i
STRUKTUR PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT DAN UPAYA MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)
RAHMAD SALEH I34070008
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
ABSTRACT RAHMAD SALEH. Community’s Land Tenure Structures and Effort to Built Food Sovereignity: A case study in Village Sinar Resmi, Subdistrict Cisolok, District Sukabumi, West Java Province (Under the Supervision of Heru Purwandari). The aim of this research are to analyze how the connection of the land tenure structure to build food sovereignty and to analyze how the local community realized their food sovereignty. This research is done at village Sinar Resmi, subdistrict Cisolok, district Sukabumi, West Java province with focus land tenure structure of agriculture. This research is done with fuse two approach, quantitative and qualitative. The quantitative data were collected by using survey method on 31 sample. The sample were selected by using stratified random sampling based on their land tenure. The qualitative data were collected by indepth interview, Focus Group Discussion and observation. The respondent were selected by using snowball method. Result from this research unfolds that found connection land tenure structure to build food sovereignty. It realized by way of local food institution to bring it possible.
Keyword: Food Sovereignty, Land Tenure, Food Institution
ii
RINGKASAN RAHMAD SALEH. I34070008. STRUKTUR PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT DAN UPAYA MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN, Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. (Dibawah Bimbingan HERU PURWANDARI). Masyarakat Kampung Sinar Resmi merupakan masyarakat pertanian dimana tanah merupakan bagian yang penting. Tanah bukan hanya sebagai tempat memproduksi bahan pangan, tetapi juga menjadi dasar kehidupan sosial. Penguasaan tanah akan mempengaruhi bagaimana masyarakat menciptakan kemandirian pangan. Konsep kemandirian ini tergambar dalam “kedaulatan pangan” yang memprioritaskan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tercapainya kedaulatan pangan membutuhkan struktur penguasaan tanah yang merata dan adil. Satuan usaha pertanian di masyarakat Kampung Sinar Resmi rata-rata sangat kecil. Hal ini berdampak pada status mereka dalam pengusahaan lahan pertanian. Status masyarakat dalam pengelolaan dapat berbeda sesuai dengan kemampuan mengakses tanah. Proporsi petani pemilik penggarap lebih besar, namun luasan yang dimiliki sebagian masih sedikit. Sebagian besar masyarakat Kampung Sinar Resmi memiliki tanah kurang dari 0.25 hektar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh struktur penguasaan tanah masyarakat yang pada umumnya sempit dalam upaya membangun kedaulatan pangan serta menganalisis strategi masyarakat Kampung Sinar Resmi dalam membangun kedaulatan pangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survai menggunakan
kuesioner
serta
pendekatan
kualitatif
dengan
wawancara
mendalam. Penentuan responden dilakukan dengan teknik stratified random sampling. Bentuk–bentuk penguasaan tanah yang berkembang di masyarakat yaitu milik, sewa, sakap, dan gadai. Masyarakat dapat juga mengelola lahan komunal yang dijadikan huma sebagai sumber bahan pangan rumahtangga. Dalam proses pengelolaan huma maupun sawah diatur dalam adat Kasepuhan Sinar Resmi.
iii
Pola penguasaan lahan berkaitan dengan kelembagaan pangan lokal dalam membangun
kemandirian
rumahtangga.
Pada
masyarakat
Kasepuhan,
kelembagaan pangan lokal berperan besar dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Hal tersebut dapat dilihat peran leuit yang besar bagi masyarakat. Leuit bukan hanya sebagai tempat menyimpan hasil pertanian saja tetapi juga sebagai jaminan pangan rumahtangga. Proses pengusahaan pertanian juga memperhatikan peran wanita. Kegiatan pertanian memberikan tugas-tugas yang seimbang kepada wanita sehingga peran dalam pembangunan cukup besar. Masyarakat lokal juga menentukan arah kemandirian yang berkelanjutan. Masyarakat lokal secara tradisional memiliki peraturan yang menjaga kelestarian lingkungan sehingga sumberdaya tetap terjaga dari kerusakan. Pada akhirnya, masyarakat lokal dengan penguasaan tanah yang adil akan membangun kedaulatan pangan yang berkelanjutan.
iv
STRUKTUR PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT DAN UPAYA MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)
RAHMAD SALEH I34070008
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
v
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa
: Rahmad Saleh
NRP
: I34070008
Program Studi
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul
: Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Heru Purwandari, SP, M.Si NIP. 19790524 200701 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S NIP: 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian:
vi
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI PENELITIAN YANG
BERJUDUL
“STRUKTUR
PENGUASAAN
TANAH
MASYARAKAT DAN UPAYA MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN (KASUS
KAMPUNG
SINAR
RESMI,
DESA
SINAR
RESMI,
KECAMATAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA.
Bogor, Oktober 2011
RAHMAD SALEH I34070008
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Rahmad Saleh, dilahirkan di Panyabungan tanggal 26 Nopember 1988 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Sukri Harahap dan Salmah Siregar. Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 3 Panyabungan tahun 1995-2001. Kemudian menempuh pendidikan di SMP Negeri 1 Panyabungan tahun 2001-2004 dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Padangsidimpuan tahun 2004-2007. Penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2007 dan diterima sebagai mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selain itu, penulis mengambil minor Pengembangan Usaha Agribisnis di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yakni Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) FEMA IPB 2008-2010. Selain itu penulis juga termasuk dalam anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Mandailing Natal (IKMAMADINA-Bogor) dan aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan serta lomba karya tulis ilmiah seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
viii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta kenikmatan yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan Judul “STRUKTUR PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT DAN UPAYA MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini adalah menganalisis pengaruh penguasaan tanah yang berkembang di masyarakat terhadap kondisi pangan lokal, serta menganalisis masyarakat Kampung Sinar Resmi dalam membangun kedaulatan pangan lokal yang sebagaimana masyarakat tersebut hidup dalam pertanian yang subsisten. Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya pihak yang terkait dengan penelitian ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan petunjukNya kepada kita semua. Bogor, Oktober 2011
Penulis
ix
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih pertama kali penulis tujukan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat yang dianugerahkan kepada penulis serta kepada Nabi besar Muhammad SAW sang penuntun manusia menuju jalan terang. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada: 1.
Ibunda Salmah Siregar dan Ayahanda Sukri Harahap yang mencintai dengan luar biasa serta memberi dukungan buat penulis.
2.
Heru Purwandari, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis hingga skripsi ini diselesaikan.
3.
Adik penulis Hesty Arianna Harahap dan Yulia Afsari Harahap yang telah mendukung penulis, I love you so much.
4.
Evy Syafrina Harahap yang selalu mengingatkan penulis untuk tugas akhir dan memberikan dukungan yang luar biasa. Mora Aliwardi - bere, yang telah mendukung tuang.
5.
Titania Aulia yang bersama penulis dalam kegiatan bimbingan.
6.
Bagus Rudiono, Ali Sulton, Salman Alfaris, Trimarlita, Hirma Azmawati, Amanda Anggraeni yang telah berjuang bersama dengan penulis.
7.
Dani Ratmoko, Andra D, Mia C, Anis yang telah banyak membantu di lokasi penelitian.
8.
Pak Amil, Abah Asep dan Pak Omid yang banyak memberikan bantuan dan pengetahuan mengenai lokasi penelitian
9.
Andi Siregar, Royhan, dan Abdul Husein yang telah memberikan semangat.
10.
Teman-teman KPM44 yang telah berjuang bersama dengan semangat dan saling berbagi di LSI dan di manapun.
Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan kerjasama selama ini.
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI……………………………………………………………….
x
DAFTAR TABEL………………………………………………………….
xii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….
xiv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
xv
I. PENDAHULUAN………………………………………………………..
1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………….. 1.2 Perumusan Masalah………………………………………………... 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………... 1.4 Kegunaan Penelitian……………………………………………….. II. PENDEKATAN TEORITIS…………………………………………...
1 3 4 4 5
2.1 Tinjauan Pustaka…………………………………………………... 2.1.1 Kedaulatan Pangan…….…………………………………… 2.1.2 Penguasaan Tanah……..……………………………………. 2.1.2.1 Sewa………………………………………………..….. 2.1.2.2 Hak Gadai………………………...…………………… 2.1.2.3 Bagi Hasil……………………………………………… 2.1.3 Sistem Pemilikan Tanah……………………………………. 2.1.4 Lapisan Sosial Masyarakat…………………………………. 2.1.5 Konsep Kelembagaan: Persfektif Kelembagaan……………. 2.1.6 Konsep Kelembagaan Pangan……………………………… 2.1.7 Lumbung Pangan…………………………………………… 2.2 Kerangka Pemikiran ...…………………………………………….. 2.3 Hipotesis Penelitian..………………………………………………. 2.4 Definisi Konseptual………………………………………………... 2.5 Definisi Operasional.……………………………………………… III. PENDEKATAN LAPANG ……………………………………………
5 5 6 7 8 8 10 10 12 13 15 16 18 18 19 21
3.1 Lokasi dan Waktu…….………………………………..…………... 3.2 Metode Penelitian………………………………………………….. 3.3 Teknik Pengambilan Sampel….…………………………………… 3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data…………………………... IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN………………………
21 21 21 23 26
4.1 Profil Desa…………………………………………………………. 4.1.1 Kondisi Topografi…………………………………………….. 4.1.2 Kondisi Demografi.…………………………………………… 4.2 Profil Kasepuhan Sinar Resmi..…………………………………… 4.2.1 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi……………………………… 4.2.2 Gambaran Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi……………… 4.3 Struktur Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi..…….. 4.4 Aturan Adat, Sanksi, dan Monitoring terhadap Aturan….………... V. STRUKTUR PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT SINAR RESMI…………………………………………………………….…....
26 26 27 30 30 32 33 35 38
xi
5.1 Pola Pemilikan Lahan………………………………………….…... 5.2 Pola Penguasaan Lahan…………….……………………………… 5.3 Hubungan Struktur Penguasaan Tanah terhadap Kelembagaan Pangan Lokal……………………………………………………… 5.4 Struktur Penguasaan Tanah dalam Membangun Kedaulatan Pangan……………………………………………………………. 5.5 Ikhtisar…………………………………………………………….. VI. MENUJU KEDAULATAN PANGAN MASYARAKAT KAMPUNG SINAR RESMI………………………………………………………..
38 40
6.1 Karakteristik Kedaulatan Pangan……….…………………………. 6.2 Sistem Pertanian Lokal…………………………………………….. 6.3 Pertanian Agro-ekologis…………………………………………… 6.4 Lumbung Pangan (leuit): Jaminan Pangan Masyarakat…..……….. 6.5 Kontrol Komunitas atas Sumberdaya Produktif………...………… 6.4 Ikhtisar…………………………………………………………….. VIII. PENUTUP……………………...……………………………….……
49 49 56 59 61 65 67
8.1 Kesimpulan………………………………………………………... 8.2 Saran……………………………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...
67 67 69
LAMPIRAN………………………………………………………………..
71
42 46 48 49
xii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Rincian Metode Pengumpulan Data……………………………….
24
Tabel 2.
Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga (KK) menurut Jenis Kelamin di Sinar Resmi Tahun 2009……………………………… 27
Tabel 3.
Jumlah Penduduk menurut Tingkat Usia, Kelompok Pendidikan, dan Kelompok Tenaga Kerja di Desa Sinar Resmi Tahun 2009….. 28
Tabel 4.
Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian di Desa Sinar Resmi Tahun 2009…………………………………………………..……. 28
Tabel 5.
Penggunaan Lahan di Desa Sinar Resmi Tahun 2009..……………
Tabel 6.
Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Pemilikan Tanah di Desa Sinar Resmi Tahun 2009………………………………….. 39
Tabel 7.
Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Status Garapan di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011.……………..………………... 39
Tabel 8.
Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Pemilikan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011…………………………..… 40
Tabel 9.
Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Penguasaan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011..……………………. 41
29
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Penguasaan Huma di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011………………….….. 42 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Gadai Tahun 2011...…………………………. 44 Tabel 12. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Maro Tahun 2011……..………………........... 46 Tabel 13. Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Huma menurut Bulan dan Pelaksana di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011………………… 50 Tabel 14. Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Sawah menurut Bulan dan Pelaksana di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011…………………. 51 Tabel 15. Jumlah Padi yang Dihasilkan Responden menurut Luas Penguasaan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011………... 54
xiii
Tabel 16
Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Penguasaan Tanah dan Jumlah Leuit yang Dimiliki di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011………………………………………………………... 59
Tabel 17. Rata-rata Jumlah Padi yang Diberikan ke Leuit Sijimat di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011……………………………….. 61 Tabel 18
Jenis Padi Lokal yang Digunakan menurut Jenis Lahan di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011……………………………….. 63
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka Pemikiran………………………………………………… 18 Gambar 2. Gambaran Populasi dan Sampel.……………………………………. 23 Gambar 3. Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi………………. 33
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Peta Desa Sinar Resmi………………………………………….. 72 Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian………………………………………… 73
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Globalisasi “neoliberal” menyebabkan kondisi dimana 105 dari 149 negara
miskin dunia ketiga menjadi pengimpor pangan bersih, ini berarti negara-negara tersebut tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk memproduksi pangannya sendiri. Kebijakan-kebijakan neoliberal merusak kedaulatan pangan karena lebih mementingkan perdagangan internasional daripada hak-hak rakyat atas pangan. Kebijakan-kebijakan ini justru hanya meningkatkan ketergantungan rakyat pada impor agricultural dan mengintensifkan peng-korporatisasian pertanian (Malonzo, 2007). Prinsip dan strategi neoliberal untuk mencapai tujuan ketahanan pangan yang telah dijalankan oleh institusi-institusi multilateral seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan World Trade Organization (WTO) menyebabkan semakin buruknya kondisi pangan di daerah-daerah pedesaan. Institusi-institusi tersebut mengharuskan suatu negara untuk menerapkan kebijakan perdagangan, makroekonomi, dan sektoral yang melemahkan daya hidup petani-petani kecil. Rekonseptualisasi ketahanan pangan ini pada akhirnya hanya menguntungkan negara-negara dan perusahaan-perusahaan paling kuat yang terlibat dalam perdagangan dan investasi pangan juga agribisnis. Kebijakan perdagangan neoliberal ini membanjiri pasar-pasar lokal dengan bahan-bahan pangan impor murah karena adanya praktek dumping yang menyebabkan petani lokal tidak mampu bersaing. Pertanian kapitalis yang identik dengan industrialisasi sering menganggap sumberdaya seperti tanah merupakan input produksi yang harus digunakan sebesar mungkin untuk memperoleh keuntungan. Pertanian di bawah pengelolaan diasumsikan berpotensi menghasilkan produksi yang maksimal sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Pada kenyataannya, pertanian seperti ini tidak efektif untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sumberdaya seperti tanah justru rusak karena tidak memperhatikan keberlanjutannya. Selain itu timbul masalah seperti perebutan tanah dan pudarnya kearifan lokal. Berbeda dengan pertanian
2
yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang secara tradisional memandang tanah secara spiritualistik dan sakral. Bagi masyarakat lokal, tanah bukanlah sekedar suatu sumberdaya produksi, suatu habitat, atau batas politik. Tanah memiliki makna lebih dari itu. Tanah merupakan basis bagi organisasi sosial, sistem ekonomi, dan identifikasi kultural masyarakat (Vicente; Carino dalam La via Campesina, et.al, 2008). Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduk berorientasi pada pertanian, tanah merupakan sumberdaya yang sangat penting (Tjondronegoro, 1999). Tanah merupakan faktor utama dalam kedaulatan pangan. Sifat tanah relatif tidak bertambah, sementara kebutuhan tanah untuk keperluan pangan semakin meningkat. Seiring dengan hal tersebut akan menimbulkan kompetisi di masyarakat untuk menguasainya. Penguasaan atas tanah mempengaruhi hubungan manusia dengan ketersediaan pangan karena tanah merupakan sumberdaya yang berhubungan dengan produksi. Ketimpangan dalam penguasaan tanah akan mempengaruhi kemampuan produksi. Peningkatan produksi pertanian terutama pangan, sangat diharapkan untuk mencapai kondisi yang dapat meningkatkan kualitas hidup. Praktek penguasaan tanah yang berkembang di masyarakat akan menunjukkan bagaimana masyarakat akan membangun kedaulatan pangan. Penguasaan tanah yang merata memberikan kesempatan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya guna mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan. Sebaliknya, penguasaan yang timpang akan membawa masyarakat pada kondisi yang tidak mandiri pangan. Bahkan, akan menjadikan banyak konflik yang meluas. Brazil merupakan contoh negara berkembang yang berhasil dalam pertanian dengan mengorganisir masyarakat tak bertanah untuk memiliki tanah yang kemudian mengolahnya dengan skala kecil. Secara total, usaha pertanian keluarga menyumbang sekitar 40 persen dari total nilai produksi secara nasional, meski hanya memiliki 30.5 persen lahan pertanian. Usaha-usaha pertanian tersebut mempekerjakan 76.9 persen dari jumlah tenaga kerja di bidang pertanian, meski hanya mendapatkan 25.3 persen dari total pertanian (Pengue dalam La Via Campesina, 2008).
3
Usaha mencapai kedaulatan pangan yang hakiki perlu memperhatikan kelembagaan yang berkembang di masyarakat terutama yang berkaitan dengan pengaturan pangan. Melalui kelembagaan inilah pihak-pihak yang terkait dapat berinteraksi dan bersama-sama mencari solusi atas masalah yang muncul di masyarakat. Masyarakat Kampung Sinar Resmi merupakan masyarakat yang berada di wilayah Desa Sinar Resmi. Masyarakat Kampung Sinar Resmi pada umumnya merupakan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Kelembagaan lokal yang berkembang di masyarakat mengarahkan masyarakat kepada pola-pola tertentu. Masyarakat ini hampir seluruhnya bergantung pada pertanian. Pertanian yang berkembang masih bersifat tradisional baik pengolahan maupun pengaturannya. Dalam setahun masyarakat kasepuhan hanya mempunyai siklus panen sekali. Pola pertanian demikian berangkat dari pandangan tradisional bahwa tanah diasosiasikan sebagai ibu yang dihargai; yang hanya dapat melahirkan sekali dalam setahun. Namun, pada masa paceklik masyarakat kasepuhan dapat bertahan dari kondisi kekurangan pangan. Kemampuan bertahan dalam siklus panen demikian menunjukkan bahwa terdapat mekanisme pengembangan sistem kedaulatan pangan. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, diketahui Kampung Sinar Resmi mempunyai
siklus panen satu kali setahun. Namun masyarakat bisa mencukupi kebutuhan pangan rumahtangga selama satu tahun. Hal tersebut tidak lepas dari peran kondisi penguasaan tanah dan strategi masyarakat dalam membangun kedaulatan pangan. Penguasaan tanah masyarakat di Kampung Sinar Resmi rata-rata kurang dari 0.25 hektar. Kondisi ini menyebabkan produksi pangan lokal sangat rentan ketika musim paceklik. Penting untuk dilihat bagaimana keterkaitan struktur penguasaan tanah dengan kemampuan komunitas membangun sistem kedaulatan pangan. Secara khusus pertanyaan penelitian yang diajukan yaitu: 1.
