POLA PENGATURAN PEMANFAATAN SUMBER-SUMBER AGRARIA
Latar Belakang Ekologi Budaya Tiap Kelompok Sosial Tiap kelompok sosial dikedua lokasi penelitian memiliki karakter yang berbeda terhadap pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Hal ini antara lainnya dilatarbelakangi asal usul kondisi ekologis di daerah asal. Berikut penjabaran tentang kebiasaan mereka tersebut sejak dari desa terdahulu : Desa Sintuwu Suku Kaili Taa dan Kulawi merupakan suku yang awalnya hidup di daerah dataran tinggi dan memanfaatkan sumberdaya hutan didaerah pegunungan. Mereka menerapkan budaya bercocok tanam padi ladang, jagung dan umbi-umbian dengan sistem peladangan berpindah. Komoditas tersebut menjadi komoditas primadona dan tetap bertahan karena diharapkan sepenuhnya dapat menjamin subsistensi kebutuhan pokok pangan sehari-hari. Upacara-upacara ritual sering dilakukan kedua suku ini bila akan menanam maupun saat panen tiba. Jika suku Kaili Taa membuat upacara "Rigo" setiap selesai panen, maka suku Kulawi membuat upacara dalam bentuk ibadah "Biston" pada saat membuka lahan baru serta di waktu panen. Pada upacara 'rigo", biasanya mengundang tetangga dekat dan dijamu dengan panganan sederhana setidak-tidaknya dengan memotong ayam beberapa ekor. Panganan tersebut disediakan oleh beberapa keluarga yang saat itu mengalami keberhasilan dalam panen, terutama tanaman padi ladang. Untuk ibadah "Biston", biasanya hams menyediakan panganan setidak-tidaknya ternak ayam dan yang paling besar seekor babi yang akan diberikan kepada tetangga yang sengaja diundang. Seperti halnya upacara "Rigo", maka bentuk ibadah inipun kadang kala dirayakan oleh beberapa keluarga yang membuka lahan secara bersama maupun mengalami panen padi ladang serentak. Kegiatan-
kegiatan tersebut menjadi pertanda bahwa mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap tanah dimana diatasnya berlangsung kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial. Pada lokasi yang baru, mereka masih diperhadapkan pada kondisi geografis yang sama seperti di desa asal. Mereka masih berada di daerah dataran tinggi dan berhadapan dengan pegunungan, yang saat ini diklaim sebagai Taman Nasional Lore Lindu. Saat ini mereka merupakan suku-suku yang banyak menempati areal hutan TNLL. Namun, khususnya bagi Kaili Taa, kondisi ini mulai terjadi sejak tanah-tanah yang dimiliki di daerah datar dijual kepada suku Bugis. Walaupun demikian masih banyak penduduk dari suku tersebut menguasai daerah bertopografi datar bercampur dengan areal pemukiman untuk bersawah dan berkebun. Suku Bugis merupakan suatu kelompok sosial yang umumnya berasal dari daerah dataran rendah. Terbanyak dari mereka dulunya adalah petani sawah, pun ketika tiba di desa yang baru ini. Di lokasi baru, rata-rata mereka menempati areal pemukiman dan berkebun di daerah datar baik di bagian pemukiman penduduk maupun di bawah kaki gunung Pewatu yang telah termasuk areal TNLL. Saat ini mereka meninggalkan kebudayaan bersawah dengan menanam tanaman tahunan yang tidak membutuhkan biaya produksi besar namun memiliki harga jual tinggi. Seperti telah diulas dalam rangkuman pada bab sebelumnya, suku ini lebih berpikiran rasional dan berhati-hati dalam tindakan ekonomi, sosial dan budaya agar tidak mengalami kerugian. Desa Berdikari Seperti di Desa Sintuwu, karakter penduduk di Desa Berdikari terhadap sumberdaya lahan juga menunjukkan persamaan, baik dalam pemilihan komoditas untuk subsistensi mereka maupun ibadah untuk keberlangsungan kegiatan pertanian. Suku Kulawi sebagai suku mayoritas di desa ini, tetap
konsisten dengan budaya memanfaatkan hutan dan bahkan mampu menyesuaikan diri memanfaatkan daerah datar untuk penanaman padi sawah. Penanaman padi sawah merupakan hasil peniruan budaya tanam dari suku Bugis. Selain itu hutan produksi terbatas (HPT) yang memang berbatasan langsung dengan pemukiman banyak dimanfaatkan oleh suku ini. Suku Bugis masih bisa menunjukkan bahwa mereka adalah suku yang konsisten dengan usahatani sawahnya, sejak dari daerah asal di samping mulai berkecimpung dengan usaha yang baru dengan melakukan penanaman tanaman tahunan. Banyak diantara mereka selain petani sawah sejak di desa asal juga adalah bekas pedagang yang sebelumnya telah meninggalkan profesi sebagai petani sawah.
Lahan Pertanian Aturan Penguasaan Sistematika penguraian pada sub bab ini lebih mengangkat model dan aturan penguasaan tanah yang ada pada kedua desa secara umum kelompok sosial mayoritas pada pola ini. Aturan penguasaan tanah telah melembaga karena diakui dan dituruti oleh seluruh masyarakat yang terlibat di dalamnya, dan telah berjalan dalam kurun waktu yang lama. Jika terjadi perubahan di dalamnya biasanya dipengaruhi oleh perubahan dalam perkembangan nilai jual tanah dan komersialisasi tanaman yang diusahakan oleh alur pemasaran global. Walaupun demikian, peraturan yang ada sering tergantung pada faktor kekerabatan yang berpengaruh sangat kuat terhadap hasil kesepakatan. Lembaga-lembaga yang berkembang ini telah berfungsi sebagai kontrol sosial. Tanah-tanah
yang
dikuasai
hanya
terdiri
dari
tanah
milik
peroranganlpribadi yang menjamur dikedua desa penelitian ini. Sedangkan penguasaan pada tanah komunal pada masing-masing desa ini tidak ada.
Sebenarnya Desa Berdikari memiliki tanah komunal berbentuk kebun yang ditanami kopi seluas hampir 2 ha yang terletak di bagian Timur dusun Idi pinggiran sungai Sidawo. Namun sangat disayangkan karena tanah tersebut lebih banyak ditelantarkan sejak pembelian sampai saat ini. Rata-rata para petani yang menguasai lahan milik orang lain juga memiliki lahan secara pribadi, dan umumnya mereka menyewa dan menggarapnya sendiri. Pada dasarnya terdapat, pemilik-penggarap (owneroperator), penyewa-penggarap (leasehold), dan petani penyakap bagi hasil (crop-sharing). Gejala ini seperti yang oleh Cohen dikategorikan dalam struktur agraria untuk pemilikan tanah tipe tanah ~ s i a .* Terdapat beberapa model penguasaan tanah yang telah melembaga dikedua desa ini, dengan nama yang sama namun peraturan berbeda untuk masing-masing desa. Model penguasaan tanah yang menjadi kajian saat ini adalah kepemilikan dan cara memperoleh, sewa-menyewa
(bapajak),
penyakapan, hak pakai, serta gadai. Sistem gadai telah berangsur-angsur punah, dengan alasan tidak mudah mendapatkan peminjam yang memili uang saat diperlukan. Oleh karenanya aturan yang pernah dijalankan tidak akan lagi dituangkan dalam pembahasan ini. Aturan Kepemilikan Tanah (Land Tenure) dan Cara Memperoleh
I.
Kepemilikan Tanah (Land tenure)
Status kepemilikan tanah seperti pada suku Kaili Taa di desa asal, pada kenyataannya berbeda dengan saat di desa baru ini. Di desa lama secara norrnatif mereka tidak memiliki pengaturan terhadap kepemilikan tanah secara pribadi, dan pada kenyataannya pemilikan tanah pribadi tidak membudaya. Hal ini disebabkan pola peladangan berpindah membentuk struktur yang demikian.
Di mana saja mereka membuka lahan, di situ mereka menetap namun bersifat sementara. Karena di saat mengalami panen untuk beberapa kali musim tanam, mereka akan berpindah tempat tinggal berdekatan atau menyatu dengan lahan pertanian yang baru di buka. Hal yang berbeda jauh dengan budaya menetap dari suku bugis di desa asal. Secara normatif memiliki pengaturan terhadap kepemilikan tanah pribadi, dan secara empiris memiliki status kepemilikan pribadi. Usaha tani menetap menjadi salah satu alasan tejadinya konsep pemilikan pribadi ini. Suku Kulawi di desa asal secara normatif memiliki pengaturan kepemilikan tanah pribadi namun tidak kuat dalam penyelenggaraannya. Hal ini dibuktikan dengan banyak terdapat budaya peladangan berpindah yang memungkinkan tidak tejadinya pola menetap pada satu lokasi. Pemilikan tanah perorangan (individual tenure) dan tanah negara ataupun pemerintah merupakan bentuk pemilikan tanah yang ada dikedua desa penelitian ini Tabel 4 . Jumlah persil, pernilik, dan luas tanah keseluruhan di Desa Sintuwu dan ~erdikari,2001. Desa Jumlah Persil Jumlah Rata-Rata Luas Keseluruhan
I
1
Pemilik
I
1
I
Pemilik
(m2)
(m2) Sintuwu
343
238
14.788
3.519.594
Berdikari
636
439
12.753
5.598,377
Sumber :Ditabulasi dari daftarpembayar PBB tahun 2001. Jenis pemilikan tanah pada Tabel 4 j adalah persawahan, pekarangan, kebun yang ada pada areal datar serta tanah desalpemerintah. Tanah milik pribadi perorangan banyak telah disertifikatkan, baik melalui PRONA ataupun
Lihat Bonnie Setiawan, ha/. 7, dalam Reforma Agraria. Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaharuan Agraria di Indonesia. 1997. Editor Bachriadi, Faryadi, dan Setiawan. KPA kerjasama dengan Lembaga Penerbit FE-UI. Data luas kepemilkan tanah yang banyak diuraikan berikut adalah data yang bersumber dari daffar pembayar Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2001 Desa Sintuwu dan Desa Berdikari yang merupakan Laporan Hasil Survey Lapangan oleh Petugas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Depattemen Keuangan Propinsi Sulawesi Tengah.
pengurusan secara pribadi. Namun sertifikasi ini masih banyak terdapat di Desa Berdikari. Berikut uraian tentang kepemilikan tanah dikedua desa penelitian. Desa Sintuwu Luas pemilikan tanah (Tabel 5) masing-masing kelompok sosial cukup bervariasi. Namun tanah yang dikuasai oleh orang luar desa (guntai) cukup mendominasi di desa ini, dan secara spesifik ditunjukkan oleh kelompok sosial tertentu.
Tabel 5. Luas dan distribusi kepemilikan tanah di Desa Sintuwu, 2001.
Luas Pemilikan (m2) Kaili Taa Bugis
Tengah..
