BAGIAN KEEMPAT MANAJEMEN PEMBARUAN AGRARIA
12. Konsepsi Pembaruan Agraria 13. Komitmen Politik Program Pembaruan Agraria 14. Esensi Program Pembaruan Agraria 15. Dampak Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Program Pembaruan Agraria 16. Sistem Pengendalian Program Pembaruan Agraria
12 Konsepsi Pembaruan Agraria 1.
Urgensi Pentingnya Pembaruan Agraria
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Pembaruan Agraria kembali menjadi topik bahasan para pengambil kebijakan publik, politisi, sektor swasta, akademisi, LSM, para stakeholder dan pemerhati bidang agraria/pertanahan mengenai pentingnya tanah sebagai sumberdaya agraria yang berpotensi mewujudkan kejayaan Bangsa dan Negara Indonesia sekaligus berpotensi mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Terlebih lagi dengan diterbitkan TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pembaruan Agraria, seakan menjadi “ bahan bakar” untuk mewujudkan amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 UUPA. Dari konsepsi filosofis tersebut jelas bahwa bagi Bangsa Indonesia, tanah adalah sumberdaya strategis yang merupakan kekayaan nasional, karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk kesejahteraan rakyat. Kemakmuran itu dengan sendirinya memerlukan upaya dengan memberikan nilai tambah atau hasil yang bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun apakah saat ini kemakmuran dari sumberdaya tanah yang merupakan hak dasar warganegara Indonesia sebagai individu, kelompok masyarakat maupun hak Bangsa Indonesia telah terpenuhi ? Pertanyaan yang sangat mendasar ini menjadi relevan, ketika tanah itu dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak dasar untuk memenuhi suatu batas minimum mempertahankan hidup dan kesehatan yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai salah satu hak yang harus ada, bersifat kodrati dan universal yang harus dipenuhi dalam berbagai aspek kehidupan manusia agar manusia dapat hidup layak. Apakah Pemerintah sebagai refleksi kekuasaan yang mempunyai kewenangan mengatur dan menetapkan kebijakan untuk mengimplementasikan nilai-nilai filosofis penguasaan pemilikan penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya tanah telah menjalankan amanah Rakyat, Bangsa dan Negara untuk memakmurkan rakyat banyak ? Secara empiris data struktur penguasaan pemilikan tanah maupun data kemiskinan penduduk menunjukkan bahwa amanah tersebut belum terwujud. Bahkan terdapat kecenderungan akses rakyat terhadap tanah semakin menjauh. Pertanyaan yang selanjutnya berkembang adalah apakah Pembaruan Agraria yang sudah menjadi komitmen “political will pemerintah” itu dapat berfungsi menggerakkan “roh, semangat dan pikiran” mesin politik, kebijakan dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahterakan rakyat yang hidupnya bergantung sepenuhnya atau bergantung sebagian dari sumberdaya tanah itu? Jawabannya seharusnya dapat. Mengapa ?, paling tidak sekurang-kurangnya ada tiga alasan mendasar. Pertama, situasi ketimpangan struktur penguasaan pemilikan tanah dan kemiskinan dewasa ini sedemikian besarnya, ditambah lagi dengan semakin maraknya jumlah kasus sengketa tanah dan luas tanah yang terlibat di dalamnya sehingga jika tidak ditangani secara sungguh-sungguh akan mempengaruhi kerawanan sosial dan mengganggu stabilitas ekonomi, keamanan dan politik. Kedua, rakyat dewasa ini sedang dalam kesadaran untuk melakukan pemberdayaan (empoweriment) guna memperoleh hak-hak sipil mendasar, hak-hak politik, serta hak-hak
sosial, ekonomi dan budaya sebagaimana dalam Deklarasi Umum HAM, di antaranya hak atas standar kehidupan yang memadai, yang dalam konteks bahasan ini penghasilan yang langsung atau tidak langsung bersumber dari tanah. Ketiga, analisis “face value” tentang kesamaan semangat, visi dan misi UUPA dengan semangat, visi dan misi reformasi yang tertuang dalam Pembaruan Agraria adalah gerakan transformasi struktur pertanahan untuk meletakkan pondasi bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang modern, makmur, sejahtera dan adil. Apabila komitmen, tekad pemerintah dan seluruh stakeholder telah bertemu dengan kesadaran rakyat untuk bersama-sama mewujudkan Reforma Agraria maka perlu dibangun kesamaan mengenai perspektif Pembaruan Agraria itu sendiri, terutama dari aspek pengertian, tujuan, dan strategi keberhasilan pelaksanaannya. Hal ini menjadi penting dilakukan karena selama ini di Indonesia Pembaruan Agraria masih terfokus pada landreform dalam lingkup redistribusi tanah. Dalam implementasinya, reforma agraria perlu mengikutsertakan berbagai pihak mulai dari para pengambil kebijakan publik, politisi, sektor swasta, akademisi, LSM, para stakeholder dan pemerhati bidang agraria/pertanahan. Sedangkan dalam teknis operasional dikembangkan berbagai pola pendekatan antara lain Pola Usaha Mandiri, Pola Usaha Berbantuan dan tidak tertutup pula dikembangkan Pola Kemitraan Usaha dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar yang beroperasi di daerah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran kembali apa yang telah dilakukan di beberapa negara, khususnya negara tetangga yang mempunyai kesamaan politik, geografi, sosial ekonomi dan sosial budaya di antaranya Thailand dan Philipina. Negara lain seperti Taiwan, China, Jepang, Malaysia bahkan di Amerika latin, juga akan disinggung sepanjang ada relevansinya. 2.
