51
BAB V PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DESA PANGRADIN
5.1 Bentuk-bentuk Penguasaan Tanah di Desa Pangradin Tanah dikategorikan menjadi sumberdaya yang dapat diperbaharui. Namun karena jumlahnya yang tetap dan tidak dapat bertambah, maka tanah diklasifikan menjadi bagian dari sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Risnarto (1999) mengemukakan tanah dalam arti land mempunyai aspek ruang dan aspek hukum. Aspek ruang berkaitan tempat pemukiman dan kegiatan manusia di atasnya maupun di bawahnya, sedangkan aspek hukum berkaitan dengan hak memiliki dan menggunakan. Tanah yang menjadi objek kajian peneliti merupakan tanah eks HGU PT. PP Jasinga di Desa Pangradin yang didistribusikan kepada masyarakat melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Berdasarkan pengertian tanah menurut Risnarto (1999) tersebut maka dapat dikemukakan bahwa proses pendistribusian tanah di Desa Pangradin merupakan bagian dari pemberian hak kepemilikan (property right) dari pemerintah kepada masyarakat. Hak kepemilikan mengandung arti bahwa adanya hubungan antara penguasaan pemilikan dan penggunaan pemanfaatan. Kekuatan hubungan itu, diindikasi dari tingkat hubungan secara juridis dalam bentuk jenis hak atas tanah yang dipunyai maupun hubungan secara fisik dalam bentuk penggunaan dan pengambilan manfaat. Berikut ini merupakan penjelasan berbagai macam hak-hak yang terkait dengan penguasaaan pemilikan dan penggunaan manfaat. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 pasal 53 UUPA, antara lain:
52
1. Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, bahwa “semua hak tanah mempunyai fungsi sosial”. Sifat-sifat hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya adalah hak yang “terkuat dan terpenuh”, maksudnya untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat dan penuh. 2. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan. 3. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Tidak mengenai tanah pertanian, oleh karena itu dapat diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik seseorang. 4. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewamenyewa atau perjanjian pengeolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan No. 5 Tahun 1960. Hak pakai diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Hak pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. 5. Hak Sewa 6. Hak Membuka Tanah 7. Hak Memungut Hasil Hutan
53
Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang dilaksanakan di Kecamatan Jasinga merupakan peralihan dari Hak Guna Usaha (HGU) menjadi Hak Milik melalui proses distribusi lahan. Distribusi lahan ini merupakan implementasi dari reforma agraria (land reform) yang telah diagendakan oleh pemerintah. Distribusi lahan eks HGU PT. PP Jasinga menyebabkan adanya perubahan dalam pengelolaan dan pemanfatan lahan. PT. PP Jasinga merupakan sebuah perusahaan yang mengusahakan tanah untuk perkebunan. Perkebunan yang diusahakan adalah perkebunan karet. Namun dengan adanya Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) tanah HGU tersebut dialihkan menjadi tanah milik untuk masyarakat. Pemanfaatan tanah milik masyarakat ini sangat berbeda dengan pemanfaatan sebelumnya. Masyarakat Desa Pangradin sebagian besar mengusahakan dan memanfaatkan tanah tersebut dengan menanam pohon sengon, afrika, dan tanaman buah-buahan dengan tumpangsari pohon singkong. Peralihan Hak Guna Usaha menjadi hak milik pribadi memberikan fenomena yang berbeda bagi struktur agraria di Desa Pangradin. Selain itu, masyarakat Desa Pangradin tidak hanya memanfaatkan dan mengelola tanah untuk perkebunan tetapi juga tanah sawah. Tanah sawah biasanya ditanami padi dengan masa tanam setahun dua kali. Luas tanah sawah lebih sedikit bila dibandingkan dengan luas tanah perkebunan. Cara kepemilikan bagi tanah sawah ini adalah berdasarkan waris. Sehingga untuk satu petak tanah sawah dimiliki oleh beberapa orang. Untuk pengusahaannya tanah tersebut dimanfaatkan dan dikelola secara bergiliran tiap tahun. Sehingga tanah sawah ini menjadi simbol ikatan kekeluargaan bagi masyarakat Desa Pangradin. 5.2 Struktur Agraria dan Perubahan-Perubahannya Menurut American Society of Agricultural Engineers, 1967 dalam Notohadiprawiro, 2002 pengelolaan tanah ialah tindakan atau seni menggunakan tanah untuk produksi tanaman sinambung yang menguntungkan. Mengelola tanah merupakan sarana bagi petani untuk menunjang keberlanjutan hidupnya. Begitu pula untuk para petani di Desa Pangradin. Tanah memiliki arti tidak hanya sekedar sebagai sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi namun juga
