DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)
OLEH : NONOS MAFIANOS A14201002
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN NONOS MAFIANOS. DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN. Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan MURDIANTO).
Pada tahun 1980-an, pembangunan sektor pariwisata bukanlah sektor yang diprioritaskan dalam pengumpulan devisa negara. Keadaan ini berubah ketika harga minyak bumi di pasaran internasional merosot tajam, sehingga sektor pariwisata menjadi sektor andalan untuk menghasilkan devisa negara. Pembangunan pariwisata membutuhkan lahan, dimana keberadaan lahan di perdesaan memiliki peranan penting. Selain rumahtangga petani, terdapat juga pemerintah dan pemilik modal yang memiliki kepentingan atas lahan. Pengembangan
wisata
yang
membutuhkan
lahan
dapat
mempengaruhi
perubahan struktur agraria masyarakat lokal. Maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perubahan struktur agraria masyarakat lokal, perubahan kelembagaan masyarakat lokal, dan menganalisis ada atau tidak adanya peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian survai. Penelitian dilaksanakan di Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat dan tempat wisata yang bernama Kota Bunga yang terletak di desa yang sama. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan alat bantu kuesioner dan panduan pertanyaan. Data sekunder diambil dari data Desa Sukanagalih, kantor Kota Bunga, instansi-instansi seperti Bappeda, Dinas Perhubungan dan Pariwisata,
serta laporan-laporan penelitian. Teknik
penentuan responden menggunakan metode Pengambilan Sampel Gugus
Sederhana (Simple Cluster Sampling). Pengolahan data menggunakan uji statistik Chi-Square dan Korelasi Rank Spearman dengan menggunakan program SPSS versi 11.0. Sementara itu, data hasil wawancara dirangkum dan diorganisasikan sesuai kebutuhan penelitian. Responden yang dipilih adalah petani pemilik lahan yang sekarang dibangun Kota Bunga. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa awalnya Kota Bunga bernama Taman Mawar dengan luas wilayah sekitar 40 ha. Sekitar tahun 1996, nama tersebut berubah menjadi Kota Bunga. Pembangunan Kota Bunga diatur oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur. Sebelum tahun 1993, lahan-lahan yang sekarang dibangun fasilitas pariwisata Kota Bunga masih dimiliki petani. Lahan-lahan tersebut sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan tempat tinggal. Pola kepemilikan lahan petani berubah setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. Perubahan itu bervariasi, ada petani yang sebelum pembangunan fasilitas memiliki lahan yang tergolong luas, namun setelah pembangunan fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan sedang, atau justru sebaliknya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji statistik Korelasi Rank Spearmen untuk melihat hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga dan Setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. Hasil uji tersebut menyatakan bahwa pada taraf nyata 0,05 dengan rho hitung 0,897 dan rho tabel 0,364 ternyata ada kesesuaian antara luas kepemilikan lahan petani sebelum dan setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. Perubahan tersebut terjadi disebabkan beberapa faktor,
salah satunya yaitu tingkat harga jual lahan. Tingkat harga jual lahan yang didapatkan petani bervariasi tergantung lokasi lahan, kegunaan lahan, masa penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan. Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, sebagian besar masyarakat Desa Sukanagalih menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Hampir setiap warga kampung terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Kegiatan bertani ini dilakukan secara bersama-sama dan saling tolong menolong antar tetangga, mulai dari kegiatan menanam, memberantas hama, memperbaiki saluran air, hingga panen. Tujuan bertani semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar (subsisten). Maka kegiatan-kegiatan ini menjadi ciri khas sifat kelembagaan masyarakat Desa Sukanagalih yaitu gotong royong. Setelah
adanya
pembangunan
fasilitas
pariwisata
Kota
Bunga,
masyarakat Desa Sukanagalih mengalami perubahan kelembagaan dalam bertani. Sifat kelembagaan setelah pembangunan Kota Bunga yaitu komersil, dimana segala sifat kerja atau aktivitas dinilai dengan uang. Berbeda dengan sifat kelembagaan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata, masyarakat masih bersedia membantu tetangganya bertani dengan dasar tolong menolong. Peluang usaha di sektor wisata setelah pembangunan Kota Bunga ternyata rendah. Peluang usaha yang dapat dimasuki masyarakat lokal yaitu usaha membuka rumah makan dan jasa angkutan, baik angkutan kendaraan beroda empat maupun kendaraan beroda dua. Peluang kerja yang ada pun rendah. Peluang kerja yang dapat dimasuk i masyarakat lokal adalah sebagai buruh pencabut rumput di Kota Bunga. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga mengakibatkan perubahan kepemilikan lahan masyarakat lokal dan kelembagaan. Dalam hal peluang usaha dan peluang
kerja, pembangunan fasilitas pariwisata tidak memberikan perubahan mata pencaharian. Bahkan, hampir tidak ada peluang usaha bagi masyarakat lokal. Saran bagi penelitian ini adalah agar Perusahaan Kota Bunga memberikan peluang kerja bagi masyarakat lokal karena izin pembangunan Kota Bunga terkait dengan janji perusahaan melakukan pengembangan masyarakat.
DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)
SKRIPSI Se bagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ii
Judul
: Dampak
Pembangunan
Fasilitas
Pariwisata
terhadap
Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat) Nama
: Nonos Mafianos
NRP
: A14201002
Program Studi
: Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Murdianto, MSi. NIP. 131 999 962
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP. 130 422 698
Tanggal disetujui :
Jan uari 2006
ii
iii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”DAMPAK
PEMBANGUNAN
FASILITAS
PARIWISATA
TERHADAP
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (KASUS DI BUNGA,
DESA
SEKITAR KAWASAN PARIWISATA KOTA
SUKANAGALIH,
KECAMATAN
PACET,
KABUPATEN
CIANJUR, PROPINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN ATAU LEMBAGA LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA PENELITIAN INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2006
Nonos Mafianos A14201002
iii
iv
RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak M. Masjkur Iljas dan Ibu Yeti Sumiati. Penulis dilahirkan di Kota Rangkasbitung, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten pada tanggal 20 April 1983. Riwayat pendidikan penulis diawali dengan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 4 Rangkasbitung pada tahun 1989 hingga 1995. Pada tahun 1995 hingga tahun 1998 penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 4 Rangkasbitung. Selama tiga tahun berikutnya penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Rangkasbitung yaitu pada tahun 1998 sampai dengan 2001. Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Selama
menjadi
mahasiswa,
penulis
aktif
pada
Divisi
Hubungan
Masyarakat, Departemen Sosial dan Budaya, Keluarga Mahasiswa Banten pada tahun 2002-2006. Selain itu, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan oleh mahasiswa angkatan 38 Program Studi Komunikasi Pengembangan Masyarakat.
iv
v
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)”. Penulisan skripsi merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Adapun uraian isi dari laporan penelitian ini adalah Bab I menguraikan latar belakang dari penelitian ini; Bab II Mencakup tinjauan-tinjau an pustaka yang bekaitan
dengan
kebijakan
kepariwisataan,
perubahan
struktur
agraria,
kelembagaan, peluang usaha, pelapisan sosial, dan marginalisasi petani; Bab III menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian ini; Bab IV berisi gambaran lokasi penelitian; Bab V, Bab VI, Bab VII, Bab VIII merupakan analisis dan pembahasan masalah penelitian; dan Bab IX Merupakan Bab yang berisi kesimpulan dan saran yang direkomendasikan peneliti. Laporan skripsi ini penulis persembahkan dengan penuh pengharapan semoga cakrawala keilmuwan semakin memperkaya jiwa para pembaca dan semakin mendorong kita untuk selalu belajar. Penulis juga mengharapkan bahwa tulisan ini dapat menggugah kepekaan kita tentang fakta sosial menyangkut kehidupan petani dan masyarakat desa hutan. Bogor, Januari 2006
Penulis
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam pelaksanaan dan penulisan Penelitian ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik itu bantuan moril maupun materiil. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: •
Ir. Murdianto, MSi sebagai Dosen Pembimbing Skripsi atas dorongan dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi.
•
Ir. Said Rusli, MA atas kesediannya menjadi Penguji Utama pada saat ujian skripsi dan Ir. Dwi Sadono, MSi yang bersedia menjadi Dosen Penguji Komisi Pendidikan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.
•
M. Masjkur Iljas dan Yeti Sumiati orang tua penulis atas kasih sayang dan dukungannya selama ini. Selain itu juga kepada Nonih Rostini dan Agung Suryandaru
yang
merupakan
saudari
dan
ipar
atas
bantuannya
memfasilitasi kelancaran skripsi. •
Wydia Fermata, SP; Rizal Razak, SP; Dewi Lestari, SP; Santi Setiawati; Cecilia Evita; Dini Harmita; Retno Puji Astuti; Telly Imelda, SP yang telah membantu proses editing dan kelancaran pelaksanaan ujian skripsi.
•
Martua Sihaloho, SP, MSi; Eko Dafid Afianto, SP; Wawuk Kristian Wijaya, SP; Wijanarko, SP; dan Ahmad Solihin, SPi untuk semua bantuan moril dan materiil, serta diskusi yang bermanfaat selama penyelesaian skripsi.
•
Masyarakat Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat atas kesediaanya menjadi responden dan informan dalam skripsi ini.
vi
vii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................v DAFTAR TABEL............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................xiv BAB I
PENDAHULUAN............................................................................ 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................1 1.2 Perumusan Masalah ..............................................................7 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................... 9 1.4 Manfaat Penelitian................................................................ 10 1.5 Batasan Penelitian................................................................ 10
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS ..........................................................11 2.1 Tinjauan Pustaka .................................................................11 2.1.1
Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Tentang Pembangunan Fasilitas Pariwisata........................ 11
2.1.2
Pengembangan Kepariwisataan.............................14
2.1.3
Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Struktur Agraria .................................................................... 17
2.1.4
Kelembagaan .........................................................22
2.1.5
Masyarakat Petani..................................................24
2.1.6
Peluang Usaha di Sektor Wisata ............................ 27
2.2 Kerangka Pemikiran .............................................................28
vii
viii
2.3 Hipotesa Uji ..........................................................................32 2.4 Definisi Konseptual dan Operasional ..................................32 2.4.1
Definisi Konseptual .................................................32
2.4.2
Definisi Operasional ................................................ 34
BAB III METODOLOGI ............................................................................ 37 3.1 Pendekatan Penelitian .........................................................37 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................37 3.3 Teknik Pengambilan Data.................................................... 38 3.4 Teknik Penentuan Responden ............................................ 38 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data.................................39 BAB IV
PROFIL LOKASI PENELITIAN ...................................................41 4.1 Kondisi Geografis Desa .......................................................41 4.2 Kondisi Pertanian Desa Sukanagalih ..................................43 4.3 Demografi Desa ...................................................................44 4.3.1
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Desa Sukanagalih ............................................................ 44
4.3.2
Komposisi Penduduk Menurut Umur......................45
4.3.3
Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ..............................................................46
4.3.4
Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ............................................................ 47
4.4 Kelembagaan Desa Sukanagalih ........................................ 48 4.5 Kepariwisataan dan Profil Kota Bunga ................................ 50 4.6 Gambaran Umum Responden .............................................56
viii
ix
BAB V
KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN FASILITAS PARIWISATA.....................58 5.1 Kebijakan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah .............................................................58 5.2 Peraturan-Peraturan Mengenai Pembebasan Lahan .............................................................62 5.3 Peraturan-Peraturan Mengenai Pembangunan dan Pengelolaan Fasilitas Pariwisata .............................................................................65
BAB VI
ALIH FUNGSI LAHAN DAN PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA................................................................ 69 6.1 Proses Alih Fungsi Lahan .................................................... 69 6.2 Perubahan Struktur Agraria .................................................72 6.3 Perubahan Struktur Agraria dan Mata Pencaharian Penduduk .............................................................................78
BAB VII PERUBAHAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DESA SUKANAGALIH................................................................ 83 7.1 Kelembagaan Masyarakat Desa Sukanagalih sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga ...83 7.2 Kelembagaan dan Mata Pencaharian Masyarakat Desa Sukanagalih Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga....................................................... 84 BAB VIII PELUANG USAHA DAN PELUANG KERJA DI SEKTOR PARIWISATA ..............................................................88 8.1 Peluang Usaha di Sektor Pariwisata .................................... 88 8.2 Peluang Kerja di Sektor Pariwisata .....................................91 8.3 Tingkat Pendapatan Masyarakat setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga...........................................93
ix
x
BAB IX
PENUTUP .................................................................................... 95 9.1 Kesimpulan ...........................................................................95 9.2 Saran .....................................................................................96
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 98 LAMPIRAN................................................................................................. 105
x
xi
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Tabel 1
Struktur Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 1993 ........................................................... 5
Tabel 2
Matriks Masalah, Data yang Dibutuhkan, Sumber Data, dan Metodologi Penelitian.......................................... 40
Tabel 3
Kegunaan dan Luas Lahan Desa Sukanagalih................... 43
Tabel 4
Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut Umur .................................................................................... 45
Tabel 5
Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sukanagalih ............ 46
Tabel 6
Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut Mata Pencaharian ................................................................ 47
Tabel 7
Tingkat Gaji Karyawan Kota Bunga..................................... 53
Tabel 8
Tingkat Pendidikan Karyawan Kota Bunga ......................... 54
Tabel 9
Luas Kepemilikan Lahan Responden sebelum dan setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga ................................................................................... 57
Tabel 10
Hubungan Antara Tingkat Keragaman Tingkat Jumlah Produk Wisata dan Tingkat Jual Beli Lahan........... 74
Tabel 11
Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga ............... 76
Tabel 12
Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Uta ma Setelah Adanya Kota Bunga .................................................................................. 79
Tabel 13
Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Kota Bunga .......................................................................... 80
Tabel 14
Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Samping an Setelah Adanya Kota Bunga .................................................................................. 81
xi
xii
Tabel 15
Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga ................................................................................... 91
Tabel 16
Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan Jenis pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga ................................................................................... 91
Tabel 17
Hubung an Antara Tingkat Peluang Kerja dan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga .................. 92
Tabel 18
Hubungan Antara Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga ................................................ 93
Tabel 19
Hubungan Antara Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga.............. 94
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Gambar 1
Proses Pembentukan Kelembagaan dalam Masyarakat...........................................................................23
Gambar 2
Kerangka Pemikiran Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata Terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan ............................................................................ 31
xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Lampiran 1
Hasil Uji Statistik Korelasi Rank Spearman ....................... 101
Lampiran 2
Hasil Uji Statistik Chi-Square ............................................. 105
Lampiran 3
Peta Desa Sukanagalih ...................................................... 106
Lampiran 4
Gambaran Tempat Fasilitas Pariwisata Kota Bunga......... 107
Lampiran 5
Jalan Penghubung Antara Kota Bunga dan Permukiman Penduduk ...................................................... 109
Lampiran 6
Luas Kepemilikan Lahan Responden Sebelum dan Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga.................................................................................. 111
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pada awal tahun 1980-an, pembangunan sektor pariwisata bukanlah
sektor yang diprioritaskan dalam pengumpulan devisa negara. Keadaan ini berubah ketika harga minyak bumi di pasaran internasional merosot tajam, kemudian sektor pariwisata menjadi sektor yang didorong untuk menghasilkan devisa negara (Suhendar dan Winarni, 1998). Padahal sebelumnya yaitu pada tahun 1978 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang perlunya pengembangan kepariwisataan. tersebut
berisi
pernyataan
bahwa
kepariwisataan
dapat
Kebijakan
meningkatkan
penerimaan devisa negara, memperluas lapangan kerja, dan memperkenalkan kebudayaan. Pembinaan dan pengembangan pariwisata ini dilakukan dengan tetap memperhatikan pemeliharaan kebudayaan dan kepribadian nasional. Dalam hal memperluas kesempatan kerja, pada tahun 1973 sektor pariwisata terbukti memberikan kesempatan kerja di Inggris, Meksiko, Amerika Serikat, dan Bahama. Di Inggris, sektor pariwisata menampung 1,5 juta tenaga kerja; di Meksiko, sektor pariwisata menampung 250 ribu tenaga kerja; di Amerika Serikat, sektor pariwisata menampung 8,75 juta tenaga kerja; dan di Bahama, sekitar 70 persen tenaga kerja bekerja di sektor pariwisata (Spillane, 1987). Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan, penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama, kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri. Hal ini sesuai dengan
2
perumusan Visi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional yaitu terwujudnya kebudayaan dan pariwisata yang maju, dinamis, dan berwawasan lingkungan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan peradaban, persatuan dan persahabatan antarbangsa. Untuk mewujudkan visi tersebut, dirumuskan Misi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional, salah satunya yaitu pengembangan produk pariwisata yang berwawasan lingkungan, bertumpu pada kebudayaan, peninggalan budaya dan pesona alam lokal yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Berdasarkan pasal 16 UU No. 9 Tahun 1990, pengusahaan obyek dan daya tarik wisata dikelompokkan menjadi tiga kelompok1. Penelitian ini membahas kelompok pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya alam dan tata lingkungan untuk dijadikan sasaran wisata. Salah satu contoh tempat wisata alam adalah Kebun Raya Cibodas di Kabupaten Cianjur. Sektor pariwisata memiliki manfaat dari segi ekonomi dan lingkungan. Dari segi ekonomi, manfaat pariwisata yaitu meningkatkan penerimaan devisa negara (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Manfaat pariwisata dalam meningkatkan devisa negara dapat dilihat dari perolehan pendapatan dari sektor tersebut. Diperkirakan devisa yang dihasilkan sektor pariwisata dunia tahun 2010 sebesar US $ 3,4 trilyun dan membuka kesempatan kerja sebesar 10,6 persen dari angkatan kerja dunia. Satu dari sepuluh orang akan bekerja di sektor pariwisata (Yoeti, 1996a). Industri pariwisata di Indonesia pada tahun
1
Tiga Kelompok Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata, yaitu : (1) Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam; (2) Pengusahaan obyek dan daya tarik budaya; dan (3) Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata minat khusus.
3
1997 menghasilkan perolehan sebesar 64,48 triliun rupiah dan 6,6 juta pekerjaan. Diperkirakan tahun 2007 meningkat menjadi 248,363 triliun rupiah hasil bruto dan 8,5 juta pekerjaan (Yoeti dalam Safri, 2003). Dari segi manfaat bagi lingkungan, pembangunan pariwisata diarahkan pada pengembangan daerah sehingga memberikan kehidupan yang tenang, bersih, jauh dari polusi, santai dan dapat mengembalikan kesehatan fisik maupun mental (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Menurut Pendit (1986), pariwisata memiliki 14 jenis pariwisata, diantaranya yaitu wisata pertanian dan wisata cagar alam. Wisata pertanian merupakan pengorganisasian perjalanan yang dilakukan ke proyek-proyek pertanian, perkebunan, atau ladang pembibitan. Di sisi lain wisata cagar alam adalah wisata yang berkaitan dengan kegemaran terhadap keindahan alam, kesegaran hawa udara di pengunungan, keajaiban hidup binatang dan satwa langka serta tumbuh-tumbuhan khas daerah. Di sisi lain, Tjondronegoro (1999) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata membutuhkan lahan, maka tidak mengherankan jika masalah kebutuhan lahan bertambah. Hal ini dipertegas oleh Yudohusodo (2002) yang menyatakan bahwa masalah agraria terjadi kerena tidak terealisasinya UUPA. Padahal UUPA sebenarnya merupakan wujud implementasi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “bumi dan air termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara da n dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Salah satu contoh kebutuhan lahan untuk pembangunan ialah pembebasan lahan
untuk
wilayah
industri. Pada Pelita V pemerintah
mengembangkan Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI) yang terdiri dari lima zona. Zona-zona itu ialah Sumatera bagian Utara, Sumatera bagian Selatan,
4
Pulau Jawa, Kalimantan bagian Timur, dan Sulawesi (Suhendar dan Winarni, 1998). Saat ini tuntutan atas lahan semakin kuat karena tumbuhnya industri yang membutuhkan lahan (Tjondronegoro, 1999). Salah satu industri yang membutuhkan lahan adalah industri pariwisata. Di Pulau Jawa, kasus sengketa lahan antara pemilik lahan dan pengembang pariwisata banyak terjadi di Jawa Barat. Salah satunya yaitu kasus sengketa lahan yang terjadi di Bogor. Sekitar 21 petani pemilik lahan di Pasarangin harus menyerahkan lahan seluas 15 ha ke PT. KAA untuk perluasan proyek agrowisata terpadu ( Republika dalam Suhendar dan Winarni, 1998). Menurut
Lipton
dalam
Tjondronegoro
(1999),
ketidakberhasilan
pembangunan mengangkat kesejahteraan petani di dunia ketiga disebabkan oleh pembangunan yang bias perkotaan. Hal yang sama juga terjadi pada bidang pariwisata. Pada prakteknya pembangunan industri pariwisata lebih dirasakan oleh masyarakat kota, misalnya kasus yang terjadi di Cisarua dan Rancamaya, Bogor. Di Cisarua, sebanyak 201 petani penggarap menolak pembayaran ganti rugi proyek perluasan Taman Safari (Bisnis Indonesia dalam Suhendar dan Winarni, 1998). Di Rancamaya, sekitar 300 petani menolak ganti rugi atas lahan untuk proyek lapangan golf dan perumahan mewah karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan harapan petani (Suara Karya dalam Suhendar dan Winarni, 1998). Perubahan demografi dan ekologi, pengembangan produksi untuk kepentingan pasar, masifnya sistem monokultur, serta intervensi negara yang mengatur pola produksi dan konsumsi, akan menciptakan kerawanan struktural pada petani. Padahal petani menggantungkan diri pada sistem subsistensi. Mengacu pada pendapat Scott (1989), krisis subsiste nsi petani memicu gerakan
5
petani. Umumnya aksi-aksi protes petani selama periode 1980 hingga 1990-an lebih disebabkan oleh masuknya modal secara masif di wilayah perdesaan dalam bentuk pengambilalihan lahan secara paksa yang berkolaborasi dengan negara (Bahari, 2001). Salah satu kasus sengketa lahan kawasan pariwisata yang menimbulkan gerakan petani yaitu kasus yang terjadi di Pecatu, Bali (Suhendar dan Winarni, 1998). Lebih lanjut Bahari (2001) menyatakan bahwa pada umumnya petani yang terlibat dalam gerakan tersebut berasal dari kalangan pemilik lahan atau penggarap. Mereka sudah menguasai dan mengelola lahan cukup lama meskipun lahan tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhannya secara normal, tetapi setidaknya dapat mempertahankan hidup mereka dari kelaparan. Maka ketika lahan yang mereka kuasai diambil alih secara paksa oleh negara atau pemilik modal, mereka kehilangan sumber subsistensi.
Tabel 1. Struktur Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 1993 No.
Kelompok Luas Penguasaan Lahan (Ha)
Rumahtangga Pertanian Persentase (%)
Persentase Kumulatif (%)
Luas Lahan Yang Dikuasai (%)
1.
Tuna Kisma dan Petani kurang 0,1
43
43
13
2.