Tanah Guntai
Tanah Penduduk
Kepemilikanl Kelompok Sosial
699290 649618
Pemilik (kk) 64 46
Rata-Rata Kepemilikan (m21 pemilik) 10926 14122
TOTAL
Luas Pemilikan (m2)
Pemilik
Rata-Rata Kepemilikan (m2lkk)
Luas Pemilikan (m2)
Pemilik
67430 474200
9 13
6743 36477
766720 1123818
73 59
,
Rata-Rata Kepemilika n (m2/kk) 10361 19048
Tabel di atas menunjukkan bahwa Bugis merupakan kelompok sosial yang memiliki luasan tanah terbesar dibandingkan dengan suku-suku lainnya. Suku ini baik penduduk dan bukan penduduk desa (tanah guntai) mengambil sepertiga dari seluruh luasan tanah di desa ini dengan jumlah pemilik 59 kk dan rata-rata kepemilikan 1,9 halkk. Tanah guntai yang dimiliki mereka cukup luas, dimana dari 13 pemilik menguasai 47,42 ha atau rata-rata kepemilikan tanah guntai ini yaitu 3,65 halkk. Pemilik dari tanah guntai tersebut terbanyak adalah para hajilhajjah yang berdomisili di Palu. Namun banyak dari mereka memiliki rumah di desa ini yang hanya ditinggali oleh para penggarap. Sedangkan dari struktur pemilikan tanah, terdapat seorang penduduk yang memiliki 14,5 ha, dan lainnya 7 halkk, dan 6,3halkk. Untuk lebih lengkap struktur pemilikan tanah dan grafik kondisi kepemilikan tanah dapat dilihat pada Lampiran 13, 14, dan 15. Penjelasan-penjelasan pada bab sebelumnya menjadi jawaban utama, mengapa suku ini menjadi pemilik terluas dari suku-suku lainnya yang ada. Mereka merupakan suku yang memiliki etos kerja tinggi (pekerja keras), disiplin, suka menabung, cepat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan arus modemisasi dan permintaan pasar, dan terutama mereka memiliki tujuan hidup (goal of life) yang pasti dan harus diraih. Karakter ini telah terstruktur sejak dari
desa asal untuk selalu berpikir rasional. Tanah dan usaha dagang menjadi salah satu alat mencapai tujuan tersebut. Karakter terakhir ini cenderung memunculkan sifat ambisius positif dengan berusaha mendapatkan tanah sebagai investasi. Suku ini juga memiliki karakter menjual tanah, namun penjualan lebih banyak diberikan kepada suku mereka sendiri bila mereka memiliki tanah luas ataupun akan berpindah tempat tinggal. Alasan pertama terjadi karena keinginan agar dari lebih banyak dari suku mereka berdomisili di desa ini serta berbagai alasan kekerabatan lainnya. Hal ini seperti tampak pada trend penjualan tanah pada Lampiran 16.
Sedangkan Kaili Taa, sebagai penduduk pertama yang mendiami desa ini, dengan jumlah 113 kk, hanya 64 kk yang secara resmi masuk dalam daftar pembayar PBB. Tanah-tanah yang terdaftar ini banyak merupakan sisa dari luasan yang sebelumnya cukup luas. Bagi suku Kaili Taa, tanah bukanlah sesuatu investasi. Di saat terjadi penawaran terhadap tanah, maka muncul karakter menjual. Mereka tidak memiliki tujuan hidup yang pasti, karena bagi mereka yang penting ada yang bisa dimakan hari ini (na hondo-hondo = kerja untuk makan saja). Luasan tertinggi (di atas 5 ha, tepatnya 5,98 ha) dimiliki oleh
hanya satu kk seperti tampak pada Lampiran 17 dan serta grafik pemilikan tanah pada Lampiran 18 dan 19. Namun pada saat penelitian, mulai muncul kesadaran bahwa tanah sebagai tempat berproduksi telah berada pada titik rawan dari segi jumlah persil maupun luasnya. Walaupun demikian, masih terdapat juga warga dari suku ini tidak mempedulikan kondisi yang mengarah ke tuna kisma. Hal ini muncul karena banyak yang menggantung harapan kelangsungan kegiatan berproduksi pada areal hutan TNLL. Pembeli tanah dari warga suku Kaili Taa, memiliki kecenderungan memanfaatkan moment seremonial suku penjual ini untuk mendapatkan tanah, terbanyak dari suku Bugis. Bahkan terdapat kasus eksklusif, dimana sesorang dari suku Cina memanfaatkan karakter menjual dari suku Kaili Taa tersebut. Dengan mengatasnamakan bahwa tanah yang mereka jual masih berada ditangan satu suku (istri pembeli adalah Cina keturunan Kaili Taa). Terdapat suatu janji masih adanya ikatan kerja pada tanah yang telah dijualnya. Untuk tanah guntai dari suku Kaili Taa banyak dimiliki orang yang tinggal di desa lain seperti Bobo, Bunga, Bakubakulu, Makmur di wilayah kecamatan yang sama. Terbesar adalah tanah guntai persawahan, atau sekitar 4 ha dari jumlah keseluruhan tanah guntai yang ada yang berjumlah 6,74 ha.
Desa Berdikari Pemilikan tanah di desa ini selain dikuasai oleh para penduduk dari segi jumlah maupun luasan, juga berasal dari orang luar yang terbesar adalah para pegawai pemerintah kotamadya Palu. Di sisi lain, dari daftar pembayar PBB 2001 (Tabel 6), terdapat wajib pajak atas nama pemilik sebanyak 46 nama yang tersebar di ketiga dusun yang ada serta pemilikan atas nama negara. Tbbel 6.
I
Kepemilikan tanah di Desa Berdikari, 2001. Kepemilikan I Jumlah Luasan
Kelompok Sosial 1) Kulawi 2) Bugis 3) Toraja 4) Manado 5) Jawa 6) Kaili 7) Cina 8) Poso 9) Tidak Teridentifikasi Jumlah (1) An. Pemilik 1) Dusun 1 21 Dusun 2 3j Dusun 3 Jumlah (2) An. Tanah Negara 1) Dusun 1 21 Dusun 2 3j Dusun 3 Jumlah (3) Sarana Pemerintah 1) Balai Benih Hortikultura , 2) Dinas Perikanan (Lab.) Jumlah (4) Sarana Umum Desa 1) Gereja BK, GPID, Pantekosta 2) Mesjid 3) Kuburan 4) Kantor Desa 5) Lapangan 6) Sanggar Tani 7) Ex SD BK Jumbh (5) Total (1)+(2)+(3)+(4)+(5)
Jumlah Pemilik
31.390 3.673.554
5 378
65,62
54.416 199.907 836.700 1.091.023
14 23 9 46
19,49
70.000 95.000 665.000
2 2 I 5
11,88
113.600
2
2,03
14.200 2000 10.500 2000 21.OOO 3000 2500 55.200 5.598.377
4 2 2 1 1 1 1 12 439
0,99 100
SOO.OOO
Tentang pembayar pajak atas nama "pemilik" yang menempati 19,49 % dari keseluruhan tanah yang ada tergolong cukup besar, sedangkan status kepemilikannya sangat tidak jelas. Berdasarkan hasil konfirrnasi dengan kepala desa dan kepala dusun dual menurut kepala desa tidak diketahui mengapa terdapat data demikian. Sedangkan dari kepala dusun, menurutnya daftar atas nama pemilik diwilayah dusunnya telah dikembalikan lagi kepada kepala desa karena beliau tidak bertanggung jawab dengan 23 lembar yang ada. Di samping ketidakjelasan di atas pada nama "pemilik", tanah negara menempati urutan ketiga yaitu seluas 66,5 ha atau 11,88 % dari total luas yang ada. Sedangkan pemilikan pribadi yang dimanfaatkan penduduk berdomisili dan tanah guntai yaitu 65,62 %. Terlihat bahwa, suku Kulawi merupakan suku yang terbanyak dari segi jumlah persil maupun luasan. Namun rata-rata kepemilikan tanah pada suku ini hanya 0,84 hdpemilik. Pemilikan tertinggi 6 ha dan terendah 0,016 ha, masingmasing satu pemilik. Walaupun demikian, sebenamya mereka memiliki tanah yang cukup luas di dalam areal HPT, namun tidak dikenai pembayaran PBB dan tidak dapat disertifikatkan. Sedangkan suku Bugis terbanyak masing-masing 10 ha dan terendah 0,018 ha. Pemilikan tertinggi ini merupakan tanah guntai. Suku Toraja pemilikan tertinggi 19 ha yang merupakan tanah guntai oleh satu pemilik, dan terendah yaitu 0,015 ha dimiliki penduduk berdomisili. Untuk suku Manado, pemilikan tertinggi juga sama seperti suku lainnya yang adalah tanah guntai seuas 6 ha, terendah dimiliki oleh penduduk berdomisili seluas 0,045 ha. Kedua suku ini memiliki akses luas terhadap tanah di desa ini. Hal ini disebabkan masa itu banyak instansi pemerintah Tingkat I di tahun 1970-an sampai 1980-an mengkapling tanah di daerah tersebut untuk para pejabat dan pegawainya, dan terbanyak dari mereka berasal dari suku ini.
Suku Bugis, Toraja, Cina dan Manado, merupakan suku yang tergolong cukup banyak memiliki tanah guntai di desa ini (Tabel 7). Sedangkan suku-suku lainnya rata-rata adalah penduduk yang telah menetap. Tabel 7. Pemilikan tanah guntai di Desa Berdikari, 2001. Kelompok Sosial
Bugis
Tanah Guntai 'Im2)
Jumlah Pemilik 5
Rata-Rata Kepemilikan (m2) 42.398
Total Kepemilikan (m2) 711.887
21 1.992
8
45.131
626.538
8
26.025
293.650
1
13.600
13.600
22
36.129
(29,78 %) 361.044
Toraja
(57,63 %) Manado
208.200 (70,90 %)
Cina
13.600 (1 00 %)
Total
794.836
Perhitungan persentase tanah guntai pada tabel di atas, adalah terhadap total luas kepemilikan masing-masing kelompok sosial. Atau dari jumlah luasan keseluruhan tanah 559,8377 ha, tanah guntai yang ada di desa ini menempati 79,4836 ha atau 14,19 %, hanya untuk 22 pemilik. Hal ini menunjukkan suatu ketimpangan dalam struktur pemilikan tanah yang ada. Dimana rata-rata kepemilikan tanah guntai yaitu 3,61 halpemilik, sedangkan rata-rata luas tanah yang dimiliki penduduk berdomisili hanyalah 0,81 halpemilik. Rincian tentang struktur penguasaan tanah ini dapat dilihat pada Lampiran 17. Untuk lebih memperjelas kepemikan tanah di kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 18 dan 19 berupa grafik. 2.
Cara Memperoleh
Cara memperoleh tanah pada masing-masing suku masih dipengaruhi dengan cara memperoleh tanah pada desa asal mereka (Tabel 8). Seperti pada suku Kaili Taa dan Kulawi, kecenderungan membuka hutan sendiri untuk lahan
pertanian tetap diterapkan di desa baru, walaupun secara norrnatif telah adanya pengaturan memperoleh lahan dengan cara membeli. Oleh karenanya, di saat lahan pada daerah datar telah sempit dan hanya terdapat satu cara terbaik untuk memiliki yaitu dengan jalan membeli, suku ini tidak mampu (biasa) melakukannya. Di desa yang baru ini, kedua suku menemukan fenomena baru dalam memperoleh tanah, yaitu pembagian dari kepala desa. Hal yang bertolak belakang dengan suku Bugis. Memperoleh tanah dengan cara membeli telah lama berlangsung sejak dari desa asal. Namun selain memperoleh tanah dengan cara tersebut, di desa yang baru mereka mendapat kesempatan membuka lahan sendiri ataupun diberikan kepala desa walaupun hanya dalam jumlah kecil. Tabel 8.
Cara memperoleh tanah setiap kelompok sosial di Desa Sintuwu dan Berdikari, 2001.
SUKU Kaili Taa
DESA SINTUWU
Bugis
Mernbuka Sendiri (sernua areal) Pernbagian (kebun) Pernbelian (kebun & pekaranganl) Mernbuka sendiri (kebun tanah datar dan TNLL, sawah) Pernberian (Kebun, sawah, pekarangan) Pernbelian (pekarangan) Warisan (kebun) Pernbelian (Kebun + Pekarangan)
Toraja
Mernbuka sendiri (Kebun di tanah datar dan pinggiranTNLL, sawah, pekarangan) Pernberian (kebun + pekarangan) Pebelian (kebun, sawah, pekarangan)
Kulawi
Kaili Tara
Kaili Ledo
Kaili Ija
Cina Sunda dan Jawa Manado
Pernbagian (Kebun + pekarangan) Mernbuka Sendiri (kebun di pinggiran dan areal TNLL) Pernbelian (kebun) Mernbuka sendiri (kebun, pekarangan, sawah : dipinggiran dan areal TNLL) Mernbeli Mernbuka sendiri (kebun, pekarangan, sawah : datar, pinggiran dan areal TNLL) Mernbeli Pernbelian (kebun, sawah, pekarangan) Pembelian (kebun, sawah, pekarangan)
Sumber :Data primer.
