Profil Kasus-Kasus Penyiksaan di Indonesia
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat 2012
BAB 1 PENDAHULUAN Praktik penyiksaan merupakan salah bentuk kekerasan yang sering digunakan oleh para aparat penegak hukum sebagai metode pengumpulan informasi atau memaksakan suatu kehendak politik sejak berabad-abad lalu. Sayangnya, praktik tersebut terus terjadi hingga saat ini dan semakin berkembang baik dari sisi metode maupun tujuannya. Secara definisi, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusiamenjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan penyiksaan tersebut. Pasal 1 “...setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari oran ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah...” Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia. Lewat ratifikasi tersebut, Indonesia menegaskan komitmennya untuk menghentikan praktik - praktik penyiksaan di tempat – tempat penahanan. Tetapi hingga saat ini komitmen Indonesia untuk menghapus tindak penyiksaan masih dipertanyakan, mengingat belum seluruh pelaku praktik penyiksaan memperoleh hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Situasi mengenai penyiksaan di Indonesia juga mendapat perhatian khusus dari dunia internasional, seperti yang tergambar dalam satu sesi persidangan UPR [Universal Periodic Review] 2012 Dewan HAM PBB di Geneva.Kurang lebih 15 negara dari 76 negara peserta sidang UPR melayangkan rekomendasi yang cukup tegas kepada Indonesia, salah satunya adalah mendesak Indonesia untuk segera menghentikan praktik-praktik penyiksaan yang semakin sering dilakukan oleh aparat penegak hukum. Desakan dunia internasional terhadap Indonesia menyoal kasus – kasus penyiksaan bukan tanpa alasan. ELSAM mencatat selama Januari-Juni 2012, telah terjadi 34 kasus penyiksaan, penganiayaan, perlakukan yang kejam dan tidak manusiawi, yang dilakukan oleh anggota Kepolisian di 18 (delapan belas) provinsi di Indonesia. 1 Tindakan yang tidak manusiawi ini terjadi baik pada saat penangkapan, interogasi, maupun selama dalam penahanan. Kecenderungannya pun terus mengalami kenaikan, 1
Sementara merujuk pada laporan LBH Jakarta, yang dirilis pada April 2012, menyebutkan hampir semua tahanan anak mengalami kekerasan, bahkan pelecehan seksual, sebelum sampai di persidangan. Sebanyak 98 persen anak mengaku disiksa saat menjalani pemeriksaan, 97 persen mengaku dipukuli ketika penangkapan, dan 74 persen dihajar saat di dalam tahanan.
1
dari 4 [empat] kasus di bulan Januari, naik menjadi 6 [enam] kasus pada bulan Februari, menurun kembali pada Maret menjadi 5 [lima] kasus, 7 [tujuh] kasus di bulan April, dan meningkat tajam menjadi 13 [tiga belas] kasus di bulan Mei-Juni. Dampak yang diterima bagi para korban penyiksaan, terutama yang masih hidup tidaklah bisa dipandang sebelah mata. Bekas luka yang mengakibatkan cacat seumur hidup, maupun efek traumatis yang luar biasamenjadi dampak yang harus ditanggung korban semasa hidupnya. Dan tidak sedikit, korban yang disiksa didalam tahanan berakhir dengan kehilangan nyawa. Ironisnya bagi para pelaku penyiksaan yang memiliki kekuatan otoritatif alias penegak hukum, seringkali luput dari pemantauan publik dan penghukuman yang setimpal atas perbuatan penyiksaan tersebut. Komitmen Indonesia dalam menghapus penyiksaan menjadi pertanyaan besar, mengingat belum adanyaperaturan perundang – undangan yang secara tegas mengatur mekanisme pemeriksaan para tahanan yang lepas dari unsur – unsur penyiksaan dan menghukum para pelaku penyiksaan dengan setimpal. Melalui “Profil Kasus –Kasus Penyiksaan di Indonesia” ini ELSAM mencoba memberikan gambaran jelas, mengenai praktik – praktik penyiksaan yang selama ini masih terjadi di Indonesia dengan tujuan memberikan informasi kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memahami dan terus bersuara menghentikan praktik penyiksaan mengingat kejamnya tindak – tindak penyiksaan yang terjadi. Sekaligus memberikan informasi bahwa selain beberapa kasus yang kami tampilkan, masih banyak banyak praktik-praktik penyiksaan yang tidak muncul ke permukaan mengingat terbatasnya akses korban penyiksaan untuk mengungkapkan peristiwa yang dialamiinya. Metode yang digunakan dalam penulisan profil ini dengan menggunakan data-data yang diperoleh dari media, laporan kasus, dan monitoring, serta wawancara dengan korban maupun keluarganya. Kasus yang ditampilkan terjadi dalam rentang waktu 2011-2012. Dalam laporan ini, kasus yang dipaparkan berasal dari wilayah Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Jakarta. Sebagai informasi tambahan,dari 4[empat] kasus yang kami sampaikan, terdapat 2 [dua] kasus yang kami samarkan nama korban dan tempat terjadinya demi privasi dan keselamatan para korban yang masih menjalani proses hukum.
