PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI (Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor)
TRISNA DAMAYANTI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRACT TRISNA DAMAYANTI. The Change of Agrarian Structure in Farm Rest of Agriculture Conversion and Persistence of Farmer Society. (Supervised by: HERU PURWANDARI) The aim of this research is first to analyze how the connection of the change of agrarian structure between ownership, mastery and agriculture tune utilization in farm rest of agriculture conversion towards social structure change of farmer society. Second, to analyze why a part of farmer society still defend agriculture farm at the “opposite” of phenomenon agriculture conversion. Third, to analyze how effort that done by farmer society to stand by at agricultural sector. This research is done at village Ciharashas and Cibeureum Batas, sub-district Mulyaharja, district Bogor South, city Bogor with focus in farm rest of agriculture conversion. This research is done with fuse two approach, qualitative and quantitative. Result from this research unfolds that found connection between the change of agrarian structure towards social structure change of farmer society. There are difference reason to stand at bay in agricultural sector between farmer society of Ciharashas and Cibeureum Batas. There are three kind of effort done by farmer society to be “defensive” in agricultural sector, that is: conducting strategy in farming; (2) conducting double living, and; (3) conducting loan to family and also neighbour. Keywords: The Change of Agrarian Structure, Persistence Farmer Society.
RINGKASAN TRISNA DAMAYANTI. PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI. Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. (Di Bawah Bimbingan HERU PURWANDARI) Konversi lahan pertanian sesungguhnya berimplikasi pada perubahan struktur agraria. Struktur agraria dalam konteks ini ialah hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Jika dilihat dalam hal pola penguasaan lahan, terjadi perubahan jumlah penguasaan lahan. Petani yang tadinya sebagai pemilik lahan berubah menjadi petani penggarap, sedangkan petani yang tadinya penggarap, berubah menjadi buruh tani. Perubahan struktur agraria juga mengakibatkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian sebagai akibat keterbatasan lahan dan terdesaknya ekonomi rumahtangga. Fenomena konversi lahan yang terjadi di wilayah tertentu ternyata masih menyisakan masyarakat yang bertahan di sektor pertanian. Tujuan penelitian ini adalah pertama menganalisis bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. Kedua menganalisis mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahannya “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Ketiga menganalisis bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian. Penelitian ini dilakukan di Kampung Ciharashas dan Cibereum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor dengan memfokuskan pada daerah yang menjadi “sisa” konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Penelitian ini dilakukan dengan memadukan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dan survei. Studi kasus dilakukan untuk menjelaskan alasan mengapa masyarakat tani masih bertahan di sektor pertanian, sedangkan survei
digunakan untuk menggali hubungan perubahan struktur agraria yang terjadi pada lahan sisa konversi dengan perubahan posisi petani. Sebagai akibat konversi lahan pertanian, mengakibatkan terjadinya perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian. Hal ini seperti yang ditemukan pada Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas. Pada Kampung Ciharashas, terjadi perubahan pada land tenure pattern dalam hal luas pemilikan lahan dan cara perolehan penguasaan lahan pertanian. Pola penguasaan dengan sistem penggarapan banyak ditemukan di Kampung Ciharashas. Hal ini disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW, sehingga mengakibatkan bertambahnya luas penguasaan lahan pertanian. Akan tetapi, bertambahnya
luas
penguasaan
lahan
pertanian
tidak
mencerminkan
“keterjaminan” hidup di masa yang akan datang, karena pada dasarnya mereka menggarap lahan pertanian yang akan dialihfungsikan ke non-pertanian. Sementara itu pada land tenancy pattern, terjadi perubahan pada praktik penyakapan yang digunakan serta para pelaku yang terlibat di dalamnya. Sebaliknya pada Kampung Cibeureum Batas, perubahan struktur agraria yang terjadi hanya pada hal land tenancy pattern, berkaitan dengan praktik sakap yang digunakan. Tidak begitu banyak perubahan struktur agraria yang ditemukan di kampung ini. Hal ini disebabkan oleh konsistensi keberadaan lahan pertanian. Perbedaan perubahan struktur agraria yang ditampilkan oleh kedua kampung dipengaruhi oleh kondisi geografis lahan pertanian itu sendiri. Perubahan struktur agraria erat kaitannya terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. Pada Kampung Ciharashas, terjadi perubahan dari petani pemilik ke petani penggarap, dari petani pemilik ke petani pemilik-penggarap, serta non-pertanian menjadi petani pemilik. Sedangkan pada kampung Cibeureum Batas, terjadi perubahan dari petani pemilik ke buruh tani dan dari petani pemilik menjadi petani pemilik-penggarap. Perubahan struktur sosial yang dialami oleh masyarakat tani tersebut erat kaitannya terhadap perubahan pemilikan sebagai akibat aktivitas menjual lahan pertanian. Ketahanan (persistence) yang ditampilkan oleh masyarakat tani Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu sosial dan ekonomi. Ditinjau dari aspek sosial, alasan masih bertahannya masyarakat tani
Kampung Ciharashas pada sektor pertanian disebabkan oleh tingkat kekerabatan yang erat antar petani. Sedangkan pada Kampung Cibeureum Batas, lebih disebabkan oleh pemilikan lahan pertanian yang berasal dari sistem waris. Apabila ditinjau dari aspek ekonomi, alasan masih bertahannya masyarakat tani Kampung Ciharashas di sektor pertanian karena lahan merupakan satu-satunya aset yang dapat diandalkan untuk menyambung hidup. Sebaliknya pada kampung Cibeureum Batas memaknai lahan sebagai “tabungan jangka panjang” berdasarkan kesadaran akan nilai kontinuitas lahan pertanian. Berdasarkan berbagai alasan yang telah diungkapkan untuk tetap bertahan di sektor pertanian, maka masyarakat juga mempunyai berbagai usaha konkrit dalam mempertahankan lahan pertanian yang dimilikinya. Terdapat tiga macam usaha yang dilakukan oleh masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian, yaitu: (1) melakukan strategi dalam bertani; (2) melakukan mata pencaharian ganda, dan; (3) melakukan pinjaman kepada keluarga maupun tetangga. Usaha yang ditampilkan masyarakat tani pada kedua kampung tersebut sama-sama memasang harga lahan yang tinggi, tetapi alasan memasang harga tinggi tersebut berbeda satu sama lain. Pada Kampung Ciharashas, usaha mempertahankan lahan pertanian dengan memasang harga lahan yang tinggi karena dengan harapan dapat memperoleh uang dalam jumlah yang besar dan digunakan untuk membeli lahan pertanian di tempat lain yang jauh lebih murah. Sebaliknya alasan memasang harga lahan yang tinggi pada masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas agar biong tidak dapat “menjangkau” lahan pertanian mereka.
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI (Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor)
Oleh: Trisna Damayanti I34050300
SKRIPSI Sebagai bagian Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SKRIPSI
Judul
:
Nama Mahasiswa NRP
: :
Perubahan Struktur Agraria pada Lahan Sisa Konversi Pertanian dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat Tani. Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor Trisna Damayanti I34050300
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Heru Purwandari, SP, M.Si NIP. 19790524 200701 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001
Tanggal Lulus: __________________
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI ” BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI. TIDAK MENGANDUNG BAHANBAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH SAYA. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAAN INI
Bogor, September 2009
Trisna Damayanti I34050300
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru, pada tanggal 3 Oktober 1987 di Air tiris, Propinsi Riau. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Drs. H. Zafril Yakub, M.Pd. dan Hj. Armiati Abbas, S.Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1999 di SD Negeri 034 Pekanbaru, Riau. Pendidikan sekolah menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTP Negeri 9 Pekanbaru, Riau. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 8 Pekanbaru dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Propinsi Riau. Selama mengikuti perkuliahan, penulis meraih prestasi sebagai juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah BRI pada Communication and Community Development Expo 2008 (Commnex’2008) dan berhasil mendapatkan dana dalam proposal Program Kreatifitas Mahasiswa tahun 2008 dalam bidang Pengabdian Masyarakat sebanyak dua proposal.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini ialah “Perubahan Struktur Agraria Pada Lahan Sisa Konversi Pertanian dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat Tani”. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani; (2) menganalisis mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahan mereka “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, dan; (3) menganalisis bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, September 2009
Trisna Damayanti, Z.A
UCAPAN TERIMA KASIH Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis hendak memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat, karunia dan hidayahnya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini pula, penulis hendak menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1) Ibu Heru Purwandari, SP, MSi., sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas ilmu, bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis selama
proses
penulisan
skripsi
hingga
akhirnya
penulis
dapat
menyelesaikannya. 2) Bapak Satyawan Sunito, sebagai dosen penguji utama. Terimakasih atas saran, masukan dan kritikan yang telah diberikan bagi kesempurnaan skripsi. 3) Bapak Dwi Sadono, sebagai dosen penguji wakil departemen. Terimakasih atas kritikan mengenai penulisan yang telah diberikan bagi kesempurnaan skripsi. 4) Keluarga penulis. Ayah, Ibu, Datuk, Nenek, Abang, Adik, Tante, Paman, yang telah memberikan bantuan moral dan materiil selama penulis menimba ilmu sejak bangku sekolah hingga kuliah. 5) Ibu Megawati Simanjuntak, SP. yang telah memberikan pengetahuan dan pengalaman dalam proses pembelajaran menulis dengan baik dan benar. 6) Anton Supriyadi, MSi dan Mas Ucup atas dukungan, ide dan diskusinya kepada penulis. 7) Seluruh staf pengajar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan ilmu dan berbagi pengalaman. 8) Seluruh penggiat agraria yang ada di Sains, terimakasih atas informasi, literatur dan ilmu yang telah diberikan dalam memahami ilmu keagrariaan. 9) Kepala Desa dan jajaran pemerintahan Kelurahan Mulyaharja, Bapak Usman, TZ, Bapak Benny, Bapak Aneng, dan Bapak Eman atas kesediannya berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman dalam rangka penyelesaian penelitian skripsi ini.
10) Umi Nasih dan Mamih Cucu atas kasih sayang dan informasi yang diberikan selama proses penelitian di lapangan. 11) Nur Ahmad Azizul Furqon, atas pelajaran, pengajaran, perhatian, do’a, motivasi, semangat, dan waktu yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu. 12) Rekan satu bimbingan Annisa Rizkina Rossa dan Reni Sanjaya, terima kasih atas perhatian, dukungan dan kebersamaannya dalam menjalankan proses tugas akhir. 13) Sahabat-sahabat karibku: Ciwow, Ewen, Satya, Eka, Iya, Mimi, Oel, Aida, Andi, Rofian, Reza, Miun, Sinta, Anggi, Methun, Luci, Anvina, Bang Oji, Idham, Edu, dll yang telah menjadi sahabat penulis dalam keadaan suku maupun duka. 14) Teman satu kosan, para BISMA’ers: Mbak Di, Itio, Dincut, Mak Cik, Dude, Mbak Imonk, Midun, Mbak Betet, Mbak Anggi, Mbak Asti. Terima kasih atas kebersamaannya, kasih sayang dan support yang telah diberikan selama ini. 15) Keluarga besar KPM 42 dan FEMA IPB yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas kebersamaanya selama tiga tahun terakhir. 16) Mba Hana dan Mba Rahma di Dokis, yang selalu siap membantu mencari pustaka untuk penyelesaian penulisan skripsi.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ................................................................................. DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xvi xix xx
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1.1.Latar Belakang ............................................................................ 1.2.Perumusan Masalah .................................................................... 1.3.Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.4.Kegunaan Penelitian ...................................................................
1 1 4 4 4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ............................................... 2.1. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 2.1.1. Tatanan Teoritik dan Empiris Struktur Agraria ............. 2.1.2. Ciri Masyarakat Tani ..................................................... 2.1.3. Integrasi Masyarakat Tani ............................................... 2.1.3.1. Mereka yang ”Menerima” Konversi Lahan Pertanian ............................................................. 2.1.3.2. Ketahanan (persistence) Masyarakat Tani: Mereka yang ”Menolak” Konversi Lahan Pertanian .................................................. 2.1.4. Konversi Lahan Pertanian .............................................. 2.1.4.1. Pengertian Konversi Lahan Pertanian ................. 2.1.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian .................................................. 2.2. Kerangka Pemikiran .................................................................. 2.3. Definisi Konseptual ................................................................... 2.4. Definisi Operasional .................................................................. 2.5. Hipotesa Penelitian ....................................................................
5 5 5 7 9
12 14 14 15 17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................ 3.1. Strategi Penelitian ...................................................................... 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 3.3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 3.4. Teknik Analisis Data .................................................................
18 18 19 19 20
BAB IV POTRET PERTANIAN KAMPUNG CIHARASHAS DAN CIBEUREUM BATAS .............................................. 4.1. Kampung Ciharashas ................................................................. 4.1.1. Proses Konversi Lahan Pertanian di Kampung Cirahashas ...................................................................... 4.1.2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Ciharashas ..
9 10 11 11
22 23 23 26
4.2. Kampung Cibeureum Batas ....................................................... 4.2.1. Dinamika Sejarah Pertanian Cibeureum Batas ............... 4.2.2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Cibeureum Batas ............................................................................... BAB V
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN ............ 5.1. Pemilikan Lahan Pertanian ......................................................... 5.1.1. Kampung Ciharashas ....................................................... 5.1.2. Kampung Cibeureum Batas ............................................. 5.2. Penguasaan Lahan ..................................................................... 5.2.1. Kampung Ciharashas ...................................................... 5.2.2. Kampung Cibeureum Batas ............................................ 5.3 Pemanfaatan Lahan ................................................................... 5.3.1. Kampung Ciharashas ....................................................... 5.3.2. Kampung Cibeureum Batas ............................................. 5.4. Hubungan Perubahan Struktur Agraria terhadap Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani ............................................... 5.4.1. Kampung Ciharashas ........................................................ 5.4.2. Kampung Cibeureum Batas .............................................. 5.5 Ringkasan ...................................................................................
BAB VI KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI PADA SEKTOR PERTANIAN .............................. 6.1. Kasus Kampung Ciharashas: Pemberian Hak Garap dari Perusahaan ................................................................................ 6.1.1. Pertanian sebagai Cultural Core Masyarakat Tani ......... 6.1.2. Keterpaksaan dan Pilihan Menjadi Petani ....................... 6.2. Kasus Kampung Cibeureum Batas: Lahan Pertanian Milik Sendiri ........................................................................................ 6.2.1. Lahan Pertanian: Harta Warisan Turun-temurun ........... 6.2.2. Kesadaran Masyarakat terhadap Nilai Kontinuitas Lahan Pertanian ............................................................ 6.3. Ringkasan .................................................................................. BAB VII USAHA BERTAHAN MASYARAKAT TANI DI SEKTOR PERTANIAN ................................................ 7.1. Strategi dalam Bertani ............................................................... 7.1.1. Kasus Kampung Ciharashas: Pindah Lokasi pertanian dan Budaya Gotong Royong .......................................... 7.1.2. Kasus Kampung Cibeureum Batas: Pemasangan Harga Lahan yang tinggi dan Budaya “Berhemat” ................. 7.2. Bermata Pencaharian Ganda ...................................................... 7.3. Pinjam Meminjam Modal Produksi Pertanian ........................... 7.4 Ringkasan ..................................................................................
27 27 29
31 32 32 35 38 39 42 45 46 48 50 50 52 54
58 58 62 64 65 66 68 69
71 71 71 73 75 77 78
xiv
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN .......................................... 8.1. Kesimpulan ................................................................................ 8.2. Saran ..........................................................................................
80 80 82
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
83
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Cara Perolehan Lahan Petani Pemilik Kampung Ciharashas, 2009 ..................................................................
33
Tabel 2.
Jenis Petani Kampung Cirahashas, 2009 ..............................
33
Tabel 3.
Status Hukum Lahan Petani Pemilik Kampung Ciharashas, 2009 ..................................................................
34
Tabel 4.
Perubahan Kepemilikan Lahan Pertanian Kampung Ciharashas, 2009 ..................................................................
34
Tabel 5.
Penggarap Lahan Pertanian Kampung Ciharashas, 2009 .....
35
Tabel 6.
Jenis Petani Kampung Cibeureum Batas, 2009 ....................
36
Tabel 7.
Cara Perolehan Lahan Petani Pemilik Cibeureum Batas 2009 ......................................................................................
36
Tabel 8.
Status Hukum Lahan Petani Pemilik Kampung Cibeureum Batas, 2009 ...........................................................................
37
Tabel 9.
Perubahan Kepemilikan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 ...........................................................................
37
Tabel 10. Penggarap Lahan Pertanian Kampung Cibeureum Batas, 2009 ......................................................................................
38
Tabel 11. Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian di Kampung Ciharashas, 2009 ..................................................................
39
Tabel 12. Keterangan Penguasaan Pertanian di Kampung Ciharashas, 2009 .................................................................
40
Tabel 13. Hubungan Sosial Antara Penggarap dan Majikan, Kampung Ciharashas, 2009 ..................................................................
42
Tabel 14. Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian Kampung Cibeurem Batas, 2009 ..........................................................
42
Tabel 15. Keterangan Penguasaan Pertanian di Kampung Cibeureum Batas, 2009 ...........................................................................
43
Tabel 16. Hubungan Sosial Antara Penggarap dan Majikan, Kampung Cibeureum Batas, 2009 .......................................
44 xvi
Tabel 17. Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Ciharashas, 2009 ......................................................................................
47
Tabel 18. Alasan Pemilihan Komoditas Pertanian Masyarakat Tani Kampung Ciharashas, 2009 .................................................
47
Tabel 19. Keputusan Penjualan Komoditas Hasil Pertanian di Kampung Ciharashas, 2009 .................................................
48
Tabel 20. Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 ...........................................................................
49
Tabel 21. Alasan Pemilihan Komoditas Pertanian Masyarakat Tani Kampung Cibeureum Batas, 2009 .......................................
49
Tabel 22. Keputusan Penjualan Komoditas Hasil Pertanian Masyarakat Tani Kampung Cibeureum Batas, 2009 ...........
50
Tabel 23. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Kepemilikan Lahan Pertanian Cirahashas, 2009 ......................................................................................
51
Tabel 24. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian Cirahashas, 2009 ......................................................................................
52
Tabel 25. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian CIrahashas, 2009 ......................................................................................
52
Tabel 26. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Kepemilikan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 ..........................................................................
53
Tabel 27. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 ...........................................................................
53
Tabel 28. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 ...........................................................................
54
Tabel 29. Perbedaan Struktur Agraria Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas...................................................................
57
Tabel 30. Tiga Tipe Hubungan Produksi yang ditetapkan oleh Petani Kaya ....................................................................................
60
xvii
Tabel 31. Alasan Masih Bertahannya Masyarakat Tani di Sektor Pertanian ..............................................................................
70
Tabel 32. Rumusan Strategi Bertahan Masyarakat Tani di Sektor Pertanian ..............................................................................
79
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Lingkup Hubungan-hubungan Agraria ............................
5
Gambar 2.
Kerangka Pemikiran .........................................................
15
Gambar 3.
Lingkup Hubungan Agraria Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas .............................................................
32
Gambar 4.
Tingkatan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ciharashas ...
56
Gambar 5.
Tingkatan Struktur Sosial Masyarakat Tani Cibeureum Batas ..................................................................................
56
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Peta Kelurahan Mulyaharja .............................................
87
Lampiran 2.
Potret Lokasi Pertanian Kampung Ciharashas ...............
88
Lampiran 3.
Potret Lokasi Pertanian Kampung Cibeureum Batas .....
89
Lampiran 4.
Dokumentasi ..................................................................
90
xx
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumber-sumber agraria seperti tanah, air dan udara dalam sosiologi agraria dikenal sebagai salah satu faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti perumahan, industri, pertambangan, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain sebagainya. Namun seiring bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan akan lahan, sementara luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peristiwa alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan atau konversi lahan mengandung pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia, yang dapat bersifat permanen maupun sementara. Dikatakan bersifat permanen, jika lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Akan tetapi apabila lahan tersebut berubah fungsi dari persawahan menjadi perkebunan, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen dampaknya lebih besar dari pada alih fungsi lahan yang bersifat sementara (Kivell, 1993). Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pihak pelaku, pemanfaat konversi dan proses konversi dilakukan, Sihaloho (2004) membagi konversi ke dalam tujuh tipologi, yaitu: (1) konversi gradual-berpola sporadis. Diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang kurang produktif dan “keterdesakan ekonomi” pelaku konversi; (2) konversi sistematik berpola “enclave”. Pola konversi mencakup wilayah dalam bentuk “sehamparan tanah” secara serentak dalam waktu yang relatif sama; (3) konversi adaptasi demografi. Terjadi karena kebutuhan tempat tinggal/permukiman akibat pertumbuhan penduduk; (4) konversi yang disebabkan oleh masalah sosial. Terjadi karena motivasi untuk berubah dari masyarakat dengan meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian; (5) konversi tanpa beban. Konversi yang dilakukan untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain; (6) konversi adaptasi agraris.
2
Terjadi karena ingin meningkatkan hasil pertanian dan minat untuk bertani di tempat lain yang lebih produktif, dan; (7) konversi multi bentuk atau tanpa pola. Disebabkan oleh berbagai faktor khusunya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, untuk perdagangan, termasuk sistem waris. Telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensiasati fenomena konversi lahan pertanian tersebut. Salah satunya ialah dengan melakukan ekstensifikasi pertanian atau usaha pencetakan sawah di luar Pulau Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada periode 1981-1999, pemerintah dan masyarakat telah membangun sawah (ekstensifikasi) sekitar 3,2 juta hektar (84 persen) di luar Pulau Jawa. Namun, dalam kurun yang sama sekitar 1,6 juta hektar sawah (62,5 persen) di Pulau Jawa berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri dan perdagangan, perkantoran, atau jalan. Pada tahun 19992002 lebih dramatis lagi, yaitu sekitar 188.000 hektar (70 persen) sawah per tahun di Pulau Jawa berubah fungsi, sementara pencetakan sawah baru hanya 46.400 hektar per tahun di luar Pulau Jawa. Kelurahan Mulyaharja, merupakan salah satu wilayah di Pulau Jawa yang mengalami peristiwa konversi lahan pertanian. Luas Kelurahan ini ialah 477,005 hektar. Dari 477,005 hektar tersebut, sebanyak 70 persen telah diambil oleh pihak swasta untuk kepentingan “pengembangan pembangunan”.1 Petani dan buruh tani sulit mendapatkan tanah untuk digarap, sementara mereka menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Pada akhirnya, apabila lahan terkonversi seluruhnya maka akan berdampak pada kemunduran ekonomi atau terjadinya proses pemiskinan karena hilang atau berkurangnya akses atas tanah. Fenomena konversi lahan pertanian sesungguhnya berimplikasi pada perubahan struktur agraria. Penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho (2004) di Kelurahan Mulyaharja menunjukkan perubahan dalam pola penguasaan lahan, pola penggunaan lahan, pola hubungan agraria, pola nafkah agraria, dan lain sebagainya. Jika dilihat dalam hal pola penguasaan lahan, terjadi perubahan jumlah penguasaan lahan. Petani yang tadinya sebagai pemilik lahan berubah menjadi petani penggarap. Petani yang tadinya penggarap, berubah menjadi buruh 1
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Kepala Kelurahan Mulyaharja, Bapak Usman, TZ.
