1
STRUKTUR AGRARIA MASYARAKAT DESA HUTAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP POLA PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
SYIFA MAHARANI I34070082
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
ABSTRACT SYIFA MAHARANI. Agrarian Structure of Forest Community and its Implication to Agrarian Resources Utilization (Case: Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Leuwiliang Subdistric, Bogor Regency, West Java). Supervised by SATYAWAN SUNITO. The village Pel Cianten is located within area of HGU PTP Nusantara VIII. From de jure sight, people do not really have the property right for the land. The people use the histories to legitimate the land use for their own. From the point of view of PTP Nusantara VIII and TNGHS, the people access to the land is included as an illegal access. The method used is a qualitative and quantitative approach. Factors that affecting people access to the land are: social relation, social identity, and capital. The land accesses still become a crucial factor to their mean of support although the research shows that there is a tendency of non-land resources relevancy movement as the mean of support. Key words: Land, Access, Means of Support
ii
RINGKASAN SYIFA MAHARANI. STRUKTUR AGRARIA MASYARAKAT DESA HUTAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP POLA PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA: Kasus Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. (Dibawah bimbingan SATYAWAN SUNITO) Sejarah politik agraria Indonesia sejak masa prakolonial menunjukkan bentuk penguasaan sumberdaya agraria yang sentralistik oleh Negara. Tipe penguasaan demikian diadopsi hingga saat ini. Masyarakat desa hutan, merupakan masyarakat yang berada pada margin forest. Kampung Pel Cianten merupakan salah satu yang termasuk dalam masyarakat desa hutan, yang berada di tengah kawasan HGU PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tujuan Penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui akses warga dalam kondisi penguasaan sumberdaya agraria yang didominasi Taman Nasional dan perusahaan perkebunan besar, 2) Untuk mengetahui bagaimana struktur akses warga terhadap sumberdaya agraria mempengaruhi penghidupan warga, 3) Untuk mengetahui mekanisme akses warga terhadap sumberadaya agraria, dan 4) Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi akses sumberdaya agraria oleh warga. Penelitian dilaksanakan di Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang didukung dengan pendekatan kuantitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, pengamatan berperan serta, analisis dokumen, dan didukung dengan kuisioner. Menurut hasil pendataan sensus penduduk tahun 2010, warga Kampung Pel Cianten terdiri atas 313 kepala rumah tangga. Unit analisis dalam penelitian ini adalah 33 kepala rumah tangga yang ditentukan dengan teknik stratified random sampling. Distribusi penguasaan lahan diantara warga sangat timpang. Sebanyak 66,71 persen responden berada dalam kategori petani gurem dengan luas lahan garapan yang dikuasai hanya kurang dari 0,5 hektar. Bahkan 24,20 persen dari seluruh responden adalah tunakisma. Sedangkan 9,09 persen responden lainnya menguasai lahan garapan dengan luas lebih dari samadengan satu hektar. Ratarata penguasaan lahan garapan pertanian oleh warga adalah 0,08 hektar per kepala rumah tangga. Kondisi tersebut menunjukkan akses warga terhadap sumberdaya agraria sangat terbatas di tengah penguasaan oleh pihak PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Secara de jure warga memang tidak memiliki hak milik untuk lahan garapan mereka. Warga menggunakan justifikasi sejarah sebagai legitimasi penguasaan lahan. Dalam sudut pandang PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, penguasaan lahan oleh warga termasuk dalam mekanisme akses illegal. Faktor modal merupakan hal utama yang mempengaruhi akses warga terhadap tanah. Akses warga terhadap tanah sangatlah terbatas dan di tengah dominasi penguasaan faktor akses oleh Negara. Struktur penguasaan yang demikian menghasilkan masyarakat petani yang kental dengan budaya agraris, namun tanpa akses terhadap tanah.
3
STRUKTUR AGRARIA MASYARAKAT DESA HUTAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP POLA PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
SYIFA MAHARANI
SKRIPSI
Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
iv
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh:
Nama Mahasiswa
: Syifa Maharani
NRP
: I34070082
Judul
: Struktur
Agraria
Masyarakat
Desa
Hutan
dan
Implikasinya terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Satyawan Sunito NIP: 19520326 199103 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP: 19550630 198103 1 003 Tanggal Lulus:
v
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “STRUKTUR
AGRARIA
MASYARAKAT
DESA
HUTAN
DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP POLA PEMANFATAAN SUMBERDAYA AGRARIA (KASUS: MASYARAKAT KAMPUNG PEL CIANTEN, DESA PURASARI, KECAMATAN LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, Februari 2011
Syifa Maharani I34070082
vi
RIWAYAT HIDUP SYIFA MAHARANI. Penulis dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat pada tanggal 23 November 1989. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Drs. Didi Sunardi (ALM) dan Ibu N. Iceu Syaharani. Penulis menamatkan pendidikannya di TK Aisyiyah II Jalaksana pada tahun 1995, SDN III Jalaksana pada tahun 2001, SMP Negeri 1 Kuningan tahun 2004, dan SMA Negeri 2 Kuningan pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2007 Penulis langsung diterima menjadi mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama melaksanakan perkuliahan di kampus, penulis aktif dalam kegiatan mahasiswa, yaitu sebagai staf divisi Advertising and Multimedia Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) pada tahun 2008-2009. Penulis juga aktif sebagai anggota dan pengurus Organisasi Mahasiswa Daerah Himpunan Mahasiswa Aria Kamuning (HIMARIKA) Kuningan sejak tahun 2007 dan menjadi sekretaris II HIMARIKA pada kepengurusan tahun 2008-2009, serta kemudian menjadi sekretaris umum pada tahun 2009-2010. Penulis menjadi siswa Leadership and Entrepreneurship School (LES) angkatan II yang diselenggarakan BEM KM IPB pada tahun 20072008 dan kemudian menjadi staf akademik pada institusi tersebut pada tahun 2008-2009. Penulis pun aktif dalam berbagai kepanitian kegiatan kampus. Selain itu, Penulis pun aktif dalam jalur akademik sebagai Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi Umum selama dua semester berturut-turut pada tahun ajaran 2009/2010, Asisten Dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan pada tahun ajaran 2009/2010, Asisten Dosen Mata Kuliah Kajian Agraria pada tahun ajaran 2010/2011, serta termasuk dalam salah satu dari tiga anggota Tim Tutorial Mata Kuliah Sosiologi Umum untuk Mahasiswa Asing Institut Pertanian Bogor pada tahun ajaran 2009/2010. Adapun prestasi yang pernah diraih selama menjalani pendidikan S1 di IPB, yaitu: Juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional mengenai Gender yang diselenggarakan Harian Jurnal Nasional tahun 2010, Juara III Debat Ekologi “Index 2010” Tingkat Nasional yang diselenggarakan BEM FEMA-IPB tahun 2010, Peserta Program Kreativitas Mahasiswa bidang Artikel Ilmiah (PKM-AI) yang didanai Dikti tahun 2010, Finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII di Universitas Brawijaya Malang untuk kategori Program Kreativitas Mahasiswa bidang Teknologi (PKM-T) tahun 2009, Juara 1 Lomba Jawara Debat Politik tingkat Mahasiswa TPB yang diselenggarakan BEM TPB tahun 2008, dan 3rd Best Opinion untuk bidang Politik tingkat Mahasiswa TPB yang diselenggarakan DPM TPB tahun 2008.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Satyawan Sunito yang telah membimbing penulis dalam penulisan studi pustaka dan skripsi. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan dan Implikasinya terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemanfaatan sumberdaya agraria oleh warga, faktor-faktor yang mempengaruhi akses masyarakat, dan mekanisme akses yang dilakukan warga dalam memanfaatkan sumberdaya agraria. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang bersangkutan yang berkaitan dengan bidang agraria dan ekologi politik, yaitu bagi akademisi terutama penulis, pihak pemerintah, dan masyarakat.
Bogor, Februari 2010
Syifa Maharani
viii
UCAPAN TERIMAKASIH
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari nikmat dan rahmat yang dianugerahkan ALLAH SWT kepada penulis, serta bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian Skripsi ini, antara lain: 1. Dr.
Satyawan
Sunito
sebagai
Dosen
Pembimbing
Skripsi
atas
kesabarannya serta bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS sebagai Dosen Penguji Utama dan dosen Penguji wakil Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas kesediannya untuk menguji dan memberikan saran yang berguna bagi penulisan skripsi ini. 3. Martua Sihaloho, SP, M.Si, yang senantiasa memotivasi penulis agar dapat segera menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4. Kedua orangtua, Drs. Didi Sunardi (ALM) dan N. Iceu Syaharani, serta seluruh keluarga besar yang senantiasa menjadi pemacu inspirasi dan motivasi penulis untuk terus berkarya. 5. Seluruh masyarakat Cianten Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, staf PT. Perkebunan Nusantara VIII Cianten, dan staf Taman Nasional Gunung Gede Halimun Salak (TNGHS) atas partisipasi, keramahan, dan informasi yang sangat berguna bagi aktivitas penelitian skripsi penulis. 6. Teman satu bimbingan: Ka’ Nizar Burhanuddin, Ka’ Anindyajati Erintia Tresnani, , Ahmad “Bochad” Aulia Arsyad, Andra Dwiana Noviantri, Putri Rahmayanti, dan terutama Konny Rusdianti sebagai yang senantiasa saling memberi semangat dan berbagi informasi mengenai literatur. 7. Teman-teman
Akselerasi
Mayor
Sains
KPM’44,
terutama
Dina
Nurdinawati, Navalinesia Relamareta, dan Bio Hafsari Larasati yang telah
ix
berjuang bersama, saling berbagi informasi, dan saling memotivasi dalam pengerjaan Studi Pustaka dan Skripsi. Terimakasih ya teman-teman! =) 8. Teman-teman Mayor Sains KPM’44, terutama Konny Rusdianti, Alfian Helmi, Turasih, Faris Priyanto, Utami Anastasia, dan semua teman-teman lainnya. Terimakasih untuk motivasi dan kebersamaan selama menjalani pendidikan S1 di Sains KPM IPB. 9. Teman-teman Pondok Nova, yaitu: Astri, Ashna, Rizky, Dina, Maulina, Yoshita, Fitri, Wika, Intan, dan Dewi. Terimakasih untuk motivasi dan dorongan kepasa penulis agar dapat menyelesaikan penulisan skripsi. 10. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Bogor, Februari 2011
Penulis
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.................................................................................................... x DAFTAR TABEL.......................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xv BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang........................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................
2
1.3 Tujuan ....................................................................................................
3
1.4 Manfaat ..................................................................................................
4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS.............................................................
5
2.1 Tinjauan Pusataka...................................................................................
5
2.1.1 Ruang Lingkup dan Struktur Agararia ...............................................
5
2.1.2 Masyarakat Desa Hutan ....................................................................
7
2.1.3 Akses ................................................................................................
9
2.1.4 Taman Nasional ................................................................................ 13 2.2 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 15 2.3 Hipotesa.................................................................................................. 17 2.4 Definisi Konseptual ................................................................................ 17 2.5 Definisi Operasional ............................................................................... 18 BAB III PENDEKATAN LAPANG ............................................................. 19 3.1 Metode Penelitian ................................................................................... 19 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................... 19 3.3 Teknik Penentuan Responden dan Informan ........................................... 20 3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data............................................... 21 3.5 Teknik Analisis Data............................................................................... 22 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................ 23 4.1 Desa Purasari .......................................................................................... 24 4.1.1 Keadaan Geografis............................................................................ 24 4.1.2 Kondisi Demografi............................................................................ 24
xi
4.1.3 Sarana dan Prasarana......................................................................... 24 4.2 PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Kebun Cianten ......................... 25 4.2.1 Kondisi Geografis PTP Nusantara (PTPN) VIII Kebun Cianten ........ 25 4.2.2 Tenaga Kerja Perkebunan.................................................................. 27 4.2.3 Alokasi Penggunaan Lahan PTP Nusantara (PTPN) VIII .................. 28 4.3 Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) ................................ 30 4.3.1 Letak dan Luas Kawasan................................................................... 30 4.3.2 Aspek Ekologis ................................................................................. 31 4.3.3 Aspek Sosial Budaya Masyarakat di dalam dan Sekitar Kawasan...... 32 4.4 Konteks Kampung Pel Cianten ............................................................... 34 4.4.1 Kondisi Fisik Kampung Cianten........................................................ 34 4.4.2 Aspek Sosial Masyarakat Kampung Pel Cianten ............................... 35 BAB V SEJARAH POLITIK AGRARIA KAMPUNG PEL CIANTEN .... 35 5.1 Politik Agraria Sektor Perkebunan .......................................................... 35 5.2 Politik Agraria Kehutanan Kawasan Halimun ......................................... 37 5.3 Dampak Sejarah Politik Agraria terhadap Akses Masyarakat atas Lahan. 39 5.4 Kedudukan Warga dalam Kondisi Agraria Setempat............................... 42 5.5 Ikhtisar ................................................................................................... 48 BAB VI MEKANISME AKSES DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES WARGA TERHADAP LAHAN...................................... 50 6.1 Cara Memperoleh Lahan Garapan............................................................. 50 6.1.1 Buka Sendiri ....................................................................................... 51 6.1.2 Waris .................................................................................................. 52 6.1.3 Ganti Rugi .......................................................................................... 52 6.1.4 Bagi Hasil ........................................................................................... 53 6.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Warga terhadap Tanah dan Tumbuhnya Relevansi Sumberdaya Non Tanah ...................................... 53 6.3 Ikhtisar ..................................................................................................... 61 BAB VII ARTI DAN PERAN TANAH BAGI MASYARAKATPERKEBUNAN DESA HUTAN ........................ 63 7.1 Kegiatan Pertanian Warga....................................................................... 63 7.1.1 Ikatan Religius Warga dengan Tanah ................................................ 63
xii
7.1.2 Arti Pertanian bagi Warga ................................................................. 65 7.1.3 Aktivitas Pengolahan Lahan Pertanian oleh Warga............................ 67 7.2 Penguasaan Tanah oleh Warga............................................................... 73 7.2.1 Lahan Pemukiman............................................................................. 73 7.2.2 Tanah Garapan Pertanian .................................................................. 75 7.3 Ikhtisar ................................................................................................... 81 BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI: TERCIPTANYA MASYARAKAT TANI MARGINAL ............................... 82 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 86
xiii
DAFTAR TABEL Nomor ................................................................................................... Halaman Teks Tabel 1
Tabel Zonasi Taman Nasional ....................................................... 14
Tabel 2
Alokasi Luas Penggunaan Lahan PTP. Nusantara VIII Kebun Cianten Tahun 2010 ........................................................... 29
Tabel 3
Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTP Nusantara VIII Kebun Cianten Bulan November 2010 ................................... 44
Tabel 4
Cara Perolehan Lahan Garapan Responden .................................. 50
Tabel 5
Kalender Umum Kegiatan Bercocok Tanam Warga....................... 67
Tabel 6
Spesifikasi Pekerjaan Pengolahan Tanah oleh Warga Kampung Pel Cianten Tahun 2010 ................................................................ 69
Tabel 7
Jenis Komoditas Pertanian yang Diusahakan Warga di Lahan Garapan Pertanian ........................................................................ 71
Tabel 8
Distribusi Rumah Tangga Responden menurut Kelas Pemilikan Lahan di Kampung Pel Cianten Tahun 2010................................. 77
Tabel 9
Distribusi Rumah Tangga Responden menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Pel Cianten Tahun 2010 ............................................ 78
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor ................................................................................................... Halaman Teks Gambar 1
Lingkup Struktur Agraria (Sitorus, 2002) .....................................
6
Gambar 2
Kerangka Pemikiran ...............................................................
16
Gambar 3
Rumah Bedeng bagi Karyawan Perkebunan ............................
74
xv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor ................................................................................................... Halaman Teks Lampiran 1 Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulan Data.....................
88
Lampiran 2 Sketsa Pemukiman Warga Kampung Pel Cianten....................
90
Lampiran 3 Peta Wilayah Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor ....................................................................
91
Lampiran 4 Contoh Surat Perjanijian Pinjam Pakai Lahan HGU antara PTP. Nusantara VIII dan Warga ......................................................
92
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa area luas yang didalamnya
terdapat berbagai macam flora dan fauna. Undang-Undang No.5 tahun 1967 mengartikan hutan sebagai lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh
merupakan
persekutuan
hidup
alam
hayati
berserta
alam
lingkungannya. Pengertian tersebut secara implisit menunjukkan hubungan antar komponen penyusun hutan dengan kondisi sekitar yang terkait dengan hutan baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk manusia sebagai aktor pemanfaat sumberdaya agraria hutan. Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) luas hutan Indonesia adalah 140,4 juta hektar atau sekitar 70% dari total luas daratan Indonesia, yang terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 113,8 juta hektar dan kawasan hutan produksi seluas 26,6 juta hektar. Selain cakupan wilayahnya yang luas, hutan Indonesia memiliki potensi keanekaragaman yang sangat tinggi. Didalamnya terdapat ribuan jenis flora dan ribuan spesies fauna. Keanekaragaman hutan merupakan sumberdaya yang memiliki nilai strategis bagi kehidupan manusia. Makna hutan dalam kehidupan masyarakat tidak hanya memberikan fungsi ekonomi, namun juga memberikan fungsi sosial, budaya, bahkan religi. Makna hutan yang tinggi sebagai sumber agraria potensial membuat akses terhadap hutan sebagai hal yang penting dan fundamental bagi masyarakat. Penelusuran mengenai sejarah penguasaan hutan dari masa ke masa menunjukkan posisi yang tidak setimbang antara subyek-subyek agraria yang terlibat dalam penguasaan dan pemanfaatan hutan. Kuasa negara sangat dominan, terlihat dari kebijakan penguasaan hutan yang sentralistik dalam kerangka UU Agraria Nasional. Dominasi negara kemudian membatasi ruang gerak masyarakat dalam mengambil manfaat dari hutan. Kebijakan politik agraria pertama adalah Agrarische Wet yang dikeluarkan tahun 1870 memberikan legitimasi mutlak kepada pemerintah (negara) untuk menguasai seluruh lahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya melalui asas Domeinverklaring. Secara implisit asas Domeinverklaring ini membatasi
2
masyarakat untuk melakukan kegiatan pemanfaatan, pemilikan, dan penguasaan lahan (termasuk hutan). Memasuki masa kemerdekaan, sistem penguasaan warisan kolonial ini diadaptasi dan diterapkan oleh pemerintahan Indonesia hingga saat ini. Inti dari setiap kebijakan politik agraria yang dikeluarkan pemerintah tetap sama yaitu: pembatasan akses dan kontrol masyarakat sebagai akibat relasi kekuasaan (power relation) antara negara dan petani (masyarakat) yang timpang. Saat ini terdapat kurang lebih 19.410 desa yang digolongkan sebagai desa hutan yang tersebar di 32 propinsi di Indonesia. Data yang dikemukakan oleh CIFOR (2004) dan BPS (2000) 1 menggambarkan bahwa kurang lebih 48,8 juta orang dari 220 juta penduduk Indonesia tinggal di kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta diantaranya tergolong miskin. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan akses masyarakat sekitar hutan akibat pengaruh kekuasaan negara dan swasta di sektor kehutanan baik untuk kegiatan konservasi maupun kegiatan produksi.
1.2 Perumusan Masalah Kondisi seperti itu ditemukan pula pada masyarakat yang berada di sekitar kawasan Halimun. Kawasan Halimun merupakan salah satu obyek agraria tua di Indonesia dan mencakup tiga wilayah, yaitu Sukabumi, Bogor, dan Banten. Pengelolaan kawasan Halimun tidak bisa dipisahkan dari intervensi kebijakan pemerintah yang berkuasa pada masanya melalui setiap kebijakan politik dan ekonominya. Sejarah kebijakan tata ruang Halimun telah dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang. Kebijakaan tanah partikelir pada tahun 1700-an dan sistem tanam paksa pada tahun 1800-an telah membatasi akses masyarakat setempat untuk membuka lahan. Pembatasan ini juga diperparah oleh penetapan kawasan hutan dan kawasan pangan pada zaman pendudukan Jepang yang berlanjut hingga saat ini. Pemerintah menetapkan kawasan Halimun sebagai Taman Nasional dan kawasan perkebunan melalui Hak Guna Usaha (HGU). Dalam konteks penguasaan lahan di Kawasan Halimun, Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor menjadi salah satu lokasi pemanfataan lahan dan sumberdaya agraria. Desa ini berada tepat 1
Dikutip dari artikel “Pemantapan Kawasan Hutan (Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan)” dalam Warta Tenure edisi Januari 2006.
3
ditengah kawasan PT. Perkebunan Nasional (PTPN) VIII Cianten dan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS). Mayoritas penduduk Desa Purasari, menggantungkan hidupnya secara langsung kepada pihak perkebunan dan taman nasional. Hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh petik perkebunan yang ditopang pula oleh kegiatan pertanian yang bersifat subsisten pada lahan yang berada pada kawasan Taman Nasional dan perkebunan. Hal yang menarik untuk diamati dan dikaji adalah mengenai penguasaan lahan, dimana masyarakat setempat tidak mempunyai hak milik untuk setiap lahan yang mereka usahakan. Kondisi ini berkaitan dengan lokasi Desa Purasari yang berada di tanah kuasa perkebunan dan taman nasional, sehingga setiap bentuk kegiatan penggunaan lahan dan pemanfatan sumberdaya akan sangat tergantung pada kebijakan perkebunan dan taman nasional. Dari pemaparan tersebut, penulis memfokuskan pada kajian tema struktur agraria dan kemudian secara spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian pada permasalahan berikut: 1. Bagaimana akses warga terhadap sumberdaya agraria dalam struktur penguasaan yang didominasi taman nasional dan perusahaan perkebunan? 2. Bagaimana pengaruh struktur akses warga pada sumberdaya agraria terhadap penghidupan warga? 3. Bagaimana mekanisme akses warga dan bentuk penguasaan sumberdaya agraria dalam kondisi struktur agraria setempat? 4. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi mekanisme akses warga dan bentuk penguasaan sumberdaya agraria yang terjadi pada warga setempat?
1.3 Tujuan Mengacu pada perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk memahami struktur akses sumberdaya agraria oleh masyarakat desa hutan dan pengaruhnya terhadap penghidupan warga setempat dalam kondisi struktur penguasaan yang didominasi oleh taman nasional dan perusahaan perkebunan. Selain itu untuk memahami mekanisme akses dan bentuk penguasaan sumberdaya agraria masyarakat desa hutan. Gambaran mengenai mekanisme akses dan bentuk
4
penguasaan sumberdaya agraria masyarakat desa hutan didukung dengan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas masyarakat dalam menguasai dan memanfaatkan sumberdaya agraria. Pemahaman terhadap hal-hal tersebut tersebut dapat membawa pada tujuan utama penelitian ini yaitu untuk memahami struktur agraria masyarakat desa hutan di Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.
1.4 Manfaat Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitan yang telah dipaparkan, maka kegunaan dari penelitian ini antara lain: 1.
Pihak Akademisi Penelitian
ini
diharapkan
mampu
menambah
khasanah
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Terutama yang terkait dengan struktur agraria dan pola pemanfaatan sumberdaya agraria pada masyarakat desa hutan. 2.
Pihak Masyarakat Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai struktur agraria dan pola pemanfaatan sumberdaya agraria pada masyarakat desa hutan.
3.
Pihak Pemerintah Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan berupa kritik dan saran kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar lebih teliti dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya agraria dan keberadaan masyarakat sekitar hutan.
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pusataka 2.1.1 Ruang Lingkup dan Struktur Agararia Istilah “agraria” secara etimologis berasal dari bahasa Latin ager yang artinya lapangan, pedusunan, atau wilayah tanah negara (Prent et.al, 1969 & World Book Dictionary, 1982 dalam Wiradi 2008). Menurut Sitorus (2002) cakupan agraria lebih luas dari sekedar tanah, namun juga meliputi seluruh materi yang ada didalam dan diatasnya, yaitu: air, udara, bahan tambang, dan manusia. Agraria merupakan bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) yang menjadi objek agraria serta kehidupan sosial antar subjek pemanfaat sumber agraria yang terdapat di dalamnya. Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960 memetakan objek agraria sebagai “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang ada didalamnya…” (Pasal 1 Ayat 2). Pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah laut (Pasal 1 Ayat 4). Sedangkan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut (Pasal 1 Ayat 6). Selanjutnya dari pengertian tersebut, Sitorus (2002) menyimpulkan bahwa yang disebut sebagai objek agraria meliputi: 1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari pertanian dan peternakan, yaitu sebagai lahan usaha tani dan padang rumput. 2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan, baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut. Pada dasarnya perairan merupakan arena penangkapan ikan (fishing ground) bagi komunitas nelayan. 3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan yang hidup dari pemanfaatan beragam hasil hutan menurut tata kearifan lokal. 4. Bahan tambang, yang terkandung dalam “tubuh bumi”, seperti minyak, gas, emas, bijih besi, timah, intan, batu mulia, fosfat, pasir, batu, dan lain-lain.
6
5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri. Arti penting materi udara sebagai sumber agraria baru semakin terasa belakangan ini setelah polusi asap mesin atau kebakaran hutan mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kesehatan manusia. Adapun pihak yang disebut sebagai subjek agraria adalah pihak yang terlibat dalam memanfaatkan sumber-sumber atau obyek agraria. Sitorus (2002) membedakan subyek agraria menjadi tiga kategori, yaitu: komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumbersumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan akan membawa implikasi terbentuknya ragam sosial, sekaligus interaksi sosial diantara ketiga subyek. Setiap subyek akan saling berhubungan secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemnfaatan sumber agraria. Sitorus (2002) membagi analisis agraria kedalam dua bentuk. Pertama: hubungan teknis, yaitu cara kerja ketiga subyek agraria dalam pemanfaatan obyek agraria. Kedua: hubungan sosial, yaitu hubungan ketiga subyek agraria yang satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Hubungan ketiga subyek agraria berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan lahan. Hubungan antar subyek agraria kemudian membentuk sebuah struktur yang digambarkan melalui Gambar.1.