DESA BERDlKARl
Pernbagian (pekarangan persawahan) Mernbuka sendiri (HPT) Warisan
+
-
Mernbell (pekarangan, sawah, kebun) Pernbagian (Pekarangan + sawah) Mernbuka sendiri (kebun) Pernbagian (pekarangan, kebun sawah // kepada peg. Pernerintah) Membeli (kebun, sawah, pekarangan)
Membeli Mernbeli Pernbagian (sawah, instansi pernerintah)
kebun
//
Aturan Sewa-Menyewa (Bapajak) Sewa-menyewa ini dikenal dengan istilah yang umumnya digunakan dikedua desa penelitian adalah bapajak. Bagi suku Bugis kegiatan sewamenyewa ini telah lama ada sejak dari desa asal, namun dengan istilah berbeda. Berbeda dengan suku Kulawi dan Kaili Taa, bam mengenal dan secara empiris melaksanakan kelembagaan ini sejak berada di desa baru. Penjelasan berikut akan menggunakan istilah ini. Bapajak tidak hanya terbatas pada lahan sawah tapi juga pada areal kebun. Aturan yang digunakan pada masing-masing desa menunjukkan kesamaan dalam ha1 jenis tanaman yang bisa ditanam, namun berbeda dalam aturan pembayaran. Petani yang bapajak adalah penggarap (leasehold). Berikut beberapa aturan yang diberlakukan pada sistem bapajak tersebut 1)
Hanya diperuntukkan bagi areal lahan dengan tanaman musiman.
2)
Jenis tanaman bisa diganti, namun hams tetap jenis tanaman musiman.
3)
Pembayaran berdasarkan banyaknya musim tanam.
4)
Pembayaran kepada pemilik pada transaksi pertama dalam bentuk uang tunai.
5)
Dapat diperpanjang untuk musim tanam berikutnya.
6)
Berlaku untuk semua suku. Terdapat kasus, seperti di Desa Sintuwu, seorang responden dari suku
Bugis yang bapajak kebun jagung seluas 1,5 ha milik warga suku Kaili Taa, selama 7 tahun untuk 13 kali tanam. Pembayaran dengan uang tunai sebesar Rp. 2.000.000,-. Transaksi ini terikat secara resmi, karena menggunakan kwitansi yang ditanda tangani penyewa dan pemilik serta mengetahui kepala desa setempat dengan menggunakan cap desa. Sebagai contoh, bentuk surat transaksi bapajak dapat dilihat pada Lampiran 20.
Sedangkan di Desa Berdikari, harga umum yang banyak berlaku saat ini untuk kebun seluas 1 ha yang dipajak untuk 5 kali tanam adalah Rp. 1.000.000,-; Namun terdapat kasus untuk 0,5 ha sebanyak 3 kali tanam dikenai pembayaran sebesar Rp. 1.000.000,-. Transaksi terakhir ini cenderung mahal dibandingkan transaksi pertama.
Aturan Pefiyakapan (Tenancy relations) Hal yang sama seperti dengan sistern bapajak, suku Kulawi dan Kaili Taa belum pemah menerapkan aturan ini di daerah asal. Karena pada kenyataannya, secara norrnatif tidak ada pengaturan tentang sistem penyakapan di desa asal. Mereka terbiasa mengerjakan sendiri lahan yang dibukanya tersebut. Gejala yang berbeda dengan suku Bugis, sistem penggarapan telah lama bedangsung sejak di daerah asal. Penerapan pola ini selain dipengaruhi bentuk usaha tani menetap, juga tekanan penduduk dan komersialisasi pertanian. Hal yang sama juga terjadi di kedua lokasi penelitian. Tanah milik pribadi penduduk setempat ataupun tanah guntai baik dimiliki secara pribadi ataupun pemerintah, adalah tanah yang banyak disakapldigarap oleh beberapa suku di kedua lokasi penelitian dengan sistem bagi hasil (crop-sharing). Karakter pertama menjadi gejala yang umum terjadi di Sintuwu terbanyak pada suku Kaili Taa. Suku ini banyak menyakap tanah milik seseorang dari suku Cina yang memiliki lahan yang sangat luas. Lahan yang disakap ratarata adalah jenis kebun jagung yang memiliki luas 16-17 ha. Selain suku Kaili Taa, juga suku-suku lainnya yang ada banyak menggarap lahan milik perorangan baik yang berdomisili di dalam maupun luar desa. Namun terbanyak pemiliknya berada di luar desa (tanah guntai). Sebagai contoh, kebun kakao banyak digarap warga suku Bugis yang pemiliknya terbanyak tinggal di Palu walaupun
sebenarnya membangun rumah di desa ini. Baik pemilik maupun penggarap berasal dari suku yang sama. Bagi hasil yang umumnya diberlakukan adalah 2 (pemilik) : 1 (penggarap), sedangkan biaya produksi seperti obat-obatan dan pupuk dibagi bersama. Untuk biaya tenaga kerja panen, menjadi tanggungan penggarap yang diupah harian kepada sesama suku sebesar Rp. 11.000/orang tanpa makan. Jika bekerja hanya setengah hari maka pembayarannyajuga dibagi dua (Rp. 5.500,-). Rata-rata lahan yang digarap memiliki luasan 4 ha. Terdapat suku Kaili Ledo yang menggarap tanah milik pegawai Pengadilan yang adalah pamannya sendiri, seluas 7 ha. Bagi hasil untuk tanaman kakao 2 (pemilik) : 1 (penggarap), sedangkan untuk tanaman jagung 1 (pemilik) : 2 (penggarap). Sedangkan biaya-biaya seperti pupuk dan tenaga kerja ditanggung bersama antara penggarap dan pemilik. Sedangkan sistem sakap lainnya, dimana penggarap memberi dengan sukarela bentuk uang atau hasil panen kepada pemilik karena seluruh biaya produksi dan tenaga kerja menjadi tanggung jawab penggarap. Sistem ini diberlakukan karena antara penggarap-pemilik memiliki hubungan pertalian darah. Gejala ini banyak terjadi pada suku Kulawi. Sedangkan suku-suku lainnya, banyak menyakap kebun milik orang lain yang berdomisili didalam desa ini sendiri namun dalam jumlah yang relatif kecil. Desa Berdikari banyak penyakap menggarap tanah milik pemerintah, seperti tanah ex HGU yang digarap sejak pertengahan tahun 1970 dan saat ini telah diredistribusi kepada para penggarapnya untuk dijadikan hak milik. Namun, sampai saat penelitian, sistem penyakapan sebenamya telah berganti dengan hak pakai sejak dihentikannya operasi HGU akhir tahun 1999. Tanah yang disakap ini sebagian besar adalah lahan sawah, dan sedikit berupa kebun yang
berisi tanaman jagung serta palawija lainnya. Dahulunya hasil tanaman dibagi antara pemegang HGU dan penggarap. Tanah lainnya adalah milik pegawai Korem 132 Tadulako dan tanah milik KPKN ex KBN (Kantor Bendaharawan Negara) yang dimiliki secara perorangan oleh para pegawainya sejak tahun 1974. Saat ini hak kepemilikan tanah KBN masih tumpang tindih dengan Universitas Tadulako (UNTAD) Palu. Bagi yang bekerja di tanah "milik pegawai KBN" dan Korem merupakan para penggarap karena dikenai bagi hasil dengan pemiliknya. Suku Bugis dan Toraja cukup banyak berstatus sebagai penyakap. Tanah yang disakapkan berupa lahan sawah dan kebun berisi tanaman musiman serta tahunan.
Aturan Hak Pakai
Hak pakai sering disebut juga hak mengolah, dan umumnya pada areal hutan baik TNLL dan HPT, serta tanah-tanah guntai yang diterlantarkan. Biasanya pengolah dibebani biaya administrasi (pada kasus HPT saat pertama membuka lahan), pembayaran pada penjaga per panen (kasus tanah Gubemur), ataupun kerelaan hati kepada pemilik berupa hasil panen ataupun dalam bentuk uang (kasus tanah KBNIUNTAD), dan terakhir pada tanah Korem dengan karakter yang berbeda dari kasus-kasus lain tersebut. Sistem penguasaan dengan hak pakai di Sintuwu banyak terkonsentrasi pada areal TNLL, oleh hampir sebagian besar suku di desa ini. Suku-suku tersebut yaitu Kaili Taa, Kulawi, Kaili Tara, Kaili Ledo, Kaili Ija, dan sedikit dari Bugis dan Toraja. Mereka secara resmi mendapat izin dari kepala desa setempat untuk memanfaatkan areal tersebut. Selain itu hak pakai juga diberlakukan pada tanah yang dimiliki seorang bekas Gubernur Palu, yang disebut "tanah gubemur". Tanah ini banyak diberikan hak pakai kepada suku Kaili Ledo, Kulawi, dan Kaili Tara. Umumnya suku-suku
ini berdomisili disekitar tanah gubemur tersebut. Mereka dibebani memberikan uang kepada penjaga sekitar Rp. 25.000,- per panen. Umumnya yang ditanam adalah jagung. Sementara itu di Berdikari, tanah KEN ataupun UNTAD yang saling tumpang tindih banyak digunakan oleh para warga di dusun 3 dimana tanah ini termasuk dalam wilayah tersebut. Suku Bugis dan Toraja banyak memanfaatkan hak pakai dengan meminta izin langsung kepada pihak pegawai KEN yang masih belum berkeinginan mengolah tanahnya serta pihak pengurus tanah UNTAD. Pada tanah KEN, luasan yang digunakan antara 1-4 halkk. Suku Bugis yang memiliki hak pakai berjumlah sekitar 19 kk dengan luas hampir 50 ha. Biasanya pada areal kebun mereka menanam jagung ataupun kacang-kacangan dan terdapat juga yang telah menanam kakao. Hak pakai yang diberlakukan pada tanah Korem hanya pada areal kebun di hutan produksi terbatas (HPT). Bila tanaman yang diusahakan adalah tanaman musiman maka tanah tersebut berpeluang untuk ditarik keseluruhan oleh pemilik. Namun bila yang diusahakan adalah tanaman tahunan seperti kakao, biasanya banyak terjadi pada saat tanaman telah berumur 3 tahun dan mulai berbuah maka tanah dibagi dua antara pemilik dan pemegang hak pakai. Jumlah luasan tanah yang dimiliki oleh bekas pengguna hak pakai berkisar antara 1-2 halkk. Seperti pemanfaataanTNLL oleh warga di Sintuwu, maka hutan produksi terbatas (HPT), di luar milik Korem di Berdikari diberikan izin dari pihak pemerintah untuk dimanfaatkan dengan hak pakai. Suku Kulawi merupakan suku yang terbanyak diberikan surat pengolahan di areal tersebut oleh pemerintah desa. Mereka dbebani biaya administrasi rata-rata Rp. 100.000lha pada tahun 1998, dan pada tahun ini biaya tersebut mengalami kenaikan menjadi Rp. 200.000
-
Rp. 400.000,-/ha. Tanaman yang diizinkan diutamakan adalah
tanaman tahunan. Tabel 9 dan 10 menampilkan Karakteristik setiap suku terhadap bentuk-bentuk penguasaan tanah. Tabel 9.
Karakteristik kelompok sosial dalam bentuk penguasaan tanah di Desa Sintuwu. 2001.
SUKU
ATURAN PENGUASAAN SEWA-MENYEWA SAKAP (bapajak)
v -
Kaili Taa Kulawi Bugis Kaili Tara Toraja Cina Kaili Ija Kaili Ledo Sunda Kaili Unde
Tabel 10. SUKU
v v v v v
v v v v v
v v v v
v v
-
-
-
Karakteristik kelompok sosial dalam bentuk penguasaan tanah di Desa Berdikari. 2001 ATURAN PENGUASAAN SEWA- MENYEWA I SAKAP HAKPAKAI (bapajak) .,
1
KuIaw' . .-.- ..'I
HAK PAKAl
Bugis Toraja Manado Cina Jawa
-
1
V
-
V
I
-
!
v
V V
V V
-
-
-
-
I
-
-
Aturan TNLL clan HPT
Pengaturan yang tertuang pada bagian ini, lebih kepada pengaturan pemerintah terhadap TNLL dan HPT. Sentuhan pemerintah dalam rangka pengaturan dan pemanfaatan TNLL dan HPT terasa sangat besar. Hal ini berkaitan erat dengan aturan pemerintah yang tertuang pada Pasal33 ayat 3 UUD 1945,.yang kemudian menjadi dasar dikukuhkannya : 1.
Pasal2 UU No. 5 Tahun 1960 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) : Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD dan ha/-ha1 sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Neaara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2.
Pasal5 UU No. 5 Thn 1967 UUPK (Undang-Undang Pokok Kehutanan) : Semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh neuara.
Undang-Undang di atasnya akhimya turut mempengaruhi dibatasinya akses masyarakat dalam memanfaatkan sumber agraria tersebut. Upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup dan kelestariannya menjadi faktor utama terjadinya pembatasan pemanfaatan yang kesemuanya itu bertujuan untuk kemakmuran rakyat. 1.
Aturan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)
Kasus
tentang
pengaturan
pemerintah
terhadap
pembatasan
pemanfaatan TNLL sangat dirasakan oleh masyarakat Desa Sintuwu. Terhadap TNLL, dari sejarah penetapan yang ada oleh pemerintah pada kenyataannya tidak terjadi sinkronisasi dengan sejarah penetapan berdasarkan versi masyarakat. Karena bagi pemerintah, di Provinsi Sulawesi Tengah tidak terdapat tanah ulayat. Penegasan ini tertuang dalam SK Gubemur No. 592.2133193. Tidak diakuinya hak-hak terhadap tanah adat, bagi masyarakat merupakan suatu tindakan pemerintah yang otoriter. Pengakuan ini tennrujud dalam suatu hasil Pertemuan Konsultasi Masyarakat di Sekitar TNLL di Desa Toro pada 27-30 Sepetember 2001, yang diselenggarakan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu sebagai suatu LSM yang siap mengayomi kepentingan masyarakat margin hutan, Pemerintah Ngata Toro, serta EPIQINRM. Dalam Rencana Penyelenggaraan Zonasi TNLL oleh The Nature Conservancy (TNC) Lore Lindu program4 diringkaskan tentang sejarah penetapan kawasan hutan Lore Lindu sebagai suatu areal taman nasional, yang dalam Laporan Prossiding Pertemuan Konsultasi Masyarakat di sekitar TNLL, Toro, 2730 September 2000. Makalah dibawakan tgl. 28 September 2000
bertujuan memelihara : 1) Dua DAS penting Gumbasa dan Lariang, 2) Keberadaan Flora dan Fauna khas (endemik) Sulawesi (229 jenis burung, 30 % khas, dan 127 jenis mamalia, 62% khas), 3) Situs Budaya Masyarakat. Sejarah penetapan tersebut sebagai berikut : 1973 1978
-
1981 1982 1993
-
1997
-
Suaka Margasatwa Lore Kalamanta Hutan WisatalHutan Lindung Danau Lindu - Kegiatan penancapan pal batas dimulai Suaka Margasatwa Lore Lindu Calon Taman Nasional Penunjukkan TNLL 229,000 Ha, SK. 593lKpts-1111993, 5 Oktober 1993 Terbentuk Balai Taman Nasional Lore Lindu
Penetapan zonasi sampai saat penelitian beriangsung belum terlaksana. Padahal ini sangat penting bagi pihak masyarakat dan pemerintah agar terdapat kejelasan soal batas-batas pemanfaatan. Seperti yang diharapkan oleh masyarakat saat ini adalah tentang penetapan daerah penyanggah (bufferzone). Dari sejarah penetapan tersebut terlihat bahwa secara bertahap terjadi penambahan areal untuk dijadikan kawasan taman nasional. Gambaran penambahan areal TNLL dapat dilihat pada Lampiran 21. Sebelum penetapan di wilayah Ill, ditahun 1976 pemerintah lewat Depertemen Kehutanan, telah memberikan hak pengusahaan hutan (HPH) kepada PT. Kebun Sari yang merupakan salah satu anak perusahaan PT. Raslim untuk pengambilan kayu agatis sebagai bahan baku ekspor ke Jepang, Taiwan, Korea, Singapura, dan Kanada. Wilayah kerja perusahaan pemegang HPH ini membentang sepanjang jalur kecamatan Palolo Kabupaten Donggala sampai daerah Napu Kabupaten Poso. Perkiraan luas pemanfaatan mencapai 25.000
-
50.000 ha. Perusahaan ini diberi izin oleh pemerintah untuk mengeksploitasi jenis kayu tersebut dalam bentuk kayu bulat (logging) selama 20 tahun. Perusahaan membuka jalan yang dikenal saat ini dengan jalan Jepang sepanjang pinggiran hutan dalam lingkup daerah operasinya. Sistem
penebangan dilakukan full mekanik dengan menggunakan chain saw dan sarana helikopter untuk pengangkutan ke Tempat Penumpukan Kayu (TPK). Hutan di sekitar Desa Sintuwu merupakan salah satu wilayah kerja HPH sejak perusahaan tersebut beroperasi tahun 1978. Awal tahun 1980-an sebelum masa kontrak HPH berakhir, pihak perusahaan secara perlahan mulai menghentikan kegiatannya di wilayah kerja sekitar Palolo. Hal ini diakibatkan jumlah kayu agatis mulai menipis karena pada kenyataannya sejak awal pengeksploitasian jumlah (m3) yang diharapkan tidak sesuai dengan survei pendahuluan. Tahun 199311994 pengoperasian HPH di wilayah tersebut resmi berakhir dan dikembalikan ke Pemerintahan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Sedangkan pada wilayah Napu diperpanjang 15 tahun. Reboisasi tidak dilakukan sepanjang jalur yang telah diekspolitasi tersebut. Sebenarnya pihak perusahaan telah memberikan kewajibannya membayar dana reboisasi (DR) kepada pemerintah berdasarkan hasil tebang (produksi) dihitung selama masa produksi per kubik. Dikaitkan dengan penetapan kawasan TNLL pada areal Illdi tahun 1981, ha1 ini terlihat memiliki hubungan dengan mulai berhentinya pengoperasian HPH oleh PT. Kebun Sari tahun 1980-an akibat kekurangan bahan baku di kawasan tersebut. Tergambar jelas, bahwa disaat pemerintah tidak memiliki kepentingan komersial dengan para pemodal ekonomi yang kuat, hutan tersebut turut dibekukan bagi kepentingan rakyat. Padahal saat operasi HPH berlangsung, tidak terdapat larangan terhadap pemanfaatan hutan oleh rakyat yang pada saat yang sama telah ikut memanfaatkan dengan penanaman tanaman untuk kebutuhan subsistennya sejak awal tahun 1970. Penetapan ketiga wilayah konsevasi hutan yang telah disatukan sebagai Taman Nasional Lore Lindu tersebut, saat ini telah berbuntut pada gerakan anarkis masyarakat pinggiran hutan yang merasa dirugikan. Hal tersebut berawal
dengan pematokan secara bertahap disepanjang jalan Jepang dipinggiran hutan mulai tahun 1981. Bagi masyarakat di 9 desa Kecamatan Palolo, pada areal Ill, patok yang ditancapkan petugas pelestarian alam (PPA) tidaklah sesuai dengan sejarah penetapan yang ada seperti pada tahun 1949. Tumpang tindih (overlapping) penetapan tersebut, mengakibatkan terjadi kontradiksi antara
masyarakat dan pihak pemerintah. Demonstrasi demi demonstrasi pun dilakukan oleh warga dan kesembilan desa yang merasa memiliki akses terhadap hutan TNLL tersebut. Diawali dengan gerakan seorang warga pada tahun 1985, kemudian seiring dengan terjadinya reformasi dalam sistem pemerintah Indonesia tahun 1997, muncul keberanian dari masyarakat memperjuangkan "hak-hak" mereka terhadap hutan yang telah diklaim tersebut. Hal ini terjadi pada tahun 1998 dimana warga masyarakat dari kesembilan desa di pinggiran hutan tersebut secara bergerombol melakukan demonstrasi besar-besaran terhadap pemerintah dalam ha1 ini DPRD dan Balai TNLL. Kesepakatan diambil setelah demosntrasi tersebut antara pihak pemerintah dengan masyarakat. Narnun hasil kesepakatan tersebut pada kenyataannya tidak diindahkan masyarakat. Perambahan hutan terus terjadi. Penambahan areal pertanian tidak berhenti. Bahkan masyarakat terlihat lebih berani dengan mulai membangun rumah pada areal TNLL tersebut. Kerusakan hutan semakin nyata. Hal ini jelas terlihat saat rnemasuki desa-desa di wilayah Kecamatan Palolo. Penanaman berbagai jenis tanaman dari musiman dan tahunan terkesan tidak mengikuti aturan pemanfaatan hutan demi kelestarian alam. Penggundulan (deforestry) banyak terjadi. Kerusakan di wilayah hutan yang berada di pinggiran Desa Sintuwu, Rahmat, Kadidia, dan Kamarora tergolong terparah.
Sejak penelitian berlangsung, demonstrasi masih sering dilakukan oleh warga masyarakat yang merasa dirugikan dengan penetapan areal TNLL. Pada Juni dan Juli 2001, terjadi pembukaan hutan di sepanjang pinggiran jalan antara Desa Tongoa dan Wuasa dimana dikenal dengan kawasan Dongi-Dongi yang dijadikan areal pemukiman masyarakat. Terbanyak adalah warga masyarakat yang berasal dari Desa Kadidia dan Kamarora. Suku Kaili Daa (yang merupakan penduduk pendatang dari Palu Barat), merupakan suku yang mendominasi kegiatan tersebut, disamping bagian terkecil lainnya adalah Toraja. Tanggal 23 Juli 2001, di Dongi-Dongi, pada areal TNLL, terjadi pesta besar-besaran dengan memotong empat ekor sapi yang diadakan warga "baru" tersebut sebagai ungkapan syukur dibukanya "pemukiman" baru. Kasus-kasus menyangkut areal TNLL tersebut, banyak mewarnai pemberitaan di mass media daerah (koran, tabloid). Beberapa kiplingan berita tersebut bisa dibaca pada Lampiran 22. 2.
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Kawasan HPT yang berada di Sintuwu, merupakan kawasan terbuka dari segi
pemanfaatannya oleh
masyarakat.
Kontrol pemerintah terhadap
pemanfaatan HPT yang telah mulai memasuki kawasan hutan lindung tidak seketat yang dilakukan terhadap masyarakat margin hutan TNLL. Hal ini dapat dimaklumi karena kawasan HPT telah berbaur dengan tanah milik pemerintah, sebagai contoh dari Korem 132 Tadulako, sehingga batas-batas menjadi kabur. Luasan tersebut cukup besar yaitu sekitar 360 ha yang dimulai hampir sepanjang pinggiran jalan raya pada areal datar di dusun 3 ke arah pegunungan. Saat masyarakat mulai marak memasuki areal hutan di pinggiran desa awal tahun 1980, maka pemerintah lewat Departemen Kehutanan tahun 1984 memasang pal batas. Diputuskan bahwa, areal yang telah dipatok tersebut boleh
diteruskan pemanfaatannya dengan catatan tidak boleh terjadi penambahan areal baru dan tanah yang telah digarap tidak boleh disertifikat. Walaupun demikian, masyarakat masih membuka areal yang baru. Terbanyak dari mereka adalah suku Kulawi yang merasa sebagai "pemilik hutan". Akses mereka lebih terbuka luas dengan mendapat izin pengolahan dari kepala desa setempat. Jual-beli tanah dan pembukaan lahan baru turut menghiasi HPT yang ada. Pematokan areal HPT tersebut (Gambar 4 dan 5) mencerminkan sisi kepentingan pihak tertentu terhadap hutan dapat dilihat pada dua lokasi di wilayah dusun 2 dan dusun 3. Pemukiman
4
Parok tahun 1984
s. sopu
Gambar 4. Kawasan HPT dilihat dari wilayah dusun 2 Berdikari
Gambar 5. Kawasan HPT dilihat dari wilayah dusun 3 Berdikari.