54
memiliki nilai sosial. Nilai ekonomi diukur pada hasil dari pengelolaan dan pemanfaatan tanah sedangkan untuk nilai sosial terlihat pada jalinan hubungan persaudaraan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan tanah yang dilakukan secara bergiliran. Tanah di Desa Pangradin terdiri atas dua bagian, yaitu tanah darat dan tanah sawah. Untuk tanah sawah digunakan untuk menanam padi. Padi ditanam dua kali dalam satu tahun. Sedangkan untuk tanah darat digunakan untuk menanam pohon-pohon tahunan, seperti pohon sengon, pohon afrika, pohon manggis, pohon durian dan lain-lain. Tanah yang didistribusikan pada masyarakat merupakan tanah perkebunan karet PT. PP Jasinga. Sehingga terdapat perbedaan pengelolaan tanah saat tanah tersebut masih dikuasai oleh PT. PP Jasinga dan ketika telah dimiliki oleh masyarakat. Namun perbedaan dalam pemanfaatan tanah tersebut tidak begitu mencolok karena tetap dimanfaatkan untuk lahan perkebunan pohon tahunan. Menurut Wiradi (2000) dalam Sitorus (2004), mengatakan pola-pola hubungan atau interaksi sosial agraria yang terdapat dalam masyarakat sangat ditentukan oleh formasi sosial yang ada. Beberapa tipe cara produksi yang mungkin eksis dalam suatu masyarakat, dengan salah satu diantaranya tampil dominan adalah: 1. Tipe Naturalisme: sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal (adat) secara kolektif 2. Tipe Feodalisme: sumber agraria dikuasai oleh minoritas “tuan tanah” yang biasanya juga merupakan “patron politik” 3. Tipe Kapitalis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan); 4. Tipe Sosialis: sumber agraria dikuasai oleh negara atau kelompok pekerja; dan 5. Tipe Populis/Neo-Populis: sumber agraria dikuasai oleh keluarga atau rumah tangga pengguna.
55
Menurut Bapak Nana (40 tahun) : “Perjuangan untuk pelepasan tanah Eks. HGU PT. PP Jasinga dimulai pada tahun 2003. Dalam pelaksanaannya perjuangan ini membuahkan hasil sehingga pada akhir tahun 2005 dilakukan pengukuran tanah Eks. HGU PT. PP Jasinga oleh pihak BPN.”
Semenjak PPAN digulirkan terjadi perubahan dalam struktur agraria di Desa Pangradin, terutama pada pemilikan atau penguasaan lahan. Kepemilikan atas tanah darat (tanah perkebunan) menjadi meningkat. Peningkatan ini merupakan realisasi dari distribusi tanah eks HGU PT. PP Jasinga untuk Desa Pangradin. Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari narasumber tipe-tipe pola hubungan atau interaksi sosial agraria pada masyarakat Desa Pangradin yaitu adalah perubahan dari tipe kapitalis menjadi tipe populis/Neo-populis. Tipe kapitalis merupakan sebuah hubungan atau interaksi sosial agraria dimana sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan). Periode untuk tipe ini yaitu ketika sumber-sumber agraria di Desa Pangradin dikuasai oleh PT. PP Jasinga. Sedangkan terjadi perubahan dari tipe kapitalis menjadi tipe populis/Neo-populis dengan adanya Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) di Desa Pangradin. Pada tipe populis/Neo-populis ini sumber-sumber agraria dikuasai oleh masyarakat lokal. 5.2.1 Pola pengusaan tanah Menurut Wiradi (2009) bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di pulau Jawa secara garis besar adalah sebagai berikut: a. Tanah Yasan, yaitu tanah yang diperoleh berkat usaha seseorang membuka hutan atau “tanah liar” untuk dijadikan tanah garapan. b. Tanah Gogolan, yaitu tanah pertanian milik masyarakat desa yang hak pemanfaatannya biasanya dibagi-bagi kepada sejumlah petani (biasanya disebut sebagai “penduduk inti” secara tetap ataupun secara giliran berkala. Pemegang hak garap atas tanah ini tidak diberi hak untuk menjualnya atau memindahkan hak tersebut.