2
BAB II PROFIL KASUS-KASUS PENYIKSAAN 1.
Zen, Meninggal setelah 4 (empat) jam diperiksa Zen(nama samaran), berusia 21 tahun bersama dengan Agus (21 tahun) dan Yoyok (21 tahun) tinggal bersama di sebuah rumah kos di daerah BT. Kemudian pada sebuah hari di bulan Maret 2012, Agus membawa motor hasil curian ke wilayah MN dan tertangkap oleh polisi di wilayah tersebut. Ia kemudian dibawa ke Polsekta BT untuk di periksa. Proses pemeriksaan sambil mengalami dipukul dengan tangan, ganggang sapu dan ikat pinggang serta beberapa kali disundut rokok di bagian tubuhnya, dialami oleh Agus selama 5 hari terus menerus. Akhirya Agus mengaku disuruh menjual motor tersebut oleh Zen. Atas keterangan tersebutlah polisi di Polsek BT dan MN merencanakan penyergapan dan penangkapan di rumah kos Agus, Yoyok dan Zen. Polisi polsek BT kemudian melakukan penyergapan dan penangkapan terhadap Zen dan Yoyok di rumah kos mereka. Kemudian mereka berdua dibawa ke Polsekta BT, dan sesampainya disana mereka dipisahkan. Ketika dipisahkan, Yoyok mendengar suara teriakan dari Zen. Siang hari, selama proses pemeriksaan oleh polisi, Yoyok mengaku dipukul sapu dari belakang sehingga pelipis sebelah kiri robek; dipukul dengan balok, sehingga kepala bagian atasnya robek; dipukul, tendangan di bagian punggung, ditampar, dan ditinju. Bahkan ia mengaku dipukul dengan menggunakan martil di bagian lutut, serta di cambuk dengan ikat pinggang Empat jam kemudian, polisi mempertemukan Zen, Yoyok, dan Agus di ruangan Subnit Opsnal Reskrim. Ketika itu Yoyok melihat Zen terbaring menelungkup dan tidak berdaya, serta ia mengeluh bahwa perutnya sakit. Yoyok dan Agus juga melihat bahwa di tubuh Jandi penuh dengan luka, dan diruangan tersebut terdapat ceceran darah. Pertemuan tersebut hanya berlangsung 10 menit, kemudian mereka dipisahkan lagi. Setelah itu Yoyok dan Agus tidak lagi mengetahui apa yang terjadi dengan Zen. Satu jam setelah pertemuan tersebut, Zen ditemukan tidak sadarkan diri dan dibawa ke Rumah Sakit. Tetapi pihak rumah sakit menyatakan bahwa Zen telah meninggal dunia. Keesokan harinya, pihak kepolisian menghubungi pihak keluarga Zen, dan keluarga menerima dengan ikhlas. Baru 2 (dua) hari kemudian, dilakukan proses otopsi oleh pihak RS atas perintah dari Polda. Pihak keluarga menolak otopsi, karena mereka mengetahui Zen meninggal akibat kecelakaan kendaraan bermotor berdasarkan keterangan pihak kepolisian BT. Hasil otopsi menunjukkan ada luka robek pada bagian belakang kepala; luka memar di pelipis, hidung, dahi dan bibir, serta dagu; luka memar di bagian bahu kanan dan kiri, memar di bagian punggung, jari, paha, dan tungkai; serta luka memar dibagian kepala bagian dalam. Menurut keterangan dokter yang melakukan otopsi, beberapa luka pada jenasah Zen diakibatkan oleh benda tumpul. Pada saat otopsi berlangsung jenasah Zen dalam keadaan baik, sehingga semua luka-lukanya terlihat dengan jelas. Pada saat akan dilakukan otopsi, pihak keluarga menghubungi lembaga bantuan hukum di kota tersebut untuk mendampingi keluarga dan menyaksikan proses otopsi. Dan berdasarkan 3
pengamatan serta temuan dari tim investigasi, terhadap ruangan Subnit Opsnal Reskrim, ditemukan gitar kecil, obeng pendek, asbak rokok, pipa runcing sepanjang 20 cm. 2.
