Occasional Paper Series #2
Potret Penyiksaan dalam Konflik Agraria di Indonesia
Oleh Esrom Aritonang
ELSAM Jakarta 2004
1
Potret Penyiksaan dalam Konflik Agraria di Indonesia oleh Esrom Aritonang
Editor Erasmus Cahyadi T.
Desain Sampul:
Layout:
Cetakan Pertama, Oktober 2004
Hak terbitan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
Penerbit ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519 E-mail:
[email protected],
[email protected]; Web-site: www.elsam.or.id
2
Daftar Isi: 1. Kasus-kasus Penyiksaan yang Tak Terselesaikan Masa Orde Baru 2. Pengertian Penyiksaan dalam konteks Konvensi Anti Penyiksaan 3. Ragam, Pola, dan Teknik Penyiksaan 4. Penyiksaan Dalam Masa Transisi: Latar Belakang Pergantian Rezim dan Konstalasi Imperialisme 5. Gambaran Umum Penyiksaan Masa Pemerintahan Megawati 6. Kasus Penyiksaan dalam Konflik Agraria 1. Latar Belakang Ekonomi-Politik 2. Sejarah Konflik Pertanahan Profil Elsam
3
Potret Penyiksaan dalam Konflik Agraria di Indonesia Esrom Aritonang
Kasus-kasus Penyiksaan yang Tak Terselesaikan Masa Orde Baru Penggulingan Soekarno oleh Orde Baru telah mengubah peta politik di Indonesia. Perubahan kekuasaan dari “politik sebagai panglima” menjadi “ekonomi sebagai jenderal”, membutuhkan prakondisi, yaitu stabilitas keamanan. Menurut Mohtar Mas’oed (1989:10), ciri khas rezim Orde Baru sebagai berikut. Pertama, pemerintah dipegang oleh militer, tidak sebagai diktator pribadi, melainkan lembaga yang berkolaborasi dengan “teknokrat” sipil. Kedua, Pemerintah disokong oleh enterpreneur oligopolistik, yang bersama negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. Ketiga, Pengambilan keputusan dalam rezim bersifat birokratis-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijakan yang memerlukan suatu proses bargaining yang lama di antara berbagai kelompok kepentingan. Keempat, massa didemobilisasi. Dan kelima, untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melancarkan tindakan-tindakan yang represif. Tentu saja, hal itu bertentangan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai humanis dan keanekaragaman hayati. Kebangkitan kaum teknokrat dan militer di panggung kekuasaan nasional menjadi oposisi bagi kaum progresif, yang dalam tataran praktis berseberangan pandangan dengan sikap elitis para pemuka masyarakat dan politik. Harapan untuk mengkonsolidasi gerakan progresif selama puluhan tahun buntu dan direspon secara brutal oleh pemerintah melalui sentralisasi dan modernisasi kebijakan yang mematikan daya hidup massa rakyat. Melalui kekuasaannya yang tiranis, Orde Baru menciptakan banyak persoalan bagi masyarakat. Muncul tindak kekerasan, intimidasi, dan penyiksaan yang terjadi dalam proses penyidikan yang dilakukan aparat negara penegak hukum, demi memperoleh pengakuan atau informasi yang dibutuhkan. Juga proses di luar hukum yang menyangkut kebijakan publik demi memperoleh persetujuan dari anggota masyarakat. Kerap tindak penyiksaan itu akhirnya berbuntut kematian korban.1 Wilayah dan dimensi penyiksaan, yang jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, cukup luas. Antara lain meliputi bidang-bidang perburuhan, pertanahan, organisasi agama sampai yang berdimensi abstrak, misalnya, yang menyangkut hak dan kebebasan berpendapat.2 Tindak penyiksaan yang dilakukan khususnya oleh aparat negara penegak hukum secara geografis tersebar cukup merata mulai dari Aceh, Medan, Jakarta sampai Timor Timur. Hampir semuanya tidak dapat menyeret pelaku tindak penyiksaan itu ke sidang pengadilan. Sejauh ini, para pelakunya aman-aman saja dalam melakukan pelanggaran hak asasi manusia, sementara belum tampak suatu upaya yang lebih serius dari pemerintah Indonesia untuk mencegah terjadinya tindak penyiksaan, meskipun perangkat hukum internasional – dalam bentuk konvensi yang juga turut ditandatangani, tetapi belum
1
Lihat ELSAM, Ke Arah Ratifikasi Konvensi Penyiksaan: Kajian Kasus-kasus Penyiksaan Belum Terselesaikan. Jakarta: ELSAM, 1995, hal. 2. 2 Ibid., hal. 2. 1
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia – sudah tersedia. Persoalannya, lebih menyangkut masalah kebijakan daripada tidak adanya niat baik semata.3 Padahal, penyiksaan yang selama ini terjadi ternyata tidak memandang kelas sosial korban. Penyiksaan dapat menimpa siapa saja, mulai dari buruh, petani, pengusaha, sampai ke golongan yang bisa disebut sebagai kelas intelektual. Untuk kategori terakhir, tindak penyiksaan ini pernah dialami oleh para aktivis sebuah kelompok studi di Yogyakarta yang dituduh subversif karena menjual buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer.4 Dari segi apapun tindak penyiksaan tak bisa dibenarkan, lebih-lebih dalam masyarakat yang mengaku beradab. Anehnya, masih terdapat suara-suara yang mencoba memahami terjadinya praktik penyiksaan ini. Realitas ini agak memprihatikan, lebih-lebih jika dilihat dari jumlah korban penyiksaan yang terus berjatuhan tanpa ada upaya untuk mengadakan pengusutan lebih lanjut terhadap para pelaku tindak penyiksaan. Dan itu terjadi, baik dalam proses hukum tertentu (dalam rangka penyidikan), maupun di luar proses hukum (penanganan unjuk rasa). Sementara itu, para korban (keluarga atau orang yang hidupnya bergantung kepada si korban), tidak dapat menuntut kompensasi apapun, karena memang tidak tersedia prosedur untuk maksud itu di dalam sistem hukum kita.5 Dalam suatu proses hukum yang diawali dengan proses penyidikan, penggunaan tindak penyiksaan sering dilakukan demi mengejar target “kebenaran” dalam waktu singkat. Atau bisa juga terjadi tindak penyiksaan itu dilakukan demi memaksa korban untuk mengakui skenario peristiwa yang memang sudah disiapkan sebelumnya. Padahal, secara hukum, pengakuan tersangka bukanlah alat bukti yang utama. Metode penyiksaan lalu menjadi modus pemaksaan oleh aparat dalam mengambil jalan pintas menuju penyelesaian suatu perkara. Dalam konteks yang seperti itu, kebenaran lalu menjadi begitu mudah dimanipulasi.6 Kasus-kasus tindak penyiksaan yang tak pernah terselesaikan yang dikategorisasi oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, antara lain7: (1) Kasus DOM Aceh, 1989-1998; (2) Kasus tanah translok Sei Lapan, Langkat, Medan, 25 Maret 1993; (3) Kasus HKBP Medan, 28 Desember 1992; (4) Kasus unjuk rasa buruh di Medan April 1994; (5) Kasus terbunuhnya Marsinah, Mei 1993; (6) Kasus terbunuhnya petani Nipah, 24 September 1993; (7) Kasus waduk Kedung Ombo, 1988; (8) Kasus pembreidelan media massa Tempo, Detik, Editor, 21 Juni 1994; (9) Kasus pembunuhan di Liquica, Timor Timur, 21 November 1991. Tindak penyiksaan juga terjadi menjelang lengsernya Soeharto. yang dilakukan oleh aparat negara penegak hukum, bahkan melibatkan kekuatan paramiliter, seperti preman. Salah satu contohnya adalah penyerbuan kantor PDI (Partai Demokrasi Indonesia) tanggal 27 Juli 1996 yang memakan banyak korban jiwa. Pada tahun yang sama, terjadi kerusuhan di Nabire-Papua8 sehubungan dengan proses penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang menimbulkan tindak penyiksaan. Tahun 1997 terjadi bentrokan tentara dengan massa di Timika yang menyebabkan 4 orang tertembak mati dan lainnya mengalami tindak penyiksaan.9 Rangkaian kasus kekerasan dan penyiksaan yang terjadi memberikan gambaran jelas betapa lemahnya posisi warga masyarakat sipil, ketika berhadapan dengan aparat koersi 3
Ibid. Ibid., hal. 3 5 Ibid., hal. 4. 6 Ibid. 7 Ibid., hal. 13-15. 8 Mohammad Zulfan Tadjoeddin, Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia 1990-2001, UNSFIR, “Working Paper” 02/01-1, 2002. 9 Ibid. 4
2
yang berlindung di balik otoritas negara. Para korban tindak penyiksaan hampir-hampir tak mempunyai pembelaan hukum sama sekali. Seluruh dimensi kemanusiaan menjadi absurd tatkala yang berbicara hanyalah kekuasaan. Dalam segala aspeknya, tindak penyiksaan memang selalu berada dalam konteks relasi-relasi kuasa. Kekuasaan itu tampil dalam wujudnya yang paling primitif. Penyiksaan merupakan manifestasi jenis kekuasaan yang merusak relasi kemanusiaan antar manusia.10
Box Teknik Koersi Tujuan dari seluruh teknik koersi adalah melemah mundurkan psikologis tiap orang dengan membawa kekuasaan penekan yang melumpuhkan korban. Kemunduran secara mendasar berarti kehilangan otonomi, kembali ke tahapan perilaku yang paling idiot. Korban yang dilumpuhkan ini merasakan upaya kepribadiannya hancur dalam kurun waktu tertentu. Korban kehilangan kapasitasnya untuk melakukan sesuatu yang memerlukan kreativitasnya, menghadapi keadaan yang kompleks, tertekan dalam hubungan antar pribadi atau frustasi yang berulang-ulang. Teknik-teknik koersi antara lain: penangkapan, detensi, penghancuran alat rangsangan, ancaman dan ketakutan, kesakitan, hipnosis, narkosisi. Kemunduran psikologis akibat teknik koersi antara lain: manipulasi waktu, kekacauan jadwal tidur, disorientasi berkaitan dengan siang dan malam, pertanyaan yang tak terpolakan, jadwal makan yang kacau, kelambanan merespon waktu, kerja sama setengah hati, menghargai nonkoperasi.