3
tani. Dalam perubahan pola nafkah agraria, terjadi pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian sebagai akibat keterbatasan lahan dan terdesaknya ekonomi rumahtangga. Kini masyarakat Mulyaharja banyak beralih kepada sumber mata pencaharian non-pertanian, seperti pedagang dan tukang ojeg. Namun masih ada masyarakat yang tetap mempertahankan pekerjaannya sebagai petani. Siasat yang dilakukannya untuk tetap menghasilkan pendapatan di jalan pertanian ialah memanfaatkan satu lahan untuk ditanami oleh berbagai macam komoditas pertanian yang ditanam dalam musim yang sama atau dikenal dengan istilah sistem penanaman tumpang sari. Tanaman yang banyak ditanam ialah talas, singkong, bambu, pisang dan padi. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat Kelurahan Mulyaharja merupakan gambaran strategi hidup yang diusahakan agar mampu bertahan di sektor pertanian. Komoditas pertanian yang dipilih didasarkan atas kebutuhan pasar pada saat ini. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menggali faktor yang melatarbelakangi masih bertahannya masyarakat tani Kelurahan Mulyaharja di sektor pertanian serta usaha yang dilakukan untuk tetap menghasilkan pendapatan di jalan pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh Savitri dan Purwandari (2006) di Desa Sungai Aur dan Sungai Rambut, Propinsi Jambi, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan stratifikasi sosial antara masyarakat asli dan pendatang. Stratifikasi sosial masyarakat asli berdasarkan pada kepemimpinan dan kekuasaan atas komunitas. Sedangkan pada masyarakat pendatang berdasarkan pada kondisi ekonomi. Akan tetapi, stratifikasi tertinggi dikuasai oleh masyarakat asli, karena mereka yang bisa memiliki lahan paling banyak. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa struktur agraria terkait dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk melihat apakah perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian berkenaan dengan pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian berhubungan dengan perubahan struktur sosial yang dialami oleh masyarakat tani Kelurahan Mulyaharja.
4
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan penjabaran di atas, maka perumusan masalah yang penting untuk diangkat ialah: 1) Bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani? 2) Mengapa
sebagian
masyarakat
tani
masih
mempertahankan
lahan
pertaniannya “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian? 3) Bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisis bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. 2) Menganalisis mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahannya “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. 3) Menganalisis bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian. 1.4. Kegunaan Penelitian 1) Bagi
mahasiswa,
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menjadi
proses
pembelajaran dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di lapangan. 2) Bagi pemerintah, sebagai masukan bagi pemerintah dalam upaya mengembalikan ”semangat pertanian” di tengah-tengah masyarakat agar terciptanya ketahanan pangan dan kelestarian pertanian Indonesia. 3) Bagi swasta, sebagai masukan bagi pihak swasta (private sector) agar lebih menyadari arti pentingnya penjagaan sistem ekologi sawah agar tidak dengan mudah mengeksploitasi sumberdaya lahan pertanian untuk kepentingan pasar.
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Tatanan Teoritik dan Empiris Struktur Agraria Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumahtangga), pemerintah (sebagai representasi negara) dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumbersumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Hubungan pemanfaatan tersebut menunjuk pada dimensi teknis, atau lebih spesifik dimensi kerja. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek agraria (Sitorus, 2002) (Gambar 1). Komunitas
Sumber-sumber agraria
Swasta
Pemerintah
Keterangan: hubungan teknis agraria (kerja) hubungan sosial agraria
Gambar 1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sumber: Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi)
6
Penguasaan lahan dan kepemilikan lahan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Menurut Wiradi (2008) bahwa konsep antara kepemilikan, dan penguasaan lahan perlu dibedakan. Kata “pemilikan” menunjuk pada penguasaan formal. Hak milik atas tanah berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah, yaitu hak yang sah untuk menggunakannya, mengolahnya, menjualnya dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan pemilikan atas tanah tidak hanya mengenai hak milik saja melainkan juga termasuk hak guna atas tanah yaitu suatu hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara menyewa, menggarap dan lain sebagainya. Sedangkan kata penguasaan menunjukkan pada penguasaan efektif. Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Kata pengusahaan/pemanfaatan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena memang ada berbagai jalan untuk menguasai lahan, misalnya melalui sewa, sakap, gadai, dan sebagainya. Pemilik lahan luas biasanya tidak selalu menggarapnya sendiri. Sebaliknya pemilik tanah sempit dapat pula menggarap tanah orang lain melalui sewa atau sakap, di samping menggarap lahannya sendiri. Dengan demikian, penduduk pedesaan dapat dikelompokkan menjadi: (1) pemilik pengarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahannya sendiri; (2) penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahan miliknya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) pemilik bukan penggarap; dan (5) tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan dan tidak mempunyai lahan garapan (Wiradi, 2008). Struktur agraria bukan saja bagian dari sistem produksi, namun merupakan faktor mendasar dari organisasi sosial dan politik dari masyarakat pedesaan. Karena itu terdapat keterkaitan yang erat antara struktur agraria dengan struktur
7
sosial2 dan kelembagaan di suatu masyarakat. Struktur agraria yang akan dilihat pada penelitian ini ialah hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Sistem tenurial3 yang umum diterapkan petani jika dilihat dari segi penguasaan lahan ialah sistem bagi hasil dan sistem gadai. Setiap sistem yang diterapkan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tergantung kepada “kondisi” yang dialami oleh petani pemilik dan petani penggarap (tunakisma). Perubahan struktur agraria yang dimaksudkan mencakup perubahan pola pemilikan lahan, pola penguasaan lahan dan pemanfaatan lahan pertanian masyarakat. Konsep pemilikan pada penelitian ini berkaitan dengan jenis status hak pemilikan, cara perolehan lahan pertanian, perubahan luas lahan yang dimiliki dan pola hubungan produksi yang diterapkan pemilik. Sementara itu pola penguasaan lahan pada penelitian ini mencakup penguasaan tetap (pemilikan perorangan) dan penguasaan sementara. Selain itu, konsep penguasaan menunjuk pada penguasaan efektif.4 Hal-hal yang akan dilihat selanjutnya dalam penguasaan lahan ini berkenaan dengan hubungan penggarapan tanah (land tenancy pattern), seperti praktik penyakapan yang digunakan berikut istilahnya, para pelaku, hubungan antara pelaku, jenis tanaman yang biasa disakapkan, hak dan kewajiban pemilik maupun penggarap. Sementara itu untuk gambaran pemanfaatan lahan pertanian akan dilihat melalui jenis komoditi pertanian yang ditanam, alasan memilih komoditi, perlakuan terhadap hasil komoditi dan pola tanam yang dilakukan masyarakat (monokultur dan tumpang sari). 2.1.2. Ciri Masyarakat Tani Bahari (2002) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto, sub2
Struktur sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengacu pada lima pembagian penduduk pedesaan yang dikemukakan oleh Gunawan Wiradi. 3 Suatu sistem yang hadir di dalam masyarakat dan menentukan hubungan sosial antara subyek-subyek agraria. 4 Misalnya, jika sebidang lahan disewakan kepada orang lain, maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Oleh sebab itu, jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri seluas 2 hektar dan juga menggarap lahan orang lain seluas 3 hektar, maka ia sedang menguasai 5 hektar lahan.
8
ordinasi legal dan kekhususan kultural. Lahan bagi petani bukan hanya memiliki arti material-ekonomi melainkan lebih dari itu, memiliki arti sosial-budaya. Luas lahan yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial-ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki lahan menjadi lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya. Menurut Shanin (1971) dalam Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, menggantungkan kehidupan kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya. Lahan dijadikan sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang lebih tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau berlahan sempit. Semua itu didorong oleh rasa solidaritas diantara sesama petani. Keempat, petani cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi namun tidak dengan mudah ditaklukan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Husken (1998) di Desa Gondosari, Pati, Jawa Tengah dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan mengenai ciri-ciri petani di Indonesia pada saat ini, yaitu: 1) Petani bermata pencaharian ganda. Selain bertani, masyarakat tani pada saat sekarang ini juga memiliki pekerjaan sampingan. Misalnya sebagai pedagang, buruh, supir dan lain sebagainya. Melihat kenyataan yang ada, pekerjaan sampingan tersebut ternyata merupakan pekerjaan pokoknya. 2) Tanaman yang diproduksi ialah tanaman yang tidak beresiko tinggi, artinya teknologinya dapat dengan mudah dikuasai. Misalnya tanaman talas, pisang, dan umbi-umbian. Pertimbangan lainnya ialah petani paham akan peluang pasar bagi tanaman yang diusahakan serta menguntungkan secara ekonomi. 3) Motif berusaha ialah mencari keuntungan, yang dilakukan dengan mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang tunai.
9
4) Petani ialah bagian dari sistem politik yang lebih besar, yang ditunjukkan dengan adanya partai-partai politik yang berpengaruh juga terhadap kepemimpinan di desa. 5) Petani subsisten secara mutlak tidak ada tetapi petani mempunyai hubungan yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan. Berbeda halnya dengan yang telah diungkapkan oleh Scott (1994) dalam Purwandari (2006), bahwa petani merupakan golongan komunitas kecil yang memiliki prinsip “safety first” yang merupakan konsekuensi dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian mempengaruhi pengaruh teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian, dimana petani tidak “betah” bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian berangkat dari posisi petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika lahan mereka untuk tempat mencari makan telah terkonversi menjadi perumahan sekalipun. 2.1.3. Integrasi Masyarakat Tani 2.1.3.1 Mereka yang ”Menerima” Konversi Lahan Pertanian Menurut Redfield (1982), petani dapat juga didefinisikan sebagai seseorang yang mengendalikan secara efektif sebidang tanah yang dia sendiri sudah lama terikat oleh ikatan-ikatan tradisi dan perasaan. Tanah dan dirinya adalah bagian dari suatu hal, suatu kerangka hubungan yang telah berdiri lama. Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya era globalisasi, terdapat beragam pandangan yang berbeda mengenai tanah/lahan pertanian. Pandangan masyarakat terhadap lahan sangat bermakna ekonomis. Lahan dianggap sebagai bentuk harta yang dengan mudah dilepas jika harga jualnya tinggi dan dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan taraf hidup petani melalui pengembangan usaha
10
taninya. Sehingga makin tinggi nilai jual lahan yang ditawarkan, maka semakin besar pula kemungkinan untuk menjual lahan tersebut. Peristiwa di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa petani telah terintegrasi ke dalam sistem ekonomi makro. Fenomena tersebut didukung oleh tulisan Friedmann (1992) dalam Purwandari (2006) tentang peasant dalam konteks sistem ekonomi. Ketika petani terintegrasi ke dalam sistem ekonomi, pada saat itu ciri-ciri kehidupan petani dalam berbagai segi akan mengadaptasikan diri sedemikian rupa sehingga perubahan-perubahan yang muncul akan terkait dengan sistem ekonomi dan juga budaya daerah setempat. Perubahan utama yang terlihat perubahan dalam orientasi produksi, penyesuaian strategi hidup yang dilakukan serta berubahnya nilai-nilai hidup yang dianut. 2.1.3.2. Ketahanan (persistence) Masyarakat Tani: Mereka yang “Menolak” Konversi Lahan Pertanian Bagi masyarakat tani yang bertahan, berbagai daya upaya tetap dilakukan agar dapat terus “hidup” di sektor pertanian. Daryanto (2007) menjelaskan dua aspek penting ketahanan (persistence) masyarakat, yaitu (1) suatu keadaan untuk kembali pada situasi yang normal; (2) arah serta besaran dari perubahan di mana suatu lingkungan mampu menyesuaikan diri sehingga tidak terjadi pengaruh yang negatif. Dalam perkembangannya, konsep dan teori ketahanan masyarakat ini tidak semata-semata digunakan untuk menganalisis daya adaptasi ekologi apabila terjadi perubahan, tetapi juga banyak digunakan pada cabang ilmu pengetahuan sosial, temasuk di dalamnya sosiologi5. Aktivitas sehari-hari masyarakat pedesaan sangat bergantung pada sumberdaya alam yang ditemui di sekitar mereka sehingga kesinambungan keberadaan sumberdaya alam tersebut merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi untuk mendukung keberlanjutan dari kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Daryanto (2007) memaknai konsep ketahanan masyarakat sebagai suatu kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang berkelanjutan dengan dicirikan oleh
5
Sosiologi sendiri adalah salah satu cara pandang dalam khasanah ilmu pengetahuan yang tergolong ke dalam gugus ilmu-ilmu sosial. Semua ilmu sosial mengkaji objek yang sama yaitu realitas sosial berkenaan dengan kehidupan sosial manusia. Realitas sosial itu bersifat multidimensional sehingga tidak mungkin dipahami dengan hanya satu disiplin ilmu sosial.
11
(1) kemampuan untuk mengatasi tekanan, guncangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya; (2) kemampuan untuk mengelola dan meningkatkan kapabilitas serta aset yang dimiliki baik pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Menurut Zusmelia (2007)6 sejumlah aspek yang mempengaruhi persistensi mayarakat dalam proses perubahan yang terjadiantara lain: aspek kekerabatan, kesukuan (culture), religi, kode etik yang disepakati di tingkat aktor dan derajat ketertanaman aktor dalam komunitas tersebut. 2.1.4. Konversi Lahan Pertanian 2.1.4.1. Pengertian Konversi Lahan Pertanian Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan sumber hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Faktor produksi lahan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Karena dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penggunaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Utomo et.al. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazim disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri. Sedangkan menurut Kustiawan (1997) pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Sumaryanto et.al. (1994) menjelaskan alih guna tanah dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi 6 Fokus dalam disertasi Zusmelia (2007) adalah keberadaan pasar nagari sebagai urat nadi perekonomian masyarakat nagari, sedangkan bias dari kekuatan ekonomi dunia telah membawa perubahan dalam pasar nagari itu sendiri, baik dari segi aktor yang terlibat, regulasi yang tercipta ataupun jaringan kerja sosial yang hidup dan terbina di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pasar nagari dapat bertahan dalam proses perubahan yang terjadi, bagaimana proses perubahan tersebut, kenapa demikian dan bagaimana dampaknya terhadap kelangsungan pasar dan ekonomi Masyarakat Nagari di Minangkabau.
12
sumberdaya antar sektor penggunaan. Akibat struktur transformasi perekonomian yang mengarah pada semakin meningkatnya peranan sektor non-pertanian, menyebabkan terjadinya komposisi, besaran dan laju penggunaan sumberdaya (tenaga kerja, modal dan tanah) antar sektor. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari. 2.1.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian Winoto (1996) dalam Priatno (1999) mengemukakan bahwa alih guna lahan merupakan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek fisik dan aspek kehidupan masyarakat. Alih guna lahan pertanian ke non-pertanian, di samping berubahnya fenomena fisik luasan tanah pertanian juga berkaitan erat dengan berubahnya orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat. Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor: (1) ekonomi; (2) sosial, dan; (3) peraturan pertanahan yang ada. Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Di berbagai negara berkembang, konversi lahan tersebut umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu kepada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial. Penelitian Syafa’at et.al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah: (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan dan daya saing usaha tani meningkat. Faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat (Witjaksono, 1996).
13
Menurut Kustiawan (1997) faktor yang mempengaruhi kecenderungan dan pola spasial konversi lahan pertanian, yaitu privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan permukiman skala besar serta deregulasi investasi dan perizinan.
Permainan
politik
ini
terdapat
dalam
kebijakan
privatisasi
pembangunan kawasan industri tertuang dalam Keputusan Presiden No. 53/1989 telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasi sesuai dengan mekanisme pasar. Hal inilah yang memacu peningkatan harga lahan, yang kemudian menjadi “penarik” bagi pemilik lahan pertanian untuk menjual atau melepaskan pemilikan lahannya untuk penggunaan non-pertanian. Kebijakan tersebut kembali diperkuat oleh kebijakan pembangunan permukiman skala besar serta deregulasi dalam penanaman modal dan perizinan, yang tertuang dalam Pakto-23/1993.7 Pandangan Kustiawan tersebut didukung oleh Pierce (1981), yang menyatakan bahwa konsumsi terhadap lahan merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan demografis dan ekonomi. Selain dua hal tersebut, terdapat tujuh variabel yang secara konseptual berpengaruh, yaitu perubahan penduduk, fungsi ekonomi yang dominan, ukuran kota, rata-rata nilai lahan residensial, kepadatan penduduk, wilayah geografis dan kemampuan lahan untuk pertanian. Dalam perspektif lain, menurut Lyon dalam Setiawan (1994), terdapat tiga faktor eksternal yang mempengaruhi proses konversi lahan, yaitu (1) tingkat urbanisasi, (2) situasi perekonomian makro, dan (3) kebijakan dan program pembangunan pemerintah. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, secara garis besar disebabkan oleh keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin banyak jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Menurut Sihaloho (2004), konversi lahan pertanian disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) pertumbuhan penduduk; mengakibatkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman. (2) Desakan
7
Di bidang pertanahan, dalam rangka pelaksanaan Pakto-23 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2/1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal, yang pada intinya memberikan berbagai kemudahan dalam perizinan lokasi.
14
ekonomi; yang mendorong motivasi untuk berubah. (3) Investasi pihak swasta; yang menawarkan membeli tanah dan tidak jarang disertai dengan paksaan dan “iming-iming” pekerjaan. (4) Intervensi pemerintah; yang berusaha mengikuti RTRW yang telah ada, dan (5) proses pengadaan tanah; yang lebih mendahulukan pihak yang lebih “dominan”. 2.2. Kerangka Pemikiran Fenomena konversi lahan pertanian mengakibatkan terjadinya perubahan struktur agraria pada lahan pertanian (Sihaloho, 2004). Sehingga bagi masyarakat tani yang kehilangan lahan garapannya cenderung untuk mengalihkan mata pencaharian ke sektor non-pertanian. Di sisi lain, konversi lahan pertanian juga menyumbang terjadinya perubahan struktur agraria pada lahan yang menjadi sisa konversi tersebut. Diduga bahwa perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi tersebut berkaitan erat dengan perubahan struktur sosial masyarakat tani. Terjadinya perubahan struktur agraria dalam hal pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian sesungguhnya menggambarkan masih ada sebagian masyarakat tani yang bertahan di sektor pertanian. Ketahanan (persistence) masyarakat tani ini diduga berhubungan erat dengan kondisi sosial dan ekonomi yang ada di lingkungannya. Seperti rendahnya pendidikan yang dimiliki, serta kurangnya keterampilan/skill pada sektor non-pertanian. Sementara itu, usaha yang dilakukan oleh masyarakat tani untuk tetap bertahan diduga berkaitan erat dengan mata pencaharian ganda yang dilakukan, strategi yang dilakukan dalam bertani serta peminjaman alat dan biaya produksi (Gambar 2). 2.3. Definisi Konseptual Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Konversi lahan adalah adanya peristiwa alih fungsi lahan di luar kegiatan pertanian baik sebagian, maupun keseluruhan. Dalam hal ini, alih fungsi lahan yang dimaksud ialah pembangunan kompleks perumahan. 2. Struktur agraria adalah pola hubungan berbagai pihak yang terkait terhadap sumber-sumber agraria yang mencakup hubungan sosial dan teknis agraria,
15
serta berkaitan erat dengan pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian. 3. Ketahanan masyarakat tani adalah kemampuan masyarakat tani untuk mengatasi tekanan, guncangan dan perubahan yang terkait dengan lingkungannya untuk kembali pada situasi yang normal. Konversi lahan pertanian
Y1
X1
Perubahan struktur sosial masyarakat tani
Perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian Masih ada sebagian masyarakat tani yang “bertahan” di sektor pertanian
Strategi “bertahan”
Alasan “bertahan”
Perubahan struktur agraria pada lahan pertanian (Sihaloho, 2004)
Masyarakat tani kehilangan lahan garapan Beralih kepada sektor nonpertanian
Ekonomi
Sosial
Keterangan: :Mempengaruhi
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
2.4. Definisi Operasional Pengukuran variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah: 1) Perubahan struktur sosial masyarakat tani (Y) ialah perubahan struktur sosial yang dialami oleh masyarakat tani berkaitan dengan perubahan pemilikan,
16
penguasaan dan pemanfaatan
lahan pertanian pada lahan sisa konversi
pertanian, dengan indikator: a. Buruh tani/tunakisma mutlak ialah petani yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki penguasaan efektif terhadap lahan pertanian yang diusahakan. b. Petani penggarap/penyewa dan penyakap murni ialah petani yang memiliki penguasaan efektif terhadap lahan yang dimiliki oleh pihak lain. c. Petani pemilik/pemilik penggarap murni dan pemilik bukan penggarap ialah petani yang memiliki lahan pertanian dengan atau tanpa memiliki status hukum lahan pertanian. d. Petani pemilik-penggarap/pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap ialah petani yang memiliki lahan pertanian sekaligus memiliki penguasaan efektif terhadap lahan yang dimiliki oleh orang lain. 2) Perubahan luas lahan yang dimilki (X1) ialah besar kisaran perubahan luas lahan pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga tani dalam satuan hektar dari periode bertani sejak awal hingga 2009, dengan indikator: a. Tunakisma
: 0 hektar
b. Sempit
: 0,01-0,49 hektar
c. Sedang
: 0,5-0,99 hektar
d. Luas
:
1 hektar
3) Perubahan luas penguasaan lahan pertanian (X2) ialah perubahan penguasaan lahan pertanian secara efektif dalam satuan hektar dari periode bertani sejak awal hingga 2009, dengan indikator: a. Sempit : 0,01-0,49 hektar b. Sedang : 0,5-0,99 hektar c. Luas
:
1 hektar
4) Perubahan pemanfaatan lahan pertanian (X3) ialah perubahan pola tanam yang diterapkan oleh masyarakat tani, dengan indikator: a. Monokultur ialah penerapan pola tanam dengan satu jenis tanaman pada satu lahan. b. Campur/sistem tumpang sari ialah penerapan pola tanam dengan berbagai jenis tanaman pada satu lahan berdasarkan musim.
17
2.5. Hipotesa Penelitian Untuk kepentingan penelitian ini, sesuai dengan tujuannya diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1) Diduga bahwa terdapat hubungan antara perubahan struktur agraria dalam hal kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan pada lahan sisa konversi pertanian terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. 2) Ketahanan (persistence) masyarakat tani berkaitan erat dengan faktor ekonomi dan sosial yang ada di lingkungannya. 3) Usaha yang dilakukan masyarakat tani agar tetap bertahan di sektor pertanian diduga berkaitan erat dengan: (1) strategi yang dilakukan dalam bertani; (2) mata pencaharian ganda, dan; (3) pinjaman alat dan biaya produksi.
18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Strategi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memadukan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu gejala sosial. Dimana peneliti hendak mengkaji realitas sosial yang menggambarkan mengapa masyarakat tani dapat bertahan “dibalik” semakin banyaknya lahan pertanian dikonversi menjadi non-pertanian dan bagaimana proses ataupun pola-pola adaptasi yang dibangun masyarakat tani itu sendiri dalam mempertahankan lahan pertanian mereka. Pendekatan kuantitatif dipilih bertujuan untuk melengkapi pendekatan kualitatif yang dilakukan terutama dalam menggambarkan pengaruh perubahan struktur agraria pada lahan sisa8 konversi pertanian yang mencakup pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan terhadap perubahan struktur masyarakat tani pada lahan sisa konversi pertanian. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dan survei. Studi kasus merupakan studi aras mikro (menyoroti satu atau beberapa kasus) dan studi kasus merupakan strategi penelitian yang bersifat multi-metode (wawancara, observasi dan analisis dokumen). Diharapkan dengan strategi tersebut, peneliti dapat lebih mudah memahami permasalahan penelitian secara lebih mendalam dan menyeluruh. Metode studi kasus yang digunakan adalah bersifat eksplanasi. Artinya, penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan alasan mengapa masyarakat tani masih bertahan di sektor pertanian. Selain itu, suvei digunakan peneliti untuk menggali perubahan struktur agraria yang terjadi pada lahan sisa konversi tersebut. Adapun unit kasus dalam penelitian ini adalah komunitas dan unit survei dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani.