Charles Mali, diserahkan untuk dibina, tetapi meninggal di tangan tentara Charles Mali (17 tahun) warga Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua, Belu NTT meninggal di Markas Yonif 744/Satya Yudha Bhakti (SYB) Belu. Berawal dari kejadian pemalakan terhadap anggota Yonif 744 Praka Bahrumsyah di Kelurahan Fatubenao-Atambua pada tanggal 5 Mare5 Maret 2011, sekelompok anak muda berjumlah 7 [tujuh] pemuda Fatubenau 2 sedang mabuk minuman keras dan berbuat onar dengan memalak seorang tukang ojek. Sialnya, kejadian tersebut menarik perhatian 2 [dua] anggota TNI dari kesatuan Yonif 744/SYB yang sedang lewat dengan kendaraan roda dua [tidak diketahui namanya]. Kedua anggota tersebut kemudian mengejar salah satu pemuda yang bernama Heriyanto Mali dan berhasil menangkapnya. Melihat kejadian tersebut, Charles Mali adik dari Heriyanto tidak terima dan mengancam anggota dengan todongan pisau. Sekelompok anak muda itu tanpa Charles dan Heriyanto kemudian merusak kendaraan roda dua milik anggota TNI Yonif 744 dengan batu. Saat itu, Heriyanto Mali akhirnya dilepaskan dan kedua belah pihak kemudian pulang ke kediaman masing – masing. Tidak berhenti sampai disitu, 8 [delapan] anggota Yonif yang tidak terima perlakuan dari ketujuh pemuda tersebut hari itu juga mendatangi kediaman Raymondus Mali dan Modesta Dau, orang tua dari Mali bersaudara [Heriyanto dan Charles] untuk menanyakan keberadaan kedua anak mereka. Kedua anak tersebut sudah melarikan diri dari kampung dan tidak diketahui keberadaannya. Belum menyerah dalam pencarian Mali bersaudara, anggota Yonif 744/SYB selama 2 hari berikutnya terus mendatangi rumah orang tua Mali bersaudara. Bahkan tanggal 7 Maret 2012, 8 anggota menggeledah rumah Raymondus Mali sekitar pukul 23.30 WITA, tetapi kembali tidak berhasil menemukan keberadaan Mali bersaudara. 8 Maret kemudian, orang tua dari Mali bersaudara atas nama Raymondus Mali dan Modesta Dau dikenai wajib lapor ke pos TNI di Dusun Tobir [markas Yonif 744/SYB] sampai kedua anak mereka menyerahkan diri. Selama masa wajib lapor tersebut, Raymondus Mali tidak diperkenankan absen sama sekali meskipun harus mengurus anggota keluarganya yang meninggal. Adalah Delvin Mali, kakak dari 2 [dua] Mali bersaudara yang akhirnya mampu membujuk Charles dan Heriyanto untuk pulang ke rumah pada tanggal 12 April. Niat baik keluarga itu datang dari Modesta Dau, ibu mereka untuk mendorong Mali bersaudara mempertanggung jawabkan perbuatan mereka kepada anggota Yonif 744/SYB atas nama Berto. Bersama dengan Delvin, Modesta mengantar keduanya pada tanggal 13 Maret 2011 ke Tobir, dengan niat untuk bertanggung jawab dan menjalani pembinaan dengan jaminan dari petugas jaga agar mereka tentap mendapat perlakuan sesuai dengan perbuatan mereka. Sebelumnya Cosme Tilman (21), Toni Nubatonis diserahkan orang tuanya lebih dulu ke pos Tobir [Yonif 744/SYB] pada tanggal 11 Maret 2011, lalu menyusul Alfonso Lopez (21) tanggal 12 Maret. Tidak diketahui pasti Oktavianus Mau dan Wilibrodus Fernando Paulo diserahkan. Tindak penyiksaan sudah didapat mereka sesampainya di markas komando Yonif 744/SYB,
27
[tujuh] pemuda tersebut masing masing bernama: Siprianus Charles Mali, Heriyanto Mali, Wilibrodus Fernando Paulo, Oktovianus Mau, Cosme Tilman, Tomi Nubatonis & Alfonso Lopez.