Konsep Pembaruan Agraria
Menurut Nasikun (1998), pengertian hakiki dari konsep Pembaruan Agraria mengandung dua elemen, yaitu nasionalisasi tanah (land nationalization) dan pengaturan kembali struktur penguasaan pemilikan tanah (land tenure reform). Ruang lingkup land tenure reform tidak sekedar redistribusi tanah (landreform ) sebagai alat untuk melakukan land tenure reform, namun juga mencakup acess reform untuk menciptakan sumber-sumber ekonomi. Orang pertama yang merumuskan pengertian Pembaruan Agraria dalam konteks nasionalisasi tanah adalah AR Wallace (dalam Hsiao,1968) yang mengemukakan bahwa pemilikan privat atas tanah bertentangan dengan prinsip HAM, karena hal itu memungkinkan sekelompok kecil individu atau orang menjadi kaya dan sebagian besar massa rakyat yang lain berada dalam kemiskinan dan penderitaan. Oleh karena itu, tanah yang bukan merupakan buah dari tenaga kerja manusia, tidak selayaknya menjadi milik privat, sebaliknya harus dimiliki bersama oleh seluruh rakyat. Selanjutnya argumen mengenai pengaturan kembali struktur penguasaan pemilikan tanah berasal dari John Stuart Mills dalam bukunya The Principle of Political Economy, yang mengemukakan bahwa prinsip dasar dari pemilikan adalah untuk menjamin penciptaan tenaga kerja dan mengamankan uang, akan tetapi tidak berlaku untuk penciptaan tanah. Argumen Mills bahwa nilai tanah bersumber dari alam dan oleh karena itu harus hanya sebagaian daripadanya yang menjadi milik tuan tanah, kemudian dikembangkan Henry George dalam bukunya Progress and Poverty, yang mengenalkan pajak atas pemilikan tanah. Teori Mills dikembangkan lebih lanjut oleh Adolf Damashke dalam bukunya Bund Deutscher Bodenreformer yang menekankan transformasi pemilikan privat atas tanah dan eliminasi akibat buruk dari pemilikan itu melalui sistem pemilikan tanah yang baru yaitu melalui pemilikan publik bagi tujuan mencapai sebesarbesar keadilan sosial. Konsep ini memberi pengatuh yang besar terhadap program landreform. Thailand secara substansi tidak membedakan pengertian Agrarian Reform dan Landreform. Menurut Suthiporn Chirapanda (2000), land reform kurang dapat diterima masyarakat luas karena dikonotasi sebagai konsep komunisme.. Agrarian Reform lebih dapat diterima karena merupakan strategi untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan. Sebaliknya banyak organisasi internasional mengasosiasikan landreform dengan penghapusan tuan tanah disertai distribusi
tanah di antara petani tanpa tanah dan petani miskin. Konsep Agrarian Reform yang dikembangkan oleh ALRO (Agricultural landreform Office), meliputi landreform dan berbagai infrastruktur pendukung yang memungkinkan terciptanya manfaat ekonomi dan kemandirian. Oleh karena itu pembahasan agrarian reform sering juga menggunakan istilah landreform saling bergantian dengan maksud yang sama, yang meliputi tiga komponen yaitu: (1) reform land tenure structure, (2) reform of the production structure dan (3) reform of the supporting service structure. Phlipina, menurut Borras (2006), CARP (Comprehensive Agrarian Reform Program) tampaknya menekankan pada tiga pola landreform :(1) redistribusi tanah privat dan tanah negara, (2) legalisasi sistem sewa tanah (leasehold) oleh tuan tanah untuk sejumlah tanah negara dan (3) pada skala usaha kecil dan terbatas selama beberapa tahun CARP mengembangkan pilihan untuk berbagai pola agribisnis. Di Taiwan, menurut Shen (1968), Pembaruan Agraria melalui landreform menekankan pada dua hal yang mendasar, yaitu (1) peningkatan hubungan produktif pedesaan (rural productive relatianship) dan peningkatan kualitas tenaga kerja dan (2) eksploitasi tenaga kerja industrial (the explitation of industrial manpower and the improvement of manpower quality). Sementara itu Hsiao (1968) menambahkan tiga hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu (1) peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya, (2) mendorong praktek-praktek demokrasi dan (3) mencegah inflitrasi komunisme. Di Indonesia, konsep dasar landreform adalah redistribusi tanah yang merupakan pembagian tanah yang dikuasai Negara maupun tanah kelebihan maksimum, tanah absentee dan tanah Negara lainnya (eks HGU, tanah terlantar) yang telah ditetapkan menjadi tanah obyek landreform, kepada petani penggarap dan petani dengan tanah yang sempit sebagai penerima redistribusi. Pada awalnya konsep landreform juga akan mengembangkan produksi pertanian dan peningkatan pendapatan petani di daerah pedesaan, namun keadaan politik yang terjadi pada tahun 1965 menyebabkan program landreform tidak dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dari beberapa konsep Pembaruan Agraria di atas dapat dikemukakan bahwa Pembaruan Agraria pada dasarnya merupakan konsep landreform yang dilengkapi dengan dengan konsep acess reform dan konsep legal/regulation reform. Konsep landreform dalam hal ini adalah penataan kembali struktur penguasaan pemilikan tanah yang lebih adil. Konsep acess reform dalam arti penataan penggunaan pemanfaatan tanah yang lebih produktif disertai penataan dukungan sarana dan prasarana yang memungkinkan petani memperoleh akses ke sumber ekonomi di wilayah pedesaan. Akses tersebut antara lain akses sarana dan prasarana pertanian, pengairan, jalan usahatani, pemasaran produksi, koperasi usahatani, perbankan. Sedangkan konsep policy/regulation reform dalam hal ini adalah pengaturan kebijakan dan hukum yang berpihak pada rakyat banyak. 3.
Pembelajaran Model Pembaruan Agraria di Negara Tetangga
Thailand Thailand luasnya sekitar 51,31 juta hektar dengan penduduk pada tahun 1975 sekitar 53,3 juta jiwa dan pada tahun 1998 menjadi sekitar 60,1 juta jiwa, dengan rata-rata pertumbuhan penduduk sekitar 1,08 % per tahun. Secara administrative pada tahun 1998 terdiri dari 76 provinsi. Di wilayah Thailand Tengah/Pusat terdapat 26 provinsi, Wilayah Timur laut terdapat 19 provinsi, Wilayah Selatan 14 provinsi dan Wilayah Utara 17 provinsi. Keseluruhan terdapat 875 distrik (semacam kabupaten/kota), 7 255 tumbon (semacam kecamatan) dan 67 973 desa. Landreform dikembangkan sejak tahun 1975 yang ditetapkan dengan Land Reform Act (telah direvisi pada tahun 1977 dan 1989). Tujuan landreform adalah untuk (1) mengubah peran petani penyewa dan petani penggarap menjadi pemilik penggarap, (2) menetapkan status kepemilikan tanah kepada petani penggarap liar melalui legalisasi dan redistribusi tanah, (3) meningkatkan produksi pertanian dengan memperbaiki sistem akses sarana dan prasarana ekonomi untuk
mendorong standar kehidupan yang lebih baik di antara petani serta (4) menurunkan kesenjangan sosial ekonomi penduduk. Penerima manfaat adalah petani yang usaha pokoknya di bidang pertanian dan petani tanpa tanah yang kondisinya miskin, mampu berusaha di bidang pertanian atau terkait bidang pertanian. Penerima manfaat itu ditetapkan dalam National Agricultural Land Reform Executive Committee (NLRC). Kebijakan tentang landreform itu dilaksanakan dalam Land Reform Areas (LRA,s), melalui peraturan perundangan yang lingkupnya spesifik, diundangkan oleh pemerintah. Dalam tiga tahun setelah diundangkan, semua tanah telah dikuasai. ALRO (Agricultural Land Reform Office) kemudian membeli tanah untuk diredistribusikan ke petani. Secara organisasi di tingkat Pusat terdapat NLRC yang diketuai oleh Menteri Pertanian dan Koperasi yang berfungsi merumuskan kebijakan, program dan proyek landreform, Juklak dan sebagainya. Pelaksanaan secara operasional oleh ALRO. Di tingkat provinsi dibentuk PLRC (jika LRA,s berada dalam provinsi), yang bertanggungjawab menjabarkan kebijakan NLRC yang dilaksanakan PLRO (Provincial Land Reform Office) serta memonitor kemajuan dan keberhasilan serta menyelesaikan masalah yang timbul.. Seluruh pembiayaan ditanggung pemerintah yang membeli tanah secara tunai atau dengan obligasi melalu ALRF (Agricultural Land Reform Fund) Selama periode 1975 sampai 1997, ALRO telah meredistribusi 6,22 juta hektar tanah yang sebagian besar (93 % ) berasal dari tanah negara kepada 596 246 petani, yang sebagian besar (96 %) penerima dari tanah negara. Dalam perkembangannya, landreform bukan hanya sebagai instrumen untuk membagi tanah, namun menjadi program pembangunan ekonomi pedesaan. Hal itu tampak dari kebijakan pemerintah yang merumuskan landreform ke dalam eight National Economic and Social Development Plan (1997- 2001) yang secara makro mendukung Land Reform Plan (1992-1999). Pada tahun 1991, NLRC menetapkan Land Reform Plan (1992-1999), yang dirumuskan dalam empat strategi: (1) melakukan kesepakatan dengan para penguasa tanah pertanian, apabila tidak ada lagi perluasaan pertanian yang berasal dari tanah negara, khususnya untuk reservasi hutan, (2) mensosialisasikan land-to-the-tiller programme ke pemilik tanah yang luas, (3) mengembangkan kegiatan untuk meningkatkan pendapatan dan investasi di bidang infrastruktur pertanian/pedesaan dan (4) mengembangkan riset dan informasi mengenai landreform ke masyarakat luas. Sangatlah sulit untuk menilai keberhasilan program landreform di Thailand. Namun dari beberapa informasi yang dapat diacu, antara lain pembangunan pisik seperti jaringan irigasi, kolam penampung air, jalan usahatani serta sarana dan prasarana irigasi, perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah selama periode tahun 1987 -1991, penurunan kerusakan hutan selama periode 1961–1993 serta indikator ekonomi peserta landreform dapat dianalisis keberhasilannya. Tabel 4-1 Ringkasan Kemajuan Landreform di Thailand 1975 - 1997 No A 1 2 B 1 2 3
Uraian Kegiatan Persiapan Luas landreform Survey kadastral Pembebasan dan Redistribusi Tanah Dijual Dibagikan Tanah Publik dan Privat
