Menegaskan Pengakuan Peran Perempuan dalam Upaya Mewujudkan Kedaulatan Pangan Kertas Posisi Terhadap Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan1 I. Latar Belakang Komnas Perempuan adalah Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia yang bekerja secara independen, berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 dan diperbaharui dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2005. Komnas Perempuan memiliki peran untuk pemenuhan tanggung jawab negara dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta dalam rangka memastikan ketersediaan akses keadilan bagi perempuan, khususnya perempuan korban). Salah satu mandat yang diemban Komnas Perempuan adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan perubahan hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan. Upaya-upaya untuk menjamin kecukupan pangan dan gizi, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mencanangkan pengurangan kemisikinan dalam Millenium Development Goals (MDG’s) sampai tahun 2015. Indonesia telah menandatangani MDGs dan telah berkomitmen untuk mencapai MDGs di tahun 2015. Pada MDGs ke-1 Indonesia harus mampu mengurangi jumlah penduduk yang menderita kelaparan hingga setengahnya termasuk kemiskinan. MDGs ke-4 Indonesia harus mampu menurunkan angka kematian anak, MDGs ke-5 Indonesia harus mampu meningkatkan kesehatan ibu dan memberantas HIV/AIDS, Malaria dan penyakit lainnya sesuai dengan MDGs ke-6.
1 2
Kertas Posisi ini disusun pada bulan September 2012 Ayip Abdullah, Tabloid Perempuan Bergerak Bersatu Lawan Tirani, Jakarta: Kalyanamitra, Edisi II/April-Juni 2011
Page
1
Perempuan berperan sebagai penghasil dan penjaga pangan yang telah menanam, merawat, memanen serta mengolah pangan yang bertujuan untuk melanjutkan hidup manusia yang bermartabat sesuai dengan budaya dan keyakinan. Tidak sedikit perempuan yang berprofesi sebagai petani (pertanian, perkebunan), nelayan (pengumpul ikan dan lain-lain), yang terlibat dari hulu sampai dengan hilir dalam setiap proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan. Dalam hal produksi padi misalnya, keterlibatan perempuan dalam proses produksi diperkirakan mencapai 80%.2 Namun walaupun demikian, besarnya kontribusi perempuan di dalam proses-proses produksi, distribusi dan pengelolaan konsumsi pangan tidak serta merta meningkatkan posisi dan aksesnya terhadap sumber pangan. Oleh karena itu, adalah langkah yang tepat jika negara membangun langkah strategis dan komprehensif untuk memberikan
pemenuhan, perlindungan, penghormatan, dan penghargaan kepada perempuan sebagai pihak yang berkontribusi dalam proses produksi, distribusi dan pengelolaan konsumsi pangan. Ketentuan mengenai Pangan di Indonesia tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996. Namun selama lebih dari 15 (lima belas) tahun berlaku, undang-undang ini belum menyelesaikan masalah pangan sebagai pemenuhan hak asasi manusia terutama hak asasi perempuan. Salah satu contohnya adalah UU tersebut tidak memberikan perlindungan terhadap produsen kecil terutama bagi produsen perempuan. Sebaliknya undang-undang ini cenderung memberikan perlindungan pada pengusaha (swasta), yang menjadikan pangan hanya sebagai komoditas bukan kebutuhan pokok warga negara. Selain itu UU Pangan belum mampu mengatasi kondisi pemiskinan, krisis harga pangan yang kemudian berdampak pada gizi buruk, kematian ibu dan bayi yang terus terjadi. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sesuai dengan mandatnya maka Komnas Perempuan memberikan usulan rekomendasi terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Pangan. Hal ini ditujukan agar pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan atas pangan tercantum di dalam Undang-Undang Pangan yang akan disahkan. Untuk itu, Komnas Perempuan bersama mitra telah mengadakan diskusi-diskusi di mana salah satunya adalah diskusi kelompok terfokus yang menghadirkan wakil pemerintah, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI sebagai narasumber. II. Landasan-Landasan a. Landasan Filosofis Hak atas pangan adalah kebutuhan dasar setiap individu dan hak dasar setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Rancangan Undang-Undang Pangan (RUU Pangan) sebagai produk perundang-undangan yang merupakan perwujudan dari mandat konstitusi, harus mencakup ketentuan mengenai pemenuhan hak atas pangan yang telah tercantum di dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya.
