Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Fredy Yohannes Purba
ISSN: 0216-9290
Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas
Konflik Agraria di Desa PandumaanSipituhuta Kabupaten Humbahas FREDY YOHANNES PURBA Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
[email protected]
Diterima tanggal 22 Mei 2014/Disetujui tanggal 14 Juni 2014 Land conflict and agrarian reform is the most interesting issues in Indonesia. As we know a lot of people in Indonesia still lives on farms. There is no exception in Sumatera Utara Province. There are many land conflicts here. This study is the study of the problems of agrarian conflict in the Village District Pandumaan-Sipituhuta Humbang Hasundutan (Humbahas) Regency. The focus is about how the process of resolving issues of land conflict in the village PandumaanSipituhuta. The findings of this study, among others, there are three important things to be problems in the agrarian conflict Sipituhuta - Pandumaan village. First, the eucalyptus forest planting activities in forest communities frankincense; Second, the weak role of district government Humbang Hasundutan; Third, problem-solving solutions. This study is using conflict approach. The data collection is using field research. The method used is a qualitative method that is intended to describe an event in more detail. Keywords: Conflict, land reform, indigenous lands.
Pendahuluan Sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya mempunyai nilai ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial, dan kultural. Tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Konstitusi, Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan Undangundang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria, hanya memberikan ruang lingkup agraria sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. 1 UUPA yang bersemangat populistik tidak terealisasikan. Rezim orde baru yang lalu gagal mewujudkan keadilan agraria termaksud gagal menjamin kepastian 1
Affan Mukti, Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, (USU Press. Medan. 2010).
65
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Fredy Yohannes Purba
ISSN: 0216-9290
Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas
penguasaan tanah atau SDA lain bagi komunitas lokal yang telah memanfaatkan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya. Bahkan, sebaliknya praktek pembangunan semasa Orde Baru justru menyingkirkan akses rakyat terhadap tanah dan sumber daya alam lain yang telah lama dipunyainya. 2 Kasus pertanahan yang sering terjadi bila dilihat dari konflikkepentingan para pihak dalam sengketa pertanahan antara lain : 3 1.Rakyat berhadapan dengan birokrasi 2.Rakyat berhadapan dengan perusahaan negara 3.Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta 4.Konflik antara rakyat Hampir di setiap daerah yang terdapat sengketa tanah, para pihak yang terkait dan berwenang menangani permasalahan tersebut menyelesaikan dengan berbagai cara. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi).
Salah satu konflik pertanahan adat juga terjadi antara masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL), yang terjadi sejak Juni 2009 yang lalu, hingga kini belum menemukan jalan penyelesaian yang pasti. 4 Konflik berawal saat terbit SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992, tentang tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT. Inti Indorayon Utama Tbk, seluas 269.060 hektare di Wilayah Provinsi Sumatera Utara. PT. Indorayon Utama yang berubah nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) dari SK Kementrian Kehutanan No: Sk.351/Menhut-II/2004, wajib melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industrinya selambatnya 36 bulan sejak keputusan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan RI, hingga pada saat ini pihak PT. TPL tidak melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industri tersebut di Kabupaten Humbang Hasundutan. 5 Oleh karena itu menarik mengkaji tentang koflik agraria di desa Pandumaan-Sipituhuta. Pendekatan dan Metode
Dalam dimensi yuridis penguasaan tanah dan pemilikan tanah memerlukan perlindungan, implikasinya harus terdapat perlindungan hukum terhadap hak-hak keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil terhadap kepemilikan tanah tersebut. Sengketa tanah yang berlarut-larut dan tidak ada penyelesaian yang baik dapat menyebabkan pihak yang dirugikan melakukan gugatan ke pengadilan. Meskipun ada peluang lebar menggugat melalui pengadilan tetapi pihak awam cenderung menghindarinya, selain itu terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa pengajuan gugatan lewat pengadilan relatif mahal, memakan waktu yang cukup lama bahkan berbelitbelit. Oleh karena itu masyarakat berupaya menyelesaikan sengketanya dengan menempuh jalur non litigasi. 2
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Insist Press, KPA & Pustaka Pelajar), hal. 89. 3 Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Kompas 2005), hal. 182.
