1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur kesempatan kerja, serta struktur pendapatan petani di pedesaan.
Terkait dengan struktur penguasaan lahan, perubahan tersebut
mengakibatkan terjadinya (1) petani lapisan atas; merupakan petani yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan; dan (2) petani lapisan bawah; sebagian golongan mayoritas di pedesaan yang merupakan petani yang relatif miskin (dari segi lahan dan kapital), hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan berproduksi, kedua lapisan masyarakat petani tersebut terlibat dalam hubungan kerja. Sementara itu persoalan lahan di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan berdampak politis, sosiologis, dan ekonomis, yang disebabkan oleh adanya persaingan berbagai kepentingan dalam penggunaan lahan. Konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non-pertanian tidak hanya menyangkut penyusutan luasan lahan pertanian (terutama lahan sawah) berkesuburan relatif tinggi, tetapi juga mengakibatkan kemubaziran prasarana irigasi yang sudah dibangun dengan biaya tinggi. Di Jawa misalnya pada tahun 1973 penduduk perdesaan yang tidak memiliki lahan garapan sebesar 3,3 % dan 43,7 % memiliki lahan garapan kurang daripada 0,5 ha setiap keluarga. Pada tahun 1980 angka-
2
angka tersebut bertambah menjadi 14,9 % tidak memiliki lahan garapan dan 63 % memiliki lahan garapan
rerata kurang daripada 0,5 ha (Goeltenboth, dalam
Notohadiprawiro, 2006) dan menurut data statistik, jumlah rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha meningkat 2,4 % pertahun dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003 (Statistik, 2004). Hal ini berarti semakin banyak rumah tangga petani berlahan sempit menyebabkan kualitas kesejahteraan petani itu sendiri semakin menurun. Distribusi rumah tangga petani gurem atau yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha tidak menyebar rata disemua daerah tetapi sangat tergantung pada banyaknya rumah tangga pertanian di daerah yang bersangkutan, hal ini dapat ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Petani Gurem Menurut Pulau Berdasarkan Hasil ST2003 dan ST2013
Sumber : Berita Resmi Statistik, 2013.
3
Akibat rendahnya penguasaan aset lahan, maka jangkauan masyarakat perdesaan yang miskin terhadap pemanfaatan teknologi pertanian dan prasarana pertanian sangat terbatas. Petani tetap saja menjadi buruh tanpa tanah, petani gurem tetap akan menjadi sasaran eksploitasi oleh para pemilik tanah dan kapital akibatnya pemilikan tanah menjadi sangat tidak berimbang.
Tanah semakin
dikuasai sekelompok elit penguasa yang terus memperluasnya dengan kemampuan finansial dan nonfinansial.
Sementara, tanah pada masyarakat
Indonesia tidak hanya ditempatkan sebagai faktor produksi dan ekonomi belaka, tetapi juga bermakna sebagai fungsi-fungsi sosial, budaya dan religius. Dalam kebijakan pembangunan seperti ini, pemberian hak atas tanah dan pengelolaan sumberdaya alam lainnya lebih ditujukan kepada kegiatan-kegiatan investasi skala besar yang menghasilkan nilai ekonomi tinggi. Khusus untuk dunia pertanian, permasalahan yang secara kuantitas dan kualitas terus meningkat yakni : (1) ketimpangan penguasaan antara pertanian dengan skala besar dengan pertanian rakyat, (2) akses petani kecil terhadap tanah semakin terbatas, (3) peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan pengelolaan sumberdaya alam lainnya saling tumpang tindih dan bertentangan antar departemen, (4) semakin terdesaknya hak-hak masyarakat adat (masyarakat lokal) terhadap tanah dan sumberdaya lainnya yang menjadi ruang hidupnya, baik karena diambil alih secara formal oleh pihak lain (dengan atau tanpa ganti rugi yang memadai) atau karena tidak diakuinya (secara langsung atau tidak langsung) hak-hak masyarakat adat atau lokal atas sumbersumber kehidupan tersebut, serta (5) meningkatnya kemiskinan dan semakin
4
terbatasnya lapangan kerja yang antara lain disebabkan karena alih fungsi lahan, terutama lahan pertanian ke non pertanian. Selain itu, semakin menyempitnya lahan pertanian akibat tingginya nilai lahan, telah mendorong penduduk menjual lahannya untuk penggunaan non pertanian. Penguasaan lahan yang semakin kecil akibat fragmentasi karena sistem waris, juga mengakibatkan usaha menjadi menjadi tidak efisien karena tak mencapai luasan ekonomis (Mayrowani, 2004). Penguasaan lahan dapat dijadikan sebagai gambaran pemerataan penguasaan faktor produksi utama di sektor pertanian.