0,1 – 0,49
27
70
18
3.
0,5 – 0 99
14
84
-
4.
> 1,0
16
100
69
Sumber : Sensus Pertanian Indonesia dalam Yudohusodo, 2002
Pertambahan jumlah petani miskin disebabkan semakin menyempitnya lahan usahatani yang dimiliki petani (Yu dohusodo, 2002). Dari Tabel 1 terungkap bahwa 43 persen rumahtangga pertanian “miskin lahan” (tunakisma dan petani dengan luas penguasaan kurang dari 0,1 hektar) hanya menguasai 13 persen
6
dari luas lahan pertanian, sementara 16 persen rumahtangga petani “kaya lahan” (petani dengan luas penguasaan lebih dari 1 hektar) menguasai hampir 70 persen luas lahan pertanian. Hal ini terjadi akibat fragmentasi pemilikan atau penguasaan lahan dan fragmentasi fisik hamparan lahan serta alih fungsi lahan pertanian subur ke penggunaan non pertanian (Yudohusodo, 2002). Di sisi lain, Spillane (1987) mengungkapkan pariwisata dapat mengubah motivasi unsur kebudayaan. Kesenian dan upacara yang semula dilakukan karena motivasi tradisi atau spiritual menjadi motivasi komersil. Kegiatan kebudayaan dilaksanakan bukan lagi karena tradisi tetapi karena permintaan wisatawan. Hal ini terjadi pada pelaksanaan upacara-upacara kebudayaan di Bali. Upacara-upacara yang seharusnya dilakukan waktu tertentu, kini dapat dilakukan kapan saja tergantung permintaan wisatawan dan besarnya bayaran (Metera, 1996). Pembangunan pariwisata dapat juga memunculkan kegiatan usaha seperti usaha kerajinan, rekreasi atau hiburan, toko cinderamata dan lain-lain (Atmaja dalam Metera, 1996). Salah satu contohnya yaitu usaha kerajinan yang berkembang di daerah Bali ketika daerah tersebut dijadikan kawasan pariwisata. Seperti usaha kerajinan patung batu padas, usaha kerajinan emas dan perak, usaha kerajinan ukiran kayu, dan usaha kerajinan lukisan (Suara Merdeka dalam Suhendar dan Winarni, 1998). Pengembangan pariwisata memunculakan adanya produk wisata. Medlink dan Midleton menyatakan (Yoeti, 1996b) terdapat tiga unsur yang membentuk produk wisata, yaitu : 1. Atraksi pada suatu daerah pariwisata termasuk citra daerah wisata. 2. Fasilitas di daerah wisata mencakup akomodasi, jasa boga, rekreasi, dan hiburan.
7
3. Aksesibilitas ke daerah pariwisata. Pengembangan produk wisata dapat menjadi salah satu peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal di daerah wisata tersebut. Masyarakat tinggal mencari peluang usaha dan peluang kerja yang dapat dimasuki mereka. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari modal dan keterampilan yang mereka miliki (Metera, 1996).
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa keberadaan lahan di
perdesaan memiliki peranan penting. Selain rumahtangga petani, terdapat juga pemerintah dan pemilik modal yang memiliki kepentingan terhadap lahan. Dewasa ini, pembangunan di sektor pariwisata sedang dikembangkan oleh pemerintah,
dimana
pada
pelaksanaannya
pengembangan
pariwisata
membutuhkan lahan. Kebutuhan terhadap lahan yang semakin meningkat apabila bertentangan dengan kepentingan pihak lain (pemodal dan rumahtangga petani) dapat menimbulkan masalah. Seperti pada kasus-kasus sengketa lahan antara petani, pemerintah dan swasta. Pengembangan wisata melalui kebijakan yang ditetapkan pemerintah memudahkan pemilik modal untuk mengembangkan industri pariwisata. Pengembangan industri pariwisata itu sendiri, sejalan dengan konsep pembangunan di bidang ekonomi yaitu untuk meningkatkan devisa negara. Hanya saja, pengembangan wisata itu tidak hanya meningkatkan devisa negara, tetapi dapat menimbulkan beberapa masalah. Salah satu masalahnya yaitu kasus sengketa lahan. Sengketa lahan tersebut timbul karena harga ganti rugi lahan yang diberikan pemerintah atau pemodal tidak sesuai dengan harapan petani pemilik lahan. Maka dari itu, penelitian ini akan mengananalisis bagaimana proses alih fungsi lahan yang terjadi di desa sekitar wisata.
8
Masalah lain yang muncul akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah masalah kepemilikan dan penguasaan lahan. Petani-petani yang kehilangan lahan harus mencari lahan baru di daerah baru. Pada kasus sebelumnya, petani yang kehilangan lahan mampu membeli lahan baru di daerah baru, hanya saja lahan tersebut tidak subur seperti lahan semula. Harga ganti rugi lahan yang tidak sesuai dengan harapan petani dan harga pasaran menyebabkan petani sulit membeli lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang sama dan lokasi yang dekat dengan sumber mata air. Hal ini disebabkan harga lahan-lahan subur mahal, sedangkan petani tidak mampu membeli lahan yang subur itu. Jumlah petani yang mampu membeli lahan subur dan luas rendah sehingga mengakibatkan terakumulasinya lahan oleh sebagian orang dan dapat meningkatkan jumlah tuna kisma. Maka dari itu, bagaimana nasib petani jika petani kehilangan lahan pertanian? Apakah petani akan kehilangan mata pencahariannya sebagai petani dan berganti profesi? Lalu bagaimana tingkat pendapatan petani di daerah wisata? Pembangunan fasilitas pariwisata selain dapat mengubah struktur agraria masyarakat lokal dapat juga mengubah kelembagaan. Kelembagaan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata masih berupa kelembagaan yang berhubungan dengan usahatani yang bersifat subsisten atau kelembagaankelembagaan gotong royong, tetapi setelah pembangunan fasilitas pariwisata, muncul kelembagaan-kelembagaan komersil yang berhubungan dengan usahausaha di sektor wisata. Jika kelembagaan baru yang muncul di perdesaan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, maka hal ini merupakan suatu gejala yang diharapkan, tetapi jika kelembagaan baru itu menimbulkan masalah bagi masyarakat lokal, maka gejala inilah yang tidak diharapkan. Kelembagaan yang bersifat komersil dapat menimbulkan persaingan antara masyarakat lokal
9
dan pendatang. Pada beberapa kasus, persaingan timbul karena ada persaingan dalam hal memperoleh kesempatan berusaha dan bekerja. Dalam hal peluang usaha, masyarakat pendatang lebih mampu mengisi peluang tersebut. Masyarakat pendatang memiliki modal yang cukup dan telah diperhitungkan untuk berusaha di daerah wisata, sehingga kemungkinan rugi dapat ditekan, sedangkan masyarakat lokal jarang memperhitungkan hal tersebut. Selain itu keterbatasan modal yang dimiliki masyarakat lokal merupakan salah satu kelemahan dalam memasuki peluang usaha. Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan dapat menjadi peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal. Hanya saja, tidak semua peluang usaha atau peluang kerja dapat dimasuki masyarakat lokal. Hal ini dikarenakan keterbatasan modal dan keterampilan masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang awalnya berusaha di sektor pertanian, kini harus dapat menyesuaikan diri dengan peluang usaha dan peluang kerja baru di sektor wisata. Meskipun masyarakat lokal dapat memasuki peluang usaha dan peluang kerja, tetapi mereka hanya dapat menempati usaha-usaha yang menghasilkan keuntungan kecil, bukan usaha-usaha utama yang keuntungannya jauh lebih besar. Usahausaha utama itu biasanya ditempati pendatang atau pemilik modal.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perubahan struktur agraria
rumahtangga petani karena pembangunan fasilitas pariwisata dan dampaknya terhadap peluang usaha dan peluang kerja masyarakat lokal. Tujuan ini dirinci sebagai berikut : 1. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap perubahan struktur agraria.
10
2. Menganalisis
dampak
pembangunan
fasilitas
pariwisata
terhadap
kelembagaan di perdesaan. 3. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal dan kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan masyarakat lokal.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
tentang
perubahan struktur agraria di perdesaan sebagai akibat pembangunan fasilitas pariwisata. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, sehingga lebih memperhatikan kepentingan masyarakat lokal.
1.5 Batasan Penelitian Penelitian ini membahas dampak pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan. Fasilitas pariwisata yang dibahas berupa pembangunan real estate atau villa-villa. Pembahasan penelitian ini, fokus pada alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan perubahan struktur agraria di perdesaan. Selain masalah agraria, penelitian ini membahas perubahan sifat kelembagaan di perdesaan dan pembahasan mengenai peluang usaha dan peluang kerja yang muncul akibat pembangunan fasilitas pariwisata.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Tentang Pembangunan Fasilitas Pariwisata Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Orde Baru
mengundang
investasi
swasta
(asing
dan
domestik)
dalam
kegiatan
pembangunan ekonomi di Indonesia termasuk kegiatan industri. Upaya tersebut dilegitimasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Tujuan dikeluarkannya UU tersebut yaitu menarik investor asing dan dalam negeri (domestik) melakukan investasi di Indonesia (Suhendar dan Winarni, 1998). Undang-undang
penanaman
modal
ini
ditindaklanjuti
dengan
serangkaian kebijakan yang memberi kemudahan kepada investor seperti keringanan pajak, pembebasan bea masuk, penyediaan tenaga kerja yang melimpah dan murah, dan kemudahan memperoleh tanah. Adapun kemudahan memperoleh tanah untuk investor dijamin oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang industrial estate2. Dalam perkembangan selanjutnya aturan penyediaan tanah untuk industri diperkuat melalui Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Dalam keputusan Presiden tersebut, pemberian lokasi untuk kawasan industri mengikuti petunjuk sebagai berikut : (1) sejauh mungkin harus menghindari pengurangan areal subur; (2)
2
Industrial estate adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan, pengadaan dan pematangan tanah bagi keperluan usaha-usaha, termasuk industri pariwisata yang dilengkapi prasarana-prasarana umum yang diperlukan.
12
sedapat mungkin memanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif; (3)
sedapat
mungkin
menghidari
pemindahan
penduduk
dari
tempat
kediamannya; (4) perhatian terhadap persyaratan bebas pencemaran lingkungan (Metera, 1996). Kebijakan tentang kepariwisataan diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut antara lain: (1) kebudayaan dan pariwisata adalah wahana pengembangan wilayah; (2) dalam pengembangan kebudayaan dan pariwisata, masyarakat merupakan subyek pembangunan dan bukan hanya obyek pembangunan; (3) pelestarian dan pengembangan kebudayaan pariwisata menjadi tanggung jawab seluruh bangsa dan negara kesatuan Indonesia; dan (4) pemanfaatan unsur kesenian dan kebudayaan serta unsur alami untuk pariwisata harus dilakukan secara bertanggung jawab dan menuju pada pelestarian alam dan pengkayaan budaya, sehingga menjadi wahana persahabatan antar bangsa, sekaligus menunjung pelestarian lingkungan alam (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Selanjutnya penanganan tugas pemerintahan tentang kepariwisataan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 2003 memerlukan integrasi kelembagaan dalam penanganan tugas pemerintahan di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Hal ini mengacu pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, dan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002. Beberapa isi dari Keppres tersebut adalah Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata merumuskan kebijakan pemerintah di bidang
13
Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam rumusan kebijakan itu diperlukan perhatian terhadap peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha kebudayaan dan pariwisata dalam memajukan kebudayaan dan pariwisata, penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan dalam rangka penyusunan tata ruang di bidang Kebudayaan dan Pariwisata, dan penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Selanjutnya, Pariwisata
No.
berdasarkan
Keputusan
KEP-04-A/MKP/VI/2001,
tujuan
Menteri
Kebudayaan
program
dan
pengembangan
pariwisata adalah mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan kebudayaan serta sumber daya (pesona) alam lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat; mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata terutama
pasar
luar
negeri.
Landasan
pengembangan
pariwisata
juga
berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XII e t ntang pembinaan dan pengawasan, pasal 112, ayat (1) menyebutkan bahwa dalam rangka pembinaan, pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah, dalam arti memberdayakan daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi. Selain undang-undang yang telah disebutkan di atas, masih ada undang-undang lain yang terkait dengan kepariwisataan khususnya wisata alam, diantaranya yaitu (Yoeti, 2001): 1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. 2. Kepmen Parpostel No. KM.98/PW.102/MPPT-1987 tentang Ketentuan Usaha Obyek Wisata.
14
3. Surat
Keputusan
Dirjen
Pariwisata
No.
Kep. 18/U/11/1988 tentang
Pelaksanaan Ketentuan Usaha Obyek Wisata dan Daya Tarik Wisata. 4. Undang-Undang N0. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. 5. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di zona pemanfaatan kawasan pelestarian alam. 6. Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. 7. Sadar Wisata dan Sapta Pesona dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
2.1.2
Pengembangan Kepariwisataan Menurut Institut of Tourisme in Britain dalam Pendit (1986), pariwisata
adalah kepergian orang-orang dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar te mpat tinggal dan tempat bekerja, sedangkan Pendit (1986) memandang
pariwisata sebagai salah satu jenis industri baru yang mampu
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produtivitas lainnya. Ke pariwisataan mewajibkan penyediaan produk wisata. Beberapa produk wisata diantaranya (Yoeti, 1996) yaitu: 1. Jasa-jasa agen perjalanan yang memberi informasi, advis, pengurusan dokumen perjalanan, perjalanan itu sendiri pada waktu akan berangkat. 2. Jasa-jasa perusahaan angkutan yang akan membawa wisatawan dari dan ke daerah tujuan wisata. 3. Jasa-jasa pelayanan akomodasi, perhotelan, bar dan fasilitas rekreasi. 4. Jasa-jasa agen perjalanan lokal yang menyelenggarakan perjalanan ke obyek-obyek wisata setempat.
15
5. Jasa-jasa transport lokal (bus, taksi, coach-bus) dalam melakukan perjalanan obyek wisata setempat. 6. Obyek wisata dan atraksi wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata. 7. Jasa-jasa pedagang cinderamata dan kerajinan serta pusat perbelanjaan. 8. Jasa-jasa perusahaan pendukung seperti postcard film (photo supply), penukaran uang (bank). Dalam
kaitannya
dengan
lingkungan
hidup
dan
sumberdaya,
ketersediaan sumberdaya wisata di Indonesia banyak macamnya, diantaranya yaitu (Joyosuharto, 2001) : 1. Alam non hayati : wilayah pesisir di pantai, pegunungan, laut, pulau karang, taman laut, danau, dan gua. 2. Alam hayati : hutan pantai, hutan bakau, hutan dataran rendah, pegunungan dengan floranya, dan fauna. 3. Manusia dengan perilaku, budaya dan kebutuhan : Adat istiadat yang terpatri dalam
kehidupanya,
budaya
dan
kebutuhan
yang
menggambarkan
kedekatannya dengan alam hingga keramahan, kehalusan dan ketinggian budaya. 4. Buatan : taman hutan raya, taman margasatwa, taman pantai, peninggalan sejarah, tata letak dan arsitektur rumah, tempat peribadatan, istana raja, taman hiburan, dan museum. Kesemuanya itu dapat merupakan sumberdaya wisata yang menjanjikan keindahan atau daya tarik untuk dijual, sehingga dapat dinikmati wisatawan. Walaupun demikian, hal ini tergantung pengelolaan tempat wisata saja. Hal ini dikarenakan pengelolaan wisata
tidak hanya bergantung pada sumberdaya
wisata saja, tetapi memerlukan keterpaduan dalam penataan, pemeliharaan,
16
pengawasan, pengendalian, dan pemulihan sumberdaya wisata (Joy osuharto, 2001). Selanjutnya ditambahkan oleh Lakoni (2001), yang menyatakan bahwa syarat utama dalam mencapai keberhasilan pembangunan pariwisata adalah peningkatan profesionalisme yang didukung oleh kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia, juga masalah koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS) dalam pembangunan pariwisata. Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan memberikan beberapa peluang usaha bagi masyarakat perdesaan khususnya petani, tetapi sedikit sekali peluang usaha yang dapat dimasuki oleh petani. Hal ini dikarenakan keterbatasan keterampilan yang dimiliki petani. Kemampuan untuk memasuki lapangan kerja baru tergantung pada faktor-faktor motivasi, keberanian mengambil resiko, modal yang dimiliki petani, kemunculan pusat pertumbuhan yang membutuhkan banyak tenaga kerja, dan keberadaan lembaga yang mendukung petani memasuki peluang usaha (Metera, 1996). Petani pemilik lahan luas pada peristiwa alih fungsi tanah di kawasan wisata Tanah Lot, Bali memiliki kecenderungan mengalokasikan uang ganti rugi untuk membeli tanah lagi di daerah pedalaman, sehingga dapat meneruskan kembali usahataninya. Hal yang paling menarik dari penelitian ini adalah buruh tani lebih banyak yang berubah mata pencaharian ketimbang penggarap. Hal ini disebabkan karena penggarap lebih terikat kepada tanah dibanding buruh tani. Buruh tani relatif lebih bebas (tidak terikat pada lahan garapan) ketimbang penggarap (Metera, 1996). Yoeti (2001) menyarankan bahwa dalam pengembangan wisata di perdesaan, masyarakat perlu diberi informasi, mereka harus diberi ide-ide, kemudian pembinaan. Mereka tidak sadar bahwa di sekeliling mereka terdapat peluang usaha untuk menghasilkan uang. Di sinilah perlunya bantuan Lembaga
17
Swadaya Masyarakat (LSM) dalam memberikan pembinaan kepada petani untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Sebagai contoh, para pemula diajak ke Agrowisata Kali Klatak di Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana mereka melakukan studi
banding
terhadap
pengusaha
agrowisata
yang
berhasil
dalam
mengusahakan kopi, karet, coklat, dan cengkeh. Melalui pendekatan ini, diharapkan pembangunan pariwisata tidak lagi hanya menjadi milik orang yang bermodal saja tetapi juga dimiliki oleh petani sekitar proyek yang selama ini hanya menjadi penonton di kampung halaman sendiri.
2.1.3
Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Struktur Agraria Salah satu kebijakan agraria di Indonesia adalah Undang-Undang
Pokok Agraria. UUPA mengandung sifat politis, misalnya dalam hal penetapan fungsi sosial bagi kepemilikan tanah (Pasal 33 dari UUD 1945); memberikan tanah bagi penggarapnya; dan penghapusan kepemilikan tanah berluasan lebih agar hubungan tuan tanah – penggarap menjadi lebih menguntungkan penggarap. Redistribusi tanah dipandu dengan aturan penjelasan dalam undangundang tersebut mengenai luas penguasaan tanah minimum dan maksimum (Tjondronegoro, 1999). Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah dalam UUPA 1960 diatur dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang menyebutkan macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri ma upun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang dan
18
peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA 1960). Selanjutnya pasal 16 ayat 1 UUPA 1960 menjelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi: (1) hak milik, (2) Hak Guna Usaha, (3) hak guna bangunan, (4) hak pakai, (5) hak sewa, (6) hak membuka tanah, (7) hak memungut hasil hutan, (8) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hakhak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan untuk hapus dalam waktu yang singkat (Subekti dalam Sutisna, 2001). Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam usaha pengumpulan devisa negara dari sektor pariwisata, kasus-kasus sengketa tanah yang merupakan ekses dari usaha ini bermunculan. Kasus ini banyak terjadi di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa kasus sengketa tanah untuk daerah pariwisata banyak dijumpai di Jawa Barat. Seperti kasus di Desa Margamulaya, Bandung. Lahan seluas 360 ha dibebaskan untuk membangun perumahan mewah, lapangan golf, dan cottage. Warga menolak menyerahkan lahan tersebut karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di luar Jawa, kasus ini ditemukan di Minahasa, Sulawesi Utara. Di daerah ini sekitar 195 KK menolak ganti rugi dari PT AEP yang membebaskan lahan seluas 485 ha milik penduduk untuk kawasan wisata (Suhendar dan Winarni, 1998). Travis dalam Pendit (1986) menyatakan dampak dari pariwisata adalah perusakan sumber peradaban, hilangnya kegunaan tanah, dan urbanisasi yang meningkat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Metera (1996), alih fungsi tanah pertanian menjadi kawasan wisata mengakibatkan tiga hal yaitu :
19
1. Banyaknya petani yang membeli tanah di daerah lain, meskipun demikian masih lebih banyak petani yang mengalami penurunan luas lahan. 2. Semakin rendah status kepemilikan tanah, semakin besar kecenderungan untuk membeli tanah lagi. 3. Secara relatif semakin tinggi status pemilikan tanah semakin menurun kepemilikan atas tanah. Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu relatif tetap, sedangkan kebutuhan manusia terhadap tanah meningkat sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan aktivitas yang mereka lakukan. Selain itu juga jumlah penduduk semakin meningkat . Keadaan ini menjadikan lahan memiliki nilai yang tinggi (Afianto, 2002). Barlow dalam Afianto (2002) menyatakan bahwa nilai lahan menjadi lebih tinggi jika lahan mempunyai potensi fisik seperti kesuburan tanah, kandungan barang tambang, atau keutamaan lokasi. Suatu contoh di perdesaan Jawa, kepadatan penduduk berkisar antara 480 sampai 800 jiwa setiap satu kilometer persegi (Koenjjaraningrat dalam Soekanto, 1987). Hal ini dapat menimbulkan persaingan dalam mendapatkan tanah. Dalam konteks perkembangan di sektor agraria, tanah merupakan alat yang vital. Para pemilik modal dan negara saling bekerjasama untuk mendapatkan keuntungan. Pemilik modal memanfaatkan tanah dengan alasan untuk membangun infrastruktur di perdesaan dimana pemerintah sebagai aparat negara memberikan alasan memperluas kesempatan kerja, memperbesar devisa negara, dan berbagai alasan lain untuk mengambil alih tanah petani di perdesaan (Fauzi, 1999). Perubahan fungsi tanah dari alat produksi untuk konsumsi si penggarap menjadi alat produksi untuk surplus maksimal yang menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada faktor produksi yaitu tanah dan tenaga kerja. Keadaan ini
20
terlihat melalui proses perkembangan mode produksi dari kepentingan subsisten petani yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup ke bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang menggunakan faktor-faktor produksi menurut perhitungan rasional dan seefisien mungkin agar memperoleh keuntungan setingi-tinginya. Sistem ini disebut sistem kapitalis. Ciri khas kapitalisme adalah penguasaan modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi terpisah. Kapitalisme menempatkan tenaga kerja sebagai alat produksi dengan mekanisme upah. Kapitalisme ada dua jenis yaitu kapitalisme yang berkembang berdasarkan modal swasta dan negara. Kapitalisme yang berdasarkan modal swasta berkembang atas dasar kebebasan produksi, konsumsi, perdagangan, dan persaingan melalui mekanisme pasar. Di sisi lain, kapitalisme negara adalah pemilikan kapital terbesar di tangan negara, rakyat menjadi buruh negara tanpa imbalan (Suhendar dan Winarni, 1998). Kemudian Suhendar dan Winarni (1998) juga menjelaskan bahwa perebutan sumberdaya agraria dapat menimbulkan konflik. Konflik agraria sering terjadi pada kasus-kasus pengambilalihan lahan pertanian untuk kepentingan industri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik agraria terjadi ketika subsistensi petani sebagai pengelola agraria berikut pola penguasaannya terancam dengan terganggunya tata produksi oleh intervensi kapital ke masyarakat. Scott (1989) menilai bahwa dorongan moral merupakan alasan utama munculnya gerakan petani sehingga reaksi tersebut memiliki kekuatan moral yang besar. Menurut Wiradi (2000), terdapat perbedaan konsep antara pemilikan dan penguasaan lahan. Konsep “kepemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal. Hal ini berarti dalam penguasaan lahan terdapat undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut. Misalnya, seseorang mempunyai lahan yang
21
terdaftar dalam hukum seluas 1 ha, maka ia dikatakan sebagai pemilik lahan tersebut. Masalah pemilikan tanah lebih nyata terdapat di Jawa dan Bali. Di wilayah ini konsep pemilikan telah berakar selama dua abad terakhir, sedangkan di pulau lain lebih dikenal dengan hak pakai, karena tanah merupakan milik komunal. Konsep “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Hal ini merujuk pada cara seseorang atau rumahtangga pertanian menguasai atau mengusahakan lahan. Apakah ia mengusahakan lahan miliknya sendiri atau mengusahakan tanah milik orang lain melalui cara sewa, bagi hasil, bengkok, tanah bebas sewa, tanah serobotan, atau tanah liar. Perubahan
struktur
agraria
dapat
mengubah
pelapisan
dalam
masyarakat, seperti yang dikatakan Sorokin dalam Soekanto (1987) menjelaskan dasar adanya pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara anggota masyarakat. Soekanto (1987) memberikan ukuran atau kriteria yang biasa dipakai dalam pelapisan masyarakat, yaitu : 1. Ukuran kekayaan yang dapat dilihat dari kepemilikan benda-benda berharga seperti mobil, rumah, pakaian, dan barang-barang mewah lain. 2. Ukuran kekuasaan. Orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang tertinggi berada pada lapisan atas. 3. Ukuran kehormatan. Ukuran ini indikatornya adalah penghormatan kepada orang-orang yang disegani oleh masyarakat, biasanya pada masyarakat tradisional. Ukuran ilmu pengetahuan. Dipakai pada masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Biasanya orang-orang hanya melihat gelar kesarjanaan untuk mengukur lapisan yang berdasarkan ilmu pengetahuan.