Wilayah dusun 2 pada kenyataannya kurang memiliki tanah guntai milik pemerintah baik pada areal datar maupun hutan, karenanya pematokan dimulai mendekati areal pemukiman penduduk ditanah yang datar (Gambar 4). Penduduk hanya diberi sekitar 10 meter dilereng gunung yang kemudian bagian terbesar dari areal gunung tersebut dipatok sebagai kawasan HPT.
Kepincangan kebijakan penetapan oleh pihak pemerintah terjadi pada wilayah dusun 3 (Gambar 5). Batas pemanfaatan hutan untuk rakyat terlihat sangat luas. Hal ini dapat dimaklumi karena tanah pada sebagian besar gunung di wilayah dusun merupakan tanah guntai yang dimiliki pemerintah yang diperuntukkan bagi pegawai dan lainnnya sebagai kebun percobaan. Pada sisi lainnya yang telah dipatok sebagai kawasan HPT, yang disebut Bukit Korah, seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, atas kebijakan pemerintah desa telah dibuka untuk masyarakat yang terbanyak berasal dari Desa Kamarora namun hanya diberi hak mengolah. Tahun 1999, survey terhadap kawasan HPT dilakukan oleh Dinas Kehutanan Tingkat II Donggala. Namun tindakan tegas tidak dilakukan terhadap masyarakat yang semakin jauh merambah hutan tersebut. Memang pada keniataannya dari hasil pengamatan yang dilakukan, kerusakan hutan belum tampak. Kelestarian lingkungan hidup masih berusaha dipertahankan, walaupun sebenamya diantara pohon-pohon besar terdapat perkebunan kakao luas milik rakyat. Erosi berat sekitar 11 ha terdapat di bagian sungai Menawa yang masih termasuk areal HPT. Namun, longsor yang sering terjadi bukan akibat penggundulan tapi karena jenis tanahnya. Sebenarnya sebagai akibat harga kakao yang sempat melambung tinggi di tahun 1997-1998, masyarakat berkeinginan melakukan konversi dari areal persawahan menjadi kebun kakao. Namun ha1 ini ditanggapi pemerintah kecamatan yang mengeluarkan surat pelarangan terhadap tindakan konversii tersebut sebagai upaya mempertahankan swasembada beras. Oleh karenanya, membiarkan masyarakat tertentu membuka areal HPT dan Hutan Lindung untuk areal perkebunan kakao rakyat menjadi salah satu prioritas pemerintah desa untuk mencegah gerakan konservasi tersebut
Aturan Pengusahaan Peruntukkan Tanah
Aturan peruntukan tanah masing-masing kelompok sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah pengaruh kebudayaan dan kebiasaan sejak ditempat dahulu yang berkaitan erat dengan pola konsumsi, pengaruh kondisi ekologis wilayah ditempat yang baru sehingga mampu merubah kebiasaan peruntukkan sebelumnya, dan terakhir adalah pengaruh ekonomi pasar. Hal-ha1 tersebut sangat berkaitan erat dengan jenis tanaman yang diusahakan. Jenis peruntukkan tanah yang ada sebagian besar untuk tiga hall yaitu pekarangan, sawah, dan kebun (Tabel 11). Pola peruntukkan tanah seperti penelitian yang dilakukan Rumiatuti ', seperti Petoo, Vana, Pengale, serta Kaore, Oma dan Ova, tidak lagi dijumpai, seperti pada Kaili Taa. Alasan utamanya adalah akibat pemindahan yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan areal yang bebas dimasuki oleh siapa saja dan oleh suku mana saja. Sehingga untuk menerapkan pola peruntukkan berdasarkan adat tersebut sulit untuk dilakukan karena keheterogenan tersebut. Desa Sintuwu Suku Kaili Taa
Jenis peruntukkan pada kelompok sosial ini lebih banyak dipengaruhi oleh pola peruntukkan tanah dari kebiasaan sebelumnya ditempat asal yang berkaitan erat dengan pola konsumsi. Walaupun demikian rata-rata suku ini telah menyediakan tempat khusus untuk pekarangan yang tidak berbaur lagi dengan kebun seperti ditempat asal. Kondisi ekologis dan pengaruh ekonomi pasar di lokasi baru ternyata cukup membawa perubahan pada aturan peruntukan tanah. Hal ini dengan terjadinya perubahan pada tanah datar yang awalnya diperuntukkan untuk padi
ladang dan jagung secara polikultur, akibat pengaruh budaya suku Bugis akhirnya ada yang dirubah menjadi persawahan. Hal ini juga ditunjang dengan ketersediaan air yang cukup untuk persawahan di areal penanaman mula-mula. Bahkan saat ini persawahan ada yang telah dikonversi menjadi kebun kakao. Faktor penyebab yang sama yaitu akibat pengaruh suku Bugis yang lebih mampu memperlihatkan keuntungan ekonomi pada komoditas komersial ini. Walaupun demikian, persawahan dan kebun jagung cukup banyak yang masih dipertahankan. Pada tanah bertopografi miring, dalam ha1 ini di daerah hutan TNLL yang mulai dimasuki sekitar tahun 1980-an, tanah banyak diperuntukkan sebagai areal kebun untuk penanaman jagung monokultur, maupun polikutur seperti campuran jagung, padi ladang dan pada pinggiran kebun ditanami singkong. Jenis tanaman dan metode penanaman masih dipengaruhi dengan kebiasaan dilokasi asal. Bahkan cukup banyak tanah telah dimanfaatkan untuk tanaman kakao monokultur. Tanah untuk pekarangan, secara khusus telah diperuntukkan bagi bangunan rumah. Namun banyak juga pekarangan pada setiap bagian sisi bangunan rumah ditanami kakao. Suku Buqis
Sebagai suku pelopor peruntukan tanah untuk persawahan bagi suku Kaili Taa yang telah menjadi kebiasaan sejak di desa asal, saat ini areal sawah suku Bugis ini tidak lagi terlihat. Pola penanaman sawah hanya dipertahankan hampir dua dekade pertama. Persawahan secara total telah dikonversi menjadi areal perkebunan kakao. Hampir seluruh warga dari suku ini telah memiliki pekarangan. Namun areal yang secara umum ini diperuntukkan bagi bangunan rumah telah dipenuhi
Lihat kembali halaman 12 tentang pola peruntukkan tanah rnasyarakat Kaili.
dengan tanaman kakao. Mereka berusaha lebih melihat peluang pemanfaatan tanah dalam rangka memperoleh nilai keuntungan secara finansial. Suku Kulawi Kekomplekan cara peruntukkan tanah teriihat pada suku ini seperti halnya pada suku Kaili Taa. Budaya bertanam di tempat asal masih dilakukan sampai saat ini, yaitu dengan memprioritaskan kebun mereka untuk tanaman yang ditanam secara polikultur, seper!i padi ladang, jagung, dan kopi pada satu hamparan. Hal ini banyak terjadi pada bagian tanah yang bertopografie bergunung seperti di dalam areal TNLL. Selain itu terdapat tanah yang diperuntukan bagi persawahan. Di desa asal mereka juga mengusahakan padi sawah pada areal tanah bergunung walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Saat ini persawahan dilokasi baru telah berada pada bagian tanah bertopografi datar baik untuk sawah irigasi sederhana maupun tadah hujan. Sesuatu yang ekslusif, bahwa persawahan mereka terietak secara memusat, walaupun demikian terdapat beberapa luasan yang berada menyebar berbaur dengan persawahan milik suku Kaili Taa. Namun ini dalam jumlah yang sangat kecil. Rata-rata warga suku ini memiliki pekarangan secara berkelompok. Walaupun demikian, seperti suku lainnya, pekarangan mereka juga banyak yang mulai terisi tanaman kakao. Hal ini dapat dimaklumi karena posisi pemukiman mereka berada pada daerah marjin. Bagian Timur atau belakang rumah bersisian dengan jurang. Sedangkan bagian Barat atau bagian depan rumah berhadapan langsung dengan hutan TNLL yang memiliki kemiringan di atas 35'.
Hutan ini
tidak lagi menyediakan tanah yang datar guna diperuntukkan bagi pekarangan.
Desa Berdikari Suku Kulawi
Karakter sarna dalarn peruntukkan tanah rnaupun jenis tanarnan seperti di Desa Sintuwu. Hal ini baik di desa asal rnaupun di desa yang baru. Tanah umumnya diperuntukkan untuk areal perkebunan baik pada di bagian datar yang berjurnlah kecil dan terbesar pada areal hutan produksi terbatas (HPT). Pada areal bertopografi datar banyak diperuntukkan bagi pekarangan dan persawahan dengan sistern irigasi sederhana. Banyak pekarangan telah tertutup tanaman kakao pada beberapa sisi. Akses yang cukup besar terhadap HPT, mengakibatkan suku ini tidak tertarik untuk rnengkonversi areal persawahan menjadi perkebunan seperti yang banyak terjadi di Desa Sintuwu. Suku B u ~ i s
Jika di Sintuwu suku ini secara total melepaskan budaya bersawah, maka di Berdikari areal persawahan masih dipertahankan seperti kebiasaan sejak
dari
daerah
asal.
Bahkan terdapat
beberapa keluarga yang
mernprioritaskan usahataninya pada bidang ini. Peruntukkan tanah untuk perkebunan dengan sistern monokultur untuk kakao maupun polikutur untuk kakao dan jagung yang hanya tergantung pada umur tanaman kakao, tidak sebanding dengan luasan dan jurnlah persil yang disediakan oleh suku Kulawi di desa yang sarna. Mereka memiliki akses terbatas terhadap areal hutan produksi terbatas (HPT) yang justru berpeluang dijadikan areal perkebunan. Hal ini dipengaruhi persepsi, bahwa pendatang pertarna lebih berhak memasuki hutan tersebut. Peruntukan tanah untuk pekarangan saat ini banyak tertutup dengan tanaman kakao.
Tabel 11.
Jenis peruntukan tanah setiap kelompok sosial di Desa Sintuwu dan Berdikari, 2001. DESA SINTUWU I Sawah lrigasi Sederhana dan Tadah I Hujan Pekarangan Kebun (Jagung, Kakao + Jagung+singkong, Kakao, padi ladang) Sawah lrigasi Sederhana dan Tadah Hujan Pekarangan Kebun Monokultur dan Polikultur (Kopi, Jagung, padi ladang, Kakao + Jagung + Kemiri+Durian + sayur)
I
SUKU Kaili Tara
1
Kulawi
Bugis
• a
I (
Toraja
Pekarangan Kebun Kakao
.--
Sawah lrigasi Sederhana
•
I
Kaili Tara
•
I Ia Kaili Ledo
•
Kaili Ija
(
Ia
Cina
(
1
I Sunda Jawa
Manado
dan
Ia
(
-
(
1
Ia
1a I
DESA BERDlKARl
-
.. Sawah lrigasi Setengah Teknis Pekarangan Kebun Monokultur dan Polikultur (Kakao, Kopi, Kakao + Jagung + Kemiri+Durian+Rambutan+Talas ~awahlrigasiSetengah Teknis Pekarangan Kebun Monokultur dan Polikultur (Kakao, Kakao + Jagung) Sawah lrigasi Setengah Teknis Pekarangan (kurang) Kebun Monokultur dan Polikultur (Kakao, Kakao + Jagung)
-
Pekarangan I Kebun Monokultur dan Polikultur 1 (Kakao, Kakao + Jagung + sayuran + kopi, kopi)
-
-
Pekarangan Kebun Monokultur dan Polikultur (Kakao, Kakao + Jagung + sayuran) Sawah Tadah Hujan Pekarangan Kebun Monokultur dan Polikultur (Kakao, Kakao + Jagung + sayuran + kopi, kopi+kakao) I Sawah Tadah Huian • I Pekarangan Pekarangan Kebun Monokultur dan Polikultur 1 (Jagung, kakao + jagung) Sawah lrigasi Sederhana dan Tadah ( Hujan Pekarangan Pekarangan Kebun Monokultur (kakao) Kebun Monokultur dan Polikultur (Sayuran, Jagung, kakao, campuran) ( I Sawah lrigasi Sederhana I a Pekarangan 1 Kebun Monokultur dan Polikultur
I
-
. .•
Pergiliran Tanaman Pergiliran tanaman (rotasi tanaman) tidak dilakukan dalam kegiatan usahatani. Sedangkan kegiatan pertanian monokultur hanya pada tanaman
dengan jenis yang tetap walaupun sebenarnya memiliki peluang untuk digilirkan dengan tanaman lain menunggu musim tanam berikutnya. Sebagai contoh, areal pertanaman sawah tetap berada dalam kondisi bera (diistirahatkan) selama 2-3 bulan. Padahal pergiliran tanaman, seperti dengan kacang-kacangan, dapat memberikan keuntungan yakni, selain meningkatkan kandungan nitrogen dalam tanah, juga dapat mengurangi resiko ledakan hama6. Konversi lahan adalah kegiatan yang banyak dilakukan oleh petani di Desa Sintuwu, yaitu dari lahan persawahan menjadi perkebunan. Sedangkan polikulur tanaman atau tumpangsari adalah yang umumnya dilakukan dalam kegiatan usahatani di kedua desa penelitian yang ada.
Penggunaan Teknologi Pertanian Semakin besar usaha pertanian, semakin baik situasi ekonomi dan semakin tinggi status sosial para produsen petani. Hal-ha1 tersebut berkorelasi erat yang pada akhirnya berdampak pada makin mudah dan makin luas penggunaan teknologi dalam budidaya dan pengolahan modem. Penggunaan teknologi pertanian baik berupa alat mekanisasi maupun pupuk diharapkan mampu meningkatkan kinerja dan hasil yang optimal dalam suatu usahatani. 1.
Alat Mesin Pertanian (Alsintan) Jenis peralatan mekanisasi pertanian yang bertujuan meringankan
beban kerja serta untuk mencapai hasil yang optimal, mulai banyak digunakan oleh para petani dikedua desa penelitian. Tabel 12 menunjukkan bahwa penggunaan alat mekanisasi pertanian pada kedua desa tersebut sangat berbeda. Hal ini dipengaruhi dengan jenis usaha pertanian dan luasan yang ada. Usahatani padi sawah di Sintuwu tidak lagi seintensif seperti yang dilakukan 20 tahun yang lalu, karenanya tingkat penggunaan mesin pertanian untuk 6
Seperti yang dikutip Mulatsih dan Pambudy (1999:4)) dalam tulisan Soemanvoto (1992).
persawahan ini tidak sebanyak seperti di Berdikari. Beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya pengunaan alat mesin pertanian (alsintan) tersebut adalah konversi besar-besaran lahan sawah ke perkebunan kakao, serta masih diintensifkannya temak sapi sebagai temak kerja. Sekitar 28 ekor sapi masih diharapkan membantu membajak sawah yang luas keseluruhannya sekitar 75 ha. Sedangkan penggunaan alsintan untuk prosesing hasil atau pasca panen hanya terdapat 2 lokasi penggilingan padi. Hal ini berkorelasi erat dengan jumlah areal persawahan yang kurang dibandingkan dengan jumlah perkebunan kakao yang mencapai 450 ha. Lain halnya dengan pemilikan alsintan di Berdikari, dari alat bantu kerja sampai pada prosesing hasil terlihat begitu bervariasi dari jenis dan jumlah. Penggunaan traktor dan bajaklgaru sudah dimulai sejak tahun 1982 serta gilingan padi dan perontok gabah telah ada sejak tahun 1970-an, menunjukkan bahwa ketergantungan akan alsintan sangat tinggi. Alsintan tersebut intensif diusahakan untuk persawahan yang bejumlah 111 ha, walaupun sebenamya temak sapi yang dapat dijadikan ternak kerja berjumlah 84 ekor. Distribusi pemilikan hand traktor yang berjumlah 29 unit adalah : Yayasan gereja Bala Keselamatan 3 unit, suku Kulawi 11 unit, suku Bugis 9 unit, Toraja 4 unit, dan suku Jawa 2 unit. Sistem penyewaan hand traktor berdasarkan luasan per ha. Harga sewa yang berlaku umum untuk 1 unit traktor rata-rata Rp. 350.000,-/ha (termasuk solar dan tenaga kerja). Sedangkan hand sprayer lebih banyak digunakan pada usahatani kakao selain untuk usahatani padi sawah dan jagung. Mesin pasca panen atau prosesing hasil terlihat dalam jumlah yang cukup dan setidaknya tingkat adopsi masyarakat akan alsintan ini sudah cukup baik. Selain itu terdapat alat pemecah kakao yang dibuat penduduk desa dari
bahan-bahan yang sederhana. Alat ini ada untuk meringankan pekerjaan membelah buah kakao yang saat-saat ini mulai terjadi peningkatan hasil. Namun dari hasil wawancara dengan beberapa responden tentang alat ini, banyak dari mereka ragu dengan penggunaan alat tersebut karena saat menggunakan haws ekstra hati-hati. Jika tidak demikian, maka biji kakao dapat pecah atau rusak yang tentu saja mengurangi kualitas biji jika dipasarkan. Oleh karenanya masih banyak yang menggunakan cara lebih aman yang biasa dilakukan, yaitu membelah buah kakao dengan menggunakan pisau atau parang. Untuk lebih jelasnya bentuk alat pemecah kakao ini serta cara kerja pasca panen yang masih dipertahankan dapat dilihat pada Lampiran 23. Tabel 12.
Jenis dan jumlah alat mekanisasi pertanian di Desa Sintuwu, 2001. Jenis Desa Jumlah Alat Bantu Sintuwu 5 1) Traktor Tangan (Hand Traktor) 20 2) BajakIGaru 3) Chain saw 5 (?) Mesin Prosesing Hasil : 2 1) Penggilingan Padi IJagung Berdikari ") Alat Bantu 29 1) Hand Traktor 2) Hand Sprayer 72 34 3) Bajak.Garu 4) Chain saw 11 Mesin Prosesing Hasil : 5 1) Gilingan Padi 6 2) Perontok Gabah 2 3) Pengupas Kulit Kopi 2 4) Mesin Parut Keiapa Sumber :Hasil Survey Tim A3 STORMA 2001 *) dan hasil wawancara **) 2.
Penggunaan Sarana Produksi Revolusi hijau ternyata cukup berpengaruh pada teknik budidaya
dikedua desa penelitian. Penggunaan pupuk berimbang, obat-obatan serta bibit unggul telah banyak dikenal oleh masyarakat. Namun, kadangkala penggunaan saprodi ini tergantung dari jenis tanah dan zat hara yang terkandung didalamnya. Umumnya pada areal yang baru dibuka antara tahun 1960-1980an, saprodi belum digunakan. Hal ini terbukti dari perkenalan masyarakat dikedua
desa penelitian akan saprodi yang baru dimulai tahun 1990-an. Penggunaannya lebih banyak pada areal persawahan daripada kebun. Sedangkan areal kebun yang baru dibuka akhir tahun 1990-an, rata-rata sarana produksi belum digunakan petani. Hal ini didukung dengan hasil panen yang cukup memuaskan walaupun tanpa penggunaan pupuk serta obat-obatan kimia. Kakao dan jagung adalah sebagai contoh. Rata-rata penggunaan pupuk di kedua lokasi penelitian untuk persawahan dan lahan pertanian lainnya memiliki komposisi yang sama, yaitu Urea 100 kglha, TSP 50 kglha dan KC1 50 kglha. Harga pupuk Urea saat penelitian Rp. 65.000,-I50 kg. Untuk obat-obatan, pada tanaman padi digunakan jenis pestisida jenis
DMA, Riloph, dll. Pada tanaman kakao digunakan polaris dan gramoxone dengan perbandingan 2:l setiap hektar.Bibit unggul telah banyak dicoba baik untuk padi sawah maupun jagung. Bibit-bibit ini didapatkan lewat bantuan pemerintah maupun dari kios saprodi yang ada di Palu. Untuk tanaman kopi dikedua lokasi penelitian rata-rata menggunakan bibit yang telah lama ada yang dibawa dari Kulawi. Jenis yang terbanyak adalah robusta. Sedangkan bibit kakao, pertama ditanam tahun 1985 di Sintuwu banyak berasal dari Sulawesi Selatan. Suku Bugis, dikedua lokasi penelitian terlihat lebih banyak mengadopsi serta mengaplikasikan teknik penggunaan sarana produksi ini, daripada sukusuku lainnya yang ada. Hal ini dapat dimengerti karena teknik penggunaan saprodi telah biasa digunakan karena areal pertanian di tempat asal terbanyak adalah
sawah
yang
membutuhkan perawatan
intensif
ketergantungan yang tinggi terhadap pupuk dan obat-obatan.
dan
memiliki
Aturan Hubungan Kerja Pertanian Bapetak (ceblokan)
Bapetak, secara harafiah, terdiri dari dua kata yaitu ba (bahasa Manado, yang berarti awalan ber-), dan petak (bahasa Indonesia yang dalam arti kamus umum bahasa Indonesia adalah : bagian mang yang bersekat). Arti secara spesifik di kedua desa penelitian adalah bagian kecil (petak) dari seluruh luasan sawah yang dapat dikuasai oleh penggarap namun dibatasi oleh komponen kej a tertentu. Secara umum pengertian ini sama seperti dengan sistem ceblokan yang banyak dilakukan petani di daerah Jawa. Suku-suku yang terlibat dalam kegiatan ini di Sintuwu terbatas pada suku Kaili Taa dan Kulawi (terbanyak), serta suku Kaili lainnya yang berada di sekitar sungai Katopi dan sungai tobe. Di Berdikari terdiri dari suku Kulawi (terbesar di dusun 1,2), suku Toraja dan Bugis (terbanyak di dusun 3), dan suku Jawa. Biasanya telah menjadi aturan di kedua desa penelitian dan telah melembaga, komponen kej a dalam sistem bapetak hanyalah menanam dan memanen. Sedangkan seluruh biaya produksi serta pekejaan lainnya seperti pembuatan pematang, pembajakan, penyiangan, penyernprotan menjadi tanggung jawab pemilik lahan. Pada saat kegiatan bapetak berlangsung, pemetak diberi makan oleh pemilik lahan. Pemilik sawah (A) memetakkan sawahnya kepada tetangga ataupun yang masih tergolong saudara, dan si pemilik ini (A) meminta kepada pemilik lain (B) agar sawahnya dipetakkan kepadanya. Begitupun pemilik sawah B ke C, dan seterusnya (Gambar 6). "Pemilik" petak rata-rata adalah rumah tangga petani yang terdiri dari 1-2 keluarga yang menguasai 2-3 petak pada satu hamparan. Rata-rata 1 ha dikuasai 3 - 5 RT.
Gambar 6. Sistematika kegiatan bapetak di Desa Sintuwu dan Berdikati.
Pembagian hasil, biasanya pada masing-masing desa memiliki pengaturan tersendiri. Seperti aturan bapetak di Sintuwu, diberiakukan secara umum yaitu biasanya satu petak mendapatkan bagian 5 kaleng gabah keringlpetak dengan kaleng berukuran 20 kg, atau 100 kg gabah kering. Sedangkan aturan diberlakukan di Berdikari adalah pembagian sistem menggarap secara umum, yaitu 3 : 1, 3 karung untuk pemilik dan 1 karung pemetak dalam bentuk gabah kering.