Satuan
Volume
Juta ha Juta ha
5,89 5,47
Ha Petani Ha
71 639 595 729 1674 204
No C 1 2 3 4 5 6
Uraian Kegiatan Kegiatan Sumur permukaan Sumur dalam Kolam umum
Satuan Buah Buah Buah
2 342 2 781 2 590
Kolam petani Bendungan kecil Konsolidasi tanah
Buah Buah Ha
27 744 32
Km Km Unit
458 4 998 107
7 Saluran irigasi 8 Jaringan jalan 9 koperasi tani Sumber: The Thai Land Reform Programme-ALRO, 2000.
Volume
Tabel 4-2 Perbandingan Struktur Penguasaan Pemilikan Tanah Jumlah Keluarga Petani (kk) Tipe Penguasaan Tanah No 1987 1991 1 Tanpa Tanah (0,16 Ha) 463.635 (8,2%) 500.398 ( 7,8%) 2 Hampir Tanpa Tanah (≤ 0,8 Ha) 576.019 (10,1%) 828.265 ( 13,0%) 3 Marginal (0,8 – 1,6 Ha) 670.015 (11,8%) 818.194 ( 12,8%) 4 Tanah Pertanian > 1,6 Ha 3.982.197 (70,0%) 4 246.212 ( 66,4%) 5 Total 5.691.866 (100,0%) 6.393.069 ( 100%) Sumber: The Thai Land Reform Programme-ALRO, 2000. Tabel 4-3 Kerusakan Hutan di Thailand Tahun 1961 sampai 1993 No Periode Tahun Waktu (tahun) Luas hutan (juta ha) 1 1961 - 1976 15 7,52 2 1977 – 1985 8 5,09 3 1986 - 1993 8 2,30 4 Jumlah (1951 – 1993) 33 14,91 Sumber: The Thai Land Reform Programme-ALRO, 2000.
Kumulatif (juta ha) 7,52 12,61 14,39 29,30
Diagram 4-1 Beberapa iIdikator Ekonomi Manfaat Program Pembaruan Agraria, 1984 – 1088.
Sumber: The Thai Land Reform Programme-ALRO, 2000.
Philipina Philipina, merupakan negara kepulauan (sekitar 7100 pulau). Luas wilayah sekitar 40,04 juta hektar dengan luas daratan sekitar 30 juta hektar, dimana sepertiganya adalah tanah pertanian yang sebagian besar dikuasai tuan tanah. Penduduk pada tahun 1988 sekitar 68,2 juta dengan pertumbuhan sekitar 1,2 % per tahun. Secara administrasi terdiri dari 12 region, 72 provinsi. Borras (2006) dari Institute of Social Studies, The Hague, Nederland menyatakan bahwa Philipina, merupakan negara yang baik untuk studi kasus landreform, dengan argumen: (1) terdapat tuan tanah yang menguasai tanah milik di samping tanah negara/hutan, (2) program landreform dilaksanakan terhadap tanah privat dan tanah publik, (3) adanya kebijakan terkait, terutama program sertipikasi tanah, (4) jangka waktu pelaksanaan yang cukup panjang sehingga dapat dipelajari dengan seksama. Program landreform dikembangkan pada tahun 1988 di bawah Comprehensive Agrarian Reform Program (CARP). Pada saat itu angka Gini coefficient untuk distribusi penguasaan tanah mencapai 0,64 (Putzel, 1992). Rendahnya akses penguasaan sumberdaya tanah menyebabkan sebagian besar masyarakat menjadi miskin. Pada tahun 2004, dua dari lima orang Philipina adalah orang miskin. 60 persen orang miskin itu berada di pedesaan dan sebagian besar tinggal di daerah tanah kering pegunungan yang dikuasai para tuan tanah (Asian Developmen Bank, 2005). Keadaan politik dan sosia ekonomi menyebabkan program landreform sulit dikembangkan. Di masa pemerintahan Marcos (1972-1086) hanya sekitar 41 ribu hektar yang berhasil direditribusikan. Itupun sebagian besar adalah program pemukiman. Namun setelah mengalami proses pro dan kontra selama tahun 1986 – 1988, pada masa pemerintahan Aquino, akhirnya ditetapkan Undang-Undang landreform: CARP. Berdasarkan CARP, seluruh tanah pertanian, baik milik perorangan maupun tanah negara diatur penguasaannya dan produktivitasnya di bawah ketentuan reforma agraria. Terdapat tiga tipe reform: (1) redistribusi tanah milik privvat dan publik, (2) sewa, termasuk penggarap tanah para tuan tanah dan pemegang ijin menggarap tanah negara, (3) dalam jumlah sedikit dan terbatas dikembangkan corporate farms. CARP merencanakan untuk melaksanakan redistribusi tanah sebesar 10 juta hektar dengan jumlah petani penerima sekitar 4 juta keluarga yang dikategori tidak punyai tanah, mempunyai tanah sempit dan kondisinya miskin yang mencakup hampir 80 persen rumah tangga pertanian. Sebagai penanggung jawab program redistribusi baik tanah privat maupun tanah tanah pemerintah yang disewakan kepada para tuan tanah dan perusahaan multinasional, adalah Departemen Pembaruan Agraria, Dikembangkan pula program pembangunan perumahan/ permukiman yang diintegrasikan dengan redistribusi tanah. Sementara itu, Departemen Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup juga mengimplementasikan program CARP”s melalui dua pola, yaitu pemanfaatan tanah kritis dan tidak produktif serta pemberdayaan masyarakat berbasis usaha tanaman hutan. Banyak tanah di bawah program CARP’s yang kemudian diusahakan menjadi tanah pertanian. Pada tahun 2004, dilaporkan sekitar 5,54 juta hektar tanah perorangan dan tanah negara telah didistribusikan kepada sekitar 3 juta rakyat miskin di pedesaan yang mencakup sekitar 40 persen rumah tangga pertanian. Pada tabel 4 disajikan pelaksanaan redistribusi tanah yang sebagian besar dilaksanakan pada jaman pemerintahan Aquino dan Ramos. Beberapa studi melaporkan keberhasilan program landreform di Philipina karena didukung penerapan teknologi usahatani yang dikembangkan IRRI untuk pertanian tanah sawah. Untuk pertanian tanah kering dikembangkan kebun kelapa dan pisang. Selanjutnya pada tahun-tahun terakhir ini Bank Dunia telah membiayai program sertipikasi tanah selama 25 tahun, dengan sasaran sekitar 5 juta hektar tanah yang dimiliki sekitar 2 juta keluarga. Pilot Proyek telah dilaksanakan di Provinsi Leyte selama periode tahun 2002 sampai 2004. Program tersebut akan selesai pada tahun 2005 untuk Provinsi Leyte dan untuk seluruh provinsi selama lima tahun mendatang. Belum diketahui secara rinci seberapa besar program redistribusi tanah dan sertipikasi tanah tersebut dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan petani serta mengurangi tingkat kemiskinan di pedesaan.