Bagaimana sistem penguasaan tanah yang kurang dari 0.25 hektar dapat menghasilkan kedaulatan pangan.
4
2.
Bagaimana strategi masyarakat Sinar Resmi membangun kedaulatan pangan.
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan penelitian yakni:
1.
Mendeskripsikan pengaruh struktur penguasaan tanah yang kecil dalam membangun kedaulatan pangan.
2.
Menganalisis strategi masyarakat Sinar Resmi dalam membangun kedaulatan pangan.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1.
Menambah wawasan serta ilmu pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji secara ilmiah mengenai struktur penguasaan tanah dalam membangun kedaulatan pangan
2.
Menambah literatur bagi kalangan akademisi dalam mengakaji hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan pangan dan upaya untuk mencapainya di masyarakat
3.
Acuan dalam pelaksanaan pembangunan bagi kalangan non akademisi, seperti masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan kedaulatan pangan masyarakat.
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 2.1.1
Tinjauan Pustaka Kedaulatan Pangan Konsep kedaulatan pangan ini dikembangkan oleh La Via Campesina et
al. (2008) yang menjelaskan bahwa kedaulatan pangan memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk mendukung ketersediaan bahan pangan untuk masyarakat. La Via Campesina menjelaskan kedaulatan pangan merupakan hak asasi manusia. Kedaulatan pangan mensyaratkan reforma agraria yang berkaitan dengan hak atas pangan yang mencukupi dan hak atas tanah. Kedaulatan pangan adalah hak masyarakat dalam menetapkan kebijakan pertanian dan pangannya. Kedaulatan pangan mencakup (Bonnie, 2003): 1.
2.
3. 4. 5.
Memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk memberi makan rakyat, akses petani dan tunakisma atas tanah, air benih, dan kredit. Karena itu perlu menjalankan land reform, akses atas benih, dan melindungi air sebagai barang publik untuk didistribusikan berkelanjutan. Hak petani untuk memproduksi makanan dan hak konsumen untuk menentukan apa yang dikonsumsi, bagaimana diproduksi dan siapa yang memproduksi. Harga pertanian terkait dengan biaya produksi, misalkan dengan mengenakan pajak atas impor berlebihan yang murah. Rakyat ikut serta dalam penentuan pemilihan kebijakan pertanian. Pengakuan atas hak-hak petani perempuan, yang memegang peran utama dalam produksi pertanian dan pangan. Kedaulatan pangan mempunyai fokus pada beberapa elemen kunci.
Elemen tersebut meliputi produksi pangan untuk pasar domestik dan lokal serta memanfaatkan usahatani petani kecil dan keluarga yang agro-ekologis, menjamin akses tanah dan sumber-sumber daya yang vital, menjamin terciptanya harga yang adil, menghormati peran wanita dalam produksi pangan, akses atas sumberdaya, mendorong kontrol komunitas atas sumberdaya produktif, dan melindungi benih dari pematenan. Jaminan kepemilikan lahan dan/atau mendapatkan akses merupakan suatu yang vital untuk menciptakan keterjaminan pangan tanpa jaminan dan/atau hak tersebut, sulit untuk mengalokasikan sumberdaya untuk mencapai kedaulatan
6
pangan. Langkah yang tepat untuk mencapai hal tersebut adalah melalui reforma agraria yang tepat yang berwatak distribusi merata serta peraturan-peraturan hakhak yang sesuai dengan sosio-kultural masing-masing. 2.1.2
Penguasaan Tanah Distribusi penguasaan tanah di kalangan rumahtangga petani di pedesaan
akan membentuk pola penguasaan tanah. Maksud penguasaan tanah adalah luas tanah yang dikuasai mengacu pada penguasaan yang efektif (bukan pemilikan tanah yang sebenarnya), berdasarkan hak milik, menyakap, menyewa, dan bagi hasil (Wiradi, 2008). Menurut Wiradi, penyewa adalah rumahtangga petani yang menguasai tanah orang lain dengan sewa tetap, sedangkan penggarap adalah penguasaan tanah oleh rumahtangga tidak hanya berupa sewa tetapi juga bagi hasil. Selanjutnya bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di Pulau Jawa menurut Wiradi (2008) adalah: 1.
Tanah yasan, yaitu tanah yang didapatkan seseorang karena membuka hutan atau tanah liar untuk dijadikan tanah garapan. Hak seseorang berasal dari fakta bahwa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka tanah tersebut. Istilah yasa atau yoso dalam Bahasa Jawa berarti membuat sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli). Bentuk hak atas tanah ini dalam UUPA dikategorikan hak milik.
2.
Tanah gogolan, yaitu tanah pertanian milik masyarakat desa yang hak pemanfaatannya dibagi-bagi kepada sejumlah petani (biasanya disebut sebagai penduduk inti) secara tetap maupun secara giliran berkala. Pemegang hak garap tanah ini tidak berhak untuk menjualnya atau memindahtangankan hak tersebut. Dalam konsep barat tanah gogol dikategorikan sebagai pemilikan komunal.
3.
Tanah titisara (titisoro, tanah kas desa, tanah bondo desa) adalah tanah pertanian milik desa yang secara berkala biasanya disewakan atau disakapkan dengan cara dilelang terlebih dahulu. Hasil menjadi kekayaan desa yang biasanya dipergunakan untuk keperluan-keperluan desa, baik sebagai sumber dana anggaran rutin maupun untuk pembangunan.
7
4.
Tanah bengkok yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai gajinya selama menduduki jabatan tersebut. Setelah tidak lagi menjabat, maka tanah tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada pejabat yang baru. Hubungan antara manusia dengan sesamanya dan sumberdaya tanah dalam
penguasaan tanah tidaklah bersifat statis melainkan dinamis. Dinamika dalam penguasaan tanah menyangkut pemilikan maupun penguasaan tanah. Berdasarkan sifatnya, perubahan penguasaan tanah ada yang bersifat sementara dan tetap. Penguasaan tanah yang bersifat sementara dilakukan melalui sewa menyewa, gadai, dan bagi hasil sedangkan perubahan penguasaan tanah yang bersifat tetap dilakukan melalui waris dan transaksi jual beli. Petani miskin yang tidak mempunyai tanah garapan dapat menguasai tanah melalui hubungan penguasaan sementara dengan petani lain (Wiradi, 2008), karena pemilik tanah luas biasanya tidak selalu menggarap sendiri (Breman dan Wiradi, 2004). 2.1.2.1 Sewa Breman dan Wiradi (2004) mendefinisikan sewa yakni menyewakan tanah untuk satu atau lebih musim dengan mendapat sejumlah uang yang biasanya dibayarkan sebelumnya. Dalam sewa pemilik tanah memberikan hak penguasaan tanah kepada orang lain secara sementara, sesuai dengan perjanjian antara keduanya (Wiradi dan Makali, 1984). Istilah sewa di beberapa desa di Jawa diantaranya motong, kontrak, sewa tahunan setoran, jual oyodan, dan jual potongan. Berdasarkan waktu pembayarannya, sewa dapat dibayar sebelum atau setelah menyewa tanah, tergantung pada kebiasaan. Istilah motong, kontrak, dan setoran, harga sewa dibayar setelah panen sedangkan sewa tahunan, jual oyodan atau jual potongan harga sewa dibayar sebelum penyewa menggarap tanah sewaannya. Selanjutnya urutan bagi penyewa tanah untuk menggarap tanah menentukan harga sewa tanah. Penyewa yang langsung menggarap (berada pada urutan pertama) membayar sewa lebih mahal daripada penyewa yang harus menunggu beberapa musim kemudian (Wiradi dan Makali, 1984).
8
2.1.2.2 Hak Gadai Gadai yaitu menyerahkan tanah kepada seorang kreditor yang kemudian punya hak menggunakan tanah itu selama jangka waktu berlakunya pinjaman (Breman dan Wiradi, 2004). Sama halnya dengan sewa, gadai juga memberikan hak penguasaan tanah secara sementara. Pembayaran pinjaman dapat berupa sekuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor sapi atau kerbau. Pemilik tanah dapat memperoleh tanahnya kembali bila ia telah menebusnya. Selama pemilik tanah belum dapat menebus, maka hak penguasaan atas tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah dilakukan setelah tanamannya selesai dipanen (Wiradi dan Makali, 1984). Pada sistem gadai, petani kecil berpeluang untuk kehilangan tanahnya sedangkan pemilik tanah besar justru berpeluang untuk mengakumulasikan tanahnya. Proses kehilangan tanah pada petani kecil dapat terjadi bila mereka tidak dapat membayar hutang. Tanah ditukar sebagai jaminan atas uang yang mereka pinjam. Tanah yang dijadikan jaminan berpindah tangan kepada si peminjam uang sebagai ganti atas hutang yang tidak bisa mereka bayar (Breman dan Wiradi, 2004). Sebaliknya proses akumulasi tanah dapat terjadi pada petani kaya dikarenakan dua hal, yaitu: (1) Mereka dapat membayar hutang, sehingga tanah dikembalikan pada si pemilik. Ini berarti tanah mereka tidak hilang, (2) Uang yang mereka dapatkan dari menggadaikan tanah digunakan untuk mendapatkan uang tunai. Selanjutnya dipergunakan untuk membeli tanah atau menanam modal. Tanah yang dimiliki petani kaya bertambah luas karena adanya pembelian tanah hasil dari uang gadai. Hasil dari usaha mereka ini kemudian mereka gunakan untuk membayar kembali uang yang sudah mereka pinjam (Breman dan Wiradi, 2004). 2.1.2.3 Bagi Hasil Bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga kerja seluruhnya, dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Dengan cara bagi hasil ini, maka si pemilik tanah turut menanggung resiko kegagalan. Inilah yang membedakannya dari sistem sewa-menyewa. Dalam sistem sewa, pemilik tanah
9
sama sekali tidak menanggung resiko. Besar kecilnya bagian hasil yang harus diterima oleh masing-masing pihak pada umumnya telah disepakati bersama oleh pemilik dan penggarap sebelum penggarap mulai mengusahakan tanahnya (Wiradi dan Makali, 1984). Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam UndangUndang Pokok Agraria (UUPA tahun 1960) diatur dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang menyebutkan bahwa: adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orangorang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badanbadan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah, dalam batas-batas menurut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA Tahun 1960). Selanjutnya dalam pasal 16 ayat 1 UUPA Tahun 1960, dijelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi: a) hak milik, b) hak guna usaha, c) hak guna bangunan, d) hak pakai, e) hak sewa, f) hak membuka tanah, g) hak memungut hasil hutan, dan h) hak-hak lain termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA Tahun 1960 yang menunjukkan pada hak gadai, hak usaha bagi-hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat. Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UUPA No. 2 Tahun 1960, tentang perjanjian bagi hasil dijelaskan bahwa: perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam UU ini disebut: penggarap – berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
10
2.1.3
Sistem Pemilikan Tanah Ada empat sistem pemilikan tanah di Jawa, menurut Koentjaraningrat
(1984), yaitu sistem pemilikan umum atau komunal dengan pemakaian beralih (norowito), sistem milik dengan pemakaian bergilir (norowitogilir), sistem komunal dengan pemakaian tetap (bengkok), dan sistem individu/yasan. Tidak diketahui dengan pasti kapan keempat sistem itu mulai berlaku, demikian juga tentang ketersebarannya di daerah pedesaan Jawa. Ciri khas struktur pemilikan tanah di Jawa Tengah (Rőll, 1983) ialah adanya hubungan yang sangat erat antara struktur pemilikan tanah dengan keadaan sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari masyarakat pedesaan. Karena itu, dalam susunan masyarakat agraris yang kurang dinamis dan tradisional, hak-hak penguasaan tanah yang berbeda-beda menentukan keadaan ekonomi seseorang, yang sejak dahulu kala merupakan ukuran tingkat kedudukan sosial seseorang, dan hingga kini masih merupakan suatu ciri yang representatif bagi kedudukan sosial seseorang. Hak milik, menurut pasal 20 UUPA Tahun 1960 adalah hak turuntemurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6, hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak pakai menurut pasal 41 UUPA Tahun 1960, adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolah tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. 2.1.4
Lapisan Sosial Masyarakat Soekanto (2006) menyebutkan bahwa selama dalam suatu masyarakat ada
sesuatu yang dihargai dan setiap masyarakat pasti mempunyai suatu yang dihargainya, maka hal itu akan menjadi potensi yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, atau mungkin juga
11
keturunan dari keluarga yang terhormat. Mengenai hal ini Pitirim A Sorokin dalam Soekanto (2006) menggunakan sistem pelapisan masyarakat dengan istilah social stratification (stratifikasi sosial). Sorokin menjelaskan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis). Menurut Weber dalam Soekanto (2006) konsep stratifikasi sosial meliputi class (kelas), status (kelompok status), dan partai-partai. Kelas merupakan stratifikasi sosial yang berdimensi ekonomi berupa produksi dan penguasaan. Status merupakan perwujudan stratifikasi sosial yang berkenan pada prinsipprinsip yang dianut pada masyarakat bersangkutan dalam mengkonsumsi “hartabenda”, menyangkut gaya hidup (life style), kehormatan (honour) dan hak-hak istimewa (privileges). Partai merupakan perkumpulan sosial yang berdimensi pada penggunaan kekuasaan yang mempengaruhi tindakan masyarakat. Berdasarkan teori stratifikasi Weber, maka dasar menentukan kelas (lapisan masyarakat) pada suatu masyarakat diantaranya dapat berdasarkan ukuran pemilikan yang berkaitan dengan produksi. Maksud Weber, kelas itu mencakup orang yang memiliki peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut ekonomis, antara lain melalui pemilikan dan penguasaan tanah. Sajogyo (1982) dalam Penny (1990) membedakan struktur sosial pedesaan Jawa berdasarkan luas penguasaan tanah pertanian. Struktur sosial pedesaan Jawa dibedakan menjadi tiga lapisan sosial yaitu: (1) Lapisan atas atau “orang kaya” di desa, bila menguasai tanah lebih dari satu hektar; (2) Lapisan tengah, bila menguasai tanah antara 0,5 sampai 1 hektar tanah; (3) Lapisan bawah, adalah masyarakat yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar atau tidak mempunyai tanah sama sekali. Sementara Breman (1986) membagi masyarakat desa pertanian menjadi tiga lapisan berdasarkan modal yang dikuasai yakni berupa akses terhadap tanah disamping kepemilikan modal di luar sektor pertanian. Tiga lapisan masyarakat menurut Breman adalah: (1) Lapisan atas, yaitu pemilik atau penggarap lahan pertanian lebih dari satu hektar, pedagang atau pemilik toko besar, pimpinan dan guru; (2) Lapisan menengah, yaitu pemilik atau penyewa lahan pertanian paling sedikit 0,25 hektar, pedagang dengan modal kecil, pemilik warung, penarik ojek, tukang ahli dan buruh dengan pekerjaan tetap, pegawai
12
rendah (seperti hansip dan penjaga pintu air); (3) Lapisan bawah, yaitu buruh tani, pemilik dan penyewa lahan marginal, pekerja kasar dan pekerja tidak tetap, pekerja transport tanpa milik, pedagang asongan, dan pembantu rumahtangga. 2.1.5
Konsep Kelembagaan: Perspektif Kelembagaan Manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak pernah dapat
lepas dari kebutuhan untuk berinteraksi dengan sesamanya dalam lingkup kehidupan bermasyarakat. Setiap melakukan interaksi, mereka kadang-kadang melakukan tindakan-tindakan yang berpola resmi maupun yang tidak resmi. Menurut Koentjaraningrat (1964) dalam Soekanto (2006), sistem-sistem yang mewadahi warga masyarakat untuk dapat berinteraksi menurut pola-pola resmi dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut dengan pranata, atau dalam bahasa inggris dengan institution. Tindakan-tindakan yang berpola tersebut ditekankan pada suatu sistem norma khusus yang menata atau mengatur tindakan-tindakan manusia agar dapat memenuhi suatu keperluan khusus dalam kehidupan bermasyarakat. Definisi tersebut lebih menekankan pada sistem tata kelakuan atau sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Koentjaraningrat (1954) dalam Soekanto (2006) membedakan istilah pranata dengan lembaga, dimana menurut Koentjaraningrat pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus, sedangkan lembaga atau institut merupakan suatu bentuk konkrit berupa badan atau organisasi yang mengejawantahkan aktivitas masyarakat tersebut. Uphoff (1986) menegaskan, bahwa kelembagaan dapat sekaligus berwujud organisasi dapat berwujud kelembagaan. Perbedaannya, kelembagaan berupa seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi kebutuhan kolektif, sedangkan organisasi berupa struktur dari peran-peran yang diakui dan diterima. Norma-norma yang berkembang di masyarakat memberikan petunjuk bagi perilaku seseorang yang hidup di dalam masyarakat. Norma mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, Soekanto (2006) membedakan tingkatan tersebut kedalam empat tingkatan, yaitu: 1.
Cara (usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan
13
terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman berat, tetapi hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya. 2.
Kebiasaan (folkways) mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuataan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut.
3.
Tata kelakuan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
4.