22
2.1.4
Kelembagaan Konsep kelemb agaan menurut Soekanto (1987) adalah himpunan
norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar dari segala kebutuhan pokok yang berada pada masyarakat. Koentjaraningrat (1980), mengajukan istilah lain untuk lembaga dengan sebutan pranata untuk institution, misalnya pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan memproduksi dan mendistribusikan harta benda yaitu pertanian, peternakan, dan industri. Hal ini ditujukan agar tidak dikacaukan dengan istilah lembaga untuk institute (suatu badan atau organisasi yang berfungsi dalam suatu lapangan kehidupan masyarakat yang
khas,
biasanya lapangan penelitian, pendidikan, pembinaan, atau pengembangan). Istilah tersebut menunjuk pada kelakuan berpola atau sistem norma. Norma adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Kelembagaan merupakan salah satu bentuk abstraksi dari struktur sosial. Dengan demikian perubahan kelembagaan dapat diartikan sebagai pergantian-pergantian pada struktur sosial melalui dimensi waktu. Struktur sosial dapat diartikan sebagai jaringan kerja yang kuat atau kokoh pada hubungan sosial dalam bentuk interaksi secara rutin dan berulang-ulang (Harper dalam Sutisna, 2001). Untuk lebih jelas melihat proses terbentuknya kelembagaan dapat dilihat pada gambar 1.
23
Gambar 1. Proses Pembentukan Kelembagaan dalam Masyarakat
Sistem Norma
Kelakuan Berpola Peralatan dan Perlengkapan
Personel Pendukung
Hubungan kekerabatan merupakan hal yang penting di desa, meski demikian ikatan komunitas didasarkan pada kenyataan bahwa orang desa hidup bersama di dalam suatu lokasi yang sama dan harus bekerja sama pula. Kelembagaan yang menguasai ekonomi desa yang bercirikan cara-cara produksi dan tukar-menukar merupakan adat kebiasaan dan prinsip-prinsip moral daripada undang-undang dan perjanjian resmi (Hayami dan Kikuchi, 1987). Kelembagaan perdesaan mengalami tantangan berat di bawah arus modernisasi. Hal ini mengikis fungsi-fungsi sosial kelembagaan tersebut seperti sistem derep dan bawon yang mempunyai fungsi sosial, artinya pembagian hasil pertanian dapat berlangsung tanpa adanya upah uang . Masuknya ekonomi uang semakin merangsang
hubungan
komersial
di
perdesaan.
Namun,
ekonomi
dan
kelembagaan tradisional belum merata kesiapannya dalam menerima hubungan komersial tersebut. Hal lain yang mengikis kelembagaan di perdesaan adalah pelaksanaan revolusi hijau (Tjondronegoro, 1999). Salah satu lembaga ekonomi (institut) di desa adalah Lembaga Perkreditan Desa. Rata-rata lembaga ekonomi di desa mensyaratkan adanya
24
agunan dalam pemberian kredit. Hal ini menyulitkan petani membuka usaha karena rata-rata petani tidak memiliki agunan. Salah satu contohnya adalah kasus yang terjadi di Tanah Lot, Bali. Rata-rata petani mengeluh karena kesulitan membuka usaha di sektor non pertanian karena tidak memiliki modal. Untuk mendapatkan modal, mereka harus memiliki agunan. Lembaga Perkreditan Desa saja hanya dapat memberikan pinjaman maksimal satu juta rupiah, itupun harus dilengkapi jaminan (agunan). Apalagi lembaga-lembaga ekonomi lain yang memiliki persyaratan lebih rumit daripada Lembaga Perkreditan Desa. Hubungan antara masyarakat lokal dan wisatawan oleh Soekadijo (2000) dibagi ke dalam tiga model, yaitu: 1. Model Enklave , dalam pariwisata model enklave wisatawan datang, masuk ke dalam hotel dan hanya ke luar sebentar untuk membuat foto-foto kenangan. Waktunya dihabiskan di dalam kompleks hotel: mereka bersenang-senang di situ, menghabiskan malam harinya bersama-sama , berbelanja di hotel, melihat pertunjukan yang diadakan di hotel, dan kegiatan lain di hotel. 2. Model Berbaur, dalam pariwisata model berbaur wisatawan bergerak dan bergaul dengan penduduk setempat, mereka berekreasi di tengah-tengah masyarakat, berbelanja di tempat perbelanjaan yang juga terbuka untuk penduduk, hotelnya terletak di tengah-tengah kediaman penduduk atau mereka tinggal di homestay. 3. Model Individual, dalam model ini, wisatawan adalah wisatawan individual, yang memilih atraksi menurut selera pribadi.
2.1.5 Masyarakat Petani Scott (1989) melihat petani dari segi moral yang hidup dalam pola subsisten dan tidak mau beresiko. Dalam menjelaskan mekanisme masyarakat
25
petani, Scott (1989) memberikan sebuah nilai normatif yang mengambarkan kehidupan ekonomi petani yang dekat dengan pola hubungan sosial yang pantas, wajar dan adil. Keputusan-keputusan ekonomis petani, seperti prinsip mendahulukan selamat, merupakan indikator bahwa orientasi subsistensi sangat mendasari pola hidup petani. Petani menganggap pertanian bukanlah suatu usaha ekonomis untuk memperoleh keuntungan melainkan suatu pertanian subsistensi yang semata-mata menghasilkan pangan. Redfield dalam Winarni dan Suhendar (1998) melukiskan sebagai suatu “kehidupan yang baik” dari nilainilai petani yang berlaku. Salah satu pola hubungan itu adalah sikap intim dan hormat pada tanah yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang baik. Ia menyebutnya sebagai “rasa samar-samar tentang sesuatu yang pantas dihormati” di dalam tanah dan kegiatan pertanian. Sebaliknya Popkin dalam Suhendar dan Winarni (1998) mengakui adanya rasionalitas petani. Petani adalah homo oekonomikos yang akan terus berusaha
menghasilkan
sumberdaya
dan
kemakmuran
sendiri
tanpa
memperdulikan moral perdesaan seperti yang dikatakan Scott. Sementara itu Hayami dan Kikuchi (1987) cenderung mengakui adanya moralitas dan rasionalitas petani. Pada masyarakat petani berlaku prinsip moralitas dan rasionalitas ketika akan mencari keuntungan. Petani cenderung mempekerjakan tetangganya atas dasar tolong menolong daripada mengambil tenaga kerja dari luar, meskipun dengan biaya yang sama atau bahkan lebih murah. Cara ini dinilai tepat untuk menghindari kerugian akibat kecurangan pekerja. Menurut Bahari (2001) secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani perdesaan, yaitu kepemilikan tanah secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural. Tanah bagi petani bukan hanya memiliki arti materil-ekonomi melainkan memiliki arti sosial dan budaya. Luas tanah yang
26
dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki tanah menempati lapisan terendah pada komunitas petani. Tinggi rendahnya jumlah kepemilikan tanah dapat dilihat dari ketersediaan tanah di suatu komunitas. Suhendar dan Winarni (1998) menyimpulkan bahwa dari beberapa pandangan tersebut terlihat bahwa sebuah keluarga tani bisa tetap survive dan solidaritas komunitas tetap kuat. Mereka mengandalkan sikap kepatuhan terhadap peraturan-peraturan sosial bersama. Berhubung cara tersebut begitu efektif dalam menjamin keamanan seluruh keluarga petani, mekanisme itu kemudian
melembaga
dalam
masyarakat.
Dengan demikian pengertian
subsisten tidak selalu berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan juga melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Ada tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani, diantaranya yaitu : 1. Sikap atau cara petani memperlakukan faktor-faktor produksi yaitu tanah dan sumberdaya agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif terhadap tanah dan sumberdaya agraria, menganggap peningkatan produksi tidak perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya. Petani tersebut termasuk petani subsisten. Sebaliknya, jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial. 2. Besar kecilnya skal a usaha petani. Sekalipun hanya menguasai lahan dalam skala usaha kecil, jika didasari oleh pemikiran yang cenderung berorientasi pasar (mengejar surplus), petani tersebut disebut petani komersil. Sebaliknya petani yang berlahan sempit dengan skala usaha terbatas termasuk petani subsisten.
27
3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Walaupun mengusahakan komoditas komersial, jika hanya digunakan sebatas kebutuhannya saja, petani itu disebut petani subsisten. Sebaliknya, apabila mengusahakan tanaman komersial dengan tujuan untuk menghasilkan surplus, walaupun tanah yang dikuasainya terbatas, petani itu disebut petani komersil. Jika pola subsisten petani tersebut ditinjau dalam kenyataan petani di Indonesia, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada petani di Indonesia yang subsisten mutlak. Akan tetapi jika digunakan indikator kecilnya skala usaha dan kemampuan petani berproduksi, jelas bahwa petani di Indonesia memiliki pola subsisten (Suhendar dan Winarni, 1998).
2.1.6
Peluang Usaha di Sektor Pariwisata Sarana pariwisata seperti hotel dan perusahaan perjalanan adalah
usaha yang padat karya (Soekadijo, 2000). Berdasarkan penelitian yang dilaku kan Metera (1996) di Tanah Lot, Bali. Salah satu dampak alih fungsi lahan pertanian ke usaha pariwisata yaitu adanya perubahan mata pencaharian petani meskipun sebagian besar petani masih mempertahankan mata pencahariannya sebagai petani. Sebagian petani menginvestasikan uang ganti rugi untuk usaha di luar sektor pertanian dan membeli tanah lagi sebagai sumber mata pencaharian sampingan. Hanya sebagian kecil petani yang dapat masuk ke usaha pariwisata. Usaha-usaha itu diantaranya adalah usaha angkutan wisata, pedagang cindera mata, karyawan, dan tukang foto di obyek wisata. Sedikitnya petani yang mendapatkan peluang usaha di sektor pariwisata disebabkan kurangnya modal, keterampilan, dan pengetahuan petani. Salah satu contohnya yaitu untuk membuka kios di daerah wisata memerlukan dana sekitar 10-15 juta. Orang yang mampu menyewa kios itu sebagian besar bukan petani tetapi pemilik modal (pendatang/pengusaha).
28
2.2
Kerangka Pemikiran Usaha pemerintah dalam meningkatkan devisa negara adalah melalui
sektor pariwisata. Kini, sektor pariwisata menjadi sektor andalan pemerintah. Implementasinya, banyaknya pengembangan di sektor pariwisata. Salah satu pengembangan pariwisata adalah pembangunan fasilititas pariwisata. Dengan pembangunan fasilitas pariwisata, diharapkan dapat meningkatkan jumlah wisatawan sehingga menambah pendapatan negara. Dewasa ini, pembangunan fasilitas pariwisata banyak ditemukan di daerah perdesaan. Salah satu alasannya yaitu karena daerah perdesaan cocok untuk pembangunan tersebut. Keasrian dan kesejukan desa dapat sekaligus menjadi objek wisata. Pembangunan
fasilitas
pariwisata
di
perdesaan
tentu
saja
mengakibatkan berbagai perubahan di perdesaan. Perubahan yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah perubahan struktur agraria, kelembagaan, dan peluang usaha di perdesaan. Kemungkinan terjadinya perubahan struktur agraria dikarenakan adanya alih fungsi lahan, dimana kita ketahui bahwa sebagian besar masyarakat perdesaan bercocok tanam. Mereka bercocok tanam di lahan pertanian. Ketika adanya pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan, maka terjadilah perubahan fungsi lahan, dari pertanian ke non pertanian. Dari peristiwa ini, selain terjadi alih fungsi lahan, terjadi pula perubahan kepemilikan lahan. Perubahan kepemilikan lahan diiringi adanya jual beli lahan atau biasa disebut ganti rugi lahan. Perubahan kepemilikan lahan dari petani ke pemilik modal atau pengusaha dapat mengakibatkan petani kehilangan mata pencahariannya karena lahan yang biasa digarap kini menjadi suatu tempat wisata. Kehilangan mata pencaharian petani dapat disebabkan pula oleh kecilnya ganti rugi lahan yang diberikan pemodal kepada petani sehingga petani tidak dapat membeli lahan di daerah lain.
29
Kelembagaan yang ada di perdesaan adalah kelembagaan gotong royong. Dimana adanya sifat tolong menolong dan kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Masuknya pembangunan di perdesaan dapat mengubah kelembagaan tersebut, yang tadinya gotong royong berubah menjadi komersil. Pembangunan fasilitas pariwisata dapat me ngakibatkan masyarakat meninggalkan sifat gotong royong kemudian beralih ke komersil , dimana setiap tindakan dinilai dengan uang. Selanjutnya, komersialisasi dapat mengakibatkan perubahan mata pencaharian masyarakat di perdesaan. Hal ini tentu saja didasari keuntungan dari mata pencaharian baru yang dikonversikan ke
uang
jauh
lebih
besar.
Kemudian juga meningkatkan
pendapatan
rumahtangga petani. Keuntungan yang tinggi dari perubahan mata pencaharian ini dalam jangka waktu tertentu dapat menghasilkan perubahan pelapisan sosial masyarakat tersebut. Pembangunan fasilitas pariwisata mengakibatkan perubahan dalam masyarakat.
Adanya
fasilitas
pariwisata
di
perdesaan
dapat
dikatakan
merupakan peluang usaha dan atau peluang kerja bagi masyarakat desa setempat. Masyarakat setempat kemudian memasuki peluang-peluang itu jika mereka memiliki kriteria yang dibutuhkan untuk memasuki peluang tersebut. Kriteria itu adalah pendidikan, keterampilan, modal, dan motivasi. Berdasarkan laporan-laporan penelitian, masyarakat desa hanya bisa memasuki peluang kerja yang menghasilkan pendapatan yang tidak terlalu tinggi atau rendah. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan, modal, dan keterampilan mereka meskipun motivasi mereka tinggi. Peluang usaha hanya dapat dimasuki orang yang memiliki modal, pendidikan, dan keterampilan tinggi. Dapat atau tidaknya masyarakat desa memasuki peluang-peluang tersebut, hal ini tentu saja mempengaruhi tingkat pendapatan bahkan pelapisan sosial masyarakat desa
30
tersebut. Misalnya, seorang petani yang tergolong strata menengah ke atas karena ia memiliki beberapa hektar lahan pertanian, kini setelah lahan dijual ke pengusaha fasilitas pariwisata tersebut petani tersebut berpindah strata menjadi golongan menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan uang hasil jual beli tanah tidak dapat dibelikan lahan di daerah baru ditambah petani tersebut tidak dapat memasuki peluang usaha atau peluang kerja baru. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata Terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan Kebijakan Pemerintah Tentang Pembangunan Fasilitas Pariwisata
Perubahan Struktur Agraria Penetapan Daerah Wisata
- Luas Kepemilikan Lahan Sebelum dan Setelah
Peluang Usaha dan Peluang Kerja
Jenis- jenis Produk Wisata
Perubahan Kelembagaan Bentuk- bentuk Kelembagaan
Perubahan Mata Pencaharian - Jenis Pekerjaan Utama Sebelum dan Setelah -
Jenis
Pekerjaan
Sampingan
Sebelum
dan
Setelah
Tingkat Pendapatan
31
32
2.3
Hipotesa Uji Berdasarkan hasil dari tinjauan pustaka maka hipotesa yang akan
diujikan adalah : 1. Pembangunan fasilitas pariwisata mempengaruhi perubahan struktur agraria masyarakat lokal. 2. Pembangunan fasilitas pariwisata mempengaruhi perubahan kelembagaan masyarakat lokal. 3. Pembangunan
fasilitas
pariwisata
mempengaruhi
perubahan
mata
pencaharian masyarakat lokal karena adanya peluang usaha dan peluang kerja di sektor wisata.
2.4
Definisi Konseptual dan Operasional
2.4.1
Definisi Konseptual Dalam
penelitian
ini
konsep-konsep yang digunakan dijelaskan
berdasarkan uraian berikut, yaitu : 1. Lembaga kemasyarakatan adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidu pan masyarakat (Soekanto, 1987). 2. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata (UU No. 9 Tahun 1990 pasal 1). 3. Objek dan daya tarik wisata merupakan sasaran perjalanan wisata yang meliputi (1) ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam dan flora dan fauna. (2) karya manusia yang berwujud museum, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro (pertanian), wisata tirta (alam), wisata petualangan, taman rekreasi dan petualangan.
33
4. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut (UU No. 9 pasal 1). 5. Kepariwisataan
adalah
segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
penyelenggaraan pariwisata (UU No. 9 Bab I pasal 1). 6. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata. 7. Kawasan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. 8. Lahan pertanian adalah semua lahan yang produktif yang digunakan untuk bercocok tanam. 9. Alih fungsi lahan pertanian adalah perubahan fungsi tanah sebagai lahan pertanian ke non pertanian. 10. Kemitraan adalah adanya kerjasama antara pengusaha wisata dan penduduk setempat. 11. Rumahtangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. 12. Rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggotanya melakukan kegiatan bertani atau berkebun. 13. Petani adalah orang yang terlibat langsung dalam pengelolaan lahan dan secara otonom memiliki kemampuan menentukan sendiri komoditas apa yang akan ditanam di lahannya. 14. Kepemilikan lahan menunjukkan pada penguasaan atas lahan secara formal dimana pemilik lahan memiliki bukti tertulis atau belum tertulis atas kepemilikan lahannya.
34
15. Penguasaan lahan menunjukkan pada penguasaan lahan yang bersifat sementara apakah itu menyewa atau menggadaikan.
2.4.2
Definisi Operasional Berdasarkan uraian menyangkut definisi operasional di atas, dijelaskan
juga definisi yang penulis gunakan dalam operasional penelitian, yaitu : 1. Luas kepemilikan lahan adalah jumlah luasan penguasaan lahan formal (Sensus Pertanian). Luas kepemilikan lahan dikategorikan menjadi tiga, yaitu: 1. Tinggi, jika luas kepemilikan lahan lebih besar atau sama dengan 1 Ha 2. Sedang, jika luas kepemilikan lahan antara 0,5 Ha - 0,99 Ha 3. Rendah, jika luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 Ha 2. Tingkat pendapatan adalah sejumlah uang responden yang didapatkan dari hasil kerjanya. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi tiga, yaitu : 1. Tinggi, jika pendapatan responden perbulan lebih besar atau sama dengan Rp 900.000,00 2. Sedang, jika pendapatan responden perbulan antara Rp 500.000,00 – Rp 900.000,00 3. Rendah, jika pendapatan responden perbulan kurang dari Rp 500.000,00 3. Produk Wisata adalah obyek wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata yang menyebabkan wisatawan tertarik untuk datang ke tempat wisata, fasilitas-fasilitas wisata, seperti akomodasi, restoran, dan tempat hiburan. Produk wisata dikategorikan menjadi tiga, yaitu: 1.
Rendah; jika jumlah produk wisata 1 – 3
2.
Sedang; jika jumlah produk wisata 4 – 6
35
3.
Tinggi; jika jumlah produk wisata 7 – 9
4. Tingkat harga jual lahan adalah total harga lahan yang dijual petani ke pengusaha. Besar kecilnya tingkat harga jual lahan tergantung luas lahan, lokasi, waktu pembelian, kegunaan lahan, dan kemampuan tawar menawar. 1.
Rendah; jika total harga jualnya lebih atau sama dengan Rp. 14.700.000,00
2.
Sedang; jika total harga jualnya Rp. 14.700.000,00 – Rp. 29.700.000,00
3.
Tinggi; jika total harga jualnya kurang dari Rp. 29.700.000,00
5. Sifat Kelembagaan adalah sifat-sifat dari kelembagaan yang ada pada suatu masyarakat. Sifat kelembagaan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu: 1.
Subsisten, jika sifat kelembagaan masyarakat masih berhubungan dengan kegiatan agraris dan kegiatan produksi sebatas untuk memenuhi kebutuhan pokok.
2.
Komersil, jika sifat kelembagaan yang segala sesuatunya dinilai dengan uang.
6. Peluang usaha pariwisata adalah kesempatan berusaha bagi penduduk setempat untuk bekerja di sektor pariwisata. Tingkat peluang usaha dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu : 1.
Rendah; jika peluang usaha di daerah wisata 0 – 3 jenis peluang usaha.
2.
Sedang; jika peluang usaha di daerah wisata 4 – 6 jenis peluang usaha.
3.
Tinggi; jika peluang usaha di daerah wisata 7 – 9 jenis peluang usaha.
7. Peluang kerja pariwisata adalah kesempatan kerja bagi penduduk setempat untuk bekerja di sektor pariwisata. 1.
Rendah; jika peluang kerja di daerah wisata 0 – 3 jenis peluang kerja.