Tabel 4-4. Redistribusi Tanah Berdasarkan CARP’s Tahun 1972 – 2003 (dalam hektar) A. Volume kegiatan secara administrasi di bawah Departement of Agrarian Reform (DAR) Tipe Volume Marcos Aquino Ramos Estrada Arroyo LAD (Ha) 1972-1986 1987–1991 1992–1997 1998–2000 2001– 2003 OLT 521.326 15.061 340.045 141.620 18.708 14.889 CA 197.553 13.482 120.828 47.67 41.964 VOS 416.283 54.011 255.341 76.896 91.063 VLT 443.110 20.737 328.654 73.345 67.097 GFI 143.394 22.938 105.498 11.906 9.296 KKK 775.328 142.321 543.738 68.520 51.651 LE 79.168 11.041 25.781 41.201 971 784 Settl 633.475 41.022 193.207 352.497 35.276 39.997 Total
3.209.637
67.124
812.522
1 889 377
333.389
316.741
B. Volume kegiatan secara administrasi di bawah Departemen Environment and Natural Resources (DENER). Juli 1987 – Des 2003 Tipe LAD A&D CBFM
Volume (Ha) 1 295 559 1 042 088
Marcos 1972-1986
Aquino 1987–1991 533 273 566 468
Ramos 1992–1997 360 699 496 585
Estrada 1998–2000 131 301 221 035
Total 2 337 647 Keterangan
1 099 741
867 284
352 335
LAD = OLT = CA = VOS = VLT = GFI =
KKK = Kilusang kabuhayan at Kaunlaran LE = Landed estate Sett = Settlement
Land aquisation and distribution Operator land transfer Comprehensive aquisation Voluntary offer to sell Voluntary and transfer Government financial institution
Arroyo 2001– 2003 270 286 270 286
A & D = Alienable and dispossible CBFM = Community based forest management
Sumber: Boras, 2006
Indonesia Di Indonesia, menurut Syahyuti (2005), Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian ,Bogor, Landreform dan agrarian reform diberikan pengertian yang berbedabeda oleh para ahli. Namun, dapat disimpulkan bahwa landreform adalah salah satu bagian dari agrarian reform (lihat misalnya Wiradi, 1984). Menurut Cohen (1978), landreform adalah: “...... change in land tenure, especially the distribution of land ownership, thereby achieving the objective of more equality”. Jadi inti dari kegiatan landreform adalah redistribusi tanah, sebagai upaya memperbaiki struktur penguasaan dan pemilikan tanah di tengah masyarakat, sehingga kemajuan ekonomi dapat diraih dan lebih menjamin keadilan. Agrarian reform, memiliki pengertian yang lebih luas, yang mencakup dua tujuan pokok yaitu bagaimana mencapai produksi yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai keadilan (Cohen, 1978). Dalam konteks pembaruan agraria, peningkatan produksi tidak akan mampu dicapai secara optimal apabila tidak didahului oleh landreform. Sementara, keadilan juga tidak mungkin dapat dicapai tanpa landreform. Jadi, landreform tetaplah menjadi langkah dasar yang menjadi basis pembangunan pertanian dan pedesaan. Dalam pembaruan agraria tercakup permasalahan redistribusi tanah, peningkatan produksi dan produktifitas, pengembangan kredit untuk pertanian, pajak lahan, hubungan penyakapan dan regulasi baru sistem pengupahan buruh tani, dan konsolidasi tanah. Dengan kata lain, ada dua pembaruan yang harus dilakukan dalam
pembaruan agraria, yaitu land tenure reform (hubungan pemilik dan penyakap) dan land operation reform (perubahan luas penguasaan, pola budidaya, hukum penguasaan, dan lainlain). Program landreform di Indonesia dikembangkan pada era tahun 1960-an yang dalam pelaksanaanya mencakup pula larangan penguasaan tanah melebihi batas maksimum, larangan tanah absentee, redistribusi tanah objek landreform, pengaturan pengembalian dan penebusan tanah yang digadaikan, pengaturan tentang bagi hasil, serta penetapan luas minimum dan pelarangan fragmentasi tanah pada batas tertentu. Program landreform hanya berjalan intensif pada tahun 1961-1965. Selama era pemerintahan Orde Baru, untuk menghindari kerawanan social politik landreform diimplementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan akses petani lepada tanah dilakukan melalui program transmigrasi Program ini kemudian diintegrasikan dengan program pengembangan PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Luas tanah yang diberikan kepada transmigran dan petani plasma mengikuti ketentuan batas minimum penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan per keluarga. Dalam makalah Posterman (2002) diuraikan, bahwa dari tahun 1960 sampai 2000 secara akumulatif tercatat telah berhasil dilakukan distribusi lahan dalam konteks landreform seluas 850.128 ha. Jumlah rumah tangga tani yang menerima hádala 1.292.851 keluarga, dengan ratarata keluarga menerima 0,66 ha (Syahyuti, 2005). Data ini sedikit berbeda dengan yang dikeluarkan oleh BPN (Kepala BPN, 2001), dimana dari total obyek tanah landreform 1.601.957 ha, pada kurun waktu 1961-2001 telah diredistribusikan tanah seluas 837.082 ha (52%) kepada 1.921.762 petani penerima. Selain itu, untuk tanah absentee dan tanah kelebihan maksimum telah dilakukan ganti rugi oleh pemerintah seluas 134.558 ha kepada 3.385 orang bekas pemilik, dengan nilai ganti rugi lebih dari Rp. 88 trilyun. Belum diketahui secara rinci seberapa besar para petani yang menerima program landreform itu berhasil meningkatkan productivitas tanah pertanian, meningkatkan pendapatan dan terlepas dari kondisi kemiskinan, Indonesia sampai saat ini merupakan negara Agraris, dimana sebagian besar penduduk masih tinggal di wilayah pedesaan dan sumber penghasilan masyarakat pedesaan maupun daerah kabupaten sebagian besar masih bertumpu pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan kelautan. Maka secara rasional sektor ekonomi pedesaan seharusnya menjadi dasar dalam pertumbuhan ekonomi yang mampu mengantar ke arah perubahan ke sektor industri, perdangan dan jasa. Dalam kenyataan empiris, tidaklah demikian. Hal ini terungkap melalui penelitian oleh Risnarto pada tahun 2003 di Desa Dasan Lekong, Kecamatan Sukamulia, Kabupaten Lombok Timur. Desa Dasan Lengkong berpenduduk padat dan tidak seluruh keluarga mempunyai tanah usaha. Dari jumlah rumah tangga sebanyak 3 257 Keluarga, hanya 1987 orang (61 %) yang tercatat sebagai wajib pajak tanah. Sebanyak 995 orang (25,36 %) keluarga yang pendapatannya bersumber dari usahatani tanah tercatat sebagai pemilik penggarap sawah atau kebun. Sebanyak 540 orang (13,76 %) sebagai penyakap, 156 orang (3,97 %) sebagai penyewa dan sebanyak 2 243 orang (56,91 %) sebagai buruh tani. Berdasarkan luas kepemilikan tanah, sebagian besar (66,10 %) mempunyai tanah di bawah 1000 meter2, sebanyak 32,71 % antara 0,1 s/d 0,5 hektar. Hanya sekitar 1,19 % yang tercatat sebagai pemilik tanah di atas 1,00 hektar. Kegiatan sertipikasi tanah pertama kali belum banyak menjangkau Desa Dasan Lekong. Sebagian besar masih berupa tanah Girik Dari jumlah bidang tanah di desa tersebut yang diperkirakan sebanyak 8 500 bidang tanah, hanya sebanyak 365 bidang tanah yang sudah bersertipikat. Sekitar 325 bidang hasil Proyek PP 10 Tahun 1961 dan PRONA tahun 1993/1994 dan sekitar 40 bidang tanah merupakan hasil kegiatan rutin. Peralihan tanah yang terjadi selama tahun 2 tahun terakhir pada tanah yang belum bersertipikat dan proses peralihannya hanya dilakukan di Desa menunjukkan jumlah peralihan yang cukup tinggi. Pada tahun 2002 sebanyak 73 bidang tanah dengan luas 12,37 hektar, dan sampai bulan September 2003 telah terjadi peralihan tanah sebanyak 42 bidang tanah dengan luas 5,04 hektar. Peralihan itu mendorong perubahan penggunaan tanah. Selama delapan bulan, Januari sampai Oktober 2003, telah terjadi perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke non-pertanian sebanyak 15 bidang tanah,
seluas 4,84 hektar. Sebagian besar berasal dari tanah sawah menjadi pekarangan/rumah, industri dan jasa/kantor. Gambaran di atas sebenarnya terjadi pula di sebagian besar wilayah pedesaan terutama Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat yang berpenduduk padat dengan sumber-sumber kehidupan utamanya dari lapangan usaha agraria. Berdasarkan pengalaman empiris di negara-negara tetangga dapat dikemukakan bahwa untuk mewujudkan tanah untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat hanya mungkin terjadi apabila dilakukan reforma agraria dalam arti luas yang menyangkut akses tanah (land reform), akses prasarana dan sarana ekonomi (access reform) dan akses kebijakan/peraturan (policy/regulation reform).