Page
b. Landasan Sosiologis Persoalan pangan bagi Indonesia masih memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh. Banyak kasus kurang gizi bukan hanya disebabkan rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat oleh masyarakat, melainkan adanya pola yang salah dalam mengelola kebijakan
2
Selain itu RUU Pangan juga harus memuat nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, sebagai dasar dan ideologi negara, khususnya pada sila yang ke-5 yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
pangan dan pertanian.3 Ada tiga konsep dalam ketahanan pangan yakni ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Oleh karenanya dalam rangka menuju ketersediaan pangan harus dijamin terlebih dahulu alat reproduksinya misalnya akses petani terhadap tanah, nelayan terhadap wilayah tangkap dan lainnya. Namun faktanya bahwa struktur penguasaan tanah di Indonesia secara umum sangat timpang. Rata-rata petani hanya menguasai 0,3 hektar lahan pertanian, sementara perusahaan-perusahaan besar lewat Hak Guna Usaha (HGU) bisa menguasai ratusan ribu hektar sendirian. Akibatnya petani yang ingin memproduksi tanaman pangan tidak mempunyai akses terhadap tanah-tanah pertanian.4 Ironis, di daerah lumbung-lumbung padi Negara, di situlah juga wilayah pengirim pekerja migran, seperti Indramayu, Karawang, Cianjur dan NTB. Di provinsi yang kaya akan sumber daya alam, di situlah juga tinggi angka masyarakat yang masuk dalam kategori miskin. Di Kalimantan Timur (Kaltim) dan Papua misalnya, sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, terdapat 12% penduduk Kaltim masuk dalam kategori miskin, sedangkan di Papua kategori miskin telah mencapai 80% (BPS 2007).5 Selain sebagai pekerja migran, mereka menjadi buruh upahan yang ketika harga-harga pangan melambung tinggi, petani yang berupah rendah tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan pangannya. Inilah yang menyebabkan rawan pangan dan bertambahnya angka gizi buruk di Indonesia yang berujung pada kemiskinan dan kelaparan secara masal. Perempuan mengalami pemiskinan karena peran gendernya, Angka Kematian ibu hamil dan melahirkan adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup (2010), lima kali lebih tinggi dibanding Filipina atau lima kali Vietnam.6 Penduduk perempuan berusia 10 tahun ke atas yang belum atau tidak pernah sekolah, angkanya dua kali lipat penduduk laki-laki yakni 11,56% berbanding 5,43%. Kebijakan Negara yang memiskinkan dan abai atas penghidupan penduduk perempuan dapat terlihat dalam kasus kehidupan Orang Duanu di Kampung Laut - Jambi. Sepuluh tahun lalu mereka masih hidup sejahtera, dari hasil tangkapan ikan. Namun, sekarang kemiskinan melilit mereka ketika ikan sudah mulai sulit ditangkap, karena hutan bakau sepanjang pantai timur rusak akibat kehadiran perusahaan tanaman industri. Pemerintahlah yang memberi ijin pendirian perusahaan tanaman industri, namun dampak dari ijin yang diberikan telah memiskinkan masyarakat sekitar, dan tidak menjadi perhitungan.
4
Page
Dwi Astuti, Tabloid Perempuan Bergerak, Jakarta: Kalyanamitra, edisi II April – Juni 2011 Komnas Perempuan, Pemetaan Perempuan dan Pemiskinan dalam Kerangka HAM, 29 November 2011. 5 Ibid 6 IPM Peringkat Naik, Kualitas Stagnan, Harian kompas, 18 November 2011. 3
3
Lebih dari 10 (sepuluh) perempuan di Kampung Laut, Kelurahan Tanjung Solok, yang mengidap tumor dan kanker. Jumlah penderita kanker di kampung itu terbilang besar. Perempuan yang tinggal di kawasan pesisir tersebut umumnya mengidap kanker payudara. Sementara puluhan warga lain juga mengidap Tuberculosis (TBC). Yang tidak terkendali adalah besarnya jumlah penderita gatal-gatal di kulit. Neri, seorang Kepala Puskesmas
Tanjung Solok, selama enam tahun bertugas telah melihat faktor kemiskinan sebagai faktor dominan yang telah menyebabkan munculnya berbagai jenis penyakit.7 Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki iklim tropis dan tanah yang subur, seharusnya dapat menjadi tempat paling produktif di dunia untuk menghasilkan bahan pangan yang sehat dan beragam. Namun yang terjadi kita menjadi ketergantungan pada bahan pangan impor, karena kurangnya kesadaran nasionalisme untuk melindungi usaha petani di dalam negeri. Berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan, di dalam tabel 1 berikut ini, menunjukkan kondisi ekspor-impor sektor pertanian Indonesia.8 Tabel 1: Neraca Ekspor-Impor Pertanian Indonesia Tahun 2008 (ribu USS) Subsektor Ekspor Impor Ekspor – Impor Tanaman 349 3.527 - 3.178 Pangan Hortikultura 434 910 - 476 Peternakan 1.148 2.352 - 1.204 Perkebunan 27.369 4.527 22.842 TOTAL 29.300 11.316 17.984 Sumber: Departemen Pertanian dan BPS (diolah) dikutip dari Khudori (2010) Dari tabel di atas telah terjadi defisit di Subsektor Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan, total mencapai Rp. 48,58 triliun (dengan kurs 1 USD = Rp. 10.000,-), jauh di atas anggaran Departemen Pertanian 2009 (Rp. 8,4 Triliun), dan melampaui anggaran pemerintah untuk pembangunan pertanian yang sebesar Rp. 40 triliun. Defisit di atas terjadi karena adanya impor. Di luar ketiga subsektor di atas, terjadi impor di sejumlah pangan penting: Susu (90%), Gula (30%), Garam (50%), Gandum (100%), Kedelai (70%), Daging Sapi (30%). Selanjutnya lihat tabel 2 di bawah ini:
8
948.93
1.735.41
Susu
314.92
640.47
Ketergantun gan Impor (%) 100 70 90
Komnas Perempuan, Pemetaan Perempuan dan Pemiskinan dalam Kerangka HAM, Jakarta: November 2011. Khudori, Situasi Pangan Indonesia, makalah pada ”Workshop Nasional Hak Atas Pangan” Bina Desa, 26 Juni 2010.