66
Penelitian ini menggunakan pendekatan konflik untuk menjelaskan masalah konflik pertanahan di Desa Pandumaan-Sipituhuta dan penyelesaiannya. Metode pengumpulan data dengan teknik penelitian lapangan dan wawancara dengan beberapa informan. Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Sejarah Konflik Tanah sebagai salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomi serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi kebijakan pembangunan pertanahan haruslah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pembangunan nasional dalam perkembangan sebuah Negara di dae4
Suryati Simanjuntak “Kronologis Kasus Warga Pandumaan-Sipituhuta VS TPL: Penyelesaian Sengketa Berkepanjangan, Warga Bentrok dengan TPL dan Aparat” diakses pada situs, http://www.ksppm.org/kronologis, diakses pada tanggal 5 Juni 2013.
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Fredy Yohannes Purba
ISSN: 0216-9290
Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas
rahnnya. Permasalahan tanah menjadi semakin kompleks disatu sisi kompleksitas masalah tanah terjadi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan tanah untuk keperluan berbagai kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang cepat dengan penyebaran yang tidak merata antar wilayah. Terjadinya konflik pertanahan pada masyarakat dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu kemiskinan dan pendidikan pada masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta, kemiskinan memiliki hubungan yang sangat erat dengan pendidikan. Karena hal ini peneliti juga mengkaitkan fenomena konflik pertanahan dengan kebutuhan hidup (ekonomi) dan tingkat pendidikan masyarakat Desa Pandumaan Sipituhuta. Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok minimum, yang memungkinkan Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta hidup layak. Dilingkungan Desa Pandumaan-Sipituhuta terlihat dari kehidupannya, bangunan rumah, jalan dan banyak menggantungkan dari pertanian dan hutan kemenyan. Sehingga menimbulkan pertentangan terhadap perusahaan untuk berhenti beroperasi dan eksploitasi hutan, ini merupakan dampak kemiskinan relative. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Mengenai fasilitas terlihat jelas ketika terjadinya hujan deras yang dengan mudahnya dapat merobohkan bangunan sekolah atau menghentikan proses belajar mengajar karena tidak layak pakainya fasilitas. Ada sebuah pemikiran yang tertanam pada kita tentang ketidak ada kekuatan fasilitas yang disediakan. Selain fasilitas, biaya juga sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Tidak sedikit keluarga yang menghentikan pendidikan anak karena mengeluhkan biaya pendidikan yang tinggi. Terkait hal itu, pemerintah mulai memberi bantuan dengan adanya subsidi pendidikan bagi keluarga yang tidak mampu. Namun, penyediaan subsidi atau bantuan biaya pen-
didikan pada keluarga yang tidak mampu belum berhasil menjadi pendongkrak angka rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia. Dampak kemiskinan terhadap pendidikan sangat besar. Jika tidak maka akan sangat sulit. Bagi masyarakat yang mampu mungkin tidak masalah, karena mereka memiliki cukup materi untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dengan berbagai jalan salah satunya dengan kursus. Semua warga negara memiliki hak yang sama yaitu berhak untuk menuntut ilmu. Tetapi karena kemiskinan hak tersebut kemudian terabaikan. Lebih ironis lagi, banyak anakanak yang rela bekerja untuk membantu orang tuanya sehingga waktu belajar mereka habis di gunakan untuk bekerja. Sangat sulit untuk untuk memberantas kemiskinan secara utuh,tetapi setidaknya mengurangi angka kemiskinan. Berbagai cara yang di lakukan oleh pemerintah namun pada kenyataanya kemiskinan masih sangat memperihatinkan. Hingga timbul permasalahan yang diawali dari tahun 2009 mengenai eksploitasi hutan yang diklaim dilakukan oleh PT. TPL dengan warga masyarkat di Kabupaten Humbang Hasundutan Kecamatan Pollung. Pendapatan rata-rata masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhutan pertahun Rp. 12.000.000. Begitu juga tingkat pendidikan di Desa pandumaan-Sipituhuta dimana sebagai pilar pembangunan, pendidikan dua desa tersebut masih sangat minim kontribusi terlihat dari statistik usia pendidikan di Kabupaten Humbang Hasundutan adanya hanya 17%, ini menujukkan angka partisipasi sekolah masih minim dan pendidikan dalam peningkatan sumber daya manusia dan keahlian di masyarakat dua desa tersebut. 6 Begitu pula dari cara proses penyelesaian masalah bahwa taraf pendidikan masyarakat memang masih dibawah keahlian proses pennyelesaian masalah dari perusahaan dan jenjang pendidikan ini yang menyebabkan masyarakat hanya mengandalkan hasil agraria yaitu kemenyan, sehingga masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas pun terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
6
http://www.bps.go.id/aps diakses 20 April 2014.
67
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Fredy Yohannes Purba
Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas
Pada awal Juni 2009 yang lalu, pihak PT. Toba Pulp Lestari bersama para kontraktor melakukan penebangan kayu di atas areal Tombak Hamijon (hutan kemenyan) milik masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta yang terdiri 700 KK masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Mereka bukan hanya menebang kayu alam, tetapi juga kemenyan dan menanami areal bekas penebangan tersebut dengan tanaman euclayptus. Mereka juga membuka jalan di areal hutan kemenyan dengan limbah padat PT.TPL sebagai pengganti aspal untuk pengeras jalan. Alasan pihak PT.TPL melakukan penebangan dan mengusahai areal tersebut adalah karena memiliki izin HPH/TI yang diberikan pemerintah dalam hal ini pihak Menteri Kehutanan antara lain: Areal hutan kemenyan seluas kurang lebih 4100 Ha ini, sebenarnya sudah dimiliki dan diusahai masyarakat adat Desa PandumaanSipituhuta secara turun-temurun sejak 300-an tahun yang lalu secara hukum adat yang hidup, ditaati hingga sekarang. Areal ini merupakan identitas dari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta sebagai masyarakat adat dan merupakan mata pencaharian utama bagi mereka. Dari areal inilah masyarakat dari dua (2) desa tersebut memperoleh sumber kehidupan. Kekecewaan dari dua (2) desa ini adalah kenapa pemerintah memberikan izin penanaman pohon eucalyptus tanpa sosialisasi yang memberitahukan bahwa adanya kegiatan dari PT. TPL yang merusak dan mengganggu hutan kemenyan masyarakat. Sepanjang pengetahuan peneliti yang didapat dari masyarakat dan perusahaan hal sebagaimana dapat diuraikan berdirinya dari PT. TPL merupakan Aktivitas PT. TPL merupakan bukan tindakan pelanggaran hukum perdata maupun pidana dan mendapat perlindungan hukum dari pemerintah daerah. PT. TPL secara otentik memang memiliki surat dari Kementrian kehutanan yang tidak bertentangan hak kepemilikan secara yang disahkan oleh peraturan pemerintah dan undang-undang di UUPA 1960. Terhadap masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, yaitu pemberian izin HPH-TI terhadap PT. TPL atas areal hutan kemenyan Desa Sipituhuta-Pandumaan merupakan pelanggaran hak warga negara yang diakui oleh UUPA No.5
68
ISSN: 0216-9290 Tahun 1960. Pemberian izin HPH-TI kepada PT. TPL atas areal hutan kemenyan bertentangan dengan kebijakan UU NO.41 Tahun 1999 tentang kehutanan, perampasan hak dan penebangan hutan kemenyan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang merugikan ekosistem hutan kemenyan. Atas tindakan Pihak PT. TPL ini, masyarakat adat dua desa melakukan penolakan dan protes, melarang dan menghentikan tindakan penebangan yang dilakukan PT. TPL bersama para kontarktornya. Penolakan dan protes warga atas penebangan Hutan Adat warga dari dua (2) desa tersebut menimbulkan reaksi dari pihak aparat Kepolisian Resort (Polres) Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara yaitu melakukan proses hukum (kriminalisasi) beberapa warga, yaitu: James Sinambela, Mausin Lumban Batu, Sartono Lumban Gaol, Medialaham Lumban Gaol. Bukan hanya itu, aparat Polres Humbang Hasundutan juga melakukan tindakan represif, kebrutalan dan tindakan pemaksaan terhadap warga Desa Pandumaan-Sipituhuta, merusak rumah warga, menggeledah secara paksa, menangkap secara paksa yang terjadi 15 Juli 2009. Proses hukum terhadap empat (4) warga desa tersebut sampai sekarang belum jelas, meskipun sudah dibebaskan keempat warga tersebut tetap masih sebagai tahanan luar. Proses hukum yang diusahakan beberapa LSM dan Tokoh Agama meminta dihentikan, tetapi pihak kepolisian tidak