THE POTENTIAL OF AGRO INDUSTRIAL CLUSTER AS A MEANS TO DEVELOP THE LOCAL ECONOMY IN INDONESIA
Politeknik Negeri Jember Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Ika Retna Wulandary, ST., M.Sc.
ABSTRAK
K
eberlanjutan pertanian dalam rangka menghasilkan pangan akan banyak dipengaruhi oleh SDM pertanian. SDM pertanian dalam hal ini adalah petani petani akan menggerakkan sejauh apa produk vitas pertanian dalam meneghasilkan pangan. Secara faktual Indonesia banyak membutuhkan suplai dari Negara lain untuk memenuhi kecukupan pangan. Apabila kondisi tersebut berlanjut maka keinginan untuk mencapai kedaulatan pangan tentu jauh dari harapan. Kesenjangan-kesenjangan tersebut memberikan arah dan tujuan dari kajian yaitu: (a) menguraikan kondisi tantangan global terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b) menguraikan karakteris k SDM pertanian saat ini, dan (c) menganalisis implikasi karakteris k SDM terhadap Kedaulatan pangan. Metode kajian menggunakan studi pustaka dengan pemaknaan terhadap data sekunder. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (i) kompleksitas tantangan global memberikan indikasi Indonesia perlu meningkatkan ketersediaan pangan, (ii), karakteris k SDM pertaniaan saat ini memiliki kualifikasi daya saing yang rendah dan (iii) diperlukan upaya sistema s dalam memfasilitasi regenarasi SDM pertanian dalam menyongsong era persaingan pasar bebas.
T
he interest of clustering has been rising among policy makers. It is believed that industrial cluster has potential to generate employment as means for poverty reduction strategy, decrease cost of production, access inputs of production easily, disseminate new knowledge quicker, and also attract more supplier and customers. Besides that, cluster firms are more resilient than large firms in periods of economic fluctuation. Schmitz and Nadvi (1994) emphasize that industrial cluster would be more relevant in the early stage of industry and is also important in developing countries context. However, industrial clusters are often facing challenges such as global competitiveness, labour exploitation and environmental problems. The application of the industrial cluster concept is different in each case study. The research shows that agro industrial cluster operations employ local and related family labour and they have limited access to formal financial institutions. On the other hand, upgrading is not a pre-requisite to enter the global market since the agro industry is a market-driven industry where the global market has its preferences for certain commodities. Improving local economic development in this particular industry depends on the actors’ interactions within the value chain. Sustainability and competitiveness for development of the local economy depend on the motivation of farmers to develop the industry. In conclusion, agro industrial clusters have the potential to improve the local economy. However, weaknesses of the industry could outweigh this potential, thus limiting local economic development and hindering sustainability of the industry.
|
Muksin Bustang A.M.
(Case Study: Cocoa Industry Clusters in South Sulawesi Province) Abstract
72
URGENSI REGENERASI SDM PERTANIAN DALAM UPAYA MENCAPAI KEDAULATAN PANGAN
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
Kata Kunci: Regenerasi, SDM Pertanian, dan Kedaulatan Pangan
PENDAHULUAN
P INTRODUCTION
P
olicy makers have turned their attention to industrial clusters as an economic policy tool for increasing industrial growth and competitiveness, and also economic development. Industrial clusters could also help poverty reduction because they generate jobs and income for the poor. Improving access to markets
ertanian adalah salah satu sektor vital dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pertanin juga memiliki peran strategis bagi kehidupan bangsa. Kondisi yang vital dan dan strategis ini secara keseluruhan dak dapat digan kan oleh sector lainnya. Pertanian adalah penyedia pangan bagi penduduk Indonesia. Pertanian adalah pabrik alami yang menghasilkan produk-produk pangan yang amat dibutuhkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Sebagai penyedia pangan, maka pertanian memiliki peran yang tak tergan ka oleh sector lainnya.
Pertanian juga merupakan penyedia mayoritas dari bahan baku industri kecil dan menengah. Sekitar 87% bahan baku dari industry kecil dan menengah adalah berbasis dari proses pertanian. Pertanian dengan demikian memberikan potensi bagi dinamika perekonomian bangsa. Relevan dengan kondisi tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Kementerian Pertanian (2014) bahwa pertanian memberikan sumbangan sekitar 14,72% terhadap PDB. Proses dan dinamika pertanian juga mampu menghasilkan US $ 43,37 M devisa Negara. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa sector pertanian memiliki peran signifikan dalam perekonomian nasional.
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
25
Apabila dilihat dari perspek f kepen ngannya pada jumlah tenaga kerja, maka pertanian menyerap sekiar 33,32% total tenaga kerja. Kondisi lainnya adalah bahwa pada rumah tangga pedesaan bergantung sekitar 70% dari sector pertanian sebagai sumber utama pendapatan. Dalam konteks ketenagakerjaan, maka pertanian memiliki peran vital dalam menutup lubang pengangguran terbuka yang semakin besar. Kondisi tersebut memberikan klarifikasi bahwa pertanian menjadi factor penutup bagi potensi pengangguran yang besar. Terdapat fakta bahwa pertanian adalah suatu keniscayaan bagi keberlanjutan kehidupan manusia, dalam konteks penyediaan pangan (Luckey, et al: 2013) Sisi lain dari pertanian adalah sektor ini memiliki peran yang dak ringan dari upaya mencegah atau menyelesaikan masalah lingkungan. Sebagai “organisasi” yang bersandar dari proses alamiah, maka pertanian memiliki peran dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 8 juta ton (Kementerian pertanian, 2014). Peran terhadap upaya menjaga kelestarian amat vital di tengah semakin meningkatnya persoalan-persoalan lingkungan dewasa ini. Peran strategis pertanian memberikan sinyal bahwa peran-peran pen ng tersebut dak dapat digan kan oleh sector lainnya. Ketetapan peran-peran strategis tersebut, tentu dapat diupayakan apabila kondisi atau factor-faktor penyokong tersebut antara lain adalah SDM pertanian sebagai kelompok pengelola dari “organisasi” pertanian. Peran strategis juga secara linear akan berdampak terhadap kemampuan menerjemahkan tantangantantangan dari luar. Tantangan dari luar dalam hal ini adalah lingkungan global yang memberikan potensi untuk memperbesar peran pertanian dalam mensejahterakan bangsa ataukah sebaliknya. Ar nya peran pertanian yang lemah tentu akan memberikan dampak yang kurang menguntungkan pada kondisi ketersediaan pangan bangsa dan juga implikasi ketergantungan terhadap Negara lainnya. Isu-isu terkait pangan pada masa depan akan menjadi isu pen ng dan masuk dalam ranah atau kawasan yang berpotensi menjadi sumber konflik.