4
7
Kedelai
Jumlah Impor (Ribu Ton) 2004 2008 4.851. 5.028.1 65 1 2.845. 81 3.442.31
Page
Tabel 2: Neraca Impor Pangan Komoditas Nilai Impor (Ribu US$) 2004 2008 Gandum 917.99 2.245.90
Gula Daging Sapi Bawang Putih Apel & Pir Garam
265.45 116.90
366.29
152.84 1.130. 92
164.72 30 1.018.59
509.85
30 95.11
247.79
310.21
593.16
188.31 -
226.51
221.98 72.89
30
177.32 91.78 -
90.03
50 1.580.13
TOTAL
2.728. 86
5.897.22 9.574.85
10.721.1 9
Sedangkan kondisi gizi masyarakat merupakan faktor penentu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Kemajuan yang cenderung menurun yang kita hadapi karena betapa rendahnya produktivitas bangsa kita di semua lapisan, kurangnya keterpaduan rencana pusat dan daerah termasuk menjaga pasokan energi yang menambah ketidakberdayaan masyarakat. Berdasarkan data dari UNICEF Tahun 2009, penyebab masalah gizi berakar pada masalah pembangunan ekonomi, kemiskinan, politik, sosial, budaya, ketahanan pangan, gizi dan pendidikan serta daya beli akses pangan, akses informasi dan akses pelayanan. Dalam mewujudkan kedaulatan pangan terdapat 4 (empat) hal yang perlu didorong kuat, yakni reformasi agraria, perdagangan yang adil, konsumsi pangan lokal dan sistem pertanian yang berkelanjutan9. Reformasi agraria, memainkan peranan penting dalam hal ketahanan pangan, di mana akses atas tanah adalah sangat mendasar. Seringkali reformasi agraria dinyatakan pilihan yang ketinggalan zaman dan tidak efektif tetapi bukti tidak mendukung pernyataan itu. Melakukan reformasi agraria merupakan salah satu alternatif yang cukup dalam menanggulangi kondisi rawan pangan untuk ketahanan pangan rakyat.
9
Ayip Abdullah, Tabloid Perempuan Bergerak Bersatu Lawan Tirani, Kalyanamitra, Edisi II/April-Juni 2011 Komnas HAM, Pengaturan dan Realisasi Pemenuhan Hak Atas Pangan yang layak, Jakarta: 2005, hal 130.
10
Page
5
Kemiskinan yang terjadi tidak terlepas dari ketiadaan akses rakyat terhadap sumber-sumber agraria. Terkandung di dalamnya makanan dan air, sebagai unsur terpenting dalam hidup manusia. Tanpa itu manusia tidak akan mampu meneruskan hidup. Sumber-sumber agraria, tanah dan air sekarang tidak dapat diakses oleh rakyat secara gratis, karena sebagian besar dikuasai oleh negara dan aktor-aktor non pemerintahan seperti perusahaan-perusahaan multinasional.10
Sekitar 85% waktu perempuan nelayan digunakan dalam kegiatan memproduksi, mengolah, dan mendistribusi produk perikanan. Berdasarkan temuan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), bahwa perempuan nelayan merupakan subjek sekaligus aktor yang berperan mengatasi dampak sosial ekonomi, perempuan memiliki peranan penting dalam mengelola pangan bagi 237 juta jiwa penduduk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006, jumlah petani perempuan mencapai 55,2% sedangkan petani pria hanya 46%. Oleh karena itu peran petani perempuan sangat besar dalam pengelolaan lumbung pangan dan perempuan memiliki peranan yang besar sebagai pemimpin bagi proses pendidikan pangan, mengelola pendapatan dan konsumsi rumah tangga, pengelola penyediaan pangan saat kondisi ekonomi sulit.11 Di dalam pengupayaan keragaman pangan, perempuan lebih berperan dalam penyelamatan keanekaragaman hayati, menentukan pemilihan ragam pangan dalam skala rumah tangga. Sebut saja pengalaman perempuan yang berhasil membudidaya bibit unggul sebagai bahan pangan di daerahnya, melestarikan tanaman obat, tanaman upacara dan tanaman langka. Rancangan Undang-Undang Pangan yang merupakan insiatif DPR, akan disahkan pada masa sidang di akhir tahun 2012. Namun Rancangan Undang-Undang Pangan ini dinilai belum menjamin sepenuhnya tentang pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak-hak perempuan di dalam pengelolaan pangan, mengakses proses produksi, distribusi dan konsumsi sejak dari hulu hingga hilir. Akibatnya, RUU Pangan ini akan dapat membuka peluang bagi kebijakan impor pangan yang dikhawatirkan akan meminggirkan produksi pangan rakyat skala kecil, karena salah satunya belum mengatur tentang perlindungan industri pangan olahan rumah tangga.