2.
Sedang; jika peluang kerja di daerah wisata 4 – 6 jenis peluang kerja.
36
3.
Tinggi; jika peluang kerja di daerah wisata 7 – 9 jenis peluang kerja.
8. Pekerjaan utama adalah pekerjaan yang hasilnya merupakan pemasukan utama rumahtangga. Pekerjaan utama dibagi menjadi empat jenis, yaitu : 1.
Petani
2.
Pedagang
3.
Buruh Bangunan
4.
Buka Usaha Sendiri
9. Pekerjaan sampingan adalah pekerjaan yang hasilnya merupakan tambahan pemasukan rumahtangga. Pekerjaan sampingan dibagi menjadi empat jenis, yaitu : 1.
Petani
2.
Pedagang
3.
Buruh Bangunan
4.
Buka Usaha Sendiri
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Pendekatan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian survai dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif yang didukung pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun dan Effendy, 1989). Penelitian ini dipilih dengan maksud untuk
menjelaskan dampak
pembangunan fasilitas pariwisata
terhadap
perubahan agraria, kelembagaan, dan peluang usaha di perdesaan yang dibahas secara deskriptif dan eksplanatif. Dengan penelitian deskriptif diharapkan dapat menggambarkan fenomena dampak pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan, sedangkan dengan penelitian eksplanatif dapat menjelaskan hubungan variabel-variabel. Unit analisis penelitian ini adalah individu (petani). Untuk melengkapi data kuntitatif, maka digunakan juga data-data kualitatif, dimana fungsi data kualitatif yaitu menerangkan dan menambahkan informasi yang tidak dapat dijelaskan secara kuantitatif.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukanagalih dan tempat wisata yang
bernama Kota Bunga, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. Alasan pemilihan lokasi tersebut karena di Desa Sukanagalih terdapat banyak tempat fasilitas pariwisata. Selain itu, lahan yang digunakan untuk pembangunan fasilitas pariwisata merupakan lahan pertanian.
38
Survai lokasi penelitian dimulai pertengahan Bulan Juni 2005. Penelitian dimulai pertengahan Bulan Juli 2005 hingga Bulan September 2005. Peneliti kembali ke lokasi sekitar pertengahan Oktober 2005 untuk mencari data tambahan yang terkait dengan kekurangan data pada waktu pengumpulan data.
3.3
Teknik Pengambilan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer yang diambil adalah data luas kepemilikan lahan, mata pencaharian, sifat kelembagaan, peluang usaha dan peluang kerja di sektor wisata, serta pendapatan penduduk, sedangkan data sekunder yang diambil adalah
data
kependudukan
Desa
Sukanagalih
dan
kebijakan-kebijakan
pemerintah tentang pariwisata. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan
alat
bantu
kuesioner
dan
panduan
pertanyaan.
Pertimbangan
menggunakan kuesioner dalam penelitian ini adalah dinilai lebih praktis, hemat waktu dan tenaga. Untuk sumber data sekunder diambil dari data Desa Sukanagalih, kantor Kota Bunga, instansi-instansi seperti Bappeda, Dinas Perhubungan dan Pariwisata, serta laporan-laporan penelitian.
3.4
Teknik Penentuan Responden Teknik penentuan responden menggunakan metode Pengambilan
Sampel Gugus Sederhana (Simple Cluster Sampling). Metode ini dipilih karena tidak adanya kerangka sampel yang digunakan untuk dasar pemilihan sampel. Kerangka sampel yang dibutuhkan berupa data rumahtangga yang menjual lahan ke perusahaan Kota Bunga. Untuk mengatasi hal ini, maka dibentuklah beberapa gugus. Gugus yang dibentuk terdiri atas kampung-kampung yang ada di Dusun Muhara. Alasan dipilihnya kampung-kampung yang ada di Dusun Muhara yaitu karena jumlah rumahtangga yang menjual lahan ke Perusahaan
39
Kota Bunga paling banyak terdapat di Dusun Muhara. Dusun Muhara terdiri atas enam kampung, maka gugus yang terbentuk berjumlah enam gugus. Nama gugus-gugus atau kampung-kampung itu adalah Kampung Panggung, Kananga, Cineungah, Muhara, Cibengang, dan Ciburial. Selanjutnya, gugus-gugus itu diberi nomor dan dipilih secara acak. Gugus yang terpilih adalah kampung Cibengang dan Ciburial. Alasan dipilihnya dua gugus adalah karena jumlah rumahtangga dalam satu gugus tidak memenuhi syarat uji statistik, yaitu responden harus berjumlah minimal 30.
3.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dimulai dari pengumpulan data dari hasil wawancara
melalui kuesioner. Data hasil kuesioner disajikan dalam bentuk tabel data dan tabulasi silang yang kemudian diolah menggunakan uji statistik Chi-Square dan Korelasi
Rank
Spearma n.
Untuk
memudahkan
pengolahan,
peneliti
menggunakan program SPSS versi 11.0. Sementara itu, data hasil wawancara dirangkum dan diorganisasikan sesuai kebutuhan penelitian. Hasil uji statistik dan hasil wawancara dianalisis sehingga terjawablah pertanyaan penelitian. Untuk lebih jelasnya tentang metode penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
40
Tabel 2. Matriks Masalah, Data yang Dibutuhkan, Sumber Data, dan Metodologi Penelitian Masalah
Perubahan Struktur Agraria
Perubahan Mata Pencaharian
Perubahan Kelembagaan
Peluang usaha di sektor wisata dan kontribusi wisata terhadap pendapatan rumahtangga
Data yang Diperlukan
Sumber Data
Metodologi
Kebijakan Pemerintah tentang pembangunan fasilitas pariwisata
Literatur buku, data dari instansi pemerintahan, dan laporan penelitian
Studi Pustaka dan wawancara
Tingkat harga jual lahan
Responden dan informan
Wawancara dan kuesioner
Luas kepemilikan lahan sebelum dan sesudah adanya pembangunan fasilitas pariwisata
Responden
Wawancara menggunakan kuesioner
Jenis pekerjaan utama sebelum dan sesudah pembangunan fasilitas pariwisata
Responden
Wawancara menggunakan kuesioner
Jenis pekerjaan sampingan sebelum dan sesudah pembangunan fasilitas pariwisata
Reponden
Wawancara menggunakan kuesioner
Kelembagaan gotong royong
Responden dan informan
Wawancara dan kuesioner
Kemitraan
Responden dan informan
Wawancara dan kuesioner
Kelembagaan komersil
Responden dan informan
Wawancara dan kuesioner
Jenis Produk wisata
Informan, responden, dan literatur buku
Wawancara dan studi pustaka
Peluang usaha dan kerja
Responden dan informan
Wawancara dan kuesioner
Tingkat Pendapatan rumahtangga
Responden
kuesioner
BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN
Dalam bab ini dibahas topik-topik : (1) kondisi geografis desa, (2) kondisi pertanian Desa Sukanagalih, (3) demografi desa, (4) kelembagaan desa (5) kepariwisataan dan profil Kota Bunga, dan (6) gambaran umum responden. 4.1
Kondisi Geografis Desa Wilayah Desa Sukanagalih terletak di kaki Gunung Gede dengan
kemiringan 15 derajat ke arah timur. Desa Sukanagalih berada di jalur perhubungan Bogor – Puncak – Cianjur (Bopunjur). Desa ini berbatasan dengan Desa Batulawang, Kecama tan Cipanas, Kabupaten Cianjur di sebelah utara, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cibadak, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur. Sebelah barat desa ini berbatasan dengan Desa Palasari, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur sedangkan sebelah timurnya berbatasan dengan Desa Cibadak, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Secara administratif Desa Sukanagalih termasuk wilayah Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. Desa Sukanagalih memiliki tujuh dusun3, 12 RW, dan 39 RT. Jarak desa ini ke kecamatan adalah 8 Km, 25 Km ke kabupaten, 86 Km ke ibukota propinsi, dan 95 Km ke ibu kota negara. Desa ini dilalui jalan propinsi sepanjang 12 Km sebagai jalan alternatif kemacetan di jalan Jakarta – Bandung. Selain itu, Desa Sukanagalih dilalui jalan kabupaten sepanjang 3 Km dari jalan propinsi. Jenis alat transportasi yang dominan digunakan oleh masyarakat Desa Sukanagalih adalah angkutan umum dan ojek. Untuk sampai ke desa ini, dapat menggunakan 3
Pembagian Dusun di Sukanagalih: (1) Cibadak, 2 RW dan 8 RT; (2) Sukanagalih, 2 RW dan 4 RT; (3)Cihieum, 2 RW dan 6 RT; (4) Muara, 2 RW dan 6 RT; (5) Cineungah, 1 RW dan 5 RT; (6) Sukamaju, 1 RW dan 5 RT; (7) Babakan CIkundul, 2 RW dan 5 RT.
42
kendaraan umum jurusan puncak, cipanas, atau Cianjur. Jika dari arah Bogor atau Jakarta, dapat menggunakan kendaraan umum jurusan puncak, Cipanas, atau Cianjur. Dari ketiga jurusan itu, kendaraan umum jurusan Cipanas adalah yang termudah untuk sampai ke desa ini. Desa Sukanagalih terletak sebelu m pasar Cipanas, maka kendaraan harus berhenti di pertigaan Hanjawar. Dari Hanjawar, kemudian naik angutan perkotaan jurusan Cipanas-Loji atau CipanasSukanagalih, kemudian berhenti di pemberhentian angkot. Maka sampailah di Desa Sukanagalih. Biaya kendaraan umum Bogor-Cipanas sebesar Rp. 10.000,00; sedangkan biaya angkot Cipanas-Loji sebesar Rp. 4.000,00. Desa Sukanagalih merupakan salah satu desa dari tujuh desa4 yang berada di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Desa ini terletak di kawasan wisata Bogor, Puncak dan Cianjur. Maka desa Sukanagalih merupakan salah satu desa yang strategis untuk pengembangan wisata. Hal ini didukung oleh keadaan alam yang sejuk dan keindahan pemandangan di sekitar desa tersebut. Kenyataan ini mendorong pemerintah setempat membangun fasilitas pariwisata dengan mengalihfungsikan tanah pertanian di Desa Sukanagalih. Langkah selanjutnya yaitu pemerintah mengundang investor untuk menanam modal agar terlaksana pengembangan kawasan pariwisata. Sebagian besar investor yang menanamkan modalnya di Desa Sukanagalih adalah investor yang membuka usaha di bidang real estate. Alasan para investor untuk membuka usaha di bidang real estate karena melihat kebutuhan orang-orang kota akan tempat peristirahatan di akhir pekan. Namun jika dilihat bahwa tanah pertanian di kawasan tersebut memiliki mata air yang berfungsi untuk mengairi sawah dan untuk kebutuhan hidup sehari-hari penduduk, maka pengembangan usaha di bidang real estate bukan merupakan satu-satunya alternatif pengembangan
4
Nama enam desa lainnya adalah Cibodas, Cipendawa, Gadog, Ciputri, Ciherang, dan Sukatani.
43
kawasan wisata. Untuk melihat pembagian lahan di Desa Sukanagalih dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kegunaan dan Luas Lahan Desa Sukanagalih, 2004 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kegunaan Lahan Lahan Pertanian Real Estate Daratan Pemukiman Jalan Sungai Sekolah Pemakaman Umum Pertokoan Perkantoran Jumlah
Luas Lahan (ha) 211,46 211,25 180,00 97,04 45,80 12,00 2,40 1,30 1,00 0,75 763,00
Persentase (%) 27,70 27,70 23,59 12,70 6,00 1,57 0,30 0,17 0,13 0,10 100,00
Sumber : Potensi Desa Sukanagalih, 2004
4.2
Kondisi Pertanian Desa Sukanagalih Desa sukanagalih memiliki tanah yang subur dengan ketinggian 700 dpl.
Hal ini dapat dilihat dari produktivitas komoditas pertanian yang tinggi. Berbagai komoditas pertanian Desa Sukanagalih adalah padi sawah, jagung, cabe, sawi hijau, pakcoy, dan kacang-kacangan. Tanaman sayuran yang ada di Desa Sukanagalih menggunakan irigasi setengah teknis dari Cinangka dan irigasi teknis dari Cibadak, serta dari aliran air Cimacan, Ciawitali, dan Cipadaruum. Daerah-daerah yang memiliki kesuburan tanah tinggi yaitu Babakan Cikundul, Blok Randu, Kalapa Rea, Cihieum, Ciburial, Bengkong, Cibengang, Sabda, dan Jeruk. Desa ini memiliki dua sumber mata air yaitu sumber mata air Ciburial dan Ciater. Kedua mata air itu lebih dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari dibanding untuk keperluan pertanian. Menurut informasi yang didapatkan penulis, tanah-tanah subur dan cocok untuk tanaman pertanian digunakan untuk pembangunan villa-villa yang ada di Desa Sukanagalih. Hal ini memiliki andil dalam terjadinya bencana banjir
44
di ibukota Negara yaitu Jakarta. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat pernah datang ke Desa Sukanagalih untuk mengatur kembali penataan ruang di daerah tersebut. Maka dari itu kawasan Bopunjur diatur langsung oleh pemerintah pusat melalui Keppres No. 114 Tahun 1999 tentang penataan ruang kawasan Bopunjur. Selain bercocok tanam, masyarakat Desa Sukanagalih juga beternak. Populasi dan jenis ternaknya beraneka ragam, yaitu sekitar 1.867 ekor ayam, 1.687 ekor bebek, 1.550 ekor kambing, 1.265 ekor sapi, 1.178 ekor kerbau, dan 152 ekor kuda. 4.3
Demografi Desa Dari 16.393 jiwa penduduk, sekitar 94,88 persen (15.553 jiwa) penduduk
Desa Sukanagalih beragama Islam. Sisanya yaitu sekitar 2,14 persen (350 jiwa) beragama Kristen, 1,53 persen (250 jiwa) beragama Khatolik, 0,76 persen (125 jiwa) beragama Budha, dan 0,70 persen (115 jiwa) beragama Hindu. Etnis penduduk Desa Sukanagalih juga beragam, yaitu sekitar 88,26 persen Sunda, 11,14 persen Jawa, 0,51 persen Batak, dan 0,09 persen Madura. Untuk selanjutnya akan dibahas tentang jumlah dan kepadatan penduduk, komposisi penduduk menurut umur, komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan, dan komposisi penduduk menurut mata pencaharian,
4.3.1
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Desa Sukanagalih Jumlah penduduk Desa Sukanagalih adalah 16.393 jiwa terdiri atas
8.506 jiwa laki-laki dan 7.887 jiwa perempuan, terhimpun menjadi 3.65 9 kepala keluarga (KK). Pertumbuhan penduduk Desa Sukanagalih sebesar 16 persen pada satu tahun terakhir ini. Angka kelahiran penduduk per tahun sebesar 3,7 persen dan angka kematian penduduk per tahun sebesar 2 persen.
45
Dari data jumlah penduduk dan luas wilayah tersebut dapat dihitung kepadatan penduduk geografis Desa Sukanagalih. Kepadatan penduduk geografis dinyatakan dengan jumlah jiwa tiap Km2 luas wilayah. Kepadatan penduduk geografis sebesar 2148,49 jiwa/km2, maka kepadatan geografis Desa Sukanagalih termasuk kategori sangat padat 5.
4.3.2
Komposisi Penduduk Menurut Umur Komposisi penduduk menurut umur dapat menggambarkan jumlah
angkatan kerja. Komposisi penduduk Desa Sukanagalih menurut umur dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 persentase penduduk terbesar pada penduduk yang berusia 25-29 tahun yaitu sebesar 16,68 persen kemudian diikuti penduduk yang berusia 15-19 tahun sebesar 16,41 persen. Persentase penduduk terkecil yaitu penduduk yang berusia > 54 tahun sebesar 2,98 persen.
Tabel 4. Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut Umur Tahun 2004 No.
Kelompok Umur (Tahun)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
0– 4 5– 9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 > 54 Total
Jumlah Penduduk (Jiwa) 775 1.429 1.640 2.690 1.406 2.734 1.312 1.119 1.085 996 718 489 16.393
Persentase (%) 4,73 8,72 10,00 16,41 8,58 16,68 8,00 6,83 6,62 6,08 4,38 2,98 100,00
Sumber : Data Sekunder, Potensi Desa Sukanagalih (2004), diolah .
5
Kategori kepadatan penduduk geografis menurut Pujiastomo dalam Metera (1996) memakai 2 2 kriteria sebagai berikut : (1) 0-50 jiwa/km tidak padat, (2) 51-250 jiwa/km kurang padat, dan 251400 jiwa/km2 sangat padat.
46
4.3.3
Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa persentase terbesar tingkat
pendidikan masyarakat Desa Sukanagalih yaitu penduduk yang menyelesaikan pendidikan hingga Sekolah Dasar (SD) sebesar 10,68 persen. Penduduk yang menyelesaikan pendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) hanya 7,83 persen dan penduduk yang menyelesaikan pendidikan hingga Sekolah Menengah Umum hanya 2,48 persen. Penduduk yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi strata 1 hanya sekitar 0,21 persen (35 jiwa). Maka dari data ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Sukanagalih masih relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk yang menyelesaikan pendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) hanya 21,64 persen padahal pada masa pemerintahan Orde Baru telah dicanangkan Program Wajib Belajar 9 tahun.
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sukanagalih, 2004 No.
Tingkat Pendidikan
1. 2. 3.
Tidak Lulus Sekolah Dasar Sekolah Dasar (SD) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Sekolah Menengah Umum (SMU) Diploma 1 (D-1) Diploma 2 (D-2) Sarjana (S-1)
4. 5. 6. 7.
Jumlah Penduduk Persentase (Jiwa) (%) 513 3,13 1.750 10,68 1.283 7,83 406 11 7 35
2,48 0,08 0,04 0,21
Sumber : Potensi Desa Sukanagalih, 2004
4.3.4
Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Sebagian besar penduduk Desa Sukanagalih bermata pencaharian
sebagai petani yaitu sekitar 45,67 persen (1.450 jiwa). Penduduk yang bermata pencaharian di sektor jasa lainnya menempati posisi kedua yaitu sebesar 19,37 persen (615 jiwa) dan persentase terkecil ditempati oleh penduduk yang bermata pencaharian sebagai kontraktor yaitu sebesar 0,13 persen (4 jiwa). Untuk lebih
47
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Potensi Desa Sukanagalih (2004) jumlah angkatan kerja Desa Sukanagalih sebesar 16,78 persen (2751 jiwa) dan berdasarkan Tabel 4 jumlah penduduk yang termasuk usia angkatan kerja (penduduk yang berusia 10 hingga > 54 tahun) sebesar 86,56 persen (14.189 jiwa). Maka dapat diketahui Reit Partisipasi angkatan kerjanya yaitu sebesar 19,39 6.
Tabel 6. Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut Ma ta Pencaharian Tahun 2004 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Mata Pencaharian Buruh Tani Petani Pedagang PNS TNI/POLRI Penjahit Montir Supir Karyawan Swasta Kontraktor Tukang Kayu Tukang Bata Guru Swasta Jasa Lainnya Total
Jumlah (Jiwa) 262 1450 170 45 50 32 25 110 181 4 127 73 31 615 3175
Persentase (%) 8,25 45,67 5,35 1,42 1,57 1,00 0,79 3,46 5,70 0,13 4,00 2,30 0,98 19,37 100
Sumber : Data Sekunder, Potensi Desa Sukanagalih (2004), diolah.
Dari data komposisi penduduk Desa Sukanagalih menurut mata pencaharian maka dapat diketahui sebagian besar penduduk bergantung pada kegiatan pertanian. Pembangunan fasilitas pariwisata yang ada di sekitar Desa Sukanagalih tidak mengubah sebagian besar penduduk untuk berganti profesi. Berdasarkan informasi di lapangan, perubahan yang ada hanyalah penurunan jumlah penduduk yang melakukan kegiatan pertanian, tapi jumlah penduduk
6
2751 Reit Partisipasi Angkatan Kerja = -------- x 100 = 19,39 14189
48
yang bekerja di sektor pertanian masih menempati persentase terbesar jika dibandingkan dengan mata pencaharian lain yang dilakukan penduduk.
4.4
Kelembagaan Desa Sukanagalih Desa Sukanagalih dipimpin oleh seorang kepala desa. Dalam
menjalankan tugasnya, kepala desa dibantu oleh beberapa aparat desa. Masa jabatan kepala desa adalah delapan tahun, mulai dari tahun 1998 sampai 2006. Kinerja kepala desa dan aparatnya diawasi oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). Di bawah ini nama-nama aparat desa, yaitu : a. Kepala Desa
: H. Dudung Djaenudin
b. Sekretaris Desa
: H.U.W. Saprudin
c. Kepala Urusan Pemerintahan
: Sumpena
d. Kepala Urusan Ekonomi dan Pembangunan
: Edeng Abdul Muthalib
e. Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat
: TB. Dadang Utun Us
f.
: Agus Misbah
Kepala Urusan Umum
g. Bagian Keuangan
: Euis Cahyani
Lembaga kemasyarakatan tingkat desa yang ada di Desa Sukanagalih adalah Kelompok Tani, Karang Taruna, Program Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kelompok Dasa Wisma 7, Kelompok Petani Pemakai Air (P3A) , Kelompok Remaja Islam Mesjid, lembaga keamanan, dan kelembagaan politik. Dari kelembagaan-kelembagaan tersebut, yang akan dibahas lebih lanjut yaitu kelembagaan Kelompok Petani Pemakai Air (P3A) dan Program Kesejahteraan Keluarga (PKK). Dalam kegiatannya, kelompok P3A memanfaatkan air dari mata air Ciburial. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar kebutuhan masyarakat akan air bersih terpenuhi. Realisasi dari tujuan tersebut adalah telah dibangunnya suatu 7
Kelompok Dasa Wisma adalah kel ompok yang berdiri berdasarkan Program Kesejahteraan Keluarga (PKK)
49
bak besar di dekat mata air Ciburial tersebut sebagai bak induk penampungan air. Dari bak induk, air dialirkan ke bak-bak lain yang ada di setiap dusun. Dari bak yang ada di setiap kedusunan itu, air dialirkan ke tiap-tiap rumah. Anggaran untuk membangun bak induk sebesar 200 juta. Dana tersebut diperoleh dari dua sumber yaitu pemerintah dan swadaya masyarakat. Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur memberikan bantuan sebesar 162 juta, sisanya swadaya masyarakat desa. Dari tujuh dusun yang ada di Desa Sukanagalih, ternyata hanya Dusun Muhara 8 yang belum mendapat saluran air dari bak induk tersebut. Maka dari itu, untuk pengelolaan lebih lanjut, pihak desa akan membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMD). Tugas BUMD adalah mengatur penyaluran air dan membuat proposal pembuatan saluran air di Dusun Muhara. Kelembagaan selanjutnya yaitu PKK. PKK terbagi ke dalam empat kelompok kerja (Pokja) yang masing-masing pokja mendapatkan tugas yang berbeda-beda. Ada satu program yang menarik dari pokja 1, yaitu program pemberdayaan kelompok Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Program ini mendapatkan bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur sebesar 13 juta yang diberikan ke janda-janda untuk modal usaha. Kelompok Pekka Desa Sukanagalih merupakan kelompok Pekka terbaik di Kabupaten Cianjur. Selain itu, masih ada lagi prestasi dari kelembagaan PKK Desa Sukanagalih, seperti keberhasilan
kelompok
Keaksaraan
Fungsional
(KF)
sehingga
berhasil
mengeluarkan ijazah Paket A bagi 4 orang ibu rumahtangga dan 11 orang remaja; Juara 1 lomba ASI tingkat kabupaten; dan Juara 2 lomba Pidato tingkat kabupaten.
