DEPARTEMEN PERTANIAN DAN AGRARIA JAKARTA No Lampiran Perihal
: Unda.4/2/16. : 1 (P.M.P.A. No. 2/1962). : Penjelasan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2/1962. Tanggal 14 Agustus 1962 Kepada : 1. Kepala Jawatan Agraria. 2. Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah. 3. Semua Kepala Inspeksi Agraria. 4. Semua Kepala Inspeksi Pendaftaran Tanah. 5. Kepala Dinas Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta. 6. Semua Kepala Pengawas Agraria. 7. Semua Kepala Agraria Daerah/Kotapraja. 8. Semua Kepala Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Pendaftaran Tanah. 9. Semua Kepala Kantor Pendaftaran Tanah.
(1) Bersama ini kami sampaikan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 tentang ”Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak-hak Indonesia atas tanah” untuk dimaklumi dan dipergunakan/dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dengan adanya Peraturan ini maka acara penegasan konversi hak-hak Indonesia atas dasar ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, sebagai yang telah diatur di dalam pasal 19 dan 22 Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1960, telah disederhanakan dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. (2) Sebagaimana Saudara maklum, maka di daerah-daerah di mana pendaftaran tanah sudah diselenggarakan menurut Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tersebut (lihat Peraturan Menteri Agraria No. 12 tahun 1961 jo. No. 16 tahun 1961 dan No. 1 tahun 1962) penegasan konversi hak-hak Indonesia itu menurut Undang-Undang Pokok Agraria diwajibkan, yaitu jika terjadi peralihan hak karena pewarisan (pasal 20), perbuatan-perbuatan hukum yang disebutkan dalam pasal 21 (lelang) dan pasal 19 (setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan – hipotik/credietverband). Penegasan konversi itu diwajibkan, karena jika terjadi peristiwa-peristiwa hukum tersebut di atas haknya harus didaftarkan (dibuatkan buku tanahnya) menurut Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961. Dan pembuatan buku tanah itu baru dapat diselenggarakan, jika telah diperoleh kepastian hak apakah yang akan dibukukan itu. Kepastian ini barulah dapat diperoleh setelah didapat penegasan mengenai konversinya. Sebagaimana diketahui maka hak-hak atas tanah yang ada pada tanggal 24 September 1960 (tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria) dikonversi menjadi salah satu hak yang baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Sepanjang yang mengenai hak-hak Indonesia hal itu diatur didalam pasal II dan VI Ketentuan Konversi dan pelaksanaannya di dalam pasal 19 dan 22 Peraturan Menteri Agraria No. 2/1960 Penegasan konversi itu perlu, karena konversi menjadi
Pusat Hukum & Humas BPN RI
Page 1
hak yang baru disertai syarat-syarat yang bersangkutan dengan status yang empunya dan sifat penggunaan tanahnya (tanah bangunan atau pertanian). Hak milik adat misalnya, tidaklah selalu dikonversi menjadi hak milik yang baru. Kalau yang empunya bukan seseorang yang pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal, hak itu konversinya menjadi hak guna bangunan (kalau tanah bangunan) atau hak guna-usaha (kalau tanah pertanian). Menurut Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1960 penegasan konversi tersebut diberikan oleh Kepala Inspeksi Agraria (mengenai hak agrarisch eigendom – pasal 19) atau Kepala Agraria Daerah (mengenai hak-hak Indonesia lainnya – pasal 22). Pendaftarannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan. (3) Dalam pada itu perlu diinsyafi, bahwa penegasan konversi tersebut di atas barulah dapat diselenggarakan