8
Maksud lahan sisa konversi pada penelitian ini ialah masih tersisanya lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja sebagai salah satu wilayah sasaran untuk pengembangan pembangunan.
19
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor dengan memfokuskan pada daerah yang menjadi “sisa” konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilakukan secara purposive karena masih menyisakan lahan pertanian terluas dan merepresentasikan dua kasus yang berbeda. Pada Kampung Ciharashas, mayoritas lahan pertaniannya telah dimiliki oleh pihak swasta. Sementara itu pada Kampung Cibeureum Batas, mayoritas lahan pertaniannya masih dimiliki oleh masyarakat setempat. Peneliti bermaksud untuk melihat alasan masih bertahannya masyarakat tani di sektor pertanian serta strategi bertahan yang dilakukan masyarakat tani di kedua kawasan tersebut. Penelitian (dari proses penjajagan lapangan, menentukan informan, pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan laporan penelitian) dilaksanakan mulai Bulan Maret-Agustus 2009. Dalam pengambilan data peneliti tinggal bersama tineliti objek penelitian di lapangan dalam jangka waktu lebih kurang satu bulan lamanya. Proses ini dilakukan peneliti untuk dapat mengetahui bagaimana kondisi demografis lokasi penelitian dan dalam rangka membangun hubungan sosial yang dekat antara peneliti dengan tineliti. 3.3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan
data
dari
pendekatan
kualitatif
dilakukan
dengan
menggunakan teknik triangulasi metodologi (kombinasi beberapa metode pengumpulan data), yaitu: wawancara mendalam (indepth interview), observasi lapang dan penelusuran dokumen atau literatur. Hal ini dilakukan peneliti agar dapat memperoleh kombinasi data yang akurat, sehingga dapat menjelaskan gejala sosial yang berkaitan dengan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian dan perubahan struktur agraria masyarakat yang terjadi pada lahan sisa konversi. Wawancara mendalam dilakukan dengan informan yang dipilih secara purposive, yaitu informan yang sesuai dan dianggap mampu menjelaskan berbagai realitas sosial yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Dalam proses mendapatkan informan, peneliti akan melakukan wawancara mendalam dengan
20
tokoh masyarakat (seperti pemuka agama, lurah dan lain sebagainya) yang ada di kelurahan tersebut yang kemudian diteruskan dengan cara snowball (efek bola salju). Informan tersebut akan mentransfer informasi dengan cara menceritakan kembali gejala sosial yang terjadi di masyarakat ketika proses konversi lahan pertanian terjadi. Selain melakukan wawancara mendalam, peneliti juga melakukan observasi berperanserta terbatas. Artinya, pengamatan dilakukan oleh peneliti dengan wawancara informal dan formal dengan berperanserta dalam beberapa kegiatan tineliti, seperti ngarambet. Ini merupakan kegiatan menggemburkan tanah sekaligus menghilangkan gulma pada permukaan tanah. Pengamatan ini dilakukan agar memudahkan peneliti dalam memahami kondisi di sekitar tineliti secara langsung mengenai keadaan masyarakat setempat, merasakan, dan melihat beragam fenomena/peristiwa yang diharapkan dapat diperoleh pemaknaan yang sama antara peneliti dan tineliti. Pengumpulan
data
dengan
pendekatan
kuantitatif
melalui
teknik
penggunaan instrumen kuesioner yang telah dibuat sebelumnya. Responden diperoleh melalui metode pemilihan sampel secara simple random sampling yang berasal dari dua wilayah yang merepresentasikan dua kasus berbeda. Total responden yang diambil pada kedua kampung tersebut berjumlah 40 KK. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer penelitian diperoleh dari informan dan responden. Data yang bersumber dari informan meliputi data mengenai bentuk atau pola-pola adaptasi yang dibangun oleh masyarakat tani pada lahan sisa konversi pertanian. Data yang bersumber dari responden adalah gambaran perubahan struktur agraria berdasarkan kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan rumahtangga petani. Data sekunder penelitian diperoleh melalui dokumen-dokumen tertulis baik yang berupa tulisan ilmiah ataupun dokumen laporan yang diterbitkan oleh kelurahan setempat. 3.4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dari pendekatan kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data, dimana dalam melakukan pengumpulan data peneliti juga melakukan analisis data secara bersamaan. Analisis data primer dan sekunder
21
(bahan empirik) diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus, 1998). Tahap pertama, reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, megeliminasi data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian sehingga didapatkan kesimpulan akhir. Peneliti juga membagi data ke dalam beberapa fokus penelitian yang disesuaikan untuk menjawab perumusan masalah yang ada. Data yang terkait dengan sejarah, dinamika dan gambaran umum desa dikelompokkan tersendiri, dan begitu pula dengan data yang menerangkan sub-bab lain yang sejenis dikumpulkan sesuai subbab yang ditentukan. Tahap kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk deskriptif (teks naratif) maupun matriks yang menggambarkan dinamika sejarah lahan pertanian, kemudian alasan masih bertahannya masyarakat tani beserta usaha yang dilakukannya untuk tetap bertahan di sektor pertanian, sehingga diharapkan dapat menjawab perumusan masalah yang telah ditetapkan. Tahap ketiga adalah penarikan kesimpulan melalui verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses penarikan kesimpulan penelitian dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subyek dalam penelitian ini. Cara yang dilakukan ialah upaya kroscek data kepada informan lainnya yang dianggap mengerti terhadap suatu permasalahan sehingga dapat diketahui kualitas kebenarannya. Kemudian, tentunya dalam menarik kesimpulan akhir, peneliti mengkonsolidasikan masalah dan tujuan dengan analisis dalam penelitian ini. Data informasi yang diperoleh dari pendekatan kuantitatif akan dianalisis secara kuantitatif. Analisis data secara kuantitatif dilakukan dengan tabulasi silang dan tabulasi frekuensi yang menggambarkan pola penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan pertanian serta memberikan interpretasi secara deskriptif pada data tersebut sehingga data dapat mudah dipahami maknanya.
22
BAB IV POTRET PERTANIAN KAMPUNG CIHARASHAS DAN CIBEUREUM BATAS Secara harfiah, Mulyaharja berasal dari kata mulya dan harja. Mulya berarti baik dan harja berarti hati. Maka jika digabungkan Mulyaharja berarti hati yang baik. Mulyaharja sejak dahulu sudah digunakan sebagai nama sebuah daerah dan diwariskan secara turun-temurun pada generasi berikutnya hingga saat ini. Kelurahan yang luasnya ± 477,005 hektar ini terletak di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Kelurahan Mulyaharja yang mempunyai ketinggian 420 meter dari permukaan laut terbagi ke dalam 12 RW. dan 55 RT. yang berbatasan dengan: 1) Sebelah Utara
: Kelurahan Cikaret
2) Sebelah Selatan
: Desa Sukaharja
3) Sebelah Timur
: Desa Sukamantri
4) Sebelah Barat
: Kelurahan Pamoyanan
Jumlah penduduk yang ada di kelurahan ini mencapai 13.366 jiwa. Data monografi Kelurahan Mulyaharja pada Bulan Maret 2009 menunjukkan bahwa sebanyak 7.383 jiwa penduduk usia kerja produktif (16-54 tahun), yang bermata pencaharian sebagai petani ialah sebanyak 300 jiwa atau sebesar 4,06 persen. Dahulunya,
mayoritas
mata
pencaharian
masyarakat
Kelurahan
Mulyaharja ialah petani. Akan tetapi sebagai akibat terjadinya peristiwa konversi lahan pertanian, maka saat ini sebagian masyarakat mengalami perubahan mata pencaharian ke sektor non-pertanian, diantaranya banyak yang menjadi buruh pada home industry sandal, berdagang dan pertukangan.9 Walaupun demikian, masih terdapat masyarakat yang “bertahan” pada sektor pertanian. Mayoritas dari masyarakat yang “bertahan” merupakan petani penggarap dan sisanya ialah petani milik serta sebagian kecil lagi merupakan buruh tani. Luas lahan pertanian dan perkebunan yang tersisa di Kelurahan Mulyaharja saat ini hanya sebesar 135 hektar atau sebesar 28,27 persen. Wilayah 9 Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada pihak kelurahan mengenai dampak peristiwa konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian terhadap perubahan mata pencaharian masyarakat tani.
23
yang masih menyisakan lahan pertanian terbesar (dalam hal ini persawahan) ialah RW. 01, 02, 03 dan 11.10 Dari keempat RW. tersebut, yang menjadi pilihan lokasi penelitian ialah RW. 01 (Kampung Ciharashas) dan RW. 11 (Kampung Cibeureum Batas). Secara metodologi, kedua kampung tersebut dipilih karena merepresentasikan dua kasus yang berbeda dan merupakan wilayah pertanian terluas. 4.1. Kampung Ciharashas 4.1.1. Proses Konversi Lahan Pertanian di Kampung Ciharashas Berdasarkan penuturan informan, para leluhur menamai kampung dengan sebutan Ciharashas dikarenakan air yang ada di kampung tersebut tidak pernah berkurang. Hal ini terbukti ketika musim kemarau tiba, air tetap mudah diakses untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pasokan air yang tidak pernah habis ini berdampak positif pada kondisi pertanian di Kampung Ciharashas. Oleh sebab itu, Kampung Ciharashas mempunyai lahan pertanian yang lebih luas jika dibandingkan dengan beberapa kampung lain di Kelurahan Mulyaharja. Kampung Ciharashas merupakan salah satu kampung yang terletak di RW. 01 Kelurahan Mulyaharja. Tingkat pendidikan penduduk di RW. 01 adalah mayoritas merupakan lulusan Sekolah Dasar. Mata pencaharian yang paling banyak digeluti oleh penduduk RW. 01 ialah sebagai buruh. Luas keseluruhan wilayah RW. 01 ialah ± 76 hektar yang terbagi ke dalam dua kampung, yaitu Kampung Ciharashas dan Lemah Duhur. Masing-masing luas kampung tersebut ialah enam hektar dan 20 hektar (di luar peruntukan lahan pertanian). Secara administratif, Kampung Ciharashas terdiri dari lima RT. yang berbatasan dengan: 1) Sebelah Utara
: RW. 06
2) Sebelah Selatan
: RW. 02
3) Sebelah Timur
: RW. 08
4) Sebelah Barat
: RW. 11
Lahan pertanian di Kampung Ciharashas lebih luas jika dibandingkan dengan Kampung Lemah Duhur. Luas lahan pertanian di Kampung Ciharashas ini 10
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan pihak kelurahan, bagian pengembangan sumberdaya manusia dan pertanahan.
24
berkisar 40 hektar, sedangkan di Kampung Lemah Duhur hanya 10 hektar. Hal ini menyebabkan mayoritas mata pencaharian penduduk di Kampung Ciharashas ialah petani, khususnya petani penggarap. Hal ini terjadi karena mayoritas lahan pertanian yang ada di kampung tersebut dimilki oleh pihak swasta, yaitu PT. PW. Awalnya, sebagian besar lahan pertanian yang ada di Kampung Ciharashas dimiliki oleh orang luar Kelurahan Mulyaharja, seperti yang berasal dari Desa Sukaharja, Kota Batu, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah kontraktor dari PT. PW masuk pada tahun 1990, harga tanah mengalami perubahan, bahkan melonjak tajam. Harga tanah yang awalnya berkisar Rp. 1.800,00 per meter menjadi Rp. 5.000,00 per meter. Oleh karena itu, banyak orang yang tinggal di luar Kelurahan Mulyaharja tertarik untuk menjual lahan pertanian yang dimilikinya. PT. PW merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang properti. Tentu saja perusahaan ini membutuhkan lahan agar dapat membangun kompleks perumahan sesuai dengan permintaan konsumen. PT. PW memiliki cara tersendiri untuk dapat membeli lahan11 yang ada di Kelurahan Mulyaharja. Pada awalnya PT. PW membeli lahan yang terletak di pinggir-pinggir kali. Setelah lahan pertanian yang ada dipinggir kali tersebut telah terjual, langkah selanjutnya ialah memberi patokan atau pagar tinggi pada lahan yang berhasil didapat. Sehingga bagi masyarakat tani yang memiliki posisi lahan di tengah-tengah kesusahan untuk mengakses lahan miliknya sendiri. Keberhasilan PT. PW dalam memperoleh lahan tidak terlepas dari usaha para biong12 yang ada di Mulyaharja. Biong-biong tersebut berusaha mendapatkan rezeki melalui para petani yang ingin menjual lahan pertanian miliknya. Upah akan diperoleh dari lahan yang berhasil dijual. Bagi petani yang tidak mau menjual lahan miliknya, maka biong akan mendatanginya terus-menerus dan membujuk untuk segera menjual lahannya. Apabila bujuk dan rayu tidak berhasil, maka biong akan memberikan informasi palsu untuk menakut-nakuti para petani pemilik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak RT 0X (petani pemilik):
11
Lahan di sini, dalam artian berupa lahan tidur maupun lahan pertanian yang dimiliki atau sedang digarap masyarakat tani. 12 Biong adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Kelurahan Mulyaharja kepada para makelar yang membujuk masyarakat untuk menjual lahan pertanian milik mereka.
25
“ lahan yang dibeli oleh pihak PT. PW itu yang dipinggirnya dulu. Nanti kalo dipinggir-pinggirnya udah dibeli, diberi pondasi/patokan atau pagar tinggi. Terus lahan yang ditengahtengah mau gak mau akhirnya menjual juga. Karena susah aksesnya dan dihasut-hasut terus sama biong. ” Pernyataan lain yang turut membenarkan taktik yang digunakan pihak PT. PW ialah seperti yang diungkapkan oleh Bapak Y (petani penggarap) berikut: “ saya terpaksa menjual lahan pertanian saya. Karena kalau tidak segera dijual, biong bilang harganya lebih murah lagi. Selain itu saya risih juga setiap hari didatengin terus ke rumah.” Akhirnya, lahan pertanian di Kampung Ciharashas berhasil dibeli oleh PT. PW pada tahun 1994. Lahan pertanian tersebut direncanakan untuk pembangunan kompleks perumahan, sesuai dengan bentuknya yang berupa hamparan. Akan tetapi karena PT. PW mengalami kemandegan, maka lahan tersebut diterlantarkan begitu saja, sehingga lama kelamaan tumbuh semak belukar dan tumbuhan perdu lainnya. Menanggapi hal di atas, masyarakat tani bermusyawarah dengan para biong agar PT. PW mengizinkan masyarakat tani untuk menggarap lahan yang terlantar tersebut. Pada akhirnya, masyarakat diperbolehkan untuk menggarap. Mengenai luas lahan yang akan digarap, didasarkan pada modal/biaya yang dimiliki. Mulai dari proses pembersihan lahan, perataan lahan, pengadaan bibit, pupuk, dan lain sebagainya. Saat ini, lahan garapan yang diusahakan oleh masyarakat telah dibeli oleh perusahaan yang lebih besar daripada PT. PW. Perusahaan ini telah berhasil membangun sebuah kompleks perumahan elite di Kelurahan Mulyaharja, yaitu PT. GASP. Isu yang berkembang di masyarakat Kampung Ciharashas, bahwa lebih kurang dua tahun lagi lahan garapan tempat mereka mencari nafkah akan dibangun kompleks perumahan. Menanggapi isu tersebut, masyarakat tani Kampung Ciharashas tidak bisa berbuat apa-apa. Karena pada tahun 2003 masyarakat tani dan pihak PT. PW telah membuat kesepakatan, bahwa ketika lahan garapan tersebut dijual oleh PT. PW, maka masyarakat harus bersedia
26
“meninggalkan” lahan garapan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak M (petani penggarap): “ kalau ternyata bener dua tahun lagi mau dibangun perumahan mah, ya sudah dilepas saja. Karena tanahnya kan punya orang bukan punya saya. Jadi kalau mau dibuldoser, sok saja. Kan dulunya pas tahun 2003 kita juga udah musyawarah sama PT. PW. ” Meskipun mayoritas petani di Kampung Ciharashas merupakan petani penggarap, tetapi masih ditemukan sebagian kecil petani pemilik, pemilikpenggarap dan buruh tani. Petani pemilik maupun pemilik-penggarap yang ada di Kampung Ciharashas memperoleh lahan pertaniannya melalui warisan dari kedua orang tua. Memang dahulunya orang tua mereka tidak berniat untuk menjualnya kepada orang lain, untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Walaupun nilai-nilai keagamaan sangat kental di kampung ini, namun khusus untuk sistem waris tidak berdasarkan pada syari’at Islam13. Masing-masing anak mendapatkan warisan lahan dengan luas yang sama. 4.1.2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Ciharashas Jumlah penduduk di Kampung Ciharashas sebanyak ± 80 KK dan 40 KK bermatapencaharian sebagai petani. Tingkat pendidikan masyarakat Kampung Ciharashas merupakan lulusan SD. Mayoritas petani yang ada di Kampung Ciharashas juga merupakan lulusan SD/tidak lulus SD. Ini menggambarkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat tani tergolong rendah, yaitu hanya lulusan SD, sehingga sulit untuk mengakses mata pencaharian yang lebih “menjanjikan” daripada bertani. Pendapatan masyarakat Kampung Ciharashas dari sektor pertanian tergolong rendah. Penghasilan dari sektor pertanian ini tidak didapat sebulan sekali, melainkan per musim tanam, yaitu tiga hingga empat bulan lamanya. Kisaran pendapatan masyarakat tani sebesar Rp. 500.000,00-1.000.000,00 atau tergolong sedang. Sama halnya dengan besar pengeluaran yang dikeluarkan setiap 13 Aturan dalam hukum islam menyatakan bahwa hak waris diantara laki-laki dan perempuan ialah 2:1.
27
bulannya, yaitu Rp. 500.000-1.000.000,00. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengeluaran mereka lebih besar dari pendapatannya. Umumnya, kondisi bangunan rumahtangga masyarakat tani Kampung Ciharashas tergolong sederhana. Sebagian bangunan rumahtangga penduduk setempat telah terbuat dari batu bata dan sebagian lagi masih terbuat dari anyaman bambu. Sebagian besar masyarakat tani belum memiliki WC di kamar mandinya, sehingga masyarakat setempat masih mempunyai kebiasaan buang air besar di sungai. Hal ini disebabkan alokasi atau dana untuk membangun bagian rumah yang belum lengkap seperti WC, tidak ada. Uang yang diperoleh terlebih dahulu dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga dan sebagai modal untuk masa tanam berikutnya. Penerangan/listrik sebagian besar merupakan milik sendiri dan sebagian kecil lagi menumpang kepada tetangga. Ada juga sebagian masyarakat tani yang memiliki konstruksi bangunan rumahtangga dengan kategori sangat sederhana. Dikatakan sangat sederhana, karena keseluruhannya terbuat dari anyaman bambu dan tidak memiliki kamar mandi, sehingga aktivitas mandi, mencuci pakaian dan piring dilakukan di kali atau sungai. Sedikit ditemukan petani yang memiliki konstruksi rumah yang tergolong bagus. Keseluruhan bangunan rumah terbuat dari batu bata dan telah diberi ubin/marmer, sudah memiliki WC, sumur dan kamar mandi. Hal yang menarik untuk dilihat selanjutnya ialah jalinan kemitraan yang dilakukan oleh masyarakat tani agar dapat menunjang kebutuhan sehari-harinya. Karena mayoritas petani di Kampung Ciharashas merupakan penggarap, maka mereka paling banyak menjalin kemitraan diantara komunitas tani dan dengan pihak swasta agar dapat terus menghasilkan pendapatan. 4.2. Kampung Cibeureum Batas 4.2.1. Dinamika Sejarah Pertanian Cibeureum Batas Cibeureum Batas, berasal dari kata ci yang berarti air dan beureum yang berarti merah. Sementara batas, merupakan alamat kampung ini berada. Asal muasal kata tersebut terjadi karena adanya peristiwa pembunuhan seorang pemuda pada zaman dahulu, dimana kepalanya dibuang ke sungai atau kali yang ada di kampung tersebut. Beberapa saat setelah kepalanya dilempar, air sungai
28
tersebut berubah menjadi merah karena darah. Oleh karena itu, para pendahulu kampung menamakan kampung ini dengan sebutan Kampung Cibeureum Batas. Kampung Cibeureum Batas merupakan salah satu kampung yang terletak di RW. 11 Kelurahan Mulyaharja. Wilayah ini merupakan perpecahan dari RW. 03. Secara administratif, Kampung Cibeureum Batas terdiri dari empat RT. yang berbatasan dengan: 1) Sebelah Utara
: RW. 03
2) Sebelah Selatan
: RW. 01
3) Sebelah Timur
: Desa Sukaharja
4) Sebelah Barat
: Sungai Cibeureum
Mayoritas petani yang terdapat di Kampung Cibeureum Batas ini ialah petani pemilik. Sedangkan untuk petani penggarap, pemilik-penggarap dan buruh tani hanya sedikit ditemui. Hal ini disebabkan oleh mayoritas petani pemilik di Kampung Cibeureum Batas menggarap lahan miliknya sendiri, tidak dilimpahkan kepada orang lain. Ini juga dipengaruhi oleh sempitnya luas lahan pertanian yang dimiliki jika dibandingkan dengan lahan pertanian yang ada di Kampung Ciharashas. Lahan pertanian yang ada di Kampung Cibeureum Batas dikelilingi oleh jalan dan rumah penduduk (Lampiran 5). Kondisi lahan pertanian yang demikian merupakan salah satu alasan kenapa wilayah mereka tidak terkena plotan “pengembangan pembangunan”. Hal ini dikarenakan apabila perusahaan tertarik untuk membeli lahan masyarakat tani, maka pihak perusahaan mau tidak mau harus membeli rumah yang selama ini menjadi tempat tinggal para petani tersebut. Berarti itu sama halnya dengan memaksa warga kampung untuk pindah. Tentu hal ini akan menimbulkan banyak pertentangan dari berbagai pihak, khususnya masyarakat tani. Luas keseluruhan kampung Cibeureum Batas ialah ± 20,2 hektar. Dari 20,2 hektar tersebut, luas lahan pertanian yang masih tersisa ialah lebih kurang sebanyak empat hektar atau sebesar 19,80 persen. Fungsi utama lahan bagi masyarakat tani Cibeureum Batas ialah sebagai sumber mata pencaharian utama. Walaupun lahan sawah/kebun hanya tinggal sepetak dua petak, tetapi masyarakat
29
tani tetap memanfaatkannya seefektif mungkin agar tidak ada lahan yang “menganggur”. Wilayah Kampung Cibeureum Batas tidak terkena plotan perumahan, namun masyarakat tani dapat merasakan dampak konversi lahan terhadap lahan pertaniannya. Misalnya saja serapan air berkurang setelah ramainya perumahan. Selain itu, tentu saja masyarakat tani tidak bisa menambah lahan pertanian apabila menginginkan perluasan lahan baik di dalam, maupun di luar kampung. Selain bertani, penduduk Kampung Cibeureum Batas juga banyak yang bekerja pada pembuatan home industry sandal. Sistem pengerjaannya berupa borongan dan dapat dikerjakan di rumah masing-masing. Meskipun hadirnya lapangan kerja pembuatan sandal tersebut merupakan “angin segar” bagi sebagian masyarakat, ternyata juga menyumbang dampak negatif bagi kehidupan sosial mereka, antara lain banyak pemuda yang putus sekolah. Para pemuda lebih tertarik untuk mencari uang daripada menuntut ilmu di bangku sekolah. 4.2.2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Cibeureum Batas Jumlah penduduk di Kampung Cibeureum Batas ini ialah 1005 jiwa atau 274 KK. Tingkat pendidikan masyarakat RW. 11 mayoritas merupakan lulusan Sekolah Dasar. Sama halnya dengan tingkat pendidikan masyarakat tani yang ada di kampung ini, yaitu lulusan SD/tidak lulus SD. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Kampung Cibeureum Batas ialah buruh dan rumahtangga yang bermata pencaharian sebagai petani berjumlah ± 20 KK atau sebesar 7,30 persen. Pendapatan masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas per musim tanamnya adalah Rp. 500.000,00-1.000.000,00 atau tergolong sedang. Sama halnya dengan pengeluaran yang dikeluarkan setiap bulannya, yaitu Rp. 500.000,00-1.000.000,00.