8
Nama kampung yang tidak teraliri penyaluran air Ciburial adalah mu hara, cineungah hilir, kananga, dan Panggung.
50
Selain kelembagaan-kelembagaan formal seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, ada juga kelembagaan lain yaitu kelembagaan dalam hal penguasaan lahan. Semenjak maraknya pembangunan fasilitas pariwisata, lahan pertanian di Desa Sukanagalih berkurang. Berkurangnya lahan pertanian di Desa Sukanagalih merupakan salah satu faktor berkurang nya penyewa lahan untuk digarap. Faktor-faktor yang lain adalah tidak stabilnya harga-harga input pertanian dan produk pertanian di pasaran. Sebagian besar lahan yang ada di Desa Sukanagalih dikelola oleh pemilik lahan. Pemilik lahan yang memiliki modal besar biasanya mampu menyewa buruh tani untuk menggarap lahan. Sedangkan petani yang berlahan kecil dan tidak memiliki banyak modal, mengerjakan lahan itu sendiri. Hal ini dikarenakan mahalnya upah buruh tani yang disebabkan banyaknya buruh tani yang bekerja di tempat-tempat pariwisata.
4.5
Kepariwisataan dan Profil Kota Bunga Desa Sukanagalih merupakan desa yang dikelilingi berbagai fasilitas
pariwisata. Fasilitas pariwisata yang dominan adalah villa. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan villa-villa, restoran, kios-kios, dan tanaman-tanaman bunga di sepanjang jalan Desa Sukanagalih. Sebagian besar pemilik dari fasilitas pariwisata tersebut adalah swasta. Beberapa nama tempat fasilitas pariwisata yang objek utamanya adalah pelayanan jasa penjualan villa adalah Kota Bunga 9, Puncak Resort, Galaxy, Lembah Sukanagalih, Taman Giri Indah, dan Taman Nolina. Perjalanan menuju Kota Bunga dapat dijangkau menggunakan kendaraan umum. Kendaraan umum yang digunakan adalah kendaraan jurusan Cianjur. Jika dari arah Bogor, dapat mengunakan kendaran jurusan Cianjur, kemudian berhenti di pertigaan Hanjawar. Dari Hanjawar kemudian naik angkutan perkotaan (angkot) jurusan Cipanas-Loji atau Cipanas-Sikanagalih, dan 9
Kota Bunga merupakan fasilitas pariwisata penelitian ini.
51
berhenti di pintu gerbang Kota Bunga. Berbeda halnya jika dari arah Bandung. Kendaraan yang digunakan adalah kendaraan jurusan Cianjur kemudian berhenti di terminal Cianjur. Dari terminal Cianjur kemudian naik angkot jurusan Cipanas, berhenti di pasar Cipanas. Dari pasar Cipanas kemudian naik angkot jurusan Cipanas-Loj i atau Cipanas-Sukanagalih, berhenti di depan pintu gerbang Kota Bunga. Kota Bunga merupakan nama tempat fasilitas pariwisata yang bergerak di bidang real estate. Kota Bunga mulai berdiri pada Bulan November 1993. Didirikannya Kota Bunga berdasarkan Akte Notaris No. 12 Tanggal 25 Juni 1993 dihadapan Notaris M.I. Indriani Soepojo di Jakarta. Fasilitas pariwisata ini dikelola di bawah manajemen Sinar Mas Group oleh PT. Duta Pertiwi. Dalam pelaksanaannya, PT. Duta Pertiwi mendelegasikan pengelolaan Kota Bunga kepada dua anak perusahaannya yaitu PT. Sarana Papan Ekasejati dan PT. Pangeran Plaza Utama. Kantor pusat perusahaan ini di Jalan Raya Mangga Dua (ITC) Blok A lantai 4 Jakarta. Perusahaan ini memiliki beberapa tujuan, yaitu memperoleh
laba
untuk
menunjang
kelangsungan
hidup
perusahaan,
mengadakan perluasan wilayah, memenuhi kebutuhan masyarakat akan perumahan, dan sarana penunjang tempat rekreasi. Awalnya Kota Bunga bernama Taman Mawar dengan luas wilayah sekitar 40 ha. Sekitar tahun 1996, nama tersebut berubah menjadi Kota Bunga. Perubahan nama ini disebabkan perluasan wilayah Taman Mawar yang disertai penambahan jenis-jenis bunga yang ditanam di areal tersebut. Luas areal Kota Bunga yang terdaftar di Bappeda seluas 1.627.276 m2 . Usaha yang dilakukan pengelola Kota Bunga untuk menambah jenis-jenis bunga di areal tersebut adalah dengan mendirikan sarana produksi bunga (nursery), sedangkan untuk penjualan bunga dan tanaman hias bagi konsumen disediakan tempat khusus yang bernama Pasadena Nursery yang mulai berdiri tahun 2000.
52
Menurut HRD Kota Bunga yaitu RST, mulai dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2005, pihak pengelola Kota Bunga mengadakan pengembangan wilayah. Dalam proses pengembangan tersebut, fokus pengembangan bukan hanya pada bidang real estate saja, tapi dikembangkan pula fasilitas pariwisata yang lain, seperti mini market, restoran, kolam renang, tempat olahraga (sport club) dan child playground, arena fantasi, wahana binatang (Petting zoo), dan danau. Danau yang ada di Kota Bunga merupakan wisata air yang bernama Little Venice yang memiliki luas sekitar 2 ha. Villa-villa yang dibangun di Kota Bunga menggunakan berbagai konsep, yaitu Villa Country, Villa Karapan, Villa koboy, Villa Belanda, Villa Thailand, Villa Kastil, Villa Oriental, Villa Swis s, Villa Mediterania, dan Villa Jepang. Konsep penjualan villa menggunakan konsep jual-putus, yang artinya setelah konsumen membeli villa tersebut maka konsumen menjadi pemilik villa dan tanah yang dibeli, selain itu juga perawatan dan penggunaan villa menjadi tanggung jawab konsumen. Hanya saja, Kota Bunga menawarkan kolektivitas perawatan dan pembayaran pajak sehingga memudahkan konsumen yang tidak dapat datang setiap bulannya ke villa miliknya untuk membayar berbagai tagihan. Direktur utama Kota Bunga adalah MW, Direkturnya yaitu GHG, dan Komisaris Utama yaitu ETW. Manajemen Kota Bunga memiliki tiga departeman, yaitu Estate Management yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan di sekitar lingkungan villa Kota Bunga, Estate Development yang bertanggung jawab pada proyek pembangunan Villa dan fasilitas lainnya yang dibutuhkan konsumen, dan Pemasaran yang bertanggung jawab dalam hal promosi produk. Tingkat pendidikan karyawan Kota Bunga beragam, mulai dari SMU hingga Strata 2. Berdasarkan Tabel 8, tingkat pendidikan sebagian besar karyawan Kota Bunga yaitu SMU (93,6 %) dan hanya satu orang saja karyawan Kota Bunga yang berpendidikan Strata 2. Kenaikan jabatan di Kota Bunga
53
berdasarkan prestasi kerja karyawan tersebut. Hal ini tidak membedakan tingkat pendidikan karyawan. Untuk mengetahui tingkat gaji karyawan Kota Bunga dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Tingkat Gaji Karyawan Kota Bunga, 2002 No.
Tingkat Gaji
Besarnya Gaji (Rupiah) > 800.000
1.
Tinggi
2.
Sedang
200.000 – 800.000
3.
Rendah
< 200.000
Jabatan Karyawan Kepala kas, arsitek, staff umum, supervisor. Teknisi, sales, keuangan, kepala gudang. Office boy dan sopir
Sumber : Data Sekunder dari Kota Bunga, 2002.
Selain gaji pokok, Perusahaan Kota Bunga juga memberikan tunjangan lain kepada karyawannya, seperti : 1. Tunjangan Hari Raya (THR) bagi karyawan yang telah bekerja lebih dari sebanyak 1 bulan gaji. 2. Bonus untuk karyawan yang bekerja lebih dari 9 bulan yang besarnya sesuai keputusan. 3. Lembur untuk karyawan yang gajinya < Rp. 828.000,00 4. Uang
makan
untuk
karyawan
golongan
A
dan
B
sebesar
Rp.
104.000,00/bulan 5. Tunjangan kesehatan sebesar 85 persen dari biaya pengobatan. 6. Pemberian kacamata untuk karyawan telah bekerja lebih dari 6 bulan dengan resep dokter. 7. Mobil kantor untuk karyawan golongan > D. 8. Jamsostek kecelakaan sebesar 0,54 persen dari gaji pokok. 9. Jamsostek hari tua sebesar 5,7 persen dari gaji pokok. 10. Jamasostek kematian sebesar 0,3 persen dari gaji pokok.
54
11. Pembelian rumah untuk karyawan yang telah bekerja 1-2 tahun mendapatkan diskon 5 persen dari harga tanah. 12. Pembelian rumah untuk karyawan yang telah bekerja lebih dari
2 tahun
mendapatkan diskon 10 persen dari harga tanah. Tabel 8. Tingkat Pendidikan Karyawan Kota Bunga, 1998 No.
Tingkat Pendidikan
1. 2. 3. 4.
SMU D3 S1 S2 Total
Jumlah Karyawan
Persentase 580 30 9 1 620
93,6 4,4 1,5 0,2 100
Sumber : Data Sekunder dari Kota Bunga, 1998.
Berdasarkan Tabel 8, tingkat pendidikan karyawan Kota Bunga yang terdaftar di perusahaan adalah tingkat pendidikan karyawan mulai dari Sekolah Menengah Umum hingga Strata- 2. Tingkat Pendidikan terendah karyawan Kota Bunga yang terdaftar adalah karyawan yang menyelesaikan pendidikan hingga Sekolah Menengah Umum. Dari data ini dapat diketahui bahwa Perusahaan Kota Bunga hanya menerima karyawan lulusan SMU. Jadi, siapapun yang ingin menjadi karyawan di perusahaan ini harus memenuhi kriteria ini, tidak terkecuali masyarakat setempat. Masyarakat Desa Sukanagalih adalah masyarakat lokal yang berada di sekitar tempat pariwisata Kota Bunga. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Sukanagalih rendah, hanya sekitar 2,48 persen dari jumlah penduduk Desa Sukanagalih yang menyelesaikan pendidikan hingga Sekolah Menengah Umum, jika dijumlahkan dengan penduduk yang menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, maka hanya sekitar 2,86 persen penduduk yang berpeluang menjadi karyawan Kota Bunga, sehingga dapat diketahui peluang masyarakat Desa Sukanagalih untuk menjadi karyawan Kota Bunga rendah. Apalagi untuk tahun ini, peluang bagi masyarakat Desa sukanagalih
55
semakin rendah karena Perusahaan Kota Bunga melakukan penyusutan jumlah karyawan dikarena krisis moneter di tahun 1997 dan menurunnya jumlah konsumen yang membeli villa serta memanfaatkan fasilitas wisata yang ada di Kota Bunga. Meskipun ada masyarakat Desa Sukanagalih yang bekerja di Kota Bunga tapi status kerja mereka tidak kuat, artinya mereka hanya bekerja sebagai buruh lepas di Kota Bunga. Pekerjaan yang dapat dilakukan adalah sebagai petugas kebersihan yang dibayar per hari. Tanggung jawab pemberian upah buruh ini tidak selalu dipegang oleh perusahaan, ada buruh yang dibayar langsung oleh pemilik villa atau konsumen Kota Bunga sehingga besar kecilnya upah tergantung kepada orang yang memperkerjakan buruh itu. Menurut salah satu aparat Desa Sukanagalih, mulai tahun 1998 villa dan tanah di Kota Bunga telah atas nama konsumen. Sekitar 1.383 villa di Kota Bunga PBB-nya dibayarkan ke Desa Sukanagalih, sisanya merupakan bagian Desa Batulawang. Hal ini dikarenakan pembangunan Kota Bunga berada di antara Desa Sukanagalih dan Desa Batulawang, hanya saja sebagian besar pembangunannya di Desa Sukanagalih. Pendapatan Kota Bunga rata-rata naik 12,35 persen per tahun. Untuk membuktikan tanggung jawab sosial Kota Bunga terhadap masyarakat setempat, pihak
manajemen
Kota
Bunga
me mberikan
berbagai
bantuan
kepada
masyarakat Desa Sukanagalih, seperti memberikan bantuan kepada SD Muara berupa paket-paket alat tulis sekolah, memberikan bantuan berupa uang dan hadiah untuk perayaan hari kemerdekaan, memberikan bantuan untuk pembangunan mesjid di Desa Sukanagalih berupa bahan bangunan semen sebanyak 200 sak. Selain itu juga, Kota Bunga selalu melibatkan karyawannya untuk berpartisipasi pada pertandingan-pertandingan olahraga yang diadakan di Desa Sukanagalih.
56
4.6
Gambaran Umum Responden Dalam penelitian ini, peneliti memilih responden secara purposif yaitu
petani yang dulunya memiliki lahan di areal pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. Alasan memilih petani pemilik lahan yang dipilih dan bukan petani yang menguasai lahan karena kemudahan untuk mendapatkan data petani pemilik lahan. Meskipun peneliti dapat menemukan petani yang dulunya menguasai lahan di areal Kota Bunga, tapi jumlahnya terbatas dan hanya bisa dianalisis secara kualitatif saja, sedangkan untuk analisis kuantitatifnya, peneliti memilih petani yang dulu memiliki lahan di areal Kota Bunga. Responden adalah warga Desa Sukanagalih yang tinggal di Kampung Cibengang dan Kampung Ciburial, Dusun Muhara. Sebelum pembangunan fasilitas periwisata Kota Bunga, sebagian besar responden termasuk petani yang memiliki lahan sempit yaitu sekitar 53,33 persen. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, dari seluruh responden tidak ada responden yang menggarap lahan orang lain. Mereka hanya menggarap lahan mereka sendiri. Justru sebaliknya, mereka menggunakan tenaga orang lain untuk menggarap lahan mereka di waktu-waktu tertentu seperti waktu tanam, menyiangi, dan panen. Luas kepemilikan lahan responden berubah setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. Responden yang memiliki lahan sempit berkurang 10, sedangkan responden yang memiliki lahan yang luas bertambah 11. Responden yang memiliki lahan sedang pun mengalami perubahan12 sekitar 13,33 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
10
Dari 53,33 persen menjadi 33,33 persen. Dari 30 persen menjadi 36,67 persen. 12 Dari 16,67 persen menjadi 36,67 persen. 11
57
Tabel 9. Luas Kepemilikan Lahan Responden Sebelum dan Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Kategori
Luas Lahan (Ha)
Rendah/ sempit Sedang Tinggi/ luas
0,1 – 0,49
0,5 – 0,99 Lebih atau sama dengan 1 Total
Sebelum Ada Kota Bunga (Jumlah Responden) 16
Persentase (%)
Setelah Ada Kota Bunga (Jumlah Responden)
Persentase (%)
53,33
10
33,33
5 9
16,67 30,00
9 11
30,00 36,67
30
100
30
100
BAB V KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN FASILITAS PARIWISATA
5.1 Kebijakan Pemerintah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Ketentuan penataan ruang Kabupaten Cianjur diatur oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 19 99 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur. Pertimbangan dari Keppres No. 114 Tahun 1999 adalah: (1) tidak berfungsinya kawasan Bopunjur sebagai kawasan konservasi air dan lahan, (2) berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Nasional,
kawasan
Bopunjur
dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang membutuhkan penanganan khusus karena berfungsi sebagai kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya, seperti wilayah daerah Propinsi Jawa Barat dan wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, (3) pemanfaatan ruang kawasan Bopunjur berdasarkan Keppres No. 48 Tahun 1983 tidak dapat dijadikan acuan lagi karena perkembangan fisik dan sosial ekonomi yang pesat sehingga perlu dilakukan kembali penataan ruang. Dalam Keppres No. 114 Tahun 1999 tersebut dicantumkan tentang perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang kawasan Bopunjur merupakan penetapan lokasi ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, fungsi kawasan dan aspek kegiatan. Pemanfaatan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi : a. Kawasan lindung yang terdiri atas ; 1)
kawasan hutan lindung
2)
kawasan cagar alam
59
3)
kawasan taman nasional
4)
kawasan taman wisata alam
5)
kawasan perlindungan setempat, yaitu kawasan sempadan sungai, kawasan sekitar mata air, dan kawasan sekitar waduk/danau/situ.
b. Kawasan budidaya yang terdiri atas : 1)
Kawasan pertanian lahan basah
2)
Kawasan pemukiman, kawasan pertanian lahan kering, kawasan perkebunan, dan lain-lain. Pemanfaatan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan
meliputi: (1) kawasan perdesaan yang terdiri atas kawasan pertanian lahan basah dan kawasan lainnya dan (2) kawasan perkotaan. Pengendalian pemanfaatan
ruang
diselenggarakan
melalui
kegiatan
pengawasan
dan
penertiban terhadap terhadap pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur disesuaikan dengan Keppres No. 114 Tahun 1999. Hal ini dikarenakan
Kabupaten
Cianjur
termasuk
kawasan
Bopunjur
sehingga
pengaturannya pun ditentukan oleh pemerintah pusat. Selain itu juga, proses pembuatan RTRW Kabupaten Cianjur disesuaikan dengan UUPR No. 24 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan
tetap
memperhatikan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
penataan ruang melalui pendekatan partisipatif. Dengan tujuan mewujudkan rencana tata ruang sesuai dengan kaidah penataan ruang dengan sasaran meningkatkan peran kelembagaan dan peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
60
Berdasarkan RTRW tersebut, ada berbagai kebijakan pola pemanfaatan kawasan lindung, budidaya, dan kawasan tertentu. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah : a. Kebijakan pola pemanfaatan ruang kawasan lindung, yaitu meningkatkan luas kawasan yang berfungsi lindung dan menjaga kualitas dan keseimbangan lingkungan kawasan lindung. b. Kebijakan pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya, yaitu diarahkan pada pengembangan agrobisnis dan agroindustri yang mendukung pengembangan budidaya pertanian lahan basah, lahan kering, peternakan, perikanan, mengoptimalkan
kawasan-kawasan
sentra
produksi,
pengembangan
kawasan pariwisata serta pengembangan kawasan pesisir pantai dan kelautan. c. Kebijakan pengembangan fungsi ruang diarahkan pada pengembangan kawasan tertentu, pengembangan kawasan pertahanan dan keamanan, pengembangan kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan pada setiap kecamatan. Pelanggaran terhadap kebijakan di atas akan dikenakan sanksi, baik sanksi administratif, perdata, pidana, dan disinsentif kepada pelaksana pembangunan baik itu perorangan, kelompok, atau badan hukum. Sanski administratif berupa tindakan pembatalan izin dan pencabutan hak. Sanski perdata berupa tindakan pengenaan denda atau ganti rugi. Sanksi pidan a berupa tindakan penahanan atau kurungan. Rencana struktur tata ruang adalah rencana yang menggambarkan susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang digambarkan secara hirarkis dan berhubungan satu sama lain. Rencana struktur tata ruang mewujudkan hirarki pusat pelayanan wilayah yang meliputi sistem pusat-pusat perkotaan dan perdesaan, pusat-pusat
61
permukiman, hirarki sarana dan prasarana, serta sistem jaringan jalan. Dalam rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang Kabupaten Cianjur, kawasankawasan di Cianjur dibagi ke dalam berbagai orde. Pembagian orde didasarkan pada pusat kegiatan dan pelayanan tiap kecamatan di Kabupaten Cianjur. Kecamatan Pacet yang merupakan kecamatan penelitian termasuk ke dalam Orde II. Orde II atau Pusat Kegiatan Lokal 1 (PKL 1) merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa, permukiman, pendidikan, kesehatan, industri, pariwisata, koleksi dan distribusi. Desa sukanagalih yang merupakan desa penelitian termasuk kawasan perkotaan. Rencana
pola
pemanfaatan
ruang
adalah
rencana
yang
menggambarkan letak, ukuran, dan fungsi dari kegiatan lindung dan budidaya. Substansi dari rencana pola pemanfaatan ruang meliputi batas-batas kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan kawasan lainnya. Untuk Kecamatan Pacet, dari 7.013 ha sekitar 29,13 persen rencana pemukiman; 6,41 persen rencana pertanian lahan kering; 19,25 persen rencana
pertanian lahan basah; 17,82
persen rencana perkebunan; 0,71 persen rencana pertambangan; 1,21 persen rencana perikanan darat; 0,88 persen rencana peternakan; 0,10 persen rencana peruntukan industri; 2,85 persen rencana kawasan lindung (hutan); dan 20,73 persen rencana kawasan lindung (non hutan). Pemanfaatan ruang untuk kawasan pariwisata didasarkan pada wilayah-wilayah yang memiliki obyek dan daya tarik wisata serta tersedianya sarana dan prasarana pariwisata. Menurut Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Cianjur, pengembangan pariwisata terbagi ke dalam tiga satuan kawasan pengembangan pariwisata. Kecamatan Pacet termasuk ke dalam Satuan Kawasan Pengembangan Pariwisata 1 sebagai pusat pelayanan pariwisata sedangkan pusat pelayanan informasi wisata rencananya akan ditempatkan di Kecamatan Cipanas.
62
Kabupaten Cianjur me rencanakan pengelolaan kawasan tertentu. Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis dan penataan ruangnya diprioritaskan (UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang). Kawasan tertentu yang ada di Kabupaten Cianjur adalah kawasan tertentu cepat tumbuh (kawasan andalan) yang memiliki sektor unggulan pertanian dan pariwisata. Salah satu kecamatan dari tiga belas kecamatan yang termasuk ke dalam kawasan andalan yaitu kecamatan Pacet 13. Obyek dan daya tarik wisata Kecamatan Cipanas dan Pacet adalah Cagar budaya atau istana, villa, hotel dan restoran, kebun teh, kebun botani, taman rekreasi atau perkemahan, dan taman nasional. 5.2 Peraturan-Peraturan Mengenai Pembebasan Lahan Untuk mendirikan suatu bangunan pasti membutuhkan lahan. Demikian juga dengan pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga yang merupakan salah satu fasilitas pariwisata, pada awal pembangunannya membutuhkan lahan seluas 15 ha. Kebutuhan akan lahan tersebut dapat diperoleh melalui pembebasan lahan dari masyarakat Desa Sukanagalih dan Desa Batulawang 14. Ketentuan mengenai pembebasan lahan diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Pemendagri) No. 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan lahan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 2 Tahun 1976tentang tata cara pembebasan lahan untuk kepentingan swasta. Ada dua cara pembebasan lahan menurut Permendagri No. 15/1975 yaitu : (1) tata cara pembebasan lahan untuk keperluan pemerintah menggunakan panitia pembebasan lahan yang ditentukan oleh gubernur, (2) tata
13
Dua belas kecamatan lainnya yaitu Cipanas, Sukaresmi, Cugenang, Warungkondang, Gekbrong, Cianjur, Karangtengah, Mande, Cikalongkulon, Sukaluyu, Ciranjang, dan Bojongpicung. 14 Pada penelitian yang akan dibahas lebih lanjut adalah pembebasan lahan di Desa Sukanagalih.