Adat-istiadat (custom) merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat, akan menderita sanksi yang keras. Jika Koentjaraningrat menggunakan istilah pranata untuk menjelaskan
tentang
kelembagaan,
Soekanto
(2006)
menggunakan
istilah
lembaga
kemasyarakatan atau lembaga sosial yaitu himpunan norma-norma yang mengatur segala tindakan atau berisikan segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud konkrit dari lembaga kemasyarakatan adalah association. 2.1.6
Konsep Kelembagaan Pangan Kelembagaan (institution) merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan
berpola dari manusia dalam kebudayaannya beserta komponen-komponennya yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan dan untuk wujud fisik kebudayaan ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat, 1964 dalam Soekanto, 2006). Menurut Anwar (2001) dalam Basri (2008), institusi atau kelembagaan merupakan aturan main (the rule of game) dalam masyarakat yang secara lebih formal dapat dikatakan sebagai alat manusia guna mengatur perilaku individual anggotanya yang membangun pengaturan dalam interaksi antar anggota-anggota
14
dalam masyarakat tersebut melalui norma-norma tertentu. Dalam beberapa hal institusi merupakan kendala-kendala terhadap kebebasan individual anggotaanggotanya dalam masyarakat karena kebebasan individu sering membuat tindakan yang menimbulkan eksternalitas (terutama yang negatif) yang sering mengancam kepentingan masyarakat keseluruhan. Oleh sebab itu, masyarakat perlu membatasi kebebasan individual-individual tersebut agar perilakunya bersesuaian dengan kepentingan masyarakat. Kelembagaan memiliki dua pengertian. Pertama sebagai aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam kaitan kelembagaan pangan masyarakat, kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik yang formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan kewajiban dalam kelembagaan. Kedua kelembagaan sebagai suatu organisasi dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga, tetapi oleh mekanisme administratif dan kewenangan. Sumardjo (2003) mendefinisikan kelembagaan pangan masyarakat sebagai segala bentuk pengaturan atau keteraturan perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan di masyarakat yang telah menjadi acuan dalam bertindak, karena di dalamnya terkandung nilai, norma, penggunaan/pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendukungnya, serta cara-cara perpola pengendalian sosial agar kelembagaan tersebut senantiasa terjaga dengan efektif sebagai wahana memenuhi kebutuhan masyarakat. Nilai yang menjadi acuan bertindak anggota dan pengurus kelembagaan pangan (lumbung pangan masyarakat) meliputi kepercayaan, memenuhi kebutuhan pangan dan modal terutama dalam keadaan darurat, dan nilai transparansi (keterbukaan) sedangkan norma yang menjadi acuan dalam bertindak meliputi sistem jasa, pinjaman, bagi hasil, pengambilan dalam bentuk natura dan fungsi penyangga harga (PSP-IPB, 2003 dalam Basri, 2008). Sistem lumbung pangan masyarakat adalah suatu sistem kelembagaan penyedia bahan pangan dan bahan-bahan lainnya yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama menanggulangi kerawanan pangan. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung pangan masyarakat diharapkan dapat
15
didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat (Tim Studi Lumbung IPB, 2003 dalam Basri, 2008). 2.1.7
Lumbung Pangan Menurut Kusumowardani (2002) istilah lumbung telah dikenal oleh
masyarakat di beberapa daerah. Lumbung yang ada sering dikonotasikan sebagai lumbung paceklik. Lumbung paceklik tersebut dibentuk sebagai cadangan bagi petani di musim paceklik sehingga petani dapat meminjam gabah untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga. Keberadaan lumbung pangan merupakan lembaga alternatif yang diupayakan dapat menggantikan peran kelembagaan lokal yang sekarang mengalami banyak kehancuran. Keberadaan lumbung pangan tidak hanya diperlukan pada masa paceklik saja melainkan sebagai alternatif penyediaan modal bagi petani. Peran yang dijalankan oleh lumbung pangan adalah sebagai berikut: 1. Menampung surplus produksi pangan pedesaan pada saat panen. 2. Melayani kebutuhan pangan pedesaan pada musim paceklik. 3. Melakukan simulasi pemupukan modal melalui iuran dalam bentuk bahan pangan maupun tunai. 4. Membantu petani yang kesulitan modal usaha dengan cara menyediakan alternatif kredit mikro bagi warga komunitas sehingga warga terhindar dari praktek-praktek bank harian dari para pengijon. 5. Menghindari petani dari kerugian penjualan dini atas produksi usaha tani untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan menghindarkan petani untuk membeli bahan pangan pokok dengan harga tinggi pada musim paceklik. Sistem lumbung pangan masyarakat adalah suatu sistem kelembagaan penyedia bahan pangan dan bahan-bahan lainnya yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama menanggulangi kerawanan pangan. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung pangan masyarakat diharapkan dapat didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat (Tim Studi Lumbung IPB, 2003 dalam Basri, 2008).
16
2.2
Kerangka Pemikiran Tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia, karena hampir seluruh aktivitas kehidupan manusia mulai dari proses produksi pertanian, pemukiman, sampai kegiatan industri membutuhkan tanah sebagai input. Bahkan dalam teori produksi hasil-hasil pertanian, tanah ditempatkan sebagai faktor produksi utama dalam setiap proses produksinya. Pertambahan penduduk serta akibat dari berkembangnya kegiatan perekonomian membawa konsekuensi semakin besarnya permintaan akan tanah untuk berbagai keperluan pertanian dan pemukiman. Keadaan ini menyebabkan terjadinya ketimpangan penguasaan terhadap tanah. Derajat ketimpangan yang berkembang akan mempengaruhi strategi pengaturan pangan di masyarakat. Pada akhirnya, penguasaan tanah dan strategi pengaturan pangan masyarakat akan menentukan kondisi kedaulatan pangan. Struktur penguasaan tanah meliputi luas lahan yang dimiliki; luas yang dikuasai; status kepemilikan; dan status penguasaan. Masyarakat yang memiliki luas tanah yang sempit akan berbeda dengan masyarakat dengan memiliki luas tanah yang luas dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing. Masyarakat dengan luas tanah yang kecil dapat menambah luas garapan dengan berbagai bentuk penguasaan yang diperoleh dari pihak lain. Masyarakat yang memiliki tanah yang luas dapat membantu masyarakat yang memiliki luas tanah yang sempit. Hubungan tersebut dapat terjadi didukung oleh norma-norma yang berkembang di masyarakat. Setiap masyarakat pertanian memiliki kelembagaan pangan yang merupakan bentuk pengaturan atau keteraturan yang dapat menyumbang pada kedaulatan pangan masyarakat. Jika kelembagaan pangan yang ada dalam masyarakat berkembang, norma-norma yang dianut serta adanya hubungan interaksi yang dilandasi rasa saling percaya, maka upaya masyarakat mencapai kedaulatan pangan akan berlangsung dengan baik. Kelembagaan lumbung pangan masyarakat merupakan sebuah wadah yang diharapkan dapat meningkatkan kedaulatan pangan. Lumbung pangan masyarakat erat kaitannya dengan dua aspek yaitu (1) potensi sektor pertanian; dan (2) peran
17
kelembagaan pangan yang ada dalam masyarakat tersebut. Potensi sektor pertanian dikelola melalui kelembagaan sehingga masing-masing masyarakat kasepuhan dapat mengakses sumberdaya secara adil dan merata. Pengelolaan yang demikian diharapkan dapat meningkatkan kedaulatan pangan dalam rumahtangga masyarakat kasepuhan. Keberadaan leuit di masyarakat menjadi hal yang sangat vital dalam menjamin ketersediaan pangan. Leuit bukan hanya sekedar tempat menyimpan padi, tetapi juga suatu pedoman masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Jumlah leuit pun terkait dengan luas garapan masyarakat. Masyarakat yang menggarap lebih banyak akan menghasilkan padi lebih banyak dan akan membantu dalam membangun kemandirian. Masyarakat Sinar Resmi memiliki dua jenis leuit yakni leuit sijimat dan leuit rumahtangga. Leuit sijimat merupakan leuit komunal yang berada dipusat kasepuhan. Leuit sijimat menampung sebagian hasil panen masyarakat sesuai dengan produktivitas masing-masing rumahtangga. Apabila ada masyarakat yang membutuhkan padi maka dapat meminjam ke leuit sijimat dan menggantinya di panen berikutnya. Kedaulatan pangan masyarakat adalah terpenuhinya pangan yang cukup baik secara mandiri. Agar anggota masyarakat mendapat mengkonsumsi pangan secara baik dibutuhkan ketersediaan pangan harus terpenuhi dengan baik. oleh karena itu, untuk memenuhi kecukupan pangan tersebut masyarakat harus memiliki akses terhadap pangan secara fisik. Kedaulatan mempunyai karakter yang meliputi produksi pangan secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan domestik ataupun lokal; memanfaatkan usaha petani kecil dan keluarga yang agro-ekologis; menjamin akses tanah dan sumberdaya vital; menghormati peran wanita dalam produksi pangan, akses, dan sumberdaya; dan mendorong kontrol komunitas atas sumberdaya produktif.
18
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Struktur Penguasaan Tanah • Luas Lahan yang Dimiliki • Luas lahan yang Dikuasai • Status Kepemilikan • Status Penguasaan
Kelembagaan Pangan Masyarakat • Produksi • Penyimpanan (Lumbung panganleuit) • Distribusi
Kedaulatan Pangan
Keterangan: : mempengaruhi 2.3
Hipotesis Penelitian
1)
Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan pola sewa, gadai, dan maro.
2)
Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan produktivitas pertanian.
3)
Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan jumlah leuit rumahtangga.
4)
Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan distribusi hasil panen ke leuit sijimat.
2.4
Definisi Konseptual
1.
Produksi pangan adalah semua komoditi bahan makanan yang diperoleh rumahtangga dari hasil usaha pertanian selama 1 trip/bulan/musim dinyatakan dalam satuan kilogram.
19
2.
Kedaulatan pangan masyarakat adalah kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan bagi anggota lumbung pangan masyarakat dari waktu ke waktu.
3.
Sewa adalah penyerahan hak milik seseorang secara sementara kepada pihak lain untuk satu atau lebih musim dengan mendapat sejumlah uang yang biasanya dibayarkan sebelumnya.
4.
Gadai adalah penyerahan tanah kepada kreditor dengan imbalan pembayaran dalam bentuk tunai (uang) maupun benda berharga lainnya seperti emas atau ternak lainnya. Dengan ketentuan kreditor memiliki hak menggunakan tanah itu selama jangka waktu berlakunya pinjaman, kemudian si pemilik tanah dapat mengambil tanahnya kembali bila ia telah mengembalikan pinjaman.
5.
Bagi hasil adalah penyerahan tanah secara sementara dari pemilik tanah kepada penggarap untuk dipakai, dimanfaatkan dan dikelola, disertai perjanjian biaya produksi, tenaga kerja dan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak.
6.
Lumbung pangan atau Leuit adalah tempat penyimpanan padi dalam satuan pocong yang dimiliki secara komunal atau rumahtangga. Jumlah leuit rumah tangga sesuai dengan produktivitas padi yang dihasilkan.
7.
Distribusi pangan adalah jumlah yang dibagikan untuk rumahtangga lain yang membutuhkan pangan. Jumlah yang dibagikan dalam satuan pocong.
8.
Umur adalah lama hidup seseorang sejak lahir sampai saat penelitian berlangsung dalam satuan tahun.
2.5
Definisi Operasioanal
1.
Penguasaan lahan adalah ukuran luas area yang dikelola oleh responden tanpa memperhatikan status kepemilikannya. Luasan area yang dikelola dinyatakan dalam satuan hektar; pengukurannya dilakukan dengan skala ordinal dengan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1). Sempit (00,25 hektar), (2). Sedang (0,26-0,5 hektar), dan (3). Luas (>0.5 hektar).
2.
Status kepemilikan lahan adalah hubungan responden dengan areal yang sedang dikelola berdasarkan status hukum (hak). Pengukurannya
20
dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dengan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1). pemilik, (2). Penggarap, dan (3). Pemilik penggarap 3.
Lapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat menurut penguasaan tanah, yakni: (1). Sempit (0-0,25 hektar), (2). Sedang (0,26-0,5 hektar), dan (3). Luas (>0.5 hektar)
4.
Jenis kelamin digolongkan menjadi :1. Pria; 2. Wanita
5.
Status dalam RT adalah posisi seseorang sebagai anggota rumah tangga dalam hubungan kekerabatan, misal suami, istri, anak, mertua, dan lainnya.
6.
Tingkat pendidikan merupakan lama pendidikan yang ditempuh oleh anggota rumahtangga, rendah (<6 tahun), sedang (6-9 tahun), tinggi (>9 tahun).
21
BAB III PENDEKATAN LAPANG
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Alasan yang mendasari pemilihan Kampung Sinar Resmi sebagai lokasi adalah adanya masyarakat adat yang dapat memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dan juga adanya lembaga pangan berupa lumbung padi atau leuit. Selain itu. Kampung Sinar Resmi merupakan pusat Adat Kasepuhan Sinar Resmi yang memudahkan dalam menggali informasi tentang kelembagaan pangan lokal. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2011. Pengolahan data dan hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Mei-Juni 2011. Selanjutnya, perbaikan laporan, konsultasi dilakukan pada bulan Juli-Agustus2011. 3.2
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan tipe explanatory.
Penelitian explanatory merupakan penelitian penjelasan yang menyoroti hubungan antar variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun dan Effendi, 1989). Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode survai menggunakan kuesioner serta didukung oleh data kualitatif seperti hasil konsultasi atau wawancara antara peneliti dan informan. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual secara detail tentang hal-hal yang sedang
menggejala
dan
mengidentifikasi
masalah-masalah
atau
untuk
mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan. 3.3
Teknik Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini, terdapat dua subjek penelitian, yang terdiri dari
informan dan responden. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk memberikan informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik snowball sampling
22
(teknik bola salju). Teknik ini juga digunakan untuk menentukan daftar populasi yang karakteristiknya sesuai dengan masalah yang diteliti (kerangka sampling). Adapun informan kunci yang dipilih adalah tokoh-tokoh masyarakat adat setempat yakni ketua adat Kasepuhan Sinar Resmi. Dalam melengkapi data yang didapatkan dari informan kunci, diperlukan data dari informan-informan lainnya yang telah didiskusikan dengan informan kunci. Pemilihan tokoh masyarakat setempat menjadi informan kunci didasarkan pada asumsi bahwa mereka adalah orang-orang yang mengetahui secara mendalam terkait dengan pengaturan pangan. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Penentuan responden dipilih dengan teknik stratified random sampling. Artinya, populasi yang tidak homogen dibagi dalam lapisan-lapisan, dan setiap lapisan diambil sampel secara acak. Dengan menggunakan metode ini, semua lapisan dapat terwakili
(Singarimbun
dan
Effendi,
1989).
Populasi
meliputi
seluruh
rumahtangga Kampung Sinar Resmi yang berjumlah 111 rumahtangga (Lampiran 4). Kemudian dari semua daftar rumahtangga dibagi ke dalam beberapa kategori berdasarkan penguasaan tanah. Stratifikasi responden dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu responden I yakni responden rumahtangga yang menguasai tanah 0-0.25 hektar, responden II yakni responden rumahtangga yang menguasai tanah 0.26-0.5 hektar, dan responden III yakni responden rumahtangga yang menguasai tanah lebih dari 0.5 hektar. Kemudian dipilih responden sebanyak 31 rumahtangga yang menurut kategori masing-masing berjumlah 16, 8, dan 7 rumahtangga. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian dihitung menggunakan Rumus Slovin. Rumus Slovin digunakan karena ukuran populasi diketahui. Rumus Slovin adalah sebagai berikut: n n
N 1 Ne 111 1 111 0.15 = 31 (pembulatan)
Keterangan:
N: ukuran populasi n: ukuran sampel/responden
e: nilai kritis (15%)
23
Gambar 2. Gambaran Populasi dan Sampel Rumahtangga Kampung Sinar Resmi
Rumahtangga kategori 0-0.25 hektar
Rumahtangga kategori 0.26-0.5 hektar
Rumahtangga kategori >0.5 hektar
Keterangan: : Populasi : Kerangka Sampling
3.4
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data dikumpulkan dengan cara: a)
Kuesioner: Teknik kuesioner dilakukan untuk mendapatkan data primer secara kuantitatif terhadap informan.
b)
Wawancara mendalam: teknik wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan data primer secara kualitatif yang dapat mendukung penelitian. Wawancara mendalam dilakukan dengan tokoh masyarakat (formal dan non formal) serta warga yang menguraikan secara mendalam mengenai struktur penguasaan tanah, hubungan interaksi dan kerjasama dalam kelembagaan pangan masyarakat.
c)
Pengamatan berperan serta: merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti hadir sebagai pengamat dinamika subjek penelitian.
24
d)
Melaksanakan “Focus Group Discussion” untuk mendapatkan data kualitatif mengenai hubungan-hubungan antara variabel penelitian menurut masyarakat.
e)
Penelusuran dokumen: data sekunder diperoleh dengan melakukan kajian pustaka dan menganalisis berbagai literatur yang ada. Selain itu analisis data sekunder juga diperlukan terhadap dokumen yang diperoleh di lokasi penelitian, seperti data monografi desa, data kepemilikan tanah, dan lainlain. Berikut rincian mengenai teknik pengumpulan data penelitian:
Tabel 1. Rincian Metode Pengumpulan Data Uraian Data yang Metode diperlukan Mengetahui Sistem Kuesioner Struktur penguasaan tanah Wawancara penguasaan tanah Sistem pemilikan mendalam di Desa Sinar tanah Literatur Resmi Struktur Pemetaan oleh pemilikan dan masyarakat penguasaan tanah
Sumber data Responden Informan
Kelembagaan pangan masyarakat di Desa Sinar Resmi
Distribusi hasil panen Partisipasi masyarakat dalam membangun lumbung Struktur kelembagaan
FGD yang Responden dilakukan tiga Responden kali, yakni disetiap lapisan masyarakat Wawancara mendalam
Sistem norma yang mendukung sistem kedaulatan pangan masyarakat
Komponen modal sosial (kepercayaan, norma, dan jaringan) Proses bekerjanya sistem norma Peranan sistem norma dalam kelembagaan pangan
Pengamatan berperan serta Wawancara mendalam Studi dokumen
Informan Responden
Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengkodean. Kegiatan ini bertujuan untuk menyeragamkan data. Setelah pengkodean, tahap
25
selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden dan dipresentasikan melalui analisis deskriptif berupa tabel frekuensi, ukuran pemusatan, dan ukuran penyebaran. Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah secara deskriptif dengan mengunakan Microsoft Excel 2007. Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data kualitatif sebagai pendukung dengan mengutip hasil pembicaraan dengan responden atau informan dan disampaikan secara deskriptif untuk mempertajam hasil penelitian.
26
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Profil Desa 4.1.1 Kondisi Topografi Desa Sinar Resmi merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini terletak antara 106° 27´ - 106° 33´ BT dan 6° 52´ - 6° 44´ LS. Desa Sinar Resmi memiliki luas wilayah 4917 hektar dengan ketinggian tanah 600-1200 meter di atas permukaan laut, dengan karakteristik topografi yang berbukit dan bergunung dengan tingkat kemiringan lereng berkisar antara 25-45 persen. Pemukiman warga masyarakat pada umumnya mengambil wilayah yang relatif datar sementara lahan pertanian masyarakat pada umumnya di lereng-lereng gunung. Suhu rata-rata pada musim kemarau berkisar 28° Celsius sedangkan pada musim penghujan sekitar 21-25° Celsius. Desa Sinar Resmi memiliki curah hujan yang bervariasi antara 2120-3250 mm/tahun dengan kelembaban udara 84 persen. Batas-batas Desa Sinar Resmi antara lain sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Banten, sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Desa Cicadas, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cihamerang. Jarak Desa Sinar Resmi dari ibukota kecamatan sekitar 23 kilometer, jarak dari ibukota kabupaten sekitar 33 kilometer, jarak dari ibukota provinsi sekitar 183 kilometer, dan jarak dari ibukota negara sekitar 168 kilometer. Akses lalu lintas kendaraan menuju desa ini tidak begitu sulit tetapi jumlah kendaraan menuju desa tersebut masih terbatas. Untuk mencapai desa ini bisa ditempuh dengan bus melalui jalur Bogor menuju Pelabuhan Ratu dengan waktu tempuh tiga sampai empat jam. Setelah sampai terminal Pelabuhan Ratu, dapat dicapai dengan angkutan umum Elf dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Memasuki wilayah perkampungan masyarakat Sinar Resmi dapat menggunakan ojek. Ketika memasuki wilayah Desa Sinar Resmi kondisi jalan masih berbatu dan belum diaspal.