26
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
Kondisi ini didasarkan pada fakta bahwa ketersediaan pangan dan jumlah kebutuhan terhadap pangan daklah sebanding. Dalam konteks ketersediaan pangan aspekaspek terhadap kemampuan produksi dianggap lemah, sedangkan kebutuhan pasokan atau permintaan dari waktu ke waktu terus meningkat. Beberapa kondisi yang kurang menguntungkan memberikan kontribusi signifikan dalam konteks kemampuan produksi pertanian. Semakin mengecilnya lahan pertanian, konversi lahan pertanian yang terus berlanjut, kerusakan lingkungan, dan mutu kelembagaan petani yang dinilai rendah adalah kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan tersebut. Bila terus berlanjut kondisi ini tentu berdampak nega ve terhadap kemampuan produksi dalam negeri sekaligus menurunnya daya saing. Daya saing yang lemah tentu akan merugikan Indonesia mengingat pasar terpadu ASEAN sudah di depan mata. Sebagaiman kita kitehui bahwa implementasi The ASEAN Economic Community (AEC) akan berlaku pada tahun 2015. Integrasi pasar dan pintu masuk pasar global yang dak dian sipasi, tentu akan sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satu faktor pen ng bagi upaya melakukan proses produksi yang tepat, adalah dengan menyiapkan SDM yang memenuhi standar kebutuhan sector pertanian. SDM yang tepat yang dibutuhkan adalah sesuai dengan kebutuhan dalam rangka memenuhi upaya-upaya yan dapat dilakukan dalam memenuhi ekspektasi daya saing yang tepat. Dalam konteks ini para pelaku atau SDM yang tepat sangat diharapkan dapat melaksanakan kegiatan pertanian yang sesuai. SDM pertanian yang tangguh, akan memberikan peran yang sesuai dengan kondisi persaiangan saat ini. SDM yang memliki kompetensi tentu memberikan kontribusi pada kemajuan usaha tani. Kesiapan, kualifikasi dan kompetensi yang memadai sebagai SDM usahatani akan berontribusi dalam produk vitas, daya adaptasi dan keberlanjutan usahatani. Apabila kondisi atau situasi peran SDM pertanian dapat diselenggarakan, maka berdampak pada signifikan dalam memfasilitasi upaya mewujudkan kedaulatan pangan.
REFERENCES Abdallah, S., & Mahony, S. (2012). Stock-taking of Subjective Well-Being Retrieved from http://www. eframeproject.eu/fileadmin/Deliverables/Deliverable2.1.pdf Bertrand, M., & Mullainathan, S. (2001). Do People Mean What They Say? Implications for Subjective Survey Data. American Economic Review, 91(2), 67-72. Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia. (2012). Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKraR). Jakarta: Coordinating Ministry for People’s Welfare of Indonesia. Dolan, P., Layard, R., & Metcalfe, R. (2011). Measuring Subjective Wellbeing for Public Policy Retrieved from http:// eprints.lse.ac.uk/35420/1/measuring-subjective-wellbeing-for-public-policy.pdf Dolan, P., & Metcalfe, R. (2012). Measuring Subjective Wellbeing: Recommendations on Measures for Use by National Governments. Journal of Social Policy, 41(02), 409-427. Esti, D. R. S. (2013). Subjective Well-being Measurement for Public Policy in Indonesia. Master, University of Groningen, Groningen. Esti, D. R. S., Woltjer, J., & Hasanov, M. (2013). Evaluation in Integrated Land-Use Management: Towards an AreaOriented and Place-Based Evaluation for Infrastructure and Spatial Projects. [Workshop Report]. Town Planning Review, 84(5), 671-677. doi: 10.3828/tpr.2013.34 Fujiwara, D., & Campbell, R. (2011). Valuation Techniques for Social Cost-Benefit Analysis: Stated Preference, Revealed Preference and Subjective Well-being Approaches. A Discussion of the Current Issues. London: HM Treasury and DWP. Graham, C. (2010). The Challenges of Incorporating Empowerment into the HDI: Some Lessons from Happiness Economics and Quality of Life Research. Paper presented at the Human Development Research Paper 2010/13. Helliwell, J., Layard, R., & Sachs, J. (2013). World Happiness Report 2013. New York: UN Sustainable Development Solutions Network. Hicks, S., Tinkler, L., & Allin, P. (2013). Measuring Subjective Well-being and its Potential Role in Policy: Perspective from the UK Office for National Statisticcs. Social Indicators Research, 114(1), 73-86. Khakee, A. (2002). Assessing Institutional Capital Building in a Local Agenda 21 Process in Go¨teborg. Planning Theory & Practice, 3(1), 53-68. McGillivray, M. (2007). Human Well-being: Issues, Concepts and Measures. Houndmills, New Hampshire, USA: Palgrave Macmillan. OECD. (2013). OECD Guidelines on Measuring Subjective Well-being Retrieved from http://dx.doi. org/10.1787/9789264191655-en ONS. (2010). Measuring Subjective Wellbeing in the UK S. Waldron (Ed.) Retrieved from http://www.ons.gov.uk/ ons/guide-method/user-guidance/well-being/publications/measuring-subjective-well-being-in-the-uk.pdf ONS. (2011). Initial investigation into Subjective Wellbeing from the Opinions Survey Retrieved from http://www. ons.gov.uk/ons/dcp171776_244488.pdf Stiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J.-P. (2010). Mismeasuring Our Lives: Why GDP Doesn’t Add Up. New York: New Press. Thompson, S., & Marks, N. (2008). Measuring well-being in policy: issues and applications Retrieved from http:// dnwssx4l7gl7s.cloudfront.net/nefoundation/default/page/-/files/Measuring_well-being_in_policy.pdf