63
cara pembebasan lahan untuk kepentingan swasta tidak menggunakan panitia pembebasan lahan dan peran pemerintah daerah adalah sebagai pengawas proses pembebasan lahan dan pemberian ganti rugi. Permendagri No. 2 Tahun 1976 menyatakan bahwa tata cara pembebasan lahan untuk kepentingan swasta dapat menggunakan tata cara pembebasan lahan untuk kepentingan pemerintah. Hanya saja harus memenuhi syarat bahwa pembebasan lahan untuk kepentingan swasta merupakan merupakan proyek-proyek yang bertujuan untuk kepentingan umum atau untuk pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial. Penggunaan tata cara ini harus mendapatkan izin tertulis dari gubernur. Susunan panitia pembebasan lahan berdasarkan Permendagri No. 15 Tahun 1975 adalah : a. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten atau Kotamadya sebagai ketua15 merangkap anggota. b. Seorang perwakilan dari Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten atau Kotamadya sebagai sekretaris. c. Seorang perwakilan dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II yang ditunjuk Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah sebagai anggota. d. Seorang perwakilan dari Kantor IPEDA sebagai anggota. e. Seorang perwakilan dari instansi yang memerlukan lahan sebagai anggota. f.
Seorang perwakilan dari Dinas Pekerjaan Umum sebagai anggota.
g. Seorang perwakilan dari Dinas Pertanian jika lahan yang akan digunakan adalah lahan pertanian. h. Kepala Kecamatan sebagai anggota. i.
15
Anggota dapat ditambah jika diperlukan dan atas izin dari Gubernur.
Untuk kasus tertentu, seorang Bupati dapat berperan menjadi ketua panitia.
64
Tugas-tugas dari kepanitian tersebut adalah : a. Mengadakan inventarisasi dan penelitian keadaan lahan, tanaman, dan bangunan-bangunan. b. Mengadakan perundingan dengan pemegang hak atas lahan dan bangunan atau tanaman. c. Menaksir besarnya harga jual lahan 16. d. Membuat berita acara pembebasan lahan dan pertimbangann ya. e. Menyaksikan pelaksanaan transaksi lahan. Keputusan
panitia
mengenai
besar
kecilnya
harga
jual
lahan
disampaikan kepada instansi yang memerlukan lahan, pemilik atau pemegang hak atas lahan, dan anggota-anggota kepanitian itu sendiri. Keputusan tersebut dapat diterima atau ditolak oleh instansi yang memerlukan lahan dan pemilik atau pemegang hak atas lahan. Jika keputusan tersebut diterima, maka langsung dilaksanakan pembayaran atas pembelian lahan tersebut. Alasan penolakan akan dipertimbangkan oleh panitia pembebasan lahan. Ada dua pertimbangan, yaitu tetap melaksanakan keputusan pertama atau melaporkan penolakan tersebut melalui surat penolakan kepada gubernur agar keputusannya ditetapkan gubernur. Keputusan gubernur belum tentu diterima pihak pemilik atau pemegang hak atas lahan. Tetapi pada kenyataannya, jika terjadi penolakan, uang pembelian lahan akan dititipkan di pengadilan negeri. Pemilik lahan memiliki dua pilihan, yaitu mengambil uang tersebut atau kehilangan lahan dan tidak menerima uang (Harsono dalam Metera, 1996). Hal ini membuat pemilik lahan tidak memiliki pilihan lain selain menerima keputusan panitia pembebasan lahan.
16
Besarnya harga jual lahan harus berdasarkan kesepakatan antara panitia dan pemilik lahan.
65
5.3 Peraturan-peraturan Mengenai Pembangunan dan Pengelolaan Fasilitas Pariwisata Kebijakan tentang kepariwisataan di Indonesia diatur oleh UndangUndang No. 9 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa kebudayaan dan pariwisata adalah wahana untuk pengembangan wilayah. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1989 tentang pengaturan kawasan industri bahwa dalam menentukan lokasi
industri
diusahakan
tidak
mengurangi
areal subur.
Pembangunan fasilitas pariwisata di tiap kabupaten diserahkan kepada pemerintah Daerah Kabupaten setempat sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan, pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah, dalam arti memberdayakan daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi. Untuk mendirikan suatu bangunan yang digunakan untuk suatu usaha tertentu harus memenuhi suatu persyaratan tertentu. Maka hal ini berlaku juga untuk pembangunan suatu fasilitas pariwisata. Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur menetapkan suatu persyaratan tertentu yang harus dipenuhi pihak swasta yang akan mendirikan bangunan untuk usaha. Beberapa persyaratan itu adalah : 1. Mengajukan Surat Izin Investasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur yang ditujukan kepada Bupati. Sebelum surat pengajuan ini dijawab oleh Bupati, pihak yang mengajukan surat tersebut harus menunggu jawaban dari Bupati. Setelah surat tersebut mendapat jawaban yang isinya Bupati mengizinkan pengajuan investasi maka boleh melanjutkan ke persyaratan selanjutnya.
66
2. Mengajukan Surat Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (SIPPT)17. Dalam persyaratan ini, bangunan yang akan didirikan hanya boleh menutupi lahan sebesar 20 persen dari luas keseluruhan lahan. 3. Mengajukan Surat Izin Mendirikan Bangunan yang ditujukan ke Dinas Cipta Karya 18. 4. Mengajukan Surat Izin Usaha. Surat Izin Usaha ditujukan ke Kantor Desa yang akan dijadikan tempat usaha. Pada kasus pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, pihak Kota Bunga harus mengajukan izin usaha yang ditujukan ke Kepala Desa Sukanagalih. Kepala Desa Sukanagalih kemudian akan membuat pernyataan bahwa di lokasi tertentu akan dibangun suatu fasilitas pariwisata yang ditujukan ke Kecamatan Pacet, kemudian Kepala Kecamatan Pacet mengajukan perizinan tersebut ke Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur. 5. Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Cianjur
akan
mempertimbangkan
keputusannya berdasarkan kesesuaian lokasi tersebut dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Kabupaten Cianjur dan Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2001 Tentang Izin Kepariwisataan19. Mendirikan bangunan untuk usaha di sektor wisata harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu : 1. Wajib menanam tanaman tahunan (pelindung). 2. Pembuangan limbah cair tidak dibuang langsung ke perairan umum. 3. Memperbanyak bidang resapan berupa sumur resapan sebagai upaya memperkecil air limpasan permukaan.
17
Kota Bunga mengajukan SIPPT pada tahun 1992. Pada tahap ini, pembebasan lahan telah dilakukan dan telah ada kesepakatan harga jual beli lahan. 19 Pada saat pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, Perda ini belum ada. 18
67
4. Kontruksi jalan dan area parkir agar menggunakan bahan yang tidak kedap air. 5. Ketinggian bangunan maksimal 12 meter dari permukaan tanah. 6. Adanya pengelolaan sampah. 7. Membuat jaringan sanitasi. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Dinas Perhubungan dan Pariwisata (Dishubpar) Kabupaten Cianjur, peran Dishubpar di bidang pariwisata sebagai pengelola kepariwisataan di Kabupaten Cianjur. Dalam menjalankan tugasnya, Sub Bidang Bina Pariwisata membentuk empat seksi, yaitu : 1. Seksi Pemasaran. Seksi ini bertugas dalam hal promosi obyek dan daya tarik wisata Kabupaten Cianjur, seperti mengadakan pameran pariwisata. Kota Bunga sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata di Kabupaten Cianjur berperan dalam pembuatan
media
promosi
dan
pihak
Dishubpar
berperan
dalam
mempromosikan fasilitas pariwisata Kota Bunga. 2. Seksi Obyek Wisata. Seksi ini dibentuk sesuai dengan Peraturan Daerah No. 22 Tahun 1999 Tentang Rekreasi dan Olahraga. Peran seksi ini adalah memungut retribusi ke setiap obyek wisata yang ada di Kabupaten Cianjur termasuk Kota Bunga yang terkena retribusi rekreasi. Uang retribusi itu tidak dikelola oleh Dishubpar karena uang tersebut selanjutnya disetorkan ke kas daerah. 3. Seksi Sarana Wisata. Seksi ini dibentuk sesuai Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2001 Tentang Izin Kepariwisataan. Seksi inilah yang mengurus perizinan kepariwisataan Kabupaten Cianjur.
68
4. Seksi Pentas Seni dan Rekreasi. Seksi ini berperan dalam pengadaan kegiatan-kegiatan kepariwisataan di Kabupaten Cianjur. Menurut pihak Dishubpar, Kota Bunga adalah salah satu anggota Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) sehingga hubungan Dishubpar dan Kota Bunga lebih banyak melalui organisasi ini. PHRI sebagai organisasi yang bergerak di bidang produk wisata selalu mengadakan kegiatankegiatan berupa pelatihan. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk mencari dan melatih tenaga kerja lokal yang kompeten untuk ditempatkan di hotel dan restoran anggota PHRI. Pertimbangan dari kegiatan ini adalah untuk membuka kesempatan kerja bagi masyarakat lokal yaitu masyarakat Kabupaten Cianjur. Kegiatan yang pernah diselenggarakan adalah seminar dan pelatihan tentang perhotelan dan restoran, seperti seminar dan pelatihan pembuatan dan pemasaran makanan dan jajanan serta pelatihan bagi pengrajin.
BAB VI ALIH FUNGSI LAHAN DAN PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA
6.1
Proses Alih Fungsi Lahan Berdasarkan RTRW Kabupaten Cianjur, Kecamatan Pacet merupakan
kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa, permukiman, pendidikan, kesehatan, industri, pariwisata, koleksi dan distribusi. Desa Sukanagalih yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Pacet dalam RTRW tersebut ditargetkan sebagai kawasan perkotaan. Kawasan perkotaan memiliki kegiatan utama bukan pertanian. Tetapi untuk saat ini, kegiatan pertanian masih merupakan kegiatan utama sebagian besar masyarakat Desa Sukanagalih. Dalam pembangunan fasilitas pariwisata terdapat beberapa atura, yaitu Untuk Keppres No. 53/1989 yang menyatakan bahwa penentuan lokasi industri diusahakan tidak mengurangi areal subur. Pada kenyataannya, banyak fasilitas pariwisata yang ada di Desa Sukanagalih dibangun di atas areal yang subur, termasuk fasilitas pariwisata Kota Bunga. Bahkan menurut informasi di lapangan, pembangunan Kota Bunga selain mengambil areal subur juga mengambil areal sumber mata air yang biasa digunakan oleh masyarakat lokal, sehingga masyarakat kehilangan sumber mata air yang biasa digunakan mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat kehilangan aksesibilatas terhadap mata air. Mereka pernah keberatan akan hal tersebut, kemudian mereka mengajukan perihal ini kepada pihak Kota Bunga tetapi pihak
Kota Bunga tidak
memperhatikan keberatan masyarakat. Di sisi lain, pemerintah daerah telah menyetujui pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga sehingga pihak Kota
70
Bunga merasa keluhan-keluhan dari masyarakat tidak harus diperhatikan karena pemerintah pun telah menyetujui pembangunan tersebut. Aturan lainnya yaitu aturan pembebasan lahan, yaitu Permendagri No. 15/1975, dimana dalam aturan ini tercantum dua jenis tata cara pembebasan lahan. Dalam aturan tersebut, pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga termasuk dalam tata cara pembebasan lahan yang kedua,
yaitu tata cara
pembebasan lahan untuk kepentingan swasta sehingga proses pembe basan lahan tidak menggunakan panitia pembebasan lahan. Dalam tata cara ini, peran Pemerintah Daerah sebagai pengawas proses pembebasan lahan dan penetapan nilai ganti rugi lahan. Tujuan alih fungsi lahan yang terjadi di Desa Sukanagalih, sebagian besar tidak diketahui oleh masyarakat Desa Sukanagalih bahkan aparat desa pun tidak mengetahui tujuan tersebut. Sehubungan dengan hal ini,
tata cara
pembebasan lahan yang kedua tidak dilakukan oleh pihak Kota Bunga. Untuk mengetahui proses pembelian lahan yang dilakukan oleh perusahaan Kota Bunga, peneliti memilih informan dari aparat desa dan responden. Menurut beberapa responden yang peneliti wawancarai, orang yang membeli lahan berbeda-beda. Orang yang membeli lahan itu berbeda, tetapi atas nama yang sama. Bukti dari keyakinan aparat tersebut adalah surat sertifikat lahan yang diajukan ke kantor desa ketika pihak Kota Bunga mengajukan izin mendirikan bangunan di lokasi yang telah dibeli. Berbagai informasi yang peneliti dapatkan tentang pembebasan lahan, dari berbagai informasi tersebut, peneliti merangkum proses pembebasan lahan. Awalnya, ada beberapa orang yang mensurvai lokasi. Orang yang mensurvai lokasi tidak menjelaskan alasan kegiatan itu. Kemudian, beberapa orang mendatangi masyarakat dan menanyakan apakah masyarakat bersedia menjual lahan. Mereka menawarkan harga yang cukup tinggi kepada masyarakat dan
71
berjanji akan membayar dengan tunai dalam jangka singkat. Dalam beberapa hari kemudian, ada masyarakat yang bersedia menjual lahan. Selanjutnya satu persatu dari masyarakat Desa Sukanagalih itu bersedia menjual lahan mereka. Alasan masyarakat bersedia menjual lahan tersebut adalah karena harga yang ditawarkan saat itu cukup tinggi. Pernah beberapa responden menanyakan tujuan dari transaksi ini kepada pembeli. Jawaban yang mereka dapatkan adalah bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk membangun rumah huni seperti rumah-rumah penduduk. Tentu saja pihak pembeli tidak memberitahukan tujuan dari pembelian lahan itu untuk membangun suatu real estate, karena jika diketahui lahan tersebut nantinya akan digunakan untuk pembangunan real estate, maka penjual atau masyarakat akan memasang harga tinggi karena lahan tersebut merupakan lahan yang subur dan lokasi lahan tersebut strategis 20. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barlow (Afianto, 2002) bahwa nilai lahan menjadi lebih tinggi jika lahan memiliki potensi fisik seperti kesuburan lahan dan keutamaan lokasi. Kerahasiaan tujuan tetap tidak terpecahkan oleh aparat desa, meskipun pada saat transaksi lahan disaksikan perwakilan dari kantor desa. Akhirnya pihak desa mengetahui tujuan dari pembelian lahan-lahan tersebut ketika PT. SPE (Perusahaan yang membangun Kota Bunga) mengajukan izin mendirikan bangunan dan izin usaha ke kantor desa. PT. SPE ternyata bukan pemilik pertama lahan yang dibeli tersebut. Perusahaan ini membeli lahan tersebut dari seseorang dan perusahaan ini menyatakan tidak tahu sama sekali proses jual beli ini. Proses jual beli lahan ini memang bermasalah. Dulu, pihak pembeli menjanjikan akan membayar secara tunai dan dalam jangka waktu dekat.
20
Lokasi lahan tersebut dapat dikatakan strategis karena berada di kawasan Bopunjur yang merupakan kawasan wisata nasional.
72
Kenyataannya, uang tidak dibayarkan langsung. Pembeli juga dulu berjanji penundaan pembayaran paling lama pun satu bulan, ternyata penundaan pembayaran lebih dari satu bulan bahkan ada yang sampai enam bulan. Masyarakat merasa kecewa karena pembeli tidak menepati janji. Sering sekali masyarakat menagih uang yang belum dibayarkan itu kepada pembeli, tapi pembeli tidak pernah menepati janji. Akhirnya masyarakat yang bernasib sama berkumpul dan bersama-sama mendatangi pembeli untuk menagih uang yang telah dijanjikan. Meskipun telah didesak warga, pembeli masih saja tidak melunasi pembayaran tersebut. Masyarakat tentu sangat kecewa dengan kejadian tersebut. Sehingga untuk yang kedua kalinya mereka mendatangi pembeli, baru setelah itu pembeli bersedia melunasi pembayaran tersebut. Dalam hal proses perizinan, seperti yang telah dipaparkan pada Bab V bahwa untuk membangun suatu fasilitas pariwisata harus memenuhi peraturan yang berlaku. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Bappeda, Kota Bunga telah mengajukan berbagai perizinan dan telah disetujui Bupati 21. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fauzi (1999) bahwa pemilik modal mendapatkan kemudahan dalam pemanfaatan lahan di perdesaan dengan alasan untuk membangun infrastruktur desa dan aparat negara memberikan alasan tujuan alih fungsi lahan itu untuk membuka kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. 6.2
Perubahan Struktur Agraria Lahan-lahan
yang
kini
digunakan
untuk
pembangunan
fasilitas
pariwisata Kota Bunga awalnya adalah lahan pertanian dan beberapa rumah penduduk. Di atas lahan tersebut ditanam berbagai komoditas pertanian, seperti tanaman padi dan sayuran. Kini, lahan tersebut berubah fungsinya. Dulu
21
Pihak Bappeda menyatakan Kota Bunga telah mengajukan Surat Izin Investasi dan Surat Izin peruntukkan Penggunaan Lahan pada tahun 1992 kepada Bupati dan Bupati telah menyetujuinya.
73
berfungsi sabagai lahan pertanian kini menjadi lahan non pertanian atau tepatnya digunakan untuk kepentingan di bidang pariwisata. Pada sub bab ini akan dibahas tentang perubahan struktur agraria masyarakat
Desa
Sukanagalih
yang
disebabkan
pembangunan
fasilitas
pariwisata Kota Bunga. Perubahan yang peneliti dapat paparkan dalam sub bab ini adalah perubahan kepemilikan lahan petani. Perubahan penguasaan lahan oleh petani tidak dapat dibahas secara lengkap, hal ini dikarenakan responden tidak ada yang menggarap lahan orang lain. Mereka hanya menggarap lahan mereka sendiri. Untuk menjelaskan perubahan struktur agraria ini, maka pada sub
bab ini akan dipaparkan pola kepemilikan lahan sebelum dan setelah
pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. 6.2.1
Pola Kepemilikan Lahan Sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Kota Bunga mulai berdiri sekitar tahun 1993. Sebelum tahun 1993,
lahan-lahan yang kini dibangun fasilitas pariwisata Kota Bunga masih dimiliki petani. Lahan-lahan tersebut sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan beberapa luas lahan dimanfaatkan untuk keperluan tempat tinggal. Keadaan lahan di lahan tersebut termasuk subur, sehingga wajar bila petani tersebut memanfaatkan lahan itu untuk bercocok tanam. Komoditas yang ditanam di lahan itu adalah padi dan sayuran. Pertanian adalah kegiatan utama masyarakat Desa Sukanagalih. Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata, pemandangan Desa Sukanagalih dipenuhi sawah-sawah dan tanaman sayuran. Masyarakat Desa Sukanagalih rata-rata memiliki lahan. Sekitar 53,33 persen dari jumlah responden memiliki luas lahan sempit, diikuti responden yang memiliki luas lahan kategori tinggi yaitu
74
sekitar 30 persen, dan sekitar 16,67 persen responden yang memiliki luas lahan sedang22.
6.2.2
Pola Kepemilikan Lahan Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Pola kepemilikan lahan petani berubah setelah pembangunan fasilitas
pariwisata Kota Bunga. Perubahan itu bervariasi, ada petani yang sebelum pembangunan fasilitas memiliki lahan luas, namun setelah pembangunan fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan sedang, atau justru sebaliknya. Perubahan tersebut terjadi disebabkan beberapa faktor, salah satunya yaitu tingkat harga jual lahan. Tingkat harga jual lahan yang didapatkan petani bervariasi tergantung lokasi lahan, kegunaan lahan, masa penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan. Berdasarkan Tabel 10, sekitar 53,33 persen petani mendapatkan tingkat harga jual beli lahan yang rendah. Akan tetapi jumlah kepemilikan lahan sempit berkurang dibanding sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, justru petani yang memiliki lahan luas mengalami peningkatan sebesar 18 persen23. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman dan Hubungan yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 10. Hubungan Antara Tingkat Jumlah Produk Wisata dan Tingkat Jual beli Lahan Tingkat Jumlah Produk Wisata Rendah Total
Tingkat Jual beli lahan Lahan Rendah Sedang Tinggi 16 16
5 5
Total
9 9
30 30
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : ñ hitung = 0,00; ñ tabel = 0,364; á = 0,05 ; Keputusannya adalah tidak ada hubungan.
22 23
Lihat Tabel 9 Pada Bab IV Lihat Tabel 7 pada Bab IV
75
Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa pada Tingkat Jumlah produk wisata yang sama, tingkat harga jual beli lahan berbeda-beda. Besarnya uang jual beli lahan yang diterima petani bervariasi tergantung luas lahan dan lokasi lahan tersebut. Lahan yang diatasnya dibangun rumah bernilai Rp. 100.000,00 per meter persegi, dan variasi harga lahan yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam sekitar Rp. 3.000,00 hingga Rp. 12.000,00 per meter persegi. Perbedaan yang dihasilkan sangat jauh. Jumlah petani yang mendapatkan uang jual beli lahan rendah merupakan jumlah terbanyak (53,33 %) sedangkan petani yang mendapatkan uang jual beli lahan sedang berjumlah paling sedikit (16,67 %). Hal ini terjadi karena posisi tawar menawar petani rendah. Rendahnya posisi tawar menawar petani dikarenakan saat itu petani kurang begitu mengetahui harga lahan di pasaran. Petani juga tidak mempertimbangkan kesuburan lahan yang mereka jual, padahal lahan-lahan tersebut subur. Selain itu, petani juga tidak mengetahui tujuan dari pembelian lahan itu sehingga standard harga jual yang ditetapkan petani yaitu standar harga jual lahan untuk pemukiman, padahal jika petani mengetahui tujuan pembelian lahan tersebut, petani dapat menentukan harga jual yang tinggi. Di sisi lain, persentase petani yang membeli lahan di Desa Sukanagalih yang tergolong petani yang memiliki lahan luas meningkat. Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang memiliki lahan luas sekitar 30 persen, setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang tergolong memiliki lahan luas menjadi 36,67 persen. Demikian halnya dengan petani yang tergolong petani yang memiliki lahan sedang. Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang tergolong memiliki lahan sedang sekitar 16,67 persen, dan setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang tergolong memiliki lahan sedang menjadi 30 persen. Berbeda dengan petani yang tergolong memiliki lahan se mpit, petani
76
yang memiliki lahan sempit mengalami penurunan persentase. Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata, petani yang tergolong memiliki lahan sempit sekitar 53,33 persen dan setelah pembangunan fasilitas pariwisata menjadi 33,33 persen (Tabel 9 Bab IV). Tabel 11 menyatakan hasil uji statistik korelasi Korelasi Rank Spearman untuk hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata dan luas kepemilikan lahan setelah pembangunan fasilitas pariwisata, hasil dari uji statistik ini membuktikan bahwa pada taraf nyata 0,05 didapatkan rho hitung sebesar 0,897 dan rho tabel sebesar 0,364 ternyata terdapat hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata dan luas kepemilikan lahan setelah pembangunan fasilitas pariwisata. Hal ini disebabkan petani yang menjual lahan tersebut mampu membeli kembali lahan di tempat lain dengan harga murah. Menurut beberapa responden, pada tahun 1992 di Desa Sukanagalih masih banyak lahan yang murah. Hanya saja, lahan tersebut jauh dari mata air sehingga untuk pengairan sawah-sawah di lahan baru itu petani
mengharapkan aliran air dari mata air di luar Desa
Sukanagalih.