Pemerintah
Keterangan: Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria
Sumber Agraria Swasta
Masyarakat
Gambar 1. Lingkup Struktur Agraria (Sitorus, 2002)
Hubungan yang melibatkan subyek agraria menyiratkan kepentingan sosial-ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan penguasaan dan
7
pemilikan atas sumber-sumber agraria. Menurut Wiradi & White (2009), penguasaan tanah bertalian erat dengan kekayaan, pendapatan, kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik. Konsekuensi logis dari hubungan antar subyek tersebut adalah sejumlah hak dan kewajiban yang saling memberi batasan kepada setiap subyek dalam rangka penguasaan sumber agraria. Jenis hak2 merentang dari hak milik, hak sewa, hingga hak pakai, dan lainnya tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menentukannya. Menurut Wiradi (2008) konsep “pemilikan” dan “penguasaan” berbeda satu sama lain. Pemilikan menunjukkan hak atas lahan yang diakui secara legal formal. Dalam praktiknya, pemilikan merupakan penguasaan tanah secara de jure yang diakui secara sah oleh hukum Negara. Sedangkan “penguasaan” merupakan bentuk penguasaan de facto yang berarti penguasaan yang dikenal, digunakan, dan diberlakukan oleh masyarakat setempat secara efektif.
2.1.2 Masyarakat Desa Hutan Desa menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan, merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri dengan ikatan Negara Republik Indonesia. Rajati (2006) menjelaskan desa ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural dalam hubungannya dengan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lain. Dengan demikian, desa merupakan suatu batasan daerah geografis yang merupakan tempat hidup sekelompok manusia yang saling terikat satu sama lain oleh nilai-nilai dan budaya tersendiri. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama dalam suatu cakupan geografis tertentu dan memiliki kesadaran sebagai satu kesatuan. Anggota masyarakat saling berinteraksi satu sama lain dengan intensitas dan waktu yang lama, serta memiliki nilai dan aturan yang disepakati bersama dan bersifat mengikat seluruh anggota yang tergabung. 2
Dikutip dari Artikel Kajian dan Opini “Memahami Terminologi Tenure”, Warta Tenure No.1 Edisi Januari 2006, Oleh Emila dan Suwito.
8
Masyarakat desa hutan merupakan sekelompok manusia yang memiliki nilai/aturan yang disepakati bersama dan hidup bersama dalam suatu pemerintahan desa yang berlokasi disekitar areal hutan. Kawasan yang disebut dengan pinggir hutan (forest margin) adalah wilayah yang pada satu atau lebih sisinya berbatasan langsung dengan wilayah kehutanan. Pada wilayah demikian, terdapat areal pertanian dengan segenap infrastruktur pendukungnya yang menjadi basis sosial ekonomi kehidupan masyarakatnya (Syahyuti, 2002). Masyarakat desa hutan memiliki karakteristik sosial ekonomi yang khas. Masyarakat sekitar hutan di Jawa secara sosial ekonomi sangat lemah dan tergantung kepada sumberdaya hutan (Katusubrata et al. ,1995 dalam Syahyuti,2002). Ketergantungan masyarakat desa hutan dengan hutan disekitarnya terjadi tidak hanya pada aspek ekonomi dimana hutan menjadi penyedia kebutuhan hidup semata, tapi juga pada aspek ekologi dan sosial. Masyarakat (terlebih masyarakat adat) terbiasa memiliki pembagian wilayah hutan secara tradisional yang memisahkan wilayah eksploitasi dan wilayah lindung dalam rangka menjaga kelestarian hutan. Misalnya, masyarakat di kawasan Halimun membagi hutan menjadi tiga kawasan, yaitu: Leuweung Kolot atau leuweueng geledegan, Leuweung Titipan, dan Leuweung Sampalan. Secara umum, proses pembentukan masyarakat hutan berdasarkan sejarah pembentukannya dikategorikan menjadi dua, yaitu masyarakat adat dan masyarakat pendatang atau masyarakat bentukan baru. Kongres Masyarakat Adat Nusantara I tahun 1999 3mendefiniskan masyarakat adat sebagai komunitaskomunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupannya. Syahyuti (2002) dan Sondakh (2002) mengemukakan bahwa masyarakat bentukan baru di kawasan pinggir hutan terjadi karena adanya migrasi akibat pertumbuhan penduduk yang cepat, faktor bencana alam ataupun juga intervensi kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan pembangunan yang bersifat
3
diakses dari http://www.aman.or.id/berita-aman/7/199.html?lang=en_GB.utf8 pada tanggal 4 Desember 2010
9
sektoral. Selain itu alasan pendorong terjadinya masyarakat bentukan baru adalah kesempatan ekonomi yang berbeda, dimana kekayaan sumberdaya agararia di sekitar hutan menjadi daya tarik untuk mendiami daerah pinggir hutan .
2.1.3 Akses Ribot & Pelusso (2003) mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (tanah) atas dasar penguasaan. Definisi akses cenderung mengarah pada satu gugus kekuasaan (bundle of power) yang lebih menekankan pada “kemampuan memanfaatkan” daripada “sekumpulan gugus hak” (bundle of right) dalam arti propherty rights. Akses dapat dilihat pada tatanan hubungan sosial lebih luas yang membuat seseorang dapat memperoleh keuntungan/manfaat sumberdaya dari ada atau tidaknya hubungan property. Kekuasaan yang dimaksud dalam akses terdiri dari komponen-komponen material, kultural, dan politik-ekonomi yang saling berhimpun menjadi sebentuk gugus kekuasaan (bundle of power) dan jejaring kekuasaan (web of power) yang menentukan akses terhadap sumberdaya. Kekuasaan yang terkandung dalam akses terwujud dalam dan dipertukarkan sesuai jarak kekuasaan, ragam mekanisme, proses dan relasi sosial yang mengakibatkan kemampuan aktor dalam mengambil manfaat/keuntungan dari sumberdaya alam. Komponen material, kultural, dan politik-ekonomi tidak statis, senantiasa mengalami perubahan dalam setiap ruang dan waktu yang berbeda bergantung pada posisi individu dalam setiap jenis relasi sosialnya. Kekuasaan melekat pada setiap bentuk hubungan dan merupakan konsekuensi dari relasi sosial. Secara empiris, akses berfokus pada isu mengenai siapa yang mendapatkan, dengan cara seperti apa, dan kapan (dalam keadaan yang seperti apa). Istilah “tenure” dan “property relation” (hubungan kepemilikan) awalnya digunakan untuk menerangkan hubungan kepemilikan sumberdaya dan pengakuan kontrol (dalam beberapa cara melalui beberapa kelembagaan sosial). Namun lebih sering digunakan untuk menjelaskan “property right” (hak kepemilikan) yang diakui oleh hukum negara. Konsep akses menempatkan property sebagai salah satu faktor dalam aras institusi, sosial, dan politik-ekonomi yang lebih besar, yang menentukan aliran manfaat/keuntungan. Dari sudut pendekatan akses, maka
10
property right merupakan bagian dari kelembagaan, hubungan-hubungan sosial/politik, serta diskursus strategis yang mengatur aliran kemanfaatan. Analisis mengenai akses secara umum terdiri atas: (1) aliran manfaat dari sumberdaya alam, (2) identifikasi mekanisme dengan aktor yang berbeda, mencakup perolehan, kontrol, dan pemeliharaan aliran keuntungan dan distibusinya, (3) analisis mengenai hubungan kekuasaan antar aktor yang mendasari mekanisme akses. Mekanisme Akses Menurut Ribot & Pelusso (2003), analisis mengenai mekanisme akses merupakan proses untuk mengidentifikasi dan memetakan cara bagaimana akses tersebut diperoleh, dipelihara, dan dikontrol. Mekanisme akses dibagi menjadi dua, yaitu; 1. Akses Legal Merujuk pada pengertian property yang merupakan hak terdefinisi oleh hukum,
custom,
dan
konvensi
(MacPherson,
1978
dalam
Ribot&Pelusso,2003). Hak kepemilikan berdasarkan hukum berarti memberikan kemungkinan akses yang disahkan melalui bentuk lisensi pemanfaatan dari lembaga berwenang (negara). Akses berdasarkan custom dan konvensi didapat melalui penerimaan sosial. Pemegang hak dapat menyatakan pengakuan haknya dengan aturan formal untuk mengontrol haknya. 2. Akses Ilegal Merupakan akses langsung yang berlawanan dengan hukum, custom, dan konvensi. Akses illegal berarti pengambilan manfaat darisumberdaya melalui cara yang tidak dikehendaki secara sosial oleh negara dan masyarakat. Akses illegal biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak melalui kaidah karena keterbatasan dalam akses, contohnya melalui tindak kekerasan dan pencurian. Struktur dan Relasi Mekanisme Akses Kemampuan untuk memperoleh manafaat dari sumberdaya dibatasi oleh kerangka politik-ekonomi dan budaya. Blaiki (1985) dalam Ribot & Pelusso (2003) menyebutkan bahwa modal dan identitas sosial mempengaruhi siapa yang akan
11
mendapat prioritas askses. Berangkat dari pemikiran ini, Ribot & Pelusso (2003) menjelaskan bagaimana teknologi, modal, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasi sosial akan membentuk struktur askes. 1. Akses terhadap Teknologi Bebarapa sumberdaya tidak bisa diekstraksi tanpa menggunakan teknologi. Kontrol dan akses seseorang terhadap teknologi dapat memberikan nilai manfaat yang lebih banyak sumberdaya. 2. Akses terhadap Modal Akses terhadap modal merupakan salah satu faktor yang memnentukan siapa yang dapat memanfaatkan sumberdaya dengan cara mengontrol atau memlihara akses mereka. Akses terhadap modal secara umum merupakan akses terhadap kekayaan danperlengkapan yang dapat digunakan dalam ekstraksi, produksi, konversi, mobilisasi tenaga kerja, dan proses lainnya ynag diasosiasikan dengan perolehan manfaat dari benda dan orang. Akses terhadap modal dapat digunakan untuk mengontrol akses sumberdaya melalui perolehan hak. Dengan kata lain, dikarenakan status dan kekuasaan dapat menghasilkan kekayaan, kekayaan tersebut mungkin juga mempunyai akses khusus kepada produksi, kesempatan, pengetahuan, otoritas dan sebagainya. 3. Akses terhadap Pasar Kemampuan untuk memperjualbelikan sumberdaya yang tergantung pada kemampuan pemiliknya untuk masuk kedalam pasar. Secara umum, akses terhadap
pasar
sebagai
kemampuan
individu
atau
kelompok
untuk
mendapatkan, mengontrol, atau memelihara jalurmasuk pertukaran. Pasar selalu membentuk akses dalam skala yang berbeda dan terjadi secara tidak langsung. Nilai dari sumberdaya mungkin saja berubah ketika sudah mengalami modifikasi bentuk. Perluasan kekuatan pasar dalam hal supply, demand, dan harga membentuk distribusi keuntungan dari suatu komoditas. 4. Akses terhadap Tenaga Kerja Siapa yang mengontrol akses tenaga kerja dapat memanfaatkan sumberdaya dalam beberapa tahap dimana tenaga kerja diperlukan sepanjang sumberdaya tersebut diolah (Appadurai, 1986 dalam Ribot &Pelusso, 2003). Kelangkaan sumberdaya dan surplusnya akan mengakibatkan porsi relatif dari setiap
12
manfaat yang dinikmati oleh siapa yang menguasai sumberdaya, siapa yang mengontrol akses kesempatan kerja, dan siapa yang mempertahankan akses meraka. Meskipun seseorang tidak memiliki akses melalui property rights dan penguasaan teknologi, namun hubungan transaksi memungkinnya untuk mendapatkan akses sumberdaya melalui hubungan kerja dengan orang yang memiliki pemilikan sumberdaya melalui mekanisme akses tertentu. 5. Akses terhadap Pengetahuan Kepercayaan, ideologi, dan tindakan diskursiv membentuk akses. Kontrol terhadap pengetahuan dan informasi mempunyai keuntungan langsung. Informasi mengenai teknologi mungkin saja disembunyikan untuk menjaga hubunganpatron-client. 6. Akses terhadap Otoritas Merupakan hak khusus yang dimiliki melalui kewenangan yang dimiliki individu untuk memanfaatkan sumberdaya. Hukum legal membentuk akses terhadap sumberdaya, modal, pasar, dan tenaga kerja. Hukum legal, custom, dan konvensi saling tumpangtindih satu sama lain dalam kekuasaan dan membuka peluang bagi seseorang untuk mendapatkan identitas sosial yang berbeda dalam rangka mengakumulasi sumberdaya dengan menggunakan legitimasi yang berbeda. 7. Akses terhadap Identitas Sosial Akses
terhadap
identitas
sosial
menentukan
distribusi
manfaat dari
sumberdaya. Akses diketahui melalui pendekatan identitas sosial atau keanggotaan
(membership)
dalam
sebuah
komunitas,
termasuk
pengelompokkan berdasar umur, gender, etnik, dan agama. 8. Akses terhadap Relasi Sosial Akses hubungan sosial merupakan akses melalui negosiasi hubungan sosial seperti pertemanan, saling percaya, timbal balik, patron, ketergantungan, dan obligasi merupakan poin-poin kritikal dalam jejaring akses. Dari analisis mengenai property right dan akses, dapat disimpulkan bahwa kemampuan
aktor
dalam
memanfaatkan
penguasaannya atas struktur akses.
sumberdaya
tergantung
dari
13
2.1.4 Taman Nasional Taman Nasional merupakan salah satu jenis kawasan pelestarian alam. Kawasan pelestarian alam merupakan kawasan yang sangat luas dan relatif tidak terganggu. Kawasan ini memilki nilai alam dengan ciri yang menonjol atau ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan. Kawasan pelindung berfungsi sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dari ekosistemnya. Menurut Arief (2001) Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan UU No 5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya mendefinisikan Taman Nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Wilayah taman nasional dibagi menjadi beberapa zonasi berdasarkan fungsi-fungsi tertentu. Pembagian zonasi Taman Nasional dapat dilihat pada Tabel.1. Penetapan
suatu
kawasan
sebagai
Taman
Nasional,
tak
jarang
memunculkan sejumlah permasalahan yang melibatkan actor pemanfaat sumberdaya yang terkandung didalamnya. Menurut Mc Neely (1995) dalam Prabowo (2010), secara umum terdapat sejumlah permasalahan yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan konservasi, yaitu: lemahnya konstititusi nasional, konflik dengan penduduk local, konflik antar berbagai sector pemerintah (pertanian, kehutanan, perikanan, irigasi, dan pertambangan), ketidakmampuan dalam mengelola, serta ketidakmantapan dan ketidakmampuan dalam pendanaan.
14
Tabel 1. Tabel Zonasi Taman Nasional
NO
Zonasi
Kriteria
Fungsi
1
Zona Inti
1. mengandung jenis tumbuhan > 200 spesies/1000 hektar; 2. mengandung jenis tumbuhan endemic; 3. mengandung ekosistem khas; 4. merupakan habitat/daerah jelajah satwa yang dilindungi; 5. mengandung tumbuhan langka/dilindungi;
Secara khusus diperuntukkan bagi upaya perlindungan dam pelestarian, maka dalam zona ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan pengunjung kecuali kegiatan penelitian. Kedudukan zona ini sama dengan Cagar Alam atau Suaka Margasatwa.
2
Zona Rimba
1. mengandung jenis tumbuhan > 200 spesies/1000 hektar; 2. mengandung tegakan dengan kerapatan , 200 spesies/1000 hektar. 3. merupakan habitat/daerah jelajah satwa liar;
Zona ini dapat dikunjungi dengan berbagai kegiatan rekreasi, tetapi dalam batas-batas tertentu. Kegiatan yang ada umunya suatu pengelolaan habitat dan pembuatan jalan setapak atau paling sedikit wisata alam terbatas.
3
Zona Pemanfaat an
1. mengandung objek wisata menarik; 2. memungkinkan dikembangkannya sebagai pusat kunjungan;
Zona ini dialokasikan untuk menampung bentuk kegiatan rekreasi dan penyediaan sarana untuk pengelolaan, misalnya kantor dan stasiun penelitian, bumi perkemahan, tempat parkir, dan yang lain-lain. Zona ini mudah dicapai oleh pengunjung dan memiliki manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut. Zona ini sama dnegan Hutan Wisata/Taman Wisata atau Wana Wisata.
4
Zona Pemanfaat an Tradisional
1.
Ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradsional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.
2. 3.
5
Zona Rehabilitas i
1.
lebih dari 25% kebutuhan pokok warga desa setempat bergantung pada kawasan Taman Nasional berdekatan/berbatasan dengan wilayah desa mempunyai ekosistem yang tidak asli
kandungan tegakan <100 batang/hektar; 2. merupakan daerah tangkapan air potensial; 3. merupakan koridor satwa liar; 4. mempunyai ekosistem yang tidak asli Sumber: Dari berbagai sumber diolah
Bagian dari Taman Nasional yang mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
15
2.2 Kerangka Pemikiran Masyarakat desa hutan yang berada pada bagian daerah dataran tinggi tidak dapat dipandang hanya sebagai kesatuan manusia tradisional semata yang bergabung secara fisik dalam suatu batas geografis tertentu yang jauh dari pusat dan tercipta begitu saja. Lebih jauh dari itu, masyarakat desa hutan merupakan suatu entitas sosial yang terbentuk melalui sejarah panjang dan memiliki keterlibatan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran rendah (pusat) yang sudah lama dan masih terus berlangsung (Muray Li, 2002). Menurut Pelusso (2006), dalam sejarah penguasaan sumberdaya oleh negara, terdapat suatu kepentingan yang saling berbenturan dan ketegangan antara negara dan petani (warga lokal) dalam hal kepentingan-kepentingan yang berkaitan pemanfaatan sumberdaya hutan. Kebijakan negara dalam penguasaan hutan berhadapan langsung dengan akses dan kendali petani atas sumberdaya hutan. Kebijakan negara dalam pengelolaan sunberdaya agraria (hutan) dituangkan dalam produk-produk kebijakan yang mengatur alokasi dan penguasaan sumberadaya agraria (hutan). Sedangkan akses warga terhadap sumberdaya dari sudut pandang teori akses Ribot dan Pelusso (2003) ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: teknologi, modal, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasi sosial. Didalam kondisi dimana SDA dimonopoli perusahaan perkebunan dan Taman Nasional sebagai representasi Negara, maka ruang gerak warga bertambah sempit, dimana hampir semua faktor akses dikuasai oleh perusahaan perkebunan dan Taman Nasional. Dengan mengasumsikan bahwa masyarakat lokal sudah terdiferensiasi maka terdapat perbedaan diantara warga dalam mendapatkan akses pada sumberdaya. Keseluruhan proses tersebut kemudian akan memberikan implikasi terhadap kegiatan dan pola-pola pemanfaatan sumberdaya agraria oleh masyarakat. Dalam kondisi demikian, melalui mekanisme seperti apa warga mendapatkan bentuk akses terhadap sumberdaya, faktor apa saja yang mempengaruhi mekanisme akses tersebut, lalu bagaimanakah pengaruhnya terhadap penghidupan warga. Keseluruhan kerangka pemikiran tersebut digambarkan dalam Gambar 2.
16
NEGARA
TNGHS
PTPN VIII
SUMBER DAYA Kebijakan
AGRARIA (Lahan)
Konservasi
Struktur Akses Ribot&Pelusso (2003) 1. 2. 3. 4.
Teknologi Modal Pasar Tenaga Kerja
5. Pengetahuan 6. Otoritas 7. Identitas Sosial 8. Relasi Sosial
Kebutuhan Hidup
Warga
Keterangan :
= saling mempengaruhi = mempengaruhi = dominasi Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Orientasi Produksi
17
2.3 Hipotesa: 1. Keberadaan TNGHS dan PTPN VIII mempengaruhi struktur penguasaan dan pengusahaan lahan. 2. Terdapat perbedaan kemampuan masyarakat desa hutan dalam memanfaatkan sumberdaya agraria. 3. Struktur
penguasaan
dan
pengusahaan
sumberdaya
agraria
akan
mempengaruhi pola-pola pemanfaatan sumberdaya agraria.
2.4 Definisi Konseptual:. 1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah badan negara yang memiliki otoritas untuk mengelola hutan dalam tujuan konservasi. Taman Nasional ini ditetapkan sebagai salah satu Taman Nasional di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 hektar dan resmi ditetapkan pada tanggal 23 Maret 1997 sebagai salah satu unit pelaksana teknis Departemen Kehutanan. 2. Kebijakan Konservasi adalah setiap produk kebijakan yang dikeluarkan TNGHS yang berkaitan dengan tujuan pengelolaan terhadap sumberdaya yang lestari dan berkelanjutan di wilayah hutan. 3. PT. Perkebunan Nusantara PTPN VIII adalah perusahaan BUMN milik pemerintah yang memiliki otoritas melalui Hak Guna Usaha (HGU) untuk mengelola sumberdaya secara komersil dalam rangka mencapai keuntungan sebesar-besarnya 4. Orientasi Produksi adalah tujuan utama kegiatan pengelolaan sumberdaya oleh PTPN VIII yang dituangkan dalam bentuk ketentuan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya agararia dalam kegiatan produksi kebun teh untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-sebasarnya. 5. Sumberdaya agraria adalah kekayaan alam yang digunakan oleh aktor-aktor pemanfaat dan merupakan modal utama kegiatan pertanian, yaitu tanah. 6. Warga adalah anggota Komunitas Kampung Pel Cianten yang mempunyai sejarah historis dalam pembukaan kawasan dan memanfaatkan sumberdaya agraria atas dasar penguasaan secara lisan.
18
7. Kebutuhan hidup adalah motivasi warga dalam pemanfaatan sumberdaya agararia yang berhubungan dengan pemenuhuan kebutuhan dasar. 8. Teknologi adalah alat dan cara yang digunakan warga dalam kegiatan mengolah tanah untuk menghasilkan produk pertanian. 9. Modal adalah faktor produksi berupa uang ataupun barang yang digunakan dalam menghasilkan produk pertanian 10. Pasar adalah jalur penyebaran hasil produksi pertanian
11. Tenaga Kerja adalah orang yang mampu melakukan pekerjaan mengolah tanah guna menghasilkan barang dan/atau jasa pertanian
12. Pengetahuan adalah keahlian dan ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki warga mengenai pengolahan tanah yang didapat melalui pengalaman.
13. Otoritas adalah kewenangan warga terhadap lahan yang dibuktikan dengan bentuk hak penguasaan yang diakui secara komunal
14. Identitas Sosial adalah simbolisasi ciri khas warga yang membedakan posisinya dengan orang lain 15. Relasi Sosial adalah hubungan antar warga yang terlibat dalam penguasaan sumberadaya agararia. 16. Dominasi adalah bentuk hubungan antara Negara dan warga pada kedudukan yang tidak setimbang dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya agraria.
2.5 Definisi Operasional 1.
Luas penguasaan lahan adalah besarnya lahan garapan pertanian yang dikuasai warga dinyatakan dalam ukuran baku hasil perkalian lebar dan panjangnya, dan dinyatakan dengan satuan hektar (ha). Dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi: a) Sempit : ≤0,5 ha. b) Sedang : 0,51 ha – 1 ha. c) Luas
: ≥ 1 ha.
2. Pola penguasaan atas lahan adalah bentuk-bentuk penguasaan warga terhadap lahan secara efektif, meliputi: sewa, gadai, ataupun bagi hasil. 3. Pola pemanfataan adalah bentuk-bentuk pengolahan sumberdaya agraria (tanah) yang dilakukan warga, seperti: kegiatan bercocok tanam tanaman.
19
BAB III PENDEKATAN LAPANG
3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kualitatif yang didukung pendekatan kuantitatif. Melalui paduan kedua pendekatan itu diharapkan adanya pemahaman terhadap bentuk-bentuk penguasaan, serta pengaruhnya
terhadap
pola-pola
pemanfaatan
sumberdaya
agraria
pada
masyarakat desa hutan. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menelusuri lebih jauh mengenai pola pemanfaatan sumberdaya agraria dalam kehidupan masyarakat desa hutan, mekanisme akses dan distribusi penguasaan sumberdaya agraria pada masyarakat desa hutan. Pendekatan kualitatif pada penelitian ini menggunakan strategi studi kasus, yaitu: suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, menginterpretasi suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Peneliti berusaha menemukan realitas sosial mengenai kajian struktur agraria dan pemanfaatan sumberdaya agraria pada konteks masyarakat desa hutan. Sedangkan, pendekatan kuantitatif menggunakan metode survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui karakteristik masyarakat desa hutan yang terkait dengan pemilikan, penguasaan, pengusahaan sumberdaya agraria. Penelitian ini bersifat menjelajah (exploratory), yaitu penelitian yang digunakan untuk mengenal pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu yang masih baru, atau mendapatkan ide-ide baru mengenai gejala tersebut, dengan maksud untuk merumuskan masalahnya secara lebih terperinci atau untuk mengembangkan hipotesa (Wahyuni & Muljono: 2009).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive), sesuai dengan konteks masyarakat yang dibutuhkan dalam penelitian, yaitu mengenai masyarakat desa hutan. Adapun alasan khusus memilih Kampung Cianten, adalah:
20
1. Termasuk daerah yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan PT Perkebunan Nusantara VIII. Keduanya (selain masyarakat setempat) memiliki kepentingan yang berbeda terhadap objek agraria yang sama, dan memberikan pengaruh terhadap kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat melalui berbagai kebijakan yang dibuatnya. Kondisi ini dapat mencitrakan struktur agraria yang lebih bervariatif dan pola pemanfaatan sumberdaya agraria yang beragam. 2. Mayoritas
dan
bahkan
hampir
seluruh
penduduk
kampung
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dengan memanfaatkan lahan hutan dan perkebunan, baik itu menjadi tenaga kerja perkebunan ataupun kegiatan pengolahan pertanian on farm.