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
71
Specifically to enhance the institutional capital level for informing policy design, the involvement of technical ministries in Indonesia is required. As practiced in the UK, various UK government departments even included targets in their Public Service Agreements (PSA) that could benefit from subjective well-being data. Therefore, the statistical office is informed by emerging policy requirements and policy makers are informed or aware of the subjective well-being data. In addition, specifically for policy appraisal context, some customized subjective well-being measurements by related departments or ministries or research centres or any other concerned stakeholders are needed while keeping within the overall agreed framework, which absolutely depends on the scope of the appraised policy. Some further steps recommendation for Indonesian context are as follows: o SPTK 2013 results is published by the Central Statistics Agency and shared to the concerned stakeholders, especially BAPPENAS, the Coordinating Ministry of People’s Welfare, and other technical ministries in Indonesia
o
o
o
o
o
o
Together with BAPPENAS and the Coordinating Ministry of People’s Welfare, the Central Statistics Agency establish an advisory forum and technical group The advisory forum invite academics and research centers such as SEMERU and Lembaga Demografi UI to join and discuss subjective well-being measurements framework in Indonesia The advisory forum publish subjective wellbeing measurements framework in Indonesia and guidance for using subjective well-being measurement The advisory forum with wider stakeholders, key user stakeholders such as technical ministries or departments in Indonesia, discuss further the potential use of subjective well-being measurement and “need assessment” of this measurement from the key user stakeholders The technical group conduct public consultations as practiced in the IKraR development to diffuse and develop the knowledge on subjective wellbeing measurement in Indonesia The advisory forum discuss the improvement of subjective well-being indicators for the next survey.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka menilai kembali bagaimana SDM pertanian dan peran yang dapat dimainkan adalah upaya vital yang sangat secara potensial dan actual akan memberikan jawaban terhadap persoalan-persolan pertanian, produksi, maupun daya saing serta kedaulatan pangan. Kedaulantan pangan telah menjadi suatu tahapan sangat vital dalam keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berfokus pada pemikiran tersebut maka tujuan dari penulisan ar kel ini adalah: (a) menguraikan kondisi tantangan global terhadap ketersediaan pangan dan dinamikanya, (b) menguraikan karakteris k SDM pertanian saat ini, dan (c) menganalisis implikasi karakteris k SDM terhadap Kedaulatan pangan.
METODE PENELITIAN Metode pengkajian terhadap relevansi regenerasi SDM untuk pencapaian kedaulatan pangan menggunakan penelusuran pustaka (studi pustaka) khususnya yang terkait dengan SDM pertanian terkini. Penelusuran sumber pustaka memanfaatkan hasil peneli an terdahulu baik dari publikasi on line maupun referensi dalam bentuk buku, berkala maupun sumber ilmiah lainnya. Kajian terhadap hasil peneli an diharapkan dapat memberikan informasi terkini yang relevan dengan kondidi SDM petani. Untuk menghasilkan analisis yang relevan, maka pengamatan terhadap data utama dilakukan terhadap hasil data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Sta s (BPS) dan data bersumber dari peneli an lainnya atau peneli an terdahulu. Peneli an terdahulu yang dimaksud adalah peneli an yang dilakukan oleh peneli maupun karya peneli lainnya. Peneli berupaya unutk melakukan proses pembandingan terhadap data dari hasil penelusuran pustaka, dan melakukan analisi untuk keperluan menjawab pertanyaan peneli an. Selanjutnya dari hasil komparasi dan analisis data tersebut tersebut peneli melakukan review terhadap kajian-kajian yang memiliki substansi dan ruang lingkup masalah yang relevan. Berdasarkan review tersebut peneli melakukan sintesa untuk memberikan pemahaman dan pemaknaan atas informasi yang
70 70
|
EDISI ED DIISI SI 01 01 • TAHUN TTA AH HU UN XX XX • MEI MEEII 2014 2014 01 0 14
diperoleh. Berdasarkan keseluruhan ak vitas tersebut peneli melakukan sintesa untuk melakukan pemaknaan dan menyusun implikasi maupun penarikan kesimpulan dari kajian tersebut. Sintesa memberikan gambaran terhadap informasi faktual di lapngan khususnya dalam kehidupan dan dinamika SDM pertanian.