Perubahan struktur
penguasaan lahan pertanian akan berpengaruh terhadap kegiatan produksi pertanian (usahatani) baik dari segi efesiensi usahatani maupun dari segi pendapatan usahatani, sedangkan pola pemilikan lahan menggambarkan keadaan pemilikan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan sering dijadikan suatu indikator bagi tingkat kesejahteraan masyarakat, walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya bagi tingkat kesejahteraan itu sendiri. Namun demikian pola pemilikan lahan dapat dijadikan gambaran tentang pemerataan pengusahaan faktor produksi utama di sektor pertanian, yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemiliknya (Hermanto, 1984). Pemerintah telah memberikan perhatian terhadap pentingnya bagi hasil di tengah masyarakat tani. Hal ini terlihat dengan telah dikeluarkannya dua Undangundang tentang bagi hasil, yaitu UU no. 2 tahun 1960 untuk bagi hasil di pertanian,dan UU no. 16 tahun 1964 untuk bagi hasil disektor perikanan (Lampiran 1). Namun demikian, penerapan peraturan ini sangat lemah karena
5
berbagai alasan disebabkan karakteristik sistem bagi hasil yang saat ini ada di Indonesia, secara tidak langsung telah membuat pihak luar kurang memperhatikan fenomena dan potensinya dalam reform agrarian. Karakteristik tersebut adalah : pertama, sudah menjadi pandangan yang kuat pada seluruh pihak bahwa perjanjian bagi hasil antara seorang pemilik lahan dengan penyakap merupakan wilayah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Dengan kata lain, pihak luar baik pengurus kelompok tani, aparat pemerintah desa, apalagi pemerintah daerah merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi bentuk perjanjian bagi hasil yang berlangsung.
Kedua, hubungan tersebut
bersandar pada bentuk hubungan patron klien (patron-client relationship). Secara definsi hubungan patron klien adalah hubungan antara dua pihak yang sangat personal, intim, dan cenderung tidak seimbang (Scott, 1993 dalam Syahyuti, 2004). Arus jasa yang tidak seimbang, dimana jasa yang diberikan klien pada patron lebih banyak dibandingkan sebaliknya, sudah dianggap sebagai takdir. Karena itulah, pembagian bagi hasil yang lebih menguntungkan pemilik, sudah dianggap sebagai hal yang lumrah oleh penyakap. Ketiga, sistem bagi hasil yang sangat beragam. Keberagaman tersebut juga didukung oleh UU no.2 tahun 1960 pada bagian penjelasan butir (2), yaitu “ mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing pihak tidak ada keseragaman, karena hal ini tergantung pada jumlah tanah yang tersedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat/sedaerah”.
Membolehkan keberagaman tersebut artinya menyulitkan
dalam pengaturannya, dan ini berpeluang untuk membuat hukum yang kurang
6
tegas. Keempat, dalam kondisi tekanan penduduk yang cukup tinggi terhadap tanah, maka sisitem bagi hasil lebih dipersepsikan sebagai suatu sikap altruis pemilik yang besar kepada penyakap.
Bagaimanapun tidak imbangnya pola
pembagian, tidak dianggap sebagai suatu hubungan yang eksploiratif. Padahal secara tersirat diketahui bahwa tingkat kehidupan para penyakap tidak lepas dari garis batas subsistensinya, meskipun diwilayah tersebut selalu terjadi peningkatan produksi dan produktivitas komoditas yang diusahakan. Untuk permasalahan ini, maka perlu pemahaman dan kesadaran kepada para penyakap bahwa mereka adalah pelaku ekonomi aktif dalam kerjasama usaha, sehingga sudah sepantasnya lebih dihargai secara ekonomi.