setelah ada kepastian tentang hak apakah yang dikonversi itu. Oleh karena itu maka mengenai hak-hak yang belum ada atau tidak ada lagi tanda buktinya penegasan konversinya harus didahului dengan suatu penegasan mengenai macam haknya itu. Penegasan mengenai macam haknya ini diberikan oleh instansi agraria yang menurut Keputusan Menteri Agraria No. Sk.112/Ka/1961 berwenang untuk memberikan haknya. Misalnya penegasan hak milik diberikan oleh Menteri Agraria, karena Menteri Agrarialah yang menurut Keputusan No. Sk. 112/Ka/1961 tersebut berwenang untuk memberikan hak milik baru. Hal inilah yang dimaksudkan di dalam surat Menteri Agraria tanggal 29 April 1961 No. Unda. 1/3/11 angka 3 dan 4/II, karena mengenai hak-hak itu belum ada tanda buktinya yang memenuhi syarat. (4) Berhubung dengan apa yang diuraikan di atas maka menurut peraturan yang berlaku hingga kini, untuk keperluan pembukuan bekas hak-hak Indonesia tersangkut 3 instansi, yaitu a yang memberikan penegasan tentang haknya yang dikonversi, b yang memberikan penegasan konversinya dan c yang membukukan haknya yang baru itu. Teranglah kiranya bahwa acara yang demikian itu memerlukan waktu yang tidak sedikit dan menyusahkan fihak-fihak yang bersangkutan. Atas dasar pertimbangan itu maka dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 ini ditetapkan acara yang lebih singkat dan sederhana. Menurut acara yang baru itu maka mengenai : a. hak-hak yang sudah ada tanda buktinya yang memenuhi syarat (pasal 2 dan 3) tidak diperlukan lagi suatu keputusan mengenai penegasan haknya. Penegasan konversi dan pendaftaran haknya yang baru sekaligus diselenggarakan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah sendiri. Untuk menegaskan konversinya itu tidak pula diperlukan suatu keputusan tersendiri (pasal 5). b. Hak-hak yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda buktinya masih tetap perlu diadakan penegasan hak. Tetapi penegasan hak itu dan penegasan konversinya (yang disebut : pengakuan hak) sekarang cukup diselenggarakan oleh satu instansi saja, yaitu Kepala Inspeksi Agraria atau instansi agraria daerah lainnya yang lebih rendah, tergantung pada macam haknya, berhubung dengan pembagian wewenang dalam Keputusan Menteri Agraria No. Sk. 112/Ka/1961 jo No. Sk. 4/Ka/1962. Pendaftarannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan (pasal 7). Acara pengakuan hak itu masih tetap diperlukan, karena seringkali perlu diperoleh kepastian apakah hak yang
Pusat Hukum & Humas BPN RI
Page 2
dimintakan pembukuan benar-benar sebagai yang dikatakan oleh pemohon dan bukan hak lain yang lebih rendah. (5) Permohonan penegasan konversi dan pendaftaran yang dimaksudkan dalam pasal 1 tidak mesti harus diajukan oleh yang mempunyai hak, tetapi boleh diajukan oleh siapa yang mempunyai kepentingan, bahwa hak itu ditegaskan konversinya dan didaftar menurut Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961. Misalnya seorang yang membelinya, yang membebaninya dengan hipotik atau credietverband dan sebagainya. Selain hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hipotik, credietverband dan gadai, maka menurut Keputusan Menteri Agraria No. Sk. VI/5/Ka hak pakai yang jangka waktunya lebih dari 5 tahun termasuk golongan hak-hak yang harus didaftar menurut Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961. Permohonan tersebut harus bermeterai Rp 3,- dan kiranya tidak perlu diajukan dalam bentuk yang tertentu, asal memuat cukup keterangan tentang haknya, tanahnya dan siapa yang empunya. (6) Tanda bukti kewarganegaraan yang dimaksudkan dalam pasal 2 dan 3 diperlukan untuk dapat menentukan, apakah