HASIL DAN PEMBAHAAN Tantangan Produksi Pertanian Kedaulatan pangan berhubungan erat dengan produk vitas pertanian. Produk fitas pertanian memberi gambaran tentang kinerja pertanian dalam penyelenggaraan usahatani. Kinerja usahatani adalah hasil yang dicapai dalam bentuk ouput proses produksi. Produk vitas pertanian berhubungan erat secara langsung dengan dengan faktor-faktor sumberdaya. Faktor-faktor sumberdaya adalah sumberdaya alam termasuk lahan, air, iklim, sumberdaya sarana produksi dan sumberdaya manusia sebagai pelaku usahatani. Faktor-faktor sumberdaya tersebut saling berinteraksi dalam menentukan dinamika produk vitas pertanian (Muksin, 2014). Salah satu ukuran produk vitas pertanian dapat dikaitkan dengan kondisi ketersediaan pangan nasional dan dinamika untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Kebutuhan dari pangan nasional cukuop besar dapat diama dari nilai rupiah yang dibelanjakan dari APBN untuk kebutuhan pangan tersebut. Sebagaimana hasil kajian beberapa peneli an bahwa pada tahun 2009 sekitar 5 persen dari APBN atau sekitar 50 triliun digelontorkan untuk menyediakan atau membeli enam komoditas pangan, yaitu kedelai, gandum, daging, sapi, susu dan gula, termasuk garam. Kondisi ini menunjukkan betapa besarnya ketergantungan pangan kita kepada negara lain. Bersamaan dengan hal tersebut di banyak belahan dunia yang lain kondisi kekurangan ketersediaan pangan juga terjadi. Selain persoalan iklim yang dak menentu sebagai akibat kehidupan modern yang “ dak terkendali” dan dak ramah terhadap lingkungan, maka pesoalan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat menjadi penyebab utama akan ketersediaan pangan yang
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
27
terus menuruan. Data beberapa peneli an menyebutkan bahwa secara ideal angka pasokan pangan atas kebutuhan jumlah penduduk, saat ini dinilai berada pada angka ketersediaan 30-40persen dari jumlah keseluruhan. Kondisi tersebut secara factual tentu mempriha nkan dan banyak memunculkan banyak kekhawa ran. Semakin meningkatnya permintaan pangan, sementara pasokan terhadap pangan dak sebanding mengakibatkan terjadinya kecenderungan peningkatan harga terhadap pangan. Kecenderungan harga pangan tersebut misalnya terjadi pada gandum, padi, dan jagung serta beberapa komodi lainnya khususnya komodi yang dapat digunakan sebagai bahan pangan dan bahan baku energi. Kelangkaan pangan selain factor-faktor tersebut, juga dipicu oleh “alih fungsi” beberapa komodi pertanian yang pada awalnya dimanfaatkan untuk bahan baku pangan, pada saat ini juga diupayakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan energy. Beberapa materi dan tanaman, seper kelapa sawit, jagung, ubi kayu, tebu, tanaman jarak, kemiri sunan dan kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber energi. Permintaan energi final masa mendatang akan naik hampir ga kali lipat tahun 2030, dan BBM masih mendominasi dengan porsi sebesar 31,1 persen. “Perebutan” peruntukan bahan baku tersebut berimbas terhadap ketersediaan pangan (Kementan, 2014). Indonesia sampai saat ini adalah Negara pengimpor bahan pangan seper gandum, beras, dan kedelai dan beberapa komoditas lainnya. Jumlah impor tersebut memiliki konsekuensi ketergantungan Indonesia terhadap beberapa Negara untuk memenuhi kebtuhan pangan. Semakin besar jumlah kebutuhan pangan, semakin besar ketergantungan Indonesia terhadap Negara-negara penyedia pangan. Bila kondisi tersebut berlanjut maka krisis pangan akan benar-benar terjadi. Kecenderungan semakin meningkatnya impor beberapa komoditas oleh Indonesia, dinilai sebagai kondisi yang membahayakan. Indonesia dinilai sudah masuk dalam jebakan pangan (food trap) (Wibowo, 2014). Terdapat penilaian yang dikemukakan oleh ahli sosiopoli k bahwa dinamika ketersediaan pangan bagi penyuplai dan bagi Negara-negara yang membutuhkan
28
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
dapat dijadika sebagai alat tukar. Negara-negra yang memiliki kecukupan atas pangan sangat mungkin akan dapat “mendikte” atau bahkan mengontrol terhadap Negara-negara yang membutuhkan pangan. Dalam konteks ini maka interaksi dalam perdagangan pangan dapat menjadi alat tukar poli k atas suatu kepen ngan tertentu dari suatu Negara. Produksi pangan berasal dari proses produksi pertanian. Sementara produksi dan perdagangan yang terkait langsung dengan sarana produksi hanya dikuasai atau dikontrol oleh hanya lima Mul na onal Corpora on (MNC), sehingga petani hanya memiliki peran kecil dalam kontribusi terhadap perdagangan. Dengan demikian krisis pangan dan ancaman terhadap ketersediaan pangan disejajarkan dengan konsepsi ancaman tradisional dan non tradisional pada keamanan nasional. Krisis terhadap keberlanjutan pertanian adalah konsekuensi logis dari kondisi saat ini. Sebagaimana tela diuraikan bahwa produk vitas pertanian terus mengalami penurunan. Produk vitas yang menurun memberikan ancaman serius terhadap kedaulatan pangan. Bahkan ancaman terhadap krisis pangan dimasukkan sebagai ancaman serius terhadap ketahanan dan kemanan Negara (Bappenas, 2009).
KarakterisƟk Petani Sebagaimana data Badan Pusat Sta s k (BPS) bahwa hampir 67 persen angkatan kerja menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa peran pertanian cukup ngggi. Sektor pertanian dengan demikian masih menjadi salah satu media dalam menutupi potensi pengangguran terbuka. Apabila dilihat dari penguasaan lahan pertanian, petani memiliki lahan pertanian yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil sensus pertanian tahun 1993 menunjukkan penguasaan lahan oleh keluarga petani adalah sekitar 0,48 ha. Selanjutnya pada hasil sensus pertanian tahun 2003 penguasaan lahan pertanian oleh petani sekitar 0,3 ha per keluarga, sementara hasil sensus pertahian tahun 2013 menunjukkan penguasaan lahan yang dikelola keluarga petani sekitar 0,2 ha. Kondisi tersebut menunjukkan
CONCLUSION From this article, we can identified several significant institutional arrangement elements of subjective wellbeing measurements, the type of measurements and the potential roles of subjective well-being measurement, and institutional capital evaluation related to subjective well-being measurement in Indonesia. In Indonesia, the subjective well-being measurement limited to one actor, intra-organizational network, and no platforms established until recently. The type of subjective well-being measurement used are the evaluative and eudaimonic approach. For the institutional capital evaluation, as can be seen in Figure 10 and Figure 11, illustrated that subjective well-being measurement in Indonesia both for monitoring progress and informing policy design contexts are categorically in the initial stage. Therefore, thorough effort must be applied to enhance the institutional capital in order to support the utilization of subjective well-being measurement for public policy.