56
c. Tanah Titisara (Titisoro, Tanah Kas Desa, Tanah Bondo Desa), adalah tanah pertanian milik desa yang secara berkala biasanya disakapkan atau disewakan dengan cara dilelang lebih dahulu. d. Tanah Bengkok, yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai “gaji”nya selama menduduki jabatan itu. Setelah tidak lagi menjabat, maka tanah tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada pejabat yang baru. Berdasarkan cerita salah satu tetua Desa Pangradin, Jaih (50 tahun), diketahui pula bahwa Pangradin (Jasinga) merupakan pusat kemerdekan Republik Indonesia. Desa Pangradin sudah ada sebelum zaman penjajahan. Dari sejarah namanya diketahui bahwa Pangradin merupakan tempat pangrereban para Raden yang berarti tempat peristirahatan para raja yang datang dari kerajaan Banten. Dahulu kala Desa Pangradin merupakan sebuah alas bandawasa (hutan belantara) yang dihuni bermacam-macam hewan, sehingga menarik para bangsawan kerajaan (jaman kerajaan Pajajaran) yang hobi berburu berlomba memasuki areal alas tersebut hingga berhari-hari lamanya (menginap) dialas tersebut, sehingga dengan banyaknya ksatria Pajajaran yang mendirikan perkemahan hutan belantara itu hingga menjadi sejarah tersendiri dan jadilah sebuah nama Pangradin sebagai sebuah desa. (Fajrin et al, 2009). Oleh karena itu, secara historis tanah yang saat ini dimiliki oleh masyarakat desa pangradin adalah tanah yasan. Tanah Yasan, yaitu tanah yang diperoleh berkat usaha seseorang membuka hutan atau “tanah liar” untuk dijadikan tanah garapan. Saat ini, di Desa Pangradin tidak berlaku adanya tanah adat. Walaupun secara historis kepemilikan tanah bagi warga Desa Pangradin adalah upaya dari usaha membuka hutan atau “tanah liar” untuk dijadikan garapan. Untuk kepemilikan tanah sudah bersifat pribadi (hak milik) dan tanah milik keluarga (pengelolaan tanah dilakukan secara bergiliran pada tiap anggota keluarga). Hampir sebagian besar tanah di Desa Pangradin dimiliki oleh HGU PT. PP Jasinga sebelum habis masa kontraknya. Sedangkan sebagian lagi tanah yang lainnya dimiliki oleh masyarakat Desa Pangradin sendiri. Saat sebagian besar
57
tanah dikuasai oleh HGU PT. PP Jasinga jenis pertanian di Desa Pangradin adalah pertanian kapitalistik. Pertanian kapitalistik merupakan sebuah pertanian berskala besar yang mengutamakan penanaman tanaman tahunan, misalnya pohon, semak atau perdu, seringkali dengan sistem penanaman satu jenis (monokultur). Pertanian kapitalistik ini dikelola oleh PT. PP Jasinga dengan penanaman tanaman tahunan berupa pohon karet. Pertanian kapitalistik ini pun berakhir dengan habisnya masa kontrak HGU PT. PP Jasinga. Sedangkan untuk sebagian tanah yang menjadi milik masyarakat Desa Pangradin masuk dalam tipe pertanian keluarga. Pertanian keluarga yaitu dimana hak milik dan hak pakai berada di tangan masing-masing keluarga. Pengelolaan dan pekerjaan dilakukan oleh keluarga yang memiliki lahan pertanian, dan dengan demikian tidak terikat kepada kelompok sosial yang lebih besar. Pertanian keluarga di Desa Pangradin pun digambarkan dengan adanya sistem pergiliran masa tanam padi di sawah yang menjadi milik keluarga. 5.2.2 Macam Tanah Berdasarkan Penggunaannya Menurut Wiradi (2009), beberapa macam tanah dan fungsinya diantaranya: (1) Tanah sawah, yaitu tanah yang dipakai untuk tanaman padi, dengan pengairan. (2) Tanah kering, ada beberapa kategori tanah kering diantaranya: (a) pekarangan, yaitu tanah sekeliling runah yang ditanami bermacam-macam tanaman, namun secara hukum adalah: “tanah kering yang diatasnya boleh didirikan rumah.”(b) tegalan, yaitu tanah pertanian tanpa pengairan (irigasi), atau tanah kering di luar perkampungan yang ditanami bermacam-macam tanaman, biasanya bukan padi. (c) kebun/talun, berarti bagian belakang halaman atau tanah yang ditanami satu macam tanaman. (d) tanah pangonan, yaitu tanah milik desa atau beberapa desa yang dipergunakan bagi penggembalaan ternak. (3) kolam dan tambak, tanah berlubang besar yang berisi air, biasanya di dalam perkampungan untuk memelihara ikan. Sedangkan tambak adalah “kolam ikan yang besar diluar perkampungan yang biasa terdapat di desadesa pantai”.