mengabaikan. Karena dari keempat dituduhkan melakukan pencurian dengan kekerasan, tentang pencurian, tentang pengerusakan di muka umum, tentang pengeruskan barang. Sepanjang pengetahuan dan pengalaman masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam mengelola tanaman kemenyan, bahwa tanaman kemenyan termasuk tanaman endemik yakni hanya dapat tumbuh dengan baik di tempat tertentu di bumi yang salah satunya adalah di daerah Humbang Hasundutan khususnya di Kecamatan Pollung. Tanaman kemenyan juga hanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik apabila tumbuh bersama tanaman kayu alam lainnya yang berfungsi sebagai tanaman pelindung, sehingga tanaman kemenyan ini sepatutnya harus dilindungi dari kepunahan.
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Fredy Yohannes Purba
ISSN: 0216-9290
Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas
Berdasarkan dari data yang peneliti peroleh dari lapangan dan dari hasil wawancara atau diskusi yang dilakukan oleh peneliti kepada masyarakat maupun elemen Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat, penyebab konflik secara langsung antara lain: (1).Pengerusakan dan penebangan pohon kemenyan yang ada di areal hutan kemenyan; (2).Pengerusakan areal hutan kemenyan dengan membuka jalan-jalan baru oleh PT. TPL sebagai jalan untuk masuk dan keluar dari areal untuk tujuan pengangkutan kayu hasil tebangan; (3).Menanami areal yang sudah ditebang PT. TPL dengan tanaman eucalyptu; (4).Penangkapan dan penahanan atas warga karena telah berupaya melarang aktifitas PT. TPL. Begitu juga data yang diperoleh dari KSPPM dan PT.Toba Pulp Lestari bahwa konflik agraria yang terjadi secara tidak langsung yaitu: (1).SK Menhut No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juni 1992, mendapat perubahan dengan SK Menhut No. 351/Menhut-II/2004 tentang perubahan kedua atas keputusan Menhut No. No. 493/Kpts-II/1992 tentang pemberian HPHTI kepada PY IIU. SK. Menhut ini hanya merubah nama dari PT IIU menjadi PT. TPL dengan luas konsesi 269.069 Ha; (2).SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas ± 3.742.120 Ha; (3).Surat Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Humbang Hasundutan, nomor 522.21/2075.A/DPK-X/2008 tertanggal 28 Oktober 2008, perihal Pertimbangan Teknis Kepala Dinas Kehutanan dan Pertambangan. Surat Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera, Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT. Toba Pulp Lestari 2009. Penyebab Terjadinya Konflik Agraria Awal terjadinya konflik agraria Juni 2009 yang lalu, pihak PT. Toba Pulp Lestari bersama para kontraktor melakukan penebangan kayu di atas areal Tombak Hamijon (hutan kemenyan) milik masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta yang terdiri 700 KK masyarakat adat Desa PandumaanSipituhuta, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Mereka bukan hanya menebang kayu alam, tetapi juga
kemenyan dan menanami areal bekas penebangan tersebut dengan tanaman euclayptus. Selain itu juga membuka jalan di areal hutan kemenyan dengan limbah padat PT.TPL sebagai pengganti aspal untuk pengeras jalan. Ada beberapa hal yang merupakan penyebab terjadinya konflik agraria antara lain: Pertama, kegiatan penanaman hutan eucalyptus di hutan kemenyan masyarakat. Atas tindakan Pihak PT. TPL ini, masyarakat adat dua desa melakukan penolakan dan protes, melarang dan menghentikan tindakan penebangan yang dilakukan PT. TPL bersama para kontarktornya. Penolakan dan protes warga atas penebangan Hutan Adat warga dari dua (2) desa tersebut menimbulkan reaksi dari pihak aparat Kepolisian Resort (Polres) Kabupaten Humbang Hasundutan. Tanaman kemenyan termasuk