Pengertian Penyiksaan dalam konteks Konvensi Anti Penyiksaan Pada 9 Desember 1975, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan deklarasi tentang perlindungan terhadap penganiayaan dan perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan dalam resolusi 3452 (XXX). Dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan terdahulu, deklarasi yang terdiri dari 12 pasal ini merupakan langkah maju. Pasal deklarasi tersebut secara tegas mendefinisikan penyiksaan sebagai: “....tiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyebabkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat baik secara fisik maupun mental terhadap seseorang oleh atau atas anjuran seorang pejabat publik, dengan maksud untuk mendapatkan informasi atau pengakuan darinya atau dari orang ketiga, untuk menghukumnya atas tindakan yang sudah dilakukan atau yang dicurigai sudah dilakukannnya, atau untuk mengintimidasinya atau orang lain.”11
Deklarasi tersebut merupakan cikal bakal dari Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia selanjutnya disebut Konvensi Anti Penyiksaan, yang ditetapkan oleh PBB pada 10 Desember 1984. Konvensi yang terdiri dari 33 pasal itu mulai berlaku pada 26 Juni 1987. Muncul harapan yang besar di kalangan masyarakat internasional, konvensi tersebut akan memberi perlindungan yang lebih kukuh bagi tiap orang terhadap penyiksaan. Berbeda dengan deklarasi, konvensi mengikat secara hukum negara-negara yang telah menandatanganinya.
10
ELSAM, op. cit., hal. 171. Pax Benendanto dan M. Mahendra, Konvensi Anti Penyiksaan: Panduan bagi Jurnalis. Jakarta: LSPP, 2000, hal. 4. Bandingkan ELSAM, ibid., hal. 172; dan Komnas HAM, Lembar Fakta: Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, edisi terjemahan, Jakarta, 2000. 11
3
Dengan demikian berbagai aturan di negara-negara yang bersangkutan harus mencerminkan semangat konvensi.12 Dari batasan tersebut, tindak penyiksaan jelas merupakan perbuatan yang dilakukan secara sengaja oleh aparat pemerintahan pemegang kekuasaan formal. Dan siapakah aparat pemerintahan yang paling dekat dengan praktik penyiksaan tersebut? Dari kasus-kasus yang tak terselesaikan di masa Soeharto berkuasa, terungkap bahwa aparat keamanan – baik polisi maupun tentara – sering bertindak sebagai pelaku tindak penyiksaan. Sementara yang berkedudukan sebagai korban adalah warga sipil yang dianggap dan disangka sebagai pengganggu stabilitas keamanan. Menyimak kasus-kasus yang ada, tindak penyiksaan itu tak selalu berkait dengan proses penyidikan yang berakhir di ruang pengadilan. Sebagian di antaranya malah sama sekali tak ada kaitannya dengan proses peradilan, karena yang terjadi adalah pengadilan jalanan. Sebuah kecurigaan saja sudah cukup untuk mengantarkan seseorang pada pengalaman kekerasan yang barangkali tak pernah terbayangkan selama hidupnya.13 Dalam konteks politik, penyiksaan telah digunakan terutama sebagai mekanisme untuk menekan para pembangkang politik dan ideologis. Secara berangsur-angsur penyiksaan telah menjadi bentuk pertarungan yang paling tidak manusiawi dalam menentang musuh politik, menentang orang-orang yang tidak seideologi dengan kelompok yang berkuasa, seperti untuk memperoleh informasi atau pengakuan keterlibatan; mengkhianati teman atau sejawat; atau untuk menyebarluaskan rasa takut dengan bertindak sebagai suatu kekuatan yang hebat untuk mencegah meluasnya oposisi politik. Hakikatnya, adalah wajah otoriterisme yang paling tidak wajar dan paling kejam, cara yang paling cepat dan paling mendesak untuk “menangani” orang-orang yang “tidak patuh”. Dengan penyiksaan itu, otoritarianisme terbuka kedoknya dan memperlihatkan dirinya dalam segala perlawanannya yang kasar terhadap “yang lain”, terhadap “pembangkangan”. Penyiksaan merupakan aspek patologis dari penolakan terhadap demokrasi.14 Bagaimanapun, penyiksaan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius, dan oleh karenanya secara tegas dikutuk oleh hukum internasional, dan khususnya oleh Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa “Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.” Untuk menjamin perlindungan yang memadai bagi semua orang terhadap perlakuan buruk seperti itu, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selama bertahun-tahun telah berusaha untuk mengembangkan standar-standar yang dapat diterapkan secara universal. Konvensi, deklarasi, dan resolusi yang ditetapkan masyarakat internasional secara tegas menyatakan, bahwa tidak boleh ada pengecualian bagi larangan terhadap penyiksaan.15
Ragam, Pola, dan Teknik Penyiksaan Secara umum ada dua jenis tindak penyiksaan, yaitu “tindak penyiksaan fisikal” dan “tindak penyiksaan psikologis”. Pertama, tindak penyiksaan fisikal ditujukan kepada segenap tubuh korban baik bagian luar tubuh maupun bagian dalam tubuh. Tindak penyiksaan fisikal bertujuan melukai, menyakiti, menghancurkan bentuk awal struktur tubuh, dan puncaknya ialah 12
Ibid., hal. 5. Ibid., hal. 173. 14 Ibid. 15 Komnas HAM, Lembar Fakta: Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, edisi terjemahan, Jakarta, 2000. 13
4
mematikan denyut kehidupan tubuh. Tindak penyiksaan fisikal misalnya pemukulan, pembakaran, pemenggalan, melaparkan, menggantung, menendang, menyiramkan air panas ke tubuh korban, memotong kecil-kecil, menulikan telinga, membutakan mata, mematahkan bagian tubuh tertentu, mengejut tubuh dengan setrum atau asam cuka, menenggakkan obat keras atau racun, membenamkan tubuh korban kedalam air hingga kehabisan nafas, mematahkan tulang punggung, mencabut kuku kaki dan tangan dengan capitan, menyundut dengan api rokok, membiarkan korban terkena hawa dingin atau panas, meninju dan menampar muka, membeset daging atau kulit tubuh dengan silet, melempari dengan batu, memasukkan kepala orang kedalam tong yang dipukul keras-keras, menggantung korban di tiang gantungan, tubuh digantung di kincir angin sehingga ikut berputar-putar, rollet Rusia, dimasukkan ke penjara Gandi16, dan sebagainya. Kedua, tindak penyiksaan psikologis merupakan dimensi atau konsekuensi penyiksaan fisikal. Dan ragam penyiksaan pada hakikatnya berdimensi psikologis. Contohnya, orang akan sangat tertekan melihat keluarga atau kawannya disiksa, lalu memberikan laporan keliru mengenai penyiksaan, kematian, atau pun pengkhianatan seseorang. Korban penyiksaan mengatakan bahwa tak seorang pun memperhatikan dan mengingat penderitaannya, dan bila korban mampu bertahan dari siksa derita itu, maka orang takkan pernah percaya. Tindak penyiksaan psikologis tampak melalui tekanan selama interogasi setiap saat hingga ke persoalan ketidaksanggupan korban mengantisipasi apa yang bakal terjadi. Teknik penyiksaan psikologis yang paling ampuh yang kerap dipergunakan yaitu menghadapkan si korban dengan anggota keluarga atau teman dekatnya yang didera di depan matanya hingga tewas. Anggota keluarga atau teman dekatnya itu biasanya ditelanjangi dan disiksa dengan menggunakan alat-alat sadis. Si korban dipaksa menyatakan informasi, nama, atau lokasi dan sebagainya. Apabila salah dalam memberikan informasi, maka anggota keluarga atau teman dekatnya segera dizalimi. Tak jarang si pelaku tindak penyiksaan meminta si korban menunjukkan bagian tubuh mana yang harus disakiti atau teknik apa yang ia sukai. Korban yang menjadi target penyiksaan tak hanya orang dewasa, melainkan anak-anak dan perempuan. Mereka menjadi sasaran tindak penyiksaan fisikal, psikologis, maupun seksual.17 Meskipun tindak penyiksaan dalam praktiknya cukup luas dipergunakan banyak negera di dunia, penyiksaan itu sendiri bukanlah sebuah gejala yang unik dalam sejarah. Bedanya, jika pada masa lampau penggunaan penyiksaan diawasi dan diatur ketat, maka pada masa modern tindak penyiksaan justru digunakan sebagai alat dari rezim yang memerintah dengan kekuasaan teror. Lebih dari itu, tidak ada satu rezim pun yang berani mengakui adanya penggunaan penyiksaan. Tindak penyiksaan pada umumnya tetap dirahasiakan dan tidak diatur.18 Dari segi pola penyiksaan, setiap periode sejarah selalu mengalami perkembangan. Jika pada masa-masa lalu tindak penyiksaan dilakukan dengan cara-cara yang brutal, dengan mendera dan menyakiti fisik korban secara keras, maka seiring dengan perkembangan peradaban manusia – yang seharusnya membuat kebudayaan manusia kian beradab – teknik penyiksaan justru berkembang semakin canggih. 16
Penjara Sugandi sangat terkenal di Medan. Di Penjara ini ada beberapa ruang tahanan yang tinggi dan luas kamarnya tanggung. Orang hanya dapat berdiri jongkok, tak dapat bergerak bebas karena sempit, ruangan diisi air setinggi lutut, ruangan gelap gulita, dan ke dalam air dimasukkan lintah. Airnya tak pernah diganti-ganti. Biasanya, orang yang masuk ruangan penyiksaan ini dalam tempo seminggu akan rusak tubuhnya, bahkan tak jarang si terpidana akhirnya meninggal dunia. 17 Kenneth S. Pope, “Torture”, http://kspope.com/torture-abst.shtml 18 ELSAM, op.cit., hal. 174. 5