Kegiatan penelitian dilakukan sejak proses awal berupa survey awal, pemilihan responden, pelaksanaan, hingga penulisan laporan penelitian. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2010. Pengolahan data dan hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Desember-Januari 2010. Selanjutnya, perbaikan laporan, konsultasi, dan sidang laporan dilakukan pada bulan Januari 2011 – Februari 2011.
3.3 Teknik Penentuan Responden dan Informan Pada penelitian kali ini terdapat dua subjek penelitian, yang terdiri dari responden dan informan. Unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga. Responden adalah bagian dari kerangka sampling yang telah ditentukan sebelumnya. Populasi responden dari penelitian ini adalah masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang terdiri atas 313 kepala rumah tangga. Jumlah responden yang diambil adalah 33 Kepala Rumah Tangga. Penentuan responden dilakukan secara acak distratifikasi (stratified random sampling). Penentuan dasar stratifikasi responden dilihat dari status responden sebagai pekerja perkebunan dan bukan pekerja perkebuan, kemudian di stratifikasi berdasarkan luasan pemilikan lahan garapan yang diambil dari data daftar peminjam lahan HGU perkebunan. Kerangka sampling kemudian dipilah dan
21
diklasifikan menjadi empat kategori responden, yaitu: 1) Responden yang bekerja di perkebunan dan memiliki lahan garapan, 2) responden yang bekerja di perkebunan dan tidak memiliki lahan garapan, 3) responden yang tidak bekerja di perkebunan dan memiliki lahan garapan, serta 4) responden yang tidak bekerja di perkebunan dan tidak memiliki lahan garapan. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk memberikan informasi mengenai diri sendiri, orang lain, dan pihak lain yang berkaitan dengan keperluan penelitian. Sedangkan penentuan informan dilakukan menggunakan teknik snowball sampling
yang didasarkan pada informasi antar responden dan
jumlahnya tidak ditentukan.
3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer data sekunder. Data primer penelitian diperoleh dari responden, meliputi data: 1) gambaran luas penguasaan lahan responden, dan 2) gambaran cara perolehan lahan yang berkembang dimasyarakat. Sedangkan data sekunder merupakan data yang didapat dari dokumen tertulis berupa laporan ataupun data tertulis lainnya yang diterbitkan oleh: instansi pemerintahan desa mengenai potensi desa dan monografi desa, pihak PTP. Nusantara VIII berupa profil PTP. Nusantara VIII, dan pihak Balai TNGHS berupa profil TNGHS. Pengumpulan data dilakukan dengan metode triangulasi data, yaitu: wawancara mendalam, studi literatur, dan observasi.Wawancara mendalam dilakukan terhadap responden yang merupakan warga Kampung Pel Cianten dan informan yang dianggap mampu menjelaskan berbagai realitas sosial yang berkaitan dengan penelitian. Wawancara mendalam dilakukan dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai pengalaman dan hal lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya agraria. Peneliti menggunakan panduan pertanyaan yang agar memudahkan peneliti dalam mendapatkan data. Panduan pertanyaan berisi tentang sejarah dan profil lokasi, kegiatan pemanfaatan sumberdaya agraria yang dilakukan warga, dan mekanisme akses warga terhadap sumberdaya agraria.
22
Observasi adalah suatu proses penelitian dengan melakukan interaksi sosial antara peneliti dan tineliti dalam lingkungan sosial warga setempat. Dalam kegiatan observasi yang dilaksanakan secara terbatas, peneliti akan mengamati pola perilaku warga dan respon warga terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh PTP. Nusantara VIII dan Balai TNGHS berkaitan dengan akses terhadap sumberdaya, serta peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan oleh warga. Pengamatan ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang utuh terhadap kondisi warga. Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ditampilkan pada Lampiran 1.
3.5 Teknik Analisis Data Data kuantitatif diolah dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan presentase, kemudian dipaparkan secara deskriptif. Pengolahan dan analisis data kualitatif dilakukan dengan pengkajian terhadap hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis`sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus selama dalam penelitian. Tahapan dalam pengolahan dan analisis data kualitatif meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus, 1998). Reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, dan mengeliminasi data-data yang tidak diperlukan juga diorganisir sehingga dapat menjawab perumusan masalah yang ada. Kemudian data akan disajikan dalam bentuk teks naratif maupun matriks yang menggambarkan dinamika konflik serta bentuk penyelesaiannya. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Analisis data kualitatif ini dipadukan dengan interpretasi data kuantitatif.
23
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Desa Purasari 4.1.1 Keadaan Geografis Desa Purasari berada di pungungg gunung Halimun. Terletak pada ketinggian 600 m diatas permukaan laut dengan topografi berbukit, curah hujan 1200 mm per tahun, dan suhu rata-rata harian 24oC – 28oC. Desa ini termasuk dalam wilayah kerja Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Secara administratif batas Desa Purasari adalah sebagai berikut: sebelah utara dibatasi oleh Desa Karyasari, sebelah timur dibatasi oleh Desa Cibitung Wetan, sebelah selatan dibatasi oleh Kabupaten Sukabumi, dan sbelah barat dibatasi oleh Desa Puraseda. Desa Purasari terbagi atas lima wilayah dusun, yaitu Dusun Babakan, Dusun Cikaret, Dusun Tanjungsari, Dusun Cisarua, dan Dusun Cianten. Kelima dusun tersebut kemudian terbagi kedalam duabelas rukun warga (RW) dan 50 wilayah rukun tetangga (RT). Letak setiap dusunnya berjauhan satu sama lain dengan posisi berjajar di sepanjang jalan penghubung yang menanjak dan menurun mengikuti kontur pegunungan. Dari kelima dusunnya, Dusun Cianten merupakan dusun yang paling jauh dengan akses yang paling sulit. Dusun ini berjarak kurang lebih 25 kilometer dari pusat pemerintahan Desa Purasari. Total luas area Desa Purasari adalah 632,120 Ha, dengan komposisi tata guna lahan yang didominasi oleh perkebunan teh milik Negara PTP. Nusantara VIII, yaitu
seluas 326,330 Ha (51,63 persen).
Sebanyak 264,740 Ha (41,9
persen) dimanfaatkan untuk lahan sawah dan darat, serta hanya sebanyak 5,93 persen atau seluas 37,500 Ha yang digunakan sebagai pemukiman dan pekarangan. Sedangkan sisanya, yaitu sekitar 3,550 Ha digunakan untuk kepentingan prasaran umum.
4.1.2 Kondisi Demografi Data monografi Desa Purasari tahun 2010, mencatat jumlah penduduk Desa Purasari sebanyak 12.260 jiwa, yang terdiri atas 6.314 jiwa penduduk laki-
24
laki dan 5.946 jiwa penduduk perempuan dan terbagi kedalam 3.030 KK. Kepadatan penduduk Desa Purasari adalaha 19,39/km2 dan pertumbuhan penduduk rata-rata sebanyak 215 jiwa/tahun. Jumlah penduduk Desa Purasari yang termasuk pada kelompok angkatan kerja adalah sebanyak 5.739 orang. Pada kelompok tersebut, terdapat 2.081 orang (36,26%) diantaranya yang telah bekerja penuh dan 1.731 orang (30,16%) yang bekerja tidak tentu. Sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Purasari adalah petani dan buruh (buruh tani dan buruh bangunan). Selain itu, terdapat 818 orang (14,28%) yang masih sekolah serta sisanya yang masih belum memiliki pekerjaan. Aspek pendidikan di desa ini masih rendah, terlihat dari jenjang pendidikan yang berhasil diselesaikan oleh penduduk. Mayoritas penduduk Desa Purasari memiliki latar belakang pendidikan dasar SD/sederajat, yaitu sebanyak 1.776 orang. Hanya 768 orang yang berpendidikan SLTP/sederajat dan 819 orang yang mengenyam pendidikan SLTA/sederajat. Sedangkan penduduk yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi diploma dan sarjana hanya 208 orang. Rendahnya pendidikan yang berhasil diselesaikan oleh mayoritas penduduk Desa Purasari selain disebabkan oleh jarak lokasi institusi pendidikan lanjutan dan tinggi yang jauh juga dikarenakan factor ekonomi masyarakat yang masih terbatas. Dari total 3030 kepala keluarga, terdapat 1.339 Kepala Keluarga (KK) atau sebanyak 44,19% diantaranya yang tergolong dalam keluarga prasejahtera. Sebanyak 43,63% lainnya adalah keluarga sejahtera 1 dan sisanya adalah keluarga sejahtera 2.
4.1.3 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana umum yang dimiliki Desa Purasari dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu: gedung pemerintahan, sarana transportasi, sarana kesehatan dan pendidikan, sarana olahraga dan kesehatan, sarana irigasi desa, dan sarana ekonomi. Jenis sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan pemerintahan terdiri atas satu unit kantor desa, satu unit rumah dinas kepala desa dan satu unit aula GOR Desa yang terletak dalam satu komplek.
25
Infrastruktur yang yang menghubungkan tiap bagian desa ini meliputi: sepuluh unit jalan desa, empat unit jalan antar desa, satu unit jalan kabupaten, serta sepuluh unit jembatan. Adapun alat trasnportasi yang digunakan warga dalam mendukung kegiatannya adalah 185 unit angkutan rod adua (ojek) dengan tiga buah pangkalannya, serta empat puluh angkutan pedesaan yang didukung oleh dua unit pangkalan angkutan pedesaan. Seratus persen masyarakat Desa Purasari beragama muslim. Sarana dan prasarana dalam bidang keagamaaan terdiri atas 23 unit masjid, 39 mushola, serta 30 unit majlis ta’lim yang letaknya tersebar disetiap rukun tetangga. Adapun sarana pendidikan yang terdapat di Desa Purasari adalah delapan unit pondok pesantren, 17 unit diniyah/TPA, tiga unit PAUD/TK, dua unit Tempat Bermain Anak yang terdapat di daerah perkebunan, 10 unit SD/MI, serta tiga unit SMP/sederajat.
4.2 PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Kebun Cianten 4.2.1 Kondisi Geografis PTP Nusantara (PTPN) VIII Kebun Cianten Perkebunan Cianten PTP Nusantara VIII (Persero) merupakan areal konsesi seluas 857,74 hektar, dengan topografi bergelombang dan terletak pada ketinggian 800m
hingga 1000 m diatas permukaan laut. Kondisi iklim
Perkebunan Cianten tergolong ke dalam daerah tipe B, dengan temperatur berkisar antara 19o C - 30oC, kelembaban nisbi antara 38 persen sampai 80 persen, serta curah hujan selama lima tahun terakhir rata-rata 5.238 milimeter per tahun. Secara administratif PTP Nusantara kebun Cianten termasuk kedalam dua wilayah kerja desa di dua kecamatan yang berbeda, yaitu Desa Purasari di Kecamatan Leuwiliang dan Desa Purwabakti di Kecamatan Pamijahan. Perkebunan diberbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi dan dikelilingi oleh Gunung Gagak, Gunung Keneng, dan Gunung Tanjungsari yang merupakan anak Gunung Halimun. Kebun Cianten relatif jauh dari perkampungan penduduk. Kebun Cianten relatif jauh dari perkampungan penduduk. Jarak terdekat dengan perkampungan penduduk kurang lebih tujuh kilometer, yaitu kampung Tanjungsari.
26
Jarak kebun Cianten ke Kecamatan Leuwiliang adalah sekitar 25 km. Sedangkan jarak ke kantor Desa Purasari sekitar 11 kilometer. Jaraknya yang jauh membuat Kepala Desa Purasari jarang berkunjung ke kampung di daerah kebun Cianten. Koordinasi hanya dilakukan melalui ketua RW yang sesekali berkunjung ke Kantor Desa Purasari. Terdapat empat RW yang termasuk dalam kampung Cianten, yaitu RW 8, RW 9, RW 10, dan RW 11. Jalan yang menghubungkan kebun Cianten dan daerah lain sangat terjal dan mengikuti kontur perkebunan yang melingkari punggung bukit. Akses masyarakat keluar kampung menjadi sangat terbatas dan fasilitas transportasi yang tersedia minim. Angkutan umum yang digunakan sebagai alat transportasi adalah tiga buah mobil L300 milik salah satu warga kampung Cianten dengan rute kebun Cianten-Pasar Leuwiliang. Alat angkutan ini memiliki kapasitas maksimum 13 orang penumpang dan hanya beroperasi satu kali dalam sehari. Waktu pemberangkatan dari Kebun Cianten pukul 04.00 dan kembali lagi dari pasar Leuwiliang sekitar pukul 09.00 WIB. Tarif yang dikenakan untuk satu kali rute perjalanan adalah Rp 13.000,00 per orang. Selain itu, terdapat sarana transportasi roda dua (ojeg) dengan ongkos Rp 50.000,00 dengan rute yang sama. Menurut penuturan supir angkutan, saat ini semakin banyak warga yang memiliki kendaraan roda dua pribadi. Dengan demikian, preferensi warga untuk menggunakan mobil angkutan semakin menurun. Tidak jarang mobil angkutan ini gagal beroperasi karena penumpang yang akan diberangkatkan tidak memenuhi kuota. Kegiatan ekonomi masyarakat kebun di pasar hanya terjadi satu kali di Pasar kaget setiap bulannya yang terjadi pada saat gajian di PTPN VIII setiap tanggal empat atau lima setiap bulannya. Para pedagang berasal dari kampung sebelah atau bahkan dari pasar Leuwiliang. Pihak perkebunan menyediakan lapak di samping lapangan dekat kantor perusahaan. Paling tidak, terdapat kurang lebih 30 lapak yang menyediakan kebutuhan sembako, pakaian, sayuran ataupun laukpauk.
27
4.2.2 Tenaga Kerja Perkebunan Didalam areal perkebunan terdapat perkampungan yang dihuni oleh sekitar 5000 jiwa yang sepenuhnya bekerja pada perkebunan, dimulai dari proses pembibitan, pemeliharaan, panen, hingga pengolahan teh. Perumahan dinas karyawan perkebunan tersebar dibeberapa komplek, yaitu: 1. Emplasemen
: Pondok Pia, Pondok Asmara, Bunisari, dan Sindang Resmi.
2. Afdeling Cianten I
: Pematang/Sarkawi/Taman Saat, Cirohani, Kampung Baru, Kampung Limus, Cianten Herang, Pel Girang, Pel Tengah, Pel Hilir, Sindang Sari, Kampung Saung, Pondok Lapang, Pondok Pasar, Pondok Cau, dan Pondok Pensiun.
3. Afdeling Cianten II
: Sindang Reret, Cimapag, Pasirpari, Cisurupan, Garehong, Emplasmen, Padajembar, Padajaya, dan Cikandang.
Emplasemen, Afdeling Cianten I, serta sebagian besar area perkebunan berada di wilayah kerja Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Sedangkan komplek Afdeling Cianten II berada di wilayah kerja Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Perkebunan Cianten PTP.Nusantara VIII (Persero) dipimpin langsung oleh seorang “Administratur” dan “Kepala Tanaman” sebagai wakilnya dan dibantu oleh bagian “Pengawas Intern Kebun” yang membantu mengawasi kinerja seluruh bagian. Pembagian kerja dibagi kedalam lima divisi, yaitu: Bagian Administrasi dikepalai oleh seorang “Kepala Administrasi”, Bagian teknik dikepalai “Kepala Teknik”, Bagian Pengolahan dikepalai “Kepala Pengolahan”, Bagian Afdeling Cianten I dikepalai “Kepala Afdeling Cianten I”, dan Bagian Afdeling Cianten II dikepalai “Kepala Afdeling Cianten II”. Masing-masing Kepala Bagian Afdeling membawahi beberapa “Mandor Besar” dan setiap “Mandor Besar” membawahi beberapa Mandor yang memiliki 20 sampai 40 anak buah. Dalam menjalankan tugasnya, masing-masing kepala bagian/afdeling dibantu oleh “JTU Kepala” yang menjamin kelancaran adminstrasi.
28
Tenaga kerja perkebunan di bagi menjadi dua bagian, yaitu pegawai tetap dan pegawai borongan. Pegawai tetap berhak mendapatkan fasilitas perkebunan berupa gaji, hari libur selama satu bulan setiap tahunnya, tunjangan/gaji penuh untuk setiap masa libur dan fasilitas kesehatan di balai pengobatan yang disediakan perusahaan. Sedangkan pegawai borongan hanya mendapatkan gaji dari hasil kegiatan pekerjaannya saja. Sebagai contoh adalah penentuan besaran upah pada buruh petik perkebunan, besarnya upah yang didapatkan tergantung pada kualitas daun teh dan volume teh yang berhasil di petik. Penilaian harga berada pada otoritas mandor, rata-rata per kilogram daun teh yang telah dipetik buruh petik dihargai sekitar Rp 400,00 hingga Rp. 500,00 sehingga setiap bulannya penghasilan buruh petik adalah sekitar Rp 300.000,00 hingga Rp 500.000,00. Menurut pihak perusahaan, penetapan upah buruh kebun Cianten berada diantara UMR Kabupaten Bogor dan UMR Kabupaten
Ciamis.
Hal ini didasarkan pada
kesamaan kondisi dan konteks perkebunan antara daerah Bogor dan Ciamis. Pengaturan kepegawaian untuk karyawan tetap di Perkebunan Cianten dilakukan secara berjenjang. Proses kenaikan pangkat dan jabatan dilakukan tidak tentu. Menurut penuturan masyarakat yang juga menjadi karyawan diperkebunan, sudah hampir tiga tahun tidak ada pengangkatan karyawan lepas menjadi karyawan tetap. Hal ini disinyalir akibat hasil produksi perusahaan yang sedang menurun. Lebih dari separuh pegawai perkebunan merupakan karyawan borong yang merupakan buruh tidak tetap. Menurut penuturan humas perusahaan, sebenarnya jumlah real dari golongan buruh tidak tetap ini lebih dari data yang ditampilkan dan selalu terjadi penambahan jumlah buruh. Penambahan terjadi dari sejumlah karyawan tetap yang telah memasuki masa pensiun namun tetap mencari pekerjaan di perusahaan dengan menjadi buruh perkebunan hal ini dikarenakan mereka tidak mempunyai pemasukan lagi setelah jabatannya berakhir
4.2.3 Alokasi Penggunaan Lahan PTP Nusantara (PTPN) VIII Penataan ruang perkebunan berbentuk menjari dan dikelilingi oleh wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) di sisi luarnya. Lahan yang
29
dikuasai PTP. Nusantara VIII merupakan area konsesi HGU seluas 857,74 ha yang akan berakhir pada tahun 2043. Menurut penuturan pihak perusahaan, masa HGU ini sempat tidak diperbaharui pada rentang waktu tahun 1998 hingga 2008. Selain PTP. Nusantara VIII, terdapat aktor pemanfaat lahan lainnya, yaitu: masyarakat local dan perusahaan swasta Geothermal. Adapun alokasi penggunaan lahan perkebunan dapat dilihat pada Tabel.2.
Tabel 2. Alokasi Luas Penggunaan Lahan PTP. Nusantara VIII Kebun Cianten Tahun 2010. NO
Areal
Luas (Ha)
Areal Tanaman Teh Tanaman Mengahsilkan (TM) 647,14 Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) 0,00 Persemaian/Kebun Entrys 0,00 Lancuran 93,45 TOTAL 740,59 2 Areal Cadangan Cadangan dari Lancuran 0,00 TOTAL 0,00 3 Lahan Tidak Produktif Situ/Rawa 11,08 Hutan/Jurang/Sungai 8,86 Dipakai Warga untuk Bangunan 3,89 Dipakai Warga untuk Sawah 32,93 Dipakai Warga untuk Daratan 15,12 Dipakai Warga untuk Kolam 2,70 Dipakai pihak ketiga (Chevron Ltd) 4,63 TOTAL 79,21 4 Areal lain-lain Emplasemen 15,20 Jalan PTPN VIII 18,24 Jalan Umum 0,00 Lapangan Olahraga 1,00 Kuburan 3,50 TOTAL 37,94 TOTAL AREA 857,74 Sumber: PTP Nusantara VIII Kebun Cianten, November 2010.
Presentase (%)
1
75,4 0,0 0,0 10,9 86,3 0,0 0,0 1,3 1,0 0,5 3,8 1,8 0,3 0,5 9,2 1,8 2,1 0,0 0,1 0,4 4,4 100
Keseluruhan komposisi pengggunaan lahan tersebut terbagi kedalam dua wilayah kerja desa dan kecamatan, yaitu Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang
30
dan Desa Purwabakti Kecamatan Pamijahan. Adapun penggunaan lahan oleh PT. Chevron baru terjadi sejak tiga tahun lalu sejak ditemukan lokasi galian tambang baru sebanyak 25 lokasi yang tersebar di beberapa wilayah di dalam kawasan PTP. Nusantara VIII.
4.3 Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) 4.3.1 Letak dan Luas Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan kawasan hutan hujan pegunungan terluas yang telah dikonservasi di Pulau Jawa. Taman Nasional ini terletak pada koordinat 106º12’58” BT - 106 º 45’ 50” BT dan 06º32’14” LS - 06 º 55’ 12” LS. Secara administratif, wilayah kerja Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) meliputi tiga wilayah kabupaten di dua Provinsi, yaitu: Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi di Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Lebak di Provinsi Banten. Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (sembilan kecamatan di Kabupaten Bogor, delapan kecamatan di Kabupaten Sukabumi, serta Sembilan kecamatan di Kabupaten Lebak) serta 110 desa yang tersebar dan berbatasan langsung dengan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berdasarkan survey kampung yang dilaksanakan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005, tercatat ada 314 kampung yang berada di dalam kawasan Taman Nasional dengan jumlah penduduk sekitar 99.982 jiwa. Penunujukkan kawasan Gunung Halimun sebagai wilayah pelestarian telah dimulai sejak masa pendudukan Kolonial Belanda. Pada tahun 1924-1934 kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 hektar yang kemudian diubah menjadi cagar alam setahun kemudian. Saat Indonesia merdeka, pengelolaan Cagar Alam Gunung Halimun berada di bawah Djawatan Kehutanan Jawa Barat. Pada tahun 1979, kawasan Cagar Alam Halimun diperluas menjadi 40.000 hektar dan pengelolaannya diserahkan kepada PPA. Barulah pada 28 Februari 1992 kawasan pelestarian alam dengan luas 40.000 hektar ini ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992. Selanjutnya pada tahun 2003 terjadi perluasan kawasan
31
menjadi 113.375 ha yang didapat dari pengubahan fungsi kawasan hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani menjadi satu kesatuan kawasan konservasi. Perluasan kawasan ini diperkuat oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 sekaligus mengubah statunya menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
4.3.2 Aspek Ekologis Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) memiliki fungsi ekologis yang sangat tinggi, yaitu: sebagai habitat makhluk hidup dan penyedia plasma nuftah yang beragam, wilayah tangkapan air, menyediakan potensi panas bumi (geothermal). Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh LIPI-PHPA-JICA (1998), ekosistem Halimun terdiri atas tiga ekosistem utama, yaitu: hutan hujan dataran rendah (lowland rainforest, 500-1000 m dpl); hutan hujan dataran tinggi (sub-montane forest, 1000-1500 m dpl); dan hutan hujan pegunungan (montane forest, 1500-1929 m dpl). Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Di kawasan Gunung Halimun terdapat lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di hutan alam yang terbagi menjadi 391 marga dan 119 suku. Selain itu, terdapat tumbuhan bawah dan tumbuhan memanjat, seperti: beberapa jenis rotan, pandan memanjat (Freynicetia Javanica), paku andam (Glichenia Linearis), serta 75 jenis anggrek. Keanekaragaman fauna di kawasan TNGHS pun cukup tinggi. Menurut penelitian terdapat 244 jenis burung di kawasan TNGHS yang merupakan setengah dari keseluruhan jenis burung di Jawa dan Bali. Selain itu ditemukan pula 61 jenis mamalia dan 77 jenis herpetofauna yang terdiri atas: 27 jenis amfibi, 49 jenis reptile, dan satu laba-laba. Ikan yang ditemukan di kawasan Halimun berjumlah 36 jenis spesies dari 13 famili dan 26 genus.