4
tetapi mereka berhasil bertahan hidup untuk memberikan keterangan kejamnya perlakuan didalam markas komando tersebut. Nasib Mali bersaudara [Charles & Heriyanto] Setelah diantar oleh ibu dan kakak mereka, Charles Mali dan Heriyanto Mali langsung dibawa ke dalam Capela [tempat ibadah umat Katolik] dipisahkan dari 5 [lima] kawan lain yang disuruh membersihkan rumput. Didalam kapela tersebut, Charles Mali mendapat kekerasan fisik yang tidak manusiawi. Cosme Tilman, salah satu pemuda yang juga diantarkan orang tuanya ke markas Yonif 744/SYB memberi keterangan bahwa Charles Mali dan Hery Mali dipukul dibeberapa bagian tubuh menggunakan sendok semen oleh anggota. Setelah disiksa, Charles dan Heriyanto dipaksa saling baku hantam dengan Heriyanto hingga akhirnya Charles Mali tidak sadarkan diri. Charles yang tergeletak dilantai diminta untuk bangun tetapi Charles sudah meninggal dunia. Sebelum meninggal, Cosme juga melihat seorang anggota menginjak tubuh Charles. Setelah itu 5 pemuda lainnya diminta masuk ke dalam Kapel untuk membersihkan darah yang berceceran di dalam ruangan. 5 [lima] pemuda tersebut melihat Charles sudah tersungkur tidak berdaya dan Heriyanto Mali diangkat oleh 4 orang anggota. Heriyanto sendiri berdasarkan pemeriksaan di rumah sakit Wirasakti Atambua, menderita luka – luka serius, dan menderita buang air kecil & besar sambil mengeluarkan darah.
Oktavianus Mau (22) Setelah diserahkan ke dalam Yonif, tanpa ampun Oktavianus digunduli rambutnya dan mengalami pemukulan hingga jatuh pingsan. Oktavianus Mau dipukuli dangan kayu, bambu dan ditendang dengan menggunakanan sepatu oleh anggota Yonif 744/SYB. Sampai saat ini korban masih merasakan sakit pada bagian dada. Lalu Oktavianus dipaksa bangun kembali dan diberikan obat – obatan yang tidak tahu apa gunanya. Oktavianus mendapat perlakuan kekerasan tanpa menggunakan baju dan dilakukan oleh beberapa anggota tanpa seragam. Oktavinaus juga tidak diberikan makan dan minum secukupnya serta, disuruh memotong rumput, dan membersihkan kapel tempat Charles dan Heriyanto dipukuli. Oktavianus dibebaskan tanggal 13 Maret setelah anggota Detasemen Polisi Militer datang dan mengetahui bahwa Charles Mali sudah meninggal. Alfonso Lopez Mendapat perlakuan yang kurang lebih sama dengan Oktavianus, Alfonso juga digunduli rambutnya dan mendapat pukulan pada bagian dada & tangan oleh seorang anggota dengan alat berupa sebilah bambu yang sudah dibelah. Alfonso juga mengalami bentuk kekerasan lainnya seperti dibakar dengan rokok pada bagian punggung dan dada. Kejadian ini sendiri dilakukan didepan anggota keluarga yang mengantar Alfonso. 5
Tidak berhenti di hari itu, Alfonso juga mendapat perlakuan keji dengan disuruh ber jungkir balik, merayap dalam keadaan separuh telanjang sampai tubuhnya terluka dan mengeluarkan darah. Setelah itu Alfonso disuruh masuk ke dalam kapel dan kembali mendapat penyiksaan berupa pemukulan serta ditendang pada bagian kaki sampai luka – luka. Dan kebanyakan anggota yang melakukan penyiksaan tidak menggunakan pakaian dinas tanpa seragam/identitas. Salah satu anggota juga melakukan tindak penyiksaan dengan menjepitkan alat perkakas/tang ke bagian perut korban sebanyak 2 [dua] kali, di bagian dada sebanyak 1 kali dan dipukul pada bagian kepala dengan tang sebanyak 2 [dua] kali. Alfonso kembali