah (permukaan bumi), dia juga memiliki segala apa yang ada di atasnya sampai surga dan segala apa yang ada di bawahnya sampai ke pusat bumi”. (Butt Petter, 1996. Land Law, 3ed. Wellington. The Law Book Company, Limited). Konsep tanah dalam arti sempit hanya terbatas pada lapisan atas dari kulit bumi, sehingga makna horizontalnya lebih dipertimbangkan sebagai dasar penguasaan. Sedangkan makna vertikalnya akan mengikuti perkembangan ekonomi. Pengertian tanah dalam bahasan ini selanjutnya mengacu kepada pengertian tanah sesuai UUPA, yaitu hamparan bumi termasuk perairan dan ruang kehidupan yang menjadi obyek dan berkaitan dengan penguasaan, pemilikan serta penggunaan dan pemanfaatannya sepanjang dapat dilekati dengan hak atas penguasaan dan penggunaan di atasnya.
4.
Konsep Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah
Titik awal hubungan antara subyek hak dan obyek hak (tanah) merupakan hubungan yang bersifat hakiki, adalah hubungan penguasaan dan penggunaan dalam rangka memperoleh manfaat bagi kepentingan kehidupan dan penghidupannya, baik untuk kepentingan sendiri sebagai mahluk individu maupun kepentingan bersama sebagai mahluk sosial. Hubungan penguasaan dan penggunaan tanah itu memerlukan kepastian hukum kepemilikan tanah. Pemilikan tanah diperoleh melalui proses penguasaan. Proses itu dalam sistem hukum barat dikenal sebagai possession yang berbeda makna dengan ownership. Dalam kamus hukum, possession (Inggris) atau posesio (Latin) atau bezit (Belanda), diartikan sebagai “kepunyaan”. Possession dimaksudkan sebagai pendudukan secara fisik atau secara faktual. Syarat lain adalah adanya niat atau maksud memiliki dengan itikad baik (“animouse possidendi”). Niat untuk memiliki dikaitkan dengan waktu dan bukti lainnya. Dengan demikian hak menguasai itu, harus didahului dengan tindakan pendudukan/menduduki untuk memperoleh penguasaan dan pada batas waktu tertentu akan menjadi hak milik. C. Chambers (2001) mengutarakan bahwa :“ to have possesion of a thing, a person must control that thing an intend to posses it. Both are required” possession adalah penguasaan fisik melalui pendudukan dan disertai dengan adanya niat untuk memiliki. Pengertian ownership dalam padanan bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kepunyaan atau pemilikan atas suatu benda. Ownership biasanya termasuk di dalamnya hak untuk menguasai bendanya secara nyata atau seseorang yang mempunyai suatu benda, namun belum tentu
19
menguasai secara fisik. Dalam hal benda tidak berwujud, maka seseorang mempunyai bendanya namun tidak menguasai secara nyata. Contoh hak patent dan hak cipta. Demikian pula halnya seseorang mempunyai benda berwujud namun belum tentu menguasai benda tersebut. Contohnya orang menyewakan tanah atau rumah. Secara tegas perbedaan possession dalam arti penguasaan fisik dengan ownership dalam arti kepunyaan atau pemilikan adalah bahwa penguasaan melibatkan pendudukan secara fisik, adanya niat untuk menguasai, yang dapat diperoleh tanpa alas hak. Sedangkan pemilikan harus dibuktikan sebagai hak mutlak dan perpindahan pemilikan harus dilakukan dengan alas hak, tidak sekadar serah terima penguasaan. Oleh karena itu, penguasaan merupakan cikal bakal adanya pemilikan (property), dimana arti dari milik itu sendiri melekat adanya hak, sehingga dibedakan istilah private property untuk menunjukkan milik pribadi dan public property untuk menunjukkan milik negara atau milik umum. Penguasaan atas benda termasuk tanah merupakan awal dari adanya hak milik. Dalam Hukum Barat pada umumnya atau Common Law, “possession is the root of title”.
5.
Konsepsi Filosofis dan Makna Tanah
Tanah dan manusia merupakan dua hal yang saling terkait erat dalam suatu perjalanan kehidupan manusia sebagai individu, makhluk sosial maupun dalam suatu kehidupan sebagai Bangsa. Hubungan antara tanah dengan bangsa dan pada gilirannya antara manusia secara individu mapun kelompok dengan tanah, merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magisreligius. Nilai filosofis tanah itu, bagi berbagai bangsa bersifat universal, berlaku pada siapapun, dimanapun dan kapanpun. Di masyarakat Jawa hubungan antara manusia dengan tanah digambarkan dalam suatu ungkapan: “ sadumuk batuk sanyari bumi, den labuhi lutahing ludiro lan ditohi pati “. Di Amerika Robert Frost pada tahun 1941 dalam suatu puisi “The Gift Outright” menggambarkan: “the land was ours before we were the land”s, she was our land more than a hundred years before we were her people” (Sedjarwo Soeromihardjo,1985). Sementara itu, Michael G Kitay (1985), mengutarakan “There is a bond, an almost mystical communion, that exists between the land and people living on it” Bagi orang Aborigin, Australia, tanah digambarkan sebagai simbol hidup: “tanah bukanlah milikmu, tetapi kamu menjadi milik tanah, tanah adalah tempat sucimu, ikonmu” ( Risnarto, 2005 ). Menurut hukum adat, tanah adalah benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jatidiri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos) besar (macro cosmos) dan kecil (micro cosmos). Maka tanah dipahamkan secara luas meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta hubungan antara sesama manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh. (Herman Soesangobeng, 2002). Konsep filosofis adat tentang tanah itulah yang menjiwai konsepsi filosofis Bangsa Indonesia Bangsa Indonesia, secara filosofis memandang tanah dari perspektif yang mendasar sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bahwa bumi, air, ruang angkasa serta segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sementara itu, Pasal 1 UUPA menyatakan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan permukaan bumi, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut peraturan perundang-undangan. Dari konsepsi filosofis tersebut jelas bahwa bagi Bangsa Indonesia, tanah adalah sumberdaya strategis yang merupakan kekayaan nasional, pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk kesejahteraan rakyat. Kemakmuran itu dengan
20
sendirinya memerlukan upaya dengan memberikan nilai tambah atau hasil yang bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Prinsip dasar kenasionalan tanah bagi bangsa Indonesia tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa “ Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia” dan Pasal 1 ayat (2), yang berbunyi: Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Pernyataan itu mengandung makna bahwa bangsa Indonesia mempunyai hak atas sumberdaya agraria yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa yang berada di daerah-daerah dan pulau-pulau wilayah Indonesia. Jadi bukan hanya hak rakyat asli dari daerah-daerah dan pulau-pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian, maka hubungan bangsa Indonesia dengan sumberdaya agraria di Indonesia merupakan Hak Ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan seluruh wilayah Negara. Ulayat secara harfiah berarti wilayah atau ruang, daerah, area. Hak ulayat mengandung pengertian hubungan kewenangan komunitas masyarakat atas penguasaan dan pemilikan tanah termasuk mengatur penguasaan dan penggunaan pada anggota masyarakatnya. Pernyataan penting dalam Pasal 1 ayat (3) adalah bahwa: Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi”. Konsep ini mengandung pengertian bahwa selama masih ada bangsa Indonesia dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia masih ada, maka dalam keadaan yang bagaimanapun, tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dalam ilmu hukum, hubungan hukum diartikan hubungan yang yang menimbulkan akibat hukum. Hubungan hukum itu meliputi hubungan subyek, obyek, tindakan, kewenangan, hak dan kewajiban yang dapat berlaku secara timbal balik atau sebaliknya. Secara keperdataan, tanah disebut sebagai obyek hukum, sedangkan perorangan, masyarakat, dan negara sebagai subyek hukum. Dalam hukum pertanahan, tanah disebut sebagai obyek hak,sedangkan perorangan, masyarakat, dan negara sebagai subyek hak. Bangsa adalah sebagai subyek hukum., namun dalam hubungan dengan tanah, bangsa belum tentu menjadi subyek hak atas tanah, karena subyek hak atas tanah harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam hukum pertanahan. Hubungan bangsa Indonesia dengan tanah dalam hukum keperdataan merupakan hubungan “kepunyaan”, yang memberi wewenang untuk menguasai tanah di seluruh wilayah Indonesia. Namun hubungan itu bukan merupakan hubungan “pemilikan”, yang dapat mempunyai hubungan pemilikan adalah orang sebagai bangsa Indonesia.
6.
Perspektif Tanah Bagi Bangsa Indonesia.
Tanah mempunyai dua dimensi yang saling terkait dalam satu fenomena, yaitu dimensi penguasaan dan pemilikan tanah serta dimensi penggunaan tanah. Kedua dimensi tersebut membentuk suatu perspektif atau sudut pandang dan tata nilai serta moral masyarakat terhadap tanah. Tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai kedudukan yang khusus dan istimewa sehingga ketentuan dan pengaturan tanah sebagai benda dipisahkan dengan ketentuan benda bukan tanah. Sedemikian istimewanya kedudukan tanah dalam kehidupan masyarakat hukum adat maupun dalam alam pemikiran masyarakat Indonesia dewasa ini asehingga pengaturan hukum tanah dalam UUPA juga menyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah. Kedudukan tanah bagi bangsa Indonesia dapat diamati dari perspektif budaya, hukum, ideologi/politik, sosial dan ekonomi.
21
¾
Perspektif Budaya-Hukum
Tanah adalah benda yang bernilai tinggi bagi masyarakat adat karena tanah dianggap mengandung aspek spiritual. Bagi anggota masyarakat adat, tanah merupakan sesuatu yang berkembang dengan para leluhurnya. Seorang manusia tidak dapat hidup tanpa tanah; ia bekerja dan hidup sehari-hari di atas tanah dan makanan utamanya juga ditanam di dalam tanah; demikian pula apabila mereka meninggal ditanam dalam tanah. Maka tanah bagi masyarakat adat adalah ruang hidupnya (Liebenstraum). Hubungan manusia dengan tanah yang menjadi budaya masyarakat adat tersebut tercermin dalam pengaturan hukum adat yang menyangkut aturan tentang tanah dan bukan tanah. Misalnya pengaturan transaksi tanah dipisahkan dengan pengaturan tentang perutangan. Hukum perutangan menyangkut tentang penguasaan hak atas benda bukan tanah, perpindahan hak tersebut dan hukum tentang jasa. Dalam aturan masyarakat hukum adat berlaku asas kontankonkret, asas kekeluargaan dan asas kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Ketika diberlakukan UUPA pada tanggal 24 September 1960, asas yang terkandung dalam hukum adat ditingkatkan dalam suasana nasional sehingga pengaturan hukum benda tentang tanah juga dipisahkan hukum tanah dengan hukum benda bukan tanah.. Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara. Pengertian tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara menurut Gautama dalam tafsiran UUPA PT. Cakra Aditya Bhakti, 1993. Mengacu pada kriteria (a) Persatuan bangsa Indonesia, (b) Sosialisme Indonesia, (c) Ketentuan dalam pasal-pasal UUPA, (d) Peraturan lain bidang agraria dan (e) Unsur-unsur hukum agraria Prinsip UUPA yang menganut asas hukum adat dengan sendirinya juga menganut asas pemisahan horizontal (horizontal scheiding). Tanah dalam hukum tanah Indonesia terlepas dari segala sesuatu yang melekat padanya. Dengan ketentuan tersebut maka pemilik sebuah bangunan atau pohon/tanaman belum tentu pemilik tanah tempat bangunan dan pohonan tersebut berdiri/tumbuh. Dengan pengertian itu, hubungan tanah dengan manusia lebih kuat dibandingkan hubungan tanah dengan bangunan dan tanaman di atasnya. Hubungan tanah dengan manusia dalam konteks budaya sesungguhnya mengandung unsur keadilan dan tanggung jawab sosial. Setiap manusia memang mempunyai hak atas tanah karena tanah adalah satu-satunya “loka” (tempat) di bumi, dimana manusia dapat melangsungkan kehidupannya. Karena itu melepaskan hubungan manusia dengan tanah adalah mengandung unsur memutuskan mata rantai kehidupan suatu kelompok masyarakat. Tanah juga merupakan “wahana” (wadah), tempat manusia melakukan proses kegiatan yang disebut budaya. Karena itu menjauhkan manusia dari tanah mengandung unsur memutuskan kebudayaan. Maka pembangunan yang melepaskan hubungan budaya masyarakat terhadap tanah adalah pembangunan yang tidak berbudaya. ¾
Perspektif Idiologi
Tanah bukan saja menjadi ruang hidup (lebenstraum) masyarakat, tetapi juga menjadi ruang hidup bangsa dan negara Indonesia. Hal ini dari lagu kebangsaan Indonesia Raya : “Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku“. Asas Nasionalistis tercermin pada Pasal 9 UUPA dan Pasal 21, Pasal 26, Pasal 30 dan Pasal 36 UUPA. Pasal 9 UUPA ayat (1) menyatakan bahwa : “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2. Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 21 UUPA yang menyatakan hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik dan larangan mengalihkan tanah hak milik kepada orang asing (Pasal 26). Pada Pasal 30 (tentang HGU) dam Pasal 36 (tentang HGB) juga hanya memberikan kemungkinan pemilikan hak-hak ini oleh warga negara Indonesia dan oleh Badan
22
Hukum yang mendirikannya menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Asas nasionalistis ini mengandung aspek spirituil seperti jiwa pada tanah ulayat yang hanya memberi kemungkinan bagi warga ulayat untuk mengikuti dan menikmati tanah usaha warga ulayat setempat. Secara nasional dapat dikatakan bahwa tanah di Indonesia tidak bebas sebagai objek lalu lintas dunia usaha yang menggunakan tanah sebagai komoditi. Di masa Reformasi yang dimulai pada pertengahan 1998, telah ditetapkan Reformasi Agraria/Pertanahan dalam Politik Ekonomi yang tertuang dalam TAP MPR No. XVI/1998 Pasal 7 yang intinya meletakkan kembali politik agraria yang berpihak dan mendorong pemberdayaan rakyat golongan ekonomi kecil, menengah dan koperasi, sebagai berikut: (1) Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. (2) Tanah sebagai basis usaha pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat yang mampu melibatkan serta memberi sebesar-besar kemakmuran bagi usaha kecil, menengah dan koperasi. Dari fenomena di atas dapat diamati bahwa kepentingan pemerintah akan berimplikasi pada pengaturan politik atau kebijakan pertanahan. ¾
Perspektif Sosial
Perspektif sosial tentang tanah seperti dalam filosofi adat telah tercermin dalam hubungan kemitraan seperti yang diamati oleh Gautama dalam tafsiran UUPA PT. Cakra Aditya Bhakti, 1993.Terr Haar (Azas-azas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta. 1994. Pradnya Paramita). Pola kemitraan tersebut ditunjukkan dari empat macam hubungan meliputi (i) hubungan pengolahan tanah dalam bentuk persewaan tanah, bagi hasil, gadai, (ii) hubungan penjaminan dalam bentuk penggunaan tanah sebagai jaminan pelunasan pinjaman uang. Bentuk ini disebut “tahan” (Batak) atau “haharing” (dayak ngaju) atau “tanggungan”. (iii) hubungan penumpangan dalam bentuk pemberian ijin untuk menempati dan membangun rumah di pekarangan pemilik tanah yang di Jawa disebut “indung”, “magersari” atau “numpang” (iv) hubungan pemakaian, yaitu pemberian izin kepada orang lain untuk dipakai selama pemilik tanah tidak berada ditempat. Bentuk ini mirip dengan hubungan “titip” di Jawa. Dari keempat jenis hubungan tersebut terjalin kerjasama kemitraan untuk saling memenuhi kebutuhan antara pemilik tanah dengan pemilik modal berupa uang maupun tenaga kerja. Pola hubungan kemitraan tersebut dapat terjadi karena tanah tidak semata-mata dianggap sebagai benda modal tetapi juga benda sosial yang pemanfaatannya memperhatikan pihak lain. Konsep hubungan kemitraan adalah filosofi adat menjadi pasal-pasal dalam UUPA seperti pada Pasal 2 c yang mengatur hubungan hukum dan perbuatan antara orang dengan tanah serta Pasal 6 yang menyatakan hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. ¾
Perspektif Ekonomi
Tanah sebagai sumberdaya ekonomi telah berkembang sejak teori ekonomi klasik yang akhirnya menampilkan daerah jajahan atau koloni sebagai sumber penghasil bahan perdagangan dunia. Pada awalnya ketika Indonesia dijajah Belanda adalah merupakan bentuk penjajahan ekonomi karena Indonesia merupakan penghasil rempah-rempah yang pada waktu itu menjadi mata dagangan utama di Eropa. Maka Indonesia dianggap sebagai salah satu aset lokasi penghasil komoditi perkebunan yang strategis. Konsep tanah sebagai aset lokasi waktu itu didasarkan pada keunggulan komperatif secara fisik.
23
Di masa kini konsep baru yang ditawarkan adalah keunggulan kompetatif suatu lokasi yang didasarkan pada kualitas lingkungan. Perubahan pandangan perspektif ekonomi terhadap tanah tersebut berkembang secara cepat. Pada beberapa dekade terakhir ini teori basis ekonomi (Economic Base Theory) yang menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar wilayah. Teori ini merubah implikasi kegiatan ekonomi yang mempunyai sumberdaya lokal yang murah, termasuk tanah dan tenaga kerja akan mampu bersaing dalam pasar nasional dan internasional. Maka berkembanglah perluasan areal perkebunan di Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya pada awal 1980 an yang menggunakan tanah di wilayah yang relatif belum padat penduduknya, sehingga biaya pembangunan perkebunan relatif murah. Berkembangnya teori lokasi klasik yang mendasarkan pada model pengembangan industri yang menyatakan bahwa lokasi terbaik adalah biaya yang terendah antara bahan baku dan pasar. Model ini tampaknya relevan jika dikaitkan dengan berkembangnya kawasan industri di Jalur Pantura Jawa yang memiliki keunggulan kompetatif terhadap fasilitas sarana dan prasarana lingkungan dan mendekati pasar. Keadaan ini merupakan penerapan teori tempat sentral (central place theory), dimana berkembang suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya. Tidaklah berlebihan jika daya tarik Jawa dengan berbagai kegiatan ekonomi telah mengundang makin memusatnya kegiatan penduduk di Jawa. Perkembangan pemusatan kegiatan ekonomi inilah yang menjurus pada pemusatan modal investasi yang dalam prakteknya berupa pemusatan tanah pada kelompok pengusaha. Maka penguasaan tanah telah menjurus sedemikian rupa sebagai alat ekonomi untuk menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam kurun waktu sekitar empat tahun (1993-1997) permintaan tanah melalui ijin lokasi untuk perumahan, industri, perkebunan dan pariwisata telah melonjak menjadi jutaan hektar sehingga harga tanah menjadi melonjak tanpa terkendali. Pengusaaan tanah yang sedemikian luasnya tersebut dimungkinkan, karena sertipikat hak atas tanah dapat dijadikan agunan untuk memperoleh kredit investasi dan kredit konstruksi dari Bank. Oleh karena itu, ketika terjadi krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, sebagian besar tanah yang dikuasai perusahaan properti dan perusahaan perkebunan menjadi terlantar tidak mampu dikelola dengan baik sehingga menjadi sumber inefisiensi ekonomi yang berdampak terhadap menurunnya kesejahteraan masyarakat. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa perspektif ekonomi terhadap tanah akan mendorong penguasaan dan pemanfaatan tanah untuk berbagai kepentingan kehidupan masyarakat yang akan berimplikasi terhadap pandangan terhadap kedudukan dan fungsi tanah di masyarakat. 6.
Konsepsi Tentang Pertanahan
Pertanahan secara umum adalah hal-hal yang bersangkut-paut dengan tanah dari segi penguasaan pemilikan dan penggunaan pemanfatannya. Istilah pertanahan secara luas berkembang sejak dibentuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 1988, yaitu Lembaga Pemerintah Non-departemen (LPND) yang bertugas mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan berdasarkan UUPA maupun Peraturan Perundangan lainnya. Berdasarkan konsep ini, pengertian bersangkut-paut tersebut merujuk pada piranti strategis UUPA yang merupakan dasar pokok kebijakan pertanahan dan peraturan pelaksanaannya serta piranti struktural kelembagaan pertanahan secara formal BPN maupun secara informal yang berkembang di masyarakat sebagai wadah organisasi dan sarana untuk mewujudkan tujuan yang terkandung dalam UUPA tersebut. Pertanahan dalam hal ini didefinisikan sebagai hubungan antara subyek dan obyek hak atas tanah melalui keterikatan penguasaan pemilikan serta penggunaan pemanfaatan tanah. Subyek hak atas tanah adalah orang perorangan atau dalam kelompok serta badan hukum pemerintah
24
maupun swasta yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Sedangkan obyek hak atas tanah adalah bidang tanah yang telah didaftar dan diberikan sertipikat hak atas tanah menurut ketentuan pada Pasal 16 UUPA, bidang tanah yang belum didaftar dan diberikan sertipikat hak atas tanah (termasuk tanah girik, leter C dan tanah lainnya menurut ketentuan adat telah dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat setempat). Tanah yang berfungsi lindung dan nonbudidaya termasuk tanah negara yang masih dikelola instansi kehutanan tidak termasuk sebagai obyek hak atas tanah yang menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional. Ditinjau dari sudut Hukum Tanah, walaupun di atas tanah ada tumbuh-tumbuhan yang memenuhi unsure-unsur hutan, penguasaannya diatur oleh Hukum Tanah, namun pengelolaannya ditugaskan kepada Menteri/Departemen Kehutanan atas dasar Hak Pengelolaan yang diperolehnya karena hukum menurut Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hubungan penguasaan pemilikan dan hubungan penggunaan pemanfaatan dapat dibedakan hubungan secara fisik (de facto) dan hubungan secara yuridis (de yure). Hubungan penggunaan pemanfaatan secara yuridis (de yure) ditunjukkan bahwa tanah telah digunakan dan dimanfaatkan sesuai rencana tata guna tanah dan tata ruang wilayah. Sedangkan hubungan penguasaan pemilikan secara yuridis (de yure) ditunjukkan bahwa tanah yang digunakan tersebut telah mempunyai kejelasan dan kepastian hukum hak atas tanah sesuai UUPA maupun ketentuan normatif menurut adat setempat. Secara skematis hubungan penguasaan dan penggunaan tanah dapat dilihat pada Gambar 4.
S1
S2
S3
S4
Subyek Hak
Penguasaan Yuridis
Penggunaan
Fakta
Yuridis
Fakta
Obyek Hak O1
O2
O3
Keterangan: Subyek HakS1 : Perorangan S2 : Badan Hukum (Swasta, Pemerintah) S3 : Instansi Pemerintah S4 : Kelompok Masyarakat Obyek Hak O1 : Tanah telah terdaftar/Sertifikat O2 : Tanah belum terdaftar/Sertifikat O3 : Tanah Negara & Non Budaya
Gambar 4 Pertanahan dalam Dimensi Manajemen Agraria
25
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa ruang lingkup pertanahan yang meliputi hubungan fisik dan hubungan yuridis tidak selalu sejalan sehingga timbul apa yang dinamakan masalah pertanahan yang mendasar. Masalah pertanahan ini meliputi masalah : -
-
7.
adanya bidang tanah yang dikuasai secara fisik namun tidak diikuti dengan hak kepemilikan atas tanah (sering dikenal dengan istilah okupasi liar) adanya bidang tanah yang dikuasai dengan hak kepemilikan atas tanah namun tidak diikuti dengan pemanfaatan sesuai dengan tujuan pemberian haknya (sering dikenal dengan istilah tanah ditelantarkan) adanya bidang tanah yang digunakan dan dimanfaatkan secara fisik namun tidak sesuai dengan arahan tata guna tanah maupun rencana tata ruangnya sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan tanah dan lingkungannya.
Konsepsi Nilai Tanah dan Harga Tanah
Penentuan nilai tanah yang dalam tataran empiris dikenal dengan harga tanah di suatu wilayah pada prinsipnya berupaya menjaga keseimbangan fungsi ekologis dan fungsi ekonomis sumber daya tanah. Untuk mencapai equilibrium tersebut perlu dipertimbangkan keunikan sumber daya tanah (unique resource) yang memponyai karakteristik fisik immobility, indestructibility/durable, heterogenity, non substitution serta karakteristik ekonomi, seperti: scarcity, modification, fix investment permanence, site location preference, (Jacobus & Harwood, 1996). Semakin pesatnya laju perdagangan regional dan global menjadikan tanah bersama-sama dengan faktor produksi yang lain tenaga kerja, modal, teknologi menjadi bahan pertimbangan utama untuk menentukan tempat tertentu bagi pemanfaatan tertentu. Tanah yang meliputi segala sesuatu yang melekat pada tanah (the surface of the earth), udara di atasnya (the sky above) dan segala sesuatu pada pusat/dasar tanah (everything to the center of the earth) menjadikan tanah sebagai sumber daya yang sangat vital; sehingga pemanfaatan tanah yang baik akan menjamin ekosistem yang stabil. Tanah dimanfaatkan untuk kepentingan yang beragam. Oleh karena itu analisis harga tanah sangat diperlukan untuk mengatur pola pemanfaatan tanah guna menjaga keseimbangan fungsi ekonomis dan ekologis, serta mengatur intensitas persaingan terutama di wilayah perkotaan dimana kelompok masyarakat sebagai pengguna tanah (land user) dan penghuni kawasan pusat kota (demand side for land) seringkali berhadapan dengan program pembangunan perumahan (supply side for residential/housing). Dengan rumitnya permasalahan yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah, maka diperlukan mekanisme penentuan harga yang mengatur terhadap pemanfaatan tanah tersebut. Teori Dasar dan Fenomena Pemanfaatan Tanah Tokoh pertama yang mengemukakan teori pemanfaatan tanah adalah Von Thunen. Ia mempersoalkan, bagaimana menentukan tempat menanam yang paling efisien untuk berbagai jenis tanaman, serta pemanfaatan tanah yang paling efisien. Ide dasar dari teori Von Thunen adalah bahwa tanah harus dimanfaatkan sedemikian arpa, sehingga menghasilkan sewa tertinggi. Teori Thunen menyimpulkan bahwa kegiatan pemanfaatan tanah yang memberikan hasil terbesar setiap hektar adalah yang terletak paling dekat dengan pusat-pusat perekonomian (pasar). Fenomena dalam perekonomian modern yang patut untuk disimak adalah munculnya Central Busineess District (CBD) dari Concentric Zone Model (Burgess, 1987) di beberapa daerah sekaligus di sebuah kota besar. Konsekuensi dari tumbuhnya banyak CBD di kota besar adalah adanya konfigurasi harga yang tinggi di daerah-daerah tertentu yang secara otomatis menimbulkan spekulasi tanah..Concentric Zone Pattern of Land Use dapat digambarkan sebagai berikut:
26
1
2
Keterangan: 1. Central Busineess 2. Zone of Transition 3. Zone for Worker’s Home
3
4
5
4. Zone for Middle and High Income Units 5. Commuter Zone
Gambar 5 : Zone Pemanfaatan Tanah Pola pemanfaatan tanah di kota-kota memliki ciri-ciri sebagai berikut ¾ ¾ ¾ ¾
Pemanfaatan tanah ditentukan oleh skala ekonomi dan aglomerasi. Orang ebih suka tinggal di dekat semua kegiatan dengan pertimbangan biaya transportasi dan kemacetan. Harga dan pola pemanfaatan tanah dipengaruhi oleh Quality of Society Life: ketenangan, keamanan lingkungan social masyarakat (value-added and Value-in-use of social environment). Adanya trend masyarakat moderen untuk “back to nature” kemudian memanfaatkan tanah di desa-desa yang akhirnya meningkatkan peran pengembang, program pembangunan gedung dan fasilitasnya, dan juga memunculkan para spekulan tanah.