Berbagai teknik baru untuk mendera dan menimbulkan rasa sakit sering dirancang secara ilmiah. Para pekerja medik dan ahli jiwa turut dilibatkan untuk menemukan, merekomendasi dan memfasilitasi penyiksaan. Dalam konteks ini, tindak penyiksaan diupayakan agar tidak meninggalkan bekas untuk menghindari kemungkinan tuntutan pada masa mendatang. Dengan kemajuan dalam bidang sains dan teknologi, tindak penyiksaan tanpa meninggalkan bekas memang bukan suatu hal yang sulit. Dengan demikian, tindak penyiksaan lalu bergeser ke arah teror yang lebih bersifat psikologis. Meskipun begitu, tidak berarti teknik penyiksaan yang kasar dan brutal lalu ditinggalkan. Dalam keadaan tertentu – ketika peralatan teknis yang digunakan tidak tersedia – teknik penyiksaan primitif pun bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan.19 Di samping penggunaan teknologi canggih, faktor-faktor kesejarahaan lain ikut memberikan penjelasan terhadap peranan baru tindak penyiksaan sekarang. Yang pertama dan paling menonjol adalah makin meluasnya “model negara otokrasi” yang sangat diideologikan. Dalam model negara yang demikian, pertentangan ideologi dan politik sama sekali tidak ditolerir. Selain itu, faktor lainnya ialah berubahnya negara modern menjadi tataran birokrasi yang besar. Dikonsolidasikannya aparat-aparat birokrasi yang tidak bernama (tiap aktivitas dipisah-pisahkan dan pertanggungjawaban pribadi dibagi-bagi, diperlunak atau dihilangkan sama sekali, termasuk tokoh pemimpin yang bertanggung jawab atas segala tugas dan pertanggungjawaban) memudahkan tersebar luasnya penyiksaan. Dengan pemisahan tugas seperti itu, peranan masing-masing orang – di kantor polisi atau angkatan bersenjata – dibagi-bagi lagi: ada yang bertugas menculik atau menghilangkan tertuduh; ada yang mengurus penahanan; yang lain lagi memberi perintah untuk menyiksa; ada yang bertugas melakukan interogasi untuk mengorek pengakuan atau informasi dari si korban; ada yang menjalankan alat-alat yang benar-benar menyiksa; ada yang bertugas menghilangkan mayat korban dengan melemparkan ke laut dari pesawat terbang, menguburkannya di lokasi tidak bernama; atau menghancurkannya dengan menggunakan seribu satu cara yang dimungkinkan oleh teknologi modern bagi penyiksa itu.20 Di Indonesia, pola umum yang terjadi sebelum dilakukan tindak penyiksaan adalah penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat kasus tindak pidana (baik perkara politik maupun kriminal) tertentu. Sering penangkapan-penangkapan itu dilakukan tanpa menunjukkan surat perintah apapun sebagaimana layaknya penangkapan yang sesuai dengan KUHAP. Dengan demikian, polanya adalah penculikan. Teknik penyiksaan paling standar selama proses interogasi adalah intimidasi yang disertai dengan kekerasan fisikal. Yang paling kejam ialah penembakan langsung di tempat, apabila korban tidak memberikan jawaban atau informasi atau pengakuan sesuai dengan skenario si penyiksa. Dari kasus-kasus penyiksaan yang tak pernah terselesaikan pada masa Soeharto berkuasa tersebut, kita dapat mengindentifikasi beberapa pola penyiksaan:21 (1) Kasus Aceh. Teknik penyiksaan yang dipergunakan ialah intimidasi, kekerasan fisikal dan pencabutan nyawa. Peralatan yang dipakai yaitu api rokok, setrum, balok kayu, senjata api. Alasan penyiksaan ialah korban merupakan anggota GPK; (2) Kasus Sei Lapan. Teknik penyiksaan yang dipergunakan ialah intimidasi dengan cap PKI dan kekerasan fisikal yang mematikan. Peralatan yang dipakai api rokok, balok kayu, pecahan kaca, dan senjata api. Alasan penyiksaan ialah korban melawan pemerintah; 19
ELSAM , ibid., hal. 175. Ibid., hal.176. 21 Ibid., hal. 177-179. 20
6
(3) Kasus HKBP. Teknik penyiksaan yang dipergunakan ialah intimidasi dan kekerasan fisikal yang mematikan. Peralatan yang dipakai balok kayu, air kotor, senjata api. Alasan penyiksaan ialah korban melawan aparat negara; (4) Kasus buruh Medan. Teknik penyiksaan yang dipergunakan ialah intimidasi dan kekerasan fisikal yang mematikan. Peralatan yang dipergunakan ialah balok kayu, air panas, senjata api. Alasan penyiksaan korban ialah melawan pemerintah (pengusaha); (5) Kasus Marsinah. Teknik penyiksaan yang dipergunakan ialah intimidasi, kekerasan fisikal, dan pembunuhan. Peralatan yang dipakai ialah api rokok, clurit, obat bius, dan senjata api. Alasan penyiksaan korban ialah melawan pemerintah (pengusaha); (6) Kasus Nipah. Teknik penyiksaan yang dipergunakan ialah intimidasi dengan cap PKI, kekerasan fisikal dan penembakan langsung di tempat. Peralatan yang dipakai ialah senjata api. Alasan penyiksaan korban ialah melawan pemerintah (pengusaha); (7) Kasus Kedung Ombo. Teknik penyiksaan yang dipergunakan ialah intimidasi dengan cap PKI, kekerasan fisikal yang mematikan dan penenggelaman tempat tinggal. Peralatan yang dipergunakan ialah senjata api. Alasan penyiksaan korban ialah melawan pemerintah (pemodal asing); (8) Kasus Pembreidelan. Teknik penyiksaan yang dipergunakan ialah kekerasan fisikal yang mematikan. Peralatan yang dipakai ialah gas air mata, tongkat kayu, tameng fiberglass. Alasan penyiksaan korban ialah melawan aparat negara; (9) Kasus Liquica. Teknik penyiksaan yang dipergunakan ialah penawanan dan penembakan langsung di tempat. Peralatan yang dipakai ialah senjata api. Alasan penyiksaan korban ialah melawan NKRI. Pola penyiksaan yang tidak sesuai prosedur telah menjadi penyakit kronis yang merusak sendi-sendi hukum dan demokrasi di Indonesia. Tekanan-tekanan politik dan intervensi pemegang kekuasaan, yang membuat penyidik tidak mampu berbuat lain. Pameran kekuasaan karena kepentingan politik tertentu itu demikian mencolok sehingga memberi kesan para petugas penegak hukum tersebut berfungsi sebagai alat kekuasaan belaka.22 Box Penyidikan Segera dan Adil atas Tindak Penyiksaan UU No. 8 tahun 1981 mengenai KUHAP menjelaskan bahwa semua kasus termasuk tindak penyiksaan, prinsip dasar penyidikan sebagaimana tercantum dalam Penjelasan UU No.8 tahun 1981 bagian e dan UU No.35 tahun 1999 menggantikan UU No.14 tahun 1970 harus diterapkan antara lain proses pengadilan harus dilakukan dengan segera, tak berbelit-belit dan murah, bebas, jujur, dan adil pada semua tingkat pengadilan. Selanjutnya UU No.28 tahun 1997 mengenai Polisi Indonesia, UU No. 2 tahun 1986 mengenai Pengadilan Negeri, UU No. 14 tahun 1985 mengenai Mahkamah Agung, dan UU No. 31 tahun 1997 mengenai Pengadilan Militer, juga sesuai dengan prinsip-prinsip penyidikan segera dan adil dalam tiap kasus pidana atau pun atas tindak penyiksaan.
Penyiksaan Dalam Masa Transisi: Latar Belakang Pergantian Rezim dan Konstalasi Imperialisme
22
Ibid., hal. 181. 7
Mundurnya Soeharto dari panggung kekuasaan pada pertengahan Mei 1998 melahirkan kekerasan sosial yang terjadi antara negara dan masyarakat. Hal ini merupakan manifestasi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap proses dan cara-cara penyelenggaraan negara. Konflik ini bisa berupa konflik antara masyarakat melawan aparat negara (sipil atau militer) maupun konflik dengan institusi formal negara. Konflik ini dapat berbentuk aksi massa karena ketidaksenangan terhadap militer dan simbol-simbolnya, aksi-aksi mahasiswa karena kekecewaan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara, kekerasan aparat dalam menangani aksi-aksi tersebut dan lainnya. Di tahun reformasi 1998, setidaknya tujuh insiden dengan minimal satu korban tewas terjadi, seperti peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti dan Tragedi Semanggi I.23 Legitimasi rezim Soeharto ialah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sokongan kekuatan militer yang represif, meskipun akhirnya diterpa badai krisis sejak Juli 1997, yang meluluhlantakkan seluruh kerja kerasnya selama 30 tahun. Pelanggaran hak asasi manusia oleh militer menjadi fakta publik yang tidak terbantahkan. Masyarakat menuntut agar dwifungsi ABRI dihapuskan. Sepanjang tahun 1998, tampak adanya mata rantai yang sistematis antara penguasa dan militer melalui tindak perkosaan massal atas perempuan Tionghoa, penculikan aktivis, penyiksaan dan penembakan. Soeharto mempromosikan pertumbuhan ekonomi melalui eksploitasi sumber-sumber daya alam dan sistem upah pekerja yang begitu murah. Kebijakan politik, sosial, dan ekonomi dilaksanakan melalui sentralisasi kekuasaan dan kontrol militer mulai dari tingkat desa sampai tingkat nasional. Rezim ini menciptakan migrasi internal penduduk dan kekerasan antar-etnik dan antar-agama.24 Pada tahun 1997, Bank Dunia melaporkan bahwa hampir 20-30 persen dana pembangunan yang digulirkan untuk Indonesia jatuh ke tangan pejabat negara dan para politisi. Kebijakan dan program pemerintah yang didukung oleh donatur internasional telah menghancurkan keswadayaan dan keamanan sosial komunitas; menciptakan jutaan orang kelaparan, terserang penyakit, dan tak bermilik. Tindakan pemerintah tidak menjamin keamanan pangan, penggunaan lahan yang berkelanjutan, peningkatan kesehatan penduduk dan pengembangan pendidikan rakyat, menolak prinsip hak asasi manusia, menolak pemerintahan yang bersih dan layak, pengadilan yang merdeka, dan berbagai indikator pemerintahan yang demokratis lainnya.25 Pada pemerintahan Presiden B.J. Habibie – yang akhirnya menggantikan Soeharto – sejumlah langkah penting diambil berkaitan dengan penegakan hak asasi manusia, yaitu pembebasan napol dan tapol, kebebasan media masssa, pembebasan institusi negara dari bentuk-bentuk diskriminasi seperti agama, etnik, dan lainnya. Pembaharuan sistem pemilu juga dilakukan sehingga pemilu yang jurdil dapat berlangsung pada tahun 1999. Meskipun demikian, Habibie kehilangan kredibilitas publik – di dalam negeri dan internasional – yang konsekuensinya ialah, keguncangan pemerintahan dan krisis ekonomi yang berlarut-larut. Demonstrasi populer tergelar kembali di Jakarta. Peristiwa Semanggi II terjadi dan korban jiwa berjatuhan.26 Saat ini IMF dan Amerika Serikat mendukung pemulihan ekonomi Indonesia dengan memberikan paket bantuan dana sebesar US$ 42,3 milyar untuk memperbaharui kondisi sosial dan lingkungan hidup yang rusak. Namun dana sebesar itu disalahgunakan untuk
23
Mohammad Zulfan Tadjoeddin, op.cit., hal. 55. Abigail Abrash, Indonesia after Soeharto, Vol. www.foreignpolicy-infocus.org/briefs/vol3v34_ind_body.html 25 Ibid. 26 Ibid. 24
3,
Num.
34,
November
1998;
8
kepentingan penguasa. Pejabat Bank Dunia menyadari bahwa tidak ada jaminan dana yang dikucurkan tidak akan menguap ke kantong-kantong pribadi aparatur negara. Perkebunan dan pertanian, pertambangan, kehutanan dan projek kelautan menjadi sumber pemasukan menggiurkan pemerintah, militer dan pengusaha yang menghancurkan ekonomi komunitas lokal. Militer terlibat dalam banyak konflik tanah. Perampasan hak milik rakyat atas tanah telah menghancurkan jaringan pengaman sosial masyarakat secara alami. Konflik tersebut penuh dengan intimidasi dan pelanggaran hak asasi manusia seperti penyiksaan, penculikan, penembakan, dan perkosaan. Insiden kekerasan negara-masyarakat terjadi di banyak daerah. Jumlah insiden antara tahun 1998 sampai 2001 yaitu 83 kali, tersebar di 67 kota dengan menelan korban minimal 46 orang.27 Insiden yang meningkat tajam itu mengindikasikan bangkitnya keberanian masyarakat dalam menyalurkan ketidakpuasannya dalam bentuk kekerasan yang seiring dengan melemahnya peran militer. Hal ini menjadi kecenderungan baru setelah reformasi. Perubahan politik ke arah yang lebih demokratis mendapatkan momentum yang tepat ketika Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri terpilih secara demokratis sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Agustus 1999. Kedua tokoh ini memiliki sumber dukungan dan basis politik yang kuat untuk memulai proses transisi ke demokrasi di Indonesia. Fajar perubahan tampak mulai menyingsing di Indonesia. Di bawah pemerintahan yang baru, pemerintahan Gus Dur dan Megawati, langkah-langkah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab serta membangun kembali dan meletakkan kerangka hukum yang kokoh bagi usaha-usaha pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, yang selama pemerintahan Orde Baru (Soeharto) terabaikan. Langkah-langkah ini telah dirintis oleh pemerintahan transisional B.J. Habibie antara lain dengan mendorong disahkannya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, kemudian diikuti dengan pengesahan serangkaian UU di bidang hak asasi manusia, seperti UU No. 39/1998 tentang HAM, UU No. 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, UU No. 29/1999 tentang Ratifikasi Konvensi Diskriminasi Rasial, dan pengajuan Peraturan Pengganti Undang-undang mengenai Peradilan Hak Asasi Manusia, yang dibawah pemerintahan Gus Dur-Megawati diubah menjadi UU No.26/2001 tentang Pengadilan HAM. Box Ratifikasi 6 Konvensi Hingga kini pemerintah Indonesia hanya meratifikasi 6 konvensi internasional hak asasi manusia dari 25 konvensi pokok internasional. Dari 6 konvensi yang sudah diratifikasi itu belum termasuk di dalamnya ratifikasi terhadap 2 kovenan terpenting, yang sering disebut sebagai International Bill of Human Rights, yaitu Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Ke 6 konvensi yang sudah diratifikasi itu adalah: (1) Konvensi mengenai Hak-hak Politik Perempuan; (2) Konvensi mengenai Penghapusan Apartheid di bidang Olah Raga; (3) Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan; (4) Konvensi mengenai Hak Anak; (5) Konvensi mengenai Anti Penyiksaan; dan (6) Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Di tengah arus pembaharuan yang sedang dilakukan, terjadi ledakan konflik dan kekerasan sosial yang merupakan bagian inheren dari krisis dan transisi Indonesia saat ini. 27
Mohammad Zulfan Tadjoeddin, op. cit., hal. 56. 9
Pertanyaannya, apakah kekerasan sosial merupakan instrumen yang diperlukan untuk memicu suatu transisi, atau merupakan biaya sosial yang tak terelakkan dari suatu transisi? Indonesia tengah berada dalam suatu transisi yang historis. Transisi Indonesia setidak-tidaknya terdiri atas tiga perubahan besar. Pertama, transisi dari suatu sistem politik dan pemerintahan yang otokratis menuju suatu sistem yang demokratis. Kedua, transisi dari sistem ekonomi yang bersifat kapitalisme kronistik dan patron-klien menuju suatu sistem ekonomi pasar yang berdasarkan pada suatu aturan permainan yang jelas. Ketiga, transisi dari sistem sosial, politik dan ekonomi yang sentralistik menuju sistem yang terdesentralisasi. Proses transisi ini sedang berlangsung dan tidak ada yang dapat memastikan apakah transisi itu akan berhasil mencapai keadaan yang diinginkan dan berlangsung mulus. Tidak ada pula yang dapat memastikan berapa lama waktu yang akan dibutuhkan untuk mencapai suatu keadaan keseimbangan sosial politik yang baru.28 Perubahan di tingkat nasional Indonesia berkaitan erat dengan konstalasi imperialisme. Proses globalisasi (sosial, ekonomi, politik, budaya) yang diciptakan oleh kekuatan dominan dipaksakan melalui serangkaian krisis yang menumpuk dan berkelanjutan dalam distribusi ekonomi dan politik, keuangan, fungsi pemerintahan dan kemunduran negara kemakmuran. Dalam kaca mata penganut liberalisme, terjadinya krisis dianggap sebagai kegagalan negara dalam menjalankan peran pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, langkah yang tepat untuk memulihkan ekonomi justru melalui liberalisasi ekonomi. Terdapat enam poin utama liberalisme masa kini, yaitu: (1) pengaturan pasar secara bebas oleh korporasi dan perusahaan dari campur tangan pemerintah mana pun dan tanpa mempedulikan kehancuran sosial; (2) memangkas semua pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan); (3) melakukan regulasi untuk membatasi peran negara yang mengurangi tingkat keuntungan korporasi (peran negara dalam melindungi lingkungan dan keselamatan kerja); (4) privatisasi (negara harus menjual semua perusahaan kepada investor); dan (5) menghilangkan konsep kepemilikan bersama dan komunitas. Oleh korporasi transnasional, batas-batas wilayah, kehormatan dan kedaulatan suatu negara ditembus dan dikuasai secara tidak langsung, menciptakan ketergantungan ekonomi nasional pada modal asing, monopoli ekonomi-politik melalui institusi internasional seperti IMF, Bank Dunia, WTO.29
Gambaran Umum Penyiksaan Masa Pemerintahan Megawati Sepanjang tahun-tahun pemerintahan Megawati Soekarnoputri, kasus-kasus penyiksaan berskala nasional tampaknya kurang menonjol. Di beberapa daerah konflik seperti Aceh, Papua, Maluku, dan Poso, yang terjadi justru tindak kekerasan bersenjata, meskipun di Aceh dan Papua kasus penyiksaan masih menyisakan kisah penderitaan para korban. Tetapi dari aspek korban dan pelaku, serta kelas dan posisi sosial korban maupun kekerasan, maka ragam-jenis penyiksaan yang menonjol sepanjang masa pemerintahan Megawati dapat disebutkan antara lain. (1) Kasus penyiksaan di lembaga pemasyarakatan atau kantor polisi, seperti kasus penganiayaan terhadap penghuni lembaga pemasyarakatan perempuan di Tangerang. Endah (bukan nama sebenarnya), selama dua tahun harus mendekam dalam penjara, karena kasus penganiayaan yang dilakukannya. Endah dan beberapa temannya mengalami perlakuan kasar petugas Lembaga Pemasyarakatan. Semua petugas di lembaga pemasyarakatan perempuan ini adalah laki-laki. Endah dan teman-temannya dicabuli petugas LP. Tina, 28 29
Ibid., hal. 11. WALHI, Tanah Air, dalam “Editorial”, No.2/TH XXII/2002. 10
seorang napi cilik, pernah mendapatkan perlakuan kejam petugas penjara. Sekujur badannya biru lebam karena dipukuli petugas. Sementara itu, Ayu, teman Tina, dipaksa mencabuti rumput berjam-jam lamanya kemudian disetrap, disuruh berdiri dengan satu kaki dibawah terik matahari. Ayu yang tak mampu tegak berdiri disetrum kakinya hingga gadis kecil itu meraung-raung kesakitan.30 Di Yogyakarta, seorang tahanan bernama Aan Yulianto disiksa di dalam selnya oleh empat orang anggota Brimob. Dua orang temannya, yang kerap mengunjunginya, juga diciduk dan dijadikan tersangka. Kasus yang bermula dari perkelahian antar kelompok pemuda di suatu diskotek di Jalan Magelang, Yogyakarta itu memakan korban seorang anggota brimob, Totok Sugiarto, yang berlumuran darah tertusuk. Keadaan ini memicu anggota brimob lainnya mengamuk. Aan tertangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, kemudian disiksa beramai-ramai. Setelah diperiksa di rumah sakit, ternyata 2 tulang rusuknya patah, serta bagian dalam tubuhnya dan hatinya robek.31 (2) Kasus penyiksaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tindak penyiksaan dialami oleh TKI yang akan dipulangkan paksa oleh pemeritah Malaysia. Mereka yang mencoba bertahan, dengan tuduhan pekerja ilegal atau pendatang haram, bila ketahuan oleh petugas keamanan Malaysia (pasukan khusus pemburu pendatang haram) akan diadili dan menerima hukuman siksa berupa cambukan di badan lima kali, serta hukuman penjara selama 5 tahun, dan membayar denda sebesar 10 ribu ringgit (Rp 24 juta). Pekerja ilegal Indonesia yang ada di Malaysia berjumlah 250 ribu orang dari 1,6 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sana.32 Kasus penyiksaan juga dialami pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia. Juli 2002, seorang penduduk Singapura, Ng Hua Chye (47) dijatuhi hukuman penjara 18,5 tahun, karena membunuh dan menyiksa berbulan-bulan seorang PRT asal Indonesia. Hua Chye dinyatakan bersalah, karena membiarkan korban kelaparan, memukul dengan palu, dan menyiram korban dengan air panas. Banyak agen PRT yang merekrut wanita muda tak berpendidikan dari Indonesia dan Filipina tidak memperhatikan etika profesional. Agen-agen itu merekrut pekerja di bawah umur. Wanita-wanita miskin dari Indonesia sering diharuskan bekerja keras dan tak memiliki kebebasan. Kadang mereka disiksa secara fisik. KBRI di Singapura menerima sekitar seratus keluhan setiap bulan dari PRT, karena gaji mereka tidak dibayar. Menurut Renvyannis Gazali, konsultan KBRI urusan PRT, setidaknya 18 PRT berlindung di KBRI, karena mendapat siksaan fisik dari majikan mereka. (3) Kasus penyiksaan antar-aparat keamanan. Dua anggota Batalyon Infantri 753 Arga Vira Tama Nabire, Papua, menganiaya anggota Polres Nabire. Prada Marthinus Manggo dan Serda Umar Bariwijaya menganiaya anggota Polres Nabire Frangky D.K hingga tewas. Penganiayaan yang dilakukan kedua terhukum terjadi pada 11 Agustus 2001 di Jalan Pemuda Nabire. Aksi itu dilatarbelakangi balas dendam terhadap pemukulan rekan mereka saat mabuk. Hakim menilai, Marthinus tak layak menjadi militer karena melakukan tindak pidana berat. (4) Kasus penyiksaan keluarga (domestic violence). Sejak 27 Juli 2002, Andres Andriyanto (7) melarikan diri dari rumah dan belum diketahui keberadaannya. Andres adalah anak kandung Ny Maria Margaretaha (32) dan anak tiri Paulus Poppe Mbulu (43). Andres minggat, karena sering mendapat perlakuan tidak sewajarnya dari ayah tirinya. Para tetangganya sering memergoki Andres dipukuli Paulus. Perbuatan itu sering juga dilakukan di depan istrinya, Maria. Menurut sejumlah warga, Maria tidak berani berbuat apa-apa karena takut dengan Paulus. 30
Tempo, 3 November 2002. Tempo, 21 April 2002. 32 Tempo, 18 Agustus 2002. 31
11
Andres tercatat sebagai siswa kelas 2 SDN Kendangsari II. Karena itu, minggatnya bocah laki-laki itu tidak hanya membuat ibu dan para tetangganya bingung, tetapi juga para guru yang selama ini mendidiknya ikut prihatin. "Dia itu anak pintar dibandingkan teman-temannya. Itulah sebabnya, begitu kami mendapat laporan dia kabur dari rumah, karena sering dipukuli ayahnya, maka para guru di sini langsung ikut mencari, namun belum membuahkan hasil," kata Kepala Sekolah Suwartinah. (5) Kasus penyiksaan dalam penggusuran warga. Tidak terima tanah dan rumahnya digusur, warga RT 01 dan 02, di Jalan Inspeksi Kali Sunter, Kelapa Gading (Jakut), bentrok dengan aparat Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib). Akibatnya, puluhan orang luka-luka. Bentrokan diwarnai aksi lempar batu dan pemukulan. Pemicunya, aparat Tramtib yang dibantu beberapa preman, melakukan kekerasan terhadap warga yang mempertahankan rumahnya. Menurut salah seorang warga, Abdul Rasyid (60), sekitar 500 aparat Tramtib dibantu dengan puluhan preman, membongkar paksa bangunan warga dengan tiga buldozer. Mereka meratakan 300 bangunan. Warga terpaksa melawan. Mereka bertarung untuk mempertahankan tempat tinggalnya. Bentrokan fisik akhirnya tidak terhindarkan. Aparat Tramtib dari Satpol, Banpol dan Linmas dibantu satu satuan setingkat kompi aparat kepolisian dan puluhan preman. Mereka menggunakan senjata berupa tongkat kayu, besi bahkan tombak dan panah. Akibatnya, warga lari kocar-kacir ke arah pinggiran Kali Sunter di Jalan Inspeksi dan Jalan Yos Sudarso. Sementara itu, tiga buldozer membongkar rumah warga. Dua warga tertangkap. Keduanya lalu dihajar Tramtib beramai-ramai. Yadi dan Anto, nama dua warga itu babak belur. Selain dua warga yang luka dihajar aparat Tramtib, tujuh warga lainnya pun mengalami luka parah. Mereka adalah Kusman yang mengalami luka di punggung belakang akibat terkena panah, Bopo luka di sekujur tubuh, Jiyo luka memar di pipi, Niat mengalami luka punggung terkena panah, dan Rasum luka pada paha kanan. Mereka lalu dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan. "Pembongkaran ini inisiatif PT Sari Kebun Jeruk Permai. Mereka menganggap tanah seluas 20 hektar ini miliknya. Padahal ratusan kepala keluarga tinggal di tempat ini sudah lama. Surat-surat mereka aspal (asli tapi palsu) dari Orde Baru," kata Abdul, juru bicara warga. Di atas tanah itu akan didirikan pusat perkantoran dan pertokoan Mediterania Square. Saat ini, dari 20 hektar tanah tersebut, sudah 17 hektar di antaranya yang ditimbuni, sedangkan sisanya yang masih ditempati warga, mulai diratakan dengan tanah. Jumlah warga yang menempati lahan itu sekitar 700 KK atau 1500 jiwa. Aksi pembongkaran paksa ini bertentangan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri No.15/1955 yang mengatakan, harus ada ganti rugi bila terjadi pembongkaran rumah warga. "Sampai saat ini, kami nggak dapat ganti rugi. Kami pun tidak pernah diajak berunding," tandas Abdul. Ia mengakui bila selama ini warga sudah mendapatkan surat peringatan dari Camat Kelapa Gading, Sri Jumiati, sejak 15 Oktober 2002. Isinya, warga diminta secara sukarela membongkar rumahnya sendiri dalam waktu 3 x 24 jam. Lantas, pada tanggal 19 dan 22 Oktober turun surat perintah pembongkaran dari wali kota Jakarta Utara. (6) Kasus penyiksaan masyarakat sipil oleh preman politik (Premanisme Politik). Tindak kekerasan pun dialami oleh anggota Konsorsium Miskin Kota (UPC) ketika melakukan aksi-aksi menentang kebijakan gubernur DKI Jaya, Sutiyoso. Penyiksaan terhadap anak-anak dan perempuan dilakukan oleh gerombolan preman yang tergabung dalam Forum Betawi Rembug (FBR). Bahkan seorang anggota Komnas Perempuan, kepalanya terluka akibat pukulan benda keras di kepalanya. Beberapa orang anggota FBR sempat merusak dan melempari kaca-kaca kantor Komnas Perempuan, yang berdekatan dengan Komnas HAM.
12
Kasus Penyiksaan dalam Konflik Agraria 1. Latar Belakang Ekonomi-Politik Watak politik rezim Orde Baru yang menindas hak asasi manusia merupakan konsekuensi sejarah, yaitu: lemahnya kekuatan borjuasi domestik, dihancurkannya gagasan dan gerakan politik radikal, relasi dan struktur ketergantungan terhadap modal asing. Racikan faktor-faktor tersebut melahirkan negara otoritarian dan rezim politik yang militeristik, teknokratis namun bergantung penuh pada modal asing. Watak seperti itulah yang memberikan keleluasaan bagi rezim Orde Baru untuk membangun struktur ekonomi yang memapankan kalangan birokrat, militer dan kroni penguasa, serta mengabaikan pembangunan masyarakat yang berbasiskan perikemanusiaan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendekatan yang represif dan militeristik membuahkan pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia.33 Pergeseran-pergeseran politik yang terjadi pasca rezim Soeharto tidak serta merta merombak dan menegasikan watak dan titik-tolak rezim Orde Baru. Secara mendasar, watak dan titik-tolak tersebut terus dipertahakan dalam pemerintahan transisi mulai B.J. Habibie, Gus Dur, dan kini dalam pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Konservatisme menguat kembali, ketergantungan pada modal asing kian akut bahkan memuluskan jalan bagi berbiaknya neo-liberalisme di Indonesia. Terjerumusnya pemerintahan transisional ini ke dalam perangkap kepentingan lembaga-lembaga dana internasional tampak dari penghapusan kebijakan sosial dalam perusahaan dan lembaga negara, seperti subsidi pendidikan, kesehatan, perumahan, listrik, pangan, air minum, dan lainnya. Rezim Mega-Hamzah melepaskan seluruh aset dan pranata sosial yang ada ke tangan mekanisme pasar dan logika modal neo-liberalisme. Dengan demikian, negara tidak lagi bertanggung jawab atas perikehidupan seluruh rakyat Indonesia alias “homo homini lupus”.34 Belum berubahnya watak rezim transisional dan relasinya dengan Orde Baru itulah, yang menyebabkan status pemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya alam menjadi problem tersendiri saat ini. Nasib si miskin; kaum tani, kaum miskin kota, buruh, nelayan, bergantung sepenuhnya pada kemurahan hati sang penguasa. Mereka menjadi korban ketidakpedulian negara dan tiadanya perspektif pembangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang menjamin keadilan sosial. Terabaikannya hak-hak sosial, ekonomi dan budaya dapat dilihat dari pemenuhan aspek-aspek: pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan, pangan dan lainnya. Hak atas standar hidup yang layak berkaitan dengan hak-hak lainnya. Dalam pemenuhan hak-hak ini, pemerintah Indonesia harus mampu memproteksi hak-hak masyarakatnya. Pemerintah Indonesia harus melakukan koreksi terhadap sistem perdagangan dunia dan Asia yang merugikan rakyat. Begitu pun terhadap lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan Bank Dunia. Peran pemerintah untuk melakukan proteksi bagi masyarakat telah gagal. Fasilitas subsidi di sektor-sektor pelayanan publik dihapuskan atas permintaan lembaga-lembaga ekonomi dunia tersebut. Penghapusan dan penghentian subsidi tersebut tidak diiikuti oleh peningkatan kualitas pelayanan publik oleh negara. Partisipasi masyarakat dalam mengawasi aliran dana bagi kepentingan hidupnya terbatasi oleh intervensi birokrasi pemerintahan yang menghambat dan korupstif. Negara juga tidak 33
YLBHI, “Catatan Atas Tahun 2002: Globalisasi, Komunalisme dan Negara Sosial: Problem-problem Hak Asasi Manusia dalam Masa Pasca Otoriterian”, Laporan No.2, Januari 2003. 34 Bahasa Latin, artinya: manusia adalah serigala bagi sesamanya. 13
mencegah kerusakan lingkungan yang mayoritas dilakukan oleh para pengusaha real estate, pertambangan, perkebunan, dan HPH. Di perkotaan, penyediaan fasilitas hunian dan sanitasi lingkungan masih sangat jauh dari kelayakan. Pendidikan dasar bagi anak-anak usia sekolah tak dapat dinikmati sebagian besar anak-anak di Indonesia. Fenomena anak jalanan adalah indikasi ke arah itu. Hanya golongan tertentu yang dapat mengenyam pendidikan dengan baik. Kemiskinan menciptakan kebodohan. Kebodohan mengakibatkan ketertindasan. Ketertindasan melahirkan ketidakadilan dan kemelaratan baru. Hal ini merupakan lingkaran setan. Dalam persoalan perburuhan, berkaitan erat dengan keadaan ekonomi dan politik di tingkat nasional dan internasional. Ekonomi politik Indonesia berada dalam masa transisional, yaitu dari rezim otoritarian menuju rezim “demokratis”. Lemahnya kekuatan buruh dalam menghadapi para pemodal asing dan negara merujuk kepada faktor lemahnya kesadaran berorganisasi dan politik organisasi buruh yang ada. Di samping itu, badai globalisasi dan agenda neo-liberal telah menciptakan standar kesejahteraan dunia dan kemanusiaan kian menurun. Negara mengalami kegagalan ketika melansir RUU tentang Perkebunan yang tidak menjamin hak-hak petani. Upaya pemanfaatan lahan pertanian dan reclaiming hak atas tanah dalam RUU tersebut diklasifikasikan sebagai tindak kejahatan (kriminal). Pengklasifikasian ini akan memotong kerja-kerja pemenuhan hak atas standar hidup yang layak atas inisiatif masyarakat sendiri. Tanpa tanah, sebagai alat produksi, petani akan sulit memenuhi kebutuhan dasarnya, terlebih meningkatkan taraf hidup keluarganya.35 Eksploitasi berkelanjutan juga dialami kaum nelayan. Sektor ekonomi kelautan masih jauh tertinggal dibandingkan sektor industri lainnya yang mengandalkan pemanfaatan sumber daya alam. Kerusakan lingkungan di kawasan pesisir dan laut tidak hanya diakibatkan oleh industri yang berkaitan dengan perikanan. Hampir semua limbah industri bermuara ke pantai. Sementara itu, industri pembalakan hutan dan pertanian intensif yang menggunakan asupan kimia membawa akibat besar di kawasan pesisir. Degradasi ekosistem menjadi penyebab menurunnya tingkat produktivitas sumber daya pesisir dan laut Indonesia. Persaingan yang tidak sehat dan adil antara pengusaha perikanan skala besar dengan nelayan tradisional terjadi di seluruh Indonesia. Masyarakat nelayan tradisional tidak mendapatkan dukungan atas haknya untuk mengakses dan mengontrol sumber daya laut. Infrastruktur dan rendahnya tingkat kesejahteraan sosial tidak membantu nelayan dalam mengatasi berbagai persoalannya. Sering nelayan tradisional dipersalahkan atas kerusakan lingkungan yang terjadi.36 2. Sejarah Konflik Pertanahan Konflik pertanahan di Indonesia terjadi sejak masa feodalisme, kolonialisme hingga kini. Konflik ini tidak pernah usai. Pada masa kerajaan-kerajaan, telah terjadi berbagai kerusuhan sosial yang dilancarkan kalangan rakyat kecil terhadap aristokrat kerajaan berkaitan dengan penguasaan wilayah (tanah dan manusia). Sejarah penguasaan tanah di Jawa, penuh dengan kisah-kisah perseteruan menyangkut konflik pertanahan. Masuknya kolonialisme Belanda dengan membuka lahan-lahan perkebunan di Sumatera dan Jawa semakin melestarikan eksploitasi dan konflik tersebut. Pola perkebunan lokal yang tradisional dihancurkan dengan masuknya kolonialisme Belanda pada abad 17. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan pendekatan yang berbeda dalam pengelolaan tanah, yaitu dengan sistem tanam homogen (monokultur); ekspansi wilayah 35 36
YLBHI, op. cit., hal. 4. IPF Secretariat, Seruan Aksi, 2002. 14
untuk penanaman komoditi, pengolahan, pemukiman buruh perkebunan; serta mobilisasi tenaga kerja dan diskriminasi rasial. 37 Sedangkan secara historis, konflik pertanahan di Indonesia dapat diringkas sebagai berikut: (1) Pada masa pemerintahan V.O.C di Indonesia (1602-1800), diterapkan eksploitasi komoditi ekspor dengan menggunakan sistem tanam paksa, yaitu berupa penyerahan wajib dan kontingensi berdasarkan kuota yang ditentukan. Sistem tersebut dikenakan pada suatu daerah atas berbagai alasan, seperti penaklukan, perjanjian, dan kontrak antara kedua belah pihak. Di masa pendudukan Inggris dibawah kekuasaan Raffles (1812-1816) diterapkan sistem land rent atau sistem pemungutan pajak tanah yang merupakan bagian dari sistem sewa tanah. Sistem tersebut adalah kebijakan ekonomi dan perkebunan yang diciptakan Raffles, sebagai penganut paham liberalisme. Raflles menginginkan sistem perkebunan yang bebas dari segala unsur paksaan dan ikatan feodalis. Juga disusun kebijakan dengan mengubah tiga asas, yaitu penggunaan sumber daya tanah, tenaga, dan ikatan birokrasi tradisional yang mendasarinya. Pertama, menghapuskan segala bentuk penyerahan wajib dan rodi. Rakyat bebas menanam dan menjual hasil tanaman. Kedua, pengawasan atas tanah secara terpusat dan langsung, penarikan pungutan dan sewa dilakukan tanpa perantara Bupati. Ketiga, dengan asumsi bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka petani penggarap tanah dikategorikan sebagai penyewa tanah pemerintah kolonial, yang berkewajiban membayar sewa tanah yang ditetapkan berdasarkan keputusan pemerintah kolonial.38 (2) Pada masa pemerintahan Belanda (1830-1870), kebijakan perkebunan yang dikembangkan adalah sistem tanam paksa. Pemberlakuan sistem ini diberlakukan karena pemerintah Belanda mengalami kebangkrutan ekonomi dan dilanda hutang yang besar. Sistem tanam paksa merupakan kombinasi sistem penyerahan wajib ala V.O.C dengan sistem pajak tanah ala Raffles. Pada tahun 1870, pemerintah kolonial menerapkan Agrarische Wet atau Undang-undang Agraria. Melalui penerapan undang-undang ini pemilik modal asing (Belanda maupun Eropa) mendapat kesempatan luas berusaha di bidang perkebunan. Undang-undang ini melahirkan beberapa peraturan agraria untuk perkebunan swasta sehingga para pengusaha dapat memperoleh tanah melalui erfpacht, sewa, dan konsesi.39 (3) Pada masa kemerdekaan (1945-1948), terjadi pendudukan lahan perkebunan oleh petani dengan semangat revolusi yang dihembuskan oleh Soekarno. Kaum tani melakukan penggarapan lahan-lahan perkebunan eks hak erfpacht milik pengusaha Belanda, Eropa dan Asia. (4) Pada periode tahun 1948-1955, Belanda dengan dukungan sekutunya berupaya mengembalikan kekuasaannya atas wilayah Indonesia melalui Agresi Militer I dan II. Aksi militer tersebut tidak berhasil, sehingga Belanda mengubah siasatnya dengan cara perundingan dan negosiasi atau diplomasi. Melalui perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) Belanda masuk kembali ke Indonesia untuk menguasai aset mereka termasuk perkebunan. (5) Pada periode tahun 1955-1957 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing oleh pemerintahan Soekarno, dan berbarengan dengan Pemilu pertama tahun 1955 dibawah sistem Demokrasi Parlementer menjelang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin tahun 1959. Tahun 1960, pemerintahan Demokrasi Terpimpin mengeluarkan Undang-undang No. 5 37
KUHAP, RUU Perkebunan: Melestarikan Eksploitasi dan Ketergantungan, RACA Press. Ibid., hal. 6. 39 Ibid., hal. 7. 38
15
tahun 1960 mengenai Pokok-pokok Agraria. UUPA 1960 mengedepankan janji memerdekakan petani dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian dan menghapuskan pemberlakuan hukum agraria Barat.40 (6) Pada masa pemerintahan Orde Baru, Angkatan Darat mengambil-alih lahan-lahan perkebunan yang dikuasai oleh orang-orang yang dituduh komunis. Inilah awal penguasaan lahan-lahan perkebunan oleh yayasan-yayasan yang dibentuk oleh Penguasa Darurat Perang di wilayah-wilayah Kodam, yang terus dipertahankan hingga kini. Masuknya militer dalam bisnis perkebunan berbenturan dengan logika pengembangan komoditi yang menuntut kecukupan modal dan teknologi tinggi. Akibatnya, militer men-subkontrak usaha perkebunan. Masalah-masalah yang penuh kontradiksi inilah yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik agraria di atas lahan perkebunan hingga kini. Pada akhirnya, Orde Baru menghapuskan landreform dan menggantikannya dengan program tata guna lahan dan transmigrasi. Program ini dikenal dengan sebutan Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun), yang kemudian memperluas wilayah dan intensitas konflik agraria.41 (7) Pada masa pemerintahan transisional mulai Habibie, Gus Dur, sampai Megawati. Kebijakan perkebunan masih bertahan dengan modelnya yang sangat kapitalistik. Dibawah pemerintahan Gus Dur sempat mencuat gagasan populis untuk memenuhi harapan kaum tani, yaitu dengan kebijakan penyerahan 40% saham kepada rakyat dan 60% kepada PTP. Namun, gagasan populis tersebut mendapat tantangan keras pengusaha yang mengerahkan ribuan buruhnya ke DPR. Sementara itu, DPR sendiri tidak pernah jelas sikap keberpihakannya terhadap nasib kaum tani yang dirampas tanah-tanahnya. Militerisasi dalam sektor perkebunan terus bercokol hingga pemerintahan Megawati. Secara singkat, pola penguasaan lahan perkebunan dari masa ke masa dapat dilihat pada tabel berikut:42 Tabel 1 Sejarah Pola Penguasaan Perkebunan No. Penguasa/ Tahun 1
Pra Kolonial (1200-1600)
2
VOC Belanda (1600-1800)
3
Pemerintahan Inggris/ Raffles (1812-1816)
4
Pemerintahan Belanda/ Van Den Bosch (1830-1870)
Sistem/ Kebijakan Perkebunan -Kebun campuran -Kebun permanen -Penyerahan wajib -Penyerahan produksi komoditi berdasarkan kuota yang ditentukan -Land rent -Penghapusan segala bentuk penyerahan wajib dan rodi -Rakyat bebas menanam dan menjual hasil tanaman -Pengawasan atas tanah secara terpusat dan langsung -Penarikan pungutan dan sewa dilakukan tanpa perantara/Bupati -Petani membayar sewa tanah yang ditetapkan -Tanam paksa
40
Ibid., hal. 8. Ibid., hal. 9. 42 Ibid., hal. 11-12. 41
16
5
6
7
-Penyerahan wajib dan pajak tanah -Rakyat wajib membayar pajak dalam bentuk hasil tanaman pertanian -Terbentuknya UU Agraria Pemerintahan Demokrasi Parlementer dan Demokrasi -Nasionalisasi aset-aset milik Terpimpin (1945-1966) asing -UUPA No.5/1960 -Landreform -Unit-unit perusahaan perkebunan digabung menjadi BPU-PPN Pemerintahan Orde Soeharto (1967-1998) -Pengambil-alihan lahan-lahan perkebunan oleh militer dengan menggunakan stigmatisasi PKI -Subkontrak pengelolaan perkebunan -Program tata guna lahan dan transmigrasi -Proyek PIR-Bun -Pembentukan PTP -Kebijakan PMA-PMDN Pemerintahan Transisional (1998-sekarang) -Model kemitraan Tebu Rakyat Intensifikasi -Program kawasan Industri Masyarakat Perkebunan
Dalam bingkai sejarah penindasan yang sangat panjang itulah, konflik agraria merebak di mana-mana. Kantong-kantong kemiskinan tercipta di basis-basis perkebunan sebagai konsekuensi logis dipertahankannya sistem nilai, struktur, dan relasi sosial-ekonomi agraria oleh rezim Soeharto hingga rezim Megawati. Ketimpangan struktur dan penguasaan lahan adalah realitas sosial yang menyedihkan dan memiskinkan petani. Pemerintah terus menyetujui pembangunan perkebunan yang harus merampas tanah-tanah hak ulayat rakyat di berbagai daerah. Pasca rezim Soeharto, lahir perlawanan-perlawanan petani dan masyarakat perkebunan untuk merebut kembali (reclaiming) tanah-tanah yang dirampas pengusaha, penguasa, birokrat, dan militer. Usaha reklaim terjadi sebagai akibat dari kebijakan agraria yang tidak berpihak kepada rakyat khususnya petani. Respon pemerintah dalam menghadapi upaya pemulihan hak sosial ekonomi dan budaya oleh petani adalah mengedepankan kekerasan. Pola kekerasan yang dilakukan meliputi pembumihangusan wilayah perkampungan petani, penculikan, pembunuhan, penembakan, penyiksaan, dan kriminalisasi. Penyiksaan terhadap petani dilakukan oleh preman dan militer yang disewa pengusaha. Dalam perspektif hak asasi manusia, kekerasan yang dilakukan dalam bentuk penyiksaan terhadap petani merupakan bukti bahwa pemerintah tidak berkeinginan menuntaskan persoalan agraria, bahkan membungkam perjuangan petani yang hendak mencari keadilan. Tabel 2 Rekapitulasi Sengketa Agraria di Indonesia Masa Orde Baru 17
Wilayah
Jumlah kasus
Luas lahan Bersengketa (ha) Sumatera 382 360.712,62 Jawa 907 449.656,99 Bali 12 1.019,07 Nusa Tenggara 42 15.849,08 Kalimantan 64 18.769,59 Sulawesi 70 38.329,63 Maluku 4 120.000,14 Papua 16 48.177,25 Jumlah 1.497 1.052.514,37 Sumber: Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
Jumlah KK yang menjadi korban 69.783 146.713 2.438 674 4.055 8.363 n.a. 151 232.177
Perubahan politik menyusul jatuhnya Soeharto bukan berarti turut terselesaikannya kasus-kasus penyiksaan menyusul konflik agraria yang terjadi. Berikut ini kasus-kasus penyiksaan yang terjadi pada masa pemerintahan-pemerintahan di era reformasi, termasuk pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. (1) Kasus Perampasan Tanah di Labuhan Batu, Sumatera Utara. Sebanyak 70 warga dari berbagai desa di Labuhan Batu berunjuk rasa di Kantor DPRD Medan menuntut pengembalian lahan garapan mereka seluas 3.020 ha. Sebelumnya, sebanyak 1.085 keluarga menggarap lahan yang dipersengketakan tersebut. Dalam unjuk rasa, warga desa tersebut menuntut ketiga perusahaan (PT Rantau Sinar Karsa, PT Binanga Mandala, dan PT Indo Sepadan Jaya) untuk mengembalikan lahan garapan mereka di lima lokasi yang berbeda. Juga memprotes tindak pengrusakan yang dilakukan terhadap permukiman warga. PT Binanga Mandala bersama aparat keamanan setempat mengusir warga setempat yang bermukim di Dusun Aek Kulim, Desa Mandala Sena. Dalam pengusiran itu sebanyak 143 keluarga menderita kerugian sekitar Rp 250 juta karena kehilangan harta benda mereka saat pengusiran yang disertai pembakaran dan pengrusakan itu. Beberapa warga mengalami luka-luka ketika pengusiran terjadi, karena mencoba melawan aparat keamanan setempat. Banyak warga yang diamankan ke kantor polisi yang juga mengalami tindak penyiksaan. “Sekarang warga terpaksa membangun permukiman baru di sekitar lokasi. Warga sudah tiga kali mengadukan kasus ini ke Polres Labuhan Batu, tapi tidak ada tanggapan. Polisi menganggap tidak ada tersangka yang jelas, padahal warga tahu persis pelakunya adalah manajer perusahaan tersebut,” ujar Lamtagon, salah seorang wakil warga. Lahan yang dituntut warga tersebut antara lain 1.250 ha di Desa Pematang Seleng (PT Indo Sepadan Jaya) dan 800 ha di Desa Pangkatan (PT Rantau Sinar Karsa). Sisanya 370 ha di Dusun Aek Kulim Desa Mandala Sena (PT Binanga Mandala), 400 ha di Dusun Bamban Bidang Seberang Desa Sennah (PT Rantau Sinar Karsa), dan 200 ha di Dusun Teluk Lesung Desa si Pare-pare (PT Rantau Sinar Karsa). (2) Kasus Reklaim Tanah di Ladongi, Kolaka, Sulawesi Tenggara. Tiga warga Ladongi menjadi korban penembakan polisi di areal perkebunan PT Perkebunan Ladongi. Ketiga mayat korban tersebut dinyatakan hilang, dan tidak diketahui nasibnya. Ketiga warga yang diculik itu masing-masing Hafid (29); Ridwan Tuke (30); dan Ismail (35). Mereka hilang ketika bersama 400 warga lainnya menduduki areal perkebunan di atas lahan yang dikuasai oleh PT Perkebunan Ladongi. Aksi tersebut dibubarkan polisi dengan menembaki warga. “Polisi harus bertanggung jawab atas hilangnya ketiga warga itu, karena mereka tiba-tiba menghilang saat polisi menghujani ratusan warga dengan tembakan,” kata Ihsan, Koordinator Lapangan Front Solidaritas Aksi untuk Masyarakat Ladongi. 18