c. Landasan Yuridis Selain melandaskan kerangka hukumnya pada konstitusi, Rancangan Undang-Undang Pangan juga harus melandaskan pada instrumen internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sebagai hukum nasional. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya konkret Indonesia yang berkomitmen untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia –tak terkecuali perempuankhususnya terkait pemenuhan hak atas pangan. Dalam hal pemenuhan, perlindungan dan penghormatan jaminan hak asasi manusia terkait hak atas pangan, landasan yang dapat diadopsi sebenarnya dari Undang-Undang yang terkait antara lain: A. Konstitusi 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Pasal 28H ayat (1):
Tejo Wahyu Jatmiko, Pentingnya Peran Perempuan dalam Keberlangsungan Pangan Keluarga, http://www.greenersmagz.com/dailyten/pentingnya-peran-perempuan-dalam-keberlangsungan-pangan-keluarga,8-3-2012. 11
Page
6
-
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. -
Pasal 28I ayat (4): Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
B. Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) dalam lampiran: -
Pasal 1: Diskriminasi terhadap wanita berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau menggunakan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Pasal 2: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
-
Pasal 9 ayat (1): Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
-
Pasal 9 ayat (2): Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
-
Pasal 9 ayat (3): Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Page
-
7
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
-
Pasal 3: Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
-
Pasal 4: Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 3: Negara-negara pihak pada Kovenan ini berjanji menjamin hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam penikmatan semua hak ekonomi, sosial dan budaya yang ditentukan dalam Kovenan ini.
-
Pasal 11: Negara-negara peserta Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya termasuk pangan, sandang, dan perumahan yang layak, dan atas perbaikan kondisi hidup, secara berkesinambungan. Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin hak ini dengan mengakui pentingnya kerjasama internasional berdasarkan kesepakatan sukarela. Negara-negara Peserta Kovenan ini mengakui hak dasar setiap orang untuk bebas dari kelaparan, harus mengambil langkah-langkah secara sendiri-sendiri maupun melalui kerjasama internasional, termasuk program-program khusus yang diperlukan untuk meningkatkan cara-cara produksi, pelestarian dan penyaluran pangan dengan memanfaatkan sepenuhnya pengetahuan teknis dan ilmiah, dengan penyebarluasan pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu gizi, dan dengan mengembangkan atau memperbaiki sistem-sistem pertanian sehingga mencapai suatu perkembangan dan penggunaan sumber daya paling efisien. Pasal 11 ini mencakup secara luas masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan dan penghidupan penduduk negara peserta, terutama makanan. Makanan tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, tapi gizi yang dikonsumsi oleh individu, jika hal ini diabaikan maka pertumbuhan individu untuk layaknya tidak akan terpenuhi dan tidak akan tumbuh secara normal.