Bapalus (gotong royong)
Bapalus merupakan istilah yang digunakan secara umum untuk gotong royong dalam kegiatan pertanian dengan sistem bergilir bagi setiap anggotanya. Hal yang dibedakan dengan istilah kerja baMi hanya dikhususkan pada kegiatan bersama untuk perbaikan fasilitas umum diluar kegiatan pertanian. Dalam melakukan kerja bakti masyarakat tidak diberi upah secara finansial.
Hubungan kerja dalam kegiatan bapalus terlihat sangat spesifik. Hal ini dikarenakan tidak semua suku melibatkan diri dalam kegiatan ini. Bahkan terdapat keeksklusifan, bahwa kegiatan ini hanya dijalankan antar suku itu sendiri yang tergolong penganut agama Kristen. Kegiatan tersebut telah berjalan lama walaupun terdapat kasus kegiatan ini pemah dihentikan. Suku-suku di Sintuwu yang aktif dalam kegiatan ini adalah suku Kulawi serta sebagian suku Taa yang berada di sekitar sungai Katopi, dimana semua anggotanya beragama Kristen. Aturan yang diberlakukan dalam kegiatan bapalus ini berbeda untuk setiap suku. Suku Kulawi, menerapkan aturan bahwa hasil dari 50% untuk kas kelompok dan 50% untuk kas gereja Bala Keselamatan. Kelompok yang bekerja akan dibayar Rp. IO.OOO/hari/anggota tanpa makan, disesuaikan dengan upah harian yang berlaku umum di desa ini. Seluruh anggota jemaat yang telah mampu bekerja menjadi anggota bapalus. Persawahan merupakan areal yang intensif dikerjakan untuk kegiatan ini, selain itu adalah kebun jagung. Komponen pekerjaan disesuaikan dengan kebutuhan pemilik lahan yang terkena giliran. Seperti suku Kulawi, suku Kaili Taa juga memberikan semua hasilnya untuk kas gereja Bala Keselamatan. Namun terdapat aturan pada jam kerja, dimana setiap lokasi hanya diberi peluang bekerja untuk 3 jam dengan pembayaran Rp. 1.000,-/jam + makanan ringan yang disediakan oleh anggota kelompok yang terkena giliran. Komponen pekerjaan hanya penyiangan. Jika pada suatu saat terdapat anggota yang tidak bekerja, maka anggota tersebut harus membayar seperti yang diterima anggota lain yang bekerja. Terdapat sekitar 50 anggota dalam kegiatan ini yang semuanya adalah suku Kaili Taa. Suku Kulawi di Berdikari adalah satu-satunya suku yang aktif dalam kegiatan bapalus yang dibentuknya sendiri. Kegiatan sangat tampak di wilayah
dusun 2 dan dusun 1. Terdapat 3 jenis kelompok bapalus yang semuanya adalah milik kaum wanita. Rata-rata anggota bapalus ini beragama Kristen. Hubungan antar anggota lebih kepada hubungan kekeluargaan diantara sesama suku mereka. Mekanisme pengupahan mengikuti sistem upah harian yang berlaku secara umum seperti yang diberlakukan juga oleh suku Kulawi di Sintuwu, yaitu Rp. 10.000lhari + makanan ringan
. Setiap anggota wajib menyumbangkan Rp.
1.000,- untuk kas kelompok. Anggota yang tidak memiliki lahan pada saat gilirannya dapat beri pada orang lain. Penyiangan adalah komponen kerja terbanyak dikerjakan pada areal sawah dan kebun kakao milik anggota, dengan curahan waktu sebanyak 6 (enam) jam.
Pembagian Kerja
Ditinjau dari analisis jender, umumnya pekejaan yang lebih dianggap memiliki resiko tinggi di kedua desa penelitian, seperti memasuki hutan, melakukan penebangan kayu baik menggunakan kapak maupun chain saw, mengoperasikan hand traktor merupakan bidang pekerjaan yang terdistribusi pada laki-laki. Kegiatan penebangan kayu biasanya dilakukan pada saat membuka lahan yang baru ataupun kebutuhan akan kayu bakar dan bahan bangunan rumah ataupun untuk dijual. Terlepas dari kegiatan tersebut, seluruh komponen pekejaan baik di sawah maupun perkebunan, dilakukan bersamasama oleh laki-laki dan perempuan yang telah mampu untuk bekeja. Tenaga kerja keluarga adalah tenaga yang banyak direkrut dalam kegiatan usahatani. Namun, terdapat ha1 yang spesifik pada perempuan dari suku Bugis di Desa Sintuwu. Saat penelitian berlangsung terdapat pembatasan pekejaan dalam kegiatan pertanian. Umumnya mereka hanya diberi porsi kerja menyiangi rumput serta memanen, sedangkan porsi kej a lainnya menjadi tanggung jawab
laki-laki yang merupakan suami. orang tua, ataupun anak-anak yang telah siap bekerja. Padahal sebelum konversi sawah dilakukan, mereka melibatkan diri dalam kegiatan usahatani sawah tersebut. Hal yang membedakan lagi adalah dari sistem keja. Perempuan dari suku Bugis di Sintuwu banyak yang tidak ingin menjadi buruh dilahan milik suku yang lainnya, walaupun dalam kegiatan panen. Mereka bahkan dengan bangga, mengupah tenaga kerja harian perempuan lainnya dari suku Kaili Taa dan yang berada di sekitar rumah mereka. Kasus ini khususnya banyak terjadi pada pemilik lahan luas di bagian sungai Tobe. Pada kasus ini sangat jelas terlihat jurang pemisah antara majikan dan buruh. Jika mereka haws bekerja dilahan milik orang lain, itu hanya terjadi di lahan yang pemiliknya masih memiliki hubungan saudara dekat, itupun terbatas pada kegiatan pembersihan rumput serta panen di lahan kebun. Sedangkan sistem pengupahan tergantung kesepakatan, bentuk uang ataupun resiprositas tenaga (pertukaran). Kasus ini banyak teQadipada suku Bugis yang berada di bagian sungai Katopi. Tidak seperti perempuan dari suku Bugis tersebut di atas, perempuanperempuan suku Kulawi dan Kaili Taa di Sintuwu serta suku Kulawi, Bugis dan lainnya di Berdikari terkesan lebih ulet. Mereka terjun ke usahatani apa saja, baik di sawah maupun kebun dengan komponen kerja yang tidak terbatas. Sebagai contoh, perempuan dari suku Kulawi turut terjun dalam pembuatan pematang sawah. Bahkan mereka banyak menjadi buruh tani yang diupah dalam bentuk uang ataupun hasil panen. Sistem pengupahan dalam bentuk uang diberlakukan secara umum. Baik laki-laki maupun perempuan, pada jenis pekerjaan apa saja, dengan syarat mendapatkan upah Rp. 10.000,- per hari + minuman dan makanan ringan seperti kue-kue kecil. Mencari kerabat dekat untuk diajak bekerja dalam sistem upah harian maupun bagi hasil dengan sistem menggarap, menjadi prioritas yang banyak
dilakukan oleh masing-masing suku. Hal in terjadi baik pada tanah milik penduduk berdomisili maupun tanah guntai. Bahkan, kecenderungan mencari sesama suku terlebih dahulu sangat menonjol. Hubungan kekerabatan terlihat lebih erat akibat mekanisme hubungan produksi ini. Di Berdikari, tenaga kerja yang diupah harian juga seperti yang terjadi di Sintuwu. Mereka memiliki kecenderungan menyewa tenaga kerabatnya sendiri. Bahkan kecenderungan ini membuat mereka membuat kelompok kerja, sebagai contoh pada kegiatan bapalus dan bapetak (kasus suku Kulawi). Contoh lain adalah pemilik tanah guntai yang adalah suku Toraja dan Bugis yang berdomisili dan memiliki lahan luas. Mereka akan memberikan kepercayaan penggarapan lahannya kepada anggota suku mereka sendiri. Terutama suku Toraja yang harus mendatangkantenaga kerja ekslusif dari daerah asalnya. Dalam kasus pembagian kerja pada kegiatan bapetak, pemetak rata-rata adalah keluarga petani yang terdiri dari satu atau lebih rumah tangga yang menguasai 2-3 petak pada satu hamparan. Kriteria pertama mencari dan dicari (untuk keluarga petani) dalam kegiatan ini adalah saudara dekat, jika masih kurang biasanya menawarkan atau ditawarkan kepada pekerja dari suku lain. Karakteristik hubungan kerja pertanian ini berbeda pada setiap kelompok sosial (Tabel 13). Di Sintuwu kegiatan bapetak hanya dilakukan oleh suku Kaili Taa, Kaili Ija, Kaili Unde, dan Kulawi. Lahan yang dipetakkan adalah milik anggota dari suku itu sendiri seperti dari Kaili Taa dan Kulawi, dan maupun lahan milik suku Cina yang terbesar yang tidak melakukan kegiatan bapetak pada lahan milik suku lainnya.
Tabel 13. Suku
Karakteristik kelompok sosial dalam bentuk hubungan kej a bapetak dan bapalus di Desa Sintuwu dan Berdikari, 2001. Bapetak Bapalus Desa Sintuwu
Desa Berdikari
Desa Sintuwu
Kaili Taa
v
-
v
-
Kulawi
v
v
v
v
v
-
Bugis
Desa Berdikari
Kaili Tara
-
-
Toraja
v
-
-
Cina
-
-
-
-
Kaili Ija
v
Kaili Ledo
-
Sunda
-
-
-
Jawa
-
v
Manado
-
Kaili Unde)
-
-
-
-
Sumber :Data primer,
Hubungan dengan Pedagang dan Pelepas Uang Mulai terjadinya peralihan dari sistem perekonomian subsisten ke sistem perekonomian komersial di kedua lokasi penelitian ini4, membuka peluang bagi para pedagang yang ingin bergerak dalam usaha pertanian. Kesempatan bekej a dalam bidang ini mulai berrnunculan pada awal tahun 1980-an disaat masuknya suku-suku dari luar propinsi yang membawa cara pandang berbeda akan sumber agraria dan komoditas pertanian dan mampu mempengaruhi penduduk lainnya yang pada awalnya terlihat cukup subsistensi. Pedagang yang berdomisili di kedua lokasi desa ini berada dalam jumlah sedikit, dan mereka adalah para pedagang kecil yang hanya menampung hasilhasil pertanian setempat. Hal ini disebabkan karena mereka hanya menampung komoditas yang dihasilkan petani dalam jumlah kecil. Jika hasil panen berada dalam jumlah besar, maka petani biasanya langsung menjual hasil tersebut ke pedagang di kota Palu. Tansportasi yang cukup lancar memberikan kemudahan
untuk penjualan ini. Namun terdapat keunikan, yaitu rata-rata para pedagang ini memiliki penggilingan padi. Komoditi yang siap tampung tergantung dari jenis tanaman yang diusahakan para petani. Biasanya adalah biji kakao, jagung, dan sedikit kopi. Untuk beras, selain dijual ke pasar-pasar di kota Palu, juga dijual kepada masyarakat desa yang membutuhkan. Beras yang diperdagangkan tersebut merupakan upah dari hasil penggilingan yang dilakukan dilokasi mereka. Hubungan dengan pedagang di Sintuwu terdiri dari tiga jalinan, yaitu (1)
-
penjual (pt)- pembeli (pd), (2) buruh (pt) majikan (pd), dan (3) klient (pt)- patron (pd) (ket :pt = petani, pd = pedagang). Untuk jalinan (3), kasus ini secara spesifik
tejadi pada warga suku Kaili Taa dengan suku Cina. Sedangkan pedagang didominasi oleh suku Cina. Di Desa Berdikari hubungan masyarakat dengan pedagang tidak bertindak sebagai patron
- klient atau buruh - majikan. Hubungan yang ada
hanyalah sebatas penjual - pembeli. Mereka adalah pedagang pengumpul tingkat desa yang terbanyak dari suku Bugis yang menampung hasil-hasil pertanian dan akan dijual kembali ke Palu. Tidak ada hubungan spesifik antara pedagang dan petani dalam konteks kekhususan suku. Semua suku mengunakan pedagang ini. Hubungan yang tampak hanyalah hubungan bisnis belaka. Biasanya petani memiliki hubungan dengan pedagang, hanya kedekatan lokasi usaha penggilingan dengan lokasi kebun ataupun rumah petani. Pada kasus di desa ini, pelepas uang tingkat desa tidak berperan, oleh karenanya usaha-usaha ini tidak bertumbuh. Hal ini dilatarbelakangi dengan mulai kuatnya masyarakat menggunakan bank pemerintah sebagai sarana memperoleh kredit formal dan untuk tempat menabung.