tanaman endemik yakni hanya dapat tumbuh dengan baik di tempat tertentu di bumi yang salah satunya adalah di daerah Humbang Hasundutan khususnya di Kecamatan Pollung. Tanaman kemenyan juga hanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik apabila tumbuh bersama tanaman kayu alam lainnya yang berfungsi sebagai tanaman pelindung, sehingga tanaman kemenyan ini sepatutnya harus dilindungi dari kepunahan. Kasus seperti itu pada akhirnya akan membawa masyarakat Desa PandumaanSipituhuta pada posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban dalam masalah pembatasan hutan kemenyan. Hadirnya aktifitas PT. TPL yang merusak ekosistem hutan berdampak pada hutan kemenyan yang dimiliki masyarakat hal ini dikarenakan areal hutan produksi milik PT. TPL yang tak jelas batas wilayahnya hingga lahan adat milik Desa Pandumaan-Sipituhuta kembali dilakukan pembabatan. Oleh karena itu pada tahun 2009 aktifitas PT. TPL diminta untuk berhenti oleh masyarakat Desa PandumaanSipituhuta. Adapun harapan yang diinginkan oleh Kepala Desa Pandumaan, dalam wawancara yang dilakukan peneliti yaitu Bapak Budiman Lumban Batu:
69
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Fredy Yohannes Purba
Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas
...
“Yang dikehendaki dari masyarakat Pandumaan-Sipituhuta adalah Pemerintah harus menghargai dan mengakui bahwa itu sudah beberapa generasi mengusahai bukan aturan atau hak, bahwa adatkan diakui di Indonesia itulah harapan kami. Bahwa pemerintah itu tetap mengakui karena tanah leluhur itu sudah diusahai bukan milik negara, tetapi itu program pemerintah yang katanya harus mensejahterakan masyarakat, tetapi ntah kenapa mengasih selembar kertas ke perusahaan yang artinya hanya itu cuma modal yang diberikan untuk membabat hutan masyarakat, artinya silsilah tadi dan sejarah masyarakat tidak diakui, harapan saya selaku pemerintah desa kepada pemerintah agar mengakui lahan adat desa ini.” 7
Perjuangan yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan hutan kemenyan yang telah ada secara turun-temurun dan telah lama ditanam oleh masyarakat Desa PandumaanSipituhuta dari penebangan yang dilakukan oleh PT. Toba Pulp Lestari yaitu dengan meminta dan mendesak kementrian sebagai pihak yang mengeluarkan undang-undang ini untuk meninjau ulang, mencabut dan memberhentikan. Kepada tokoh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta yaitu Bapak James Sinambela melalui wawancara yang dilakukan peneliti, dimana Bapak James Sinambela yang ikut di dalam memperjuangkan tanah di desa mereka dan salah satu yang ditunjuk oleh warga yang masih memeperjuangkan tanah kelahiran, yang mengatakan bahwa : … “Perjuangan warga Desa PandumaanSipituhuta yang telah diwariskan dari nenek moyang, merupakan perjuangan yang dilakukan masyarakat bukan untuk memperkaya tetapi untuk memenuhi makan, minum dan menyekolahkan anak. Perjuangan masyarakat terhadang oleh orangorang yang bermodal yang dibela oleh pemerintah bukan kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengalami konflik berkepanjangan hingga empat tahun seperti sekarang ini. Karena kepemilikan tanah adat ini tidak ada istilah untuk beli atau diperjualkan untuk keuntungan, karena kami meyakini adanya makna dari pohon kemenyan yang darisitu pemenuhan kebutuhan kami” 8
Menurut teori konflik masyarakat disatukan dengan paksaan dengan artian, keteraturan 7
Wawancara dengan Bapak Budiman Lumban Batu (Kepala Desa Pandumaan), tanggal 19 September 2013, Pukul 16:45, di GKPI Pandumaan. 8 Wawancara dengan Bapak James Sinambela (Tokoh Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta), tanggal 20 September 2013, di Rumahnya.