Oleh
karena
itu
mereka
tidak
hanya
murni
mengandalkan dari sektor pertanian saja. Pekerjaan sampingan seperti menjadi buruh bangunan dan bekerja di home industry sandal dan sepatu sering dilakukan. Mayoritas konstruksi bangunan rumahtangga masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas masih sederhana, terbuat dari batu bata dan sebagiannya lagi terdiri dari anyaman bambu. Namun masih terdapat masyarakat tani yang memiliki konstruksi rumah sangat sederhana. Dikatakan sangat sederhana karena
30
sebagian besar terbuat dari anyaman bambu dan kayu. Masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas melakukan aktivitas buang air besar di jamban umum yang terletak di atas kali. Aktivitas mandi dan mencuci dilakukan di kamar mandi yang ada di rumah masing-masing. Terdapat perbedaan jalinan kemitraan yang dilakukan oleh masyarakat tani yang ada di Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas. Masyarakat tani yang ada di Kampung Cibeureum Batas tidak bermitra dengan pihak swasta dalam hal pertanian. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian yang mereka miliki tidak terkena kawasan pengembangan pembangunan. Oleh karena itu jalinan kemitraan dalam pertanian hanya terjadi diantara komunitas tani saja, misalnya dalam hal penggunaan buruh tani dan penggarap. Petani yang tidak menggunakan jasa buruh dan penggarap pada umumnya memiliki lahan pertanian yang relatif sempit, sehingga mereka memutuskan untuk menggarap sendiri lahan pertaniannya. Selain masih memiliki kemampuan untuk menggarap sendiri lahannya, upaya ini dilakukan untuk meminimalisir pengeluaran pertanian. Sementara itu bagi petani yang memutuskan untuk memakai tenaga buruh dan/atau penggarap lebih didasarkan pada keinginan untuk membantu sesama, khususnya bagi petani yang tidak memiliki lahan atau tunakisma.
31
BAB V PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN Berbicara mengenai struktur agraria, berarti berbicara tentang pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian serta hubungan sosial dan teknis diantara aktor-aktor yang mempunyai kepentingan terhadap sumbersumber agraria (lahan pertanian). Terdapat tiga aktor yang memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumber-sumber agraria yang terdapat di kedua kampung tersebut. Ketiga aktor itu antara lain pihak swasta, yang dalam hal ini ialah PT. PW, biong dan masyarakat tani itu sendiri. Masing-masing aktor tersebut memiliki kepentingan yang berbeda terhadap lahan pertanian yang ada di Kelurahan Mulyaharja. Pihak swasta membutuhkan lahan untuk kepentingan pengembangan pembangunan. Salah satu sarana untuk mewujudkannya ialah dengan membeli lahan yang ada, termasuk lahan pertanian. Kepentingan dari pihak swasta ini dimanfaatkan oleh para biong untuk dapat menghasilkan pendapatan, dengan cara menjadi makelar/perantara bagi masyarakat yang ingin menjual lahan miliknya. Sedangkan bagi masyarakat tani, lahan merupakan sumber mata pencaharian untuk menghidupi seluruh anggota keluarganya. Hubungan sosial yang dibangun ketiga aktor adalah hubungan yang berdasarkan pada kepentingan. Pihak swasta menggunakan jasa biong untuk membeli lahan pertanian yang ada di Kelurahan Mulyaharja dan biong mendapatkan keuntungan dari proses jual-beli lahan tersebut. Masyarakat tani yang memiliki keperluan mendesak atau terpaksa menjual lahan yang dimilikinya juga membutuhkan jasa biong sebagai perantara kepada PT. PW. Ketiga aktor tersebut masing-masing mendapatkan keuntungan dari proses jual-beli lahan tersebut. Keuntungan bagi PT. PW adalah mendapat lahan yang sesuai dengan kebutuhannya dan masyarakat mendapatkan uang dalam jumlah yang besar dan cepat. Sedangkan bagi biong, mendapatkan keuntungan material (Gambar 3).
32
Swasta; PT. PW
Sumber-sumber agraria
Biong Keterangan:
Masy. tani
hubungan teknis agraria (kerja) hubungan sosial agraria
Gambar 3. Lingkup Hubungan Agraria Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas
Mengenai perubahan struktur agraria dalam hal pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian yang ada di Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas akan dibahas selanjutnya pada sub-bab berikut. 5.1. Pemilikan Lahan Pertanian 5.1.1. Kampung Ciharashas Pemilikan lahan pertanian berhubungan dengan pemilikan resmi dan pemilikan sementara yang dimiliki oleh petani. Kepemilikan resmi dapat dilihat dari status hukum yang dipegang oleh pemiliknya. Baik berupa surat keterangan kepemilikan dari kelurahan, segel14, maupun keduanya. Ada berbagai macam cara memperoleh lahan pertanian yang kemudian dimiliki oleh petani. Cara yang ditemukan pada Kampung Ciharashas ini ialah sistem waris, gadai dan jual-beli lahan, serta warisan dan jual-beli. Mayoritas petani pemilik Kampung Ciharashas memperoleh lahan pertaniannya dengan cara waris, yaitu sebesar 37,5 persen. Sedangkan sebesar 25 persen dan 12,5 persen lainnya memperoleh lahan pertanian dengan cara beli/ganti rugi, warisan dan jual-beli, serta gadai. Cara perolehan lahan dengan warisan merupakan cara yang paling sering digunakan, karena berasal dari peninggalan orang tua, yang dari dahulunya tidak berniat untuk menjual lahan tersebut (Tabel 1).
14
Segel di sini berupa bukti keterangan sah jual-beli lahan pertanian sebelum proses menuju akta jual-beli.
33
Tabel 1. Cara Perolehan Lahan Petani Pemilik Kampung Ciharashas, 2009 Cara Perolehan Lahan F % Beli/ganti rugi 2 Warisan 3 Warisan dan jual beli 2 Gadai 1 Jumlah petani pemilik 8
25 37,5 25 12,5 100
Terdapat tiga jenis struktur sosial petani yang ditemukan di kampung ini, yaitu petani pemilik, petani penggarap dan petani pemilik-penggarap. Dahulunya, hanya ditemukan dua jenis petani saja, yaitu petani pemilik dan petani penggarap. Munculnya petani pemilik-penggarap dan meningkatnya jumlah petani penggarap disebabkan oleh tingkat penyakapan yang tinggi sebagai akibat pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW kepada masyarakat tani. Penurunan jumlah petani pemilik menggambarkan bahwa petani Ciharashas kehilangan akses atas tanah sebagai akibat pembelian lahan pertanian yang dilakukan oleh pihak swasta. Sehingga menyebabkan petani tidak dapat akses kepada sumberdaya lokal miliknya sendiri. (Tabel 2). Tabel 2. Jenis Petani Kampung Ciharashas, 2009 Keterangan Dahulu F % Petani Pemilik 12 52,2 Petani Pemilik-Penggarap 0 0 Petani penggarap 10 43,5 Lainnya 1 4,3 Total 23 100
F
Sekarang 6 2 15 0 23
% 26,1 8,7 65,2 0 100
Kondisi awal lahan pertanian yang dimiliki pada umumnya merupakan lahan yang sudah tergarap/sawah. Hal ini disebabkan lahan pertanian tersebut merupakan peninggalan dari nenek moyang masyarakat setempat. Lahan yang dahulunya merupakan kawasan hutan yang cukup luas kemudian dibuka oleh nenek moyang untuk dijadikan lahan pertanian. Masyarakat tani Kampung Ciharashas
memperoleh
lahan
pertaniannya
sudah
berbentuk
lahan
tergarap/sawah. Aspek legalitas lahan pertanian yang dimiliki oleh petani pemilik Kampung Ciharashas masih mudah untuk “digoyahkan”. Mayoritas bukti kepemilikan lahan hanya berupa riwayat kepemilikan lahan dari kantor
34
kelurahan/desa setempat, yaitu sebesar 50 persen. Hal ini disebabkan oleh pendapatan yang diperoleh lebih diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari. Bagi petani yang memperoleh lahan pertanian melalui jualbeli pada umumnya telah mempunyai bukti berupa segel yang ditandatangani oleh Kepala Desa/Lurah setempat serta saksi dari kedua belah pihak. Segel ini merupakan surat pernyataan jual-beli lahan sebelum akta. Status hukum tertinggi pemilikan lahan pertanian yang ditemukan di Kampung Ciharashas ialah segel (Tabel 3). Tabel 3. Status Hukum Lahan Petani Pemilik Kampung Ciharashas, 2009 Status Hukum Lahan Petani Pemilik F Tanah milik; surat desa 4 Tanah milik; segel 2 Tanah milik; segel & surat desa 2 Jumlah petani pemilik 8
%
50 25 25 100
Terjadi perubahan luas lahan yang dimiliki oleh petani pemilik di Kampung Ciharashas. Hal ini disebabkan oleh aktivitas menjual lahan pertanian kepada orang lain maupun pihak swasta. Baik untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak atau terpaksa menjual karena “negosiasi” biong. Sebagai aktivitas menjual lahan pertanian tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah petani tunakisma dan penurunan jumlah petani yang memiliki lahan pertanian dengan kategori sempit (Tabel 4). Tabel 4. Perubahan Kepemilikan Lahan Pertanian Kampung Ciharashas, 2009 Dahulu Sekarang Luas Pemilikan (ha) F % F % Tunakisma: 0 11 47,8 15 65,2 Sempit: 0,01-0,49 12 52,2 8 34,8 Total 23 100 23 100
Mayoritas petani pemilik Kampung Ciharashas memilih untuk menggarap sendiri lahan pertaniannya, yaitu sebesar 75 persen. Ini dimaksudkan agar dapat memaksimalkan pendapatan yang diperoleh dari pertanian. Karena ketika memutuskan untuk memakai penggarap, maka hasil pertanian yang diperoleh lebih sedikit jika dibandingkan ketika menggarap sendiri. Sementara itu, sebesar 25 persen petani pemilik memutuskan untuk menggunakan penggarap, dengan rincian
35
berasal dari tetangga/teman dan dari kerabat luas. Pemilihan penggarap ini berdasarkan unsur kepercayaan dari petani pemilik kepada penggarapnya (Tabel 5). Tabel 5. Penggarap Lahan Pertanian Kampung Ciharashas, 2009 Pihak yang Menggarap Lahan Pertanian Sendiri Kerabat luas Tetangga/teman Jumlah petani pemilik
F 6 1 1 8
% 75 12,5 12,5 100
Terdapat dua alasan yang dikemukakan oleh petani pemilik Ciharashas tentang kebijakan untuk memakai penggarap. yaitu: (1) keinginan untuk membantu, dan; (2) faktor umur/sudah tua, sehingga tidak dapat mengurus lahan pertanian. Pola hubungan produksi yang biasanya digunakan di kampung ini ialah bagi hasil. Kedua petani pemilik yang menggunakan penggarap menerapkan sistem ini. Untuk besaran bagian yang diperoleh, merupakan hasil kesepakatan diantara kedua pihak yang bersangkutan. Hubungan sosial diantara petani pemilik dan penggarap biasanya masih merupakan kerabat luas dan tetangga/teman, sehingga hubungan diantara keduanya cukup dekat. Kedekatan ini sangat membantu penggarap ketika mengalami kesulitan biaya tunai/modal ketika akan menanam kembali. Mereka bisa meminta bantuan kepada majikannya. Beda halnya dengan penggarap yang mengolah lahan pertanian milik orang lain yang bertempat di luar Ciharashas, hubungannya dengan majikan tidak begitu dekat. 5.1.2. Kampung Cibeureum Batas Terdapat empat jenis struktur sosial petani yang ditemukan di Kampung Cibeureum Batas, yaitu: petani pemilik, petani penggarap, petani pemilikpenggarap dan buruh tani. Hal ini berbeda dengan dahulunya, dimana hanya ditemukan dua jenis petani di kampung ini, yaitu petani pemilik dan buruh tani. Munculnya petani pemilik-penggarap disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh orang lain yang bertempat tinggal di luar Kampung Cibeureum Batas. Adapun peningkatan buruh tani disebabkan oleh aktivitas menjual lahan pertanian itu sendiri (Tabel 6).
36
Tabel 6. Jenis Petani Kampung Cibeureum Batas, 2009 Keterangan Dahulu F % Petani Pemilik 11 64,7 Petani Pemilik-Penggarap 0 0 Petani penggarap 6 35,3 Buruh tani 0 0 Total 17 100
F
Sekarang 8 1 6 2 17
% 47,1 5,8 35,3 11,8 100
Lahan pertanian yang saat ini dimiliki oleh petani pemilik Kampung Cibeureum Batas mayoritas merupakan harta warisan dari kedua orang tua. Hal ini tergambar
melalui lima dari sembilan petani pemilik yang ditemukan di
Kampung Cibeureum Batas atau sebesar 55,6 persen memperoleh lahan pertaniannya dengan cara warisan. Sementara itu sebesar 22,2 persen lainnya memperoleh lahan pertanian dengan cara jual-beli. Sisanya, yaitu masing-masing sebesar 11,1 persen memperoleh lahan pertanian dengan cara warisan dan jualbeli serta gadai. Kondisi awal lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas sudah berbentuk lahan tergarap/sawah (Tabel 7). Tabel 7. Cara Perolehan Lahan Petani Pemilik Cibeureum Batas, 2009 Cara Perolehan Lahan F Jual-beli 2 Warisan 5 Warisan dan jual beli 1 Gadai 1 Jumlah Petani pemilik 9
% 22,2 55,6 11,1 11,1 100
Status hukum lahan pertanian yang ada di Kampung Cibeureum Batas beraneka ragam bentuknya. antara lain: (1) tanah milik; tanpa surat, (2) tanah milik/surat desa, (3) tanah milik; segel, (4) tanah milik; segel dan surat desa. Aspek legalitas segel setingkat lebih tinggi daripada surat bukti kepemilikan dari kelurahan/desa setempat. Mayoritas status hukum yang dimiliki oleh petani pemilik Kampung Cibeureum Batas ialah surat desa, yaitu berupa catatan riwayat pemilikan lahan pertanian di Kantor Desa/Kelurahan setempat atau yang lazim disebut dengan Letter-C (Tabel 8).
37
Tabel 8. Status Hukum Lahan Petani Pemilik Kampung Cibeureum Batas, 2009 Status Hukum Lahan Petani Pemilik F % Tanah milik; tanpa surat 1 11,1 Tanah milik; surat desa 5 55,6 Tanah milik; segel 2 22,2 Tanah milik; segel & surat desa 1 11,1 Jumlah petani pemilik 9 100
Perubahan pemilikan luasan pertanian ini disebabkan oleh aktivitas menjual lahan yang dimiliki. Penjualan tersebut disebabkan beberapa faktor pendukung, yaitu: (1) lokasi lahan yang terletak relatif jauh dari rumah, mengakibatkan pantauan terhadap perkembangan tanaman terhambat; (2) kondisi lahan yang kurang produktif, sehingga hasil pertanian tidak begitu memuaskan; (3) pemenuhan kebutuhan yang mendesak, dan (4) lokasi lahan pertanian yang dimiliki terkena proyek pengembangan pembangunan, sehingga pada akhirnya terpaksa menjual lahan. Sebagai dampaknya, terjadi peningkatan petani tunakisma, dari 35,3 persen menjadi 47,1 persen. Akan tetapi, pada dasarnya tidak terjadi perubahan luasan lahan yang begitu signifikan oleh petani pemilik Cibeureum Batas. (Tabel 9). Tabel 9. Perubahan Pemilikan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 Luas Pemilikan Dahulu Sekarang (ha) F % F % Tunakisma: 0 6 35,3 8 47,1 Sempit: 0,01-0,49 11 64,7 9 52,9 17 Total 100 17 100
Mayoritas petani pemilik Kampung Cibeureum Batas menggarap sendiri lahan pertaniannya, yaitu sebesar 77,8 persen dan 22,2 persen lainnya menggunakan penggarap yang berasal dari keluarga sendiri/keluarga inti sebesar dan kerabat luas. Pemilihan penggarap yang berasal dari keluarga sendiri dilatarbelakangi oleh rasa percaya pada keluarga sendiri jika dibandingkan dengan orang lain (Tabel 10).
38
Tabel 10. Penggarap Lahan Pertanian Kampung Cibeureum Batas, 2009 Pihak yang Menggarap Lahan Pertanian F % Sendiri 7 Keluarga inti 1 Kerabat luas 1 Jumlah petani pemilik 9
77,8 11,1 11,1 100
Hubungan sosial yang terjalin diantara petani pemilik dan penggarap Kampung Cibeureum Batas masih merupakan keluarga inti dan kerabat luas. Ini berarti diantara pemilik dan penggarap memiliki hubungan yang dekat. Sehingga ketika penggarap mengalami kesulitan untuk menanggulangi biaya produksi, maka para petani sering meminta bantuan kepada pemiliknya, yang masih keluarganya sendiri. Terdapat dua alasan yang dikemukakan petani pemilik Cibeureum Batas ketika mengambil keputusan untuk melimpahkan pengusahaan lahan kepada orang lain, antara lain: (1) tidak sempat mengurus, dan; (2) kebutuhan mendesak15. Pola hubungan produksi yang biasanya diterapkan dalam penggarapan ialah bagi hasil. Sistem gadai juga masih ditemukan di kampung ini. Pola ini diterapkan apabila pemilik lahan yang bersangkutan membutuhkan uang dalam waktu yang cepat, tetapi dengan tidak menjual lahannya. Lahan tersebut dilimpahkan kepada orang lain. Hasil pertaniannya akan dinikmati oleh pemilik sementara
lahan
tersebut.
Apabila
pemilik
sebenarnya
tidak
mampu
mengambalikan uang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka lahan tersebut biasanya akan menjadi milik sah pemilik sementara. Kedua petani pemilik yang menggunakan penggarap menerapkan pola hubungan produksi sistem bagi hasil dan gadai. 5.2. Penguasaan Lahan Penguasaan lahan yang akan dibahas pada penelitian ini berkaitan dengan penguasaan lahan efektif. Misalnya jika sebidang lahan digadaikan, disewakan dan digarap oleh orang lain, maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Sebagai contoh, bagi petani yang menggarap lahan miliknya sendiri dan 15 Kebutuhan mendesak di sini ialah, petani pemilik yang menggadaikan lahan pertaniannya kepada pihak lain dikarenakan keperluan yang mendesak, seperti biaya berobat, biaya sekolah anak, dan lain sebagainya.
39
menggarap lahan milik orang lain, maka ia sedang menguasai kedua lahan tersebut. Perubahan penguasaan lahan yang dikaji pada penelitian ini berkenaan dengan perubahan penguasaan luasan lahan masyarakat tani di kedua kampung yang bersangkutan. Selanjutnya perlu melihat praktik penyakapan yang dilakukan di kedua kampung, para pelaku yang terlibat, hak dan kewajiban masing-masing pelaku, hubungan diantara pelaku serta tanaman yang disakapkan. 5.2.1. Kampung Ciharashas Penguasaan lahan pertanian semakin meningkat pada petani yang memiliki penguasaan lahan pertanian dengan kategori sempit disebabkan oleh peningkatan kesempatan menggarap bagi masyarakat tani di Kampung Ciharashas. Hal ini disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW kepada para petani, sehingga memungkinkan bagi masyarakat tani untuk menambah lahan garapannya. Akan tetapi penguasaan lahan pertanian mereka hanya bersifat sementara, karena penguasaan efektif petani berada pada lahan pertanian milik PT. PW yang merupakan lahan peruntukan pembangunan kompleks perumahan. Bertambahnya penguasaan lahan pertanian bagi masyarakat tani Ciharashas tidak menggambarkan “keterjaminan” hidup mereka di masa mendatang, karena ketika nantinya lahan tersebut akan dialihfungsikan maka akan hilang pengharapan untuk hidup (Tabel 11). Tabel 11. Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian di Kampung Ciharashas, 2009 Penguasaan Luas Lahan Dahulu Sekarang (ha) F % F % Tidak menguasai lahan pertanian 1 4,3 0 0 Sempit: 0,01-0,49 18 78,3 19 82,6 Sedang: 0,5-0,99 3 13,1 3 13,1 Luas: 1 1 4,3 1 4,3 Total 23 100 23 100
Ada empat pola penguasaan pertanian yang ditemukan di Kampung Ciharashas, yaitu: (1) milik saja; (2) milik dan menggarap; (3) menggarap saja, dan (4) digadaikan. Dari keempat pola tersebut, pola penguasaan dengan “menggarap saja” lebih banyak ditemukan daripada pola yang lainnya, yaitu sebesar 65,2 persen. Hal ini berbeda dengan dahulunya, dimana pola penguasaan
40
dengan milik saja lebih banyak jika dibandingkan dengan menggarap. Perbedaan ini disebabkan oleh lahan pertanian mayoritas dimiliki oleh pihak swasta sehingga menjadikan masyarakat tani menjadi tidak akses dengan sumberdaya lokal miliknya sendiri (Tabel 12). Tabel 12. Keterangan Penguasaan Pertanian di Kampung Ciharashas, 2009 Uraian Dahulu Sekarang F % F % Milik saja 12 52,2 5 21,7 Milik dan menggarap 0 0 2 8,7 Menggarap saja 10 43,5 15 65,2 Digadaikan 0 0 1 4,4 Lainnya 1 4,3 0 0 Total 23 100 23 100
Sistem penggarapan yang umumnya diterapkan di kampung ini ialah bagi hasil. Pihak penggarap merupakan masyarakat tani Kampung Ciharashas, sementara majikannya ialah pihak swasta/PT. PW, serta petani pemilik yang tinggal di dalam maupun di luar Mulyaharja. Terdapat berbagai macam bentuk pola bagi hasil yang diterapkan di kampung ini, antara lain: (a) 70:30/pertilu atau mertelu. Sebesar 70 persen diperuntukkan bagi petani penggarap dan 30 persen lainnya diperuntukkan bagi petani pemilik; (b) 80:20. Sebesar 80 persen diperuntukkan bagi petani penggarap dan 20 persen lainnya diperuntukkan bagi petani pemilik. Apabila menerapkan pembagian 70:30, maka: (1) akan dilakukan perhitungan biaya produksi sebelum pembagian hasil, jika biaya produksi ditanggung oleh penggarap; dan (2) tidak melakukan perhitungan biaya produksi, jika biaya produksi ditanggung oleh pemilik. Apabila menggunakan pembagian 80:20, tidak melakukan perhitungan terhadap biaya produksi. Hal ini disebabkan oleh besaran yang diperoleh penggarap sudah lebih besar daripada ketentuan umum yang berlaku. Inti dari kesepakatan dari kedua belah pihak ini berkenaan dengan besaran pembagian hasil dan biaya produksi yang dikeluarkan oleh salah satu pihak. Alasan penetapan sistem bagi hasil yang ditetapkan di Kampung Ciharashas ini ialah mengikuti kebiasaan umum yang ada di masyarakat. Akan tetapi mengenai ketentuan perhitungan biaya produksi hanya terjadi antara petani dan penggarapnya, tidak mengikuti kebiasaan umum yang berlaku di masyarakat.