Perkembangan harga tanah tidak terlepas dari perkembangan pemanfaatan tanah di kota-kota. Para pakar urban economics dituntut untuk mengetahui bagaimana mekanisme pasar dapat mengalokasikan tanah perkotaan pada berbagai alternatif penggunaan. Dalam hal ini, teori sewa dan alokasi tanah dapat digunakan untuk menganalisis pemanfaatan tanah pada setiap kasus, baik di kota maupun di pedesaan (Jacobus & Harwood, 1996).. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tanah , . Tanah dimanfaatkan untuk kepentingan yang sangat beragam. Untuk dapat memanfaatkan tanah orang perlu menguasai atau memiliki dan menggunakan tanah. Karena itu teori pemanfaatan tanah merupakan dasar dalam mengamati perkembangan nilai tanah. Tanah mempunyai nilai karena memberi manfaat secara riil/materiil maupun secara spirituil. Berdasarkan teori sewa tanah dan alokasi tanah yang kemudian dikembangkan dalam penelitian oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Ekonomi fakultas Ekonomi Univesitas Gadjahmada, Yogyakarta menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang membuat tanah menjadi benda yang bernilai, yaitu faktor status kepemilikan (property right), kemudahan (accessibility), kemanfaatan (utility), fasilitas (fasility) dan kelembagaan (instutional). Kelima faktor tersebut saling berkaitan dalam dimensi pertanahan
27
Property Right (Status Kepemilikan) Property atau property land right (hak pemilikan tanah) merupakan dasar pengaturan sistem pertanahan terkait dengan kedudukan tanah sebagai benda. Dalam KUH Perdata hak milik (eigendom) atau ownership digambarkan sebagai hak yang paling luas mencakup dapat dimiliki seseorang atau suatu benda dengan pembatasan-pembatasan yang ditentukan atas undangundang (Kleyn W.M. Hukum Benda Belanda. Compendum Hukum Belanda 1978). Di dalam sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law Countries) hak milik merupakan hak yang absolut dan merupakan hak masuk KUH Perdata setelah diundangkan UUPA masih berlaku dalam pengertian umum yaitu sebagai pemilikan atau hak kepemilikan (ownership). Pengertian hak milik dalam Pasal 570 KUH Perdata menyatakan: "Hak milik adalah hak untuk memiliki suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebasbebasnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu asal tidak mengganggu hak orang lain, kesemuanya dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan undangundang." Dari ketentuan KUH Perdata tampak bahwa hak milik merupakan hak utama, mempunyai wewenang untuk menikmati dan menguasai sepenuhnya dan melakukan perbuatan hukum seperti mengalihkan, mewariskan, membebani dengan hipotik (hak tanggungan) dan menyewakan kepada pihak lain. Harold F. Lisk dalam bukunya Business Law: Principles and Cases. Richard D. Irwin Inc. Homewood, Illinois, 1966) memberi batasan tentang hak milik: “the exclusive right of possess enjoy and dispose of objects or rights having economic value" Hak milik merupakan hak eksklusif untuk menguasai, membantu dan mengatur suatu objek atau hakhak yang mempunyai nilai ekonomis jadi hak milik bukan saja tertuju pada bendanya namun juga kepada jenis hak. Maka benda yang dilekati hak milik merupakan unsur yang sangat penting dalam hukum jaminan kebendaan yang memberi kepercayaan bagi para kreditur terutama pihak Bank dalam analisis pemberian kredit Konsep hak milik dalam KUH Perdata menganut asas pelekatan horizontal (horizontale nattrekling) dan pelekatan vertikal (verticale nastrekling). Pelekatan secara horzontal melekatkan suatu benda sebagai benda yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya. Misalnya dalam pelekatan tanah timbul (Pasal 585 KUH Perdata) atau balkon pada rumah induknya (Pasal 588 KUH Perdata). Berdasarkan asas pelekatan maka pemilik benda pokok merupakan pemilik ikutannya dan secara hukum benda ikutan itu mengikuti benda pokoknya. Sedangkan pelekatan secara vertikal melekatkan semua benda yang ada di atas maupun di dalam tanah dengan tanah sebagai benda pokoknya. Pada Pasal 571 KUH Perdata dikatakan: hak milik atas sebidang tanah tergantung arti di dalamnya ketika mengenai apa yang ada di atas dan di dalam tanah. Hukum Inggris juga mengenal semacam asas vertikal, yaitu tanah harus dilihat mempunyai value. Pemilikan tanah berarti: juga terhadap bagian ke dalam tanah sampai ke pusat bumi (downwards to the centre of the earth) dan bagian atas tanah (upwards to infinity). Lawson dan Bernard Rudden, The Law of Property, Clorendan Press Oxford, 1982, menyebutkan bahwa: " by land, then, the law understands all immovables property, fields, farms, houses, shops, factories, and so on. Again houses and other building are inevitably part of the land on which they stand for they had no identify of their own until they were built on it, and their materials have become merged in them." Semua benda yang melekat pada tanah di mana benda tersebut berdiri merupakan bagian tanah (land) dan termasuk dalam pengertian land. Konsep pemilikan tanah di Indonesia berdasarkan UUPA maupun hukum adat tentang tanah menganut azas pemisahan horisontal (horizontale scheiding), yaitu pemilikan atas tanah dann benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Pemilikan atas tanah terlepas dari benda yang berada di atas tanah itu sehingga pemilik hak atas tanah dan pemilik atas bangunan yang berada diatasnya dapat berbeda. Maka dalam hukum adat dikenal hak menumpang pekarangan (hak untuk mempunyai dan mendiami rumah di atas tanah milik orang lain di samping pemilik pekarangan), hak menumpang rumah (hak untuk mempunyai dan
28
mendiami rumah di atas tanah milik orang lain yang tidak didiami pemilik tanah tersebut). Penumpang rumah atau pekarangan disebut “lindung, induk atau magersari” Hak milik menurut UUPA dinyatakan pada Pasal 20 ayat (1) adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6. Ketentuan tersebut menujukan bahwa hak milik merupakan hak yang secara otomatis dapat diwariskan (peristiwa hukum), tidak ada hak yang lebih tinggi dan dapat menjadi hak induk. Sebagai hak atas tanah yang paling tinggi nilainya maka hak milik merupakan hak yang paling disukai oleh obyek jaminan hutang dengan hak tanggungan. Meskipun pemegang hak mempunyai pembatasan melalui Pasal 6 yaitu penggunaannya memperhatikan fungsi sosial yang melekat pada tanah itu. Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang BPN bekerjasama dengan Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-UGM) tahun 1996 s/d 1998 telah memperoleh gambaran preferensi konsumen terhadap tanah. Hasil penelitian menunjukan bahwa harga tanah ditentukan oleh peningkatan status tanah (bobot 30,17%), Accessibilty (Kemudahan) Accesibility (kemudahan) merupakan dasar penilaian apakah suatu obyek tanah akan menguntungkan jika dimanfaatkan untuk suatu usaha ekonomi. Aksesibility selain diukur dari potensi kesuburan fisik juga diukur dari posisi atau lokasi tanah terhadap jaringan jalan utama, pusat produksi dan pusat pemasaran. Konsep dasar accesibility dikembangkan oleh Von Thunen yang menyimpulkan bahwa kegiatan pemanfaatan tanah memberi hasil terbesar satuan hektar adalah terletak paling dekat dengan pusat-pusat perekonomian (pasar). Dalam perekonomian modern yang patut disimak adalah munculnya konsep ”Central Bussines District” atau CBD yang dikembangkan sekalipun di sebuah kota besar. Konsekwensi dari tumbuhnya banyak CBD adalah konfigurasi harga yang tinggi di daerah-daerah tertentu yang mempunyai berbagai aksesibilitas. Orang lebih suka tinggal di dekat semua kegiatan dengan pertimbangan biaya transportasi yang lebih murah dan menghindari kemacetan. Maka harga tanah dipengaruhi “Quality of Society Life” seperti ketenangan, keamanan, kenyamanan lingkungan sosial masyarakat. Daerah yang mempunyai keunggulan fasilitas sosial dan lingkungan yang lengkap akan bernilai tinggi akibat adanya “value added and value-in-use of social environment” Dalam perkembangan kemudian, ketika masyarakat dilanda trend masyarakat modern untuk “back to nature“ telah memanfaatkan tanah di pedesaan yang kemudian dilengkapi dengan berbagai fasilitas sosial dan lingkungan sehingga harga tanah menjadi tinggi. Peranan fasilitas sosial dan lingkungan yang berpengaruh dalam peningkatan harga tanah seperti disimpulkan oleh penelitian Puslitbang BPN bekerjasama dengan Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-UGM) Yogyakarta tahun 1996 s/d 1998 menunjukan bahwa aspek aksesibilitas/fasilitas mempunyai bobot 26,83% terhadap peningkatan harga tanah. Lebih rinci besarnya masing-masing adalah sebagai berikut: • • • •
peningkatan fasilitas jalan dan transportasi peningkatan fasilitas/jaringan air bersih peningkatan fasilitas/jaringan pendidikan peningkatan fasilitas/jaringan listrik
= 16,57 % = 14,93 % = 13,33 % = 13,28 %
Utility (Kemanfaatan) Utility (kemanfaatan) merupakan dasar penilaian apakah suatu bidang tanah dapat memberi kegunaan atau manfaat yang penuh bagi penguasa atau pemiliknya. Sebagai contoh tanah yang digunakan untuk perumahan dan ditempati sehari-hari akan memberi nilai guna yang tinggi bagi penghuninya. Karena itu harga perumahan akan relatif lebih tinggi dibanding harga tanah sawah atau tanah kering.
29
Penelitian lain yang dilakukan oleh Puslitbang BPN bekerjasama dengan Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-UGM) tahun 1996 s/d 1998 telah memperoleh hasil bahwa harga tanah ditentukan oleh peningkatan kemanfaatan tanah (bobot 30,05%). Terhadap peningkatan kemanfaatan tanah lebih lanjut ditunjukan masing-masing untuk peningkatan areal perumahan (bobot 30,26%), areal industri (bobot 27,24%), areal pertanian (bobot 27,16%) dan areal jasa (bobot 15,34%). Fasility (Fasilitas) Fasility (Fasilitas) Wilayah secara konsepsional adalah peningkatan nilai guna suatu wilayah dengan cara menambah sarana dan prasarana sehingga memberi perluasan berbagai pilihan kegiatan manusia Harga tanah seperti diketahui merupakan pertemuan tarik menarik antara kekuatan permintaan (demand) dan kekuatan penawaran (supply). Tinggi rendahnya permintaan ditentukan oleh preferensi konsumen dan kegunaan tanah tersebut. Tanah yang memberi “rent surface” yang tinggi akan bernilai tinggi pula. Dari sisi permintaan rent surface ditentukan oleh “amenities” yaitu hal-hal yang menarik bagi konsumen untuk tinggal atau berusaha di tempat tersebut. Sedangkan dari sisi penawaran rent surface ditentukan oleh “scale of economic” dan “comparative advantage”. Secara umum scale of economic adalah besaran unit usaha yang dibutuhkan agar seluruh biaya untuk memproduksi barang dan jasa dapat diimbangi dengan hasil penjualan barang dan jasa tersebut. Sedangkan comparative advantage adalah perbandingan komponen biaya produksi yang relative lebih murah di antara satu tempat dengan tempat lain. Untuk memberi gambaran mengenai preferensi konsumen atau masyarakat terhadap tanah perlu disajikan hasil polling (pengumpulan pendapat) yang dilakukan majalah Money di Amerika Serikat pada tahun 1990 dan 1991. Penelitian diorganisir oleh Beta Research of Syoset dari negara bagian New York yang menanyai ratusan responden melalui telepon. Peneliti mengurutkan peringkat terhadap 13 variabel yang berkaitan dengan kualitas hidup masyarakat. Hasil penelitian menunjukan bahwa konsumen tanah di Amerika Serikat cenderung memilih lingkungan yang bersih dan sehat, terletak di lokasi yang memiliki akses kesehatan, angka kriminalitas yang rendah serta lingkungan financial yang menarik (pengenaan pajak penghasilan dan pajak penjualan yand rendah). Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang BPN bekerjasama dengan Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-UGM) tahun 1996 s/d 1998 telah memperoleh hasil bahwa harga tanah ditentukan oleh peningkatan fasilitas wilayah dengan bobot 28,83%. Kelembagaan Penetapan Harga Tanah Sampai saat ini ada tiga jenis penetapan harga tanah, yaitu (1) penentuan harga tanah oleh Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT) yang mendasarkan pada kesepakatan harga antara penjual dan pembeli tanah, (2) penentuan harga tanah yang disesuaikan dengan ketetapan Direktorat PBB, yaitu melaui Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dan (3) penentuan harga tanah yang ditetapkan oleh tim dari Kantor Pertanahan, Instansi PBB, Camat/PPAT, Lurah dan Kepala Bagian Pemerintah Pemerintah Daerah setempat untuk keperluan pengadaan tanah. Ketiga penetapan itu secara umum menggunakan metode perbandingan (market data approach): metode ini berdasarkan data pasaran (transaksi jual/beli/sewa) yang digunakan sebagai perbandingan dengan harta yang akan dinilai dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: tanah sejenis, lokasi sama (berdekatan), tanggal jual/beli/sewa sah, keadaan tanah (Rahman, 1994). Kelembagaan penilaian tanah dewasa ini mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan. NJOP itu menjadi acuan untuk penetapan harga tanah dalam kegiatan pelayanan pertanahan, yang antara lain meliputi penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penetapan uang ganti rugi pembebasan tanah untuk kepentingan umum, penilaian tanah untuk pembebanan hak tanggungan yang menggunakan jaminan hak atas tanah dan sebagainya. Penetapan NJOP
30
sebagai lembaga penilaian tanah yang didasarkan hukum normatif secara realita dalam praktek di lapangan tidak selalu sejalan. Secara teoritis niali tanah sama dengan harga tanah namun dalam prakteknya terdapat berbagai variasi harga tanah pada sebidang tanah yang sama, pada kurun waktu relatip sama. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional (Puslitbang, BPN) pada tahun 2001 di Kota Denpasar, menunjukkan bahwa pada umumnya di daerah perkotaan penetapan nilai tanah berdasarkan NJOP-nya lebih rendah dibanding dengan harga pasar tanah sebenarnya,. Hal ini disebabkan pengaruh pembangunan prasarana dan sarana fisik perkotaan serta kepastian hak atas tanah menyebabkan tanah diperkotaan banyak dibutuhkan masyarakat sedangkan persediaannya relatif terbatas. Sementara itu, penetapan harga jual beli tanah dan bangunan yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) walaupun mengacu pada NJOP, namun tetap mendasarkan pada keterangan pihak penjual dan pihak pembeli. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang BPN bekerjasama dengan Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-UGM) tahun 1996 s/d 1998 telah memperoleh hasil bahwa harga tanah ditentukan oleh bekerjanya kelembagaan penetapan nilai tanah dengan bobot 12,95%. Tugas pokok dan kewenangan PPAT semula ditetapkan dalam PP 10/1961. Jabatan PPAT juga disebut dalam UU Nomor 16/1985 tentang Rumah Susun dan UU Nomor 4/1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang berkaitan Dengan Tanah. Kemudian dalam PP 24/1997 yang diikuti dengan PP 37/1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT diatur jabatan dan tugas PPAT, adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Satuan Rumah Susun. Perbuatan hukum tersebut meliputi pembuatan akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan akta-akta lain yang diatur dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Akta PPAT merupakan Akta Otentik berdasarkan KUH-Perdata yang bentuk dan keabsahannya ditentukan oleh Undang-undang. Fungsi PPAT dalam penyelenggaraan pelayanan pertanahan itu sekurang-kurangnya mencakup dua hal yang strategis: (1) fungsi meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah melalui peralihan dan pembebanan hak tanggungan,dan (2) fungsi meningkatkan penyelenggaraan tertib administrasi pertanahan. Fungsi meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah itu adalah dengan memastikan agar proses peralihan hak dan pembebanan hak atas tanah berlangsung dalam kesatuan sistem pertanahan nasional yang menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Sedangkan fungsi meningkatkan penyelenggaraan administrasi pertanahan berkaitan upaya mendukung terwujudnya Good Land Governance, khususnya dalam memberikan pelayanan pertanahan transparan, akuntabel dan efisien melalui tertib administrasi pertanahan dengan meneliti kebenaran subyek dan obyek bidang tanah yang diperjanjikan. Mengenai subyek dan obyek bidang tanah yang diperjanjikan. Pasal 1313 Buku ke III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang mulai berlaku tanggal 30 April 1847, memberi definisi “Perjanjian “ atau “Persetujuan” sebagai “ suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” (Subekti, 2001:1). Hukum Perjanjian itu, memberi kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan Dalam Hukum Perjanjian berlaku sekurang-kurangnya tiga prinsip atau asa yang bersifat universal, yaitu asas konsesualisme, kekuatan mengikat persetujuan dan asas kebebasan berkontrak.: (1) asas konsesualisme, mengacu pada suatu kondisi bahwa hal-hal yang diperjanjikan itu terjadi melalui persesuaian kehendak atau konsesnsus para pihak, (2) asas kekuatan mengikat persetujuan, mengacu pada suatu kondisi bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka terima sebagai kewajiban masing-masing atau sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1228 ayat (1) KUH Perdata bahwa persetujuan merupakan undang-undang bagi pihakpihak yang mengadakannya dan (3) asas kebebasan berkontrak, mengacu pada suatu kondisi
31
bahwa setiap orang bebas mengadakan persetujuan dengan siapa saja yang dikehendaki, menentukan isi, daya kerja dan persyaratan-persyaratan persetujuan sesuai dengan pandangan sendiri, menuangkannya dalam bentuk tertentu atau tidak dan tunduk pada ketentuan-ketentuan perundang-undangan tertentu yang dipilih. Sementara itu Mariam Darus (2001:83-83), mengutip pendapat Grotius, yang menyatakan bahwa prinsip dasar konsensus itu terdapat dalam Hukum Kodrat dengan mengatakan bahwa “janji itu mengikat” (pacta sunt servanda”) dan “kita harus memenuhi janji kita” (promissorum implendorum obligati). Falsafah itu terdapat pula dalam sebuah pantun Melayu yang mengatakan “ kerbau dipegang talinya, manusia dipegang janjinya”. Asas yang telah diterima secara universal dalam perjanjian komersiil adalah asas pacta sunt servanda. Asas ini sering dikenal dengan istilah “asas kesucian kontrak” (sancity of contract), yang intinya menyatakan bahwa setiap pihak bertanggung jawab untuk hal-hal yang tidak dijalankan, meskipun kegagalan itu di luar kekuasaannya dan tidak dapat dilihat terlebih dahulu pada waktu penandatanganan perjanjian. Pacta sunt servanda yang dikenalkan dalam ilmu hukum pada abad XII merupakan adagium yang dipergunakan dalam perjuangan yang sekarang dikenal sebagai konsesualisme, hal ini juga sesuai dengan apa yang ditambahkan pada formulasi lengkap, betapapun persetujuan-persetujuan itu nuada atau tidak sempurna.
32
4 KEBIJAKAN PERTANAHAN NASIONAL 1.
Pengertian Kebijakan dan Kebijaksanaan Pertanahan
Kebijakan dan kebijaksanaan pertanahan merujuk dua istilah yang sering digunakan untuk maksud yang sama padahal keduanya mengandung muatan yang berbeda. Kebijakan pertanahan mengacu pada istilah “land policy” yaitu pengaturan aspek-aspek pertanahan yang substansinya telah termuat dalam UUPA dan piranti strategis seperti Ketetapan MPR, GBHN dan Undang-Undang terkait Pertanahan. Sebagai contoh kebijakan tentang tanah berfungsi sosial yang ditegaskan dalam Pasal 6 UUPA, yaitu ”Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Kebijsakaan pertanahan merupakan praktek pelaksanaan aturan oleh pejabat atau instansi pertanahan disesuaikan dengan kondisi lingkungan tertentu tanpa mengubah asas yang terkandung dalam kebijakan pertanahan. Misalnya berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang fungsi-fungsi sosial tanah selanjutnya ditetapkan kebijakan operasional yang mengatur antara lain tentang: (1) tanah harus digarap dan tidak boleh ditelantarkan, (2) pemerintah dapat melakukan pencabutan hak atas tanah jika kepentingan umum menghendakinya dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut prosedur yang diatur dengan hukum pertanahan. Hubungan kebijakan pertanahan dengan kebijaksanaan operasional juga tampak dalam keberpihakan pada golongan ekonomi lemah. Keberpihakan pada golongan ekonomi lemah adalah asas yang terkandung dalam UUPA dan menjadi acuan dalam reformasi pertanahan (yang kemudian menjadi produk TAP MPR No. XVI/Tahun 1998). Selanjutnya pelaksanaan kebijakan tersebut dapat dilihat dari kebijaksanaan operasional yang membebaskan tarif peningkatan hak atas tanah dari Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai menjadi Hak Milik bagi masyarakat Indonesia yang menguasai tanah perumahan dengan luas 200 m2 atau kurang. (Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998 dan Nomor 6 Tahun 1998). 2.
Kebijakan Dasar Pertanahan Nasional.
Kebijakan pertanahan nasional dilandasi pada kebijakan umum untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya melalui pengaturan pemanfaatan atas penguasaan sumberdaya tanah oleh Negara. Adapun 10 kebijakan dasar pertanahan itu sebagai berikut.
Tabel 1 Kebijakan Dasar Pertanahan dalam UUPA Kebijakan-1 Hubungan abadi bangsa Indonesia dengan kesatuan tanah air
Pokok kebijakan ini adalah pengaturan mengenai bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Negara Republik Indonesia harus selalu dilandasi pada upaya ke arah persatuan kesatuan bangsa untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
33
Kebijakan-2 Hak menguasai tanah oleh Negara.
Pokok kebijakan ini adalah perlunya peranan aktif dari Pemerintah dalam mengatur penguasaan dan penataan penggunaan tanah sehingga pemanfaatan tanah dapat mewujudkan kemakmuran rakyat
Kebijakan-3: Pengakuan terhadap hak ulayat.
Pokok kebijakan ini adalah penegasan bahwa hak adat dan ulayat menjadi sumber hukum dalam pengaturan hukum tanah nasional. Hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan Bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.
Kebijakan ke-4 Kesempatan dan aksesibilitas yang sama bagi Warganegara
Pokok kebijakan ini adalah memberi kesempatan yang sama bagi warga negara Indonesia, untuk memperoleh suatu hak dan manfaat atas tanah, serta derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia bagi beserta keluarganya. Arah kebijakan ini meliputi: (i) Negara menentukan berbagai jebis hak yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum, (ii) Atas dasar hak menguasai dan memiliki dengan jenis hak atas tanah tertentu itu, orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum memunyai akses untuk memanfaatkan tanah sesuai dengan tujuan pemberian haknya, (iii) kesempatan itu diberikan pada setiap warganegara Indonesia, lakilaki maupun wanita.
Kebijakan ke-5 Fungsi sosial hak atas tanah.
Dalam Pasal 6 UUPA dinyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang berarti bahwa pemanfaatan tanah di samping memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah, juga memberikan kewajiban tertentu terhadap pemanfaatannya. Pemanfaatan itu harus disesuaikan dengan keadaan tanah dan sifat hak atas tanah tersebut, sehingga memberikan kesejahteraan, dan keadilan bagi yang mempunyai hak atas tanah tersebut, maupun bagi masyarakat dan negara. Tanah tidak boleh diterlantarkan. Dengan demikian, pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk memelihara, termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakan sehingga memberi manfaat yang berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 mengatur ketenuan mengenai pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah. Ketentuan itu, berlaku untuk tanah pertanaian yang dimaksudkan agar pemilik tanah mengusahakan tanah secukupnya secara efisien dan efektif serta sebagai upaya mengurangi ketimpangan penguasaan tanah. Tanah kelebihan itu, merupakan objek landreform yang selanjutnya diredistribusikan kepada para petani sehingga petani sebagai aset untuk usahataninya.
Kebijakan ke-6 Pembatasan pemilikan penguasaan tanah pertanian.
dan
Kebijakan ke-7 Usaha bidang agraria yang anti monopoli swasta dan keberpihakan kepada golongan ekonomi lemah.
Pemerintah mencegah adanya monopoli dari usaha dalam lapangan agraria oleh perorangan dan organisasi. Kebijakan itu dimaksuf untuk menumbuhkan iklim yang kondusif guna meningkatkan produktivitas usahatani. Lebih lanjut, UUPA menyatakan bahwa dengan adanya perbedaan tingkat ekonomi masyarakat. Usaha pemanfaatan tanah harus menciptakan rasa keadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah.
Kebijakan ke-8: Intensifikasi tanah pertanian dengan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan.
Pada dasarnya setiap orang yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan. Ketentuan itu, juga berkaitan dengan pengaturan batas luas maksimum dan luas minimum. Tujuannya adalah agar dapat dicegah pemusatan penguasaan tanah pada suatu kelompok tertentu yang memanfaatkan tanah dengan cara pemerasan tenaga orang lain.
34
Kebijakan ke-9: Kaidah pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Tanah merupakan aset Bangsa yang berfungsi ekonomis dan ekologis. Maka keberadaan tanah yang kualitasnya tidak sama di setiap wilayah memerlikan pertimngan yang seksama dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu, arah kebijakan pertanahan adalah: (i) mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam tanah dengan mempertimbangkan aspek lingkungannya, (ii) mewajibkan setiap pemegang hak atas tanah untuk memelihara kesuburan tanah dan mencegah kerusakannya.
Kebijakan ke-10 Penatagunaan Tanah.
Pasal 14 UUPA menyatakan bahwa pemerintah ditugaskan untuk menyusun rencana umum dan terperinci mengenai peruntukkan, penggunaan, dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia untuk berbagai keperluan hidup rakyat dan Negara yang pelaksanaannya dilakukan bertingkat secara Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan adanya perencanaan tersebut, penggunaan tanah dapat dilakukan secara terintegrasi dan sesuai kebutuhan Daerah, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Upaya pemanfaatan tanah semacam itu, merupakan proses penatagunaan tanah, yaitu rangkaian proses penyelenggaraan penatagunaan tanah melalui penyerasian dengan rencana tata ruang wilayah. Meliputi tiga kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian sesuao RTRW Kabupaten/Kota atau kawasan yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA)
3.
Prinsip Kebijakan Pertanahan
Kebijakan pertanahan dilandasai pada kewenangan Negara untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA sepanjang menyangkut tanah yang meliputi : a. mengatur persediaan, penggunaan, peruntukan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa b. menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang mengenai bumi, air dan ruang angkasa c. mementukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pelaksanaan kebijakan itu adalah dalam bentuk penetapan peraturan perundang-undangan pertanahan dan pemberian program dan pelayanan di bidang pertanahan. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan pertanahan dikembangkan beberapa prinsip yaitu prinsip keterpaduan, prinsip manfaat dan prioritas, prinsip profesionalisme, dan prinsip kepastian dan kesinambungan Prinsip keterpaduan dimaksudkan bahwa pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan, yang meliputi aspek-aspek pengaturan penguasaan tanah, penatagunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, serta pengukuran dan pendaftaran tanah, harus dilakukan secara nasional dan dalam sistem penanganan yang terpadu, guna mencapai sasaran pembangunan nasional. Prinsip manfaat dan prioritas dimaksudkan bahwa pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan harus ditujukan ke arah pemanfaatan tanah dengan memperhatikan penetapan prioritas aecara nasional. Dengan prinsip ini diwujudkan fungsi sosial hak atas tanah. Prinsip profesionalisme dimaksudkan bahwa dengan terdapatnya dinamika dan perkembangan permasalahan yang semakin kompleks maka pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan harus ditangani secara profesional sehingga dicapai daya guna pelaksanaan tugas di bidang pertanahan sebaik-baiknya. Dalam kaitan ini perlu diupayakan peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi para petugas pelaksana secara berencana dan berkelanjutan. Prinsip kepastian dan kesinambungan dimaksudkan bahwa pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan harus dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah, serta mampu menjamin kesinambungan pembagunan
35
4.
Kerangka Sistem Kebijakan Pertanahan
Tujaun pokok kebijakan pertanahan adalah: “menciptakan kondisi penguasaan dan penggunaan yang diarahkan pada pencapaian sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui proses berkeadilan sosial.”. Kemakmuran rakyat dari sektor pertanahan tidak mudah diukur, karena kemakmuran adalah sesuatu nilai yang abstrak, berkaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan serta berbagai barang dan jasa lainnya. Pencapaian kemakmuran tersebut juga bukan semata-mata dapat diperoleh jika seseorang menguasai atau memiliki tanah. Yang dapat memberi kemakmuran adalah jika tanah tersebut diusahakan atau dimanfaatkan sehingga memberi hasil berupa produksi fisik seperti di bidang usaha pertanian atau memberi hasil langsung berupa uang tunai jika tanah tersebut disewakan atau diusahan di bidang non pertanian untuk tempat usaha perdagangan atau jasa lainnya. Untuk mengkongkritkan tujuan pengelolaan pertanahan dilakukan bertahap dengan pendekatan sistem pengelolaan pertanahan, yang meliputi pengelolan input, proses dan pengelolaan output pertanahan seperti disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 merupakan suatu model sistem pengelolaan pertanahan yang terdiri dari blok input pertanahan, blok proses pengelolaan pertanahan, blok output pengelolaan pertanahan yang satu sama lain berada dalam suatu sistem dinamis. Dinamika sistem tersebut terjadi karena ada faktor luaran yang mempengaruhi kondisi input pertanahan, faktor kebijakan dan kebijaksanaan pertanahan. Dengan adanya berbagai kondisi komponen pengelolaan pertanahan tersebut akan muncul berbagai masalah pertanahan. Masalah tersebut akan didekati dengan aspek-aspek pengelolaan pertanahan sehingga dapat dirumuskan pemecahannya. PENGELOLAAN • Subyek Hak • Obyek Hak • Faktor Lingkungan Sosekbudhankam
PROSES PENGELOLAAN
Piranti Strategis dan Struktural • • • •
UUPA TAP MPR Visi, Misi Organisasi
• Pengaturan hubungan subyek-obyek hak • Penataan Pengurusan Pemilikan Tanah • Penataan Tata Guna Tanah • Pemberian Hak Atas Tanah • Pendaftaran Tanah dan Sertifikasi • Pengaturan Peralihan Hak dan Perubahan Penggunaan Tanah
Kerangka Teknis Pengelolaan • • • •
Perencanaan Pengorganisasian Pelayanan Pengendalian
OUTPUT PENGELOLAAN • Catur Tertib Pertanahan • Tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Gambar 6 : Model Kerangka Sistem Pertanahan
36
Penanganan Input Pertanahan Penanganan input pertanahan merupakan kegiatan untuk mengelola kondisi hubungan subyek dan obyek hak atas tanah saat ini, dari segi (i) struktur hubungan penguasaan dan pemilikan tanah (ii) penggunaan dan pemanfaatan struktur hubungan penguasaan dan pemilikan tanah dan (iii) distribusi manfaata yang diperoleh atas hubungan penguasaan dan penggunaan tanah. Kondisi hubungan (i) dan hubungan (ii) secara teoritis dapat dikendalikan oleh instansi BPN sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Sedangkan kondisi hubungan (iii) sebagian besar berada dalam kewenangan instansi luar BPN. Faktor lain yang di luar kendali instansi BPN adalah kondisi lingkungan lokal, regional dan global yang mempengaruhi subyek dan obyek hak atas tanah, yaitu kondisi politik-ekonomi-sosial-budaya-pertahanan-keamanan nasional (poleksosbudhankamnas). Penanganan Proses Pertanahan Penanganan proses pertanahan dalam bahasa teknis di BPN sering disebut dengan istilah “pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan”, merupakan kegiatan untuk mengatur hubungan subyek dan obyek hak atas tanah agar mencapai tujuan yang ditetapkan dalam UUPA dan piranti strategis kegiatan BPN. Ruang lingkup kegiatan tersebut mencakup: (i) pengaturan penggunaan tanah; (ii) pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah; (iii) pemberian hak atas tanah; dan (iv) pendaftaran hak atas tanah dan penerbitan sertipikat hak atas tanah untuk pertama kali dan peralihannya. Pengelolaan peralihan tanah tersebut selain pengelolaan terhadap proses peralihan penguasaan dan pempilikan tanah juga peralihan atau perubahan (konversi) penggunaan tanah. Penanganan pertanahan yang terkait dengan pengaturan penggunaan tanah merupakan pelaksanaan Pasal 2 ayat (2b) UUPA yaitu pengaturan dan penyelenggaraan persediaan, peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaan tanah. Kemudian dijabarkan pada ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA. Pasal 14 artinya mengatur perencanaan tata guna tanah dan Pasal 15 intinya mengatur kewajiban para subyek hak agar melaksanakan pemeliharaan tanah dengan menjaga aspek kesuburan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan tanah ditetapkan dalam Peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Ttanah. Penanganan pertanahan yang terkait dengan pengaturan penguasanaan pemilikan tanah merupakan pelaksanaan Pasal 2 ayat (2c) UUPA, yaitu pengaturan hubungan-hubungan hukum orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai tanah. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 7, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13 dan Pasal 17 UUPA. Pasal 7 mengatur larangan penguasaan dan pemilikan tanah melampaui batas; Pasal 10 mengatur pencegahan pemerasana dalam hubungan penguasaan dan pengusahaan tanah; Pasal 11 mengatur perlindungan kepentingan golongan ekonomi lemah; Pasal 13 mengatur pencegahan monopoli swasta dan perorangan atas tanah; Pasal 17 mengatur luas maksimum dan minimum tanah dengan berbagai macam jenis hak yang diatur dalam perundang-undangan tentang tanah. Penanganan pertanahan yang terkait dengan pemberian hak atas tanah merupakan pelaksanaan pengaturan Pasal 2 ayat (2b), yaitu pengaturan hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. Kemudian dijabarkan pada ketentuan dalam Pasal 4, dan Pasal 16 UUPA. Pasal 4 intinya wewenang Negara dalam memberikan hak dan tanah sedangkan Pasal 16 adalah jenis hak atas tanah yang dapat diberikan pada orang-orang yang disebut subyek hak. Hak-hak atas tanah itu meliputi Hak Milik, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan Hak-hak lain yang akan diatur dalam peraturan perundangan. Penanganan pertanahan yang terkait dengan Pengukuran dan Pendaftaran Tanah merupakan pelaksanaan pengaturan Pasal 2 ayat (2c) UUPA yaitu pengaturan hubungan-hubungan hukum orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai tanah. Kemudian dijabarkan lebih lanjut
37
dalam Pasal 19 UUPA tentang Pendaftaran Tanah dan Peralihan Tanah. Ketentuan Pendaftaran Tanah mengatur tentang kewajiban mendaftarkan hak atas tanah bagi para pemegang hak. Sedangkan ketentuan Peralihan Hak mengatur administrasi pendaftaran peralihan hak atas tanah antara orang dengan orang, antara orang dengan badan hukum, antara badan hukum dengan orang atau antara badan hukum dengan badan hukum. Penanganan Output Pertanahan Penanganan output pertanahan merupakan kegiatan untuk mengelola hasil kegiatan proses pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan untuk mewujudkan tujuan antara yang diperlukan sebagai prasyarat kondisi terwujudnya tujuan pokok, yaitu Catur Tertib Pertanahan (sebagai sasaran kebijakan pertanahan) yang meliputi: (i) tertib hukum pertanahan, (ii) tertib administrasi pertanahan, (iii) tertib penggunaan tanah, (iv) tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Dengan tercapainya sasaran antara tersebut diharapkan terwujud tujuan pokok UUPA, yaitu tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kebijaksanaan Pertanahan Sebelum Era Reformasi Undang-Undang Pokok Agraria melalui Pasal 1 ayat (1) telah menggariskan prinsip keadilan dalam mengatur hubungan hukum antara orang dan badan hukum terhadap bumi, air dan ruang angkasa untuk mencegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. Dalam Pasal 2 ayat (2) juga telah ditegaskan jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam kurun waktu tahun 1960 sampai awal pemerintah Order Baru telah dikeluarkan beberapa kebijaksanaan yang sangat memperhatikan kepentingan masyarakat golongan ekonomi lemah, di antaranya (1) Penetapan batas luas maksimum penguasaan tanah pertanian oleh seorang atau oleh satu keluarga. (2) Pembagian tanah kelebihan maksimum, tanah absente, tanah swapraja, dan tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara, serta pemberian ganti rugi kepada bekas pemilik. (3) Untuk menjamin kedudukan hukum yang layak bagi para petani penggarap mengenai bagi hasil dengan pemilik tanah, telah dibuat Undang-undang tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Selanjutnya selama pemerintah Order Baru, beberapa kebijaksanaan program penataan pemilikan/penguasaan tanah dengan sasaran memberdayakan golongan ekonomi lemah juga telah dilaksanakan di antaranya: (1) Pemberian Hak Atas Tanah secara masal kepada masyarakat, melalui Redistribusi tanah obyek Landreform, pemberian hak atas tanah dalam rangka pelaksanaan transmigrasi, pemberian hak atas tanah dalam rangka pelaksanaan program pencetakan sawah dan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Perkebunan. (2) Proyek Operasi Nasional Pertanahan (PRONA) (3) Konsolidasi Tanah yang merupakan kegiatan penataan penguasaan dan penggunaan tanah dengan mengikutsertakan masyarakat pemilik tanah secara aktif. (4) Pemberian Sertipikat Hak Milik Atas Tanah untuk RSS/RS, berupa peningkatan hak dari Guna Bangunan menjadi Hak Milik. (5) Kebijaksanaan penyelesaian sengketa yang mengutamakan kepentintan masyarakat. (6) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam wadah POKMASDARTIBNAH.