RECOMMENDATION A relevant and suitable institutional arrangement must be designed with taking into account the institutional capital and policy context for those countries that are initializing the national subjective well-being measurement or are in the start-up phase like Indonesia. Considering that potential roles of subjective well-being measurement can only be applied and carried out effectively and efficiently if supported by a high level of institutional capital, enhancement of institutional capital level is required. International experiences consist of various good practices or institutional arrangement elements that can help to enhance the level of institutional capital. This is mostly for the case of the UK where they already have the platform (national debate) and the interorganizational network (advisory forum and technical group). Establishment of an official platform such as national debate and inter-organizational networks such as advisory forum and technical group are expectedly increase the level of institutional capital. For the intellectual capital component, the national debate, advisory forum, and technical advisory group
can act as knowledge resources which could be used to diffuse the knowledge and values to increase the degree of understanding of concerned stakeholders. The three elements would definitely improve the social and political capital component as well through higher stakeholder involvement, density of networks, access to networks, selection & identification of issues, and consensus-building practices. In addition, role of key agents would be further facilitated through the existence of advisory forum and technical group. In Indonesia, the institutional capital level for monitoring progress and informing policy design context can be improved by the establishment of the advisory forum and technical group. Keeping in mind the existing financial and other capital, national debate is not considered feasible in Indonesia. The concerned stakeholders in subjective well-being measurement for monitoring progress and informing policy design, are relatively similar with stakeholders in the development of IKraR due to the same policy contexts. BAPPENAS and the Coordinating Ministry of People’s Welfare can be considered to be the most appropriate to be partners of BPS in developing the subjective well-being measurement. This is according to the status, duties, and functions of these two ministries. They should join BPS as the “advisory forum” and “technical group”. Furthermore, they should also play the role as the coordinator as practiced by Cabinet Office in the UK. In the UK, Cabinet Office coordinate across departments for ensuring that subjective well-being data are used effectively. The key role as data collector, BPS certainly is the right organization to play the role. Academic institutions should also play a key role to explore the knowledge and afterward can conduct related and constructive small research about this topic to be input for developing the instrument and so forth. Together with local NGOs, they can also be the stakeholder to diffuse the knowledge and values on subjective wellbeing to civil society. In Indonesia, there are also some significant research centres such as LIPI, SEMERU, and other institution that could also conduct some research on this concept so that its measurement and the measurement results can be more applicable in Indonesia and contribute significantly in improving the well-being of the people of Indonesia.
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
69
In Indonesia, national subjective well-being is began to be measured since April 2013 through SPTK 2013. Statistics generated from SPTK 2013 were indicators of life satisfaction and happiness that planned to be analyzed based on demographic characteristics of the population, education, health, economic, housing and others. The type of measurements used are evaluative approach (life satisfaction, overall happiness, and domain satisfaction) and also eudaimonic approach (psychological/ flourishing, capabilities, and ‘having, loving being’ approach).
Figure-1. Institutional Capital Evaluation Results for “Monitoring Progress” Policy Context
To what extent the existing and potential institutional capital supports the utilization of subjective well-being measurement to be a substantial input for public policy in Indonesia? Literature review and document analysis argued that potential roles of subjective well-being measurement can only be applied and carried out effectively and efficiently if supported by a high level of institutional capital. There are three types of institutional capital, which are intellectual capital, social capital and political capital (Khakee, 2002). Intellectual capital can be recognized by knowing the range of knowledge resources, degree of understanding, use and diffusion of knowledge and values, and openness to accept and learn new things. To recognize and assess social capital, there are three criteria, which are the extent of stakeholder involvement, density of network linkages, and access to networks. Meanwhile, political capital is achieved from the commitment and willingness of different parties associated with the action for thinking policy and mobilizing resources, and the agenda formation which can be assessed from the selection and identification of issues, consensusbuilding practices, and role of key agents. However, as can be seen in Figure 1 and Figure 2, the institutional capital evaluation results illustrated that subjective wellbeing measurement in Indonesia both for monitoring progress and informing policy design contexts are categorically in the initial stage.
68
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
terjadi penurunan ditandai dengan menyempitnya lahan pertanian. Kepemilikan lahan oleh petani semakin rendah secara signifikan.
Ar nya petani baru yang masuk menjadi petani jumlahnya sangat dak signifikan dibanding dengan yang keluar dari profesi sebagai petani.
Beberapa masalah lain yang terkait dengan sumberdaya alam dan lingkungan adalah masalah lain iklim yang dak menentu, rusak atau adanya jaringan irigasi sebagai akibat langsung dari adanya konversi lahan, kecenderungan rusaknya lahan pertanian sebagai akibat laju peningkatan pelaksanaan intensifikasi pertanian, indikasi meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) sebagai akibat ke dakseimbangan ekologis (muksin, 2002), meningkatnya persaingan produk pertanian khususnya tanaman pangan dan hor kultura yang berasal dari luar negeri, dan produk vitas Sumberdaya Manusia (Wibowo, 2014). Faktor sumberdaya manusia bahkan dianggap yang paling menonjol apabila dilihat dari karakteris k petani dan potensi persaingan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Selain jumlah secara kuan tas, faktor umur petani juga kurang menggembirakan. Apabila dilihat dari umur produk f, saat ini mayoritas petani adalah kelompok menjeleng usia senja yang masih bekerja. Berdasarkan SP 2013 sebagian besar petani berumur diatas 45 tahun atau 50-an tahun. Kategori umur tersebut mengindikasikan fase memasuki masa pensiun dalam pelaksanaan pekerjannya. Apabila dianggap umur produk f sampai 55 tahun, maka kelompok petani yang ada saat ini adalah kelompok yang hanya menyisakan beberapa tahun saja untuk pensiuan. Ar nya pada tahap ini, petani kurang memiliki kemampuan secara fisik untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan usaha tani.