41
Terdapat perbedaan pola hubungan produksi yang ditetapkan dahulu dan sekarang. Menurut Sihaloho (2004), pola hubungan produksi yang umumnya diterapkan di Mulyaharja ialah sistem sewa dan bagi hasil. Akan tetapi, kini sistem sewa tidak lagi ditemukan. Sistem bagi hasil yang umum disepakati ialah maro (50:50) dan mertelu (70:30). Kini hanya mertelu yang umumnya ditemukan di kampung ini. Perubahan penetapan pola hubungan produksi ini dilatarbelakangi oleh hasil pertanian yang diperoleh tidak mencukupi bahkan tidak jarang merugi, terlebih lagi jika melakukan perhitungan terhadap biaya produksi yang dikeluarkan. Pelaku penyakapan, yaitu petani pemilik dan penggarap masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pemilik lahan pertanian biasanya berkewajiban untuk: (1) menyediakan lahan pertanian saja. Biaya produksi yang digunakan, seperti pupuk, pestisida, bibit, dan lain sebagainya akan ditanggung oleh penggarap. Setelah panen tiba, akan dilakukan perhitungan mengenai biaya produksi yang telah dikeluarkan baru setelahnya dibagi berdasarkan besarnya perolehan yang telah disepakati, dan; (2) menyediakan lahan pertanian dan menanggung biaya produksi. Apabila pemilik menanggung semua beban produksi, maka setelah panen tiba akan langsung dilakukan pembagian hasil. Hak yang diperoleh petani pemilik ialah hasil pertanian setiap panen dilakukan. Adapun kewajiban yang harus dipenuhi oleh penggarap ialah menggarap lahan pertanian dan menanggung biaya produksi, apabila tidak ditanggung oleh pemilik lahan. Hak yang didapat penggarap sama halnya dengan pemilik, yaitu mendapatkan bagian hasil pertanian sesuai dengan besaran yang telah disepakati. Terdapat tiga tipe hubungan sosial antara majikan dan penggarapnya, antara lain: (1) kerabat luas; (2) tetangga, dan; (3) orang lain (PT. PW). Hubungan sosial yang terjalin diantara petani pemilik dan penggarap masing-masing sebesar 4,4 persen merupakan keluarga luas dan tetangga/teman. Sementara itu, sebesar 65,2 persen lainnya merupakan orang lain, yang dalam hal ini ialah PT. PW. Sedangkan sebesar 26 persen merupakan petani pemilik yang menggarap sendiri lahan pertaniannya (Tabel 13).
42
Tabel 13. Hubungan Sosial Antara Penggarap dan Majikan Kampung Ciharashas, 2009 Hubungan Sosial F % Kerabat luas 1 4,4 Tetangga/teman 1 4,4 Orang lain 15 65,2 Lainnya 6 26 Total 23 100
Tanaman yang biasanya disakapkan ialah padi. Sementara pada saat penggarap menanam palawija, tidak melakukan pembagian hasil yang diterapkan pada saat menanam padi. Hal ini disebabkan oleh kesulitan untuk melakukan perhitungan pada berbagai jenis tanaman palawija yang ditanam. Pada saat menanam palawija, penggarap cukup memberikan hasil pertanian seikhlasnya saja kepada majikan. 5.2.2. Kampung Cibeureum Batas Sama halnya dengan Kampung Ciharashas, pada Kampung Cibeureum Batas juga terjadi perubahan dalam hal penguasaan lahan. Di lain sisi, terjadi peningkatan bagi petani yang sama sekali tidak menguasai ataupun memiliki lahan pertanian. Terjadinya perubahan penguasaan lahan pertanian tersebut disebabkan oleh aktivitas menjual lahan pertanian, baik yang dilakukan oleh petani yang bersangkutan ataupun pihak majikan (Tabel 14). Tabel 14. Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian Kampung Cibeurem Batas, 2009 Penguasaan Luas Lahan Dahulu Sekarang (ha) F % F % Tidak menguasai lahan pertanian 0 0 2 11,8 Sempit: 0,01-0,49 16 94,1 15 88,2 Sedang: 0,5-0,99 1 5,9 0 0 Total 17 100 17 100
Berbeda dengan Kampung Ciharashas, pada Kampung Cibeureum Batas hanya ditemukan tiga pola penguasaan lahan pertanian, yaitu: (1) milik saja; (2) milik dan menggarap, dan; (3) menggarap saja. Berbeda dengan dahulunya, dimana pola penguasaan lahan pertanian hanya milik dan menggarap saja. Pola penguasaan dengan “memiliki saja” lebih banyak ditemukan daripada pola yang lainnya. Terjadinya perubahan pola penguasaan lahan pertanian yang lebih
43
beraneka ragam disebabkan oleh perubahan penguasaan lahan pertanian sebagai akibat pemberian kesempatan menggarap oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar Mulyaharja dan konsekuensi dari aktivitas menjual lahan pertanian (Tabel 15). Perbedaan yang dapat diambil dari kedua kampung ini ialah, bahwa pada Kampung Ciharashas penguasaan dengan pola “menggarap saja” lebih banyak ditemukan. Ini berbeda dengan Kampung Cibeureum Batas, dimana penguasaan dengan pola “milik saja” lebih mendominasi. Kedua fenomena ini jelas menggambarkan bahwa pada Kampung Ciharashas, hanya sedikit sekali ditemukan petani pemilik karena lahan pertanian telah dikuasai oleh pihak swasta. Sebaliknya, pada Kampung Cibeureum Batas masih banyak ditemukan petani pemilik. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian mereka yang terletak diantara permukiman penduduk, sehingga tidak terkena plotan pengembangan. Tabel 15. Keterangan Penguasaan Pertanian di Kampung Cibeureum Batas, 2009 Uraian Dahulu Sekarang F % F % Milik saja 11 64,7 8 47,1 Milik dan menggarap 0 0 1 5,9 Menggarap saja 6 35,3 6 35,3 Lainnya (tidak menguasai) 0 0 2 11,7 Total 17 100 17 100
Pola hubungan produksi penggarapan yang ditetapkan di Kampung Cibeureum Batas ialah sistem bagi hasil. Terdapat berbagai macam bentuk pola bagi hasil yang diterapkan di kampung ini, antara lain: (a) pertilu/mertelu atau 70:30. Sebesar 70 persen diperuntukkan bagi petani penggarap dan 30 persen lainnya diperuntukkan bagi petani pemilik; (b) parapat/merapat atau 75:25. Sebesar 75 persen diperuntukkan bagi petani penggarap dan 25 persen lainnya diperuntukkan bagi petani pemilik. (c) maro atau 50:50. Sebesar 50 persen diperuntukkan bagi petani pemilik dan 50 persen lainnya diperuntukkan bagi petani penggarap. (d) 80:20, petani pemilik mendapatkan 20 persen hasil pertanian sementara petani penggarap mendapatkan 80 persen hasil pertanian. Penetapan hubungan produksi ini merupakan hasil musyawarah diantara kedua belah pihak. Sistem pembagian hasil yang umumnya diterapkan ialah pertilu/mertelu atau 70:30.
44
Apabila menerapkan pembagian mertelu atau 70:30 dan merapat atau 75:25, maka: (1) akan dilakukan perhitungan biaya produksi sebelum pembagian hasil, jika biaya produksi ditanggung oleh penggarap; dan (2) tidak melakukan perhitungan biaya produksi, jika biaya produksi ditanggung oleh pemilik. Jika menerapkan pembagian maro atau 50:50, semua biaya poduksi akan ditanggung oleh penggarap dan tidak melakukan perhitungan biaya produksi pada saat pembagian hasil. Sedangkan jika menerapkan pembagian 80:20, semua biaya binih, pupuk, dan sewa alat pertanian ditanggung oleh pemilik. Sama halnya dengan Kampung Ciharashas, inti dari kesepakatan dari kedua belah pihak ini berkenaan dengan besaran pembagian hasil dan biaya produksi yang dikeluarkan oleh salah satu pihak. Pemilik berkewajiban untuk menyediakan lahan pertanian. Sedangkan penggarap berkewajiban untuk menggarap lahan. Ditemukan perbedaan dan persamaan pola bagi hasil antara Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas. Pola bagi hasil yang umumnya ditetapkan di kedua kampung ini ialah mertelu atau 70:30. Perbedaannya terletak pada masih ditemukannya pola bagi hasil 50:50 atau maro. Petani penggarap yang menggunakan pola ini tidak berniat untuk mengubahnya menjadi 70:30 meskipun pendapatan yang diperoleh sedikit. Ini didasarkan pada sikap pasrah yang dimiliki petani, bersyukur akan apa saja yang diperoleh. Terdapat tiga tipe hubungan sosial antara majikan dan penggarapnya, antara lain: (1) kerabat luas; (2) keluarga inti, dan; (3) orang lain. Hubungan sosial yang terjalin diantara petani pemilik dan penggarap masing-masing sebesar 5,88 persen merupakan keluarga luas dan keluarga inti. Sedangkan 52,94 persen lainnya merupakan orang lain, yang dalam hal ini ialah majikan yang bertempat tinggal diluar Mulyaharja. Keterangan “lainnya”, merupakan gabungan
dari
petani yang menggarap lahan pertaniannya sendiri dan buruh tani (Tabel 16). Tabel 16. Hubungan Sosial Penggarap dan Majikan Kampung Cibeureum Batas, 2009 Hubungan Sosial F % Keluarga inti 1 5,88 Kerabat luas 1 5,88 Orang lain 6 35,29 Lainnya 9 52,94 Total 17 100
45
Sama halnya dengan Kampung Ciharashas, penetapan sistem bagi hasil/ penyakapan ini hanya digunakan ketika petani menanam padi. Sementara ketika petani menanam palawija, tidak mempergunakan sistem bagi hasil. Petani biasanya memberikan seikhlasnya kepada petani pemilik. Hal ini disebabkan oleh kesulitan melakukan perhitungan pada saat panen. 5.3 Pemanfaatan Lahan Pemanfaatan lahan pertanian yang akan dibahas pada penelitian ini berkenaan dengan pola tanam pada lahan pertanian, jenis komoditi yang ditanam pada pola tanam yang dipakai, alasan memilih komoditi tersebut, serta perlakuan terhadap hasil pertanian. Pola tanam pada lahan pertanian berkenaan dengan penanaman dengan satu jenis tanaman saja/monokultur, atau ditanam dengan berbagai jenis tanaman berdasarkan musim/campur atau tumpang sari. Pola tanam dengan sistem tumpang sari dilakukan dengan menggilir tanaman padi ke palawija. Setelah selesai menanam padi, biasanya masyarakat tani menggantinya dengan tanaman palawija, seperti jagung, kacang panjang, talas, ubi jalar, dan lain sebagainya yang disesuaikan dengan musim. Pada kedua kampung tidak ditemukan perbedaan dalam hal jenis tanaman yang ditanam pada sistem monokultur dan tumpang sari. Keputusan
petani
untuk
menanam
dengan
satu
jenis
tanaman
saja/monokultur dan menanam dengan sistem tumpang sari didasarkan pada musim yang dihadapi petani, tingkat kemudahan menjual komoditas pertanian, modal yang pada saat itu dimiliki oleh petani, dan lain sebagainya. Terdapat teknik penanaman pada saat penggiliran dilakukan. Pertama kali yang akan ditanam ialah talas, dikarenakan masa panennya yang cukup lama dari tanaman palawija lainnya, yaitu mencapai tujuh bulan. Sembari menanam talas, tanaman jagung juga ditanam dengan masa panen tiga bulan lamanya. Setelah panen jagung, maka selanjutnya akan ditanami kacang-kacangan dengan dua bulan masa panen. Jika kacang telah selesai dipanen, maka bisa ditanami ubi jalar dengan masa panen dua hingga tiga bulan. Pemanenan ubi jalar tersebut, dapat dilakukan sekaligus dengan pemanenan talas. Dengan demikian, tidak ada sepetak lahan
46
yang tidak termanfaatkan. Ini dimaksudkan agar lahan pertanian dapat dimanfaatkan seefektif mungkin. Manfaat penggiliran ini ialah lahan pertanian akan menjadi lebih subur dan tekstur tanahnya menjadi lebih gembur daripada menanam dengan satu jenis tanaman saja/monokultur. Menurut Rusman et.al. (1992), masyarakat dapat memperoleh manfaat yang bersifat ekonomis dan teknis berkaitan dengan sistem tumpang sari ini. Manfaat teknis tumpang sari, yaitu: (1) menghindari kegagalan panen akibat serangan hama; (2) membantu mengendalikan erosi; (3) melalui kombinasi tanaman yang tepat dapat memperbaiki kesuburan tanah. Sedangkan manfaat ekonomisnya ialah: (1) memberikan beranekaragam komoditi yang diperlukan masyarakat; (2) memberikan kesempatan kerja lebih banyak kepada para petani; (3) membantu menghadapi musim paceklik; dan (4) memperkecil resiko kemerosotan harga salah satu jenis komoditi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk menggunakan sistem penanaman tumpang sari atau monokultur, antara lain: (1) kondisi lahan pertanian; apabila kondisi lahan pertanian cenderung basah, maka petani lebih memilih untuk menanam padi, (2) keputusan pemilik; bagi petani penggarap, keputusan jenis tanaman yang akan ditanam berdasarkan keputusan pemilik, (3) modal yang dimiliki; pada saat memiliki modal lebih, petani dapat menggilir lahannya untuk ditanami palawija, (4) bergantung pada musim; pada saat musim kemarau tiba, petani memilih untuk menanam palawija, (5) Luas lahan yang dimiliki; petani yang memiliki lahan yang lebih luas biasanya dapat melakukan sistem tumpang sari. Ini disebabkan oleh persediaan padi yang berlebih, sehingga sebagian lagi dapat dijual untuk mendapatkan modal pada masa tanam berikutnya. Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai karakteristik pemanfaatan lahan pertanian yang ditampilkan oleh masyarakat tani Ciharashas dan Cibeureum Batas. 5.3.1. Kampung Ciharashas Mayoritas pola tanam yang diterapkan masyarakat tani Kampung Ciharashas ialah monokultur atau satu jenis tanaman saja, yaitu sebesar 60,9 persen dan sebesar 39,1 persen petani lainnya menerapkan pola tanam campur
47
atau sistem tumpang sari. Petani yang melakukan penggiliran ini hanya bagi mereka yang mempunyai modal lebih. Tidak terjadi perubahan dalam hal frekuensi tanam yang diterapkan di Kampung Ciharashas. Dari dulu hingga sekarang, dalam waktu satu tahun frekuensi tanam berkisar tiga kali dalam setahun. Akan tetapi terjadi perubahan pada pola tanam yang diterapkan pada Kampung Ciharashas. Mereka yang dahulunya menanam dengan pola monokultur beralih ke pola tanam campur atau tumpang sari, dan sebaliknya. Hal ini dipengaruhi oleh salah satu atau beberapa faktor yang telah disebutkan di atas. (Tabel 17). Tabel 17. Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Ciharashas, 2009 Pemanfaatan Kondisi Lahan Pertanian Dahulu Sekarang F % F % Monokultur 17 73,9 14 60,9 Campur/tumpang sari 6 26,1 9 39,1 Total 23 100 23 100
Terdapat berbagai alasan yang dikemukakan oleh masyarakat tani menyangkut komoditi yang ditanam pada lahan pertanian berkenaan dengan pola tanam yang digunakan, diantaranya ialah: (1) mudah untuk dijual; (2) mengikuti siklus; (3) keputusan pemilik; (4) keterbatasan modal; (5) untuk kebutuhan pangan, dan; (6) makin tua, semakin bagus hasilnya (Tabel 18). Tabel 18. Alasan Pemilihan Komoditas Pertanian Masyarakat Tani Kampung Ciharashas, 2009 Pola Tanam MuMengiKepuKeterUntuk Makin dah kuti tusan batasan kebututua, untuk siklus pemilik modal han semakin dijual pangan bagus F % F % F % F % F % F % Monokultur 1 4,4 0 0 5 21,7 5 21,7 2 8,7 1 4,4 Tumpang 1 4,4 8 34,7 0 0 0 0 0 0 0 0 sari
Setelah panen, terdapat dua perlakuan terhadap hasil pertanian, yaitu dijual dan tidak dijual. Hal ini bergantung kepada luas lahan yang dimanfaatkan. Makin luas lahan yang dimanfaatkan, maka semakin besar peluang untuk menjualnya karena hasil yang didapat juga semakin banyak. Sebesar 34,8 persen petani yang
48
menerapkan pola tanam monokultur16 memutuskan untuk tidak menjual lahan pertaniannya. Ini disebabkan oleh lahan pertanian yang dimanfaatkan relatif sempit dan diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Sekitar 26,1 persen petani yang menerapkan pola tanam monokultur memutuskan untuk menjual hasil pertanian mereka. Sama halnya dengan petani yang menerapkan pola tanam campur/tumpang sari, sebagian besar hasil pertanian mereka juga dijual. Sedangkan sebagian kecil lagi akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Terdapat sekitar 39,1 persen petani yang menerapkan pola tanam campur memutuskan untuk menjual sebagian besar hasil pertanian mereka. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi petani untuk menjual hasil pertaniannya, antara lain ialah: (1) lahan pertanian yang dimanfaatkan relatif lebih luas, sehingga hasilnya berkemungkinan untuk dijual; (2) penjualan sebagian besar hasil komoditi tersebut memang dimaksudkan sebagai modal/biaya untuk masa tanam berikutnya. Hasil dari penjualan tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk masa tanam berikutnya (Tabel 19). Tabel 19. Keputusan Penjualan Komoditas Hasil Pertanian di Kampung Ciharashas, 2009 Penjualan Komoditas Pola tanam Pertanian Jumlah Monokultur Campur F % F % Ya 6 26,1 9 39,1 15 Tidak 8 34,8 0 0 8 Total 23
5.3.2. Kampung Cibeureum Batas Pola tanam yang umum diterapkan di Kampung Cibeureum Batas ialah pola tanam campur/tumpang sari. Hal ini disebabkan oleh kondisi lahan pertanian yang memang sedikit lebih kering jika dibandingkan dengan lahan pertanian yang ada di Kampung Ciharashas, sehingga berpotensi untuk menanam padi-palawija. Terbukti sebesar 58,8 persen petani Kampung Cibeureum Batas menerapkan pola ini. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 29,4 persen menerapkan pola tanam 16
Padi adalah salah satu jenis tanaman yang paling banyak ditanam pada sistem penanaman monokultur. Ini dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga sehari-hari.