27
4.1.2 Kondisi Demografi Desa Sinar Resmi dihuni oleh tiga kelompok masyarakat adat kasepuhan yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul yaitu Kasepuhan Cipta Mulya, Kasepuhan Sinar Resmi, dan Kasepuhan Cipta Gelar. Penelitian ini dilakukan di Kampung Sinar Resmi yang merupakan wilayah pusat Kasepuhan Sinar Resmi. Berdasarkan data monografi desa tahun 2009, menunjukkan bahwa penduduk Desa Sinar Resmi sekitar 5.007 jiwa yang terbagi dalam 1.497 kepala keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 2.487 jiwa dan penduduk perempuan adalah 2.420 jiwa. Terdapat tujuh kampung atau dusun yang ada di Desa Sinar Resmi yaitu Kampung Sinar Resmi, Cibongbong, Cikaret, Cimapag, Situmurni, Cimemet, dan Sukamulya. Penyebaran penduduk pada tiap-tiap kampung hampir merata dengan komposisi jumlah laki-laki dan perempuan yang seimbang. Jumlah penduduk terbanyak terdapat pada kampung Cibongbong sejumlah 1.023 jiwa sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di kampung Cimemet sebanyak 262 jiwa. Sebagian besar masyarakat Desa Sinar Resmi beragama Islam dengan jumlah sekitar 5.305 jiwa dan yang beragama non Islam sekitar delapan jiwa. Gambaran mengenai penyebaran penduduk di Desa Sinar Resmi pada tiap kampung dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga (KK) menurut Jenis Kelamin di Sinar Resmi Tahun 2009 No Kampung Jumlah Penduduk Jumlah KK L P Total L P Total 1 Sinar Resmi 203 185 388 100 11 111 2 Cibongbong 517 506 1.023 271 31 302 3 Cikaret 384 328 712 203 19 222 4 Cimapag 409 404 813 210 31 241 5 Situmurni 313 291 604 159 12 171 6 Cimemet 288 274 562 163 21 184 7 Sukamulya 437 432 869 236 30 266 Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi Tahun 2009
Jumlah penduduk Kampung Sinar Resmi paling sedikit setelah Kampung Cicemet diantara kampung lainnya namun kampung ini merupakan tempat pusat dari kegiatan adat dan pemerintahan. Masyarakat memilih untuk tinggal di kampung lain karena lebih dekat dekat usaha pertanian. Hal tersebut akan
28
memberikan kemudahan dalam produksi dan pengawasan terhadap usaha tani yang mereka kembangkan. Kegiatan pendidikan umum yang terdapat di Desa Sinar Resmi yakni pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pendidikan khusus tersedia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan sekolah madrasah. Masyarakat yang ingin melanjutkan ke tingkat lebih atas pada umumnya sekolah di luar Desa Sinar Resmi. Umumnya masyarakat yang tidak melanjutkan sekolah akan bekerja di sektor pertanian. Berikut tabel kelompok pendidikan dan tenaga kerja di Desa Sinar Resmi: Tabel 3. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Usia,Kelompok Pendidikan dan Kelompok Tenaga Kerja di Desa Sinar Resmi Tahun 2009 Kategori Kelompok Menurut Usia Usia (tahun) Jumlah/Jiwa a. Kelompok Pendidikan 4-6 391 7-12 784 13-15 124 b. Kelompok Tenaga Kerja 20-26 805 27-40 1.402 Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi Tahun 2009
Sebagian besar penduduk dalam kelompok pendidikan berada di jenjang SD. Jumlah tenaga pendidik untuk melayani pendidikan di Desa Sinar Resmi belum memadai. Untuk mendidik seluruh murid yang bersekolah hanya terdapat 15 guru. Untuk kelompok tenaga kerja di Desa Sinar Resmi sebagian besar berada pada kelompok usia produktif. Selain sebagai tradisi dan lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas menyebabkan sebagian besar berada di sektor pertanian. Sebagian kecil diantaranya bekerja di sektor jasa, seperti bengkel dan pertukangan. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian di Desa Sinar Resmi Tahun 2009 No Jenis Mata Pencaharian Jumlah/Jiwa Persentase 1. Petani 2.818 88 2. Wiraswasta 163 7 3. Pertukangan 221 5 Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi Tahun 2009
Berdasarkan Tabel 4 sebanyak 88 persen berada di sektor pertanian menjadikan sektor yang menjadi sumber penghidupan utama penduduk Desa Sinar Resmi. Pertanian juga didukung oleh kondisi alam Desa Sinar Resmi yang
29
cocok untuk kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian oleh penduduk Desa Sinar Resmi dibagi menjadi tiga bagian yaitu padi dan palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Kegiatan pertanian menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin banyak dan persentase penggunaan tanah yang semakin besar. Penggunaan tanah tanah Desa Sinar Resmi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Penggunaan Lahan di Desa Sinar Resmi Tahun 2009 Tanah Negara Tanah Milik Jumlah Kehutanan, Status Tanah Adat/Desa TNGHS (Ha) (Ha) (Ha) 1 2 3 4 Luas Wilayah Desa 917 4.000 4.917 Luas Wilayah menurut penggunaan Luas Pemukiman Luas Persawahan Luas Perkebunan Luas Kuburan Luas Pekarangan Luas Taman Luas Perkantoran Luas Prasarana Umum lainnya Lainnya Tanah Sawah : Sawah Irigasi Teknis Sawah Irigasi 1/2 Teknis Sawah Tadah Hujan Sawah Pasang Surut Total luas
17 75 0 1 7 0 0 1
75
19 225 0 2 8 0 0 1
36 300 0 3 15 0 0 2
225
0 120 180 0 300
Sumber: Kantor Desa Sinar Resmi, 2009
Berdasarkan Tabel 5 luas tanah persawahan di Desa Sinar Resmi mencapai 300 hektar atau sekitar 6.1 persen dari total luas desa. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar yakni 81 persen wilayah dijadikan taman nasional. Penggunaan lahan persawahan di Desa Sinar Resmi dapat dilihat sebagian besar lahan desa digunakan untuk lahan persawahan. Jenis sawah yang dikelola sebagian besar merupakan sawah tadah hujan. Hal ini juga disebabkan oleh kondisi topografi desa. Petani di kampung ini berbeda dengan daerah lainnya dengan hanya melakukan penanaman padi satu tahun sekali sesuai peraturan adat yang berlaku di komunitas. Selain bertanam padi, pada saat musim kemarau para petani
30
memanfaatkan ladang untuk bertanam palawija atau ikan untuk lahan sawah yang diberakan. Selain bertanam padi, petani memanfaatkan kesuburan lahan untuk menanam tanaman kapulaga (kapol) yang harganya relatif mahal sebagai bahan obat-obatan. Selain itu masyarakat juga memanfaatkan tanaman kayu keras sebagai salah satu sumber penghasilan. 4.2 Profil Kasepuhan Sinar Resmi 4.2.1 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi Kasepuhan Sinar Resmi terletak di Desa Sinar Resmi, bersama dengan dua kasepuhan lainnya, yakni Kasepuhan Cipta Mulya dan Kasepuhan Cipta Gelar. Ketiga kasepuhan ini satu sama lain saling terkait dan masih dalam satu keturunan. Berdasarkan keterangan beberapa orang sesepuh komunitas, munculnya masyarakat kasepuhan berawal dari hancurnya Kerajaan Pajajaran sebagai akibat peperangan dengan Banten. Pada saat itu juga terjadi pemberontakan dari dalam sehingga penguasa saat itu tidak dapat bertahan dan untuk menyelamatkan “harta-benda” kerajaan pasukan yang setia terhadap penguasa melarikan diri ke arah selatan menuju tiga daerah yang berbeda. Pasukan pertama yang menjaga harta kekayaan kerajaan melarikan diri ke daerah Galuh dan sampai sekarang dikenal sebagai orang-orang yang sukses dan kaya di daerah Ciamis dan sekitarnya. Pasukan kedua diminta untuk menyelamatkan ajaran agama wiwitan dan melarikan diri ke arah Banten Selatan dan sampai saat ini masih bertahan dengan ajaran tersebut dan dikenal sebagai komunitas Baduy. Pasukan terakhir melarikan diri ke arah Barat dan diminta menuju ke Gunung Halimun untuk menyelamatkan sistem pertanian dan sampai saat ini bertahan sebagai komunitas kasepuhan yang tinggal di sekitar Gunung Halimun dan Gunung Salak. Berdasarkan tapak tilas yang sampai saat ini masih dapat dilihat, diketahui bahwa komunitas kasepuhan pertama kali didirikan di Bogor, yaitu di Kampung Cigudeg, Leuwiliang. Sebelum Indonesia merdeka, komunitas kasepuhan berpindah berturut-turut sesuai wangsit yang diterima ketua adat ke Lebak Larang (Banten), Lebak Binong, Tegal Luhur, Bojong, Pasir Telaga, dan Pasir Jeungjing. Semua daerah tersebut berada di sekitar Gunung Halimun dan sampai saat ini komunitas yang ditinggalkan masih memegang aturan adat kasepuhan. Hal ini
31
dikarenakan perpindahan komunitas kasepuhan sesuai wangsit yang diterima oleh “Abah” (sebutan bagi pimpinan kasepuhan) hanya dilakukan oleh pimpinanpimpinan kasepuhan. Sementara sebagian besar anggota kasepuhan (pengikut) tetap tinggal dan melanjutkan ajaran kasepuhan. Pada Tahun 1959, lokasi kepemimpinan kasepuhan berpindah dari Cicemet ke Cikaret dan bernama kasepuhan Sinar Resmi dengan Abah Rusdi sebagai pimpinan kasepuhan. Pada Tahun 1960, pimpinan kasepuhan digantikan oleh Abah Harjo karena pemimpin sebelumnya meninggal. Tahun 1979 pusat kasepuhan dipindahkan ke Sinarasa dan Kasepuhan Sinar Resmi ditinggalkan. Pada Tahun 1983, Abah Harjo meninggal dan sesuai wasit kepemimpinan dilimpahkan ke Abah Ujat, namun karena saat itu Abah Ujat menjabat sebagai kepala desa, kepemimpinan kasepuhan kemudian dilimpahkan ke Abah Anom. Abah Anom kemudian memindahkan kasepuhan ke Ciptarasa dan pada Tahun 2000 pindah ke Ciptagelar yang dulunya di Cicemet. Abah Ujat sendiri pada Tahun 1985 dikarenakan dorongan wangsit yang kuat pada akhirnya membuka kasepuhan baru di Sinar Resmi. Pada Tahun 2003, Abah Ujat meninggal dan berdasarkan wangsit kepemimpinan kasepuhan dilimpahkan ke Abah Asep yang ada pada saat itu masih bekerja dan berdomisili di Jakarta. Sementara kasepuhan Sinar Resmi tidak ada yang memimpin dan kemudian Abah Uum yang merupakan saudara Abah Ujat mendirikan kasepuhan Ciptamulya pada Tahun 2003. Karena kuatnya wangsit untuk memimpin kasepuhan akhirnya pada tahun yang sama, Abah Asep menerima kepemimpinan kasepuhan Sinar Resmi dan mengganti nama kasepuhan menjadi Kasepuhan Sinar Resmi. Berdasarkan sejarah tersebut sampai saat ini ada tiga pusat kasepuhan di Desa Sinar Resmi yaitu Kasepuhan Ciptagelar, Ciptamulya, dan Sinar Resmi. Anggota masing-masing kasepuhan merupakan pembagian dari anggota kasepuhan yang pada masa Abah Ujat menjadi satu disesuaikan dengan batasbatas alam dimana kedudukan anggota komunitas tinggal selain berdasarkan keinginan anggota komunitas itu sendiri untuk memilih kepemimpinan komunitas tertentu meskipun domisilinya tidak dalam batasan kasepuhan yang dipilihnya.
32
Kasepuhan Sinar Resmi sampai saat ini masih dipimpin oleh Abah Asep yang membawahi sekitar 14.000 anggota kasepuhan, baik yang berada di wilayah Desa Sinar Resmi maupun di luar wilayah ini. Sesuai dengan amanat didirikannya kasepuhan untuk menyelamatkan sistem pertanian Kerajaan Pajajaran, sampai saat ini sistem pertanian yang dilakukan oleh anggota komunitas kasepuhan masih berupa sistem pertanian padi lahan tadah hujan dengan pola tanam sekali dalam satu tahun. 4.2.2 Gambaran Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi Kasepuhan Sinar Resmi memiliki incu putu (pengikut) yang tersebar di berbagai wilayah atau dusun. Para incu putu ini tidak hanya di Desa Sinar Resmi tetapi juga menyebar di luar wilayah. Namun, dalam lingkup penelitian ini, komunitas anggota kasepuhan yang digunakan adalah komunitas anggota kasepuhan yang secara administratif bertempat tinggal di Kampung Sinar Resmi. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki mata pencaharian utama di sektor pertanian, baik dari huma, sawah, dan kebun sedangkan mata pencaharian sampingan seperti berdagang, tukang ojek, keterampilan pertukangan, dan lainlain. Berdasarkan tingkat pendidikan, masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sebagian besar hanya mengenyam pendidikan dasar. Saat ini akses masyarakat untuk meneruskan pendidikan hingga tingkat lanjut sudah mudah meskipun untuk sampai jenjang tingkat atas belum ada. Masyarakat kasepuhan terbilang cukup terbuka terhadap pengaruh luar, asalkan tidak bertentangan dengan aturan adat dan harus sesuai dengan izin dari Abah. Hal tersebut terbukti dengan masuknya teknologi seperti televisi dan handphone sehingga akses informasi menjadi lebih mudah. Adanya akses tersebut membuat masyarakat mengenal Bahasa Indonesia meskipun bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat kasepuhan adalah Bahasa Sunda. Pemukiman masyarakat kasepuhan terlihat padat dan berkumpul dalam satu lokasi yang saling berdekatan. Sebagian besar rumah masyarakat adat adalah rumah panggung. Atap rumah terbuat dari rumbia dengan bangunan dari bambu dan kayu. Tiap rumahtangga anggota kasepuhan memiliki leuit atau lumbung padi yang letaknya tidak jauh dari rumah. Setiap rumah memiliki tungku api (hawu) yang digunakan untuk menanak nasi.
33
4.3
Struktur Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Kelembagaan yang ada dalam masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi telah
ada sejak dahulu. Kelembagaan tersebut menjadi sebuah tradisi yang dijalankan secara turun-temurun. Dalam memimpin kasepuhan, Abah mempunyai perangkat adat yang memiliki tugas masing-masing dan sifatnya turun-temurun. Dalam hal ini, perangkat adat sebagai aktor dalam kegiatan kelembagaan. Perangkat adat yang tidak dapat menjalankan tugasnya akan menurunkan jabatannya kepada kerabatnya melalui wangsit yang akan diterima anggota keluarganya. Orang yang menerima wangsit tersebut akan menjadi perangkat adat yang baru. Berikut adalah struktur kelembagaan adat yang ada di Kasepuhan Sinar Resmi: Gambar 3. Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi TUTUNGGUL GANDEK
DUKUN
KEMIT
CANOLI
BENGKONG
PARAJI
TUKANG
NGURUS
EMA’
TUKANG
DUKUN
BANGUNAN
LEUIT
BEURANG
BEBERSIH
HEWAN
KASENIAN
TUKANG
TUKANG PARA
PAMAKAYAN
PAMORO
PENGHULU
PANDAY
DAPUR
KOKOLOT
KOKOLOT
KOKOLOT
KOKOLOT
KOKOLOT
KOKOLOT
KOKOLOT
LEMBUR
LEMBUR
LEMBUR
LEMBUR
LEMBUR
LEMBUR
LEMBUR
INCU PUTU (MASYARAKAT ADAT)
Sumber : Sekretaris Kasepuhan Sinar Resmi, Tahun 2011
Gambar struktur kelembagaan adat di atas merupakan sejumlah perangkat adat yang membantu tugas Abah dalam memimpin Kasepuhan Sinar Resmi. Masing-masing perangkat menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya. Mereka menjalankan tugas sebagai sebuah amanah dan kewajiban sehingga tidak mendapatkan imbalan apapun. Abah dibantu oleh sejumlah staf ahli (penasehat)
34
dalam bidang agama dan negara (garis fungsional). Secara struktural, posisi perangkat adat di bawah Abah terdiri dari wakil-wakil Abah (dukun, penghulu, kokolot lembur, dll). Abah Asep membentuk posisi baru yaitu sekretaris adat tetapi posisi tersebut tidak masuk dalam struktur kelembagaan adat di kasepuhan. Tugas dari sekretaris adalah mencatat jumlah incu putu (pengikut) dan mencatat jumlah pemasukan padi saat pesta tani yang diadakan satu kali setahun setelah panen sebagai rasa syukur. Pesta tani ini dikenal di masyarakat dengan sebutan seren taun. Selain itu, sekretaris mewakili Abah dalam berhubungan dengan dunia luar. Adapun tugas atau fungsi dari tiap-tiap perangkat adat adalah sebagai berikut: 1.
Tutunggul adalah seseorang yang bertugas untuk memimpin kasepuhan yang tidak lain adalah Abah sendiri.
2.
Gandek adalah seseorang yang menjadi pengawal atau ajudan kasepuhan. Tugas gandek adalah melayani seluruh keperluan Abah dan mengawal kemanapun Abah pergi.
3.
Dukun adalah seseorang yang tugasnya mengobati orang yang sakit dan mencegah terjadinya wabah. Pengetahuan dalam pengobatan didapatkan secara turun-temurun dengan menggunakan obat tradisional.
4.
Penghulu adalah seseorang yang memimpin doa saat upacara adat dilaksanakan. Penghulu mempunyai posisi yang penting karena setiap kegiatan kasepuhan selalu diawali dengan upacara adat.
5.
Bangkong adalah seseorang yang bertugas untuk mengkithan anak-anak kasepuhan.
6.
Paraji adalah seseorang yang bertugas untuk membantu dalam persalinan dan perias pengantin.
7.
Pamakayan adalah seseorang yang bertugas untuk mengatur kegiatan pertanian baik sawah maupun huma.
8.
Pamoro adalah seseorang yang bertugas memburu hewan dan mengusir hewan yang mengganggu tanaman.
9.
Kemit adalah seseorang yang menjaga kasepuhan pada malam hari.
10.
Tukang bangunan adalah seseorang yang bertugas untuk membangun rumah adat dan bangunan lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat adat.
35
11.
Ngurus leuit adalah seseorang yang bertugas untuk mengurus lumbung komunal masyarakat adat kasepuhan yang disebut leuit sijimat.
12.
Ema’ beurang adalah seseorang yang bertugas menolong ibu-ibu saat melahirkan.
13.
Tukang bebersih adalah seseorang yang tugasnya membersihkan lingkungan kasepuhan.
14.
Dukun hewan adalah seseorang yang mempunyai tugas mengobati hewan atau tugasnya layaknya dokter hewan.
15.
Canoli adalah seseorang yang bertugas untuk mengambil beras dari tempat penyimpanan beras untuk dimasak pada upacara adat. Canoli juga bertugas dalam membantu memasak beras tersebut.
16.
Tukang para adalah seseorang yang bertugas untuk mengurus upacara besar kasepuhan serta mengurus berbagai jenis kue yang digunakan dalam ritual upacara tersebut.
17.
Kasenian adalah seseorang yang bertugas dalam hal kelestarian kesenian kasepuhan.
18.
Tukang dapur adalah orang yang bertugas untuk mengurus kegiatan memasak di rumah Abah.
19.
Panday adalah seseorang yang bertugas untuk membuat peralatan tani seperti cangkul dan arit.
20.