4.
Kerangka Umum Menuju Pembaruan Agraria
Dari pembelajaran pelaksanaan landreform di beberapa negara tampak bahwa secara umum ada empat faktor penting sebagai prasyarat pelaksanaan landreform, yaitu: Pertama, adanya komitmen politik dan konsistensi segenap komponen Bangsa untuk melaksanakan program itu, yang langsung dipimpin oleh Kepala Negara. Komitmen politik itu meliputi penegasan kembali reforma agraria yang menjadi landasan filosofis dan kebijakan nasional di manajemen agraria. Ruang lingkup kebijakan tersebut meliputi: (1) kebijakan di bidang pertanahan/agraria sebagai dasar penataan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (2) kebijakan pembangunan ekonomi, khususnya wilayah pedesaan sebagai basis usaha sektor pertanian yang mampu mendukung sektor industri serta sektor perdagangan dan jasa dalam kerangka keberlanjutan pembangunan nasional, (3) kebijakan moneter dan keuangan mendukung program reforma agraria yang mampu mendukung berkembangnya sektor informal, khususnya di wilayah pedesaan. Kedua, adanya program yang jelas mengenai reforma agraria. Program itu, sekurang-kurangnya meliputi: (1) tujuan dan sasaran yang jelas apa yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu, (2) kejelasan kelompok sasaran atau target group, (3) kejelasan pola-pola atau skema penanganan, (4) komponen kegiatan, (5) organisasi yang jelas di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai tingkat lapangan yang melibatkan seluruh komponen Bangsa baik dari institusi pemerintahan, pihak swasta dan masyarakat petani maupun politisi, praktisi dan akademisi serta (6) pembiayaan dari berbagai sumber anggaran. Ketiga, adanya ketersediaan data dan informasi yang lengkap dan akurat menggambarkan keadaan subyek dan obyek reforma saat ini sebagai base line condition. Perkembangan keadaan dalam kurun waktu tertentu serta dampak sosial ekonomi dan sosial budaya terhadap keluarga petani, kelompok masyarakat, wilayah lokal, regional dan nasional. Keempat, adanya instrumen pengendalian dan pengawasan yang transparan, akuntabel di setiap tingkatan pelaksanaan dilengkapi dengan Juklak dan Juknisnya.
13 Komitmen Politik Program Pembaruan Agraria 1. Landasan Filosofis-Ideologis Pembaruan Agraria Pada acara Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni 2006, dengan tema Restorasi Pancasila, Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa konsep Pembaruan Agraria ádalah konsep yang merupakan derivat asli dari nilai falsafah Pancasila. Nilai kepribadian bangsa itu sendiri yang mencita-citakan adanya ’keadilan sosial bagi rakyat Indonesia’. Persoalannya konsep Pembaruan Agraria harus mengandung muatan-muatan alternatif yang datan dari budaya masyarakat Indonesia sendiri sehingga konsep tersebut tidak diposisikan sebagai bagian dari ideologi-ideologi klasik seperti Kapitalisme, Sosialisme atau politik identitas lainnya. Selanjutnya dikatakan bahwa Pancasila bukan sekedar nilai ideal, tetapi seperti ditegaskan oleh Bung Karno, memiliki aspek nyata dalam kehidupan sosial karena Pancasila digali dari kepribadian Bangsa. Dari konsep filosofis tersebut dapat dikatakan bahwa Pembaruan Agraria dengan Pancasila sebagai landasan ideologi beserta perangkat UUPA merupakan landasan untuk membangun tatanan kehidupan Bangsa dan Negara yang berbasis keadilan sosial. Keadilan sosial itu, bersifat universal karena merupakan bagian dari hak asasi manusia. Indonesia merupakan negara yang menghormati hak asasi manusia. Prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia itu secara filosofi dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal-Pasal dalam Batang Tubuhnya. Secara prinsip komitmen negara terhadap hak asasi manusia tertera dalam Pasal 1, tentang NKRI, kedaulatan di tangan rakyat dan merupakan negara hukum. Selanjutnya beberapa pasal antara lain pada Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan hak warganegara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 31 ayat (1) mengenai hak memperoleh pendidikan dan Pasal 33 ayat (3) tentang komitmen negara untuk memberi kemakmuran rakyat dari sumberdaya alam yang dikuasainya. Mengenai hak asasi manusia secara lebih konkrit ditetapkan dalam Pasal 28 Amandemen UUD 1945 Dalam melaksanakan Pembaruan Agraria terdapat sejumlah Kaidah dan Prinsip Dasar Pembaruan Agraria merupakan acuan yaitu: a. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; d. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia; e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat; f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria; g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembanguran dalam pelaksanaan reforma agraria; j. mengakui dan menghormati hak masyarakat adat atas sumberdaya agraria serta keragaman budaya bangsa; k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah, masyarakat dan individu; I. melaksanakan desentralisani berupa pembagian kewenangan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota berkatan dengan alokasi dan managemen sumberdaya agraria dan sumberdaya tanah m. memegang prinsip ketertiban dan keterbukaan, terencana dan terukur. n. Menghindari diskriminasi raial, agama, suku, dan gender Kebijakan Pembaruan Agraria pada dasarnya ditujukan untuk mengatasi masalah (1) ketimpangan secara nasional penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, yang telah berkembang selama ini baik antar wilayah maupun antar masyarakat. (2) alokasi sumberdaya agraria, khususnya tanah untuk pembangunan (3) integrasii kebijakan sektoral terkait pertanahan dan pelaksanaan koordinasi di daerah Dengan demikian reforma agraria memerlukan suatu pengaturan dan pengelolaan secara nasional untuk menyusun dan sekaligus menyeimbangkan neraca penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah berbagai wilayah dan berbagai sektor pembangunan serta kebutuhan masyarakat, sehingga dapat tercapai rasa keadilan dalam pemilikan dan penguasaan tanah bagi seluruh rakyat Indonesia di satu pihak dan kemakmuran melalui optimasi penggunaan dan pemanfaatannya secara lestari dan seimbang di lain pihak. Selanjutnya mengingat ketimpangan di atas telah menyentuh dan sangat berkaitan antar sektor pembangunan, dengan demikian program reforma agraria seharusnya dikelola secara komprehensif dalam arti tidak hanya cukup sektor pertanian saja sebagai target grupnya semata, namun juga sektor pembangunan lainnya juga merupakan target penataan secara simultan dan sinergi (pertanian dan bukan pertanian, perdesaan dan perkotaan, masyarakat ekonomi lemah dan ekonomi kuat), sehingga cita-cita sumberdaya agraria untuk kemakmuran bersama yang berkeadilan dapat didekati pencapaiannya.
