38
BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL
5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan yang semakin kompleks dan semakin tipisnya batasan antara kota dan desa menyebabkan proses transformasi ini semakin cepat sehingga berpengaruh terhadap pola pemilikan lahan yang ada di pedesaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian BAPPENAS-PSE-KP (2006) dalam Mardyaningsih (2010) yang menyebutkan bahwa proses dan mekanisme perubahan lahan di pedesaan merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor yang menentukan keputusan baik perorangan, kelompok maupun pemerintah melakukan perubahan kepemilikan lahan yang didorong oleh kekuatan eksternal (pasar, sistem administratif yang dikembangkan pemerintah dan kepentingan politik). Saat ini masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang berada di Kampung Sinar Resmi berada di Kawasan Tanaman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Bahkan sebagian besar hutan yang berada di sebelah selatan Gunung Halimun dianggap sebagai hutan adat masyarakat. Oleh karena itu sejarah penguasaan tanah di masyarakat Kampung Sinar Resmi tidak bisa terlepas dari keberadaan TNGHS sebagai pengelola kawasan pada saat ini. Menurut Pakpahan et al. (1992) dalam Mardyaningsih (2010) pemilikan lahan/status pemilikan lahan diartikan sebagai lahan yang dikuasai atau dimiliki oleh perorangan, sekelompok orang atau lembaga/organisasi. Hak milik ini pada umumnya secara formal dibuktikan dengan sertifikasi terhadap kepemilikan lahan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Jika sertifikat lahan belum ada minimal pemilik memiliki nomor girig atau diakui status kepemilikan berdasarkan kesepakatan tertentu. Dalam pengelolaan lahan pertanian terutama lahan pertanian padi sawah, belum tentu produksi pertanian dengan hasil pertanian yang cukup tinggi disebabkan oleh kepemilikan lahan yang luas. Dalam usahatani yang modern kadang-kadang petani tidak harus memiliki lahan sendiri namun dapat mengolah lahan dengan cara lain.
39
Pola pemilikan lahan pada masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi pada umumnya merupakan kepemilikan lahan komunal. Lahan pertanian maupun hutan yang menjadi penjamin nafkah hidup masyarakat merupakan lahan milik adat. Secara resmi sebagian besar lahan pertanian dan hutan (terutama) berada dalam kawasan TNGHS. Lahan-lahan pertanian yang lain merupakan lahan di luar kawasan namun dimiliki oleh adat, hanya sedikit yang merupakan milik individual. Pemilikan individual terutama berupa lahan-lahan yang dekat jalan besar yang jauh dari pusat kasepuhan. Salah satu ciri umum struktur dasar pertanian di Desa Sinar Resmi ialah satuan usaha tani rata-rata sangat kecil, yakni 0.19 hektar per rumahtangga, dan jumlah petani kecil sekitar 1316 rumahtangga. Proporsi usaha tani yang memiliki lebih dari 1 hektar hanya 4 persen. Berikut tabel yang menunjukkan penyebaran aset tanah di Desa Sinar Resmi: Tabel 6. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Pemilikan Tanah di Desa Sinar Resmi Tahun 2009 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Luas 221 14.37 Sedang 190 12.36 Sempit 448 29.15 Tunakisma 678 44.12 1537 100 Sumber: Desa Sinar Resmi, 2009
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa pemilikan tanah di Desa Sinar Resmi sangatlah terbatas. Sebanyak 44.12 persen merupakan masyarakat yang tunakisma. Hal ini dapat berdampak terhadap status mereka dalam pengusahaan lahan pertanian. Status masyarakat dalam pengelolaan dapat berbeda sesuai dengan akses yang dimiliki seseorang terhadap sumberdaya tanah. Tabel 7 menyajikan komposisi responden berdasarkan status garapan yang terdapat di masyarakat Kampung Sinar Resmi. Tabel 7. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Status Garapan di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Status Jumlah (n) Persentase Pemilik 2 6.4 Penggarap 4 13 Pemilik dan penggarap 25 80.6 31 100.0 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
40
Jumlah proporsi pemilik penggarap lebih besar dibandingkan hanya sebagai pemilik maupun hanya sebagai penggarap. Namun, dalam luasan yang dimiliki pada umumnya berada pada skala kecil seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 8: Tabel 8. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Pemilikan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Luas 6 19.3 Sedang 6 19.3 Sempit 14 45.2 Tunakisma 5 16.2 31 100.0 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Sebagian besar penduduk memiliki lahan di bawah 0,5 hektar. Hal ini menunjukkan walaupun masyarakat sebagian besar sebagai pemilik penggarap, namun luas yang dimiliki jumlahnya sedikit. Pemilikan tanah masyarakat yang terbatas mendorong berbagai kegiatan yang membuka akses petani terhadap tanah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan. Masyarakat yang berada di penguasaan lahan sempit sebesar 45.2 persen dengan rata-rata 0.13 hektar, penguasaan lahan sedang dengan rata-rata 0.4 hektar, dan penguasaan lahan luas dengan rata-rata 1.0 hektar. 5.2 Pola Penguasaan Lahan Pola penguasaan lahan dalam pertanian desa oleh Darwis (2008) dalam Mardiyaningsih (2010) diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap (bagi hasil) dan gadai. Pakpahan et al. (1992) dalam Mardiyaningsih (2010) mendefinisikan sewa, sakap, dan gadai sebagai bentuk penguasaan lahan dimana terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada orang lain. Pada masyarakat pedesaan ketiga bentuk penguasaan lahan tersebut pada umumnya mempunyai aturan tertentu yang disepakati maupun tanpa menggunakan jaminan surat-surat berharga yang secara formal disahkan oleh pemerintah (misalnya: sertifikat lahan). Masyarakat Kampung Sinar Resmi menguasai tanah melalui berbagai bentuk meliputi milik, sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai. Melalui bentuk-bentuk tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi yang pada
41
akhirnya dapat meningkatkan kedaulatan pangan masyarakat. Penguasaan tanah di Kampung Sinar Resmi dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Luas 7 22.6 Sedang 8 25.8 Sempit 16 51.6 31 100.0 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Penguasaan tanah masyarakat Kampung Sinar Resmi didominasi oleh penguasaan lahan sempit atau 0-0.25 hektar yakni 51.6 persen masyarakat berada dalam kategori tersebut. Masyarakat yang tidak memiliki tanah dapat menguasasi tanah pertanian dengan cara gadai, menyewa, dan menjadi buruh. Penguasaan lahan sempit mempunyai rata-rata luas sebesar 0.08 hektar. Sebagian besar dari kategori tersebut menambah luas garapan mereka dengan membuka huma di tanah gogolan atau lahan komunal dan menjalin hubungan kerja dengan masyarakat lain sesuai dengan ketentuan yang disepakati bersama seperti sewa, gadai, dan bagi hasil (maro). Penguasaan lahan sedang terdiri dari 25.8 persen masyarakat dengan penguasaan rata-rata 0.37 hektar sedangkan penguasaan lahan luas terdiri dari 22.6 persen dengan rata-rata 1.0 hektar. Pada masyarakat Kampung Sinar Resmi, kepemilikan tanah dapat berupa milik kasepuhan atau tanah komunal, tanah ini biasa dijadikan huma oleh masyarakat. Anggota komunitas mendapat hak untuk menguasai dalam hal ini sebagai pengelola lahan dimana anggota komunitas tersebut berhak untuk menggarap lahan komunal. Hak garap ini jika tidak sanggup dilakukan oleh satu keluarga dapat dialihkan kepada anggota komunitas yang lain dengan sistem bagi hasil (sakap) namun lahan-lahan ini tidak dapat diperjualbelikan dan menuruti aturan adat dalam pola pengelolaannya. Masyarakat yang ikut membuka lahan di huma diatur oleh hukum adat yakni dapat memiliki huma sebagai lahan pertanian tetapi tanah tersebut tidak boleh dijual. Tanah dapat diwariskan kepada keluarga yang ingin mengelola. Jika sudah tidak dapat mengelola maka pihak lain dapat menggunakan tanah tersebut. Melalui pengelolaan huma, maka masyarakat yang tidak memiliki tanah akan memiliki akses terhadap sumberdaya vital produksi sehingga dapat meningkatkan
42
kedaulatan pangan rumahtangga Kampung Sinar Resmi. Tabel 10 menyajikan data mengenai penguasaan huma di Kampung Sinar Resmi. Tabel 10. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Huma di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Tidak mengikuti 16 51.6 Luas 0 0 Sedang 0 0 Sempit 15 48.4 31 100 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Terlihat dalam Tabel 10 bahwa 48.6 persen penduduk mengelola huma serta mempunyai luas rata-rata 0.03 hektar. Sisanya tidak mengelola huma karena kondisi waktu yang terbatas untuk mengelola huma dan kondisi lainnya. Pada dasarnya kegiatan ngahuma merupakan suatu hal yang penting dalam perjuangan hidup mereka sebagai suatu kelompok sosial. Kegiatan ngahuma juga merupakan suatu tradisi untuk melanjutkan tatali paranti karuhun (tata cara nenek moyang). Masyarakat juga percaya bahwa huma merupakan wujud nyata hubungan masyarakat dengan alam. 5.3
Hubungan Struktur Penguasaan Tanah terhadap Kelembagaan Pangan Lokal Pola
pemilikan
lahan
dan
penguasaan
lahan
berkaitan
dengan
kelembagaan pangan dalam membangun kemampuan rumahtangga dalam mencukupi pangannya sendiri. Pada masyarakat pedesaan yang menggantungkan nafkahnya pada sektor pertanian, pola hubungan sosial ikut berubah seiring dengan perubahan pemilikan dan penguasaan lahannya. Dalam tulisan Sajogyo (1992) dalam Mardyaningsih (2010) dijelaskan bahwa modernisasi di pedesaan Jawa hanya menguntungkan petani-petani berlahan luas dan mendorong terjadinya akumulasi penguasaan lahan yang menyebabkan petani-petani kecil menjadi buruh di lahannya sendiri. Hal tersebut juga mendorong tersingkirnya perempuan dari sektor pertanian karena kemudian laki-laki yang tadinya petani di lahannya sendiri berubah menjadi buruh tani dan mengambil peran perempuan dalam sektor pertanian dikarenakan tidak adanya kesempatan kerja lain di
43
pedesaan dan dengan sendirinya tingkat ketergantungan perempuan perempuan dalam rumahtangga terhadap laki-laki meningkat. Kondisi tersebut belum terjadi pada masyarakat Kampung Sinar Resmi. Dalam pengelolaan lahan pertanian peran laki-laki dan perempuan relatif seimbang dan sama-sama dalam pengerjaan budidaya pertanian mulai dari persiapan lahan sampai proses pengolahan hasil panen. Meskipun demikian terdapat juga beberapa perbedaan jenis kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Terdapat aturan tertentu yang hanya memperbolehkan laki-laki atau perempuan saja yang mengerjakan suatu kegiatan budidaya pertanian. Dalam persiapan lahan sawah yang menggunakan bajak dan cangkul harus dilakukan oleh laki-laki. Begitu pula yang memberi doa dan pemilihan benih padi harus Abah sebagai ketua adat. Untuk menanam, memelihara tanaman (ngoret), memupuk dan memanen dapat dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Untuk menumbuk padi hanya diperbolehkan dilakukan oleh perempuan. Dari pembagian kerja tersebut, peran laki-laki dan perempuan cukup seimbang dalam bidang pertanian. Kelembagan lokal yang berkembang di masyarakat cukup baik antara pemilik lahan dan tenaga kerja di Kampung Sinar Resmi relatif seimbang. Polapola hubungan kerja yang dikembangkan masih berupa hubungan gotong royong dan tidak bersifat komersial. Pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di luar tenaga kerja rumahtangga atau keluarga, sistem yang digunakan adalah saling membantu dan bergiliran dalam mengerjakan lahan pertanian antara satu keluarga dengan keluarga yang lain (gilir balik tenaga kerja). Sistem membantu tersebut dinamakan sistem ngepak. Memanen di sawah orang lain dan menerima sebagian dari hasil panenan sebagai upah memanen merupakan kebiasaan di Desa Sinar Resmi. Pemanen menerima upah memanen 1/5 bagian (20 persen) dari hasil yang dipanen dimana setiap 5 pocong padi yang dihasilkan tenaga kerja yang memotong padi mendapat upah satu ikat. Ikatan-ikatan padi biasanya disimpan di sawah/huma selama satu bulan untuk proses pengeringan dengan ditutup daun patat. Setelah sekitar satu bulan dilakukan penggantian ikatan pada padi (di-pocong ulang). Pada saat penggantian tali pocong ini, biasanya dibantu tenaga kerja dari tetangga namun tidak memberikan upah, tetapi
44
hanya menyediakan makanan. Kegiatan ini biasa dilakukan bergantian antar rumahtangga tergantung ketersediaan waktu dari tenaga kerja yang dibutuhkan. Masyarakat yang datang membantu dengan niat untuk bekerja tidak dapat ditolak oleh pemilik sawah. Namun pemilik mempunyai hak untuk menentukan batas jumlah yang ikut, dan keputusan ini ditaati oleh warga yang ikut. Masyarakat di Kampung Sinar Resmi mengenal penguasaan tanah melalui sistem gadai yakni penguasaan tanah dimana seseorang dapat menguasai tanah dari pemilik asli berdasarkan kontrak. Pada umumnya masyarakat yang mempunyai tanah menggadaikan tanah karena membutuhkan sejumlah uang, jika menjual tanah dirasa kurang baik karena akan dapat membayar uang tersebut dalam waktu jangka pendek. Masyarakat yang terlibat dalam gadai dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Gadai Tahun 2011 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Tidak mengikuti 29 93.5 Luas 0 0 Sedang 0 0 Sempit 2 6.5 31 100 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Masyarakat yang terlibat dalam sistem gadai sangat sedikit, dari seluruh responden hanya 6.5 persen yang terlibat dalam sistem gadai dengan rata-rata penguasaan 0.1 hektar. Hal ini karena masyarakat masih memiliki hubungan yang sangat harmonis dan saling tolong-menolong sehingga masyarakat yang tidak mempunyai tanah dan modal bisa tetap menghasilkan padi. Apabila sawah sudah digadaikan, maka seluruh keputusan yang menyangkut penggarapan sawah tersebut, termasuk soal biaya faktor-input, dan tenaga kerja berada di tangan pemegang gadai. Begitu juga dengan pemungutan seluruh hasil sawah tersebut. Menguasai sebidang sawah melalui kontrak gadai, lebih baik dan lebih menguntungkan karena kekuasaan penggarapan dan pemungutan hasil seluruhnya di tangan pemegang gadai. Namun, tentu tidak semua orang bisa jadi pemegang gadai, diperlukan modal yang relatif besar untuk itu. Kontrak gadai selalu dimulai
45
dengan masalah kebutuhan uang yang mendadak dalam jumlah yang relatif besar dari pihak pemilik lahan, misalnya untuk membiayai kebutuhan mendadak. Karena tidak mempunyai harta lain, maka menggadaikan sawah merupakan pilihan jalan keluar yang terbaik dari kesulitan keuangan tersebut. sementara itu meminjam uang ke bank memerlukan prosedur yang panjang. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat lebih suka gadai daripada menjual. Pertama, menjual sawah dalam keadaan terdesak akan menurunkan harga sawah. Kedua, jumlah uang yang dibutuhkan jauh lebih kecil daripada harga sawah yang akan dijual. Ketiga, pemilik sawah mempunyai keyakinan bahwa dia akan dapat membayar hutangnya dalam waktu singkat. Sistem bagi hasil dikenal masyarakat Kampung Sinar Resmi dalam meningkatkan akses rumahtangga mencapai kedaulatan pangan. Sistem bagi hasil lebih dikenal di masyarakat Kampung Sinar Resmi dengan istilah maro. Dalam sistem maro pembagian hasil antara pemilik dan penggarap 50:50. Biasanya ada selisih jika dalam pengolahan lahan terdapat biaya lain seperti penyediaan pupuk dan lainnya. Maka untuk penghitungan hasil-biaya pembelian dikurangi terlebih dahulu sebelum dibagi rata. Hal ini sesuai dengan penuturan UG yang mengikuti sistem maro: “…kalo maro mah bagi padina dibagi dua, jadi setengah di yang punya tanah dan setengah lagi di yang ngerjain. Biasana hasil dikurangi dulu dengan ongkos-ongkos alat dan lainnya…” Umumnya yang melakukan kontrak maro adalah keluarga dekat. Kontrak maro dengan orang di luar keluarga dekat sangat jarang, namun bukan tidak mungkin. Kalau ada, maka kontrak ini dibuat dengan tetangga dekat, atau antara klien dan patron dimana sang patron adalah pemilik tanah. Kontrak maro yang dibuat antara anak-orang tua sebenarnya lebih merupakan bantuan kekerabatan daripada hubungan bisnis. Karena kontrak seperti ini lebih menguntungkan pihak pemaro (anak). Disini semua tenaga kerja berasal dari pemaro, faktor input seperti benih dan pupuk ditanggung bersama. Pengambilan keputusan penting dalam penggarapan, misalnya berapa jumlah pupuk berada di tangan pemaro. Namun pada masa awal kontrak, sang pemaro
46
sering berkonsultasi dengan pemilik lahan (orang tua) dan merupakan pelajaran bertani yang diberikan orang tua kepada anaknya. Dalam kontrak maro dengan orang lain, faktor input ditanggung pemaro. Karena reputasi pemaro sebagai petani sawah sudah dikenal baik oleh pemilik sawah, biasanya pengambilan keputusan dalam pengerjaan sawah juga diserahkan kepada pemaro. Dalam kenyataan, pemilik sawah dalam waktu tertentu perlu bertanya mengenai perkembangan usaha karena pemilik sawah juga peduli dengan jumlah produksi sawah tersebut. Penguasaan tanah melalui sistem maro di Kampung Sinar Resmi dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Maro Tahun 2011 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Tidak mengikuti 27 87 Luas 0 0 Sedang 1 3.3 Sempit 3 9.7 31 100 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Masyarakat yang terlibat dalam sistem maro sangat sedikit terbukti hanya 13 persen. Sebanyak 9.7 persen masyarakat menguasai luas lahan sempit dengan rata-rata 0.12 hektar dan sisanya berada di penguasaan lahan sedang dengan ratarata 0.28 hektar. Responden mengaku bahwa mereka terlibat sistem maro dengan keluarga mereka. Berikut pernyataan Bapak OM: “ …kalo abdi teh maro nya ama orang tua, biasana hasil panen dibagi dua. Orang tua ngasi aja tanah buat dikerjakeun, abdi ka sawah. Kalo panen hasil dikurangi biaya-biaya nyawah, baru dibagi dua…” Responden menyatakan bahwa sistem ini cukup menguntungkan karena hanya bermodalkan tenaga kerja. Biaya yang melingkupi produksi dan resiko ditanggung bersama. 5.4
Struktur Penguasaan Tanah dalam Membangun Kedaulatan Pangan Akses terhadap sumberdaya tanah merupakan salah satu indikator
kedaulatan pangan. Akses yang merata dan adil akan mendorong masyarakat
47
untuk meningkatkan kedaulatan pangan. Masyarakat yang mempunyai tanah tidak mempunyai masalah dalam mengusahakan pertanian namun menjadi masalah ketika terdapat masyarakat tidak mempunyai tanah. Pada dasarnya masyarakat mempunyai akses terhadap tanah komunal yang ketentuan pengelolaannya juga diatur oleh adat setempat. Masyarakat dapat membuka
tanah
untuk
dijadikan
huma
kemudian
mengolahnya
untuk
menghasilkan padi. Namun, tidak semua masyarakat ikut dalam mengelola huma seperti yang terlihat pada Tabel 10. Hal tersebut dikarenakan oleh terbatasnya alat produksi dan jarak yang jauh untuk bisa mencapai lokasi huma. Selain itu, ngahuma juga menghasilkan padi yang sedikit sehingga membuat petani yang tidak mempunyai tanah lebih memilih untuk menjadi penggarap di tanah orang lain. Masyarakat dapat menguasai tanah baik melalui milik, sewa, bagi hasil, ataupun gadai. Masyarakat yang tidak dapat mengakses sumberdaya tanah sebagai lahan pertanian dapat memenuhi kebutuhan dengan menjadi pekerja untuk orang lain. Seperti salah seorang penduduk yang memenuhi kebutuhan pangan seharihari diperoleh dari hasil membantu Abah atau masyarakat yang membutuhkan tenaga kerja. Berikut pernyataan RS mengenai kondisi pemenuhan kebutuhannya: “ …abdi tidak punya tanah, tapi dapat padi dari Abah atau masyarakat yang butuh bantuan tenaga kerja. Abdi bekerja di Abah mengurus leuit-nya dan dapat memperoleh padi dari leuit. Abdi bisa ambil sendiri, Abah mah percaya…” Pernyataan responden di atas menggambarkan hubungan saling tolong menolong di masyarakat. Masyarakat yang tidak memiliki tanah dapat bekerja pada orang lain yang membutuhkan atau hanya sekedar membantu panen. Hal tersebut
sangat
berpengaruh
terhadap
peningkatan
kedaulatan
pangan
rumahtangga yang kurang mampu mengakses sumberdaya. Selain itu, rasa saling percaya juga sangat kuat dalam berhubungan dengan masyarakat terlihat dari rasa percaya Abah kepada orang yang membantunya untuk mengambil sendiri padi yang dibutuhkan .
48
5.5
Ikhtisar Kampung Sinar Resmi merupakan kampung yang masyarakatnya sebagian
besar hidup dari usaha pertanian. Salah satu faktor penting dalam pengusahaannya yakni tanah. Tanah sebagai sumberdaya vital dalam proses produksi. Oleh karena itu, struktur penguasaan tanah yang berkembang sangat penting untuk mengetahui kemampuan rumahtangga dalam mencapai kedaulatan pangan. Sebagian besar rumahtangga merupakan petani pemilik penggarap. Namun, luasan yang mereka miliki rata-rata kecil yakni kurang dari 0.25 hektar per rumahtangga. Rumahtangga yang tidak memiliki tanah dapat menggarap tanah dengan cara memperolehnya dari orang lain melalui sewa, sakap, dan gadai. Cara tersebut membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu masyarakat juga bisa mengelola huma di tanah komunal yang pengaturannya diatur oleh adat. Dalam membangun kedaulatan pangan akses tanah sangat penting, sebagian masyarakat di Kampung Sinar Resmi dapat mengakses tanah. Untuk masyarakat yang kurang dapat memenuhi kebutuhan pangannya melalui hubungan saling tolong-menolong untuk dapat memenuhi kebutuhan.