Page
-
8
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya )
III. Asas-Asas dalam Undang-Undang Pangan Rancangan Undang-Undang Pangan harus memenuhi asas-asas dalam hal pemenuhan hak-hak perempuan yaitu:
1. Penghormatan hak asasi manusia: penghormatan terhadap seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 2. Non diskriminasi: bahwa tidak adanya pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asai manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita. 3. Keadilan gender: merupakan suatu kondisi yang adil bagi perempuan dan laki-laki melalui suatu proses kultural dam struktural yang menghentikan hambatanhambatan aktualisasi bagi pihak-pihak yang oleh karena jenis kelaminnya mengalami hambatan, baik secara kultural maupun secara struktural. (Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional) 4. Kesetaraan gender: kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. (Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional)
Page
Bahwa hal yang paling mendasar dari sumber daya alam adalah pangan. Konstitusi telah menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Untuk itu tiap orang berhak atas pangan, sebagai hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap, dan bebas, baik secara langsung atau dengan membeli atas pangan yang memadai dan cukup baik secara kualitatif dan kuantitaif, yang berhubungan secara langsung pada tradisi masyarakat di mana suatu
9
IV. Usulan Materi Terhadap RUU Pangan
konsumsi itu berasal; serta memastikan bahwa kehidupan fisik maupun mental, individu maupun kolektif, yang penuh serta bermartabat, yang bebas dari ketakutan. Prinsip umum hak atas pangan adalah pemenuhan hak setiap orang atas pangan sebagai tanggung jawab negara. Ketahanan pangan hanya bisa dicapai jika kecukupan lahan bagi produksi, distribusi, dan ketersediaan pangan yang dikonsumsi. Di sisi lain, dalam melihat pemenuhan hak atas pangan secara komprehensif, harus dilakukan pembedahan atas pelbagai macam peraturan dan perundang-undangan yang telah ada. Namun kebijakan yang seharusnya menjadi hak publik, justru memiliki paradigma komoditas belaka. Sebagai bagian dari hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi, sosial dan budaya, sudah cukup banyak instrumen dan mekanisme hak asasi manusia internasional dan nasional yang bisa dijadikan panduan. Walaupun di luar instrumen HAM, masih terdapat sejumlah instrumen yang justru bertentangan dengan hak atas pangan sebagai hak setiap orang seperti kesepakatan-kesepakatan di dalam perdagangan dunia, perjanjian bilateral dengan lembaga keuangan internasional. Negara harus memastikan kebijakan mengenai hak atas pangan benar-benar mengatur tentang pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia, terutama bagi perempuan dan anak, yang diatur secara spesifik. Untuk itu RUU Pangan yang baru diharapkan mengandung perspektif HAM dan Gender yang berasaskan pada pemenuhan hak-hak asasi perempuan, termasuk mencakup kata “perempuan” di dalam pengertian definisi tentang nelayan, petani, individu, sehingga Undang-Undang Pangan yang diharapkan adalah produk perundangan yang tidak netral gender. Beberapa pasal yang perlu dicermati adalah: 1. a. Pasal 1 angka 20 Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Pangan.
Page
Pasal 1 angka 20 dan 21 belum mengeksplisitkan kata “perempuan”, padahal perempuan berperan dan terlibat di dalam proses menanam, merawat, memanen serta mengolah pangan selama ini. Perempuan berperan sebagai penghasil dan penjaga pangan yang dilakukan dengan tujuan untuk melanjutkan hidup manusia yang bermartabat sesuai dengan budaya dan keyakinan. Karena tidak sedikit jumlah Perempuan berprofesi sebagai petani (pertanian, perkebunan), nelayan (pengumpul ikan dan lain-lain) yang terlibat dalam setiap proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan, yang dilakukan sejak dari hulu sampai dengan hilir.
10
b. Pasal 1 angka 21 Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
c. Pasal 4 - Pasal 4 huruf c: Mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam kenyataannya masih terjadi harga-harga pangan pokok yang tidak stabil dan tidak terjangkau, sehingga bagi masyarakat berpenghasilan kecil tidak mampu membeli kebutuhan pokok. Dampak ini sangat dirasakan oleh perempuan yang sangat berperan di dalam mengelola, mengatur kebutuhan hidup bagi keluarga. - Pasal 4 Huruf d: Mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat, terutama masyarakat rawan pangan dan gizi. Untuk mewujudkan mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat, negara harus mempersiapkan infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Adapun indikator adanya rawan pangan adalah wabah gizi buruk (malnutrition), busung lapar (hunger), flu burung, anthrax, tak terkendalinya makanan yang terkontaminasi zat kimia (formalin, borax), kualitas air minum yang jelek dan mahal, dan Bahan Bakar Minyak yang melambung tinggi sehingga susu tidak terbeli. -
Pasal 4 Huruf e: Meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri. Dalam prakteknya justru daya saing komoditas pangan dari luar negeri sangat dominan di pasaran dibandingkan dari dalam negeri. Hal ini justru mematikan hasil pangan produk sendiri. Untuk itu kebijakan pasar bebas harus dibatasi aksesnya ketika masuk ke Indonesia, dan sebaliknya mengoptimalkan hasil pangan dari negeri sendiri, seperti membatasi impor buah-buahan, gandum, kedelai, susu, gula, daging sapi, bawang putih dan mengoptimalkan pemasaran buah-buahan dari dalam negeri.
Page
e. Pasal 14 ayat (2): Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, pangan dapat dipenuhi dengan impor pangan sesuai dengan kebutuhan.
11
d. Pasal 13: Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga pangan pokok, mengelola cadangan pangan pokok pemerintah, dan distribusi pangan pokok untuk mewujudkan kecukupan pangan pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.