58
Sama dengan rumusan Wiradi (2009), berdasarkan macam tanah dan fungsinya, terdapat dua macam tanah di Desa Pangradin yaitu, tanah sawah dan tanah kering (tanah darat). Tanah sawah dimanfaatkan untuk menanam padi dengan pengairan. Tanah sawah digarap secara bergiliran oleh setiap anggota keluarga. Hal ini dikarenakan tanah sawah di masyarakat Desa Pangradin adalah tanah waris dari nenek moyangnya. Sehingga tanah sawah memiliki nilai sosial untuk menjalin persaudaraan yang lebih erat antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan tanah kering (tanah darat) merupakan tanah distribusi Program Pembaharuan Agraria Nasional dan juga tanah milik waris. Untuk tanah kering (tanah darat) dimanfaatkan untuk perkebunan tanaman tahunan. Penduduk desa terbagi menjadi lapisan-lapisan yang didasarkan atas perbedaan hak atas tanah serta kewajiban-kewajiban yang menyertainya (kerjawajib, pembayaran pajak, dan sebagainya). 1. Lapisan pertama terdiri dari “penduduk inti”, yaitu mereka yang nenekmoyangnya dulu merupakan pemukim pertama di daerah itu atau pembuka tanah di situ. Karena itu, mereka umumnya mempunyai tanah yasan, mempunyai pekarangan dan rumah sendiri. Untuk lapisan pertama yaitu penduduk yang memiliki tanah melalui cara pewarisan dari nenek moyangnya. Sistem pewarisan ini menjadi salah satu cara kepemilikan tanah yang berlaku di Desa Pangradin. 2. Lapisan kedua ialah mereka yang mempunyai rumah dan pekarangan sendiri tetapi belum atau tidak mempunyai sawah. Untuk lapisan kedua ini yaitu penduduk yang mempunyai rumah dan pekarangan namun tidak memiliki sawah. Pekarangan yang dalam pengertian ini adalah kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup petani secara subsisten. 3. Lapisan ketiga disebut magersari, yaitu mereka yang tidak mempunyai tanah dan tidak mempunyai pekarangan, tetapi mempunyai rumah sendiri. Rumah mereka didirikan di atas pekarangan orang lain. Mereka biasanya bekerja sebagai buruh tani atau sebagai penyakap. Lapisan ketiga ini menjadi lapisan yang mendominasi keadaaan masyarakat Desa Pangradin.
