KONFLIK AGRARIA (Studi Kasus di Desa Bilalang II Kecamatan Kotamobagu Utara)
ABSTRAK Irfandi Mokoginta, Nim 281 410 032. “Konflik Agraria (Studi Kasus di Desa Bilalang II, Kecamatan Kotamobagu Utara)” di bawah bimbingan Bapak Farid Th. Musa,
S.Sos., MA dan Bapak Funco Tanipu, ST, MA. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tiga hal, yakni: (1) Apa yang menjadi faktor terjadinya konflik Agraria di Desa Bilalang II?; (2) Bagaimana cara penyelesaian konflik Agraria di Desa Bilalang II?; (3) Bagaimana tata kelola agraria di Desa Bilalang II?. Untuk mengungkap ketiga fenomena tersebut, penulis menggunakan metode kualitatif, baik untuk operasional maupun penyajian data. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Desa Bilalang II Kecamatan Kotamobagu Utara. Adapun hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab konflik Agraria di Desa Bilalang II yaitu adalah: (1) batas wilayah (2) tanaman yang sudah melewati batas wilayah (3) tidak adanya sertifikat tanah, dan untuk menyelesaikan konflik Agraria di Desa Bilalang II masyarakat menempuh beberapa cara antara lain: (1) Secara Kekeluargaan (2) Kepala Dusun (3) Sangadi (4) Pengadilan. Sedangkan untuk tata kelola Agraria di Desa Bilalang II yaitu adalah (1) dengan cara diskusi (2) sertifikat. Kata Kuci: Konflik, Agraria, Tata Kelola Agraria. Irfandi Mokoginta, Nim 281 410 032. Pembimbing I, Farid Th. Musa, S.Sos., MA Pembimbing II, Funco Tanipu, ST, MA.
Manusia merupakan makhluk konfliktis yaitu sebagai makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik antara dua belah pihak berseberangan. Sehingga secara sederhana konflik dapat dikatakan sebagai pertentangan yang ditandai oleh adanya pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.1 Konflik bukan saja terjadi pada tingkatan nasional maupun internasional, akan tetapi konflik juga bisa terjadi pada tingkatan lokal yaitu diantaranya provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga Desa ataupun desa, hal ini menunjukkan bahwa konflik bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Salah satu bentuk konflik yang sering terjadi di Desa Bilalang II yaitu mengenai konflik agraria. Walaupun masyarakat di Desa Bilalang II adalah mayoritas asli suku Mongondow, akan tetapi konflik agraria selalu saja terjadi, dengan berjalannya waktu konflik agraria ini selalu ada. Adapun pemicu terjadinya konflik agraria ini adalah ketika dua orang atau lebih terjadi pertentangan atau perbedaan pendapat dalam hal pertanahan, sehingga hal inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik pada masyarakat yang ada di Desa Bilalang II. Berdasarkan data awal yang diperoleh dari lapangan melalui wawancara (telefon) bahwa jumlah kasus konflik agraria yang terjadi di Desa Bilalang II, namun sudah berdamai secara kekeluargaan yang diperoleh dari Louis O. Mokoginta (mantan Sangadi 1994-2002) yaitu sebanyak 7 kasus, sedangkan yang berdamai melalui kepala desa 2 kasus, dan yang berdamai melalui proses pengadilan yaitu 2 kasus yang diperoleh dari Zohora Simbala ( mantan Sangadi 2002-2013), dan yang belum berdamai atau sementara berlangsung di Desa Bilalang II yaitu 1 kasus yang diperoleh dari Djafar Mokoagow (Sangadi 2013 sampai sekarang). Sehingga jumlah keseluruhan yaitu sebanyak 12 kasus.
1
Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta. Kencana. 2010. Hlm 8.
Kajian Mengenai Konflik Agraria Untuk menganalisis permasalahan yang ada, maka digunakan kajian tentang teori konflik. Teori konflik digunakan untuk melihat bagaimana konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Karl Marx, konflik sosial merupakan pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis konflik sosial ini bisa bermacam-macam yakni konflik antara individu, konflik antar kelompok, dan bahkan konflik antara bangsa.2 Dalam tesisnya Dahrendorf mengemukakan bahwa distribusi otoritas atau kekuasaan yang berbeda-beda merupakan faktor yang menentukan bagi terciptanya konflik sosial yang sistematis. Menurutnya, berbagai posisi yang ada di dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda.3 Selain itu penelitian ini juga menggunakan kajian tentang tata kelola agraria. Menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan di atasnya. Sedangkan menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya4 Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, pasal 4 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa: atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum, dimana hak atas tanah ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
2
Bernard Raho, SVD. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Prestasi Pustaka. 2007. Hlm 73. Ibid ……(2007:78) 4 Dr. Urip Santoso. Hukum Agraria. Jakarta. Kencana. 2012. Hlm 1.