Tabel 11. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Rendah Sedang Tinggi Total
Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga Rendah/sempit Sedang Tinggi/luas
14 1 4 19
0 0 1 1
Total
2 4 4 10
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : ñ hitung = 0,897 ; ñ tabel = 0,364; á = 0,05; Keputusannya adalah ada hubungan.
16 5 9 30
77
Petani yang menjual lahan di lokasi yang kini dibangun fasilitas pariwisata Kota Bunga mengalokasikan uang jual beli lahan untuk membeli lahan lagi. Lokasi lahan yang dibeli petani di beberapa tempat, ada yang membeli lahan di kampung lain dalam satu desa, ada yang membeli lahan ke desa tetangga, bahkan ada yang membeli di luar kecamatan seperti kecamatan Cianjur. Kampung-kampung yang dipilih petani untuk membeli lahan adalah Kampung Cibengang, Ciburial, Sukarame, dan Cihieum. Sedangkan petani yang membeli lahan di luar desa dan kecamatan berpindah domisili menjadi penduduk desa atau kecamatan itu. Sehingga hanya tinggal beberapa petani yang tinggal di Desa Sukanagalih. Alasan petani yang membeli lahan baru di Desa yang sama yaitu Desa Sukanagalih adalah adanya kerabat di kampung sebelah dan kesediaan pemilik lahan untuk menjaulnya kepada petani yang telah kehilangan lahan tersebut. Petani yang berpindah ke kampung sebelah mendapatkan lahan dari kerabatnya atau orang tua mereka. Lahan baru yang dimiliki petani itu untuk membangun rumah merupakan lahan keluarga yang dijual murah (dijual dibawah harga pasaran). Sedangkan petani yang tidak memiliki keluarga di lahan baru itu, dapat membeli lahan karena pemilik yang menjualkan lahan merasa harga yang ditawarkan pembeli (petani) cocok. Berdasarkan keterangan dari beberapa informan yang menjualkan lahan kepada petani tersebut mengatakan bahwa pada saat itu harga lahan rendah dan kebutuhan uang tunai tinggi. Sehingga menjual lahan adalah salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan uang tunai tersebut. Menurut penjual lahan baru itu, dulu lahannya ditawarkan kepada orang lain agar laku terjual, tapi belum ada orang yang berniat membeli lahan. Sampai pada masa banyak petani yang kehilangan lahan, barulah penjual itu dapat menjual lahannya. Proses transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan
78
langsung dan terbuka. Dalam arti pembeli mengatakan tujuan dia membeli lahan apakah untuk sawah atau perumahan. Dari uang jual beli lahan itu, selain digunakan untuk membeli lahan, juga digunakan untuk membeli atau memperbaiki rumah dan untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi tidak semua petani dapat mengalokasikan uang jual beli lahan untuk menunaikan ibadah haji. Dari peristiwa alih fungsi lahan ini, petani yang merasa dirugikan adalah petani yang memiliki lahan sempit sebab uang jual beli lahan yang mereka terima hanya untuk membeli lahan dan tingkat kesuburannya kurang dari lahan yang mereka miliki sebelumnya. Sedangkan petani yang memiliki lahan luas mendapatkan keuntungan, yaitu petani yang memiliki lahan luas dapat membeli lahan lebih luas di tempat lain, bisa memperbaiki rumah, dan menunaikan ibadah haji. Alokasi uang oleh petani yang memiliki lahan sedang biasanya membeli lahan di tampat lain dan memperbaiki rumah.
6.3
Perubahan Struktur Agraria dan Mata Pencaharian Penduduk Sebelum adanya pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, mata
pencaharian penduduk adalah sebagai petani pemilik lahan. Komoditas pertanian yang mereka tanam selain padi sawah adalah sayuran, seperti cabe, bawang daun, buncis, dan kacang kapri. Mata pencaharian mereka tidak berubah meskipun telah dibangun fasilitas pariwisata. Hal ini didukung oleh hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman yang menyatakan bahwa rho 2 hitung untuk hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum adanya Kota Bunga dan perubahan pekerjaan utama setelah adanya Kota Bunga sebesar 0,600 dan rho tabelnya sebesar 0,364. Sehingga uji ini menyatakan bahwa pada taraf nyata 0,05 ternyata terdapat hubungan. Berdasarkan Tabel 12, dari 30 petani hanya 16,67 persen saja yang berubah mata pencahariannya. Petani yang berubah
79
mata pencahariannya adalah petani yang memiliki lahan sempit. Sedangkan petani yang memiliki lahan sedang dan tinggi tetap bekerja sebagai petani. Demikian halnya setelah petani mendapatkan uang jual beli lahan lahan. Mata pencaharian petani tidak berubah secara signifikan. Meskipun ada 1 orang yang menjadi pedagang sayuran, 3 orang yang menjadi buruh bangunan24, dan 1 orang yang membuka usaha sendiri yaitu berjualan di pasar, tetap saja jika dibandingkan dari keseluruhan, mereka tetap memilih
jadi petani. Menurut
mereka, uang jual beli lahan yang mereka dapatkan tidak dapat digunakan sebagai modal usaha lain. Mereka lebih mengutamakan uang tersebut digunakan untuk membeli lahan agar mereka dapat bertani kembali. Selain itu, mereka merasa tidak memiliki keahlian untuk berpindah profesi seperti membuka usaha sendiri.
Tabel 12 . Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Rendah/sempit Sedang Tinggi/luas Total
Perubahan Jenis Pekerjaan Utama Setelah adanya Kota Bunga
Tetap
Total
Berubah 11 5 9 25
4 0 0 5
16 5 9 30
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,600; rho tabel = 0,364 ; á= 0,05; Keputusannya adalah terdapat hubungan.
Faktor yang menyebabkan mereka tetap memilih bekerja sebagai petani adalah karena bertani merupakan pekerjaan mereka semenjak mereka berumahtangga bahkan orang tua mereka pun bekerja sebagai petani. Selain itu, mereka merasa bertani adalah pekerjaan yang cocok baginya dan dengan
24
Mereka menjadi buruh bangunan di Kota Bunga dan Jakarta. Petani yang menjadi buruh bangunan di Jakarta bekerja ketika di Kota Bunga tidak ada proyek.
80
bertani kebutuhan pokok (pangan) mereka akan selalu terjamin. Kenyataan ini sesuai dengan pernyataan Redfield dalam Suhendar dan Winarni (1998) bahwa petani memiliki sikap intim dan hormat pada lahan dan menganggap pekerjaan pertanian adalah pekerjaan yang baik. Tabel 13. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Kota Bunga Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Rendah Sedang Tinggi Total
Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Kota Bunga Tidak Memiliki Pekerjaan Memiliki Pekerjaan Sampingan Sampingan 16 4 8 28
Total
0 1 1 2
16 5 9 30
Keterangan uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,359; rho Tabel = 0,364; á= 0,05; Keputusannya adalah tidak ada hubungan.
Berdasarkan Tabel 13, sebelum dibangunnya fasilitas pariwisata Kota Bunga, hampir seluruh responden tidak memiliki pekerjaan sampingan yaitu sekitar 93,33 persen petani tidak memiliki pekerjaan sampingan. Hal ini didukung oleh hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman, dimana rho hitung yang didapat sebesar 0,359 dan rho tabelnya sebesar 0,364 ternyata pada taraf nyata 0,05 tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut. Sama halnya setelah dibangunnya fasilitas pariwisata Kota Bunga, pada umumnya mereka tetap tidak memiliki pekerjaan sampingan (Tabel 14). Tetapi dari segi kuantitas, ada petani yang memiliki pekerjaan sampingan yaitu 1 orang yang mengatakan bahwa bertani adalah pekerjaan sampingan dan pekerjaan utamanya adalah berdagang sayuran. Petani ini mengatakan bahwa bertani adalah pekerjaan sampingan karena petani ini fokus pada kegiatan berdagang sayuran, sedangkan bertani dilakukan jika ada waktu saja. Selain itu,
81
dia juga mengatakan hasil yang didapatkan dari berjualan sayuran jauh lebih menjanjikan dibanding dari hasil bertani. Selanjutnya, sebanyak 5 orang yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang, dan 1 orang sebagai buruh bangunan di Kota Bunga. Sebagian besar petani sangat menggantungkan kelangsungan hidupnya pada kegiatan pertanian. Petani tidak memiliki pekerjaan sampingan di luar kegiatan pertanian karena mereka menghabiskan seluruh waktu dan tenaga mereka untuk bertani. Tabel 14. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Rendah Sedang Tinggi Total
Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga Tidak Memiliki Pekerjaan Memiliki Pekerjaan Sampingan Sampingan
13 4 6 23
Total
3 1 3 7
16 5 9 30
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,359; rho tabel = 0,364 ; á= 0,05; Keputusannya adalah tidak ada Hubungan.
Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga selain berakibat pada perubahan kepemilikan lahan pertanian juga dapat mengubah pelapisan pada masyarakat. Petani-petani yang mendapat keuntungan dari penjualan lahan memiliki kesempatan untuk berpindah ke lapisan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan dari penjualan lahan tersebut petani memperoleh uang yang selanjutnya uang tersebut dialokasikan untuk memperbaiki rumah mereka (kepemilikan benda berharga) atau menunaikan ibadah haji. Ketika petani mengalokasikan uang hasil jual beli lahan untuk memperbaiki rumah atau menambah perabotan rumahtangga, maka kepemilikan benda berharga petani itu bertambah, sehingga dia jika pelapisan dalam masyarakat tersebut
82
berdasarkan kepemilikan benda berharga, maka petani tersebut dapat berpindah ke
lapisan
yang
mengalokasikan
di
uang
atasnya. mereka
Demikian untuk
halnya
dengan
petani
menunaikan
ibadah
haji.
yang
Dengan
menunaikan ibadah haji, mereka dapat lebih disegani dan dihormati. Apalagi Desa Sukanagalih merupakan desa yang nilai-nilai keagamaan masih dijunjung tinggi.
BAB VII PERUBAHAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DESA SUKANAGALIH
7.1
Kelembagaan Masyarakat Desa Sukanagalih Sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, sebagian besar
masyarakat Desa Sukanagalih menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Hampir setiap warga kampung terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Kegiatan bertani ini dilakukan secara bersama-sama dan saling tolong menolong antar tetangga, mulai dari kegiatan menanam, memberantas hama, memperbaiki saluran air, hingga panen. Maka kegiatan-kegiatan ini menjadi ciri khas sifat kelembagaan masyarakat Desa Sukanagalih yaitu gotong royong. Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan bersama ini adalah anggota keluarga petani dan tetangganya. Anggota keluarga petani terlibat dalam seluruh kegiatan bertani, sedangkan tetangganya hanya terlibat dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Kegiatan yang khusus dilakukan oleh anggota keluarga petani seperti mencangkul di sawah dan membersihkan pematang, sedangkan kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh anggota keluarga dan tetangga adalah menanam padi, memberantas hama, memperbaiki saluran air, dan panen. Anggota keluarga laki-laki bertanggung jawab dalam hal mencangkul tanah agar tanah yang akan ditanami padi subur, memperbaiki saluran air, memberantas hama tikus, membersihkan pematang, dan panen (membabat sawah), sedangkan anggota keluarga perempuan bertanggung jawab pada kegiatan menanam padi, memberantas hama burung, mencabut rumput, dan panen (mengambil biji padi). Petani dan tetangganya saling tolong menolong dalam kegiatan bertani. Tolong
menolong
ini
dilakukan
secara
bergantian
dari
keluarga
atau
84
rumahtangga yang satu kemudian ke keluarga/rumahtangga yang lainnya. Tetangga yang membantu bertani tidak mendapatkan upah berupa uang, karena petani yang dibantunya sekarang akan kembali membantu di sawah tetangganya itu. Mereka hanya mendapatkan minuman dan makan siang atau terkadang kuekue di antara sarapan dan makan siang. Hal ini dipandang sebagai hubungan kekerabatan oleh Hayami dan Kikuchi (1987). Mereka menyatakan bahwa hubungan kekerabatan merupakan hal yang penting di desa, hal ini dikarenakan orang desa hidup bersama di dalam satu lokasi yang sama dan harus bekerja sama pula. Dengan adanya hubungan kekerabatan ini, masyarakat petani dapat tetap survive dan solidaritas komunitas kuat. Kegiatan produksi yang dilakukan petani masih bersifat subsisten (Suhendar dan Winarni, 1998). Ada beberapa petani juga yang memberikan bayaran kepada tetangga yang telah membantu mereka dalam proses produksi ini. Petani yang membayar tetangganya dalam kegiatan bertani tidak memiliki kewajiban untuk membantu tetangganya nanti. Petani ini adalah petani yang memiliki lahan luas, sedangkan petani yang mendapatkan bayaran ini disebut buruh tani. Bayaran untuk buruh tani perempuan sebesar Rp. 3.000,00 per hari dan terkadang mendapatkan makan siang jika petani yang memperkerjakannya memiliki uang untuk memberi makan siang , sedangkan bayaran untuk buruh tani laki-laki sebesar Rp. 5.000,00 per hari dan terkadang juga mendapatkan makan siang. Pada saat panen, ada beberapa petani yang membayar buruh tani dengan satu ikat padi jika buruh tani itu membantu dan menghasilkan 12 ikat padi. 7.2
Kelembagaan dan M ata Pencaharian Masyarakat Desa Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Setelah
adanya
pembangunan
fasilitas
pariwisata
Kota
Bunga,
masyarakat Desa Sukanagalih mengalami perubahan kelembagaan dalam bertani. Sifat kelembagaan setelah adanya Kota Bunga yaitu kome rsil, dimana
85
segala sifat kerja atau aktivitas dinilai dengan uang. Berbeda dengan sifat kelembagaan sebelum adanya pembangunan fasilitas pariwisata, masyarakat masih bersedia membantu tetangganya bertani dengan dasar tolong menolong, sedangkan setelah pembangunan fasilitas pariwisata, segala kegiatan dinilai untung ruginya dari segi pendapatan. Tjondronegoro (1999) memandang peristiwa ini mengakibatkan terkikisnya sistem derep dan bawon yang memiliki fungsi sosial, artinya pembagian hasil pertanian dapat berlangsung tanpa adanya upah uang. Hubungan komersial disebabkan masuknya ekonomi uang di perdesaan. Komersialisasi pada sifat kelembagaan di Desa Sukanagalih tercermin dari perubahan cara pandang buruh tani dalam memilih pekerjaan. Orang-orang yang bekerja menjadi buruh, lebih memilih menjadi buruh di wilayah Kota Bunga sebagai pencabut rumput di taman dibanding menjadi buruh di sawah. Pertimbangan dasarnya adalah upah yang didapatkan dari mencabut rumput di taman lebih besar dibanding upah yang didapat dari bekerja di sawah. Menurut responden, tenaga kerja untuk mengerjakan sawah saat ini sulit didapatkan. Hal ini dikarenakan banyak tenaga kerja yang lebih memilih bekerja di Kota Bunga atau menjadi buruh pabrik di Jakarta. Pertimbangan ini berdasarkan penilaian untung rugi yang dikonversikan ke dalam nilai uang. Bekerja di Kota Bunga sebagai pencabut rumput dapat menghasilkan upah sebesar Rp. 11.000,00 hingga Rp. 16.000,00 per hari, sedangkan upah yang dihasilkan dari bekerja di sawah sebesar Rp. 8.000,00 per hari untuk tenaga kerja perempuan dan Rp. 10.000,00 per hari untuk tenaga kerja laki-laki. Hal ini menyebabkan nilai buruh tani meningkat setelah adanya Kota Bunga. Ada hal lain yang menyebabkan tenaga kerja sulit didapatkan khususnya tenaga kerja yang masih muda atau pemuda. Banyak pemuda yang lebih memilih bekerja di kota sebagai buruh pabrik daripada bekerja di sawah.
86
Menurut mereka (pemuda), bekerja di kota lebih terhormat dibanding bekerja di sawah. Meskipun sifat kelembagaan telah berubah, hampir seluruh responden tetap bermata pencaharian sebagai petani. Petani-petani ini juga masih berpikir memproduksi beras untuk kebutuhan subsisten. Hanya petani sayuran yang telah memperhitungkan untung rugi antara input dan output. Menurut mereka, penghasilan mereka saat ini berkurang dikarenakan harga pupuk yang masih tinggi. Demikian juga dalam hal pekerjaan sampingan. Hampir seluruh petani tidak memiliki pekerjaan sampingan. Hanya saja responden yang mendapatkan pekerjaan
sampingan
sebagai
pedagang
meningkat 25.
Peningkatan
ini
dikarenakan 5 petani tersebut memiliki modal untuk membuka usaha berjualan sayuran atau buah-buahan di sepanjang jalan menuju fasilitas pariwisata yang ada di Desa Sukanagalih termasuk Kota Bunga. Tapi saat ini mereka mulai mengeluhkan akan meninggalkan pekerjaan sampingan itu. Hal ini dikarenakan pengunjung yang datang ke tempat-tempat fasilitas pariwisata khususnya Kota Bunga berkurang. Selain sebagai pedagang sayuran, ada juga responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan di Kota Bunga. Upah yang didapatkan sebagai buruh bangunan cukup tinggi menurut mereka yaitu sekitar Rp. 25.000,00 per hari. Hanya saja penghasilan dari bekerja sebagai buruh bangunan tidak didapatkan setiap hari atau setiap bulan, tergantung ada atau tidaknya proyek. Menurut mereka, waktu dulu, panggilan untuk bekerja sebagai buruh bangunan banyak karena saat itu Kota Bunga dalam proses pembangunan sedangkan sekarang panggilan untuk bekerja sebagai buruh bangunan berkurang bahkan hampir tidak ada. Meskipun Kota Bunga sedang
25
Lihat Tabel 13 pada Bab VI tentang jumlah responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebelum adanya Kota Bunga.
87
melakukan pengembangan, tenaga kerja yang dibutuhkan sebagai buruh bangunan terbatas. Perusahaan Kota Bunga kini sedang melakukan efisiensi. Hal ini berdampak pula pada peluang kerja. Salah satu langkah yang dilakukan Perusahaan adalah pengurangan karyawan, termasuk juga pengurangan buruh. Maka pengurangan buruh pun dilakukan sehingga banyak masyarakat lokal yang bekerja sebagai buruh terpaksa di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Dari perisitiwa ini, keberadaan tempat pariwisata Kota Bunga tidak menguntungkan masyarakat dalam hal kesejahteraan masyarakat lokal. Sehingga muncul ketidakpuasan dari masyarakat lokal akan hal ini. Ketidakpuasan masyarakat lokal juga muncul karena akibat lain seperti uang pesangon yang dijanjikan tidak sesuai dan janji-janji perusahaan untuk memberikan peluang kerja baru pun tidak pernah ada. Demikian halnya yang terjadi pada pengunjung Kota Bunga dan masyarakat lokal. Berdasarkan model pariwisata yang diungkapkan Soekadijo (2000), maka aktivitas pengunjung Kota Bunga termasuk dalam model enklave , dimana aktivitas pengunjung hanya di sekitar Kota Bunga. Pengunjung bersenang-senang di sekitar Kota Bunga, berbelanja cindera mata di kawasan Kota Bunga, dan melihat berbagai pertunjukkan di dalam kawasan Kota Bunga.