Source: Analysis, 2013
Figure-2. Institutional Capital Evaluation Results for “Informing Policy Design” Policy Context
Secara sta s k karakteris k petani Indonesia kurang menggembirakan. Masih berdasarkan hasil sensus tahun 2003 jumlah petani gurem (keluarga petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) sekitar 31,17 juta. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan hasil sensus tahun 2013 sebesar 26,13 juta. Kondisi tersebut menunukkan terjadi penyusutan sebasar 5,04 juta petani guem yang umumnya adalah petani tanaman pangan atau hampir berjumlah 75 persen. Kehilangan atau adanya jumlah petani sebanyak 5 juta orang adalah jumlah yang signifikan apabila dikornversi sebagai sumberdaya yang menghasilkan output pangan. Semakin menurunnya jumlah petani tentu berkorelasi langsung dengan jumlah output pangan yang dihasilkan, dengan sumsi bahwa petani yang hilang tersebut adalah sebagian besar adalah petani tanaman pangan.
Source: Analysis, 2013
Berdasarkan peneli an hilangnya 5,04 juta petani tersebut diindikasikan sebagai meningkatnya jumlah petani yang kehilangan lahan. Ar nya petani gurem melepaskan kepemilikan lahan kepada orang lain. Petani gurem tersebut dimungkinkan berpindah profesi sebagai tenaga kasar dan buruh tani sebagai pekerja informal. Selain itu regenerasi petani berjalan sangat lambat.
Pada aspek ngkat pendidikan, mayoritas petani juga memperiha nkan. Para generasi tua petani berpendidikan Sekolah dasar (SD). Petani yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat jumlahnya cukup kecil yaitu sekitar 5 persen. Tingkat pendidikan formal memiliki pengaruh langsung dalam kemampuan berpikir dan ketanggapan merespon dinamikan lingkungan usahatani dan penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi petani digolongkan hanya mengaplikasikan teknologi tradisional. Selain itu kemampuan petani dalam menerjemahkan tantangan dinamika lingkungan saat ini juga belum memenuhi harapan yang diinginkan (Muksin, 2007). Selain faktor tersebut, factor mo vasi para petani umumnya rendah. Indikasi dari hal tersebut adalah adanya alasan bertani. Sebagian besar alasan menjalankan usaha karena dak memiliki kemampuan lain. Para petani menganggap sebenarnya usahatani dinilai dak menguntungkan secara signifikan (Muksin, 2007). Apabila dijumpai petani yang saat ini mengusahakan lahannya, umumnya karena dak ada yang melanjutkan pekerjaan sebagai petani. Selain itu persepsi yang nega v terhadap pertanian dikaitkan dengan belum op malnya peran penyuluhan dan kebijakan pemerintah dalam memfasilitasi peran pemuda dalam pertanian (Muksin, 2007). Sementara penyuluhan semakin kehilangan perannya karena lemahnya anggapan ngkat kepen ngannya, lemahnya dukungan poli k terhadap
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
29
penyelenggaran penyuluhan, dan kesulitan menghitung secara kuan ta f kontribusi atau keuntungan secara ekonomis atas penyelenggaraan (Milburn et al., 2010). Petani adalah manajer dari usahataninya. Petani adalah SDM yang dengan segala keterbatasan atau kelebihannya akan melaksanakan usaha tani. Petani sebagai pengelola adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang menyelenggarakan proses usaha. SDM dalam usahatani akan menentukan bagaimana produk vitas usahatani melalui kemampuan menjalankan usaha dan proses pengambilan keputusan. Kemampuan yang dimaksud adalah bagaimana petani melaksanakan teknis budidaya, pemanenan, pengelolaan pasca panen, dan pemasaran, serta kemampuan merespon dinamika lingkungan yang terkait dengan usahatani. Kemampuan merespon adalah kemampuan petani dalam menerjemahkan kebutuhan dalam menjalankan usahataninya, menyikapi dan menerjemahkan tantangantantangan termasuk ancaman-ancaman terhadap usaha taninya. Kemampuan petani akan mengarahkan petani dalam menjalankan usahataninya secara efisien dan efek f dalam mencapai tujuan. Secara faktual ngkat kemampuan kemampuan petani yang menopang produk vitas usahatani masih dinilai rendah. Indikator lemahnya kemampuan petani antara lain jumlah petani yang semakin berkurang. Indikator lainnya adalah melemahnya kemampuan fisik dan non fisik yang terkait langsung dengan umur petani, dan melemahnya mo vasi petani dalam menjalankan usaha tani (Muksin, 2014).