3
tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.5 Sehubungan dengan hak atas tanah diatas, kita perlu mengaitkannya dengan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, makna dikuasai oleh Negara bukan berarti bahwa tanah tersebut harus dimiliki secara keseluruhan oleh Negara, tetapi pengertian dikuasai itu membawa wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk tingkatan yang tertinggi. Dalam pasal 6 UUPA ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi social, artinya bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanah itu akan dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada hak-haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang memilikinya, dan juga bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Untuk
itu
berbagai
usaha
dilakukan
pemerintah
yaitu
dengan
mengupayakan penyelesaian sengketa tanah dengan cepat untuk menghindari penumpukan sengketa tanah, yang dapat merugikan masyarakat misalnya tanah tidak dapat digunakan karena tanah tersebut dalam sengketa.6 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Desa Bilalang II, Kecamatan Kotamobagu Utara dengan menggunakan waktu selama tiga bulan yaitu dimulai dari April 2014 sampai dengan bulan Juni 2014. Penetapan lokasi tersebut yaitu karena konflik agraria lebih sering terjadi di Desa Bilalang II jika dibandingkan dengan Desa lainnya yang ada di Kecamatan Kotamobagu Utara.
5
G. Kartasapoetra. Masalah Pertanahan Di Indonesia. Jakarta. PT Rineka Cipta. 1992.
Hlm 1. 6
Munsyarief. Menuju Percepatan Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan. (Jurnal pertanahan, Vol. 2, No. 1, Mei 2012 Hlm 2).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif merupakan suatu metode penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan data dan analisis data yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah.7 Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif guna memberikan gambaran terhadap persoalan-persoalan yang diangkat dalam penelitian ini, sekaligus penjelasan masalah tentang fenomena yang ditemukan. Data yang dikumpulkan oleh peneliti dari penelitian ini yaitu bersumber dari data sekunder dan primer. Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti melalui buku-buku dan teori-teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Data primer merupakan data yang pokok atau utama yang akan diperoleh melalui hasil wawancara antara peneliti dengan informan yang telah ditetapkan dalam penelitian yaitu masyarakat Desa Bilalang II sebanyak 20 orang. Untuk memperoleh data di lapangan, maka peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara, dokumentasi seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono.8 Obsevasi merupakan prosedur pengumpulan data yang didalamnya peneliti turun langsung ke lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas-aktivitas individu di lokasi penelitian. 9 Adapun tujuan dari observasi dilakukan yaitu untuk melihat secara langsung kondisi keseharian dari objek penelitian. Oleh karena itu jenis observasi yang digunakan yakni observasi terus terang atau tersamar. Observasi ini menurut Sugiyono adalah pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dengan berterus terang kepada sumber data, bahwa ia sedang melakukan penelitian. Akan tetapi peneliti juga tidak harus terus terang atau tersamar dalam melakukan observasi, hal ini
Djam’an Satori, Aan Komariah. Metode Penelitian Kualitatif . Bandung. Alfabeta. 2009. Hlm 25. 7
8
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta. 2013. Hlm 62. John W. Creswell Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2010. Hlm 267. 9
untuk menghindari jika suatu data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan.10 Setelah observasi dilakukan, maka selanjutnya peneliti melakukan teknik wawancara yang digunakan untuk memperoleh informasi melalui pentanyaanpertanyaan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara tak berstruktur. Menurut Sugiyono, wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.11 Selain menggunakan kedua teknik di atas yaitu observasi dan wawancara, peneliti juga menggunakan teknik dokumentasi. Teknik dokumentsi ini dilakukan untuk memperoleh ataupun mengumpulkan data dari dokumen terkait dengan masalah dalam penelitian ini. Menurut Sugiyono “Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu”. Pada penelitian ini, dokumentasi sebagai teknik pelengkap dalam pengumpulan data.12 Adapun teknik analisis data dalam penelitian ini yakni: Reduksi Data yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Langkah selanjutnya yaitu melakukan penyajikan data. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menarasikannya dalam bentuk teks tertentu yang terorganisir secara sistematis. Dan langkah yang terakhir yaitu verifikasi data. Verifikasi data dimaksudkan untuk menarik kesimpulan dari keseluruhan yang telah direduksi dan didisplay guna menampilkan makna umum dan elemen-elemen data yang ada sebagai hasil akhir penelitian. Tindak lanjut dari verifikasi data adalah menyusun laporan dalam bentuk skripsi secara lengkap.