Aturan Tanah Guntai Beberapa desa di Kecamatan Palolo memiliki kepincangan dalam struktur penguasaan tanah. Pihak pemerintah, dalam ha1 ini lewat berbagai jalur instansi telah rnematok ribuan hektar tanah di wilayah-wilayah desa tersebut yang untuk beberapa kepentingan umum dan bagi pegawainya. Tanah-tanah tersebut dikapling mulai tahun 1960-an sampai 1970-an dan dibiarkan terlantar. Tahun 1990-an tanah-tanah tersebut mulai diusahakan baik oleh pemiliknya maupun masyarakat yang berada di sekitar areal tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor : 1) Terbukanya jalur transportasi berupa jalan raya yang menjadi sangat penting bagi kegiatan perekonomian, 2) Perebutan tanah mulai terjadi akibat tekanan penduduk yang semakin tinggi, 3) Melonjaknya harga salah satu komoditi ekspor perkebunan (kakao) yang ternyata sangat cocok dibudidayakan di wilayah tersebut. Tanah-tanah guntai milik pemerintah terdapat juga di kedua desa penelitian. Tanah Gubernur dan tanah Pengadilan di Desa Sintuwu, serta tanah Korem dan Tanah KBNIUNTAD yang saling tumpang tindih, tanah ex HGU yang saat penelitian masih dalam proses redistribusi kepada petani penggarap, kebunkebun percobaan beberapa instansi pernerintah dan tanah-tanah lainnya rnilik pemerintah yang berada di Desa Berdikari. Umumnya tanah-tanah tersebut diolah masyarakat dengan hak pakai dan penyakapan. lkatan kekerabatan sangat berpengaruh terhadap pemilihan tenaga kerja dalam sistem ini. Kompensasi yang berlainan diberikan kepada para pekerja yang mengolah. Berikut beberapa penjelasan tentang pengaturan dan karakteristik tanah-tanah tersebut :
Tanah Pengadilan Tanah milik pegawai pengadilan awalnya seluas + 100 ha di Sintuwu yang diredistribusi tahun 1989 kepada para penduduk (bekas penyerobot)
terbanyak dari suku Kaili Taa dan Kaili Daa dari desa Rahmat, dengan memberikan sebagian dari keseluruhan tanah yang ada. Tanah-tanah tersebut saat ini banyak telah dijual kepada suku Bugis. Sebelum diredistribusi, tanah tersebut digunakan penduduk dengan hak pakai tanpa izin pemilik yang sah. Tanah Gubernur Tanah seluas 5 ha ini berada di wilayah dusun 3 Sintuwu dan dimiliki sejak awal tahun 1970 oleh seorang mantan Gubemur Provinsi Sulawesi Tengah periode tahun 1980-an. Tanah ini diberikan hak pakai kepada para penduduk yang berdomisili sekitar lokasi (Lihat kembali penjelasan pada bagian hak pakai). Saat ini, mantan gubemur tersebut adalah pembayar PBB terbesar untuk tanahtanahnya di Kecamatan Palolo dengan total pembayaran Rp. 2.000.000,-Itahun. Tanah Korem Berada di dusun 3, dengan luas areal sekitar 360 ha, mencakup persawahan pada tanah datar dan kebun pada pegunungan hutan produksi terbatas. Kelas penggarap akhimya muncul dalam struktur sosial masyarakat di wilayah ini. Bagian terkecil dari kebun ini, hak kepemilikan telah terbagi dengan bekas penggarap. Sedangkan areal persawahan masih diberlakukan sistem bagi hasil (crop sharing) kepada para penggarap yang sebagian besar masih terjalin dalam jaringan sosial kekerabatan. Tanah KBN/UNTAD Tanah ini berada di dusun 3 Berdikari. Status kepemilikan tanah masih tumpang tindih antara pihak Kantor Bendaharawan Negara (KBN) yang mengklaim 120 Ha (lewat SK Bupati Donggala No. 453211974-PLL No. 163511974 tertanggal 8 Agustus 1974). dengan pihak Universitas Tadulako (UNTAD) yang mengklaim 77 ha tanah yang sama. Dari pihak KBN, tanah diperuntukkan bagi para pegawainya yang berjumlah 48 orang, sedangkan pihak UNTAD mengalokasikan tanah tersebut untuk kebun percobaan.
Saat ini tanah-tanah tersebut banyak yang telah diberi hak pakai dan lainnya telah diserobot oleh penduduk sekitar. Hak pakai biasanya diprioritaskan bagi sesama suku dan yang meminta izin mengolah kepada kedua belah pihak.
Tanah ex HGU Tanah di antara wilayah dusun 2 Berdikari dan desa Bahagia ini, yang memiliki luas 100 ha (awal kontrak HGU seluas 509,6 ha, namun 400 ha telah diklaim penduduk desa Tanah Harapan ) berada dalam proses redistribusi saat ini. Tanah-tanah tersebut direncanakan dibagikan kepada para bekas penggarap yang berasal dari tiga desa bertetangga, yaitu Berdikari, Bahagia, dan Tanah Harapan.
Redistribusi ini dilakukan dengan
munculnya pengumuman
penghapusan masa HGU dari PT. Mega Kencana Sari (28 Desember 1974 - 31 Desember 1999) lewat surat Kepala Kantor Pertanahan Nasional Donggala No. 630.1-70 tanggal 20 Pebruari 2001. Masing-masing penggarap diberikan 0,5 halkk, sedangkan lainnya seluas 2 ha telah diberikan untuk perkantoran dan kebun percobaan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Donggala.
Beberapa tanah milik lnstansi pemerintah lainnya Tanah Dinas Perikanan seluas 4,5 ha di dusun 3 dan Kebun Percobaan Hortikultura Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tengah seluas
6,86ha di dusun 2, keduanya di Berdikari. Kalim masyarkat terhadap kedua tanah ini belum pernah terjadi.
Rangkuman Hubungan sosial merupakan sarana akses untuk memperoleh sumberdaya sosial dan ekonomi. Hubungan sosial yang tampak jelas pada kajian ini adalah dengan dibentuknya suatu pengaturan bersama terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Perangkat aturan ini mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Aturan-aturan tersebut menentukan tata cara kerja sama dan koordinasi anggota
masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya serta membantu mereka dalam menentukan hak serta kewajiban masing-masing. Pengaturan ini menjamin kehidupan sosial ekonomi petani dan keluarganya agar tetap survive dan menancapkan suatu solidaritas komunitas. Karenanya, pada sebagian komunitas yang terlibat di dalamnya, akan mengandalkan sikap kepatuhan terhadap pengaturan sosial bersama ini. Karena begitu efektifnya maka mekanisme pengaturan itu telah melembaga dalam masyarakat. Kondisir geografis di desa asal turut menentukan pembentukan kelembagaan agraria. Hal ini dibuktikan oleh suku Kaili Taa dan Kulawi, yang karena memiliki inti budaya (core culture) peladang berpindah maka banyak kelembagaan agraria yang di desa baru tergolong baru dikenal mereka. Hal sebaliknya dengan suku Bugis yang memiliki budaya bersawah dan berdagang. Kelembagaan-kelembagaan yang berjalan di desa baru ini pada prinsipnya lebih banyak berbeda dari istilah dan pengaturan namun tidak pada pelaksanaannya. Pergeseran yang cukup tajam pada suku-suku ini adalah dalam budaya bertanam berdasarkan jenis tanaman, yaitu dari tanaman subsistensi mulai banyak tergantikan dengan tanaman komersial untuk memperoleh surplus ekonomi. Pergantian tanaman ini dipengaruhi oleh suku Bugis yang merupakan suku yang lebih berorientasi pada modernisasi. Oleh karenanya, pola pengaturan yang dijalankan dalam pemanfaatan sumber-sumber agraria menunjukkan adanya ketidakteraturan. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai ketentuan yang berbeda dalam suatu aktifitas kelembagaan agraria yang dijalankan. Perbedaan ini sebagai contoh terdapat dalam aturan penguasaan tanah seperti sewa menyewa (bapajak), hak pakai, dan sakap-menyakap.
Hal lainnya dalam kepemilikan tanah. Pada areal yang baru dibuka pertama kali, pada banyak kasus, telah menjadi tradisi bahwa rumah tangga petani yang rnernbersihkan lahan - apakah lahan di daerah datar ataupun hutan yang diketahui belum dimiliki oleh seseorang- berhak untuk dimiliki, digunakan, bahkan diwariskan kepada generasi berikutnya. Jual
- beli tanah, menjadi fenomena yang banyak terjadi dalam usaha
memperoleh lahan. Hal demikian rnembuat keadaan sernakin terdesak bagi penduduk sekitar hutan, sehingga daerah jangkauan pembukaan lahan sernakin jauh masuk ke arah hutan yang telah diklaim pemerintah sebagai hutan Taman Nasional Lore Lindu di bagian Desa Sintuwu dan HPT di Desa Berdikari. Faktor penjualan tanah akibat kegiatan seremonial dan akurnulasi tanah untuk pewarisan menjadi salah satu penyebab terjadinya pembukaan hutan. Pemilikan individu terhadap tanah sangat tampak di kedua daerah penelitian, baik milik penduduk berdomisili maupun tanah guntai yang cukup mendominasi. Saat penelitian berlangsung, hak individu penduduk 'asli' mulai banyak bergeser ke para imigran yang mulai berada dalam jumlah yang besar. Jaringan sosial bersifat horisontal terlihat pada kasus pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Jaringan ini terdiri dari jaringan kekerabatan. Hubungan kekerabatan tersebut berpengaruh nyata pada pemilihan tenaga kerja pertanian dan keterlibatan dalam kegiatan kelernbagaan agraria. Namun faktor integrasi masih terlihat pada masyarakat yang telah majemuk dalam perekonomiannya. Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, faktor ini tampak pada tindakan sosial bersama yang ditunjukkan disaat terdapat keluarga dalam desa yang ditimpa duka cita. Hubungan sosial ini akhirnya rnenjadi suatu identitas sosial, dimana di sini tidak diternukan adanya ketegangan sosial yang timbul karena perbedaan status ekonomi dan suku.
Sebenarnya kelembagaan agraria dapat menjadi faktor integrasi sebagai dampak dari keheterogenan suku. Karena dalam pengaturannya, tidak melihat anggota berdasarkan suku. Namun tidak semua suku ingin bergabung ke kelembagaan yang telah dibentuk ini. Perbedaan status ekonomi telah menjadi jurang pemisah. Kemandirian usaha (dari aspek modal, teknologi, dan ketersediaan tenaga kej a keluarga) mempengaruhi keterlibatan dalam keanggotaan kelembagaan agraria yang ada. Hubungan-hubungan kekerabatan tidak hanya mempermudah ke akses kelembagaan agraria, tapi juga terhadap sumber daya politik. Hal ini dimungkinkan karena aparatur pemerintahan desa masih berkerabat satu sama lain. Karenanya kebijakan pemerintahan desa (kepala desa) sangat berpengaruh terhadap kebijakan pemanfaatan hutan. Keluarga dekat dan jauh diproritaskan dalam memanfaatkan hutan tidak saja untuk lahan pertanian tapi juga areal pemukiman. Walaupun bagi kerabat jauh izin pemanfaatan masih dibebani dengan syarat pembayaran sebagai kompensasi biaya adminstrasi pengolahan.