Incu putu adalah masyarakat kasepuhan Sinar Resmi baik yang tinggal di Desa Sinar Resmi maupun yang tidak.
21.
Kokolot lembur adalah perwakilan abah di setiap wilayah tertentu yang ditunjuk oleh Abah. Tugas yang harus dijalankan oleh kokolot lembur adalah mewakili incu putu. Berbeda dengan pengurus kasepuhan yang lain, kokolot lembur dipilih berdasarkan syarat-syarat seperti: (1) dipercaya oleh incu putu, (2) mampu mewakili incu putu untuk menghadap Abah, dan (3) memiliki pengetahuan dan kecakapan yang baik.
4.4
Aturan Adat, Sanksi, dan Monitoring Terhadap Aturan Kehidupan masyarakat adat kasepuhan Sinar resmi tidak terlepas dari
filosofi hidup, “tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta-eta keneh”, yang berarti
36
“tiga sewajah, dua serupa, satu yang itu juga”. Filosofi tersebut mengandung nilai bahwa hidup dapat berjalan dengan tenteram dan baik apabila tiga syarat dapat dipenuhi, yaitu: (1) tekad, ucap, dan lampah (niat, ucapan, dan tindakan) yang selaras dan dapat dipertanggungjawabkan kepada incu putu (masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi) dan sesepuh (orang tua dan nenek moyang); (2) jiwa, raga, dan perilaku yang selaras dan berakhlak; (3) kepercayaan adat sara, nagara, dan mokaha harus selaras, harmonis, dan tidak saling bertentangan satu dengan lainnya. Kehidupan masyarakat kasepuhan tidak terlepas dari berbagai aturan adat. Semua aturan adat selalu dikaitkan dengan adanya perintah dari leluhur yang terus dipelihara oleh masyarakat kasepuhan. Perintah leluhur tersebut berupa wangsit yang diberikan melalui Abah selaku ketua adat. Pelanggaran terhadap aturan adat tidak mendapatkan sanksi secara sosial tetapi akan mendapatkan hukuman dari leluhur berupa “kabendu”. Kabendu berasal dari kata bendu yang artinya marah. Menurut kepercayaan masyarakat kasepuhan, kabendu merupakan sanksi berupa penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis akibat dari kemarahan leluhur. Seseorang yang diberikan kabendu, maka hidupnya selalu gelisah dan merasa bersalah. Untuk menghilangkan kabendu tersebut maka seseorang harus ingat kesalahan atau pelanggaran yang diperbuat. Lalu, ia harus memohon ampunan kepada leluhur lewat Abah dan dilakukan ritual yang bertujuan untuk pembersihan diri. Kepercayaan terhadap leluhur, wangsit, dan ketakutan terhadap kabendu membuat tradisi tetap terpelihara dengan baik. Meskipun demikian, pengaruh globalisasi mengubah gaya hidup masyarakat terutama dalam bidang komunikasi. Masyarakat telah mengenal televisi, parabola, dan menggunakan handphone untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Beberapa rumah penduduk sudah mulai menggunakan beton. Bahkan pupuk kimia telah digunakan oleh sebagian masyarakat kasepuhan. Perubahan gaya hidup tersebut dapat dilakukan atas restu dari Abah. Selama Abah merestui maka leluhur dianggap merestui juga. Aturan tidak hanya dalam sistem pola kehidupan masyarakat tetapi juga dalam aksitektur rumah memiliki aturan sendiri, seperti:
37
1.
Rumah adat berupa rumah panggung yang dipercaya bahwa rumah panggung tersebut memenuhi prinsip tilu sapamulu (siku penyangga rumah berbentuk segitiga). Selain itu, rumah panggung ditujukan untuk menghindari aliran udara dingin dan binatang agar tidak masuk ke dalam rumah.
2.
Atap rumah terbuat dari ijuk pohon aren dengan bentuk segitiga dan bulat. Bentuk segitiga memiliki arti sebagai kesatuan agama, negara, dan adat yang harus berjalan selaras sedangkan bentuk bulat merupakan tanda bahwa manusia berasal dari lubang (tanah) dan akan kembali lagi ke lubang. Menurut penuturan sekretaris adat alasan penggunaan ijuk daripada genteng adalah sebagai berikut: “genteng kan terbuat dari tanah, masa kita masi hidup teh uda di timbun pake tanah”. Jadi alasan tersebut menjadi dasar pemilihan atap rumah menggunakan ijuk pohon aren.
3.
Berdasarkan aturan adat kasepuhan dinding rumah terbuat dari bambu. Hal tersebut ditujukan apabila masyarakat ingin berpindah rumah mereka tidak harus membangun kembali. Menurut sejarah kasepuhan, masyarakat hidup berpindah-pindah sehingga mereka menggunakan bahan rumah yang mudah dibongkar pasang.
4.
Waktu pengambilan kayu dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang baik. Masyarakat kasepuhan memiliki tanggal terlarang untuk mengambil kayu yaitu tanggal 1 Bulan Safar sampai tanggal 15 Bulan Maulid.
5.
Menghitung permukaan pintu keluar dan pintu masuk didasarkan pada hari lahir. Meskipun masyarakat kasepuhan beragama Islam tetapi mereka masih
menganut sistem keparcayaan terhadap lelulur. Misalnya, dalam sistem pertanian masyarakat menggunakan ritual atau upacara adat dari persiapan penanaman hingga perayaan hasil panen atau seren taun. Menurut masyarakat kasepuhan, padi dimaknai sebagai Dewi Sri atau Nyi Pohaci (ibu) sehingga terdapat tata cara khusus sebagai bentuk penghormatan. Masyarakat dilarang untuk menjual beras tetapi mereka diperbolehkan untuk menerima beras. Padi pun harus ditumbuk menggunakan lesung dan memasaknya harus menggunakan kayu bakar.
38
BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL
5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan yang semakin kompleks dan semakin tipisnya batasan antara kota dan desa menyebabkan proses transformasi ini semakin cepat sehingga berpengaruh terhadap pola pemilikan lahan yang ada di pedesaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian BAPPENAS-PSE-KP (2006) dalam Mardyaningsih (2010) yang menyebutkan bahwa proses dan mekanisme perubahan lahan di pedesaan merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor yang menentukan keputusan baik perorangan, kelompok maupun pemerintah melakukan perubahan kepemilikan lahan yang didorong oleh kekuatan eksternal (pasar, sistem administratif yang dikembangkan pemerintah dan kepentingan politik). Saat ini masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang berada di Kampung Sinar Resmi berada di Kawasan Tanaman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Bahkan sebagian besar hutan yang berada di sebelah selatan Gunung Halimun dianggap sebagai hutan adat masyarakat. Oleh karena itu sejarah penguasaan tanah di masyarakat Kampung Sinar Resmi tidak bisa terlepas dari keberadaan TNGHS sebagai pengelola kawasan pada saat ini. Menurut Pakpahan et al. (1992) dalam Mardyaningsih (2010) pemilikan lahan/status pemilikan lahan diartikan sebagai lahan yang dikuasai atau dimiliki oleh perorangan, sekelompok orang atau lembaga/organisasi. Hak milik ini pada umumnya secara formal dibuktikan dengan sertifikasi terhadap kepemilikan lahan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Jika sertifikat lahan belum ada minimal pemilik memiliki nomor girig atau diakui status kepemilikan berdasarkan kesepakatan tertentu. Dalam pengelolaan lahan pertanian terutama lahan pertanian padi sawah, belum tentu produksi pertanian dengan hasil pertanian yang cukup tinggi disebabkan oleh kepemilikan lahan yang luas. Dalam usahatani yang modern kadang-kadang petani tidak harus memiliki lahan sendiri namun dapat mengolah lahan dengan cara lain.
39
Pola pemilikan lahan pada masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi pada umumnya merupakan kepemilikan lahan komunal. Lahan pertanian maupun hutan yang menjadi penjamin nafkah hidup masyarakat merupakan lahan milik adat. Secara resmi sebagian besar lahan pertanian dan hutan (terutama) berada dalam kawasan TNGHS. Lahan-lahan pertanian yang lain merupakan lahan di luar kawasan namun dimiliki oleh adat, hanya sedikit yang merupakan milik individual. Pemilikan individual terutama berupa lahan-lahan yang dekat jalan besar yang jauh dari pusat kasepuhan. Salah satu ciri umum struktur dasar pertanian di Desa Sinar Resmi ialah satuan usaha tani rata-rata sangat kecil, yakni 0.19 hektar per rumahtangga, dan jumlah petani kecil sekitar 1316 rumahtangga. Proporsi usaha tani yang memiliki lebih dari 1 hektar hanya 4 persen. Berikut tabel yang menunjukkan penyebaran aset tanah di Desa Sinar Resmi: Tabel 6. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Pemilikan Tanah di Desa Sinar Resmi Tahun 2009 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Luas 221 14.37 Sedang 190 12.36 Sempit 448 29.15 Tunakisma 678 44.12 1537 100 Sumber: Desa Sinar Resmi, 2009
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa pemilikan tanah di Desa Sinar Resmi sangatlah terbatas. Sebanyak 44.12 persen merupakan masyarakat yang tunakisma. Hal ini dapat berdampak terhadap status mereka dalam pengusahaan lahan pertanian. Status masyarakat dalam pengelolaan dapat berbeda sesuai dengan akses yang dimiliki seseorang terhadap sumberdaya tanah. Tabel 7 menyajikan komposisi responden berdasarkan status garapan yang terdapat di masyarakat Kampung Sinar Resmi. Tabel 7. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Status Garapan di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Status Jumlah (n) Persentase Pemilik 2 6.4 Penggarap 4 13 Pemilik dan penggarap 25 80.6 31 100.0 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
40
Jumlah proporsi pemilik penggarap lebih besar dibandingkan hanya sebagai pemilik maupun hanya sebagai penggarap. Namun, dalam luasan yang dimiliki pada umumnya berada pada skala kecil seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 8: Tabel 8. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Pemilikan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Luas 6 19.3 Sedang 6 19.3 Sempit 14 45.2 Tunakisma 5 16.2 31 100.0 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Sebagian besar penduduk memiliki lahan di bawah 0,5 hektar. Hal ini menunjukkan walaupun masyarakat sebagian besar sebagai pemilik penggarap, namun luas yang dimiliki jumlahnya sedikit. Pemilikan tanah masyarakat yang terbatas mendorong berbagai kegiatan yang membuka akses petani terhadap tanah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan. Masyarakat yang berada di penguasaan lahan sempit sebesar 45.2 persen dengan rata-rata 0.13 hektar, penguasaan lahan sedang dengan rata-rata 0.4 hektar, dan penguasaan lahan luas dengan rata-rata 1.0 hektar. 5.2 Pola Penguasaan Lahan Pola penguasaan lahan dalam pertanian desa oleh Darwis (2008) dalam Mardiyaningsih (2010) diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap (bagi hasil) dan gadai. Pakpahan et al. (1992) dalam Mardiyaningsih (2010) mendefinisikan sewa, sakap, dan gadai sebagai bentuk penguasaan lahan dimana terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada orang lain. Pada masyarakat pedesaan ketiga bentuk penguasaan lahan tersebut pada umumnya mempunyai aturan tertentu yang disepakati maupun tanpa menggunakan jaminan surat-surat berharga yang secara formal disahkan oleh pemerintah (misalnya: sertifikat lahan). Masyarakat Kampung Sinar Resmi menguasai tanah melalui berbagai bentuk meliputi milik, sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai. Melalui bentuk-bentuk tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi yang pada
41
akhirnya dapat meningkatkan kedaulatan pangan masyarakat. Penguasaan tanah di Kampung Sinar Resmi dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Luas 7 22.6 Sedang 8 25.8 Sempit 16 51.6 31 100.0 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Penguasaan tanah masyarakat Kampung Sinar Resmi didominasi oleh penguasaan lahan sempit atau 0-0.25 hektar yakni 51.6 persen masyarakat berada dalam kategori tersebut. Masyarakat yang tidak memiliki tanah dapat menguasasi tanah pertanian dengan cara gadai, menyewa, dan menjadi buruh. Penguasaan lahan sempit mempunyai rata-rata luas sebesar 0.08 hektar. Sebagian besar dari kategori tersebut menambah luas garapan mereka dengan membuka huma di tanah gogolan atau lahan komunal dan menjalin hubungan kerja dengan masyarakat lain sesuai dengan ketentuan yang disepakati bersama seperti sewa, gadai, dan bagi hasil (maro). Penguasaan lahan sedang terdiri dari 25.8 persen masyarakat dengan penguasaan rata-rata 0.37 hektar sedangkan penguasaan lahan luas terdiri dari 22.6 persen dengan rata-rata 1.0 hektar. Pada masyarakat Kampung Sinar Resmi, kepemilikan tanah dapat berupa milik kasepuhan atau tanah komunal, tanah ini biasa dijadikan huma oleh masyarakat. Anggota komunitas mendapat hak untuk menguasai dalam hal ini sebagai pengelola lahan dimana anggota komunitas tersebut berhak untuk menggarap lahan komunal. Hak garap ini jika tidak sanggup dilakukan oleh satu keluarga dapat dialihkan kepada anggota komunitas yang lain dengan sistem bagi hasil (sakap) namun lahan-lahan ini tidak dapat diperjualbelikan dan menuruti aturan adat dalam pola pengelolaannya. Masyarakat yang ikut membuka lahan di huma diatur oleh hukum adat yakni dapat memiliki huma sebagai lahan pertanian tetapi tanah tersebut tidak boleh dijual. Tanah dapat diwariskan kepada keluarga yang ingin mengelola. Jika sudah tidak dapat mengelola maka pihak lain dapat menggunakan tanah tersebut. Melalui pengelolaan huma, maka masyarakat yang tidak memiliki tanah akan memiliki akses terhadap sumberdaya vital produksi sehingga dapat meningkatkan
42
kedaulatan pangan rumahtangga Kampung Sinar Resmi. Tabel 10 menyajikan data mengenai penguasaan huma di Kampung Sinar Resmi. Tabel 10. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Huma di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Tidak mengikuti 16 51.6 Luas 0 0 Sedang 0 0 Sempit 15 48.4 31 100 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Terlihat dalam Tabel 10 bahwa 48.6 persen penduduk mengelola huma serta mempunyai luas rata-rata 0.03 hektar. Sisanya tidak mengelola huma karena kondisi waktu yang terbatas untuk mengelola huma dan kondisi lainnya. Pada dasarnya kegiatan ngahuma merupakan suatu hal yang penting dalam perjuangan hidup mereka sebagai suatu kelompok sosial. Kegiatan ngahuma juga merupakan suatu tradisi untuk melanjutkan tatali paranti karuhun (tata cara nenek moyang). Masyarakat juga percaya bahwa huma merupakan wujud nyata hubungan masyarakat dengan alam. 5.3
Hubungan Struktur Penguasaan Tanah terhadap Kelembagaan Pangan Lokal Pola
pemilikan
lahan
dan
penguasaan
lahan
berkaitan
dengan
kelembagaan pangan dalam membangun kemampuan rumahtangga dalam mencukupi pangannya sendiri. Pada masyarakat pedesaan yang menggantungkan nafkahnya pada sektor pertanian, pola hubungan sosial ikut berubah seiring dengan perubahan pemilikan dan penguasaan lahannya. Dalam tulisan Sajogyo (1992) dalam Mardyaningsih (2010) dijelaskan bahwa modernisasi di pedesaan Jawa hanya menguntungkan petani-petani berlahan luas dan mendorong terjadinya akumulasi penguasaan lahan yang menyebabkan petani-petani kecil menjadi buruh di lahannya sendiri. Hal tersebut juga mendorong tersingkirnya perempuan dari sektor pertanian karena kemudian laki-laki yang tadinya petani di lahannya sendiri berubah menjadi buruh tani dan mengambil peran perempuan dalam sektor pertanian dikarenakan tidak adanya kesempatan kerja lain di
43
pedesaan dan dengan sendirinya tingkat ketergantungan perempuan perempuan dalam rumahtangga terhadap laki-laki meningkat. Kondisi tersebut belum terjadi pada masyarakat Kampung Sinar Resmi. Dalam pengelolaan lahan pertanian peran laki-laki dan perempuan relatif seimbang dan sama-sama dalam pengerjaan budidaya pertanian mulai dari persiapan lahan sampai proses pengolahan hasil panen. Meskipun demikian terdapat juga beberapa perbedaan jenis kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Terdapat aturan tertentu yang hanya memperbolehkan laki-laki atau perempuan saja yang mengerjakan suatu kegiatan budidaya pertanian. Dalam persiapan lahan sawah yang menggunakan bajak dan cangkul harus dilakukan oleh laki-laki. Begitu pula yang memberi doa dan pemilihan benih padi harus Abah sebagai ketua adat. Untuk menanam, memelihara tanaman (ngoret), memupuk dan memanen dapat dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Untuk menumbuk padi hanya diperbolehkan dilakukan oleh perempuan. Dari pembagian kerja tersebut, peran laki-laki dan perempuan cukup seimbang dalam bidang pertanian. Kelembagan lokal yang berkembang di masyarakat cukup baik antara pemilik lahan dan tenaga kerja di Kampung Sinar Resmi relatif seimbang. Polapola hubungan kerja yang dikembangkan masih berupa hubungan gotong royong dan tidak bersifat komersial. Pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di luar tenaga kerja rumahtangga atau keluarga, sistem yang digunakan adalah saling membantu dan bergiliran dalam mengerjakan lahan pertanian antara satu keluarga dengan keluarga yang lain (gilir balik tenaga kerja). Sistem membantu tersebut dinamakan sistem ngepak. Memanen di sawah orang lain dan menerima sebagian dari hasil panenan sebagai upah memanen merupakan kebiasaan di Desa Sinar Resmi. Pemanen menerima upah memanen 1/5 bagian (20 persen) dari hasil yang dipanen dimana setiap 5 pocong padi yang dihasilkan tenaga kerja yang memotong padi mendapat upah satu ikat. Ikatan-ikatan padi biasanya disimpan di sawah/huma selama satu bulan untuk proses pengeringan dengan ditutup daun patat. Setelah sekitar satu bulan dilakukan penggantian ikatan pada padi (di-pocong ulang). Pada saat penggantian tali pocong ini, biasanya dibantu tenaga kerja dari tetangga namun tidak memberikan upah, tetapi
44