Kesimpulan dan Implikasi Kemampuan menghasilkan produk pertanian dipengaruhi oleh luas lahan, mutu lahan, dinamika lingkungan dan iklim, input teknologi dan jumlah maupun mutu dari SDM petani. Apabila lahan dan dinamika iklim adalah sesuatu yang memerlukan kebijakan eksternal dan kolabora f seluruh pelaku pertanian di dunia, maka SDM petani dalam konteks ini akan lebih banyak bertumpu pada kemampuan petani dan kebjujakan internal dari Negara masing-masing. Ke dakmampuan SDM petani atau rendahnya SDM petani dari suatu Negara, dak akan
30
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
lantas merugikan Negara bersangkutan, akan tetapi lebih banyak kepada Negara tersebut. Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa produk vitas SDM petani yang menurun berkaitan dengan jumlahnya, umur, kemampuan, dan mo vasi melaksanakan usaha. Kondisi produk vitas petani yang menurun, mengindikasikan adanya kebutuhan regenerasi dari pelaku usahatani. Apabila kondisi rendahnya SDM tak tergan kan, maka krisis pangan dan kedaulatan bangsa ini tentu dipertaruhkan. Regenerasi akan diharapkan memebrikan “energi’ baru baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Bersifat fisik terkait dengan kebutuhan umur produk f yang secara jasmaniah mampu menopang kerja-kerja fisik dalam usahatani. Bersifat non fisik terkait dengan kemampuan belajar untuk selanjutnya melakukan adopsi inovasi dalam menjalankan usaha tani. Kemampuan belajar terusmenerus dan penguasaan terhadap teknologi khususnya dalam pemanfaatan teknologi informasi akan berdampak posi f bagai peningkatan daya saing petani. Regenerasi adalah pergan an SDM baik dalam makna sebagai pelaku pertanian maupun sebagai pergan an paradigma berpikir tentang pertanian. Regenerasi adalah pergan an pelaku usahatani yang memiliki kemampuan memadai dalam menjalankan usahatani untuk merespon dinamika lingkungan. Pergan an dan keberlanjutan generasi dalam melanjutkan usahatani, bermakna melanjutkan kon nyuitas proses produksi pertanian dan menjaga kesinambungan ketersediaan pangan, serta keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang. Dengan potensi yang besar pada SDM pemuda, maka adanya permasalahan usahatani di Indonesia amat mungkin diatasi. Pergan an paradigma berpikir adalah konsekuensi logis yang diharapkan terbentuk bagi penggan pelaku dalam usahatani dalam memandang usahatani. Pergan an paradigma dalam hal ini termasuk cara memandang usahatani, pemanfaatan teknologi, pemasaran hasil pertanian, amupun pengorganisasian usahatani. Perubahan paradigma diharapkan dapat memberikan kekuatan baru bagi bangsa ini untuk menciptakan dan menguatkan daya saing pertanian di kancah internasional.
societal progress measurement is proved to be needed in every country, including in Indonesia, in order to support their citizens to achieve a prosperous life. In informing policy design, the drivers of community’s wellbeing can be clearly understood by using subjective well-being measurement (Hicks, Tinkler, & Allin, 2013). It is significantly required especially in the populations which highly affected by domains of policy which have a non-market consequence. Local government can formulate policies according to the needs of the people of their specific region if the sample of subjective wellbeing measurement is able to provide data on a local level as it is large enough. In policy appraisal, the role of subjective well-being is substantial in making decisions on which government spending would bring highest increase in the subjective well-being in respect to their cost (Fujiwara & Campbell, 2011).
What are the institutional arrangements of subjective well-being measurements in the UK and in Indonesia? Some significant institutional elements can be seen in Table-1.
arrangement
Table-1. Institutional Arrangement Elements of Subjective Well-being Measurements in the UK and in Indonesia Elements Actors
the UK
Indonesia
Multi actors
Single actor
Role of key agents
Clear, multi agents
Clear but limited to one agent
Platforms
National Debate (online and offline platforms)
None
Networks
Intra-organizational and inter-organizational (Advisory Forum, Technical Group, the Social Impact Task Force)
Intra-organizational
Regulations
Terms of Reference: National Debate, Advisory Forum, & Technical Group
None
Type of measurements
Evaluative, experience, and eudaimonic
Evaluative and eudaimonic
Source: Analysis, 2013
As pointed out by Esti, Woltjer, and Hasanov (2013), attention to institutional arrangement/design is required, especially in evaluation activities. However, it was observed that Indonesia has yet not been able
to incorporate several good practices or institutional arrangement elements that are already present in the UK. These elements are stated in Table 1 and include the inter-organizational networks (advisory forum and technical group), key agents and their specific roles (ONS and Cabinet Office); platform (national debate) and regulations that control the actors’ role and are highly correlated with actors involvement. The key areas which matter the most to the people can be identifies with the help of the national debate. It is also able to make sure that measurements being used by the statistical office are relevant to the wider public rather than just being limited to the government. The advisory forum and technical group consist of policy makers, business leaders, and a range of experts including from the OECD, Eurostat, other government departments, think tanks, academics, and related market research experts. They are required to choose, identify and analyze the subjective well-being measurement related issues along with presenting the statistical office with recommendations to enhance the situation (ONS, 2010). In addition, there is also the Social Impacts Task Force which comprises of analysts from across government and has been sharing subjective well-being analysis results and approaches mainly in the policy appraisal context (Fujiwara & Campbell, 2011). All of the three types of subjective well-being approach already being applied in the UK through several surveys. However, most of them are vulnerable to small sample sizes and it is not clear which have committed to continue asking subjective well-being questions in the future. Recognizing this limitations of existing data on subjective well-being in the UK and in response to Stiglitz recommendation, since 2011 the ONS made an approach to reflect different aspects of subjective wellbeing through the IHS and complemented by the OPN as part of the Measuring National Well-being Program. There are four overall monitoring questions that were included in the IHS which using all of the three approach (evaluative, experience, and eudaimonic approach). The overall monitoring questions were asked each month in the OPN as well. In addition, some additional questions drawing from the evaluative or experience or eudaimonic approach were asked in OPN monthly survey (ONS, 2011).
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
67
(2012) who offered a concept of well-being based on pleasure and pain; it also provided the background of utilitarianism. In general, subjective well-being measurement is carried out by simply asking people about their well-being. As such, it bends more toward democratic aspect of preference satisfaction, as it lets people choose the level of well-being in their lives, without anyone else deciding for them (Graham, 2010). Encyclopedia of Quality of Life Research described the subjective well-being as “The personal perception and experience of positive and negative emotional responses and global and specific cognitive evaluations of satisfaction with life. Simply, subjective well-being is the individual evaluation of quality of life (QOL)” (Abdallah & Mahony, 2012). Similarly, the OECD Guidelines explain subjective well-being as “all of the various evaluations, positive and negative, that people make of their lives and the affective reactions of people to their experiences” (OECD, 2013). McGillivray (2007), likewise, informs that “subjective well-being involves a multidimensional evaluation of life, including cognitive judgments of life satisfaction and affective evaluations of emotions and moods.” Put simply, subjective well-being can be taken as the way people comprehend their lives to be going (Abdallah & Mahony, 2012). Undoubtedly, the importance of the need to measure subjective well-being cannot be denied. Subjective wellbeing actually has a wide influence across a broad range of behavioural traits and life outcomes, as indicated by existing scientific evidence. The most preeminent fact is that it is extremely significant that the economic measurements of societal progress are balanced with measurements of subjective well-being. The reason behind this is to ensure that economic prosperity leads to huge improvements across various domains of life, and not just a wider economic capability. A call to ‘shift emphasis from measuring economic production to measuring people’s well-being’ was a central message of the Stiglitz Commission report (Stiglitz et al., 2010). Actually, the government can determine if the overall net progress is positive regarding the improvement of human well-being through the assessment of subjective well-being along with economic variables (Helliwell et al., 2013).