mendapat pemukulan dibagian dada hingga terjatuh pingsan. Selama proses “pembinaan” didalam markas komando, Alfonso juga tidak diberikan makan dan minum, dan dipaksa meminum obat tanpa tahu kegunaan dan jenis obat tersebut. Cosme Tilman (21) Sejak diantarkan pada tanggal 11 Maret ke Yonif 744/SYB. Cosme digunduli rambutnya dan diperintahkan masuk ke dalam Kapela. Di dalam Kapela tersebut, Cosme mendapat pukulan dibagian ulu hati sebanyak 4 [empat] kali dan terjatuh. Setelah bangun kembali, dari mulut Cosme mengeluarkan darah. Tanggal 12 Maret 2011, Cosme disuruh untuk senam sekitar pukul 4.30 WITA. Lalu Cosme melakukan tugas yang disuruh anggota untuk membersihkan Kapel. Didalam markas komando tersebut, Cosme tidak diberikan makan, sehingga orang tuanya harus mengantarkan makanan. Setelah itu, sama dengan korban lainnya, Cosme dipaksa minum 2 [dua] jenis obat masing masing 2 [dua] butir yang tidak diketahui jenis dan kegunaannya. Salah satu anggota Yonif 744/SYB melakukan pemukulan kepada Cosme sebanyak 7 [tujuh] kali tendangan dengan aba – aba berdiri tegak. Selain itu Cosme menerima pukulan di bagian kepala, serta dibenturkan dan disundut dibagian kepala hingga rokok dari anggota tersebut mati. Tomi Nubatonis Tanggal 11 Maret 2011, sekitar pukul 15.45. WIT Tomi diantarkan ibunya ke Mako Yonif 744/SYB. Sesampainya di Mako, Tomi disuruh melepas bajunya kemudian dicukur rambutnya hingga gundul sambil dipukul oleh anggota. Kemudian Tomi dibawa ke dalam kapela dan melihat Cosme dan Willy. Didalam kapela, Tomi dipaksa berlutut kemudian dipukul bagian pipi, dada dan perut bergantian oleh beberapa anggota.Sekitar pukul 18.00 WITA Tomi dibawa ke ruangan Provost dengan keberadaan anggota Yonif 744/SYB yang tetap melakukan pemukulan pada pipi hingga luka dan mengeluarkan darah. Pada tanggal 12 Maret 2011 Tomi diperintahkan untuk senam lalu kemudian membersihkan Kapela. Setelah Alfonso datang bersama Cosme, mereka diperintahkan untuk berjemur, 6
berguling – guling dan jongkok hingga jam makan siang. Malam harinya korban diperintahkan untuk melakukan sikap tobat salama 20 menit sambil menerima pemukulan. Wilibrodus Fernando Paulo Sejak diserahkan orang tuanya Willy langsung disiksa, digunduli rambutnya serta mendapat pemukulan di bagian muka dan kepala. Selain itu Willy juga disundut dengan rokok dan dipaksa tidur menghadap matahari. Tanggal 12 Maret Willy juga diperintahkan bersama Cosme, Tomi dan Alfonso untuk merayap, koprol, jalan jongkok, ditendang dengan sepatu lars, dipukul dengan bambu yang dibelah. Akibatnya kaki Willy mengalami luka bengkak sehingga sulit untuk berjalan, pusing – pusing dan nyeri dan mendapat luka disekujur tubuh. Sanksi terhadap pelaku Pelaku yang berjumlah 22 [dua puluh dua] diadili melalui Pengadilan Militer III-15 Kupang, dengan pasal 351 ayat (3) jo. Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP dengan tuduhan “Penganiayaan yang mengakibatkan mati yang dilakukan secara bersama – sama.” Putusan Pengadilan Militer menjatuhkan hukuman kepada pelaku paling lama 11 [sebelas] bulan dan tidak disebutkan bahwa kegiatan/aktivitas yang dilakukan oleh ke-22 tersangka ada sangkut pautnya dengan tindakan penyiksaan, yang tidak hanya menyebabkan luka, trauma psikis dan fisik, tetapi juga mengakibatkan kematian terhadap Charles Mali.
3.