38
Kebijaksanaan Pertanahan di Era Reformasi Seiring dengan bergulirnya reformasi di segala bidang maka reformasi di bidang pertanahan telah dilaksanakan secara bertahap dan terus ditingkatkan akselerasinya sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap tanah, baik menyangkut sistem pelayanan, ketidakpastian hukum atas tanah yang dimiliki maupun menyangkut kemudahan akses untuk memperoleh tanah dalam rangka mengembangkan kegiatan usahanya secara adil dan merata. Beberapa kebijaksanaan Pertanahan yang dikeluarkan dalam rangka reformasi di antaranya: (1) Upaya peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat antara lain keterbukaan, kesederhanaan prosedur dan persyaratan, kepastian biaya dan waktu penyelesaian, serta penerapan sistem loket. Selain itu untuk menampung keluhan, protes dan saran masyarakat telah disediakan Kotak Pos 4000 di Kantor Pusat dan dengan demikian pula di setiap kantor Wilayah dan kantor Pertanahan. (2) Peningkatan pelayanan di bidang pendaftaran tanah melalui pengikutsertaan surveyor pemegang lisensi untuk melakukan pengukuran dan pemetaan kadastral. (3) Kebijaksanaan yang mewajibkan pemanfaatan tanah kosong oleh pemegang haknya untuk tanaman pangan. (4) Kebijaksanaan pemberian hak milik atas tanah untuk rumah tempat tinggal. (5) Kebijaksanaan pembatasan penguasaan tanah skala besar. Kebijaksanaan di bidang pertanahan yang mengarah kepada pemberdayaan ekonomi rakyat saat ini telah didukung oleh TAP MPR No. XVI/MPR/1998 pasal 7 yang mengamanatkan: (1) Pengelolaan dan pemanfaatan tanah sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. (2) Tanah sebagai basis usaha pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat yang mampu melibatkan serta memberikan sebesar-besarnya kemakmuran bagi usaha kecil, menengah dan koperasi. Beberapa kebijaksanaan pertanahan yang dikembangkan di tahun 1999 antara lain: (1) Pemberian HGU dengan pola kemitraan dengan mengikutsertakan masyarakat sekitar dalam pengelolaan perkebunan. (2) Percepatan pensertifikatan tanah-tanah pertanian di pedesaan. (3) Pemberian legalitas suatu hak atas tanah terhadap masyarakat yang menggarap tanahtanah secara tradisionil di wilayah pedalaman terutama di luar jawa. (4) Alokasi/distribusi penguasaan tanah pada setiap kabupaten/ kota. (5) Peninjauan kembali relevansi arel HGU yang berada di daerah padat penduduk. (6) Pemberian kesempatan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah untuk memperoleh usaha dengan perubahan HGU karena perubahan Tata Ruang dari pertanian ke non pertanian. (7) Pemberian ijin lokasi tanpa menggusur tanah milik penduduk. (8) Penguatan hak keperdataan terhadap penduduk yang tanahnya termasuk dalam areal ijin lokasi terutama di sektor perumahan dan perkebunan. (9) Retribusi aset tanah-tanah akibat pembatasan penguasaan tanah skala besar dalam wadah koperasi. (10) Pemberian hak milik petani peserta koperasi perkebunan
39
6.
Operasionalisasi Kebijakan Pertanahan
Secara umum dalam rangka mengoperasionalkan kebijakan pertanahan, dilaksanakan kegiatan pertanahan terkait dengan aspek penggunaan tanah, aspek penguasaan dan pemilikan tanah, aspek pengurusan hak atas tanah dan aspek pengukuran dan pendaftaran tanah kegiatan pertanahan terkait dengan aspek penggunaan tanah, meliputi : (1) melaksanakan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data serta dokumentasi penatagunaan tanah, (2) merumuskan kebijaksanaan teknis di bidang penatagunaan tanah dan tata ruang, (3) menyiapkan perumusan kebijaksanaan teknis dan melakukan pemetaan penatagunaan tanah dan (4) menyiapkan perumusan kebijaksanaan teknis dan melakukan bimbingan penatagunaan tanah dan (5) mewujudkan terselenggaranya peningkatan efisiensi dan optimalisasi pemanfatan tanah Kegiatan pertanahan terkait dengan aspek penguasaan dan pemilikan tanah, meliputi: (1) perlindungan dan pemberian peluang yang sama bagi setiap warga negara Indonesia untuk memiliki tanah sebagai sumber kehidupan secara wajar, (2) pencegahan penguasaan tanah secara berlebihan, (3) mewujudkan terselenggaranya pemerataan peningkatan taraf hidup masyarakat golongan ekonomi lemah, (4) mewujudkan terselenggaranya pemerataan penguasaan pemilikan dan pemanfaatan tanah
Kegiatan pertanahan terkait pengurusan hak atas tanah, meliputi : (1) memberikan kepastian pemilikan hak atas tanah untuk kepentingan hidup orang dan usahanya serta kepentingan pembangunan, (2) memberikan kemudahan dan jaminan kepastian hukum hak atas tanah bagi penanam modal untuk memperoleh tanah, (3) memberi pelayanan pemberian hak atas tanah dengan prosedur yang sederhana, cepat, murah dan kualitas kepastian hak Kegiatan pertanahan terkait pengukuran dan pendaftaran tanah, meliputi: (1) penyelenggaraan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia dalam rangka menjamin hak atas tanah, (2) meningkatkan penerbitan sertipikat hak atas tanah secara sistimatik dan sporadik secara massal, (3) membina dan meningkatkan profesionalisme di bidang pendaftaran tanah, (4) membina dan meningkatkan profesionalisme PPAT, (5) mengembangkan sistem komputerisasi pendaftaran tanah dan (6) meningkatkan kualitas pelayanan di bidang pendaftaran tanah
Masalah Penanganan Kegiatan Pertanahan Masalah pertanahan secara umum adalah adanya kondisi belum tercapainya sistem pengelolaan pertanahan sehingga sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan pertanahan belum terwujud. Beberapa indikator belum terwujudnya sasaran dan tujuan itu di bidang penatagunaan tanah, penguasaan pemilikan tanah, pengurusan hak atas tanah serta bidang pendaftaran tanah. Masalah aspek penatagunaan tanah, antara lain: (1) mekanisme proses penyusunan dan penyerasian rencana tata guna tanah dan rencana tata ruang belum sesuai dengan kebijaksanaan penyelenggaraan tata guna tanah, (2) pedoman kriteria teknis serta arahan peruntukan tanah belum seragam di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, (3) pengembangan sistem informasi teknologi belum merata untuk tingkat propinsi dan sebagian besar belum terwujud di tingkat kabupaten/kota. Masalah aspek penguasaan pemilikan tanah, antara lain: (1) adanya akumulasi penguasaan tanah di tangan sekolompok masyarakat golongan ekonomi kuat sehingga memperburuk distribusi penguasaan tanah, (2) meningkatnya fragmentasi penguasaan tanah oleh keluarga tani sehingga semakin banyak petani gurem, (3) adanya penelantaran tanah oleh pengusaha yang menguasai dan memiliki tanah melampaui batas wajar, (4) belum seimbangnya kesadaran hak
40
dan kewajiban para penguasa dan pemilik tanah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanahnya Masalah aspek pengurusan hak atas tanah, antara lain: (1) jaminan kepastian pemberian hak atas tanah sering dijadikan perkara di pengadian negeri yang putusannya masih dinaikkan banding ke pengadilan tinggi bahkan kasasi di Mahkamah Agung, (2) jaminan pengadaan tanah bagi pembangunan pemerintah swasta sering tertunda karena sulitnya menerapkan kesatuan sistim harga tanah untuk patokan ganti rugi pembebasan tanah, (3) prosedur pelayanan hak atas tanah yang lebih sederhana dan cepat belum seluruhnya dapat didelegasikan kewenangannya di tingkat kabupaten dan kota karena keterbatasan tanaga pelaksana. Masalah aspek pengukuran dan pendaftaran tanah, antara lain: (1) sebagian besar tanah di wilayah Indonesia belum bersertifikat, (2) pensertifikatan tanah sebagian besar melalui kegiatan sporadik karena terbatasnya anggaran pemerintah, (3) kesulitan pembuktian secara tertulis penguasaan dan pemilikan tanah, (4) keterbatasan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia penyelenggara pendaftaran tanah, termasuk PPAT, (5) pelayanan pendaftaran tanah yang transparan dan mudah belum sesuai harapan masyarakat, (6) proses peningkatan HGB menjadi Hak Milik masih dirasakan m,ahal bagi masyarakat golongan ekonomi lemah
Sumber permasalahan penanganan kegiatan pertanahan Sumber permasalahan penanganan kegiatan pertanahan berkaitan dengan teknis perencanaan dan pendataan, pengorganisasian, pelaksanaan pelayanan serta pengendalian pertanahan. Kegiatan perencanaan program pertanahan yang secara organisasatoris berada di bawah kendali Sekretariat Umum, penyelenggaraannya di tingkat Kanwil BPN Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota masih dilaksanakan oleh tata usaha umum, belum merupakan unit kerja khusus. Akibatnya sinkronisasi kegiatan untuk menjamin aliran penanganan peryanahan kurang berjalan. Kurang sinkronnya kegiatan tersebut juga tercermin dari tidak mengalirnya hubungan fungsional antara kegiatan rutin dengan kegiatan proyek di masingmasing bidang kegiatan dan antar kegiatan proyek di lingkungan pertanahan. Untuk meningkatkan kapasitas perencanaan program perencanaan pertanahan memerlukan data dan informasi pertanahan yang akurat. Namun kondisi aliran data dan informasi pertanahan juga masih banyak kendala. Data pertanahan saat kini berada di BPN dan luar BPN. Di lingkungan BPN data pertanahan berada di sekitar 350 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Jenis data pertanahan sekitar 44-48 jenis, berupa data tekstual dan peta.. Data ini berada di masing-masing unit kerja Seksi Teknis dan sebagian di Sub Bagian Tata Usaha. Berdasarkan pengamatan belum seluruh data di BPN terkelola dan terdokumentasi dalam suatu sistem data dan informasi pertanahan sehingga sering sulit memperoleh data secara cepat dan akurat pada berbagai tingkatan struktur data. Di luar BPN masih banyak data pertanahan yang juga belum terkelola dalam suatu sistem jaringan informasi dengan BPN. Data tersebut berada di Kantor Desa atau Kelurahan, Kantor Kecamatan dan berbagai instansi terkait dengan pertanahan tingkat Kabupaten/Kota dan tingkat Propinsi. Masalah yang kemudian terjadi adalah bagaimana mengubah data di berbagai sumber menjadi informasi pertanahan yang secara kontinyu mengalir ke Kantor Pertanahan. Di Kantor Pertanahan data tersebut diolah dan digabung, diklasifikas menjadi informasi pertanahan. Selanjutnya informasi dialirkan ke Kantor Wilayah BPN Propinsi, dan selanjutnya ke BPN Pusat. Masalah organisasi BPN saat kini bersumber pada sistem pengelompokan tugas bidang pertanahan yang belum homogen di antara unit kerja sehingga aliran fungsi penanganan pertanahan juga tidak terwujud di setiap tingkatan organisasi. Hal ini dapat diamati pada ragam unit kerja yang berorientasi pada pemisahan produk kerja misalnya pada unit kerja Deputi Pengurusan Hak Atas Tanah. Di lain pihak terdapat unit kerja yang berorientasi pada pemisahan proses kerja, misalnya pada unit kerja Deputi Pengaturan Penguasaan dan Penatagunaan Tanah
41
dan Deputi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah. Selain strukturisasi organisasi yang belum mencerminkan fungsi pengelolaan pertanahan juga terdapat kegiatan yang belum tertampung pada unit kerja di tingkat atasannya atau sebaliknya. Misalnya pengelolaan harga tanah, pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah serta tugas pelayanan kepada masyarakat. Selain kegiatan yang belum tertampung juga dijumpai kegiatan yang saling tumpang tindih dikerjakan oleh dua unit kerja. Misalnya penyelesaian sengketa atau kasus atau masalah pertanahan ditangani oleh unit kerja di lingkungan pengurusan hak atas tanah dan unit kerja di lingkungan pengukuran dan pendaftaran tanah. Masalah yang kemudian timbul dengan sistim pengorganisasi instansi pertanahan dewasa ini adalah beragamnya kebutuhan jenis dan kuantitas pelayanan pertanahan oleh masyarakat yang menimbulkan beban kerja berbeda untuk setiap Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan Kantor Wilayah BPN Propinsi yang masingmasing mempunyai unit kerja dan tenaga pelaksana yang tidak seimbang dengan kebutuhan. Hal ini menyebabkan di satu sisi terdapat kantor pertanahan yang sangat padat dan sibuk sehingga pelayanan terhambat dan di sisi lain terdapat kantor pertanahan yang pegawainya terkesan menganggur.
Masalah Penanganan Pelayanan Pertanahan Saat ini terdapat sekitar 42 jenis pelayanan pertanahan yang dibutuhkan masyarakat sebagai subyek hak perorangan, kelompok masyarakat maupun badan hukum. Dari 42 jenis tersebut dapat dikelompokkan menjadi delapan golongan, yaitu: (i) terkait sertifikasi tanah, (ii) ke-PPATan, (iii) sengketa tanah, (iv) informasi pertanahan, (v) investasi, (vi) pembangunan daerah, (vii) konsolidasi tanah dan (viii) pembebasan tanah. Kedelapan kelompok pelayanan dengan masingmasing jenis pelayanan disajikan pada Tabel 2. Masalah yang terjadi dalam pelayanan pertanahan adalah terkait dengan; (i) transparansi persyaratan, prosedur dan biaya pelayanan, (ii) kemudahan memproses pelayanan, (iii) kepastian waktu dan (iv) biaya yang terjangkau masyarakat. Berkaitan dengan pelaksanaan good land governance di bidang pelayanan pertanahan, telah ditetapkan Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Efisiensi Peningkatan Pelayanan di Bidang Pertanahan (selanjutnya Inmenag 3/98) yang intinya mengatur ketentuan percepatan pelayanan pertanahan kepada masyarakat melalui standarisasi prosedur, jangka waktu dan biaya pelayanan pertanahan. Adapun proses pelayanan dimaksud dilaksanakan dengan menggunakan sistem loket, yang terdiri dari Loket I yang berfungsi pemberian informasi, Loket II yang berfungsi untuk pendaftaran permohonan dari masyarakat, Loket III berfungsi untuk pembukuan dan Loket IV berfungsi untuk penyerahan produk, di antaranya sertipikat hak milik atas tanah originer. Selanjutnya dalam rangka menjamin kepastian pelaksanaan pelayanan, sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasional Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) yang intinya mengatur ketentuan persyaratan permohonan, prosedur atau alur pelayanan, biaya serta jangka waktu pelayanan pertanahan. Dengan terwujudnya tertib administrasi pertanahan, Kantor Pertanahan dapat meningkatkan produksi sertipikat hak atas tanah yang dimohon masyarakat.
42
Tabel 2. Jenis Pelayanan Pertanahan yang Dibutuhkan Masyarakat N o 1
Kaitan Pelayanan Sertipikat Hak atas Tanah a. Sertipikat Pertama
b. Terkait PPAT
c. Sertipikat Pengganti 2
Terkait Bank
3
Terkait Sengketa
4
Informasi Tanah
5
Kaitan Investasi
6.
Pembangunan Daerah
7.
Penataan Tanah
8.
Kegiatan Lain
Penguasaan
Jenis Pelayanan 1. Permohonan hak 2. Konversi Hak Milik Adat 3. Konversi Langsung 4. Campuran PAP 5. Pemecahan, Penggabungan 6. Jual Beli, Peralihan 7. Lelang 8. Keputusan Pengadilan 9. Wakaf 10. Perpanjangan, Pembaharuan, Peningkatan Hak 11. Hak Milik RS/RSS 12. Karena Hilang 13. Karena Rusak (ganti blanko) 14. Hak Tanggungan 15. ROYA 16. Gugatan TUN 17. Sengketa tengtang produk BPN 18. BPN sebagai saksi 19. Pencatatan sita jaminan 20. Blokir 21. Pencatatan hapusnya hak 22. Pencatatan ganti nama 23. Pencatatan keputusan Pengadilan 24. SKPT/Pengecekatan Sertipikat 25. Kepastian luas hasil ukur (GS) 26. Penjelasan syarat, prosedur 27. Data tata guna tanah 28. Permohonan memperoleh warkah 29. Data yuridis dan fisik 30. Izin lokasi 31. Sertipikasi Pakto 91 32. Hak Milik Sarusun 33. Pengadaan Tanah Keppres 55 34. Proyek Transmigrasi 35. Pencetakan Sawah Dep.Tan (3/85) 36. Proyek penunjang lain 37. pemaduserasian RUTR, TGHK, dll. 38. Sertipikasi Pengembangan Wilayah 39. Konsolidasi Tanah (swadaya) 40. Ganti rugi obyek Landreform 41. Pelepasan Hak 42. Pembinaan PPAT
Masalah Penanganan Pengendalian Pertanahan Pengendalian pertanahan dilakukan dengan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan pertanahan. Monitoring pertanahan bertujuan agar pelaksanaan kebijakan pertanahan berlangsung dengan peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan. Sedangkan evaluasi pertanahan bertujuan agar pelaksanaan peraturan pertanahan berlangsung secara efektif dan efisien. Sebagai contoh, kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemberian ijin lokasi Kawasan Industri, Real Estate dan sebagainya. Masalah yang terjadi dalam monitoring dan evaluasi tersebu adalah belum ditetapkan kriteria teknis untuk menilai pelaksanaan sehingga dapat digunakan dalam perbaikan pengendalian. Karena itu di setiap kantor pertanahan
43
pelaksanaan monitoring dan evaluasi untuk setiap kegiatan pelayanan pertanahan berbedabeda. 7. Catur Tertib Pertanahan Dalam Repelita V BPN telah digariskan sasaran pengembangan bidang pertanahan yaitu terwujudnya Catur Tertib Pertanahan, yang mencakup: (i) tertib hukum pertanahan; (ii) tertib administrasi pertanahan; (iii) tertib penggunaan hak; dan (iv) tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Keempat tertib tersebut merupakan pedoman bagi penyelenggaran tugastugas pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan, yang sekaligus merupakan gambaran tentang kondisi atau sasaran antara, yang ingin dicapai dalam pembangunan bidang pertanahan, yang pelaksanaannya dilaksanakan secara bertahap. Gambaran tentang kondisi dari masing-masing tertib tersebut adalah sebagai berikut: Catur tertib pertanahan telah ditetapkan sebagai sasaran penataan dan pengelolaan-pengelolaan pertanahan guna mewujudkan tujuan UUPA yaitu tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagai sasaran maka catur tertib pertanahan harus terukur secara kuantitatif dan kualitatif. Ukuran tersebut dapat ditetapkan dengan menjabarkan secara jelas indikator terwujudnya catur tertib pertanahan ke dalam tolok ukur. Berdasarkan laporan bulanan maupun laporan tahunan dari Kantor Wilayah BPN Propinsi, kondisi catur tertib pertanahan di setiap kabupaten dan kotamadya belum disajikan dengan jelas. Hal ini disebabkan penjabaran indikator dan tolok ukur dari masing-masing tertib pertanahan serta merupakan produk dari komponen mana, belum ditegaskan. Laporan yang ada berupa kegiatan dari masing-masing komponen struktural BPN. Maka pemilihan indikator kunci ini dan jenis pelayanan yang terkait dengan penataan catur tertib pertanahan merupakan langkah strategis yang dipilih dalam penelitian. Pada Tabel 3 disajikan penjabaran konsep catur tertib pertanahan kedalam indikator dan tolok ukur. Tabel 3 : Indikator dan Tolok Ukur Penataan Catur Tertib Pertanahan No. 1.
Komponen Catur Tertib Tertib Hukum Pertanahan
2
Tertib Administrasi
3
Tertib tanah
4
penggunaan
Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup
Indikator Penataan
Tolok Ukur
a. Seluruh perangkat peratiran di bidang pertanahan telah tersusun. b. Penguasaan/Pemilikan setiap bidang tanah telah sesuai dengan peraturan. c.Setiap bidang tanah telah jelas hubungan penguasaan dan pemilikannya
% peraturan di bidang pertanahan yang telah tersusun. % penguasaan bidang tanah yang sesuai dengan peraturan. % bidang tanah telah memperoleh SK Hak menurut UUPA dibanding jumlah bidang tanah. % bidang tanah telah bersertifikat dibanding jumlah bidang Waktu penyelesaian pelayanan pertanahan Waktu pencarian warkah cepat.
a.
Setiap bidang tanah telah bersertifikat dan ditertibkan/didaftarkan. b. Prosedur pelayanan pertanahan sederhana cepat dan murah. c.Penyimpangan warkah hak dan sertipikat secara tertib dan aman. a. Tanah di pedesaan (pertanian) telah digunakan sesuai potensinya. b. Tanah di perkotaan (non pertanian) telah digunakan secara ATLAS b. Tanah telah digunakan sesuai peruntukkannya. a. Penanganan bidang pertanahan telah menunjang upaya pengelolaan lingkungan b.
Pemberian ijin lokasi dan hak atas tanah telah mendukung pembangunan berwawasan lingkungan
c.
Pemegang hak atas tanah telah melaksanakan kewajiban pemeliharaan tanah.
% bidang tanah yang telah digunakan sesuai potensi-nya dibanding luas tanah pertanian pedesaan % luas tanah di perkotaan yang telah mencapai ATLAS % luas tanah yang digunakan sesuai peruntukkan tata ruang % kegiatan pertanahan mendukung kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. % luas pemanfaatan tanah dibanding luas yang telah diberi ijin lokasi.
% luas tanah hak dan tanah sertipikat yang telah melaksanakan pemeliharaan tanah.
44
Sumber: Diolah dari Repelita V BPN
Penggunaan Indikator dan Tolok Ukur Catur Tertib Pertanahan Berdasarkan konsep Catur Tertib Pertanahan yang selanjutnya dikembangkan indikator Catur Tertib Pertanahan seperti pada Tabel 3, telah dilakukan evaluasi di Kantor Wilayah BPN Propinsi, hasil evaluasi telah diperoleh beberapa usulan penggunaan indikator kunci yang dapat dilaksanakan di daerah sebagai berikut: Tertib Hukum Pertanahan. Dari tiga indikator tertib hukum pertanahan, yang dapat digunakan sebagai indikator kunci dan tolok ukur adalah: (1) pelaksanaan peraturan pembatasan pemilikan tanah yang diikuti dengan redistribusi tanah object landreform (TOL) yang menjadi tugas bidang pengaturan penguasaan tanah (PPT) dengan tolok ukur persentase (%) pelaksanaan redistribusi TOL di masing-masing Kabupaten/Kotamadya, (2) pelaksanaan pemberian hak atas tanah yang menjadi tugas bidang hak atas tanah (HAT) dengan tolok ukur persentase (%) bidang yanah yang telah memperoleh SK Hak UUPA. Indikator tersusunnya perangkat peraturan di bidang pertanahan tidak dapat digunakan sebagai indikator kunci di daerah, karena wewenang merencanakan dan menyiapkan peraturan pertanahan berada di BPN Pusat. Tertib Administrasi Pertanahan Indikator kunci yang digunakan adalah penerbitan sertipikasi tanah yang menjadi tugas bidang pengukuran dan pendaftaran tanah P&PT. Indikator prosedur pelayanan pertanahan yang sederhana, cepat dan murah agak sulit diterapkan karena banyaknya jenis pelayanan yang masing-masing mempunyai standar persyaratan teknis, waktu dan biaya. Indikator yang lain, yaitu penyusunan warkah, hak dan sertipikat secara tertib dan aman dengan tolok ukur kecepatan waktu pencarian warkah juga belum dapat dijabarkan di daerah, karena belum ada standarisasi waktu pencarian warkah. Pengalaman di Kantor Pertanahan Kabupaten Karawang yang dikenal mempunyai cara yang baik dalam penyimpanan warkah telah mampu mencapai waktu yang telah dibutuhkan dari dua menit untuk mencari warkah. Namun waktu dua menit belum dijadikan patokan secara Nasional. Tertib Penggunaan Hak Indikator kunci yang digunakan adalah kesesuaian penggunaan tanah saat ini dengan rencana peruntukkan tanah yang menjadi tugas bidang penatagunaan tanah (PGT). Indikator ini merupakan asumsi dan kondisi tidak terdapat perbenturan kepentingan antar sektor dalam peruntukkan penggunaan tanah. Indikator yang lain yaitu tanah di pedesaan telah digunakan sesuai potensinya, memerlukan penegasan kriteria potensi untuk pertanian. Demikian pula untuk daerah pertanian yang sesuai dengan ATLAS juga masih memerlukan kejelasan kriteria ATLAS. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Kelestarian Lingkungan Hidup Indikator kunci yang digunakan adalah pemanfaatan ijin lokasi penggunaan tanah yang menjadi tugas bidang penatagunaan tanah dan bidang pengaturan penguasaan tanah. Indikator ini merupakan penyederhanaan dari kedua indikator di Repelita V, dengan asumsi bahwa pemberiaan ijin lokasi penggunaan tanah merupakan dasar arahan pengaturan pertanahan yang telah memperhatikan aspek pelestarian lingkungan hidup. Dari keempat indikator kunci yang paling siap untuk ditelaah adalah tertib administrasi pertanahan karena selain datanya lengkap, juga lebih mudah menganalisa dibanding indikator yang lain.
45
5 Neraca Sumberdaya Tanah 1.
Peruntukan dan Penggunaan Tanah
Indonesia sampai saat ini merupakan Negara Agraris, dimana sumber penghasilan masyarakat, daerah dan negara sebagian besar masih bertumpu pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan kelautan. Berdasarkan zone ekonomi eksklusif, luas Indonesia mencakup teritorial sekitar 800 juta hektar. Sebagian besar yaitu 609 juta hektar (76%) merupakan perairan dan 191 juta hektar (24 %) berupa daratan. Ditinjau dari luasan daratan menurut wilayah kepulauan, Kalimantan merupakan wilayah terluas, yaitu sekitar 53,8 juta hektar (28,16 %). Selanjutnya berturut-turut Sumatera, sekitar 47,3 juta hektar (24,76 %); Irian Jaya (Papua), sekitar 41,5 juta hektar (21,73 %); Sulawesi, sekitar 19,6 juta hektar (10,26 %); Nusa Tenggara dan Maluku, sekitar 15,3 juta hektar (8,01 %); serta Jawa dan Bali dengan luas sekitar 13,3 juta hektar (6,96 %). Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, dari areal daratan seluas 191 juta hektar itu, seluas 67,5 juta hektar (35 %) diperuntukkan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123,4 juta hektar (65 %) diperuntukan sebagai kawasan budidaya. Kawasan lindung merupakan kawasan yang fungsi utamanya adalah untuk perlindungan wilayah dengan tutupan berupa hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Kawasan lindung yang sering dikenal dengan istilah kawasan non-budidaya, sesuai UndangUndang Pokok Kehutanan, dikelola oleh Menteri/Departemen Kehutanan. Kawasan budidaya adalah kawasan yang berfungsi sebagai budidaya pertanian dan non-pertanian. Penguasaan dan pemilikan tanah di kawasan budidaya dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan hasil analisis antara RTRW Nasional dengan keadaan penggunaan tanah di lapangan, menunjukkan bahwa tidak seluruh kawasan non-budidaya itu berupa hutan. Dari 67,5 juta hektar kawasan non-budidaya itu, sekitar 12,4 juta hektar (18,37 %) telah diusahakan rakyat untuk budidaya non-hutan, terutama untuk perladangan, tegalan dan kebun rakyat. Areal kawasan non-budidaya yang telah diusahakan pertanian tanah kering, sebagian besar adalah kawasan hutan yang terdapat di wilayah Jawa dan Bali serta wilayah Sumatera. Sebaliknya tidak seluruh kawasan budidaya telah diusahakan. Dari sekitar 123,4 juta hektar kawasan budidaya, terdapat sekitar 71,3 juta hektar (57,78 %) masih berupa hutan. Areal kawasan budidaya yang masih berupa hutan, sebagian besar terdapat di wilayah kalimantan dan Irian Jaya/Papua. Keadaan itu secara rinci disajikan pada Tabel 4. Dari analisis peruntukkan dan penggunaan tanah dapat diketahui bahwa pada tahun 2001, secara umum mayoritas penggunaan tanah di Indonesia adalah berupa hutan (66 %) dan sisa areal sekitar 65 juta hektar (34,0 %), telah diusahakan berupa sawah (4%), tanah kering (16 %), perkebunan (8 %), permukiman (4%) dan penggunaan lain (4%). Areal itu terdapat di kawasan budidaya dan kawasan non-budidaya yang tersebar tidak merata secara geografis di antara berbagai wilayah provinsi/kepulauan di Indonesia. Penggunaan tanah yang intensif, terutama terdapat di Jawa dan Bali, selanjutnya Sumatera dan Sulawesi. Penggunaan tanah ini bahkan telah merambah ke areal kawasan hutan yang berfungsi sebagai hutan lindung dan konservasi. Sementara itu, analisis neraca penggunaan tanah menunjukkan bahwa areal hutan secara potensial masih tersedia di wilayah Irian Jaya/Papua, Kalimantan serta Nusa Tenggara dan Maluku. Keadaan ini mengindikasi bahwa pengembangan agribisnis yang memerlukan tanah yang luas lebih memungkinkan dikembangkan di luar Jawa dan Bali, khususnya wilayah Irian Jaya/Papua, Kalimantan serta Nusa Tenggara dan Maluku.
46
Tabel 4 Neraca Peruntukkan dan Penggunaan Tanah Indonesia No
Wilayah
1 2 3 4 5
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara dan Maluku 6 Irian Jaya/Papua Jumlah (Ha) (%) Indonesia (Ha)
Luas Daratan (Ha)
RTRW Nasional (Ha) Kawasan Budidaya
47 339 739 13 337 370 53 829 270 19 614 310 15 323 120 41 480 010 190 923 810 190 923 810 (100 %)
30 401 180 10 903 140 38 808 040 11 081 340 8 673 700
Penggunaan Tanah Saat Ini (Ha)
Kawasan Hutan 16 938 950 2 434 310 15 020 930 8 533 200 6 649 420
23 564 794 17 915 216 123 432 164 67 491 646 (64,65 %) (35,35 %) 190 923 810 (100 %)
Kawasan Budidaya
Kawasan Non-Budidaya
Hutan
Hutan
15 777 440 1 631 080 27 372 660 4 867 190 4 822 680
Non-Hutan 14 623 740 9 271 960 11 435 880 6 214 020 3 851 020
16 796 640 16 796 640 71 267 590 71 267 590 (57,74 %) (42,26 %) 123 432 164 (100 %)
10 992 590 1 129 700 13 084 300 7 729 380 5 410 140
Non-Hutan 5 945 960 1 304 630 1 936 630 803 820 1 239 280
16 702 710 1 212 506 55 048 820 12 442 826 (81,56%) (18,44 %) 67 491 646 (100 %)
Sumber: Badan Pertanahan Nasional, Tahun 2001.
2.
Pengusahaan Tanah Komoditi Pangan dan Perkebunan
Berbagai jenis penggunaan tanah, saat ini telah diusahakan masyarakat di pedesaan dan perkotaan. Di wilayah pedesaan, terutama untuk usaha pertanian dan perkebunan. Sedangkan di wilayah perkotaan terutama untuk permukiman, perdagangan dan jasa. Areal industri berkembang di wilayah pedesaan maupun perkotaan sesuai dengan karakteristik usahanya. Di wilayah pedesaan terdapat dua jenis penggunaan yang perlu dibahas dalam uraian selanjutnya, yaitu penggunaan tanah untuk usaha pertanian sawah dan usaha perkebunan. Usaha pertanian sawah merupakan jenis penggunaan tanah yang berkaitan langsung dengan penyediaan pangan nasional, tertutama beras. Sedangkan usaha perkebunan merupakan jenis penggunaan tanah yang berkaitan langsung dengan sumber devisa, sekaligus sumber kerawanan sosial berupa penjarahan tanah serta meluasnya tanah terlantar dan tanah kritis di sekitar areal perkebunan. Usaha Pertanian sawah Usaha pertanian sawah dalam bahasan berikut ini diutarakan berdasarkan penggunaan tanah sawah menurut sistem irigasi, yaitu sawah irigasi teknis yang umumnya mampu mendukung pertanaman sawah 2 sampai 3 kali setahun dan sawah non irigasi yang umumnya hanya mampu ditanami padi sawah 1 kali setahun, karena lebih mengandalkan turunnya hujan. Keadaan itu disajikan pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5 Luas tanah Pertanian Sawah di Indonesia No 1 2 3 4 5
Wilayah
Sawah Irigasi Teknis Luas (ha) % 997 060 23,74 2 442 100 58,14 154 920 3,69 228 850 5,45 373 500 8,89
Sawah Non Irigasi Luas (ha) % 1 332 040 36,84 988 440 27,34 155 120 4,29 772 890 21,38 346 630 9,59
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara dan Maluku 6 Irian Jaya/Papua 4 240 0,10 20 640 Indonesia 4 200 670 100,00 3 615 760 Sumber: Badan Pertanahan Nasional, Tahun 2001.
0,57 100,00
Jumlah Luas Sawah Luas (ha) % 2 329 224 29,80 3 430 698 43,89 310 144 3,97 1 001 845 12,82 720 239 9,21 24 980 7 816 130
0.32 100,00
47
Berdasarkan data di atas, secara geografis usaha pertanian sawah yang terluas terdapat di Jawa dan Bali, yaitu sekitar 3,4 juta hektar atau hampir 44 persen luas sawah di Indonesia. Luas sawah yang cukup besar juga terdapat di wilayah Sumatera dengan luas sekitar 2,3 juta hektar atau hampir 30 persen luas sawah di Indonesia. Angka luas sawah yang cukup besar terdapat di Kalimantan, yaitu sekitar 1 juta hektar. Sawah di Kalimantan umumnya adalah sawah pasang surut yang dikembangkan di rawa-rawa dan daerah gambut. Di Kalimantan Selatan usaha sawah relatif telah stabil dengan sistem irigasi garpu guna memanfaatkan air pasang surut. Selain di sawah pasang surut di Kalimantan Selatan, pemerintah pada tahun 1990an juga mengembangkan sawah gambut sejuta hektar di kalimantan Tengah. Namun usaha ini tampaknya kurang berkembang. Sawah irigasi mayoritas terdapat di Jawa dan Bali dimana hampir 2,5 juta hektar merupakan sawah dengan irigasi teknis, yang berarti sekitar 58 persen luas sawah Indonesia. Selanjutnya sawah irigasi teknis juga berkembang di Sumatera dengan luas hampir satu juta hektar (hampir 74 persen total luas sawah Indonesia) serta di Sulawesi dengan luas sekitar 375 000 hektar (hampir 9 persen total luas sawah Indonesia). Di Nusa Tenggara Barat usaha sawah irigasi berkembang dengan pesat terutama di Pulau Lombok. Masyarakat di wilayah itu merupakan campuran budaya asli (Sasak) dan budaya Islam dengan budaya Hindu Bali dan para pendatang Jawa sehingga akulturisasi usaha sawah irigasi juga tampak di daerah tersebut. Bagi Jawa dan Bali usaha sawah telah dikenal sejak jaman kerajaan hindu di abad ke tujuh Masehi dan berkembang meluas sistem irigasinya di jaman Majapahit di abad 14. Perkembangan itu makin meluas ketika kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Raja Sri Sultan Agung membuka areal persawahan di sepanjang Pantai Utara Jawa sebagai lumbung pangan dalam rangka menyerang Kompeni VOC di Jayakarta pada abad 16-an. Pada jaman pemerintahan Belanda di Jawa dibangun irigasi teknis untuk memasok keberlangsungan pengairan tanaman tebu. Sedangkan di Bali pembangunan sistem irigasi lebih dikembangkan masyarakat secara mandiri di bawah adat yang dikenal dengan sistem Subak. Di wilayah Sumatera areal sawah irigasi terutama dikembangkan di Lampung dan Sumatera Utara yang merupakan daerah transmigrasi (Kolonisasi) sejak jaman Belanda. Masyarakat Jawa di daerah transmigrasi pada umumnya membawa kehidupan sosial budayanya, termasuk budaya sawah beririgasi sehingga di daerah itu berkembang menjadi pusat-pusat pembangunan pertanian pangan. Hal yang sama juga berkembang di Sulawesi di daerah Luwu yang konon menurut sejarah mempunyai hubungan kekerabatan dengan Raja di Jawa pada jaman Majapahit serta merupakan daerah Kolonisasi pada jaman Belanda. Di wilayah pantai Barat Sulawesi, berkembang sawah berdampingan dengan usaha tambak. Budaya tambak dan budaya sawah secara sosiologi saling melengkapi sehingga kedua usaha itu secara naluriah akan dikembangkan masyarakat yang memang mempunyai naluri untuk mengusahakan sawah dan tambak ikan. Pembangunan sistem sawah irigasi memerlukan pertimbangan yang sangat kompleks dan biaya yang mahal. Pembangunan jaringan irigasi itu umumnya dilengkapi dengan pembangunan waduk/dam di wilayah hulu. Oleh karena itu, di samping karakteristik geografi wilayah, dan ketersediaan sumber air di wilayah hulu juga mempertimbangkan kesuburan tanah serta efisiensi dan efektifitas pemanfaatan air yang tidak hanya untuk keperluan pengairan tanaman padi, tebu dan palawija di sawah, namun juga untuk keperluan pembangkit listrik tenaga air. Dengan melihat neraca penggunaan tanah sawah irigasi tersebut, dapat dikatakan bahwa Jawa dan Bali serta beberapa lokasi di Sumatera dan Sulawesi merupakan sumber ketahanan pangan yang memerlukan perlindungan dari usaha konversi ke non-pertanian. Usaha sawah irigasi selain berfungsi memelihara produksi pangan juga merupakan ekosistem yang stabil karena mempunyai kesuburan yang tinggi dan pengaruh degradasi lingkungan baik bahaya erosi, longsor maupun pencucian hara relatif kecil. Mempertahankan fungsi sawah irigasi sebagai benteng produksi pangan indonesia merupakan hal yang sangat relevan, jika dikaitkan dengan neraca permintaan komoditi pangan yang tidak lagi mampu dipenuhi dari dalam negeri. Berdasarkan data FAO (Food Agriculture Organization),
48
tahun 2003, rasio produksi domestik terhadap konsomsi bahan pangan Indonesia, kecuali ikan, semuanya di bawah 100 persen. Untuk beras, angka itu mencapai 95,50 persen, jagung 98,52 persen, kedelai 76,20 persen dan gula mencapai 84,67 persen. Angka itu mengindikasi bahwa Indonesia masih memerlukan impor bahan pangan primer tersebut di atas. Hal ini memang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini, dimana impor beras tidak dapat dihindari. Pada Tabel 6 disajikan perkembangan luas panen, produktivitas, produksi gabah, produksi beras dan impor beras selama periode tahun 1990 sampai 2003. Tabel 6 Perkembangan Luas Panen, Produksi, Produktivitas dan Impor Beras Tahun 1990 - 2003. Tahun
Luas Panen Produktivitas Produksi Gabah Produksi Beras (000 ha) (ton/ha) (000 ton) (000 ton) 1990 10 502 4,30 45 179 29 355 1991 10 282 4,35 44 689 29 048 1992 11 103 4,34 48 240 31 356 1883 11 013 4,38 48 181 31 318 1994 10 734 4,35 46 641 30 317 1995 11 439 4,35 49 744 32 334 1996 11 569 4,41 51 101 33 215 1997 11 141 4,43 49 377 32 095 1998 11 613 4,17 48 472 30 537 1999 11 963 4,25 50 866 31 118 2000 11 793 4,40 51 898 32 345 2001 11 415 4,39 50 181 31 283 2002 11 521 4,47 51 379 32 369 2003 11 453 4,53 51 849 32 697 Sumber: Bustanul Arifin. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia Hal. 46.
Impor Beras (000 ton) 29 178 634 0 876 3 014 1 090 406 5 765 4 183 1 513 1 400 3 100 2 000
Usaha Perkebunan Sejarah budidaya perkebunan, berkembang pada jaman Belanda pada akhir abad 18 dengan meletakkan dasar bagi perkembangan perusahaan perkebunan di Indonesia..Pada waktu itu, masyarakat Indonesia yang semula mengenal usaha kebun hanya sebagai usaha tambahan dari usaha tani pokoknya, yaitu pertanian pangan, diperkenalkan dari kebun rakyat dengan sistem perkebunan besar dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. b. c. d. e. f.
merupakan bentuk usaha pertanian berskala besar dan kompleks; menggunakan areal pertanahan luas; bersifat padat modal; menggunakan tenaga kerja yang cukup besar, dengan pembagian kerja yang rinci dan struktur hubungan kerja yang rapi; menggunakan teknologi modern; dan berorientasi pada pasar.
Hal ini berbeda sekali dengan apa yang selama ini dikenal oleh rakyat dengan usaha kebunnya perkebunan rakyat dengan ciri usaha sebagai berikut : a. b. c. d. e.
bentuk usahanya kecil; penggunaan lahan terbatas; tidak padat modal; sumber tenaga kerja dipenuhi dari anggota keluarga; dan lebih berorientasi pada kebutuhan subsistensi.
49
Dengan ditetapkannya Agrarische Wet pada tahun 1870 yang pada dasarnya berisi dua hal pokok, yaitu memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk berkembang di Indonesia, di samping “melindungi” hak-hak rakyat Indonesia atas tanahnya. Tahun 1870 dapat dikatakan sebagai saat bersejarah yang menjadi dasar utama mulai berkembangnya perkebunan swasta di Indonesia. Ketentuan dasar dalam Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Agrarische Besluit atau Keputusan Agraria yang diundangkan dalam S. 1870 No. 118. Pasal 1 dari Keputusan Agraria itu, memuat suatu pernyataan penting yang dikenal sebagai domeinverklaring atau pernyataan umum tanah negara yang menyatakan bahwa “semua tanah dimana seseorang tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendom-nya, adalah tanah milik negara”. Dari pernyataan ini berarti semua tanah rakyat Indonesia itu menjadi tanah negara karena tanahtanah itu dimiliki atas dasar hukum adat, dimana tidak ada ketentuan hukum adat yang sama dengan ketentuan hukum Barat. Pernyataan “Negara adalah pemilik semua tanah” ini sangat diperlukan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai landasan hukum untuk dapat memberikan tanah dengan hak-hak Barat guna kepentingan para pengusaha asing di Indonesia. Lima ketentuan dalam Agrarische Wet kemudian ditambahkan sebagai ayat 4 sampai dengan 8 pada pasal 62 RR 1854 (yang terdiri dari 3 ayat) dan diundangkan seluruhnya menjadi pasal 51 I.S. (Indische Staatsregeling) yaitu S. 1925 no. 447. Dua ayat yang penting bagi usaha perkebunan asing tercantum dalam ayat 4 dan 8 pasal 51 I.S. Ayat 4 memberi kesempatan untuk mendapatkan tanah dengan hak erfpacht dalam jangka panjang yaitu hingga 75 tahun, sedangkan ayat 8 membuka kesempatan untuk menyewa tanah milik bangsa Indonesia. Hak erfpacht jangka panjang adalah untuk menjamin pengusahaan tanaman keras dan hak sewa berguna untuk pengusahaan tanaman semusim seperti tebu dan tembakau. Banyak peraturan agraria yang lahir kemudian dengan berdasar pada Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria 1870). Bagi usaha perkebunan partikelir, para pengusaha pada dasarnya dapat memperoleh tanah melalui tiga jalan yaitu dengan cara : erfpacht, sewa, dan konsesi. Ketiga cara tersebut tidak berlaku seragam untuk seluruh Indonesia tetapi dibeda-bedakan misalnya untuk daerah Jawa-Madura, daerah Surakarta dan Yogyakarta, Daerah Swapraja, dan sebagainya. Pendudukan Jepang telah mengakibatkan rusaknya sejumlah perkebunan, baik yang berada di Jawa maupun yang berada di luar Jawa. Keadaan ini diperparah dengan “munculnya” penduduk setempat untuk menguasai tanah-tanah perkebunan dan menggantikannya dengan tanaman pangan, setelah Jepang terusir dari Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1958 terjadi peristiwa pengambilalihan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang ada di Indonesia, termasuk perusahaan-perusahaan perkebunannya. Peristiwa ini dikenal dengan istilah “Nasionalisasi” perusahaan swasta Belanda. Setelah terjadinya pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda pada tahun 1957-1958, memang ada kecenderungan terjadinya penurunan produksi. Hal ini disebabkan karena adanya kemunduran pengelolaan dan ketrampilan teknis dalam perusahaan perkebunan setelah dikelola oleh pemerintah Indonesia. Namun sedikit demi sedikit hal ini dapat diatasi, sehingga produksi perkebunan dapat ditingkatkan lagi, meskipun tidak pernah lagi mencapai tingkat seperti sebelum perang. Keadaan menjadi berubah lagi dengan ditandatanganinya persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) pada bulan Desember tahun 1949. Pasal-pasal dalam perjanjian KMB di lapangan keuangan dan perekonomian terutaman berisi pengakuan oleh pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) atas hak orang asing akan tanah, yaitu hak-hak konsesi dan erfpacht serta hak untuk mengusahakan selanjutnya. Bagi rakyat Indonesia, kembalinya kekuasaan orang asing akan eksploitasi tanah berarti diambilnya isi kemerdekaan yang terpenting baginya, sehingga kembalinya pengusaha-pengusaha orderneming segera menimbulkan sengketa tanah antara rakyat yang sudah menduduki tanah, dengan pihak orderneming. Berbagai peraturan kemudian ditetapkan, antarai lain Undang-Undang nomor 76 tahun 1957 yang dimaksudkan untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi jatuhnya tanah-tanah ke tangan orang asing. Selanjutnya pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan diatur dalam Undang-Undang nomor 28 tahun 1954 (khusus tanah-tanah perkebunan erfpacht, eigendom dan
50
lain-lain hak kebendaan) dan Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 1956 (untuk tanah-tanah perkebunan konsesi) yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerin dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1958 (UU 29/56) mengatur Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah Perkebunan berikut Peraturan Pelaksanaan UU 28/56 dan UU 29/56 berupa Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1957 (PP61/57), PP 35/56 mengenai Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi, PP 36/56 tentang peraturan-peraturan dan Tindakan-tindakan mengenai Tanah-tanah Perkebunan Konsesi serta PP 8/60 mengenai Pengubahan PP61/57. Pada awal pelaksanaan UUPA, banyak dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan terkait pengembangan perkebunan, di antaranya adalah Undang-Undang nomor 38 tahun 1960 tentang penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu. Ditetapkannya peraturan ini bermula dari adanya gejala bahwa tanaman tebu pabrik terdesak oleh tanaman tembakau Virginia, sehingga pabrik-pabrik gula mendapat kesulitan dalam memperoleh tanah sewaan (pada masa itu pola pengusahaan tanaman tebu masih serupa dengan pola sebelum Perang Dunia I, yaitu pabrik gula menyewa tanah dari petani untuk ditanami tebu) Hal ini menyebabkan merosotnya produksi gula pada saat itu. Karena gula merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi rakyat, maka pemerintah memandang perlu segera mengeluarkan peraturan yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengadakan perencanaan tentang penggunaan tanah pertanian, termasuk untuk tanaman tebu. Undang-Undang Nomor 38 tahun 1960 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang nomor 20 tahun 1964, pada hakekatnya memberi wewenang kepada pemerintah untuk menunjuk atau menetapkan daerah-daerah bagi tanaman tertentu termasuk tebu, dengan memberikan sanksi pidana kepada mereka yang tidak mau menaatinya. Dengan demikian maka para pemilik tanah di daerah-daerah yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk menanam tebu, tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyediakan tanah miliknya untuk tanaman yang telah ditetapkan tersebut pada saat mendapat giliran. Dalam pelaksanaan selanjutnya, ternyata pengadaan areal tanaman tebu dari tahun ke tahun terus mengalami kesukaran. Keadaan ini disebabkan karena uang sewa tanah yang ditetapkan oleh pemerintah dirasakan oleh para petani sebagai terlalu rendah, bila dibandingkan dengan hasil tanaman padi atau palawija dalam jangka waktu yang sama, sehingga minat petani untuk menyediakan tanahnya bagi tanaman tebu juga berkurang. Sehubungan dengan masalah itu, pada tahun 1975 diterbitkan Inpres nomor 9 tanggal 22 April 1975 yang menetapkan bahwa untuk selanjutnya tebu tidak ditanam sendiri oleh pengelola pabrik gula di atas tanah yang disewa dari rakyat, tetapi penanaman tebu diserahkan kepada para petani untuk mengusahakan di atas tanahnya sendiri yang dikenal dengan istilah program TRI. Jatuhnya harga minyak pada awal tahun 1980-an telah mendorong pemerintah untuk mengembangkan komoditi ekspor andalan non-migas seperti perkebunan dan kehutanan guna membiayai Program Pelita. Kebijakan itu mendorong dibukanya areal hutan dan dikembangkan areal perkebunan dengan Hak Guna Usaha di luar Jawa. Dengan semakin meningkatnya pembangunan ekonomi pada periode tahun 1990-an telah mendorong berbagai pihak untuk menguasai tanah dengan skala besar untuk usaha di bidang perkebunan dan agrobisnis. Maka berkembanglah areal perkebunan dengan skala besar terutama di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan dan Maluku. Komoditi utama yang dikembangkan adalah kelapa sawit, karet, kakao dan kopi untuk memenuhi pasar ekspor dan industri dalam negeri.. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional, pada Tahun 2001 luas perkebunan rakyat dan perkebunan skala besar di Indonesia sekitar 14,45 juta hektar atau sekitar 7,58 % luas wilayah Indonesia. Sebagian besar perkebunan itu terdapat di Sumatera dengan luas sekitar 9,76 juta hektar atau sekitar 67,55 % total perkebunan. Jawa dan Bali hanya seluas 690 270 hektar atau sekitar 4,71 % total perkebunan. Dari luas perkebunan itu, sekitar 4,56 juta hektar (31,53 %) adalah HGU dan lainnya adalah perkebunan rakyat (68,47 %). Penyebaran HGU yang terluas adalah di Sumatera, yaitu 2,38 juta hektar (24,42 % luas perkebunan). Di Jawa, walaupun luasnya hanya sekitar 0,60 juta hektar, namun sebagian besar (87 %) merupakan perkebunan skala besar dengan 1 108 HGU (45 % total perusahaan HGU). Keadaan yang digambarkan pada
51
Tabel 7 menunjukkan bahwa perkebunan yang merupakan komoditi strategis itu, potensinya menyebar tidak merata, demikian pula perusahaan HGUnya.
Tabel 7 Luas Perkebunan dan HGU Perkebunan Menurut Wilayah No ilayah
Luas Wilayah (Ha)
Luas Perkebunan Ha
1 2 3 4 5 6
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara dan Maluku Irian Jaya/Papua Indonesia
Luas HGU Perkebunan
47 339 730 13 337 370 53 629 270 19 614 310 15 323 120
9 763 280 690 270 614 270 1 944 040 1 244 010
% Perkebunan 67,55 4,71 4,25 13,45 8,61
41 480 010 190 923 810
197 880 14 453 750
1,37 100,00
Ha
% HGU
2 383 834 598 687 502 980 246 811 806 750
52,31 13,14 11,04 5,42 17,70
% Perkebunan 24,42 86,73 81,88 12,70 64,85
17 802 4 556 863
0,39 100,00
9,00 31,53
Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2001 Di bidang usaha perkebunan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, sampai akhir tahun 2003, tercatat areal HGU dengan luas 5,27 juta hektar pada 1 824 kebun dari 1 437 perusahaan. Dari areal seluas itu, tingkat pemanfaatannya sekitar 79,93 %. Terdapat sekitar 1,62 juta hektar yang belum dimanfaatkan secara ekonomis dan sekitar 58 000 hektar diokupasi rakyat. Kenyataan menunjukkan bahwa pihak yang telah diberi HGU skala besar belum memanfaatkan tanah sebagaimana mestinya, sehingga menjadi tanah kosong, tidak produktif atau dikenal sebagai tanah terlantar. Berbagai penyebab terjadinya hal itu, antara lain krisis moneter yang berkepanjangan, adanya spekulasi tanah, ketidakmampuan perusahaan dan sebagainya. 3.
Ketimpangan Struktur Penguasaan Pemilikan Tanah
Tanah Pertanian dan Tanah Sawah Membandingkan penguasaan pemilikan tanah usaha rakyat yang dikuasai perorangan sebagai usaha kecil sangat menarik karena akan menunjukkan betapa hak-hak rakyat yang sangat mendasar yaitu memperoleh akses tanah usaha belum terwujud bahkan terjadi ketidakadilan dalam distribusi penguasaan pemilikan tanah. Keadaan itu dapat diamati pada Tabel 8 sampai Tabel 10 yang menyajikan gambaran distribusi dan struktur penguasaan tanah pertanian di pedesaan Tabel 8 Distribusi Usahatani di Indonesia (1983 s/d 2003) No
Kelompok Usahatani (ha)
Luas
Distribusi Usahatani 1983 1993 2003*) % Usaha Rata2 % Usaha Rata2 % Usaha Rata2 tani (ha) tani (ha) tani (ha) 1 Kurang 0,50 40,8 0,26 48,5 0,17 54,6 0,14 2 0,50 – 1,99 44,9 0,94 39,6 0,90 36,2 0,83 3 2,00 - 4,99 11,9 2,72 10,6 3,23 8,1 3,45 4 Lebih 5,00 2,4 8,11 1,3 11,9 1,1 3,22 ¾ Jumlah usahatani (juta) 15,9 17,9 19,2 ¾ Jumlah areal (juta ha) 16,7 15,4 13,2 ¾ Rata-2 luas usaha (ha) 1,05 0,74 0,70 Sumber: Sensus Pertanian Indonesia BPS, Tahun 1983,1993 dan 2003 (sementara)
52
Tabel 9 Struktur Penguasaan Tanah Pertanian di Indonesia No
Kelompok Luas Penguasaan (ha)
1
Rumah Tangga Pedesaan 1993 2003*) % rumah % % luas % rumah % tangga kumulatif dikuasai tangga kumulatif 43 43 -47 47
Tunakisma dan petani kurang 0,10 2 0,10 – 0,49 27 70 13 26 3 0,50 - 0,99 14 84 18 13 4 Lebih 1,00 16 100 69 14 Jumlah 100 100 100 Sumber: Sensus Pertanian Indonesia Tahun 1993 dan 2003.(sementara)
73 86 100
% luas dikuasai -12 17 71 100
Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 1983 rata-rata nasional penguasaan tanah per keluarga petani adalah 1,05 hektar, Pada tahun 1993 menurun menjadi 0,74 hektar dan pada tahun 2003 diperkirakan menurun lagi menjadi 0,70 hektar. Sementara itu jumlah petani gurem dengan luas penguasaan pemilikan tanah di bawah 0,1 hektar terus meningkat dari 9,53 juta orang (1983) menjadi 11 juta orang atau 43 % rumah tangga petani (1993), menjadi 12,5 juta orang atau 47 % rumah tangga petani (2003) dan diperkirakan menjadi sekitar 13,2 juta orang atau 49 % (2004). Demikian pula luas usaha tani sawah, pada tahun 1999, rata-rata nasional, hanya sekitar 0,45 hektar. Di Jawa dan Bali bahkan hanya sekitar 0,35 hektar. Diperkirakan pada saat ini semakin mengecil karena adanya fragmentasi tanah serta konversi penggunaan ke non pertanian. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tanah yang dikuasai petani sudah semakin tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan menjurus kepada degradasi kesuburan tanah dan lingkungan hidup. Tabel 10 Luas Penguasaan Pemilikan Tanah Sawah Tahun 1999 No
Wilayah
Luas sawah Ha 1 Sumatera 2 329 224 2 Jawa dan Bali 3 430 698 3 Kalimantan 310 144 4 Sulawesi 1 001 645 5 Nusa Tenggara dan Maluku 720 239 6 Papua 24 980 Indonesia 7 816 130 Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2001. Diolah
% 29,80 43,89 3,97 12,82 9,21 0,32 100
Jumlah rumah tangga Petani % 3 680 564 21,41 9 797 028 57,00 1 091 968 6,35 1 006 53 5,86 1 397 888 8,13 213 357 1,24 17 187 336 100
Luas rata-2 (Ha) 0,63 0,35 0,28 1,00 0,52 0,12 0,45
Perkebunan Rakyat Luas usaha perkebunan pada tahun 1999 sekitar 14,5 juta hektar, dimana sekitar 9,9 juta hektar (69 % areal) merupakan perkebunan rakyat yang dikuasai sekitar 6,2 juta pekebun dengan luas penguasaan rata-rata nasional 1,6 hektar. Namun di Jawa hanya sekitar 0,38 hektar/pekebun (lihat Tabel 11). Terdapat sekitar 4,6 juta hektar areal perkebunan (31 % areal) yang dikuasai Badan Usaha Pemerintah dan Swasta. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, pada akhir akhir tahun 2003, luas usaha di bidang perkebunan mencapai areal 17,41 juta hektar, dengan rata-rata peningkatan selama periode 2000 – 2003 sekitar 3,7 %. Areal perkebunan yang sudah memperoleh HGU sampai akhir tahun 2003 adalah 1 824 kebun dari 1 437 perusahaan, dengan luasl 5, 27 juta hektar. Pemanfaatan areal HGU mencapai sekitar 79,93 % untuk tanaman serta pabrik dan emplasemen. Sisanya (10,07 %), berupa areal cadangan, areal tidak mungkin ditanami (TMD) dan diokupasi rakyat
53
Tabel 11 Luas Penguasaan Pemilikan Perkebunan Rakyat (Non HGU), Tahun 1999 No
Wilayah
Luas Perke bunan (Ha)
Perkebunan Rakyat
Ha % Sumatera 9 763 280 7 379 466 75,58 Jawa dan Bali 690 270 91 583 13,27 Kalimantan 614 270 112 290 18,12 Sulawesi 1 944 040 1 697 229 87,30 Nusa Tenggara 1 244 010 437260 35,15 dan Maluku 6 Papua 197 880 180 078 91,00 Indonesia 14 453 750 9 896 887 68,47 Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2001. Diolah 1 2 3 4 5
Jumlah Rumah tangga Perkebunnan Rakyat Pekebun % 1 953 968 31,55 2 406 768 38,86 502 858 8,12 464 359 7,50 804 091 12,98 61 258 6 193 302
0.99 100,00
Luas rata2 (Ha) 3,78 0,38 0,22 3,65 0,54 2,94 1,60
Pada tahun 2003 itu, rata-rata luas usaha perkebunan HGU sekitar 3 665 hektar/unit usaha. Di Jawa walaupun luasnya hanya sekitar 0,60 juta hektar, namun sebagian besar (87 %) merupakan perkebunan skala besar dengan 1 108 HGU (45 % total perusahaan HGU dengan rata-rata luas 550 hektar). Sedangkan di Luar Jawa, seperti di Kalimantan ada yang luasnya lebih 50 000 hektar. Menurut hasil penelitian Risnarto, Puslitbang BPN pada tahun 2005, terdapat kecenderungan antara luasan HGU yang dikuasai pemegang hak dengan tanah terlantar, dimana. semakin luas HGU yang dikuasai pemegang hak semakin besar pula potensi tanah HGU tersebut cenderung menjadi terlantar. Di sekitar perkebunan HGU yang terlantar itu, banyak penduduk miskin yang lapar tanah usaha sehingga antara kemiskinan-tanah terlantar dan penggarapan tanah perkebunan oleh rakyat menjadi saling berkaitan, tidak jelas ujung pangkalnya. Apa yang tergambarkan dari struktur penguasaan tanah pertanian dan perkebunan di wilayah pedesaan juga terjadi di wilayah perkotaan .
Tanah Perkotaan Di wilayah perkotaan, berdasarkan hasil Studi Penetapan Batas Maksimum Tanah Perkotaan oleh Puslitbang BPN bekerjasama dengan LPM-ITB tahun 1995 menunjukkan bahwa di Kota Bandung, 71 % rumah tangga perkotaan adalah tunawisma atau menguasai tanah kurang dari 100 meter2. Di Kota Semarang 49 % dan di Kota Malang 68 % (lihat Tabel 12). Sementara itu, menurut catatan Kantor Kementrian Negara Perumahan dan Permukiman, pada tahun 2004 jumlah rumah tidak layak huni diperkirakan sebanyak 14,5 juta unit, dengan luas kawasan kumuh 54 000 ha, tersebar di lebih 10 000 lokasi yang dihuni oleh 17,2 juta jiwa penduduk miskin. Tabel 12 Struktur Penguasaan Tanah di Kota Bandung, Semarang dan Malang No
1
2 3
Kelompok Luas Penguasaan (M2)
Tunakisma dan rumah tangga kurang 100 100 – 200 Lebih 200 Jumlah
Rumah Tangga Pedesaan Kota Bandung Kota Semarang % jumlah % luas % jumlah % luas rumah tanah rumah tanah tangga dikuasai tangga dikuasai 71,05 4,34 48,64 0,74
17,02 11,93 100,0
16,77 78,66 100,0
30,90 20,66 100,0
3,79 94,47 100,0
Tahun1995 Kota Malang % jumlah % luas rumah tanah tangga dikuasai 67,95 3,10
20,09 11,96 100,0
10,09 86,81 100,0
Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2001. Diolah
54
4.
Konversi Tanah Pertanian ke Non pertanian
Salah satu masalah yang dihadapi areal tanah pertanian sebagai benteng ketahanan pangan nasional adalah semakin berkurangnya areal tanah tersebut akibat beralih fungsi menjadi tanah non-pertanian. Konsentrasi penguasaan tanah skala besar di daerah pedesaan, terjadi pula di perkotaan untuk kawasan industri dan kawasan perumahan real estate. Menurut data Badan Pertanahan Nasional, pada tahun 1995 terdapat 124 Kawasan Industri dengan luas seluruhnya 53 650 hektar atau rata-rata 481 hektar. Menurut data REI di wilayah Jabodetabek pada tahun itu tercatat 418 pengembang perumahan dan perumahan baru dengan luas areal 1,3 juta hektar atau rata-rata 2 701 hektar (Enggartiarso Lukito, 1996). Keadaan itu dipicu oleh meningkatnya ijin lokasi untuk tanah perumahan sebagaimana disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Luas Ijin Lokasi untuk Perumahan menurut Wilayah No 1 2 3 4 5
Wilayah
Ijin Lokasi Luas (ha) 28 397,66 199 692,65 909,15 11 939,00
% 11,53 81,07 0,37 4,85
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara 5 168,20 2,10 dan Maluku 6 Papua 202,29 0,08 Indonesia 246 308,95 100`00 Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2001. Diolah
Belum Dimanfaatkan Luas (ha) % 7 098,82 24,99 52 614,24 26,35 518,42 57,02 2 823,18 23,65 1 170,13
22,64
154,29 64 379,08
76,27 26,14
Secara nasional, luas tanah yang telah diberikan ijin lokasi hampir 250 000 hektar. Sebagian besar ijin itu terletak di Jawa dan Bali yang mencakup areal hamper 200 000 hektar (81 %). Selanjutnya sisanya tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Dalam jumlah relative kecil terdapat di Kalimantan dan Papua. Akibat krisi moneter pada tahun 1998, banyak tanah yang tidak dimanfaatkan, termasuk areal yang telah diberi ijin lokasi. Pada tahun 2000an areal yang belum dimanfaatkan mencapai sekitar 26 % dari areal ijin lokasi. Sebagian besar areal yang belum dimanfaatkan itu terdapat di Jawa dan Bali. Proses pembangunan kawasan industri dan kawasan perumahan itu menggunakan tanah pertanian yang umumnya subur di Pantura Jawa dan lokasinya strategis karena mempunyai aksesibilitas ke pelabuhan dan didukung dengan infrastruktur transportasi dan komunikasi yang terbaik dan siap pakai. Proses konversi tanah pertanian ke non-pertanian itu sudah barang tentu akan semakin mengurangi akses pemilikan tanah bagi rakyat kecil. Pada tahun 1993, Menteri Perumahan menyatakan bahwa setiap tahunnya sekitar 6000 hektar tanah sawah di Pulau Jawa beralih fungsi menjadi perumahan dan terungkap pula bahwa selama periode 1985 sampai 1995, tanah pertanian di Jawa telah berkurang sekitar 1 juta hektar karena berubah fungsi menjadi kawasan industri, perumahan, rekreasi dan sebagainya. 5.
Kontribusi Sektor Agraria dalam Pembangunan Ekonomi Nasional
Di kalangan para analis ekonomi pertanian, tidak asing lagi bahwa kontribusi sektor agraria/pertanian cenderung mengalami penurunan berbalikan dengan meningkatnya Produk Dometik Bruto (PDB). Data Bank Dunia menunjukkan bahwa di negara-negara miskin, pangsa sektor pertanian terhadap PDB menurun dari 60 persen pada tahun 1965 menjadi sekitar 20 persen pada tahun 2000. Demikian pula di kelompok negara midle-income, juga menurun pada periode yang sama dari 22 persen menjadi 16 persen. Sedangkan di negara maju terjadi penurunan dari 5 persen menjadi 2 persen (lihat Bustanul Arifin, 2004).
55
Di Indonesia, data BPS dari berbagai tahun menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap struktur ekonomi Indonesia mengalami penurunan, dari sekitar 57 persen pada tahun 1965-an, menjadi 20,2 persen pada tahun 1975-an, 17,2 persen pada tahun 1985-an dan menjadi 17,0 persen pada tahun 2000. Diperkirakan pada tahun 2005 kembali menurun menjadi sekitar 15 persen. Kalau hanya memperhatikan laju peningkatan sektor industri dan jasa, data itu seakan-akan memberi harapan bahwa dengan meningkatnya pendapatan, perekonomian Indonesia semakin kuat. Kenyataannya tidaklah demikian. Penurunan pangsa sektor pertanian tidak diimbangi dengan meningkatnya serapan tenaga kerja yang signifikan di sektor industri dan jasa. Artinya beban sektor pertanian untuk mendukung tenaga kerja menjadi semakin berat. Dengan kata lain, pendapatan per tenaga kerja di sektor pertanian menjadi semakin rendah. Terlebih lagi harga di sektor pertanian semakin rendah. Impor bahan makan cenderung meningkat untuk mencukupi kebutuhan pangan, sebaliknya ekspor barang primer seperti karet, kopra, kakao cenderung menurun. Sementara investasi pemerintah di sektor pertanian cenderung stagnan. Keadaan di atas menggambarkan bahwa kebijakan pemerintah di sektor agraria dewasa ini belum memberikan penguatan ke arah pembangunan berbasis pertanian. Tabel 14 Kontribusi Sektor Pertanian dalam Struktur Ekonomi Indonesia Uraian 1965 1975 1985 1995 2000 1. Struktur Ekonomi ¾ Pertanian 57,1 30,2 22,9 17,1 17,0 ¾ Industri 12,5 33,5 35,3 41,8 47,0 ¾ Jasa 31,4 36,3 42,8 41,1 36,0 2. Pangsa Tenaga Kerja ¾ Pertanian t.a.d 62 56 48 46 ¾ Sektor lain t.a.d 38 44 52 54 3. Pangsa Perdagangan ¾ Impor (makanan) ¾ Ekspor (barang primer) 4. Konsumsi (% PDB) ¾ Konsumsi total ¾ Pangsa bahan makanan 5. Investasi Pertanian (% total) ¾ Subsidi pupuk ¾ Pertanian irigasi Keterangan: * angka sementara Sumber: World Economy Industry, World Bank dan Statistik Indonesia, BPS (diolah)
6.
2005* 15,2 48,2 36,6 44 56
Hambatan Birokrasi Menurunkan Iklim Usaha Yang Kondusif
Lemahnya daya saing Indonesia Hampir sepuluh tahun perekonomian Indonesia sejak dilanda krisis ekonomi pertengahan tahun 1997, sampai saat ini belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Salah satu masalah yang memerlukan perhatian adalah penciptaaan iklim usaha yang kondusif. Terdapat tiga faktor utama yang menyusun iklim usaha, yaitu: (1) fundamental makro – dalam hal ini antara lain stabilitas ekonomi makro, keterbukaan ekonomi, persaingan pasar, sosial budaya, serta stabilitas politik dan keamanan; (2) pemerintahan dan kelembagaan – dalam hal ini antara lain transparansi dan efisiensi kebijakan perijinan dan pelayanan publik; perpajakan; kepastian hukum, dukungan sektor finansial; dan kondisi ketenagakerjaan serta (3) Infrastruktur – dalam hal ini antara lain meliputi transportasi (jalan dan pelabuhan), telekomunikasi, listrik dan air. Ketiga faktor utama tersebut, dewasa ini diidentifiikasi belum mendukung iklim usaha sehingga daya saing nasional terhadap persaingan global (khususnya industri dan perdagangan) mengalami penurunan sebagaimana tercermin dari beberapa laporan tahunan yang diterbitkan
56
oleh lembaga internasional mengenai belum kondusifnya kinerja daya saing dan iklim usaha di Indonesia. Keadaan tersebut dapat diindikasi dengan banyaknya investor yang memindahkan usahanya ke negara lain, misalnya ke China dan Vietnam. Selain itu, investor baru cenderung ragu-ragu untuk menanamkan modalnya, karena kurangnya kondusifnya iklim usaha, seperti yang dijelaskan di atas Iklim usaha secara umum didefinisikan sebagai kebijakan, institusional, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap tingkat pengembalian dan risiko suatu investasi . Untuk Indonesia, telah banyak pihak-pihak yang melakukan pengukuran daya saing dan iklim usaha atau iklim investasi, dengan berbagai kriteria dan indikator yang disusun. Secara umum hasil kajian menunjukkan bahwa daya saing, iklim usaha maupun iklim investasi di Indonesia senantiasa mengalami penurunan jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Kajian yang dilakukan oleh WEF (World Economic Forum) mengukur daya saing Indonesia dengan 5 (lima) faktor yang signifikan, tiga faktor pada tataran makro dan dua faktor pada tataran mikro. Pada tataran makro meliputi: (1) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; (2) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat layanan; dan (3) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas. Sedangkan pada tataran mikro, meliputi: (1) rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasional perusahaan; dan (2) lemahnya iklim persaingan usaha. Laporan WEF dalam Global Competitivenes Report, menyatakan bahwa daya saing Indonesia cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1999 Indonesia menduduki peringkat ke-37 dan selanjutnya menurun pada peringkat ke-49 pada tahun 2001. Tahun 2002; dari 80 negara yang diukur daya saingnya, Indonesia menempati peringkat ke-67. Peringkat tersebut terus menurun dalam tahun – tahun berikutnya hingga menjadi peringkat 74 pada tahun 2005. Keadaan itu memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (Malaysia, Thailand, Filipina) yang justeru cenderung mengalami perbaikan setelah krisis ekonomi. Survey World Bank, dengan menggunakan beberapa indikator antara lain: (1) memulai kegiatan usaha, (2) regulasi ketenagakerjaan, (3) pajak dan kepatuhan serta (4) penyelesaian kepailitan, menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia kurang kompetitif dibandingkan negara-negara tetangga. Selanjutnya laporan The International Institute for Management Development (IMD) dalam World Competitiveness Report tahun 2005 menempatkan Indonesia pada posisi ke-59 dari 60 negara yang diteliti. Padahal Laporan IMD tahun 2000 hingga 2004 menempatkan Indonesia pada posisi 43, 46, 47, 57, dan 58. Kajian yang dilakukan oleh IMD menyatakan bahwa rendahnya daya saing industri di Indonesia disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian Indonesia, yang ditandai oleh empat hal pokok, yaitu: (1) buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerja di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga; (2) buruknya efisiensi kelembagaan pemerintah dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih; (3) lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari produktivitas yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional; dan (4) keterbatasan infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan. Pemerintah Indonesia sendiri, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 telah mengidentifikasikan masalah-masalah yang terkait dengan dunia industri dan perdagangan, antara lain:
57
(1)
KKN dan layanan yang buruk, mengakibatkan tingginya biaya overhead. Menurut kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2003, pengeluaran untuk pungutan dan biaya layanan umum menambah biaya overhead sekitar 8,7% - 11,2%; (2) Cost of Money yang relatif tinggi, tercermin dari suku bunga yang saat ini sangat tinggi; (3) Administrasi perpajakan yang belum optimal. Pengusaha menganggap administrasi perpajakan terutama dalam kaitannya dengan restitusi produk-produk industri ekspor sangat tidak efisien. Hal tersebut mengakibatkan daya saing produk ekspor menjadi berkurang karena ketidakefisienan tersebut dibebankan ke harga jualnya. Selain itu juga tidak kondusif untuk integrasi antar industri terkait untuk pengadaan bahan antaranya. Pada umumnya, meraka memilih untuk impor bahan baku atau produk antara karena sejak awal tidak terkena PPN; (4) Kandungan impor sangat tinggi. Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate) dan komponen untuk seluruh industri meningkat dari 28% pada tahun 1993 menjadi 30% pada tahun 2002; (5) Lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi. Nilai tambah industri nasional relatif rendah, meskipun dalam komposisi ekspor mulai terjadi peningkatan produk ekspor berteknologi menengah dan tinggi; (6) Kualitas SDM relatif rendah; (7) Iklim persaingan yang kurang sehat, dimana banyak sub-sektor industri yang beroperasi dalam kondisi ”mendekati” monopoli; yang ditunjukkan oleh tingginya Indeks Konsentrasi untuk dua perusahaan (CR2); (8) Struktur industri masih lemah; (9) Peranan industri kecil dan menengah (termasuk industri rumah tangga) masih minim; dan (10) Sebaran industri yang terpusat di Pulau Jawa. Menurunnya daya saing tersebut erat kaitannya dengan lambatnya perbaikan iklim usaha. Secara umum pengembangan iklim usaha perlu difokuskan pada upaya untuk mengurangi kendala yang menghambat kinerja perdagangan dan investasi mencakup tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung dunia usaha, sehingga menurunkan daya saing produk Indonesia, penurunan investasi terkait dengan kurang kondusifnya iklim usaha seperti tidak stabilnya ekonomi makro, ketidakpastian kebijakan, serta korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu, belum memadainya perangkat hukum dan tumpang tindihnya peraturan antara pusat dan daerah turut berperan terhadap kurang kondusifnya iklim usaha.
Hambatan Investasi di Bidang Agraria/Pertanahan Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Perdagangan telah menetapkan 10 indikator yang perlu diamati dalam rangka meningkatkan iklim usaha yang kondusif di Indonesia, yaitu meliputi: (1) perijinan usaha, (2) perpajakan, (3) ketenagakerjaan, (4) jalan raya, (5) pelabuhan/kepabeaan, (6) infrastruktur publik, (7) pembiayaan perusahaan/perbankan, (8) keamanan, (9) pertanahan dan (10) lingkungan bisnis. Dari 10 indikator yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan tersebut, yang terkait dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah indikator ke-9 yaitu aspek pertanahan, yang mencakup kepastian ketersediaan tanah sebagai lokasi usaha dan kepastian hukum penguasaan pemilikan tanahnya. Aspek ketersediaan tanah sebagai lokasi usaha antara lain pemberian ijin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan perencanaan penggunaan tanah wilayah. Aspek itu, walaupun menjadi kewenangan Pemerintah Daerah sesuai dengan keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003, namun dalam prakteknya masih melibatkan Kantor Pertanahan dalam menyiapkan materi maupun operasionalisasinya. Sedangkan aspek pertanahan terkait dengan kepastian hukum penguasaan pemilikan tanah .meliputi pelayanan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah pertama kali serta peralihan dan pembebanan hak atas tanah. Kegiatan ini merupakan tanggung jawab BPN yang dilaksanakan oleh jajaran Kantor Pertanahan kabupaten/Kota.
58
Sebagaimana diutarakan di atas, bahwa aspek pertanahan yang terkait langsung dengan iklim usaha yang kondusif adalah kepastian hukum penguasaan pemilikan tanah .meliputi pelayanan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah pertama kali yang diikuti dengan penerbitan sertipikat hak atas tanah serta peralihan dan pembebanan hak atas tanah. Kegiatan penerbitan sertipikat hak atas tanah selain bertujuan untuk memberikan kepastian hukum pemilikan tanah juga dapat digunakan sebagai jaminan pemberian kredit usaha ekonomi. Dengan adanya kredit usaha ekonomi di suatu wilayah berdampak terhadap pembangunan perekonomian daerah dan nasional. Oleh karena itu, kepentingan pengusaha adalah kepastian persyaratan, prosedur, jangka waktu, dan biaya penerbitan sertipikat hak atas tanah yang kemudian dapat dijadikan sebagai agunan kredit investasi dan operasional usaha. Mengenai penerbitan sertipikat hak atas tanah, berdasarkan Keputusan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2005 telah ditetapkan Standar Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan (SPOPP) yang secara umum terbagi dalam sub kegiatan (a) pengukuran dan pemetaan, (b) pemberian hak atas tanah, (c) pendaftaran tanah serta (d) penerbitan sertipikat hak atas tanah. Salah satu kendala dalam proses pelaksanaan SPOPP tersebut adalah bahwa tanah yang akan digunakan sebagai lokasi kegiatan investasi, statusnya beragam, antara lain (a) tanah telah bersertipikat Hak Milik, HGB,HP,atau HGU (b) tanah belum sertipikat tetapi telah dikuasai dengan hak adapt, (c) tanah Negara bekas hak dan (d) tanah Negara bebas. Perbedaan status penguasaan dan pemilikan tanah itu akan menentukan persyaratan, prosedur, jangka waktu, dan biaya penerbitan sertipikat hak atas tanah. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan tahun 2005 menunjukkan bahwa masih terdapat berkas permohonan yang belum memenuhi SPOPP.. Sementara itu, hasil penelitian Puslitbang BPN di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mei-2006 menunjukkan bahwa mengenai persyaratan pada umumnya petugas loket belum sepenuhnya mampu menguasai materi pertanahan khususnya dalam menafsirkan dokumen fisik dan yuridis yang menjadi dasar penetapan hak atas tanah. Mengenai prosedur, terdapat kesulitan dalam memenuhi alur kegiatan SPOPP karena terlalu rinci dan tidak paralel akibat kewenangan seksi terkait, Mengenai jangka waktu, kendala dijumpai karena dalam proses pemberian hak atas tanah memerlukan kesaksian tetangga berbatasan saat identifikasi di lapangan untuk menetapkan batas tanah yang dimohon yang dalam praktek tidak mudah karena kesibukan masing-masing, sedangkan kesaksian itu mutlak diperlukan untuk kepastian hak atas tanah serta koordinasi instansi terkait seperti Kepala Desa/Kelurahan dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan terkait dengan penyediaan SPPT, validasi BPHTB dan PPh, maupun ketentuan pengumuman selama 60 hari terhadap penerbitan sertipikat melalui proses pengakuan hak. Mengenai biaya umumnya terdapat kendala karena ketentuan BPHTB terhadap perolehan tanah Negara dan peralihan hak menyebabkan biaya menjadi tinggi, yang kadang-kadang oleh pemohon dianggap bagian dari tanggung jawab Kantor Pertanahan. Dengan kata lain, kendala dalam pelayanan pertanahan merupakan kondisi yang dapat mengurangi kepercayaan investasi usaha. 7.
Sumber Pendapatan Daerah
Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Hak Tanggungan Walupun terdapat berbagai kendala dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah sesuai SPOPP, namun peranan sertipikat hak atas tanah terhadap pembangunan ekonomi daerah dan nasional sangat jelas dan nyata. Hal ini dapat diindikasi dari pendaftaran pembebanan hak tanggungan untuk kredit usaha di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Umumnya semakin berkembang perekonomian suatu wilayah, semakin besar pula volume hak tanggungan.
59
Peranan sertipikat hak atas tanah dari aspek ekonomi tampak nyata pada masa kebangkitan ekonomi dewasa ini. Hasil penelitian Risnarto dan Asmadi (Puslitbang, BPN) pada tahun 2005 di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa pada periode tahun 2000 sampai 2004, sertipikat HGB dan Hak Milik yang diagunkan dan didaftarkan melalui Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2004, di Kota Bandung, tercatat nilai agunan kredit sekitar Rp 4,72 trilyun dan di Kabupaten Bandung sekitar Rp 0,74 trilyun. Sekitar 10 % nilai kredit di Kota bandung untuk usaha besar dengan asumsi nilai agunan lebih Rp 1 milyar, untuk usaha menengah sekitar 30 % dengan asumsi nilai agunan antara Rp 200 juta s/d Rp 1 milyar, sekitar 60 % untuk usaha kecil dan rumah tangga dengan asumsi nilai agunan di bawah Rp 200 juta. Tabel 15 Jumlah Pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kabupaten. dan Kota Bandung selama Tahun 2000-2004 No A.
Kota & Kab. / Tahun Kab. Bandung 2000 2001 2002 2003 2004
Total Rata-rata B. Kota Bandung 2000 2001 2002 2003 2004 Total Rata-rata
Hak Tanggungan Pertumbuhan Rata2 Nilai (Rp jt/Sertpk) Sertpkt (%)
Sertipikat (HM & HGB)
Nilai (Rp Jutaan)
2.305 3.304 4.221 4.748 5.618 20.196 4.039
318.575 346.750 487.440 565.120 581.205 2.299.090 459.818
138,21 104,95 115,48 119,02 103,45 113,84
2.117 3.864 5.524 8.082 8.832 28.419 5.684
682.020 979.803 1.269.173 1.003.060 4.702.996 8.637.052 1.727.410
322,16 253,57 229,76 124,11 532,50 303,92
Pertumbuhan Nilai (%)
43,34 27,75 12,49 18,32
8,84 40,57 15,94 2,85
25,48
17,05
82,52 42,96 46,31 9,26
43,66 29,53 -20,97 368,86
45,27
105,27
Sumber : Kantor Pertanahan Kabupaten, Kota Bandung dan Kanwil BPN Provinsi Bandung, 2005, diolah
Penelitian lebih lanjut di beberapa Kota dan kabupaten di Provinsi Banten, Jawa barat dan Jawa Tengah dapat diprediksi bahwa untuk seluruh Indonesia sekurang-kurangnya total nilai kredit dengan jaminan sertipikat HGB dan Hak Milik sekitar Rp 108 trilyun. Keadaan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi langsung ke Indonesia pada tahun yang sama yang hanya mencapai sekitar US $ 1023 juta atau sekitar 9,41 trilyun (kurs 1 US $ = Rp 9200). Pemanfaatan kredit untuk pembangunan di berbagai bidang itu, mempunyai dampak ganda (multiplier effect), seperti serapan tenaga kerja, perdagangan barang dan jasa, peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah kabupaten dan daerah kota. Dengan kata lain kepastian hukum hak atas tanah menjadi dasar kepercayaan dunia usaha terhadap produk pelayanan pertanahan yang berimplikasi terhadap meningkatnya iklim investasi usaha. Pemanfaatan kredit untuk pembangunan di berbagai bidang itu, mempunyai dampak ganda (multiplier effect), seperti serapan tenaga kerja, perdagangan barang dan jasa, peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan daerah kabupaten dan daerah kota serta pendapatan nasional dan sektoral. Keadaan itu berimplikasi bahwa data dan informasi mengenai hak tanggungan yang selama ini didaftar di Kantor Pertanahan memerlukan peningkatan dengan dikembangkannya sistem informasi hak tanggunan yang terpadu oleh BPN sehingga dapat diketahui jenis dan jumlah sertipikat yang diagunkan, nilai agunan,dan jumlah nilai hak tanggungan serta pemanfaatannya.
60
Gambar 7 Perkembangan Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) Tahun 1990 – 2005 25000 PMDN
22500
PMA
Nilai (Milyar Rupiah)
20000 17500 15000 12500 10000 7500 5000 2500 0 1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
Catatan: 1. Dari tahun 1990 – Oktober 2005 investasi dari PMDN masih lebih besar dibandingkan dengan PMA. Puncak investasi (PMDN dan PMA) terjadi pada tahun 2000 dengan nilai masing-masing sebesar 22.038,00 dan 9.877,40 milyar rupiah. Pada tahun 2001 nilai investasi anjlok pada nilai 9.880,80 dan 3.484,40 milyar rupiah. 1.
Kegiatan investasi usaha yang ditanamkan oleh PMDN dan PMA di luar investasi terhadap sektor Minyak dan Gas Bumi, Perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha, Pertambangan dalam rangka Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, Investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, Investasi Portofolio (Pasar Modal) dan Investasi Rumah Tangga;
2.
Dalam hal investasi, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang mengatur investasi di Indonesia, diantaranya: • Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Mutlak bagi Penanaman Modal (Keppres 96/2000) • Daftar Bidang Usaha yang Tertutup untuk Penanaman Modal yang Dalam Modal Perusahaan Ada Pemilikan Warga Negara Asing Dan Atau Badan Hukum Asing (Keppres 96/2000 dan 118/2000) • Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Patungan Antara Modal Asing dan Modal Dalam Negeri (Keppres 118/2000) • Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu (Keppres 96/2000) • Daftar Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil (Keppres 127/2001) • Daftar Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka bagi Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan (Keppres 127/2001).
61
Tabel 16 Arus Investasi Asing Lansung (IAL) dan PDB Tahun 1970-2004 (Dalam Juta USD) Region/Economi
1970
1980 IAL
1990
2000
IAL
PDB
PDB
IAL
PDB
IAL
Amerika Serikat
1.260
1.025.500
Eropa
5.226
85.358
16.918
2.771.500
48.422 5.750.800
21.569
3.811.126 104.308 7.409.532
898
41.144
1.870
165.853
Jepang
94
206.331
278
1.072.750
China
..
91.506
57
201.687
3.487
354.644
50
3.797
710
28.496
3.275
74.784
..
2.854..
8.649
-61
16.752
86
178
4.906
7
3.591
2004 PDB
IAL
PDB
314.007
9.762.100
95.859 11.733.475
722.762
8.656.685 223.400
Negara-negara Amerika, Eropa & Australia
Australia
8.120
310.202
13.963
388.043
8.323 40.715
1.332.090
42.594
617.607
4.763.833
7.816
4.668.418
108.415
60.630
1.649.387
61.924
16.559
34.035
164.554
5
10.606
40
11.431
549
4.316
103
5.554
Negara-negara Asia
Hongkong, China Korea Selatan Brunei Darussalam Kamboja
-20
1.753 3.052.069
0
1.214
1
1.599
..
1.115
149
3.367
131
4.428
Indonesia
145
9.657
300
78.013
1.092
114.427
-4.550
150.196
1.023
257.872
Malaysia
94
4.277
934
24.937
2.611
44.024
3.788
90.041
4.624
117.776
Philipina
-1
6.696
-106
32.500
550
44.331
1.345
75.912
469
85.136
Singapura
93
1.896
1.236
11.718
5.575
36.670
16.485
91.475
16.060
108.822
Thailand
43
7.087
189
32.354
2.575
8.545
3.350
122.570
1.064
163.492
Timor Leste
..
..
..
..
..
..
..
321
4
328
Vietnam
0
3.689
0
4.255
180
6.472
1.289
31.349
1.610
43.891
Sumber: Kompas, Amalisis 1 Agustus 2006. Halaman A-3
62
6 Akses Sumberdaya Agraria dan Kemiskinan Struktural 1.
Konsep Kemiskinan
Peta mengenai penggunaan tanah dan penguasaan tanah yang diutarakan di atas pada hakekatnya menggambarkan adanya ketimpangan dalam pemanfaatan sumberdaya agrarian. Sebagian besar rakyat tidak mempunyai akses ke tanah usaha dan akses ke sarana dan prasarana ekonomi sehingga berdampak terhadap ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan antar kelompok masyarakat, antar wilayah dan antar desa-kota. Dengan kata lain, apa yang terjadi di wilayah pedesaan maupun wilayah perkotaan merupakan cermin belum terwujudnya keberpihakan Negara dan Pemerintah terhadap rakyat kecil, yang sebagian besar tinggal di pedesaan. Di wilayah pedesaan, tanah merupakan faktor produksi yang esensial. Luas penguasaan pemilikan tanah akan menentukan potensi penghasilan atas sumberdaya tanah. Petani yang mempunyai tanah yang luas akan memperoleh penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan Dengan memperoleh penghasilan yang cukup maka usahataninya dapat diperluas bahkan dapat melakukan diversifikasi usaha non-pertanian. Hal itu meripakan kebalikan dibandingkan dengan petani yang mempunyai tanah yang sempit. Untuk mencukupi pangan sehari-hari saja sulit, apalagi untuk sandang dan papan maupun pendidikan dan kesehatan. Secara umum kemiskinan merupakan keadaan dimana sesorang atau masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik karena berbagai kendala fisik dan sosial ekonomi serta kendala lingkungan yang dihadapinya. Istilah pemenuhan kebutuhan hidup minimum keluarga telah banyak didefinisikan, di antaranya menggunakan konsep kebutuhan fisik minimum dan garis kemiskinan keluarga yang keduanya saling berkaitan . Keluarga yang miskin akan sulit membeli pangan guna memenuhi kebutuhan gizi yang menjadi syarat kecukupan kebutuhan fisik minimum. Knowles (2000), dalam bukunya : A Look at Poverty in the Developing Countries of Asia, menyatakan tiga indikator sosial dari kemiskinan, yaitu angka melek huruf orang dewasa (berkaitan dengan pendidikan), angka harapan hidup saat lahir (berkaitan dengan kesehatan ) dan mal-nutrisi anak (berkaitan dengan kecukupan gizi dan pangan). Kebutuhan fisik minimum keluarga tergantung pada pola konsumsi keluarga. Berdasarkan standar Departemen Kesehatan, untuk mencapai suatu kehidupan yang sehat penduduk Indonesia per kapita harus mengkonsumsi makanan dan minuman minimal sebanyak 2 500 kilo kalori per hari atau sekitar 12 500 kilo kalori per keluarga. Pendekatan ini sulit diterapkan secara operasional karena besaran kalori ditentukan oleh jumlah dan kualitas makanan dan minuman. Komposisi makanan yang berbeda akan memberi jumlah kalori yang berbeda yang sulit diukur secara langsung di lapangan.
63
Pendekatan lain yang sering digunakan secara meluas termasuk BPS adalah konsep garis kemiskinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayogyo. Garis kemiskinan ditentukan berdasarkan kebutuhan minimum untuk mengkonsumsi pangan dan non-pangan yang senilai dengan setara 240 kg beras per kapita per tahun untuk masyarakat pedesaan dan 360 kg beras per kapita per tahun untuk masyarakat perkotaan. Dengan per keluarga sebanyak lima jiwa, diperlukan 1200 kg beras/keluarga/tahun untuk masyarakat pedesaan dan 1800 kg beras/keluarga/tahun untuk masyarakat perkotaan. Dengan asumsi harga beras rata-rata sampai dengan bulan Oktober 2005 sekitar Rp 4 000/kg, maka kebutuhan hidup minimum yang harus dicukupi oleh keluarga di pedesaan adalah sekitar Rp. 4 800 000 per tahun dan untuk keluarga di perkotaan adalah sebesar Rp 7 200 000 per tahun. Jadi bagi petani di pedesaan pendapatan usahatani sekurang-kurangnya adalah sekitar Rp 2 400 000 per musim dan bagi keluarga di perkotaan sekitar Rp 600 000/bulan.. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1996 telah berhasil ditekan menjadi 22,5 juta jiwa (11,23 % penduduk Indonesia). Dengan adanya krisis ekonomi, pada tahun 1998 jumlah tersebut meningkat menjadi sekitar 39,4 juta jiwa (24,12 % penduduk Indonesia) sebagai akibat PHK massal dari kelompok foot-loose industry. Angka tersebut mencapai sekitar 50 juta apabila ditambah dengan kelompok menganggur yang rawan untuk jatuh ke kelompok miskin. Dengan berbagai upaya program penanggulangan kemiskinan, jumlah penduduk miskin dapat ditekan pada Agustus 1999 menjadi sekitar 37,5 juta jiwa atau sekitar 18,35 % populasi penduduk Indonesia (Investor Daily, Kamis 17 Agustus 2006, Halaman 3). Berdasarkan BPS, jumlah penduduk miskin pada akhir 2005 sekitar 40,76 juta jiwa atau sekitar 18,64 % dari penduduk sebesar 218,70 juta. Namun, akibat kenaikan harga BBM tahun 2005, angka kemiskinan meningkat pesat pada Maret 2006. Menurut kajian Econit, dengan pendekatan BPS, konsumsi per kapita kurang dari 2100 kalori per hari, angka kemiskinan mencapai 51,2 juta jiwa atau sekitar 23 % dari 222 ,3 juta jiwa. Kajian Econit juga mencatat jumlah pendudukk yang menerima Bantuan Tunai Langsung (BLT) sekitar 19,2 juta keluarga. Sebanyak 2/3 dari penerima BLT termasuk kelompok absolute poor dan sisanya masuk kelompok near poor . Dengan asumsi setiap keluarga mempunyai empat anggota, berarti jumlah penduduk miskin sekitar 51,2 juta jiwa. Angka ini akan membengkak jika menggunakan kriteria Bank Dunia, yakni penghasilan penduduk di bawah US $ 2 per hari (Investor Daily, Jumat 28 Juli 2006, Halaman 3). Kemiskinan termasuk pengangguran merupakan dua persoalan yang masih dihadapi pemerintah saat ini. Jika tidak ditangani dengan cara yang baik dapat menimbulkan kerawanan sosial dan mengganggu stabilitas ekonomi, keamanan dan politik. Jika mengacu pada data BPS bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan maka sebagian besar penduduk miskin itu juga berada di wilayah pedesaan. Penelitian Rehman Subhan pada tahun 1993 mengungkapkan bahwa kemiskinan di pedesaan seolah menjadi produk akhir dari tiadanya kemungkinan untuk mengakses tanah bagi sebagian besar petani Indonesia. Padahal akses rakyat ke tanah merupakan salah satu wujud implementasi hak asasi manusia. Jika mengacu pada data BPS bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan maka sebagian besar penduduk miskin itu juga berada di wilayah pedesaan. Mengingat bahwa untuk pemenuhan kebutuhan hidup masih bersumber pada lapangan agraria, maka pedesaan merupakan wilayah yang strategis untuk dikembangkan guna mendukung program pengentasan kemiskinan.
2.
Kemiskinan Agraria
Dari segi ekonomis, wilayah pedesaan merupakan sumber produksi pertanian yang berfungsi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, namun juga untuk wilayah perkotaan. Namun, fungsi sumber produksi tersebut dalam periode 10 tahun terakhir ini telah mengalami masalah dalam memberi kesejahteraan masyarakat,
64
khususnya petani yaitu terjadinya penyempitan luas penguasaan tanah per keluarga petani akibat adanya fragmentasi tanah serta peralihan tanah kepada pihak lain sehingga terjadi ketimpangan penguasaan pemilikan tanah serta menurunnya kemampuan tanah pertanian untuk mendukung kebutuhan hidup minimum. Fragmentasi tanah tersebut selain disebabkan meningkatnya jumlah penduduk juga disebabkan menurunnya luas tanah pertanian akibat adanya perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke non pertanian, khususnya di daerah yang letaknya di pinggiran wilayah kota. Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 1993 rata-rata nasional penguasaan tanah per keluarga petani adalah 0,83 hektar, untuk Jawa 0,47 hektar dan Luar Jawa 1,27 hektar per keluarga petani. Pada tahun 1999 rata-rata nasional 0,41 hektar dan pada tahun 2003 diperkirakan menurun menjadi 0,37 hektar. Sementara itu jumlah petani gurem dengan luas penguasaan pemilikan tanah di bawah 0,2 hektar terus meningkat dari 9,53 juta orang (1983) menjadi 10,94 juta orang (1993), 12,45 juta orang (2003) dan diperkirakan menjadi sekitar 14 juta orang (2004). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tanah yang dikuasai petani sudah semakin tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan menjurus kepada degradasi kesuburan tanah dan lingkungan hidup. Penelitian tentang Penguasaan Tanah Pertanian Optimal telah dilakukan oleh Puslitbang BPN bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan-Lembaga Penelitian IPB, Bogor pada Tahun 2002 di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran luas tanah yang optimal per keluarga dengan jumlah anggota keluarga lima orang, guna memenuhi kebutuhan hidup layak (tidak miskin) untuk Sawah di Jawa sekitar 0,93 hektar dan Luar Jawa sekitar antara 1,86 hektar. Sedangkan untuk pertanian tanah kering (tegalan/ladang) untuk Jawa sekitar1,34 hektar dan Luar Jawa sekitar 3,71 hektar, Kisaran luas tersebut telah memperhitungkan kemampuan penggunaan teknologi traktor kecil dalam pengolahan tanah pertanian (lihat Tabel 17). Tabel 17 Luas Minimum Usahatani Sawah dan Tanah Kering Untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum Keluarga. Tanah Sawah (Ha/KK) Tanah Kering (Ha/KK) 1.00 X 1.25 X 1.50 X 1.00 X 1.25 X 1.50 X 1 Jawa Barat 0,56 0,70 0,84 0,80 1,00 1,20 2 Jawa Tengah 0,62 0,78 0,94 0,92 1,15 1,38 3 Jawa Timur 0,66 0,82 0,99 0,93 1,16 1,39 4 Kalimantan Selatan 1,23 1,54 1,86 2,47 3,09 3,71 Keterangan : 1,00 X garis kemiskinan = keluarga miskin 1,25 X garis kemiskinan = keluarga agak miskin 1,50 X garis kemiskinan = keluarga tidak miskin Catatan Hasil penelitian Puslitbang BPN bekerjasama dengan PSP-IPB Bogor tahun 2002. Luasan minimum untuk tanah sawah dan tanah tegalan pada berbagai pola tanam. No
Propinsi
65
B
A +
+
C +
Sangat luas
+
+
Luas
+ Sempit
Sangat sempit
Luas Pemilikan Tanah
_
Kebutuhan Hidup Minimum
A = Pendapatan Usaha Tani Basis Tanah B = Pendapatan Usaha Tani Terkait Tanah C = Pendapatan Luar Usaha Tani Gambar 8. Ilustrasi Pengaruh Ketimpangan Pemilikan Tanah Terhadap Kesenjangan Pendapatan Petani. 1. Petani dengan pemilikan tanah luas sampai dengan sangat luas dapat hidup layak. Pendapatan dari A dapat mencukupi kebutuhan hidup minimum apalagi ditambah pendapatan dari B dan C. 2. Petani dengan pemilikan tanah sempit sampai dengan sangat sempit tidak dapat hidup layak. Pendapatan dari A walaupun ditambah dari B dan C tidak mencukupi kebutuhan hidup minimum.
66
3.
Wujud Kemiskinan Riil di Tingkat keluarga Petani
Gambaran yang lebih rinci diungkapkan melalui penelitian oleh Risnarto pada tahun 2003 di Desa Dasan Lekong, Kecamatan Sukamulia, Kabupaten Lombok Timur, yang merupakan lokasi Proyek Pendataan P4T. Desa Dasan Lengkong berpenduduk padat dan tidak seluruh keluarga mempunyai tanah usaha. Dari jumlah rumah tangga sebanyak 3 257 Keluarga, hanya 1987 orang (61 %) yang tercatat sebagai wajib pajak tanah. Sebanyak 995 orang (25,36 %) keluarga yang pendapatannya bersumber dari usahatani tanah tercatat sebagai pemilik penggarap sawah atau kebun. Sebanyak 540 orang (13,76 %) sebagai penyakap, 156 orang (3,97 %) sebagai penyewa dan sebanyak 2 243 orang (56,91 %) sebagai buruh tani. Berdasarkan luas kepemilikan tanah, sebagian besar (66,10 %) mempunyai tanah di bawah 1000 meter2, sebanyak 32,71 % antara 0,1 s/d 0,5 hektar. Hanya sekitar 1,19 % yang tercatat sebagai pemilik tanah di atas 1,00 hektar. Kegiatan sertipikasi tanah pertama kali belum banyak menjangkau Desa Dasan Lekong. Sebagian besar masih berupa tanah Girik Dari jumlah bidang tanah di desa tersebut yang diperkirakan sebanyak 8 500 bidang tanah, hanya sebanyak 365 bidang tanah yang sudah bersertipikat. Sekitar 325 bidang hasil Proyek PP 10 Tahun 1961 dan PRONA tahun 1993/1994 dan sekitar 40 bidang tanah merupakan hasil kegiatan rutin. Peralihan tanah yang terjadi selama tahun 2 tahun terakhir pada tanah yang belum bersertipikat dan proses peralihannya hanya dilakukan di Desa menunjukkan jumlah peralihan yang cukup tinggi. Pada tahun 2002 sebanyak 73 bidang tanah dengan luas 12,37 hektar, dan sampai bulan September 2003 telah terjadi peralihan tanah sebanyak 42 bidang tanah dengan luas 5,04 hektar. Peralihan itu mendorong perubahan penggunaan tanah. Selama delapan bulan, Januari sampai Oktober 2003, telah terjadi perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian sebanyak 15 bidang tanah, seluas 4,84 hektar. Sebagian besar berasal dari tanah sawah menjadi pekarangan/rumah, industri dan jasa/kantor. Penelitian menghasilkan temuan bahwa kebutuhan hidup minimum yang harus dicukupi oleh keluarga petani dengan jumlah jiwa 5-6 orang adalah sekitar Rp 5 600 000 – Rp 6 720 000.- per tahun. Jika seluruhnya dipenuhi dari pendapatan usahatani maka sekurang-kurangnya pendapatannya adalah sekitar Rp 6 000 000 per tahun atau sekitar Rp 3 000 000 per musim. Dengan luas pemilikan tanah di bawah 0,5 nektar (0,39 hektar) pendapatan usahataninya hanya mencapai Rp 1,84 juta. Jika keluarga tersebut berjumlah lima jiwa, tingkat pendapatannya hanya memenuhi 33 %, jika berjumlah enam jiwa hanya memenuhi 27 %. Petani dengan luas pemilikan tanah di atas 0,5 nektar (0,64 hektar) pendapatan usahataninya hanya mencapai Rp 3,38 juta. Jika keluarga tersebut berjumlah lima jiwa, tingkat pendapatannya hanya memenuhi 60 %, jika berjumlah enam jiwa hanya memenuhi 50 % (lihat Tabel 19). Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan 5 jiwa pada tingkat tidak miskin diperlukan tanah sawah seluas 1,54 hektar atau tanah kering seluas 1,63 hektar. Sedangkan keluarga dengan 6 jiwa pada tingkat tidak miskin diperlukan tanah sawah seluas 1,90 hektar atau tanah kering seluas 2.,10 hektar. Keadaan itu sulit diwujudkan, karena dengan proses fragmentasi kepemilikan tanah serta peralihan tanah disertai dengan konversi penggunaan tanah tampaknya akan lebih mempercepat melemahnya akses masyarakat terhadap tanah usaha dan secara perlahan terjadi proses pemiskinan penduduk. Penelitian merekomendasikan beberapa strategi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, dari usaha pertanian basis tanah, pertanian basis usaha terkait tanah dan luar usaha pertanian Pada peningkatan hasil pertanian berbasis tanah diperlukan perbaikan teknologi usahatani dan subsidi input usahatani agar produktivitas tanah pertanian meningkat serta perbaikan harga output di tingkat petani agar pendapatan yang diterima meningkat. Perbaikan pada struktur pendapatan usahatani ternak, yaitu dengan memberi kredit pemeliharaan ternak kambing, sapi atau usaha perikanan air tawar. Sedangkan perbaikan pada struktur pendapatan luar usahatani, yaitu dengan memberi kredit mikro untuk usaha kecil dan rumah tangga serta ketrampilan kerja
67
sehingga dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja di wilayah kabupaten, propinsi maupun luar negeri Berkaitan dengan upaya penataan kembali penguasaan pemilikan tanah di wilayah pedesaan, penelitian juga merekomendasikan: (1) perbaikan pada sistem penguasaan pemilikan tanah, yaitu konsolidasi pengusahaan tanah secara bersama pada satuan luas minimum tertentu (10 hektar) melalui kelompok usahatani, (2) program sertipikasi tanah usaha agar memberi kepastian kepemilikan, mencegah proses fragmentasi dan peralihan tanah secara absentee serta pembentukan aset tanah bersertipikat sebagai jaminan kredit usahatani (3) Perbaikan pada sistem kemitraan usahatani dengan sektor swasta yang menangani sistem pasca panen serta pasar input dan output produksi. Tabel 19 A. Pendapatan Petani dan Pemenuhan Hidup Minimum Keluarga Tahun 2003 Di Desa Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia, Kabupaten Lombok Timur No
Uraian
Petani -1 (Di bawah 0.5 Ha)
Luas Pemilikan Tanah a. Pekarangan (ha) b. Sawah (ha) c. Tanah Kering (ha) Jumlah (ha) 2 Pendapatan Petani setahun a. Usahatani tanah (Rp) b. Usahaternak (Rp) c. Luar usahatani (Rp) Jumlah Pendapatan (Rp) 3 Kebutuhan Hidup Keluarga a. Keluarga 5 jiwa (Rp) b. Keluarga 6 jiwa (Rp) 4 Tingkat Pemenuhan Hidup Minimum a. Keluarga 5 jiwa (%) b. Keluarga 6 jiwa (%) 5 Kontribusi Pendapatan Usahatani a. Keluarga 5 jiwa (%) b. Keluarga 6 jiwa (%) Sumber: Analisis hasil penelitian di lapangan, diolah Catatan:
Petani-2 (Di Atas 0.5 Ha)
1
0.05 0.12 0.22 0.39
0.04 0.35 0.25 0.64
1 839 000 350 000 750 000 2 939 000
3 381 000 500 000 700 000 4 581 000
5 600 000 6 720 000
5 600 000 6 720 000
52,48 43,74
81,80 68,17
32,84 27,37
60,38 50,31
Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan luas pemilikan tanah di bawah 0,5 nektar (0,39 hektar) pendapatan usahataninya hanya mencapai Rp 1,84 juta. Jika keluarga tersebut berjumlah lima jiwa, tingkat pendapatannya hanya memenuhi 33 %, jika berjumlah enam jiwa hanya memenuhi 27 %. Petani dengan luas pemilikan tanah di atas 0,5 nektar (0,64 hektar) pendapatan usahataninya hanya mencapai Rp 3,38 juta. Jika keluarga tersebut berjumlah lima jiwa, tingkat pendapatannya hanya memenuhi 60 %, jika berjumlah enam jiwa hanya memenuhi 50 %.
68
B. Asumsi Pendapatan Minimum No 1 2
3. 4
C. No 1
Uraian Asumsi Jumlah Keluarga Tingkat hidup minimum (THM) a. Setara 1,00 X THM b. Setara 1,25 X THM c. Setara 1,50 X THM Harga beras di tingkat local Pendapatan bersih minimum (PBM) a. Setara 1,00 X PBM b. Setara 1,25 X PBM c. Setara 1,50 X PBM
Satuan Jiwa
Asumsi I
Asumsi II 5
6
Kg beras Kg beras Kg beras Rp/kg
1 750 2 188 2 625 3 200
2 100 2 625 3 150 3 500
Rp 000 Rp 000 Rp 000
5 600 7 000 8 400
7 350 8 400 11 025
Asumsi Pemilikan Tanah Usaha Uraian Asumsi Luas pemilikan tanah usaha saat ini a. Tanah sawah per keluarga b. Tanah kering per keluarga c. Pemilikan sawah dan tanah kering
Satuan
Asumsi I
Ha Ha Ha
Asumsi II
0,12 0,22 0,34
0,35 0,25 0,60
2 .
Pendapatan bersih tanah usaha saat ini a. Tanah sawah b. Tanah kering c. Tanah sawah dan tanah kering
Rp 000 Rp 000 Rp 000
656 1 135 1 791
2 030 1 315 3 345
3
Produktivitas bersih tanah per hektar a. Tanah sawah b. Tanah kering
Rp 000 Rp 000
5 466 5 159
5 800 5 260
D Analisis Luas Minimum Usahatani Sawah dan Tanah Kering Untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum Keluarga Pada Tahun 2003 Di Desa Dasan Lekong. No
Tingkat Hidup Petani
Satuan
Pendapatan Bersih Minimum
Setara 1,00 X PBM a. Keluarga 5 jiwa Rp 000 5 600 b. Keluarga 6 jiwa Rp 000 7350 2 Setara 1,25 X PBM a. Keluarga 5 jiwa Rp 000 7 000 b. Keluarga 6 jiwa Rp 000 8 400 3 Setara 1,50 X PBM a. Keluarga 5 jiwa Rp 000 8 400 b. Keluarga 6 jiwa Rp 000 11 025 Keterangan : 1,00 X garis kemiskinan = keluarga miskin 1,25 X garis kemiskinan = keluarga agak miskin 1,50 X garis kemiskinan = keluarga tidak miskin
Luas Pemilikan (Ha) Tanah Sawah
Tanah Kering
1
1,02 1,27
1,42 1,40
1,28 1,45
1,36 1,60
1,54 1,90
1,63 2,10
69
4.
Program Penanggulangan Kemiskinan
Sejak awal tahun 1980-an sampai saat ini telah banyak program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun kerjasama dengan pihak Donor, seperti USAID, Aus-Aid, World Bank, ADB dan sebagainya. Beberapa program pembangunan wilayah pedesaan yang dibiayai dengan pinjaman Bank Dunia, seperti Yogya Bangun Desa (1985an), Nusa Tenggara Agicultural Support Development (NTASP, 1986-1991), Nusa Tenggara Integrated Area Development Project (NTIADP, 1994-2000), Bengkulu Regional Development Proyect (BRDP, 1998-2004), umumnya merupakan program yang salah satu tujuan pokok adalah pengentasan kemiskinan di wilayah pedesaan. Dari beberapa program di atas, yaitu Yogya Bangun Desa dan NTASP, terdapat komponen pemberian sertipikat hak milik atas tanah. Ketika proyek berakhir, dan pola tanam usaha pertanian kurang memberikan manfaat yang berkelanjutan, ternyata sertipikat hak milik atas tanah menjadi salah satu bukti bahwa di daerah tersebut pernah ada upaya pembangunan wilayah pedesaan dan kini beberapa peserta di Yogya memanfaatkan sertipikat tersebut sebagai jaminan untuk memperoleh kredit Pada tahun 2002 Bappenas telah menginventaris program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh berbagai Departemen/LPND. Inventarisasi mengacu pada: (1) tupoksi Departemen/LPND, (2) tupoksi anggota-anggota komite penanggulangan kemiskinan dan (3) kebijakan penanggulangan kemiskinan. Cirri utama program yang mengacu pada kebijakan penanggulangan kemiskinan itu, adalah: (1) target groupnya penduduk miskin, keluarga miskin dan kelompok miskin, (2) tidak bersifat karikatif, (3) jangka waktu dibutuhkan diorientasikan untuk menjawab permasalahan/isu-isu jangka menengah dan jangka panjang, (4) berdampak pada peningkatan produktivitas/income per kapita dan (5) berdampak pada penurunan beban pengeluaran penduduk miskin dalam pemenuhan kebutuhan prasarana dasar. Hasil inventarisasi menunjukkan terdapat 69 program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh 17 instansi/Departemen/LPND dengan alokasi dana Rp 16,54 trilyun. Program yang dikembangkan meliputi: (1) peningkatan income masyarakat, (2) peningkatan akses fasilitas pelayanan publik, (3) peningkatan kemampuan dan (4) perlindungan sosial. Hasil evaluasi menunjukan bahwa selain program yang langsung untuk penanggulangan kemiskinan juga terdapat program yang tidak langsung menanggulangi kemiskinan, seperti program untuk pelayanan publik yang bersifat reguler, jangka pendek/crash program untuk mengatasi kondisi bencana/spesifik, program yang tumpang tindih dan sebaliknya terdapat program yang sama sekali tidak terkait dengan penanggulangan kemiskinan (lihat Tabel 20) Untuk BPN, terdapat tiga program yang sekilas ada hubungannnya dengan penanggulangan kemiskinan, yaitu: (1) redistribusi tanah untuk petani penggarap, (b) sertipikat tanah PRONA/UKM dan (3) sertipikat tanah transmigrasi.. Dari ketiga program tersebut, program redistribusi tanah untuk petani penggarap dinilai langsung berhubungan dengan program penanggulangan kemiskinan, sedangkan sertipikasi tanah PRONA/UKM dan transmigrasi dinilai sebagai program regular sesuai tugas pokok instansi. Dana yang dialokasi untuk ketiga program tersebut sebesar Rp 29, 7 milyar. Program redistribusi tanah untuk petani penggarap merupakan program yang telah dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1960 sebagai bagian dari landereform pedesaan. Sebagian program itu merupakan program parsial instansi pertanahan, namun di beberapa tempat dikembangkan sebagai program terpadu dengan pembangunan wilayah pedesaan. Sebagai contoh, di beberapa wilayah pedesaan Bagian Selatan Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, tanah redistribusi yang dibagikan sekitar tahun 1980an dikembangkan sebagai program terpadu dengan pembangunan pertanian dan pedesaan. Pemberian bibit kopi yang ditanam di sela-sela pohon lamtor, saat ini telah berproduksi dan menjadi andalan perekonomian wilayah pedesaan. Program redistribusi tanah yang diintegrasikan dengan program pembangunan ekonomi wilayah pedesaan umumnya memberi dampak yang signifikan terhadap penangulangan kemiskinan di wilayah pedesaan.
70
Program sertipikasi tanah Prona telah dikembangkan sejak tahun 1984. Program ini ditujukan pada kelompok masyarakat miskin di daerah pedesaan maupun perkotaan. Kegiatan ini tampak menjadi kegiatan reguler yang diindikasi belum memberikan dampak yang signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan di wilayah pedesaan. Di beberapa lokasi Prona, terutama di daerah yang pertumbuhan ekonomi kurang berkembang, seperti NTB dan NTT, masyarakat penerima sertipikat hak milik atas tanah tidak dapat memanfaatkan sertipikat tersebut untuk jaminan kredit, karena usaha pertaniannya memang tidak berkembang. Sebagian besar sertipikat tanah tersebut disimpan di lemari. Program sertipikat tanah hak milik untuk mendukung UKM beberapa tahun terakhir ini dilaksanakan oleh BPN mendukung program Kementrian Koperasi dan UKM. Lokasi kegiatan ditujukan pada penduduk yang mempunyai usaha kecil dan rumah tangga secara individual di wilayah yang tersebar di berbagai tempat. Sebagian besar pelaksanaan sertipikasi tersebut diindikasi menghadapi kendala dalam menetapkan target sasaran serta kendala dalam proses pencairan keuangan. Walaupun terdapat informasi secara parsial bahwa beberapa pengusaha UKM di Kota Pekalongan, Jawa Tengah memanfaatkan sertipikat tersebut sebagai agunan untuk meminjam kredit dan asetnya meningkat, namun secara umum program tersebut belum menunjukkan dampak ekonomi yang signifikan sebagai program penanggulangan kemiskinan. Sebaliknya di Kota Bandung, pada tahun 2004, tercatat nilai agunan kredit sekitar Rp 4,72 trilyun dan di Kabupaten Bandung sekitar Rp 0,74 trilyun. Sekitar 60 % kredit tersebut nilai agunan di bawah Rp 200 juta yang diindikasi sebagai kredit untuk usaha kecil dan rumah tangga. Dari fenomena itu dapat dikatakan bahwa pengembangan usaha dengan menggunakan sertipikat sebagai jaminan kredit memang berpeluang untuk meningkatkan asset usaha, namun peluang itu hanya terwujud, apabila masyarakat telah memiliki budaya usaha yang sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan lingkungan hidupnya.
71
Tabel 20 Program Penanggulangan Kemiskinan Yang Diinventaris Bappenas Tahun 2002 No
1 2
Instansi/Dep
Pertanian Kelautan dan Perikanan
Nama Program
Pengembangan agribisnis- P4K a. Pemberdayaan masy. pesisir d pulau-2 Kecil b. Pengelolaan d pendayaguna-an pulau2 kecil 3 Kimpraswil Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) 4 Peridag a. Kemitraan b. Penumbuhan wirausaha c. Penyelenggaraan klinik bisnis 5 Koperasi dan a. Penyertaan dana bergulir UKM b. Permodalan lembaga keuangan mikro 6 Depdagri dan a. Pengemb. Kecamatan (PPK) Otoda b. Pengemb. Pras. Desa (P3D) 7 Pemberdayaan Pengemb. ekonomi local (P3EL) Perempuan 8 BKKBN Pemberdayaan keluarga 9 BPS a. Evaluasi metodologi indicator kemiskinan b. Perhit. Pend.miskin regional 10 BPN a.redist. tanah petani penggarap b.sertipikat tanah prona/UKM c. sertipikat tanah transmigrasi 11 Pendidikan a. Pemberian beasiswa Nasional b. Dana bantuan operas. (DBO) c. Dewan Pendidikan d. Broad Base Education (BBE) 12 Kesehatan a. Lingkungan sehat b. Upaya kesehatan c. Perbaikan gizi masyarakat d. Obat,makanan, bhn.berbahaya 13 Sosial a. Pengemb.potensi kesra 14 BULOG a. Bantuan Raskin b. Kompensasi. BBM 15 Nakertrans a. Transmigrasi b. Peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja 16 Dep.Agama Penangg.Dampak Pengurangan Subsidi Energi Pendidikan 17 Bappenas Pendukung Pemberd.Masy. dan Pemda (pendamping LOAN) Sumber: Bappenas, 2002. Diolah.
Reg
Jumlah Program Crash PK Lain2
Total
Jumlah Dana (juta Rp) 61 096 98 225
1 -
1
1 2
-
2 3
8
-
1
1
10
2
-
-
3
5
43 909
-
1
2
-
3
290 040
4
-
2
1
7
1 144 674
-
-
1
-
1
4 000
1
-
1 2
-
1 3
1 370 833 7 088
2
-
1
-
3
29 702
4
6
-
1
11
2 005 364
3
1
-
-
4
1 219 738
1 1
1 1
-
-
2 2
1 109 370 4 696 850
5
-
-
-
5
593 284
-
1
-
-
1
325 459
-
1
-
-
1
425 000
3 115 477
72
7 Hak Asasi Manusia Terhadap Akses Agraria 1.
Konsepsi Mengenai Hak Asasi Manusia
Pada dasarnya konsep hak asasi manusia sudah ada sejak adanya kehidupan manusia di muka bumi. Prinsip-prinsip persamaan manusia, penghargaan terhadap hak milik sudah dimuat dalam kitab Perjanjian Lama, Al Qur’an dan kitab agama-agama lainnya. Menurut Karel Vasak sebagaimana dikutip Adnan Buyung Nasution dan A.Patra M.Zein (2006) dalam bukunya Instrumen Nasional.Pokok Hak Asasi Manusia, membagi tiga fase perkembangan hukum internasional HAM. Menurutnya, HAM generasi pertama, merupakan hukum yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik. Selanjutnya, generasi kedua berkaitan dengan katalog hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selanjutnya, Vasak memperkenalkan HAM generasi ketiga yaitu hak-hak kolektivitas yang dimiliki sebuah bangsa, seperti menentukan nasib sendiri, perdamaian dan sebagainya. Perkembangan ini menurut para pakar mengandung kelemahan karena mengasumsikan hak asasi dalam generasi yang satu lebih dulu muncul ketimbang hak asasi dalam generasi berikutnya. Setelah melalui proses yang panjang, pada tanggal 10 Desember 1948 PBB mensahkan Deklarasi Universal HAM. Terdapat tiga kelompok dalam DUHAM itu, (1) hak asasi serta kebebasan dasar/fundamental yang merupakan hak sipil yang tertera dalam Pasal 3-9 DUHAM antara lain yang terkait dengan bebas dari perbudakan, hak pribadi atas rumah, keluarga dan komunikasi serta hak atas harta kekayaan. (2) hak-hak dan politik, antara lain hak berpartisipasi dalam pemerintahan termasuk hak terlibat dalam pemerintahan di negaranya, serta (3) hak-hak ekonomi, sosial dan budaya antara lain hak atas standar kehidupan yang memadai. Rincian hakhak itu disajikan pada Tabel 21. Secara umum hak asasi manusia adalah hak dasar sebagai suatu batas minimum yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan diperlukan untuk mempertahankan hidup dan kesehatan. Oleh karena itu, hak itu harus ada, bersifat kodrati dan universal yang harus dipenuhi dalam berbagai aspek kehidupan manusia agar manusia dapat hidup layak. Sementara itu sosiolog Sri Soemantri Martosoewignjo (1998) menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada jati diri manusia secara kodrati dan universal, berfungsi menjaga integritas keberadaannya, berkaitan dengan hak atas hidup dan kehidupan, keselamatan, keamanan, kemerdekaan, keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak boleh diabaikan dan dirampas oleh siapapun. Sementara itu, Pasal 1 UU Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan: Ayat (1), Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat manusia. Ayat (2), Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
73
Tabel 21 Hak Asasi serta Kebebasan Dasar dan Fundamental Manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (DUHAM) Kebebasan-2 Fundamental/ Hak Sipil (Pasal 3-19)
Hak-hak dan Politik (Pasal 20-21)
Hak untuk hidup dalam kebebasan Hak dan keselamatan diri berkumpul
Bebas dari perbudakan
Bebas dari penyiksaan, hukuman atau perlakuan keji lainnya yang tidak berperikemanusiaan dan merendahkan martabat
Hak atas pengakuan yang sama di depan hukum Hak yang sama di depan hukum
Hak mendapat bantuan saat hak-hak hukumnya tidak dipenuhi
Bebas dari penangkapan, pemenjaraan atau pembuangan tanpa alasan yang jelas
Hak atas proses peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang independent dan tidak memihak
Hak menikmati perlakuan sebagai orang yang tidak bersalah sampai dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan
Hak pribadi atas keluarga dan komunikasi
Bebas tinggal dimanapun, di dalam negeri atau berpindah, bepergian dan kembali ke kampong halaman
Hak mencari suaka di Negara lain untuk menghindari pengejaran di negerinya
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Pasal 22-28)
berserikat, Hak atas jaminan yang bertujuan sosial, ekonomi serta jaminan damai, serta hak memilih hak-hak sosial dan budaya untuk tidak terlibat dalam Hak untuk bekerja sebuah perkumpulan dengan layak, mendapat Hak berpartisipasi penghasil an yang adil dan dalam pemerintahan, memiliki hak bergabung termasuk hak terlibat dalam dalam serikat buruh pemerintahan di negaranya Hak atas waktu istirahat dan hari libur di antara waktu (jam) kerja
Hak atas standar kehidupan yang memadai Hak atas pendidikan
Hak untuk ikut serta secara bebas dalam kehidupan
Hak atas tatanan social dan internasional dimana hakhak pada deklarasi ini diakui.
rumah,
Hak atas kewarganegaraan
Hak laki-laki dan perempuan menikah dan membentuk sebuah keluarga
Hak atas harta kekayaan
Bebas berpikir, berkesadaran, beragama dan kepercayaan
Bebas memiliki dan menyatakan pendapat
74
2. Sejarah Mengenai Hak Asasi Manusia Dalam sejarah perkembangan mengenai hak asasi manusia, tidak terlepas dari perkembangan teori hukum kodrat dalam periode 600 sampai dengan 400 SM. Walaupun dalam praktiknya masih terjadi perbudakan, para filsuf Yunani dan Romawi sudah meletakkan dasar-dasar filsafat hukum tentang hak asasi manusia. Pengertian “hak asasi manusia” itu sendiri baru dirumuskan secara eksplisit pada abad 18. Hak asasi manusia selanjutnya di satu sisi merupakan hak kodrati dari Tuhan yang Maha Esa dan di sisi lain lahir dari pergaulan sosial masyarakat. Landasan filosofi, politik dan ekonomi dalam abad 17 dan 18, berdasarkan tesis bahwa hak individu untuk memiliki dan mengalihkan adalah adanya hak alamiah/kodrati dari individu tersebut. Konsep ini berdasarkan ajaran John Locke (1632-1702) dan dikenal dengan nama Labour Theory About Property yang berdasarkan hukum alam (natural law). Diutarakan, bahwa keberadaan milik pribadi sudah ada jauh sebelum ada negara dan bebas dari hukum yang diatur negara, karena property right adalah hak alamiah/kodrati, di mana dalam hukum alam ini diatur tentang prinsip-prinsip keadilan hukum alam (natural justice), dan oleh karena itu, Pemerintah dilarang ikut mengatur hak tersebut tanpa izin dari yang punya hak. Hak kodrati manusia itu diturunkan oleh Tuhan dan mendasarkan pada prinsip-prinsip moral, bersifat universal yang di dalamnya mengandung hak untuk hidup dan tuntutan kebahagiaan. Oleh karena itu, manusia tidak menguasainya secara mutlak. Dengan demikian tindakan pemerintah untuk melindungi hak milik hanyalah sepanjang hak-hak untuk hidup dan kemerdekaan. Filsuf-filsuf pada abad itu, termasuk JJ Rousseau, kemudian membawa pengaruh munculnya sejumlah norma hak asasi manusia, seperti English Bill of Rights (1679), Virginian Declaration of Rights (1776), American Declaration of Independence (1776), serta Declaration des droits de l’home et du citayen (1789) di Perancis (Adnan Buyung Nasution dan A.Patra M.Zein, 2006). Dalam abad ke 19, teori yang digambarkan John Locke itu mengalami koreksi oleh Jeremmy Bentham (1748-1832) yang dikenal dengan utilitarian theory of private property, dimana hak milik itu lebih mengacu kepada teori kemanfaatan. Bertitik tolak pada prinsip-prinsip pemanfaatan itu, hukum seharusnya digunakan untuk menghasilkan kebahagiaan dan atau manfaat yang terbesar bagi masyarakat. Teori pemilikan dimaksudkan sebagai hak positif (positive right) yang merupakan kata lain dari hak milik pribadi yang tercipta melalui instrumen hukum, dengan tujuan untuk menciptakan pencapaian tujuan ekonomi dan sosial secara luas, sebagai lawan dari teori hak alamiah/kodrati dari John Locke. Dengan demikian, akhirnya akan tercapai kebahagiaan bagi seluruh masyarakat, dan sebagai konsekuensinya adanya hak yang tercipta dan diatur oleh hukum dan keberadaannya dilindungi sehingga memperoleh kepastian hukum dari Negara. Hak alamiah/kodrati yang berdasarkan hukum alam/kodrat menurut teori John Locke adalah tidak mungkin, seperti diutarakan Bentham: “ natural right are simply nonsense; natural and imprescriptable right, rhetorical nonsense, nonsense upon stills “ Pada abad ke–20, Karl Marx dan para pengikutnya memberikan dasar konsepsi dan hukum ekonomi dan sosial, yang kemudian dimuat dalam konstitusi Uni Soviet (1918), konstitusi Wiemar (1919) dan konstitusi Meksiko (1917) sebagai jaminan hak ekonomi dan sosial. Pada periode pasca Perang Dunia I, dibentuk Liga Bangsa Bangsa (LBB) yang melembagakan hak asasi manusia. Sejumlah negara Eropa Tengah dan Eropa Timur menyepakati sejumlah perjanjian dan deklarasi untuk memberikan jaminan hak asasi kelompok minoritas yang tinggal di wilayahnya, antara lain hak menikmati hidup dalam kebebasan pribadi termasuk kebebasan beragama. Obligasi negara untuk menjamin hak kelompok minoritas yang disebut obligation d”interet international dilembagakan di LBB. Pasal 22 pakta LBB juga memuat larangan kerja paksa dan perdagangan manusia . Di era LBB, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyusun norma dan standar yang pada dasarnya merupakan hukum dasar di bidang ekonomi dan sosial.hak buruh dan pekerja. LBB bubar ketika terjadi Perang Dunia II. Setelah pasca Perang Dunia II, pengakuan hak asasi manusia dituangkan lebih luas dalam hukum internasional yang tertulis dalam Piagam PBB diawali dengan DUHAM (!948), kemudian diikuti dengan International Convention Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights . pada tahun 1950, Dewan Eropa mengadopsi Convention
75
for the Protection of Human Rights and Fundamental Fredooms yang mengikat seluruh anggotanya pada 3 September 1953. Di Amerika pada tahun 1969 dikembangkan American Convention on Human Rights yang mulai berlaku tahun 1978. Selanjutnya diikuti African Charer on Human Rights tahun 1981 yang berlaku mulai 1986. Dalam perkembangannya kemudian, DUHAM yang pada awal deklarasi hanya disetujui oleh 48 negara dan 8 negara abstain, telah menjadi dokumen yang dimanfaatkan dalam forum politik dan yuridis serta dijadikan referensi pokok dalam penyusunan perjanjian internasional hak asasi manusia di level regional dan menjadi refernsi di level undang-undang dasar nasional suatu negara. Bahkan Deklarasi itu digunakan sebagai hak untut menuntut kemerdekaan suatu negara, yang bebas dari praktek penjajahan dan perjuangan menentang diskriminasi rasial. Pada tahun 1968, perwakilan 108 negara merumuskan Proklamasi Teheran yang menegaskan secara aklamasi bahwa DUHAM diposisikan sebagai norma-norma internasional hak asasi manusia, termasuk problem kesenjangan ekonomi Negara maju dengan Negara Ketiga yang dikategorikan sebagai Negara Miskin.
3.
Hak Asasi Manusia dan Tanah di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang menghormati hak asasi manusia. Prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia itu secara filosofi dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal-Pasal dalam Batang Tubuhnya. Secara prinsip komitmen negara terhadap hak asasi manusia tertera dalam Pasal 1, tentang NKRI, kedaulatan di tangan rakyat dan merupakan negara hukum. Selanjutnya beberapa pasal antara lain pada Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan hak warganegara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 31 ayat (1) mengenai hak memperoleh pendidikan dan Pasal 33 ayat (3) tentang komitmen negara untuk memberi kemakmuran rakyat dari sumberdaya alam yang dikuasainya. Mengenai hak asasi manusia secara lebih konkrit ditetapkan dalam Amandemen UUD 1945 dalam Pasal 28 A s/d Pasal 28J. Hak asasi manusia terkait dengan bahasan ini antara lain tertera dalam Pasal 28C, 28D , 28H dan Pasal 28J. Pasal 28C ayat (1) memuat hak setiap orang untuk pengembangan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Selanjutnya dalam Pasal 28C ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Pasal 28D ayat (1) memuat hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Selanjutnya ayat (2), setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sedangkan ayat (3), menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ayat (4), menyatakan setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Pasal 28H ayat (1) menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ayat (2) setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Ayat (3) menyatakan setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Selanjutnya ayat (4) menyatakan setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Pasal 28J ayat (1) menyatakan setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya ayat (2) menyatakan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
76
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dari ketentuan dasar mengenai hak asasi manusia, khususnya pada Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 28J ayat (2) menunjukkan bahwa hak milik pribadi, termasuk hak milik atas tanah merupakan hak yang dapat diperoleh bagi setiap warga negara, namun hak itu tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dengan mendasarkan pada konsepsi hak asasi manusia dari John Locke khususnya mengenai hak milik, maka hak milik atas tanah merupakan hak milik yang bersifat kodrati yang melekat pada para individu. Sedangkan hak milik atas tanah bagi bangsa, merupakan refleksi dari hak milik atas tanah yang kodrati, karena lahir dari pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia terkait dengan hak atas sumberdaya tanah, mengandung sejumlah kewajiban dan sejumlah pembatasan yang menyangkut aspek penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya. Konsep dasar pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). yang mengatur prinsip dasar mengenai hak pemilikan tanah dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan. Terdapat 10 prinsip dasar yang terkandung dalam UUPA sebagai dasar kewenangan Negara mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan masyarakat di dalam negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur yang bersumber dari lapangan usaha agraria/pertanahan. Prinsip-prinsip dasar itu, meliputi: (1) berwawasan NKRI, (2) hak menguasai tanah oleh Negara, (3) pengakuan hak ulayat, (4) kesempatan dan aksesibilitas yang sama bagi Warganegara (5) .fungsi sosial hak atas tanah, (6) pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.hak warga Negara atas tanah, (7) usaha bidang agraria yang anti monopoli swasta dan keberpihakan kepada golongan ekonomi lemah. (8) intensifikasi tanah pertanian dengan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan, (9) kaidah pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.dan (10) .kaidah penatagunaan tanah. Prinsip dasar UUPA yang terkait dengan HAM, antara lain prinsip ke-4 s/d ke 9 yang rinciannya disajikan pada Tabel 22. Negara Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menghormati hukum. Dalam kaitan dengan hak milik ditetapkan dalam Pasal 28H ayat (4), bahwa “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Lebih lanjut Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945, menyatakan bahwa: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 itulah yang menjadi landasan konsepsional pengaturan pertanahan/agraria dalam UUPA. Berdasarkan pengaturan dalam UUPA, secara umum terdapat tiga subyek hukum hak atas tanah, yaitu hak bangsa yang bersifat hubungan hukum publik, hak negara yang bersifat hubungan hukum publik/pemerintahan dan hak individu yang bersifat hubungan hukum privat/perdata. Hubungan hukum bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan hukum memiliki, merupakan refleksi HAM yang secara kodrati karunia Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu bersifat fundamental yang ditetapkan dalam UUD 1945 dan Pasal 1 UUPA. Hubungan hukum negara dengan tanah adalah hubungan menguasai, merupakan refleksi penyelenggara pemerintahan yang bersifat administrasi pemerintahan. Dalam hal ini pemerintah mempunyai kewenangan mengatur, menguasai, mengelola, mengawasi dan mengambil tindakan hukum terhadap hakhak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Selanjutnya hubungan hukum individu dengan tanah adalah hubungan memiliki secara keperdataan. Hubungan hukum individu itu, selanjutnya dibedakan berdasarkan tiga jenis subyek hak, yaitu hak atas tanah milik perorangan, hak atas tanah badan hukum privat (perusahaan) dan hak atas tanah badan hukum publik (instansi pemerintah). Hak-hak atas tanah itu meliputi Hak Milik (HM), Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HM-SRS), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP), Hak Pengelolaan (HPl).
77
Tabel 22 Pokok-Pokok Kebijakan UUPA dalam Perspektif Hak Asasi Manusia No 1
2
3
4
5
6
Kebijakan UUPA Perspektif HAM akan ke-4: Kesempatan k kebijakan ini adalah memberi kesempatan yang sama bagi warga negara dan Aksesibilitas Indonesia, untuk memperoleh suatu hak dan manfaat atas tanah, serta derajat yang sama bagi hidup yang sesuai dengan martabat manusia bagi beserta keluarganya. Arah kebijakan ini meliputi: (i) Negara menentukan berbagai jebis hak yang dapat Warganegara diberikan dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum, (ii) atas dasar hak menguasai dan memiliki dengan jenis hak atas tanah tertentu itu, orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum memunyai akses untuk memanfaatkan tanah sesuai dengan tujuan pemberian haknya, (iii) kesempatan itu diberikan pada setiap warganegara Indonesia, laki-laki maupun wanita. ijakan ke-5: Fungsi Sosial m Pasal 6 UUPA dinyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang berarti bahwa pemanfaatan tanah di samping memberikan Hak Atas Tanah. wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah, juga memberikan kewajiban tertentu terhadap pemanfaatannya. Pemanfaatan itu harus disesuaikan dengan keadaan tanah dan sifat hak atas tanah tersebut, sehingga memberikan kesejahteraan, dan keadilan bagi yang mempunyai hak atas tanah tersebut, maupun bagi masyarakat dan negara. Tanah tidak boleh diterlantarkan. Dengan demikian, pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk memelihara, termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakan sehingga memberi manfaat yang berkelanjutan. Kebijakan ke-6: ng-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 mengatur ketenuan mengenai Pembatasan pemilikan pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah. Ketentuan itu, berlaku untuk dan penguasaan tanah tanah pertanaian yang dimaksudkan agar pemilik tanah mengusahakan tanah secukupnya secara efisien dan efektif serta sebagai upaya mengurangi pertanian. ketimpangan penguasaan tanah. Tanah kelebihan itu, merupakan objek landreform yang selanjutnya diredistribusikan kepada para petani sehingga petani sebagai aset untuk usahataninya. Kebijakan ke-7: Usaha erintah mencegah monopoli usaha dalam lapangan agraria oleh perorangan bidang agraria yang anti dan organisasi. Kebijakan itu dimaksuf untuk menumbuhkan iklim yang monopoli swasta dan kondusif guna meningkatkan produktivitas usahatani. Lebih lanjut, UUPA keberpihakan kepada menyatakan bahwa dengan adanya perbedaan tingkat ekonomi masyarakat, golongan ekonomi pemanfaatan tanah harus menciptakan rasa keadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, dan memberikan lemah. perlindungan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah. Kebijakan ke-8: dasarnya setiap orang yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian Intensifikasi tanah diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dan pertanian dengan mencegah cara-cara pemerasan. Ketentuan itu, juga berkaitan dengan mencegah cara-cara pengaturan batas luas maksimum dan luas minimum. Tujuannya adalah agar yang bersifat dapat dicegah pemusatan penguasaan tanah pada suatu kelompok tertentu yang memanfaatkan tanah dengan cara pemerasan tenaga orang lain. pemerasan. Kebijakan ke-9: Kaidah h merupakan aset Bangsa yang berfungsi ekonomis dan ekologis. Maka pelestarian lingkungan keberadaan tanah yang kualitasnya tidak sama di setiap wilayah memerlukan dan pembangunan pertimngan yang seksama dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu, arah kebijakan pertanahan adalah: (i) mengatur pengambilan kekayaan alam yang berkelanjutan. terkandung dalam tanah dengan mempertimbangkan aspek lingkungannya, (ii) mewajibkan setiap pemegang hak atas tanah untuk memelihara kesuburan tanah dan mencegah kerusakannya.
78
4.
Hak Milik Atas Tanah Sebagai Refleksi Hak Asasi Manusia
Dalam konsep hukum, hubungan antara orang dengan benda merupakan hubungan yang disebut “hak”. Makna hak pemilikan atas suatu benda disebut hak milik atas benda itu atau dikenal sebagai property right. C. Chambers (2001) mengartikan: “Property Rights are Right to Things”. namun kata milik itu sendiri dalam makna hukum lebih menekankan pada hak dari pada kepada bendanya. Sukhninder Panesar (2001), mengutarakan : “property, in legal term, therefore means a right to thing rather than the things itself”. Hak milik atau pemilikan bukan hanya sekadar hubungan antara seseorang atau badan hukum (subjek hukum) dengan benda yang mempunyai nilai yang secara hukum dapat dikuasai, tetapi sebagai konsekuensi adanya hubungan itu subjek hukum memperoleh apa yang disebut sebagai hak pemilikan atas benda tersebut. Dalam hukum barat hak pemilikan dibedakan dalam tiga jenis yaitu milik pribadi (“private property”), milik bersama (“common property”) dan milik negara (“state property”). Perbedaan bentuk dari macam-macam hak itu satu dengan yang lain berdasarkan kealamiahan dari hak dan orang yang diberikan haknya. Masing-masing macam hak yang diberikan, ketiganya lebih banyak adanya pengaruh politik dan ekonomi (Sukhaninder Panesar, 2001). Sementara itu Randal, (1981) memberikan pengertian bahwa property right merupakan ikatan atau kumpulan hak untuk menguasai dan menggunakan tanah serta menikmati keuntungan yang diperoleh dari tanah tersebut. Terdapat empat unsur yang menjelaskan property right, yaitu adanya : (1) pemilikan (ownership), (2) spesifikasi hak, (3) pemindahan hak (transferability) dan (4) pengamanan (enforcement). Dalam hubungannya dengan HMAT melalui satu proses penguasaan, dalam sistem hukum barat dikenal sebagai possession yang berbeda makna dengan ownership. Dalam kamus hukum, possession (Inggris) atau posesio (Latin) atau bezit (Belanda), diartikan sebagai “kepunyaan”. Possession dimaksudkan sebagai pendudukan secara fisik atau secara faktual. Syarat lain adalah adanya niat atau maksud memiliki dengan itikad baik (“animouse possidendi”). Niat untuk memiliki dikaitkan dengan waktu dan bukti lainnya. Hak menguasai itu harus didahului dengan tindakan pendudukan/menduduki untuk memperoleh penguasaan itu yang pada batas waktu tertentu akan menjadi hak milik. C. Chambers (2001) mengutarakan bahwa :“ to have possesion of a thing, a person must control that thing an intend to posses it. Both are required” Dengan demikian yang dimaksud dengan possession adalah penguasaan fisik melalui pendudukan dan disertai dengan adanya niat untuk memiliki. Hal itu akan lebih jelas bila dibandingkan dengan pengertian ownership. Pengertian ownership dalam padanan bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kepunyaan atau pemilikan atas suatu benda. Ownership biasanya termasuk di dalamnya hak untuk menguasai bendanya secara nyata atau seseorang yang mempunyai suatu benda, namun belum tentu menguasai secara fisik. Contohnya orang menyewakan tanah atau rumah.Secara tegas perbedaan possession dalam arti penguasaan fisik dengan ownership dalam arti kepunyaan atau pemilikan adalah bahwa penguasaan melibatkan pendudukan secara fisik, adanya niat untuk menguasai, yang dapat diperoleh tanpa alas hak. Sedangkan pemilikan harus dibuktikan sebagai hak mutlak dan perpindahan pemilikan harus dilakukan dengan alas hak, tidak sekadar serah terima penguasaan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penguasaan merupakan cikal bakal adanya pemilikan (property), dimana arti dari milik itu sendiri melekat adanya hak, sehingga dibedakan adanya istilah private property untuk menunjukkan milik pribadi dan public property untuk menunjukkan milik negara atau milik umum. Penguasaan atas benda termasuk tanah merupakan awal dari adanya hak milik. Dalam Hukum Barat pada umumnya atau Common Law, secara tegas dinilai “possession is the root of title”. Di Peru, terdapat dua cara yang digunakan rakyat untuk memperoleh dan menguasai tanah, yaitu dengan menduduki tanah atau membeli secara tidak sah melalui koperasi. Pendudukan tanah dilakukan secara berangsur-angsur dengan memperluas tanah yang telah dikuasai atau pendudukan melalui kekerasan secara massal. Sekitar 90 persen tanah yang dikuasai melalui cara itu umumnya terjadi pada tanah negara, terutama tanah terlantar atau tidak dihuni (De Soto,Hernando 1991).
79
Dalam hubungannya dengan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 UUPA yang menegaskan bahwa hak milik atas tanah merupakan hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dan mempunyai fungsi sosial. Oleh karena itu, hak milik atas tanah yang merupakan derivat hak menguasai dari negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hak milik atas tanah mempunyai sifat-sifat khusus sebagai berikut : ¾
Dapat beralih karena pewarisan, sebab bersifat turun-temurun.
¾
Penggunaannya tidak terbatas dan tidak dibatasi sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-perundang-undangan.
¾
Dapat diberikan sesuatu hak atas tanah lainnya di atas hak milik oleh pemiliknya kepada pihak lain.
Lebih lanjut ditetapkan bahwa terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah, sedangkan tanah lainnya dilakukan dengan penetapan pemerintah, yang cara dan syarat-syaratnya diatur dengan peraturan pemerintah menurut ketentuan undangundang. Undang-undang dan peraturan pemerintah yang dimaksud sampai saat ini belum ditetapkan. Dalam ketentuan peralihan Pasal 56 UUPA diatur bahwa selama undang-undang tentang Hak Milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan UUPA. Hak Milik Atas Tanah (HMAT), merupakan hak atas tanah strategis yang dibutuhkan masyarakat banyak. Lahirnya HMAT pertamakali dikenal sebagai HMAT originer, prosesnya melalui penetapan konversi, penegasan hak atau pemberian hak atas tanah. HMAT merupakan produk hukum yang konstitutif, menimbulkan norma hukum baru yaitu hak kebendaan yang bersifat overdragbaar zakelijk beschikking (keputusan yang menimbulkan hak kebendaan, sifat kepastian haknya dapat dipindahkan). Norma hukum baru itu, memiliki sifat universal dan tetap berkepastian hukum bagi pemilik berikutnya. Oleh karena itu HMAT originer adalah produk hukum konstitutif yang bersifat universal dan merupakan induk hak-hak atas tanah selanjutnya. HMAT dapat mendukung kepentingan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat banyak, dapat dibebani hak atas tanah lain dan dapat dibebani hak tanggungan (dengan pemasangan Akta Hak Tanggungan). Oleh karena itu HMAT sangat relevan dalam rangka mewujudkan hak asasi manusia atas tanah. 5.
Implikasi Kebijakan: Memberdayakan Rakyat Pedesaan
Sebagaimana diutarakan di atas, tentang konsep hak negara dan hak individu atas tanah, dalam praktik selama ini hak negara mempunyai kedudukan tertinggi yang kurang seimbang dengan hak individu bangsa indonesia. Pengaturan kewenangan negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 UUPA adalah untuk mengatur hubungan hukum individu dengan tanah yang hak-hak keperdataannya sangat ditentukan oleh pemerintah yang wujudnya adalah peruntukan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kepentingan politik pemerintah ternyata tidak selalu berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Hal itu lebih konkrit lagi ketika kepentingan hak atas tanah milik individu/perorangan dihadapkan kepada kepentingan hak atas tanah milik badan hukum swasta dan badan hukum pemerintah, yang berimplikasi pada kenyataan bahwa rakyat belum memperoleh hak-hak mendasar untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan kesejahteraan dirinya dan rumah tangganya. Keadaan itulah yang merupakan salah satu sumber kemiskinan di wilayah pedesaan. Kemiskinan termasuk pengangguran merupakan dua persoalan yang masih dihadapi pemerintah saat ini. Jika tidak ditangani dengan cara yang baik dapat menimbulkan kerawanan sosial dan mengganggu stabilitas ekonomi, keamanan dan politik. Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan maka sebagian besar penduduk miskin itu juga berada di wilayah pedesaan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya yang mendasar dengan memberdayakan aset
80
sosial ekonomi yang dimiliki masyarakat pedesaan. Salah satu aset tersebut adalah sumberdaya tanah. Sumberdaya tanah merupakan aset strategis bagi masyarakat di wilayah pedesaan maupun perkotaan guna mengimplementasikan hak rakyat yang mendasar. Hak rakyat yang mendasar itu antara lain hak untuk memperoleh kehidupan yang layak. Kehidupan yang layak itu diperoleh sekurang-kurangnya dengan pemenuhan delapan jalur pokok, yaitu: (1) pangan, (2) sandang, (3) papan, (4) kesehatan, (5) pendidikan, (6) pekerjaan, (7) penghasilan dan (8) status sosial. Pemenuhan delapan jalur pokok itu saling berkaitan dan secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan pola penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Oleh karena itu, diperlukan suatu komitmen politik secara nasional untuk meningkatkan dan menguatkan akses rakyat terhadap tanah Komitmen politik itu adalah pernyataan Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan RI yang menugaskan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai penanggung jawab instansi yang menangani tugas pemerintahan di bidang pertanahan untuk mewujudkan pembangunan pertanahan sebagai basis usaha berkelanjutan di wilayah pedesaan mewujudkan pembangunan pertanahan sebagai basis usaha berkelanjutan di wilayah pedesaan dengan memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah sebagai implementasi amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA, TAP MPR-RI No.IX/MPR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pembaruan Agraria serta pelaksanaan agenda ke-3 dari 11 Agenda Pertanahan tentang penguatan hak-hak rakyat atas tanah. Pembangunan pertanahan sebagai basis usaha berkelanjutan untuk menanggulangi kemiskinan di wilayah pedesaan merupakan pelaksanaan UUPA, Reforma Agraria dan 11 Agenda Pertanahan yang bertujuan memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan sebagian besar rakyat melalui peningkatan pendapatan yang bersumber dari kegiatan berbasis tanah. Oleh karena itu syarat utama masyarakat harus mempunyai akses yang kuat terhadap tanah usaha. Persyaratan ini mengindikasi setiap keluarga petani sekurang-kurangnya harus memiliki tanah usaha dengan luas minimal mampu menghidupi kebutuhan hidup minimal keluarga. Selanjutnya tanah usaha tersebut diberi kepastian hukum hak atas tanah kepemilikannya dengan sertipikat hak milik. Dengan sertipikat hak milik, akan mendorong peningkatan investasi dan produktivitas tanah usaha. Tanah yang bersertipikat hak milik tersebut dapat menjadi aset untuk jaminan kredit guna perluasan usaha. Keadaan tersebut hanya dapat terwujud dengan pendekatan pembangunan pedesaan terpadu berbasis tanah usaha. Pembangunan pedesaan terpadu berbasis tanah usaha merupakan kegiatan berbagai sektor pembangunan di wilayah pedesaan yang dimulai dengan penyusunan tipologi basis usaha di wilayah pedesaan yang selanjutnya diikuti dengan penataan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah dan dikembangkan pembangunan ekonomi pedesaan terpadu berbasis tanah usaha yang berkelanjutan.
81
BAGIAN KETIGA KELEMBAGAAN MANAJEMEN AGRARIA
7. Sistem Pengambilan Keputusan Terhadap Sumberdaya Agraria dan Implikasinya 8. Penataan Agraria
Kelembagaan
Manajemen
10 Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Manajemen Agraria/Pertanahan 11. Dukungan Data dan Informasi Agraria
82
8
Sistem Pengambilan Keputusan Terhadap Sumberdaya Agraria dan Implikasinya. 1.
Konsep Manajemen Pengambilan Keputusan Terhadap Sumberdaya Agraria
Sumberdaya agraria merupakan salah satu aset sumberdaya alam yang strategis bagi Bangsa Indonesia yang saat ini masih menjadi sumberdaya utama dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.. Oleh karena itu, pengambilan keputusan dalam manajemen sumberdaya tersebut menjadi penting karena selain berdampak terhadap keberadaan sumberdaya tersebut juga berdampak kondisi politik-sosial- ekonomi dan budaya masyarakat bahkan dalam berbagai tulisan sering dikatakan berdampak terhadap keberlangsungan peradaban suatu bangsa. Dalam proses pengambilan keputusan terhadap sumberdaya agrarian itu dapat dilakukan dengan pendekatan kebijakan konvensional, yang berdasarkan kekuatan politik dan pengalaman para pengambil keputusan dalam mengelola suatu sumberdaya. Pendekatan tersebut pada situasi tertentu menghasilkan kebijakan yang diterima oleh masyarakat. Namun sumberdaya agrarian mempunyai karakterisrik tertentu, di antaranya keberadaannya tertentu, kualitas dan kuantitasnya juga terbatas sedangkan proses pembaharuannya memerlukan jangka waktu relative lama, bahkan untuk sumberdaya tertentu memerlukan waktu jutaan tahun. Dengan demikian diperlukan suatu pendekatan yang didasarkan pada argumen professional. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan analisis pengambilan keputusan yang sering dikenal dengan istilah Decision Support Analysis (DSA) atau Decision Support System (DSS) . Penggunaan DSA/DSS itu didukung dengan kemajuan teknologi demikian cepatnya dibanding beberapa abad sebelumnya. Komunikasi satelit dan sistem transportasi antar benua berkembang sehingga faktor jarak, tempat dan waktu seakan-akan menjadi nisbi, namun dampak dari perkembangan tersebut juga semakin terasa. Kebijakan yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan seakan-akan berlomba dengan perkembangan teknologi. Kebijakan terhadap sumberdaya tanah, air dan hutan di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi yang kurang diimbangi dengan pengendalian telah berdampak negatif. Sebagai contoh sumberdaya tanah yang pada sekitar rahun 1933-an menjadi sumber resesi dunia, telah diabaikan ketika pemerintah merespon pertumbuhan permukiman dan industri melalui kebijakan ijin lokasi pembangunan besar-besaran melebihi kebutuhan, sehingga ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1997-an, terdapat ribuan hektar tanah yang tidak termanfaatkan. Demikian pula sumberdaya hutan yang telah merubah Brasilian sevagai paru-paru dunia juga telah diabaikan dengan pengkaplingan hutan melalui pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tanpa pengendalian yang ketat dalam program
83
reboisasi sehingga saat ini sebagian besar hutan telah berubah menjadi semak-semak dan hutan belantara. Bahkan di beberapa tempat terjadi sumber kerusakan tanah dan air. Kondisi di atas menjadi salah satu sumber malapetaka krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini bagi Bangsa Indonesia. Masyarakat mencatat sejak awal 1980-an ketika harga minyak mentah dunia jatuh, perhatian dialihkan kepada sumberdaya non-migas. Maka kebijakan ekonomi pembangunan di Indonesia diarahkan pada komoditi sumberdaya alam yang mampu menjadi tulang punggung dan mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia. Maka sumberdaya non-migas seakan-akan menjadi primadona yang tidak dapat dijangkau lagi dengan pendekatan yang lebih rasional. Bahkan pendekatan yang rasional pun juga menjadi alat pembenaran untuk merubah hutan dan tanah pertanian dan membebaskan areal tanah masyarakat guna pembangunan jalan, industri, permukiman, perkebunan dan sebagainya.. Pihak bank berlomba-lomba memberi kredit yang akibatnya menjadi sumber krisis ekonomi sampai saat ini. Semua faktor analisis menghasilkan keputusan yang kompleks yang hanya dimiliki oleh para pengambil keputusan yang mempunyai informasi akurat, pengalaman dan dipandang sempurna sehingga kebijakan yang diputuskan dianggap bermanfaat bagi masyarakat banyak. Namun perkembangan menunjukkan bahwa informasi yang dimiliki ternyata tidak sempurna, evaluasi menunjukkan bahwa faktor manusia lebih bersifat subyektif. Perkembangan teknologi komputer yang mempunyai kemampuan analisis yang kompleks merupakan pendorong berkembangnya teknologi baru yang menggunakan informasi dalam suatu kerangka pengambilan keputusan . Maka para pengambil keputusan semakin membutuhkan pendekatan yang sistematis untuk menangani masalah sumberdaya. Pengambilan keputusan tidak cukup hanya dengan pengalaman, opini atau intuisi, namun memerlukan pendekatan yang lebih obyektif dengan menggunakan alat bantu berupa analisis pengambilan keputusan. Analisis pengambilan keputusan ini merupakan bagian dari metode manajemen untuk mencari penyelesaian masalah. Maka fokus analisis adalah penggunaan ilmu pengetahuan berbasis modeling, baik model fisik maupun model simbolik. Sedangkan langkah analisis sebagaimana metode manajemen tetap mendasarkan pada observasi data, definisi masalah, formulasi masalah, eksperimental design serta pemecahan masalah dengan operasionalisasi analisis. 2.
Struktur pengambilan keputusan yang cenderung menimbulkan mis-alokasi
Tanah sebagai sumberdaya yang persediannya relatif tetap, tidak elastis namun permintaannya selalu meningkat sejalan dengan meningkatnya penduduk dan pola konsumsi, mendorong timbulnya pola pengambilan keputusan yang mengabaikan prinsip-prinsip manajemen sumberdaya alam berkelanjutan. Pengambilan keputusan terhadap sumberdaya tanah yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya alam, antara lain: ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾
Tanah dianggap sebagai komoditi yang dapat dimiliki, dijual, dibagi-bagi, digunakan atau tidak tanpa ada sangsi yang tegas Penggarapan tanah oleh bukan pemilik sehingga tidak ada keinginan untuk memelihara tanah Tanah dijual, dikapling-kapling tanpa melihat satuan ekosistem dan batas drainase alami Tanah diperdagangkan dalam luasan yang kecil tanpa mempertimbangkan satuan unit produksi atau skala minmum usahatani. Tanah digunakan secara parsial tanpa melihat penggunaan sekelilingnya Tanah digunakan sesuai nilai lokal tanpa melihat peranannya sebagai pelindung dan konservasi alam
Pertimbangan publik yang membatasi pengambilan keputusan masyarakat terhadap sumberdaya tanah, antara lain:
84
¾
Pemilik tanah harus menghormati hak masyarakat dan membayar pajak tanah untuk mendukung pelayanan sosial dan kepentingan umum ¾ Masyarakat harus memperoleh kompensasi atas pelepasan/penjualan hak atas tanah secara parsial yang umumnya dinikmati oleh perorangan ¾ Penggunaan tanah dibatasi oleh tata ruang yang melibatkan publik.
3.
Pendekatan holistik pengambilan keputusan
Konsep ini pada intinya mengacu pada upaya mengelola manusia agar mampu mempertahankan kualitas lingkungan sebaik mungkin. Dengan kata lain mengkaji secara seksama bagaimana intervensi manusia terhadap sumberdaya agraria dan mengupayakan agar memberi manfaat sebesar mungkin dan selama mungkin bagi kehidupan manusia. Prinsip dasar yang diacu adalah keseimbangan dinamis antara manusia dan segala aktivitas kehidupannya di berbagai ekosistem dengan memaksimalkan kemampuan hidup. Dengan acuan tersebut, konsep ini mengintegrasikan berbagai fenomena teknologi sosialekonomi-managemen-politik dalam suatu sistem kehidupan yang semakin baik. Aspek teknologi berkaitan dengan biologi, toricity, definiency, equality standart, material balance. Aspek ekonomi berkaitan dengan analisa biaya internal dan eksternal, simulasi biaya, transaksi, analisis effectiveness, trade-of analisis dan lain sebagainya Aspek managerial berkaitan dengan struktur pengambilan keputusan, kelembagaan perencanaan, penganggaran SDA dan lingkungan, struktur organisasi. Aspek politik berkaitan dengan keinginan, kebutuhan sistem nilai masyarakat kelompok tertentu dan publik yang menghendaki lingkungan yang sehat adanya negosiasi, koalisi, kompromi dan lain sebagainya
85
Gambar 9. Pendekatan Holistik Manajemen Agraria
Toxicity
Biologi
Deficiency
Material Balance
TECHNICAL SOCIETY
Marginal Analysis
Market Simulation
Quality Standards
Need and Value System
SOCIO ECONOMIC SOCIETY
Trade Off Analysis
KUALITAS SUMBER DAYA AGRARIA
POLITICAL SOCIETY
Negoziation Compromise Coalition
MANAGERIAL SOCIETY
Decision Structure
Planning Methode
Financing Landresources Program
Interest Group Vs Public Needs
New Decision Structure
86
4.
Model Analisis Pengambilan Keputusan
Secara umum model adalah gambar sederhana aspek yang relevan dari kondisi atau proses suatu sistem yang sesungguhnya / nyata. Pengertian aspek relevan bersifat relatif karena setiap model tergantung pada bagaimana dan sejauhmana dapat memggambarkan keadaan yang nyata tersebut. Fokus model adalah berkaitan dengan penerapan pengambilan keputusan organisasi, namun yang sering terjadi proses pengambilan keputusan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang tertentu secara sepintas. Maka yang perlu dipertanyakan bukan hanya bagaimana model tersebut dibangun, namun lebih kepada seberapa jauh model tersebut diterapkan. Model yang dibangun tergantung dari karateristik obyek, masalah atau system dalam studi tertentu. Model dapat berbentuk fisik atau simbolik atau kombinasi fisik dan simbolik. Beberapa bentuk yang sering digunakan dapat dikemukakan sebagai berikut.: Model fisik Model fisik menggambarkan obyek, masalah atau system dalam bentuk fisik secara sederhana dan relatif bentuknya sudah tertentu dan umumnya terbatas dalam pengembangan analisis pengambilan keputusan. Model fisik secara garis besar terdiri dari dua bentuk, yaitu model ikonik dan model analog. Model ikonik merupakan replica dalam skala kecil dari bentuk sesungguhnya. Misalnya replika mobil atau pesawat terbang. Model analog dibangun untuk menggambarkan hubungan fungsi secara fisik. Misalnya model Bendungan/ DAM menggambarkan fungsi bendungan dan fungsi aliran air untuk berbagai penggunaan seperti tenaga listrik, irigasi pertanian atau sumberair minum daerah perkotaan. Model juga dapat berbentuk Grafik atau Diagram suatu organisasi dengan fungsi-fungsi yang saling berkaitan. Model Simbolik Model simbolik digunakan untuk menggambarkan hubungan fungsional antara berbagai variabel yang tidak dapat digambarkan secara fisik . Selain itu nilai-nilai variabel dapat dimanipulir sehingga dapat diperoleh hubungan fungsional yang relevan dengan tujuan analisis dan prediksi yang diperlukan. Model simbolik secara garis besar terdiri dari dua bentuk, yaitu model matematik dan model verbal. Pada model matematik, basis analisis didasarkan pada hubungan karyawan yang menggunakan symbol matematik sebagai contoh kebijakan kode produksi ditentukan oleh luas area (hektar) dan produktivitas dinyatakan dalam hubungan fungsi V=A x P. Pengguna model matematik dalam alternatif pengambilan keputusan sangat penting, karena system matematika akan berperan sebagaimana sistem yang sesungguhnya . Jadi dengan pengalaman berbagai alternatif variasi dalam pemecahan masalah, para pengambil keputusan dapat mensimulasi perilaku system yang nyata pada berbagai kondisi. Model matematik ada dua tipe: (1) model deskriptif-normatif, (2) model. matematik-probabilistik Model deskriptif-normatif Model deskriptif menjelaskan sesuatu apa adanya digunakan untuk menjelaskan situasi agar lebih jelas, mengidentifikasi perubahan area yang mungkin terjadi dan meneliti konsekuensi dari berbagai alternatif ,namun model deskriptif mampu mengidentifikasi semua alternatif yang mungkin terjadi. Keuntunganmodel ini adalah memberi kerangka kerja untuk analisis pengambilan keputusan dalam menyeleksi alternative. Model normative mengiidikasi bagaimana seharusnya. Digunakan untuk mengidentifikasi alternatif yang sebaiknya berdasarkan beberapa kriteria tertentu . Biasanya mengacu kepada model keputusan yang optimal, karena memang untuk menempatkan solusi yang optimal di bawah
87
Model matematik-probabilitik. Model matematik menggunakan variabel tertentu yang sudah pasti. Misalnya dalam kasus V = A x P, tidak ada variabel lain, kecuali formula yang sudah ditentukan tersebut. Model Probabilitas menggunakan sejumlah variabel yang belum dapat ditentukan secara pasti dan sulit diprediksi secara pasti, misalnya dalam kasus penambangan pasir (galian C) sulit ditetapkan berapa tahun kemajuan untuk ditambang Model Verbal Model ini dikenal sebagai “ model mental’, karena tidak menggunakan symbol-simbol tertentu, tetapi berupa tulisan atau pernyataan individu yang bersifat abstrak. Keuntungan model ini pengambil keputusan dapat mengidentifikasi hubungan dan kendala sebelum sampai pada pemecahan masalah. Proses pembentukkan model dideskripsi dalam hubungan dengan pemilihan alternatif tertentu sebelum diputuskan dakam kategori tertentu. Penerapan model fisik atau model simbolik tergantung situasi tertentu. Beberapa kekuatan dan kelemahan model tersebut dapat dikemukakan berikut ini Uraian Tingkatan abstraksi Kemudahan menyusun Kemudahan manipulasi
5.
Model Fisik (Ikonik, Analog) kecil / sempit lebih mudah lebih sulit
Model Simbolik (Matematik, Verbal) besar / luas lebih sulit lebih mudah
Operasionalisasi Model
Terdapat berbagai model yang dapat digunakan dalam analisis pengambilan keputusan. Berdasarkan faktor-faktor yang telah diuraikan pada butir 3 berikut akan dibahas tujuh model dasar yang sering digunakan dalam analisis pengambilan keputusan, yaitu (a) model Decision Theory, (b) Model Alokasi Sumberdaya, (c) Model Inventory, (d) Model Quening, (e) Model Simulation, (f) Model Markov dan (g) Model Network. Secara garis besar penerapan model disajikan pada Tabel 23 berikut. Tabel 23 Ringkasan Berbagai Model Pengambilan Keputusan No. 1.
2.
3.
Operation Model Pengambilan Keputusan Decision Theory Models Tujuan : membuat keputusan yang lebih baik terhadap suatu masalah yang bersifat penuh risiko dan ketidakpastian. Focus Model : elemen yang biasa digunakan sebagai basis untuk analisis yang complex dengan berbagai alternatif keputusan. Model didasarkan pada analisis statistik dengan basis variabel yang probabilistic (peluang). Allocation Model Tujuan : Memilih penggunaan sumberdaya yang terbatas untuk berbagai kegiatan dengan maksud memperoleh hasil terbaik karakternya atau meminimumkan biaya. Contoh : Linear Programming dengan fungsi minimum atau maksimum dengan variabel yang deterministic. Inventory Model Tujuan : Memilih sumberdaya yang strategis stok di gudang atau dipasarkan dengan maksud menghemat biaya penyimpanan. Focus model : mendesign keuntungan ekonomi order quantity (EOQ) dan mengoptimumkan barang yang dipesan. Model ini merupakan normative dengan pola determinan atau probabilitas tergantung dari kondisi ketidakpastian atau resiko. Penerapan: department store, apotik.
88
4.
5.
6.
7.
Quering Model Tujuan : Memilih fasilitas pelayanan yang terbaik agar waktu menunggu dapat diminimumkan, sehingga diperoleh keseimbangan antara biaya dan waktu fungsi. Penerapan: jalan tol dan jenbatan laying pada Perencanaan Fasilitas Pelayanan Publik. Model ini seringkali bersifat deskriptif dan terdiri dari variabel probabilistic. Simulation Model Tujuan : merupakan gambaran bentuk sesungguhnya dengan menggunakan percobaan pada berbagai komponen dan melihat responnya, sehingga diperoleh solusi yang terbaik. Model biasanya menggunakan model matematik dan pendekatan system dengan cara step demi step. Keuntungannya dapat meyakinkan hasil tanpa menggunakan sumberdaya yang sesungguhnya. Model menggunakan deskripsi dengan variabel probabilistic. Penerapan : Model DAS dan bendungan / dam. Markov Model Tujuan : menganalisis perilaku konsumen dalam memilih produk yang diinginkan dari berbagai jenis yang dipasarkan. Model ini sering dikenal dengan istilah model “ BrandSwitching” karena mampu memprediksi perubahan produk yang diinginkan konsumen. Model menggunakan deskripsi analisis dengan variabel probabilistic. Network Model Tujuan : menganalisis waktu tercepat yang diperlukan untuk memilih beberapa alternatif cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Basis model adalah The Gantchart yang kemudian dikembangkan ke dalam dua model yaitu PERT (Program Evalution Review Technique) dan CPM (Critical –Path Method). Keduanya digunakan untuk perencanaan dan pengendalian proyek. Model ini adalah normative dan biasanya dengan variabel probabilistic.
Penggunaan Model Operasional secara umum dapat digambarkan dalam Tabel sebagai berikut Tabel 24 Penerapan Penggunaan Model pengambilan keputusan
Model Decision Theory Allocation Inventory Quering Simulation Network Marhov
Penggunaan Deskriptif Normatif X X X
Tipe Variabel Determinate Probabilistik X X
X X X X
Jumlah Variabel Sedikit Banyak
X
X
X X X X X
X
X X X X X
Keterangan : deskriptif – apa adanya normatif - seharusnya, ada ukuran tertentu deterministic - tertentu, pasti probabilitas - tidak pasti, tidak menentu
6.
Tahapan Analisis Model
Dalam analisis model pengambilan keputusan, terdapat berbagai langkah yang dapat ditempuh . Tahapan dasar tersebut tidak terpisah satu sama lain, namun saling berkaitan dalam suatu sekuen tertentu. Secara umum alur kerangka analisis dusajikan sebagai berikut.
89
Penentuan Masalah. Untuk pemecahan suatu masalah perlu diketahui apa masalahnya. Namun karena suatu masalah sering bersifat kompleks maka dalam prakteknya tidak mudah membuat pernyataan masalah. Kekeliruan dalam penentuan masalah merupakan sumber “masalah yang tidak terpecahkan”. Tidak ada ruang yang tepat bagaimana menentukan masalah dalam proses pengembangan model. Namun ada acuan yang dapat digunakan yaitu kemampuan dalam membedah “doing things right dan doing the right things”. Untuk mengidentifikasi masalah dapat dikembangkan dari variabel dalam komponen input,masukan atau output.Selanjutnya ditetapkan hubungan antar variabel. Definisi masalah tergantung dari sejumlah variabel yang dikembangkan . Suatu masalah mungkin mempunyai variabel yang sedikit dan mudah didefinisikan serta mempunyai tingkat kepastian yang tinggi. Masalah yang lain mempunyai variabel yang banyak dan penuh dengan ketidakpastian. Penyederhanaan Masalah Masalah yang diperkirakan sangat kompleks perlu disederhanakan , maka diperlukan beberapa asumsi, menyederhanakan hubungan antara variabel serta membatasi lingkup masalah . Asumsi yang digunakan antara lain berkaitan dengan periode waktu tertentu kondisi .tidak berubah secara drastic demand terhadap suatu komoditi tidak berubah dan sebagainya. Model hubungan dapat disederhanakan berkaitan dengan asumsi adanya kesamaan konsumsi masayarakat berkaitan dengan tingkat/kadar social ekonominya atau tingkat pendapatannya. Penyederhanaan lain misalnya pola perubahan pendapatan dan pola konsumsi diasumsikan bersifat linear sehingga model dapat diprediksi. Pembatasan lingkup masalah diperlukan dengan pemecahan masalahnya dapat ditangani dengan hasil yang optimal. Walaupun model yang dibangun sangat komplek dan memerlukan wawasan pengetahuan yang luas namun pada sekmen tertentu perlu dibatasi permasalahannya. Ada acuan yang dapat digunakan dalam pembatasan masalah yaitu “globally thingking but locally acting” Model Pemecahan Masalah Sebagaimana dikemukakan model pemecahan masalah perlu diseduaikan dengan karakteristik masalah. Misalnya untuk kondisi yang spesipik digunakan model matematik. Untuk model normative lebih sesuai untuk meneliti masalah secara optimal, adalah dengan memperhitungkan kondisi yang ada. Model deskriptif lebih sesuai untuk model analisis simbolis digunakan untuk menyederhanakan fungsi suatu system. Testing Pemecahan Masalah Hasil analisis seyogyanya diadakan testing untuk memantapkan hasil prediksi model. Penyesuaian seperlunyta dapat dilakukan bilamana hasil testing belum dapat memuaskan pengambilan keputusan. Pengendalian Feedback/Umpan Balik Berdasarkan hasil testing model serta pengaruh yang mungkin dapat terjadi, para pengambil keputusan dapat melakukan pengendalian melalui monitoring dan evaluasi. Bilamana pengaruh lebijakan yang ditetapkan dianggap kurang m,emuaskan dapat dilakukan tiga hal; antara lain merevisi model analisis, memformulasi kembali masalahnya atau dampak yang diduga terjadi dapat dieleminasi.
90
Penerapan Model Analisis pengambilan keputusan seringkali dilaksanakan oleh staf yang professional. Namun bilamana pengambilan keputusan tidak mengikuti secara langsung atau kurang memahami persoalan yang berkaitan dengan tujuan, asumsi serta simulasi yang diperlukan maka hasil analisis mungkin dianggap kurang memuaskan maka koordinasi antara pengambil keputusan dengan analisis yang professional menjadi penting agar terkjadi komunikasi dan keberhasilan dalam menerapkan hasil analisis bagi pengambilan keputusan bagi pengembangan argumen. Tidak ada data yang pasti tentang seberapa besar model analisis pengambilan keputusan yang digunakan oleh organisasi. Namun selama decade 1975an Schumacher dan Smith telah mengirim questioner kepada 168 perusahaan yang tercatat dalam majalah “Fortune Magazine’s” sebagai 500 perusahaan industri yang terkemuka. Dari 65 perusahaan yang memberi respon, terdapat 49 perusahaan yang menerapkan analisis pengambilan keputusan. Hasil studi juga menunjukkan bahwa ada dua kesulitan pokok dalam membangun koordinasi antara staf professional dengan para pengambil keputusan, yaitu menyangkut tingkat kepercayaan/keyakinan dari para pengambil keputusan dan miss komunikasi anta para analisis professional dengan para pelaksana operasional. Survey kedua dilakukan pada tahun 1987 oleh Vatter yang mengirim questioner kepada 3.500 perusahaan di USA dengan focus penelitian tentang model analisis yang digunakan oleh para eksekutif dari 360 perusahaan besar dan menengah yang memberi respon sebagian besar (63 %) menggunakan model PERT/CPM network untuk perencanaan jadual opersional perusahaan dan kontrol pelaksanaan kegiatan. Selanjutnya menggunakan model analisis inventori dan linear programming. Hasil penelitian Vatter juga mencatat bahwa penerapan model analisis PERT/CPM memperoleh hasil yang paling sukses (34 %) disbanding model analisis lainnya. Namun perlu dicatat bahwa hampir 2/3 reeponden menyatakan semua model kurang sesuai untuk diimplementasi. Model PERT/CPM meskipun dianggap paling sukses pada waktu itu, dalam implementasinya kurang diikuti dengan feedback atau monitoring dan evaluasi serta partisipasi aktif selama kegiatan berlangsung. Tabel 25 Model Analisis Pengambilan Keputusan Hasil Penerapan di USA, Tahun 1987. Penggunaan (%) Hasil Penerapan (%) No. Model Tidak KadangTerlalu Baik Jelek Tidak Analisis terlalu kadang Jelas 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Matematika Programing PERT/CPM Questionaire Model Inventory Simulasi Lain-lainnya*
54 37 78 48 50 87
31 45 19 32 34 7
15 18 3 20 6 6
24 34 9 24 31 9
69 59 87 68 63 90
7 7 4 8 6 1
Keterangan : - Jumlah responden 3160 perusahaan besar dan menengah -* Model lain meliputi Model Analisis Marshal, Theory Probability, Vatter juga menambahkan model analisis factor, analisis regresi dan statistic sampling, namun dalam laporan tersebut tidak dibahas secara khusus harus merupakan bagian pengembnagan modelmodel di atas.
Melihat hasil penelitian pada tahun 1970-1980an di atas menunjukkan bahwa masih ada “gap” penggunaan analisis pengambilan keputusan dan para pengambil keputusan dalam mengevaluasi hasil tersebut perlu dikemukakan tiga pendapat ahli manajemen yaitu Harvey M. Wagner, Peter F. Qoucher dan C. Jackson Grayson. Wagner (1969) adalah guru besar Manajemen Sciences, menyatakan bahwa dalam decade mendatang, (1990-an) model analisis pengambilan keputusan akan mengalami perkembangan
91
pesat dan akan banyak diterapkan di bidang pemerintahan dan perusahaan bisnis. Perkiraan tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa para manager dan pengambil kepputusan akan belajar dari kenyataan bahwa kebijakan yang ditetapkan memerlukan dasar analisis yang rasional. Disamping itu perkembangan komputer telah membantu proses analisis yang rumit menjadi lebih cepat diperoleh hasilnya. Wagner menyatakan : “Sangat sedikit eksekutif yang menentukan kabijakan organisasi masih menanyakan “Mengapa kami memerlukan bantuan analisis pengambil keputusan/operation riset ?” Mereka tahu jawabannya ! Quecher (1971) seorang konsultan manajemen berpendapat “Model analisis pengambilan keputusan kurang diminati para manager karena kurang meyakinkan dalam memecahkan permasalahan organisasi.” Menurut Quecher anggapan para manager tersebut disebabkan analisis hanya memfokuskan sebagian dari masalah organisasi disbanding dengan masalah organisasi keseluruhan. Akibatnya bagian yang dianalisis memang merupakan solusi optimal namun dalam penerapan tidak mampu memecahkan masalah organisasi yang sesungguhnya disbanding dengan dasar pengalaman manajerial selama bertahun-tahun. Grayson (1971) adalah ketua Komisi Penetapan Harga menyatakan bahwa analisis pengambilan keputusan akan berkembang pada perusahaan yang berbasis manajemen. Adapun gap antara hasil analisis dengan praktek penerapan disebabkan lima hal yaitu : a. Para manager membutuhkan waktu yang singkat untuk memperoleh hasil yang nyata sesuai rekomendasi hasil penelitian. b. Analisis model pengambilan keputusan memerlukan basis data yang lengkap dan akurat sedangkan para manager tidak dapat menunggu proses pengumpulan data yang memerlukan waktu cukup lama. c. Masih sedikit staf peneliti yang mempunyai kemampuan menggunakan model analisis yang memang cukup sulit. d. Banyak persoalan dalam keputusan organisasi yang memerlukan kebijakan yang cepat dan “kadang kotor” yang tidak dapat diterima oleh para analisis yang professional. e. Adanya asumsi analisis yang kurang realistis. Keadaan nyata sehingga formulasi model dapat diaplikasi dalam kondisi politik dan social ekonomi yang sesungguhnya. Bagi para peneliti yang professional pekerjaan penelitian merupakan salah satu kepuasan. Dalam suatu penelitian terhadap 400 peneliti yang terlibat dalam analisis pengambilan keputusan yang tergabung dalam the Operation Researc Society of Amerika (ORSA) pada tahun 1971 telah diproses respon dati 192 peneliti yang menyatakan bahwa pengamanan hasil peneliti merupakan kepuasan yang utama. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa peneliti professional akan bekerja dengan baik pada lingkungan negara yang memberi kesempatan berkembang
92
9 Penataan Kelembagaan Manajemen Agraria 1.
Konsepsi Kelembagaan
Secara umum penataan kelembagaan yang dalam literature diistilahkan dengan institutional development, adalah proses perencanaan dan pembinaan terhadap suatu organisasi dengan cara membangun keterkaitan dan saling memperkuat di antara komponen organisasi sehingga memberi dampak positif secara fisik dan sosial terhadap suatu lingkungan tertentu. Komponen kelembagaan sebagai variabel strategis itu adalah: (a) kepemimpinan, (b) doktrin, (c) program, (d) sumberdaya dan (e) struktur internal. Sedangkan keterkaitan kelembagaan yang strategis dalam pengembangan kelembagaan: (a) organisasi, (b) norma dan cara kerja (c) fungsi pelayanan dan (d) difusi informal ke masyarakat. Kepemimpinan, merupakan kelompok atau individu yang secara aktif memformulasi doktrin dan program kelembagaan, secara langsung melaksanakan dan mengembangkan ke lingkungannya. Doktrin merupakan penetapan spesifikasi nilai, tujuan dan cara melaksanakan konsep yang telah ditetapkan, sedangkan program merupakan penetapan kegiatan yang berkaitan dengan peragaan fungsi dan pelayanan yang akan dicapai oleh kelembagaan yang bersangkutan. Dalam pelaksanaan program tersebut diperlukan sumberdaya berupa aspek fisik, manusia, dana teknologi dan informasi yang diperlukan oleh kelembagaan serta penetapan struktur Internal. berupa proses pengembangan untuk memfungsikan dan melestarikan kelembagaan. Isu pokok dalam kelembagaan manajemen agrarian dewasa ini adalah tidak berfungsinya berbagai variable dalam komponen kelembagaan sehingga tujuan organisasi yaitu memberi dampak positif secara fisik dan sosial terhadap suatu lingkungan tertentu tidak tercapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Beberapa contoh yang telah dikemukakan di bab terdahulu antara lain, terjadi konversi tanah pertanian ke non-pertanian tanpa kendali, terjadinya ketimpangan penguasaan pemilikan tanah, meningkatnya jumlah rakyat miskin di pedesaan karena tidak mempunyai akses ke sumberdaya tanah dan akses ke sumber ekonomi pedesaan. Menghadapi masalah manajemen kelembagaan yang umumnya dihadapi negara berkembang, Eaton, (1972) seorang ahli pengembangan kelembagaan menawarkan strategi penataan kelembagaan dengan memfungsikan keterkaitan variabel komponen kelembagaan melalui (1) keterkaitan organisasi, yang berfungsi mengatur distribusi, tugas,wewenang dan tanggung jawab serta sumberdaya yang diperlukan oleh kelembagaan, (2) mengembangkan norma dan cara kerja, dengan mengatur tata nilai dan petunjuk yang berkaitan dengan doktrin dan pelayanan kelembagaan, (3) menata fungsi pelayanan ke masyarakat, dengan cara mengatur fungsi pelayanan yang saling menguntungkan dalam menentukan input dan output kelembagaan serta (4).menata kemampuan difusi informal ke elemen masyarakat tanpa melalui organisasi formal. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 (selanjutnya PerPres 11/2005), Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berada dalam koordinasi Menteri Dalam Negeri. Tugas pokok dan fungsi BPN adalah menetapkan kebijakan mengenai perencanaan, pengelolaan, pengaturan dan pengendalian serta kebijakan pelaksanaan pelayanan pertanahan.
93
Secara operasional kegiatan manajemen pertanahan dilaksanakan oleh unit kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota. Sebagai organisasi publik, harus berproduksi secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, salah satu indikator keberhasilan manajemen kelembagaan agraria/pertanahan apabila lembaga pertanahan itu bekerja secara produktif. Dalam kaitan dengan produktivitas organisasi publik, Tan Sri Dato’ Sri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid, seorang ahli kelembagaan Malaysia (1991:2) merumuskan konsep produktivitas secara mendasar dalam Guideline Productivity Improvement in the Public Service. Produktivitas didefinisikan sebagai nilai atau jumlah output yang dapat diproduksi oleh suatu unit input. Output mengacu pada produk atau hasil pelayanan oleh suatu organisasi publik, sedangkan input mengacu pada sumber-sumber yang menghasilkan output, antara lain sumberdaya manusia, modal, teknologi, bahan baku, peralatan, proses dan sebagainya.. Selanjutnya dijelaskan bahwa produktivitas organisasi publik ditentukan oleh seperangkat faktor strategis, yaitu (1) sumberdaya manusia, (2) sistem dan prosedur, (3) struktur organisasi, (4) pola manajemen, (5) lingkungan kerja, (6) teknologi, (7) bahan baku dan (8) perlengkapan kerja. Dengan mengetahui peranan faktor-faktor itu, maka akan dapat dilakukan upaya meningkatkan produktivitas. Tan Sri Dato’ Sri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid, mengutarakan tiga hal yang berkaitan dengan produktivitas, yaitu (1) konsep produktivitas (2) pengukuran produktivitas dan (3) ukuran produktivitas. Produktivitas didefinisikan sebagai nilai atau jumlah output yang dapat diproduksi oleh satu satuan unit input. Output mengacu pada produk atau hasil pelayanan oleh suatu organisasi, sedangkan input mengacu pada sumber-sumber yang menghasilkan output, antara lain sumberdaya manusia, modal, teknologi, bahan baku, peralatan, proses dan sebagainya. Dengan kata lain produktivitas (P) adalah konsep yang menunjukkan hubungan antara output yang dihasilkan oleh suatu organisasi dan input yang digunakan. Hubungan itu, dapat dinyatakan dalam rumusan : P = Output atau P = O Input
I
Dalam sistem manajemen organisasi, input-input itu diproses dalam suatu transformasi yang akan menghasilkan output. Semakin tinggi output yang diperoleh pada suatu input tertentu menunjukkan proses transformasi semakin efisien. Hubungan antara input, transformasi dan output dapat digambarkan dalam Skema Transformasi berikut. Gambar 10 Skema Transformasi Input Output
a. b. c. d. e. f.
INPUT sumberdaya manusia modal teknologi bahan baku PROSES peralatan, dan sistem manajemen
OUTPUT
Produksi Jasa Pelayanan
Sumber : Guideline Productivity Improvement in the Public Service oleh Tan Sri Dato’ Sri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid (1991). Produktivitas itu sendiri, pengertiannya seringkali dikaitkan dengan masalah teknis, pada hal selain masalah teknis pengertiannya juga menyangkut filosofi. Secara filosofis, Simandjuntak (1985:30) menyatakan bahwa dalam istilah produktivitas sesungguhnya terkandung suatu pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berupaya meningkatkan mutu kehidupan, yang diungkapkan dalam kalimat : “keadaan hari ini harus lebih baik dari kemarin”. Pandangan hidup dan sikap mental demikian mendorong manusia untuk tidak cepat merasa puas, tetapi terus berupaya mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan kerja.
94
Sementara itu, Tan Sri Dato’ Sri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid (1991:10) mengemukakan bahwa pengukuran produktivitas merupakan salah satu komponen penting dalam rangka meningkatkan produktivitas suatu organisasi. Pencapaian produktivitas di masa depan tidak dapat diimplementasikan tanpa informasi dasar produktivitas saat ini. Sebagai suatu norma, terdapat ukuran yang dipakai untuk menduga tingkat produktivitas suatu organisasi. Ukuran produktivitas memungkinkan suatu organisasi: (1) menduga besarnya sumberdaya yang dialokasikan (2) meningkatkan fleksibilitas operasional bagi penggunaan tenaga kerja dan peralatan, (3) mengidentifikasi mengenai penyempurnaan produktivitas, (4) menetapkan biaya operasional. Pengukuran produktivitas dapat diimplementasi pada dua tingkatan, yaitu tingkat organisasi dan tingkat individu sebagai anggota organisasi yang bersangkutan. Pengukuran pada tingkat organisasi dapat dilakukan dengan tahapan: (1) mengidentifikasi output terpenting sesuai tujuan organisasi, (2) menjelaskan indikator produktivitas untuk setiap output terpenting yang diidentifikasi dan (3) mengukur tingkat produktivitas saat ini. Pengukuran pada tingkat individu, dapat dilakukan dengan empat tahapan, yaitu: (1) menetapkan output terpenting yang dihasilkan, antara lain kertas kerja, laporan, bacaan, implementasi kegiatan (2) mengembangkan norma kerja setiap output terpenting yang dihasilkan, antara lain berdasarkan catatan yang lalu, mempelajari waktu dan aktivitas, diskusi di antara supervisor dan tenaga kerja yang terlibat (3) mengumpulkan data dasar mengenai standar kerja atau norma kerja, antara lain jumlah produk per satuan waktu (4) mengevaluasi tingkat produktivitas saat ini dibandingkan dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Apabila kinerja karyawan pada saat ini melampaui standar kinerja pada periode yang lalu, hal ini memberi indikasi bahwa produktivitas karyawan tersebut meningkat.
2.
Kapasitas kelembagaan manajemen agraria di tingkat pemerintah daerah
3.
Kapasitas kelembagaan manajemen agraria di tingkat lokal
95
10 Pemberdayaan Masyarakat di Manajemen Agraria/Pertanahan 1.
Bidang
Konsepsi Persepsi, Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat
Secara umum persepsi (perception) adalah penilaian individu atau kelompok masyarakat yang dilandasi pada hasil pertimbangan mendalam tentang manfaat dan resiko terhadap suatu keadaan atau kegiatan menyangkut barang atau jasa yang akan mempengaruhi kehidupannya dan lingkungan hidupnya. Dari pengertian ini persepsi individu atau kelompok masyarakat bersifat dinamis dan dapat berubah setiap saat tergantung kemampuan menilai manfaat dan resiko yang diterima secara fisik dan non fisik. Kemampuan untuk menilai tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal individu maupun kondisi lingkungan geografi, sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Pemberdayaan (empowerment) secara umum adalah perolehan kekuatan dan akses sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup individu, keluarga atau kelompok sosial masyarakat. Hulme dan Turner (1990) berpendapat bahwa pemberdayaan mendorong suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang yang semula tidak berdaya menjadi mampu memberi pendapat dan penilaian terhadap sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya dan lingkungannya. Karena itu pemberdayaan bersifat individu sekaligus kolektif. Di samping itu pemberdayaan juga merupakan proses perubahan pribadi untuk mengambil keputusan atas nama diri mereka sendiri, dan kemudian mempertegas pemahamannya terhadap lingkungan kelompoknya. Persepsi diri bergerak dari korban (victim) menjadi pelaku (agent) karena kemampuannya mencukupi kebutuhan bereksistensi secara social ekonomi dan sosial budaya di lingkungannya ( Shragge, 1995). Kekuasaan (power) merupakan basis pemberdayaan (empowerment), mempunyai dimensi distributive dan dimensi generatif. Dimensi distributive kekuasaan dipandang sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk memaksakan kehendak pada pihak lain. Sedangkan dimensi generatif dipandang sebagai tindakan yang memungkinkan kelompok sosial atau masyarakat meningkatkan kemampuannya untuk mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri. Dimensi generatif dapat diciptakan melalui kelompok sosial masyarakat dengan mendorong proses perubahan sosial yang memungkinkan kelompok tersebut memberi pengaruh yang lebih besar terhadap lingkungan kehidupannya pada tingkat lokal maupun nasional. Dari konsep tentang persepsi dan pemberdayaan tersebut di atas dapat disusun suatu hubungan kausalistis melalui proses pengambilan keputusan (decision making process). Persepsi yang masih bersifat penilaian dalam pikiran individu atau kelompok masyarakat dapat diwujudkan melalui proses pengambilan keputusan dalam suatu bentuk tindakan yang nyata yang berupa penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu yang dikenalkan. Kemampuan untuk menolak atau menerima tersebut berkembang sesuai dengan proses pemberdayaan yang diberikan dan dimiliki pada individu atau kelompok masyarakat tersebut.
96
Partisipasi mempunyai berbagai tujuan, di antaranya : (a) Menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama atas masalah yang ada di lingkungannya.(b) Memupuk rasa kebersamaan, (c) Menimbulkan rasa memiliki atas hasil kegiatan proyek. Dari berbagai tujuan di atas, partisipasi di satu sisi mengarah pada tujuan pemberdayaan dalam rangka mencapai efisiensi manajemen proyek atau kegiatan pembangunan, namun pada sisi lain merupakan tujuan pada dirinya sendiri yang lebih tinggi seperti menjadi swadaya dan dapat berkelanjutan. Sebagai sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Jadi hakekat dari partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengambilan keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung menyangkut kehidupannya.
2.
Persepsi masyarakat terhadap manajemen agraria/pertanahan
PM
3.
Pemahaman masyarakat terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban di bidang pertanahan
PM
97
11 Dukungan Data dan Informasi Agraria 1.
Keberadaan data dan informasi agraria
2.
Menuju Sistem Informasi Manajemen Agraria
3.
Pemanfaatan Teknologi GIS dan LIS
98
12 Manajemen Reforma Agraria 1.
Konsep Reforma Agraria
2.
Perjalanan Panjang Reforma Agraria
3.
Upaya Mewujudkan Reforma Agraria
4.
Manajemen Agraria Sebagai Piranti Strategis Reforma Agraria
99