66
|
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
How can subjective well-being measurement be a substantial input for public policy? Findings from literature review confirmed that there are three major approaches, evaluative approach, hedonic/experience approach, and eudaimonic approach which facilitate subjective well-being measurement as a useful input for public policy. There are three policy contexts also present in this regard which are monitoring progress, informing policy design, and policy appraisal (Dolan, Layard, & Metcalfe, 2011). Evaluative approach asks individuals to step back and reflect on their life and make a cognitive assessment of how their life is going overall, or on certain aspects of their life. Four major types of evaluative approaches that focus on subjective well-being in present-day practices are life satisfaction & satisfaction scales, ladder of life approach, overall happiness, and domain satisfaction. Hedonic/experience approach seeks to measure people’s positive and negative experiences over a short timeframe to capture people’s well-being on a day-to-day basis through two major approach, which are “experience sampling and day reconstruction” and affect measurements. Eudaimonic approach draws on self-determination theory and tends to measure such things as people’s sense of meaning and purpose in life, connections with family and friends, a sense of control and whether they feel part of something bigger than themselves. Three main types of this approach are psychological/flourishing, capabilities approach, and having, loving, being approach (Abdallah & Mahony, 2012). Interview, questionnaire, and document analysis confirmed as well that subjective well-being measurement has potential roles for each policy context used in the framework of the research. In monitoring progress context, the role of subjective well-being measurement is to complement rather than to replace existing objective measurement of well-being. Subjective well-being measurement should be done, published, and placed alongside objective well-being measurement in order to provide fuller picture of progress in a country. Some policy-makers asserted that cross-regional comparisons using subjective well-being measurement will be important when they are related to evaluation of regional development in Indonesia. A comprehensive
Regenerasi menjadi kebutuhan untuk memfasilitasi produk vitas SDM pelaku usahatani. SDM usahatani yang dak memiliki daya saing atau kompetensi dalam mengupayakan usahatani dan agribisnis pada hakekatnya adalah ancaman seja terhadap kedaulatan pangan. Perlu upaya serius dalam menata dan membuat roadmaph regenerasi SDM petani dan kemampuan memproduksi pangan. Kedaulatan pangan menjadi terminology final untuk memberdayakan Indonesia sebagai bangsa. Kondisi tersebut memberikan alasan logis keperluan regenerasi pertanian. Regenerasi pelaku usaha tani adalah keberlanjutan usahatani untuk menyediakan pangan bagi bangsa. Bangsa yang dak dapat menyediakan pangan, adalah bangsa yang lemah. Regenerasi menjadi kewajiban bersama untuk merespon kondisi kebutuhan pangan dalam negeri, dan merespon persaingan di lingkungan global.
Mewujudkan upaya regenerasi yang tepat, menjadi keharusan semua pihak. Pihak-pihak dimaksud adalah pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Ke ga komponen bangsa ini seharusnya melakukan upaya sistema s untuk memfasilitasi terintegrasinya rencana, implementasi, dan evaluasi dalam memberdayakan SDM pertanian khususnya pola regenerasi yang dikembangkan. Kebutuhan mendesak terhadap regenerasi, kebutuhan terhadap peningkatan kompetensi petani berikutnya seharusnya sudah menjadi salahsatu blueprint yang diketahui oleh semua pihak atau komponen bangsa.
DAFTAR PUSTAKA Bappenas, 2009. Grand Strategi Keamanan Nasional. Bppenas, Jakarta. BPS. 2003a. Sta s k Pemuda Indonesia 2003. BPS, Jakarta ____. 2003b. Sensus Pertanian 2003 Angka Nasional hasil Penda aran Rumah Tangga (Angka Sementara). BPS, Jakarta. ____. 2003c. Sensus Pertanian 2003 Hasil Penda aran Rumah Tangga Propinsi Jawa Timur. BPS, Jakarta. Luckey, AN., TP. Murphrey, RL. Cummins. 2013. Assessing Youth Percep ons and Knowledge of Agriculture: The Impact of Par cipa ng in an AgVenture Program. Journal of Exten on (JoE). Volume 51, Number 3: 2. Diakses pada 2 Maret 2014) dari www.joe.org Milburn, LS., SJ. Mulley, and C. Kline, 2010. The End of the Beginning and the Beginning of the End: The Decline of Public Agricultural Extension in Ontario. Journal of Exten on (JoE). Volume 48, Number 6: 5-6. (Diakses pada 2 Maret 2014) dari www.joe.org Muksin. 2007. Kompetensi Pemuda Tani yang Perlu dikembangkan di Jawa Timur. IPB, Bogor, Hal 154-161. .2014. Implikasi Minat Dan Kompetensi Agribisnis Pemuda Pedesaan Terhadap Kedaulatan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014. Rosset P., 2011. Food Sovereignty and Alterna ve Paradigms to Confront Land Grabbing and the Food and Climate Crises. Development. Volume 54, Number 1: 21-30. (Diakses pada 7 Maret 2014) dari www.search.proquest.com Suswono. 2014. Kebijakan Pembangunan Pertanian Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Energi dalam Menyongsong Era Asia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional UNS, 24 April 2014 Wibowo, R., 2014. Masalah Tantangan Indonesia dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan. Seminar Nasional Ketahanan Pangan (15 Maret 2014). Polije, Jember, Hal 5-6.
EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014
|
31