hanya menyediakan makanan. Kegiatan ini biasa dilakukan bergantian antar rumahtangga tergantung ketersediaan waktu dari tenaga kerja yang dibutuhkan. Masyarakat yang datang membantu dengan niat untuk bekerja tidak dapat ditolak oleh pemilik sawah. Namun pemilik mempunyai hak untuk menentukan batas jumlah yang ikut, dan keputusan ini ditaati oleh warga yang ikut. Masyarakat di Kampung Sinar Resmi mengenal penguasaan tanah melalui sistem gadai yakni penguasaan tanah dimana seseorang dapat menguasai tanah dari pemilik asli berdasarkan kontrak. Pada umumnya masyarakat yang mempunyai tanah menggadaikan tanah karena membutuhkan sejumlah uang, jika menjual tanah dirasa kurang baik karena akan dapat membayar uang tersebut dalam waktu jangka pendek. Masyarakat yang terlibat dalam gadai dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Gadai Tahun 2011 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Tidak mengikuti 29 93.5 Luas 0 0 Sedang 0 0 Sempit 2 6.5 31 100 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Masyarakat yang terlibat dalam sistem gadai sangat sedikit, dari seluruh responden hanya 6.5 persen yang terlibat dalam sistem gadai dengan rata-rata penguasaan 0.1 hektar. Hal ini karena masyarakat masih memiliki hubungan yang sangat harmonis dan saling tolong-menolong sehingga masyarakat yang tidak mempunyai tanah dan modal bisa tetap menghasilkan padi. Apabila sawah sudah digadaikan, maka seluruh keputusan yang menyangkut penggarapan sawah tersebut, termasuk soal biaya faktor-input, dan tenaga kerja berada di tangan pemegang gadai. Begitu juga dengan pemungutan seluruh hasil sawah tersebut. Menguasai sebidang sawah melalui kontrak gadai, lebih baik dan lebih menguntungkan karena kekuasaan penggarapan dan pemungutan hasil seluruhnya di tangan pemegang gadai. Namun, tentu tidak semua orang bisa jadi pemegang gadai, diperlukan modal yang relatif besar untuk itu. Kontrak gadai selalu dimulai
45
dengan masalah kebutuhan uang yang mendadak dalam jumlah yang relatif besar dari pihak pemilik lahan, misalnya untuk membiayai kebutuhan mendadak. Karena tidak mempunyai harta lain, maka menggadaikan sawah merupakan pilihan jalan keluar yang terbaik dari kesulitan keuangan tersebut. sementara itu meminjam uang ke bank memerlukan prosedur yang panjang. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat lebih suka gadai daripada menjual. Pertama, menjual sawah dalam keadaan terdesak akan menurunkan harga sawah. Kedua, jumlah uang yang dibutuhkan jauh lebih kecil daripada harga sawah yang akan dijual. Ketiga, pemilik sawah mempunyai keyakinan bahwa dia akan dapat membayar hutangnya dalam waktu singkat. Sistem bagi hasil dikenal masyarakat Kampung Sinar Resmi dalam meningkatkan akses rumahtangga mencapai kedaulatan pangan. Sistem bagi hasil lebih dikenal di masyarakat Kampung Sinar Resmi dengan istilah maro. Dalam sistem maro pembagian hasil antara pemilik dan penggarap 50:50. Biasanya ada selisih jika dalam pengolahan lahan terdapat biaya lain seperti penyediaan pupuk dan lainnya. Maka untuk penghitungan hasil-biaya pembelian dikurangi terlebih dahulu sebelum dibagi rata. Hal ini sesuai dengan penuturan UG yang mengikuti sistem maro: “…kalo maro mah bagi padina dibagi dua, jadi setengah di yang punya tanah dan setengah lagi di yang ngerjain. Biasana hasil dikurangi dulu dengan ongkos-ongkos alat dan lainnya…” Umumnya yang melakukan kontrak maro adalah keluarga dekat. Kontrak maro dengan orang di luar keluarga dekat sangat jarang, namun bukan tidak mungkin. Kalau ada, maka kontrak ini dibuat dengan tetangga dekat, atau antara klien dan patron dimana sang patron adalah pemilik tanah. Kontrak maro yang dibuat antara anak-orang tua sebenarnya lebih merupakan bantuan kekerabatan daripada hubungan bisnis. Karena kontrak seperti ini lebih menguntungkan pihak pemaro (anak). Disini semua tenaga kerja berasal dari pemaro, faktor input seperti benih dan pupuk ditanggung bersama. Pengambilan keputusan penting dalam penggarapan, misalnya berapa jumlah pupuk berada di tangan pemaro. Namun pada masa awal kontrak, sang pemaro
46
sering berkonsultasi dengan pemilik lahan (orang tua) dan merupakan pelajaran bertani yang diberikan orang tua kepada anaknya. Dalam kontrak maro dengan orang lain, faktor input ditanggung pemaro. Karena reputasi pemaro sebagai petani sawah sudah dikenal baik oleh pemilik sawah, biasanya pengambilan keputusan dalam pengerjaan sawah juga diserahkan kepada pemaro. Dalam kenyataan, pemilik sawah dalam waktu tertentu perlu bertanya mengenai perkembangan usaha karena pemilik sawah juga peduli dengan jumlah produksi sawah tersebut. Penguasaan tanah melalui sistem maro di Kampung Sinar Resmi dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Maro Tahun 2011 Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Tidak mengikuti 27 87 Luas 0 0 Sedang 1 3.3 Sempit 3 9.7 31 100 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Masyarakat yang terlibat dalam sistem maro sangat sedikit terbukti hanya 13 persen. Sebanyak 9.7 persen masyarakat menguasai luas lahan sempit dengan rata-rata 0.12 hektar dan sisanya berada di penguasaan lahan sedang dengan ratarata 0.28 hektar. Responden mengaku bahwa mereka terlibat sistem maro dengan keluarga mereka. Berikut pernyataan Bapak OM: “ …kalo abdi teh maro nya ama orang tua, biasana hasil panen dibagi dua. Orang tua ngasi aja tanah buat dikerjakeun, abdi ka sawah. Kalo panen hasil dikurangi biaya-biaya nyawah, baru dibagi dua…” Responden menyatakan bahwa sistem ini cukup menguntungkan karena hanya bermodalkan tenaga kerja. Biaya yang melingkupi produksi dan resiko ditanggung bersama. 5.4
Struktur Penguasaan Tanah dalam Membangun Kedaulatan Pangan Akses terhadap sumberdaya tanah merupakan salah satu indikator
kedaulatan pangan. Akses yang merata dan adil akan mendorong masyarakat
47
untuk meningkatkan kedaulatan pangan. Masyarakat yang mempunyai tanah tidak mempunyai masalah dalam mengusahakan pertanian namun menjadi masalah ketika terdapat masyarakat tidak mempunyai tanah. Pada dasarnya masyarakat mempunyai akses terhadap tanah komunal yang ketentuan pengelolaannya juga diatur oleh adat setempat. Masyarakat dapat membuka
tanah
untuk
dijadikan
huma
kemudian
mengolahnya
untuk
menghasilkan padi. Namun, tidak semua masyarakat ikut dalam mengelola huma seperti yang terlihat pada Tabel 10. Hal tersebut dikarenakan oleh terbatasnya alat produksi dan jarak yang jauh untuk bisa mencapai lokasi huma. Selain itu, ngahuma juga menghasilkan padi yang sedikit sehingga membuat petani yang tidak mempunyai tanah lebih memilih untuk menjadi penggarap di tanah orang lain. Masyarakat dapat menguasai tanah baik melalui milik, sewa, bagi hasil, ataupun gadai. Masyarakat yang tidak dapat mengakses sumberdaya tanah sebagai lahan pertanian dapat memenuhi kebutuhan dengan menjadi pekerja untuk orang lain. Seperti salah seorang penduduk yang memenuhi kebutuhan pangan seharihari diperoleh dari hasil membantu Abah atau masyarakat yang membutuhkan tenaga kerja. Berikut pernyataan RS mengenai kondisi pemenuhan kebutuhannya: “ …abdi tidak punya tanah, tapi dapat padi dari Abah atau masyarakat yang butuh bantuan tenaga kerja. Abdi bekerja di Abah mengurus leuit-nya dan dapat memperoleh padi dari leuit. Abdi bisa ambil sendiri, Abah mah percaya…” Pernyataan responden di atas menggambarkan hubungan saling tolong menolong di masyarakat. Masyarakat yang tidak memiliki tanah dapat bekerja pada orang lain yang membutuhkan atau hanya sekedar membantu panen. Hal tersebut
sangat
berpengaruh
terhadap
peningkatan
kedaulatan
pangan
rumahtangga yang kurang mampu mengakses sumberdaya. Selain itu, rasa saling percaya juga sangat kuat dalam berhubungan dengan masyarakat terlihat dari rasa percaya Abah kepada orang yang membantunya untuk mengambil sendiri padi yang dibutuhkan .
48
5.5
Ikhtisar Kampung Sinar Resmi merupakan kampung yang masyarakatnya sebagian
besar hidup dari usaha pertanian. Salah satu faktor penting dalam pengusahaannya yakni tanah. Tanah sebagai sumberdaya vital dalam proses produksi. Oleh karena itu, struktur penguasaan tanah yang berkembang sangat penting untuk mengetahui kemampuan rumahtangga dalam mencapai kedaulatan pangan. Sebagian besar rumahtangga merupakan petani pemilik penggarap. Namun, luasan yang mereka miliki rata-rata kecil yakni kurang dari 0.25 hektar per rumahtangga. Rumahtangga yang tidak memiliki tanah dapat menggarap tanah dengan cara memperolehnya dari orang lain melalui sewa, sakap, dan gadai. Cara tersebut membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu masyarakat juga bisa mengelola huma di tanah komunal yang pengaturannya diatur oleh adat. Dalam membangun kedaulatan pangan akses tanah sangat penting, sebagian masyarakat di Kampung Sinar Resmi dapat mengakses tanah. Untuk masyarakat yang kurang dapat memenuhi kebutuhan pangannya melalui hubungan saling tolong-menolong untuk dapat memenuhi kebutuhan.
49
BAB VI MENUJU KEDAULATAN PANGAN MASYARAKAT KAMPUNG SINAR RESMI
6.1
Karakteristik Kedaulatan Pangan Kedaulatan masyarakat mempunyai tujuan untuk mensejahterakan
masyarakat. Dalam proses membangun kedaulatan pangan terdapat karakteristik yang mencerminkan bahwa suatu kondisi mencapai karakter yang ideal. Kedaulatan pangan suatu masyarakat mempunyai karakter: produksi pangan lokal serta memanfaatkan usahatani petani kecil dan keluarga yang agro-ekologis; menjamin akses tanah dan sumber-sumber daya yang vital; menghormati peran wanita dalam produksi pangan, akses atas sumberdaya; mendorong kontrol komunitas atas sumberdaya produktif; dan melindungi benih dari pematenan. 6.2
Sistem Pertanian Lokal Kegiatan pertanian merupakan salah satu sektor utama penghidupan
rumahtangga masyarakat Kampung di Sinar Resmi. Ada kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat kasepuhan bahwa siapa yang menggarap lahan pertanian dan bermatapencaharian sebagai petani, tentu hidupnya tidak akan kekurangan. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat adalah pertanian sawah tadah hujan, huma (ladang), dan kebun. Pertanian di huma maupun sawah merupakan kegiatan pertanian yang mendominasi masyarakat kasepuhan karena dari huma dan sawah ini masyarakat menanam padi yang merupakan komoditi pertanian utama. Padi yang dihasilkan merupakan padi lokal yang disebut pare ageung. Huma merupakan hal yang diutamakan dalam budaya masyarakat. Posisi huma ini menganjurkan agar mengelola huma harus lebih dulu kemudian mengelola sawah. Kegiatan ber-huma memanfaatkan musim penghujan, dimulai sekitar bulan September sampai Oktober, kemudian diikuti menanam padi sawah. Hasil dari menanam padi di huma dan sawah, nantinya ada yang masuk ke leuit masing-masing rumahtangga dan adapula yang masuk ke leuit sijimat (lumbung kasepuhan). Saat upacara seren Taun (pesta panen), setiap rumahtangga akan memberi hasil padinya sekitar dua pocong untuk dimasukkan ke dalam leuit sijimat yang digunakan sebagai cadangan pangan bagi masyarakat saat musim
50
paceklik. Selain itu, leuit sijimat dapat digunakan oleh masyarakat untuk keperluan meminjam padi. Dalam melaksanakan kegiatan menanam padi di huma maupun sawah, masyarakat memiliki prosesi kegiatan sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Tahapan kegiatan menanam padi di huma dapat dilihat pada Tabel 13: Tabel 13. Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Huma menurut Bulan dan Pelaksana di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 No Kegiatan Bulan (Sistem Pelaksana* Kalender Islam) 1 2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Narawas (menandai lokasi yang akan dijadikan huma) Nyacar (membersihkan lahan, biasanya selama 1 minggu kemudian dikeringkan selama 15 hari sampai 1 bulan) Ngaruhu (membakar semak yang kering untuk dijadikan pupuk) Ngerukan (membakar sisa-sisa yang belum terbakar) Ngaduruk (membakar sisa-sisanya) Nyara (meremahkan tanah) Ngaseuk (penanaman bibit padi dengan menggunakan tongkat atau aseuk) Ngored (menyiangi rumput) Mipit/ Dibuat (memotong padi/ panen) Ngadamet lantayan (membuat tempat menjemur padi) Mocong (mengikat padi yang kering) Ngalantaykeun (proses menjemur padi pada lantayakan) Ngunjal (diangkut ke lumbung padi) Ngaleuitkeun (memasukkan ke lumbung) Ngeuleupkeun (dirapikan) Ngadieukeun indung pare (menyimpan padi di dalam leuit)
Jumadil Awal
Lk
Jumadil Awal
Lk, Pr, P
Jumadil Akhir
Lk
Jumadil Akhir
Lk, Pr, P
Jumadil Akhir
Lk, Pr
Jumadil Akhir
Lk, Pr, P
Rajab
Lk, Pr, P
Ruwah
Lk, Pr, P
Haji
Lk, Pr
Haji
Lk
Muharram
Lk, Pr, P
Muharram
Lk, Pr
Muharram
Lk
Muharram
Lk, Pr
Muharram
Lk
Muharram
Lk
51 17
Selametan (ampih pare)
Muharram
Lk, Pr, P
Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Keterangan: *Lk: laki-laki, Pr: perempuan, P: pemuda/pemudi Tabel 13 menggambarkan mengenai prosesi kegiatan menanam padi di huma, yang dilakukan pada bulan tertentu dan ada pembagian tugas antara lakilaki, perempuan, dan pemuda atau pemudi. Pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan sudah cukup merata. Peran wanita dalam produksi yang besar membuat posisi wanita penting dalam membangun kedaulatan pangan. Masyarakat kasepuhan diwajibkan untuk menanam padi di huma karena merupakan salah satu sistem pertanian warisan leluhur. Tabel 14. Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Sawah menurut Bulan dan Pelaksana di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Pelaksana* No. Kegiatan Bulan (Sistem Kalender Islam) 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12
Numpang Galeng (membuat pematang) Ngabaladah (menyiangi lahan) Ngambangkeun (mengisi lahan dengan air/ merendam) Ngangler (membersihkan permukaan lahan dari gulma yang tumbuh sebagian persiapan untuk tebar) Tebar/ Ngipuk (membuat persemaian padi dengan cara menebar untaian padi) Tandur (menanam padi) Ngarambet (membersihkan gulma yang ada di sawah) Babat galeng (membersihkan rumput di pematang sawah) Dibuat ku etem/ neugel (panen padi dengan alat etem/ aniani) Ngadamel lantayan (membuat tempat jemuran padi) Ngalantay (menjemur padi di lantayan) Mocong pare (mengikat padi menjadi pocong)
Muharram
Lk, P
Silih Mulud
Lk, P
Jumadil Awal
Lk, P
Ruwah
Lk, Pr, P
Jumadil Akhir
Lk, Pr
Ruwah
Lk, Pr, P
Puasa
Pr
Syawal
Lk, Pr, P
Haji
Lk, Pr, P
Haji
Lk
Haji
Lk
Sapar
Lk, Pr, P
52 13 14 15 16 17
Diangkut ka leuit/ Ngunjal (mengangkut padi ke leuit/ lumbung) Ngaleuitkeun (memasukkan ke leuit/ lumbung) Dieulep di leuit (merapikan padi di dalam leuit/ lumbung) Ngadiukkeun indung (memasukkan padi induk ke dalam leuit) Disalametan nganyaran (selamatan sebagai tanda syukur dengan memasak padi pertama kali)
Sapar
Lk
Sapar
Lk
Sapar
Lk, Pr
Sapar
Lk, Pr
Silih mulud
Pr
Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Keterangan: *Lk: laki-laki, Pr: perempuan, P:pemuda/pemudi Tabel diatas menggambarkan prosesi kegiatan menanam padi di sawah, yang dilakukan pada bulan tertentu dan pembagian peran antara laki-laki, perempuan, dan pemuda atau pemudi. Peran tersebut relatif seimbang dan samasama dalam mengerjakan budidaya pertanian mulai dari persiapan lahan sampai proses pengolahan hasil panen. Meskipun demikian terdapat juga beberapa perbedaan jenis kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Terdapat aturan adat tertentu yang hanya memperbolehkan laki-laki atau perempuan saja mengerjakan suatu kegiatan budidaya pertanian. Dalam persiapan lahan sawah yang menggunakan bajak dan cangkul khusus dilakukan oleh laki-laki. Begitu pula yang memberi do’a dan pemilihan benih padi harus Abah sebagai ketua adat. Untuk menanam, memeliihara tanaman (ngoret), memupuk dan memanen dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Namun untuk menumbuk padi hanya diperbolehkan dilakukan oleh perempuan. Dari pembagian kerja tersebut, peran laki-laki dan perempuan sudah cukup seimbang dalam pertanian. Selain rangkaian tahapan menanam masyarakat Kampung Sinar Resmi juga memiliki berbagai kegiatan pertanian. Rangkaian seluruh kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sinar Resmi antara lain: 1. Ngaseuk, merupakan dimulainya kegiatan menanam padi di huma dengan memasukan benih ke dalam lubang. 2. Beberes mager, merupakan ritual untuk menjaga padi dari serangan hama. Kegiatan ini dilakukan oleh pemburu di ladang milik kasepuhan dengan
53
diawali dengan pembacaan doa. Kegiatan ini dilaksanakan sekitar bulan Muharam. 3. Ngarawunan, merupakan ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh subur dan tidak ada gangguan. Kegiatan ini dilakukan oleh semua incu putu setelah padi berumur tiga sampai empat bulan. 4. Mipit, merupakan kegiatan memanen padi yang dilakukan lebih dahulu oleh Abah sebagai pertanda masuknya musim panen. 5. Nutu, merupakan kegiatan menumbuk padi pertama setelah panen. 6. Nganyaran, merupakan kegiatan memasak nasi menggunakan padi hasil penen pertama, dua bulan setelah masa panen. 7. Tutup nyambut, merupakan kegiatan yang menandakan selesainya semua aktivitas pertanian di sawah yang ditandai dengan acara selamatan. Tutup nyambut juga dijadikan sebagai pertanda dimulainya masa untuk membajak sawah dan mempersiapkan lahan untuk ditanam kembali. 8. Seren taun, merupakan acara yang ditujukan untuk mensyukuri hasil panen pada tahun tersebut. Acara tersebut berisi hiburan untuk masyarakat yang telah bekerja dalam pertanian selama satu tahun. Sebulan sebelum acara saren taun dimulai, sebelumnya ada musyawarah yang melibatkan seluruh incu putu untuk menentukan besarnya anggaran yang dibutuhkan. Kegiatan pertanian sudah menjadi ciri khas, tradisi, dan cara hidup pada rumahtangga masyarakat Kampung Sinar Resmi. Gambaran rumahtangga masyarakat
menunjukkan
pencapaian
dalam
memenuhi
kebutuhannya.