Meskipun mereka tidak memilki tanah yang
digarapnya, namun dalam konteks “fungsi sosial” dari tanah, maka merekalah yang selayaknya lebih ditinggikan posisinya. (Syahyuti, 2004). Selanjutnya dengan terciptanya pola penguasaan lahan, maka akan mempengaruhi penggunaan input yang akan digunakan dalam usahataninya yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas dan pendapatan rumah tangga petani itu sendiri, karena peningkatan kesejahteraan hidup petani dapat dicapai melalui peningkatan kualitas dan produktivitas sumberdaya, meningkatkan penguasaan aset produktif pertanian, inovasi teknologi, dan menata kembali kebijakan pembangunan ekonomi dan kelembagaan pertanian dalam arti luas.
Hal ini
tentunya sangat penting mengingat sebagian besar penduduk Indonesia yang umumnya berpendapatan rendah adalah petani, dan sebagian besar rumah tangga khususnya di pedesaan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Pendapatan mereka rendah, karena luas lahan garapan pada umumnya sangat
7
sempit, adopsi teknologi yang rendah dan modal yang terbatas. Hal ini sejalan dengan pendapat Hadisapoetro (1978) bahwa petani kecil pada umumnya pendapatannya sangat rendah, sehingga tingkat kesejahteraannya sangat rendah pula.
Pendapatan yang rendah itu terutama disebabkan karena produksinya
rendah dan produksi rendah itu disebabkan karena lahan usahataninya sangat sempit yang diusahakan dengan teknologi sederhana serta dengan peralatan yang terbatas. Mengingat hal tersebut diatas, salah satu hal yang perlu mendapat perhatian yang serius adalah mengenai penggunaan lahan sebagai sumberdaya yang terbatas, karena lahan memiliki karakteristik yang khas sebagai sumberdaya ekonomi, khususnya tentang luasannya yang tetap.
1.2. Perumusan Masalah
Ada dua hal yang merupakan pembatas bagi lahan sebagai sumber daya pertanian guna peningkatan produktivitas usahatani, pertama adalah sifat fisik dan kimia tanah, yang mempengaruhi tingkat kesuburan lahan dan, kedua adalah jumlah lahan yang terbatas bagi usahatani yang akan mempengaruhi produksi total bagi suatu usahatani.
Sehubungan dengan jumlah lahan yang terbatas
dibandingkan dengan pengguna lahan di Indonesia yang semakin meningkat, maka dapat menyebabkan semakin sempitnya pengguasaan terhadap lahan. Jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan di Indonesia menurut data statistik hasil sensus pertanian tahun 2013 secara skala nasional sebanyak 26,14 juta rumah tangga yang tersebar pada subsektor tanaman pangan, hortikultura,
8
perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan.
Dari data hasil sensus
pertanian tersebut juga diketahui bahwa jumlah rumahtangga petani gurem tahun 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sebesar 55,33 % dari rumah tangga pengguna lahan, meskipun secara nasional mengalami penurunan sebanyak 4,77 juta rumah tangga atau turun 25,07 persen dibandingakan tahun 2003 tetapi untuk Propinsi Sulawesi Tengah pengalami peningkatan baik jumlah rumah tangga pertanian maupun jumlah rumah tangga petani gurem (lampiran 2 dan 3). Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa seiring pertambahan jumlah rumah tangga pertanian, maka penguasaan lahan yang dimiliki oleh petani semakin terbatas dan relatif sempit bahkan sebagian rumah tangga petani tidak memiliki lahan dan hanya menjadi buruh tani. Rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan atau yang hanya memiliki lahan terbatas selalu berusaha untuk memperoleh lahan garapan melalui institusi yang ada sesuai norma yang berlaku di daerah yang bersangkutan, demikian halnya di Kabupaten Sigi adanya keterbatasan petani dalam penguasaan lahan mendorong petani untuk memilih bentuk status penguasaan lahan, baik itu menyakap, menyewa ataupun menerima gadai. Pengambilan keputusan oleh petani untuk menentukan status penguasaan lahan untuk usahataninya selain kerena alasan keterbatasan penguasan lahan yang dimiliki untuk usahatani, juga dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah : (1) faktor karakteristik individu yang dimiliki oleh petani seperti etos kerja dan motivasi keberhasilan dalam usahatani, petani yang memiliki etos kerja dan motivasi keberhasilan yang tinggi akan selalu berusaha untuk mendapatkan