Faisal dan Budri Zen, Kakak Beradik Yang Meninggal di dalam Tahanan “pulanglah amak lai, indak katahan dek amak mancaliak awal kanai tangan beko doh” (Pulanglah ibu lagi, tidak akan tahan Ibu melihat saya kena pukul nanti) .. Faisal Faisal Akbar (14 tahun) dan Budri Zen (17 tahun) merupakan dua kakak beradik yang ditemukan meninggal di dalam tahanan Polsek Sijunjung – Sumatera Barat. Berawal pada tanggal 15 Desember 2011, kotak amal di Mushla Irsyad Yunus hilang dicuri, dan pencurinya menggunakan Motor Satria FU. Kemudian pada 21 Desember 2011 warga melihat Faisal yang sedang sholat di Masjid Nurul Yaqin Nagari Pematang Panjang, dan ia menggunakan Motor Satria FU. Warga curiga dan menuduhnya mencuri kotak amal di Mushalla Irsyad Yunus pada tanggal 15 Desember 2011. Warga kemudian membawa mereka ke Kantor Wali Nagari Pematang Panjang yang kemudian mengontak Polisi di Polsek Sijunjung. Polisi menanyakan kegunaan besi dan kunci pas yang ditemukan bersama dengan Faisal yang kemudian melakukan pemeriksaan. Polisi menuduh Faisal merupakan anak buah Gepeng- pelaku pencurian kendaraan bermotor di 17 lokasi. Ia ditendang di bagian dada dan dipukul oleh polisi. Pada tanggal 22 Desember 2011 kakak tertua Faisal bersama ibunya datang ke polsek Sijunjung, dan melihat Faisal duduk dilantai dengan lemas, polisi menerangkan kepada 7
kakaknya bahwa faisal ditangkap dan diamuk masa. Ia mengaku kepada kakak-kakaknyaketika berkunjung, bahwa ia dipukul, bagian kepala dipukul dengan kayu, punggungnya terdapat jejak sepatu, selama 5 hari ditahan di Polsek Sijunjung. Budri M Zen (17 tahun) merupakan kakak dari Faisal. Pada tanggal 26 Desember 2011, Budri ditangkap di terminal Kiliran Jao. Menurut warga yang melihat penangkapan tersebut, “Polisi sudah berada di terminal Kiliran Jao, terkejut melihat jumlah polisi yang banyak, Budri bersembunyi di bak L300, kemudian ada seseorang yang diduga bernama Kopral berteriak “itunyo Gepeng”. Budri langsung ditangkap polisi dan dihempaskan ke bak L300 kemudian dibawa ke polsek Sijunjung. Warga yang berada di sekitar Polsek Sijunjung mendengar bahwa pada tanggal 27 Desember 2011, terdengar suara ribut dari dalam polsek “alah maningga adiak den, tolonglah diantarnyo pulang karumah den lai” (sudah meninggal adik saya, tolonglah diantarkan kerumah kami lagi). Kemudian terdengar suara kesakitan minta ampun, dan tidak lama suara itu hilang. Baru pada tanggal 28 Desember 2011, pihak keluarga mengetahui bahwa Faisal dan Budri telah meninggal dunia. Mereka tidak diperbolehkan melihat jenasah sebelum otopsi di Padang dan ada pernyataan keluarga. Pihak keluarga bersedia melakukan otopsi jika sudah melihat jenasah terlebih dahulu, dan menyatakan jika memang perlu membuat surat penyataan agar dapat melihat jenasah. Pihak kepolisian membuat surat pernyataan yang isinya : “pihak keluarga tidak bersedia dilakukan otopsi, dan merelakan kematian dari anak/kemenakan karena gantung diri, dan tidak akan menuntut dikemudian hari, jika melanggar maka tersedia diproses melalui jalur hukum yang berlaku” Pada akhirnya pihak keluarga dapat melihat jenasah keduanya. Dan ketika dibawa ke puskesmas untuk divisum, dalam kedua jenasah ditemukan luka-luka dan lebam pada tubuh Faisal, serta kondisi jenasahnya sudah kaku jika dibandingkan dengan jenasah Budri, serta tidak ditemukan ciri-ciri bunuh diri. Pada jenasah Faisal ditemukan bagian kepala lebam, telinga bagian kiri dan kanan lebam, hidung mengeluarkan darah, leher merah, jempol kaki keduanya menghitam, bagian punggung terdapat luka memar dan sekujur tubuh terdapat memar. Sedangkan pada jenasah Budri ditemukan bagian kepala lebam, telinga bagian kiri dan kanan memar, leher merah, jempol kaki keduanya menghitam, pangkal kedua paha lebam, seluruh tbuh terdapat memar, rahang mulut patah, 4 gigi rontok, kaki sebelah kiri dekat lutut bawah ada luka sayatan [diduga bekas tembakan], dan tangan sebelah kanan memar dan membengkak. Pelaku penyiksaan yang berjumlah 9 orang dijatuhi hukuman sanksi patsus, pembebasan dari jabatan serta penundaan gaji. Setelah mereka menjalani sidang disiplin. 4.