49
monokultur atau satu jenis tanaman saja. Sementara itu, sebesar 11,8 persen petani tidak melakukan pola tanam, karena kedua responden ini merupakan buruh tani. Sama halnya dengan Kampung Ciharashas, pada Kampung Cibeureum Batas juga tidak mengalami perubahan dalam hal frekuensi tanam. Dalam satu tahun, masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas biasanya melakukan tiga kali tanam. Terdapat perbedaan dalam hal pola tanam yang diterapkan pada Kampung Cibeureum Batas. Mereka yang dahulunya menanam dengan pola monokultur beralih ke pola tanam campur/tumpang sari, dan sebaliknya (Tabel 20). Tabel 20. Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 Pemanfaatan Kondisi Lahan Pertanian Dahulu Sekarang F % F % Mono 8 47,1 5 29,4 Campur 9 52,9 10 58,8 Lainnya 0 0 2 11,8 Total 17 100 17 100
Terdapat berbagai alasan yang dikemukakan oleh masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas mengenai keputusan pola tanam yang digunakan, antara lain: (1) kemudahan untuk dijual; (2) mengikuti siklus; (3) keputusan pemilik; (4) kurangnya pasokan air; (5) lahan terlalu basah; dan (6) untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Keputusan masyarakat pada saat menanam dengan pola tanam tumpang sari didasarkan pada siklus atau musim yang sedang dihadapi petani (Tabel 21). Tabel 21. Alasan Pemilihan Komoditas Pertanian Masyarakat Tani Kampung Cibeureum Batas, 2009 Pola MuMengiKepu- Pasokan Lahan Lain KebuTanam dah kuti tusan air terlalu tuhan untuk siklus pemilik kurang basah pangan dijual F % F % F % F % F % F % F % Monokultur 1 5,9 0 0 1 5,9 1 5,9 1 5,9 2 11,7 1 5,9 Tumpang 0 0 10 58,8 0 0 0 0 0 0 0 0 sari
50
Terdapat sebesar 17,6 persen petani yang menerapkan pola tanam monokultur tidak menjual hasil pertaniannya. Hal ini disebabkan oleh hasil pertaniannya hanya cukup untuk dikonsumsi sehari-hari saja dikarenakan luasan lahan pertanian yang relatif lebih sempit jika dibandingkan dengan luas sawah yang ada di Kampung Ciharashas. Sementara itu bagi petani yang memutuskan untuk menjual sebagian besar hasil pertaniannya disebabkan oleh tuntutan hidup agar terus dapat menghasilkan pendapatan. Bagi petani yang menerapkan pola tanam campur/tumpang sari, sebagian besar dari hasil pertanian tersebut akan dijual untuk memenuhi kebutuhan seharihari dan selanjutnya dipergunakan sebagai biaya untuk penanaman selanjutnya. Sebesar 58,8 persen yang menerapkan pola tanam campur/tumpang sari memutuskan untuk menjual hasil pertaniannya. Penjualan hasil pertanian biasanya dilakukan sendiri oleh petani di pasar setempat, pada Hari Sabtu atau Minggu (Tabel 22.). Tabel 22. Keputusan Penjualan Komoditas Hasil Pertanian Masyarakat Tani Kampung Cibeureum Batas, 2009 Pola tanam Penjualan Komoditas Jumlah Pertanian Monokultur Campur F % F % Ya 2 11,8 10 58,8 Tidak 3 17,6 0 0 Lainnya Total
12 3 2 17
5.4. Hubungan Perubahan Struktur Agraria terhadap Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani 5.4.1. Kampung Ciharashas Sebagai wujud aktivitas menjual lahan pertanian yang dilakukan oleh petani pemilik, mengakibatkan terjadinya perubahan luas pemilikan lahan pertanian yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat tani, dari petani pemilik menjadi petani penggarap. Aktivitas menjual lahan pertanian ini semakin menambah jumlah petani tunakisma di Kampung Ciharashas. Sementara itu bagi petani yang mengalami peningkatan struktur sosial dari sektor non-pertanian (pedagang sayuran) berubah menjadi petani pemilik sebagai akibat aktivitas membeli lahan pertanian milik orang lain. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa aktivitas jual-beli lahan pertanian akan
51
mengakibatkan terjadinya perubahan struktur agraria dalam hal pemilikan lahan pertanian dan selanjutnya akan menyumbang pada perubahan struktur sosial bagi petani pemilik (Tabel 23). Tabel 23. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Luas Pemilikan Lahan Pertanian Ciharashas , 2009 Perubahan Perubahan Stuktur Sosial Masyarakat Tani Pemilikan Total PM ke PG Tidak NonPM ke PMLahan berubah pertanian PG pertanian ke PM Tunakisma 0 10 0 0 Menurun 5 0 0 0 Tetap 0 5 0 2 Meningkat 0 0 1 0 Total 5 15 1 2 Keterangan: PM : Petani pemilik PG : Petani penggarap PM-PG : Petani pemilik-penggarap
10 5 7 1 23
Terjadinya perubahan struktur sosial dari petani pemilik menjadi petani pemilik-penggarap sesungguhnya menggambarkan bahwa terjadi peningkatan penguasaan efektif lahan melalui penggarapan lahan pertanian milik PT. PW, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan dalam hal luasan lahan garapan. Akan tetapi peningkatan luas penguasaan lahan pertanian tersebut tidak menjadi jaminan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, karena lahan tersebut nantinya akan
dialihfungsikan ke sektor non-pertanian, sehingga ke depannya
berpotensi untuk memunculkan masalah sosial bagi kelangsungan hidup petani akibat “ketiadaan” penguasaan lahan pertanian. Pada umumnya, luas penguasaan lahan pertanian masyarakat tani Kampung Ciharashas “tidak berubah banyak”, hal ini dilatarbelakangi oleh struktur sosial masyarakat tani Kampung Ciharashas pada umumnya merupakan petani penggarap yang menguasai lahan pertanian milik PT. PW dengan kategori sempit, yaitu dari 0,01-0,49 hektar (Tabel 24). Akan tetapi, pada Kampung Ciharashas pada umumnya tidak mengalami perubahan dalam hal pola pemanfaatan lahan pertanian. Masyarakat tani Kampung Ciharashas tetap bertahan untuk menanam padi. Hal ini disebabkan oleh campur tangan dari pihak majikan, yang dalam hal ini ialah PT. PW dan petani kaya yang bertempat tinggal di luar Mulyaharja. Majikan mengharuskan
52
untuk menanam padi, agar proses pembagian bagi hasil mudah dilakukan (Tabel 25). Tabel 24. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Luas Penguasaan Lahan Pertanian Ciharashas, 2009 Perubahan Perubahan Struktur Sosial Masyarakat tani Total penguasaan PM ke PG Tidak NonPM ke PMluas lahan berubah pertanian PG pertanian ke PM Menurun 1 1 0 0 Tetap 4 13 0 1 Meningkat 0 1 1 1 Total 5 15 1 2 Keterangan: PM : Petani pemilik PG : Petani penggarap PM-PG : Petani pemilik-penggarap
2 18 3 23
Tabel 25. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Ciharashas, 2009 Perubahan Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani pemanfaatan PM ke PG Total Tidak NonPM ke PMlahan berubah pertanian PG pertanian ke PM Tetap 5 13 1 1 20 Berubah 0 2 0 1 3 Total 5 15 1 2 23 Keterangan: PM : Petani pemilik PG : Petani penggarap PM-PG : Petani pemilik-penggarap
5.4.2. Kampung Cibeureum Batas Terjadi perubahan struktur sosial petani, dari petani pemilik menjadi buruh tani. Petani tersebut mengalami perubahan struktur sosial sebagai akibat aktivitas menjual lahan pertanian yang dimiliki. Perubahan dalam hal luas pemilikan lahan pertanian
selanjutnya
mempengaruhi
penguasaan
lahan
pertanian
serta
pemanfaatan terhadap lahan pertanian tersebut. Perubahan struktur sosial yang dialami oleh petani pemilik tersebut terbentuk dari perubahan struktur agraria yang dialaminya berkaitan dengan perubahan pemilikan lahan pertanian. Akan tetapi, pada umumnya petani pemilik Kampung Cibeureum Batas tidak mengalami perubahan dalam hal luas pemilikan lahan pertanian, hal ini disebabkan oleh konsistensi keberadaan lahan pertanian yang memang tidak
53
terkena proses konversi lahan pertanian seperti yang terjadi di Kampung Cibeureum Batas (Tabel 26). Tabel 26. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Luas Pemilikan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 Perubahan Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani pemilikan Total PM ke Buruh Tidak berubah PM ke PM-PG lahan tani pertanian Tunakisma 0 6 0 6 Menurun 2 0 0 2 Tetap 0 8 1 9 Total 2 14 1 17 Keterangan: PM : Petani pemilik PM-PG : Petani pemilik-penggarap
Perubahan luas pemilikan lahan pertanian yang dialami petani pemilik selanjutnya akan berdampak pada penguasaannya, seperti yang terjadi pada petani yang mengalami perubahan struktur sosial dari petani pemilik menjadi buruh tani/tunakisma. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga terjadi perubahan penguasaan lahan pertanian bagi petani yang tidak mengalami perubahan struktur sosial. Fenomena ini terjadi pada petani penggarap yang dahulunya memiliki penguasaan lahan pertanian dengan kategori sedang, akan tetapi sekarang menguasai lahan dengan kategori sempit. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian yang menjadi garapannya selama ini sebagian besar telah dijual oleh majikannya (Tabel 27). Tabel 27. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Luas Penguasaan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 Perubahan Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani penguasaan Total PM ke Buruh Tidak berubah PM ke PM-PG lahan tani pertanian Menurun 2 1 0 3 Tetap 0 13 1 14 Total 2 14 1 17 Keterangan: PM : Petani pemilik PM-PG : Petani pemilik-penggarap
Bagi petani yang mengalami perubahan penguasaan sebagai akibat terjadinya perubahan pemilikan, yang dalam hal ini tidak lagi memiliki lahan pertanian, maka akan mempengaruhi pola pemanfaatannya. Perubahan pola
54
pemanfaatan yang terjadi ialah dari dapat memanfaatkan lahan pertanian menjadi tidak dapat memanfaatkan lahan pertanian. Misalnya, yang terjadi pada petani pemilik berubah menjadi buruh tani. Selain karena perubahan struktur sosial yang selanjutnya mempengaruhi pola pemanfaatannya, perubahan pola pemanfaatan yang dialami petani juga dipengaruhi oleh faktor: (1) kondisi lahan pertanian; (2) keputusan pemilik; (3) modal yang dimiliki; (4) bergantung pada musim yang dihadapi, dan; (5) luas lahan yang dimiliki (Tabel 28). Tabel 28. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009 Perubahan Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani pemilikan Total PM ke Buruh Tidak berubah PM ke PM-PG lahan tani pertanian Tetap 0 11 1 12 Berubah 2 3 0 5 Total 2 14 1 17 Keterangan: PM : Petani pemilik PM-PG : Petani pemilik-penggarap
5.5 Ringkasan Struktur agraria yang dibahas dalam penelitian ini berkenaan dengan pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian. Terjadi perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian sebagai akibat pembelian lahan pertanian oleh pihak swasta, terutama pada Kampung Ciharashas. Dimana terjadi perubahan pada land tenure pattern dalam hal luas pemilikan lahan dan cara perolehan penguasaan lahan pertanian. Pola penguasaan dengan sistem penggarapan banyak ditemukan di Kampung Ciharashas. Hal ini disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW, sehingga mengakibatkan bertambahnya luas penguasaan lahan pertanian. Akan tetapi, bertambahnya luas penguasaan lahan pertanian tidak mencerminkan “keterjaminan” hidup di masa yang akan datang, karena pada dasarnya mereka menggarap lahan pertanian yang akan dialihfungsikan ke non-pertanian. Ketika nantinya lahan tersebut diambil kembali, maka akan hilang pengharapan untuk hidup. Sementara itu pada land tenancy pattern, terjadi perubahan pada praktik penyakapan yang digunakan serta para pelaku yang terlibat di dalamnya.
55
Sebaliknya pada Kampung Cibeureum Batas, perubahan struktur agraria yang terjadi hanya pada hal land tenancy pattern, berkaitan dengan praktik sakap yang digunakan (Tabel 29). Tidak begitu banyak perubahan struktur agraria yang ditemukan di kampung ini. Hal ini disebabkan oleh konsistensi keberadaan lahan pertanian. Perbedaan perubahan struktur agraria yang ditampilkan oleh kedua kampung dipengaruhi oleh kondisi geografis lahan pertanian itu sendiri. Pada Kampung Ciharashas misalnya, karena lahan pertanian berbentuk hamparan, maka berpotensi untuk dijadikan sebagai kawasan perumahan di masa yang akan datang. Berbeda halnya dengan kampung Cibeureum Batas, dimana lahan pertanian dikelilingi oleh jalan dan rumah penduduk sehingga pihak swasta tidak tertarik untuk menjadikannya sebagai aset pembangunan perumahan, seperti di kampung Ciharashas. Perubahan struktur agraria erat kaitannya terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. Pada Kampung Ciharashas, terjadi perubahan dari petani pemilik ke petani penggarap, dari petani pemilik ke petani pemilik-penggarap, serta non-pertanian menjadi petani pemilik. Sehingga pada saat ini terdapat tiga tingkatan struktur sosial petani yang ditemukan di Kampung Ciharashas, yaitu: (1) petani pemilik-penggarap; (2) petani pemilik; (3) petani penggarap (tunakisma) (Gambar 4). Sedangkan pada kampung Cibeureum Batas, terjadi perubahan dari petani pemilik ke buruh tani dan dari petani pemilik menjadi petani pemilikpenggarap. Dengan demikian terdapat tiga tingkatan struktur sosial yang ada di kampung Cibeureum Batas, yaitu: (1) petani pemilik-penggarap; (2) petani pemilik, dan; (3) buruh tani (tunakisma). Tingkatan struktur sosial petani tersebut didasarkan kepada luas pemilikan dan penguasaan terhadap lahan pertanian (Gambar 5).
56
PemilikPenggarap
Pemilik Penggarap (tunakisma)
Gambar 4. Tingkatan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ciharashas
PemilikPenggarap
Pemilik Buruh tani (tunakisma)
Gambar 5. Tingkatan Struktur Sosial Masyarakat Tani Cibeureum Batas
Tabel 29. Perbedaan Perubahan Struktur Agraria pada Lahan Sisa Konversi Pertanian di Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, 2009 Keterangan
Land tenure pattern
Land tenancy pattern
Indikator
2) 3) 4) 5)
Beli dan warisan Berlahan sempit Tunakisma Bertambah, akan tetapi masih pada kategori lahan sempit Milik saja Menggarap
Warisan Berlahan sempit Berlahan sempit Milik saja
Bagi hasil dan sistem gadai Maro atau 50:50
Bagi hasil dan sistem gadai Maro atau 50:50
Cara perolehan lahan Luas pemilikan lahan Luas penguasaan lahan Cara perolehan penguasaan lahan 1) Pola hubungan produksi 2) Praktik penyakapan
4) Hubungan antar pelaku 5) Tanaman yang disakapkan 6) Hak dan kewajiban pemilik dan penggarap 1) Jenis komoditi 2) Alasan memilih komoditi 3) Perlakuan terhadap hasil pertanian 4) Pola tanam
Masyarakat tani yang tinggal di dalam dan luar Mulyaharja Orang lain Padi
Sesudah
70:30 dan 80:20 Pihak swasta, masyarakat tani yang tinggal di dalam dan luar Mulyaharja
Sebelum Surat desa
Cibeureum Batas
1) Status hak pemilikan
3) Para pelaku
Pola pemanfaatan
Ciharashas
Sebelum Surat desa dan segel
Sesudah
80: 20, 75:25, 70:30 dan 50:50 Masyarakat tani yang tinggal di dalam dan luar Mulyaharja
Orang lain Padi
Pemilik: menyediakan lahan pertanian dan berhak memperoleh hasil pertanian. Penggarap: menggarap lahan pertanian.
Pemilik: menyediakan lahan pertanian dan berhak memperoleh hasil pertanian. Penggarap: menggarap lahan pertanian.
Padi Keputusan pemilik dan keterbatasan modal yang dimiliki
Palawija Mengikuti siklus
Dijual
Dijual
Monokultur
sistem tumpang sari
BAB VI KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI PADA SEKTOR PERTANIAN
6.1. Kasus Kampung Ciharashas: Pemberian Hak Garap dari Perusahaan Petani yang paling banyak ditemukan di Kampung Ciharashas ini ialah petani penggarap. Mayoritas lahan pertanian yang menjadi garapan para petani Kampung Ciharashas ialah lahan pertanian milik PT. PW. Sebagian lagi menggarap lahan pertanian milik petani kaya yang bertempat tinggal di luar Kelurahan Mulyaharja. Baik petani kaya maupun PT. PW berstatus sebagai majikan, yaitu pihak yang memberikan kesempatan kepada petani untuk menggarap lahan miliknya. Pola hubungan produksi yang dipergunakan ialah sistem bagi hasil. Penetapan sistem bagi hasil ini hanya digunakan ketika petani menanam padi. Sementara ketika petani menanam palawija, tidak menggunakan sistem bagi hasil. Hal ini disebabkan oleh perhitungan biaya produksi yang lebih rumit jika dibandingkan pada saat menanam padi. Hasil pertanian yang diperoleh nantinya akan diberikan kepada PT. PW, selaku pihak yang telah memberikan kesempatan menggarap. Masing-masing besar pembagian didasarkan kepada kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Penetapan pola hubungan produksi yang ditetapkan merupakan hasil musyawarah diantara kedua pihak, yaitu pihak penggarap dan majikan. Terdapat perbedaan sistem bagi hasil dalam penggarapan lahan pertanian milik PT. PW dan pada petani kaya. Jika menggarap lahan pertanian milik PT. PW, sistem yang biasa dipergunakan ialah per tilu atau 70:30. Dalam artian, 70 persen diperuntukkan bagi penggarap, sementara 30 persen diperuntukkan bagi PT. PW. Misalnya, jika hasil pertanian yang diperoleh ialah 10 karung, maka 3 karung akan diserahkan kepada PT. PW. Hasil yang diserahkan bukanlah dalam bentuk beras/gabah. Melainkan jumlah uang yang setara dengan “hak” yang diperoleh PT. PW.
59
Proses penentuan bagi hasil tersebut melalui suatu proses perundingan antara PT. PW dengan masyarakat tani Kampung Ciharashas. Menurut Sihaloho (2004), pada awal penggarapan lahan pertanian milik PT., bagi hasil yang disepakati ialah maro. Namun seiring dengan hasil yang diperoleh tidak mencukupi dan bahkan sering merugi, maka masyarakat mengajukan permohonan kepada PT. supaya hasilnya dibagi tiga dengan sistem mertelu. Kemudian permohonan ini disetuji oleh pihak PT. hingga saat ini. Dengan demikian masyarakat tidak merasa dirugikan. Biaya produksi pertanian yang dikeluarkan meliputi biaya bibit, pupuk, buruh, sewa alat pertanian dan pestisida ditanggung sendiri oleh penggarap. Biaya ini terlebih dahulu diperhitungkan sebelum proses bagi hasil dilakukan. Uniknya, dalam pemberian hasil pertanian terdapat “sistem kompromi” diantara penggarap dan PT. PW. Jika hasil pertanian yang diperoleh sedikit atau tidak begitu memuaskan, maka hasil pertanian yang diberikan kepada pihak PT. PW bisa dikurangi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak U (petani penggarap): “ kalau garap di PT., dari bibit, pupuk, obat hama dan biaya kerbau itu kita tanggung sendiri. Tapi kalau hasilnya lagi jelek, biasanya kita kasih seikhlasnya saja. Kita cukup bilang hasilnya lagi jelek. Nanti pasti orangnya bisa ngerti.” Ketika petani menggarap lahan pertanian milik orang lain, tidak diberlakukan “sistem kompromi”. Berapapun hasil yang diperoleh, harus dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua pihak. Pembagian hasil pertanian berdasarkan biaya produksi yang telah dikeluarkan petani mulai dari proses penanaman, hingga panen. Apabila pemilik menanggung semua biaya produksi yang dikeluarkan, maka pembagian hasil langsung dilakukan tanpa melakukan perhitungan biaya terlebih dahulu. Hal ini seperti yang diterapkan oleh petani kaya, Bapak Haji A. Sebaliknya jika petani menanggung seluruh biaya produksi mulai dari penanaman hingga panen, maka akan dilakukan perhitungan biaya produksi sebelum pembagian hasil. Hal ini seperti yang diterapkan oleh penggarap yang menggarap lahan pertanian milik Bapak Haji E. Hal ini dilakukan karena semua biaya produksi seperti bibit, pupuk, biaya buruh, sewa kerbau dan pestisida
60
ditanggung oleh penggarap. Akan tetapi, petani yang menggarap lahan pertanian milik Bapak X tidak melakukan perhitungan terhadap biaya produksi yang dikeluarkannya sebelum pembagian hasil dilakukan. Hal ini terjadi karena penggarap sudah mendapatkan bagian yang lebih banyak jika dibandingkan dengan sistem penggarapan yang umum ditetapkan di masyarakat (80:20) (Tabel 30). Tabel 30. Tiga Tipe Hubungan Produksi yang Ditetapkan oleh Petani Kaya No Pemilik Sistem Bagi Hasil Biaya produksi 1. Bapak Haji 70 persen diperuntukkan bagi Ditanggung oleh A penggarap, sementara 30 persen lainnya pemilik. Mulai dari bibit, untuk pemilik. pupuk, biaya buruh, sewa kerbau dan pestisida. 2. Bapak Haji 70 persen diperuntukkan bagi Ditanggung oleh E penggarap, sementara 30 persen lainnya penggarap, dengan untuk pemilik. terlebih dahulu melakukan perhitungan biaya produksi sebelum pembagian hasil dilakukan. 3. Bapak X 80 persen diperuntukkan bagi Ditanggung oleh penggarap, sementara 20 persen lainnya penggarap dan tidak untuk pemilik. melakukan perhitungan biaya produksi sebelum pembagian hasil dilakukan.
Penetapan ketiga hubungan produksi di atas ditentukan oleh petani pemilik dan dimusyawarahkan kepada penggarap. Tidak ditemukan kecenderungan petani untuk memilih salah satu jenis hubungan produksi. Namun apabila bisa memilih, petani Ciharashas lebih menyukai menggarap lahan pertanian milik PT. PW. Hal ini disebabkan oleh penggunaan “sistem kompromi”. Penerapan sistem tersebut sangat besar dampaknya bagi para petani. Ditambah lagi ketika mereka dihadapkan pada persoalan hama, cuaca yang tidak bersahabat, dan lain sebagainya. Secara umum, para petani penggarap yang ada di Kampung Ciharashas masih “bertahan” di sektor pertanian karena memang masih diberikan kesempatan oleh pihak PT. PW untuk menggarap. Jika kemudian lahan milik PT. PW tersebut diputuskan akan dibangun oleh PT. GASP untuk penambahan pembangunan
61
kawasan perumahan, maka saat itu pula mata pencaharian mereka akan lenyap seketika. Hal yang mungkin mereka lakukan ialah pindah ke wilayah lain seperti Sukaharja dengan tetap bertani, atau tetap bertahan di kampung sendiri dengan mengalihkan mata pencaharian selain bertani. Selama menggarap lahan pertanian milik PT. PW, pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesempatan untuk dapat membeli lahan di tempat lain sangat sedikit. Kemungkinan terbesar bagi mereka ialah kembali menjadi penggarap di tempat lain. Hal tersebut senada dengan pernyataan Bapak N (petani pemilik): “ Seandainya lahan garapan saya nanti diambil kembali untuk dibangun, paling saya cari kerja lain selain jadi tani. Atau gak, mentoknya saya pindah ke kampung lain atau ke tempat saudara saya.” Sedangkan bagi petani pemilik, masih “bertahannya” mereka di sektor pertanian disebabkan keinginan untuk dapat mewariskan kembali lahan pertanian miliknya. Ataupun ingin menjualnya ketika nanti lahan mereka terkena plotan pembangunan dengan harga yang memuaskan. Harapan mereka agar dapat kembali bertani dengan membeli lahan di daerah lain. Wilayah17 yang menjadi sasaran bertani selanjutnya merupakan daerah dengan kondisi pertanian masih bagus dengan harga lahan yang terjangkau. Sesungguhnya, ketahanan yang ditunjukkan oleh masyarakat tani, baik petani pemilik, pemilik-penggarap, penggarap dan buruh tani lebih didasarkan pada keadaan. Hal tersebut disebabkan oleh generasi muda pada saat ini tidak tertarik untuk mencari nafkah di jalan pertanian. Mayoritas masyarakat tani yang kini dijumpai minimal berusia 45 tahun. Usia tidak menjadi halangan bagi mereka untuk beraktivitas di sawah. Selain itu, pada umumnya masyarakat tani tidak memiliki
keterampilan/skill
selain
bertani.
Hal
tersebut
sesungguhnya
dilatarbelakangi oleh rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki. Oleh sebab itu,
17 Banyak petani dari Kelurahan Mulyaharja yang pindah lokasi pertanian ke daerah yang memiliki kontur lebih tinggi, atau pegunungan di sekitar daerah Pondok B, Kabupaten Bogor. Karena semakin tinggi dari permukaan laut, maka harga lahan akan semakin murah.
62
mereka tidak mempunyai akses kepada mata pencaharian formal dan informal lainnya. Fakta ini sesuai dengan pernyataan Bapak Yn (petani penggarap): “ habis apa lagi yang mau saya kerjakan. Soalnya anak-anak sekarang mah gak mau ke sawah neng. Katanya panas, kotor, terus gatel. Dulu saya sopir. Tapi sekarang mata saya udah ga kuat. Udah tua. Makanya tetap jadi tani. saya pan sekolahnya cuma SD. Itupun gak lulus.” Alasan masyarakat tani masih bertahan di sektor pertanian selanjutnya akan ditelusuri lebih lanjut dari faktor sosial dan ekonominya. Untuk lebih jelasnya, akan dibahas pada sub-bab berikut. 6.1.1. Pertanian sebagai Cultural Core Masyarakat Tani Meskipun lahan pertanian yang ada di Kampung Ciharashas mayoritas telah dikuasai oleh pihak swasta, yaitu PT. PW tetapi hal tersebut tidak merubah niat masyarakat tani Ciharashas untuk tetap bertani. Pada umumnya mereka telah menyadari bahwa besar kemungkinan lahan pertanian yang mereka garap suatu saat akan dibangun untuk “kepentingan pembangunan”, atau dipindahtangankan kepada pihak lain (swasta) karena pihak PT. PW sendiri sebenarnya sudah lama mengalami kebangkrutan. Mereka tetap memanfaatkan lahan pertanian yang ada, meskipun tidak jelas kontinuitasnya. Hal tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh sulitnya mencari lahan pertanian pada saat ini. Terdapat perbedaan ciri dari setiap wilayah RW yang ada di Kelurahan Mulyaharja. Masyarakat tani yang ada di Kampung Ciharashas misalnya, masih hidup dalam kesederhanaan. Kali adalah tempat petani melakukan aktivitas buang air besar. Masyarakat tani Kampung Ciharashas merasa lebih nyaman ketika melakukan buang air di kali daripada di WC. Bahkan sebagian lagi mempergunakan kali itu untuk mencuci pakaian, mencuci piring, dan mandi. Uang yang mereka dapatkan dari sektor pertanian sepenuhnya akan “diputar” kembali untuk digunakan pada masa tanam selanjutnya dan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, sehingga kebutuhan untuk membangun rumah menjadi terabaikan. Pertanian menjadi satu-satunya jalan untuk menghasilkan pendapatan, dan mereka tidak bisa diarahkan untuk mencari
63
pendapatan dari sektor lainnya. Bertani telah menjadi pilihan hidup mereka. Hal ini seperti pernyataan Bapak J (petani pemilik): “ bapak saya dulunya juga tani. Tani ini, faktor keturunan dari keluarga saya. Jadi, tani udah jadi pilihan hidup saya.” Bekerja dengan menjadi seorang petani merupakan suatu kenyamanan batin bagi Bapak Mt, seorang petani penggarap. Bapak Mt mengaku tidak bisa pindah ke lain hati. Ketika bangun pagi-pagi dan menginjakkan kakinya di sawah, Bapak Mt langsung bersemangat. Hal ini seperti yang terangkum dalam pernyataan Bapak Mt (petani penggarap): “ bekerja di sawah itu enak neng, adem rasanya. Saya suka sekali. Saya dari kecil sudah jadi petani. Saya tidak mau pindah ke pekerjaan yang lain. Ditambah lagi saya tidak punya pengalaman.” Bagi petani pemilik, mereka masih mempertahankan lahan pertaniannya agar dikemudian hari dapat diwariskan kepada anak dan cucu. Hal ini seperti yang terjadi pada Aki R. Meskipun Aki R telah mendapatkan keuntungan yang besar dari usaha kayu yang digelutinya, namun Aki R tidak mau menjual lahan pertaniannya. Tidak jadi masalah apabila lahan tersebut nantinya tidak berbentuk sawah lagi, asalkan kewajiban18 dirinya sebagai tetua sudah terpenuhi. Selain alasan yang dikemukakan oleh individu petani tersebut, masih bertahannya masyarakat tani di Kampung Ciharashas pada sektor pertanian sebenarnya disebabkan oleh masih eratnya tingkat kekerabatan antara petani yang satu dengan yang lainnya. Jika seorang petani mengalami kesusahan, maka yang lainnya membantu. Perilaku saling membantu ini terutama dalam hal mengatasi masalah pertanian, seperti penanganan hama dan penyakit tanaman. Mereka biasanya saling bertukar informasi dan pengalaman dalam bertani. Wujud aktivitas saling membantu tidak hanya dalam hal pertukaran informasi. Pinjam meminjam alat pertanian dan pupuk juga sering dilakukan. Hal ini disebabkan oleh mahalnya harga alat pertanian dan pupuk yang ada. 18
Kewajiban di sini, dalam artian dapat memastikan semua anak dan cucunya mendapat hak waris dari dirinya. Agar dikemudian hari tidak ada anak dan cucunya yang terlantar dan melarat.