Rumahtangga masyarakat di Kampung Sinar Resmi pada umumnya memiliki jumlah tanggungan tiga orang. Lahan garapan yang dikelola oleh rumahtangga di Kampung Sinar Resmi adalah 9.68 patok (3872 m2). Ukuran patok merupakan ukuran yang pada umumnya digunakan oleh masyarakat kasepuhan untuk mengetahui luas lahan yang digarap. Satu patok bila dikonversi dalam satuan luas sama artinya dengan 400 m2. Sistem pertanian yang diterapkan yaitu huma, sawah, dan kebun dengan komoditi utama adalah padi lokal. Tanaman padi meskipun merupakan komoditi utama tetapi bukan untuk diperjualbelikan. Aturan adat kasepuhan melarang bagi para incu putu (pengikut) Kasepuhan Sinar Resmi untuk menjual padi apalagi dalam bentuk beras. Masyarakat percaya beras
54
merupakan sosok ibu yang filosofinya tidak boleh menjual “ibu” karena akan dianggap berdosa. Padi yang dihasilkan, hanya
digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan sehari-hari saja. Kalaupun ada rumahtangga yang kekurangan pangan dan membutuhkan padi, mereka bisa meminjam padi dari lumbung kasepuhan atas seizin Abah. Mengenai produktivitas padi, dalam sekali panen yakni satu tahun sekali, sesuai dengan aturan adat kasepuhan. Hasil yang diperoleh juga beragam sesuai dengan pengusahaan masing-masing rumahtangga. Jumlah padi yang dihasilkan dihitung berdasarkan satuan lokal yakni “pocong”. Jika dikonversikan menjadi kilogram maka 1 pocong sama dengan 4 kilogram. Berikut Tabel 15 menyajikan data hasil pertanian menurut luas pengusahaan di Kampung Sinar Resmi: Tabel 15. Jumlah Padi yang Dihasilkan Rumahtangga menurut Luas pengusahaan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Luas Pengusahaan Tanah Jumlah padi yang dihasilkan (pocong) Luas 3767 Sedang 2112 Sempit 1991 Total 7870 Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Rumahtangga responden masyarakat Kampung Sinar Resmi menghasilkan padi 7870 pocong atau sekitar 31,480 kilogram. Jika dihitung berdasarkan jumlah tanggungan rumahtangga, maka tiap rumahtangga memiliki produktivitas hasil pertanian rata-rata 253.8 pocong atau 1015.4 kg/rumahtangga. Jumlah tersebut dirasakan cukup oleh responden untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama satu musim tanam. Tanaman pertanian lain yang biasanya dibudidayakan adalah tanaman palawija dan tanaman obat-obatan jenis kapulaga. Biji kapulaga biasanya dikeringkan dan dijual ke pedagang yang datang ke kampung ini. Selain dari tanaman, beberapa masyarakat memelihara ternak sebagai usaha sampingan dan tabungan untuk memenuhi kebutuhan yang mendadak. Untuk menopang kebutuhan masyarakat juga ada yang mengolah aren. Masyarakat memposisikan pohon aren sebagai pohon yang cukup istimewa karena seluruh bagian dari pohon aren bermanfaat. Karena manfaat yang banyak inilah, orangtua atau kolot di masyarakat kasepuhan menanamkan nilai-nilai yang baik pada anak-anaknya yaitu ‘hirup kudu siga tangkal kawung’ yang artinya
55
‘sebagai manusia hidup harus seperti pohon aren yang memiliki banyak manfaat dan dapat berguna bagi orang lain’. Semua bagian pohon aren dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, antara lain air nira untuk gula aren dan cuka, buah aren (kolang kaling) untuk dikonsumsi sebagai makanan, akarnya untuk obat tradisional, daun muda/janur untuk pembungkus kertas rokok, dan batangnya untuk membuat sagu aren serta berbagai macam peralatan dan bangunan. Masyarakat memanfaatkan air niranya untuk dijadikan gula aren dalam bentuk gula batok/kojor. Namun seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat mulai mengolah gula aren dalam bentuk gula semut. Awalnya aren merupakan salah satu hasil hutan atau kebun yang dimanfaatkan masyarakat kasepuhan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, seiring berjalannya waktu hasil aren pun ternyata memiliki nilai ekonomis sehingga masyaarakat kasepuhan pun mulai memanfatkan aren sebagai sumber pendapatan bagi rumah tangga. Mata pencaharian utama masyarakat kasepuhan yang umumnya adalah petani padi, baik sawah maupun huma. Oleh karena itu, menyadap aren merupakan pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan untuk menambah pendapatan mereka berupa uang. Selain itu, mereka juga memperoleh pendapatan dari menjual hasil kebun lain seperti sayur, buahbuahan, dan kayu serta pekerjaan lainnya sebagai tukang ojek dan kuli Terkait dengan pengolahan lahan pertanian., tidak semua pekerjaan bisa dilakukan sendiri oleh anggota rumahtangga. Selama satu musim tanam yang dilakukan terdapat kegiatan yang dilakukan dengan bantuan orang lain. Seperti pada saat kegiatan panen, masyarakat lain yang ingin membantu dapat ikut memanen. Karakteristik sistem penghidupan dan nafkah yang dikembangkan rumahtangga di pedesaan sangat ditentukan oleh sistem sosial-budaya masyarakat setempat dengan tiga elemen penting, yaitu: infrastruktur sosial, struktur sosial, dan supra struktur sosial. Terkait dengan struktur sosial (setting lapisan sosial, struktur sosial, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal). Infrastruktur sosial dalam hal ini adalah setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku. Infrastruktur sosial ini dilandasi oleh elemen supra
56
struktur sosial yang terdiri dari setting ideologi, etika moral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku. Kedua elemen ini satu sama lain saling berkaitan dan menjadi dasar pengembangan sistem kelembagaan ekonomi di masyarakat pedesaan. Dari elemen supra struktur sosial masyarakat kasepuhan yang mewakili masyarakat pedesaan tradisional setting ideologi, etika moral ekonomi dan sistem adat yang berlaku dilandaskan pada peraturan adat dimana manusia selaras dengan alam. Dengan sendirinya kelembagaan sosial dan tatanan sosial yang dibuat selalu menjaga agar terjadi harmonisasi dengan alam sekitarnya. Oleh karenanya kelembagaan ekonomi yang dibangun masih berupa sistem produksi subsisten yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri. Masyarakat Desa Sinar Resmi dalam kehidupan sehari-hari patuh terhadap peraturan adat yang berlaku. Peraturan adat sebagai infrastruktur sosial dalam komunitas ini dilandasi oleh supra struktur sosial yang menyelaraskan kehidupan antara manusia dengan alam. 6.3
Pertanian Agro-ekologis Ideologi yang paling mendasar pada masyarakat ini adalah menjunjung
tinggi falsafah hidup “Ibu Bumi Bapak Langit dan Guru Mangsa”. Falsafah tersebut berarti bahwa manusia tergantung dengan alam seperti anak yang tergantung pada ibunya. Oleh karena itu, dimanapun tempat tinggalnya harus selalu menghormati alam di tempat tinggalnya. Falsafah ini yang kemudian juga diwujudkan dengan adanya aturan bahwa menanam padi hanya boleh satu tahun sekali. Menurut falsafah ini “ibu” sebagai bumi dengan Dewi Sri sebagai simbol kesuburan diibaratkan seperti ibu dan tanaman merupakan anak-anaknya. Oleh karena itu,jika bumi dieksploitasi dengan menanam padi lebih dari satu kali dalam satu tahun sama seperti seorang ibu yang dipaksakan melahirkan anak lebih dari satu tahun sekali, maka bumi akan menjadi rusak. Dasar falsafah ini menitikberatkan pada penyelarasan manusia dengan alam. Dalam istilah ekologi falsafah ini dapat disejajarkan dengan agro-ekologis, sehingga kebutuhan manusia terpenuhi namun alam tidak mengalami krisis ekologi yang berlebihan. Dari falsafah tersebut, masyarakat Sinar Resmi mengembangkan tiga konsep adat sebagai dasar kelembagaan/tatanan kehidupan sehari-hari (norma), yaitu:
57
a) Nyangkulu ka hukum, yang lebih tinggi dari kepala adalah hukum sehingga hukum harus asli dan diikuti oleh masyarakat. Manusia jika ingin teratur maka harus mengikuti aturan yang dibuat oleh pencipta manusia. Menurut dasar ini, norma utama yang harus dipegang oleh masyarakat adalah aturan agama. Dalam hal ini, bagi anggota masyarakat aturan agama yang dipegang adalah aturan agama Islam. b) Nunjang ka nagara, norma kedua yang harus dipatuhi oleh anggota komunitas adalah ketundukan kepada peraturan negara (hukum formal). Dengan dasar ini sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia, masyarakat kasepuhan juga merupakan warga negara dan sebagai warga negara harus patuh terhadap hukum yang berlaku di negara ini. Salah satu bentuk kepatuhan anggota komunitas adalah mendukung programprogram yang dicanangkan oleh pemerintah sepanjang tidak bertentangan dengan falsafah hidup dan hukum agama yang dipegang oleh masyarakat. c) Mupakat jeng balarea, norma yang ketiga bermanfaat untuk mengambil keputusan yang menjadi landasan dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam norma ini, pengambilan keputusan harus didasarkan pada musyawarah. Hal ini untuk memutuskan permasalahan – permasalahan yang tidak ada dalam aturan agama atau aturan negara. Terkadang juga untuk menentukan keputusan apakah program-program pemerintah sesuai atau tidak dengan falsafah adat yang dijunjung. Hal ini terutama terkait dengan program modernisasi pedesaan dan pertanian yang seringkali bertentangan dengan falsafah adat. Ketiga norma di atas oleh masyarakat harus dilakukan secara bersamasama. Jika norma-norma tersebut dilanggar, maka hidupnya di dunia tidak akan selamat. Untuk menuntun aktivitas kehidupan anggota komunitas, banyak simbolsimbol adat yang dibuat yang menggambarkan tiga persenyawaan: 1. Tilu sapanulu: tekad, ucap, lampah (niat, ucapan, tindakan/perilaku). Ketiga hal ini harus sama-sama dilakukan dimana setiap tindakan yang diambil harus sesuai dengan apa yang diniatkan/hati dan ucapan.
58
2. Dua saka rupa: buhun/mukaha, nagara, syara (aturan adat, pemerintah dan agama). Tiga kesatuan ini merupakan norma yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat dan tidak boleh dipisahkan. 3. Nu hiji eta kene: nyawa/ruh, raga, pakaian. Manusia harus memiliki ketiganya sehingga memiliki kemanusiaan. Jika tidak maka tidak akan disebut sebagai manusiawi karena manusia tanpa nyawa berarti mayat, manusia tanpa raga berarti makhluk gaib (tidak terlihat) dan manusia tanpa pakaian diibaratkan makhluk hidup yang telanjang (hewan). Dari ketiga kesatuan tersebut kemudian dijadikan pegangan masyarakat dalam bentuk aturan-aturan adat yang tidak tertulis untuk menjaga agar masyarakat hidup dengan teratur. Bagi masyarakat modern sekarang ini, bentukbentuk dari penerapan dari aturan ini dikenal dengan kearifan lokal. Bagi masyarakat Sinar Resmi, kearifan lokal ini dikembangkan dalam pengelolaan sumberdaya alam baik tanah, air maupun hutan. Ketiga komponen tersebut merupakan sumber alam yang mendukung sistem penghidupan masyarakatnya dan diatur dalam kelembagaan. Sistem kelembagaan masyarakat tersebut diwujudkan dalam bentuk tata aturan budidaya padi mulai dari menanam sampai menyimpan ke dalam leuit dengan beragam tata upacara adat didalamnya. Dalam budidaya tanaman padi mulai dari pola tanam memperlihatkan bahwa tanah yang diibaratkan sebagai “ibu” tidak boleh dipaksakan untuk ditanami lebih dari sekali dalam satu tahun. Jika dipaksa seperti seorang ibu yang harus melahirkan dua orang anak dalam satu tahun maka dalam jangka waktu pendek akan mengalami kerusakan sehingga tidak dapat digunakan kembali. Oleh karena itu, meskipun mendapat beberapa lahan sawah yang pengairannya mengalir sepanjang tahun tetap hanya dilakukan penanaman padi sekali dalam setahun. Hal ini sesuai dengan penuturan tokoh adat di kasepuhan: “…masyarakat sini masih menjalankan pola tanam satu kali setahun dan menggunakan pupuk buatan sendiri (kotoran ternak) untuk kegiatan pertanian. Bibit yang ditanam adalah bibit padi lokal. Hasil panen padi lokal disimpan dalam leuit…”
59
Padi sebagai tanaman pokok masyarakat sesuai dengan tiga persenyawaan diatas juga tidak boleh untuk dijual dalam bentuk beras maupun olahannya. Padi yang dijual dalam bentuk beras diibaratkan sama dengan manusia yang menjual diri. Dengan kiasan tersebut memperlihatkan bahwa dalam upaya menjaga kedaulatan pangan masyarakat keberadaan padi/beras yang merupakan bahan pokok untuk bertahan hidup tetap dijaga. Karena hal inilah, pengenalan program yang memperkenalkan pola tanam padi tiga kali dalam satu tahun ‘ditolak’ oleh anggota komunitas melalui pimpinan adatnya. 6.4
Lumbung Pangan (leuit): Jaminan Pangan Masyarakat Hal yang juga penting bagi masyarakat Sinar Resmi dalam menjaga
ketersediaan pangan adalah leuit/lumbung pangan yang digunakan untuk menyimpan padi sebagai hasil bumi. Selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan leuit juga memiliki fungsi simbol kesejahteraan bagi anggota komunitas. Hal ini juga menunjukkan semakin banyak jumlah padi yang dihasilkan dan berarti semakin luas tanah yang dikuasai oleh seseorang. Hal tersebut karena stratifikasi masyarakat dapat berupa penguasaan tanah yang dikelola oleh suatu rumahtangga. Tabel 16. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dan Jumlah Leuit yang Dimiliki di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Luasan Jumlah leuit Total Penguasaan 1 2 ≥3 tanah n % n % n % n % Luas Sedang Sempit
1 2 14
14 25 84
4 6 2
56 75 12
2 0 0
26 0 0
7 8 16
100 100 100
Sumber: Data Primer (diolah), 2011 Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa tingkatan penguasaan tanah yang mempengaruhi kepemilikan leuit. Pada penguasaan tanah sempit (0-0.25 hektar) sebagian besar memiliki satu leuit, hanya 2 orang yang memiliki 2 leuit. Hal tersebut dikarenakan dulunya rumahtangga tersebut memiliki tanah yang cukup luas sebelum akhirnya dijual. Tingkat selanjutnya yakni penguasaan tanah sedang (0.25-0.5 hektar) sebagian besar memiliki dua leuit. Tingkat paling luas
60
yakni lebih dari 0.5 hektar yang memiliki dua atau lebih. Pada tingkatan ini terdapat yang memiliki satu leuit, karena si pemilik hanya ingin mempunyai satu leuit untuk dimaksimalkan. Pemenuhan subsistensi pangan merupakan hal utama yang menjaga keamanan sosial dalam masyarakat. Leuit kemudian menjadi simbol utama bagi upaya menjaga keterjaminan keamanan sosial sebagai penyimpanan bahan pangan terutama pada leuit rumahtangga. Leuit komunal yang dikenal dengan nama leuit sijimat merupakan penjamin kebutuhan incidental bagi anggota masyarakat yang dapat diakses dengan mudah dan tersedia di setiap kampung. Hal ini sesuai dengan penuturan salah seorang penduduk: “…abdi teu punya tanah buat bertani, cuma kerja di orang. Kadang-kadang teh abdi kurang buat makan, jadi abdi pinjam ka leuit sijimat. Panen berikutnya baru dikembalikan. Kadangkadang banyak juga yang ngebantu ngasi padi. Orang sini mah masi suka tolong menolong…” Masyarakat Kampung Sinar Resmi masih mempunyai hubungan yang kuat dalam memenuhi kebutuhannya. Adanya rasa tolong menolong menjadikan masyarakat yang kurang mampu memenuhi kebutuhannya dapat diselesaikan bersama-sama oleh masyarakat. Hal ini juga tidak terlepas oleh peran leuit sijimat yang mengumpulkan partisipasi masyarakat untuk dapat saling berbagi. Masyarakat yang kekurangan padi pada musim paceklik dapat meminjam ke leuit sijimat. Padi yang yang sudah dipinjam tersebut akan dikembalikan sesuai dengan jumlah pinjaman pada musim panen berikutnya. Peminjaman padi di leuit sijimat berlaku bagi semua masyarakat selama rumahtangga tersebut kekurangan. Leuit memiliki aturan tersendiri dalam pembangunan dan pemanfaatannya. Aturan pendirian leuit mengikuti pola hitungan adat-istiadat yang digunakan oleh masyarakat. Hitungan tersebut dimulai dari tanggal pertama yang disebut kuta yang dikhususkan untuk tanggal membangun kandang kambing atau kerbau. Tanggal kedua disebut kusang yang dikhususkan untuk membangun kandang ayam. Tanggal ketiga disebut gelar yang ditujukan sebagai tanggal membangun masjid atau fasilitas publik. Tanggal keempat disebut naga yang digunakan untuk
61
membangun leuit. Tanggal kelima disebut jaya yang digunakan untuk membangun rumah. Arah leuit dikhususkan membujur dari selatan ke utara dengan salah satu ujungnya terdapat satu pintu. Masing-masing pojok bangunan terdapat daun-daun tertentu yang dimaknai sebagai penjaga leuit dari hama dan pencuri. Hasil panen padi selain disimpan pada masing-masing leuit rumahtangga, masyarakat juga menyimpan hasil panen ke leuit sijimat (komunal) dengan aturan 100 : 2 yang berarti hasil panen 100 pocong, menyimpan ke leuit si jimat sebanyak 2 pocong. Namun, pada dasarnya masyarakat dapat menyimpan lebih sesuai dengan keinginan individu masing-masing. Leuit sijimat digunakan sebagai cadangan pangan bagi masyarakat Kampung Sinar Resmi saat musim paceklik dan sebagai cadangan dalam berbagai kegiatan kasepuhan seperti seren taun. Tabel 17 menyajikan data yang menggambarkan partispasi masyarakat terhadap leuit sijimat sesuai dengan luasan yang dikelola. Tabel 17. Rata-rata Jumlah Padi yang diberikan ke Leuit Sijimat di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Luas lahan Rata-rata yang diberikan ke leuit sijimat (pocong) Luas 6.37 Sedang 8.42 Sempit 2.25 Sumber: data primer (diolah), 2011
Jumlah padi yang diberikan beragam sesuai dengan panen yang dihasilkan dan keinginan untuk menyimpan lebih kepada leuit sijimat. Namun, umumnya semakin banyak hasil panen, maka semakin banyak yang disimpan. Pada pemilikan 0.25-0.5 hektar, rata-rata yang disimpan di leuit sijimat lebih banyak karena dengan menyimpan lebih banyak mereka akan merasa lebih aman jika kekurangan dengan meminjam pada masa paceklik, sedangkan, masyarakat yang memiliki lebih besar dari 0.5 hektar menyimpan hanya sebagai keharusan mereka untuk berpartisipasi dalam menyimpan di leuit sijimat, untuk kebutuhan selanjutnya cukup dengan padi sendiri dan tidak perlu meminjam. 6.5
Kontrol Komunitas atas Sumberdaya Produktif Pertanian dijadikan sebagai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun
oleh masyarakat kasepuhan. Selain sebagai mata pencaharian utama masyarakat,
62
pertanian juga menjadi bagian budaya masyarakat. Kegiatan pertanian masyarakat kasepuhan masih bersifat tradisional dan memiliki hubungan yang erat dengan sistem kepercayaan serta unsur-unsur alam seperti tanah, air, udara, cuaca, sinar matahari, dan lain-lain. Kegiatan pertanian masyarakat bertumpu pada filosofi “Ibu Bumi, Bapak Langit, dan Guru Mangsa” Aturan dalam memulai waktu musim tanam ditentukan berdasarkan filosofi bapak langit dan guru mangsa. Fisosofi bapak langit menunjukkan adanya pengetahuan masyarakat yang didasarkan pada peredaran rasi bintang di langit sebagai acuan dalam mengelola lahan garapan sedangkan filosofi guru mangsa untuk mengetahui waktu yang tepat dalam bertani dengan melihat kondisi alam sekitar. Rasi bintang yang dijadikan sebagai acuan terdiri dari rasi bintang kerti dan rasi bintang kidang. Berikut adalah beberapa posisi rasi bintang yang menentukan kegiatan dalam pertanian: 1. Tanggal kerti kana beusi, tanggal kidang turun kujang, yang berarti masyarakat harus mempersiapkan alat-alat pertanian seperti cangkul, sabit, garpu, dan lain sebagainya. 2. Kidang ngrangsang ti wetan, kerti ngrangsang ti kulon atau kidang-kerti paharep-harep, artinya pertanda musim panas yang lama sehingga waktu yang tepat untuk membakar ranting dan daun di huma. 3. Kerti mudun matang mencrang di tengah langit, artinya saat menanam padi di huma sudah tiba. 4. Kidang dan kerti ka kulon, yang berarti musim hujan akan segera tiba. 5. Kidang medang turun kukang, artinya pertanda adanya hama dan penyakit yang akan menyerang tanaman padi. Segala bentuk kegiatan pertanian dari masa persiapan hingga pascapanen dilakukan ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan. Kegiatan pertanian dapat dimulai setelah mendapat izin dari Abah yang diikuti dengan upacara ritual seperti membakar kemenyan dan memanjatkan doa. Awal tanam padi dilakukan secara serentak bersama-sama agar waktu panen juga dilaksanakan secara bersamaan. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk kekompakan dan kekeluargaan yang erat antar anggota masyarakat Kampung Sinar Resmi.