Cerita Tedi: Rekayasa kasus menggunakan kekerasan Tedi [nama samaran], berprofesi sebagai marketing sebuah perusahaan tidak menyangka bahwa tanggal 14 Juni itu menjadi hari yang cukup sial untuk dirinya. Tedi harus menghabiskan 8
sisa malam minggunya di dalam tahanan polisi, atas kasus yang belum terbukti dia lakukan atas kepemilikan narkoba jenis shabu – shabu. Tedi dijemput belasan anggota kepolisian atas kasus yang sama sekali tidak diketahuinya. Kasus ini sedikit menyangkut profesi Tedi yang banyak berhubungan dengan klien, salah satunya klien yang bernama Jono. Sebagai klien yang memiliki prospek terhadap produk yang dijual oleh Tedi, ternyata membawa petaka bagi kelangsungan hidup dan karir Tedi. Jono terbukti memiliki sejumlah narkoba jenis shabu – shabu dan sudah ditangkap sehari sebelumnya tanggal 13 Juni bersama Dono di kediaman mereka. Mereka berdua mengaku kepada polisi bahwa Tedi, adalah salah satu pemesan barang bukti narkoba jenis shabu – shabu tersebut. Tedi digiring menuju kantor direktorat narkoba kepolisian daerah dengan kebingungan. Didalam ruangan pemeriksaan dengan niat konfrontasi informasi antara Tedi dengan Jono dan Dono menyoal kepemilikan shabu – shabu. Malam 14 Juni: Tanganku Patah Didalam ruang pemeriksaan tersebut, Tedi yang tidak didampingi pendaping hukum ataupun keluarga berstatus sebagai saksi dipaksa untuk mengaku oleh pihak kepolisian atas tuduhan pemesanan narkoba. Salah satu penyidik, sebut saja namanya Ojan melakukan pemukulan dan menyetrum bagian tubuh Tedi selama pemeriksaan. Tedi yang merasa kesal karena dipojokkan oleh penyidik dari kepolisian bersana Jono dan Dono melakukan pemukulan kepada Jono, tetapi berhasil dipisahkan oleh para penyidik. Insiden pemukulan tersebut,semakin memicu polisi untuk bertindak semakin kejam terhadap Tedi. Sekitar 6 [enam] anggota kepolisian memborgol Tedi dan kembali melakukan pemukulan dan penyetruman. Akibat tindakan tersebut, Tedi mengalami patah tulang dibagian tangan kanan, luka memar di wajah bagian kiri, dan terdapat beberapa bekas luka bekas tindak setruman. Diduga kuat, tidak hanya disiksa oleh pihak kepolisian untuk mengaku, ada beberapa dengan penggunaan obat – obat terlarang. Sebelum pemeriksaan/tes urine, beberapa jam sebelumnya Tedi diberikan makan dan minum kopi oleh pihak kepolisian dan terbukti porsitif Tedi menggunakan metamphetamine [zat dalam kandungan narkotika jenis sahbu - shabu] Diinjak - injak Hukum Tidak berhenti sampai disitu, salah satu atasan penyidik tanpa ada proses hukum yang jelas langsung menetapkan Tedi sebagai tersangka dan dipaksa dimasukkan kedalam sel. Pihak keluarga sebelumnya sudah melaporkan kasus kekerasan yang dialami Tedi ke Divisi Propam Kepolisian, tetapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Berdasarkan keterangan keluarga juga, dalam proses hukum tidak jarang keluarga diperas untuk membayar sejumlah uang agar proses hukum berjalan lancar. Naas bagi Tedi, sebagai korban tindak penyiksaan dan korban dari rekayasa kasus yang belum terbukti bersalah, Tedi divonis hukuman penjara selama 10 tahun 4 bulan atas kepemilikan shabu – shabu, sedangkan Jono & Dono yang terbukti tertangkap tangan memiliki narkotika jenis shabu – shabu dihukum kurungan selama 8 tahun 6 bulan. 9
BAB III Bentuk dan Pola Penyiksaan Berdasarkan data dan penelusuran yang dilakukan, kasus-kasus penyiksaan ternyata menjadi pola/model yang dapat diidentifikasi sebagai pola yang tetap dari Kepolisian dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat diidentifikasi dari mulai korbannya, pelakunya serta hukuman yang dijatuhkan terhadap pelakunya. Dari 34 kasus penyiksaan yang terjadi pada Januari-Juni 2012, serta data yang diperoleh pada 2011, menunjukkan bahwa penyiksaan merupakan salah satu sarana yang mempermudah dan mempercepat tugas aparat Kepolisian dalam melakukan penyidikan. Berbagai keterangan dari korban secara langsung dapat digunakan Kepolisian untuk melanjutkan ke proses hukum selanjutnya. Berikut ini gambaran bentuk dan pola penyiksaan yang menjadi “kebiasaan” Kepolisian dalam menjalankan tugasnya.