Ketika negara memiliki sumber hayati dan kekayaan alam yang cukup besar namun tidak dikelola dengan arif dan bijaksana sehingga mengalami krisis pangan, lalu negara kemudian mengambil kebijakan untuk mengimpor pangan. Kondisi ini mencerminkan negara sangat tergantung pada impor pangan dan negara tidak independen dalam mengelola kemandirian dan kedaulatan pangan. f. Pasal 28 ayat (3): Pengadaan cadangan pangan pemerintah diutamakan melalui pembelian pangan pokok produksi dalam negeri terutama pada saat panen raya. Pasal ini dikhawatirkan tidak efektif jika banyak terjadi penimbunan bahan pokok oleh pelaku pangan bermodal besar yang menjual pada saat krisis dengan harga mahal, sehingga harga tidak bisa dijangkau bagi masyarakat miskin. g. Pasal 31 ayat (1): Penyaluran cadangan pangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan untuk menanggulangi kekurangan pangan, gejolak harga pangan, bencana alam, bencana sosial dan atau menghadapi keadaan darurat. Penyediaan cadangan pangan yang dilakukan dengan membeli akan mengeluarkan modal besar. Kebijakan ini perlu dikritisi sejauh mana akan menjawab persoalan dalam penanggulangan kekurangan pangan, gejolak harga pangan, bencana alam, bencana sosial dan/atau menghadapi keadaan darurat. h. Pasal 31 ayat (3): Dalam hal tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pemerintah berhak mengatur penyaluran cadangan pangan pemerintah daerah. Kebijakan pengaturan pangan secara sentralistik bertentangan dengan kewenangan pemerintah daerah yang didasarkan pada ketentuan otonomi daerah. i. Pasal 36: (1) Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. (2) bahwa Impor pangan pokok hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi.
Page
j. Pasal 72: Bahan tambahan Pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam Pangan untuk mempengaruhi sifat, rasa, warna, kandungan gizi, keawetan, dan/atau bentuk Pangan.
12
Pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada peningkatan mekanisme dalam negeri seperti memfasilitasi petani melalui reforma agraria, subsidi pertanian.
k. Pasal 73: (1) Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan untuk diedarkan. (2) Pemeriksaan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran. l. Pasal 74: (1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan, dilarang menggunakan bahan tambahan Pangan melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dapat merusak kesehatan manusia. (2) Ketentuan mengenai ambang batas maksimal dan bahan yang dapat merusak kesehatan manusia diatur dalam Peraturan Pemerintah. m. Pasal 75: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dikenai sanksi pidana dan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. denda administratif; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti kerugian; dan/atau e. pencabutan izin.
Page
o. Pasal 77: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. denda administratif; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti kerugian; dan/atau e. pencabutan izin.
13
n. Pasal 76: (1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan, menggunakan bahan baku, menggunakan bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika, harus terlebih dahulu memeriksakan Keamanan Pangan sebelum diedarkan. (2) Pemeriksaan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah untuk mendapatkan izin peredarannya. (3) Ketentuan mengenai pemeriksaan Keamanan Pangan, persyaratan prinsip penelitian dan pengujian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan yang dihasilkankan dari proses rekayasa genetika diatur dalam Peraturan Pemerintah.
p. Pasal 78: (1) Pengolahan Pangan dapat dilakukan melalui iradiasi dengan metode penyinaran terhadap Pangan, baik dengan menggunakan zat radio aktif maupun akselerator. (2) Iradiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mencegah terjadinya pembusukan, kerusakan, dan membebaskan Pangan dari jasad renik patogen. q. Pasal 79: (1) Iradiasi hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang pertanian. (2) Izin Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan kesehatan, prinsip pengolahan, dosis, teknik dan peralatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan radioaktif untuk menjamin Keamanan Pangan, keselamatan kerja, dan kelestarian lingkungan. r. Pasal 80: (1) Kemasan Pangan berfungsi untuk mencegah terjadinya pembusukan, kerusakan, serta membebaskan Pangan dari jasad renik patogen. (2) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan dalam kemasan, wajib menggunakan bahan Kemasan Pangan yang tidak merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia. s. Pasal 81: (1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan, dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai Kemasan Pangan yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia. (2) Pengemasan Pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata cara yang dapat menghindarkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran. (3) Ketentuan mengenai Kemasan Pangan, tata cara pengemasan Pangan, dan bahan yang dilarang digunakan sebagai Kemasan Pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Page
u. Pasal 83: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dan Pasal 78 ayat (1) dikenai sanksi pidana dan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. denda administratif;
14
t. Pasal 82 (1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan. (2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.
b. c. d. e.