BAB VIII PELUANG USAHA DAN PELUANG KERJA DI SEKTOR PARIWISATA
Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan yang diiringi adanya produk-produk wisata dapat membuka peluang usaha dan peluang kerja di perdesaan. Seperti yang diungkapkan salah satu aparat pe merintah Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur bahwa pertimbangan dari pembangunan fasilitas pariwisata di Cianjur adalah untuk membuka kesempatan kerja bagi masyarakat Cianjur. Maka pada bab ini akan dibahas sejauh mana manfaat pembangunan fasilitas pariwisata di Desa Sukanagalih terhadap peluang usaha dan peluang kerja masyarakat Desa Sukanagalih. 8.1
Peluang Usaha di Sektor Pariwisata Fasilitas pariwisata yang akan dibahas pada sub bab ini adalah fasilitas
pariwisata Kota Bunga. Kota Bunga memiliki tiga produk wisata berdasarkan produk wisata yang diungkapkan Yoeti (1996b), yaitu : 1. Jasa-jasa pelayanan akomodasi, bar, dan fasilitas rekreasi. 2. Obyek wisata dan atraksi wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata. 3. Jasa-jasa pedagang ci ndera mata dan kerajinan serta pusat perbelanjaan. Dari ketiga produk wisata yang ada di Kota Bunga itu, dapat memberikan peluang-peluang usaha, seperti membuka mini market, berjualan cindera mata, usaha pelayanan jasa angkutan, usaha kost-kostan atau membuka rumah-rumah makan. Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga memberikan sedikit peluang usaha bagi masyarakat lokal. Peluang usaha yang dapat dimasuki masyarakat lokal yaitu usaha membuka rumah makan dan jasa angkutan, baik angkutan kendaraan beroda empat maupun kendaraan beroda
89
dua. Peluang usaha tersebut hanya dapat dimasuki oleh beberapa orang saja. Masyarakat yang dapat memanfaatkan peluang usaha tersebut adalah orangorang yang memiliki modal besar dan sanggup menanggung resiko. Resiko yang harus ditanggung adalah kebangkrutan karena modal yang digunakan untuk membuka usaha adalah uang pinjaman dari bank yang harus dibayar dari hasil usaha. Penghasilan usaha tergantung dari banyaknya pengunjung yang datang ke Kota Bunga dan jumlah karyawan Kota Bunga yang berasal dari luar Desa Sukanagalih. Mulai krisis ekonomi di tahun 1997, resiko tersebut mulai nampak. Pengunjung atau konsumen Kota Bunga menurun. Demikian juga dengan jumlah karyawan Kota Bunga. Sekitar tahun 1999, Perusahaan Kota Bunga melakukan penyusutan karyawan. Penurunan konsumen Kota Bunga berdampak pada penurunan penghasilan dari usaha rumah makan, penjualan cindera mata, penjualan sayuran dan buah-buahan di sekitar tempat wisata Kota Bunga, sedangkan penyusutan jumlah karyawan Kota Bunga berdampak pada penurunan penghasilan usaha rumah makan dan kost-kostan. Hal ini terjadi karena karyawan yang berasal dari luar Desa Sukanagalih sebagian besar memanfaatkan jasa rumah makan untuk kebutuhan pangan sehari-hari dan membutuhkan kost-kostan untuk tempat tinggal mereka selama bekerja di Kota Bunga. Penyusutan karyawan tentu saja berakibat langsung pada penghasilan dari usaha rumah makan dan kost-kostan. Usaha lain yang dapat dimasuki beberapa masyarakat adalah usaha jasa angkutan perkotaan. Nama trayek angkutan tersebut adalah Cipanas-Loji. Trayek ini melewati tempat fasilitas pariwisata Kota Bunga. Menurut salah satu aparat Desa Sukanagalih, sebelum banyaknya pembangunan fasilitas pariwisata, angkot yang bertrayek Cipanas-Loji hanya sedikit, tetapi setelah pembangunan fasilitas-fasilitas pariwisata, trayek Cipanas-Loji bertambah bahkan dibuka trayek baru yaitu Cipanas-Sukanagalih. Pengguna jasa pelayanan angkutan ini adalah
90
masyarakat setempat, pengunjung Kota Bunga dan karyawan Kota Bunga yang tempat tinggalnya jauh dari tempat bekerja. Oleh karena itu, jumlah pengunjung dan jumlah karyawan yang bekerja di tempat wisata menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan penghasilan usaha ini. Selain usaha angkutan yang menggunakan kendaraan beroda empat, ada juga usaha jasa angkutan beroda dua yang biasa disebut ojek. Dulu usaha ojek hanya dapat dimasuki beberapa orang karena keterbatasan modal untuk membeli motor, tapi sekarang hampir seluruh pengendara ojek dapat memasuki usaha jasa ojek sehingga tidak memiliki kewajiban untuk membayar uang setoran. Maraknya usaha-usaha jasa angkutan beroda dua ini dikarenakan semakin banyaknya kredit-kredit motor yang cicilannya ringan, sehingga jumlah pemilik kendaraan beroda dua bertambah. Berbeda halnya dengan masyarakat yang menjual lahan ke perusahaan Kota Bunga. Adanya pembangunan fasilitas pariwisata yang diiringi adanya produk-produk wisata, ternyata tidak memberikan peluang usaha bagi mereka. Kenyataannya justru sebaliknya, pemilik-pemilik lahan tersebut tetap memilih bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Hal ini disebabkan produk wisata yang ada di Kota Bunga tidak memberikan peluang usaha bagi masyarakat. Peluang-peluang usaha yang ada di Kota Bunga justru ditempati oleh pendatang. Penyebab masyarakat setempat tidak dapat memasuki peluangpeluang usaha adalah keterbatasan modal dan keterampilan berusaha. Tabel 15 menunjukkan hasil uji statistik Chi Square untuk hubungan antara tingkat peluang usaha dan pekerjaan utama e x-pemilik lahan. Berdasarkan uji ini, peluang usaha yang rendah di sektor wisata tidak mengubah pekerjaan utama masyarakat.
91
Tabel 15. Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Tingkat Peluang Usaha
Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Petani Pedagang Buruh Buka Bangunan Usaha Sendiri 25 1 3 1 25 1 3 1
Rendah Total
Total
30 30
2
Keterangan uji statistik Chi - Square: X hitung = tidak ada nilai karena peluang usahanya konstan.
Sama
halnya
dengan
jenis
pekerjaan
sampingan
masyarakat.
Berdasarkan uji statistik Korelasi Rank Spearman menyatakan bahwa rho hitung untuk hubungan antara tingkat peluang usaha dan pekerjaan sampingan setelah adanya Kota Bunga sebesar 0,00; sedangkan rho tabelnya sebesar 0,364; maka pada taraf nyata 0,05 tidak terdapat hubungan antara kedua variabel itu. Tabel 16. Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga Tingkat Peluang Usaha Rendah Total
Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga Tidak Memiliki Pekerjaan Memiliki Pekerjaan Sampingan Sampingan 23 7 23 7
Total
30 30
Keterangan uji statistik Korelasi Rank Spearman; rho hitung: 0,00; rho tabel: 0,364; taraf nyata: 0,05; Keputusan: Tidak ada hubungan.
8.2
Peluang Kerja di Sektor Pariwisata Peluang usaha di sektor wisata tidak dapat dimasuki masyarakat
setempat, dan ternyata masyarakat setempat pun tidak dapat memasuki peluang kerja yang ada di Kota Bunga. Oleh karena masyarakat tidak dapat mema suki peluang kerja yang ada di Kota Bunga, maka mata pencaharian masyarakat pun tidak berubah. Tabel 17 menyatakan bahwa dari 30 responden, sebesar 83,33 persen responden menjadi petani, ini berarti sebagian besar masyarakat tetap bertani. Meskipun sebagian besar masyarakat tidak dapat memasuki peluang kerja di sektor wisata, tetapi ada beberapa masyarakat yang dapat memasuki
92
peluang kerja di sektor wisata. Menurut informasi yang didapatkan dari responden bahwa peluang-peluang kerja yang dapat dimasuki masyarakat adalah sebagai buruh pencabut rumput, satpam di Kota Bunga, buruh bangunan, dan ada yang menjadi karyawan Kota Bunga 26. Jumlah masyarakat setempat yang bekerja di Kota Bunga sedikit, berbeda halnya dengan jumlah pendatang yang bekerja di Kota Bunga. Karyawan-karyawan Kota Bunga banyak yang berasal dari luar Desa Sukanagalih. Berdasarkan informasi, Kota Bunga membatasi jumlah pekerja yang berasal dari Desa Sukanagalih, sayangnya pihak Kota Bunga tidak memberikan keterangan pasti tentang hal tersebut. Apalagi untuk saat ini, Kota Bunga sedang mengadakan efisiensi termasuk efisiensi jumlah karyawan. Pihak Kota Bunga mengatakan bahwa semenjak krisis moneter tahun 1997 pengunjung Kota Bunga mulai berkurang sehingga pendapatan pun berkurang. Untuk mengatasi hal ini, perusahaan melakukan pengurangan karyawan dengan cara mem-PHK-kan 400 karyawan. Sehingga jelas sekali bahwa peluang kerja semakin kecil.
Tabel 17. Hubungan Antara Tingkat Peluang Kerja dan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Tingkat Peluang Kerja Rendah Total
Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Petani Pedagang Buruh Buka Bangunan Usaha Sendiri 25(83,33%) 1 3 1 25 1 3 1 2
Total
30 30
Keterangan uji statistik Chi Square x hitung= tidak ada nilai karena variable tingkat peluang kerja nilainya konstan
26
Nama- nama warga Sukanagalih yang bekerja di Kota Bunga: Asep (satpam), Surya (Satpam), Gugun (satpam), Erwin (office), Wawa (office), Taufik (penjaga karcis arena), Meika (penjaga karcis danau), Iwan (penjaga karcis), Lena (accounting), Yanto (satpam).
93
8.3
Tingkat Pendapatan Masyarakat Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Berdasarkan tabel 18 diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat
memiliki tingkat pendapatan sedang yaitu sekitar 63,33 persen dari total responden, masyarakat yang berpendapatan tinggi sebesar 26,67 persen, dan masyarakat yang berpendapatan rendah hanya 3,33 persen. Berdasarkan Tabel 18 juga, masyarakat yang bermata pencaharian petani sebagian besar tingkat pendapatannya sedang, kemudian diikuti petani yang tingkat pendapatannya tinggi, dan terakhir yaitu petani yang tingkat pendapatannya rendah. Pedagang dan buruh bangunan memiliki tingkat pendapatan sedang, sedangkan warga yang berusaha sendiri memiliki tingkat pendapatan tinggi. Dari hasil uji statistik Chi Square untuk hubungan antara jenis pekerjaan utama dan tingkat pendapatan setelah adanya Kota Bunga diperoleh x2 hitung sebesar 4,614 dan x2 tabelnya sebesar 12,592 (Tabel 18). Dari hasil uji ini dinyatakan bahwa antara jenis pekerjaan utama dan tingkat pendapatan
masyarakat tidak ada
hubungannya. Jadi, keragaman tingkat pendapatan yang dimiliki masyarakat setempat pun tidak ada hubungannya dengan ada atau tidak adanya Kota Bunga.
Tabel 18. Hubungan Antara Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Petani Pedagang Buruh Bangunan Buka Usaha Sendiri Total
Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga Rendah Sedang Tinggi 1 15 7 1 3 1 1 19 8 2 2
Total
23 1 3 1 30
Keterangan uji statistik Chi Square : x hitung = 4,614; x tabel = 12,592; á= 0,05; Keputusannya adalah tidak ada hubungan.
94
Sama halnya dengan keragaman tingkat pendapatan masyarakat yang diperoleh dari hasil kerja sampingan
yang menyatakan besar kecilnya
pendapatan tersebut tidak ada hubungannya dengan ada atau tidak adanya Kota Bunga. Pernyataan ini didukung oleh hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman untuk hubungan antara
perubahan jenis pekerjaan sampingan dan tingkat
pendapatan setelah adanya Kota Bunga.
Dari uji ini diperoleh rho hitungnya
sebesar 0,394 dan rho tabelnya sebesar 0,364 pada taraf nyata 0,05 keputusannya adalah terdapat hubungan antara dua variabel tersebut (Tabel 19). Hal ini dikarenakan peluang kerja yang ada di Kota Bunga tidak dapat dimasuki masyarakat setempat maka adanya Kota Bunga tidak mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat. Tabel 19. Hubungan Antara Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga Tidak Memiliki Pekerjaan sampingan Memiliki Pekerjaan Sampingan Total
Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga Rendah Sedang Tinggi
1
1
Total
19
8
28
1
1
2
20
9
30
Keterangan uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,394; rho tabel = 0,364; taraf nyata 0,05; keputusannya adalah terdapat hubungan.
BAB IX PENUTUP
9.1
Kesimpulan Penataan ruang Kabupaten Cianjur diatur oleh Keputusan Presiden No.
114 Tahun 1999 dan RTRW Kabupaten Cianjur 2005-2015. Berdasarkan kebijakan tersebut, Kecamatan Pacet merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa, pemukiman, pendidikan, kesehatan, industri, pariwisata, koleksi, dan distribusi. Sehubungan dengan kebijakan ini, maka pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga di Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet sesuai dengan kebijakan tersebut. Demikian juga dalam hal perizinan bangunan dan usaha, Perusahaan Kota Bunga telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur, meskipun pada prosesnya terdapat beberapa masalah. Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga mempengaruhi pola kepemilikan lahan petani. Luas kepemilikan lahan petani setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga meningkat. Banyak petani yang memiliki lahan kategori sedang dan luas. Perubahan kepemilikan lahan petani ternyata tidak mempengaruhi jenis mata pencaharian sebelumnya. Sebagian besar petani pemilik lahan tetap menjadi petani sebagai pekerjaan utama. Hal ini disebabkan karena pertanian adalah mata pencaharian yang cocok bagi mereka. Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga berdampak juga pada perubahan pelapisan masyarakat. Perubahan pelapisan masyarakat terjadi pada petani yang mendapatkan keuntungan dari alih fungsi lahan, misalnya keuntungan materi. Petani mendapatkan keuntungan materi dari hasil jual beli lahan. Keuntungan tersebut dialokasikan untuk menunaikan ibadah haji atau
96
memperbaiki rumah. Petani yang telah menunaikan ibadah haji lebih disegani dan dihormati anggota masyarakat lain dibanding sebelumnya. Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga berdampak juga pada perubahan sifat kelembagaan pertanian. Di mana sebelum pembangunan Kota Bunga, sifat kelembagaan pertanian adalah subsisten, dimana kegiatan bercocok tanam
dilakukan
hanya
untuk
memenuhi
kebutuhan
pokok.
Setelah
pembangunan Kota Bunga, sifat kelembagaan menjadi komersil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tjondronegoro (1999) bahwa terkikisnya sifat gotong royong disebabkan
masuknya
ekonomi
uang
di
perdesaan.
Perubahan
sifat
kelembagaan tidak mempengaruhi jenis mata pencaharian petani. Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga tidak memberikan peluang usaha kepada masyarakat lokal. Peluang-peluang usaha yang dimanfaatkan masyarakat lokal adalah menjual cindera mata, membuka rumah makan, jasa transportasi, dan usaha kontrakan rumah. Demikian halnya dengan peluang kerja. Peluang kerja yang dapat dimasuki masyarakat lokal rendah. Peluang kerja terbanyak yang dapat dimasuki masyarakat lokal adalah peluang kerja sebagai buruh pencabut rumput. Peluang menjadi karyawan Kota Bunga sangat kecil. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan masyarakat lokal tidak sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Kota Bunga. 9.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat beberapa hal yang menjadi
saran penulis, yaitu : 1. Diperlukan penelitian lebih mendalam menyangkut aspek hukum dalam proses legalisasi perizinan Kota Bunga karena saat ini pun Kota Bunga sedang melakukan perluasan wilayah.
97
2. Diperlukan kontrol dari pemerintah terhadap pelaksanaan pembangunan Kota Bunga yang berkaitan dengan pengeluaran izin pembangunan Kota Bunga. Hal ini terkait praktek pembangunan Kota Bunga yang tidak berpihak pada masyarakat lokal. 3. Diperlukan usaha dari Perusahaan Kota Bunga untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar karena izin pembangunan Kota Bunga terkait dengan janji perusahaan melakukan pengembangan masyarakat. 4. Diperlukan usaha dari pihak masyarakat untuk mempertahankan keberadaan mereka dengan melakukan advokasi damai, sehingga Perusahaan Kota Bunga dan pemerintah memperhatikan kesejahteraan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Afianto, Eko Dafid 2002, Perubahan Struktur Agraria di Perdesaan, Skripsi, Jurusan Ilmu -Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Actis 2001, ‘waktu terluang. and kepariwisataan.: Types of leisure and tourism’, http://www.geographyonline.co.uk/sitetour/resources/leisure/info3.html Bahari, Saiful 2001, ‘Gerakan dan Keterlibatan Petani dalam Pengelolaan Sumberdaya Agraria’, Jurnal Analisis Sosial Vol. 6 No. 2 Juli, Akatiga, Bandung. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Cianjur 2005, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur 2005 – 2015, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Cianjur. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur 2005, Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Cianjur, Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur. Fauzi, Noer 1999, Petani dan Penguasa, Insist Press KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi 1987, Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Joyosuharto 2001, Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat: Emansipasi dan Demokrasi Mulai dari Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Pemerintah Kabupaten Cianjur 2004, Sistem Pendataan Profil Desa dan Profil Kelurahan, Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata 2003, Buku Pegangan Penataran dan Penyuluh Kepariwisataan Indonesia, Departeman Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999, Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak -Cianjur, Biro Peraturan Perundangundangan, Jakarta. Koentjaraningrat 1980, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. Lakoni 2001, ‘Mencari Keseimbangan Pembangunan Ekonomi Dengan Lingkungan Hidup’ dalam Ekowisata : Pariwisata Berwawasan Lingkungan Hidup, Pertja, Jakarta.
99
Metera, I Gde Made 1996, Alih Fungsi Tanah Pertanian Untuk Pembangunan Fasilitas Pariwisata dan dampaknya Terhadap Petani, Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Pendit, Nyoman Suwandi 1986, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana, Pradya Paramita, Jakarta. Safri, Muhammad 2003, Dampak Pariwisata Alam Taman Nasional Kerinci Seblat Terhadap Ekonomi Masyarakat Sekitar dan Wilayah Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi, Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Scott, James C 1989, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Terjemahan, Jilid 2, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendy 1989, Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta. Soekanto, Soerjono 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Universitas Indonesia, Jakarta. Spillane, James J 1987, Ekonomi Pariwisata : Sejarah dan Prospeknya, Kanisius, Yogyakarta. Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni 1998, Petani dan Konflik Agraria, Yayasan Akatiga, Bandung. Soekadijo, R.G 2000, Anatomi Pariwisata : Memahami Pariwisata Sebagai Sistem Linkage, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sugiyono 2003, Statistik Nonparametris Untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung. Sutisna, Entis 2001, Perubahan Kelembagaan Penguasaan Lahan dan Hubungan Kerja Agraris Berkaitan Masuknya Perusahaan Industri Pada Masyarakat Petani di Pedesaan, Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tjondronegoro, Sediono MP 1999, Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih, Yayasan Akatiga, Bandung. Wahyuni, Ekawati Sri 2004, Pedoman Teknis Menulis Skripsi, Departemen IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wiradi, Gunawan 2000, Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir, Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Yoeti, Oka A 1996a, Pengantar Ilmu Pariwisata, Edisi Revisi, Angkasa, Bandung. 1996b, Pemasaran Pariwisata, Edisi Revisi, Angkasa, Bandung. 2001, Ekowisata: Pariwisata Berwawasan Lingkungan Hidup, Pertja, Jakarta.
100
Yudohusodo, Siswono 2002, Transmigrasi Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang, Jurnalindo Aksara Grafika, Jakarta.
101
LAMPIRAN 1. HASIL UJI STATISTIK RANK SPEARMAN
1. Hubungan Antara Tingkat Keragaman Produk Wisata dan Tingkat Harga Jual Beli Lahan.
Tingkat Keragaman Produk Wisata Tingkat Harga Jual Beli Lahan
Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N) Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N)
Tingkat Keragaman Produk Wisata -
Tingkat Harga Jual Beli Lahan -
30 -
30 1,000 -
30
30
2. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga.
Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga
Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N)
1,000 -
Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga 0,897 0,000
30
30
Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N)
0,897 0,000
1,000 -
30
30
102
3. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga.
Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga
Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N) Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N)
Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga 1,000 -
Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga
30
30
0,600 0,000
1,000 -
30
30
0,600 0,000
4. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Kota Bunga.
Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Kota Bunga
Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N) Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N)
Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga 1,000 -
Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Kota Bunga 0,359 0,052
30
30
0,359 0,052
1,000 -
30
30
103
5. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga
Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga
Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N) Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N)
Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga 1,000 -
Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga 0,359 0,052
30
30
0,359 0,052
1,000 -
30
30
6. Hubungan Antara Peluang Usaha dan Pekerjaan Sampingan Setelah adanya Kota Bunga
Peluang Usaha
Peluang Usaha
Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga
Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N) Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N)
-
Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga -
30 -
30 1,000 -
30
30
104
7. Hubungan Antara Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga.
Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga
Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N) Koefisien Korelasi Signifikansi (2-tailed) Jumlah (N)
Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga 1,000 -
Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga 0,394 0,031
30
30
0,394 0,031
1,000 -
30
30
105
LAMPIRAN 2. HASIL UJI STATISTIK CHI SQUARE 1. Hubungan Antara Peluang Usaha Setelah Adanya Kota Bunga dan Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Chi-Square Tests Value ,a 30 a. No statistics are computed because PU is a constant.
Pearson Chi-Square N of Valid Cases
2. Hubungan Antara Peluang Kerja Setelah Adanya Kota Bunga dan Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Chi-Square Tests Value ,a 30 a. No statistics are computed because PK is a constant.
Pearson Chi-Square N of Valid Cases
3. Hubungan Antara Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 4,485a 5,695 ,051
6 6
Asymp. Sig. (2-sided) ,611 ,458
1
,822
df
28 a. 10 cells (83,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,04.
105
LAMPIRAN 2. HASIL UJI STATISTIK CHI SQUARE 1. Hubungan Antara Peluang Usaha Setelah Adanya Kota Bunga dan Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Chi-Square Tests Value ,a 30 a. No statistics are computed because PU is a constant.
Pearson Chi-Square N of Valid Cases
2. Hubungan Antara Peluang Kerja Setelah Adanya Kota Bunga dan Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Chi-Square Tests Value ,a 30 a. No statistics are computed because PK is a constant.
Pearson Chi-Square N of Valid Cases
3. Hubungan Antara Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 4,485a 5,695 ,051
6 6
Asymp. Sig. (2-sided) ,611 ,458
1
,822
df
28 a. 10 cells (83,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,04.
Lampiran 3. Peta Desa Sukanagalih
106
107
Lampiran 4 Gambaran Tempat Fasilitas Pariwisata Kota Bunga
Salah Satu Taman Kota Bunga
Contoh Villa di Kota Bunga
108
Contoh Villa di Kota Bunga
Masterplan Kota Bunga
109
Lampiran 5. Jalan Penghubung Antara Kota Bunga dan Permukiman Penduduk
Pintu Kecil yang Menghubungkan Kota Bunga dan Kampung Muhara
Pintu Kecil Yang Menghubungkan Kota Bunga dan Kampung Cibengang
110
Terowongan Yang Disediakan Kota Bunga Untuk Masyarakat Menuju Jalan Utama Desa
Lampiran 6. Luas Kepemilikan Lahan Responden Sebelum dan Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga No. Responden 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Luas Lahan Kegunaan Lahan Lokasi (m 2) 200 Sawah Panoongan 100 Sawah Teureup 100 Sawah Singkup 400 Sawah Teureup 200 Rumah Panggung 800 Sawah Panoongan 200 Sawah Panggung 400 Sawah Panoongan 10.000 Sawah Singkup 100 Rumah Panggung 110.000 Sawah Panoongan 500 Sawah Panoongan 200 Rumah Panoongan 400 Sawah Panoongan 400 Sawah Singkup 10.000 Sawah Panoongan 10.200 Sawah Panoongan, Singkup 15.000 Sawah Panggung 20.100 Sawah Panoongan, Singkup 10.200 Sawah Panggung 350 Rumah, Sawah Panggung, Ciburial 10.000 Sawah Singkup 200 Sawah Panoongan 200 Rumah Singkup 5.000 Sawah Panggung 700 Sawah Panggung 500 Sawah Panggung 300 Sawah Panggung 10.000 Sawah Panggung 70.000 Sawah Panoongan, Teureup, Panggung, Singkup
Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota bunga Luas Lahan Kegunaan Lahan Lokasi (m 2) 400 Sawah Cibengang 300 Sawah Cinengah 300 Sawah Kananga 500 Sawah Cinengah 300 Rum ah Ciburial 900 Rumah, Sawah Cinengah 200 Sawah Cinengah 500 Sawah Cibengang 10.200 Sawah Kananga 100 Rumah Ciburial 70.000 Sawah Cibengang, Ciburial 500 Sawah Cibengang 370 Rumah Cibengang 500 Sawah Cibengang 800 Sawah Ciburial 10.000 Sawah Cibengang 10.000 Sawah Muhara 10.000 Sawah Kananga 15.000 Sawah Cibengang 10.000 Sawah Cibengang 400 Rumah, Sawah Ciburial 10.000 Sawah Cibengang 300 Sawah Cibengang 200 Rumah Ciburial 5.000 Sawah Kananga 500 Sawah Ciburial 10.000 Sawah Cibengang 500 Sawah Cibengang 20.000 Sawah Cibengang 10.000 Sawah dan Cibengang Tanam an Sayuran
111