1. Korban Sebagian besar korban penyiksaan adalah masyarakat biasa yang memiliki keterbatasan dalam mengakses bantuan hukum. Karena hampir seluruh korban tidak didampingi oleh pengacara ketika diperiksa. Secara ekonomi, korban juga adalah kelompok menengah ke bawah yang miskin secara ekonomi dan tidak memiliki pendidikan yang cukup, serta pekerjaan yang layak. Perkara-perkara yang dituduhkan kepada para korban penyiksaan sebagian besar adalah tindakan kriminal biasa, seperti pencurian, mengganggu ketertiban umum, narkoba, dan perampokan.
2. Bentuk Penyiksaan Bentuk-bentuk penyiksaan terhadap para korban sangat beragam. Seperti para korban mengalami pemukulan dengan alat yang cukup beragam, seperti menggunakan sapu, kayu, martil, sendok semen, dan tangan; ditampar; ditinju; ditendang dengan sepatu; dicambuk dengan ikat pinggang; digunduli; disundut rokok; dipaksa saling pukul sesama korban penyiksaan; tidak diberi makan dan minum selama proses pemeriksaan; disetrum; merayap; koprol; jalan jongkok; hingga dipaksa minum obat. Bentuk penyiksaan seperti terjadi merupakan praktik-praktik lama yang terus dipertahankan hingga saat ini, dan cenderung beragam dengan menggunakan alat yang tidak terduga sama sekali. Praktik penyiksaan tersebut cenderung ditujukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit dan sebagai sebuah bentuk penghukuman.
3. Dalam Proses Penyidikan Dalam kasus-kasus tersebut, sebagian besar korban tidak tertangkap tangan. Korban ditangkap berdasarkan informasi dari orang lain. Hak-hak korban sebagai seorang tersangka pun tidak dipenuhi, seperti keluarga tidak pernah memperoleh surat penangkapan dan surat penahanan. Para korban juga tidak memperoleh bantuan hukum dan didampingi oleh pengacara. Bahkan dalam proses pemeriksaan, praktik penyiksaan dilakukan oleh Polisi tanpa menggunakan seragam dan atribut sehingga korban sulit mengenali pelaku. 10
Keluarga baru mengetahui ada anggota keluarganya yang ditahan ketika korban sudah meninggal (dalam kasus Zen, Budri, dan Faisal). Pola lain adalah untuk korban yang meninggal, keluarga dipaksa untuk membuat surat pernyataan untuk tidak melapor dan menuntut atas kematian korban.
4. Hukuman bagi Pelaku Permasalahan utama dalam kasus-kasus penyiksaan adalah tidak adanya hukuman yang setimpal bagi pelaku penyiksaan. Sebagian besar pelaku penyiksaan hanya dijatuhi sanksi administratif, jarang sekali yang diajukan ke pengadilan.
11
BAB IV KESIMPULAN Penyiksaan merupakan praktik kekerasan yang terus ada sejak berabad-abad lalu untuk memperoleh informasi dan sebagai sebuah bentuk penghukuman yang sampai saat ini masih digunakan aparat Kepolisian sebagai salah satu cara dalam menjalankan tugasnya. Situasi ini tentunya sangat disayangkan mengingat Kepolisian sejatinya bertugas untuk melindungi dan mengayomi masyarakat Indonesia dari berbagai ancaman kejahatan. Oleh karenanya, menjadi sangat penting bagi Kepolisian Republik Indonesia untuk secara serius berupaya untuk menghentikan dan mencegah praktik penyiksaan di semua level jajaran Kepolisian. Mulai dari tingkat yang terendah di Pos Polisi/Polsek sampai jajaran tertinggi di Mabes Polri. Kepolisian RI juga harus secara terus-menerus melakukan peningkatan kapasitas anggota kepolisian melalui pelatihan, agar mampu melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi dan tidak menggunakan cara-cara penyiksaan dan perlakukan kejam. Pelatihan tersebut haruslah sampai pada tingkat yang paling teknis, misalnya cara-cara interogasi, pencarian fakta-fakta dan penggunaan teknologi tanpa menggunakan cara-cara penyiksaan; Kepolisian RI juga harus berani mengajukan dan menghukum pelaku-pelaku penyiksaan ke Pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
12