70
ISSN: 0216-9290 yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan. Oleh karena, teori konflik lekat dengan dominasi, koersi dan kekuatan. Berangkat dari kasus konflik agraria yang terjadi di Desa Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan dimana pihak yang berkonflik yaitu masyarakat dengan perusahaan terjadi dengan adanya kepemilikan secara keturunan terhadap lahan adat masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan perjuangan yang dilakukan. Kedua, lemahnya peran pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan. Peran kebijakan DPRD Humbang Hasundutan dalam proses penyelesaian konflik antara Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT TPL begitu minim, Pemerintah Daerah Humbang Hasundutan membuat kebijakan dengan membuat Pansus (Panitia Khusus) dengan mendata dan menetapkan pembatasan lahan yang ditujukkan khusus lahan hutan kemenyan yang dirasa masyarakat masih berpihak ke perusahaan. Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan telah melakukan pemetaan penentuan tapal batas yang hasilnya telah dikirimkan ke Kementerian Kehutanan melalui surat Bupati No. 522/083/DKLH/2012 tanggal 25 Juni 2012, agar wilayah adat ini dikeluarkan dari konsesi PT TPL dan kawasan Hutan Negara sesuai dengan Keputusan DPRD No.14/2012 tentang Rekomendasi Pansus SK 44/MenhutII/2005. Adapun kegiatan dari peranan DPRD Humbahas mewadahi adanya pertemuan pimpinan musyawarah daerah yang diwakilkan oleh tiap-tiap element yang bersangkutan dalam ikut membawa proses perumusan masalah untuk diketahui akar permasalahannya. membuat musyawarah pimpinan daerah melibatkan para utusan antara masyarakat perusahaan, LSM dan anggota DPRD. Usulan putusan Mahkamah Konstitusi NO.35/PUU/X/2012 yang menyebutkan hutan adat bukan lagi hutan negara, yang akan diformulasikan menjadi rancangan UU perlindungan hak masyarakat adat. Akan tetapi ada peran dari DPRD Humbang yaitu merapatkan hasil dari RUU yang diusulkan oleh masyarakat dengan KSPPM dengan Bakumsu bersama-sama dengan
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Fredy Yohannes Purba
Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas
anggota DPRD Humbahas dalam pembuatan rancangan peraturan daerah hak-hak masyarakat adat yang disetujui oleh Mahkamah Konstitusi. Kebijakan ini terlahir dari desakan masyarakat yang menuntut agar jalan penyelesaian yang dilakukan tidak lagi mengganggu masyarkat maupun perusahaan. Sebelum memperoleh ijin pengusahaan kehutanan atau perkebunan, suatu kewajiban pemerintah dan pengusaha kehutanan melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lainnya yang hidup dalam maupun di sekitar areal konsesi. Kearifan budaya dan adat masyarakat tersebut bisa dilihat dari polapola mereka dalam masalah kepemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Adanya persepsi yang keliru tentang pola penyelesaian konflik oleh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta, sulitnya proses pembuktian yang disebabkan kompleksitas faktor penyebab konflik itu, masyarakat dituntut untuk menyelesaikan konflik bersama PT. TPL. Langkah Pemerintah Daerah Humbang Hasundutan menyediakan wadah sebagai proses penyelesaian secara adat atau hukum akan bisa tersampaikan. Akantetapi, kekurangan pada masyarakat Desa Pandumaan-sipituhuta dalam hal legalitas dalam menjamin kepastian hukum kepemilikan suatu tanah tidak terdaftar sebagai pemegang tanah. Hal ini memicu masyarakat dengan perusahaan membuat solusi dengan pemetaan. Berikut peneliti meminta tanggapan dari pihak PT.TPL Bapak Simon Sidabukke terkait pengukuran dan penataan batas sebagai berikut : … “pemerintah, bersama dinas kehutanan, masyarakat dengan PT. TPL kami sudah melakukan (2) dua kali pengukuran tetapi entah kenapa masyarakat masih menolak, sehingga kamipun bingung dengan cara apalagi untuk mencari penyelesaian untuk membatasi kegiatan produksi PT. TPL. Kamipun sudah mengajak duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan, akan tetapi tidak menemukan hasil yang memuaskan menurut masyarakat”. 9
9
ISSN: 0216-9290
Wawancara dengan Bapak Simon Sidabukke (Manager 4L PT. TPL) Tanggal 7 Januari 2014, Pukul 11:00, Di PT. TPL Porsea.