59
Masyarakat yang tidak memiliki tanah, menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai buruh tani. 4. Lapisan keempat atau lapisan terbawah terdiri dari mereka yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa kecuali tenaganya. Karena tidak mempunyai rumah, mereka tinggal “mondok” di rumah orang lain dan menjadi buruh tani dari tuan rumahnya yang biasanya juga pemilik sawah. Tidak terlihat adanya lapisan keempat dalam masyarakat Desa Pangradin. Penggolongan yang berlaku hanya samapai pada lapisan ketiga saja. Karena walaupun mereka tidak memiliki tanah garapan, tetapi mereka memiliki rumah pribadi sebagai tempat tinggal. 5.2.3 Hubungan Sosial Agraria di Desa Pangradin Sistem penguasaaan tanah yang berlaku di Desa Pangradin yaitu sistem bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap. Masyarakat di Desa Pangradin mengusahakan tanahnya untuk perkebunan dan sawah. Khusus untuk tanah sawah, apabila pemilik tanah sawah tidak menggarap tanahnya namun proses penggarapan dilakukan oleh oranglain (penggarap) maka digunakan sistem bagi hasil untuk hasil panennya. Berdasarkan pengertiannya sistem bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga kerja keseluruhan, dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Sistem bagi hasil yang dilakukan dengan maro dan mertelu. Maro merupakan sistem bagi hasil dimana pemilik tanah mendapat setengah dari hasil panen dan penggarap juga mendapatkan setengah dari hasil panen. Ketentuan lain sistem maro ini yaitu untuk pupuk, bibit, dan obat pembasmi hama ditanggung oleh pemilik tanah. Sedangkan untuk sistem mertelu merupakan sistem bagi hasil dimana pemilik tanah mendapatkan 30% dari hasil panen dan penggarap mendapatkan 70% dari hasil panen. Pembagian yang lebih besar untuk penggarap dikarenakan oleh pupuk, bibit, dan obat pembasmi hama dibenbankan pada penggarap. Sehingga pemilik tanah hanya menyediakan tanah untuk digarap. Sedangkan untuk sistem pengupahan yang berlaku di masyarakat Desa Pangradin adalah sistem upah harian dan ceblokan. Pengupahan harian dilakukan
60
pada pengusahaan tanah darat maupun tanah sawah. Pemilik tanah biasanya membayar Rp 25.000,00 pada buruh tani per harinya. Sedangkan untuk sistem ceblokan hanya berlaku untuk pengusahaan tanah sawah. Sistem ceblokan merupakan jaminan akan adanya pekerjaan pada waktu panen, dan bagi petani pemilik tanah bertanah luas, sistem ceblokan menjamin kebutuhannya akan tenaga kerja pada waktu mengolah tanah dan tanam tanpa mengeluarkan biaya tunai.Untuk sistem ini biasanya tenaga kerja masih merupakan anggota keluarga. Namun untuk sistem ceblokan di Desa Pangradin, pekerjaan tidak hanya dilakukan pada waktu panen tapi mulai dari awal penggarapan. Kemudian untuk hasil panen antara pemilik tanah dan buruh tani digunakan sistem mertelu. Selain itu, bila tanah yang diusahakan masih merupakan tanah keluarga besar maka pada sistem ceblokan ini berlaku pembagian secara rata pada hasil panen antara yang sedang mendapat giliran mengusahakan tanah dan yang membantu dalam mengusahakan tanah tersebut. Hubungan pemberian upah harian antara pemilik tanah dan buruhnya menjadi meningkat. Hal ini terjadi karena luas tanah darat yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Pangradin pun meningkat dengan digulirkannya distribusi tanah eks HGU PT. PP Jasinga melalui PPAN. Sedangkan untuk sistem maro dan mertelu cenderung tetap. Hal ini terjadi karena kepemilikan atas tanah sawah pun tetap. 5.3 Dilema HGU Pada Masyarakat Agraris di Desa Pangradin Desa Pangradin yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Jasinga yang termasuk dalam wilayah perkebunan PT. PP Jasinga. Desa ini menjadi fokus penelitian peneliti untuk melihat dampak dari Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) terhadap keadaan sosial ekonomi dan ekologi masyarakat lokal. Distribusi lahan perkebunan eks HGU menjadi lahan milik pribadi memberikan makna tersendiri bagi masyarakat di Desa Pangradin. Dengan memiliki tanah, mereka memiliki harapan untuk keberlanjutan hidupnya. Menurut Harsono dalam Adiwibowo (2009) “Hak Milik bukan nama asli Indonesia, tetapi sifat-sifat hak menguasai tanah yang diberi nama sebutan hak milik itu sudah dikenal dalam hukum adat. Hubungan tersebut bukan sekedar hubungan lugas