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; ganti kerugian; dan/atau pencabutan izin.
v. Pasal 84: (1) Pemerintah menetapkan standar Mutu Pangan dan pemeriksaan laboratorium pada setiap produk Pangan. (2) Setiap pengadaan dan Peredaran Pangan harus dilakukan pengawasan sesuai standar Mutu Pangan dan pemeriksaan laboratorium. (3) Pengadaan Pangan yang dibuat atau dimasukkan untuk diedarkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memenuhi standar mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. w. Pasal 86: (1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar Mutu Pangan dan pemeriksaan laboratorium. (2) Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar Pangan terlebih dahulu diuji di laboratorium sebelum diedarkan. (3) Pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan/atau telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah. (4) Ketentuan mengenai standar mutu dan persyaratan pengujian laboratorium diatur dalam Peraturan Pemerintah. x. Pasal 87: Setiap orang dilarang memperdagangkan Pangan yang mutunya berbeda atau tidak sam dengan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan.
Page
Pasal 69-88 Pengelolaan produk pangan yang dilakukan pedagang kecil jajanan pasar yang sehat dan bergizi sangat ditentukan dengan harga bahan pokok. Dalam hal produk pangan, RUU Pangan mengatur tentang pengemasan, pelabelan, pengujian laboraturium sebagai cara untuk memeriksakan keamanan pangan. Apabila ketentuan ini diberlakukan, maka yang paling rentan terkena jerat hukum adalah perempuan
15
y. Pasal 88: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 83 dikenai sanksi pidana dan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. denda administratif; b. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; c. ganti kerugian; dan/atau d. pencabutan izin.
pedagang kecil yang tidak mampu mengakses cara dan biaya untuk pemeriksaan keamanan pangan.
Usulan Masukan Materi Terhadap RUU Pangan 1. Tambahan pada poin Mengingat: Selain berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, dan Pasal 28C ayat (1), RUU Pangan diusulkan juga menambahkan konvensi yang telah diratifikasi antara lain: a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita; b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
2. Tambahan pada Pasal 1 tentang definisi petani, nelayan, pembudi daya: 21. Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan laki-laki dan perempuan maupun beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Pangan. 21. Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan laki-laki dan perempuan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. 22. Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan laki-laki dan perempuan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. 3. Tambahan pada Pasal 2: Usulan tambahan asas terkait pemenuhan hak-hak perempuan yakni: - penghormatan hak asasi manusia, - non diskriminasi, - kesetaraan gender, - keadilan gender.
Page
1. Memuat asas-asas tentang pemenuhan hak-hak asasi perempuan yaitu penghormatan hak asasi manusia, non diskriminasi, kesetaraan dan keadilan gender, untuk itu perlu menambahkan asas-asas yang tercantum di dalam pasal 2 RUU Pangan.
16
V. Rekomendasi Berdasarkan pemikiran tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:
2. Memuat prinsip hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), untuk itu perlu menambahkan keempat undang-undang
tersebut pada poin mengingat. 3. Menambahkan pasal-pasal yang mengatur bagi produsen skala kecil -di mana jumlah produsen perempuan yang banyak di dalamnya- untuk memperoleh akses pelayanan, pendidikan, pemberdayaan, bantuan modal gratis dalam pengelolaan pangan serta perlindungan hukum, agar tidak terjadi kriminalisasi bagi perempuan produsen skala kecil. 4. Mewujudkan kedaulatan pangan melalui reformasi agraria, perdagangan yang adil, konsumsi pangan lokal dan sistem pertanian yang berkelanjutan, sesuai dengan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. 5. Menjalankan komitmen yang sudah diamanatkan dalam konstitusi dan berbagai kebijakan kebijakan nasional maupun instrumen HAM internasional. 6. UU Pangan dan Peraturan Pelaksanaanya nanti baik di pusat dan daerah harus melindungi seluruh rakyat termasuk kelompok rentan dan kelompok marginal serta terdiskriminasi.
Page
17
7. Negara harus memiliki posisi tawar sebagai pelaku dalam perdagangan dunia dan lembaga keuangan internasional agar segala langkah dan kebijakan yang diambil berorientasi untuk mensejahterakan rakyat, bukan justru akan memiskinkan rakyat.