64
Dilatarbelakangi oleh rasa senasib dan sepenanggungan tersebut, maka petani mempunyai solidaritas yang tinggi untuk saling membantu dalam pertanian. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Bapak A (Ketua RW. 0X): “ kita sesama petani di sini, ya bareng-bareng aja. Saling mengasih tau kalo ada informasi. Yang ngerti, ngasih sama yang gak ngerti. Itu yang buat kita masih tahan jadi petani.”
6.1.2. Keterpaksaan dan Pilihan Menjadi Petani Dipilihnya petani sebagai mata pencaharian utama lebih didasarkan kepada minimnya skill yang dimiliki oleh masyarakat. Mereka tidak memiliki keahlian selain bertani. Sehingga ketika mereka mencoba untuk pindah ke pekerjaan lain, banyak yang tidak berhasil dan kembali menggeluti pertanian. Selain itu, ekonomi keluarga mereka sejak dahulunya memang tergolong kepada lapisan ekonomi lemah. Memiliki biaya yang terbatas untuk menimba ilmu maupun untuk memulai suatu usaha. Oleh karena itu, dari pada mengganggur mereka lebih memilih untuk “terjun” ke sawah. Hal ini seperti yang diungkapkan Bapak D (petani penggarap): “ keluarga saya dari dulu memang kurang mampu Neng. Jadi saya udah ngikut orang tua jadi tani sejak dulu. Dari pada saya menganggur, lebih baik saya manfaatkan lahan punya PT. ini. Lagipula saya gak punya pengalaman ke sektor lain. Selain itu kalau disuruh berdagang, modal saya terbatas. Nanti bisa-bisa belum apa-apa sudah gulung tikar.” Selain itu, lahan merupakan satu-satunya aset yang dimiliki oleh masyarakat tani untuk dapat dimanfaatkan keberadaannya. Sedapat mungkin mereka memanfaatkan segala sesuatu yang dimiliki agar terus dapat menghasilkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan rumahtangga. Ketika mereka mempertaruhkan lahan pertaniannya, berarti mempertaruhkan “perut” satu keluarga. Peristiwa ini tergambar dari pernyataan Bapak MS (petani pemilik):
65
“ saya cuma mengandalkan dari tani. Seandainya dijual, nanti buat makan sehari-hari bagaimana?. Bisa-bisa anak dan istri saya tidak makan.” Ada juga masyarakat yang menyadari bahwa bekerja di sektor pertanian lebih memberikan “kepastian” daripada bekerja di sektor informal lainnya, seperti menjadi kuli bangunan dan berdagang. Akan tetapi, menjadi kuli bangunan tentu bergantung kepada adanya bangunan yang akan didirikan atau susah diprediksikan kapan akan mendapat pekerjaan. Selain itu, kuli yang bekerja pada pembangunan perumahan yang ada di Kelurahan Mulyaharja tidak berasal dari masyarakat setempat. Jika mengandalkan dari berdagang, maka membutuhkan modal yang besar. Sementara kebanyakan dari mereka kekurangan modal. Oleh karena itu, menjadi petani lebih aman dan terjamin jika dibandingkan dengan pekerjaan sektor informal yang dapat mereka masuki. Hal ini seperti pernyataan berikut yang disampaikan oleh Bapak U (petani pemilik): “ walaupun jadi tani, tapi alhamdulillah saya bisa menuhin kebutuhan anak istri. Hasil dari tani itu, ‘muter’ tidak seperti waktu saya jadi kuli bangunan. Dapetnya tidak pasti berapa. Terus kerjanya seharian, berat saya. Kalo dari tani, hari ini kita bisa beli ini, besoknya kita bisa beli buat kebutuhan lain. Sementara hasil dari kuli langsung habis.”
6.2. Kasus Kampung Cibeureum Batas: Lahan Pertanian Milik Sendiri Petani yang banyak ditemukan di Kampung Cibeureum Batas ini ialah petani pemilik. Selebihnya merupakan petani penggarap, pemilik-penggarap dan buruh tani. Jumlah petani penggarap yang sedikit disebabkan oleh mayoritas petani pemilik yang ada di Kampung Cibeureum Batas menggarap sendiri lahan pertaniannya. Hal ini disebabkan oleh luasan lahan pertanian yang dimiliki petani hanya berkisar satu hingga dua petak saja. Jika dirata-ratakan, masing-masing petani hanya memiliki lahan seluas 1600 m2. Luas lahan terbesar hanya mencapai 3000 m2 dan luas lahan terkecil berkisar 500 m2. Mayoritas lahan pertanian yang dimiliki oleh petani pemilik tersebut merupakan warisan dari orang tua mereka. Letak atau lokasi lahan pertanian
66
mereka tidak begitu jauh dari rumah, sehingga kondisi lahan pertanian yang ada di Kampung Cibeureum Batas mayoritas dikelilingi oleh rumah dan jalan setapak yang biasa dilalui penduduk (Lampiran 5). Secara umum, masih bertahannya masyarakat tani di Kampung Cibeureum Batas di sektor pertanian karena dipaksa oleh keadaan. Hal ini sama halnya dengan kasus masyarakat tani Kampung Ciharashas. Peristiwa ini disebabkan oleh generasi muda yang mereka harapkan sudah tidak berminat lagi kepada pertanian. Mereka lebih tertarik pada pekerjaan yang tidak menggunakan fisik terlalu keras, tidak panas dan kotor seperti skill pembuatan sandal dan sepatu, sehingga hanya mereka yang berusia tua yang bekerja di sawah. Masih bertahannya masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas di sektor pertanian, didukung oleh masih tersisanya lahan pertanian warisan orang tua mereka. Sudah menjadi kewajiban untuk menjaganya dan memanfaatkan aset turun temurun keluarga. Mereka tidak tertarik untuk menjual lahan pertanian yang mereka miliki. Selain itu, mereka juga mencari penghasilan tambahan dari pekerjaan yang dapat diusahakan olehnya. Alasan masyarakat tani masih bertahan di sektor pertanian selanjutnya akan ditelusuri lebih lanjut ditinjau dari faktor sosial dan ekonominya. Untuk lebih jelasnya, akan dibahas pada sub-bab berikut. 6.2.1. Lahan Pertanian: Harta Warisan Turun-temurun Ketahanan (persistence) yang ditunjukkan oleh masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas sesungguhnya menggambarkan keinginan untuk mewariskan kembali lahan pertaniannya. Hak waris selanjutnya akan jatuh ke tangan anak mereka. Biasanya, masing-masing anak akan mendapatkan luasan yang sama, agar tidak terjadi pertengkaran diantara keluarga. Pewarisan tanah ini ditujukan agar lahan pertanian mereka dapat “dimanfaatkan” oleh penerusnya kelak. Masalah lahan akan tetap dijadikan perumahan atau sawah kembali, itu terserah kepada anak mereka nantinya. Hal terpenting ialah telah terpenuhinya tanggung jawab sebagai orang tua. Peristiwa ini terangkum ke dalam pernyataan Bapak AR (petani pemilik): “lahan ini tidak akan saya jual. Nanti akan saya wariskan kepada anak-anak saya. Supaya hidupnya sedikit lebih terjamin.“
67
Sepertinya petani telah menyadari bahwa nilai lahan akan meningkat tajam di masa yang akan datang. Hal ini didorong oleh lokasi lahan pertanian yang strategis dan sebagai akibat naik/turunnya nilai uang (inflasi), sehingga walaupun hidup pas-pasan pada saat ini, harapan petani agar anak-anaknya tidak merasakan kesusahan seperti yang mereka alami. Ada juga petani yang tidak ingin menjual lahan pertaniannya dikarenakan teguh memegang pertanian dan sangat menghormati lahan pemberian orang tuanya, seperti kasus Bapak O. Hal ini disebabkan oleh lahan yang diperoleh merupakan hasil kerja keras antara dirinya dan orang tuanya dahulu. Bapak O telah merasakan betapa susahnya mendapatkan lahan pertanian yang kini digarap. Anak-anaknya juga menjadi petani dan menggarap lahan pertanian miliknya. Jika dilihat berdasarkan luasan lahan yang dimiliki oleh petani Kampung Cibeureum Batas, maka Bapak O ditempatkan sebagai petani kaya. Bapak O telah berniat untuk mewariskan lahan pertanian miliknya kepada anak-anaknya kelak jika ia meninggal dunia. Tetapi, lahan pertanian yang diperoleh sebaiknya tetap difungsikan sebagai mana bentuk asalnya. Apabila nanti anaknya sudah tidak sanggup menggarapnya kembali, maka sebaiknya dilimpahkan kepada petani penggarap. Hal ini seperti pernyataan Bapak O (petani kaya): “ saya tidak mau jual lahan saya. Dapatnya juga dulu susah. Saya udah jadi tani dari dulu neng. Banting tulang sama bapak saya supaya bisa beli lahan. Alhamdulillah anak saya juga tani. Jadi lahan saya pasti terjamin masih jadi lahan ke depannya. Jadi jerih payah saya gak sia-sia.” Sama halnya dengan masyarakat tani Kampung Ciharashas, masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas merasa pertanian adalah bagian dari dirinya. Petani tidak bisa pindah ke pekerjaan lainnya, meskipun telah mencoba untuk pindah pekerjaan seperti buruh bangunan, petani tetap kembali pada pekerjaannya semula, yaitu bertani. Hal ini disebabkan oleh rasa ketidaknyamanan bekerja di sektor lain.
68
6.2.2. Kesadaran Masyarakat Tani terhadap Nilai Kontinuitas Lahan Pertanian Berbagai upaya dilakukan oleh para biong agar dapat menghasilkan pendapatan, diantaranya ialah membujuk masyarakat tani agar menjual lahan pertaniannya. Jika pihak petani menolak, maka biong akan “memutar otak” untuk menemukan cara agar petani menjual lahan miliknya. Salah satunya ialah dengan menyebarkan isu bahwa lahan pertanian yang ada di sekeliling lahan miliknya telah dibeli oleh pihak PT. PW dan akan segera di buldoser, sehingga petani terpaksa harus menjualnya. Isu lain yang dikembangkan ialah dengan mengatakan kepada petani bahwa jika lahan pertanian tidak segera dijual, maka harga di masa mendatang akan lebih murah. Bagi petani yang sedang membutuhkan uang karena kebutuhan hidup yang mendesak, maka akan langsung terpengaruh dan pada akhirnya menjual lahan pertanian miliknya. Umumnya para biong memanfaatkan kesulitan yang dihadapi petani agar bersedia menjual lahannya. Akan tetapi bagi petani tidak mudah percaya, tidak akan menjual lahan miliknya. Melihat hal tersebut, maka para biong akan kembali datang di lain hari untuk kembali berusaha mendapatkan lahan. Pesangon yang didapat oleh para biong bergantung kepada luas lahan yang diperoleh untuk dijual. Semakin luas lahan yang didapat, maka semakin besar pendapatannya. Selain menggunakan tipu daya, biong juga membujuk petani dengan jumlah uang yang sangat besar, yang diperoleh ketika menjual lahan petanian miliknya. Masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas pada umumnya menyadari bahwa lahan seluas 500 m2 lebih bermakna daripada uang Rp. 50 juta sebagai hasil menjual lahan19. Berapapun jumlahnya, uang akan segera habis. Akan tetapi lahan, berapapun luasnya tidak akan pernah “habis” jika terus dimanfaatkan. Karena hal itulah banyak masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas yang menolak untuk menjual lahan pertanian miliknya. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa pada umumnya masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas menyadari bahwa lahan mempunyai kontinuitas yang 19 Harga lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja pada saat ini berkisar Rp. 100.000,00 per meter. Maka jika mereka memiliki lahan seluas 500 m2, maka akan mendapatkan uang Rp50 juta ketika memutuskan untuk menjual lahannya.
69
lebih jelas untuk menyambung hidup daripada uang dalam jumlah yang besar dari hasil menjual lahan. Selain dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga sehari-hari, lahan dapat dijadikan sebagai jaminan masa depan bagi anak dan cucu. Pola inilah yang kerap ditemukan pada masyarakat tani Kampung Cibeureum batas. Seperti yang terangkup dalam pernyataan Bapak S (petani pemilik): “ uang itu cepet habis. Kalo lahan asalkan digarap terus, gak bakalan pernah habis. Makanya saya gak mau jual. Bisa-bisa nanti anak istri saya gak makan. (Informan). ”
6.3. Ringkasan Kampung Ciharashas dan Kampung Cibeureum Batas memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal pemilikan lahan pertanian. Di Kampung Ciharashas, lahan pertaniannya mayoritas dimiliki oleh pihak swasta, sehingga mayoritas penduduknya merupakan petani penggarap. Petani pemilik, pemilik-penggarap dan buruh tani sedikit ditemukan. Sedangkan pada Kampung Cibeureum Batas, lahan pertaniannya masih banyak yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Intervensi pihak swasta tidak banyak ditemukan di kampung ini. Hal ini disebabkan oleh kondisi lahan pertanian yang dikelilingi oleh jalan dan rumah penduduk, sehingga kampung ini tidak menjadi prioritas utama dalam wilayah yang akan dijadikan sasaran “pembangunan” yang dilakukan pihak swasta. Terdapat perbedaan yang ditampilkan oleh masyarakat tani di kedua kampung ini berkaitan dengan alasan untuk masih bertahan di sektor pertanian. Secara umum, masih bertahannya masyarakat tani Kampung Ciharashas pada sektor pertanian disebabkan oleh pemberian hak garap dari PT. PW kepada masyarakat tani. Dengan demikian, penguasaan efektif mereka berada pada lahan peruntukan pembangunan kompleks perumahan. Sedangkan pada Kampung Cibeureum Batas, masih bertahannya masyrakat tani pada sektor pertanian disebabkan oleh keberadaan lahan pertanian yang masih terjaga konsistensinya. Terdapat perbedaan alasan masih bertahannya masyarakat tani di sektor pertanian berkaitan dengan faktor sosial dan ekonomi yang ada di lingkungannya. Maka untuk mempermudah pembaca, peneliti berusaha menyimpulkan dan merumuskan analisis tersebut ke dalam sebuah matriks (Tabel 31)
70
Tabel 31. Alasan Masih Bertahannya Masyarakat Tani di Sektor Pertanian Kasus Alasan Bertahan Aspek Sosial Aspek Ekonomi Kampung 1) Cultural core nya adalah 1) Latar belakang keluarga yang Ciharashas bertani. Tidak bisa berpindah berasal dari golongan ekonomi kepada mata pencaharian lemah, sehingga tidak dapat yang lain. mengakses pekerjaan yang 2) Tingkat kekerabatan yang lebih “menjanjikan” sebagai tinggi, sehingga sering terjadi konsekuensi dari rendahnya pinjam meminjam alat pendidikan yang dimiliki. pertanian. 2) Lahan merupakan satu-satunya 3) Bagi petani pemilik, aset yang dapat diandalkan keinginan untuk mewariskan untuk menyambung hidup. lahan pertaniannya. Kampung 1) Lahan yang dimiliki Kesadaran masyarakat tani akan Cibeureum mayoritas merupakan warisan kontinuitas lahan pertanian Batas dari kedua orang tua. dibandingkan dengan uang yang 2) Keinginan untuk mewariskan sangat besar dari hasil menjual kembali lahan pertanian yang lahan pertanian. dimiliki, kepada generasi penerus. Sumber: Hasil sintesis data primer
71
BAB VII USAHA BERTAHAN MASYARAKAT TANI DI SEKTOR PERTANIAN Terdapat berbagai usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian. Usaha tersebut dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: 1) strategi dalam bertani; 2) dengan melakukan mata pencaharian ganda, dan; 3) melakukan pinjaman atau yang disebut dengan “gali lubang tutup lubang”. Untuk usaha yang kedua dan ketiga, pada masyarakat tani Ciharashas maupun Cibeureum Batas tidak menunjukkan perbedaan. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam hal strategi bertani diantara kedua masyarakat tani tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut, dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini. 7.1. Strategi dalam Bertani 7.1.1. Kasus Kampung Ciharashas: Pindah Lokasi pertanian dan Budaya Gotong Royong Bagi petani pemilik yang mempunyai lahan diantara lahan pertanian milik PT. PW, maka kemungkinan besar akan terkena pengalihan fungsi lahan ketika nanti lahan pertanian tersebut akan dibangun untuk kepentingan pengembangan pembangunan oleh PT. GASP. Menanggapi kemungkinan tersebut, sebagian besar petani bersikap pasrah namun sudah berancang-ancang untuk mengambil langkah selanjutnya. Petani cenderung pasrah, karena menyadari posisi tawar yang rendah jika dibandingkan dengan pihak manapun, apalagi dengan pihak swasta yang memiliki modal dan kekuasaan yang besar. Ketika petani memutuskan untuk tidak menjual, maka para biong akan siap beraksi untuk membujuk petani setiap harinya hingga terpaksa menjual lahannya. Akan tetapi ternyata petani memiliki strategi tersendiri, yaitu dengan memasang harga tinggi ketika ditawar oleh biong. Dengan harapan agar nantinya dapat membeli lahan di tempat lain atau pindah lokasi pertanian. Hal yang dapat dilakukan selanjutnya ialah merancang masa depan dengan menyesuaikan terhadap “kondisi” yang ada. Masyarakat tani percaya,
72
bahwa segala sesuatunya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak ER (petani pemilik): “ kalo harganya tinggi, baru saya jual. Buat apa saya masih bertani kalo hanya tinggal seorang?. Lebih baik saya beli lagi di tempat orang lain. Sekarang masih belum diperlukan untuk membangun. Tapi nanti kalo udah diperlukan, harganya cocok, saya jual.” Bagi petani pemilik yang telah pindah lokasi pertanian di tempat lain yang terletak jauh dari rumah, maka mau tidak mau akan memakai petani penggarap. Hal ini tentu saja akan mengurangi pendapatan bagi petani yang dahulunya menggarap sendiri lahan miliknya. Hasil pertanian tentu saja akan dibagi dengan penggarap, berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati bersama. Penurunan pendapatan selanjutnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan petani. Selain pindah lokasi pertanian, masyarakat tani mempunyai strategi tersendiri untuk terus dapat bertahan di sektor pertanian. Masing-masing masyarakat tani memiliki trik tersendiri, tergantung pada karakteristik sosialnya. Di Kampung Ciharashas misalnya, masyarakat tani mempunyai budaya gotong royong atau yang biasa disebut liuran, pada saat waktu panen, nandur dan pada saat membersihkan lahan untuk ditanami kembali. Upaya ini dilakukan untuk dapat menghemat biaya pengeluaran untuk buruh20, sehingga pengeluaran dapat ditekan. Petani yang terlibat dalam liuran ialah petani yang letak lahannya saling berdekatan. Masyarakat tani merasa mempunyai kewajiban untuk membantu tetangganya. Tidak hanya tetangga di sekitar rumah, tetapi juga tetangga ketika berada di sawah. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat kekerabatan masyarakat tani Ciharashas tergolong tinggi. Terbukti dengan masih melekatnya budaya saling tolong menolong dan gotong royong di kampung ini. Karena rasa
20 Terdapat perbedaan upah buruh dan “porsi” kerja antara buruh laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki biasanya berperan sebagai tukang bajak, mencangkul dan membantu pada saat panen. Sementara kaum perempuan berperan sebagai tenaga nandur (nanam mundur), ngarambet (membersihkan sawah dari gulma), dan membantu pada saat panen. Untuk upah yang diberikan juga berbeda. Kaum laki-laki akan mendapatkan Rp. 25.000,00 untuk upah membajak dan mencangkul. Sementara perempuan mendapatkan Rp. 15.000,00 untuk upah nandur dan ngarambet. Jam kerja buruh tersebut biasanya dari pagi hingga Dzuhur.
73
persaudaraan yang kuat inilah masyarakat tani Kampung Ciharahas masih mampu berdiri tegak di tengah tekanan yang dialami. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak A (Ketua RW 0X): “ kita semua tani di sini, pas panen itu gotong-royong (liuran), sebelum kita nanem juga gotong-royong untuk membersihkan lahan. Waktu nandur juga liuran. Supaya gak bayar orang. Yang liuran itu, biasanya ‘tetangga tani’ yang lahannya deket. Kan kalo dikerjain sendiri, itu repot dan mahal untuk ngegaji buruh.”