4.3.3 Aspek Sosial Budaya Masyarakat di dalam dan Sekitar Kawasan Hasil survey GHSNP MP-JICA pad atahun 2005 menyebutkan bahwa didalam kawasan terdapat 314 kampung dan 29 kampung lainnya berada di sekitar perbatasan kawasan. Jumlah penduduk keseluruhan dikampung-kampung tersebut
32
adalah 99.782 jiwa. Menurut RMI (2010) masyarakat yang bermukim di kawasan Halimun-Salak terdiri atas masyarakat adat (Kanekes dan Kasepuhan Banten Kidul) dan masyarakat local. Aspek yang membedakan antara masyarakat adat dan non adat adalah keterikatan social dan budaya antar komunitas dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Dari sisi etnografi, pegunungan Halimun dan sekitarnya dihuni oleh etnis Sunda dan beberapa kelompok masyarakat adat lainnya, yaitu masyarakat adat kasepuhan dan masyarakat adat Baduy Kanekes. Kelompok etnis Sunda mengenut agama Islam dan kelompok maksyarakat adat menjalankan relgi sinkretis antara Islam dan agama local. Komunitas Baduy relative terpisah dengan komunitas Sunda liannya. Seangkan masyarakat adat Kasepuhan relative lebih berbaur dengan komunitas Sunda lainnya. Data statistic yang dimiliki Balai TNGHS pad athun 2006 menunjukkan angka kemiskinan masyarakat sekitar yang cukup tinggi. Wilayah Kabupaten Sukabumi jumlah RT miskin di desa dalam dan sekitar hutan kawasan TNGHS berjumlah 15. 699 RT (tidak termasuk Desa Cianaga), di Kabupaten Bogor berjumlah 27.908 RT, sedangkan di Kabupaten Lebak berjumlah 22.696 RT. Sebanyak 86% masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan TNGHS meiliki mata pencaharian sebagai petani. Mereka menanam tiga komoditas yang memiliki masa panen yang tak sama, yaitu: tanaman semusim (padi, ketela, dan sayur mayur), tanaman jangka menengah (kopi dan sengon), dan tanaman jangka panjang (pete, durian, mangga, lainnya). Selain bertani sebagai mata pencaharian utama, para penduduk juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai perajin, pedagang, buruh, pegawai negeri dan pekerjaan sector informal perkotaan. Masyarakat di kawasan Halimun umumnya sangat menggantungkan hidupnya pada hasil bercocok tanam. Kegiatan bertani yang dominan adalah bersawah dan sebagian lainnya adalah huma. Lokasi sawah terletak pada daerah lereng, datar, dan depresi. Jenis sawah yang diusahakan adalah sawah tadah hujan yang airnya bersumber dari air sungai dan mata air. Sebagian petani di kawasan TNGHS masih menggunakan varietas padi local, sebagian lain telah menerapkan system pertanian revolusi hijau dengan menggunakan bibt unggul, pupuk buatan,
33
dan pestisida. Selain budaya sawah, terdapat pula pemanfaatan lainnya yaitu pekarangan dan kebun.
4.4 Konteks Kampung Pel Cianten 4.4.1 Kondisi Fisik Kampung Cianten Kampung Pel Cianten merupakan bagian dari komplek Onderneming Kontrak Cianten yang telah terbentuk sejak awal pembukaan kegiatan perkebunan teh oleh Belanda. Proses penamaan Cianten sendiri menurut sesepuh setempat berasal dari nama sungai, yaitu Sungai Cianten anak Sungai Cisadane yang mengaliri wilayah tersebut. Secara administratif, Kontrak (Dusun) Cianten meliputi tiga Rukun Warga (RW) di Desa Purasari, yaitu RW 9 (Kampung Cirohani), RW 10 , dan RW 11 (Kampung Pel). Pada penelitian ini, yang menjadi focus kajian penelitian adalah rumahtangga yang berada di RW11 (Kampung Pel). Kampung Pel Cianten berada di tengah cekungan kebun no 19 di tengah area perkebunan teh dan berada di sebelah barat dari kantor perkebunan. Kampung Pel berjarak kurang lebih 14 km dari pusat Desa Purasari atau 25 km dari pusat kecamatan Leuwiliang. Jarak tersebut dapat ditempuh dalam waktu 1 jam perjalanan dari kantor Desa Purasari dan 1,5 jam dari kantor pusat Kecamatan Leuwiliang dengan menggunakan kendaraan bermotor. Jalan yang menghubungkan Kampung Pel Cianten dengan pusat Desa Purasari membelah alur hutan dengan kondisi aspal yang rusak parah. Selain itu, sinyal provider telepon selular pun masih sangat terbatas dan hanya dapat diterima di beberapa titik tertentu saja. Kondisi demikian membuat akses keluar masuk kampung dan arus informasi antara pemerintah Desa Purasari dan warga setempat menjadi sulit. Hanya beberapa kali saja kepala Desa Purasari mengunjungi kampung tersebut. Penyebaran informasi biasanya dilakukan secara tatap muka secara tak tentu jika kepala RW setempat berkunjug ke kantor desa untuk keperluan tertentu. Sarana listrik baru diterima di Kampung tersebut sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu. Sebelumnya, listrik didapat dari genset yang dimiliki oleh beberapa warga kampung saja. Keberadaan sarana listrik memberi pengaruh yang cukup kuat terhadap pola hidup masyarakat Kampung Cianten. Kepemilikan
34
televisi oleh warga Kampung Cianten meningkat pesat sejak adanya listrik di kampung ini. Sarana pendidikan yang terdapat di Kampung Pel Cianten terdiri atas: satu unit gedung SD Negeri dan satu unit gedung SMP negeri 2 Leuwiliang, Gedung SD sudah ada sejak lama, sedangkan gedung SMP baru berdiri sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu. SElain itu, terdapat pula satu mushola dan satu unit tempat penitipan anak TPA yang disediakan oleh pihak Perusahaan perkebunan bagi karyawan yang memiliki bayi dan balita.
4.4.2 Aspek Sosial Masyarakat Kampung Pel Cianten Saat ini Kampung Pel dihuni oleh sekitar 313 Kepala Keluarga (KK) dengan total sekitar 1300 jiwa. Secara garis besar, masyarakat yang menempati Kampung Pel merupakan generasi ketiga dari keturunan pendiri Kampung. Masyarakat Kampung Pel yang ada saat ini merupkan keturunan dari para tenaga kerja yang didatangkan untuk kegiatan pembukaan lahan perkebunan oleh Belanda. Masyarakat Kampung Pel mayoritas bekerja sebagai buruh di perusahaan perkebunan teh PTP. Nusantara VIII. Sebagian kecil lainnya berprofesi sebagai buruh bangunan, pedagang, ataupun petani. Adapun alasan yang dikemukakan oleh mereka yang memilih bekerja diluar perusahaan adalah upah yang dirasa kurang memuaskan. Pendapatan sebagai buruh perkebunan berkisar antara Rp 300.000,- hingga Rp 500.000,-. Demi menunjang kehidupan mereka, masyarakat Kampung Pel memanfaatkan sumberdaya agraria disekitar mereka dengan menjadi penggarap di lahan kehutanan dan atau di lahan yang dikuasai PTP. Nusantara VIII. Tingkat pendidikan warga Kampung Pel Cianten masih rendah. Umumnya tingkat pendidikan yang berhasil diselesaikan oleh warga Kampung Cianten hanyalah tingkat pendidikan dasar (SD). Beberapa diantaranya berhasil menamatkan SMP sejak dibangunnya SMP Negeri 2 Leuwiliang pada tahun 2000 silam. Adapun beberapa warga yang mampu secara ekonomi menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan SMA yang terletak di pusat kecamatan atau di ibukota Kabupaten.
35
BAB V SEJARAH POLITIK AGRARIA KAMPUNG PEL CIANTEN Penelusuran sejarah politik agraria yang terjadi di Kampung Pel Cianten dilakukan untuk memahami proses pembentukan komunitas dan riwayat kebijakan agraria yang diterapkan di lokasi penelitian. Kampung Pel Cianten sendiri merupakan salah satu kampung yang berada di tengah area HGU PTP.Nusantara VIII di dataran tinggi Halimun yang sekarang menjadi kawasan Taman Nasional. Tujuan dari kajian terhadap sejarah politik agraria warga kampung Pel Cianten adalah agar dapat memberikan pemahaman mengenai asalusul akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria terutama lahan dan gambaran kondisi warga saat ini sebagai akibat dari pola yang dipengaruhi kebijakan agraria di masa lalu.
5.1 Politik Agraria Sektor Perkebunan Keberadaan masyarakat Pondok Pel Kampung Cianten ditengah area HGU perkebunan PTP. Nusantara VIII tidak bisa dilepaskan dari politik agraria yang terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Jauh hari sebelum menjadi kebun teh, areal ini merupakan lahan pertanian masyarakat. Bentuk pemanfaatan yang lazim ditemukan pada masa itu adalah ladang huma yang ditanami dengan padi gogo dan padi ranca. Pada awal abad ke-19 Pemerintah Hindia Belanda datang ke daerah Cianten (dulu bernama Kampung Cipacet) untuk melakukan survey lahan guna pembukaan perkebunan dengan komoditas teh. Hasil survey yang dilakukan Belanda menunjukkan kecocokan kondisi lahan dan iklim untuk penanaman komoditas teh. Dua tahun pasca kedatangan Belanda yang pertama, Pemerintah Hindia Belanda mulai membuka daerah hutan di Kampung Cipacet (sekarang Cianten) untuk pembangunan lahan perkebunan. Pembukaan lahan tersebut kemudian dilanjutkan dengan persemaian dan penanaman benih (biji) teh yang dibawa dari India. Pada masa itu, didalam kawasan hutan yang dibuka oleh Belanda terdapat pemukiman dan lahan pertanian penduduk. Pemukiman penduduk yang mayoritas
36
merupakan rumah ladang huma letaknya terpisah dalam jarak yang berjauhan satu sama lain dalam setiap settlement kecil. Demi kepentingan pembukaan hutan untuk kegiatan perkebunan oleh Belanda, penduduk tersebut kemudian dipindahkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke settlement baru di Kampung Pel Cianten. Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat setempat, pelimpahan penguasaan lahan yang semula berada pada tangan masyarakat kepada Pemerintah Hindia Belanda dilakukan melalui traktat yang disepakati oleh pemimpin masyarakat yang bernama Mbah Nayot dengan Pemerintah Hindia Belanda (warga setempat menyebutnya sebagai Tuan Meneer). Isi dari kesepakatan tersebut adalah penyerahan wilayah kepada pihak Pemerintah Hindia Belanda dengan kompensasi berupa hak untuk bermukim dan memanfaatkan lahan bagi masyarakat setempat hingga generasi – generasi selanjutnya. Batas wilayah yang ditunjuk sebagai pemukiman warga dalam kesepakatan tersebut adalah Kampung Pel Cianten dari perbatasan Kampung Jawa hingga Citela. Sejarah lisan yang berkembang diantara warga kemudian menjadi legitimasi masyarakat lokal atas klaim terhadap kawasan pemukiman dan beberapa kawasan disekitarnya. Traktat yang berisi kesepakatan penyerahan kawasan kepada Pemerintah Hindia Belanda hingga kini masih dipertanyakan keberadaannya. Menurut tokoh masyarakat setempat, traktat tersebut sengaja disembunyikan atau bahkan dimusnahkan oleh para pendahulu kampung. Pemusnahan ini dilakukan karena muncul kekhawatiran akan terjadi pertumpahan darah diantara keturunannya, yang sekarang merupakan warga pribumi Cianten, akibat perebutan lahan yang terbatas sedangkan warga akan terus bertambah jumlahnya. Hingga saat ini masyarakat setempat sangat menyadari bahwa mereka tidak memiliki hak milik formal untuk setiap bagian tanah yang mereka kuasai. Perkebunan teh yang dirintis Belanda kemudian terus berkembang dan menjadi salah satu penyedia komoditas teh untuk keperluan Pemerintah Hindia Belanda dan ekspor. Didukung dengan perkembangan perusahaan perkebunan dan pertumbuhan penduduk, Kampung Cipacet pun berubah menjadi kawasan “Onderneming” yang lebih dikenal dengan sebutan “Kontrak Cianten”. Pada masa itu, pimpinan tertinggi “Kontrak Cianten” lazim disebut Juragan Kawasa.
37
Pada masa kini, seiring dengan perubahan struktur organisasi perusahaan, pimpinan Juragan Kawasa lebih dikenal sebagai Administratur Perkebunan. Sampai saat ini berturut-turut terdapat 22 adminitatur yang telah memimpin di kebun Cianten PTP. Nusantara VIII. Agresi Jepang pada tahun 1943 merebut penguasaan perkebunan dari tangan Pemerintah Hindia Belanda. Kegiatan produksi perkebunan tidak dilanjutkan pada penguasaan Jepang. Selama kurun waktu 1943 hingga 1948, “Kontrak Cianten” digarap oleh rakyat sebagai tanah pertanian. Barulah pada pertengahan 1948, “Kontrak Cianten” kembali dibuka dan dikelola kembali oleh Pemerintah RI dengan nama PPH melalui Hak Guna Usaha (HGU). Perkebunan PPH terus mengalami perubahan nama, yaitu: tahun 1964 menjadi PPN Cianten lalu menjadi PPN Kesatuan, tahun 1971 menjadi PPN Antan dan kemudian digabungkan dengan sejumlah perkebunan lainnya dalam naungan PTP XII hingga tahun 1994. Sejak tahun 1994, beberapa perkebunan di Jawa Barat yang bernaung dibawah PTP XI, PTP XII, dan PTP XIII digabungkan menjadi PTP Grup Jabar. Tahun 1996 hingga sekarang, seluruh perkebunan BUMN digabungkan dalam wadah PTP Nusantara I hingga PTP Nusantara XIV. Perkebunan Cianten beserta 46 perkebunan lain di Jawa Barat dikelompokkan kedalam PTP. Nusantara VIII (Persero) yang berkantor pusat di Jalan SindangSirna No.4 Bandung. Penguasaan Negara terhadap lahan di wilayah Cianten didapat melalui HGU yang dilimpahkan kepada PTP. Nusantara VIII. Satu periode masa HGU adalah 35 tahun dan masa HGU PTP.Nusantara VIII saat ini akan berakhir pada tahun 2043. Pada rentang tahun 1998 hingga 2008 HGU PTP. Nusantara VIII sempat mengalami kekosongan masa HGU (HGU kadaluarsa).
5.2 Politik Agraria Kehutanan Kawasan Halimun Penguasaan Negara pada sektor kehutanan di kawasan Halimun juga memberikan pengaruh terhadap akses dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya agraria oleh masyarakat Kampung Pel Cianten. Sebagian area pemukiman dan garapan masyarakat termasuk dalam kawasan kehutanan yang saat ini berada dalam kewenangan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
38
Kebijakan kehutanan mulai dirasakan di Kawasan Halimun sejak munculnya peraturan kehutanan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1865, mengenai penetapan hutan diatas ketinggian 1570 mdpl sebagai kawasan hutan rimba. Penetapan ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan kayu dan air irigasi (Zwart, 1924 dalam Galudra et.al, 2005). Peraturan tersebut mengatur pula mengenai hukuman bagi berbagai kejahatan hutan seperti pencurian hutan, perusakan hutan, penggembalaan, pembakaran hutan, membawa senjata tajam, membawa kayu tanpa ijin dan penyerobotan hutan. (Galudra, et.al, 2005). Kebijakan penataan Kawasan Halimun sebagai kawasan konservasi telah dimulai sejak penguasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Sejak tahun 1923 Kawasan Halimun resmi ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 hektar. Pada tahun 1935, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan pengubahan status kawasan hutan lindung menjadi cagar alam. Memasuki era kemerdekaan, kawasan cagar alam Halimun berada dibawah pengelolaan Djawatan Kehutanan Jawa Barat. Pada tahun 1977 PPA mengajukan usulan pelimpahan pengelolaan sekaligus perluasan kawasan cagar alam Halimun hingga lebih dari 40.000 hektar dengan dukungan persetujuan Gubernur Jawa Barat pada masa itu. Perluasan yang dimaksudkan termasuk kawasan cagar alam yang telah ada saat ini dan tanpa memasukkan hutan produksi yang tercantum dalam peta Brigade Planologi. Kondisi cagar alam yang dimaksud ternyata sudah terbuka menjadi lahan garapan dan pemukiman warga. Sedangkan bagian hutan produksi masih berupa hutan primer. Akhirnya hingga Februari 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun masih berada dibawah pengelolaan Perum Perhutani. Pada tahun 1979, kawasan cagar alam diperluas hingga 40.000 hektar dan dilimpahkan pengelolaannya kepada Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Badan Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I. Sejalan dengan perkembangannya, status tersebut mengalami perubahan. Berdasarkan Keputusan menteri Kehutanan tahun 1992, kawasan cagar alam itu ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) yang berada dibawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Pada 23 Maret
39
1997 pengelolaannya dipisahkan dan dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, dan Departemen Kehutanan. Pada tahun 2003, atas dasar pertimbangan kondisi kawasan konservasi yang dinilai semakin kritis, Menteri Kehutanan mengeluarkan keputusan yang mengatur perubahan fungsi kawasan bekas Perum Perhutani atau bekas hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas 113.357 hektar.
5.3 Dampak Sejarah Politik Agraria terhadap Akses Masyarakat atas Lahan Sejarah politik agraria
yang melibatkan Kampung
Pel
Cianten
menunjukkan sentralisasi penguasaan sumber-sumber agraria yang didominasi oleh PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai representasi Negara. Tanah yang berada didalam kampung tersebut seluruhnya termasuk tanah Negara yang tidak dapat dikenai hak milik individu. Masyarakat yang ada di kampung tersebut tidak mempunyai hak milik terhadap tanah garapannya. Masyarakat hanya diberikan hak garap oleh pihak perkebunan dan taman nasional. Kebijakan kehutanan pada masa pendudukan Belanda mengenai penentuan batas kawasan hutan Halimun sebagai daerah konservasi telah menunjukkan bentuk pengambilalihan akses masyarakat terhadap kawasan hutan. Kebijakan tersebut disertai pula dengan hukuman bagi tindakan pelanggaran kegiatan pemanfaatan warga. Secara tidak langsung, pelabelan tindakan negatif terhadap aktivitas warga dalam memanfaatkan hutan merupakan bentuk pembatsan dan pengasingan akses warga terhadap hutan. Sebelum masuknya Belanda, masyarakat Kampung Pel Cianten dapat mengakses tanah di kawasan tersebut sebagai lahan pertanian. Tradisi ngahuma yang merupakan tradisi pertanian masyarakat Kampung Pel Cianten menjadi bukti kuasa masyarakat terhadap lahan pertanian. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh sesepuh masyarakat setempat yang juga keturunan generasi ketiga dari pendiri Kampung, ketika memberikan penjelasan mengenai sejarah Kampung Pel Cianten sebagai berikut:
40
“Ceuk Abah na Babeh, baheula mah, jaman satacan jadi perkebunan nteh, masyarakat teh tani di huma, neng. Sabagian gunung, sabagian leuweung. Basa kapungkur mah tanah ge masih bebas. Adatna tacan di atur ku nagara, masih lalega,a sal daek ai ngagarap mah. Biasa na mah dipelakan pare ageung” (Menurut Kakek nya Babeh, masyarakat bertani huma, neng. lainnya hutan. Dulu tanah masih masih luas, asal mau menggarap. (BBH, 77 tahun).
dahulu sebelum menjadi perkebunan teh, Sebagian tanah tersebut adalah gunung, dan bebas. Karena memang belum diatur Negara, Biasanya ditanami padi ageung (padi gogo).”
Pernyataan tersebut secara eksplisit menyebutkan akses warga terhadap lahan pada masa sebelum dibuka menjadai perkebunan teh masih sangat mudah. Alasan yang dikemukakan adalah karena belum ada penguasaan oleh Negara. Dengan begitu, menurut informan, penguasaan sumberdaya oleh rezim Negara menjadi penyebab hilangnya akses warga. Invasi kapitalisme Belanda dalam kegiatan pembukaan perkebunan Kontrak Cianten memberikan dampak yang sangat besar pada kuasa warga atas lahan berupa pemaksaan Pemerintah Hindia Belanda kepada warga untuk menyerahkan lahan guna kepentingan perusahaan perkebunan. Selain itu, pada masa tersebut, warga dijadikan tenaga kerja perkebunan. Istilah yang lebih sering dipakai adalah nguli, yang diambil dari kata “kuli”. Upah yang diberikan Belanda adalah uang sebanyak 10 sen hingga 15 sen per bulan. Dimasa itu, jumlah upah yang diberikan setara dengan tiga liter beras. Kondisi tersebut tergambar dalam petikan wawancara mendalam berikut: “Pan sadaya teh terang, jaman harita mah pada-pada sieun ka Belanda. Keur harita mah pan Belanda nu gaduh peurah..” (Kita semua tahu, pada masa itu kita semua takut sama Belanda (Pemerintah Kolonial Belanda). Saat itu, Belanda lah yang mempunyai pengaruh/kekuasaan” (BBH, 77)
Penyerahan wilayah yang terjadi antara warga kepada pihak Pemerintah Hindia Belanda dilakukan melalui traktat. Traktat yang disepakati antara Mbah Nayot sebagai sesepuh Kampung Pel Cianten dengan Pemerintah Kolonial Belanda memberikan implikasi berupa resettlement penduduk dari pemukiman asalnya berupa pemukiman huma yang mengelompok dalam jumlah kecil dengan posisi yang tersebar ke settlement baru di dalam area perkebunan. Pemindahan penduduk ini berarti telah memisahkan warga dengan lahannya yang semula
41
dikuasai warga. Dengan demikian penguasaan terhadap tanah berpindah kepada Pemerintah Kolonial Belanda dan secara otomatis warga Kampung Pel Cianten kehilangan akses terhadap sebagian besar lahan pertanian mereka. Posisi warga sendiri kemudian berubah menjadi sumber tenaga kerja perkebunan yang digunakan Pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan kegiatan produksi perkebunan. Kondisi serupa tetap dialami pula oleh warga Kampung Pel Cianten pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Kebijakan agraria Indonesia mengenai Nasionalisasi aset-aset pengusahaan lahan yang ditinggalkan kolonial, mengambil alih akses warga secara permanen terhadap lahan mereka. Akses warga terhadap lahan pertanian yang sempat dikuasai warga pada masa pendudukan Jepang dan masa kekosongan pemerintahan kembali berpindah tangan. Pelimpahan Hak Guna Usaha (HGU) kepada pihak PPH yang dikemudian hari berubah menjadi PTP. Nusantara VIII merupakan momentum pembatasan akses warga terhadap lahan garapan hingga saat ini. Selain itu, warga pun dilarang melakukan perburuan di tengah areal tanaman teh yang ditunjukkan dengan papan pelarangan berburu di setiap areal kebun tanaman teh. Posisi Kampung Pel Cianten berada di tengah area HGU PTP. Nusantara VIII sekaligus berbatasan secara langsung dengan hutan konservasi yang dikuasai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Posisi kampung seperti itu membuat kondisi agraria warga dipengaruhi pula oleh kebijakan agararia di sektor kehutanan. Perubahan kebijakan penguasaan wilayah kehutanan kepada Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang semula berada di tangan Perum Perhutani pada tahun 2003 memberikan pengaruh yang signifikan kepada masayarakat Kampung Pel Cianten. Sebelum menjadi kawasan taman nasional, akses masyarakat terhadap hutan masih dirasakan lebih longgar. Warga dapat lebih mudah untuk membuka lahan garapan di area hutan. Selain itu, warga dapat lebih mudah untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu yang digunakan untuk keperluan kayu bakar ataupun juga kegiatan membangun rumah. Semenjak terjadi perubahan status kawasan menjadi Taman Nasional, warga tidak dapat semudah itu untuk mendapat lahan garapan. Pihak Taman Nasional secara tegas telah melarang aktivitas pembukaan lahan garapan baru dan
42
perluasan lahan garapan yang telah ada sebelumnya. Meski begitu, pihak Taman Nasional masih memberikan kebijakan kepada warga yang telah lebih dulu menguasai lahan garapan sejak penguasaan Perum Perhutani untuk dapat terus menguasai lahan garapan tersebut. Tidak itu saja, dalam rangka pencapaian tujuan konsevasi taman nasional melarang akses warga untuk melakukan penebangan kayu dan penjualan kayu ke luar kampung.
5.4 Kedudukan Warga dalam Kondisi Agraria Setempat Kebijakan pembangunan areal perkebunan sejak masa kolonial membatasi akses warga terhadap lahan. Pembatasan akses warga terhadap lahan garapannya masih berlangsung hingga kini. Posisi warga menjadi sangat lemah dibandingkan pihak Negara melalui setiap kebijakan yang dikeluarkan PTP. Nusantara VIII dan TNGHS. Berdasarkan data tata guna lahan Desa Purasari, ternyata 326,33 Ha atau 51,63 persen dari seluruh wilayah desa adalah kawasan perkebunan PTP. Nusantara VIII. Luas ini merupakan 38,05 persen dari total luas area HGU perkebunan secara keseluruhan. Didalam area milik Negara inilah sekitar 313 Kepala Keluarga (KK) Kampung Pel bertahan hidup dengan luas penguasaan lahan garapan rata-rata hanya sekitar 0,08 ha per kepala keluarga4. Lahan garapan warga biasanya berada di celah sempit antar kebun teh ataupun juga di lokasi-lokasi marjinal sisa tanaman teh yang telah mati kemudian dibiarkan bera oleh pihak perusahaan perkebunan yang disebut warga sebagai lahan lancuran. Adapun lahan garapan warga lainnya sebagian berada di wilayah yang termasuk dalam Taman Nasional di pinggir-pinggir area hutan konservasi yang merupakan sisa-sisa lahan yang tidak ditanami tanaman keras. Selain itu, lahan garapan warga di kawasan Taman Nasional terletak pada wilayah-wilayah yang berada di tepi tebing yang curam dan mengandalkan pengairan tadah hujan ataupun dari aliran kecil dari sungai yang mengalir pada jalur-jalur air dari area pegunungan di atasnya. Lahan yang demikian sempitnya menjadi sumber penghidupan warga. Lahan yang dikuasai warga ditanami padi dengan hasil yang tidak seberapa. 4
Angka ini diperoleh dari pengolahan data lahan garapan responden. Angka luas penguasaan ini hampir sama dengan perhitungan dari Data peminjam lahan HGU perkebunan untuk jangka waktu 1 Juli 2010 hingga 31 Juli 2011. Data terlampir.
43
Seringkali malah tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup hingga panen berikutnya. Sebagai gambaran, untuk lahan garapan seluas 3 gedeng atau setara dengan 0,12 hektar hanya mampu menghasilkan produktivitas sebanyak tiga hingga lima karung gabah hasil panen yang hanya mampu mencukupi kebutuhan konsumsi warga selama 3 bulan bagi satu keluarga dengan lima anggota keluarga. Pemenuhan pangan sebagai aspek dasar belum mampu tercukupi. Dalam kondisi seperti itu penyaluran beras raskin oleh pemerintah Desa menjadi hal yang paling dinantikan. Beras raskin disalurkan tiap bulan pada minggu ke tiga. Setiap satu karung dengan berat 15 kg, dihargai Rp 40.000,00 kadang naik menjadi Rp 45.000,00 ketika sampai di tangan warga karena beban biaya transportasi. Warga mengetahui jika penambahan itu tidak dapat dibenarkan. Namun warga tidak bisa berbuat apa-apa, karena untuk dapat mengambilnya langsung ke kantor desa yang berjarak 25 km dengan akses jalan yang buruk justru memerlukan biaya yang lebih besar. Kualitas beras tidak begitu bagus. Warna beras agak kekuningan dibanding “beras warung” dengan sedikit aroma berbau. Pengamatan secara cepat terhadap kondisi rumah warga di Kampung Pel Cianten mayoritas masih merupakan bangunan semi permanen. Perumahan bedeng5 berjajar memanjang sekitar lima hingga tujuh rumah di setiap baris dengan model seragam. Kadang berlapis dua baris atau ditemukan pula berjajar di sepanjang jalanan kampung. Sedangkan rumah pribadi berdiri menyebar. Rumah bedeng sudah lama tidak mendapat bantuan renovasi dari pihak perusahaan. Pada masa sebelum krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia, kondisi perusahaan perkebunan lebih stabil dan masih memberikan layanan perbaikan dan renovasi rumah bedeng secara berkala. Kondisi perusahaan yang mulai tidak stabil akibat hasil produksi yang kian menurun, menjadi alasan mengapa tidak ada lagi layanan renovasi dari perusahaan. Warna dinding rumah kebanyakan sudah pudar, lantai rumah beralas lantai semen, beberapa diantaranya ada yang beralas tanah. Rumah bedeng yang berbentuk rumah panggung beralas kayu. Kondisi kayu sudah tidak baik, beberapa bagian rumah melapuk. Bahkan
5
Bedeng adalah rumah tinggal yang disediakan untuk karyawan perkebunan.
44
ketika berkunjung ke bedeng salah seorang responden, terdapat bambu di tengah rumah yang menyangga atap supaya tidak roboh. Penguasaan lahan yang sempit dan akses terbatas tidak pula didukung dengan pilihan ketersediaan lapangan kerja yang lain sebagai sumber nafkah selain bekerja di perkebunan. Mayoritas warga tetap menempati posisi para pendahulunya, yaitu sebagai buruh lepas6 di perusahaan perkebunan. Adapun jenjang kepegawaian dan jumlah karyawan di perusahaan perkebunan disajikan pada Tabel.3.
Tabel 3. Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTP Nusantara VIII Kebun Cianten Bulan November 2010 NO
Jenjang Pegawai
1
Karyawan Pimpinan Golongan IIIA-IV D
2
Presentase
Jumlah
(%) 6
0,5
Karyawan Pelaksana I Golongan IB-IID
110
9,9
3
Karyawan Pelaksana II Golongan A
317
28,7
4
Karyawan borong/PKWT
673
60,9
1106
100,0
Total Sumber: PTP Nusantara VIII Kebun Cianten, November 2010.
Jenjang kepegawaian di Perusahaan perkebunan PTP. Nusantara VIII kebun teh Cianten, dibagi menjadi empat jenjang. Karyawan pimpinan Golongan IIIA-IV D adalah jenjang kepegawaian administratur perkebunan beserta stafnya di kantor perkebunan. Karyawan Pelaksanan I Golongan IB-IID merupakan jenjang kepegawaian sinder, mandor, dan pengawas. Sedangkan dua jenjang berikutnya adalah golongan buruh. Karyawan Pelaksana II Golongan A adalah jenjang pegawai buruh yang telah diangkat menjadi pegawai tetap. Jenjang terendah adalah karyawan borong/PKWT yang merupakan golongan buruh lepas. Golongan buruh lepas merupakan jenjang kepegawaian yang ditempati oleh mayoritas warga.
6
Buruh lepas adalah buruh yang tidak mendapat tunjangan tetap dan tunjangan pensiun di akhir masa kerja. 3
45
Perbedaan antara buruh lepas dan karyawan tetap, terletak pada hak-hak karyawan tetap yang mendapat fasilitas lebih baik daripada karyawan lepas, berupa: pemberian cuti sebanyak maksimal satu minggu dalam satu tahun, fasilitas kesehatan yang didapat dari poliklinik perusahaan, penghargaan ubiliaris setiap 25 tahun masa jabatan, serta tunjangan pensiun yang diberikan di akhir masa kerja pada usia 55 tahun. Pensiun dikenakan kepada pegawai tetap setelah berusia 55 tahun. Enam bulan sebelum memasuki masa pensiun, atau ketika usia pekerja tetap mencapai 54 tahun 6 bulan, pegawai tersebut diberikan masa bebas tugas. Pada masa bebas tugas, seorang pegawai tetap tidak diberi kewajiban bekerja kepada perusahaan namun tetap diberi gaji dan tunjangan penuh setiap bulannya. Barulah setelah enam bulan berada pada masa tugas, pegawai tersebut dipensiunkan dan diberi tunjangan pensiun yang besarnya sesuai dengan pangkat atau golongannya dan lama waktu pengabdiannya di perusahaan. Sebagai contoh, besaran tunjangan pensiun yang diterima oleh mandor golongan 2D yang bekerja sekitar 35 tahun adalah sebesar Rp 28.000.000,00 yang dibayarkan satu kali pada saat dinyatakan pensiun, serta tunjangan pensiunan bulanan yang besarnya Rp 180.000,00 per bulan. Menurut data yang dikeluarkan oleh pihak PTP. Nusantara VIII, sejumlah 673 orang atau lebih dari 60 persen karyawan di perkebunan adalah karyawan lepas atau buruh. Jumlah real pegawai pada golongan ini lebih besar daripada data resmi yang dimiliki pihak perusahaan perkebunan, karena buruh yang telah pensiun kadang-kadang masih bekerja di perkebunan akibat tidak memiliki sumber penghidupan lainnya. Beberapa warga yang mampu menjadi karyawan buruh tetap, dan dalam jumlah yang lebih kecil lagi adalah warga yang menduduki posisi sinder dan mandor. Adapun staf perusahaan yang berada di puncak kepemimpinan perusahaan, mayoritas dikuasai oleh para pegawai yang didatangkan dari kantor pusat. Pengangkatan buruh lepas menjadi status buruh tetap dan peningkatan jenjang jabatan karyawan dilakukan dengan mempertimbangkan kualifikasi dan spesifikasi individu berupa tingkat pendidikan, prestasi kerja selama menjadi pegawai di taraf sebelumnya, dan lama masa kerja yang telah dilalui. Sebagai
46
contoh, untuk dapat menjadi seorang mandor, diperlukan tenaga kerja dengan spesifikasi pendidikan minimal lulus SMP se-derajat atau seorang lulusan SD yang telah mengabdi selama lebih dari 15 tahun dan dinilai memiliki kemampuan yang tepat sebagaimana yang dibutuhkan sebagai seorang mandor. Jabatan kepegawaian yang lebih tinggi memerlukan spesifikiasi pendidikan yang lebih baik, sehingga jarang ada warga yang menempati posisi kepegawaian di atas mandor. Pendidikan yang rendah tidak memungkinkan warga untuk menempati posisi yang lebih tinggi. Rata-rata pendidikan warga adalah SD bahkan tidak tamat SD. Tingkat pendidikan responden dapat menjadi gambaran mengenai tingkat pendidikan warga Kampung Pel Cianten secara umum. Dari 33 orang responden, 27 orang, atau sekitar 81,8 persen warga berpendidikan SD. Terdapat lima orang atau sekitar 15,2 persen responden yang berpendidikan STM dan menempati posisi sebagai pengawas bagian teknik dan mandor. Satu orang responden (3 persen) yang merupakan pendatang kemudian menetap sebagai guru SD setempat yang lulus pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan warga masih rendah, ditunjukkan dengan rata-rata pendidikan yang berhasil diselesaikan warga adalah pendidikan sekolah dasar. Fasilitas pendidikan berupa sekolah lanjutan sangat sulit diakses warga. Keberadaan SMP 2 Leuwiliang baru berdiri sejak tahun 2000, jauh hari sebelum itu, warga yang ingin melanjutkan pendidikan sekolah dasarnya harus menempuh SMP dan SMA terdekat di ibukota kecamatan Leuwiliang atau daerah Kabandungan,Kabupaten Sukabumi yang berjarak sejauh 25 km. Hanya sebagian kecil warga saja yang mampu secara ekonomi, dapat menyekolahkan anaknya ke tingkat lanjutan. Sebagian besar diantara warga memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan mereka dan segera bekerja di perusahaan perkebunan. Jabatan sebagai mandor dan pengawas adalah jabatan tinggi di antara warga pekerja lainnya. Pengangkatan sebagai karyawan tetap sudah lama tidak terjadi sejak kondisi perusahaan tidak stabil. Mengenai kondisi perusahaan yang kian menurun, seorang informan menyatakan bahwa terdapat kabar yang berkembang mengenai tiga opsi langkah yang akan diambil perusahaan. Pertama, komoditas perkebunan akan diganti, perusahaan tidak akan menanam teh lagi.
47
Kedua, perusahaan akan dijual ke pihak asing, serta yang ketiga perusahaan akan terus merugi dan akan segera ditutup. Menurut beberapa responden, dalam pengangkatan pekerja sebagai karyawan tetap dilakukan dengan melihat prestasi kerja, namun terkadang hubungan sosial yang lebih dekat dengan mandor justru dapat mempermudah peningkatan status menjadi karyawan tetap dengan lebih cepat. Beberapa responden dan informan mengatakan bahwa untuk dapat menjadi seorang pegawai tetap, seorang pegawai buruh lepas harus memberikan “pelicin” kepada mandor agar segera berubah status menjadi karyawan tetap. Mekanisme pengangkatan status kepegawaian menjadi karyawan tetap seperti itu disampaikan dalam pernyataan responden sebagai berikut: “Sekarang mah susah untuk bisa menjadi karyawan tetap. Saya saja sudah bekerja di perkebunan selama 15 tahun masih lepas (buruh lepas) statusnya. Sudah lama ga ada pengangkatan. Kalo pun jadi karyawan tetap, harus punya modal yang banyak, saya mah ga mampu” (KNA, 35 tahun)
Pendapatan sebagai buruh lepas berkisar antara Rp 350.00,00 hingga Rp 400.000,00 terlalu rendah untuk dapat mencukupi kehidupan jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebesar Rp 1.056.914,00. Upah yang diterima warga sebagai tenaga buruh di perkebunan hanya sekitar 35 persen hingga 41 persen saja dari UMR Kabupaten Bogor. Tak jarang buruh perkebunan berhutang untuk mendapatkan kebutuhan hidup sehari-hari ke koperasi karyawan. Ketika tibalah gajian atau pemberian upah kerja yang biasanya terjadi pada tanggal lima setiap bulannya, yang didapat hanya struk pembayaran gaji tanpa upah uang yang tersisa. Bahkan ada pula yang justru mendapat struk merah, yang artinya justru pendapatannya bulan tersebut masih kurang untuk menutupi utang ke koperasi karyawan. Dalam rangka menutupi kebutuhan hidupnya, selain mengandalkan upahnya di perkebunan dan memanfaatkan hasil panen dari sawah-sawah sempit yang berhasil mereka kuasai, sebagian warga lainnya berusaha mencari penghidupan di luar sektor pertanian. Beberapa diantara warga ada yang menjadi kuli angkut kayu ataupun juga buruh bangunan, dan bahkan justru menjadi tukang kayu. Tukang kayu adalah orang yang mencari tanaman keras di hutan milik TNGHS lalu menjualnya. Meski tipe pekerjaan ini adalah pekerjaan musiman dengan penghasilan tak tentu dengan tingkat resiko yang tinggi karena harus
48
berhadapan dengan peraturan legal mengenai konservasi, namun justru pekerjaan inilah yang dapat menjadi penyambung hidup warga.
5.5 Ikhtisar Sejarah mengenai kebijakan agraria yang diterapkan di wilayah sekitar Kampung Pel Cianten menunjukkan pola yang sama dari setiap periode penguasaan. Secara umum, teradapat dua sektor yang mempengaruhi politik agraria di Kampung Pel Cianten, yaitu: sektor perkebunan dan sektor kehutanan yang telah dimulai sejak masa pendudukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penetapan sebagai wilayah perkebunan menjadi momentum penting pengalihan akses lahan dari warga kepada Pemerintah Hindia Belanda. Proses pengalihan kekuasaan atas kawasan tersebut di lakukan melalui kesepakatan antara pemuka kampung dan Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam sebuah traktat. Pengalihan kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda di sertai dengan kompensasi berupa hak bermukim hingga generasi berikutnya. Kesepakatan inilah yang kemudian menjadi legitimasi akses warga terhadap lahan saat ini di tengah kondisi penguasaan oleh Negara. Kondisi demikian terjadi pula pada sektor kehutanan yang dimulai dengan penetapan sebagai area cagar alam yang dilindungi. Kesepakatan penyerahan wilayah yang semula dikuasi warga memberi konsekuensi berupa proses restlement warga kedalam pemukiman di tengah area perkebunan. Pemindahan warga kedalam area perkebunan menghapus kegiatan ladang huma yang telah dilaksanakan oleh warga sebelumnya dan sekaligus telah menempatkan warga dalam bagian kegiatan produksi perkebunan sebagai tenaga kerja secara permanen yang terus berlanjut hingga saat ini dibawah penguasaan PTP. Nusantara VIII. Penguasaan secara terpusat oleh Negara telah membatasi ruang akses masyarakat terhadap lahan. Lahan garapan yang dapat dikuasai warga terletak pada bagian tanah sisa dan sempit yang berada pada cekungan diantara celah kebun teh atau pada bagian tanah sisa dari lahan tanaman teh yang dibiarkan bera yang disebut lancuran. Lahan garapan yang dikuasai warga memiliki luas ratarata yang sangat sempit, yaitu sekitar 0,08 hektar per kepala keluarga. Kondisi
49
lahan yang tidak baik, karena merupakan bagian lahan marginal memberi hasil yang tidak mencukupi kebutuhan hidup warga. Sebagian warga mencari tambahan penghasilan dengan memanfaatkan sumberdaya di kawasan kehutanan, meski dengan resiko yang lebih besar. Kondisi warga dalam konteks agraria lokal yang terjadi di Kampung Pel Cianten menjadi sangat tergantung terhadap pihak perkebunan. Mayoritas warga adalah buruh di perkebunan dengan upah yang sangat minim, dengan proporsi 35 persen hingga 40 persen dari standar UMR Kabupaten Bogor saat ini. Keberadaan warga menjadi penyedia tenaga kerja murah untuk kegiatan perusahaan perkebunan.
50
BAB VI MEKANISME AKSES DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES WARGA TERHADAP LAHAN
Mekanisme akses atas lahan mencakup cara-cara warga Kampung Pel Cianten dalam mendapatkan dan mempertahankan akses terbatas terhadap lahan garapan pertanian mereka ditengah penguasaan akses oleh perkebunan dan Taman Nasional. Lebih lanjut, akses terhadap lahan garapan pertanian yang terbatas dan penghidupan yang minim, memberikan akibat terhadap penghidupan warga berupa kecenderungan pada sektor non lahan.
6.1 Cara Memperoleh Lahan Garapan Perolehan lahan yang digarap oleh warga, tidak didapatkan dari programprogram Taman Nasional dan pihak perkebunan yang dapat memberikan akses lahan kepada warga. Lahan yang dapat dibuka warga adalah lahan-lahan marginal yang tidak dipergunakan oleh pihak perkebunan ataupun pihak Taman Nasional. Terdapat beberapa mekanisme perolehan lahan garapan yang terjadi diantara warga Kampung Pel Cianten. Cara perolehan tanah yang umum ditemukan adalah buka sendiri, warisan, dan ganti rugi. Sistem gadai dan jual beli tidak umum ditemukan pada masyarakat Kampung Pel Cianten karena warga tidak memiliki hak milik atas lahan garapan. Gambaran mengenai cara perolehan tanah yang terjadi di Kampung Pel Cianten dapat dilihat pada Tabel.4. Tabel 4. Cara Perolehan Lahan Garapan Responden
Mekanisme perolehan Buka sendiri Waris Ganti rugi Bagi hasil TOTAL
Presentase (%) 45,6 30,4 20,4 3,6 100
Cara perolehan lahan yang paling banyak dilakukan adalah melalui pembukaan lahan (sebanyak 45,6 persen) dan waris (sebanyak 30,4 persen).
51
Pengalihan penguasaan lahan garapan yang terjadi di Kampung Pel Cianten hanya terjadi diantara warga kampung saja. Pengalihan penguasaan lahan garapan keluar kampung tidak pernah tejadi karena lahan yang dikuasai warga bukan berstatus hak milik.
6.1.1 Buka Sendiri Mayoritas perolehan lahan garapan warga Kampung Pel Cianten melalui kegiatan pembukaan lahan. Pembukaan lahan atau lebih sering disebut dengan istilah cacar dilakukan dengan menebang pepohonan di kawasan hutan. Perubahan kebijakan atas status hutan produksi menjadi kawasan konservasi membuat aktivitas pembukaan lahan garapan semakin berkurang. Selain perubahan kebijakan atas penguasaan hutan, faktor lain yang mempengaruhi penurunan kegiatan pembukaan lahan adalah pertambahan jumlah penduduk yang semakin tinggi. Kegiatan pembukaan lahan telah terjadi sejak awal terbentuknya kampung dan umumnya terjadi sampai dengan tahun 1980-an. Ketika itu, lahan masih luas dan penduduknya masih sedikit, sehingga kesempatan menggarap lahan menjadi sangat luas. Berbeda dengan kondisi sekarang yang sudah semakin sulit untuk mendapatkan lahan garapan karena sudah tidak ada lahan lain lagi yang boleh dibuka. Kondisi ini sebagaimana disampaikan dalam wawancara mendalam dengan salah satu responden:
“Kapungkur Emak sareng Bapak ngabika lahan teh nuju masih ngahuma didieu. Rompok teh ukur saung Emak wae sareng Bapak, liana mah teu aya. Sepi keneh. Kapungkur mah masih lalega, asal daek ngagarap mah seug wae bade ngbika lahan dimana wae oge. Beda jeung cara ayeuna, bade ngabika lahan deui oge tos teu aya”(ACE, 75 tahun). (Dahulu Emak dan Bapak membuka lahan sewaktu masih ngahuma disini. Rumah yang ada hanya gubuk Emak dan Bapak, yang lainnya tidak ada. Masih Sepi. Dulu masih luas (tanah), asalkan mau menggarap silahkan saja bisa membuka lahan dimana saja. Berbeda dengan kondisi saat ini. Mau membuka lahan juga sudah tidak ada) (ACE, 75 tahun).
Pembukaan lahan dikawasan perkebunan, umumnya dilakukan di tanahtanah sempit di gigir kebun teh ataupun diantara celah kebun teh yang disebut dengan sarakan. Warga tidak diperbolehkan membuka lahan garapan yang digunakan untuk bertanam teh. Meski begitu, beberapa petani yang menguasai lahan garapan di gigir kebun teh mengaku pernah melakukan perluasan lahan
52
garapan mereka ke area kebun teh secara bertahap. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh responden, sebagai berikut:
“…muhun, ieu tos caket kana nteh tadi namah rada tebih, asal mah tong kapendakan ku kebun w lah” (…iya, ini sudah dekat dengan tanaman teh, tadinya memang aga jauh, asalkan jangan dikatuhi oleh pihak kebun (perkebunan) saja). (MTR,32 tahun)
Awalnya, warga menanam tanaman pisang untuk membatasi lahan garapannya, kemudian pada waktu berikutnya tunas baru pada tanaman pisang bergeser. Selain itu, ada juga warga yang memang memperluas lahannya pada kegiatan persiapan penanaman padi dalam siklus penanaman padi berikutnya. Dengan demikian luas lahannya sedikit demi sedikit menjadi bertambah.
6.1.2 Waris Lahan garapan warga yang dibuka sendiri kemudian diwariskan ke generasi berikutnya. Sistem waris yang berlaku di Kampung Cianten tidak mengikuti sistem Islam sebagaimana yang sering dijumpai di setiap komunitas yang mayoritas warganya Muslim. Pembagian lahan garapan dilakukan dengan pembagian samarata antara anak laki-laki dan perempuan. Kadangkala dijumpai pewarisan lahan garapan yang tidak ditujukan secara khusus kepada salah satu anaknya. Bisa jadi lahan garapan peninggalan orangtuanya digarap secara bergantian oleh siapa saja diantara anaknya yang mampu dan mau untuk menggarap.
6.1.3 Ganti Rugi Sistem jual-beli lahan garapan tidak lumrah dilakukan oleh warga Kampung Pel Cianten. Mereka menyadari bahwa mereka tidak mempunyai hak milik atas setiap lahan garapan yang mereka kuasai. Sistem ganti rugi berkaitan erat dengan cara perolehan lahan garapan melalui buka sendiri, dimana tujuan ganti rugi ini adalah untuk mengganti tenaga yang dikeluarkan oleh pemilik lahan garapan sebelumnya yang telah membuka lahan garapan tersebut. Oleh karena itu, sistem seperti ini lebih sering disebut dengan sistem mulangkeun tanaga oleh warga setempat yang berarti “mengembalikan tenaga”. Besaran ganti rugi
53
tergantung pada kesepakatan keduabelah pihak. Sistem ini lebih cenderung merupakan kegiatan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada pembuka lahan dibandingkan dengan kegiatan transfer hak kepemilikan.
6.1.4 Bagi Hasil Sistem bagi hasil tidak terlau banyak digunakan oleh warga Kampung Pel Cianten. Hasil pertanian yang minim membuat warga jarang melakukan bagi hasil. Adapun kegiatan bagi hasil dilakukan diantara keluarga dekat saja dengan alasan ketidakmampuan pemilik lahan untuk mengolah lahan garapan akibat faktor usia yang sudah tua. Sistem yang berkembang adalah maro, dimana hasil panen dibagi dua antara pemilik lahan dan penggarap sama besar setelah sebelumnya dipotong biaya dan modal yang digunakan untuk pengolahan lahan. Selain keempat sistem tersebut, masih ada sistem lain yang berkaitan dengan cara perolehan lahan di Kampung Pel Cianten, yaitu: sistem liron atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai sistem tukar. Sistem tukar dilakukan diantara warga Kampung Pel Cianten dan dilakukan baik untuk jenis lahan yang sama ataupun berbeda tergantung pada kesepakatan diantara pihak. Salah satu contoh yang peneliti temui di lokasi penelitian adalah liron sejenis, yaitu empang/kolam. Empang yang informan kuasai sekarang hasil dari liron atau bisa diartikan “bertukar” dengan warga lainnya, karena keduabelah pihak samasama menginginkan lokasi empang yang lebih dekat dengan rumah mereka. Luas yang dipertukarkan tidak sama, empang yang dimiliki informan saat ini lebih sempit daripada yang dahulu. Meski begitu, pertukaran dilakukan begitu saja, tidak ada kompensasi biaya yang harus dikeluarkan meski luasannya berbeda.
6.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Warga terhadap Tanah dan Tumbuhnya Relevansi Sumberdaya Non Tanah Secara de jure, warga memang tidak mempunyai hak untuk dapat menggunakan lahan baik di kawasan perkebunan ataupun Taman Nasional. Warga menggunakan justifikasi sejarah dimana tokoh pendiri kampung diberi kompensasi hak mukim dan garap hingga generasi selanjutnya sebagai legitimasi kegiatan pembukaan lahan pertanian saat ini. Alasan historis pula yang membuat
54
pihak perkebunan memberi “izin” kepada warga untuk dapat membuka lahan garapan. Dari sudut pandang teori akses Ribot dan Pelusso (2003) maka faktor identitas sosial inilah yang menjadi faktor penentu akses wargta terhadap lahan pertanian di daerah perkebunan. Dari sudut pandang warga, kegiatan membuka lahan pertanian menjadi konsekuensi logis dari kebutuhan hidup yang mendesak tanpa didukung upah perkebunan yang memuaskan. Dengan begitu, faktor ekonomi menjadi pendorong utama mengapa warga membuka lahan garapan. Ungkapan “ek kamana deui atuh urang Cianten mah, mun teu ti tanah ieu” (“mau kemana lagi orang Cianten, kalau tidak dari tanah kegiatan pertanian”) yang hampir selalu ditemui oleh peneliti menunjukkan bagaimana mereka tetap menjadikan kegiatan pertanian sebagai pemenuh kebutuhan mereka dalam kondisi akses yang cukup sulit. Bagi pihak perusahaan perkebunan, keberadaan warga ini menjadi pemenuh kebutuhan perusahaan akan tenaga kerja. Jumlah warga yang terus bertambah, dan kualitas pendidikan mayoritas warga termasuk dalam kualifikasi rendah menjadi kondisi yang menguntungkan bagi perusahaan perkebunan. Kondisi warga yang demikian, menempatkan warga dengan posisi tawar yang rendah sebagai tenaga kerja perkebunan yang mudah dan murah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh salah satu staf perkebunan dalam wawancara mendalam. Dengan demikian, kerugian perusahaan untuk memberikan lahan diimbangi dengan ketersediaan tenaga kerja yang lebih mudah dijangkau. Sekitar tahun 1997, ketika terjadi penggantian kepala administrator yang baru, pihak perusahaan perkebunan sempat mengeluarkan kebijakan untuk membersihkan areal perkebunan dari lahan garapan warga. Tanaman milik warga yang dinilai mengganggu tanaman teh sempat di tebang, termasuk areal pesawahan warga yang berada di kawasan perkebunan. Tindakan pihak perkebunan mendapat protes keras dari warga dan sempat memunculkan konflik terbuka meski akhirnya dapat segera diselesaikan. Sejak saat itu, warga kembali diperbolehkan untuk menggunakan lahan garapannya. Keterbatasan lahan yang dapat digarap warga di perkebunan, mendorong warga untuk memperluas cakupan garapan warga ke area kehutanan.
55
Seiring pergeseran waktu, ketersediaan lahan-lahan garapan yang dapat dikuasai warga semakin sempit dengan kualitas yang semakin rendah. Di lokasi ini pula tidak terdapat program yang dapat memberikan akses lahan kepada warga, baik dari pihak perkebunan maupun Taman Nasional. Beberapa lahan garapan warga adalah bagian dari tanah lancuran, yaitu lahan sisa yang tadinya ditanami teh, kemudian dibiarkan bera karena tanaman teh sudah tua dan tidak produktif. Umumnya, penguasaan lahan pertanian oleh warga Kampung Pel Cianten sangatlah minim. Rata-rata penguasaan lahan oleh setiap rumahtangga adalah seluas 2 hingga 3 gedeng atau setara dengan 0,08 hektar hingga 0,12 hektar. Hasil yang diperoleh dari penguasaan lahan dengan luas yang begitu sempit hanyalah sekitar 10 karung gabah dalam kondisi normal, dan akan berkurang hingga mencapai setengahnya saja ketika gagal panen. Hasil sebanyak
itu, menurut
sebagian besar responden dan beberapa informan yang ditemui sangat
tidak
mencukupi kebutuhan hidup satu keluarga dengan anggota keluarga sekitar empat hingga lima orang sampai mencapai panen berikutnya. Kondisi pertanian yang dianggap kurang menjanjikan itulah yang membuat sebagian warga justru enggan menggarap lahan pertanian. Beberapa warga menuturkan, hasil panen yang demikian minim dipengaruhi pula oleh kualitas air yang berbeda-beda. Beberapa lokasi pertanian, hanya diairi dengan beberapa sumber mata air kecil dengan kondisi air yang tidak terlalu baik. Warga Kampung Pel Cianten menyebutnya dengan sebutan Cai Peura. Air Peura berwarna lebih keruh daripada air pada umumnya. Dibeberapa tempat pertanian milik warga lainnya yang lebih dekat kepada sungai sebagai sumber air irigasi, menunjukkan kondisi hasil panen yang lebih baik, meski tidak terlalu signifikan. Perbedaan kondisi lahan pertanian, sumber air irigasi,dan tentu saja hasil panen terkadang menjadi sangat menentukan dalam mengatur besar harga tanah dalam mekanisme perolehan lahan ganti rugi atau yang lebih dikenal warga sebagai sistem mulangkeun tanaga. Komoditas yang ditanam dalam lahan garapan warga mayoritas adalah tanaman pangan yang ditanam untuk melengkapi kebutuhan subsisten semata. Satu petak sawah seluas 3 gedeng, ditanami padi yang kadang dilengkapi dengan
56
beberapa pohon singkong dan sedikit sayuran seperti cabai dan tomat di setiap pojok pematang sawah. Beberapa diantara petani menanami pinggiran petak sawahnya dengan
tanaman pisang. Selain untuk menambah cadangan bahan
makanan, tanaman pisang ini digunakan pula sebagai penanda batas antara sawah miliknya dengan sawah milik orang lain. Pada petani yang memiliki lahan lebih luas, ditemukan komoditas tanaman yang lebih bervariasi. Penguasaan modal produksi pertanian berupa areal lahan yang lebih luas diberagam tipe pemanfaatan lahan memungkinkan petani lahan luas untuk menanam tanaman keras di kebun miliknya dalam jumlah banyak. Komoditas yang ditanam biasanya adalah pohon manii atau dikenal sebagai kayu Africa. Manii akan tumbuh selama lima tahun sebelum akhirnya dipanen. Salah seorang responden lahan luas yang memiliki lahan kebun manii yang relatif lebih luas menyebutkan manfaat kebun manii sebagai penambah cadangan investasi yang menjanjikan Sedangkan bagi petani lahan sempit, keberadaan pohon manii bisa menjadi cadangan tabungan jangka panjang yang dapat digunakan untuk mempersiapkan kebutuhan yang besar. Pada beberapa petani, penguasaan lahan selain didapatkan dari kegiatan membuka sendiri, juga dilakukan melaui mekanisme ganti rugi atau mulangkeun tanaga. Seorang pensiunan karyawan
perkebunan yang berprofesi sebagai
mandor mendapatkan lahan garapannya dari mekanisme mulangkeun tanaga. Petani ini mendapatkan lahan seluas 3 gedeng dengan membayar senilai Rp 1.500.000,00 pada tahun 1998. Lahan ini kemudian digarap oleh diri sendiri dan kadang oleh buruh tani dengan alasan keterbatasan waktu. Upah buruh tani dibayar harian, yaitu Rp 25.000,- untuk kegiatan mencangkul dengan durasi kerja satu hari terhitung sejak pagi hari hingga tengah hari. Ketersediaan lahan yang semakin terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya menjadikan transaksi mulangkeun tanaga sebagai kegiatan transfer penguasaan lahan yang digunakan warga. Dengan demikian, faktor penguasaan modal pun menjadi hal yang penting dalam hal penguasaan lahan warga. Disisi lain, minat warga dalam kegiatan pembukaan lahan cenderung menurun karena ketersediaan lahan yang semakin sempit dan kualitas yang semakin rendah. Lahan-lahan yang tersisa saat ini hanyalah lahan-lahan marginal
57
yang kurang produktivitasnya, terlihat dari hasil panen yang seringkali tidak sebanding dengan input pertanian yang dikeluarkan. Tanah-tanah yang produktif, tentulah digunakan sebagai bagian dari area perkebunan dan kehutanan. Pada keadaan seperti itu, justru terdapat kecenderungan yang mengarah pada kondisi dimana sumber-sumber non lahan menjadi lebih penting sebagai usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Beberapa warga memutuskan untuk melakukan migrasi keluar kampung dan memilih pekerjaan sektor informal diluar pertanian, yaitu sebagai buruh pabrik industri. Rendahnya pendidikan membuat warga sulit mendapatkan pekerjaan dengan spesifikasi yang lebih baik. Akses terhadap pendidikan hanya mampu dijangkau oleh warga dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Dalam kondisi kekurangan lahan dan ketergantungan terhadap pihak perkebunan yang tinggi, maka pilihan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik didapatkan dengan cara menempati posisi-posisi pekerjaan yang lebih baik di perusahaan perkebunan. Prosedur menaikkan jenjang pekerjaan, secara formal dilakukan dengan mempertimbangkan lama kerja dan juga prestasi kerja karyawan. Namun, dalam kenyataannya relasi sosial khusus dengan mandor dapat menjadi jalan untuk mengubah status menjadi karyawan tetap dan mendapatkan posisi kerja yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan responden sebagai berikut:
“bapa mah teu gaduh dukungan, teu gaduh nu ngajeujeuhkeunna, janten w..bapa mah angger janten pegawai lepas, Benten sareng Pak U mah, anjeunna mah aya nu ngajeujeuhkeun, pan lanceukna teh janten mandor sareng pengawas di perkebunan, pami bapa mah teu aya” (Bapak tidak punya dukungan, tidak ada yang me-back up, jadi..Bapa tetap menjadi karyawan lepas. Berbeda dengan Pak U, beliau ada yang mendukung, kakaknya adalah mandor dan pengawas di perkebunan, kalau Bapa tidak ada) (SJY, 52).
Dengan demikian, relasi sosial yang lebih dekat dengan mandor dapat menjadi penentu status buruh menjadi karyawan tetap. Mengenai jenjang pekerjaan di perkebunan, mayoritas warga memang hanya menempati posisi sebagai buruh. Posisi lain yang lebih tinggi, yaitu sebagai mandor ataupun sinder, biasanya ditempati oleh sebagian kecil warga saja.
58
Langkah lain yang dilakukan warga sebagai respon keterbatasan akses tanah adalah dengan mencari kayu di kawasan Taman Nasional. Menurut pandangan taman Nasional dan pihak perkebunan, kegiatan pemanfaatan warga termasuk dalam kegiatan illegal. Meski begitu, warga tidak mempunyai pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa diantara warga ada yang menjadi tukang kayu yang menjual kayu keluar kampung, meski hal tersebut telah dilarang oleh pihak Taman Nasional.
Pengiriman kayu keluar kampung biasanya dilakukan pada malam hari untuk menghindari pengawasan petugas Taman Nasional. Setiap rute perjalanan membawa kayu dihargai Rp 220.000,00 oleh pemilik kayu. Terdapat dua definisi pemilik kayu, yaitu: (1) orang yang menjual kayu dari pohon yang ditanamnya sendiri, dan (2) orang yang mencari kayu di hutan lalu menjualnya ke luar kampung.Biaya tersebut dipergunakan untuk keperluan sewa mobil sebanyak Rp 100.000, biaya bahan bakar Rp 80.000, dan sisanya adalah upah yang diberikan kepada supir pengangkut. Selain biaya tersebut, ada juga beberapa biaya tambahan yang diperlukan untuk melancarkan kegiatan distribusi kayu hingga sampai tempat tujuan. Biaya tambahan pertama dikenakan pada oknum petugas penjaga portal pekebunan yang merupakan pintu satu-satunya untuk keluar kampung. Pemberian uang kira-kira sebanyak Rp 10.000,- memang tidak pernah diharuskan secara tertulis, namun seolah telah menjadi kesepakatan tak tertulis antara supir pengangkut kayu dan oknum petugas penjaga portal perkebunan. Biaya tambahan selanjutnya adalah untuk pos polisi yang berada di ibukota kecamatan. Hal tersebut sama seperti apa yang terjadi dengan oknum petugas penjaga portal perkebunan. Setiap satu bak kayu dengan kualitas baik dihargai sebesar Rp 1.300.000. Jika kualitas kayu sedang buruk, maka hanya dihargai sekitar Rp 500.000. Pemilik mobil akan mengetahui secara pasti berapa banyak rute pengiriman kayu yang dilakukan karena pemilik mobil merangkap pula sebagai tauke kayu di tempat tujuan. Jika terjadi penangkapan oleh petugas kehutanan, maka kerugian akan biaya transportasi seluruhnya ditanggung oleh supir. Kayu yang ditangkap petugas adalah jenis-jenis kayu hutan, seperti: manii, manglid, dan ipis kulit. Jenis kayu lain yang dibudidayakan warga tidak termasuk dalam kriteria penangkapan yang dilakukan petugas kehutanan. Selain dijual
59
keluar dalam bentuk kayu mentah, kayu yang diambil dari hutan pun digunakan untuk kegiatan membangun rumah dan pembuatan barang furniture. Kegiatan membangun rumah warga biasanya menggunakan kayu yang di ambil untuk pembuatan kusen, daun pintu, dan jendela. Pengambilan kayu untuk kebutuhan rumah, masih bisa ditolerir oleh petugas kehutanan selama berada dalam jumlah yang wajar. Beberapa kegiatan proyek pembuatan rumah warga saat ini kadang memerlukan kayu dalam jumlah yang besar. Untuk menghindari penangkapan oleh petugas kehutanan, tukang kayu seringkali menggunakan pembuatan nota pembelian kayu palsu. Nota palsu ini didapat dari toko material di ibukota kecamatan yang telah dikenal baik oleh tukang kayu seharga Rp 100.000,-. Penyelasaian permasalahan melalui mekanisme penyelesaian “dibawah meja” antara petugas kehutanan dan warga yang terlibat menunjukkan penguasaan struktur akses relasi sosial. Beberapa warga lainnya pun terampil dalam membuat furniture. Penyebaran hasil produksi warga tidak hanya terjadi secara internal terhadap warga lain di kampung tersebut, namun juga sampai keluar kampung. Bahkan menurut beberapa informan, oknum staf perusahaan perkebunan seringkali memesan hasil produksi warga untuk konsumsi pribadi. Seiring dengan kegiatan konsumsi kayu yang kian meningkat, maka kayu-kayu yang dahulu banyak tersedia di hutan kini sudah semakin langka. Responden yang terbiasa mencari kayu di hutan, menggambarkan kondisi ketersediaan kayu yang semakin terbatas, dengan pernyataan sebagai berikut:
“Kapungkur mah kai nu sarae teh masih gampil, seueur jumlah sareng jenisna. Pami ayeuna mah tos sesah, kedah sadinten papah na ge ka tengah leuweung. Pami dongkap ti gunung teh sonten, bade caket ka magrib, pami angkat ti saprak subuh” (Dahulu, kayu yang bagus masih mudah, jumlah dan jenisnya banyak. Kalau sejarang sudah susah, harus satu hari perjalanannya. Kalu datang dari gunung pada sore hari, hampir waktu magrib, kalau berangkat setelah subuh) (SJY, 53 tahun).
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan kayu saat ini sudah semakin menurun. Lokasi pengambilan kayu saat ini relative sudah lebih jauh daripada lokasi semula. Pernyataan ini juga secara implisit menggambarkan laju kerusakan ekosistem hutan menjadi lebih tinggi akibat perambahan yang dilakukan warga.
60
Kegiatan pengambilan kayu dari hutan ke daerah perkampungan dilakukan dengan sistem borongan dan harian.Sistem borongan digunakan untuk jenis kayu berat berbentuk gelondongan dan belum melewati kegiatan penggergajian. Pembayaran upah jasa pengangkut kayu di bayar Rp 30.000 per hari. Sedangkan sistem harian digunakan untuk jenis kayu balok yang sudah melewati fase penggergajian. Pembayaran upah diberikan sebanyak Rp 5000 untuk setiap satu balok kayu. Mengingat jarak pengangkutan yang demikian jauh dan volume kayu yang besar, maka kemampuan maksimum pengangkutan kayu oleh kuli angkut hanyalah dua kali pengangkutan kayu dalam satu hari masa kerja. Dalam merespon kegiatan penebangan yang dilakukan warga, tak jarang petugas kehutanan menerapkan tindakan koersif untuk menyelesaikan kasus perambahan illegal. Meski begitu, warga memiliki cara untuk meredam tindakan tersebut dengan cara memberikan sogokan kepada petugas kehutanan. Hal ini sesuai dengan pengakuan warga yang telah mengalami hal tersebut: “Saya sudah sering di ancam sama PA (perhutani),, sudah beberapa kali petugas PA mendatangi rumah saya. Paling-paling saya berikan amplop seratus ribu, dan petugas itupun kemudian pergi dari rumah saya” (SJY, 53 tahun).
Seringkali petugas kehutanan justru seolah melindungi aktivitas pembalakan kayu oleh warga yang dinilai illegal. Seorang petugas kehutanan menyebutkan bahwa mereka (petugas kehutanan) sudah mengetahui berbagai kegiatan pembalakan yang dilakukan warga, namun mereka merasa kesulitan untuk menangkap warga karena mereka mengetahui bahwa aktivitas warga adalah untuk
mencukupi
kebutuhan
hidupnya.
Kondisi
tersebut
sebagaimana
diungkapkan petugas kehutanan dalam kegiatan wawancara mendalam, sebagai beruikut: “Saya kadang ga tega, kalau harus menangkap warga yang mengambil kayu di hutan, karena kami juga tau sebenarnya mereka butuh kayu-kayu tersebut. Kadang-kadang saya mah ngerasa serba salah, mau ditangkap juga bagaimana, kan warga mah memang butuh, tapi kalau dibiarkan, saya nya atuh yang dimarahi oleh kantor. Jadi, saya bilang sama warga, supaya jangan terlalu mencolok, baik itu tempatnya ataupun jumlahnya” (MAD, 40 tahun)
Kegiatan warga dalam melakukan pembalakan dalam sudut pandang Taman Nasional merupakan salah satu bentuk akses illegal yang melawan struktur
61
penguasaan Negara. Petugas kehutanan menampilkan sikap koersif di satu sisi sekaligus memberikan toleransi non formal disi lain dalam menyikapi aktivitas pembalakan yang dilakukan warga. Toleransi non formal diberikan dengan memberikan sedikit ruang kompromi bagi keperluan kayu warga dan mencoba memahami aktivitas pembalakan illegal warga sebagai akibat terdesak kebutuhan hidup dan faktor ekonomi. Petugas kehutanan melaksanakan tanggung jawab pada Negara sekaligus terlibat dalam perlawanan struktur penguasaan Negara.
6. 3 Ikhtisar Akses warga terhadap lahan garapan mereka sebagai salah satu penopang penghidupan warga sangatlah terbatas ditengah struktur penguasaan yang didominasi oleh pihak perkebunan dan Taman Nasional. Mekanisme perolehan lahan garapan oleh warga Kampung Pel Cianten tidak didapat dari programprogram PTP. Nusantara VIII ataupun TNGHS yang dapat memberikan akses lahan kepada warga. Terdapat mekanisme perolehan lahan antara warga, yaitu: buka sendiri, waris, ganti rugi, dan bagi hasil. Sistem jual beli tidak ditemukan dalam kasus ini karena warga tidak memiliki hak milik terhadap setiap lahan garapan yang mereka kuasai. Mayoritas lahan garapan warga, yaitu sebanyak 45,6 persen dari seluruh responden didapat dari mekanisme buka sendiri. Mekanisme transfer akses lahan dari lahan yang dibuka sendiri dilimpahkan kepada generasi berikutnya melalui sistem waris. Dalam kasus ini terdapat 30,4 persen mekanisme perolehan lahan melalui waris dari seluruh responden. Sistem lainnya adalah sistem ganti rugi yang lebih umum disebut warga dengan istilah mulangkeun tanaga. Besaran ganti rugi didasarkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak. Sistem bagi hasil relative jarang digunakan warga karena hasil produksi pertanian yang minim, sehingga warga lebih memilih untuk menggarap sendiri lahannya. Penguasaan lahan pertanian warga sebagian besar didaptakan dari buka sendiri dang anti rugi. Seiring pergeseran waktu, ketersediaan lahan garapan warga menjadi semakin terbatas dengan kualitas yang semakin rendah, sehingga lahan pertanian warga di lakukan secara ganti rugi. Dengan demikian. faktor
62
utama yang mempengaruhi akses warga terhadap lahan adalah penguasaan terhadap modal. Tanah yang tersisa hanyalah bagian tanah marginal yang tidak memberikan hasil pertanian yang mampu mencukupi kebutuhan hidup warga. Hasil pertanian yang didapat warga sangatlah minim dan bahkan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Meski begitu, lahan garapan warga ini tetap dipertahankan, meski terdapat kecenderungan pemenuhan kebutuhan warga yang mengarah pada menguatnya relevansi sumberdaya non lahan, dimana usaha meningkatkan posisi jabatan di perkebunan semakin menguat.
63
BAB VII ARTI DAN PERAN TANAH BAGI MASYARAKAT PERKEBUNAN DESA HUTAN Aspek yang diterangkan dalam bab ini meliputi kegiatan pemanfaatan lahan sebagai sumberdaya agraria utama oleh warga Kampung Pel Cianten dan berbagai hubungan antar warga dalam kegiatan pemanfaatan lahan sebagai satu kesatuan masyarakat di tengah penguasaan akses tanah oleh PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Selain itu, dibahas pula mengenai makna tanah bagi warga setempat. Dengan demikian, bab ini akan memberikan gambaran mengenai karakterististik warga Kampung Pel Cianten sebagai masyarakat yang agraris, namun tanpa akses dan hak atas tanah
7.1 Kegiatan Pertanian Warga Warga Kampung Pel Cianten merupakan masyarakat petani yang sangat terikat dengan tanah. Menurut salah satu tokoh masyarakat setempat, kegiatan pertanian telah dimulai oleh para pendiri kampung dengan bentuk huma sebelum adanya perkebunan. Ngahuma adalah kegiatan pertanian di lahan kering dengan pola pertanian berpindah. Petani pemilik ladang mendirikan rumahtinggal di tengah kawasan ladangnya. Saat ini kegiatan pertanian masih menjadi sektor penting dalam menunjang kehidupan masyarakat di Kampung Pel Cianten. Meski mayoritas warga Kampung Pel Cianten bekerja sebagai karyawan di perkebunan, namun pemenuhan kebutuhan hidup warga masih ditopang dari sektor pertanian. Sektor pertanian dianggap sebagai salah satu investasi jangka panjang dan tunjangan hari tua setelah pensiun dari pekerjaan di perkebunan. Walau begitu beberapa diantara warga ada juga yang tidak tertarik untuk melakukan kegiatan pengolahan tanah.
7.1.1 Ikatan Religius Warga dengan Tanah Pertanian Hubungan antara warga dan tanah masih kuat. Dalam kegiatan pengolahan lahan yang terjadi di Kampung Cianten, warga setempat masih melakukan serangkaian upacara tradsional. Tujuan utamanya adalah kegiatan penghormatan
64
terhadap tanah dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk semua rezeki yang di anugerahkan kepada warga Kampung Pel Cianten. Bentuk kegiatan yang dilakukan masih mendapat pengaruh kuat sinkritisme kebudayaan Hindu dan Islam. Hal ini dapat dimengerti melalui penelusuran sejarah terhadap asal-usul masyarakat Halimun (dimana warga Kampung Pel Cianten termasuk didalamnya) yang merupakan keturunan kerajaan Sunda Padjajaran dengan akar kebudayaan Hindu yang kuat. Walau demikian, khususnya pada komunitas Pel Cianten warisan budaya Hindu ini sudah jauh tererosi dibandingkan dengan komunitaskomunitas lain di kawasan Halimun seperti: Komunitas Badui di daerah Banten Kidul, Masyarakat Kasepuhan Halimun, dan Masyarakat Kanekes. Menurut warga setempat, padi (dalam konteks ruang pembicaraan ini bisa juga diasosiasikan dengan beras) merupakan jelmaan Dewi Sri yang disebut oleh warga setempat dengan nama Nyi Pohaci. Penempatan posisi yang tinggi seperti ini membuat perlakuan terhadap padi menjadi suatu kegiatan yang sakral. Wuku atau waktu untuk memulai kegiatan penanaman perlu diperhitungkan oleh seorang Puun, yaitu seorang sesepuh kampung yang diyakini memiliki kemampuan untuk “membaca” kondisi alam secara turun temurun. Pembagian waktu bercocok tanam dipengaruhi pula oleh bulan penanggalan Islam (Hijriyah). Selain menentukan waktu, Puun juga akan menentukan arah yang tepat dalam melakukan tandur. Penentuan arah ini dilakukan melalui ritual tertentu dan didahului dengan tradisi ngarujak, yaitu membuat suatu sajian makanan rasa manis yang ditujukan untuk persembahan sajen kepada leluhur. Penanaman dapuran (bibit padi) pertama kali dalam suatu area sawah akan dilakukan oleh puun. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk salam kepada tanah (bumi) untuk menitipkan benih padi (Nyi Pohaci) agar mampu tumbuh dengan hasil yang baik. Setelah panen, terdapat tradisi seren taun sebagai ungkapan rasa syukur untuk hasil panen yang telah diberikan. Kegiatan seren taun yang berkembang di tengah warga Kampung Pel Cianten telah berbeda dengan kebiasaan di tempat lain, dimana biasanya dilakukan dengan menggunakan ritual tertentu dan tarian. Kegiatan seren taun Kampung Pel Cianten dilaksanakan di masjid
dengan
rangkaian acara berupa sholawatan dan doa bersama. Hal ini menunjukkan suatu
65
pergeseran ke arah budaya Islam. Penentuan waktu pelaksanaan seren taun dilaksanakan tepat di tahun baru Islam, yaitu tanggal 1 Muharram. Kegiatan penyimpanan padi dan hasil panen pun memiliki tata cara tersendiri. Beras diharuskan disimpan pada tempat yang disebut padaringan dan diletakkan di goah, yaitu suatu ruangan khusus yang tertutup dan tidak terlewati lalu lalang orang. Hanya kaum perempuan yang boleh masuk ke tempat tersebut. Kaum laki-laki tidak diperkenankan melihat tempat beras tersebut, karena dianggap tabu dan tidak sopan serta mengganggu keberadaan Nyi Pohaci. Pada kondisi masyarakat saat ini, tradisi padaringan dan goah sudah tidak terlalu diperhatikan. Selain itu, di setiap rumah terdapat sawen, yaitu beberapa batang padi yang digantungkan di atas pintu rumah. Fungsi dari sawen ini adalah sebagai penangkal bencana dan pembuka rezeki dan keselamatan untuk keluarga tersebut. Dengan demikian, masih terdapat pencampuran budaya antara dinamisme dan animisme. Tradisi religius di dalam pertanian ini mengindikasikan peran pertanian yang jauh lebih penting dalam penghidupan penduduk di masa lalu.
7.1.2 Arti Pertanian bagi Warga Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa mayoritas warga Kampung Pel Cianten bekerja di perkebunan. Terdapat beberapa sektor pekerjaan di perkebunan selain menjadi staf pegawai perkebunan, yaitu: bagian teknik, bagian petik, bagian produksi, dan bagian pemeliharaan. Posisi pekerjaan yang umum ditempati oleh warga Kampung Pel Cianten adalah sebagai tenaga kerja buruh dengan status BHL atau Buruh Harian Lepas yang tersebar di ragam sektor pekerjaan tadi. Upah yang diterima sebagai Buruh Harian Lepas sangat minim, yaitu sekitar Rp 350.000,- hingga Rp 500.000,- per bulan, yang berarti hanya sekitar 35 persen hingga 50 persen dari jumlah UMR Kabupaten Bogor tahun 2010 sebesar Rp 1.059.000,00. Penghasilan tersebut tentu tidak dapat mencukupi kehidupan warga dalam setiap rumahtangga. Maka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, warga melakukan kegiatan mengolah tanah sebagai alternative pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Meski hasil dari pengolahan sawah seringkali
66
mengecewakan (tidak cukup), bahkan kadang-kadang gagal panen (garung) akibat serangan hama dan faktor cuaca. Kendati demikian warga cendrung mempertahankan lahan garapan mereka. Kondisi seperti ini sebagaimana diungkapkan oleh responden: “Pami hasil mah ulah ditaros, moal ek sabaraha ieuh. Tapi da lumayan wae neng, keur nyambung-nyambung hirup. Pepelakan teh susuganan weh jadi” (KNA, 35 tahun) (Kalau hasil mah jangan ditanya, tidak seberapa. Tapi lumayan aja neng, untuk sekedar menyambung hidup. Bercocok tanam itu (sambil berharap mudah-mudahan) mungkin saja jadi/hasil) (KNA, 35 tahun).
Pernyataan serupa dikemukakan oleh JMD (48 tahun):
“Kahiji na mah tina perkebunan, sawah mah ngan ngabantu, ukur keur nyambung hirup”. (Utamanya didapat dari perkebunan (PTPN), sawah itu hanyalah membantu, sekedar untuk menyambung hidup)
Kedua pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana warga setempat, yang mayoritas berprofesi sebagai buruh memiliki ketergantungan terhadap tanah sangat tinggi, faktor utamanya adalah tuntutan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan hidup. Meski rata-rata penguasaan tanah mereka sangat sempit dan hasilnya kadang tidak dapat mencukupi, namun warga tetap menjadikan tanah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan hidup mereka terutama bagi warga yang tidak mempunyai pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Disisi lain, faktor ekonomi pula yang menyebabkan sebagian warga enggan untuk mengolah lahan. Hasil pertanian yang minim dan tidak sebanding dengan modal input pertanian yang telah dikeluarkan menjadi pertimbangan untuk meninggalkan sektor pertanian dan beralih ke sektor lain yang lebih menguntungkan. Gambaran seperti ini diungkapkan oleh pernyataan responden sebagai berikut:
“Saya mah punya lahan oge tapi da ngga digarap, hasilnya ngga ada sama sekali, mending saya narik mobil (angkutan) trus beli beras aja langsung”. (BDY, 30 tahun).
67
Beberapa responden yang memiliki jabatan sebagai pengawas dan mandor menyampaikan alasan kenapa mereka tidak tertarik untuk masuk ke sektor pertanian karena waktu mereka telah habis untuk bekerja di perkebuanan. Mereka tidak mempunyai alokasi waktu untuk melakukan kegiatan pertanian mengolah tanah. Selain itu, hasil pertanian yang tidak memadai dan pendapatan sebagai pekerja tetap di perkebunan yang dirasa lebih cukup dibandingkan kegiatan mengolah sawah menjadi pertimbangan selanjutnya untuk keputusan mengolah tanah.
7.1.3 Aktivitas Pengolahan Lahan Pertanian oleh Warga Kegiatan pertanian warga mayoritas dilakukan di sawah dan kebun. Komoditas utama yang dihasilkan adalah padi jenis Goli, Golimas, Borneng, dan Sumedang. Di Kebun petani menanam pohon jenis kayu sengon dan manii yang dipilih warga karena proses perawatan yang mudah dan biaya rendah. Kegiatan pemanenan sengon dan manii dilakukan setelah pohon berusia lima tahun. Kayu tersebut biasanya dijual warga ke luar kampung, yaitu ke wilayah Sadeng untuk industry bahan baku pembuatan peti telur ayam. Kegiatan penanaman padi dilakukan dengan dua kali panen. Kegiatan bercocok tanam warga secara diatur dalam kalender musim tanam pada Tabel.5. Tabel 5. Kalender Umum Kegiatan Bercocok Tanam Warga Jan
BULAN
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agust
Sept
Okt
Nov
Des
Musim tanam Ngarambet Pertumbuha n padi Panen Pembibitan Bera
Satu kali siklus penanaman padi dilakukan selama empat sampai lima bulan. Satu bulan setelah kegiatan penanaman biasanya dilakukan kegiatan ngrambet. Ngrambet merupakan kegiatan menyiangi gulma dan tanaman pengganggu lainnya yang dapat menghambat pertumbuhan padi. Setelah dilakukan pemanenan padi, maka lahan garapan sengaja dikosongkan dan
68
dibiarkan dalam kondisi bera dengan tujuan mengembalikan kondisi tanah agar layak ditanami kembali. Setelah itu, barulah dilakukan kegiatan pembibitan. Kemudian lahan dicangkul atau dibajak dan tanah siap ditanami kembali. Dalam melaksanakan beragam aktivitas pengolahan tanah, terdapat spesifikasi kegiatan yang dilakukan antara pria dan wanita. Spesifikasi ini didasarkan pada kemampuan dan besar tenaga yang dibutuhkan untuk setiap aktivitas pengolahan tanah. Pekerjaan yang sekiranya membutuhkan tenaga lebih besar dikerjakan oleh pria, sedangkan pekerjaan yang menuntut ketelitian lebih banyak dikerjakan oleh wanita. Tabel.6 menampilkan spesifikasi pekerjaan pengolahan tanah antara pria dan wanita. Spesifikasi pekerjaan wanita dimulai pada saat penanaman bibit padi atau biasa disebut dengan istilah tandur dan berlanjut hingga panen dan pasca panen. Sebaliknya, spesifikasi pekerjaan pengolahan tanah untuk pria dimulai sejak selesai kegiatan penanaman hingga panen dan awal pembukaan musim tanam baru. Mencangkul dan pembibitan dikerjakan oleh pria. Kegiatan mencangkul dilakukan untuk membalik tanah, sama dengan kegiatan membajak. Jika pemilik lahan tidak menggarap lahannya sendiri, maka yang lebih lazim digunakan adalah tenaga buruh tani daripada bajak kerbau. Upah buruh tani untuk kegiatan mencangkul adalah sebesar Rp 20.000,- untuk satu hari kerja ditambah fasilitas berupa makan siang dan makanan ringan, dimulai pada pagi hari dan berakhir pada waktu dzuhur. Pemberian upah kegiatan membajak dengan menggunakan kerbau dilakukan secara borongan. Warga Kampung Pel Cianten tidak terbiasa dengan penggunaan bajak kerbau. Bajak kerbau didapatkan dari kampung tetangga. Setelah dicangkul, tanah pertanian mulai ditanami kembali. Kegiatan tandur, atau penanaman dilakukan oleh wanita. Pekerjaan ini memerlukan ketelitian yang lebih baik. Satu bulan setelah tandur, dilakukan kegiatan ngrambet yang
ditujukan
untuk
membersihkan
tanaman
pengganggu
agar
tidak
mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Kegiatan ngrambet dilakukan bersama antara pria dan wanita.
69
Tabel 6. Spesifikasi Pekerjaan Pengolahan Tanah oleh Warga di Kampung Pel Cianten Tahun 2010 Aktivitas Mopok Galeng
Ngabaladah
Macul (Mencangkul) Nagon Tebar (Pembibitan) Babut
Tandur Ngarambet
Babad Galeng Dibuat
Panen Ngirik Napian
Deskripsi Kegiatan yang dilakukan untuk membuat galengan (pematang sawah) dengan cara menimbunkan lumpur pada setiap sisi kotakan sawah. Kegiatan balik tanah atau lebih mudah difahami sebagai kegiatan membajak. Mencangkul bagian tanah yang akan ditanami. Kegiatan meratakan lumpur dengan menggunakan tangan. Kegiatan menanam benih padi (pembibitan). Benih padi yang telah tumbuh sekitar 15 cm, diambil kemudian dipersiapkan untuk ditanam di sawah. Kegiatan menanam. Membersihkan gulma dan tanaman pengganggu yang tumbuh diantara tanaman padi. Membersihkan area galengan (pematang) dari rumput. Pemanenan padi induk (indung pare) pengambilan contoh induk padi yang telah matang. Biasanya dilakukan oleh puun. Kegiatan menuai padi hasil bercocok tanam. Kegiatan memisahkan bulir padi dari tangkai. Memisahkan gabah isi dan gabah kosong (hapa)
Wanita -
Pria Ya
-
Ya
-
Ya
Ya
Ya
-
Ya
-
Ya
Ya Ya
Ya
-
Ya
-
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
-
Selanjutnya adalah kegiatan panen. Panen terjadi dua kali dalam setahun dan dilakukan bersama antar pria dan wanita. Proses pemanenan yaitu pengambilan hasil mengolah tanah, alat yang umum digunakan dalam kegiatan panen di kampung ini adalah sabit.
70
Setelah pemanenan, bulir padi dipisahkan dari tangkainya. Kegiatan untuk memisahkan bulir padi dari tangkai padi disebut sebagai kegiatan ngirik. Batang padi yang telah dipotong kemudian dipukulkan ke atas alat peluruh bulir padi atau pun juga ke atas batang pohon pisang. Kegiatan ngirik dilakukan bersamasama antara pria dan wanita. Gabah hasil panen kemudian diseleksi dan dipisahkan antara gabah isi dan gabah kosong. Pemisahan gabah dilakukan dengan menggunakan tampah, yaitu wadah datar yang terbuat dari anyaman bambu yang dalam bahasa sunda disebut tapi. Kegiatan ini disebut dengan napian dan dilakukan oleh kaum wanita. Setelah seluruh prosesi itu terlewati, maka gabah isi yang telah dikeringkan sebelumnya kemudian digiling. Terdapat tiga orang warga yang memiliki mesin penggilingan. Sistem upah penggilingan diberikan dengan menggunakan hasil panennya (natura) dengan ketentuan 7:1. Artinya, sebanyak tujuh bagian merupakan milik pemilik gabah, sedangkan satu bagian lainnya adalah milik perkebunan. Dalam kegiatan pengolahan pertanian ini terdapat sitem bagi hasil. Seseorang yang mengikuti kegiatan tandur di sawah milik orang lain, tidak diberikan bayaran, namun orang tersebut akan diperbantukan (dan harus mengikuti) sampai kegiatan panen dan ngirik di sawah tersebut. Upah dibayarkan dengan menggunakan hasil panen. Pembayaran dilakukan dengan ketentuan 5:1. Lima bagian untuk pemilik lahan garapan, dan satu bagian untuk buruh tani. Jika dikaji lebih dalam, ternyata hampir 80 persen lahan garapan warga berada di kawasan hutan konservasi TNGHS. Menurut hasil wawancara dengan responden, lahan-lahan garapan warga (terutama sawah) yang ada saat ini kebanyakan adalah sawah di kawasan hutan produksi yang dikelola pihak Perum Perhutani sebelum akhirnya menjadi area konservasi dibawah penguasaan Balai TNGHS. Ketika kawasan hutan tersebut dikuasai oleh pihak Balai TNGHS wilayah sawah garapan warga masih tetap diizinkan selama tidak menambah luasnya atau membuka lahan garapan baru. Adapun lahan garapan warga Kampung Pel Cianten yang terletak dalam kawasan yang dikuasai pihak PTP. Nusantara VIII jumlahnya sangat terbatas dan berada di antara cekungan-cekungan kebun teh. Kebanyakan dimanfaatkan
71
sebagai kolam ikan, dan kebun campuran, meski beberapa diantaranya adalah sawah dan tanah pekarangan. Tanah pekarangan ini pun sangat jarang ditemui. Hanya beberapa rumahtangga saja yang memiliki pekarangan. Hal ini terkait dengan pola pemukiman rumahtangga di kampung tersebut yang berkumpul dan saling berdekatan. Jenis komoditas pertanian yang umum dibudidayakan warga dalam setiap bentuk pemanfaatan lahan, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 7. Jenis Komoditas Pertanian yang Diusahakan Warga di Lahan Garapan Pertanian
1
Jenis Pemanfaatan Lahan Pertanian Sawah
2
Kebun
3
Pekarangan
4
Kolam
NO
Komoditas Padi jenis Goli, Golimas, Borneng, Sumedang, dan Bromo. Kadangkala ditanami palawija dan tanaman semusim seperti jagung, cabai, tomat, serta sayuran seperti sawi, serai dan rempah berupa kapol (kapulaga). Pohon Manii (Africa), bambu, pisang, nangka, manggis, jambu, kapulaga, singkong. Rempah: kapulaga dan sayuran: cabai, tomat Ikan mas, nila, gurame
Secara umum pemanfaatan lahan garapan warga utamanya ditujukan untuk sawah. Komoditas padi yang sering digunakan warga adalah jenis Goli, Golimas,
Borneng,
Sumedang,
dan
Bromo.
Kondisi
pengairan
sawah
mengandalkan tadah hujan dan air Sungai Cianten. Posisi sawah yang berundak mengikuti kontur bukit dan punggung gunung tidak memungkinkan dibangunnya saluran irigasi teknis. Pada musim panen terkahir kali ini (saat penelitian dilakukan), seluruh petani mengeluhkan kondisi gagal panen. Hasil panen menurun tajam hingga kurang dari 50 persen dari kondisi normal. Penurunan hasil panen diduga akibat kondisi cuaca yang tidak mendukung, dimana terlalu banyak jumlah hujan yang turun serta gangguan hama berupa babi. Menurut salah satu informan, keberadaan hama babi yang sampai merusak tanaman warga terkait
72
dengan kondisi hutan yang mulai rusak akibat penebangan yang kian marak, sehingga kesetimbangan ekosistem pun ikut terganggu. Kebun dimanfaatkan untuk menaman tanaman keras seperti Manii (Maisopis Eminii), tanaman buah berupa nangka, durian, manggis, jambu, dan pisang, serta tanaman ubi kayu dan ubi rambat. Selain dimanfaatkan buahnya, tanaman tersebut juga dimanfaatkan bagian kayunya untuk keperluan kayu bakar ataupun dijual. Pola tanam kayu Manii (Maisopis Eminii) biasanya dilakukan secara homogen. Sedangkan untuk tanaman buah dan ubi ditanam secara campuran. Bentuk pemanfaatan lahan lainnya adalah kolam ikan. Kolam ikan ini terletak relatif lebih dekat ke pemukiman warga. Ikan yang umum dibudidayakan adalah ikan mas, nila, dan gurame. Hasil budidaya ditujukan untuk konsumsi pribadi ataupun komersil. Salah satu responden yang memiliki kolam ikan mengaku empang miliknya ditanami ikan mas dan akan dijual pada panen setiap tahun dengan menghasilkan uang sekitar 400 ribu rupiah yang akan digunakan sebagai modal pembibitan ikan lagi. Kolam ikan tidak hanya menjadi tempat budidaya semata, namun juga memberi manfaat lain sebagai sarana hiburan warga berupa kolam pancing dan tentu saja sebagai sumber penghasilan lain bagi pemilik kolam. Hampir setiap minggu diadakan pertandingan memancing. Biaya pertandingan yang dibebankan kepada peserta adalah Rp 20.000,- untuk setiap 1 kg ikan ditambah Rp 2.000,sebagai biaya sewa kolam dan registrasi peserta. Pemanfaatan tanah pekarangan yang ditemui di lokasi penelitian, digunakan untuk ditanami tanaman cabai, tomat, dan beberapa jenis sayur mayur. Kegiatan pertanian dilakukan dalam skala kecil dan hanya ditujukan untuk keperluan subsisten. Beberapa warga ada yang menanami tanah pekarangannya dengan tanaman kapol (kapulaga) dalam jumlah yang sedikit dan kadang dijual kepada petani pengumpul di kampung tersebut. Petani pengumpul kemudian menjual kepada seorang tauke pemilik toko emas di ibukota kecamatan setelah sebelumnya biji kapol (kapulaga) tersebut dikeringkan. Biji kapol (kapulaga) kering merupakan rempah yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat.
73
Biji kapol basah dihargai Rp 6.000,00 hingga Rp 7.000,00 per kilogram oleh petani pengumpul. Petani pengumpul kemudian mengeringkan biji kapol tersebut dan menjualnya dengan harga Rp 40.000,00 hingga Rp 75.000,00 tergantung kepada kualitas dan kurs mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika saat itu. Dari 10 kg biji kapol (kapulaga) basah akan menghasilkan 7kg biji kapol kering. Sistem penjualannya adalah monopsoni, sehingga posisi tauke menjadi sangat dominan dalam penentuan harga biji kapulaga kering yang dibawa petani pengumpul. Hubungan seperti ini pula yang terjadi diantara petani pengumpul dan petani tanaman kapol (kapulaga).
7.2 Penguasaan Tanah oleh Warga Tanah merupakan faktor hidup utama dalam suatu masyarakat agraris. Penguasaan tanah akan menentukan keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Dalam penelitian ini, jenis tanah garapan warga dibedakan menjadi dua, yaitu: tanah garapan yang digunakan untuk sektor pertanian dan tanah untuk pemukiman. Pengklasifikasian ini dimaksudkan agar dapat memperlihatkan ragam hubungan keterikatan warga dengan PTP. Nusantara VIII dan Balai TNGHS sebagai aktor lain yang menguasai sumberdaya agraria secara formal di lokasi penelitian.
7.2.1 Lahan Pemukiman Penguasaan warga terhadap lahan pemukiman perlu dibedakan dari penguasaan lahan garapan karena dapat menunjukkan perbedaan kedudukan warga dalam menguasai lahan. Dilihat dari status lahannya, pemukiman warga dapat dibedakan menjadi pemukiman di wilayah kehutanan dan pemukiman di wilayah perkebunan. Batas antara wilayah kehutanan dan perkebunan di lahan pemukiman menggunakan batas alam berupa aliran sungai serta patok semen dibeberapa titik. Kondisi patok semen yang menjadi batas antara wilayah kehutanan dan perkebunan banyak yang sudah tidak utuh, sehingga batas ini cenderung kabur dan membuat pembagian wilayahnya menjadi berbaur satu sama lain. Bahkan dalam penelitian ini, ditemukan rumah responden yang setengah dari bagian
74
rumahnya termasuk wilayah kehutanan dan sebagian lainnya masuk ke daerah perkebunan. Gambaran kasar mengenai pemetaan wilayah pemukiman warga dapat dilihat di lampiran. Jenis pemukiman warga dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu bedeng dan rumah pribadi. Bedeng adalah bangunan rumah yang disediakan pihak perkebunan untuk para karyawannya. Oleh karena itu, orang yang dapat menempati rumah bedeng hanyalah karyawan yang aktif bekerja diperkebunan. Hak menggunakan rumah bedeng akan berakhir ketika karyawan tersebut sudah pensiun dari pekerjaannya. Ketika sudah memasuki pensiun, maka secara otomatis hak untuk menggunakan rumah bedeng pun berakhir. Bangunan bedeng umumnya memiliki luas sekitar 40 m2. Banguan bedeng ada dua jenis, yaitu permanen dan semi permanen. Banguan bedeng permanen berdinding tembok dan lantai plester semen. Sedangkan banguan bedeng semi permanen berdinding bilik bambu atau kayu. Secara umum setiap bangunan bedeng terdiri atas dua ruang kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur, serta satu ruang tamu.
a.
Rumah Bedeng Permanen
(b) Rumah Bedeng Semi Permanen
Gambar 3. Rumah Bedeng bagi Karyawan Perkebunan
Rumah pribadi adalah rumah yang didirikan oleh warga dengan menggunakan biaya sendiri. Berbeda dengan rumah bedeng yang seluruhnya berada di tanah milik perkebunan, rumah pribadi selain ada yang berlokasi di kawasan perkebunan, ada pula yang berada di kawasan kehutanan. Rumah pribadi lebih bervariatif dalam hal denah dan luas.Warga sebenarnya tidak diperbolehkan membangun rumah secara permanen dengan alasan agar mudah direlokasi ketika
75
lahan tersebut dibutuhkan oleh perkebunan. Namun, melihat kondisi dilapangan saat ini ternyata justru telah banyak rumah permanen yang dibangun oleh warga. Letak rumah bedeng berjajar di sepanjang jalan perkampungan dan membentuk titik komplek, sedangkan letak rumah pribadi lebih bebas. Hal lain yang membedakan keduanya adalah rumah bedeng tidak dikenai biaya pajak HGU oleh perkebunan dan mendapat fasilitas renovasi dan pemeliharaan dari pihak perkebunan. Sedangkan rumah pribadi milik warga yang berada di wilayah perkebunan dikenai pajak HGU yang besarnya sekitar Rp 10.000,00 per tahun. Menurut pihak PTP. Nusantara VIII, penarikan pajak HGU ini adalah biaya administrasi untuk pembelian materai pada surat pernyataan kesepakatan peminjaman HGU oleh warga. Contoh surat HGU dapat dilihat pada bagian lampiran. Menurut responden yang bermukim di rumah bedeng, fasilitas renovasi dan pemeliharaan rumah sudah lama tidak diberikan pihak perkebunan sejak kondisi perusahaan semakin menurun akibat hasil produksi yang berkurang.
7.2.2 Tanah Garapan Pertanian Warga Kampung Pel Cianten mayoritas merupakan pekerja perkebunan PTP. Nusantara VIII. Upah yang diterima sebagai pekerja perkebunan seringkali dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warga setempat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya warga melakukan kegiatan pertanian di tanah milik PTP. Nusantara dan TNHGS. Dengan demikian, pemilikan tanah garapan sebagai modal utama kegiatan pertanian menjadi hal yang penting untuk warga, terutama bagi warga yang tidak bekerja di perkebunan dan memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Kondisi seperti ini disampaikan oleh responden sebagai berikut:
“Pami ngandelkeun ti kebun wae mah moal cekap, neng. Komo deui ayeuna mah pucuk na oge nuju teu aya. Pami henteu dibantuan ti sawah mah atuh ti mana kanggo barang tuang sadidintenna” (“Kalau hanya mengandalkan (gaji) dari kebun saja mah tidak akan cukup. Kalau tidak dibantu dari sawah mah darimana untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari”) (JMD, 48)
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa seluruh lahan yang berada di Kampung Pel Cianten berada dibawah kuasa PTP. Nusantara VIII dan TNGHS. Maka definisi pemilikan yang dimaksud dalam
76
kehidupan warga Kampung Pel Cianten bukanlah penguasaan formal yang didukung dengan bukti kepemilikan sah dan dikuatkan oleh hukum dan undangundang. Pemilikan lahan yang dimaksud adalah penguasaan lahan yang disebut Wiradi (1984) sebagai bentuk penguasaan efektif, yaitu akses warga secara de facto atas lahan yang mereka gunakan dalam kegiatan bertani. Dasar pengakuan (legitimasi) lahan yang digunakan oleh warga hanyalah pengakuan secara lisan yang berkembang diantara warga, Pengakuan lisan ini ditentukan oleh siapa yang lebih dulu membuka lahan tersebut dan pernah atau tidaknya seseorang menggunakan lahan tersebut untuk bercocoktanam. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh SDM (35 tahun) sebagai berikut:
“Dideui mah tanah garapan teh teu pernah pake surat tanah cara di tempat sanes. Siga tanah nu ieu, kapungkur pernah dipelakan sayuran ku Bapa teh. Sakedik jumlahna mah, tapi da wios ayeuna tos hente di pelakan deui oge, moal aya nu wantuneun ngangge tanah nu eta. Eta mah ngan khusus w gaduh Bapa, padahal istilahna mah Bapa teu meser, ngan ngagaduhan tanaga wungkul.” (“Disini pengakuan tanah garapan tidak pernah menggunakan surat tanah seperti di tempat lain. Tanah (saya) yang ini dulu pernah ditanami sayuran oleh Bapak. Jumlahnya memang hanya sedikit, tapi meski sekarang sudah tidak ditanami lagi tidak akan ada orang yang berani untuk menggunakan tanah tersebut. Tanah itu khusus milik Bapak, Padahal Bapak tidak pernah membelinya, hanya memiliki tenaga (untuk membuka) saja.”
Warga
Kampung
Pel
Cianten
tidak
memperhatikan
dan
mendokumentasikan luas lahan yang mereka kuasai. Hal ini diduga karena kebiasaan pembukaan
lahan yang berkembang di kampung tersebut, dimana
warga membuka lahan sesuai dengan kemampuan dan keperluannya. Satuan luas pemilikan lahan garapan yang berkembang diantara warga diketahui dari jumlah bibit yang ditebar pada lahan pertanian yang disebut dengan satuan gedeng. Tidak ada penjelasan pasti mengenai konversi jumlah gedeng kedalam satuan luasan lahan yang baku. Hampir seluruh responden menyatakan tidak tahu mengenai luas lahannya secara tepat dalam satuan luas baku. Proses konversi satuan gedeng dengan menggunakan kebiasaan di tempat lain pun tidak dapat dilakukan karena sistem pertanian di Cianten berbeda, dimana untuk luasan tanah yang sama input pertanian (terutama bibit) yang dibutuhkan lebih banyak, namun hasil pertaniannya justru lebih sedikit dibanding kampung lain. Sebagai perbandingan, di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan yang terhitung masih bertetangga dengan lokasi penelitian, luas satu gedeng setara
77
dengan 0.15 hektar atau dengan kata lain sekitar enam hingga tujuh gedeng untuk satu hektar lahan garapan, dengan hasil produksi rata-rata sebanyak 500 liter gabah kering panen (Hardi, 2009). Sedangkan di lokasi penelitian, setiap 1,5 gedeng bibit hanya memberikan hasil sebanyak 90 gedeng pada saat kondisi normal dan hanya 45 gedeng saja pada saat gagal panen seperti saat dilakukannya penelitian ini, yaitu pada bulan Desember 2010. Dalam tulisan ini digunakan perkiraan konversi satu hektar luas lahan setara dengan 25 gedeng bibit7. Berdasarkan cara konversi seperti ini, didapat distribusi penguasaan lahan garapan responden di lokasi penelitian sebagaimana yangdisajikan pada Tabel.8. Tabel 8. Distribusi Rumah Tangga Responden menurut Kelas Pemilikan Lahan di Kampung Pel Cianten Tahun 2010. Rumah Tangga Responden Kategori Luas Lahan (ha) Tunakisma
0 (tunakisma) 0,001 – 0,01 0,01 – 0,05 <0.5 (Gurem) 0,05 – 0,1 0,1 – 0,5 0.5≤ luas <1 0,51 – 0,99 1≤ luas <1.5 1 – 1,49 1.5≤ luas <2 1,5 – 1,99 ≥2 ≥2 TOTAL
Jumlah 8 4 5 5 8 0 1 1 1 33
Presentase (%) 24,20 12,11 15,20 15,20 24,20 0 3,03 3,03 3,03 100
Berdasarkan data yang tersaji dalam Tabel.8 ternyata sekitar 66,71 persen responden berada dalam kategori petani gurem dengan luas lahan garapan yang dikuasai hanya kurang dari 0,5 hektar. Bahkan 24,20 persen dari seluruh responden adalah tunakisma. Sedangkan 9,09 persen responden lainnya 7
Dalam menentukan konversi satuan ini, Peneliti dibantu oleh tiga orang informan yang memiliki lahan sawah di tempat penelitian. Besaran ini memang tidak akan tepat secara pasti presisinya karena peneliti tidak melakukan pengukuran langsung terhadap lahan yang dimiliki responden. Konversi satuan ini setidaknya dapat memberi acuan mengenai luasan lahan warga yang lebih mudah difahami. Hasil konversi ini kemudian digunakan untuk menghitung luasan lahan yang dimiliki dan distribusi penguasaan lahan responden di tempat penelitian.
78
menguasai lahan garapan dengan luas lebih dari samadengan satu hektar. Kondisi demikian menunjukkan konsentrasi lahan yang terjadi diantara warga. Dengan kata lain, penguasaan lahan yang terjadi di Kampung Pel Cianten sangatlah timpang, walau dalam skala penguasaan lahan yang kecil. Terdapat beberapa alasan yang dapat menerangkan munculnya golongan tunakisma. Hasil pertanian yang tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan menjadi alasan utama mengapa sebagian warga kampung enggan untuk memiliki lahan garapan. Mereka lebih memilih untuk menekuni bidang pekerjaan lain diluar pertanian, yaitu sebagai supir angkutan desa, buruh bangunan atau justru bekerja serabutan sebagai kuli angkut kayu dari hutan. Alasan lainnya adalah mereka tidak mempunyai waktu untuk menggarap lahan karena harus bekerja di perkebunan sepanjang hari sebagai buruh. Tabel. 9. Distribusi Rumah Tangga Responden menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Pel Cianten tahun 2010. NO 1
Jenis pekerjaan Pertanian
2 Non Pertanian TOTAL
Utama Sampingan
Jumlah Responden 13 12 8 33
Presentase (%) 75,76 24,24 100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel. 9 terlihat bahwa lebih dari tiga perempat total responden, yaitu sebanyak 75,76 persen masih memerlukan sektor pertanian sebagai
sumber penghidupan mereka baik sebagai jenis
pekerjaan utama maupun sampingan. Pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan sampingan adalah dimana warga masih memiliki sumber penghidupan utama di sektor luar pertanian, seperti sebagai pekerja perkebunan, ataupun jenis pekerjaan lain di luar pertanian, namun masih mendapatkan tambahan penghasilan dari sektor pertanian. Meski luas dan kualitas tanah yang dikuasai sangatlah minim, namun warga masih mempertahankan keberadaan lahan garapan mereka. Adapun 24,24 persen lainnya adalah responden yang memilih untuk keluar dari sektor pertanian dan tidak memiliki lahan garapan sama sekali (tunakisma) sebagai
79
pemenuh kebutuhan hidupnya. Dari kondisi seperti itu, terlihat bahwa tanah masih menjadi hal yang penting bagi warga setempat. Pemilikan lahan luas tidak menjadi indikator mutlak untuk menentukan status ekonomi di Kampung Pel Cianten. Meski tiga orang responden pemilik lahan terluas dinyatakan sebagai orang yang lebih mampu secara ekonomi dibandingkan warga lain. Namun justru orang yang dinilai terkaya di kampung tersebut hanya memiliki lahan seluas 0,2 hektar saja. Perolehan status ekonomi didapatkan dari kegiatan di luar sektor pertanian. Pertimbangannya adalah hasil dari kegiatan bersawah yang dinilai tidak menguntungkan. Hal tersebut diketahui dari hasil wawancara mendalam dengan responden. Inilah petikan wawancara mendalam dengan responden:
“Bapak tidak mau bertani ke sawah, hasilnya sedikit saja. Bapak punya lahan sawah sama kebun, tapi tidak luas. Mengurus kebun dan sawah hanya untuk mengisi waktu senggang saja. Utamanya penghasilan Bapak mah dari nomi (membuka toko, diambil dari istilah “ekonomi”) sama bisnis kredit barang dan jasa pinjaman uang.” (Ags, 45)
Nomi diambil dari kata “Ekonomi”, merupakan istilah yang digunakan oleh warga setempat untuk menunjukkan kegiatan berdagang. Toko yang dimiliki responden adalah toko terlengkap yang ada di kampung tersebut. Mengenai bisnis kredit barang dan jasa peminjaman uang yang dilakukan responden adalah salah satu peluang bisnis yang dimanfaatkan responden mengingat jauhnya jarak kampung ke pusat kota. Kredit barang meliputi kredit perlengkapan rumah tangga hingga barang elektronik seperti handphone dan TV. Adapun jasa pinjaman uang dimanfaatkan warga yang mengalami kesulitan keuangan dengan sistem pengembalian angsuran sebanyak sepuluh kali dimana setiap angsuran dikenai bunga sebanyak 50persen dari jumlah angsuran seharusnya. Keseluruhan kegiatan non pertanian responden menunjukkan adanya akumulasi modal, dimana dari hasil kegiatan nomi (berdagang) dan bisnis kredit serta jasa peminjaman uang tersebut digunakan untuk menambah faktor modal lainnya. Faktor modal yang dimaksud adalah tiga unit mobil yang digunakan sebagai jasa transportasi umum yang melayani rute Cianten-Leuwiliang dan usaha rental game playstation yang baru saja dirintisnya. Bahkan responden yang
80
memiliki tingkat ekonomi paling tinggi di kampung ini memiliki tanah guntai atau absante di ibu kota kecamata dari hasil usaha diluar sektor pertanian. Lahan tersebut dibeli dengan alasan investasi dan alasan kemanan karena suatu saat tanah yang dikuasainya di Kampung Pel Cianten akan diminta kembali oleh pihak perkebunan. Diatas lahan tersebut didirikan bangunan dua lantai yang saat ini digunakan sebagai tempat kost. Pemilikan luas dari ketiga responden terjadi secara beragam, kebanyakan didapat dari hasil ganti rugi atau mulangkeun tanaga dan hasil membuka sendiri. Pada petani dengan kepemilikan luas lahan pada kelompok 1 ha – 1,5 ha, pemilikan tanah didapat dari kegiatan membuka sendiri. Responden memiliki kemampuan dalam hal keterampilan berusaha tani. Lahan yang dimilikinya saat ini terletak di kawasan kehutanan dengan jarak yang lebih jauh dari pemukiman dibandingkan dengan sawah warga lainnya. Lokasi sawah yang dimilikinya berada di dinding tebing dengan kotakan sawah yang disusun berundak secara vertical. Keterampilannya dalam berusaha tani dibuktikan dengan kemampuannya membangun sarana irigasi sederhana di sawah miliknya. Perluasan sawah miliknya hingga mencapai luasan saat ini dilakukan secara bertahap. Responden telah memutuskan untuk keluar dari perkebunan sebagai karyawan tetap bagian teknik dan lebih memilih sebagai petani dan tukang kayu. Responden dengan kepemilikan lahan pada kategori 1 – 1,49 hektar adalah mantan mandor besar di perkebunan yang sudah pensiun sejak 20 tahun yang lalu. Lahan pertaniannya didapat melalui pembukaan lahan sedikit demi sedikit dan juga proses ganti rugi. Posisinya sebagai orang yang dituakan membuatnya mudah untuk mendapatkan lahan. Lahan tersebut dimanfaatkan sebagai kolam, sawah, dan kebun. Selain itu responden juga berperan sebagai petani pengumpul untuk hasil tanaman warga berupa buah-buahan dan kayu, serta rempah kapulaga. Pemilik lahan terluas mendapatkan lahannya dari membuka sendiri dan ganti rugi. Selain itu, ada pula beberapa bagian lahannya yang didapat dari warisan. Selain menjadi petani, responden juga melakukan kegiatan nomi. Hasil dari sawahnya digunakan untuk membeli alat penggilingan padi yang juga dapat digunakan warga lainnya dengan sistem pembayaran 7:1. Artinya, untuk setiap satu kali penggilingan, akan dikenakan upah jasa giling menggunakan padi
81
dengan ketentuan tujuh bagian untuk pemilik padi dan satu bagian untuk pemilik penggilingan. Bahkan dari hasil pertaniannya yang pesat, responden ini mampu menyekolahkan salah satu diantara ke enam orang anaknya hingga lulus perguruan tinggi. Gambaran-gambaran tersebut menunjukkan bahwa meski kepemilikan lahan bukan satu-satunya indikator utama dalam menentukan kemampuan ekonomi warga, namun tetap akan memberikan peluang kehidupan warga yang lebih baik. Dengan demikian pemilikan lahan tetap memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Kampung Pel Cianten.
7.3 Ikhtisar Meski akses terhadap lahan garapan pertanian sangatlah rendah, namun budaya pertanian warga masih sangat kuat, terlihat dari kegiatan pengolahan tanah yang masih mengutamakan nilai-nilai religius pada tanah. Proses pemanfaatan tanah dalam kegiatan pertanian warga dipengaruhi secara kuat oleh budaya sinkritisme Hindu dan Islam. Upacara-upacara sakral yang berkaitan dengan pertanian masih diselenggarakan oleh warga hingga kini. Kegiatan pertanian yang masih kuat menunjukkan identitas warga setempat sebagai masyarakat petani hingga saat ini. Dilihat dari aspek penguasaan lahannya di dalam kondisi akses sumberdaya agraria yang dimonopoli oleh perkebunan dan Taman Nasional melalui sejarah panjang kebijakan politik agraria, masyarakat desa agraris ini seluruhnya tidak mempunyai hak milik atas semua tanah yang dikuasainya. Masyarakat hanya memiliki hak garap yang diberikan pihak PTP. Nusantara VIII dan pihak TNGHS. Mayoritas responden yaitu 66,7 persen dari seluruh responden termasuk kategori petani gurem, dan 24,4 persen lainnya adalah tunakisma. Distribusi penguasaan lahan demikian menunjukkan suatu kondisi masyarakat petani dengan penguasaan yang sangat sempit. Adapun lahan-lahan yang dapat dikuasai warga hanyalah lahan-lahan marginal dengan produktivitas yang rendah yang berada di celah antar kebun teh yang disebut lancuran. Tanah pertanian di lokasi lancuran memberikan hasil panen yang sangat minim dan tidak mencukupi seluruh kebutuhan hidup.
82
Jika ditelusuri lebih jauh, penguasaan lahan oleh warga yang terbatas merupakan suatu kondisi yang tercipta akibat kebijakan agraria yang telah dimulai sejak masa kolonial dan terus berlanjut hingga saat ini di masa ketika kolonial telah berakhir. Kebijakan agraria kolonial yang menerapkan pola pertanian industry perkebunan dalam skala besar telah mengambil alih akses warga terhadap lahan pertanian, sehingga menciptakan kondisi masyarakat berbudaya pertanian kuat tanpa tanah sekaligus menempatkan warga petani sebagai tenaga kerja murah yang terlibat dalam struktur produksi perkebenunan dengan posisi tawar yang rendah. Kemampuan warga dan pendidikan yang rendah memaksa warga untuk bekerja sebagai buruh perkebunan dengan upah yang sangat rendah. Upah sebanyak Rp 300.000,00 hingga Rp 500.000,00 yang hanya sepertiga hingga setengah dari UMR Kabupaten Bogor pada tahun 2010 tentulah tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup warga. Sebagai bentuk strategi bertahan hidup, warga mengimbangi kebutuhan hidup mereka dengan kegiatan pertanian yang dilakukan di lahan sempit yang berhasil mereka kuasai rata-rata 0,08 hektar. Distribusi penguasaan lahan menunjukkan pola yang tidak merata, dimana terdapat 9,09 persen warga yang menguasai lahan dengan luasan lahan garapan lebih dari satu hektar.. Bagi sebagian besar warga, yaitu sebanyak 57,58 persen responden, pemilikan lahan menjadi hal yang penting sebagai pemenuh kebutuhan hidupnya. Sedangkan sebagian lainnya, yaitu 42,42 persen responden justru memilih untuk tidak menggarap lahan dengan alasan hasil dari kegiatan pengolahan lahan yang minim. Meski begitu, didalam konteks masyarakat Kampung Pel Cianten, kepemilikan lahan luas tidak menjadikan indikator utama dalam menentukan status sosial seseorang. Kegiatan usaha diluar pertanian menjadikan seorang responden dianggap paling mampu secara ekonomi dibanding warga lainnya, meskipun pemilikan atas lahannya terhitung sempit. Namun, responden yang memiliki lahan terluas kondisi ekonominya labih baik daripada responden dengan pemilkan lahan sempit.
83
BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI TERCIPTANYA MASYARAKAT TANI MARGINAL Proses terbentuknya masyarakat tani Kampung Pel Cianten di tengah kegiatan ekonomi perkebunan nasional dalam skala besar tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik agraria yang terjadi di kawasan tersebut. Jauh hari sebelum dibuka sebagai wilayah perkebunan oleh Pemerintah Hindia Belanda, warga Kampung Pel Cianten telah memanfaatkan wilayah tersebut sebagai lahan pertanian mereka. Masyarakat setempat mulanya terbiasa menanam padi gogo dan padi ranca dalam pola pertanian ladang huma. Pola pertanian warga kemudian berubah menjadi pertanian menetap dalam suatu luasan lahan pertanian sempit sebagai implikasi dari resettlement ke dalam area perkebunan yang menyertai kebijakan pembukaan perkebunan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Efek lain dari kegiatan pemindahan warga kedalam settlement didalam komplek perkebunan menjadi awal pembentukan masyarakat tenaga kerja perkebunan yang terus berlangsung hingga saat ini. Klaim akses warga atas tanah didapat dari traktat mengenai perjanjian antara tokoh pendiri kampung dan Pemerintah Hindia Belanda dalam proses pelimpahan kekuasaan atas lahan yang kemudian dijadikan kawasan perkebunan teh. Pemerintah Hindia Belanda mendapatkan lahan pertanian warga untuk kegiatan perkebunan dan warga lokal mendapatkan
kompensasi berupa hak
mukim dan garap hingga generasi berikutnya. Justifikasi sejarah inilah yang kemudian digunakan warga Kampung Pel Cianten sebagai dasar pemanfaatan sumberdaya agraria. Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya telah terjadi perebutan akses lahan warga secara permanen sejak diberlakukannya kebijakan pembukaan lahan perkebunan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam pandangan Ribot&Pelusso (2003) maka faktor identitas menjadi penentu akses warga terhadap lahan. Faktor lainnya yang menentukan akses warga terhadap lahan adalah penguasaan faktor modal dan faktor relasi sosial. Saat ini, area perkebunan tersebut dikuasai oleh Negara dibawah pengelolaan PTP. Nusantara VIII. Sementara itu posisi warga tidak mengalami
84
perubahan sejak awal pembukaan perkebunan, dimana mayoritas warga tetap menjadi tenaga kerja buruh di perusahaan perkebunan. Upah yang diterima sangat minim dan jauh dari mencukupi kebutuhan sehari-hari, dimana rata-rata penghasilan yang diterima warga sebagai tenaga buruh perkebunan berkisar antara Rp 350.000,00 hingga Rp 500.000,00. Jumlah ini berada jauh di bawah standar Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebesar Rp 1.056.914,00. Dengan kata lain upah yang didapat warga dari pekerjaan di perusahaan perkebunan hanya berkisar 30 persen hingga 45 persen dari batas minimum standar kebutuhan hidup layak. Dorongan ekonomi dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya, membuat warga mencari penghidupan di luar perkebunan dengan membuka lahan pertanian pada area-area sempit dan marginal yang dikuasai pihak perkebunan. Seiring dengan peningkatan jumlah kebutuhan akan lahan pertanian oleh warga, maka kondisi ketersediaan lahan perkebunan yang juga semakin terbatas baik kuantitas ataupun kualitasnya. Kondisi kekurangan akibat struktur penguasaan perkebunan seperti itu membuat warga memanfaatkan sumberdaya di daerah hutan yang dikuasai Taman Nasional. Dengan demikian, lahan kehutanan berfungsi sebagai buffer atau penyeimbang ketidakmampuan perkebunan dalam memenuhi kebutuhan warga. Meski hasil yang didapat dari kegiatan mengolah tanah seringkali sangat tidak memuaskan, namun kegiatan pertanian masih bertahan. Lebih dari setengah responden, yaitu sebanyak 75,76 persen menjadikan pertanian sebagai penghidupannya, sedang sisanya menunjukkan kondisi sebaliknya dimana mereka memilih untuk beranjak ke sektor non pertanian. Aktivitas penghidupan warga di sektor non pertanian atau dengan kata lain menguatnya relevansi aspek non lahan muncul sebagai respon terhadap keterbatasan akses akibat struktur penguasan Negara yang dominan dibawah rezim pengelolaan sumberdaya oleh pihak PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Adapun relevansi aspek non lahan yang dimaksud adalah: Melakukan kegiatan perambahan di kawasan Taman Nasional dengan resiko konflik vertikal dengan Taman Nasional. Pilihan ini hanyalah bentuk solusi yang bersifat sementara. Selain itu, terdapat kecenderungan warga yang bekerja di perusahaan
85
perkebunan memilih untuk memperbaiki posisi pekerjaan di perusahaan perkebunan. Pilihan ini hanya bisa dijangkau oleh segolongan kecil warga yang mempunyai kualifikasi pendidikan lebih baik diantara warga lainnya dan relasi sosial yang lebih baik dengan para mandor. Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa struktur penguasaan dan manajemen sumberdaya agraria oleh PTP. Nusantara VIII dan TNGHS, membuat warga tidak mempunyai ruang gerak yang cukup untuk memperbaiki kondisi hidup. Kondisi warga menjadi sangat tergantung terhadap pihak perkebunan dan Taman Nasional. Meski begitu, kegiatan pertanian masih dipertahankan. Hingga saat ini, tanah masih mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan warga setempat. Kegiatan pertanian yang dilakukan warga masih sangat dipengaruhi oleh tradisi yang dipertahankan sejak masa dulu. Sejarah panjang ini yang membuat warga mempunyai ciri agraris yang kuat dan tetap bertahan hingga saat ini, meski dalam kondisi tanpa akses tanah yang cukup.
86
DAFTAR PUSTAKA
Annonymous. 2010. Revisi Permenhut tentang Implementasi REDD. http://www.aman.or.id/berita-aman/199.html?lang=en%20GB.utf8. Diakses Pada Tanggal 4 Desember 2010. Arief. 2001. Hutan & Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius. Billah, M.M, Loehoer Widjajanto dan Aries Kristyanto. 1984. “Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa (Tengah)” dalam Sediono M.T Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed.), Seri Pembangunan Pedesaan: Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa). PT. Gramedia. Jakarta. Emila. 2006. Artikel Kajian dan Opini “Memahami Terminologi Tenure”. Warta Tenure No.1 Edisi 1 Januari 2006. Emila. 2006. Pemantapan Kawasan Hutan: Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan. Warta Tenure No.1 Edisi 1 Januari 2006. Galudra, et.al. 2005. “Kondisi Ketahanan Pangan Masyarakat dalam Cengkeraman Kebijakan Tata Ruang dan Penetapan Kawasan Halimun: Studi Kasus Desa Mekarsari (Lebak) dan Desa Malasari (Bogor)” dalam “Tanah Masih di Langit (Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi). Yayasan Kemala. Jakarta. Hardi, Fahrozi. 2009. Strategi Petani Lapisan Atas dalam Akumulasi Modal: Kasus di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Sain Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Li, Tania Muray. 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Ribot&Peluso, NL. 2003. A theory of Acces. Feature Rural Sociology. Vol.02. No.02, 30 Juni 2003. USA: Rural Sociological Society. Hal. 153-181. Pelusso. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Konpahalindo. Jakarta. Prabowo, Sapto Aji.2010. Analisis Kebijakan dan Permasalahan Pemukiman di Dalam Taman Nasional: Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Rajati, Tati. 2006. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kehutanan dalam Rangka Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Kesejahteraan Sosial Ekonomi
87
Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus di Kabupaten Sumedang). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial. Sitorus, MT Felix. 2002. Struktur Agraria, Proses Lokal dan Pola Penguasaan dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Yayasan Akatiga. Sondakh, Joula Olvy Maya. 2002. Pola Pengaturan Pemanfaataan SumberSumber AgrariaSerta Implikasinya pada Keberlanjutan Kelompok Sosial dan Kelestarian Alam: Studi Kasus pada Masyarakat di Dua Desa di Sekitar TNLL Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tenggara. Tesis. Pasaca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Wahyuni & Muljono. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bahan Kuliah. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wiradi. 2008. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: Gramedia Wiradi & White. 2009. Pola-Pola Penguasaan Tanah di DAS Cimanuk: Beberapa Catatan Sementara dalam Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
88
Lampiran.1 Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulan Data
1
Gambaran umum Desa Purasari
1. Keadaan umum dan letak geografis Desa Purasari 2. Topografi Desa 3. Sejarah Desa Purasari 4. Kondisi Demografi
Metode Pengumpulan Data Analisa dokumen Observasi Wawancara mendalam
2
Sarana dan Prasarana fisik Desa
1. Fasilitas transportasi dan komunikasi 2. Fasilitas Listrik dan air 3. Kelembagaan masyarakat 4. Pasar
Analisa dokumen Observasi Wawancara mendalam
3
Proses awal pembentukan struktur agraria lokal (sejarah lokal)
1. Sejarah pembukaan lahan oleh komunitas 2. Cara memperoleh tanah, mekanisme akses, transaksi perolehan tanah 3. Kategori penduduk yg mempunyai hak istimewa
Wawancara mendalam
5
Struktur agraria lokal
1. Data kepemilikan lahan dan pengunaan wilayah 2. Jenis tanah, pemanfaatan tanah, jenis flora dan fauna, sistem pertanian 3. Pemetaan stakeholder pemanfaat sumber agraria 4. Prosedur pemanfaatan sumberdaya agraria
Analisa dokumen Observasi Wawancara mendalam Survey
Mekanisme Akses terhadap SDA
1. 2. 3. 4.
5
Faktor mempengaru hi akses
6
Aspek budaya
1. Faktor-produksi: Modal, Teknologi, tenaga-kerja. 2. Faktor-sosial/politik: Jaringan kekerabatan, jaringan sosialkekuasaan (status & jaringan wewenang, jaringan dengan TN & PTPN) 3. Faktor Budaya: status sosial tradisional, jaringan tradisional. Sistem religi, pengetahuan lokal, nilai dan aturan dalam
NO
Informasi
Sub-topik
Mekanisme akses: Tanah desa Tanah di kawasan hutan Tanah Perkebunan
Observasi Wawancara mendalam
Sumber Data Data pemerinta han desa Aparat desa Informan kunci Data pemerinta han desa Aparat desa Informan kunci Responde n dan informan kunci
Data pemerinta han desa Aparat desa Pihak PTPN VIII Pihak TNGHS Informan kunci Informan kunci
Observasi Wawancara mendalam Survey
Responde n dan informan kunci
Observasi Wawancara
Informan kunci
89
pemanfaatan sumberadaya agraria. 8
Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria
1. Aktivitas pemanfaatan oleh masyarakat dikawasan hutan 2. Cara-cara & pola pemanfaatan dari berbagai bentuk ekosistem dan di berbagai status tanah (tanah desa, kawasan BTN, PTPN VII) pola kegiatan bertani dan teknologinya 3. Cara pandang antar subyek agraria terhadap obyek agraria (nilai tanah bagi masyrakat, PTPN, dan TNGHS) 4. Zonasi (sejarah zonasi dulu dan sekarang)
mendalam Observasi Wawancara mendalam
Tokoh masyarak at Informan kunci (Pihak TNGHS dan PTPN VII) Tokoh masyarak at
90
Lampiran 2. Sketsa Pemukiman Warga Kampung Pel Cianten
91
Lampiran 3.
Peta
Wilayah
Kabupaten Bogor
Desa
Purasari,
Kecamatan
Leuwilang,
92
Lampiran 4. Contoh Surat Perjanjian Pinjam Pakai Lahan HGU antara PTP. Nusantara VIII dan Warga