Addendum Setelah Rancangan Undang-Undang Pangan disahkan12 Tanggal 16 November 2012, sidang paripurna DPR RI mengesahkan rancangan Undang-Undang Pangan menjadi Undang-Undang Pangan, yang diundangkan pada tanggal 17 November 2012 menjadi Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dan dicatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 227. Undang-Undang Pangan yang telah disahkan terdiri dari 7 (tujuh) bab dan 154 pasal. Undang-Undang tersebut tidak terlalu banyak mengalami perubahan dari draft RUU yang disusun Panitia Kerja (Panja) Komisi IV sebelumnya. Undang-Undang Pangan tidak menuangkan asas-asas terkait pemenuhan hak-hak perempuan misalnya non diskriminasi, kesetaraan gender dan keadilan gender. Undang-Undang ini juga bersifat netral gender dan tidak difokuskan pada perempuan atau laki-laki, sebagaimana terkonfirmasi melalui pernyataan Wakil Ketua Komisi IV dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komnas Perempuan pada 25 September 2012 dengan argumentasi agar UU ini mengakomodir semua pihak. Ketentuan mengingat dalam Undang-Undang ini tetap berlandaskan pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini patut diapresiasi, walaupun pada saat yang sama UU ini tidak melandaskan pada Undang-Undang UU Nomor 7 Tahun 1984, UU Nomor 39 Tahun 1999, UU Nomor 23 Tahun 2002, maupun UU Nomor 11 Tahun 2005. Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 36 mengatur impor pangan yang hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Ketentuan ini tentu merupakan aturan yang optimis terhadap kondisi ketersediaan pangan dalam negeri. Walaupun di sisi lain, apabila kebijakan dalam negeri masih berorientasi pada pasar bebas, maka ketergantungan terhadap impor tetap akan dilakukan dan pada akhirnya perempuan yang paling merasakan dampaknya. Karena impor yang dimaksud menyangkut kebutuhan pokok rumah tangga seperti: beras, gandum, jagung, susu dan daging. Apabila daya beli terhadap kebutuhan pokok tidak tercukupi maka situasi dan kondisi rawan pangan akan terus terjadi. Sehingga cita-cita yang dirumuskan di dalam landasan filosofis Undang-Undang ini mungkin saja tidak terwujud.
12
Bagian ini ditulis pada bulan Desember 2012.
Page
Perbandingan antara Masukan Komnas Perempuan dengan Undang-Undang Pangan yang telah disahkan
18
Berikut ini perbandingan antara masukan yang disampaikan oleh Komnas Perempuan dengan UU Pangan yang telah disahkan.
RUU Pangan usulan DPR
RUU Pangan versi Komnas Perempuan
UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A dan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A dan Pasal 28C ayat (1), 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, dan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Page
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
19
Tambahan: a. UUD NRI Tahun 1945 : - Pasal 28H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. - Pasal 28I ayat (4) bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Wanita b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan mengenai Hak ekonomi Sosial dan Budaya Pasal 1 angka 14 Pasal 1 angka 20 Petani adalah warga negara Petani adalah warga negara Indonesia, baik Indonesia, perseorangan perseorangan maupun baik laki-laki dan beserta keluarganya yang perempuan maupun melakukan usaha tani di beserta keluarganya yang bidang Pangan. melakukan usaha tani di bidang Pangan.
Pasal 1 angka 20
Pasal 1 angka 15 Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Pasal 1 angka 21 Nelayan adalah warga negara Indonesia, perseorangan baik laki-laki dan perempuan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Pasal 1 angka 21
Pasal 1 angka 16
Pasal 1 angka 22
Pasal 1 angka 22
Pembudidaya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau
Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, perseorangan baik laki-laki dan perempuan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan,
Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta memanen
Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Pangan.
Page
20
Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Pasal 2 Penyelenggaraan Pangan dilakukan dengan berdasarkan asas: a. Kedaulatan; b. Kemandirian; c. Ketahanan; d. Keamanan; e. Manfaat; f. Pemerataan; g. Berkelanjutan; dan h. Keadilan
Pasal 2 Pasal 2: Penyelenggaraan Pangan Usulan tambahan - penghormatan hak dilakukan dengan berdasarkan asas: asasi manusia, a. Kedaulatan; - non diskriminasi, b. Kemandirian; - kesetaraan gender, c. Ketahanan; - keadilan gender. d. Keamanan; e. Manfaat; f. Pemerataan; g. Berkelanjutan; dan h. Keadilan
21
membiakkan, dan/atau hasilnya dalam lingkungan memelihara ikan dan yang terkontrol. sumber hayati perairan lainnya serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol.
Page
memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol.
Daftar Pustaka Ayip Abdullah, Tabloid Perempuan Bergerak Bersatu Lawan Tirani, Jakarta: Kalyanamitra, Edisi II/April-Juni 2011 Dwi Astuti, Tabloid Perempuan Bergerak, Jakarta: Kalyanamitra, edisi II April – Juni 2011 Harian kompas, IPM Peringkat Naik, Kualitas Stagnan, 18 November 2011. Khudori, Situasi Pangan Indonesia, makalah pada ”Workshop Nasional Hak Atas Pangan” Bina Desa, 26 Juni 2010. Komnas HAM, Pengaturan dan Realisasi Pemenuhan Hak Atas Pangan yang layak, Jakarta: 2005, Komnas Perempuan, Pemetaan Perempuan dan Pemiskinan dalam Kerangka HAM, 29 November 2011.
22
Wahyu Jatmiko, Pentingnya Peran Perempuan dalam Keberlangsungan Pangan Keluarga, http://www.greenersmagz.com/dailyten/pentingnya-peran-perempuan-dalam-keberlangsungan-pangankeluarga,8-3-2012.
Page
Tejo