sesuatu hak yang disebutkan di dalam pasal II Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria konversinya menjadi hak milik atau hak lainnya. Oleh karena konversi itu dianggap terjadi pada tanggal 24 September 1960, maka yang harus disertakan ialah tanda bukti kewarganegaraan dari orang yang pada tanggal tersebut mempunyai hak itu. Dan tanda bukti kewarganegaraan itu harus menyatakan kewarganegaraan orang tersebut pada tanggal tadi. Kalau tidak dapat ditunjukkan (disertakan) tanda bukti, bahwa ia pada tanggal tersebut diatas berkewarganegaraan Indonesia tunggal, maka haknya dikonversi menjadi hak guna-bangunan atau hak guna-usaha (pasal 6). Jadi tanda bukti kewarganegaraan itu hanyalah merupakan syarat mutlak untuk menegaskan konversi haknya menjadi hak milik, dan bukanlah syarat mutlak untuk menegaskan konversinya menjadi hak lain. Kalau memang yang berkepentingan tidak dapat menunjukkan bukti tersebut, maka hal itu janganlah menjadi penghambat daripada pelaksanaan konversi. Dengan sendirinya mengenai hak-hak yang tidak akan dikonversi menjadi hak milik penyertaan bukti tanda kewarganegaraan itu tidaklah diperlukan. Tetapi biarpun demikian, jika ada dugaan, bahwa yang empunya itu orang asing (di dalam pengertian”orang asing” ini tidak termasuk warganegara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap), maka pembuktian kewarganegaraan tersebut perlu diminta, berhubung dengan ketentuan pasal 30 dan 36 Undang-Undang Pokok Agraria jo pasal VIII Ketentuan Konversi dan pasal 25 Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1960, bahwa hak guna-bangunan dan hak guna-usaha yang bersangkutan mungkin telah hapus sejak tanggal 24 September 1961. (7) Yang dimaksudkan dengan ”pemberian hak baru atas tanah” dalam pasal 4 ialah pemberian hak guna-bangunan atau hak pakai atas tanah milik oleh yang memiliki tanahnya. Jadi bukan pemberian hak baru oleh pemerintah. Perantaraan yang diberikan oleh para pejabat pembuat akta tanah merupakan ”service”, yang diwajibkan oleh Peraturan ini dan oleh karena itu tidak diperkenankan untuk memungut dari yang berkepentingan sesuatu pembayaran tambahan di atas honararium yang ia berhak menerimanya. Service semacam ini diwajibkan pula kepadanya oleh Peraturan Menteri Agraria No. 14 tahun 1961, mengenai pengiriman surat-surat permohonan izin pemindahan hak. Berhubung dengan itu maka para pejabat dilarang untuk secara langsung atau tidak langsung menganjurkan, apalagi
Pusat Hukum & Humas BPN RI
Page 3
memaksa fihak-fihak yang berkepentingan untuk tidak meminta perantaraannya, akan tetapi meminta perantaraan orang-orang tertentu dengan memungut pembayaran tambahan. (8) Contoh dari hak yang ”tidak ada lagi tanda buktinya” sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 7 ialah misalnya hak agrarisch eigendom yang dulu didaftar menurut S. 1873 – 38, tetapi tanda buktinya sekarang tidak ada lagi dan karena ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria tidak mungkin dimintakan gantinya. Juga jika ada tanda buktinya, tetapi keterangannya tidak cocok lagi dengan keadaannya sekarang. Sebaliknya hak-hak yang surat pajaknya hilang (pajak hasil bumi atau verponding) masih dapat dimintakan ganti. Oleh karenanya tidak termasuk golongan yang dimaksudkan dalam pasal 7, tetapi tetap termasuk dalam golongan pasal 3. Tanah-tanah hak usaha di atas bekas tanah partikelir yang belum menjadi hak milik dan belum dikenakan pajak hasil bumi atau verponding termasuk golongan yang dimaksudkan dalam pasal 7. Mengenai konversi hak-hak usaha itu kiranya kita harus berhati-hati, karena didalam praktek hak sewa di atas bekas tanah