7.1.2. Kasus Kampung Cibeureum Batas: Pemasangan Harga Lahan yang tinggi dan Budaya “Berhemat” Makin keras usaha biong agar petani menjual lahan pertanian miliknya, maka semakin keras pula usaha petani untuk dapat mempertahankannya. Cara biasa yang digunakan masyarakat tani ialah dengan mengatakan “tidak” setiap kali biong menyuruh petani untuk menjual lahan miliknya. Cara ini cukup efektif, meskipun memakan waktu yang lama karena para biong akan kembali menanyakannya di lain waktu. Cara lain yang digunakan petani ialah dengan memasang harga lahan setinggi mungkin sehingga para biong tidak dapat menjangkaunya. Hal ini seperti pernyataan Bapak A (petani pemilik): “ sering mah biong kesini. Buat nanyain tanah saya dijual apa enggak. Saya udah bilang gak, dia teteup balik-balik deui. Bosen saya juga. Akhirnya, saya pasang aja dengan harga tinggi. Kalo gak dengan harga segitu, gak saya jual. Biar dia nyahok. Dia gak sanggup, terus gak datang-datang lagi. ” Biong juga tidak bisa begitu saja menyetujui harga yang ditawarkan oleh petani, karena pihak PT. PW telah memiliki kisaran harga lahan yang berada di suatu lokasi. Kedua cara tersebut yang biasa dilakukan oleh masyarakat tani dalam mempertahankan lahan pertanian yang dimiliki. Apabila nantinya lahan tersebut terjual, maka dengan seketika putus harapan untuk menyambung hidup. Terdapat perbedaan terhadap pemasangan harga lahan yang tinggi pada Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas. Pada Kampung Ciharashas, pemasangan harga lahan yang tinggi dimaksudkan agar dapat membeli lahan
74
pertanian di tempat lain, karena lahan pertanian petani pemilik di Kampung Ciharashas
kemungkinan
besar
akan
terkena
proyek
“pengembangan
pembangunan”. Bagi petani yang ada di Cibeureum Batas, pemasangan harga lahan yang tinggi dimaksudkan agar lahan pertanian yang dimiliki tidak dengan mudah jatuh ke tangan biong sebagai perantara dari PT. PW. Strategi atau cara yang ditampilkan oleh masyarakat tani agar terus dapat menghasilkan pendapatan di jalan pertanian tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dibuktikan dengan berbedanya strategi atau cara yang ditunjukkan oleh masyarakat tani Ciharashas dengan masyarakat tani Cibeureum Batas. Jika masyarakat tani Ciharashas menggambarkan kekerabatan yang erat dengan budaya gotong-royongnya, maka masyarakat tani Cibeureum Batas lebih kepada trik untuk menghemat biaya pertanian. Seperti biaya binih atau bibit, biaya pupuk dan biaya pestisida. Usaha yang biasanya dilakukan petani Cibeureum Batas agar terus dapat menanam ialah menyisihkan binih untuk masa tanam berikutnya. Penyisihan bisa dilakukan, karena memang lahan pertanian petani Kampung Cibeureum Batas tidak seluas lahan pertanian yang dimiliki oleh petani di Kampung Ciharashas. Dalam usaha pertanian, biaya yang paling mahal ialah pengeluaran untuk pupuk. Harga pupuk satu karungnya (50 kg) mencapai Rp. 80.000,00. Sementara itu, keberhasilan hasil pertanian salah satunya bergantung kepada intensitas pemberian pupuk. Satu kali penanaman, biasanya dilakukan tiga kali pemupukan. Dikarenakan harga pupuk yang mahal dan intensitas pemberiannya juga cukup sering, maka masyarakat tani Cibeureum Batas mempunyai siasat tersendiri. Salah satunya ialah menggantinya dengan berak21. Dengan ini maka petani dapat terus menuai panennya dan dapat menghasilkan pendapatan untuk menghidupi anak dan istri. Penghematan juga tidak hanya dilakukan pada bibit dan pupuk saja. Pestisida atu obat-obatan yang digunakan oleh petani juga dapat ditekan pengeluarannya. Biasanya petani menggunakan obat-obatan alami untuk
21
Berak ialah kotoran hewan yang dapat dijadikan pupuk. Biasanya kotoran yang digunakan ialah kotoran kambing. Selain karena murah dan mudah didapat, kotoran kambing juga tidak kalah bersaing dengan pupuk lainnya. Meskipun mereka mengakui bahwa hasil dari pupuk kimia lebih menjanjikan daripada yang alami.
75
menyemprot hama tanaman. Hama bodas22 misalnya, disemprot dengan air tajin atau air nasi, atau tumbukan daun kipayet yang kemudian ekstraknya dicampur dengan air. Daun ini rasanya sangat pahit, lebih pahit dari daun pepaya. Sehingga diharapkan nantinya hama dapat teratasi. Terkadang usaha ini berhasil, tapi terkadang juga tidak. Tergantung kepada intensitas hama dan tingkat keparahan kondisi tanaman yang terserang hama. Berbagai cara atau strategi yang ditampilkan oleh masyarakat tani Cibeureum Batas menggambarkan bahwa betapa pentingnya untuk terus dapat menghasilkan pendapatan di jalan pertanian guna menyambung hidup keluarga. 7.2. Bermata Pencaharian Ganda Apabila meninjau seberapa besar pengusahaan lahan pertanian dapat memenuhi kesejahteraan keluarga, ternyata mayoritas petani, baik pemilik, penggarap maupun buruh tani belum dapat memenuhi kebutuhan rumahtangganya sehari-hari jika hanya mengandalkan dari sektor pertanian. Penghasilan dari bertani hanya cukup untuk biaya makan saja. Sementara untuk biaya pendidikan, modal penanaman kembali, belanja sehari-hari, dan lain-lain biasanya didapat dari penghasilan diluar bertani. Meskipun tidak banyak, namun setidaknya penghasilan tersebut dapat membantu petani untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak R (petani penggarap): “kalo ditanya apa untungnya jadi petani, kayaknya mah ga ada neng. Kalo lagi untung ya untung, kalo lagi rugi ya rugi. Gak nanggung-nanggung lagi. Dari tani cuma pas-pasan buat makan.” Pekerjaan yang biasa digeluti oleh masyarakat tani di kedua kampung tersebut ialah sebagai pedagang, buruh tani, kuli bangunan, maupun bekerja di home industry pembuatan sandal dan sepatu. Kegiatan berdagang, biasanya dilakukan pada hari minggu. Kedua hari tersebut efektif dipergunakan untuk berdagang karena merupakan hari libur sehingga tidak mengganggu jadwal bertani dan konsumen akan lebih ramai jika dibandingkan dengan hari lainnya. 22 Hama bodas merupakan salah satu bentuk hama yang sering melanda tanaman padi masyarakat. Daun padi menjadi putih dan habis dimakan oleh ulat, sehingga bisa menyebabkan gagal panen.
76
Barang yang diperdagangakan biasanya merupakan hasil kebun maupun hasil pertanian ketika menanam palawija seperti talas, jagung, kacang-kacangan dan pisang. Selain berdagang, petani biasanya juga merangkap sebagai buruh tani di lahan pertanian milik orang lain. Biasanya hasil dari berburuh tersebut akan digunakan untuk membeli pupuk. Ini merupakan cara termudah untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Petani tinggal menanyakan kepada tetangga taninya apakah memerlukan tenaga buruh. Jika iya, maka mereka sanggup melakukannya. Selama seminggu berburuh, biasanya petani sudah bisa membeli pupuk dan keperluan lainnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak AM (petani pemilik): “ Pas lagi kurang pupuk, saya biasanya buruh Neng. Lumayan, sehari bisa dapet Rp. 25.000,00. Seminggu jadi buruh, udah bisa beli pupuk. Terus bisa nambah-nambahain buat uang jajan anak. Pan anak kecil gak mau tau kita lagi punya uang apa gak . ” Bekerja
sebagai
buruh
bangunan
juga
sering
dilakukan
untuk
menghasilkan pendapatan tambahan. Akan tetapi petani kerap tidak menyukai pekerjaan ini. Selain karena tenaganya lebih banyak terkuras jika dibandingkan dengan bertani, gaji yang diperoleh juga bersifat harian, sehingga tingkat kepastian pekerjaan susah ditentukan. Hal ini seperti pernyataan Bapak L (petani pemilik): “ saya bisanya hanya tani sama sandal. Kerja di bangunan pernah nyoba, tapi ga betah saya.” Masyarakat tani dikedua kampung tersebut banyak juga yang menggeluti home industry pembuatan sandal dan sepatu. Pekerjaan ini hanya dapat dilakukan bagi petani yang memiliki keterampilan dan biasanya dikerjakan ketika waktu senggang bertani. Pembuatannya dilakukan di rumah masing-masing dengan anak dan istrinya. Setelah selesai dibuat, maka langsung diantarkan ke salah satu pasar yang ada di Bogor. Mereka biasanya sudah memilki toko langganan masingmasing untuk meletakkan barang dagangannya.
77
Keuntungan dari usaha ini memang memakan waktu yang lama dan bergantung kepada banyaknya barang yang laku terjual. Jika sedang laku, maka bisa meraup keuntungan sebesar Rp. 600.000,00. Akan tetapi ketika pasaran sepi, maka keuntungan yang diperoleh hanya sebesar Rp. 200.000,00. Ada kalanya juga usaha mereka mogok, sehingga terkadang tidak bisa menghasilkan pendapatan. Hal ini disebabkan oleh tingkat persaingan yang tinggi diantara para pembuat sandal lainnya serta kesulitan untuk memprediksikan selera konsumen yang cepat berubah, sehingga kadang-kadang barang dagangan tidak habis terjual. Di sini, tingkat kreativitas dituntut agar dapat meraih perhatian konsumen. Upaya kebutuhannya
yang
dilakukan
tersebut
oleh
masyarakat
menggambarkan
bahwa
tani sektor
dalam
memenuhi
pertanian
belum
sepenuhnya menjanjikan. Petani harus kembali “memutar otak” dan “memeras keringat” kembali untuk memperoleh penghasilan tambahan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dengan kata lain, menjadi seorang petani tidak ada untung dan ruginya, semuanya serba pas-pasan. 7.3. Pinjam Meminjam Modal Produksi Pertanian Apabila terdapat hambatan dalam melakukan salah satu pekerjaan di atas, maka upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat tani ialah dengan meminta pinjaman kepada keluarga dekat maupun tetangga. Tidak ada fungsi lain dari majikan bagi masyarakat tani. Hubungan diantara keduanya tidak begitu dekat, hanya sebatas atasan dan bawahan, sehingga ketika mengalami kesusahan, keluarga atau tetangga merupakan tempat mengadu terlebih dahulu. Peminjaman dilakukan ketika petani kehabisan modal untuk melakukan penanaman berikutnya dan biaya untuk membeli pupuk. Uang tersebut akan diganti setelah mendapatkan keuntungan dari hasil pertaniannya. Akan tetapi, ketika hasil panen tidak begitu memuaskan, maka biasanya uang tersebut akan diganti dengan beras atau hasil tanaman palawija. Para petani mengaku lebih nyaman untuk meminjam kepada keluarga sendiri, karena pasti hubungannya dekat dan pasti bersedia membantu. Hal ini terangkum pada pernyataan Bapak H (petani penggarap):
78
“ kalo lagi susah modal mah, biasanya pinjem sama keluarga. Nanti kalo udah panen, kita ganti. Sama aja kayak ‘gali lubang tutup lubang’. Tapi iya kalo lagi bagus. Kalo lagi jelek mah repot. Nombokin lagi yang ada. Belom lagi buat majikan, buat yang dihutangin juga. Syukur Alhamdulillah kalo keluarga mau ngerti. Tapi kadang kitanya gak enakeun.” Cara yang dilakukan untuk menghindari banyaknya pinjaman, masyarakat tani biasanya tidak memberi pupuk pada tanamannya. Baru setelah mendapatkan sedikit rezeki, pemberian pupuk dapat dilakukan. Perlakuan seperti ini biasanya berdampak pada hasil panen yang tidak memuaskan. Bulir padi yang dihasilkan kecil-kecil dan banyak yang tidak berisi atau kopong. Petani menganggap, bahwa ini lebih baik daripada terus menerus meminjam, meskipun kepada keluarga sendiri. Para petani takut, malu dan segan jika nantinya tidak bisa membayar hutang yang sudah menumpuk. Peristiwa ini terangkum ke dalam pernyataan Bapak S (petani pemilik): “ malu neng, kalo minjem terus. pas lagi gak ada duit buat mupuk ya kita antepin dulu. Baru nanti kalo lagi ada uang, kita kasih pupuk. Ngaruhnya ya ke panennya ntar. Banyakan gak berisi padinya. Pada kopong. Tapi ya mau gimana lagi. ”
7.4 Ringkasan Terdapat tiga macam usaha yang dilakukan oleh masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian, yaitu: (1) melakukan strategi dalam bertani; (2) melakukan mata pencaharian ganda, dan; (3) melakukan pinjaman kepada keluarga maupun tetangga. Ditemukan perbedaan dalam hal strategi untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian yang ditampilkan oleh masyarakat tani Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas. Keterangan lebih lanjut dapat diamati pada matriks di bawah ini (Tabel 32).
79
Tabel 32. Rumusan Strategi Bertahan Masyarakat Tani di Sektor Pertanian Ket.
Strategi dalam bertani
Mata pencaharian ganda Melakukan pinjaman
Kampung Kampung Ciharashas Cibeureum Batas 1) Bagi petani pemilik, cenderung memasang 1) Memasang harga lahan setinggi harga tinggi pada lahan pertanian yang mungkin sehingga para biong dimiliki ketika ditawar oleh biong. Dengan tidak dapat menjangkaunya. harapan agar nantinya dapat membeli lahan Dengan begitu lahan pertanian di tempat lain atau pindah lokasi pertanian. tidak jatuh dengan mudah kepada pihak swasta. 2) Budaya gotong royong atau yang biasa 2) Menghemat biaya pertanian. disebut liuran, pada waktu panen, nandur Seperti biaya binih atau bibit, dan pada saat membersihkan lahan untuk pupuk dan pestisida. ditanami kembali. Upaya ini dilakukan untuk dapat menghemat biaya pengeluaran untuk buruh. Pekerjaan yang biasa digeluti oleh masyarakat tani di kedua kampung tersebut ialah sebagai pedagang, buruh tani, kuli bangunan, maupun bekerja di home industry pembuatan sandal dan sepatu.
Upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat tani ialah dengan meminta pinjaman kepada keluarga dekat maupun tetangga. Peminjaman dilakukan ketika petani kehabisan modal untuk melakukan penanaman berikutnya, membayar upah buruh dan biaya untuk membeli pupuk. Uang tersebut akan diganti setelah petani mendapatkan keuntungan dari hasil pertaniannya. Akan tetapi, ketika hasil panen tidak begitu memuaskan, maka uang tersebut akan diganti dengan beras atau tanaman palawija.
Sumber: Hasil sintesis data primer
80
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Sebagai akibat konversi lahan pertanian, mengakibatkan terjadinya perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian. Pada Kampung Ciharashas, terjadi perubahan pada land tenure pattern dalam hal luas pemilikan lahan dan cara perolehan penguasaan lahan pertanian. Pola penguasaan dengan sistem penggarapan banyak ditemukan di Kampung Ciharashas. Hal ini disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW, sehingga mengakibatkan bertambahnya luas penguasaan lahan pertanian. Akan tetapi, bertambahnya
luas
penguasaan
lahan
pertanian
tidak
mencerminkan
“keterjaminan” hidup di masa yang akan datang, karena pada dasarnya mereka menggarap lahan pertanian yang akan dialihfungsikan ke non-pertanian. Ketika nantinya lahan tersebut diambil kembali, maka akan hilang pengharapan untuk hidup. Sementara itu pada land tenancy pattern, terjadi perubahan pada praktik penyakapan yang digunakan serta para pelaku yang terlibat di dalamnya. Sebaliknya pada Kampung Cibeureum Batas, perubahan struktur agraria yang terjadi hanya pada hal land tenancy pattern, berkaitan dengan praktik sakap yang digunakan. Tidak begitu banyak perubahan struktur agraria yang ditemukan di kampung ini. Hal ini disebabkan oleh konsistensi keberadaan lahan pertanian. Perbedaan perubahan struktur agraria yang ditampilkan oleh kedua kampung dipengaruhi oleh kondisi geografis lahan pertanian itu sendiri. Kampung Ciharashas misalnya, karena lahan pertanian berbentuk hamparan, maka berpotensi untuk dijadikan sebagai kawasan perumahan di masa yang akan datang. Berbeda halnya dengan kampung Cibeureum Batas, dimana lahan pertanian dikelilingi oleh jalan dan rumah penduduk sehingga pihak swasta tidak tertarik untuk menjadikannya sebagai aset pembangunan perumahan, seperti di kampung Ciharashas. Perubahan struktur agraria erat kaitannya terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. Pada Kampung Ciharashas, terjadi perubahan dari petani pemilik ke petani penggarap, dari petani pemilik ke petani pemilik-penggarap,
81
serta non-pertanian menjadi petani pemilik. Sehingga pada saat ini terdapat tiga tingkatan struktur sosial petani yang ditemukan di Kampung Ciharashas, yaitu: (1) petani pemilik-penggarap; (2) petani pemilik; (3) petani penggarap (tunakisma). Sedangkan pada kampung Cibeureum Batas, terjadi perubahan dari petani pemilik ke buruh tani dan dari petani pemilik menjadi petani pemilik-penggarap. Dengan demikian terdapat tiga tingkatan struktur sosial yang ada di kampung Cibeureum Batas, yaitu: (1) petani pemilik-penggarap; (2) petani pemilik, dan; (3) buruh tani (tunakisma). Tingkatan struktur sosial petani tersebut didasarkan kepada luas pemilikan dan penguasaan terhadap lahan pertanian. Ketahanan (persistence) yang ditampilkan oleh masyarakat tani Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas disebabkan oleh masih eratnya kekerabatan yang dimiliki oleh petani. Apabila melihat perbedaan di antara kedua kampung, pada Kampung Ciharashas ketahanan (persistence) masyarakat tani disebabkan masih diberikannya kesempatan menggarap oleh pihak swasta. Ketika lahan tersebut diambil, maka putus harapan untuk menyambung hidup. Sedangkan pada kasus Kampung Cibeureum Batas, masih bertahannya masyarakat tani di sektor pertanian disebabkan oleh keberadaan lahan pertanian yang tidak terjamah oleh pihak swasta. Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi lahan pertanian yang terletak di antara permukiman penduduk. Terdapat tiga macam usaha yang dilakukan oleh masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian, yaitu: (1) melakukan strategi dalam bertani; (2) melakukan mata pencaharian ganda, dan; (3) melakukan pinjaman kepada keluarga maupun tetangga. Ada perbedaan strategi yang ditampilkan oleh masyarakat tani dikedua kampung. Perbedaan tersebut didasari oleh karakteristik yang dimiliki petani. Lahirnya perbedaan karakteristik tersebut disebabkan oleh bentuk lahan pertanian dan letak perumahan petani. Pada Kampung Ciharashas, lahan pertanian berbentuk hamparan dan rumah petani tidak dekat dengan lahan, melainkan terkumpul pada suatu titik. Oleh karena itu strategi yang ditampilkan ialah liuran, yaitu budaya gotong royong antar petani untuk menghemat pengeluaran mengupah buruh. Sedangkan pada Kampung Cibeureum Batas menekankan pada penghematan pupuk yang digunakan. Hal ini dilatarbelakangi
82
oleh letak lahan yang berdekatan dengan rumah, dan terpencar-pencar antara petani satu tani dan yang lainnya. 8.2. Saran Melalui kegiatan penelitian ini, peneliti hendak memberikan beberapa saran untuk kepentingan seluruh stakeholders yang terlibat dalam kasus perubahan struktur agraria. Saran dalam konteks ini dibuat oleh peneliti ke dalam beberapa poin penting, antara lain yaitu: 1) Bagi pemerintah setempat (sebagai pemegang kebijakan) sebaiknya dapat lebih selektif dalam memberikan keputusan tentang perencanaan dan pengembangan wilayah lahan pertanian agar tidak terkonversi menjadi lahan non-pertanian secara besar-besaran. 2) Dalam rangka mempertahankan lahan pertanian yang masih dimiliki, sebaiknya masyarakat setempat dapat mengoptimalkan hasil pertanian mereka. Hal ini diperkirakan dapat berdampak secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat tani setempat, karena letak Kelurahan Mulyaharja yang sangat strategis dengan akses perkotaan. 3) Sebagai usulan penelitian lanjutan guna melengkapi analisis tentang tema perubahan struktur agraria akibat terjadinya konversi lahan di suatu wilayah, maka sangat menarik meneliti tentang dampak sosial ekonomi masyarakat tani yang bertahan pada lahan sisa konversi pertanian.
83
DAFTAR PUSTAKA Bahari, Syaiful. 2002. Petani dalam Perspektif Moral Ekonomi dan Politik Ekonomi dalam Menuju keadilan Agraria: 70 Gunawan Wiradi. Bandung: Yayasan Akatiga. Daryanto, A. 2007. Penguatan Ketahanan Masyarakat Desa dalam Pembangunan Sosial Ekonomi Desa. Makalah Lokakarya Menuju Desa 2030. Bogor: LPPM Institut Pertanian Bogor. Husken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Jakarta: Gramedia. Kivell, P. 1993. Land and The City: Patterns and Processes of Urban Change. London: Raudledge. Kustiawan, Iwan. 1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Jawa. dalam Prisma, No 1. LP3ES. Nasoetion dan J. Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 64 - 82. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor. Pierce, John T. Conversion of Rular Land to Urban: A Canadian Profile dalam Profesional Geografer. No. 33. 1981. Priatno, E. 1999. Kegiatan Dampak Pengembangan Industri terhadap Alih Fungsi Lahan dan Pergeseran Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Kabupaten Sukoharjo. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Purwandari, Heru. 2006. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan, penerjemah Daniel Dhakidae. Jakarta: CV. Rajawali.
84
Rusman, et.al. 1992. Dampak Sosial Budaya Akibat Menyempitnya Lahan Pertanian Daerah Jawa Tengah. Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Savitiri, Laksmi A dan Heru Purwandari. 2006. Penguasaan Sumber-sumber Agraria dan Konservasi Kawasan: Perkawinan Antara Intervensi Struktural dan Jurang Kultural dalam Kasus Rehabilitasi Lahan Gambut di Jambi dalam Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria. Volume III. Tahun III. Setiawan B. dan A. Purwanto. 1994. Proses Konversi Lahan Pertanian di Pinggiran Kota: Studi Kasus di daerah pinggiran Yogyakarta, dalam Manusia dan Lingkungan, No. 3. Sihaloho, Martua. 2004. Konversi lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Tesis Program Pascasarjana IPB-Bogor. Tidak dipublikasikan. Sitorus, MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumenrasi Ilmu-Ilmu Sosial. .2002. Lingkup Agraria. dalam Menuju Keadilan agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Yayasan Akatiga. Subali, Agus. 2005. Pengaruh Konversi Lahan terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani. Skripsi Program Sarjana-IPB. Tidak dipublikasikan. Sumaryanto et.al. 1994. Analisis Kebijakan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan non-pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penenlitian Sosial-Ekonomi Bogor.
Syafa’at, N., W. Sudana, N. Ilham, H. Supriyadi dan R. Hendayana. 2001. Kajian Penyebab Penurunan Produksi Padi Tahun 2001 di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian: Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Respon terhadap Issu Aktual. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian Pertanian, Departemen Pertanian. Utomo, Muhajir. et.al. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. http://mirifica.net/wmview.php?ArtID=42314. Diakses tanggal 20 Desember 2008. Wahyuni, Ekawati Sri. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Departemen Ilmuilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB.
85
Wiradi, G. 2008. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria dalam Dua Abad Peguasaan Tanah. Penyunting: Soediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia. . 2009. Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Bogor: Sajogyo Institute. Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan: Suatu Tinjauan Sosiologis. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 113 120. Bogor: Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Zusmelia. 2007. Ketahanan (persistence) Pasar Nagari Minangkabau Kasus Pasar Kayu Manis (cassiavera) di Kabupaten Tanah Datar dan Agam Sumatera Barat. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
86
LAMPIRAN
87
Lampiran 1. Peta Kelurahan Mulyaharja
88
Lampiran 2. Potret Lokasi Pertanian Kampung Ciharashas
89
Lampiran 3. Potret Lokasi Pertanian Kampung Cibeurem Batas
90
Lampiran 4. Dokumentasi 1) Kampung Ciharashas
Kondisi lahan pertanian yang berbentuk hamparan
Kali yang digunakan untuk aktivitas MCK
Kondisi perumahan masyarakat tani Ciharashas
Contoh segel
91
2) Kampung Cibeureum Batas
Kondisi lahan pertanian yang dikelilingi oleh jalan dan rumah penduduk
Sistem penanaman tumpang sari
Kondisi perumahan petani
Usaha home industry pembuatan sandal dan sepatu
Penanaman Palawija di Cibeureum Batas
WC yang dipergunakan masyarakat