61
yang memberi kewenangan dipakainya suatu bidang tanah tertentu, tetapi juga mengandung hubungan psikologis-emosional antara pemegang hak dengan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga tanah tersebut dirasakan sebagai kepunyaannya”. Hubungan psikologis-emosional antara pemegang hak dengan tanah mencerminkan bahwa tanah tidak hanya dianggap sebagai komoditi yang memiliki nilai ekonomi, tetapi entitas tanah sendiri memiliki arti yang lebih mendalam bagi pemegang hak. Tanah menjadi sumberdaya alam yang penting bagi masyarakat Desa Pangradin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, terlantarnya tanah perkebunan menjadi titik tolak bagi masyarakat di Kecamatan Jasinga untuk memperjuangkannya. Tanah menjadi salah satu sumber kehidupan yang sangat penting, terutama bagi masyarakat di Desa Pangradin. Dengan memiliki tanah, mereka dapat mengelola dan memanfaatkanya untuk menopang sendi-sendi kehidupan mereka. Ketimpangan atas kepemilikan lahan antara masyarakat dan swasta memang menjadi suatu fenomena yang miris. Ketika HGU PT. PP Jasinga masih aktif berproduksi, banyak masyarakat yang melakukan tumpangsari pada HGU tersebut. Tumpangsari ini adalah contoh bahwa masyarakat butuh tanah untuk mereka melakukan kegiatan pertaniannya. Sehingga banyak masyarakat yang mengklaim atas kepemilikan tanaman tumpangsarinya menjadi lahan milik mereka. Kemudian ketika masa kontrak HGU PT. PP Jasinga habis, masyarakat dan elit desa memperjuangkan agar tanah tersebut dialihkan untuk diberikan kepada masyarakat. 5.4 Konflik Agraria Tanah dianggap sebagai sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi dan nilai sosial serta terkait dengan aspek ruang dan aspek hukum. Polarisasi penguasaan tanah ini diawali dengan pendistribusian tanah dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Dalam pelaksanaan program ini, penyelenggaraan dilakukan oleh pihak BPN dan perangkat desa. Pelaksanaan Program di Desa Pangradin ini diketuai oleh Kepala Desa Pangradin dengan dibantu oleh perangkat desa yang lainnya.
62
Syarat-syarat yang ditetapkan oleh desa untuk mendaftar dan mendapatkan tanah dari Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) ini yaitu: (1) sudah menikah, (2) memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan (3) memiliki surat keterangan garapan. Kemudian Kepala Desa pun meminta pungutan biaya untuk sertifikat tanah. Pungutan biaya tersebut pun beragam, kisaran biayanya yaitu Rp 100.000,00 - Rp 250.000,00 per 200 meter persegi. Pungutan biaya ini pun dirasa memberatkan masyarakat Desa Pangradin sehingga tidak semua masyarakat mendaftar ke kantor desa. Sehingga hasil pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) ini pun tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Masyarakat merasakan ketidakadilan dalam pendistribusian tanah tersebut. Kepala desa dan perangkatnya mendapatkan bagian tanah yang sangat luas bila dibandingkan dengan masyarakat. Tindak ketidakadilan dari kepala desa atas pendistribusian tanah tersebut mengakibatkan kekecewaan dan menimbulkan kecemburuan sosial antara masyarakat terhadap kepala desa dan perangkat desa yang memiliki tanah dengan bagian yang sangat luas. Rasa kekecewaan masyarakat tersebut menjadi pemicu lahirnya konflik agraria. Walaupun manifestasi konflik ini masih dalam bentuk konflik laten. Namun, setelah Pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) tersebut selesai kepala desa lengser dari jabatannya. Ketika pemilihan kepala desa yang baru kepala desa yang lama tidak terpilih kembali. Memudarnya kepercayaan masyarakat atas kepemimpinan beliau menjadi faktor yang kuat sehingga beliau tidak terpilih lagi menjadi kepala desa Pangradin. Lengsernya kepala desa ini merupakan manifestasi dari konflik agraria yang ditunjukkan oleh masyarakat Desa Pangradin. Kepala desa memberikan tanah yang lebih luas pada orang-orang yang dekat dan mendukung kepemimpinannya. Berikut adalah orang-orang yang mendapatkan tanah yang luas : Bns, 70 tahun mendapatkan tanah seluas 3000 meter persegi. Selain itu enam orang anaknya pun masing-masing mendapatkan tanah juga.
