KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN TEKS-TEKS RELASI GENDER DALAM ISLAM Oleh: Siti Zakiyah Abstract: The Religion (Islam ), is often justified as fortitude of gender -based violence . This condition becomes important to be clarified, so that mistakes can be rectified . In fact, not a”spirit” that actually reinforce religious -based violence gender, but the understanding of the religion that ultimately reinforce gender-based violence . For example, there are two types of texts Quran is “ as if “ mutually contradictory. First, verses which indicate the existence of a relation and equal rights between men and women and secondly, is the opposite . Misogynis hadith, which spread in various books of Hadith that has been “established “, and arguably almost never touched by the critics, is also often used as a justification for gender -based violence . While the book of Fiqh, regardless of the authenticity and validity, Islam —- in this case — Fiqh women admit that the price is half the price of the male . The implication, women are inferior and men are superior . So the content of books of Fiqh Women emphasized gender bias in interpretation understanding the texts of the Qur’an and Hadith. Kata Kunci: Kekerasan, Relasi Gender, Perempuan dan Teks -Teks Agama (Islam)
Pendahuluan Secara historis, adanya kekerasan adalah setua umur manusia itu sendiri. Kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki, perempuan, anak kecil maupun orang tua. Akan tetapi realitasnya, kekerasan lebih banyak menimpa anak-anak, terutama kaum perempuan. Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak-anak khususnya perempuan, menjadi topik sentral untuk segera dicari solusi dan akar penyebabnya. Menurut John Galtung, kekerasan adalah suatu kondisi sedemikian rupa sehingaga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Penulis juga lebih setuju dengan konsep kekerasan dalam arti luas, yaitu yang tidak hanya meliputi kekerasan dalam arti fisik (penganiayaan dan pembunuhan), akan tetapi juga meliputi kebohongan, indoktrinasi, ancaman, tekanan dan sejenisnya bahkan penelantaran yang dilakukan untuk menghasilkan akibat terhalangnya aktualisasi kemampuan potensial mental dan daya pikir seseorang. 1 Kekerasan terhadap perempuan yang selama ini terjadi, karena adanya relasi gender yang timpang yang menimbulkan perbedaan peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan. Pembenaran perbedaan peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan, pada akhirnya menimbulkan persoalan bias gender, yaitu suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat bahkan negara. Persoalan bias gender inilah yang pada akhirnya melahirkan relasi gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan sehingga terjadi diskriminasi, marginalisasi terhadap perempuan, subordinasi, stereotipe, beban ganda bahkan tindak kekerasan terhadap perempuan. Kembali pada topik awal, kekerasan berbasis gender identik dengan kekerasan terhadap perempuan. Para feminis berargumentasi, bahwa dalam masyarakat dengan kultur patriarkhi — yang menyebabkan adanya ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan——,95% kekerasan yang sering terjadi, 1. Marsana Windu, “Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Jhon Galtung, dalam Noeke Sri Wardana Persepsi Masyarakat BengkuluTentang Kejahatan”, Tesis, UNDIP, Semarang, 1995,hlm.70 Kekerasan Berbasis Gender dan Teks-Teks Relasi Gender dalam Islam (Siti Zakiyah)
115
korbannya adalah perempuan. Hal tersebut dipertegas oleh John Galtung bahwa, dalam realitasnya kekerasan bentuk apapun pasti melibatkan dua relasi yang tidak seimbang, yaitu ada pihak yang kuat sebagai pelaku dan yang lemah sebagai korban. Pengertian kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang terjadi karena keyakinan gender, yang mendudukan kaum perempuan lebih rendah dibandingkan laki—laki. Deklarasi CEDAW 1993, menegaskan bahwa: “kekerasan berbasis gender merupakan perwujudan ketimpangan historis dari pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh kaum laki-laki dan hambatan kemajuan bagi mereka”. Pernyataan ini sangat jelas memperlihatkan adanya ketimpangan gender yang telah melembaga dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat melalui penempatan posisi laki-laki sebagai pemegang otoritas dalam segala relasi antar manusia baik dalam ruang publik maupun domestik. Sedangkan menurut Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan menyebutkan bahwa, kekerasan berbasis gender adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan pasiologis termasuuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Kekerasan berbasis gender, juga sering dijustifikasi oleh pemahaman terhadap teks teks agama yang keliru, karena agama sering direinterpretasi dengan memakai idiologi patriakhat yang menyudutkan perempuan. Penafsiran yang tidak lepas dari tujuan si penafsir, akhirnya terlihat seolah-olah agama direduksi fungsinya tidak hanya sekedar sebagai alat legitimasi dalam mencapai tujuan hedonistik manusia (kekuasaan, materi dan status), akan tetapi mengklaim otoritas dirinya dengan “mempertuhankan” pendapatnya. Pembahasan A. Kekerasan Berbasis gender : Sebuah Acuan Teoritis 1. Pengertian, ruang lingkup dan bentuk kekerasan Secara etimologis, difinisi kekerasan dibagi dalam dua kategori, yaitu: pertama, secara sempit kekerasan adalah perbuatan yang berupa pemukulan, penganiayaan yang menyebabkan matinya atau cederanya seseorang (kekerasan fisik); kedua, kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik, akan tetapi dapat dilihat dari segi akibat dan pengaruhnya pada si korban. Kekerasan yang berdampak pada jiwa seseorang, seperti kebohongan, indoktrinasi, ancaman dan tekanan adalah kekerasan psikologis karena dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental atau otak. Sedangkan Mansour fakih, dengan bahasa yang sederhana menyatakan bahwa, kekerasan (violence) secara umum dapat diartikan sebagai suatu serangan terhadap fisik dan psikis serta integritas mental seorang Menurut John Galtung, kekerasan adalah suatu kondisi sedemikian rupa sehingaga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.. Penulis juga lebih setuju dengan konsep kekerasan dalam arti luas, yaitu yang tidak hanya meliputi kekerasan dalam arti fisik (penganiayaan dan pembunuhan), akan tetapi juga meliputi kebohongan, indoktrinasi, ancaman, tekanan dan sejenisnya bahkan penelantaran yang dilakukan untuk menghasilkan akibat terhalangnya aktualisasi kemampuan potensial mental dan daya pikir seseorang.2 Kekerasan berbasis gender identik dengan kekerasan terhadap perempuan. Para feminis berargumentasi, bahwa dalam masyarakat dengan kultur patriarkhi — yang menyebabkan adanya ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan——,95% kekerasan yang sering terjadi, korbannya adalah perempuan. Hal tersebut dipertegas oleh John Galtung bahwa, dalam realitasnya kekerasan bentuk apapun pasti melibatkan dua relasi yang tidak seimbang, yaitu ada pihak yang kuat sebagai pelaku dan yang lemah sebagai korban.Pengertian kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang terjadi karena keyakinan gender, yang mendudukkan kaum perempuan lebih rendah dibandingkan laki—laki. Deklarasi 2. Ibid
116
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
CEDAW 1993, menegaskan bahwa: kekerasan berbasis gender merupakan perwujudan ketimpangan historis dari pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh kaum laki-laki dan hambatan kemajuan bagi mereka. Pernyataan ini sangat jelas memperlihatkan adanya ketimpangan gender yang telah melembaga dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat melalui penempatan posisi laki-laki sebagai pemegang otoritas dalam segala relasi antar manusia baik dalam ruang publik maupun domestik. Sedangkan menurut Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan menyebutkan bahwa, kekerasan berbasis gender adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan pasiologis termasuuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Berangkat dari difinisi di atas, ruang lingkup kekerasan berbasis gender dapat dikategorikan dalam ranah domestik maupun publik. Kekerasan di ranah publik (publik violence), yaitu kekerasan yang dialami perempuan di luar rumah atau di masyarakat pada umumnya. Sedangkan kekerasan dalam ranah domestik (domestik Violence) yaitu kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender sebagaimana yang terdapat dalam pasal 2 UDHR, meliputi: pertama, kekerasan fisik, seksual dan psikologis dalam keluarga termasuk kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, pemerkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin, dan ekploitasi; kedua, kekerasan fisik seksual dan psiologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk pemerkosaan, penyalahgunaan, pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja dan lembaga-lembaga pendidikan, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa dan ; ketiga, kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara. Mansour Fakih mengelompokan bentuk kekerasan berbasis gender, antara lain: pertama, pemerkosaan terhadap perempuan termasuk dalam perkawinan. Pemerkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Misalnya ketakutan, malu, depresi dan lain lain; kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi di dalam rumah tangga termasuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak; ketiga, bentuk penyiksaan terhadaap organ alat kelamin (genital mutilation) misalnya, sunat perempuan dengan alasan mengontrol seks perempuan; keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran. Pelacuran adalah bentuk kekerasan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan; kelima, pornaografi. Perempuan dijadikan objek demi keuntungan ; keenam, kekerasan dalam bentuk sterelisasi KB, demi “mulus” target kontrol pertumbuhan penduduk; ketujuh, kekerasan ditempat kerja dan; kedelapan, pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment. 3 Sedangkan Iwan Hermawan, mengelompokan dalam: pertama, KDRT. Yaitu kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri baik fisik, ekonomi dan psikologis; perbedaan perlakuan anak laki-laki dan perempuan; kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki terhadap anggota keluarga perempuan; kedua, kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Biasanya sering terjadi pada pekerja perempuan. Misalnya, colekan iseng pada organ seksual perempuan; pembicaraan yang mengarah pada pornografi, ajakan tidak senonoh. Pelaku biasanya atasan dan teman kerja laki-laki ; ketiga, kekerasan dan pelecehan di tempat keramaian. Mencolek dan rayuan gombal dan ; keempat, kekerasan Media. Kekerasan ini terjadi misalnya pampangaan gambar seksi perempuan sebagai pemanis sajian berita. 4 Ninik Rahayu dan Eva Risan menambahkan bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam pacaran. 5
3. Mansour Fakih, Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren, Jakarta: Grasindo, 200, 78. 4. Iwan Hermawan, “Kedudukan dan Nilai Perempuan”, Makalah Seminar, Bandung, 2002, hlm.7. 5. Makalah Seminar “Kekerasan Berbasis Gender “, UNDIP, 2007.
Kekerasan Berbasis Gender dan Teks-Teks Relasi Gender dalam Islam (Siti Zakiyah)
117
2.
KDRT: Sebagai bentuk kekerasan berbasis gender Sebagai salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, yang menjadi korban KDRT sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Keyakinan gender yang telah dikontruksi oleh nilai-nilai patriarkhi, menghasilkan pola relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat dus suami –istri dalam kehidupan rumah tangga menjadi salah satu sebab terjadinya tindak KDRT. Menurut Elli Hasbianto, KDRT adalah suatu bentuk penganiayaan (abuse) baik secara fisk dan psikologis yang merupakan suaru cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Difinisi ini diperluas dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT Pasal 1 ayat 1, yang berbunyi: “ KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran, perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Sedangkan ruang lingkup tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut pasal 2 (1) UU NO. 23 tahunn 2004 tentang KDRT, meliputi : suami, istri, anak dan ; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga dan /atau; orang yang bekerja membantu rumah tangga serta menetap dalam rumah tangga tersebut. Dalam pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang Tindak KDRT, bentuk-bentuk tindak KDRT dikelompokan dalam: kekerasan fisik, psikologis, seksual dan penelantaran rumah tangga. Dalam pasal –pasal selanjutnya, dipertegas masing-masing bentuk kekerasan tersebut. 1) Kekerasan fisik adalah perbuuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (pasal 6); 2) Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa takut, hilangnya rasa percaya diri, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. (pasal 7); 3) Kekerasaan seksual adalah pemaksaan hubungan seks yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga atau pemaksaan hubungan seks terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial tertentu (pasal 8). Misalnya pemaksaan kawin pada anak perempuan; 4) Penalantaran rumah tangga adalah menelantarkan orang yang karena perjanjiannya wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut dan berlaku pada orang yang mempunyai ketergantungan secara ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut (pasal 9). Bisa dipaparkan secara rinci bahwa, bentuk-bentuk tindak KDRT meliputi: kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi (penelantaran rumah tangga). B. Teks-teks Relasi Gender dalam Islam 1. Melihat dari sisi teks-teks ayat Alquran Ada dua jenis teks-teks al Quran yang “seolah-olah” saling kontradiktif. Pertama, ayat yang berindikasi adanya relasi dan hak setara antara laki-laki dan perempuan dan ; kedua, adalah kebalikannya. Teks-teks yang mengandung pola relasi yang setara misalnya, Surat al Taubah ayat 71, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyerukan yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya” (QS. Al Taubah:71).
118
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
Secara lebih luas dalam surat Al Ahzab:35, Allah SWT berfirman yang artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan Islam, laki-laki dan perempuan beriman, laki-laki dan perempuan taat, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang mengingat Allah, dipersipakan ampunan dan pahala besar” (Q.S Al-Ahzab: 35). Bahkan dalam salah satu ayat penciptaan ada yang terkandung makna bahwa, antara laki-laki dan perempuan diciptakan dari satu living entety yang sama. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya kami telah menciptakan mereka (laki-laki dan perempun) dari tanah liat” (Ash-Shaffat 37:11). “Hai sekalian manusia, bertaqwalah pada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah…..” (QS. An Nisa :1) Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang secara jelas menyebutkan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara dan tidak ada yang dilebihkan antara satu dan lainnya. Akan tetapi, pandangan konservatisme tentang hubungan yang subordinat dalam pola relasi laki-laki dan perempuan juga mendapatkan pijakan yang jelas, karena secara eksplisit memberikan wacana superioritas laki-laki atas perempuan. Misalnya dalam Surat An Nisa dan al Baqarah: 228, yang artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka(lakilaki) atas sebagian yang lain (perempuan)….” (QS. An Nisa: 34). “ ….perempuan-perempuan yang kamu kwatirkan nusuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan pukulah mereka.” (Q.S An-Nisa : 34). “ ...kawinilah wanita-waita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat….” (QS. An Nisa :3) “ Dan bagi kaum perempuan(istri) hak yang sebanding dengan kewajibannya, akan tetapi laki-laki (suami) memiliki kelebihan satu tingkat daripada perempuan (istrinya)” (QS. Al Baqarah: 228). Ada juga teks yang berindikasi makna domestifikasi perempuan, misalnya: “ Dan hendaklah kamu(perempuan) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah…”.(Q.S Al Ahzab :33.) Beberapa ayat Alquran tentang penciptaan juga ada yang mengandung bias makna. Misalnya, surat an Nisa:1, Q.S.Al-Araf:189 dan Q.S Az-Zumar :6, yang artinya: “ Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya…”. (QS. An Nisa:1) “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang kepadanya….” (Q.S.Al-Araf:189). “Dia menciptakan kamu seoorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya …” (Q.S Az-Zumar:6). Menurut Yunahar Ilyas6, ayat-ayat penciptaan di atas potensial ditafsiran bias, karena tidak disebutkan secara jelas dan rinci proses penciptaannya. Dalam ayat tersebut hanya disebutkan bahwa dari padanya (adam) Dia menciptakan Istrinya(Hawa). 2.
Melihat dari sisi teks-teks Hadist Hadist adalah sumber otoritas kedua bagi umat Islam. Oleh karena itu, teks-teks Hadist mempunyai posisi penting dalam menafsirkan bahkan seringkali menentukan. Ironisnya, pola relasi laki-laki dan 6. Yunahar Ilyas, Op.Cit. hlm. 45 Kekerasan Berbasis Gender dan Teks-Teks Relasi Gender dalam Islam (Siti Zakiyah)
119
perempuan yang nampak dalam banyak Hadist selama ini, didudukan dalam posisi yang tidak setara, perempuan masih diposisikan secara subordinat. Hadist-hadist yang berindikasi memposisikan perempuan sebagai subordinat, disebut dengan Istilah Hadist misogini7. Teks Hadist yang misoginis sangatlah banyak dan menyebar dalam berbagai kitab Hadist yang sudah “mapan”, dan bisa dibilang hampir tak pernah tersentuh oleh kritik. Pandangan yang bias gender dan diyakini sebagai hukum agama, karena dinyatakan oleh teks-teks otoritatif secara eksplisit dan dengan demikian juga memilki tingkat sakralitas seperti agama, diantaranya: perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki; perempuan sebagai sumber fitnah; perempuan kurang akalnya; perempuan kurang agamanya; perempuan tidak boleh jadi pemimpin; seksualitas adalah milik mutlak laki-laki dan lainlain. Rusulullah bersabda: “ Aku tidak meninggalkan sesudahku satu fitnah yang lebih membahayakan laki-laki daripada perempuan” (HR. Bukhari). Dalam hadist ini perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, sehingga tidak boleh keluar rumah tanpa “mahram”. Implikasi dari hadist tersebut adalah: perempuan tidak boleh memakai parfum apabila bertemu dengan laki-laki yang bukan mahramnya; perempuan tidak boleh menduduki jabatan –jabatan publik dimana para laki-laki berkumpul, berhadapan dan berbincang. Rasulullah SAW bersabda: “….kaum perempuan diciptakan dari tulah rusuk yang bengkok. Jika kamu ingin meluruskannya, maka kamu akan memecahkannya, dan jika kamu membiarkannya maka ia akan tetap bengkok.”(HR. Bukhari). Kesan misoginis dari teks tersebut menggambarkan inferioritas perempuan dan superioritas laki-laki, jadi harus dipahami dalam pengertian majasi, bukan makna hakiki. Pemahaman yang keliru mengakibatkan ekses negatif terhadap eksistensi perempuan. Rasulullah bersabda: “Aku tidak pernah melihat wanita-wanita yang kurang akal dan agamanya dapat meluluhkan hati pria yang kokoh perkasa….” (HR. Bukhari). Hadist ini terkait erat dengan kepemimpinan perempuan. Rasulullah bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada perempuan” (H.R. Bukhari). Dalam teks-teks Hadist, kekerasan terhadap perempuan juga muncul dalam bentuk yang sangat krusial, yaitu ketika segala amal kebaikan perempuan dianggap gugur di hadapan Tuhan karena tidak mau dan /atau terlambat melayani kebutuhan seksuslitas suami. Diriwayatkan bahwa “seorang perempuan yang rajin sholat malam dan puasa, tetapi ketika suaminya mengajak ke ranjang, ia terlambat maka pada hari kiamat akan diseret dengan rantai bersama setan ke neraka yang paling dasar” Selanjutnya “ Apabila suami mengajak istrinya untuk tidur bersama kemudian ia tidak mau memenuhinya lalu suaminya marah terhadap istrinya pada malam itu, niscaya istrinya akan mendapatkaan kutukan malaikat sampai pagi” (HR. Bukhari Muslim). Bahkan ada Hadist yang menyatakan bahwa: “ Istri tidak boleh menghalangi permintaan suaminya sekalipun dipunggung unta. Tidak boleh berpuasa sunah tanpa seijin suami. Tidak boleh bersedekah tanpa seijin suami. Tidak boleh keluar rumah tanpa ijin suami dan apabila ia berbuat demikian maka Allah akan melaknatnya, sementara malaikat memarahinya sampai ia bertaubat dan pulang kembali sekalipun ‘suaminya itu zalim’” (HR . Abu Daud). Hal tersebut diperkuat dengan bunyi Hadist : “ andaikan ada seorang perempuan memiliki seluruh isi dunia ini, dan menafkahkan semua itu kepada suaminya, kemudian menyebut-nyebut jasanya dihadapannya, maka allah akan mengahpuskan pahala amalnya dan dia akan diikumpulkan bersama sama qarun” Hal yang sangat menarik adalah kata “sekalipun suaminya zalim”, karena suami sangat istimewa dalam Hadist tersebut, sehingga seakan-akan istri harus benar-benar patuh terhadap suami tanpa kecuali. 7. Misogini berasal dari kata Mis-ogynist yang berarti pula bater of women (kebencian terhadap perempuan). Hornby A.S, Oxford Anvanced Learner’s Dictionary of Current English, London: Oxfort University Press, 1983, hlm. 541. Lihat juga dalam Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm. 383. Pengertian Hadist misogini adalah Hadist yang mengandung pemahaman misogini, yaitu perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat-sifat yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW yang mengandung “pemahaman” kebencian terhadap perempuan dan bukan “menunjukan” rasa kebencian terhadap perempuan. Karena mustahil Rasulullah membenci perempuan. Septi Gumiandari,” Akar Pemahaman Misoginis Atas Hadist” dalam Jurnal Eqalita,Vol.5, No:2,PSG STAIN Cireboh, 2005. 165-1666.
120
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
Pertanyaannya adalah benarkah hal tersebut diperbolehkan karena posisi suami sangat diuntungkan? Bukankah kezaliman terhadap istri bertentangan dengan firman allah yang artinya “… dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik” (QS. An-Nisa: 19). Batas kepatuhan istri terhadap suami, juga diriwayatkan dalam Hadist lain, misalnya: Nabi bersabda: “ seandainya aku diperbolehkan menyuruh orang untuk bersujud kepada orang lain, pasti akan kusuruh wanitawanita untuk sujud kepada suaminya (HR. Ibnu majah, Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi. ) dan “ sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang shalihah. .. jika melihat dia mampu membahagiakannya, jika dia memerintahkan dia mentaatinya dan jika sedang tidak ada dia menjaga kehormatannya”. (Ibn Majah). Sebagaimana halnya teks-teks Alquran, ada teks-teks Hadist yang kontroversial dengan Hadisthadist di atas, yang melakukan pembelaan terhadap kaum perempuan. Misalnya: (1) “sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik dengan istrinya” (HR. Muslim) (2) ; “Janganlah kamu memukul kaum perempuan dan jangan bertindak kasar kepadanya (HR. Ibn Asakir) (3) ; “ Paling baik diantara kalian adalah yang paling baik dengan keluarganya dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku” (HR. Tirmidzi) dan (4) ; “Jika kamu hendak menggauli istrimu maka memulailah dengan rayuan dan ciuman”. (HR Ibnu majah) Dari dua kategori Hadist-hadist di atas, yang diperlukan sebenarnya adalah penafsiran ulang, sehingga tidak terjadi pemahaman yang keliru. Kekeliruan pemahaman menimbulkan akses yang lebih luas bagi eksistensi perempuan terutama dalam pola relasi gender. 3.
Melihat dari teks- teks Kitab Fiqh Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri—— dalam realitas masyarakat Islam Indonesia—, bahwa Fiqh merupakan referensi bagi pandangan dan sikab hidup keberagamaan masyarakat. Fiqh adalah hasil pemahaman kaum muslimin terhadap teks-teks Alquran dan Hadist-hadist Nabi. Fiqh, juga merupakan hasil refleksi atas kebudayaan dan peradaban. Jadi Fiqh merupakan produk nalar manusia atas persoalan hukum yang mengacu pada Alquran dan Hadist dengan mempertimbangkan perkembangan sosio – kultural yang melingkupinya. Dalam tradisi pesantren, Kitab Fiqh sebagai karya para ulama klasik (kutub al turats al qodimah) dipandang sebagai interprestasi para ulama atas sumber utama Islam : Alquran dan Hadist Nabi, saw. Oleh karena itu, memiliki otoritas keagamaan yang tinggi dalam memandu sekaligus membentuk tingkah laku keseharian masyarakat pesantren khususnya dan masyarakat muslim pada umumnya8 .Berbagai macam Fiqh perempuan yang menjadi sumber ajaran, misalnya: Uqud al Lujaini fi Bayan Huquq al Zawjain, karya Sheikh Nawawi Banten; Qurrah al’ Uyun, karya Abu Muhammad Maulana al Tihami; Qurrah al ‘Uyun karya Abd al Qodir Bafadhal dan; Adab al Mu’asyarah karya Ahmad bin Asmuni. Dari semua kitab tersebut yang menduduki tingkat popularitas tertinggi dan memiliki makna “sakralitas” tersendiri adalah Uqud Al Lujaini atau lebih dikenal dengan “kitab kuning”. Masih dalam wacana di atas, Kitab-kitab tersebut secara umum mengandung wacana-wacana bias gender. Beberapa contoh teks yang terdapat dalam kitab tersebut, misalnya: a. Tipe Istri yang salekhah. “ Wajib bagi istri menunduk malu dihadapan suami, tidak banyak melawan, menundukan paandangan matanya, patuh pada suami, diam ketika suaami bicara, berdiri ketika dia datang atau mau pergi, memperlihatkaan rasa cinta dan kegembiran kepadanya, menawarkan diri ketika mau tidur, menebarkan keharuman tubuhnya dan membersihkan mulutnya”. (Nawawi hlm.8 dan Asmuni hlm. 22). b.
Istri wajib menyerahkan tubuhnya pada suami. “ Seorang istri tidak boleh menolak memberikan tubuhnya pada suami, meski sedang berada di atas punggung unta (Nawawi, 8; Asmuni, hlm. 23). “ Kelupaan seorang istri telah menghabiskan malamnya untuk ibadah, siang untuk puasa, tetapi ketika suami mengajaknya ketempat tidur, dia terlambat memenuhinya, maka ia
8. Lihat dalam Abdul Rahman Wahid, Pesantren No.2. Vol II hlm.3 Kekerasan Berbasis Gender dan Teks-Teks Relasi Gender dalam Islam (Siti Zakiyah)
121
akan diseret, dibelenggu dan dikumpulkan bersama para setan lalu dimasukan ke neraka paling dalam” (Nawawi 8, 9, Asmuni,23 Tuhami, 17). c.
Tugas Istri adalah urusan domestik. “ Urusan tamu, politik, sosial kemasyrakatan dan ekonomi adalah urusan laki-laki. Suami berhak tidak memperkenankan perempuan untuk ikut campur di dalamnya, kecuali dibutuhkan. Sedangkan urusan kamar, dapur dan urusan kamar yang lain serta kerumah tanggan adalah urusan khusus perempuan. Dia berhak menolak campurtangan laki-laki kecuali diperlukan “(Asmuni, hlm. 10).
d.
. Istri dilarang keluar rumah tanpa seijin suami. “ Istri dilarang keluar rumah tanpa seijin suami. Jika dilanggar, maka ia akan dilaknat para malaikat, kecuali jika ia bertaubat, meskipun suami melarangnya tanpa alasan yang benar”. (Nawawi :9 dan Asmuni: 24).
e.
Suami boleh memukul Istri. “ Suami boleh memukul Istri kerena menolak berhias, diajak tidur, keluar rumah tanpa ijin suami, membuka wajahnya di hadapan laki-laki bukan mahram dan bercakap-cakap dengannya” (Nawawi: 5).
f.
Kerelaan Allah tergantung kerelaan suami. “ Allah tidak akan menerima sholat dan puasa seorang istri yang membuat marah suami sampai dia bertaubat dan kembali berbaik hati pada suami… karena tanda kerelaan ridha Allah kepada perempuan adalah jika suami ridha kepadanya” (Tihami, hlm. 18).
g.
Poligami sebagai ketetapan agama. “ Selama masih ada pernikahan maka talak akan tetap ada, demikian juga poligami. Ia akan tetap ada sepanjang kehidupan masih berlangsung, walau ada syarat-syarat tertentu. Atas dasar ini perempuan harus memahami dua ketentuan agama tersebut. Meyakini dua hal tersebut adalah bagian dari muhkamat al din (ketentuan agama), dan mengingkarinya dapat merusak akidah. “ (Asmuni, hlm. 13).
Dari kandungan beberapa Kitab Fiqh sebagaimana di atas, terlepas dari otensitas dan validitasnya, Islam— dalam hal ini adalah Fiqh—mengakui bahwa harga perempuan adalah separo harga laki-laki. Implikasinya, perempuan adalah inferior dan laki-laki adalah superior. Sehingga kandungan Kitab-kitab Fiqh Perempuan semakin mempertegas bias gender dalam pemahaman tafsir teks-teks Alquran dan Hadist . Penutup Kekerasan berbasis gender merupakan perwujudan ketimpangan historis dari pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh kaum laki-laki dan hambatan kemajuan bagi mereka. Teks teks Agama (Islam) juga ada yang bias sehingga sering dimaknai sebagai justifikasi kekerasan tehadap perempuan. Misalnya, ada dua jenis teks-teks al Quran yang “seolah-olah” saling kontradiktif. Pertama, ayat yang berindikasi adanya relasi dan hak setara antara laki-laki dan perempuan dan ; kedua, adalah kebalikannya. Hadist hadist misoginis, yang menyebar dalam berbagai kitab Hadist yang sudah “mapan”, dan bisa dibilang hampir tak pernah tersentuh oleh kritik, juga sering dijadikan sebagai justifikasi kekerasan berbasis gender. Sedangkan Kitab Fiqh, terlepas dari otensitas dan validitasnya, Islam— dalam hal ini adalah Fiqh— mengakui bahwa harga perempuan adalah separo harga laki-laki. Implikasinya, perempuan adalah inferior dan laki-laki adalah superior. Sehingga kandungan Kitab-kitab Fiqh Perempuan semakin mempertegas bias gender dalam pemahaman tafsir teks-teks Alquran dan Hadist 122
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA Abdul Rahman Wahid, Pesantren No.2. Vol II Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1987 Hornby A.S, Oxford Anvanced Learner’s Dictionary of Current English, London: Oxfort University Press, 1983, Iwan Hermawan, “Kedudukan dan Nilai Perempuan”, Makalah Seminar, Bandung, 2002 Marsana Windu, “Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Jhon Galtung, dalam Noeke Sri Wardana Persepsi Masyarakat BengkuluTentang Kejahatan”, Tesis, UNDIP, Semarang, 1995 Mansour Fakih, Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren, Jakarta: Grasindo, 2000 Septi Gumiandari,” Akar Pemahaman Misoginis Atas Hadist” dalam Jurnal Eqalita,Vol.5, No:2,PSG STAIN Cirebon, 2005
Kekerasan Berbasis Gender dan Teks-Teks Relasi Gender dalam Islam (Siti Zakiyah)
123