2.
Kesepakatan Bangsa Mewujudkan Pembaruan Agraria
Pelaksanaan kebijakan Pembaruan Agraria perlu diawali dengan Komitmen Politik Pemerintah serta Konsistensi Politik. Pada kenyataannya bahwa reforma agraria tidak hanya cukup dengan suatu kehendak politik saja, namun juga harus merupakan suatu komitmen dan konsistensi politik bersama dari segenap unsur bangsa mulai dari perencanaan sampai dengan implementasi dan pengendaliannya. TAP MPR-RI Nomor IX/MPR/2001, khususnya Pasal 5 ayat (1), arah kebijakan pembaruan agraria/pertanahan adalah: a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum;
e. Memperkuat kelembagaan kewenangan dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agaria dan menyelesaikan konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi; f. Meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dalam bidang agraria/pertanahan; g. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program-program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik pertanahan yang terjadi. Tantangan Ke Depan: Platform Politik Pembaruan Agraria. Rakyat Indonesia melalui Tap IX/MPR/2001 memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk melaksanakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Jelas kiranya bahwa melaksanakan pembaruan agraria merupakan tugas bangsa, bukan tugas satu individu atau satu organisasi saja. Oleh karena itu, pelaksanaan pembaruan agraria merupakan satu tim kerja. Dalam konteks inilah menjadi sangat penting adanya landasan (platform) kerja sama dari tim kerja tersebut. Secara makro paling tidak ada dua platform politik yang harus ada. Pertama. harus ada kesamaan persepsi dari pemangku kepentingan khususnya pihak-pihak yang menguasai tanah luas seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jenderal Perkebunan (Departemen Pertanian). Kedua, pentingnya unifikasi sistem administrasi pertanahan. Sumber agraria dikelola adalah sama yaitu seluruh bumi, air,ruang angkasa dan kekayaan alam yang yang terkandung di dalamnya yang berada dalam yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hutan diperlukan untuk perlindungan dan juga sumber devisa,. Kegiatan exploitasi bahan tamban dan pemanfaatan tanah untuk perkebunan untuk membiayai pembangunan. Dalam waktu yang bersamaan, masyarakat juga memerlukan tanah untuk kelangsungan hidup. Usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tanah merupakan kewajiban bangsa termasuk instansi-instansi pemerintah yang menguasai tanah luasluas. Sampai pada titik ini seperti ada konflik kepentingan. Salah satu cara untuk mengatasi konflik kepentingan itu adalah dengan mengkaji bersama-sama secara seksama berapa luas kebutuhan dengan mengkaji bersama-sama secara seksama berapa luas kebutuhan hutan, pertambangan, dan perkebunan, dan untuk keperluan negara lainnya yang harus disediakan?. Dari kesepakatan ini akan bisa dihitung berapa luas tanah yang dialokasikan untuk masyarakat, terutama yang paling membutuhkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Setelah kesepakatan-kesepakatan tentang alokasi berbagai kebutuhan negara, maka diperlukan pengadministrasian sumber agraria tersebut. Dalam konteks pengelolaan administrasi, perlu ada pengelola yang bersifat “independent”, tidak memihak pihak-pihak yang menguasai tanah. Dengan institusi yang tidak memihak itu, diharapkan dapat berfungsi sebagai pengendali penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang menjamin keseimbangan antara kebutuhan perlindungan, produksi dan keadilan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai penanggung jawab instansi yang menangani tugas pemerintahan di bidang pertanahan berkewajiban mewujudkan pembangunan pertanahan sebagai basis usaha berkelanjutan di wilayah pedesaan dengan memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah sebagai implementasi amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA, TAP MPR-RI No.IX/MPR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pembaruan Agraria serta pelaksanaan agenda ke-3 dari 11 Agenda Pertanahan tentang penguatan hak-hak rakyat atas tanah.
3.
Kebijakan Pembangunan Ekonomi Wilayah Pedesaan Kerangka keberlanjutan Pembangunan Nasional yang Berkeadilan,
Pembangunan pertanahan sebagai basis usaha berkelanjutan untuk menanggulangi kemiskinan di wilayah pedesaan bertujuan memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan sebagian besar rakyat melalui peningkatan pendapatan yang bersumber dari kegiatan berbasis tanah. Oleh karena itu syarat utama masyarakat harus mempunyai akses yang kuat terhadap tanah usaha.
Persyaratan ini mengindikasi setiap keluarga petani sekurang-kurangnya harus memiliki tanah usaha dengan luas minimal mampu menghidupi kebutuhan hidup minimal keluarga. Selanjutnya tanah usaha tersebut diberi kepastian hukum hak atas tanah kepemilikannya dengan sertipikat hak milik. Dengan sertipikat hak milik, akan mendorong peningkatan investasi dan produktivitas tanah usaha. Tanah yang bersertipikat hak milik tersebut dapat menjadi aset untuk jaminan kredit guna perluasan usaha. Keadaan tersebut hanya dapat terwujud dengan pendekatan pembangunan pedesaan terpadu berbasis tanah usaha. Pembangunan pedesaan terpadu berbasis tanah usaha merupakan kegiatan berbagai sektor pembangunan di wilayah pedesaan yang dimulai dengan penyusunan tipologi basis usaha di wilayah pedesaan yang selanjutnya diikuti dengan penataan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah dan dikembangkan pembangunan ekonomi pedesaan terpadu berbasis tanah usaha yang berkelanjutan. Berikut pokok-pokok disain kegiatannya
4.
Kebijakan Moneter dan Keuangan Mendukung Program Pembaruan Agraria.
Pelaksanaan Pembaruan Agraria memerlukan dukungan moneter dan keuangan, baik yang bersifat pembiayaan langsung terhadap program itu, maupun kebijakan moneter dan keuangan untuk menggulirkan aktivitas ekonomi yang berpihak pada masyarakat banyak di wilayah pedesaan. Pembaruan agraria yang bertumpu pada pembangunan sektor pertanian dan pedesaan sangat tergantung pada investasi infrastruktur sektor publik sebagai pendorong investasi masyarakat petani, pihak swasta dan pelaku lain yang dengan Pembaruan Agraria. Dukungan pemerintah secara rasional memang diperlukan karena kondisi sosial ekonomi petani yang sangat terbatas untuk investasi dengan skala besar dan secara fisik geografis, aktivitas Pembaruan Agraria berada di wilayah pedesaan yang umumnya merupakan daerah yang lokasinya tersebar dengan aksesibilitas yang relatif rendah sehingga biaya infrastruktur per kapita menjadi tinggi. Kebijakan Moneter dan Keuangan Salah satu faktor yang semakin terpuruknya kemampuan investasi masyarakat di wilayah pedesaan adalah semakin rendahnya nilai tukar input-output komoditi pertanian, nilai tukar komoditi pertanian terhadap komoditi industri dan jasa serta semakin rendahnya nilai tukar tukar komoditi pertanian dalam negeri terhadap harga komoditi dunia. Perbedaan tingkat nilai tukar dan harga tersebut pada kenyataan tidak dinikmati langsung oleh masyarakat pedesaan sehingga beban untuk membiayai investasi kegiatannya sendiri semakin rendah, akibatnya daya dorong output produksi menjadi terbatas. Dengan kata lain incremental output per input sebagai manfaat yang diterima dengan penggunaan teknologi tidak mampu untuk mempertahankan maupun mengembangkan skala usahanya akibat meningkatnya biaya riil maupun meningkatnya inflasi. (pm)
Aggaran Sektor Agraria/Pertanahan Selama tiga tahun terakhir ini anggaran sektor agraria/pertanahan relatif kecil. Pada tahun 2004 sekitar Rp 1,5 trilyun, menjadi sekitar Rp 1,6 trilyun pada tahun 2005 dan sekitar Rp 1,7 trilyun pada tahun 2006. Jumlah dan peningkatan ini relatif kecil karena sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai, sedangkan peningkatan itu terjadi lebih banyak karena alasan penyesuaian terhadap meningkatnya inflasi tahunan. Sedangkan sumber pembiayaan bertumpu pada pembiayaan dalam negeri melalui DIPA (APBN). Sumber pembiayaan luar negeri relatif dalam beberapa tahun ini seperti LOC, LMPDP dan RALAS (Aceh) cukup membantu walaupun jumlahnya terbatas dan tidak langsung mendukung program Pembaruan Agraria.