63
Nn, 44 tahun mendapatkan tanah seluas 2500 meter persegi. Bapak Nn merupakan petugas pengukuran yang menunjukkan lokasi tanah yang didapatkan oleh warga. Ang, 47 tahun mendapatkan tanah seluas 3000 meter persegi karena Bapak Ang merupakan penasehat Kepala Desa dalam penyelenggaraan PPAN di Desa Pangradin. Mad, 48 tahun mendapatkan tanah seluas lebih 4000 meter persegi. Bapak mad merupakan salah satu tangan kanan dari Kepala Desa. Berdasarkan keterangan dari data hasil penelitian tersebut di atas menyatakan
bahwa
Penyelewengan
Kepala
yang
Desa
telah
dilakukan
yaitu
menyelewengkan dengan
kekuasaannya.
memberikan
hak
pemilikan/penguasaan untuk orang-orang yang berada pada status sosial atas atau oang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Sehingga banyak terjadi kecemburuan sosial dalam masyarakat Desa Pangradin. Penyelewengan yang dilakukan oleh Kepala Desa lainnya yaitu adalah menjadikan dirinya sebagai tuan tanah atas tanah distribusi PPAN. Sehingga timbul ungkapan di masyarakat yang merupakan sindiran bagi keluarga Kepala Desa. End, 45 tahun “Mereka tuh keluarga Cendana, Tanah yang mereka punya luas-luas”. Tidak hanya itu saja, berikut ini ungkapan dari kekecewaan masyarakat atas pelaksanaan PPAN: Rwn, 39 tahun: “Banyak terjadinya sengketa tanah di Pangradin 2 karena tanah tersebut tumpang tindih antara penggarap awal dan pemilik sertifikat, dan sampai saat ini masalah tersebut belum dapat teratasi”.
Oib, 41 tahun: “Saya belum dapat menggarap tanah yang diberikan dari program PPAN karena saya tidak mengetahui lokasinya”.
Penetapan pembagian tanah pun tidak dilakukan dengan baik, karena tidak sesuai dengan kriteria atau model distribusi yang telah ditetapkan oleh BPN. Sehingga pada distribusi tanah Eks. HGU PT. PP Jasinga ini banyak dari mereka yang mendapatkan tanah, awalnya telah memiliki tanah yang luas dari cara pewarisan dan pembelian. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Awn, 45 tahun:
64 “Saya mendapatkan tanah dari PPAN seluas 696 meter persegi, tetapi belum saya garap karena saya belum tahu lokasinya. Sebelum mendapatkan tanah tersebut saya sudah memiliki tanah seluas 5000 meter persegi dari warisan orang tua”.