Ketiga, solusi penyelesaian masalah. Sengketa pada kondisi masyarakat yang masih sederhana, dimana hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka pilihan institusi untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang terjadi diarahkan kepada institusi yang bersifat kerakyatan (folk institutions), karena institusi penyelesaian konflik atau sengketa yang bersifat tradisional bermakna sebagai institusi penjaga keteraturan dan pengembalian keseimbangan magis dalam masyarakat. Dalam menangani konflik ini pihak PT. TPL mengatakan sudah melakukan yang terbaik, seperti yang diungkapkan Bapak Simon Sidabukke: … “bentuk usaha yang dilakukan pihak PT. TPL sudah dilakukan dengan menyikapi dengan arif dan bijaksana berdasarkan klaim masyarakat, tentunya hal ini juga bekerjasama dengan pemerintah kabupaten, departemen kehutanan dan pemerintah provinsi. Terhadap konflik yang terjadi, PT. TPL mensinkronkan kepentingan masyarakat, kepentingan perusahaan dan kepentingan pemerintah bagaimana ini berjalan dengan balance agar tidak ada pihak yang dirugikan dan katakanlah tidak ada pihak yang diuntungkan. Perusahaan juga berperan aktif bagaimana langkah perusahaan untuk pendekatan kepada masyarakat, pemerintah kabupaten dan pusat. Pada saat ini arahan dari dirjen bina usaha kehutan kalau perusahaan bermitra dengan masyarakat.” 10
Tawaran bermitra PT. TPL dengan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan permasalah daerah tapal batas. Karena hal itu, sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku dalam bermitra, yaitu pihak dari masyarakat Desa PandumaaSipituhuta sebagai objek mitra untuk melakukan kembali penanaman 7000 bibit kemenyan. Tawaran bermitra tersebut disampaikan di Jakarta bulan Agustus 2013, hal itu ditolak oleh perwakilan warga. Penyelesaian yang terjadi bersifat kerakyatan yang dijelaskan terbukti pada kamis, 6 Agustus 2009 masyarakat dua Desa melakukan pertemuan MUSPIDA dengan pihak warga Desa Pandumaan-Sipituhuta untuk membahas yaitu mendata secara kasar 10
Wawancara dengan Bapak Simon Sidabukke (Manager 4L PT. TPL) Tanggal 7 Januari 2014, Pukul 11:00, di PT. TPL Porsea.