10
Op. Cit., Hlm 66. Sugioyono. Op. Cit., Hlm 74. 12 Op. Cit., Hlm 82. 11
PEMBAHASAN Dalam kehidupan masyarakat tentunya tak akan pernah terlepas dengan yang namanya konflik. Konflik seringkali menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian manusia. Ada berbagai macam konflik yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat baik konflik antar individu, maupun konflik antar kelompok. Pada masyarakat Desa Bilalang II seringkali terjadi konflik agraria atau konflik mengenai sengketa tanah. Konflik ini terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Batas wilayah Batas wilayah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah batas kepemilikan tanah yang dimiliki oleh setiap orang yang mempunyai tanah. Dalam masyarakat Desa Bilalang II, batas wilayah ini seringkali menjadi salah satu faktor yang pemicu terjadinya konflik diantara mereka. 2. Tanaman yang sudah melewati batas wilayah Tanaman yang melewati batas wilayah akan mudah memicu terjadinya konflik diantara masyarakat. Ada beberapa tanaman yang mudah melewati batas wilayah yaitu tanaman bambu, kelapa, langsat, kemiri, durian. Dan hal tersebut seringkali menimbulkan konflik pada masyarakat Bilalang II. 3. Tidak adanya sertifikat tanah Sertifikat tanah merupakan surat tanda bukti hak kepemilikan yang harus dimiliki oleh seseorang, sebab dengan adanya sertifikat ini akan memberikan perlindungan yang kuat bagi pemiliknya dari ancaman yang ingin menggugatnya. Pada masyarakat Bilalang II, seringkali sertifikat ini menjadi faktor penyebab konflik diantara mereka. Dalam setiap penyelesaian konflik agraria dimasing-masing wilayah tentunya selalu saja berbeda karakteristiknya. Di daerah yang belum berkembang biasanya penyelesaian konflik agraria umumnya dilakukan oleh tokoh-tokoh komunitas tertentu yang disegani oleh masyarakat setempat misalnya kepala adat,
kepala kampung dan lain sebagainya. Akan tetapi pada masyarakat Desa Bilalang II, dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi diantara mereka biasanya ada beberapa cara yang ditempuh diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Kekeluargaan Ketika terjadi sengketa tanah atau konflik agraria dalam suatu keluarga, maka salah satu cara yang ditempuh untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah diselesaikan secara kekeluargaan. Cara kekeluargaan adalah langkah pertama yang ditempuh oleh masyarakat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka yang mempunyai masalah warisan baik tanah, rumah maupun tanaman. 2. Kepala Dusun Ketika permasalahan yang diselesaikan secara kekeluargaan tidak menemukan titik terang atau solusi yang bisa mendamaikan kedua belah pihak yang bermasalah. Maka langkah selanjutnya yang ditempuh yaitu dengan cara melaporkan permasalahan yang terjadi kepada Kepala Dusun Setempat. 3. Sangadi Jika hal di atas tidak dapat memberikan solusi yang dapat mendamaikan kedua belah pihak yang bermasalah, maka masyarakat yang mengalami konflik agraria biasanya akan melaporkan hal tersebut kepada Sangadi. 4. Pengadilan Pengadilan adalah langkah terakhir yang ditempuh oleh masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara mereka ketika permasalahan tersebut tidak terselesaikan dengan ketiga cara yang telah disebutkan di atas. Sedangkan dari segi tata kelola agraria yang terdapat pada masyarakat Desa Bilalang II, yaitu adalah sebagai berikut:
1. Diskusi Diskusi adalah salah satu langkah dalam mengelola konflik agraria yang ada pada masyarakat Desa Bilalang II. Diskusi ini menjadi cara yang ditempuh oleh masyarakat ketika mengalami permasalahan mengenai sengketa tanah atau konflik agraria. 2. Sertifikat Sertifikat merupakan surat keterangan tanda bukti pemegang hak atas tanah dan berlaku sebagai pembuktian yang kuat yang harus dimiliki oleh orang yang mempunyai tanah. Sertifikat ini merupakan langkah yang ditempuh oleh masyarakat dalam mengelola konflik agraria yang terjadi diantara masyarakat. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Konflik agraria merupakan sebuah permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Desa Bilalang II. 2. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan konflik agraria di Desa Bilalang II antara lain adalah sebagai berikut: a. Batas wilayah Batas wilayah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah batas kepemilikan tanah yang dimiliki oleh setiap orang yang mempunyai tanah. Dalam masyarakat Desa Bilalang II, batas wilayah ini seringkali menjadi salah satu faktor yang pemicu terjadinya konflik diantara mereka. b. Tanaman yang sudah melewati batas wilayah Tanaman yang melewati batas wilayah akan mudah memicu terjadinya konflik diantara masyarakat. Ada beberapa tanaman yang mudah
melewati batas wilayah yaitu tanaman bambu, kelapa, langsat, kemiri, durian. c. Tidak adanya sertifikat tanah Sertifikat tanah merupakan surat tanda bukti hak kepemilikan yang harus dimiliki oleh seseorang, sebab dengan adanya sertifikat ini akan memberikan perlindungan yang kuat bagi pemiliknya dari ancaman yang ingin menggugatnya. Pada masyarakat Bilalang II, seringkali sertifikat ini menjadi faktor penyebab konflik diantara mereka. 3. Terdapat empat faktor yang ditempuh oleh masyarakat Bilalang II dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi diantara mereka yaitu adalah: a. Secara Kekeluargaan Cara kekeluargaan adalah langkah pertama yang ditempuh oleh masyarakat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka yang mempunyai masalah warisan baik tanah, rumah maupun tanaman. b. Kepala Dusun Ketika permasalahan yang diselesaikan secara kekeluargaan tidak menemukan titik terang yang bisa mendamaikan kedua belah pihak yang bermasalah. Maka langkah selanjutnya yang ditempuh yaitu dengan cara melaporkan permasalahan yang terjadi kepada Kepala Dusun Setempat. c. Sangadi Jika kedua hal di atas tidak dapat memberikan solusi yang dapat mendamaikan kedua belah pihak yang bermasalah, maka masyarakat yang mengalami konflik agraria biasanya akan melaporkan hal tersebut kepada Sangadi. d. Pengadilan Pengadilan adalah langkah terakhir yang ditempuh oleh masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara mereka ketika permasalahan tersebut tidak dapat terselesaikan dengan ketiga cara di atas.
4. Untuk tata kelola konflik agraria yang ada di Desa Bilalang II yaitu terdiri dari dua: a. Diskusi Diskusi adalah salah satu langkah dalam mengelola konflik agraria yang ada pada masyarakat Desa Bilalang II. b. Sertifikat Sertifikat ini merupakan langkah yang ditempuh oleh masyarakat dalam mengelola konflik agraria yang terjadi diantara masyarakat. 6.1 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis dapat mengemukakan saran sebagai berikut: 1. Terkait dengan pembagian harta warisan, sebaiknya masyarakat dalam melakukan pembagian harta warisan agar memperhatikan cara-cara dalam pembagian harta warisan. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik diantara masyarakat. 2. Dalam hal batas wilayah, sebaiknya masyarakat lebih memperhatikan batas wilayah yang dimiliki sebelum menanam tanaman pada area perkebunan. Dengan demikian hal tersebut tidak akan menyebabkan konflik dintara mereka. 3. Untuk masyarakat yang mempunyai tanah, sebaiknya mempunyai sertifikat hak kepemilikan tanah agar tidak menyebabkan konflik.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Djam’an Satori, Komariah Aan. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta.
G. Kartasapoetra. 1992. Masalah Pertanahan Di Indonesia. Jakarta. PT Rineka Cipta. John W. Creswell. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Novri Susan. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta. Kencana. Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta. Urip Santoso. 2012. Hukum Agraria. Jakarta. Kencana. B. Jurnal Munsyarief. (2012). Menuju Percepatan Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan. Perspektif Voume 2 No. 1 Tahun 2012 Edisi Mei.