9
keuntungan yang tinggi melalui peningkatan produktivitas dalam usahataninya. (2) faktor ekonomi rumah tangga petani, keterbatasan petani terhadap penguasaan lahan dan pembiayaan dalam usahatani menyebabkan petani memutuskan untuk memilih salah satu bentuk status penguasaan lahan dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga. (3) faktor sosial budaya di lingkungan rumah tangga petani, seperti sistem waris yang mengakibatkan usahatani menjadi tidak efisien karena tak mencapai luasan ekonomis sehingga petani dapat memilih untuk memilih salah satu bentuk status pengusaan lahan yang ada. Daerah yang padat penduduk, lahan telah menjadi faktor produksi yang langkah, sehingga sampai batas tertentu lahan merupakan faktor pembatas bagi produksi pertanian, sedangkan di lain pihak tenaga kerja tersedia dalam jumlah relatif banyak. Petani yang mempunyai lahan yang relatif sempit mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan produksinya dengan menggunakan teknologi untuk intensifikasi usahataninya, karena semakin sempit lahan usaha, semakin tidak efisien usahatani yang dilakukan kecuali jika usahatani dijalankan dengan teknologi yang tepat. Tetapi pada usahatani yang lahan luas juga sering terjadi ketidakefisienan dalam penggunaan teknologi yang disebabkan oleh : a). lemahnya pengawasan pada faktor produksi seperti benih, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja, b). terbatasnya persediaan tenaga kerja di sekitar daerah tersebut, c). terbatasnya persediaan modal untuk membiayai usaha pertanian dalam skala yang luas. Sehingga bagi pemilik lahan luas seringkali menyakapkan atau menyewakan lahannya kepada petani lain yang memiliki lahan sempit.
10
Sehubungan dengan penggunaan input dalam usahatani, maka akan berbeda antara berbagai bentuk penguasaan lahan, seperti penggunaan input tenaga kerja pada usahatani padi sawah yang padat karya secara umum diketahui bahwa semakin luas lahan garapan, maka semakin banyak jumlah tenaga kerja yang digunakan tetapi seiring berkembangnya teknologi mekanisasi pertanian, maka untuk petani yang menggarap lahan luas lebih memilih untuk menggunakan teknologi mesin dalam berusahatani karena dianggap lebih menguntungkan (hemat waktu dan biaya) serta memudahkan dalam pengawasan, sedangkan untuk petani yang memiliki lahan garapan yang sempit, petani penyakap dan penyewa, akan memaksimalkan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga daripada menyewa mesin pertanian karena keterbatasan biaya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penggunaan input tenaga kerja berbeda pada berbagai status penguasaan dan luas lahan petani. Dalam pengunaan input tenaga kerja, selain dipengaruhi oleh luas lahan garapan dan status penguasaan lahan, juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti ketersediaan tenaga kerja dan tingkat upah yang berlaku di wilayah tersebut. Selain penggunaan input tenaga kerja, faktor penting dalam usahatani padi sawah yang perlu mendapat perhatian adalah penggunaan input benih.
Pada
pemilik lahan yang sempit, umumnya menggunakan varietas yang menghasilkan produktivitas yang tinggi sebagai konsekwensi dari keterbatasan luas lahan yang dimiliki (intensifikasi), akan tetapi penggunaan input benih dapat juga dipengaruhi oleh ketersediaan dan harga benih itu sendiri.