63
Jenis lahan pertanian yang terdapat di masyarakat Kampung Sinar Resmi terdiri dari tiga jenis lahan yaitu: lahan kering atau huma, sawah tadah hujan, dan sawah setengah irigasi. Huma merupakan sistem pertanian yang secara turuntemurun diwariskan oleh leluhur mereka. Lahan yang digunakan dalam huma, yaitu lahan kering yang biasanya cara penanaman padi berada disela-sela tanaman hutan sedangkan lahan sawah tadah hujan dan setengah irigasi yang membedakan hanya asal sumber airnya. Sawah tadah hujan sumber air berasal dari air hujan sedangkan sawah setengah irigasi sumber airnya dari mata air dengan irigasi yang masih sedarhana. Sawah tadah hujan lebih mendominasi dibandingkan sawah setengah irigasi karena tidak ada infrastruktur irigasi yang memadahi. Jenis padi yang ditanam merupakan padi lokal yang biasa disebut pare ageung. Jenis padi tersebut memiliki perbedaan dengan jenis padi varietas pada umumnya. Perbedaan yang mencolok pada usia tanam, tinggi tanaman, dan bulirbulir padi yang memiliki bulu halus berwarna hitam. Pemerintah telah mencoba untuk mengganti padi lokal dengan padi verietas unggulan tetapi masyarakat menolak dengan alasan padi lokal lebih baik dan cocok dengan kondisi iklim dan topografi Desa Sinar Resmi. Padi lokal memiliki beberapa jenis yang disesuaikan dengan jenis lahan yang digunakan. Tabel 18menyajikan data jenis padi dan jenis lahan yang digunakan: Tabel 18. Jenis Padi Lokal yang Digunakan menurut Jenis Lahan di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011 Jenis Lahan Jenis Padi Lokal Huma Pare Batu, Jamudin, Loyor, dan Gadog. Sawah Tadah Hujan Pare Hawara, Cere Buni, dan Sadam. Sawah Setengah Sri Kuning, Sri Mahi, Raja Denok, Raja Wesi, Irigasi Para Nemol, Angsana, Para Terong, Tampeu, Pare Jambu, Pare Peteu, Cere Layung, Cere Gelas, dan Cere Kawat. Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Terdapat aturan dalam prosesi panen padi di masyarakat Kampung Sinar Resmi. Setelah dipanen, padi harus dijemur dengan cara digantung di sekitar areal lahan tanam menggunakan bambu yang disusun yang biasa disebut nglantai. Padi yang dipanen tersebut dipotong menggunakan ani-ani yang hanya memotong bagian ujung bulir-bulir padi. Setelah dipotong, padi diikat sebesar satu genggam ikatan tangan lalu dijemur. Seteleh kering padi diikat kembali dengan aturan dua
64
ikat padi yang basah menjadi satu ikat padi yang kering. Padi yang kering tersebut diangkut dengan sebilah bambu dan dimasukan dalam leuit rumahtangga. Aturan dalam memasuki leuit adalah tidak diperkenankan masuk leuit yang bersamaan dengan hari lahir yang punya leuit tersebut. Padi sebagai makanan pokok masyarakat disimbolkan sebagai Dewi Sri. Sesuai dengan aturan adat, padi tidak boleh dijual kecuali masih dalam bentuk pocong. Menurut filosofi masyarakat kasepuhan, padi itu seperti seorang ibu sehingga bila dijual sama dengan menjual ibu sendiri. Kegiatan menumbuk padi tidak boleh menggunakan mesin tetapi menggunakan halu dan ditumbuk di lesung. Padi juga harus dimasak menggunakan kayu bakar. Keterjaminan pangan merupakan bentuk jaminan kondisi yang baik bagi masyarakat Sinar Resmi. Dalam hal ini modernisasi pertanian melalui Revolusi Hijau yang pernah diperkenalkan dengan sistem pola tanam tiga kali dalam setahun dan menjanjikan peningkatan produksi padi sampai tiga kali lipat ternyata tidak mampu mengubah sistem budidaya pertanian yang merupakan sistem bagi masyarakat tani. BIMAS yang pernah memperkenalkan bibit unggul dan pernah dicoba ditanam oleh masyarakat dengan seizin pemimpin adat ternyata tidak tahan disimpan terlalu lama di lumbung sehingga masyarakat tidak menggunakannya dan kembali menggunakan bibit lokal. Penggunaan pupuk buatan untuk peningkatan produktivitas juga ditolak oleh masyarakat karena terkait dengan penggunaan biaya. Dalam praktek budidaya pertanian beberapa pendatang yang tinggal di Desa Sinar Resmi menggunakan pupuk buatan. Menurut penuturan responden setelah dibandingkan ternyata keuntungan lebih besar yang tanpa pupuk buatan tapi menggunakan pupuk organik (pupuk kandang). Hal ini terjadi karena terkait dengan biaya yang digunakan untuk pembelian pupuk lebih besar. Berikut penuturan salah satu responden mengenai program pertanian yang masuk ke lingkungan masyarakat: “menanam pare ageung lebih bagus karena lebih tahan lama disimpan dan kalo dimakan lebih enak. Makan nya tidak usah banyak-banyak sudah kenyang. Nanam tidak pakai pupuk buatan juga menghasilkan padi yang lebih banyak. Dari pengalaman tetangga juga pernah pake pupuk tapi hasilnya malah sedikit”
65
Dari pernyataan di atas menjelaskan bahwa masyarakat lebih memilih cara pertanian yang sudah diterapkan sebelumnya jauh sebelum program tersebut masuk. Masuknya program tidak membuat mereka beralih ke tatacara yang baru untuk menanam dengan menggunakan bibit unggul dan pupuk buatan. Dengan ketertutupan terhadap inovasi dalam bidang pertanian yang merupakan sistem penghidupan masyarakat, ketergantungan masyarakat akan input pertanian dari luar sangat rendah bahkan bisa dikatakan tidak ada. Kapitalisme pasar yang selama ini menjadi sumber utama permasalahan kemiskinan di pedesaan akibat tergantungnya petani dari input pertanian dari luar tidak berimbas pada masyarakat tani. 6.6
Ikhtisar Kedaulatan pangan masyarakat sangat ditentukan oleh kondisi masyarakat.
Sistem pertanian lokal yang dikembangkan oleh masyarakat mengandung caracara yang jauh sebelumnya sudah terintegrasi. Masyarakat Kampung Sinar Resmi memproduksi pangan secara mandiri. Produksi pangan pada umumnya skala kecil untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Dalam proses produksi masyarakat Kampung Sinar Resmi menerapkan pertanian agro-ekologis. Pertanian yang menjadikan alam sebagai faktor yang harus dijaga keberlanjutannya. Hal tersebut tercermin dari cara masyarakat menghormati alam dengan menanam padi sekali setahun dan proses-proses yang berusaha tetap menjaga kelestarian lingkungan. Dalam pengusahaan pertanian peran wanita juga dihormati terlihat peran wanita cukup besar mulai pra produksi sampai pasca panen. Rumahtangga di Kampung Sinar Resmi pada umumnya sedikit yakni ratarata mempunyai anggota rumahtangga tiga orang. Mereka dapat memenuhi pangan keluarga dengan jumlah yang cukup. Padi yang mereka konsumsi merupakan padi lokal yang dikembangkan sejak zaman nenek moyang. Varietas unggul pernah dicoba dikembangkan namun respon yang muncul kurang karena varietas unggul tidak tahan disimpan dalam leuit dalam jangka wakru panjang dan masyarakat merasakan padi varietas lokal lebih baik. masyarakat menolak berbagai inovasi pertanian melalui Kasepuhan Sinar Resmi. Selain fungsi penyimpanan leuit merupakan suatu salah satu cara masyarakat dalam membangun kedaulatan pangan. Masyarakat mengusahakan padi yang kemudian
66
disimpan di leuit sijimat yakni leuit komunal. Masing-masing rumahtangga menyimpan padi untuk dijadikan simpanan dan diberikan pinjaman ketika ada rumahtangga yang kekurangan padi pada musim paceklik. Keberadaan leuit dapat menjadi suatu jaminan bagi masyarakat Kampung Sinar Resmi untuk membangun kedaulatan pangan lokal.
67
BAB VIII PENUTUP
7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kampung Sinar Resmi
diperoleh beberapa informasi penting tentang struktur penguasaan tanah dan pengelolaan kelembagaan yang ada dalam masyarakat, yaitu: Struktur penguasaan tanah yang berkembang di masyarakat Kampung Sinar Resmi pada umumnya skala kecil, yakni kurang dari 0.25 hektar. Oleh karena itu, untuk membantu dalam membangun kedaulatan pangan maka dalam kehidupan masyarakat berkembang sistem sewa, sakap, dan gadai. Produksi pertanian masyarakat Kampung Sinar Resmi dipengaruhi oleh tingkat penguasaan tanah. Semakin luas penguasaan masyarakat terhadap lahan maka semakin besar padi yang dihasilkan. Hal ini juga mempengaruhi mempengaruhi jumlah leuit yang mereka miliki. Leuit merupakan kelembagaan pangan yang berkembang untuk mencapai kedaulatan pangan masyarakat. Leuit sijimat adalah leuit komunal yang menjadi simbol dalam pemenuhan pangan kasepuhan. Keberadaannya didukung oleh masyarakat melalui adat yang berkembang. Setiap rumahtangga mengisi leuit sesuai dengan hasil panen. Masyarakat Kampung Sinar Resmi membangun kedaulatan pangan melalui produksi pertanian lokal dan rumahtangga yang agroekologis; keterjaminan akses tanah dan sumberdaya yang vital dalam produksi pangan; menghormati peran wanita dalam produksi pangan; serta kontrol komunitas atas sumberdaya. Hal tersebut telah menjadi hal yang melekat di kehidupan masyarakat sehingga kedaulatan pangan terbangun sesuai dengan karakteristik mereka. 7.2
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, masyarakat mempunyai cara yang khas
yang dibentuk sebagai upaya dalam membangun kedaulatan pangan. Jika suatu masyarakat kehilangan cara-cara tersebut maka jaminan terhadap kedaulatan pangan yang ada di dalamnya akan hilang dan selanjutnya berpengaruh terhadap penghidupan masyarakat.
68
Bagi masyarakat pedesaan, struktur penguasaan tanah dan kelembagaan lokal yang mengatur pangan merupakan faktor yang penting dalam pencapaian kedaulatan pangan dan selanjutnya kepada kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dalam usaha mencapai kedaulatan pangan harus memperhatikan konteks lokal dan menjadikan lumbung pangan sebagai komponen penting dalam menjamin ketersediaan pangan masyarakat. Lumbung pangan dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk dapat membangun kemandirian dalam mencukupi pangan.
69
DAFTAR PUSTAKA Basri, M. 2008. Studi Kelembagaan Lumbung Pangan Masyarakat di Kabupaten Sumbawa-Propinsi Nusa Tenggara Barat. [Tesis]. Bogor [ID]. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. 128 hal. Breman, J. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial. Jakarta [ID]: LP3ES Indonesia. 230 hal. Breman, J dan Gunawan Wiradi. 2004. Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa: Studi Kasus Dinamika Sosial Ekonomi di Dua Desa Menjelang Akhir Abad ke 20. Jakarta [ID]: Pustaka LP3ES Indonesia. 423 hal. Kusumowardani, N. 2002. Pendampingan Lumbung Pangan untuk Pemberdayaan Petani. Bunga Rampai Pemikiran Buletin PSP-IPB. Bogor [ID]: PSP IPB. La Via Campesina, Sofia Monsalfe, et al. 2008. Reforma Agraria: Dinamika Aktor dan Kawasan. Yogyakarta [ID]: STPN. 330 hal. Malonzo, R. 2007. Kedaulatan Pangan. Penang [Malaysia]: Pesticide Action Network Asia and the Pasific (PAN AP). 30 hal. Mardiyaningsih, D. I. 2010. Perubahan Sosial di Desa Pertanian Jawa: Analisis Terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat Tani. [Tesis]. Bogor [ID]: IPB. 152 hal. Penny, D.H. 1990. The Role of Sistem Market. [Diterjemahkan]. Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar. Ace Partadiredja, dkk (Penerjamah). Jakarta [ID]. Penerbit Universitas Indonesia. 245 hal. Roll, W. 1983. Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia Studi Kasus Daerah Surakarta – Jateng. Jakarta [ID]: C. V. Rajawali. 151 hal. Satiawan, Bonnie. 2003. Globalisasi Pertanian: Ancaman atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani. Jakarta [ID]: Institute for Global Justice. 178 hal. Singarimbun, M dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta [ID]: Pustaka LP3ES Indonesia. 336 hal. Soekanto, S. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta [ID]: CV. Rajawali. 480 hal. Sumardjo. 2003. “Kepemimpinan dan Pengembangan Kelembagaan Pedesaan: Kasus Kelembagaan Ketahanan Pangan” dalam Margono Slamet: Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor [ID]: Bogor Press. Tjondronegoro, S. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. Bandung [ID]: Akatiga. 201 hal. Uphoff, N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Case. [US]. Kumarian Press, United States of America. [Internet]. [Diunduh 10 Agustus]. Dapat Diunduh Dari: http://pubs.iied.org/pdfs/6045IIED.pdf Wiradi, G. 2008. “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria” dalam Dua Abad Penguasaan tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke
70
Masa. S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting). Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia. 535 hal. Wiradi, G dan Makali. 1984. “Penguasaan Tanah dan Kelembagaan” dalam Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Penyunting Faisal Kasryno. Edisi I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
71
LAMPIRAN
72
Lampiran 1. Peta Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi
73
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian
Penjemuran padi
kondisi Kampung Sinar Resmi
Leuit sijimat
Leuit rumahtangga
Huma
Sawah tadah hujan
74
Padi varietas lokal
Panen di sawah
Pemanenan mengugunakan ani-ani
Rumah Abah
75
KUESIONER PENELITIAN Sistem Penguasaan Tanah Masyarakat dalam Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) Nomor: A. Lokasi Dan Waktu Wawancara Tempat Wawancara :………………………………………………. Tanggal Wawancara (tanggal/bulan/tahun) : / / / Waktu Wawancara : B. Identitas Responden Nama : Jenis Kelamin : Umur : Status : Kawin/Belum Kawin Alamat : Pekerjaan : 1. Petani Pemilik Lahan 3. Buruh Tani 5. Lain-lain, sebutkan: Pendidikan :
2. Petani Penggarap 4. Wiraswasta
C. Karakteristik Anggota Rumahtangga Nama JK Umur Status (L/P RT )
dalam Tingkat Pendidikan
76
D. Struktur Penguasaan Tanah dan Hasil Pertanian Nomo
Sistem
Luas Jenis
r
Penguasaaan
Petak
Sistem3 Jangka
Lahan
1
Musim
Komoditi
Frekuensi
Total
Jumlah
Tanam
2
Panen
Panen
yang Diterima
Waktu 1
1
3 1 2
1 2 3
Sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegal, huma Jenis tanaman yang diproduksi Milik, bagi hasil, sewa, gadai
Rumahtangga
Komunal (Girang)
2
2
Jumlah yang disimpan di leuit
77
3 3
1 2 3
dst
78
E. Kelembagaan 1. Apakah Anda mempunyai leuit? a. Ya, …………buah b. Tidak 2. Apakah anda pernah meminjam padi? a. Ya b. Tidak 3. Pertanyaan nomor 2, kemana Anda meminjam? a. Rumahtangga lain b. Leuit komunal 4. Pertanyaan nomor 2, berapa jumlah yang Anda pinjam? ………….gedeng
Panduan Pertanyaan Penguasaan Tanah 1. Siapa pemilik tanah terluas/terkecil di Desa Sinar Resmi 2. Sejarah masa lampau orang tersebut 3. Profil orang tersebut 4. Berapa luasnya 5. Jenis lahannya 6. Komoditi yang ditanam 7. Siapa yang menggarap 8. Sistem bagi hasilnya
79
3. Kemudian dilanjutkan dengan orang yang berada pada tangga ke dua dari tangga terbawah dan tangga kedua di bawah tangga teratas? (dibuat tangga menurut kehendak responden/informan) 4. Bagaimana ciri orang yang berada pada tiap-tiap lapisan? 5. Siapa saja yang termasuk pada tiap tangga yang ada? 6. Kira-kira berapa persen atau bagian rumah tangga di desa ini yang termasuk rumahtangga di tiap-tiap kelas