Penembakan di areal perkebunan kakao milik PT Perkebunan Ladongi (anak perusahaan PT Hasfarm Niaga Nusantara) dilakukan oleh pasukan Brimob Polda Sulawesi Tenggara. Penembakan itu dilakukan karena ratusan warga yang menuntut pengembalian lahan perkebunan tak mengindahkan perintah polisi untuk segera keluar dari areal tersebut. (3) Kasus Penggarapan Lahan di Desa Darmakradenan, Banyumas, Jawa Tengah. Gara-gara menggarap lahan sengketa, 11 petani warga Desa Darmakradenan divonis 15 hari kurungan oleh Pengadilan Negeri Purwokerto. Ketua Majelis Hakim PN Purwokerto, M. Daru, menyatakan bahwa para petani bersalah karena menguasai tanah tanpa seizin pemiliknya. Namun, para petani menyatakan tidak bersalah karena tanah itu milik mereka yang dikelola turun-temurun. Para petani disidang tanpa didampingi penasihat hukum. Mereka juga mendapat perlakukan kasar aparat keamanan ketika dikurung dalam tahanan. “Kalau kita menerima keputusan itu, berarti kita berada di pihak yang salah. Kenyataannya, tanah yang dikelola petani adalah benar-benar tanah milik warga Darmakradenan,” ujar Sarno (34), salah seorang petani yang terhukum kurungan. Menurut dia, tanah para petani di Darmakradenan diambil alih tentara saat Peristiwa G30S/1965, dan kemudian disewakan kepada PT Rumpun Sari Antan. Setelah reformasi 1998, para petani mengambil kembali tanah tersebut. (4) Kasus Sengketa Lahan di Sukabumi, Jawa Barat. Petani mengajukan hak atas tanahnya ke Komisi A DPRD Tingkat II Kabupaten Sukabumi. Pengajuan hak atas tanah meliputi Desa Cikangkung, dan lokasi lahan yang diajukan berada di Cibanteng dan Cijoko. Juga di Desa Sumber Jaya, Desa Bumi Asih, Desa Tegal Buleud, Desa Calingcing. Lokasi lahan yang diajukan berada pada 4 desa seluas 800 Ha. Lahan ini merupakan tanah KAS Desa yang letaknya berbatasan dengan lahan Kehutanan. Wilayah Cibabi masuk dalam wilayah Kecamatan Ciracap dan Kecamatan Ciemas. Lahan ini asal mulanya merupakan lahan bekas erpach Maskapai Cibenda dan bekas peternakan Tuan Gede. Lahan tersebut di tanami kelapa sawit tegal alang-alang. Luas areal Cibabi 1200 Ha. Lahan tersebut diolah oleh penduduk yang berjumlah lebih 10.000 KK. 500 KK diantaranya adalah anggota Himpunan Petani dan Nelayan Pakidulan (HPNP). Di lokasi ini, banyak anggota HPNP yang sudah mendirikan bangunan rumah dan mengolah lahan pertanian. April 2002, ketenangan petani di wilayah Cibabi dan Cikangkung mulai diusik. Masyarakat yang menduduki dan mengolah lahan di wilayah Cibabi diperintahkan oleh pihak Perhutani untuk segera mengosongkan lokasi. Menurut pihak Perhutani, lahan di wilayah Cibabi tersebut termasuk cagar alam atau hutan lindung. Dalam peristiwa ini, terjadi perdebatan antara petugas PPA dan warga masyarakat. Petugas PPA beranggapan bahwa lahan tersebut merupakan hutan lindung, kenapa warga masyarakat menggunakannya untuk pertanian dan pemukiman (rumah sudah pakai kayu dan menggunakan genteng), membangun mesjid besar untuk jumatan dan sudah membuat rencana dirikan sekolah rakyat di lokasi tersebut. Pertengahan April 2002, terjadi operasi militer. Operasi ini merupakan operasi gabungan dari Brimob, PPA, POL PP, dan Koramil dari tiap kecamatan, serta para preman bayaran. Dalam operasi militer ini, rumah masyarakat di wilayah Cibabi dibakar, harta kekayaannya dijarah, dan warga terpaksa mengungsi ke desa-desa. Dengan didampingi mahasiswa Jakarta, dam aktivis Bina Desa, anggota HPNP mengadu ke Komnas HAM. Setelah pulang dari Komnas HAM, masalah bukannya mereda, tetapi aparat makin brutal. Petani yang berangkat ke Jakarta dikejar-kejar oleh aparat. Surat perlindungan yang diberikan oleh Komnas HAM, di robek oleh petugas. Hadi, ketua organisasi tani Calingcing, dituduh sebagai dukun santet dan provokator penggarap tanah. Ia ditangkap oleh Polsek Tegal Buleud. Kepada tiap petani yang menggarap lahan di wilayah Cibabi, pihak Aparat
19
minta ‘uang keamanan’ sebesar Rp 800.000. Jika tidak membayar ‘uang keamanan’, para petani diteror akan dibunuh secara massal. Selain di Cibabi, kasus yang sama terjadi di Kecamatan Tegal Buleud yang meliputi 4 desa, yaitu desa Sumber Jaya, desa Bumi Asih, desa Tegal Buleud, dan desa Calingcing. Brimob dibantu Satgas kehutanan dan preman bayaran dikerahkan ke Kecamatan Tegal Buleud. Ancaman dan teror yang disebarkan adalah, agar para petani segera mengosongkan lokasi, karena lokasi tersebut akan menjadi proyek PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Warga masyarakat, khususnya anggota HPNP berusaha untuk bertahan dan sepakat tidak akan keluar dari wilayah tersebut. Pada 3 Juni 2002, di Tegal Buleud, Jamal dan Herman ditangkap oleh pasukan Brimob. Mereka dibawa Polres Sukabumi. Pada 5 Juni 2002, sebanyak dua jip Brimob dan Intel Kapolres Sukabumi memasuki kampung untuk menangkap dan menculik Ispada dan Karmidi. Petugas intel dan Brimob juga mencari ketua HPNP. Peristiwa ini menyebabkan anggota HPNP mengalami kekalutan dan kekacauan, sehingga para anggota HPNP kemudian menyelamatkan diri ke Sukabumi. Pada 17 Juni 2002, terjadi lagi penangkapan terhadap anggota HPNP. Kali ini anggota HPNP yang ditangkap adalah Enoh, Gagay dan Eloy di wilayah Cikangkung. Penangkapan dilakukan dengan tuduhan pidana, yaitu melakukan penganiayaan terhadap petugas pengusaha. Awal kejadian yang sebenarnya adalah, adanya pemungutan pancen (cukai) sebesar 10 kg per patok gabah. Pancen tersebut ditolak oleh petani. Penolakan petani tersebut, ditanggapi oleh pihak aparat dengan melakukan penghinaan dan penganiayaan massal kepada 300 orang petani. Para petani tidak menyerah begitu saja. Tetapi melakukan perlawanan. Akibatnya dipihak petugas 3 orang babak belur. Pada 19 Juni 2002, kembali terjadi pembakaran rumah petani oleh kelompok preman bersama aparat Brimob. Akibatnya rumah dan harta benda masyarakat habis terbakar. Pembakaran ini dilakukan ketika warga masyarakat tidak di rumah, karena berada di masjid sedang melakukan ibadah Jumat. Box Korban Sengketa Lahan Penganiayaan dalam konflik agraria sebagai berikut: (1) Sekitar 479 petani dan aktivis petani dianiaya dalam 41 kasus konflik; (2) 12 petani terbunuh dalam 14 kasus; (3) 134 petani ditembak ditempat dalam 21 kasus; (4) 25 petani diculik dalam 7 kasus; (5) 936 petani ditahan dalam 77 kasus; (6) 284 rumah atau gubuk dibakar dalam 25 kasus; (7) Kurang lebih 307,954 ha lahan garapan siap panen dihancurkan; (8) 1.901 petani dan aktivis diteror dalam 157 kasus; (9) 1.809 petani diintimidasi dalam 202 kasus; (10) Kekerasan dan perkosaan 1 orang; penculikan dan penganiayaan petani dan aktivis terjadi dalam 88 kasus.
20
Tabel 3 Lahan Hasil Reclaiming Petani di Sukabumi Luas Lahan No. Lokasi Tahun Reclaiming Reclaiming Awal Reclaimi Anggota ng 2001 2002
Organisasi Jumlah Tani Yang Anggota Mereclaim ing LK PR
1
Keterangan Penting Lainnya Menurut FO JM L 225
150 ha
187 ha
HPNP
123
2
Desa Kerta 1993 jaya Mekar jaya 1994
60 ha
160 ha
HPNP
115
140
255
3 4
Langkap jaya U. Genteng
1994 1989
50 ha 31 ha
30 ha 80 ha
HPNP HPNP
40 100
49 150
89 250
5 6
Ciburial Cikangkung
1989 1999
40 ha 100 ha
150 ha 100 ha
HPNP HPNP
30 200
37 315
67 515
7
Sumber jaya
1999
150 ha
200 ha
HPNP
250
300
550
8
Bumi Asih
1999
200 ha
300 ha
HPNP
200
302
502
9
Tegal Buleud
1999
200 ha
200 ha
HPNP
260
281
541
10
Calingcing
1999
150 ha
HPNP
HPNP
107
121
291
11
Sinar laut
1998
50 ha
30 ha
HPNP
300
350
650
12
Cibabi
1999
500 ha
10.000 ha
HPNP
10. 000
10. 050
20. 050
13
Jampang Kulon
1984
300 ha
300 ha
300
550
14
Baros
2002
-
100 ha
250 Tokoh gabung ke HPNP HPNP 100
112
212
Aman bertani Masyarakat giat bertani dan membuka sampai ke wilayah kehutanan Aman bertani Nelayan sedang kosong tidak ada ikan di gelombang besar Aman bertani Tanah dikuasai rakyat semakin sadar akan OR Lokasi ditanami dan diduduki Pemimpinnya sedang diadili di pengadilan Rakyat kompak menggarap Rakyat menggarap lahan sebagian Ketua OTl dikejar preman bayaran, tanah dikuasai oleh PIR-BUN Cibabi hancur diusir oleh PPAO Perhutani dengan menggunakan brimob, satgas, preman Konflik dengan HGU Marca Buana Penguasaan tanah
21