71
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Fredy Yohannes Purba
ISSN: 0216-9290
Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas
siapa saja pemilik hutan kemenyan, mengumpulkan dampak penebangan penebangan yang dilakukan PT. TPL terhadap warga, melihat batas-batas hutan kemenyan dan pembuatan peta lokasi serta terakhir mengetahui keinginan atau tuntutan masyarakat terhadap penyelesaian konflik. Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta tidak setuju pendataan karena secara adat dimiliki oleh warga Pandumaan dan warga Sipituhuta. Melihat batas–batas hutan kemenyan untuk sebagai bukti kepemilikan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta peneliti mewawancarai Bapak James Sinambela mengenai pembatasan dan pengukuran lahan hutan kemenyan: … “batas-batas lahan yang sudah dilakukan masyarakat dan peta lokasi yang sesuai kami ketahui ialah meliputi hutan alam yang menutupi hutan kemenyan dan kami memasangi dengan GPS, TPL harus keluar dan menghentikan kegiatan dari penebangan hutan kemenyan kami. TPL juga sudah melakukan 2 (dua) kali pengukuran lahan batas hutan produksi, tetapi kami menolak karena pembatasan lahan hutan kemenyan masyarakat memang tidak kena, tetapi mengenai hutan alam yang berdampak padahutan kemenyan. Sebab itu kami menolak hasil pemetaan PT. TPL.” 11
dari pihak DPRD Humbang Hasundutan. adapun dua (2) kali cara penyelesaian yang dibuat oleh Dinas Kehutanan Humbang Hasundutan, masyarakat desa Pandumaan-Spituhuta dan PT. TPL dengan penataan tapal batas hutan kemenyan dengan hutan produksi milik PT. TPL tetapi masyarakat menolak hasil penataan tapal batas.” 12
Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian konflik tersebut masih mengalami persoalan dalam menentukan solusi permasalahannya. Penutup Konflik pertanahan merupakan masalah terbesar yang terjadi di Sumatera Utara. Dalam kasus di Desa Pandumaan-Sipituhuta kasus pertanahan terjadi karena tapal batas yang tak jelas hingga sekarang. Terdapat tiga hal penting yang menjadi penyebab utama konflik agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta. Penyebab tersebut antara lain: kegiatan penanaman hutan eucalyptus di hutan kemenyan masyarakat; lemahnya peran pemerintah kabupaten Humbang Hasundutan; dan, solusi penyelesaian masalah yang belum tercapai. Daftar Pustaka
Adanya rancangan UU/peraturan daerah yang diharapkan akan menjadi penyelesaian kepada masyarakat Desa PandumaanSipituhuta, agar terlihat jelas batas pemisahan lahan adat kemenyan Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari. Hal ini, juga membantu perkembangan nasib lahan adat yang ada di daerah Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada saat ini masih diformulasikan untuk menjadi undang-undang yang akan di sahkan oleh DPRD Humbang Hasundutan. Hingga peneliti melakukan wawancara dengan Ibu Suryati Simanjuntak untuk penyelesaian yang diharapkan akhir permasalahan, yaitu: … “Pada saat ini masyarakat menunggu rancangan undang-undang untuk memberikan pengakuan lahan adat di berikan kepada masyarakat bukan lagi menjadi kewenangan pemerintah, bersama-sama BAKUMSU dan KSPPM merancang undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Hal ini tinggal menunggu rapat persetujuan 11
Wawancara dengan Bapak James Sinambela (Tokoh Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta), tanggal 20 September 2013, di Rumahnya.
72
Mukti, Affan. 2010. Pembahasan UndangUndang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. USU Press. Medan. Sumardjono, Maria S.W., 2005, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Kompas Simanjuntak, Suryati. 2013. “Kronologis Kasus Warga Pandumaan-Sipituhuta VS TPL: Penyelesaian Sengketa Berkepanjangan, Warga Bentrok dengan TPL dan Aparat” diakses pada situs, http://www.ksppm.org/kronologis, diakses pada tanggal 5 Juni 2013. Wiradi, Gunawan. 2000, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogjakarta: KPA & Pustaka Pelajar Insist Press. Wawancara dengan Bapak Budiman Lumban Batu (Kepala Desa Pandumaan), tanggal 19 September 2013, Pukul 16:45, di GKPI Pandumaan. Wawancara dengan Bapak James Sinambela (Tokoh Masyarakat Desa Pandumaan-
12
Wawancara dengan Ibu Suryati Simajuntak (Sekretaris Eksekutif KSPPM) 12 November 2013, di KSPPM Parapat
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Fredy Yohannes Purba
ISSN: 0216-9290
Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas
Sipituhuta), tanggal 20 September 2013, di Rumahnya. Wawancara dengan Ibu Suryati Simajuntak (Sekretaris Eksekutif KSPPM), tanggal 12 November 2013, pukul 13.30 di KSPPM Parapat. Wawancara dengan Bapak Simon Sidabukke (Manager 4L PT. TPL) Tanggal 7 Januari 2014, Pukul 11:00, di PT. TPL Porsea. www.bps.go.id/aps
73