14 Esensi Program Pembaruan Agraria 1. Tujuan dan sasaran yang jelas apa yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu, 2 Kelompok sasaran atau target group, 3 Pola-pola atau skema penanganan,
4 Tahap Kegiatan, Penyusunan tipologi usaha basis pertanahan. Penyusunan tipologi basis usaha di wilayah pedesaan diperlukan karena adanya perbedaan potensi geografi pedesaan dalam memberikan kontribusi terhadap usaha ekonomi, perbedaan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang pertanahan serta adanya perbedaan kemampuan pelayanan pertanahan oleh Kantor Pertanahan. Tipologi itu dapat disusun dengan melakukan: (1) regionalisasi wilayah fisik geografi dan penggunaan tanah, (2) klasifikasi lapangan usaha masyarakat, pemahaman, kemampuan dan kebutuhan pelayanan pertanahan,serta (3) klasifikasi kapasitas kelembagaan pertanahan dalam membangun wilayah pedesaan. Hasil regionalisasi merupakan dasar dalam perumusan: (1) strategi pendekatan program pembangunan wilayah pedesaan, (2) penetapan program dan pelayanan pertanahan, (3) penyusunan rencana tindak pelaksanaan program dan pelayanan pertanahan serta (4) penetapan lokasi Pilot Proyek. Di setiap provinsi dapat dikembangkan Pilot Proyek yang dapat mewakili sekurang-kurangnya 3 – 4 model tipologi wilayah, yaitu tipologi: (1) wilayah pertanian basis sawah, (2) wilayah pertanian basis tanah kering, (3) wilayah pertanian basis perkebunan/kebun/agribisnis, (4) wilayah pertanian basis perikanan pantai dan pesisir dan (5) wilayah non-pertanian. Areal Pilot Proyek terdiri dari 2-3 wilayah desa dalam satu wilayah kecamatan. Pemilihan lokasi selain mempertimbangkan tipologi tersebut, juga mempertimbangkan daerah berpotensi ekonomi yang masyarakatnya sebagian besar dalam kelompok miskin. Di lokasi itulah dilaksanakan program dan pelayanan pertanahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang didukung dengan pembangunan ekonomi pedesaan secara terpadu. Penataan Penguasaan Pemilikan Tanah Usaha. Tahap awal penataan adalah mengidentifikasi dan mengalokasikan bahwa setiap keluarga petani sekurang-kurangnya harus memiliki tanah usaha dengan luas minimal mampu menghidupi kebutuhan hidup minimal keluarga. Hasil identifikasi terdiri dua alternative pola penataan yaitu redistribusi tanah usaha skala kecil dan konsolidasi tanah secara kelompok. Redistribusi tanah merupakan pembagian tanah yang dikuasai Negara maupun tanah kelebihan maksimum, tanah absentee dan tanah Negara lainnya (eks HGU, tanah terlantar) yang telah ditetapkan menjadi tanah obyek landreform. Dewasa ini mencari tanah kelebihan maksimum, tanah absentee sulit diperoleh. Oleh karena itu, sasaran yang dapat dikembangkan adalah tanah Negara bebas maupun tanah Negara lainnya (eks HGU, tanah terlantar). Pelaksanaan kebijakan landreform bertujuan untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat yang berupa tanah. Dengan pembagian tersebut, dapat dicapai pembagian hasil atas tanah yang adil dan merata.
Redistribusi tanah skala kecil Tanah yang tersedia untuk obyek landreform, pada umumnya luasnya terbatas sedangkan petani penggarap yang memerlukan tanah usaha jumlahnya besar. Keadaan tersebut tidak memungkinkan pembagian tanah yang luasnya memenuhi luas minimum tanah pertanian. Penelitian Puslitbang, BPN pada tahun 2005 menemukan bahwa di Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung Provinsi Bali rata-rata luas obyek landreform 0,42 hektar per keluarga. Di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur, sekitar 0,32 hektar per keluarga. Sedangkan di Provinsi Lampung rata-rata sekitar 0,24 hektar per keluarga. Kisaran yang diterima petani di Provinsi Lampung antara 0,11 sampai 0,35 hektar, di Provinsi Jawa Timur antara 0,10 sampai 0,40 hektar. Sedangkan di Provinsi Bali antara 0,16 sampai 0,73 hektar per keluarga. Dari temuan tersebut dapat dikatakan bahwa arah redistribusi tanah di daerah yang padat penduduknya sudah menjurus ke redistribusi tanah skala kecil, di bawah 2000 meter2. Dengan luasan tersebut, sulit bagi petani untuk meningkatkan pendapatan usahataninya. Oleh karena itu untuk mensejahterakan petani di pedesaan harus menyatu dengan kebijakan ekonomi nasional. Landreform bukan dalam pengertian bagi-bagi tanah kelebihan dan tanah Negara, tetapi dalam kerangka kesatuan sistem kebijakan pertanahan dari hulu sampai kehilir yang meliputi perencanaan, implementasi, sumberdaya manusia, teknologi pertanian, produk dan pemasaran hasil pertanian dan sebagainya yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani di pedesaan. Maka redistribusi tanah skala kecil perlu diintegrasi dengan konsolidasi tanah usaha. Konsolidasi Tanah Usaha Secara Kelompok. Tanah usahatani yang luasnya di bawah skala usaha ekonomi umumnya memerlukan biaya produksi yang relative tidak banyak berbeda dengan skala usaha ekonomi, sedangkan pendapatan yang diperoleh relative jauh lebih kecil. Artinya usahatani tersebut menjadi tidak efisien. Jika tenaga kerja petani diperhitungkan sebagai biaya yang harus dikeluarkan maka usahatani menjadi tidak rasional, karena pendapatan bersih menjadi negatif. Sebaliknya kalau tidak diperhitungkan maka upah tenaga kerja yang seharusnya diterima petani menjadi hilang. Artinya petani mensubsidi usahataninya. Dilema ini selalu menjadi persoalan dalam perhitungan pendapatan usahatani skala kecil. Konsolidasi penguasaan tanah sebenarnya telah terjadi secara alami di pedesaan. Petani yang membutuhkan biaya besar untuk menyekolahkan atau menikahkan anaknya rela menjual tanah usaha kepada pemilik modal, sehingga terjadi pemusatan penguasaan pemilikan tanah. Namun untuk program konsolidasi tanah usahatani berencana kemungkinan masih banyak kendala karena berbagai faktor social ekonomi maupun sosial budaya sehingga petani tidak mudah menjual tanahnya tanpa keinginan sendiri. Alternatif yang lebih dapat terwujud adalah konsolidasi pengusahaan tanah. Konsolidasi pengusahaan tanah merupakan upaya untuk mengelola tanah usaha secara bersama dalam satuan areal tertentu, misalnya 10 hektar dengan pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, panen dan pemasaran hasil secara bersama. Biaya input produksi dan pendapatan usaha dikelola bersama. Dengan satuan luas tersebut memungkinkan penggunaan teknologi alat dan mesin (Alsin) serta terjadi efisiensi hasil usahatani. Keadaan semacam ini telah lama dilakukan di beberapa daerah pertanian tanah sawah beririgasi maupun di daerah tanah kering seperti Proyek DAS Cimanuk Hulu di Jawa Barat pada tahun 1985an, serta DAS Jratunseluna-Brantas pada tahun 1989an. Pemberian Sertipikat Hak Milik Atas tanah Hak Milik Atas Tanah (HMAT), merupakan hak atas tanah strategis yang dibutuhkan masyarakat banyak. HMAT dapat mendukung kepentingan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat banyak, dapat dibebani hak atas tanah lain dan dapat dibebani hak tanggungan (dengan pemasangan Akta Hak Tanggungan). Oleh karena itu HMAT sangat relevan dalam rangka mewujudkan hak asasi manusia atas tanah. Guna menjamin kepastian hak kepemilikan atas tanah pemberian HMAT di wiilayah pedesaan diikuti dengan pemberian sertipikat hak milik atas tanah. Biaya
pemberian hak dan sertipikasi tanah itu hendaknya dapat diperoleh dari BRI atau Bank Pedesaan lainnya dengan bunga rendah yang dapat diangsur selama satu tahun. Berbagai penelitian menunjukkan dengan pemberian sertipikat hak milik atas tanah, para petani mempunyai kepastian dalam usahataninya dengan menggunakan input produksi secara lebih optimal dan memperoleh bagian pendapatan yang lebih tinggi. Dengan adanya sertipikat hak milik atas tanah, data base penguasaan pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayah pedesaan dapat diperoleh sehingga terjadinya peralihan pemilikan tanah dan konversi penggunaan lebih dapat dikendalikan. Mengingat alas hak atas tanah pada umumnya sangat beragam maka perlu dikembangkan lembaga penjamin indipenden yang berfungsi menyiapkan berbagai persyaratan teknis dan administrative yang memungkinkan Kantor Pertanahan dapat memproses pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah guna penerbitan sertipikat hak milik atas tanah. Upaya memperkuat akses rakyat terhadap penguasaan pemilikan tanah melalui program redistribusi atau konsolidasi dan pemberian sertipikat hak milik atas tanah. selanjutnya diikuti dengan pembangunan ekonomi pedesaan terpadu berbasis tanah melalui kemitraan berbasis tanah usaha. Pembangunan Ekonomi Pedesaan Terpadu Berbasis Tanah Sebagaimana diutarakan di atas, tentang konsep hak negara dan hak individu atas tanah, dalam praktik selama ini hak negara mempunyai kedudukan tertinggi yang kurang seimbang dengan hak individu bangsa indonesia. Pengaturan kewenangan negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 UUPA adalah untuk mengatur hubungan hukum individu dengan tanah yang hak-hak keperdataannya sangat ditentukan oleh pemerintah yang wujudnya adalah peruntukan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kepentingan politik pemerintah ternyata tidak selalu berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Hal itu lebih konkrit lagi ketika kepentingan hak atas tanah milik individu/perorangan dihadapkan kepada kepentingan hak atas tanah milik badan hukum swasta dan badan hukum pemerintah, yang berimplikasi pada kenyataan bahwa rakyat belum memperoleh hak-hak mendasar untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan kesejahteraan dirinya dan rumah tangganya. Keadaan itulah yang merupakan salah satu sumber kemiskinan. Kemiskinan termasuk pengangguran merupakan dua persoalan yang masih dihadapi pemerintah saat ini. Jika tidak ditangani dengan cara yang baik dapat menimbulkan kerawanan sosial dan mengganggu stabilitas ekonomi, keamanan dan politik. Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan maka sebagian besar penduduk miskin itu juga berada di wilayah pedesaan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya yang mendasar dengan memberdayakan aset sosial ekonomi yang dimiliki masyarakat. Salah satu aset tersebut adalah sumberdaya tanah. Sumberdaya tanah merupakan aset strategis bagi masyarakat di wilayah pedesaan maupun perkotaan guna mengimplementasikan hak rakyat yang mendasar. Hak rakyat yang mendasar itu antara lain hak untuk memperoleh kehidupan yang layak. Kehidupan yang layak itu diperoleh sekurang-kurangnya dengan pemenuhan delapan jalur pokok, yaitu: (1) pangan, (2) sandang, (3) papan, (4) kesehatan, (5) pendidikan, (6) pekerjaan, (7) penghasilan dan (8) status sosial. Pemenuhan delapan jalur pokok itu saling berkaitan dan secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan pola penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Oleh karena itu, diperlukan suatu komitmen politik untuk meningkatkan dan menguatkan akses rakyat terhadap tanah Komitmen politik itu adalah pernyataan Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan RI untuk menugaskan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai instansi yang menangani tugas pemerintahan di bidang pertanahan untuk memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah sebagai implementasi amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA, TAP MPR-RI No.IX/MPR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pembaruan Agraia serta pelaksanaan agenda ke-3 dari 11 Agenda Pertanahan tentang penguatan hak-hak rakyat atas tanah. Selanjutnya jalur strategis yang dapat dikembangkan adalah dengan mewujudkan pembangunan pertanahan sebagai basis usaha berkelanjutan di wilayah pedesaan.
Pembangunan pertanahan sebagai basis usaha berkelanjutan untuk menanggulangi kemiskinan di wilayah pedesaan merupakan pelaksanaan UUPA, Reforma Agraria dan 11 Agenda Pertanahan yang bertujuan memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan sebagian besar rakyat melalui peningkatan pendapatan yang bersumber dari kegiatan berbasis tanah. Oleh karena itu syarat utama masyarakat harus mempunyai akses yang kuat terhadap tanah usaha. Persyaratan ini mengindikasi setiap keluarga petani sekurang-kurangnya harus memiliki tanah usaha dengan luas minimal mampu menghidupi kebutuhan hidup minimal keluarga. Selanjutnya tanah usaha tersebut diberi kepastian hukum hak atas tanah kepemilikannya dengan sertipikat hak milik. Dengan sertipikat hak milik, akan mendorong peningkatan investasi dan produktivitas tanah usaha. Tanah yang bersertipikat hak milik tersebut dapat menjadi aset untuk jaminan kredit guna perluasan usaha. Keadaan tersebut hanya dapat terwujud dengan pendekatan pembangunan pedesaan terpadu berbasis tanah usaha. Secara umum terdapat empat kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, yaitu: (1) usahatani basis tanah sawah (2) usahatani basis tanah kering, (3) usahatani kebun dan agribisnis, (4) usahatani non-basis tanah, seperti ternak unggas, kambing, sapi dan perikanan, serta (5) luar usahatani, seperti usaha perdagangan, industri dan jasa. Pelaksanaan kegiatan usahatani dengan melibatkan instansi terkait di bidang pertanian, pengairan, akses jalan usahatani, pemasaran produksi, koperasi usahatani, perbankan dan sebagainya.. Untuk standarisasi kualitas hasil produksi dan pemasaran produksi jika perlu dapat dilakukan dengan pola kemitraan usaha dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar yang beroperasi di daerah tersebut.
5. organisasi 6. Pembiayaan
15 Dampak Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Program Reforma Agraria 1.
Konsepsi Dampak Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya
2.
Metodologi Dampak Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya
3.
Studi Base Line dan Studi dampak Program Reforma Agraria
16 Sistem Pengendalian Program Pembaruan Agraria 1. Konsep Pengendalian 2. Pengendalian Berbasis Masyarakat
BAGIAN KELIMA MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK SEBAGAI PIRANTI PEMBARUAN AGRARIA 17. Konsep Manajemen Sektor Publik 18. Tantangan Manajemen Organisasi Sektor Publik 19. Produktivitas Organisasi Sektor Publik 20. Membangun Manajemen Agraria