Dapat diketahui dari pernyataan tersebut diatas, bahwa pelaksanaan distribusi tanah yang dibingkai dalam PPAN di Desa Pangradin tidak tepat sasaran. Karena banyak warga yang awalnya telah memiliki tanah yang luas mendapatkan juga tanah hasil distribusi PPAN. Sedangkan bagi mereka yang memang benar-benar tidak memiliki tanah banyak yang tidak mendapatkan tanah distribusi. Apabila mereka mendapatkan tanah hasil distribusi, hanya sedikit luas tanah yang mereka diberikan pada mereka. Fenomena ini menggambarkan dimana orang yang “kaya” (memiliki tanah luas) menjadi lebih kaya dan orang yang “miskin” (tidak memiliki tanah) menjadi sedikit memiliki kekayaan. 5.5 Ikhtisar Dinamika Agraria di Desa Pangradin Tanah bagi masyarakat Desa Pangradin bukan hanya sebagai simbol dan mata dagangan semata namun tanah memiliki nilai yang lebih tinggi. Sehingga hampir sebagian besar masyarakat Desa pangradin menggantungkan hidupnya sebagai petani. Dengan habisnya masa kontrak HGU PT. PP Jasinga, maka tanah HGU tersebut didistribusikan kepada masyarakat yang dibingkai dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Pendistribusian tanah ini merubah status tanah yang awalnya adalah Hak Guna Usaha menjadi Hak Milik. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan hak tersebut maka terjadi pula perubahan dalam pola hubungan atau interaksi sosial agraria dalam struktur masyarakat Desa Pangradin. Perubahan pola yang terjadi adalah perubahan dari tipe kapitalis menjadi tipe populis/Neo-populis. Tipe kapitalis merupakan sebuah hubungan atau interaksi sosial agraria dimana sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan). Periode untuk tipe ini yaitu ketika sumber-sumber agraria di Desa Pangradin dikuasai oleh PT. PP Jasinga. Sedangkan terjadi perubahan dari tipe kapitalis menjadi tipe populis/Neo-populis dengan adanya Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) di Desa Pangradin. Pada tipe populis/Neo-populis ini sumber-sumber agraria dikuasai oleh masyarakat lokal. Awal dari pola penguasaan tanah di Desa Pangradin yaitu dengan membuka hutan belantara untuk dijadikan tanah garapan. Pola penguasaan tanah
65
dengan cara ini disebut sebagai “Tanah Yasan”. Selain itu, berdasarkan macam tanah dan fungsinya, terdapat dua macam tanah di Desa Pangradin yaitu, tanah sawah dan tanah kering (tanah darat). Tanah sawah dimanfaatkan untuk menanam padi dengan pengairan. Tanah sawah digarap secara bergiliran oleh setiap anggota keluarga. Hal ini dikarenakan tanah sawah di masyarakat Desa Pangradin adalah tanah waris dari nenek moyangnya. Sehingga tanah sawah memiliki nilai sosial untuk menjalin persaudaraan yang lebih erat antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan tanah kering (tanah darat) diperoleh dari hasil distribusi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) dan juga tanah milik waris. Untuk tanah kering (tanah darat) dimanfaatkan untuk perkebunan tanaman tahunan. Sedangkan untuk tipe pertanian di Desa Pangradin adalah tipe pertanian kapitalistik dan pertanian keluarga. Tipe pertanian kapitalistik merupakan sebuah pertanian berskala besar yang mengutamakan penanaman tanaman tahunan, misalnya pohon, semak atau perdu, seringkali dengan sistem penanaman satu jenis (monokultur). Dan tipe pertanian keluarga adalah pertanian yang pengelolaan dan pekerjaan dilakukan oleh keluarga yang memiliki lahan pertanian. Disamping itu pula, masyarakat Desa Pangradin menggunakan sistem bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap. Sistem bagi hasil yang dilakukan yaitu dengan cara maro dan mertelu. Selain sistem bagi hasil, ada pula sistem pengupahan. Sistem pengupahan adalah pemberian balas jasa berdasarkan kerja perhari kerja, satuan kegiatan, upah per hari kerja, dan upah per satuan kegiatan. Sistem pengupahan yang biasa dilakukan antara pemilik tanah dan buruh tani adalah sistem pengupahan harian. Besar upah yang berlaku di Desa Pangradin adalah Rp 25.000,00 per hari. Tanah yang menjadi salah satu sumber agraria tidak dapat lepas dari konflik. Konflik agraria yang terjadi di Desa Pangradin dipicu dengan adanya penguasaan tanah oleh salah satu pihak. Sehingga konflik yang terjadi adalah konflik horisontal. Konflik horisontal adalah konflik yang terjadi antara satu pihak yang sama. Dalam hal ini pihak yang berkonflik adalah masyarakat dengan masyarakat (kepala desa dan perangkat desa).
66
Namun konflik yang terjadi di masyarakat Desa Pangradin adalah konflik laten. Sehingga konflik ini belum mencuat ke permukaan. Konflik ini diakibatkan oleh kekecewaan masyarakat pada ketidakadilan pemilikan tanah Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Ketidakadilan ini diperlihatkan dengan polarisasi penguasaan tanah bagi pihak-pihak tertentu. Dampak dari manifestasi konflik laten ini adalah kepala desa pangradin lengser dari jabatannya dan tidak terpilih lagi dalam pemilihan kepala desa yang baru.