kongsipun seringkali oleh yang bersangkutan dan oleh rakyat umumnya disebut pula sebagai ”hak usaha”. Surat keputusan pengakuan hak yang dimaksudkan dalam pasal 7 itu sekaligus memuat 2 hal, yaitu, penegasan mengenai haknya yang lama dan mengenai konversinya. Atas dasar keputusan tersebut maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah menyelenggarakan pendaftarannya. Turunan surat keputusan itu, yang harus disampaikan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah untuk arsip tata-usahanya, bermaterai Rp 3,-. Oleh instansi yang memberikan pengakuan, kepadanya disampaikan pula turunan surat keputusan itu yang tidak bermaterai untuk dicocokan dengan yang (akan) diterimanya dari pemohon. Ketentuan pasal 7 ayat 3 kalimat kedua untuk jelasnya supaya dicantumkan pula di dalam surat keputusan pengakuan yang dimaksud itu. Untuk pengakuan hak itu tidak dipungut uang pemasukan. Tetapi oleh karena untuk menyelenggarakan acara tersebut Negara harus mengeluarkan biaya (Panitia Pemerikasa dan pengumuman, maka kiranya wajar jika pemohon diwajibkan membayar sesuatu ganti-kerugian. Kecuali kalau menurut kenyataannya memeang telah dikeluarkan oleh Negara biaya yang jauh lebih besar, maka kiranya ganti kerugian sebesar Rp 500,- (lima ratus rupiah) tiap bidang tanah sudahlah cukup. Ganti kerugian itu harus disetor ke dalam Kas Negeri, sebelum diajukan permintaan pembukuan kepada Kantor Pendaftaran Tanah. (9) Untuk mencegah salah faham, maka perlu agaknya dijelaskan, bahwa hak yang ditegaskan dan dikonversi ataupun yang diakui itu adalah menurut keadaanya pada tanggal 24 September 1960. Demikian pula hak yang dibukukan oleh Kantor Pendaftaran Tanah. Perubahan-perubahan yang terjadi kemudian dicatat pada sertifikat atau sertifikat sementaranya. Dengan sendirinya mengenai perubahanperubahan yang terjadi sebelum Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 mulai diselenggarakan di daerah tempat letak tanahnya, tidak dipungut biaya, sebagai yang ditetapkan di dalam pasal 4 Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1961.*) (10) Sebelum berlakunya Peraturan Manteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 ini mungkin telah sampai kepada Kepala kantor Pendaftaran Tanah keputusankeputusan tentang penegasan hak dan penegasan konversi dari para Kepala Agraria Daerah, yang bertentangan dengan peraturan-peraturan yang diuraikan di dalam angka 2 dan 3 di atas. Jika penegasan hak dan penegasan konversi itu
Pusat Hukum & Humas BPN RI
Page 4
mengenai hak-hak yang memenuhi syarat sebagai yang disebutkan dalam pasal 2, maka pembukuannya dapatlah dilaksanakan. Mengenai hak-hak yang memenuhi syarat yang disebutkan dalam pasal 3, pembukuannya dapat dilaksanakan setelah diadakan pengumuman. Tetapi mengenai hak-hak yang dimaksudkan dalam pasal 7 haruslah diikuti acara pengakuan hak sebagai yang telah diuraikan di atas. a.n. MENTERI PERTANIAN DAN AGRARIA KEPALA DIREKTORAT HUKUM ttd. (Mr. Boedi Harsono) Tembusan : 1. Y.M. Wakil Menteri Pertama Urusan Produksi. 2. Y.M. Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah. 3. Semua Gubernur/Kepala Daerah. 4. Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. 5. Semua Residen. 6. Semua Bupati/Walikota/Kepala Daerah. 7. Pengurus Ikatan Notaris Indonesia. 1 dan 2 : untuk dimaklumi. 2 s/d 6 : untuk dimaklumi dan dengan permintaan sukalah kiranya memberitahukannya kepada para Asisten-Wedana selaku penjabat pembuat akta tanah untuk dilaksanakan. 7 : untuk dimaklumi dan dengan permintaan agar dilanjutkan kepada para Notaris/Penjabat pembuat akta tanah untuk dilaksanakan.
Pusat Hukum & Humas BPN RI
Page 5