11
Faktor penting lainnya dalam usahatani padi adalah penggunaan pupuk, karena pupuk memiliki peranan penting dalam meningkatkan produksi padi. Pengunaan pupuk berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan yang lebih baik bagi petani, sehingga semakin luas lahan garapan maka semakin banyak pupuk yang digunakan oleh petani. Selain luas lahan, maka faktor lain yang dapat mempengaruhi petani dalam penggunaan pupuk adalah distribusi dan harga pupuk yang digunakan. Secara umum, diketahui bahwa kombinasi penggunaan input yang optimal adalah untuk meningkatkan produktivitas usahatani. Kasryno (1984) menjelaskan bahwa produktivitas dapat menentukan pilihan akan bentuk kelembagaan lahan, hubungan penguasaan atas lahan bervariasi dengan bervariasinya produktivitas. Jika produktivitas lahan tinggi maka pemilik lahan menghendaki menggarap sendiri lahannya, berarti mengurangi peluang kegiatan penyakapan dan persewaan. hasil penelitian Soekartawi dalam Mayrowani (2004) menyebutkan bahwa luas lahan usahatani memiliki hubungan yang positif dengan keuntungan usahatani, artinya jika luas lahan meningkat maka keuntungan meningkat. Secara normatif, pengaturan penguasaan diperlukan untuk mencegah terjadinya akumulatif penguasaan lahan pada seseorang atau sekelompok orang. Namun dalam prakteknya, hal ini sulit dilaksanakan, mengingat secara aturan pembatasan penguasaan lahan secara riil ternyata sulit keberadaannya. Sehingga terdapatnya ketimpangan penguasaan lahan akan menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
Oleh karena itu, kajian mengenai kelembagaan lahan
12
kaitannya dengan penggunaan input dan produktivitas usahatani sangat diperlukan. Berdasarkan beberapa uraian tersebut di atas, maka ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah gambaran umum penguasaan lahan usahatani padi sawah di Kabupaten Sigi. 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pilihan dalam penguasaan lahan tersebut di Kabupaten Sigi 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi usahatani padi sawah di Kabupaten Sigi 4. Bagaimanakan tingkat efisiensi teknis usahatani padi sawah di Kabupaten Sigi
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran umum penguasaan lahan pada usahatani padi sawah di Kabupaten Sigi 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan penguasaan lahan usahatani padi sawah di Kabupaten Sigi 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani padi sawah di Kabupaten Sigi 4. Mengetahui Tingkat efisiensi teknis usahatani padi di Kabupaten Sigi
13
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Bagi pemerintah daerah dapat dijadikan referensi dalam penetapan kebijakan bersifat lokal, khususnya dalam menyikapi tentang pelaksanaan land reform serta untuk mengetahui hubungan penggunaan input dan produksi pada berbagai status penguasaan lahan serta efesiensi tekhnis usahatani padi sawah yang ada di Kabupaten Sigi. 2. Memberi saran tentang pilihan penguasaan lahan oleh petani kaitannya dengan penggunaan input dan faktor sosial ekonomi lainnya, agar efesiensi usahatani padi sawah di Kabupaten Sigi dapat tercapai. 3. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Ekonomi Pertanian yang terkait dengan status penguasaan lahan, penggunaan input dan produksi dan tingkat efesiensi pada usahatani padi sawah. 4. Bagi peneliti lainnya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu informasi guna melakukan penelitian lanjutan sehubungan dengan status penguasaan lahan sesuai dengan paradigma yang berkembang. 5. Bagi peneliti, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang ilmu-ilmu pertanian pada Universitas Gadjah Mada.
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai lahan pertanian di Indonesia telah dilakukan sejak dulu, seperti halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Santoso dan Hermanto, 1983 tentang pola pemilikan lahan dan produktivitas tenaga kerja pada berbagai daerah dengan kondisi pengairan yang berbeda. Penelitian Ashari, 2003
14
tentang tinjauan alih fungsi lahan sawah ke non sawah dan dampaknya di Pulau Jawa. Penelitian Syahyuti , 2004 tentang perbaikan sistem bagi hasil sebagai strategi prospektif reforma agraria.
Penelitian Suwarto, 2005 tentang
kelembagaan lahan dan tenaga kerja pada usahatani tanaman pangan di Kabupaten Gunung Kidul, dan penelitian Zakaria A. K., 2005 tentang
penanggulangan
kemiskinan pada petani berlahan sempit di agroekosistem lahan kering dataran tinggi berbasis sayuran.
Berikut ini hal-hal yang membedakan penelitian ini
dengan penelitian-penelitian terdahulu (tabel 2.) adalah : 1.
Variabel karakteristik kepala rumah tangga tani pada penelitian-penelitian sebelumnya
umumnya
menggunakan
umur
petani,
pengalaman
berusahatani, dan tingkat pendidikan petani, tapi dalam penelitian ini memasukkan variabel etos kerja, motivasi keberhasilan, dan sikap inovatif petani sebagai karekteristik kepala rumah tangga tani. 2.
Model analisis yang digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya pada umumnya menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi, sedangkan dalam penelitian ini selain menggunakan analisis regresi juga menggunakan analisis logit dan frontier.
3.
Selain itu waktu dan lokasi penelitian berbeda dengan penelitianpenelitian sebelumnya, dimana penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah.